bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/s1...adapun sektor privat...

33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul a. Aktualitas Di tengah keterbatasan negara, peran kolektif masyarakat dipercaya mampu mengatasi berbagai persoalan di level mikro (individu dan komunitas). Keberadaannya mampu mendorong perubahan sikap mental dalam tubuh masyarakat untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya pada peran pemerintah. Upaya ini menjadi alternatif penyangga bagi sistem kesejahteraan sosial di Indonesia. Peran masyarakat secara kolektif salah satunya diwujudkan dengan berderma. Derma menjadi tradisi turun temurun yang telah melekat dalam berbagai budaya masyarakat. Tradisi derma merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran setiap agama. Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama islam, memiliki akar tradisi derma yang berasal dari tradisi religius. Islam mengajarkan derma melalui zakat, infak, shadaqah dan wakaf (ZISWAF) yang telah mengakar dalam masyarakat sebagai wujud kesalehan sosial. Tradisi ini lahir dengan berbagai motif yang kompleks sebagai ekspresi hubungan antara pemberi dan penerima derma. Lahirnya lembaga filantropis mendorong berkembangnya budaya derma menjadi budaya filantropisme. Salah satu yang tengah berkembang adalah filantropi islam melalui akumulasi potensi ZISWAF. Merebaknya lembaga filantropi islam merupakan respon aktual para pengelolanya dalam menghadapi masalah sosial yang

Upload: truongnhu

Post on 09-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

a. Aktualitas

Di tengah keterbatasan negara, peran kolektif masyarakat dipercaya mampu

mengatasi berbagai persoalan di level mikro (individu dan komunitas).

Keberadaannya mampu mendorong perubahan sikap mental dalam tubuh masyarakat

untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya pada peran pemerintah. Upaya ini

menjadi alternatif penyangga bagi sistem kesejahteraan sosial di Indonesia. Peran

masyarakat secara kolektif salah satunya diwujudkan dengan berderma. Derma

menjadi tradisi turun temurun yang telah melekat dalam berbagai budaya masyarakat.

Tradisi derma merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran setiap agama.

Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama islam, memiliki akar tradisi

derma yang berasal dari tradisi religius. Islam mengajarkan derma melalui zakat,

infak, shadaqah dan wakaf (ZISWAF) yang telah mengakar dalam masyarakat

sebagai wujud kesalehan sosial. Tradisi ini lahir dengan berbagai motif yang

kompleks sebagai ekspresi hubungan antara pemberi dan penerima derma.

Lahirnya lembaga filantropis mendorong berkembangnya budaya derma menjadi

budaya filantropisme. Salah satu yang tengah berkembang adalah filantropi islam

melalui akumulasi potensi ZISWAF. Merebaknya lembaga filantropi islam

merupakan respon aktual para pengelolanya dalam menghadapi masalah sosial yang

Page 2: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

2

ada di sekitarnya, selain itu ini juga sebagai respon atas besarnya potensi dana

masyarakat yang mampu digalang. Dalam penelitian ini dua lembaga yang diteliti

adalah Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa.

b. Orisinilitas

Ada banyak penelitian dan bahan bacaan terkait peran Filantropi Islam yang

mendahului penelitian ini, diantanya sebagai berikut :

Syam Fikri Ghadafi (2004)1, menekankan pada peran zakat untuk

pemberdayaan masyarakat berbasis Community Development. Zakat dilihat sebagai

sumber daya potensial untuk mendorong perubahan di masyarakat dengan mangacu

yang dilakukan di Malaysia dan Singapura. Keterlibatan pemerintah meregulasi zakat

mampu menjadikannya sebagai modal memecahkan masalah sosial. Di Indonesia

permasalahan tentang zakat lebih komplek. Potensi zakat yang lebih besar tidak

dikelola dengan regulasi yang tegas. Zakat masih dikelola secara parsial oleh banyak

stackholder, baik pemerintah, civil society hingga korporasi. Masih banyak lembaga

pengelola zakat yang belum professional, pengurusnya sebatas formalitas, tidak

memiliki skill dan komitmennya yang rendah. Di tengah situasi ini muncul lembaga-

lembaga zakat professional untuk mengelola zakat melalui community development.

Adapun dari segi program masih terbagi dua: bersifat community development dan

karikatif.

1Syam Fikri Ghadafi, 2004, Peran Zakat dalam Kerangka Community Development (Studi Tentang Peran Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta), Skripsi Ilmu Sosiatri: FISIPOL UGM

Page 3: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

3

Tetin Oktariani (2011)2, menyoroti peranan Muhammadiyah sebagai third

sector. Salah satu temuan menariknya adalah adanya transformasi Muhammadiyah

yang awalnya lahir dari gerakan masyarakat dengan mengandalkan penggalangan

dana filantropi, kini ketika kapasitas pelayanannya semakin membesar

Muhammadiyah justru berusaha memenuhi kebutuhan pendanaan layananan

pendidikan dan kesehatannya melalui dua strategi. Pertama, strategi politik untuk

mendekat ke pemerintah melalui koneksifitas kadernya untuk bisa membantu

mengalirkan dana bantuan pemerintah. Kedua, strategi pasar, Muhammadiyah

berubah menjadi setengah pasar dengan mengandalkan pemenuhan kebutuhan

layanan kesehatan dan pendidikannya dari penjualan jasa kepada masyarakat.

Hilman Latief (2010)3, menyoroti filantropi dalam tubuh persyarikatan

Muhammadiyah yang menunjukan kompleksitas gerakan kesejahteraannya.

Muhammadiyah yang selama ini banyak amal usaha yang tersebar luas di seluruh

nusantara mulai berupaya mengelola filantropi modern. Muhammadiyah mengalami

banyak masalah kelembagaan untuk mengelola filantropi modernya secara tersentral.

Proses penggalangan dana sudah berlangsung secara masif di akar rumput dengan

mengandalkan jalur lembaga amil zakat milik amal usaha (sekolah, universitas,

2 Tetin Oktariani, 2011, Eksistensi Layanan Pendidikan dan Kesehatan Muhammadiyah (Studi tentang Keterlibatan Third Sector dalam Pelayanan Publik), Skripsi Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan: FISIPOL UGM 3Hilman Latief, 2013, Melayani Umat (Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis), Jakarta : Gramedia

Page 4: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

4

rumah sakit, bank, dll) dan melalui struktur pengurus dari tingkat ranting (desa /

dusun) sampai pusat (nasional).

Suparjan (2010)4, melihat peran negara dianggap gagal membangun sistem

sosial, ekonomi dan politik yang memberikan semua warga negara akses yang

memadai untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Dalam merespon situasi itu

penggalangan dana masyarakat dianggap bisa menjadi buffer zone bagi pelayanan

sosial. Penelitian ini melihat peran LAZIS Tsalasatul Kharimah di desa Sendang

Agung, Minggir, Sleman. LAZIS TK mendorong kolektivitas masyarakat akar

rumput, tetapi juga berprinsip pada pengelolaan yang professional. Perannya cukup

maksimal dalam mendorong program-program pengentasan kemiskinan. Hasil

penelitian menunjukan efektifitas lembaga ini dibandingkan dengan birokrasi

pemerintah sehingga publik memberikan kepercayaan penuh dan merasakan manafaat

langsung dari keberadaannya.

Dalam karyanya yang lain Hilman Latief (2013)5, menyoroti kompleksitas

filantropi islam di tengah kontestasi negara, pasar dan masyarakat sipil. Ketiga sektor

tersebut berkontestasi memainkan peran distribusi kesejahteraan. Negara dilihat

sebagai aktor yang pragmatis dengan melakukan pendekatan struktural untuk

berusaha memobilisasi penggalangan dana ZISWAF dari komunitas muslim,

4 Suparjan, 2010, Jaminan Sosial Berbasis Komunitas : Respon atas Kegagalan Negara dalam Penyediaan Jaminan Kesejahteraan mengangkat kegagalan peran negara dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada masyarakat, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 13 No 3, Maret 2010 5 Hilman Latief, 2013, Politik Filantropi Islam di Indonesia (Negara, Pasar dan Masyarakat Sipil), Yogyakarta: Ombak

Page 5: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

5

utamanya para pegawai aparatur pemerintahan. Di sisi lain masyarakat sipil

meresponnya dengan menunjukan kredibilitas dirinya untuk berhadapan dengan

otoritas yang diperankan negara. Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam

sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah muslim) untuk

menunjukan kontribusi sosial kolektif.

Penelitian di atas sangat bermanfaat sebagai titik pijak bagi lahirnya penelitian

ini. Kebaruan dari penelitian ini adalah berusaha melihat secara spesifik dari

lembaga-lembaga filantropi islam yaitu Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa sebagai

wujud memotret dua model lembaga berbeda yang memiliki tradisi filantropis

masing-masing yang unik. Fokus dari penelitian ini mencoba melihat eksistensi dua

lembaga filantropi islam di Indonesia dalam menciptakan kesejahteraan sosial.

c. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Kajian dalam Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) menempatkan

fokus pada 3 hal, yaitu: Social Policy, Community Empowerment dan Corporate

Social Responsibility. Penelitian ini berporos pada Social Policy, khusunya kajian

mengenai Welfare Pluralism yang menunjukan keseimbangan peran negara, pasar

dan masyarakat dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial. Ketiga sektor

tersebut saling melengkapi dan menopang keterbatasan masing-masing. Kajian ini

fokus melihat peran filantropi religius sebagai salah satu wujud dari Third sector

dalam mendistribusikan kesejahteraan sosial di tengah keterbatasan negara.

Page 6: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

6

B. Latar Belakang

Indonesia masih menghadapi berbagai masalah sosial sebagai dampak

kegagalan pemerataan pembangunan. Kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia

dilihat dari indikator makro ekonomi terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi

Indonesia cukup stabil di angka 5-7 %, pada 2012 pertumbuhan sebesar 6,2%, dengan

GDP perkapita berdasarkan paritas daya beli (PPP) pada 2012 telah mencapai US$

4971.4.

Perbaikan sektor ekonomi tidak diimbangi dengan pemerataan kesejahteraan.

Erani Ahmad Yustika menyebutkan terjadinya ketimpangan penguasaan aset, dimana

40 orang terkaya di Indonesia mampu menguasai aset setara APBN. Hal ini

terkonfirmasi dengan angka statistik indeks gini Indonesia yang berada pada posisi

0.41 pada 2012 dengan trend setiap tahun cenderungan meningkat (Kompas, 8 April

2013). Kesenjangan ini ditunjukan pula dengan tingkat kemiskinan di Indonesia pada

maret 2013 sebesar 28,07 juta jiwa atau 11,37%, angka ini diperoleh dengan indikator

kemiskinan sebesar Rp. 271.626 per kapita/bulan atau Rp. 9.054 perkapita/hari (+/-

US $ 0.9). Sedangkan tingkat kemiskinan yang dihitung dengan indikator World

Bank pada 2011 yaitu US $ 1,25 perkapita / hari dan US $ 2 perkapita / hari pada

Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity ) maka pada 2011 dihasilkan angka yang

cukup besar yaitu menjadi 16.2% dan 43.3 % (BPS, 2013:85).

Ketimpangan kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pemerataan

akses kesempatan kerja dan pendidikan. Tingkat pengangguran terbuka pada periode

Page 7: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

7

Agustus 2013 sebesar 7,39 juta, atau 6,25% dari seluruh angkatan kerja. Dilihat dari

kualitas pekerjaannya relatif buruk, dimana 10,89 juta separuh menganggur,6

sedangkan 25,92 juta lainnya bekerja paruh waktu,7 atau 46,7% dari total pekerja

bekerja tidak penuh.8 Mayoritas dari penduduk bekerja berada di sektor informal, data

BPS febuari 2013 menunjukan 60,9% berada di sektor informal. Kondisi di atas salah

satunya bisa dilihat dari indikator tingkat pendidikan para pekerja yang rata-rata

terbilang cukup rendah, 52,02 juta atau 47% penduduk bekerja hanya lulusan SD ke

bawah, disusul tamatan SMP sebesar 18% (20,46 juta), SMA sebesar 16% (17,84

juta), SMK 9% (9,99 juta), Diploma sebesar 3% (2,92 juta), Sarjana ke atas hanya 7%

(7,57 juta).9

Kegagalan negara mewujudkan pemerataan kesejahteraan merupakan akibat

dari orientasi kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan pasar. Paradigma ini

lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mempertahankan stuktur sosial

yang timpang dari warisan feodalisme (Sritua dan Sasono, 2013:8-9). Akibatnya

masalah-masalah sosial lahir sebagai konsekuensi atas teralienasinya sebagian

populasi dari geliat pertumbuhan ekonomi. Merujuk teori Altur Lewis bahwa mereka

yang tersingkir tetap berkutat dalam model ekonomi subsistensi yang mengandalkan

6 Mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan (dahulu disebut setengah pengangguran terpaksa). BPS (2013:111) 7 Mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (dahulu disebut setengah pengangguran sukarela) BPS (2013:111) 8Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik, Keadaan Ketenagakerjaan agustus 2013, dalam http://bps.go.id/brs_file/naker_06nov13.pdf diakses pada 20 november 2013 pukul 16.04 9 Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik, Keadaan Ketenagakerjaan agustus 2013 dalam http://bps.go.id/brs_file/naker_06nov13.pdf diakses pada 20 november 2013 pukul 16.04

Page 8: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

8

ceruk-ceruk peluang yang tersisa dalam perekonomian di sisi lain sistem ekonomi

modern tetap bekerja dengan tingkat efisiensi yang tinggi (Yustika,2000:185-186)

Negara mengambil peran intervensi dengan serangkaian program sosial untuk

mengatasi masalah sosial. Setiap tahunnya negara mengalokasikan anggaran yang

cukup besar untuk program bantuan sosial, pada tahun 2013 alokasi APBN untuk

bantuan sosial mencapai 82.5 Trilyun rupiah. Program yang digulirkan berupa: Biaya

Operasional Sekolah (BOS), Beasiswa siswa dan mahasiswa miskin, pembiayaan

Jaminan Kesehatan Masyarakat, Pembiayaan PNPM, Program Keluarga Harapan,

Dana Penanganan Bencana dan program-program lainnya.

TABEL 1.1 ALOKASI APBN UNTUK BANTUAN SOSIAL 2007-2013

(dalam Triliyun Rupiah)

Tahun Alokasi Anggaran % dari APBN Total APBN

2007 49.8 9.87 504.6

2008 57.7 8.32 693.4

2009 73.8 11.74 628.8

2010 68.6 9.84 697.4

2011 71.1 8.05 883.7

2012 75.6 7.47 1010.6

2013* 82.5 6.89 1196.8

*APBN P

Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan APBN 2014

Intervensi yang dilakukan pemerintah melalui skema bantuan sosial belum

mampu menunjukan hasil signifikan. Masyarakat masih mengalami kerentanan atas

penurunan kualitas kesejahteraan. Data BPS yang dipresentasikan Rudi S

Page 9: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

9

Prawiraditama, Direktur Penanggulangan Kemiskinan Bappenas,10

menunjukan

antara tahun 2009 dan 2010, ±55,7% penduduk miskin di tahun 2009 (di bawah garis

kemiskinan, Rp. 200.262 pada maret 2009 dan Rp. 211.762 pada maret 2010) telah

keluar dari kemiskinan pada tahun 2010. Sebaliknya ±21,52% penduduk Hampir

Miskin (1-1,2 kali garis kemiskinan), 11,54% penduduk Hampir Tidak Miskin (1,2-

1,5 kali garis kemiskinan), dan 2,94% penduduk Tidak Miskin (di atas 1,5 kali garis

kemiskinan) pada tahun 2009 jatuh kedalam kemiskinan pada tahun 2010. Indikator

perubahan status miskin dan tidak miskin tersebut menunjukan terjadinya kerentanan

kesejahteraan penduduk yang belum dapat terantisipasi (Lihat Tabel 1.2).

Tabel 1.2 Mobilitas Status Kesejahteraan Penduduk 2009-2010

Sumber : BPS dalam presentasi Rudy S Prawiraditama, tentang MP3KI di UI, 5 /12/ 2012

Intervensi negara melalui skema program bantuan sosial seringkali justru

memicu masalah baru di akar rumput. Perencanaan yang lemah dalam membidik

sasaran dan prosedur pelaksanaannya mengakibatkan rusaknya modal sosial di

10 Presentasi Rudi S Prawiraditama, tentang MP3KI di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012 diakses melalui http://aksisinergi-ui.com/temunasional2012/wp-content/uploads/SLIDESHOW-RUDDY.pdf pada 20/9/2013

Page 10: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

10

masyarakat dan seringkali mendatangkan konflik baik secara vertikal (masyarakat

dengan pemerintah) maupun horizontal (antar masyarakat).11

Selain itu Suparjan

(2010:254-255) mencatat tiga alasan kegagalan negara dalam memberikan jaminan

sosial, pertama, sasarannya kurang tepat, mayoritas penduduk rentan justru tidak

mendapat akses terhadap jaminan sosial, kedua, memicu konflik sosial akibat

kecemburuan dan salah sasaran, dan ketiga, pelaksanaannya memberikan beban

administratif dan finansial bagi masyarakat miskin yang akan mengaksesnya.

Keterbatasan negara baik secara finansial maupun birokrasi dalam melaksanakan

program sosial melahirkan kegagalan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bagi

kelompok masyarakat yang paling marginal.

Negara dianggap telah gagal dalam menyejahterakan kelompok masyarakat

paling marginal. Kondisi ini mendorong keterlibatan masyarakat dalam wujud aksi

sosial kolektif. Aksi sosial ini terwadahi dalam berbagai gerakan untuk merespon

beragam isu sosial, ekonomi dan politik. Ada tiga varian respon masyarakat dalam

melihat keterbatasan negara. Pertama, Organisasi yang berorientasi pelayanan

(service) yaitu mereka yang menyediakan bantuan dan asistensi jangka pendek,

sebagai contoh yang dilakukan Gereja, Masjid dan organisasi masyarakat lainnya.

Kedua, Organisasi yang berorientasi pembangunan, yaitu mereka yang berusaha

melakukan upaya pengembangan masyarakat, diluar struktur pemerintah. Organisasi

ini berusaha menggalang keterlibatan kolektif masyarakat untuk ikut secara langsung

11 Selengkapnya Lihat dalam Mulyadi Sumarto, dalam Ucu Martanto (ed), Kebijakan Sosial dan Kesejahteraan, Yogyakarta: Fisipol UGM, 2008:174-176

Page 11: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

11

mengentaskan masalah sosial di level mikro (individu dan komunitas), diantaranya

penyediaan kredit mikro, pendampingan usaha dan menyediakan akses pendidikan

dan kesehatan. Peran ini salah satunya dimainkan oleh organisasi filantropis modern.

Ketiga, Organisasi yang berorientasi gerakan, mereka melakukan upaya penyadaran

kolektif untuk menuntut perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik, diantaranya

gerakan mahasiswa, LSM, dll (Latief, 2013:36)

Sigh dalam Vandendael, et all (2013:16) melihat dalam konteks negara

berkembang filantropi menjadi salah satu bentuk respon terhadap keterbatasan negara

yang muncul dari kalangan kelas menengah. Filantropisme ditandai dengan

munculnya berbagai lembaga swadaya masyarakat yang mengandalkan dana

masyarakat baik lokal maupun internasional. Filantropisme berusaha menggalang

kepedulian dan keterlibatan masyarakat untuk mengalokasikan sumber dayanya untuk

aktivisme sosial. Salah satu filantropi yang paling berpengaruh dan paling potensial

di Indonesia adalah filantropi religius, khususnya filantropi Islam (Vandendael, et all,

2013:14-15). Filantropi Islam merupakan reinterpretasi dari ajaran agama yang

menganjurkan derma, berupa Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf (ZISWAF). Selama

ini aplikasi dari ajaran ini diterapkan dengan beragam metode dan berbagai motif

baik dilakukan secara indvidu maupun secara kolektif berdasarkan pada konteks

budaya masyarakatnya (Latief, 2013:7).

Persentuhan antara filantropi tradisional dan filantropi modern mulai

membentuk sebuah gerakan baru. Gerakan ini berorientasi menjadikan filantropi

sebagai alat untuk mengentaskan masalah sosial. Hadirnya lembaga filantropis Islam

Page 12: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

12

di Indonesia menunjukan adanya reorientasi menuju model filantropisme modern.

Fernandes dalan Vandendael (2013:25) menyebutkan bahwa institusionalisasi

filantropi Islam di Indonesia muncul sebagai bentuk transisi antara bentuk-bentuk

traditional giving menuju mobilisasi yang berkelanjutan pada sumber daya

indigeneous. Lembaga filantropi professional yang paling awal muncul di Indonesia

adalah Dompet Dhuafa Republika. DD lahir pada 1993 sebagai inisiatif jurnalis

Republika, sebuah media yang didirikan oleh ICMI (Widyawati, 2011:72) Dompet

Dhuafa kini berkembang menjadi salah satu lembaga amil zakat nasional (LAZNAS)

yang mampu mengelola dana filantropi Iislam terbesar di Indonesia.

Kontribusi filantropisme Islam di Indonesia dalam mengatasi masalah sosial

bukanlah trend baru. Di awal abad ke 20-an, Muhammadiyah sudah lahir, tepatnya

pada 18 November 1912. Muhammadiyah sejak awal kelahirannya mendedikasikan

diri sebagai gerakan pembaharuan Islam yang berusaha untuk mengentaskan masalah

sosial kaum pribumi dengan membangun Amal Usaha Muhammadiyah (AUM),

berupa lembaga pendidikan, kesehatan dan sosial. Muhammdiyah lahir dari basis

sosial kalangan kelas menengah muslim perkotaan, terutama “para saudagar” pada

zamannya (Rahardjo,1999:352). Mereka secara kolektif melakukan aktivisme sosial

untuk memberikan pelayanan pada kaum pribumi yang papa.

Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa keduanya merupakan organisasi yang

dalam menjalankan aktivisme sosialnya sangat mengandalkan dukungan sumber daya

filantropis berupa Zakat, Infaq, Shadaqah dan Waqaf (ZISWAF). Keduanya memiliki

pola yang berbeda dimana Muhammadiyah merupakan civic organization sekaligus

Page 13: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

13

multiple purpose organization yang memiliki kompleksitas jaringan baik

keanggotaan, jaringan struktural maupun varian-varian aktivisme sosialnya.

Sedangkan, Dompet Dhuafa merupakan sebuah lembaga filantropis murni yang

berbentuk lembaga amil zakat yang menempatkan diri untuk menerima amanah

publik sebagai pengelola dana zakat, infaq, shadaqah dan waqaf. Perbandingan

pendayagunaan filantropisme di dalam kedua lembaga ini akan mampu memberikan

gambaran tentang kemampuan organisasi sektor ketiga dalam mengolah sumber daya

publik menjadi aktivisme sosial baik yang berbasis pelayanan, pemberdayaan

maupun pemberian aset untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan kaum marginal.

Penelitian tentang pendayagunaan sumber daya filantropisme islam pada

Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa menjadi penting untuk menjawab keresahan

masyarakat yang telah meragukan motif dibalik lahirnya filantropisme islam. Studi

tentang aktivisme sosial yang dilakukan Holger Weis dalam Latief (2012:175) di

Ghana terjadi kontestasi sekaligus resistensi pelayanan sosial yang dilakukan antara

komunitas muslim dan bantuan internasional yang sekuler ataupun misi gereja.

Quintant Wictorowicz and Suha Taji Farouki dalam Hilman Latief (2012:174) juga

menyebutkan di Jordania pelayanan kesehatan dan pendidikan dijadikan simbolisasi

dari makna politik yang berujung pada agregasi kepentingan dalam partai politik

tertentu. Studi Jenine A. Clark (2004) tentang upaya charitas dan aktivisme islam di

Mesir, Jordania dan Yaman menunjukan bahwa filantropisme islam cenderung

menjadi ajang untuk memperkuat basis sumber daya sosial dan akumulasi kapital

kalangan kelas menengah muslim.

Page 14: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

14

Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa sebagai lembaga yang aktivismenya

mengandalkan akumulasi dana filantropi sering mengalami gugatan masyarakat.

Tetin Oktariani (2011) menyebut Muhammadiya telah bergeser dari usaha pelayanan

sosial kepada kalangan mustadh’afin (kaum lemah) sekedar menjadi korporasi jasa

yang berusaha mengakumulasi kapital untuk kepentingan organisasinya.

Kehadiran Dompet Dhuafa juga seringkali dicurigai memiliki tujuan-tujuan dan

motif tertentu secara politis mengingat dari sisi kelahirannya Dompet Dhuafa lahir

dari celah relasi politik ICMI dan dari sisi para pengelolanya merupakan kelas

menengah terpelajar yang sering disebut kelompok islamis. Kelahiran Dompet

Dhuafa yang juga memicu lahirnya lembaga-lembaga sejenis di berbagai level dan

mayoritas dikelola kalangan kelas menengah profesional. Pertumbuhan LAZ di

Indonesia sangat pesat terutama pasca terbentuknya Forum Zakat (FOZ) yang mampu

menekan pemerintah untuk mengesahkan regulasi tentang zakat (UU No. 38 tahun

1999 tentang Pengelolaan Zakat). Kehadiran LAZ seringkali dikritik sebatas upaya

kelas menengah muslim memanfaatkan potensi besar sumber daya filantropis untuk

memperkuat basis pengaruh sosialnya.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dirumuskan permasalahan utama yaitu: “Bagaimana

eksistensi pelayanan kesejahteraan sektor ketiga yang berbasis filantropi islam di

Indonesia?” Dari pertanyaan utama tersebut diturunkan menjadi tiga pertanyaaan

turunan, sebagai berikut:

Page 15: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

15

Pertama, Bagaimana motif di balik pelayanan sosial yang diberikan

Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa?

Kedua, Bagaimana bentuk relasi layanan kesejahteraan Muhammadiyah dan

Dompet Dhuafa di tengah keterbatasan kapasitas layanan negara dalam mewujudkan

kesejahteraan sosial?

Ketiga, Bagaimana peran dan strategi Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa

dalam mendorong dan mengakumulasi partisipasi kolektif publik untuk terlibat dalam

usaha perbaikan kualitas kesejahteraan kaum marginal?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat eksistensi, motif, relasi, peran dan

strategi dua lembaga filantropis islam di Indonesia, yaitu: Dompet Dhuafa dan

Muhammadiyah untuk mendorong terjadinya transformasi tradisi derma dalam

masyarakat menjadi upaya kolektif untuk mengatasi permasalahan sosial.

b. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuwan

Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) dan institusi berbasis filantropi islam

khususnya Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa. Adapun manfaat yang diharapkan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Pengembangan Keilmuwan PSdK :

Page 16: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

16

i. Penelitian ini untuk memperkaya bahan kajian tentang perkembangan

filantropi dan welfare pluralism di Indonesia

ii. Penelitian ini menjadi bahan memetakan peran dan strategi lembaga filantropi

Islam khususnya Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa di tengah keterbatasan

kapasitas layanan negara

2. Bagi Institusi Filantropi islam khususnya Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa :

i. Penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam melihat kinerja lembaga, terutama

terkait dengan pengarus utamaan filantropi islam dalam tradisi masyarakat

ii. Penelitian ini dapat menjadi bahan untuk merumuskan strategi kelembagaan

untuk memperkuat kapasitas dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial

E. Tinjauan Pustaka

Dalam studi tentang gerakan kesejahteraan sektor ketiga yang direpresentasikan

Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa ini ada beberapa konsep kunci; yaitu;

Filantropi, Kedermawanan, Solidaritas Sosial, Filantropi Islam, Filantropi Religius,

Filantropi Modern, Sektor Ketiga, dan Kesejahteraan Sosial

a. Filantropi, Kedermawanan dan Solidaritas Sosial

Filantropi tidak dapat dipisahkan dari kedermawanan, filantropi secara

etimologis berasal dari kata “philo” cinta, dan “anthropos” manusia, yang berarti

kepedulian seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain berdasarkan pada

kecintaannya pada sesama manusia (Latief, 2010:36) Robert Payton (1988:32)

mendefinisikan filantrofi mencakup tiga kegiatan yang saling berhubungan, yaitu;

Page 17: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

17

layanan sosial, asosiasi sosial dan derma sosial bagi kemaslahatan umum. Tujuan

filantropi menurutnya dibagi dua, perilaku kasih sayang untuk menanggulangi

penderitaan dan perilaku kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.

Memahami filantropi tidak dapat dilepaskan dari konsepsi kedermawanan.

Kehadiran filantropi sejatinya adalah upaya kolektif untuk membingkai semangat

kedermawanan. Sifat kedermawanan selalu berusaha direproduksi dalam berbagai

konteks budaya masyarakat. W.K. Kelloog Foundation mendefinisikan derma pada

dasarnya adalah upaya menyisihkan sebagian dari harta (alat atau barang yang

dimiliki), waktu, ataupun tenaga untuk kepentingan orang lain (Latief, 2010:36).

Kedermawanan dan filantropi biasanya juga dikaitkan erat dengan charity, yang

diambil dari bahasa latin artinya cinta tanpa syarat. Menurut Helmut K. Anheier dan

Regina. A. List, dalam Widyawati (2011:27) antara Charity dan Filantropi dibedakan

dari sisi tujuan pemberiannya, charitas dimaksudkan sekedar memberikan untuk

kebutuhan jangka pendek, sedangkan filantropi berupaya untuk menyelidiki dan

menyelesaikan sebab utama dari persoalan.

Filantropi ataupun kedermawanan merupakan sebuah instrumen untuk

membangun solidaritas sosial, atau merawat pertalian dan kohesifitas sosial.

Sebagaimana dikatakan Komter (2005:7) bahwa gift giving atau pemberian dan

kedermawanan memiliki dua fungsi psikologis: pertama, membuat ikatan moral

antara pemberi dan penerima dan kedua, memelihara hubungan sosial yang telah

terjalin. Dalam kajian tentang Gift and Solidarity, Aafke. A Komter (2005:21)

Page 18: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

18

mengambil pendekatan Alan Page Fiske bahwa terdapat empat model dasar dari

pembentukan relasi soial dalam masyarakat; Community Sharing, Authority Ranking,

Equality Matching dan Market Pricing.

Pertama, Community Sharing atau berbagi dalam komunitas adalah hubungan

setara yang menyertai keanggotaan dari sebuah komunitas yang di dalamnya

berusaha menegasikan keberadaan identitas individualistik. Biasanya berwujud

identifikasi kelompok, kepedulian, pertemanan dan solidaritas. Hal ini lahir dari

pengalaman panjang mereka yang merasakan menjadi bagiannya, identifikasi nilai

serta rasa primordialitas kolektif. Motif berbagi dalam community sharing adalah

upaya untuk menjaga kualitas hubungan dalam kelompoknya (Komter, 2005:22)

Kedua, Authority Ranking atau peringkat otoritas mencerminkan relasi yang

asimetris dan tidak setara. Terbentuknya relasi ini ditujukan untuk membentuk

klasifikasi kelas dan status sosial. Mereka yang berada di peringkat paling atas

memiliki akses untuk memegang otoritas dan selalu memiliki hak preogratif untuk

berinisiatif dan menentukan dalam tindakan sosial. Hal ini menjadikannya memiliki

kuasa untuk membuat keputusan dan menyuarakan pilihannya. Motif pertukaran

dalam authority rangking adalah upaya untuk menunjukan kepemilikan status sosial

atau posisinya dalam kekuasaan. Beberapa hal yang dijadikan alat seleksi sosial

adalah power (kekuasaan), fame (popularitas), Prestige (kewibawaan), dan merit

(prestasi) (Komter,2005:22-23)

Ketiga, Equality matching atau pertemuan setara, biasanya merujuk pada relasi

kawan sebaya “peer”, di dalamnya terjadi interaksi saling berbagi dan saling

Page 19: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

19

pempengaruhi secara setara. Bentuk relasi yang terbentuk adalah relasi dua arah

“reprocity”. Hak, kewajiban dan aksi menunjukan kesetaraan di dalamnya (Komter,

2005:23-24)

Keempat, Market pricing “harga pasar”, hubungan ini merujuk pada dominasi

nilai pasar. Transaksi di dalam didasarkan pada pilihan rasional dan kebutuhan.Orang

menjalin hubungan karena merasa akan mendapatkan keuntungan. Di dalamnya

terkandung instrumentasi untuk melakukan competition (persaingan) dan struggle

(perjuangan) (Komter, 2005:24).

Komter menilai perkembangan teori things, gift and solidarity tidak bisa

dilepaskan dari kerangka dasar pertukaran yang melandaskan pada empat dasar relasi

diatas. Keempat motif tersebut termanifestasi dalam sikap masyarakat yang melekat

membentuk sebuah pola-pola hubungan yang unik sesuai dengan konteksnya. Dalam

kajian tentang filantropi, motif-motif kedermawanan menjadi titik sentral bagaimana

filantropi memberntuk karakternya.

b. Filantropi Islam perpadukan Filantropi Religius dan Filantropi Modern

Tradisi filantropisme juga identik dengan tradisi agama-agama

(Ilchman:

2006:ix). Semua agama memiliki ajaran untuk mengembangkan filantropi. Menurut

Thomas H. Jeavons, dalam Widyawati (2011:1) ada empat alasan mengapa agama

identik dengan filantropisme, pertama, agama memiliki doktrin agar umatnya saling

berbagi dengan mereka yang tidak mampu, kedua, lembaga agama sering

memposisikan diri sebagai penerima sekaligus sumber pemberian, ketiga, agama

Page 20: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

20

mendorong dan mempengaruhi terbentuknya lembaga-lembaga filantropi, dan

keempat, agama sebagai kekuatan yang dapat menciptakan ruang sosial bagi kegiatan

dan lembaga filantropi. Tradisi filantropi yang melekat pada agama-agama terkadang

tidak identik dengan istilah filantropi, keduanya baru bersinggungan ketika filantropi

menjadi sebuah trend global, namun praktek filantropi sudah melekat dengan agama-

agama sebagai sebuah ajaran (Widyawati, 2011:18).

Tradisi filantropi religius bisa dilacak dari berbagai tradisi agama mulai dari

agama semintis (Islam, Kristen dan Yahudi), hingga tradisi agama timur, (Hindu,

Budha, Konghuchu) (Ilchman: 2006:ix). Dalam prakteknya semua agama memiliki

model-model sendiri, baik dalam ketentuannya, kepada siapa diberikan dan apa

tujuannya. Dalam islam, filantropi dijabarkan dalam beberapa instumen, yaitu: zakat,

infaq, shadaqah, dan wakaf.

Robert D. Mc Chesney menyebutkan zakat menjadi sebuah ambiguitas dalam

islam, disatu sisi ia merupakan kewajiban namun pelaksanaannya sangat tergantung

dengan konteks sosial masyarakat, kadang muncul otoritas kadang dilepaskan begitu

saja.12

Ridwan al Makasary (2006:40) menyebut pengelolaan zakat oleh negara

diwarnai penyalahgunaan sehingga melahirkan distrush terhadap institusi negara

yang memicu para ahli fiqh (hukum syariat) untuk mendukung distribusi zakat secara

intrapersonal.

12 Lihat dalam Robert M. Chesney http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ philanthropy_islam.asp diakses pada 20 november 2013 pukul 15:27

Page 21: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

21

Tabel 1.3 Konsep Dasar tentang ZISWAF dalam Islam

Jenis Jenisnya Sifat Ketentuan

Zak

at

Fitrah,

Far

dhu /

Waj

ib

Zakat fitrah dibayarkan setahun sekali jelang 1 syawal

(idhul fitri), oleh siapapun yang memiliki kelebihan

bahan makanan dihari itu, besarnya berupa bahan

makanan 2,5 KG,

Maal /

Perdagang

an /

Profesi,

Zakat mal/perdagangan atau profesi dibayarkan setelah

satu tahun (haul), dengan ketentuan jumlahnya telah

memenuhi batasan (nisab 85 gram emas), dengan besaran

2,5 %

Rikaz

(barang

temuan),

Zakat Rikaz dibayarkan secara langsung dengan besaran

20%, (nisab 85 gram emas),

Zakat

Pertanian

Zakat Pertanian, dibayarkan secara langsung dengan

besaran 5% untuk yang perlu biaya bagi pengairannya,

dan 10% bagi yang tidak perlu biaya bagi pengairannya,

nisabnya 635 KG

Infaq Shunah /

himbauan

Jumlahnya lebih sedikit daripada zakat, biasanya recehan

diberikan pada siapa saja dimana saja

Sedeka

h

Shunah /

himbauan

Jumlahnya sama dengan atau lebih besar dari zakat,

biasanya diberikan dengan maksud-maksud tertentu mulai

dari membiayai kegiatan agama, beasiswa, sumbangan

fakir miskin, hingga kegiatan politik

Waqaf

Barang /

tanah /

uang

Shunah /

himbauan

Merupakan aset produktif yang diserahkan kepada sebuah

lembaga untuk dimanfaatkan sebagai fasilitas publik atau

kemanfaatannya digunakan untuk masyarakat luas, tidak

boleh diperjualbelikan boleh diusahakan

Denda

(diyat)

Kafarat Wajib

Hukuman terhadap pelanggaran dalam aturan agama

seperti berhubungan intim saat berpuasa dan berhaji, dll

biasanya identik dengan menyantuni fakir miskin dan

membebaskan budak

Fidyah Wajib

Sejumlah uang sebagai pengganti atas meninggalkan

ibadah puasa bagi mereka yang tidak mampu (ibu hamil

dan menyusui, pekerja keras, orang tua, dll)

Sumber : diolah dari Ridwan (2006:38) Rochim (2012:2-11) Sudewo(2012a:32-36),13

13 Erie Sudewo dan Ridwan al Makassary berbeda pendapat tentang definisi infaq dan sedekah keduanya mendefinisikan secara berkebalikan. Secara tegas konsep sedekah dan infaq memang sering dipergunakan secara berkebalikan dalam tradisi islam, terkait perdebatan infaq dan sedekah lihat juga Widyawati, 2011, Filantropi Islam dan Kebijakan Negara Pasca Orde Baru: Studi tentang Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Wakaf, Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, hal :22-23

Page 22: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

22

Tabel 1.4 Reinterpretasi Penerima Zakat menurut F. Masudi

Tipe

Penerima

Konsep

Dasar

Makna

Konvensional Makna Kontekstual

Fuqara Fakir Dana Konsumtif untuk

fakir dan miskin

Setiap upaya yang ditujukan untuk

mengentaskan kemiskinan, melalui

kegiatan karikatif maupun program

penguatan kebijakan struktural

Masakin Miskin Dana Konsumtif untuk

fakir dan miskin

Setiap upaya yang ditujukan untuk

mengentaskan kemiskinan, melalui

kegiatan karikatif maupun program

penguatan kebijakan struktural

Amilin Pengelola Zakat Honorarium dan biaya

operasional pengelola

zakat

Gaji untuk Pegawai Negeri

Mualaf

Qulubuhum

Mereka yang

cenderung

hatinya pada

islam

Mereka yang

diharapkan masuk

islam, atau baru

memeluk agama islam

Masyarakat yang terisolasi, atau

tahanan dalam penjara

Gharimin Orang-orang

yang terlilit

hutang atau

bangkrut

Membantu mereka yang

akan bangkrut atau

jatuh miskin

Bantuan menyelesaikan hutang untuk

individu, lembaga atau negara

Riqab Orang tertindas Membebaskan budak Fasilitasi pendampingan bagi kaum

tertindas

Sabilillah Memanfaatkan

harta di jalan

allah

Biaya memerangi orang

kafir

Biaya bagi pertahanan dan keamanan

negara, penegakan hukum, dan

fasilitas dan pelayanan umum

Ibnu Sabil Anak-anak

Jalanan

Musafir yang kehabisan

bekal

Membantu dan mendampingi mereka

yang terdampar, pengungsi atau

mereka yang kehabisan bekal

Sumber : Latief (2012:83-84)

Page 23: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

23

Di beberapa negara teluk, seperti Arab Saudi, Yaman dan Kuwait pemerintah

membentuk amil di bawah otoritas kementerian perwakafan dan urusan agama. Amil

zakat yang bersangkutan adalah pegawai yang dibayar negara, dan kewajiban

berzakat diregulasi dengan beberapa aturan sehingga orang-orang atau perusahaan

yang tidak membayar zakat akan terkena disinsentif atau penalti dari negara, seperti

dilarang mengikuti tender-tender pemerintah (Widyawati, 2011:30). Di Pakistan

pemerintah bukannya menerapkan kewajiban membayar zakat, justru dengan

otoritasnya menerapkan undang-undang pemotongan tabungan untuk bayar zakat

yang digunakan untuk sistem kesejahteraan masyarakat (subsidi langsung) (Latief,

2013:46; Widyawati, 2011:29).

Di Malaysia pemerintah hanya berlaku sebagai regulator, dimana peran

pengumpulan zakat diberikan pada negara bagian dan digunakan sebagai tambahan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diluar alokasi dari pemerintah pusat

(Widyawati, 2011:48). Tidak ada satu pun pemerintah yang memainkan fungsinya

sebagai otoritas pemungut zakat secara komprehensif, peran yang dimainkan

cenderung menjadi pengumpul dan distributor (amil), atau pemungut secara parsial.

Dalam konteks inilah zakat bermanifestasi dari sebuah kewajiban menjadi

keswadayaan dalam masyarakat. Pelaksanaan zakat tergantung pada kesadaran

individunya. Kewajiban zakat mengikat pada kewajiban individu namun negara tidak

menciptakan otoritasnya untuk melakukan pemaksaan pembayaran dan hanya

memberikan insentif seperti pemotongan pajak. Hal ini memunculkan nilai

kesukarelaan yang berbasis pada pertanggung jawaban seseorang pada Tuhan.

Page 24: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

24

Di Indonesia pengelolaan zakat telah menjadi tradisi akar rumput. Negara sejak

masa kesultanan islam, kolonial, maupun era orde lama dan orde baru tidak campur

tangan dalam pengelolaan zakat (Al Makasary, 2006:40-41; Widyawati, 2011:3-5).

Zakat biasanya diberikan masyarakat kepada institusi agama di sekitarnya, mulai dari

pengajian, pesantren, sekolah agama, yayasan atau organisasi islam, atau pada

seorang ulama setempat. Dinamika akar rumput ini berjalan dalam tradisi masyarakat

Indonesia, terkadang zakat juga tidak dimaknai sebagaimana mestinya (dihitung dan

memenuhi ketentuan khusus). Tradisi zakat pada masyarakat Indonesia lebih identik

dengan sedekah, tetapi dimaknai sebagai zakat (Latief, 2010:167). Kurniawati (ed)

dalam Widyawati (2011:10) mengatakan survei PIRAC pada 2000-2004 di sepuluh

kota besar, ditemukan rata-rata masyarakat Indonesia di kota-kota besar membayar

zakat sekitar Rp. 124.000.14

Riset yang dilakukan BAZNAS dan IPB dan IDB

menunjukan potensi zakat masyarakat Indonesia sebesar 217 Trilyun rupiah (Beik, et,

al, 2013:10), walaupun yang tercatat oleh Baznas pada 2012 baru sebesar 2,2

Trilliyun.15

14 Bandingkan dengan, Abidin, Naniek dan Kurniawati (ed) dalam Asep Saepudin Jahar, 2010, Masa Depan Filantropi Islam di Indonesia: Kajian Lembaga-Lembaga Zakat dan Wakaf, Annual Conference in Islamic Studies (ACIS) ke 10, Banjarmasin, 1-4 November, hal:687 menemukan potensi perorangnya Rp. 684.550,- 15 Lihat dalam http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/berita/35-berita/706-menag-terima-laporan-perkembangan-zakat-dari-baznas.html diakses pada 20 november 2013, pukul 17.06

Page 25: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

25

Tabel 1.5 Potensi Zakat Nasional Menurut IDB 2011

No Jenis Sumber Zakat Potensi Zakat dalam

Trilliyun (Rp) % dari GDP

% dari total potensi

1 Individual / keluarga 82.70 1.30 38.11%

2 Zakat Industri 1.84

Swasta 114.89 52.94%

BUMN 2.40 1.11%

3 Deposito 17.01 0.26 7.84%

Total 217.00 3.40 100.00%

Sumber : Firdaus, et, al dalam Beik dan Arsyiyanti (2013:10)

Filantropi modern menurut An Na’im, dalam Ridwan al Makasary (2006:42)

menejemennya menekankan pada administrasi modern yang professional,

proporsional, transparan dan mengedepankan akuntabilitas. An Na’im juga

menyebutkan dalam Asep Saefudin Jahar (2010:687) bahwa pilar utama filantropi

modern adalah kepercayaan publik. Kepercayaan publik akan hadir ketika

transparansi dan standarisasi administrasi diadopsi menjadi nilai dalam menjalankan

lembaga. Ciri modernnya lembaga filantropi ternyata tidak bisa dilihat dari

transparansinya saja. Erie Sudewo (2012b:100) merangkum bahwa filantropi modern

memiliki sistem kelembagaan modern termasuk dalam perencanaan, pengawasan,

komunikasi publik dan menejemen jaringan. Konsep filantropi modern mengarah

pada pembentukan Grant Making Organization (GMO), seperti Ford Foundation,

Rockefeller Foundation, dll

Kemunculan tradisi lembaga filantropi telah menggeser sifat tradisionalisme

dari pengelolaan dana-dana filantropi islam. Keberadaan lembaga tersebut secara

otomatis akan bekerja sebagai perantara antara si penderma dengan segala motifnya

Page 26: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

26

dan penerima derma. Reproduksi nilai atas derma akan dikendalikan oleh lembaga

filantropi. Lembaga filantropi memiliki dua pilihan. Pertama, menjadi perantara

reproduksi nilai dan relasi sosial yang diinginkan oleh si penderma, atau kedua,

berusaha mereproduksi nilai baru dalam lembaga tersebut sehingga memaksa

pergeseran nilai dan motif si penderma. Keduanya adalah pilihan yang diberikan oleh

masing-masing lembaga filantopi dalam rangka mewujudkan ikatan antara lembaga

dan donaturnya, sebagai sebuah strategi fundraising yang nantinya akan direproduksi

melalui trust (kepercayaan) pada lembaga tersebut. Aafke Komter (2008:123-124),

merujuk pendapat Mary Douglas bahwa gift giving sebagai sebuah ekspresi akan

solidaritas sosial bisa muncul melalui bentuk anonymous. Ciri khususnya pemberian

ini tidak mengharapkan proses reprositas personal, dikarenakan hilangnya sifat

personalitas dalam wujud institusi, organisasi sosial dan volunteery action (tindakan

kesukarelawanan). Lembaga filantropi menjadi penghubung nilai ini akan

mendapatkan kepercayaan seiring kredibilitas lembaganya. Kredibilitas ini ditentukan

oleh kemampuan lembaga untuk mewujudkan transparansi, profesionalitas sekaligus

kepuasan pihak-pihak yang mendapat layanan sosial. Seorang dermawan akan bangga

menjadi bagian dari donatur lembaga tersebut seiring dengan keberhasilan lembaga

mengentaskan berbagai masalah-masalah sosial. Sebagaimana dikatakanHilman

Latief (2010:12) keberadaan lembaga filantropi islam berusaha mengkonversi

kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif dan mendorongnya menjadi gerakan

kolektif.

Page 27: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

27

Gambar 1.1 Motif Pemberian Individu dan Transformasi Lembaga Filantropi

c. Peran Sektor Ketiga mewujudkan Kesejahteraan Sosial

Dalam kajian pluralisme kesejahteraan dijelaskan bahwa pembagian peran

antara negara, pasar dan masyarakat sipil dalam menunjang terwujudnya sistem

kesejahteraan. Ketiganya berperan untuk menopang satu sama lain untuk memegang

peran dalam mewujudkan kesejahteraan (Midgley,1997:8). Sektor ketiga biasanya

mewujudkan dirinya dalam bentuk kewajiban sosial secara kultural, diantaranya

adalah keluarga, kelompok persaudaraan, ketetanggaan (Midgley, 1997:69)

Midgley (1997:70) membagi sektor informal dalam penyedia kesejahteraan

dalam empat kategori yang terinternalisasi di masyarakat, pertama, pelayanan non

formal yang dijalankan atas kewajiban kultural biasanya melalui keluarga, saudara,

pertemanan, tetangga, dan jejaring komunitas. Kedua, pelayanan yang dijalankan atas

dasar kewajiban kultural berbasis agama, Richard Titmus menyebutnya sebagai

“Anonymous Strangers”, dikarenakan orientasinya yang hanya berbasiskan doktrin-

Anonymous Giving

Community Sharing

Equety matching

Authority Ranking

Market Pricing

Transparansi, Kredibilitas dan Profesionalisme

Page 28: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

28

doktrin agama, salah satunya melalu alms giving atau zakat. Ketiga, sistem

kesejahteraan yang dijalankan oleh cooperative association (asosiasi koperatif),

misalnya, koperasi, arisan, dan pinjaman bergilir dalam kelompok. Keempat, sistem

kesejahteraan yang dijalankan cooperative endeavors, upaya kolektif untuk

mengembangkan kesejahteraan bersama, misalnya usaha bersama secara komunal.

Midgley (1997:71) juga menyoroti pentingnya peran lembaga filantropi yang berasal

dari tradisi giving, kedermawanan yang tercermin dalam kewajiban yang

dimandatkan agama-agama. Midgley (1997:72) juga melihat adanya peran filantropi

sekuler muncul sebagai respon dari industrialisasi masif yang menghasilkan kelas

menengah yang merasa peduli dengan mereka yang miskin dan papa

Michael Hill (1996:127-129) menyebutkan bahwa penyedia layanan

kesejahteraan bagi masyarakat terbagi atas empat aktor, pertama, layanan sosial yang

diberikan oleh negara, negara memberikan pelayanan sosial melalui berbagai

kebijakan sosialnya. Kedua, layanan sosial yang diberikan oleh pasar yaitu melalui

peranan bisnis swasta yang mendorong perputaran ekonomi, termasuk memberikan

kesempatan kerja. Ketiga, layanan sosial yang dilaksanakan oleh keluarga

“household”, dan kempat, layanan sosial yang dilakukan oleh institusi sektor ketiga

“volunteer” (komunitas, volunter, dan lembaga quasy pemerintah dalam bentuk

organisasi non profit). Household dan Volunteer merupakan dua sektor yang dapat

dikategorikan dalam third sector yang turut memainkan peran sebagai penyedia

kesejahteraan dalam masyarakat disamping negara dan pasar. Victor A Pestoff

(2009:8) menyebutkan bahwa kehadiran sektor ketiga tidak lain adalah sebagai

Page 29: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

29

alternatif yang merupakan persinggungan dari tiga sektor yang biasa muncul dalam

pembahasan welfare regims, yaitu, negara, pasar dan komunitas. Kehadiran sektor

ketiga mencoba menjembatani antara ketiganya dengan menggali sumber daya dari

ketiganya pula serta saling melengkapi dari peran masing-masing.

Gambar 1.2 Welfare Diamond Michael Hill (1996:128)

Gambar 1.3 Sektor Ketiga dalam Segitiga Kesejahteraan Victor A. Pestoff (2009:9)

Page 30: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

30

Third sector juga biasa dipahami sebagai Informal sektor. Informal sektor

sebagai sebuah institusi muncul di masyarakat sebagai respon atas kondisi sosial yang

dihadapinya. Kemunculan informal sektor dalam teori institusionalisasi dilihat

sebagai hasil dari dua proses yaitu reactive (reaksi) atau spontanous (spontanitas)

(Helmke dan Levitsky, 2003:17). Helmke dan Levitsky (2003:16-17) menyebutkan

bahwa kemunculan sektor informal sebagai reaksi merupakan perwujudan respon atas

kondisi struktural di sektor formal dalam hal ini negara yang memberikan insentif

untuk munculnya sektor informal tersebut. Insentif bisa dimaksudkan sebagai

peluang-peluang yang muncul dari adanya pihak lain. Sedangkan, kemunculan sektor

informal yang berbasis spontanitas lebih dikarenakan faktor-faktor yang secara

indigenous muncul dari dalam masyarakat dan berdampingan dengan sistem-sistem

formal yang ada. Pelayanan sosial yang diberikan sektor ketiga bisa lahir dari

keduanya.

Eksistensi sektor ketiga di sebuah negara bisa dilacak dari perkembangan

oraganisasi yang tumbuh di masyarakat. Di Indonesia sektor ketiga bisa dimaknai

beragam, mulai dengan sebutan civil society atau masyarakat sipil16

, Non

Government Organization (NGO), Non Profit Organization (NPO), organisasi

masyarakat (ormas)17

, organisasi non politik (ornop)18

, lembaga swadaya masyarakat

16 Digunakan untuk merujuk kekuatan diluar negara dan pasar yang menjadi representasi keswadayaan masyarakat dan kemampuan masyarakat untuk melakukan pengorganisasian diri, Alexis de Toqoeville dalam Victor A Petsoff, 2008, A Democratic Architecture for the Welfare State, New York : Routledge, hal:8 17 Organisasi masyarakat yang dibentuk masyarakat dan memiliki anggota tertentu yang memiliki identitas-identitas serta tujuannya, ormas juga identik dengan perkumpulan, lihat Antlöv, H, et al

Page 31: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

31

(LSM)19

. Kesemuanya memiliki kesamaan makna yang hampir sama hanya saja

penggunaannya yang sesuai dengan konteksnya masing-masing. Eksistensi sektor

ketiga termanifestasikan dalam beragam bentuk tersebut yang fokus untuk

memberikan pelayanan-pelayanan sosial. Dari sekian kata yang ada, akan dipakai

selanjutnya adalah Non Government Organization (NGO), alasannya kata NGO lebih

bermakna general dan bisa mewakili seluruhnya. Salamon dan Anheier, dalam

Shigetomi (2002:6) NGO merupakan didefinisikan sebagai lembaga yang dalam

prosesnya memiliki enam ciri, yaitu; 1) non government, 2) non profit making, 3)

voluntary, 4) memiliki kekohannya dan berkelanjutannya 5) altruistik, dan 6)

filantropis. Dengan menggunakan pendekatan NGO, kedua lembaga yang akan

menjadi sasaran penelitian ini yaitu, Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa keduanya

merupakan NGO.

Levitsky dan Helmke (2003:12) membangun tipologi relasi antara sektor formal

dan sektor informal dengan dua dimensi, pertama, efektifitas dari sektor formal,

kedua, posisi tujuan antara sektor formal dan sektor informal. Pendekatan Levitsky

dan Helmke membentuk empat pola relasi sektor informal (third sector) dan sektor

formal (state and market), yaitu; complementary (melengkapi), substitutive

dalam Anoux Vandendeal, et, al, 2013, 2013. Stimulating Civil Society The Perspective of INGO: an Explorative Study of Indonesia, Erasmus University ,hal:16 18 Ornop adalah kata yang digunakan pemerintah orde baru untuk merujuk semua organisasi sosial diluar partai politik, lihat Yumiko Sakai, dalam Shinichi Shigetomi (ed), 2002, The State and NGOs, Singapore : ISEAS, hal:161-162 19 LSM, sering dugunakan untuk menyebut NGO, namun LSM biasanya identik dengan lembaga yang fokus pada isu spesifik dan berorientasi pada advokasi-advokasi kebijakan. Yumiko Sakai, dalam ibid, hal161-162

Page 32: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

32

(pengganti), accommodating (akomodatif) dan competing (bersaing). Levitsky dan

Helmke (2003:12) melihat posisi sektor informal dan sektor formal akan ditentukan

oleh dua hal, yaitu pertama, tujuan yang ingin dicapai oleh informal sektor dan formal

sektor, jika keduanya berada pada posisi yang sama maka akan dimungkinkan akan

terjadi saling melengkapi atau akan menggantikan. Posisi ini ditentukan sejauh mana

efektifitas negara dalam mewujudkan kesejahteraan. Ketika negara yang efektif akan

memposisikan third sector yang tujuannya sama sebagai pelengkap, sebaliknya

negara tidak menjalankan fungsinya secara efektif maka third sector akan secara

otomatis muncul memainkan peran substitutive (pengganti) (Levitsky dan Helmke,

2003:14).

Tabel 1.6 Pembagian Tipologi Institusi Informal

Sumber: Helmke dan Levitsky (2003:12)

Sektor informal yang memposisikan tujuannya berbeda dengan pendekatan

sektor formal memunculkan akomodasi atau persaingan (Helmke dan Levisky,

2003:13). Ketika negara telah mampu menjalankan fungsinya secara efektif

keberadaan third sector akan diakomodasi sebagai pilihan alternatif bagi layanan

kesejahteraan diluar negara. Keberadaan third sector yang diakomodasi akan menjaga

Page 33: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72136/potongan/S1...Adapun sektor privat terlibat dalam filantropi islam sebagai wujud aktualisasi para pekerjanya (kelas menengah

33

agar masyarakat tidak mengalami ketergantungan total terhadap negara. Sebaliknya,

ketika negara tidak mampu mengefektifkan kinerja kesejahteraannya, maka third

sector yang berorientasi berbeda dengan tujuan negara akan menjadikan negara

memposisikannya sebagai pesaing (Helmke dan Levisky, 2003:15). Persaingan ini

diartikulasikan dengan pilihan kebijakan yang berorientasi untuk menjaga legitimasi

negara dihadapan publik dalam wujudupaya pembatasan ataupun regulasi untuk

memastikan third sector tidak menggerogoti legitimasi negara.