pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/111138/potongan/s1-2017... · perdagangan negara...

29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemendag (2012 : 1) menjelaskan bawah pada 20 April 2012 menteri perdagangan negara anggota G20 melakukan pertemuan di Poerto Vallarta, Meksiko. Topik utama yang menjadi pembahasan dalam pertemuan tersebut adalah bagaimana kaitannya antara perdagangan, pertumbuhan dan lapangan kerja dengan Global Value Chain. Salah satu hasil kesepakatan dalam pertemuan tersebut adalah pentingnya negara untuk memainkan perannya masing-masing dalam Global Value Chain, sebagai penyedia bahan baku, penyedia produk antara atau produsen produk akhir. Indonesia merupakan negara berkembang dengan potensi sumberdaya alam yang besar. Isu dan tren Global Value Chain ini bisa dijadikan acuan dalam melihat peran dan partisipasi Indonesia dalam Global Value Chain. Wirjawan dalam Kemendag (2012 : 2) menyampaikan bahwa Global Value Chain harus mepresentasikan kepentingan negara maju dan negara berkembang secara proporsional. Beberapa hal yang perlu diperhatikan negara berkembang untuk mengambil peranan dalam Global Value Chain menurut Wirjawan dalam Kemendag (2012 : 2) adalah negara berkembang harus memasukkan sektor pertanian sebagai sektor penting dalam mendukung pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, policy space harus tersedia untuk penyesuaian kebijakan dan mengatasi tantangan pembangunan, negara berkembang seperti Indonesia harus memiliki aspirasi untuk merambah naik dalam Global Value Chain dari penyedia bahan baku menjadi pengolah antara atau produk akhir sehingga negara berkembang juga mendapatkan nilai tambah dari Global Value Chain. Johansson (2013) mengatakan bahwa Global Value Chain adalah salah satu faktor penentu perdagangan internasional saat ini. Global Value Chain

Upload: dangkhanh

Post on 06-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemendag (2012 : 1) menjelaskan bawah pada 20 April 2012 menteri

perdagangan negara anggota G20 melakukan pertemuan di Poerto Vallarta,

Meksiko. Topik utama yang menjadi pembahasan dalam pertemuan tersebut

adalah bagaimana kaitannya antara perdagangan, pertumbuhan dan lapangan

kerja dengan Global Value Chain. Salah satu hasil kesepakatan dalam pertemuan

tersebut adalah pentingnya negara untuk memainkan perannya masing-masing

dalam Global Value Chain, sebagai penyedia bahan baku, penyedia produk

antara atau produsen produk akhir. Indonesia merupakan negara berkembang

dengan potensi sumberdaya alam yang besar. Isu dan tren Global Value Chain

ini bisa dijadikan acuan dalam melihat peran dan partisipasi Indonesia dalam

Global Value Chain. Wirjawan dalam Kemendag (2012 : 2) menyampaikan

bahwa Global Value Chain harus mepresentasikan kepentingan negara maju dan

negara berkembang secara proporsional. Beberapa hal yang perlu diperhatikan

negara berkembang untuk mengambil peranan dalam Global Value Chain

menurut Wirjawan dalam Kemendag (2012 : 2) adalah negara berkembang harus

memasukkan sektor pertanian sebagai sektor penting dalam mendukung

pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, policy space harus tersedia untuk

penyesuaian kebijakan dan mengatasi tantangan pembangunan, negara

berkembang seperti Indonesia harus memiliki aspirasi untuk merambah naik

dalam Global Value Chain dari penyedia bahan baku menjadi pengolah antara

atau produk akhir sehingga negara berkembang juga mendapatkan nilai tambah

dari Global Value Chain.

Johansson (2013) mengatakan bahwa Global Value Chain adalah salah

satu faktor penentu perdagangan internasional saat ini. Global Value Chain

2

merupakan seluruh rangkaian aktivitas yang dilakukan perusahaan-perusahaan

dalam mendistribusikan barang atau jasa dari input sampai ke konsumen akhir.

Aktivitas ini termasuk desain, produksi, marketing dan seluruh layanan yang ada.

Global Value Chain sangat erat kaitannya dengan ekspor-impor suatu negara.

Gereffi dan Fernandez (2011) menjelaskan bahwa Global Value Chain sangat

erat dengan peningkatan pendapatan negara dari share perdagangan

internasional, peningkatan PDB dan peningkatan lapangan kerja. Artinya

keterlibatan suatu negara dalam Global Value Chain akan mendorong

peningkatan perekonomian wilayah dalam pemasukan devisa, PDB dan

ketersediaan lapangan kerja. Douglas C. North dalam Azhar, et al. (2005)

menyatakan bahwa sektor ekspor memiliki peran yang penting dalam

pembangunan daerah, karena sektor ekspor dapat berkontribusi dalam

perekonomian daerah, yaitu ekspor akan secara langsung meningkatkan

pendapatan faktor-faktor produksi dan pendapatan daerah, dan perkembangan

ekspor akan menciptakan permintaan terhadap produksi industri lokal yaitu

industri yang produknya dipakai untuk melayani pasar di daerah.

Rata-rata PDRB DIY dari tahun 2011-2015 adalah 85.6 triliyun rupiah.

Berdasarkan perhitungan PDRB rata-rata 2011-2015 industri manufaktur

memberikan kontribusi 13.6% terhadap PDRB. Industri manufaktur di DIY

adalah sektor yang menghasilkan produk-produk ekspor. Nilai ekspor dari

Yogyakarta pada awal 2013 tumbuh 29,2 persen dengan nilai USD 1,8 juta.

Tingginya pertumbuhan ini menempatkan DIY posisi kedua nasional di bawah

Papua yang tumbuh 43,5 persen dengan nilai USD 382 juta. (Kemenperin, 2013)

Nilai Ekspor DIY pada 2013 adalah 211,76 USD naik 19,59% dari tahun

sebelumnya. Pada 2013 DIY melakukan ekspor ke 111 negara dengan 286

jumlah eksportir. ( Disperindag DIY, 2013) Dari keseluruhan komoditas ekspor

yang ada Disperindag DIY menetapkan 20 produk sebagai produk utama ekspor

DIY berdasarkan SKA dan nilai ekspor. Komoditas utama ekspor yang

3

ditetapkan Disperindag tersebut adalah, pakaian jadi tekstil, mebel kayu, sarung

tangan kulit, karajinan kayu, STK sintetis, atsiri daun cengkih, kulit disamak,

kerajinan batu, kerajinan kulit, produk tekstil lainnya, kerajinan kertas, teh

hijau/hitam, kerajinan bambu, kerajinan perak, minyak kenanga, STK kombinasi

poliurethan, arang briket, papan kemas, karajinan tanah liat dan lampu.

(Disperindag DIY, 2013)

1.2. Perumusan Masalah

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia

yang terkenal dengan kegiatan pendidikan, pariwisata dan kebudayaan. Dibalik

identitas tersebut, ternyata DIY juga memiliki potensi kegiatan industri

manufaktur yang besar. Hal itu ditunjukkan dengan adanya data PDRB DIY

tahun 2011-2015 yang menjelaskan bahwa industri manufaktur memberikan

kontribusi cukup besar terhadap PDRB DIY. Hal ini menjadi alasan bahwa

kegiatan industri manufaktur di DIY merupakan objek yang menarik untuk

diteliti.

Setiap wilayah memiliki keterbatasan sumber daya alam yang

mengharuskan adanya hubungan dengan wilayah lain. Potensi sumber daya alam

di DIY tentunya juga terbatas. DIY juga tidak memiliki industri pembuatan

mesin-mesin industri manufaktur, akan tetapi kegiatan industri manufaktur

berlangsung di DIY. Oleh karena itu perlu diidentifikasi bagaimana pemenuhan

sumber daya alam dan alat-alat industri dalam industri manufaktur di DIY. Selain

itu perlu diidentifikasi juga keberadaan interaksi interregional antara DIY

dengan wilayah lain baik tingkat nasional atau global dalam keberlangsungan

kegiatan industri manufaktur. Keberadaan kegiatan industri manufaktur di DIY

memungkinkan adanya hubungan intraregional di wilayah provinsi DIY. Oleh

karena itu perlu diketahui juga bagaimana peran masing-masing wilayah

4

kabupaten/kota di DIY dalam industri manufaktur, pemanfaatan sumberdaya

alam dan keterlibatan tenaga kerja.

Sektor industri manufaktur DIY menghasikan produk-produk yang

diekspor. Artinya balas jasa terhadap faktor produksi industri pengolahan juga

berasal dari keterlibatan DIY dalam Global Value Chain. Keterlibatan suatu

negara dalam GVC ditentukan oleh tiga hal yakni: teknologi komunikasi, logistik

dan keterbukaan ekonomi. Menurut TCF Uni Eropa-Indonesia (2015) Indonesia

masih tertinggal dalam aspek teknologi komunikasi, logistik dan keterbukaan

ekonomi. Indonesia memiliki keterbatasan akses terhadap internet cepat yang

memungkinkan komunikasi antar negara menjadi lebih praktis dan efisien.

Buruknya kinerja logistik dan perizinan yang rumit juga menjadi penghambat

dalam kegiatan ekspor. Aktivitas ekspor di DIY juga tidak disertai keberadaan

pelabuhan laut sebagai infrastruktur logistik. Dengan keterbatasan ini DIY masih

mampu melakukan kegiatan ekspor. Bahkan dari tahun 2011-2015 nilai ekspor

DIY cenderung meningkat. Berdasarkan hal itu, identifikasi bagaimana peran

dan partisipasi DIY dalam Global Value Chain perlu dilakukan. Keterlibatan

DIY dalam GVC memungkinkan adanya interaksi dengan wilayah-wilayah lain.

Identifikasi peran dan partisipasi DIY dalam GVC perlu menjelaskan mengenai

rantai nilai global, interaksi DIY dengan wilayah lain, komunikasi dan alur

informasi, stakeholder yang terlibat, kebijakan-kebijakan, pemetaan

permasalahan-permasalahan yang ada serta usaha-usaha yang dilakukan

stakeholder terkait dalam mendorong perkembangan peran DIY dalam GVC.

DIY yang merupakan bagian dari Indonesia sebagai negara berkembang

cenderung memiliki kualitas SDM yang lebih rendah dibanding negara-negara

maju, akan tetapi kegiatan industri manufaktur di DIY sebagian mampu

menghasilkan produk-produk jadi yang berkualitas dengan standarisasi

internasional. Hal ini memungkinkan adanya interaksi antara DIY dengan

negara-negara lain dalam proses produksi barang. Oleh karena itu dalam rantai

5

nilai global produk ekspor DIY perlu diidentifikasi aktivitas tangible dan

aktivitas intagible dan siapa yang melakukan.

Permasalah-permasalahan penelitian yang sudah dijelaskan di atas

menunjukkan perlunya dilakukan analisis Global Value Chain terhadap produk

ekspor di DIY. Analisis Global Value Chain ini melakukan identifikasi terhadap

5 hal yakni : Struktur input-output rantai nilai produk ekspor DIY, lingkup

geografis dalam rantai nilai produk ekspor DIY, struktur governance dalam

rantai nilai produk ekspor DIY, konteks institusional dalam rantai nilai produk

ekspor DIY dan usaha-usaha upgrading yang dilakukan stakeholder terkait

dalam rantai nilai produk ekspor DIY. Analisis GVC terhadap produk ekspor

DIY perlu dilakukan untuk melihat aspek-aspek kualitatif bagaimana aktivitas

industri manufakur di DIY terlibat dalam GVC sehingga menghasilkan nilai

tambah yang berkontribusi kepada perekonomian wilayah. Peran dan partisipasi

DIY dalam GVC juga merupakan salah satu aspek yang mendorong adanya

pemasukan devisa, peningkatan PDRB dan ketersediaan lapangan kerja.

Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDRB DIY menunjukkan adanya

pembangunan wilayah di DIY. Analisis GVC ini perlu dilakukan untuk menggali

permasalahan-permasalahan yang ada dan usaha-usaha pembangunan wilayah

yang dilakukan stakeholder terkait. Penelitian mengenai GVC produk ekspor

DIY juga melengkapi informasi Global Value Chain DIY yang sudah ada.

Analisis GVC terhadap produk ekspor DIY secara komprehensif akan

menghasilkan informasi GVC yang lengkap, akan tetapi penelitian ini memiliki

keterbatasan sumber daya, biaya dan waktu. Oleh karena itu sebelum analisis

GVC dilakukan perlu ditentukan produk ekspor spesifik yang diprioritaskan

untuk diteliti lebih lanjut. Pemilihan produk yang tepat untuk dianalisis lebih

lanjut dalam GVC merupakan tahapan yang penting untuk meyesuaikan dengan

sumberdaya penelitian yang ada dan kemampuan peneliti dalam melakukan

analisis.

6

Rumusan masalah penelitian dapat disederhanakan menjadi dua

pertanyaan yakni :

A. Apa Produk Ekspor Unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta ?

B. Bagaimana Rantai Nilai Global Produk Ekspor Unggulan Daerah Istimewa

Yogyakarta ?

1.3. Tujuan Penelitian

A. Mengidentifikasi Produk Ekspor Unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Melakukan Analisis Global Value Chain terhadap Produk Ekspor Unggulan

Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.4. Manfaat Penelitian

Diantara manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

A. Manfaat bagi penulis adalah meningkatkan kemampuan dalam

mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menemukan solusi sebagai

perwujudan dari aplikasi ilmu yang diperoleh.

B. Memberikan informasi umum mengenai aliran rantai nilai global produk

ekspor kepada pelaku bisnis dan usaha.

C. Penelitian ini juga bisa digunakan sebagai sumber informasi tentang aliran

rantai nilai global produk ekspor bagi pemerintah dalam membuat kebijakan

terkait.

D. Penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, dan referensi penelitian. Hasil penelitian

ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya terkait

Global Value Chain.

7

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Kedudukan Penelitian dalam Ilmu Geografi

Ilmu Geografi memiliki tiga pendekatan utama yakni (1) analisis spasial,

(2) analisis ekologis dan (3) analisis komplek regional sebagai gabungan dari

pendekatan (1) dan (2). Pendekatan ke tiga merupakan cara yang lebih tepat

digunakan untuk menelaah fenomena geografis yang memiliki tingkat

kerumitan tinggi karena banyaknya variabel pengaruh dan dalam lingkup multi

dimensi (ekonomi, sosial, budaya, politik dan keamanan). Salah satu contoh

adalah telaah tentang pembangunan wilayah. (Harmantyo, 2007)

Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya adalah pembangunan

berdasarkan hasil analisa data spasial Kebijakan pembangunan wilayah pada

dasarnya merupakan keputusan dan intervensi pemerintah, baik secara nasional

maupun regional untuk mendorong proses pembangunan daerah secara

keseluruhan. (Kartono, 1989 dalam Harmantyo, 2007).

Dalam penelitian Global Value Chain terhadap produk ekspor DIY ini,

bagian penting adalah penjelasan mengenai kegiatan ekspor yang dilakukan di

DIY. Berdasarkan Teori Basis Ekspor, keberadaan produk-produk ekspor yang

terlibat dalam GVC sangat berpengaruh dalam pembangunan wilayah di DIY.

Teori Basis Ekspor dikebangkan oleh Douglass C. North pada 1964. Teori ini

mengatakan bahwa sektor ekspor memiliki peranan yang penting dalam

pertumbuhan wilayah karena sektor ekspor dapat memberikan kontribusi

penting tidak hanya kepada ekonomi wilayah tapi juga perekonomian nasional.

Wilayah yang tingkat permintaannya tinggi akan menarik adanya kesempatan

kerja yang luas dan investasi. Pengembangan teori ini memiliki syarat utama

diantaranya adalah keterbukaan sistem suatu wilayah, ketersediaan aliran

8

barang, adanya modal, penggunaan teknologi antar wilayah atau antar negara

yang satu dengan negara yang lain. (Azhar, et al., 2005)

1.5.2. Konsep Produk Ekspor Unggulan

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian dalam Negeri berdasarkan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014

tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah metetapkan kriteria

penentuan Produk Unggulan Daerah untuk wilayah provinsi dan

kabupaten/kota. Kriteria penentuan Produk Unggulan Daerah tersebut adalah :

( Kriteria a sampai f merupakan kriteria mutlak yang harus dipenuhi )

a. Penyerapan tenaga kerja produk ekspor unggulan menggunakan tenaga

kerja yang terampil dan kreatif yang mampu menyediakan lapangan

pekerjaan yang luas bagi masyarakat Provinsi DIY.

b. Sumbangan terhadap perekonomian merupakan kriteria produk ekspor

unggulan yang memiliki nilai ekonomis, memberikan manfaat bagi

konsumen, dan memberikan keuntungan ekonomi bagi seluruh pemangku

kepentingan dan daerah yang memproduksi produk unggulan tersebut.

c. Sektor basis ekonomi daerah merupakan produk unggulan daerah yang

masuk dalam kategori kelompok sektor basis dalam PDRB dan

memberikan kontribusi terbesar dalam ekonomi daerah.

d. Dapat diperbaharui memberi makna bahwa produk ekspor unggulan bukan

barang tambang dan memanfaatkan bahan baku yang dapat diperbaharui

dan ramah lingkungan. Barang tambang tidak dapat dimasukkan sebagai

produk unggulan daerah meskipun saat itu memberi kontribusi ekonomi

yang besar bagi daerah.

9

e. Unsur sosial budaya dalam menciptakan, memproduksi dan

mengembangkan produk unggulan daerah adalah menggunakan talenta

dan kelembagaan masyarakat yang dibangun dan dikembangkan atas dasar

kearifan lokal yang bersumber pada ciri khas dan warisan budaya turun

temurun serta kondisi sosial budaya setempat.

f. Ketersediaan pasar merupakan kemampuan suatu produk ekspor unggulan

untuk terserap dalam pasar global.

g. Bahan baku produk ekspor unggulan harus terjamin ketersediaannya

dengan perolehan harga yang kompetitif, terjamin kesinambungannya

serta ramah lingkungan.

h. Produk ekspor unggulan harus ada ketersediaan modal dan kecukupan

dana bagi kelancaran usaha untuk kebutuhan investasi dan modal kerja.

i. Sarana dan prasarana produksi adalah kemudahan bagi pengusaha produk

ekspor unggulan untuk memperoleh sarana dan prasarana produksi pada

tingkat harga yang kompetitif dan mudah diperoleh.

j. Teknologi yang relevan, tepat guna dan terdapat unsur yang tidak mudah

ditiru yang berasal dari proses yang kreatif dan original.

k. Manajemen usaha merupakan kemampuan mengelola usaha secara

profesional dengan memanfaatkan talenta dan kelembagaan masyarakat.

l. Harga merupakan kemampuan memberi nilai tambah dan mendatangkan

laba usaha. (Kemendagri, 2014 : 18).

1.5.3. Global Value Chain

10

Global Value Chain adalah rantai nilai yang mengikuti arus globalisasi

perdagangan antar negara berdasarkan prinsip keterbukaan dan perdagangan

bebas. Menurut Gereffi dan Fernandez (2011) dimensi Global Value Chain ada

4 yaitu dimensi struktur input-output, dimensi lingkup geografi, dimensi

penguasaan dan dimensi konteks institusional.

Perbedaan Value Chain ( rantai nilai ) dengan Global Value Chain

adalah Value Chain adalah lingkup geografi dalam melihat aliran barang / jasa

dari input sampai konsumen. Memungkinkan rantai nilai berlangsung pada satu

wilayah. Sedangkan dalam Global Value Chain lingkup geografis

memungkinkan adanya interaksi antar wilayah maupun antar negara dalam

proses input rantai nilai sampai proses konsumsi. Aliran barang dan jasa dalam

Global Value Chain dilakukan oleh banyak perusahaan yang melibatkan

banyak wilayah. Asal bahan baku, tempat dimana kegiatan produksi dilakukan

dan tempat dimana produk dipasarkan merupakan inti dari istilah Global Value

Chain. (Frederick, 2016 dalam CGGC Duke University, 2016 ).

Menurut Gereffi dan Fernandez (2011) salah satu kontribusi utama dari

analisis GVC adalah memetakan pergeseran rantai nilai dalam lingkup

geografis industri global. GVC pada dasarnya beroperasi pada skala geografis

yang berbeda (lokal, nasional, dan global) dan rantai nilai tersebut terus

berkembang. GVC memungkinkan adanya kecenderungan regionalisasi dalam

menanggapi berbagai faktor, termasuk semakin besarnya potensi negara-negara

berkembang dan maupun adanya perjanjian perdagangan regional.

1.5.4. Perbedaan Global Value Chain dan Global Commodity Chain

Hopkins dalam University of Calofornia (2012) menjelaskan bahwa

Global Commodity Chain (GCC) adalah jaringan tenaga kerja dan proses

produksi yang menghasilkan produk akhir. GCC merupakan tipe jaringan

11

perdagangan global yang berkembang pada tahun 80-an. (Henderson, et al.

2001, hal.13 dalam University of California, 2012)

Perkembangan kerangaka GVC bermula dari keberadaan konsep GCC.

Gereffi (2001, hal : 1618 ) menjalaskan bahwa GCC membedakan rantai nilai

menjadi dua yakni buyer-driven dan producer-driven. Dalam producer-driven

commodity chain perusahaan manufaktur akan mengambil peran sentral dalam

mengkoordinasi proses produksi dan jaringan produksi. GCC tipe ini dilakukan

oleh perusahaan manufaktur yang memiliki kerumitan dalam proses produksi

seperti industri otomotif dan elektronik. Perusahaan manufaktur

memungkinkan memproduksi komponen-komponen produk di negara-negara

yang mampu memproduksi dengan biaya murah dan tenaga kerja yang murah.

Istilah yang muncul dalam masa perkembangan GCC ini adalah produksi

komponen dilakukan di The Global South atau yang juga dikenal dengan third

world countries yakni negara-negara berkembang. Proses perakitan produk

akhir dan penjualan akan dilakuan di The Global North yakni industrialized

countries atau negara maju. Menurut Gereffi (2001, hal : 1619 ) buyer-driven

commodity chains mengacu pada rantai nilai yang dijalankan oleh perusahaan

retailer, marketer atau branded manufacture yang memiliki peran sebagai

penentu dalam GCC. Perusahaan ini akan menempatkan kegiatan produksi di

negara-negara pengekspor, biasanya negara berkembang. Negara-negara yang

menjalankan produksi sudah melakukan produksi sampai tahap produk jadi

untuk dijual di negara maju. Perusahaan tipe ini bisa dikatakan industri yang

tidak memiliki pabrik. Tipe GCC ini terjadi pada komoditas yang sederhana

dan produksinya tidak rumit seperti garmen, sepatu, mainan, dan kerajinan.

Pada masa perkembangan GCC, perusahaan besar menjadi penentu

utama dalam menentukan standar-standar rantai global secara captive.

Frederick ( 2016 dalam CGGC Duke University, 2016 ) menjelaskan bahwa

12

dalam 30 tahun terakhir perubahan besar secara drastis terhadap perkembangan

konsep GCC. Integrasi vertikal dalam rantai nilai global semakin berkurang

dan membentuk pola network-oriented. Hasil dari perkembangan ini

menyebabkan pergeseran yang luas dan cepat dalam governance yang ada pada

rantai global. Standar-standar tidak hanya berasal dari satu perusahaan akan

tetapi berkembang pada rantai global. Kemampuan negara-negara berkembang

dalam melakukan produksi juga meningkat dan memiliki pengaruh dalam

penentuan peraturan rantai global. Perkembangan GCC ini menjadi dasar

konsep GVC dimana tata kelola rantai global memungkinkan adanya sistem

koordinasi yang rumit. Bisa jadi suatu rantai nilai global tersusun atas struktur

governance yang kompleks.

1.5.5. Rantai Nilai

Rantai nilai menjukkan range dari seluruh kegiatan yang dilakukan oleh

perusahaan-perusahaan atau pekerja yang menjadikan satu konsepsi aliran

barang dari suplai pertama sampai kepada proses yang terakhir yakni kepada

konsumen. Aktivitas rantai nilai bisa dilakukan satu perusahaan bisa juga

menjadi bagian dari sistem rantai yang besar yang dilakukan oleh banyak

elemen. Ide tentang rantai nilai merupakan ide yang cukup intuitif. Istilah

rantai nilai mengacu pada serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk

menghadirkan suatu produk (atau jasa) dimulai dari tahap konseptual,

dilanjutkan dengan beberapa tahap produksi, hingga pengiriman ke konsumen

akhir dan pemusnahan setelah penggunaannya (Kaplinsky dan Morris, 2001

dalam ACIAR, 2012, terjemahan Kusumawardhani, 2012). Rantai nilai

terbentuk ketika semua pelaku dalam rantai tersebut bekerja sedemikian rupa

sehingga memaksimalkan terbentuknya nilai sepanjang rantai tersebut.

Definisi rantai nilai menurut Kaplinsky ( 1999, dalam ACIAR, 2012,

terjemahan Kusumawardhani, 2012 ) berdasarkan pendekatan yang luas adalah

13

melihat berbagai kegiatan kompleks yang dilakukan oleh berbagai pelaku

(produsen utama, pengolah, pedagang, penyedia jasa) untuk membawa bahan

baku melalui suatu rantai hingga menjadi produk akhir yang dijual. Menurut

ACIAR (2012, terjemahan Kusumawardhani, 2012) Rantai nilai yang luas ini

dimulai dari sistem produksi bahan baku yang akan terus terkait dengan

kegiatan usaha lainnya dalam perdagangan, perakitan, pengolahan, dan lain-

lain. Pendekatan luas ini tidak hanya melihat pada kegiatan yang dilakukan

oleh satu usaha. Pendekatan ini justru mencakup semua hubungan baik yang

bergerak maju ataupun mundur, sampai ketika bahan baku produksi tersebut

akhirnya terhubung dengan konsumen akhir

1.5.6. Governance dalam Global Value Chain

Governance dalam GVC merupakan tipe atau model posisi pelaku rantai

nilai maupun perusahaan-perusahaan yang terlibat. Fokus governance adalah

relasi asimetris mengenai kekuasaan antar pelaku atau perusahaan dalam suatu

rantai nilai. Secara sederhana, governance digambarkan sebagai hubungan

antara pelaku-pelaku yang terlibat dalam suatu rantai nilai dimana satu pelaku

memiliki fungsi yang lebih dominan dalam mengontrol dan menentukan

informasi dalam berlangsungnya proses-proses yang terjadi pada suatu rantai

nilai. (Gereffi dalam Tunggal, 2013)

Pada konteks governance ini Gereffi (1994, dalam tunggal 2013)

mendeskripsikan mengenai bagaimana otoritas kekuasaan merupakan penentu

SDM, material dan keuangan yang diimplementasikan dalam rantai nilai.

Keberadaan kepentingan yang berbeda antara pihak yang satu dengan pihak

yang lain menciptakan kekuatan yang saling bertolak belakang. Pemerintah

secara konstitusional merupakan pihak yang memiliki peran dan kekuasaan

untuk mempengaruhi, memaksa dan menakan pihak lain yang terlibat dalam

rantai nilai.

14

Ada 5 struktur governance dalam GVC menurut (Gereffi , et al. , 2005)

yakni :

a. Market

Market governance menjelaskan keberadaan transaksi yang relatif

sederhana. Dalam tiep governance ini spesifikasi produk secara mudah

dapat ditransmisikan dan supplier dapat membuat produk dengan input

permintaan yang cenderung sedikit dari pembeli. Tidak ada hubungan

kerjasama resmi antara supplier dengan pembeli dan syarat ketentuan

produk juga relatif sedikit. Inti dari governance tipe ini adalah harga pasar.

b. Modular

Governance tipe modular terjadi apabila transaksi yang kompleks relatif

dapat disusun. Biasanya supplier dalam rantai modular memproduksi

barang sesuai dengan spesifikasi yang diminta customer dan sacara penuh

bertanggung jawab pada proses peroduksi dan penggunaan teknologi. Hal

ini membuat biaya yang diperlukan lebih rendah meskipun interaksi

pembeli dan pemasok menjadi sangat kompleks. Hubungan antara pemasok

dan pembeli dalam tipe modular lebih subtansial karena jumlah informasi

yang mengalir cukup banyak. Informasi, penggunaan teknologi dan standar

menjadi kunci dalam tipe governance ini.

c. Relational

Tipe relasional terjadi ketika pembeli dan penjual bergantung pada

informasi yang kompleks yang tidak mudah untuk ditransmisikan. Hal ini

menuntut adanya interaksi yang lebih banyak antara pemasok dan pembeli.

Hubungan seperti ini membutuhkan kepercayaan dan menghasilkan saling

ketergantungan, yang diatur melalui reputasi, kedekatan sosial dan spasial,

keluarga dan ikatan etnis, dan sejenisnya. Meskipun saling ketergantungan,

pembeli masih menentukan apa yang dibutuhkan, dan masih mempunyai

15

kontrol terhadap pemasok. Produsen dalam rantai relasional lebih mungkin

untuk memasok produk yang dibedakan berdasarkan kualitas, asal

geografis atau karakteristik unik lainnya. Hubungan relasional memerlukan

waktu untuk membangun, sehingga biaya dan kesulitan diperlukan untuk

beralih ke pasangan baru cenderung tinggi.

d. Captive

Dalam rantai ini, pemasok dengan skala kecil sangat tergantung pada satu

atau beberapa pembeli yang memegang banyak kekuasaan. Perusahaan

yang memimpin rantai memiliki kontrol yang besar terhadap pemasok.

Karena kompetensi inti dari perusahaan yang memimpin rantai cenderung

berada di daerah luar produksi, maka perusahaan ini membantu pemasok

mereka untuk meningkatkan kemampuan produksi dan tidak melanggar

batas kompetensi inti yang telah ditentukan. Keadaan itu akan membantu

perusahaan yang memimpin rantai nilai meningkatkan efisiensi rantai

pasokan.

e. Hierarchy

Governance tipe ini menggambarkan rantai ditandai dengan integrasi

vertikal dan kontrol manajerial secara penuh dari perusahaan yang

memimpin rantai nilai terhadap pemasok yang mengembangkan dan

memproduksi produk. Hal ini biasanya terjadi ketika spesifikasi produk

tidak dapat disusun dengan mudah, produk yang kompleks, atau pemasok

yang sangat kompeten susah ditemukan. Sementara kurang umum daripada

di masa lalu, ini semacam integrasi vertikal masih merupakan fitur penting

dari ekonomi global. Tipe governance ini tidak begitu banyak digunakan

dimasa lalu tapi sangat potensial di masa depan.

16

Sumber : Gereffi (2005)

Gambar 1.1. Tipe-tipe Governance 1

SNV (2008, dalam ACIAR 2012 : 52) mengklasifikasikan struktur

governance dalam rantai nilai menjadi 4 yakni : market, balanced, directed dan

hierarchy.

a. Market

Market merupakan tipe governance yang diindikasikan dengan banyaknya

jumlah customer dan supplier. Dalam tipe market ini kerjasama formal

hanya sedikit bahkan tidak ada.

b. Balance

Dalam tipe balance ini decision making dilaksanakan secara seimbang oleh

pelaku-pelaku yang terlibat dalam rantai nilai. Kerjasama yang dilakukan

bersifat dua arah dan tidak ada pihak yang lebih mendominasi. Tipe

balance diindikasikan dengan adanya negosiasi dalam pemecahan masalah

yang ada oleh pelaku yang berhubungan.

17

c. Directed

Dalam tipe directed ini salah satu perusahaan memiliki dominasi lebih

untuk mengatur perusahaan-perusahaan pemasok dibawahnya. Ciri-cirinya

adalah perusahaan yang lebih besar sebagai customer menentukan lebih

dari 50% output produksi.

d. Hierarchy

Hierarchy merupakan hubungan terintegrasi dalam satu perusahaan.

Perusahaan tersebut memiliki kontrol penuh terhadap aktivitas lain yang

dilakukan perusahaan yang sama dalam satu rantai nilai.

Sumber : ACIAR (2012)

Gambar 1.2. Tipe-tipe Governance 2

Gereffi, G., Humphrey, J., Sturgeon. T. (2005) menjelaskan bahwa

struktur governance dalam Global Value Chain dipengaruhi oleh tingkat

kerumitan transaksi, kemampuan penyusunan transaksi, kapabilitas pemasok

serta derajat koordinasi eksplisit dan tingkat asimetri. Kunci determinasi dalam

governance GVC dalam diliat pada tabel 1.1.

18

Tabel 1.1. Tabel Kunci Determinasi Governance dalam GVC

Sumber : Gereffi, G., Humphrey, J., Sturgeon. T. (2005)

ACIAR (2012) memberikan contoh-contoh tipe governance dalam

GVC yakni : jagung sebagai tipe governance market, kopi organik sebagai tipe

governance balance, karajinan untuk ekspor sebagai tipe governance captive

dan bunga potong sebagai tipe governance directed atau hierarchy. Rantai nilai

jagung yang menghubungkan pembeli dengan pemasok merupakan transaksi

yang sederhana, kemampuan penyusunan transaksi tinggi, kapabilitas pemasok

tinggi dan tingkat asimetri rendah. Standar harga dalam rantai nilai jagung

ditentukan oleh pasar. Pertemuan antara pembeli dan pemasok bisa terjadi di

pasar dalam waktu yang relatif singkat tanpa adanya perjanjian dagang yang

detail. Rantai nilai kopi organik merupakan rantai nilai dengan jumlah

pemasok dan pembeli relatif banyak dengan transaksi yang dapat disusun

meskipun transaksi cukup rumit. Rantai nilai kopi organik ini memiliki

karakter tingkat asimetri yang relatif seimbang. Artinya antara pemasok dan

pembeli sama-sama memiliki peran dalam menentukan standar-standar rantai

nilai secara berimbang. Rantai nilai kerajinan untuk ekspor dicontohkan

sebagai tipe governance captive. Artinya dalam rantai nilai kerajinan ekspor

transaksi yang terjadi cukup rumit dengan kemampuan penyusunan transaksi

yang baik, akan tetapi tingkat asimetri rantai nilai mebel kayu cukup tinggi dan

kemampuan pemasok dalam memproduksi kerajinan ekspor rendah. Oleh

karena itu dalam rantai nilai kerajinan ekspor pembeli berperan dalam

19

menentukan standar-standar produksi dan memberikan kontrol yang besar

terhadap pemasok. Penelitian ini bisa mengidentifikasi bagaimana tipe-tipe

governance yang ada di DIY apakah produk-produk ekspor juga memiliki

struktur yang captive. Bunga potong yang dicontohkan sebagai tipe governance

directed memiliki kerumitan transaksi dan transaksi relatif sulit untuk disusun.

Kemampuan pemasok dalam menyediakan produk bunga potong yang sesuai

standar rendah dan tingkat asimetri dalam rantai nilai sangat tinggi. Hal ini

yang menciptakan governance secara terarah dimana kendali proses produksi

sampai penjualan dipegang penuh oleh satu perusahaan.

1.5.7. Institutional Context

Menurut Keane, (2008) governance dalam GVC dapat dibedakan

menjadi internal governance dan external governance. Internal governance

merupakan pengaruh, power atau kekuasaan yang berasal dari pelaku utama

rantai nilai dari hulu sampai ke hilir. Sedangankan external governance adalah

pengaruh yang berasal dari luar operasional rantai nilai. Pelaku utama rantai

nilai tidak bisa berlepas diri dari external governance baik yang menyediakan

kerangka legal atau pemerintah yang mengeluarkan kebijakan untuk

pengoperasian, maupun pihak pendukung secara finansial dan material lainnya,

maupun komunitas yang ada. Pemerintah merupakan external governance

yang mendukung pelaku rantai nilai dan asosiasi bisnis untuk memenuhi

standar-standar yang diperlukan baik dalam industri, jaringan produksi sampai

ke perdagangan global.

Institutional Context mengidentifikasi bagaimana kondisi lokal,

nasional, internasional dan kebijakan yang ada dalam membentuk globalisasi

dalam rantai nilai (Gereffi, 2011). Analisis dinamika lokal di mana rantai nilai

berjalan memerlukan identifikasi terhadap seluruh para pemangku kepentingan

yang terlibat. Semua pelaku industri dipetakan dalam rantai nilai dan peran

utama mereka dalam rantai dijelaskan. Karena rantai nilai global mengacu di

20

berbagai wilayah, penggunaan kerangka institusional ini memungkinkan

seseorang untuk melakukan perbandingan lebih sistematis dan analisis

mengenai dampak yang terjadi dengan adanya kebijakan-kebijakan yang

dilakukan oleh pihak terkait dalam suatu rantai nilai global. Institutional

context ini merupakan external governance yang mempengaruhi rantai nilai

global.

1.5.8. Upgrading

Upgrading merupakan komponen yang sangat substansial dalam GVC.

Upgrading merupakan suatu strategi yang meliputi usaha meningkatkan

produk, proses penambahan nilai produk, upaya efisiensi produksi, inovasi atau

bahkan peralihan ke aktivitas produksi yang berbasis pada ketrampilan dan

keahlian yang lebih baik. Menurut Kaplisky dan Morris (2000, dalam

Widiartanti, 2015) upgrading diartikan sebagai kemampuan suatu pelaku rantai

nilai untuk melakukan inovasi dengan tujuan peningkatan dan penguatan daya

saing di pasar global.

Menurut Menurut Gereffi (2005 dalam, Gereffi dan Fernandez, 2011)

pendekatan dalam analisis ekonomi global meliputi dua poin yakni top down

dan bottom up. Konsep top down merupakan gambaran dari governance dalam

GVC, sedangkan konsep bottom up merupakan gambaran dari upgrading

dalam GVC. Upgrading tersebut merupakan strategi-strategi yang dilakukan

pemerintah suatu negara, pemerintah daerah ataupun stakeholder lain yang

terkait dalam suatu rantai nilai untuk meningkatkan posisi mereka dalam rantai

nilai global. Upgrading menggambarkan seluruh usaha yang dilakukan oleh

pelaku rantai nilai, perusahaan yang terlibat, pemerintah lokal, pemerintah

nasional, dan stakeholder lainnya untuk melakukan aktivitas yang memiliki

nilai tambah yang lebih besar dalam GVC guna meningkatkan pendapatan atau

keuntungan dari peran serta dalam suatu rantai nilai.

21

Tipe upgrading menurut Humphrey & Schmitz, (2002, dalam gereffi dan

fernandez, 2011 : 13) adalah :

a. Process upgrading, merupakan usaha-usaha yang dilakukan dalam

meningkatkan efisiensi produksi melalui pengorganisasian proses-proses

yang dilakukan atau penggunaan teknologi yang lebih baik.

b. Product Upgrading, merupakan usaha-usaha dalam meningkatkan kualitas

produk dan meningkatkan nilai produk. Usaha ini bisa dilakukan

berdasarkan preferensi konsumen maupun keinginan untuk meningkatkan

nilai tambah, kualitas yang lebih baik maupun produk yang lebih

menguntungkan. Bentuk upgrading produk bisa berupa adaptasi terhadap

tren yang sedang populer maupun standar yang lebih tinggi.

c. Functional Upgrading, merupakan usaha-usaha yang dilakukan dalam

merubah posisi fungsi perusahaan menjadi level yang lebih tinggi dalam

suatu fase rantai nilai untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih.

d. Chain and Interserctoral Upgrading, merupakan usaha-usaha yang

dilakukan dengan memasuki pasar yang baru untuk produk yang sama.

Chain upgrading ini bisa berupa langkah memasuki pasar dalam wilayah

geografis yang berbeda. Insectoral upgrading digambarkan sebagai usaha

menambah aktivitas produksi untuk produk sektor yang baru tapi masih

berkaitan dengan produk utama yang diproduksi.

1.6. Penelitian Terdahulu

1.6.1. Penelitian Tentang Produk Unggulan

Herdhiansyah, et al. , (2013) menentukan produk perkebunan unggulan

di Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara berdasarkan kriteria kualitatif dengan

metode Delphi. Penentuan produk unggulan komoditas perkebunan di

22

Kabupaten Kolaka selama ini belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk

memunculkan suatu urutan produk unggulan komoditas perkebunan di

Kabupaten Kolaka. Objek penelitian ini adalah 17 alternatif komoditas

perkebunan. Penetapan indikator strategis sebagai kriteria pemilihan produk

unggulan komoditas perkebunan dilakukan oleh sekelompok panel peneliti

yang memiliki latar belakang kebidangan berbeda dalam lingkup perkebunan.

Setyawan (2009) meneliti mengenai Rantai Pasokan Sayuran Unggulan

Dataran Tinggi di Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan (1) Memilih produk

sayuran unggulan dataran tinggi, (2) Mengkaji struktur rantai pasokan produk

sayuran terpilih, (3) Mengkaji nilai tambah produk sayuran terpilih, (4)

Memberikan alternatif sistem rantai pasokan sayuran unggulan dataran tinggi

yang dapat diterapkan di Jawa Barat. Salah satu bagian utama dalam penelitian

ini adalah pemilihan sayuran unggulan di Jawa Barat dengan menggunakan

Metode Perbandingan Eksponensial. Tujuan identifikasi produk sayuran ini

adalah untuk menentukan produk apa yang akan diteliti lebih lanjut mengenai

rantai pasokannya.

1.6.2. Penelitian Tentang Global Value Chain

Tunggal (2013) melakukan penelitian analisis GVC terhadap

internasionalisasi produk batik di Indonesia. Penelitian ini mencoba untuk

mencari alasan kenapa Batik Lasem belum bisa menembus pasar ekspor serta

apa saja upaya yang dilakukan pemerintah dan swasta untuk meningkatkan

adya saing Batik Lasem. Dengan konsep GVC serta melakukan studi kasus

terhadap batik Pekalongan, Solo dan Yogyakarta diketahui bahwa alasan

kenapa Batik Lasem belum mampu menembus pasar internasional adalah

belum ada governance dan upgrading yang baik dalam mendukung rantai nilai

Batik Lasem.. Sedangkan upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah

23

Kabupaten Rembang dalam meningkatkan daya saing batik Lasem dinilai

belum tepat.

Akbar (2013) melakukan penelitian mengenai Perkembangan Industri

Rotan di Indonesia melalui analisis Global Value Chain. Pembahasan

penelitian tersebut adalah mengenai perkembangan industri rotan Indonesia

dalam menghadapi persaingan di pasar global. Produk Rotan ini merupakan

produk non-migas yang perkembangannya fluktuatif akibat dari kebijakan-

kebijakan yang ada di dalam dan luar negeri. Penelitian ini mencoba mencari

apa permasalahan yang ada, siapa saja stakeholder yang mempunyai

kepentingan dan apa usaha-usaha dan kebijakan yang tepat untuk

diimplementasikan dalam pengembangannya melalui analisis Global Value

Chain (GVC). Dalam analisis GVC, terdapat tiga hal yang menjadi kunci

dalam mengembangkan sebuah komoditas, yaitu rente, governance dan

upgrading. Peneliti menemukan bahwa kebijakan pemerintah memiliki peranan

sentral dalam membangun industri rotan ini. Hasil penelitian ini menyimpulkan

bahwa peranan pemerintah sangat menentukan arah kebijakan terhadap

pengembangan industri dan upaya yang ditempuh oleh semua pihak yang

berkepentingan di dalamnya. Upaya upgrading dan struktur governance sangat

mempengaruhi peningkatan nilai tambah produk rotan.

1.7. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Tujuan pertama dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi Produk

Ekspor Unggulan Provinsi DIY. Metode identifikasi Produk Ekspor Unggulan

DIY pada penelitian ini mengadopsi penelitian terdahulu yang sudah dilakukan.

Herdhiansyah, et al. , (2013) mengidentifikasi produk unggulan berdasarkan

kriteria kualitatif dengan metode Delphi dengan objeknya adalah produk

perkebunan di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Setyawan (2009) mengidentifikasi

24

produk sayuran unggulan di Jawa Barat dengan menggunakan metode MPE.

Pada dasarnya identifikasi Produk Ekspor Unggulan pada penelitian kali ini

adalah mengadopsi metode yang digunakan oleh penelitian sebelumnya. Yang

membedakan penelitian kali ini adalah wilayah geografis pelaksanaan penelitian

dan objek atau alternatif produk yang dianalisis. Hampir keseluruhan alternatif

produk yang akan diidentifikasi pada penelitian kali ini adalah produk industri

pengolahan. Sedangkan kriteria dalam identifikasi Produk Ekspor Unggulan

menggunakan peraturan pemerintah yang sesuai.

Penelitian mengenai Global Value Chain yang sudah dilakukan adalah

penelitian yang fokus pembahasannya mengenai governance dan upgrading.

Penelitian tersebut meneliti usaha-usaha yang dilakukan pihak yang terkait

dengan rantai nilai dalam meningkatkan daya saing produk dan seluruh kebijakan

yang mengatur rantai nilai tersebut. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian

terdahulu adalah produk yang menjadi objek analisis GVC diidentifikasi terlebih

dahulu dan menjadi bagian dari penelitian, sedangkan penelitian terdahulu

produk yang menjadi objek analisis ditentukan di awal. Analisis GVC yang

dilakukan dalam penelitian kali ini juga dilakukan secara menyeluruh tidak fokus

pada upgrading dan governance saja, akan tetapi struktur input-output rantai

nilai, dan lingkup geografis juga menjadi pembahasan pokok.

1.8. Kerangka Pemikiran

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi Produk Ekspor Unggulan

di DIY dan melakukan analisis Global Value Chain terhadap Produk Ekspor

Unggulan DIY. Kerangka penelitian dijelaskan dalam dua bagian sesuai dengan

tujuan penelitian. Kerangka pemikiran ini merupakan dasar pemikiran penelitian

yang bersumber dari kajian kepustakaan dan perumusan masalah untuk

menjelaskan hubungan dan keterkaitan proses-proses penelitian.

25

Perumusan masalah penelitian menjelaskan bahwa analisis Global Value

Chain di Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dilakukan. Tujuan pertama dalam

melakukan analisis GVC di DIY adalah mengidentifikasi Produk Ekspor

Unggulan DIY yang digambarkan dalam kerangka pemikiran bagian pertama.

Fokus yang menjadi objek penelitian di DIY diawali dengan data industri

manufaktur dan data produk ekspor DIY. Disperidag Provinsi DIY menggunakan

nilai ekspor sebagai variabel dalam menentukan produk utama ekspor. Dengan

variabel PDRB sektor basis industri manufaktur juga dintentukan. Data produk

utama ekspor dan sektor basis industri manufaktur selanjutnya dideskripsikan

sebagai alternatif dalam penggunaan metode MPE. Metode MPE adalah metode

yang digunakan dalam identifikasi Produk Ekspor Unggulan dengan variabel

penyerapan tenaga kerja, sumbangan perekonomian, nilai LQ sektor basis

ekonomi daerah, dapat diperbaharui, sosial budaya dan ketersediaan pasar. Hasil

penggunaan metode ini akan menghasilkan Produk Ekspor Unggulan. Kerangka

pemikiran bagian pertama dapat dilihat pada gambar 1.3.

26

Gambar 1.3. Kerangka Penelitian Penentuan Produk Unggulan DIY

27

Kerangka pemikiran bagian kedua merupakan kelanjutan dari kerangka

pemikiran bagian pertama. Kerangka pemikiran ini menjelaskan proses-proses

dalam menjawab tujuan penelitian yang kedua yakni melakukan analisis Global

Value Chain terhadap Produk Ekspor Unggulan di DIY. Produk Ekspor

Unggulan I dipilih sebagai satu produk yang akan diteliti dalam tujuan penelitian

yang kedua. Analisis GVC terhadap produk ekspor unggulan dilakukan

berdasarkan teori dari Gereffi dan Fernandez (2011). Analisis GVC meliputi 4

dimensi yakni struktur input output, geographic scope, governance dan

upgrading.

Variabel yang diteliti dalam dimensi input-output adalah proses rantai

nilai, pelaku yang terlibat, kegiatan spesifik, alur produk, dan pertambahan nilai

dalam rantai nilai Produk Ekspor Unggulan DIY. Dimensi geographic scope

dilakukan untuk melihat keberadaan supply dan demand serta melihat wilayah-

wilayah geografis yang terlibat dalam GVC dan menjelaskan apa peran wilayah

tersebut dalam GVC. Variabel yang diteliti dalam dimensi geographic scope

adalah distribusi IKM, distribusi tenaga kerja, rate jumlah IKM terhadap jumlah

penduduk tiap kabupaten di DIY, rate jumlah tenaga kerja terhadap jumlah

penduduk tiap kabupaten di DIY, wilayah pemasok bahan baku, wilayah

pemasok produk setengah jadi, wilayah penyedia infrastukur pelabuhan ekspor,

wilayah pemasok alat produksi, negara tujuan ekspor, dan volume ekspor

berdasarkan negara. Variabel yang diteliti dalam dimensi governance adalah

struktur governance yang ada dalam rantai nilai, regulasi dan standar informal,

stakeholder penentu regulasi dan standar formal, dan regulasi dan standar

formal. Variabel yang diteliti dalam upgrading adalah hambatan dalam rantai

nilai, stakeholder penentu upgrading, upgrading yang dilakukan pelaku rantai

nilai dan upgrading yang ditentukan stakeholder terkait. Analisis GVC terhadap

Produk Ekspor Unggulan ini menghasilkan menghasilkan matriks GVC Produk

Ekspor Unggulan di DIY. Matriks tersebut menjadi panduan dalam merumuskan

28

potensi kebijakan pembangunan wilayah terkait GVC Produk Ekspor Unggulan

di DIY. Kerangka pemikiran bagian kedua dapat dilihat pada gambar 1.4.

29

Gambar 1.4. Kerangka Penelitian Analisis Global Value Chain