filantropi islam dan aktivisme sosial berbasis pesantren

21
ABSTRAK Artikel ini mendiskusikan bagaimana pesantren yang berlokasi di daerah pedesaan membiayai aktivitas-aktivitas dan melakukan program-program sosial dengan merevitalisasi skema filantropi Islam. Dengan mengambil kasus di sebuah desa di Wilayah Kabupaten kulonrpogo Yogyakarta, dimana sebuah pesantren kecil milik Muhammadiyah berdiri sejak tahun 1930an, artikel ini menyatakan bahwa kemampuan pesantren dalam melibatkan masyarakat setempat di mana pesantren itu berada dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan menjadi salah satu peneybab mengapa pesantren inimasih bisa bertahan hingga kini. Tidak seperti pesantren- pesantren lainnya, terutama yang berada di daerah perkotaan, pesantren Darul Ulum berfungsi sebagai sebuah lembaga pendidikan yag menyediakan kesempatan kepada para santri yang berasal dari kalangan tidak mampu, termasuk yatim piatu untuk mendapatkan akses pembelajaran. Artikel ini merumuskan dalam konteks seperti apakah sebuah pesantren kecil di pedesaan dapat menyelesaikan kendala finansialnya, bagaimana dukungan masayrakat dan tradisi memberi dapat, atau tidak dapat, menjadi penyangga aktivitas sosial dan keagamaan pesantren, dan tantangan seperti apakah yang dihadapi pesantren dalam meningkatkan kapasitas institusinya? Kata kunci: pesantren, filantropi Islam, initiatif masyarakat PENDAHULUAN Pesantren merupakan institusi sosial dan pendidikan Indonesia yang eksis jauh sebelum institusi pendidikan modern lainnya berdiri. Di Indonesia, pendidikan modern bergaya Eropa mulai diperkenalkan pada masa Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren di Pedesaan Hilman Latief Jurusan Muamalah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Email: [email protected] ABSTRACT This article discusses the extent to which pesantren in a rural area finances its activities and operates social programs by revitalizing Islamic philantropic scheme. By way of a case study in a village at Kulonprogo District-Yogyakarta, where a small Muhammadiyah pesantren, which is Darul ‘Ulum, has been operating since the 1930s, this article suggests that the ability of this pesantren in engaging the villagers in religious and social activities has made this pesantren survives until now. Unlike other pesantrens, notably in urban areas, pesantren Darul ‘Ulum functions as an educational institution that provides an opportunity to thus students coming from low-income households, including orphanages to study. This paper asks to what extent a small pesantren in a rural area can resolve its budget constrains, how community supports and the culture of giving can, or cannot, underpine pesantren’s social and educational activities, and what sort of challenges for this pesantren to incease its institutional capacity? Keywords: pesantren, philantrophy, community innitiatives DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

ABSTRAKArtikel ini mendiskusikan bagaimana pesantren yang berlokasi didaerah pedesaan membiayai aktivitas-aktivitas dan melakukanprogram-program sosial dengan merevitalisasi skema filantropi Islam.Dengan mengambil kasus di sebuah desa di Wilayah Kabupatenkulonrpogo Yogyakarta, dimana sebuah pesantren kecil milikMuhammadiyah berdiri sejak tahun 1930an, artikel ini menyatakanbahwa kemampuan pesantren dalam melibatkan masyarakatsetempat di mana pesantren itu berada dalam kegiatan-kegiatansosial keagamaan menjadi salah satu peneybab mengapa pesantreninimasih bisa bertahan hingga kini. Tidak seperti pesantren-pesantren lainnya, terutama yang berada di daerah perkotaan,pesantren Darul Ulum berfungsi sebagai sebuah lembagapendidikan yag menyediakan kesempatan kepada para santri yangberasal dari kalangan tidak mampu, termasuk yatim piatu untukmendapatkan akses pembelajaran. Artikel ini merumuskan dalamkonteks seperti apakah sebuah pesantren kecil di pedesaan dapatmenyelesaikan kendala finansialnya, bagaimana dukunganmasayrakat dan tradisi memberi dapat, atau tidak dapat, menjadipenyangga aktivitas sosial dan keagamaan pesantren, dan tantanganseperti apakah yang dihadapi pesantren dalam meningkatkankapasitas institusinya?Kata kunci: pesantren, filantropi Islam, initiatif masyarakat

PENDAHULUANPesantren merupakan institusi sosial dan pendidikan

Indonesia yang eksis jauh sebelum institusi pendidikanmodern lainnya berdiri. Di Indonesia, pendidikanmodern bergaya Eropa mulai diperkenalkan pada masa

Filantropi Islam dan AktivismeSosial Berbasis Pesantrendi PedesaanHilman LatiefJurusan Muamalah, Fakultas Agama Islam, UniversitasMuhammadiyah Yogyakarta (UMY).Email: [email protected]

ABSTRACT This article discusses the extent to whichpesantren in a rural area finances itsactivities and operates social programs byrevitalizing Islamic philantropic scheme.By way of a case study in a village atKulonprogo District-Yogyakarta, where asmall Muhammadiyah pesantren, which isDarul ‘Ulum, has been operating since the1930s, this article suggests that the abilityof this pesantren in engaging the villagersin religious and social activities has madethis pesantren survives until now. Unlikeother pesantrens, notably in urban areas,pesantren Darul ‘Ulum functions as aneducational institution that provides anopportunity to thus students coming fromlow-income households, includingorphanages to study. This paper asks towhat extent a small pesantren in a ruralarea can resolve its budget constrains,how community supports and the cultureof giving can, or cannot, underpinepesantren’s social and educationalactivities, and what sort of challenges forthis pesantren to incease its institutionalcapacity?Keywords: pesantren, philantrophy,community innitiatives

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 2: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

168J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

kolonial, khususnya ketika PemerintahHindia Belanda menguasai wilayahNusantara dalam kurun waktu yang cukuplama, sejak abad awal ke-17 sampaipertengahan abad ke-20. Pesantren, seiringdengan pertumbuhan dan perkembanginstitusi pendidikan modern, hingga saat inimasih menjadi institusi pendidikan alternatifyang sebagian masih mempertahankan ciritradisionalnya, sementara sebagian lain sudahtermodernisasi dan terintegrasikan dengansistem dan kebijakan pendidikan modern.1

Dewasa ini, fungsi dan peran pesantren telahmembawa dampak perubahan sosial danbudaya yang tidak sedikit di masyarakat.2

Selain perannya sebagai institusi pendidikan,banyak pesantren yang juga melakukandiversifikasi program dengan membentuksentra-sentra produktif dan institusi yangbervisi profit centers untuk membangun danmenguatkan peran sosial dan ekonomi yangdiembannya, seperti pendirian koperasi,BMT, perdagangan, pertanian, perkebunan,peternakan dan sebagainya.

Di Indonesia pesantren memiliki bentukyang beragam dilihat dari ukuran dankapasitasnya, afiliasi keagamaannya, maupunvisi sosial-politiknya. Pertama, bilamenggunakan pembagian yang dilakukanoleh Zamachsyari Dhofier, terdapatsetidaknya tiga kriteria pesantren dari segikapasitasnya. Kriteria pesantren besar yangdilansir Dhofier adalah pesantren yangmemiliki banyak santri, sampai mencapairibuan, misalnya Pondok Pesantren Gontoratau Lirboyo. Di seluruh Jawa, begitumenurut Dhofier, orang biasanyamembedakan kelas-kelas pesantren dalamtiga kelompok, yaitu pesantren kecil,menengah, dan pesantren besar. Pesantrenyang tergolong kecil biasanya mempunyai

santri di bawah 1000 dan pengaruhnyaterbatas pada tingkatan kabupaten. Pesantrenmenengah biasanya mempunyai santri antara1000 sampai dengan 2000 orang, memilikipengaruh dan menarik santri-santri daribeberapa kabupaten. Pesantren besarbiasanya memiliki santri lebih dari 2000orang yang berasal dari berbagai kabupatendan provinsi.3

Kedua, seiring dengan eksistensi danmenguatnya organisasi-organisasi keagamaandi Indonesia yang juga mendorongperkembangan pesantren, maka pesantrendapat dibagi menjadi beberapa jenis:pesantren yang berafiliasi kepada ormas-ormas keislaman, seperti Muhammadiyah,Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, Al-IrsyadAl-Islamiyyah, dan sebagainya. Pesantren-pesantren yang berafiliasi pada ormasbiasanya memiliki misi, visi, karakter dancorak ajaran yang sesuai dengan ormas-ormastersebut. Sementara itu, saat ini jugaberkembang pesantren-pesantren yang secarakasat mata tidak berafiliasi kepada ormas-ormas yang dikenal di Indonesia dan corakkeagamaannya relatif berada di ‘jalan tengah’yang mengadopsi dan tidak memformalkansebuah mazhab tertentu. Selain dua jenispesantren sebelumnya, pesantren salafiadalah corak lain yang secara ideologismemiliki karakteristik tersendiri.

Ketiga, visi sosial-politik pesantren adalahsisi lain yang dapat diungkap di sini.Meskipun fungsi inti dari sebuah pesantrenadalah pendidikan, namun ekspansi danperannya di masyarakat kadang lebih darisekedar itu. Bagi pesantren-pesantrentertentu, visi sosial dibangun seiring dengankebutuhan pesantren itu sendiri danmasyarakat di sekitar pesantren. Dari segiekonomi misalnya, beberapa pesantren

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 3: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

169Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

modern mulai mengembangkan diri denganmembentuk sentra ekonomi yang melibatkanbanyak pihak, yakni santri, masyarakatsekitar, dan juga pengusaha dan pemerintah.Tentu saja, pembagian jenis atau karakterpesantren seperti di atas tidak dipahamisecara rigid sebab kadang terjadi interseksidari klasifikasi tersebut.

Eksistensi dan sustainabilitasperekonomian sebuah pesantren ditentukanoleh beberapa faktor, antara lain: responsdan minat masyarakat terhadap pesantrentersebut yang dapat dilihat dari jumlahsantrinya, besarnya kontribusi finansialmayarakat melalui berbagai bentuk donasiyang diberikan kepada pesantren, dan peranpesantren itu sendiri dalam menjaga danmengembangkan dimensi profit centers-nya.Yang selanjutnya akan ditekankan pada bukuini adalah bahwa sebagai institusi keagamaan,hampir seluruh pesantren melibatkan peranumat baik langsung maupun tidak, sepertimasyarakat, pengusaha, dan pemerintahdalam melakukan penguatan kapasitasinstitusinya.

Manfred Ziemek dalam Pesantren dalamPerubahan Sosial menegaskan bahwa namadan pengaruh sebuah pesantren berkaitanerat dengan masing-masing kiai. Hal itu telahmenunjukkan betapa kuatnya kecakapan danpancaran kepribadian seorang pemimpinpesantren menentukan kedudukan dantingkat suatu pesantren. Bila pada saatpendirian sebuah pesantren, kepemimpinandan kecakapan seorang kiai menggerakkanmassa merupakan faktor menentukan, untukmengajak penduduk sekitarnya bekerja danturut serta dalam pembiayaan, selanjutnyaseorang kiai sering dapat membangun peranstrategisnya sebagai pimpinan masyarakatyang non formal melalui suatu komunikasi

yang intensif dengan penduduk.4 Dalam taraftertentu, seorang Kiai mampu melakukanmobilitas sosial di lingkungannya sehinggamenarik simpati jemaah dan ummat gunamenyumbangkan sebagian harta bendamereka dalam bentuk infak, shadaqah, danwakaf kepada pihak pesantren. Buku inimengekplorasi visi dan kebijakan filantropi dibeberapa pesantren yang dianggap mewakilipesantren lainnya dalam kontekskemampuan memetakan sumber dayaderma, merumuskan model fundraising, danmengelola harta derma tersebut untuksustainabilitas pesantren dan sekaligusmengembangkan program kemasyarakatan.

Dalam sebuah acara bertajuk “LokakaryaDesain Kelompok Usaha Kecil Bersama” yangdihadiri oleh perwakilan pesantren,Dediknas, dan Permodalan Nasional Madanitentang pengembangan Usaha Kecil danMenengah pada tahun 2004, tercerminbahwa pesantren sesungguhnya memilikipotensi besar untuk berperan dalampengembangan ekonomi masyarakat.Sebagaimana diliput Kompas, 29 September2004, bahwa “sebagai pranata sosial yangberakar di masyarakat lapisan bawah,pesantren sangat potensial digerakkansebagai gerbong perekonomian bangsa.”Namun demikian, “pertautan antarapesantren dan masyarakat sekitarnya secaraekonomi belum memberikan pengaruhberarti.” Hal itu disebabkan karenakebanyakan pesantren belum memiliki visiuntuk mengarahkan lulusannya di bidangkewiraswastaan. Dalam konteks ini, konseptentang derma dan kedermawanan tidak bisadilepaskan dari tradisi Islam. Masyarakat atauumat memiliki relasi yang bersifat dialektisdengan sebuah pesantren. Pesantrendidirikan mengandalkan kontribusi ummat

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 4: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

170J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

di satu sisi, dan ummat pun berharap bahwapesantren dapat memberikan kontribusi bagikemajuan masyarakat, bukan hanya dalambentuk bimbingan moral semata, melainkandalam hal-hal lain yang bersifat produktif.Ketika bangsa Indonesia ini memasuki saat-saat krisis, maka peran pemberdayaanmasyarakat berbasis pesantren bukan sajamungkin, tetapi juga sudah tidak bisadiabaikan lagi.

Tulisan ini menelaah wacana dan praktikfilantrofi Islam berbasis pesantren, denganmengkaji pesantren yang berada di pedesaan.Tema ini tidak dikhususkan padapengembangan ekonomi pesantren, tetapikepada bagaimana pesantren mengelola danmelibatkan masyarakat sekitar dalampengembangan pesantren. Beberapa halpokok yang menjadi fokus tulisan ini antaralain: Bagaimanakah wacana dan praktikfilantropi Islam dikembangkan dalampesantren? Bagaimanakah pesantren dipedesaan membangun jaringan denganinstitusi luar dalam rangka memperkuatkapasitas institusinya dan sumberfinansialnya? Bagaimana pula pesantrenmenjaga hubungan timbal-balik denganmasyarakat sekitar dan institusi swasta lainnyadalam konteks penguatan masyarakat sipil diIndonesia?

PESANTREN: MASALAH PENGABDIANDAN PEMBIAYAAN

Harapan bahwa pesantren dapatmemberikan kontribusi kepada masyarakatsekitar nampaknya tidak pernah surut. Halitu muncul karena secara historis, sepertidikemukakan pada bagian berikutnya,pesantren sesungguhnya mewakili salah satubentuk lembaga pendidikan berbasiskomunitas. Banyak lahan yang ditempati

pesantren juga berasal dari tanah wakaf,begitupun bangunan pondoknya, jugamelibatkan banyak donatur yang bersimpatiterhadap lembaga pendidikan ini. Olehkarena itu, bagi sebagian kalangan, pesantrenmemiliki pula tanggung jawab sosial yangcukup besar bagi sekitarnya. Apalagi biayapendidikan di pesantren dewasa ini kadangtidak jauh lebih murah dibanding sekolah-sekolah lainnya. Lili Zakiyah Munir, direkturCenter for Pesantren and Democracy Studies,memetakan beberapa persoalan dan langkahnormatif yang terkait antara pesantren danpemberdayaan masyarakat, khususnya dalamproyek pengentasan kemiskinan.

Pertama, pesantren sejatinya dapatmeningkatkan ‘ghirah kemanusiaan’.Masalah kesederhanaan, keikhlasan, konsepegalitarian, sikap saling tolong menolong,bukan saja dipraktikkan di lingkungansendiri, tetapi juga bisa di bawa keluargainstitusi pesantren. Kedua, kiai dan pengasuhpesantren harus dapat berperan ganda,bukan saja sebagai panutan dan pembinasantri, tetapi juga panutan dan pembinamasyarakat sekitar. Ketiga, Perlunyapenggeloraan semangat keikhlasan dengantidak terlalu silau dengan iming-iming mate-rial atau finansial yang bisa membelokkanidealisme pesantren. Keempat,‘mengembalikan semangat non-partisan’dalam melayani masyarakat. Keterlibatanbanyak kiai dalam ‘politik praktis’ bukan sajatelah menciptakan polarisasi di kalangan para kiai, tetapi juga mereduksi semangat untukmembantu masyarakat sekitar. Kelima,perlunya peningkatan wawasan tentangekonomi makro (kapitalisme) yang jugamengakibatkan kemiskinan di masyarakatakibat lemahnya kebijakan ekonomi yangpro-rakyat. Sehingga, kiai dan lembaga serta

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 5: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

171Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

jaringannya dapat memberikan alternatifbagi pemberdayaan masayrakat sekitar yangmenjadi korban kebijakan tersebut. Terakhir,perlunya kesadaran kritis agar pesantrendapat memanfaatkan potensi yangdimilikinya, termasuk kemampuan yangdimiliki pesantren dalam mengelola harta-harta derma yang berasal dari masyarakat,seperti zakat, infak shadaqah dan wakaf(ZISWAF).5 Langkah-langkah normatiftersebut nampaknya sebuah formula yangideal bagi pesantren untuk dapat berperanlebih jauh di masyarakat, baik dalam agendapemberdayaan maupun pengentasankemiskinan. Namun, persoalan di lapanganlebih kompleks. Jangankan menyentuhgerakan pemberdayaan, persoalankomunikasi antara pesantren dengan wargasekitar kaang atau sering tidak selaluharmonis. Hal itu jelas berdampak pada sendifinansial pesantren yang berasal darimasyarakat.

Kekhawatiran semacam itu bukan hanyamilik Zakiyah Munir, sejak beberapa tahunsilam beberapa tokoh seperti Gus Dur, M.Dawam Rahardjo, Mansoer Faqih, Masdar F.Mas’udi dan lain-lain sudah menunjukkankeprihatinan yang sama. Karena itulah padatahun 1980an, sosok-sosok tersebutmenggagas berdirinya P3M, yang khususmengangkat isu pemberdayaan pesantrendan yang terkait dengannya. Gus Durmensinyalir bahwa sejak beberapa dasawarsake belakang telah terjadi apa yang disebutdengan ‘erosi nilai’ dari pesantren-pesantrenyang ada yang kini lebih berorientasi padaijazah. Hal ini disebabkan bahwa sendifinansial yang berasal dari masyarakatsemakin menipis dan karena itu mereka jugabisa menghindari sikap yang menjadikanpendidikan sebagai sebuah komoditas guna

memenuhi tuntutan kebutuhan operasionalpesantren. Oleh karena itu, banyakpesantren kemudian yang ‘banting setir’ dariupaya mencetak kiai atau ulama denganmenawarkan program-program keterampilanlain yang dapat mengancam eksistensi kiaisendiri. Tentunya, sebagaimana ditekankanGus Dur, mengajarkan materi-materipelajaran diluar materi palajaran agamaadalah sesuatu hal sangat positif, meskidemikian, hal itu juga memiliki konsekuensitersendiri, yaitu pesantren tidak ubahnyaseperti lembaga pendidikan formal lainnyayang tidak memiliki ke khas-an. Hal itu bisadilihat dari beberapa segi, mislanya dari segi,ekonomi yang tidak lagi mengoptimalkankontribusi masyarakat, melainkanmengoptimalkan iuran bulanan santri; darisegi pendidikan juga tidak jauh berbedadengan sekolah formal konvensional hanyaditambah dengan asrama. Terkait denganpelajaran keterampilan di pesantren, GusDur menulis:

Pendekatan semacam ini bagi saya hanyabersifat parsial bahkan mungkin manipulatif.Samar-samar terlihat bahwa hasrat pesantrenuntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatbercampur dengan pamrih agar mereka padagilirannya akan menyediakan landasan ekonomibagi pesantren sendiri. Atau jika hendakdipertegas pesantren bergelagat hendakmemanfaatkan kesulitan masyarakat demikepentingannya sendiri.6

Dalam pernyataan tersebut Gus Durbukanlah merepresentasikan sebagai sosokyang menolak masuknya ilmu-ilmu umumdan keterampilan ke dalam pesantren. Sebabdalam beberapa tulisan lain ia menyadaribahwa pesantren harus berhadapan denganmodernitas dan melakukan penyesuaian-

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 6: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

172J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

penyesuaian. Pergeseran dari masyarakatagraris/feodal ke masyarakat industri/modern telah meniscayakan pergeseran-pergeseran dalam pesantren terjadi. Gus Durjuga misalnya menyatakan bahwa salah satuparasyarat utama bagi proses dinamisasipesantren adalah adanya “rekonstruksibahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu agamadalam skala besar-besaran…dengan tetaptidak meninggalkan pokok-pokok ajarankeagamaan yang kita warisi selama ini.”7

Ketika merumuskan tanggung jawab sosialpendidikan, para pengamat nampaknyamembangun asumsi dan harapan berbedadibanding dengan asumsi dan harapanmereka terhadap sekolah formal lainnya,seperti SLTP/Tsanawiyah atau SLTA/SMU/Aliyah. Harapan lebih besar dibebankan dipundak pesantren, agar institusi keislamantersebut dapat menunjukkan tanggung jawabsosialnya secara lebih kongkret di masyarakat.Tanggungjawab sosial disini dimaknai olehbeberapa pemerhati sebagai upaya memenuhikebutuhan santri dan masyarakat sekaligus,baik pada aspek edukasi, keagamaan,maupun sosial dan ekonomi. Namun lagi-lagimanifestasi tanggungjawab sosial pesantrenseringkali dihadapkan pada—atauberbenturan dengan—kapasitas finasial yangdimiliki oleh pesantren. Mungkin munculpertanyaan, mengapa orang-orang menaruh‘beban’ tanggungjawab sosial pesantren lebihbesar dari sekolah lainnya?

Sebagaimana telah diutarakan padabagian sebelumnya, pesantren maupunlembaga pendidikan lainnya memilikibeberapa fungsi selain dari fungsi edukasi,yaitu fungsi sosial. Tentu, pemaknaan fungsisosial bagi sebuah pesantren harusdidefinisikan secara lebih luas, yang tidaksemata pemberdayaan di bidang ekonomi

atau terbatas pada aspek material. Kesuksesanmelakukan fungsi tersebut sangat tergantungkepada kondisi internal pesantren itu sendiri.Bila sebuah pesantren ditopang oleh sendiperekonomian yang kuat, baik yang berasaldari usaha mandiri maupun kontribusi dariinstitusi luar, maka sudah sewajarnyapesantren mampu melakukan penguatanekonomi di sekitarnya. Sebaliknya, bilapesantren tersebut tidak kuat secaraekonomi, maka ekspresi tanggung jawabsosialnyapun bisa lebih luas, misalnya,melakukan pembinaan keagamaan kepadamasyarakat sekitar dan mendukung kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.

Dalam konteks seperti itulah, diskusifilantropi Islam berbasis pesantren menjadirelevan. Filantropi biasanya dimaknai sebagaibentuk ‘kedermawanan’ yang bertali temalidengan tradisi memberi. Pada umumnya,pesantren adalah sebuah institusi yang berasaldari ‘pemberian’ seorang kiai bersama wargamasyarakat, baik itu tanah yangdigunakannya maupun danapembangunannya. Dulu, masyarakatmemberikan dermanya, baik yang berasaldari infak, zakat dan shadaqah, kepadatokoh-tokoh agama, modin, penghulu dankiai. Di beberapa tempat, tradisi ‘memberi’semacam itu masih berlangsung. Di Indone-sia sendiri pemanfaatan dana zakat, sadakah,infak, dan wakaf (ZISWAF) juga semakinberagam. Sebagian institusi pengelola danazakat dan sadaqah atau Lembaga Amil Zakat(LAZ) sudah mencoba pemanfaatan dana darimasyarakat melalui program-program yanglebih memperhatikan unsursustainibilitasnya. Pesantren sendiri adalahsebuah lembaga pendidikan yang multi-fungsi. Beberapa pesantren ikut berperansebagai pengelola (‘amil) dana zakat dan

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 7: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

173Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

sadaqah, tetapi pesantren-pesantren lainnyajustru menjadi ‘penerima’. Di kalanganmasyarakat pedesaan, tradisi berdermadengan memberikannya kepada tokohtertentu masih ada, hal itu dilakukan untukmenghormati kerja keras dan pengabdianpara kiai, dan juga sebagai kepedulianmereka untuk menyokong lembagapendidikan keagaman seperti pesantren.Kedua bentuk peran yang dapat dimainkanpesantren, baik sebagai amil (pengelola)ataupun penerima dana ZISWAF, juga tidakmudah. Sebab semua itu tergantung jugabagaimana pola kedekatan sebuah pesantrendan orang-orang di dalamnya denganmasyarakat sekitarnya.

Dalam studi filantropi berbasis pesantren,ada beberapa hal yang bisa dicermati.Pertama mengenai sumber daya derma yangberasal dari masyarakat. Tak pesantren padamulanya merupakan pendidikan pendidikanberbasis komunitas. Masyarakat memberikankontribusi besar kepada pembangunanpesantren melalui berbagai cara, seperti,memberikan sumbangan berupa materialdan non-material, membantu danmenyemarakkan kegiatan-kegiatanpesantren. Kedua adalah model penggaliansumber daya dana. Pesantren bagaimanapunmembutuhkan sumber-sumber pendanaanyang tidak sedikit untuk menutupi kebutuhanoperasionalnya. Selain memperoleh danadari dari iuran wajib santri, pesantren jugamelakukan berbagai upaya, mencarisumbangan dari berbagai pihak, swastamaupun pemerintah, melakukan bisnis yanghasilnya dialokasikan untuk meningkatkankegiatan belajar mengajar, sertamemanfaatkan sumber dana lain yangberasal dari dana ZISWAF. Ketiga terkaitdengan manajemen pengelolaannya. Saat ini

beberapa lembaga telah mengelola hartaderma yang berasal dari masyarakat untukdapat kembali dinikmati secara optimal olehmasyarakat lain yang membutuhkan.8

PESANTREN, FILANTROPI ISLAM, DANMASYARAKAT PEDESAAN

Kegiatan perekonomian dan pendidikandi daerah pedesaan tidaklah semeriah diwilayah perkotaan. Kehidupan masyarakatpedesaan relatif lebih sederhana. Tingkatpendidikan masyarakat yang tinggal dipedesaan umumnya tidak lebih tinggi dariorang-orang kota. Lembaga-lembagapendidikannya terbatas sampai pada tingkatmenengah atas, dan tidak banyak perguruantinggi yang didirikan di desa-desa. Profesi ataupekerjaan sehari-hari masyarakat pedesaanlebih banyak bercocok tanam/bertani, meskisebagian dari mereka juga bekerja di kota.Kendatipun tingkat pendidikan mereka yanghidup didesa secara umum relatif lebihrendah di banding mereka yang hidup diwilayah perkotaan, penyelenggaraan kegiatanpendidikan keagamaan di pedesaan cukupbaik dan antusias. Madrasah-madrasah danmasjid-majid menjadi pusat kegiatanpendidikan keagamaan. Bila dilihat daripertumbuhan lembaga-lembaga pendidikanberbasis keagamaan Islam, bukan suatu halyang baru bahwa kebanyakan lembagatersebut, khususnya pesantren, justru padamulanya berkembang di wilayah pedesaan.Beberapa pesantren besar, menengahmaupun kecil justru juga lahir di wilayahpedesaan, dan pesantren itulah yang dikemudian hari memberikan andil dalammembesarkan nama desa-desa kecil itu.

Keterlibatan masyarakat dalammendorong eksistensi institusi-institusi sosialdi pedesaan juga cukup besar karena kohesi

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 8: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

174J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

sosialnya relatif lebih lekat ketimbangmasyarakat kota yang cenderung lebih‘individualistis’. Namun, itu tidak selaluberarti bahwa masyarakat pedesaan daninstitusi-institusi sosial di pedesaan selalumemiliki kemudahan dalammengembangkan institusi pendidikan,termasuk institusi pendidikan keagamaan.Salah satu alasanya adalah karena adanyaketerbatasan-keterbatasan dari segiperekonomian berikut jaringan-jaringanpendukungnya. Sehingga daya tumbuhinstitusi pendidikan di pedesaan juga relatiflebih lambat dari lembaga yang sama yangberada di perkotaan. Bagian ini, akanmengungkap kegiatan filantropi yangberbasis pesantren di sebuah desa yangterletak di Kabupaten KulonprogoYogyakarta, dan melihat bagaimana kegiatanfilantropi tersebut diorganisasikan olehmasyarakat sekitar maupun di lingkunganpesantren itu sendiri, apa saja keterbatasandan tantangan yang dihadapi pesantren dipedesaan, dan apakah zakat dan sadaqahmemberikan kontribusi dalam penguataninstitusi pesantren dan masyarakat.

PESANTREN DARUL ULUM: BERAWALDARI INISIATIF KEPALA DESA DANMASYARAKAT

Pesantren Darul Ulum bukanlahpesantren besar, meski dilihat dari usianya,pesantren yang awalnya bernama madrasahDarul Ulum ini cukup ‘berumur’, didirikanpada 5 Juli 1932. Artinya berusia lebih darisetengah abad. Dulu, pesantren ini adalahsebuah madrasah biasa yang hanyamenyelenggarakan pendidikan formalkeagamaan di tingkat Menengah Pertamadan Menengah Atas. Saat ini, secara institusi,telah dibentuk sebuah yayasan bernama

Yayasan Darul Ulum yang membawahipesantren dan sekolah-sekolah. Ada sekitar400-an ‘santri’ atau siswa yang menuntut ilmudi tingkat Tsanawiyah (SLTP) maupun Aliyah(SMU). Jumlah ini dapat dikatakan lebihsedikit dibanding beberapa dekadesebelumnya, terutama di masa ‘kejayaan’madrasah ini pada tahun 1970-an. Menurutsalah seorang pengurus pondok, pada tahun1970an siswa-siswi yang belajar di MadrasahDarul Ulum dapat mencapai ribuan orang.Seiring dengan perkembangan institusi-institusi pendidikan yang baru dan sekolah-sekolah negeri, jumlah siswa yang belajarDarul Ulum pun semakin surut. Tidak sepertihalnya pesantren-pesantren lain terutamayang berada di Jawa Timur dimanakebanyakan santri mondok/tinggal di asramapesantren, para siswa pesantren Darul Ulumtidak seluruhnya mondok di asramapesantren. Sebagian besar siswa, terutamamereka yang rumahnya dekat denganpesantren, tidak tinggal di pondok, tetapi“dilaju” alias pulang-pergi dari rumah kepondok setiap hari. Mereka tinggal di rumahkeluarga masing-masing ketika malam hari,dan belajar di lembaga pendidikan DarulUlum di siang hari. Jadi, para siswa yangtinggal di asrama milik pesantren adalahmereka yang tempat tinggalnya agak jauhdari pesantren.

Secara geografis, pesantren ini terletak diwilayah barat-daya Yogyakarta. Tepatnya diPedukuhan XII Sewugalur, Desa KarangSewu, Kecamatan Galur, KabupatenKulonprogo, Yogyakarta. Terletak di arahBarat Daya Yogyakarta, Pesantren ini dapatditempuh 1 jam dari atau berjarak sekitar 45km dari kota Yogyakarta. KabupatenKulonprogo adalah kabupaten yang cukupbesar secara geografis di Provinsi Daerah

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 9: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

175Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

Istimewa Yogyakarta, meskipun pada tingkatperekonomian tidak semaju Kota Madya danKabupaten Sleman Yogyakarta. TetapiKulonprogo secara ekonomi relatif berada diatas Kabupaten Gunung Kidul dan setaradengan Kabupaten Bantul. Kebanyakanpenduduk Pedukuhan XII Sewugalur berkerjasebagai petani atau bercocok tanam. Sebagiankecil anggota masyarakat berdagang ataubekerja di pasar untuk berjualan, sementarasebagian lain bekerja di kantor pemerintahandan sebagai pegawai negeri sipil atau guru.Pekerjaaan bercocok tanam tentunya telahdilakukan secara turun temurun selamapuluhan atau mungkin ratusan tahun. Jalanmenuju Madrasah ini diwarnai oleh arealpesawahan. Tekstur di daerah Kulonprogopada umumnya naik turun, dan sebagianberbukit, tapi Pendukuhan Sewugalur initerletak di daerah yang berdataran rendah,bukan perbukitan. Sehingga tanah di wilayahtersebut lebih subur dan cocok untukditanami padi atau palawija denganmendapat pengairan yang cukup dari KaliProgo, sebuah sungai yang terbujurmembelah Kabupaten Kulonprogo danKabupaten Bantul.

Saat ini pesantren Darul Ulum beradadalam naungan organisasi sosial keagamaanMuhammadiyah. Secara historis pendiripesantren Darul Ulum memang memilikiketerkaitan historis dengan organisasimodernis ini. Pasalnya, sang pendiri, HajiDawam Roji adalah alumni Pesantren atauMadrasah Mualimin MuhammadiyahYogyakarta, sekolah pertama yang didirikanMuhammadiyah pada awal abad ke-20 olehKyai Haji Ahmad Dahlan. Saat ini MadrasahMualimin masih merupakan salah satulembaga pendidikan keagamaan cukup besardan maju di dalam organisasi

Muhammadiyah. Namun, berbeda denganMadrasah Mualimin yang saat ini berada ditengah pusat Kota Yogyakarta, Darul Ulumterletak di pedesaan. Beberapa penelitianmenunjukkan bahwa genealogi pesantrenmemiliki pattern tersendiri yaitu hubungansantri-kyai yang masih terpelihara. Sudahmerupakan fenomena umum bahwa sebuahpesantren didirikan oleh mantan santri darisebuah pesantren lain. Dan pesantren barutersebut biasanya memiliki hubungan khususdengan pesantren tempat mantan kyai(pendirinya) nyantri. Selain itu, pendirianpesantren Darul Ulum memang tidakterlepas dari aktivitas organisasiMuhammadiyah yang diantaranya difokuskanpada pendirian lembaga pendidikan. Padatahun 1926, di daerah ini didirikan SekolahDasar Muhammadiyah sebagai prasyarat bagipendirian Cabang Muhammadiyah. Setelahberdirinya Sekolah Dasar (SD Wonopeti),masyarakat dan pimpinan Muhammadiyahberfikir untuk mendirikan sekolah lanjutan.Kemudian muncullah insiatif untukmendirikan Madrasah di tingkat Tsanawiyahdan Aliyah. Muhammadiyah juga memilikihubungan emosional dengan pesantrenDarul Ulum karena salah satu tokohMuhammadiyah pada tahun 1970-an sampaiawal 1990-an, K.H. AR. Fachrudin yang jugamenjabat sebagai Ketua Umum PimpinanPusat Muhammadiyah selama beberapaperiode, adalah salah satu alumni MadrasahDarul Ulum dan bahkan dikenal sebagaisiswa yang pertama mendapatkan nomorinduk siswa di sekolah tersebut.

Pada paruh ketiga abad ke-20, HajiDawam Roji yang saat itu menjabat sebagaiKepala Desa berinisiatif untuk mendirikansebuah pesantren yang dapat mendukungdinamika kehidupan bermasyarakat di

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 10: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

176J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

daerah tersebut. Ide tersebut kemudianmendapat dukungan dan dari sebagiananggota masyarakat. Posisi Haji Dawamsebagai Kepala Desa tentu saja memberikanpengaruh yang cukup besar dalam pendirianpesantren ini, bukan saja secara politis tetapijuga secara ekonomis. Pertama, dia adalahfigur yang memegang pengaruh di tingkatlokal. Sehingga, relatif lebih mudah baginyauntuk mengkondolidasikan danmengorganisasikan agenda pendirian DarulUlum dengan masyarakat setempat. Kedua,secara keagamaan dia juga seorang figur yangdihormati, karena merupakan alumnipondok pesantren Mualimin dan juga tokohMuhammadiyah di Kulonprogo. Ketiga, diamemiliki jaringan yang pada saat itu cukupbesar dalam merealisasikan programnyauntuk mendirikan pesantren, setidaknya ditingkat lokal. Memang, secara organisatorismadrasah atau pesantren Darul Ulumdibawah Pimpinan Daerah Muhammadiyah,Majelis Dikdasmen, Kulonprogo, tetapisecara historis tidak tumbuh dariMuhammadiyah. Hanya saja, sang pendiriyang memang tokoh Muhammadiyahsetempat berfikir bahwa untuk menjagasustainibilitas lembaga ini perlu ada sebuahorganisasi yang lebih paten. Dia khawatiranaknya belum tentu mau mengurusipesantren di suatu saat nanti. Karena itulahia memutuskan pesantren ini ‘diberikan’kepada Muhammadiyah.

Secara kelembagaan, Madrasah DarulUlum juga tidak mengecewakan karenabeberapa prestasinya dan kontribusinya baikkepada Muhammadiyah maupun kepadainsan pendidikan di daerah tersebut. BagiMuhammadiyah sendiri, Madrasah DarulUlum dipersiapkan sebagai arena untukmendidik kader-kader mubaligh dan guru

agama. Karena itu pada tahun 1937,Madrasah ini disebut juga Sekolah GuruAgama (SGA) Darul Ulum yang massabelajarnya 3 tahun. Selanjutnya pada tahun1951, masa belajar di SGA ini adalah 4 tahun(Pendidikan Guru Agama Pertama/PGAP),dan pada masa berikutnya menjadi 5 dan 6tahun (Pendidikan Guru Agama Atas). PAdatahun 1951 itulah Madrsah ini jugamendapatkan status penyetaraan dari Depart-ment Pendidikan dan Kebudayaan RepublikIndonesia. Baru pada tahun 1977, statusnyaberubah menjadi Tsanawiyah dan Aliyah.Sejak 3 tahun lalu, Madrasah Darul Ulumditunjuk oleh pemerintah untukmenyelenggarakan ‘kelas jauh’ SekolahMenengah Kejuruan Negeri/SMK. Hal itudilakukan karena di daerah tersebut belumada SMK, sementara minat siswa untukbelajar di lembaga kejuruan relatif tinggidibanding sekolah di madrasah. Untukmemnfasilitasi minat siswa di daerah tersebutmaka dilakukan kerjasama antara dinaspendidikan setempat dengan Yayasan DarulUlum untuk menyelenggaran pendidikankejuruan. Untuk mata pelajaran umum,gurunya diambil dari sekolah setempat,sementara untuk mata pelajaran kejuruan,didatangkan dari sekolah-sekolah negeri.

Seperti juga pesantren di pedesaan lainpada umumnya, tanah tempat berdirinyapesantren berawal dari tanah wakaf, sebagiananggota masyarakat mewakafkan tanahpekarangan mereka, sebagian yang lainmewakafkan tanah pesawahan. Luas areapesantren Darul Ulum saat ini mencapat 2hektar, namun lokasinya terpisah-pisah.Tanah-tanah wakaf yang dimiliki pesantrentidak seluruhnya dipergunakan untukbangunan pesantren atau dijadikan sebagaisarana dan prasanara belajar mengajar.

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 11: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

177Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

Melainkan juga digunakan untuk usaha yangmendukung kelangsungan kegiatanpesantren, misalnya dengan ditanami pohonjati agar hasilnya suatu saat bisa digunakanuntuk berbagai keperluan. Madrasah DarulUlum yang terdiri dari tingkat Tsanawiyahdan Aliyah berada di lokasi yang berdekatan,hanya dipisahkan oleh sebuah lapangansepak bola milik desa setempat. Padamulanya, area lapangan sepakbola tersebutmilik seorang warga. Namun karena banyakdifungsikan untuk kegiatan kemasyarakatan,termasuk olah raga, dan posisinya diapit olehdua sekolah (Tsanawiyah dan Aliyah DarulUlum), masyarakat menghendaki agardilahan tersebut tidak didirikan bangunan.Saat ini, Madrasah Darul Ulum menjadisemacam Kompleks PerguruanMuhammadiyah, ada Taman Kanak-kanak,Sekolah Dasar, Sekolah Tsanawiyah danAliyah. Di sebelah utara sekolah terdapatPKU Muhammadiyah, sebuah klinikkesehatan yang menjadi rujukan masyarakatsetempat. Jadi, seluruh institusi sosial baik dibidang pendidikan dan kesehatan dikompleks tersebut berada di bawahMuhammadiyah. PKU Muhammadiyahsecara organisatoris tidak terkait langsungdengan madrasah, tetapi keduanya, baiksekolah maupun klinik tersebut, adalah milikMuhammadiyah. Ada konsekuensi yangmenarik dari fenomena tersebut yaitu bahwapara guru, siswa dan pengurus pondokpesantren mendapatkan potongan atau hargakhusus ketika mereka berobat ke PKUMuhammadiyah. Hal ini dimaksudkansebagai salah satu bentuk kontribusiMuhammadiyah dalam membangun sistem‘kesejahteraan’ bagi para pengajarnya.

PKU Muhammadiyah tersebut bukanlahsatu-satunya klinik kesehatan di desa tersebut,

tetapi sarana dan prasarana yang disediakanPKU Muhammadiyah di Sewugalur ini lebihlengkap daro Puskesmas (Pusat KesehatanMasyarakat milik pemerintah). Ketersediaandokter juga relatif baik, dan para perawatjumlahnya juga cukup banyak sebab banyakcalon-calon perawat dari AkademiKeperawatan, khususnya yang didirikan olehMuhammadiyah, ikut magang di PKU ini.Meski demikian, sebagai sebuah klinikkesehatan PKU Muhammadiyah tersebuthanya menangani penyakit-penyakit yangringan saja, dan berperan memberikanrujukan ke rumah sakit lain bilamendapatkan pasien yang menderitapenyakit agak berat, seperti patah tulang yangmemang memerlukan penanganan khusus.

ANTARA PESANTREN, MADRASAH,SEKOLAH DAN PANTI ASUHAN

Sejak tahun 2003, Madrasah ini merintispendirian pondok pesantren. Ada puluhansiswa yang ikut nyantri di pesantren. Dariratusan santri yang belajar di lembagapendidikan yang berada di banwah naunganYayasan Darul Ulum, hanya puluhan sajayang tinggal di asrama. Sejak tahun 2003-2007, mereka yang tinggal di asrama berkisar30-50 santri. Terutama mereka yang tinggalagak jauh dari lokasi dan juga sebagian orang-orang yang tidak mampu. Karena itupesantren tersebut juga menjadi panti asuhansekaligus, yang bernama Darul Marhum. Jadi,pesantren Darul Ulum memerankan duafungsi sekaligus: pertama sebagai pondokpesantren tempat para santri belajar matapelajaran keagamaan di luar sekolah di sianghari, kedua berperan sebagai panti asuhanyang menampung anak-anak yang berasaldari keluarga tidak mampu. Latar belakangekonomi siswa yang belajar di Darul Ulum

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 12: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

178J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

bermacam-macam. Tidak semua berasal darikeluarga orang berada. Sebagian berasal darikeluarga biasa saja yang setidaknya mampumembayar biaya sekolah anak-anak mereka,tetapi sebagian lain berasal dari keluargatidak mampu. Menurut keterangan salahseorang guru, hampir 60% dari siswa merekaberasal dari keluarga tidak mampu alias tidaksanggup membayar penuh biaya pendidikanmereka. Beberapa keluarga siswamengajukan permohonan keringanan untukdapat membayar secara ‘tidak penuh’, dankarena itu kalaupun mereka membayariauran, jumlahnya tidak sama antara satusama lain. Ada yang 100% sampai 50 %.Semua kontrak pembayaran tersebut hanyadihitung untuk biaya makan selama satubulan saja. Sebagai sebuah sekolah yangberdiri di pedesaan sistem ‘subsidi silang’sudah diberlakukan. Artinya kesadaran akanadanya disparitas sosial ekonomi sudah ada dibenak pengurus pondok tersebut.

Lokasi asama pondok pesantren DarulUlum terpisah dari Madrasah Tsanawiyahdan Aliyah, berjarak sekitar 500 meter dari.Pada saat penelitian ini dilakukan, kondisiPondok Pesantren Darul Ulum atau PantiAsuhan Marhumah itu belum sepenuhnyaselesai dibangun. Kondisinya masih belumsempurna dan bangunannya sangatsederhana. Belum ada papan namapermanen yang menunjukkan bahwa ituadalah sebuah pondok pesantren. Di bagiandepan terdapat sebuah rangka bangunanyang rencananya akan dijadikan masjid.Rangka tersebut berdiri tanpa atap danbelum dapat difungsikan sama sekali, karenamasih menunggu donatur.’ Memang,pembangunan masjid tersebut, seperti halnyapembangunan masjid di beberapa tempatyang lain di pelosok Indonesia, banyak yang

‘istirahat’ dahulu alias dihentikan sementarakarena tidak cukup dana. Tanahnya berasaldari wakaf warga atau sebuah keluarga didaerah setempat yang sudah pada bekerja dikota. Kegiatan peribadatan pun dilakukan disebuah ruang kosong di belakang kantoradministrasi pondok yang sejatinya berfungsisebagai gudang peralatan Marching Bandzaman baheula. Pondokan untuk putra danputri terpisah. Pondokan untuk santri putriberada di lokasi dekat madrasah Tsanawiyah,sementara untuk putra berdiri sendiri sekitarbeberapa ratus meter.

Inti dari pesantren adalah kyai, masjid,dan pondok. Namun, di pondok pesantrenDarul Ulum ini, masjid belum dapatdifungsikan dan hanya ‘menyulap’ ruangkosong berukuran sekitar 4x6 sebagai tempatsolat berjamaah sementara. Ruang asramapun belum begitu permanen dan penataanlokasi bangunan juga minimalis. Penataanruangan belum dilakukan dengan baik,karena adanya keterbatasan bangunan danbelum didirikannya sarana pendukung yanglain. Para santri belajar pada sore dan malamhari di pelataran atau teras asrama denganmenggelar tikar. Dinding asrama bagian luarjuga dipasangi sebuah whiteboard kecil untukbelajar para santri. Pengurus pondokmengilustrasikan bahwa ini dilakukan karneakondisi ‘darurat’. Di musim panas/kemarau,kondisi semacam ini tidak menjadi masalahbesar baik bagi santri maupun pengasuh,tetapi bila musim hujan tiba kadang belajardi teras asrama menjadi masalah juga karenasuasananya menjadi tidak kondusif untukbelajar. Pada pagi hari, sore dan malam santribelajar di pondok, sementara siang harinyamereka belajar di madrasah (Aliyah, SMKN,atau Tsanawiyah).

Beberapa lokal bangunan difungsikan

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 13: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

179Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

untuk praktik sekolah SMKN kelas jauh. Halitu dilakukan karena di madrasah yang salahsatu ruangnya digunakan untuk SMKN KelasJauh itu belum tersedia bangunan yang dapatdigunakan untuk ruang praktik siswa yangbelajar teknik otomotif. Alhasil, pihakyayasan menggunakan salah satu ruangan dipondok tersebut untuk ruang praktik siswa.Pesantren ini dijanjikan oleh pemerintahuntuk dibangunkan gedung sebagaikonsekuensi dari kerjasama yang merekalakukan dalam menyelenggarakan SMKNkelas jauh, namun karena realisasinya belumjuga terlihat, akhirnya ruang praktik ataubengkel otomotif itu menggunakan fasilitasasrama pondok. Padahal, pihak pondokpesantren sendiri sudah menyediakan lahankhusus untuk pembangunan gedung yangdijanjikan pemerintah dari 3500 meter lahanyang yang mereka miliki.

SMKN kelas jauh ini merupakan hasil darikerjasama antara pihak sekolah dan DinasPendidikan setempat dan SMK Pengasih.Beberapa mata pelajaran Umum dan Dasardiampu oleh guru di sekolah setempat,sementara untuk memenuhi standarkompetensi yang dibutuhkan, guru-gurudidatangkan dari sekolah negeri.Penyelenggaraan sekolah kejuruan olehmadrasah atau pesantren tersebut memangbukan tanpa alasan strategis. Kecenderunganyang berkembang dikalangan remaja dananak sekolah di desa tersebut adalahmelanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi diSekolah Kejuruan. Menurut salah seorangguru, pada tahun-tahun sebelumnyaMadrasah Tsanawiyah Darul Ulum dapatmeluluskan sekitar 40 sampai 50 siswa.Namun hanya sekitar empat orang saja ataulima yang melanjutkan studi di MadrasahAliyah. Ada beberapa sebab, antara lain:

masalah motivasi siswa yang lebih cenderungmemilih sekolah kejuruan ketimbang sekolahAliyah; kedua, lulusan Madrasah TsanawiyahDarul Ulum juga lebih memilih sekolahnegeri. Kerjasama yang dibangun olehYayasan dan Dinas atau SMU Pengasihdiharapkan dapat menguntungkan duapihak: pihak sekolah dapat menampunglebih banyak siswa dan suasana sekolah lebihmeriah; kehadiran siswa-siswa SMK tersebutjuga menambah jumlah santri karenasebagian siswa SMK tersebut mondok dipesantre Darul Ulum.

Bangunan pondok pesantren yang belumsempurna itu dibangun dengan melibatkanpartisipasi warga. Keterbatasan pihak pondokdalam menyediakan dana yang cukup telahterbantu oleh partisipasi warga setempat.Untuk membangun pondok Darul Ulum,warga berbondong-bondong ikutmenyumbangkan tenaga. Beberapa bahanbangunan juga berasal dari warga, ada yangmenyumbangkan batang pohon kelapa untukdijadikan sebagai usuk atap bangunan,menyumbang tenaga untuk mengumpulkanbatu-batu, dan juga menyumbang pasir.Kohesi sosial yang lebih lekat dalammasyarakat pedesaan memang sangatmemungkinkan adanya partisipasi wargalebih banyak, setidaknya dalammenyumbangkan tenaga. Meski memilikibanyak keterbatasan dari segi pendanaan,pondok pesantren ini hanya menarik biayadari keluarga yang mampu saja. Total biayaper orang yang dibutuhkan untukmenyediakan konsumsi perbulan para santriadalah Rp. 150 ribu/orang, sementara untuktinggal di asrama para santri tidak dipungutbiaya apapun alias gratis. Meski demikian,dalam faktanya, hanya sebagian santri sajayang dapat membayar penuh, sebagian lain

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 14: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

180J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

membayar semampunya, dan sebagian laintidak dipungut biaya. Menurut pengasuhpondok ini, sebagaimana diutarakansebelumnya, sebagian santri yang tinggal iniadalah anak yatim atau yatim piatu.

Persoalan yang sama tidak hanya dihadapioleh pihak pondok, tetapi juga oleh sekolah-sekolah yang dibawahi oleh yayasan tersebut.Banyak siswa berasal dari kalangan tidakmampu. Salah satu fenomena yang menarikadalah bahwa selain melakukan pencariandana dari pihak lain, baik pemerintah,donatur yang berasal dari tokoh masyarakatsetempat maupun alumni, para guru jugaberpartisipasi ikut menyumbang. Para guruyang sudah diangkat menjadi pegawai negerisipil (PNS) dianjurkan untuk menyisihkangaji mereka bagi siswa-siswa yang merekadidik. Setiap bulan, gaji mereka dipotongsekedarnya sesuai dengan kemampuan danbesaran gaji yang mereka terima. Merekamembuat kesepakatan sendiri bahwa merekamenyumbangkan sebagian gaji mereka setiapbulan, berkisar Rp. 25.000 sampai Rp.100.000. Salah satu guru menyatakan:“meskipun ini (sumbangan) sifatnya anjuran,namun kami tidak tega juga melihat nasibanak-anak didik kami. Karena itulah kamimembuat kesepakatan seperti ini agarmereka tetap dapat belajar di sekolah ini.”Sumbangan itu, dinamakan sumbangan OTAatau Orang Tua Asuh. Gerakan seperti inimerupakan komitmen para guru agar lebihbanyak siswa yang belajar disini. Bukan hanyapara guru, mantan guru yang pernahmengajar di sekolah ini dan alumnus yangpernah belajar di sekolah ini juga ikutmenyumbang. Jumlah yang diperoleh dariguru tidak terlalu besar. Dari 42 staffpengajar atau guru yang mendidik siswa disekolah ini, hanya belasan guru saja yang

sudah diangkat sebagai pegawai negeri. Guruyang mengajar di madrasah inidikalsifikasikan menjadi 4 tipe: guru yayasan,guru bantu, guru kontrak, dan gurusekarelawan.

Pondok pesantren ini dikelola oleh duaorang pengasuh yang intensif mendampingipara santri, sebut saja Pak Soleh dan PakIskandar. Mereka adalah warga setempatyang mengabdikan dirinya untuk pesantren.Salah satu pengasuhnya adalah lulusansebuah Perguruaan Tinggi Muhammadiyah diYogyakarta. Dia belajar studi Islam atasbeasiswa dari Universitas tersebut untukmendalami bidang Tafsir dan Hadis, danmengambil Akta IV di Perguturuan TinggiMuhammadiyah lain di Yogyakarta. Salahsatu kampus Muhammadiyah di Yogyakartamemiliki relasi yang cukup baik dengan pihakpondok pesantren, karena kerapmenyalurkan sebagian dana Zakat, Infak danShadaqah melalui pondok ini. LAZIS kampustersebut rutin menyalurkan dana merekadengan cara memberikan beasiswa kepadaalumni dan santri pondok pesantren ini yangmau melanjutkan pe perguruan tinggi.Jumlahnya sekitar 10 orang. Mereka bukansaja dapat belajar gratis di tingkat perguruantinggi, tetapi juga mendapatkan insentifbulanan untuk kebutuhan sehari-hari.

MERANGKUL DONATUR DANPROBLEMATIKANYA

Bagi sebuah pesantren di pedesaan,melakukan penggalangan dana bukanlahperkara mudah. Hal itu dirasakan oleh pulaoleh pesantren yang berada di bawahnaungan organisasi sebesar Muhammadiyah.Apalagi bila pesantren tersebut belummemiliki jaringan yang kuat yang dapatmengakses sumber-sumber prekonomian

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 15: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

181Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

yang berbasis di perkotaan. Pesantren DarulUlum pun mengalami hal serupa, memilikiketerbatasan dana dan juga akses terhadapsumber perekonomian yang dapatmenunjang proses belajar mengajar danproses pendidikan secara lebih baik. Namundemikian, itu tidak berarti bahwa upaya-upaya untuk untuk menggalang dana tidakdilakukan. Faktanya, yayasan dan pesantrenini memiliki kiat-kiat tersendiri. Pesantrenini, sebagaimana diutarakan sebelumnya,memperoleh sumbangan yang berasal dariiuran bulanan santri, sumbangan masyarakat,dan hasil usaha mandiri untuk menunjangbiaya operasional yang dibutuhkan. Untuksebuah pesantren di pedesaan yangpendanaannya disandarkan kepadakontribusi para donatur tentu memerlukanstrategi khusus, terutama dalam menjagasustainibilitas kontribusi para donatur. Sejaktahun 1980-an Pesantren Darul Ulummenyelenggakaran pengajian rutin, yangdimaksudkan untuk menjaga hubunganharmonis, intensif dan berkelanjutan antarainstitusi tersebut dengan jamaah Muslim,simpatisan Muhammadiyah dan donatorumum lainnya. Salah satu kegiatan yangsampai saat ini masih berjalan adalahPengajian Ahad Pagi. Masyarakat cukupantusias dalam merespons kegiatan pengajiantersebut. Hal itu terlihat dari jumlah jamaahyang hadir, yang ternyata tidak hanya darimasyarakat sekitar Sewugalur, tetapi juga daridesa-desa lain di Kabupaten Kulonprogo, danbahkan ada pula yang berasal dari luarKabupaten Kulonprogo.9

Pengajian adalah media sangat pentingbagi pondok pesantren ini untuk memeliharajaringan dengan donatur. Jumlah pesertanyacukup banyak, meskipun tidak selalukonsisten. Di bulan Ramadhan jamaah

pengajian ini dapat mencapai 400-700 orang.Pengajian Ahad Pagi ini biasanya dimulaipada pukul 06.00-07.00 pagi WIB. Biasanyaisi dari pengajian tersebut membahas tafsir al-Qur’an. Pada setiap pengajian, pihak pondokmengedarkanm “kotak amal” atau “kencleng”.Kotak Amal tersebut tidak satu jenis, tetapiterdiri dari beberapa kotak yangmenunjukkan peruntukan dana yangditerima sehingga jamaah pengajian dapatmenyumbang sesuai dengan hasrat mereka.Misalnya, ada kotak khusus untuk infakuntuk kegiatan pengajian tersebut, kotakkhusus untuk pembangunan, dan kotakkhusus untuk yatim dan dhu’afa. Dengancara-cara seperti itulah pesantren ini dapatbertahan. Karena itu pula pesantren ini maumenerima santri bagaimanapun kondisi sosialdan ekonominya.

Jamil Wahid, direktur pesantren DarulUlum, menceritakan bahwa pesantrennyatidak serta merta menerima wakaf darimasyarakat tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, terutama latar belakang daripewakaf. Ada sebuah keluarga yangmewakafkan harta milik mereka dan merekamemang berasal dari keluarga berada. Iamengisahkan, pernah pula suatu kaliseseorang menyerahkan lahan atau barangmilikinya untuk digunakan demikepentingan Darul Ulum, namun karenapihak pesantren menyadari bahwa kondisisekonomi orang tersebut tidak sebagik waktu-waktu sebelumnya, maka pihak pondok punmenggantinya (dengan barang lain). Selainwakaf barang atau lahan, beberapa keluargasecara kolektif lebih cenderung memberikanwakaf tunai, misalnya ada seseorang yangmenitipkan uang sebesar Rp. 25 Juta lebihuntuk keperluan pondok, dan beberapawaktu sebelum itu, ada pula yang menitipkan

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 16: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

182J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

unang lebih dari Rp. 30 juta rupiah untuktujuan yang sama.10 Selain bantuan darimasyarakat setempat, pesantren ini jugamendapat sumbangan dari beberapa donaturluar negeri.

Paska tragedi 11 September dimanaserangan teroris mengguncang dunia,terutama setelah penghancuran gedungWord Trade Center di New York, masalahderma berbasis agama di kalangan Muslimmendapat perhatian negara-negara Barat,terutama Amerika. Aktivitas-aktivitaskedermawanan di negara-negara Muslim,baik di negara-negara Timur Tengah maupunsi Asia Tenggara, sering dicurigai terkaitdengan isu-isu terorisme. Hal itu merupakanfenomena global yang tidak hanya dirasakanoleh organisasi keagamaan di Indonesia yangbiasa mendapatkan bantuan dari TuimurTengah, tetapi juga oleh organisasi-organisasiIslam yang berada di seluruh dunia.11 Bahkan,harta yang berasal dari zakat, infak danshadaqah tidak jarang menjadi bahankecurigaan. Yayasan-yayasan dari TimurTengah yang sering mengucurkan dana keIndonesia baik untuk mengembangkanpendidikan keagamaan, pembangunanmasjid atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya,tak pelak kena imbasnya. Fenomena tersebutnampaknya dialami oleh Pesantren DarulUlum. Beberapa tahun sebelumnya,umpamanya, pesantren ini dijanjikan untukmendapatkan sumbangan dari sebuahyayasan dari Timur Tengah. Yayasan tersebutsudah terbiasa mengirimkan bantuan kepadalembaga-lembaga pendidikan keagamaan diIndonesia, utamanya pesantren. Bantuandiberikan secara bertahap. Pada awalnya,Darul Ulum dijanjikan akan mendapatkanbantuan sebesar Rp 110 juta. Namun seiringdengan isu-isu terorisme, dan pengiriman

yang dilakukan menjadi lebih sulit daribiasanya, baru direalisasikan sekitar Rp 70juta saja. Persoalan tidak berhenti sampai disitu karena selama isu terorisme terusmenghiasi media massa nasional daninternasional, selama itu pula ketidakpastianbantuan dari donatur negera-negara TimurTengah terus berkurang.

Cara lain yang digunakan pesantren untukmendapatkan dana adalah denganmenyewakan sawah atau lahan pertanianlainnya. Pesantren ini memiliki beberapatanah wakaf dan tanah hasil pembelian dibeberapa tempat. Sebagian lahan tersebutdisewakan kepada para petani setempat.Lahan lainnya hanya ditanami kelapa danpohon jati yang memang hasilnya tidak bisasecara rutin atau langsung dirasakan saat ini,tetapi jangka panjang. Saat ini, pesantren inimasih bersandarkan pada penghasilan rutindari warung dan pemanfaatan sawah atautanah yang keuntungannya belum bisamenutupi kegiatan operasional pesantren.Salah satu kelemahan dari sebuah pondokpesantren di pedesaan adalah lemahnyajaringan terhadap sendiri-sendiperekonomian yang berada di perkotaan.Misalnya membangun jaringan denganperusahaan-perusahaan atau institusi tertentuyang memiliki komitmen terhadap duniapendidikan. Bukan hanya itu, kemampuanuntuk mengelola atau mengembangkan jenisusaha yang dapat membantu perekonomianpesantren juga sangat terbatas seiring denganketerbatasan modal dan sumber dayamanusia serta keterbatasan akses.

MEMPERTANGGNG JAWABKAN DANAMASYARAKAT: SEBUAH TIMBAL BALIK

Lembaga pendidikan Darul Ulum ini

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 17: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

183Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

merupakan inisiatif masyarakat lokal,terutama beberapa aktivis Muhammadiyah.Meskipun inisiatif pendiriannya berasal daripribadi seseorang, yaitu Haji Dawam Roji,namun kini sudah berbentuk yayasan, danmerupakan bagian dari amal usahaMuhammadiyah. Haji Dawam Roji, sangpendiri, menyadari bahwa bilamana suatusata ia meninggal, ia tidak menginginkanlembaga yang didirikannya ikut berhentiberoperasi. Ia menyadari bahwa tidak semuaanak-anaknya akan mau melanjutkankepemimpinannya untuk menjagasustainibiltas madrasah dan pesantren yang iadirikan. Oleh karena itu, akhirnya iamemutuskan untuk menggabungkan institusiini dengan Muhammadiyah. Ternyata,langkah yang dilakukan Haji Dawam Roji,tidak sia-sia, karena dengan berafiliasi kepadaorganisasi keislaman seperti Muhammadiyah,lembaga ini dapat mencari ‘dana talangan’melalui Pimpinan Wilayah Muhammadiyahuntuk keperluan-keperluan yang mendesak.Belakangan ini, pesantren Darul Ulummampu mengumpulkan sejumlah dana dariwarga dan donatur, yang sebagian dari danaitu akan digunakan untuk melunasi‘pinjaman’ kepada Pimpinan WilayahMuhammadiyah Yogyakarta.

Meski kemampuan melakukanpenggalangan dana yang dilakukan olehpesantren yang berada di pedesaan seepertiDarul Ulum relatif baik, meski tidak terlaluistimewa, para pengurus menyadari bahwa‘ketergantungan’ kepada masyarakat ini jugamenyebabkan institusi ini belum dapatmemberikan kontribusi bagi masyarakat.Kendati demikian, mereka mencoba terbukadan memegang prinsip accountabilitasdengan mempertanggungjawabkan apa yangtelah diperoleh dari masayakat kepada

masyarakat. Dikatakan demikian olehseornag pengurus:

Selama ini kami melihat pesantren masihtergantung pada masyarakat. (Kita) belummampu untuk menghidupi masyarakat.Ketika kita butuh apa-apa selalu minta padamasyarakat. Ini yang menjadi persoalanutama disini. Kedua, karena masihtergantung pada masyarakat maka ketika adakasus-kasus yang melibatkan personaliatertentu maka masyarakat menjadi turunkeyakinan dan kepercayaannya kepadapesantren. Sekecil apapun harus kitapertanggungjawabkan. Infaq shadaqoh dansebagainya kita laporkan semuanya kepadamasyarakat termasuk nama-namapendermanya sekalian mereka mengeceknama mereka sudah masuk apa belum disitu.

Jelas unsur trust atau kepercayaan begitupenting di sini. Apalagi di pedesaan yangmasyarakatnya masih peduli dan jumlahnyamasih kecil. Sehingga, bila adapenyimpangan akan berakibat fatal. Upayauntuk menjaga kepercayaan dari masyarakatdilakukan sedemikian rupa, bukan hanyamencoba terbuka dari segi keuangan, tapijuga dalam hal-hal lain yang dapatmengakibatkan munculnya resistensi dariwarga sekitar, misalnya politik. Takdipungkiri dalam dua dasawarsa terakhirpasca reformasi, berdirinya partai-partaipolitik telah merambah ke pedesaan danmemunculkan dinamika tersendiri dikalangan pesantren.12 Alih-alih memberikankontribusi yang berarti, masuknya partaipolitik ke pesantren juga lebih banyakkontraproduktif sebab pilihan politikmasyarakat sangat beragam. Hal ini jugasempat dialami oleh pesantren Darul Ulumketika ada salah satu pengurusnya masuk danaktif di partai tertentu. Hal itu kemudian

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 18: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

184J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

coba diantisipasi oleh pengrus lainnya denganmengingatkan pengurus yang aktif di partaipolitik untuk tidak membawa simbol-simboldan misi partai ke pesantren.

Sikap saling percaya yang tumbuh dianatarpesantren dan lingkungan sekitarnya akanmeningkatkan efektifitas komunikasi yangdibangun oleh keduanya, dan pada gilirannyaproses timbalbalik antara pesantren danwarga dapat berjalan. Sudarta, Lurah KarangSewu, menunjukkan apresiasi yang baikterhadap keberadaan pesantren ini. Iamenyatakan bahwa warga di sekitarpesantren merasa sangat terbantu, apalagipesantren ini bukan ditujukan bukan bagikalangan orang-orang berpunya, melainkanbagi mereka yang latar belakang sosial danekonominya kurang. Sudarta bahkanmenyebut pesantren ‘lebih berlatarbelakangsosial’, artinya bukan sekedar sekolahkomersial. “Mereka yang tidak mampu dantidak memiliki biaya melanjutkan sekolahnyake Darul Ulum”, ujarnya. Harapan wargaKarang Sewu terhadap keberadaan pesantrenini pun tidak terlalu muluk. Keterlibatanpesantren dalam pembinaan keagamaanwarga setempat saja merupakan sebuahkontribusi yang sangat berharga. Begitu puladengan pengajian rutin mingguan sepertiyang telah dibahas di bagian sebelumnya,mendapat penghargaan yang baik karenadipandang memberikan manfaat yangbanyak.

…mereka kan memiliki pondok-pondokpesantren dan yatim piatu. Ini menjadi salahsatu wadah untuk membantu masyarakat yangtidak memiliki kemampuan untuk membiayaipendidikan anaknya. Khusus dalammeningkatkan dalam bidang agama, setiapahad pagi secara rutin diadakan pengajiandari jam 06.00 – 07.00 WIB dan disitu juga

para peserta pengajian dengan kesadaransendiri-sendiri memberikan infaq. Infaq itukemudian disalurkan ke, TK, SD, SMP,Masjid dan tempat lain secara bergiliran. Jugaperayaan hari Idul Fitri dan Idul Adha, adapengumpulan dana infaq yang kemudiandihitung dan disampaikan berapa jumlahnyadan langsung dibagi dan disalurkan berapayang akan diberikan dan ke siapa saja. Halini sudah terjadi sejak dulu sekali bahkanketika saya masih kecil. Disini juga terkenalkarena kompleknya tokoh-tokoh besar agamaseperti Bapak H. Dawam pak AR Fakhruddindan sebagainya.13

Pengajian mingguan yang diselenggarakanoleh Pondok Pesantren Darul Ulum mampumenghadirkan berbagai kalangan masyarakatyang berada di luar daerah Karangsewu. Parapeserta pengajian datang tidak hanya secaraindividu, tetapi banyak dari mereka yangdatang secara rombongan denganmenggunakan bis ataupun kendaraanpribadi, mobil dan sepeda motor. Merekadatang tidak hanya berniat untukmendengarkan isi materi pengajian yangdisampaikan oleh ustadz dari Pesantren DarulUlum, melainkan juga untuk berinfak.Sebagaimana diungkapkan sebelumnya,pesantren ini juga menjadi ‘amil pengeloladan sekaligus penerima dana ZISWAF.Menurut Sudarta, masyarakat menyalurkandana ZISWAF mereka melalui pondok ini,dan tidak mengelola sendiri melalui panitiantertentu. Tidak hanya Sudarta, seorang Ibuwarga setempat, juga menyampaikan hal yangsama, merasakan manfaat dari kehadiranpesantren ini, terutama dari sisi keagamaandan sosial. Secara keagamaan, masyarakat‘tersantuni’ karena pengajian-pengajian yangdiselenggarakan pesantren. Secara sosial,

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 19: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

185Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

pengajian tersebut juga menumbuhkan relasiyang lebih harmonis antara pesantren danmasyarakat. Apalagi, pesantren juga kerapmenyalurkan bantuan kepada anak-anakyatim yang tidak hanya mondok di pesantrentersebut, tetapi juga di kalangan wargasekitar.14

Dengan pola yang digunakan, PesantrenDarul Ulum, setidaknya dimata warga, telahmenunjukkan sebuah tanggung jawab sosialyang sesuai dengan kemampuannya.Keterbatasan yang dimiliki pesantren darisegi penguatan ekonomi diimbangi dengankomitmen yang cukup kuat untuk tetap dapatberintegrasi dengan masyarakat. Yangmenarik adalah bahwa ciri atau tipikalpondok pesantren di pedesaan relatif berbedadengan pesantren modern di perkotaanseperti dibahas pada bagian berikutnya.Dengan demikian, dapat disimpulkan pulabahwa filantropi Islam berbasis pesantrenadalah sebuah hal yang niscaya. Sesuaidengan definisi-definisi filantropi yang ada,sebuah pesantren dapat mengekspresikankegiatan filantropinya pertama-tema melaluikomitmen sosial yang dimilikinya. Komitmensosial adalah unsur terpenting dari filantropi,baik itu dimotivasi oleh faktor keagamaanataupun non keagamaan. Dari momitmensosial tersebut baru dapat dilihat apakahdampak yang diperoleh dimasyarakat, baiksecara sosial maupun ekonomi. Sebagaipesantren yang ‘multifungsi’ seperti DarulUlum, gerakan filantropi yang dilakukanmemang tidak memiliki dampak besar secaraekonomi, namun justru karena itu pula pihakpesantren menginisiasi cara lain, yaituberbagi hasil kegiatan fundraisingnya denganwarga sekitar, meski secara nominaljumlahnya tidak besar. Prinsip “small isbeautiful” nampaknya berlaku di sini.

KESIMPULANDi Indonesia, semenjak dulu, pesantren

merupakan lembaga pendidikan Islam yangmempunyai fungsi ganda ; menyelenggarakanpendidikan sekaligus menjadi pengayommasyarakat. Sebagai lembaga pendidikanIslam, pesantren berfungsi mentransfor-masikan pengetahuan Islam kepada pesertadidik baik secara formal maupun informal.Di kompleks pesantren, figur kyai, pengasuh,ustadz adalah sentral dalam memberikanketeladanan hidup. Di kelas-kelas formal,transformasi pengetahuan dan keilmuan ituberlangsung. Sebagai pengayom masyarakat,pesantren mempunyai tanggung jawab sosialdan keagamaan. Pesantren menjadi tempatrujukan bagi persoalan-persoalan yangdihadapi masyarakat, terutama dalammasalah-masalah keagamaan. Oleh masya-rakat, pesantren dianggap sebagai spiritualguide sekaligus cultural broker, lembagapencerah bagi masyarakat. Seiring denganperkembangan masyarakat dan persoalan-persoalan ekonomi di masyarakat, pesantrenjuga dituntut berperan sebagai lembagapemberdaya dan penguat ekonomimasyarakat. Tanggung jawab sosial,keagamaan, budaya dan ekonomi yang harusdiemban sebuah pesantren tidak bisadilepaskan dari konsep bahwa pesantrenadalah sebuah lembaga penyelenggarapendidikan berbasis komunitas. Artinya,pesantren dari rakyat dan untuk rakyat.

Pesantren di pedesaan masihmempertahankan karakter populisnya:berdiri di tengah-tengah perkampunganpenduduk tanpa pagar beton yangmemisahkan “denyut nadi pesantren” denganmasyarakat. Hubungan pesantren denganpenduduk setempat berjalan denganharmonis, karena kedua belah pihak merasa

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 20: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

186J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna

menjadi bagian satu sama lain. Pesantrenmenyediakan dirinya menjadi rujukan spiri-tual masyarakat. Masyarakatpunberpartisipasi dan mendukung semuakegiatan yang diselenggarakan olehpesantren dengan menyumbangkan hartadan tenaga. Kepedulian dan partisipasimasyarakat pada pesantren diwujudkan,antara lain, dalam bentuk penyaluran danaZIS dan wakaf yang pengelolaannyadipercayakan kepada pesantren. Pesantrenmemiliki kebebasan penuh untukmenyalurkan ZISWAF tersebut kepada yangmembutuhkan, misalnya peserta anak-anakkurang mampu yang sekolah di lembagatersebut atau untuk pengembangan saranadan prasarana pesantren. Dengan demikian,pesantren yang berada di pedesaansebagaimana Pesantren Darul Ulum Galurmemiliki tingkat kohesivitas yang kuatdengan masyarakat. Di pesantren ini,kegiatan filantropi dari dan untukmasyarakat yang dikelola pesantren berjalandengan baik dan berkembang menjadikegiatan yang memberdayakan kelompokyang membutuhkan. Disebut“memberdayakan”, karena dana ZISWAFdikelola dan disalurkan untuk proyek-proyekfilantropi yang bersifat produktif, bukanbersifat konsumtif karitatif, seperti beasiswaatau santunan pendidikan bagi anak fakir,miskin, dan yatim piatu, dan pengelolaantanah wakaf untuk kegiatan pertanian yangdiserahkan kepada petani kurang mampu.

Sebenarnya, pesantren bukan hanyaberfungsi sebagai lembaga edukatif, tetapijuga sebagai pilar kekuatan sosial danekonomi umat melalui kegiatan pembinaanatau pendampingan sosial dan ekonomi.Dengan kata lain, pesantren mempunyaitanggung jawab moral, sosial dan ekonomi

pada masyarakat. Pesantren yang memilikisemangat pemberdayaannya merupakansalah satu contoh konkret dari sebuahlembaga pendidikan yang tidak hanyaberkonsentrasi dalam pengembangankeilmuan Islam, tetapi juga merupakanlembaga yang mempunyai kepedulianterhadap kondisi masyarakat. Pesantrenbukan hanya ditantang untuk mereproduksimanusia-manusia bermoral yang cerdas sertapatriotik sebagai pengejawantahan iman dantakwa, tetapi juga menciptakan manusia yangmandiri dan peduli kepada kebutuhan danproblem masyarakat. Idealitas inilah yanghendak diwujudkan oleh Pondok PesantrenDarul Ulum Galur Kulonprogo. Meskipunsecara finansial, pesantren di pedesaan inimemiliki berbagai macam kendala danketerbatasan, tetapi semangat pengabdiandan pemberdayaan pada masyarakat begitutinggi. Pesantren membangun hubunganyang harmonis dengan masyarakat dansebaliknya masyarakatpun merasamendapatkan ‘ pengayoman spiritual’ darimasyarakat sekitar.

Karena itulah, setiap kegiatan yangdiinisiasi oleh pesantren ini dapat tetapberjalan dengan lancar, karena mendapatkandukungan dari masyarakat sekitar baik secaramoril maupun materil. Meskipun demikian,karena dukungan dari masyarakat yangberlimpah inilah, pesantren tidakmempunyai kecakapan untuk mandiri secarakeuangan (self financing). Pesantren masihmengandalkan pada “manajemen salingpercaya”, yang tentu saja sangat beresiko. Jikamisalnya, pesantren mencederai kepercayaan(trust) masyarakat, maka dukungan dana darimasyarakat akan berhenti, dan akibatnya,masalah finasial serta keberlanjutan programmenjadi terganggu.

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187

Page 21: Filantropi Islam dan Aktivisme Sosial Berbasis Pesantren

187Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

CATATAN AKHIR1 Lebih jauh tentang dinamika pesantren sebagai sebuah

lembaga pendidikan, lihat Karel A. Steenbrink,Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES (1986);Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.(Jakarta: INIS, 1994); Dawan Rahardjo (ed.), PergumulanDunia Pesantren. (Jakarta: P3M, 1983)

2 Lihat Kuntowijoyo, “Peranan Pesantren dalamPembangunan Desa,” dalam Paradigma Islam:Interpretasi untuk Aksi. (Bandung: Mizan, 1993), h. 16;juga Hadimulyo, “Dua Pesantren, Dua Wajah Budaya,”dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan DuniaPesantren: Membangun Dari Bawah, (Jakarta: LP3ES(1985), h. 99; M. Dawam Rahardjo, “Pesantren danPembaharuan,” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.),Pesantren dan Pembaharuan, h. 6.

3 Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES,1982), h. 44.

4 Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial,(Jakarta : P3M, 1986), h. 138; lihat juga penjelasanMartin van Bruinessen tentang peta konflik kiai dalampelbagai forum di tubuh NU, yang menunjukkan‘independensi’ mereka maupun kharismanya, dalam NU:Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,(Yogyakarta: LKiS, 1994)

5 Lily Zakiyah Munir, “Pesantren dan StrategiPengentasan Kemiskinan,” Al-Wasathiyyah, Vol. III, No.14. (2008), h. 9-13.

6 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Essai-essaiPesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 196-7. TulisanGus Dur tersebut bisa juga dilihat dalam “ParadigmaPengembangan Masyarakat Melalui Pesantren”, JurnalPesantren. Vol. V. No. 3. (1998)

7 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi..., h. 64.8 Mengenai perkembangan filantropi Islam di Indonesia,

lihat Andi Agung Prihatna dkk, Muslim Philanthropy:Potential and Reality of Zakat in Indonesia, (Jakarta:Piramedia, 2005); Chaeder S. Bamualim dkk., IslamicPhilanthropy & Social Justice, (Jakarta: CSRC dan FordFoundation, 2006); dan Zaim Saidi dan Hamid Abidin,Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan PraktikKedermawanan Sosial di Indonesia, (Jakarta: FordFoundation dan Pirac, 2004).

9 Lihat Martin Abbas Satria, “Tanggapan Jamaah terhadapPengajian Ahad Pagi Pondok Pesantren Darul UlumMuhammadiyah di Kabupaten Kulonprogo”, Skripsi,Fakultas Dakwah, Universitas Negeri Sunan KalijagaYogyakarya, (2006), h. 39.

10 Wawancara oleh tim peneliti dengan Jamil Wahid,Direktur Pondok Pesantren Darul Ulum, Agustus 2008.

11 Lihat misalnya J. Millard Burr and Robert O. Collins,Alms for Jihad: Charity and Terrorism in the IslamicWorld, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007)

12 Lihat misalnya Hilman Latief, “Pergulatan PolitikPesantren di Era Multipartai: Studi Kasus di Kampung

Mlangi”, Afkaruna: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 2. No. 1.Januari-Juni (2004), h. 72-103.

13 Wawancara oleh tim peneliti dengan Sudarta, LurakKarangsewu, Agustus 2008.

14 Wawancara oleh tim peneliti dengan Ibu Suhartina,warga sekitar pesantren Darul Ulum, Agustus 2008.

DAFTAR PUSTAKABamualim, Chaeder S. et al., 2006. Islamic Philanthropy &

Social Justice, Jakarta: CSRC dan Ford FoundationBruinessen, Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi Kuasa,

Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiSBurr, J. Millard and Robert O. Collins. 2007. Alms for Jihad:

Charity and Terrorism in the Islamic World. Cambridge:Cambridge University Pres.

Dhofier, Zamachsyari. 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta:LP3ES

Hadimulyo, “Dua Pesantren, Dua Wajah Budaya,” dalam M.Dawam Rahardjo (ed.). 1985. Pergulatan DuniaPesantren: Membangun Dari Bawah. Jakarta: LP3ES

Kuntowijoyo, 1993. “Peranan Pesantren dalamPembangunan Desa,” dalam Paradigma Islam:Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan

Latief, Hilman. 2004. “Pergulatan Politik Pesantren di EraMultipartai: Studi Kasus di Kampung Mlangi”, Afkaruna:Jurnal Pemikiran Islam, vol. 2. No. 1, Januari-Juni

Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.Jakarta: INIS

Munir, Lily Zakiyah. 2008. “Pesantren dan StrategiPengentasan Kemiskinan,” Al-Wasathiyyah, Vol. III, No.14

Prihatna, Andi Agung et al., 2005. Muslim Philanthropy:Potential and Reality of Zakat in Indonesia. Jakarta:Piramedia

Rahardjo, M. Dawan. (ed.). 1983. Pergumulan DuniaPesantren. Jakarta: P3M

—————, “Pesantren dan Pembaharuan,” dalam M.Dawam Rahardjo (ed.), Pergumulan Dunia Pesantren.Jakarta: P3M

Saidi, Zaim dan Hamid Abidin, 2004. Menjadi BangsaPemurah: Wacana dan Praktik Kedermawanan Sosial diIndonesia. Jakarta: Ford Foundation dan Pirac

Satria, Martin Abbas. 2006. “Tanggapan Jamaah terhadapPengajian Ahad Pagi Pondok Pesantren Darul UlumMuhammadiyah di Kabupaten Kulonprogo.” Skripsi.Fakultas Dakwah Universitas Negeri Sunan KalijagaYogyakarta

Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah.Jakarta: LP3ES

Wahid, Abdurrahman. 2010. Menggerakkan Tradisi: Essai-essai Pesantren. Yogyakarta: LKIS

Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dan Perubahan Sosial.Jakarta : P3M

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0013. 167-187