filantropi islam dan kebijakan negara pasca-orde …
TRANSCRIPT
WIDYAWATI
FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA
PASCA-ORDE BARU:
Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
SEKOLAH PASCA SARJANA
Filantropi Islam dan Kebijakan Negara pasca-Orde Baru:
Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf
Oleh: Widyawati
Cetakan I, Maret 2011
Diterbitkan oleh:
Penerbit Arsad Press
Jl. Permai V No. 134 Komp. Cipadung Permai
Cibiru Bandung
Hak cipta dilindungi undang-undang
All Rights Reserved
Lay Out: Yodi W. Rosyadi
Desain Cover: Tatang Ruhiyat
الرحيم الرحمن الله بسم والدين الدنيا أمور على نستعين وبه
أجمعين وأصحابه آله وعلى محمد نبيه على والسلام الصلاةو الدين يوم إلى بإحسان تبعهم ومن
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, yang atas rahmatnya dan karunia-Nya penerbitan buku ini
dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Muh}ammad Saw., keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman,
Amin.
Buku yang ada di tangan pembaca ini semula adalah disertasi yang saya
ajukan ke Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah
diujikan pada 10 Januari 2011. Karena itu, dengan terbitnya buku ini, saya ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada seluruh pihak yang telah membantu saya dengan cara mereka masing-
masing. Tanpa bantuan mereka, saya merasa sulit—kalau bukan mustahil—dapat
merampungkan penerbitan buku ini.
Pertama dan utama, terimakasih dan penghargaan saya tertuju kepada Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Di tengah-tengah
kesibukan masing-masing—secara berturut-turut sebagai Direktur Sekolah
Pascasarjana dan Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta—mereka masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan
arahan dan bimbingan. Keduanya telah berperan penting dalam penulisan buku
ini. Terimakasih dan perhagaan sebanding juga disampaikan kepada Prof. Dr.
Huzaimah T. Yanggo, MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA dan Prof. Dr.
Uswatun Hasanah, MA atas masukan dan saran-saran yang sangat berharga bagi
perbaikan buku ini.
Terimakasih dan penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada para
dosen di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah
memperkaya dan memperluas wawasan saya selama studi di lembaga ini. Juga
kepada Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA
yang telah memberikan masukan dan saran-saran yang sangat berharga atas draft
awal buku ini hingga penerbitannya.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang dalam juga saya sampaikan
kepada Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, MS dan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Hendi Suhendi, M.Si. Keduanya
telah memberikan izin kepada saya untuk studi dan terus mendorong agar saya
segera menyelesaikannya. Dorongan serupa juga saya peroleh dari Prof. Dr. A.
Djazuli dan Prof. Dr. Juhaya S. Praja, yang dengan tulus merekomendasikan saya
untuk melanjutkan studi S-3 di SPs UIN Jakarta.
Dr. Ismatu Rofi dan keluarga, Din Wahid, MA dan keluarga serta Dr. Asep
Saepudin Jahar telah banyak membantu saya di awal-awal studi. Mereka sudah
sepatutnya memeroleh ucapan banyak terimakasih. Hal serupa juga saya
sampaikan kepada kawan dan kolega di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan
Gunung Djati Bandung. Di antara mereka, saya ingin menyebut Drs. M.
Ahsanuddin Jauhari, M. Hum. dan keluarga, Aan Radiana, M. Ag., Drs. Ah.
i
Fatonih, M.Ag., Dr. Fauzan Ali Rasyid, dan Asro, M. Hum. serta lain-lainnya
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Selanjutnya, hutang budi dan terimakasih sedalam-dalamnya saya sampaikan
kepada keluarga besar saya, kedua orang tua saya, Alm. Basuni (w. 2010) dan
Kulsum, dan mertua saya, Alm. H. Abdul Muin (w. 2007) dan Alm. Panitri (w.
1994). Merekalah yang telah mendorong saya terus belajar dan berkorban untuk
itu, namun hanya satu di antara mereka yang saat ini dapat menyaksikan saya
telah menyelesaikan studi ini. Juga kepada kakak-kakak dan adik-adik saya, yang
telah banyak membantu selama studi saya, baik sebelum maupun saat di PPs UIN
Jakarta.
Terakhir, penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya saya
sampaikan kepada suami saya tercinta, Munir A. Muin, MA dan anak-anak saya
yang membanggakan, Salwa Nurvidya, M. Khursyid Hikam dan Refat Jahabidza,
atas pengertian dan pengorbanan mereka selama ini. Banyak kebahagiaan yang
hilang dari mereka di saat saya harus meneruskan studi dan menyelesaikannya.
Kepada merekalah buku ini saya dedikasikan.
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Latin Arab Latin
{t ط a ا
{z ظ b ب
‘ ع t ت
gh غ th ث
f ف j ج
q ق {h ح k ك kh خ
l ل d د
m م dh ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
’ ء sh ش
y ي {s ص
{d ض
Vokal Pendek
------- (fath}ah) a
------- (kasrah) i
----- (d}ammah) u
Vokal Panjang
ى/ا a> seperti هداية hida>yah
shari>f شريف i> seperti ي
muslimu>n مسلمون u> seperti و
Diftong
awqa>f أوقاف aw seperti أو
bayna بين ay seperti أى
dan ,(zaka>h) زكاة dibaca ‚ah,‛ jika tidak diidafatkan, seperti (ta>’ marbu>t}ah) ة
dibaca ‚at,‛ jika diidafatkan, seperti الفطر زكاة (zaka>t al-fit}r). ditulis dengan ‚al-‛, baik ketika bertemu huruf-huruf (la>m al-ta‘ri>f) ال
qamariyyah maupun shamsiyyah, seperti الجامعة (al-ja>mi‘ah) dan الدراسة (al-dira>sah).
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. i
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………… iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. v
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………... 7
C. Tujuan Penelitian………………………………………….... 7
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian……………………….. 8
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………..... 8
F. Metodologi………………………………………………….. 14
G. Sistematika Penulisan……………………………………..... 16
BAB II ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI…………………... 18
A. Filantropi dalam Tradisi Islam……………………………... 18
B. Aspek-aspek Filantropi Islam……………………………..... 22
C. Filantropi dan Keadilan Sosial……………………………... 55
D. Negara dan Filantropi Islam……………………………….. 38
BAB III KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT……………. 49
A. Pengaturan Zakat di Indonesia……………………………... 49
B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat
pasca-Orde Baru……………………………………………..
63
C. Konfigurasi Politik Legislasi Zakat………………………… 72
D. Implikasi terhadap Zakat setelah Pengesahan Undang-
udang………………………………………………………..
92
BAB IV KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF………….... 103
A. Pengaturan Wakaf di Indonesia…………………………….. 103
B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Wakaf
pasca-Orde Baru……………………………………………..
115
C. Konfigurasi Politik Legislasi Wakaf……………………….. 132
D. Implikasi terhadap Wakaf setelah Pengesahan Undang-
undang…….............................................................................
150
BAB V PERKEMBANGAN FILANTROPI ISLAM………………. 155
A. Pertumbuhan Lembaga-lembaga Zakat, Wakaf dan
Filantropi………………………………………………….....
155
B. Pertumbuhan Kuantitatif Lembaga-lembaga Filantropi…… 168
C. Respons Civil Society Islam terhadap Rencana Revisi UU
Zakat dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam………….
174
BAB VI PENUTUP………………………………………………….. 186
A. Kesimpulan…………………………………………………. 186
B. Saran-saran………………………………………………….. 187
v
ADDENDUM ……………………………………………………………. 189
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 192
LAMPIRAN ……………………………………………………………… 208
INDEKS ………………………………………………………………….. 211
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………. 216
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filantropi, sebagai sebuah kedermawanan, merupakan ajaran etika yang
sangat fundamental dalam agama-agama.1 Kenyataan ini dapat dilihat baik dalam
doktrin maupun praktik keagamaan dalam berbagai tradisi di berbagai wilayah
dunia,2 yang tentu saja dengan nama yang berbeda-beda, namun mengandung
makna sama, yaitu kesetiakawanan terhadap sesama manusia. Karena itulah,
berbagai bentuk kedermawanan ini kadang-kadang disebut karitas (charity), yang
berarti kecintaan terhadap sesama manusia,3 dan adakalanya disebut filantropi
yang, menurut makna populernya, berarti ‚tindakan sukarela untuk kebaikan
umum‛ (voluntary action for the public good).4
Menurut Thomas H. Jeavons, setidak-tidaknya ada empat unsur penting
agama, yang mendorong penganutnya senang menjalankan filantropi.5 Pertama,
agama memiliki doktrin yang mendorong umatnya untuk memberi kepada mereka
yang kurang mampu. Kedua, lembaga keagamaan berperan sebagai penerima
sekaligus sumber pemberian. Ketiga, agama memiliki pengaruh besar terhadap
pembentukan lembaga-lembaga filantropi. Keempat, agama dapat berperan
sebagai kekuatan dalam menciptakan ruang sosial bagi kegiatan dan lembaga
filantropi.
1 Meskipun demikian, ada juga filantropi yang tidak bersumber pada ajaran agama, tetapi
semata-mata karena rasa kemanusiaan. Filantropi jenis ini dapat ditemukan, misalnya, pada masa
Yunani dan Romawi pra-Kristen. Memang banyak praktik filantropi pada masa ini yang diwujudkan
dalam berbagai proyek, seperti bantuan kepada orang-orang miskin, pembangunan gedung,
pembangunan tempat perlindungan tentara dan lain sebagainya. Semua itu dibiayai oleh filantropi
orang-orang kaya, yang didorong bukan karena ajaran agama. Sebaliknya, tujuan utama filantropi
tersebut adalah semata-mata demi prestise orang yang menyumbangnya. Lihat Mark C. Cohen,
Poverty and Charity in the Jewish Community of Medieval Egypt (Princeton: Princeton University
Press, 2005), 4. 2 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the
Non-Profit Sector (London-New York: Routledge, 2005), 196; Warren E. Ilchman, Stanley N. Katz,
dan Edward L. Queen II, ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren E.
Ilchman, et.al., terj. Tim CSRC (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta,
2006), ix. 3 Thomas D. Watts, ‚Charity,‛ dalam Encyclopedia of World Poverty, ed. M. Odekon (London:
Sage Publication, 2006), 1: 143. 4 Lihat Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and
Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; juga Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good, dalam http://www.paytonpapers.org (diakses 20 September 2009).
5Thomas H. Jeavons, ‚Religion and Philanthropy,‛
http://learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ religion_ philanthropy.asp (diakses 5 Agustus
2010); bandingkan Andrew Ting-Yuan Ho, ‚Charitable Giving: What Makes A Person Generous?‛
MA thesis (Washington DC.: Georgetown University, Faculty of the Graduate School of Arts and
Sciences, 2006).
2
Pendahuluan
Seperti agama-agama lain, Islam juga memberikan perhatian yang sangat
besar pada masalah kedermawanan, dari tingkat yang sekadar sukarela hingga ke
tingkat yang bersifat wajib, dengan shadaqah sebagai konsep utamanya. Makna
utama di balik konsep ini adalah segala kebaikan yang diberikan seseorang kepada
yang lain secara sukarela adalah shadaqah. Berbeda dengan shadaqah, zakat
merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan khusus. Sementara itu, wakaf tidak memiliki tingkat kewajiban, tetapi
sangat dianjurkan bagi setiap Muslim. Tidak heran, jika bentuk kedermawanan
yang terakhir ini dianggap sebagai sebuah filantropi yang terlembaga dengan
baik.6
Dalam sejarah, ketiga bentuk filantropi dalam Islam itu telah memainkan
peran yang sangat penting, seperti dalam penyebaran agama dan ilmu, pendirian
lembaga-lembaga pendidikan, bahkan dalam bidang kesejahteraan. Misalnya,
salah satu sarana penting bagi penyebaran Islam adalah masjid, yang didirikan dan
dibangun atas dasar filantropi. Bahkan, konon, Nabi sendiri adalah orang pertama
yang mencontohkan melaksanakan filantropi dengan mendirikan masjid. Selain
masjid, banyak lembaga pendidikan penting, yang menjadi tempat para siswa
menimba ilmu didirikan atas dasar filantropi. Tidak hanya itu, bahkan
penyelenggaraannya pun dijalankan dengan dana filantropi, terutama yang
didukung oleh penguasa. Melalui lembaga-lembaga pendidikan inilah penyebaran
ilmu terjadi dan mengalami perkembangan, seperti di Bagdad, Kairo, Makkah dan
lain sebagainya.7 Bahkan, tidak sedikit perpustakaan yang ada di wilayah ini
didirikan dan dibiayai oleh dana filantropi, terutama wakaf.8
Demikian pentingnya filantropi Islam ini sehingga ia tidak pernah bisa
dilepaskan dari urusan negara atau kekuasaan. Menurut Jon B. Alterman dan
Shireen Hunter, setidak-tidaknya ada empat sikap pemerintah di negara-negara
Muslim terhadap filantropi. Pertama, nasionalisasi lembaga filantropi sehingga ia
berada di bawah kontrol negara. Dengan demikian, manajemen filantropi harus
tunduk pada kepentingan negara. Kedua, negara menyesuaikan diri dengan
otoritas keagamaan. Dengan cara begitu, lembaga filantropi pada dasarnya ditarik
ke dalam lembaga negara, dan pada saat yang sama memeroleh justifikasi dari
agama. Ketiga, negara menentukan kekuatan yang dapat mengatur lembaga
filantropi, termasuk tujuan dan jumlah pengurusnya, sehingga negara memberikan
kebebasan aktivitas filantropi, sepanjang aktivitas tersebut tidak berkaitan dengan
politik. Keempat, negara membentuk lembaga filantropi yang non-pemerintah.
Lembaga semacam ini akan menjadi agen perubahan bagi masyarakat, seperti
6 Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social
Justice,‛ paper disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and Democracy) 5th Annual
Conference ‚Defining and Establishing Justice in Muslim Societies,‛ Washington DC, 28-29 Mei
2004), 5; Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛
http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20-6-
2009). 7 Siraj Sait dan Hilary Lim, Land, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim
World (London-New York: Zed Books, 2006), 149; Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam
di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang
(Jakarta: Forum Zakat, 2006), 17; Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛
dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat
Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv. 8 Lihat Yah}ya> Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz
Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, 1996).
3
Bab I
penghapusan kemiskinan, pendidikan, kepedulian terhadap anak-anak dan lain
sebagainya.9
Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari hubungan agama dan negara, yang
terjadi di beberapa negara Muslim. Secara garis besar, hubungan antara keduanya
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama. Kategori pertama
berpandangan bahwa Islam dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan, sehingga
urusan agama identik dengan urusan negara itu sendiri. Kedua, Islam dan negara
merupakan dua entitas yang berbeda, dan karenanya persoalan agama harus
dikeluarkan dari tanggung jawab negara. Ketiga, meskipun Islam dan negara
berbeda, namun keduanya memiliki kaitan yang substansial.10
Dalam konteks seperti itu, Yu>suf al-Qarad}a>wi> ( القرضاوى يوسف) menilai bahwa
filantropi Islam, khususnya zakat, harus dikelola oleh negara. Institusi ini
berkewajiban untuk memungut dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang
berhak menerimanya. Selain didasarkan pada QS al-Tawbah (9): 103,11
al-
Qarad}a>wi> juga berargumen bahwa fakir miskin dapat memeroleh jaminan yang
lebih kokoh dari negara ketimbang dari perorangan. Di samping itu,
pendistribusian oleh negara menghilangkan konsentrasi pada kelompok mustahik
di wilayah tertentu. Yang lebih penting lagi, Islam pada dasarnya adalah agama
dan negara (di>n wa-dawlah).12
Sejauh ini, terdapat enam negara yang mengelola
zakat melalui undang-undang, seperti Arab Saudi, Libya, Yaman, Malaysia,
Pakistan dan Sudan.13
Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Robert D. McChesney berpendapat bahwa
Islam tidak memiliki pola pengelolaan filantropi—khususnya zakat—secara tegas,
tetapi bersifat ambigu.14
Karena itu, dalam pengelolaannya bisa berubah-ubah
sesuai dengan situasi masyarakat. Artinya, ia kadang-kadang dikelola oleh negara,
namun adakalanya negara melepaskan diri dari persoalan ini.
Seperti di wilayah lain, filantropi Islam juga berkembang di Indonesia
bersamaan dengan kedatangan agama ini. Praktik ini mudah diterima oleh
masyarakat Nusantara, mengingat bentuk-bentuk filantropi telah menjadi tradisi
kehidupan mereka, terutama filantropi yang berakar pada agama-agama.
Meskipun demikian, penghimpunan dan pendistribusian zakat tidak pernah
dikelola oleh penguasa pada masa kesultanan Islam.15
Sebaliknya, masyarakat
bebas membayarkannya, baik secara langsung kepada mustahik, maupun kepada
lembaga-lembaga, seperti masjid, pesantren ataupun organisasi-organisasi
keagamaan.
Memasuki masa penjajahan, filantropi Islam juga tidak memeroleh perhatian
dari pemerintah kolonial, mengingat kebijakan mereka dalam bidang agama
9 Jon B. Alterman dan Shireen Hunter, The Idea of Philanthropy in Muslim Contexts (Washington, DC:
Center for Strategic and International Studies, 2004), 11-12. 10
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam (Jakarta: Ushul Press, 2005), 7-8. 11 Ayat ini berbunyi sebagai berikut:
.عليم سميع والله لهم سكن صلاتك إن عليهم وصل بها وتزكيهم تطهرهم صدقة أموالهم من خذ12 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h (Beiru>t: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 746-754; lihat juga Abu> al-
Wafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Min Qad}a>ya> al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 91-92. 13 A. Zysow, ‚Zakat,‛ dalam The Encyclopedia of Islam, ed. P.J. Bearman et.al. (Leiden: Brill, 2002), 11:
419. 14 Robert D. McChesney, Charity and Philanthropy in Islam: Institutionalizing the Call to Do Good
(Indianapolis: Indiana University Center on Philanthropy, 1993); lihat juga idem, ‚Charity and Philanthropy in
Islam,‛dalam http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam .asp (diakses 20-06-
2009). 15 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛19.
4
Pendahuluan
adalah netral.16
Bahkan, para pejabat pribumi dilarang untuk terlibat dalam
pengelolaan zakat, karena zakat semata-mata ditujukan untuk kepentingan agama.
Lebih buruk lagi, tidak sedikit dana zakat terbukti disalahgunakan untuk
kepentingan pribadi mereka.17
Akibatnya, dana zakat yang terkumpul sangat
rendah dan biasanya dibayarkan langsung kepada para guru ngaji setempat.
Dengan kata lain, pemerintah kolonial sengaja membiarkan persoalan zakat
menjadi persoalan orang Islam dan berupaya menjadikan zakat sekadar sebagai
tindakan sukarela. Bahkan Hurgronje juga keberatan jika zakat dimasukkan ke
dalam kas kabupaten, apalagi negara.18
Berbeda dengan zakat, sikap pemerintah kolonial terhadap wakaf tidaklah
netral, karena wakaf Muslim berupa tanah, sehingga harus diatur oleh pemerintah
melalui peraturan tentang agraria. Lebih jauh, kebijakan yang netral dalam
masalah agama ini juga dapat berubah menjadi represif, ketika dana filantropi ini
digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik, seperti pemberontakan atau
perlawanan terhadap pemerintah kolonial.19
Bahkan, pada akhirnya, untuk
kepentingan murni agama pun dibatasi, karena dianggap dapat memperkuat basis
sosial masyarakat. Di beberapa daerah, misalnya, pemerintah kolonial melarang
renovasi masjid dengan dana zakat dan wakaf, dengan alasan hal itu akan
memperkuat soliditas umat Islam.20
Memasuki Indonesia merdeka, persoalan filantropi tidak memeroleh
perhatian dari negara yang masih lemah. Dalam situasi seperti ini, upaya untuk
melakukan pengelolaan zakat dan wakaf oleh masyarakat sipil menguat. Ini
ditunjukkan dengan sejumlah seminar yang menghendaki agar zakat dikelola oleh
negara. Akan tetapi, berbagai upaya ini mengalami kegagalan karena
kekhawatiran pemerintah terlibat dalam urusan agama, atau dituduh menjalankan
Piagam Jakarta, yang saat itu telah berhasil dijinakkan.21
Di samping itu,
dikotomi ideologis antara Islamis dan sekular masih sangat kuat, sehingga setiap
upaya untuk melibatkan negara dalam masalah agama dipandang sebagai sesuatu
yang dapat mengancam kesatuan. Sikap pemerintahan Soekarno—yang kemudian
disebut Orde Lama—terhadap persoalan filantropi ini tidak mengalami
perubahan, hingga ia diturunkan dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh
Soeharto.
Di awal pemerintahannya, kaum Muslim banyak berharap agar Soeharto mau
melibatkan negara dalam persoalan filantropi, terutama zakat. Hal ini dibuktikan
dengan seruan sejumlah ulama agar pemerintah ambil bagian dalam pengelolaan
zakat. Akan tetapi, Soeharto merespons hal itu dengan kesediaan dirinya sebagai
amil zakat nasional, tanpa harus melibatkan negara. Meskipun bersifat personal,
16 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 2 dan 9-10. 17 Arskal Salim, ‚The Influential Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formation of Zakat
(Alms) Law in Modern Indonesia,‛ Pacific Rim Law and Policy Journal Association, 15:3 (2006), 690. 18 Tentang alasan-alasan penolakan Hurgronje mengenai hal ini, lihat Nasihat-nasihat C. Snouc
Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1880-1936, terj. Sukarsi
(Jakarta: INIS, 1992), 1352-1375. 19 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press,
1998). 20 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162-164. 21 Arskal Salim, ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam Shari‘a and
Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra (Singapore: ISEAs, 2003), 183-
184.
5
Bab I
keterlibatan Soeharto ini sedikit banyak terkait dengan negara, mengingat tidak
sedikit instruksi yang ia keluarkan diarahkan kepada sejumlah kepala daerah.
Akan tetapi, sentralisasi pengelolaan zakat di bawah koordinasi Soeharto tidak
memeroleh kepercayaan masyarakat, yang dibuktikan dengan sedikitnya dana
yang terkumpul selama tiga tahun keterlibatannya.22
Lebih jauh, kegagalan ini tidaklah semata-mata ketidakpercayaan
masyarakat, tetapi juga sikap setengah hati yang ditunjukkan Soeharto. Hal ini
terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila, di mana ia menginstruksikan pemotongan
langsung gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sedekah yang harus dibayarkan
kepada yayasan ini. Akibatnya, pengelolaan zakat menjadi murni persoalan umat
Islam, sehingga masyarakat menyalurkan zakat mereka ke lembaga-lembaga yang
biasa menghimpun dan menyalurkan zakat, seperti masjid, pesantren, madrasah,
dan organisasi-organisasi keagamaan. Pemerintah sendiri, melalui Departemen
Agama, hanya memberikan instruksi agar zakat dihimpun dan disalurkan sesuai
dengan ketentuan ajaran Islam.23
Menjelang akhir pemerintahannya, Soeharto memang menunjukkan sikap
yang akomodatif terhadap Islam, dengan disahkannya sejumlah undang-undang
yang memenuhi kepentingan umat Islam, seperti UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama,24
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan sejumlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam25
dan Bank Muamalat.26
Akan tetapi, persoalan filantropi Islam
tetap belum memeroleh perhatian yang semestinya hingga berakhirnya Orde Baru
yang dipimpinnya pada 1998.
Berbeda dengan zaman Orde Baru yang sentralistik, pada masa reformasi di
bawah kepresidenan Habibie, kebebasan politik memeroleh momentum. Ini
ditandai tidak hanya dengan menjamurnya partai politik baru, dengan ideologi dan
corak yang beragam. Namun, hal itu juga ditunjukkan dengan berdirinya sejumlah
organisasi keagamaan dari yang bersifat liberal hingga radikal. Di tengah-tengah
situasi kebebasan dan ‚relaksasi politik‛27
inilah sejumlah lembaga filantropi
Islam banyak tampil ke muka. Tidak hanya sebatas itu, lembaga-lembaga
filantropi ini juga menjadi kekuatan civil society, yang dapat menekan pemerintah
22 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post-
Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13: 3 (2006): 365. 23 Arskal Salim, Challenging the Secular State: Islamization of Law in Modern Indonesia
(Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), 124-125. 24 Untuk pembahasan mengenai hal ini, lihat Mark Cammack, ‚Indonesia’s 1989 Religious
Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonenization of Islam?‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, 96-124; Nur Ahmad Fadhil Lubis, ‚Institutionalization and Unification of Islamic
Courts under the New Order,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 2: 1 (1995). 25 Diskusi lebih panjang tentang hal ini, lihat Imam Mawardi, Socio-Political Background of the
Enactment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tesis M.A. (Montreal: Institute of Islamic Studies,
McGill University, 1997); juga Joko Mirwan Muslimin, Islamic Law and Social Change: A Comparative Study of Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in Nation-States Egypt and Indonesia (1950-1995), Disertasi PhD (Hamburg: Universitat Hamburg, 2005).
26 Untuk pembahasan secara rinci tentang hal ini, lihat Zainulbahar Noor, Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan (Jakarta: Bening, 2006); juga Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics (Jakarta: Ushul Press, 2006), 114-124.
27 Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung:
Mizan, 2000), 172.
6
Pendahuluan
untuk memenuhi aspirasi tertentu mereka. Dengan kata lain, perubahan politik
ternyata berdampak besar bagi pertumbuhan lembaga-lembaga filantropi di
Indonesia.28
Menurut Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, filantropi di
Indonesia dari pra-kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru berkembang melalui tiga
arus utama. Pertama, filantropi tradisional, yang bersumber pada agama dengan
semangat dakwah. Praktik filantropi tradisional ini tercermin dalam berbagai
layanan sosial, terutama pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Muhammadiyah, dalam hal ini, merupakan contoh yang sangat baik, karena telah
berhasil mendirikan ribuan sekolah, rumah sakit dan ratusan rumah yatim.29
Kedua, organisasi masyarakat sipil yang mulai bermunculan pada 1970-an.
Organisasi-organisasi ini muncul bersamaan dengan proyek modernisasi, yang
menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat Indonesia, seperti
kemiskinan, peminggiran rakyat, lingkungan, polusi, pelanggaran hak asasi
manusia dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini tidak secara langsung bergerak
dalam bidang filantropi dalam pengertian tradisionalnya, juga tidak banyak
mendapat dukungan dari masyarakat akar rumput. Akan tetapi, mereka telah
banyak menggagas perubahan penting dalam konteks modernisasi ini, seperti
advokasi, pemberdayaan rakyat, yang terjadi pada masa itu. Ketiga, organisasi
filantropi perusahaan dan organisasi sumber daya masyarakat sipil. Arus ketiga ini
muncul bersamaan dengan krisis ekonomi pada 1997 dan runtuhnya rezim
otoriter. Keduanya telah mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai
persoalan. Karena itu, masa ini dapat dipandang sebagai masa subur berdirinya
organisasi-organisasi filantropi, sehingga pada 2003 sudah berdiri setidaknya 27
organisasi.30
Salah satu bentuk gerakan sosial yang memiliki pengaruh penting terhadap
bidang filantropi adalah Forum Zakat (FOZ), yang didirikan oleh sejumlah
organisasi pada 1997. Asosiasi ini berhasil menggalang jaringan organisasi
filantropi, mendiskusikan persoalan-persoalan zakat dengan pemerintah,
menyebarkan informasi, mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menjadi
konsultan dalam berbagai persoalan zakat. Hanya dalam waktu dua tahun, asosiasi
ini sudah beranggotakan 150 buah lembaga.31
Di antara kontribusi penting forum
ini adalah penyiapan draft undang-undang zakat, yang kemudian disahkan sebagai
UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.32
Suasana kebebasan ini terus berlangsung pada masa kepresidenan
Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati. Pada
masa dua presiden ini, lembaga-lembaga civil society, termasuk lembaga
filantropi, terus menguat dan mampu memberikan tekanan terhadap pemerintah.
Salah satunya adalah aspirasi umat Islam agar wakaf yang telah lama menjadi
28 Andi Agung Prihatna, ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,‛ dalam Revitalisasi
Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan
Irfan Abu Bakar (Jakarta: PBB UIN Syarif Hidayatullah, 2005), 14. 29 Tentang data lengkap mengenai amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan,
kesehatan, panti asuhan dan lain-lain hingga 2010, lihat http://www.muhammadiyah.or.id/jaringan-
muhammadiyah.html (diakses 12 Januri 2011). 30 Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial
(Jakarta: Piramedia, 2006), 1-3. 31 Forum Zakat, Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Jakarta: FOZ, 2001), xi. 32 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127-128.
7
Bab I
praktik masyarakat Muslim diatur dalam sebuah undang-undang, sebab sejauh ini
wakaf hanya di atur dalam berbagai peraturan yang terpisah-pisah, seperti dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan
Instruksi Presiden Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Aspirasi ini
akhirnya dipenuhi dengan diajukannya RUU tentang Wakaf yang kemudian
disahkan menjadi UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Sebenarnya, aspirasi semacam itu adalah sesuatu yang wajar. Sebab, seperti
dikemukakan William R. Liddle, dalam suasana kebebasan seperti itu, ekspresi
Islam yang lebih formalistik akan mengemuka, mengingat kaum Muslim memiliki
sumber daya politik yang lebih besar, baik dalam bentuk organisasi, media
maupun akses terhadap politisi.33
Dengan kata lain, semakin demokratis negara, ia
diduga semakin akomodatif terhadap kepentingan umat Islam, seperti ditunjukkan
dengan dikeluarkannya dua undang-undang yang berkaitan dengan filantropi
Islam pada pasca-Orde Baru.
Meskipun demikian, akomodasi aspirasi umat Islam oleh negara dalam
bentuk undang-undang ini sama sekali tidak bebas dari kepentingan politis. Sebab,
seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, sebuah undang-undang adalah produk
politik negara.34
Dengan kata lain, undang-undang tentang zakat dan wakaf yang
lahir pasca-Orde Baru ini memiliki faktor-faktor politis yang mendorong
kelahirannya. Di samping itu, kehadiran undang-udang ini juga menunjukkan
hubungan antara negara dan umat Islam pasca-Orde Baru, yang diduga sangat
berbeda dengan masa sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas terlihat bahwa masalah utama yang diangkat dalam
penelitian ini adalah filantropi Islam dan kaitannya dengan negara, dengan
perhatian khusus pada undang-undang tentang zakat dan undang-undang tentang
wakaf. Masalah tersebut kemudian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
1. Seberapa jauh negara pasca-Orde Baru terlibat dalam bidang zakat dan
wakaf?
2. Bagaimana dampak undang-undang tentang pengelolaan zakat dan
undang-undang tentang wakaf terhadap perkembangan filantropi Islam?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis keterkaitan negara dengan agama, khususnya dalam bidang
filantropi Islam, sebagaimana diwujudkan dalam undang-undang tentang zakat
dan undang-undang tentang wakaf. Analisis ini meliputi faktor-faktor politis dan
sosial yang mendorong kelahiran kedua undang-undang ini. Lebih jauh, penelitian
ini juga menganalisis dan mengidentifikasi perkembangan lembaga filantropi
Islam sebagai dampak dari kehadiran kedua undang-undang ini.
33 William R. Liddle, ‚Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and
Action in New Order Indonesia,‛ dalam Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, ed. Mark R. Woodward (Arizona: Arizona State University Press, 1996), 323.
34 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2001), 13.
8
Pendahuluan
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Signifikansi penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
filantropi Islam di Indonesia, terutama zakat dan wakaf, telah menjadi tarik
menarik kepentingan antara negara dan masyarakat atau civil society. Dalam
sejarahnya, negara kadang-kadang melepaskan diri dari penghimpunan dan
pengelolaan filantropi Islam, tetapi adakalanya ingin melibatkan diri ke dalamnya.
Ini sekaligus mencerminkan hubungan antara negara dan masalah keislaman atau
agama. Dengan kata lain, hubungan filantropi Islam dengan negara terbukti
hingga kini belum teratasi secara tuntas dan karenanya penelitian tentangnya
sangat signifikan dilakukan. Kedua, secara teoretis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan fiqh al-siya>sah al-dustu>riyyah dan fiqh al-siya>sah al-ma>liyah (politik ekonomi) yang selama ini diajarkan di
perguruan tinggi Islam, namun hanya melalui pendekatan fikih. Dengan penelitian
ini diharapkan pengajaran disiplin tersebut dapat diperluas melalui pendekatan
filantropis. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
studi awal bagi peneliti sendiri, khususnya, dan para peneliti lain, umumnya,
untuk studi lebih lanjut. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya dan memperjelas hubungan Islam dan negara di Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
Filantropi sebenarnya merupakan sebuah istilah yang relatif baru di
Indonesia jika dibandingkan dengan istilah-istilah zakat, wakaf atau shadaqah dan
infak, yang sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Karena itu, kajian filantropi
Islam belum banyak mendapat perhatian dari para sarjana. Baru pada 1990-an
kajian filantropi Islam mulai bermunculan bersamaan dengan datangnya era
reformasi di Indonesia.
Beberapa kajian yang telah dilakukan mengenai filantropi Islam adalah
Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam,35
yang merupakan
sebuah kumpulan tulisan. Tulisan-tulisan di dalamnya membicarakan secara
umum filantropi Islam dari berbagai sisi, dari sisi tradisi agama-agama, dimensi
keadilan sosial, civil society dan profil serta manajemen lembaga-lembaga
filantropi Islam di Indonesia. Sebagian tulisan lain memfokuskan pada dimensi
historis filantropi Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Azyumardi Azra
dalam ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia‛36
dan Amelia Fauzia dalam
‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.‛37
Penelitian lain yang memfokuskan perhatian pada filantropi Islam adalah
Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia.
38 Seperti ditunjukkan dalam judulnya, penelitian ini berusaha
memotret lembaga-lembaga filantropi Islam, terutama zakat dan wakaf, berikut
cara-cara pengelolaan, peran dan perkembangannya. Lembaga-lembaga pengelola
35 Idris Thaha (ed.), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam (Jakarta:
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003). 36 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran
Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 15-30. 37 Amelia Fauzia, ‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya,‛
decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesia-peran-html (diakses 19 Juni 2009). 38 Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (eds.), Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia:
Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, UIN Jakarta,
2005).
9
Bab I
zakat yang dikaji dalam penelitian ini meliputi BAZIS DKI dan Jawa Barat,
LAZIS Dompet Dhuafa Republika, BMT Ben Taqwa Grobogan, Gerakan Zakat
Muhammadiyah di Kendal, Pos Keadilan Peduli Ummat dan LAZIS Markaz
Islami Makassar. Adapun lembaga-lembaga wakaf yang diteliti meliputi Badan
Wakaf Pondok Modern Gontor, Badan Wakaf UII Yogyakarta dan Lembaga
Wakaf Pesantren Tebuireng.
Kajian lain tentang filantropi Islam ditemukan dalam Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia.
39 Buku ini mengulas beberapa aspek filantropi Islam di Indonesia,
yang meliputi peluang dana filantropi untuk mewujudkan keadilan sosial, tradisi
filantropi menurut dua sumber utama Islam, potret lembaga filantropi serta tata
kelola filantropi pada masa modern. Adapun kesimpulan yang dicapai adalah
bahwa meskipun dana filantropi di Indonesia sangat besar, tetapi yang dapat
dihimpun masih sangat kecil. Ini disebabkan, antara lain, oleh tradisi masyarakat
yang lebih setia memberikan derma secara langsung kepada mustahik daripada
kepada lembaga-lembaga filantropi. Situasi ini diperburuk oleh kelemahan
lembaga-lembaga filantropi itu sendiri, seperti dalam masalah mobilisasi,
pengelolaan, dan penyaluran dana filantropi.
Dalam Filantropi dalam Masyarakat Islam,40
Ahmad Gaus juga mengkaji
filantropi Islam dengan perhatian khusus pada definisi konseptual filantropi,
hubungannya dengan agama-agama dan praktiknya dalam Islam. Buku ini secara
umum berisi dasar-dasar penting filantropi Islam secara umum dan praktiknya di
Indonesia, dengan tujuan dapat menggugah masyarakat peduli terhadap filantropi
Islam. Berbeda dengan Gaus, Amelia Fauzia melakukan kajian terhadap sejarah
filantropi Islam di Indonesia dan hubungannya dengan negara, dalam disertasinya
yang berjudul Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.
41 Dalam disertasi ini, Amelia Fauzia mengkaji perkembangan filantropi
Islam di Indonesia dari masa Islamisasi, penjajahan, pasca-kemerdekaan hingga
masa reformasi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa filantropi Islam telah
menjadi wilayah perebutan dominasi antara negara dan civil society, meskipun
dengan tingkatan yang fluktuatif.
Kajian tentang filantropi juga dilakukan oleh Zaim Saidi, Muhammad Fuad
dan Hamid Abidin dalam Kedermawanan untuk Keadilan Sosial,42 dengan
perhatian khusus pada potensi filantropi di Indonesia dan pola pemberiannya.
Kesimpulan yang dicapai oleh penelitian ini adalah bahwa semangat orang
Indonesia, terutama Muslim, untuk berderma sangat besar karena didorong oleh
faktor agama. Akan tetapi, mereka lebih cenderung menyalurkannya secara
langsung kepada yang berhak menerimanya daripada kepada lembaga filantropi.
39 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim (eds.), Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi
tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif
Hidayatullah, 2006). 40 Ahmad Gaus, Filantropi dalam Masyarakat Islam (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,
2008). 41 Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia, Disertasi
PhD (Melbourne: The Asia Institute, The University of Melbourne, 2008). 42 Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial
(Jakarta: Piramedia, 2006).
10
Pendahuluan
Bahwa zakat merupakan bentuk filantropi yang potensial di Indonesia, hal
itu ditunjukkan oleh survei yang dilakukan oleh PIRAC tentang zakat.43
Menurut
survei ini, 94% masyarakat yang disurvei merasa sebagai muzakki dengan besaran
Rp. 124.000,- per tahun. Akan tetapi, potensi yang demikian besar itu belum
terkelola dengan baik, yang bisa dilihat dari tingginya keengganan masyarakat
untuk menyalurkan zakat mereka kepada lembaga-lembaga resmi, seperti BAZ
atau LAZ. Kebanyakan mereka menyerahkan kepada amil tidak resmi yang ada di
sekeliling mereka atau langsung kepada yang berhak menerimanya. Ini
menunjukkan bahwa pengelolaan zakat berlangsung tanpa suatu tata kelola yang
memungkinkan zakat dapat menjadi potensi yang sangat besar bagi peningkatan
kesejahteraan.
Potensi yang demikian besar itu mendorong sebagian orang menilai bahwa
zakat dapat menjadi solusi alternatif bagi penyelesaian kemiskinan, sebagaimana
tercermin dalam buku Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif,44
yang ditulis oleh AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie. Para penulis
optimistis bahwa zakat jika dikelola oleh negara dengan baik dapat memberikan
kontribusi bagi APBN. Untuk itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang
memadai dan political will pemerintah. Pandangan serupa juga dikemukakan M.
Djamal Doa dalam Manfaat Zakat Dikelola Negara.45
Ia mengemukakan sejumlah
argumen yang mendukung usulannya agar zakat dikelola oleh negara. Argumen-
argumen itu meliputi: distribusi yang lebih teratur, pemerintah lebih mengetahui
sasaran dan pemanfaatan zakat, zakat dapat membantu keuangan negara,
menghilangkan rasa inferioritas mustahik terhadap muzakki, dan dapat
membangun perekonomian rakyat.
Filantropi Islam dan kesejahteraan sosial juga menjadi perhatian buku yang
berjudul Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial.46 Buku
ini merupakan kumpulan tulisan dalam bentuk ringkasan dari tesis para
penulisnya, dan tidak seluruhnya membicarakan tentang filantropi Islam. Di
antara beberapa tulisan yang terkait dengan filantropi adalah ‚Pemberdayaan
Kaum Miskin melalui Investasi Sosial: Eksperimentasi Lembaga Pengelola Zakat‛
oleh Sirajuddin Abbas, ‚Strategi Fundraising: Kasus Baznas‛ oleh Ismet Firdaus
dan ‚Manajemen Keluarga Miskin: Kasus Masyarakat Mandiri, Dompet Dhuafa
Republika‛ oleh Lisma Dyawati Fuaida.
Adapun kajian tentang aspek-aspek filantropi Islam, khususnya zakat dan
wakaf, telah dilakukan oleh sejumlah sarjana. Dalam bidang zakat, misalnya,
Sarjono meneliti peran negara dalam pengurusan zakat, yang berlangsung selama
Orde Baru. Ia berkesimpulan bahwa negara sudah semestinya terlibat dalam
pengelolaan zakat, tidak saja karena menjadi amanat UUD 1945, tetapi juga
karena zakat bisa memberikan kontribusi penting terhadap kemiskinan dalam
masyarakat.47
Berbeda dengan itu, Rofiqurrahman, dalam Filantropi Islam dan
43 Kurniawati (ed.), Kedermawanan Kaum Muslim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat
Indonesia, Hasil Survei di 10 Kota (Jakarta: Pustaka Adina, 2004). 44 AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi
Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004). 45 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002). 46 Arief Subhan dan Yusro Kilun (eds.), Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Dakwah Press, 2007). 47 Sarjono, Kewenangan Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengurusan Zakat di Indonesia,
Tesis Master (FH, UI: 1993).
11
Bab I
Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat,48 menganalisis
fikih zakat modern dan kemungkinan praktiknya di zaman modern. Menurutnya,
pengembangan zakat tidak dapat di lakukan semata-mata dari aspek
manajemennya, tetapi juga harus dibarengi dengan pengembangan pemikiran fikih
yang dinamis sejalan dengan tuntutan perkembangan zakat itu sendiri.
Penelitian tentang zakat secara spesifik dilakukan oleh A.A. Miftah dalam
Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum.49
Masalah utama yang
dikaji dalam buku ini adalah bagaimana zakat dilihat dari perspektif hukum qad}a>’i> dan diya>ni>, dan apakah UU No. 38 Tahun 1999 dapat dipandang sebagai kategori
hukum qad}a>’i> dan diya>ni tersebut. Menurut Miftah, zakat merupakan pranata
keagamaan yang berdimensi ibadah, dan karenanya bercorak diya>ni>. Akan tetapi,
dalam pelaksanaannya diperlukan hukum negara, qad}a>’i>. Karena itu, UU tentang
Pengelolaan Zakat dapat dipandang sebagai hukum qad}a>’i>, tetapi belum
sempurna. Maksudnya, dibandingkan dengan UU tentang Peradilan Agama,
misalnya, UU tentang Zakat ini dapat dipandang masih jauh dari rinci dan dapat
diterapkan sekaligus. Karena itu, menurutnya, masih diperlukan fikih baru dalam
bentuk undang-undang yang lebih terperinci.
Berbeda dengan studi Miftah, Muhammad Fakhri meneliti secara khusus
dampak lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 terhadap pengelolaan zakat di BAZ
Riau, dalam disertasinya yang berjudul Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau.
50
Adapun aspek-aspek yang dianalisis oleh Fakhri meliputi sumber-sumber, cara-
cara pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusiannya, di samping kelembagaan
zakat di provinsi ini. Semua aspek-aspek itu dianalisis berdasarkan ketentuan
yang terkandung dalam undang-undang tentang pengeloaan zakat, termasuk
Keputusan Menteri dan Dirjen Bimas Islam.
Sementara itu, Uswatun Hasanah51
meneliti pengelolaan zakat di Jakarta dan
potensinya bagi peningkatan kesejahteraan sosial. Menurut Uswatun, zakat yang
dikelola dengan baik, seperti dilakukan BAZIS DKI, menunjukkan dapat
memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang,
seperti bahan makanan bagi fakir miskin, pemberian beasiswa dan peningkatan
infrastruktur keagamaan.
Studi kasus terhadap penggalangan dana filantropi Islam juga dilakukan oleh
Ismet Firdaus. Dalam kajiannya yang berjudul Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam,
52 Firdaus menganalisis langkah-langkah yang dilakukan
oleh BAZNAS sepanjang 2002-2003 untuk menggalang dana zakat, infak dan
shadakah. Ia berkesimpulan bahwa penggalangan dana di BAZNAS tidak bisa
48 Rofiqurrahman, Filantropi Islam dan Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep
Zakat, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008). 49 A.A. Miftah, Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sulthan Thaha
Press, 2007). Buku ini semula adalah disertasi yang diajukan ke Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah 2005. 50 Muhammad Fakhri, Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi
Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008). 51 Uswatun Hasanah, Zakat dan Keadilan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Zakat di BAZ DKI
Jakarta, Tesis Magister (Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1989). 52 Ismet Firdaus, Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam, Tesis Magister (FISIP,
UI: 2004).
12
Pendahuluan
dilepaskan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, seperti sumber
daya manusia, dukungan pemerintah dan media.
Kasuz BAZNAS juga menjadi fokus penelitian Deny Wahyu Tasniawan.53
Menurutnya, zakat yang dikelola secara profesional, akuntabel dan transpran,
seperti yang dilakukan lembaga ini, memiliki pengaruh positif terhadap tingkat
ketertiban wajib zakat dalam membayar zakatnya. Dengan kata lain,
profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas menjadi faktor berpengaruh
terhadap ketertiban wajib zakat di BAZNAS.
Berbeda dengan itu, Maulana Yusuf menganalisis BAZNAS dari aspek
dimensi kebijakan yang dilakukan lembaga ini. Menurut Yusuf, sepanjang 2001-
2003, BAZNAS belum dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara optimal,
terutama fungsi koordinatif, konsultatif dan informatifnya. Ini disebabkan, antara
lain, karena kurang maksimalnya peran para pengurus, di samping karena sumber
daya manusia yang masih jauh dari memadai.54
Kajian tentang wakaf juga sudah dilakukan oleh beberapa orang, di
antaranya, Deby Nuri Herasanti. Dalam studinya yang berjudul Eksistensi Wakaf menuru Kompilasi Hukum Islam, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004, ia berkesimpulan bahwa suatu peraturan pemerintah menjadi faktor penting
bagi pelaksanaan sebuah undang-undang. Ini dibuktikan dengan pelaksanaan
wakaf yang masih didasarkan pada PP No. 28 Tahun dan KHI, mengingat PP
tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 belum ditetapkan.55
Sementara itu,
penelitian wakaf dalam kaitannya dengan UU No. 41 Tahun 2004 juga dilakukan
oleh Farid Hasan Sazali, dengan perhatian khusus pada wakaf temporal (waqf mu’aqqat). Menurutnya, berdasarkan konsep ini, wakaf tidak berarti terputusnya
hubungan kemilikan wakif terhadap benda yang diwakafkan, dan pandangan ini
banyak dipengaruhi pendapat fuqaha (Syiah) Imamiyyah.56
Penelitian tentang
wakaf juga dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture UIN
Jakarta. Penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia.
57 Penelitian ini memfokuskan diri pada sejarah perkembangan wakaf di
Indonesia, yang meliputi peraturan-peraturan tentang wakaf yang berlaku,
pengelolaan wakaf dan peluangnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan
keadilan sosial masyarakat. Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Uswatun
Hasanah dalam disertasinya yang berjudul Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan.
58 Yang
53 Deny Wahyu Tasniawan, Studi Administrasi Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 terhadap
Tingkat Ketertiban Wajib Zakat: Studi Kasus Baznas, tesis Magister (Kajian Timur Tengah dan Islam,
UI: 2008). 54 Maulana Yusuf, Implementasi Kebijakan Pengelolaan Zakat pada Baznas, Tesis Magister
(FISIP, UI: 2005). 55 Deby Nuri Herasanti, Eksistensi Wakaf menurut KHI, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41
Tahun 2004, Tesis Magister (FH, UI: 2004). 56 Farid Hasan Sazali, Temporalitas Wakaf dalam Hukum Nasional beserta Syariah Islam Yang
Mendasarinya, Tesis Magister (FH, UI: 2006). 57 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makasary (eds.), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi
tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006). 58 Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus
Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan, Disertasi Doktor (PPs IAIN Jakarta, 1997).
13
Bab I
menjadi perhatian utama dalam penelitian ini adalah tata kelola wakaf dan
kemungkinannya dapat berfungsi untuk menyejahterakan masyarakat.
Dalam bidang peraturan tentang zakat dan wakaf, hal itu menjadi perhatian
Asep Saepudin Jahar dalam ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and
Zakat in post-Independence Indonesia.‛59
Tulisan ini membahas berbagai
peraturan tentang dua aspek filantropi Islam ini, yang telah diberlakukan sejak
masa Orde Baru hingga reformasi. Kedua bidang ini tetap menjadi tarik ulur
antara kepentingan pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola zakat dan wakaf,
sehingga peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pun masih belum mampu
meningkatkan tujuan zakat dan wakaf itu sendiri. Kajian serupa juga dilakukan
oleh Alfitri dalam ‚The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat
Collectors in Indonesia.‛60
Menurut Alfitri, undang-undang ini tidak menjadi
instrumen yang efektif dalam pengelolaan zakat disebabkan tidak adanya
kekuatan memaksa dalam undang-undang ini. Hal itu disebabkan oleh (1) sikap
sekular pemerintah, yang hendak menjaga jarak dari urusan agama, (2) negara
hanya ingin masalah zakat diselesaikan pada tingkat kementerian dan, (3) negara
memang tidak siap dengan pengelolaan zakat secara total.
Kajian tentang legislasi undang-undang zakat dan wakaf dilakukan oleh
Jazuni dalam Legislasi Hukum Islam di Indonesia61 dan Abdul Halim dalam
disertasinya yang berjudul Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi.62
Kedua studi ini sama-sama mengangkat hampir seluruh peraturan perundang-
perundangan yang terkait dengan Islam sejak zaman Orde Baru hingga Era
Reformasi, termasuk undang-undang tentang zakat dan wakaf, namun dengan
pendekatan yang berbeda. Jika Jazuni menggunakan pendekatan hukum, Abdul
Halim menggunakan pendekatan politik hukum. Kesimpulan yang ditarik oleh
Jazuni adalah bahwa sebagai agama yang dipeluk dan dianut oleh mayoritas
penduduk, hukum Islam berpeluang besar untuk mengisi pembangunan hukum
nasional, sedangkan Abdul Halim berkesimpulan bahwa legislasi hukum hanyalah
untuk memperkuat komitmen Muslim terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah bahwa
penelitian ini memfokuskan diri pada proses legislasi undang-undang tentang
pengelolaan zakat dan wakaf saja dan dampaknya bagi perkembangan filantropi
Islam. Masalah ini disinggung secara sepintas dalam penelitian Jazuni dan Abdul
Halim. Jazuni menyinggung sekilas legislasi undang-undang tentang zakat,
sementara Abul Halim menyinggung keduanya secara sepintas di antara seluruh
undang-undang yang terkait dengan Islam secara umum.
59 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post-
Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13: 3 (2006): 353-
95. 60 Alfitri, ‚‚The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat Collectors in
Indonesia,‛ International Journal of Not-for-Profit Law 8, 2 (January 2006): 55-64. 61 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). Buku ini
semula adalah disertasi yang diajukan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan dipertahankan
dalam promosi pada 17 Juli 2004. 62 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformsi, Disertasi Doktor (Jakarta: SPs UIN Syarif
Hidayatullah, 2008).
14
Pendahuluan
F. Metodologi
1. Metode dan Pendekatan
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
analisis isi (content analysis),63
yaitu menarik kesimpulan dengan
mengidentifikasi karakteristik pesan atau konsep yang terdapat dalam data.
Seperti dikemukakan Earl Babbie,64
analisis isi dapat diterapkan pada berita surat
kabar, majalah, pidato, surat-surat, hukum dan konstitusi, bahkan platform partai
politik. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Menginventarisasi tema-tema kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru yang
berkaitan dengan zakat dan wakaf.
b. Mengklasifikasi tulisan-tulisan yang berkaitan dengan latar belakang
munculnya kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru yang berkaitan dengan
zakat dan wakaf.
c. Menganalisis tulisan-tulisan tersebut agar membentuk suatu pandangan yang
utuh.
Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan politik, yuridis,
teologis dan historis. Pendekatan politik digunakan untuk menganalisis undang-
undang zakat dan wakaf, mengingat undang-undang ini merupakan bagian dari
praktik negara dalam menetapkan kebijakan. Lebih jauh, mengingat masalah
undang-undang terkait erat dengan hukum, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan yuridis. Sementara itu, pendekatan teologis diperlukan karena zakat
dan wakaf merupakan wilayah agama, yang tidak dapat dipisahkan dari hukum
Islam. Ketentuan-ketentuan tentang zakat dan wakaf umumnya dibicarakan dalam
buku-buku fikih, sehingga peraturan-peraturan dasar terkait dengan keduanya
yang dikeluarkan oleh negara tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan fikih.
Adapun pendekatan historis digunakan, karena penelitian ini juga membicarakan
peraturan-peraturan tentang zakat dan wakaf yang berlaku di Indonesia dari
sebelum lahirnya kedua undang-undang ini dan dampaknya.
2. Definisi Operasional
Ada beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan dalam penelitian, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Filantropi Islam. Yang dimaksud dengan filantropi di sini adalah seluruh
aktivitas derma yang dilakukan orang untuk kebaikan publik atau
masyarakat.65
Aktivitas tersebut dilakukan bukan karena loyalitas kepada
negara, seperti pajak, tetapi karena didorong oleh semangat kebaikan
bersama, yang tidak dibiayai pemerintah. Misalnya, mendirikan sekolah atau
rumah sakit memang menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi masyarakat
dapat mendirikannya tanpa dana dari pemerintah melalui dana yang mereka
63 Alan D. Monroe, Essentials of Political Research (Oxford: Westview Press, 2000), 58; Bruce
L. Berg, Qualitative Research Methods for the Social Sciences (Boston-London: Allyn and Bacon,
1995), 175; Earl Babbie, The Practice of Social Research (Westford: Wadsworth Publishing Company,
1998), 309; Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C. Straits, Approaches to Social Research (New York-
Oxford: Oxford University Press, 1999), 384. 64 Earl Babbie, The Practice of Social Research, 308; Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C.
Straits, Approaches to Social Research, 384. 65 Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good, dalam
http://www.paytonpapers.org.
15
Bab I
himpun secara sukarela. Dalam konteks Islam, filantropi ini diwujudkan
dalam bentuk zakat, infak/shadaqah dan wakaf. Zakat merupakan kewajiban
bagi Muslim, namun tidak dibayarkan kepada negara. Kewajiban itu
dilakukan karena ketaatan kepada Allah yang disalurkan kepada masyarakat
yang kurang mampu. Adapun infak/shadaqah dan wakaf bukanlah kewajiban,
sehingga keduanya dapat digolongkan ke dalam filantropi. Jadi yang
dimaksud dengan filantropi Islam dalam penelitian ini adalah zakat,
infak/shadaqah dan wakaf, yang pembayarannya dilakukan bukan kepada
negara, tetapi kepada Allah yang disalurkan kepada masyarakat yang kurang
mampu.
Lebih jauh, ketiga bidang ini disebut filantropi karena tujuan akhirnya
pada dasarnya adalah penghapusan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan
dan keadilan bagi masyarakat yang kurang mampu. Dengan demikian, ketiga
bidang tersebut bukan sekadar karitas, pemberian sesaat dan konsumtif,
tetapi memiliki tujuan jangka panjang.
b. Kebijakan. Yaitu, alokasi nilai-nilai bagi masyarakat berdasarkan kekuasaan.
Ia meliputi hukum yang disahkan oleh badan legislatif, pola implementasinya
oleh badan eksekutif, dan penafsiran serta pengundangannya oleh badan
kehakiman.66
Singkatnya, kebijakan adalah interaksi antara kekuasaan dan
kepentingan, yang diwujudkan antara lain dalam bentuk undang-undang.67
Yang dimaksud kebijakan dalam penelitian ini secara khusus adalah Undang-
undang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang tentang Wakaf, karena
keduanya ditetapkan oleh badan legislatif, diimpelementasikan oleh
pemerintah dan diundangkan oleh badan kehakiman. Lebih dari itu, kedua
undang-undang ini adalah interaksi antara kekuasaan dan kepentingan bagi
pemerintah maupun masyarakat.
c. Pasca-Orde Baru. Maksudnya, pemerintahan yang berkuasa setelah
kepemimpinan Soeharto. Ini meliputi kepresidenan Habibie, yang dilanjutkan
oleh kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati serta Susilo Bambang
Yudhoyono. Pembahasan dan pengesahan undang-undang tentang zakat
berlangsung pada masa Habibie, sedangkan undang-undang tentang wakaf
dibahas pada masa Megawati, yang pengesahannya dilakukan pada masa
SBY.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua: primer dan sekunder. Data
primer terdiri dari:
a. RUU tentang Pengelolaan Zakat;
b. Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat;68
c. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;69
66 Abdul Rashid Moten and El-Fatih A. Abdel Salam, Glossary of Political Science Terms
(Singapore: Thompson, 2005), 126. 67 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet.
ke-14, 49. 68 Sekretariat Jenderal DPR-RI, Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta:
Setjen DPR-RI, 1999). Buku ini berisi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pandangan Fraksi-fraksi di
DPR, Risalah-risalah Rapat Panja DPR, dan rekaman tentang pembahasan selama sidang-sidang. 69 Direktorat Pemberdayaan Zakat, Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat Depag, 2004).
16
Pendahuluan
d. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003;70
e. Keputusan Dirjen No. D/291 Tahun 2000;71
f. RUU tentang Wakaf;
g. Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf;72
h. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;73
i. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.
41 Tahun 2004 tentang Wakaf;74
j. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi
Pendaftaran Wakaf Uang;75
k. Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model,
Bentuk dan Spesifikasi Formulir Wakaf Uang.76
l. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BWI.77
Adapun data sekunder meliputi tulisan-tulisan dan pandangan para tokoh
yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Ini meliputi buku, artikel
dalam jurnal, bab-bab dalam buku, laporan surat kabar, majalah, laporan-laporan
dari lembaga-lembaga terkait dan wawancara dengan sejumlah tokoh.
4. Analisis Data
Setelah terkumpul, data akan diseleksi dan direduksi untuk selanjutnya
diklasifikasi dalam beberapa kategori, seperti data tentang kebijakan negara
dalam masalah zakat dan wakaf dan dampaknya terhadap perkembangan filantropi
Islam. Kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap data tersebut
melalui metode analisis isi dan pendekatan politis, teologis, historis dan yuridis.
Terakhir, penarikan kesimpulan dari yang khusus kepada yang umum.
G. Sistematika Penulisan
Disertasi ini disusun menjadi enam bab, dengan sistematika sebagai berikut.
Bab pertama Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
dan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab kedua, Islam, Negara dan Filantropi, yang meliputi pembahasan tentang
aspek-aspek filantropi Islam berikut perkembangan historisnya. Di samping itu,
pembahasan akan dilanjutkan dengan filantropi dan hubungannya dengan konsep
keadilan sosial. Akhirnya, bab ini ditutup dengan pembahasan tentang hubungan
negara dan filantropi Islam dengan melihat model-model hubungan tersebut di
negara-negara Muslim.
70 Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003. 71 Keputusan Dirjen Bimas Islam No. D/291 Tahun 2000. 72 Sekretariat Jenderal DPR-RI, Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf (Jakarta: Setjen DPR-
RI, 2004). Buku ini berisi RUU tentang Wakaf, Pandangan Fraksi-fraksi di DPR, Risalah-risalah Rapat
Panja DPR, dan rekaman pembahasan selama sidang-sidang. 73 Dirjen Bimas Islam, Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jakarta: Dirjen
Bimas Islam, 2004). 74 Dirjen Bimas Islam, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.
41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004). 75 Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang. 76 Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model, Bentuk dan
Spesifikasi Formulir Wakaf Uang. 77 Himpunan Peraturan Badan Wakaf Indonesia (Jakarta: BWI, 2010).
17
Bab I
Bab ketiga, Kebijakan Negara tentang Zakat, yang akan menganalisis
Undang-undang Zakat yang lahir pada masa pasca-Orde Baru. Pembahasan
dimulai dengan pelaksanaan pengaturan zakat dalam sejarah Indonesia, sebagai
latar belakang lahirnya undang-undang tersebut. Selanjutnya, pembahasan akan
diarahkan pada proses politik undang-undang ini, sebagaimana tercermin dalam
pembahasannya di DPR. Pembahasan ini diakhiri dengan dampak politis undang-
undang ini bagi pelaksanaan zakat.
Bab keempat, Kebijakan Negara tentang Wakaf, yang berisi pembahasan
tentang Undang-undang tentang Wakaf pada masa pasca-Orde Baru. Pertama-
tama analisis akan difokuskan pada pengaturan pelaksanaan wakaf dalam sejarah
Indonesia, yang dilanjutkan dengan analisis atas latar belakang politis munculnya
undang-undang ini, di samping konfigurasi politik mengenai undang-undang
tersebut. Terakhir, analisis akan diarahkan pada dampak politis setelah
disahkannya undang-undang ini.
Bab kelima, Perkembangan Filantropi Islam, yang membahas pertumbuhan
lembaga-lembaga zakat, wakaf dan filantropi, pertumbuhan kuantitatif
perkembangan lembaga-lembaga filantropi, dan respons civil society Islam
terhadap rencana revisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan
dampaknya terhadap filantropi Islam.
Bab keenam adalah Penutup, yang berisi kesimpulan dan rekomendasi. Yang
pertama merupakan jawaban ringkas terhadap masalah yang dirumuskan dalam
penelitian ini, sementara yang kedua merupakan implikasi dari kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian ini.
18
BAB II
ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI
Seperti disinggung sebelumnya, Islam menaruh perhatian yang sangat besar
terhadap filantropi. Untuk mempertegas hal itu, bab ini akan menguraikan lebih
lanjut makna filantropi dan aspek-aspek Islam yang dapat digolongkan ke dalam
filantropi dan kaitannya dengan negara. Mengingat banyaknya aspek-aspek
filantropi dalam Islam, yang akan diuraikan dalam bab ini hanyalah shadaqah,
zakat dan wakaf. Selanjutnya, pembahasan akan dilakukan dengan mengaitkan
filantropi Islam dan keadilan social. Bab ini akan diakhiri dengan uraian tentang
hubungan filantropi Islam dan negara, dengan perhatian khusus pada model
hubungan di empat negara Muslim. Dapat ditegaskan di sini bahwa keadilan sosial
memiliki dimensi yang sangat luas, dan karenanya sulit bagi filantropi Islam
untuk mewujudkannya, kecuali melapangkan jalan bagi realisasi tujuan tersebut.
Lebih jauh, keterlibatan negara terhadap filantropi Islam di negara-negara Muslim
tidaklah seragam, tetapi memiliki pola hubungan yang berbeda-beda.
A. Filantropi dalam Tradisi Islam
Kata ‚filantropi‛ (Inggris: philanthropy) merupakan istilah yang tidak
dikenal pada masa awal Islam, meskipun belakangan ini sejumlah istilah Arab
digunakan sebagai padanannya. Filantropi kadang-kadang disebut al-‘at}a>’ al-ijtima>‘i> (pemberian sosial), dan adakalanya dinamakan al-taka>ful al-insa>ni> (solidaritas kemanusiaan) atau ‘at}a>’ khayri> (pemberian untuk kebaikan). Namun,
istilah seperti al-birr (perbuatan baik) atau s}adaqah (sedekah) juga digunakan.1
Dua yang terakhir ini tentu sudah dikenal dalam Islam awal, tetapi istilah
filantropi Islam tampaknya merupakan pengadopsian pada zaman modern.
Berasal dari kata Yunani philanthrōpia (‚philo‛ [cinta] dan ‚anthrophos‛
[manusia]), filantropi secara umum berarti cinta terhadap, atau sesama, manusia.2
Mengingat luasnya makna cinta yang terkandung dalam istilah tersebut, filantropi
sangat dekat maknanya dengan ‚charity‛ (Latin: caritas) yang juga berarti ‚cinta
tak bersyarat‛ (unconditioned love). Meskipun demikian, antara keduanya dapat
dibedakan, di mana yang kedua cenderung mengacu pada pemberian jangka
pendek, sementara yang pertama biasanya diterapkan pada upaya untuk
menyelidiki sebab utama suatu persoalan.3
1 Barbara Ibrahim, From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy (Kairo:
American University in Cairo Press, 2008), 11. 2 Marty Sulek, ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ Nonprofit and Voluntary Sector
Quarterly, 39:3 (2010), 386. Lihat juga Dictionary dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy
(diakses 20/06/2009). 3 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the
Non-Profit Sector (London-New York: Routledge, 2005), 196; Lindsay Anderson, ‚Conspicuous
Charity,‛ MA thesis (Texas: Texas A&M University, 2007), 26.
19
Bab II
Konsekuensi dari makna di atas, definisi yang diberikan tentang filantropi
sangat beragam dari satu penulis ke penulis lainnya. Satu definisi menyebutkan
bahwa filantropi berarti ‚tindakan sukarela personal yang didorong
kecenderungan untuk menegakkan kemaslahatan umum‛ (a voluntary enterprise
of private persons, moved by an inclination to promote public good)4 atau
‚perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum.‛5 Definisi lain menyatakan
bahwa filantropi adalah sumbangan dalam bentuk uang, barang, jasa, waktu atau
tenaga untuk mendukung tujuan yang bermanfaat secara sosial, memiliki sasaran
jelas dan tanpa balasan material atau imaterial bagi pemberinya.6 Terlepas dari
perbedaan tersebut, ada tujuan umum yang mendasari setiap definisi filantropi,
yakni cinta, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas sesama manusia, di mana
orang yang lebih beruntung membantu mereka yang kurang beruntung.7
Menurut Dawam Rahardjo, praktik filantropi sesungguhnya telah ada
sebelum Islam mengingat wacana keadilan sosial juga telah berkembang.8
Sementara itu, Warren Weaver, direktur Rockefeller Foundation (Amerika
Serikat), menegaskan bahwa filantropi sebenarnya bukanlah tradisi yang baru
dikenal pada masa modern, sebab kepedulian seseorang terhadap sesama manusia
juga ditemukan pada masa kuno.9 Plato, misalnya, konon telah memberikan tanah
produktif miliknya sebagai wakaf bagi akademi yang didirikannya. Dalam
Kristen, tradisi filantropi juga sangat ditekankan kepada para pengikut awal
agama ini. Di kalangan penganut Zoroastrianisme, filantropi pun menjadi salah
satu komitmen penting mereka dalam kehidupan. Praktik ini juga terbukti tidak
hanya ditemukan dalam tradisi-tradisi keagamaan di Timur Tengah (Semitic),
tetapi juga di wilayah lain, seperti Hindu dan Budha di India, agama asli Amerika
dan Afrika, agama-agama di Cina dan Jepang, dan lain sebagainya.10
Adapun tujuan filantropi pada masa sebelum Islam tidaklah tunggal. Pada
masa Romawi pra-Kristen, filantropi bertujuan untuk mempertegas status sosial
sang penderma, di samping sebagai bentuk komitmennya terhadap tugas
kemanusiaan. Sementara itu, dalam Kristen, tujuan filantropi memiliki dimensi
yang sangat religius, yaitu agar sang penderma ‚mendapatkan keselamatan di
4 Lawrence J. Friedman dan Mark D. McGarvie, Charity, Philanthropy, and Civility in
American History (New York, NY: Cambridge University Press, 2003), 37; lihat juga, US History Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009).
5 Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and
Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; lihat juga Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan
Edward L. Queen II, ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren F.
Ilchman et.al., terj. CSRC UIN Jakarta (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), x. 6 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the
Non-Profit Sector, 196; lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Philanthropy (diakses 20/06/2009). 7 Marty Sulek, ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ 395; lihat juga US History
Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009); juga US
Foreign Policy Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009). 8 M. Dawam Rahardjo, ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan
Epistemologis,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha
(Jakarta: Teraju, 2003), xxxiv. 9 US History Encyclopedia http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009). 10 Lihat Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II (eds.), Filantropi di
Berbagai Tradisi Dunia.
20
Islam, Negara, dan Filantropi
masa datang, ampunan dari dosa-dosa dan kehidupan kekal di akhirat.‛11
Semangat serupa di balik filantropi juga ditemukan di kalangan para penganut
Zoroastrianisme yang meyakini bahwa jiwa sang penderma akan selamat di
akhirat kelak.
Dalam praktik, ada dua kecenderungan bentuk lembaga filantropi dalam
Kristen: wakaf yang dilakukan oleh kerajaan dengan tujuan-tujuan keagamaan dan
wakaf yang diberikan oleh para individu yang kaya. Jika dalam institusi yang
pertama gereja berperan sebagai pengelolanya sehingga menjadi satu-satunya
lembaga yang sangat kaya di Timur Dekat, dalam institusi yang kedua umumnya
dikelola oleh orang sipil demi tujuan-tujuan umum yang bersifat sekular, seperti
menyantuni orang miskin dan lain sebagainya. Lebih jauh, karena mendapat
dukungan politik dari penguasa, bentuk lembaga yang pertama bertahan jauh lebih
langgeng ketimbang yang kedua.12
Dalam Zoroasterianisme, filantropi digunakan terutama untuk ibadah,
seperti membangun rumah ibadah, altar api, pelaksanaan ritual keagamaan dan
bekal bagi para pendeta. Doktrin yang mendasari penggunaan tersebut adalah
‚charity begins at home‛ (kedermawanan dimulai dari rumah). Yang dimaksud
dengan rumah di sini tak lain adalah keluarga. Lebih dari itu, dalam doktrin
etikanya bahkan disebutkan prosedur bagi pendirian lembaga-lembaga filantropi,
di samping tenaga administrasi yang mengawasinya.13
Dewasa ini, filantropi memiliki sejumlah tujuan yang tidak semata-mata
bersifat keagamaan, tetapi juga bersifat sosial dan politis. Misalnya, ada lembaga
filantropi yang memiliki sasaran hanya pada layanan sosial (social services),
dengan keyakinan bahwa memberikan layanan, beban kemiskinan masyarakat
dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Sementara itu, ada juga lembaga
filantropi yang bergerak dalam perubahan sosial (social change), dengan
menjadikan keadilan sosial (social justice) sebagai tujuan utamanya.14
Dengan
kata lain, kedua model filantropi ini menghendaki kehidupan sosial yang lebih
baik dengan melicinkan jalan bagi perwujudannya melalui sejumlah
pemberdayaan ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.
Islam tampil ke dunia tidak dalam ruang sejarah hampa, tetapi berhadapan
dengan tradisi-tradisi sebelumnya, tak terkecuali tradisi filantropi dari agama-
agama sebelumnya atau dari wilayah lainnya.15
Ini menimbulkan spekulasi yang
beragam di kalangan sarjana peneliti filantropi Islam. W. Haffening, misalnya,
berpendapat bahwa tradisi filantropi dalam Islam merupakan warisan dari agama
Yahudi dan Kristen,16
sementara A.G. Perikhanian berpendapat bahwa hukum dan
11 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛ dalam
http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses
20/06/2009). 12 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam.‛ 13 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam.‛ 14 Marty Sulek, ‚On the Modern Meaning of Philanthropy,‛ Nonprofit and Voluntary Sector
Quarterly, 39:2 (2010), 205; lihat juga Andi Agung Prihatna, ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di
Indonesia,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia,
ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa UIN Jakarta, 2005),
4-5. 15 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1995), 265. 16 W. Haffening, ‚Waqf,‛ dalam First Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1987), 8: 1098.
21
Bab II
praktik filantropi Islam banyak dipengaruhi oleh model filantropi Zoroastrian,
karena adanya kesamaan antara keduanya. Menurutnya, kelanggengan modal
pokok wakaf (non-consumable capital) sangat ditekankan baik oleh Islam maupun
Zoroastrianisme, dengan menjadikan keuntungan yang diperoleh sebagai
penunjang modal pokok. Selanjutnya, keuntungan tersebut ditujukan untuk
mendukung orang-orang yang berhak memeroleh manfaat dari wakaf tersebut.17
Terlepas dari silang pendapat tersebut, Islam secara inheren memiliki
semangat filantropis. Ini dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Al-Quran dan
Hadis Nabi yang menganjurkan umatnya agar berderma.18
Misalnya, dalam QS
Al-Baqarah (2): 215 disebutkan:
تنضثكي تنيصثي تلألشخي فههتنذي خيش ي أفمصى يث لم يفم يثرت كيضؤن
.عهيى خ الله فإ خيش ي شفعهت يث تنضديم تخ‚Mereka akan bertanya kepadamu (Muh}ammad) tentang apa yang harus
mereka infakkan. Katakanlah: ‘Apapun kebaikan yang kamu infakkan
kepada orang tua dan keluarga, anak yatim, orang miskin, dan orang asing,
dan kebaikan apapun yang kamu lakukan, Allah pasti mengetahuinya.’‛19
Sementara itu, dalam Hadis dikemukakan bahwa Nabi Saw. bersabda:
صهر تنشج، غعح شطفا خفيث تنصذلر تنضء، يصثسع شم تنعشف صثبع
أم ى تنذيث ف تنعشف أم صذلر، يعشف كم تنعش، ف شزيذ تنشدى
ي أل تلآخشذ، ف تنكش أم ى تنذيث ف تنكش أم تلآخشذ، ف تنعشف
(.تنطدشت ست) تنعشف أم تنجر يذخم
‚Perbuatan baik itu menjadi penghalang bagi jalannya keburukan, sedekah
sembunyi-sembunyi dapat memadamkan amarah Tuhan, silaturahim dapat
memperpanjang umur, dan setiap kebaikan adalah shadaqah. Pemilik
kebaikan di dunia adalah pemilik kebaikan di akhirat, dan pemilik keburukan
di dunia adalah pemilik keburukan di akhirat, dan yang pertama masuk surga
adalah pemilik kebaikan.‛20
Pendeknya, prinsip umum filantropi Islam adalah ‚bahwa setiap kebaikan adalah
shadaqah.‛21
Semangat filantropi juga diwujudkan oleh masyarakat Islam awal dalam
berbagai bentuk, seperti shadaqah, zakat, wakaf, khums, infak, hadiah, dan
sebagainya. Dalam perkembangan sejarah Islam, lembaga filantropi ini semakin
menunjukkan signifikansinya, di antaranya karena perannya dalam pembentukan
jaringan ulama, yang memiliki misi dakwah dan penyebaran ilmu. Lebih jauh,
munculnya berbagai lembaga pendidikan Islam, baik yang disebut madrasah, riba>t} maupun za>wiyah tidak dapat dipisahkan dari peran filantropi Islam. Dalam bidang
17 A.G. Perikhanian, ‚Iranian Society and Law,‛ dalam Cambridge History of Iran (Cambridge:
Cambridge University Press, 1986), 661-3. 18 Ahmad Kaleem dan Saima Ahmed, ‚The Quran and Poverty Alleviation: A Theoretical Model
for Charity-Based Islamic Microfinance Institution,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3
(2010), 416. 19 Di samping ayat ini, masih banyak lagi ayat yang menekankan pentingnya infak atau sedekah.
Lihat, misalnya, QS al-Baqarah (2): 263, 266, 272 dan 275; A<li ‘Imra>n (3): 86, dan sebagainya. 20 H.R. T{abra>ni>, dikutip dalam Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 357. 21 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 357.
22
Islam, Negara, dan Filantropi
pendidikan ini, bukan hanya orang-orang kaya, para penguasa, dari ‘Abbasiyyah
hingga Turki Utsmani, pun menunjukkan semangat filantropis yang sangat besar
melalui pendirian sejumlah lembaga.22
Tidak heran, jika lembaga-lembaga
pendidikan seperti Madrasah Niz}a>miyyah di Bagdad, Al-Azhar di Kairo dan lain
sebagainya, berdiri berkat filantropi dari para penguasa ini.23
Filantropi tidak hanya digunakan untuk mendanai lembaga-lembaga
tersebut, tetapi juga dimanfaatkan untuk menggaji para guru dan memberikan
beasiswa kepada para pelajar dari berbagai wilayah. Mengingat lembaga-lembaga
ini menganut dan mengembangkan mazhab fikih tertentu, tak syak lagi,
penyebaran ajaran-ajaran mazhab tersebut juga mendapat dana dari filantropi
Islam.24
Dengan kata lain, filantropi Islam berperan penting bagi penyebaran ilmu
dan mazhab yang dianut oleh lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan Islam.
Sebagaimana akan diuraikan segera, bentuk-bentuk filantropi di atas terus
berkembang dari waktu ke waktu dan dewasa ini memperoleh perhatian yang luas
tidak hanya dari ahli agama, tetapi juga negara. Bahkan di sejumlah negara
Muslim, persoalan filantropi Islam ini diatur dalam undang-undang yang
pelaksanaannya juga melibatkan kekuasaan negara. Namun, sesuai dengan
permasalahan utama dalam penelitian ini, hanya tiga bentuk pertama dari
filantropi Islam di atas yang akan diuraikan dalam bagian berikut.
B. Aspek-aspek Filantropi Islam
1. Shadaqah
Kata s}adaqah (Arab) merupakan bentuk masdar dari kata kerja s}adaqa, yang
berarti apa saja yang diberikan dengan tulus untuk mendekatkan diri kepada
Allah, bukan demi kehormatan.25
Karena itu, suatu pemberian disebut shadaqah
karena ia lahir dari ketulusan dan kejujuran hati sang pemberi. Kata ini memiliki
kemiripan dengan kata Yahudi şědâķâ, yang juga bermakna kejujuran (honesty).
Atas dasar itu, orientalis semacam Arthur Jeffery menduga bahwa kata s}adaqah
dalam Islam tidak lain hanyalah transliterasi dari kata Yahudi tersebut.26
Terlepas
dari asumsi ini, tampaknya praktik shadaqah tidaklah monopoli milik Muslim,
tetapi juga telah menjadi tradisi dalam agama-agama lain sebelum Islam, terutama
Yahudi dan Kristen.
Istilah s}adaqah (Arab; Indonesia: sedekah) banyak ditemukan dalam sumber-
sumber Islam, terutama Al-Quran dan Hadis, dengan beragam makna. Ia bisa
berarti zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, tetapi juga dapat
22 Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk
Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN
Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv; lihat juga Imtiaz B. Ali, Waqf: A Sustainable Development Institution for Muslim Communities (Valsayn, Trinidad and Tobago: Takaful T&T Friendly Society,
2009), 12. Menurut Hennigan, filantropi Islam, khususnya wakaf, telah berperan sebagai dasar utama
‚peradaban Islam.‛ Lihat Peter C. Hennigan, The Birth of Legal Insitution: The Formation of the in Waqf in Third-Century AH H{anafi> Legal Discourse (Leiden: Brill, 2004), xiii.
23 Uraian terperinci tentang peran wakaf dalam pendirian berbagai perpustakaan dan universitas
disejumlah wilayah wilayah Islam pada Abad Pertengahan, lihat Yah}ya> Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz al-Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-
Isla>miyyah, 1996). 24 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 165. 25 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-
S{afwah, 1992), 16: 323. 26 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Quran (Leiden: Brill, 2007), 153 dan 194.
23
Bab II
bermakna derma yang bersifat sukarela, yang kadang-kadang disejajarkan dengan
infak.27
Dengan demikian, shadaqah dapat dipandang sebagai istilah umum yang
menaungi sejumlah praktik filantropis dalam Islam.28
Dengan kata lain,
pembedaan antara shadaqah dalam pengertian zakat dan shadaqah dalam arti
sedekah tampaknya dilakukan secara tegas setelah wafatnya Nabi. Untuk memilah
makna yang demikian luas itu, para ulama mengklasifikasi shadaqah secara garis
besar ke dalam dua pengertian: shadaqah sebagai sinonim zakat yang bersifat
wajib, dan shadaqah yang bersifat sukarela dengan istilah s}adaqat al-tat}awwu‘ atau s}adaqat al-nafl (sedekah sukarela atau sunnah).
29 Pengertian yang terakhir
inilah yang akan dibahas di sini, sementara yang pertama akan dibicarakan pada
bagian berikutnya.
Ibn al-‘Arabi> mendefinisikan shadaqah sebagai ‚ibadah yang timbul dari
kehendak bebas berdasarkan kemampuan seseorang.‛30
Yang harus digarisbawahi
di sini adalah kehendak bebas dan kemampuan, yang tanpa keduanya berarti
seseorang telah mewajibkan sesuatu pada dirinya. Dengan demikian, sedekah
dilakukan tanpa paksaan dan bukan di luar batas kemampuan seseorang. Karena
itu, sedekah pada dasarnya adalah mendermakan harta di luar kewajiban zakat.31
Shadaqah juga memiliki makna yang sangat dekat dengan infak, yang
memiliki arti yang sangat luas. Secara umum, infak berarti ‚mengeluarkan harta
untuk kebutuhan‛ (s}arf al-ma>l ila> al-h}a>jah).32
Ia meliputi nafkah wajib kepada
keluarga, kerabat dan sedekah yang bersifat sunnah (s}adaqat al-tat}awwu‘).33
Dengan demikian, seperti shadaqah, infak juga bisa kadang-kadang wajib, seperti
memberi nafkah kepada keluarga, juga bisa sukarela seperti sedekah pada
umumnya.34
Shadaqah menduduki posisi penting dalam ajaran Islam, setidak-tidaknya
jika dilihat dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang memperbincangkannya, di
samping dari praktik kaum Muslim awal. Dalam Al-Quran, misalnya, disebutkan
bahwa shadaqah merupakan sebuah kebaikan yang pahalanya bernilai berlipat-
lipat ganda, dari dua kali hingga 700 kali lipat, dan kadang-kadang disebut
sebagai pinjaman yang baik (qard} h}asan) yang pembayarannya akan
dilipatgandakan oleh Allah Swt. Ayat-ayat berikut ini menunjukkan hal itu.
أصثخث خشخذ رج كثم أفضى ي شثديصث الله يشظثز تخصغثء أيتنى يفم تنزي يثم
(.376: تندمشذ) خصيش شعه خث الله فطم، تخم يصدث نى فإ ظعفي أكهث فآشس تخم
27 Sebagaimana akan terlihat nanti, perbedaan antara shadakah dan infak ini sangat tipis.
Meskipun demikian, infak lebih cenderung diartikan nafkah, di mana diri dan keluarga merupakan
sasaran utamanya, baru ke golongan lainnya. Lihat, misalnya, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Min-Qad}a>ya al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 71-73; lihat juga A. Shaukat
J. Gilani, ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3: 1(1985), 64.
28 Cf. Barbara Ibrahim, Trends in Arab Philanthropy, 12. 29 Lihat, misalnya, Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 356. Untuk selanjutnya, s}adaqat al-
tat}awwu‘ dalam bab ini digunakan istilah shadaqah saja. 30 Abu> Bakr ibn ‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 1972), 1: 20-21. 31 Rachmat Djatnika, ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ dalam Berderma untuk
Semua, 31. 32 Lihat al-Jurja>ni>, Kita>b al-Ta‘ri>fa>t (Beirut: Maktabat Lubna>n, 1985), 40. 33 M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947), 1: 130. 34 Rachmat Djatnika, ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ 32.
24
Islam, Negara, dan Filantropi
ددر يثبر صدهر كم ف صثخم صدع أدصس ددر كثم الله صديم ف أيتنى يفم تنزي يثم
(.372: تندمشذ) عهيى تصع الله يشثء ن يعثعف الله
إني يدصط يمدط الله كثيشذ أظعثفث ن فيعثعف دضث شظثل الله يمشض تنز رت ي
(.356: تندمشذ) ششجع
Sementara itu, sejumlah hadis menekankan pentingnya shadaqah secara lebih
terperinci, baik dari segi situasi pemberi dan penerima, tempat dan waktu
pemberian dan lain sebagainya.35
Misalnya, ketika ditanya kapan sebaiknya
bersedekah, Nabi menjawab: ‚Shadaqah yang kamu berikan di saat kamu sehat, di
saat kamu enggan melakukannya dan di saat kamu takut akan miskin dan
mengharapkan kekayaan.‛ Juga ditegaskan bahwa nilai sedekah orang yang
memiliki kekayaan sedikit (juhd al-muqill) jauh lebih mulia ketimbang orang yang
kaya, meskipun yang diberikan oleh yang kedua lebih besar ketimbang yang
pertama. Dari segi waktu, shadaqah yang paling baik dilakukan adalah pada Bulan
Ramadhan.36
Di atas segalanya, Nabi mengemukakan bahwa setiap kebaikan
adalah shadaqah, yang meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti memberi nafkah
kepada keluarga, menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan, dan
bahkan senyum kepada sesama.
Dalam hal ini, Nabi sendiri menjadi model dalam memberikan shadaqah. Ia
dikenal sangat dermawan dalam memberikan sedekah, tetapi tidak mau
menerimanya kecuali dalam bentuk hadiah. Diriwayatkan oleh Anas ibn Ma>lik
bahwa Abu> T{alh}ah, salah seorang Ans}ar terkaya di Madinah, hendak
menyedekahkan sumur, yang darinya Nabi biasa mengambil air untuk minum.
Namun, Nabi menyarankan T{alh}ah agar mempertahankan sumur tersebut sebagai
milik keluarganya.37
Sikap dermawan ini diikuti oleh para isterinya, seperti
Zaynab bint Jah}s}, yang dikenal sebagai orang yang suka memberi sedekah.
Sementara itu, Zaynab bint Khuzaymat al-Hila>liyyah disebut sebagai umm al-masa>ki>n, yakni ibu bagi orang-orang miskin. ‘A<isyah sendiri diriwayatkan selalu
mengembalikan hadiah yang diberikan oleh mereka yang pernah dibantunya, yang
mengisyaratkan keikhlasannya dalam bersedekah.38
Di antara para sahabat awal,
‘Umar dikenal sangat dermawan karena telah mendermakan setengah dari seluruh
kekayaannya setelah Nabi menganjurkan bersedekah. Sikap ‘Umar ini hanya
terlampaui oleh Abu> Bakr, yang menyedekahkan seluruh kekayaannya. Semua itu
menunjukkan bahwa shadaqah bukanlah semata-mata sebuah konsep, tetapi
memiliki preseden praktisnya, baik dalam pribadi Nabi, keluarga, maupun para
sahabatnya.39
35 Untuk hadis-hadis tentang keutamaan shadaqah, lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>
wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1992), 2: 915-17; T.H. Weir, ‚S }adaka,‛ The Encyclopaedia ofIslam (Leiden: E.J. Brill, 1997), 8: 710; lihat juga Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 26: 342-34.
36 Hadis berikut ini diriwayatkan oleh al-Turmudhi> dikutip dalam Wuza>rat al-Awqa>f wa al-
Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 26: 342:
.سيعث ف صذلر: لثل أفعم؟ تنصذلر أ صهى عهي الله صه الله سصل صةم37 T.H. Weir, ‚S}adaka,‛ First Encyclopaedia ofIslam (Leiden: E.J. Brill, 1987), 7: 710. 38 T.H. Weir, ‚S{adaka,‛ 711. 39 Tentang s}adaqah para sahabat Nabi, lihat Muh}ammad H{a>mid Muh}ammad, Qis}as} al-
Mutas}addiqi>n: Fad}l al-S{adaqah, A<<da>buha> wa-Ah}ka>muha> (Iskandariyyah: Da>r al-I<ma>n, 2000).
25
Bab II
Yang demikian itu karena shadaqah memiliki fungsi yang sangat penting
bagi pemberi dan penerima. Di antara fungsi tersebut adalah untuk menangkal
dosa di dunia ini dan hukuman di akhirat. Di sinilah letak arti penting Hadis Nabi
yang menganjurkan agar setiap Muslim memberikan shadaqah setiap hari sejak
matahari terbit.40
Dengan memberikan shadaqah setiap hari, Muslim berharap
dapat terhindar dari dosa sepanjang hidupnya.
Pada saat yang sama, shadaqah juga dapat menghapus dosa, sehingga setiap
Muslim dianjurkan segera bersedekah setelah ia melakukan dosa untuk menyertai
taubatnya. Bahkan shadaqah diyakini dapat menjadi sarana untuk menyembuhkan
penyakit, mengingat Nabi menegaskan, ‚Obatilah penyakitmu dengan shadaqah.‛
Di samping itu, shadaqah diyakini dapat berfungsi untuk mendatangkan rizki. Hal
ini dapat dimengerti mengingat banyak ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa
Tuhan akan melipatgandakan harta yang telah disedekahkan dan pahala yang
diperoleh darinya. Fungsi shadaqah yang tidak kalah penting adalah untuk
memperbaiki penyakit moral, seperti bakhil dan kikir, sombong dan lain
sebagainya.
Agar fungsi-fungsi tersebut dapat diraih, shadaqah dianjurkan untuk
dilakukan berdasarkan kriteria tertentu. Al-Ghaza>li>, misalnya, mengemukakan
bahwa shadaqah tidak boleh dibarengi dengan menyakiti penerima, sebab hal itu
akan menghilangkan pahala perbuatan tersebut. Lebih jauh ia menegaskan bahwa
orang yang bersedekah, betapa pun besarnya, hendaknya selalu merasa baru
sedikit bersedekah. Ini untuk menghindari rasa sombong dan keangkuhan diri,
yang juga dapat menghapus pahalanya. Dalam memberikan shadaqah, pemberi
hendaknya memilih yang terbaik di antara yang dimiliki dan dicintainya.41
Berbeda dengan zakat, yang penerimanya telah ditetapkan dalam Al-Quran
dan Hadis, sasaran pemberian shadaqah sangat luas, termasuk di dalamnya
keluarga dan tetangga yang memerlukan. Selain itu, masjid atau lembaga lain,
seperti lembaga pendidikan,42
juga boleh diberi shadaqah, yang dapat diwakili
oleh pengurus atau bahkan pemberi sedekah itu sendiri. Ternyata, shadaqah tidak
terbatas bagi Muslim, ia dapat diberikan kepada non-Muslim, seperti orang
Yahudi dan Nasrani (ahl al-kita>b), dan bahkan kepada mereka yang
dikategorisasikan sebagai musuh Islam (h}arbi>).43
Uraian di atas menunjukkan bahwa shadaqah merupakan bentuk
kedermawanan Islam yang sangat luas. Ia memiliki dimensi sosial dan keagamaan,
yang tidak hanya terbatas bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat manusia secara
umum. Karena itu, ia menjadi salah satu aspek filantropi Islam yang potensial
bagi kesejahteraan secara umum.
2. Zakat
Berbeda dengan shadaqah yang bersifat sukarela, zakat dikenal sebagai
rukun ketiga dari lima rukun Islam (arka>n al-Isla>m), setelah syahadat dan shalat.
Bahkan perintah zakat sendiri sering dikaitkan dengan perintah shalat dalam satu
40 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 358. 41 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 1: 131-6. 42 Al-Ghaza>li> menilai bahwa lembaga pendidikan berhak menerima s}adaqah karena ia dapat
memelihara ilmu, termasuk di dalamnya mereka yang bergelut dengan ilmu. Sebab, tidak ada derajat
yang lebih mulia ketimbang derajat ulama. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 1: 139. 43 T.H. Weir, ‚S{adaka,‛ 713.
26
Islam, Negara, dan Filantropi
nafas. Akan tetapi, seperti shadaqah, zakat dipandang oleh sebagian sarjana
sebagai transliterasi dari istilah asing yang berasal dari agama-agama sebelum
Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Joseph Schacht, misalnya, berpendapat
bahwa kata zakat dipinjam dari kata Ibrani zaku>t,44 sementara Richard Bell
menduga bahwa zakat berasal dari bahasa Suryani yang digunakan oleh orang-
orang Kristen, dan karenanya bersumber dari agama ini.45
Pandangan berbeda dikemukakan sarjana Muslim, yang melihat zakat
sebagai istilah asli Islam dan tidak terkait dengan sumber-sumber Yahudi dan
Nasrani. Yu>suf al-Qarad}a>wi>, misalnya, membantah klaim Schacht di atas dengan
mengatakan bahwa Nabi baru berhubungan dengan orang Yahudi dan Nasrani di
Madinah, dan karenanya tidak mengenal bahasa Yahudi atau Suryani sebelumnya.
Padahal ayat-ayat Makkiyyah telah berkali-kali menyinggung persoalan zakat.
Lebih jauh, tegasnya, adanya persamaan istilah dan makna dalam dua bahasa tidak
harus berarti bahwa yang satu diambil dari yang lain, kecuali memang ada bukti
historis dan ilmiah yang mendukungnya. Karena itu, pandangan Schacht
mengenai asal muasal istilah zakat di atas tidak berdasar dan tidak memenuhi
kriteria ilmiah.46
Terlepas dari masalah peminjaman kata tersebut, zakat tampaknya telah
menjadi tradisi keagamaan Yahudi dan Nasrani sebelum Islam, setidak-tidaknya
jika konteks beberapa ayat Al-Quran yang memerintahkan zakat diperhatikan. QS
al-Baqarah (2): 43, 83 dan 110 berikut ini menunjukkan hal itu.
(.54أليت تنصلاذ ءتشت نزكثذ تسكعت يع تنشتكعي )
(.34... أليت تنصلاذ ءتشت تنزكثذ ثى شنيصى إلا لهيلا يكى أصى يعشظ )
(.221ذ ءتشتنزكثذ يث شمذيت لأفضكى شجذ عذ الله إ الله خث شعه خصيش )أليت تنصلا
Akan tetapi, konteks ketiga ayat tentang perintah pembayaran zakat ini ditujukan
kepada Bani Israil atau ahl al-kita>b. Dengan demikian, Al-Quran sendiri mengakui
adanya praktik zakat yang dilakukan oleh para pengikut Yahudi dan Nasrani,
seolah-olah praktik tersebut bersifat universal bagi ketiga agama Ibrahimi ini.47
Zakat sendiri memiliki makna yang dinamis, dari sekadar ‚pertumbuhan dan
peningkatan‛ hingga ‚penyucian.‛48
Menurut Bashear, ada dua kata yang
digunakan untuk menunjuk zakat: zaka>’ dan zaka>h. Jika yang pertama digunakan,
ia menunjuk pada pertumbuhan dan peningkatan, namun jika yang kedua yang
digunakan, ia berarti penyucian. Dari kedua pengertian inilah kemudian makna
zakat dikembangkan menjadi pertumbuhan dan penyucian.49
Ini terlihat, antara
lain, dalam definisi al-Sarakhsi>, yang menggabungkan kedua makna itu, seraya
merujuk pada QS al-Tawbah (9): 103. Menurutnya, disebut zakat karena ia
‚menyucikan pembayarnya dari dosa-dosa‛ ( تلآثثو ع صثددث شطش لأث ).50
44 Joseph Schacht, ‚Zakat,‛ First Encyclopedia of Islam, 4: 1202. 45 Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment (London: 1973), 79. 46 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 39-40. 47 Cf. Abu> Bakr ibn ‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qura>n, 1: 20-21. 48 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam,‛
Arabica, 40 (1993): 84-113. 49 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development,‛ 86-87; cf. Hans Wehr, A Dictionary of
Modern Written Arabic: Arabic-English, ed. J. Milton Cowan (Beirut: Maktabat Lubna>n, 1974), 379. 50 Al-Sarakhsi>, Kita>b al-Mabsut} (Kairo: Mat}ba‘at al-Sa‘a>dah, 1913), 2: 149.
27
Bab II
Dengan demikian, zakat memiliki dimensi ganda: sebagai tindakan ibadah
yang bertujuan untuk menyucikan pembayarnya, dan sebagai tindakan sosial
untuk meningkatkan penghasilan penerimanya. Dalam ungkapan A. Zysow,
hukum zakat dapat disebut sebagai hibrida antara unsur ibadah dan peningkatan
penghasilan.51
Tidak heran jika kemudian pembahasan tentang zakat sering
ditemukan dalam fikih ibadah, tetapi tidak jarang pula menjadi perhatian fikih
politik ekonomi (fiqh al-siya>sah al-ma>liyyah), bersandingan dengan keuangan
publik atau sumber-sumber pemasukan negara lainnya.52
Zakat tidak dikenakan kepada seluruh harta benda seseorang, tetapi hanya
harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, harta tersebut
dimiliki secara nyata. Kedua, kepemilikannya atas harta tersebut bersifat mutlak,
dalam arti benar-benar dalam kewenangannya. Ketiga, harta tersebut harus
mengalami pertumbuhan. Keempat, harta tersebut melebihi dari kebutuhan dasar
seseorang. Kelima, yang wajib dizakati telah mencapai setahun (h}awl) di tangan
pemiliknya, kecuali tanaman dan harta temuan (rika>z), yang waktu
pembayarannya harus dilakukan saat panen atau ditemukan. Keenam, harta
tersebut telah mencapai jumlah minimal harta yang harus dizakati (nis}a>b), di
samping besaran zakat yang harus dikeluarkannya (miqda>r) darinya.53
Lebih jauh,
cara memperoleh harta pun dipertimbangkan bagi penentuan besaran zakat.
Misalnya, zakat tanaman yang difasilitasi oleh irigasi akan lebih rendah
dibandingkan dengan zakat tanaman yang hanya mengandalkan air hujan.
Tentang kapan zakat mulai diwajibkan, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Sebagian beranggapan bahwa zakat fitrah mulai diwajibkan pada
tahun ke-2 Hijrah di Madinah, sementara zakat ma>l (harta) diwajibkan pada tahun
ke-9 Hijrah,54
bersamaan dengan turunnya QS al-Tawbah (9): 103 dan sebagainya,
sedangkan lainnya berpandangan bahwa zakat diwajibkan sejak sebelum hijrah,
mengingat ayat-ayat Makkiyyah, seperti QS al-Ru>m: 38-39 dan 1-3, Luqma>n: 4
dan sebagainya, telah memerintahkannya. Terhadap perbedaan ini, al-Qarad}a>wi>
menilai bahwa zakat yang diwajibkan di Mekah bersifat mutlak (zaka>h mut}laqah),
dalam arti belum ditentukan jumlah harta yang harus dizakati (nis}a>b) dan takaran
zakatnya (miqda>r), serta mereka yang berhak menerimanya. Dengan kata lain,
zakat di sini banyak bersandar pada keimanan seseorang dan, karenanya, lebih
bersifat moral ketimbang hukum. Ini berbeda dengan zakat yang diwajibkan di
Madinah, yang ketentuannya telah ditetapkan secara terperinci dan berbentuk
hukum. Dengan demikian, zakat yang diwajibkan di Madinah pada dasarnya
memperkuat kewajiban zakat di Mekkah dan memperjelas hukumnya.55
Kenyataan ini didukung oleh sejumlah hadis yang memberikan rincian aturan
tentang zakat.56
51 A. Zysow, ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 2001), 11: 407. 52 Lihat, misalnya, al-Ma>wardi>, Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), 113-
125. Sesuai dengan judulnya, buku ini lebih dikenal sebagai buku tentang pemerintahan, tetapi dibahas
juga di dalamnya masalah zakat. Cf. S.A. Siddiqi, Public Finance in Islam (Delhi: Adam Publishers and
Distributors, 1992), bab 2. 53 Al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 33: 236. 54 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), 39. 55 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h, 1: 58-62. 56 Tentang hadis-hadis yang membicarakan ketentuan-ketentuan ini, lihat, misalnya, Sayyid
Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: bab zakat.
28
Islam, Negara, dan Filantropi
Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Richard Bell melihat bahwa perintah zakat
dalam ayat-ayat Makkiyah sama sekali tidak dalam pengertian wajib, tetapi
bersifat sukarela. Ia menegaskan bahwa zakat dalam ayat-ayat ini ‚only in the
sense of alms and voluntary giving to the poor, as much for purification of the
giver’s soul as for relief of the needy.‛57
Ini berarti kata zakat dalam ayat-ayat
Makkiyyah tampaknya hanyalah sedekah yang dilakukan secara sukarela.
Konsekuensinya, zakat dapat dipastikan diwajibkan setelah Nabi hijrah ke
Madinah. Meskipun demikian, sebenarnya pandangan Bell ini tidak berlawanan
dengan pendapat al-Qarad}a>wi>, mengingat yang terakhir ini juga menganggap
zakat dalam ayat-ayat Makkiyyah masih bersifat moral. Sebab, pada tatanan
moral, seseorang yang tidak melaksanakannya tidak memiliki akibat hukum yang
menimpanya.
Agar ketentuan-ketentuan zakat dapat terlaksana dengan baik di Madinah,
Nabi dikatakan telah menunjuk sejumlah orang dari kalangan sahabat yang
bertindak sebagai pengumpul zakat, yang terkemuka di antaranya adalah ‘Umar
ibn al-Khat}t}a>b dan ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib.58
Nabi juga mengirim sejumlah utusan,
seperti Mu‘a>dh, yang di samping bertugas mengajarkan Islam, juga
mengumpulkan zakat dari kalangan orang-orang kaya dalam masyarakat. Ini
menunjukkan bahwa zakat menduduki posisi yang penting dan memeroleh
perhatian yang serius dari negara. Dalam ungkapan lain, zakat sebagai suatu
bentuk ibadah tidak dapat dipisahkan dari tugas negara.
Kenyataan ini terlihat jelas pada pemerintahan Abu> Bakr, yang
menggantikan kepemimpinan Nabi setelah wafat. Sebagian suku Arab menolak
membayar zakat dengan alasan bahwa zakat merupakan penebusan dosa melalui
doa Nabi, sebagaimana diisyaratkan oleh QS al-Tawbah (9): 103. Karena itu,
dengan wafatnya Nabi, tak seorang pun dapat menggantikan posisi Nabi yang
mampu mendoakan mereka agar terampuni dari dosa-dosa mereka. Akibatnya,
kewajiban membayar zakat kepada pengganti Nabi menjadi tidak berlaku lagi.59
Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan golongan orang-orang yang
murtad (murtaddi>n), yang kemudian diperangi oleh Abu> Bakr dan tentaranya.
Di kalangan sahabat sendiri terdapat perbedaan pendapat seputar apakah
mereka yang menolak membayar zakat itu dapat disebut murtaddi>n atau tidak.
‘Umar sendiri menolak menyebut mereka sebagai murtaddi>n dengan argumen
bahwa mereka telah mengakui syahadat dan melaksanakan shalat. Sementara itu,
Abu> Bakr menilai bahwa kedua kewajiban itu tidak dapat dipisahkan satu dari
lainnya. Dalam hal ini, ‘Abdullah-i Ahmed An-Na‘im menilai bahwa ‘Umar
akhirnya menerima pandangan Abu> Bakr karena ketaatan terhadapnya sebagai
pemimpin yang kebijakannya harus ia hormati, bukan karena alasan keagamaan.60
Peperangan terhadap kaum murtad (h}uru>b al-riddah) ini mendorong sebagian
sarjana berspekulasi bahwa motif peperangan itu lebih cenderung bersifat sosio-
ekonomis ketimbang keagamaan.61
57 Richard Bell, Introduction to the Quran (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1953), 166. 58 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 408. 59 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development,‛ 101. 60 ‘Abdullah-i Ahmad An-Na‘im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan
Syariah (Bandung: Mizan, 2007), 95-97. 61 Lihat, misalnya, C. Brockelmann, History of Islamic Peoples (Albany, NY: SUNY Press,
1947), 45-46.
29
Bab II
Tanpa harus mendiskusikan lebih detil tentang alasan peperangan tersebut,
sistem pengumpulan zakat terus mengalami perkembangan, terutama pada masa
pemerintahan ‘Umar. Dialah yang membentuk lembaga pengumpul zakat
(semacam BAZ) yang ditempatkan di jalan-jalan dan pelabuhan untuk menarik
zakat dari pedagang Muslim sebesar 2,5%, sementara dari non-Muslim sebesar
10% (‘ushr). Di samping itu, ‘Umar jugalah yang berpandangan bahwa negara
Islam sudah kuat dan aman dan, karenanya, tidak lagi membutuhkan jasa orang-
orang muallaf, sehingga yang terakhir ini tidak lagi berhak mendapatkan bagian
dari zakat. Bahkan kepada ‘Umar pula berdirinya Baitul Mal sering dinisbatkan.62
Akan tetapi, perubahan penting dalam kebijakan tentang pengumpulan zakat ini
terjadi pada masa ‘Uthma>n yang, antara lain, memerintahkan para petugas untuk
menarik hanya zakat atas harta yang terlihat, seperti ternak dan pertanian, tanpa
menuntut zakat dari harta yang tidak terlihat, seperti emas, perak, dan barang
dagangan.63
Ini tidak berarti bahwa benda-benda tersebut tidak wajib dizakati
ketika telah mencapai nis}a>b, sebaliknya yang ‘Uthma>n tekankan adalah
memberikan keleluasaan agar para pemilik menghitung sendiri zakat atas benda-
benda tersebut dan menyerahkannya baik ke Baitul Mal atau kepada mustahik
secara langsung, atau menyerahkan sebagian kepada yang kedua dan sebagian
lainnya kepada yang pertama. Kebijakan ini diambil karena para petugas
pengumpul zakat sering mempermalukan para pembayar zakat, sehingga tidak
jarang menimbulkan kerisauan di kelompok yang disebut terakhir ini.64
Kebijakan khalifah yang ketiga ini terus berlangsung pada masa Umayyah
dan pengumpulan zakat juga mengalami peningkatan. Namun, pada saat yang
sama, kecurigaan atau ketidakpercayaan terhadap lembaga zakat yang dikelola
oleh negara juga muncul, sehingga diragukan apakah membayar zakat kepada
pejabat resmi negara masih tepat dilakukan. Kondisi ini tampaknya berlangsung
cukup lama, mengingat baru pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z sistem
pengumpulan zakat ditata kembali seperti semula bersamaan dengan reformasi
sistem keuangan negara. Ia menunjuk petugas pengumpul zakat tidak hanya atas
benda-benda yang tampak, tetapi juga terhadap yang tidak tampak. Bahkan,
setiap gubernur ditunjuk sebagai penanggung jawab atas pengumpulan zakat di
wilayahnya.65
Akan tetapi, baru pada pemerintahan Hisha>m, sebuah lembaga
pemerintah yang khusus menangani zakat didirikan dengan nama di>wa>n al-s}adaqah, yang mengumpulkan sekaligus mendistribusikan zakat.
66
Pada masa ‘Abbasiyyah, pengelolaan zakat tampaknya tidak efisien,
sehingga Ha>ru>n al-Rashi>d meminta Abu> Yu>suf agar menulis saran-saran bagi
perbaikan aktivitas tersebut, sebagaimana tercermin dalam Kita>b al-Khara>j. Dikemukakan bahwa pengumpulan zakat dilakukan oleh para pengumpul pajak,
tanpa memisahkannya. Sementara itu, zakat atas barang dagangan yang
dikumpulkan oleh petugas zakat dikelola secara terpisah dari zakat atas benda-
benda lainnya. Bahkan, terjadi juga penggunaan dana zakat bagi tujuan-tujuan
62 N.J. Coulson, ‚Bayt al-Ma>l: Legal Doctrine,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 1986),
1: 1141; lihat juga Bernard Lewis, ‚Bayt al-Ma>l: History,‛ 1143. 63 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 409. 64 Ataina Hudayati dan Achmad Tohirin, “Management of Zakah: Centeralised vs Decentralised
Approach,” Proceedings of 7th International Conference on “The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy” (Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2010), 365.
65 Lihat S.A. Siddiqi, Public Finance in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1968), 194. 66 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 409.
30
Islam, Negara, dan Filantropi
selain delapan golongan yang, dalam pandangan Abu> Yu>suf, berlawanan dengan
tujuan utama zakat.67
Ini menunjukkan kekacaun sistem pengelolaan zakat
tersebut. Akan tetapi, bagaimana pengeloaan zakat secara sistematis setelah
terbitnya karya di atas, hal itu tidak banyak dibicarakan.68
Meskipun demikian, dapat diduga bahwa pengelolaan zakat oleh negara
setelah Abbasiyah mengalami kemunduran. Ini ditunjukkan pada masa
Fatimiyyah, di mana kaum Muslim cenderung membayarkan zakat mereka
langsung kepada fakir-miskin, meskipun para ulama membolehkan mereka
membayarkannya kepada negara.69
Pada masa modern, diskusi tentang zakat tidak lagi menjadi monopoli ulama
(fuqaha>’), tetapi juga menjadi perhatian para ahli ekonomi, mengingat potensi
zakat yang sangat besar bagi umat maupun negara. Karena itu, beberapa negara
melibatkan diri dalam pengumpulan dan pendistribusiannya, bahkan
mengeluarkan undang-undang khusus yang mengaturnya, di antaranya, Saudi
Arabia, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan dan Sudan.70
Di Saudi Arabia, pengumpulan zakat ditetapkan melalui Keputusan Raja No.
17/2/28/8634 yang tertanggal 7 April 1951, yang menetapkan zakat baik pada
individu maupun perusahaan nasional Saudi. Pengelolanya adalah Departemen
Zakat dan Pajak Penghasilan yang berada di bawah Kementerian Keuangan dan
Ekonomi. Sementara itu, Undang-undang Nomor 89 tentang Zakat di Libya baru
ditetapkan 1971. Berdasarkan undang-undang ini, kekayaan yang harus dizakati
tidak saja yang secara tradisional telah ditetapkan, tetapi juga meliputi uang
kertas dan saham perusahaan. Di Yaman sendiri, pengumpulan zakat dilaksanakan
berdasarkan undang-undang yang ditetapkan pada 1975, yang implementasinya
ditugaskan kepada Departemen Kewajiban (mas}lah}at al-wa>jiba>t) di bawah
Kementerian Keuangan. Adapun di Malaysia, pengumpulan zakat dilakukan di
masing-masing negeri atau kerajaan di bawah Majelis Urusan Agama. Di
Pakistan, pelaksanaan zakat berdasarkan undang-undang dimulai pada masa
Jenderal Zia al-Haq bersamaan dengan ditetapkannya Zakat and ‘Ushr Ordinance pada 1980, sebagai upaya islamisasi yang digalakkan di negeri itu. Di sini, zakat
dikelola oleh Zakat Funds, yang terdiri dari tiga tingkatan. Central Zakat Fund
menerima zakat dari rekening dan pendapatan yang dipotong langsung, sementara
Local Zakat Funds yang jumlahnya cukup banyak menerima ‘ushr. Seperti di
Pakistan, Undang-undang Zakat dan Pajak merupakan bagian islamisasi yang
dicanangkan oleh Numayri pada 1984. Setelah mengalami beberapa perubahan,
Undang-undang Zakat 1990 menetapkan zakat tidak hanya pada kelompok
kekayaan yang secara tradisional harus dizakati, tetapi juga pada gaji para
pegawai dan professional, di samping pada peternakan ayam dan perikanan.71
Berbeda dengan shadaqah, yang pendistribusiannya sangat luas, penerima
zakat telah ditetapkan oleh Al-Quran, yaitu delapan golongan (al-as}na>f al-thama>niyah).
72 Akan tetapi, ruang untuk mendefinisikan siapa mereka ini tetap
67 Abu> Yu>suf Ya‘qu>b, Kita>b al-Khara>j (Beirut: Da>r al-T{iba>‘ah wa al-Nashr, 1979), 3. 68 Abu> Yu>suf Ya‘qu>b, Kita>b al-Khara>j, 80. 69 Lihat A. Zysow, “Zakat,” 409 70 Bandingkan A. Zysow, “Zakat,” 409. 71 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419-20. Yang tidak disebutkan Zysow di sini adalah Indonesia, yang
pembahasannya akan diuraikan dalam bab berikutnya. 72 QS al-Tawbah (9): 60.
31
Bab II
terbuka, dan bahkan bisa ditafsirkan ke pelbagai golongan. M. Rashi>d Rid}a>,
misalnya, menafsirkan budak dalam QS al-Tawbah (9): 60 tidak sebagai individu,
tetapi dalam arti masyarakat yang diperbudak oleh kolonialisme. Sementara itu, fi> sabi>lilla>h dalam ayat itu diartikan bukan sebagai jihad dengan senjata, namun
jihad melalui argumen dan persuasi.73
Dengan kata lain, golongan yang berhak
menerima zakat sesungguhnya dapat berubah sesuai dengan keadaan dan kondisi
yang dihadapi oleh masyarakat Muslim.
Upaya untuk menafsirkan ayat tersebut secara dinamis juga dilakukan oleh
tokoh neomodernis Islam, Fazlur Rahman. Menurutnya, prinsip di balik
pembagian kepada delapan golongan itu adalah keadilan dan kesejahteraan sosial
dalam pengertian yang luas. Akan tetapi, kaum Muslim memahami fungsi zakat
secara picik, sehingga ia kehilangan makna yang sesungguhnya. Ia menegaskan
bahwa zakat dapat digunakan untuk seluruh aktivitas yang juga menjadi
kewajiban negara, seperti pendidikan dan kesehatan, gaji para pegawai
administratif, dakwah atau diplomasi, pertahanan, komunikasi dan sebagainya.74
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan salah satu
bentuk filantropi Islam, yang tujuan utamanya adalah keadilan dan kesejahteraan
sosial, yang dijiwai oleh semangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Di sini
muncul pertanyaan, ‚Mengapa zakat yang bersifat wajib disebut filantropi, yang
pada dasarnya merupakan kedermawanan yang bersifat sukarela?‛ Dalam
pandangan Dawam Rahardjo, zakat sebenarnya adalah penyucian diri yang
bersifat individual. Memang, ia merupakan kewajiban, tetapi sifatnya individual,
yang bila seseorang tidak melaksanakannya, ia tidak mendapat pahala dari Tuhan
atau tidak mendapat balasan kasih sayang-Nya.75
Tentu, ini memunculkan
persoalan mengingat wajib dalam hukum Islam bukan sekadar berimplikasi pahala
bagi yang melaksanakannya, tetapi juga mendatangkan hukuman bagi yang
meninggalkannya. Ini jika didasarkan pada definisi wajib, yaitu ‚perbuatan yang
jika dikerjakan memeroleh pahala dan jika ditinggalkan memeroleh hukuman‛
(yutha>bu fi‘luh wa-yu‘a>qbu ta>rikuh).76
Terhadap definisi ini, dan definisi lain yang mengandung kata hukuman, al-
Ghaza>li menentangnya dengan argumen sebagai berikut. Pertama, wajib kadang-
kadang dimaafkan dari hukuman jika ditinggalkan, meskipun hal itu tidak
menghilangkan posisi wajib. Yang demikian itu karena wajib harus dilaksanakan
secara sempurna (na>jiz), sementara hukumannya masih menunggu (muntaz}ar). Maksudnya, kewajiban harus dilaksanakan secara sempurna, yang jika tidak
dilaksanakan, hukumannya pun direalisasikan saat itu juga. Kedua, kalau wajib
diancam dengan hukuman, maka realisasinya harus dilaksanakan karena janji
Tuhan pasti benar. Namun, hukuman itu kadang-kadang dimaafkan dan tidak
direalisasikan. Al-Ghaza>li> sendiri mendefinisikan wajib, mengutip Qa>d}i> Abu> Bakr,
sebagai ‚sesuatu yang membuat orang yang meninggalkannya dicela dan dicaci
secara syar‘i dengan cara tertentu‛ (huwa al-ladhi> ma> yudhammu ta>rikuhu wa-
73 M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, 10: 587. 74 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), 60-61. 75 M. Dawam Rahardjo, “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan
Epistemologis,” dalam Berderma untuk Semua, xxxvii-xxxviii. 76 Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, 2 jilid (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986), 1: 46.
32
Islam, Negara, dan Filantropi
yula<mu shar‘an bi-wajhin ma>).77
Lebih jauh, zakat tergolong ke dalam ibadah
mahdah. Yaitu, ibadah yang bertujuan untuk ‚membangun hubungan manusia
dengan Tuhannya‛ (tanz}i>m ‘ala>qat al-insa>n bi-rabbihi).78 Adapun tujuan
disyariatkannya ibadah itu sendiri adalah penyucian jiwa (tat}hi>r al-nafs wa-tazkiyatuha>) dan menjauhkannya dari tindakan-tindakan tercela.
79 Di sini terlihat
bahwa wajib dalam hukum Islam bersifat etis, yang pelaksanaannya bergantung
pada moralitas seseorang. Dengan begitu, membayar zakat pada dasarnya adalah
wajib etis dan karenanya dapat disebut sebagai filantropi, yang juga didasarkan
pada moralitas.
Meskipun penerimanya telah ditetapkan, fungsi zakat sesungguhnya sangat
luas, termasuk sarana-sarana yang dapat mengantarkan pada tujuan tersebut.
Lebih jauh, dalam pengelolaannya, keterlibatan negara selalu ada dengan
tingkatan yang berbeda dari waktu ke waktu. Pada awalnya, negara terlibat penuh,
lama kelamaan kemudian memudar dan akhirnya kembali melibatkan diri pada
zaman modern, seperti yang terjadi di beberapa negara bangsa Muslim.
3. Wakaf
Bentuk filantropi penting lain dalam Islam adalah wakaf (waqf), masdar dari
kata kerja waqafa-yaqifu, yang berarti ‚melindungi atau menahan.‛ Sinonim
wakaf meliputi tah}bi>s, tasbi>l atau tah}ri>m, meskipun ketiga istilah yang terakhir ini
kalah populer dibandingkan dengan yang pertama.80
Seperti zakat, wakaf juga
masuk ke dalam kategori shadaqah. Akan tetapi, untuk membedakan dari bentuk-
bentuk shadaqah lainnya, ia biasanya disebut s}adaqah ja>riyah (s}adaqah yang terus
mengalir pahalanya).
Seperti shadaqah dan zakat, wakaf juga diduga oleh sebagian orientalis
berasal dari tradisi agama lain, yaitu Kristen. W. Heffening, misalnya,
berpendapat bahwa wakaf muncul setelah Nabi wafat. Argumen Heffening adalah
bahwa ketentuan-ketentuan formal wakaf baru ditetapkan oleh fuqaha>’ pada abad
ke-2 H. Di samping itu, di Arab pra-Islam tidak ditemukan praktik wakaf. Kaum
Muslim baru mengenal wakaf ketika mereka menaklukkan beberapa wilayah di
luar Arab. Di Mesir, misalnya, pada tiga abad pertama Islam, hanya terdapat
lembaga yang dikelola kaum Koptik Kristen, yang berbentuk rumah-rumah biara,
anak-anak yatim dan orang miskin, terutama di kota-kota, di samping bagi
pengembangan gereja. Karena itu, wakaf tidak lain daripada pengadopsian tradisi
Kristen ke dalam Islam.81
Adanya wakaf sebelum Islam ini juga diakui oleh Muh}ammad ‘A<bid
‘Abdulla>h al-Kabisi>, tetapi hal itu tidak harus berasal dari Kristen. Menurut al-
Kabisi, wakaf dengan mudah dapat ditemukan dalam tradisi-tradisi sebelum
Islam, mengingat setiap tradisi keagamaan mensyaratkan adanya rumah
peribadatan yang permanen. Pertanyaannya, dari mana tanah-tanah tempat
77 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min-‘Ilm al-Us}u>l, ditahkik H{amzah ibn Zuhayr H{a>fiz}, 4 jilid
(Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyyah, t.th.), 1: 211-212. 78 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuh, 1: 19. 79 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuh, 1: 23. 80 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 153; Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n
al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 108. 81 Pandangan ini dikemukakan oleh C.H. Becker dan didukung W. Heffening. Lihat Heffening,
‚Wakf,‛ 1098.
33
Bab II
bangunan itu kalau bukan karena kerelaan pemiliknya untuk dibangun sebagai
rumah ibadah yang permanen, yang pada dasarnya mirip dengan wakaf. Lebih
jauh, al-Kabisi menolak anggapan bahwa masyarakat Arab Mekah sebelum Islam
tidak mengenal wakaf. Menurutnya, wakaf telah mereka kenal, hanya saja tujuan
wakaf yang mereka praktikkan berbeda dengan tujuan wakaf yang dianjurkan
Islam. Mereka mewakafkan sesuatu demi kebanggaan, sementara Islam
menganjurkan wakaf sebagai upaya memeroleh ridha Tuhan.82
Seperti ditunjukkan
al-Kabisi, praktik yang menyerupai wakaf ini juga ditemukan dalam masyarakat
di luar Mekah sebelum Islam, seperti di Irak dan Mesir kuno, Romawi dan lain
sebagainya.83
Terhadap dugaan bahwa wakaf berasal dari tradisi Kristen, Cl. Cohen
menegaskan bahwa pada masa awal Islam, wakaf cenderung ditujukan kepada
kerabat dan keturunan daripada kepada institusi. Dengan kata lain, wakaf sebagai
lembaga publik memang kurang populer di Arab pada masa Islam awal. Di
samping itu, wakaf juga telah banyak tersebar di daerah pedesaan pada masa Islam
awal dan karenanya praktik ini tidak semata-mata pengadopsian dari tradisi
asing.84
Sebenarnya, semangat wakaf sudah ada dalam Islam, seperti ditunjukkan
dalam hadis di bawah ini, meskipun tidak mustahil bahwa wakaf dalam bentuk
institusi dengan segala administrasinya mengadopsi dari tradisi lain. Ini bisa
terjadi seperti dalam masalah perpajakan, di mana beberapa tradisi asing yang
baru dikenal kaum Muslim kemudian diadopsinya.
Berbeda dengan shadaqah dan zakat, wakaf tidak diperintahkan (diwajibkan)
secara eksplisit dalam Al-Quran. Meskipun demikian, beberapa ayat
mengisyaratkan akan hal itu, seperti QS al-Baqarah (2): 44 dan 224 dan A<li
‘Imra>n (3): 92. Dua ayat pertama menggunakan kata birr (perbuatan baik),
sedangkan ayat terakhir menggunakan infa>q, yang keduanya merupakan padanan
dari filantropi, seperti diuraikan di atas. Lebih jauh, diyakini bahwa tidak ada
persoalan yang tidak dijelaskan oleh Al-Quran,85
meskipun secara sangat global,
yang perinciannya biasanya ditemukan dalam hadis-hadis Nabi. Hukum wakaf
termasuk ke dalam kategori ini, di mana penjelasannya secara eksplisit ditemukan
dalam hadis-hadis Nabi, sementara Al-Quran hanya mengisyaratkan saja.86
Di
antara hadis-hadis yang umum digunakan untuk menunjukkan anjuran wakaf
adalah sebagai berikut.
يثز إرت: لثل صهى عهي الله صه الله سصل أ ع شعثن الله سظ شيشذ أخ ع
صثنخ نذ أ خ، يصفع عهى أ جثسير، صذلر ي إلا: ثلاثر ي إلا عه تمطع آدو تخ
(يضهى تس) ن يذعDiriwayatkan dari Abi> Hurayrah bahwa Nabi Saw. bersabda: ‚Jika seorang
manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal:
82 Muh}ammad ‘A{bid ‘Abdulla>h al-Kabisi>, Hukum Wakaf, terj. Ahrul Sani Fathurrahman
dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada (Jakarta: IIMaN, 2004), 12-13. 83 Al-Ka>bisi>, Hukum Wakaf, 15-17; lihat Anonymous, al-Was}a>ya> wa al-Awqa>f fi al-Fiqh al-
Isla>mi> (Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi‘iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nasyr, 1996), 187; juga Muh}ammad
Abu> Zahrah, Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf (Kairo: Ma‘had al-Dira>sa>t al-‘Arabiyyah al-‘A>liyah, 1959), 7. 84 R. Peters, ‚Wakf,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill, 2000), 11: 60. 85 QS al-Nah}l (16): 38. 86 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992), 10-11.
34
Islam, Negara, dan Filantropi
s}adaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan (orang lain), atau anak shaleh yang
mendoakannya‛ (H.R. Muslim).87
أسظث ع شعثن الله سظ عش أصثج: لثل عث، شعثن الله سظ عش تخ ع
أصدس إ! الله سصل يث: فمثل فيث، يضصؤيش صهى عهي الله صه تند فؤش خخيدش،
أصهث ددضس شةس إ: لثل ي، عذ أفش لط يثلا أصح نى خخيدش، أسظث
لا أصهث، لايدثع أ ع، شعثن الله سظ عش خث فصصذق: لثل خث، شصذلس
يمصد ف تنشلثج، ف تنمشخ، ف تنفمشتء، ف خث فصصذق يح، لا يسض،
خثنعشف،يطعى يث يؤكم أ نيث ي لاجثح تنعيف، تنضديم، تخ الله،
(عهي يصفك) يثلا يصل غيش صذيمث،Ibn ‘Umar r.a. berkata: ‘Umar r.a. mendapatkan tanah (ghani>mah) di
Khaybar, lalu ia mendatangi Nabi Saw. untuk berkonsultasi tentangnya,
seraya berkata: ‚Wahai Rasulullah! Aku memeroleh tanah di Khaybar, yang
aku rasa belum pernah kuperoleh harta yang lebih mahal daripadanya.‛ Nabi
menjawab: ‚Kalau kamu mau, pertahankan tanahnya dan kamu sedekahkan
hasilnya.‛ Ibn ‘Umar berkata: ‘Umar lalu menyedekahkannya dalam arti
bahwa tanah itu tidak boleh dijual, diwariskan atau dihibahkan. Ia
menyedekahkannya bagi orang miskin, keluarga, para budak, fi> sabi>lilla>h
(jihad), ibn sabi>l (musafir) dan tamu. Tidak ada dosa bagi yang mengurusnya
untuk memakan dari hasilnya dengan cara yang baik, atau memberi makan
temannya, tanpa memperkaya diri melalui cara itu (H.R. Bukha>ri> dan
Muslim).88
Berdasarkan hadis ini, para fuqaha kemudian mengembangkan definisi
wakaf. Al-Sarakhsi, misalnya, mendefinisikan wakaf sebagai ‚melindungi sesuatu
dan menghalanginya agar tidak menjadi kepemilikan orang ketiga,‛89
sementara
al-Dimyati> mendefinisikannya sebagai ‚melindungi harta yang mungkin dapat
diambil manfaatnya dengan mempertahankan bendanya yang dibolehkan
memungut biaya administrasinya oleh pengelolanya.‛90
Lebih jauh, berdasarkan
hadis ini pula, mereka menetapkan lima rukun bagi sahnya sebuah tindakan
wakaf. Pertama, orang yang memberikan wakaf (al-wa>qif), yang dalam konteks
hadis di atas adalah ‘Umar. Kedua, benda yang diwakafkan (al-mawqu>f bih), yang
dalam hadis tersebut adalah tanah di Khaybar. Ketiga, manfaat dari benda yang
diwakafkan (al-mawqu>f ‘alayh), yakni buah (thamrah) dari tanaman di tanah
tersebut. Keempat, sasaran wakaf, yang dalam hadis diperuntukkan bagi orang
miskin, keluarga, budak, jihad, bagi musafir, dan tamu. Kelima, orang yang
mengurus wakaf (na>z}ir), yang dalam hadis disebut wali. Terakhir, ikrar wakaf
(s}i>ghah), yang dalam hadis tersebut tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi
87 Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m (Riya>d}: Maktabat Da>r al-
Sala>m, 1997), 274, hadis No. 917. 88 al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m, Hadis No. 918. 89 Sarakhsi>, al-Mabsu>t}, 12: 27. 90 Al-Dimyati>, I‘a>nat al-T{a>libi>n (Semarang: Mat}ba‘at T{a>ha> Putra, t.th.), 3: 157; cf. Muh}ammad
Abu> Zahrah, Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf, 7.
35
Bab II
diceritakan oleh Ibn ‘Umar bahwa ‘Umar kemudian mensedekahkan tanah di
Khaybar.91
Dalam perkembangannya, praktik wakaf ini kemudian terbagi ke dalam
empat institusi. Pertama, al-h}abs fi> sabi>lilla>h, yaitu sumbangan kuda, senjata dan
budak demi jihad, atau rumah bagi peristirahatan tentara. Kedua, h}abs mawqu>f atau s}adaqah mawqu>fah, yakni sejenis wakaf bagi sejumlah orang tertentu yang
setelah mereka meninggal harta wakaf tersebut kembali kepada pemiliknya
semula atau ahli warisnya. Ketiga, s}adaqah muh}arramah, ialah wakaf yang
diperuntuhkkan bagi orang miskin, atau sekelompok kerabat dan keturunan
tertentu, yang setelah mereka meninggal dunia harta wakaf itu akan jatuh ke
tangan kelompok orang miskin. Terakhir, wakaf permanen untuk masjid atau
kepentingan umum lainnya.92
Dengan berlalunya waktu, wakaf kini dikelompokkan ke dalam dua jenis
utama: khayri> dan ahli>. Yang dimaksud dengan wakaf khayri> adalah wakaf yang
memang dimaksudkan sepenuhnya untuk tujuan-tujuan agama, seperti masjid,
madrasah, rumah sakit, jembatan, pengairan dan lain sebagainya. Adapun wakaf
ahli>, yang juga disebut waqf dhurri>, adalah wakaf yang ditujukan bagi keluarga,
seperti anak, cucu, kerabat atau orang lain. Meskipun demikian, wakaf ahli ini
tetap harus bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya melalui
orang miskin.93
Sebab, pada dasarnya, wakaf ditujukan bagi semua Muslim, dalam
arti bahwa manfaat wakaf dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh kaum Muslim,
terutama mereka yang membutuhkan. Karena itu, ia dapat berperan untuk
memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat.94
Akan tetapi, wakaf ahli ini kadang-kadang digunakan untuk tujuan yang
salah, sehingga menimbulkan persoalan. Misalnya, wakaf adakalanya digunakan
untuk menghindari pembagian kekayaan ahli waris yang berhak menerimanya,
setelah wa>qif meninggal dunia. Juga bisa terjadi bahwa wakaf digunakan untuk
menghindari tuntutan pembayaran hutang seseorang sebelum ia mewakafkan
harta bendanya. Di samping itu, wakaf tidak jarang dimanfaatkan untuk mengelak
dari penyitaan yang dilakukan oleh negara.95
Oleh karena itu, wakaf ahli di
beberapa negara Muslim sangat diperketat, bahkan malah dihapuskan, seperti
yang terjadi di Mesir, melalui Undang-undang tahun 1952.96
Dalam lintasan sejarah Islam, fungsi wakaf telah digunakan untuk pelbagai
tujuan: sebagai lembaga filantropi, agen layanan sosial dan bahkan sebagai
lembaga politik yang bertarung dengan kekuatan penguasa.97
Sebagai lembaga
91 Uraian lebih terperinci tentang hukum dan ketentuan wakaf, lihat Wuza>rat al-Awqa>f wa al-
Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 2006), 44: 112 dan
seterusnya; juga Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Tasikmalaya: IAI Latifah Mubarakiyyah,
1997). 92 R. Peters, ‚Wakf,‛ 59. 93 W. Heffening, ‚Wakf,‛ 1096; lihat juga Wahbah Zuh }ayli>, al-Was}a>ya> wa al-Waqf fi> al-Fiqh al-
Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1998), 140. 94 R. Peters, ‚Wakf,‛ 60. 95 Lihat Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam Islam
and Social Policy, ed. Stephen P. Heyneman (Nashvile: Vanderbilt University Press, 2004), 28-29;
lihat Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), 90. 96 Abu Zahrah, Muh>ad}ara>t fi> al-Waqf, 44. 97 Jennifer Bremmer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice,‛ Makalah pada CSID 5th
Annual Conference on ‚Defining and Establishing Justice in Muslim Societies,‛ Washington DC.: 28-29
36
Islam, Negara, dan Filantropi
filantropi yang memberikan layanan sosial, wakaf telah memainkan peran penting
di berbagai bidang di sejumlah wilayah Dunia Islam, seperti agama dan
pendidikan, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.98
Di Mesir, misalnya, ‘Amr ibn
al-‘A<s} yang menjadi gubernur saat itu memberikan wakaf bagi pembangunan
masjid pertama di sana. Semangat untuk mendirikan lembaga-lembaga keagamaan
ini terus berlangsung hingga masa Fatimiyyah. Akan tetapi, pada masa
Ayyubiyyah, tidak sedikit dana wakaf digunakan untuk membiayai perang
melawan tentara Salib dan konsolidasi kaum Muslim Sunni.99
Sementara itu, di
Afrika Utara, wakaf tidak jarang digunakan sebagai propaganda pemerintah,
terutama pada Dinasti Marwaniyyah. Banyak lembaga keagamaan, seperti
madrasah, rumah sakit, masjid, zawiyah, perpustakaan dan sebagainya, dibangun
oleh dinasti ini. Namun, semua itu dimaksudkan untuk menyingkirkan tokoh-
tokoh Fasi dan pemimpin agama di sana.100
Di Spanyol Islam, istilah h}abs atau h}ubs lebih populer ketimbang wakaf.
Seperti di wilayah lain, tujuan wakaf di sini umumnya adalah untuk jihad di jalan
Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam hal ini, kaum aristokrat memainkan
perang penting, semisal Khalifah Hakam II, yang mendirikan yayasan untuk
mengelola pertokoan di pasar Kordoba, yang keuntungannya dimaksudkan bagi
pembiayaan masjid Kordoba dan pembayaran gaji bagi para guru Al-Quran. Di
samping itu, tidak hanya peralatan perang, seperti pedang, kuda dan lain
sebagainya, yang banyak diwakafkan, tetapi yang lebih penting adalah buku-buku
bagi para pencari ilmu, yang dapat mereka salin dan kaji. Namun, bersamaan
dengan penaklukan Kristen atas wilayah ini, kebanyakan aset wakaf ini berpindah
tangan ke gereja, yang mengklaim sebagai pewaris sahnya.101
Seperti di Spanyol, wakaf oleh penguasa dan pejabat juga umum terjadi di
Persia, baik ketika dalam kekuasaan Sunni maupun Syiah. Sebagian besar aset
wakaf biasanya dimanfaatkan untuk masjid, madrasah, khanaqah, rumah sakit,
penampungan air, air mancur dan sebagainya, sementara hasilnya digunakan
untuk mendukung ulama, perayaan keagamaan, dan memberi makan kaum miskin.
Namun, karena alasan-alasan politik dan keuangan, lembaga-lembaga wakaf
tersebut berada dalam kontrol penguasa.102
Berbeda dengan wilayah lain, wakaf di Turki masa Ottoman terbagi ke
dalam tiga macam: khayri>, ahli>/dhurri> dan mushtarak. Yang terakhir ini adalah
Mei 2004, 5. Lihat juga Siraj Sait dan Hilary Lim, Land, Law and Islam: Property and Human Rights in Muslim World (London-New York: Zed Books, 2006), 156.
98 Tentang peran-peran keagamaan dan pendidikan, ekonomi, budaya dan sosial wakaf di
beberapa negara Muslim seperti Maghrib, Aljazair, Yordania, Lebanon, Kuwait, Sudan, India dan
Malaysia, lihat Mah}mu>d Ah}mad Mahdi> (ed.), Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir: Nama>dhij Mukhta>rah min-Taja>rib al-Duwal wa al-Mujtama‘a>t al-Isla>miyyah (Jeddah: al-Bank al-Isla>mi li at-
Tanmiyah, 1423). Tentang peran sosial-ekonomi wakaf pada masa Ottoman, lihat Sazak Saduman dan
Eyuboglu Ersen Aysun, ‚The Socio-Economic Role of Waqf System in the Muslim Ottoman Cities’
Formation and Evaluation,‛ Trakia Journal of Sciences, 7:2 (2009): 272-275. 99 Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam, New Edition (Leiden:
Brill, 2000), 11: 64. 100 David S. Powers, ‚Wakf in North Africa to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition
(Leiden: Brill, 2000), 11: 70. 101 A. Carmona, ‚Wakf in Spain,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill,
2000), 11: 75-78. 102 A.K.S. Lambton, ‚Wakf in Persia,‛ The Encyclopaedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11:
81-82.
37
Bab II
wakaf yang didasarkan pada alur urutan penerima. Meskipun demikian, seperti di
wilayah lain, umumnya keluarga khalifah atau sultan berperan penting dalam
pendirian lembaga-lembaga wakaf, yang tujuannya tidak hanya bersifat
keagamaan, tetapi juga politis, sosial, ekonomis dan spiritual. Karena itu, benda-
benda wakaf di Turki meliputi banyak hal yang dapat menghasilkan pendapatan,
seperti rumah, toko, gedung, pemandian, warung kopi dan sebagainya. Pendapatan
ini kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan
institusi-institusi keagamaan, seperti masjid, madrasah, pondokan sufi, tempat-
tempat pertemuan, di samping untuk menggaji para guru dan pengelolanya. Lebih
jauh, pendapatan ini juga digunakan untuk membiayai fakir miskin dan sarana
umum seperti jembatan, sistem irigasi, benteng, menara dan lain sebagainya.
Bahkan, tidak jarang sultan atau gubernur menggunakan pendapatan wakaf untuk
penataan kota. Adakalanya, wakaf digunakan untuk tujuan politis, seperti
islamisasi terhadap daerah-daerah taklukan, atau perubahan lembaga-lembaga
Kristen yang ada menjadi lembaga-lembaga Islam. Tidak heran, jika salah satu ciri
khas perwakafan di Ottoman adalah keluasan penggunaan lembaga ini, di samping
kemampuannya beradaptasi dengan kebutuhan individu, kelompok dan negara,
termasuk dengan komunitas Kristen dan Yahudi. Terlepas dari itu semua,
kekayaan wakaf di Ottoman sungguh sangat besar, mengingat 3/4 bangunan dan
lahan pertanian di wilayah ini merupakan benda wakaf, sehingga kekekalan
lembaga ini selalu terjaga, sekalipun Turki kemudian menjadi negara sekular.103
Fungsi penting institusi wakaf di atas mendorong negara untuk melibatkan
diri di dalamnya, terutama dalam hal administrasi dan pengelolaannya.
Sebenarnya, hal itu memiliki preseden pada sejarah awal Islam, ketika kaum
Muslim menaklukkan beberapa wilayah di luar Arabia. Di Mesir, misalnya, ‘Amr
ibn al-‘A<s}, yang kemudian menjadi gubernur setelah berhasil menaklukkannya,
mendirikan di>wa>n al-ah}ba>s (dewan perwakafan), yang dilanjutkan oleh Qa>d}i>
Tawbah ibn Nami>r, pada masa Umayyah. Pada masa ‘Abbasiyyah, peran para qadi
ini terus berlanjut dengan tugas mengelola pemasukan dana wakaf, di samping
mengontrol lembaga-lembaga wakaf, termasuk wakaf non-Muslim ahl al-dhimmah (non-Muslim yang hidup dalam negara Islam). Pada masa Fa>t}imiyyah,
modifikasi sistem pengelolaan wakaf terjadi, di mana dana wakaf dimasukkan ke
dalam Baitul Mal, sehingga pembiayaan benda-benda wakaf diambil dari Baitul
Mal. Karena itu, setiap tahun para pengelola wakaf harus melaporkan pendapatan
kepada lembaga tersebut. Pada abad ke-19, tepatnya 1864, didirikanlah
kementerian wakaf di Mesir yang —20 tahun kemudian, atau dua tahun setelah
datangnya kekuatan Inggris—dihapuskan oleh Khadiv Taufik dan digantikan
dengan administra\si yang otonom.104
Lebih jauh, bersamaan dengan kehadiran kolonialisme di sejumlah negara
Muslim, wakaf di beberapa wilayah Dunia Islam mengalami kemunduran,
terutama dalam pengelolaannya. Ini, antara lain, disebabkan sikap paradoks
pemerintah kolonial terhadap wakaf yang, di satu sisi, menghendaki status quo
dan, di sisi lain, memandang wakaf sebagai properti yang tidak jelas dan tidak
103 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, 11. 104 Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ 64.
38
Islam, Negara, dan Filantropi
produktif. Untuk itu, mereka berusaha merekonstruksi hukum wakaf sesuai
dengan hukum publik atau hukum keluarga.105
Sejalan dengan itu, beberapa negara Muslim setelah merdeka
mengadopsinya, dengan argumen bahwa properti wakaf tidak produktif dan
lamban dalam mendukung dinamika pertumbuhan ekonomi industri.
Konsekuensinya, banyak wakaf keluarga dihapuskan, sementara wakaf publik
lainnya dinasionalisasi.106
Di samping itu, lembaga wakaf terbukti sangat
potensial untuk melawan penguasa, sehingga tekanan terhadap lembaga ini harus
dilakukan.107
Akibatnya, negara menjadi pemegang lembaga tersebut dengan
memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaan birokrasinya. Ini terlihat dengan
jelas di Iran, misalnya, pada masa Shah Reza, yang mendorong protes dari
kalangan ulama dan siswa, yang berpuncak pada Revolusi 1979.108
Meskipun demikian, kesadaran akan signifikansi wakaf telah mendorong
sejumlah negara Muslim untuk kembali terlibat. Ini dibuktikan dengan
ditetapkannya undang-undang yang mengatur masalah wakaf secara khusus,109
tidak saja di negara-negara Arab, tetapi juga di negara-negara dari wilayah
lainnya.110
Dari uraian di atas terlihat bahwa keterlibatan negara dalam pengelolaan
wakaf, seperti zakat, selalu terjadi dengan dinamika dan intentitasnya yang
berbeda dari waktu ke waktu.
C. Filantropi dan Keadilan Sosial
Dari uraian yang dikemukakan dalam sub-sub bab sebelumnya terlihat bahwa
tujuan utama filantropi Islam, baik dalam bentuk s}adaqah, zakat maupun wakaf,
adalah keadilan dan kesejahteraan sosial kaum Muslim. Lebih jauh, bentuk-bentuk
filantropi tersebut telah berlangsung lama, namun hingga kini kaum Muslim
sepertinya belum menikmati dan memeroleh kesejahteraan dan keadilan itu.
Pertanyaannya kemudian adalah bentuk keadilan sosial seperti apa yang hendak
dicapai dengan filantropi tersebut? Mengapa bentuk-bentuk filantropi tersebut
hingga saat ini belum mewujudkan tujuan utamanya?
Keadilan sebagai sebuah konsep dapat dipahami dalam dua pengertian: (1)
sebagai keseimbangan antara penghargaan dan pekerjaan yang telah dilakukan
seseorang, yang biasanya disebut dengan ‚commutative justice,‛ dan (2) sebagai
penghargaan yang sama bagi setiap orang untuk suatu pekerjaan yang sama.111
Ini
105 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 159. 106 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 162; Jennifer Bremmer, “Islamic Philanthropy,” 12. 107 Jennifer Bremmer, “Islamic Philanthropy,” 12-13. 108 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 160. 109 Dallal, “The Islamic Institution of Waqf,” 37. 110 Di antara beberapa negara Arab yang telah mengesahkan undang-undang wakaf adalah
sebagai berikut. Aljazair, Mesir, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Turki, Syria
dan Yaman. Secara lebih detil tentang undang-undang di negara-negara ini, lihat A. Layish, “Wakf in
Modern Middle East and Africa,” dalam The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 78-81. Adapun negara-negara non-Arab yang telah mengundangkan wakaf secara khusus meliputi India,
Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan lain sebagainya. Lihat G.C. Kozlowski, “Wakf in India to 1900,”
dalam The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 95-97 dan M.B. Hooker, “Wakf in Southeast Asia,” 11: 97-98.
111 Lihat, misalnya, Bryan A. Garner (ed. in-chief), Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson,
2004), 881.
39
Bab II
tercermin, misalnya, dalam ungkapan wad}‘u al-shay’ fi> mah}allih (‚menempatkan
sesuatu pada tempatnya‛) yang sering ditemukan dalam buku-buku fiqh.112
Sebenarnya, dalam Islam, persoalan keadilan ini dapat dianalisis melalui
berbagai pendekatan, seperti pendekatan politis, teologis, filosofis, etis, hukum
dan lain sebagainya.113
Terlepas dari berbagai pendekatan ini, Fazlur Rahman114
menegaskan bahwa keadilan sosial merupakan tujuan utama diturunkannya Al-
Quran, mengingat keadilan merupakan pilar bagi tegaknya masyarakat yang etis
dan egaliter di muka bumi. Hal itu ditunjukkan dengan celaan Al-Quran terhadap
masyarakat Mekah, yang menjunjung ketidakadilan ekonomi dan sosial di
dalamnya. Lebih jauh, celaan tersebut juga sebagai respon terhadap ekploitasi
kaum lemah demi keuntungan ekonomi orang kaya, di samping praktik
kecurangan dalam perdagangan. Jadi, di balik celaan tersebut keadilan sosial
merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam masyarakat sesuai dengan seruan
Al-Quran.
Akan tetapi, pembahasan mengenai keadilan sosial ini tidak memeroleh
perhatian yang sepatutnya dari para sarjana teologi Muslim. Hal ini terlihat dari
banyaknya pembahasan tentang keadilan yang berpusat pada Tuhan atau individu.
Pembahasan tentang keadilan Tuhan, misalnya, telah menguras perhatian para
teolog, tetapi perhatian serupa tidak diberikan pada keadilan sosial.115
Akibatnya,
institusi-institusi yang menjadi prasyarat bagi keadilan sosial agak terabaikan.
Sebenarnya, keadilan sosial juga menjadi perhatian serius dari para sarjana
sosial Muslim. Menurut Majid Khadduri, berbeda dengan para teolog dan filosof
yang cenderung menekankan pendekatan deduktif, beberapa sarjana Islam lain
justru lebih menekankan induktif, sehingga kelompok yang terakhir ini memiliki
konsepsi tentang keadilan sosial yang lebih nyata, seperti tercermin dalam
pemikiran Ibn Taymiyah. Seperti ditegaskan Khadduri, Ibn Taymiyah
menekankan hal-hal universal—yang tidak ditemukan dalam kitab suci—harus
didasarkan pada praktik dan kebiasaan yang ada, dan ini berarti sebanding dengan
metode induksi yang digagas Aristoteles.116
Lebih jauh, Ibn Taymiyah, seperti beberapa pemikir pendahulunya, percaya
bahwa tujuan syariah adalah kemaslahatan bersama (mashlah}ah), yang tidak lain
adalah keadilan sosial itu sendiri. Karena itu, ia berasumsi bahwa kemaslahatan
bersama atau keadilan sosial adalah pilar negara, yang jika tidak ditegakkan akan
meruntuhkan negara itu sendiri.117
Tidak heran kalau ia berasumsi bahwa keadilan
sosial merupakan tiang bagi tegak dan kukuhnya negara meskipun dipimpin oleh
orang kafir, dan tanpanya negara akan runtuh meskipun dipimpin orang Muslim.
Kemaslahatan bersama sebagai tujuan syariah itu ditekankan lebih jauh oleh
al-Thufi, yang menegaskan bahwa semua keputusan hukum harus didasarkan pada
112 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan (Jakarta:
Center for the Study of Religion and Culture, 2006), 11. 113 Untuk pembahasan tentang berbagai pendekatan terhadap keadilan tersebut, lihat Majid
Khadduri, Islamic Conception of Justice (Baltimore and London: The John Hopkins University Press,
1984). 114 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, 54-56. 115 Sukron Kamil, ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqh: Problem dan
Solusi,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta:
Teraju, 2003), 46-47. 116 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 179. 117 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 181.
40
Islam, Negara, dan Filantropi
tujuan tersebut. Bahkan, seandainya kemaslahatan publik itu berlawanan dengan
sumber kitab suci, yang pertama harus didahulukan. Dengan penekanan semacam
itu, konsep keadilan sosial menurut al-Thufi berkarakter positif, karena
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan membendung
kejahatan sosial (mafsadah).118
Konsep keadilan sosial juga dikemukakan oleh Ibn Khaldun. Seperti
dikemukakan Khadduri, Ibn Khaldun berpandangan bahwa keadilan sosial harus
berbasis norma dan praktik yang telah berkembang dalam masyarakat Islam.
Namun, apa yang dilihatnya adalah terbengkalainya hukum yang sudah
semestinya dapat menopang keadilan sosial itu. Atas dasar itu, ketika menjabat
sebagai hakim di Mesir, yang menjadi perhatian utamanya adalah mereformasi
prosedur pengadilan dan menerapkannya dengan tegas. Karena itu, Khadduri
menyebut keadilan sosial, bagi Ibn Khaldun, adalah tegaknya keadilan hukum
dalam masyarakat. Kata Khadduri, ‚his earnest effort [is] to pursue procedural
justice almot to perfection.‛119
Belakangan ini, pembahasan tentang keadilan sosial dibahas secara
sistematis oleh John Rawls melalui karyanya A Theory of Justice. Rawls
mengawali pembahasannya tentang hakikat masyarakat yang didefinisikan
sebagai ‚an organic whole with a life of its own distinct from and superior to that
of all its members in their relations with one another.‛120
Di sini Rawls tampaknya
menempatkan masyarakat melampaui individu-individu, sehingga yang kedua
harus tunduk pada yang pertama. Meskipun demikian, individu-individu terlebih
dahulu memeroleh kesempatan untuk memilih dan menyepakati apa saja yang
akan menjadi prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Karena itu, keadilan
pada dasarnya adalah ‚pendistribusian seluruh nilai sosial—kebebasan dan
peluang, pendapatan dan kekayaan, di samping dasar-dasar sosial harga diri—
secara sama; kalaupun pendistribusian itu tidak sama, hal itu harus tetap menjadi
keuntungan (advantage) bagi setiap orang.‛121
Dari sini kemudian Rawls mendefinisikan keadilan sosial sebagai ‚the virtue
of practices where there are competing interests and where persons feel entitled to
press their rights on each other.‛122
Di sini terlihat bahwa keadilan sosial bukanlah
praktik yang menghapuskan perbedaan kepentingan, tetapi bagaimana perbedaan
kepentingan itu, baik secara politis, ekonomis maupun sosial, dalam sebuah
masyarakat dikelola dengan bijaksana. Dengan kata lain, persaingan kepentingan
individu merupakan fakta yang tak terhindarkan, namun pada saat yang sama
setiap individu memeroleh kesempatan untuk mengekspresikan dan mewujudkan
hak-haknya.
Agar keadilan sosial tersebut dapat berjalan kokoh, maka harus ada prinsip-
prinsip yang mendasarinya, yaitu kebebasan (liberty), kesamaan (equality) dan
solidaritas (solidarity). Rawls menegaskan bahwa kebebasan bagi semua
merupakan prasyarat bagi keadilan, di mana setiap orang berhak
mengekspresikannya sejalan dengan sistem kebebasan bagi semua. Pembatasan
terhadap kebebasan hanya boleh dilakukan demi kebebasan itu sendiri. Karena itu,
118 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 181-182. 119 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 188-189. 120 John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge-Harvard: Harvard University Press, 1999), 233-34. 121 John Rawls, A Theory of Justice, 54. 122 John Rawls, A Theory of Justice, 112.
41
Bab II
kebebasan yang kurang luas (less extensive liberty) harus mendukung seluruh
sistem kebebasan yang dimiliki oleh semua individu, dan pada saat bersamaan,
kebebasan yang kurang setara (less than equal liberty) dapat diterima oleh mereka
yang kurang memiliki kebebasan.123
Kebebasan ini meliputi kebebasan berpolitik,
berbicara, berpendapat, di samping kebebasan dari tekanan psikologis dan
serangan fisik, serta kebebasan untuk memiliki kekayaan pribadi dan kebebasan
dari penangkapan sewenang-wenang.124
Adapun yang dimaksud dengan kesamaan (equality) di sini adalah ‚equal
consideration of humanity‛ (perlakuan yang sama terhadap manusia).125
Di sini,
setiap individu harus diperlakukan sama baik dalam masalah prosedur (procedural presumption) maupun kesempatan (opportunity). Seperti ditegaskan oleh Rawls,
‚[S]ocial and economic inequalities are to be arranged so that they are both …
attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of
opportunity.‛126
Meskipun demikian, Rawls mengakui bahwa kedua prinsip di atas tetap
tidak dapat menghilangkan ketidakadilan. Dia menegaskan, ‚[T]he equal moral
worth of persons does not entail that distributive shares are equal. Each is to
receive what the principles of justice say he is entitled to, and these do not require
equality.‛127
Untuk itu, diperlukan prinsip ketiga, yaitu solidaritas. Rawls melihat
bahwa solidaritas merupakan konvensi politik dari masyarakat demokratis yang
mengedepankan kepentingan bersama. Karena itu wajar jika masyarakat yang
demikian itu ingin memberikan perhatian terhadap kelompok yang kurang
beruntung dan meningkatkan kesejahteraan jangka panjang mereka sebaik
mungkin, namun tetap sejalan dengan prinsip kebebasan yang setara dan
kesempatan yang terbuka. Pendeknya, solidaritas adalah kepanjangan dari sistem
demokrasi yang berkeinginan untuk mencapai konsepsi keadilan yang
seutuhnya.128
Rawls menegaskan bahwa semua prinsip keadilan sosial di atas baru bisa
diwujudkan jika didukung oleh institusi sosial (social institution) dan lembaga
inilah yang sesungguhnya menjadi subjek keadilan sosial. Baginya, menegakkan
keadilan berarti membentuk lembaga yang adil, yang menjunjung tinggi
kesamaan. Di sini diperlukan institusi di mana ‚no arbitrary distinctions are made
between persons in the assigning of basic rights and duties and when the rules
determine a proper balance between competing claims to the advantages of social
life.‛129
Mengingat institusi tertinggi `adalah negara, maka struktur politik menjadi
sine qua non bagi keadilan sosial. Rawls melihat bahwa ada empat tahap bagi
negara untuk mewujudkan keadilan sosial: filosofis, konstitusional, legislatif dan
administratif. Pertama-tama, negara harus didasarkan pada keadilan yang menjadi
cita-cita individu anggotanya berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya,
negara harus menjamin prinsip-prinsip keadilan sosial yang telah disebutkan di
123 John Rawls, A Theory of Justice, 266. 124 John Rawls, A Theory of Justice, 53. 125 John Rawls, A Theory of Justice, hlm. 462. 126 John Rawls, A Theory of Justice, 266. 127 John Rawls, A Theory of Justice, 275. 128 John Rawls, A Theory of Justice, 280-81. 129 John Rawls, A Theory of Justice, 5-6.
42
Islam, Negara, dan Filantropi
atas melalui konstitusi, yang menjadi dasar negara. Sebab, sebuah sistem politik,
tegas Rawls, tidak dapat disebut adil tanpa memasukkan prinsip-prinsip
kebebasan, kesamaan dan solidaritas.130
Pada tahap legislasi akan terlihat
bagaimana kebijakan negara dalam mewujudkan keadilan sosial, apakah
memenuhi harapan kaum yang kurang beruntung atau tidak. Terakhir, pada tahap
administratif, negara harus menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah
diundangkan baik dalam ranah politik maupun ekonomi.131
Konsepsi keadilan sosial yang dipaparkan oleh Rawls di atas tampaknya
dapat memberikan jawaban atas pertanyaan kedua yang diajukan di awal sub-bab
ini. Keadilan sosial ternyata memiliki dimensi yang sangat luas, yang tidak hanya
menyangkut kemiskinan ekonomi, tetapi juga melibatkan struktur politik. Karena
itu, keadilan sosial sulit diwujudkan oleh filantropi Islam, apalagi jika dananya
hanya diberikan dalam bentuk karitas kepada masyarakat yang kurang beruntung.
Lebih jauh, kontribusi yang diberikan juga digunakan untuk kepentingan sesaat,
tanpa ada tujuan jangka panjang bagaimana menghapus kemiskinan sosial itu
sendiri.132
Meskipun demikian, filantropi Islam tetap berperan penting bagi penguatan
sejumlah pranata keadilan sosial, di antaranya melalui civil society. Yang
demikian itu pernah ditunjukkan dalam sejarah Islam, seperti di Persia. Menurut
Arjomand, banyak sekali program pendidikan, kesehatan, dan pemondokan yang
dibiayai oleh dana filantropi. Dengan majunya lembaga-lembaga itu, civil society
menjadi kuat dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga yang didanai oleh
penguasa. Tidak hanya itu, kuatnya lembaga filantropi terbukti dapat
memengaruhi kebijakan negara.133
Sebagai sebuah lembaga yang berada di luar struktur negara, civil society
dapat memainkan peran bagi keamanan sosial (social security),134
yang meliputi
kebutuhan makan, kesehatan dan pendidikan umat, di samping bagi penguatan
hak asasi manusia, pendidikan, demokrasi, multikulturalisme dan lain
sebagainya.135
Di Mindanao, misalnya, wakaf dimanfaatkan tidak semata-mata
dalam bentuk karitas, tetapi juga untuk mendukung civil society yang mendorong
penguatan kewarganegaraan dan demokrasi.136
Sementara itu, di Pakistan,
filantropi Islam digunakan oleh civil society untuk perbaikan legislasi yang
ditetapkan negara tentang filantropi itu sendiri, di samping kepentingan umum
lainnya, seperti pendidikan, layanan kepada umat dan lain sebagainya.137
Fungsi
filantropi Islam tampaknya dapat diperlebar ke masalah-masalah lain, mengingat
persoalan yang mengitari keadilan sosial juga tidak sedikit, seperti pemberdayaan
130 John Rawls, A Theory of Justice, 173. 131 John Rawls, A Theory of Justice, 175. 132 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim, eds., Filantropi Islam dan Keadilan Sosial, 98. 133 Said Amir Arjomand, ‚Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam pra-Modern,‛
dalam Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, eds., Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, 129-132.
134 Samiul Hasan, ‚Muslim Philanthropy and Social Security: Prospects, Practices and Pitfalls,‛
paper disampaikan pada 6th ISTR Biennial Conference, Bangkok, 9-12 July 2009, 4-5. 135 Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ xxix. 136 Lihat Michael O. Mastura, ‚The Making of a Civil Society through Waqf Institution in
Mindanao,‛ dalam Islam and Civil Society in Southeast Asia, ed. Nakamura Mitsuo et.al. (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2001), 17-34. 137 Andrew White, ‚The Role of Islamic Waqf in Strengthening South Asian Civil Society:
Pakistan as Case Study,‛ International Journal of Civil Society Law, vol. 4, no. 2 (April 2006): 24-25.
43
Bab II
perempuan dan kesetaraan gender, serta bentuk-bentuk kesetaraan lainnya, seperti
pembelaan terhadap kaum minoritas dan sebagainya.138
Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa
filantropi Islam dengan berbagai aspeknya bertujuan pada keadilan sosial. Akan
tetapi, mengingat keadilan sosial itu sendiri memiliki berbagai dimensi, tidak
mungkin seluruhnya saat ini dapat ditanggulangi oleh filantropi Islam. Karena itu,
filantropi Islam memiliki peran strategis dalam melapangkan jalan bagi
perwujudan keadilan sosial melalui civil society, di antaranya dengan tujuan
penegakan hukum dan kebijakan yang mendorong keadilan sosial.
D. Negara dan Filantropi Islam
Seperti disinggung dalam bab sebelumnya, masalah filantropi Islam terbukti
tidak dapat dipisahkan dari negara. Untuk menunjukkan hal itu, dalam sub-bab ini
akan diuraikan pola hubungan antara kedua entitas ini di beberapa negara Muslim.
Akan tetapi, pembahasan ini dibatasi pada empat negara Muslim, yang meliputi
Turki, Arab Saudi, Mesir dan Malaysia.
Sebagaimana dimaklumi, 1924 merupakan tahun berdirinya Turki sebagai
negara republik, sebagai ganti dari Turki ‘Uthmani yang berbentuk khilafah.
Perubahan ini berdampak sangat signifikan terhadap masalah wakaf, mengingat
penghapusan sistem khilafah itu dibarengi dengan penghapusan Kementeriaan
Agama (sheri>‘at). Akibatnya, masalah wakaf tidak lagi memiliki administrasi dan
hukum tersendiri, melainkan dimasukkan ke dalam sistem umum negara yang
menganut ideologi sekular.139
Meskipun demikian, secara konstitusional, ideologi
sekular tersebut belum tampak jelas dalam Konstitusi Tahun 1924, mengingat
Pasal 2 justru menyebutkan bahwa ‚Islam adalah agama negara.‛140
Ideologi itu
secara eksplisit terdapat dalam Konstitusi 1961, yang menegaskan bahwa
‚Republik Turki adalah negara nasionalis, demokratis, sekular dan sosial yang
diperintah berdasarkan hukum, didasarkan pada hak asasi manusia dan ajaran-
ajaran dasar yang tertera dalam pembukaan konstitusi.‛141
Ini diperkuat oleh
Konstitusi Tahun 1982 Pasal 2 juga. Lebih jauh, dua konstitusi terakhir ini tidak
lagi mencantumkan Islam sebagai agama negara, seperti hal itu disebutkan dalam
Konstitusi 1924.
Akibat sekularisasi ini, masalah wakaf kemudian berada di bawah
kewenangan General Directorate of Foundation, di bawah pengawasan langsung
Perdana Menteri.142
Pada saat yang sama, masalah-masalah wakaf tidak lagi diatur
melalui undang-undang agama (fikih), tetapi melalui undang-undang sipil.
138 Sami Hasan, ‚Muslim Philanthropy and Social Security‛; lihat juga Maria Ulfah Anshory,
‚Filantropi Islam dan Penguatan Hak Asasi Manusia,‛ dan Nursyahbani Katjasungkana, ‚Filantropi
Islam dan Gerakan Hak Asasi Manusia di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua, 113-128 dan 129-
140. 139 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ dalam The Encyclopedia of
Islam, ed. P.J. Bearman et.al. (Leiden: Brill, 2000), 11: 91. 140 Edward Mead Earle, ‚The New Constitution of Turkey,‛ Political Science Quarterly, 40: 1
(1925), 89. 141 Lihat ‚Constitution of Turkish Republic,‛ trans. by Sadik Balkan et. al. for the Committee of
National Unity (Ankara, 1961), pasal 2. 142 Faik Ahmet Sesli, ‚Foundation Administration and Foundation Landownership in Turkey
form Past to Present,‛ African Journal of Business Management, 4:9 (2010), 1772.
44
Islam, Negara, dan Filantropi
Meskipun demikian, perkembangan wakaf di Turki masih sangat besar, yang
ditunjukkan dengan adanya wakaf yang mencapai 4.449 antara 1967 dan 1985.143
Undang-undang Sipil Turki (Turkish Civil Code) Tahun 2001 memberikan
perhatian pada masalah wakaf (foundation) secara umum dalam Bagian III, yang
mengatur seluk beluk wakaf, seperti tujuan wakaf, benda apa saja yang bisa
diwakafkan, kegiatan lembaga wakaf dan lain sebagainya. Lebih jauh, undang-
undang ini tidak membicarakan secara spesifik wakaf dari perspektif Islam,
sebaliknya mengatur seluruh wakaf dari berbagai penganut agama.144
Ini
menunjukkan bahwa wakaf tidak memiliki undang-undang tersendiri, tetapi hanya
menjadi bagian dari undang-undang sipil. Sementara itu, seluruh administrasi
penyelenggaraan wakaf tetap berada di bawah General Directorate of Foundation.
Baru pada 2004, rancangan undang-undang tentang wakaf diajukan oleh
General Directorate of Foundation untuk disahkan. Adapun alasan pengajuan ini,
antara lain, adalah harmonisasi undang-undang, mengingat undang-undang
tentang wakaf selama ini masih terpisah-pisah di berbagai undang-undang. Di
samping itu, undang-undang tentang wakaf ini diperlukan mengingat ketentuan-
ketentuan yang ada selama ini sangat terbatas dan tidak memadai. Terakhir, di
Turki terdapat banyak lembaga wakaf non-Muslim yang kurang terakomodasi
dalam peraturan yang ada, dan pada saat yang sama tuntutan akan hak minoritas
mengemuka bersamaan dengan bergabungnya Turki ke Uni Eropa. Karena itu,
diperlukan undang-undang wakaf yang baru.145
Rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh parlemen Turki pada 20
Februari 2010 sebagai Undang-undang No. 5737.146
Dalam undang-undang ini,
wakaf tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi disamakan dengan yayasan-
yayasan pada umumnya. Karena itu, yang dibicarakan di dalamnya meliputi
ketentuan-ketentuan yang mengatur pendirian, aset dan operasionalisasi,
kekayaan yayasan yang bergerak dan tak bergerak, struktur organisasi, tanggung
jawab, hingga pembubaran sebuah yayasan.147
Undang-undang ini dapat dikatakan
mirip dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan di
Indonesia.148
Dari uraian di atas terlihat bahwa Turki tidak memiliki undang-undang yang
secara spesifik mengatur zakat dan wakaf, tetapi keduanya dimasukkan ke dalam
undang-undang tentang yayasan. Ini tidak dapat dipisahkan dari ideologi negara
yang sekular, di mana persoalan agama, seperti zakat dan wakaf, hanya diatur
secara umum saja.
Bertolak belakang dengan Turki, Arab Saudi merupakan negara yang
melibatkan diri dalam pengelolaan filantropi, terutama zakat. Ini dilakukan
bersamaan dengan dijadikannya Al-Quran dan Sunnah sebagai konstitusi
143 Filiz Bikmen, ‚The Rich History of Philanthropy in Turkey: A Paradox of Tradition and
Modernity,‛ dalam Philanthropy in Europe: A Rich Past, A Promising Future, ed. Norine Mac-Donald
and Luc Tayart de Borms (London: Alliance Publishing Trust, 2008), 228. 144 Lihat Turkish Civil Code, Pasal 101-117.
145 Filiz Bikmen, “Progress on Civil Society Legislation in Turkey,” International Journal of Not-
for-Profit Law, 7:2 (2005), 77-78. 146 Filiz Bikmen, “A Move in the Right Direction, But Not the Destination: Turkey’s New
Foundation Law,” International Journal of Not-for-Profit Law, 10:3 (2008), 92. 147 Lihat “New Law of Foundation is in Effect,” dalam
http://www.tusev.org.tr/content/detail.aspx?cn=318&c=68 (diakses 12 Januari 2011). 148 Lihat UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
45
Bab II
negara.149
Kedudukan dua sumber utama Islam ini sebagai dasar negara
menunjukkan bahwa Arab Saudi merupakan negara yang menerapkan syariat
Islam,150
apalagi disebutkan dalam Pasal 1 konstitusi ini bahwa agama resmi
negara adalah Islam. Salah satu persoalan ibadah yang disebutkan dalam
konstitusi ini adalah zakat, di mana Pasal 21 mengatakan bahwa ‚Zakat
diwajibkan dan didistribusikan kepada mereka yang berhak sesuai dengan
syariah.‛151
Sebaliknya, pajak, yang umumnya menjadi kewajiban warganegara di
negara lain, tidak diwajibkan di sini, kecuali jika dibutuhkan dan harus didasarkan
pada keadilan, yang pelaksanaannya harus ditetapkan melalui ketentuan.152
Sejalan dengan itu, maka dikeluarkanlah Keputusan Raja No. 17/2/28/8634
tertanggal 29 J. Tsani 1370/17 April 1951 yang mewajibkan zakat atas individu
atau perusahaan yang berkebangsaan Arab Saudi.153
Berdasarkan keputusan
tersebut, pengelolaan zakat di negara ini berada di bawah sebuah departemen yang
disebut Mas}lah}at al-Zaka>t wa al-Dakhl dalam lingkup Kementerian Keuangan.
Berpusat di Riyadh, departemen ini memiliki 10 cabang yang berada di wilayah-
wilayah Riya>d}, Jeddah, al-Damma>m, Makkat al-Mukarramah, Madi>nat al-
Munawwarah, T{a>’if, Tabu>k, Ihsa>’ dan Qas}i>m.154
Lebih jauh, Kementerian
Keuangan juga mengeluarkan keputusan yang berisi ketentuan-ketentuan zakat,
yang terdiri dari 20 pasal. Pasal-pasal ini mengatur secara tegas siapa saja yang
harus mengeluarkan zakat, apa saja yang harus dizakati, dan sebagainya.155
Lebih jauh, Muslim tidak wajib mengeluarkan pajak. Akan tetapi,
pembayaran zakat dapat mengurangi wajib pajak, jika yang terakhir ini dikenakan
kepada mereka, terutama para pengusaha atau pemilik perusahaan. Jika mereka
tidak membayar zakat, maka sanksi administratif akan diberikan, seperti tidak
boleh melakukan bisnis di negara ini atau tidak boleh mengikuti tender yang
dilakukan oleh pemerintah.156
Selanjutnya, dana zakat yang terkumpul oleh Kementerian Keuangan dan
Ekonomi akan diserahkan kepada Kementerian Kesejahteraan Sosial.157
Kementerian inilah yang kemudian mendistribusikan zakat kepada mereka yang
149 Lihat al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah, Maba>di’ al-Dawlah, Wuza>rat al-
Kha>rijiyyah, pasal 1. Lihat juga, Ah}mad ‘Ali ‘Abd Alla>h, ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa
al-Amwa>l al-Zakawiyyah: Jumhu>riyyat al-Su>da>n wa al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah,‛
dalam al-It}a>r al-Mu’assisi> li al-Zaka>h: ’Ab‘a>duh wa-Mad}a>mi>nuh, ed. Bu>‘alla>m ibn Jala>li> dan
Muh}ammad al-‘Ilmi> (Jeddah: IRTI-IDB, 2001), 177. 150 Tentang penerapan syariat Islam di Arab Saudi, lihat Frank Vogel, Islamic Law and Legal
System in Saudi (Leiden: Brill, 2004). 151 Pasal tersebut berbunyi: شجد تنزكثذ شفك ف يصثسفث تنششعير 152 Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah, Maba>di’ al-Dawlah, Wuza>rat al-Kha>rijiyyah,
pasal 20 yang berbunyi sebagai berikut: .تنعذل ي أصثس عه تنذثجر عذ إلا تنشصو تنعشتبح لاشفشض 153 Mas}lah}at al-Zaka>h wa al-Dakhl li-Wuza>rat al-Ma>liyyah, ‚Ta‘li>ma>t Jiba>yat Zaka>t ‘Aru>d} al-
Tija>rah,‛ dalam http://www.dzit.gov.sa/en/index/shtml (diakses 13-01-2011); lihat juga ‘Uthma>n
H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i> al-Isla>mi> (Mans}urah: Da>r al-Wafa>’ li al-T{iba>‘ah
wa al-Nashr, 1989), 206. 154 Mas}lah}at al-Zaka>h wa al-Dakhl li-Wiza>rat al-Ma>liyyah, ‚Ta‘li>ma>t Jiba>yat Zaka>t ‘Aru>d} al-
Tija>rah.‛ 155 Tentang harta-harta yang harus dizakati dan tidak dizakati, serta metode pengumpulannya,
lihat Ah}mad ‘Ali> ‘Abd Alla>h, ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa al-Amwa>l al-Zakawiyah,‛
178-179. 156 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, “Saudi Arabia: A Case Study,” dalam Institutional
Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 415-416.
157 “Zakat Decree,” dalam http://www.dzit.gov.sa/index.shatml (diakses 15 Januari 2011).
46
Islam, Negara, dan Filantropi
berhak menerimanya di berbagai daerah di kerajaan ini. Dari sini terlihat bahwa
keterlibatan negara Arab Saudi dalam pengelolaan zakat bersifat total, dari
pemungutan hingga pendistribusiannya.
Berbeda dengan dua negara di atas, Mesir adalah negara yang berpenduduk
mayoritas Muslim, tetapi tidak menyatakan secara eksplisit sebagai negara Islam
atau sekular. Meskipun demikian, Islam diakui sebagai agama resmi negara dan
prinsip-prinsip syariah berkedudukan sebagai sumber utama legislasi.158
Dengan
kata lain, undang-undang negara bersumber, terutama, pada prinsip-prinsip syariat
Islam dan karenanya hingga batas tertentu dapat disebut sebagai hukum Islam itu
sendiri.159
Atas dasar itu, persoalan filantropi Islam, khususnya wakaf, telah lama
memeroleh perhatian negara jika dilihat dari segi perundang-undangan. Ini tidak
dapat dipisahkan dari kepentingan politik penguasa atas dasar kebijakan yang
diambilnya. Menurut Daniela Pioppi, ketika penguasa beridologi sosialis, seperti
Naser, wakaf ahli dihapus dan dilakukan nasionalisasi, sementara Anwar Sadat
justru merehabilitasi institusi wakaf sehingga memeroleh dukungan dari umat
Islam. Di bawah kekuasaan Mubarak, wakaf, terutama masjid, ditransformasikan
menjadi sumber-sumber kesejahteraan. Ini dilakukan, di antaranya, dengan
menjadikan semua masjid sebagai masjid ja>mi‘ (bisa digunakan untuk shalat
Jumat), sehingga bisa digunakan untuk berbagai kegiatan seperti layanan
kesehatan, pelatihan ketrampilan dan lain sebagainya.160
Terlepas dari aspek politis tersebut, undang-undang yang pertama tentang
wakaf adalah UU No. 48 Tahun 1946, yang secara garis besar menetapkan bahwa
wakaf harus terdaftar, untuk tujuan umum dan penghasilannya harus diperoleh
secara halal. Lebih jauh, undang-undang ini membolehkan non-Muslim untuk
berwakaf asalkan dilakukan sesuai dengan syariat Islam atau hukum non-Muslim.
Di samping itu, undang-undang ini juga membatasi besarnya wakaf, yang tidak
boleh melebihi sepertiga kekayaan seseorang, kecuali jika para pewarisnya
menyetujuinya.161
Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan sejumlah undang-
undang, seperti UU No. 180 Tahun 1952 tentang Penghapusan Wakaf Keluarga
atau Non-khayri (ilgha>’ niz}a>m al-waqf ‘ala> ghayr al-khayra>t), yang diperbaharui
dengan UU No. 272 Tahun 1959 tentang Pembentukan Kementerian Wakaf.
Menurut UU ini, Kementerian Wakaf (wiza>rat al-awqa>f) berhak mendistribusikan
wakaf—termasuk tunai—ke wilayah manapun tanpa harus dibatasi oleh wilayah
asal usul wakaf tersebut. Ini berarti penggunaan wakaf tidak terbatas pada tujuan
awal yang ditetapkan oleh wakif pada wilayah tertentu. Kementerian ini juga
158 Majlis al-Sha‘b Jumhu>riyyat al-Mis}r, Dustu>r Jumhu>riyyat Mis}r al-‘Arabiyyah, Pasal 2. Pasal
ini berbunyi sebagai berikut:
.نهصششيع تنشبيض تنصذس تلإصلايير تنششيعر يدثدئ تنشصير، نغصث تنعشخير تنهغر تنذنر، دي تلإصلاو159 Lihat, misalnya, William E. Shepard, “Muhammad Said al-Ashmawi and the Application of
the Sharia in Egypt,” International Journal of Middle East Studies, 28:1 (February, 1996): 39-58; Clark
Benner Lombardi, State Law as Islamic Law in Modern Egypt (Leiden: Brill, 2006). 160 Daniela Pioppi, “From Religious Charity to the Welfare State and Back: The Case of Islamic
Endowment Revival in Egypt,” Working Paper No. 2004/34 (Florence: European University Institute,
2004), 2-5. 161 “Waqf in Egypt,” dalam http://www.nefdev.org/phil/en/page.asp?pn=23#full (diakses 20
Januari 2011).
47
Bab II
menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang mengawasi wakaf secara
menyeluruh.162
Selanjutnya, pada 1962 dikeluarkan UU No. 44 tentang Penyerahan Wakaf
yang Dikelola oleh Kementerian Wakaf kepada Badan Umum Reformasi Agraria
dan yang paling mutakhir adalah UU No. 80 Tahun 1971 tentang Pembentukan
Badan Wakaf Mesir (Insha>’ Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah).163
Berdasarkan UU
ini, BWM bertugas mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.164
UU ini
juga membolehkan lembaga ini untuk mengambil 15% dari keseluruhan
keuntungan pengelolaan benda-benda wakaf.165
Dari uraian di atas terlihat bahwa meskipun bukan negara Islam, Mesir
banyak melibatkan diri dalam masalah filantropi Islam, khususnya wakaf. Ini
terjadi tidak saja karena undang-undang yang dikeluarkannya, tetapi dilakukan
dengan pembentukan kementerian khusus, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
pembentukan badan wakaf yang mengelola dan mengembangkannya, serta
menditribusikannya bagi masyarakat. Seperti Mesir, Malaysia menjadikan Islam sebagai agama negara pada tingkat
federasi,166
meskipun Muslim bukanlah penduduk mayoritas di negeri ini
dibandingkan dengan non-Muslim secara keseluruhan. Lebih jauh ditegaskan
dalam konstitusinya bahwa setiap kepala negara bagian memiliki kedudukan
sebagai pemimpin agama di wilayahnya.167
Ini menimbulkan kebijakan yang
berbeda-beda antara satu negeri (negara bagian) dengan negeri lainnya dalam
masalah-masalah keislaman, yang umumnya ditangani oleh Majelis Ugama.
Hal itu terlihat dengan jelas dalam masalah filantropi Islam, terutama zakat
dan wakaf. Masalah zakat, misalnya, merupakan kewenangan masing-masing
negeri untuk mengaturnya, baik dalam hal benda-benda yang harus dizakati
maupun sanksi bagi muzakki yang tidak membayarnya. Sebagai contoh, di Kedah,
zakat yang harus dibayarkan ke Kantor Zakat hanyalah zakat atas hasil pertanian,
sementara zakat fitrah diserahkan kepada muzakki untuk menyalurkannya secara
langsung kepada mustahik. Sementara itu, di Kelantan, 2/3 dari seluruh jenis zakat
harus diserahkan ke Kantor Zakat, baru 1/3-nya dibebaskan untuk didistribusikan
kepada mustahik secara individual.168
Dalam masalah sanksi juga demikian. Bagi muzakki di Kedah yang lalai
membayar zakat, ia akan dikenakan denda sebagai RM. 500,- bagi zakat selain
zakat fitrah atau penjara selama 6 bulan, sementara muzakki diserawak jika
melakukan hal yang sama akan didenda dengan RM. 200,- untuk non-fitrah dan
RM. 25,- untuk zakat fitrah saja dan tidak ada ganti penjara. Sementara itu, di
Selangor, sanksi yang terapkan adalah RM. 100,- atau penjara selama 7 hari,
sedangkan di Perak sanksinya berupa denda RM. 500,- atau kurungan selama 6
bulan.169
162 “Waqf in Egypt.” 163 Lihat “Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971.‛ 164 Lihat Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971, Pasal 2. 165 Lihat Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971, Pasal 6. 166 Federal Constitution of Malaysia, Pasal 3 ayat (1). 167 Federal Constitution of Malaysia, Pasal 3 ayat (2). 168 Mohamed bin Abdul Wahab, et. al., “Malaysia: A Case Study,” dalam Institutional
Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 309.
169 Mohamed bin Abdul Wahab, et. al., “Malaysia: A Case Study,” 360.
48
Islam, Negara, dan Filantropi
Dalam bidang wakaf, perbedaan juga menjadi tak terelakkan. Dalam
legislasi, misalnya, antara satu negeri dengan yang lain mengalami perbedaan baik
dalam tahun maupun isinya. Undang-undang Wakaf disahkan pertama-tama di
Serawak pada 1954, yang diikuti oleh Kedah pada 1962 dan Perlis pada 1964.
Johor baru mengesahkan undang-undang pada 1978 dan Terengganu pada 1986.
Negeri-negeri yang lain umumnya setelah tahun 1990.170
Seperti zakat, wakaf di Malaysia dikelola oleh masing-masing Majelis
Ugama yang ada di setiap negeri. Mereka bertanggung jawab atas pemeliharaan
dan pengembangan wakaf. Mengingat kebanyakan wakaf berupa masjid, makam
dan benda-benda tidak bergerak lainnya, ini menimbulkan persoalan pendanaan,
baik bagi pemeliharaan maupun pengembangannya. Dengan kata lain, wakaf yang
ada kebanyakan tidak dapat mendatangkan pemasukan.171
Dari sini terlihat,
bahwa negara Malaysia terlibat dalam masalah filantropi Islam—zakat dan
wakaf—baik dalam bidang pengelolaan dan pengembangannya. Akan tetapi,
keterlibatan itu tidak secara langsung oleh negara, tetapi oleh negara-negara
bagian.
Dari uraian di atas, keempat negara ini memiliki perbedaan keterlibatan
dalam bidang filantropi Islam. Jika Arab Saudi melibatkan diri secara total, Turki
mungkin dapat dikatakan paling jauh dari total. Sebaliknya, Mesir dan Malaysia,
yang sama-sama menjadikan Islam sebagai agama negara, menunjukkan
keterlibatan yang berbeda. Dalam hal wakaf, keterlibatan Mesir lebih besar
dibandingkan dengan Malaysia, karena yang terakhir ini tidak terlibat secara
langsung, sedangkan yang pertama terlibat secara langsung.
170 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives (Kuala
Lumpur: University of Malaya Press, 2006), 57-58. 171 Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 90.
49
BAB III
KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT
Dalam bab sebelumnya telah diuraikan secara umum filantropi dan hubungannya
dengan negara, baik secara konseptual maupun secara praktis. Dalam bab ini,
masalah tersebut akan dibahas secara lebih terperinci, dengan perhatian khusus
pada pelaksanaan zakat di Indonesia dan keterlibatan negara di dalamnya.
Pembahasan diawali dengan kondisi peraturan zakat sebelum disahkannya
Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, proses legislasi dan implikasi dari
undang-undang tersebut. Dengan begitu diharapkan keterlibatan negara dalam
masalah zakat dapat terlihat secara gamblang.
A. Pengaturan Zakat di Indonesia
Menurut Norman Anderson,1 hukum Islam tampaknya telah dilaksanakan di
wilayah-wilayah Muslim sebelum kedatangan penjajah Barat. Sebab, penggantian
hukum Islam dengan hukum non-Islam baru berlangsung bersamaan dengan
kehadiran bangsa-bangsa Eropa yang menjajah wilayah-wilayah Islam, yaitu
sekitar 200 tahun yang lalu. Ini mengisyaratkan bahwa sebelum itu sesungguhnya
hukum Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari
Muslim, baik pada tingkat individu maupun sosial. Mengingat masyarakat
Nusantara sebelum kedatangan penjajah telah memeluk agama Islam dan sejumlah
kerajaan Islam telah berdiri, dapat dipastikan bahwa hukum Islam juga telah
berlaku di negeri kepulauan ini jauh sebelum kedatangan Belanda.
Ini ditunjukkan, di antaranya, dengan ditemukannya sebuah fragmen yang
berisi ketentuan hukum pada abad ke-14 di Trengganu. Tentu saja yang dimaksud
dengan hukum di sini adalah hukum Islam, yang kemungkinan diterapkan pada
daerah yang sebelumnya tidak memeluk Islam, mengingat penggunaan istilah-
istilah Sanskerta lebih dominan ketimbang istilah-istilah Arab, seperti istilah
dewata mulia raya sebagai ganti kata Allah.2
Bahwa hukum Islam telah diimplementasikan sebelum kedatangan Belanda,
hal itu juga dapat dilihat dari fakta bahwa Sultan Malikul Zahir adalah sultan
yang ahli fikih. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibn Batutah, pelancong yang
pernah datang ke Aceh, yang menegaskan bahwa wilayah ini dipimpin oleh
seorang sultan yang ahli fikih bemazhab Sha>fi‘i>. Tentu terlihat janggal, jika
seorang sultan yang ahli fikih itu akan menerapkan hukum lain selain fikih yang
telah dikuasainya. Karena itu, dipastikan hukum yang diterapkan dalam
pemerintahannya adalah hukum Islam, yang juga disebut fikih. Ini diperkuat oleh
publikasi buku fikih, seperti al-S}ira>t} al-Mustaqi>m karya Nuruddin Arraniri, pada
1628, yang jelas ditujukan bagi masyarakat Muslim Nusantara. Buku ini
1 Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: the Athlone Press, 1976), 1-2. 2 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1991), 5.
50
Kebijakan Negara Tentang Zakat
kemudian diperluas uraiannya oleh Arsyad al-Banjari dalam Sabi>l al-Muhtadi>n
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum di Kalimantan Selatan.3
Sementara itu, Anthony Reid, seperti dikutip Arskal Salim dan Azyumardi
Azra, menegaskan bahwa pada awal abad ke-17, para pencuri di Banten dan Aceh
jika tertangkap akan dihukum dengan potong tangan. Pertama-tama yang akan
dipotong adalah tangan kanan dan diikuti dengan kaki kiri jika sang pencuri
mengulangi perbuatannya. Kalaupun ia belum jera dan masih melakukan lagi,
maka amputasi dikenakan pada tangan kiri dan kaki kanan jika mengulangi
kembali. Hukuman terakhir jika amputasi terhadap empat anggota badan tersebut
telah dilaksanakan, tetapi si pencuri masih bertindak, adalah diasingkan ke Pulau
Sabang untuk kasus Aceh.4 Dalam konteks fikih, hukuman semacam itu disebut
h}udu>d,5 di mana potong tangan memiliki sandarannya pada QS al-Ma>idah (5): 38,
sementara pengasingan didasarkan pada konsep yang dikenal dalam fikih dengan
ta‘zi>r.6 Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam Indonesia sesungguhnya
memiliki preseden historis jauh sebelum diperkenalkannya hukum baru yang
berasal dari Barat. Namun, ini tidak berarti bahwa seluruh hukum Islam telah
diterapkan sepenuhnya, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kasus lain.
Karena itu, ketika Belanda datang ke Indonesia, mereka tidak serta merta
mengganti hukum Islam yang telah diterapkan oleh masyarakat. Sebaliknya,
karena ketidaktahuan tentang Islam, mereka tidak mau mengintervensi masalah
keagamaan.7 Keterlibatan Belanda dalam masalah hukum Islam baru terlihat
dalam Keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) Nomor 19 Tanggal 24
Januari 1882, yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 Nomor
152 tentang pembentukan Peradilan Agama. Lembaga ini didasarkan atas teori
receptio in complexu Lodewijk Willem Christian van den Berg yang menegaskan
bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dianutnya,
yakni hukum Islam. Namun, teori ini kemudian ditentang oleh C. Snouck
Hurgronje yang mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar menerapkan teori
receptie, yang menegaskan bahwa hukum Islam baru bisa diterapkan jika hukum
3 Rifyal Ka‘bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), 69. 4 Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Shari‘a in the Perspective of
Indonesian Legal Politics,‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan
Azyumardi Azra (Singapore: Institute of South East Asian Studies, 2003), 4. 5 H}udu>d berarti ketentuan-ketentuan atau batasan-batasan Allah yang membimbing perilaku
manusia dan tidak boleh dilanggar. Lihat Richard Kimber, ‚Boundaries and Precepts,‛ dalam The Encyclopedia of the Quran, ed. Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), 1: 252. Dalam fikih,
h}udu>d adalah tindakan kriminal yang hukuman atau sanksinya telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam
Al-Quran. Berdasarkan pengertian ini, hukuman tersebut tidak bisa ditambah atau dikurangi, karena ia
merupakan hak Allah Swt. Ada tujuh kategori kejahatan kriminal yang dapat dikenai hukuman hudud,
yaitu: (1) zina (al-zina>); (2) fitnah atau tuduhan palsu (al-qadhf); (3) minuman keras (shurb); (4)
pencurian (al-sariqah); (5) pemberontakan (al-h}ira>bah); (6) murtad (al-riddah) dan; (7) (al-baghy).
Lihat ‘Abd al-Qadi>r ‘Awdah, al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad}‘i> (Kairo:
Maktabat Da>r al-‘Uru>bah, 1963), 1: 79. 6 Ta‘zi>r adalah pemberian hukuman terhadap tindakan-tindakan kriminal yang tidak termasuk
kategori hudud atau hukuman terhadap kejahatan yang bentuk hukumannya tidak ditentukan secara
pasti oleh syariat. Perbedaannya dengan h}udu>d yaitu jika h}udu>d sudah pasti bentuk hukumannya dan
tidak bisa ditambah atau dikurangi, ta‘zi>r bisa beragam bentuknya, sesuai dengan kemaslahatan pelaku
kejahatan dalam pandangan hakim. Lihat ‘Abd al-Qadi>r ‘Awdah, al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 127. 7 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 2 dan 9-10.
51
Bab III
itu telah diterima dan diakui oleh hukum adat.8 Di sini terlihat bahwa Hurgronje
ingin menempatkan hukum adat pada posisi yang lebih tinggi daripada hukum
Islam, dengan tujuan untuk mengurangi peran Islam. Sebab, apa yang disebut
sebagai hukum adat oleh Hurgronje hanyalah rekayasa,9 sehingga teori receptie-
nya oleh Hazairin disebut sebagai teori iblis.10
Menurut Hazairin, teori receptie ini
harus dikeluarkan dari sistem hukum nasional karena bertentangan dengan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan UUD 1945. Inilah yang ia sebut
receptie exit.11 Sebagai gantinya, menurut Hazairin, hukum yang berlaku adalah
receptio a contrario yang menyatakan bahwa hukum adat dapat diberlakukan jika
ia tidak bertentangan dengan hukum Islam.12
Bertolak dari keberadaan hukum Islam di atas, zakat—sebagai salah satu
dari lima rukun Islam—diduga kuat telah dilaksanakan oleh Muslim Nusantara
jauh sebelum kedatangan Belanda, atau bahkan bersamaan dengan kedatangan
orang-orang Islam di Nusantara. Akan tetapi, tidak ditemukan bukti yang kuat
bahwa praktik keagamaan itu telah ditunaikan secara sistematis oleh kaum
Muslim awal di negeri ini, setidak-tidaknya jika dilihat dari cara pengumpulan
dan pendistribusiannya. Misalnya, siapa yang berhak mengumpulkan zakat, benda
apa saja yangwajib dizakati, siapa yang berhak menerima dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, meskipun praktik pembayaran zakat telah menjadi bagian yang
terpisahkan dari praktik keagamaan Muslim Nusantara pada awal kehadirannya,
tetapi jejak dan bukti historis tentang praktik ini secara sistematis tidak terekam
dengan baik.13
Terlepas dari tidak adanya lembaga khusus yang mengelola zakat secara
permanen, masjid tampaknya memiliki peran sentral dalam hal ini. Masjid
merupakan sentral kegiatan keagamaan Muslim, di mana berbagai aktivitas
mengambil tempat di sini. Tidak heran jika kemudian zakat umumnya berpusat di
masjid, sebagaimana tampak jelas dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan
selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Kaum Muslim berbondong-
bondong menyerahkan zakat mereka ke sini, baik berupa zakat fitrah maupun
zakat mal. Praktik ini tentu tidak begitu saja muncul jika tidak ada preseden
sebelumnya.14
Sementara itu, dalam Adat Raja-raja Melayu, para raja umumnya
mengeluarkan zakat dan memberikan sedekah pada acara-acara yang menjadi
8 A. Wasit Aulawi, ‚Sejarah Perkembangan Hukum Islam,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 55-6; Ismail
Suny, ‚Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,‛ dalam Dimensi Hukum Islam, 131; Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), 35-36. 9 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 72. 10 Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 97. 11 Juhaya S. Praja, ‚Pengantar,‛ dalam Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan
Pembentukan (Bandung: RosdaKarya, 1991), xiii. 12 Juhaya S. Praja, ‚Pengantar,‛ xiii. Lihat juga Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 255. 13 Lihat, misalnya, Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat
dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 60;
Emmy Hamidiah, ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Mungkinkah,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 124
14 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai
Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 133.
52
Kebijakan Negara Tentang Zakat
ritual kerajaan, seperti upacara kelahiran bayi, upacara memotong rambut bayi
yang baru lahir, atau upacara pembayaran nazar. Adapun bentuk sedekahnya
sangat beragam, bisa berbentuk emas, makanan, atau pakaian bagi fakir miskin di
berbagai tempat. Namun, di balik semangat keagamaan ini tidak tertutup
kemungkinan bahwa semua itu dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan
seperti banyak terjadi di tempat lain.15
Pada masa-masa kerajaan Islam, zakat ternyata sudah menjadi menjadi
wacana yang bersifat etis, dan belum menjadi hukum positif, seperti tercermin
dalam teks-teks keagamaan. Semangat serupa juga ditemukan dalam naskah-
naskah Jawa pada abad ke-16, seperti ditemukan dalam karya Wejangan Syekh Bari. Dalam karya ini disebutkan bahwa sedekah yang dilakukan dengan ikhlas
sekalipun tanpa pengetahuan orang lain memiliki kedudukan yang sangat baik di
sisi Tuhan. Sementara itu, dalam karya suntingan Drewes berjudul Akhlak Islam
disebutkan bahwa zakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan
sesuai dengan kepemilikan harta (sakadare artane), di samping terpenuhinya
ketentuan kepemilikan selama setahun, baik dengan cara disimpan atau diputar
melalui usaha.16
Meskipun demikian, Undang-undang Melaka sama sekali tidak
mencantumkan persoalan zakat, apalagi mewajibkan rukun Islam ini kepada para
pedagang atau kelompok elit masyarakat yang tinggal di daerah Malaka. Dengan
demikian, zakat tidak memiliki status sama sekali dalam konstitusi, yang
mengisyaratkan bahwa zakat sesungguhnya belum memiliki sistem pengelolaan
yang jelas. Akan tetapi, hal itu tidak harus dipahami bahwa orang-orang Muslim
tidak membayar zakat, sebaliknya hal itu menunjukkan bahwa membayar zakat
masih bersifat imperatif-etis.17
Proses semacam ini tampaknya sejalan dengan
perkembangan proses Islamisasi baik yang terjadi secara umum di dunia Islam,
maupun secara khusus di Nusantara. Maksudnya, zakat sebagai rukun Islam tidak
menjadi perhatian utama pada awal masuknya penduduk Nusantara ke dalam
Islam dan baru memeroleh prioritas pada masa berikutnya.
Meskipun demikian, Belanda di awal kehadirannya tidak ingin melibatkan
diri dalam masalah ini. Sesuai dengan kebijakannya, pemerintah kolonial
memberikan kebebasan dalam masalah-masalah keagamaan yang telah menjadi
tradisi masyarakat Muslim. Akan tetapi, dalam praktiknya, mereka tidak bisa
membiarkan masalah-masalah itu manakala dipandang membahayakan
kekuasaannya. Misalnya, dalam masalah haji, mereka terbukti memberikan
perhatian terhadap masalah ini karena anggapan bahwa para haji merupakan
orang-orang yang fanatik dan pemberontak. Bagi mereka, melarang haji lebih baik
ketimbang membiarkan kaum Muslim menjadi pemberontak dan kemudian harus
ditembaki.18
Keterlibatan penjajah terhadap masalah-masalah keagamaan ini ternyata
semakin hari semakin meningkat, dengan dalih ketertiban dan keamanan termasuk
mengawasi gerak-gerik para ulama. Bahkan selanjutnya, pemerintah tidak segan-
segan mencampuri urusan agama dengan dalih ketertiban dan keamanan, termasuk
15 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara,
18. 16 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 19. 17 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 19-20. 18 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 22.
53
Bab III
mengawasi gerak-gerik para ulama. Tidak hanya itu, keterlibatan pemerintah
kolonial kemudian diwujudkan dalam bentuk pendirian Lembaga Peradilan
Agama secara resmi, pengangkatan penghulu, pengawasan terhadap perkawinan,
ordonansi perkawinan di Jawa dan Madura serta di luarnya, pengawasan terhadap
pendidikan Islam, ordonansi guru, pengawasan terhadap masjid dan lain
sebagainya.19
Sebenarnya, keterlibatan itu berlawanan dengan kebijakan C. Snouck
Hurgronje, yang memberikan kebebasan di bidang agama, khususnya yang
berkaitan dengan persoalan ibadah. Akan tetapi, dalam masalah penggalangan
sosial yang dapat menjadi faktor yang mengarah pada pemberontakan, ia sendiri
melakukakan tindakan tegas. Karena itu, kebebasan yang ditawarkan Hurgronje
dalam beragama hanya berkisar seputar masjid.20
Namun demikian, ia juga tetap
mengintervensi dalam masalah ini, terutama yang menyangkut dana masjid atau
kas masjid. Ia mengawasi ketat dana ini dengan memerintahkan para bupati.
Argumen Hurgronje adalah bahwa kas masjid ini agar tidak digunakan untuk
kepentingan selain kepentingan masjid itu sendiri, karena memang terbukti kas
masjid ini digunakan untuk berbagai pembangunan, bahkan pembangunan rumah
sakit Kristen. Pengawasan terhadap kas masjid ini juga disertai dengan
pembatasan angka saldo. Artinya, kas masjid tidak boleh melebihi ketentuan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika ini terjadi, maka uang yang ada akan
disimpan di bank yang pencairannya membutuhkan persetujuan bupati dan
pemerintah kolonial.21
Sekiranya masjid membutuhkan biaya untuk pemeliharaan
atau renovasi, hanya sebagian dari kas masjid yang boleh dicairkan dan harus
tetap memiliki saldo. Kekurangan pembiayaan pemeliharaan atau renovasi harus
dicarikan melalui cara lain, di antaranya melalui wakaf.22
Keuangan masjid sendiri umumnya diperoleh dari biaya nikah, zakat, wakaf
dan shadaqah. Ini berarti bahwa pengurus masjid adalah orang-orang yang juga
bertanggung jawab mengurus zakat, wakaf dan shadaqah. Mereka ini biasanya
adalah para pegawai syara’ yang terdiri atas seorang imam, dua orang khatib dan
dua orang muazin. Mereka menerima gaji dari zakat dan shadaqah, yang menjadi
sumber utama kas masjid.23
Menurut Azra, baik di Aceh maupun di daerah lain, seperti Jawa, dikenal
adanya seorang imam, yang bertugas sebagai pemimpin dalam ritual-ritual
keagamaan di masjid, di samping qadi atau penghulu yang tugas utamanya di
antaranya adalah mengurus masalah-masalah keagamaan. Dalam hal ini, yang
kedua memiliki peran besar dalam mengelola keuangan masjid yang diperoleh dari
berbagai sumber seperti zakat, sedekah, hibah atau wakaf.24
Para petugas ini memeroleh gaji dari kas masjid. Mereka juga dibolehkan
untuk menarik dana lain dari masyarakat, jika diperlukan bagi kepentingan masjid.
Adapun pembagian penghasilan mereka adalah berbanding 4:2:1, yaitu imam
mendapatkan 4 bagian, khatib memeroleh 2 bagian dan muazin hanya 1 bagian.
19 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 10 dan 30. 20 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 122. 21 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162-64. 22 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 168 catatan nomor 214. 23 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162, catatan nomor 190. 24 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 20.
54
Kebijakan Negara Tentang Zakat
Meskipun demikian, mereka juga harus membayar pajak dengan perbandingan
serupa selama satu tahun, jika perang membutuhkan dana.25
Dengan demikian, praktik pengelolaan zakat di Nusantara belum
memberikan gambaran yang sistematis. Menurut S. Hurgronje, zakat mal, fitrah,
sedekah serta sumbangan keagamaan lain sesungguhnya telah melembaga dalam
masyarakat. Akan tetapi, jenis dan macam harta yang harus dikeluarkan zakatnya
beragam dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya, ternak tidak pernah ditarik
zakatnya, sementara di Priangan zakat pertanian sangat ditekankan. Adapun zakat
mal banyak diterapkan di Madura. Lebih jauh dikemukakan bahwa zakat di Jawa
umumnya bersifat sukarela dan tidak diwajibkan seperti pajak. Kondisi ini sangat
berbeda dengan di Priangan, di mana zakat diwajibkan di samping pajak.
Perbedaan ini, menurut Hurgronje, disebabkan oleh beban pajak di Jawa sangat
tinggi, sehingga tidak memungkinkan dibebani lagi zakat. Sementara itu, di
Priangan, masyarakat memiliki pengetahuan keislaman yang jauh lebih memadai,
ketekunan para pengelola, di samping semangat keagamaan yang lebih tinggi.26
Hurgronje juga menegaskan bahwa umumnya penduduk membayar zakat
karena perasaan dosa, dan mereka berusaha menebusnya melalui kegiatan ini.
Dengan kata lain, zakat yang dibayarkan sekali merupakan tebusan dosa yang
mungkin dilakukan seseorang sepanjang periode tersebut.27
Pemahaman seperti ini
sebenarnya juga dialami oleh orang-orang Muslim Madinah pada awal
diwajibkannya zakat, sebagaimana direkam dalam ayat Al-Quran. Dalam QS al-
Tawbah (9): 102-104 dikemukakan bahwa orang-orang Madinah yang baru masuk
Islam, kemudian mereka tetap melakukan tradisi yang berlawanan dengan Islam,
membayar zakat kepada Nabi dengan harapan Nabi turut memohonkan ampun
bagi dosa-dosa mereka.28
Adapun mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat itu, Hurgonje
menandaskan bahwa tidak ada aturan khusus yang diterapkan, terutama di Jawa.
Umumnya, masyarakat menyerahkan zakat itu kepada orang-orang yang telah
berjasa kepada mereka. Misalnya, zakat fitrah anak kecil akan diserahkan kepada
orang yang telah menolong bagi kelahirannya, kepada guru mengaji jika anak
sudah mulai belajar mengaji, sedangkan zakat orang dewasa umumnya diberikan
kepada lebai, penghulu, kyai, modin dan sebagainya. Bahkan, mustahik ini
melebar hingga mencakup santri (wong putihan), penjaga makam, kaum
pengangguran yang miskin, petugas masjid dan para amil zakat. Amil, yang
berarti orang yang memungut dan mengelola zakat, juga sudah dikenal pada masa
itu. Mereka ini diangkat oleh pejabat agama, tetapi tidak difungsikan lagi sejak
1892. Istilah ini baru dipakai lagi pada masa Orde Baru.29
Tidak disebutkan lebih jauh bagaimana zakat itu kemudian didistribusikan
atau dikelola, apakah memang untuk mereka yang disebutkan di atas, atau
kemudian disalurkan kepada pihak-pihak lain. Hurgronje menyebutkan bahwa
pengelolaan zakat mal dan fitrah di Priangan dilakukan dengan sangat baik.
Pertama-tama, kyai mengumpulkan zakat dari masyarakat. Selanjutnya, setelah
25 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162, catatan nomor 216. 26 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22. 27 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22. 28 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam,‛
Arabica, 40 (1993): 87. 29 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22-24.
55
Bab III
dipotong oleh bagian mereka, zakat diserahkan ke penghulu di kecamatan atau
kawedanan. Penghulu kawedanan juga memotong bagian yang menjadi haknya
untuk kemudian diserahkan kepada penghulu tingkat afdeeling sebagai
‚penghasilan agama.‛ Dengan cara begitu, dana zakat menjadi sangat besar dan
potensial untuk diselewengkan dan dikorupsi.30
Kedatangan Jepang membawa harapan baru bagi umat Islam, mengingat
mereka sangat lembut terhadap bangsa Indonesia pada awalnya. Ini dibuktikan
dengan dihidupkannya kembali Majlis Islam A‘la Indonesia, sebuah perkumpulan
partai politik dan organisasi massa. Melihat adanya angin perubahan dalam
kebijakan Jepang terhadap Islam, MIAI pun berinisiatif mendirikan Baitul Mal di
seluruh Jawa pada 1943. Akan tetapi, tak lama setelah organisasi ini berdiri, ia
malah segera dibubarkan. Akibatnya, semangat untuk menarik pemerintah
kolonial terlibat dalam pengelolaan zakat berakhir dengan kegagalan.31
Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang, aktivitas pengumpulan
zakat ini tidak memeroleh perhatian secara khusus dari pemerintah, namun
diserahkan kepada organisasi Islam, yang juga menjadikan persoalan zakat ini
sebagai salah satu programnya. Ini terlihat dengan jelas dari program-program
MIAI, di mana salah satunya adalah persoalan zakat yang ternyata disetujui oleh
pemerintah pendudukan Jepang. Tujuan dari pengelolaan zakat ini adalah untuk
menolong kaum miskin dan orang-orang yang membutuhkan, di samping untuk
‚membantu usaha Tentara Dai Nippon.‛32
Meskipun tidak terlibat di dalamnya, pihak pemerintah akhirnya menyetujui
program pendirian baitul mal. MIAI kemudian dengan gencar melakukan
propaganda demi berdirinya baitul mal, yang dapat menampung dana zakat yang
dikumpulkan dan menjadikan lembaga sebagai satu-satunya sasaran setelah
rencana-rencana lainnya tidak direspon dengan baik oleh penguasa. Pendirian
lembaga ini dipandang penting oleh MIAI karena orang-orang Islam di Jawa
banyak yang lalai menunaikan kewajiban agama ini. Di samping itu, melalui
pembayaran zakat yang dapat dilakukan dalam bentuk uang atau barang dapat
membantu mereka yang membutuhkan, seperti kaum pengangguran, yatim piatu
dan orang-orang tua.33
Akan tetapi, pendirian baitul mal ini ternyata bukan monopoli program
MIAI, sebab lembaga ini sebenarnya cukup akrab bagi umat Islam Indonesia. Ini
dibuktikan dengan berdirinya lembaga serupa oleh Bupati Bandung, Wiranata
Kusuma, pada pertengahan 1942, yang bertujuan mengurangi tekanan yang timbul
dari kekacauan ekonomi yang terjadi di daerah Priangan. Lebih jauh, baitul mal
lokal ini dianggap berhasil karena dua faktor, yaitu, pertama tingkat ketaatan
Muslim di daerah ini terhadap pembayaran zakat tampaknya lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah lain, dan kedua kemampuan dan bakat yang dimiliki
oleh para pengelolanya.34
30 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 23. 31 Arskal Salim, ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam Sharia and
Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumari Azra (Singapore: ISEAS, 2003), 183. 32 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan
Jepang, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), 178. 33 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 179. 34 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 179.
56
Kebijakan Negara Tentang Zakat
Keberhasilan baitul mal lokal inilah yang mendorong MIAI untuk
mendirikan baitul mal di tingkat nasional di Jakarta pada Januari 1943, dan
selanjutnya bahkan menjadikan baitul mal Bandung di bawah pengawasannya dan
dijadikan model untuk dipromosikan di daerah lain di Jawa. Baitul mal Bandung
akhirnya hanya menjadi cabang Dewan Baitul Mal MIAI.35
Kampanye tentang baitul mal ini memeroleh tanggapan positif dari kaum
Muslim di beberapa daerah di Jawa, yang sebelumnya kurang bergairah terhadap
persoalan zakat. Menurut laporan MIAI, setiap hari banyak orang yang datang ke
kantor menanyakan tentang baitul mal. Dua puluh tempat telah meminta MIAI
agar mengirimkan propagandis, di samping banyaknya surat yang masuk yang
menanyakan hal itu. Untuk memenuhi keinginan tersebut, MIAI kemudian
menyelenggarakan pelatihan bagi para propagandis di Bandung, yang selanjutnya
diterjunkan ke sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasilnya, dalam
beberapa bulan saja 35 baitul mal di tingkat kabupaten di Jawa pun terbentuk.
Lebih jauh, untuk merapikan administrasi panitia pusat juga menerbitkan
peraturan yang seragam bagi cabang-cabang di daerah.36
Akan tetapi keberhasilan ini tidak berlangsung lama. Jepang yang semula
menyetujui program ini tiba-tiba merasa keberatan dengan keberhasilan program
ini. Lebih jauh, keberhasilan lembaga filantropi ini dikhawatirkan oleh pihak
Jepang dapat mengancam kebijakannya tentang Islam secara umum. Melihat
kenyataan ini, Jepang kemudian berencana membubarkan MIAI dan
menggantinya dengan organisasi lain. Akan tetapi, rencana itu tidak terlaksana,
dan sebagai gantinya Jepang memberikan pengakuan penuh kepada organisasi
keagamaan Muhammadiyah dan NU. Akibatnya, MIAI semakin kehilangan
otoritas dan kemudian dibubarkan pada September 1942. Sebagai gantinya,
Jepang mendirikan Masyumi yang sekaligus menandai berakhirnya baitul mal,
karena seluruh kegiatan keislaman akhirnya tunduk di bawah peraturan yang
ditetapkan oleh Jepang.37
Selain melalui masjid dan negara, pengelolaan zakat sebenarnya juga
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, seperti pesantren, dan organisasi-
organisasi keagamaan. Umumnya, para pembayar zakat menyerahkan zakatnya
kepada para kyai, yang kemudian disalurkan kepada santri atau untuk
pembangunan lembaga pendidikan. Sementara itu, Muhammadiyah yang
bertujuan pada pembaharuan keyakinan dan ritual, juga aktif dalam memberikan
santunan sosial. Ini dilakukan dengan menggalakkan tabligh dalam berbagai amal
usahanya. Untuk tujuan ini, Muhammadiyah mengumpulkan dan mendistribusikan
zakat bagi fakir miskin, tidak untuk memelihara masjid atau kyai, seperti selama
ini berlangsung.38
Setelah Indonesia merdeka, upaya untuk mengelola zakat secara sistematis
terus dibicarakan. Pada 1952, misalnya, diadakan sebuah seminar di Sukabumi
tentang kemungkinan pengelolaan zakat dan wakaf oleh Departemen Agama.
Semangat di balik seminar ini adalah agar dua pranata Islam yang sangat potensial
35 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 180. 36 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 180. 37 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛183. 38 Martin van Bruinessen, ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛ dalam
Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity, ed. Shireen T. Hunter (London-New
York: M.E. Sharpe, 2009), 187-88.
57
Bab III
dan bernilai ekonomis itu dapat dikelola secara profesional melalui Departemen
Agama.39
Akan tetapi, tindak lanjut dari seminar ini tidak muncul ke permukaan,
sehingga pengelolaan zakat tetap berjalan sebagaimana adanya.
Tampaknya, upaya pelibatan negara dalam pengelolaan zakat ini tidak
memeroleh respons positif dari negara. Atau bisa jadi, hal itu dipandang sebagai
upaya implementasi Piagam Jakarta, yang dikhawatirkan akan mengganggu
stabilitas politik saat itu. Ini bisa dilihat dari keluarnya surat edaran nomor
1/D/13/7 Juni 1958 ke seluruh kantor Departemen Agama di seluruh Indonesia.
Surat edaran itu menegaskan bahwa pengumpulan zakat tidak boleh
diselenggarakan secara langsung oleh lembaga negara, tetapi diserahkan
sepenuhnya kepada kaum Muslim, asalkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Islam.40
Dengan kata lain, upaya pengeloaan zakat melalui Departemen Agama ini
mengalami kegagalan, dan karenanya departemen ini hanya berperan sekadar
membina agar pengelolaan itu senantiasa sesuai dengan hukum Islam.
Adapun peraturan-peraturan resmi yang telah dikeluarkan pemerintah sejak
Indonesia merdeka sudah cukup banyak. Peraturan-peraturan itu tertera dalam
berbagai bentuk seperti berikut ini.
1. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan
Badan/Amil Zakat yang dikeluarkan pada 15 Juli 1968. Yang diatur dalam
peraturan ini adalah Badan/Amil Zakat, baik yang ada di tingkat pusat
maupun yang ada di daerah-daerah hingga ke kecamatan dan desa-desa. Di
samping itu, diatur pula kedudukan tugas dan kewajiban lembaga tersebut,
berikut susunan anggota, pengangkatan, bimbingan dan pengawasan
pelaksanaannya. Adapun yang dijadikan dasar dikeluarkannya peraturan ini
adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I) yang diputuskan
oleh Keputusan Presidium Kabinet No. 75/KU/102/II/1966. Repelita I sendiri
didesain oleh Bappenas pada 1968, yang membutuhkan dana yang tidak
sedikit. Karena itu, Peraturan Menteri Agama di atas diharapkan dapat
memberikan kontribusi penggalangan dana ini.
2. Surat Presiden No. B.133/PRES/11/1968 tanggal 28 November 1968. Dalam
surat ini ditegaskan bahwa zakat umat Islam dapat diserahkan ke tujuan yang
terarah dan konkret, sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat
menunjang terlaksananya Repelita yang akan dimulai tahun berikutnya, yaitu
1969.
3. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Baitul Mal. Ini
dimaksudkan untuk menjamin pengumpulan, penampungan, pemeliharaan dan
pengawasan sumber-sumber keuangan zakat. Lebih jauh ditegaskan dalam
peraturan ini bahwa Baitul Mal berada di tingkat Kabupaten/Kotamadya, di
tingkat Provinsi dan di pusat berada pada Direktorat Urusan Agama,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
4. Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul
Mal pada 22 Oktober 1968. Peraturan ini memberikan penjelasan lebih
terperinci tentang Baitul Mal, yang meliputi tugas lembaga ini, di antaranya
adalah, selain menampung dan menerima hasil-hasil zakat yang disetorkan
39 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post-
Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 13, No. 3
(2006): 364. 40 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State,‛ 364-365.
58
Kebijakan Negara Tentang Zakat
oleh BAZIS Kecamatan, juga menerima hasil-hasil wakaf, harta pusaka yang
tidak ada pewarisnya, dan harta temuan yang tidak ada pemiliknya.
Ditegaskan lebih jauh, bahwa lembaga ini juga memiliki fungsi untuk
memanfaatkan harta tersebut bagi pembangunan sosial pendidikan umat,
semisal sekolah, rumah sakit, atau pendirian sektor-sektor yang dapat
memberdayakan ekonomi umat, seperti pabrik, perusahaan, perkebunan dan
lain sebagainya.
5. Instruksi Menteri Agama No. 16 Tahun 1968. Instruksi ini merupakan tindak
lanjut dari Keputusan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 sebelumnya.
6. Surat Perintah Presiden No. 07/Prin/10/68 tanggal 28 Oktorber 1968. Surat
ini menegaskan bahwa sebelum dibentuk Panitia Zakat, untuk sementara hal
itu akan ditangani oleh Mayjend TNI Alamsyah Ratuprawiranegara, Kolonel
Drs. H. Anwar Hamid dan Kolonel Ali Affandi.
7. Pengumuman Presiden No. 6 Tahun 1968. Pengumuman ini pada dasarnya
adalah ketentuan yang dibuat oleh ketiga pelaksana yang disebutkan
sebelumnya, di mana orang Islam yang akan membayarkan zakat dapat
menyampaikan secara langsung kepada Presiden dengan menempuh salah satu
dari empat cara sebagai berikut:
a. Diserahkan kepada Kapten Bustami pada setiap kerja dan akan diberi
tanda terima sementara sebelum uang tersebut disampaikan kepada
Presiden;
b. Dikirim langsung melalui Wesel Pos dengan alamat kepada Presiden;
c. Dikirim lewat Giro Pos Presiden atau Cek Rekening Zakat cq. Jenderal
Soeharto Nomor 10.000.
d. Dikirim kepada Presiden atas nama Rekening Zakat cq. Jenderal TNI
Soeharto kepada Bank BNI, Bank Dagang Negara dan Bank
Pembangunan Indonesia.
8. Surat Presiden No. B.133/Pres/II/1968 tentang Pengumpulan Zakat. Isi surat
ini menegaskan bahwa Sekretaris Jenderal Departemen Agama diharapkan
membantu pelaksanaan seruan Presiden untuk menunjang Repelita.
9. Surat Sekretaris Kabinet No. B-3732/Setkab/12/68 tanggal 16 Desember
1968 dan No. B-119/Setkab/1/69 tanggal 16 Januari 1969. Kedua surat ini
berisi peringatan bahwa pelaksanaan pengumpulan zakat terkait erat dengan
bidang instansi lain yang harus dilibatkan di dalamnya. Untuk itu,
pengaturannya akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Surat pertama ini
seolah-olah mengisyaratkan bahwa pembentukan Baitul Mal tidak boleh
dibentuk oleh Menteri Agama, tetapi harus dibicarakan dengan departemen
lain.
10. Instruksi Menteri Agama No. 1 Tahun 1969 tentang Penundaan Peraturan
Menteri Agama No. 4 dan 5 Tahun 1968 pada 1 Januari 1969. Instruksi ini
merupakan respons terhadap surat pertama Sekretaris Kabinet, yang
mengimplikasikan bahwa pendirian Baitul Mal harus dibatalkan. Sementara
itu, di sisi lain, Presiden seolah-olah akan mengambil alih pelaksanaan
pengumpulan zakat sesuai dengan rencananya sendiri.
11. Radiogram Menteri Dalam Negeri tanggal 14 Desember 1968. Radiogram ini
ditujukan kepada seluruh gubernur di Indonesia, yang isinya adalah sebagai
berikut:
a. Pengumpulan zakat di daerah harus sesuai dengan seruan Presiden;
59
Bab III
b. Gubernur dan Bupati harus memelopori pengumpulan zakat didampingi
oleh panitia setempat;
c. Zakat yang telah terkumpul agar disimpan di bank-bank dan giro pos
setempat yang telah memiliki nomor rekening zakat atas nama Presiden;
d. Yang berhak menarik uang tersebut adalah Presiden, sedangkan usul
penggunaannya dapat diajukan oleh gubernur dengan persetujuan panitia
setempat;
e. Setiap minggu para gubernur dan bupati harus membuat laporan kepada
Presiden.
Sebagaimana terlihat, antara 1968-1969 terdapat banyak kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, baik dari Menteri Agama, Presiden, Sekretariat
Negara dan bahkan dari Menteri Dalam Negeri. Semua itu tidak dapat dipisahkan
dari situasi awal naiknya Soeharto ke kekuasaan. Di satu sisi, umat Islam menaruh
harapan besar agar Soeharto mau melibatkan Islam dalam negara tetapi, di sisi
lain, kekhawatiran terhadap umat Islam juga sangat besar. Karena itu, ketika
Menteri Agama mengeluarkan surat tentang pendirian Baitul Mal—sebagai tindak
lanjut dari pengajuan RUU yang gagal—Soeharto tiba-tiba bersedia menjadi amil
tingkat nasional, sehingga menggagalkan niat pendirian Baitul Mal. Kenyataan ini
diperkuat oleh keluarnya surat sekretaris kabinet, yang menyebutkan bahwa
masalah zakat akan ditetapkan oleh presiden. Ini direspons oleh Menteri Agama
dengan pembatalan niat pendirian Baitul Mal di atas dan diakhiri dengan instruksi
dari Menteri Dalam Negeri yang menegaskan bahwa dalam pengelolaan zakat
pemerintah daerah harus mengikuti petunjuk presiden. Dengan kata lain, dalam
dua tahun di atas sesungguhnya telah terjadi konflik kepentingan antara umat
Islam, yang disalurkan melalui Depag, dan pemerintah yang diwakili oleh
presiden.41
12. Instruksi Menteri Agama No. 16 Tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat, Infak
dan Shadaqah. Di antara isi instruksi ini adalah masalah penggunaan dana
zakat, yang hendaknya disalurkan untuk honorarium guru-guru mengaji Al-
Quran baik di masjid, mushalla, langgar, surau dan sebagainya. Di samping
itu, dana tersebut juga dapat digunakan untuk penyelesaian wakaf (seperti
biaya akta ikrar wakaf dan sertifikat tanah wakaf), bantuan untuk modal kerja
dan usaha-usaha produktif lainnya.
13. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 Tahun
1991 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infak
dan Shadaqah tanggal 19 Maret 1991. Keputusan Bersama ini pada
prinsipnya mempertegas BAZIS sebagai sarana bagi umat Islam untuk
mengatur, melaksanakan dan mengelola zakat, infak dan shadaqah, sedangkan
pembinaannya dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah. Ada dua pembinaan yang dilakukan berdasarkan surat
keputusan bersama ini. Pertama, pembinaan umum yang berada di bawah
kewenangan Menteri Dalam Negeri dan jajarannya. Kedua, pembinaan teknis
yang menjadi wewenang Menteri Agama dan jajarannya sesuai dengan
lingkup wilayah kedudukan BAZIS. Lebih jauh ditegaskan bahwa BAZIS
adalah lembaga swadaya masyarakat, dengan pertimbangan sebagai berikut.
41 Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 123-24.
60
Kebijakan Negara Tentang Zakat
Pertama, jika badan ini sebagai lembaga pemerintah, hal itu dikhawatirkan
memunculkan kecurigaan bahwa pemerintah mencampuri ketentuan agama
atau syariah yang mengarah pada pelaksanaan Piagam Jakarta. Kedua, di
kalangan umat sendiri tidak ada kesepakatan mengenai wadah penerimaan
dan pengelolaan dana zakat di lembaga pemerintah, di satu sisi, dan
kebutuhan organisasi-organisasi keagamaan terhadap dana zakat tersebut.
Di sini terlihat bahwa negara sepanjang Orde Baru akhirnya enggan
melibatkan diri dalam pengelolaan zakat, dan bahkan akhirnya Soeharto
mengundurkan diri dari posisi amil zakat nasional pada 1974 karena merasa
kurang dipercaya oleh umat Islam.42
Seperti ditegaskan dalam keputusan bersama
di atas, pendirian lembaga negara yang bergerak dalam bidang pengelolaan zakat
dapat menimbulkan kekhawatiran di pihak non-Muslim dan karenanya
pengelolaannya diserahkan kepada Bazis.
Terlepas dari adanya berbagai peraturan di atas, pembayaran dan
pengelolaan zakat umumnya belum maksimal, tetapi memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1. Zakat lebih banyak diberikan secara langsung oleh muzakki kepada mustahik
daripada disalurkan melalui perantara amil, yang umumnya hanya
bermunculan dalam periode tertentu, seperti bulan puasa atau menjelang Idul
Fitri.
2. Zakat yang dibayarkan baru berupa zakat fitrah. Zakat harta benda (ma>l) belum menjadi kesadaran umum masyarakat maupun para amil zakat. Dalam
konteks ini, masyarakat lebih cenderung memberikan sedekah daripada zakat
mal.
3. Zakat didistribusikan hanya untuk kepentingan sesaat. Maksudnya, zakat
hanya dibagi-bagikan secara langsung kepada mustahik untuk memenuhi
kebutuhannya saat itu, terutama dalam bentuk bahan makanan. Karena itu,
dana zakat berakhir dengan pendistribusiannya. Kalau berbeda, biasanya
diwujudkan dalam bentuk bangunan tempat-tempat ibadah atau pendidikan,
seperti masjid, mushalla, madrasah, pesantren dan sebagainya.
4. Masyarakat hanya mengeluarkan zakat dari harta yang terbatas pada benda-
benda yang disebutkan secara ekplisit dalam Al-Quran-Hadis atau buku-buku
fikih klasik pada umumnya. Misalnya, selain zakat fitrah, harta yang banyak
dikeluarkan zakatnya umumnya meliputi emas, perak, hasil pertanian dan lain
sebagainya. Zakat penghasilan atau profesi belum menjadi kesadaran mereka
dan karenanya juga kurang mendapat perhatian dari amil zakat.43
Dalam pandangan Didin Hafiduddin, model pembayaran zakat di atas tidak
dapat ditimpakan sepenuhnya kepada para pembayar zakat, tetapi juga karena
faktor-faktor lainnya, terutama dari pihak amil. Pertama, lembaga pengumpul
zakat belum tumbuh di kalangan masyarakat. Ini menyulitkan para pembayar
zakat untuk menyalurkan zakatnya sewaktu-waktu di luar bulan Ramadhan.
Padahal, untuk menghitung jumlah zakat yang harus dikeluarkan seseorang dalam
setahun, misalnya, membutuhkan waktu yang tidak singkat, apalagi konsultan
zakat sendiri belum banyak dijumpai. Kedua, rendahnya kepercayaan masyarakat
kepada amil zakat. Masyarakat cenderung lebih percaya jika mereka
42 Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124. 43 Didin Hafiduddin, ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Negara, 75.
61
Bab III
menyampaikan langsung kepada mustahik, yang memang hendak ditujunya.
Sebaliknya, jika zakat tersebut disalurkan kepada amil, maka orang yang hendak
ditujunya belum tentu mendapatkannya. Ketiga, para pengelola zakat pada
umumnya bukanlah profesional dalam pengelolaan zakat. Mereka umumnya
adalah para aktivis masjid yang memiliki waktu sisa untuk menunaikan tugas
pengelolaan zakat. Dengan kata lain, amil zakat adalah profesi sambilan, dan
karenanya juga dikerjakan secara sambil lalu. Keempat, sosialisasi zakat masih
sangat terbatas. Umumnya, lembaga-lembaga penerima pembayaran zakat hanya
mengumumkan melalui masjid-masjid, terutama selama bulan Ramadhan. Karena
itu, pengenalan terhadap benda-benda yang harus dizakati, selain yang sudah
populer, juga sering tidak sampai kepada masyarakat.44
Kebijakan pemerintah setelah kemerdekaan pada dasarnya mengikuti
kebijakan pemerintah kolonial, yakni menjamin kebebasan warga untuk
melaksanakan agama mereka. Pada 1951, misalnya, Departemen Agama
menerbitkan Surat Edaran Nomor A/VVII/17367 tanggal 8 Desember 1951, yang
menyatakan bahwa departemen tidak akan menyampuri administrasi zakat.
Tugasnya hanya mengajak masyarakat melaksanakan ibadah, termasuk zakat
secara benar.45
Pemerintah Indonesia pada masa Soekarno memang tidak berniat
untuk mendirikan sebuah lembaga pengelola zakat, tetapi menyerahkannya
kepada umat Islam.
Pada awal Orde Lama, Departemen Agama di bawah komando Saifuddin
Zuhri mengajukan draft Undang-undang zakat kepada DPRGR pada 1967, yang
juga disampaikan kepada menteri Keuangan dan Menteri Urusan Sosial. Terhadap
ajuan ini, menteri keuangan menyarankan agar masalah ini cukup diatur melalui
peraturan menteri. Ini barangkali yang mendorong lembaga legislatif tidak
memprosesnya menjadi undang-undang. Melihat kenyataan ini, menteri agama
yang baru, Mohammad Dachlan, menetapkan peraturan menteri tentang pendirian
Badan Amil Zakat dan Baitul Mal, yang akan bertanggung jawab terhadap
pengelolaan zakat pada 1968. BAZ kemudian dibentuk di semua tingkatan
administratif di seluruh Indonesia.46
Pada 26 Oktober 1968, Presiden Soeharto, sebagai pribadi, dalam peringatan
Isra’ Mikraj menyatakan kesediannya untuk menjadi amil zakat secara nasional. Ia
kemudian menunjuk tiga orang militer untuk membantunya, yaitu Jendral
Alamsyah Ratuprawiranegara, Kolonel Infantri Azwar Hamid dan Kolonel
Infantri Ali Affandi.47
Kesediaan Seoharto sebagai amil ini merupakan respons
terhadap saran 11 ulama Jakarta, yang menganjurkan agar ia—sebagai kepala
negara—mendorong umat Islam, terutama yang tinggal di ibukota, untuk
melaksanakan perintah-perintah agama, termasuk di dalamnya zakat. Mereka juga
menyarankan agar Soeharto mendorong para gubernur untuk berperan aktif dalam
pengumpulan dan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan agama dan
berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Depag dan Mandagri. Di samping
itu, mereka berharap melampaui saran dan harapan di atas. Ia tidak hanya menjadi
teladan dalam pembayaran zakat, tetapi bersedia sebagai amil nasional sebagai
44 Didin Hafiduddin, ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ 75-76. 45 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 122. 46 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 122-2. 47 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of State and Muslims,‛ 365.
62
Kebijakan Negara Tentang Zakat
pribadi—bukan sebagai presiden—dan juga melampaui saran agar gubernur dapat
berperan aktif.48
Sikap Soeharto ini menunjukkan bahwa persoalan zakat, yang merupakan
bagian dari agama, dikeluarkan dari urusan negara, dengan mengalihkan dari
Departemen Agama ke urusan pribadi. Lebih jauh, keterlibatan Soeharto dalam
hal zakat ini mengakhiri persoalan keterlibatan negara. Dalam laporan terakhirnya
yang disampaikan saat menjelang idul fitri pada 30 November 1970 disebutkan
bahwa selama periode tersebut telah terkumpul 39.5 juta dan 2.473 dollar AS.
Dalam pandangan Arskal, ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Soeharto
memiliki tujuan lain dibalik kesediaannya sebagai amil nasional, yaitu untuk
menggagalkan usaha Depag mengimplementasikan Piagam Jakarta dengan
membuat mekanisme pengumpulan zakat nasional berdasarkan syariah. Karena
itu, setelah berhasil dengan targetnya, Ia mengundurkan diri dari amil nasional,
dan pengumpulan zakat menjadi kurang memeroleh perhatian.49
Sementara itu, pada 1982 Soeharto mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila yang bergerak dalam pengumpulan sedekah dari seluruh pegawai negeri
di Indonesi dengan memotong secara langsung gaji bulanan mereka. Dana yang
terkumpul digunakan untuk membangun masjid di berbagai pelosok. Cara ini
sangat berbeda dengan ketika ia mengelola zakat, yang tidak diambil secara
langsung melalui negara. Dengan kata lain, mengapa saat sebagai amil zakat ia
tidak menerapkan cara yang serupa, tetapi setelah keluar sebagai amil, ia
melakukannya. Bukankah zakat, yang merupakan rukun Islam, jauh lebih mudah
diterima oleh masyarakat ketimbang sedekah. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa
Soeharto tidak menghendaki zakat diterapkan sebagai implementasi Piagam
Jakarta.50
Setelah Soeharto mundur sebagai amil, kebijakan zakat secara nasional tidak
memiliki basis hukum, dan satu-satunya dasar hukum yang ada adalah surat
edaran yang diterapkan oleh Seoharto, sehingga memunculkan pertanyaan
masihkah surat itu berlaku? Ternyata banyak lembaga zakat malah bermunculan,
seperti BAZIS yang terdapat di berbagai provinsi di Indonesia, di samping
lembaga-lembaga swasta.
Pada 1991, Munawir Sjadzali, sebagai Menteri Agama dan K>.H>. Hasan Basri
sebagai ketua MUI, sekali lagi membujuk Soeharto untuk berperan sebagai
pengelola zakat pada tingkat nasional seperti sebelumnya, namun ia menolak dan
menyarankan agar membentuk surat keputusan bersama antara Mentri Dalam
Negeri dan Menteri Agama.51
Bersamaan dengan melembutnya sikap pemerintah
terhadap umat Islam, Depag berusaha membuat kebijakan umum tentang zakat,
yaitu berupa instruksi menteri nomor 16/1989 dan nomor 5/1991 dan keputusan
bersama menteri lain nomor 29/1991 dan 47/1991.52
Dalam pandangan Arskal, adanya instruksi ini semakin memperlemah posisi
zakat dalam kaitannya dengan negara di tingkat provinsi, mengingat gubernur
tidak harus terlibat di dalamnya. Lebih jauh, instruksi ini juga mengubah
48 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 185-186. 49 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124. 50 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124-125. 51 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of State and Muslims,‛ 365. 52 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 126.
63
Bab III
mekanisme pengelolaan zakat, dari lembaga yang sedikit disponsori pemerintah
ke lembaga otonom.53
B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat
Sebenarnya lahirnya Undang-undang Zakat ini tidak semata-mata didorong
oleh faktor-faktor internal yang akan diuraikan dalam sub-bahasan berikutnya,
tetapi juga karena faktor-faktor eksternal yang sesungguhnya telah lebih dahulu
ada. Kenyataan ini ditunjukkan oleh pernyataan Pemerintah yang diwakili oleh
Menteri Agama saat itu, A. Malik Fadjar, ketika menyampaikan penjelasan di
depan DPR sebelum dimulainya tanggapan-tanggapan dari fraksi-fraksi. Dalam
penjelasan tersebut dikemukakan bahwa zakat di Malaysia dan Singapura setelah
dikelola secara baik ternyata mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Lebih jauh, faktor eksternal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kunjungan
sejumlah anggota tim yang sengaja dibentuk untuk melakukan perbandingan
tentang pengelolaan zakat di negara-negara lain sebelum Rancangan Undang-
undang itu sendiri dibuat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk melihat peran
faktor-faktor eksternal itu dalam penetapan Undang-undang tentang Pengelolaan
Zakat.
1. Eksternal
Sebagaimana telah disinggung dalam Bab 2, upaya penafsiran ulang terhadap
konsep zakat telah dilakukan oleh sejumlah pemikir Muslim. Akan tetapi,
kesadaran untuk menghidupkan kembali institusi zakat secara lebih signifikan
terjadi sejak Perang Dunia II. Kesadaran ini dapat dilihat baik dari keterlibatan
negara melalui undang-undang yang ditetapkan untuk mengaturnya maupun dari
berdirinya sejumlah organisasi yang memeroleh kepercayaan untuk
mengumpulkannya.
Berbeda dengan sebelumnya, di mana zakat hanya sering dibicarakan oleh
fuqaha, pada zaman modern zakat telah menarik perhatian banyak ahli ekonomi,
sehingga zakat menjadi wacana yang didiskusikan secara lebih luas oleh berbagai
pihak. Jika fuqaha cenderung bergulat dengan hukum zakat itu sendiri, para ahli di
bidang lain berusaha merumuskan zakat dalam peraturan-peraturan yang sesuai
dengan situasi modern, di antaranya melalui undang-undang yang ditetapkan oleh
negara. Pada 1952, misalnya, sejumlah ulama seperti ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f,
Muh}ammad Abu> Zahrah dan ‘Abd al-Rah}ma>n H{asan terlibat dalam diskusi
seputar kemungkinan zakat dikelola oleh negara. Ini dibarengi dengan
penyelenggaraan sejumlah konferensi, publikasi berbagai manual dan pamflet
yang mengajarkan kaum Muslim bagaimana mereka sebaiknya membayar zakat,
baik oleh lembaga-lembaga swasta maupun lembaga-lembaga yang disponsori
pemerintah.54
Berdasarkan kenyataan ini, Monzer Kahf mengklasifikasi pengelolaan zakat
di dunia Muslim saat ini ke dalam dua model utama: pertama, pengelolaan zakat
yang didasarkan pada undang-undang yang ditetapkan oleh negara. Ini bisa
berbentuk pengelolaan yang seluruhnya ditangani oleh pemerintah, atau
pengelolaan oleh lembaga-lembaga lain yang memeroleh legitimasi dari
53 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 126. 54 Yu>suf al-Qarad}a>wi, Fiqh al-Zaka>h (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 822.
64
Kebijakan Negara Tentang Zakat
pemerintah. Kedua, pengelolaan zakat yang berjalan secara alami tanpa
keterlibatan negara dan tanpa undang-undang. Dalam hal ini, lembaga-lembaga
sosial keagamaan atau organisasi-organisasi massa Islam memainkan peran yang
sangat penting.55
Menurut Zysow, dewasa ini ada enam negara Muslim, di mana
zakat digalakkan melalui undang-undang, yaitu Saudi Arabia, Libya, Yaman,
Malaysia, Pakistan dan Sudan.56
Akan tetapi, penilaian ini tampaknya
mengabaikan sejumlah negara yang jelas-jelas melibatkan negara dalam
pengelolaan zakat, bahkan dibarengi dengan pengesahan undang-undang yang
memayunginya, seperti akan ditunjukkan dalam kasus Kuwait dan Yordania.
Di Arab Saudi, pengumpulan zakat diatur oleh Keputusan Raja Nomor
17/2/28/8634 yang ditetapkan pada 29 Jumada al-Tsani 1370/17 April 1951.
Berdasarkan keputusan ini, invidu dan perusahaan yang berkebangsaan Saudi
dikenakan zakat. Dengan demikian, zakat tidak dikenakan kepada orang atau
perusahaan non-Saudi dan mereka ini hanya dibebani dengan pajak. Sementara
itu, penduduk Saudi tidak dikenakan pajak, tetapi hanya zakat saja, sehingga bagi
mereka zakat dan pajak tampak sama saja. Secara umum, pengumpulan dan
pengelolaan zakat di Saudi berada di bawah Kementerian Keuangan. Sementara
zakat peternakan dan pertanian berada dalam yurisdiksi Biro Umum Pemasukan
Umum departemen, zakat atas barang-barang lain berada di bawah yurisdiksi
Departemen Zakat dan Pajak dari kementerian yang sama. Di samping itu,
berdasarkan peraturan ini dibentuk pula Panitia Khusus yang terdiri dari pejabat
pemerintah dan warganegara tertentu untuk menentukan kewajiban zakat yang
harus dibayar seseorang atas hasil pertanian dan peternakannya, yang kemudian
dibayarkan ke lembaga lokal yang telah ditetapkan berhak mengumpulkannya.
Lebih jauh, keputusan ini juga mengenakan zakat pada barang dagangan, uang
cash dan asset bisnis lainnya, di samping atas penghasilan profesi (zakat profesi)
sebesar 1,25%. Meskipun demikian, keputusan ini tidak memberikan hukuman
kepada mereka yang tidak membayar zakat, tetapi sanksi administratif dapat
dikenakan kepada perusahaan yang tidak membayar, bahkan mungkin dikenakan
penahanan oleh polisi. Walaupun dipungut oleh negara, pembayar zakat berhak
memberikan secara langsung kepada muzakki selama jumlahnya tidak lebih dari
separuh. 57
Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi zakat perusahaan yang harus
diserahkan seluruhnya ke Departemen Keuangan. Selanjutnya, dana zakat yang
terkumpul digunakan sebagai jaminan sosial bagi warganya, di mana kriteria
mustahik ditetapkan oleh departemen. Tentang zakat perusahaan, ini hanya
berlaku bagi perusahaan non-pemerintah, sebab seluruh keuntungan perusahaan
pemerintah ditujukan bagi kesejahteraan umum. Di sini kemudian muncul
pertanyaan tentang bagaimana dengan perusahaan gabungan Saudi dan asing.
Terhadap masalah ini, Pemerintah Saudi menetapkan bahwa perusahaan semacam
itu wajib dikenai zakat.58
55 Monzer Kahf, ‚Applied Institutional Models for Zakah Collection and Distribution in Islamic
Countries and Communities,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications,
ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 198-199;
lihat juga M. Taufik Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 33. 56 A. Zysow, ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2001), 11: 418. 57 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419; M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 34-
36. 58 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 36.
65
Bab III
Undang-undang Zakat di Libya Nomor 89 Tahun 1971, di pihak lain,
menerapkan pemungutan zakat atas seluruh kekayaan, termasuk uang tunai dan
saham perusahaan. Akan tetapi, itu hanya berlaku pada kekayaan zahiriah sesuai
dengan ketentuan fikih Maliki. Berbeda dengan peraturan di Saudi Arabia yang
tidak memberikan sanksi terhadap mereka yang gagal membayarnya, undang-
undang di Libya menegaskan bahwa orang yang mampu tetapi tidak membayar
zakat akan dikenakan denda berupa penambahan jumlah yang harus dibayar.
Namun, tambahan itu tidak boleh melebihi dua kali lipat. Ditegaskan pula bahwa
dana yang terkumpul dari zakat sedikitnya 50% harus didistribusikan kepada fakir
miskin.59
Sementara itu, di Republik Arab Yaman, pengumpulan zakat dilakukan
negara berdasarkan undang-undang tahun 1971, di mana pembayarannya
dilakukan dengan cara memotong gaji para pegawai pada Bulan Ramadhan.
Pelaksanaannya berada di bawah sebuah departemen di Kementerian Keuangan,
yang secara khusus menangani pembayaran-pembayaran umum (mas}lah}at al-wa>jiba>t). Akan tetapi, terhadap benda-benda lain yang dizakati, seperti hasil
pertanian dan sebagainya, pemerintah lokal berperan besar dalam menentukan
besaran zakat yang harus dibayar pemiliknya. Selanjutnya, dana yang terkumpul
akan dimasukkan ke dalam Bank Sentral. Dari sini, Menteri Keuangan yang akan
mencairkan penggunaannya sebagai bagian dari budget negara. Meskipun
demikian, individu tetap berhak menyalurkan zakatnya secara individual kepada
mustahik sebesar 25%, dan sisanya harus diserahkan kepada lembaga.60
Di Malaysia, pengumpulan zakat diatur oleh masing-masing negeri secara
terpisah di bawah kewenangan Majelis Urusan Agama. Kewenangan ini berakibat
pada perbedaan ketentuan tentang harta yang harus dizakati dari satu negeri ke
negeri lainnya. Misalnya, suatu harta tertentu bisa jadi dikenakan zakat atasnya di
satu negeri, tetapi tidak dikenakan di negeri lain. Meskipun demikian, sumber
utama zakat di negeri-negeri ini adalah pertanian, terutama padi, dan zakat fitrah.
Ketaatan terhadap zakat fitrah umumnya jauh lebih besar ketimbang zakat mal
atau lainnya. Undang-undang zakat di Malaysia menetapkan denda dan penjara
bagi yang tidak membayar zakat, meskipun dalam pelaksanaannya konon sangat
longgar.61
Di Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya),
pengelolaan zakat dilakukan oleh Pusat Pungutan Zakat (PPZ), yang sejak 1991
manajemennya diserahkan kepada perusahaan swasta bernama Hartasuci Sdn.
Bhd., sehingga pengelolaan zakat berjalan secara profesional. Setelah terkumpul,
PPZ menyalurkan melalui berbagai program, seperti bantuan langsung kepada
fakir miskin dalam bentuk makanan, uang, atau melalui pendidikan, bantuan
medis, bencana alam, pernikahan hingga modal usaha. Adapun bantuan tidak
langsung bisa berupa pembinaan dan pelatihan ketrampilan, seperti dilakukan
melalui Institut Kemahiran Baitul Mal (IKB), atau dengan memberikan sarana
perlindungan bagi muallaf, fakir miskin dan sebagainya. Bahkan hingga batas
tertentu, pendidikan profesional dapat diberikan kepada para anak-anak fakir
miskin untuk kuliah, atau belajar di akademi-akademi.62
59 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. 60 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. 61 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. 62 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 53-54.
66
Kebijakan Negara Tentang Zakat
Di Pakistan dan Sudan, perhatian terhadap zakat memeroleh perhatian
sangat besar mengingat ia merupakan bagian dari program Islamisasi hukum. Di
Pakistan, misalnya, undang-undang zakat yang bernama Zakat and Ushr Ordinance ditetapkan pada 1980 selama kekuasaan Jenderal Zia ul-Haq sebagai
pemenuhan aspirasi Muslim. Sebagian besar dari undang-undang ini berkaitan
dengan pengumpulan dan pengelolaan zakat oleh lembaga yang disebut Zakat
Fund, yang terdiri dari tiga tingkatan: Central Zakat Fund, Lokcl Zakat Fund dan
Local Zakat Committee.63
Yang pertama merupakan lembaga ditingkat nasional,
yang kedua berada di tingkat negara bagian, dan yang terakhir berperan sebagai
unit pengumpulan di daerah-daerah tingkat kabupaten.
Berdasarkan undang-undang ini, setiap warganegara Muslim Pakistan wajib
membayar zakat atas hartanya yang telah mencapai nis}a>b, yaitu jumlah minimal
harta yang harus dizakati. Harta yang wajib dizakati ini tidak hanya item-item
yang ditetapkan secara tradisional dalam fikih, tetapi juga kekayaan yang
berbentuk tabungan dan deposito, saham perusahaan, sertifikat investasi, saham
perusahaan dan lain sebagainya. Pembayaran zakat atas semua kekayaan itu
dilakukan dengan cara memotong langsung melalui bank atau institusi keuangan
lainnya. Adapun zakat kekayaan seperti emas, perak, perdagangan dan sebagainya
diserahkan langsung oleh pemiliknya kepada lembaga yang telah ditetapkan.
Umumnya, pemotongan dan penyerahan zakat itu dilakukan pada bulan
Ramadhan.64
Ada beberapa sasaran yang menjadi target pendistribusian zakat di negara
ini. Seperti disebutkan dalam Al-Quran, kelompok penerima zakat adalah delapan
as}na>f, meskipun dalam praktik dan teknisnya dilakukan berdasarkan skala
prioritas. Prioritas utama diberikan kepada fakir miskin, terutama para janda dan
orang-orang cacat. Namun, pemberiannya bisa dilakukan secara langsung dalam
bentuk barang atau melalui sarana lainnya seperti pendidikan di sekolah-sekolah,
pendidikan ketrampilan, pembangunan rumah sakit, klinik dan lain sebagainya.65
Di Sudan undang-undang zakat disatukan dengan undang-undang pajak yang
dikenal dengan Qa>nu>n al-Zaka>h wa al-D{ara>’ib, yang ditetapkan pada 1984. Ini
merupakan bagian dari proses Islamisasi Sudan yang diperkenalkan semasa
pemerintahan Numayri. Dengan undang-undang ini, rezim Numayri mengganti
sistem pemasukan negara dengan zakat, yang akhirnya justru melahirkan defisit
anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Melihat kenyataan ini, undang-
undang zakat pun diubah pada 1986 dan 1990 dengan memindahkan pengelolaan
zakat dari Kementerian Keuangan sebelumnya ke Kementerian Kesejahteraan
Sosial. Jangkauan undang-undang zakat di Sudan sangat luas, tidak hanya
terhadap benda-benda yang secara tradisional harus dizakati, tetapi juga meliputi
gaji para pegawai dan kaum profesional, jasa dan lain sebagainya, yang dikenal
dengan mustaghilla>t. Berbeda dengan di Saudi yang menetapkan zakat hanya
1,25% atas penghasilan profesi, di Sudan zakat profesi ditetapkan sebesar 2,5%
dari penghasilan bersih. Juga berbeda dengan Saudi yang hanya mewajibkan zakat
atas warganya, di Sudan seluruh Muslim dikenakan wajib zakat, bahkan orang-
orang Sudan sendiri yang tinggal di luar negeri. Namun demikian, individu
pembayar zakat diberi hak untuk menyalurkan sendiri kepada mustahik sebesar
63 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 420. 64 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 42. 65 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 43.
67
Bab III
20% dari jumlah seluruh yang harus dibayar. Seperti di Libya, denda akan
diterapkan bagi orang yang tidak membayar zakat, tetapi jumlahnya tidak boleh
melebihi dua kali lipat.66
Karena bersatu dengan pajak, penyaluran dana zakat di
sini menjadi bagian integral dari tugas Departemen Keuangan dan Perencanaan
Ekonomi Nasional. Meskipun demikian, prioritas tetap diberikan kepada lima
ashnaf, yaitu fakir, miskin, amil, ibn sabil dan gharimin, tanpa memasukkan tiga
ashnaf lainnya.67
Di Yordania, yang tidak dimasukkan oleh Zysow dalam negara yang
mengelola zakat melalui undang-undang, sesungguhnya undang-undang yang
secara khusus mengelola zakat telah ditetapkan pada 1944, sehingga dapat
dipandang sebagai negara pertama yang melahirkan undang-undang zakat. Bahkan
pada 1988, Undang-undang tentang S{undu>q al-Zaka>h ditetapkan untuk
memperkuat pengelolaan zakat di negara itu. Lembaga ini dipimpin langsung oleh
Menteri Wakaf dan Urusan Haji dibantu oleh Mufti Besar Kerajaan, wakil dari
Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertumbuhan dan Sosial.
Operasionalisasi S{undu>q al-Zaka>h ini dilakukan oleh Lajnat al-Zaka>h (Komisi
Zakat), yang bertugas antara lain: menginventarisasi kemiskinan dalam
masyarakat di negeri itu, mendirikan klinik-klinik kesehatan, pusat pendidikan
pengangguran, proyek-proyek investasi dan lain sebagainya.68
Sementara itu, di Kuwait, lembaga pemerintah yang mengurusi zakat
didirikan dengan nama Bayt al-Zaka>h melalui Undang-undang Nomor 5/82 yang
ditetapkan pada 21 R. Awwal 1403/16 Januri 1982. Lembaga ini dipimpin
langsung oleh Menteri Wakaf dan Urusan Islam, dibantu wakil menteri Wakaf dan
wakil Menteri Sosial dan Tenaga Kerja. Di antara tugas-tugas utama Bayt al-Zaka>h adalah mengembangkan sumber-sumber zakat dan dana-dana amal lainnya
dan mendistribusikan dana-dana sesuai dengan golongan yang ditetapkan oleh Al-
Quran. Meskipun demikian, prioritas tetap dilakukan berdasarkan kebutuhan
ashnaf ini.69
Praktik-praktik pengelolaan zakat di negara-negara tersebut sedikit banyak
telah memengaruhi lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat di
Indonesia. Sebab, sebelum dibentuknya sebuah RUU, ada tim yang diutus untuk
mengkaji undang-undang serupa di negara lain. Ini seperti terlihat dalam
pembentukan KHI, di mana sejumlah tim dibentuk untuk melakukan
perbandingan dengan negara lain seperti Turki, Maroko dan lain sebagainya. Akan
tetapi, dalam pembentukan UU tentang Pengelolaan Zakat ini, negara yang dituju
sebagai perbandingan adalah Malaysia dan Singapura, seperti dinyatakan secara
tegas dalam keterangan pemerintah di hadapan Sidang Paripurna DPR.
2. Internal
Betapapun besarnya pengaruh eksternal di atas, faktor-faktor internal dalam
negeri tentu yang paling menentukan. Yang demikian itu karena situasi yang
dihadapi oleh negara dan bangsa justru yang menjadi triggering factors bagi
lahirnya sebuah undang-undang. Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat tak
66 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 420; M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 36-
40. 67 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 41. 68 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 44-46. 69 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 50-52.
68
Kebijakan Negara Tentang Zakat
syak lagi memiliki sejumlah faktor yang melicinkan jalan bagi kelahirannya. Di
antara faktor-faktor ini adalah sebagai berikut:
a. Historis
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, persoalan zakat bukanlah
masalah baru, tetapi sebuah recurrent issue yang akan segera mengemuka
manakala kondisi yang diperlukannya tersedia. Sebenarnya, upaya untuk membuat
sebuah undang-undang zakat telah dilakukan segera setelah Orde Baru terbentuk.
Pada 1968, misalnya, Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Nomor 4 dan 5,
yang masing-masing berisi pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal. Akan
tetapi, bukannya diimplementasikan, kedua peraturan itu malah berhenti di tengah
jalan. Ada perbedaan pendapat mengenai sebab musabab kedua peraturan itu
menjadi dorman. Menurut sebagian sarana, hal itu disebabkan oleh
ketidaksetujuan Menteri Keuangan terhadap kedua peraturan itu. Sebagian yang
lain menilai bahwa tidak berjalannya peraturan itu karena ketidaksetujuan
Soeharto yang khawatir hal itu dapat mengarah pada pelaksanaan Piagam Jakarta.
Sebaliknya, Soeharto—sebagai pribadi Muslim—malah bersedia menjadi
amil zakat secara nasional. Akan tetapi, keterlibatannya mengelola zakat ini
hanya berjalan selama beberapa tahun saja, sebab sejak 1972 ia mengundurkan
diri. Selama periode keterlibatannya itu jumlah yang berhasil dikumpulkan hanya
sebesar Rp. 39.500.000,- dan USD 2.473. Setelah mundur, ia justru mendirikan
Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang menarik dana secara langsung dari
gaji para pegawai negeri. Padahal, di saat menjadi amil zakat, ia semestinya dapat
melakukan hal serupa. Apalagi zakat merupakan kewajiban Muslim, yang tentu
saja lebih mudah diterima oleh masyarakat, ketimbang sekadar sumbangan kepada
Yayasan tersebut.70
Dengan kata lain, pengelolaan zakat selama ini belum memeroleh perhatian
yang semestinya, di antaranya belum adanya undang-undang yang
memayunginya. Karena itu, adanya undang-undang zakat sebenarnya sudah
menjadi aspirasi Muslim sejak lama, tetapi selalu mendapat hadangan dari pihak
pemerintah. Bahkan, seolah-olah pemerintah malah mempermainkannya demi
kepentingan politik. Karena itu, tatkala kondisi berubah dan situasi politik
mendukungnya, keinginan itu muncul kembali. Yaitu, aspirasi agar undang-
undang tentang zakat, yang telah dipersiapkan oleh FOZ diajukan oleh pemerintah
ke DPR untuk dibahas. Sesungguhnya, hal seperti itu tidak hanya terjadi dalam
kasus zakat. Seperti dimaklumi, upaya memasukkan Piagam Jakarta ke dalam
UUD 1945 juga terjadi beberapa kali. Setelah gagal dalam PPKI, usaha tersebut
berulang dalam Konstituante 1959 meskipun harus mengalami nasib serupa,
setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 1 Mei 1959. Setelah
tumbangnya Orde Baru, sejumlah partai juga mengusung kembali aspirasi itu
dalam Sidang MPR 2002, namun ditarik kembali sebelum dilakukan voting.
Singaktnya, kelahiran undang-undang zakat pada dasarnya tinggal menunggu
waktu, sebab ia sudah menjadi aspirasi kuat Muslim yang sudah lama.
70 Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124-25.
69
Bab III
b. Ekonomi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, faktor penting yang mula-mula
mendorong lengsernya Soeharto dari kekuasaan adalah krisis ekonomi. Ini
bermula dari beberapa krisis yang menimpa sejumlah negara Asia yang akhirnya
berdampak sangat besar di Indonesia. Krisis ini tidak hanya menghancurkan
ekonomi negara, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap perekonomian
masyarakat, yang ditandai dengan naiknya harga kebutuhan mereka. Akibatnya,
tingkat pengangguran dan kemiskinan rakyat Indonesia meningkat sangat tajam.
Dalam situasi seperti itu, adanya pranata zakat menjadi sangat signifikan,
jika dikelola dengan baik. Seperti dikemukakan Menteri Agama saat itu, A. Malik
Fadjar, di hadapan anggota DPR, zakat merupakan sebuah potensi dan sumber
dana yang sangat besar bila dikelola secara terencana dan maksimal, yang hasilnya
dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan
dan mewujudkan keadilan sosial.71
Banyak orang yang yakin bahwa zakat jika dikelola dengan baik dapat
membantu negara dalam menghadapi krisis keuangan dan menyejahterakan
rakyatnya. Hal itu tidak berarti zakat yang dikumpulkan oleh negara digunakan
untuk membiyai negara, tetapi sebaliknya negara hanya berperan sebagai
fasilitator dalam mengumpulkan zakat, yang dalam hal ini bertindak sebagai amil
zakat. Dengan demikian, negara dapat mengumpulkan zakat, lalu
mendistribusikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Jika pengelolaan
ini terpusat, maka zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dapat
diwujudkan. Sebaliknya, jika didasarkan pada masing-masing daerah, hal itu akan
menimbulkan ketimpangan, di mana daerah yang dapat mengumpulkan zakat
sedikit, hanya dapat mengentaskan kemiskinan yang juga sedikit. Padahal, tidak
menutup kemungkinan kalau di daerah itu terdapat banyak orang miskin,
sementara zakat yang terkumpul hanya sedikit.72
Lebih jauh, diasumsikan bahwa zakat jika dikelola oleh negara dapat
mengumpulkan dana yang mencapai puluhan triliun. Dengan dana sebesar ini,
pemerintah dapat memprioritaskan pada aspek lain yang justru sangat
membutuhkan banyak dana. Seperti dikemukakan M. Djamal Doa, jika dikelola
oleh negara dengan sistem modern dan transparan, dana zakat dapat terkumpul
hingga mencapai kurang lebih 80 trilyun rupiah, sebuah jumlah yang tentu saja
melebihi anggaran sebuah departemen, seperti UKM yang pada 2000 hanya
berkisar 20-25 trilyun rupiah.73
Asumsi tentang potensi yang demikian besar dari zakat ini mendorong
masyarakat yang tercermin dalam DPR dan negara untuk mencoba menggali dan
mendayagunakannya. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa negara sedang berada
dalam krisis multidimensi, sehingga potensi zakat yang besar itu dipandang
relevan dan signifikan.
71 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR mengenai RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 26. 72 AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Mufti, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi
Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004), 42-43. 73 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), 31-32.
70
Kebijakan Negara Tentang Zakat
c. Yuridis
Seperti telah disebutkan sebelumnya, berbagai ketentuan tentang zakat telah
dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi tumpang tindih antara satu dan lainnya tidak
dapat dihindarkan. Sementara itu, akomodasi terhadap sejumlah peraturan yang
berkaitan dengan kepentingan Islam dimaksudkan di antaranya adalah untuk
menciptakan integrasi peraturan atau unifikasi undang-undang.74
Karena itu, RUU
tentang pengelolaan zakat ini bertujuan pada terciptanya tertib hukum yang dapat
menjadi landasan bagi pengelolaan zakat secara integral.75
Di sisi lain, pada 1993, Republika, koran yang diterbitkan oleh ICMI,
mendirikan lembaga yang dikenal dengan Dompet Dhuafa (DD) Republika.
Lembaga ini berusaha menjadi pengelola zakat yang dijalankan secara profesional
dan kemudian berpengaruh besar bagi pelembagaan pengelolaan zakat. DD
menerima dan menyalurkan berbagai sumbangan dari masyarakat, baik dalam
bentuk zakat, infak maupun shadaqah, di samping bentuk sumbangan lainnya.
Dibandingkan dengan lembaga-lembaga BAZIS lainnya, DD dapat dipandang
sebagai yang paling sukses dalam mengumpulkan dana zakat, infak dan shadaqah.
Yang demikian itu, karena melalui Republika DD dapat menyampaikan iklan,
laporan penerimaan dan penyaluran dana yang ada secara transparan. Kesuksesan
dalam penggalangan dana melalui koran ini juga dialami oleh Dana Kemanusiaan
Kompas, yang dikelola oleh koran nasional ini. Melalui transparansi laporan dan
penggunaan, para penyumbang terus meningkat dan tak pernah berhenti.
Salah satu peran penting lembaga ini adalah memprakarsai kelahiran asosiasi
organisasi pengelola zakat, yang kemudian dikenal dengan Forum Zakat (FOZ),
yang dideklarasikan bersamaan dengan Seminar Zakat Perusahaan pada 7 Juli
1997. Pendeklarasian forum ini didukung oleh 11 lembaga, antara lain Dompet
Dhuafa Republika, Bank Bumi Daya, Pertamina, Telkom Jakarta, Baitul Mal
Pupuk Kujang, Bazis DKI, Hotel Indonesia dan Sekolah Tinggi Ekonomi
Indonesia (STEI) Jakarta, yang kemudian sekaligus bertindak sebagai
konsorsiumnya.76
Di antara persoalan mendasar yang menjadi perhatian forum ini
adalah tidak adanya sebuah undang-undang yang dapat memayungi aktivitas
mereka secara memadai.
Tidak adanya landasan hukum yang tegas bagi pengelolaan zakat di satu sisi
dan merebaknya lembaga-lembaga swasta dalam mengelola zakat di sisi lain,
telah mendorong berbagai pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi.
Karena itu, seluruh lembaga zakat (BAZIS) di tingkat provinsi di Indonesia,
melalui fasilitas Depag, menyelenggarakan pertemuan nasional pada 3-4 Maret di
Jakarta. Dalam pertemuan ini disadari oleh semua pihak, baik utusan BAZIS
maupun Depag, akan pentingnya sebuah lembaga zakat di tingkat nasional untuk
mengelola zakat. Mereka bahkan meminta Rudini, yang saat itu sebagai Menteri
Dalam Negeri, bertindak sebagai ketua Dewan Zakat Nasional. Meskipun ia
menyetujui usulan ini, tetapi Soeharto tidak dapat merestui semangat tersebut.77
74 Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Sharia in the Perspective of
Indonesian Legal Politics,‛ 7. 75 Lihat ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR mengenai RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 31. 76 Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ 63. 77 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127.
71
Bab III
Kegagalan dan tiadanya lembaga zakat di tingkat nasional ini mendorong
lembaga-lembaga lokal menjalin satu dengan yang lain sehingga terbentuklah
Forum Zakat pada September 1997, yang disponsori oleh 11 lembaga zakat yang
disponsori oleh pemerintah maupun swasta. Dalam waktu tak lebih dari dua
tahun, 150 lembaga zakat lain bergabung kedalamnya sehingga forum ini
memainkan peran penting dalam persoalan-persoalan zakat. Forum ini, selain
memperkuat jaringan antarlembaga zakat, juga aktif menyebarkan informasi,
mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang terkait dengan zakat. Hingga batas
tertentu, forum ini menjadi konsultan dalam berbagai persoalan zakat sekaligus
mediator dalam hubungannya dengan pemerintah. Dalam pertemuannya pada 7-9
Januari 1999, seluruh anggota sepakat untuk mendorong FOZ mempersiapkan
sebuah draft undang-undang zakat.78
d. Sosial-Politik
Faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam mendorong lahirnya Undang-
undang Zakat adalah sosial dan politik. Sebagaimana dimaklumi, peran Muslim
dalam era reformasi ini sangat besar, terutama dari kalangan intelektualnya.
Seperti dikemukakan oleh Azyumardi Azra ‚Muslim groups have played an
important role in the fall of Soeharto, ending a long period of autocratic rule and,
therefore, providing an impetus for the growth of democracy. Prominent Muslim
leaders, such as M. Amien Rais, Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid, had
been at the forefront of the opposition movement in the last years of Soeharto’s
power.‛79
Berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya, naiknya Habibie menggantikan
Soeharto membawa suasana baru, yaitu kebebasan ekspresi yang sangat besar,
yang oleh Bahtiar Effendy disebut sebagai euphoria atau relaksasi politik.80
Meskipun demikian, pemerintahan Habibie sering ditempatkan orang sebagai
pemerintahan transisi sehingga memiliki kelemahan. Ini mengakibatkan
kebijakan-kebijakan yang diambilnya sangat akomodatif terhadap berbagai
aspirasi dan tuntutan. Misalnya, ketika Kelompok Enam—yang terdiri atas Amien
Rais, Emil Salim, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish Madjid dan lain-lain—
mendesak Habibie agar pemilihan umum dipercepat, tuntutan itu pun segera
dikabulkan. Demikian pula, ketika masyarakat menuntut pembebasan tahanan
politik, liberalisasi kehidupan pers, termasuk kemungkinan diterbitkannya
kembali beberapa media yang dibredel pada masa Soeharto, semua itu diberikan
konsesi masing-masing oleh Habibie.81
Dalam situasi seperti inilah aspirasi pengajuan RUU tentang Zakat
tampaknya juga harus diterima. Apalagi sudah berkali-kali upaya ini dilakukan
sebelumnya, tetapi selalu menghadapi hambatan dan berakhir tanpa pembahasan.
Ini tercermin dari pembahasan dalam DPR, di mana momen kebebasan ini
dianggap sebagai waktu yang tepat untuk membahas dan mengesahkannya.
78 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127-28. 79 Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta-
Singapore: Solstice Publishing, 2006), 5. 80 Lihat Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung:
Mizan, 2000), 172. 81 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), 308 dan 315.
72
Kebijakan Negara Tentang Zakat
Lebih jauh, di samping sebagai Presiden, Habibie adalah ketua ICMI, yang
menerbitkan koran nasional, Republika dengan Dompet Dhuafa-nya sebagai
lembaga yang aktif mengelola zakat dalam koran itu. DD pula yang menjadi
inisiator bagi terbentuknya FOZ, yang dari sini kemudian lahir draft RUU tentang
Zakat pada 1999. Mengingat FOZ banyak diisi oleh orang-orang yang selama ini
berkiprah di DD, maka bisa dimengerti bahwa ketika Habibie menjadi presiden,
dengan mudah draft RUU tersebut diajukan oleh FOZ ke Menteri Agama dan
selanjutnya ke presiden. Dari sinilah kemudian presiden mengajukan RUU
tersebut ke DPR untuk dibahas dan memperoleh persetujuan dari lembaga ini.
Fakta lain yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwa tahun 1999 adalah
tahun diselenggarakannya pemilihan umum pertama setelah lengsernya Soeharto,
di mana Habibie sendiri dipastikan akan mencalon diri dalam pemilihan presiden.
Oleh sebab itu, wajar jika ada semacam dugaan bahwa pengajuaan RUU ini tidak
dapat dipisahkan dari upaya Habibie untuk menarik simpati dari umat Islam.
Kenyataan ini dapat dilihat dari sejumlah pendukung yang mengusung Habibie
sebagai representasi umat Islam, di antarnya, berkat perannya dalam
menyukseskan lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan
Zakat.82
Dugaan semacam itu memang tidak dapat dihindarkan karena, seperti
disinggung sebelumnya, hukum tidak dapat dipisahkan dari politik. Terlepas dari
itu, fakta menunjukkan bahwa diajukannya RUU ini untuk dibahas bersama DPR
telah memenuhi aspirasi umat Islam, yang selama ini sulit diwujudkan.
C. Konfigurasi Politik Legislasi Zakat
Seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, konfigurasi politik dapat diartikan
sebagai konstelasi kekuatan politik, yang bisa jadi bersifat demokratis atau
otoriter.83
Disebut demokratis jika kekuatan atau sistem politik yang ada
memberikan kepada masyarakat peluang untuk turut serta dalam menentukan
kebijakan umum atau undang-undang. Sebaliknya, jika kekuatan atau sistem
politik yang ada tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam
pembuatan kebijakan atau undang-undang, ia disebut otoriter. Dengan kata lain,
konfigurasi politik adalah situasi politik yang ada dalam masyarakat yang
memengaruhi produk hukum yang dihasilkannya.
Sementara itu, legislasi sering diartikan dengan ‚pembuatan undang-undang‛
(legislation, law-making atau statute-making). Rousseau, misalnya,
mendefinisikan legislasi sebagai ‚an expression of the general will, such that a
free people is only bound by the laws which they have made for themselves,‛84
sementara dalam Black’s Law Dictionary, legislasi didefinisikan dengan ‚the
process of making or enacting a positive law in written form, according to some
type of formal procedure, by branch of government constituted fo perform this
process.‛85
Pengertian yang lebih luas tentang legislasi diberikan dalam Undang-
undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
82 Cf. A.A. Miftah, Zakat Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultan Thaha
Press, 2007), 115. 83 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2001), 24-25. 84 Dikutip dalam John Bell, Sophie Boyron dan Simon Whittaker, Principles of French Law
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 14. 85 Bryan A. Garner, ed. in-chief, Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson, 2004), 918.
73
Bab III
yaitu ‚proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya
dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.‛86
Melihat luasnya pengertian
legislasi, dalam konteks penelitian ini, legislasi undang-undang tentang
pengelolaan zakat dibatasi pada proses perumusan, pembahasan, pengesahan dan
pengundangan serta pelaksanaannya oleh lembaga negara yang bertugas
menjalankannya.
Seperti diketahui, pada masa Orde Baru sejumlah hukum Islam dilegislasi,
yang pembahasannya kadang-kadang dilakukan bersama DPR, seperti Undang-
undang Perkawinan 1974, peraturan wakaf, peradilan agama dan lain sebagainya.
Sementara itu, sejumlah undang-undang lain ditetapkan tidak melalui pembahasan
dengan DPR, tetapi melalui instruksi presiden, seperti penetapan Kompilasi
Hukum Islam dan Pendirian Bank Muamalat.
Adapun kepentingan pemerintah terhadap legislasi hukum Islam sangat
beragam. Pertama, penyatuan hukum yang didasarkan pada semangat
nasionalisme dan wawasan nusantara. Kedua, rekayasa sosial, sebagaimana
tercermin dalam undang-undang perkawinan 1974. Ketiga, untuk menunjukkan
bahwa hubungan antara pemerintah dan Islam telah berubah, dari marginalisasi ke
akomodasi. Keempat, untuk memeroleh legitimasi dari masyarakat atas
pemerintah.87
Berbeda dengan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang
lahir sebagai usul inisiatif DPR dan disahkan pada 15 April 1999, Rancangan
Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat ini merupakan inisiatif pemerintah
yang diajukan kepada DPR pada 24 Juni 1999, melalui Surat Presiden Nomor
R.31/PU/VI/1999. Terdiri dari 10 Bab dan 32 Pasal, konsideran yang dijadikan
landasan pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Pengelolaan Zakat adalah
Pasal 5 (ayat 1), Pasal 20 (ayat 1), Pasal 27 dan Pasal 29 serta Pasal 34 Undang-
Undang Dasar 1945.88
Seperti dikemukakan oleh Pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama
(A. Malik Fadjar saat itu) di hadapan Rapat Paripurna DPR tanggal 26 Juli 1999,
tujuan diusulkannya RUU ini untuk disahkan adalah agar pemerintah dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat dalam melaksanakan
ibadah zakat sesuai dengan tuntunan agama. Lebih dari itu, melalui UU ini
diharapkan fungsi dan peran zakat dapat ditingkatkan sehingga berguna bagi
pengentasan kemiskinan di satu sisi, dan peningkatan kesejahteraan sosial-
ekonomi di sisi lain.89
Akan tetapi, seperti diakui oleh Pemerintah, selama ini pengelolaan zakat
tidak dikelola dengan baik, padahal pranata ini memiliki potensi yang sangat
besar bagi kesejahteraan masyarakat. Sejak diterbitkannya SKB Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tentang Pembinaan BAZIS dan
Instruksi Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1991 serta Instruksi bagi
86 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 (1). 87 Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Sharia in the Perspective of
Indonesian Legal Politics,‛ 7-8. 88 Lihat ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 6, bagian konsideran ‚mengingat‛. 89 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 31; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 411.
74
Kebijakan Negara Tentang Zakat
pelaksanaannya, pengelolaan zakat memang mengalami peningkatan. Pada 1992,
misalnya, dana ZIS yang terkumpul secara nasional sebesar Rp. 10.896.196.000,-
dan meningkat menjadi Rp. 216.858.893.000,- pada 1997. Sungguhpun begitu,
jumlah ini, menurut pemerintah, masih sangat mungkin ditingkatkan lebih jauh
bila diukur dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia, yang mencapai lebih
dari seratus juta.90
Hal ini bisa dibandingkan dengan pengelolaan zakat di Singapura dan
Malaysia. Ditegaskan oleh Menteri Agama bahwa jumlah penduduk Muslim di
Singapura hanya sekitar 450.000 jiwa (sekitar 15% dari seluruh jumlah
penduduk), tetapi ZIS yang mereka keluarkan mencapai Rp. 71.500.000.000,-
pada 1997. Jumlah sebesar itu bisa dicapai, di antaranya, karena adanya undang-
undang yang mengatur zakat dan wakaf, sebagaimana terlihat dalam Undang-
undang No. 27 Tahun 1966 tentang Administrasi Orang-orang Islam, Bagian IV,
Pasal 57-73.91
Sementara itu di Malaysia, kata Menteri Agama, jumlah dana yang terkumpul
dari ZIS mencapai angka yang cukup signifikan karena pengelolaan zakat di sana
dilakukan secara profesional dan sistematis. Di Wilayah Persekutuan (Negara
Bagian Kuala Lumpur) saja, dana ZIS yang terkumpul dalam setahun (1997)
sebesar Rp. 105.600.000.000,; (RM. 52.800.000,-) dengan jumlah penduduk
Muslim hanya sekitar 650.000 jiwa. Yang lebih mengejutkan 97% dari jumlah itu
diperoleh dari zakat mal, sementara 3% lainnya berasal dari zakat fitrah.92
Lebih
jauh dikatakan bahwa setelah negara bagian ini membentuk Pusat Pungutan Zakat
(PPZ), yang dikelola secara profesional, dana yang terkumpul semakin meningkat.
Jika sebelum dibentuk, rata-rata perolehan dana zakat, infak dan shadaqah hanya
sebesar RM 5.000.000,-, melalui lembaga ini dana itu meningkat lebih dari dua
kali lipat. Pada 1991, misalnya, PPZ berhasil mengumpulkan dana sebesar RM
13.500.000,- dan meningkat menjadi RM 21.200.000,- setahun kemudian. Enam
tahun berikutnya, dana yang terkumpul menjadi RM. 52.800.000,-.93
Dengan
demikian, pemerintah berasumsi bahwa jika zakat dikelola dengan baik maka
jumlah nilai zakat diduga akan meningkat lebih besar dan karenanya diperlukan
undang-undang.
Pemerintah mengakui bahwa selama ini upaya untuk mengatur zakat melalui
undang-undang telah lama diupayakan. Menteri Agama, misalnya, telah
mengeluarkan Peraturan Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil
Zakat dan Peraturan Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal.
Akan tetapi, karena ada pihak-pihak tertentu ‚yang kurang berkenan, kedua
peraturan itu akhirnya pelaksanaannya ditangguhkan melalui Instruksi Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1969. Upaya lain juga dilakukan, di antaranya, dengan
mempersiapkan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Zakat.
Akan tetapi, usaha ini juga mengalami nasib serupa, karena tidak sampai
90 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 27. 91 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12. 92 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12. 93 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12.
75
Bab III
dibicarakan bersama DPR. Yang muncul kemudian adalah SKB Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri yang telah disebutkan.94
Sebulan setelah keterangan pemerintah, fraksi-fraksi di DPR, yang meliputi
Fraksi ABRI (F-ABRI), Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi Persatuan
Pembangunan (F-PP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI),
menyampaikan pemandangan umum terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat
dalam Rapat Paripurna yang diselenggarakan pada 26 Agustus 1999. Dalam
pemandangan umumnya, Fraksi ABRI menilai bahwa RUU ini sangat relevan
dengan situasi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, di mana jumlah penduduk
miskin semakin meningkat. Dengan mendasarkan pada Pasal 34 UUD 1945, yang
menegaskan bahwa ‚Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara,‛
F-ABRI menilai pengelolaan zakat yang baik dapat menjadi salah satu alternatif
bagi krisis ekonomi dan kemiskinan. Fraksi ini juga memperkuat argumennya
dengan sejumlah ayat Al-Quran yang menegaskan tujuan zakat untuk mengurangi
kesenjangan sekaligus sebagai peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Karena
itu, F-ABRI menilai keselarasan tujuan antara yang dicita-citakan oleh negara dan
yang dianjurkan oleh kitab suci umat Islam ini, sehingga fraksi ini menyambut
baik RUU tersebut dan bersedia untuk membahasnya.95
Optimism fraksi-fraksi ini
memang sejalan dengan fungsi zakat, yang antara lain, untuk kesejahteraan
sosial.96
Meskipun demikian, F-ABRI juga memberikan catatan bahwa jika kemudian
RUU ini disahkan menjadi undang-undang, ia tidak boleh memiliki unsur paksaan,
tetapi sekadar sebagai dorongan terhadap umat agar melaksanakan kewajiban
zakat. F-ABRI menyarankan lebih jauh agar judul RUU diubah menjadi RUU
tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah, mengingat dalam sebagian
pasalnya dikemukakan bahwa lembaga yang akan dibentuk oleh undang-undang
ini juga menerima infak dan shadaqah.97
Tampaknya, fraksi ini sejak awal sudah
mewanti-wanti agar undang-undang zakat tidak melibatkan negara dalam
pengumpulannya melalui kekuatan. Seperti diisyaratkan oleh Sutarmadi, memang
sejak awal sudah ada kompromi pada saat penyusunan RUU agar negara tidak
memaksa warganya untuk membayar zakat.98
Ini sangat berbeda dengan beberapa
negara yang memang menerapkan hukum Islam, seperti Libya dan Saudi Arabia,
serta Mesir.99
Sementara itu, dalam pemandangannya, F-Karya Pembangunan (F-KP)
memandang signifikansi ekonomis dan sosial zakat bagi pengentasan kemiskinan
dan peningkatan kualitas umat Islam. Oleh karena itu, setelah RUU ini disahkan
menjadi undang-undang, pengelolaan zakat harus dilaksanakan secara terencana,
94 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 29-30. 95 ‚Pemandangan Umum Fraksi ABRI atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 26 Agustus 1999,
38-39. 96 Bandingkan, misalnya, dengan Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty
Alleviation (Jeddah: IDB-Institute of Research and Training, 2004), 63. 97 ‚Pemandangan Umum Fraksi ABRI atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 41-42;
bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 415-16. 98 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara
dalam Infoz, 4: 6 (2010), 25-27 99 Lihat, misalnya, ‘Uthma>n H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i al-Isla>mi
(Kairo: Da>r al-Wafa>’, 1989), 203, 206 dan 207.
76
Kebijakan Negara Tentang Zakat
komunikatif dan terkoordinasi dengan baik. Seperti F-ABRI, F-KP mengusulkan
agar judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan
Shadaqah, kata pengelola diganti dengan kata amil. F-KP juga mengusulkan agar
yang mengangkat Badan Amil Zakat di tingkat nasional bukan sekadar Menteri
Agama, tetapi Presiden dan memberikan sanksi yang lebih berat bagi pengelola
yang menyimpang dari Rp. 30.000.000,- seperti yang diusulkan pmerintah
menjadi Rp. 300.000.000,-.100
Seperti F-ABRI, F-PP melihat krisis ekonomi membuat RUU tentang
Pengelolaan Zakat ini menjadi signifikan, mengingat jika dikelola dengan baik
institusi keagamaan ini tidak saja dapat mengurangi kemiskinan, tetapi juga dapat
menjadi solusi alternatif sebagai sumber dana/kas negara.101
Pandangan seperti ini
memang sejalan dengan tradisi fikih, yang menyebut zakat sebagai sumber
sekunder negara.102
Akan tetapi, zakat—dalam pandangan F-PP—juga dapat
menjadi beban tambahan di saat krisis sebab Muslim harus membayar dua
kewajiban sekaligus, yakni pajak dan zakat itu sendiri. Oleh sebab itu, RUU ini
harus memberikan jaminan bahwa pembayar zakat memeroleh keringanan dalam
pembayaran pajak.103
Partai, yang setelah turunnya Soeharto kembali berasas
Islam dan berlambang Ka‘bah, ini menilai bahwa ada kesan di kalangan sebagian
masyarakat bahwa negara terlalu mencampuri urusan ibadah warga, sehingga
diperlukan sosialisasi yang luas untuk menyanggah dugaan itu.104
Adapun pemandangan umum F-PDI didasarkan pada fungsi dan daya guna
zakat yang prioritasnya adalah untuk kesejahteraan sosial. Satu-satunya catatan
yang diberikan oleh fraksi ini adalah persoalan sanksi yang akan diterapkan pada
pengelola yang menyalahgunakan dana zakat yang, menurut F-PDI, harus
didasarkan pada tingkat kesalahan pengelola.105
Merespons pemandangan yang disampaikan oleh fraksi-fraksi, pemerintah
justru menilai bahwa para anggota DPR begitu antusias terhadap RUU tentang
Pengelolaan Zakat. Bahkan hingga batas tertentu usulan-usulan fraksi-fraksi
justru mempertajam usulan pemerintah. Sebagai misal, pemerintah menyetujui
perubahan judul RUU ini menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan
Shadaqah. Akan tetapi, hal itu bergantung pada persetujuan seluruh fraksi di DPR.
Berkaitan dengan usulan agar BAZ dibentuk dan diangkat oleh pemerinah, dalam
hal ini Presiden dan bukan Menteri Agama, pemerintah menyetujui usulan
tersebut. Lebih jauh, pemerintah juga menyetujui usulan agar sanksi pelanggar
100 ‚Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
48-50. 101 ‚Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 55-56. 102 Lihat, misalnya, Sabahuddin Ahmad, Menimbang Ekonomi Islam, terj. Widyawati (Bandung:
Nuansa, 2007). 103 Pengurangan pembayaran wajib pajak setelah pembayaran wajib zakat seperti ini memang
lazim diperlakukan di beberapa negara, seperti di Malaysia. Pengurangan ini hanya berlaku bagi
individu dan tidak bagi perusahaan. Lihat Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 77.
104 ‚Pandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
61. 105 ‚Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia atas RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 26 Agustus 1999, 66-67.
77
Bab III
atau yang menyalahgunakan pengelolaan zakat ditingkatkan, dari denda sebesar
Rp. 30.000.000,; menjadi Rp. 300.000.000.106
Pembahasan tentang RUU ini kemudian secara lebih terperinci dilakukan
dalam Pembicaraan tingkat III yang berlangsung dalam Rapat Kerja sebanyak 10
kali. Dalam rapat-rapat itu, 119 buah persoalan yang disebut Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM) diangkat dan diperdebatkan, 91 di antaranya berkaitan dengan
batang tubuh RUU, sementara 2 lainnya berhubungan dengan penjelasan. Di
antara masalah pokok yang penting diangkat di sini adalah sebagai berikut.
1. Judul RUU
Persoalan judul sebenarnya telah muncul di saat F-KP dan F-ABRI
menyampaikan pemandangan umum atas RUU ini dan kembali mengemuka dalam
Rapat Kerja.107
Argumentasi yang dikemukakan oleh F-KP adalah bahwa—sesuai
dengan Pasal 12 ayat (3) RUU—BAZ juga menerima infak dan shadaqah. Dengan
kata lain, bagi fraksi ini, ternyata undang-undang ini tidak hanya berkaitan dengan
zakat, tetapi juga menyangkut bentuk kedermawanan lain, sehingga lebih tepat
kalau judul RUU disesuaikan dengan cakupannya, dan karenanya menjadi
Rencana Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, Infak, Shadaqah. F-ABRI
menambahkan, mengingat baik zakat, infak maupun shadaqah ditangani oleh satu
lembaga atau amil, maka ketiganya tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu,
ketiganya harus disebutkan dalam judul RUU ini.108
Seperti disebutkan
sebelumnya, meskipun ketiganya masuk dalam kategori shadaqah, namun
pembahasan fikih umumnya membedakan satu sama lain. Akan tetapi, dalam
pengelolaannya bisa masuk ke dalam satu lembaga seperti Baitul Mal.109
Menanggapi usulan itu, F-PDI menilai bahwa usulan itu sesungguhnya
kurang signifikan karena dua hal. Pertama, dari sisi waktu, jika judul yang
diusulkan pemerintah itu diubah, maka banyak pasal yang harus mengikuti
penyesuaian. Ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan bisa jadi
mengakibatkan mundurnya pengesahan undang-undang ini. Kedua, ada perbedaan
antara zakat, infak dan shadaqah. Jika yang pertama wajib, dua lainnya hanya
sunnah. Lebih jauh, dua jenis kedermawanan terakhir ini tidak dapat dipastikan
waktu maupun jumlahnya. Kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak ada.110
Sementara itu, F-PP mengemukakan argumen yang agak berbeda dengan
menganalogikan RUU ini dengan Undang-undang Pengelolaan Haji. Meskipun
judul undang-undang tentang haji, tetapi di dalamnya juga menyangkut umrah.
Namun, yang terakhir disebutkan ini tidak dimasukkan ke dalam judul undang-
undang tersebut. Lebih jauh, masalah sedikitnya waktu juga menjadi
pertimbangan fraksi ini. Baginya, yang penting undang-undang ini—dengan
keterbasan waktu itu—dapat disahkan dahulu, persoalan diperlukan perbaikan, hal
106 ‚Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 31 Agustus 1999, 75-79. 107 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta: 2008), 387. 108 ‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999,
176-179; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 415. 109 Lihat N.J. Coulson, ‚Bayt al-Ma>l,‛ dalam The Encyclopedia of Islam, New Edition (Leiden:
Brill, 1986), 1: 1142. 110 ‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999,
178.
78
Kebijakan Negara Tentang Zakat
itu dapat dilakukan pada masa mendatang. Lebih-lebih, aspirasi terhadap adanya
undang-undang zakat ini sudah dirasakan sejak 50 tahun lalu.111
Dalam undang-
undang tentang zakat di negara-negara Muslim, memang tidak lazim disebutkan
undang-undang tentang pengelolaan zakat, infak dan shadaqah sekaligus,
meskipun undang-undang itu meliputi dua yang terakhir ini. Di Pakistan,
misalnya, undang-undang tentang zakat hanya diberi judul ‚Zakat and ‘Ushr
Ordinance of 1981.‛112
Akhirnya, rapat tidak dapat mengambil keputusan tentang perubahan judul
ini, tetapi diserahkan kepada Panja atas usulan pemerintah. Dalam Rapat Panja
yang diadakan pada 3 September 1999, persoalan ini kembali menghangat. F-
ABRI bersikukuh agar judul ini diubah menjadi ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat,
Infak dan Shadaqah,‛ dengan alasan karena terbukti undang-undang ini juga
membicarakan infak dan shadaqah dan pengelolaannya juga satu. Usulan serupa
dikemukakan F-KP dengan argumen yang lebih panjang. Fraksi ini mendasarkan
perubahan ini pertama-tama atas hadis yang menegaskan bahwa ‚memberi itu
lebih mulia dari yang diberi‛ (al-yadd al-‘ulya> khayr min al-yadd al-sufla>). Hadis
ini mengisyaratkan bahwa pemberian itu bisa meliputi ketiga jenis filantropi
tersebut. Lebih jauh, baik sasaran zakat maupun infak dan shadaqah adalah
delapan golongan penerima (al-as}na>f al-thama>niyah), sehingga judul RUU ini
harus meliputi ketiganya. Alasan lainnya adalah bahwa zakat, infak dan shadaqah
itu sendiri memiliki pengertian yang saling dapat dipertukarkan, dan ini sudah
disepakati oleh para ulama. Kemudian, dalam masyarakat, sudah umum dikenal
istilah BAZIS, yang juga menyertakan infak dan shadaqah. Kalau judul yang
diangkat hanya tentang zakat, hal ini akan menimbulkan tanda tanya di tengah
masyarakat. Sebaliknya, kalau judul undang-undang ini berjudul UU tentang
Pengelolaan ZIS, hal itu sudah tidak asing lagi bagi mereka. Lebih dari itu, inti
dari undang-undang ini adalah menyejahterakan masyarakat, sebagaimana tujuan
zakat itu sendiri. Mengingat zakat saja tidak mungkin mampu mencapai tujuan
itu, infak dan shadaqah harus menyertainya, dan karenanya dua yang terakhir ini
harus dimasukkan dalam judul undang-undang ini.113
Berbeda dengan dua fraksi ini, F-PDI tidak memandang signifikan
penambahan judul RUU ini. Dalam pandangan fraksi banteng ini, jika judulnya
diubah, perubahan juga mesti dilakukan tidak hanya dalam masalah konsideran,
tetapi juga dalam pasal-pasal dan lain sebagainya. Ini dikhawatirkan akan
memperlambat penyelesaian undang-undang ini, sementara masa jabatan para
wakil rakyat sebentar lagi segera berakhir. Lebih jauh, menjadi persoalan
tersendiri, bagaimana menggabungkan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang
hanya sunnah. Karena itu, F-PDI menghendaki agar judul undang-undang ini tetap
111 ‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999,
180-181. 112 Habib Ahmed, Role of Zaka>h and Awqa>f in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004),
92. 113 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 456-457. Seperti disinggung sebelumnya, perbedaan antara
infak dan sadaqah sangat tipis. Beberapa ulama menilai bahwa yang pertama lebih terkait dengan
keluarga, sementara yang kedua lebih bersifat umum. Lihat, misalnya, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> al-
Mara>ghi>, Min Qad}a>ya al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 71-73; lihat
juga A. Shaukat J. Gilani, ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3: 1(1985), 64.
79
Bab III
sesuai dengan usulan pemerintah. Senada dengan pandangan ini, F-PP juga
menilai bahwa memasukkan infak dan shadaqah dalam judul undang-undang ini
sebenarnya tidak begitu signifikan. Menurut fraksi ini, zakat sebagai kewajiban
memang sudah semestinya menjadi judul, tetapi memasukkan infak dan shadaqah
yang sunnah ke dalam judul seolah-olah menyamakan kedudukan keduanya. Bagi
F-PP, dengan penekanan pada zakat saja, jika dilaksanakan dengan baik, hal itu
sudah menjadi prestasi yang luar biasa, mengingat bidang ini belum tergarap
dengan baik. Meskipun demikian, infak dan shadaqah tetap diakomodasi dan telah
disebutkan dalam pasal-pasal. Karena itu, perubahan judul RUU ini dipandang
tidak diperlukan.114
Menanggapi dua arus pemikiran di atas, pemerintah menegaskan bahwa
judul ‚Pengelolaan tentang Zakat‛ ini telah dipilih searif mungkin. Ini bisa dilihat
secara kronologis dan historis pengajuan RUU ini sebelumnya. Suatu ketika, RUU
yang pernah diajukan berjudul RUU tentang Zakat dan beberapa kali pula
mengalami penolakan, sehingga kali ini diberi judul RUU tentang Pengelolaan
Zakat. Di samping itu, judul ini juga mengikuti RUU Haji yang diajukan oleh
DPR dengan judul RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang dalam pasal-
pasalnya juga membicarakan umrah.115
Ini menunjukkan bahwa bukan persoalan
ibadahnya yang ditekankan, tetapi pengelolaan zakat itu sendiri. Di sini terlihat
bahwa RUU ini berusaha menghindarkan negara dalam masalah keagamaan,
terutama yang terkait dengan ibadah zakat.116
Setelah masing-masing pihak menyampaikan pendapat, perdebatan menjadi
semakin menghangat. F-ABRI mengawali responsnya terhadap pandangan
tersebut dengan mengatakan bahwa judul harus merepresentasikan isinya. Jika
tidak, hal itu akan membingungkan masyarakat dan pembaca. Di samping itu,
tanpa dimasukkannya infak dan shadaqah ke dalam judul akan berimplikasi bahwa
sanksi yang ditetapkan bagi pihak yang menyelewengkan zakat seolah-olah tidak
berlaku bagi mereka yang menyelewengkan infak dan shadaqah. Yang lebih
penting lagi, ternyata dana yang terkumpul melalui infak dan shadaqah jauh lebih
besar ketimbang dana yang diperoleh melalui zakat. Karena itu, sudah
sepantasnya dua hal ini dimasukkan dalam judul. Mempertegas pandangan F-
ABRI, F-KP mengemukakan bahwa sejauh ini yang disosialisasikan kepada
masyarakat adalah BAZIS yang sudah berlangsung sejak 1991 melalui SKB
Menteri Dalam Negri dan Menteri Agama. Karena itu, dengan dimasukkannya
infak dan shadaqah ke dalam judul RUU, hal itu mempermudah sosialisasi kepada
masyarakat. Lebih jauh, untuk mempertegas sanksi, dua kata ini harus
dimasukkan ke dalam judul, sehingga menjadi warning bagi masyarakat bahwa
yang menyelewengkan dana infak dan shadaqah pun akan mendapatkan sanksi.
Dengan kata lain, masyarakat akan melihat ketiga jenis filantropi ini merupakan
suatu kesatuan.117
114 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang
Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 458-461. 115 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 3 September 1999, 464-465. 116 Ini diakui oleh Ahmad Sutarmadi, yang memang sejak awal istana menolak kalau-kalau
negara dilibatkan. Lihat Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛
Wawancara dalam Infoz, 4:6 (2010), 25-27. 117 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 3 September 1999, 466-469.
80
Kebijakan Negara Tentang Zakat
Sementara itu, F-PP tetap bersikukuh bahwa judul RUU ini cukup dengan
Pengelolaan Zakat saja. Seperti dikemukakan oleh juru bicaranya, Lukman Hakim
Saifuddin, jika persoalannya sekadar agar memperjelas isi undang-undang,
mestinya undang-undang yang ada sebelumnya juga demikian. Namun, terbukti
tidak sedikit undang-undang yang hanya berjudul singkat meskipun berisi banyak
hal. Undang-undang Perkawinan, misalnya, meliputi talak, cerai, rujuk, tetapi
judulnya cukup dengan Undang-undang Perkawinan. Yang lebih penting lagi, bagi
F-PP, adalah bahwa zakat kedudukannya wajib, sementara infak dan shadaqah
hanya sunnah. Lebih dari itu, jika zakat memiliki target dan sasaran yang jelas,
yakni as}na>f al-thama>niyah, tidak demikian halnya dengan infak dan shadaqah.
Karena itu, judul RUU ini tidak usah diubah. Menanggapi argumen F-ABRI
bahwa dana infak dan shadaqah lebih besar, pemerintah mengajukan perbandingan
dengan zakat di Kuala Lumpur. Di sini, infak dan shadaqah juga jauh lebih tinggi
ketimbang zakat perolehannya. Itu terjadi karena zakat tidak dikelola secara
profesional. Akan tetapi, setelah diundangkan dan dikelola dengan baik, ternyata
dana dari zakat meningkat sangat tinggi, sementara infak dan shadaqah hanya
mencapai 0,3% dari seluruh dana yang masuk ke Pusat Pungutan Zakat (PPZ).
Dengan kata lain, RUU tentang Pengelolaan Zakat menitikberatkan pada zakat,
sementara infak dan shadaqah bersifat sekunder.118
Perdebatan ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kerangka fikih, di
mana zakat, infak dan shadakah dipandang sebagai entitas yang berbeda. Karena
itu, pembahasan tentang zakat dalam fikih dilakukan secara terpisah dari infak
dan shadaqah, meskipun seluruhnya masuk ke dalam kategori shadaqah.119
Perbedaan pandangan di atas ternyata terus mengalir dan tidak menghasilkan
suatu kata sepakat. Akhirnya, pembahasan dalam rapat pun diskor dan
diselesaikan melalui lobi. Setelah berlangsung dalam beberapa menit, akhirnya
rapat menyetujui untuk tidak mengubah judul RUU ini. Semangat di balik
kesepakatan ini adalah bahwa RUU ini harus selesai karena kehadirannya telah
ditunggu oleh masyarakat dan memang masa jabatan anggota DPR saat itu akan
segera berakhir.120
2. Antara Ibadah dan Kepentingan Sosial
Persoalan lain yang menarik untuk dicatat adalah perbedaan pandangan di
kalangan DPR tentang zakat. Perbedaan ini bermula timbul dari konsideran RUU
yang menyebutkan bahwa (1) ‚menunaikan zakat sebagai kewajiban warga negara
Indonesia yang beragama Islam yang mampu, merupakan sumber dana yang
potensial bagi upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat‛; (2) ‚zakat
merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu.‛121
Dari dua pengertian ini terlihat bahwa penekanan yang diberikan pada zakat
terletak pada kedudukannya sebagai dana yang memiliki potensi besar bagi
118 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 3 September 1999, 471-474. 119 Lihat, misalnya, Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr,
2000), 2: Bab 4; Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 276-358. 120 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 3 September 1999, 479. 121 Lihat ‚RUU No… Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,‛ bagian Menimbang.
81
Bab III
kesejahteraan. Dengan kata lain, berdasarkan pengertian itu, zakat tak lebih dari
sekadar pengumpulan dana yang diwajibkan oleh agama. Karena itu, F-PP
mengusulkan agar nilai dan tujuan zakat juga ditekankan. Dalam pandangan fraksi
ini, terlepas dari potensinya bagi kesejahteraan rakyat, zakat pada dasarnya adalah
ibadah, yang tujuannya tidak semata-mata demi kesejahteraan itu, namun di balik
ketaatan melaksanakan ibadah itu adalah harapan untuk mendapat ridha Allah
Swt. Sesuai tujuan tersebut, F-PP mengusulkan agar dua pengertian itu diubah
menjadi ‚menunaikan zakat merupakan kewajiban warga negara Indonesia yang
beragama Islam yang diwajibkan oleh hukum agama untuk mencapai keridhaan
Allah.‛122
Menanggapi usulan ini, F-KP bisa memaklumi dan mengakui bahwa
tujuan ibadah memang demi keridhaan Allah. Akan tetapi, tujuan RUU ini
bukanlah pada dimensi batin ibadah itu. Sebaliknya, yang ditekankan adalah
masalah pengelolaannya. Mengingat RUU ini bertujuan pada pengelolaan zakat,
bukan hukum dan tujuannya sebagai ibadah, fraksi ini menerima rancangan
pertama dan, dengan demikian, menolak usulan F-PP. Penolakan yang lebih keras
datang dari F-ABRI. Fraksi ini menilai bahwa usulan itu sudah mengarah pada
upaya yang benar-benar memasukkan ajaran agama dalam Undang-undang. Lebih
tegasnya, dengan memasukkan ‚keridhaan Allah‛ dalam UU berarti pengakuan
terhadap pendekatan fikih. Padahal, yang diharapkan dari RUU ini adalah
menyejahterakan rakyat melalui zakat, bukan mendekatkan mereka kepada Allah.
Sementara itu, F-PDI mendasarkan penolakannya pada dua alasan. Pertama,
pengundangan zakat ini sendiri telah memunculkan kesan di sebagian kalangan
masyarakat bahwa persoalan zakat saja diundang-undangkan. Kedua, undang-
undang bersifat nasional dan umum. Kalau ditambahkan kata ‚keridhaan Allah‛
ke dalam RUU ini, akan semakin mengesankan bahwa RUU ini memanjakan
segala yang bernuansa Islam.123
Dari perdebatan tersebut terlihat bahwa, sebagai partai Islam, F-PP berusaha
menunjukkan sikapnya dengan mempertegas dimensi ibadah mahdah dalam zakat,
sementara yang lainnya menekankan aspek sosial dari ibadah itu. Usulan F-PP ini
bisa dimaklumi mengingat semasa Reformasi partai ini semakin mempertegas
identitasnya sebagai partai Islam, dengan mengganti lambang bintang dengan
Ka‘bah dan ideologi Pancasila dengan Islam. Sebaliknya, fraksi-fraksi lain tetap
memandang undang-undang zakat ini harus bebas dari unsur-unsur mahdah suatu
ibadah. Karena tidak tercapai kesepakatan, masalah ini kemudian dibahas lebih
lanjut dalam rapat Panja.
Dalam rapat ini, F-PP kembali mempertegas usulannya bahwa keridhaan
Allah harus dimasukkan dalam definisi zakat, mengingat inti ibadah dalam Islam
adalah untuk memeroleh perkenan Tuhan. Dalam pandangan F-PP, apa yang
dikemukakan dalam RUU ini hanya mengedepankan aspek sosial zakat, dan
mengabaikan dimensi religius ibadah ini. Karena itu, kata ‚keridhaan ini‛ dapat
menjadi penyeimbang dimensi sosial zakat.124
Memang, zakat merupakan ibadah
122 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1
September 1999, 185. 123 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
186-189. 124 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
484.
82
Kebijakan Negara Tentang Zakat
mahdah, tetapi memiliki dimensi sosial. Tujuan ibadah mahdah, menurut al-
Zuh}ayli,> adalah ‚membangun hubungan manusia dengan Tuhannya‛ (tanz}i>m ‘ala>qat al-insa>n bi-rabbihi).125
F-ABRI menilai bahwa hal itu berlebihan, mengingat dalam ketentuan
umum telah disebutkan frasa agama Islam, yang mengisyaratkan ketentuan-
ketentuan agama ini. Dalam pandangan fraksi ini, keridhaan Allah itu hanya bisa
dilihat berdasarkan ketentuan-ketentuan agama itu. Penolakan serupa juga
disampaikan oleh F-KP. Menurut fraksi Golkar, frasa ini akan berdampak pada
pasal-pasal berikutnya, padahal substansi yang ada dalam RUU telah terpenuhi.126
Pandangan ini diafirmasi oleh pemerintah yang bersikukuh pada rumusan awal
dalam RUU. Akhirnya, masalah perdebatan ini akan dibicarakan kembali dalam
Tim Perumus (Timus).
Perdebatan tentang definisi zakat di atas sebenarnya juga terjadi dalam fikih.
Dalam disiplin ilmu ini, pendifinisian zakat tidak pernah dikaitkan dengan bangsa
atau kelompok tertentu, seperti Indonesia, tetapi diberlakukan secara umum bagi
setiap Muslim yang mampu. Al-Zuh}ayli>, misalnya, hanya menyebutkan zakat
sebagai ‚hak yang mesti ada dalam harta‛ (h}aqq yajibu fi> al-ma>l). Tampaknya,
kewajiban yang ditetapkan oleh agama, sebagaimana diusulkan oleh FPP di atas,
hanya disebutkan secara implisit. Bahkan keridaan Allah yang menjadi tujuan
zakat, bagi fraksi ini, hanyalah dipegang oleh Mazhab Hanbali, yang
mendefinisikan zakat dengan ‚mengeluarkan bagian dari harta tertentu, bagi
kelompok [masyarakat] tertentu, yang telah ditetapkan oleh Allah demi keridaan-
Nya‛ (li-wajh Alla>h).127
Dengan demikian, definisi zakat yang ditetapkan dalam
RUU ini merupakan khas Indonesia, tetapi sejalan dengan pandangan fikih. Lebih
jauh, zakat merupakan ibadah mahdah yang bertujuan pada keridaan Allah, tetapi
juga memiliki dimensi material sosial (ma>liyyah ijtima>‘iyyah), yang tujuannya
adalah solidaritas sosial terhadap mereka yang kurang mampu. Dengan kata lain,
di balik dimensi sosialnya itu, zakat memiliki tujuan batin yang lebih dalam, yaitu
mendekatkan diri kepada Allah.128
3. Konsideran RUU
Masalah lain yang menjadi perdebatan hangat dalam rapat ini adalah
persoalan konsideran RUU. Disebutkan di dalamnya bahwa yang menjadi
landasan RUU ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, Pasal 29 dan
Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945. Di samping konstitusi, RUU ini juga
melandaskan diri pada TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
sebagai Garis Besar Halun Negara.
F-KP menilai bahwa dimasukkannya Pasal 27 ke dalam konsideran RUU ini
tidak relevan karena pasal ini membicarakan tentang tenaga kerja. Dengan
merujuk pada penjelasan pasal ini, yang menyebutkan bahwa ‚negara menjamin
pada masyarakat Indonesia untuk memberi pekerjaan dengan upah yang layak,‛
fraksi ini mengusulkan agar pasal ini didrop dari konsideran RUU. Usulan ini juga
125 Lihat al-Zuh}ayli, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 1: 19. 126 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
482. 127 Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuh, 2: 730. 128 Lihat, misalnya, ‘Uthma>n H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i al-Isla>mi, 13.
83
Bab III
mendapat dukungan dari F-ABRI. Berbeda dengan pandangan ini, F-PP meminta
agar pemerintah menjelaskan alasan memasukkan pasal ini ke dalam konsideran.
Sebab, dalam pandangan fraksi ini, selama pasal ini memiliki relevansi, ia dapat
memperkuat posisi RUU ini. Respons pemerintah sendiri terhadap persoalan ini
juga tidak meyakinkan dan menyetujui agar pasal ini didrop dari konsideran.129
Konsideran lain yang dipersoalkan adalah masalah TAP MPR tentang
GBHN itu. F-ABRI mengusulkan konsideran ini dihapus, dan kalau pun tidak
dihapus ia harus diubah. Argumennya, sesuai dengan Kepres Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pembuatan Undang-undang, TAP MPR tidak perlu dicantumkan
sebagai dasar konsideran, kecuali TAP tersebut mengamanatkan secara khusus
dibentuknya sebuah RUU. Adapun perubahan yang ditawarkan fraksi ini adalah
penghapusan ‚Garis Besar,‛ mengingat TAP itu sendiri tidak menyebutkan frasa
tersebut. Terhadap usulan pertama, banyak pihak yang tidak menyetujuinya,
mengingat dalam TAP tersebut mengandung semangat transparansi, keadilan dan
lain sebagainya. Bahkan, menurut F-KP, TAP inilah yang justru mewarnai
pembuatan RUU ini. Sementara F-PP juga memandang relevansi TAP ini sebagai
konsideran dalam RUU Zakat, mengingat Kepres itu hanya berlaku bagi pihak
eksekutif yang hendak merancang sebuah undang-undang. Dengan demikian,
secara yuridis, pencantuman TAP itu tidak melanggar.130
Sementara usulan kedua, semua pihak menerimanya karena memang tidak
sesuai dengan judul TAP itu sendiri. Meskipun demikian, F-KP menambahkan
bahwa seandainya frasa ‚Garis Besar‛ tidak dihapuskan pun tidak bermasalah,
karena pada prinsipnya hal itu merupakan pengganti dari GBHN sebelumnya, dan
MPR memang tidak membuat GBHN saat Sidang Istimewa 1999. Jadi, statusnya
adalah sama dengan GBHN.131
Akhirnya, rapat memutuskan hanya menghapus
frasa ‚Garis Besar‛ dan mempertahankan TAP ini sebagai konsideran.
Usulan lain yang tak kalah menarik dilakukan oleh F-KP, yang ingin
menambahkan konsideran RUU ini. Fraksi ini mengusulkan agar Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Kewenangan Peradilan Agama dimasukkan sebagai
konsideran. Alasannya adalah bahwa undang-undang ini memberikan kewenangan
tidak hanya untuk memutus masalah perkawinan, tetapi juga masalah sengketa
infak dan shadaqah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49. Lebih jauh, dalam
RUU Zakat ini menyebutkan adanya sanksi bagi penyelenggara yang tidak jujur.
Karena itu, Undang-undang No. 7 ini sangat relevan untuk dijadikan sebagai
konsideran selain UUD 1945 dan TAP MPR yang disebutkan di atas.132
Akan
tetapi, usulan tersebut tidak langsung dibahas dalam rapat ini, sebaliknya ia akan
dibahas dalam Rapat Panja.
Dalam Rapat Panja, F-ABRI menyetujui usulan ini, karena memang UU No.
7 itu berkaitan dengan shadaqah. Untuk itu, fraksi ini mengusulkan agar UU No. 7
menjadi konsideran ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR. Akan tetapi,
pandangan ini justru dipertanyakan oleh F-PP, sebab undang-undang tersebut
129 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 217-20. 130 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 221-224. 131 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 223. 132 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 226-227.
84
Kebijakan Negara Tentang Zakat
memuat sekian banyak pasal. Kalaupun benar pasal tersebut berkaitan dengan
infak dan shadaqah, ia tidak perlu menjadi suatu konsideran tersendiri, tetapi
cukup dimasukkan ke dalam konsideran sebelumnya. F-PP juga mempertanyakan
apakah lazim sebuah undang-undang mengacu pada undang-undang lain yang
sederajat. Padahal, biasanya, sebuah undang-undang merujuk kepada sesuatu yang
lebih tinggi, seperti UUD 1945 dan TAP MPR.133
Menjawab pertanyaan dewan mengapa pemerintah tidak memasukkan, juru
bicaranya mengatakan bahwa pasal itu memiliki penjelasan tentang perkawinan
dan kewarisan, tetapi penjelasan tentang shadaqah dan wakaf tidak diberikan.
Pemerintah menduga bahwa shadaqah di situ bukanlah shadaqah sunnah, yang
sukarela, tetapi pasti shadaqah yang wajib atau zakat. Karena itu, pemerintah
memandang perlu mempertimbangkan undang-undang ini dalam sebuah pasal
tersendiri.134
F-ABRI dan F-KP sendiri tetap mendukung dimasukkannya UU No. 7 Tahun
1989 sebagai salah satu konsideran terpisah. Dalam pandangan F-ABRI, justru
dengan dimasukkannya undang-undang ini akan terlihat adanya sinkronisasi antar
undang-undang, bukan berjalan sendiri-sendiri. F-KP menambahkan bahwa sebuah
undang-undang disebutkan dalam konsideran ternyata lazim dilakukan dalam
undang-undang lain, seperti UU No. 7 itu sendiri yang juga merujuk pada UU No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Karena itu, secara substansial, F-KP
melihat ada masalah dengan memasukkan suatu undang-undang sebagai
konsideran bagi undang-undang yang lain.135
Akhirnya, rapat menyetujui usulan
ini untuk dibahas dalam Rapat Tim Perumus, dan akhirnya masuk ke dalam
konsideran UU tentang Pengelolaan Zakat sebagaimana kita lihat sekarang.
Yang aneh, meskipun tidak masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah
(DIM), Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah justru
masuk menjadi konsideran keempat setelah UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Di samping itu, dalam pembahasan rapat Panja maupun Tim
Perumus masalah ini sama sekali tidak mengemuka. Bahkan dalam laporan-
laporan hasil seluruh rapat tidak disebutkan sama sekali mengenai dimasukkannya
UU No. 22 Tahun 1999 ini ke dalam konsideran.
4. Definisi Pengelolaan Zakat
Perdebatan seru juga terjadi dalam masalah definisi pengelolaan zakat.
Meskipun RUU ini tentang pengelolaan zakat, namun pengertian pengelolaan
zakat itu sendiri tidak diberikan dalam ketentuan umum. Melihat kekurangan ini,
F-ABRI dan F-KP mengusulkan penambahan ayat, yang menerangkan apa yang
sesungguhnya dimaksud dengan pengelolaan zakat. Menurut F-ABRI, di satu sisi,
pengelolaan zakat di sini menjadi inti dari RUU ini, dan di sisi lain, ungkapan ini
sering disebutkan berulang-ulang di dalamnya. Karena itu, fraksi ini menganggap
penting memasukkan pengertian pengelolaan zakat dalam RUU ini. Pandangan ini
133 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
492-495. 134 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
494. 135 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
497-498.
85
Bab III
dipertegas oleh F-KP seraya menambahkan bahwa titik tekanan dalam RUU ini
adalah pengelolaan zakat, sehingga fraksi ini mengusulkan bunyi ayat tambahan
ini adalah ‚Pengelolaan adalah pengurusan zakat, infak, shadaqah mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam memenuhi kewajiban agama.‛
Menanggapi usulan tersebut, pemerintah menegaskan bahwa usulan itu dapat
diterima, tetapi perlu perumusan yang lebih hati-hati. Untuk itu, ia mengusulkan
agar substansi itu dapat didiskusikan lebih lanjut dalam Panja.136
Namun, dalam
Panja sendiri masalah ini disetujui untuk dibicarakan dan akhirnya disetujui dalam
Tim Perumus.137
5. Definisi Zakat
Pemerintah dalam RUU mendefinisikan zakat sebagai ‚kewajiban
keagamaan yang dibebankan atas seorang Muslim sesuai dengan ketentuan hukum
agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.‛ Persoalan ini
mengemuka ketika F-ABRI—dengan merujuk pada definisi haji sebagaimana
terkandung dalam UU Pelaksanaan Haji—menekankan definisi zakat sebagai
salah satu dari lima rukun Islam. Sementara itu, bagi F-KP, definisi ini sangat
bernuansa religius dengan dicantumkannya ungkapan hukum agama. Padahal, bagi
fraksi ini, undang-undang ini harus menghindari ungkapan yang bernuansa
keagamaan atau bernuansa ibadah seperti itu, mengingat ibadah di luar cakupan
RUU ini. Berbeda dengan definisi pemerintah, F-KP melihat bahwa esensi zakat
adalah jumlah harta yang harus dibayarkan oleh seseorang, sehinga
mendefinisikan zakat dengan ‚sebagian harta yang disisihkan setelah melalui
ketentuan haul dan nisab yang merupakan kewajiban bagi muzakki yang dikelola
oleh amil untuk diberikan kepada mustahik‛.138
Pandangan ini tampaknya sangat
dekat dengan definisi zakat yang dikemukakan al-Zuhayli> di atas, di mana zakat
diartikan sebagai ‚harta yang menjadi hak orang lain.‛ Bahkan, hanya Mazhab
Hanbali yang mendefinisikan zakat dengan mengaitkan pada rida Allah.139
Menanggapi usulan tersebut, pemerintah menegaskan bahwa zakat ini
hendak didefinisikan secara lebih luas ketimbang undang-undang haji. Meskipun
demikian, pemerintah dapat menerima usulan tersebut untuk didiskusikan lebih
jauh dalam Panja. Sementara itu, F-PP melihat bahwa definisi yang ditawarkan
Pemerintah dalam RUU hanya menekankan orang perorang yang harus dikenai
zakat. Karena itu, fraksi ini mengusulkan agar tidak hanya orang, tetapi juga
badan yang berkewajiban membayar zakat. Alasan di balik usulan ini adalah
bahwa fikih pada dasarnya dinamis, dan sejalan dengan perkembangan dunia
usaha, ia dapat memperluas lingkup pembahasan zakat.140
Sebenarnya, di
beberapa negara Muslim, badan atau perusahaan memang dikenakan zakat, seperti
136 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 233-235. 137 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
500-502. 138 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 236. 139 Lihat al-Zuhayli>, al-Fikih al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 2: 730. 140 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 238.
86
Kebijakan Negara Tentang Zakat
di Malaysia dan Saudi Arabia.141
Tanggapan dari berbagai pihak pun
bermunculan. F-ABRI menilai bahwa usulan tersebut cukup melebar dan
menimbulkan beberapa masalah lain. Dalam pandangan fraksi ini, dengan
disebutkannya orang dalam definisi, hal itu berarti juga meliputi pemilik badan
usaha, sehingga tidak perlu dicantumkan badan usaha. Lebih rumit lagi, badan
usaha dewasa ini kepemilikan badan usaha banyak tidak bersifat perorangan,
tetapi menjadi gabungan sejumlah orang yang tidak seluruhnya Muslim.142
Akhirnya persoalan ini dibicarakan dalam Panja.
Dalam Rapat Panja, F-KP kembali mempertegas bahwa penekanan dalam
definisi zakat di sini adalah barangnya, seperti terlihat dalam definisi yang
diajukannya. Sementara itu, F-PP mempertegas usulannya dengan menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan badan di sini adalah dua orang atau lebih yang
bekerjasama untuk mendirikan sebuah badan usaha. Lebih jauh, badan usaha
terbukti telah menjadi subyek hukum, seperti terkandung dalam Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, badan di sini bukan
institusi, tetapi pengurusnya. Yang juga ditegaskan adalah bahwa pembayaran
zakat dapat mengurangi nilai wajib pajak, yang tentu saja berlaku bagi badan
usaha.143
Pandangan ini juga ditemukan praktiknya di Mesir atau Saudi, di mana
yang dikenai zakat adalah pemiliknya.144
Menanggapi usulan ini, pemerintah mengakui bahwa di beberapa negara,
seperti Malaysia, yang diwajibkan membayar zakat bukan hanya orang, tetapi
juga badan atau perserikatan. Ini terlihat dari Tabung Haji, sebuah badan yang
menghimpun dana haji, yang mengeluarkan zakatnya. Menanggapi penjelasan ini,
anggota F-KP, K.H. Ahmad Zabidi, mempertanyakan apa alasan di Malaysia
badan disebut muzakki. Sebab, dalam bahasa agama, muzakki dan mustahiq itu
merujuk pada orang. Karena itu, sejalan dengan pandangan F-ABRI, kalau sudah
menyebutkan orang, hal itu sudah meliputi badan, karena memang orang-
orangnya yang dikenakan kewajiban membayar zakat.145
Karena tidak mencapai
kata sepakat, persoalan ini akhirnya dibahas kembali dalam Timus dan melalui
lobi akhirnya berhasil dimasukkan ke dalam Undang-undang seperti kita lihat
sekarang.
6. Infak dan Shadaqah
Persoalan lain yang mengemuka dalam rapat ini adalah persoalan infak dan
shadaqah. Sebenarnya, masalah ini telah mengemuka sebelumnya dalam kaitannya
dengan judul RUU ini. Akan tetapi, kali ini yang dipermasalahkan adalah
pengertian dua tradisi filantropi ini. Dalam RUU, infak dan shadaqah dipisahkan
dengan pemberian pengertian yang berbeda dan karenanya dimuat dalam pasal
yang berbeda. Adalah F-PP yang mengusulkan agar infak dan shadaqah disatukan
penjelasannya, sehingga hanya membentuk satu pasal saja. Alasannya adalah
141 Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004),
77. 142 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 243. 143 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
503-504. 144 ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n, 220. 145 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
505-507.
87
Bab III
keduanya memiliki hukum yang sama di luar zakat, yaitu sunnah. Jika keduanya
dipisahkan dan masing-masing memiliki penjelasan, hal itu hanya memperbanyak
pengulangan, padahal esensi keduanya sama. Menanggapi usulan itu, F-KP
memandang bahwa pembedaan itu perlu dilakukan mengingat keduanya berbeda,
meskipun kesamaan antara keduanya tidak dapat diingkari, terutama dalam
masalah hukumnya. Pembedaan ini juga didukung oleh F-ABRI dengan alasan
kemungkinan keduanya memiliki penerapan yang berbeda. Dalam tanggapan
pemerintah ditegaskan bahwa menurut Al-Quran sendiri keduanya disebutkan
dengan dua istilah yang berbeda. Ini tidak menutup kemungkinan akan adanya
makna tersirat yang menunjukkan perbedaan antara keduanya.146
Memang, dua
istilah ini berbeda, namun keduanya memiliki makna yang dapat saling
dipertukarkan. Misalnya, ketika menafsirkan yunfiqu>n dalam QS al-Baqarah: 2,
Rashi>d Rid}a> mengemukakan bahwa infak di sini meliputi yang wajib, seperti
kepada keluarga, dan sedekah sunnah (s}adaqat al-tat}awwu‘).147
F-PP sendiri sesungguhnya tidak mempermasalahkan kalau akhirnya infak
dan shadaqah dipisahkan, dengan syarat pembedaan antara keduanya diperjelas
sehingga tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan. F-KP menambahkan
bahwa pengertian kedua hal itu sesungguhnya bisa berganti-ganti. Dalam
ketidakjelasan ini, pemerintah memiliki wewenang untuk menetapkan pengertian
mana yang hendak diterapkan, sekaligus memberikan pembedaan tegas antara
keduanya. Bahkan, menurut anggota F-KP yang lain, bukan saja pengertiannya
yang berubah-ubah, tetapi juga hukumnya. Menanggapi perbedaan pandangan ini,
pemerintah akhirnya masalah ini didiskusikan kembali dalam Panja, dengan
harapan akan diperoleh rumusan yang lebih kuat tentang kedua hal ini.148
Dalam Panja, F-PP kembali mempertegas usulannya agara infak dan
shadaqah dipersatukan. Akan tetapi, fraksi ini juga bisa menerima kalau keduanya
dipisahkan selama ada pembedaan yang tegas.149
Setelah diminta menjelaskan,
wakil pemerintah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan infak adalah
‚pembelanjaan harta seseorang, yang dikeluarkan untuk kepentingan umum
dengan tidak memperhatikan nisab dan haul,‛ sementara shadaqah adalah
‚pemberian harta seseorang yang beragama Islam yang dikeluarkan untuk
kemaslahatan orang perorang dengan tidak memperhatikan nisab dan haul‛.150
Karena itu, definisi di atas mengundang tanggapan dari F-KP yang diwakili
oleh Umar Syihab. Menurut Syihab, sesungguhnya baik infak maupun shadaqah
tidak memiliki definisi tunggal dan hukumnya bisa berubah-ubah. Suatu saat
menjadi wajib, sunnah atau mubah, kecuali shadaqah yang tidak pernah mubah.
Lebih jauh, keduanya bisa untuk kepentingan umum dan tidak hanya terbatas
pada orang Islam. Mengingat tidak ada definisi tunggal, F-PP yang diwakili
Lukman Hakim Saifuddin mengusulkan agar definisi infak dan shadaqah tidak
didasarkan pada definisi fikih, seperti yang dikemukakan F-KP, tetapi lebih
146 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 255-257. 147 Lihat M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1948), 1: 130. 148 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 265. 149 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
519. 150 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
544.
88
Kebijakan Negara Tentang Zakat
mengutamakan kepentingan praktis RUU ini.151
Dari perdebatan itulah kemudian
lahir penjelasan dalam UU tentang Pengelolaan Zakat seperti yang kita lihat
sekarang.
Sebenarnya, pembahasan tentang infak jarang ditemukan dalam kitab fikih,
tetapi hanya shadaqah.152
Karena kenyataan inilah, barangkali, mengapa F-PP
bersikukuh agar kedua istilah ini disatukan. Ini juga terlihat dalam kesulitan
pemerintah dalam membedakan keduannya. Bahkan dalam undang-undang yang
sudah disahkan sendiri, keduanya nyaris tidak dapat dibedakan.153
7. Antara Zakat dan Pajak
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam pandangan awal fraksi-
fraksi dikatakan bahwa agar umat tidak terbebani oleh dua hal sekaligus, yaitu
zakat dan pajak. Sebenarnya, asal muasal persoalan ini adalah Pasal 13 ayat (2)
RUU, yang menyebutkan bahwa ‚Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan
Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak
yang bersangkutan sesuai dengan peraturan yang berlaku‛.154
Dengan begitu,
orang yang telah membayar zakat akan memeroleh pengurangan dari kewajiban
pajak, sehingga tidak terbebani dua kewajiban sekaligus.
Pertanyaan yang pertama-tama muncul dari F-ABRI adalah mana yang harus
didahulukan antara zakat dan pajak itu. Jika tujuan pajak sudah jelas, yaitu untuk
pembangunan bangsa dan negara, sedangkan tujuan zakat adalah sejumlah
golongan tertentu yang bersifat individual. Dalam pandangan fraksi ini, RUU
lebih mendahulukan zakat ketimbang pajak. Karena itu, diperlukan suatu
pengaturan dalam UU secara tegas. F-KP berargumen bahwa, menurut fikih, ada
yang berpendapat bahwa membayar pajak merupakan suatu hutang, yang harus
terlebih dahulu dibayar sebelum zakat. F-KP mempertanyakan mengapa zakat
dikaitkan dengan pajak. Apakah tidak mungkin dalam RUU ini tidak
menyinggung pajak, sehingga urusan zakat berbeda dengan urusan pajak. Sejalan
dengan pertanyaan ini, F-ABRI menanyakan apakah UU Pajak sendiri telah
menyinggung masalah zakat. Kalau memang tidak menyinggung, mengapa RUU
tentang Zakat ini harus mengaitkan diri dengan pajak. Sementara itu, Ahmad
Zabidi mengusulkan kalau pun dikaitkan dengan pajak, hal itu tidak perlu
dimasukkan dalam pasal, tetapi cukup dalam Peraturan Pemerintah, karena
dikhawatirkan akan berseberangan atau bertepuk sebelah tangan. Menjawab
pertanyaan ini, pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama, mengemukakan
bahwa jika Pasal 34 UUD 1945 dijadikan rujukan, sebenarnya zakat dan pajak
151 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
551-560. 152 Lihat, misalnya, Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 3: 356; juga al-Zuhayli, al-Fiqh al-Isla>mi> wa
Adillatuh, 2: 915. Yang dibicarakan adalah nafkah (nafaqah), tetapi dalam kaitannya dengan keluarga
dan seterusnya. Dalam al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah pembahasan tentang shadaqah dibicarakan secara
detil. Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 26: 323-343. Akan tetapi, infak tidak menjadi entri tersendiri
dalam ensiklopedi ini. Justru yang menjadi entri tersendiri adalah nafaqah. Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 41: 34-100.
153 Dalam penjelasan dikemukan bahwa infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau
badan, di luar zakat, untuk kemaslahan umum, sedangkan shadaqah adalah harta yang dikeluarkan
seorang Muslim atau badan yang dimiliki orang Muslim, di luar zakat, untuk kemaslahatan umum. Jika
dalam penjelasan pertama tidak ditemukan kata Muslim, dalam yang kedua ditemukan. Apakah ini
berarti infak hanya berlaku bagi non-Muslim, sementara shadaqah hanya bagi Muslim, tidak jelas juga. 154 ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ Pasal 13 ayat (2).
89
Bab III
saling mendukung, dalam arti zakat bertujuan mengurangi kemiskinan, sedangkan
faqir miskin sendiri menjadi tanggung jawab pemerintah. Menteri mencontohkan
bagaimana hal itu diterapkan di Malaysia. Di negara ini, meskipun tidak
menggunakan istilah zakat, dana untuk kepentingan sosial kemasyarakatan
terlebih dahulu dikeluarkan sehingga mengurangi pajak yang menjadi
kewajibannya. Dengan kata lain, dana untuk kepentingan non-profit ini bebas dari
pajak.155
Memang, di beberapa negara Muslim, pengurangan kewajiban pajak
sebagai konsekuensi telah dibayarkannya zakat ini berlaku, seperti di Arab Saudi.
Di negara ini, individu maupun perusahaan milik Muslim yang memeroleh
manfaat itu.156
Merespons dua persoalan di atas, F-PP menilai bahwa persoalan mana yang
harus didahulukan, sesungguhnya dapat dilakukan secara fleksibel. Jika sudah
membayar zakat, berarti pajaknya dikurangi atau sebaliknya. Sebab, zakat sudah
jelas memiliki h}awlnya sendiri. Fraksi ini tidak setuju kalau RUU ini dipisahkan
dari pajak yang mengakibatkan beban ganda yang tentu saja akan memberatkan
seseorang. Lebih jauh, ditegaskan pemisahan antara zakat dan pajak. Memang
masalah ini tidak akan timbul dalam negara Islam, karena keduanya sama saja.
Tetapi, kita meniru Malaysia, bukan Amerika yang sekuler. Bahkan di Amerika
sendiri, seorang warga hanya dikenakan hanya satu, yaitu pajak.157
Karena tidak
dicapai kesepakatan, persoalan ini dibahas kembali dalam Panja, yang akhirnya
kembali ke rumusan awal dengan beberapa tambahan sehingga menjadi seperti
yang dapat kita baca sekarang.
Sebenarnya, perdebatan tentang zakat dan pajak ini sudah berlangsung lama
di luar parlemen. Masdar F. Mas’udi, misalnya, berupaya menggabungkan atau
menyamakan keduanya, tetapi dengan spirit yang berbeda. Menurutnya, orang
yang telah membayar pajak sebenarnya tidak perlu lagi diharuskan membayar
zakat, asalkan yang pertama dijiwai oleh yang kedua. Ia menganalogikan yang
pertama dengan badan, sementara yang kedua dengan ruh. Dengan kata lain,
semangat di balik membayar pajak adalah zakat, dan karenanya yang satu tidak
dapat dipisahkan dari lainnya.158
Sebenarnya, antara zakat dan pajak dibedakan dalam litratur Islam, yang
biasanya disebut khara>j atau d}ari>bah.159
Yahya ibn Adam, misalnya, membedakan
pajak dengan zakat, seraya menegaskan bahwa zakat dikenakan pada hasil
pertanian dan buah-buahan dari tanah yang tidak dikenai pajak.160
Sementara itu,
di beberapa negara lain juga dibedakan, dan pembayar zakat diberi insentif berupa
155 ‚Risalah Rapat Kerja 2 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 378-387. 156 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ dalam Institutional of
Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq
(Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 415. 157 ‚Risalah Rapat Kerja 2 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 383-388. 158 Lihat Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994). 159 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Di>niyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 19: 51 dan
seterusnya. 160 Lihat A. Ben Shemesh, Taxation in Islam: Yah}ya> ibn A<dam’s Kita>b al-Khara>j (Leiden: Brill,
1958), 77.
90
Kebijakan Negara Tentang Zakat
pengurangan pembayaran kewajiban pajak.161
Dengan demikian, usulan dalam
RUU di atas sebenarnya memiliki persamaan dengan di beberapa negara lain yang
telah menerapkannya.
8. Sanksi
Seperti disinggung sekilas dalam pemandangan awal fraksi-fraksi, masalah
sanksi ini muncul atas usulan F-KP yang menghendaki agar penyalahgunaan zakat
dapat dihukum dengan kurungan 3 tahun atau denda Rp. 300.000.000,- dari
semula Rp. 30.000.000,- seperti yang diusulkan pemerintah. Lebih jauh, dalam
Rapat Panja, sejalan dengan saran yang disampaikan sebelumnya, fraksi ini
mengusulkan agar hukuman ini diatur atau disesuaikan dengan ketentuan
peradilan agama. Usulan ini mendapat sejumlah tanggapan dari fraksi-fraksi. F-
ABRI mengusulkan agar dilakukan klasifikasi terhadap kesalahan yang dilakukan,
seperti pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana atau korupsi. Masing-
masing jenis pelanggaran ini tentu memiliki tingkat sanksi yang berbeda,
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan kita. Sementara itu, F-PP
menambahkan bahwa jika pelanggaran dilakukan, maka sanksinya bisa
disesuaikan dengan kewenangan yang sudah ada semacam KUHP, di mana
pelanggaran perdata atau pidana sudah diatur di situ. Akan tetapi dalam RUU ini
perlu dipertegas berapa lama kurungannya atau berapa besar jumlah denda yang
harus dibayar jika pelanggaran dilakukan, tidak cukup dengan merujuk pada
ketentuan perundangan yang berlaku.162
Sanksi seperti ini berbeda dengan
ketentuan yang ada di Arab Saudi, di mana zakat dikelola oleh negara. Para
pengumpul zakat di sini adalah bukanlah lembaga swasta, tetapi para pegawai
yang memeroleh gaji dari negara. Karena itu, jika terjadi penyelewengan yang
dilakukan oleh pengumpul zakat, maka sanksi yang diberikan kepadanya adalah
sesuai dengan ketentuan kepegawaian, bukan berdasarkan undang-undang
zakat.163
Menanggapi respons tersebut, wakil pemerintah mengemukakan
pertimbangan-pertimbangan yang mendasari usulan yang disampaikan dalam
RUU ini. Pertama, dengan adanya sanksi ini diharapkan pengelolaan zakat ke
depan akan lebih baik dan lebih berdayaguna. Di samping itu, sanksi ini juga
didasarkan pada tradisi yang sudah berjalan dalam masyarakat sesuai dengan
kondisi. Sebaliknya, jika sanksi yang akan diberikan sangat berat, hal itu
dikhwatirkan akan membuat masyarakat ketakutan mengelola zakat, apalagi
tingkatan pemahaman hukum suatu masyarakat mungkin berbeda dengan
masyarakat yang lain. Memang, sanksi 3 bulan kurangan atau denda Rp.
30.000.000,- mungkin kelihatan terlalu ringan. Namun, bagi mereka yang
161 Lihat Fuad Abdullah al-‘Umar, ‚General, Administrative and Organizational Aspects,‛
dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah al-
Shakeer dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IDB-Institute of Research and Training, 1995), 42-43.
Lihat juga, Mohammad Hashim Awad, ‚Adjusting Tax Structure to Accommodate Zakah,‛ dalam
Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed. I.A. Imtizi et.al. (Jeddah: IDB-IRT, 2000), 77-
96. 162 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
647-649. 163 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ dalam Institutional of
Zakah: Dimensions and Implications, 409.
91
Bab III
beriktikad baik dan secara sukarela mengelola zakat, sanksi ini membuat jera
masyarakat, terutama yang kurang mengerti aturan-aturan yang dikategorisasikan
sebagai pelanggaran, penyimpangan dan sebagainya.164
Karena tidak dicapai
rumusan yang pas, persoalan ini akhirnya dibahas dalam Tim Perumus, yang
hasilnya dapat kita baca seperti sekarang.
Penetapan sanksi bagi pengelola ini merupakan sesuatu yang relatif baru,
jika kajian-kajian fikih tentang zakat diperhatikan. Umumnya, buku-buku fikih
menekankan sanksi bagi mereka yang mampu, tetapi tidak membayar zakat. Al-
Zuh}ayli> menghukuminya sebagai kafir,165
sementara, menurut Sayyid Sa>biq, hal
itu tidak membuat pelakunya keluar dari Islam.166
Sementara itu, penerapan
sanksi bagi muzakki yang lalai membayar zakat di beberapa negara Muslim sangat
beragam. Di Arab Saudi, misalnya, sanksi yang diterapkan bagi perusahaan yang
tidak membayar zakat berupa larangan melakukan bisnis atau mengikuti tender
atas proyek-proyek pemerintah,167
sedangkan di Malaysia sanksinya sangat
beragam dari satu negeri ke negeri lainnya. Ada yang berupa uang atau kurungan
dengan tingkat yang berbeda.168
Lebih jauh, di beberapa negara lainnya hanya
sebagai penunggakan yang harus dibayar bersamaan dengan periode berikutnya.169
Setelah disetujui oleh semua pihak, RUU ini akhirnya dibawa ke dalam
Rapat Paripurna DPR pada 14 September 1999. Setelah masing-masing fraksi
menyampaikan pandangan akhirnya terhadap RUU ini, mereka kemudian
menyetujuinya untuk disahkan sebagai undang-undang. Dalam sambutannya
setelah disahkannya RUU ini, Menteri Agama mengemukakan bahwa disahkannya
RUU ini menjadi undang-undang diharapkan dapat mengatur pelaksanaan zakat,
sehingga dana yang terkumpul dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Lebih jauh, kehadiran undang-undang ini diharapkan dapat memunculkan warna
baru hubungan masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan zakat, apalagi
masyarakat telah lama menantikan kehadirannya.170
Dilihat dari lamanya proses pembahasannya, RUU ini hanya membutuhkan
waktu kurang lebih tiga bulan untuk mendapat persetujuan dan pengesahan. Itu
dilihat dari awal ketika RUU tersebut diajukan oleh presiden kepada DPR pada 24
Juni 1999. Pendeknya waktu pembahasan ini antara lain disebabkan oleh
pendeknya sisa masa jabatan para anggota dewan yang segera berakhir, bersamaan
dengan selesainya Pemilu 1999. Pada saat yang sama, pemilihan presiden oleh
MPR juga akan segera dimulai, di mana Habibie merupakan salah seorang
kandidatnya. Karena itu, percepatan pengesahan RUU ini merupakan pengabdian
164 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
651. 165 al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, 2: 735. 166 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 281. 167 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ Institutional Framework of
Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 416.
168 Tentang keragaman sanksi yang diterapkan di berbagai negeri di Malaysia, lihat Mohamed
bin Abdul Wahab et.al., ‚Malaysia: A Case Study,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 360.
169 Lihat ‘Abd Allah, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i>, 256. 170 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-3 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
875-876.
92
Kebijakan Negara Tentang Zakat
istimewa dari mereka yang tidak lagi terpilih baik sebagai presiden atau anggota
dewan.
Persetujuan DPR terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat ini kemudian
dituangkan dalam surat No. RU.01/3529/DPR-RI/1999 tertanggal 14 September
1999 dan ditandatangani ketua DPR Harmoko ditujukan kepada presiden. Dalam
sepekan kemudian, tepatnya 23 September 1999, RUU ini disahkan menjadi
Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat oleh Presiden
Habibie, berikut pengundangannya. Adapun Undang-undang tentang Pengelolaan
Zakat ini sendiri terdiri atas 10 Bab dan 25 Pasal dengan struktur sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan Umum (3 pasal);
Bab II : Asas dan Tujuan (2 pasal);
Bab III : Organisasi Pengelolaan Zakat (5 pasal);
Bab IV : Pengumpulan Zakat (5 pasal);
Bab V : Pendayagunaan Zakat (2 pasal);
Bab VI : Pengawasan (3 pasal);
Bab VII: Sanksi (1 pasal);
Bab VIII: Ketentuan-ketentuan Lain (2 pasal);
Bab IX : Ketentuan Peralihan (1 pasal);
Bab X : Penutup (1 pasal).
Dilihat dari lembaga yang mengelola zakat, keterlibatan negara tidak terjadi
secara langsung, tetapi melalui lembaga lain di luar departemen atau kementerian
negara. Ini berbeda dengan di negara-negara lain, seperti Kuwait, Saudi Arabia,
Libya, dan Sudan, di mana pengelolaan zakat berada di bawah kementeriaan
negara. Karena itu, yang pertama dapat disebut sebagai keterlibatan semi-negara,
sedangkan yang kedua disebut sebagai keterlibatan penuh negara.171
Lebih jauh, peranan swasta (LAZ) dalam pengelolaan zakat menunjukkan
bahwa di Indonesia menggunakan sistem disentralisasi, di mana negara tidak
memonopoli pengelolaannya. Ini berbeda dengan beberapa negara, seperti
Pakistan dan Sudan, serta Malaysia, di mana di dua yang pertama melalui
sentralisasi, sementara di yang terakhir sentralisasi hanya terjadi pada tingkat
pusat, mengingat di wilayah diserahkan kepada negara bagian masing-masing.172
D. Implikasi terhadap Zakat setelah Pengesahan Undang-undang
Meskipun telah disahkan dan diundangkan, UU No. 38 Tahun 1999 ini tidak
dapat diterapkan secara langsung, karena masih dibutuhkan sejumlah peraturan
bagi pelaksanaannya. Setidak-tidaknya dibutuhkan empat peraturan yang harus
disahkan oleh Menteri Agama agar undang-undang tersebut dapat beroperasi,
seperti diisyaratkan oleh pasal-pasal berikut:173
1. Ketentuan tentang persyaratan Lembaga Amil Zakat, sebagaimana
diisyaratkan oleh Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa Lembaga Amil
171 Bandingkan Fuad Abdullah al-Omar, ‚Management of Zakah through Semi-Government
Institutions,‛ dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed. I.A. Imtiazi et.al. (Jeddah:
IRTI-IDB, 2000), 131-134. 172 Ataina Hudaya dan Achmad Tohirin, ‚Management of Zakah: Centralised vs. Decentralised
Approach,‛ dalam Proceedings of the Seventh International Conference—The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy (Bangi, Malaysia, 2010), 354-55.
173 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
93
Bab III
Zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang
diatur lebih lanjut oleh Menteri.
2. Ketentuan tentang susunan organisasi dan tata kerja Badan Amil Zakat. Ini
diisyaratkan oleh Pasal 10 yang menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut
mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan
dengan keputusan Menteri.
3. Ketentuan tentang lingkungan kewenangan pengumpulan zakat yang
dilakukan oleh Badan Amil Zakat. Dalam Pasal 15 disebutkan bahwa lingkup
kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan
keputusan Menteri.
4. Ketentuan tentang pendayagunaan hasil zakat. Seperti disebutkan dalam
Pasal 16 ayat (3) bahwa persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil
pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
keputusan menteri.
Untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan di atas, Menteri Agama tidak
menerbitkan peraturan satu persatu. Sebaliknya, satu keputusan yang meliputi
semua akhirnya diterbitkan, yaitu Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun
2003 yang ditandatangani oleh Said Aqil Husin al-Munawar pada 18 Juli 2003.
Surat keputusan ini berperan sebagai peraturan operasional UU No. 38 Tahun
1999. UU No. 38 Tahun 1999 ini kemudian diuraikan secara lebih teknis melalui
Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Bimbingan Haji No. D/291 Tahun 2000.
Dengan terbitnya berbagai ketentuan itu, maka pembayaran zakat bukan
sekadar pelaksanaan hukum agama, tetapi juga undang-undang negara.
Disebutkan dalam undang-undang ini bahwa setiap warga negara Indonesia yang
beragama Islam dan mampu, atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim,
berkewajiban membayar zakat.174
Ini berarti bahwa membayar zakat merupakan
bagian dari pemenuhan kewajiban terhadap negara. Dengan demikian, orang yang
tidak menunaikan zakat, padahal ia mampu, sesungguhnya ia telah melanggar
hukum agama, di satu sisi, dan undang-undang negara, di sisi lain. Akan tetapi,
negara membatasinya hanya bagi mereka yang mampu, yang juga tidak jelas
kriterianya.
Agar kewajiban terhadap undang-undang terlaksana, UU mengamanatkan
dibentuknya lembaga yang bertindak sebagai organisasi pengelola zakat yang
dikoordinasikan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).175
Dalam UU
disebutkan bahwa ada dua lembaga yang secara sah dapat mengelola zakat, yakni
Badan Amil Zakat (BAZ), yang dibentuk oleh pemerintah, dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ), yang dibentuk oleh masyarakat, seperti organisasi Islam atau
lembaga yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan
umat. BAZ yang dibentuk oleh pemerintah ini tidak hanya di tingkat nasional,
tetapi juga hingga tingkat kecamatan, demikian juga dengan LAZ. Tidak heran
jika saat ini telah berdiri BAZNAS di tingkat pusat, 30 BAZDA di tingkat
provinsi dan ratusan BAZDA di tingkat kota/kabupaten. Adapun LAZ yang
dibentuk oleh masyarakat (swasta) saat ini juga berjumlah sangat banyak. Di
174 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 2. 175 Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ 64.
94
Kebijakan Negara Tentang Zakat
tingkat nasional saja sudah terdapat 16 lembaga, sedangkan ratusan lainnya
berada di tingkat provinsi dan kota/kabupaten.176
BAZNAS sendiri baru dibentuk pada 17 Januari 2001 berdasarkan
Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional yang
ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Sesuai dengan strukturnya,
dalam periode pertama, lembaga ini terdiri atas Badan Pelaksana, Dewan
Pertimbangan dan Komisi Pengawas.
Seperti disebutkan dalam UU, BAZ dan LAZ ini merupakan tulang
punggung bagi pengelolaan zakat, karena perannya yang sangat penting dari
mengumpulkan, mendistribusikan hingga mendayagunakan zakat. Semua tugas ini
harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan agama. Lebih jauh, mereka juga harus
memberikan laporan dan pertanggungjawaban kepada pemerintah sesuai dengan
tingkatannya masing-masing.177
Tentu, tidak sebatas pada pemerintah, sebab
laporan itu juga boleh diakses oleh masyarakat. Ini menunjukkan bahwa
pengelolaan zakat berdasarkan UU ini tidak sekadar berpijak pada ketulusan
pembayar zakat dan amil. Di satu sisi, niat pembayar zakat sebenarnya adalah
untuk ibadah kepada Allah, sehingga dicatat oleh amil atau tidak, hal itu bukanlah
sebuah persoalan. Akan tetapi, di sisi lain, pengelolaan zakat juga memiliki tujuan
sosial, sehingga tidak bisa tidak harus diketahui oleh masyarakat. Apalagi dalam
pengelolaan itu melibatkan negara, yang harus melaporkan masalah itu kepada
masyarakat. Kondisi ini sangat berbeda dengan sebelumnya, di mana pengelolaan
zakat umumnya berlangsung begitu saja, tanpa pelaporan dan
pertanggungjawaban yang jelas.
Sementara itu, dalam hal pendistribusian, BAZ dan LAZ tetap harus
mengedepankan delapan golongan (al-as}na>f al-thama>niyah) mustahik sesuai
dengan hukum Islam.178
Akan tetapi, hal itu harus didasarkan pada skala prioritas,
dalam arti yang paling membutuhkan di antara delapan golongan tersebut. Setelah
delapan golongan ini terpenuhi, kedua lembaga tersebut baru dibolehkan untuk
mendayagunakan dana zakat pada usaha-usaha produktif lainnya, dengan syarat
bahwa usaha itu benar-benar memiliki peluang yang menguntungkan. Untuk itu,
BAZ dan LAZ harus melakukan, antara lain, studi kelayakan, menetapkan jenis
usaha, bimbingan dan penyuluhan, pemantauan dan pengawasan, evaluasi dan
pelaporan.179
Ini menunjukkan bahwa ada orientasi baru dalam pengelolaan zakat,
yang tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin secara
langsung, tetapi juga berorientasi ke masa depan, dengan menjadikan dana zakat
bernilai produktif secara ekonomis.
Implikasi lain yang ditimbulkan oleh kehadiran UU No. 38 Tahun 1999
adalah diakomodasinya zakat sebagai pengurang kewajiban pajak.180
Seperti
disebutkan dalam Pasal 14 ayat (3), zakat yang telah dibayarkan kepada BAZ atau
LAZ dapat mengurangi beban kena pajak dari wajib pajak pembayar zakat.181
Seperti gayung bersambut, pasal ini kemudian diakomodasi dalam UU No. 17
176 Emmy Hamidiah, ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Mungkinkah?‛
125. 177 Lihat UU No. 38 Tahan 1999 Pasal 8-9. 178 Lihat KMA No. 373 Tahun 2003 Pasal 28. 179 Lihat KMA No. 373 Tahun 2003 Pasal 29. 180 Gustian Djuanda dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006), 282. 181 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 14.
95
Bab III
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, bahwa zakat atas
penghasilan yang telah nyata-nyata telah dibayarkan oleh wajib pajak perorangan
atau badan dalam negeri kepada BAZ atau LAZ dapat mengurangi beban kena
pajak orang atau badan yang bersangkutan.182
Yang juga menarik untuk diperhatikan dari UU No. 38 Tahun 1999 ini
adalah dimasukkannya jenis benda-benda tertentu ke dalam harta yang harus
dikeluarkan zakatnya. Misalnya, dalam Pasal 11 ayat (2) dikemukakan bahwa
hasil perikanan, hasil pendapatan dan jasa termasuk jenis benda yang harus
dikeluarkannya zakatnya. Tampaknya, hasil perikanan dimasukkan ke dalam
kategori harta yang harus dizakati didasarkan pada analogi dengan hasil
perdagangan, karena keduanya memiliki kemiripan dalam hal proses pengelolaan.
Dalam pandangan Umar Syihab, hasil perikanan lebih tepat dikiaskan dengan
hasil perdagangan, sebab pengelolaannya lebih mendekati perdagangan, baik
dilihat dari segi modal maupun prosesnya.183
Adapun zakat hasil pendapatan dan jasa atau zakat profesi, ia merupakan
fenomena belakangan yang rujukannya baru ditemukan pada abad modern. Dalam
Keputusan Bimas Islam dan Urusan Haji, zakat profesi ini dimasukkan ke dalam
kategori perdagangan, yang nisabnya disamakan dengan 85 gram emas murni.184
Sebenarnya, masalah zakat profesi ini pernah menjadi perdebatan dalam
masyarakat Indonesia. M. Amien Rais, misalnya, pernah mengusulkan agar profesi
yang dapat mendatangkan uang dengan mudah dikenakan zakat sebesar 10%.
Argumennya adalah jika pertanian yang demikian rumit saja hasilnya harus
dizakati 5-10%, pekerjaan yang lebih mudah daripada pertanian dan
mendatangkan lebih banyak uang, 10% hasilnya sebagai zakat adalah sesuatu
yang wajar. Ia menegaskan, ‚Bila petani yang bekerja keras harus membayar zakat
5 atau 10% dan langsung dibayar pada waktu panen, cukupkah kira-kira zakat
2,5%bagi profesi modern yang begitu gampang dengan kemampuan making money?‛
185
Dilihat dari hal-hal baru yang terkandung dalam UU No. 38 Tahun 1999 ini,
dapat dikatakan bahwa undang-undang ini merupakan produk pembaharuan
hukum Islam dalam konteks Indonesia. Pertama, dari aspek kelembagaan, undang-
undang ini telah memberikan landasan yang pasti bagi pengelolaan zakat dengan
organisasi yang mapan. Organisasi pengelolaan ini tentu jauh lebih baik
dibandingkan di masa lalu sebagaimana direkam dalam al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah
karya al-Ma>wardi>. Dalam karya ini, al-Ma>wardi> hanya menyebutkan amil zakat
meliputi dua bidang: bidang pengumpulan dan bidang pendistribusian.186
Di
samping itu, pendayagunaan zakat umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan
delapan golongan dan bersifat konsumtif. Dalam UU ini, ada orientasi pada
pendayagunaan produktif, tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan kaum
dhuafa.
182 Lihat UU No. 17 Tahun 2000. 183 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Zakat,‛ 328. 184 Lihat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, Lampiran I. 185 M. Amien Rais, Tauhid Sosial (Bandung: Mizan, 1998), 129. 186 Al-Ma>wardi>, Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 123.
96
Kebijakan Negara Tentang Zakat
Kedua, dari aspek jenis harta yang dizakati, undang-undang ini telah
melampaui buku-buku standar yang selama ini menjadi rujukan, khususnya di
pesantren, terutama dari mazhab Syafi‘i. Dalam kitab-kitab ini, umumnya yang
dibicarakan berkaitan dengan nisab zakat hewan ternak, emas dan perak,
tumbuhan dan buah-buahan, barang dagangan, tambang, harta rikaz dan zakat
fitrah.187
Dengan demikian, unsur-unsur baru dalam undang-undang ini merupakan
produk ijtihad yang disesuaikan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, meskipun
hal itu bukan sama sekali baru dalam konteks pemikiran hukum secara umum.
Ketiga, seperti dikemukakan sebelumnya, sejak lama kaum Muslim
Indonesia berharap dapat mendirikan sebuah baitul mal, yang dapat menampung
dana-dana filantropis Islam. Akan tetapi, keinginan itu selalu berhenti di tengah
jalan. Karena itu, adanya BAZNAS, yang dibentuk menyusul kehadiran UU No.
38 Tahun 1999, dapat dipandang sebagai perwujudan dari baitul mal tersebut,
meskipun dalam kerangka yang lebih kecil. Dengan begitu, undang-undang ini
merupakan realisasi aspirasi umat Islam yang selama ini hanya menjadi angan-
angan mereka.
Keterlibatan negara terhadap persoalan agama juga semakin terlihat dengan
kehadiran UU ini. Pemerintah dari tingkat pusat hingga kecamatan tidak saja
harus membentuk BAZ, tetapi juga harus membiayai segala kebutuhan bagi
terlaksananya program lembaga ini. Di sebutkan dalam Pasal 23 bahwa
pemerintah wajib membantu biaya operasional BAZ.188
Ditegaskan lebih jauh
dalam Keputusan Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, bahwa
biaya bagi penyelenggaraan program BAZ ini diambil sesuai dengan tingkatannya,
yaitu APBN (Departemen Agama) untuk BAZNAS, APBD I untuk BAZDA
Provinsi dan APBD II untuk BAZDA kota/kabupaten.189
Keterlibatan negara terhadap urusan Islam ini tidak bisa tidak telah
melahirkan penilaian bahwa negara telah bertindak diskriminatif dalam persoalan
agama secara umum. Misalnya, jika orang Islam telah menunaikan zakat sebagai
kewajiban keagamaannya memeroleh pengurangan pembayaran pajak, bagaimana
dengan non-Muslim yang juga harus menunaikan kewajiban serupa dalam
agamanya. Padahal, tidak menutup kemungkinan bahwa yang harus mereka bayar
dalam hal ini jauh lebih besar ketimbang besaran zakat.190
Akan tetapi, dalam
pandangan Bahtiar Effendy, akomodasi negara terhadap aspirasi umat Islam
seperti itu tidak dapat dipandang sebagai sebuah tindakan diskriminatif negara.
Seperti dikemukakan Bahtiar, posisi negara Indonesia yang bukan teokratis dan
bukan sekular memberikan peluang bagi seluruh warganya untuk menyalurkan
aspirasinya. Tentu, hal itu harus dilakukan melalui sistem dan undang-undang
yang berlaku. Lebih jauh, tidak seluruh aspirasi itu dapat begitu saja diakomodasi,
tetapi kadang-kadang sebagian diterima dan sebagian lainnya tidak. Karena itu,
diakomodasinya zakat melalui undang-undang dan institusi negara bukan tindakan
187 Lihat, misalnya, Ibra>hi>m al-Ba>ju>ri>, H}a>shiyat al-Ba>ju>ri> ‘ala> Ibn Qa>sim al-Gha>zi> (Kairo: ‘I>sa>
al-Ba>bi> al-H}alabi>, t.th.), 1: 260-281; Sulayma>n al-Bujayrimi>, Tuh}fat al-H{abi>b ‘ala> Sharh} al-Khat}i>b
(Kairo: Must}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, 1951), 275-312. 188 Lihat UU No. 38 Tahun 1999. 189 Lihat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, Pasal 19 ayat
(1). 190 Bandingkan Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990).
97
Bab III
diskriminatif dan sektarian negara. Namun, hal itu harus dipandang sebagai
ikhtiar negara dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap
warganya, yaitu memenuhi kebutuhan mereka.191
Lebih jauh, akomodasi ini sesungguhnya sejalan dengan tafsiran atas Pasal
29 UUD 1945, seperti yang dikemukakan oleh Hazairin. Menurutnya, pasal ini
mengimplikasikan, di antaranya, bahwa (1) dalam Negara RI tidak boleh terjadi
atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat
Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat
Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Bali bagi
orang-orang Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha
bagi orang-orang Budha. Di samping itu, (2) Negara RI wajib menjalankan syariat
Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali
bagi orang Hindu Bali, sepanjang menjalankan syariat tersebut memerlukan
perantaraan kekuasaan negara.192
Senada dengan itu, Hartono Mardjono menilai pasal 29 ayat (1) ini
mengisyaratkan bahwa negara tidak bisa membuat peraturan atau kebijakan yang
bertentangan dengan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya, negara
harus membuat peraturan dan kebijakan yang dapat mewujudkan rasa keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terakhir, negara berkewajiban membuat undang-
undang dan kebijakan yang melarang orang yang hendak melecehkan ajaran
agama.193
Apalagi, seperti disinggung sebelumnya, negara sendiri merasa
berkepentingan terhadap pengelolaan zakat, mengingat pranata Islam dipandang
dapat membantu menyejahterakan masyarakat, yang juga menjadi tanggung jawab
negara. Karena itu, konsideran yang mendasari undang-undang ini tidak semata-
mata persoalan agama, yang memang diatur dalam Pasal 29 UUD 1945, tetapi
juga Pasal 34 yang menyebutkan bahwa negara menjamin kesejahteraan
masyarakat. Dengan kata lain, zakat sebagai pranata sosial Islam, melalui undang-
undang ini, diharapkan dapat menunjukkan manfaat sosialnya bagi rakyat
Indonesia, sehingga diakomodasi negara.
Dengan demikian, akomodasi negara terhadap kepentingan umat Islam ini
tidak semata-mata karena pertimbangan keagamaan, tetapi juga karena apa yang
disebut oleh An-Na‘im sebagai ‚public reason,‛ yang dipinjam dari John Rawls.
Seperti dikutip An-Na‘im, Rawls menegaskan bahwa ‚reason‛ dapat disebut
‚public‛ jika memenuhi tiga hal. Pertama, jika ‚reason‛ itu lahir dari warga
negara yang bebas dan setara. Kedua, ‚reason‛ harus berisi kemaslahatan publik.
Ketiga, watak dan isinya memang publik, dalam arti diekspresikan melalui
sekumpulan konsep rasional dengan dasar keadilan politik.194
UU No. 38 Tahun
1999 memang persoalan agama Islam, tetapi dilandasi oleh konstitusi yang
menjadi kesepakatan bersama antarwarga negara. Lebih jauh, sebelum disahkan
menjadi undang-undang, RUU ini melalui berbagai tahap, dari pembuatan naskah
191 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang
Tidak Mudah (Ciputat: Ushul Press, 2005), 19. 192 Dikutip dalam M. Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), 260. 193 Hartono Mardjono, Menegakkan Syari‘at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1997), 28. 194 Abdullah Ahmad An-Na‘im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan
Syariah, terj. Sri Murniati (Bandung: Mizan, 2007), 157.
98
Kebijakan Negara Tentang Zakat
akademik, sosialisasi kepada masyarakat dan perdebatan di lembaga legislatif.
Dan yang tidak bisa dimungkiri adalah bahwa tujuan diundangkannya RUU ini
adalah kesejahteraan umum, yang tidak semata-mata bagi umat Islam, tetapi juga
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendeknya, meskipun terkait dengan urusan agama
tertentu, RUU ini telah dinegosiasikan melalui ‚public reason‛ sehingga dapat
disahkan sebagai undang-undang, yang mau tidak mau negara harus terlibat dalam
pelaksanaannya.
Meskipun undang-undang telah diundangkan dan dilaksanakan berikut
lembaga-lembaga yang menyertainya, dana zakat yang terkumpul kurang
menunjukkan angka yang signifikan, jauh dari berbagai asumsi yang selama
disuarakan. Misalnya, dalam perkiraan M. Djamal Doa, seandainya jumlah
Muslim yang mampu berzakat sebanyak 28 juta kepala keluarga (KK), dan
masing-masing KK mengeluarkan zakat sebesar Rp. 3.000.000,-, maka akan
terkumpul dana sebesar Rp. 84 trilyun.195
Akan tetapi, hasil yang telah dicapai
selama ini jauh dari perkiraan di sini. Menurut laporan BAZNAS, dana zakat yang
terkumpul pada November 2009, misalnya, hanya mencapai Rp.
14.573.383.699,48,- termasuk dana infak dan shadaqah serta natura, sedangkan
keseluruhan dana yang terkumpul sampai November pada tahun yang sama
mencapai Rp 35.215.404.216,85,-. Sementara itu, dalam bulan berikutnya di tahun
yang sama berhasil dikumpulkan dana sebesar Rp. 1.952.317.949,06,- termasuk
infak dan shadaqah.196
Dengan demikian, jika dijumlahkan secara keseluruhan,
dana yang terkumpul selama 2009 mencapai 37.167.722.165,91,-.
Kecenderungan penerimaan serupa juga terjadi pada 2010. Pada Januari
2010, misalnya, terkumpul dana sebesar Rp. 1.068.723.425,-, sedangkan pada
Maret dan April di tahun yang sama masing-masing mencapai Rp.
1.813.418.748,06,- dan Rp. 1.916.318.701,85,-.197
Berdasarkan laporan ini, kalau
rata-rata per bulan dibulatkan mencapai 2 milyar, maka dalam setahun akan
terkumpul sekitar 24 milyar saja. Kalaupun pada bulan Ramadhan ada
peningkatan signifikan seperti pada November 2009, paling banter dana yang
terkumpul mencapai sekitar 50 milyar.
Adapun dana zakat yang terkumpul melalui BAZDA juga masih jauh dari
perkiraan di atas. Misalnya, sepanjang 2003, dana zakat, infak dan shadaqah yang
terkumpul di BAZDA DKI mencapai 14,1 milyar (termasuk infak dan shadaqah),
yang meningkat cukup signifikan jika dibandingkan dengan perolehan tahun
sebelumnya, yakni 11,6 (dibulatkan ke atas) pada 2002, dan 9,5 milyar pada
2001.198
Di BAZDA daerah selain DKI, tampaknya dana yang terkumpul akan
lebih rendah. Di Jawa Barat, misalnya, pada tahun yang sama bulan Januari-April
mencapai hanya 28,65 juta, sedangkan pada 2002 terkumpul Rp. 184.443.378,-
dan pada 2001 mencapai 1,2 milyar.199
Sementara itu, dana zakat yang terkumpul melalui lembaga non-pemerintah
juga masih jauh dari yang selama ini diperkirakan. Dompet Dhuafa Republika,
195 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 63. 196 Lihat Laporan Keuangan Baznas, www.baznas.or.id. 197 Lihat Laporan Keuangan Baznas, www.baznas.or.id. 198 Amelia Fauzia, ‚Bazis DKI Jakarta: Peluang dan Tantangan Badan Amil Zakat Pemerintah
Daerah,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed.
Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005), 39. 199 Ridwan al-Makassary, ‚BAZ Propinsi Jawa Barat: Eksistensi yang Mulai Pudar?‛ dalam
Revitalisasi Filantropi Islam, 71.
99
Bab III
yang dikelola secara profesional, misalnya, berhasil mengumpulkan dana selama
2004 sebesar kurang lebih 20 milyar (termasuk infak dan shadaqah), sementara
pada tahun sebelumnya mencapai kurang lebih 15 milyar.200
Timpangnya perkiraan dengan perolehan dana zakat yang dikumpulkan juga
mengindasikan bahwa prosentasi orang yang berzakat (muzakki) tidak mengalami
peningkatan yang signifikan. Menurut Rahmad Riyadi, prosentasi muzakki yang
membayar zakatnya terlihat masih minim.201
Tentu, ini tidak berarti secara
mutlak bahwa terjadi penurunan angka jumlah Muslim yang membayar zakat.
Bisa jadi, hal itu disebabkan oleh karena BAZ atau LAZ sulit dijangkau oleh
muzakki atau mereka kurang percaya terhadap lembaga ini. Survei yang dilakukan
oleh PIRAC, seperti dikutip oleh AM. Fatwa, M. Djamal Doa dan Aries Mufti,
menunjukkan bahwa kaum Muslim cenderung membayarkan zakat mereka kepada
panitia yang ada di sekitar mereka, seperti masjid, lembaga pendidikan atau
bahkan secara langsung kepada mustahik. Dalam survei itu disebutkan bahwa
66% responden membayarkan zakatnya kepada panitia di sekitar rumah, 28%
langsung kepada mustahik, sedangkan 6% lainnya baru disalurkan kepada BAZ
atau LAZ.202
Dari beberapa kasus di atas terlihat bahwa pelaksanaan UU No.38 Tahun
1999 belum mencapai hasil yang maksimal seperti yang diharapkan. Bahkan ada
yang menilai bahwa hasil yang kurang maksimal itu tidak semata-mata terjadi
pada tingkat pelaksanaan, tetapi juga pada undang-undang itu sendiri. Suparman
Usman, misalnya, mengkritik undang-undang tersebut karena secara inheren
mengandung setidak-tidaknya enam kelemahan mendasar. Kelemahan-kelemahan
itu meliputi:203
1. Tidak adanya ketentuan nisab (batas minimal) harta yang harus dikeluarkan
zakatnya.
2. Tidak jelasnya kedudukan sekretaris, apakah ia sekretaris badan pelaksana,
dewan pertimbangan, ataukah sekretaris komisi pengawas.
3. Tidak jelasnya sistem pelaporan, apakah harus dilaporkan kepada pemerintah
atau DPR.
4. Tidak adanya perluasan harta yang wajib dizakati, di mana dalam UU hanya
disebutkan emas, perak dan uang.
5. Tidak jelasnya sistem pendistribusian dana zakat.
6. Tidak adanya sanksi bagi wajib zakat yang tidak menunaikannya.
Akan tetapi, kritik yang dikemukakan Suparman Usman ini tidak seluruhnya
benar, jika ia mau merujuk kepada peraturan yang menyertai undang-undang
tersebut. Tentang kedudukan sekretaris, misalnya, UU tidak menyebutkan
kedudukan tersebut, karena dalam Pasal 6 ayat (5) hanya menyebutkan bahwa
struktur BAZ terdiri atas unsur pertimbangan, pengawas dan pelaksana. Dalam
penjelasannya juga tidak ditemukan kedudukan sekretaris, tetapi ditemukan dalam
Pasal 3 Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, di mana disebutkan
200 Karlina Helmanita, ‚Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern: Pengalaman
Dompet Dhuafa,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam, 103. 201 Rahmad Riyadi, ‚Undang-undang Zakat dan Kondisi Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Zakat
dan Peran Negara, 46. 202 Lihat AM. Fatwa, M. Djamal Doa dan Aries Muftie, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai
Solusi Alternatif, 135, catatan nomor 14. 203 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 175-178.
100
Kebijakan Negara Tentang Zakat
bahwa dalam badan pelaksana terdapat seorang sekretaris umum dan dua orang
sekretaris, sedangkan dalam dua unsur BAZ lainnya masing-masing hanya
terdapat seorang sekretaris.204
Kritik Suparman terhadap sistem pelaporan juga tidak mencapai sasaran.
Dalam Pasal 9 UU No. 38 Tahun 1999 memang hanya disebutkan bahwa BAZ dan
LAZ bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya,
sementara dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa BAZ memberikan laporan
pelaksanaan tugasnya kepada DPR atau DPRD sesuai dengan tingkatannya.
Dengan kata lain, BAZ dan LAZ harus membuat laporan kepada DPR dan
pemerintah sesuai dengan tingkatannya, meskipun dalam Keputusan Menteri
Agama No. 373 Tahun 2003 Pasal 31 hanya diwajibkan membuat laporan kepada
pemerintah. Kritik Suparman terhadap sistem pendistribusian zakat juga tidak
berdasar, karena dalam Keputusan Menteri Agama tersebut disebutkan secara
konseptual dalam Pasal 28 dan 29. Akan tetapi, secara teknis, memang tidak
dikemukakan secara terperinci. Adapun tentang tidak adanya perluasan harta yang
harus dizakati yang dikritiknya, hal itu sebenarnya dapat ditemukan dalam
Lampiran I Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun
2001, di mana barang-barang selain emas, perak dan uang dianggap harus
dikeluarkan zakatnya. Ini meliputi logam mulia, platina dan lain sebagainya.
Adapun dua kritik lainnya yang disampaikan Suparman memang relevan.
Pertama, undang-undang ini tidak menyebutkan secara eksplisit nisab (batas
minimal) harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Kritik Suparman ini benar jika
kita merujuk pada Pasal 11 ayat (3) yang menyebutkan bahwa ‚Penghitungan
zakat mal menurut nisab, kadar dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum
agama.‛ Di sini timbul pertanyaan, hukum agama yang mana yang hendak
dijadikan acuan, mengingat yang dimaksud dengan hukum agama juga tidak
tunggal? Dalam penjelasannya hanya disebutkan definisi nisab, yaitu jumlah
minimal harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Berapa minimalnya?
Jawabannya ditemukan dalam Lampiran I Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam
dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000. Di situ memang disebutkan jumlah
minimal harta yang harus dikeluarkan zakatnya, tetapi masih menurut pendapat
berbagai imam mazhab dan ulama. Artinya, di sini orang masih bisa memilih,
apakah ia menggunakan pendapat A, B, atau C. Dengan kata lain, undang-undang
belum tegas dalam memilih pendapat mazhab yang hendak dijadikan sebagai
acuan. Padahal undang-undang sudah semestinya tegas dan mengikat, karena
kedudukannya sebagai hakim yang memutus perbedaan. Dalam hal ini berlaku
kaidah h}ukm al-h}a>kim yarfa‘ al-khila>f (keputusan hakim harus dapat menghapus
perbedaan pendapat) atau la> khila>fa fi> al-qad}a>’ (tidak ada perbedaan dalam
keputusan peradilan). Di sini peran UU No. 38 Tahun 1999 sebagai hakim
terhadap persoalan nisab zakat yang masih beragam tidak berperan.
Kedua, sebagaimana disinggung sebelumnya, UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 2
menyebutkan bahwa warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu
atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat.
Akan tetapi, anehnya undang-undang ini sama sekali tidak menyebutkan sanksi
apa yang bakal diterima oleh Muslim yang mampu, tetapi tidak mau
mengeluarkan zakat. Undang-undang sudah semestinya secara tegas memberikan
204 Lihat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003 Pasal 3 ayat (2-4).
101
Bab III
sanksi bagi yang tidak melaksanakannya, mengingat ia bersifat mengikat. Lebih
jauh, karena pelaksanaan undang-undang ini dijamin oleh negara, sebagai satu-
satunya institusi yang memiliki daya paksa terhadap warganya, dengan tidak
adanya ketegasan sanksi atas pelanggarnya, maka negara menjadi sama sekali
tidak berperan. Dalam ungkapan M. Djamal Doa, negara hanya seperti macan
ompong, yang memiliki kekuatan memaksa sangat besar terhadap warganya,
tetapi tidak bisa bergerak karena tidak memiliki landasan dalam undang-undang
tentang zakat ini.205
Bahkan, dalam penilaian Djamal Doa, undang-undang ini
sangat lembek, mengingat pemungut zakat baru dapat mengambil jika ia terlebih
dahulu diberitahu oleh muzakki.206
Seperti disebutkan dalam Pasal 12,
pengumpulan zakat dilakukan oleh BAZ dengan cara menerima atau mengambil
dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.207
Kritik terhadap tidak adanya sanksi ini juga dikemukakan oleh Didin
Hafidhuddin. Ia menegaskan bahwa sebagai undang-undang, undang-undang ini
hanya mewajibkan, tetapi tanpa dibarengi dengan konsekuensi bagi yang tidak
melaksanakannya.208
Kritik serupa juga dikemukakan oleh Rahmad Riyadi, yang
menilai bahwa prosentasi tidak mengalami peningkatan signikan, di antaranya,
karena undang-undang ini tidak memiliki daya paksa dengan tidak adanya sanksi
bagi yang melalaikannya. Ini berbeda dengan sanksi yang diberikan kepada
lembaga pengelola zakat, yang dinyatakan begitu tegas. Bukan hanya itu,
pendiriannya pun harus memenuhi banyak syarat yang tidak mudah.209
Dalam UU
No. 38 Tahun 1999 memang disebutkan bahwa bagi pengelola yang lalai tidak
mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat diancam hukuman
kurungan tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,-.210
Kritik serupa juga dikemukakan oleh Wahyu Dwi Agung. Agung melihat
konsideran yang digunakan dalam UU No. 38 Tahun 1999 ini tidak memiliki daya
paksa, karena yang digunakan adalah Pasal 34 UUD 1945. Menurutnya, pasal ini
hanya berdimensi sosial dan tidak memaksa muzakki mengeluarkan zakatnya. Ini
sangat berbeda dengan undang-undang tentang pajak, di mana salah satu
konsiderannya sangat menekankan aspek pemaksaan oleh negara. Karena itu, bisa
dipahami jika pemungutan dan pengelolaan zakat tidak dapat berjalan secara
maksimal. Lebih dari itu, ia menilai bahwa, sesuai dengan judulnya, undang-
undang lebih menekankan aspek-aspek administratif zakat, dan berupaya
menghindari sifat memaksa terhadap para muzakki.211
Sementara itu, M. Tahir Azhari justru mengkritik undang-undang ini karena
rendahnya sanksi yang diberikan terhadap pengelola zakat. Hal itu
disampaikannya dalam mengantisipasi pembahasan RUU ini di DPR. Dalam
pandangan Azhari, jumlah Rp. 30.000.000,- tidaklah sebanding dengan jumlah
yang dapat diterima oleh pengelola, yang umumnya mencapai ratusan juta rupiah.
Bila sebuah lembaga pengelola dapat mengumpulkan dua ratus juta, lalu
205 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 79. 206 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 79. 207 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 12. 208 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
26. 209 Rahmad Riyadi, ‚Undang-undang Zakat dan Kondisi Perzakatan di Indonesia,‛ 4. 210 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 21 ayat (1). 211 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai
Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 136.
102
Kebijakan Negara Tentang Zakat
pengelolanya menyelewengkan 50-75 juta saja, misalnya, maka denda Rp.
30.000.000,- menjadi tidak ada artinya. Ini justru membuka peluang bagi
seseorang untuk berhitung dalam melakukan penyelewengan.212
Sebenarnya, tidak dicapainya pengumpulan zakat oleh BAZ dan LAZ secara
maksimal bukanlah semata-mata karena kelemahan undang-undang. Akan tetapi,
yang lebih penting lagi disebabkan oleh implementasinya dalam praktik.
Misalnya, seperti disinggung sebelumnya, pembayaran zakat sebagai pengurang
beban pajak telah diakomodir oleh undang-undang tentang pajak. Akan tetapi,
dalam praktiknya, hal itu hingga kini belum terlaksana dengan baik.213
Tentu, hal
ini sulit dilakukan baik oleh muzakki karena ia harus menghitung dua kali, saat
harus mengeluarkan zakat dan saat harus membayar pajak, yang bisa jadi
menimbulkan perbedaan jumlah. Di samping itu, ada kesulitan bagi muzakki
untuk menentukan mana yang harus didahulukan membayar zakat atau membayar
pajak. Karena pajak dipaksa oleh negara dan menimbulkan sanksi bagi yang tidak
membayar, otomatis pilihan kedua yang didahulukan. Memang UU No. 38 Tahun
1999 tidak menentukan mana yang harus didahulukan. Namun, jika lembaga
pemungut pajak dan zakat disatukan, baik pembayar pajak atau zakat akan
mengalami kemudahan.
Inilah yang dipandang oleh Djamal Doa sebagai ‚ketidakefektifan
administrasi,‛ karena melibatkan dua departemen. Atas dasar itu, ia mengusulkan
agar masalah pemungutan zakat ini disatukan dengan pemungutan pajak. Jika ini
terjadi, pengumpulan dana zakat mudah dilakukan, dengan bukti pembayaran
yang tidak mudah diselewengkan atau dipalsukan. Bahkan dari aspek sarana dan
prasarana, hal itu meringankan biaya, karena Kantor Pelayanan Pajak sudah ada di
mana-mana, sehingga setiap orang yang hendak membayar pajak, tidak bisa tidak
harus membayar zakat juga.214
Potensi zakat dari pembayaran pajak ini memang
sangat besar. Sebab, yang dikenakan pajak bukan hanya individu, tetapi juga
badan usaha. Seperti disebutkan dalam UU tentang pengelolaan zakat, yang
diwajibkan mengeluarkan zakat juga bukan hanya individu, tetapi juga badan
usaha yang dimiliki oleh muslim. Jika ini diterapkan, dana zakat yang terkumpul
pasti besar.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam undang-undang ini,
terlihat bahwa diundangkannya zakat mempunyai manfaat yang sangat besar bagi
umat Islam dan negara sekaligus. Di satu sisi, aspirasi umat Islam diakomodasi
oleh negara dalam bentuk kelembagaan, yang diharapkan dapat meningkatkan
dana zakat bagi kesejahtraan masyarakat. Di sisi lain, negara akan terbantu dalam
menyejahterakan masyarakat.
212 M. Tahir Azhari, ‚Zakat dan Aplikasinya dalam Konteks Kesejahteraan Sosial,‛ Makalah
disampaikan pada Seminar Sehari tentang Pengelolaan Zakat, Departemen Agama, Jakarta, 30
Agustus 1999, 9-10. 213 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai
Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ 136. 214 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 80.
103
BAB IV
KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF
Seperti dalam bab sebelumnya, bab ini bertujuan mempertegas hubungan antara
filantropi dan negara dengan perhatian khusus pada kasus wakaf. Untuk itu, bab
ini diawali dengan pembahasan tentang pengaturan wakaf di Indonesia, sebagai
latar belakang diusulkan dan disahkannya Undang-undang tentang Wakaf, serta
dampaknya bagi pertumbuhan lembaga filantropi Islam. Dengan begitu
diharapkan kaitan antara filantropi Islam dan negara bisa digambarkan secara
jelas.
A. Pengaturan Wakaf di Indonesia
Sebagaimana disinggung dalam Bab II, wakaf bukanlah bentuk filantropi
yang hanya ditemukan dalam Islam, tetapi juga ditemukan dalam tradisi
keagamaan lainnya. Di Indonesia sendiri, praktik sejenis ini juga ditemukan
dengan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan tradisi kedaerahan yang ada. Di
Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, ditemukan tradisi suma pada zaman Empu
Sendok. Suma adalah tanah atau hutan pemberian raja kepada rakyatnya untuk
dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan mereka. Tempat ini juga disebut
huma atau huma serang, yakni sebuah ladang yang setiap tahun digarap bersama-
sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama. Berbeda dengan dua
istilah itu, di Lombok dikenal istilah ‚tanah parenan,‛ yaitu sebuah tanah yang
semula milik negara kemudian diserahkan kepada desa, subak dan candi untuk
kepentingan bersama dan dibebaskan dari pungutan pajak.1
Dengan demikian, ketika Islam datang ke Indonesia, sebenarnya tradisi
filantropi yang menyerupai wakaf sudah ada. Dalam konteks seperti itu, praktik
wakaf Islam tidak menghadapi kesulitan untuk diadopsi oleh masyarakat. Sebagai
sebuah bentuk filantropi Islam, wakaf benar-benar memiliki dimensi ketulusan,
mengingat status hukumnya tidak sekuat bentuk filantropi lain, seperti zakat,
yang telah dibicarakan sebelumnya. Meskipun demikian, peran wakaf dalam
sejarah Islam tak kalah pentingnya dengan peran yang dimainkan oleh zakat,
bahkan hingga batas tertentu lebih monumental jika dilihat dari jejak rekamnya.
Seperti dikemukakan Gregory C. Kozlowski, wakaf merupakan lembaga filantropi
yang paling popular di dunia Islam pada abad ke-14 atau ke-15.2 Pernyataan
Kozlowski ini tentu berlaku juga bagi Indonesia, karena sebagian besar lembaga
keagamaan di Indonesia berbasis wakaf. Mengingat mayoritas penduduk Muslim
nusantara menganut faham Sha>ulama Sufi. Mereka inilah yang menyebarkan
1 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran dan Perkembangannya
(Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992), 46. 2 Gregory C. Kozlowski, ‚Otoritas Agama, Reformasi dan Filantropi di Dunia Islam
Kontemporer,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia , ed. Warrant F. Ilchman, Stanley N. Katz
dan Edward L Queen II, terj. Tim CSRC (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), 317.
104
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Islam dan hingga batas tertentu membentuk karakter keislaman di Nusantara.
Karena itu, patut diduga bahwa praktik wakaf pada masa awal Islam tidak terlalu
rumit seperti yang terjadi pada tradisi fikih.3 Akan tetapi, ini tidak harus dipahami
bahwa fikih tidak dipraktikkan di Nusantara, sebagaimana telah disinggung di
muka.
Menurut Ahmad Sutarmadi, praktik wakaf di Indonesia sesungguhnya
beriringan dengan proses Islamisasi itu sendiri. Misalnya, Walisongo, yang
dikenal sebagai tokoh-tokoh penting dalam dakwah Islam di Jawa, khususnya,
dalam praktiknya menerima kepercayaan masyarakat yang baru masuk Islam
untuk mendirikan masjid atau pesantren di lahan mereka. Ini menunjukkan bahwa
praktik wakaf yang mereka ajarkan dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat.
Lebih jauh dikemukakan bahwa ketika Raden Fatah menjabat sebagai sultan
pertama Demak, ia mendirikan masjid Demak di atas tanah wakaf dan untuk
membiayai pemeliharaan serta gaji para pengelolanya juga diperoleh dari wakaf.4
Di Jawa Timur, istilah yang sangat populer adalah tanah ‚perdikan,‛ yaitu
sebidang tanah yang diberikan oleh raja kepada seseorang atau sefi‘i>yyah, praktik
wakaf di sini diduga kuat dilakukan berdasarkan mazhab ini.5
Disebut-sebut bahwa masuknya Islam ke Indonesia merupakan andil besar
para
kelompok orang atas jasa-jasa mereka bagi kerajaan dan tanah tersebut
dibebaskan dari pungutan pajak. Wakaf semacam ini menyerupai wakaf keluarga
(al-waqf al-ahli>) jika dilihat dari fungsi dan pemanfaatannya.6 Tanah ‚perdikan‛
ini, misalnya, dapat ditemukan di Tegalsari, Ponorogo. Suatu ketika, Paku Buana
II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura, meninggalkan istana
bersama para pengikutnya. Ini dilakukan karena ada pemberontakan Cina yang
dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhunan Kuning, yang meletus pada 30 Juni
1742. Pemberontakan ini berlangsung begitu cepat, yang membuat Kerajaan
Kartasura tidak siap menghadapinya. Saat melarikan diri, Sunan Kumbul
mengarah ke timur Gunung Lawu, hingga pada suatu saat tiba di Desa Tegalsari,
di mana terdapat sebuah pesantren besar yang diasuh oleh Kyai Ageng Hasan
Bashari. Sunan kemudian berserah diri ke pesantren dan menjadi santri, yang
menerima tempaan dan bimbingan dari kyai untuk bertafakur dan bermunajat
kepada Allah. Tak lama setelah itu, pemberontakan di Kartasura mereda, dan
Sunan menduduki kembali tahta yang sempat ditinggalkannya. Atas jasa sang
kyai, Desa Tegalsari dijadikan sebagai desa ‚perdikan,‛ sebuah desa istimewa
yang bebas dari segala pungutan pajak.7
3 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim, eds., Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi
tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta,
2006), 96. 4 Ahmad Sutarmadi, ‚Sekilas tentang Filantropi Islam di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk
Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif
Hidayatullah, 2003), 193-94. 5 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43. 6 Maksudnya, peruntukan wakaf tersebut ditentukan secara jelas bagi keluarga, keturunan dan
seterusnya. Lihat Tim Penulis, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005), 17. Tentang keuntungan dan kelemahan wakaf keluarga ini,
lihat Peter C. Hennigan, The Birth of a Legal Institution: The Formation of the Waqf in Third-Century AH H{anafi Legal Discourse (Leiden: Brill, 2004), xiv-xv.
7 Lihat Nur Hadi Ihsan dkk., Profil Pondok Modern Darussalam Gontor (Gontor: Pondok
Modern Darussalam, 2006), 1-2.
105
Bab IV
Sementara itu, di Aceh dikenal istilah weukeuh, yang praktiknya telah
berlangsung jauh sebelum kedatangan penjajah. Pada masa kesultanan, misalnya,
seorang sultan biasanya memberikan sebidang tanah bagi kepentingan umum,
apakah untuk perkebunan, pertanian atau sarana umum tertentu. Umumnya, tanah
seperti itu berstatus khusus, yang langsung dikontrol oleh sultan dan bukan oleh
pejabat bawahannya. Ia bebas dari beban pajak atau pungutan, tetapi tetap berada
dalam kendali sultan. Lembaga ini tetap bertahan pada masa kolonial, yang
manfaatnya difungsikan untuk membiaya acara-acara keagamaan dan ibadah, di
samping untuk pembangunan masjid atau madrasah dan pesantren.8
Yang demikian itu mengingat wakaf umumnya terjadi pada benda-benda
yang sifatnya permanen atau tidak bergerak, seperti masjid, pesantren, mushalla,
langgar, tempat pemakaman dan lain sebagainya, yang tentu tidak hilang begitu
saja seperti zakat, yang dampaknya seakan-akan lenyap bersamaan dengan
selesainya pembagian. Ini tampaknya sejalan dengan makna wakaf itu sendiri,
yang menganjurkan keabadiaan benda yang diwakafkan. Yang menarik bahwa di
daerah tertentu, seperti Banten, pengelolaan wakaf sudah berlangsung cukup baik,
sehingga yang diwakafkan bukan semata-mata benda yang telah disebutkan di
atas, tetapi juga buku. Konon, Sultan Maulana Muhammad, putra Sultan Maulana
Yusuf, saat berkuasa sangat peduli dengan masalah-masalah keagamaan, tak
terkecuali dalam bidang hukum agama. Karena itu, ia senang mewakafkan banyak
buku, di samping benda-benda tak bergerak lainnya. Ini menunjukkan bahwa
bentuk wakaf sudah mengalami perkembangan yang berarti jika kita mengacu
pada buku-buku fikih yang lebih banyak menekankan pada benda-benda tak
bergerak.9 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan menduga bahwa tradisi wakaf kitab
ini tidak bisa dipisahkan dari kaitan erat Kesultanan Banten dengan Kerajaan
Saudi Arabia atau Turki ‘Uthmani, yang tentunya sudah terbiasa dengan
mewakafkan benda yang bergerak seperti kitab.10
Sebenarnya, tradisi wakaf buku dan pendirian perpustakaan jauh sebelum
Turki ‘Uthmani, mengingat sejumlah perpustakaan yang berdiri di sejumlah
negara—yang kini dikenal—Arab itu dari awal banyak diisi oleh buku-buku
wakaf. Ini ditemukan di perpustakaan Mosul, Bagdad, Kairo dan lain sebagainya,
jauh sebelum Turki ‘Uthmani atau Saudi Arabia.11
Lebih jauh ditegaskan bahwa di samping benda-benda tak bergerak, wakaf
juga diduga bisa berbentuk barang atau uang tunai sebab, menurut Aqib Suminto,
wakaf juga menjadi sumber penting keuangan masjid, di samping sumber-sumber
lain seperti biaya nikah, zakat dan shadaqah.12
Wakaf sebagai sumber keuangan
ini mengisyaratkan bahwa dana bisa diperoleh dari pemanfaatan harta wakaf, yang
hasilnya kemudian dijadikan sebagai dana masjid. Juga mungkin bahwa
8 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif
Filantropi Islam dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 165.
9 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (Jakarta: Penerbit Djambatan
dan KITLV, 1983), 39. 10 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif
Filantropi Islam,‛ 162. 11 Lihat secara lebih terperinci Yah}ya Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-
‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz al-Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t, 1996), 31-44. 12 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 162, catatan nomor
190.
106
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
masyarakat memang mewakafkan dalam bentuk uang yang dibelikan barang-
barang kebutuhan masjid.
Ini bisa dilihat pada saat renovasi masjid di kota Pekalongan pada 1926.
Pada tahun itu, masyarakat ingin merenovasi masjid yang ada, karena alasan-
alasan tertentu. Di samping itu, kas yang dimiliki oleh masjid itu sendiri dianggap
dapat memenuhi kebutuhan renovasi tersebut, yakni sebesar f.26.000,00 lebih,
sementara seluruh biaya yang dianggarkan mencapai f.20.000,00 sampai
f.22.000,00. Dengan demikian, saldo yang ada masih tersisa sekitar f.4.000,00
atau f.6.000,00 yang dianggap cukup untuk kebutuhan kegiatan masjid. Akan
tetapi, pemerintah Belanda mengizinkan penggunaan dana kas masjid itu
f.6.000,00 saja. Untuk sisanya, pemerintah menganjurkan agar bisa diperoleh
melalui wakaf. Meskipun penggalangan dana melalui wakaf mudah dilakukan,
masyarakat menolak kebijakan ini, dan mempertanyakan untuk apa dan akan
dibawa ke mana kas masjid tersebut. Sebab, kebijakan ini janggal mengingat kas
masjid untuk renovasi masjid tidak dibolehkan, sedangkan dana tersebut
dibolehkan untuk membangun gedung pertemuan umum. Karena itu, mereka
berharap kas masjid dapat digunakan sebagai dana pembangunannya dan tidak
lagi bergantung pada wakaf.13
Meskipun praktik wakaf telah berlangsung lama, tidak banyak informasi
yang menjelaskan bagaimana tata cara wakaf itu dilaksanakan. Snouck Hurgronje
menuturkan bahwa peran wakif, orang yang mewakafkan, sangat besar dalam
menentukan tujuan dan menunjuk seorang nazir, pengelola wakaf. Ditegaskan
lebih jauh bahwa wakaf di Indonesia berbeda dengan di tempat lain, terutama di
negara Islam. Di negara yang terakhir ini, qa>d}i> berperan besar dalam mengangkat
pengelola (na>z}ir), tetapi karena di negara yang pertama tidak ada qa>d}i>, peran itu
dimainkan oleh penghulu atau kyai. Snouck sendiri menganjurkan agar wakaf
berada di bawah kendali pejabat penjajah, bukan pada penghulu atau kyai.14
Saran
ini tampaknya didasarkan pada kekhawatiran Snouck Hurgronje yang menduga
bahwa dana wakaf jika berada di tangan kyai atau penghulu dapat dijadikan
sebagai sumber bekal pemberontakan, seperti disinggung di muka.
Tampaknya, wakaf telah menjadi praktik yang begitu meluas dalam
masyarakat Indonesia, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa sengketa
dalam masalah ini telah terjadi.15
Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya
Staatsblad No. 152 Tahun 1882 tentang Priesterraad (Pengadilan Agama), yang
memberikan wewenang kepada lembaga ini untuk menyelesaikan sengketa
wakaf.16
Perhatian pemerintah kolonial terhadap masalah ini bisa dimaklumi
mengingat wakaf terkait erat dengan persoalan hukum tanah atau agraria. Di satu
sisi, tanah dikenakan biaya pajak, sementara wakaf tanah dibebaskan dari beban
tersebut. Di samping itu, wakaf terkait erat dengan masjid yang dipandang
sebagai kegiatan keagamaan yang kadang-kadang bisa berujung sebagai pusat
13 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 168, catatan nomor 214. 14 Lihat E. Gobee dan C. Andriaase, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 (Jakarta: INI, 1992), 5: 905. 15 Bandingkan Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek
Normatif Filantropi Islam,‛ 174. 16 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf:
Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, 1:1 (Desember 208), 9.
107
Bab IV
pemberontakan.17
Karena itu, perhatian kolonial terhadap wakaf semakin
meningkat dengan diterbitkannya sejumlah peraturan, baik yang secara sepintas
menyinggung maupun secara eksklusif memang membicarakan tentang wakaf. Di
antara peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 1 Januari 1905, Nomor 435.
Surat edaran ini termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Mohammedaansche bedehuizen. Sebenarnya, surat edaran ini
tidak berbicara secara khusus tentang wakaf, tetapi berperan sebagai
penegasan bahwa pemerintah sebenarnya mengakui dan mengizinkan orang-
orang Islam memenuhi kebutuhan keagamaan mereka.18
Di sini terlihat bahwa
surat ini tidak membicarakan secara khusus tentang wakaf. Akan tetapi, dapat
dipahami bahwa kebutuhan keagamaan yang paling fundamental umumnya
adalah rumah-rumah ibadah dan masjid, yang sebagian besarnya merupakan
tanah wakaf.19
Lebih jauh dikemukakan bahwa pendirian rumah ibadah hanya
dibolehkan jika ia memenuhi kriteria kebutuhan publik. Hal itu dipertegas
dengan perintah, dalam surat itu, kepada para bupati di wilayah Jawa dan
Madura, yang harus menginventarisir rumah-rumah ibadah Islam di masing-
masing daerah kekuasaannya. Di samping itu, mereka juga harus
mengidentifikasi asal muasal rumah ibadah itu, berikut kegunaannya. Bahkan
orang yang hendak melaksanakan wakaf pun harus meminta izin terlebih
dahulu kepada bupati setempat.
Meskipun demikian, surat edaran ini tidak banyak diindahkan baik oleh
masyarakat Muslim maupun bupati. Bagi masyarakat Muslim, surat ini tidak saja
mempersulit mereka dalam melaksanakan wakaf, tetapi juga dapat dipandang
sebagai upaya pemerintah kolonial untuk menghalangi dan membatasi ibadah
mereka20
dan pendirian masjid. Ini bisa dilihat pada kasus pendirian masjid baru
selain Masjid Agung yang sudah ada. Meskipun Pengadilan Agama mengizinkan
adanya masjid baru ini, namun Snouck Hurgronje tidak menyetujui dan
membatalkan niat tersebut. Dengan dalih pandangan fikih Sha>fi‘iyyah, ia
melarang pendirian masjid baru itu, di samping alasan bahwa Masjid Agung yang
ada masih mampu menampung jamaah Jumat.21
Di sisi lain, surat ini tampaknya
agak diabaikan oleh para bupati mengingat tidak dicapainya data yang memadai
tentang wakaf dan masjid di wilayah tugas mereka masing-masing.22
Dengan demikian, surat edaran ini terbukti tidak berjalan mulus, tetapi
mendapatkan reaksi dari masyarakat Muslim, yang memandang ketentuan
tersebut sebagai bentuk intervensi pemerintah kolonial dalam masalah agama
penduduk. Di samping bertentangan dengan kebijakan pemerintah sendiri dalam
17 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif
Filantropi Islam,‛ 174. 18 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf:
Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, volume 1, nomor 01 (Desember 208), 10. 19 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 3. 20 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43. 21 Konon, seorang penghulu di Palembang berusaha membuktikan bahwa masjid yang ada itu
tidak lagi dapat menampung jamaah dengan menggerakkan massa agar memenuhi masjid itu. Akan
tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan, sehingga masjid baru urung didirikan. Kasus-kasus serupa
juga terjadi di wilayah lain di nusantara. Lebih jauh, lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 172-173.
22 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43.
108
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
masalah agama, ketentuan itu terbukti mempersulit orang yang hendak melakukan
wakaf untuk kepentingan orang Islam.23
2. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A. Surat
ini dimuat dalam Bijblad Tahun 191 No. 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs.
Berbeda dengan surat edaran sebelumnya, kali ini masalah wakaf disebut
secara eksplisit. Akan tetapi, dari segi isinya, surat kedua ini merupakan
penegasan terhadap yang pertama, mengingat masih ada keharusan bagi para
bupati untuk mencatat rumah-rumah ibadah, penggunaan dan asal usulnya.24
Di samping itu, izin dari bupati juga tetap diharuskan bagi orang yang ingin
berwakaf maupun bagi pendirian masjid di atas tanah wakaf. Tujuan perizinan
itu sendiri adalah agar tanah yang dibangun masjid di atasnya tidak terganggu
atau tergusur oleh pembangunan tata kota. Atau sebaliknya, jika ketertiban
umum masyarakat terganggu oleh pembangunan masjid di tanah wakaf, bupati
dapat mengalihkan usaha itu di tempat lain.25
Respons masyarakat Muslim terhadap surat ini pun nyaris setali tiga uang.
Mereka memandang peraturan ini sebagai bentuk campur tangan pemerintah
kolonial dalam urusan agama mereka. Padahal, perwakafan adalah masalah privat,
yang tetap dipandang sah kalaupun dilaksanakan tanpa izin pemerintah atau
bupati. Sebab, wakaf merupakan pemisahan harta dari pemilikan seseorang dan
berada di luar peredaran kepemilikannya.26
Di samping itu, masyarakat Muslim
tetap menilai bahwa ketentuan ini tidak lain hanyalah upaya pembatasan ibadah
mereka oleh Belanda.27
3. Surat Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A. Surat ini
termaktub dalam Bijblad Tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs.
Selain untuk mempertegas surat-surat sebelumnya, surat ketiga ini juga
mengatur soal tanah wakaf dan pembangunan masjid, di samping masalah
perizinan shalat Jumat. Yang dimaksud dengan izin shalat Jumat di sini adalah
bahwa jika terjadi persengketaan di kalangan masyarakat, bupati dibolehkan
memberikan izin kepada pihak yang memintanya. Masalah ini tampaknya
tidak dapat dipisahkan dari sengketa tanah wakaf, di mana masjid yang
dibangun di atasnya dipersengketakan oleh pihak-pihak tertentu. Lebih jauh,
dalam masalah wakaf, surat ini memberi sedikit keringanan, di mana orang
yang hendak mewakafkan hartanya tidak harus meminta izin kepada
pemerintah atau bupati. Mereka cukup melaporkan wakafnya kepada notaris
untuk memeroleh akta dari petugas.28
Ternyata, surat ketiga ini juga tidak mendapat respons positif dari
masyarakat Muslim. Memang ada peningkatan dari segi pendataan harta wakaf,
tetapi masih jauh dari memadai. Dengan kata lain, harta wakaf yang tidak
terdaftar jauh lebih banyak ketimbang yang sudah didaftar. Di sini terlihat bahwa
penolakan kaum Muslim terhadap kebijakan pemerintah kolonial tetap tidak
23 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 10. 24 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 10-11. 25 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 26 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 11. 27 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 28 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44.
109
Bab IV
berjalan sesuai dengan tujuan surat tersebut.29
Inilah yang kemudian mendorong
pemerintahan kolonial untuk menerbitkan kembali surat edaran tentang wakaf.
4. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935 No. 1273/A. Surat
ini dimuat dalam Bijbald Tahun 1935 No. 13480 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs.
Dalam surat terakhir ini, beberapa ketentuan sebelumnya dipertahankan, tetapi
juga memberikan tata cara atau prosedur bagaimana wakaf harus dilaksanakan.
Misalnya, orang yang ingin berwakaf tidak harus meminta izin kepada bupati,
namun cukup melapor melalui kepala desa dan camat kepadanya. Ini
diperlukan agar bupati dapat mempertimbangkan atau menilai kalau-kalau ada
pelanggaran terhadap ketentuan umum, terutama berkaitan dengan ketertiban
dan kepentingan umum. Selanjutnya, bupati mendaftarkannya kepada petugas
keagamaan, yang harus melaporkan kemudian kepada kepala agraria. Ini
dilakukan agar harta wakaf memeroleh pembebasan dari beban pajak, yang
dikenakan pada benda-benda lain selain pajak.30
Sambutan masyarakat Muslim terhadap peraturan ini ternyata tidak
menggembirakan, apalagi ketentuan sanksi tidak ditetapkan di dalamnya. Padahal,
konon, ketentuan dibuat untuk mengakomodasi kayakinan masyarakat Muslim
saat itu, yakni bahwa harta wakaf itu harus langgeng (mu’abbad). Karena itu,
pemerintah mempertimbangkan keyakinan tersebut sehingga melalui surat ini
diharapkan dapat menjamin pelaksanaan keyakinan masyarakat Muslim. Dengan
begitu, benda-benda wakaf tidak terganggu oleh pembangunan lain yang bertujuan
pada pemenuhan kepentingan umum, seperti pelebaran jalan, pengembangan kota
dan lain sebagainya.31
Berbeda dengan itu, pemerintah kolonial Inggris di Malaysia justru
menunjukkan intervensinya yang sangat kuat terhadap wakaf di sana, khususnya
di Penang. Di sini, pemerintah mengambil alih pengelolaan wakaf, dengan tujuan
pembangunan dan kemajuan kota tersebut. Namun, dengan manajemen yang baik,
wakaf juga mengalami perkembangan pesat.32
Penolakan terhadap undang-undang kolonial terhadap wakaf seperti itu
terbukti juga terjadi di tempat lain. Di Aljazair, misalnya, pemerintah kolonial
Prancis mencoba memasukkan wakaf ke dalam hukum publik, namun masyarakat
Muslim menolaknya dengan keyakinan bahwa wakaf merupakan bagian dari
lembaga yang masuk ke dalam jurisdiksi Islam.33
Kejadian serupa berlangsung di
India, ketika Inggris berkuasa. Namun, Inggris lebih melunak dan menerima wakaf
masuk ke dalam Anglo-Muhammadan Law.34
Terlepas dari penolakan yang ditunjukkan oleh kaum Muslim saat itu,
semangat di balik surat edaran yang terakhir ini diduga banyak diadopsi oleh
peraturan wakaf yang ditetapkan pemerintah pasca-kemerdekaan. Jika dugaan ini
29 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 30 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44-45. 31 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 45. 32 Khoo Salma Nasution, ‚Kolonial Intervention and Transformation of Muslim Waqf
Settlement in Urban Penang: The Role of Endowment Board,‛ Journal of Muslim Minority, 22:2
(2002), 299-315. 33 Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam Islam and
Public Policy, ed. Stephen P. Heyneman (Nashville: Vanderbilt University Press, 2004), 36. 34 Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf,‛ 37.
110
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
benar, dapat dikatakan bahwa penolakan tersebut lebih banyak didasari oleh
penolakan terhadap kekuasaan asing ketimbang esensi peraturan itu sendiri. Ini
bisa dimaklumi mengingat masyarakat Muslim berusaha untuk tidak kompromi
terhadap penguasa asing, yang mencoba mengintervensi persoalan keagamaan
mereka. Seperti dalam kasus pembangunan masjid baru yang telah disinggung di
muka, alasan pelarangan yang digunakan oleh pemerintah adalah pandangan fikih
Sha>fi‘iyyah, yang juga dianut oleh kaum Muslim. Namun, hal itu tidak
menghalangi mereka untuk berjuang mendirikan masjid yang baru.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, peraturan perundang-undangan
tentang wakaf tidak pernah ditetapkan secara khusus. Dengan demikian, peraturan
wakaf yang telah ditetapkan oleh Belanda masih berlaku. Ini sejalan dengan
Peraturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, Pasal II yang menyatakan bahwa
‚Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.‛35
Hal ini dilakukan untuk
memelihara ketertiban dalam masyarakat, karena kekosongan hukum
dikhawatirkan justru akan menciptakan instabilitas.36
Dengan demikian, dalam
masalah keagamaan, pemerintah mengakui hukum agama yang berlaku, termasuk
di dalamnya masalah wakaf. Walaupun begitu, campur tangan pemerintah tetap
ada, terutama yang berhubungan dengan penyelidikan, penentuan, pendaftaran,
pengawasan dan pemeliharaan benda-benda wakaf.37
Pada 1952, Menteri Agama menerbitkan peraturan No. 9 dan 10, yang
didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1949. Dua peraturan menteri
itu menyatakan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan saluran strukturalnya di
bawah memiliki kewajiban untuk ‚menyelidiki, menentukan, mendaftar dan
mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf.‛ Kewajiban ini meliputi
penyelidikan apakah tanah wakaf yang ada sesuai dengan maksud dan tujuan
perwakafan yang ditetapkan oleh ajaran Islam atau tidak. Berdasarkan peraturan
ini, wakaf merupakan wewenang Kementerian Agama yang dalam praktiknya
dijalankan oleh KUA Kecamatan atau KUA Kabupaten.38
Di samping itu,
Departemen Agama juga mengeluarkan petunjuk teknis tentang wakaf pada 22
Desember 1953. Sebagai tindak lanjut penertiban wakaf ini, Kantor Pusat Jawatan
Urusan Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 5/D/1956 tanggal 31 Desember
1956, yang berisi anjuran agar perwakafan tanah dilaksanakan secara tertulis.
Selanjutnya, pada 5 Maret 1959, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama No. Pem.19/22/23/7 dan SK/62/Ka/59,
yang berisi pengalihan wewenang pengesahan wakaf tanah milik dari bupati ke
Kepala Pengawas Agraria. Pelaksanaan SKB ini kemudian diatur dalam Surat
Pusat Jawatan Agraria No. Pda.2351/34/II tanggal 13 Februari 1960 kepada
Pusat.39
Dari sejumlah peraturan yang dikeluarkan di atas, terlihat bahwa semua itu
baru setingkat peraturan menteri. Lebih jauh, peraturan-peraturan itu baru
memberikan status dan kedudukan wakaf tanah dan belum memberikan secara
35 Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Setjen dan
Kepaniteraan MK, 2007), 61. 36 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 11. 37 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 12. 38 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 12. 39 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 13.
111
Bab IV
terperinci baik mengenai prosedur maupun pemanfaatan wakaf tanah. Bersamaan
dengan pembaharuan hukum agraria, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan
perhatian khusus kepada wakaf, mengingat sebagian besar wakaf berbentuk tanah.
Inilah untuk pertama kali persoalan wakaf diangkat ke tingkat undang-undang,
meskipun hanya sebagai bagian saja dari keseluruhan undang-undang itu.
Sebenarnya, RUUPA ini pernah diajukan oleh Menteri Agraria saat itu,
Soenarjo, kepada DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang pada 1958.
Setelah dibicarakan dengan panitia ad hoc DPR, RUU hampir selesai. Akan tetapi,
adanya Dekrit Presiden 1959 membubarkan RUU itu menjadi UU, apalagi DPR-
nya sendiri kemudian dibubarkan oleh Presiden. Meskipun demikian, semangat
pembaharuan ini diteruskan oleh menteri yang baru, Sudjarwo, meskipun di sana
ini ada perubahan sesuai dengan UUD 1945 dan Manifesto Politik pemerintah.
Setelah pembicaraan persiapan selama 45 jam bersama DPR-GR dan sidang yang
berlangsung enam jam, RUU ini disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.40
Terdiri atas empat bab, masalah wakaf dibicarakan dalam Bab II Bagian XI
tentang Hak-hak Tanah untuk Keperluan Suci dan Sosial dalam Pasal 49, di
samping disinggung secara implisit dalam Pasal 14. Di dalam Pasal 14 dikatakan
bahwa bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
Indonesia digunakan, di antaranya, untuk keperluan peribadatan dan keperluan
lainnya sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, dalam Pasal
49 ditegaskan bahwa: (1) hak milik tanah atas badan-badan keagamaan dan sosial
akan dilindungi oleh negara; (2) untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci
lainnya, negara dapat memberikan hak pakai atas tanah yang dikuasai oleh negara;
(3) perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Meskipun demikian, Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Pasal 49 baru
diterbitkan 17 tahun kemudian, tepatnya 17 Mei 1977, yaitu PP Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan kata lain, antara ditetapkannya
undang-undang dengan diterbitkannya peraturan yang menyertainya dibutuhkan
waktu yang sangat lama, hingga terjadinya pergantian kekuasaan, dari Soekarno
ke Soeharto.
PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ini terdiri atas
tujuh bab dan 18 pasal yang didahului dengan pertimbangan dan konsideran.
Adapun bab-bab itu meliputi:
Bab I : Ketentuan umum yang berisi 1 pasal mengenai definisi wakaf, wakif,
ikrar dan nazir.
Bab II : Fungsi wakaf yang berisi 7 pasal mengenai tujuan wakaf, unsur-unsur
dan syarat-syarat wakaf.
Bab III : Tata cara mewakafkan dan pendaftarannya yang berisi 2 pasal mengenai
tata cara perwakafan tanah milik dan pendaftaran wakaf tanah milik.
Bab IV : Perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan perwakafan tanah
milik yang berisi 3 pasal tentang perubahan perwakafan tanah milik,
penyelesaian perselisihan dan pengawasan tanah milik.
Bab V : Ketentuan pidana yang berisi 2 pasal.
40 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 175-76.
112
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Bab VI : Ketentuan peralihan yang berisi 2 pasal.
Bab VII: Ketentuan penutup yang berisi 1 pasal.
Peraturan inilah yang untuk pertama kalinya memerinci persoalan wakaf
semenjak Indonesia merdeka dan menggantikan peraturan-peraturan sebelumnya.
Dikatakan demikian, karenan peraturan inilah yang kemudian berlaku selama
pemerintahan Orde Baru dan baru tergantikan oleh UU No. 41 Tahun 2004, yang
disahkan di Era Reformasi. PP ini kemudian dijabarkan secara teknis operasional
melalui peraturan-peraturan lain, baik yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam
Negeri maupun Menteri Agama. Bahkan PP ini pula yang menjadi dasar UU No.
41 Tahun 2004, karena sebagian besar gagasan yang ada di pertama diadopsi oleh
yang kedua.
Sejalan dengan Pasal 10 ayat (4), yang menyatakan bahwa ‚Oleh Menteri
Dalam Negeri diatur tata cara pencatatan perwakafan yang dimaksud dalam ayat
(2) dan (3),‛ maka Menteri Dalam Negeri menerbitkan peraturan No. 6 Tahun
1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.
Secara umum, peraturan ini berisi cara-cara yang harus ditempuh seseorang atau
organisasi untuk mendaftarkan perwakafan, seperti keharusan mendaftarkan tanah
yang diwakafkan kepada Sub-Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya,
kewajiban PPAIW untuk melaporkan, biaya pendaftaran dan lain sebagainya.41
Kemudian pada 10 Januari 1978, Menteri Agama menerbitkan Peraturan No.
1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977. Terdiri atas 10 bab dan 20 pasal, Peraturan Menteri ini merupakan rincian
teknis yang harus dilakukan bagi perwakafan. Ini meliputi ketentuan ikrar dan
akta wakaf, pejabat yang membuat akta ikrar, kewajiban dan hak nazir, perubahan
tujuan wakaf, penyelesaian sengketa dan lain sebagainya. Meskipun demikian,
peraturan ini tetap mengamanatkan bahwa peraturan pelaksanaan yang lebih
operasional akan ditetapkan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam.42
Untuk mempertegas kedua peraturan menteri ini, maka pada 23 Januari 1978
diterbitkan sebuah Instruksi Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama No. 1 Tahun 1978. Instruksi ini ditujukan kepada seluruh Gubernur Kepala
Daerah di Indonesia dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama di seluruh
Indonesia. Adapun isinya meliputi: pertama, perintah agar para pejabat daerah
tersebut melaksanakan dengan baik PP No. 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama Tahun 1978.
Kedua, perintah kepada instansi dan pejabat di bawah gubernur dan kepala Kanwil
menaati peraturan-peraturan tersebut. Ketiga, perintah pengamanan dan
pendaftaran wakaf tanah milik yang telah berlangsung sebelum PP No. 28 Tahun
1978 diberlakukan. Terakhir, perintah pelaporan atas pelaksanaan instruksi ini
kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.43
Kemudian, sejalan dengan amanat Pasal 9 ayat (2) PP No. 28 Tahun 1977,
yang menyebutkan bahwa ‚Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri Agama,‛ Menteri Agama pada 9 Agustus 1978
menetapkan Keputusan No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama untuk Mengangkat dan
Memberhentikan Kepala KUA Kecamatan sebagai PPAIW. Selain pendelegasian
41 Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977. 42 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978. 43 Lihat Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978.
113
Bab IV
pengangkatan dan pemberhentian, surat keputusan ini juga memberikan
wewenang bagi Kanwil Depag Propinsi untuk memberikan kuasa kepada Kepala
Bidang Urusan Agama mengangkat dan memberhentikan PPAIW. Ditambahkan
pula bahwa jika di suatu kecamatan belum memiliki KUA, maka kepala KUA
kecamatan lain yang terdekat dapat diangkat sebagai PPAIW.44
Di samping itu, Menteri Agama pada 19 Juni 1979 secara khusus
menerbitkan Instruksi No. 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan
Menteri Agama No. 78 Tahun 1978.45
Bersamaan dengan terbitnya Surat Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 pada
tanggal 29 Mei 1980, yang berisi ketentuan jenis formulir wakaf, baik yang harus
bermaterai dan bebas dari materai, berikut besaran materainya, Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji menerbitkan Surat Edaran No.
DII/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai pada 25 Juni 1980. Surat ini
dindaklanjuti dengan Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.
DII/5/Ed/07/1981 kepada Gubernur Tingkat I seluruh Indonesia pada 17 Februari
1981. Surat ini berisi pendaftaran tanah milik dan permohonan keringanan atau
pembebasan biaya yang dibebankan dalam proses tersebut. 46
Selanjutnya, untuk menindaklanjuti Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun
1978, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
mengeluarkan Keputusan No. 15 Tahun 1990 pada 9 April 1990 tentang
Penyempurnaan Formulir dan Pedoman Pelaksanaan PP Perwakafan Tanah Milik.
Secara garis besar, surat keputusan ini berisi petunjuk teknis tentang bagaimana
membuat ikrar wakaf, akta ikrar wakaf, pendaftaran dan sebagainya dan ditujukan
secara khusus kepada PPAIW.47
Setelah berbagai peraturan diterbitkan oleh Menteri Agama, pada 30
November 1990, Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
mengeluarkan Instruksi Bersama No. 4 Tahun 1990 dan No. 24 Tahun 1990
tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Instruksi ini berisi beberapa perintah. Pertama,
Kanwil Depag Propinsi dan Kandepag Kabupaten/Kotamadya serta Kanwil BPN
Propinsi dan Kantor BPN Kabupaten/Kotamadya harus berkoordinasi sebaik
mungkin dalam upaya penyelesaian sertifikat tanah wakaf. Kedua, sertifikasi
tanah wakaf diharapkan dapat diselesaikan pada akhir Pelita V. Ketiga, untuk
pembiayaan program sertifikasi ini digunakan biaya Proyek Operasi Nasional
Pertanahan. Keempat, penyerahan sertifikat tanah secara masal direncanakan
rampung bersamaan dengan hari ulang tahun Undang-undang Pokok Agraria No.
31 pada 24 September 1990 dan Hari Amal Bakti Depag pada 3 Januari 1992.
Kelima, intensifikasi dana biaya sertifikasi tanah diambil dari APBN, APBD dan
masyarakat. Keenam, laporan harus diberikan kepada Gubernur, Kepala BPN dan
Menteri Agama, jika dalam proses tersebut ditemuai hambatan, baik dalam
masalah pembiyaan, tenaga teknis maupun peralatan dan kebutuhan lainnya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa peraturan perundang-undangan wakaf
sudah cukup banyak diterbitkan oleh pemerintah. Ini menunjukkan bahwa
pemerintah memberikan kepedulian yang sangat tinggi bagi praktik filantropi
44 Lihat Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978. 45 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 18. 46 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 18. 47 Lihat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. 15
Tahun 1990.
114
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Islam, meskipun tidak sampai ke tingkat undang-undang. Bahkan, dalam hal
pembiayaan dan pemenuhan kebutuhan lainnya, pemerintah telah menganggarkan
dari APBN dan APBD, di samping dari sumber masyarakat.
Sejalan dengan itu, Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989
disahkan oleh DPR pada 14 Desember 1989 dan mulai diundangkan pada 29
Desember 1989. Akan tetapi, terdapat kesulitan bagi pelaksanaan undang-undang
ini karena belum adanya pegangan yang komprehensif dan tunggal bagi para
hakim. Ini membuka peluang bagi lahirnya perbedaan keputusan yang akan
ditetapkan hakim dalam persoalan yang relatif sama, sesuai dengan sandaran
hukum Islam yang digunakan oleh hakim. Karena itu, melalui Instruksi Presiden
No. 1 Tahun 1991, diterbitkanlah Kompilasi Hukum Islam sebagai pegangan
hakim pada 10 Juni 1991. Seperti disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) butir c
Undang-Undang Peradilan bahwa salah satu tugas Pengadilan Agama adalah
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam masalah wakaf dan
shadaqah. Tidak heran jika kemudian persoalan wakaf ini diatur dalam KHI, di
samping persoalan perkawinan dan warisan. Hukum tentang wakaf disebutkan
dalam Buku III KHI, yang terdiri atas atas lima bab, yaitu: (1) Ketentuan Umum;
(2) Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf; (3) Tata Cara Perwakafan dan
Pendaftaran Benda Wakaf; (4) Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda
Wakaf; (5) Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.48
Meskipun banyak mengacu pada PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, Hukum Wakaf dalam KHI menunjukkan beberapa perubahan
penting. Jika PP tersebut hanya mengatur wakaf tanah atau benda tidak bergerak,
dalam KHI wakaf benda bergerak sudah disinggung. Lebih jauh, dalam KHI juga
diatur ketentuan pemberhentian nazir, yang tidak ditemukan dalam PP, dan
kemudian diadopsi dalam UU No. 41 tentang Wakaf Tahun 2004. Akan tetapi,
banyak juga yang tidak ditemukan dalam KHI, khususnya mengenai masalah-
masalah yang lebih teknis seperti ketentuan sanksi dan tata cara perwakafan.
Dapat dikatakan bahwa Hukum Wakaf dalam KHI merupakan ringkasan dari PP
No. 28 Tahun 1977.49
Tidak lama setelah itu, Menteri Agama pada 22 Juli 1991 mengeluarkan
Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik
Indonesia di atas. Disebutkan dalam Keputusan ini bahwa seluruh Instansi
Departemen Agama dan Pemerintah terkait lainnya harus menyebarluaskan KHI
di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Selain itu, seluruh
instansi tersebut harus menerapkan KHI dalam menyelesaikan masalah-masalah di
bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan, di samping undang-
undang lainnya. Terakhir, Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam dan Direktur Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji harus
berkoordinasi demi terlaksananya keputusan ini.50
48 Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Penerbit Nusantara
Press, 1991), 241. 49 Lihat Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan Achmad Roestandi dan Muchjidin
Effendie, Komentar atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, 296-301. 50 Lihat Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991.
115
Bab IV
Dari uraian di atas terlihat bahwa perwakafan telah menjadi perhatian cukup
besar, baik pada masa pemerintah kolonial maupun selama masa kemerdekaan.
Sepanjang pemerintahan Soekarno, wakaf hanya disinggung secara sepintas dalam
undang-undang lain yang terkait, dan baru pada masa pemerintahan Soeharto
wakaf memeroleh perhatian yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa terlepas
dari otoritarinisme Orde Baru, perhatian yang diberikan oleh rezim ini terhadap
persoalan-persoalan Islam sangat menentukan. Dalam kaitan ini, Ahmad Sukardja
menegaskan bahwa semangat para penyelenggara negara sangat berpengaruh. Jika
semangat keagamaan mereka kuat, persoalan agama akan menjadi perhatian besar
bagi mereka. Sebaliknya, jika mereka berpandangan sekular, maka persoalan
agama agak dikesampingkan. Semangat keagamaan itu mengalami peningkatan
besar pada masa Orde Baru, dan karenanya pada masa ini semangat pelaksanaan
hukum Islam, termasuk wakaf, juga mengalami peningkatan.51
B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Wakaf
Seperti Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, Rencana Undang-
undang tentang Wakaf ini tidaklah lahir begitu saja, tetapi karena ada faktor-
faktor tertentu yang mendorongnya untuk diajukan oleh pemerintah. Secara garis
besar, faktor-faktor ini dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yakni eksternal
dan internal.
1. Eksternal
Setidak-tidaknya, ada dua faktor eksternal penting yang memengaruhi dan
mendorong diajukannya RUU tentang Wakaf ini, yaitu: keberhasilan pengelolaan
wakaf di negara-negara Muslim lainnya, perkembangan sistem ekonomi dan
perkembangan konseptual tentang wakaf itu sendiri. Dengan kata lain,
pengalaman dan pemikiran tentang wakaf yang berkembang sangat potensial
untuk menjadi sumber acuan bagi negara-negara lain yang juga berurusan dengan
persoalan yang sama.
a. Pengalaman Beberapa Negara Muslim
Sebagai pranata keagamaan Islam, wakaf telah memeroleh perhatian yang
sangat besar dari negara-negara Muslim, yang ditunjukkan di antaranya dengan
dibentuknya sebuah kementerian khusus yang menangani bidang itu. Karena itu
bisa dimengerti jika pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut mengalami
perkembangan yang sangat signifikan. Pengalaman beberapa negara, seperti
Turki, Mesir, Kuwait dan Malaysia, menunjukkan hal itu.
Di Malaysia, misalnya, perundang-undangan wakaf pertama kali dikodifikasi
dalam Hukum Pahang pada abad ke-16 tatkala Sultan Abdul Ghafur berkuasa
(1592-1614) dan tidak ditemukan ketentuan-ketentuannya dalam undang-undang
lain di negara-negara bagian. Lebih jauh, mengingat mazhab Sha>fi‘i> menjadi
mazhab resmi penduduk wilayah ini, ketentuan-ketentuan tentang wakaf dalam
undang-undang di atas didasarkan pada pandangan mazhab fikih ini. Bahkan,
benda-benda yang boleh diwakafkan, menurut undang-undang itu, tidak terbatas
pada benda-benda tidak bergerak, tetapi juga meliputi benda-benda bergerak yang
51 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan
tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk (Jakarta: UI Press, 1995), 146.
116
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
memiliki manfaat abadi, di samping membolehkan adanya wakaf umum dan
wakaf keluarga.52
Sebagaimana dimaklumi, Malaysia menjadikan Islam sebagai agama resmi
negara federal, di mana Yang di-Pertuan Agung berperan sebagai pemimpin
agama negara federasi, sementara sultan adalah pemimpin agama Islam setiap
negara bagian. Meskipun demikian, untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan
agama, di masing-masing negara bagian ada Majelis Ugama. Dengan kata lain,
majlis-majlis inilah sesungguhnya yang bertanggung jawab atas segala persoalan
agama, termasuk wakaf. Bahkan, mereka pulalah yang menjadi pemegang tunggal
aset-aset wakaf di Malaysia.53
Tidak heran jika kemudian masing-masing negara bagian membentuk
legislasi khusus tentang hukum Islam, yang bisa jadi berbeda antara satu negara
bagian dengan lainnya. Meskipun demikian, semua itu tidak boleh bertentangan
dengan legislasi yang dibentuk oleh parlemen di tingkat federal. Karena itu,
lahirlah administrasi pelaksanaan perundangan hukum Islam yang beragam
dengan tahun pengesahan yang juga berbeda. Misalnya, Serawak menetapkan
pada 1954, Kedah pada 1962, Perlis pada 1964, Johor pada 1978, Trengganu pada
1986, Wilayah Federasi Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya pada 1993,
Melaka, Pahang dan Negeri Sembilan pada 1991, Perak dan Sabah pada 1992,
Penang pada 1993, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan
wakaf di negeri-negeri tersebut dimasukkan dalam hukum Islam secara integral,
dan hanya dijabarkan dalam peraturan-peraturan. Satu-satunya pengundangan
wakaf dilakukan oleh negara bagian Selangor, yang menetapkan undang-undang
wakaf pada 1999.54
Sebagai pemegang wewenang atas aset-aset wakaf, Majlis Ugama
bertanggung jawab, di antaranya, atas pemeliharaan dan peningkatan pendapatan
wakaf. Untuk itu, majlis-majlis ini mendirikan sejumlah perusahaan (holding company) untuk tujuan tersebut. Ini bisa dilihat di beberapa negara bagian, seperti
Maim Properties Sdn. Bhd., di Melaka, Edi Fajar Development Sdn. Bhd., Negeri
Sembilan, as-Sahabah Holding, di Penang, Bakti Suci Properties Sdn. Bhd., di
Selangor, dan Pusat Rawatan Islam Sdn. Bhd dan Baiulmal Zenit Battery Sdn.
Bhd di Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur.55
Pada 8 Agustus 2004, Departemen Wakaf, Zakat dan Haji dibentuk di
Malaysia yang langsung berada di bawah kantor Perdana Menteri, yaitu Datuk
Abdullah Ahmad Badawi. Akan tetapi, tujuan pendirian departemen ini bukanlah
untuk menghapus lembaga-lembaga yang selama ini telah berkecimpung dalam
persoalan wakaf, zakat dan haji. Departemen ini hanya berperan sebagai
koordinator, yang akan memfasilitasi dan memperkuat lembaga-lembaga yang
sudah ada dalam pengelolaan ketiga masalah di atas.56
Pendirian departemen ini
juga dilatarbelakangi oleh fakta bahwa Majlis Ugama di masing-masing negara
52 John E. Kempe dan R.O. Winstedt, ‚A Malay Legal Digest Compiled for Abdul Gharuf
Muhaiyuddin Shah Sultan of Pahang (1592-1614),‛ JMBRAS, 21:1 (1948), 14. 53 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives (Kuala
Lumpur: University of Malaya Press, 2006), 83-84. 54Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 57-58; lihat juga Habib Ahmed, Role of Zakat
and Awqaf in Poverty Allevation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 90. 55 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 87-88. 56 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 90-91.
117
Bab IV
bagian terbukti memiliki banyak persoalan, seperti kekurangan dana (financial), hukum (legal) dan kemampuan administratif.
57
Dengan adanya departemen khusus yang menangani wakaf, sejumlah inovasi
bagi pengembangan wakaf banyak dilakukan. Misalnya, dana wakaf tidak
dibiarkan, tetapi dimanfaatkan sebagai modal ija>rah, istibda>l dan sukuk
musha>rakah. Pihak yang berwenang dalam bidang ini juga memperkenalkan
konsep wakaf tunai bagi pengumpulan dana dan mendanai sejumlah aktivitas
wakaf. Di antara jenis-jenis konsep wakaf tunai yang diperkenalkan meliputi
wakaf tunai perusahaan, investasi, dan takaful. Di samping, dana wakaf juga
dimanfaatkan untuk membiayai layanan sosial, dakwah dan pendidikan bisnis
perspektif Islam bagi kaum muda, seperti dilakukan oleh Wakaf An-Nur. Tidak
heran dari lembaga ini telah lahir sejumlah klinik dan rumah sakit di beberapa
negara bagian di Malaysia.58
Pengalaman di Malaysia ini menunjukkan bahwa
wakaf jika dikelola dengan baik dapat membantu meningkatkan kesejahteraan
umat, dan secara tidak langsung membantu negara dalam kewajibannya
menyediakan layanan publik. Karena itu, pengalaman tersebut menjadi salah satu
acuan dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, sehingga dirujuk dalam penyusunan
RUU tentang Wakaf.59
Sementara itu, di Bangladesh, pengelolaan wakaf memiliki pengalaman yang
berbeda. Sebelum memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, di negara ini
sebenarnya telah ada Waqf Ordinance yang disahkan pada 1962 yang berfungsi
untuk mengatur wakaf Pakistan Timur, dan diadaptasi serta dipertahankan oleh
pemerintahan baru berdasarkan Pasal 5 dari Undang-undang Bangladesh tahun
1972. Pada saat itu, masalah wakaf berada di bawah Kementerian Pendidikan,
kemudian dialihkan ke wilayah Kementerian Pertanahan (Ministry of Land
Reforms and Land Administration). Sekarang perwakafan diatur oleh
Kementerian Agama. Berdasarkan Bagian 7 Waqfs Ordinance tahun 1962,
pemerintah harus menunjuk seorang administratur untuk jangka lima tahun dan ia
harus Muslim. Ordinance tersebut juga harus membentuk Komite Wakaf, untuk
membantu administrator tersebut. Di samping itu, terdapat pula ketentuan-
ketentuan yang dapat dibentuk oleh pemerintah jika dipandang perlu, untuk
membantu administratur. Sejalan dengan itu, administrator dibantu oleh dua
wakil, enam petugas administrasi, 18 pengawas, 18 auditor dan 54 anggota staf,60
sehingga seluruh anggota Komite berjumlah 58 orang. Komite ini berkantor di
ibukota, Dhaka, dan memiliki empat kantor cabang. Di samping itu, ada juga 24
kantor yang berada di tingkat distrik. Dengan kata lain, secara keseluruhan, ada
29 kantor yang dapat menangani masalah wakaf di seluruh negeri.61
Meskipun
demikian, administrasi wakaf di Bangladesh terlihat sangat sentralistik. Kantor-
kantor cabang dan distrik tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan
dan peraturan. Terlepas dari itu semua, sektor wakaf di Bangladesh masih diatur
Waqf Ordinance tahun 1962.
57 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 91-92. 58 Magda Ismail Abdel Mohsin, Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah
(Johor Bahru: International Seminar on Awqaf, 2008). 59 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf Depag, 2006), 38. 60 Sadequr Rahman,Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com 61 Sadequr Rahman,Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com
118
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Berdasarkan bagian 47 Ordinance tersebut, semua wakaf yang ada ataupun
yang baru setelah ditetapkannya Ordinance ini harus didaftarkan ke kantor
administrasi. Jika pengajuan pendaftaran itu telah dilakukan, Administratur Waqf akan memproses pendaftaran tersebut dengan meneliti tindakan wakaf,
pertanggung jawaban dan objek wakaf. Pendaftarannya sendiri bisa dilakukan oleh
wakif, nazir (mutawalli) atau panitia wakaf. Ordinance juga dapat memberikan
sanksi kepada nazir yang tidak mendaftarkan wakafnya. Akan tetapi, hal itu tidak
berjalan, yang dibuktikan oleh banyaknya nazir yang tidak mendaftarkan harta
wakafnya dan mereka tetap bebas dari sanksi.
Kekayaan wakaf di Bangladesh merupakan sebuah potensi yang sangat besar
untuk dikembangan menjadi modal yang akan mendatangkan pendapatan,
sehingga dapat digunakan untk mendukung program kesejahteraan sosial di
bidang pendidikan, kesehatan dan sektor sosial lainnya. Dengan begitu, anggaran
belanja negara atau pemerintah untuk bidang-bidang tersebut dapat berkurang dan
dapat dialokasikan untuk kepentingan nasional lainnya. Konon, di Bangladesh,
pendapatan dari dana wakaf ini mencapai sedikitnya seratus juta Taka (70 Taka
sama dengan 1 US dollar) setiap tahun, yang sangat membantu kebutuhan
ekonomi kaum Muslim di negara tersebut.62
Jika wakaf dalam sejarah pernah memainkan peran penting untuk membiayai
layanan masyarakat dan negara, sektor wakaf di Bangladesh juga diharapkan
dapat berperan serupa. Sejauh ini, pendapatan dari investasi dan properti wakaf
telah dimanfaatkan untuk berbagai tujuan sesuai dengan ketentuan Islam, seperti
pembayaran gaji para guru, penyediaan makanan gratis, membantu para jamaah
haji, beasiswa bagi para mahasiswa, pengobatan dan layanan kesehatan gratis,
pendirian perpustakaan, pelatihan ketrampilan, modal perdagangan, di samping
untuk manfaat-manfaat tradisional seperti membantu pusat-pusat belajar Al-
Quran, masjid, madrasah, dakwah dan lain sebagainya.
Turki dapat dipandang sebagai negara yang sangat berpengalaman dalam
mengelola wakaf, terutama ketika Turki Utsmani berkuasa. Diduga kekayaan
wakaf di Turki hingga awal abad ke-20 mencapai tiga perempat bangunan dan
tanah yang dapat ditanami di seluruh wilayah kekuasaannya. Namun, Kemal
Attaturk naik ke tangga kekuasaan, administrasi wakaf di negeri mengalami
perubahan drastis. Ini terjadi bersamaan dengan dihapuskannya sistem khilafah
yang diganti dengan republik, dan dihilangkannya shaykh al-Isla>m, yang
sebelumnya berperan penting dalam masalah wakaf. Akibatnya, administrasi
wakaf dan seluruh kekayaannya disatukan ke dalam aparatur negara sekular,
Republik Turki.63
Dalam hal ini, masalah wakaf berada dalam wewenang
Direktorat Jenderal Wakaf di bawah Perdana Menteri. Selanjutnya, ketika hukum
sipil diterapkan secara efektif, wakaf kemudian digolongkan sebagai karitas
berdasarkan Charity Foundation Act No. 2767 tahun 1926.64
Akan tetapi, pada 1983, Pemerintah Turki membentuk kementerian khusus
yang menangani tata kelola wakaf, berikut peraturan-peraturan yang
62 Sadequr Rahman, Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com 63 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopedia of Islam
(Leiden: Brill, 2000), 9: 91. 64 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, eds., Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi
tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif
Hidayatullah, 2006), 50-51.
119
Bab IV
menyertainya. Misalnya, berdasarkan Hukum Sipil Pasal 77, ditetapkan bahwa
wakaf harus memiliki dewan manajemen. Selain itu disebutkan bahwa Direktur
Jenderal Wakaf berkewajiban melakukan pengawasan (Pasal 28), audit harus
dilakukan sekurang-kurang sekali dalam dua tahun, dan pengelola hanya
dibolehkan mengambil 5% dari hasil bersih wakaf yang dikelola dan lain
sebagainya.65
Sejauh ini, kekayaan wakaf di Turki yang dikelola oleh Dirjen Wakaf
mencapai jumlah 37.917 wakaf dengan berbagai jenis bidang. Ini meliputi 4.400
buah masjid, 500 asrama mahasiswa, 453 pusat perdagangan, 150 hotel, 5.348
toko, 2.254 apartemen dan jenis properti lain yang jumlahnya mencapai 24.809
buah. Bidang lain yang tak kalah menguntungkannya adalah investasi, di mana
dana wakaf diinvestasikan ke sejumlah perusahaan, seperti Ayvalik dan Ayden
Olive Oil Corp., Tasdelen Healthey Water Corp., Taksim Hotel (Sheraton), Wakaf
Guraba Hospital, Turkish Is Bank, Aydir Textile Industry, Black Sea Copper
Industry, Turkish Wakaf Bank dan lain sebagainya. Semua itu, dikelola dan
berada di bawah tanggung jawab Dirjen Wakaf.66
Upaya-upaya inovasi pun tetap dilakukan bagi pengembangan dan
peningkatan wakaf, di antaranya melalui sosialisasi. Untuk itu, Dirjen Wakaf
sejak 1983 menyelenggarakan pekan wakaf (charities week), di mana
penggalangan dana wakaf dari masyarakat dilakukan secara besar-besaran. Tradisi
ini kemudian dilanggengkan hingga sekarang, yang berlangsung pada setiap bulan
Desember. Dengan dana yang diperoleh dari wakaf ini, berbagai program sosial
dapat dilakukan, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Misalnya, sebuah
rumah sakit besar di kota Istanbul dibiayai oleh dana wakaf, dengan ribuah ruang
rawat dan ratusan dokter serta staf, sedangkan dalam bidang pendidikan dana
wakaf umumnya digunakan untuk membiayai pendidikan masyarakat melalui
beasiswa dan penyediaan asrama bagi mereka.67
Selain penggunaan untuk program-program jangka panjang, dana wakaf juga
dimanfaatkan untuk keperluan aksidental, salah satunya dikenal dengan imaret. Sebenarnya, imaret (dapur umum, soup kitchen) ini biasanya diselenggarakan oleh
penguasa ketika ia naik tahta pada masa Turki Utsmani.68
Namun, belakangan
tradisi ini dipertahankan oleh lembaga-lembaga wakaf, yang saat ini konon
berjumlah 22 di berbagai tempat. Dalam sehari, tidak kurang dari 1.500 orang
miskin dapat dilayani oleh satu imaret. Berbeda dengan program-program lain,
imaret memang sengajar difungsikan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang
miskin dan tidak berkaitan dengan problem-problem sosial umumnya.69
Di Mesir, tradisi dan praktik wakaf juga tak kalah menariknya. Tradisi wakaf
di negeri ini sudah berlangsung sangat lama, sejak masa ‘Amr ibn ‘A<s} hingga
pemerintahan Mamluk dan terus berlangsung ketika Turki Utsmani menguasai
daerah ini. Jumlah wakaf yang ada juga sangat banyak, baik dalam bentuk
bangunan maupun tanah pertanian. Lembaga pendidikan al-Azhar dapat dijadikan
65 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 51. 66 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 52. 67 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 52. 68 M. Berger, ‚Khayr,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 1997), 4: 1153. 69 Amy Singer, Constructing Ottoman Beneficence: An Imperial Soup Kitchen in Jerussalem
(Albany, NY: State University of New York Press, 2003); Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary,
Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 53.
120
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
sebagai contoh. Seluruh dana yang digunakan bagi penyelenggaraan pendidikan di
sini diperoleh dari hasil wakaf, yang anggarannya konon jauh lebih besar
ketimbang anggaran pemerintah dalam bidang pendidikan.70
Akan tetapi, perkembangan wakaf di negara ini juga mengalami masa-masa
surut, terutama ketika banyak properti wakaf mengalami nasionalisasi.
Berdasarkan UU Mesir No. 180 tahun 1952, wakaf keluarga (ahli, dzurri) dilarang,
dan kekayaan wakaf yang ada boleh dipertukarkan dengan yang lain (amwa>l al-badal) yang lebih bermanfaat. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 525 tahun 1954,
Kementerian Wakaf berwenang untuk mengalihkan wakaf keluarga ke dalam
administrasinya dengan syarat memberi kompensai yang semula memeroleh
manfaat darinya. Kemudian, nasionalisasi besar-besaran terjadi berdasarkan UU
No. 152 tahun 1957, yang menyatakan bahwa kepemilikan penuh seluruh tanah
pertanian yang terkait dengan wakaf harus didistribusikan sesuai dengan
reformasi agraria.71
Aset yang semula sebagai wakaf dan bersifat privat tiba-tiba
beralih menjadi milik pemerintah, sehingga jumlah wakaf berkurang. Ini terjadi,
antara lain, akibat Reformasi Hukum Agraria (Agrarian Law Reform) yang
dilakukan pada masa Pemerintahan Gamal Abdul Naser.72
Pendeknya, melalui
program nasionalisasi ini, pemerintah dapat menyita banyak tanah wakaf dan
selanjutnya didistribusikan kepada siapa yang dipandang mampu mengelolanya
oleh kementerian wakaf. Pada 1971, ditetapkanlah Undang-undang No. 80, di
mana sebuah departemen khusus mengenai wakaf dibentuk. Di antara tugas
departemen ini adalah bekerjasama dengan departemen lain dalam memeriksa
tujuan undang-undang dan kementerian wakaf, di samping mengusut dan
memanfaatkan wakaf.73
Terlepas dari perundang-undangan yang ada, tak diragukan lagi, wakaf di
Mesir tetap memainkan peran yang signifikan melalui berbagai upaya. Misalnya,
hasil harta wakaf yang dikelola nazir disimpan di bank sehingga dapat
berkembang. Lebih jauh, Departemen Wakaf menjalin kerjasama dengan sejumlah
pabrik, rumah sakit, bank perumahan dan lain sebagainya dengan
menginvestasikan dana-dana wakaf. Tanah-tanah yang kurang produktif diubah
menjadi lahan yang bisa dimanfaatkan, di samping membeli saham-saham
perusahaan yang dapat mendatangkan keuntungan. Hasil-hasil dari pengelolaan
tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan-kepentingan kesehatan,
keagamaan dan pendidikan.74
70 Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk
Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: PBB UIN Jakarta, 2003), xxvi. 71 A. Layish, ‚Wakf in the Modern Middle East and North Africa,‛ The Encyclopedia of Islam
(Leiden: Brill, 2000), 11: 79. 72 Lihat Ibra>hi>m al-Bayyu>mi> Gha>nim, al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r (Kairo: Da>r al-Shuru>q,
1998), 163-168; lihat juga Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for
Building Social Justice,‛ Makalah CSID 5th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004, 15. 73 Gha>nim, al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r, 165; Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary,
Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 57. 74 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 58.
121
Bab IV
b. Sistem Ekonomi dan Gagasan tentang Wakaf Tunai
Seperti dikemukakan A. Layish, salah satu sasaran reformasi wakaf pada
masa modern bersifat ekonomi dan berkaitan erat dengan sistem ekonomi.75
Salah
satu perkembangan penting dalam bidang ekonomi adalah sistem investasi yang
sangat berperan dalam setiap negara. Di sini, semakin tinggi investasi yang ada
dalam sebuah negara akan semakin kuat kemampuan pemerintah untuk
meningkatkan pendapatan nasionalnya. Jika pendapatan tersebut semakin tinggi
daripada laju pertumbuhan penduduk, pendapatan perkapita pun akan meningkat,
sehingga diharapkan kemiskinan dapat diatasi. Akan tetapi, investasi yang ada di
negara-negara Muslim sangat rendah, sehingga diperlukan dana asing, berupa
pinjaman. Bahkan, negara-negara Muslim pada akhirnya malah bergantung pada
pinjaman asing, sehingga lama-kelamaan semakin meningkat.76
Dari sistem itu kemudian lahir gagasan tentang wakaf tunai yang menjadi
faktor penting lain yang memengaruhi diajukannya RUU tentang Wakaf ke DPR
adalah munculnya gagasan baru tentang wakaf uang, sebuah gagasan yang kurang
memeroleh banyak perhatian dalam buku-buku fikih klasik umumnya. Adalah
M.A. Mannan, ekonom Bangladesh, yang mula-mula melemparkan gagasan
tentang wakaf uang tunai pada zaman modern. Disebut demikian, sebab dalam
sejarah Islam praktik wakaf uang tunai sudah terjadi di awal-awal Islam.
Misalnya, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Imam al-Zuhri—salah
seorang ahli hadis terkemuka—menganjurkan kepada masyarakat untuk
mewakafkan dinar dan dirham bagi pembangunan sarana dakwah, sosial dan
pendidikan. Hal itu bisa dilakukan dengan menjadikan dinar dan dirham itu
sebagai modal usaha, yang keuntungannya dapat dijadikan sebagai wakaf.77
Di
kalangan beberapa fuqaha sendiri, wakaf dalam bentuk uang perak dan emas
dibolehkan, namun ulama Hanafi umumnya sangat ketat dalam masalah wakaf
uang ini.78
Namun demikian, praktik wakaf uang sepanjang periode pra-modern
menemukan bentuknya yang paling nyata pada masa Turki Utsmani. Pada periode
ini, tidak sekadar wakaf benda yang bergerak, seperti buku, hewan dan
sebagainya, tetapi wakaf uang menjadi bagian penting dari sistem ekonomi yang
dibangunnya. Untuk memperkokoh legalitasnya, Ebu al-Su‘u>d (1545-1574),
shaykh al-Isla>m masa Sulaiman Agung, mengeluarkan fatwa yang membolehkan
wakaf uang, meskipun tidak bebas dari penolakan oleh ulama lain, seperti
Mehmed Birgewi (1520-1573). Argumen Birgewi, wakaf tunai akan melahirkan
uang bagi modal tersebut, di antaranya melalui bunga. Terlepas dari penolakan
ini, pengelola wakaf uang ini menyimpan uang tersebut di bank negara agar
menjadi produktif.79
Praktik semacam ini kemudian diterapkan juga di Mesir,
ketika imperium tersebut menguasai negeri ini, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
75 A. Layish, ‚Wakf in the Modern Middle East and Africa,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000),
11: 78. 76 Mustafa E. Nasution, ‚Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam,
ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 28-29. 77 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 5-6. 78 R. Peters, ‚Wakf in Classical Islam,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 60. 79 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill,
2000), 11: 89.
122
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Sejak itulah pembahasan mengenai wakaf uang di Mesir berkembang, meskipun
konon masalah serupa telah dibicarakan pada masa Dinasti Mamluk.80
Dengan kata lain, wakaf tunai yang ditawarkan oleh M.A. Manan ini
memiliki presedennya dalam sejarah Islam, yang dalam perkembangan terakhirnya
berlangsung pada masa Turki Utsmani, dan telah dipraktikkan di kota-kota dan
bahkan di wilayah-wilayah kekuasaannya di luar Turki.81
Ini diakui sendiri oleh ekonom Bangladesh itu. Akan tetapi, upayanya
menghidupkan kembali tradisi itu di zaman sekarang sungguh memiliki makna
yang signifikan. Ini terlihat dari ketertarikan sejumlah lembaga yang mencoba
memahami dan menerapkan gagasannya di luar Bangladesh, seperti Indonesia dan
tempat lainnya.82
Gagasan Manan ini sebenarnya telah diterapkan sejak 1995, bersamaan
dengan berdirinya Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Seperti bank umumnya,
SIBL bergerak dalam sektor perbankan korporasi formal dan non-formal. Namun,
satu sektor yang khas dari bank ini adalah layanannya dalam perbankan sektor
volunter Islam (Islamic voluntary sector banking). Di samping melayani sektor
volunter zakat, haji dan sebagainya—ini sudah banyak diberikan oleh bank-bank
Islam lain—bank ini memperkenalkan untuk pertama kali skema sertifikat wakaf
tunai (Cash Waqf Certificate), dengan tujuan pemberdayaan keluarga kaya bagi
investasi dan kesejahteraan sosial. Lebih jauh, penggunaan wakaf tunai sebagai
instrumen keuangan merupakan inovasi dalam sektor keuangan Islam, yang dapat
memberikan kesempatan khas untuk berinvestasi dalam berbagai layanan
keagamaan, sosial dan pendidikan. Dana yang diperoleh dari orang kaya dapat
digunakan untuk membeli sertifikat wakaf tunai, yang dari situ pendapatannya
dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti tujuan wakaf pada umumnya.83
Akan tetapi, berbeda dengan wakaf lainnya, yaitu wakaf properti, wakaf
tunai ini memiliki tingkat likuidasi yang tinggi. Maksudnya, wakaf uang mudah
ditransfer dalam bentuk tunai dalam waktu yang singkat dan dengan biaya yang
wajar, sedangkan wakaf properti membutuhkan waktu yang lama untuk diubah
menjadi dana tunai. Ini juga memudahkan kita untuk mengubah wakaf dari satu
bentuk ke bentuk lainnya. Karena itu, penggalangan dana melalui penjualan
sertifikat wakaf tunai memberikan signifikansi yang besar pada zaman sekarang.84
Lebih jauh, adanya wakaf tunai ini juga memberikan peluang yang lebar bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam wakaf. Jika wakaf harus dalam bentuk
80 Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000),
11: 65 dan 66. 81 Pembahasan tentang wakaf uang di Ottoman, lihat Murat Cizakca, ‚The Relevance of the
Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-Nuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A. Mannan (Jeddah: IRTI-IDB, 1416), 397 dan seterusnya; idem, ‚Awqa>f
in History and Its Implication for Modern Islamic Economics,‛ Islamic Economics Studies, 6: 1
(1998): 53-57. 82 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers: Mobilization Efforts of Cash-Waqf Fund
at Local, National and International Leves for Development of Social Infrastructure of the Islamic
Ummah and Establishmen of World Social Bank,‛ Makalah disampaikan pada International Seminar
on Awqaf 2008, ‚Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah,‛ Johor Bahru, 11-12
Agustus 2008. 83 Biro Perbankan Syariah BI, ‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai: Sebuah Kajian
Konseptual,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun
Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 89. 84 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛
123
Bab IV
properti, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang kaya, dan menutup
peluang bagi yang lain. Sebaliknya, jika sertifikat wakaf tunai dihargakan sebesar,
dalam praktik SIBL, 1.000 Taka, hal itu dapat dipenuhi oleh banyak anggota
masyarakat. Bahkan, kalau dihargakan di bawah itu, maka jumlah masyarakat
yang mampu membelinya akan semakin besar. Dari sudut ini, sertifikat wakaf
tunai dapat dipandang sebagai gerakan rekonstruksi dan pembangunan sosial yang
dapat diikuti oleh banyak masyarakat. Akan tetapi, upaya semacam itu tidak
dapat berhasil dengan baik kalau tidak dilakukan sosialisasi kepada masyarakat,
dengan menunjukkan bahwa wakaf tunai sangat penting dalam mentransfer dana
dari orang kaya kepada pengusaha dan anggota masyarakat untuk membiayai
berbagai layanan keagamaan, pendidikan dan sosial dalam negara. Dengan kata
lain, wakaf tunai bisa diharapkan membantu membangun generasi yang akan
datang.85
Menurut Manan, di negara-negara Muslim yang warganya tidak dikenai
pajak penghasilan, wakaf tunai dapat dipandang sebagai kewajiban sosial sebagai
pengganti pajak, yang dapat digunakan bagi pembiayaan pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan sosial. Dalam hal ini, kemauan politik pemerintah sangat
menentukan. Di samping itu, wakaf tunai dapat dimanfaatkan sebagai investasi
strategis guna mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi, termasuk di
dalamnya pendidikan, kesehatan dan riset. Dengan berpartisipasi dalam wakaf
tunai, masyarakat dapat memberikan kontribusi tidak saja bagi pengembangan
kerja pasar modal sosial, tetapi juga andil dalam investasi sosial yang permanen.
Mengingat wakaf tunai dilakukan sekali untuk selamanya, bank dapat dengan
aman dapat menginvestasikan dana wakaf itu dalam investasi jangka pendek
(seperti kredit mikro dan usaha mikro untuk mengurangi kemiskinan), investasi
jangka menengah (seperti industri perhotelan, industri menengah dan sebagainya)
dan investasi jangka panjang (seperti industri berat atau pabrik-pabrik dan lain-
lain). Kegiatan investasi ini akan melahirkan terciptanya peluang kerja baru, yang
dapat menyerap banyak pengangguran untuk mencari mata pencaharian dan
dengan begitu juga mendorong tercapainya kemajuan sosial.86
Sebenarnya, tidak sedikit dari kalangan orang kaya yang ingin membeli
wakaf tunai demi kebaikan umum, yang secara otomatis juga akan berguna bagi
keturunan mereka. Namun, mereka tidak menemukan sistem pengelolaan sesuai
yang diharapkan. Dalam konteks seperti ini, SIBL memberikan dukungan
institusional yang diperlukan dan membuka peluang bagi pembukaan rekening
deposit wakaf tunai untuk mencapai sasaran sebagai berikut:
1. Memberikan layanan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf
tunai dan membantu manajemen wakaf;
2. Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan dana sosial menjadi
modal;
3. Memberikan manfaat bagi publik, terutama sektor masyarakat miskin dari
sumber-sumber yang diperoleh dari orang kaya;
4. Menciptakan kesadaran di kalangan orang kaya tentang tanggung jawab
mereka terhadap masyarakat;
5. Membantu mengembangkan pasar modal sosial;
85 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛ 86 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛
124
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
6. Membantu keseluruhan upaya pembangunan negara dan menciptakan
integrasi keamanan sosial dan kedamaian sosial.87
Secara umum, tata cara operasional sertifikat wakaf tunai yang diberlakukan
di SIBL adalah sebagai berikut:
1. Wakaf tunai harus diterima sebagai sumbangan yang sejalan dengan syariah.
Bank harus mengelola wakaf tersebut atas nama wakif;
2. Wakaf dapat dilakukan berulangkali dan rekening yang dibuka sesuai dengan
nama yang diberikan wakif;
3. Wakif memiliki kebebasan untuk memilih tujuan wakaf yang oleh bank telah
diidentifikasi, atau yang belum diidentifikasi yang sesuai dengan syariah;
4. Dana wakaf tunai akan mendapat keuntungan pada tingkat tertinggi sesuai
dengan yang ditawarkan oleh bank dari waktu ke waktu;
5. Dana wakaf akan tetap dan hanya dana yang berasal dari keuntungan yang
akan disalurkan kepada sasaran yang dipilih wakif. Jika belum sempat
dibagikan, secara otomatis dana keuntungan itu akan digabungkan ke dana
wakaf yang sudah ada;
6. Wakif juga dapat meminta bank menyalurkan seluruh keuntungan yang
diperoleh kepada sasaran yang ditentukan olehnya;
7. Wakif mempunyai kesempatan memberikan wakaf tunai sepanjang waktu;
8. Wakif juga berhak memerintahkan bank untuk mengambil dana wakaf dari
rekening lainnya di SIBL;
9. Wakaf tunai harus diterima dalam bentuk voucher wakaf khusus dan
sertifikat untuk seluruh nilai harus ditetapkan ketika jumlah tersebut
dinyatakan;
10. Prinsip-prinsip dan ketentuan berdasarkan syariah tentang wakaf tunai dapat
diamandemen dan ditinjau dari waktu ke waktu.88
Wakaf tunai yang digagas oleh Manan dan penerapannya dalam SIBL ini
sangat berpengaruh bagi bergulirnya wakaf tunai di Indonesia, seperti akan
diuraikan berikut ini.
2. Internal
Selain faktor-faktor eksternal yang disebutkan di atas, faktor-faktor internal
justru sangat signifikan, di antaranya berkaitan dengan hukum, ekonomi dan
politik.89
a. Pertimbangan Ekonomi dan Kesejahteraan
Faktor internal pertama yang sangat menonjol yang mendorong diajukannya
RUU Wakaf adalah masalah ekonomi dan kesejahteraan. Sejak 1997, Indonesia
ditimpa oleh krisis, yang bermula dari krisis ekonomi dan kemudian mengarah
pada krisis politik. Dari sini, akhirnya muncul apa yang disebut krisis multi-
dimensi. Krisis ekonomi ini ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan
kerja, bertambahnya jumlah penduduk miskin, bahkan di bawah garis kemiskinan,
serta rendahnya investasi dan lain sebagainya. Sementara itu, pihak yang
87 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛ 88 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers‛; lihat juga Biro Perbankan Syariah BI,
‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai,‛ 100-102. 89 Bandingkan Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda
Kemanusiaan, 84.
125
Bab IV
tergolong ke dalam kategori miskin ini adalah orang-orang Islam. Kondisi ini
berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan
keadilan sosial.90
Sebenarnya, optimisme terhadap potensi wakaf yang diyakini
mampu mendorong kesejahteraan juga menjadi latar belakang pengundangan
wakaf di beberapa negara.91
Pada saat yang sama, wakaf sebagai pranata keagamaan di Indonesia juga
sangat besar jumlahnya. Hingga 2002, jumlah wakaf yang ada di Indonesia
mencapai 359.462 lokasi dengan luas keseluruhan 1.472.047.607 M2. Jumlah ini
tentu sangat potensial untuk dikembangkan secara produktif sehingga dapat
memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Di samping itu, sejarah
menunjukkan bahwa wakaf terbukti telah menjadi sumber penting bagi
penyebaran Islam di negara ini dan terus berperan hingga saat ini. Hal itu bisa
dilihat dari berdirinya sejumlah rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam, sarana
sosial dan lain sebagainya, yang semuanya dibiayai dari dana wakaf.92
Dengan demikian, aset wakaf di Indonesia memiliki peluang dan prospek
yang sangat positif bagi kesejahteraan masyarakat. Apalagi jika pengelolaannya
diarahkan pada kegiatan investasi dan ekonomi produktif, maka wakaf akan
menjadi sumber yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan
masyarakat, sebagaimana hal itu telah diwujudkan di sejumlah negara, seperti
Mesir, Arab Saudi, Turki, Bangladesh, Malaysia dan sebagainya.93
Bahkan di
sejumlah negara, wakaf telah menjadi kontribusi penting bagi anggaran belanja
negara, sehingga memeroleh penanganan khusus dari negara dengan dibentuknya
kementerian khusus yang membidanginya.94
Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, aset wakaf justru sering terlantar dan
kurang dikembangkan secara sungguh-sungguh. Ini tidak semata-mata disebabkan
oleh nilai wakaf itu sendiri, tetapi yang sering terjadi justru dikarenakan tidak
profesionalnya para pengelola atau nazir wakaf. Bagaimana tidak, para nazir
wakaf umumnya adalah orang-orang yang menangani wakaf yang diamanatkan
kepadanya hanya dengan waktu yang tersisia, dan tidak menempatkan masalah
wakaf sebagai prioritas kewajibannya. Ini bisa dimengerti mengingat mengelola
wakaf juga tidak mendatangkan apa-apa, selain harapan pahala dari Tuhan.
Dengan kata lain, keikhlasan adalah modal utama para nazir dalam mengelola
wakaf. Dampaknya, wakaf tidak pernah dipikirkan agar berkembang menjadi aset
yang produktif yang tidak hanya bermanfaat bagi nazir, tetapi juga bagi
masyarakat luas.
Karena itu, dalam RUU tentang Wakaf bagian ‚menimbang‛ disebutkan
bahwa wakaf sebagai ‚lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat
ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan
90 Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf dalam Rangka
Membangun Kesejahteraan Masyarakat,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E.
Nasution dan Uswatun Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 17. Tulisan
ini semula adalah sambutan yang disampaikan yang bersangkutan saat menjadi Menteri Agama dalam
Seminar ‚Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam,‛ di UI, 10 November 2001. 91 Lihat, misalnya, Mah}mu>d Ah}mad Mahdi, ed., Niz}a>m al-Waqf fi al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah:
IDB-IRT, 2000). 92 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 24. 93 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 25. 94 Azim Nanji, ‚Waqf,‛ dalam The Encyclopedia of Religion, ed. in-chief Lindsay Jones (New
York: Thomson, 2005), 14: 9678.
126
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
kesejahteraan umum.‛95
Sementara itu, dalam penjelasan dikemukakan bahwa
salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana terkandung
dalam UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum, yang salah satu cara
untuk mewujudkannya adalah dengan menggali dan mengembangkan potensi yang
terdapat dalam lembaga keagamaan yang memiliki manfaat ekonomi.96
Di sini,
wakaf merupakan bidang yang patut diperhitungkan untuk ditingkatkan perannya.
Jika selama ini wakaf semata-mata berperan sebagai lembaga keagamaan yang
berhubungan dengan ibadah, maka aspek ekonominya harus dikembangkan.
Wakaf diyakini dapat menjadi potensi ekonomi yang dapat membantu tercapainya
kesejahteraan umum seperti disebutkan di atas asalkan dikembangkan
pemanfaatannya dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariah.
Pertimbangan dan penjelasannya ini kemudian ditetapkan dalam Undang-undang
yang ada saat ini.97
Agar wakaf dapat berkembang dengan baik dan bisa memberikan kontribusi
bagi kesejahteraan masyarakat, maka RUU ini mencanangkan adanya Badan
Wakaf Indonesia, yang bertugas di antaranya: membina dan mengawasi nazir
dalam pengelolaan wakaf, melakukan pengelolaan wakaf berskala internasional,
memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan wakaf, dan memberikan saran
kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang wakaf.98
Dengan
adanya BWI ini diharapkan pengelolaan wakaf menjadi produktif dan tujuannya
dapat direalisasikan, yaitu kesejahteraan masyarakat.
Menteri Agama saat itu, Said Aqil Husin Al-Munawar, menyatakan bahwa
jika jumlah wakaf yang ada di Indonesia saat ini dikaitkan dengan negara yang
sedang mengalami krisis multi-dimensi, termasuk krisis ekonomi, wakaf
merupakan sebuah lembaga Islam yang patut dikembangkan dengan sungguh-
sungguh. Dalam keyakinannya, wakaf yang dikelola dengan baik dapat banyak
membantu masyarakat yang kurang mampu.99
Dengan demikian, faktor ekonomi menjadi dorongan penting diajukannya
RUU tentang wakaf, mengingat negara juga sedang dalam krisis. Harapannya
adalah bahwa wakaf dapat memberikan kontribusi bagi negara dengan upaya
menyejahterakan masyarakat, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara.
b. Pertimbangan Peraturan Yang Kurang Memadai
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, peraturan dan ketentuan tentang
wakaf telah banyak dikeluarkan, sesuai dengan lembaga yang terkait dengan
wakaf. Akibatnya, peraturan dan ketentuan itu tidak integral, yang kemudian
menimbulkan kebijakan saling tumpang tindih dan terpisah-pisahnya peraturan itu
dalam pelaksanaan. Dalam situasi perundangan peraturan yang demikian itu, sulit
diharapkan pengelolaan dan pemanfaatan wakaf akan berkembang dengan baik.
Karena itu, pemerintah memandang perlu adanya sebuah undang-undang yang
dapat memayungi seluruh peraturan wakaf secara lebih kokoh.100
95 Lihat ‚RUU tentang Wakaf,‛ 5. 96 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 13. 97 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 13. 98 Lihat RUU tentang Wakaf Pasal 47 dan 49. 99 Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,‛ 19. 100 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 3.
127
Bab IV
Di samping itu, pengaturan hukum yang tidak integral ini juga pada
gilirannya menimbulkan ketidakpastian jaminan dan perlindungan rasa aman,
terutama bagi wakif, nazir dan objek wakaf itu sendiri. Wakaf hanya dikelola
seadanya, tanpa semangat untuk mengembangkan dengan sungguh-sungguh oleh
pihak pengelola. Ini dibarengi dengan tidak adanya sanksi yang tegas bagi
pengelola wakaf yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga tidak
jarang terjadi penyelewengan dan penyimpangan dalam pengelolaan. Kalaupun
benar-benar terjadi penyimpangan, hukuman yang diberikan tidak sampai ke
tingkat pidana.
Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa peraturan yang ada selama ini
hanya berkisar seputar benda tak bergerak, baik berupa tanah ataupun gedung dan
sebagainya. Tentu, peraturan seperti itu,sudah jauh tertinggal mengingat
perkembangan pengelolaan di tempat lain sudah mencapai tingkat wakaf tunai,
seperti telah disinggung sebelumnya. Pada saat yang sama, praktik wakaf tunai ini
ternyata sudah dipraktikkan di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Dompet
Dhuafa Republik (DDR), Pos Keadilan Peduli Umat, UII Yogyakarta dan lain
sebagainya. Bahkan, terbukti melalui wakaf tunai ini mereka telah berhasil
merealisasikan program pelayanan kesehatan dengan ambulan keliling, yang
dikenal dengan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma serta mendirikan sekolah Smart Excelensia.
101
Bukan hanya wakaf uang tunai yang tidak tertampung dalam peraturan
perundang-undangan di atas, tetapi juga hak intelektual, saham dan surat-surat
berharga lainnya. Padahal, semua yang disebutkan terakhir ini memiliki nilai yang
signifikan dalam sistem perekonomian dan perbankan. Bahkan, seperti disebutkan
oleh Manan di atas, wakaf tunai, saham dan surat berharga tersebut lebih mudah
dilikuidasi atau ditransfer dalam bentuk dana tunai ketimbang benda wakaf tak
bergerak. Karena itu, RUU yang diajukan dimaksudkan untuk mengakomodasi
objek-objek wakaf yang baru, termasuk di antaranya logam mulia.102
Fakta lain menunjukkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui
Komisi Fatwa-nya, telah mengeluarkan fatwa tertanggal 28 Shafar 1423/11 Mei
2002, yang menyatakan wakaf uang tunai itu sah menurut hukum Islam. Fatwa ini
keluar sebagai respons atas wacana tentang wakaf uang, di samping sebagai
jawaban atas permintaan resmi dari Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf
Departemen Agama. Dalam konsiderannya, fatwa tersebut menyatakan bahwa
wakaf selama ini dipahami hanya terkait dengan benda tak bergerak, sedangkan
uang memiliki fleksibilitas dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh objek
wakaf yang tidak bergerak, sehingga diperlukan sebuah fatwa tentang wakaf uang
tunai.103
Landasan pertama fatwa tersebut adalah QS A<li ‘Imra>n (3): 92 dan al-
Baqarah (2): 261-2 dan hadis-hadis tentang shadaqah jariyah dan wakaf ‘Umar.
Selain itu, pendapat dari mazhab fikih juga dirujuk, seperti H{anafi> awal, Sha>fi‘i>,
dan pandangan serta pendapat rapat Komisi Fatwa. Berdasarkan itu semua, fatwa
ini menyatakan bahwa:
101 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 2. 102 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 43. 103 Lihat ‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11 Mei
2002.
128
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
1. Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang,
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai;
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga;
3. Wakaf uang hukumnya boleh (jawa>z);
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
dibolehkan secara shar‘i>; 5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,
dihibahkan, dan atau diwariskan.104
Faktor lain yang terkait dengan hukum adalah Undang-undang No. 25 Tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 yang
didasarkan atas Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004. Disebutkan dalam undang-undang ini bahwa arah
kebijakan pembangunan hukum harus dilakukan dengan menata sistem hukum
nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum
agama dan adat. Mengingat wakaf telah dijalankan sejak lama di Indonesia,
sementara aturan perundang-undangannya masih tercecer di berbagai ketentuan,
maka pengajuan RUU Wakaf ini diharapkan dapat mengatasi persoalan
tersebut.105
Karena itu, ditegaskan dalam RUU tentang Wakaf bagian menimbang bahwa
‚wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan
dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan.‛106
Lebih jauh dikemukakan dalam
penjelasannya bahwa praktik wakaf yang selama ini berjalan belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus wakaf tidak dipelihara
sebagaimana seharusnya, bahkan tidak sedikit berpindah tangan dengan cara
melawan hukum. Karena ketidaktertiban hukum ini, maka diperlukan suatu
unifikasi hukum agar wakaf dapat dilindungi sesuai dengan tujuan, fungsi dan
peruntukan wakaf.107
Dalam penjelasan pula dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
ada tentang wakaf juga hanya berkisar seputar wakaf benda tidak bergerak, seperti
tanah dan bangunan. Karena itu, diperlukan undang-undang yang dapat
menampung benda wakaf yang tidak bergerak seperti uang, logam mulia, surat
berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak
lainnya.108
Satu hal menarik yang patut dicatat di sini adalah bahwa RUU ini
menyebutkan hak kekayaan intelektual dapat dijadikan sebagai objek wakaf. Akan
tetapi, berbeda dengan wakaf tunai yang telah memiliki justifikasi keagamaannya
melalui fatwa MUI, dibolehkannya wakaf hak kekayaan intelektual ini belum
dikeluarkan fatwanya oleh MUI. Sebab, fatwa yang terkait dengan yang terakhir
ini baru dikeluarkan setelah disahkannya Undang-undang tentang Wakaf, yaitu
pada 21 J. Akhir 1426/28 Juli 2005. Dalam fatwa ini disebutkan bahwa hak
104 Lihat ‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11 Mei
2002. Bandingkan dengan Murat Cizakca, ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-Nuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ 397-401; idem, ‚Awqa>f in History and Its Implication for
Modern Islamic Economics,‛ 53-57. 105 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 28. 106 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 5. 107 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 14. 108 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 14-15.
129
Bab IV
kekayaan intelektual yang diwakafkan tidak dapat diwariskan, seperti objek-objek
wakaf lainnya.109
Terlihat di sini bahwa RUU ini memiliki pandangan jauh ke
depan, dan mungkin telah dipikirkan oleh para perancangnya akan nilai penting
hak kekayaan intelektual, sehingga dimasukkan sebagai salah satu objek wakaf.
Ini juga mengisyaratkan bahwa para perancang telah memiliki argumen-argumen
religius yang bisa dipertanggungjawabkan, meskipun tidak disebutkan secara
eksplisit dalam RUU tersebut, mengingat semangat undang-undang ini adalah
didasarkan pada aturan syar‘i.
Terlepas dari persoalan wakaf hak kekayaan intelektual ini, terlihat bahwa
peraturan perundang-undangan mengenai wakaf terbukti jauh tertinggal dengan
praktik wakaf itu sendiri. Dengan alasan inilah pemerintah menyalurkan aspirasi
masyarakat dengan mengajukan RUU ke DPR untuk dibahas dan memeroleh
pengesahan.
c. Pertimbangan Politik
Selain pertimbangan ekonomi dan kesejahteraan serta hukum, faktor politik
juga tidak dapat diabaikan. Undang-undang merupakan hasil interaksi antara
kekuasaan dan kepentingan, yang dapat juga disebut ‚kebijakan.‛110
Menurut
Moh. Mahfud MD, setiap undang-undang tidaklah lahir dari satu pihak, tetapi
merupakan sebuah produk politik.111
Karena itu, setiap undang-undang yang
dihasilkan selalu berdimensi politik. Dengan demikian, RUU Wakaf juga
dipastikan memiliki dimensi politik.
Seperti telah disinggung sebelumnya, praktik wakaf uang tunai sebenarnya
telah berjalan di kalangan masyarakat, meskipun belum ditemukan dalam
peraturan perundang-undangan yang ada. Ini mendorong masyarakat, terutama
para pengelola wakaf tunai, menyampaikan aspirasi mereka kepada Departemen
Agama supaya memberikan jaminan hukum atas aktivitas mereka. Sebelumnya,
pada awal 2001, Bank Muamalat Indonesia mengundang M.A. Manan untuk
menyampaikan paparan tentang wakaf uang tunai dan praktiknya di SIBL
Bangladesh, sehingga diperoleh gambaran bagaimana sesungguhnya skema wakaf
ini. Pada November 2001, Bank Muamalat kembali mengundang ekonom
Bangladesh ini sebagai nara sumber dalam Training of Trainers (TOT) selama
satu pekan. Menurut Manan, ini merupakan training pertama yang
diselenggarakan di luar Bangladesh tentang wakaf tunai.112
Hanya selang beberapa hari setelah itu, tepatnya pada 10 November 2001,
Program Studi Timur Tengah dan Islam, UI, menyelenggarakan seminar tentang
‚Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Umat.‛ Dalam sambutannya, Menteri Agama, Said
Aqil Husin Al-Munawar, mengemukakan gagasannya untuk membentuk Badan
Wakaf Nasional, agar perwakafan di Indonesia dapat dikembangkan menjadi
produktif dan bernilai ekonomis, sehingga lebih terasa manfaatnya terutama di
saat-saat krisis seperti yang dialami Indonesia saat ini. Mengingat belum ada
undang-undang yang dapat mengakomodasi lembaga ini, maka ia cukup
109 Lihat ‚Keputusan Fatwa MUI No. I/MUNAS/VII/MUI/5/2005. 110 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet.
ke-14, 49. 111 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 14. 112 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛
130
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
ditetapkan melalui Keputusan Presiden, dan kalaupun tidak, cukup dengan
Keputusan Menteri Agama.113
Gagasan tentang wakaf tunai dan pembentukan BWN pun terus bergulir.
Pada 7-8 Januari 2002 di Asrama Haji Batam, misalnya, diadakan workshop
internasional tentang ‚Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Wakaf Produktif‛
yang diselenggarakan atas kerjasama antara International Institute of Islamic
Thought dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama. Acara ini dihadiri oleh berbagai
kalangan dari perguruan tinggi, LSM dan Majelis Ulama Indonesia. Salah satu
rekomendasi penting yang diberikan oleh workshop ini adalah perlu dibentuknya
Badan Wakaf Indonesia, bukan Badan Wakaf Nasional, seperti sebelumnya telah
dikemukakan Menteri Agama.114
Seminar internasional tentang wakaf kembali digelar di Universitas Islam
Sumatera Utara pada 6-7 Januari 2003, dengan menghadirkan sejumlah pakar
wakaf dari berbagai negara, seperti M.A. Mannan, Monzer Kahf dan Sudin
Haroun, di samping beberapa pakar nasional. Dari sinilah kemudian dibentuk tim
pembahas RUU tentang Wakaf, yang terdiri atas Uswatun Hasanah, Mustafa
Edwin Nasution dan Agustianto.115
Meskipun wacana wakaf uang tunai ini telah bergulir cukup lama, MUI baru
mengeluarkan fatwa tentang masalah ini pada 11 Mei 2002, sebagai respons atas
surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama No.
Dt.1.III/5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal 26 April 2002, yang isinya berupa
permintaan fatwa tentang wakaf uang tunai.116
Dalam fatwanya, Komisi Fatwa
MUI menyebutkan bahwa setelah mempertimbangkan berbagai pendapat ulama
dan permintaan Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf, wakaf uang
diperbolehkan (jawaz).117
Dengan demikian, fatwa tersebut lahir sebagai jawaban
atas permintaan Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf, bukan karena
permintaan masyarakat. Atau setidak-tidaknya, Direktorat Pengembangan Zakat
dan Wakaf menjadi saluran bagi masyarakat untuk meminta fatwa kepada MUI.
Sementara itu, untuk menindaklanjuti rekomendasi workshop di Batam,
Menteri Agama, melalui suratnya No. MA/320/2002 tertanggal 5 September
2002, mengusulkan secara langsung kepada Presiden Megawati Soekarnoputri
agar dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) berdasarkan Keputusan Presiden.
Argumen yang mendasari pengajuan dibentuknya lembaga ini adalah
perkembangan wacana wakaf tunai dan rekomendasi workshop di Batam, di
samping fatwa MUI.118
Departemen Agama sendiri, memiliki kepentingan untuk mengembangkan
pengelolaan zakat dan wakaf secara lebih baik, sehingga memandang perlu
memisahkan dua direktorat tersebut. Alasannya adalah substansi bidang tersebut
berbeda dan diperlukan perumusan kebijakan yang berbeda. Dalam hal ini
113 Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,‛ 22. 114 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 16. 115 Wawancara dengan Mustafa Edwin Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. Lihat juga
Agustianto, ‚Wakaf Uang dan Peningkatan Kesejahteraan Umat,‛ dalam http://zonaekis.com/wakaf-
uang-dan-peningkatan-kesejahteraan-umat (diakses 20 Januari 2011). 116 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 9. 117 Lihat Fatwa MUI tentang tentang Wakaf Uang. 118 Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 16.
131
Bab IV
pemerintah perlu memberikan penanganan yang memadai agar potensi kedua
bidang ini dapat ditingkatkan bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Sebagai perbandingan, di beberapa negara malah dibentuk
kementerian khusus yang digabungkan dengan urusan haji (wiza>rat al-h}ajj wa al-awqa>f). Untuk memenuhi tujuan tersebut, Menteri Agama pada 17 Oktober 2002
menyampaikan surat kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara melalui
surat No. MA/364/2002 tentang usulan peningkatan organisasi zakat dan
wakaf.119
Gagasan legislasi wakaf ini sendiri mendapat reaksi positif dari Megawati,
yang menggantikan Abdurrahman Wahid. Seperti dimaklumi, naiknya Wahid
sebagai presiden menunjukkan kekuatan besar politik Islam yang, meskipun tidak
memeroleh suara mayoritas dalam Pemilu, dapat mengalahkan kekuatan partai
pemenang Pemilu, yaitu PDI-Perjuangan.120
Melalui kelompok ‚Poros Tengah,‛
yang menyatukan kekuatan suara Islam dalam partai-partai, Wahid akhirnya
terpilih sebagai presiden, sementara M. Amien Rais sebagai ketua MPR dan
Akbar Tanjung sebagai ketua MPR. Tidak heran sebagian orang menyebut
Indonesia saat itu merupakan ‚negara santri‛121
atau di bawah kepemimpinan
Muslim par excellence,122 mengingat Wahid adalah Ketua PBNU, Amien Rais
mantan Ketua PP Muhammadiyah dan Akbar Tanjung sebagai mantan Ketua
Umum HMI.
Penolakan terhadap Megawati sebelumnya telah terjadi karena, dalam
pandangan sebagian partai Muslim, kepemimpinan perempuan tidak dapat
diterima dalam Islam. Penolakan itu juga terjadi ketika partai yang dipimpinnya
banyak mendaftarkan calon legislatif yang berlatar belakang agama Kristen. Ini
menimbulkan kekhawatiran di kalangan politisi Muslim kalau-kalau pemerintahan
Megawati akan mengarah pada sekularisme, sehingga kepentingan Islam tidak
akan terakomodasi.123
Penolakan itu juga mengemuka dalam Kongres Umat Islam
II, yang diselenggarakan menjelang Pemilu 1999.124
Akan tetapi, setelah Wahid dijatuhkan oleh MPR melalui sidang istimewa,
kekuatan politik Islam berbalik mendukung Megawati sebagai presiden dan
Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Bahkan, dukungan itu melebihi yang
diberikan kepada dua presiden sebelumnya, Habibie dan Wahid, meskipun kinerja
kepemimpinan Megawati tidak jauh lebih baik ketimbang dua yang terakhir ini.125
119 Lihat Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 230-231. 120 Marcus Mietzner, ‚Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati dan Pergulatan Perebutan
Kursi Kepresidenan,‛ dalam Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis,
ed. Chris Manning dan Peter van Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. (Yogyakarta: LKiS, 2000),
55. 121 Hajriyanto Y. Thohari, ‚Negara Santri: Menengok Tesis Cak Nur,‛ Kompas, Senin, 13
Desember 1999. Sebenarnya, istilah ‚negara santri‛ ini semula dikemukakan oleh Nurcholish Madjid,
yang melihat santrinisasi atau diterimanya kaum santri oleh masyarakat dan negara dalam berbagai
posisi penting. Lihat Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), 61-62.
122 Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta-
Singapore: Solstice Publishing, 2006), 5. 123 Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy, 33. 124 Eep Saefulloh Fatah, Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999 (Bandung:
Mizan, 2000), 175. 125 Hajrijanto Y. Thohari, Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis (Jakarta:
Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005), 47-48.
132
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Karena itu, berbeda dengan kepemimpinan dua santri ini, yang selalu penuh
gejolak, kepemimpinan Megawati nyaris tanpa gejolak politik.
Di samping itu, ‚sikap menyepelekan‛126
kekuatan politik Islam yang
ditunjukkan PDI-P sebelum sidang MPR 1999 tampaknya menjadi pelajaran
penting bagi Megawati. Karenanya, sepanjang pemerintahannya, bukannya
konfrontatif terhadap kepentingan Islam, ia sangat sensitif terhadap masalah-
masalah keislaman dan cenderung diam atau hati-hati dalam membuat pernyataan
yang berkaitan dengan Islam.127
Seperti RUU tentang Pengelolaan Zakat, yang diajukan pemerintah
menjelang Pemilu 1999, RUU tentang Wakaf ini juga diajukan menjelang Pemilu
2004. Sebagai presiden yang hendak mencalonkan kembali, Megawati ingin
memeroleh dukungan dari suara Islam, sehingga kepentingan umat Islam tentu
tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika pengesahan RUU tentang Pengelolaan Zakat
dipandang sebagai jalan untuk meraih suara umat Islam, hal itu juga berlaku bagi
pengajuan dan pengesahan RUU tentang Wakaf. Ini terlihat dari respons presiden
terhadap kedua surat Menteri Agama kepada Presiden dan Menpan di atas, yang
tidak memeroleh tanggapan secara langsung, tetapi justru mendapatkan saran agar
Menteri Agama menyampaikan surat Prakarsa Penyusunan RUU Wakaf.128
Dari uraian di atas terlihat bahwa pemerintah—sebagai inisiator RUU—
memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan wakaf sebagai sumber produktif,
yang dapat membantu negara bagi kesejahteraan rakyat. Wakaf sebenarnya adalah
persoalan agama, tetapi karena ia memiliki nilai ekonomis, pemerintah pun
berkepentingan untuk mengembangkannya, apalagi negara sendiri sedang
menghadapi krisis ekonomi. Karena itu, upaya ini dapat menguntungkan kedua
belah pihak. Di satu sisi, melalui undang-undang ini diharapkan lembaga
keagamaan yang disebut wakaf ini dapat berkembang dan, di sisi lain, jika
berkembang dengan baik, maka wakaf akan memberikan kontribusi bagi
kesejahteraan rakyat, yang pada dasarnya merupakan tugas utama negara. Yang
juga tidak bisa diabaikan adalah kepentingan politik presiden dengan pengajuan
RUU tersebut untuk dijadikan sebagai undang-undang. Dengan kata lain,
semangat pengajuan ini didorong oleh keinginan untuk saling menguntungkan
kedua belah pihak, di mana umat Islam diuntungkan dengan adanya undang-
undang ini, sementara pemerintah akan mendapatkan hal sebanding jika undang-
undang itu terlaksana dengan baik.
C. Konfigurasi Politik Legislasi RUU Wakaf
Seperti disebutkan dalam bab sebelumnya, ‚legislasi‛ sering diartikan
‚pembuatan undang-undang‛ (law-making atau statute-making). Rousseau,
misalnya, mendefinisikan legislasi sebagai ‚an expression of the general will, such
that a free people is only bound by the laws which they have made for
themselves,‛129
sementara dalam Black’s Law Dictionary, legislasi didefinisikan
126 Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam (Bandung: Mizan, 2000), 213. 127 Azyumardi Azra, ‚Southeast Asian Islam in the Post-Bali Bombing: Debuking the Myth,‛
dalam Indonesian Today: Problems and Perspectives, ed. Norbert Eschborn, Sabrina Hackel and Joyce
H. Richardson (Jakarta: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004), 157. 128 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 232-237. 129 Dikutip dalam John Bell, Sophie Boyron dan Simon Whittaker, Principles of French Law
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 14.
133
Bab IV
dengan ‚the process of making or enacting a positive law in written form,
according to some type of formal procedure, by branch of government constituted
fo perform this process.‛130
Pengertian yang lebih luas tentang legislasi diberikan
dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yaitu ‚Proses pembuatan peraturan perundang-undangan
yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.‛131
Sesuai dengan UUD 1945, presiden atau pemerintah dapat mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR untuk dibahas dan disahkan, sebagaimana
juga DPR memiliki hak inisiatif untuk mengajukan RUU. Dalam konteks wakaf,
pemerintah merupakan pihak yang berinisiatif mengajukan RUU, dengan
Departemen Agama sebagai penanggungjawabnya. Meskipun demikian, inisiatif
pemerintah ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari aspirasi masyarakat yang
tengah berkembang saat itu.
Atas saran dari Sekretariat Negara, Menteri Agama kemudian
menyampaikan surat kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No.
MA/451/2002 tanggal 27 Desember 2002. Surat ini berisi permohonan izin
prakarsa Penyusunan RUU Perwakafan, dan mendapat persetujuan. Ini dibuktikan
dengan terbitnya surat Menteri Agama kepada Presiden dengan No. MA/25/2003
tertanggal 24 Januari 2003, yang berisi permohonan persetujuan Prakarsa
Penyusunan RUU Wakaf.132
Permohonan ini ternyata memeroleh jawaban positif
dari Presiden, yang disampaikan melalui surat Sekretaris Negara No. B.61
tertanggal 7 Maret 2003. Dalam surat ini, Menteri Agama diminta segera
menindaklanjutinya dengan membicarakan terlebih dahulu bersama instansi
terkait dan disesuaikan dengan Kepres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Mempersiapkan RUU.133
Menindaklanjuti surat persetujuan ini, Menteri Agama pada 30 April 2003
menerbitkan Surat Keputusan No. 258 Tahun 2003 tentang Pembentukan Tim
Penyusun RUU Wakaf yang diketuai oleh Drs. H. Taufiq Kamil, Direktur Jenderal
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Adapun tugas pokok tim ini meliputi: (1)
mempersiapkan dan menyusun draft RUU tentang Wakaf, (2) mempersiapkan
bahan penjelasan Pemerintah kepada DPR, dan (3) melaporkan pelaksanaan tugas
kepada Menteri Agama. Dilihat dari komposisinya, tim ini merupakan gabungan
dari pihak Departemen Agama, Kementerian Kehakiman dan HAM serta pakar
dari perguruan tinggi dan lain sebagainya.134
Langkah pertama yang dilakukan oleh tim setelah terbentuk adalah
menyusun naskah akademik, yang dimaksudkan untuk memberi landasan ilmiah
bagi penyusunan undang-undang wakaf. Disusun oleh Dr. Uswatun Hasanah, dari
UI, naskah akademik ini terdiri atas gambaran tentang hukum wakaf yang berlaku
dan masalah-masalah yang dihadapi, kondisi dan perkembangan perwakafan di
Indonesia dan perbandingannya dengan wakaf di negara-negara lain, dan
rekomendasi tentang pentingnya penyusunan RUU Wakaf.135
130 Bryan A. Garner, ed. in-chief, Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson, 2004), 918. 131 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 ayat (1). 132 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 232-237. 133 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 238. 134 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 239-244. 135 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 38.
134
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Bertolak dari naskah akademik ini, penyusunan draft awal RUU dilakukan.
Agar memeroleh masukan dari masyarakat, draft tersebut kemudian didiskusikan
dalam sebuah pertemuan ulama, pakar (akademisi), tokoh dan Ormas Islam, yang
diselenggarakan pada 6 Maret 2003 di Operation Room Departemen Agama.
Dalam kesempatan itu dipaparkan garis besar yang hendak dimasukkan dalam
RUU Wakaf, seperti tujuan dan fungsi wakaf, wakif, benda yang dapat
diwakafkan, nazir, jenis wakaf, organisasi pengelola wakaf, wakaf uang,
pemberdayaan dan pengembangan wakaf, masalah sengketa, pembebasan benda
wakaf dari pajak, petugas pembuat ikrar dan lain sebagainya. Secara umum, para
peserta menymbut baik inisiatif pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama,
untuk mengajukan RUU Wakaf. Akan tetapi, banyak juga saran dan masukan
yang mereka sampaikan demi kesempurnaan RUU tersebut, di antaranya
kemungkinan non-Muslim menjadi wakif, pengaturan pengalihan tujuan wakaf
dan sebagainya.
Setelah seluruh draft telah diselesaikan, melalui suratnya tertanggal 9 Juli
2004, Presiden Megawati mengajukan RUU tentang Wakaf kepada DPR untuk
dibicarakan dengan pemerintah yang diwakilkan kepada Menteri Agama. Untuk
menindaklanjuti usulan tersebut, DPR kemudian melakukan Rapat Konsultasi
Pimpinan pada 20 Agustus 2004, yang memutuskan bahwa pembahasan tentang
RUU ini diserahkan sepenuhnya kepada Komisi VI tanpa adanya sebuah Panitia
Khusus. Sejak itu kemudian anggota Komisi VI DPR melakukan Rapat Dengar
Pendapat Umum dengan kelompok masyarakat, terutama organisasi-organisasi
keagamaan dan lembaga-lembaga yang memang selama ini telah berkiprah dalam
perwakafan, seperti PBNU, PP Muhammadiyah, PP PERSIS, DDII, MUI,
BAZNAS, Yayasan Dana Sosial al-Falah dan sebagainya.136
Komisi ini kemudian menyelenggarakan rapat kerja bersama pemerintah,
yang diwakili oleh Menteri Agama, pada 6 September 2004. Dalam penjelasannya
di hadapan DPR, Menteri Agama mengemukakan bahwa wakaf yang telah
melembaga begitu lama dalam masyarakat Indonesia belum memiliki sebuah
undang-undang yang mengaturnya dengan kokoh. Memang, wakaf telah diatur
dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Kompilasi
Hukum Islam Tahun 1991. Akan tetapi, undang-undang dan peraturan tersebut
belum memadahi seiring dengan perkembangan wakaf, terutama mengenai wakaf
produktif dan wakaf uang.137
Karena itu, di samping sebagai upaya penggabungan
perundangan dan peraturan yang ada, RUU ini diharapkan dapat memperkokoh
praktik wakaf dan pengembangannya.
Ini terlihat dari penjelasan pemerintah di hadapan pemandangan umum DPR,
di mana Menteri Agama menegaskan bahwa tujuan diajukannya RUU ini, antara
lain, adalah: (1) agar berbagai peraturan yang ada tentang wakaf dapat
diklasifikasi, (2) untuk memberikan kepastian hukum bagi perwakafan, (3) untuk
memberi rasa aman bagi waqif dan nazir perorangan maupun organisasi, (4) untuk
mengembangkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dari para nazir
dalam mengelola wakaf, (5) agar dapat menjadi landasan kebijakan dalam
persoalan wakaf, (6) agar dapat mendorong pengelolaan dan pengembangan
136 ‚Risalah Resmi Rapat Kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Agama RI,‛ 124. 137 ‚Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tentang Wakaf,‛ 12 Agustus 2004, 33-34.
135
Bab IV
wakaf, (7) agar dapat memenuhi tuntutan ketentuan seiring dengan perkembangan
wakaf.138
Menanggapi penjelasan tersebut, fraksi-fraksi yang ada memberikan
pemandangan umum masing-masing, yang umumnya menerima dan bersedia
untuk membicarakan lebih lanjut RUU yang diajukan pemerintah ini. Fraksi
Partai Golkar (F-PG), misalnya, menyambut baik RUU ini dan bersedia untuk
membahasnya bersama pemerintah dan anggota DPR lainnya karena beberapa
alasan sebagai berikut. Pertama, F-PG melihat bahwa wakaf merupakan salah satu
ajaran Islam yang tidak hanya memiliki dimensi ubudiyyah, tetapi juga memiliki
dampak bagi kesejahteraan umat. Kedua, karena pemanfaatannya yang bersifat
sosial, wakaf harus ditata dengan baik dan dapat dilaksanakan dengan ketentuan
hukum yang tetap dan secara terukur dapat diawasi. Sebagai negara hukum,
Indonesia harus mengakomodasi kelompok yang memiliki semangat untuk
menjalankan kehidupan bersama di republik ini sesuai dengan ideologi dan
konstitusi negara. Karena itu, F-PG menyambut dengan baik inisiatif pemerintah
untuk membahas RUU tentang Wakaf ini.139
Sikap dan penerimaan atas RUU ini juga dikemukakan oleh Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan (F-PPP). Fraksi ini menilai bahwa seluruh peraturan yang
ada tentang wakaf hanya berkaitan dengan tanah, padahal jika diupayakan, wakaf
dapat dikembangkan untuk hal-hal yang produktif. Meskipun demikian F-PPP
menggarisbawahi tiga hal yang harus dikembangkan dalam RUU ini. Pertama,
fraksi ini melihat bahwa dalam persyaratan wakaf RUU ini hanya membatasi pada
orang Muslim. Dalam konteks ini, F-PPP mengajak untuk mencermati
kemaslahatan dan mudarat wakaf dari non-Muslim, mengingat ada juga fuqaha
yang membolehkannya. Kedua, F-PPP menilai RUU ini belum memberikan
gambaran yang jelas tentang Badan Wakaf Indonesia, terutama mengenai
hubungan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya, di samping strukturnya.
Misalnya, dalam RUU ini disebutkan akan dibentuk Badan Pelaksana dan Dewan
Pertimbangan, namun tidak dijelaskan sifat hubungan antara keduanya. Ketiga,
berkaitan dengan masalah sengketa wakaf. Memang disebutkan dalam RUU
bahwa jika terjadi sengketa, hal itu akan diselesaikan melalui tiga cara, mediasi,
arbitrasi dan pengadilan. Akan tetapi, fraksi ini mempertanyakan Badan Arbitrase
Syariah yang disebutkan dalam RUU ini.140
Sementara itu, F-PDIP memandang bahwa RUU ini perlu dibahas karena
wakaf merupakan suatu tindakan yang harus didukung demi terlaksananya ibadah
ini dengan baik, di satu sisi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, di sisi
lain. Fraksi ini juga mendukung dibentuknya Badan Wakaf Indonesia dari tingkat
pusat hingga daerah, sehingga pembinaan dan pengawasan pelaksanaan wakaf
dapat ditingkatkan. Satu hal yang menjadi catatan penting F-PDIP adalah
ditegaskannya ketentuan pidana dan sanksi administratif bagi siapa saja yang
menyelewengkan dan menyalahgunakan wakaf.141
138 ‚Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tentang Wakaf,‛ 12 Agustus 2004, 35. 139 ‚Pemandangan Umum Fraksi Golongan Karya terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September
2004, 128-30. 140 ‚Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6
September 2004, 133-35. 141 ‚Pemandangan Umum Fraksi PDI-Perjuangan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September
2004, 137-38.
136
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Semangat untuk membahas RUU ini juga ditunjukkan oleh F-KB. Fraksi ini
menyadari bahwa perundang-undangan dan peraturan wakaf sangat diperlukan
untuk memberikan payung hukum bagi pelaksanaan ibadah yang selama ini telah
berlangsung. Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan F-KB berkaitan
dengan RUU ini, di antaranya adalah wakaf dari kalangan non-Muslim, wakaf
tunai dalam bentuk uang, tidak boleh diubahnya pemanfaatan wakaf, di samping
struktur oganisasi wakaf yang hendak didirikan melalui RUU ini. Meskipun
demikian, fraksi ini mengakui bahwa hal itu dapat dicarikan penyelesaiannya
melalui fikih, yang senantiasa dinamis dalam mengikuti perkembangan zaman.
Yang juga ditekankan oleh F-KB adalah agar melalui RUU ini lembaga-lembaga
wakaf yang selama ini telah ada tidak malah tereduksi, tetapi harus memeroleh
perlindungan, pengarahan dan fasilitas dari pemerintah atau pihak yang terkait
dengannya.142
Selanjutnya, dalam pandangan umumnya, F-Reformasi mengakui pentingnya
wakaf dalam Islam, yang tidak hanya bernilai pahala, tetapi juga berkontribusi
bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan, dan karenanya menyambut
baik pembahasan RUU ini. Akan tetapi, ada beberapa hal yang menjadi catatan
penting fraksi ini. Pertama, tujuan wakaf harus diwujudkan sesuai dengan sistem
ekonomi syariah dan perundang-undangan. Kedua, dalam RUU ini disebutkan
bahwa seluruh benda wakaf harus didaftarkan ke pemerintah, yang menurut fraksi
ini akan memberatkan masyarakat. Ketiga, jika pengelolaan wakaf diarahkan pada
tujuan-tujuan produktif, hal itu tetap harus sesuai dengan tujuan utama wakaf,
yaitu ibadah, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Keempat, adanya Badan Wakaf Indonesia diharapkan tidak memonopoli
kewenangan dan sentralistik, sebaliknya ia harus konsisten dengan semangat
otonomi daerah dan desentralisasi. Terakhir, dalam masalah pembinaan, hal itu
hendaknya dilakukan secara koordinatif dengan MUI dan tidak kaku, apalagi
mengintervensi masyarakat.143
Sejalan dengan fraksi-fraksi sebelumnya, F-ABRI dalam pandangan
umumnya mengakui bahwa saat ini telah terjadi dinamika yang pesat dalam hal
wakaf, khususnya wakaf tunai atau uang. Kenyataan itu harus disertai dengan
pembentukan peraturan-peraturan yang sejalan dengan perkembangan itu
berdasarkan aspirasi masyarakat, namun tetap harus diintegrasikan dengan
peraturan yang ada. Pada saat yang sama, RUU ini tidak boleh kontraproduktif
terhadap wakaf yang selama ini telah berjalan secara kultural.144
Fraksi terakhir
yang memberikan pandangan umum adalah F-PBB. Fraksi ini menyetujui
pembahasan RUU dengan pemerintah mengingat harpan dan aspirasi masyarakat
yang memang menghendaki hal itu, sebagaimana tercermin dalam RDPU. Akan
tetapi, fraksi ini tidak memberikan catatan khusus terhadap RUU ini.145
Dari uraian di atas terlihat bahwa seluruh fraksi di DPR menyetujui
pembahasan RUU ini untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang. Juga
142 ‚Pemandangan Umum Fraksi Kebangkitan Bangsa terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6
September 2004, 140-41. 143 ‚Pemandangan Umum Fraksi Reformasi terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004,
144-45. 144 ‚Pemandangan Umum Fraksi TNI/Polri terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004,
147. 145 ‚Pemandangan Umum Fraksi Partai Bulan-Bintang terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6
September 2004, 149.
137
Bab IV
terlihat bahwa RUU ini tidak dipandang sebagai suatu bentuk Islamisasi undang-
undang mengingat peraturan-peraturan yang ada sesungguhnya telah
mengisyaratkan hal itu. Karenanya, RUU tentang Wakaf ini pada dasarnya hanya
mempertegas peraturan perundangan yang ada, dan memperkayanya dengan
masukan-masukan baru yang berkembang di tengah masyarakat. Situasi seperti
itu tidak bisa dipisahkan dari pergeseran sistem kediktatoran negara menuju lebih
demokratis, yang memberikan peluang bagi lembaga-lembaga filantropi Islam,
seperti wakaf, untuk memainkan peran kembali sebagai sarana kesejahteraan dan
keadilan.146
Meskipun demikian, pembahasan RUU ini tidak berlangsung mulus begitu
saja, sebab tidak sedikit persoalan yang timbul pada waktu pembahasannya.
Dalam penilaian fraksi-fraksi, ada 142 persoalan yang menjadi catatan mereka
dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Akan tetapi, dari sekian persoalan itu,
hanya 44 persoalan yang perlu dibicarakan dalam pembahasan mengingat sisanya
hanya bermasalah dari segi redaksi dan sinkronisasi. Masalah-masalah itulah yang
kemudian dibicarakan dalam rapat Panja, yang diselenggarakan pada 13-22
September 2004. Berikut ini adalah beberapa perdebatan terkait dengan masalah-
masalah wakaf.
1. Definisi Wakaf
Dalam konsideran menimbang, RUU menegaskan bahwa ‚Wakaf sebagai
lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola
secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan
umum.‛147
Tentu, ini bukanlah definisi wakaf yang sering ditemukan dalam kitab-
kitab fikih, sebab yang terakhir ini biasanya memberikan pengertian sebagai
‚menahan harta dari kepemilikan seorang yang mewakafkan untuk disedekahkan
manfaatnya bagi kebaikan.‛148
Akan tetapi, pengertian wakaf di atas sering
ditemukan dalam buku-buku sosial, yang menempatkan wakaf sebagai salah satu
jaminan sosial bagi masyarakat.149
Sementara itu, F-PPP mengusulkan agar istilah lembaga diganti dengan
pranata, yang memiliki makna lebih luas ketimbang sekadar lembaga, yang
cenderung mengarah pada institusi. Lebih jauh, wakaf bukan sekadar institusi,
tetapi juga mengandung pengertian kegiatan, tata nilai dan sebagainya.
Pandangan ini memeroleh dukungan dari F-KB, yang menilai bahwa jika wakaf
disebut sebagai lembaga, ia memiliki konotasi lain. Padahal, wakaf adalah sebuah
kegiatan keagamaan. Berbeda dengan dua fraksi ini, Fraksi Daulat Umat
mengusulkan ‚bentuk kegiatan‛ sebagai ganti ‚lembaga,‛ mengingat yang
pertama lebih mudah dimengerti oleh masyarakat ketimbang yang kedua.150
146 Bandingkan Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Revivang Traditional Forms for
Building Social Justice,‛ Makalah disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and
Democracy) 5th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004, 2. 147 ‚RUU tentang Wakaf,‛ bagian Menimbang. 148 Lihat, misalnya, Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr,
1995), 8: 153; Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 3: 378. 149 Lihat, misalnya, Abdul Azim Islahi, ‚Provision of Public Good: Role of Voluntary Sector
(Waq) in Islamic History,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A. Mannan (Jeddah: IRTI-
IDB, 1416), 367-68. 150 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September
2004, 178-80.
138
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Ketidakjelasan makna lembaga atau pranata ini mendorong ahli bahasa
menjelaskan maksud kedua istilah itu, di mana pranata ternyata memang memiliki
pengertian lebih luas. Pemerintah tetap bersikukuh agar istilah lembaga yang
digunakan dan telah umum dipakai dalam peraturan yang ada. Akan tetapi,
argumen ini disanggah oleh fraksi-fraksi lain dengan menunjukkan bahwa pranata
juga digunakan dalam undang-undang sebelumnya, seperti Undang-undang
tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
Akhirnya, kata pranata disepakati sebagai pengganti lembaga.151
Masih terkait dengan definisi di atas adalah kata ‚menyerahkan‛ yang
diusulkan oleh F-TNI/POLRI sebagai ganti kata ‚memisahkan‛ sebagaimana
digunakan dalam RUU. Penggantian ini didukung oleh F-PPP, dengan alasan
bahwa menyerahkan bisa berarti menyerahkan seluruh harta seseorang, sementara
memisahkan hanya memilah sebagian saja, padahal tidak menutup kemungkinan
seseorang ingin menyerahkan seluruh harta kekayaannya setelah meninggal dunia.
Menanggapi usulan itu, pemerintah mempertahankan ‚memisahkan‛ sesuai
dengan definisi wakaf dalam bahasa Arab, qat}‘.152
F-PPP, yang diwakili Lukman Hakim Saifuddin, tetap bersikukuh bahwa
kata ‚menyerahkan‛ lebih tepat, yang mengimplikasikan bahwa si pewakaf tidak
lagi memiliki kaitan dengan harta yang telah diwakafkannya. Lebih jauh, kata
memisahkan memiliki konotasi yang kurang tegas, sehingga jika seseorang
memisahkan hak miliknya sebagai wakaf, hak milik itu memunculkan pertanyaan
hak milik siapa. Sementara itu, F-PG dan F-Reformasi mengusulkan tetap pada
konsep semula, yaitu memisahkan, sedangkan F-KB menghendaki agar diganti
dengan ‚melepaskan.‛ Perbedaan itu terus menghangat, sehingga disepakati untuk
digabungkan menjadi ‚memisahkan dan atau menyerahkan.‛153
Sebenarnya, definisi wakaf dalam fikih menggunakan kata yang berbeda-
beda, seperti h}abs, waqf dan lain sebagainya, namun semuanya memiliki semangat
yang sama, yaitu diserahkannya hak seseorang atas suatu benda untuk
kepentingan publik.154
2. Rukun Wakaf
Persoalan lain yang diperdebatkan selama pembahasan adalah rukun wakaf.
Dalam RUU dikemukakan bahwa ‚wakaf dilaksanakan sesuai dengan rukun wakaf
sebagai berikut: (a) Wakif, yaitu orang yang mewakafkan; (2) Nazir, yaitu orang
yang menerima wakaf; (c) Benda wakaf; (d) Ikrar wakaf dan; (e), Peruntukan
benda wakaf.155
Inilah yang umumnya ditemukan dalam kitab-kitab fikih dengan
istilah wa>qif, al-mawqu>f, al-s}i>ghah dan al-mawqu>f ‘alayh.156
Meskipun demikian,
151 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September
2004, 181-82. 152 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September
2004, 197. Memang, salah satu makna kata qat}‘ adalah ‚memisahkan‛ (separation). Lihat, misalnya,
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (London: Macdonald &
Evans Ltd., 1974), 776. 153 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September
2004, 206. 154 Lihat, antara lain, Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Islamiyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhyyah
(Kuwait: Da>r al-Sah}wah, 2006), 44: 108. 155 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 6. 156 Lihat, misalnya, al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 176.
139
Bab IV
ada juga mazhab yang hanya menjadikan rukun wakaf hanya satu, s}i>ghah, di
kalangan H{anafi>.157
Melihat pasal ini, F-PG, F-PDIP dan F-KB memilih tetap, tanpa perubahan,
sedangkan F-PPP dan F-Reformasi mengusulkan tambahan rukun, masing-masing
secara berurutan ‚jangka waktu wakaf‛ dan ‚manajemen.‛ Bagi F-PPP, adanya
jangka waktu ini merupakan konsekuensi logis dari definisi wakaf yang
disebutkan dalam RUU Pasal 1 ayat (1) bahwa ‚wakaf adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan
selamanya atau dalam jangka waktu tertentu…‛158
Wakaf berjangka waktu ini
sebenarnya juga dikenal dalam fikih, terutama di kalangan Ma>likiyyah, dengan
ungkapan ‚masa tertentu‛ (muddah mu‘ayyanah min al-zama>n).159
Adapun
argumen F-Reformasi adalah bahwa wakaf selama ini dikelola secara apa adanya,
sehingga diperlukan persyaratan lain agar lebih baik dan transparan. Usulan F-
Reformasi ini didukung oleh F-TNI/POLRI yang didasarkan pada pengalaman
negara lain, seperti Iran, yang menetapkan manajemen sebagai salah satu rukun
wakaf.160
Menanggapi usulan tersebut, wakil pemerintah menegaskan bahwa rukun-
rukun wakaf itu sebenarnya sudah baku dalam fikih dan karenanya harus tetap.
Argumen ini memunculkan persoalan, misalnya, atas dasar apa rukun itu disebut
baku. Anwar Arifin, misalnya, mempertanyakan ‚mana yang lebih tinggi
kedudukannya antara fikih dan undang-undang di Indonesia?‛ Jika, dasarnya
adalah fikih, maka sesungguhnya ia tidak lebih tinggi daripada undang-undang,
dan oleh sebab itu rukun-rukun tersebut tidak dapat dipandang baku. Lebih jauh,
fikih pada dasarnya adalah pemahaman manusia dan bersifat ijtihadi, sehingga
tidak menutup ruang ijtihad bagi undang-undang wakaf ini.161
Argumen ini
diperkuat oleh F-Reformasi, yang menyatakan bahwa pembakuan itu tidak
berasalan, mengingat antara mazhab fikih pun tidak ada satu kata dalam suatu
persoalan. Karena itu, rukun wakaf bisa bertambah sesuai dengan kebutuhan umat
Islam saat ini. Pemerintah sebenarnya mengakomodir usulan ini, tetapi tidak
dimasukkan dalam rukun, sehingga tidak tercantum secara eksplisit dalam pasal.
Sebagai gantinya, kedua usulan itu akan dipertegas dalam ikrar wakaf.162
Perdebatan tersebut mengisyaratkan bahwa hukum fikih bukanlah hukum
negara, dan karenanya tidak ada alasan baku dalam membicarakan undang-undang
negara, tak terkecuali wakaf. Memang wakaf bersumber pada fikih, akan tetapi ia
akan menjadi undang-undang negara setelah melalui legislassi (taqni>n), sehingga
perubahan tidak bisa dielakkan sesuai dengan kebutuhan dan demi kepastian
hukum.163
Dengan kata lain, UU Wakaf dapat dipandang sebagai fikih tentang
wakaf khas Indonesia, atau lebih khusus lagi fikihnya DPR.164
157 Lihat Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al- Fiqhiyyah, 44: 112; al-
Zuh}ayli>, al-Fikih al-Isla>mi, 8: 159. 158 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 219. 159 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 156; Wawancara dengan Mustafa Edwin
Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. 160 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 225. 161 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 220-21. 162 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 228. 163 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), 1. 164 Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011.
140
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
3. Persyaratan Wakif
Persoalan lain yang diperdebatkan dengan hangat dalam rapat adalah syarat-
syarat wakif. Dalam RUU disebutkan bahwa seseorang hanya dapat menjadi wakif
apabila ia memenuhi persyaratan: (a) beragama Islam; (b) dewasa; (c) berakal
sehat dan; (d) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.165
Wakil pemerintah
juga menegaskan bahwa wakaf dari non-Muslim pada dasarnya dibenarkan oleh
ajaran Islam, tetapi sengaja tidak dicantumkan dalam RUU ini dan cukup diatur
dalam peraturan teknisnya.166
Sebenarnya, para fuqaha umumnya membolehkan
wakaf yang berasal dari non-Muslim, sebab wakaf sebenarnya tidak terkait secara
langsung dengan ibadah (khususnya mahd}ah), tetapi berkaitan dengan ibadah
sosial.167
Penegasan ini mengundang perdebatan dalam rapat, terutama dari F-PPP.
Fraksi ini mempertanyakan mengapa jika Islam membolehkan non-Muslim
berwakaf tetapi dalam RUU ini malah dipersempit, dan baru akan dijelaskan
dalam peraturan di bawah undang-undang. Sebagai solusi atas persoalan ini, F-
PPP mengusulkan agar syarat (a) beragama Islam dihapus, sehingga terbuka bagi
non-Muslim. Lebih jauh, jika dalam undang-undangnya saja tidak disebutkan,
bagaimana mungkin bisa diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Usulan penghapusan ini mendapat dukungan dari F-Reformasi, dengan
argumen bahwa yang terpenting dalam wakaf adalah bahwa seseorang sebagai
pemilik sah harta benda yang akan diwakafkan.168
Menurut M. Tholhah Hasan,
fikih sebenarnya membolehkan hal itu.169
Menanggapi usulan tersebut, wakil pemerintah berargumen bahwa wakaf
pada dasarnya adalah ibadah, yang untuk diterima oleh Allah salah satu syaratnya
adalah pelakunya beragama Islam. Lebih daripada itu, kondisi Indonesia saat ini
belum memungkinkan untuk itu, karena dikhawatirkan akan menimbulkan
pancingan dari non-Muslim setelah mereka mewakafkan harta benda mereka.
Misalnya, jika mereka mewakafkan harta kepada Muslim, mereka juga bisa
bertanya kapan orang Muslim mewakafkan kepada mereka. Kalaupun mau
dibolehkan, sebaiknya ada pemilahan wakaf Muslim, wakaf Katholik, Kristen,
Hindu, Budha dan sebagainya.170
Sebenarnya, wakaf dari non-Muslim telah terjadi
di beberapa negara, seperti Qatar, Kuwait dan lain sebagainya. Lebih dari itu,
kekhawatiran seperti itu tidak perlu terjadi mengingat wakif hanya menyerahkan
dan tidak lagi menguasai harta yang diwakafkannya.171
Kekhawatiran yang dikemukakan pihak pemerintah tersebut dianggap
oleh F-PPP tidak beralasan, karena ajaran Islam memang membuka peluang bagi
wakaf non-Muslim. Sebaliknya, hal itu harus dipahami sebagai keterlibatan
mereka dalam konteks kesatuan negara Indonesia. Jika undang-undang ini secara
ekslusif hanya untuk orang Islam, ia akan memunculkan prasangka bahwa
memang ada upaya dari pihak Islam untuk mengundangkan ajaran-ajaran agama
ini. Akibatnya, akan lebih mendatangkan mudarat ketimbang rahmat, yang
165 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 8 ayat (1). 166 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 231. 167 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 129. 168 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 232. 169 Wawancara dengan K.H. M. Tholhah Hasan, Jakarta 18 Januari 2011. 170 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 233-34. 171 Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011.
141
Bab IV
menjadi prinsip utama Islam sebagai rah}matan li al-‘a>lami>n. Adapun tentang
persoalan ibadah, menurut F-PPP, diterima tidaknya wakaf seseorang bergantung
pada niatnya. Akan tetapi dalam konteks undang-undang, syarat beragama Islam
itu tidak perlu dimasukkan karena memiliki implikasi hukum bernegara yang
eksklusif.172
Usulan F-PPP ini akhirnya diterima dan disetujui oleh peserta rapat,
sehingga syarat beragama Islam tidak kita temukan dalam Undang-undang
tentang Wakaf.
Sebenarnya, dalam buku-buku fikih, persyaratan bagi wakif yang ditetapkan
hanya empat, yaitu pemilik yang bebas atau merdeka, berakal, dewasa dan paham
kebenaran (rashi>d). Tidak ada ketentuan bahwa seseorang harus Muslim jika
hendak menjadi wakif.173
Masih terkait dengan persyaratan wakif adalah usulan F-PPP agar ada
penambahan syarat, yaitu ‚pemilik sah harta benda wakaf.‛174
Alasan pemerintah
mengapa ini tidak dimasukkan dalam syarat wakif adalah bahwa Pasal 15 RUU ini
sudah membicarakan hal itu. Namun, F-Reformasi melihat bahwa pasal tersebut
merupakan bagian dari syarat-syarat harta benda yang boleh diwakafkan. Karena
itu, fraksi ini mendukung dimasukkannya ‚pemilik sah harta benda wakaf‛
sebagai salah satu syarat wakif untuk mempertegas sekaligus untuk menghindari
sengketa di kemudian hari.175
Akhirnya, usulan ini diterima oleh rapat.
Ketentuan pemilik sah bagi wakif ini sebenarnya memiliki preseden buruk
dalam tradisi Islam, mengingat banyak orang yang mewakafkan harta, namun
sesungguhnya harta tersebut dalam sitaan atau sebagai jaminan hutang mereka.176
4. Syarat Nazir
Persoalan lain yang timbul dalam pembahasan adalah tentang syarat-syarat
nazir, yaitu orang yang dipercaya mengelola harta benda wakaf. Dalam Pasal 10
RUU ini disebutkan bahwa seseorang dapat menjadi nazir, jika ia memenuhi
syarat: (a) Warga negara Indonesia; (b) beragama Islam; (c) dewasa; (d) sehat
jasmani dan rohani; dan (e) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.177
F-PDIP dan F-PG menerima ketentuan ini, tetapi F-PPP dan F-KB
mengusulkan perubahan dan tambahan. F-PPP mengusulkan adanya tambahan
syarat selain yang disebutkan di atas, yaitu ‚amanah,‛ sementara F-KB
mengusulkan agar nazir berada di lokasi tempat harta benda itu diwakafkan. Usul
F-PPP didukung oleh F-Reformasi dan F-KB, dan akhirnya juga diterima oleh
wakil pemerintah. Dengan demikian, rapat pun menyetujuinya.178
Sementara itu,
usulan F-KB didasarkan pada argumen bahwa harta benda wakaf akan terlantar
jika nazirnya jauh darinya. Akan tetapi, usulan ini tidak dapat diterima oleh wakil
pemerintah, karena hal itu akan mempersulit terjadinya wakaf tentang benda-
benda bergerak. Lebih jauh, selama ini telah terjadi wakaf yang dipercayakan
kepada nazir yang tinggalnya jauh dari tempat harta benda wakaf tersebut.179
172 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 234-235. 173 Lihat al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 176-77. 174 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 238. 175 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 10. 176 Lihat Hennigan, The Birth of Legal Institution, xiv. 177 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 241. 178 Lihat ‚Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,‛ Pasal 10 ayat (1). 179 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 240-41.
142
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Karena itu, usulan ini ditolak dan tidak dimasukkan dalam undang-undang. Dalam
pandangan Maghfur Utsman, usulan di atas sulit dilakukan mengingat tidak
sedikit harta benda wakaf diwakafkan kepada mereka yang bertempat tinggal jauh
dari lokasi wakaf tersebut.180
Selain mengusulkan ‚amanah‛ sebagai salah satu syarat nazir, F-PPP juga
mengusulkan perubahan redaksi agar frasa ‚sehat jasmani dan rohani‛ menjadi
‚mampu secara jasmani dan rohani.‛ Alasan fraksi ini adalah sehat secara jasmani
dan rohani mengimplikasikan sesuatu yang relatif. Di samping itu, dalam berbagai
undang-undang yang ada, frasa seperti itu telah dihindari, sehingga tetap
memberikan ruang bagi nazir yang memiliki kemampuan meskipun ia juga
bercacat fisik.181
Usulan ini diafirmasi oleh seluruh fraksi dan wakil pemerintah
dan karenanya dimasukkan dalam undang-undang.
Terlihat bahwa ketentuan nazir dalam undang-undang ini jauh lengkap
dibandingkan dengan yang kita temukan dalam fikih. Al-Zuhayli, misalnya, hanya
mensyaratkan tiga hal secara garis besar, yang meliputi keadilan (‘ada>lah),
kifa>yah (kemampuan yang memadai) dan isla>m, terutama bagi benda-benda yang
terkait dengan kepentingan Islam.182
Sementara itu, dalam RUU ini, nazir dalam bentuk organisasi, selain
memenuhi persyaratan nazir perorangan di atas, juga harus ‚bergerak dalam
bidang sosial, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.‛ Terhadap persyaratan
ini, F-PDIP menambahkan frasa ‚pendidikan‛ setelah sosial, yang langsung
disetujui oleh semua fraksi dan wakil pemerintah. Lebih jauh, F-PPP
menambahkan persyaratan lain yang diperdebatkan hangat dalam rapat. Fraksi ini
menilai bahwa selain ketentuan di atas, nazir dalam bentuk organisasi juga harus
memiliki pengalaman sekurang-kurangnya satu tahun dalam bidang keuangan. Ini
diperlukan agar tidak setiap organisasi dapat begitu saja sebagai nazir, tetapi
harus memenuhi kualifikasi, di antaranya kemampuan manajerial sehingga
terbukti organisasi tersebut serius dan tepat ditunjuk sebagai nazir.183
Fraksi-fraksi lain menilai bahwa usulan ini tidak perlu dimasukkan dalam
pasal, sebab sebagai sebuah organisasi ia tentunya memiliki pengalaman tersebut.
Adapun wakil pemerintah pada dasarnya bisa menerima usulan ini, tetapi tidak
perlu dimasukkan dalam pasal, cukup dalam peraturan pemerintah. Menanggapi
komentar wakil pemerintah ini, Anwar Arifin mengajukan pertanyaan, mengapa
harus di peraturan pemerintah, jika memungkinkan dimasukkan dalam pasal.
Sebab, penyusunan peraturan pemerintah itu sendiri memakan waktu yang tidak
singkat, bisa bertahun-tahun.184
Meskipun demikian, rapat hanya menyetujui
untuk dimasukkan ke dalam peraturan pemerintah. Dalam PP No. 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sendiri, usulan
tersebut tidak disebutkan secara langsung, tetapi dengan ungkapan ‚bersedia
untuk diaudit.‛185
180 Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011. 181 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 243. 182 Al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 232. 183 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 251. 184 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 256-257. 185 Lihat PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
Pasal 7 ayat (3) C.
143
Bab IV
Persoalan lain yang tak kalah sengitnya diperdebatkan adalah bagian yang
diterima oleh nazir. Dalam RUU dikemukakan bahwa ‚Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, nazir dapat menerima fasilitas
dan/atau penghasilan atas hasil pengelolaan dan pengembangan benda wakaf yang
besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).‛186
Dalam penjelasannya, wakil
pemerintah mengemukakan dasar penetapan 10% ini adalah Peraturan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1978.
F-PPP mempermasalahkan alasan penetapan 10% itu, sebab amil zakat
sendiri memeroleh bagian 12,5%. Dalam pandangan fraksi ini, nazir pada dasarnya
memiliki tugas yang sama dengan amil zakat, dan mestinya memeroleh bagian
yang sama seperti amil. Karena itu, apakah 10% ini dapat dibenarkan secara syar‘i
dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau 12,5% landasan syar‘inya jelas, yaitu
dianologikan dengan amil zakat. Usulan ini mendapat dukungan dari F-
TNI/POLRI dan F-Reformasi.187
Pendapat seperti ini memang ditemukan dalam
fikih, di mana hak seorang nazir wakaf dikiyaskan dengan amil zakat yang
memeroleh bagian 12,5%.188
Menanggapi komentar itu, wakil pemerintah mengakui bahwa memang tidak
ada batasan yang pasti tentang bagian yang diterima oleh nazir. Meskipun
demikian, dasar penetapan 10% ini, selain PMA di atas, adalah kepantasan dan
tidak dikaitkan dengan amil zakat, sebab antara zakat dan wakaf berbeda sehingga
tidak bisa dikiaskan. Lebih jauh, selama ini penetapan itu telah berjalan dan tidak
ada reaksi atau penolakan dari masyarakat.189
Dengan demikian, angka 10% ini
sebenarnya memiliki preseden historis dalam pelaksanaan wakaf selama ini.
F-Reformasi mengemukakan bahwa 12,5% lebih mendasar dibandingkan
dengan 10%. Alasannnya adalah daripada tidak memiliki landasan syar‘i yang
tidak jelas, bukankah lebih baik mengaitkannya dengan zakat, yang sudah jelas
ketentuannya. Memang, masalah ini adalah masalah ijtihadi, di mana umat
diperbolehkan mencari rumusan yang pas mengenai hal ini. Akan tetapi, ijtihad
yang memiliki landasan shar‘i> jauh lebih baik ketimbang tidak ada dasarnya sama
sekali. Pendeknya, daripada tanpa rujukan, lebih baik berijtihad dengan rujukan,
yaitu amil zakat.190
Berbeda dengan pandangan F-Reformasi, F-PBB menilai bahwa ketentuan
bagian yang harus diterima nazir memang tidak disebutkan secara eksplisit baik
dalam Al-Quran maupun Sunnah. Namun, fraksi ini tidak bisa menerima bahwa
nazir harus menerima 12,5% melalui analogi amil zakat. Sebab, seperdelapan itu
sendiri dapat dipahami tidak bersifat baku, dalam arti bahwa tidak semua delapan
golongan itu mendapat seperdelapan. Sementara itu, dalam Sunnah ditemukan
isyarat bahwa wakaf itu tidak digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Dengan
kata lain, ukuran yang pantas ini tampaknya sudah tepat, meskipun masih relatif.
Maksudnya, 10% dapat dipandang besar jika ia merupakan bagian dari jumlah
186 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 12. 187 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 263. 188
Al-Mawsu>‘ah Fiqhiyyah, 44: 210. 189 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 265-66. 190 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 266-67.
144
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
atau angka yang besar, tetapi kecil dalam kaitannya dengan jumlah atau angka
yang kecil. Karena itu, fraksi ini memandang 10% sebagai jumlah yang pantas
bagi nazir.191
Argumen yang dikemukakan F-PBB didasarkan pada hadis tentang
bagaimana ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b tidak menetapkan berapa bagian yang diterima
mutawalli, tetapi disebutkan secara eksplisit tida memperkaya diri.192
Perdebatan
ini tetap bertahan dan tidak sampai pada suatu kesepakatan, sehingga diselesaikan
melalui lobi, yang akhirnya disetujui menjadi 10%.
5. Harta Benda Wakaf
Berkaitan dengan harta benda wakaf, persoalan yang muncul di sini adalah
wakaf uang. Dalam RUU disebutkan bahwa yang dimaksud dengan benda
bergerak meliputi: (a) uang; (b) logam; (c) surat berharga; (d) kendaraan; (e) hak
atas kekayaan intelektual; (f) hak sewa; dan (g) harta benda bergerak lain sesuai
dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.193
Dalam fikih, para ulama umumnya membolehkan wakaf benda bergerak (‘aqa>r, jamak ‘aqa>ra>t), yang didasarkan pada Hadis Nabi Saw., yang menegaskan bahwa
orang yang mewakafkan kuda, ia akan mendapatkan pahala dari apa saja yang bisa
dimanfaatkan dari kuda tersebut.194
F-PBB mengusulkan agar ada frasa yang menegaskan bahwa harta benda
wakaf itu ‚tidak habis dikonsumsi.‛ Alasannya adalah bahwa prinsip wakaf
bendanya tidak boleh habis, tetapi harus langgeng. Adapun yang dimanfaatkan
adalah hasil yang timbul dari harta benda itu. Sementara itu, wakaf uang ini tidak
terjamin kelanggengan uang itu, namun yang ada adalah nilainya, mengingat uang
tersebut digulirkan untuk berbagai investasi dan usaha produktif lainnya. Karena
itu, harus ada penjelasan bahwa nilai uang tersebut tidak habis dikonsumsi, sebab
kalau habis dikonsumsi berarti bukan wakaf, tetapi hanya amal jariyah.195
Dengan
kata lain, fraksi ini sebenarnya menyetujui uang termasuk salah satu benda yang
dapat diwakafkan, tetapi harus ada penegasan bahwa benda wakaf itu langgeng,
sesuai dengan prinsip wakaf.
Menanggapi usulan itu, wakil pemerintah memahami usulan itu. Memang,
bendanya harus tetap, tetapi keuntungannya yang dimanfaatkan untuk tujuan
wakaf. Pada prinsipnya, uang wakaf itu dikumpulkan sebagai modal, selanjutnya
ia diputar untuk usaha, yang keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan
wakaf. Karena itu, pemerintah menerima usul tadi dan dimasukkan dalam Pasal 16
sebagaimana kita lihat sekarang.196
Dalam fikih, memang dikenal dengan wakaf
manfaat (waqf al-manfa‘ah), di mana yang diwakafkan hanya manfaat benda yang
diwakafkan. Ini diperbolehkan di kalangan Malikiyyah.197
Terbukti, masalah ini
diakomodir dalam Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009. Hanya saja, dalam peraturan
191 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 267. 192 Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m (Riya>d}: Maktabat Da>r al-
Sala>m, 1997), Hadis No. 918. 193 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 16 ayat (3). 194 Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 164. 195 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 288-89. 196 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 294. 197 Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 166.
145
Bab IV
ditentuk batas minimal uang yang diwakafkan sebesar Rp. 10.000.000,- dalam
jangka sekurang-kurangnya lima tahun.198
Di beberapa negara Islam, wakaf uang sebenarnya telah diakomodir dalam
undang-undang wakaf mereka. Bahkan, seperti telah disinggung di muka, wakaf
uang ini terbukti memiliki dampak ekonomis yang sangat baik bagi masyarakat
pada masa Utsmani. Uang wakaf telah dimanfaatkan oleh banyak pengusaha dan
dengan begitu saling membantu antara pengusaha dan nazir wakaf.199
Sementara
itu, di Singapura, wakaf uang juga dibolehkan, meskipun saat ini aset wakaf benda
masih jauh lebih besar ketimbang wakaf uang.200
6. Ikrar Harus Tertulis
Dalam pandangan Islam, wakaf bukan semata-mata tindakan filantropis
untuk kemanusiaan. Ia juga berdimensi ibadah, yang tujuan utamanya adalah
untuk memeroleh pahala dari Allah Swt. Karena itu, ketika seseorang hendak
mewakafkan harta miliknya, ia cukup mengucapkan maksud tersebut kepada
seseorang yang dipandang dapat mengelolanya dengan baik, dalam arti dapat
mendatangkan manfaat sebanyak mungkin bagi masyarakat. Meskipun demikian,
banyak kasus menunjukkan bahwa benda yang telah diwakafkan itu dipersoalkan
dengan alasan tidak adanya bukti yang memperkuat itu. Mengantisipasi
kemungkinan munculnya persoalan ini, dalam RUU Pasal 17 dikemukakan bahwa
ikrar wakaf harus dilakukan di hadapan PPAIW dan dinyatakan secara lisan.201
Pasal ini memunculkan dua persoalan, yaitu ‚dinyatakan secara lisan‛ dan
siapa yang dimaksud dengan saksi di sini. F-PG mengusulkan agar setelah kata
ikrar ditambah dengan ‚dan atau tulisan‛ sehingga menjadi ‚Ikrar wakaf
dinyatakan secara lisan dan atau tulisan.‛ Usulan ini mendapat dukungan dari F-
PBB dan F-PPP. Kedua fraksi ini sepakat bahwa agar tidak ada sengketa di
kemudian hari harus ada ikrar dan saksi, namun hal itu akan menjadi semakin kuat
jika dinyatakan secara tertulis.202
Yang dimaksud ikrar di sini adalah s}i>ghah dalam
istilah fikih. Akan tetapi, syarat-syarat ikrar ini tidak membicarakan apakah harus
tertulis atau tidak. Ada yang menyebut hanya dua syarat dalam ikrar, yaitu dapat
dilaksanakan (tanji>z) dan bersifat kekal (ta’bi>d),203
sementara al-Zuh}ayli>
menambahkan dengan kepastian (ilza>m) dan tidak terkait dengan syarat yang
dapat membatalkan wakaf.204
F-PBB menilai bahwa sesungguhnya dalam kitab-kitab tidak perlu
disebutkan adanya saksi, tetapi dalam RUU ini ditetapkan adanya saksi. Ini tidak
memberi kejelasan apakah jumlah saksi di sini satu atau dua. Kalau dua saksi,
apakah itu harus dua-duanya laki-laki, atau satu saksi dan dua perempuan, seperti
198 Lihat ‚Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang,‛ Pasal 3 ayat (3). 199 Bandingkan dengan Murat Cizakca, ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-
Nuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ 397-401; idem, ‚Awqa>f in History and Its Implication for
Modern Islamic Economics,‛ 53-57. 200 Shamsiah Abdul Kareem, ‚Contemporary Waqf Administration and Development in
Singapore: Challenges and Prospects‛ (Singapore: Islamic Religious Council of Singapore, t.th.), 4-5. 201 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 17. 202 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14
September 2004, 298. 203 Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 122-23. 204 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 208.
146
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
ketentuan persaksian dalam Islam yang selama ini dipahami. Sementara itu, F-
PPP menilai bahwa persoalan saksi ini tetap seperti yang ditawarkan dalam RUU
dan mengusulkan agar baik laki-laki maupun perempuan dipandang sama,
sehingga wakaf tetap sah meskipun saksinya perempuan. Agar memeroleh
kejelasan, masalah saksi laki-laki atau perempuan ini cukup dimasukkan dalam
penjelasan.205
Meskipun demikian, dalam pandangan al-Zuh}ayli>, persaksian ini menjadi
salah satu cara untuk menetapkan wakaf. Lebih dari itu, persaksian itu diterapkan
di beberapa negara seperti Mesir dan Suriah. Yang demikian itu sejalan dengan
pandangan al-Zuh}ayli> yang menegaskan bahwa saksi tidak harus terikat apakah
laki-laki atau perempuan.206
Meskipun demikian, seperti dikemukakan mazhab
H{anafi>, rukun wakaf sebenarnya hanya satu, yaitu ikrar. Disebut demikian karena
ikrar tidak memiliki apa-apa tanpa ketiga rukun lainnya. Oleh sebab itu, wakaf
adalah sah walau hanya diucapkan saja.207
Akhirnya, ketentuan ini disetujui tetap,
tanpa ada penjelasan.
7. Sanksi Penyelewengan Wakaf
Persoalan penting yang menjadi perdebatan hangat dalam Rapat Panja
adalah masalah sanksi bagi nazir yang menyelewengkan harta benda wakaf. Ini
disebutkan dalam RUU Pasal 67, yang mengidentifikasi tiga jenis penyelewengan.
Pertama, kategori penyelewengan yang meliputi menjaminkan, menghibahkan,
mewariskan, mengalihkan atau menukar harta benda wakaf. Sanksi bagi pelaku
jenis pertama penyelewengan ini berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Kedua,
kategori penyelewengan berupa pengalihan peruntukan wakaf tanpa izin dari
Badan Wakaf Indonesia, dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Ketiga, kategori penyelewengan yang berbentuk pengambilan hasil wakaf
melebihi yang dibolehkan. Sanksinya berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).208
Terhadap ketentuan ini, semua fraksi pada prinsipnya menerima adanya
sanksi bagi nazir atau pengelola yang menyelewengkan harta benda wakaf.
Meskipun demikian, F-PPP adalah satu-satunya fraksi yang memberikan catatan
atau komentar atas ketentuan ini. Melalui wakilnya, Lukman Hakim Saifuddin,
fraksi ini mengusulkan agar ketentuan mengenai sanksi ini disebutkan tingkat
minimalnya saja. Tujuannya ialah agar pelaku merasa jera dengan tindakannya
dan berhati-hati dalam mengurus harta benda wakaf.209
Menanggapi usulan ini, ahli hukum yang mewakili pemerintah menegaskan
bahwa ketentuan sanksi minimal ini tidak lazim dalam KUHP, misalnya.
Sebaliknya, yang umum digunakan adalah ketentuan maksimalnya, sehingga
hakim dapat menentukan atau berijtihad berapa lama atau berapa besar denda
205 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September
2004, 304. 206 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>, 8: 214. 207 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 205. 208 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 67. 209 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 7 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 16 September
2004, 633.
147
Bab IV
yang dikenakan pada pelanggar. Bagi F-PPP, dengan menetapkan batas minimal
diharapkan hakim tidak dapat bermain-main dalam menetapkan hukuman. Justru
jika batas maksimal ditetapkan, hakim dapat memberikan vonis yang jauh di
bawah minimal. Lebih jauh, dalam undang-undang yang lain, seperti UU Pemilu
dan Pilpres, juga disebutkan batas minimal dan maksimal, yang mengindikasikan
bahwa dalam RUU Wakaf ini batasan minimal dapat ditentukan. Yang lebih
buruk lagi, penetapan hukuman maksimal membuka peluang bagi nazir untuk
berhitung keuntungan, antara jumlah yang diselewengkan dengan denda atau
hukuman yang akan diterimanya. Misalnya, jika aset wakaf mencapai milyaran,
tetapi hukumannya hanya Rp. 500.000.000,- tidak menutup kemungkinan akan
mendorong pengelola untuk melakukan penyelewengan, karena dendanya jauh di
bawah yang diselewengkannya.210
Terlepas dari perdebatan ini, rapat menyetujui
bahwa ketentuan tentang sanksi ini tetap seperti yang terkandung dalam RUU
yang ditawarkan pemerintah.
Sebenarnya, dalam kitab-kitab fikih tidak ditentukan sanksi-sanksi
penyelewengan seperti itu. Di Yordania, misalnya, tidak menetapkan sanksi
penyelewengan, tetapi penegasan bahwa seluruh ketentuan tidak boleh
berlawanan dengan syariah.211
8. Persyaratan Nazir Harus Beragama Islam
Masalah ini muncul setelah seluruh pembahasan tentang pasal-pasal selesai
dirampungkan dalam rapat Panja terakhir. Dalam rangka meninjau ulang seluruh
pasal-pasal itulah persoalan tentang persyaratan beragama Islam bagi nazir
muncul, yang diajukan oleh Lukman Hakim Saifuddin. Seperti telah diputuskan
sebelumnya, syarat nazir perorangan atau organisasi adalah beragama Islam.
Bahkan syarat saksi dalam ikrar wakaf dan untuk menjadi anggota Badan Wakaf
Indonesia pun harus beragama Islam.
Lukman melihat bahwa adanya persyaratan beragama Islam ini tidak lazim
dalam undang-undang. Sebab, hal itu dapat dipandang sebagai sebuah
deskriminasi berdasarkan agama. Jika dilakukan judicial review di Mahkamah
Konstitusi, kemungkinan persyaratan ini akan dihapus. Lebih jauh, menurut kitab-
kitab fikih, persyaratan beragama Islam ini sesungguhnya tidak mutlak, dalam arti
tidak seluruh ulama berpendapat demikian. Karena itu, Lukman mengajak seluruh
anggota untuk bersikap arif dalam masalah ini. Terhadap pandangan ini, F-PG,
yang diwakili oleh Irsyad Sudiro, mengusulkan agar dicari jalan tengah, di
antaranya dengan cukup menyebutkan persyaratan secara syar‘i tanpa
menyebutkan beragama Islam secara eksplisit.212
Pandangan ini sejalan dengan
pendapat Abu> H{ani>fah, yang membolehkan nazir bukan Muslim yang masuk
dalam kategori dhimmi>.213
Menanggapi hal ini, wakil pemerintah menghendaki tetap, bahkan kalau
boleh persyaratan orang yang mewakafkan (wakif) pun harus beragama Islam.
210 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 7 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 16 September
2004, 635-637. 211 Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah: IRTI-IDB, 2003),
44. 212 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 8 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 18 September
2004, 687. 213 Lihatal-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 209.
148
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
Namun, agar tidak terlihat diskriminatif, dicantumkan juga persyaratan
‚beragama lain‛ bagi non-Muslim yang hendak mewakafkan harta bendanya. Ini
diperkuat oleh dasar negara kita, Pancasila, yang menghendaki setiap warganegara
beragama. Lebih jauh, Malaysia yang penduduk Muslimnya tidak mencapai 2/3
dari seluruh penduduknya saja berani menjadikan Islam sebagai agama resminya.
Sementara itu, Chodidjah berpendapat bahwa RUU ini berbicara tentang
kepentingan Islam, dan sudah sepantasnya persyaratan beragama Islam
dicantumkan. Jika dikatakan bahwa dalam buku-buku fikih tidak disebutkan
secara mutlak beragama Islam sebagai salah satu syaratnya, apakah ketika kita
membuat terobosan dalam RUU ini tidak boleh. Menurutnya, ini adalah
kesempatan untuk menunjukkan itu.214
Dalam pandangan Maghfur Utsman,
kekhawatiran seperti ini dikarenakan non-Muslim memiliki kewenangan atas
harta wakaf, sehingga takut digunakan untuk kepentingan agamanya, bukan
kepentingan umat Islam.215
Perdebatan panas ini akhirnya berhenti dengan tetap dipertahankannya
rumusan semula, di mana syarat wakif tanpa harus beragama Islam, sementara
persyaratan nazir dan saksi dalam ikrar wakaf serta anggota Badan Wakaf
Indonesia harus beragama Islam.216
Dengan disetujuinya seluruh proses ini, RUU Wakaf sudah siap dirapatkan
dalam paripurna untuk memeroleh persetujuan dari anggota DPR, yang diawali
terlebih dahulu dengan pandangan akhir mini dalam Komisi VI. Rapat paripurna
sendiri dilaksanakan pada 28 September 2004 pukul 10.00 di Ruang Sidang DPR
RI. Dengan demikian, seluruh pembahasan tentang RUU ini berlangsung selama
dua pekan saja, sejak pemerintah menyampaikan penjelasan pada 6 September
2004. Bahkan pembahasan secara intensif dapat dikatakan berlangsung hanya
selama sepekan, mengingat Rapat Pembahasan RUU baru dimulai pada 13
September 2004 dan berakhir pada 18 September 2004.
Diawali dengan laporan yang disampaikan oleh Ketua Komisi VI, Rapat
Paripurna kemudian dilanjutkan dengan pandangan akhir yang disampaikan oleh
masing-masing fraksi terhadap RUU ini. Dalam pandangan akhirnya, F-PG
menyetujui RUU ini disahkan menjadi UU karena tiga alasan: (1) dengan undang-
undang ini, kaum Muslim dapat menerapkan syariatnya khususnya di bidang
wakaf, (2) terjadinya unifikasi hukum agama dan hukum positif, dan (3) wakaf
dapat memberikan nilai ekonomis bagi kesejahteraan.217
Sementara itu, F-PPP
menilai RUU ini segera disahkan mengingat melalui UU ini nanti fungsi wakaf
yang memiliki potensi ekonomi dapat ditingkatkan, sehingga manfaat
horizontalnya akan semakin luas, sedangkan untuk mencapainya akan dibentuk
Badan Wakaf Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang ini.218
Adapun F-PKB menegaskan bahwa RUU ini perlu segera disahkan agar
pendayagunaan wakaf dapat dilakukan secara lebih baik sesuai dengan ketentuan
214 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 8 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 18 September
2004, 689-695. 215 Wawancara, Jakarta 18 Januari 2011. 216 Ketentuan bahwa nazir harus Muslim ini memiliki rujukannya antara lain dalam Al-Zuh}ayli>,
al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 203. 217 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Golongan Karya terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 Septemb
er 2004, 55-56. 218 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Persatuan Pembangunan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28
September 2004, 60-61.
149
Bab IV
syariah. Selain itu, jika RUU ini disahkan, maka semua pihak dapat menyesuaikan
diri dan, karenanya sosialisasi yang akan dilakukan oleh pemerintah menjadi
sangat penting.219
Pandangan senada juga disampaikan oleh F-Reformasi dengan
penekanan khusus pada BWI yang diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap pembinaan para nazir dalam mengelola wakaf. Dengan begitu, dimensi
sosial wakaf dapat direalisasikan, yaitu kesejahteraan umum.220
F-TNI/Polri menggarisbawahi empat hal terkait akan disahkannya RUU
tentang wakaf ini. Pertama, UU ini tidaklah kontra-produktif terhadap peraturan
yang ada, tetapi mempertegas dan menyempurnakannya. Kedua, BWI yang pada
awal operasionalnya akan dibantu oleh pemerintah, harus mampu
mengembangkan diri sehingga tidak membebani APBN di masa yang akan datang.
Ketiga, dengan dibolehkannya wakaf tunai dalam undang-undang ini, maka ia
harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Keempat, pemerintah harus
menyosialisasikan undang-undang ini agar dapat dipahami oleh masyarakat.221
Peran BWI bagi pengembangan wakaf, juga menjadi perhatian utama F-PBB
dalam pandangan akhirnya. Dikemukakan bahwa BWI diharapkan dapat
memajukan perwakafan di Indonesia, sehingga kesejahteraan umat dapat dicapai
sebesar-besarnya, khususnya terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sarana
peribadatan.222
Pandangan serupa dikemukakan F-Perserikatan Daulatul Ummah.
Bagi fraksi ini, disahkannya RUU ini menjadi undang-undang merupakan hadiah
besar bagi umat Islam untuk dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan syariah.
Di samping hal-hal baru dalam undang-undang ini, seperti wakaf uang tunai dan
adanya BWI diharapkan wakaf tidak lagi disalahgunakan.223
Sementara itu, fraksi terbesar dalam DPR, F-PDIP mengawali pandangan
akhirnya dengan menunjukkan situasi negara saat ini yang dipandang sangat
memprihatinkan. Salah satu sebabnya, menurut fraksi ini, adalah karena tidak
dijalankannya prinsip pemberdayaan ekonomi yang didasarkan pada syariah.
Dengan disahkannya RUU Wakaf menjadi undang-undang diharapkan
terpenuhinya jaminan bagi pihak yang terkait dengan wakaf, termasuk upaya
optimalisasi manfaat wakaf. Di samping itu, undang-undang ini juga diharapkan
dapat memiliki implikasi ekonomis yang dapat membantu kesejahteraan
masyarakat.224
Satu-satunya fraksi yang tidak terlibat dalam pembahasan, tetapi
menyampaikan pandangan akhirnya adalah Frkasi Kesatuan Kebangsaan
Indonesia. Meskipun demikian, fraksi menyetujui agar RUU ini disahkan menjadi
undang-undang mengingat selain berpotensi ekonomis, yang jika dikelola dengan
baik dapat membantu menyejahterakan rakyat. Di samping itu, undang-undang ini
dapat mengakomodasi hal-hal yang belum disinggung dalam peraturan
219 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28
September 2004, 65. 220 ‚Pendapat Akhir Fraksi Reformasi terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 70. 221 ‚Pendapat Akhir Fraksi TNI/Polri terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 75-
76. 222 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Bulan Bintang terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September
2004, 80. 223 ‚Pendapat Akhir Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28
September 2004, 86-87. 224 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terhadap RUU tentang
Wakaf,‛ 28 September 2004, 91-93.
150
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
sebelumnya, dan karenanya secara prinsip fraksi ini menyetujui pengesahaan RUU
ini.225
Setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangan akhirnya, RUU disahkan
menjadi UU tentang Wakaf. Dalam sambutan setelah disahkan RUU ini, Menteri
Agama mengemukakan sejumlah hal baru yang penting dengan lahirnya undang-
undang ini. Pertama, UU ini mengatur wakaf benda bergerak, yang meliputi uang,
surat berharga dan lain-lain, yang tidak ditemukan dalam peraturan perundangan
yang ada sebelumnya. Kedua, persyaratan nazir menjadi lebih sempurna dengan
dimasukkannya ketentuan seperti pembatasan masa jabatan, hak yang dapat ia
terima dan sebagainya. Ketiga, akan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia, yang
akan berperan kunci dalam pengembangan wakaf. Keempat, penekanan pada
pemberdayaan wakaf agar berkontribusi bagi kesejahteraan. Kelima, UU ini
memberikan ketentuan pidana dan administrasi , yang dapat dikenakan kepada
nazir maupun kepada pejabat pembuat akta ikrar wakaf dan lembaga keuangan
yang mengelolanya.226
Dari uraian yang dipaparkan di muka terlihat bahwa faktor yang mendorong
disahkannya undang-undang ini meliputi beberapa hal: (1) ekonomi dan
kesejahteraan, (2) dimensi religious, (3) ketertiban hukum, dan (4) politik.
UU tentang Wakaf ini kemudian disahkan melalui Keputusan DPR No.
13A/DPR-RI/I/2004-2005 tentang Persetujuan DPR terhadap RUU tentang Wakaf
tertanggal 28 September 2004. Pada hari yang sama Surat Persetujuan No.
RU.01/5254/DPR-RI/2004 disampaikan kepada Presiden agar RUU yang sudah
disetujui ini segera disahkan menjadi undang-undang. Sebulan kemudian, undang-
undang ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Oktober
2004 sebagai Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. UU ini
terdiri atas 11 Bab dan 71 Pasal dengan struktur sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum (1 pasal)
Bab II Dasar-dasar Wakaf (30 pasal)
Bab III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf (8 pasal)
Bab IV Perubahan Status Harta Benda Wakaf (2 pasal)
Bab V Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf (5 pasal)
Bab VI Badan Wakaf Indonesia (15 pasal)
Bab VII Penyelesaian Sengketa (1 pasal)
Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan (4 pasal)
Bab IX Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif (2 pasal)
Bab X Ketentuan Peralihan (2 pasal)
Bab XI Ketentuan Penutup (1 pasal)
D. Implikasi terhadap Wakaf setelah Pengesahan Undang-undang
Meskipun telah disahkan, UU No. 41 Tahun 2004 ini tidak begitu saja dapat
dilaksanakan, mengingat ada sejumlah pasal yang menuntut peraturan pemerintah.
Setidak-tidaknya, dibutuhkan delapan peraturan pemerintah agar undang-undang
ini dapat dilaksanakan, seperti diisyaratkan oleh pasal-pasal berikut ini:227
225 ‚Pendapat Akhir Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28
September 2004, 82-83. 226 ‚Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 100-102. 227 Bandingkan Jaih Mubarok, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008),
60-61.
151
Bab IV
1. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan nazir, seperti ditegaskan Pasal 14
ayat (2).
2. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan akta ikrar wakaf, seperti
diamanatkan oleh Pasal 21 ayat (3).
3. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan wakaf benda bergerak berupa uang,
yang disebutkan dalam Pasal 31.
4. Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW),
seperti ditegaskan Pasal 39.
5. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan perubahan status harta benda wakaf,
yang disebutkan Pasal 41 ayat (4).
6. Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf, seperti disebutkan dalam Pasal 46.
7. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan tentang pembinaan dan pengawasan
oleh mentri dan BWI, seperti ditunjukkan dalam Pasal 66.
8. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan pelaksanaan sanksi administratif,
seperti diperintahkan oleh Pasal 68 ayat (3).
Akan tetapi, pemerintah cukup menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 42
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan undang-undang tersebut untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan di atas, tidak dengan menerbitkan satu persatu. Hal ini
dikemukakan dalam bagian menimbang yang menyebutkan bahwa PP ini
dimaksudkan untuk memenuhi pelaksanaan ketentuan Pasal 14, Pasal 21, Pasal
31, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 46, Pasal 66, dan Pasal 68 Undang-undang No. 41
Tahun 2004.228
Untuk melengkapi PP tersebut, Menteri Agama menerbitkan
Peraturan No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang pada
29 Juli 2009.229
Dengan demikian, disahkannya UU tentang Wakaf memiliki implikasi
langsung terhadap pembentukan peraturan-peraturan terkait yang diamanatkan
oleh undang-undang tersebut. Lebih jauh, wakaf telah dinaikkan kedudukannya
yang semula hanya diatur dalam peraturan pemerintah meningkat menjadi
undang-undang.
Implikasi lain yang tak kalah pentingnya adalah keharusan dibentuknya
Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang disebutkan dalam Pasal 47 sampai Pasal 61
Undang-undang tentang Wakaf. Melalui Keputusan Presiden Nomor 75/M/2007,
BWI dinyatakan terbentuk untuk masa 2007-2010. Sesuai dengan UU No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 51 ayat (1), BWI terdiri atas Badan Pelaksana
dan Dewan Pertimbangan.
Di samping pengurus utama, terdapat juga beberapa divisi, seperti divisi
pembinaan nazir, pengelolaan wakaf, hubungan masyarakat, kelembagaan,
penelitian dan pengembangan. Adanya divisi-divisi ini dimungkinkan sesuai
dengan amanat Pasal 53 undang-undang ini, yang menyebutkan bahwa jumlah
anggota BWI paling sedikit 20 orang dan paling banyak 30 orang.230
Tujuan utama dibentuknya lembaga ini adalah agar perwakafan di Indonesia
mengalami kemajuan dan perkembangan. Untuk itu, BWI memiliki tugas dan
wewenang yang sangat besar, menurut undang-undang, seperti membina nazir
228 Lihat Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. 229 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf
Uang. 230 Lihat UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 53.
152
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
wakaf yang ada, agar dapat mengelola dan mengembangkan wakaf secara lebih
baik. Lembaga ini juga memiliki tugas untuk mengelola dan mengembangkan
sendiri wakaf yang berskala nasional dan internasional. Bahkan, BWI memiliki
wewenang untuk menyetujui dan memberikan izin perubahan peruntukan dan
status benda wakaf, jika benda wakaf tersebut dipandang tidak atau kurang
produktif. Di samping itu, BWI juga berhak memberhentikan dan mengganti
nazir, tak terkecuali memberikan saran dan perimbangan kepada pemerintah
dalam membuat kebijakan yang terkait dengan wakaf.231
Karena itu, BWI dapat
dipandang sebagai tulang punggung maju mundurnya perwakafan di masa yang
akan datang.
Sebenarnya, keterlibatan negara dengan membentuk BWI menunjukkan
keterlibatan pemerintah yang setengah hati, mengingat negara tidak secara
langsung terlibat di dalamnya dan tidak masuk ke dalam kementeriaan tertentu.
Model seperti ditemukan di Malaysia, yang melibatkan negara federal sangat
sedikit, tetapi menyerahkan kepada negara bagian lain.232
Ini sangat berbeda
dengan Kuwait, Yordania dan Saudi Arabia yang melibatkan langsung negara.
Juga berbeda dengan India dan Singapura, yang keterlibatan negara hanya terkait
dengan penyediaan perundang-undangan.233
Sejauh ini, BWI telah berhasil mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp.
880.884.770,- dan tanah di Serang, Banten, seluas 2.348 M persegi seharga Rp.
375.680.000,-. Jika dijumlahkan secara keseluruhan, maka BWI hingga Februari
2010 berhasil mengumpulkan wakaf sebesar Rp. 1.256.564.770,-.234
Menurut
Suparman, saat ini belum diperoleh angka yang pasti tentang wakaf uang,
mengingat hal itu masih belum dilaporkan ke BWI secara keseluruhan. Akan
tetapi, diperkirakan jumlah yang telah dihimpun mendekati 10 milyar.235
Ini tidak
berarti bahwa perkembangan wakaf hanya sebatas itu, mengingat terdapat
lembaga-lembaga wakaf lain. Lebih jauh, dana tersebut telah dikelola oleh BWI
untuk tujuan-tujuan produktif, seperti investasi, giro dan lain sebagainya.
Sementara tanah wakaf yang diterimanya kini dijadikan sebagai rumah sakit, yang
pembangunannya kini tengah berlangsung. Dengan begitu, manfaat wakaf akan
semakin dirasakan oleh banyak masyarakat.
Sementara itu, seperti dilaporkan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Departemen Agama, wakaf di masyarakat terus mengalami peningkatan, setidak-
tidaknya berdasarkan catatan. Dalam laporan pada 2006, misalnya, disebutkan
bahwa luas tanah wakaf mencapai 552.446.216,56 M persegi, sementara pada
2008 terjadi peningkatan signifikan hingga mencapai 1.615.791.832,27 M
persegi. Peningkatan signifikan juga terjadi pada 2009, yang mencapai
2.719.854.759,72 M persegi. Di samping itu, kehadiran undang-undang tentang
wakaf ini terbukti telah mendorong pengadministrasian wakaf semakin baik. Ini
231 Lihat UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 49. 232 Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah: IRTI-IDB, 2003),
115. 233 Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir. Untuk Singapura, lihat
Kareem, ‚Contemporary Waqf Administration and Development in Singapore.‛ 234 Keuangan BWI, www.bwi.or.id. 235 Wawancara, Jakarta 18 Januari 2011.
153
Bab IV
terlihat dari peningkatan prosentasi sertifikasi wakaf, yang dari tahun ke tahun
semakin meningkat.236
Implikasi lain disahkannya undang-undang ini adalah meningkatnya
keuangan syariah, karena wakaf dikembangkan melalui sukuk. Menurut pengamat
ekonomi syariah, Muhammad Shodiq, jika aset wakaf dikembangkan menjadi aset
dasar (underlying assets) bagi penerbitan sukuk, maka hal itu berpotensi memiliki
efek berlipat ganda bagi keuangan syariah. Ia menegaskan, ‚Potensi wakaf sangat
besar, namun ada beberapa aset yang ideal. Jika aset wakaf bisa menjadi
underlying aset sukuk, maka dari sana bisa menghasilkan dana yang bisa
digunakan untuk investasi ke sektor mikro syariah, misalnya. Dengan demikian
hal ini akan memiliki multiplier effect bagi perkembangan keuangan syariah
Indonesia.‛237
Bahwa peluang wakaf uang dapat mendorong keuangan syariah ini juga
diakui oleh Mustafa Edwin, wakil ketua BWI, meskipun hal itu harus dikaji
terlebih dahulu, terutama dalam kaitannya dengan hukum fikih. Yang demikian
itu terjadi karena setoran wakaf akan dilakukan di bank syariah, sehingga lembaga
keuangan syariah akan memeroleh dana untuk dikelola. Mustafa menegaskan,
‚Bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi dan dengan ditaruhnya dana wakaf
di bank syariah dan bisa diolah, maka akan turut memperbesar pangsa perbankan
syariah.‛238
Akan tetapi, ia tetap akan berhati-hati karena ‚belum melakukan
kajian mengenai hal itu apakah secara fikih dimungkinkan atau tidak, apakah
harta benda wakaf mungkin untuk menjadi underlying aset. Ini masih perlu
dikaji,‛ kata Mustafa.239
Kenyataan ini diperkuat oleh semakin meningkatnya bank-bank syariah yang
berminat untuk menjadi penerima setoran wakaf. Seperti diberitakan, sampai saat
ini sudah ada delapan bank yang ditetapkan secara resmi sebagai penerima setoran
wakaf, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BNI
Syariah, unit usaha syariah (UUS) Bank DKI dan lain sebagainya.240
Di kemudian
hari, jumlah ini tampaknya akan semakin bertambah, mengingat saat ini saja
sudah ada dua bank lainnya yang sedang menjalani proses untuk menjadi bank
penerima setoran wakaf, yakni Bank Syariah Bukopin dan Bank Syariah BTN.241
Tentu, hal itu tidak akan berjalan dengan begitu saja, jika tidak ada kreasi
dan metode khusus yang diterapkan oleh bank-bank tersebut. Ani Murdiati,
direktur Retail Banking Bank Mega Syariah (BMS), misalnya, menegaskan bahwa
wakaf uang tidak bisa ditawarkan dengan cara-cara seperti produk lain bank
syariah ditawarkan. Ia membutuhkan cara yang berbeda, di antaranya dengan
menawarkan paket wakaf kepada nasabah, dengan memasukkannya dalam
investasi tertentu. ‚Untuk menawarkan wakaf uang di bank syariah tentu beda
dengan menawarkan produk bank syariah lainnya, kecuali mungkin dapat
236 Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen
Agama, 2009. 237 Republika, Senin, 7 Juni 2010. 238 Republika, Senin, 7 Juni 2010. 239 Republika, Senin, 7 Juni 2010; lihat juga Ahmad Hasan dan Muhammad Abdus Shahid,
‚Management and Development of the Awqaf Assets,‛ Proceedings of Seventh International Conference: The Tawhidi Epistemology—Zakat and Waqf Economy, Bangi, 2010, 321-322.
240 Wawancara dengan Mustafa E. Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. 241 Media Indonesia, Selasa 2 Maret 2010.
154
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
dibentuk seperti paket wakaf kepada nasabah, di mana ada investasi tertentu
untuk penempatan wakaf,‛ kata Ani.242
Dari uraian tersebut terlihat bahwa kehadiran UU No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf telah memberikan manfaat baik terhadap pengelolaan wakaf itu
sendiri, maupun manfaat bagi masyarakat. Tentu, terlalu dini untuk menilai
keberhasilan BWI, misalnya, karena lembaga ini dapat dipandang masih seusia
bayi. Akan tetapi, dengan keberhasilannya dalam waktu singkat mengumpulkan
dana wakaf dan mengelolanya, harapan besar untuk menyejahterakan masyarakat
patut diberikan kepada lembaga ini. Apalagi jika seluruh pranata wakaf yang telah
ada juga dikelola dengan baik seperti yang dilakukan oleh BWI.
242 Republika, Senin, 7 Juni 2010.
155
BAB V
PERKEMBANGAN FILANTROPI ISLAM
Dalam dua bab sebelumnya telah diuraikan bagaimana keterkaitan negara dalam
masalah filantropi Islam. Dalam bab ini akan diuraikan dampak dari disahkannya
undang-undang tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf,
yaitu perkembangan lembaga filantropi Islam dan respons civil society Islam
terhadap rencana revisi UU No. 38 Tahun 1999.
A. Pertumbuhan Lembaga-lembaga Zakat, Wakaf dan Filantropi
Jauh sebelum UU No. 38 Tahun 1999 dan UU No. 41 Tahun 2004 disahkan
dan diundangkan, sebenarnya lembaga-lembaga filantropi Islam sudah cukup
banyak yang bermunculan. Yayasan Dana Sosial Al-Falah, Surabaya, yang
didirikan pada 1987, misalnya, telah aktif bergerak dalam menghimpun dan
menyalurkan dana zakat bagi fakir miskin. Demikian pula Dompet Dhuafa
Republika yang didirikan pada 1993. Keduanya berhasil menjadi lembaga
filantropi Islam yang sangat berhasil, di antaranya, karena manajemen
pengelolaan yang digunakannya adalah modern, seperti transparansi dalam
pelaporan dan pendayagunaannya yang jelas, sehingga dapat dirasakan oleh
masyarakat.1
Meskipun demikian, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997
merupakan salah satu faktor penting bagi tumbuhnya lembaga-lembaga filantropi.
Seperti akan diuraikan, beberapa lembaga filantropi yang memiliki peran penting
saat ini lahir karena faktor krisis tersebut. Bahkan, seperti dikemukakan
sebelumnya, lahirnya kedua undang-undang di atas tidak bisa dipisahkan dari
faktor ini. Di samping itu, reformasi yang menandai desentralisasi kekuasaan juga
mendorong lahirnya beberapa lembaga filantropi.2
Lahirnya kedua undang-undang di atas juga sangat berpengaruh bagi
tumbuhnya lembaga filantropi, yang menunjukkan menguatnya gerakan civil society. Dalam bidang zakat dan infak/shadaqah, misalnya, bukan hanya
BAZNAS dan BAZDA yang disponsori oleh pemerintah yang banyak berdiri,
tetapi juga lembaga-lembaga swasta yang dikenal dengan LAZ.3 Sementara itu,
dalam bidang wakaf, BWI telah resmi didirikan pada tingkat nasional, yang
dibarengi dengan berdirinya beberapa cabang di beberapa daerah. Meskipun
demikian, LAZ juga aktif menerima dan mengelola wakaf dalam berbagai bentuk.
1 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam Infoz,
Edisi 4 Tahun VI (2010), 29. 2 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara
dalam Infoz, Edisi 4 Tahun VI (2010), 26. 3 Lihat Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social
Justice,‛ Makalah disampaikan pada CSID 5th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004,
17.
156
Perkembangan Filantropi Islam
Perkembangan lembaga filantropi yang demikian besar itu digambarkan
Jennifer Bremer sebagai ‚hidupnya kembali lembaga-lembaga filantropi lama,‛
yang dapat memainkan kembali perannya. Hal itu karena selama ini lembaga-
lembaga filantropi Islam dibikin bergantung pada negara, yang jauh lebih superior
ketimbang yang pertama. Akibatnya, lembaga-lembaga tersebut memeroleh
tekanan dari negara.4
Berbeda dengan struktur BAZ yang kemungkinan pembentukannya hanya
satu lembaga di tingkat nasional, LAZ memiliki sejumlah lembaga yang masuk ke
dalam kategori nasional. Sejauh ini, LAZ yang berada di tingkat nasional
berjumlah 18 lembaga,5 sebagian di antaranya akan diuraikan aktivitas dan
perannya dalam pengelolaan zakat dan wakaf.
1. Dompet Dhuafa (DD) Republika
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Dompet Dhuafa Republika
memiliki peran yang penting dalam pendirian Forum Zakat (FOZ). Lembaga ini
sebenarnya telah berdiri pada 1994, setahun setelah terbitnya Koran Republika
pada 1993. Di antara faktor yang mendorong berdirinya lembaga ini adalah
kenyataan bahwa para wartawan, di satu sisi, sering bertemu dengan orang kaya
dan, di sisi lain, acapkali berjumpa dengan masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Atas dasar itu, para wartawan kemudian menyisihkan zakat 2,5% dari
gajinya setiap bulan untuk disalurkan kepada orang-orang miskin. Rasa empati
para wartawan semakin besar tatkala mereka menyaksikan kegiatan
pemberdayaan masyarakat miskin di Gunung Kidul Yogyakarta yang didanai oleh
mahasiswa melalui iuran, yang disisihkan dari uang saku mereka.6 Di samping itu,
masyarakat sendiri terbukti telah banyak menyalurkan zakat, infak dan
sadakahnya kepada DD, sebuah kolom yang ditampilkan dalam harian Republika.
Melihat kenyataan di atas dibentuklah sebuah lembaga independen yang
berusaha mengelola zakat, infak dan sadaqah masyarakat dengan nama Dompet
Dhuafa Republika, yang secara resmi didirikan pada 14 September 1994. Sebagai
bentuk sebuah yayasan, DD tercatat dalam Departemen Sosial sebagai organisasi
yang berbentuk yayasan.7 Di samping mengelola dana zakat, DD juga mengelola
wakaf, di samping dana lain yang halal dan sah, baik yang berasal dari sumbangan
perorangan maupun kelompok, atau bahkan perusahaan atau lembaga.8
4 Bremer, ‚Philanthropy Islam,‛ 15. 5 Anonimous, Ke Manakah Anda Membayar Zakat (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat,
2008), 56-63. Ke-18 lembaga tersebut adalah: (1) LAZ Yayasan Amanah Takaful, (2) LAZ Dompet
Dhuafa (DD) Republika, (3) LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU), (4) LAZ Persatuan Islam (Persis),
(5) LAZ Yayasan Baitul Mall Hidayatullah, (6) LAZ Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), (7) LAZ
Yayasan Baitul Mall Muamalat, (8) LAZ Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF), (9) LAZ Yayasan
Baitul Maal Ummat Islam, (10) LAZ Bangun Sejahtera Mitra Ummat, (11) LAZ BaitulMaal Bank
Rakyat Indonesia, (12) LAZ Baitul Mall Wat Tamwil (BMT), (13) LAZ Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII), (14) LAZ Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah (MAZMA)
Pertamina, (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid, (17) LAZ Nahdlatul Ulama (LAZIS NU)
dan, (18) LAZ Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). 6 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). Lihat juga Bremen, ‚Islamic
Philanthropy,‛ 18. 7 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). 8 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010).
157
Bab V
Sesuai dengan misinya, DD hendak meningkatkan semangat kemandirian
masyarakat dengan berpijak pada dana-dana yang diperoleh dari dalam negeri
melalui sistem yang berkeadilan. Ini berarti bahwa DD tidak mengandalkan dana
dan sumbangan dari luar negeri, seperti yang banyak diperoleh oleh yayasan-
yayasan lain. Sebaliknya, DD berkeinginan untuk menggalang dana masyarakat
Indonesia sendiri yang akan disalurkan untuk membangun masyarakat yang
mandiri. Sejalan dengan itu, DD memiliki misi sebagai lokomotif gerakan
pemberdayaan masyarakat, yang dapat mengembangkan jaringan pemberdayaan
masyarakat, mengelola dana masyarakat dan mendorong terciptanya ekonomi
yang berkeadilan.9
Visi untuk menjadi lokomotif gerakan pemberdayaan masyarakat ini
tampaknya yang mendorong DD untuk berperan sebagai salah satu bidan bagi
kelahiran Forum Zakat (FOZ) bersama 10 lembaga lainnya.10
Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, FOZ inilah yang kemudian mempersiapkan draft undang-
undang tentang pengelolaan zakat, yang kemudian diajukan pemerintah dan
disetujui oleh DPR menjadi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.11
Sesuai dengan undang-undang ini, DD termasuk ke dalam kategori lembaga
pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat (LAZ), dan berdasarkan SK
Menteri Agama No. 439 Tahun 2001 ditetapkan sebagai LAZ tingkat nasional. Ini
berarti bahwa DD telah berpengalaman dalam mengelola zakat, sebab syarat
minimal sebuah lembaga untuk disebut bertingkat nasional jika ia telah beroperasi
dua tahun. Lebih jauh, DD juga telah memiliki jaringan yang luas, mengingat
syarat yang harus dipenuhi agar disebut lembaga nasional sekurang-kurangnya
memiliki cabang di 10 provinsi. Di samping itu, DD menunjukkan sebagai
lembaga yang berhasil mengumpulkan dana, setidak-tidaknya di atas 1 milyar
rupiah setiap tahunnya.12
Kenyataannya, jika dilihat sejak berdirinya hingga keluarnya SK tersebut,
DD telah berkiprah tujuh tahun dan telah berkembang luas ke sejumlah daerah di
Jawa dan luar Jawa. Hingga saat ini, DD telah memiliki delapan cabang di
berbagai provinsi dan dua cabang di luar negeri, yaitu Hong Kong dan Australia.
Di samping cabang-cabang, DD juga memiliki sembilan perwakilan di berbagai
kota di Indonesia dan jejaring yang kebanyakan berada di sekitar Jakarta.13
Dalam masalah penggalangan dana zakat, infak dan shadaqah, DD dapat
dipandang sangat berhasil, mengingat ia mampu mengumpulkan jumlah yang jauh
dari jumlah minimal yang ditetapkan oleh peraturan, yakni sebesar satu milyar.
Pada 2005, misalnya, DD berhasil menghimpun dana zakat sebesar Rp.
18.702.760.098,00, dana infak/shadaqah sebesar Rp. 3.247.603.114,00 dan dana
wakaf sebesar Rp. 7.443.389.795,00. Dengan kata lain, secara keseluruhan, dana
9 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). 10 Ke-10 lembaga ini, antara lain, adalah Bank Bumi Daya, Pertamina, Telkom Jakarta, Baitul Mal
Pupuk Kujang, BAZIS DKI, Hotel Indonesia dan STIE Jakarta. Lihat Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat
Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir
Tajang (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 63. 11 Lihat Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern
Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), 127-128. 12 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). 13 Tentang cabang-cabang DDR, lihat http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=tentangdd&y=
c2247029b4d84b48dbee17f788ec65bd (diakses 5 Agustus 2010).
158
Perkembangan Filantropi Islam
filantropi yang dihimpun DD pada tahun tersebut mencapai hampir 30 milyar
rupiah.
Pada tahun berikutnya, 2006, dana zakat yang berhasil dihimpun DD
meningkat menjadi Rp. 21.046.376.859,00. Peningkatan dana zakat ini juga
diikuti oleh peningkatan dana infak/shadaqah yang mencapai Rp.
4.457.138.665,00 meskipun tidak diikuti oleh dana wakaf yang hanya mencapai
Rp. 1.000.145.598,00. Secara keseluruhan pada 2006, penghimpunan dana yang
diperoleh oleh DD dari tiga bidang ini mengalami penurunan, dari mendekati 30
milyar ke sekitar 26 milyar rupiah.
Peningkatan penghimpunan dana terjadi pada tahun berikutnya, 2007, yang
secara keseluruhan mendekati 30 milyar. Jumlah ini meliputi dana zakat sebesar
Rp. 22.945.299.231,00 dana infak/shadaqah sebesar Rp. 5.674.724.803,00 dan
dana wakaf sebesar Rp. 1.399.798.925,00. Dengan demikian, dalam waktu tiga
tahun, jumlah dana filantropi yang berhasil dihimpun oleh DD sekitar 30 milyar.
Dengan dana yang terkumpul cukup besar, DD dapat melakukan berbagai
aktivitas bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Berbagai bidang yang menjadi
garapan DD meliputi bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat,
dan ekonomi. Dalam bidang pendidikan, misalnya, DD mendirikan sekolah yang
disebut Smart Ekselensia Indonesia, yang siswanya tidak dipungut biaya sama
sekali atau gratis. Di samping itu, program Bea Studi Sarjana memberikan kepada
mahasiswa kurang mampu beasiswa untuk membantu biaya pendidikan mereka,
yang jumlah peminatnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Selanjutnya, ada
program Pengembangan Kapasitas Guru melalui lembaga Makmal Pendidikan,
yang kegiatannya meliputi pelatihan bagi guru-guru, pendampingan sekolah dan
peningkatan kualitas sekolah.14
Dalam bidang kesehatan, ada dua bentuk aktivitas yang telah dijalankan oleh
DD. Pertama, Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC), lembaga baru yang
didirikan oleh DD untuk menangani kesehatan bagi kaum dhuafa, yang
pengoperasiannya didasarkan pada dana ZISwaf. Kedua, Rumah Sakit Gratis,
sebuah upaya yang lebih besar dalam memberikan layanan kesehatan bagi
masyarakat miskin. Rencananya, rumah sakit ini akan diberi nama Rumah Sehat
Terpadu.15
Adapun dalam bidang pemberdayaan masyarakat, DD melakukan beberapa
terobosan. Pertama, pengembangan ketrampilan, yang diberi nama Institut
Kemandirian. Lembaga ini dirancang sebagai model/sekolah pemberdayaan
praktis, di mana masyarakat akan memeroleh pelatihan. Ada dua pelatihan yang
diselenggarakan di sini, yaitu pelatihan kewirausahaan yang bertujuan pada
pembentukan wawasan dan motivasi sebagai wirausaha kecil, dan pelatihan
teknis, yang bertujuan membekali peserta dengan ketrampilan khusus, seperti
otomotif, menjahit, dan perkayuan.16
Pemberdayaan peternak adalah jenis lain aktivitas DD. Dinamakan
Kampoeng Ternak, pemberdayaan ini semula lahir dari program lain, yang
bernama Tebar Hewan Kurban. Tentu, program ini tidak dapat terlaksana tanpa
14 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pddk&y=395d32ee5ef984ab86f3336d407f4c81 (diakses 5
Agustus 2010). 15 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=kes&y=e3fe8e836ca14793a4274bd14552589c (diakses 5
Agustus 2010). 16 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pemmas (diakses 5 Agustus 2010).
159
Bab V
ketersediaan hewan kurban yang sehat. Karena itu, DD menginisiasi kelompok
peternak untuk menjadi mitra dalam penyediaan hewan kurban, dan agar hasilnya
bagus mereka dilatih dengan berbagai ketrampilan, bagaimana pakan yang baik,
manajemen dan memelihara kesehatan hewan.17
Tidak hanya kepada peternak, pemberdayaan yang dilakukan oleh DD juga
diarahkan pada kaum petani, yang secara khusus ditangani oleh Lembaga
Pertanian Sehat (kini Usaha Pertanian Sehat). Lembaga ini dimaksudkan sebagai
wahana penelitian dan pengembangan sarana pertanian yang tepat guna bagi
petani kecil. Di antara hasil yang telah dicapai oleh lembaga ini, antara lain,
adalah biopestisida (pengendali hama tanaman) bernama VIR-L, VIR-X dan VIR-
H dan pupuk organik yang mendukung pertanian kecil. Tidak hanya sampai di
situ, UPS juga membantu memasarkan produk pertanian yang menggunakan
teknologi tersebut.18
Dalam bidang ekonomi, DD aktif membangun jaringan lembaga keuangan
mikro syariah. Sejalan dengan maraknya BMT (Baitul Maal Wa Tamwil), DD
bersama sejumlah BMT lain membangun ‚holding‛ BMT dalam rangka menopang
sinergi dan permodalan. Sampai saat ini, ada 60 lembaga keuangan mikro syariah
yang tersebar di Jawa dan Sumatra, di mana DD ikut aktif terlibat dalam
pendiriannya. Jaringan ini kemudian disebut BMT Center, dengan aset yang
dikelola mencapai Rp. 266 milyar, di samping dana ketiga sebesar Rp. 233
milyar.19
Di samping usaha-usaha produktif seperti di atas, DD juga aktif terlibat
dalam penanggulangan bencana alam, sosial dan peperangan. Di sejumlah
bencana, baik yang terjadi di Aceh, Papua, Jawa Tengah, Yogyakarta hingga
Lumpur Lapindo, DD melibatkan aktivisnya dalam pembangunan kembali rumah
tinggal, fasilitas ibadah, kesehatan dan pendidikan, di samping pemulihan
ekonomi masyarakat korban bencana.20
Semua ini menunjukkan bahwa dana filantropi yang dihimpun oleh DD
sangat membantu, di satu sisi, bagi pengentasan kemiskinan pada masyarakat dan,
di sisi lain, bagi penciptaan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Melalui
berbagai pemberdayaan, DD ingin mendorong masyarakat menjadi mandiri dalam
memenuhi kebutuhan mereka dan kemudian memiliki aset bagi kehidupan mereka.
2. Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU)
Kemunculan PKPU dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang melanda
negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara, pada 1997, di mana Indonesia
merupakan korban yang paling parah. Diawali dengan depresi rupiah terhadap
dollar Amerika, krisis yang terjadi di Indonesia merambah ke beberapa bidang
lainnya, seperti politik, moral, pendidikan, sains dan teknologi, budaya dan, tentu
saja, agama. Situasi itu menggerakkan banyak orang untuk terlibat dalam
menyumbangkan pikiran dan tenaga melakukan aksi sosial di berbagai daerah.21
Sebagai tindak lanjut dari keterlibatan mereka ini, dibentuklah sebuah
lembaga yang bernama Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) pada 10 Januari 1999
17 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pemter (diakses 5 Agustus 2010). 18 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pempet (diakses 5 Agustus 2010). 19 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pms (diakses 5 Agustus 2010). 20 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pbasdp (diakses 5 Agustus 2010). 21 http://www.pkpu.or.id/about/sejarah (diakses 6 Agustus 2010).
160
Perkembangan Filantropi Islam
dalam bentuk yayasan, yang memfokuskan diri sebagai lembaga yang bergerak
dalam bidang sosial.
Sementara itu, dalam bidang penggalangan dana, lembaga ini menghimpun
dari berbagai sumber, terutama dari aspek-aspek filantropi Islam, seperti zakat,
infak/shadaqah, wakaf dan lain sebagainya. Karena itu, bersamaan dengan
keluarnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga ini
mendaftarkan diri sebagai lembaga yang secara sah dapat menghimpun dana
zakat, yang dikukuhkan oleh SK Menteri Agama No. 441 tanggal 8 Oktober 2001
sebagai Lembaga Amil Zakat di tingkat nasional.22
Dikukuhkannya PKPU sebagai
LAZ nasional menunjukkan bahwa lembaga ini telah memiliki pengalaman yang
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Agama, yang
menyebutkan syarat minimal dua tahun pengalaman.23
Ini juga berarti bahwa
PKPU terbukti telah tersebar di banyak daerah, setidak-tidaknya di sepuluh
provinsi, sekaligus sebagai bukti bahwa lembaga ini berhasil menghimpun dana di
atas satu milyar.
Selanjutnya, mengingat luasnya wilayah kerja lembaga ini di berbagai
daerah, pada 2004 PKPU memperluas jangkauan aktivitasnya tidak hanya pada
pengelolaan zakat, infak/shadaqah dan wakaf, tetapi kemanusiaan secara
keseluruhan, sehingga ia menamakan diri sebagai Lembaga Kemanusiaan
Nasional. Klaim ini bukanlah tanpa alasan, mengingat PKPU telah melibatkan diri
dalam berbagai aktivitas kemanusiaan, seperti tsunami di Aceh, gempa di
Yogyakarta dan bencana di tempat lain, bersama lembaga-lembaga internasional
lainnya. Keterlibatan PKPU dalam penanganan korban kemanusian ini akhirnya
memeroleh pengakuan dari PBB sebagai ‚NGO in Special Consultative Status
with the Economic and Social Council of the United Nations‛ pada 21 Juli 2008.
Akhirnya, pada 2010, PKPU dikukuhkan sebagai Organisasi Sosial Nasional
berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No 08/Huk/2010.24
PKPU memiliki visi ‚Menjadi Lembaga Terpercaya dalam Membangun
Kemandirian‛ dengan misi: (1) Mendayagunakan program rescue, rehabilitasi dan
pemberdayaan untuk mengembangkan kemandirian; (2) Mengembangkan
kemitraan dengan masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya
masyarakat dalam dan luar negeri; (3) Memberikan pelayanan informasi, edukasi
dan advokasi kepada masyarakat penerima manfaat (beneficiaries).25
Untuk mewujudkan misi tersebut, lembaga ini mencanangkan sejumlah
program, tujuh di antaranya merupakan program andalannya. Ketujuh program
prioritas ini adalah sebagai berikut:26
a. Penanggulangan bencana berbasis komunitas (Community Based Disaster
Risk Management). Tujuan program ini adalah mendorong masyarakat untuk
mandiri dalam menghadapi risiko bencana. Maksudnya, para korban bencana,
di samping diberi bantuan, didorong untuk terlibat dan bertanggung jawab
terhadap program dari perencanaan hingga pelaksanaan. Dengan begitu
diharapkan masyarakat dapat bertahan dan siap menanggulangi bencana
secara mandiri, tanpa harus selalu bergantung pada bantuan donatur asing. Di
22 http://www.pkpu.or.id/images/uploads/MENTERI%20AGAMA.pdf (diakses 6 Agustus 2010). 23 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). 24 http://www.pkpu.or.id/about/aktivitas-lembaga (diakses 6 Agustus 2010). 25 http://www.pkpu.or.id/about/visi-dan-misi (diakses 6 Agustus 2010). 26 http://www.pkpu.or.id/about/aktivitas-lembaga (diakses 6 Agustus 2010).
161
Bab V
samping itu, kehadiran program ini mendorong PKPU memersiapkan aktivis
tanggap darurat bencana, sehingga bila terjadi bencana, penanganannya dapat
lebih cepat dilakukan dengan mengurangi potensi risiko yang ditimbulkan
oleh bencana tersebut.
b. Pogram Ibu Sadar Gizi (BUDARZI). Program ini merupakan program yang
berorientasi pada peningkatan gizi masyarakat, dengan prioritas utama anak-
anak balita. Karena itu, yang menjadi sasaran utama program ini adalah ibu-
ibu kurang mampu yang memiliki anak balita, dengan harapan mereka dapat
memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan anak-anak secara baik dan benar,
sehingga akan tumbuh generasi yang baik pula.
c. Program Komunitas Sehat. Program ini sebenarnya adalah pemberian layanan
kesehatan bagi masyarakat miskin. Ada dua kegiatan penting yang menjadi
bagian program ini, yaitu Program Kesehatan Masyarakat Keliling Terpadu
(PROSMILING TERPADU) dan Klinik Peduli. PROSMILING TERPADU
merupakan layanan kesehatan keliling yang dilaksanakan secara terpadu,
dalam arti dilaksanakan dalam satu paket, dan sengaja dirancang bagi
masyarakat. Program ini dilaksanakan secara gratis, tanpa dipungut biaya,
dengan prioritas utama masyarakat yang tidak mudah memiliki akses
terhadap layanan kesehatan. Adapun Klinik Peduli biasanya didirikan di
tempat-tempat khusus, komunitas tidak mampu, atau wilayah yang ditimpa
bencana.
d. Program Komunitas Hijau (Green Community). Yaitu, program
pemberdayaan masyarakat (community development) dengan orientasi pada
kesehatan. Ini dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk mengubah
sikap hidup bersih dan sehat, melalui perbaikan kondisi lingkungan tempat
tinggal mereka. Biasanya, program ini dilaksanakan di daerah-daerah miskin
yang membutuhkan perhatian dan pendampingan kesehatan lingkungan.
e. Program Sinergi Pemberdayaan Komunitas (PROSPEK). Ini adalah program
yang berorientasi pada masyarakat dalam bidang ekonomi usaha kecil.
Adapun masyarakat yang menjadi sasaran program ini adalah petani,
peternak, pengrajin, pedagang kecil dan tukang ojek serta nelayan. Mereka ini
dihimpun dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), tempat mereka
memeroleh pelatihan dan pendampingan. Dari sini kemudian terbentuk
koperasi yang mereka kelola sendiri.
f. Program Pendidikan Berbasis Potensi Masyarakat. Maksudnya, program ini
didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dan tuntutan
yang mereka kehendaki. Untuk tujuan ini, PKPU mendorong anak didik
daerah agar memiliki motivasi yang kuat, pengetahuan dan ketrampilan yang
dapat disumbangkan bagi pengembangan daerahnya masing-masing.
g. Voucher Yatim. Yaitu, program filantropi dalam bentuk voucher belanja yang
diberikan kepada anak-anak yatim sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan
begitu, anak-anak yatim tersebut dapat memilih kebutuhan sesuai dengan
keinginan mereka.
Untuk mendukung berbagai program di atas, PKPU melaksanakan berbagai
aktivitas dalam penggalangan dana. Ini meliputi dana-dana filantropi, baik yang
berbentuk keagamaan seperti zakat, infak/shadaqah dan wakaf, melalui dana yang
162
Perkembangan Filantropi Islam
diperoleh dari perusahaan (corporate social responsibility).27
Di samping itu,
lembaga ini juga mencari dana khusus yang sengaja disiapkan bagi bantuan
bencana kemanusiaan, termasuk di dalamnya, penghimpunan pakaian, bahan
makanan (sembako) dan obat-obatan. Yang juga tidak luput dari perhatian PKPU
adalah menghimpun dana bagi kurban.
Adapun sasaran pelaksanaan berbagai kegiatan di atas adalah daerah-daerah
bencana alam dan kemanusiaan serta daerah kritis dan kekurangan. Lebih jauh,
PKPU juga mengarahkan kegiatannya pada rehabilitasi berbagai sarana dalam
masyarakat, seperti fasilitas kesehatan dan air bersih, lembaga pendidikan, rumah
ibadah dan fasilitas ekonomi. Semua aktivitas di atas dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan semboyan ‚menggugah nurani, menebar peduli.‛ Ini dilandasi oleh
semangat bahwa ‚yang terbaik di antara kita adalah yang paling besar
kontribusinya terhadap sesama.
3. Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhiid
Seperti DD dan PKPU, DPU Daarut Tauhiid adalah lembaga filantropi yang
bergerak dalam bidang penggalangan dan pengelolaan dana masyarakat dalam
bentuk zakat, infak/shadaqah, wakaf serta dana lainnya yang halal, baik dari
perorangan, kelompok maupun perusahaan. Lembaga ini didirikan oleh Yayasan
Daarut Tauhiid pimpinan KH. Abdullah Gymnastiar pada 16 Juni 1999. Para
pengurus yayasan melihat perluanya peningkatan kinerja pengelola zakat, infaq
dan shadaqah (ZIS) secara profesional, dan karenanya diperlukan strategi yang
efektif bagi pengumpulan dan pengelolaan ZIS. Dari sinilah kemudian lahir
gagasan pendirian Dompet Peduli Ummat (DPU).28
Dengan kata lain, pendirian lembaga ini terkait erat dengan masa krisis
ekonomi dan era reformasi di Indonesia. Situasi inilah yang mendorong lahirnya
DPT-DT karena kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah
penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang amat besar. Akan
tetapi, kesadaran masyarakat untuk membayar zakat persentasinya masih sangat
rendah, jika dilihat dari potensi zakat yang mencapai hingga puluhan trilyun
rupiah. Di samping itu, zakat sejauh ini hanya dikelola dan dimanfaatkan secara
tidak optimal, karena hanya diarahkan pada bantuan sesaat, tidak dibarengi
dengan jalan keluar bagi penerima dana zakat. Akibatnya, dana zakat tidak
memiliki manfaat maksimal, kecuali bantuan tahunan bagi orang-orang miskin.
Persoalan-persoalan ini hendak diatasi oleh DPU-DT dengan pertama-tama
berusaha membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap zakat. Selanjutnya,
DPU-DT akan menyalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya dengan
cara mengubah nasib mereka dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki
(pemberi zakat). Untuk merealisasikan niat ini, DPU-DT mencoba menyusun
database bagi setiap donatur, dengan memberikan kepada mereka nomor dan kartu
anggota untuk mengukur kepedulian dan komitmen mereka.29
Usaha ini membuahkan hasil, sehingga pada 19 Agustus 2002 DPU-DT
dikukuhkan sebagai Lembaga Amil Zakat Daerah (LAZDA) Jawa Barat, melalui
27 Di antara perusahaan yang menjadi mitra PKPU adalah perusahaan-perusahaan besar seperti
PT Pertamina Pusat, PT Bank Syariah Mandiri, PT Pelindo, PT Sucofindo, BNI 1946, PT Astra Honda
Motor, PT Indocement, PT Jasindo, PT Wijaya Karya dan lain sebagainya. 28 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010). 29 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010).
163
Bab V
Keputusan Gubernur Jawa Barat No: 451.12/Kep. 846 - YANSOS/2002.
Pengukuhan ini semakin melecut kiprah DPU-DT untuk aktif menghimpun dana
zakat, sehingga dua tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai LAZ nasional melalui
SK Menteri Agama No. 410 Tahun 2004 tertanggal 13 Oktober.30
Ini berarti
DPU-DT memiliki jaringan yang luas dalam menghimpun dana zakat dan
mencapai lebih dari satu milyar dalam setiap tahunnya. DPU-DT memiliki
cabang-cabang di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Lampung dan Palembang, di
samping di beberapa kota seperti Bogor, Tangerang, Tasikmalaya, Garut dan lain
sebagainya. Sementara jaringan kerjanya menyebar dari Sabang hingga Papua.31
Adapun struktur organisasi DPU-DT terdiri dari (1) Biro Penghimpunan
(Fundrising), (2) Biro Pendayagunaan dan, (3) Biro Sekretariat Lembaga &
Operasional. Masing-masing biro ini dipimpin oleh seorang direktur yang
ditentukan oleh Yayasan Daarut Tauhiid. Sementara itu, cabang-cabang dan unit-
unitnya di berbagai daerah dipimpin oleh seorang kepala cabang dan kepala unit.
DPU-DT memiliki visi ‚Menjadi Model Lembaga Amil Zakat Nasional
(LAZNAS) yang Amanah, Profesional, Akuntabel dan terkemuka dengan daerah
operasi yang merata.‛ Visi ini kemudian dirumuskan dalam misi untuk (1)
mengoptimalkan potensi umat melalui zakat, infak/shadaqah dan wakaf, dan (2)
memberdayakan masyarakat dalam bidang ekonomi, pendidikan, dakwah dan
sosial menuju masyarakat mandiri.32
Dari visi dan misi terlihat bahwa DPU-DT
ingin mengembangkan dana ZIS bukan sekadar dibagikan lalu habis, tetapi
dikembangkan menjadi sumber yang dapat memandirikan masyarakat.
Ini terlihat dengan jelas dalam program-program yang dicanangkan oleh
DPU-DT. Setidak-tidaknya ada tiga bidang besar yang menjadi perhatian DPU-
DT dalam menjalankan aktivitasnya. Pertama, pusat kemandirian umat, yang
memfokuskan pada ekonomi umat. Ini meliputi keuangan mikro syariah berbasis
masyarakat, pembiayaan dana bergulir, pelatihan ketrampilan, mental dan
karakter mustahik agar menjadi mandiri. Di samping itu, DPU-DT juga membantu
para peternak dan petani di pedesaan melalui penggemukan domba dan
pengolahan singkong.33
Kedua, pusat pendidikan dan pelatihan umat. Ini meliputi
pendirian sekolah, seperti Adzkia Islamic School, pemberian beasiswa dari SD
hingga perguruan tinggi, peningkatan kompetensi guru, pelatihan kemandirian dan
ketrampilan bagi anak-anak kurang mampu.34
Ketiga, program sosial
kemanusiaan, yang diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang-orang
cacat (difable care), mobil layanan peduli kemanusiaan, kurban, program
Ramadan, penanggulangan bencana, layanan kepada fakir miskin dan anak-anak
panti asuhan.35
4. Rumah Zakat Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ)/Rumah Zakat Indonesia
Lembaga ini bermula dari kelompok pengajian yang bernama Majlis Taklim
Ummul Quro, yang bertempat di Masjid al-Manaar, Jl. Puter Bandung, di bawah
bimbingan seorang dai muda Bandung, Abu Syauqi. Pada 2 Juli 1998, majlis ini
30 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/14 (diakses 7 Agustus 2010). 31 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/16 (diakses 7 Agustus 2010). 32 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/1 (diakses 7 Agustus 2010). 33 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010). 34 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010). 35 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010).
164
Perkembangan Filantropi Islam
berkembang menjadi Dompet Sosial Ummul Quro, yang berkantor di Jl. Turangga
Bandung. Ternyata, dukungan masyarakat terhadap DSUQ sangat besar sehingga
organisasi ini dikelola secara profesional dan pada 1999 berhasil menghimpun
dana zakat dan infak/shadaqah sebesar Rp. 0,8 milyar. Untuk memperluas
aktivitas tidak sekadar penghimpunan dana filantropi, DSUQ merintis sejumlah
program seperti pemberian beasiswa yatim dan dhuafa, layanan kesehatan,
rehabilitasi masyarakat miskin kota dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini menarik
simpati masyarakat dengan terkumpulnya dana sebesar Rp. 2,1 milyar pada 2000
dan meningkat menjadi Rp. 2,19 milyar setahuan kemudian.36
Pada 2002, identitas DSUQ sebagai lembaga amil zakat semakin menguat,
sehingga dapat menghimpun dana sebesar Rp. 4,19 milyar. Penguatan ini
dibarengi dengan perubahan nama menjadi Rumah Zakat pada 2003 dan
dikukuhkan menjadi LAZ Nasional melalui SK Menteri Agama No. 157 Tahun
2003.37
Pada tahun ini, Rumah Zakat berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 6,46
milyar. Peningkatan donasi ini terus terjadi, sehingga pada 2004 mencapai Rp.
8,92 milyar. Penghimpunan dana filantropi terjadi peningkatan sangat besar pada
2005, ketika lembaga ini berhasil meraih Rp. 45,26 milyar.
Ini semua terjadi berkat kegigihan para pengurusnya dengan membuka
berbagai cabang di berbagai kota di Indonesia, membuka pintu penerimaan
selebar-lebarnya melalui berbagai sarana, seperti dengan online dan sebagainya.
Di samping itu, kepemimpinan Abu Syauqi tampaknya berpengaruh besar,
sehingga ketika terjadi peralihan kepemimpinan pada 2006 dari tokoh ini ke Virda
Dimas Ekaputra, penghimpunan dana menurun jauh dan mencapai Rp. 29,52
milyar.38
Setahun kemudian Rumah Zakat mulai memfokuskan pada empat prioritas
program, yang meliputi EduCare, HealthCare, YouthCare dan EcoCare. Dengan
kata lain, pendidikan, kesehatan, kepemudaan dan ekonomi adalah sasaran dari
aktivitas Rumah Zakat. Dengan berbagai program promosi, seperti Gelar Budaya
Zakat di berbagai kota dan menggandeng artis dan sebagainya, Rumah Zakat
berhasil meningkatkan penghimpunan dana, dan pada 2007 mencapai Rp. 50,16
milyar.39
Keberhasilan Rumah Zakat ini juga berarti meluasnya kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga ini. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya cabang
yang berdiri di berbagai provinsi di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Lampung, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Makassar dan Jayapura.40
Di
samping itu, terdapat perwakilan-perwakilan yang tersebar di berbagai kota di
Indonesia. Ini memperbesar penghimpunan dana yang mencapai Rp. 71,40 milyar
pada 2008.
36 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus
2010). 37 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus
2010). 38 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus
2010). 39 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus
2010). 40 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2
165
Bab V
Dalam sepuluh tahun keterlibatannya mengelola dana zakat, Rumah Zakat
kini menjadi lembaga yang terdepan dalam bidang ini. Hal itu dibuktikan dengan
keberhasilannya dalam menghimpun dana yang pada 2009 mencapai Rp. 107,3
milyar dan menetapkan diri sebagai LAZ yang terbesar dalam mengelola zakat di
Indonesia. Ini diakui oleh Karim Business Consulting yang menganugerahi Rumah
Zakat sebagai LAZNAS Terbaik dalam Islamic Social Responsibility Award
2009. Pada tahun yang sama, Indonesia Magnificence of Zakat juga
menganugerahi Rumah Zakat sebagai ‚The Best Organization in Zakat
Development.‛41
Keberhasilan tersebut mendorong lembaga ini untuk terus
meningkatkan diri dalam hal pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat
miskin. Lebih jauh, Rumah Zakat juga ingin melangkah menjadi ‚World Class
Socio-Religious Non Governance Organization (NGO).‛
Dengan kemampuan menghimpun dana filantropi yang demikian besar,
Rumah Zakat berhasil mewujudkan banyak program, seperti Rumah Bersalin
Gratis yang berjumlah 7 buah, SD Juara yang berjumlah 8 buah. Semuanya
tersebar di sejumlah kota di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Bandung,
Surabaya, Pekanbaru, Yogyakarta dan lain-lain. Di samping itu, berbagai layanan
lain, yang dapat mendorong kemandirian masyarakat juga dilakukan. Berikut
adalah gambaran kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Zakat:42
Pendekatan Pemberdayaan Nama Program
Dulu Sekarang
HealthCare Senyum Sehat Rumah Bersalin Gratis (RBG),
Layanan Bersalin Gratis (LBG),
Siaga Sehat, Mobil Ambulans/Mobil
Jenazah, Operasi Katarak Gratis,
AMARA (Armada Sehat Keluarga),
Asuransi Keluarga Sehat, Siaga Gizi
Balita, Pengantaran Pasien/Jenazah,
Khitanan Massal
EduCare Senyum Juara Sekolah Juara, Beasiswa Juara,
Beasiswa Ceria, Kemah Juara, Mobil
Juara, Program Pengembangan
Potensi Anak (P3A), Lab Juara
EcoCare dan
YouthCare
Senyum Mandiri Kelompok Usaha Kecil Mandiri
(KUKMI), Cake House, Pelatihan
Kewirausahaan, Siaga Gizi
Nusantara, Water Well, Toilet Sehat
Keluarga (TOSKA), Empowering
Centre
Rumah Zakat tergolong lembaga filantropi yang cukup kreatif, terutama
dalam mengelola hewan kurban. Salah satu produknya yang banyak dikenal adalah
superqurban, yaitu pengolahan daging kurban menjadi kornet. Tujuan produk ini
adalah agar daging kurban tidak langsung habis dikonsumsi seusai hewan kurban
41 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 42 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2
166
Perkembangan Filantropi Islam
disembelih dan dapat bertahan cukup lama. Lebih dari itu, dengan dikornet,
pendistribusian daging kurban dapat dilakukan dengan mudah hingga ke daerah-
daerah terpencil dan dapat dilakukan sepanjang tahun. Produk ini telah dirasakan
manfaatnya oleh para korban gempa di Jabar (2009), Sumatra Barat (2009) dan di
tempat-tempat lain.43
Apa yang dilakukan oleh Rumah Zakat di atas menunjukkan bahwa dana
filantropi Islam jika dikelola dengan baik dan inovatif dapat memberi kontribusi
penting bagi pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ini bisa dilakukan dalam
bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan bidang pelatihan mental bagi
masyarakat, sehingga dapat menjadi mandiri.
5. Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF)
Yayasan ini didirikan pada 1 Maret 1987. Dilihat dari tahun pendiriannya,
YSDF merupakan lembaga penghimpun dan pengelola dana zakat dan
infak/shadaqah yang tertua dibandingkan dengan empat lembaga yang telah
disebutkan sebelumnya. Hingga kini, YDSF telah memiliki sejumlah cabang di
berbagai provinsi, dan kehadirannya telah dirasakan di 25 provinsi di Indonesia.
Kenyataan ini mendorong dikukuhkannya YDSF sebagai LAZ Nasional melalui
Keputusan Menteri Agama No. 523 Tahun 2001.
YDSF menghimpun dana filantropi yang meliputi zakat, infak/shadaqah dan
wakaf, sebagaimana tercermin dalam visinya yang ingin ‚Menjadi Organisasi
Pengelola Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf Nasional terpercaya yang selalu
mengutamakan kepuasan donatur dan mustahik.‛ Adapun misinya adalah: (1)
Memberikan pelayanan prima kepada donatur melalui program-program layanan
donatur yang didukung oleh jaringan kerja yang luas, sistem manajemen yang rapi
serta SDM yang amanah dan professional, (2) Melakukan kegiatan
pendayagunaan dana yang terbaik dengan mengutamakan kegiatan pada sektor
pendidikan, dakwah, yatim, masjid, dan kemanusiaan untuk menunjang
peningkatan kualitas dan kemandirian umat dan, (3) Memberikan keuntungan dan
manfaat yang berlipat bagi donatur dan mustahik.
6. LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU)
Di antara organisasi kemasyarakatan Islam (ormas) Indonesia yang berkiprah
dalam bidang filantropi Islam, Muhammadiyah merupakan organisasi yang sangat
berpengaruh. Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari latar belakang lahirnya
organisasi ini, yang menjadikan kesetiakawanan terhadap sesama manusia sebagai
ajaran dasarnya. Dalam penilaian Martin van Bruinessen, aktivitas awal
Muhammadiyah bukanlah pembaharuan ajaran agama, tetapi pengumpulan dan
pengelolaan zakat dan shadaqah.44
Tidak heran jika kemudian Muhammadiyah
menjadi organisasi yang sangat baik dalam memberikan layanan sosial terhadap
masyarakat dalam berbagai bidang, pendidikan, kesehatan, dakwah dan lain
sebagainya.45
43 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 44 Martin van Bruinessen, ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛ dalam
Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity, ed. Shireen T. Hunter (London-New
York: M.E. Sharpe, 2009), 187-88. 45 Saidi, Zaim, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial
(Jakarta: Piramedia, 2006), 1-3.
167
Bab V
Meskipun ormas ini telah aktif berkecimpung dalam pengelolaan zakat, infak
dan shadaqah, namun bersamaan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 1999,
organisasi ini membentuk lembaga khusus yang menangani unsur-unsur filantropi
tersebut. Lembaga itu diberi nama LAZISMU (singkatan dari Lembaga Amil
Zakat, Infak dan Shadaqah Muhammadiyah). Didirikan pada 2002, lembaga ini
segera memeroleh pengukuhan dari Menteri Agama sebagai LAZ Nasional dengan
Surat Keputusan No. 457/21 November 2002.46
Ini menunjukkan bahwa
LAZISMU telah memiliki cabang melebihi yang disyaratkan, yaitu di 10 provinsi,
dan telah berhasil menghimpun dana zakat, infak dan shadaqah di atas satu milyar
rupiah.47
Seperti lembaga-lembaga lain, faktor yang mendorong berdirinya LAZISMU
terutama adalah kemiskinan di Indonesia, yang terus menyelimuti banyak
penduduk. Tidak hanya itu, kebodohan dan tingkat pembangunan manusia
Indonesia juga masih sangat rendah. Di sisi lain, zakat diyakini dapat mendorong
keadilan sosial, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan mengentaskan
kemiskinan. Lebih jauh, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim,
diyakini bahwa potensi zakat, infak dan shadaqah sangat besar, dan jika dikelola
dengan baik dapat memenuhi tujuan di atas.48
Karena itu, LAZISMU memiliki
visi untuk menjadi LAZ terpercaya dengan misi mengoptimalkan kualitas
pengelolaan zakat, infak dan shadaqah secara amanah, profesional dan transparan.
Di samping itu, lembaga ini berusaha mendayagunakan dana ZIS secara kreatif,
inovatif dan produktif serta memberikan layanan yang optimal terhadap para
donatur.49
Untuk mencapai visi dan misi di atas, LAZISMU telah menetapkan
kebijakan-kebijakan strategis, yang difokuskan pada pemberdayaan empat bidang,
yang meliputi pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemberdayaan petani,
pemberdayaan pendidikan dan pelayanan sosial dan dakwah. Pemberdayaan
ekonomi masyarakat dilakukan untuk menumbuhkan semangat wirausaha dan
kemandirian ekonomi masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan kualitas
hidup mereka secara lebih baik. Ini dilakukan dengan pemberian modal usaha dan
pendampingan, yang dengan begitu diharapkan masyarakat dapat mengembangkan
usaha mereka. Di samping itu, program ini juga dilakukan dengan pembinaan
wirausaha muda, penyelenggaraan kampung kreatif dan lain sebagainya.
Sementara itu, pemberdayaan petani dilakukan dengan berbagai aktivitas seperti
pengembangan masyarakat, pendampingan pengelolaan pertanian, permodalan
hingga pemasarannya. Dalam bidang pendidikan LAZISMU memfokuskan pada
pengembangan sekolah terpadu berikut sistemnya dan sumber dayanya. Pemberian
beasiswa kepada masyarakat kurang mampu juga dilakukan LAZISMU untuk
peningkatan pendidikan, di samping program 1000 sarjana dan lain sebagainya.
Adapun dalam bidang sosial dan dakwah, LAZISMU membentuk PKO (Penolong
Kesengsaraan Omoem) yang ditujukan untuk memberikan bantuan cepat terhadap
korban bencana alam dan layanan sehari-hari dalam masalah kesehatan,
pengobatan dan lain sebagainya. Program yang juga dicanangkan dalam bidang ini
pembentukan dai mandiri. Ini dilakukan dengan memberikan sarana dan prasarana
46 Lihat http://www.lazismu.org (diakses 12 Desember 2010). 47 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). 48 http://www.lazismu.org 49 http://www.lazismu.org
168
Perkembangan Filantropi Islam
bagi mereka, seperti tunjangan hidup dan lain sebagainya. Meskipun demikian,
semua itu harus didasarkan pada prinsip-prinsip syariah, dengan
mempertimbangkan sasaran, prioritas dan semangat inovasi dan kreativitas.50
Meskipun belum mampu mengumpulkan dana ZIS dalam cukup besar, jika
dibandingkan dengan Dompet Dhuafa, PKPU dan lain sebagainya, LAZISMU
telah berhasil memeroleh penghargaan dari Indonesia Magnificence of Zakat
(IMZ) sebagai LAZ terbaik dalam pengembangan media dan publikasi pada
2010.51
Ini berarti LAZISMU telah menempatkan diri sebagai LAZ yang sangat
diperhitungkan di antara sejumlah LAZ nasional lainnya. LAZISMU memiliki
basis yang kuat untuk berkembang dengan baik, mengingat anggota
Muhammadiyah berjumlah sangat banyak.
B. Pertumbuhan Kuantitatif Lembaga-lembaga Filantropi
Sejak UU No. 38 Tahun 1999 hadir, pertumbuhan lembaga filantropi Islam
mengalami peningkatan yang dahsyat. Selain BAZNAS (Badan Amil Zakat
Nasional) di tingkat nasional, ada 32 BAZ di tingkat provinsi dan 300 BAZ di
tingkat kabupaten/kota yang dibentuk oleh pemerintah sesuai dengan berbagai
tingkatannya. Sementara itu, lembaga-lembaga yang dibentuk masyarakat
jumlahnya juga cukup banyak. Ada 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) di tingkat
nasional, di samping lebih dari 70 LAZ yang berada tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota.52
Peningkatan jumlah lembaga filantropi ini juga terlihat dalam keanggotaan
Forum Zakat (FOZ). Lembaga yang di awal kelahirannya hanya beranggotan
beberapa saja, kini sudah mencapai 30 anggota. Mereka ini meliputi:
1. Yayasan Baitul Maal Bank BRI (YBM BRI)
2. Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF)
3. Rumah Zakat Indonesia (RZI)
4. Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU)
5. Portal Infaq
6. Lembaga Manajemen Infaq (LMI)
7. LAZIS BMT
8. LAZIS Nahdlatul Ulama (LAZ NU)
9. LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU)
10. LAZIS Garuda (LAZIS GA)
11. LAZ Yaumil PT. Badak Ngl Bontang
12. LAZ Pusat Zakat Ummat (LAZ PZU)
13. LAZ Al-Hijrah
14. Lembaga Amil Zakat dan Infaq Malang (LAGZIS)
15. LAZ Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZ IPHI)
16. LAZ Dewan Dakwah Indonesia (LAZ-DDI)
17. Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU-DT)
18. Dompet Dhuafa Republika (DDR)
19. Bina Sejahtera Mitra Ummat (BSM UMAT)
20. BPZIS Bank Mandiri
50 http://www.lazismu.org 51 http://www.lazismu.org 52 http://www.forumzakat.net
169
Bab V
21. Baitul Maal Pupuk Kaltim (BMPKT)
22. Baitul Maal Pupuk Kujang (BMPK)
23. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
24. BAZIS DKI Jakarta
25. Bamuis Bank BNI
26. Baituzzakah Pertamina (BAZMA)
27. Baitul Maal Muamalat (BMM)
28. Baitul Maal Hidayatullah (BMH)
29. LAZNAS Amanah Takaful
30. Al-Azhar Peduli Ummat.53
Tentu saja, jumlah di atas belum termasuk lembaga-lembaga yang bisa jadi
tidak terdaftar dalam FOZ, seperti PPA Darul Quran pimpinan Yusuf Mansur,
Rumah Yatim dan lain sebagainya. Lebih jauh, bersamaan dengan lahirnya UU
No. 41 Tahun 2004, sejumlah filantropi yang khusus mengelola wakaf pun
bermunculan, di samping lembaga-lembaga ZIS di atas yang juga mengelola dana
wakaf. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah di
tingkat nasional, yang membuka peluang bagi perwakilan-perwakilannya di
tempat-tempat lain.54
Sementara yang dikelola oleh masyarakat semakin hari
semakin meningkat, seperti Tabung Wakaf Indoensia (TWI), lembaga yang
berafiliasi ke DD, Wisatahati, pimpinan Yusuf Mansur, dan lain sebagainya.
Sementara itu, dalam penghimpunan dana, lembaga-lembaga pengelola ZIS,
baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat, dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal itu terlihat dalam laporan
yang disampaikan kepada FOZ, yang kemudian diteruskan kepada Direktorat
Pemberdayaan Zakat Depag. Akan tetapi, laporan yang direlease oleh FOZ ini
hanya menyangkut penghimpunan yang dilakukan lembaga-lembaga itu, tanpa
disertai laporan pendayagunaannya. Berikut adalah hasil penghimpunan
sebagaimana terlihat dalam website FOZ.55
BAZNAS, misalnya, berhasil menghimpun dana sebesar Rp.
2.700.073.354,00 pada 2001 dan meningkat menjadi Rp. 11.218.888.495,00 pada
2002. Peningkatan ini terus menaik dalam dua tahun terakhir yang dilaporkan,
yaitu dari Rp. 14.592.016.646,00 pada 2007 menjadi Rp. 18.876.000,00 pada
2008. Dengan demikian, organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh presiden
ini terus menunjukkan peningkatan dalam penghimpunan dana zakat.56
Kecenderungan meningkatnya dana ZIS ini juga dialami oleh BAZIS DKI.
Sejak 2001 hingga 2007, lembaga yang dibentuk pemerintah provinsi terus
mengalami peningkatan penghimpunan dana ZIS. Pada 2001, dana yang berhasil
dihimpun mencapai Rp. 9.482.194.345,00 dan meningkat menjadi Rp.
11.550.000.000,00 pada 2002. Dalam tiga tahun berikutnya, penghimpunan dana
ZIS juga meningkat rata-rata Rp. 2 milyar setiap tahun, yakni Rp.
14.103.504.330,00 pada 2003 dan Rp. 16.257.823.896,00 pada 2004 serta Rp.
18.482.757.570,00 pada 2005. Laporan terakhir pada 2007 mencapai Rp.
53 http://www.forumzakat.net/index.php?act=anggota&hal=5 54 Tentang ketentuan pembukaan perwakilan, lihat ‚Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perwakilan Badan Wakaf Indonesia.‛ 55 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 56 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24
170
Perkembangan Filantropi Islam
27.213.963.125,00 yang menandakan terjadinya peningkatan yang sangat
signifikan dari sebelumnya.57
Peningkatan penghimpunan yang sangat signifikan terjadi pada Dompet
Dhuafa Republika (DD-R). Lembaga filantropi yang didirikan pada 1993 terus
menunjukkan peningkatan kinerjanya yang bisa dilihat dari keberhasilannya dalam
mengumpulkan dana, yang dapat dilihat dari beberapa tahun terakhir laporannya.
Pada 2000, misalnya, dana yang dihimpun oleh DD-R mencapai Rp.
13.655.105.172,00 dan meningkat secara signifikan pada 2001 menjadi Rp.
18.007.293.153,00. Peningkatan terus terjadi dalam dua tahun berikutnya,
meskipun tidak sebesar sebelumnya. Pada 2002, misalnya, terkumpul dana sebesar
Rp. 21.504.964.430,00, sementara pada 2003 dana yang berhasil dihimpun
mencapai Rp. 22.493.670.205,00. Jumlah ini meningkat tajam pada 2004, yakni
sebesar Rp. 30.360.851.863,00 dan terus meroket menjadi Rp. 60.692.348.196,00
pada 2008.58
Yayasan Dana Sosial Al-Falah Surabaya, yang telah berdiri sejak 1987, juga
menunjukkan kecenderungan serupa dengan dua lembaga yang disebutkan
sebelumnya. Pada 2002, lembaga ini berhasil menghimpun dana sebesar Rp.
6.011.753.576,00 dan meningkat menjadi Rp. 8.576.652.203,00 pada tahun
berikutnya. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tiga tahun berikutnya,
di mana pada 2004 tercatat dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp.
11.344.498.869,00, sementara pada 2005 mencapai Rp. 16.791.784.803,00 dan
pada 2006 mencapai Rp. 21.457.533.629,00. Jadi, rata-rata peningkatannya
mencapai Rp. 5 milyar setiap tahun dalam rentang tersebut. Dalam dua tahun
berikutnya, peningkatan tetap terjadi, yakni mencapai kurang-lebih Rp. 3 milyar.
Ini terlihat pada dana yang berhasil dihimpun pada 2007 dan 2008, dengan jumlah
masing-masing secara berturut-turut Rp. 25.072.061.729,00 dan Rp.
28.038.146.332,00.59
Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) adalah lembaga lain yang berhasil
menunjukkan kinerja yang bagus dalam pengumpulan dana ZIS. Lembaga yang
didirikan pada 1999 berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 10.854.900.871,00
pada 2000. Akan tetapi, penurunan yang relatif signifikan terjadi pada tahun
berikutnya, 2001, menjadi sebesar Rp. 7.736.441.529,00. Peningkatan sedikit
terjadi pada 2002 menjadi sebesr Rp. 8.540.110.141,00 dan menurun kembali pada
2003 menjadi Rp. 7.807.588.809,00. Lembaga yang dipimpin oleh sejumlah
anggota Partai Keadilan Sejahtera ini mengalami peningkatan yang meyakinkan
dalam menghimpun dana ZIS pada dua tahun berikutnya. Jika pada 2004
terkumpul dana sebesar Rp. 12.448.784.632,00, pada 2005 mengalami
peningkatan hingga mencapai Rp. 47.475.272.734,00. Penurunan secara kurang
berarti terjadi pada 2008, yang mencapai Rp. 45.611.971.485,00.60
Kinerja yang bagus dalam menghimpun dana ZIS juga ditunjukkan oleh
Rumah Zakat Indonesia, yang sebelumnya bernama Dompet Sosial Ummul Quro
(DSUQ). Dalam lima tahun terakhir sejak didirikannya pada 1999, lembaga zakat
ini terus mengalami peningkatan perolehan dana ZIS. Pada 2004, misalnya,
Rumah Zakat berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 35.000.000.000,00 dan
57 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 58 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 59 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 60 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24
171
Bab V
meningkat hampir dua kali lipat pada tahun berikutnya, 2005, yang mencapai Rp.
63.312.466.256,00. Pada 2006, penurunan tajam terjadi, di mana dana yang
berhasil dihimpun sebesar Rp. 35.000.000,00. Dua tahun berikutnya ditandai
dengan peningkatan yang cukup stabil, yakni rata-rata kurang lebih lima juta
rupiah. Dana yang terkumpul dalam rentang antara 2007-2008 adalah masing-
masing secara berturut-turut sebesar Rp. 41.800.426.390,00 dan Rp.
58.599.966.865,00.61
Lembaga swasta lain yang menunjukkan peningkatan dalam menghimpun
dana ZIS adalah Al-Azhar Peduli Umat. Meskipun jumlah yang berhasil dihimpun
tidak sebesar yang diperoleh oleh lembaga-lembaga sebelumnya. Akan tetapi,
lembaga ini konstan dalam meningkatkan penghimpunan dana. Pada 2005,
lembaga ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 2.395.127.876,00 dan
meningkat menjadi Rp. 3.658.656.076,00 pada 2006. Peningkatan yang signifikan
terjadi pada 2007, di mana dana yang dapat dikumpulkan mencapai Rp.
6.652.372.041 dan pada 2008 mencapai Rp. 8.750.761.125,00 pada 2008.62
Kecenderungan meningkat juga dialami oleh LAZ Dewan Dakwah Islam
Indonesia (LAZ DDII). Pada 2002, lembaga ini baru berhasil menghimpun dana
ZIS sebesar Rp. 133.550.000,00 dan meningkat menjadi Rp. 576.518.725,00 pada
2003. Akan tetapi, dalam tiga tahun kemudian, tepatnya 2005, dana ZIS sebesar
Rp. 2.543.552.941,00 berhasil dihimpun oleh lembaga ini. Bahkan, pada 2008,
lembaga ini telah berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp.
5.090.592.283,00.63
Peningkatan penghimpunan dana ZIS yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
milik perusahaan juga terus meningkat. Yayasan Baitul Maal BRI, misalnya, pada
2001 hanya berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 646.638.277,00 dan
meningkat secara signifikan pada 2002 dengan meraih Rp. 2.262.191.761,00. Pada
2008, berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 7.868.330.017,00.64
Kecenderungan seperti itu juga dialami oleh Badan Pengelola ZIS Mandiri.
Lembaga ini dalam rentang antara 2001 dan 2003 berhasil menghimpun dana ZIS
dalam jumlah ratusan juta, tepatnya masing-masing secara berurutan Rp.
561.272.489,00 dan Rp. 718.593.080,00 serta Rp. 908.034.610,00. Kemudian,
pada 2005 sudah mencapai angka di atas satu milyar, tepatnya Rp.
1.550.571.175,00 dan Rp. 2.878.210.117,00 pada 2007.65
Baitu Maal Umat Islam BNI (Bamuis BNI) juga memiliki kecenderungan
meningkat dalam menghimpun dana ZIS. Seperti dilaporkan kepada FOZ, pada
2000, lembaga ini berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 3.882.125.000,00
dan meningkat menjadi Rp. 4.260.324.000,00 dan Rp. 4.822.108.000,00 pada 2001
dan 2002. Peningkatan yang sangat signifikan terjadi pada 2003, di mana lembaga
ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 12.690.066.000,00. Bahkan, dalam
dua tahun terakhir, lembaga ini mampu mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp.
21.465.448.000,00 dan Rp. 23.447.293.000,00 masing-masing pada 2007 dan
2008.66
61 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 62 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 63 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 64 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 65 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 66 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24
172
Perkembangan Filantropi Islam
Peningkatan yang signifikan dalam pengumpulan dana ZIS ditunjukkan oleh
Baitul Maal Muamalat (BMM). Pada 2001, misalnya, lembaga ini berhasil
menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 1.261.744.267,00 dan meningkat menjadi Rp.
3.076.829.550,00 pada 2002. Peningkatan yang sangat tajam terjadi pada 2005,
ketika lembaga ini sukses menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 16.572.101.418,00.
Sementara itu, dalam laporan terakhirnya yang disampaikan kepada FOZ,
lembaga ini telah berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 22.016.100.759,00
pada 2008.67
Berbeda dengan lembaga-lembaga di atas yang cenderung konstan
mengalami peningkatan, beberapa LAZ milik perusahaan mengalami flunktuasi,
seperti dialami oleh Baitul Maal Pupuk Kujang dan Baitul Maal Pupuk Kaltim.
BM Pupuk Kujang, misalnya, pada 2001, berhasil menghimpun dana ZIS sebesar
Rp. 545.423.289,00 dan meningkat dua kali lipat, yaitu Rp. 1.386.333.990,00 pada
2002. Akan tetapi, dalam tahun berikutnya, penurunan terjadi, sehingga dana yang
berhasil dihimpun menjadi Rp. 745.078.757,00. Dalam dua tahun berikutnya,
2004-2005, terjadi peningkatan dalam penghimpunan ZIS, yakni masing-masing
Rp. 1.229.216.582,00 dan Rp. 1.575.159.175,00. Namun, pada 2006, jumlah
tersebut merosot cukup tajam dan lembaga ini hanya berhasil menghimpun Rp.
716.468.702,00.68
Kecenderungan fluktuatif ini juga terjadi pada BM Pupuk Kaltim. Pada
2000, lembaga ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 1.056.201.224,00
dan terus meningkat menjadi Rp. 1.245.115.355,00 setahun kemudian. Akan
tetapi, dalam dua tahun berikutnya, dana yang berhasil dihimpun mengalami
penurunan cukup tajam, yaitu 456.579.349,00 pada 2002 dan Rp. 871.672.601,00
pada 2003. Meskipun demikian, pada 2006, lembaga ini berhasil meningkatkan
pengumpulan dana ZIS hingga mencapai Rp. 2.460.750.968,00.69
Baituzzakah Pertamina juga menunjukkan kecenderungan fluktuatif, tetapi
akhirnya mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Pada 2001, lembaga ini
baru berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 579.898.362,00 dan menurun
menjadi Rp. 398.512.444,00 dan Rp. 395.863.847,00 masing-masing pada 2003
dan 2004. Akan tetapi, dua tahun kemudian, yaitu pada 2005, dana ZIS sebesar
Rp. 2.238.196.273,00 dan pada 2008 meroket hingga mencapai Rp.
23.447.293.000,00.70
Penghimpunan dana ZIS oleh LAZ milik organisasi massa (ormas) Islam
menunjukkan perkembangan yang berbeda, seperti Persatuan Islam dan
Muhammadiyah. LAZ Persatuan Islam, misalnya, berhasil menghimpun dana ZIS
sebesar Rp. 1.242.781.961,00 pada 2007 dan Rp. 1.006.997.356,00. Di sini terlihat
adanya penurunan yang relatif besar, yakni sekitar Rp. 200 juta atau kurang lebih
20%. Seperti LAZ Persis, LaZIS Muhammadiyah (LaZISmu) menunjukkan
peningkatan yang konstan dari tahun ke tahun kemudian mengalami penurunan.
Pada 2003, misalnya, LaZISmu berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp.
1.170.959.233,00 dan meningkat menjadi Rp. 1.923.885.721,00 pada 2004.
67 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 68 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 69 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 70 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24
173
Bab V
Setelah meningkat secara signifikan pada 2005 menjadi Rp. 6.805.360.308,00
angka tersebut kemudian menurun menjadi Rp. 5.153.242.027,00 pada 2006.71
Beberapa lembaga pengelolaan zakat sebenarnya juga melaporkan hasil
penghimpunan yang mereka lakukan kepada FOZ, seperti Dompet Peduli Umat
Daarut Tauhiid, Rumah Yatim, PPA Darul Quran dan lain sebagainya. Akan
tetapi, mengingat laporan yang mereka sampaikan hanya setahun terakhir, maka
peningkatan penghimpunan dana ZIS tidak dapat diketahui. Meskipun demikian,
dana yang berhasil mereka himpun merentang dari ratusan juta hingga milyaran
rupiah.72
Berdasarkan penelitian yang dilakukan IMZ (Indonesia Magnificence of
Zakat), dana yang terkumpul secara nasional sejak 2002 hingga 2010 mencapai
angka berikut.73
Tahun Jumlah ZIS (dalam milyar) Pertumbuhan (%)
2002 68.39 --
2003 85.28 24,70
2004 150.09 76,00
2005 295.52 96,90
2006 373.17 26,28
2007 740.00 98,30
2008 920.00 24,32
2009 1.200.00 30,43
2010 1.400.00 16.66
Peningkatan jumlah dana yang dihimpun dari tahun ke tahun ini
menunjukkan bahwa ke depan jumlah tersebut akan semakin besar. Dalam
prediksi IMZ, jumlah dana ZIS pada 2011 akan mencapai 1,85 trilyun hingga di
atas 2 trilyun. Prediksi ini didasarkan pada fakta bahwa peningkatan itu akan terus
berlangsung dan akan mendapat landasan yang lebih kokoh jika UU Zakat yang
akan diamandemen segera rampung.74
Dari uraian di atas terlihat bahwa lembaga-lembaga filantropi Islam di
Indonesia sangat beragam. Keragaman ini terlihat dari latar belakang afiliasi yang
kepadanya lembaga tersebut berasal. Ada yang berlatar belakang organisasi massa
atau sosial keagamaan tertentu, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam,
Nahdlatul Ulama dan lain sebagainya, dan ada pula yang berlatar belakang
perusahaan atau badan usaha, seperti LAZ Bank Syariah Mandiri, Baitul Maal
BRI, Baitul Maal Muamalat, Baituzzakah Pertamina, LAZ Semen Kujang, LAZ
Pupuk Kaltim dan lain sebagainya. Di samping itu, ada juga filantropi yang tidak
terikat dengan organisasi atau perusahaan, tetapi sejenis LSM, seperti Dompet
Dhuafa Republika, PKPU, Rumah Zakat, DPU-Daarut Tauhid, YSDF dan lain
sebagainya.
Dalam hal penghimpunan dana ZIS, umumnya lembaga-lembaga ini
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, terbukti bahwa
71 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 72 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 73 IMZ, Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta: IMZ, 2010), 135-
136. 74 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 136.
174
Perkembangan Filantropi Islam
lembaga-lembaga yang bercorak LSM memiliki pencapaian yang jauh lebih tinggi
ketimbang lembaga-lembaga yang memiliki afiliasi tertentu. Lembaga-lembaga
yang berafiliasi dengan pemerintah, misalnya, ternyata berhasil mengumpulkan
dana ZIS jauh lebih rendah daripada lembaga-lembaga bercorak LSM. Ini juga
berlaku bagi lembaga-lembaga yang berafiliasi kepada organisasi massa (ormas)
Islam tertentu, maupun yang berafiliasi kepada perusahaan atau badan usaha
tertentu. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada lembaga-
lembaga swasta jauh lebih tinggi daripada lembaga-lembaga yang memiliki
afiliasi dengan pemerintah, ormas atau perusahaan/badan usaha.
Di samping itu, keberhasilan lembaga-lembaga bercorak LSM dalam
menghimpun dana ZIS mengimplikasikan akan kerja keras mereka dalam
menggerakkan masyarakat untuk membayar zakat. Ini dibarengi dengan
pengelolaan yang transparan dan pendayagunaan yang dapat dirasakan secara
langsung oleh masyarakat. Sebaliknya, lembaga-lembaga yang berafiliasi kepada
pemerintah, ormas atau perusahaan/badan usaha tidak menunjukkan peningkatan
yang memadai, di antaranya karena kurang gencarnya sosialisasi yang mereka
lakukan.
Perkembangan lembaga-lembaga filantropi yang dikemukakan di atas juga
memiliki padanannya di Mesir, terutama dalam bidang zakat. Seperti
dikemukakan oleh Sullivan, zakat yang semula banyak dikendalikan oleh
lembaga-lembaga negara, kini mengalami ‚privatisasi.‛ Ini terjadi karena lembaga
non-pemerintah tersebut mampu memobilisasi zakat dan memberikan layanan
secara langsung bagi masyarakat dibandingkan yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah. Jumlah ini pun kini semakin meningkat.75
C. Respons Civil Society Islam terhadap Rencana Revisi UU Zakat dan
Dampaknya terhadap Filantropi Islam
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, disahkannya UU No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, di satu sisi, telah mendorong lahirnya sejumlah
BAZ dan LAZ. Akan tetapi, hasil yang diperoleh masih jauh dari yang
diharapkan. Kritik pun diarahkan tidak saja pada pengelolaannya, tetapi juga pada
undang-undang itu sendiri. Dalam pandangan beberapa pihak, undang-undang ini
terbukti tidak mampu mendorong orang yang sudah berkewajiban membayar
zakat untuk menunaikannya, di antaranya, karena tidak ada sanksi yang harus
mereka hadapi.
Dalam pandangan H. Tulus, keinginan amandemen terhadap UU No. 38
Tahun 1999 menunjukkan bahwa pengeloaan zakat yang dipayungi oleh undang-
undang ini belum terpenuhi secara memadai. Ia mengusulkan beberapa perubahan,
di antaranya, perampingan organisasi amil zakat melalui sentralisasi pengelolaan
zakat. Dengan begitu, dana zakat akan terkumpul pada satu lembaga dan
pengdistribusian serta pemanfaatannya akan terfokus.76
Ini menunjukkan bahwa
baru tiga tahun undang-undang ini dilaksanakan, sejumlah pihak telah melihat
ketidakefektifannya, termasuk dari pihak pemerintah sendiri.
75 Denis Sullivan, Private Voluntary Organizations in Egypt: Islamic Development, Private
Initiative and State Control (Gaibesville, Fla.: University Press of Florida, 1994), 68. 76 H. Tulus, ‚Amandemen Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat:
Tinjauan Konstitusi Kaitannya dengan Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat.‛ Makalah
disampaikan pada Munas III Forum Zakat, Balikpapan, 25-28 April 2003.
175
Bab V
Pandangan serupa disampaikan oleh Nasrun Harun. Menurutnya, kehadiran
UU No. 38 Tahun 1999 terbukti kurang menghasilkan perkembangan yang berarti.
Ini dibuktikan antara lain oleh potensi zakat yang, menurut hasil penelitian PBB
UIN Jakarta, mencapai Rp. 19,3 trilyun, tetapi laporan yang diterima Direktorat
Pemberdayaan Zakat justru sangat jauh dari angka tersebut. Menurut Nasrun, ada
beberapa sebab mengapa pengelolaan zakat yang sudah dipayungi undang-undang
dan Keputusan Menteri Agama dan Dirjen itu belum menunjukkan hasil yang
maksimal. Pertama, tidak adanya ketentuan yang tegas yang mewajibkan muzakki
membayar zakat. Memang undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap
Muslim yang mampu wajib membayar zakat. Namun, ketentuan ini tidak
terlaksana karena tidak dibarengi dengan ketentuan sanksi bagi yang tidak
melaksanakannya. Kedua, dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa amil
zakat dapat dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat, yang penjabarannya, dalam
Keputusan Menteri dan Dirjen, adalah organisasi masyarakat Islam (Ormas), yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Akan tetapi, yang terjadi
adalah organisasi-organisasi pengelola zakat yang bukan ormas Islam dimaksud.77
Atas dasar itu, Nasrun ingin mengajukan revisi undang-undang tersebut
dengan perhatian khusus pada empat hal. Pertama, undang-undang zakat harus
memiliki peraturan pemerintah. Kedua, Muslim yang mampu tetapi tidak
membayar zakat harus diberi sanksi. Ketiga, zakat harus dikelola oleh BAZ,
sedangkan organiasi-organisai lain, seperti LAZ, diubah statusnya menjadi unit
pengumpul zakat, tanpa wewenang menyalurkannya. Keempat, zakat harus
menjadi pengurang pajak. Meskipun hal ini telah disebutkan dalam undang-
undang, tetapi implementasinya hingga saat ini belum berjalan.78
Bersamaan dengan masa persidangan 2009-2014 DPR-RI, masalah
amandemen undang-undang zakat ini menjadi salah satu agenda legislasi yang
telah disiapkan dan sedang dibicarakan di DPR. Setidak-tidaknya ada dua model
usulan resmi yang masing-masing telah dipersiapkan oleh pemerintah dan DPR.
Jika yang dipersiapkan oleh pemerintah adalah perubahan atas UU No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang dipersiapkan oleh DPR adalah menyusun
ulang seluruh isi undang-undang tersebut. Tidak heran jika keduanya memiliki
beberapa perbedaan yang mendasar.
Pertama, yang dijadikan pertimbangan pemerintah dalam menyusun
perubahan ini adalah kondisi undang-undang dan pelaksanaannya. Misalnya,
dalam menimbang (a) disebutkan bahwa undang-undang tersebut kurang tegas
dalam pelaksanaan kewajiban zakat. Dikemukakan lebih jauh dalam menimbang
(b) bahwa meskipun sudah berjalan selama delapan tahun sejak dilaksanakan,
potensi zakat umat Islam baru tergali 5%. Di samping itu, beberapa ketentuan
dalam undang-undang tersebut kurang sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan masyarakat Indonesia.79
Berbeda dengan draft tersebut, draft yang diajukan oleh DPR didasarkan
pada pertimbangan bahwa (1) Negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, (2)
77 Nasrun Harun, ‚Kami Tidak Berniat Membubarkan LAZ,‛ dalam Infoz, Edisi 4 Tahun VI
(2010), 8. 78 Nasrun Harun, ‚Kami Tidak Berniat Membubarkan LAZ,‛ 8. 79 Lihat Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
yang disiapkan oleh Departemen Agama, bagian Menimbang.
176
Perkembangan Filantropi Islam
menunaikan zakat merupakan kewajiban umat Islam yang mampu berdasarkan
syariat Islam, (3) pelaksanaan pengelolaan zakat berlum dilakukan secara optimal,
(4) UU No. 38 Tahun 1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat, sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.80
Kedua, dalam draft yang dirancang pemerintah, pengelola zakat akan
diserahkan kepada BAZNAS atau BAZDA yang dibentuk oleh pemerintah pusat,
provinsi atau kabupaten/kota. Lembaga-lembaga inilah yang bertanggung jawab
menghimpun dan mendistribusikan dana zakat. Adapun LAZ yang dibentuk oleh
masyarakat diberi peran sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) bagi BAZ setempat.
Dengan kata lain, menurut RUU versi pemerintah ini, LAZ akan dilebur atau
diintegrasikan ke dalam BAZ sebagai unsur masyarakat, sehingga berperan hanya
mengumpulkan, tanpa peran pendistribusian. Yang berhak mendistribusikan dan
mendayagunakan dana zakat hanyalah BAZ.81
Sementara itu, dalam RUU versi DPR, BAZ yang dibentuk pemerintah
disebut Badan Pengelola Zakat (BPZ), yang tugas utamanya adalah koordinasi
dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat
yang dilakukan oleh LAZ. Dengan demikian, BPZ tidak memiliki kewenangan
untuk menghimpun dan menyalurkan dana zakat, tetapi sekadar sebagai
pengawas. Adapun penghimpunan dan penyaluran dana zakat menjadi wewenang
sepenuhnya LAZ.82
Meskipun begitu, LAZ tidak bisa dengan serta merta
menyalurkan dana zakat, mengingat kebijakan pengelolaan zakat ada di tangan
BPZ. Kebijakan ini merentang dari pendataan, penelitian dan pemetaan hingga
penyusunan database muzakki dan mustahik.83
Ketiga, draft RUU versi pemerintah menetapkan bahwa orang yang
berkewajiban membayar zakat, tetapi tidak membayarnya, ia diancam dengan
hukuman denda sebesar zakat yang wajib dibayarkannya.84
Ini merupakan
konsekuensi dari Pasal 2 UU No. 38 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa zakat
merupakan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam
dan mampu atau badan milik orang Muslim. Akan tetapi, kewajiban tersebut tidak
dibarengi dengan sanksi sama sekali bagi yang tidak melaksanakannya. Seperti
diuraikan sebelumnya, inilah yang menjadi target kritik banyak orang bahwa UU
No. 38 Tahun 1999 tidak memiliki kekuatan memaksa bagi muzakki yang lalai
tidak membayar. Di samping itu, sanksi bagi pengelola juga disebutkan, yakni
berupa hukuman kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta) bagi petugas, dan hukuman
kurungan paling lama tiga tahun dan/atau denda sebanyak-banyak Rp.
500.000.000,00 bagi pengurus BAZ.85
Dalam draft versi DPR, persoalan ini tidak mengalami perubahan. Dalam
Pasal 6 Draft RUU versi DPR memang disebutkan bahwa ‚Setiap muzakki wajib
membayar zakat berdasarkan syariat Islam.‛86
Akan tetapi, tidak satu pun pasal
menyebutkan sanksi bagi orang yang tidak membayarnya, padahal ia mampu.
80 Lihat Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat yang disiapkan oleh DPR, bagian Menimbang. 81 Drfat RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 7. 82 Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 16. 83 Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 17. 84 Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 21 ayat (1). 85 Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 21 ayat (2) dan (3). 86 Draft RUU tentang Zakat, Pasal 6.
177
Bab V
Seperti UU No. 38 Tahun 1999, draft RUU ini hanya menekankan sanksi bagi
pengelola zakat, di mana disebutkan bahwa pengelola yang tidak benar diancam
pidana kurungan dari satu tahun hingga sepuluh tahun dan/atau dari Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) hingga Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).87
Keempat, draft RUU versi pemerintah tetap memberlakukan UU No. 38
Tahun 1999, sepanjang tidak ada ketentuan yang berlawanan.88
Yang demikian itu
karena yang diajukan oleh pemerintah hanyalah perubahan dan penambahan atas
undang-undang tersebut. Sementara itu, draft RUU yang diajukan DPR bersifat
total, yang konsekuensinya adalah pembatalan dan pencabutan UU No. 38 Tahun
1999.89
Dengan kata lain, jika RUU yang diajukan DPR ini disetujui, secara
otomatis UU sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi.
RUU tersebut telah diajukan untuk dibahas oleh DPR bersama pemerintah.
Dalam Sidang Paripurna 31 Agustus 2010, seluruh fraksi sepakat menyambut
positif RUU ini dan bersedia untuk membahasnya. Fraksi Demokrat, misalnya,
memandang pengelolaan ZIS harus dilakukan secara profesional dan dapat
memberikan manfaat bagi pengentasan kemiskinan, pengangguran dan dapat
meningkatkan ekonomi kerakyatan. Sementara itu, Fraksi Golkar mendorong
adanya pemisahan fungsi zakat, infak dan shadaqah, pemisahan BAZ (menjadi
BPZIS) dan LAZ, keterkaitan zakat dan pajak, di samping penetapan sanksi bagi
muzakki yang lalai membayarnya. Berbeda dengan itu, F-PDIP menghendaki agar
aspek paksaan dari negara terhadap zakat dihindari. Di samping itu, antara zakat
dan pajak harus diposisikan dalam tempat yang berbeda. F-PKS menekankan agar
peran pemerintah memiliki daya paksa terhadap pembayar zakat, zakat dapat
mengurangi nilai pajak penghasilan dan pentingnya insentif bagi pembayar zakat.
Seperti Golkar, F-PPP juga mengusulkan agar RUU ini diubah menjadi RUU
tentang ZIS, di samping pemilahan yang tegas tentang fungsi kelembagaan yang
ada. Sorotan terhadap kelembagaan ini juga menjadi perhatian F-KB, termasuk
masalah pengurangan pajak dengan zakat dan penyadaran berzakat kepada
masyarakat.90
Upaya mengubah atau mengganti UU No. 38 Tahun 1999 di atas telah
mengundang respons, baik di kalangan civil society atau pengelola zakat, maupun
di kalangan sarjana. Ahmad Juwaini,91
Ketua Forum Zakat (FOZ), melihat
perbedaan antara kedua draft tersebut dari sudut pandang sebab musababnya,
yang meliputi beberapa faktor. Pertama, akibat pemahaman fikih. Maksudnya,
pihak yang memandang zakat sebagai wilayah kekuasaan negara dan pihak yang
menyebut zakat sebagai wilayah kekuasaan masyarakat, sama-sama didasarkan
pada buku-buku fikih, yang memiliki preseden di masa lalu. Kedua, faktor historis
di Indonesia. Artinya, ada pihak yang memahami bahwa zakat semula dikelola
oleh negara, khususnya pada masa kesultanan/kerajaan, dan akhirnya diserahkan
kepada masyarakat. Ketiga, faktor pengetahuan dan pengalaman. Perbedaan di
atas menunjukkan bahwa antara pengambil kebijakan dan pelaksana pengeloaan
87 Draft RUU tentang Zakat, Pasal 50-52. 88 Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 24 ayat (2). 89 Draft RUU tentang Zakat, Pasal 55. 90 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 123-130. 91 Ahmad Juwaini, ‚Menyingkap Perbedaan UU Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net
/index.php?act=paparan&id=5
178
Perkembangan Filantropi Islam
zakat terdapat pengetahuan dan pengalaman yang berbeda mengenai zakat, dari
penghimpunan hingga pendayagunaannya. Keempat, faktor penentuan prioritas
dan prasyarat. Sejauh ini, memang masih terdapat penilaian yang beragam
mengenai mengapa zakat yang terkumpul berdasarkan UU No. 38 Tahun 1999
belum maksimal. Sebagian berpendapat bahwa hal itu menunjukkan
kekurangpercayaan masyarakat terhadap BAZ yang dibentuk pemerintah, di satu
sisi, dan kurangnya konsentrasi akibat banyaknya LAZ yang mengelola zakat.
Kelima, penerapan hukum dan persuasi. Seperti ditunjukkan oleh kedua draft di
atas, versi pemerintah menghendaki agar sanksi terhadap orang yang mampu,
tetapi tidak membayar zakat diterapkan, sementara versi DPR hanya menekankan
aspek persuasi dari undang-undang.92
Terhadap gagasan pemerintah, yang menghendaki LAZ dilebur ke dalam
BAZ sebagai unsur masyarakat, Ahmad Juwaini menyampaikan keberatannya.93
Menurutnya, memang dalam sejarah awal Islam, zakat ditangani langsung oleh
negara. Akan tetapi, ada juga ulama yang membolehkan pemerintah menyerahkan
wewenangnya kepada swasta. Ini menunjukkan bahwa BAZ dan LAZ
dimungkinkan untuk bekerja berdampingan secara sinergis. Lebih jauh, kalau
alasan penghapusan LAZ karena lembaga ini dipandang sebagai penyebab
minimnya dana zakat yang terkumpul oleh BAZ, hal itu harus dilihat secara
objektif. Artinya, tidak semua LAZ itu berkemampuan memadai dan baik dalam
berbagai hal, sebagaimana tidak semua BAZ memiliki etos dan kinerja yang buruk
dalam mengelola zakat. Karena itu, Juwaini melihat adanya LAZ saat ini masih
dibutuhkan, selama negara belum sanggup secara total mengelola zakat.
Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada masalah zakat, tetapi juga pada sektor
keuangan, pendidikan dan lain sebagainya. Kita melihat adanya bank negara, di
samping bank swasta, lembaga pendidikan negeri, juga lembaga pendidikan
swasta. Dengan kata lain, adanya lembaga ganda, yang dibentuk oleh pemerintah
dan swasta, semestinya dapat disinergikan, seperti dalam sektor-sektor yang lain.
Ia mengakui, pengeloaan zakat oleh negara secara total merupakan sebuah ideal.
Namun, kenyataannya hal itu masih sulit dilakukan.94
Dalam pandangan Juwaini, sebenarnya masih banyak persoalan yang jauh
lebih substansial dalam persoalan zakat ketimbang sekadar gagasan menghapus
atau meleburkan LAZ ke dalam BAZ. Ini meliputi masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk membayar zakat, kesukaan masyarakat menyalurkan zakatnya
secara langsung ke mustahik, bukan ke lembaga, belum efektifnya regulasi zakat,
seperti pengurangan pajak bagi orang yang sudah membayar zakat, belum adanya
standar manajemen bagi pengelola zakat dan lain sebagainya.95
Sejalan dengan sikap di atas, Forum Zakat (FOZ) mengusulkan draft RUU
tentang Zakat. Perbedaan penting antara draft RUU FOZ dengan draft lainnya
terletak pada perlunya organisasi bernama Badan Zakat Indonesia (BZI), yang
akan menaungi organisasi-organisasi pengelola zakat (OPZ), baik yang dibentuk
92 Ahmad Juwaini, ‚Menyingkap Perbedaan UU Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/
index.php?act=paparan&id=5 93 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4 94 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4 95 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4
179
Bab V
oleh pemerintah maupun masyarakat.96
Di samping itu, dalam draft ini diusulkan
adanya sebuah Asosiasi OPZ yang, antara lain, dimaksudkan untuk member
pertimbangan dan rekomendasi bagi BZI.97
Seperti draft versi pemerintah, draft
FOZ menyebutkan adanya sanksi bagi muzakki yang tidak membayar zakat, yaitu
berupa pembayaran zakat yang ditinggalkan ditambah dengan biaya administrasi
sebesar 10% dari jumlah zakat yang harus dibayar.98
Di sini terlihat bahwa dengan adanya BZI, maka organisasi pengelola zakat
yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat memiliki kedudukan setara,
sehingga organisasi seperti LAZ yang dikenal sekarang tidak harus dilebur ke
dalam BAZ dan tetap memiliki wewenang menyalurkan dana zakat asalkan sesuai
dengan kebijakan BZI. Dengan kata lain, draft RUU versi FOZ ini lebih dekat
kepada draft RUU versi DPR dibandingkan dengan draft versi pemerintah, yang
hendak melebur LAZ ke dalam BAZ. Meskipun demikian, dalam hal sanksi, draft
RUU versi FOZ ini lebih dekat kepada versi pemerintah, dengan sedikit tekanan
tambahan 10%, yang tidak ditemukan dalam draft yang disebut terakhir ini. Yang
demikian itu karena draft versi DPR tidak memberikan sanksi apapun bagi
muzakki yang lalai membayar zakat.
Sementara itu, Didin Hafidhuddin,99
Ketua BAZNAS, berpandangan bahwa
usulan perubahan UU No. 38 Tahun 1999 dinilai positif, terutama dalam
kaitannya dengan penyempurnaan undang-undang tersebut. Ia mengusulkan
beberapa hal dalam penyempurnaan tersebut. Pertama, perlunya sistem
pengelolaan zakat yang terintegrasi secara nasional, tetapi tetap terdesentralisasi
sesuai dengan wilayah penghimpunan zakat. Dalam konteks ini, baik BAZ
maupun LAZ yang selama ini telah berperan aktif harus tetap dipertahankan,
karena kedua-duanya sebenarnya bukan organ pemerintah. Memang BAZ
dibentuk oleh pemerintah, akan tetapi ia bukan organ pemerintah, dan dalam
pelaksanaannya tidak bekerja atas nama pemerintah.100
Kedua, peran negara perlu
diperkuat, terutama dalam mendorong dan memfasilitasi pengelolaan zakat. Ini
sejalan dengan preseden yang ada dalam sejarah Islam, di mana negara (ulu> al-amr) wajib mengatur semua kepentingan masyarakat, tak terkecuali pengelolaan
zakat. Karena itu, BAZ yang dibentuk oleh pemerintah perlu tetap dipertahankan,
demikian juga lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.101
Ketiga, sanksi mestinya tidak hanya berlaku bagi pengelola, tetapi juga bagi
muzakki yang tidak mau membayar zakat. Hal itu karena membayar zakat bukan
sekadar menunaikan kewajiban agama, tetapi juga kewajiban qad}a>’i>, yaitu
kewajiban agama yang bila tidak dijalankan akan berdampak pada hilangnya hak
bagi kaum miskin. Di sinilah fasilitas negara diperlukan. Di beberapa negara, yang
menerapkan sanksi administratif bagi muzakki yang enggan membayar zakat
96 Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 1 ayat (6). 97 Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 1 ayat (9) dan Pasal 32. 98 Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 50. 99 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66. Pandangan ini disampaikan di hadapan
Komisi VIII DPR RI pada Selasa, 4 Mei 2010, ketika diminta pendapat BAZNAS tentang perubahan
undang-undang zakat. 100 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 101 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66
180
Perkembangan Filantropi Islam
terbukti efektif untuk mendorong peningkatan penerimaan zakat secara
signifikan.102
Keempat, ada insentif bagi pembayar zakat, misalnya sebagai kredit
pajak. Hal ini justru akan meningkatkan keduanya, jika keduanya dilaksanakan
secara terintegrasi. Dengan begitu, data kekayaan wajib pajak dapat dijadikan
sebagai objek zakat, dan sebaliknya data penghasilan yang wajib dizakati dapat
digali untuk meningkatkan perolehan pajak. Menurut Didin Hafidhuddin, kalau
pun penghasilan pajak negara berkurang, hal itu tidak berarti menurun, tetapi
beralih ke sektor zakat.103
Kelima, perlunya Badan Zakat Indonesia (BZI). Ini
dimaksudkan untuk memaksimalkan peran regulasi, pengawasan dan koordinasi
bagi BAZ dan LAZ. Lembaga ini berada di bawah Presiden, yang keanggotaannya
diusulkan oleh kementerian terkait dan penentuannya melalui uji kepatutan dan
kelayakan oleh DPR.104
Keenam, peran masyarakat yang selama ini telah berhasil
tidak boleh dihilangkan. Yang diperlukan adalah bagaimana antara lembaga yang
dibentuk masyarakat (LAZ) dan oleh pemerintah (BAZ) mampu membangun
sinergi, sehingga tidak menciptakan pengelolaan yang tumpang tindih.105
Pandangan di atas sejalan dengan draft RUU Zakat yang diusulkan oleh
BAZNAS. Secara umum, draft yang disusun oleh BAZNAS ini lebih dekat dengan
draft versi DPR dan usulan FOZ. Seperti draft versi FOZ, draft RUU versi
BAZNAS juga mengusulkan adanya Badan Zakat Indonesia, yang akan bertindak
sebagai regulator bagi pengelolaan zakat.106
Adapun yang bertindak sebagai
pengelola zakat adalah BAZ dan LAZ,107
yang memeroleh izin dari BZI.108
Draft
versi BAZNAS juga menekankan sanksi bagi muzakki yang enggan membayar
zakat, yaitu berupa sanksi yang akan ditetapkan oleh BZI.109
Terlihat bahwa BAZNAS melalui usulannya tidak menghendaki adanya
peleburan LAZ ke dalam BAZ seperti disyaratkan dalam draft versi pemerintah.
Sebaliknya, BAZNAS menghendaki adanya sebuah lembaga baru yang akan
menjadi wasit bagi organisasi-organisasi pengelola zakat, baik yang didirikan oleh
pemerintah (BAZ) maupun yang didirikan oleh masyarakat (LAZ). Namun, draft
versi BAZNAS ini juga mendukung keterlibatan negara, terutama pemberian
sanksi bagi mustahik yang enggan atau lalai membayar zakat.
Respons lain dikemukakan oleh sejumlah lembaga yang tergabung dalam
Gerakan Masyarakat Peduli Zakat (GEMAZ).110
Ada beberapa poin penting yang
menjadi sikap gerakan ini. Pertama, zakat pada dasarnya adalah kedermawanan
102 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 103 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 104 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 105 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam
http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 106 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 1 ayat (8) dan Pasal 15. 107 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 21. 108 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 22 dan 26. 109 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 52. 110 Gerakan ini terdiri atas Center for the Study of Religion and Culture (CSRC UIN Jakarta),
Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Dompet Dhuafa (DD), Perhimpunan Filantropi
Indonesia (PFI), PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), YAPPIKA, Indonesian
Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
181
Bab V
masyarakat dan oleh masyarakat dan bagi masyarakat. Dengan demikian, zakat
berada pada ranah masyaraka sipil dan telah terbukti berhasil menggerakkan
aktivitas masyarakat, tanpa banyak bergantung pada negara.111
Kedua, pemerintah
semestinya hanya berperan sebagai regulator, tanpa harus terlibat dalam
pengelolaan dana zakat. Ini dimaksudkan untuk menjamin independensi
masyarakat dan mendukung pengelolaan yang baik (good governance).112
Ketiga,
GEMAZ berharap agar UU tentang Zakat dapat memberikan kejelasan tugas dan
wewenang masing-masing regulator, pengelola dan pengawas.113
Pembagian ini
penting agar profesionalisme zakat dapat tercipta dengan baik.
Keempat, dalam pandangan GEMAZ, pengaturan pengelolaan zakat harus
didasarkan pada keragaman lembaga yang ada dan tidak hanya mengakui satu
bentuk saja. Keragaman itu akan memunculkan sikap profesional di kalangan
lembaga-lembaga itu sendiri dan karenanya pemerintah justru harus memfasilitasi
perkembangannya.114
Di samping empat poin di atas, GEMAZ berpendapat bahwa pembayaran
zakat hendaknya dapat menjadi pengurang wajib pajak. Ini dimaksudkan sebagai
insentif bagi pertumbuhan pajak. Sementara itu, dalam masalah sanksi bagi wajib
zakat, gerakan ini menolaknya. Yang lebih dipentingkan, bagi gerakan ini,
transparansi pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga pengelola.115
Dari berbagai pandangan di atas, setidak-tidaknya ada dua persoalan penting
yang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Yaitu, tatakelola organisasi
zakat dan pemberian sanksi bagi muzakki yang enggan membayarnya. Dalam
bidang organisasi zakat, misalnya, Nasrun Harun menegaskan bahwa LAZ tidak
dibubarkan, tetapi fungsinya saja yang dialihkan, yakni sebagai Unit Pengumpul
Zakat (UPZ), yang tidak boleh menyalurkan zakat. Ditegaskan oleh Nasrun Harun
bahwa hanya BAZ yang memiliki wewenang untuk menyalurkan zakat.116
Meskipun dalam draft revisi tidak disebutkan secara eksplisit kata-kata
‚dihapuskan,‛ beberapa orang menilai bahwa hal itu sama dengan memupus peran
yang selama ini telah dimainkan oleh lembaga-lembaga swasta yang bergerak
dalam pengelolaan zakat. Amelia Fauzia, misalnya, berpendapat bahwa peleburan
LAZ ke dalam BAZ seperti dikehendaki oleh draft revisi sulit dilakukan. Karena
itu, peleburan hanya akan berarti penghapusan. Konsekuensinya, pengembangan
civil society di Indonesia akan mengalami hambatan.117
Pendapat serupa disampaikan oleh Sofyan Syafii Harahap, Direktur Islamic
Economics and Finance, Universitas Trisakti. Menurutnya, draft revisi memang
tidak menyebutkan kata penghapusan LAZ, tetapi menutup perannya untuk
menyalurkan zakat sama dengan mengamputasinya. Karena itu, Sofyan
menyarankan agar BAZ berperan sebatas sebagai regulator (pengatur) dan
pengawas, tanpa harus ikut mengelola dana zakat. Di sini BAZ dapat mengawasi
sejauh mana ketentuan yang ditetapkan telah dilaksanakan oleh LAZ. BAZNAS,
111 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 120. 112 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 113 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 114 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 115 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 116 Republika, 19 Desember 2009. 117 Republika, 19 Desember 2009.
182
Perkembangan Filantropi Islam
misalnya, harus berperan sebagai jembatan antara civil society dan negara, bukan
sebagai alat komersialisasi pemerintah.118
Sementara itu, Azyumardi Azra menentang keras penghapusan LAZ yang
sudah tumbuh dalam masyarakat. Menurutnya, jika pengelolaan zakat dilakukan
oleh negara atau lembaga yang dibentuk oleh negara, maka pendistribusiannya
akan sangat lambat, sehingga orang yang terkena gempa atau musibah bisa jadi
meninggal duluan sebelum menerima bantuan. Pemerintah, dalam pandangan
Azyumardi, tidak reaktif terhadap musibah, tetapi lembaga-lembaga filantropi
inilah yang berperan paling duluan. Apalagi Kementerian Agama, yang mengurus
haji dan madrasah saja kedodoran, tidak mungkin mampu menghimpun dan
menyalurkan zakat dengan baik. Oleh sebab itu, upaya untuk membubarkan LAZ
harus ditolak.119
Terkait dengan draft RUU tentang zakat, Azra berpendapat bahwa
pemerintah cukup sebagai regulator dan pengawas dalam penghimpunan dan
pendistribusian zakat, dan tidak bertindak sebagai operator. Ia melihat bahwa
RUU tersebut hanya ingin memperkuat posisi pemerintah, yang akan memenopoli
pengelolaan zakat hampir secara keseluruhan. Hal ini tentu berlawanan dengan
kenyataan sejarah, di mana zakat selama berabad-abad telah dikelola oleh
masyarakat melalui berbagai lembaga, apakah organisasi Islam, masjid-masjid
atau lainnya. Yang juga tidak kalah pentingnya, meskipun dikelola secara
konvensional, terbukti banyak pesantren, sekolah Islam, rumah sakit, klinik
kesehatan dan bahkan kebutuhan operasional organisasi-organisasi Islam yang
didirikan dan dibiayai oleh dana zakat dan infak/shadaqah. Dengan begitu,
lembaga-lembaga Islam tidak selalu menggantungkan pada subsidi pemerintah
dan dapat berperan sebagai civil society yang mendorong lahirnya budaya sipil,
yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat demokratis.120
Azra lebih jauh mengidentikkan modus pemerintah yang hendak melakukan
sentralisasi zakat ini dengan modus yang telah dilakukan Gamal Abdul Naser
dalam menasionalisasi Universitas Al-Azhar Kairo. Seperti dimaklumi,
universitas ini memiliki sumber dana filantropi yang sangat besar, sehingga
mampu berdikari tanpa sedikit pun bergantung pada subsidi pemerintah, dan
bahkan dapat memberikan beasiswa bagi mahasiswa dari berbagai negara. Akan
tetapi, setelah dinasionalisasi oleh Naser, lembaga ini menjadi bergantung pada
pemerintah. Ide sentralisasi pengelolaan zakat di Indonesia ini, karenanya, hanya
akan membonsai lembaga-lembaga pengelola zakat masyarakat, dan pada
akhirnya akan ‚mengancam independensi umat Islam.‛121
Persoalan sentralisasi pengelolaan zakat ini sebenarnya adalah persoalan
apakah zakat harus dikelola oleh negara sepenuhnya, tanpa memberi ruang bagi
publik, ataukah menyerahkan sepenuhnya kepada publik. Dua pilihan ini tentu
tidak realistis, mengingat ketika zakat sudah masuk ke dalam ranah hukum, maka
akan terjadi persinggungan kepentingan antara negara dan publik. Seperti
ditunjukkan di bagian awal bab ini, sejumlah lembaga pengelola zakat swasta
118 Republika, 19 Desember 2009. 119 Republika, 19 Desember 2009. 120 Azyumardi Azra, ‚Negara dan Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.uinjkt.ac.id/index.php/
section-blog/28-artikel/1410-negara-dan-pengelolaan-zakat.html 121 Azyumardi Azra, ‚Konsep Pemerintah Bisa Mengancam Independensi Umat Islam,‛ Infoz,
Edisi 4 Tahun VI (2010), 9.
183
Bab V
telah menunjukkan kinerjanya dengan baik sehingga memeroleh kepercayaan
masyarakat. Karena itu, sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara bukan saja
tidak tepat, tetapi bisa jadi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.122
Ini memiliki preseden dalam sejarah perzakatan di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, Soeharto bersedia mengelola zakat secara nasional.
Gagasan ini didukung oleh beberapa ulama seperti Hamka dan KH. Hasan Basri.
Akan tetapi, selama tiga tahun ia mengelola, terbukti hasilnya jauh dari perkiraan,
yakni hanya sebesar 39,5 juta rupiah dan 2,475 dollar Amerika. Padahal,
diprediksi saat itu dana yang dapat dihimpun mencapai 2,5 trilyun rupiah setiap
tahunnya.123
Ini membuktikan bahwa sentralisasi pengelolaan zakat tidak
menyelesaikan persoalan.
Lebih jauh, Amelia Fauzia menilai peleburan LAZ ke dalam BAZ sangat
tidak realistis. Yang demikian itu karena perbedaan ideologi yang dipegang oleh
masing-masing LAZ dan BAZ. Jika yang pertama tumbuh dari masyarakat
(bottom-up), yang kedua dibentuk oleh pemerintah (top-down). Menurut Amelia
Fauzia, sejumlah studi tentang peleburan atau merger lembaga filantropi
membutuhkan kesamaan ideologi, visi, landasan, donatur dan lain sebagainya.
Amelia memberikan contoh bagaimana BAZNAS dan Dompet Dhuafa telah
melakukan merger dalam bidang manajemen pada 2006. Namun, upaya itu hanya
berjalan selama satu tahun. Ini membuktikan bahwa penggabungan dua lembaga
saja yang berbeda ideologi, setidak-tidaknya, sulit dilakukan. Apalagi jika
penggabungan itu dilakukan oleh sebegitu banyak LAZ. Lebih jauh, LAZ pada
dasarnya adalah lembaga civil society, yang melakukan pemberdayaan terhadap
masyarakat dan berusaha menyejahterakan mereka. Karena itu, jika LAZ ini
dilebur, masyarakat akan kehilangan manfaat yang telah mereka terima darinya, di
samping kepercayaan donatur yang diberikan kepadanya mungkin juga akan
hilang. Akibatnya, peleburan itu menjadi kontraproduktif bagi pertumbuhan civil
socity, sekaligus memundurkan filantropi Islam di Indonesia.124
Sementara itu, Ahmad Sutarmadi, salah seorang perumus RUU tentang
Pengelolaan Zakat, menegaskan bahwa semangat undang-undang tersebut pada
dasarnya adalah desentralisasi, dalam arti bahwa tidak seluruh persoalan harus
dikelola oleh pemerintah, termasuk zakat. Ini sejalan dengan semangat reformasi
saat itu, yang lebih didominasi oleh kekuatan sipil. Bahkan, dalam penyusunan
RUU pun, pemerintah hanya bertindak sebagai sekretaris. Adapun terhadap
pandangan bahwa LAZ hanya diperbolehkan bagi organisasi massa (Ormas) Islam,
ia merespons bahwa sebenarnya LAZ sudah banyak, karena itu undang-undang ini
juga mengakomodir keberadaan mereka yang telah berkiprah. Karena itu, gagasan
pemerintah yang akan melebur LAZ ke dalam BAZ dipandangnya sebagai upaya
yang tidak bijak. Kalau pun ada LAZ yang tidak berkinerja bagus, hal itu tidak
bisa dijadikan alasan untuk menggeneralisasi seluruh LAZ.125
122 Syamsul Ma’arif, ‚Mengawal Zakat di Parlemen,‛ dalam http://imz.or.id/new/article/118/
mengawal-zakat-di-parlemen/ 123 Amelia Fauzia, ‚Centralizing Zakat: The Wrong Solution,‛ dalam
http://ameliafauzia.blogspot.com/2009/12/centralizing-zakat-wrong-solution_18.html. 124 Amelia Fauzia, ‚Peleburan LAZ Berarti Mematikan Gerakan Civil Society,‛ dalam
http://ameliafauzia.blogspot.com/2009/12/peleburan-laz-berarti-mematikan-gerakan.html (diakses 20
November 2010). 125 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara
dalam Infoz, 4:6 (2010), 25-27.
184
Perkembangan Filantropi Islam
Sejalan dengan itu, Uswatun Hasanah menyarankan agar BAZ dan LAZ
dipertahankan karena terbukti keduanya telah mendapat kepercayaan masyarakat
dalam membayar zakat. Lebih jauh, ia mengusulkan agar ada lembaga negara,
seperti Badan Zakat Nasional, yang berwenang membuat peraturan dan
melakukan pengawasan terhadap BAZ dan LAZ.126
Pandangan ini sesuai dengan
usulan BAZNAS sebagaimana disebutkan di muka.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 telah
memberikan landasan kuat bagi pengelolaan zakat di Indonesia, meskipun dalam
pelaksanaannya belum mendatangkan hasil secara maksimal. Upaya revisi
terhadap undang-undang tersebut kini tengah dipersiapkan dan dibicarakan di
DPR bersama dengan pemerintah. Jika draft revisi yang diajukan oleh pemerintah
disetujui, beberapa dampak negatif bagi filantropi Islam tampaknya tidak dapat
dihindari. Pertama, lembaga-lembaga filantropi Islam yang bergerak dalam bidang
penghimpunan zakat hanya akan berperan sebagai ‚pekerja,‛ yakni sekadar
sebagai penghimpun zakat, sedangkan pendistribusiannya hanya berada di tangan
BAZ yang dibentuk oleh pemerintah. Mengingat kebijakan penyaluran ada di
pihak pemerintah, tidak menutup kemungkinan penyaluran tersebut harus melalui
birokrasi yang panjang. Kedua, sentralisasi pengelolaan zakat juga menunjukkan
bahwa independensi umat Islam akan tercerabut. Selama ini, sejumlah lembaga
dengan bebas menggali dana zakat dari masyarakat untuk kepentingan ibadah,
pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Dengan adanya undang-undang baru
tersebut, lembaga-lembaga harus menunggu persetujuan dari BAZ yang dikelola
oleh pemerintah. Karena itu, gagasan ini hanya akan membuat lembaga-lembaga
tersebut mengalami ketergantungan kepada pemerintah. Padahal, salah satu
semangat reformasi adalah desentralisasi, di mana masyarakat dapat berperan
aktif, termasuk dalam pengelolaan zakat. Ketiga, sentralisasi pengelolaan zakat
oleh pemerintah tidak menutup kemungkinan akan menurunkan kepercayaan
masyarakat. Hal itu terbukti pernah terjadi pada masa Orde Baru di bawah kendali
Soeharto. Akibatnya, semangat orang berzakat yang kini tengah tumbuh bisa
melorot karena ketidakpercayaan mereka terhadap pengelolaan pemerintah.
Pada masa Nabi Saw., zakat memang tidak dipisahkan dari urusan negara.
Ini dibuktikan di antaranya dengan membentuk lembaga perwakilan untuk
memungut dan mendistribusikan zakat. Dengan kata lain, pengelolaan zakat bisa
dilakukan dengan mengangkat wakil oleh negara. Hal itu dicontohkan oleh Nabi
Saw., yang mengangkat Mu‘a>dh ibn Jabal sebagai petugas zakat di Yaman, di
samping pengajar agama sebagai tugas utamanya.127
Hingga batas tertentu, BAZ dapat dipandang sebagai wakil pemerintah
mengingat beberapa hal berikut ini. Pertama, dari segi pembentukannya, BAZ
dibentuk oleh pemerintah dari tingkat pusat hingga tingkat kecamatan.128
Kedua,
dari segi keanggotaan pengurus, BAZ diisi oleh sebagian orang-orang pemerintah,
di samping tokoh-tokoh masyarakat. Ini disebutkan secara eksplisit dalam UU No.
38 Tahun 1999 Pasal 6 ayat (4). Ketiga, BAZ juga memeroleh bantuan dari
pemerintah sebagai dana operasional yang diambil dari anggaran pemerintah di
126 Uswatun Hasanah, ‚Penataan Lembaga Amil Zakat di Indonesia dan Permasalahannya,‛
Jurnal Syari‘ah, 2:2 (Januari-Juni 2010), 18. 127 ‚Waka>lah,‛ dalam al-Mawsu> ‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 30. 128 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 6 ayat (2).
185
Bab V
masing-masing tingkatannya.129
Dengan kata lain, meskipun memiliki
independensi, BAZ tidak mungkin bisa beroperasi tanpa keterlibatan negara dan
karenanya tetap tunduk kepada negara.
Meskipun demikian, dalam sejarah Islam, ada juga preseden bahwa zakat
diserahkan wewenang pengumpulan dan pendistribusiannya kepada masyarakat
(tawliyah). Ini terjadi pada masa Khalifah ‘Uthma>n ibn ‘Affa>n. Berbeda dengan
dua khalifah sebelumnya, kebijakan khalifah ketiga dalam masalah zakat ini
mengalami perubahan, terutama dalam hal pemungutan. ‘Uthma>n tetap
melibatkan negara, namun membolehkan masyarakat untuk membayarkan
zakatnya secara langsung kepada mustahik. Kebijakan ini diambil karena
dilatarbelakangi oleh sikap yang merugikan kedua belah pihak, baik amil maupun
muzakki. Di satu sisi, petugas zakat dipermalukan karena harus mengejar-ngejar
kekayaan masyarakat dan, di sisi lain, masyarakat juga merasa terganggu
privasinya karena kekayaannya harus dibongkar oleh petugas zakat. Atas dasar
itu, ‘Uthma>n kemudian mengambil jalan tengah, dengan menugaskan pengumpul
untuk menarik zakat atas harta yang terlihat saja (z}a>>hirah) dan menyerahkan
kepada masyarakat sendiri zakat atas harta yang tidak terlihat (ba>t}inah) dan
menyerahkannya langsung kepada mustahik atau lembaga resmi negara.
Berdirinya LAZ di Indonesia ini merupakan bentuk dari pemberian
kewenangan (tawliyah) negara kepada masyarakat. Sebelumnya, lembaga-
lembaga ini mewujudkan diri dalam individu-individu, seperti kyai, ustadz, atau
tokoh agama lainnya, di samping kepada lembaga-lembaga pendidikan atau
organisasi keagamaan, seperti pesantren, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan
sebagainya. Akan tetapi, potensi besar zakat dari masyarakat dan kurangnya
efektitivatas lembaga-lembaga ini mendorong berdirinya sejumlah LAZ yang
belakangan ini semakin banyak jumlahnya.
Dari uraian di atas, kedua lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh
pemerintah (BAZ) dan masyarakat (LAZ) memiliki justifikasi historis dalam
sejarah Islam. Karenanya, keduanya dapat beroperasi secara beriringan, asalkan
dilakukan secara sinergis dan dengan semangat membangun masyarakat, yang
menjadi tujuan disyariatkannya zakat itu sendiri.
129 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 23.
186
BAB VI
PENUTUP
Dalam bab-bab sebelumnya telah diuraikan secara panjang lebar tentang zakat dan
wakaf serta kaitannya dengan negara. Diawali dari kondisi pengaturan zakat dan
wakaf, pembahasan telah dilanjutkan dengan dampak disahkannya undang-undang
tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf dalam bentuk
lembaga-lembaga filantropi Islam. Sebagai penutup, bab ini akan menguraikan
kesimpulan bahasan dan implikasinya sebagai saran-saran.
A. Kesimpulan
Persoalan utama yang diangkat dalam disertasi ini adalah hubungan negara
pasca-Orde Baru dengan filantropi Islam. Persoalan ini telah mengalami dinamika
yang tak pernah berhenti sejak Indonesia merdeka. Salah satu sebabnya adalah
posisi negara yang berada di antara kutub sekular dan teokratis, atau bukan negara
sekular sekaligus bukan negara agama. Posisi seperti itu memunculkan persoalan,
di antaranya, seberapa jauh negara harus terlibat dalam masalah zakat dan wakaf.
Persoalan filantropi Islam, yang meliputi zakat dan wakaf, merupakan
pranata yang sangat potensial secara ekonomis. Dalam sejarahnya, filantropi
Islam telah berperan penting dalam penyebaran Islam, pendirian lembaga-lembaga
pendidikan dan lain sebagainya. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa
filantropi Islam telah membantu menyejahterakan masyarakat, khususnya, mereka
yang tidak mampu. Karena itu, filantropi Islam mendapat perhatian yang besar
dari negara-negara, khususnya negara-negara Muslim.
Dalam situasi krisis multidimensi, terutama krisis ekonomi, pemerintah
Indonesia pasca-Orde Baru melihat zakat dan wakaf dapat membantu masyarakat
yang jumlah kemiskinannya semakin meningkat. Karena itu, pemerintah
mengakomodasinya melalui undang-undang, yang memang menjadi aspirasi kaum
Muslim Indonesia. Sebenarnya, usaha-usaha agar zakat diundangkan telah lama
dilakukan, bahkan sejak masa pemerintahan Soekarno dan terus berlangsung
hingga masa pemerintahan Soeharto. Akan tetapi, upaya itu mengalami kegagalan
karena otoritarianisme rezim yang dipimpin oleh kedua presiden itu. Di samping
itu, kecurigaan sebagian masyarakat lain bahwa hal itu dapat mengarah pada
pemberlakuan Piagam Jakarta.
Dengan bergulirnya reformasi, yang memberikan kebebasan, aspirasi itu
mengemuka kembali dan diterima dengan baik oleh pemerintah. Adapun faktor-
faktor yang mendorong diakomodasinya aspirasi itu adalah sebagai berikut.
Pertama, faktor historis, yaitu bahwa aspirasi ini telah lama menjadi keinginan
umat Islam. Kedua, faktor ekonomis, yaitu potensi zakat yang diyakini dapat
menyejahterakan masyarakat dan karenanya memerlukan pengelolaan yang baik.
Ketiga, faktor yuridis, yaitu lemahnya peraturan tentang zakat, di mana tumpang
tindih antara peraturan-peraturan itu, sehingga melemahkan pengelolaan zakat.
187
Bab VI
Meskipun telah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pengelolaan zakat
masih tumpang tindih karena peraturan yang tidak menyeluruh. Keempat, faktor
sosial-politik, yaitu di samping posisi Presiden Habibie, yang memiliki kedekatan
dengan FOZ, yang mempersiapkan draft RUU, kepentingan politik bagi karier
politiknya ke depan juga mendorongnya mengakomodasi aspirasi umat Islam,
dengan harapan dapat menarik simpati masyarakat. Lebih dari itu, DPR pun
memiliki kepentingan untuk menunjukkan sikap aspiratifnya terhadap
kepentingan masyarakat.
Sementara itu, wakaf juga merupakan pranata yang memiliki potensi
ekonomis yang sangat besar, dan karenanya diakomodasi dalam undang-undang
oleh negara. Adapun faktor-faktor yang mendorong diakomodasinya RUU tentang
Wakaf, di samping karena pengalaman beberapa negara lain, juga karena faktor-
faktor berikut. Pertama, faktor ekonomi dan kesejahteraan. Seperti zakat, wakaf
diyakini dapat membantu kesejahteraan masyarakat miskin, yang berarti dapat
membantu tugas negara. Kedua, kurang memadainya peraturan yang ada. Sejauh
ini, wakaf diatur dalam berbagai peraturan yang melibatkan lembaga-lembaga
yang berbeda. Ketiga, faktor politik. Selama ini Presiden Megawati dicurigai akan
menghambat aspirasi Islam, sehingga kampanye penolakan terhadap
kepresidennya telah lama terjadi. Untuk menghindari kesan itu, pemerintahannya
mengakomodasi kepentingan umat Islam.
Dengan diakomodasinya dua bentuk filantropi Islam, yakni zakat dan wakaf,
ke dalam undang-undang, hubungan Islam dan negara pasca-Orde Baru tampak
bersifat saling terkait secara substansial, meskipun keduanya merupakan entitas
yang berbeda. Keterlibatan ini telah memposisikan negara sebagai legislator,
supervisor sekaligus sebagai fasilitator dalam persoalan zakat dan wakaf. Kondisi
ini membantah penilaian bahwa Indonesia adalah negara sekular, seperti yang
dikemukakan oleh Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ira M. Lapidus, Adam
Schwarz dan Riaz Hasan.
Di samping itu, disahkannya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat dan
Undang-undang tentang Wakaf memiliki implikasi positif bagi perkembangan
pengelolaan kedua pranata ini di Indonesia, yang ditunjukkan dengan
meningkatnya lembaga filantropi Islam. Lembaga-lembaga ini akan memperkokoh
civil society, yang sangat dibutuhkan bagi sebuah negara demokratis seperti
Indonesia. Akan tetapi, perkembangan itu akan mengalami pemiskinan peran, jika
rencana amandemen RUU tentang Pengelolaan Zakat akan mengakomodir
gagasan peleburan lembaga-lembaga filantropi yang dibentuk masyarakat, yang
selama ini telah berkiprah besar dalam masyarakat. Meskipun demikian, tarik
menarik antara kepentingan negara dan lembaga-lembaga swasta terhadap
persoalan filantropi ini tampaknya belum berakhir.
B. Saran-saran
Dari hasil penelitian ini ada beberapa catatan yang patut dikemukakan
sebagai rekomendasi. Pertama, dalam negara yang demokratis saat ini, umat Islam
mempunyai peluang sangat besar untuk menyampaikan aspirasinya. Akan tetapi,
aspirasi itu harus didasarkan pada “public reason” yang dapat diterima oleh semua
pihak, sehingga tidak terkesan diskriminatif. Maksudnya, alasan-alasan aspirasi
itu tidak semata-mata untuk kepentingan umat, tetapi juga bagi bangsa secara
keseluruhan. Kedua, perjuangan politik mempunyai signifikansi yang sangat
188
Penutup
tinggi bagi penyampaian aspirasi umat. Karena itu, keterlibatan Muslim dalam
politik sudah seharusnya menjadi perhatian mereka. Dengan begitu, aspirasi umat
akan lebih mudah tersalurkan.
189
Addendum
Rencana Revisi UU No. 38 Tahun 1999 dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam
Setelah satu dasawarsa disahkan, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Dari pihak pemerintah
(Direktorat Pengembangan Zakat), potensi zakat yang diprediksi mencapai
puluhan trilyun, terbukti hanya berhasil dikumpulkan sebesar sekitar 1,2 trilyun,
padahal undang-undang telah disahkan dan peraturan yang terkait telah
dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Diduga penyebab tidak
teraktualisasikannya potensi itu adalah lemahnya undang-undang itu sendiri dan
desentralisasi pengumpulan zakat.
Kelemahan utama undang-undang tersebut, dalam pandangan pihak ini,
adalah bahwa meskipun zakat telah ditegaskan sebagai kewajiban, hal itu tidak
dibarengi dengan sanksi apa yang mesti diterima jika seseorang yang telah mampu
membayar zakat, tetapi ia melalaikannya. Sementara itu, kelemahan fundamental
dalam pengelolaan, menurut pihak ini, adalah banyaknya lembaga pengumpul
zakat yang tidak tersentralisasi. Ini ditunjukkan dengan adanya BAZ yang
dibentuk oleh pemerintah, yang merentang dari pusat hingga tingkat kecamatan,
di samping adanya LAZ yang dibentuk oleh masyarakat, dari tingkat nasional
hingga kabupaten/kota. Padahal, LAZ yang diamanatkan oleh undang-undang
adalah organisasi massa (ormas) keagamaan yang bergerak dalam bidang dakwah,
pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam. Akan tetapi, banyak lembaga
pengelola zakat yang tidak memenuhi kriteria itu. Akibatnya, dana ZIS yang
terkumpul menjadi tercecer di berbagai lembaga, dan penyalurannya pun tidak
satu arah.
Kritik terhadap UU No. 38 Tahun 1999 juga dikemukakan oleh para aktivis
pengelola zakat, terutama yang tergabung dalam Forum Zakat (FOZ). Dalam
pandangan pihak ini, kelemahan mendasar undang-undang ini adalah tidak adanya
sanksi yang mesti diberikan kepada muzakki yang enggan membayarkan
zakatnya. Lebih jauh, pihak ini juga menyadari kurangnya koordinasi di antara
sesama lembaga pengelola zakat.
Kondisi di atas mendorong pemerintah untuk mengajukan revisi terhadap
undang-undang zakat yang ada. Di antara poin penting yang hendak dimasukkan
dalam revisi tersebut adalah penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai membayar
zakat. Selain itu, masalah zakat sebagai pengurang wajib pajak juga menjadi
usulan penting dalam revisi ini, mengingat dalam pelaksanaannya hal itu tidak
berjalan dengan baik. Yang penting lagi, LAZ yang selama ini telah aktif terlibat
dalam pengelolaan zakat akan dialihkan fungsinya sekadar sebagai pengumpul
zakat, tanpa diberi kewenangan untuk menyalurkannya.
Terhadap gagasan ini, banyak pihak yang mengajukan keberatan, di
antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, jika hanya BAZ yang diberikan
kewenangan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan dana zakat, sementara
LAZ hanya berwenang mengumpulkan tanpa mendistribusikan, ini berarti ada
upaya sentralisasi atau nasionalisasi pengelolaan zakat. Kedua, melalui upaya
sentralisasi ini, negara berarti telah melibatkan secara total terhadap pengelolaan
zakat, bukan sekadar sebagai regulator, tetapi juga sebagai operator sekaligus.
Ketiga, lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat secara otomatis akan
dilemahkan, karena posisinya hanya sebagai pengumpul zakat minus
190
pendistribusiannya. Padahal, selama ini dengan dana zakat yang berhasil
dikumpulkan, lembaga-lembaga ini telah berhasil memainkan perannya dalam
penguatan masyarakat sipil (civil society) dalam berbagai bidang, seperti
pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Bahkan, dalam penyusunan awal RUU
tentang zakat pasca-Orde Baru, peran lembaga-lembaga tersebut tidak dapat
diabaikan.
Dalam pandangan saya, beberapa persoalan di atas sebenarnya bisa
diselesaikan. Terhadap masalah nasionalisasi zakat, misalnya, hal itu pernah
dilakukan di beberapa negara Muslim, tetapi tidak seluruhnya berhasil dengan
mulus. Arab Saudi dan Pakistan barangkali dapat disebut sebagai contoh yang
berhasil dengan mulus. Hal itu karena sikap total yang ditunjukkan oleh negara,
sehingga terkait dengan kementerian yang ada. Ini tentu sulit dilakukan di
Indonesia, karena belum ada sinkronisasi antarkementerian. Sebagai contoh,
dalam undang-undang ditegaskan bahwa pembayaran zakat dapat mengurangi
wajib pajak. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal itu belum terlaksana hingga
hari ini. Jika hal itu dilaksanakan, secara otomatis dana zakat yang bisa terkumpul
saat ini sudah mencapai trilyunan rupiah, karena secara otomatis orang yang
membayar pajak berarti akan terkurangi 2,5% sebagai pembayaran zakat. Ini tidak
terjadi, di antaranya, karena keterkaitan antarkementerian belum terjalin dengan
baik.
Lebih jauh, jika hanya pemerintah yang berhak mendistribusikan zakat,
maka pengeluarannya harus melalui birokrasi negara. Karena itu bisa
dibayangkan, betapa lamanya pendistribusian ini akan sampai kepada mustahik,
apalagi untuk kepentingan-kepentingan mendesak lainnya, seperti bencana alam
dan sebagainya. Sebaliknya, efektivitas pendistribusian ini justru ditunjukkan oleh
LAZ karena tidak harus melalui birokrasi yang panjang dan lebih bisa dirasakan
oleh masyarakat secara langsung. Lembaga-lembaga swasta itu terbukti selalu
berada di garda depan dalam penanggulangan bencana alam dan sebagainya.
Lebih penting lagi, jika hanya pemerintah yang berhak menyalurkan dana
zakat, ini akan memunculkan masalah kepercayaan (trust) masyarakat. Sejauh ini,
LAZ dengan berbagai upayanya telah berhasil meraih kepercayaan itu, yang
dibuktikan dengan keberhasilan mereka dalam menghimpun dana zakat dalam
jumlah yang sangat besar. Pertanyaannya, ketika pendistribusiannya hanya berada
di tangan pemerintah, apakah kepercayaan itu akan tetap bertahan, jika lembaga
yang selama ini mereka percaya hanya berperan sebagai pengumpul? Preseden ini
telah terjadi pada masa Orde Baru, di mana ketika Soeharto menjadi amil
nasional, justru dana yang berhasil dihimpun hanya sedikit.
Sementara itu, dengan dihapusnya peran pendistribusian zakat dari LAZ, ini
berarti gerak lembaga yang terakhir akan terpasung. Semua yang membutuhkan
dana zakat, secara otomatis harus meminta kepada pemerintah dan
konsekuensinya semua akan bergantung kepada pemerintah. Padahal, semangat
reformasi, tak terkecuali semangat penyusunan awal RUU tentang zakat, adalah
partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan kata lain, semangat
partisipatoris ini dapat diwujudkan melalui civil society. Akan tetapi, jika dana
filantropi itu sendiri hanya berada di tangan pemerintah, peran civil society, tanpa
dana filantropi, dipastikan akan kembang kempis (la>-yah}ya> wala>-yamu>t) dan bisa
jadi mati. Karena itu, kedua-duanya, BAZ dan LAZ, harus dipertahankan dan
diupayakan berjalan secara sinergis. Memang, dana yang terkumpul tersebar
191
dalam berbagai lembaga. Akan tetapi, jika terkumpul hanya dalam lembaga
pemerintah, apakah ada jaminan hal itu bisa dirasakan oleh masyarakat secara
merata? Sebenarnya, adanya LAZ merupakan salah satu bentuk reaksi masyarakat
terhadap konsentrasi pembayaran pajak, yang terbukti tidak berhasil juga
memeratakan kesejahteraan masyarakat. Jangan-jangan kalau dana zakat juga
terkonsentrasi di pihak pemerintah akan mengalami nasib serupa.
Terhadap sanksi bagi muzakki yang enggan membayar zakat, hal itu
sesungguhnya tidak mudah dilakukan. Di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan
Pakistan, hal itu berhasil dilakukan karena melibatkan banyak pihak atau
departemen. Sementara di Malaysia, hal itu hanya berhasil di Kuala Lumpur dan
Petaling Jaya dan tidak berhasil diterapkan di negara bagian lainnya. Kegagalan
ini, di antaranya, diakibatkan oleh tidak adanya database tentang muzakki dan
mustahik yang akurat. Jika sanksi tersebut diterapkan di Indonesia, pasti tidak
mudah, apalagi penegakan hukum di negeri ini terhadap pelanggar pajak saja
masih belum bisa diandalkan. Di samping itu, zakat pada dasarnya adalah masalah
filantropi—meskipun wajib secara keagamaan—yang didasarkan pada tanggung
jawab moral masyarakat. Jika diterapkan sanksi di dalamnya, hal itu menunjukkan
zakat bukan lagi persoalan ibadah dan filantropi, tetapi memiliki kedudukan
serupa dengan pajak. Karena itu, penerapan sanksi bagi muzakki hanya akan
mempersulit pemerintah sendiri.
Dari uraian di atas, saya melihat bahwa pengelolaan zakat yang selama ini
telah berjalan perlu dipertahankan, namun juga diperbaiki dalam hal pengawasan
dan sinerginya. Dengan begitu diharapkan zakat yang memiliki misi
menyejahterakan masyarakat dapat diwujudkan dan bisa dirasakan masyarakat.
192
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Artikel
‘Abd Alla>h, Ah}mad ‘Ali. ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa al-Amwa>l
al-Zakawiyyah: Jumhu>riyyat al-Su>da>n wa al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-
Su‘u>diyyah,‛ dalam al-It}a>r al-Mu’assisi> li al-Zaka>h: ’Ab‘a>duh wa-Mad}a>mi>nuh, ed. Bu>‘alla>m ibn Jala>li> dan Muh}ammad al-‘Ilmi>. Jeddah:
IRTI-IDB, 2001.
‘Abd Alla>h, ‘Uthma>n H{usayn. al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i> al-Isla>mi>. Mans}u>rah: Da>r al-Wafa>’ li al-T{iba>‘ah wa al-Nashr, 1989.
Agung, Wahyu Dwi. ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi
Zakat sebagai Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Kuntoro
Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (eds.), Zakat dan Peran Negara.
Jakarta: Forum Zakat, 2006.
Ahmed, Habib. Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation. Jeddah: IRTI-
IDB, 2004.
Ali, Imtiaz B. Waqf: A Sustainable Development Institution for Muslim Communities. Valsayn, Trinidad and Tobago: Takaful T&T Friendly
Society, 2009.
Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI
Press, 1988.
---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Alterman, Jon B. dan Shireen Hunter. The Idea of Philanthropy in Muslim Contexts. Washington, DC: Center for Strategic and International Studies,
2004.
Anderson, Lindsay. Conspicuous Charity. Tesis MA. Texas: Texas A&M
University, 2007.
Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World. London: The Athlone
Press, 1976.
Anheier, Helmut K. dan Regina A. List. A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the Non-Profit Sector. London-New York: Routledge,
2005.
Anonimous. Al-Was}a>ya> wa al-Awqa>f fi> al-Fiqh al-Isla>mi>. Beirut: al-Muassasah al-
Ja>mi‘iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr, 1996.
Anshory, Maria Ulfah. ‚Filantropi Islam dan Penguatan Hak Asasi Manusia,‛
dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed.
Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003.
193
Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Arjomand, Said Amir. ‚Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam
pra-Modern,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren F.
Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, terj. Tim CRCS.
Jakarta: CRCS UIN Jakarta, 2007.
Al-‘Asqala>ni>, Ibn H}ajar. Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m. Riya>d}:
Maktabat Da>r al-Sala>m, 1997.
Aulawi, A. Wasit. ‚Sejarah Perkembangan Hukum Islam,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
Awad, Mohammad Hashim. ‚Adjusting Tax Structure to Accommodate Zakah,‛
dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed. I.A. Imtizi
et.al. Jeddah: IDB-IRT, 2000.
‘Awdah, ‘Abd al-Qadi>r. al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad}‘i>. Kairo: Maktabat Da>r al-‘Uru>bah, 1963.
Azhari, M. Tahir. ‚Zakat dan Aplikasinya dalam Konteks Kesejahteraan Sosial,‛
Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang Pengelolaan Zakat,
Departemen Agama, Jakarta, 30 Agustus 1999.
Azra, Azyumardi. Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan,
2000.
---------. ‚The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of the
Shari‘a for Social Changes,‛ Jurnal Istiqra’, 6:6 (Juli-Desember 1992).
---------. ‚The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of the
Shari‘a for Social Changes,‛ dalam Sharia and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore: ISEAS, 2003.
---------. ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum
Zakat, 2006.
---------. ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta:
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
---------. Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context. Jakarta-
Singapore: Solstice Publishing, 2006.
---------. “Faktor Islam di Indonesia Pasca-Soeharto,” dalam Indonesia di Tengah
Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, ed. Chris Manning dan
Peter van Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. Yogyakarta: LKiS,
2000.
---------. “Southeast Asian Islam in the Post-Bali Bombing: Debuking the Myth,”
dalam Indonesian Today: Problems and Perspectives, ed. Norbert Eschborn,
Sabrina Hackel and Joyce H. Richardson. Jakarta: Konrad-Adenauer-
Stiftung, 2004.
Babbie, Earl. The Practice of Social Research. Westford: Wadsworth Publishing
Company, 1998.
194
Al-Ba>ju>ri>, Ibra>hi>m. H}a>shiyat al-Ba>ju>ri> ‘ala> Ibn Qa>sim al-Gha>zi>, jilid 1. Kairo: ‘I>sa>
al-Ba>bi> al-H}alabi>, t.th.
Bakar, Irfan Abu dan Chaider S. Bamualim, eds. Filantropi Islam dan Keadilan
Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di
Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006.
Bamualim, Chaider S. dan Irfan Abu Bakar, eds. Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa dan Budaya, UIN Jakarta, 2005.
Bamualim, Chaider S. ‚Islamic Philanthropy in Indonesia: Trends and Challenges
towards Social Justice,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN
Jakarta, 2009.
Bashear, Suliman. ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in
Early Islam,‛ Arabica, 15 (1993).
Behrens-Abouseif, Doris. ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 10.
Leiden: Brill, 2000.
Bell, John Sophie Boyron dan Simon Whittaker. Principles of French Law.
Oxford: Oxford University Press, 1998.
Bell, Richard. Introduction to the Quran. Edinburgh: Edinburgh University Press,
1953.
Bell, Richard. The Origin of Islam in its Christian Environment. Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1925.
Berg, Bruce L. Qualitative Research Methods for the Social Sciences. Boston-
London: Allyn and Bacon, 1995.
Berger, M. ‚Khayr,‛ The Encyclopedia of Islam, ed. Jane D. McAuliffe, vol. 4.
Leiden: Brill, 1997.
Bikmen, Filiz. ‚The Rich History of Philanthropy in Turkey: A Paradox of
Tradition and Modernity,‛ dalam Philanthropy in Europe: A Rich Past, A Promising Future, ed. Norine Mac-Donald and Luc Tayart de Borms.
London: Alliance Publishing Trust, 2008.
---------. “Progress on Civil Society Legislation in Turkey,” International Journal
of Not-for-Profit Law, 7:2 (2005).
---------. “A Move in the Right Direction, But Not the Destination: Turkey’s New
Foundation Law,” International Journal of Not-for-Profit Law, 10:3 (2008).
Biro Perbankan Syariah BI, ‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai:
Sebuah Kajian Konseptual,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam,
ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah. Jakarta: Pusat Studi Timur
Tengah dan Islam UI, 2006.
Bremer, Jennifer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building
Social Justice,‛ paper disampaikan pada CSID (Center for the Study of
Islam and Democracy) 5th
Annual Conference ‚Defining and Establishing
Justice in Muslim Societies.‛ Washington DC, 28-29 Mei 2004.
Brockelmann, C. History of Islamic Peoples. Albany, NY: SUNY Press, 1947.
Budihardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992.
195
Al-Bujayrimi>, Sulayma>n. Tuh}fat al-H{abi>b ‘ala> Sharh} al-Khat}i>b. Kairo: Mus}t}afa> al-
Ba>bi> al-H{alabi>, 1951.
Cammack, Mark. ‚Indonesia’s 1989 Religious Judicature Act: Islamization of
Indonesia or Indonenization of Islam?‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore:
ISEAS, 2003.
Carmona, A. ‚Wakf in Spain,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill,
2000.
Cizakca, Murat. ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-Nuqu>d)
for Modern Islamic Economics,‛ dalam Financing Development in Islam,
ed. M.A. Mannan. Jeddah: IRTI-IDB, 1416.
---------. ‚Awqa>f in History and Its Implication for Modern Islamic Economics,‛
Islamic Economics Studies, 6: 1 (1998).
Cohen, Mark C. Poverty and Charity in the Jewish Community of Medieval Egypt. Princeton: Princeton University Press, 2005.
Constitution of Turkish Republic, trans. by Sadik Balkan et. al. for the Committee
of National Unity. Ankara, 1961.
Coulson, N.J. ‚Bayt al-Ma>l: Legal Doctrine,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 1.
Leiden: Brill, 1986.
Dallal, Ahmad. ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam
Islam and Social Policy, ed. Stephen P. Heyneman. Nashvile: Vanderbilt
University Press, 2004.
Deguilhem, Randi. ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000.
Al-Dimyati., I‘a>nat al-T}a>libî>n, juz 3. Semarang: Mat}ba‘at Thaha Putra, t.th.
Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta:
Penerbit Djambatan dan KITLV, 1983.
Djatnika, Rachmat. ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ dalam
Berderma untuk Semua, ed. Idris Thaha. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya
UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Djuanda, Gustian dkk. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006.
Doa, M. Djamal. Manfaat Zakat Dikelola Negara. Jakarta: Nuansa Madani, 2002.
Effendy, Bahtiar. (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik.
Bandung: Mizan, 2000.
---------. Islam in Contemporary Indonesian Politics. Jakarta: Ushul Press, 2006.
---------. Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press, 2005.
Eickelman, Dale F. and James Piscatori. Muslim Politics. Princeton-Oxford:
Princeton University Press, 2004.
Fakhri, Muhammad. Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Disertasi Doktor.
Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
196
Fatah, Eep Saefullah. Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999.
Bandung: Mizan, 2000.
Fatwa, AM,. M. Jamal Doa dan Aries Muftie. Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif. Jakarta: Belantika, 2004.
Fauzia, Amelia. ‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya,‛
dalam decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesia-
peran-html, diakses 19 Juni 2009.
---------. ‚Bazis DKI Jakarta: Peluang dan Tantangan Badan Amil Zakat
Pemerintah Daerah,‛ dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar
(eds.), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005.
--------- dan Ary Hermawan. ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif
Filantropi Islam dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Idris Thaha (ed.),
Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam. Jakarta:
Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
---------. Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.
Disertasi PhD. Melbourne: The Asia Institute, The University of
Melbourne, 2008.
Federal Constitution of Malaysia.
Firdaus, Ismet. Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam, Tesis
Magister. Depok: FISIP, UI, 2004.
Forum Zakat. Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia. Jakarta: FOZ,
2001.
Friedman, Lawrence J. dan Mark D. McGarvie. Charity, Philanthropy, and Civility in American History. New York, NY: Cambridge University Press,
2003.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
Garner, Bryan A., ed. in-chief. Black’s Law Dictionary. St. Paul: Thomson, 2004.
Gaus, Ahmad. Filantropi dalam Masyarakat Islam. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2008.
Gha>nim, Ibra>hi>m al-Bayyu>mi>. al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r. Kairo: Da>r al-
Shuru>q, 1998.
Gilani, A. Shaukat J. ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social
Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3:1 (1985).
Gobee, E. dan C. Andriaase. Nasihat-nasihat C. Snouck Horgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jakarta:
INIS, 1992.
Haffening, W. ‚Waqf,‛ dalam First Encyclopaedia of Islam, vol. 8. Leiden: E.J.
Brill, 1987.
Hafiduddin, Didin. ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Kuntoro Noor Aflah
dan Mohd. Nasir Tanjung (eds.), Zakat dan Peran Negara. Jakarta: Forum
Zakat, 2006.
---------. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
197
Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformsi, Disertasi
Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Hamidiah, Emmy. ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan:
Mungkinkah,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan
Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006.
Hasan, Ahmad dan Muhammad Abdus Shahid. ‚Management and Development of
the Awqaf Assets,‛ Proceedings of Seventh International Conference: The Tawhidi Epistemology—Zakat and Waqf Economy. Bangi: Universiti
Kebangsaan Malaysia, 2010.
Hasan, Riaz. Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim, terj. Jajang
Jahroni, Udjang Tholib dan Fuad Jabali. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006.
--------- dan Ali Çarkoglu. ‚Giving and Gaining: Philanthropy and Social Justice
in Muslim Societies,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures,
4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta,
2009.
Hasan, Samiul. ‚Islamic Philanthropic Foundation and Social Justice,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the
Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2009.
---------. ‚Muslim Philanthropy and Social Security: Prospects, Practices and
Pitfalls,‛ paper disampaikan pada 6th
ISTR Biennial Conference, Bangkok,
9-12 July 2009.
Hasanah, Uswatun. Zakat dan Keadilan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Zakat di BAZ DKI Jakarta. Tesis Magister. Jakarta: Program Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, 1989.
---------. ‚Profil dan Manajemen Filantropi di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta:
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003.
---------. ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf: Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, 1:1 (Desember 208).
---------. Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan. Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN
Syarif Hidayatullah, 1997.
---------. ‚Penataan Lembaga Amil Zakat di Indonesia dan Permasalahannya,‛
Jurnal Syari‘ah, 2:2 (Januari-Juni 2010).
Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Helmanita, Karlina. ‚Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern:
Pengalaman Dompet Dhuafa,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed.
Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar. Jakarta: Pusat Bahasa dan
Budaya, UIN Jakarta, 2005.
Hennigan, Peter C. The Birth of Legal Insitution: The Formation of the in Waqf in Third-Century AH H{anafi> Legal Discourse. Leiden: Brill, 2004.
198
Herasanti, Deby Nuri. Eksistensi Wakaf menurut KHI, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 2004.
Hudayati, Ataina dan Achmad Tohirin. “Management of Zakah: Centeralized vs
Decentralized Approach,” Proceedings of 7th
International Conference on
“The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy.” Bangi:
Universitas Kebangsaan Malaysia, 2010.
Ibrahim, Barbara. From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy. Kairo: American University in Cairo Press, 2008.
Ibn ‘Arabi>, Abu> Bakr. Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1. Beirut: Da>r al-Fikr, 1972.
Ihsan, Nur Hadi dkk. Profil Pondok Modern Darussalam Gontor. Gontor: Pondok
Modern Darussalam, 2006.
Ilchman, Warren F. et. al. ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, terj. Tim CRSC. Jakarta: CRSC UIN Jakarta, 2004.
IMZ. Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: IMZ,
2010.
Islahi, Abdul Azim. ‚Provision of Public Good: Role of Voluntary Sector (Waqf) in Islamic History,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A.
Mannan. Jeddah: IRTI-IDB, 1416.
Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Jahar, Asep Saepudin. ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in
post-Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13:3 (2006).
Jamjoom, Abdul Aziz M. Rashid. “Saudi Arabia: A Case Study,” dalam
Institutional Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed
Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB,
1995.
Jazuni. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Jeffery, Arthur. The Foreign Vocabulary of the Quran. Leiden: Brill, 2007.
Jeavons, Thomas H. ‚Religion and Philanthropy,‛ dalam
http://learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/religion_philanthrop
y.asp (diakses 5 Agustus 2010).
al-Jurja>ni. Kita>b al-Ta‘ri>fa>t. Beirut: Maktabat Lubna>n, 1985.
Juwaini, Ahmad. ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta:
Forum Zakat, 2006.
Ka‘bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.
Al-Kabisi>, Muh}ammad ‘A>bid ‘Abd Alla>h. Hukum Wakaf, terj. Ahrul Sani
Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada. Jakarta: IIMaN, 2004.
Kahf, Monzer. ‚Applied Institutional Models for Zakah Collection and
Distribution in Islamic Countries and Communities,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-
Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB, 1995.
199
Kaleem, Ahmad dan Saima Ahmed. ‚The Quran and Poverty Alleviation: A
Theoretical Model for Charity-Based Islamic Microfinance Institution,‛
Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3 (2010).
Kamil, Sukron. ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqh:
Problem dan Solusi,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003.
Kareem, Shamsiah Abdul. ‚Contemporary Waqf Administration and
Development in Singapore: Challenges and Prospects.‛ Singapore: Islamic
Religious Council of Singapore, t.th.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004.
Katjasungkana, Nursyahbani. ‚Filantropi Islam dan Gerakan Hak Asasi Manusia
di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003.
Kempe, John E. dan R.O. Winstedt. ‚A Malay Legal Digest Compiled for Abdul
Gharuf Muhaiyuddin Shah Sultan of Pahang (1592-1614),‛ JMBRAS, 21:1
(1948).
Khadduri, Majid. Islamic Conception of Justice. Baltimore and London: The John
Hopkins University Press, 1984.
Kimber, Richard. ‚Boundaries and Precepts,‛ dalam The Encyclopedia of the Quran, ed. Jane Dammen McAuliffe, vol. 1. Leiden: Brill, 2001.
Kozlowski, Gregory C. ‚Otoritas Agama, Reformasi dan Filantropi di Dunia Islam
Kontemporer,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warrant F.
Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L Queen II, terj. Tim CSRC. Jakarta:
CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006.
Kurniawati, ed. Kedermawanan Kaum Muslim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat Indonesia, Hasil Survei di 10 Kota. Jakarta: Pustaka Adina,
2004.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University
Press, 1995.
Lambton, A.K.S. ‚Wakf in Persia,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden:
Brill, 2000.
Layish, A. ‚Wakf in the Modern Middle East and North Africa,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 12. Leiden: Brill, 2000.
Lewis, Bernard. ‚Bayt al-Ma>l: History,‛ The Encyclopedia of Islam, Vol. 1.
Leiden: Brill, 1986.
Liddle, William R. ‚Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political
Thought and Action in New Order Indonesia,‛ dalam Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, ed. Mark
R. Woodward. Arizona: Arizona State University Press, 1996.
Lombardi, Clark Benner. State Law as Islamic Law in Modern Egypt. Leiden:
Brill, 2006.
Lubis, Ahmad Nur Fadhil. ‚Institutionalization and Unification of Islamic Courts
under the New Order,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 2:1 (1995).
200
Madjid, Nurcholish. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997.
Mahamood, Siti Mashitoh. Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 2006.
Mahdi>, Mah}mu>d Ah}mad, ed. Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir: Nama>dhij Mukhta>rah min-Taja>rib al-Duwal wa al-Mujtama‘a>t al-Isla>miyyah. Jeddah:
IRTI-IDB, 1423.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2001.
Majlis al-Sha‘b Jumhu>riyyat al-Mis}r. Dustu>r Jumhu>riyyat Mis}r al-‘Arabiyyah.
Al-Makassary, Ridwan. ‚BAZ Propinsi Jawa Barat: Eksistensi yang Mulai
Pudar?‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan
Abu Bakar. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2003.
Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su ‘udiyyah. Maba>di’ al-Dawlah. Riya>d}: Wiza>rat
al-Kha>rijiyyah, t.th.
Manan, M.A. ‚Beyond the Malaysian Twin Towers: Mobilization Efforts of Cash-
Waqf Fund at Local, National and International Leves for Development of
Social Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishmen of World
Social Bank,‛ Makalah disampaikan pada International Seminar on Awqaf
2008, ‚Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah,‛
Johor Bahru, 11-12 Agustus 2008.
Al-Mara>ghi>, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa>. Min Qad}a>ya> al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m.
Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970.
Mardjono, Hartono. Menegakkan Syari‘at Islam dalam Konteks Keindonesiaan.
Bandung: Mizan, 1997.
Mastura, Michael O. ‚The Making of a Civil Society through Waqf Institution in
Mindanao,‛ dalam Islam and Civil Society in Southeast Asia, ed.
Nakamura Mitsuo et. al. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,
2001.
Mas’udi, Masdar F. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1990.
Al-Ma>wa>rdi>. Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}aniyyah. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Mawardi, Imam. Socio-Political Background of the Enactment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tesis M.A. Montreal: Institute of Islamic
Studies, McGill University, 1997.
McChesney, Robert D. Charity and Philanthropy in Islam: Institutionalizing the Call to Do Good. Indianapolis: Indiana University Center on Philanthropy,
1993.
---------. ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛ dalam
http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil-
_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20/06/2009).
Mietzner, Marcus. “Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati, dan Pergulatan
Perebutan Kursi Kepresidenan,” dalam Indonesia di Tengah Transisi:
Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, ed. Chris Manning dan Peter van
Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. Yogyakarta: LKiS, 2000.
201
Miftah, A.A. Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum. Jambi:
Sulthan Thaha Press, 2007.
Mohamed bin Abdul Wahab, et. al. “Malaysia: A Case Study,” dalam Institutional
Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-
Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB, 1995.
Mohsin, Magda Ismail Abdel. Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah. Johor Bahru: International Seminar on Awqaf, 2008.
Monroe, Alan D. Essentials of Political Research. Oxford: Westview Press, 2000.
Moten, Abdul Rashid and Syed Sirajul Islam. Introduction to Political Science. Singapore: Thompson, 2005.
--------- and El-Fatih A. Abdel Salam. Glossary of Political Science Terms. Singapore: Thompson, 2005.
Mubarok, Jaih. Wakaf Produktif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.
Muh}ammad, Muh}ammad H{a>mid. Qis}as} al-Mutas}addiqi>n: Fad}l al-S{adaqah, A<<da>buha> wa-Ah}ka>muha>. Iskandariyyah: Da>r al-I<ma>n, 2000.
Al-Munawar, Said Aqil Husin. ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf
dalam Rangka Membangun Kesejahteraan Masyarakat,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun
Hasanah. Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006.
Muslimin, Joko Mirwan. Islamic Law and Social Change: A Comparative Study of Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in Nation-States Egypt and Indonesia (1950-1995), Disertasi PhD. Hamburg:
Universitat Hamburg, 2005.
An-Naim, Abdullah-i Ahmed. Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati. Bandung: Mizan, 2007.
--------- and Asma M. Abdel Halim. ‚Rights-Based Approach to Philanthropy for
Social Justice in Islamic Societies,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and
Culture, UIN Jakarta, 2009.
Najib, Tuti A. dan Ridwan al-Makasary, eds. Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006.
Nanji, Azim. ‚Waqf,‛ dalam The Encyclopedia of Religion, ed. Lindsay Jones,
vol. 14. New York: Thomson, 2005.
Nasution, Mustafa E. ‚Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah.
Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006.
Noor, Zainulbahar. Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan.
Jakarta: Bening, 2006.
Al-Omar, Fuad Abdullah. ‚Management of Zakah through Semi-Government
Institutions,‛ dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed.
I.A. Imtiazi et.al. Jeddah: IRTI-IDB, 2000.
Payton, Robert L. Dan Michael P. Moody. Understanding Philanthropy. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2008.
202
Perikhanian, A.G. ‚Iranian Society and Law,‛ dalam Cambridge History of Iran.
Cambridge: Cambridge University Press, 1986.
Peters, R. ‚Wakf,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000.
----------. ‚Wakf in Classical Islam,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 11. Leiden:
Brill, 2000.
Pioppi, Daniela. “From Religious Charity to the Welfare State and Back: The Case
of Islamic Endowment Revival in Egypt,” Working Paper No. 2004/34.
Florence: European University Institute, 2004.
Powers, David S. ‚Wakf in North Africa to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam,
vol. 11. Leiden: Brill, 2000.
Praja, Juhaya S. Perwakafan di Indonesia. Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992.
Prihatna, Andi Agung. ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,‛ dalam
Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar. Jakarta: Pusat
Budaya dan Bahasa UIN Jakarta, 2005.
Al-Qarad}a>wi>, Yu>suf. Fiqh al-Zaka>h. Beiru>t: Muassasat al-Risa>lah, 1994.
Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971.
Rahardjo, M. Dawam. ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai
Kebingungan Epistemologis,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Ahmadi Thaha. Jakarta: Teraju, 2003.
Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Quran, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka,
1983.
Rais, M. Amien. Tauhid Sosial. Bandung: Mizan, 1998.
Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge-Harvard: Harvard University Press,
1999.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.
Rid}a>, M. Rashi>d. Tafsi>r al-Mana>r, jilid 1. Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947.
Riddell, Peter G. “The Diverse Voices of Political Islam in Post-Soeharto
Indonesia,” Islam and Christian-Muslim Relations, 13:1 (2002).
Ridlo, M. Taufik. ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta:
Forum Zakat, 2006.
Riyadi, Rahmad. ‚Undang-undang Zakat dan Konsisi Perzakatan di Indonesia,‛
dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir
Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006.
Roestandi, Achmad dan Muchjidin Effendie, Komentar atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Penerbit Nusantara Press, 1991.
Rofiqurrahman. Filantropi Islam dan Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat, Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif
Hidayatullah, 2008.
Sa>‘a>ti>, Yah}ya> Mah}mu>d. al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah. Riya>d}:
Markaz Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, 1996.
203
Saduman, Sazak dan Eyuboglu Ersen Aysun. ‚The Socio-Economic Role of Waqf
System in the Muslim Ottoman Cities’ Formation and Evaluation,‛ Trakia Journal of Sciences, 7:2 (2009).
Saidi, Zaim, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin. Kedermawanan untuk Keadilan Sosial. Jakarta: Piramedia, 2006.
---------. ‚Islam, Kapitalisme dan Filantropi.‛
---------. ‚Islamic Philanthropy: A Critical Overview,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion
and Culture, UIN Jakarta, 2009.
Sait, Siraj dan Hilary Lim. Land, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim World. London-New York: Zed Books, 2006.
Salim, Arskal and Azyumardi Azra, eds. Shari‘a and Politics in Modern Indonesia.
Singapore: ISEAS, 2003.
---------. ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam
Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi
Azra. Singapore: ISEAS, 2003.
---------. Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern
Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press, 2008.
---------. ‚The Influential Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formation of
Zakat (Alms) Law in Modern Indonesia,‛ Pacific Rim Law and Policy Journal Association, 15:3 (2006).
--------- dan Azyumardi Azra. ‚Introduction: The State and Shari‘a in the
Perspective of Indonesian Legal Politics,‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore:
Institute of South East Asian Studies, 2003.
Sarakhs}i>. Al-Mabsu>t. Kairo: 1906.
Sarjono. Kewenangan Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengurusan Zakat di Indonesia. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 1993.
Sazali, Farid Hasan. Temporalitas Wakaf dalam Hukum Nasional beserta Syariah Islam Yang Mendasarinya. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 2006.
Schacht, Joseph. ‚Zakat,‛ First Encyclopedia of Islam, vol. 4. Leiden: Brill, 1976.
Schwarz, Adam. A Nation in Waiting Indonesia in the 1990s. Australia: Allen &
Unwin Ltd., 1994.
Sekretariat Jenderal DPR-RI. Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Setjen DPR-RI, 1999.
---------. Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf. Jakarta: Setjen DPR-RI, 2004.
Sesli, Faik Ahmet. ‚Foundation Administration and Foundation Landownership in
Turkey form Past to Present,‛ African Journal of Business Management, 4:9 (2010).
Shemesh, A. Ben. Taxation in Islam: Yah}ya> ibn A<dam’s Kita>b al-Khara>j. Leiden:
Brill, 1958.
Shepard, William E. “Muhammad Said al-Ashmawi and the Application of the
Sharia in Egypt,” International Journal of Middle East Studies, 28:1
(February, 1996).
204
Sheri, L.A. dan Grovesd, H.E. ‚The Constitution of Malaysia,‛ Malaysia Law Journal (Singapore, 1979).
Siddiqi, S.A. Public Finance in Islam. Delhi: Adam Publishers and Distributors,
1992.
Singer, Amy. Constructing Ottoman Beneficence: An Imperial Soup Kitchen in Jerussalem. Albany, NY: State University of New York Press, 2003.
Singleton, Royce A. dan Bruce C. Straits. Approaches to Social Research. New
York-Oxford: Oxford University Press, 1999.
Subhan, Arief dan Yusro Kilun, eds. Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Dakwah Press, 2007.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk. Jakarta: UI Press, 1995.
Sulek, Marty. ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3 (2010).
---------. ‚On the Modern Meaning of Philanthropy,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:2 (2010).
Sullivan, Denis. Private Voluntary Organizations in Egypt: Islamic Development, Private Initiative and State Control. Gaibesville, Fla.: University Press of
Florida, 1994.
Suny, Ismail. ‚Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Sutarmadi, Ahmad. ‚Sekilas tentang Filantropi Islam di Indonesia,‛ dalam
Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris
Thaha. Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Tasniawan, Deny Wahyu. Studi Administrasi Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 terhadap Tingkat Ketertiban Wajib Zakat: Studi Kasus Baznas. Tesis
Magister. Depok: Kajian Timur Tengah dan Islam, UI: 2008.
Thaha, Idris, ed. Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam.
Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003.
Thohari, Hajriyanto Y. “Negara Santri: Menengok Tesis Cak Nur,” Kompas,
Senin, 13 Desember 1999.
---------. Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis. Jakarta: Pusat
Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005.
Tim Penulis. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005.
Tim Penulis. Proses Lahirnya Undang-Undang Wakaf. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005.
Ting-Yuan Ho, Andrew. Charitable Giving: What Makes A Person Generous?
Tesis MA. Washington DC.: Georgetown University, Faculty of the
Graduate School of Arts and Sciences, 2006.
Turkish Civil Code of 1991.
205
Al-‘Umar, Fuad Abdullah. ‚General, Administrative and Organizational Aspects,‛
dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed.
Ahmed Abdel-Fattah al-Shakeer dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah:
IDB-Institute of Research and Training, 1995.
Usman, Rachmadi. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesa. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
van Bruinessen, Martin. ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛
dalam Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity, ed.
Shireen T. Hunter. London-New York: M.E. Sharpe, 2009.
Vogel, Frank E. Islamic Law and Legal System in Saudi Arabia. Leiden: Brill,
2004.
Watts, Thomas D. ‚Charity,‛ dalam Encyclopedia of World Poverty, ed. M.
Odekon. London: Sage Publication, 2006.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic: Arabic-English, ed. J.
Milton Cowan. Beirut: Maktabat Lubna>n, 1974.
Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah. al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah.
Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992.
Weir, T.H. ‚Sadaka,‛ The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1997.
White, Andrew. ‚The Role of Islamic Waqf in Strengthening South Asian Civil
Society: Pakistan as Case Study,‛ International Journal of Civil Society Law, 4:2 (April 2006).
Yusuf, Maulana. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Zakat pada Baznas. Tesis
Magister. Depok: FISIP, UI, 2005.
Zahrah, Muh}ammad Abu>. Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf. Kairo: Ma‘had Dira>sa>t al-
‘Arabiyyah al-‘A>liyah, 1959.
Zuh}ayli>, Wahbah. Al-Was}a>ya> wa al-Waqf fi> al-Fiqh al-Isla>mi>. Damaskus: Da>r al-
Fikr, 1998.
---------. Al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1992.
Zysow, A. ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 11. Leiden: E.J. Brill, 2001.
B. Undang-undang dan Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Setjen
dan Kepaniteraan MK, 2007.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001.
Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2000.
206
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977.
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978.
Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978.
Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978.
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.
15 Tahun 1990.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun
2004.
Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran
Wakaf Uang.
Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991.
‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11
Mei 2002.
‚Keputusan Fatwa MUI No. I/MUNAS/VII/MUI/5/2005.
Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Departemen Agama, 2009.
Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Komisi VIII, 2010.
Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Baznas, 2010.
Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Forum Zakat, 2010.
Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat, 2010.
UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
C. Website
http://www.answers.com/topic/ philanthropy (diakses 20 Juni 2009).
http://en.wikipedia.org/wiki/Philanthropy (diakses 20/06/2009).
http://www.muhammadiyah.or.id/jaringan-muhammadiyah.html (diakses 12
Januri 2011).
http://www.tusev.org.tr/content/detail.aspx?cn=318&c=68 (diakses 12 Januari
2011).
http://www.dzit.gov.sa/en/index/shtml (diakses 13-01-2011).
http://www.nefdev.org/phil/en/page.asp?pn=23#full (diakses 20 Januari 2011).
www.baznas.or.id.
http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010).
http://www.pkpu.or.id/about/sejarah (diakses 6 Agustus 2010).
207
http://www.pkpu.or.id/images/uploads/MENTERI%20AGAMA.pdf (diakses 6
Agustus 2010).
http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010).
http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8
Agustus 2010).
http://www.lazismu.org (diakses 12 Desember 2010).
http://www.forumzakat.net/index.php?act=anggota&hal=5
D. Koran
Republika, Senin, 7 Juni 2010.
Media Indonesia, Selasa 2 Maret 2010.
208
LAMPIRAN I
REKAPITULASI PEMASUKAN DANA ZIS1
Nama Lembaga Tahun ZIS Terkumpul Keterangan
BAZNAS 2001 2.700.073.354,-
2002 11.218.888.495,-
2007 14.592.016.646,-
2008 18.876.000.000,-
BAZIS DKI 2001 9.482.194.345,-
2002 11.550.000.000,-
2003 14.103.504.330,-
2004 16.257.823.896,-
2005 18.482.757.570,-
2007 27.213.963.125,-
Dompet Dhuafa 2000 13.655.105.172,-
2001 18.007.293.153,-
2002 21.504.964.430,-
2003 22.493.670.205,-
2004 30.360.851.863,-
2008 60.692.348.196,-
YDS Al-Falah 2002 6.011.753.576,-
2003 8.576.652.203,-
2004 11.344.498.869,-
2005 16.791.784.803,-
2006 21.457.533.629,-
2007 25.072.061.729,-
2009 28.038.146.332,-
PKPU 2000 10.854.900.871,-
2001 7.736.441.529,-
2002 8.540.110.141,-
2003 7.807.588.809,-
2004 12.448.784.632,-
2005 47.475.272.734,-
2008 45.611.971.485,-
Rumah Zakat Indonesia 2004 35.000.000.000,-
2005 63.312.466.256,-
2006 35.000.000.000,-
2007 41.800.426.390,-
2008 58.599.966.865,-
Al-Azhar Peduli Umat 2005 2.395.127.876,-
2006 3.658.656.076,-
2007 6.652.372.041,-
2008 8.750.761.125,-
1 Data ini diambil dari http://www.forumzakat.net (diakses 20 Juni 2009)
209
LAZ DDII 2002 133.550.000,-
2003 576.518.725,-
2005 2.543.552.941,-
2008 5.090.592.283,-
Baitul Mal BRI 2001 646.638.277,-
2002 2.262.191.761,-
2008 7.868.330.017,-
ZIS Mandiri 2001 561.272.489,-
2002 718.593.080,-
2003 908.034.610,-
2005 1.550.571.175,-
2007 2.878.210.117,-
Bamuis BNI 2000 3.882.125.000,-
2001 4.260.324.000,-
2002 4.822.108.000,-
2003 12.690.066.000,-
2007 21.465.448.000,-
2008 23.447.293.000,-
Baitul Maal Muamalat 2001 1.261.744.267,-
2002 3.076.829.550,-
2005 16.572.101.418,-
2008 22.016.100.759,-
Baitul Mal Pupuk Kujang 2001 545.423.289,-
2002 1.386.333.990,-
2003 745.078.757,-
2004 1.229.216.582,-
2005 1.575.159.175,-
2006 716.468.702,-
Baitul Mal Pupuk Kaltim 2000 1.056.201.224,-
2001 1.245.115.355,-
2002 456.579.349,-
2003 871.672.601,-
2006 2.460.750.968,-
Baituzzakah Pertamina 2001 579.898.362,-
2003 398.512.444,-
2004 395.863.847,-
2005 2.238.196.273,-
2008 23.447293.000,-
LAZ Persatuan Islam 2007 1.242.781.961,-
2008 1.006.997.356,-
Lazis Muhammadiyah 2003 1.170.959.233,-
2004 1.923.885.721,-
2005 6.805360.308,-
2006 5.153.242.027,-
210
LAMPIRAN II
DATA PENGUMPULAN DANA ZIS SECARA NASIONAL DARI BAZNAS1
Tahun Jumlah ZIS (dalam milyar) Pertumbuhan (%)
2002 68.39 --
2003 85.28 24,70
2004 150.09 76,00
2005 295.52 96,90
2006 373.17 26,28
2007 740.00 98,30
2008 920.00 24,32
2009 1.200.00 30,43
2010 1.400.00 16.66
1 Data ini diambil IMZ, Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan
(Jakarta: IMZ, 2010), 135-136.
211
DAFTAR INDEKS
‘AbbasiyYah, 22, 29, 37
Abdurrahman Wahid, 6, 15, 71, 94, 131
Abu> Bakr, 24, 28, 31
Abu> Yu>suf, 29, 30
ahl al-dhimmah, 37
Ahmad Sutarmadi, 104, 183
al-as}na>f al-thama>niyah, 30, 78, 94
al-Ghaza>li>, 25, 31
Alla>h, 82
Al-Quran, 36, 39, 44, 54, 59, 60, 66, 67, 75, 87, 118, 143
A. Malik Fadjar, 63, 69, 73
amil, 4, 10, 11, 54, 57, 59-62, 67-69, 74, 76, 77, 85, 88, 92-95, 143, 160, 162-164,
167-169, 174, 175, 185
Arab Saudi, 3, 43, 44-46, 48, 64, 89-91, 125
Arskal Salim, 50
Ayyu>biyyah, 36
Azyumardi Azra, 8, 50, 71
Bahtiar Effendy, 96
baitul Mal, 29, 37, 55-59, 61, 65, 68, 70, 74, 77, 96
Bangladesh, 117, 118, 121, 122, 125, 129
BAZ, 10, 11, 29, 61, 76, 77, 93-96, 99-102, 156, 168, 174-181, 183-185
BAZIS, 9, 11, 58-60, 62, 70, 73, 78, 79, 169
BAZNAS, 10-12, 93, 94, 96, 98, 134, 155, 168, 169, 176, 179-181, 183, 184
birr, 33
Budha, 19, 97, 140
BWI, 16, 126, 130, 144, 149, 151-154
BZI, 178-180
civil society, 5, 6, 8, 9, 17, 42, 43, 155, 174, 177, 181-183, 187
Daarut Tauhiid, 162, 163, 168, 173
Didin Hafiduddin, 60
distribusi, 3, 10, 11, 29, 30, 40, 45-47, 51, 54, 56, 60, 61, 65-67, 69, 94, 95, 99,
100, 120, 166, 174, 176, 182, 184, 185
Dompet Dhuafa (DD), 9, 10, 70, 98, 156
212
DPR, 17, 63, 67-69, 71-73, 75, 76, 79, 80, 91, 92, 99-101, 111, 114, 121, 129, 133-
136, 139, 149-150, 157, 175-180, 187
Fat}imiyyah, 30, 36
Fazlur Rahman, 31, 39
filantropi, 1-11, 13-23, 25, 31-33, 35, 36, 38, 42-44, 46-49, 56, 78, 79, 86, 96, 103,
113, 137, 145, 155, 156, 158-162, 164-170, 173, 174, 182-184, 186, 187
FOZ, 6, 68, 70-72, 156, 157, 168, 169, 171-173, 177-180, 187
Fraksi, 63, 77-79, 87-91, 135-138, 140-146, 148-150, 177
fuqaha>’, 30, 32
GEMAZ, 180, 181
Habibie, 5, 15, 71, 72, 91, 92, 131
h}abs, 138
Hadis, 21-25, 27, 33, 34, 60, 78, 121, 127, 144
h}arbi, 25
h}awl, 27, 89
Hazairin, 51, 97
Hindu, 19, 97, 140
h}uru>b al-riddah, 28
Ibn al-‘Arabi>, 23
Ibn Taymiyah, 39
infak, 8, 11, 15, 21, 23, 59, 70, 74-80, 83-88, 98, 99, 155-158, 160-164, 166, 167,
177, 182
IMZ, 168, 173
India, 19, 109
Islam, 2-17, 18-23, 25, 26, 28-33, 35-40, 42-48, 49-62, 64, 66, 67, 70, 72-76, 80-
82, 85, 87, 89, 91, 93-98, 100, 102, 103, 104, 106-110, 112-118, 121, 122,
125-127, 129-137, 139-142, 145-149, 155, 156, 160, 163, 165, 166, 168, 171-
176, 178, 179, 181-187
John Rawls, 40, 97
Jon B. Alterman, 2
karitas, 1, 15, 42, 118
keadilan sosial (social justice), 12, 20
kebijakan, 3, 4, 12, 14-17, 28, 29, 42, 43, 46, 47, 49, 52, 53, 55, 56, 59, 61, 62, 71,
72, 97, 103, 106-108, 126, 128-130, 134, 152, 167, 176, 177, 179, 184, 185,
konstitusi, 14, 41-45, 47, 52, 82, 97, 135, 147
Kristen, 19, 20, 22, 26, 32, 33, 36, 37, 53, 131, 140
Kuwait, 64, 67, 115, 140, 152
LAZ, 10, 92-95, 99, 100, 102, 155-157, 160, 163-168, 171-185
LAZISMU, 166-168, 172
legislasi, 13, 42, 46, 48, 49, 72, 73, 116, 131-133, 175
Libya, 3, 30, 64, 65, 67, 75, 94
213
mafsadah, 40
Mahfud MD., 7, 72, 129
Majid Khadduri, 39
Malaysia, 3, 30, 43, 47, 48, 63-65, 67, 74, 86, 89, 91, 92, 109, 115-117, 125, 148,
152
M.A. Mannan, 121, 130
Marwa>niyyah, 36
mas}lah}at al-zaka>h wa al-dakhl, 45
mawqu>f bih, 34
mawqu>f ‘alayh, 34
M. Dawam Rahardjo, 19, 31
Megawati, 6, 15, 130-132, 134
Menteri Agama, 16, 57-59, 61-63, 68, 69, 72-76, 79, 88, 91-93, 99, 100, 110, 112-
114, 126, 129-134, 143, 150, 151, 157, 160, 163, 164, 166, 167, 175
Mesir, 32, 33, 35-37, 40,43, 46-48, 75, 86, 115, 119-122, 125, 146, 174
miqda>r, 27
MIAI, 55, 56
Monzer Kahf, 63, 130
Muhammadiyah, 6, 9, 56, 131, 134, 166-168, 172, 173, 185
Muh}ammad, 6, 21, 32, 63
MUI, 62, 127, 128, 130, 134, 136
Muslim, 2-5, 7, 9, 13, 15, 16, 18, 22, 23, 25, 26, 29-39, 43-47, 49, 51, 52, 54-57,
60, 62-64, 66, 68, 71, 74, 76, 78, 82, 85, 86,89, 91, 93, 96, 98-100, 102, 103,
107-110, 115, 117, 118, 121, 123, 131, 134-136, 140, 141, 147, 148, 162,
167, 175, 176, 186, 188
mustahik, 3, 9, 10, 29, 47, 54, 60, 61, 64-66, 85, 94, 99, 162, 163, 166, 176, 178,
180, 185
muzakki, 10, 47, 60, 64, 85, 86, 91, 99, 101, 102, 162, 175, 176, 177, 179-181, 185
Nabi, 2, 21, 23-26, 28, 32-34, 54, 144, 184
nazir, 106, 111, 112, 114, 118, 120, 125-127, 134, 138, 141-152
negara, 2-5, 7-11, 13-18, 22, 27-32, 35, 37-39, 41-49, 56-67, 69, 73-76, 78-82, 85,
86, 88-94, 96-98, 100-103, 105, 106, 111, 115-118, 120, 121, 123-126, 128,
130-133, 135, 137, 139-141, 145, 146, 148, 149, 152, 155, 156, 159, 162,
174-187
nis}a>b, 27, 29, 66
Orde Baru, 5-7, 10, 13-15, 17, 54, 60, 68, 73, 112, 115, 183, 184, 186, 187
Orde Lama, 4, 61
Pakistan, 3, 30, 42, 64, 66, 78, 92
partai, 5, 14, 55, 68, 75, 76, 81, 131, 135, 170
Pasca-Orde Baru, 6, 7, 14, 15, 17, 186, 187
PKPU, 159-162, 168, 170, 173
214
public good, 1, 19
politik, 2-8, 13, 14, 17, 20, 27, 35, 36, 41, 42, 46, 55, 57, 68, 71, 72, 97, 111, 123,
124, 129, 131, 132, 150, 159, 187, 188
public reason, 97, 98, 187
Rachmat Djatnika, 23
receptio in complex, 50
receptie, 50, 51
receptie exit, 51
receptio a contrario, 51
rika>z, 27
Robert D. McChesney, 3
Rumah Zakat, 163-166, 169, 170, 173
RUU, 7, 15, 16, 59, 111, 115, 117, 121, 124-130, 132-150, 176-180, 182, 183, 187
shadaqah, 2, 8, 15, 18, 21-26, 30, 32, 33, 53, 59, 70, 74-80, 83-85, 86-88, 98, 99,
105, 114, 127, 155, 157, 158, 160-164, 166, 167, 177, 182
s}adaqat al-tat}awwu‘, 23, 87
s}adaqat al-nafl, 23
s}adaqah ja>riyah, 32
s}adaqah mawqu>fah,35
s}adaqah muh}arramah, 35
Shireen Hunter, 2
Snouck C. Hurgronje, 50, 53
Soeharto, 4, 5, 15, 58-62, 68-72, 76, 111, 115, 183, 184, 186
Soekarno, 4, 61, 68, 111, 115
Susilo Bambang Yudhoyono, 15, 150
Sudan, 3, 30, 66, 92
Sunnah, 23, 44, 77-80, 84, 87, 143
syariah, 39, 45, 46, 60, 62, 124, 126, 135, 136, 144, 147, 149, 153, 159, 163, 168,
173
Thomas H. Jeavons, 1
Turki Utsmani, 22, 118, 119, 121, 122
Turki, 22, 36, 37, 43, 44, 48, 67, 105, 115, 118, 119, 121, 122, 125
‘Umar, 24, 28, 29, 34, 35, 127, 144
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z, 29
Umayyah, 29, 37
‘ushr, 29, 30
‘Uthma>n, 29, 185
Undang-undang zakat, 6, 13, 14, 17, 30, 61, 63, 65-68, 71, 75, 78, 81, 90, 175
Undang-undang wakaf, 44, 48, 115, 116, 133, 139, 145
UPZ, 176, 181
215
Uswatun Hasanah, 11, 12, 130, 133, 184
wakif, 12, 46, 106, 111, 118, 124, 127, 134, 138-141, 147, 148
wakaf, 2, 4, 6-10, 12-21, 32-38, 42-44, 46-48, 53, 56, 58, 59, 67, 73, 74, 84, 103-
158, 160-163, 166, 169, 186, 187
wakaf dhurri /ahli, 35
wakaf khayri, 35
wakaf tunai, 127-130, 136, 149
wa>qif, 34, 35
wiza>rat al-awqa>f, 46
Yahudi, 20, 22, 25, 26, 37
Yaman, 3, 30, 64, 65
YDSF, 166, 168
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, 3, 26
William R. Liddle, 7
Zakat, 2-18, 21-23, 25-33, 38, 44-49, 51-103, 105, 115, 116, 122, 127, 130-132,
138, 143, 155-158, 160-170, 173-185, 186, 187
zakat fitrah, 27, 47, 51, 54, 60, 65, 74, 96
Zaim Saidi, 6, 9
ZIS, 74, 78, 162, 163, 167-174, 177
Zoroastrianisme, 19-21
Zysow, 27, 64, 67
216
RIWAYAT HIDUP
Widyawati adalah dosen tetap Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Dilahirkan di Rangkasbitung,
Kabupaten Lebak, Banten, pada 17 April 1969, ia menyelesaikan pendidikan
dasarnya di kampung halamannya pada 1982, sementara pendidikan menengahnya
diperoleh dari Pondok Pesantren Modern Dar el-Qalam, Gintung, Balaraja,
Tangerang, pada 1988 dan sempat mengajar di almamaternya ini selama setahun.
Kemudian, ia melanjutkan studi S-1 di Fakultas Syariah IAIN (kini UIN) Sunan
Gunung Djati Bandung dan lulus pada 1994. Pendidikan S-2 diperoleh dari
Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang pada 1998. Sejak 2004, ia
meneruskan studi S-3 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sejak mahasiswa, ia aktif di organisasi kemahasiswaan, seperti Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Senat Fakultas Syariah. Di samping itu, ia juga
aktif di HMI Cabang Kabupaten Bandung dan menjadi ketua KOHATI di cabang
tersebut pada 1993. Dalam delapan tahun terakhir ini, ia sebagai anggota Senat
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Saat ini, ia
adalah anggota editor pelaksana Jurnal Politik Islam (Jurusan Siyasah) di fakultas
yang sama.
Selama menjadi dosen, ia telah menerbitkan beberapa tulisan, baik dalam
bentuk terjemahan maupun artikel di jurnal ilmiah. Buku terjemahannya meliputi
Ilmu Politik Islam (2000), Qiyas: Penalaran Analogis dalam Islam (2001),
Menentang Islam Politik (2004) dan Menimbang Ekonomi Islam (2005). Adapun
artikel-artikelnya dalam jurnal ilmiah meliputi “Syura dan Demokrasi Perspektif
Fiqh Siyasah” (Jurnal Asy-Syariah, 2006), “Wilayatul Faqih: Konsep Siyasah
Syiah Modern” (Jurnal Asy-Syariah, 2007), “Islam dan Konstitusionalisme”
(Jurnal Asy-Syariah, 2008) dan “Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga
Islam” (Jurnal Khazanah, 2008). “Kontribusi Politik Komparatif bagi
Pengembangan Fiqh Siyasah” (Jurnal Politik Islam, 2009) dan “Revolusi
Perspektif Fiqh Siyasah” (Jurnal Politik Islam, akan terbit). Penelitian yang
pernah dilakukan antara lain “Pemikiran Politik NU: Studi tentang Argumentasi
dalam Penerimaan Asas Tunggal Pancasila” (1994), “Pandangan Abdurrahman
Wahid tentang Demokrasi” (Puslit IAIN Bandung, 2000) dan “Metode Ijtihad
dalam Lembaga Bahtsul Masail” (2002).
Ia menikah dengan Munir pada 1994, dan dikarunia tiga orang anak: Salwa
Nurvidya (1995), M. Khursyid Hikam (2001) dan Refat Jahabidza (2007). Saat ini,
ia bersama keluarga tinggal di Komplek Tirtawening Kav. 24 Cisurupan, Cibiru,
Kota Bandung, 40615 (Telp. 022-780-0982)/[email protected]