filantropi islam dan kebijakan negara pasca-orde baru...

226
WIDYAWATI FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU: Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA SEKOLAH PASCA SARJANA

Upload: hoangtu

Post on 08-Mar-2019

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

WIDYAWATI

FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA

PASCA-ORDE BARU:

Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

SEKOLAH PASCA SARJANA

Page 2: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

Filantropi Islam dan Kebijakan Negara pasca-Orde Baru:

Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf

Oleh: Widyawati

Cetakan I, Maret 2011

Diterbitkan oleh:

Penerbit Arsad Press

Jl. Permai V No. 134 Komp. Cipadung Permai

Cibiru Bandung

Hak cipta dilindungi undang-undang

All Rights Reserved

Lay Out: Yodi W. Rosyadi

Desain Cover: Tatang Ruhiyat

Page 3: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

الرحيم الرحمن هللا بسم والدين الدنيا أمور على نستعين وبه

أجمعين وأصحابه آله وعلى محمد نبيه على والسالم الصالةو الدين يوم إلى بإحسان تبعهم ومن

Page 4: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:
Page 5: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, yang atas rahmatnya dan karunia-Nya penerbitan buku ini

dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi

Muh}ammad Saw., keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman,

Amin.

Buku yang ada di tangan pembaca ini semula adalah disertasi yang saya

ajukan ke Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah

diujikan pada 10 Januari 2011. Karena itu, dengan terbitnya buku ini, saya ingin

menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya

kepada seluruh pihak yang telah membantu saya dengan cara mereka masing-

masing. Tanpa bantuan mereka, saya merasa sulit—kalau bukan mustahil—dapat

merampungkan penerbitan buku ini.

Pertama dan utama, terimakasih dan penghargaan saya tertuju kepada Prof.

Dr. Azyumardi Azra, MA dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Di tengah-tengah

kesibukan masing-masing—secara berturut-turut sebagai Direktur Sekolah

Pascasarjana dan Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta—mereka masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan

arahan dan bimbingan. Keduanya telah berperan penting dalam penulisan buku

ini. Terimakasih dan perhagaan sebanding juga disampaikan kepada Prof. Dr.

Huzaimah T. Yanggo, MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA dan Prof. Dr.

Uswatun Hasanah, MA atas masukan dan saran-saran yang sangat berharga bagi

perbaikan buku ini.

Terimakasih dan penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada para

dosen di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah

memperkaya dan memperluas wawasan saya selama studi di lembaga ini. Juga

kepada Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA

yang telah memberikan masukan dan saran-saran yang sangat berharga atas draft

awal buku ini hingga penerbitannya.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang dalam juga saya sampaikan

kepada Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, MS dan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Hendi Suhendi, M.Si. Keduanya

telah memberikan izin kepada saya untuk studi dan terus mendorong agar saya

segera menyelesaikannya. Dorongan serupa juga saya peroleh dari Prof. Dr. A.

Djazuli dan Prof. Dr. Juhaya S. Praja, yang dengan tulus merekomendasikan saya

untuk melanjutkan studi S-3 di SPs UIN Jakarta.

Dr. Ismatu Rofi dan keluarga, Din Wahid, MA dan keluarga serta Dr. Asep

Saepudin Jahar telah banyak membantu saya di awal-awal studi. Mereka sudah

sepatutnya memeroleh ucapan banyak terimakasih. Hal serupa juga saya

sampaikan kepada kawan dan kolega di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan

Gunung Djati Bandung. Di antara mereka, saya ingin menyebut Drs. M.

Ahsanuddin Jauhari, M. Hum. dan keluarga, Aan Radiana, M. Ag., Drs. Ah.

i

Page 6: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

Fatonih, M.Ag., Dr. Fauzan Ali Rasyid, dan Asro, M. Hum. serta lain-lainnya

yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Selanjutnya, hutang budi dan terimakasih sedalam-dalamnya saya sampaikan

kepada keluarga besar saya, kedua orang tua saya, Alm. Basuni (w. 2010) dan

Kulsum, dan mertua saya, Alm. H. Abdul Muin (w. 2007) dan Alm. Panitri (w.

1994). Merekalah yang telah mendorong saya terus belajar dan berkorban untuk

itu, namun hanya satu di antara mereka yang saat ini dapat menyaksikan saya

telah menyelesaikan studi ini. Juga kepada kakak-kakak dan adik-adik saya, yang

telah banyak membantu selama studi saya, baik sebelum maupun saat di PPs UIN

Jakarta.

Terakhir, penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya saya

sampaikan kepada suami saya tercinta, Munir A. Muin, MA dan anak-anak saya

yang membanggakan, Salwa Nurvidya, M. Khursyid Hikam dan Refat Jahabidza,

atas pengertian dan pengorbanan mereka selama ini. Banyak kebahagiaan yang

hilang dari mereka di saat saya harus meneruskan studi dan menyelesaikannya.

Kepada merekalah buku ini saya dedikasikan.

ii

Page 7: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Latin Arab Latin

{t ط a ا

{z ظ b ب

‘ ع t ت

gh غ th ث

f ف j ج

q ق {h ح k ك kh خ

l ل d د

m م dh ذ

n ن r ر

w و z ز

h ه s س

’ ء sh ش

y ي {s ص

{d ض

Vokal Pendek

------- (fath}ah) a

------- (kasrah) i

----- (d}ammah) u

Vokal Panjang

ى/ا a> seperti هداية hida>yah

shari>f شريف i> seperti ي

muslimu>n مسلمون u> seperti و

Diftong

awqa>f أوقاف aw seperti أو

bayna بين ay seperti أى

dan ,(zaka>h) زكاة dibaca ‚ah,‛ jika tidak diidafatkan, seperti (ta>’ marbu>t}ah) ة

dibaca ‚at,‛ jika diidafatkan, seperti الفطر زكاة (zaka>t al-fit}r). ditulis dengan ‚al-‛, baik ketika bertemu huruf-huruf (la>m al-ta‘ri>f) ال

qamariyyah maupun shamsiyyah, seperti الجامعة (al-ja>mi‘ah) dan الدراسة (al-dira>sah).

iii

Page 8: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:
Page 9: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. i

PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………… iii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………. v

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1

B. Rumusan Masalah…………………………………………... 7

C. Tujuan Penelitian………………………………………….... 7

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian……………………….. 8

E. Tinjauan Pustaka…………………………………………..... 8

F. Metodologi………………………………………………….. 14

G. Sistematika Penulisan……………………………………..... 16

BAB II ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI…………………... 18

A. Filantropi dalam Tradisi Islam……………………………... 18

B. Aspek-aspek Filantropi Islam……………………………..... 22

C. Filantropi dan Keadilan Sosial……………………………... 55

D. Negara dan Filantropi Islam……………………………….. 38

BAB III KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT……………. 49

A. Pengaturan Zakat di Indonesia……………………………... 49

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat

pasca-Orde Baru……………………………………………..

63

C. Konfigurasi Politik Legislasi Zakat………………………… 72

D. Implikasi terhadap Zakat setelah Pengesahan Undang-

udang………………………………………………………..

92

BAB IV KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF………….... 103

A. Pengaturan Wakaf di Indonesia…………………………….. 103

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Wakaf

pasca-Orde Baru……………………………………………..

115

C. Konfigurasi Politik Legislasi Wakaf……………………….. 132

D. Implikasi terhadap Wakaf setelah Pengesahan Undang-

undang…….............................................................................

150

BAB V PERKEMBANGAN FILANTROPI ISLAM………………. 155

A. Pertumbuhan Lembaga-lembaga Zakat, Wakaf dan

Filantropi………………………………………………….....

155

B. Pertumbuhan Kuantitatif Lembaga-lembaga Filantropi…… 168

C. Respons Civil Society Islam terhadap Rencana Revisi UU

Zakat dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam………….

174

BAB VI PENUTUP………………………………………………….. 186

A. Kesimpulan…………………………………………………. 186

B. Saran-saran………………………………………………….. 187

v

Page 10: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

ADDENDUM ……………………………………………………………. 189

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 192

LAMPIRAN ……………………………………………………………… 208

INDEKS ………………………………………………………………….. 211

RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………. 216

vi

Page 11: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filantropi, sebagai sebuah kedermawanan, merupakan ajaran etika yang

sangat fundamental dalam agama-agama.1 Kenyataan ini dapat dilihat baik dalam

doktrin maupun praktik keagamaan dalam berbagai tradisi di berbagai wilayah

dunia,2 yang tentu saja dengan nama yang berbeda-beda, namun mengandung

makna sama, yaitu kesetiakawanan terhadap sesama manusia. Karena itulah,

berbagai bentuk kedermawanan ini kadang-kadang disebut karitas (charity), yang

berarti kecintaan terhadap sesama manusia,3 dan adakalanya disebut filantropi

yang, menurut makna populernya, berarti ‚tindakan sukarela untuk kebaikan

umum‛ (voluntary action for the public good).4

Menurut Thomas H. Jeavons, setidak-tidaknya ada empat unsur penting

agama, yang mendorong penganutnya senang menjalankan filantropi.5 Pertama,

agama memiliki doktrin yang mendorong umatnya untuk memberi kepada mereka

yang kurang mampu. Kedua, lembaga keagamaan berperan sebagai penerima

sekaligus sumber pemberian. Ketiga, agama memiliki pengaruh besar terhadap

pembentukan lembaga-lembaga filantropi. Keempat, agama dapat berperan

sebagai kekuatan dalam menciptakan ruang sosial bagi kegiatan dan lembaga

filantropi.

1 Meskipun demikian, ada juga filantropi yang tidak bersumber pada ajaran agama, tetapi

semata-mata karena rasa kemanusiaan. Filantropi jenis ini dapat ditemukan, misalnya, pada masa

Yunani dan Romawi pra-Kristen. Memang banyak praktik filantropi pada masa ini yang diwujudkan

dalam berbagai proyek, seperti bantuan kepada orang-orang miskin, pembangunan gedung,

pembangunan tempat perlindungan tentara dan lain sebagainya. Semua itu dibiayai oleh filantropi

orang-orang kaya, yang didorong bukan karena ajaran agama. Sebaliknya, tujuan utama filantropi

tersebut adalah semata-mata demi prestise orang yang menyumbangnya. Lihat Mark C. Cohen,

Poverty and Charity in the Jewish Community of Medieval Egypt (Princeton: Princeton University

Press, 2005), 4. 2 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the

Non-Profit Sector (London-New York: Routledge, 2005), 196; Warren E. Ilchman, Stanley N. Katz,

dan Edward L. Queen II, ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren E.

Ilchman, et.al., terj. Tim CSRC (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta,

2006), ix. 3 Thomas D. Watts, ‚Charity,‛ dalam Encyclopedia of World Poverty, ed. M. Odekon (London:

Sage Publication, 2006), 1: 143. 4 Lihat Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and

Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; juga Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good, dalam http://www.paytonpapers.org (diakses 20 September 2009).

5Thomas H. Jeavons, ‚Religion and Philanthropy,‛

http://learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ religion_ philanthropy.asp (diakses 5 Agustus

2010); bandingkan Andrew Ting-Yuan Ho, ‚Charitable Giving: What Makes A Person Generous?‛

MA thesis (Washington DC.: Georgetown University, Faculty of the Graduate School of Arts and

Sciences, 2006).

Page 12: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

2

Pendahuluan

Seperti agama-agama lain, Islam juga memberikan perhatian yang sangat

besar pada masalah kedermawanan, dari tingkat yang sekadar sukarela hingga ke

tingkat yang bersifat wajib, dengan shadaqah sebagai konsep utamanya. Makna

utama di balik konsep ini adalah segala kebaikan yang diberikan seseorang kepada

yang lain secara sukarela adalah shadaqah. Berbeda dengan shadaqah, zakat

merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat dan

ketentuan khusus. Sementara itu, wakaf tidak memiliki tingkat kewajiban, tetapi

sangat dianjurkan bagi setiap Muslim. Tidak heran, jika bentuk kedermawanan

yang terakhir ini dianggap sebagai sebuah filantropi yang terlembaga dengan

baik.6

Dalam sejarah, ketiga bentuk filantropi dalam Islam itu telah memainkan

peran yang sangat penting, seperti dalam penyebaran agama dan ilmu, pendirian

lembaga-lembaga pendidikan, bahkan dalam bidang kesejahteraan. Misalnya,

salah satu sarana penting bagi penyebaran Islam adalah masjid, yang didirikan dan

dibangun atas dasar filantropi. Bahkan, konon, Nabi sendiri adalah orang pertama

yang mencontohkan melaksanakan filantropi dengan mendirikan masjid. Selain

masjid, banyak lembaga pendidikan penting, yang menjadi tempat para siswa

menimba ilmu didirikan atas dasar filantropi. Tidak hanya itu, bahkan

penyelenggaraannya pun dijalankan dengan dana filantropi, terutama yang

didukung oleh penguasa. Melalui lembaga-lembaga pendidikan inilah penyebaran

ilmu terjadi dan mengalami perkembangan, seperti di Bagdad, Kairo, Makkah dan

lain sebagainya.7 Bahkan, tidak sedikit perpustakaan yang ada di wilayah ini

didirikan dan dibiayai oleh dana filantropi, terutama wakaf.8

Demikian pentingnya filantropi Islam ini sehingga ia tidak pernah bisa

dilepaskan dari urusan negara atau kekuasaan. Menurut Jon B. Alterman dan

Shireen Hunter, setidak-tidaknya ada empat sikap pemerintah di negara-negara

Muslim terhadap filantropi. Pertama, nasionalisasi lembaga filantropi sehingga ia

berada di bawah kontrol negara. Dengan demikian, manajemen filantropi harus

tunduk pada kepentingan negara. Kedua, negara menyesuaikan diri dengan

otoritas keagamaan. Dengan cara begitu, lembaga filantropi pada dasarnya ditarik

ke dalam lembaga negara, dan pada saat yang sama memeroleh justifikasi dari

agama. Ketiga, negara menentukan kekuatan yang dapat mengatur lembaga

filantropi, termasuk tujuan dan jumlah pengurusnya, sehingga negara memberikan

kebebasan aktivitas filantropi, sepanjang aktivitas tersebut tidak berkaitan dengan

politik. Keempat, negara membentuk lembaga filantropi yang non-pemerintah.

Lembaga semacam ini akan menjadi agen perubahan bagi masyarakat, seperti

6 Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social

Justice,‛ paper disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and Democracy) 5th Annual

Conference ‚Defining and Establishing Justice in Muslim Societies,‛ Washington DC, 28-29 Mei

2004), 5; Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛

http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20-6-

2009). 7 Siraj Sait dan Hilary Lim, Land, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim

World (London-New York: Zed Books, 2006), 149; Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam

di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang

(Jakarta: Forum Zakat, 2006), 17; Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛

dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat

Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv. 8 Lihat Yah}ya> Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz

Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, 1996).

Page 13: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

3

Bab I

penghapusan kemiskinan, pendidikan, kepedulian terhadap anak-anak dan lain

sebagainya.9

Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari hubungan agama dan negara, yang

terjadi di beberapa negara Muslim. Secara garis besar, hubungan antara keduanya

dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama. Kategori pertama

berpandangan bahwa Islam dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan, sehingga

urusan agama identik dengan urusan negara itu sendiri. Kedua, Islam dan negara

merupakan dua entitas yang berbeda, dan karenanya persoalan agama harus

dikeluarkan dari tanggung jawab negara. Ketiga, meskipun Islam dan negara

berbeda, namun keduanya memiliki kaitan yang substansial.10

Dalam konteks seperti itu, Yu>suf al-Qarad}a>wi> ( القرضاوى يوسف) menilai bahwa

filantropi Islam, khususnya zakat, harus dikelola oleh negara. Institusi ini

berkewajiban untuk memungut dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang

berhak menerimanya. Selain didasarkan pada QS al-Tawbah (9): 103,11

al-

Qarad}a>wi> juga berargumen bahwa fakir miskin dapat memeroleh jaminan yang

lebih kokoh dari negara ketimbang dari perorangan. Di samping itu,

pendistribusian oleh negara menghilangkan konsentrasi pada kelompok mustahik

di wilayah tertentu. Yang lebih penting lagi, Islam pada dasarnya adalah agama

dan negara (di>n wa-dawlah).12

Sejauh ini, terdapat enam negara yang mengelola

zakat melalui undang-undang, seperti Arab Saudi, Libya, Yaman, Malaysia,

Pakistan dan Sudan.13

Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Robert D. McChesney berpendapat bahwa

Islam tidak memiliki pola pengelolaan filantropi—khususnya zakat—secara tegas,

tetapi bersifat ambigu.14

Karena itu, dalam pengelolaannya bisa berubah-ubah

sesuai dengan situasi masyarakat. Artinya, ia kadang-kadang dikelola oleh negara,

namun adakalanya negara melepaskan diri dari persoalan ini.

Seperti di wilayah lain, filantropi Islam juga berkembang di Indonesia

bersamaan dengan kedatangan agama ini. Praktik ini mudah diterima oleh

masyarakat Nusantara, mengingat bentuk-bentuk filantropi telah menjadi tradisi

kehidupan mereka, terutama filantropi yang berakar pada agama-agama.

Meskipun demikian, penghimpunan dan pendistribusian zakat tidak pernah

dikelola oleh penguasa pada masa kesultanan Islam.15

Sebaliknya, masyarakat

bebas membayarkannya, baik secara langsung kepada mustahik, maupun kepada

lembaga-lembaga, seperti masjid, pesantren ataupun organisasi-organisasi

keagamaan.

Memasuki masa penjajahan, filantropi Islam juga tidak memeroleh perhatian

dari pemerintah kolonial, mengingat kebijakan mereka dalam bidang agama

9 Jon B. Alterman dan Shireen Hunter, The Idea of Philanthropy in Muslim Contexts (Washington, DC:

Center for Strategic and International Studies, 2004), 11-12. 10

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam (Jakarta: Ushul Press, 2005), 7-8. 11 Ayat ini berbunyi sebagai berikut:

.عليم سميع وهللا لهم سكن صالتك إن عليهم وصل بها وتزكيهم تطهرهم صدقة أموالهم من خذ12 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h (Beiru>t: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 746-754; lihat juga Abu> al-

Wafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Min Qad}a>ya> al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 91-92. 13 A. Zysow, ‚Zakat,‛ dalam The Encyclopedia of Islam, ed. P.J. Bearman et.al. (Leiden: Brill, 2002), 11:

419. 14 Robert D. McChesney, Charity and Philanthropy in Islam: Institutionalizing the Call to Do Good

(Indianapolis: Indiana University Center on Philanthropy, 1993); lihat juga idem, ‚Charity and Philanthropy in

Islam,‛dalam http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam .asp (diakses 20-06-

2009). 15 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛19.

Page 14: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

4

Pendahuluan

adalah netral.16

Bahkan, para pejabat pribumi dilarang untuk terlibat dalam

pengelolaan zakat, karena zakat semata-mata ditujukan untuk kepentingan agama.

Lebih buruk lagi, tidak sedikit dana zakat terbukti disalahgunakan untuk

kepentingan pribadi mereka.17

Akibatnya, dana zakat yang terkumpul sangat

rendah dan biasanya dibayarkan langsung kepada para guru ngaji setempat.

Dengan kata lain, pemerintah kolonial sengaja membiarkan persoalan zakat

menjadi persoalan orang Islam dan berupaya menjadikan zakat sekadar sebagai

tindakan sukarela. Bahkan Hurgronje juga keberatan jika zakat dimasukkan ke

dalam kas kabupaten, apalagi negara.18

Berbeda dengan zakat, sikap pemerintah kolonial terhadap wakaf tidaklah

netral, karena wakaf Muslim berupa tanah, sehingga harus diatur oleh pemerintah

melalui peraturan tentang agraria. Lebih jauh, kebijakan yang netral dalam

masalah agama ini juga dapat berubah menjadi represif, ketika dana filantropi ini

digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik, seperti pemberontakan atau

perlawanan terhadap pemerintah kolonial.19

Bahkan, pada akhirnya, untuk

kepentingan murni agama pun dibatasi, karena dianggap dapat memperkuat basis

sosial masyarakat. Di beberapa daerah, misalnya, pemerintah kolonial melarang

renovasi masjid dengan dana zakat dan wakaf, dengan alasan hal itu akan

memperkuat soliditas umat Islam.20

Memasuki Indonesia merdeka, persoalan filantropi tidak memeroleh

perhatian dari negara yang masih lemah. Dalam situasi seperti ini, upaya untuk

melakukan pengelolaan zakat dan wakaf oleh masyarakat sipil menguat. Ini

ditunjukkan dengan sejumlah seminar yang menghendaki agar zakat dikelola oleh

negara. Akan tetapi, berbagai upaya ini mengalami kegagalan karena

kekhawatiran pemerintah terlibat dalam urusan agama, atau dituduh menjalankan

Piagam Jakarta, yang saat itu telah berhasil dijinakkan.21

Di samping itu,

dikotomi ideologis antara Islamis dan sekular masih sangat kuat, sehingga setiap

upaya untuk melibatkan negara dalam masalah agama dipandang sebagai sesuatu

yang dapat mengancam kesatuan. Sikap pemerintahan Soekarno—yang kemudian

disebut Orde Lama—terhadap persoalan filantropi ini tidak mengalami

perubahan, hingga ia diturunkan dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh

Soeharto.

Di awal pemerintahannya, kaum Muslim banyak berharap agar Soeharto mau

melibatkan negara dalam persoalan filantropi, terutama zakat. Hal ini dibuktikan

dengan seruan sejumlah ulama agar pemerintah ambil bagian dalam pengelolaan

zakat. Akan tetapi, Soeharto merespons hal itu dengan kesediaan dirinya sebagai

amil zakat nasional, tanpa harus melibatkan negara. Meskipun bersifat personal,

16 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 2 dan 9-10. 17 Arskal Salim, ‚The Influential Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formation of Zakat

(Alms) Law in Modern Indonesia,‛ Pacific Rim Law and Policy Journal Association, 15:3 (2006), 690. 18 Tentang alasan-alasan penolakan Hurgronje mengenai hal ini, lihat Nasihat-nasihat C. Snouc

Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1880-1936, terj. Sukarsi

(Jakarta: INIS, 1992), 1352-1375. 19 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press,

1998). 20 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162-164. 21 Arskal Salim, ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam Shari‘a and

Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra (Singapore: ISEAs, 2003), 183-

184.

Page 15: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

5

Bab I

keterlibatan Soeharto ini sedikit banyak terkait dengan negara, mengingat tidak

sedikit instruksi yang ia keluarkan diarahkan kepada sejumlah kepala daerah.

Akan tetapi, sentralisasi pengelolaan zakat di bawah koordinasi Soeharto tidak

memeroleh kepercayaan masyarakat, yang dibuktikan dengan sedikitnya dana

yang terkumpul selama tiga tahun keterlibatannya.22

Lebih jauh, kegagalan ini tidaklah semata-mata ketidakpercayaan

masyarakat, tetapi juga sikap setengah hati yang ditunjukkan Soeharto. Hal ini

terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam Yayasan

Amal Bhakti Muslim Pancasila, di mana ia menginstruksikan pemotongan

langsung gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sedekah yang harus dibayarkan

kepada yayasan ini. Akibatnya, pengelolaan zakat menjadi murni persoalan umat

Islam, sehingga masyarakat menyalurkan zakat mereka ke lembaga-lembaga yang

biasa menghimpun dan menyalurkan zakat, seperti masjid, pesantren, madrasah,

dan organisasi-organisasi keagamaan. Pemerintah sendiri, melalui Departemen

Agama, hanya memberikan instruksi agar zakat dihimpun dan disalurkan sesuai

dengan ketentuan ajaran Islam.23

Menjelang akhir pemerintahannya, Soeharto memang menunjukkan sikap

yang akomodatif terhadap Islam, dengan disahkannya sejumlah undang-undang

yang memenuhi kepentingan umat Islam, seperti UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama,24

Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan

Nasional dan sejumlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam25

dan Bank Muamalat.26

Akan tetapi, persoalan filantropi Islam

tetap belum memeroleh perhatian yang semestinya hingga berakhirnya Orde Baru

yang dipimpinnya pada 1998.

Berbeda dengan zaman Orde Baru yang sentralistik, pada masa reformasi di

bawah kepresidenan Habibie, kebebasan politik memeroleh momentum. Ini

ditandai tidak hanya dengan menjamurnya partai politik baru, dengan ideologi dan

corak yang beragam. Namun, hal itu juga ditunjukkan dengan berdirinya sejumlah

organisasi keagamaan dari yang bersifat liberal hingga radikal. Di tengah-tengah

situasi kebebasan dan ‚relaksasi politik‛27

inilah sejumlah lembaga filantropi

Islam banyak tampil ke muka. Tidak hanya sebatas itu, lembaga-lembaga

filantropi ini juga menjadi kekuatan civil society, yang dapat menekan pemerintah

22 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post-

Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13: 3 (2006): 365. 23 Arskal Salim, Challenging the Secular State: Islamization of Law in Modern Indonesia

(Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), 124-125. 24 Untuk pembahasan mengenai hal ini, lihat Mark Cammack, ‚Indonesia’s 1989 Religious

Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonenization of Islam?‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, 96-124; Nur Ahmad Fadhil Lubis, ‚Institutionalization and Unification of Islamic

Courts under the New Order,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 2: 1 (1995). 25 Diskusi lebih panjang tentang hal ini, lihat Imam Mawardi, Socio-Political Background of the

Enactment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tesis M.A. (Montreal: Institute of Islamic Studies,

McGill University, 1997); juga Joko Mirwan Muslimin, Islamic Law and Social Change: A Comparative Study of Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in Nation-States Egypt and Indonesia (1950-1995), Disertasi PhD (Hamburg: Universitat Hamburg, 2005).

26 Untuk pembahasan secara rinci tentang hal ini, lihat Zainulbahar Noor, Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan (Jakarta: Bening, 2006); juga Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics (Jakarta: Ushul Press, 2006), 114-124.

27 Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung:

Mizan, 2000), 172.

Page 16: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

6

Pendahuluan

untuk memenuhi aspirasi tertentu mereka. Dengan kata lain, perubahan politik

ternyata berdampak besar bagi pertumbuhan lembaga-lembaga filantropi di

Indonesia.28

Menurut Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, filantropi di

Indonesia dari pra-kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru berkembang melalui tiga

arus utama. Pertama, filantropi tradisional, yang bersumber pada agama dengan

semangat dakwah. Praktik filantropi tradisional ini tercermin dalam berbagai

layanan sosial, terutama pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Muhammadiyah, dalam hal ini, merupakan contoh yang sangat baik, karena telah

berhasil mendirikan ribuan sekolah, rumah sakit dan ratusan rumah yatim.29

Kedua, organisasi masyarakat sipil yang mulai bermunculan pada 1970-an.

Organisasi-organisasi ini muncul bersamaan dengan proyek modernisasi, yang

menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat Indonesia, seperti

kemiskinan, peminggiran rakyat, lingkungan, polusi, pelanggaran hak asasi

manusia dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini tidak secara langsung bergerak

dalam bidang filantropi dalam pengertian tradisionalnya, juga tidak banyak

mendapat dukungan dari masyarakat akar rumput. Akan tetapi, mereka telah

banyak menggagas perubahan penting dalam konteks modernisasi ini, seperti

advokasi, pemberdayaan rakyat, yang terjadi pada masa itu. Ketiga, organisasi

filantropi perusahaan dan organisasi sumber daya masyarakat sipil. Arus ketiga ini

muncul bersamaan dengan krisis ekonomi pada 1997 dan runtuhnya rezim

otoriter. Keduanya telah mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai

persoalan. Karena itu, masa ini dapat dipandang sebagai masa subur berdirinya

organisasi-organisasi filantropi, sehingga pada 2003 sudah berdiri setidaknya 27

organisasi.30

Salah satu bentuk gerakan sosial yang memiliki pengaruh penting terhadap

bidang filantropi adalah Forum Zakat (FOZ), yang didirikan oleh sejumlah

organisasi pada 1997. Asosiasi ini berhasil menggalang jaringan organisasi

filantropi, mendiskusikan persoalan-persoalan zakat dengan pemerintah,

menyebarkan informasi, mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menjadi

konsultan dalam berbagai persoalan zakat. Hanya dalam waktu dua tahun, asosiasi

ini sudah beranggotakan 150 buah lembaga.31

Di antara kontribusi penting forum

ini adalah penyiapan draft undang-undang zakat, yang kemudian disahkan sebagai

UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.32

Suasana kebebasan ini terus berlangsung pada masa kepresidenan

Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati. Pada

masa dua presiden ini, lembaga-lembaga civil society, termasuk lembaga

filantropi, terus menguat dan mampu memberikan tekanan terhadap pemerintah.

Salah satunya adalah aspirasi umat Islam agar wakaf yang telah lama menjadi

28 Andi Agung Prihatna, ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,‛ dalam Revitalisasi

Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan

Irfan Abu Bakar (Jakarta: PBB UIN Syarif Hidayatullah, 2005), 14. 29 Tentang data lengkap mengenai amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan,

kesehatan, panti asuhan dan lain-lain hingga 2010, lihat http://www.muhammadiyah.or.id/jaringan-

muhammadiyah.html (diakses 12 Januri 2011). 30 Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial

(Jakarta: Piramedia, 2006), 1-3. 31 Forum Zakat, Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Jakarta: FOZ, 2001), xi. 32 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127-128.

Page 17: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

7

Bab I

praktik masyarakat Muslim diatur dalam sebuah undang-undang, sebab sejauh ini

wakaf hanya di atur dalam berbagai peraturan yang terpisah-pisah, seperti dalam

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan

Instruksi Presiden Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Aspirasi ini

akhirnya dipenuhi dengan diajukannya RUU tentang Wakaf yang kemudian

disahkan menjadi UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Sebenarnya, aspirasi semacam itu adalah sesuatu yang wajar. Sebab, seperti

dikemukakan William R. Liddle, dalam suasana kebebasan seperti itu, ekspresi

Islam yang lebih formalistik akan mengemuka, mengingat kaum Muslim memiliki

sumber daya politik yang lebih besar, baik dalam bentuk organisasi, media

maupun akses terhadap politisi.33

Dengan kata lain, semakin demokratis negara, ia

diduga semakin akomodatif terhadap kepentingan umat Islam, seperti ditunjukkan

dengan dikeluarkannya dua undang-undang yang berkaitan dengan filantropi

Islam pada pasca-Orde Baru.

Meskipun demikian, akomodasi aspirasi umat Islam oleh negara dalam

bentuk undang-undang ini sama sekali tidak bebas dari kepentingan politis. Sebab,

seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, sebuah undang-undang adalah produk

politik negara.34

Dengan kata lain, undang-undang tentang zakat dan wakaf yang

lahir pasca-Orde Baru ini memiliki faktor-faktor politis yang mendorong

kelahirannya. Di samping itu, kehadiran undang-udang ini juga menunjukkan

hubungan antara negara dan umat Islam pasca-Orde Baru, yang diduga sangat

berbeda dengan masa sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas terlihat bahwa masalah utama yang diangkat dalam

penelitian ini adalah filantropi Islam dan kaitannya dengan negara, dengan

perhatian khusus pada undang-undang tentang zakat dan undang-undang tentang

wakaf. Masalah tersebut kemudian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan

sebagai berikut:

1. Seberapa jauh negara pasca-Orde Baru terlibat dalam bidang zakat dan

wakaf?

2. Bagaimana dampak undang-undang tentang pengelolaan zakat dan

undang-undang tentang wakaf terhadap perkembangan filantropi Islam?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis keterkaitan negara dengan agama, khususnya dalam bidang

filantropi Islam, sebagaimana diwujudkan dalam undang-undang tentang zakat

dan undang-undang tentang wakaf. Analisis ini meliputi faktor-faktor politis dan

sosial yang mendorong kelahiran kedua undang-undang ini. Lebih jauh, penelitian

ini juga menganalisis dan mengidentifikasi perkembangan lembaga filantropi

Islam sebagai dampak dari kehadiran kedua undang-undang ini.

33 William R. Liddle, ‚Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and

Action in New Order Indonesia,‛ dalam Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, ed. Mark R. Woodward (Arizona: Arizona State University Press, 1996), 323.

34 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2001), 13.

Page 18: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

8

Pendahuluan

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Signifikansi penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,

filantropi Islam di Indonesia, terutama zakat dan wakaf, telah menjadi tarik

menarik kepentingan antara negara dan masyarakat atau civil society. Dalam

sejarahnya, negara kadang-kadang melepaskan diri dari penghimpunan dan

pengelolaan filantropi Islam, tetapi adakalanya ingin melibatkan diri ke dalamnya.

Ini sekaligus mencerminkan hubungan antara negara dan masalah keislaman atau

agama. Dengan kata lain, hubungan filantropi Islam dengan negara terbukti

hingga kini belum teratasi secara tuntas dan karenanya penelitian tentangnya

sangat signifikan dilakukan. Kedua, secara teoretis, penelitian ini diharapkan

dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan fiqh al-siya>sah al-dustu>riyyah dan fiqh al-siya>sah al-ma>liyah (politik ekonomi) yang selama ini diajarkan di

perguruan tinggi Islam, namun hanya melalui pendekatan fikih. Dengan penelitian

ini diharapkan pengajaran disiplin tersebut dapat diperluas melalui pendekatan

filantropis. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

studi awal bagi peneliti sendiri, khususnya, dan para peneliti lain, umumnya,

untuk studi lebih lanjut. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memperkaya dan memperjelas hubungan Islam dan negara di Indonesia.

E. Tinjauan Pustaka

Filantropi sebenarnya merupakan sebuah istilah yang relatif baru di

Indonesia jika dibandingkan dengan istilah-istilah zakat, wakaf atau shadaqah dan

infak, yang sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Karena itu, kajian filantropi

Islam belum banyak mendapat perhatian dari para sarjana. Baru pada 1990-an

kajian filantropi Islam mulai bermunculan bersamaan dengan datangnya era

reformasi di Indonesia.

Beberapa kajian yang telah dilakukan mengenai filantropi Islam adalah

Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam,35

yang merupakan

sebuah kumpulan tulisan. Tulisan-tulisan di dalamnya membicarakan secara

umum filantropi Islam dari berbagai sisi, dari sisi tradisi agama-agama, dimensi

keadilan sosial, civil society dan profil serta manajemen lembaga-lembaga

filantropi Islam di Indonesia. Sebagian tulisan lain memfokuskan pada dimensi

historis filantropi Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Azyumardi Azra

dalam ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia‛36

dan Amelia Fauzia dalam

‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.‛37

Penelitian lain yang memfokuskan perhatian pada filantropi Islam adalah

Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia.

38 Seperti ditunjukkan dalam judulnya, penelitian ini berusaha

memotret lembaga-lembaga filantropi Islam, terutama zakat dan wakaf, berikut

cara-cara pengelolaan, peran dan perkembangannya. Lembaga-lembaga pengelola

35 Idris Thaha (ed.), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam (Jakarta:

Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003). 36 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran

Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 15-30. 37 Amelia Fauzia, ‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya,‛

decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesia-peran-html (diakses 19 Juni 2009). 38 Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (eds.), Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia:

Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, UIN Jakarta,

2005).

Page 19: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

9

Bab I

zakat yang dikaji dalam penelitian ini meliputi BAZIS DKI dan Jawa Barat,

LAZIS Dompet Dhuafa Republika, BMT Ben Taqwa Grobogan, Gerakan Zakat

Muhammadiyah di Kendal, Pos Keadilan Peduli Ummat dan LAZIS Markaz

Islami Makassar. Adapun lembaga-lembaga wakaf yang diteliti meliputi Badan

Wakaf Pondok Modern Gontor, Badan Wakaf UII Yogyakarta dan Lembaga

Wakaf Pesantren Tebuireng.

Kajian lain tentang filantropi Islam ditemukan dalam Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia.

39 Buku ini mengulas beberapa aspek filantropi Islam di Indonesia,

yang meliputi peluang dana filantropi untuk mewujudkan keadilan sosial, tradisi

filantropi menurut dua sumber utama Islam, potret lembaga filantropi serta tata

kelola filantropi pada masa modern. Adapun kesimpulan yang dicapai adalah

bahwa meskipun dana filantropi di Indonesia sangat besar, tetapi yang dapat

dihimpun masih sangat kecil. Ini disebabkan, antara lain, oleh tradisi masyarakat

yang lebih setia memberikan derma secara langsung kepada mustahik daripada

kepada lembaga-lembaga filantropi. Situasi ini diperburuk oleh kelemahan

lembaga-lembaga filantropi itu sendiri, seperti dalam masalah mobilisasi,

pengelolaan, dan penyaluran dana filantropi.

Dalam Filantropi dalam Masyarakat Islam,40

Ahmad Gaus juga mengkaji

filantropi Islam dengan perhatian khusus pada definisi konseptual filantropi,

hubungannya dengan agama-agama dan praktiknya dalam Islam. Buku ini secara

umum berisi dasar-dasar penting filantropi Islam secara umum dan praktiknya di

Indonesia, dengan tujuan dapat menggugah masyarakat peduli terhadap filantropi

Islam. Berbeda dengan Gaus, Amelia Fauzia melakukan kajian terhadap sejarah

filantropi Islam di Indonesia dan hubungannya dengan negara, dalam disertasinya

yang berjudul Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.

41 Dalam disertasi ini, Amelia Fauzia mengkaji perkembangan filantropi

Islam di Indonesia dari masa Islamisasi, penjajahan, pasca-kemerdekaan hingga

masa reformasi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa filantropi Islam telah

menjadi wilayah perebutan dominasi antara negara dan civil society, meskipun

dengan tingkatan yang fluktuatif.

Kajian tentang filantropi juga dilakukan oleh Zaim Saidi, Muhammad Fuad

dan Hamid Abidin dalam Kedermawanan untuk Keadilan Sosial,42 dengan

perhatian khusus pada potensi filantropi di Indonesia dan pola pemberiannya.

Kesimpulan yang dicapai oleh penelitian ini adalah bahwa semangat orang

Indonesia, terutama Muslim, untuk berderma sangat besar karena didorong oleh

faktor agama. Akan tetapi, mereka lebih cenderung menyalurkannya secara

langsung kepada yang berhak menerimanya daripada kepada lembaga filantropi.

39 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim (eds.), Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi

tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif

Hidayatullah, 2006). 40 Ahmad Gaus, Filantropi dalam Masyarakat Islam (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,

2008). 41 Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia, Disertasi

PhD (Melbourne: The Asia Institute, The University of Melbourne, 2008). 42 Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial

(Jakarta: Piramedia, 2006).

Page 20: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

10

Pendahuluan

Bahwa zakat merupakan bentuk filantropi yang potensial di Indonesia, hal

itu ditunjukkan oleh survei yang dilakukan oleh PIRAC tentang zakat.43

Menurut

survei ini, 94% masyarakat yang disurvei merasa sebagai muzakki dengan besaran

Rp. 124.000,- per tahun. Akan tetapi, potensi yang demikian besar itu belum

terkelola dengan baik, yang bisa dilihat dari tingginya keengganan masyarakat

untuk menyalurkan zakat mereka kepada lembaga-lembaga resmi, seperti BAZ

atau LAZ. Kebanyakan mereka menyerahkan kepada amil tidak resmi yang ada di

sekeliling mereka atau langsung kepada yang berhak menerimanya. Ini

menunjukkan bahwa pengelolaan zakat berlangsung tanpa suatu tata kelola yang

memungkinkan zakat dapat menjadi potensi yang sangat besar bagi peningkatan

kesejahteraan.

Potensi yang demikian besar itu mendorong sebagian orang menilai bahwa

zakat dapat menjadi solusi alternatif bagi penyelesaian kemiskinan, sebagaimana

tercermin dalam buku Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif,44

yang ditulis oleh AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie. Para penulis

optimistis bahwa zakat jika dikelola oleh negara dengan baik dapat memberikan

kontribusi bagi APBN. Untuk itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang

memadai dan political will pemerintah. Pandangan serupa juga dikemukakan M.

Djamal Doa dalam Manfaat Zakat Dikelola Negara.45

Ia mengemukakan sejumlah

argumen yang mendukung usulannya agar zakat dikelola oleh negara. Argumen-

argumen itu meliputi: distribusi yang lebih teratur, pemerintah lebih mengetahui

sasaran dan pemanfaatan zakat, zakat dapat membantu keuangan negara,

menghilangkan rasa inferioritas mustahik terhadap muzakki, dan dapat

membangun perekonomian rakyat.

Filantropi Islam dan kesejahteraan sosial juga menjadi perhatian buku yang

berjudul Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial.46 Buku

ini merupakan kumpulan tulisan dalam bentuk ringkasan dari tesis para

penulisnya, dan tidak seluruhnya membicarakan tentang filantropi Islam. Di

antara beberapa tulisan yang terkait dengan filantropi adalah ‚Pemberdayaan

Kaum Miskin melalui Investasi Sosial: Eksperimentasi Lembaga Pengelola Zakat‛

oleh Sirajuddin Abbas, ‚Strategi Fundraising: Kasus Baznas‛ oleh Ismet Firdaus

dan ‚Manajemen Keluarga Miskin: Kasus Masyarakat Mandiri, Dompet Dhuafa

Republika‛ oleh Lisma Dyawati Fuaida.

Adapun kajian tentang aspek-aspek filantropi Islam, khususnya zakat dan

wakaf, telah dilakukan oleh sejumlah sarjana. Dalam bidang zakat, misalnya,

Sarjono meneliti peran negara dalam pengurusan zakat, yang berlangsung selama

Orde Baru. Ia berkesimpulan bahwa negara sudah semestinya terlibat dalam

pengelolaan zakat, tidak saja karena menjadi amanat UUD 1945, tetapi juga

karena zakat bisa memberikan kontribusi penting terhadap kemiskinan dalam

masyarakat.47

Berbeda dengan itu, Rofiqurrahman, dalam Filantropi Islam dan

43 Kurniawati (ed.), Kedermawanan Kaum Muslim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat

Indonesia, Hasil Survei di 10 Kota (Jakarta: Pustaka Adina, 2004). 44 AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi

Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004). 45 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002). 46 Arief Subhan dan Yusro Kilun (eds.), Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan

Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Dakwah Press, 2007). 47 Sarjono, Kewenangan Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengurusan Zakat di Indonesia,

Tesis Master (FH, UI: 1993).

Page 21: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

11

Bab I

Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat,48 menganalisis

fikih zakat modern dan kemungkinan praktiknya di zaman modern. Menurutnya,

pengembangan zakat tidak dapat di lakukan semata-mata dari aspek

manajemennya, tetapi juga harus dibarengi dengan pengembangan pemikiran fikih

yang dinamis sejalan dengan tuntutan perkembangan zakat itu sendiri.

Penelitian tentang zakat secara spesifik dilakukan oleh A.A. Miftah dalam

Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum.49

Masalah utama yang

dikaji dalam buku ini adalah bagaimana zakat dilihat dari perspektif hukum qad}a>’i> dan diya>ni>, dan apakah UU No. 38 Tahun 1999 dapat dipandang sebagai kategori

hukum qad}a>’i> dan diya>ni tersebut. Menurut Miftah, zakat merupakan pranata

keagamaan yang berdimensi ibadah, dan karenanya bercorak diya>ni>. Akan tetapi,

dalam pelaksanaannya diperlukan hukum negara, qad}a>’i>. Karena itu, UU tentang

Pengelolaan Zakat dapat dipandang sebagai hukum qad}a>’i>, tetapi belum

sempurna. Maksudnya, dibandingkan dengan UU tentang Peradilan Agama,

misalnya, UU tentang Zakat ini dapat dipandang masih jauh dari rinci dan dapat

diterapkan sekaligus. Karena itu, menurutnya, masih diperlukan fikih baru dalam

bentuk undang-undang yang lebih terperinci.

Berbeda dengan studi Miftah, Muhammad Fakhri meneliti secara khusus

dampak lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 terhadap pengelolaan zakat di BAZ

Riau, dalam disertasinya yang berjudul Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau.

50

Adapun aspek-aspek yang dianalisis oleh Fakhri meliputi sumber-sumber, cara-

cara pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusiannya, di samping kelembagaan

zakat di provinsi ini. Semua aspek-aspek itu dianalisis berdasarkan ketentuan

yang terkandung dalam undang-undang tentang pengeloaan zakat, termasuk

Keputusan Menteri dan Dirjen Bimas Islam.

Sementara itu, Uswatun Hasanah51

meneliti pengelolaan zakat di Jakarta dan

potensinya bagi peningkatan kesejahteraan sosial. Menurut Uswatun, zakat yang

dikelola dengan baik, seperti dilakukan BAZIS DKI, menunjukkan dapat

memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang,

seperti bahan makanan bagi fakir miskin, pemberian beasiswa dan peningkatan

infrastruktur keagamaan.

Studi kasus terhadap penggalangan dana filantropi Islam juga dilakukan oleh

Ismet Firdaus. Dalam kajiannya yang berjudul Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam,

52 Firdaus menganalisis langkah-langkah yang dilakukan

oleh BAZNAS sepanjang 2002-2003 untuk menggalang dana zakat, infak dan

shadakah. Ia berkesimpulan bahwa penggalangan dana di BAZNAS tidak bisa

48 Rofiqurrahman, Filantropi Islam dan Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep

Zakat, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008). 49 A.A. Miftah, Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sulthan Thaha

Press, 2007). Buku ini semula adalah disertasi yang diajukan ke Program Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah 2005. 50 Muhammad Fakhri, Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi

Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008). 51 Uswatun Hasanah, Zakat dan Keadilan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Zakat di BAZ DKI

Jakarta, Tesis Magister (Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1989). 52 Ismet Firdaus, Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam, Tesis Magister (FISIP,

UI: 2004).

Page 22: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

12

Pendahuluan

dilepaskan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, seperti sumber

daya manusia, dukungan pemerintah dan media.

Kasuz BAZNAS juga menjadi fokus penelitian Deny Wahyu Tasniawan.53

Menurutnya, zakat yang dikelola secara profesional, akuntabel dan transpran,

seperti yang dilakukan lembaga ini, memiliki pengaruh positif terhadap tingkat

ketertiban wajib zakat dalam membayar zakatnya. Dengan kata lain,

profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas menjadi faktor berpengaruh

terhadap ketertiban wajib zakat di BAZNAS.

Berbeda dengan itu, Maulana Yusuf menganalisis BAZNAS dari aspek

dimensi kebijakan yang dilakukan lembaga ini. Menurut Yusuf, sepanjang 2001-

2003, BAZNAS belum dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara optimal,

terutama fungsi koordinatif, konsultatif dan informatifnya. Ini disebabkan, antara

lain, karena kurang maksimalnya peran para pengurus, di samping karena sumber

daya manusia yang masih jauh dari memadai.54

Kajian tentang wakaf juga sudah dilakukan oleh beberapa orang, di

antaranya, Deby Nuri Herasanti. Dalam studinya yang berjudul Eksistensi Wakaf menuru Kompilasi Hukum Islam, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004, ia berkesimpulan bahwa suatu peraturan pemerintah menjadi faktor penting

bagi pelaksanaan sebuah undang-undang. Ini dibuktikan dengan pelaksanaan

wakaf yang masih didasarkan pada PP No. 28 Tahun dan KHI, mengingat PP

tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 belum ditetapkan.55

Sementara itu,

penelitian wakaf dalam kaitannya dengan UU No. 41 Tahun 2004 juga dilakukan

oleh Farid Hasan Sazali, dengan perhatian khusus pada wakaf temporal (waqf mu’aqqat). Menurutnya, berdasarkan konsep ini, wakaf tidak berarti terputusnya

hubungan kemilikan wakif terhadap benda yang diwakafkan, dan pandangan ini

banyak dipengaruhi pendapat fuqaha (Syiah) Imamiyyah.56

Penelitian tentang

wakaf juga dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture UIN

Jakarta. Penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia.

57 Penelitian ini memfokuskan diri pada sejarah perkembangan wakaf di

Indonesia, yang meliputi peraturan-peraturan tentang wakaf yang berlaku,

pengelolaan wakaf dan peluangnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan

keadilan sosial masyarakat. Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Uswatun

Hasanah dalam disertasinya yang berjudul Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan.

58 Yang

53 Deny Wahyu Tasniawan, Studi Administrasi Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 terhadap

Tingkat Ketertiban Wajib Zakat: Studi Kasus Baznas, tesis Magister (Kajian Timur Tengah dan Islam,

UI: 2008). 54 Maulana Yusuf, Implementasi Kebijakan Pengelolaan Zakat pada Baznas, Tesis Magister

(FISIP, UI: 2005). 55 Deby Nuri Herasanti, Eksistensi Wakaf menurut KHI, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41

Tahun 2004, Tesis Magister (FH, UI: 2004). 56 Farid Hasan Sazali, Temporalitas Wakaf dalam Hukum Nasional beserta Syariah Islam Yang

Mendasarinya, Tesis Magister (FH, UI: 2006). 57 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makasary (eds.), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi

tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006). 58 Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus

Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan, Disertasi Doktor (PPs IAIN Jakarta, 1997).

Page 23: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

13

Bab I

menjadi perhatian utama dalam penelitian ini adalah tata kelola wakaf dan

kemungkinannya dapat berfungsi untuk menyejahterakan masyarakat.

Dalam bidang peraturan tentang zakat dan wakaf, hal itu menjadi perhatian

Asep Saepudin Jahar dalam ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and

Zakat in post-Independence Indonesia.‛59

Tulisan ini membahas berbagai

peraturan tentang dua aspek filantropi Islam ini, yang telah diberlakukan sejak

masa Orde Baru hingga reformasi. Kedua bidang ini tetap menjadi tarik ulur

antara kepentingan pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola zakat dan wakaf,

sehingga peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pun masih belum mampu

meningkatkan tujuan zakat dan wakaf itu sendiri. Kajian serupa juga dilakukan

oleh Alfitri dalam ‚The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat

Collectors in Indonesia.‛60

Menurut Alfitri, undang-undang ini tidak menjadi

instrumen yang efektif dalam pengelolaan zakat disebabkan tidak adanya

kekuatan memaksa dalam undang-undang ini. Hal itu disebabkan oleh (1) sikap

sekular pemerintah, yang hendak menjaga jarak dari urusan agama, (2) negara

hanya ingin masalah zakat diselesaikan pada tingkat kementerian dan, (3) negara

memang tidak siap dengan pengelolaan zakat secara total.

Kajian tentang legislasi undang-undang zakat dan wakaf dilakukan oleh

Jazuni dalam Legislasi Hukum Islam di Indonesia61 dan Abdul Halim dalam

disertasinya yang berjudul Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi.62

Kedua studi ini sama-sama mengangkat hampir seluruh peraturan perundang-

perundangan yang terkait dengan Islam sejak zaman Orde Baru hingga Era

Reformasi, termasuk undang-undang tentang zakat dan wakaf, namun dengan

pendekatan yang berbeda. Jika Jazuni menggunakan pendekatan hukum, Abdul

Halim menggunakan pendekatan politik hukum. Kesimpulan yang ditarik oleh

Jazuni adalah bahwa sebagai agama yang dipeluk dan dianut oleh mayoritas

penduduk, hukum Islam berpeluang besar untuk mengisi pembangunan hukum

nasional, sedangkan Abdul Halim berkesimpulan bahwa legislasi hukum hanyalah

untuk memperkuat komitmen Muslim terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah bahwa

penelitian ini memfokuskan diri pada proses legislasi undang-undang tentang

pengelolaan zakat dan wakaf saja dan dampaknya bagi perkembangan filantropi

Islam. Masalah ini disinggung secara sepintas dalam penelitian Jazuni dan Abdul

Halim. Jazuni menyinggung sekilas legislasi undang-undang tentang zakat,

sementara Abul Halim menyinggung keduanya secara sepintas di antara seluruh

undang-undang yang terkait dengan Islam secara umum.

59 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post-

Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13: 3 (2006): 353-

95. 60 Alfitri, ‚‚The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat Collectors in

Indonesia,‛ International Journal of Not-for-Profit Law 8, 2 (January 2006): 55-64. 61 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). Buku ini

semula adalah disertasi yang diajukan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan dipertahankan

dalam promosi pada 17 Juli 2004. 62 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik

Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformsi, Disertasi Doktor (Jakarta: SPs UIN Syarif

Hidayatullah, 2008).

Page 24: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

14

Pendahuluan

F. Metodologi

1. Metode dan Pendekatan

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan metode

analisis isi (content analysis),63

yaitu menarik kesimpulan dengan

mengidentifikasi karakteristik pesan atau konsep yang terdapat dalam data.

Seperti dikemukakan Earl Babbie,64

analisis isi dapat diterapkan pada berita surat

kabar, majalah, pidato, surat-surat, hukum dan konstitusi, bahkan platform partai

politik. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Menginventarisasi tema-tema kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru yang

berkaitan dengan zakat dan wakaf.

b. Mengklasifikasi tulisan-tulisan yang berkaitan dengan latar belakang

munculnya kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru yang berkaitan dengan

zakat dan wakaf.

c. Menganalisis tulisan-tulisan tersebut agar membentuk suatu pandangan yang

utuh.

Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan politik, yuridis,

teologis dan historis. Pendekatan politik digunakan untuk menganalisis undang-

undang zakat dan wakaf, mengingat undang-undang ini merupakan bagian dari

praktik negara dalam menetapkan kebijakan. Lebih jauh, mengingat masalah

undang-undang terkait erat dengan hukum, penelitian ini juga menggunakan

pendekatan yuridis. Sementara itu, pendekatan teologis diperlukan karena zakat

dan wakaf merupakan wilayah agama, yang tidak dapat dipisahkan dari hukum

Islam. Ketentuan-ketentuan tentang zakat dan wakaf umumnya dibicarakan dalam

buku-buku fikih, sehingga peraturan-peraturan dasar terkait dengan keduanya

yang dikeluarkan oleh negara tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan fikih.

Adapun pendekatan historis digunakan, karena penelitian ini juga membicarakan

peraturan-peraturan tentang zakat dan wakaf yang berlaku di Indonesia dari

sebelum lahirnya kedua undang-undang ini dan dampaknya.

2. Definisi Operasional

Ada beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan dalam penelitian, di

antaranya adalah sebagai berikut:

a. Filantropi Islam. Yang dimaksud dengan filantropi di sini adalah seluruh

aktivitas derma yang dilakukan orang untuk kebaikan publik atau

masyarakat.65

Aktivitas tersebut dilakukan bukan karena loyalitas kepada

negara, seperti pajak, tetapi karena didorong oleh semangat kebaikan

bersama, yang tidak dibiayai pemerintah. Misalnya, mendirikan sekolah atau

rumah sakit memang menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi masyarakat

dapat mendirikannya tanpa dana dari pemerintah melalui dana yang mereka

63 Alan D. Monroe, Essentials of Political Research (Oxford: Westview Press, 2000), 58; Bruce

L. Berg, Qualitative Research Methods for the Social Sciences (Boston-London: Allyn and Bacon,

1995), 175; Earl Babbie, The Practice of Social Research (Westford: Wadsworth Publishing Company,

1998), 309; Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C. Straits, Approaches to Social Research (New York-

Oxford: Oxford University Press, 1999), 384. 64 Earl Babbie, The Practice of Social Research, 308; Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C.

Straits, Approaches to Social Research, 384. 65 Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good, dalam

http://www.paytonpapers.org.

Page 25: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

15

Bab I

himpun secara sukarela. Dalam konteks Islam, filantropi ini diwujudkan

dalam bentuk zakat, infak/shadaqah dan wakaf. Zakat merupakan kewajiban

bagi Muslim, namun tidak dibayarkan kepada negara. Kewajiban itu

dilakukan karena ketaatan kepada Allah yang disalurkan kepada masyarakat

yang kurang mampu. Adapun infak/shadaqah dan wakaf bukanlah kewajiban,

sehingga keduanya dapat digolongkan ke dalam filantropi. Jadi yang

dimaksud dengan filantropi Islam dalam penelitian ini adalah zakat,

infak/shadaqah dan wakaf, yang pembayarannya dilakukan bukan kepada

negara, tetapi kepada Allah yang disalurkan kepada masyarakat yang kurang

mampu.

Lebih jauh, ketiga bidang ini disebut filantropi karena tujuan akhirnya

pada dasarnya adalah penghapusan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan

dan keadilan bagi masyarakat yang kurang mampu. Dengan demikian, ketiga

bidang tersebut bukan sekadar karitas, pemberian sesaat dan konsumtif,

tetapi memiliki tujuan jangka panjang.

b. Kebijakan. Yaitu, alokasi nilai-nilai bagi masyarakat berdasarkan kekuasaan.

Ia meliputi hukum yang disahkan oleh badan legislatif, pola implementasinya

oleh badan eksekutif, dan penafsiran serta pengundangannya oleh badan

kehakiman.66

Singkatnya, kebijakan adalah interaksi antara kekuasaan dan

kepentingan, yang diwujudkan antara lain dalam bentuk undang-undang.67

Yang dimaksud kebijakan dalam penelitian ini secara khusus adalah Undang-

undang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang tentang Wakaf, karena

keduanya ditetapkan oleh badan legislatif, diimpelementasikan oleh

pemerintah dan diundangkan oleh badan kehakiman. Lebih dari itu, kedua

undang-undang ini adalah interaksi antara kekuasaan dan kepentingan bagi

pemerintah maupun masyarakat.

c. Pasca-Orde Baru. Maksudnya, pemerintahan yang berkuasa setelah

kepemimpinan Soeharto. Ini meliputi kepresidenan Habibie, yang dilanjutkan

oleh kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati serta Susilo Bambang

Yudhoyono. Pembahasan dan pengesahan undang-undang tentang zakat

berlangsung pada masa Habibie, sedangkan undang-undang tentang wakaf

dibahas pada masa Megawati, yang pengesahannya dilakukan pada masa

SBY.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua: primer dan sekunder. Data

primer terdiri dari:

a. RUU tentang Pengelolaan Zakat;

b. Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat;68

c. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;69

66 Abdul Rashid Moten and El-Fatih A. Abdel Salam, Glossary of Political Science Terms

(Singapore: Thompson, 2005), 126. 67 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet.

ke-14, 49. 68 Sekretariat Jenderal DPR-RI, Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta:

Setjen DPR-RI, 1999). Buku ini berisi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pandangan Fraksi-fraksi di

DPR, Risalah-risalah Rapat Panja DPR, dan rekaman tentang pembahasan selama sidang-sidang. 69 Direktorat Pemberdayaan Zakat, Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan

Zakat (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat Depag, 2004).

Page 26: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

16

Pendahuluan

d. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003;70

e. Keputusan Dirjen No. D/291 Tahun 2000;71

f. RUU tentang Wakaf;

g. Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf;72

h. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;73

i. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.

41 Tahun 2004 tentang Wakaf;74

j. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi

Pendaftaran Wakaf Uang;75

k. Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model,

Bentuk dan Spesifikasi Formulir Wakaf Uang.76

l. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BWI.77

Adapun data sekunder meliputi tulisan-tulisan dan pandangan para tokoh

yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Ini meliputi buku, artikel

dalam jurnal, bab-bab dalam buku, laporan surat kabar, majalah, laporan-laporan

dari lembaga-lembaga terkait dan wawancara dengan sejumlah tokoh.

4. Analisis Data

Setelah terkumpul, data akan diseleksi dan direduksi untuk selanjutnya

diklasifikasi dalam beberapa kategori, seperti data tentang kebijakan negara

dalam masalah zakat dan wakaf dan dampaknya terhadap perkembangan filantropi

Islam. Kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap data tersebut

melalui metode analisis isi dan pendekatan politis, teologis, historis dan yuridis.

Terakhir, penarikan kesimpulan dari yang khusus kepada yang umum.

G. Sistematika Penulisan

Disertasi ini disusun menjadi enam bab, dengan sistematika sebagai berikut.

Bab pertama Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

dan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab kedua, Islam, Negara dan Filantropi, yang meliputi pembahasan tentang

aspek-aspek filantropi Islam berikut perkembangan historisnya. Di samping itu,

pembahasan akan dilanjutkan dengan filantropi dan hubungannya dengan konsep

keadilan sosial. Akhirnya, bab ini ditutup dengan pembahasan tentang hubungan

negara dan filantropi Islam dengan melihat model-model hubungan tersebut di

negara-negara Muslim.

70 Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003. 71 Keputusan Dirjen Bimas Islam No. D/291 Tahun 2000. 72 Sekretariat Jenderal DPR-RI, Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf (Jakarta: Setjen DPR-

RI, 2004). Buku ini berisi RUU tentang Wakaf, Pandangan Fraksi-fraksi di DPR, Risalah-risalah Rapat

Panja DPR, dan rekaman pembahasan selama sidang-sidang. 73 Dirjen Bimas Islam, Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jakarta: Dirjen

Bimas Islam, 2004). 74 Dirjen Bimas Islam, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.

41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004). 75 Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang. 76 Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model, Bentuk dan

Spesifikasi Formulir Wakaf Uang. 77 Himpunan Peraturan Badan Wakaf Indonesia (Jakarta: BWI, 2010).

Page 27: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

17

Bab I

Bab ketiga, Kebijakan Negara tentang Zakat, yang akan menganalisis

Undang-undang Zakat yang lahir pada masa pasca-Orde Baru. Pembahasan

dimulai dengan pelaksanaan pengaturan zakat dalam sejarah Indonesia, sebagai

latar belakang lahirnya undang-undang tersebut. Selanjutnya, pembahasan akan

diarahkan pada proses politik undang-undang ini, sebagaimana tercermin dalam

pembahasannya di DPR. Pembahasan ini diakhiri dengan dampak politis undang-

undang ini bagi pelaksanaan zakat.

Bab keempat, Kebijakan Negara tentang Wakaf, yang berisi pembahasan

tentang Undang-undang tentang Wakaf pada masa pasca-Orde Baru. Pertama-

tama analisis akan difokuskan pada pengaturan pelaksanaan wakaf dalam sejarah

Indonesia, yang dilanjutkan dengan analisis atas latar belakang politis munculnya

undang-undang ini, di samping konfigurasi politik mengenai undang-undang

tersebut. Terakhir, analisis akan diarahkan pada dampak politis setelah

disahkannya undang-undang ini.

Bab kelima, Perkembangan Filantropi Islam, yang membahas pertumbuhan

lembaga-lembaga zakat, wakaf dan filantropi, pertumbuhan kuantitatif

perkembangan lembaga-lembaga filantropi, dan respons civil society Islam

terhadap rencana revisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan

dampaknya terhadap filantropi Islam.

Bab keenam adalah Penutup, yang berisi kesimpulan dan rekomendasi. Yang

pertama merupakan jawaban ringkas terhadap masalah yang dirumuskan dalam

penelitian ini, sementara yang kedua merupakan implikasi dari kesimpulan yang

diperoleh dari penelitian ini.

Page 28: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

18

BAB II

ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI

Seperti disinggung sebelumnya, Islam menaruh perhatian yang sangat besar

terhadap filantropi. Untuk mempertegas hal itu, bab ini akan menguraikan lebih

lanjut makna filantropi dan aspek-aspek Islam yang dapat digolongkan ke dalam

filantropi dan kaitannya dengan negara. Mengingat banyaknya aspek-aspek

filantropi dalam Islam, yang akan diuraikan dalam bab ini hanyalah shadaqah,

zakat dan wakaf. Selanjutnya, pembahasan akan dilakukan dengan mengaitkan

filantropi Islam dan keadilan social. Bab ini akan diakhiri dengan uraian tentang

hubungan filantropi Islam dan negara, dengan perhatian khusus pada model

hubungan di empat negara Muslim. Dapat ditegaskan di sini bahwa keadilan sosial

memiliki dimensi yang sangat luas, dan karenanya sulit bagi filantropi Islam

untuk mewujudkannya, kecuali melapangkan jalan bagi realisasi tujuan tersebut.

Lebih jauh, keterlibatan negara terhadap filantropi Islam di negara-negara Muslim

tidaklah seragam, tetapi memiliki pola hubungan yang berbeda-beda.

A. Filantropi dalam Tradisi Islam

Kata ‚filantropi‛ (Inggris: philanthropy) merupakan istilah yang tidak

dikenal pada masa awal Islam, meskipun belakangan ini sejumlah istilah Arab

digunakan sebagai padanannya. Filantropi kadang-kadang disebut al-‘at}a>’ al-ijtima>‘i> (pemberian sosial), dan adakalanya dinamakan al-taka>ful al-insa>ni> (solidaritas kemanusiaan) atau ‘at}a>’ khayri> (pemberian untuk kebaikan). Namun,

istilah seperti al-birr (perbuatan baik) atau s}adaqah (sedekah) juga digunakan.1

Dua yang terakhir ini tentu sudah dikenal dalam Islam awal, tetapi istilah

filantropi Islam tampaknya merupakan pengadopsian pada zaman modern.

Berasal dari kata Yunani philanthrōpia (‚philo‛ [cinta] dan ‚anthrophos‛

[manusia]), filantropi secara umum berarti cinta terhadap, atau sesama, manusia.2

Mengingat luasnya makna cinta yang terkandung dalam istilah tersebut, filantropi

sangat dekat maknanya dengan ‚charity‛ (Latin: caritas) yang juga berarti ‚cinta

tak bersyarat‛ (unconditioned love). Meskipun demikian, antara keduanya dapat

dibedakan, di mana yang kedua cenderung mengacu pada pemberian jangka

pendek, sementara yang pertama biasanya diterapkan pada upaya untuk

menyelidiki sebab utama suatu persoalan.3

1 Barbara Ibrahim, From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy (Kairo:

American University in Cairo Press, 2008), 11. 2 Marty Sulek, ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ Nonprofit and Voluntary Sector

Quarterly, 39:3 (2010), 386. Lihat juga Dictionary dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy

(diakses 20/06/2009). 3 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the

Non-Profit Sector (London-New York: Routledge, 2005), 196; Lindsay Anderson, ‚Conspicuous

Charity,‛ MA thesis (Texas: Texas A&M University, 2007), 26.

Page 29: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

19

Bab II

Konsekuensi dari makna di atas, definisi yang diberikan tentang filantropi

sangat beragam dari satu penulis ke penulis lainnya. Satu definisi menyebutkan

bahwa filantropi berarti ‚tindakan sukarela personal yang didorong

kecenderungan untuk menegakkan kemaslahatan umum‛ (a voluntary enterprise

of private persons, moved by an inclination to promote public good)4 atau

‚perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum.‛5 Definisi lain menyatakan

bahwa filantropi adalah sumbangan dalam bentuk uang, barang, jasa, waktu atau

tenaga untuk mendukung tujuan yang bermanfaat secara sosial, memiliki sasaran

jelas dan tanpa balasan material atau imaterial bagi pemberinya.6 Terlepas dari

perbedaan tersebut, ada tujuan umum yang mendasari setiap definisi filantropi,

yakni cinta, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas sesama manusia, di mana

orang yang lebih beruntung membantu mereka yang kurang beruntung.7

Menurut Dawam Rahardjo, praktik filantropi sesungguhnya telah ada

sebelum Islam mengingat wacana keadilan sosial juga telah berkembang.8

Sementara itu, Warren Weaver, direktur Rockefeller Foundation (Amerika

Serikat), menegaskan bahwa filantropi sebenarnya bukanlah tradisi yang baru

dikenal pada masa modern, sebab kepedulian seseorang terhadap sesama manusia

juga ditemukan pada masa kuno.9 Plato, misalnya, konon telah memberikan tanah

produktif miliknya sebagai wakaf bagi akademi yang didirikannya. Dalam

Kristen, tradisi filantropi juga sangat ditekankan kepada para pengikut awal

agama ini. Di kalangan penganut Zoroastrianisme, filantropi pun menjadi salah

satu komitmen penting mereka dalam kehidupan. Praktik ini juga terbukti tidak

hanya ditemukan dalam tradisi-tradisi keagamaan di Timur Tengah (Semitic),

tetapi juga di wilayah lain, seperti Hindu dan Budha di India, agama asli Amerika

dan Afrika, agama-agama di Cina dan Jepang, dan lain sebagainya.10

Adapun tujuan filantropi pada masa sebelum Islam tidaklah tunggal. Pada

masa Romawi pra-Kristen, filantropi bertujuan untuk mempertegas status sosial

sang penderma, di samping sebagai bentuk komitmennya terhadap tugas

kemanusiaan. Sementara itu, dalam Kristen, tujuan filantropi memiliki dimensi

yang sangat religius, yaitu agar sang penderma ‚mendapatkan keselamatan di

4 Lawrence J. Friedman dan Mark D. McGarvie, Charity, Philanthropy, and Civility in

American History (New York, NY: Cambridge University Press, 2003), 37; lihat juga, US History Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009).

5 Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and

Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; lihat juga Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan

Edward L. Queen II, ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren F.

Ilchman et.al., terj. CSRC UIN Jakarta (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), x. 6 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the

Non-Profit Sector, 196; lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Philanthropy (diakses 20/06/2009). 7 Marty Sulek, ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ 395; lihat juga US History

Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009); juga US

Foreign Policy Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009). 8 M. Dawam Rahardjo, ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan

Epistemologis,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha

(Jakarta: Teraju, 2003), xxxiv. 9 US History Encyclopedia http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009). 10 Lihat Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II (eds.), Filantropi di

Berbagai Tradisi Dunia.

Page 30: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

20

Islam, Negara, dan Filantropi

masa datang, ampunan dari dosa-dosa dan kehidupan kekal di akhirat.‛11

Semangat serupa di balik filantropi juga ditemukan di kalangan para penganut

Zoroastrianisme yang meyakini bahwa jiwa sang penderma akan selamat di

akhirat kelak.

Dalam praktik, ada dua kecenderungan bentuk lembaga filantropi dalam

Kristen: wakaf yang dilakukan oleh kerajaan dengan tujuan-tujuan keagamaan dan

wakaf yang diberikan oleh para individu yang kaya. Jika dalam institusi yang

pertama gereja berperan sebagai pengelolanya sehingga menjadi satu-satunya

lembaga yang sangat kaya di Timur Dekat, dalam institusi yang kedua umumnya

dikelola oleh orang sipil demi tujuan-tujuan umum yang bersifat sekular, seperti

menyantuni orang miskin dan lain sebagainya. Lebih jauh, karena mendapat

dukungan politik dari penguasa, bentuk lembaga yang pertama bertahan jauh lebih

langgeng ketimbang yang kedua.12

Dalam Zoroasterianisme, filantropi digunakan terutama untuk ibadah,

seperti membangun rumah ibadah, altar api, pelaksanaan ritual keagamaan dan

bekal bagi para pendeta. Doktrin yang mendasari penggunaan tersebut adalah

‚charity begins at home‛ (kedermawanan dimulai dari rumah). Yang dimaksud

dengan rumah di sini tak lain adalah keluarga. Lebih dari itu, dalam doktrin

etikanya bahkan disebutkan prosedur bagi pendirian lembaga-lembaga filantropi,

di samping tenaga administrasi yang mengawasinya.13

Dewasa ini, filantropi memiliki sejumlah tujuan yang tidak semata-mata

bersifat keagamaan, tetapi juga bersifat sosial dan politis. Misalnya, ada lembaga

filantropi yang memiliki sasaran hanya pada layanan sosial (social services),

dengan keyakinan bahwa memberikan layanan, beban kemiskinan masyarakat

dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Sementara itu, ada juga lembaga

filantropi yang bergerak dalam perubahan sosial (social change), dengan

menjadikan keadilan sosial (social justice) sebagai tujuan utamanya.14

Dengan

kata lain, kedua model filantropi ini menghendaki kehidupan sosial yang lebih

baik dengan melicinkan jalan bagi perwujudannya melalui sejumlah

pemberdayaan ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.

Islam tampil ke dunia tidak dalam ruang sejarah hampa, tetapi berhadapan

dengan tradisi-tradisi sebelumnya, tak terkecuali tradisi filantropi dari agama-

agama sebelumnya atau dari wilayah lainnya.15

Ini menimbulkan spekulasi yang

beragam di kalangan sarjana peneliti filantropi Islam. W. Haffening, misalnya,

berpendapat bahwa tradisi filantropi dalam Islam merupakan warisan dari agama

Yahudi dan Kristen,16

sementara A.G. Perikhanian berpendapat bahwa hukum dan

11 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛ dalam

http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses

20/06/2009). 12 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam.‛ 13 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam.‛ 14 Marty Sulek, ‚On the Modern Meaning of Philanthropy,‛ Nonprofit and Voluntary Sector

Quarterly, 39:2 (2010), 205; lihat juga Andi Agung Prihatna, ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di

Indonesia,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia,

ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa UIN Jakarta, 2005),

4-5. 15 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,

1995), 265. 16 W. Haffening, ‚Waqf,‛ dalam First Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1987), 8: 1098.

Page 31: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

21

Bab II

praktik filantropi Islam banyak dipengaruhi oleh model filantropi Zoroastrian,

karena adanya kesamaan antara keduanya. Menurutnya, kelanggengan modal

pokok wakaf (non-consumable capital) sangat ditekankan baik oleh Islam maupun

Zoroastrianisme, dengan menjadikan keuntungan yang diperoleh sebagai

penunjang modal pokok. Selanjutnya, keuntungan tersebut ditujukan untuk

mendukung orang-orang yang berhak memeroleh manfaat dari wakaf tersebut.17

Terlepas dari silang pendapat tersebut, Islam secara inheren memiliki

semangat filantropis. Ini dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Al-Quran dan

Hadis Nabi yang menganjurkan umatnya agar berderma.18

Misalnya, dalam QS

Al-Baqarah (2): 215 disebutkan:

تنضثكي تنيصثي تأللشخي فههتنذي خيش ي أفمصى يث لم يفم يثرت كيضؤن

.عهيى خ هللا فإ خيش ي شفعهت يث تنضديم تخ‚Mereka akan bertanya kepadamu (Muh}ammad) tentang apa yang harus

mereka infakkan. Katakanlah: ‘Apapun kebaikan yang kamu infakkan

kepada orang tua dan keluarga, anak yatim, orang miskin, dan orang asing,

dan kebaikan apapun yang kamu lakukan, Allah pasti mengetahuinya.’‛19

Sementara itu, dalam Hadis dikemukakan bahwa Nabi Saw. bersabda:

صهر تنشج، غعح شطفا خفيث تنصذلر تنضء، يصثسع شم تنعشف صثبع

أم ى تنذيث ف تنعشف أم صذلر، يعشف كم تنعش، ف شزيذ تنشدى

ي أل تآلخشذ، ف تنكش أم ى تنذيث ف تنكش أم تآلخشذ، ف تنعشف

(.تنطدشت ست) تنعشف أم تنجر يذخم

‚Perbuatan baik itu menjadi penghalang bagi jalannya keburukan, sedekah

sembunyi-sembunyi dapat memadamkan amarah Tuhan, silaturahim dapat

memperpanjang umur, dan setiap kebaikan adalah shadaqah. Pemilik

kebaikan di dunia adalah pemilik kebaikan di akhirat, dan pemilik keburukan

di dunia adalah pemilik keburukan di akhirat, dan yang pertama masuk surga

adalah pemilik kebaikan.‛20

Pendeknya, prinsip umum filantropi Islam adalah ‚bahwa setiap kebaikan adalah

shadaqah.‛21

Semangat filantropi juga diwujudkan oleh masyarakat Islam awal dalam

berbagai bentuk, seperti shadaqah, zakat, wakaf, khums, infak, hadiah, dan

sebagainya. Dalam perkembangan sejarah Islam, lembaga filantropi ini semakin

menunjukkan signifikansinya, di antaranya karena perannya dalam pembentukan

jaringan ulama, yang memiliki misi dakwah dan penyebaran ilmu. Lebih jauh,

munculnya berbagai lembaga pendidikan Islam, baik yang disebut madrasah, riba>t} maupun za>wiyah tidak dapat dipisahkan dari peran filantropi Islam. Dalam bidang

17 A.G. Perikhanian, ‚Iranian Society and Law,‛ dalam Cambridge History of Iran (Cambridge:

Cambridge University Press, 1986), 661-3. 18 Ahmad Kaleem dan Saima Ahmed, ‚The Quran and Poverty Alleviation: A Theoretical Model

for Charity-Based Islamic Microfinance Institution,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3

(2010), 416. 19 Di samping ayat ini, masih banyak lagi ayat yang menekankan pentingnya infak atau sedekah.

Lihat, misalnya, QS al-Baqarah (2): 263, 266, 272 dan 275; A<li ‘Imra>n (3): 86, dan sebagainya. 20 H.R. T{abra>ni>, dikutip dalam Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 357. 21 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 357.

Page 32: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

22

Islam, Negara, dan Filantropi

pendidikan ini, bukan hanya orang-orang kaya, para penguasa, dari ‘Abbasiyyah

hingga Turki Utsmani, pun menunjukkan semangat filantropis yang sangat besar

melalui pendirian sejumlah lembaga.22

Tidak heran, jika lembaga-lembaga

pendidikan seperti Madrasah Niz}a>miyyah di Bagdad, Al-Azhar di Kairo dan lain

sebagainya, berdiri berkat filantropi dari para penguasa ini.23

Filantropi tidak hanya digunakan untuk mendanai lembaga-lembaga

tersebut, tetapi juga dimanfaatkan untuk menggaji para guru dan memberikan

beasiswa kepada para pelajar dari berbagai wilayah. Mengingat lembaga-lembaga

ini menganut dan mengembangkan mazhab fikih tertentu, tak syak lagi,

penyebaran ajaran-ajaran mazhab tersebut juga mendapat dana dari filantropi

Islam.24

Dengan kata lain, filantropi Islam berperan penting bagi penyebaran ilmu

dan mazhab yang dianut oleh lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan Islam.

Sebagaimana akan diuraikan segera, bentuk-bentuk filantropi di atas terus

berkembang dari waktu ke waktu dan dewasa ini memperoleh perhatian yang luas

tidak hanya dari ahli agama, tetapi juga negara. Bahkan di sejumlah negara

Muslim, persoalan filantropi Islam ini diatur dalam undang-undang yang

pelaksanaannya juga melibatkan kekuasaan negara. Namun, sesuai dengan

permasalahan utama dalam penelitian ini, hanya tiga bentuk pertama dari

filantropi Islam di atas yang akan diuraikan dalam bagian berikut.

B. Aspek-aspek Filantropi Islam

1. Shadaqah

Kata s}adaqah (Arab) merupakan bentuk masdar dari kata kerja s}adaqa, yang

berarti apa saja yang diberikan dengan tulus untuk mendekatkan diri kepada

Allah, bukan demi kehormatan.25

Karena itu, suatu pemberian disebut shadaqah

karena ia lahir dari ketulusan dan kejujuran hati sang pemberi. Kata ini memiliki

kemiripan dengan kata Yahudi şědâķâ, yang juga bermakna kejujuran (honesty).

Atas dasar itu, orientalis semacam Arthur Jeffery menduga bahwa kata s}adaqah

dalam Islam tidak lain hanyalah transliterasi dari kata Yahudi tersebut.26

Terlepas

dari asumsi ini, tampaknya praktik shadaqah tidaklah monopoli milik Muslim,

tetapi juga telah menjadi tradisi dalam agama-agama lain sebelum Islam, terutama

Yahudi dan Kristen.

Istilah s}adaqah (Arab; Indonesia: sedekah) banyak ditemukan dalam sumber-

sumber Islam, terutama Al-Quran dan Hadis, dengan beragam makna. Ia bisa

berarti zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, tetapi juga dapat

22 Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk

Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN

Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv; lihat juga Imtiaz B. Ali, Waqf: A Sustainable Development Institution for Muslim Communities (Valsayn, Trinidad and Tobago: Takaful T&T Friendly Society,

2009), 12. Menurut Hennigan, filantropi Islam, khususnya wakaf, telah berperan sebagai dasar utama

‚peradaban Islam.‛ Lihat Peter C. Hennigan, The Birth of Legal Insitution: The Formation of the in Waqf in Third-Century AH H{anafi> Legal Discourse (Leiden: Brill, 2004), xiii.

23 Uraian terperinci tentang peran wakaf dalam pendirian berbagai perpustakaan dan universitas

disejumlah wilayah wilayah Islam pada Abad Pertengahan, lihat Yah}ya> Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz al-Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-

Isla>miyyah, 1996). 24 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 165. 25 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-

S{afwah, 1992), 16: 323. 26 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Quran (Leiden: Brill, 2007), 153 dan 194.

Page 33: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

23

Bab II

bermakna derma yang bersifat sukarela, yang kadang-kadang disejajarkan dengan

infak.27

Dengan demikian, shadaqah dapat dipandang sebagai istilah umum yang

menaungi sejumlah praktik filantropis dalam Islam.28

Dengan kata lain,

pembedaan antara shadaqah dalam pengertian zakat dan shadaqah dalam arti

sedekah tampaknya dilakukan secara tegas setelah wafatnya Nabi. Untuk memilah

makna yang demikian luas itu, para ulama mengklasifikasi shadaqah secara garis

besar ke dalam dua pengertian: shadaqah sebagai sinonim zakat yang bersifat

wajib, dan shadaqah yang bersifat sukarela dengan istilah s}adaqat al-tat}awwu‘ atau s}adaqat al-nafl (sedekah sukarela atau sunnah).

29 Pengertian yang terakhir

inilah yang akan dibahas di sini, sementara yang pertama akan dibicarakan pada

bagian berikutnya.

Ibn al-‘Arabi> mendefinisikan shadaqah sebagai ‚ibadah yang timbul dari

kehendak bebas berdasarkan kemampuan seseorang.‛30

Yang harus digarisbawahi

di sini adalah kehendak bebas dan kemampuan, yang tanpa keduanya berarti

seseorang telah mewajibkan sesuatu pada dirinya. Dengan demikian, sedekah

dilakukan tanpa paksaan dan bukan di luar batas kemampuan seseorang. Karena

itu, sedekah pada dasarnya adalah mendermakan harta di luar kewajiban zakat.31

Shadaqah juga memiliki makna yang sangat dekat dengan infak, yang

memiliki arti yang sangat luas. Secara umum, infak berarti ‚mengeluarkan harta

untuk kebutuhan‛ (s}arf al-ma>l ila> al-h}a>jah).32

Ia meliputi nafkah wajib kepada

keluarga, kerabat dan sedekah yang bersifat sunnah (s}adaqat al-tat}awwu‘).33

Dengan demikian, seperti shadaqah, infak juga bisa kadang-kadang wajib, seperti

memberi nafkah kepada keluarga, juga bisa sukarela seperti sedekah pada

umumnya.34

Shadaqah menduduki posisi penting dalam ajaran Islam, setidak-tidaknya

jika dilihat dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang memperbincangkannya, di

samping dari praktik kaum Muslim awal. Dalam Al-Quran, misalnya, disebutkan

bahwa shadaqah merupakan sebuah kebaikan yang pahalanya bernilai berlipat-

lipat ganda, dari dua kali hingga 700 kali lipat, dan kadang-kadang disebut

sebagai pinjaman yang baik (qard} h}asan) yang pembayarannya akan

dilipatgandakan oleh Allah Swt. Ayat-ayat berikut ini menunjukkan hal itu.

أصثخث خشخذ رج كثم أفضى ي شثديصث هللا يشظثز تخصغثء أيتنى يفم تنزي يثم

(.376: تندمشذ) خصيش شعه خث هللا فطم، تخم يصدث نى فإ ظعفي أكهث فآشس تخم

27 Sebagaimana akan terlihat nanti, perbedaan antara shadakah dan infak ini sangat tipis.

Meskipun demikian, infak lebih cenderung diartikan nafkah, di mana diri dan keluarga merupakan

sasaran utamanya, baru ke golongan lainnya. Lihat, misalnya, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Min-Qad}a>ya al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 71-73; lihat juga A. Shaukat

J. Gilani, ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3: 1(1985), 64.

28 Cf. Barbara Ibrahim, Trends in Arab Philanthropy, 12. 29 Lihat, misalnya, Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 356. Untuk selanjutnya, s}adaqat al-

tat}awwu‘ dalam bab ini digunakan istilah shadaqah saja. 30 Abu> Bakr ibn ‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 1972), 1: 20-21. 31 Rachmat Djatnika, ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ dalam Berderma untuk

Semua, 31. 32 Lihat al-Jurja>ni>, Kita>b al-Ta‘ri>fa>t (Beirut: Maktabat Lubna>n, 1985), 40. 33 M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947), 1: 130. 34 Rachmat Djatnika, ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ 32.

Page 34: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

24

Islam, Negara, dan Filantropi

ددر يثبر صدهر كم ف صثخم صدع أدصس ددر كثم هللا صديم ف أيتنى يفم تنزي يثم

(.372: تندمشذ) عهيى تصع هللا يشثء ن يعثعف هللا

إني يدصط يمدط هللا كثيشذ أظعثفث ن فيعثعف دضث شظثل هللا يمشض تنز رت ي

(.356: تندمشذ) ششجع

Sementara itu, sejumlah hadis menekankan pentingnya shadaqah secara lebih

terperinci, baik dari segi situasi pemberi dan penerima, tempat dan waktu

pemberian dan lain sebagainya.35

Misalnya, ketika ditanya kapan sebaiknya

bersedekah, Nabi menjawab: ‚Shadaqah yang kamu berikan di saat kamu sehat, di

saat kamu enggan melakukannya dan di saat kamu takut akan miskin dan

mengharapkan kekayaan.‛ Juga ditegaskan bahwa nilai sedekah orang yang

memiliki kekayaan sedikit (juhd al-muqill) jauh lebih mulia ketimbang orang yang

kaya, meskipun yang diberikan oleh yang kedua lebih besar ketimbang yang

pertama. Dari segi waktu, shadaqah yang paling baik dilakukan adalah pada Bulan

Ramadhan.36

Di atas segalanya, Nabi mengemukakan bahwa setiap kebaikan

adalah shadaqah, yang meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti memberi nafkah

kepada keluarga, menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan, dan

bahkan senyum kepada sesama.

Dalam hal ini, Nabi sendiri menjadi model dalam memberikan shadaqah. Ia

dikenal sangat dermawan dalam memberikan sedekah, tetapi tidak mau

menerimanya kecuali dalam bentuk hadiah. Diriwayatkan oleh Anas ibn Ma>lik

bahwa Abu> T{alh}ah, salah seorang Ans}ar terkaya di Madinah, hendak

menyedekahkan sumur, yang darinya Nabi biasa mengambil air untuk minum.

Namun, Nabi menyarankan T{alh}ah agar mempertahankan sumur tersebut sebagai

milik keluarganya.37

Sikap dermawan ini diikuti oleh para isterinya, seperti

Zaynab bint Jah}s}, yang dikenal sebagai orang yang suka memberi sedekah.

Sementara itu, Zaynab bint Khuzaymat al-Hila>liyyah disebut sebagai umm al-masa>ki>n, yakni ibu bagi orang-orang miskin. ‘A<isyah sendiri diriwayatkan selalu

mengembalikan hadiah yang diberikan oleh mereka yang pernah dibantunya, yang

mengisyaratkan keikhlasannya dalam bersedekah.38

Di antara para sahabat awal,

‘Umar dikenal sangat dermawan karena telah mendermakan setengah dari seluruh

kekayaannya setelah Nabi menganjurkan bersedekah. Sikap ‘Umar ini hanya

terlampaui oleh Abu> Bakr, yang menyedekahkan seluruh kekayaannya. Semua itu

menunjukkan bahwa shadaqah bukanlah semata-mata sebuah konsep, tetapi

memiliki preseden praktisnya, baik dalam pribadi Nabi, keluarga, maupun para

sahabatnya.39

35 Untuk hadis-hadis tentang keutamaan shadaqah, lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>

wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1992), 2: 915-17; T.H. Weir, ‚S }adaka,‛ The Encyclopaedia ofIslam (Leiden: E.J. Brill, 1997), 8: 710; lihat juga Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 26: 342-34.

36 Hadis berikut ini diriwayatkan oleh al-Turmudhi> dikutip dalam Wuza>rat al-Awqa>f wa al-

Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 26: 342:

.سيعث ف صذلر: لثل أفعم؟ تنصذلر أ صهى عهي هللا صه هللا سصل صةم37 T.H. Weir, ‚S}adaka,‛ First Encyclopaedia ofIslam (Leiden: E.J. Brill, 1987), 7: 710. 38 T.H. Weir, ‚S{adaka,‛ 711. 39 Tentang s}adaqah para sahabat Nabi, lihat Muh}ammad H{a>mid Muh}ammad, Qis}as} al-

Mutas}addiqi>n: Fad}l al-S{adaqah, A<<da>buha> wa-Ah}ka>muha> (Iskandariyyah: Da>r al-I<ma>n, 2000).

Page 35: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

25

Bab II

Yang demikian itu karena shadaqah memiliki fungsi yang sangat penting

bagi pemberi dan penerima. Di antara fungsi tersebut adalah untuk menangkal

dosa di dunia ini dan hukuman di akhirat. Di sinilah letak arti penting Hadis Nabi

yang menganjurkan agar setiap Muslim memberikan shadaqah setiap hari sejak

matahari terbit.40

Dengan memberikan shadaqah setiap hari, Muslim berharap

dapat terhindar dari dosa sepanjang hidupnya.

Pada saat yang sama, shadaqah juga dapat menghapus dosa, sehingga setiap

Muslim dianjurkan segera bersedekah setelah ia melakukan dosa untuk menyertai

taubatnya. Bahkan shadaqah diyakini dapat menjadi sarana untuk menyembuhkan

penyakit, mengingat Nabi menegaskan, ‚Obatilah penyakitmu dengan shadaqah.‛

Di samping itu, shadaqah diyakini dapat berfungsi untuk mendatangkan rizki. Hal

ini dapat dimengerti mengingat banyak ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa

Tuhan akan melipatgandakan harta yang telah disedekahkan dan pahala yang

diperoleh darinya. Fungsi shadaqah yang tidak kalah penting adalah untuk

memperbaiki penyakit moral, seperti bakhil dan kikir, sombong dan lain

sebagainya.

Agar fungsi-fungsi tersebut dapat diraih, shadaqah dianjurkan untuk

dilakukan berdasarkan kriteria tertentu. Al-Ghaza>li>, misalnya, mengemukakan

bahwa shadaqah tidak boleh dibarengi dengan menyakiti penerima, sebab hal itu

akan menghilangkan pahala perbuatan tersebut. Lebih jauh ia menegaskan bahwa

orang yang bersedekah, betapa pun besarnya, hendaknya selalu merasa baru

sedikit bersedekah. Ini untuk menghindari rasa sombong dan keangkuhan diri,

yang juga dapat menghapus pahalanya. Dalam memberikan shadaqah, pemberi

hendaknya memilih yang terbaik di antara yang dimiliki dan dicintainya.41

Berbeda dengan zakat, yang penerimanya telah ditetapkan dalam Al-Quran

dan Hadis, sasaran pemberian shadaqah sangat luas, termasuk di dalamnya

keluarga dan tetangga yang memerlukan. Selain itu, masjid atau lembaga lain,

seperti lembaga pendidikan,42

juga boleh diberi shadaqah, yang dapat diwakili

oleh pengurus atau bahkan pemberi sedekah itu sendiri. Ternyata, shadaqah tidak

terbatas bagi Muslim, ia dapat diberikan kepada non-Muslim, seperti orang

Yahudi dan Nasrani (ahl al-kita>b), dan bahkan kepada mereka yang

dikategorisasikan sebagai musuh Islam (h}arbi>).43

Uraian di atas menunjukkan bahwa shadaqah merupakan bentuk

kedermawanan Islam yang sangat luas. Ia memiliki dimensi sosial dan keagamaan,

yang tidak hanya terbatas bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat manusia secara

umum. Karena itu, ia menjadi salah satu aspek filantropi Islam yang potensial

bagi kesejahteraan secara umum.

2. Zakat

Berbeda dengan shadaqah yang bersifat sukarela, zakat dikenal sebagai

rukun ketiga dari lima rukun Islam (arka>n al-Isla>m), setelah syahadat dan shalat.

Bahkan perintah zakat sendiri sering dikaitkan dengan perintah shalat dalam satu

40 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 358. 41 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 1: 131-6. 42 Al-Ghaza>li> menilai bahwa lembaga pendidikan berhak menerima s}adaqah karena ia dapat

memelihara ilmu, termasuk di dalamnya mereka yang bergelut dengan ilmu. Sebab, tidak ada derajat

yang lebih mulia ketimbang derajat ulama. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 1: 139. 43 T.H. Weir, ‚S{adaka,‛ 713.

Page 36: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

26

Islam, Negara, dan Filantropi

nafas. Akan tetapi, seperti shadaqah, zakat dipandang oleh sebagian sarjana

sebagai transliterasi dari istilah asing yang berasal dari agama-agama sebelum

Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Joseph Schacht, misalnya, berpendapat

bahwa kata zakat dipinjam dari kata Ibrani zaku>t,44 sementara Richard Bell

menduga bahwa zakat berasal dari bahasa Suryani yang digunakan oleh orang-

orang Kristen, dan karenanya bersumber dari agama ini.45

Pandangan berbeda dikemukakan sarjana Muslim, yang melihat zakat

sebagai istilah asli Islam dan tidak terkait dengan sumber-sumber Yahudi dan

Nasrani. Yu>suf al-Qarad}a>wi>, misalnya, membantah klaim Schacht di atas dengan

mengatakan bahwa Nabi baru berhubungan dengan orang Yahudi dan Nasrani di

Madinah, dan karenanya tidak mengenal bahasa Yahudi atau Suryani sebelumnya.

Padahal ayat-ayat Makkiyyah telah berkali-kali menyinggung persoalan zakat.

Lebih jauh, tegasnya, adanya persamaan istilah dan makna dalam dua bahasa tidak

harus berarti bahwa yang satu diambil dari yang lain, kecuali memang ada bukti

historis dan ilmiah yang mendukungnya. Karena itu, pandangan Schacht

mengenai asal muasal istilah zakat di atas tidak berdasar dan tidak memenuhi

kriteria ilmiah.46

Terlepas dari masalah peminjaman kata tersebut, zakat tampaknya telah

menjadi tradisi keagamaan Yahudi dan Nasrani sebelum Islam, setidak-tidaknya

jika konteks beberapa ayat Al-Quran yang memerintahkan zakat diperhatikan. QS

al-Baqarah (2): 43, 83 dan 110 berikut ini menunjukkan hal itu.

(.54أليت تنصالذ ءتشت نزكثذ تسكعت يع تنشتكعي )

(.34... أليت تنصالذ ءتشت تنزكثذ ثى شنيصى إال لهيال يكى أصى يعشظ )

(.221ذ ءتشتنزكثذ يث شمذيت ألفضكى شجذ عذ هللا إ هللا خث شعه خصيش )أليت تنصال

Akan tetapi, konteks ketiga ayat tentang perintah pembayaran zakat ini ditujukan

kepada Bani Israil atau ahl al-kita>b. Dengan demikian, Al-Quran sendiri mengakui

adanya praktik zakat yang dilakukan oleh para pengikut Yahudi dan Nasrani,

seolah-olah praktik tersebut bersifat universal bagi ketiga agama Ibrahimi ini.47

Zakat sendiri memiliki makna yang dinamis, dari sekadar ‚pertumbuhan dan

peningkatan‛ hingga ‚penyucian.‛48

Menurut Bashear, ada dua kata yang

digunakan untuk menunjuk zakat: zaka>’ dan zaka>h. Jika yang pertama digunakan,

ia menunjuk pada pertumbuhan dan peningkatan, namun jika yang kedua yang

digunakan, ia berarti penyucian. Dari kedua pengertian inilah kemudian makna

zakat dikembangkan menjadi pertumbuhan dan penyucian.49

Ini terlihat, antara

lain, dalam definisi al-Sarakhsi>, yang menggabungkan kedua makna itu, seraya

merujuk pada QS al-Tawbah (9): 103. Menurutnya, disebut zakat karena ia

‚menyucikan pembayarnya dari dosa-dosa‛ ( تآلثثو ع صثددث شطش ألث ).50

44 Joseph Schacht, ‚Zakat,‛ First Encyclopedia of Islam, 4: 1202. 45 Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment (London: 1973), 79. 46 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 39-40. 47 Cf. Abu> Bakr ibn ‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qura>n, 1: 20-21. 48 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam,‛

Arabica, 40 (1993): 84-113. 49 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development,‛ 86-87; cf. Hans Wehr, A Dictionary of

Modern Written Arabic: Arabic-English, ed. J. Milton Cowan (Beirut: Maktabat Lubna>n, 1974), 379. 50 Al-Sarakhsi>, Kita>b al-Mabsut} (Kairo: Mat}ba‘at al-Sa‘a>dah, 1913), 2: 149.

Page 37: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

27

Bab II

Dengan demikian, zakat memiliki dimensi ganda: sebagai tindakan ibadah

yang bertujuan untuk menyucikan pembayarnya, dan sebagai tindakan sosial

untuk meningkatkan penghasilan penerimanya. Dalam ungkapan A. Zysow,

hukum zakat dapat disebut sebagai hibrida antara unsur ibadah dan peningkatan

penghasilan.51

Tidak heran jika kemudian pembahasan tentang zakat sering

ditemukan dalam fikih ibadah, tetapi tidak jarang pula menjadi perhatian fikih

politik ekonomi (fiqh al-siya>sah al-ma>liyyah), bersandingan dengan keuangan

publik atau sumber-sumber pemasukan negara lainnya.52

Zakat tidak dikenakan kepada seluruh harta benda seseorang, tetapi hanya

harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, harta tersebut

dimiliki secara nyata. Kedua, kepemilikannya atas harta tersebut bersifat mutlak,

dalam arti benar-benar dalam kewenangannya. Ketiga, harta tersebut harus

mengalami pertumbuhan. Keempat, harta tersebut melebihi dari kebutuhan dasar

seseorang. Kelima, yang wajib dizakati telah mencapai setahun (h}awl) di tangan

pemiliknya, kecuali tanaman dan harta temuan (rika>z), yang waktu

pembayarannya harus dilakukan saat panen atau ditemukan. Keenam, harta

tersebut telah mencapai jumlah minimal harta yang harus dizakati (nis}a>b), di

samping besaran zakat yang harus dikeluarkannya (miqda>r) darinya.53

Lebih jauh,

cara memperoleh harta pun dipertimbangkan bagi penentuan besaran zakat.

Misalnya, zakat tanaman yang difasilitasi oleh irigasi akan lebih rendah

dibandingkan dengan zakat tanaman yang hanya mengandalkan air hujan.

Tentang kapan zakat mulai diwajibkan, terjadi perbedaan pendapat di

kalangan ulama. Sebagian beranggapan bahwa zakat fitrah mulai diwajibkan pada

tahun ke-2 Hijrah di Madinah, sementara zakat ma>l (harta) diwajibkan pada tahun

ke-9 Hijrah,54

bersamaan dengan turunnya QS al-Tawbah (9): 103 dan sebagainya,

sedangkan lainnya berpandangan bahwa zakat diwajibkan sejak sebelum hijrah,

mengingat ayat-ayat Makkiyyah, seperti QS al-Ru>m: 38-39 dan 1-3, Luqma>n: 4

dan sebagainya, telah memerintahkannya. Terhadap perbedaan ini, al-Qarad}a>wi>

menilai bahwa zakat yang diwajibkan di Mekah bersifat mutlak (zaka>h mut}laqah),

dalam arti belum ditentukan jumlah harta yang harus dizakati (nis}a>b) dan takaran

zakatnya (miqda>r), serta mereka yang berhak menerimanya. Dengan kata lain,

zakat di sini banyak bersandar pada keimanan seseorang dan, karenanya, lebih

bersifat moral ketimbang hukum. Ini berbeda dengan zakat yang diwajibkan di

Madinah, yang ketentuannya telah ditetapkan secara terperinci dan berbentuk

hukum. Dengan demikian, zakat yang diwajibkan di Madinah pada dasarnya

memperkuat kewajiban zakat di Mekkah dan memperjelas hukumnya.55

Kenyataan ini didukung oleh sejumlah hadis yang memberikan rincian aturan

tentang zakat.56

51 A. Zysow, ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 2001), 11: 407. 52 Lihat, misalnya, al-Ma>wardi>, Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), 113-

125. Sesuai dengan judulnya, buku ini lebih dikenal sebagai buku tentang pemerintahan, tetapi dibahas

juga di dalamnya masalah zakat. Cf. S.A. Siddiqi, Public Finance in Islam (Delhi: Adam Publishers and

Distributors, 1992), bab 2. 53 Al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 33: 236. 54 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2004), 39. 55 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h, 1: 58-62. 56 Tentang hadis-hadis yang membicarakan ketentuan-ketentuan ini, lihat, misalnya, Sayyid

Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: bab zakat.

Page 38: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

28

Islam, Negara, dan Filantropi

Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Richard Bell melihat bahwa perintah zakat

dalam ayat-ayat Makkiyah sama sekali tidak dalam pengertian wajib, tetapi

bersifat sukarela. Ia menegaskan bahwa zakat dalam ayat-ayat ini ‚only in the

sense of alms and voluntary giving to the poor, as much for purification of the

giver’s soul as for relief of the needy.‛57

Ini berarti kata zakat dalam ayat-ayat

Makkiyyah tampaknya hanyalah sedekah yang dilakukan secara sukarela.

Konsekuensinya, zakat dapat dipastikan diwajibkan setelah Nabi hijrah ke

Madinah. Meskipun demikian, sebenarnya pandangan Bell ini tidak berlawanan

dengan pendapat al-Qarad}a>wi>, mengingat yang terakhir ini juga menganggap

zakat dalam ayat-ayat Makkiyyah masih bersifat moral. Sebab, pada tatanan

moral, seseorang yang tidak melaksanakannya tidak memiliki akibat hukum yang

menimpanya.

Agar ketentuan-ketentuan zakat dapat terlaksana dengan baik di Madinah,

Nabi dikatakan telah menunjuk sejumlah orang dari kalangan sahabat yang

bertindak sebagai pengumpul zakat, yang terkemuka di antaranya adalah ‘Umar

ibn al-Khat}t}a>b dan ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib.58

Nabi juga mengirim sejumlah utusan,

seperti Mu‘a>dh, yang di samping bertugas mengajarkan Islam, juga

mengumpulkan zakat dari kalangan orang-orang kaya dalam masyarakat. Ini

menunjukkan bahwa zakat menduduki posisi yang penting dan memeroleh

perhatian yang serius dari negara. Dalam ungkapan lain, zakat sebagai suatu

bentuk ibadah tidak dapat dipisahkan dari tugas negara.

Kenyataan ini terlihat jelas pada pemerintahan Abu> Bakr, yang

menggantikan kepemimpinan Nabi setelah wafat. Sebagian suku Arab menolak

membayar zakat dengan alasan bahwa zakat merupakan penebusan dosa melalui

doa Nabi, sebagaimana diisyaratkan oleh QS al-Tawbah (9): 103. Karena itu,

dengan wafatnya Nabi, tak seorang pun dapat menggantikan posisi Nabi yang

mampu mendoakan mereka agar terampuni dari dosa-dosa mereka. Akibatnya,

kewajiban membayar zakat kepada pengganti Nabi menjadi tidak berlaku lagi.59

Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan golongan orang-orang yang

murtad (murtaddi>n), yang kemudian diperangi oleh Abu> Bakr dan tentaranya.

Di kalangan sahabat sendiri terdapat perbedaan pendapat seputar apakah

mereka yang menolak membayar zakat itu dapat disebut murtaddi>n atau tidak.

‘Umar sendiri menolak menyebut mereka sebagai murtaddi>n dengan argumen

bahwa mereka telah mengakui syahadat dan melaksanakan shalat. Sementara itu,

Abu> Bakr menilai bahwa kedua kewajiban itu tidak dapat dipisahkan satu dari

lainnya. Dalam hal ini, ‘Abdullah-i Ahmed An-Na‘im menilai bahwa ‘Umar

akhirnya menerima pandangan Abu> Bakr karena ketaatan terhadapnya sebagai

pemimpin yang kebijakannya harus ia hormati, bukan karena alasan keagamaan.60

Peperangan terhadap kaum murtad (h}uru>b al-riddah) ini mendorong sebagian

sarjana berspekulasi bahwa motif peperangan itu lebih cenderung bersifat sosio-

ekonomis ketimbang keagamaan.61

57 Richard Bell, Introduction to the Quran (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1953), 166. 58 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 408. 59 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development,‛ 101. 60 ‘Abdullah-i Ahmad An-Na‘im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan

Syariah (Bandung: Mizan, 2007), 95-97. 61 Lihat, misalnya, C. Brockelmann, History of Islamic Peoples (Albany, NY: SUNY Press,

1947), 45-46.

Page 39: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

29

Bab II

Tanpa harus mendiskusikan lebih detil tentang alasan peperangan tersebut,

sistem pengumpulan zakat terus mengalami perkembangan, terutama pada masa

pemerintahan ‘Umar. Dialah yang membentuk lembaga pengumpul zakat

(semacam BAZ) yang ditempatkan di jalan-jalan dan pelabuhan untuk menarik

zakat dari pedagang Muslim sebesar 2,5%, sementara dari non-Muslim sebesar

10% (‘ushr). Di samping itu, ‘Umar jugalah yang berpandangan bahwa negara

Islam sudah kuat dan aman dan, karenanya, tidak lagi membutuhkan jasa orang-

orang muallaf, sehingga yang terakhir ini tidak lagi berhak mendapatkan bagian

dari zakat. Bahkan kepada ‘Umar pula berdirinya Baitul Mal sering dinisbatkan.62

Akan tetapi, perubahan penting dalam kebijakan tentang pengumpulan zakat ini

terjadi pada masa ‘Uthma>n yang, antara lain, memerintahkan para petugas untuk

menarik hanya zakat atas harta yang terlihat, seperti ternak dan pertanian, tanpa

menuntut zakat dari harta yang tidak terlihat, seperti emas, perak, dan barang

dagangan.63

Ini tidak berarti bahwa benda-benda tersebut tidak wajib dizakati

ketika telah mencapai nis}a>b, sebaliknya yang ‘Uthma>n tekankan adalah

memberikan keleluasaan agar para pemilik menghitung sendiri zakat atas benda-

benda tersebut dan menyerahkannya baik ke Baitul Mal atau kepada mustahik

secara langsung, atau menyerahkan sebagian kepada yang kedua dan sebagian

lainnya kepada yang pertama. Kebijakan ini diambil karena para petugas

pengumpul zakat sering mempermalukan para pembayar zakat, sehingga tidak

jarang menimbulkan kerisauan di kelompok yang disebut terakhir ini.64

Kebijakan khalifah yang ketiga ini terus berlangsung pada masa Umayyah

dan pengumpulan zakat juga mengalami peningkatan. Namun, pada saat yang

sama, kecurigaan atau ketidakpercayaan terhadap lembaga zakat yang dikelola

oleh negara juga muncul, sehingga diragukan apakah membayar zakat kepada

pejabat resmi negara masih tepat dilakukan. Kondisi ini tampaknya berlangsung

cukup lama, mengingat baru pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z sistem

pengumpulan zakat ditata kembali seperti semula bersamaan dengan reformasi

sistem keuangan negara. Ia menunjuk petugas pengumpul zakat tidak hanya atas

benda-benda yang tampak, tetapi juga terhadap yang tidak tampak. Bahkan,

setiap gubernur ditunjuk sebagai penanggung jawab atas pengumpulan zakat di

wilayahnya.65

Akan tetapi, baru pada pemerintahan Hisha>m, sebuah lembaga

pemerintah yang khusus menangani zakat didirikan dengan nama di>wa>n al-s}adaqah, yang mengumpulkan sekaligus mendistribusikan zakat.

66

Pada masa ‘Abbasiyyah, pengelolaan zakat tampaknya tidak efisien,

sehingga Ha>ru>n al-Rashi>d meminta Abu> Yu>suf agar menulis saran-saran bagi

perbaikan aktivitas tersebut, sebagaimana tercermin dalam Kita>b al-Khara>j. Dikemukakan bahwa pengumpulan zakat dilakukan oleh para pengumpul pajak,

tanpa memisahkannya. Sementara itu, zakat atas barang dagangan yang

dikumpulkan oleh petugas zakat dikelola secara terpisah dari zakat atas benda-

benda lainnya. Bahkan, terjadi juga penggunaan dana zakat bagi tujuan-tujuan

62 N.J. Coulson, ‚Bayt al-Ma>l: Legal Doctrine,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 1986),

1: 1141; lihat juga Bernard Lewis, ‚Bayt al-Ma>l: History,‛ 1143. 63 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 409. 64 Ataina Hudayati dan Achmad Tohirin, “Management of Zakah: Centeralised vs Decentralised

Approach,” Proceedings of 7th International Conference on “The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy” (Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2010), 365.

65 Lihat S.A. Siddiqi, Public Finance in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1968), 194. 66 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 409.

Page 40: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

30

Islam, Negara, dan Filantropi

selain delapan golongan yang, dalam pandangan Abu> Yu>suf, berlawanan dengan

tujuan utama zakat.67

Ini menunjukkan kekacaun sistem pengelolaan zakat

tersebut. Akan tetapi, bagaimana pengeloaan zakat secara sistematis setelah

terbitnya karya di atas, hal itu tidak banyak dibicarakan.68

Meskipun demikian, dapat diduga bahwa pengelolaan zakat oleh negara

setelah Abbasiyah mengalami kemunduran. Ini ditunjukkan pada masa

Fatimiyyah, di mana kaum Muslim cenderung membayarkan zakat mereka

langsung kepada fakir-miskin, meskipun para ulama membolehkan mereka

membayarkannya kepada negara.69

Pada masa modern, diskusi tentang zakat tidak lagi menjadi monopoli ulama

(fuqaha>’), tetapi juga menjadi perhatian para ahli ekonomi, mengingat potensi

zakat yang sangat besar bagi umat maupun negara. Karena itu, beberapa negara

melibatkan diri dalam pengumpulan dan pendistribusiannya, bahkan

mengeluarkan undang-undang khusus yang mengaturnya, di antaranya, Saudi

Arabia, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan dan Sudan.70

Di Saudi Arabia, pengumpulan zakat ditetapkan melalui Keputusan Raja No.

17/2/28/8634 yang tertanggal 7 April 1951, yang menetapkan zakat baik pada

individu maupun perusahaan nasional Saudi. Pengelolanya adalah Departemen

Zakat dan Pajak Penghasilan yang berada di bawah Kementerian Keuangan dan

Ekonomi. Sementara itu, Undang-undang Nomor 89 tentang Zakat di Libya baru

ditetapkan 1971. Berdasarkan undang-undang ini, kekayaan yang harus dizakati

tidak saja yang secara tradisional telah ditetapkan, tetapi juga meliputi uang

kertas dan saham perusahaan. Di Yaman sendiri, pengumpulan zakat dilaksanakan

berdasarkan undang-undang yang ditetapkan pada 1975, yang implementasinya

ditugaskan kepada Departemen Kewajiban (mas}lah}at al-wa>jiba>t) di bawah

Kementerian Keuangan. Adapun di Malaysia, pengumpulan zakat dilakukan di

masing-masing negeri atau kerajaan di bawah Majelis Urusan Agama. Di

Pakistan, pelaksanaan zakat berdasarkan undang-undang dimulai pada masa

Jenderal Zia al-Haq bersamaan dengan ditetapkannya Zakat and ‘Ushr Ordinance pada 1980, sebagai upaya islamisasi yang digalakkan di negeri itu. Di sini, zakat

dikelola oleh Zakat Funds, yang terdiri dari tiga tingkatan. Central Zakat Fund

menerima zakat dari rekening dan pendapatan yang dipotong langsung, sementara

Local Zakat Funds yang jumlahnya cukup banyak menerima ‘ushr. Seperti di

Pakistan, Undang-undang Zakat dan Pajak merupakan bagian islamisasi yang

dicanangkan oleh Numayri pada 1984. Setelah mengalami beberapa perubahan,

Undang-undang Zakat 1990 menetapkan zakat tidak hanya pada kelompok

kekayaan yang secara tradisional harus dizakati, tetapi juga pada gaji para

pegawai dan professional, di samping pada peternakan ayam dan perikanan.71

Berbeda dengan shadaqah, yang pendistribusiannya sangat luas, penerima

zakat telah ditetapkan oleh Al-Quran, yaitu delapan golongan (al-as}na>f al-thama>niyah).

72 Akan tetapi, ruang untuk mendefinisikan siapa mereka ini tetap

67 Abu> Yu>suf Ya‘qu>b, Kita>b al-Khara>j (Beirut: Da>r al-T{iba>‘ah wa al-Nashr, 1979), 3. 68 Abu> Yu>suf Ya‘qu>b, Kita>b al-Khara>j, 80. 69 Lihat A. Zysow, “Zakat,” 409 70 Bandingkan A. Zysow, “Zakat,” 409. 71 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419-20. Yang tidak disebutkan Zysow di sini adalah Indonesia, yang

pembahasannya akan diuraikan dalam bab berikutnya. 72 QS al-Tawbah (9): 60.

Page 41: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

31

Bab II

terbuka, dan bahkan bisa ditafsirkan ke pelbagai golongan. M. Rashi>d Rid}a>,

misalnya, menafsirkan budak dalam QS al-Tawbah (9): 60 tidak sebagai individu,

tetapi dalam arti masyarakat yang diperbudak oleh kolonialisme. Sementara itu, fi> sabi>lilla>h dalam ayat itu diartikan bukan sebagai jihad dengan senjata, namun

jihad melalui argumen dan persuasi.73

Dengan kata lain, golongan yang berhak

menerima zakat sesungguhnya dapat berubah sesuai dengan keadaan dan kondisi

yang dihadapi oleh masyarakat Muslim.

Upaya untuk menafsirkan ayat tersebut secara dinamis juga dilakukan oleh

tokoh neomodernis Islam, Fazlur Rahman. Menurutnya, prinsip di balik

pembagian kepada delapan golongan itu adalah keadilan dan kesejahteraan sosial

dalam pengertian yang luas. Akan tetapi, kaum Muslim memahami fungsi zakat

secara picik, sehingga ia kehilangan makna yang sesungguhnya. Ia menegaskan

bahwa zakat dapat digunakan untuk seluruh aktivitas yang juga menjadi

kewajiban negara, seperti pendidikan dan kesehatan, gaji para pegawai

administratif, dakwah atau diplomasi, pertahanan, komunikasi dan sebagainya.74

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan salah satu

bentuk filantropi Islam, yang tujuan utamanya adalah keadilan dan kesejahteraan

sosial, yang dijiwai oleh semangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Di sini

muncul pertanyaan, ‚Mengapa zakat yang bersifat wajib disebut filantropi, yang

pada dasarnya merupakan kedermawanan yang bersifat sukarela?‛ Dalam

pandangan Dawam Rahardjo, zakat sebenarnya adalah penyucian diri yang

bersifat individual. Memang, ia merupakan kewajiban, tetapi sifatnya individual,

yang bila seseorang tidak melaksanakannya, ia tidak mendapat pahala dari Tuhan

atau tidak mendapat balasan kasih sayang-Nya.75

Tentu, ini memunculkan

persoalan mengingat wajib dalam hukum Islam bukan sekadar berimplikasi pahala

bagi yang melaksanakannya, tetapi juga mendatangkan hukuman bagi yang

meninggalkannya. Ini jika didasarkan pada definisi wajib, yaitu ‚perbuatan yang

jika dikerjakan memeroleh pahala dan jika ditinggalkan memeroleh hukuman‛

(yutha>bu fi‘luh wa-yu‘a>qbu ta>rikuh).76

Terhadap definisi ini, dan definisi lain yang mengandung kata hukuman, al-

Ghaza>li menentangnya dengan argumen sebagai berikut. Pertama, wajib kadang-

kadang dimaafkan dari hukuman jika ditinggalkan, meskipun hal itu tidak

menghilangkan posisi wajib. Yang demikian itu karena wajib harus dilaksanakan

secara sempurna (na>jiz), sementara hukumannya masih menunggu (muntaz}ar). Maksudnya, kewajiban harus dilaksanakan secara sempurna, yang jika tidak

dilaksanakan, hukumannya pun direalisasikan saat itu juga. Kedua, kalau wajib

diancam dengan hukuman, maka realisasinya harus dilaksanakan karena janji

Tuhan pasti benar. Namun, hukuman itu kadang-kadang dimaafkan dan tidak

direalisasikan. Al-Ghaza>li> sendiri mendefinisikan wajib, mengutip Qa>d}i> Abu> Bakr,

sebagai ‚sesuatu yang membuat orang yang meninggalkannya dicela dan dicaci

secara syar‘i dengan cara tertentu‛ (huwa al-ladhi> ma> yudhammu ta>rikuhu wa-

73 M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, 10: 587. 74 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), 60-61. 75 M. Dawam Rahardjo, “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan

Epistemologis,” dalam Berderma untuk Semua, xxxvii-xxxviii. 76 Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, 2 jilid (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986), 1: 46.

Page 42: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

32

Islam, Negara, dan Filantropi

yula<mu shar‘an bi-wajhin ma>).77

Lebih jauh, zakat tergolong ke dalam ibadah

mahdah. Yaitu, ibadah yang bertujuan untuk ‚membangun hubungan manusia

dengan Tuhannya‛ (tanz}i>m ‘ala>qat al-insa>n bi-rabbihi).78 Adapun tujuan

disyariatkannya ibadah itu sendiri adalah penyucian jiwa (tat}hi>r al-nafs wa-tazkiyatuha>) dan menjauhkannya dari tindakan-tindakan tercela.

79 Di sini terlihat

bahwa wajib dalam hukum Islam bersifat etis, yang pelaksanaannya bergantung

pada moralitas seseorang. Dengan begitu, membayar zakat pada dasarnya adalah

wajib etis dan karenanya dapat disebut sebagai filantropi, yang juga didasarkan

pada moralitas.

Meskipun penerimanya telah ditetapkan, fungsi zakat sesungguhnya sangat

luas, termasuk sarana-sarana yang dapat mengantarkan pada tujuan tersebut.

Lebih jauh, dalam pengelolaannya, keterlibatan negara selalu ada dengan

tingkatan yang berbeda dari waktu ke waktu. Pada awalnya, negara terlibat penuh,

lama kelamaan kemudian memudar dan akhirnya kembali melibatkan diri pada

zaman modern, seperti yang terjadi di beberapa negara bangsa Muslim.

3. Wakaf

Bentuk filantropi penting lain dalam Islam adalah wakaf (waqf), masdar dari

kata kerja waqafa-yaqifu, yang berarti ‚melindungi atau menahan.‛ Sinonim

wakaf meliputi tah}bi>s, tasbi>l atau tah}ri>m, meskipun ketiga istilah yang terakhir ini

kalah populer dibandingkan dengan yang pertama.80

Seperti zakat, wakaf juga

masuk ke dalam kategori shadaqah. Akan tetapi, untuk membedakan dari bentuk-

bentuk shadaqah lainnya, ia biasanya disebut s}adaqah ja>riyah (s}adaqah yang terus

mengalir pahalanya).

Seperti shadaqah dan zakat, wakaf juga diduga oleh sebagian orientalis

berasal dari tradisi agama lain, yaitu Kristen. W. Heffening, misalnya,

berpendapat bahwa wakaf muncul setelah Nabi wafat. Argumen Heffening adalah

bahwa ketentuan-ketentuan formal wakaf baru ditetapkan oleh fuqaha>’ pada abad

ke-2 H. Di samping itu, di Arab pra-Islam tidak ditemukan praktik wakaf. Kaum

Muslim baru mengenal wakaf ketika mereka menaklukkan beberapa wilayah di

luar Arab. Di Mesir, misalnya, pada tiga abad pertama Islam, hanya terdapat

lembaga yang dikelola kaum Koptik Kristen, yang berbentuk rumah-rumah biara,

anak-anak yatim dan orang miskin, terutama di kota-kota, di samping bagi

pengembangan gereja. Karena itu, wakaf tidak lain daripada pengadopsian tradisi

Kristen ke dalam Islam.81

Adanya wakaf sebelum Islam ini juga diakui oleh Muh}ammad ‘A<bid

‘Abdulla>h al-Kabisi>, tetapi hal itu tidak harus berasal dari Kristen. Menurut al-

Kabisi, wakaf dengan mudah dapat ditemukan dalam tradisi-tradisi sebelum

Islam, mengingat setiap tradisi keagamaan mensyaratkan adanya rumah

peribadatan yang permanen. Pertanyaannya, dari mana tanah-tanah tempat

77 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min-‘Ilm al-Us}u>l, ditahkik H{amzah ibn Zuhayr H{a>fiz}, 4 jilid

(Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyyah, t.th.), 1: 211-212. 78 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuh, 1: 19. 79 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuh, 1: 23. 80 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 153; Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n

al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 108. 81 Pandangan ini dikemukakan oleh C.H. Becker dan didukung W. Heffening. Lihat Heffening,

‚Wakf,‛ 1098.

Page 43: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

33

Bab II

bangunan itu kalau bukan karena kerelaan pemiliknya untuk dibangun sebagai

rumah ibadah yang permanen, yang pada dasarnya mirip dengan wakaf. Lebih

jauh, al-Kabisi menolak anggapan bahwa masyarakat Arab Mekah sebelum Islam

tidak mengenal wakaf. Menurutnya, wakaf telah mereka kenal, hanya saja tujuan

wakaf yang mereka praktikkan berbeda dengan tujuan wakaf yang dianjurkan

Islam. Mereka mewakafkan sesuatu demi kebanggaan, sementara Islam

menganjurkan wakaf sebagai upaya memeroleh ridha Tuhan.82

Seperti ditunjukkan

al-Kabisi, praktik yang menyerupai wakaf ini juga ditemukan dalam masyarakat

di luar Mekah sebelum Islam, seperti di Irak dan Mesir kuno, Romawi dan lain

sebagainya.83

Terhadap dugaan bahwa wakaf berasal dari tradisi Kristen, Cl. Cohen

menegaskan bahwa pada masa awal Islam, wakaf cenderung ditujukan kepada

kerabat dan keturunan daripada kepada institusi. Dengan kata lain, wakaf sebagai

lembaga publik memang kurang populer di Arab pada masa Islam awal. Di

samping itu, wakaf juga telah banyak tersebar di daerah pedesaan pada masa Islam

awal dan karenanya praktik ini tidak semata-mata pengadopsian dari tradisi

asing.84

Sebenarnya, semangat wakaf sudah ada dalam Islam, seperti ditunjukkan

dalam hadis di bawah ini, meskipun tidak mustahil bahwa wakaf dalam bentuk

institusi dengan segala administrasinya mengadopsi dari tradisi lain. Ini bisa

terjadi seperti dalam masalah perpajakan, di mana beberapa tradisi asing yang

baru dikenal kaum Muslim kemudian diadopsinya.

Berbeda dengan shadaqah dan zakat, wakaf tidak diperintahkan (diwajibkan)

secara eksplisit dalam Al-Quran. Meskipun demikian, beberapa ayat

mengisyaratkan akan hal itu, seperti QS al-Baqarah (2): 44 dan 224 dan A<li

‘Imra>n (3): 92. Dua ayat pertama menggunakan kata birr (perbuatan baik),

sedangkan ayat terakhir menggunakan infa>q, yang keduanya merupakan padanan

dari filantropi, seperti diuraikan di atas. Lebih jauh, diyakini bahwa tidak ada

persoalan yang tidak dijelaskan oleh Al-Quran,85

meskipun secara sangat global,

yang perinciannya biasanya ditemukan dalam hadis-hadis Nabi. Hukum wakaf

termasuk ke dalam kategori ini, di mana penjelasannya secara eksplisit ditemukan

dalam hadis-hadis Nabi, sementara Al-Quran hanya mengisyaratkan saja.86

Di

antara hadis-hadis yang umum digunakan untuk menunjukkan anjuran wakaf

adalah sebagai berikut.

يثز إرت: لثل صهى عهي هللا صه هللا سصل أ ع شعثن هللا سظ شيشذ أخ ع

صثنخ نذ أ خ، يصفع عهى أ جثسير، صذلر ي إال: ثالثر ي إال عه تمطع آدو تخ

(يضهى تس) ن يذعDiriwayatkan dari Abi> Hurayrah bahwa Nabi Saw. bersabda: ‚Jika seorang

manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal:

82 Muh}ammad ‘A{bid ‘Abdulla>h al-Kabisi>, Hukum Wakaf, terj. Ahrul Sani Fathurrahman

dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada (Jakarta: IIMaN, 2004), 12-13. 83 Al-Ka>bisi>, Hukum Wakaf, 15-17; lihat Anonymous, al-Was}a>ya> wa al-Awqa>f fi al-Fiqh al-

Isla>mi> (Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi‘iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nasyr, 1996), 187; juga Muh}ammad

Abu> Zahrah, Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf (Kairo: Ma‘had al-Dira>sa>t al-‘Arabiyyah al-‘A>liyah, 1959), 7. 84 R. Peters, ‚Wakf,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill, 2000), 11: 60. 85 QS al-Nah}l (16): 38. 86 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992), 10-11.

Page 44: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

34

Islam, Negara, dan Filantropi

s}adaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan (orang lain), atau anak shaleh yang

mendoakannya‛ (H.R. Muslim).87

أسظث ع شعثن هللا سظ عش أصثج: لثل عث، شعثن هللا سظ عش تخ ع

أصدس إ! هللا سصل يث: فمثل فيث، يضصؤيش صهى عهي هللا صه تند فؤش خخيدش،

أصهث ددضس شةس إ: لثل ي، عذ أفش لط يثال أصح نى خخيدش، أسظث

ال أصهث، اليدثع أ ع، شعثن هللا سظ عش خث فصصذق: لثل خث، شصذلس

يمصد ف تنشلثج، ف تنمشخ، ف تنفمشتء، ف خث فصصذق يح، ال يسض،

خثنعشف،يطعى يث يؤكم أ نيث ي الجثح تنعيف، تنضديم، تخ هللا،

(عهي يصفك) يثال يصل غيش صذيمث،Ibn ‘Umar r.a. berkata: ‘Umar r.a. mendapatkan tanah (ghani>mah) di

Khaybar, lalu ia mendatangi Nabi Saw. untuk berkonsultasi tentangnya,

seraya berkata: ‚Wahai Rasulullah! Aku memeroleh tanah di Khaybar, yang

aku rasa belum pernah kuperoleh harta yang lebih mahal daripadanya.‛ Nabi

menjawab: ‚Kalau kamu mau, pertahankan tanahnya dan kamu sedekahkan

hasilnya.‛ Ibn ‘Umar berkata: ‘Umar lalu menyedekahkannya dalam arti

bahwa tanah itu tidak boleh dijual, diwariskan atau dihibahkan. Ia

menyedekahkannya bagi orang miskin, keluarga, para budak, fi> sabi>lilla>h

(jihad), ibn sabi>l (musafir) dan tamu. Tidak ada dosa bagi yang mengurusnya

untuk memakan dari hasilnya dengan cara yang baik, atau memberi makan

temannya, tanpa memperkaya diri melalui cara itu (H.R. Bukha>ri> dan

Muslim).88

Berdasarkan hadis ini, para fuqaha kemudian mengembangkan definisi

wakaf. Al-Sarakhsi, misalnya, mendefinisikan wakaf sebagai ‚melindungi sesuatu

dan menghalanginya agar tidak menjadi kepemilikan orang ketiga,‛89

sementara

al-Dimyati> mendefinisikannya sebagai ‚melindungi harta yang mungkin dapat

diambil manfaatnya dengan mempertahankan bendanya yang dibolehkan

memungut biaya administrasinya oleh pengelolanya.‛90

Lebih jauh, berdasarkan

hadis ini pula, mereka menetapkan lima rukun bagi sahnya sebuah tindakan

wakaf. Pertama, orang yang memberikan wakaf (al-wa>qif), yang dalam konteks

hadis di atas adalah ‘Umar. Kedua, benda yang diwakafkan (al-mawqu>f bih), yang

dalam hadis tersebut adalah tanah di Khaybar. Ketiga, manfaat dari benda yang

diwakafkan (al-mawqu>f ‘alayh), yakni buah (thamrah) dari tanaman di tanah

tersebut. Keempat, sasaran wakaf, yang dalam hadis diperuntukkan bagi orang

miskin, keluarga, budak, jihad, bagi musafir, dan tamu. Kelima, orang yang

mengurus wakaf (na>z}ir), yang dalam hadis disebut wali. Terakhir, ikrar wakaf

(s}i>ghah), yang dalam hadis tersebut tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi

87 Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m (Riya>d}: Maktabat Da>r al-

Sala>m, 1997), 274, hadis No. 917. 88 al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m, Hadis No. 918. 89 Sarakhsi>, al-Mabsu>t}, 12: 27. 90 Al-Dimyati>, I‘a>nat al-T{a>libi>n (Semarang: Mat}ba‘at T{a>ha> Putra, t.th.), 3: 157; cf. Muh}ammad

Abu> Zahrah, Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf, 7.

Page 45: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

35

Bab II

diceritakan oleh Ibn ‘Umar bahwa ‘Umar kemudian mensedekahkan tanah di

Khaybar.91

Dalam perkembangannya, praktik wakaf ini kemudian terbagi ke dalam

empat institusi. Pertama, al-h}abs fi> sabi>lilla>h, yaitu sumbangan kuda, senjata dan

budak demi jihad, atau rumah bagi peristirahatan tentara. Kedua, h}abs mawqu>f atau s}adaqah mawqu>fah, yakni sejenis wakaf bagi sejumlah orang tertentu yang

setelah mereka meninggal harta wakaf tersebut kembali kepada pemiliknya

semula atau ahli warisnya. Ketiga, s}adaqah muh}arramah, ialah wakaf yang

diperuntuhkkan bagi orang miskin, atau sekelompok kerabat dan keturunan

tertentu, yang setelah mereka meninggal dunia harta wakaf itu akan jatuh ke

tangan kelompok orang miskin. Terakhir, wakaf permanen untuk masjid atau

kepentingan umum lainnya.92

Dengan berlalunya waktu, wakaf kini dikelompokkan ke dalam dua jenis

utama: khayri> dan ahli>. Yang dimaksud dengan wakaf khayri> adalah wakaf yang

memang dimaksudkan sepenuhnya untuk tujuan-tujuan agama, seperti masjid,

madrasah, rumah sakit, jembatan, pengairan dan lain sebagainya. Adapun wakaf

ahli>, yang juga disebut waqf dhurri>, adalah wakaf yang ditujukan bagi keluarga,

seperti anak, cucu, kerabat atau orang lain. Meskipun demikian, wakaf ahli ini

tetap harus bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya melalui

orang miskin.93

Sebab, pada dasarnya, wakaf ditujukan bagi semua Muslim, dalam

arti bahwa manfaat wakaf dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh kaum Muslim,

terutama mereka yang membutuhkan. Karena itu, ia dapat berperan untuk

memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat.94

Akan tetapi, wakaf ahli ini kadang-kadang digunakan untuk tujuan yang

salah, sehingga menimbulkan persoalan. Misalnya, wakaf adakalanya digunakan

untuk menghindari pembagian kekayaan ahli waris yang berhak menerimanya,

setelah wa>qif meninggal dunia. Juga bisa terjadi bahwa wakaf digunakan untuk

menghindari tuntutan pembayaran hutang seseorang sebelum ia mewakafkan

harta bendanya. Di samping itu, wakaf tidak jarang dimanfaatkan untuk mengelak

dari penyitaan yang dilakukan oleh negara.95

Oleh karena itu, wakaf ahli di

beberapa negara Muslim sangat diperketat, bahkan malah dihapuskan, seperti

yang terjadi di Mesir, melalui Undang-undang tahun 1952.96

Dalam lintasan sejarah Islam, fungsi wakaf telah digunakan untuk pelbagai

tujuan: sebagai lembaga filantropi, agen layanan sosial dan bahkan sebagai

lembaga politik yang bertarung dengan kekuatan penguasa.97

Sebagai lembaga

91 Uraian lebih terperinci tentang hukum dan ketentuan wakaf, lihat Wuza>rat al-Awqa>f wa al-

Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 2006), 44: 112 dan

seterusnya; juga Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Tasikmalaya: IAI Latifah Mubarakiyyah,

1997). 92 R. Peters, ‚Wakf,‛ 59. 93 W. Heffening, ‚Wakf,‛ 1096; lihat juga Wahbah Zuh }ayli>, al-Was}a>ya> wa al-Waqf fi> al-Fiqh al-

Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1998), 140. 94 R. Peters, ‚Wakf,‛ 60. 95 Lihat Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam Islam

and Social Policy, ed. Stephen P. Heyneman (Nashvile: Vanderbilt University Press, 2004), 28-29;

lihat Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), 90. 96 Abu Zahrah, Muh>ad}ara>t fi> al-Waqf, 44. 97 Jennifer Bremmer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice,‛ Makalah pada CSID 5th

Annual Conference on ‚Defining and Establishing Justice in Muslim Societies,‛ Washington DC.: 28-29

Page 46: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

36

Islam, Negara, dan Filantropi

filantropi yang memberikan layanan sosial, wakaf telah memainkan peran penting

di berbagai bidang di sejumlah wilayah Dunia Islam, seperti agama dan

pendidikan, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.98

Di Mesir, misalnya, ‘Amr ibn

al-‘A<s} yang menjadi gubernur saat itu memberikan wakaf bagi pembangunan

masjid pertama di sana. Semangat untuk mendirikan lembaga-lembaga keagamaan

ini terus berlangsung hingga masa Fatimiyyah. Akan tetapi, pada masa

Ayyubiyyah, tidak sedikit dana wakaf digunakan untuk membiayai perang

melawan tentara Salib dan konsolidasi kaum Muslim Sunni.99

Sementara itu, di

Afrika Utara, wakaf tidak jarang digunakan sebagai propaganda pemerintah,

terutama pada Dinasti Marwaniyyah. Banyak lembaga keagamaan, seperti

madrasah, rumah sakit, masjid, zawiyah, perpustakaan dan sebagainya, dibangun

oleh dinasti ini. Namun, semua itu dimaksudkan untuk menyingkirkan tokoh-

tokoh Fasi dan pemimpin agama di sana.100

Di Spanyol Islam, istilah h}abs atau h}ubs lebih populer ketimbang wakaf.

Seperti di wilayah lain, tujuan wakaf di sini umumnya adalah untuk jihad di jalan

Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam hal ini, kaum aristokrat memainkan

perang penting, semisal Khalifah Hakam II, yang mendirikan yayasan untuk

mengelola pertokoan di pasar Kordoba, yang keuntungannya dimaksudkan bagi

pembiayaan masjid Kordoba dan pembayaran gaji bagi para guru Al-Quran. Di

samping itu, tidak hanya peralatan perang, seperti pedang, kuda dan lain

sebagainya, yang banyak diwakafkan, tetapi yang lebih penting adalah buku-buku

bagi para pencari ilmu, yang dapat mereka salin dan kaji. Namun, bersamaan

dengan penaklukan Kristen atas wilayah ini, kebanyakan aset wakaf ini berpindah

tangan ke gereja, yang mengklaim sebagai pewaris sahnya.101

Seperti di Spanyol, wakaf oleh penguasa dan pejabat juga umum terjadi di

Persia, baik ketika dalam kekuasaan Sunni maupun Syiah. Sebagian besar aset

wakaf biasanya dimanfaatkan untuk masjid, madrasah, khanaqah, rumah sakit,

penampungan air, air mancur dan sebagainya, sementara hasilnya digunakan

untuk mendukung ulama, perayaan keagamaan, dan memberi makan kaum miskin.

Namun, karena alasan-alasan politik dan keuangan, lembaga-lembaga wakaf

tersebut berada dalam kontrol penguasa.102

Berbeda dengan wilayah lain, wakaf di Turki masa Ottoman terbagi ke

dalam tiga macam: khayri>, ahli>/dhurri> dan mushtarak. Yang terakhir ini adalah

Mei 2004, 5. Lihat juga Siraj Sait dan Hilary Lim, Land, Law and Islam: Property and Human Rights in Muslim World (London-New York: Zed Books, 2006), 156.

98 Tentang peran-peran keagamaan dan pendidikan, ekonomi, budaya dan sosial wakaf di

beberapa negara Muslim seperti Maghrib, Aljazair, Yordania, Lebanon, Kuwait, Sudan, India dan

Malaysia, lihat Mah}mu>d Ah}mad Mahdi> (ed.), Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir: Nama>dhij Mukhta>rah min-Taja>rib al-Duwal wa al-Mujtama‘a>t al-Isla>miyyah (Jeddah: al-Bank al-Isla>mi li at-

Tanmiyah, 1423). Tentang peran sosial-ekonomi wakaf pada masa Ottoman, lihat Sazak Saduman dan

Eyuboglu Ersen Aysun, ‚The Socio-Economic Role of Waqf System in the Muslim Ottoman Cities’

Formation and Evaluation,‛ Trakia Journal of Sciences, 7:2 (2009): 272-275. 99 Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam, New Edition (Leiden:

Brill, 2000), 11: 64. 100 David S. Powers, ‚Wakf in North Africa to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition

(Leiden: Brill, 2000), 11: 70. 101 A. Carmona, ‚Wakf in Spain,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill,

2000), 11: 75-78. 102 A.K.S. Lambton, ‚Wakf in Persia,‛ The Encyclopaedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11:

81-82.

Page 47: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

37

Bab II

wakaf yang didasarkan pada alur urutan penerima. Meskipun demikian, seperti di

wilayah lain, umumnya keluarga khalifah atau sultan berperan penting dalam

pendirian lembaga-lembaga wakaf, yang tujuannya tidak hanya bersifat

keagamaan, tetapi juga politis, sosial, ekonomis dan spiritual. Karena itu, benda-

benda wakaf di Turki meliputi banyak hal yang dapat menghasilkan pendapatan,

seperti rumah, toko, gedung, pemandian, warung kopi dan sebagainya. Pendapatan

ini kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan

institusi-institusi keagamaan, seperti masjid, madrasah, pondokan sufi, tempat-

tempat pertemuan, di samping untuk menggaji para guru dan pengelolanya. Lebih

jauh, pendapatan ini juga digunakan untuk membiayai fakir miskin dan sarana

umum seperti jembatan, sistem irigasi, benteng, menara dan lain sebagainya.

Bahkan, tidak jarang sultan atau gubernur menggunakan pendapatan wakaf untuk

penataan kota. Adakalanya, wakaf digunakan untuk tujuan politis, seperti

islamisasi terhadap daerah-daerah taklukan, atau perubahan lembaga-lembaga

Kristen yang ada menjadi lembaga-lembaga Islam. Tidak heran, jika salah satu ciri

khas perwakafan di Ottoman adalah keluasan penggunaan lembaga ini, di samping

kemampuannya beradaptasi dengan kebutuhan individu, kelompok dan negara,

termasuk dengan komunitas Kristen dan Yahudi. Terlepas dari itu semua,

kekayaan wakaf di Ottoman sungguh sangat besar, mengingat 3/4 bangunan dan

lahan pertanian di wilayah ini merupakan benda wakaf, sehingga kekekalan

lembaga ini selalu terjaga, sekalipun Turki kemudian menjadi negara sekular.103

Fungsi penting institusi wakaf di atas mendorong negara untuk melibatkan

diri di dalamnya, terutama dalam hal administrasi dan pengelolaannya.

Sebenarnya, hal itu memiliki preseden pada sejarah awal Islam, ketika kaum

Muslim menaklukkan beberapa wilayah di luar Arabia. Di Mesir, misalnya, ‘Amr

ibn al-‘A<s}, yang kemudian menjadi gubernur setelah berhasil menaklukkannya,

mendirikan di>wa>n al-ah}ba>s (dewan perwakafan), yang dilanjutkan oleh Qa>d}i>

Tawbah ibn Nami>r, pada masa Umayyah. Pada masa ‘Abbasiyyah, peran para qadi

ini terus berlanjut dengan tugas mengelola pemasukan dana wakaf, di samping

mengontrol lembaga-lembaga wakaf, termasuk wakaf non-Muslim ahl al-dhimmah (non-Muslim yang hidup dalam negara Islam). Pada masa Fa>t}imiyyah,

modifikasi sistem pengelolaan wakaf terjadi, di mana dana wakaf dimasukkan ke

dalam Baitul Mal, sehingga pembiayaan benda-benda wakaf diambil dari Baitul

Mal. Karena itu, setiap tahun para pengelola wakaf harus melaporkan pendapatan

kepada lembaga tersebut. Pada abad ke-19, tepatnya 1864, didirikanlah

kementerian wakaf di Mesir yang —20 tahun kemudian, atau dua tahun setelah

datangnya kekuatan Inggris—dihapuskan oleh Khadiv Taufik dan digantikan

dengan administra\si yang otonom.104

Lebih jauh, bersamaan dengan kehadiran kolonialisme di sejumlah negara

Muslim, wakaf di beberapa wilayah Dunia Islam mengalami kemunduran,

terutama dalam pengelolaannya. Ini, antara lain, disebabkan sikap paradoks

pemerintah kolonial terhadap wakaf yang, di satu sisi, menghendaki status quo

dan, di sisi lain, memandang wakaf sebagai properti yang tidak jelas dan tidak

103 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, 11. 104 Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ 64.

Page 48: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

38

Islam, Negara, dan Filantropi

produktif. Untuk itu, mereka berusaha merekonstruksi hukum wakaf sesuai

dengan hukum publik atau hukum keluarga.105

Sejalan dengan itu, beberapa negara Muslim setelah merdeka

mengadopsinya, dengan argumen bahwa properti wakaf tidak produktif dan

lamban dalam mendukung dinamika pertumbuhan ekonomi industri.

Konsekuensinya, banyak wakaf keluarga dihapuskan, sementara wakaf publik

lainnya dinasionalisasi.106

Di samping itu, lembaga wakaf terbukti sangat

potensial untuk melawan penguasa, sehingga tekanan terhadap lembaga ini harus

dilakukan.107

Akibatnya, negara menjadi pemegang lembaga tersebut dengan

memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaan birokrasinya. Ini terlihat dengan

jelas di Iran, misalnya, pada masa Shah Reza, yang mendorong protes dari

kalangan ulama dan siswa, yang berpuncak pada Revolusi 1979.108

Meskipun demikian, kesadaran akan signifikansi wakaf telah mendorong

sejumlah negara Muslim untuk kembali terlibat. Ini dibuktikan dengan

ditetapkannya undang-undang yang mengatur masalah wakaf secara khusus,109

tidak saja di negara-negara Arab, tetapi juga di negara-negara dari wilayah

lainnya.110

Dari uraian di atas terlihat bahwa keterlibatan negara dalam pengelolaan

wakaf, seperti zakat, selalu terjadi dengan dinamika dan intentitasnya yang

berbeda dari waktu ke waktu.

C. Filantropi dan Keadilan Sosial

Dari uraian yang dikemukakan dalam sub-sub bab sebelumnya terlihat bahwa

tujuan utama filantropi Islam, baik dalam bentuk s}adaqah, zakat maupun wakaf,

adalah keadilan dan kesejahteraan sosial kaum Muslim. Lebih jauh, bentuk-bentuk

filantropi tersebut telah berlangsung lama, namun hingga kini kaum Muslim

sepertinya belum menikmati dan memeroleh kesejahteraan dan keadilan itu.

Pertanyaannya kemudian adalah bentuk keadilan sosial seperti apa yang hendak

dicapai dengan filantropi tersebut? Mengapa bentuk-bentuk filantropi tersebut

hingga saat ini belum mewujudkan tujuan utamanya?

Keadilan sebagai sebuah konsep dapat dipahami dalam dua pengertian: (1)

sebagai keseimbangan antara penghargaan dan pekerjaan yang telah dilakukan

seseorang, yang biasanya disebut dengan ‚commutative justice,‛ dan (2) sebagai

penghargaan yang sama bagi setiap orang untuk suatu pekerjaan yang sama.111

Ini

105 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 159. 106 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 162; Jennifer Bremmer, “Islamic Philanthropy,” 12. 107 Jennifer Bremmer, “Islamic Philanthropy,” 12-13. 108 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 160. 109 Dallal, “The Islamic Institution of Waqf,” 37. 110 Di antara beberapa negara Arab yang telah mengesahkan undang-undang wakaf adalah

sebagai berikut. Aljazair, Mesir, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Turki, Syria

dan Yaman. Secara lebih detil tentang undang-undang di negara-negara ini, lihat A. Layish, “Wakf in

Modern Middle East and Africa,” dalam The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 78-81. Adapun negara-negara non-Arab yang telah mengundangkan wakaf secara khusus meliputi India,

Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan lain sebagainya. Lihat G.C. Kozlowski, “Wakf in India to 1900,”

dalam The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 95-97 dan M.B. Hooker, “Wakf in Southeast Asia,” 11: 97-98.

111 Lihat, misalnya, Bryan A. Garner (ed. in-chief), Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson,

2004), 881.

Page 49: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

39

Bab II

tercermin, misalnya, dalam ungkapan wad}‘u al-shay’ fi> mah}allih (‚menempatkan

sesuatu pada tempatnya‛) yang sering ditemukan dalam buku-buku fiqh.112

Sebenarnya, dalam Islam, persoalan keadilan ini dapat dianalisis melalui

berbagai pendekatan, seperti pendekatan politis, teologis, filosofis, etis, hukum

dan lain sebagainya.113

Terlepas dari berbagai pendekatan ini, Fazlur Rahman114

menegaskan bahwa keadilan sosial merupakan tujuan utama diturunkannya Al-

Quran, mengingat keadilan merupakan pilar bagi tegaknya masyarakat yang etis

dan egaliter di muka bumi. Hal itu ditunjukkan dengan celaan Al-Quran terhadap

masyarakat Mekah, yang menjunjung ketidakadilan ekonomi dan sosial di

dalamnya. Lebih jauh, celaan tersebut juga sebagai respon terhadap ekploitasi

kaum lemah demi keuntungan ekonomi orang kaya, di samping praktik

kecurangan dalam perdagangan. Jadi, di balik celaan tersebut keadilan sosial

merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam masyarakat sesuai dengan seruan

Al-Quran.

Akan tetapi, pembahasan mengenai keadilan sosial ini tidak memeroleh

perhatian yang sepatutnya dari para sarjana teologi Muslim. Hal ini terlihat dari

banyaknya pembahasan tentang keadilan yang berpusat pada Tuhan atau individu.

Pembahasan tentang keadilan Tuhan, misalnya, telah menguras perhatian para

teolog, tetapi perhatian serupa tidak diberikan pada keadilan sosial.115

Akibatnya,

institusi-institusi yang menjadi prasyarat bagi keadilan sosial agak terabaikan.

Sebenarnya, keadilan sosial juga menjadi perhatian serius dari para sarjana

sosial Muslim. Menurut Majid Khadduri, berbeda dengan para teolog dan filosof

yang cenderung menekankan pendekatan deduktif, beberapa sarjana Islam lain

justru lebih menekankan induktif, sehingga kelompok yang terakhir ini memiliki

konsepsi tentang keadilan sosial yang lebih nyata, seperti tercermin dalam

pemikiran Ibn Taymiyah. Seperti ditegaskan Khadduri, Ibn Taymiyah

menekankan hal-hal universal—yang tidak ditemukan dalam kitab suci—harus

didasarkan pada praktik dan kebiasaan yang ada, dan ini berarti sebanding dengan

metode induksi yang digagas Aristoteles.116

Lebih jauh, Ibn Taymiyah, seperti beberapa pemikir pendahulunya, percaya

bahwa tujuan syariah adalah kemaslahatan bersama (mashlah}ah), yang tidak lain

adalah keadilan sosial itu sendiri. Karena itu, ia berasumsi bahwa kemaslahatan

bersama atau keadilan sosial adalah pilar negara, yang jika tidak ditegakkan akan

meruntuhkan negara itu sendiri.117

Tidak heran kalau ia berasumsi bahwa keadilan

sosial merupakan tiang bagi tegak dan kukuhnya negara meskipun dipimpin oleh

orang kafir, dan tanpanya negara akan runtuh meskipun dipimpin orang Muslim.

Kemaslahatan bersama sebagai tujuan syariah itu ditekankan lebih jauh oleh

al-Thufi, yang menegaskan bahwa semua keputusan hukum harus didasarkan pada

112 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan (Jakarta:

Center for the Study of Religion and Culture, 2006), 11. 113 Untuk pembahasan tentang berbagai pendekatan terhadap keadilan tersebut, lihat Majid

Khadduri, Islamic Conception of Justice (Baltimore and London: The John Hopkins University Press,

1984). 114 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, 54-56. 115 Sukron Kamil, ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqh: Problem dan

Solusi,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta:

Teraju, 2003), 46-47. 116 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 179. 117 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 181.

Page 50: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

40

Islam, Negara, dan Filantropi

tujuan tersebut. Bahkan, seandainya kemaslahatan publik itu berlawanan dengan

sumber kitab suci, yang pertama harus didahulukan. Dengan penekanan semacam

itu, konsep keadilan sosial menurut al-Thufi berkarakter positif, karena

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan membendung

kejahatan sosial (mafsadah).118

Konsep keadilan sosial juga dikemukakan oleh Ibn Khaldun. Seperti

dikemukakan Khadduri, Ibn Khaldun berpandangan bahwa keadilan sosial harus

berbasis norma dan praktik yang telah berkembang dalam masyarakat Islam.

Namun, apa yang dilihatnya adalah terbengkalainya hukum yang sudah

semestinya dapat menopang keadilan sosial itu. Atas dasar itu, ketika menjabat

sebagai hakim di Mesir, yang menjadi perhatian utamanya adalah mereformasi

prosedur pengadilan dan menerapkannya dengan tegas. Karena itu, Khadduri

menyebut keadilan sosial, bagi Ibn Khaldun, adalah tegaknya keadilan hukum

dalam masyarakat. Kata Khadduri, ‚his earnest effort [is] to pursue procedural

justice almot to perfection.‛119

Belakangan ini, pembahasan tentang keadilan sosial dibahas secara

sistematis oleh John Rawls melalui karyanya A Theory of Justice. Rawls

mengawali pembahasannya tentang hakikat masyarakat yang didefinisikan

sebagai ‚an organic whole with a life of its own distinct from and superior to that

of all its members in their relations with one another.‛120

Di sini Rawls tampaknya

menempatkan masyarakat melampaui individu-individu, sehingga yang kedua

harus tunduk pada yang pertama. Meskipun demikian, individu-individu terlebih

dahulu memeroleh kesempatan untuk memilih dan menyepakati apa saja yang

akan menjadi prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Karena itu, keadilan

pada dasarnya adalah ‚pendistribusian seluruh nilai sosial—kebebasan dan

peluang, pendapatan dan kekayaan, di samping dasar-dasar sosial harga diri—

secara sama; kalaupun pendistribusian itu tidak sama, hal itu harus tetap menjadi

keuntungan (advantage) bagi setiap orang.‛121

Dari sini kemudian Rawls mendefinisikan keadilan sosial sebagai ‚the virtue

of practices where there are competing interests and where persons feel entitled to

press their rights on each other.‛122

Di sini terlihat bahwa keadilan sosial bukanlah

praktik yang menghapuskan perbedaan kepentingan, tetapi bagaimana perbedaan

kepentingan itu, baik secara politis, ekonomis maupun sosial, dalam sebuah

masyarakat dikelola dengan bijaksana. Dengan kata lain, persaingan kepentingan

individu merupakan fakta yang tak terhindarkan, namun pada saat yang sama

setiap individu memeroleh kesempatan untuk mengekspresikan dan mewujudkan

hak-haknya.

Agar keadilan sosial tersebut dapat berjalan kokoh, maka harus ada prinsip-

prinsip yang mendasarinya, yaitu kebebasan (liberty), kesamaan (equality) dan

solidaritas (solidarity). Rawls menegaskan bahwa kebebasan bagi semua

merupakan prasyarat bagi keadilan, di mana setiap orang berhak

mengekspresikannya sejalan dengan sistem kebebasan bagi semua. Pembatasan

terhadap kebebasan hanya boleh dilakukan demi kebebasan itu sendiri. Karena itu,

118 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 181-182. 119 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 188-189. 120 John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge-Harvard: Harvard University Press, 1999), 233-34. 121 John Rawls, A Theory of Justice, 54. 122 John Rawls, A Theory of Justice, 112.

Page 51: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

41

Bab II

kebebasan yang kurang luas (less extensive liberty) harus mendukung seluruh

sistem kebebasan yang dimiliki oleh semua individu, dan pada saat bersamaan,

kebebasan yang kurang setara (less than equal liberty) dapat diterima oleh mereka

yang kurang memiliki kebebasan.123

Kebebasan ini meliputi kebebasan berpolitik,

berbicara, berpendapat, di samping kebebasan dari tekanan psikologis dan

serangan fisik, serta kebebasan untuk memiliki kekayaan pribadi dan kebebasan

dari penangkapan sewenang-wenang.124

Adapun yang dimaksud dengan kesamaan (equality) di sini adalah ‚equal

consideration of humanity‛ (perlakuan yang sama terhadap manusia).125

Di sini,

setiap individu harus diperlakukan sama baik dalam masalah prosedur (procedural presumption) maupun kesempatan (opportunity). Seperti ditegaskan oleh Rawls,

‚[S]ocial and economic inequalities are to be arranged so that they are both …

attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of

opportunity.‛126

Meskipun demikian, Rawls mengakui bahwa kedua prinsip di atas tetap

tidak dapat menghilangkan ketidakadilan. Dia menegaskan, ‚[T]he equal moral

worth of persons does not entail that distributive shares are equal. Each is to

receive what the principles of justice say he is entitled to, and these do not require

equality.‛127

Untuk itu, diperlukan prinsip ketiga, yaitu solidaritas. Rawls melihat

bahwa solidaritas merupakan konvensi politik dari masyarakat demokratis yang

mengedepankan kepentingan bersama. Karena itu wajar jika masyarakat yang

demikian itu ingin memberikan perhatian terhadap kelompok yang kurang

beruntung dan meningkatkan kesejahteraan jangka panjang mereka sebaik

mungkin, namun tetap sejalan dengan prinsip kebebasan yang setara dan

kesempatan yang terbuka. Pendeknya, solidaritas adalah kepanjangan dari sistem

demokrasi yang berkeinginan untuk mencapai konsepsi keadilan yang

seutuhnya.128

Rawls menegaskan bahwa semua prinsip keadilan sosial di atas baru bisa

diwujudkan jika didukung oleh institusi sosial (social institution) dan lembaga

inilah yang sesungguhnya menjadi subjek keadilan sosial. Baginya, menegakkan

keadilan berarti membentuk lembaga yang adil, yang menjunjung tinggi

kesamaan. Di sini diperlukan institusi di mana ‚no arbitrary distinctions are made

between persons in the assigning of basic rights and duties and when the rules

determine a proper balance between competing claims to the advantages of social

life.‛129

Mengingat institusi tertinggi `adalah negara, maka struktur politik menjadi

sine qua non bagi keadilan sosial. Rawls melihat bahwa ada empat tahap bagi

negara untuk mewujudkan keadilan sosial: filosofis, konstitusional, legislatif dan

administratif. Pertama-tama, negara harus didasarkan pada keadilan yang menjadi

cita-cita individu anggotanya berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya,

negara harus menjamin prinsip-prinsip keadilan sosial yang telah disebutkan di

123 John Rawls, A Theory of Justice, 266. 124 John Rawls, A Theory of Justice, 53. 125 John Rawls, A Theory of Justice, hlm. 462. 126 John Rawls, A Theory of Justice, 266. 127 John Rawls, A Theory of Justice, 275. 128 John Rawls, A Theory of Justice, 280-81. 129 John Rawls, A Theory of Justice, 5-6.

Page 52: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

42

Islam, Negara, dan Filantropi

atas melalui konstitusi, yang menjadi dasar negara. Sebab, sebuah sistem politik,

tegas Rawls, tidak dapat disebut adil tanpa memasukkan prinsip-prinsip

kebebasan, kesamaan dan solidaritas.130

Pada tahap legislasi akan terlihat

bagaimana kebijakan negara dalam mewujudkan keadilan sosial, apakah

memenuhi harapan kaum yang kurang beruntung atau tidak. Terakhir, pada tahap

administratif, negara harus menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah

diundangkan baik dalam ranah politik maupun ekonomi.131

Konsepsi keadilan sosial yang dipaparkan oleh Rawls di atas tampaknya

dapat memberikan jawaban atas pertanyaan kedua yang diajukan di awal sub-bab

ini. Keadilan sosial ternyata memiliki dimensi yang sangat luas, yang tidak hanya

menyangkut kemiskinan ekonomi, tetapi juga melibatkan struktur politik. Karena

itu, keadilan sosial sulit diwujudkan oleh filantropi Islam, apalagi jika dananya

hanya diberikan dalam bentuk karitas kepada masyarakat yang kurang beruntung.

Lebih jauh, kontribusi yang diberikan juga digunakan untuk kepentingan sesaat,

tanpa ada tujuan jangka panjang bagaimana menghapus kemiskinan sosial itu

sendiri.132

Meskipun demikian, filantropi Islam tetap berperan penting bagi penguatan

sejumlah pranata keadilan sosial, di antaranya melalui civil society. Yang

demikian itu pernah ditunjukkan dalam sejarah Islam, seperti di Persia. Menurut

Arjomand, banyak sekali program pendidikan, kesehatan, dan pemondokan yang

dibiayai oleh dana filantropi. Dengan majunya lembaga-lembaga itu, civil society

menjadi kuat dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga yang didanai oleh

penguasa. Tidak hanya itu, kuatnya lembaga filantropi terbukti dapat

memengaruhi kebijakan negara.133

Sebagai sebuah lembaga yang berada di luar struktur negara, civil society

dapat memainkan peran bagi keamanan sosial (social security),134

yang meliputi

kebutuhan makan, kesehatan dan pendidikan umat, di samping bagi penguatan

hak asasi manusia, pendidikan, demokrasi, multikulturalisme dan lain

sebagainya.135

Di Mindanao, misalnya, wakaf dimanfaatkan tidak semata-mata

dalam bentuk karitas, tetapi juga untuk mendukung civil society yang mendorong

penguatan kewarganegaraan dan demokrasi.136

Sementara itu, di Pakistan,

filantropi Islam digunakan oleh civil society untuk perbaikan legislasi yang

ditetapkan negara tentang filantropi itu sendiri, di samping kepentingan umum

lainnya, seperti pendidikan, layanan kepada umat dan lain sebagainya.137

Fungsi

filantropi Islam tampaknya dapat diperlebar ke masalah-masalah lain, mengingat

persoalan yang mengitari keadilan sosial juga tidak sedikit, seperti pemberdayaan

130 John Rawls, A Theory of Justice, 173. 131 John Rawls, A Theory of Justice, 175. 132 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim, eds., Filantropi Islam dan Keadilan Sosial, 98. 133 Said Amir Arjomand, ‚Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam pra-Modern,‛

dalam Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, eds., Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, 129-132.

134 Samiul Hasan, ‚Muslim Philanthropy and Social Security: Prospects, Practices and Pitfalls,‛

paper disampaikan pada 6th ISTR Biennial Conference, Bangkok, 9-12 July 2009, 4-5. 135 Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ xxix. 136 Lihat Michael O. Mastura, ‚The Making of a Civil Society through Waqf Institution in

Mindanao,‛ dalam Islam and Civil Society in Southeast Asia, ed. Nakamura Mitsuo et.al. (Singapore:

Institute of Southeast Asian Studies, 2001), 17-34. 137 Andrew White, ‚The Role of Islamic Waqf in Strengthening South Asian Civil Society:

Pakistan as Case Study,‛ International Journal of Civil Society Law, vol. 4, no. 2 (April 2006): 24-25.

Page 53: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

43

Bab II

perempuan dan kesetaraan gender, serta bentuk-bentuk kesetaraan lainnya, seperti

pembelaan terhadap kaum minoritas dan sebagainya.138

Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa

filantropi Islam dengan berbagai aspeknya bertujuan pada keadilan sosial. Akan

tetapi, mengingat keadilan sosial itu sendiri memiliki berbagai dimensi, tidak

mungkin seluruhnya saat ini dapat ditanggulangi oleh filantropi Islam. Karena itu,

filantropi Islam memiliki peran strategis dalam melapangkan jalan bagi

perwujudan keadilan sosial melalui civil society, di antaranya dengan tujuan

penegakan hukum dan kebijakan yang mendorong keadilan sosial.

D. Negara dan Filantropi Islam

Seperti disinggung dalam bab sebelumnya, masalah filantropi Islam terbukti

tidak dapat dipisahkan dari negara. Untuk menunjukkan hal itu, dalam sub-bab ini

akan diuraikan pola hubungan antara kedua entitas ini di beberapa negara Muslim.

Akan tetapi, pembahasan ini dibatasi pada empat negara Muslim, yang meliputi

Turki, Arab Saudi, Mesir dan Malaysia.

Sebagaimana dimaklumi, 1924 merupakan tahun berdirinya Turki sebagai

negara republik, sebagai ganti dari Turki ‘Uthmani yang berbentuk khilafah.

Perubahan ini berdampak sangat signifikan terhadap masalah wakaf, mengingat

penghapusan sistem khilafah itu dibarengi dengan penghapusan Kementeriaan

Agama (sheri>‘at). Akibatnya, masalah wakaf tidak lagi memiliki administrasi dan

hukum tersendiri, melainkan dimasukkan ke dalam sistem umum negara yang

menganut ideologi sekular.139

Meskipun demikian, secara konstitusional, ideologi

sekular tersebut belum tampak jelas dalam Konstitusi Tahun 1924, mengingat

Pasal 2 justru menyebutkan bahwa ‚Islam adalah agama negara.‛140

Ideologi itu

secara eksplisit terdapat dalam Konstitusi 1961, yang menegaskan bahwa

‚Republik Turki adalah negara nasionalis, demokratis, sekular dan sosial yang

diperintah berdasarkan hukum, didasarkan pada hak asasi manusia dan ajaran-

ajaran dasar yang tertera dalam pembukaan konstitusi.‛141

Ini diperkuat oleh

Konstitusi Tahun 1982 Pasal 2 juga. Lebih jauh, dua konstitusi terakhir ini tidak

lagi mencantumkan Islam sebagai agama negara, seperti hal itu disebutkan dalam

Konstitusi 1924.

Akibat sekularisasi ini, masalah wakaf kemudian berada di bawah

kewenangan General Directorate of Foundation, di bawah pengawasan langsung

Perdana Menteri.142

Pada saat yang sama, masalah-masalah wakaf tidak lagi diatur

melalui undang-undang agama (fikih), tetapi melalui undang-undang sipil.

138 Sami Hasan, ‚Muslim Philanthropy and Social Security‛; lihat juga Maria Ulfah Anshory,

‚Filantropi Islam dan Penguatan Hak Asasi Manusia,‛ dan Nursyahbani Katjasungkana, ‚Filantropi

Islam dan Gerakan Hak Asasi Manusia di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua, 113-128 dan 129-

140. 139 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ dalam The Encyclopedia of

Islam, ed. P.J. Bearman et.al. (Leiden: Brill, 2000), 11: 91. 140 Edward Mead Earle, ‚The New Constitution of Turkey,‛ Political Science Quarterly, 40: 1

(1925), 89. 141 Lihat ‚Constitution of Turkish Republic,‛ trans. by Sadik Balkan et. al. for the Committee of

National Unity (Ankara, 1961), pasal 2. 142 Faik Ahmet Sesli, ‚Foundation Administration and Foundation Landownership in Turkey

form Past to Present,‛ African Journal of Business Management, 4:9 (2010), 1772.

Page 54: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

44

Islam, Negara, dan Filantropi

Meskipun demikian, perkembangan wakaf di Turki masih sangat besar, yang

ditunjukkan dengan adanya wakaf yang mencapai 4.449 antara 1967 dan 1985.143

Undang-undang Sipil Turki (Turkish Civil Code) Tahun 2001 memberikan

perhatian pada masalah wakaf (foundation) secara umum dalam Bagian III, yang

mengatur seluk beluk wakaf, seperti tujuan wakaf, benda apa saja yang bisa

diwakafkan, kegiatan lembaga wakaf dan lain sebagainya. Lebih jauh, undang-

undang ini tidak membicarakan secara spesifik wakaf dari perspektif Islam,

sebaliknya mengatur seluruh wakaf dari berbagai penganut agama.144

Ini

menunjukkan bahwa wakaf tidak memiliki undang-undang tersendiri, tetapi hanya

menjadi bagian dari undang-undang sipil. Sementara itu, seluruh administrasi

penyelenggaraan wakaf tetap berada di bawah General Directorate of Foundation.

Baru pada 2004, rancangan undang-undang tentang wakaf diajukan oleh

General Directorate of Foundation untuk disahkan. Adapun alasan pengajuan ini,

antara lain, adalah harmonisasi undang-undang, mengingat undang-undang

tentang wakaf selama ini masih terpisah-pisah di berbagai undang-undang. Di

samping itu, undang-undang tentang wakaf ini diperlukan mengingat ketentuan-

ketentuan yang ada selama ini sangat terbatas dan tidak memadai. Terakhir, di

Turki terdapat banyak lembaga wakaf non-Muslim yang kurang terakomodasi

dalam peraturan yang ada, dan pada saat yang sama tuntutan akan hak minoritas

mengemuka bersamaan dengan bergabungnya Turki ke Uni Eropa. Karena itu,

diperlukan undang-undang wakaf yang baru.145

Rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh parlemen Turki pada 20

Februari 2010 sebagai Undang-undang No. 5737.146

Dalam undang-undang ini,

wakaf tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi disamakan dengan yayasan-

yayasan pada umumnya. Karena itu, yang dibicarakan di dalamnya meliputi

ketentuan-ketentuan yang mengatur pendirian, aset dan operasionalisasi,

kekayaan yayasan yang bergerak dan tak bergerak, struktur organisasi, tanggung

jawab, hingga pembubaran sebuah yayasan.147

Undang-undang ini dapat dikatakan

mirip dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan di

Indonesia.148

Dari uraian di atas terlihat bahwa Turki tidak memiliki undang-undang yang

secara spesifik mengatur zakat dan wakaf, tetapi keduanya dimasukkan ke dalam

undang-undang tentang yayasan. Ini tidak dapat dipisahkan dari ideologi negara

yang sekular, di mana persoalan agama, seperti zakat dan wakaf, hanya diatur

secara umum saja.

Bertolak belakang dengan Turki, Arab Saudi merupakan negara yang

melibatkan diri dalam pengelolaan filantropi, terutama zakat. Ini dilakukan

bersamaan dengan dijadikannya Al-Quran dan Sunnah sebagai konstitusi

143 Filiz Bikmen, ‚The Rich History of Philanthropy in Turkey: A Paradox of Tradition and

Modernity,‛ dalam Philanthropy in Europe: A Rich Past, A Promising Future, ed. Norine Mac-Donald

and Luc Tayart de Borms (London: Alliance Publishing Trust, 2008), 228. 144 Lihat Turkish Civil Code, Pasal 101-117.

145 Filiz Bikmen, “Progress on Civil Society Legislation in Turkey,” International Journal of Not-

for-Profit Law, 7:2 (2005), 77-78. 146 Filiz Bikmen, “A Move in the Right Direction, But Not the Destination: Turkey’s New

Foundation Law,” International Journal of Not-for-Profit Law, 10:3 (2008), 92. 147 Lihat “New Law of Foundation is in Effect,” dalam

http://www.tusev.org.tr/content/detail.aspx?cn=318&c=68 (diakses 12 Januari 2011). 148 Lihat UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Page 55: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

45

Bab II

negara.149

Kedudukan dua sumber utama Islam ini sebagai dasar negara

menunjukkan bahwa Arab Saudi merupakan negara yang menerapkan syariat

Islam,150

apalagi disebutkan dalam Pasal 1 konstitusi ini bahwa agama resmi

negara adalah Islam. Salah satu persoalan ibadah yang disebutkan dalam

konstitusi ini adalah zakat, di mana Pasal 21 mengatakan bahwa ‚Zakat

diwajibkan dan didistribusikan kepada mereka yang berhak sesuai dengan

syariah.‛151

Sebaliknya, pajak, yang umumnya menjadi kewajiban warganegara di

negara lain, tidak diwajibkan di sini, kecuali jika dibutuhkan dan harus didasarkan

pada keadilan, yang pelaksanaannya harus ditetapkan melalui ketentuan.152

Sejalan dengan itu, maka dikeluarkanlah Keputusan Raja No. 17/2/28/8634

tertanggal 29 J. Tsani 1370/17 April 1951 yang mewajibkan zakat atas individu

atau perusahaan yang berkebangsaan Arab Saudi.153

Berdasarkan keputusan

tersebut, pengelolaan zakat di negara ini berada di bawah sebuah departemen yang

disebut Mas}lah}at al-Zaka>t wa al-Dakhl dalam lingkup Kementerian Keuangan.

Berpusat di Riyadh, departemen ini memiliki 10 cabang yang berada di wilayah-

wilayah Riya>d}, Jeddah, al-Damma>m, Makkat al-Mukarramah, Madi>nat al-

Munawwarah, T{a>’if, Tabu>k, Ihsa>’ dan Qas}i>m.154

Lebih jauh, Kementerian

Keuangan juga mengeluarkan keputusan yang berisi ketentuan-ketentuan zakat,

yang terdiri dari 20 pasal. Pasal-pasal ini mengatur secara tegas siapa saja yang

harus mengeluarkan zakat, apa saja yang harus dizakati, dan sebagainya.155

Lebih jauh, Muslim tidak wajib mengeluarkan pajak. Akan tetapi,

pembayaran zakat dapat mengurangi wajib pajak, jika yang terakhir ini dikenakan

kepada mereka, terutama para pengusaha atau pemilik perusahaan. Jika mereka

tidak membayar zakat, maka sanksi administratif akan diberikan, seperti tidak

boleh melakukan bisnis di negara ini atau tidak boleh mengikuti tender yang

dilakukan oleh pemerintah.156

Selanjutnya, dana zakat yang terkumpul oleh Kementerian Keuangan dan

Ekonomi akan diserahkan kepada Kementerian Kesejahteraan Sosial.157

Kementerian inilah yang kemudian mendistribusikan zakat kepada mereka yang

149 Lihat al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah, Maba>di’ al-Dawlah, Wuza>rat al-

Kha>rijiyyah, pasal 1. Lihat juga, Ah}mad ‘Ali ‘Abd Alla>h, ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa

al-Amwa>l al-Zakawiyyah: Jumhu>riyyat al-Su>da>n wa al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah,‛

dalam al-It}a>r al-Mu’assisi> li al-Zaka>h: ’Ab‘a>duh wa-Mad}a>mi>nuh, ed. Bu>‘alla>m ibn Jala>li> dan

Muh}ammad al-‘Ilmi> (Jeddah: IRTI-IDB, 2001), 177. 150 Tentang penerapan syariat Islam di Arab Saudi, lihat Frank Vogel, Islamic Law and Legal

System in Saudi (Leiden: Brill, 2004). 151 Pasal tersebut berbunyi: شجد تنزكثذ شفك ف يصثسفث تنششعير 152 Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah, Maba>di’ al-Dawlah, Wuza>rat al-Kha>rijiyyah,

pasal 20 yang berbunyi sebagai berikut: .تنعذل ي أصثس عه تنذثجر عذ إال تنشصو تنعشتبح الشفشض 153 Mas}lah}at al-Zaka>h wa al-Dakhl li-Wuza>rat al-Ma>liyyah, ‚Ta‘li>ma>t Jiba>yat Zaka>t ‘Aru>d} al-

Tija>rah,‛ dalam http://www.dzit.gov.sa/en/index/shtml (diakses 13-01-2011); lihat juga ‘Uthma>n

H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i> al-Isla>mi> (Mans}urah: Da>r al-Wafa>’ li al-T{iba>‘ah

wa al-Nashr, 1989), 206. 154 Mas}lah}at al-Zaka>h wa al-Dakhl li-Wiza>rat al-Ma>liyyah, ‚Ta‘li>ma>t Jiba>yat Zaka>t ‘Aru>d} al-

Tija>rah.‛ 155 Tentang harta-harta yang harus dizakati dan tidak dizakati, serta metode pengumpulannya,

lihat Ah}mad ‘Ali> ‘Abd Alla>h, ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa al-Amwa>l al-Zakawiyah,‛

178-179. 156 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, “Saudi Arabia: A Case Study,” dalam Institutional

Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 415-416.

157 “Zakat Decree,” dalam http://www.dzit.gov.sa/index.shatml (diakses 15 Januari 2011).

Page 56: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

46

Islam, Negara, dan Filantropi

berhak menerimanya di berbagai daerah di kerajaan ini. Dari sini terlihat bahwa

keterlibatan negara Arab Saudi dalam pengelolaan zakat bersifat total, dari

pemungutan hingga pendistribusiannya.

Berbeda dengan dua negara di atas, Mesir adalah negara yang berpenduduk

mayoritas Muslim, tetapi tidak menyatakan secara eksplisit sebagai negara Islam

atau sekular. Meskipun demikian, Islam diakui sebagai agama resmi negara dan

prinsip-prinsip syariah berkedudukan sebagai sumber utama legislasi.158

Dengan

kata lain, undang-undang negara bersumber, terutama, pada prinsip-prinsip syariat

Islam dan karenanya hingga batas tertentu dapat disebut sebagai hukum Islam itu

sendiri.159

Atas dasar itu, persoalan filantropi Islam, khususnya wakaf, telah lama

memeroleh perhatian negara jika dilihat dari segi perundang-undangan. Ini tidak

dapat dipisahkan dari kepentingan politik penguasa atas dasar kebijakan yang

diambilnya. Menurut Daniela Pioppi, ketika penguasa beridologi sosialis, seperti

Naser, wakaf ahli dihapus dan dilakukan nasionalisasi, sementara Anwar Sadat

justru merehabilitasi institusi wakaf sehingga memeroleh dukungan dari umat

Islam. Di bawah kekuasaan Mubarak, wakaf, terutama masjid, ditransformasikan

menjadi sumber-sumber kesejahteraan. Ini dilakukan, di antaranya, dengan

menjadikan semua masjid sebagai masjid ja>mi‘ (bisa digunakan untuk shalat

Jumat), sehingga bisa digunakan untuk berbagai kegiatan seperti layanan

kesehatan, pelatihan ketrampilan dan lain sebagainya.160

Terlepas dari aspek politis tersebut, undang-undang yang pertama tentang

wakaf adalah UU No. 48 Tahun 1946, yang secara garis besar menetapkan bahwa

wakaf harus terdaftar, untuk tujuan umum dan penghasilannya harus diperoleh

secara halal. Lebih jauh, undang-undang ini membolehkan non-Muslim untuk

berwakaf asalkan dilakukan sesuai dengan syariat Islam atau hukum non-Muslim.

Di samping itu, undang-undang ini juga membatasi besarnya wakaf, yang tidak

boleh melebihi sepertiga kekayaan seseorang, kecuali jika para pewarisnya

menyetujuinya.161

Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan sejumlah undang-

undang, seperti UU No. 180 Tahun 1952 tentang Penghapusan Wakaf Keluarga

atau Non-khayri (ilgha>’ niz}a>m al-waqf ‘ala> ghayr al-khayra>t), yang diperbaharui

dengan UU No. 272 Tahun 1959 tentang Pembentukan Kementerian Wakaf.

Menurut UU ini, Kementerian Wakaf (wiza>rat al-awqa>f) berhak mendistribusikan

wakaf—termasuk tunai—ke wilayah manapun tanpa harus dibatasi oleh wilayah

asal usul wakaf tersebut. Ini berarti penggunaan wakaf tidak terbatas pada tujuan

awal yang ditetapkan oleh wakif pada wilayah tertentu. Kementerian ini juga

158 Majlis al-Sha‘b Jumhu>riyyat al-Mis}r, Dustu>r Jumhu>riyyat Mis}r al-‘Arabiyyah, Pasal 2. Pasal

ini berbunyi sebagai berikut:

.نهصششيع تنشبيض تنصذس تإلصاليير تنششيعر يدثدئ تنشصير، نغصث تنعشخير تنهغر تنذنر، دي تإلصالو159 Lihat, misalnya, William E. Shepard, “Muhammad Said al-Ashmawi and the Application of

the Sharia in Egypt,” International Journal of Middle East Studies, 28:1 (February, 1996): 39-58; Clark

Benner Lombardi, State Law as Islamic Law in Modern Egypt (Leiden: Brill, 2006). 160 Daniela Pioppi, “From Religious Charity to the Welfare State and Back: The Case of Islamic

Endowment Revival in Egypt,” Working Paper No. 2004/34 (Florence: European University Institute,

2004), 2-5. 161 “Waqf in Egypt,” dalam http://www.nefdev.org/phil/en/page.asp?pn=23#full (diakses 20

Januari 2011).

Page 57: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

47

Bab II

menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang mengawasi wakaf secara

menyeluruh.162

Selanjutnya, pada 1962 dikeluarkan UU No. 44 tentang Penyerahan Wakaf

yang Dikelola oleh Kementerian Wakaf kepada Badan Umum Reformasi Agraria

dan yang paling mutakhir adalah UU No. 80 Tahun 1971 tentang Pembentukan

Badan Wakaf Mesir (Insha>’ Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah).163

Berdasarkan UU

ini, BWM bertugas mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.164

UU ini

juga membolehkan lembaga ini untuk mengambil 15% dari keseluruhan

keuntungan pengelolaan benda-benda wakaf.165

Dari uraian di atas terlihat bahwa meskipun bukan negara Islam, Mesir

banyak melibatkan diri dalam masalah filantropi Islam, khususnya wakaf. Ini

terjadi tidak saja karena undang-undang yang dikeluarkannya, tetapi dilakukan

dengan pembentukan kementerian khusus, yang kemudian ditindaklanjuti dengan

pembentukan badan wakaf yang mengelola dan mengembangkannya, serta

menditribusikannya bagi masyarakat. Seperti Mesir, Malaysia menjadikan Islam sebagai agama negara pada tingkat

federasi,166

meskipun Muslim bukanlah penduduk mayoritas di negeri ini

dibandingkan dengan non-Muslim secara keseluruhan. Lebih jauh ditegaskan

dalam konstitusinya bahwa setiap kepala negara bagian memiliki kedudukan

sebagai pemimpin agama di wilayahnya.167

Ini menimbulkan kebijakan yang

berbeda-beda antara satu negeri (negara bagian) dengan negeri lainnya dalam

masalah-masalah keislaman, yang umumnya ditangani oleh Majelis Ugama.

Hal itu terlihat dengan jelas dalam masalah filantropi Islam, terutama zakat

dan wakaf. Masalah zakat, misalnya, merupakan kewenangan masing-masing

negeri untuk mengaturnya, baik dalam hal benda-benda yang harus dizakati

maupun sanksi bagi muzakki yang tidak membayarnya. Sebagai contoh, di Kedah,

zakat yang harus dibayarkan ke Kantor Zakat hanyalah zakat atas hasil pertanian,

sementara zakat fitrah diserahkan kepada muzakki untuk menyalurkannya secara

langsung kepada mustahik. Sementara itu, di Kelantan, 2/3 dari seluruh jenis zakat

harus diserahkan ke Kantor Zakat, baru 1/3-nya dibebaskan untuk didistribusikan

kepada mustahik secara individual.168

Dalam masalah sanksi juga demikian. Bagi muzakki di Kedah yang lalai

membayar zakat, ia akan dikenakan denda sebagai RM. 500,- bagi zakat selain

zakat fitrah atau penjara selama 6 bulan, sementara muzakki diserawak jika

melakukan hal yang sama akan didenda dengan RM. 200,- untuk non-fitrah dan

RM. 25,- untuk zakat fitrah saja dan tidak ada ganti penjara. Sementara itu, di

Selangor, sanksi yang terapkan adalah RM. 100,- atau penjara selama 7 hari,

sedangkan di Perak sanksinya berupa denda RM. 500,- atau kurungan selama 6

bulan.169

162 “Waqf in Egypt.” 163 Lihat “Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971.‛ 164 Lihat Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971, Pasal 2. 165 Lihat Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971, Pasal 6. 166 Federal Constitution of Malaysia, Pasal 3 ayat (1). 167 Federal Constitution of Malaysia, Pasal 3 ayat (2). 168 Mohamed bin Abdul Wahab, et. al., “Malaysia: A Case Study,” dalam Institutional

Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 309.

169 Mohamed bin Abdul Wahab, et. al., “Malaysia: A Case Study,” 360.

Page 58: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

48

Islam, Negara, dan Filantropi

Dalam bidang wakaf, perbedaan juga menjadi tak terelakkan. Dalam

legislasi, misalnya, antara satu negeri dengan yang lain mengalami perbedaan baik

dalam tahun maupun isinya. Undang-undang Wakaf disahkan pertama-tama di

Serawak pada 1954, yang diikuti oleh Kedah pada 1962 dan Perlis pada 1964.

Johor baru mengesahkan undang-undang pada 1978 dan Terengganu pada 1986.

Negeri-negeri yang lain umumnya setelah tahun 1990.170

Seperti zakat, wakaf di Malaysia dikelola oleh masing-masing Majelis

Ugama yang ada di setiap negeri. Mereka bertanggung jawab atas pemeliharaan

dan pengembangan wakaf. Mengingat kebanyakan wakaf berupa masjid, makam

dan benda-benda tidak bergerak lainnya, ini menimbulkan persoalan pendanaan,

baik bagi pemeliharaan maupun pengembangannya. Dengan kata lain, wakaf yang

ada kebanyakan tidak dapat mendatangkan pemasukan.171

Dari sini terlihat,

bahwa negara Malaysia terlibat dalam masalah filantropi Islam—zakat dan

wakaf—baik dalam bidang pengelolaan dan pengembangannya. Akan tetapi,

keterlibatan itu tidak secara langsung oleh negara, tetapi oleh negara-negara

bagian.

Dari uraian di atas, keempat negara ini memiliki perbedaan keterlibatan

dalam bidang filantropi Islam. Jika Arab Saudi melibatkan diri secara total, Turki

mungkin dapat dikatakan paling jauh dari total. Sebaliknya, Mesir dan Malaysia,

yang sama-sama menjadikan Islam sebagai agama negara, menunjukkan

keterlibatan yang berbeda. Dalam hal wakaf, keterlibatan Mesir lebih besar

dibandingkan dengan Malaysia, karena yang terakhir ini tidak terlibat secara

langsung, sedangkan yang pertama terlibat secara langsung.

170 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives (Kuala

Lumpur: University of Malaya Press, 2006), 57-58. 171 Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 90.

Page 59: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

49

BAB III

KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT

Dalam bab sebelumnya telah diuraikan secara umum filantropi dan hubungannya

dengan negara, baik secara konseptual maupun secara praktis. Dalam bab ini,

masalah tersebut akan dibahas secara lebih terperinci, dengan perhatian khusus

pada pelaksanaan zakat di Indonesia dan keterlibatan negara di dalamnya.

Pembahasan diawali dengan kondisi peraturan zakat sebelum disahkannya

Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, proses legislasi dan implikasi dari

undang-undang tersebut. Dengan begitu diharapkan keterlibatan negara dalam

masalah zakat dapat terlihat secara gamblang.

A. Pengaturan Zakat di Indonesia

Menurut Norman Anderson,1 hukum Islam tampaknya telah dilaksanakan di

wilayah-wilayah Muslim sebelum kedatangan penjajah Barat. Sebab, penggantian

hukum Islam dengan hukum non-Islam baru berlangsung bersamaan dengan

kehadiran bangsa-bangsa Eropa yang menjajah wilayah-wilayah Islam, yaitu

sekitar 200 tahun yang lalu. Ini mengisyaratkan bahwa sebelum itu sesungguhnya

hukum Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari

Muslim, baik pada tingkat individu maupun sosial. Mengingat masyarakat

Nusantara sebelum kedatangan penjajah telah memeluk agama Islam dan sejumlah

kerajaan Islam telah berdiri, dapat dipastikan bahwa hukum Islam juga telah

berlaku di negeri kepulauan ini jauh sebelum kedatangan Belanda.

Ini ditunjukkan, di antaranya, dengan ditemukannya sebuah fragmen yang

berisi ketentuan hukum pada abad ke-14 di Trengganu. Tentu saja yang dimaksud

dengan hukum di sini adalah hukum Islam, yang kemungkinan diterapkan pada

daerah yang sebelumnya tidak memeluk Islam, mengingat penggunaan istilah-

istilah Sanskerta lebih dominan ketimbang istilah-istilah Arab, seperti istilah

dewata mulia raya sebagai ganti kata Allah.2

Bahwa hukum Islam telah diimplementasikan sebelum kedatangan Belanda,

hal itu juga dapat dilihat dari fakta bahwa Sultan Malikul Zahir adalah sultan

yang ahli fikih. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibn Batutah, pelancong yang

pernah datang ke Aceh, yang menegaskan bahwa wilayah ini dipimpin oleh

seorang sultan yang ahli fikih bemazhab Sha>fi‘i>. Tentu terlihat janggal, jika

seorang sultan yang ahli fikih itu akan menerapkan hukum lain selain fikih yang

telah dikuasainya. Karena itu, dipastikan hukum yang diterapkan dalam

pemerintahannya adalah hukum Islam, yang juga disebut fikih. Ini diperkuat oleh

publikasi buku fikih, seperti al-S}ira>t} al-Mustaqi>m karya Nuruddin Arraniri, pada

1628, yang jelas ditujukan bagi masyarakat Muslim Nusantara. Buku ini

1 Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: the Athlone Press, 1976), 1-2. 2 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1991), 5.

Page 60: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

50

Kebijakan Negara Tentang Zakat

kemudian diperluas uraiannya oleh Arsyad al-Banjari dalam Sabi>l al-Muhtadi>n

untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum di Kalimantan Selatan.3

Sementara itu, Anthony Reid, seperti dikutip Arskal Salim dan Azyumardi

Azra, menegaskan bahwa pada awal abad ke-17, para pencuri di Banten dan Aceh

jika tertangkap akan dihukum dengan potong tangan. Pertama-tama yang akan

dipotong adalah tangan kanan dan diikuti dengan kaki kiri jika sang pencuri

mengulangi perbuatannya. Kalaupun ia belum jera dan masih melakukan lagi,

maka amputasi dikenakan pada tangan kiri dan kaki kanan jika mengulangi

kembali. Hukuman terakhir jika amputasi terhadap empat anggota badan tersebut

telah dilaksanakan, tetapi si pencuri masih bertindak, adalah diasingkan ke Pulau

Sabang untuk kasus Aceh.4 Dalam konteks fikih, hukuman semacam itu disebut

h}udu>d,5 di mana potong tangan memiliki sandarannya pada QS al-Ma>idah (5): 38,

sementara pengasingan didasarkan pada konsep yang dikenal dalam fikih dengan

ta‘zi>r.6 Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam Indonesia sesungguhnya

memiliki preseden historis jauh sebelum diperkenalkannya hukum baru yang

berasal dari Barat. Namun, ini tidak berarti bahwa seluruh hukum Islam telah

diterapkan sepenuhnya, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kasus lain.

Karena itu, ketika Belanda datang ke Indonesia, mereka tidak serta merta

mengganti hukum Islam yang telah diterapkan oleh masyarakat. Sebaliknya,

karena ketidaktahuan tentang Islam, mereka tidak mau mengintervensi masalah

keagamaan.7 Keterlibatan Belanda dalam masalah hukum Islam baru terlihat

dalam Keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) Nomor 19 Tanggal 24

Januari 1882, yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 Nomor

152 tentang pembentukan Peradilan Agama. Lembaga ini didasarkan atas teori

receptio in complexu Lodewijk Willem Christian van den Berg yang menegaskan

bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dianutnya,

yakni hukum Islam. Namun, teori ini kemudian ditentang oleh C. Snouck

Hurgronje yang mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar menerapkan teori

receptie, yang menegaskan bahwa hukum Islam baru bisa diterapkan jika hukum

3 Rifyal Ka‘bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), 69. 4 Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Shari‘a in the Perspective of

Indonesian Legal Politics,‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan

Azyumardi Azra (Singapore: Institute of South East Asian Studies, 2003), 4. 5 H}udu>d berarti ketentuan-ketentuan atau batasan-batasan Allah yang membimbing perilaku

manusia dan tidak boleh dilanggar. Lihat Richard Kimber, ‚Boundaries and Precepts,‛ dalam The Encyclopedia of the Quran, ed. Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), 1: 252. Dalam fikih,

h}udu>d adalah tindakan kriminal yang hukuman atau sanksinya telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam

Al-Quran. Berdasarkan pengertian ini, hukuman tersebut tidak bisa ditambah atau dikurangi, karena ia

merupakan hak Allah Swt. Ada tujuh kategori kejahatan kriminal yang dapat dikenai hukuman hudud,

yaitu: (1) zina (al-zina>); (2) fitnah atau tuduhan palsu (al-qadhf); (3) minuman keras (shurb); (4)

pencurian (al-sariqah); (5) pemberontakan (al-h}ira>bah); (6) murtad (al-riddah) dan; (7) (al-baghy).

Lihat ‘Abd al-Qadi>r ‘Awdah, al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad}‘i> (Kairo:

Maktabat Da>r al-‘Uru>bah, 1963), 1: 79. 6 Ta‘zi>r adalah pemberian hukuman terhadap tindakan-tindakan kriminal yang tidak termasuk

kategori hudud atau hukuman terhadap kejahatan yang bentuk hukumannya tidak ditentukan secara

pasti oleh syariat. Perbedaannya dengan h}udu>d yaitu jika h}udu>d sudah pasti bentuk hukumannya dan

tidak bisa ditambah atau dikurangi, ta‘zi>r bisa beragam bentuknya, sesuai dengan kemaslahatan pelaku

kejahatan dalam pandangan hakim. Lihat ‘Abd al-Qadi>r ‘Awdah, al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 127. 7 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 2 dan 9-10.

Page 61: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

51

Bab III

itu telah diterima dan diakui oleh hukum adat.8 Di sini terlihat bahwa Hurgronje

ingin menempatkan hukum adat pada posisi yang lebih tinggi daripada hukum

Islam, dengan tujuan untuk mengurangi peran Islam. Sebab, apa yang disebut

sebagai hukum adat oleh Hurgronje hanyalah rekayasa,9 sehingga teori receptie-

nya oleh Hazairin disebut sebagai teori iblis.10

Menurut Hazairin, teori receptie ini

harus dikeluarkan dari sistem hukum nasional karena bertentangan dengan sila

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan UUD 1945. Inilah yang ia sebut

receptie exit.11 Sebagai gantinya, menurut Hazairin, hukum yang berlaku adalah

receptio a contrario yang menyatakan bahwa hukum adat dapat diberlakukan jika

ia tidak bertentangan dengan hukum Islam.12

Bertolak dari keberadaan hukum Islam di atas, zakat—sebagai salah satu

dari lima rukun Islam—diduga kuat telah dilaksanakan oleh Muslim Nusantara

jauh sebelum kedatangan Belanda, atau bahkan bersamaan dengan kedatangan

orang-orang Islam di Nusantara. Akan tetapi, tidak ditemukan bukti yang kuat

bahwa praktik keagamaan itu telah ditunaikan secara sistematis oleh kaum

Muslim awal di negeri ini, setidak-tidaknya jika dilihat dari cara pengumpulan

dan pendistribusiannya. Misalnya, siapa yang berhak mengumpulkan zakat, benda

apa saja yangwajib dizakati, siapa yang berhak menerima dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, meskipun praktik pembayaran zakat telah menjadi bagian yang

terpisahkan dari praktik keagamaan Muslim Nusantara pada awal kehadirannya,

tetapi jejak dan bukti historis tentang praktik ini secara sistematis tidak terekam

dengan baik.13

Terlepas dari tidak adanya lembaga khusus yang mengelola zakat secara

permanen, masjid tampaknya memiliki peran sentral dalam hal ini. Masjid

merupakan sentral kegiatan keagamaan Muslim, di mana berbagai aktivitas

mengambil tempat di sini. Tidak heran jika kemudian zakat umumnya berpusat di

masjid, sebagaimana tampak jelas dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan

selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Kaum Muslim berbondong-

bondong menyerahkan zakat mereka ke sini, baik berupa zakat fitrah maupun

zakat mal. Praktik ini tentu tidak begitu saja muncul jika tidak ada preseden

sebelumnya.14

Sementara itu, dalam Adat Raja-raja Melayu, para raja umumnya

mengeluarkan zakat dan memberikan sedekah pada acara-acara yang menjadi

8 A. Wasit Aulawi, ‚Sejarah Perkembangan Hukum Islam,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam

Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 55-6; Ismail

Suny, ‚Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,‛ dalam Dimensi Hukum Islam, 131; Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press,

1996), 35-36. 9 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 72. 10 Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 97. 11 Juhaya S. Praja, ‚Pengantar,‛ dalam Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan

Pembentukan (Bandung: RosdaKarya, 1991), xiii. 12 Juhaya S. Praja, ‚Pengantar,‛ xiii. Lihat juga Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 255. 13 Lihat, misalnya, Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat

dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 60;

Emmy Hamidiah, ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Mungkinkah,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 124

14 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai

Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 133.

Page 62: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

52

Kebijakan Negara Tentang Zakat

ritual kerajaan, seperti upacara kelahiran bayi, upacara memotong rambut bayi

yang baru lahir, atau upacara pembayaran nazar. Adapun bentuk sedekahnya

sangat beragam, bisa berbentuk emas, makanan, atau pakaian bagi fakir miskin di

berbagai tempat. Namun, di balik semangat keagamaan ini tidak tertutup

kemungkinan bahwa semua itu dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan

seperti banyak terjadi di tempat lain.15

Pada masa-masa kerajaan Islam, zakat ternyata sudah menjadi menjadi

wacana yang bersifat etis, dan belum menjadi hukum positif, seperti tercermin

dalam teks-teks keagamaan. Semangat serupa juga ditemukan dalam naskah-

naskah Jawa pada abad ke-16, seperti ditemukan dalam karya Wejangan Syekh Bari. Dalam karya ini disebutkan bahwa sedekah yang dilakukan dengan ikhlas

sekalipun tanpa pengetahuan orang lain memiliki kedudukan yang sangat baik di

sisi Tuhan. Sementara itu, dalam karya suntingan Drewes berjudul Akhlak Islam

disebutkan bahwa zakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan

sesuai dengan kepemilikan harta (sakadare artane), di samping terpenuhinya

ketentuan kepemilikan selama setahun, baik dengan cara disimpan atau diputar

melalui usaha.16

Meskipun demikian, Undang-undang Melaka sama sekali tidak

mencantumkan persoalan zakat, apalagi mewajibkan rukun Islam ini kepada para

pedagang atau kelompok elit masyarakat yang tinggal di daerah Malaka. Dengan

demikian, zakat tidak memiliki status sama sekali dalam konstitusi, yang

mengisyaratkan bahwa zakat sesungguhnya belum memiliki sistem pengelolaan

yang jelas. Akan tetapi, hal itu tidak harus dipahami bahwa orang-orang Muslim

tidak membayar zakat, sebaliknya hal itu menunjukkan bahwa membayar zakat

masih bersifat imperatif-etis.17

Proses semacam ini tampaknya sejalan dengan

perkembangan proses Islamisasi baik yang terjadi secara umum di dunia Islam,

maupun secara khusus di Nusantara. Maksudnya, zakat sebagai rukun Islam tidak

menjadi perhatian utama pada awal masuknya penduduk Nusantara ke dalam

Islam dan baru memeroleh prioritas pada masa berikutnya.

Meskipun demikian, Belanda di awal kehadirannya tidak ingin melibatkan

diri dalam masalah ini. Sesuai dengan kebijakannya, pemerintah kolonial

memberikan kebebasan dalam masalah-masalah keagamaan yang telah menjadi

tradisi masyarakat Muslim. Akan tetapi, dalam praktiknya, mereka tidak bisa

membiarkan masalah-masalah itu manakala dipandang membahayakan

kekuasaannya. Misalnya, dalam masalah haji, mereka terbukti memberikan

perhatian terhadap masalah ini karena anggapan bahwa para haji merupakan

orang-orang yang fanatik dan pemberontak. Bagi mereka, melarang haji lebih baik

ketimbang membiarkan kaum Muslim menjadi pemberontak dan kemudian harus

ditembaki.18

Keterlibatan penjajah terhadap masalah-masalah keagamaan ini ternyata

semakin hari semakin meningkat, dengan dalih ketertiban dan keamanan termasuk

mengawasi gerak-gerik para ulama. Bahkan selanjutnya, pemerintah tidak segan-

segan mencampuri urusan agama dengan dalih ketertiban dan keamanan, termasuk

15 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara,

18. 16 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 19. 17 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 19-20. 18 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 22.

Page 63: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

53

Bab III

mengawasi gerak-gerik para ulama. Tidak hanya itu, keterlibatan pemerintah

kolonial kemudian diwujudkan dalam bentuk pendirian Lembaga Peradilan

Agama secara resmi, pengangkatan penghulu, pengawasan terhadap perkawinan,

ordonansi perkawinan di Jawa dan Madura serta di luarnya, pengawasan terhadap

pendidikan Islam, ordonansi guru, pengawasan terhadap masjid dan lain

sebagainya.19

Sebenarnya, keterlibatan itu berlawanan dengan kebijakan C. Snouck

Hurgronje, yang memberikan kebebasan di bidang agama, khususnya yang

berkaitan dengan persoalan ibadah. Akan tetapi, dalam masalah penggalangan

sosial yang dapat menjadi faktor yang mengarah pada pemberontakan, ia sendiri

melakukakan tindakan tegas. Karena itu, kebebasan yang ditawarkan Hurgronje

dalam beragama hanya berkisar seputar masjid.20

Namun demikian, ia juga tetap

mengintervensi dalam masalah ini, terutama yang menyangkut dana masjid atau

kas masjid. Ia mengawasi ketat dana ini dengan memerintahkan para bupati.

Argumen Hurgronje adalah bahwa kas masjid ini agar tidak digunakan untuk

kepentingan selain kepentingan masjid itu sendiri, karena memang terbukti kas

masjid ini digunakan untuk berbagai pembangunan, bahkan pembangunan rumah

sakit Kristen. Pengawasan terhadap kas masjid ini juga disertai dengan

pembatasan angka saldo. Artinya, kas masjid tidak boleh melebihi ketentuan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika ini terjadi, maka uang yang ada akan

disimpan di bank yang pencairannya membutuhkan persetujuan bupati dan

pemerintah kolonial.21

Sekiranya masjid membutuhkan biaya untuk pemeliharaan

atau renovasi, hanya sebagian dari kas masjid yang boleh dicairkan dan harus

tetap memiliki saldo. Kekurangan pembiayaan pemeliharaan atau renovasi harus

dicarikan melalui cara lain, di antaranya melalui wakaf.22

Keuangan masjid sendiri umumnya diperoleh dari biaya nikah, zakat, wakaf

dan shadaqah. Ini berarti bahwa pengurus masjid adalah orang-orang yang juga

bertanggung jawab mengurus zakat, wakaf dan shadaqah. Mereka ini biasanya

adalah para pegawai syara’ yang terdiri atas seorang imam, dua orang khatib dan

dua orang muazin. Mereka menerima gaji dari zakat dan shadaqah, yang menjadi

sumber utama kas masjid.23

Menurut Azra, baik di Aceh maupun di daerah lain, seperti Jawa, dikenal

adanya seorang imam, yang bertugas sebagai pemimpin dalam ritual-ritual

keagamaan di masjid, di samping qadi atau penghulu yang tugas utamanya di

antaranya adalah mengurus masalah-masalah keagamaan. Dalam hal ini, yang

kedua memiliki peran besar dalam mengelola keuangan masjid yang diperoleh dari

berbagai sumber seperti zakat, sedekah, hibah atau wakaf.24

Para petugas ini memeroleh gaji dari kas masjid. Mereka juga dibolehkan

untuk menarik dana lain dari masyarakat, jika diperlukan bagi kepentingan masjid.

Adapun pembagian penghasilan mereka adalah berbanding 4:2:1, yaitu imam

mendapatkan 4 bagian, khatib memeroleh 2 bagian dan muazin hanya 1 bagian.

19 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 10 dan 30. 20 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 122. 21 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162-64. 22 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 168 catatan nomor 214. 23 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162, catatan nomor 190. 24 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 20.

Page 64: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

54

Kebijakan Negara Tentang Zakat

Meskipun demikian, mereka juga harus membayar pajak dengan perbandingan

serupa selama satu tahun, jika perang membutuhkan dana.25

Dengan demikian, praktik pengelolaan zakat di Nusantara belum

memberikan gambaran yang sistematis. Menurut S. Hurgronje, zakat mal, fitrah,

sedekah serta sumbangan keagamaan lain sesungguhnya telah melembaga dalam

masyarakat. Akan tetapi, jenis dan macam harta yang harus dikeluarkan zakatnya

beragam dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya, ternak tidak pernah ditarik

zakatnya, sementara di Priangan zakat pertanian sangat ditekankan. Adapun zakat

mal banyak diterapkan di Madura. Lebih jauh dikemukakan bahwa zakat di Jawa

umumnya bersifat sukarela dan tidak diwajibkan seperti pajak. Kondisi ini sangat

berbeda dengan di Priangan, di mana zakat diwajibkan di samping pajak.

Perbedaan ini, menurut Hurgronje, disebabkan oleh beban pajak di Jawa sangat

tinggi, sehingga tidak memungkinkan dibebani lagi zakat. Sementara itu, di

Priangan, masyarakat memiliki pengetahuan keislaman yang jauh lebih memadai,

ketekunan para pengelola, di samping semangat keagamaan yang lebih tinggi.26

Hurgronje juga menegaskan bahwa umumnya penduduk membayar zakat

karena perasaan dosa, dan mereka berusaha menebusnya melalui kegiatan ini.

Dengan kata lain, zakat yang dibayarkan sekali merupakan tebusan dosa yang

mungkin dilakukan seseorang sepanjang periode tersebut.27

Pemahaman seperti ini

sebenarnya juga dialami oleh orang-orang Muslim Madinah pada awal

diwajibkannya zakat, sebagaimana direkam dalam ayat Al-Quran. Dalam QS al-

Tawbah (9): 102-104 dikemukakan bahwa orang-orang Madinah yang baru masuk

Islam, kemudian mereka tetap melakukan tradisi yang berlawanan dengan Islam,

membayar zakat kepada Nabi dengan harapan Nabi turut memohonkan ampun

bagi dosa-dosa mereka.28

Adapun mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat itu, Hurgonje

menandaskan bahwa tidak ada aturan khusus yang diterapkan, terutama di Jawa.

Umumnya, masyarakat menyerahkan zakat itu kepada orang-orang yang telah

berjasa kepada mereka. Misalnya, zakat fitrah anak kecil akan diserahkan kepada

orang yang telah menolong bagi kelahirannya, kepada guru mengaji jika anak

sudah mulai belajar mengaji, sedangkan zakat orang dewasa umumnya diberikan

kepada lebai, penghulu, kyai, modin dan sebagainya. Bahkan, mustahik ini

melebar hingga mencakup santri (wong putihan), penjaga makam, kaum

pengangguran yang miskin, petugas masjid dan para amil zakat. Amil, yang

berarti orang yang memungut dan mengelola zakat, juga sudah dikenal pada masa

itu. Mereka ini diangkat oleh pejabat agama, tetapi tidak difungsikan lagi sejak

1892. Istilah ini baru dipakai lagi pada masa Orde Baru.29

Tidak disebutkan lebih jauh bagaimana zakat itu kemudian didistribusikan

atau dikelola, apakah memang untuk mereka yang disebutkan di atas, atau

kemudian disalurkan kepada pihak-pihak lain. Hurgronje menyebutkan bahwa

pengelolaan zakat mal dan fitrah di Priangan dilakukan dengan sangat baik.

Pertama-tama, kyai mengumpulkan zakat dari masyarakat. Selanjutnya, setelah

25 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162, catatan nomor 216. 26 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22. 27 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22. 28 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam,‛

Arabica, 40 (1993): 87. 29 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22-24.

Page 65: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

55

Bab III

dipotong oleh bagian mereka, zakat diserahkan ke penghulu di kecamatan atau

kawedanan. Penghulu kawedanan juga memotong bagian yang menjadi haknya

untuk kemudian diserahkan kepada penghulu tingkat afdeeling sebagai

‚penghasilan agama.‛ Dengan cara begitu, dana zakat menjadi sangat besar dan

potensial untuk diselewengkan dan dikorupsi.30

Kedatangan Jepang membawa harapan baru bagi umat Islam, mengingat

mereka sangat lembut terhadap bangsa Indonesia pada awalnya. Ini dibuktikan

dengan dihidupkannya kembali Majlis Islam A‘la Indonesia, sebuah perkumpulan

partai politik dan organisasi massa. Melihat adanya angin perubahan dalam

kebijakan Jepang terhadap Islam, MIAI pun berinisiatif mendirikan Baitul Mal di

seluruh Jawa pada 1943. Akan tetapi, tak lama setelah organisasi ini berdiri, ia

malah segera dibubarkan. Akibatnya, semangat untuk menarik pemerintah

kolonial terlibat dalam pengelolaan zakat berakhir dengan kegagalan.31

Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang, aktivitas pengumpulan

zakat ini tidak memeroleh perhatian secara khusus dari pemerintah, namun

diserahkan kepada organisasi Islam, yang juga menjadikan persoalan zakat ini

sebagai salah satu programnya. Ini terlihat dengan jelas dari program-program

MIAI, di mana salah satunya adalah persoalan zakat yang ternyata disetujui oleh

pemerintah pendudukan Jepang. Tujuan dari pengelolaan zakat ini adalah untuk

menolong kaum miskin dan orang-orang yang membutuhkan, di samping untuk

‚membantu usaha Tentara Dai Nippon.‛32

Meskipun tidak terlibat di dalamnya, pihak pemerintah akhirnya menyetujui

program pendirian baitul mal. MIAI kemudian dengan gencar melakukan

propaganda demi berdirinya baitul mal, yang dapat menampung dana zakat yang

dikumpulkan dan menjadikan lembaga sebagai satu-satunya sasaran setelah

rencana-rencana lainnya tidak direspon dengan baik oleh penguasa. Pendirian

lembaga ini dipandang penting oleh MIAI karena orang-orang Islam di Jawa

banyak yang lalai menunaikan kewajiban agama ini. Di samping itu, melalui

pembayaran zakat yang dapat dilakukan dalam bentuk uang atau barang dapat

membantu mereka yang membutuhkan, seperti kaum pengangguran, yatim piatu

dan orang-orang tua.33

Akan tetapi, pendirian baitul mal ini ternyata bukan monopoli program

MIAI, sebab lembaga ini sebenarnya cukup akrab bagi umat Islam Indonesia. Ini

dibuktikan dengan berdirinya lembaga serupa oleh Bupati Bandung, Wiranata

Kusuma, pada pertengahan 1942, yang bertujuan mengurangi tekanan yang timbul

dari kekacauan ekonomi yang terjadi di daerah Priangan. Lebih jauh, baitul mal

lokal ini dianggap berhasil karena dua faktor, yaitu, pertama tingkat ketaatan

Muslim di daerah ini terhadap pembayaran zakat tampaknya lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah lain, dan kedua kemampuan dan bakat yang dimiliki

oleh para pengelolanya.34

30 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 23. 31 Arskal Salim, ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam Sharia and

Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumari Azra (Singapore: ISEAS, 2003), 183. 32 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan

Jepang, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), 178. 33 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 179. 34 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 179.

Page 66: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

56

Kebijakan Negara Tentang Zakat

Keberhasilan baitul mal lokal inilah yang mendorong MIAI untuk

mendirikan baitul mal di tingkat nasional di Jakarta pada Januari 1943, dan

selanjutnya bahkan menjadikan baitul mal Bandung di bawah pengawasannya dan

dijadikan model untuk dipromosikan di daerah lain di Jawa. Baitul mal Bandung

akhirnya hanya menjadi cabang Dewan Baitul Mal MIAI.35

Kampanye tentang baitul mal ini memeroleh tanggapan positif dari kaum

Muslim di beberapa daerah di Jawa, yang sebelumnya kurang bergairah terhadap

persoalan zakat. Menurut laporan MIAI, setiap hari banyak orang yang datang ke

kantor menanyakan tentang baitul mal. Dua puluh tempat telah meminta MIAI

agar mengirimkan propagandis, di samping banyaknya surat yang masuk yang

menanyakan hal itu. Untuk memenuhi keinginan tersebut, MIAI kemudian

menyelenggarakan pelatihan bagi para propagandis di Bandung, yang selanjutnya

diterjunkan ke sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasilnya, dalam

beberapa bulan saja 35 baitul mal di tingkat kabupaten di Jawa pun terbentuk.

Lebih jauh, untuk merapikan administrasi panitia pusat juga menerbitkan

peraturan yang seragam bagi cabang-cabang di daerah.36

Akan tetapi keberhasilan ini tidak berlangsung lama. Jepang yang semula

menyetujui program ini tiba-tiba merasa keberatan dengan keberhasilan program

ini. Lebih jauh, keberhasilan lembaga filantropi ini dikhawatirkan oleh pihak

Jepang dapat mengancam kebijakannya tentang Islam secara umum. Melihat

kenyataan ini, Jepang kemudian berencana membubarkan MIAI dan

menggantinya dengan organisasi lain. Akan tetapi, rencana itu tidak terlaksana,

dan sebagai gantinya Jepang memberikan pengakuan penuh kepada organisasi

keagamaan Muhammadiyah dan NU. Akibatnya, MIAI semakin kehilangan

otoritas dan kemudian dibubarkan pada September 1942. Sebagai gantinya,

Jepang mendirikan Masyumi yang sekaligus menandai berakhirnya baitul mal,

karena seluruh kegiatan keislaman akhirnya tunduk di bawah peraturan yang

ditetapkan oleh Jepang.37

Selain melalui masjid dan negara, pengelolaan zakat sebenarnya juga

dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, seperti pesantren, dan organisasi-

organisasi keagamaan. Umumnya, para pembayar zakat menyerahkan zakatnya

kepada para kyai, yang kemudian disalurkan kepada santri atau untuk

pembangunan lembaga pendidikan. Sementara itu, Muhammadiyah yang

bertujuan pada pembaharuan keyakinan dan ritual, juga aktif dalam memberikan

santunan sosial. Ini dilakukan dengan menggalakkan tabligh dalam berbagai amal

usahanya. Untuk tujuan ini, Muhammadiyah mengumpulkan dan mendistribusikan

zakat bagi fakir miskin, tidak untuk memelihara masjid atau kyai, seperti selama

ini berlangsung.38

Setelah Indonesia merdeka, upaya untuk mengelola zakat secara sistematis

terus dibicarakan. Pada 1952, misalnya, diadakan sebuah seminar di Sukabumi

tentang kemungkinan pengelolaan zakat dan wakaf oleh Departemen Agama.

Semangat di balik seminar ini adalah agar dua pranata Islam yang sangat potensial

35 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 180. 36 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 180. 37 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛183. 38 Martin van Bruinessen, ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛ dalam

Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity, ed. Shireen T. Hunter (London-New

York: M.E. Sharpe, 2009), 187-88.

Page 67: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

57

Bab III

dan bernilai ekonomis itu dapat dikelola secara profesional melalui Departemen

Agama.39

Akan tetapi, tindak lanjut dari seminar ini tidak muncul ke permukaan,

sehingga pengelolaan zakat tetap berjalan sebagaimana adanya.

Tampaknya, upaya pelibatan negara dalam pengelolaan zakat ini tidak

memeroleh respons positif dari negara. Atau bisa jadi, hal itu dipandang sebagai

upaya implementasi Piagam Jakarta, yang dikhawatirkan akan mengganggu

stabilitas politik saat itu. Ini bisa dilihat dari keluarnya surat edaran nomor

1/D/13/7 Juni 1958 ke seluruh kantor Departemen Agama di seluruh Indonesia.

Surat edaran itu menegaskan bahwa pengumpulan zakat tidak boleh

diselenggarakan secara langsung oleh lembaga negara, tetapi diserahkan

sepenuhnya kepada kaum Muslim, asalkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan

Islam.40

Dengan kata lain, upaya pengeloaan zakat melalui Departemen Agama ini

mengalami kegagalan, dan karenanya departemen ini hanya berperan sekadar

membina agar pengelolaan itu senantiasa sesuai dengan hukum Islam.

Adapun peraturan-peraturan resmi yang telah dikeluarkan pemerintah sejak

Indonesia merdeka sudah cukup banyak. Peraturan-peraturan itu tertera dalam

berbagai bentuk seperti berikut ini.

1. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan

Badan/Amil Zakat yang dikeluarkan pada 15 Juli 1968. Yang diatur dalam

peraturan ini adalah Badan/Amil Zakat, baik yang ada di tingkat pusat

maupun yang ada di daerah-daerah hingga ke kecamatan dan desa-desa. Di

samping itu, diatur pula kedudukan tugas dan kewajiban lembaga tersebut,

berikut susunan anggota, pengangkatan, bimbingan dan pengawasan

pelaksanaannya. Adapun yang dijadikan dasar dikeluarkannya peraturan ini

adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I) yang diputuskan

oleh Keputusan Presidium Kabinet No. 75/KU/102/II/1966. Repelita I sendiri

didesain oleh Bappenas pada 1968, yang membutuhkan dana yang tidak

sedikit. Karena itu, Peraturan Menteri Agama di atas diharapkan dapat

memberikan kontribusi penggalangan dana ini.

2. Surat Presiden No. B.133/PRES/11/1968 tanggal 28 November 1968. Dalam

surat ini ditegaskan bahwa zakat umat Islam dapat diserahkan ke tujuan yang

terarah dan konkret, sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat

menunjang terlaksananya Repelita yang akan dimulai tahun berikutnya, yaitu

1969.

3. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Baitul Mal. Ini

dimaksudkan untuk menjamin pengumpulan, penampungan, pemeliharaan dan

pengawasan sumber-sumber keuangan zakat. Lebih jauh ditegaskan dalam

peraturan ini bahwa Baitul Mal berada di tingkat Kabupaten/Kotamadya, di

tingkat Provinsi dan di pusat berada pada Direktorat Urusan Agama,

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

4. Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul

Mal pada 22 Oktober 1968. Peraturan ini memberikan penjelasan lebih

terperinci tentang Baitul Mal, yang meliputi tugas lembaga ini, di antaranya

adalah, selain menampung dan menerima hasil-hasil zakat yang disetorkan

39 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post-

Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 13, No. 3

(2006): 364. 40 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State,‛ 364-365.

Page 68: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

58

Kebijakan Negara Tentang Zakat

oleh BAZIS Kecamatan, juga menerima hasil-hasil wakaf, harta pusaka yang

tidak ada pewarisnya, dan harta temuan yang tidak ada pemiliknya.

Ditegaskan lebih jauh, bahwa lembaga ini juga memiliki fungsi untuk

memanfaatkan harta tersebut bagi pembangunan sosial pendidikan umat,

semisal sekolah, rumah sakit, atau pendirian sektor-sektor yang dapat

memberdayakan ekonomi umat, seperti pabrik, perusahaan, perkebunan dan

lain sebagainya.

5. Instruksi Menteri Agama No. 16 Tahun 1968. Instruksi ini merupakan tindak

lanjut dari Keputusan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 sebelumnya.

6. Surat Perintah Presiden No. 07/Prin/10/68 tanggal 28 Oktorber 1968. Surat

ini menegaskan bahwa sebelum dibentuk Panitia Zakat, untuk sementara hal

itu akan ditangani oleh Mayjend TNI Alamsyah Ratuprawiranegara, Kolonel

Drs. H. Anwar Hamid dan Kolonel Ali Affandi.

7. Pengumuman Presiden No. 6 Tahun 1968. Pengumuman ini pada dasarnya

adalah ketentuan yang dibuat oleh ketiga pelaksana yang disebutkan

sebelumnya, di mana orang Islam yang akan membayarkan zakat dapat

menyampaikan secara langsung kepada Presiden dengan menempuh salah satu

dari empat cara sebagai berikut:

a. Diserahkan kepada Kapten Bustami pada setiap kerja dan akan diberi

tanda terima sementara sebelum uang tersebut disampaikan kepada

Presiden;

b. Dikirim langsung melalui Wesel Pos dengan alamat kepada Presiden;

c. Dikirim lewat Giro Pos Presiden atau Cek Rekening Zakat cq. Jenderal

Soeharto Nomor 10.000.

d. Dikirim kepada Presiden atas nama Rekening Zakat cq. Jenderal TNI

Soeharto kepada Bank BNI, Bank Dagang Negara dan Bank

Pembangunan Indonesia.

8. Surat Presiden No. B.133/Pres/II/1968 tentang Pengumpulan Zakat. Isi surat

ini menegaskan bahwa Sekretaris Jenderal Departemen Agama diharapkan

membantu pelaksanaan seruan Presiden untuk menunjang Repelita.

9. Surat Sekretaris Kabinet No. B-3732/Setkab/12/68 tanggal 16 Desember

1968 dan No. B-119/Setkab/1/69 tanggal 16 Januari 1969. Kedua surat ini

berisi peringatan bahwa pelaksanaan pengumpulan zakat terkait erat dengan

bidang instansi lain yang harus dilibatkan di dalamnya. Untuk itu,

pengaturannya akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Surat pertama ini

seolah-olah mengisyaratkan bahwa pembentukan Baitul Mal tidak boleh

dibentuk oleh Menteri Agama, tetapi harus dibicarakan dengan departemen

lain.

10. Instruksi Menteri Agama No. 1 Tahun 1969 tentang Penundaan Peraturan

Menteri Agama No. 4 dan 5 Tahun 1968 pada 1 Januari 1969. Instruksi ini

merupakan respons terhadap surat pertama Sekretaris Kabinet, yang

mengimplikasikan bahwa pendirian Baitul Mal harus dibatalkan. Sementara

itu, di sisi lain, Presiden seolah-olah akan mengambil alih pelaksanaan

pengumpulan zakat sesuai dengan rencananya sendiri.

11. Radiogram Menteri Dalam Negeri tanggal 14 Desember 1968. Radiogram ini

ditujukan kepada seluruh gubernur di Indonesia, yang isinya adalah sebagai

berikut:

a. Pengumpulan zakat di daerah harus sesuai dengan seruan Presiden;

Page 69: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

59

Bab III

b. Gubernur dan Bupati harus memelopori pengumpulan zakat didampingi

oleh panitia setempat;

c. Zakat yang telah terkumpul agar disimpan di bank-bank dan giro pos

setempat yang telah memiliki nomor rekening zakat atas nama Presiden;

d. Yang berhak menarik uang tersebut adalah Presiden, sedangkan usul

penggunaannya dapat diajukan oleh gubernur dengan persetujuan panitia

setempat;

e. Setiap minggu para gubernur dan bupati harus membuat laporan kepada

Presiden.

Sebagaimana terlihat, antara 1968-1969 terdapat banyak kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah, baik dari Menteri Agama, Presiden, Sekretariat

Negara dan bahkan dari Menteri Dalam Negeri. Semua itu tidak dapat dipisahkan

dari situasi awal naiknya Soeharto ke kekuasaan. Di satu sisi, umat Islam menaruh

harapan besar agar Soeharto mau melibatkan Islam dalam negara tetapi, di sisi

lain, kekhawatiran terhadap umat Islam juga sangat besar. Karena itu, ketika

Menteri Agama mengeluarkan surat tentang pendirian Baitul Mal—sebagai tindak

lanjut dari pengajuan RUU yang gagal—Soeharto tiba-tiba bersedia menjadi amil

tingkat nasional, sehingga menggagalkan niat pendirian Baitul Mal. Kenyataan ini

diperkuat oleh keluarnya surat sekretaris kabinet, yang menyebutkan bahwa

masalah zakat akan ditetapkan oleh presiden. Ini direspons oleh Menteri Agama

dengan pembatalan niat pendirian Baitul Mal di atas dan diakhiri dengan instruksi

dari Menteri Dalam Negeri yang menegaskan bahwa dalam pengelolaan zakat

pemerintah daerah harus mengikuti petunjuk presiden. Dengan kata lain, dalam

dua tahun di atas sesungguhnya telah terjadi konflik kepentingan antara umat

Islam, yang disalurkan melalui Depag, dan pemerintah yang diwakili oleh

presiden.41

12. Instruksi Menteri Agama No. 16 Tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat, Infak

dan Shadaqah. Di antara isi instruksi ini adalah masalah penggunaan dana

zakat, yang hendaknya disalurkan untuk honorarium guru-guru mengaji Al-

Quran baik di masjid, mushalla, langgar, surau dan sebagainya. Di samping

itu, dana tersebut juga dapat digunakan untuk penyelesaian wakaf (seperti

biaya akta ikrar wakaf dan sertifikat tanah wakaf), bantuan untuk modal kerja

dan usaha-usaha produktif lainnya.

13. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 Tahun

1991 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infak

dan Shadaqah tanggal 19 Maret 1991. Keputusan Bersama ini pada

prinsipnya mempertegas BAZIS sebagai sarana bagi umat Islam untuk

mengatur, melaksanakan dan mengelola zakat, infak dan shadaqah, sedangkan

pembinaannya dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di

tingkat daerah. Ada dua pembinaan yang dilakukan berdasarkan surat

keputusan bersama ini. Pertama, pembinaan umum yang berada di bawah

kewenangan Menteri Dalam Negeri dan jajarannya. Kedua, pembinaan teknis

yang menjadi wewenang Menteri Agama dan jajarannya sesuai dengan

lingkup wilayah kedudukan BAZIS. Lebih jauh ditegaskan bahwa BAZIS

adalah lembaga swadaya masyarakat, dengan pertimbangan sebagai berikut.

41 Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 123-24.

Page 70: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

60

Kebijakan Negara Tentang Zakat

Pertama, jika badan ini sebagai lembaga pemerintah, hal itu dikhawatirkan

memunculkan kecurigaan bahwa pemerintah mencampuri ketentuan agama

atau syariah yang mengarah pada pelaksanaan Piagam Jakarta. Kedua, di

kalangan umat sendiri tidak ada kesepakatan mengenai wadah penerimaan

dan pengelolaan dana zakat di lembaga pemerintah, di satu sisi, dan

kebutuhan organisasi-organisasi keagamaan terhadap dana zakat tersebut.

Di sini terlihat bahwa negara sepanjang Orde Baru akhirnya enggan

melibatkan diri dalam pengelolaan zakat, dan bahkan akhirnya Soeharto

mengundurkan diri dari posisi amil zakat nasional pada 1974 karena merasa

kurang dipercaya oleh umat Islam.42

Seperti ditegaskan dalam keputusan bersama

di atas, pendirian lembaga negara yang bergerak dalam bidang pengelolaan zakat

dapat menimbulkan kekhawatiran di pihak non-Muslim dan karenanya

pengelolaannya diserahkan kepada Bazis.

Terlepas dari adanya berbagai peraturan di atas, pembayaran dan

pengelolaan zakat umumnya belum maksimal, tetapi memiliki karakteristik

sebagai berikut:

1. Zakat lebih banyak diberikan secara langsung oleh muzakki kepada mustahik

daripada disalurkan melalui perantara amil, yang umumnya hanya

bermunculan dalam periode tertentu, seperti bulan puasa atau menjelang Idul

Fitri.

2. Zakat yang dibayarkan baru berupa zakat fitrah. Zakat harta benda (ma>l) belum menjadi kesadaran umum masyarakat maupun para amil zakat. Dalam

konteks ini, masyarakat lebih cenderung memberikan sedekah daripada zakat

mal.

3. Zakat didistribusikan hanya untuk kepentingan sesaat. Maksudnya, zakat

hanya dibagi-bagikan secara langsung kepada mustahik untuk memenuhi

kebutuhannya saat itu, terutama dalam bentuk bahan makanan. Karena itu,

dana zakat berakhir dengan pendistribusiannya. Kalau berbeda, biasanya

diwujudkan dalam bentuk bangunan tempat-tempat ibadah atau pendidikan,

seperti masjid, mushalla, madrasah, pesantren dan sebagainya.

4. Masyarakat hanya mengeluarkan zakat dari harta yang terbatas pada benda-

benda yang disebutkan secara ekplisit dalam Al-Quran-Hadis atau buku-buku

fikih klasik pada umumnya. Misalnya, selain zakat fitrah, harta yang banyak

dikeluarkan zakatnya umumnya meliputi emas, perak, hasil pertanian dan lain

sebagainya. Zakat penghasilan atau profesi belum menjadi kesadaran mereka

dan karenanya juga kurang mendapat perhatian dari amil zakat.43

Dalam pandangan Didin Hafiduddin, model pembayaran zakat di atas tidak

dapat ditimpakan sepenuhnya kepada para pembayar zakat, tetapi juga karena

faktor-faktor lainnya, terutama dari pihak amil. Pertama, lembaga pengumpul

zakat belum tumbuh di kalangan masyarakat. Ini menyulitkan para pembayar

zakat untuk menyalurkan zakatnya sewaktu-waktu di luar bulan Ramadhan.

Padahal, untuk menghitung jumlah zakat yang harus dikeluarkan seseorang dalam

setahun, misalnya, membutuhkan waktu yang tidak singkat, apalagi konsultan

zakat sendiri belum banyak dijumpai. Kedua, rendahnya kepercayaan masyarakat

kepada amil zakat. Masyarakat cenderung lebih percaya jika mereka

42 Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124. 43 Didin Hafiduddin, ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Negara, 75.

Page 71: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

61

Bab III

menyampaikan langsung kepada mustahik, yang memang hendak ditujunya.

Sebaliknya, jika zakat tersebut disalurkan kepada amil, maka orang yang hendak

ditujunya belum tentu mendapatkannya. Ketiga, para pengelola zakat pada

umumnya bukanlah profesional dalam pengelolaan zakat. Mereka umumnya

adalah para aktivis masjid yang memiliki waktu sisa untuk menunaikan tugas

pengelolaan zakat. Dengan kata lain, amil zakat adalah profesi sambilan, dan

karenanya juga dikerjakan secara sambil lalu. Keempat, sosialisasi zakat masih

sangat terbatas. Umumnya, lembaga-lembaga penerima pembayaran zakat hanya

mengumumkan melalui masjid-masjid, terutama selama bulan Ramadhan. Karena

itu, pengenalan terhadap benda-benda yang harus dizakati, selain yang sudah

populer, juga sering tidak sampai kepada masyarakat.44

Kebijakan pemerintah setelah kemerdekaan pada dasarnya mengikuti

kebijakan pemerintah kolonial, yakni menjamin kebebasan warga untuk

melaksanakan agama mereka. Pada 1951, misalnya, Departemen Agama

menerbitkan Surat Edaran Nomor A/VVII/17367 tanggal 8 Desember 1951, yang

menyatakan bahwa departemen tidak akan menyampuri administrasi zakat.

Tugasnya hanya mengajak masyarakat melaksanakan ibadah, termasuk zakat

secara benar.45

Pemerintah Indonesia pada masa Soekarno memang tidak berniat

untuk mendirikan sebuah lembaga pengelola zakat, tetapi menyerahkannya

kepada umat Islam.

Pada awal Orde Lama, Departemen Agama di bawah komando Saifuddin

Zuhri mengajukan draft Undang-undang zakat kepada DPRGR pada 1967, yang

juga disampaikan kepada menteri Keuangan dan Menteri Urusan Sosial. Terhadap

ajuan ini, menteri keuangan menyarankan agar masalah ini cukup diatur melalui

peraturan menteri. Ini barangkali yang mendorong lembaga legislatif tidak

memprosesnya menjadi undang-undang. Melihat kenyataan ini, menteri agama

yang baru, Mohammad Dachlan, menetapkan peraturan menteri tentang pendirian

Badan Amil Zakat dan Baitul Mal, yang akan bertanggung jawab terhadap

pengelolaan zakat pada 1968. BAZ kemudian dibentuk di semua tingkatan

administratif di seluruh Indonesia.46

Pada 26 Oktober 1968, Presiden Soeharto, sebagai pribadi, dalam peringatan

Isra’ Mikraj menyatakan kesediannya untuk menjadi amil zakat secara nasional. Ia

kemudian menunjuk tiga orang militer untuk membantunya, yaitu Jendral

Alamsyah Ratuprawiranegara, Kolonel Infantri Azwar Hamid dan Kolonel

Infantri Ali Affandi.47

Kesediaan Seoharto sebagai amil ini merupakan respons

terhadap saran 11 ulama Jakarta, yang menganjurkan agar ia—sebagai kepala

negara—mendorong umat Islam, terutama yang tinggal di ibukota, untuk

melaksanakan perintah-perintah agama, termasuk di dalamnya zakat. Mereka juga

menyarankan agar Soeharto mendorong para gubernur untuk berperan aktif dalam

pengumpulan dan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan agama dan

berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Depag dan Mandagri. Di samping

itu, mereka berharap melampaui saran dan harapan di atas. Ia tidak hanya menjadi

teladan dalam pembayaran zakat, tetapi bersedia sebagai amil nasional sebagai

44 Didin Hafiduddin, ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ 75-76. 45 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 122. 46 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 122-2. 47 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of State and Muslims,‛ 365.

Page 72: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

62

Kebijakan Negara Tentang Zakat

pribadi—bukan sebagai presiden—dan juga melampaui saran agar gubernur dapat

berperan aktif.48

Sikap Soeharto ini menunjukkan bahwa persoalan zakat, yang merupakan

bagian dari agama, dikeluarkan dari urusan negara, dengan mengalihkan dari

Departemen Agama ke urusan pribadi. Lebih jauh, keterlibatan Soeharto dalam

hal zakat ini mengakhiri persoalan keterlibatan negara. Dalam laporan terakhirnya

yang disampaikan saat menjelang idul fitri pada 30 November 1970 disebutkan

bahwa selama periode tersebut telah terkumpul 39.5 juta dan 2.473 dollar AS.

Dalam pandangan Arskal, ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Soeharto

memiliki tujuan lain dibalik kesediaannya sebagai amil nasional, yaitu untuk

menggagalkan usaha Depag mengimplementasikan Piagam Jakarta dengan

membuat mekanisme pengumpulan zakat nasional berdasarkan syariah. Karena

itu, setelah berhasil dengan targetnya, Ia mengundurkan diri dari amil nasional,

dan pengumpulan zakat menjadi kurang memeroleh perhatian.49

Sementara itu, pada 1982 Soeharto mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim

Pancasila yang bergerak dalam pengumpulan sedekah dari seluruh pegawai negeri

di Indonesi dengan memotong secara langsung gaji bulanan mereka. Dana yang

terkumpul digunakan untuk membangun masjid di berbagai pelosok. Cara ini

sangat berbeda dengan ketika ia mengelola zakat, yang tidak diambil secara

langsung melalui negara. Dengan kata lain, mengapa saat sebagai amil zakat ia

tidak menerapkan cara yang serupa, tetapi setelah keluar sebagai amil, ia

melakukannya. Bukankah zakat, yang merupakan rukun Islam, jauh lebih mudah

diterima oleh masyarakat ketimbang sedekah. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa

Soeharto tidak menghendaki zakat diterapkan sebagai implementasi Piagam

Jakarta.50

Setelah Soeharto mundur sebagai amil, kebijakan zakat secara nasional tidak

memiliki basis hukum, dan satu-satunya dasar hukum yang ada adalah surat

edaran yang diterapkan oleh Seoharto, sehingga memunculkan pertanyaan

masihkah surat itu berlaku? Ternyata banyak lembaga zakat malah bermunculan,

seperti BAZIS yang terdapat di berbagai provinsi di Indonesia, di samping

lembaga-lembaga swasta.

Pada 1991, Munawir Sjadzali, sebagai Menteri Agama dan K>.H>. Hasan Basri

sebagai ketua MUI, sekali lagi membujuk Soeharto untuk berperan sebagai

pengelola zakat pada tingkat nasional seperti sebelumnya, namun ia menolak dan

menyarankan agar membentuk surat keputusan bersama antara Mentri Dalam

Negeri dan Menteri Agama.51

Bersamaan dengan melembutnya sikap pemerintah

terhadap umat Islam, Depag berusaha membuat kebijakan umum tentang zakat,

yaitu berupa instruksi menteri nomor 16/1989 dan nomor 5/1991 dan keputusan

bersama menteri lain nomor 29/1991 dan 47/1991.52

Dalam pandangan Arskal, adanya instruksi ini semakin memperlemah posisi

zakat dalam kaitannya dengan negara di tingkat provinsi, mengingat gubernur

tidak harus terlibat di dalamnya. Lebih jauh, instruksi ini juga mengubah

48 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 185-186. 49 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124. 50 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124-125. 51 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of State and Muslims,‛ 365. 52 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 126.

Page 73: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

63

Bab III

mekanisme pengelolaan zakat, dari lembaga yang sedikit disponsori pemerintah

ke lembaga otonom.53

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat

Sebenarnya lahirnya Undang-undang Zakat ini tidak semata-mata didorong

oleh faktor-faktor internal yang akan diuraikan dalam sub-bahasan berikutnya,

tetapi juga karena faktor-faktor eksternal yang sesungguhnya telah lebih dahulu

ada. Kenyataan ini ditunjukkan oleh pernyataan Pemerintah yang diwakili oleh

Menteri Agama saat itu, A. Malik Fadjar, ketika menyampaikan penjelasan di

depan DPR sebelum dimulainya tanggapan-tanggapan dari fraksi-fraksi. Dalam

penjelasan tersebut dikemukakan bahwa zakat di Malaysia dan Singapura setelah

dikelola secara baik ternyata mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

Lebih jauh, faktor eksternal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kunjungan

sejumlah anggota tim yang sengaja dibentuk untuk melakukan perbandingan

tentang pengelolaan zakat di negara-negara lain sebelum Rancangan Undang-

undang itu sendiri dibuat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk melihat peran

faktor-faktor eksternal itu dalam penetapan Undang-undang tentang Pengelolaan

Zakat.

1. Eksternal

Sebagaimana telah disinggung dalam Bab 2, upaya penafsiran ulang terhadap

konsep zakat telah dilakukan oleh sejumlah pemikir Muslim. Akan tetapi,

kesadaran untuk menghidupkan kembali institusi zakat secara lebih signifikan

terjadi sejak Perang Dunia II. Kesadaran ini dapat dilihat baik dari keterlibatan

negara melalui undang-undang yang ditetapkan untuk mengaturnya maupun dari

berdirinya sejumlah organisasi yang memeroleh kepercayaan untuk

mengumpulkannya.

Berbeda dengan sebelumnya, di mana zakat hanya sering dibicarakan oleh

fuqaha, pada zaman modern zakat telah menarik perhatian banyak ahli ekonomi,

sehingga zakat menjadi wacana yang didiskusikan secara lebih luas oleh berbagai

pihak. Jika fuqaha cenderung bergulat dengan hukum zakat itu sendiri, para ahli di

bidang lain berusaha merumuskan zakat dalam peraturan-peraturan yang sesuai

dengan situasi modern, di antaranya melalui undang-undang yang ditetapkan oleh

negara. Pada 1952, misalnya, sejumlah ulama seperti ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f,

Muh}ammad Abu> Zahrah dan ‘Abd al-Rah}ma>n H{asan terlibat dalam diskusi

seputar kemungkinan zakat dikelola oleh negara. Ini dibarengi dengan

penyelenggaraan sejumlah konferensi, publikasi berbagai manual dan pamflet

yang mengajarkan kaum Muslim bagaimana mereka sebaiknya membayar zakat,

baik oleh lembaga-lembaga swasta maupun lembaga-lembaga yang disponsori

pemerintah.54

Berdasarkan kenyataan ini, Monzer Kahf mengklasifikasi pengelolaan zakat

di dunia Muslim saat ini ke dalam dua model utama: pertama, pengelolaan zakat

yang didasarkan pada undang-undang yang ditetapkan oleh negara. Ini bisa

berbentuk pengelolaan yang seluruhnya ditangani oleh pemerintah, atau

pengelolaan oleh lembaga-lembaga lain yang memeroleh legitimasi dari

53 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 126. 54 Yu>suf al-Qarad}a>wi, Fiqh al-Zaka>h (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 822.

Page 74: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

64

Kebijakan Negara Tentang Zakat

pemerintah. Kedua, pengelolaan zakat yang berjalan secara alami tanpa

keterlibatan negara dan tanpa undang-undang. Dalam hal ini, lembaga-lembaga

sosial keagamaan atau organisasi-organisasi massa Islam memainkan peran yang

sangat penting.55

Menurut Zysow, dewasa ini ada enam negara Muslim, di mana

zakat digalakkan melalui undang-undang, yaitu Saudi Arabia, Libya, Yaman,

Malaysia, Pakistan dan Sudan.56

Akan tetapi, penilaian ini tampaknya

mengabaikan sejumlah negara yang jelas-jelas melibatkan negara dalam

pengelolaan zakat, bahkan dibarengi dengan pengesahan undang-undang yang

memayunginya, seperti akan ditunjukkan dalam kasus Kuwait dan Yordania.

Di Arab Saudi, pengumpulan zakat diatur oleh Keputusan Raja Nomor

17/2/28/8634 yang ditetapkan pada 29 Jumada al-Tsani 1370/17 April 1951.

Berdasarkan keputusan ini, invidu dan perusahaan yang berkebangsaan Saudi

dikenakan zakat. Dengan demikian, zakat tidak dikenakan kepada orang atau

perusahaan non-Saudi dan mereka ini hanya dibebani dengan pajak. Sementara

itu, penduduk Saudi tidak dikenakan pajak, tetapi hanya zakat saja, sehingga bagi

mereka zakat dan pajak tampak sama saja. Secara umum, pengumpulan dan

pengelolaan zakat di Saudi berada di bawah Kementerian Keuangan. Sementara

zakat peternakan dan pertanian berada dalam yurisdiksi Biro Umum Pemasukan

Umum departemen, zakat atas barang-barang lain berada di bawah yurisdiksi

Departemen Zakat dan Pajak dari kementerian yang sama. Di samping itu,

berdasarkan peraturan ini dibentuk pula Panitia Khusus yang terdiri dari pejabat

pemerintah dan warganegara tertentu untuk menentukan kewajiban zakat yang

harus dibayar seseorang atas hasil pertanian dan peternakannya, yang kemudian

dibayarkan ke lembaga lokal yang telah ditetapkan berhak mengumpulkannya.

Lebih jauh, keputusan ini juga mengenakan zakat pada barang dagangan, uang

cash dan asset bisnis lainnya, di samping atas penghasilan profesi (zakat profesi)

sebesar 1,25%. Meskipun demikian, keputusan ini tidak memberikan hukuman

kepada mereka yang tidak membayar zakat, tetapi sanksi administratif dapat

dikenakan kepada perusahaan yang tidak membayar, bahkan mungkin dikenakan

penahanan oleh polisi. Walaupun dipungut oleh negara, pembayar zakat berhak

memberikan secara langsung kepada muzakki selama jumlahnya tidak lebih dari

separuh. 57

Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi zakat perusahaan yang harus

diserahkan seluruhnya ke Departemen Keuangan. Selanjutnya, dana zakat yang

terkumpul digunakan sebagai jaminan sosial bagi warganya, di mana kriteria

mustahik ditetapkan oleh departemen. Tentang zakat perusahaan, ini hanya

berlaku bagi perusahaan non-pemerintah, sebab seluruh keuntungan perusahaan

pemerintah ditujukan bagi kesejahteraan umum. Di sini kemudian muncul

pertanyaan tentang bagaimana dengan perusahaan gabungan Saudi dan asing.

Terhadap masalah ini, Pemerintah Saudi menetapkan bahwa perusahaan semacam

itu wajib dikenai zakat.58

55 Monzer Kahf, ‚Applied Institutional Models for Zakah Collection and Distribution in Islamic

Countries and Communities,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications,

ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 198-199;

lihat juga M. Taufik Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 33. 56 A. Zysow, ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2001), 11: 418. 57 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419; M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 34-

36. 58 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 36.

Page 75: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

65

Bab III

Undang-undang Zakat di Libya Nomor 89 Tahun 1971, di pihak lain,

menerapkan pemungutan zakat atas seluruh kekayaan, termasuk uang tunai dan

saham perusahaan. Akan tetapi, itu hanya berlaku pada kekayaan zahiriah sesuai

dengan ketentuan fikih Maliki. Berbeda dengan peraturan di Saudi Arabia yang

tidak memberikan sanksi terhadap mereka yang gagal membayarnya, undang-

undang di Libya menegaskan bahwa orang yang mampu tetapi tidak membayar

zakat akan dikenakan denda berupa penambahan jumlah yang harus dibayar.

Namun, tambahan itu tidak boleh melebihi dua kali lipat. Ditegaskan pula bahwa

dana yang terkumpul dari zakat sedikitnya 50% harus didistribusikan kepada fakir

miskin.59

Sementara itu, di Republik Arab Yaman, pengumpulan zakat dilakukan

negara berdasarkan undang-undang tahun 1971, di mana pembayarannya

dilakukan dengan cara memotong gaji para pegawai pada Bulan Ramadhan.

Pelaksanaannya berada di bawah sebuah departemen di Kementerian Keuangan,

yang secara khusus menangani pembayaran-pembayaran umum (mas}lah}at al-wa>jiba>t). Akan tetapi, terhadap benda-benda lain yang dizakati, seperti hasil

pertanian dan sebagainya, pemerintah lokal berperan besar dalam menentukan

besaran zakat yang harus dibayar pemiliknya. Selanjutnya, dana yang terkumpul

akan dimasukkan ke dalam Bank Sentral. Dari sini, Menteri Keuangan yang akan

mencairkan penggunaannya sebagai bagian dari budget negara. Meskipun

demikian, individu tetap berhak menyalurkan zakatnya secara individual kepada

mustahik sebesar 25%, dan sisanya harus diserahkan kepada lembaga.60

Di Malaysia, pengumpulan zakat diatur oleh masing-masing negeri secara

terpisah di bawah kewenangan Majelis Urusan Agama. Kewenangan ini berakibat

pada perbedaan ketentuan tentang harta yang harus dizakati dari satu negeri ke

negeri lainnya. Misalnya, suatu harta tertentu bisa jadi dikenakan zakat atasnya di

satu negeri, tetapi tidak dikenakan di negeri lain. Meskipun demikian, sumber

utama zakat di negeri-negeri ini adalah pertanian, terutama padi, dan zakat fitrah.

Ketaatan terhadap zakat fitrah umumnya jauh lebih besar ketimbang zakat mal

atau lainnya. Undang-undang zakat di Malaysia menetapkan denda dan penjara

bagi yang tidak membayar zakat, meskipun dalam pelaksanaannya konon sangat

longgar.61

Di Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya),

pengelolaan zakat dilakukan oleh Pusat Pungutan Zakat (PPZ), yang sejak 1991

manajemennya diserahkan kepada perusahaan swasta bernama Hartasuci Sdn.

Bhd., sehingga pengelolaan zakat berjalan secara profesional. Setelah terkumpul,

PPZ menyalurkan melalui berbagai program, seperti bantuan langsung kepada

fakir miskin dalam bentuk makanan, uang, atau melalui pendidikan, bantuan

medis, bencana alam, pernikahan hingga modal usaha. Adapun bantuan tidak

langsung bisa berupa pembinaan dan pelatihan ketrampilan, seperti dilakukan

melalui Institut Kemahiran Baitul Mal (IKB), atau dengan memberikan sarana

perlindungan bagi muallaf, fakir miskin dan sebagainya. Bahkan hingga batas

tertentu, pendidikan profesional dapat diberikan kepada para anak-anak fakir

miskin untuk kuliah, atau belajar di akademi-akademi.62

59 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. 60 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. 61 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. 62 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 53-54.

Page 76: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

66

Kebijakan Negara Tentang Zakat

Di Pakistan dan Sudan, perhatian terhadap zakat memeroleh perhatian

sangat besar mengingat ia merupakan bagian dari program Islamisasi hukum. Di

Pakistan, misalnya, undang-undang zakat yang bernama Zakat and Ushr Ordinance ditetapkan pada 1980 selama kekuasaan Jenderal Zia ul-Haq sebagai

pemenuhan aspirasi Muslim. Sebagian besar dari undang-undang ini berkaitan

dengan pengumpulan dan pengelolaan zakat oleh lembaga yang disebut Zakat

Fund, yang terdiri dari tiga tingkatan: Central Zakat Fund, Lokcl Zakat Fund dan

Local Zakat Committee.63

Yang pertama merupakan lembaga ditingkat nasional,

yang kedua berada di tingkat negara bagian, dan yang terakhir berperan sebagai

unit pengumpulan di daerah-daerah tingkat kabupaten.

Berdasarkan undang-undang ini, setiap warganegara Muslim Pakistan wajib

membayar zakat atas hartanya yang telah mencapai nis}a>b, yaitu jumlah minimal

harta yang harus dizakati. Harta yang wajib dizakati ini tidak hanya item-item

yang ditetapkan secara tradisional dalam fikih, tetapi juga kekayaan yang

berbentuk tabungan dan deposito, saham perusahaan, sertifikat investasi, saham

perusahaan dan lain sebagainya. Pembayaran zakat atas semua kekayaan itu

dilakukan dengan cara memotong langsung melalui bank atau institusi keuangan

lainnya. Adapun zakat kekayaan seperti emas, perak, perdagangan dan sebagainya

diserahkan langsung oleh pemiliknya kepada lembaga yang telah ditetapkan.

Umumnya, pemotongan dan penyerahan zakat itu dilakukan pada bulan

Ramadhan.64

Ada beberapa sasaran yang menjadi target pendistribusian zakat di negara

ini. Seperti disebutkan dalam Al-Quran, kelompok penerima zakat adalah delapan

as}na>f, meskipun dalam praktik dan teknisnya dilakukan berdasarkan skala

prioritas. Prioritas utama diberikan kepada fakir miskin, terutama para janda dan

orang-orang cacat. Namun, pemberiannya bisa dilakukan secara langsung dalam

bentuk barang atau melalui sarana lainnya seperti pendidikan di sekolah-sekolah,

pendidikan ketrampilan, pembangunan rumah sakit, klinik dan lain sebagainya.65

Di Sudan undang-undang zakat disatukan dengan undang-undang pajak yang

dikenal dengan Qa>nu>n al-Zaka>h wa al-D{ara>’ib, yang ditetapkan pada 1984. Ini

merupakan bagian dari proses Islamisasi Sudan yang diperkenalkan semasa

pemerintahan Numayri. Dengan undang-undang ini, rezim Numayri mengganti

sistem pemasukan negara dengan zakat, yang akhirnya justru melahirkan defisit

anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Melihat kenyataan ini, undang-

undang zakat pun diubah pada 1986 dan 1990 dengan memindahkan pengelolaan

zakat dari Kementerian Keuangan sebelumnya ke Kementerian Kesejahteraan

Sosial. Jangkauan undang-undang zakat di Sudan sangat luas, tidak hanya

terhadap benda-benda yang secara tradisional harus dizakati, tetapi juga meliputi

gaji para pegawai dan kaum profesional, jasa dan lain sebagainya, yang dikenal

dengan mustaghilla>t. Berbeda dengan di Saudi yang menetapkan zakat hanya

1,25% atas penghasilan profesi, di Sudan zakat profesi ditetapkan sebesar 2,5%

dari penghasilan bersih. Juga berbeda dengan Saudi yang hanya mewajibkan zakat

atas warganya, di Sudan seluruh Muslim dikenakan wajib zakat, bahkan orang-

orang Sudan sendiri yang tinggal di luar negeri. Namun demikian, individu

pembayar zakat diberi hak untuk menyalurkan sendiri kepada mustahik sebesar

63 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 420. 64 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 42. 65 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 43.

Page 77: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

67

Bab III

20% dari jumlah seluruh yang harus dibayar. Seperti di Libya, denda akan

diterapkan bagi orang yang tidak membayar zakat, tetapi jumlahnya tidak boleh

melebihi dua kali lipat.66

Karena bersatu dengan pajak, penyaluran dana zakat di

sini menjadi bagian integral dari tugas Departemen Keuangan dan Perencanaan

Ekonomi Nasional. Meskipun demikian, prioritas tetap diberikan kepada lima

ashnaf, yaitu fakir, miskin, amil, ibn sabil dan gharimin, tanpa memasukkan tiga

ashnaf lainnya.67

Di Yordania, yang tidak dimasukkan oleh Zysow dalam negara yang

mengelola zakat melalui undang-undang, sesungguhnya undang-undang yang

secara khusus mengelola zakat telah ditetapkan pada 1944, sehingga dapat

dipandang sebagai negara pertama yang melahirkan undang-undang zakat. Bahkan

pada 1988, Undang-undang tentang S{undu>q al-Zaka>h ditetapkan untuk

memperkuat pengelolaan zakat di negara itu. Lembaga ini dipimpin langsung oleh

Menteri Wakaf dan Urusan Haji dibantu oleh Mufti Besar Kerajaan, wakil dari

Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertumbuhan dan Sosial.

Operasionalisasi S{undu>q al-Zaka>h ini dilakukan oleh Lajnat al-Zaka>h (Komisi

Zakat), yang bertugas antara lain: menginventarisasi kemiskinan dalam

masyarakat di negeri itu, mendirikan klinik-klinik kesehatan, pusat pendidikan

pengangguran, proyek-proyek investasi dan lain sebagainya.68

Sementara itu, di Kuwait, lembaga pemerintah yang mengurusi zakat

didirikan dengan nama Bayt al-Zaka>h melalui Undang-undang Nomor 5/82 yang

ditetapkan pada 21 R. Awwal 1403/16 Januri 1982. Lembaga ini dipimpin

langsung oleh Menteri Wakaf dan Urusan Islam, dibantu wakil menteri Wakaf dan

wakil Menteri Sosial dan Tenaga Kerja. Di antara tugas-tugas utama Bayt al-Zaka>h adalah mengembangkan sumber-sumber zakat dan dana-dana amal lainnya

dan mendistribusikan dana-dana sesuai dengan golongan yang ditetapkan oleh Al-

Quran. Meskipun demikian, prioritas tetap dilakukan berdasarkan kebutuhan

ashnaf ini.69

Praktik-praktik pengelolaan zakat di negara-negara tersebut sedikit banyak

telah memengaruhi lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat di

Indonesia. Sebab, sebelum dibentuknya sebuah RUU, ada tim yang diutus untuk

mengkaji undang-undang serupa di negara lain. Ini seperti terlihat dalam

pembentukan KHI, di mana sejumlah tim dibentuk untuk melakukan

perbandingan dengan negara lain seperti Turki, Maroko dan lain sebagainya. Akan

tetapi, dalam pembentukan UU tentang Pengelolaan Zakat ini, negara yang dituju

sebagai perbandingan adalah Malaysia dan Singapura, seperti dinyatakan secara

tegas dalam keterangan pemerintah di hadapan Sidang Paripurna DPR.

2. Internal

Betapapun besarnya pengaruh eksternal di atas, faktor-faktor internal dalam

negeri tentu yang paling menentukan. Yang demikian itu karena situasi yang

dihadapi oleh negara dan bangsa justru yang menjadi triggering factors bagi

lahirnya sebuah undang-undang. Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat tak

66 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 420; M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 36-

40. 67 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 41. 68 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 44-46. 69 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 50-52.

Page 78: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

68

Kebijakan Negara Tentang Zakat

syak lagi memiliki sejumlah faktor yang melicinkan jalan bagi kelahirannya. Di

antara faktor-faktor ini adalah sebagai berikut:

a. Historis

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, persoalan zakat bukanlah

masalah baru, tetapi sebuah recurrent issue yang akan segera mengemuka

manakala kondisi yang diperlukannya tersedia. Sebenarnya, upaya untuk membuat

sebuah undang-undang zakat telah dilakukan segera setelah Orde Baru terbentuk.

Pada 1968, misalnya, Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Nomor 4 dan 5,

yang masing-masing berisi pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal. Akan

tetapi, bukannya diimplementasikan, kedua peraturan itu malah berhenti di tengah

jalan. Ada perbedaan pendapat mengenai sebab musabab kedua peraturan itu

menjadi dorman. Menurut sebagian sarana, hal itu disebabkan oleh

ketidaksetujuan Menteri Keuangan terhadap kedua peraturan itu. Sebagian yang

lain menilai bahwa tidak berjalannya peraturan itu karena ketidaksetujuan

Soeharto yang khawatir hal itu dapat mengarah pada pelaksanaan Piagam Jakarta.

Sebaliknya, Soeharto—sebagai pribadi Muslim—malah bersedia menjadi

amil zakat secara nasional. Akan tetapi, keterlibatannya mengelola zakat ini

hanya berjalan selama beberapa tahun saja, sebab sejak 1972 ia mengundurkan

diri. Selama periode keterlibatannya itu jumlah yang berhasil dikumpulkan hanya

sebesar Rp. 39.500.000,- dan USD 2.473. Setelah mundur, ia justru mendirikan

Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang menarik dana secara langsung dari

gaji para pegawai negeri. Padahal, di saat menjadi amil zakat, ia semestinya dapat

melakukan hal serupa. Apalagi zakat merupakan kewajiban Muslim, yang tentu

saja lebih mudah diterima oleh masyarakat, ketimbang sekadar sumbangan kepada

Yayasan tersebut.70

Dengan kata lain, pengelolaan zakat selama ini belum memeroleh perhatian

yang semestinya, di antaranya belum adanya undang-undang yang

memayunginya. Karena itu, adanya undang-undang zakat sebenarnya sudah

menjadi aspirasi Muslim sejak lama, tetapi selalu mendapat hadangan dari pihak

pemerintah. Bahkan, seolah-olah pemerintah malah mempermainkannya demi

kepentingan politik. Karena itu, tatkala kondisi berubah dan situasi politik

mendukungnya, keinginan itu muncul kembali. Yaitu, aspirasi agar undang-

undang tentang zakat, yang telah dipersiapkan oleh FOZ diajukan oleh pemerintah

ke DPR untuk dibahas. Sesungguhnya, hal seperti itu tidak hanya terjadi dalam

kasus zakat. Seperti dimaklumi, upaya memasukkan Piagam Jakarta ke dalam

UUD 1945 juga terjadi beberapa kali. Setelah gagal dalam PPKI, usaha tersebut

berulang dalam Konstituante 1959 meskipun harus mengalami nasib serupa,

setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 1 Mei 1959. Setelah

tumbangnya Orde Baru, sejumlah partai juga mengusung kembali aspirasi itu

dalam Sidang MPR 2002, namun ditarik kembali sebelum dilakukan voting.

Singaktnya, kelahiran undang-undang zakat pada dasarnya tinggal menunggu

waktu, sebab ia sudah menjadi aspirasi kuat Muslim yang sudah lama.

70 Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124-25.

Page 79: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

69

Bab III

b. Ekonomi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, faktor penting yang mula-mula

mendorong lengsernya Soeharto dari kekuasaan adalah krisis ekonomi. Ini

bermula dari beberapa krisis yang menimpa sejumlah negara Asia yang akhirnya

berdampak sangat besar di Indonesia. Krisis ini tidak hanya menghancurkan

ekonomi negara, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap perekonomian

masyarakat, yang ditandai dengan naiknya harga kebutuhan mereka. Akibatnya,

tingkat pengangguran dan kemiskinan rakyat Indonesia meningkat sangat tajam.

Dalam situasi seperti itu, adanya pranata zakat menjadi sangat signifikan,

jika dikelola dengan baik. Seperti dikemukakan Menteri Agama saat itu, A. Malik

Fadjar, di hadapan anggota DPR, zakat merupakan sebuah potensi dan sumber

dana yang sangat besar bila dikelola secara terencana dan maksimal, yang hasilnya

dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan

dan mewujudkan keadilan sosial.71

Banyak orang yang yakin bahwa zakat jika dikelola dengan baik dapat

membantu negara dalam menghadapi krisis keuangan dan menyejahterakan

rakyatnya. Hal itu tidak berarti zakat yang dikumpulkan oleh negara digunakan

untuk membiyai negara, tetapi sebaliknya negara hanya berperan sebagai

fasilitator dalam mengumpulkan zakat, yang dalam hal ini bertindak sebagai amil

zakat. Dengan demikian, negara dapat mengumpulkan zakat, lalu

mendistribusikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Jika pengelolaan

ini terpusat, maka zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dapat

diwujudkan. Sebaliknya, jika didasarkan pada masing-masing daerah, hal itu akan

menimbulkan ketimpangan, di mana daerah yang dapat mengumpulkan zakat

sedikit, hanya dapat mengentaskan kemiskinan yang juga sedikit. Padahal, tidak

menutup kemungkinan kalau di daerah itu terdapat banyak orang miskin,

sementara zakat yang terkumpul hanya sedikit.72

Lebih jauh, diasumsikan bahwa zakat jika dikelola oleh negara dapat

mengumpulkan dana yang mencapai puluhan triliun. Dengan dana sebesar ini,

pemerintah dapat memprioritaskan pada aspek lain yang justru sangat

membutuhkan banyak dana. Seperti dikemukakan M. Djamal Doa, jika dikelola

oleh negara dengan sistem modern dan transparan, dana zakat dapat terkumpul

hingga mencapai kurang lebih 80 trilyun rupiah, sebuah jumlah yang tentu saja

melebihi anggaran sebuah departemen, seperti UKM yang pada 2000 hanya

berkisar 20-25 trilyun rupiah.73

Asumsi tentang potensi yang demikian besar dari zakat ini mendorong

masyarakat yang tercermin dalam DPR dan negara untuk mencoba menggali dan

mendayagunakannya. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa negara sedang berada

dalam krisis multidimensi, sehingga potensi zakat yang besar itu dipandang

relevan dan signifikan.

71 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 26. 72 AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Mufti, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi

Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004), 42-43. 73 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), 31-32.

Page 80: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

70

Kebijakan Negara Tentang Zakat

c. Yuridis

Seperti telah disebutkan sebelumnya, berbagai ketentuan tentang zakat telah

dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi tumpang tindih antara satu dan lainnya tidak

dapat dihindarkan. Sementara itu, akomodasi terhadap sejumlah peraturan yang

berkaitan dengan kepentingan Islam dimaksudkan di antaranya adalah untuk

menciptakan integrasi peraturan atau unifikasi undang-undang.74

Karena itu, RUU

tentang pengelolaan zakat ini bertujuan pada terciptanya tertib hukum yang dapat

menjadi landasan bagi pengelolaan zakat secara integral.75

Di sisi lain, pada 1993, Republika, koran yang diterbitkan oleh ICMI,

mendirikan lembaga yang dikenal dengan Dompet Dhuafa (DD) Republika.

Lembaga ini berusaha menjadi pengelola zakat yang dijalankan secara profesional

dan kemudian berpengaruh besar bagi pelembagaan pengelolaan zakat. DD

menerima dan menyalurkan berbagai sumbangan dari masyarakat, baik dalam

bentuk zakat, infak maupun shadaqah, di samping bentuk sumbangan lainnya.

Dibandingkan dengan lembaga-lembaga BAZIS lainnya, DD dapat dipandang

sebagai yang paling sukses dalam mengumpulkan dana zakat, infak dan shadaqah.

Yang demikian itu, karena melalui Republika DD dapat menyampaikan iklan,

laporan penerimaan dan penyaluran dana yang ada secara transparan. Kesuksesan

dalam penggalangan dana melalui koran ini juga dialami oleh Dana Kemanusiaan

Kompas, yang dikelola oleh koran nasional ini. Melalui transparansi laporan dan

penggunaan, para penyumbang terus meningkat dan tak pernah berhenti.

Salah satu peran penting lembaga ini adalah memprakarsai kelahiran asosiasi

organisasi pengelola zakat, yang kemudian dikenal dengan Forum Zakat (FOZ),

yang dideklarasikan bersamaan dengan Seminar Zakat Perusahaan pada 7 Juli

1997. Pendeklarasian forum ini didukung oleh 11 lembaga, antara lain Dompet

Dhuafa Republika, Bank Bumi Daya, Pertamina, Telkom Jakarta, Baitul Mal

Pupuk Kujang, Bazis DKI, Hotel Indonesia dan Sekolah Tinggi Ekonomi

Indonesia (STEI) Jakarta, yang kemudian sekaligus bertindak sebagai

konsorsiumnya.76

Di antara persoalan mendasar yang menjadi perhatian forum ini

adalah tidak adanya sebuah undang-undang yang dapat memayungi aktivitas

mereka secara memadai.

Tidak adanya landasan hukum yang tegas bagi pengelolaan zakat di satu sisi

dan merebaknya lembaga-lembaga swasta dalam mengelola zakat di sisi lain,

telah mendorong berbagai pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi.

Karena itu, seluruh lembaga zakat (BAZIS) di tingkat provinsi di Indonesia,

melalui fasilitas Depag, menyelenggarakan pertemuan nasional pada 3-4 Maret di

Jakarta. Dalam pertemuan ini disadari oleh semua pihak, baik utusan BAZIS

maupun Depag, akan pentingnya sebuah lembaga zakat di tingkat nasional untuk

mengelola zakat. Mereka bahkan meminta Rudini, yang saat itu sebagai Menteri

Dalam Negeri, bertindak sebagai ketua Dewan Zakat Nasional. Meskipun ia

menyetujui usulan ini, tetapi Soeharto tidak dapat merestui semangat tersebut.77

74 Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Sharia in the Perspective of

Indonesian Legal Politics,‛ 7. 75 Lihat ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 31. 76 Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ 63. 77 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127.

Page 81: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

71

Bab III

Kegagalan dan tiadanya lembaga zakat di tingkat nasional ini mendorong

lembaga-lembaga lokal menjalin satu dengan yang lain sehingga terbentuklah

Forum Zakat pada September 1997, yang disponsori oleh 11 lembaga zakat yang

disponsori oleh pemerintah maupun swasta. Dalam waktu tak lebih dari dua

tahun, 150 lembaga zakat lain bergabung kedalamnya sehingga forum ini

memainkan peran penting dalam persoalan-persoalan zakat. Forum ini, selain

memperkuat jaringan antarlembaga zakat, juga aktif menyebarkan informasi,

mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang terkait dengan zakat. Hingga batas

tertentu, forum ini menjadi konsultan dalam berbagai persoalan zakat sekaligus

mediator dalam hubungannya dengan pemerintah. Dalam pertemuannya pada 7-9

Januari 1999, seluruh anggota sepakat untuk mendorong FOZ mempersiapkan

sebuah draft undang-undang zakat.78

d. Sosial-Politik

Faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam mendorong lahirnya Undang-

undang Zakat adalah sosial dan politik. Sebagaimana dimaklumi, peran Muslim

dalam era reformasi ini sangat besar, terutama dari kalangan intelektualnya.

Seperti dikemukakan oleh Azyumardi Azra ‚Muslim groups have played an

important role in the fall of Soeharto, ending a long period of autocratic rule and,

therefore, providing an impetus for the growth of democracy. Prominent Muslim

leaders, such as M. Amien Rais, Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid, had

been at the forefront of the opposition movement in the last years of Soeharto’s

power.‛79

Berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya, naiknya Habibie menggantikan

Soeharto membawa suasana baru, yaitu kebebasan ekspresi yang sangat besar,

yang oleh Bahtiar Effendy disebut sebagai euphoria atau relaksasi politik.80

Meskipun demikian, pemerintahan Habibie sering ditempatkan orang sebagai

pemerintahan transisi sehingga memiliki kelemahan. Ini mengakibatkan

kebijakan-kebijakan yang diambilnya sangat akomodatif terhadap berbagai

aspirasi dan tuntutan. Misalnya, ketika Kelompok Enam—yang terdiri atas Amien

Rais, Emil Salim, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish Madjid dan lain-lain—

mendesak Habibie agar pemilihan umum dipercepat, tuntutan itu pun segera

dikabulkan. Demikian pula, ketika masyarakat menuntut pembebasan tahanan

politik, liberalisasi kehidupan pers, termasuk kemungkinan diterbitkannya

kembali beberapa media yang dibredel pada masa Soeharto, semua itu diberikan

konsesi masing-masing oleh Habibie.81

Dalam situasi seperti inilah aspirasi pengajuan RUU tentang Zakat

tampaknya juga harus diterima. Apalagi sudah berkali-kali upaya ini dilakukan

sebelumnya, tetapi selalu menghadapi hambatan dan berakhir tanpa pembahasan.

Ini tercermin dari pembahasan dalam DPR, di mana momen kebebasan ini

dianggap sebagai waktu yang tepat untuk membahas dan mengesahkannya.

78 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127-28. 79 Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta-

Singapore: Solstice Publishing, 2006), 5. 80 Lihat Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung:

Mizan, 2000), 172. 81 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2006), 308 dan 315.

Page 82: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

72

Kebijakan Negara Tentang Zakat

Lebih jauh, di samping sebagai Presiden, Habibie adalah ketua ICMI, yang

menerbitkan koran nasional, Republika dengan Dompet Dhuafa-nya sebagai

lembaga yang aktif mengelola zakat dalam koran itu. DD pula yang menjadi

inisiator bagi terbentuknya FOZ, yang dari sini kemudian lahir draft RUU tentang

Zakat pada 1999. Mengingat FOZ banyak diisi oleh orang-orang yang selama ini

berkiprah di DD, maka bisa dimengerti bahwa ketika Habibie menjadi presiden,

dengan mudah draft RUU tersebut diajukan oleh FOZ ke Menteri Agama dan

selanjutnya ke presiden. Dari sinilah kemudian presiden mengajukan RUU

tersebut ke DPR untuk dibahas dan memperoleh persetujuan dari lembaga ini.

Fakta lain yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwa tahun 1999 adalah

tahun diselenggarakannya pemilihan umum pertama setelah lengsernya Soeharto,

di mana Habibie sendiri dipastikan akan mencalon diri dalam pemilihan presiden.

Oleh sebab itu, wajar jika ada semacam dugaan bahwa pengajuaan RUU ini tidak

dapat dipisahkan dari upaya Habibie untuk menarik simpati dari umat Islam.

Kenyataan ini dapat dilihat dari sejumlah pendukung yang mengusung Habibie

sebagai representasi umat Islam, di antarnya, berkat perannya dalam

menyukseskan lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan

Zakat.82

Dugaan semacam itu memang tidak dapat dihindarkan karena, seperti

disinggung sebelumnya, hukum tidak dapat dipisahkan dari politik. Terlepas dari

itu, fakta menunjukkan bahwa diajukannya RUU ini untuk dibahas bersama DPR

telah memenuhi aspirasi umat Islam, yang selama ini sulit diwujudkan.

C. Konfigurasi Politik Legislasi Zakat

Seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, konfigurasi politik dapat diartikan

sebagai konstelasi kekuatan politik, yang bisa jadi bersifat demokratis atau

otoriter.83

Disebut demokratis jika kekuatan atau sistem politik yang ada

memberikan kepada masyarakat peluang untuk turut serta dalam menentukan

kebijakan umum atau undang-undang. Sebaliknya, jika kekuatan atau sistem

politik yang ada tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam

pembuatan kebijakan atau undang-undang, ia disebut otoriter. Dengan kata lain,

konfigurasi politik adalah situasi politik yang ada dalam masyarakat yang

memengaruhi produk hukum yang dihasilkannya.

Sementara itu, legislasi sering diartikan dengan ‚pembuatan undang-undang‛

(legislation, law-making atau statute-making). Rousseau, misalnya,

mendefinisikan legislasi sebagai ‚an expression of the general will, such that a

free people is only bound by the laws which they have made for themselves,‛84

sementara dalam Black’s Law Dictionary, legislasi didefinisikan dengan ‚the

process of making or enacting a positive law in written form, according to some

type of formal procedure, by branch of government constituted fo perform this

process.‛85

Pengertian yang lebih luas tentang legislasi diberikan dalam Undang-

undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

82 Cf. A.A. Miftah, Zakat Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultan Thaha

Press, 2007), 115. 83 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2001), 24-25. 84 Dikutip dalam John Bell, Sophie Boyron dan Simon Whittaker, Principles of French Law

(Oxford: Oxford University Press, 1998), 14. 85 Bryan A. Garner, ed. in-chief, Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson, 2004), 918.

Page 83: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

73

Bab III

yaitu ‚proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya

dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,

pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.‛86

Melihat luasnya pengertian

legislasi, dalam konteks penelitian ini, legislasi undang-undang tentang

pengelolaan zakat dibatasi pada proses perumusan, pembahasan, pengesahan dan

pengundangan serta pelaksanaannya oleh lembaga negara yang bertugas

menjalankannya.

Seperti diketahui, pada masa Orde Baru sejumlah hukum Islam dilegislasi,

yang pembahasannya kadang-kadang dilakukan bersama DPR, seperti Undang-

undang Perkawinan 1974, peraturan wakaf, peradilan agama dan lain sebagainya.

Sementara itu, sejumlah undang-undang lain ditetapkan tidak melalui pembahasan

dengan DPR, tetapi melalui instruksi presiden, seperti penetapan Kompilasi

Hukum Islam dan Pendirian Bank Muamalat.

Adapun kepentingan pemerintah terhadap legislasi hukum Islam sangat

beragam. Pertama, penyatuan hukum yang didasarkan pada semangat

nasionalisme dan wawasan nusantara. Kedua, rekayasa sosial, sebagaimana

tercermin dalam undang-undang perkawinan 1974. Ketiga, untuk menunjukkan

bahwa hubungan antara pemerintah dan Islam telah berubah, dari marginalisasi ke

akomodasi. Keempat, untuk memeroleh legitimasi dari masyarakat atas

pemerintah.87

Berbeda dengan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang

lahir sebagai usul inisiatif DPR dan disahkan pada 15 April 1999, Rancangan

Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat ini merupakan inisiatif pemerintah

yang diajukan kepada DPR pada 24 Juni 1999, melalui Surat Presiden Nomor

R.31/PU/VI/1999. Terdiri dari 10 Bab dan 32 Pasal, konsideran yang dijadikan

landasan pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Pengelolaan Zakat adalah

Pasal 5 (ayat 1), Pasal 20 (ayat 1), Pasal 27 dan Pasal 29 serta Pasal 34 Undang-

Undang Dasar 1945.88

Seperti dikemukakan oleh Pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama

(A. Malik Fadjar saat itu) di hadapan Rapat Paripurna DPR tanggal 26 Juli 1999,

tujuan diusulkannya RUU ini untuk disahkan adalah agar pemerintah dapat

memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat dalam melaksanakan

ibadah zakat sesuai dengan tuntunan agama. Lebih dari itu, melalui UU ini

diharapkan fungsi dan peran zakat dapat ditingkatkan sehingga berguna bagi

pengentasan kemiskinan di satu sisi, dan peningkatan kesejahteraan sosial-

ekonomi di sisi lain.89

Akan tetapi, seperti diakui oleh Pemerintah, selama ini pengelolaan zakat

tidak dikelola dengan baik, padahal pranata ini memiliki potensi yang sangat

besar bagi kesejahteraan masyarakat. Sejak diterbitkannya SKB Menteri Agama

dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tentang Pembinaan BAZIS dan

Instruksi Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1991 serta Instruksi bagi

86 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 (1). 87 Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Sharia in the Perspective of

Indonesian Legal Politics,‛ 7-8. 88 Lihat ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 6, bagian konsideran ‚mengingat‛. 89 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 31; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 411.

Page 84: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

74

Kebijakan Negara Tentang Zakat

pelaksanaannya, pengelolaan zakat memang mengalami peningkatan. Pada 1992,

misalnya, dana ZIS yang terkumpul secara nasional sebesar Rp. 10.896.196.000,-

dan meningkat menjadi Rp. 216.858.893.000,- pada 1997. Sungguhpun begitu,

jumlah ini, menurut pemerintah, masih sangat mungkin ditingkatkan lebih jauh

bila diukur dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia, yang mencapai lebih

dari seratus juta.90

Hal ini bisa dibandingkan dengan pengelolaan zakat di Singapura dan

Malaysia. Ditegaskan oleh Menteri Agama bahwa jumlah penduduk Muslim di

Singapura hanya sekitar 450.000 jiwa (sekitar 15% dari seluruh jumlah

penduduk), tetapi ZIS yang mereka keluarkan mencapai Rp. 71.500.000.000,-

pada 1997. Jumlah sebesar itu bisa dicapai, di antaranya, karena adanya undang-

undang yang mengatur zakat dan wakaf, sebagaimana terlihat dalam Undang-

undang No. 27 Tahun 1966 tentang Administrasi Orang-orang Islam, Bagian IV,

Pasal 57-73.91

Sementara itu di Malaysia, kata Menteri Agama, jumlah dana yang terkumpul

dari ZIS mencapai angka yang cukup signifikan karena pengelolaan zakat di sana

dilakukan secara profesional dan sistematis. Di Wilayah Persekutuan (Negara

Bagian Kuala Lumpur) saja, dana ZIS yang terkumpul dalam setahun (1997)

sebesar Rp. 105.600.000.000,; (RM. 52.800.000,-) dengan jumlah penduduk

Muslim hanya sekitar 650.000 jiwa. Yang lebih mengejutkan 97% dari jumlah itu

diperoleh dari zakat mal, sementara 3% lainnya berasal dari zakat fitrah.92

Lebih

jauh dikatakan bahwa setelah negara bagian ini membentuk Pusat Pungutan Zakat

(PPZ), yang dikelola secara profesional, dana yang terkumpul semakin meningkat.

Jika sebelum dibentuk, rata-rata perolehan dana zakat, infak dan shadaqah hanya

sebesar RM 5.000.000,-, melalui lembaga ini dana itu meningkat lebih dari dua

kali lipat. Pada 1991, misalnya, PPZ berhasil mengumpulkan dana sebesar RM

13.500.000,- dan meningkat menjadi RM 21.200.000,- setahun kemudian. Enam

tahun berikutnya, dana yang terkumpul menjadi RM. 52.800.000,-.93

Dengan

demikian, pemerintah berasumsi bahwa jika zakat dikelola dengan baik maka

jumlah nilai zakat diduga akan meningkat lebih besar dan karenanya diperlukan

undang-undang.

Pemerintah mengakui bahwa selama ini upaya untuk mengatur zakat melalui

undang-undang telah lama diupayakan. Menteri Agama, misalnya, telah

mengeluarkan Peraturan Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil

Zakat dan Peraturan Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal.

Akan tetapi, karena ada pihak-pihak tertentu ‚yang kurang berkenan, kedua

peraturan itu akhirnya pelaksanaannya ditangguhkan melalui Instruksi Menteri

Agama Nomor 1 Tahun 1969. Upaya lain juga dilakukan, di antaranya, dengan

mempersiapkan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Zakat.

Akan tetapi, usaha ini juga mengalami nasib serupa, karena tidak sampai

90 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 27. 91 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12. 92 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12. 93 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12.

Page 85: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

75

Bab III

dibicarakan bersama DPR. Yang muncul kemudian adalah SKB Menteri Agama

dan Menteri Dalam Negeri yang telah disebutkan.94

Sebulan setelah keterangan pemerintah, fraksi-fraksi di DPR, yang meliputi

Fraksi ABRI (F-ABRI), Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi Persatuan

Pembangunan (F-PP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI),

menyampaikan pemandangan umum terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat

dalam Rapat Paripurna yang diselenggarakan pada 26 Agustus 1999. Dalam

pemandangan umumnya, Fraksi ABRI menilai bahwa RUU ini sangat relevan

dengan situasi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, di mana jumlah penduduk

miskin semakin meningkat. Dengan mendasarkan pada Pasal 34 UUD 1945, yang

menegaskan bahwa ‚Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara,‛

F-ABRI menilai pengelolaan zakat yang baik dapat menjadi salah satu alternatif

bagi krisis ekonomi dan kemiskinan. Fraksi ini juga memperkuat argumennya

dengan sejumlah ayat Al-Quran yang menegaskan tujuan zakat untuk mengurangi

kesenjangan sekaligus sebagai peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Karena

itu, F-ABRI menilai keselarasan tujuan antara yang dicita-citakan oleh negara dan

yang dianjurkan oleh kitab suci umat Islam ini, sehingga fraksi ini menyambut

baik RUU tersebut dan bersedia untuk membahasnya.95

Optimism fraksi-fraksi ini

memang sejalan dengan fungsi zakat, yang antara lain, untuk kesejahteraan

sosial.96

Meskipun demikian, F-ABRI juga memberikan catatan bahwa jika kemudian

RUU ini disahkan menjadi undang-undang, ia tidak boleh memiliki unsur paksaan,

tetapi sekadar sebagai dorongan terhadap umat agar melaksanakan kewajiban

zakat. F-ABRI menyarankan lebih jauh agar judul RUU diubah menjadi RUU

tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah, mengingat dalam sebagian

pasalnya dikemukakan bahwa lembaga yang akan dibentuk oleh undang-undang

ini juga menerima infak dan shadaqah.97

Tampaknya, fraksi ini sejak awal sudah

mewanti-wanti agar undang-undang zakat tidak melibatkan negara dalam

pengumpulannya melalui kekuatan. Seperti diisyaratkan oleh Sutarmadi, memang

sejak awal sudah ada kompromi pada saat penyusunan RUU agar negara tidak

memaksa warganya untuk membayar zakat.98

Ini sangat berbeda dengan beberapa

negara yang memang menerapkan hukum Islam, seperti Libya dan Saudi Arabia,

serta Mesir.99

Sementara itu, dalam pemandangannya, F-Karya Pembangunan (F-KP)

memandang signifikansi ekonomis dan sosial zakat bagi pengentasan kemiskinan

dan peningkatan kualitas umat Islam. Oleh karena itu, setelah RUU ini disahkan

menjadi undang-undang, pengelolaan zakat harus dilaksanakan secara terencana,

94 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 29-30. 95 ‚Pemandangan Umum Fraksi ABRI atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 26 Agustus 1999,

38-39. 96 Bandingkan, misalnya, dengan Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty

Alleviation (Jeddah: IDB-Institute of Research and Training, 2004), 63. 97 ‚Pemandangan Umum Fraksi ABRI atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 41-42;

bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 415-16. 98 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara

dalam Infoz, 4: 6 (2010), 25-27 99 Lihat, misalnya, ‘Uthma>n H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i al-Isla>mi

(Kairo: Da>r al-Wafa>’, 1989), 203, 206 dan 207.

Page 86: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

76

Kebijakan Negara Tentang Zakat

komunikatif dan terkoordinasi dengan baik. Seperti F-ABRI, F-KP mengusulkan

agar judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan

Shadaqah, kata pengelola diganti dengan kata amil. F-KP juga mengusulkan agar

yang mengangkat Badan Amil Zakat di tingkat nasional bukan sekadar Menteri

Agama, tetapi Presiden dan memberikan sanksi yang lebih berat bagi pengelola

yang menyimpang dari Rp. 30.000.000,- seperti yang diusulkan pmerintah

menjadi Rp. 300.000.000,-.100

Seperti F-ABRI, F-PP melihat krisis ekonomi membuat RUU tentang

Pengelolaan Zakat ini menjadi signifikan, mengingat jika dikelola dengan baik

institusi keagamaan ini tidak saja dapat mengurangi kemiskinan, tetapi juga dapat

menjadi solusi alternatif sebagai sumber dana/kas negara.101

Pandangan seperti ini

memang sejalan dengan tradisi fikih, yang menyebut zakat sebagai sumber

sekunder negara.102

Akan tetapi, zakat—dalam pandangan F-PP—juga dapat

menjadi beban tambahan di saat krisis sebab Muslim harus membayar dua

kewajiban sekaligus, yakni pajak dan zakat itu sendiri. Oleh sebab itu, RUU ini

harus memberikan jaminan bahwa pembayar zakat memeroleh keringanan dalam

pembayaran pajak.103

Partai, yang setelah turunnya Soeharto kembali berasas

Islam dan berlambang Ka‘bah, ini menilai bahwa ada kesan di kalangan sebagian

masyarakat bahwa negara terlalu mencampuri urusan ibadah warga, sehingga

diperlukan sosialisasi yang luas untuk menyanggah dugaan itu.104

Adapun pemandangan umum F-PDI didasarkan pada fungsi dan daya guna

zakat yang prioritasnya adalah untuk kesejahteraan sosial. Satu-satunya catatan

yang diberikan oleh fraksi ini adalah persoalan sanksi yang akan diterapkan pada

pengelola yang menyalahgunakan dana zakat yang, menurut F-PDI, harus

didasarkan pada tingkat kesalahan pengelola.105

Merespons pemandangan yang disampaikan oleh fraksi-fraksi, pemerintah

justru menilai bahwa para anggota DPR begitu antusias terhadap RUU tentang

Pengelolaan Zakat. Bahkan hingga batas tertentu usulan-usulan fraksi-fraksi

justru mempertajam usulan pemerintah. Sebagai misal, pemerintah menyetujui

perubahan judul RUU ini menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan

Shadaqah. Akan tetapi, hal itu bergantung pada persetujuan seluruh fraksi di DPR.

Berkaitan dengan usulan agar BAZ dibentuk dan diangkat oleh pemerinah, dalam

hal ini Presiden dan bukan Menteri Agama, pemerintah menyetujui usulan

tersebut. Lebih jauh, pemerintah juga menyetujui usulan agar sanksi pelanggar

100 ‚Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

48-50. 101 ‚Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 55-56. 102 Lihat, misalnya, Sabahuddin Ahmad, Menimbang Ekonomi Islam, terj. Widyawati (Bandung:

Nuansa, 2007). 103 Pengurangan pembayaran wajib pajak setelah pembayaran wajib zakat seperti ini memang

lazim diperlakukan di beberapa negara, seperti di Malaysia. Pengurangan ini hanya berlaku bagi

individu dan tidak bagi perusahaan. Lihat Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 77.

104 ‚Pandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

61. 105 ‚Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia atas RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 26 Agustus 1999, 66-67.

Page 87: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

77

Bab III

atau yang menyalahgunakan pengelolaan zakat ditingkatkan, dari denda sebesar

Rp. 30.000.000,; menjadi Rp. 300.000.000.106

Pembahasan tentang RUU ini kemudian secara lebih terperinci dilakukan

dalam Pembicaraan tingkat III yang berlangsung dalam Rapat Kerja sebanyak 10

kali. Dalam rapat-rapat itu, 119 buah persoalan yang disebut Daftar Inventarisasi

Masalah (DIM) diangkat dan diperdebatkan, 91 di antaranya berkaitan dengan

batang tubuh RUU, sementara 2 lainnya berhubungan dengan penjelasan. Di

antara masalah pokok yang penting diangkat di sini adalah sebagai berikut.

1. Judul RUU

Persoalan judul sebenarnya telah muncul di saat F-KP dan F-ABRI

menyampaikan pemandangan umum atas RUU ini dan kembali mengemuka dalam

Rapat Kerja.107

Argumentasi yang dikemukakan oleh F-KP adalah bahwa—sesuai

dengan Pasal 12 ayat (3) RUU—BAZ juga menerima infak dan shadaqah. Dengan

kata lain, bagi fraksi ini, ternyata undang-undang ini tidak hanya berkaitan dengan

zakat, tetapi juga menyangkut bentuk kedermawanan lain, sehingga lebih tepat

kalau judul RUU disesuaikan dengan cakupannya, dan karenanya menjadi

Rencana Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, Infak, Shadaqah. F-ABRI

menambahkan, mengingat baik zakat, infak maupun shadaqah ditangani oleh satu

lembaga atau amil, maka ketiganya tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu,

ketiganya harus disebutkan dalam judul RUU ini.108

Seperti disebutkan

sebelumnya, meskipun ketiganya masuk dalam kategori shadaqah, namun

pembahasan fikih umumnya membedakan satu sama lain. Akan tetapi, dalam

pengelolaannya bisa masuk ke dalam satu lembaga seperti Baitul Mal.109

Menanggapi usulan itu, F-PDI menilai bahwa usulan itu sesungguhnya

kurang signifikan karena dua hal. Pertama, dari sisi waktu, jika judul yang

diusulkan pemerintah itu diubah, maka banyak pasal yang harus mengikuti

penyesuaian. Ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan bisa jadi

mengakibatkan mundurnya pengesahan undang-undang ini. Kedua, ada perbedaan

antara zakat, infak dan shadaqah. Jika yang pertama wajib, dua lainnya hanya

sunnah. Lebih jauh, dua jenis kedermawanan terakhir ini tidak dapat dipastikan

waktu maupun jumlahnya. Kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak ada.110

Sementara itu, F-PP mengemukakan argumen yang agak berbeda dengan

menganalogikan RUU ini dengan Undang-undang Pengelolaan Haji. Meskipun

judul undang-undang tentang haji, tetapi di dalamnya juga menyangkut umrah.

Namun, yang terakhir disebutkan ini tidak dimasukkan ke dalam judul undang-

undang tersebut. Lebih jauh, masalah sedikitnya waktu juga menjadi

pertimbangan fraksi ini. Baginya, yang penting undang-undang ini—dengan

keterbasan waktu itu—dapat disahkan dahulu, persoalan diperlukan perbaikan, hal

106 ‚Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 31 Agustus 1999, 75-79. 107 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik

Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta: 2008), 387. 108 ‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999,

176-179; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 415. 109 Lihat N.J. Coulson, ‚Bayt al-Ma>l,‛ dalam The Encyclopedia of Islam, New Edition (Leiden:

Brill, 1986), 1: 1142. 110 ‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999,

178.

Page 88: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

78

Kebijakan Negara Tentang Zakat

itu dapat dilakukan pada masa mendatang. Lebih-lebih, aspirasi terhadap adanya

undang-undang zakat ini sudah dirasakan sejak 50 tahun lalu.111

Dalam undang-

undang tentang zakat di negara-negara Muslim, memang tidak lazim disebutkan

undang-undang tentang pengelolaan zakat, infak dan shadaqah sekaligus,

meskipun undang-undang itu meliputi dua yang terakhir ini. Di Pakistan,

misalnya, undang-undang tentang zakat hanya diberi judul ‚Zakat and ‘Ushr

Ordinance of 1981.‛112

Akhirnya, rapat tidak dapat mengambil keputusan tentang perubahan judul

ini, tetapi diserahkan kepada Panja atas usulan pemerintah. Dalam Rapat Panja

yang diadakan pada 3 September 1999, persoalan ini kembali menghangat. F-

ABRI bersikukuh agar judul ini diubah menjadi ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat,

Infak dan Shadaqah,‛ dengan alasan karena terbukti undang-undang ini juga

membicarakan infak dan shadaqah dan pengelolaannya juga satu. Usulan serupa

dikemukakan F-KP dengan argumen yang lebih panjang. Fraksi ini mendasarkan

perubahan ini pertama-tama atas hadis yang menegaskan bahwa ‚memberi itu

lebih mulia dari yang diberi‛ (al-yadd al-‘ulya> khayr min al-yadd al-sufla>). Hadis

ini mengisyaratkan bahwa pemberian itu bisa meliputi ketiga jenis filantropi

tersebut. Lebih jauh, baik sasaran zakat maupun infak dan shadaqah adalah

delapan golongan penerima (al-as}na>f al-thama>niyah), sehingga judul RUU ini

harus meliputi ketiganya. Alasan lainnya adalah bahwa zakat, infak dan shadaqah

itu sendiri memiliki pengertian yang saling dapat dipertukarkan, dan ini sudah

disepakati oleh para ulama. Kemudian, dalam masyarakat, sudah umum dikenal

istilah BAZIS, yang juga menyertakan infak dan shadaqah. Kalau judul yang

diangkat hanya tentang zakat, hal ini akan menimbulkan tanda tanya di tengah

masyarakat. Sebaliknya, kalau judul undang-undang ini berjudul UU tentang

Pengelolaan ZIS, hal itu sudah tidak asing lagi bagi mereka. Lebih dari itu, inti

dari undang-undang ini adalah menyejahterakan masyarakat, sebagaimana tujuan

zakat itu sendiri. Mengingat zakat saja tidak mungkin mampu mencapai tujuan

itu, infak dan shadaqah harus menyertainya, dan karenanya dua yang terakhir ini

harus dimasukkan dalam judul undang-undang ini.113

Berbeda dengan dua fraksi ini, F-PDI tidak memandang signifikan

penambahan judul RUU ini. Dalam pandangan fraksi banteng ini, jika judulnya

diubah, perubahan juga mesti dilakukan tidak hanya dalam masalah konsideran,

tetapi juga dalam pasal-pasal dan lain sebagainya. Ini dikhawatirkan akan

memperlambat penyelesaian undang-undang ini, sementara masa jabatan para

wakil rakyat sebentar lagi segera berakhir. Lebih jauh, menjadi persoalan

tersendiri, bagaimana menggabungkan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang

hanya sunnah. Karena itu, F-PDI menghendaki agar judul undang-undang ini tetap

111 ‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999,

180-181. 112 Habib Ahmed, Role of Zaka>h and Awqa>f in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004),

92. 113 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 456-457. Seperti disinggung sebelumnya, perbedaan antara

infak dan sadaqah sangat tipis. Beberapa ulama menilai bahwa yang pertama lebih terkait dengan

keluarga, sementara yang kedua lebih bersifat umum. Lihat, misalnya, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> al-

Mara>ghi>, Min Qad}a>ya al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 71-73; lihat

juga A. Shaukat J. Gilani, ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3: 1(1985), 64.

Page 89: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

79

Bab III

sesuai dengan usulan pemerintah. Senada dengan pandangan ini, F-PP juga

menilai bahwa memasukkan infak dan shadaqah dalam judul undang-undang ini

sebenarnya tidak begitu signifikan. Menurut fraksi ini, zakat sebagai kewajiban

memang sudah semestinya menjadi judul, tetapi memasukkan infak dan shadaqah

yang sunnah ke dalam judul seolah-olah menyamakan kedudukan keduanya. Bagi

F-PP, dengan penekanan pada zakat saja, jika dilaksanakan dengan baik, hal itu

sudah menjadi prestasi yang luar biasa, mengingat bidang ini belum tergarap

dengan baik. Meskipun demikian, infak dan shadaqah tetap diakomodasi dan telah

disebutkan dalam pasal-pasal. Karena itu, perubahan judul RUU ini dipandang

tidak diperlukan.114

Menanggapi dua arus pemikiran di atas, pemerintah menegaskan bahwa

judul ‚Pengelolaan tentang Zakat‛ ini telah dipilih searif mungkin. Ini bisa dilihat

secara kronologis dan historis pengajuan RUU ini sebelumnya. Suatu ketika, RUU

yang pernah diajukan berjudul RUU tentang Zakat dan beberapa kali pula

mengalami penolakan, sehingga kali ini diberi judul RUU tentang Pengelolaan

Zakat. Di samping itu, judul ini juga mengikuti RUU Haji yang diajukan oleh

DPR dengan judul RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang dalam pasal-

pasalnya juga membicarakan umrah.115

Ini menunjukkan bahwa bukan persoalan

ibadahnya yang ditekankan, tetapi pengelolaan zakat itu sendiri. Di sini terlihat

bahwa RUU ini berusaha menghindarkan negara dalam masalah keagamaan,

terutama yang terkait dengan ibadah zakat.116

Setelah masing-masing pihak menyampaikan pendapat, perdebatan menjadi

semakin menghangat. F-ABRI mengawali responsnya terhadap pandangan

tersebut dengan mengatakan bahwa judul harus merepresentasikan isinya. Jika

tidak, hal itu akan membingungkan masyarakat dan pembaca. Di samping itu,

tanpa dimasukkannya infak dan shadaqah ke dalam judul akan berimplikasi bahwa

sanksi yang ditetapkan bagi pihak yang menyelewengkan zakat seolah-olah tidak

berlaku bagi mereka yang menyelewengkan infak dan shadaqah. Yang lebih

penting lagi, ternyata dana yang terkumpul melalui infak dan shadaqah jauh lebih

besar ketimbang dana yang diperoleh melalui zakat. Karena itu, sudah

sepantasnya dua hal ini dimasukkan dalam judul. Mempertegas pandangan F-

ABRI, F-KP mengemukakan bahwa sejauh ini yang disosialisasikan kepada

masyarakat adalah BAZIS yang sudah berlangsung sejak 1991 melalui SKB

Menteri Dalam Negri dan Menteri Agama. Karena itu, dengan dimasukkannya

infak dan shadaqah ke dalam judul RUU, hal itu mempermudah sosialisasi kepada

masyarakat. Lebih jauh, untuk mempertegas sanksi, dua kata ini harus

dimasukkan ke dalam judul, sehingga menjadi warning bagi masyarakat bahwa

yang menyelewengkan dana infak dan shadaqah pun akan mendapatkan sanksi.

Dengan kata lain, masyarakat akan melihat ketiga jenis filantropi ini merupakan

suatu kesatuan.117

114 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang

Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 458-461. 115 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 3 September 1999, 464-465. 116 Ini diakui oleh Ahmad Sutarmadi, yang memang sejak awal istana menolak kalau-kalau

negara dilibatkan. Lihat Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛

Wawancara dalam Infoz, 4:6 (2010), 25-27. 117 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 3 September 1999, 466-469.

Page 90: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

80

Kebijakan Negara Tentang Zakat

Sementara itu, F-PP tetap bersikukuh bahwa judul RUU ini cukup dengan

Pengelolaan Zakat saja. Seperti dikemukakan oleh juru bicaranya, Lukman Hakim

Saifuddin, jika persoalannya sekadar agar memperjelas isi undang-undang,

mestinya undang-undang yang ada sebelumnya juga demikian. Namun, terbukti

tidak sedikit undang-undang yang hanya berjudul singkat meskipun berisi banyak

hal. Undang-undang Perkawinan, misalnya, meliputi talak, cerai, rujuk, tetapi

judulnya cukup dengan Undang-undang Perkawinan. Yang lebih penting lagi, bagi

F-PP, adalah bahwa zakat kedudukannya wajib, sementara infak dan shadaqah

hanya sunnah. Lebih dari itu, jika zakat memiliki target dan sasaran yang jelas,

yakni as}na>f al-thama>niyah, tidak demikian halnya dengan infak dan shadaqah.

Karena itu, judul RUU ini tidak usah diubah. Menanggapi argumen F-ABRI

bahwa dana infak dan shadaqah lebih besar, pemerintah mengajukan perbandingan

dengan zakat di Kuala Lumpur. Di sini, infak dan shadaqah juga jauh lebih tinggi

ketimbang zakat perolehannya. Itu terjadi karena zakat tidak dikelola secara

profesional. Akan tetapi, setelah diundangkan dan dikelola dengan baik, ternyata

dana dari zakat meningkat sangat tinggi, sementara infak dan shadaqah hanya

mencapai 0,3% dari seluruh dana yang masuk ke Pusat Pungutan Zakat (PPZ).

Dengan kata lain, RUU tentang Pengelolaan Zakat menitikberatkan pada zakat,

sementara infak dan shadaqah bersifat sekunder.118

Perdebatan ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kerangka fikih, di

mana zakat, infak dan shadakah dipandang sebagai entitas yang berbeda. Karena

itu, pembahasan tentang zakat dalam fikih dilakukan secara terpisah dari infak

dan shadaqah, meskipun seluruhnya masuk ke dalam kategori shadaqah.119

Perbedaan pandangan di atas ternyata terus mengalir dan tidak menghasilkan

suatu kata sepakat. Akhirnya, pembahasan dalam rapat pun diskor dan

diselesaikan melalui lobi. Setelah berlangsung dalam beberapa menit, akhirnya

rapat menyetujui untuk tidak mengubah judul RUU ini. Semangat di balik

kesepakatan ini adalah bahwa RUU ini harus selesai karena kehadirannya telah

ditunggu oleh masyarakat dan memang masa jabatan anggota DPR saat itu akan

segera berakhir.120

2. Antara Ibadah dan Kepentingan Sosial

Persoalan lain yang menarik untuk dicatat adalah perbedaan pandangan di

kalangan DPR tentang zakat. Perbedaan ini bermula timbul dari konsideran RUU

yang menyebutkan bahwa (1) ‚menunaikan zakat sebagai kewajiban warga negara

Indonesia yang beragama Islam yang mampu, merupakan sumber dana yang

potensial bagi upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat‛; (2) ‚zakat

merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu.‛121

Dari dua pengertian ini terlihat bahwa penekanan yang diberikan pada zakat

terletak pada kedudukannya sebagai dana yang memiliki potensi besar bagi

118 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 3 September 1999, 471-474. 119 Lihat, misalnya, Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr,

2000), 2: Bab 4; Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 276-358. 120 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 3 September 1999, 479. 121 Lihat ‚RUU No… Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,‛ bagian Menimbang.

Page 91: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

81

Bab III

kesejahteraan. Dengan kata lain, berdasarkan pengertian itu, zakat tak lebih dari

sekadar pengumpulan dana yang diwajibkan oleh agama. Karena itu, F-PP

mengusulkan agar nilai dan tujuan zakat juga ditekankan. Dalam pandangan fraksi

ini, terlepas dari potensinya bagi kesejahteraan rakyat, zakat pada dasarnya adalah

ibadah, yang tujuannya tidak semata-mata demi kesejahteraan itu, namun di balik

ketaatan melaksanakan ibadah itu adalah harapan untuk mendapat ridha Allah

Swt. Sesuai tujuan tersebut, F-PP mengusulkan agar dua pengertian itu diubah

menjadi ‚menunaikan zakat merupakan kewajiban warga negara Indonesia yang

beragama Islam yang diwajibkan oleh hukum agama untuk mencapai keridhaan

Allah.‛122

Menanggapi usulan ini, F-KP bisa memaklumi dan mengakui bahwa

tujuan ibadah memang demi keridhaan Allah. Akan tetapi, tujuan RUU ini

bukanlah pada dimensi batin ibadah itu. Sebaliknya, yang ditekankan adalah

masalah pengelolaannya. Mengingat RUU ini bertujuan pada pengelolaan zakat,

bukan hukum dan tujuannya sebagai ibadah, fraksi ini menerima rancangan

pertama dan, dengan demikian, menolak usulan F-PP. Penolakan yang lebih keras

datang dari F-ABRI. Fraksi ini menilai bahwa usulan itu sudah mengarah pada

upaya yang benar-benar memasukkan ajaran agama dalam Undang-undang. Lebih

tegasnya, dengan memasukkan ‚keridhaan Allah‛ dalam UU berarti pengakuan

terhadap pendekatan fikih. Padahal, yang diharapkan dari RUU ini adalah

menyejahterakan rakyat melalui zakat, bukan mendekatkan mereka kepada Allah.

Sementara itu, F-PDI mendasarkan penolakannya pada dua alasan. Pertama,

pengundangan zakat ini sendiri telah memunculkan kesan di sebagian kalangan

masyarakat bahwa persoalan zakat saja diundang-undangkan. Kedua, undang-

undang bersifat nasional dan umum. Kalau ditambahkan kata ‚keridhaan Allah‛

ke dalam RUU ini, akan semakin mengesankan bahwa RUU ini memanjakan

segala yang bernuansa Islam.123

Dari perdebatan tersebut terlihat bahwa, sebagai partai Islam, F-PP berusaha

menunjukkan sikapnya dengan mempertegas dimensi ibadah mahdah dalam zakat,

sementara yang lainnya menekankan aspek sosial dari ibadah itu. Usulan F-PP ini

bisa dimaklumi mengingat semasa Reformasi partai ini semakin mempertegas

identitasnya sebagai partai Islam, dengan mengganti lambang bintang dengan

Ka‘bah dan ideologi Pancasila dengan Islam. Sebaliknya, fraksi-fraksi lain tetap

memandang undang-undang zakat ini harus bebas dari unsur-unsur mahdah suatu

ibadah. Karena tidak tercapai kesepakatan, masalah ini kemudian dibahas lebih

lanjut dalam rapat Panja.

Dalam rapat ini, F-PP kembali mempertegas usulannya bahwa keridhaan

Allah harus dimasukkan dalam definisi zakat, mengingat inti ibadah dalam Islam

adalah untuk memeroleh perkenan Tuhan. Dalam pandangan F-PP, apa yang

dikemukakan dalam RUU ini hanya mengedepankan aspek sosial zakat, dan

mengabaikan dimensi religius ibadah ini. Karena itu, kata ‚keridhaan ini‛ dapat

menjadi penyeimbang dimensi sosial zakat.124

Memang, zakat merupakan ibadah

122 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1

September 1999, 185. 123 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

186-189. 124 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

484.

Page 92: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

82

Kebijakan Negara Tentang Zakat

mahdah, tetapi memiliki dimensi sosial. Tujuan ibadah mahdah, menurut al-

Zuh}ayli,> adalah ‚membangun hubungan manusia dengan Tuhannya‛ (tanz}i>m ‘ala>qat al-insa>n bi-rabbihi).125

F-ABRI menilai bahwa hal itu berlebihan, mengingat dalam ketentuan

umum telah disebutkan frasa agama Islam, yang mengisyaratkan ketentuan-

ketentuan agama ini. Dalam pandangan fraksi ini, keridhaan Allah itu hanya bisa

dilihat berdasarkan ketentuan-ketentuan agama itu. Penolakan serupa juga

disampaikan oleh F-KP. Menurut fraksi Golkar, frasa ini akan berdampak pada

pasal-pasal berikutnya, padahal substansi yang ada dalam RUU telah terpenuhi.126

Pandangan ini diafirmasi oleh pemerintah yang bersikukuh pada rumusan awal

dalam RUU. Akhirnya, masalah perdebatan ini akan dibicarakan kembali dalam

Tim Perumus (Timus).

Perdebatan tentang definisi zakat di atas sebenarnya juga terjadi dalam fikih.

Dalam disiplin ilmu ini, pendifinisian zakat tidak pernah dikaitkan dengan bangsa

atau kelompok tertentu, seperti Indonesia, tetapi diberlakukan secara umum bagi

setiap Muslim yang mampu. Al-Zuh}ayli>, misalnya, hanya menyebutkan zakat

sebagai ‚hak yang mesti ada dalam harta‛ (h}aqq yajibu fi> al-ma>l). Tampaknya,

kewajiban yang ditetapkan oleh agama, sebagaimana diusulkan oleh FPP di atas,

hanya disebutkan secara implisit. Bahkan keridaan Allah yang menjadi tujuan

zakat, bagi fraksi ini, hanyalah dipegang oleh Mazhab Hanbali, yang

mendefinisikan zakat dengan ‚mengeluarkan bagian dari harta tertentu, bagi

kelompok [masyarakat] tertentu, yang telah ditetapkan oleh Allah demi keridaan-

Nya‛ (li-wajh Alla>h).127

Dengan demikian, definisi zakat yang ditetapkan dalam

RUU ini merupakan khas Indonesia, tetapi sejalan dengan pandangan fikih. Lebih

jauh, zakat merupakan ibadah mahdah yang bertujuan pada keridaan Allah, tetapi

juga memiliki dimensi material sosial (ma>liyyah ijtima>‘iyyah), yang tujuannya

adalah solidaritas sosial terhadap mereka yang kurang mampu. Dengan kata lain,

di balik dimensi sosialnya itu, zakat memiliki tujuan batin yang lebih dalam, yaitu

mendekatkan diri kepada Allah.128

3. Konsideran RUU

Masalah lain yang menjadi perdebatan hangat dalam rapat ini adalah

persoalan konsideran RUU. Disebutkan di dalamnya bahwa yang menjadi

landasan RUU ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, Pasal 29 dan

Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945. Di samping konstitusi, RUU ini juga

melandaskan diri pada TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Reformasi

Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional

sebagai Garis Besar Halun Negara.

F-KP menilai bahwa dimasukkannya Pasal 27 ke dalam konsideran RUU ini

tidak relevan karena pasal ini membicarakan tentang tenaga kerja. Dengan

merujuk pada penjelasan pasal ini, yang menyebutkan bahwa ‚negara menjamin

pada masyarakat Indonesia untuk memberi pekerjaan dengan upah yang layak,‛

fraksi ini mengusulkan agar pasal ini didrop dari konsideran RUU. Usulan ini juga

125 Lihat al-Zuh}ayli, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 1: 19. 126 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

482. 127 Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuh, 2: 730. 128 Lihat, misalnya, ‘Uthma>n H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i al-Isla>mi, 13.

Page 93: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

83

Bab III

mendapat dukungan dari F-ABRI. Berbeda dengan pandangan ini, F-PP meminta

agar pemerintah menjelaskan alasan memasukkan pasal ini ke dalam konsideran.

Sebab, dalam pandangan fraksi ini, selama pasal ini memiliki relevansi, ia dapat

memperkuat posisi RUU ini. Respons pemerintah sendiri terhadap persoalan ini

juga tidak meyakinkan dan menyetujui agar pasal ini didrop dari konsideran.129

Konsideran lain yang dipersoalkan adalah masalah TAP MPR tentang

GBHN itu. F-ABRI mengusulkan konsideran ini dihapus, dan kalau pun tidak

dihapus ia harus diubah. Argumennya, sesuai dengan Kepres Tahun 1999 tentang

Tata Cara Pembuatan Undang-undang, TAP MPR tidak perlu dicantumkan

sebagai dasar konsideran, kecuali TAP tersebut mengamanatkan secara khusus

dibentuknya sebuah RUU. Adapun perubahan yang ditawarkan fraksi ini adalah

penghapusan ‚Garis Besar,‛ mengingat TAP itu sendiri tidak menyebutkan frasa

tersebut. Terhadap usulan pertama, banyak pihak yang tidak menyetujuinya,

mengingat dalam TAP tersebut mengandung semangat transparansi, keadilan dan

lain sebagainya. Bahkan, menurut F-KP, TAP inilah yang justru mewarnai

pembuatan RUU ini. Sementara F-PP juga memandang relevansi TAP ini sebagai

konsideran dalam RUU Zakat, mengingat Kepres itu hanya berlaku bagi pihak

eksekutif yang hendak merancang sebuah undang-undang. Dengan demikian,

secara yuridis, pencantuman TAP itu tidak melanggar.130

Sementara usulan kedua, semua pihak menerimanya karena memang tidak

sesuai dengan judul TAP itu sendiri. Meskipun demikian, F-KP menambahkan

bahwa seandainya frasa ‚Garis Besar‛ tidak dihapuskan pun tidak bermasalah,

karena pada prinsipnya hal itu merupakan pengganti dari GBHN sebelumnya, dan

MPR memang tidak membuat GBHN saat Sidang Istimewa 1999. Jadi, statusnya

adalah sama dengan GBHN.131

Akhirnya, rapat memutuskan hanya menghapus

frasa ‚Garis Besar‛ dan mempertahankan TAP ini sebagai konsideran.

Usulan lain yang tak kalah menarik dilakukan oleh F-KP, yang ingin

menambahkan konsideran RUU ini. Fraksi ini mengusulkan agar Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Kewenangan Peradilan Agama dimasukkan sebagai

konsideran. Alasannya adalah bahwa undang-undang ini memberikan kewenangan

tidak hanya untuk memutus masalah perkawinan, tetapi juga masalah sengketa

infak dan shadaqah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49. Lebih jauh, dalam

RUU Zakat ini menyebutkan adanya sanksi bagi penyelenggara yang tidak jujur.

Karena itu, Undang-undang No. 7 ini sangat relevan untuk dijadikan sebagai

konsideran selain UUD 1945 dan TAP MPR yang disebutkan di atas.132

Akan

tetapi, usulan tersebut tidak langsung dibahas dalam rapat ini, sebaliknya ia akan

dibahas dalam Rapat Panja.

Dalam Rapat Panja, F-ABRI menyetujui usulan ini, karena memang UU No.

7 itu berkaitan dengan shadaqah. Untuk itu, fraksi ini mengusulkan agar UU No. 7

menjadi konsideran ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR. Akan tetapi,

pandangan ini justru dipertanyakan oleh F-PP, sebab undang-undang tersebut

129 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 217-20. 130 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 221-224. 131 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 223. 132 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 226-227.

Page 94: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

84

Kebijakan Negara Tentang Zakat

memuat sekian banyak pasal. Kalaupun benar pasal tersebut berkaitan dengan

infak dan shadaqah, ia tidak perlu menjadi suatu konsideran tersendiri, tetapi

cukup dimasukkan ke dalam konsideran sebelumnya. F-PP juga mempertanyakan

apakah lazim sebuah undang-undang mengacu pada undang-undang lain yang

sederajat. Padahal, biasanya, sebuah undang-undang merujuk kepada sesuatu yang

lebih tinggi, seperti UUD 1945 dan TAP MPR.133

Menjawab pertanyaan dewan mengapa pemerintah tidak memasukkan, juru

bicaranya mengatakan bahwa pasal itu memiliki penjelasan tentang perkawinan

dan kewarisan, tetapi penjelasan tentang shadaqah dan wakaf tidak diberikan.

Pemerintah menduga bahwa shadaqah di situ bukanlah shadaqah sunnah, yang

sukarela, tetapi pasti shadaqah yang wajib atau zakat. Karena itu, pemerintah

memandang perlu mempertimbangkan undang-undang ini dalam sebuah pasal

tersendiri.134

F-ABRI dan F-KP sendiri tetap mendukung dimasukkannya UU No. 7 Tahun

1989 sebagai salah satu konsideran terpisah. Dalam pandangan F-ABRI, justru

dengan dimasukkannya undang-undang ini akan terlihat adanya sinkronisasi antar

undang-undang, bukan berjalan sendiri-sendiri. F-KP menambahkan bahwa sebuah

undang-undang disebutkan dalam konsideran ternyata lazim dilakukan dalam

undang-undang lain, seperti UU No. 7 itu sendiri yang juga merujuk pada UU No.

14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 14

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Karena itu, secara substansial, F-KP

melihat ada masalah dengan memasukkan suatu undang-undang sebagai

konsideran bagi undang-undang yang lain.135

Akhirnya, rapat menyetujui usulan

ini untuk dibahas dalam Rapat Tim Perumus, dan akhirnya masuk ke dalam

konsideran UU tentang Pengelolaan Zakat sebagaimana kita lihat sekarang.

Yang aneh, meskipun tidak masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah

(DIM), Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah justru

masuk menjadi konsideran keempat setelah UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama. Di samping itu, dalam pembahasan rapat Panja maupun Tim

Perumus masalah ini sama sekali tidak mengemuka. Bahkan dalam laporan-

laporan hasil seluruh rapat tidak disebutkan sama sekali mengenai dimasukkannya

UU No. 22 Tahun 1999 ini ke dalam konsideran.

4. Definisi Pengelolaan Zakat

Perdebatan seru juga terjadi dalam masalah definisi pengelolaan zakat.

Meskipun RUU ini tentang pengelolaan zakat, namun pengertian pengelolaan

zakat itu sendiri tidak diberikan dalam ketentuan umum. Melihat kekurangan ini,

F-ABRI dan F-KP mengusulkan penambahan ayat, yang menerangkan apa yang

sesungguhnya dimaksud dengan pengelolaan zakat. Menurut F-ABRI, di satu sisi,

pengelolaan zakat di sini menjadi inti dari RUU ini, dan di sisi lain, ungkapan ini

sering disebutkan berulang-ulang di dalamnya. Karena itu, fraksi ini menganggap

penting memasukkan pengertian pengelolaan zakat dalam RUU ini. Pandangan ini

133 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

492-495. 134 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

494. 135 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

497-498.

Page 95: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

85

Bab III

dipertegas oleh F-KP seraya menambahkan bahwa titik tekanan dalam RUU ini

adalah pengelolaan zakat, sehingga fraksi ini mengusulkan bunyi ayat tambahan

ini adalah ‚Pengelolaan adalah pengurusan zakat, infak, shadaqah mulai dari

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam memenuhi kewajiban agama.‛

Menanggapi usulan tersebut, pemerintah menegaskan bahwa usulan itu dapat

diterima, tetapi perlu perumusan yang lebih hati-hati. Untuk itu, ia mengusulkan

agar substansi itu dapat didiskusikan lebih lanjut dalam Panja.136

Namun, dalam

Panja sendiri masalah ini disetujui untuk dibicarakan dan akhirnya disetujui dalam

Tim Perumus.137

5. Definisi Zakat

Pemerintah dalam RUU mendefinisikan zakat sebagai ‚kewajiban

keagamaan yang dibebankan atas seorang Muslim sesuai dengan ketentuan hukum

agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.‛ Persoalan ini

mengemuka ketika F-ABRI—dengan merujuk pada definisi haji sebagaimana

terkandung dalam UU Pelaksanaan Haji—menekankan definisi zakat sebagai

salah satu dari lima rukun Islam. Sementara itu, bagi F-KP, definisi ini sangat

bernuansa religius dengan dicantumkannya ungkapan hukum agama. Padahal, bagi

fraksi ini, undang-undang ini harus menghindari ungkapan yang bernuansa

keagamaan atau bernuansa ibadah seperti itu, mengingat ibadah di luar cakupan

RUU ini. Berbeda dengan definisi pemerintah, F-KP melihat bahwa esensi zakat

adalah jumlah harta yang harus dibayarkan oleh seseorang, sehinga

mendefinisikan zakat dengan ‚sebagian harta yang disisihkan setelah melalui

ketentuan haul dan nisab yang merupakan kewajiban bagi muzakki yang dikelola

oleh amil untuk diberikan kepada mustahik‛.138

Pandangan ini tampaknya sangat

dekat dengan definisi zakat yang dikemukakan al-Zuhayli> di atas, di mana zakat

diartikan sebagai ‚harta yang menjadi hak orang lain.‛ Bahkan, hanya Mazhab

Hanbali yang mendefinisikan zakat dengan mengaitkan pada rida Allah.139

Menanggapi usulan tersebut, pemerintah menegaskan bahwa zakat ini

hendak didefinisikan secara lebih luas ketimbang undang-undang haji. Meskipun

demikian, pemerintah dapat menerima usulan tersebut untuk didiskusikan lebih

jauh dalam Panja. Sementara itu, F-PP melihat bahwa definisi yang ditawarkan

Pemerintah dalam RUU hanya menekankan orang perorang yang harus dikenai

zakat. Karena itu, fraksi ini mengusulkan agar tidak hanya orang, tetapi juga

badan yang berkewajiban membayar zakat. Alasan di balik usulan ini adalah

bahwa fikih pada dasarnya dinamis, dan sejalan dengan perkembangan dunia

usaha, ia dapat memperluas lingkup pembahasan zakat.140

Sebenarnya, di

beberapa negara Muslim, badan atau perusahaan memang dikenakan zakat, seperti

136 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 233-235. 137 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

500-502. 138 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 236. 139 Lihat al-Zuhayli>, al-Fikih al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 2: 730. 140 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 238.

Page 96: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

86

Kebijakan Negara Tentang Zakat

di Malaysia dan Saudi Arabia.141

Tanggapan dari berbagai pihak pun

bermunculan. F-ABRI menilai bahwa usulan tersebut cukup melebar dan

menimbulkan beberapa masalah lain. Dalam pandangan fraksi ini, dengan

disebutkannya orang dalam definisi, hal itu berarti juga meliputi pemilik badan

usaha, sehingga tidak perlu dicantumkan badan usaha. Lebih rumit lagi, badan

usaha dewasa ini kepemilikan badan usaha banyak tidak bersifat perorangan,

tetapi menjadi gabungan sejumlah orang yang tidak seluruhnya Muslim.142

Akhirnya persoalan ini dibicarakan dalam Panja.

Dalam Rapat Panja, F-KP kembali mempertegas bahwa penekanan dalam

definisi zakat di sini adalah barangnya, seperti terlihat dalam definisi yang

diajukannya. Sementara itu, F-PP mempertegas usulannya dengan menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan badan di sini adalah dua orang atau lebih yang

bekerjasama untuk mendirikan sebuah badan usaha. Lebih jauh, badan usaha

terbukti telah menjadi subyek hukum, seperti terkandung dalam Undang-undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, badan di sini bukan

institusi, tetapi pengurusnya. Yang juga ditegaskan adalah bahwa pembayaran

zakat dapat mengurangi nilai wajib pajak, yang tentu saja berlaku bagi badan

usaha.143

Pandangan ini juga ditemukan praktiknya di Mesir atau Saudi, di mana

yang dikenai zakat adalah pemiliknya.144

Menanggapi usulan ini, pemerintah mengakui bahwa di beberapa negara,

seperti Malaysia, yang diwajibkan membayar zakat bukan hanya orang, tetapi

juga badan atau perserikatan. Ini terlihat dari Tabung Haji, sebuah badan yang

menghimpun dana haji, yang mengeluarkan zakatnya. Menanggapi penjelasan ini,

anggota F-KP, K.H. Ahmad Zabidi, mempertanyakan apa alasan di Malaysia

badan disebut muzakki. Sebab, dalam bahasa agama, muzakki dan mustahiq itu

merujuk pada orang. Karena itu, sejalan dengan pandangan F-ABRI, kalau sudah

menyebutkan orang, hal itu sudah meliputi badan, karena memang orang-

orangnya yang dikenakan kewajiban membayar zakat.145

Karena tidak mencapai

kata sepakat, persoalan ini akhirnya dibahas kembali dalam Timus dan melalui

lobi akhirnya berhasil dimasukkan ke dalam Undang-undang seperti kita lihat

sekarang.

6. Infak dan Shadaqah

Persoalan lain yang mengemuka dalam rapat ini adalah persoalan infak dan

shadaqah. Sebenarnya, masalah ini telah mengemuka sebelumnya dalam kaitannya

dengan judul RUU ini. Akan tetapi, kali ini yang dipermasalahkan adalah

pengertian dua tradisi filantropi ini. Dalam RUU, infak dan shadaqah dipisahkan

dengan pemberian pengertian yang berbeda dan karenanya dimuat dalam pasal

yang berbeda. Adalah F-PP yang mengusulkan agar infak dan shadaqah disatukan

penjelasannya, sehingga hanya membentuk satu pasal saja. Alasannya adalah

141 Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004),

77. 142 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 243. 143 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

503-504. 144 ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n, 220. 145 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

505-507.

Page 97: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

87

Bab III

keduanya memiliki hukum yang sama di luar zakat, yaitu sunnah. Jika keduanya

dipisahkan dan masing-masing memiliki penjelasan, hal itu hanya memperbanyak

pengulangan, padahal esensi keduanya sama. Menanggapi usulan itu, F-KP

memandang bahwa pembedaan itu perlu dilakukan mengingat keduanya berbeda,

meskipun kesamaan antara keduanya tidak dapat diingkari, terutama dalam

masalah hukumnya. Pembedaan ini juga didukung oleh F-ABRI dengan alasan

kemungkinan keduanya memiliki penerapan yang berbeda. Dalam tanggapan

pemerintah ditegaskan bahwa menurut Al-Quran sendiri keduanya disebutkan

dengan dua istilah yang berbeda. Ini tidak menutup kemungkinan akan adanya

makna tersirat yang menunjukkan perbedaan antara keduanya.146

Memang, dua

istilah ini berbeda, namun keduanya memiliki makna yang dapat saling

dipertukarkan. Misalnya, ketika menafsirkan yunfiqu>n dalam QS al-Baqarah: 2,

Rashi>d Rid}a> mengemukakan bahwa infak di sini meliputi yang wajib, seperti

kepada keluarga, dan sedekah sunnah (s}adaqat al-tat}awwu‘).147

F-PP sendiri sesungguhnya tidak mempermasalahkan kalau akhirnya infak

dan shadaqah dipisahkan, dengan syarat pembedaan antara keduanya diperjelas

sehingga tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan. F-KP menambahkan

bahwa pengertian kedua hal itu sesungguhnya bisa berganti-ganti. Dalam

ketidakjelasan ini, pemerintah memiliki wewenang untuk menetapkan pengertian

mana yang hendak diterapkan, sekaligus memberikan pembedaan tegas antara

keduanya. Bahkan, menurut anggota F-KP yang lain, bukan saja pengertiannya

yang berubah-ubah, tetapi juga hukumnya. Menanggapi perbedaan pandangan ini,

pemerintah akhirnya masalah ini didiskusikan kembali dalam Panja, dengan

harapan akan diperoleh rumusan yang lebih kuat tentang kedua hal ini.148

Dalam Panja, F-PP kembali mempertegas usulannya agara infak dan

shadaqah dipersatukan. Akan tetapi, fraksi ini juga bisa menerima kalau keduanya

dipisahkan selama ada pembedaan yang tegas.149

Setelah diminta menjelaskan,

wakil pemerintah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan infak adalah

‚pembelanjaan harta seseorang, yang dikeluarkan untuk kepentingan umum

dengan tidak memperhatikan nisab dan haul,‛ sementara shadaqah adalah

‚pemberian harta seseorang yang beragama Islam yang dikeluarkan untuk

kemaslahatan orang perorang dengan tidak memperhatikan nisab dan haul‛.150

Karena itu, definisi di atas mengundang tanggapan dari F-KP yang diwakili

oleh Umar Syihab. Menurut Syihab, sesungguhnya baik infak maupun shadaqah

tidak memiliki definisi tunggal dan hukumnya bisa berubah-ubah. Suatu saat

menjadi wajib, sunnah atau mubah, kecuali shadaqah yang tidak pernah mubah.

Lebih jauh, keduanya bisa untuk kepentingan umum dan tidak hanya terbatas

pada orang Islam. Mengingat tidak ada definisi tunggal, F-PP yang diwakili

Lukman Hakim Saifuddin mengusulkan agar definisi infak dan shadaqah tidak

didasarkan pada definisi fikih, seperti yang dikemukakan F-KP, tetapi lebih

146 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 255-257. 147 Lihat M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1948), 1: 130. 148 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 265. 149 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

519. 150 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

544.

Page 98: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

88

Kebijakan Negara Tentang Zakat

mengutamakan kepentingan praktis RUU ini.151

Dari perdebatan itulah kemudian

lahir penjelasan dalam UU tentang Pengelolaan Zakat seperti yang kita lihat

sekarang.

Sebenarnya, pembahasan tentang infak jarang ditemukan dalam kitab fikih,

tetapi hanya shadaqah.152

Karena kenyataan inilah, barangkali, mengapa F-PP

bersikukuh agar kedua istilah ini disatukan. Ini juga terlihat dalam kesulitan

pemerintah dalam membedakan keduannya. Bahkan dalam undang-undang yang

sudah disahkan sendiri, keduanya nyaris tidak dapat dibedakan.153

7. Antara Zakat dan Pajak

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam pandangan awal fraksi-

fraksi dikatakan bahwa agar umat tidak terbebani oleh dua hal sekaligus, yaitu

zakat dan pajak. Sebenarnya, asal muasal persoalan ini adalah Pasal 13 ayat (2)

RUU, yang menyebutkan bahwa ‚Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan

Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak

yang bersangkutan sesuai dengan peraturan yang berlaku‛.154

Dengan begitu,

orang yang telah membayar zakat akan memeroleh pengurangan dari kewajiban

pajak, sehingga tidak terbebani dua kewajiban sekaligus.

Pertanyaan yang pertama-tama muncul dari F-ABRI adalah mana yang harus

didahulukan antara zakat dan pajak itu. Jika tujuan pajak sudah jelas, yaitu untuk

pembangunan bangsa dan negara, sedangkan tujuan zakat adalah sejumlah

golongan tertentu yang bersifat individual. Dalam pandangan fraksi ini, RUU

lebih mendahulukan zakat ketimbang pajak. Karena itu, diperlukan suatu

pengaturan dalam UU secara tegas. F-KP berargumen bahwa, menurut fikih, ada

yang berpendapat bahwa membayar pajak merupakan suatu hutang, yang harus

terlebih dahulu dibayar sebelum zakat. F-KP mempertanyakan mengapa zakat

dikaitkan dengan pajak. Apakah tidak mungkin dalam RUU ini tidak

menyinggung pajak, sehingga urusan zakat berbeda dengan urusan pajak. Sejalan

dengan pertanyaan ini, F-ABRI menanyakan apakah UU Pajak sendiri telah

menyinggung masalah zakat. Kalau memang tidak menyinggung, mengapa RUU

tentang Zakat ini harus mengaitkan diri dengan pajak. Sementara itu, Ahmad

Zabidi mengusulkan kalau pun dikaitkan dengan pajak, hal itu tidak perlu

dimasukkan dalam pasal, tetapi cukup dalam Peraturan Pemerintah, karena

dikhawatirkan akan berseberangan atau bertepuk sebelah tangan. Menjawab

pertanyaan ini, pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama, mengemukakan

bahwa jika Pasal 34 UUD 1945 dijadikan rujukan, sebenarnya zakat dan pajak

151 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

551-560. 152 Lihat, misalnya, Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 3: 356; juga al-Zuhayli, al-Fiqh al-Isla>mi> wa

Adillatuh, 2: 915. Yang dibicarakan adalah nafkah (nafaqah), tetapi dalam kaitannya dengan keluarga

dan seterusnya. Dalam al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah pembahasan tentang shadaqah dibicarakan secara

detil. Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 26: 323-343. Akan tetapi, infak tidak menjadi entri tersendiri

dalam ensiklopedi ini. Justru yang menjadi entri tersendiri adalah nafaqah. Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 41: 34-100.

153 Dalam penjelasan dikemukan bahwa infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau

badan, di luar zakat, untuk kemaslahan umum, sedangkan shadaqah adalah harta yang dikeluarkan

seorang Muslim atau badan yang dimiliki orang Muslim, di luar zakat, untuk kemaslahatan umum. Jika

dalam penjelasan pertama tidak ditemukan kata Muslim, dalam yang kedua ditemukan. Apakah ini

berarti infak hanya berlaku bagi non-Muslim, sementara shadaqah hanya bagi Muslim, tidak jelas juga. 154 ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ Pasal 13 ayat (2).

Page 99: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

89

Bab III

saling mendukung, dalam arti zakat bertujuan mengurangi kemiskinan, sedangkan

faqir miskin sendiri menjadi tanggung jawab pemerintah. Menteri mencontohkan

bagaimana hal itu diterapkan di Malaysia. Di negara ini, meskipun tidak

menggunakan istilah zakat, dana untuk kepentingan sosial kemasyarakatan

terlebih dahulu dikeluarkan sehingga mengurangi pajak yang menjadi

kewajibannya. Dengan kata lain, dana untuk kepentingan non-profit ini bebas dari

pajak.155

Memang, di beberapa negara Muslim, pengurangan kewajiban pajak

sebagai konsekuensi telah dibayarkannya zakat ini berlaku, seperti di Arab Saudi.

Di negara ini, individu maupun perusahaan milik Muslim yang memeroleh

manfaat itu.156

Merespons dua persoalan di atas, F-PP menilai bahwa persoalan mana yang

harus didahulukan, sesungguhnya dapat dilakukan secara fleksibel. Jika sudah

membayar zakat, berarti pajaknya dikurangi atau sebaliknya. Sebab, zakat sudah

jelas memiliki h}awlnya sendiri. Fraksi ini tidak setuju kalau RUU ini dipisahkan

dari pajak yang mengakibatkan beban ganda yang tentu saja akan memberatkan

seseorang. Lebih jauh, ditegaskan pemisahan antara zakat dan pajak. Memang

masalah ini tidak akan timbul dalam negara Islam, karena keduanya sama saja.

Tetapi, kita meniru Malaysia, bukan Amerika yang sekuler. Bahkan di Amerika

sendiri, seorang warga hanya dikenakan hanya satu, yaitu pajak.157

Karena tidak

dicapai kesepakatan, persoalan ini dibahas kembali dalam Panja, yang akhirnya

kembali ke rumusan awal dengan beberapa tambahan sehingga menjadi seperti

yang dapat kita baca sekarang.

Sebenarnya, perdebatan tentang zakat dan pajak ini sudah berlangsung lama

di luar parlemen. Masdar F. Mas’udi, misalnya, berupaya menggabungkan atau

menyamakan keduanya, tetapi dengan spirit yang berbeda. Menurutnya, orang

yang telah membayar pajak sebenarnya tidak perlu lagi diharuskan membayar

zakat, asalkan yang pertama dijiwai oleh yang kedua. Ia menganalogikan yang

pertama dengan badan, sementara yang kedua dengan ruh. Dengan kata lain,

semangat di balik membayar pajak adalah zakat, dan karenanya yang satu tidak

dapat dipisahkan dari lainnya.158

Sebenarnya, antara zakat dan pajak dibedakan dalam litratur Islam, yang

biasanya disebut khara>j atau d}ari>bah.159

Yahya ibn Adam, misalnya, membedakan

pajak dengan zakat, seraya menegaskan bahwa zakat dikenakan pada hasil

pertanian dan buah-buahan dari tanah yang tidak dikenai pajak.160

Sementara itu,

di beberapa negara lain juga dibedakan, dan pembayar zakat diberi insentif berupa

155 ‚Risalah Rapat Kerja 2 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 378-387. 156 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ dalam Institutional of

Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq

(Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 415. 157 ‚Risalah Rapat Kerja 2 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 383-388. 158 Lihat Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1994). 159 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Di>niyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 19: 51 dan

seterusnya. 160 Lihat A. Ben Shemesh, Taxation in Islam: Yah}ya> ibn A<dam’s Kita>b al-Khara>j (Leiden: Brill,

1958), 77.

Page 100: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

90

Kebijakan Negara Tentang Zakat

pengurangan pembayaran kewajiban pajak.161

Dengan demikian, usulan dalam

RUU di atas sebenarnya memiliki persamaan dengan di beberapa negara lain yang

telah menerapkannya.

8. Sanksi

Seperti disinggung sekilas dalam pemandangan awal fraksi-fraksi, masalah

sanksi ini muncul atas usulan F-KP yang menghendaki agar penyalahgunaan zakat

dapat dihukum dengan kurungan 3 tahun atau denda Rp. 300.000.000,- dari

semula Rp. 30.000.000,- seperti yang diusulkan pemerintah. Lebih jauh, dalam

Rapat Panja, sejalan dengan saran yang disampaikan sebelumnya, fraksi ini

mengusulkan agar hukuman ini diatur atau disesuaikan dengan ketentuan

peradilan agama. Usulan ini mendapat sejumlah tanggapan dari fraksi-fraksi. F-

ABRI mengusulkan agar dilakukan klasifikasi terhadap kesalahan yang dilakukan,

seperti pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana atau korupsi. Masing-

masing jenis pelanggaran ini tentu memiliki tingkat sanksi yang berbeda,

sebagaimana diatur dalam perundang-undangan kita. Sementara itu, F-PP

menambahkan bahwa jika pelanggaran dilakukan, maka sanksinya bisa

disesuaikan dengan kewenangan yang sudah ada semacam KUHP, di mana

pelanggaran perdata atau pidana sudah diatur di situ. Akan tetapi dalam RUU ini

perlu dipertegas berapa lama kurungannya atau berapa besar jumlah denda yang

harus dibayar jika pelanggaran dilakukan, tidak cukup dengan merujuk pada

ketentuan perundangan yang berlaku.162

Sanksi seperti ini berbeda dengan

ketentuan yang ada di Arab Saudi, di mana zakat dikelola oleh negara. Para

pengumpul zakat di sini adalah bukanlah lembaga swasta, tetapi para pegawai

yang memeroleh gaji dari negara. Karena itu, jika terjadi penyelewengan yang

dilakukan oleh pengumpul zakat, maka sanksi yang diberikan kepadanya adalah

sesuai dengan ketentuan kepegawaian, bukan berdasarkan undang-undang

zakat.163

Menanggapi respons tersebut, wakil pemerintah mengemukakan

pertimbangan-pertimbangan yang mendasari usulan yang disampaikan dalam

RUU ini. Pertama, dengan adanya sanksi ini diharapkan pengelolaan zakat ke

depan akan lebih baik dan lebih berdayaguna. Di samping itu, sanksi ini juga

didasarkan pada tradisi yang sudah berjalan dalam masyarakat sesuai dengan

kondisi. Sebaliknya, jika sanksi yang akan diberikan sangat berat, hal itu

dikhwatirkan akan membuat masyarakat ketakutan mengelola zakat, apalagi

tingkatan pemahaman hukum suatu masyarakat mungkin berbeda dengan

masyarakat yang lain. Memang, sanksi 3 bulan kurangan atau denda Rp.

30.000.000,- mungkin kelihatan terlalu ringan. Namun, bagi mereka yang

161 Lihat Fuad Abdullah al-‘Umar, ‚General, Administrative and Organizational Aspects,‛

dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah al-

Shakeer dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IDB-Institute of Research and Training, 1995), 42-43.

Lihat juga, Mohammad Hashim Awad, ‚Adjusting Tax Structure to Accommodate Zakah,‛ dalam

Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed. I.A. Imtizi et.al. (Jeddah: IDB-IRT, 2000), 77-

96. 162 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

647-649. 163 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ dalam Institutional of

Zakah: Dimensions and Implications, 409.

Page 101: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

91

Bab III

beriktikad baik dan secara sukarela mengelola zakat, sanksi ini membuat jera

masyarakat, terutama yang kurang mengerti aturan-aturan yang dikategorisasikan

sebagai pelanggaran, penyimpangan dan sebagainya.164

Karena tidak dicapai

rumusan yang pas, persoalan ini akhirnya dibahas dalam Tim Perumus, yang

hasilnya dapat kita baca seperti sekarang.

Penetapan sanksi bagi pengelola ini merupakan sesuatu yang relatif baru,

jika kajian-kajian fikih tentang zakat diperhatikan. Umumnya, buku-buku fikih

menekankan sanksi bagi mereka yang mampu, tetapi tidak membayar zakat. Al-

Zuh}ayli> menghukuminya sebagai kafir,165

sementara, menurut Sayyid Sa>biq, hal

itu tidak membuat pelakunya keluar dari Islam.166

Sementara itu, penerapan

sanksi bagi muzakki yang lalai membayar zakat di beberapa negara Muslim sangat

beragam. Di Arab Saudi, misalnya, sanksi yang diterapkan bagi perusahaan yang

tidak membayar zakat berupa larangan melakukan bisnis atau mengikuti tender

atas proyek-proyek pemerintah,167

sedangkan di Malaysia sanksinya sangat

beragam dari satu negeri ke negeri lainnya. Ada yang berupa uang atau kurungan

dengan tingkat yang berbeda.168

Lebih jauh, di beberapa negara lainnya hanya

sebagai penunggakan yang harus dibayar bersamaan dengan periode berikutnya.169

Setelah disetujui oleh semua pihak, RUU ini akhirnya dibawa ke dalam

Rapat Paripurna DPR pada 14 September 1999. Setelah masing-masing fraksi

menyampaikan pandangan akhirnya terhadap RUU ini, mereka kemudian

menyetujuinya untuk disahkan sebagai undang-undang. Dalam sambutannya

setelah disahkannya RUU ini, Menteri Agama mengemukakan bahwa disahkannya

RUU ini menjadi undang-undang diharapkan dapat mengatur pelaksanaan zakat,

sehingga dana yang terkumpul dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lebih jauh, kehadiran undang-undang ini diharapkan dapat memunculkan warna

baru hubungan masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan zakat, apalagi

masyarakat telah lama menantikan kehadirannya.170

Dilihat dari lamanya proses pembahasannya, RUU ini hanya membutuhkan

waktu kurang lebih tiga bulan untuk mendapat persetujuan dan pengesahan. Itu

dilihat dari awal ketika RUU tersebut diajukan oleh presiden kepada DPR pada 24

Juni 1999. Pendeknya waktu pembahasan ini antara lain disebabkan oleh

pendeknya sisa masa jabatan para anggota dewan yang segera berakhir, bersamaan

dengan selesainya Pemilu 1999. Pada saat yang sama, pemilihan presiden oleh

MPR juga akan segera dimulai, di mana Habibie merupakan salah seorang

kandidatnya. Karena itu, percepatan pengesahan RUU ini merupakan pengabdian

164 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

651. 165 al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, 2: 735. 166 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 281. 167 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ Institutional Framework of

Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 416.

168 Tentang keragaman sanksi yang diterapkan di berbagai negeri di Malaysia, lihat Mohamed

bin Abdul Wahab et.al., ‚Malaysia: A Case Study,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 360.

169 Lihat ‘Abd Allah, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i>, 256. 170 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-3 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛

875-876.

Page 102: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

92

Kebijakan Negara Tentang Zakat

istimewa dari mereka yang tidak lagi terpilih baik sebagai presiden atau anggota

dewan.

Persetujuan DPR terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat ini kemudian

dituangkan dalam surat No. RU.01/3529/DPR-RI/1999 tertanggal 14 September

1999 dan ditandatangani ketua DPR Harmoko ditujukan kepada presiden. Dalam

sepekan kemudian, tepatnya 23 September 1999, RUU ini disahkan menjadi

Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat oleh Presiden

Habibie, berikut pengundangannya. Adapun Undang-undang tentang Pengelolaan

Zakat ini sendiri terdiri atas 10 Bab dan 25 Pasal dengan struktur sebagai berikut:

Bab I : Ketentuan Umum (3 pasal);

Bab II : Asas dan Tujuan (2 pasal);

Bab III : Organisasi Pengelolaan Zakat (5 pasal);

Bab IV : Pengumpulan Zakat (5 pasal);

Bab V : Pendayagunaan Zakat (2 pasal);

Bab VI : Pengawasan (3 pasal);

Bab VII: Sanksi (1 pasal);

Bab VIII: Ketentuan-ketentuan Lain (2 pasal);

Bab IX : Ketentuan Peralihan (1 pasal);

Bab X : Penutup (1 pasal).

Dilihat dari lembaga yang mengelola zakat, keterlibatan negara tidak terjadi

secara langsung, tetapi melalui lembaga lain di luar departemen atau kementerian

negara. Ini berbeda dengan di negara-negara lain, seperti Kuwait, Saudi Arabia,

Libya, dan Sudan, di mana pengelolaan zakat berada di bawah kementeriaan

negara. Karena itu, yang pertama dapat disebut sebagai keterlibatan semi-negara,

sedangkan yang kedua disebut sebagai keterlibatan penuh negara.171

Lebih jauh, peranan swasta (LAZ) dalam pengelolaan zakat menunjukkan

bahwa di Indonesia menggunakan sistem disentralisasi, di mana negara tidak

memonopoli pengelolaannya. Ini berbeda dengan beberapa negara, seperti

Pakistan dan Sudan, serta Malaysia, di mana di dua yang pertama melalui

sentralisasi, sementara di yang terakhir sentralisasi hanya terjadi pada tingkat

pusat, mengingat di wilayah diserahkan kepada negara bagian masing-masing.172

D. Implikasi terhadap Zakat setelah Pengesahan Undang-undang

Meskipun telah disahkan dan diundangkan, UU No. 38 Tahun 1999 ini tidak

dapat diterapkan secara langsung, karena masih dibutuhkan sejumlah peraturan

bagi pelaksanaannya. Setidak-tidaknya dibutuhkan empat peraturan yang harus

disahkan oleh Menteri Agama agar undang-undang tersebut dapat beroperasi,

seperti diisyaratkan oleh pasal-pasal berikut:173

1. Ketentuan tentang persyaratan Lembaga Amil Zakat, sebagaimana

diisyaratkan oleh Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa Lembaga Amil

171 Bandingkan Fuad Abdullah al-Omar, ‚Management of Zakah through Semi-Government

Institutions,‛ dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed. I.A. Imtiazi et.al. (Jeddah:

IRTI-IDB, 2000), 131-134. 172 Ataina Hudaya dan Achmad Tohirin, ‚Management of Zakah: Centralised vs. Decentralised

Approach,‛ dalam Proceedings of the Seventh International Conference—The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy (Bangi, Malaysia, 2010), 354-55.

173 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Page 103: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

93

Bab III

Zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang

diatur lebih lanjut oleh Menteri.

2. Ketentuan tentang susunan organisasi dan tata kerja Badan Amil Zakat. Ini

diisyaratkan oleh Pasal 10 yang menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut

mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan

dengan keputusan Menteri.

3. Ketentuan tentang lingkungan kewenangan pengumpulan zakat yang

dilakukan oleh Badan Amil Zakat. Dalam Pasal 15 disebutkan bahwa lingkup

kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan

keputusan Menteri.

4. Ketentuan tentang pendayagunaan hasil zakat. Seperti disebutkan dalam

Pasal 16 ayat (3) bahwa persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil

pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan

keputusan menteri.

Untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan di atas, Menteri Agama tidak

menerbitkan peraturan satu persatu. Sebaliknya, satu keputusan yang meliputi

semua akhirnya diterbitkan, yaitu Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun

2003 yang ditandatangani oleh Said Aqil Husin al-Munawar pada 18 Juli 2003.

Surat keputusan ini berperan sebagai peraturan operasional UU No. 38 Tahun

1999. UU No. 38 Tahun 1999 ini kemudian diuraikan secara lebih teknis melalui

Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Bimbingan Haji No. D/291 Tahun 2000.

Dengan terbitnya berbagai ketentuan itu, maka pembayaran zakat bukan

sekadar pelaksanaan hukum agama, tetapi juga undang-undang negara.

Disebutkan dalam undang-undang ini bahwa setiap warga negara Indonesia yang

beragama Islam dan mampu, atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim,

berkewajiban membayar zakat.174

Ini berarti bahwa membayar zakat merupakan

bagian dari pemenuhan kewajiban terhadap negara. Dengan demikian, orang yang

tidak menunaikan zakat, padahal ia mampu, sesungguhnya ia telah melanggar

hukum agama, di satu sisi, dan undang-undang negara, di sisi lain. Akan tetapi,

negara membatasinya hanya bagi mereka yang mampu, yang juga tidak jelas

kriterianya.

Agar kewajiban terhadap undang-undang terlaksana, UU mengamanatkan

dibentuknya lembaga yang bertindak sebagai organisasi pengelola zakat yang

dikoordinasikan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).175

Dalam UU

disebutkan bahwa ada dua lembaga yang secara sah dapat mengelola zakat, yakni

Badan Amil Zakat (BAZ), yang dibentuk oleh pemerintah, dan Lembaga Amil

Zakat (LAZ), yang dibentuk oleh masyarakat, seperti organisasi Islam atau

lembaga yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan

umat. BAZ yang dibentuk oleh pemerintah ini tidak hanya di tingkat nasional,

tetapi juga hingga tingkat kecamatan, demikian juga dengan LAZ. Tidak heran

jika saat ini telah berdiri BAZNAS di tingkat pusat, 30 BAZDA di tingkat

provinsi dan ratusan BAZDA di tingkat kota/kabupaten. Adapun LAZ yang

dibentuk oleh masyarakat (swasta) saat ini juga berjumlah sangat banyak. Di

174 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 2. 175 Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ 64.

Page 104: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

94

Kebijakan Negara Tentang Zakat

tingkat nasional saja sudah terdapat 16 lembaga, sedangkan ratusan lainnya

berada di tingkat provinsi dan kota/kabupaten.176

BAZNAS sendiri baru dibentuk pada 17 Januari 2001 berdasarkan

Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional yang

ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Sesuai dengan strukturnya,

dalam periode pertama, lembaga ini terdiri atas Badan Pelaksana, Dewan

Pertimbangan dan Komisi Pengawas.

Seperti disebutkan dalam UU, BAZ dan LAZ ini merupakan tulang

punggung bagi pengelolaan zakat, karena perannya yang sangat penting dari

mengumpulkan, mendistribusikan hingga mendayagunakan zakat. Semua tugas ini

harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan agama. Lebih jauh, mereka juga harus

memberikan laporan dan pertanggungjawaban kepada pemerintah sesuai dengan

tingkatannya masing-masing.177

Tentu, tidak sebatas pada pemerintah, sebab

laporan itu juga boleh diakses oleh masyarakat. Ini menunjukkan bahwa

pengelolaan zakat berdasarkan UU ini tidak sekadar berpijak pada ketulusan

pembayar zakat dan amil. Di satu sisi, niat pembayar zakat sebenarnya adalah

untuk ibadah kepada Allah, sehingga dicatat oleh amil atau tidak, hal itu bukanlah

sebuah persoalan. Akan tetapi, di sisi lain, pengelolaan zakat juga memiliki tujuan

sosial, sehingga tidak bisa tidak harus diketahui oleh masyarakat. Apalagi dalam

pengelolaan itu melibatkan negara, yang harus melaporkan masalah itu kepada

masyarakat. Kondisi ini sangat berbeda dengan sebelumnya, di mana pengelolaan

zakat umumnya berlangsung begitu saja, tanpa pelaporan dan

pertanggungjawaban yang jelas.

Sementara itu, dalam hal pendistribusian, BAZ dan LAZ tetap harus

mengedepankan delapan golongan (al-as}na>f al-thama>niyah) mustahik sesuai

dengan hukum Islam.178

Akan tetapi, hal itu harus didasarkan pada skala prioritas,

dalam arti yang paling membutuhkan di antara delapan golongan tersebut. Setelah

delapan golongan ini terpenuhi, kedua lembaga tersebut baru dibolehkan untuk

mendayagunakan dana zakat pada usaha-usaha produktif lainnya, dengan syarat

bahwa usaha itu benar-benar memiliki peluang yang menguntungkan. Untuk itu,

BAZ dan LAZ harus melakukan, antara lain, studi kelayakan, menetapkan jenis

usaha, bimbingan dan penyuluhan, pemantauan dan pengawasan, evaluasi dan

pelaporan.179

Ini menunjukkan bahwa ada orientasi baru dalam pengelolaan zakat,

yang tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin secara

langsung, tetapi juga berorientasi ke masa depan, dengan menjadikan dana zakat

bernilai produktif secara ekonomis.

Implikasi lain yang ditimbulkan oleh kehadiran UU No. 38 Tahun 1999

adalah diakomodasinya zakat sebagai pengurang kewajiban pajak.180

Seperti

disebutkan dalam Pasal 14 ayat (3), zakat yang telah dibayarkan kepada BAZ atau

LAZ dapat mengurangi beban kena pajak dari wajib pajak pembayar zakat.181

Seperti gayung bersambut, pasal ini kemudian diakomodasi dalam UU No. 17

176 Emmy Hamidiah, ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Mungkinkah?‛

125. 177 Lihat UU No. 38 Tahan 1999 Pasal 8-9. 178 Lihat KMA No. 373 Tahun 2003 Pasal 28. 179 Lihat KMA No. 373 Tahun 2003 Pasal 29. 180 Gustian Djuanda dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2006), 282. 181 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 14.

Page 105: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

95

Bab III

Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan. Disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, bahwa zakat atas

penghasilan yang telah nyata-nyata telah dibayarkan oleh wajib pajak perorangan

atau badan dalam negeri kepada BAZ atau LAZ dapat mengurangi beban kena

pajak orang atau badan yang bersangkutan.182

Yang juga menarik untuk diperhatikan dari UU No. 38 Tahun 1999 ini

adalah dimasukkannya jenis benda-benda tertentu ke dalam harta yang harus

dikeluarkan zakatnya. Misalnya, dalam Pasal 11 ayat (2) dikemukakan bahwa

hasil perikanan, hasil pendapatan dan jasa termasuk jenis benda yang harus

dikeluarkannya zakatnya. Tampaknya, hasil perikanan dimasukkan ke dalam

kategori harta yang harus dizakati didasarkan pada analogi dengan hasil

perdagangan, karena keduanya memiliki kemiripan dalam hal proses pengelolaan.

Dalam pandangan Umar Syihab, hasil perikanan lebih tepat dikiaskan dengan

hasil perdagangan, sebab pengelolaannya lebih mendekati perdagangan, baik

dilihat dari segi modal maupun prosesnya.183

Adapun zakat hasil pendapatan dan jasa atau zakat profesi, ia merupakan

fenomena belakangan yang rujukannya baru ditemukan pada abad modern. Dalam

Keputusan Bimas Islam dan Urusan Haji, zakat profesi ini dimasukkan ke dalam

kategori perdagangan, yang nisabnya disamakan dengan 85 gram emas murni.184

Sebenarnya, masalah zakat profesi ini pernah menjadi perdebatan dalam

masyarakat Indonesia. M. Amien Rais, misalnya, pernah mengusulkan agar profesi

yang dapat mendatangkan uang dengan mudah dikenakan zakat sebesar 10%.

Argumennya adalah jika pertanian yang demikian rumit saja hasilnya harus

dizakati 5-10%, pekerjaan yang lebih mudah daripada pertanian dan

mendatangkan lebih banyak uang, 10% hasilnya sebagai zakat adalah sesuatu

yang wajar. Ia menegaskan, ‚Bila petani yang bekerja keras harus membayar zakat

5 atau 10% dan langsung dibayar pada waktu panen, cukupkah kira-kira zakat

2,5%bagi profesi modern yang begitu gampang dengan kemampuan making money?‛

185

Dilihat dari hal-hal baru yang terkandung dalam UU No. 38 Tahun 1999 ini,

dapat dikatakan bahwa undang-undang ini merupakan produk pembaharuan

hukum Islam dalam konteks Indonesia. Pertama, dari aspek kelembagaan, undang-

undang ini telah memberikan landasan yang pasti bagi pengelolaan zakat dengan

organisasi yang mapan. Organisasi pengelolaan ini tentu jauh lebih baik

dibandingkan di masa lalu sebagaimana direkam dalam al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah

karya al-Ma>wardi>. Dalam karya ini, al-Ma>wardi> hanya menyebutkan amil zakat

meliputi dua bidang: bidang pengumpulan dan bidang pendistribusian.186

Di

samping itu, pendayagunaan zakat umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan

delapan golongan dan bersifat konsumtif. Dalam UU ini, ada orientasi pada

pendayagunaan produktif, tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan kaum

dhuafa.

182 Lihat UU No. 17 Tahun 2000. 183 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan

Zakat,‛ 328. 184 Lihat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, Lampiran I. 185 M. Amien Rais, Tauhid Sosial (Bandung: Mizan, 1998), 129. 186 Al-Ma>wardi>, Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 123.

Page 106: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

96

Kebijakan Negara Tentang Zakat

Kedua, dari aspek jenis harta yang dizakati, undang-undang ini telah

melampaui buku-buku standar yang selama ini menjadi rujukan, khususnya di

pesantren, terutama dari mazhab Syafi‘i. Dalam kitab-kitab ini, umumnya yang

dibicarakan berkaitan dengan nisab zakat hewan ternak, emas dan perak,

tumbuhan dan buah-buahan, barang dagangan, tambang, harta rikaz dan zakat

fitrah.187

Dengan demikian, unsur-unsur baru dalam undang-undang ini merupakan

produk ijtihad yang disesuaikan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, meskipun

hal itu bukan sama sekali baru dalam konteks pemikiran hukum secara umum.

Ketiga, seperti dikemukakan sebelumnya, sejak lama kaum Muslim

Indonesia berharap dapat mendirikan sebuah baitul mal, yang dapat menampung

dana-dana filantropis Islam. Akan tetapi, keinginan itu selalu berhenti di tengah

jalan. Karena itu, adanya BAZNAS, yang dibentuk menyusul kehadiran UU No.

38 Tahun 1999, dapat dipandang sebagai perwujudan dari baitul mal tersebut,

meskipun dalam kerangka yang lebih kecil. Dengan begitu, undang-undang ini

merupakan realisasi aspirasi umat Islam yang selama ini hanya menjadi angan-

angan mereka.

Keterlibatan negara terhadap persoalan agama juga semakin terlihat dengan

kehadiran UU ini. Pemerintah dari tingkat pusat hingga kecamatan tidak saja

harus membentuk BAZ, tetapi juga harus membiayai segala kebutuhan bagi

terlaksananya program lembaga ini. Di sebutkan dalam Pasal 23 bahwa

pemerintah wajib membantu biaya operasional BAZ.188

Ditegaskan lebih jauh

dalam Keputusan Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, bahwa

biaya bagi penyelenggaraan program BAZ ini diambil sesuai dengan tingkatannya,

yaitu APBN (Departemen Agama) untuk BAZNAS, APBD I untuk BAZDA

Provinsi dan APBD II untuk BAZDA kota/kabupaten.189

Keterlibatan negara terhadap urusan Islam ini tidak bisa tidak telah

melahirkan penilaian bahwa negara telah bertindak diskriminatif dalam persoalan

agama secara umum. Misalnya, jika orang Islam telah menunaikan zakat sebagai

kewajiban keagamaannya memeroleh pengurangan pembayaran pajak, bagaimana

dengan non-Muslim yang juga harus menunaikan kewajiban serupa dalam

agamanya. Padahal, tidak menutup kemungkinan bahwa yang harus mereka bayar

dalam hal ini jauh lebih besar ketimbang besaran zakat.190

Akan tetapi, dalam

pandangan Bahtiar Effendy, akomodasi negara terhadap aspirasi umat Islam

seperti itu tidak dapat dipandang sebagai sebuah tindakan diskriminatif negara.

Seperti dikemukakan Bahtiar, posisi negara Indonesia yang bukan teokratis dan

bukan sekular memberikan peluang bagi seluruh warganya untuk menyalurkan

aspirasinya. Tentu, hal itu harus dilakukan melalui sistem dan undang-undang

yang berlaku. Lebih jauh, tidak seluruh aspirasi itu dapat begitu saja diakomodasi,

tetapi kadang-kadang sebagian diterima dan sebagian lainnya tidak. Karena itu,

diakomodasinya zakat melalui undang-undang dan institusi negara bukan tindakan

187 Lihat, misalnya, Ibra>hi>m al-Ba>ju>ri>, H}a>shiyat al-Ba>ju>ri> ‘ala> Ibn Qa>sim al-Gha>zi> (Kairo: ‘I>sa>

al-Ba>bi> al-H}alabi>, t.th.), 1: 260-281; Sulayma>n al-Bujayrimi>, Tuh}fat al-H{abi>b ‘ala> Sharh} al-Khat}i>b

(Kairo: Must}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, 1951), 275-312. 188 Lihat UU No. 38 Tahun 1999. 189 Lihat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, Pasal 19 ayat

(1). 190 Bandingkan Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990).

Page 107: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

97

Bab III

diskriminatif dan sektarian negara. Namun, hal itu harus dipandang sebagai

ikhtiar negara dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap

warganya, yaitu memenuhi kebutuhan mereka.191

Lebih jauh, akomodasi ini sesungguhnya sejalan dengan tafsiran atas Pasal

29 UUD 1945, seperti yang dikemukakan oleh Hazairin. Menurutnya, pasal ini

mengimplikasikan, di antaranya, bahwa (1) dalam Negara RI tidak boleh terjadi

atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat

Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat

Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Bali bagi

orang-orang Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha

bagi orang-orang Budha. Di samping itu, (2) Negara RI wajib menjalankan syariat

Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali

bagi orang Hindu Bali, sepanjang menjalankan syariat tersebut memerlukan

perantaraan kekuasaan negara.192

Senada dengan itu, Hartono Mardjono menilai pasal 29 ayat (1) ini

mengisyaratkan bahwa negara tidak bisa membuat peraturan atau kebijakan yang

bertentangan dengan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya, negara

harus membuat peraturan dan kebijakan yang dapat mewujudkan rasa keimanan

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terakhir, negara berkewajiban membuat undang-

undang dan kebijakan yang melarang orang yang hendak melecehkan ajaran

agama.193

Apalagi, seperti disinggung sebelumnya, negara sendiri merasa

berkepentingan terhadap pengelolaan zakat, mengingat pranata Islam dipandang

dapat membantu menyejahterakan masyarakat, yang juga menjadi tanggung jawab

negara. Karena itu, konsideran yang mendasari undang-undang ini tidak semata-

mata persoalan agama, yang memang diatur dalam Pasal 29 UUD 1945, tetapi

juga Pasal 34 yang menyebutkan bahwa negara menjamin kesejahteraan

masyarakat. Dengan kata lain, zakat sebagai pranata sosial Islam, melalui undang-

undang ini, diharapkan dapat menunjukkan manfaat sosialnya bagi rakyat

Indonesia, sehingga diakomodasi negara.

Dengan demikian, akomodasi negara terhadap kepentingan umat Islam ini

tidak semata-mata karena pertimbangan keagamaan, tetapi juga karena apa yang

disebut oleh An-Na‘im sebagai ‚public reason,‛ yang dipinjam dari John Rawls.

Seperti dikutip An-Na‘im, Rawls menegaskan bahwa ‚reason‛ dapat disebut

‚public‛ jika memenuhi tiga hal. Pertama, jika ‚reason‛ itu lahir dari warga

negara yang bebas dan setara. Kedua, ‚reason‛ harus berisi kemaslahatan publik.

Ketiga, watak dan isinya memang publik, dalam arti diekspresikan melalui

sekumpulan konsep rasional dengan dasar keadilan politik.194

UU No. 38 Tahun

1999 memang persoalan agama Islam, tetapi dilandasi oleh konstitusi yang

menjadi kesepakatan bersama antarwarga negara. Lebih jauh, sebelum disahkan

menjadi undang-undang, RUU ini melalui berbagai tahap, dari pembuatan naskah

191 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang

Tidak Mudah (Ciputat: Ushul Press, 2005), 19. 192 Dikutip dalam M. Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), 260. 193 Hartono Mardjono, Menegakkan Syari‘at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung:

Mizan, 1997), 28. 194 Abdullah Ahmad An-Na‘im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan

Syariah, terj. Sri Murniati (Bandung: Mizan, 2007), 157.

Page 108: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

98

Kebijakan Negara Tentang Zakat

akademik, sosialisasi kepada masyarakat dan perdebatan di lembaga legislatif.

Dan yang tidak bisa dimungkiri adalah bahwa tujuan diundangkannya RUU ini

adalah kesejahteraan umum, yang tidak semata-mata bagi umat Islam, tetapi juga

bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendeknya, meskipun terkait dengan urusan agama

tertentu, RUU ini telah dinegosiasikan melalui ‚public reason‛ sehingga dapat

disahkan sebagai undang-undang, yang mau tidak mau negara harus terlibat dalam

pelaksanaannya.

Meskipun undang-undang telah diundangkan dan dilaksanakan berikut

lembaga-lembaga yang menyertainya, dana zakat yang terkumpul kurang

menunjukkan angka yang signifikan, jauh dari berbagai asumsi yang selama

disuarakan. Misalnya, dalam perkiraan M. Djamal Doa, seandainya jumlah

Muslim yang mampu berzakat sebanyak 28 juta kepala keluarga (KK), dan

masing-masing KK mengeluarkan zakat sebesar Rp. 3.000.000,-, maka akan

terkumpul dana sebesar Rp. 84 trilyun.195

Akan tetapi, hasil yang telah dicapai

selama ini jauh dari perkiraan di sini. Menurut laporan BAZNAS, dana zakat yang

terkumpul pada November 2009, misalnya, hanya mencapai Rp.

14.573.383.699,48,- termasuk dana infak dan shadaqah serta natura, sedangkan

keseluruhan dana yang terkumpul sampai November pada tahun yang sama

mencapai Rp 35.215.404.216,85,-. Sementara itu, dalam bulan berikutnya di tahun

yang sama berhasil dikumpulkan dana sebesar Rp. 1.952.317.949,06,- termasuk

infak dan shadaqah.196

Dengan demikian, jika dijumlahkan secara keseluruhan,

dana yang terkumpul selama 2009 mencapai 37.167.722.165,91,-.

Kecenderungan penerimaan serupa juga terjadi pada 2010. Pada Januari

2010, misalnya, terkumpul dana sebesar Rp. 1.068.723.425,-, sedangkan pada

Maret dan April di tahun yang sama masing-masing mencapai Rp.

1.813.418.748,06,- dan Rp. 1.916.318.701,85,-.197

Berdasarkan laporan ini, kalau

rata-rata per bulan dibulatkan mencapai 2 milyar, maka dalam setahun akan

terkumpul sekitar 24 milyar saja. Kalaupun pada bulan Ramadhan ada

peningkatan signifikan seperti pada November 2009, paling banter dana yang

terkumpul mencapai sekitar 50 milyar.

Adapun dana zakat yang terkumpul melalui BAZDA juga masih jauh dari

perkiraan di atas. Misalnya, sepanjang 2003, dana zakat, infak dan shadaqah yang

terkumpul di BAZDA DKI mencapai 14,1 milyar (termasuk infak dan shadaqah),

yang meningkat cukup signifikan jika dibandingkan dengan perolehan tahun

sebelumnya, yakni 11,6 (dibulatkan ke atas) pada 2002, dan 9,5 milyar pada

2001.198

Di BAZDA daerah selain DKI, tampaknya dana yang terkumpul akan

lebih rendah. Di Jawa Barat, misalnya, pada tahun yang sama bulan Januari-April

mencapai hanya 28,65 juta, sedangkan pada 2002 terkumpul Rp. 184.443.378,-

dan pada 2001 mencapai 1,2 milyar.199

Sementara itu, dana zakat yang terkumpul melalui lembaga non-pemerintah

juga masih jauh dari yang selama ini diperkirakan. Dompet Dhuafa Republika,

195 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 63. 196 Lihat Laporan Keuangan Baznas, www.baznas.or.id. 197 Lihat Laporan Keuangan Baznas, www.baznas.or.id. 198 Amelia Fauzia, ‚Bazis DKI Jakarta: Peluang dan Tantangan Badan Amil Zakat Pemerintah

Daerah,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed.

Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005), 39. 199 Ridwan al-Makassary, ‚BAZ Propinsi Jawa Barat: Eksistensi yang Mulai Pudar?‛ dalam

Revitalisasi Filantropi Islam, 71.

Page 109: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

99

Bab III

yang dikelola secara profesional, misalnya, berhasil mengumpulkan dana selama

2004 sebesar kurang lebih 20 milyar (termasuk infak dan shadaqah), sementara

pada tahun sebelumnya mencapai kurang lebih 15 milyar.200

Timpangnya perkiraan dengan perolehan dana zakat yang dikumpulkan juga

mengindasikan bahwa prosentasi orang yang berzakat (muzakki) tidak mengalami

peningkatan yang signifikan. Menurut Rahmad Riyadi, prosentasi muzakki yang

membayar zakatnya terlihat masih minim.201

Tentu, ini tidak berarti secara

mutlak bahwa terjadi penurunan angka jumlah Muslim yang membayar zakat.

Bisa jadi, hal itu disebabkan oleh karena BAZ atau LAZ sulit dijangkau oleh

muzakki atau mereka kurang percaya terhadap lembaga ini. Survei yang dilakukan

oleh PIRAC, seperti dikutip oleh AM. Fatwa, M. Djamal Doa dan Aries Mufti,

menunjukkan bahwa kaum Muslim cenderung membayarkan zakat mereka kepada

panitia yang ada di sekitar mereka, seperti masjid, lembaga pendidikan atau

bahkan secara langsung kepada mustahik. Dalam survei itu disebutkan bahwa

66% responden membayarkan zakatnya kepada panitia di sekitar rumah, 28%

langsung kepada mustahik, sedangkan 6% lainnya baru disalurkan kepada BAZ

atau LAZ.202

Dari beberapa kasus di atas terlihat bahwa pelaksanaan UU No.38 Tahun

1999 belum mencapai hasil yang maksimal seperti yang diharapkan. Bahkan ada

yang menilai bahwa hasil yang kurang maksimal itu tidak semata-mata terjadi

pada tingkat pelaksanaan, tetapi juga pada undang-undang itu sendiri. Suparman

Usman, misalnya, mengkritik undang-undang tersebut karena secara inheren

mengandung setidak-tidaknya enam kelemahan mendasar. Kelemahan-kelemahan

itu meliputi:203

1. Tidak adanya ketentuan nisab (batas minimal) harta yang harus dikeluarkan

zakatnya.

2. Tidak jelasnya kedudukan sekretaris, apakah ia sekretaris badan pelaksana,

dewan pertimbangan, ataukah sekretaris komisi pengawas.

3. Tidak jelasnya sistem pelaporan, apakah harus dilaporkan kepada pemerintah

atau DPR.

4. Tidak adanya perluasan harta yang wajib dizakati, di mana dalam UU hanya

disebutkan emas, perak dan uang.

5. Tidak jelasnya sistem pendistribusian dana zakat.

6. Tidak adanya sanksi bagi wajib zakat yang tidak menunaikannya.

Akan tetapi, kritik yang dikemukakan Suparman Usman ini tidak seluruhnya

benar, jika ia mau merujuk kepada peraturan yang menyertai undang-undang

tersebut. Tentang kedudukan sekretaris, misalnya, UU tidak menyebutkan

kedudukan tersebut, karena dalam Pasal 6 ayat (5) hanya menyebutkan bahwa

struktur BAZ terdiri atas unsur pertimbangan, pengawas dan pelaksana. Dalam

penjelasannya juga tidak ditemukan kedudukan sekretaris, tetapi ditemukan dalam

Pasal 3 Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, di mana disebutkan

200 Karlina Helmanita, ‚Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern: Pengalaman

Dompet Dhuafa,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam, 103. 201 Rahmad Riyadi, ‚Undang-undang Zakat dan Kondisi Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Zakat

dan Peran Negara, 46. 202 Lihat AM. Fatwa, M. Djamal Doa dan Aries Muftie, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai

Solusi Alternatif, 135, catatan nomor 14. 203 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata

Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 175-178.

Page 110: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

100

Kebijakan Negara Tentang Zakat

bahwa dalam badan pelaksana terdapat seorang sekretaris umum dan dua orang

sekretaris, sedangkan dalam dua unsur BAZ lainnya masing-masing hanya

terdapat seorang sekretaris.204

Kritik Suparman terhadap sistem pelaporan juga tidak mencapai sasaran.

Dalam Pasal 9 UU No. 38 Tahun 1999 memang hanya disebutkan bahwa BAZ dan

LAZ bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya,

sementara dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa BAZ memberikan laporan

pelaksanaan tugasnya kepada DPR atau DPRD sesuai dengan tingkatannya.

Dengan kata lain, BAZ dan LAZ harus membuat laporan kepada DPR dan

pemerintah sesuai dengan tingkatannya, meskipun dalam Keputusan Menteri

Agama No. 373 Tahun 2003 Pasal 31 hanya diwajibkan membuat laporan kepada

pemerintah. Kritik Suparman terhadap sistem pendistribusian zakat juga tidak

berdasar, karena dalam Keputusan Menteri Agama tersebut disebutkan secara

konseptual dalam Pasal 28 dan 29. Akan tetapi, secara teknis, memang tidak

dikemukakan secara terperinci. Adapun tentang tidak adanya perluasan harta yang

harus dizakati yang dikritiknya, hal itu sebenarnya dapat ditemukan dalam

Lampiran I Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun

2001, di mana barang-barang selain emas, perak dan uang dianggap harus

dikeluarkan zakatnya. Ini meliputi logam mulia, platina dan lain sebagainya.

Adapun dua kritik lainnya yang disampaikan Suparman memang relevan.

Pertama, undang-undang ini tidak menyebutkan secara eksplisit nisab (batas

minimal) harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Kritik Suparman ini benar jika

kita merujuk pada Pasal 11 ayat (3) yang menyebutkan bahwa ‚Penghitungan

zakat mal menurut nisab, kadar dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum

agama.‛ Di sini timbul pertanyaan, hukum agama yang mana yang hendak

dijadikan acuan, mengingat yang dimaksud dengan hukum agama juga tidak

tunggal? Dalam penjelasannya hanya disebutkan definisi nisab, yaitu jumlah

minimal harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Berapa minimalnya?

Jawabannya ditemukan dalam Lampiran I Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam

dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000. Di situ memang disebutkan jumlah

minimal harta yang harus dikeluarkan zakatnya, tetapi masih menurut pendapat

berbagai imam mazhab dan ulama. Artinya, di sini orang masih bisa memilih,

apakah ia menggunakan pendapat A, B, atau C. Dengan kata lain, undang-undang

belum tegas dalam memilih pendapat mazhab yang hendak dijadikan sebagai

acuan. Padahal undang-undang sudah semestinya tegas dan mengikat, karena

kedudukannya sebagai hakim yang memutus perbedaan. Dalam hal ini berlaku

kaidah h}ukm al-h}a>kim yarfa‘ al-khila>f (keputusan hakim harus dapat menghapus

perbedaan pendapat) atau la> khila>fa fi> al-qad}a>’ (tidak ada perbedaan dalam

keputusan peradilan). Di sini peran UU No. 38 Tahun 1999 sebagai hakim

terhadap persoalan nisab zakat yang masih beragam tidak berperan.

Kedua, sebagaimana disinggung sebelumnya, UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 2

menyebutkan bahwa warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu

atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat.

Akan tetapi, anehnya undang-undang ini sama sekali tidak menyebutkan sanksi

apa yang bakal diterima oleh Muslim yang mampu, tetapi tidak mau

mengeluarkan zakat. Undang-undang sudah semestinya secara tegas memberikan

204 Lihat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003 Pasal 3 ayat (2-4).

Page 111: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

101

Bab III

sanksi bagi yang tidak melaksanakannya, mengingat ia bersifat mengikat. Lebih

jauh, karena pelaksanaan undang-undang ini dijamin oleh negara, sebagai satu-

satunya institusi yang memiliki daya paksa terhadap warganya, dengan tidak

adanya ketegasan sanksi atas pelanggarnya, maka negara menjadi sama sekali

tidak berperan. Dalam ungkapan M. Djamal Doa, negara hanya seperti macan

ompong, yang memiliki kekuatan memaksa sangat besar terhadap warganya,

tetapi tidak bisa bergerak karena tidak memiliki landasan dalam undang-undang

tentang zakat ini.205

Bahkan, dalam penilaian Djamal Doa, undang-undang ini

sangat lembek, mengingat pemungut zakat baru dapat mengambil jika ia terlebih

dahulu diberitahu oleh muzakki.206

Seperti disebutkan dalam Pasal 12,

pengumpulan zakat dilakukan oleh BAZ dengan cara menerima atau mengambil

dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.207

Kritik terhadap tidak adanya sanksi ini juga dikemukakan oleh Didin

Hafidhuddin. Ia menegaskan bahwa sebagai undang-undang, undang-undang ini

hanya mewajibkan, tetapi tanpa dibarengi dengan konsekuensi bagi yang tidak

melaksanakannya.208

Kritik serupa juga dikemukakan oleh Rahmad Riyadi, yang

menilai bahwa prosentasi tidak mengalami peningkatan signikan, di antaranya,

karena undang-undang ini tidak memiliki daya paksa dengan tidak adanya sanksi

bagi yang melalaikannya. Ini berbeda dengan sanksi yang diberikan kepada

lembaga pengelola zakat, yang dinyatakan begitu tegas. Bukan hanya itu,

pendiriannya pun harus memenuhi banyak syarat yang tidak mudah.209

Dalam UU

No. 38 Tahun 1999 memang disebutkan bahwa bagi pengelola yang lalai tidak

mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat diancam hukuman

kurungan tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,-.210

Kritik serupa juga dikemukakan oleh Wahyu Dwi Agung. Agung melihat

konsideran yang digunakan dalam UU No. 38 Tahun 1999 ini tidak memiliki daya

paksa, karena yang digunakan adalah Pasal 34 UUD 1945. Menurutnya, pasal ini

hanya berdimensi sosial dan tidak memaksa muzakki mengeluarkan zakatnya. Ini

sangat berbeda dengan undang-undang tentang pajak, di mana salah satu

konsiderannya sangat menekankan aspek pemaksaan oleh negara. Karena itu, bisa

dipahami jika pemungutan dan pengelolaan zakat tidak dapat berjalan secara

maksimal. Lebih dari itu, ia menilai bahwa, sesuai dengan judulnya, undang-

undang lebih menekankan aspek-aspek administratif zakat, dan berupaya

menghindari sifat memaksa terhadap para muzakki.211

Sementara itu, M. Tahir Azhari justru mengkritik undang-undang ini karena

rendahnya sanksi yang diberikan terhadap pengelola zakat. Hal itu

disampaikannya dalam mengantisipasi pembahasan RUU ini di DPR. Dalam

pandangan Azhari, jumlah Rp. 30.000.000,- tidaklah sebanding dengan jumlah

yang dapat diterima oleh pengelola, yang umumnya mencapai ratusan juta rupiah.

Bila sebuah lembaga pengelola dapat mengumpulkan dua ratus juta, lalu

205 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 79. 206 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 79. 207 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 12. 208 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),

26. 209 Rahmad Riyadi, ‚Undang-undang Zakat dan Kondisi Perzakatan di Indonesia,‛ 4. 210 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 21 ayat (1). 211 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai

Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 136.

Page 112: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

102

Kebijakan Negara Tentang Zakat

pengelolanya menyelewengkan 50-75 juta saja, misalnya, maka denda Rp.

30.000.000,- menjadi tidak ada artinya. Ini justru membuka peluang bagi

seseorang untuk berhitung dalam melakukan penyelewengan.212

Sebenarnya, tidak dicapainya pengumpulan zakat oleh BAZ dan LAZ secara

maksimal bukanlah semata-mata karena kelemahan undang-undang. Akan tetapi,

yang lebih penting lagi disebabkan oleh implementasinya dalam praktik.

Misalnya, seperti disinggung sebelumnya, pembayaran zakat sebagai pengurang

beban pajak telah diakomodir oleh undang-undang tentang pajak. Akan tetapi,

dalam praktiknya, hal itu hingga kini belum terlaksana dengan baik.213

Tentu, hal

ini sulit dilakukan baik oleh muzakki karena ia harus menghitung dua kali, saat

harus mengeluarkan zakat dan saat harus membayar pajak, yang bisa jadi

menimbulkan perbedaan jumlah. Di samping itu, ada kesulitan bagi muzakki

untuk menentukan mana yang harus didahulukan membayar zakat atau membayar

pajak. Karena pajak dipaksa oleh negara dan menimbulkan sanksi bagi yang tidak

membayar, otomatis pilihan kedua yang didahulukan. Memang UU No. 38 Tahun

1999 tidak menentukan mana yang harus didahulukan. Namun, jika lembaga

pemungut pajak dan zakat disatukan, baik pembayar pajak atau zakat akan

mengalami kemudahan.

Inilah yang dipandang oleh Djamal Doa sebagai ‚ketidakefektifan

administrasi,‛ karena melibatkan dua departemen. Atas dasar itu, ia mengusulkan

agar masalah pemungutan zakat ini disatukan dengan pemungutan pajak. Jika ini

terjadi, pengumpulan dana zakat mudah dilakukan, dengan bukti pembayaran

yang tidak mudah diselewengkan atau dipalsukan. Bahkan dari aspek sarana dan

prasarana, hal itu meringankan biaya, karena Kantor Pelayanan Pajak sudah ada di

mana-mana, sehingga setiap orang yang hendak membayar pajak, tidak bisa tidak

harus membayar zakat juga.214

Potensi zakat dari pembayaran pajak ini memang

sangat besar. Sebab, yang dikenakan pajak bukan hanya individu, tetapi juga

badan usaha. Seperti disebutkan dalam UU tentang pengelolaan zakat, yang

diwajibkan mengeluarkan zakat juga bukan hanya individu, tetapi juga badan

usaha yang dimiliki oleh muslim. Jika ini diterapkan, dana zakat yang terkumpul

pasti besar.

Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam undang-undang ini,

terlihat bahwa diundangkannya zakat mempunyai manfaat yang sangat besar bagi

umat Islam dan negara sekaligus. Di satu sisi, aspirasi umat Islam diakomodasi

oleh negara dalam bentuk kelembagaan, yang diharapkan dapat meningkatkan

dana zakat bagi kesejahtraan masyarakat. Di sisi lain, negara akan terbantu dalam

menyejahterakan masyarakat.

212 M. Tahir Azhari, ‚Zakat dan Aplikasinya dalam Konteks Kesejahteraan Sosial,‛ Makalah

disampaikan pada Seminar Sehari tentang Pengelolaan Zakat, Departemen Agama, Jakarta, 30

Agustus 1999, 9-10. 213 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai

Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ 136. 214 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 80.

Page 113: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

103

BAB IV

KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF

Seperti dalam bab sebelumnya, bab ini bertujuan mempertegas hubungan antara

filantropi dan negara dengan perhatian khusus pada kasus wakaf. Untuk itu, bab

ini diawali dengan pembahasan tentang pengaturan wakaf di Indonesia, sebagai

latar belakang diusulkan dan disahkannya Undang-undang tentang Wakaf, serta

dampaknya bagi pertumbuhan lembaga filantropi Islam. Dengan begitu

diharapkan kaitan antara filantropi Islam dan negara bisa digambarkan secara

jelas.

A. Pengaturan Wakaf di Indonesia

Sebagaimana disinggung dalam Bab II, wakaf bukanlah bentuk filantropi

yang hanya ditemukan dalam Islam, tetapi juga ditemukan dalam tradisi

keagamaan lainnya. Di Indonesia sendiri, praktik sejenis ini juga ditemukan

dengan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan tradisi kedaerahan yang ada. Di

Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, ditemukan tradisi suma pada zaman Empu

Sendok. Suma adalah tanah atau hutan pemberian raja kepada rakyatnya untuk

dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan mereka. Tempat ini juga disebut

huma atau huma serang, yakni sebuah ladang yang setiap tahun digarap bersama-

sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama. Berbeda dengan dua

istilah itu, di Lombok dikenal istilah ‚tanah parenan,‛ yaitu sebuah tanah yang

semula milik negara kemudian diserahkan kepada desa, subak dan candi untuk

kepentingan bersama dan dibebaskan dari pungutan pajak.1

Dengan demikian, ketika Islam datang ke Indonesia, sebenarnya tradisi

filantropi yang menyerupai wakaf sudah ada. Dalam konteks seperti itu, praktik

wakaf Islam tidak menghadapi kesulitan untuk diadopsi oleh masyarakat. Sebagai

sebuah bentuk filantropi Islam, wakaf benar-benar memiliki dimensi ketulusan,

mengingat status hukumnya tidak sekuat bentuk filantropi lain, seperti zakat,

yang telah dibicarakan sebelumnya. Meskipun demikian, peran wakaf dalam

sejarah Islam tak kalah pentingnya dengan peran yang dimainkan oleh zakat,

bahkan hingga batas tertentu lebih monumental jika dilihat dari jejak rekamnya.

Seperti dikemukakan Gregory C. Kozlowski, wakaf merupakan lembaga filantropi

yang paling popular di dunia Islam pada abad ke-14 atau ke-15.2 Pernyataan

Kozlowski ini tentu berlaku juga bagi Indonesia, karena sebagian besar lembaga

keagamaan di Indonesia berbasis wakaf. Mengingat mayoritas penduduk Muslim

nusantara menganut faham Sha>ulama Sufi. Mereka inilah yang menyebarkan

1 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran dan Perkembangannya

(Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992), 46. 2 Gregory C. Kozlowski, ‚Otoritas Agama, Reformasi dan Filantropi di Dunia Islam

Kontemporer,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia , ed. Warrant F. Ilchman, Stanley N. Katz

dan Edward L Queen II, terj. Tim CSRC (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), 317.

Page 114: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

104

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Islam dan hingga batas tertentu membentuk karakter keislaman di Nusantara.

Karena itu, patut diduga bahwa praktik wakaf pada masa awal Islam tidak terlalu

rumit seperti yang terjadi pada tradisi fikih.3 Akan tetapi, ini tidak harus dipahami

bahwa fikih tidak dipraktikkan di Nusantara, sebagaimana telah disinggung di

muka.

Menurut Ahmad Sutarmadi, praktik wakaf di Indonesia sesungguhnya

beriringan dengan proses Islamisasi itu sendiri. Misalnya, Walisongo, yang

dikenal sebagai tokoh-tokoh penting dalam dakwah Islam di Jawa, khususnya,

dalam praktiknya menerima kepercayaan masyarakat yang baru masuk Islam

untuk mendirikan masjid atau pesantren di lahan mereka. Ini menunjukkan bahwa

praktik wakaf yang mereka ajarkan dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat.

Lebih jauh dikemukakan bahwa ketika Raden Fatah menjabat sebagai sultan

pertama Demak, ia mendirikan masjid Demak di atas tanah wakaf dan untuk

membiayai pemeliharaan serta gaji para pengelolanya juga diperoleh dari wakaf.4

Di Jawa Timur, istilah yang sangat populer adalah tanah ‚perdikan,‛ yaitu

sebidang tanah yang diberikan oleh raja kepada seseorang atau sefi‘i>yyah, praktik

wakaf di sini diduga kuat dilakukan berdasarkan mazhab ini.5

Disebut-sebut bahwa masuknya Islam ke Indonesia merupakan andil besar

para

kelompok orang atas jasa-jasa mereka bagi kerajaan dan tanah tersebut

dibebaskan dari pungutan pajak. Wakaf semacam ini menyerupai wakaf keluarga

(al-waqf al-ahli>) jika dilihat dari fungsi dan pemanfaatannya.6 Tanah ‚perdikan‛

ini, misalnya, dapat ditemukan di Tegalsari, Ponorogo. Suatu ketika, Paku Buana

II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura, meninggalkan istana

bersama para pengikutnya. Ini dilakukan karena ada pemberontakan Cina yang

dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhunan Kuning, yang meletus pada 30 Juni

1742. Pemberontakan ini berlangsung begitu cepat, yang membuat Kerajaan

Kartasura tidak siap menghadapinya. Saat melarikan diri, Sunan Kumbul

mengarah ke timur Gunung Lawu, hingga pada suatu saat tiba di Desa Tegalsari,

di mana terdapat sebuah pesantren besar yang diasuh oleh Kyai Ageng Hasan

Bashari. Sunan kemudian berserah diri ke pesantren dan menjadi santri, yang

menerima tempaan dan bimbingan dari kyai untuk bertafakur dan bermunajat

kepada Allah. Tak lama setelah itu, pemberontakan di Kartasura mereda, dan

Sunan menduduki kembali tahta yang sempat ditinggalkannya. Atas jasa sang

kyai, Desa Tegalsari dijadikan sebagai desa ‚perdikan,‛ sebuah desa istimewa

yang bebas dari segala pungutan pajak.7

3 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim, eds., Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi

tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta,

2006), 96. 4 Ahmad Sutarmadi, ‚Sekilas tentang Filantropi Islam di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk

Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif

Hidayatullah, 2003), 193-94. 5 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43. 6 Maksudnya, peruntukan wakaf tersebut ditentukan secara jelas bagi keluarga, keturunan dan

seterusnya. Lihat Tim Penulis, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat

Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005), 17. Tentang keuntungan dan kelemahan wakaf keluarga ini,

lihat Peter C. Hennigan, The Birth of a Legal Institution: The Formation of the Waqf in Third-Century AH H{anafi Legal Discourse (Leiden: Brill, 2004), xiv-xv.

7 Lihat Nur Hadi Ihsan dkk., Profil Pondok Modern Darussalam Gontor (Gontor: Pondok

Modern Darussalam, 2006), 1-2.

Page 115: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

105

Bab IV

Sementara itu, di Aceh dikenal istilah weukeuh, yang praktiknya telah

berlangsung jauh sebelum kedatangan penjajah. Pada masa kesultanan, misalnya,

seorang sultan biasanya memberikan sebidang tanah bagi kepentingan umum,

apakah untuk perkebunan, pertanian atau sarana umum tertentu. Umumnya, tanah

seperti itu berstatus khusus, yang langsung dikontrol oleh sultan dan bukan oleh

pejabat bawahannya. Ia bebas dari beban pajak atau pungutan, tetapi tetap berada

dalam kendali sultan. Lembaga ini tetap bertahan pada masa kolonial, yang

manfaatnya difungsikan untuk membiaya acara-acara keagamaan dan ibadah, di

samping untuk pembangunan masjid atau madrasah dan pesantren.8

Yang demikian itu mengingat wakaf umumnya terjadi pada benda-benda

yang sifatnya permanen atau tidak bergerak, seperti masjid, pesantren, mushalla,

langgar, tempat pemakaman dan lain sebagainya, yang tentu tidak hilang begitu

saja seperti zakat, yang dampaknya seakan-akan lenyap bersamaan dengan

selesainya pembagian. Ini tampaknya sejalan dengan makna wakaf itu sendiri,

yang menganjurkan keabadiaan benda yang diwakafkan. Yang menarik bahwa di

daerah tertentu, seperti Banten, pengelolaan wakaf sudah berlangsung cukup baik,

sehingga yang diwakafkan bukan semata-mata benda yang telah disebutkan di

atas, tetapi juga buku. Konon, Sultan Maulana Muhammad, putra Sultan Maulana

Yusuf, saat berkuasa sangat peduli dengan masalah-masalah keagamaan, tak

terkecuali dalam bidang hukum agama. Karena itu, ia senang mewakafkan banyak

buku, di samping benda-benda tak bergerak lainnya. Ini menunjukkan bahwa

bentuk wakaf sudah mengalami perkembangan yang berarti jika kita mengacu

pada buku-buku fikih yang lebih banyak menekankan pada benda-benda tak

bergerak.9 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan menduga bahwa tradisi wakaf kitab

ini tidak bisa dipisahkan dari kaitan erat Kesultanan Banten dengan Kerajaan

Saudi Arabia atau Turki ‘Uthmani, yang tentunya sudah terbiasa dengan

mewakafkan benda yang bergerak seperti kitab.10

Sebenarnya, tradisi wakaf buku dan pendirian perpustakaan jauh sebelum

Turki ‘Uthmani, mengingat sejumlah perpustakaan yang berdiri di sejumlah

negara—yang kini dikenal—Arab itu dari awal banyak diisi oleh buku-buku

wakaf. Ini ditemukan di perpustakaan Mosul, Bagdad, Kairo dan lain sebagainya,

jauh sebelum Turki ‘Uthmani atau Saudi Arabia.11

Lebih jauh ditegaskan bahwa di samping benda-benda tak bergerak, wakaf

juga diduga bisa berbentuk barang atau uang tunai sebab, menurut Aqib Suminto,

wakaf juga menjadi sumber penting keuangan masjid, di samping sumber-sumber

lain seperti biaya nikah, zakat dan shadaqah.12

Wakaf sebagai sumber keuangan

ini mengisyaratkan bahwa dana bisa diperoleh dari pemanfaatan harta wakaf, yang

hasilnya kemudian dijadikan sebagai dana masjid. Juga mungkin bahwa

8 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif

Filantropi Islam dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 165.

9 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (Jakarta: Penerbit Djambatan

dan KITLV, 1983), 39. 10 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif

Filantropi Islam,‛ 162. 11 Lihat secara lebih terperinci Yah}ya Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-

‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz al-Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t, 1996), 31-44. 12 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 162, catatan nomor

190.

Page 116: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

106

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

masyarakat memang mewakafkan dalam bentuk uang yang dibelikan barang-

barang kebutuhan masjid.

Ini bisa dilihat pada saat renovasi masjid di kota Pekalongan pada 1926.

Pada tahun itu, masyarakat ingin merenovasi masjid yang ada, karena alasan-

alasan tertentu. Di samping itu, kas yang dimiliki oleh masjid itu sendiri dianggap

dapat memenuhi kebutuhan renovasi tersebut, yakni sebesar f.26.000,00 lebih,

sementara seluruh biaya yang dianggarkan mencapai f.20.000,00 sampai

f.22.000,00. Dengan demikian, saldo yang ada masih tersisa sekitar f.4.000,00

atau f.6.000,00 yang dianggap cukup untuk kebutuhan kegiatan masjid. Akan

tetapi, pemerintah Belanda mengizinkan penggunaan dana kas masjid itu

f.6.000,00 saja. Untuk sisanya, pemerintah menganjurkan agar bisa diperoleh

melalui wakaf. Meskipun penggalangan dana melalui wakaf mudah dilakukan,

masyarakat menolak kebijakan ini, dan mempertanyakan untuk apa dan akan

dibawa ke mana kas masjid tersebut. Sebab, kebijakan ini janggal mengingat kas

masjid untuk renovasi masjid tidak dibolehkan, sedangkan dana tersebut

dibolehkan untuk membangun gedung pertemuan umum. Karena itu, mereka

berharap kas masjid dapat digunakan sebagai dana pembangunannya dan tidak

lagi bergantung pada wakaf.13

Meskipun praktik wakaf telah berlangsung lama, tidak banyak informasi

yang menjelaskan bagaimana tata cara wakaf itu dilaksanakan. Snouck Hurgronje

menuturkan bahwa peran wakif, orang yang mewakafkan, sangat besar dalam

menentukan tujuan dan menunjuk seorang nazir, pengelola wakaf. Ditegaskan

lebih jauh bahwa wakaf di Indonesia berbeda dengan di tempat lain, terutama di

negara Islam. Di negara yang terakhir ini, qa>d}i> berperan besar dalam mengangkat

pengelola (na>z}ir), tetapi karena di negara yang pertama tidak ada qa>d}i>, peran itu

dimainkan oleh penghulu atau kyai. Snouck sendiri menganjurkan agar wakaf

berada di bawah kendali pejabat penjajah, bukan pada penghulu atau kyai.14

Saran

ini tampaknya didasarkan pada kekhawatiran Snouck Hurgronje yang menduga

bahwa dana wakaf jika berada di tangan kyai atau penghulu dapat dijadikan

sebagai sumber bekal pemberontakan, seperti disinggung di muka.

Tampaknya, wakaf telah menjadi praktik yang begitu meluas dalam

masyarakat Indonesia, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa sengketa

dalam masalah ini telah terjadi.15

Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya

Staatsblad No. 152 Tahun 1882 tentang Priesterraad (Pengadilan Agama), yang

memberikan wewenang kepada lembaga ini untuk menyelesaikan sengketa

wakaf.16

Perhatian pemerintah kolonial terhadap masalah ini bisa dimaklumi

mengingat wakaf terkait erat dengan persoalan hukum tanah atau agraria. Di satu

sisi, tanah dikenakan biaya pajak, sementara wakaf tanah dibebaskan dari beban

tersebut. Di samping itu, wakaf terkait erat dengan masjid yang dipandang

sebagai kegiatan keagamaan yang kadang-kadang bisa berujung sebagai pusat

13 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 168, catatan nomor 214. 14 Lihat E. Gobee dan C. Andriaase, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa

Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 (Jakarta: INI, 1992), 5: 905. 15 Bandingkan Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek

Normatif Filantropi Islam,‛ 174. 16 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf:

Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, 1:1 (Desember 208), 9.

Page 117: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

107

Bab IV

pemberontakan.17

Karena itu, perhatian kolonial terhadap wakaf semakin

meningkat dengan diterbitkannya sejumlah peraturan, baik yang secara sepintas

menyinggung maupun secara eksklusif memang membicarakan tentang wakaf. Di

antara peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 1 Januari 1905, Nomor 435.

Surat edaran ini termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Mohammedaansche bedehuizen. Sebenarnya, surat edaran ini

tidak berbicara secara khusus tentang wakaf, tetapi berperan sebagai

penegasan bahwa pemerintah sebenarnya mengakui dan mengizinkan orang-

orang Islam memenuhi kebutuhan keagamaan mereka.18

Di sini terlihat bahwa

surat ini tidak membicarakan secara khusus tentang wakaf. Akan tetapi, dapat

dipahami bahwa kebutuhan keagamaan yang paling fundamental umumnya

adalah rumah-rumah ibadah dan masjid, yang sebagian besarnya merupakan

tanah wakaf.19

Lebih jauh dikemukakan bahwa pendirian rumah ibadah hanya

dibolehkan jika ia memenuhi kriteria kebutuhan publik. Hal itu dipertegas

dengan perintah, dalam surat itu, kepada para bupati di wilayah Jawa dan

Madura, yang harus menginventarisir rumah-rumah ibadah Islam di masing-

masing daerah kekuasaannya. Di samping itu, mereka juga harus

mengidentifikasi asal muasal rumah ibadah itu, berikut kegunaannya. Bahkan

orang yang hendak melaksanakan wakaf pun harus meminta izin terlebih

dahulu kepada bupati setempat.

Meskipun demikian, surat edaran ini tidak banyak diindahkan baik oleh

masyarakat Muslim maupun bupati. Bagi masyarakat Muslim, surat ini tidak saja

mempersulit mereka dalam melaksanakan wakaf, tetapi juga dapat dipandang

sebagai upaya pemerintah kolonial untuk menghalangi dan membatasi ibadah

mereka20

dan pendirian masjid. Ini bisa dilihat pada kasus pendirian masjid baru

selain Masjid Agung yang sudah ada. Meskipun Pengadilan Agama mengizinkan

adanya masjid baru ini, namun Snouck Hurgronje tidak menyetujui dan

membatalkan niat tersebut. Dengan dalih pandangan fikih Sha>fi‘iyyah, ia

melarang pendirian masjid baru itu, di samping alasan bahwa Masjid Agung yang

ada masih mampu menampung jamaah Jumat.21

Di sisi lain, surat ini tampaknya

agak diabaikan oleh para bupati mengingat tidak dicapainya data yang memadai

tentang wakaf dan masjid di wilayah tugas mereka masing-masing.22

Dengan demikian, surat edaran ini terbukti tidak berjalan mulus, tetapi

mendapatkan reaksi dari masyarakat Muslim, yang memandang ketentuan

tersebut sebagai bentuk intervensi pemerintah kolonial dalam masalah agama

penduduk. Di samping bertentangan dengan kebijakan pemerintah sendiri dalam

17 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif

Filantropi Islam,‛ 174. 18 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf:

Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, volume 1, nomor 01 (Desember 208), 10. 19 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 3. 20 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43. 21 Konon, seorang penghulu di Palembang berusaha membuktikan bahwa masjid yang ada itu

tidak lagi dapat menampung jamaah dengan menggerakkan massa agar memenuhi masjid itu. Akan

tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan, sehingga masjid baru urung didirikan. Kasus-kasus serupa

juga terjadi di wilayah lain di nusantara. Lebih jauh, lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 172-173.

22 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43.

Page 118: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

108

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

masalah agama, ketentuan itu terbukti mempersulit orang yang hendak melakukan

wakaf untuk kepentingan orang Islam.23

2. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A. Surat

ini dimuat dalam Bijblad Tahun 191 No. 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs.

Berbeda dengan surat edaran sebelumnya, kali ini masalah wakaf disebut

secara eksplisit. Akan tetapi, dari segi isinya, surat kedua ini merupakan

penegasan terhadap yang pertama, mengingat masih ada keharusan bagi para

bupati untuk mencatat rumah-rumah ibadah, penggunaan dan asal usulnya.24

Di samping itu, izin dari bupati juga tetap diharuskan bagi orang yang ingin

berwakaf maupun bagi pendirian masjid di atas tanah wakaf. Tujuan perizinan

itu sendiri adalah agar tanah yang dibangun masjid di atasnya tidak terganggu

atau tergusur oleh pembangunan tata kota. Atau sebaliknya, jika ketertiban

umum masyarakat terganggu oleh pembangunan masjid di tanah wakaf, bupati

dapat mengalihkan usaha itu di tempat lain.25

Respons masyarakat Muslim terhadap surat ini pun nyaris setali tiga uang.

Mereka memandang peraturan ini sebagai bentuk campur tangan pemerintah

kolonial dalam urusan agama mereka. Padahal, perwakafan adalah masalah privat,

yang tetap dipandang sah kalaupun dilaksanakan tanpa izin pemerintah atau

bupati. Sebab, wakaf merupakan pemisahan harta dari pemilikan seseorang dan

berada di luar peredaran kepemilikannya.26

Di samping itu, masyarakat Muslim

tetap menilai bahwa ketentuan ini tidak lain hanyalah upaya pembatasan ibadah

mereka oleh Belanda.27

3. Surat Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A. Surat ini

termaktub dalam Bijblad Tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs.

Selain untuk mempertegas surat-surat sebelumnya, surat ketiga ini juga

mengatur soal tanah wakaf dan pembangunan masjid, di samping masalah

perizinan shalat Jumat. Yang dimaksud dengan izin shalat Jumat di sini adalah

bahwa jika terjadi persengketaan di kalangan masyarakat, bupati dibolehkan

memberikan izin kepada pihak yang memintanya. Masalah ini tampaknya

tidak dapat dipisahkan dari sengketa tanah wakaf, di mana masjid yang

dibangun di atasnya dipersengketakan oleh pihak-pihak tertentu. Lebih jauh,

dalam masalah wakaf, surat ini memberi sedikit keringanan, di mana orang

yang hendak mewakafkan hartanya tidak harus meminta izin kepada

pemerintah atau bupati. Mereka cukup melaporkan wakafnya kepada notaris

untuk memeroleh akta dari petugas.28

Ternyata, surat ketiga ini juga tidak mendapat respons positif dari

masyarakat Muslim. Memang ada peningkatan dari segi pendataan harta wakaf,

tetapi masih jauh dari memadai. Dengan kata lain, harta wakaf yang tidak

terdaftar jauh lebih banyak ketimbang yang sudah didaftar. Di sini terlihat bahwa

penolakan kaum Muslim terhadap kebijakan pemerintah kolonial tetap tidak

23 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 10. 24 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 10-11. 25 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 26 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 11. 27 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 28 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44.

Page 119: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

109

Bab IV

berjalan sesuai dengan tujuan surat tersebut.29

Inilah yang kemudian mendorong

pemerintahan kolonial untuk menerbitkan kembali surat edaran tentang wakaf.

4. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935 No. 1273/A. Surat

ini dimuat dalam Bijbald Tahun 1935 No. 13480 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs.

Dalam surat terakhir ini, beberapa ketentuan sebelumnya dipertahankan, tetapi

juga memberikan tata cara atau prosedur bagaimana wakaf harus dilaksanakan.

Misalnya, orang yang ingin berwakaf tidak harus meminta izin kepada bupati,

namun cukup melapor melalui kepala desa dan camat kepadanya. Ini

diperlukan agar bupati dapat mempertimbangkan atau menilai kalau-kalau ada

pelanggaran terhadap ketentuan umum, terutama berkaitan dengan ketertiban

dan kepentingan umum. Selanjutnya, bupati mendaftarkannya kepada petugas

keagamaan, yang harus melaporkan kemudian kepada kepala agraria. Ini

dilakukan agar harta wakaf memeroleh pembebasan dari beban pajak, yang

dikenakan pada benda-benda lain selain pajak.30

Sambutan masyarakat Muslim terhadap peraturan ini ternyata tidak

menggembirakan, apalagi ketentuan sanksi tidak ditetapkan di dalamnya. Padahal,

konon, ketentuan dibuat untuk mengakomodasi kayakinan masyarakat Muslim

saat itu, yakni bahwa harta wakaf itu harus langgeng (mu’abbad). Karena itu,

pemerintah mempertimbangkan keyakinan tersebut sehingga melalui surat ini

diharapkan dapat menjamin pelaksanaan keyakinan masyarakat Muslim. Dengan

begitu, benda-benda wakaf tidak terganggu oleh pembangunan lain yang bertujuan

pada pemenuhan kepentingan umum, seperti pelebaran jalan, pengembangan kota

dan lain sebagainya.31

Berbeda dengan itu, pemerintah kolonial Inggris di Malaysia justru

menunjukkan intervensinya yang sangat kuat terhadap wakaf di sana, khususnya

di Penang. Di sini, pemerintah mengambil alih pengelolaan wakaf, dengan tujuan

pembangunan dan kemajuan kota tersebut. Namun, dengan manajemen yang baik,

wakaf juga mengalami perkembangan pesat.32

Penolakan terhadap undang-undang kolonial terhadap wakaf seperti itu

terbukti juga terjadi di tempat lain. Di Aljazair, misalnya, pemerintah kolonial

Prancis mencoba memasukkan wakaf ke dalam hukum publik, namun masyarakat

Muslim menolaknya dengan keyakinan bahwa wakaf merupakan bagian dari

lembaga yang masuk ke dalam jurisdiksi Islam.33

Kejadian serupa berlangsung di

India, ketika Inggris berkuasa. Namun, Inggris lebih melunak dan menerima wakaf

masuk ke dalam Anglo-Muhammadan Law.34

Terlepas dari penolakan yang ditunjukkan oleh kaum Muslim saat itu,

semangat di balik surat edaran yang terakhir ini diduga banyak diadopsi oleh

peraturan wakaf yang ditetapkan pemerintah pasca-kemerdekaan. Jika dugaan ini

29 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 30 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44-45. 31 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 45. 32 Khoo Salma Nasution, ‚Kolonial Intervention and Transformation of Muslim Waqf

Settlement in Urban Penang: The Role of Endowment Board,‛ Journal of Muslim Minority, 22:2

(2002), 299-315. 33 Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam Islam and

Public Policy, ed. Stephen P. Heyneman (Nashville: Vanderbilt University Press, 2004), 36. 34 Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf,‛ 37.

Page 120: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

110

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

benar, dapat dikatakan bahwa penolakan tersebut lebih banyak didasari oleh

penolakan terhadap kekuasaan asing ketimbang esensi peraturan itu sendiri. Ini

bisa dimaklumi mengingat masyarakat Muslim berusaha untuk tidak kompromi

terhadap penguasa asing, yang mencoba mengintervensi persoalan keagamaan

mereka. Seperti dalam kasus pembangunan masjid baru yang telah disinggung di

muka, alasan pelarangan yang digunakan oleh pemerintah adalah pandangan fikih

Sha>fi‘iyyah, yang juga dianut oleh kaum Muslim. Namun, hal itu tidak

menghalangi mereka untuk berjuang mendirikan masjid yang baru.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, peraturan perundang-undangan

tentang wakaf tidak pernah ditetapkan secara khusus. Dengan demikian, peraturan

wakaf yang telah ditetapkan oleh Belanda masih berlaku. Ini sejalan dengan

Peraturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, Pasal II yang menyatakan bahwa

‚Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum

diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.‛35

Hal ini dilakukan untuk

memelihara ketertiban dalam masyarakat, karena kekosongan hukum

dikhawatirkan justru akan menciptakan instabilitas.36

Dengan demikian, dalam

masalah keagamaan, pemerintah mengakui hukum agama yang berlaku, termasuk

di dalamnya masalah wakaf. Walaupun begitu, campur tangan pemerintah tetap

ada, terutama yang berhubungan dengan penyelidikan, penentuan, pendaftaran,

pengawasan dan pemeliharaan benda-benda wakaf.37

Pada 1952, Menteri Agama menerbitkan peraturan No. 9 dan 10, yang

didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1949. Dua peraturan menteri

itu menyatakan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan saluran strukturalnya di

bawah memiliki kewajiban untuk ‚menyelidiki, menentukan, mendaftar dan

mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf.‛ Kewajiban ini meliputi

penyelidikan apakah tanah wakaf yang ada sesuai dengan maksud dan tujuan

perwakafan yang ditetapkan oleh ajaran Islam atau tidak. Berdasarkan peraturan

ini, wakaf merupakan wewenang Kementerian Agama yang dalam praktiknya

dijalankan oleh KUA Kecamatan atau KUA Kabupaten.38

Di samping itu,

Departemen Agama juga mengeluarkan petunjuk teknis tentang wakaf pada 22

Desember 1953. Sebagai tindak lanjut penertiban wakaf ini, Kantor Pusat Jawatan

Urusan Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 5/D/1956 tanggal 31 Desember

1956, yang berisi anjuran agar perwakafan tanah dilaksanakan secara tertulis.

Selanjutnya, pada 5 Maret 1959, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama

mengeluarkan Surat Keputusan Bersama No. Pem.19/22/23/7 dan SK/62/Ka/59,

yang berisi pengalihan wewenang pengesahan wakaf tanah milik dari bupati ke

Kepala Pengawas Agraria. Pelaksanaan SKB ini kemudian diatur dalam Surat

Pusat Jawatan Agraria No. Pda.2351/34/II tanggal 13 Februari 1960 kepada

Pusat.39

Dari sejumlah peraturan yang dikeluarkan di atas, terlihat bahwa semua itu

baru setingkat peraturan menteri. Lebih jauh, peraturan-peraturan itu baru

memberikan status dan kedudukan wakaf tanah dan belum memberikan secara

35 Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Setjen dan

Kepaniteraan MK, 2007), 61. 36 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 11. 37 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 12. 38 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 12. 39 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 13.

Page 121: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

111

Bab IV

terperinci baik mengenai prosedur maupun pemanfaatan wakaf tanah. Bersamaan

dengan pembaharuan hukum agraria, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.

5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan

perhatian khusus kepada wakaf, mengingat sebagian besar wakaf berbentuk tanah.

Inilah untuk pertama kali persoalan wakaf diangkat ke tingkat undang-undang,

meskipun hanya sebagai bagian saja dari keseluruhan undang-undang itu.

Sebenarnya, RUUPA ini pernah diajukan oleh Menteri Agraria saat itu,

Soenarjo, kepada DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang pada 1958.

Setelah dibicarakan dengan panitia ad hoc DPR, RUU hampir selesai. Akan tetapi,

adanya Dekrit Presiden 1959 membubarkan RUU itu menjadi UU, apalagi DPR-

nya sendiri kemudian dibubarkan oleh Presiden. Meskipun demikian, semangat

pembaharuan ini diteruskan oleh menteri yang baru, Sudjarwo, meskipun di sana

ini ada perubahan sesuai dengan UUD 1945 dan Manifesto Politik pemerintah.

Setelah pembicaraan persiapan selama 45 jam bersama DPR-GR dan sidang yang

berlangsung enam jam, RUU ini disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.40

Terdiri atas empat bab, masalah wakaf dibicarakan dalam Bab II Bagian XI

tentang Hak-hak Tanah untuk Keperluan Suci dan Sosial dalam Pasal 49, di

samping disinggung secara implisit dalam Pasal 14. Di dalam Pasal 14 dikatakan

bahwa bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di

Indonesia digunakan, di antaranya, untuk keperluan peribadatan dan keperluan

lainnya sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, dalam Pasal

49 ditegaskan bahwa: (1) hak milik tanah atas badan-badan keagamaan dan sosial

akan dilindungi oleh negara; (2) untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci

lainnya, negara dapat memberikan hak pakai atas tanah yang dikuasai oleh negara;

(3) perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Meskipun demikian, Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Pasal 49 baru

diterbitkan 17 tahun kemudian, tepatnya 17 Mei 1977, yaitu PP Nomor 28 Tahun

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan kata lain, antara ditetapkannya

undang-undang dengan diterbitkannya peraturan yang menyertainya dibutuhkan

waktu yang sangat lama, hingga terjadinya pergantian kekuasaan, dari Soekarno

ke Soeharto.

PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ini terdiri atas

tujuh bab dan 18 pasal yang didahului dengan pertimbangan dan konsideran.

Adapun bab-bab itu meliputi:

Bab I : Ketentuan umum yang berisi 1 pasal mengenai definisi wakaf, wakif,

ikrar dan nazir.

Bab II : Fungsi wakaf yang berisi 7 pasal mengenai tujuan wakaf, unsur-unsur

dan syarat-syarat wakaf.

Bab III : Tata cara mewakafkan dan pendaftarannya yang berisi 2 pasal mengenai

tata cara perwakafan tanah milik dan pendaftaran wakaf tanah milik.

Bab IV : Perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan perwakafan tanah

milik yang berisi 3 pasal tentang perubahan perwakafan tanah milik,

penyelesaian perselisihan dan pengawasan tanah milik.

Bab V : Ketentuan pidana yang berisi 2 pasal.

40 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 175-76.

Page 122: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

112

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Bab VI : Ketentuan peralihan yang berisi 2 pasal.

Bab VII: Ketentuan penutup yang berisi 1 pasal.

Peraturan inilah yang untuk pertama kalinya memerinci persoalan wakaf

semenjak Indonesia merdeka dan menggantikan peraturan-peraturan sebelumnya.

Dikatakan demikian, karenan peraturan inilah yang kemudian berlaku selama

pemerintahan Orde Baru dan baru tergantikan oleh UU No. 41 Tahun 2004, yang

disahkan di Era Reformasi. PP ini kemudian dijabarkan secara teknis operasional

melalui peraturan-peraturan lain, baik yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam

Negeri maupun Menteri Agama. Bahkan PP ini pula yang menjadi dasar UU No.

41 Tahun 2004, karena sebagian besar gagasan yang ada di pertama diadopsi oleh

yang kedua.

Sejalan dengan Pasal 10 ayat (4), yang menyatakan bahwa ‚Oleh Menteri

Dalam Negeri diatur tata cara pencatatan perwakafan yang dimaksud dalam ayat

(2) dan (3),‛ maka Menteri Dalam Negeri menerbitkan peraturan No. 6 Tahun

1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.

Secara umum, peraturan ini berisi cara-cara yang harus ditempuh seseorang atau

organisasi untuk mendaftarkan perwakafan, seperti keharusan mendaftarkan tanah

yang diwakafkan kepada Sub-Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya,

kewajiban PPAIW untuk melaporkan, biaya pendaftaran dan lain sebagainya.41

Kemudian pada 10 Januari 1978, Menteri Agama menerbitkan Peraturan No.

1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun

1977. Terdiri atas 10 bab dan 20 pasal, Peraturan Menteri ini merupakan rincian

teknis yang harus dilakukan bagi perwakafan. Ini meliputi ketentuan ikrar dan

akta wakaf, pejabat yang membuat akta ikrar, kewajiban dan hak nazir, perubahan

tujuan wakaf, penyelesaian sengketa dan lain sebagainya. Meskipun demikian,

peraturan ini tetap mengamanatkan bahwa peraturan pelaksanaan yang lebih

operasional akan ditetapkan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam.42

Untuk mempertegas kedua peraturan menteri ini, maka pada 23 Januari 1978

diterbitkan sebuah Instruksi Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri

Agama No. 1 Tahun 1978. Instruksi ini ditujukan kepada seluruh Gubernur Kepala

Daerah di Indonesia dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama di seluruh

Indonesia. Adapun isinya meliputi: pertama, perintah agar para pejabat daerah

tersebut melaksanakan dengan baik PP No. 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama Tahun 1978.

Kedua, perintah kepada instansi dan pejabat di bawah gubernur dan kepala Kanwil

menaati peraturan-peraturan tersebut. Ketiga, perintah pengamanan dan

pendaftaran wakaf tanah milik yang telah berlangsung sebelum PP No. 28 Tahun

1978 diberlakukan. Terakhir, perintah pelaporan atas pelaksanaan instruksi ini

kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.43

Kemudian, sejalan dengan amanat Pasal 9 ayat (2) PP No. 28 Tahun 1977,

yang menyebutkan bahwa ‚Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) diangkat

dan diberhentikan oleh Menteri Agama,‛ Menteri Agama pada 9 Agustus 1978

menetapkan Keputusan No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang

kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama untuk Mengangkat dan

Memberhentikan Kepala KUA Kecamatan sebagai PPAIW. Selain pendelegasian

41 Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977. 42 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978. 43 Lihat Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978.

Page 123: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

113

Bab IV

pengangkatan dan pemberhentian, surat keputusan ini juga memberikan

wewenang bagi Kanwil Depag Propinsi untuk memberikan kuasa kepada Kepala

Bidang Urusan Agama mengangkat dan memberhentikan PPAIW. Ditambahkan

pula bahwa jika di suatu kecamatan belum memiliki KUA, maka kepala KUA

kecamatan lain yang terdekat dapat diangkat sebagai PPAIW.44

Di samping itu, Menteri Agama pada 19 Juni 1979 secara khusus

menerbitkan Instruksi No. 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan

Menteri Agama No. 78 Tahun 1978.45

Bersamaan dengan terbitnya Surat Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 pada

tanggal 29 Mei 1980, yang berisi ketentuan jenis formulir wakaf, baik yang harus

bermaterai dan bebas dari materai, berikut besaran materainya, Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji menerbitkan Surat Edaran No.

DII/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai pada 25 Juni 1980. Surat ini

dindaklanjuti dengan Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.

DII/5/Ed/07/1981 kepada Gubernur Tingkat I seluruh Indonesia pada 17 Februari

1981. Surat ini berisi pendaftaran tanah milik dan permohonan keringanan atau

pembebasan biaya yang dibebankan dalam proses tersebut. 46

Selanjutnya, untuk menindaklanjuti Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun

1978, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji

mengeluarkan Keputusan No. 15 Tahun 1990 pada 9 April 1990 tentang

Penyempurnaan Formulir dan Pedoman Pelaksanaan PP Perwakafan Tanah Milik.

Secara garis besar, surat keputusan ini berisi petunjuk teknis tentang bagaimana

membuat ikrar wakaf, akta ikrar wakaf, pendaftaran dan sebagainya dan ditujukan

secara khusus kepada PPAIW.47

Setelah berbagai peraturan diterbitkan oleh Menteri Agama, pada 30

November 1990, Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional

mengeluarkan Instruksi Bersama No. 4 Tahun 1990 dan No. 24 Tahun 1990

tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Instruksi ini berisi beberapa perintah. Pertama,

Kanwil Depag Propinsi dan Kandepag Kabupaten/Kotamadya serta Kanwil BPN

Propinsi dan Kantor BPN Kabupaten/Kotamadya harus berkoordinasi sebaik

mungkin dalam upaya penyelesaian sertifikat tanah wakaf. Kedua, sertifikasi

tanah wakaf diharapkan dapat diselesaikan pada akhir Pelita V. Ketiga, untuk

pembiayaan program sertifikasi ini digunakan biaya Proyek Operasi Nasional

Pertanahan. Keempat, penyerahan sertifikat tanah secara masal direncanakan

rampung bersamaan dengan hari ulang tahun Undang-undang Pokok Agraria No.

31 pada 24 September 1990 dan Hari Amal Bakti Depag pada 3 Januari 1992.

Kelima, intensifikasi dana biaya sertifikasi tanah diambil dari APBN, APBD dan

masyarakat. Keenam, laporan harus diberikan kepada Gubernur, Kepala BPN dan

Menteri Agama, jika dalam proses tersebut ditemuai hambatan, baik dalam

masalah pembiyaan, tenaga teknis maupun peralatan dan kebutuhan lainnya.

Dari uraian di atas terlihat bahwa peraturan perundang-undangan wakaf

sudah cukup banyak diterbitkan oleh pemerintah. Ini menunjukkan bahwa

pemerintah memberikan kepedulian yang sangat tinggi bagi praktik filantropi

44 Lihat Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978. 45 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 18. 46 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 18. 47 Lihat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. 15

Tahun 1990.

Page 124: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

114

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Islam, meskipun tidak sampai ke tingkat undang-undang. Bahkan, dalam hal

pembiayaan dan pemenuhan kebutuhan lainnya, pemerintah telah menganggarkan

dari APBN dan APBD, di samping dari sumber masyarakat.

Sejalan dengan itu, Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989

disahkan oleh DPR pada 14 Desember 1989 dan mulai diundangkan pada 29

Desember 1989. Akan tetapi, terdapat kesulitan bagi pelaksanaan undang-undang

ini karena belum adanya pegangan yang komprehensif dan tunggal bagi para

hakim. Ini membuka peluang bagi lahirnya perbedaan keputusan yang akan

ditetapkan hakim dalam persoalan yang relatif sama, sesuai dengan sandaran

hukum Islam yang digunakan oleh hakim. Karena itu, melalui Instruksi Presiden

No. 1 Tahun 1991, diterbitkanlah Kompilasi Hukum Islam sebagai pegangan

hakim pada 10 Juni 1991. Seperti disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) butir c

Undang-Undang Peradilan bahwa salah satu tugas Pengadilan Agama adalah

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam masalah wakaf dan

shadaqah. Tidak heran jika kemudian persoalan wakaf ini diatur dalam KHI, di

samping persoalan perkawinan dan warisan. Hukum tentang wakaf disebutkan

dalam Buku III KHI, yang terdiri atas atas lima bab, yaitu: (1) Ketentuan Umum;

(2) Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf; (3) Tata Cara Perwakafan dan

Pendaftaran Benda Wakaf; (4) Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda

Wakaf; (5) Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.48

Meskipun banyak mengacu pada PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan

Tanah Milik, Hukum Wakaf dalam KHI menunjukkan beberapa perubahan

penting. Jika PP tersebut hanya mengatur wakaf tanah atau benda tidak bergerak,

dalam KHI wakaf benda bergerak sudah disinggung. Lebih jauh, dalam KHI juga

diatur ketentuan pemberhentian nazir, yang tidak ditemukan dalam PP, dan

kemudian diadopsi dalam UU No. 41 tentang Wakaf Tahun 2004. Akan tetapi,

banyak juga yang tidak ditemukan dalam KHI, khususnya mengenai masalah-

masalah yang lebih teknis seperti ketentuan sanksi dan tata cara perwakafan.

Dapat dikatakan bahwa Hukum Wakaf dalam KHI merupakan ringkasan dari PP

No. 28 Tahun 1977.49

Tidak lama setelah itu, Menteri Agama pada 22 Juli 1991 mengeluarkan

Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik

Indonesia di atas. Disebutkan dalam Keputusan ini bahwa seluruh Instansi

Departemen Agama dan Pemerintah terkait lainnya harus menyebarluaskan KHI

di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Selain itu, seluruh

instansi tersebut harus menerapkan KHI dalam menyelesaikan masalah-masalah di

bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan, di samping undang-

undang lainnya. Terakhir, Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama

Islam dan Direktur Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji harus

berkoordinasi demi terlaksananya keputusan ini.50

48 Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar atas Undang-Undang No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Penerbit Nusantara

Press, 1991), 241. 49 Lihat Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan Achmad Roestandi dan Muchjidin

Effendie, Komentar atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, 296-301. 50 Lihat Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991.

Page 125: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

115

Bab IV

Dari uraian di atas terlihat bahwa perwakafan telah menjadi perhatian cukup

besar, baik pada masa pemerintah kolonial maupun selama masa kemerdekaan.

Sepanjang pemerintahan Soekarno, wakaf hanya disinggung secara sepintas dalam

undang-undang lain yang terkait, dan baru pada masa pemerintahan Soeharto

wakaf memeroleh perhatian yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa terlepas

dari otoritarinisme Orde Baru, perhatian yang diberikan oleh rezim ini terhadap

persoalan-persoalan Islam sangat menentukan. Dalam kaitan ini, Ahmad Sukardja

menegaskan bahwa semangat para penyelenggara negara sangat berpengaruh. Jika

semangat keagamaan mereka kuat, persoalan agama akan menjadi perhatian besar

bagi mereka. Sebaliknya, jika mereka berpandangan sekular, maka persoalan

agama agak dikesampingkan. Semangat keagamaan itu mengalami peningkatan

besar pada masa Orde Baru, dan karenanya pada masa ini semangat pelaksanaan

hukum Islam, termasuk wakaf, juga mengalami peningkatan.51

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Wakaf

Seperti Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, Rencana Undang-

undang tentang Wakaf ini tidaklah lahir begitu saja, tetapi karena ada faktor-

faktor tertentu yang mendorongnya untuk diajukan oleh pemerintah. Secara garis

besar, faktor-faktor ini dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yakni eksternal

dan internal.

1. Eksternal

Setidak-tidaknya, ada dua faktor eksternal penting yang memengaruhi dan

mendorong diajukannya RUU tentang Wakaf ini, yaitu: keberhasilan pengelolaan

wakaf di negara-negara Muslim lainnya, perkembangan sistem ekonomi dan

perkembangan konseptual tentang wakaf itu sendiri. Dengan kata lain,

pengalaman dan pemikiran tentang wakaf yang berkembang sangat potensial

untuk menjadi sumber acuan bagi negara-negara lain yang juga berurusan dengan

persoalan yang sama.

a. Pengalaman Beberapa Negara Muslim

Sebagai pranata keagamaan Islam, wakaf telah memeroleh perhatian yang

sangat besar dari negara-negara Muslim, yang ditunjukkan di antaranya dengan

dibentuknya sebuah kementerian khusus yang menangani bidang itu. Karena itu

bisa dimengerti jika pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut mengalami

perkembangan yang sangat signifikan. Pengalaman beberapa negara, seperti

Turki, Mesir, Kuwait dan Malaysia, menunjukkan hal itu.

Di Malaysia, misalnya, perundang-undangan wakaf pertama kali dikodifikasi

dalam Hukum Pahang pada abad ke-16 tatkala Sultan Abdul Ghafur berkuasa

(1592-1614) dan tidak ditemukan ketentuan-ketentuannya dalam undang-undang

lain di negara-negara bagian. Lebih jauh, mengingat mazhab Sha>fi‘i> menjadi

mazhab resmi penduduk wilayah ini, ketentuan-ketentuan tentang wakaf dalam

undang-undang di atas didasarkan pada pandangan mazhab fikih ini. Bahkan,

benda-benda yang boleh diwakafkan, menurut undang-undang itu, tidak terbatas

pada benda-benda tidak bergerak, tetapi juga meliputi benda-benda bergerak yang

51 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan

tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk (Jakarta: UI Press, 1995), 146.

Page 126: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

116

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

memiliki manfaat abadi, di samping membolehkan adanya wakaf umum dan

wakaf keluarga.52

Sebagaimana dimaklumi, Malaysia menjadikan Islam sebagai agama resmi

negara federal, di mana Yang di-Pertuan Agung berperan sebagai pemimpin

agama negara federasi, sementara sultan adalah pemimpin agama Islam setiap

negara bagian. Meskipun demikian, untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan

agama, di masing-masing negara bagian ada Majelis Ugama. Dengan kata lain,

majlis-majlis inilah sesungguhnya yang bertanggung jawab atas segala persoalan

agama, termasuk wakaf. Bahkan, mereka pulalah yang menjadi pemegang tunggal

aset-aset wakaf di Malaysia.53

Tidak heran jika kemudian masing-masing negara bagian membentuk

legislasi khusus tentang hukum Islam, yang bisa jadi berbeda antara satu negara

bagian dengan lainnya. Meskipun demikian, semua itu tidak boleh bertentangan

dengan legislasi yang dibentuk oleh parlemen di tingkat federal. Karena itu,

lahirlah administrasi pelaksanaan perundangan hukum Islam yang beragam

dengan tahun pengesahan yang juga berbeda. Misalnya, Serawak menetapkan

pada 1954, Kedah pada 1962, Perlis pada 1964, Johor pada 1978, Trengganu pada

1986, Wilayah Federasi Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya pada 1993,

Melaka, Pahang dan Negeri Sembilan pada 1991, Perak dan Sabah pada 1992,

Penang pada 1993, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan

wakaf di negeri-negeri tersebut dimasukkan dalam hukum Islam secara integral,

dan hanya dijabarkan dalam peraturan-peraturan. Satu-satunya pengundangan

wakaf dilakukan oleh negara bagian Selangor, yang menetapkan undang-undang

wakaf pada 1999.54

Sebagai pemegang wewenang atas aset-aset wakaf, Majlis Ugama

bertanggung jawab, di antaranya, atas pemeliharaan dan peningkatan pendapatan

wakaf. Untuk itu, majlis-majlis ini mendirikan sejumlah perusahaan (holding company) untuk tujuan tersebut. Ini bisa dilihat di beberapa negara bagian, seperti

Maim Properties Sdn. Bhd., di Melaka, Edi Fajar Development Sdn. Bhd., Negeri

Sembilan, as-Sahabah Holding, di Penang, Bakti Suci Properties Sdn. Bhd., di

Selangor, dan Pusat Rawatan Islam Sdn. Bhd dan Baiulmal Zenit Battery Sdn.

Bhd di Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur.55

Pada 8 Agustus 2004, Departemen Wakaf, Zakat dan Haji dibentuk di

Malaysia yang langsung berada di bawah kantor Perdana Menteri, yaitu Datuk

Abdullah Ahmad Badawi. Akan tetapi, tujuan pendirian departemen ini bukanlah

untuk menghapus lembaga-lembaga yang selama ini telah berkecimpung dalam

persoalan wakaf, zakat dan haji. Departemen ini hanya berperan sebagai

koordinator, yang akan memfasilitasi dan memperkuat lembaga-lembaga yang

sudah ada dalam pengelolaan ketiga masalah di atas.56

Pendirian departemen ini

juga dilatarbelakangi oleh fakta bahwa Majlis Ugama di masing-masing negara

52 John E. Kempe dan R.O. Winstedt, ‚A Malay Legal Digest Compiled for Abdul Gharuf

Muhaiyuddin Shah Sultan of Pahang (1592-1614),‛ JMBRAS, 21:1 (1948), 14. 53 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives (Kuala

Lumpur: University of Malaya Press, 2006), 83-84. 54Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 57-58; lihat juga Habib Ahmed, Role of Zakat

and Awqaf in Poverty Allevation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 90. 55 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 87-88. 56 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 90-91.

Page 127: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

117

Bab IV

bagian terbukti memiliki banyak persoalan, seperti kekurangan dana (financial), hukum (legal) dan kemampuan administratif.

57

Dengan adanya departemen khusus yang menangani wakaf, sejumlah inovasi

bagi pengembangan wakaf banyak dilakukan. Misalnya, dana wakaf tidak

dibiarkan, tetapi dimanfaatkan sebagai modal ija>rah, istibda>l dan sukuk

musha>rakah. Pihak yang berwenang dalam bidang ini juga memperkenalkan

konsep wakaf tunai bagi pengumpulan dana dan mendanai sejumlah aktivitas

wakaf. Di antara jenis-jenis konsep wakaf tunai yang diperkenalkan meliputi

wakaf tunai perusahaan, investasi, dan takaful. Di samping, dana wakaf juga

dimanfaatkan untuk membiayai layanan sosial, dakwah dan pendidikan bisnis

perspektif Islam bagi kaum muda, seperti dilakukan oleh Wakaf An-Nur. Tidak

heran dari lembaga ini telah lahir sejumlah klinik dan rumah sakit di beberapa

negara bagian di Malaysia.58

Pengalaman di Malaysia ini menunjukkan bahwa

wakaf jika dikelola dengan baik dapat membantu meningkatkan kesejahteraan

umat, dan secara tidak langsung membantu negara dalam kewajibannya

menyediakan layanan publik. Karena itu, pengalaman tersebut menjadi salah satu

acuan dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, sehingga dirujuk dalam penyusunan

RUU tentang Wakaf.59

Sementara itu, di Bangladesh, pengelolaan wakaf memiliki pengalaman yang

berbeda. Sebelum memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, di negara ini

sebenarnya telah ada Waqf Ordinance yang disahkan pada 1962 yang berfungsi

untuk mengatur wakaf Pakistan Timur, dan diadaptasi serta dipertahankan oleh

pemerintahan baru berdasarkan Pasal 5 dari Undang-undang Bangladesh tahun

1972. Pada saat itu, masalah wakaf berada di bawah Kementerian Pendidikan,

kemudian dialihkan ke wilayah Kementerian Pertanahan (Ministry of Land

Reforms and Land Administration). Sekarang perwakafan diatur oleh

Kementerian Agama. Berdasarkan Bagian 7 Waqfs Ordinance tahun 1962,

pemerintah harus menunjuk seorang administratur untuk jangka lima tahun dan ia

harus Muslim. Ordinance tersebut juga harus membentuk Komite Wakaf, untuk

membantu administrator tersebut. Di samping itu, terdapat pula ketentuan-

ketentuan yang dapat dibentuk oleh pemerintah jika dipandang perlu, untuk

membantu administratur. Sejalan dengan itu, administrator dibantu oleh dua

wakil, enam petugas administrasi, 18 pengawas, 18 auditor dan 54 anggota staf,60

sehingga seluruh anggota Komite berjumlah 58 orang. Komite ini berkantor di

ibukota, Dhaka, dan memiliki empat kantor cabang. Di samping itu, ada juga 24

kantor yang berada di tingkat distrik. Dengan kata lain, secara keseluruhan, ada

29 kantor yang dapat menangani masalah wakaf di seluruh negeri.61

Meskipun

demikian, administrasi wakaf di Bangladesh terlihat sangat sentralistik. Kantor-

kantor cabang dan distrik tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan

dan peraturan. Terlepas dari itu semua, sektor wakaf di Bangladesh masih diatur

Waqf Ordinance tahun 1962.

57 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 91-92. 58 Magda Ismail Abdel Mohsin, Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah

(Johor Bahru: International Seminar on Awqaf, 2008). 59 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan

Wakaf Depag, 2006), 38. 60 Sadequr Rahman,Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com 61 Sadequr Rahman,Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com

Page 128: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

118

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Berdasarkan bagian 47 Ordinance tersebut, semua wakaf yang ada ataupun

yang baru setelah ditetapkannya Ordinance ini harus didaftarkan ke kantor

administrasi. Jika pengajuan pendaftaran itu telah dilakukan, Administratur Waqf akan memproses pendaftaran tersebut dengan meneliti tindakan wakaf,

pertanggung jawaban dan objek wakaf. Pendaftarannya sendiri bisa dilakukan oleh

wakif, nazir (mutawalli) atau panitia wakaf. Ordinance juga dapat memberikan

sanksi kepada nazir yang tidak mendaftarkan wakafnya. Akan tetapi, hal itu tidak

berjalan, yang dibuktikan oleh banyaknya nazir yang tidak mendaftarkan harta

wakafnya dan mereka tetap bebas dari sanksi.

Kekayaan wakaf di Bangladesh merupakan sebuah potensi yang sangat besar

untuk dikembangan menjadi modal yang akan mendatangkan pendapatan,

sehingga dapat digunakan untk mendukung program kesejahteraan sosial di

bidang pendidikan, kesehatan dan sektor sosial lainnya. Dengan begitu, anggaran

belanja negara atau pemerintah untuk bidang-bidang tersebut dapat berkurang dan

dapat dialokasikan untuk kepentingan nasional lainnya. Konon, di Bangladesh,

pendapatan dari dana wakaf ini mencapai sedikitnya seratus juta Taka (70 Taka

sama dengan 1 US dollar) setiap tahun, yang sangat membantu kebutuhan

ekonomi kaum Muslim di negara tersebut.62

Jika wakaf dalam sejarah pernah memainkan peran penting untuk membiayai

layanan masyarakat dan negara, sektor wakaf di Bangladesh juga diharapkan

dapat berperan serupa. Sejauh ini, pendapatan dari investasi dan properti wakaf

telah dimanfaatkan untuk berbagai tujuan sesuai dengan ketentuan Islam, seperti

pembayaran gaji para guru, penyediaan makanan gratis, membantu para jamaah

haji, beasiswa bagi para mahasiswa, pengobatan dan layanan kesehatan gratis,

pendirian perpustakaan, pelatihan ketrampilan, modal perdagangan, di samping

untuk manfaat-manfaat tradisional seperti membantu pusat-pusat belajar Al-

Quran, masjid, madrasah, dakwah dan lain sebagainya.

Turki dapat dipandang sebagai negara yang sangat berpengalaman dalam

mengelola wakaf, terutama ketika Turki Utsmani berkuasa. Diduga kekayaan

wakaf di Turki hingga awal abad ke-20 mencapai tiga perempat bangunan dan

tanah yang dapat ditanami di seluruh wilayah kekuasaannya. Namun, Kemal

Attaturk naik ke tangga kekuasaan, administrasi wakaf di negeri mengalami

perubahan drastis. Ini terjadi bersamaan dengan dihapuskannya sistem khilafah

yang diganti dengan republik, dan dihilangkannya shaykh al-Isla>m, yang

sebelumnya berperan penting dalam masalah wakaf. Akibatnya, administrasi

wakaf dan seluruh kekayaannya disatukan ke dalam aparatur negara sekular,

Republik Turki.63

Dalam hal ini, masalah wakaf berada dalam wewenang

Direktorat Jenderal Wakaf di bawah Perdana Menteri. Selanjutnya, ketika hukum

sipil diterapkan secara efektif, wakaf kemudian digolongkan sebagai karitas

berdasarkan Charity Foundation Act No. 2767 tahun 1926.64

Akan tetapi, pada 1983, Pemerintah Turki membentuk kementerian khusus

yang menangani tata kelola wakaf, berikut peraturan-peraturan yang

62 Sadequr Rahman, Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com 63 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopedia of Islam

(Leiden: Brill, 2000), 9: 91. 64 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, eds., Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi

tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif

Hidayatullah, 2006), 50-51.

Page 129: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

119

Bab IV

menyertainya. Misalnya, berdasarkan Hukum Sipil Pasal 77, ditetapkan bahwa

wakaf harus memiliki dewan manajemen. Selain itu disebutkan bahwa Direktur

Jenderal Wakaf berkewajiban melakukan pengawasan (Pasal 28), audit harus

dilakukan sekurang-kurang sekali dalam dua tahun, dan pengelola hanya

dibolehkan mengambil 5% dari hasil bersih wakaf yang dikelola dan lain

sebagainya.65

Sejauh ini, kekayaan wakaf di Turki yang dikelola oleh Dirjen Wakaf

mencapai jumlah 37.917 wakaf dengan berbagai jenis bidang. Ini meliputi 4.400

buah masjid, 500 asrama mahasiswa, 453 pusat perdagangan, 150 hotel, 5.348

toko, 2.254 apartemen dan jenis properti lain yang jumlahnya mencapai 24.809

buah. Bidang lain yang tak kalah menguntungkannya adalah investasi, di mana

dana wakaf diinvestasikan ke sejumlah perusahaan, seperti Ayvalik dan Ayden

Olive Oil Corp., Tasdelen Healthey Water Corp., Taksim Hotel (Sheraton), Wakaf

Guraba Hospital, Turkish Is Bank, Aydir Textile Industry, Black Sea Copper

Industry, Turkish Wakaf Bank dan lain sebagainya. Semua itu, dikelola dan

berada di bawah tanggung jawab Dirjen Wakaf.66

Upaya-upaya inovasi pun tetap dilakukan bagi pengembangan dan

peningkatan wakaf, di antaranya melalui sosialisasi. Untuk itu, Dirjen Wakaf

sejak 1983 menyelenggarakan pekan wakaf (charities week), di mana

penggalangan dana wakaf dari masyarakat dilakukan secara besar-besaran. Tradisi

ini kemudian dilanggengkan hingga sekarang, yang berlangsung pada setiap bulan

Desember. Dengan dana yang diperoleh dari wakaf ini, berbagai program sosial

dapat dilakukan, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Misalnya, sebuah

rumah sakit besar di kota Istanbul dibiayai oleh dana wakaf, dengan ribuah ruang

rawat dan ratusan dokter serta staf, sedangkan dalam bidang pendidikan dana

wakaf umumnya digunakan untuk membiayai pendidikan masyarakat melalui

beasiswa dan penyediaan asrama bagi mereka.67

Selain penggunaan untuk program-program jangka panjang, dana wakaf juga

dimanfaatkan untuk keperluan aksidental, salah satunya dikenal dengan imaret. Sebenarnya, imaret (dapur umum, soup kitchen) ini biasanya diselenggarakan oleh

penguasa ketika ia naik tahta pada masa Turki Utsmani.68

Namun, belakangan

tradisi ini dipertahankan oleh lembaga-lembaga wakaf, yang saat ini konon

berjumlah 22 di berbagai tempat. Dalam sehari, tidak kurang dari 1.500 orang

miskin dapat dilayani oleh satu imaret. Berbeda dengan program-program lain,

imaret memang sengajar difungsikan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang

miskin dan tidak berkaitan dengan problem-problem sosial umumnya.69

Di Mesir, tradisi dan praktik wakaf juga tak kalah menariknya. Tradisi wakaf

di negeri ini sudah berlangsung sangat lama, sejak masa ‘Amr ibn ‘A<s} hingga

pemerintahan Mamluk dan terus berlangsung ketika Turki Utsmani menguasai

daerah ini. Jumlah wakaf yang ada juga sangat banyak, baik dalam bentuk

bangunan maupun tanah pertanian. Lembaga pendidikan al-Azhar dapat dijadikan

65 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 51. 66 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 52. 67 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 52. 68 M. Berger, ‚Khayr,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 1997), 4: 1153. 69 Amy Singer, Constructing Ottoman Beneficence: An Imperial Soup Kitchen in Jerussalem

(Albany, NY: State University of New York Press, 2003); Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary,

Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 53.

Page 130: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

120

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

sebagai contoh. Seluruh dana yang digunakan bagi penyelenggaraan pendidikan di

sini diperoleh dari hasil wakaf, yang anggarannya konon jauh lebih besar

ketimbang anggaran pemerintah dalam bidang pendidikan.70

Akan tetapi, perkembangan wakaf di negara ini juga mengalami masa-masa

surut, terutama ketika banyak properti wakaf mengalami nasionalisasi.

Berdasarkan UU Mesir No. 180 tahun 1952, wakaf keluarga (ahli, dzurri) dilarang,

dan kekayaan wakaf yang ada boleh dipertukarkan dengan yang lain (amwa>l al-badal) yang lebih bermanfaat. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 525 tahun 1954,

Kementerian Wakaf berwenang untuk mengalihkan wakaf keluarga ke dalam

administrasinya dengan syarat memberi kompensai yang semula memeroleh

manfaat darinya. Kemudian, nasionalisasi besar-besaran terjadi berdasarkan UU

No. 152 tahun 1957, yang menyatakan bahwa kepemilikan penuh seluruh tanah

pertanian yang terkait dengan wakaf harus didistribusikan sesuai dengan

reformasi agraria.71

Aset yang semula sebagai wakaf dan bersifat privat tiba-tiba

beralih menjadi milik pemerintah, sehingga jumlah wakaf berkurang. Ini terjadi,

antara lain, akibat Reformasi Hukum Agraria (Agrarian Law Reform) yang

dilakukan pada masa Pemerintahan Gamal Abdul Naser.72

Pendeknya, melalui

program nasionalisasi ini, pemerintah dapat menyita banyak tanah wakaf dan

selanjutnya didistribusikan kepada siapa yang dipandang mampu mengelolanya

oleh kementerian wakaf. Pada 1971, ditetapkanlah Undang-undang No. 80, di

mana sebuah departemen khusus mengenai wakaf dibentuk. Di antara tugas

departemen ini adalah bekerjasama dengan departemen lain dalam memeriksa

tujuan undang-undang dan kementerian wakaf, di samping mengusut dan

memanfaatkan wakaf.73

Terlepas dari perundang-undangan yang ada, tak diragukan lagi, wakaf di

Mesir tetap memainkan peran yang signifikan melalui berbagai upaya. Misalnya,

hasil harta wakaf yang dikelola nazir disimpan di bank sehingga dapat

berkembang. Lebih jauh, Departemen Wakaf menjalin kerjasama dengan sejumlah

pabrik, rumah sakit, bank perumahan dan lain sebagainya dengan

menginvestasikan dana-dana wakaf. Tanah-tanah yang kurang produktif diubah

menjadi lahan yang bisa dimanfaatkan, di samping membeli saham-saham

perusahaan yang dapat mendatangkan keuntungan. Hasil-hasil dari pengelolaan

tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan-kepentingan kesehatan,

keagamaan dan pendidikan.74

70 Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk

Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: PBB UIN Jakarta, 2003), xxvi. 71 A. Layish, ‚Wakf in the Modern Middle East and North Africa,‛ The Encyclopedia of Islam

(Leiden: Brill, 2000), 11: 79. 72 Lihat Ibra>hi>m al-Bayyu>mi> Gha>nim, al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r (Kairo: Da>r al-Shuru>q,

1998), 163-168; lihat juga Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for

Building Social Justice,‛ Makalah CSID 5th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004, 15. 73 Gha>nim, al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r, 165; Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary,

Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 57. 74 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 58.

Page 131: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

121

Bab IV

b. Sistem Ekonomi dan Gagasan tentang Wakaf Tunai

Seperti dikemukakan A. Layish, salah satu sasaran reformasi wakaf pada

masa modern bersifat ekonomi dan berkaitan erat dengan sistem ekonomi.75

Salah

satu perkembangan penting dalam bidang ekonomi adalah sistem investasi yang

sangat berperan dalam setiap negara. Di sini, semakin tinggi investasi yang ada

dalam sebuah negara akan semakin kuat kemampuan pemerintah untuk

meningkatkan pendapatan nasionalnya. Jika pendapatan tersebut semakin tinggi

daripada laju pertumbuhan penduduk, pendapatan perkapita pun akan meningkat,

sehingga diharapkan kemiskinan dapat diatasi. Akan tetapi, investasi yang ada di

negara-negara Muslim sangat rendah, sehingga diperlukan dana asing, berupa

pinjaman. Bahkan, negara-negara Muslim pada akhirnya malah bergantung pada

pinjaman asing, sehingga lama-kelamaan semakin meningkat.76

Dari sistem itu kemudian lahir gagasan tentang wakaf tunai yang menjadi

faktor penting lain yang memengaruhi diajukannya RUU tentang Wakaf ke DPR

adalah munculnya gagasan baru tentang wakaf uang, sebuah gagasan yang kurang

memeroleh banyak perhatian dalam buku-buku fikih klasik umumnya. Adalah

M.A. Mannan, ekonom Bangladesh, yang mula-mula melemparkan gagasan

tentang wakaf uang tunai pada zaman modern. Disebut demikian, sebab dalam

sejarah Islam praktik wakaf uang tunai sudah terjadi di awal-awal Islam.

Misalnya, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Imam al-Zuhri—salah

seorang ahli hadis terkemuka—menganjurkan kepada masyarakat untuk

mewakafkan dinar dan dirham bagi pembangunan sarana dakwah, sosial dan

pendidikan. Hal itu bisa dilakukan dengan menjadikan dinar dan dirham itu

sebagai modal usaha, yang keuntungannya dapat dijadikan sebagai wakaf.77

Di

kalangan beberapa fuqaha sendiri, wakaf dalam bentuk uang perak dan emas

dibolehkan, namun ulama Hanafi umumnya sangat ketat dalam masalah wakaf

uang ini.78

Namun demikian, praktik wakaf uang sepanjang periode pra-modern

menemukan bentuknya yang paling nyata pada masa Turki Utsmani. Pada periode

ini, tidak sekadar wakaf benda yang bergerak, seperti buku, hewan dan

sebagainya, tetapi wakaf uang menjadi bagian penting dari sistem ekonomi yang

dibangunnya. Untuk memperkokoh legalitasnya, Ebu al-Su‘u>d (1545-1574),

shaykh al-Isla>m masa Sulaiman Agung, mengeluarkan fatwa yang membolehkan

wakaf uang, meskipun tidak bebas dari penolakan oleh ulama lain, seperti

Mehmed Birgewi (1520-1573). Argumen Birgewi, wakaf tunai akan melahirkan

uang bagi modal tersebut, di antaranya melalui bunga. Terlepas dari penolakan

ini, pengelola wakaf uang ini menyimpan uang tersebut di bank negara agar

menjadi produktif.79

Praktik semacam ini kemudian diterapkan juga di Mesir,

ketika imperium tersebut menguasai negeri ini, tetapi jumlahnya sangat sedikit.

75 A. Layish, ‚Wakf in the Modern Middle East and Africa,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000),

11: 78. 76 Mustafa E. Nasution, ‚Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam,

ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 28-29. 77 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 5-6. 78 R. Peters, ‚Wakf in Classical Islam,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 60. 79 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill,

2000), 11: 89.

Page 132: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

122

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Sejak itulah pembahasan mengenai wakaf uang di Mesir berkembang, meskipun

konon masalah serupa telah dibicarakan pada masa Dinasti Mamluk.80

Dengan kata lain, wakaf tunai yang ditawarkan oleh M.A. Manan ini

memiliki presedennya dalam sejarah Islam, yang dalam perkembangan terakhirnya

berlangsung pada masa Turki Utsmani, dan telah dipraktikkan di kota-kota dan

bahkan di wilayah-wilayah kekuasaannya di luar Turki.81

Ini diakui sendiri oleh ekonom Bangladesh itu. Akan tetapi, upayanya

menghidupkan kembali tradisi itu di zaman sekarang sungguh memiliki makna

yang signifikan. Ini terlihat dari ketertarikan sejumlah lembaga yang mencoba

memahami dan menerapkan gagasannya di luar Bangladesh, seperti Indonesia dan

tempat lainnya.82

Gagasan Manan ini sebenarnya telah diterapkan sejak 1995, bersamaan

dengan berdirinya Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Seperti bank umumnya,

SIBL bergerak dalam sektor perbankan korporasi formal dan non-formal. Namun,

satu sektor yang khas dari bank ini adalah layanannya dalam perbankan sektor

volunter Islam (Islamic voluntary sector banking). Di samping melayani sektor

volunter zakat, haji dan sebagainya—ini sudah banyak diberikan oleh bank-bank

Islam lain—bank ini memperkenalkan untuk pertama kali skema sertifikat wakaf

tunai (Cash Waqf Certificate), dengan tujuan pemberdayaan keluarga kaya bagi

investasi dan kesejahteraan sosial. Lebih jauh, penggunaan wakaf tunai sebagai

instrumen keuangan merupakan inovasi dalam sektor keuangan Islam, yang dapat

memberikan kesempatan khas untuk berinvestasi dalam berbagai layanan

keagamaan, sosial dan pendidikan. Dana yang diperoleh dari orang kaya dapat

digunakan untuk membeli sertifikat wakaf tunai, yang dari situ pendapatannya

dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti tujuan wakaf pada umumnya.83

Akan tetapi, berbeda dengan wakaf lainnya, yaitu wakaf properti, wakaf

tunai ini memiliki tingkat likuidasi yang tinggi. Maksudnya, wakaf uang mudah

ditransfer dalam bentuk tunai dalam waktu yang singkat dan dengan biaya yang

wajar, sedangkan wakaf properti membutuhkan waktu yang lama untuk diubah

menjadi dana tunai. Ini juga memudahkan kita untuk mengubah wakaf dari satu

bentuk ke bentuk lainnya. Karena itu, penggalangan dana melalui penjualan

sertifikat wakaf tunai memberikan signifikansi yang besar pada zaman sekarang.84

Lebih jauh, adanya wakaf tunai ini juga memberikan peluang yang lebar bagi

masyarakat untuk berpartisipasi dalam wakaf. Jika wakaf harus dalam bentuk

80 Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000),

11: 65 dan 66. 81 Pembahasan tentang wakaf uang di Ottoman, lihat Murat Cizakca, ‚The Relevance of the

Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-Nuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A. Mannan (Jeddah: IRTI-IDB, 1416), 397 dan seterusnya; idem, ‚Awqa>f

in History and Its Implication for Modern Islamic Economics,‛ Islamic Economics Studies, 6: 1

(1998): 53-57. 82 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers: Mobilization Efforts of Cash-Waqf Fund

at Local, National and International Leves for Development of Social Infrastructure of the Islamic

Ummah and Establishmen of World Social Bank,‛ Makalah disampaikan pada International Seminar

on Awqaf 2008, ‚Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah,‛ Johor Bahru, 11-12

Agustus 2008. 83 Biro Perbankan Syariah BI, ‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai: Sebuah Kajian

Konseptual,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun

Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 89. 84 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛

Page 133: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

123

Bab IV

properti, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang kaya, dan menutup

peluang bagi yang lain. Sebaliknya, jika sertifikat wakaf tunai dihargakan sebesar,

dalam praktik SIBL, 1.000 Taka, hal itu dapat dipenuhi oleh banyak anggota

masyarakat. Bahkan, kalau dihargakan di bawah itu, maka jumlah masyarakat

yang mampu membelinya akan semakin besar. Dari sudut ini, sertifikat wakaf

tunai dapat dipandang sebagai gerakan rekonstruksi dan pembangunan sosial yang

dapat diikuti oleh banyak masyarakat. Akan tetapi, upaya semacam itu tidak

dapat berhasil dengan baik kalau tidak dilakukan sosialisasi kepada masyarakat,

dengan menunjukkan bahwa wakaf tunai sangat penting dalam mentransfer dana

dari orang kaya kepada pengusaha dan anggota masyarakat untuk membiayai

berbagai layanan keagamaan, pendidikan dan sosial dalam negara. Dengan kata

lain, wakaf tunai bisa diharapkan membantu membangun generasi yang akan

datang.85

Menurut Manan, di negara-negara Muslim yang warganya tidak dikenai

pajak penghasilan, wakaf tunai dapat dipandang sebagai kewajiban sosial sebagai

pengganti pajak, yang dapat digunakan bagi pembiayaan pendidikan, kesehatan,

kesejahteraan sosial. Dalam hal ini, kemauan politik pemerintah sangat

menentukan. Di samping itu, wakaf tunai dapat dimanfaatkan sebagai investasi

strategis guna mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi, termasuk di

dalamnya pendidikan, kesehatan dan riset. Dengan berpartisipasi dalam wakaf

tunai, masyarakat dapat memberikan kontribusi tidak saja bagi pengembangan

kerja pasar modal sosial, tetapi juga andil dalam investasi sosial yang permanen.

Mengingat wakaf tunai dilakukan sekali untuk selamanya, bank dapat dengan

aman dapat menginvestasikan dana wakaf itu dalam investasi jangka pendek

(seperti kredit mikro dan usaha mikro untuk mengurangi kemiskinan), investasi

jangka menengah (seperti industri perhotelan, industri menengah dan sebagainya)

dan investasi jangka panjang (seperti industri berat atau pabrik-pabrik dan lain-

lain). Kegiatan investasi ini akan melahirkan terciptanya peluang kerja baru, yang

dapat menyerap banyak pengangguran untuk mencari mata pencaharian dan

dengan begitu juga mendorong tercapainya kemajuan sosial.86

Sebenarnya, tidak sedikit dari kalangan orang kaya yang ingin membeli

wakaf tunai demi kebaikan umum, yang secara otomatis juga akan berguna bagi

keturunan mereka. Namun, mereka tidak menemukan sistem pengelolaan sesuai

yang diharapkan. Dalam konteks seperti ini, SIBL memberikan dukungan

institusional yang diperlukan dan membuka peluang bagi pembukaan rekening

deposit wakaf tunai untuk mencapai sasaran sebagai berikut:

1. Memberikan layanan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf

tunai dan membantu manajemen wakaf;

2. Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan dana sosial menjadi

modal;

3. Memberikan manfaat bagi publik, terutama sektor masyarakat miskin dari

sumber-sumber yang diperoleh dari orang kaya;

4. Menciptakan kesadaran di kalangan orang kaya tentang tanggung jawab

mereka terhadap masyarakat;

5. Membantu mengembangkan pasar modal sosial;

85 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛ 86 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛

Page 134: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

124

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

6. Membantu keseluruhan upaya pembangunan negara dan menciptakan

integrasi keamanan sosial dan kedamaian sosial.87

Secara umum, tata cara operasional sertifikat wakaf tunai yang diberlakukan

di SIBL adalah sebagai berikut:

1. Wakaf tunai harus diterima sebagai sumbangan yang sejalan dengan syariah.

Bank harus mengelola wakaf tersebut atas nama wakif;

2. Wakaf dapat dilakukan berulangkali dan rekening yang dibuka sesuai dengan

nama yang diberikan wakif;

3. Wakif memiliki kebebasan untuk memilih tujuan wakaf yang oleh bank telah

diidentifikasi, atau yang belum diidentifikasi yang sesuai dengan syariah;

4. Dana wakaf tunai akan mendapat keuntungan pada tingkat tertinggi sesuai

dengan yang ditawarkan oleh bank dari waktu ke waktu;

5. Dana wakaf akan tetap dan hanya dana yang berasal dari keuntungan yang

akan disalurkan kepada sasaran yang dipilih wakif. Jika belum sempat

dibagikan, secara otomatis dana keuntungan itu akan digabungkan ke dana

wakaf yang sudah ada;

6. Wakif juga dapat meminta bank menyalurkan seluruh keuntungan yang

diperoleh kepada sasaran yang ditentukan olehnya;

7. Wakif mempunyai kesempatan memberikan wakaf tunai sepanjang waktu;

8. Wakif juga berhak memerintahkan bank untuk mengambil dana wakaf dari

rekening lainnya di SIBL;

9. Wakaf tunai harus diterima dalam bentuk voucher wakaf khusus dan

sertifikat untuk seluruh nilai harus ditetapkan ketika jumlah tersebut

dinyatakan;

10. Prinsip-prinsip dan ketentuan berdasarkan syariah tentang wakaf tunai dapat

diamandemen dan ditinjau dari waktu ke waktu.88

Wakaf tunai yang digagas oleh Manan dan penerapannya dalam SIBL ini

sangat berpengaruh bagi bergulirnya wakaf tunai di Indonesia, seperti akan

diuraikan berikut ini.

2. Internal

Selain faktor-faktor eksternal yang disebutkan di atas, faktor-faktor internal

justru sangat signifikan, di antaranya berkaitan dengan hukum, ekonomi dan

politik.89

a. Pertimbangan Ekonomi dan Kesejahteraan

Faktor internal pertama yang sangat menonjol yang mendorong diajukannya

RUU Wakaf adalah masalah ekonomi dan kesejahteraan. Sejak 1997, Indonesia

ditimpa oleh krisis, yang bermula dari krisis ekonomi dan kemudian mengarah

pada krisis politik. Dari sini, akhirnya muncul apa yang disebut krisis multi-

dimensi. Krisis ekonomi ini ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan

kerja, bertambahnya jumlah penduduk miskin, bahkan di bawah garis kemiskinan,

serta rendahnya investasi dan lain sebagainya. Sementara itu, pihak yang

87 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛ 88 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers‛; lihat juga Biro Perbankan Syariah BI,

‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai,‛ 100-102. 89 Bandingkan Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda

Kemanusiaan, 84.

Page 135: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

125

Bab IV

tergolong ke dalam kategori miskin ini adalah orang-orang Islam. Kondisi ini

berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan

keadilan sosial.90

Sebenarnya, optimisme terhadap potensi wakaf yang diyakini

mampu mendorong kesejahteraan juga menjadi latar belakang pengundangan

wakaf di beberapa negara.91

Pada saat yang sama, wakaf sebagai pranata keagamaan di Indonesia juga

sangat besar jumlahnya. Hingga 2002, jumlah wakaf yang ada di Indonesia

mencapai 359.462 lokasi dengan luas keseluruhan 1.472.047.607 M2. Jumlah ini

tentu sangat potensial untuk dikembangkan secara produktif sehingga dapat

memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Di samping itu, sejarah

menunjukkan bahwa wakaf terbukti telah menjadi sumber penting bagi

penyebaran Islam di negara ini dan terus berperan hingga saat ini. Hal itu bisa

dilihat dari berdirinya sejumlah rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam, sarana

sosial dan lain sebagainya, yang semuanya dibiayai dari dana wakaf.92

Dengan demikian, aset wakaf di Indonesia memiliki peluang dan prospek

yang sangat positif bagi kesejahteraan masyarakat. Apalagi jika pengelolaannya

diarahkan pada kegiatan investasi dan ekonomi produktif, maka wakaf akan

menjadi sumber yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan

masyarakat, sebagaimana hal itu telah diwujudkan di sejumlah negara, seperti

Mesir, Arab Saudi, Turki, Bangladesh, Malaysia dan sebagainya.93

Bahkan di

sejumlah negara, wakaf telah menjadi kontribusi penting bagi anggaran belanja

negara, sehingga memeroleh penanganan khusus dari negara dengan dibentuknya

kementerian khusus yang membidanginya.94

Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, aset wakaf justru sering terlantar dan

kurang dikembangkan secara sungguh-sungguh. Ini tidak semata-mata disebabkan

oleh nilai wakaf itu sendiri, tetapi yang sering terjadi justru dikarenakan tidak

profesionalnya para pengelola atau nazir wakaf. Bagaimana tidak, para nazir

wakaf umumnya adalah orang-orang yang menangani wakaf yang diamanatkan

kepadanya hanya dengan waktu yang tersisia, dan tidak menempatkan masalah

wakaf sebagai prioritas kewajibannya. Ini bisa dimengerti mengingat mengelola

wakaf juga tidak mendatangkan apa-apa, selain harapan pahala dari Tuhan.

Dengan kata lain, keikhlasan adalah modal utama para nazir dalam mengelola

wakaf. Dampaknya, wakaf tidak pernah dipikirkan agar berkembang menjadi aset

yang produktif yang tidak hanya bermanfaat bagi nazir, tetapi juga bagi

masyarakat luas.

Karena itu, dalam RUU tentang Wakaf bagian ‚menimbang‛ disebutkan

bahwa wakaf sebagai ‚lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat

ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan

90 Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf dalam Rangka

Membangun Kesejahteraan Masyarakat,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E.

Nasution dan Uswatun Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 17. Tulisan

ini semula adalah sambutan yang disampaikan yang bersangkutan saat menjadi Menteri Agama dalam

Seminar ‚Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam,‛ di UI, 10 November 2001. 91 Lihat, misalnya, Mah}mu>d Ah}mad Mahdi, ed., Niz}a>m al-Waqf fi al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah:

IDB-IRT, 2000). 92 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 24. 93 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 25. 94 Azim Nanji, ‚Waqf,‛ dalam The Encyclopedia of Religion, ed. in-chief Lindsay Jones (New

York: Thomson, 2005), 14: 9678.

Page 136: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

126

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

kesejahteraan umum.‛95

Sementara itu, dalam penjelasan dikemukakan bahwa

salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana terkandung

dalam UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum, yang salah satu cara

untuk mewujudkannya adalah dengan menggali dan mengembangkan potensi yang

terdapat dalam lembaga keagamaan yang memiliki manfaat ekonomi.96

Di sini,

wakaf merupakan bidang yang patut diperhitungkan untuk ditingkatkan perannya.

Jika selama ini wakaf semata-mata berperan sebagai lembaga keagamaan yang

berhubungan dengan ibadah, maka aspek ekonominya harus dikembangkan.

Wakaf diyakini dapat menjadi potensi ekonomi yang dapat membantu tercapainya

kesejahteraan umum seperti disebutkan di atas asalkan dikembangkan

pemanfaatannya dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariah.

Pertimbangan dan penjelasannya ini kemudian ditetapkan dalam Undang-undang

yang ada saat ini.97

Agar wakaf dapat berkembang dengan baik dan bisa memberikan kontribusi

bagi kesejahteraan masyarakat, maka RUU ini mencanangkan adanya Badan

Wakaf Indonesia, yang bertugas di antaranya: membina dan mengawasi nazir

dalam pengelolaan wakaf, melakukan pengelolaan wakaf berskala internasional,

memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan wakaf, dan memberikan saran

kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang wakaf.98

Dengan

adanya BWI ini diharapkan pengelolaan wakaf menjadi produktif dan tujuannya

dapat direalisasikan, yaitu kesejahteraan masyarakat.

Menteri Agama saat itu, Said Aqil Husin Al-Munawar, menyatakan bahwa

jika jumlah wakaf yang ada di Indonesia saat ini dikaitkan dengan negara yang

sedang mengalami krisis multi-dimensi, termasuk krisis ekonomi, wakaf

merupakan sebuah lembaga Islam yang patut dikembangkan dengan sungguh-

sungguh. Dalam keyakinannya, wakaf yang dikelola dengan baik dapat banyak

membantu masyarakat yang kurang mampu.99

Dengan demikian, faktor ekonomi menjadi dorongan penting diajukannya

RUU tentang wakaf, mengingat negara juga sedang dalam krisis. Harapannya

adalah bahwa wakaf dapat memberikan kontribusi bagi negara dengan upaya

menyejahterakan masyarakat, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara.

b. Pertimbangan Peraturan Yang Kurang Memadai

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, peraturan dan ketentuan tentang

wakaf telah banyak dikeluarkan, sesuai dengan lembaga yang terkait dengan

wakaf. Akibatnya, peraturan dan ketentuan itu tidak integral, yang kemudian

menimbulkan kebijakan saling tumpang tindih dan terpisah-pisahnya peraturan itu

dalam pelaksanaan. Dalam situasi perundangan peraturan yang demikian itu, sulit

diharapkan pengelolaan dan pemanfaatan wakaf akan berkembang dengan baik.

Karena itu, pemerintah memandang perlu adanya sebuah undang-undang yang

dapat memayungi seluruh peraturan wakaf secara lebih kokoh.100

95 Lihat ‚RUU tentang Wakaf,‛ 5. 96 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 13. 97 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 13. 98 Lihat RUU tentang Wakaf Pasal 47 dan 49. 99 Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,‛ 19. 100 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 3.

Page 137: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

127

Bab IV

Di samping itu, pengaturan hukum yang tidak integral ini juga pada

gilirannya menimbulkan ketidakpastian jaminan dan perlindungan rasa aman,

terutama bagi wakif, nazir dan objek wakaf itu sendiri. Wakaf hanya dikelola

seadanya, tanpa semangat untuk mengembangkan dengan sungguh-sungguh oleh

pihak pengelola. Ini dibarengi dengan tidak adanya sanksi yang tegas bagi

pengelola wakaf yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga tidak

jarang terjadi penyelewengan dan penyimpangan dalam pengelolaan. Kalaupun

benar-benar terjadi penyimpangan, hukuman yang diberikan tidak sampai ke

tingkat pidana.

Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa peraturan yang ada selama ini

hanya berkisar seputar benda tak bergerak, baik berupa tanah ataupun gedung dan

sebagainya. Tentu, peraturan seperti itu,sudah jauh tertinggal mengingat

perkembangan pengelolaan di tempat lain sudah mencapai tingkat wakaf tunai,

seperti telah disinggung sebelumnya. Pada saat yang sama, praktik wakaf tunai ini

ternyata sudah dipraktikkan di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Dompet

Dhuafa Republik (DDR), Pos Keadilan Peduli Umat, UII Yogyakarta dan lain

sebagainya. Bahkan, terbukti melalui wakaf tunai ini mereka telah berhasil

merealisasikan program pelayanan kesehatan dengan ambulan keliling, yang

dikenal dengan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma serta mendirikan sekolah Smart Excelensia.

101

Bukan hanya wakaf uang tunai yang tidak tertampung dalam peraturan

perundang-undangan di atas, tetapi juga hak intelektual, saham dan surat-surat

berharga lainnya. Padahal, semua yang disebutkan terakhir ini memiliki nilai yang

signifikan dalam sistem perekonomian dan perbankan. Bahkan, seperti disebutkan

oleh Manan di atas, wakaf tunai, saham dan surat berharga tersebut lebih mudah

dilikuidasi atau ditransfer dalam bentuk dana tunai ketimbang benda wakaf tak

bergerak. Karena itu, RUU yang diajukan dimaksudkan untuk mengakomodasi

objek-objek wakaf yang baru, termasuk di antaranya logam mulia.102

Fakta lain menunjukkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui

Komisi Fatwa-nya, telah mengeluarkan fatwa tertanggal 28 Shafar 1423/11 Mei

2002, yang menyatakan wakaf uang tunai itu sah menurut hukum Islam. Fatwa ini

keluar sebagai respons atas wacana tentang wakaf uang, di samping sebagai

jawaban atas permintaan resmi dari Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf

Departemen Agama. Dalam konsiderannya, fatwa tersebut menyatakan bahwa

wakaf selama ini dipahami hanya terkait dengan benda tak bergerak, sedangkan

uang memiliki fleksibilitas dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh objek

wakaf yang tidak bergerak, sehingga diperlukan sebuah fatwa tentang wakaf uang

tunai.103

Landasan pertama fatwa tersebut adalah QS A<li ‘Imra>n (3): 92 dan al-

Baqarah (2): 261-2 dan hadis-hadis tentang shadaqah jariyah dan wakaf ‘Umar.

Selain itu, pendapat dari mazhab fikih juga dirujuk, seperti H{anafi> awal, Sha>fi‘i>,

dan pandangan serta pendapat rapat Komisi Fatwa. Berdasarkan itu semua, fatwa

ini menyatakan bahwa:

101 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 2. 102 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 43. 103 Lihat ‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11 Mei

2002.

Page 138: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

128

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

1. Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang,

lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai;

2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga;

3. Wakaf uang hukumnya boleh (jawa>z);

4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang

dibolehkan secara shar‘i>; 5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,

dihibahkan, dan atau diwariskan.104

Faktor lain yang terkait dengan hukum adalah Undang-undang No. 25 Tahun

2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 yang

didasarkan atas Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis Besar Haluan

Negara Tahun 1999-2004. Disebutkan dalam undang-undang ini bahwa arah

kebijakan pembangunan hukum harus dilakukan dengan menata sistem hukum

nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum

agama dan adat. Mengingat wakaf telah dijalankan sejak lama di Indonesia,

sementara aturan perundang-undangannya masih tercecer di berbagai ketentuan,

maka pengajuan RUU Wakaf ini diharapkan dapat mengatasi persoalan

tersebut.105

Karena itu, ditegaskan dalam RUU tentang Wakaf bagian menimbang bahwa

‚wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan

dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam

berbagai peraturan perundang-undangan.‛106

Lebih jauh dikemukakan dalam

penjelasannya bahwa praktik wakaf yang selama ini berjalan belum sepenuhnya

berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus wakaf tidak dipelihara

sebagaimana seharusnya, bahkan tidak sedikit berpindah tangan dengan cara

melawan hukum. Karena ketidaktertiban hukum ini, maka diperlukan suatu

unifikasi hukum agar wakaf dapat dilindungi sesuai dengan tujuan, fungsi dan

peruntukan wakaf.107

Dalam penjelasan pula dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang

ada tentang wakaf juga hanya berkisar seputar wakaf benda tidak bergerak, seperti

tanah dan bangunan. Karena itu, diperlukan undang-undang yang dapat

menampung benda wakaf yang tidak bergerak seperti uang, logam mulia, surat

berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak

lainnya.108

Satu hal menarik yang patut dicatat di sini adalah bahwa RUU ini

menyebutkan hak kekayaan intelektual dapat dijadikan sebagai objek wakaf. Akan

tetapi, berbeda dengan wakaf tunai yang telah memiliki justifikasi keagamaannya

melalui fatwa MUI, dibolehkannya wakaf hak kekayaan intelektual ini belum

dikeluarkan fatwanya oleh MUI. Sebab, fatwa yang terkait dengan yang terakhir

ini baru dikeluarkan setelah disahkannya Undang-undang tentang Wakaf, yaitu

pada 21 J. Akhir 1426/28 Juli 2005. Dalam fatwa ini disebutkan bahwa hak

104 Lihat ‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11 Mei

2002. Bandingkan dengan Murat Cizakca, ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-Nuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ 397-401; idem, ‚Awqa>f in History and Its Implication for

Modern Islamic Economics,‛ 53-57. 105 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 28. 106 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 5. 107 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 14. 108 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 14-15.

Page 139: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

129

Bab IV

kekayaan intelektual yang diwakafkan tidak dapat diwariskan, seperti objek-objek

wakaf lainnya.109

Terlihat di sini bahwa RUU ini memiliki pandangan jauh ke

depan, dan mungkin telah dipikirkan oleh para perancangnya akan nilai penting

hak kekayaan intelektual, sehingga dimasukkan sebagai salah satu objek wakaf.

Ini juga mengisyaratkan bahwa para perancang telah memiliki argumen-argumen

religius yang bisa dipertanggungjawabkan, meskipun tidak disebutkan secara

eksplisit dalam RUU tersebut, mengingat semangat undang-undang ini adalah

didasarkan pada aturan syar‘i.

Terlepas dari persoalan wakaf hak kekayaan intelektual ini, terlihat bahwa

peraturan perundang-undangan mengenai wakaf terbukti jauh tertinggal dengan

praktik wakaf itu sendiri. Dengan alasan inilah pemerintah menyalurkan aspirasi

masyarakat dengan mengajukan RUU ke DPR untuk dibahas dan memeroleh

pengesahan.

c. Pertimbangan Politik

Selain pertimbangan ekonomi dan kesejahteraan serta hukum, faktor politik

juga tidak dapat diabaikan. Undang-undang merupakan hasil interaksi antara

kekuasaan dan kepentingan, yang dapat juga disebut ‚kebijakan.‛110

Menurut

Moh. Mahfud MD, setiap undang-undang tidaklah lahir dari satu pihak, tetapi

merupakan sebuah produk politik.111

Karena itu, setiap undang-undang yang

dihasilkan selalu berdimensi politik. Dengan demikian, RUU Wakaf juga

dipastikan memiliki dimensi politik.

Seperti telah disinggung sebelumnya, praktik wakaf uang tunai sebenarnya

telah berjalan di kalangan masyarakat, meskipun belum ditemukan dalam

peraturan perundang-undangan yang ada. Ini mendorong masyarakat, terutama

para pengelola wakaf tunai, menyampaikan aspirasi mereka kepada Departemen

Agama supaya memberikan jaminan hukum atas aktivitas mereka. Sebelumnya,

pada awal 2001, Bank Muamalat Indonesia mengundang M.A. Manan untuk

menyampaikan paparan tentang wakaf uang tunai dan praktiknya di SIBL

Bangladesh, sehingga diperoleh gambaran bagaimana sesungguhnya skema wakaf

ini. Pada November 2001, Bank Muamalat kembali mengundang ekonom

Bangladesh ini sebagai nara sumber dalam Training of Trainers (TOT) selama

satu pekan. Menurut Manan, ini merupakan training pertama yang

diselenggarakan di luar Bangladesh tentang wakaf tunai.112

Hanya selang beberapa hari setelah itu, tepatnya pada 10 November 2001,

Program Studi Timur Tengah dan Islam, UI, menyelenggarakan seminar tentang

‚Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam

Mewujudkan Kesejahteraan Umat.‛ Dalam sambutannya, Menteri Agama, Said

Aqil Husin Al-Munawar, mengemukakan gagasannya untuk membentuk Badan

Wakaf Nasional, agar perwakafan di Indonesia dapat dikembangkan menjadi

produktif dan bernilai ekonomis, sehingga lebih terasa manfaatnya terutama di

saat-saat krisis seperti yang dialami Indonesia saat ini. Mengingat belum ada

undang-undang yang dapat mengakomodasi lembaga ini, maka ia cukup

109 Lihat ‚Keputusan Fatwa MUI No. I/MUNAS/VII/MUI/5/2005. 110 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet.

ke-14, 49. 111 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 14. 112 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛

Page 140: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

130

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

ditetapkan melalui Keputusan Presiden, dan kalaupun tidak, cukup dengan

Keputusan Menteri Agama.113

Gagasan tentang wakaf tunai dan pembentukan BWN pun terus bergulir.

Pada 7-8 Januari 2002 di Asrama Haji Batam, misalnya, diadakan workshop

internasional tentang ‚Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Wakaf Produktif‛

yang diselenggarakan atas kerjasama antara International Institute of Islamic

Thought dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji Departemen Agama. Acara ini dihadiri oleh berbagai

kalangan dari perguruan tinggi, LSM dan Majelis Ulama Indonesia. Salah satu

rekomendasi penting yang diberikan oleh workshop ini adalah perlu dibentuknya

Badan Wakaf Indonesia, bukan Badan Wakaf Nasional, seperti sebelumnya telah

dikemukakan Menteri Agama.114

Seminar internasional tentang wakaf kembali digelar di Universitas Islam

Sumatera Utara pada 6-7 Januari 2003, dengan menghadirkan sejumlah pakar

wakaf dari berbagai negara, seperti M.A. Mannan, Monzer Kahf dan Sudin

Haroun, di samping beberapa pakar nasional. Dari sinilah kemudian dibentuk tim

pembahas RUU tentang Wakaf, yang terdiri atas Uswatun Hasanah, Mustafa

Edwin Nasution dan Agustianto.115

Meskipun wacana wakaf uang tunai ini telah bergulir cukup lama, MUI baru

mengeluarkan fatwa tentang masalah ini pada 11 Mei 2002, sebagai respons atas

surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama No.

Dt.1.III/5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal 26 April 2002, yang isinya berupa

permintaan fatwa tentang wakaf uang tunai.116

Dalam fatwanya, Komisi Fatwa

MUI menyebutkan bahwa setelah mempertimbangkan berbagai pendapat ulama

dan permintaan Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf, wakaf uang

diperbolehkan (jawaz).117

Dengan demikian, fatwa tersebut lahir sebagai jawaban

atas permintaan Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf, bukan karena

permintaan masyarakat. Atau setidak-tidaknya, Direktorat Pengembangan Zakat

dan Wakaf menjadi saluran bagi masyarakat untuk meminta fatwa kepada MUI.

Sementara itu, untuk menindaklanjuti rekomendasi workshop di Batam,

Menteri Agama, melalui suratnya No. MA/320/2002 tertanggal 5 September

2002, mengusulkan secara langsung kepada Presiden Megawati Soekarnoputri

agar dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) berdasarkan Keputusan Presiden.

Argumen yang mendasari pengajuan dibentuknya lembaga ini adalah

perkembangan wacana wakaf tunai dan rekomendasi workshop di Batam, di

samping fatwa MUI.118

Departemen Agama sendiri, memiliki kepentingan untuk mengembangkan

pengelolaan zakat dan wakaf secara lebih baik, sehingga memandang perlu

memisahkan dua direktorat tersebut. Alasannya adalah substansi bidang tersebut

berbeda dan diperlukan perumusan kebijakan yang berbeda. Dalam hal ini

113 Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,‛ 22. 114 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 16. 115 Wawancara dengan Mustafa Edwin Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. Lihat juga

Agustianto, ‚Wakaf Uang dan Peningkatan Kesejahteraan Umat,‛ dalam http://zonaekis.com/wakaf-

uang-dan-peningkatan-kesejahteraan-umat (diakses 20 Januari 2011). 116 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 9. 117 Lihat Fatwa MUI tentang tentang Wakaf Uang. 118 Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 16.

Page 141: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

131

Bab IV

pemerintah perlu memberikan penanganan yang memadai agar potensi kedua

bidang ini dapat ditingkatkan bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat. Sebagai perbandingan, di beberapa negara malah dibentuk

kementerian khusus yang digabungkan dengan urusan haji (wiza>rat al-h}ajj wa al-awqa>f). Untuk memenuhi tujuan tersebut, Menteri Agama pada 17 Oktober 2002

menyampaikan surat kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara melalui

surat No. MA/364/2002 tentang usulan peningkatan organisasi zakat dan

wakaf.119

Gagasan legislasi wakaf ini sendiri mendapat reaksi positif dari Megawati,

yang menggantikan Abdurrahman Wahid. Seperti dimaklumi, naiknya Wahid

sebagai presiden menunjukkan kekuatan besar politik Islam yang, meskipun tidak

memeroleh suara mayoritas dalam Pemilu, dapat mengalahkan kekuatan partai

pemenang Pemilu, yaitu PDI-Perjuangan.120

Melalui kelompok ‚Poros Tengah,‛

yang menyatukan kekuatan suara Islam dalam partai-partai, Wahid akhirnya

terpilih sebagai presiden, sementara M. Amien Rais sebagai ketua MPR dan

Akbar Tanjung sebagai ketua MPR. Tidak heran sebagian orang menyebut

Indonesia saat itu merupakan ‚negara santri‛121

atau di bawah kepemimpinan

Muslim par excellence,122 mengingat Wahid adalah Ketua PBNU, Amien Rais

mantan Ketua PP Muhammadiyah dan Akbar Tanjung sebagai mantan Ketua

Umum HMI.

Penolakan terhadap Megawati sebelumnya telah terjadi karena, dalam

pandangan sebagian partai Muslim, kepemimpinan perempuan tidak dapat

diterima dalam Islam. Penolakan itu juga terjadi ketika partai yang dipimpinnya

banyak mendaftarkan calon legislatif yang berlatar belakang agama Kristen. Ini

menimbulkan kekhawatiran di kalangan politisi Muslim kalau-kalau pemerintahan

Megawati akan mengarah pada sekularisme, sehingga kepentingan Islam tidak

akan terakomodasi.123

Penolakan itu juga mengemuka dalam Kongres Umat Islam

II, yang diselenggarakan menjelang Pemilu 1999.124

Akan tetapi, setelah Wahid dijatuhkan oleh MPR melalui sidang istimewa,

kekuatan politik Islam berbalik mendukung Megawati sebagai presiden dan

Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Bahkan, dukungan itu melebihi yang

diberikan kepada dua presiden sebelumnya, Habibie dan Wahid, meskipun kinerja

kepemimpinan Megawati tidak jauh lebih baik ketimbang dua yang terakhir ini.125

119 Lihat Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 230-231. 120 Marcus Mietzner, ‚Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati dan Pergulatan Perebutan

Kursi Kepresidenan,‛ dalam Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis,

ed. Chris Manning dan Peter van Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. (Yogyakarta: LKiS, 2000),

55. 121 Hajriyanto Y. Thohari, ‚Negara Santri: Menengok Tesis Cak Nur,‛ Kompas, Senin, 13

Desember 1999. Sebenarnya, istilah ‚negara santri‛ ini semula dikemukakan oleh Nurcholish Madjid,

yang melihat santrinisasi atau diterimanya kaum santri oleh masyarakat dan negara dalam berbagai

posisi penting. Lihat Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), 61-62.

122 Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta-

Singapore: Solstice Publishing, 2006), 5. 123 Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy, 33. 124 Eep Saefulloh Fatah, Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999 (Bandung:

Mizan, 2000), 175. 125 Hajrijanto Y. Thohari, Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis (Jakarta:

Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005), 47-48.

Page 142: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

132

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Karena itu, berbeda dengan kepemimpinan dua santri ini, yang selalu penuh

gejolak, kepemimpinan Megawati nyaris tanpa gejolak politik.

Di samping itu, ‚sikap menyepelekan‛126

kekuatan politik Islam yang

ditunjukkan PDI-P sebelum sidang MPR 1999 tampaknya menjadi pelajaran

penting bagi Megawati. Karenanya, sepanjang pemerintahannya, bukannya

konfrontatif terhadap kepentingan Islam, ia sangat sensitif terhadap masalah-

masalah keislaman dan cenderung diam atau hati-hati dalam membuat pernyataan

yang berkaitan dengan Islam.127

Seperti RUU tentang Pengelolaan Zakat, yang diajukan pemerintah

menjelang Pemilu 1999, RUU tentang Wakaf ini juga diajukan menjelang Pemilu

2004. Sebagai presiden yang hendak mencalonkan kembali, Megawati ingin

memeroleh dukungan dari suara Islam, sehingga kepentingan umat Islam tentu

tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika pengesahan RUU tentang Pengelolaan Zakat

dipandang sebagai jalan untuk meraih suara umat Islam, hal itu juga berlaku bagi

pengajuan dan pengesahan RUU tentang Wakaf. Ini terlihat dari respons presiden

terhadap kedua surat Menteri Agama kepada Presiden dan Menpan di atas, yang

tidak memeroleh tanggapan secara langsung, tetapi justru mendapatkan saran agar

Menteri Agama menyampaikan surat Prakarsa Penyusunan RUU Wakaf.128

Dari uraian di atas terlihat bahwa pemerintah—sebagai inisiator RUU—

memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan wakaf sebagai sumber produktif,

yang dapat membantu negara bagi kesejahteraan rakyat. Wakaf sebenarnya adalah

persoalan agama, tetapi karena ia memiliki nilai ekonomis, pemerintah pun

berkepentingan untuk mengembangkannya, apalagi negara sendiri sedang

menghadapi krisis ekonomi. Karena itu, upaya ini dapat menguntungkan kedua

belah pihak. Di satu sisi, melalui undang-undang ini diharapkan lembaga

keagamaan yang disebut wakaf ini dapat berkembang dan, di sisi lain, jika

berkembang dengan baik, maka wakaf akan memberikan kontribusi bagi

kesejahteraan rakyat, yang pada dasarnya merupakan tugas utama negara. Yang

juga tidak bisa diabaikan adalah kepentingan politik presiden dengan pengajuan

RUU tersebut untuk dijadikan sebagai undang-undang. Dengan kata lain,

semangat pengajuan ini didorong oleh keinginan untuk saling menguntungkan

kedua belah pihak, di mana umat Islam diuntungkan dengan adanya undang-

undang ini, sementara pemerintah akan mendapatkan hal sebanding jika undang-

undang itu terlaksana dengan baik.

C. Konfigurasi Politik Legislasi RUU Wakaf

Seperti disebutkan dalam bab sebelumnya, ‚legislasi‛ sering diartikan

‚pembuatan undang-undang‛ (law-making atau statute-making). Rousseau,

misalnya, mendefinisikan legislasi sebagai ‚an expression of the general will, such

that a free people is only bound by the laws which they have made for

themselves,‛129

sementara dalam Black’s Law Dictionary, legislasi didefinisikan

126 Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam (Bandung: Mizan, 2000), 213. 127 Azyumardi Azra, ‚Southeast Asian Islam in the Post-Bali Bombing: Debuking the Myth,‛

dalam Indonesian Today: Problems and Perspectives, ed. Norbert Eschborn, Sabrina Hackel and Joyce

H. Richardson (Jakarta: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004), 157. 128 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 232-237. 129 Dikutip dalam John Bell, Sophie Boyron dan Simon Whittaker, Principles of French Law

(Oxford: Oxford University Press, 1998), 14.

Page 143: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

133

Bab IV

dengan ‚the process of making or enacting a positive law in written form,

according to some type of formal procedure, by branch of government constituted

fo perform this process.‛130

Pengertian yang lebih luas tentang legislasi diberikan

dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, yaitu ‚Proses pembuatan peraturan perundang-undangan

yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,

perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.‛131

Sesuai dengan UUD 1945, presiden atau pemerintah dapat mengajukan

rancangan undang-undang kepada DPR untuk dibahas dan disahkan, sebagaimana

juga DPR memiliki hak inisiatif untuk mengajukan RUU. Dalam konteks wakaf,

pemerintah merupakan pihak yang berinisiatif mengajukan RUU, dengan

Departemen Agama sebagai penanggungjawabnya. Meskipun demikian, inisiatif

pemerintah ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari aspirasi masyarakat yang

tengah berkembang saat itu.

Atas saran dari Sekretariat Negara, Menteri Agama kemudian

menyampaikan surat kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No.

MA/451/2002 tanggal 27 Desember 2002. Surat ini berisi permohonan izin

prakarsa Penyusunan RUU Perwakafan, dan mendapat persetujuan. Ini dibuktikan

dengan terbitnya surat Menteri Agama kepada Presiden dengan No. MA/25/2003

tertanggal 24 Januari 2003, yang berisi permohonan persetujuan Prakarsa

Penyusunan RUU Wakaf.132

Permohonan ini ternyata memeroleh jawaban positif

dari Presiden, yang disampaikan melalui surat Sekretaris Negara No. B.61

tertanggal 7 Maret 2003. Dalam surat ini, Menteri Agama diminta segera

menindaklanjutinya dengan membicarakan terlebih dahulu bersama instansi

terkait dan disesuaikan dengan Kepres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara

Mempersiapkan RUU.133

Menindaklanjuti surat persetujuan ini, Menteri Agama pada 30 April 2003

menerbitkan Surat Keputusan No. 258 Tahun 2003 tentang Pembentukan Tim

Penyusun RUU Wakaf yang diketuai oleh Drs. H. Taufiq Kamil, Direktur Jenderal

Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Adapun tugas pokok tim ini meliputi: (1)

mempersiapkan dan menyusun draft RUU tentang Wakaf, (2) mempersiapkan

bahan penjelasan Pemerintah kepada DPR, dan (3) melaporkan pelaksanaan tugas

kepada Menteri Agama. Dilihat dari komposisinya, tim ini merupakan gabungan

dari pihak Departemen Agama, Kementerian Kehakiman dan HAM serta pakar

dari perguruan tinggi dan lain sebagainya.134

Langkah pertama yang dilakukan oleh tim setelah terbentuk adalah

menyusun naskah akademik, yang dimaksudkan untuk memberi landasan ilmiah

bagi penyusunan undang-undang wakaf. Disusun oleh Dr. Uswatun Hasanah, dari

UI, naskah akademik ini terdiri atas gambaran tentang hukum wakaf yang berlaku

dan masalah-masalah yang dihadapi, kondisi dan perkembangan perwakafan di

Indonesia dan perbandingannya dengan wakaf di negara-negara lain, dan

rekomendasi tentang pentingnya penyusunan RUU Wakaf.135

130 Bryan A. Garner, ed. in-chief, Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson, 2004), 918. 131 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 ayat (1). 132 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 232-237. 133 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 238. 134 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 239-244. 135 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 38.

Page 144: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

134

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Bertolak dari naskah akademik ini, penyusunan draft awal RUU dilakukan.

Agar memeroleh masukan dari masyarakat, draft tersebut kemudian didiskusikan

dalam sebuah pertemuan ulama, pakar (akademisi), tokoh dan Ormas Islam, yang

diselenggarakan pada 6 Maret 2003 di Operation Room Departemen Agama.

Dalam kesempatan itu dipaparkan garis besar yang hendak dimasukkan dalam

RUU Wakaf, seperti tujuan dan fungsi wakaf, wakif, benda yang dapat

diwakafkan, nazir, jenis wakaf, organisasi pengelola wakaf, wakaf uang,

pemberdayaan dan pengembangan wakaf, masalah sengketa, pembebasan benda

wakaf dari pajak, petugas pembuat ikrar dan lain sebagainya. Secara umum, para

peserta menymbut baik inisiatif pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama,

untuk mengajukan RUU Wakaf. Akan tetapi, banyak juga saran dan masukan

yang mereka sampaikan demi kesempurnaan RUU tersebut, di antaranya

kemungkinan non-Muslim menjadi wakif, pengaturan pengalihan tujuan wakaf

dan sebagainya.

Setelah seluruh draft telah diselesaikan, melalui suratnya tertanggal 9 Juli

2004, Presiden Megawati mengajukan RUU tentang Wakaf kepada DPR untuk

dibicarakan dengan pemerintah yang diwakilkan kepada Menteri Agama. Untuk

menindaklanjuti usulan tersebut, DPR kemudian melakukan Rapat Konsultasi

Pimpinan pada 20 Agustus 2004, yang memutuskan bahwa pembahasan tentang

RUU ini diserahkan sepenuhnya kepada Komisi VI tanpa adanya sebuah Panitia

Khusus. Sejak itu kemudian anggota Komisi VI DPR melakukan Rapat Dengar

Pendapat Umum dengan kelompok masyarakat, terutama organisasi-organisasi

keagamaan dan lembaga-lembaga yang memang selama ini telah berkiprah dalam

perwakafan, seperti PBNU, PP Muhammadiyah, PP PERSIS, DDII, MUI,

BAZNAS, Yayasan Dana Sosial al-Falah dan sebagainya.136

Komisi ini kemudian menyelenggarakan rapat kerja bersama pemerintah,

yang diwakili oleh Menteri Agama, pada 6 September 2004. Dalam penjelasannya

di hadapan DPR, Menteri Agama mengemukakan bahwa wakaf yang telah

melembaga begitu lama dalam masyarakat Indonesia belum memiliki sebuah

undang-undang yang mengaturnya dengan kokoh. Memang, wakaf telah diatur

dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), Peraturan

Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Kompilasi

Hukum Islam Tahun 1991. Akan tetapi, undang-undang dan peraturan tersebut

belum memadahi seiring dengan perkembangan wakaf, terutama mengenai wakaf

produktif dan wakaf uang.137

Karena itu, di samping sebagai upaya penggabungan

perundangan dan peraturan yang ada, RUU ini diharapkan dapat memperkokoh

praktik wakaf dan pengembangannya.

Ini terlihat dari penjelasan pemerintah di hadapan pemandangan umum DPR,

di mana Menteri Agama menegaskan bahwa tujuan diajukannya RUU ini, antara

lain, adalah: (1) agar berbagai peraturan yang ada tentang wakaf dapat

diklasifikasi, (2) untuk memberikan kepastian hukum bagi perwakafan, (3) untuk

memberi rasa aman bagi waqif dan nazir perorangan maupun organisasi, (4) untuk

mengembangkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dari para nazir

dalam mengelola wakaf, (5) agar dapat menjadi landasan kebijakan dalam

persoalan wakaf, (6) agar dapat mendorong pengelolaan dan pengembangan

136 ‚Risalah Resmi Rapat Kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Agama RI,‛ 124. 137 ‚Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tentang Wakaf,‛ 12 Agustus 2004, 33-34.

Page 145: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

135

Bab IV

wakaf, (7) agar dapat memenuhi tuntutan ketentuan seiring dengan perkembangan

wakaf.138

Menanggapi penjelasan tersebut, fraksi-fraksi yang ada memberikan

pemandangan umum masing-masing, yang umumnya menerima dan bersedia

untuk membicarakan lebih lanjut RUU yang diajukan pemerintah ini. Fraksi

Partai Golkar (F-PG), misalnya, menyambut baik RUU ini dan bersedia untuk

membahasnya bersama pemerintah dan anggota DPR lainnya karena beberapa

alasan sebagai berikut. Pertama, F-PG melihat bahwa wakaf merupakan salah satu

ajaran Islam yang tidak hanya memiliki dimensi ubudiyyah, tetapi juga memiliki

dampak bagi kesejahteraan umat. Kedua, karena pemanfaatannya yang bersifat

sosial, wakaf harus ditata dengan baik dan dapat dilaksanakan dengan ketentuan

hukum yang tetap dan secara terukur dapat diawasi. Sebagai negara hukum,

Indonesia harus mengakomodasi kelompok yang memiliki semangat untuk

menjalankan kehidupan bersama di republik ini sesuai dengan ideologi dan

konstitusi negara. Karena itu, F-PG menyambut dengan baik inisiatif pemerintah

untuk membahas RUU tentang Wakaf ini.139

Sikap dan penerimaan atas RUU ini juga dikemukakan oleh Fraksi Partai

Persatuan Pembangunan (F-PPP). Fraksi ini menilai bahwa seluruh peraturan yang

ada tentang wakaf hanya berkaitan dengan tanah, padahal jika diupayakan, wakaf

dapat dikembangkan untuk hal-hal yang produktif. Meskipun demikian F-PPP

menggarisbawahi tiga hal yang harus dikembangkan dalam RUU ini. Pertama,

fraksi ini melihat bahwa dalam persyaratan wakaf RUU ini hanya membatasi pada

orang Muslim. Dalam konteks ini, F-PPP mengajak untuk mencermati

kemaslahatan dan mudarat wakaf dari non-Muslim, mengingat ada juga fuqaha

yang membolehkannya. Kedua, F-PPP menilai RUU ini belum memberikan

gambaran yang jelas tentang Badan Wakaf Indonesia, terutama mengenai

hubungan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya, di samping strukturnya.

Misalnya, dalam RUU ini disebutkan akan dibentuk Badan Pelaksana dan Dewan

Pertimbangan, namun tidak dijelaskan sifat hubungan antara keduanya. Ketiga,

berkaitan dengan masalah sengketa wakaf. Memang disebutkan dalam RUU

bahwa jika terjadi sengketa, hal itu akan diselesaikan melalui tiga cara, mediasi,

arbitrasi dan pengadilan. Akan tetapi, fraksi ini mempertanyakan Badan Arbitrase

Syariah yang disebutkan dalam RUU ini.140

Sementara itu, F-PDIP memandang bahwa RUU ini perlu dibahas karena

wakaf merupakan suatu tindakan yang harus didukung demi terlaksananya ibadah

ini dengan baik, di satu sisi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, di sisi

lain. Fraksi ini juga mendukung dibentuknya Badan Wakaf Indonesia dari tingkat

pusat hingga daerah, sehingga pembinaan dan pengawasan pelaksanaan wakaf

dapat ditingkatkan. Satu hal yang menjadi catatan penting F-PDIP adalah

ditegaskannya ketentuan pidana dan sanksi administratif bagi siapa saja yang

menyelewengkan dan menyalahgunakan wakaf.141

138 ‚Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tentang Wakaf,‛ 12 Agustus 2004, 35. 139 ‚Pemandangan Umum Fraksi Golongan Karya terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September

2004, 128-30. 140 ‚Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6

September 2004, 133-35. 141 ‚Pemandangan Umum Fraksi PDI-Perjuangan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September

2004, 137-38.

Page 146: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

136

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Semangat untuk membahas RUU ini juga ditunjukkan oleh F-KB. Fraksi ini

menyadari bahwa perundang-undangan dan peraturan wakaf sangat diperlukan

untuk memberikan payung hukum bagi pelaksanaan ibadah yang selama ini telah

berlangsung. Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan F-KB berkaitan

dengan RUU ini, di antaranya adalah wakaf dari kalangan non-Muslim, wakaf

tunai dalam bentuk uang, tidak boleh diubahnya pemanfaatan wakaf, di samping

struktur oganisasi wakaf yang hendak didirikan melalui RUU ini. Meskipun

demikian, fraksi ini mengakui bahwa hal itu dapat dicarikan penyelesaiannya

melalui fikih, yang senantiasa dinamis dalam mengikuti perkembangan zaman.

Yang juga ditekankan oleh F-KB adalah agar melalui RUU ini lembaga-lembaga

wakaf yang selama ini telah ada tidak malah tereduksi, tetapi harus memeroleh

perlindungan, pengarahan dan fasilitas dari pemerintah atau pihak yang terkait

dengannya.142

Selanjutnya, dalam pandangan umumnya, F-Reformasi mengakui pentingnya

wakaf dalam Islam, yang tidak hanya bernilai pahala, tetapi juga berkontribusi

bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan, dan karenanya menyambut

baik pembahasan RUU ini. Akan tetapi, ada beberapa hal yang menjadi catatan

penting fraksi ini. Pertama, tujuan wakaf harus diwujudkan sesuai dengan sistem

ekonomi syariah dan perundang-undangan. Kedua, dalam RUU ini disebutkan

bahwa seluruh benda wakaf harus didaftarkan ke pemerintah, yang menurut fraksi

ini akan memberatkan masyarakat. Ketiga, jika pengelolaan wakaf diarahkan pada

tujuan-tujuan produktif, hal itu tetap harus sesuai dengan tujuan utama wakaf,

yaitu ibadah, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Keempat, adanya Badan Wakaf Indonesia diharapkan tidak memonopoli

kewenangan dan sentralistik, sebaliknya ia harus konsisten dengan semangat

otonomi daerah dan desentralisasi. Terakhir, dalam masalah pembinaan, hal itu

hendaknya dilakukan secara koordinatif dengan MUI dan tidak kaku, apalagi

mengintervensi masyarakat.143

Sejalan dengan fraksi-fraksi sebelumnya, F-ABRI dalam pandangan

umumnya mengakui bahwa saat ini telah terjadi dinamika yang pesat dalam hal

wakaf, khususnya wakaf tunai atau uang. Kenyataan itu harus disertai dengan

pembentukan peraturan-peraturan yang sejalan dengan perkembangan itu

berdasarkan aspirasi masyarakat, namun tetap harus diintegrasikan dengan

peraturan yang ada. Pada saat yang sama, RUU ini tidak boleh kontraproduktif

terhadap wakaf yang selama ini telah berjalan secara kultural.144

Fraksi terakhir

yang memberikan pandangan umum adalah F-PBB. Fraksi ini menyetujui

pembahasan RUU dengan pemerintah mengingat harpan dan aspirasi masyarakat

yang memang menghendaki hal itu, sebagaimana tercermin dalam RDPU. Akan

tetapi, fraksi ini tidak memberikan catatan khusus terhadap RUU ini.145

Dari uraian di atas terlihat bahwa seluruh fraksi di DPR menyetujui

pembahasan RUU ini untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang. Juga

142 ‚Pemandangan Umum Fraksi Kebangkitan Bangsa terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6

September 2004, 140-41. 143 ‚Pemandangan Umum Fraksi Reformasi terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004,

144-45. 144 ‚Pemandangan Umum Fraksi TNI/Polri terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004,

147. 145 ‚Pemandangan Umum Fraksi Partai Bulan-Bintang terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6

September 2004, 149.

Page 147: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

137

Bab IV

terlihat bahwa RUU ini tidak dipandang sebagai suatu bentuk Islamisasi undang-

undang mengingat peraturan-peraturan yang ada sesungguhnya telah

mengisyaratkan hal itu. Karenanya, RUU tentang Wakaf ini pada dasarnya hanya

mempertegas peraturan perundangan yang ada, dan memperkayanya dengan

masukan-masukan baru yang berkembang di tengah masyarakat. Situasi seperti

itu tidak bisa dipisahkan dari pergeseran sistem kediktatoran negara menuju lebih

demokratis, yang memberikan peluang bagi lembaga-lembaga filantropi Islam,

seperti wakaf, untuk memainkan peran kembali sebagai sarana kesejahteraan dan

keadilan.146

Meskipun demikian, pembahasan RUU ini tidak berlangsung mulus begitu

saja, sebab tidak sedikit persoalan yang timbul pada waktu pembahasannya.

Dalam penilaian fraksi-fraksi, ada 142 persoalan yang menjadi catatan mereka

dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Akan tetapi, dari sekian persoalan itu,

hanya 44 persoalan yang perlu dibicarakan dalam pembahasan mengingat sisanya

hanya bermasalah dari segi redaksi dan sinkronisasi. Masalah-masalah itulah yang

kemudian dibicarakan dalam rapat Panja, yang diselenggarakan pada 13-22

September 2004. Berikut ini adalah beberapa perdebatan terkait dengan masalah-

masalah wakaf.

1. Definisi Wakaf

Dalam konsideran menimbang, RUU menegaskan bahwa ‚Wakaf sebagai

lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola

secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan

umum.‛147

Tentu, ini bukanlah definisi wakaf yang sering ditemukan dalam kitab-

kitab fikih, sebab yang terakhir ini biasanya memberikan pengertian sebagai

‚menahan harta dari kepemilikan seorang yang mewakafkan untuk disedekahkan

manfaatnya bagi kebaikan.‛148

Akan tetapi, pengertian wakaf di atas sering

ditemukan dalam buku-buku sosial, yang menempatkan wakaf sebagai salah satu

jaminan sosial bagi masyarakat.149

Sementara itu, F-PPP mengusulkan agar istilah lembaga diganti dengan

pranata, yang memiliki makna lebih luas ketimbang sekadar lembaga, yang

cenderung mengarah pada institusi. Lebih jauh, wakaf bukan sekadar institusi,

tetapi juga mengandung pengertian kegiatan, tata nilai dan sebagainya.

Pandangan ini memeroleh dukungan dari F-KB, yang menilai bahwa jika wakaf

disebut sebagai lembaga, ia memiliki konotasi lain. Padahal, wakaf adalah sebuah

kegiatan keagamaan. Berbeda dengan dua fraksi ini, Fraksi Daulat Umat

mengusulkan ‚bentuk kegiatan‛ sebagai ganti ‚lembaga,‛ mengingat yang

pertama lebih mudah dimengerti oleh masyarakat ketimbang yang kedua.150

146 Bandingkan Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Revivang Traditional Forms for

Building Social Justice,‛ Makalah disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and

Democracy) 5th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004, 2. 147 ‚RUU tentang Wakaf,‛ bagian Menimbang. 148 Lihat, misalnya, Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr,

1995), 8: 153; Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 3: 378. 149 Lihat, misalnya, Abdul Azim Islahi, ‚Provision of Public Good: Role of Voluntary Sector

(Waq) in Islamic History,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A. Mannan (Jeddah: IRTI-

IDB, 1416), 367-68. 150 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September

2004, 178-80.

Page 148: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

138

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Ketidakjelasan makna lembaga atau pranata ini mendorong ahli bahasa

menjelaskan maksud kedua istilah itu, di mana pranata ternyata memang memiliki

pengertian lebih luas. Pemerintah tetap bersikukuh agar istilah lembaga yang

digunakan dan telah umum dipakai dalam peraturan yang ada. Akan tetapi,

argumen ini disanggah oleh fraksi-fraksi lain dengan menunjukkan bahwa pranata

juga digunakan dalam undang-undang sebelumnya, seperti Undang-undang

tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.

Akhirnya, kata pranata disepakati sebagai pengganti lembaga.151

Masih terkait dengan definisi di atas adalah kata ‚menyerahkan‛ yang

diusulkan oleh F-TNI/POLRI sebagai ganti kata ‚memisahkan‛ sebagaimana

digunakan dalam RUU. Penggantian ini didukung oleh F-PPP, dengan alasan

bahwa menyerahkan bisa berarti menyerahkan seluruh harta seseorang, sementara

memisahkan hanya memilah sebagian saja, padahal tidak menutup kemungkinan

seseorang ingin menyerahkan seluruh harta kekayaannya setelah meninggal dunia.

Menanggapi usulan itu, pemerintah mempertahankan ‚memisahkan‛ sesuai

dengan definisi wakaf dalam bahasa Arab, qat}‘.152

F-PPP, yang diwakili Lukman Hakim Saifuddin, tetap bersikukuh bahwa

kata ‚menyerahkan‛ lebih tepat, yang mengimplikasikan bahwa si pewakaf tidak

lagi memiliki kaitan dengan harta yang telah diwakafkannya. Lebih jauh, kata

memisahkan memiliki konotasi yang kurang tegas, sehingga jika seseorang

memisahkan hak miliknya sebagai wakaf, hak milik itu memunculkan pertanyaan

hak milik siapa. Sementara itu, F-PG dan F-Reformasi mengusulkan tetap pada

konsep semula, yaitu memisahkan, sedangkan F-KB menghendaki agar diganti

dengan ‚melepaskan.‛ Perbedaan itu terus menghangat, sehingga disepakati untuk

digabungkan menjadi ‚memisahkan dan atau menyerahkan.‛153

Sebenarnya, definisi wakaf dalam fikih menggunakan kata yang berbeda-

beda, seperti h}abs, waqf dan lain sebagainya, namun semuanya memiliki semangat

yang sama, yaitu diserahkannya hak seseorang atas suatu benda untuk

kepentingan publik.154

2. Rukun Wakaf

Persoalan lain yang diperdebatkan selama pembahasan adalah rukun wakaf.

Dalam RUU dikemukakan bahwa ‚wakaf dilaksanakan sesuai dengan rukun wakaf

sebagai berikut: (a) Wakif, yaitu orang yang mewakafkan; (2) Nazir, yaitu orang

yang menerima wakaf; (c) Benda wakaf; (d) Ikrar wakaf dan; (e), Peruntukan

benda wakaf.155

Inilah yang umumnya ditemukan dalam kitab-kitab fikih dengan

istilah wa>qif, al-mawqu>f, al-s}i>ghah dan al-mawqu>f ‘alayh.156

Meskipun demikian,

151 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September

2004, 181-82. 152 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September

2004, 197. Memang, salah satu makna kata qat}‘ adalah ‚memisahkan‛ (separation). Lihat, misalnya,

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (London: Macdonald &

Evans Ltd., 1974), 776. 153 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September

2004, 206. 154 Lihat, antara lain, Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Islamiyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhyyah

(Kuwait: Da>r al-Sah}wah, 2006), 44: 108. 155 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 6. 156 Lihat, misalnya, al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 176.

Page 149: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

139

Bab IV

ada juga mazhab yang hanya menjadikan rukun wakaf hanya satu, s}i>ghah, di

kalangan H{anafi>.157

Melihat pasal ini, F-PG, F-PDIP dan F-KB memilih tetap, tanpa perubahan,

sedangkan F-PPP dan F-Reformasi mengusulkan tambahan rukun, masing-masing

secara berurutan ‚jangka waktu wakaf‛ dan ‚manajemen.‛ Bagi F-PPP, adanya

jangka waktu ini merupakan konsekuensi logis dari definisi wakaf yang

disebutkan dalam RUU Pasal 1 ayat (1) bahwa ‚wakaf adalah perbuatan hukum

wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan

selamanya atau dalam jangka waktu tertentu…‛158

Wakaf berjangka waktu ini

sebenarnya juga dikenal dalam fikih, terutama di kalangan Ma>likiyyah, dengan

ungkapan ‚masa tertentu‛ (muddah mu‘ayyanah min al-zama>n).159

Adapun

argumen F-Reformasi adalah bahwa wakaf selama ini dikelola secara apa adanya,

sehingga diperlukan persyaratan lain agar lebih baik dan transparan. Usulan F-

Reformasi ini didukung oleh F-TNI/POLRI yang didasarkan pada pengalaman

negara lain, seperti Iran, yang menetapkan manajemen sebagai salah satu rukun

wakaf.160

Menanggapi usulan tersebut, wakil pemerintah menegaskan bahwa rukun-

rukun wakaf itu sebenarnya sudah baku dalam fikih dan karenanya harus tetap.

Argumen ini memunculkan persoalan, misalnya, atas dasar apa rukun itu disebut

baku. Anwar Arifin, misalnya, mempertanyakan ‚mana yang lebih tinggi

kedudukannya antara fikih dan undang-undang di Indonesia?‛ Jika, dasarnya

adalah fikih, maka sesungguhnya ia tidak lebih tinggi daripada undang-undang,

dan oleh sebab itu rukun-rukun tersebut tidak dapat dipandang baku. Lebih jauh,

fikih pada dasarnya adalah pemahaman manusia dan bersifat ijtihadi, sehingga

tidak menutup ruang ijtihad bagi undang-undang wakaf ini.161

Argumen ini

diperkuat oleh F-Reformasi, yang menyatakan bahwa pembakuan itu tidak

berasalan, mengingat antara mazhab fikih pun tidak ada satu kata dalam suatu

persoalan. Karena itu, rukun wakaf bisa bertambah sesuai dengan kebutuhan umat

Islam saat ini. Pemerintah sebenarnya mengakomodir usulan ini, tetapi tidak

dimasukkan dalam rukun, sehingga tidak tercantum secara eksplisit dalam pasal.

Sebagai gantinya, kedua usulan itu akan dipertegas dalam ikrar wakaf.162

Perdebatan tersebut mengisyaratkan bahwa hukum fikih bukanlah hukum

negara, dan karenanya tidak ada alasan baku dalam membicarakan undang-undang

negara, tak terkecuali wakaf. Memang wakaf bersumber pada fikih, akan tetapi ia

akan menjadi undang-undang negara setelah melalui legislassi (taqni>n), sehingga

perubahan tidak bisa dielakkan sesuai dengan kebutuhan dan demi kepastian

hukum.163

Dengan kata lain, UU Wakaf dapat dipandang sebagai fikih tentang

wakaf khas Indonesia, atau lebih khusus lagi fikihnya DPR.164

157 Lihat Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al- Fiqhiyyah, 44: 112; al-

Zuh}ayli>, al-Fikih al-Isla>mi, 8: 159. 158 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 219. 159 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 156; Wawancara dengan Mustafa Edwin

Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. 160 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 225. 161 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 220-21. 162 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 228. 163 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), 1. 164 Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011.

Page 150: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

140

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

3. Persyaratan Wakif

Persoalan lain yang diperdebatkan dengan hangat dalam rapat adalah syarat-

syarat wakif. Dalam RUU disebutkan bahwa seseorang hanya dapat menjadi wakif

apabila ia memenuhi persyaratan: (a) beragama Islam; (b) dewasa; (c) berakal

sehat dan; (d) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.165

Wakil pemerintah

juga menegaskan bahwa wakaf dari non-Muslim pada dasarnya dibenarkan oleh

ajaran Islam, tetapi sengaja tidak dicantumkan dalam RUU ini dan cukup diatur

dalam peraturan teknisnya.166

Sebenarnya, para fuqaha umumnya membolehkan

wakaf yang berasal dari non-Muslim, sebab wakaf sebenarnya tidak terkait secara

langsung dengan ibadah (khususnya mahd}ah), tetapi berkaitan dengan ibadah

sosial.167

Penegasan ini mengundang perdebatan dalam rapat, terutama dari F-PPP.

Fraksi ini mempertanyakan mengapa jika Islam membolehkan non-Muslim

berwakaf tetapi dalam RUU ini malah dipersempit, dan baru akan dijelaskan

dalam peraturan di bawah undang-undang. Sebagai solusi atas persoalan ini, F-

PPP mengusulkan agar syarat (a) beragama Islam dihapus, sehingga terbuka bagi

non-Muslim. Lebih jauh, jika dalam undang-undangnya saja tidak disebutkan,

bagaimana mungkin bisa diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan di

bawahnya. Usulan penghapusan ini mendapat dukungan dari F-Reformasi, dengan

argumen bahwa yang terpenting dalam wakaf adalah bahwa seseorang sebagai

pemilik sah harta benda yang akan diwakafkan.168

Menurut M. Tholhah Hasan,

fikih sebenarnya membolehkan hal itu.169

Menanggapi usulan tersebut, wakil pemerintah berargumen bahwa wakaf

pada dasarnya adalah ibadah, yang untuk diterima oleh Allah salah satu syaratnya

adalah pelakunya beragama Islam. Lebih daripada itu, kondisi Indonesia saat ini

belum memungkinkan untuk itu, karena dikhawatirkan akan menimbulkan

pancingan dari non-Muslim setelah mereka mewakafkan harta benda mereka.

Misalnya, jika mereka mewakafkan harta kepada Muslim, mereka juga bisa

bertanya kapan orang Muslim mewakafkan kepada mereka. Kalaupun mau

dibolehkan, sebaiknya ada pemilahan wakaf Muslim, wakaf Katholik, Kristen,

Hindu, Budha dan sebagainya.170

Sebenarnya, wakaf dari non-Muslim telah terjadi

di beberapa negara, seperti Qatar, Kuwait dan lain sebagainya. Lebih dari itu,

kekhawatiran seperti itu tidak perlu terjadi mengingat wakif hanya menyerahkan

dan tidak lagi menguasai harta yang diwakafkannya.171

Kekhawatiran yang dikemukakan pihak pemerintah tersebut dianggap

oleh F-PPP tidak beralasan, karena ajaran Islam memang membuka peluang bagi

wakaf non-Muslim. Sebaliknya, hal itu harus dipahami sebagai keterlibatan

mereka dalam konteks kesatuan negara Indonesia. Jika undang-undang ini secara

ekslusif hanya untuk orang Islam, ia akan memunculkan prasangka bahwa

memang ada upaya dari pihak Islam untuk mengundangkan ajaran-ajaran agama

ini. Akibatnya, akan lebih mendatangkan mudarat ketimbang rahmat, yang

165 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 8 ayat (1). 166 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 231. 167 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 129. 168 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 232. 169 Wawancara dengan K.H. M. Tholhah Hasan, Jakarta 18 Januari 2011. 170 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 233-34. 171 Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011.

Page 151: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

141

Bab IV

menjadi prinsip utama Islam sebagai rah}matan li al-‘a>lami>n. Adapun tentang

persoalan ibadah, menurut F-PPP, diterima tidaknya wakaf seseorang bergantung

pada niatnya. Akan tetapi dalam konteks undang-undang, syarat beragama Islam

itu tidak perlu dimasukkan karena memiliki implikasi hukum bernegara yang

eksklusif.172

Usulan F-PPP ini akhirnya diterima dan disetujui oleh peserta rapat,

sehingga syarat beragama Islam tidak kita temukan dalam Undang-undang

tentang Wakaf.

Sebenarnya, dalam buku-buku fikih, persyaratan bagi wakif yang ditetapkan

hanya empat, yaitu pemilik yang bebas atau merdeka, berakal, dewasa dan paham

kebenaran (rashi>d). Tidak ada ketentuan bahwa seseorang harus Muslim jika

hendak menjadi wakif.173

Masih terkait dengan persyaratan wakif adalah usulan F-PPP agar ada

penambahan syarat, yaitu ‚pemilik sah harta benda wakaf.‛174

Alasan pemerintah

mengapa ini tidak dimasukkan dalam syarat wakif adalah bahwa Pasal 15 RUU ini

sudah membicarakan hal itu. Namun, F-Reformasi melihat bahwa pasal tersebut

merupakan bagian dari syarat-syarat harta benda yang boleh diwakafkan. Karena

itu, fraksi ini mendukung dimasukkannya ‚pemilik sah harta benda wakaf‛

sebagai salah satu syarat wakif untuk mempertegas sekaligus untuk menghindari

sengketa di kemudian hari.175

Akhirnya, usulan ini diterima oleh rapat.

Ketentuan pemilik sah bagi wakif ini sebenarnya memiliki preseden buruk

dalam tradisi Islam, mengingat banyak orang yang mewakafkan harta, namun

sesungguhnya harta tersebut dalam sitaan atau sebagai jaminan hutang mereka.176

4. Syarat Nazir

Persoalan lain yang timbul dalam pembahasan adalah tentang syarat-syarat

nazir, yaitu orang yang dipercaya mengelola harta benda wakaf. Dalam Pasal 10

RUU ini disebutkan bahwa seseorang dapat menjadi nazir, jika ia memenuhi

syarat: (a) Warga negara Indonesia; (b) beragama Islam; (c) dewasa; (d) sehat

jasmani dan rohani; dan (e) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.177

F-PDIP dan F-PG menerima ketentuan ini, tetapi F-PPP dan F-KB

mengusulkan perubahan dan tambahan. F-PPP mengusulkan adanya tambahan

syarat selain yang disebutkan di atas, yaitu ‚amanah,‛ sementara F-KB

mengusulkan agar nazir berada di lokasi tempat harta benda itu diwakafkan. Usul

F-PPP didukung oleh F-Reformasi dan F-KB, dan akhirnya juga diterima oleh

wakil pemerintah. Dengan demikian, rapat pun menyetujuinya.178

Sementara itu,

usulan F-KB didasarkan pada argumen bahwa harta benda wakaf akan terlantar

jika nazirnya jauh darinya. Akan tetapi, usulan ini tidak dapat diterima oleh wakil

pemerintah, karena hal itu akan mempersulit terjadinya wakaf tentang benda-

benda bergerak. Lebih jauh, selama ini telah terjadi wakaf yang dipercayakan

kepada nazir yang tinggalnya jauh dari tempat harta benda wakaf tersebut.179

172 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 234-235. 173 Lihat al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 176-77. 174 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 238. 175 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 10. 176 Lihat Hennigan, The Birth of Legal Institution, xiv. 177 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 241. 178 Lihat ‚Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,‛ Pasal 10 ayat (1). 179 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 240-41.

Page 152: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

142

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Karena itu, usulan ini ditolak dan tidak dimasukkan dalam undang-undang. Dalam

pandangan Maghfur Utsman, usulan di atas sulit dilakukan mengingat tidak

sedikit harta benda wakaf diwakafkan kepada mereka yang bertempat tinggal jauh

dari lokasi wakaf tersebut.180

Selain mengusulkan ‚amanah‛ sebagai salah satu syarat nazir, F-PPP juga

mengusulkan perubahan redaksi agar frasa ‚sehat jasmani dan rohani‛ menjadi

‚mampu secara jasmani dan rohani.‛ Alasan fraksi ini adalah sehat secara jasmani

dan rohani mengimplikasikan sesuatu yang relatif. Di samping itu, dalam berbagai

undang-undang yang ada, frasa seperti itu telah dihindari, sehingga tetap

memberikan ruang bagi nazir yang memiliki kemampuan meskipun ia juga

bercacat fisik.181

Usulan ini diafirmasi oleh seluruh fraksi dan wakil pemerintah

dan karenanya dimasukkan dalam undang-undang.

Terlihat bahwa ketentuan nazir dalam undang-undang ini jauh lengkap

dibandingkan dengan yang kita temukan dalam fikih. Al-Zuhayli, misalnya, hanya

mensyaratkan tiga hal secara garis besar, yang meliputi keadilan (‘ada>lah),

kifa>yah (kemampuan yang memadai) dan isla>m, terutama bagi benda-benda yang

terkait dengan kepentingan Islam.182

Sementara itu, dalam RUU ini, nazir dalam bentuk organisasi, selain

memenuhi persyaratan nazir perorangan di atas, juga harus ‚bergerak dalam

bidang sosial, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.‛ Terhadap persyaratan

ini, F-PDIP menambahkan frasa ‚pendidikan‛ setelah sosial, yang langsung

disetujui oleh semua fraksi dan wakil pemerintah. Lebih jauh, F-PPP

menambahkan persyaratan lain yang diperdebatkan hangat dalam rapat. Fraksi ini

menilai bahwa selain ketentuan di atas, nazir dalam bentuk organisasi juga harus

memiliki pengalaman sekurang-kurangnya satu tahun dalam bidang keuangan. Ini

diperlukan agar tidak setiap organisasi dapat begitu saja sebagai nazir, tetapi

harus memenuhi kualifikasi, di antaranya kemampuan manajerial sehingga

terbukti organisasi tersebut serius dan tepat ditunjuk sebagai nazir.183

Fraksi-fraksi lain menilai bahwa usulan ini tidak perlu dimasukkan dalam

pasal, sebab sebagai sebuah organisasi ia tentunya memiliki pengalaman tersebut.

Adapun wakil pemerintah pada dasarnya bisa menerima usulan ini, tetapi tidak

perlu dimasukkan dalam pasal, cukup dalam peraturan pemerintah. Menanggapi

komentar wakil pemerintah ini, Anwar Arifin mengajukan pertanyaan, mengapa

harus di peraturan pemerintah, jika memungkinkan dimasukkan dalam pasal.

Sebab, penyusunan peraturan pemerintah itu sendiri memakan waktu yang tidak

singkat, bisa bertahun-tahun.184

Meskipun demikian, rapat hanya menyetujui

untuk dimasukkan ke dalam peraturan pemerintah. Dalam PP No. 42 Tahun 2006

tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sendiri, usulan

tersebut tidak disebutkan secara langsung, tetapi dengan ungkapan ‚bersedia

untuk diaudit.‛185

180 Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011. 181 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 243. 182 Al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 232. 183 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 251. 184 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 256-257. 185 Lihat PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,

Pasal 7 ayat (3) C.

Page 153: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

143

Bab IV

Persoalan lain yang tak kalah sengitnya diperdebatkan adalah bagian yang

diterima oleh nazir. Dalam RUU dikemukakan bahwa ‚Dalam melaksanakan

tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, nazir dapat menerima fasilitas

dan/atau penghasilan atas hasil pengelolaan dan pengembangan benda wakaf yang

besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).‛186

Dalam penjelasannya, wakil

pemerintah mengemukakan dasar penetapan 10% ini adalah Peraturan Menteri

Agama Nomor 1 Tahun 1978.

F-PPP mempermasalahkan alasan penetapan 10% itu, sebab amil zakat

sendiri memeroleh bagian 12,5%. Dalam pandangan fraksi ini, nazir pada dasarnya

memiliki tugas yang sama dengan amil zakat, dan mestinya memeroleh bagian

yang sama seperti amil. Karena itu, apakah 10% ini dapat dibenarkan secara syar‘i

dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau 12,5% landasan syar‘inya jelas, yaitu

dianologikan dengan amil zakat. Usulan ini mendapat dukungan dari F-

TNI/POLRI dan F-Reformasi.187

Pendapat seperti ini memang ditemukan dalam

fikih, di mana hak seorang nazir wakaf dikiyaskan dengan amil zakat yang

memeroleh bagian 12,5%.188

Menanggapi komentar itu, wakil pemerintah mengakui bahwa memang tidak

ada batasan yang pasti tentang bagian yang diterima oleh nazir. Meskipun

demikian, dasar penetapan 10% ini, selain PMA di atas, adalah kepantasan dan

tidak dikaitkan dengan amil zakat, sebab antara zakat dan wakaf berbeda sehingga

tidak bisa dikiaskan. Lebih jauh, selama ini penetapan itu telah berjalan dan tidak

ada reaksi atau penolakan dari masyarakat.189

Dengan demikian, angka 10% ini

sebenarnya memiliki preseden historis dalam pelaksanaan wakaf selama ini.

F-Reformasi mengemukakan bahwa 12,5% lebih mendasar dibandingkan

dengan 10%. Alasannnya adalah daripada tidak memiliki landasan syar‘i yang

tidak jelas, bukankah lebih baik mengaitkannya dengan zakat, yang sudah jelas

ketentuannya. Memang, masalah ini adalah masalah ijtihadi, di mana umat

diperbolehkan mencari rumusan yang pas mengenai hal ini. Akan tetapi, ijtihad

yang memiliki landasan shar‘i> jauh lebih baik ketimbang tidak ada dasarnya sama

sekali. Pendeknya, daripada tanpa rujukan, lebih baik berijtihad dengan rujukan,

yaitu amil zakat.190

Berbeda dengan pandangan F-Reformasi, F-PBB menilai bahwa ketentuan

bagian yang harus diterima nazir memang tidak disebutkan secara eksplisit baik

dalam Al-Quran maupun Sunnah. Namun, fraksi ini tidak bisa menerima bahwa

nazir harus menerima 12,5% melalui analogi amil zakat. Sebab, seperdelapan itu

sendiri dapat dipahami tidak bersifat baku, dalam arti bahwa tidak semua delapan

golongan itu mendapat seperdelapan. Sementara itu, dalam Sunnah ditemukan

isyarat bahwa wakaf itu tidak digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Dengan

kata lain, ukuran yang pantas ini tampaknya sudah tepat, meskipun masih relatif.

Maksudnya, 10% dapat dipandang besar jika ia merupakan bagian dari jumlah

186 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 12. 187 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 263. 188

Al-Mawsu>‘ah Fiqhiyyah, 44: 210. 189 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 265-66. 190 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 266-67.

Page 154: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

144

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

atau angka yang besar, tetapi kecil dalam kaitannya dengan jumlah atau angka

yang kecil. Karena itu, fraksi ini memandang 10% sebagai jumlah yang pantas

bagi nazir.191

Argumen yang dikemukakan F-PBB didasarkan pada hadis tentang

bagaimana ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b tidak menetapkan berapa bagian yang diterima

mutawalli, tetapi disebutkan secara eksplisit tida memperkaya diri.192

Perdebatan

ini tetap bertahan dan tidak sampai pada suatu kesepakatan, sehingga diselesaikan

melalui lobi, yang akhirnya disetujui menjadi 10%.

5. Harta Benda Wakaf

Berkaitan dengan harta benda wakaf, persoalan yang muncul di sini adalah

wakaf uang. Dalam RUU disebutkan bahwa yang dimaksud dengan benda

bergerak meliputi: (a) uang; (b) logam; (c) surat berharga; (d) kendaraan; (e) hak

atas kekayaan intelektual; (f) hak sewa; dan (g) harta benda bergerak lain sesuai

dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.193

Dalam fikih, para ulama umumnya membolehkan wakaf benda bergerak (‘aqa>r, jamak ‘aqa>ra>t), yang didasarkan pada Hadis Nabi Saw., yang menegaskan bahwa

orang yang mewakafkan kuda, ia akan mendapatkan pahala dari apa saja yang bisa

dimanfaatkan dari kuda tersebut.194

F-PBB mengusulkan agar ada frasa yang menegaskan bahwa harta benda

wakaf itu ‚tidak habis dikonsumsi.‛ Alasannya adalah bahwa prinsip wakaf

bendanya tidak boleh habis, tetapi harus langgeng. Adapun yang dimanfaatkan

adalah hasil yang timbul dari harta benda itu. Sementara itu, wakaf uang ini tidak

terjamin kelanggengan uang itu, namun yang ada adalah nilainya, mengingat uang

tersebut digulirkan untuk berbagai investasi dan usaha produktif lainnya. Karena

itu, harus ada penjelasan bahwa nilai uang tersebut tidak habis dikonsumsi, sebab

kalau habis dikonsumsi berarti bukan wakaf, tetapi hanya amal jariyah.195

Dengan

kata lain, fraksi ini sebenarnya menyetujui uang termasuk salah satu benda yang

dapat diwakafkan, tetapi harus ada penegasan bahwa benda wakaf itu langgeng,

sesuai dengan prinsip wakaf.

Menanggapi usulan itu, wakil pemerintah memahami usulan itu. Memang,

bendanya harus tetap, tetapi keuntungannya yang dimanfaatkan untuk tujuan

wakaf. Pada prinsipnya, uang wakaf itu dikumpulkan sebagai modal, selanjutnya

ia diputar untuk usaha, yang keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan

wakaf. Karena itu, pemerintah menerima usul tadi dan dimasukkan dalam Pasal 16

sebagaimana kita lihat sekarang.196

Dalam fikih, memang dikenal dengan wakaf

manfaat (waqf al-manfa‘ah), di mana yang diwakafkan hanya manfaat benda yang

diwakafkan. Ini diperbolehkan di kalangan Malikiyyah.197

Terbukti, masalah ini

diakomodir dalam Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009. Hanya saja, dalam peraturan

191 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 267. 192 Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m (Riya>d}: Maktabat Da>r al-

Sala>m, 1997), Hadis No. 918. 193 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 16 ayat (3). 194 Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 164. 195 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 288-89. 196 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 294. 197 Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 166.

Page 155: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

145

Bab IV

ditentuk batas minimal uang yang diwakafkan sebesar Rp. 10.000.000,- dalam

jangka sekurang-kurangnya lima tahun.198

Di beberapa negara Islam, wakaf uang sebenarnya telah diakomodir dalam

undang-undang wakaf mereka. Bahkan, seperti telah disinggung di muka, wakaf

uang ini terbukti memiliki dampak ekonomis yang sangat baik bagi masyarakat

pada masa Utsmani. Uang wakaf telah dimanfaatkan oleh banyak pengusaha dan

dengan begitu saling membantu antara pengusaha dan nazir wakaf.199

Sementara

itu, di Singapura, wakaf uang juga dibolehkan, meskipun saat ini aset wakaf benda

masih jauh lebih besar ketimbang wakaf uang.200

6. Ikrar Harus Tertulis

Dalam pandangan Islam, wakaf bukan semata-mata tindakan filantropis

untuk kemanusiaan. Ia juga berdimensi ibadah, yang tujuan utamanya adalah

untuk memeroleh pahala dari Allah Swt. Karena itu, ketika seseorang hendak

mewakafkan harta miliknya, ia cukup mengucapkan maksud tersebut kepada

seseorang yang dipandang dapat mengelolanya dengan baik, dalam arti dapat

mendatangkan manfaat sebanyak mungkin bagi masyarakat. Meskipun demikian,

banyak kasus menunjukkan bahwa benda yang telah diwakafkan itu dipersoalkan

dengan alasan tidak adanya bukti yang memperkuat itu. Mengantisipasi

kemungkinan munculnya persoalan ini, dalam RUU Pasal 17 dikemukakan bahwa

ikrar wakaf harus dilakukan di hadapan PPAIW dan dinyatakan secara lisan.201

Pasal ini memunculkan dua persoalan, yaitu ‚dinyatakan secara lisan‛ dan

siapa yang dimaksud dengan saksi di sini. F-PG mengusulkan agar setelah kata

ikrar ditambah dengan ‚dan atau tulisan‛ sehingga menjadi ‚Ikrar wakaf

dinyatakan secara lisan dan atau tulisan.‛ Usulan ini mendapat dukungan dari F-

PBB dan F-PPP. Kedua fraksi ini sepakat bahwa agar tidak ada sengketa di

kemudian hari harus ada ikrar dan saksi, namun hal itu akan menjadi semakin kuat

jika dinyatakan secara tertulis.202

Yang dimaksud ikrar di sini adalah s}i>ghah dalam

istilah fikih. Akan tetapi, syarat-syarat ikrar ini tidak membicarakan apakah harus

tertulis atau tidak. Ada yang menyebut hanya dua syarat dalam ikrar, yaitu dapat

dilaksanakan (tanji>z) dan bersifat kekal (ta’bi>d),203

sementara al-Zuh}ayli>

menambahkan dengan kepastian (ilza>m) dan tidak terkait dengan syarat yang

dapat membatalkan wakaf.204

F-PBB menilai bahwa sesungguhnya dalam kitab-kitab tidak perlu

disebutkan adanya saksi, tetapi dalam RUU ini ditetapkan adanya saksi. Ini tidak

memberi kejelasan apakah jumlah saksi di sini satu atau dua. Kalau dua saksi,

apakah itu harus dua-duanya laki-laki, atau satu saksi dan dua perempuan, seperti

198 Lihat ‚Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan

Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang,‛ Pasal 3 ayat (3). 199 Bandingkan dengan Murat Cizakca, ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-

Nuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ 397-401; idem, ‚Awqa>f in History and Its Implication for

Modern Islamic Economics,‛ 53-57. 200 Shamsiah Abdul Kareem, ‚Contemporary Waqf Administration and Development in

Singapore: Challenges and Prospects‛ (Singapore: Islamic Religious Council of Singapore, t.th.), 4-5. 201 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 17. 202 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14

September 2004, 298. 203 Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 122-23. 204 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 208.

Page 156: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

146

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

ketentuan persaksian dalam Islam yang selama ini dipahami. Sementara itu, F-

PPP menilai bahwa persoalan saksi ini tetap seperti yang ditawarkan dalam RUU

dan mengusulkan agar baik laki-laki maupun perempuan dipandang sama,

sehingga wakaf tetap sah meskipun saksinya perempuan. Agar memeroleh

kejelasan, masalah saksi laki-laki atau perempuan ini cukup dimasukkan dalam

penjelasan.205

Meskipun demikian, dalam pandangan al-Zuh}ayli>, persaksian ini menjadi

salah satu cara untuk menetapkan wakaf. Lebih dari itu, persaksian itu diterapkan

di beberapa negara seperti Mesir dan Suriah. Yang demikian itu sejalan dengan

pandangan al-Zuh}ayli> yang menegaskan bahwa saksi tidak harus terikat apakah

laki-laki atau perempuan.206

Meskipun demikian, seperti dikemukakan mazhab

H{anafi>, rukun wakaf sebenarnya hanya satu, yaitu ikrar. Disebut demikian karena

ikrar tidak memiliki apa-apa tanpa ketiga rukun lainnya. Oleh sebab itu, wakaf

adalah sah walau hanya diucapkan saja.207

Akhirnya, ketentuan ini disetujui tetap,

tanpa ada penjelasan.

7. Sanksi Penyelewengan Wakaf

Persoalan penting yang menjadi perdebatan hangat dalam Rapat Panja

adalah masalah sanksi bagi nazir yang menyelewengkan harta benda wakaf. Ini

disebutkan dalam RUU Pasal 67, yang mengidentifikasi tiga jenis penyelewengan.

Pertama, kategori penyelewengan yang meliputi menjaminkan, menghibahkan,

mewariskan, mengalihkan atau menukar harta benda wakaf. Sanksi bagi pelaku

jenis pertama penyelewengan ini berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Kedua,

kategori penyelewengan berupa pengalihan peruntukan wakaf tanpa izin dari

Badan Wakaf Indonesia, dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 (empat)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).

Ketiga, kategori penyelewengan yang berbentuk pengambilan hasil wakaf

melebihi yang dibolehkan. Sanksinya berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).208

Terhadap ketentuan ini, semua fraksi pada prinsipnya menerima adanya

sanksi bagi nazir atau pengelola yang menyelewengkan harta benda wakaf.

Meskipun demikian, F-PPP adalah satu-satunya fraksi yang memberikan catatan

atau komentar atas ketentuan ini. Melalui wakilnya, Lukman Hakim Saifuddin,

fraksi ini mengusulkan agar ketentuan mengenai sanksi ini disebutkan tingkat

minimalnya saja. Tujuannya ialah agar pelaku merasa jera dengan tindakannya

dan berhati-hati dalam mengurus harta benda wakaf.209

Menanggapi usulan ini, ahli hukum yang mewakili pemerintah menegaskan

bahwa ketentuan sanksi minimal ini tidak lazim dalam KUHP, misalnya.

Sebaliknya, yang umum digunakan adalah ketentuan maksimalnya, sehingga

hakim dapat menentukan atau berijtihad berapa lama atau berapa besar denda

205 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September

2004, 304. 206 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>, 8: 214. 207 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 205. 208 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 67. 209 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 7 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 16 September

2004, 633.

Page 157: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

147

Bab IV

yang dikenakan pada pelanggar. Bagi F-PPP, dengan menetapkan batas minimal

diharapkan hakim tidak dapat bermain-main dalam menetapkan hukuman. Justru

jika batas maksimal ditetapkan, hakim dapat memberikan vonis yang jauh di

bawah minimal. Lebih jauh, dalam undang-undang yang lain, seperti UU Pemilu

dan Pilpres, juga disebutkan batas minimal dan maksimal, yang mengindikasikan

bahwa dalam RUU Wakaf ini batasan minimal dapat ditentukan. Yang lebih

buruk lagi, penetapan hukuman maksimal membuka peluang bagi nazir untuk

berhitung keuntungan, antara jumlah yang diselewengkan dengan denda atau

hukuman yang akan diterimanya. Misalnya, jika aset wakaf mencapai milyaran,

tetapi hukumannya hanya Rp. 500.000.000,- tidak menutup kemungkinan akan

mendorong pengelola untuk melakukan penyelewengan, karena dendanya jauh di

bawah yang diselewengkannya.210

Terlepas dari perdebatan ini, rapat menyetujui

bahwa ketentuan tentang sanksi ini tetap seperti yang terkandung dalam RUU

yang ditawarkan pemerintah.

Sebenarnya, dalam kitab-kitab fikih tidak ditentukan sanksi-sanksi

penyelewengan seperti itu. Di Yordania, misalnya, tidak menetapkan sanksi

penyelewengan, tetapi penegasan bahwa seluruh ketentuan tidak boleh

berlawanan dengan syariah.211

8. Persyaratan Nazir Harus Beragama Islam

Masalah ini muncul setelah seluruh pembahasan tentang pasal-pasal selesai

dirampungkan dalam rapat Panja terakhir. Dalam rangka meninjau ulang seluruh

pasal-pasal itulah persoalan tentang persyaratan beragama Islam bagi nazir

muncul, yang diajukan oleh Lukman Hakim Saifuddin. Seperti telah diputuskan

sebelumnya, syarat nazir perorangan atau organisasi adalah beragama Islam.

Bahkan syarat saksi dalam ikrar wakaf dan untuk menjadi anggota Badan Wakaf

Indonesia pun harus beragama Islam.

Lukman melihat bahwa adanya persyaratan beragama Islam ini tidak lazim

dalam undang-undang. Sebab, hal itu dapat dipandang sebagai sebuah

deskriminasi berdasarkan agama. Jika dilakukan judicial review di Mahkamah

Konstitusi, kemungkinan persyaratan ini akan dihapus. Lebih jauh, menurut kitab-

kitab fikih, persyaratan beragama Islam ini sesungguhnya tidak mutlak, dalam arti

tidak seluruh ulama berpendapat demikian. Karena itu, Lukman mengajak seluruh

anggota untuk bersikap arif dalam masalah ini. Terhadap pandangan ini, F-PG,

yang diwakili oleh Irsyad Sudiro, mengusulkan agar dicari jalan tengah, di

antaranya dengan cukup menyebutkan persyaratan secara syar‘i tanpa

menyebutkan beragama Islam secara eksplisit.212

Pandangan ini sejalan dengan

pendapat Abu> H{ani>fah, yang membolehkan nazir bukan Muslim yang masuk

dalam kategori dhimmi>.213

Menanggapi hal ini, wakil pemerintah menghendaki tetap, bahkan kalau

boleh persyaratan orang yang mewakafkan (wakif) pun harus beragama Islam.

210 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 7 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 16 September

2004, 635-637. 211 Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah: IRTI-IDB, 2003),

44. 212 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 8 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 18 September

2004, 687. 213 Lihatal-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 209.

Page 158: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

148

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

Namun, agar tidak terlihat diskriminatif, dicantumkan juga persyaratan

‚beragama lain‛ bagi non-Muslim yang hendak mewakafkan harta bendanya. Ini

diperkuat oleh dasar negara kita, Pancasila, yang menghendaki setiap warganegara

beragama. Lebih jauh, Malaysia yang penduduk Muslimnya tidak mencapai 2/3

dari seluruh penduduknya saja berani menjadikan Islam sebagai agama resminya.

Sementara itu, Chodidjah berpendapat bahwa RUU ini berbicara tentang

kepentingan Islam, dan sudah sepantasnya persyaratan beragama Islam

dicantumkan. Jika dikatakan bahwa dalam buku-buku fikih tidak disebutkan

secara mutlak beragama Islam sebagai salah satu syaratnya, apakah ketika kita

membuat terobosan dalam RUU ini tidak boleh. Menurutnya, ini adalah

kesempatan untuk menunjukkan itu.214

Dalam pandangan Maghfur Utsman,

kekhawatiran seperti ini dikarenakan non-Muslim memiliki kewenangan atas

harta wakaf, sehingga takut digunakan untuk kepentingan agamanya, bukan

kepentingan umat Islam.215

Perdebatan panas ini akhirnya berhenti dengan tetap dipertahankannya

rumusan semula, di mana syarat wakif tanpa harus beragama Islam, sementara

persyaratan nazir dan saksi dalam ikrar wakaf serta anggota Badan Wakaf

Indonesia harus beragama Islam.216

Dengan disetujuinya seluruh proses ini, RUU Wakaf sudah siap dirapatkan

dalam paripurna untuk memeroleh persetujuan dari anggota DPR, yang diawali

terlebih dahulu dengan pandangan akhir mini dalam Komisi VI. Rapat paripurna

sendiri dilaksanakan pada 28 September 2004 pukul 10.00 di Ruang Sidang DPR

RI. Dengan demikian, seluruh pembahasan tentang RUU ini berlangsung selama

dua pekan saja, sejak pemerintah menyampaikan penjelasan pada 6 September

2004. Bahkan pembahasan secara intensif dapat dikatakan berlangsung hanya

selama sepekan, mengingat Rapat Pembahasan RUU baru dimulai pada 13

September 2004 dan berakhir pada 18 September 2004.

Diawali dengan laporan yang disampaikan oleh Ketua Komisi VI, Rapat

Paripurna kemudian dilanjutkan dengan pandangan akhir yang disampaikan oleh

masing-masing fraksi terhadap RUU ini. Dalam pandangan akhirnya, F-PG

menyetujui RUU ini disahkan menjadi UU karena tiga alasan: (1) dengan undang-

undang ini, kaum Muslim dapat menerapkan syariatnya khususnya di bidang

wakaf, (2) terjadinya unifikasi hukum agama dan hukum positif, dan (3) wakaf

dapat memberikan nilai ekonomis bagi kesejahteraan.217

Sementara itu, F-PPP

menilai RUU ini segera disahkan mengingat melalui UU ini nanti fungsi wakaf

yang memiliki potensi ekonomi dapat ditingkatkan, sehingga manfaat

horizontalnya akan semakin luas, sedangkan untuk mencapainya akan dibentuk

Badan Wakaf Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang ini.218

Adapun F-PKB menegaskan bahwa RUU ini perlu segera disahkan agar

pendayagunaan wakaf dapat dilakukan secara lebih baik sesuai dengan ketentuan

214 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 8 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 18 September

2004, 689-695. 215 Wawancara, Jakarta 18 Januari 2011. 216 Ketentuan bahwa nazir harus Muslim ini memiliki rujukannya antara lain dalam Al-Zuh}ayli>,

al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 203. 217 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Golongan Karya terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 Septemb

er 2004, 55-56. 218 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Persatuan Pembangunan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28

September 2004, 60-61.

Page 159: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

149

Bab IV

syariah. Selain itu, jika RUU ini disahkan, maka semua pihak dapat menyesuaikan

diri dan, karenanya sosialisasi yang akan dilakukan oleh pemerintah menjadi

sangat penting.219

Pandangan senada juga disampaikan oleh F-Reformasi dengan

penekanan khusus pada BWI yang diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap pembinaan para nazir dalam mengelola wakaf. Dengan begitu, dimensi

sosial wakaf dapat direalisasikan, yaitu kesejahteraan umum.220

F-TNI/Polri menggarisbawahi empat hal terkait akan disahkannya RUU

tentang wakaf ini. Pertama, UU ini tidaklah kontra-produktif terhadap peraturan

yang ada, tetapi mempertegas dan menyempurnakannya. Kedua, BWI yang pada

awal operasionalnya akan dibantu oleh pemerintah, harus mampu

mengembangkan diri sehingga tidak membebani APBN di masa yang akan datang.

Ketiga, dengan dibolehkannya wakaf tunai dalam undang-undang ini, maka ia

harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Keempat, pemerintah harus

menyosialisasikan undang-undang ini agar dapat dipahami oleh masyarakat.221

Peran BWI bagi pengembangan wakaf, juga menjadi perhatian utama F-PBB

dalam pandangan akhirnya. Dikemukakan bahwa BWI diharapkan dapat

memajukan perwakafan di Indonesia, sehingga kesejahteraan umat dapat dicapai

sebesar-besarnya, khususnya terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sarana

peribadatan.222

Pandangan serupa dikemukakan F-Perserikatan Daulatul Ummah.

Bagi fraksi ini, disahkannya RUU ini menjadi undang-undang merupakan hadiah

besar bagi umat Islam untuk dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan syariah.

Di samping hal-hal baru dalam undang-undang ini, seperti wakaf uang tunai dan

adanya BWI diharapkan wakaf tidak lagi disalahgunakan.223

Sementara itu, fraksi terbesar dalam DPR, F-PDIP mengawali pandangan

akhirnya dengan menunjukkan situasi negara saat ini yang dipandang sangat

memprihatinkan. Salah satu sebabnya, menurut fraksi ini, adalah karena tidak

dijalankannya prinsip pemberdayaan ekonomi yang didasarkan pada syariah.

Dengan disahkannya RUU Wakaf menjadi undang-undang diharapkan

terpenuhinya jaminan bagi pihak yang terkait dengan wakaf, termasuk upaya

optimalisasi manfaat wakaf. Di samping itu, undang-undang ini juga diharapkan

dapat memiliki implikasi ekonomis yang dapat membantu kesejahteraan

masyarakat.224

Satu-satunya fraksi yang tidak terlibat dalam pembahasan, tetapi

menyampaikan pandangan akhirnya adalah Frkasi Kesatuan Kebangsaan

Indonesia. Meskipun demikian, fraksi menyetujui agar RUU ini disahkan menjadi

undang-undang mengingat selain berpotensi ekonomis, yang jika dikelola dengan

baik dapat membantu menyejahterakan rakyat. Di samping itu, undang-undang ini

dapat mengakomodasi hal-hal yang belum disinggung dalam peraturan

219 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28

September 2004, 65. 220 ‚Pendapat Akhir Fraksi Reformasi terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 70. 221 ‚Pendapat Akhir Fraksi TNI/Polri terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 75-

76. 222 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Bulan Bintang terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September

2004, 80. 223 ‚Pendapat Akhir Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28

September 2004, 86-87. 224 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terhadap RUU tentang

Wakaf,‛ 28 September 2004, 91-93.

Page 160: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

150

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

sebelumnya, dan karenanya secara prinsip fraksi ini menyetujui pengesahaan RUU

ini.225

Setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangan akhirnya, RUU disahkan

menjadi UU tentang Wakaf. Dalam sambutan setelah disahkan RUU ini, Menteri

Agama mengemukakan sejumlah hal baru yang penting dengan lahirnya undang-

undang ini. Pertama, UU ini mengatur wakaf benda bergerak, yang meliputi uang,

surat berharga dan lain-lain, yang tidak ditemukan dalam peraturan perundangan

yang ada sebelumnya. Kedua, persyaratan nazir menjadi lebih sempurna dengan

dimasukkannya ketentuan seperti pembatasan masa jabatan, hak yang dapat ia

terima dan sebagainya. Ketiga, akan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia, yang

akan berperan kunci dalam pengembangan wakaf. Keempat, penekanan pada

pemberdayaan wakaf agar berkontribusi bagi kesejahteraan. Kelima, UU ini

memberikan ketentuan pidana dan administrasi , yang dapat dikenakan kepada

nazir maupun kepada pejabat pembuat akta ikrar wakaf dan lembaga keuangan

yang mengelolanya.226

Dari uraian yang dipaparkan di muka terlihat bahwa faktor yang mendorong

disahkannya undang-undang ini meliputi beberapa hal: (1) ekonomi dan

kesejahteraan, (2) dimensi religious, (3) ketertiban hukum, dan (4) politik.

UU tentang Wakaf ini kemudian disahkan melalui Keputusan DPR No.

13A/DPR-RI/I/2004-2005 tentang Persetujuan DPR terhadap RUU tentang Wakaf

tertanggal 28 September 2004. Pada hari yang sama Surat Persetujuan No.

RU.01/5254/DPR-RI/2004 disampaikan kepada Presiden agar RUU yang sudah

disetujui ini segera disahkan menjadi undang-undang. Sebulan kemudian, undang-

undang ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Oktober

2004 sebagai Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. UU ini

terdiri atas 11 Bab dan 71 Pasal dengan struktur sebagai berikut:

Bab I Ketentuan Umum (1 pasal)

Bab II Dasar-dasar Wakaf (30 pasal)

Bab III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf (8 pasal)

Bab IV Perubahan Status Harta Benda Wakaf (2 pasal)

Bab V Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf (5 pasal)

Bab VI Badan Wakaf Indonesia (15 pasal)

Bab VII Penyelesaian Sengketa (1 pasal)

Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan (4 pasal)

Bab IX Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif (2 pasal)

Bab X Ketentuan Peralihan (2 pasal)

Bab XI Ketentuan Penutup (1 pasal)

D. Implikasi terhadap Wakaf setelah Pengesahan Undang-undang

Meskipun telah disahkan, UU No. 41 Tahun 2004 ini tidak begitu saja dapat

dilaksanakan, mengingat ada sejumlah pasal yang menuntut peraturan pemerintah.

Setidak-tidaknya, dibutuhkan delapan peraturan pemerintah agar undang-undang

ini dapat dilaksanakan, seperti diisyaratkan oleh pasal-pasal berikut ini:227

225 ‚Pendapat Akhir Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28

September 2004, 82-83. 226 ‚Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 100-102. 227 Bandingkan Jaih Mubarok, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008),

60-61.

Page 161: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

151

Bab IV

1. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan nazir, seperti ditegaskan Pasal 14

ayat (2).

2. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan akta ikrar wakaf, seperti

diamanatkan oleh Pasal 21 ayat (3).

3. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan wakaf benda bergerak berupa uang,

yang disebutkan dalam Pasal 31.

4. Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW),

seperti ditegaskan Pasal 39.

5. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan perubahan status harta benda wakaf,

yang disebutkan Pasal 41 ayat (4).

6. Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf, seperti disebutkan dalam Pasal 46.

7. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan tentang pembinaan dan pengawasan

oleh mentri dan BWI, seperti ditunjukkan dalam Pasal 66.

8. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan pelaksanaan sanksi administratif,

seperti diperintahkan oleh Pasal 68 ayat (3).

Akan tetapi, pemerintah cukup menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 42

Tahun 2006 tentang Pelaksanaan undang-undang tersebut untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan di atas, tidak dengan menerbitkan satu persatu. Hal ini

dikemukakan dalam bagian menimbang yang menyebutkan bahwa PP ini

dimaksudkan untuk memenuhi pelaksanaan ketentuan Pasal 14, Pasal 21, Pasal

31, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 46, Pasal 66, dan Pasal 68 Undang-undang No. 41

Tahun 2004.228

Untuk melengkapi PP tersebut, Menteri Agama menerbitkan

Peraturan No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang pada

29 Juli 2009.229

Dengan demikian, disahkannya UU tentang Wakaf memiliki implikasi

langsung terhadap pembentukan peraturan-peraturan terkait yang diamanatkan

oleh undang-undang tersebut. Lebih jauh, wakaf telah dinaikkan kedudukannya

yang semula hanya diatur dalam peraturan pemerintah meningkat menjadi

undang-undang.

Implikasi lain yang tak kalah pentingnya adalah keharusan dibentuknya

Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang disebutkan dalam Pasal 47 sampai Pasal 61

Undang-undang tentang Wakaf. Melalui Keputusan Presiden Nomor 75/M/2007,

BWI dinyatakan terbentuk untuk masa 2007-2010. Sesuai dengan UU No. 41

Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 51 ayat (1), BWI terdiri atas Badan Pelaksana

dan Dewan Pertimbangan.

Di samping pengurus utama, terdapat juga beberapa divisi, seperti divisi

pembinaan nazir, pengelolaan wakaf, hubungan masyarakat, kelembagaan,

penelitian dan pengembangan. Adanya divisi-divisi ini dimungkinkan sesuai

dengan amanat Pasal 53 undang-undang ini, yang menyebutkan bahwa jumlah

anggota BWI paling sedikit 20 orang dan paling banyak 30 orang.230

Tujuan utama dibentuknya lembaga ini adalah agar perwakafan di Indonesia

mengalami kemajuan dan perkembangan. Untuk itu, BWI memiliki tugas dan

wewenang yang sangat besar, menurut undang-undang, seperti membina nazir

228 Lihat Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. 229 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf

Uang. 230 Lihat UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 53.

Page 162: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

152

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

wakaf yang ada, agar dapat mengelola dan mengembangkan wakaf secara lebih

baik. Lembaga ini juga memiliki tugas untuk mengelola dan mengembangkan

sendiri wakaf yang berskala nasional dan internasional. Bahkan, BWI memiliki

wewenang untuk menyetujui dan memberikan izin perubahan peruntukan dan

status benda wakaf, jika benda wakaf tersebut dipandang tidak atau kurang

produktif. Di samping itu, BWI juga berhak memberhentikan dan mengganti

nazir, tak terkecuali memberikan saran dan perimbangan kepada pemerintah

dalam membuat kebijakan yang terkait dengan wakaf.231

Karena itu, BWI dapat

dipandang sebagai tulang punggung maju mundurnya perwakafan di masa yang

akan datang.

Sebenarnya, keterlibatan negara dengan membentuk BWI menunjukkan

keterlibatan pemerintah yang setengah hati, mengingat negara tidak secara

langsung terlibat di dalamnya dan tidak masuk ke dalam kementeriaan tertentu.

Model seperti ditemukan di Malaysia, yang melibatkan negara federal sangat

sedikit, tetapi menyerahkan kepada negara bagian lain.232

Ini sangat berbeda

dengan Kuwait, Yordania dan Saudi Arabia yang melibatkan langsung negara.

Juga berbeda dengan India dan Singapura, yang keterlibatan negara hanya terkait

dengan penyediaan perundang-undangan.233

Sejauh ini, BWI telah berhasil mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp.

880.884.770,- dan tanah di Serang, Banten, seluas 2.348 M persegi seharga Rp.

375.680.000,-. Jika dijumlahkan secara keseluruhan, maka BWI hingga Februari

2010 berhasil mengumpulkan wakaf sebesar Rp. 1.256.564.770,-.234

Menurut

Suparman, saat ini belum diperoleh angka yang pasti tentang wakaf uang,

mengingat hal itu masih belum dilaporkan ke BWI secara keseluruhan. Akan

tetapi, diperkirakan jumlah yang telah dihimpun mendekati 10 milyar.235

Ini tidak

berarti bahwa perkembangan wakaf hanya sebatas itu, mengingat terdapat

lembaga-lembaga wakaf lain. Lebih jauh, dana tersebut telah dikelola oleh BWI

untuk tujuan-tujuan produktif, seperti investasi, giro dan lain sebagainya.

Sementara tanah wakaf yang diterimanya kini dijadikan sebagai rumah sakit, yang

pembangunannya kini tengah berlangsung. Dengan begitu, manfaat wakaf akan

semakin dirasakan oleh banyak masyarakat.

Sementara itu, seperti dilaporkan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf

Departemen Agama, wakaf di masyarakat terus mengalami peningkatan, setidak-

tidaknya berdasarkan catatan. Dalam laporan pada 2006, misalnya, disebutkan

bahwa luas tanah wakaf mencapai 552.446.216,56 M persegi, sementara pada

2008 terjadi peningkatan signifikan hingga mencapai 1.615.791.832,27 M

persegi. Peningkatan signifikan juga terjadi pada 2009, yang mencapai

2.719.854.759,72 M persegi. Di samping itu, kehadiran undang-undang tentang

wakaf ini terbukti telah mendorong pengadministrasian wakaf semakin baik. Ini

231 Lihat UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 49. 232 Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah: IRTI-IDB, 2003),

115. 233 Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir. Untuk Singapura, lihat

Kareem, ‚Contemporary Waqf Administration and Development in Singapore.‛ 234 Keuangan BWI, www.bwi.or.id. 235 Wawancara, Jakarta 18 Januari 2011.

Page 163: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

153

Bab IV

terlihat dari peningkatan prosentasi sertifikasi wakaf, yang dari tahun ke tahun

semakin meningkat.236

Implikasi lain disahkannya undang-undang ini adalah meningkatnya

keuangan syariah, karena wakaf dikembangkan melalui sukuk. Menurut pengamat

ekonomi syariah, Muhammad Shodiq, jika aset wakaf dikembangkan menjadi aset

dasar (underlying assets) bagi penerbitan sukuk, maka hal itu berpotensi memiliki

efek berlipat ganda bagi keuangan syariah. Ia menegaskan, ‚Potensi wakaf sangat

besar, namun ada beberapa aset yang ideal. Jika aset wakaf bisa menjadi

underlying aset sukuk, maka dari sana bisa menghasilkan dana yang bisa

digunakan untuk investasi ke sektor mikro syariah, misalnya. Dengan demikian

hal ini akan memiliki multiplier effect bagi perkembangan keuangan syariah

Indonesia.‛237

Bahwa peluang wakaf uang dapat mendorong keuangan syariah ini juga

diakui oleh Mustafa Edwin, wakil ketua BWI, meskipun hal itu harus dikaji

terlebih dahulu, terutama dalam kaitannya dengan hukum fikih. Yang demikian

itu terjadi karena setoran wakaf akan dilakukan di bank syariah, sehingga lembaga

keuangan syariah akan memeroleh dana untuk dikelola. Mustafa menegaskan,

‚Bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi dan dengan ditaruhnya dana wakaf

di bank syariah dan bisa diolah, maka akan turut memperbesar pangsa perbankan

syariah.‛238

Akan tetapi, ia tetap akan berhati-hati karena ‚belum melakukan

kajian mengenai hal itu apakah secara fikih dimungkinkan atau tidak, apakah

harta benda wakaf mungkin untuk menjadi underlying aset. Ini masih perlu

dikaji,‛ kata Mustafa.239

Kenyataan ini diperkuat oleh semakin meningkatnya bank-bank syariah yang

berminat untuk menjadi penerima setoran wakaf. Seperti diberitakan, sampai saat

ini sudah ada delapan bank yang ditetapkan secara resmi sebagai penerima setoran

wakaf, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BNI

Syariah, unit usaha syariah (UUS) Bank DKI dan lain sebagainya.240

Di kemudian

hari, jumlah ini tampaknya akan semakin bertambah, mengingat saat ini saja

sudah ada dua bank lainnya yang sedang menjalani proses untuk menjadi bank

penerima setoran wakaf, yakni Bank Syariah Bukopin dan Bank Syariah BTN.241

Tentu, hal itu tidak akan berjalan dengan begitu saja, jika tidak ada kreasi

dan metode khusus yang diterapkan oleh bank-bank tersebut. Ani Murdiati,

direktur Retail Banking Bank Mega Syariah (BMS), misalnya, menegaskan bahwa

wakaf uang tidak bisa ditawarkan dengan cara-cara seperti produk lain bank

syariah ditawarkan. Ia membutuhkan cara yang berbeda, di antaranya dengan

menawarkan paket wakaf kepada nasabah, dengan memasukkannya dalam

investasi tertentu. ‚Untuk menawarkan wakaf uang di bank syariah tentu beda

dengan menawarkan produk bank syariah lainnya, kecuali mungkin dapat

236 Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen

Agama, 2009. 237 Republika, Senin, 7 Juni 2010. 238 Republika, Senin, 7 Juni 2010. 239 Republika, Senin, 7 Juni 2010; lihat juga Ahmad Hasan dan Muhammad Abdus Shahid,

‚Management and Development of the Awqaf Assets,‛ Proceedings of Seventh International Conference: The Tawhidi Epistemology—Zakat and Waqf Economy, Bangi, 2010, 321-322.

240 Wawancara dengan Mustafa E. Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. 241 Media Indonesia, Selasa 2 Maret 2010.

Page 164: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

154

Kebijakan Negara Tentang Wakaf

dibentuk seperti paket wakaf kepada nasabah, di mana ada investasi tertentu

untuk penempatan wakaf,‛ kata Ani.242

Dari uraian tersebut terlihat bahwa kehadiran UU No. 41 Tahun 2004

tentang Wakaf telah memberikan manfaat baik terhadap pengelolaan wakaf itu

sendiri, maupun manfaat bagi masyarakat. Tentu, terlalu dini untuk menilai

keberhasilan BWI, misalnya, karena lembaga ini dapat dipandang masih seusia

bayi. Akan tetapi, dengan keberhasilannya dalam waktu singkat mengumpulkan

dana wakaf dan mengelolanya, harapan besar untuk menyejahterakan masyarakat

patut diberikan kepada lembaga ini. Apalagi jika seluruh pranata wakaf yang telah

ada juga dikelola dengan baik seperti yang dilakukan oleh BWI.

242 Republika, Senin, 7 Juni 2010.

Page 165: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

155

BAB V

PERKEMBANGAN FILANTROPI ISLAM

Dalam dua bab sebelumnya telah diuraikan bagaimana keterkaitan negara dalam

masalah filantropi Islam. Dalam bab ini akan diuraikan dampak dari disahkannya

undang-undang tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf,

yaitu perkembangan lembaga filantropi Islam dan respons civil society Islam

terhadap rencana revisi UU No. 38 Tahun 1999.

A. Pertumbuhan Lembaga-lembaga Zakat, Wakaf dan Filantropi

Jauh sebelum UU No. 38 Tahun 1999 dan UU No. 41 Tahun 2004 disahkan

dan diundangkan, sebenarnya lembaga-lembaga filantropi Islam sudah cukup

banyak yang bermunculan. Yayasan Dana Sosial Al-Falah, Surabaya, yang

didirikan pada 1987, misalnya, telah aktif bergerak dalam menghimpun dan

menyalurkan dana zakat bagi fakir miskin. Demikian pula Dompet Dhuafa

Republika yang didirikan pada 1993. Keduanya berhasil menjadi lembaga

filantropi Islam yang sangat berhasil, di antaranya, karena manajemen

pengelolaan yang digunakannya adalah modern, seperti transparansi dalam

pelaporan dan pendayagunaannya yang jelas, sehingga dapat dirasakan oleh

masyarakat.1

Meskipun demikian, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997

merupakan salah satu faktor penting bagi tumbuhnya lembaga-lembaga filantropi.

Seperti akan diuraikan, beberapa lembaga filantropi yang memiliki peran penting

saat ini lahir karena faktor krisis tersebut. Bahkan, seperti dikemukakan

sebelumnya, lahirnya kedua undang-undang di atas tidak bisa dipisahkan dari

faktor ini. Di samping itu, reformasi yang menandai desentralisasi kekuasaan juga

mendorong lahirnya beberapa lembaga filantropi.2

Lahirnya kedua undang-undang di atas juga sangat berpengaruh bagi

tumbuhnya lembaga filantropi, yang menunjukkan menguatnya gerakan civil society. Dalam bidang zakat dan infak/shadaqah, misalnya, bukan hanya

BAZNAS dan BAZDA yang disponsori oleh pemerintah yang banyak berdiri,

tetapi juga lembaga-lembaga swasta yang dikenal dengan LAZ.3 Sementara itu,

dalam bidang wakaf, BWI telah resmi didirikan pada tingkat nasional, yang

dibarengi dengan berdirinya beberapa cabang di beberapa daerah. Meskipun

demikian, LAZ juga aktif menerima dan mengelola wakaf dalam berbagai bentuk.

1 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam Infoz,

Edisi 4 Tahun VI (2010), 29. 2 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara

dalam Infoz, Edisi 4 Tahun VI (2010), 26. 3 Lihat Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social

Justice,‛ Makalah disampaikan pada CSID 5th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004,

17.

Page 166: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

156

Perkembangan Filantropi Islam

Perkembangan lembaga filantropi yang demikian besar itu digambarkan

Jennifer Bremer sebagai ‚hidupnya kembali lembaga-lembaga filantropi lama,‛

yang dapat memainkan kembali perannya. Hal itu karena selama ini lembaga-

lembaga filantropi Islam dibikin bergantung pada negara, yang jauh lebih superior

ketimbang yang pertama. Akibatnya, lembaga-lembaga tersebut memeroleh

tekanan dari negara.4

Berbeda dengan struktur BAZ yang kemungkinan pembentukannya hanya

satu lembaga di tingkat nasional, LAZ memiliki sejumlah lembaga yang masuk ke

dalam kategori nasional. Sejauh ini, LAZ yang berada di tingkat nasional

berjumlah 18 lembaga,5 sebagian di antaranya akan diuraikan aktivitas dan

perannya dalam pengelolaan zakat dan wakaf.

1. Dompet Dhuafa (DD) Republika

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Dompet Dhuafa Republika

memiliki peran yang penting dalam pendirian Forum Zakat (FOZ). Lembaga ini

sebenarnya telah berdiri pada 1994, setahun setelah terbitnya Koran Republika

pada 1993. Di antara faktor yang mendorong berdirinya lembaga ini adalah

kenyataan bahwa para wartawan, di satu sisi, sering bertemu dengan orang kaya

dan, di sisi lain, acapkali berjumpa dengan masyarakat yang hidup di bawah garis

kemiskinan. Atas dasar itu, para wartawan kemudian menyisihkan zakat 2,5% dari

gajinya setiap bulan untuk disalurkan kepada orang-orang miskin. Rasa empati

para wartawan semakin besar tatkala mereka menyaksikan kegiatan

pemberdayaan masyarakat miskin di Gunung Kidul Yogyakarta yang didanai oleh

mahasiswa melalui iuran, yang disisihkan dari uang saku mereka.6 Di samping itu,

masyarakat sendiri terbukti telah banyak menyalurkan zakat, infak dan

sadakahnya kepada DD, sebuah kolom yang ditampilkan dalam harian Republika.

Melihat kenyataan di atas dibentuklah sebuah lembaga independen yang

berusaha mengelola zakat, infak dan sadaqah masyarakat dengan nama Dompet

Dhuafa Republika, yang secara resmi didirikan pada 14 September 1994. Sebagai

bentuk sebuah yayasan, DD tercatat dalam Departemen Sosial sebagai organisasi

yang berbentuk yayasan.7 Di samping mengelola dana zakat, DD juga mengelola

wakaf, di samping dana lain yang halal dan sah, baik yang berasal dari sumbangan

perorangan maupun kelompok, atau bahkan perusahaan atau lembaga.8

4 Bremer, ‚Philanthropy Islam,‛ 15. 5 Anonimous, Ke Manakah Anda Membayar Zakat (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat,

2008), 56-63. Ke-18 lembaga tersebut adalah: (1) LAZ Yayasan Amanah Takaful, (2) LAZ Dompet

Dhuafa (DD) Republika, (3) LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU), (4) LAZ Persatuan Islam (Persis),

(5) LAZ Yayasan Baitul Mall Hidayatullah, (6) LAZ Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), (7) LAZ

Yayasan Baitul Mall Muamalat, (8) LAZ Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF), (9) LAZ Yayasan

Baitul Maal Ummat Islam, (10) LAZ Bangun Sejahtera Mitra Ummat, (11) LAZ BaitulMaal Bank

Rakyat Indonesia, (12) LAZ Baitul Mall Wat Tamwil (BMT), (13) LAZ Dewan Dakwah Islamiyah

Indonesia (DDII), (14) LAZ Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah (MAZMA)

Pertamina, (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid, (17) LAZ Nahdlatul Ulama (LAZIS NU)

dan, (18) LAZ Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). 6 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). Lihat juga Bremen, ‚Islamic

Philanthropy,‛ 18. 7 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). 8 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010).

Page 167: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

157

Bab V

Sesuai dengan misinya, DD hendak meningkatkan semangat kemandirian

masyarakat dengan berpijak pada dana-dana yang diperoleh dari dalam negeri

melalui sistem yang berkeadilan. Ini berarti bahwa DD tidak mengandalkan dana

dan sumbangan dari luar negeri, seperti yang banyak diperoleh oleh yayasan-

yayasan lain. Sebaliknya, DD berkeinginan untuk menggalang dana masyarakat

Indonesia sendiri yang akan disalurkan untuk membangun masyarakat yang

mandiri. Sejalan dengan itu, DD memiliki misi sebagai lokomotif gerakan

pemberdayaan masyarakat, yang dapat mengembangkan jaringan pemberdayaan

masyarakat, mengelola dana masyarakat dan mendorong terciptanya ekonomi

yang berkeadilan.9

Visi untuk menjadi lokomotif gerakan pemberdayaan masyarakat ini

tampaknya yang mendorong DD untuk berperan sebagai salah satu bidan bagi

kelahiran Forum Zakat (FOZ) bersama 10 lembaga lainnya.10

Sebagaimana telah

disinggung sebelumnya, FOZ inilah yang kemudian mempersiapkan draft undang-

undang tentang pengelolaan zakat, yang kemudian diajukan pemerintah dan

disetujui oleh DPR menjadi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.11

Sesuai dengan undang-undang ini, DD termasuk ke dalam kategori lembaga

pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat (LAZ), dan berdasarkan SK

Menteri Agama No. 439 Tahun 2001 ditetapkan sebagai LAZ tingkat nasional. Ini

berarti bahwa DD telah berpengalaman dalam mengelola zakat, sebab syarat

minimal sebuah lembaga untuk disebut bertingkat nasional jika ia telah beroperasi

dua tahun. Lebih jauh, DD juga telah memiliki jaringan yang luas, mengingat

syarat yang harus dipenuhi agar disebut lembaga nasional sekurang-kurangnya

memiliki cabang di 10 provinsi. Di samping itu, DD menunjukkan sebagai

lembaga yang berhasil mengumpulkan dana, setidak-tidaknya di atas 1 milyar

rupiah setiap tahunnya.12

Kenyataannya, jika dilihat sejak berdirinya hingga keluarnya SK tersebut,

DD telah berkiprah tujuh tahun dan telah berkembang luas ke sejumlah daerah di

Jawa dan luar Jawa. Hingga saat ini, DD telah memiliki delapan cabang di

berbagai provinsi dan dua cabang di luar negeri, yaitu Hong Kong dan Australia.

Di samping cabang-cabang, DD juga memiliki sembilan perwakilan di berbagai

kota di Indonesia dan jejaring yang kebanyakan berada di sekitar Jakarta.13

Dalam masalah penggalangan dana zakat, infak dan shadaqah, DD dapat

dipandang sangat berhasil, mengingat ia mampu mengumpulkan jumlah yang jauh

dari jumlah minimal yang ditetapkan oleh peraturan, yakni sebesar satu milyar.

Pada 2005, misalnya, DD berhasil menghimpun dana zakat sebesar Rp.

18.702.760.098,00, dana infak/shadaqah sebesar Rp. 3.247.603.114,00 dan dana

wakaf sebesar Rp. 7.443.389.795,00. Dengan kata lain, secara keseluruhan, dana

9 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). 10 Ke-10 lembaga ini, antara lain, adalah Bank Bumi Daya, Pertamina, Telkom Jakarta, Baitul Mal

Pupuk Kujang, BAZIS DKI, Hotel Indonesia dan STIE Jakarta. Lihat Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat

Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir

Tajang (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 63. 11 Lihat Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern

Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), 127-128. 12 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). 13 Tentang cabang-cabang DDR, lihat http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=tentangdd&y=

c2247029b4d84b48dbee17f788ec65bd (diakses 5 Agustus 2010).

Page 168: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

158

Perkembangan Filantropi Islam

filantropi yang dihimpun DD pada tahun tersebut mencapai hampir 30 milyar

rupiah.

Pada tahun berikutnya, 2006, dana zakat yang berhasil dihimpun DD

meningkat menjadi Rp. 21.046.376.859,00. Peningkatan dana zakat ini juga

diikuti oleh peningkatan dana infak/shadaqah yang mencapai Rp.

4.457.138.665,00 meskipun tidak diikuti oleh dana wakaf yang hanya mencapai

Rp. 1.000.145.598,00. Secara keseluruhan pada 2006, penghimpunan dana yang

diperoleh oleh DD dari tiga bidang ini mengalami penurunan, dari mendekati 30

milyar ke sekitar 26 milyar rupiah.

Peningkatan penghimpunan dana terjadi pada tahun berikutnya, 2007, yang

secara keseluruhan mendekati 30 milyar. Jumlah ini meliputi dana zakat sebesar

Rp. 22.945.299.231,00 dana infak/shadaqah sebesar Rp. 5.674.724.803,00 dan

dana wakaf sebesar Rp. 1.399.798.925,00. Dengan demikian, dalam waktu tiga

tahun, jumlah dana filantropi yang berhasil dihimpun oleh DD sekitar 30 milyar.

Dengan dana yang terkumpul cukup besar, DD dapat melakukan berbagai

aktivitas bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Berbagai bidang yang menjadi

garapan DD meliputi bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat,

dan ekonomi. Dalam bidang pendidikan, misalnya, DD mendirikan sekolah yang

disebut Smart Ekselensia Indonesia, yang siswanya tidak dipungut biaya sama

sekali atau gratis. Di samping itu, program Bea Studi Sarjana memberikan kepada

mahasiswa kurang mampu beasiswa untuk membantu biaya pendidikan mereka,

yang jumlah peminatnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Selanjutnya, ada

program Pengembangan Kapasitas Guru melalui lembaga Makmal Pendidikan,

yang kegiatannya meliputi pelatihan bagi guru-guru, pendampingan sekolah dan

peningkatan kualitas sekolah.14

Dalam bidang kesehatan, ada dua bentuk aktivitas yang telah dijalankan oleh

DD. Pertama, Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC), lembaga baru yang

didirikan oleh DD untuk menangani kesehatan bagi kaum dhuafa, yang

pengoperasiannya didasarkan pada dana ZISwaf. Kedua, Rumah Sakit Gratis,

sebuah upaya yang lebih besar dalam memberikan layanan kesehatan bagi

masyarakat miskin. Rencananya, rumah sakit ini akan diberi nama Rumah Sehat

Terpadu.15

Adapun dalam bidang pemberdayaan masyarakat, DD melakukan beberapa

terobosan. Pertama, pengembangan ketrampilan, yang diberi nama Institut

Kemandirian. Lembaga ini dirancang sebagai model/sekolah pemberdayaan

praktis, di mana masyarakat akan memeroleh pelatihan. Ada dua pelatihan yang

diselenggarakan di sini, yaitu pelatihan kewirausahaan yang bertujuan pada

pembentukan wawasan dan motivasi sebagai wirausaha kecil, dan pelatihan

teknis, yang bertujuan membekali peserta dengan ketrampilan khusus, seperti

otomotif, menjahit, dan perkayuan.16

Pemberdayaan peternak adalah jenis lain aktivitas DD. Dinamakan

Kampoeng Ternak, pemberdayaan ini semula lahir dari program lain, yang

bernama Tebar Hewan Kurban. Tentu, program ini tidak dapat terlaksana tanpa

14 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pddk&y=395d32ee5ef984ab86f3336d407f4c81 (diakses 5

Agustus 2010). 15 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=kes&y=e3fe8e836ca14793a4274bd14552589c (diakses 5

Agustus 2010). 16 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pemmas (diakses 5 Agustus 2010).

Page 169: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

159

Bab V

ketersediaan hewan kurban yang sehat. Karena itu, DD menginisiasi kelompok

peternak untuk menjadi mitra dalam penyediaan hewan kurban, dan agar hasilnya

bagus mereka dilatih dengan berbagai ketrampilan, bagaimana pakan yang baik,

manajemen dan memelihara kesehatan hewan.17

Tidak hanya kepada peternak, pemberdayaan yang dilakukan oleh DD juga

diarahkan pada kaum petani, yang secara khusus ditangani oleh Lembaga

Pertanian Sehat (kini Usaha Pertanian Sehat). Lembaga ini dimaksudkan sebagai

wahana penelitian dan pengembangan sarana pertanian yang tepat guna bagi

petani kecil. Di antara hasil yang telah dicapai oleh lembaga ini, antara lain,

adalah biopestisida (pengendali hama tanaman) bernama VIR-L, VIR-X dan VIR-

H dan pupuk organik yang mendukung pertanian kecil. Tidak hanya sampai di

situ, UPS juga membantu memasarkan produk pertanian yang menggunakan

teknologi tersebut.18

Dalam bidang ekonomi, DD aktif membangun jaringan lembaga keuangan

mikro syariah. Sejalan dengan maraknya BMT (Baitul Maal Wa Tamwil), DD

bersama sejumlah BMT lain membangun ‚holding‛ BMT dalam rangka menopang

sinergi dan permodalan. Sampai saat ini, ada 60 lembaga keuangan mikro syariah

yang tersebar di Jawa dan Sumatra, di mana DD ikut aktif terlibat dalam

pendiriannya. Jaringan ini kemudian disebut BMT Center, dengan aset yang

dikelola mencapai Rp. 266 milyar, di samping dana ketiga sebesar Rp. 233

milyar.19

Di samping usaha-usaha produktif seperti di atas, DD juga aktif terlibat

dalam penanggulangan bencana alam, sosial dan peperangan. Di sejumlah

bencana, baik yang terjadi di Aceh, Papua, Jawa Tengah, Yogyakarta hingga

Lumpur Lapindo, DD melibatkan aktivisnya dalam pembangunan kembali rumah

tinggal, fasilitas ibadah, kesehatan dan pendidikan, di samping pemulihan

ekonomi masyarakat korban bencana.20

Semua ini menunjukkan bahwa dana filantropi yang dihimpun oleh DD

sangat membantu, di satu sisi, bagi pengentasan kemiskinan pada masyarakat dan,

di sisi lain, bagi penciptaan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Melalui

berbagai pemberdayaan, DD ingin mendorong masyarakat menjadi mandiri dalam

memenuhi kebutuhan mereka dan kemudian memiliki aset bagi kehidupan mereka.

2. Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU)

Kemunculan PKPU dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang melanda

negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara, pada 1997, di mana Indonesia

merupakan korban yang paling parah. Diawali dengan depresi rupiah terhadap

dollar Amerika, krisis yang terjadi di Indonesia merambah ke beberapa bidang

lainnya, seperti politik, moral, pendidikan, sains dan teknologi, budaya dan, tentu

saja, agama. Situasi itu menggerakkan banyak orang untuk terlibat dalam

menyumbangkan pikiran dan tenaga melakukan aksi sosial di berbagai daerah.21

Sebagai tindak lanjut dari keterlibatan mereka ini, dibentuklah sebuah

lembaga yang bernama Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) pada 10 Januari 1999

17 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pemter (diakses 5 Agustus 2010). 18 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pempet (diakses 5 Agustus 2010). 19 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pms (diakses 5 Agustus 2010). 20 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pbasdp (diakses 5 Agustus 2010). 21 http://www.pkpu.or.id/about/sejarah (diakses 6 Agustus 2010).

Page 170: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

160

Perkembangan Filantropi Islam

dalam bentuk yayasan, yang memfokuskan diri sebagai lembaga yang bergerak

dalam bidang sosial.

Sementara itu, dalam bidang penggalangan dana, lembaga ini menghimpun

dari berbagai sumber, terutama dari aspek-aspek filantropi Islam, seperti zakat,

infak/shadaqah, wakaf dan lain sebagainya. Karena itu, bersamaan dengan

keluarnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga ini

mendaftarkan diri sebagai lembaga yang secara sah dapat menghimpun dana

zakat, yang dikukuhkan oleh SK Menteri Agama No. 441 tanggal 8 Oktober 2001

sebagai Lembaga Amil Zakat di tingkat nasional.22

Dikukuhkannya PKPU sebagai

LAZ nasional menunjukkan bahwa lembaga ini telah memiliki pengalaman yang

sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Agama, yang

menyebutkan syarat minimal dua tahun pengalaman.23

Ini juga berarti bahwa

PKPU terbukti telah tersebar di banyak daerah, setidak-tidaknya di sepuluh

provinsi, sekaligus sebagai bukti bahwa lembaga ini berhasil menghimpun dana di

atas satu milyar.

Selanjutnya, mengingat luasnya wilayah kerja lembaga ini di berbagai

daerah, pada 2004 PKPU memperluas jangkauan aktivitasnya tidak hanya pada

pengelolaan zakat, infak/shadaqah dan wakaf, tetapi kemanusiaan secara

keseluruhan, sehingga ia menamakan diri sebagai Lembaga Kemanusiaan

Nasional. Klaim ini bukanlah tanpa alasan, mengingat PKPU telah melibatkan diri

dalam berbagai aktivitas kemanusiaan, seperti tsunami di Aceh, gempa di

Yogyakarta dan bencana di tempat lain, bersama lembaga-lembaga internasional

lainnya. Keterlibatan PKPU dalam penanganan korban kemanusian ini akhirnya

memeroleh pengakuan dari PBB sebagai ‚NGO in Special Consultative Status

with the Economic and Social Council of the United Nations‛ pada 21 Juli 2008.

Akhirnya, pada 2010, PKPU dikukuhkan sebagai Organisasi Sosial Nasional

berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No 08/Huk/2010.24

PKPU memiliki visi ‚Menjadi Lembaga Terpercaya dalam Membangun

Kemandirian‛ dengan misi: (1) Mendayagunakan program rescue, rehabilitasi dan

pemberdayaan untuk mengembangkan kemandirian; (2) Mengembangkan

kemitraan dengan masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya

masyarakat dalam dan luar negeri; (3) Memberikan pelayanan informasi, edukasi

dan advokasi kepada masyarakat penerima manfaat (beneficiaries).25

Untuk mewujudkan misi tersebut, lembaga ini mencanangkan sejumlah

program, tujuh di antaranya merupakan program andalannya. Ketujuh program

prioritas ini adalah sebagai berikut:26

a. Penanggulangan bencana berbasis komunitas (Community Based Disaster

Risk Management). Tujuan program ini adalah mendorong masyarakat untuk

mandiri dalam menghadapi risiko bencana. Maksudnya, para korban bencana,

di samping diberi bantuan, didorong untuk terlibat dan bertanggung jawab

terhadap program dari perencanaan hingga pelaksanaan. Dengan begitu

diharapkan masyarakat dapat bertahan dan siap menanggulangi bencana

secara mandiri, tanpa harus selalu bergantung pada bantuan donatur asing. Di

22 http://www.pkpu.or.id/images/uploads/MENTERI%20AGAMA.pdf (diakses 6 Agustus 2010). 23 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). 24 http://www.pkpu.or.id/about/aktivitas-lembaga (diakses 6 Agustus 2010). 25 http://www.pkpu.or.id/about/visi-dan-misi (diakses 6 Agustus 2010). 26 http://www.pkpu.or.id/about/aktivitas-lembaga (diakses 6 Agustus 2010).

Page 171: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

161

Bab V

samping itu, kehadiran program ini mendorong PKPU memersiapkan aktivis

tanggap darurat bencana, sehingga bila terjadi bencana, penanganannya dapat

lebih cepat dilakukan dengan mengurangi potensi risiko yang ditimbulkan

oleh bencana tersebut.

b. Pogram Ibu Sadar Gizi (BUDARZI). Program ini merupakan program yang

berorientasi pada peningkatan gizi masyarakat, dengan prioritas utama anak-

anak balita. Karena itu, yang menjadi sasaran utama program ini adalah ibu-

ibu kurang mampu yang memiliki anak balita, dengan harapan mereka dapat

memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan anak-anak secara baik dan benar,

sehingga akan tumbuh generasi yang baik pula.

c. Program Komunitas Sehat. Program ini sebenarnya adalah pemberian layanan

kesehatan bagi masyarakat miskin. Ada dua kegiatan penting yang menjadi

bagian program ini, yaitu Program Kesehatan Masyarakat Keliling Terpadu

(PROSMILING TERPADU) dan Klinik Peduli. PROSMILING TERPADU

merupakan layanan kesehatan keliling yang dilaksanakan secara terpadu,

dalam arti dilaksanakan dalam satu paket, dan sengaja dirancang bagi

masyarakat. Program ini dilaksanakan secara gratis, tanpa dipungut biaya,

dengan prioritas utama masyarakat yang tidak mudah memiliki akses

terhadap layanan kesehatan. Adapun Klinik Peduli biasanya didirikan di

tempat-tempat khusus, komunitas tidak mampu, atau wilayah yang ditimpa

bencana.

d. Program Komunitas Hijau (Green Community). Yaitu, program

pemberdayaan masyarakat (community development) dengan orientasi pada

kesehatan. Ini dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk mengubah

sikap hidup bersih dan sehat, melalui perbaikan kondisi lingkungan tempat

tinggal mereka. Biasanya, program ini dilaksanakan di daerah-daerah miskin

yang membutuhkan perhatian dan pendampingan kesehatan lingkungan.

e. Program Sinergi Pemberdayaan Komunitas (PROSPEK). Ini adalah program

yang berorientasi pada masyarakat dalam bidang ekonomi usaha kecil.

Adapun masyarakat yang menjadi sasaran program ini adalah petani,

peternak, pengrajin, pedagang kecil dan tukang ojek serta nelayan. Mereka ini

dihimpun dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), tempat mereka

memeroleh pelatihan dan pendampingan. Dari sini kemudian terbentuk

koperasi yang mereka kelola sendiri.

f. Program Pendidikan Berbasis Potensi Masyarakat. Maksudnya, program ini

didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dan tuntutan

yang mereka kehendaki. Untuk tujuan ini, PKPU mendorong anak didik

daerah agar memiliki motivasi yang kuat, pengetahuan dan ketrampilan yang

dapat disumbangkan bagi pengembangan daerahnya masing-masing.

g. Voucher Yatim. Yaitu, program filantropi dalam bentuk voucher belanja yang

diberikan kepada anak-anak yatim sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan

begitu, anak-anak yatim tersebut dapat memilih kebutuhan sesuai dengan

keinginan mereka.

Untuk mendukung berbagai program di atas, PKPU melaksanakan berbagai

aktivitas dalam penggalangan dana. Ini meliputi dana-dana filantropi, baik yang

berbentuk keagamaan seperti zakat, infak/shadaqah dan wakaf, melalui dana yang

Page 172: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

162

Perkembangan Filantropi Islam

diperoleh dari perusahaan (corporate social responsibility).27

Di samping itu,

lembaga ini juga mencari dana khusus yang sengaja disiapkan bagi bantuan

bencana kemanusiaan, termasuk di dalamnya, penghimpunan pakaian, bahan

makanan (sembako) dan obat-obatan. Yang juga tidak luput dari perhatian PKPU

adalah menghimpun dana bagi kurban.

Adapun sasaran pelaksanaan berbagai kegiatan di atas adalah daerah-daerah

bencana alam dan kemanusiaan serta daerah kritis dan kekurangan. Lebih jauh,

PKPU juga mengarahkan kegiatannya pada rehabilitasi berbagai sarana dalam

masyarakat, seperti fasilitas kesehatan dan air bersih, lembaga pendidikan, rumah

ibadah dan fasilitas ekonomi. Semua aktivitas di atas dilaksanakan dalam rangka

mewujudkan semboyan ‚menggugah nurani, menebar peduli.‛ Ini dilandasi oleh

semangat bahwa ‚yang terbaik di antara kita adalah yang paling besar

kontribusinya terhadap sesama.

3. Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhiid

Seperti DD dan PKPU, DPU Daarut Tauhiid adalah lembaga filantropi yang

bergerak dalam bidang penggalangan dan pengelolaan dana masyarakat dalam

bentuk zakat, infak/shadaqah, wakaf serta dana lainnya yang halal, baik dari

perorangan, kelompok maupun perusahaan. Lembaga ini didirikan oleh Yayasan

Daarut Tauhiid pimpinan KH. Abdullah Gymnastiar pada 16 Juni 1999. Para

pengurus yayasan melihat perluanya peningkatan kinerja pengelola zakat, infaq

dan shadaqah (ZIS) secara profesional, dan karenanya diperlukan strategi yang

efektif bagi pengumpulan dan pengelolaan ZIS. Dari sinilah kemudian lahir

gagasan pendirian Dompet Peduli Ummat (DPU).28

Dengan kata lain, pendirian lembaga ini terkait erat dengan masa krisis

ekonomi dan era reformasi di Indonesia. Situasi inilah yang mendorong lahirnya

DPT-DT karena kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah

penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang amat besar. Akan

tetapi, kesadaran masyarakat untuk membayar zakat persentasinya masih sangat

rendah, jika dilihat dari potensi zakat yang mencapai hingga puluhan trilyun

rupiah. Di samping itu, zakat sejauh ini hanya dikelola dan dimanfaatkan secara

tidak optimal, karena hanya diarahkan pada bantuan sesaat, tidak dibarengi

dengan jalan keluar bagi penerima dana zakat. Akibatnya, dana zakat tidak

memiliki manfaat maksimal, kecuali bantuan tahunan bagi orang-orang miskin.

Persoalan-persoalan ini hendak diatasi oleh DPU-DT dengan pertama-tama

berusaha membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap zakat. Selanjutnya,

DPU-DT akan menyalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya dengan

cara mengubah nasib mereka dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki

(pemberi zakat). Untuk merealisasikan niat ini, DPU-DT mencoba menyusun

database bagi setiap donatur, dengan memberikan kepada mereka nomor dan kartu

anggota untuk mengukur kepedulian dan komitmen mereka.29

Usaha ini membuahkan hasil, sehingga pada 19 Agustus 2002 DPU-DT

dikukuhkan sebagai Lembaga Amil Zakat Daerah (LAZDA) Jawa Barat, melalui

27 Di antara perusahaan yang menjadi mitra PKPU adalah perusahaan-perusahaan besar seperti

PT Pertamina Pusat, PT Bank Syariah Mandiri, PT Pelindo, PT Sucofindo, BNI 1946, PT Astra Honda

Motor, PT Indocement, PT Jasindo, PT Wijaya Karya dan lain sebagainya. 28 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010). 29 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010).

Page 173: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

163

Bab V

Keputusan Gubernur Jawa Barat No: 451.12/Kep. 846 - YANSOS/2002.

Pengukuhan ini semakin melecut kiprah DPU-DT untuk aktif menghimpun dana

zakat, sehingga dua tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai LAZ nasional melalui

SK Menteri Agama No. 410 Tahun 2004 tertanggal 13 Oktober.30

Ini berarti

DPU-DT memiliki jaringan yang luas dalam menghimpun dana zakat dan

mencapai lebih dari satu milyar dalam setiap tahunnya. DPU-DT memiliki

cabang-cabang di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Lampung dan Palembang, di

samping di beberapa kota seperti Bogor, Tangerang, Tasikmalaya, Garut dan lain

sebagainya. Sementara jaringan kerjanya menyebar dari Sabang hingga Papua.31

Adapun struktur organisasi DPU-DT terdiri dari (1) Biro Penghimpunan

(Fundrising), (2) Biro Pendayagunaan dan, (3) Biro Sekretariat Lembaga &

Operasional. Masing-masing biro ini dipimpin oleh seorang direktur yang

ditentukan oleh Yayasan Daarut Tauhiid. Sementara itu, cabang-cabang dan unit-

unitnya di berbagai daerah dipimpin oleh seorang kepala cabang dan kepala unit.

DPU-DT memiliki visi ‚Menjadi Model Lembaga Amil Zakat Nasional

(LAZNAS) yang Amanah, Profesional, Akuntabel dan terkemuka dengan daerah

operasi yang merata.‛ Visi ini kemudian dirumuskan dalam misi untuk (1)

mengoptimalkan potensi umat melalui zakat, infak/shadaqah dan wakaf, dan (2)

memberdayakan masyarakat dalam bidang ekonomi, pendidikan, dakwah dan

sosial menuju masyarakat mandiri.32

Dari visi dan misi terlihat bahwa DPU-DT

ingin mengembangkan dana ZIS bukan sekadar dibagikan lalu habis, tetapi

dikembangkan menjadi sumber yang dapat memandirikan masyarakat.

Ini terlihat dengan jelas dalam program-program yang dicanangkan oleh

DPU-DT. Setidak-tidaknya ada tiga bidang besar yang menjadi perhatian DPU-

DT dalam menjalankan aktivitasnya. Pertama, pusat kemandirian umat, yang

memfokuskan pada ekonomi umat. Ini meliputi keuangan mikro syariah berbasis

masyarakat, pembiayaan dana bergulir, pelatihan ketrampilan, mental dan

karakter mustahik agar menjadi mandiri. Di samping itu, DPU-DT juga membantu

para peternak dan petani di pedesaan melalui penggemukan domba dan

pengolahan singkong.33

Kedua, pusat pendidikan dan pelatihan umat. Ini meliputi

pendirian sekolah, seperti Adzkia Islamic School, pemberian beasiswa dari SD

hingga perguruan tinggi, peningkatan kompetensi guru, pelatihan kemandirian dan

ketrampilan bagi anak-anak kurang mampu.34

Ketiga, program sosial

kemanusiaan, yang diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang-orang

cacat (difable care), mobil layanan peduli kemanusiaan, kurban, program

Ramadan, penanggulangan bencana, layanan kepada fakir miskin dan anak-anak

panti asuhan.35

4. Rumah Zakat Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ)/Rumah Zakat Indonesia

Lembaga ini bermula dari kelompok pengajian yang bernama Majlis Taklim

Ummul Quro, yang bertempat di Masjid al-Manaar, Jl. Puter Bandung, di bawah

bimbingan seorang dai muda Bandung, Abu Syauqi. Pada 2 Juli 1998, majlis ini

30 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/14 (diakses 7 Agustus 2010). 31 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/16 (diakses 7 Agustus 2010). 32 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/1 (diakses 7 Agustus 2010). 33 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010). 34 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010). 35 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010).

Page 174: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

164

Perkembangan Filantropi Islam

berkembang menjadi Dompet Sosial Ummul Quro, yang berkantor di Jl. Turangga

Bandung. Ternyata, dukungan masyarakat terhadap DSUQ sangat besar sehingga

organisasi ini dikelola secara profesional dan pada 1999 berhasil menghimpun

dana zakat dan infak/shadaqah sebesar Rp. 0,8 milyar. Untuk memperluas

aktivitas tidak sekadar penghimpunan dana filantropi, DSUQ merintis sejumlah

program seperti pemberian beasiswa yatim dan dhuafa, layanan kesehatan,

rehabilitasi masyarakat miskin kota dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini menarik

simpati masyarakat dengan terkumpulnya dana sebesar Rp. 2,1 milyar pada 2000

dan meningkat menjadi Rp. 2,19 milyar setahuan kemudian.36

Pada 2002, identitas DSUQ sebagai lembaga amil zakat semakin menguat,

sehingga dapat menghimpun dana sebesar Rp. 4,19 milyar. Penguatan ini

dibarengi dengan perubahan nama menjadi Rumah Zakat pada 2003 dan

dikukuhkan menjadi LAZ Nasional melalui SK Menteri Agama No. 157 Tahun

2003.37

Pada tahun ini, Rumah Zakat berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 6,46

milyar. Peningkatan donasi ini terus terjadi, sehingga pada 2004 mencapai Rp.

8,92 milyar. Penghimpunan dana filantropi terjadi peningkatan sangat besar pada

2005, ketika lembaga ini berhasil meraih Rp. 45,26 milyar.

Ini semua terjadi berkat kegigihan para pengurusnya dengan membuka

berbagai cabang di berbagai kota di Indonesia, membuka pintu penerimaan

selebar-lebarnya melalui berbagai sarana, seperti dengan online dan sebagainya.

Di samping itu, kepemimpinan Abu Syauqi tampaknya berpengaruh besar,

sehingga ketika terjadi peralihan kepemimpinan pada 2006 dari tokoh ini ke Virda

Dimas Ekaputra, penghimpunan dana menurun jauh dan mencapai Rp. 29,52

milyar.38

Setahun kemudian Rumah Zakat mulai memfokuskan pada empat prioritas

program, yang meliputi EduCare, HealthCare, YouthCare dan EcoCare. Dengan

kata lain, pendidikan, kesehatan, kepemudaan dan ekonomi adalah sasaran dari

aktivitas Rumah Zakat. Dengan berbagai program promosi, seperti Gelar Budaya

Zakat di berbagai kota dan menggandeng artis dan sebagainya, Rumah Zakat

berhasil meningkatkan penghimpunan dana, dan pada 2007 mencapai Rp. 50,16

milyar.39

Keberhasilan Rumah Zakat ini juga berarti meluasnya kepercayaan

masyarakat terhadap lembaga ini. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya cabang

yang berdiri di berbagai provinsi di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang,

Yogyakarta, Surabaya, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Lampung, Kalimantan

Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Makassar dan Jayapura.40

Di

samping itu, terdapat perwakilan-perwakilan yang tersebar di berbagai kota di

Indonesia. Ini memperbesar penghimpunan dana yang mencapai Rp. 71,40 milyar

pada 2008.

36 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus

2010). 37 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus

2010). 38 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus

2010). 39 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus

2010). 40 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2

Page 175: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

165

Bab V

Dalam sepuluh tahun keterlibatannya mengelola dana zakat, Rumah Zakat

kini menjadi lembaga yang terdepan dalam bidang ini. Hal itu dibuktikan dengan

keberhasilannya dalam menghimpun dana yang pada 2009 mencapai Rp. 107,3

milyar dan menetapkan diri sebagai LAZ yang terbesar dalam mengelola zakat di

Indonesia. Ini diakui oleh Karim Business Consulting yang menganugerahi Rumah

Zakat sebagai LAZNAS Terbaik dalam Islamic Social Responsibility Award

2009. Pada tahun yang sama, Indonesia Magnificence of Zakat juga

menganugerahi Rumah Zakat sebagai ‚The Best Organization in Zakat

Development.‛41

Keberhasilan tersebut mendorong lembaga ini untuk terus

meningkatkan diri dalam hal pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat

miskin. Lebih jauh, Rumah Zakat juga ingin melangkah menjadi ‚World Class

Socio-Religious Non Governance Organization (NGO).‛

Dengan kemampuan menghimpun dana filantropi yang demikian besar,

Rumah Zakat berhasil mewujudkan banyak program, seperti Rumah Bersalin

Gratis yang berjumlah 7 buah, SD Juara yang berjumlah 8 buah. Semuanya

tersebar di sejumlah kota di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Bandung,

Surabaya, Pekanbaru, Yogyakarta dan lain-lain. Di samping itu, berbagai layanan

lain, yang dapat mendorong kemandirian masyarakat juga dilakukan. Berikut

adalah gambaran kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Zakat:42

Pendekatan Pemberdayaan Nama Program

Dulu Sekarang

HealthCare Senyum Sehat Rumah Bersalin Gratis (RBG),

Layanan Bersalin Gratis (LBG),

Siaga Sehat, Mobil Ambulans/Mobil

Jenazah, Operasi Katarak Gratis,

AMARA (Armada Sehat Keluarga),

Asuransi Keluarga Sehat, Siaga Gizi

Balita, Pengantaran Pasien/Jenazah,

Khitanan Massal

EduCare Senyum Juara Sekolah Juara, Beasiswa Juara,

Beasiswa Ceria, Kemah Juara, Mobil

Juara, Program Pengembangan

Potensi Anak (P3A), Lab Juara

EcoCare dan

YouthCare

Senyum Mandiri Kelompok Usaha Kecil Mandiri

(KUKMI), Cake House, Pelatihan

Kewirausahaan, Siaga Gizi

Nusantara, Water Well, Toilet Sehat

Keluarga (TOSKA), Empowering

Centre

Rumah Zakat tergolong lembaga filantropi yang cukup kreatif, terutama

dalam mengelola hewan kurban. Salah satu produknya yang banyak dikenal adalah

superqurban, yaitu pengolahan daging kurban menjadi kornet. Tujuan produk ini

adalah agar daging kurban tidak langsung habis dikonsumsi seusai hewan kurban

41 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 42 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2

Page 176: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

166

Perkembangan Filantropi Islam

disembelih dan dapat bertahan cukup lama. Lebih dari itu, dengan dikornet,

pendistribusian daging kurban dapat dilakukan dengan mudah hingga ke daerah-

daerah terpencil dan dapat dilakukan sepanjang tahun. Produk ini telah dirasakan

manfaatnya oleh para korban gempa di Jabar (2009), Sumatra Barat (2009) dan di

tempat-tempat lain.43

Apa yang dilakukan oleh Rumah Zakat di atas menunjukkan bahwa dana

filantropi Islam jika dikelola dengan baik dan inovatif dapat memberi kontribusi

penting bagi pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ini bisa dilakukan dalam

bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan bidang pelatihan mental bagi

masyarakat, sehingga dapat menjadi mandiri.

5. Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF)

Yayasan ini didirikan pada 1 Maret 1987. Dilihat dari tahun pendiriannya,

YSDF merupakan lembaga penghimpun dan pengelola dana zakat dan

infak/shadaqah yang tertua dibandingkan dengan empat lembaga yang telah

disebutkan sebelumnya. Hingga kini, YDSF telah memiliki sejumlah cabang di

berbagai provinsi, dan kehadirannya telah dirasakan di 25 provinsi di Indonesia.

Kenyataan ini mendorong dikukuhkannya YDSF sebagai LAZ Nasional melalui

Keputusan Menteri Agama No. 523 Tahun 2001.

YDSF menghimpun dana filantropi yang meliputi zakat, infak/shadaqah dan

wakaf, sebagaimana tercermin dalam visinya yang ingin ‚Menjadi Organisasi

Pengelola Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf Nasional terpercaya yang selalu

mengutamakan kepuasan donatur dan mustahik.‛ Adapun misinya adalah: (1)

Memberikan pelayanan prima kepada donatur melalui program-program layanan

donatur yang didukung oleh jaringan kerja yang luas, sistem manajemen yang rapi

serta SDM yang amanah dan professional, (2) Melakukan kegiatan

pendayagunaan dana yang terbaik dengan mengutamakan kegiatan pada sektor

pendidikan, dakwah, yatim, masjid, dan kemanusiaan untuk menunjang

peningkatan kualitas dan kemandirian umat dan, (3) Memberikan keuntungan dan

manfaat yang berlipat bagi donatur dan mustahik.

6. LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU)

Di antara organisasi kemasyarakatan Islam (ormas) Indonesia yang berkiprah

dalam bidang filantropi Islam, Muhammadiyah merupakan organisasi yang sangat

berpengaruh. Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari latar belakang lahirnya

organisasi ini, yang menjadikan kesetiakawanan terhadap sesama manusia sebagai

ajaran dasarnya. Dalam penilaian Martin van Bruinessen, aktivitas awal

Muhammadiyah bukanlah pembaharuan ajaran agama, tetapi pengumpulan dan

pengelolaan zakat dan shadaqah.44

Tidak heran jika kemudian Muhammadiyah

menjadi organisasi yang sangat baik dalam memberikan layanan sosial terhadap

masyarakat dalam berbagai bidang, pendidikan, kesehatan, dakwah dan lain

sebagainya.45

43 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 44 Martin van Bruinessen, ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛ dalam

Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity, ed. Shireen T. Hunter (London-New

York: M.E. Sharpe, 2009), 187-88. 45 Saidi, Zaim, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial

(Jakarta: Piramedia, 2006), 1-3.

Page 177: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

167

Bab V

Meskipun ormas ini telah aktif berkecimpung dalam pengelolaan zakat, infak

dan shadaqah, namun bersamaan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 1999,

organisasi ini membentuk lembaga khusus yang menangani unsur-unsur filantropi

tersebut. Lembaga itu diberi nama LAZISMU (singkatan dari Lembaga Amil

Zakat, Infak dan Shadaqah Muhammadiyah). Didirikan pada 2002, lembaga ini

segera memeroleh pengukuhan dari Menteri Agama sebagai LAZ Nasional dengan

Surat Keputusan No. 457/21 November 2002.46

Ini menunjukkan bahwa

LAZISMU telah memiliki cabang melebihi yang disyaratkan, yaitu di 10 provinsi,

dan telah berhasil menghimpun dana zakat, infak dan shadaqah di atas satu milyar

rupiah.47

Seperti lembaga-lembaga lain, faktor yang mendorong berdirinya LAZISMU

terutama adalah kemiskinan di Indonesia, yang terus menyelimuti banyak

penduduk. Tidak hanya itu, kebodohan dan tingkat pembangunan manusia

Indonesia juga masih sangat rendah. Di sisi lain, zakat diyakini dapat mendorong

keadilan sosial, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan mengentaskan

kemiskinan. Lebih jauh, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim,

diyakini bahwa potensi zakat, infak dan shadaqah sangat besar, dan jika dikelola

dengan baik dapat memenuhi tujuan di atas.48

Karena itu, LAZISMU memiliki

visi untuk menjadi LAZ terpercaya dengan misi mengoptimalkan kualitas

pengelolaan zakat, infak dan shadaqah secara amanah, profesional dan transparan.

Di samping itu, lembaga ini berusaha mendayagunakan dana ZIS secara kreatif,

inovatif dan produktif serta memberikan layanan yang optimal terhadap para

donatur.49

Untuk mencapai visi dan misi di atas, LAZISMU telah menetapkan

kebijakan-kebijakan strategis, yang difokuskan pada pemberdayaan empat bidang,

yang meliputi pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemberdayaan petani,

pemberdayaan pendidikan dan pelayanan sosial dan dakwah. Pemberdayaan

ekonomi masyarakat dilakukan untuk menumbuhkan semangat wirausaha dan

kemandirian ekonomi masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan kualitas

hidup mereka secara lebih baik. Ini dilakukan dengan pemberian modal usaha dan

pendampingan, yang dengan begitu diharapkan masyarakat dapat mengembangkan

usaha mereka. Di samping itu, program ini juga dilakukan dengan pembinaan

wirausaha muda, penyelenggaraan kampung kreatif dan lain sebagainya.

Sementara itu, pemberdayaan petani dilakukan dengan berbagai aktivitas seperti

pengembangan masyarakat, pendampingan pengelolaan pertanian, permodalan

hingga pemasarannya. Dalam bidang pendidikan LAZISMU memfokuskan pada

pengembangan sekolah terpadu berikut sistemnya dan sumber dayanya. Pemberian

beasiswa kepada masyarakat kurang mampu juga dilakukan LAZISMU untuk

peningkatan pendidikan, di samping program 1000 sarjana dan lain sebagainya.

Adapun dalam bidang sosial dan dakwah, LAZISMU membentuk PKO (Penolong

Kesengsaraan Omoem) yang ditujukan untuk memberikan bantuan cepat terhadap

korban bencana alam dan layanan sehari-hari dalam masalah kesehatan,

pengobatan dan lain sebagainya. Program yang juga dicanangkan dalam bidang ini

pembentukan dai mandiri. Ini dilakukan dengan memberikan sarana dan prasarana

46 Lihat http://www.lazismu.org (diakses 12 Desember 2010). 47 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). 48 http://www.lazismu.org 49 http://www.lazismu.org

Page 178: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

168

Perkembangan Filantropi Islam

bagi mereka, seperti tunjangan hidup dan lain sebagainya. Meskipun demikian,

semua itu harus didasarkan pada prinsip-prinsip syariah, dengan

mempertimbangkan sasaran, prioritas dan semangat inovasi dan kreativitas.50

Meskipun belum mampu mengumpulkan dana ZIS dalam cukup besar, jika

dibandingkan dengan Dompet Dhuafa, PKPU dan lain sebagainya, LAZISMU

telah berhasil memeroleh penghargaan dari Indonesia Magnificence of Zakat

(IMZ) sebagai LAZ terbaik dalam pengembangan media dan publikasi pada

2010.51

Ini berarti LAZISMU telah menempatkan diri sebagai LAZ yang sangat

diperhitungkan di antara sejumlah LAZ nasional lainnya. LAZISMU memiliki

basis yang kuat untuk berkembang dengan baik, mengingat anggota

Muhammadiyah berjumlah sangat banyak.

B. Pertumbuhan Kuantitatif Lembaga-lembaga Filantropi

Sejak UU No. 38 Tahun 1999 hadir, pertumbuhan lembaga filantropi Islam

mengalami peningkatan yang dahsyat. Selain BAZNAS (Badan Amil Zakat

Nasional) di tingkat nasional, ada 32 BAZ di tingkat provinsi dan 300 BAZ di

tingkat kabupaten/kota yang dibentuk oleh pemerintah sesuai dengan berbagai

tingkatannya. Sementara itu, lembaga-lembaga yang dibentuk masyarakat

jumlahnya juga cukup banyak. Ada 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) di tingkat

nasional, di samping lebih dari 70 LAZ yang berada tingkat provinsi dan tingkat

kabupaten/kota.52

Peningkatan jumlah lembaga filantropi ini juga terlihat dalam keanggotaan

Forum Zakat (FOZ). Lembaga yang di awal kelahirannya hanya beranggotan

beberapa saja, kini sudah mencapai 30 anggota. Mereka ini meliputi:

1. Yayasan Baitul Maal Bank BRI (YBM BRI)

2. Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF)

3. Rumah Zakat Indonesia (RZI)

4. Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU)

5. Portal Infaq

6. Lembaga Manajemen Infaq (LMI)

7. LAZIS BMT

8. LAZIS Nahdlatul Ulama (LAZ NU)

9. LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU)

10. LAZIS Garuda (LAZIS GA)

11. LAZ Yaumil PT. Badak Ngl Bontang

12. LAZ Pusat Zakat Ummat (LAZ PZU)

13. LAZ Al-Hijrah

14. Lembaga Amil Zakat dan Infaq Malang (LAGZIS)

15. LAZ Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZ IPHI)

16. LAZ Dewan Dakwah Indonesia (LAZ-DDI)

17. Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU-DT)

18. Dompet Dhuafa Republika (DDR)

19. Bina Sejahtera Mitra Ummat (BSM UMAT)

20. BPZIS Bank Mandiri

50 http://www.lazismu.org 51 http://www.lazismu.org 52 http://www.forumzakat.net

Page 179: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

169

Bab V

21. Baitul Maal Pupuk Kaltim (BMPKT)

22. Baitul Maal Pupuk Kujang (BMPK)

23. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)

24. BAZIS DKI Jakarta

25. Bamuis Bank BNI

26. Baituzzakah Pertamina (BAZMA)

27. Baitul Maal Muamalat (BMM)

28. Baitul Maal Hidayatullah (BMH)

29. LAZNAS Amanah Takaful

30. Al-Azhar Peduli Ummat.53

Tentu saja, jumlah di atas belum termasuk lembaga-lembaga yang bisa jadi

tidak terdaftar dalam FOZ, seperti PPA Darul Quran pimpinan Yusuf Mansur,

Rumah Yatim dan lain sebagainya. Lebih jauh, bersamaan dengan lahirnya UU

No. 41 Tahun 2004, sejumlah filantropi yang khusus mengelola wakaf pun

bermunculan, di samping lembaga-lembaga ZIS di atas yang juga mengelola dana

wakaf. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah di

tingkat nasional, yang membuka peluang bagi perwakilan-perwakilannya di

tempat-tempat lain.54

Sementara yang dikelola oleh masyarakat semakin hari

semakin meningkat, seperti Tabung Wakaf Indoensia (TWI), lembaga yang

berafiliasi ke DD, Wisatahati, pimpinan Yusuf Mansur, dan lain sebagainya.

Sementara itu, dalam penghimpunan dana, lembaga-lembaga pengelola ZIS,

baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat, dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal itu terlihat dalam laporan

yang disampaikan kepada FOZ, yang kemudian diteruskan kepada Direktorat

Pemberdayaan Zakat Depag. Akan tetapi, laporan yang direlease oleh FOZ ini

hanya menyangkut penghimpunan yang dilakukan lembaga-lembaga itu, tanpa

disertai laporan pendayagunaannya. Berikut adalah hasil penghimpunan

sebagaimana terlihat dalam website FOZ.55

BAZNAS, misalnya, berhasil menghimpun dana sebesar Rp.

2.700.073.354,00 pada 2001 dan meningkat menjadi Rp. 11.218.888.495,00 pada

2002. Peningkatan ini terus menaik dalam dua tahun terakhir yang dilaporkan,

yaitu dari Rp. 14.592.016.646,00 pada 2007 menjadi Rp. 18.876.000,00 pada

2008. Dengan demikian, organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh presiden

ini terus menunjukkan peningkatan dalam penghimpunan dana zakat.56

Kecenderungan meningkatnya dana ZIS ini juga dialami oleh BAZIS DKI.

Sejak 2001 hingga 2007, lembaga yang dibentuk pemerintah provinsi terus

mengalami peningkatan penghimpunan dana ZIS. Pada 2001, dana yang berhasil

dihimpun mencapai Rp. 9.482.194.345,00 dan meningkat menjadi Rp.

11.550.000.000,00 pada 2002. Dalam tiga tahun berikutnya, penghimpunan dana

ZIS juga meningkat rata-rata Rp. 2 milyar setiap tahun, yakni Rp.

14.103.504.330,00 pada 2003 dan Rp. 16.257.823.896,00 pada 2004 serta Rp.

18.482.757.570,00 pada 2005. Laporan terakhir pada 2007 mencapai Rp.

53 http://www.forumzakat.net/index.php?act=anggota&hal=5 54 Tentang ketentuan pembukaan perwakilan, lihat ‚Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2

Tahun 2008 tentang Perwakilan Badan Wakaf Indonesia.‛ 55 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 56 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24

Page 180: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

170

Perkembangan Filantropi Islam

27.213.963.125,00 yang menandakan terjadinya peningkatan yang sangat

signifikan dari sebelumnya.57

Peningkatan penghimpunan yang sangat signifikan terjadi pada Dompet

Dhuafa Republika (DD-R). Lembaga filantropi yang didirikan pada 1993 terus

menunjukkan peningkatan kinerjanya yang bisa dilihat dari keberhasilannya dalam

mengumpulkan dana, yang dapat dilihat dari beberapa tahun terakhir laporannya.

Pada 2000, misalnya, dana yang dihimpun oleh DD-R mencapai Rp.

13.655.105.172,00 dan meningkat secara signifikan pada 2001 menjadi Rp.

18.007.293.153,00. Peningkatan terus terjadi dalam dua tahun berikutnya,

meskipun tidak sebesar sebelumnya. Pada 2002, misalnya, terkumpul dana sebesar

Rp. 21.504.964.430,00, sementara pada 2003 dana yang berhasil dihimpun

mencapai Rp. 22.493.670.205,00. Jumlah ini meningkat tajam pada 2004, yakni

sebesar Rp. 30.360.851.863,00 dan terus meroket menjadi Rp. 60.692.348.196,00

pada 2008.58

Yayasan Dana Sosial Al-Falah Surabaya, yang telah berdiri sejak 1987, juga

menunjukkan kecenderungan serupa dengan dua lembaga yang disebutkan

sebelumnya. Pada 2002, lembaga ini berhasil menghimpun dana sebesar Rp.

6.011.753.576,00 dan meningkat menjadi Rp. 8.576.652.203,00 pada tahun

berikutnya. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tiga tahun berikutnya,

di mana pada 2004 tercatat dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp.

11.344.498.869,00, sementara pada 2005 mencapai Rp. 16.791.784.803,00 dan

pada 2006 mencapai Rp. 21.457.533.629,00. Jadi, rata-rata peningkatannya

mencapai Rp. 5 milyar setiap tahun dalam rentang tersebut. Dalam dua tahun

berikutnya, peningkatan tetap terjadi, yakni mencapai kurang-lebih Rp. 3 milyar.

Ini terlihat pada dana yang berhasil dihimpun pada 2007 dan 2008, dengan jumlah

masing-masing secara berturut-turut Rp. 25.072.061.729,00 dan Rp.

28.038.146.332,00.59

Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) adalah lembaga lain yang berhasil

menunjukkan kinerja yang bagus dalam pengumpulan dana ZIS. Lembaga yang

didirikan pada 1999 berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 10.854.900.871,00

pada 2000. Akan tetapi, penurunan yang relatif signifikan terjadi pada tahun

berikutnya, 2001, menjadi sebesar Rp. 7.736.441.529,00. Peningkatan sedikit

terjadi pada 2002 menjadi sebesr Rp. 8.540.110.141,00 dan menurun kembali pada

2003 menjadi Rp. 7.807.588.809,00. Lembaga yang dipimpin oleh sejumlah

anggota Partai Keadilan Sejahtera ini mengalami peningkatan yang meyakinkan

dalam menghimpun dana ZIS pada dua tahun berikutnya. Jika pada 2004

terkumpul dana sebesar Rp. 12.448.784.632,00, pada 2005 mengalami

peningkatan hingga mencapai Rp. 47.475.272.734,00. Penurunan secara kurang

berarti terjadi pada 2008, yang mencapai Rp. 45.611.971.485,00.60

Kinerja yang bagus dalam menghimpun dana ZIS juga ditunjukkan oleh

Rumah Zakat Indonesia, yang sebelumnya bernama Dompet Sosial Ummul Quro

(DSUQ). Dalam lima tahun terakhir sejak didirikannya pada 1999, lembaga zakat

ini terus mengalami peningkatan perolehan dana ZIS. Pada 2004, misalnya,

Rumah Zakat berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 35.000.000.000,00 dan

57 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 58 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 59 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 60 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24

Page 181: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

171

Bab V

meningkat hampir dua kali lipat pada tahun berikutnya, 2005, yang mencapai Rp.

63.312.466.256,00. Pada 2006, penurunan tajam terjadi, di mana dana yang

berhasil dihimpun sebesar Rp. 35.000.000,00. Dua tahun berikutnya ditandai

dengan peningkatan yang cukup stabil, yakni rata-rata kurang lebih lima juta

rupiah. Dana yang terkumpul dalam rentang antara 2007-2008 adalah masing-

masing secara berturut-turut sebesar Rp. 41.800.426.390,00 dan Rp.

58.599.966.865,00.61

Lembaga swasta lain yang menunjukkan peningkatan dalam menghimpun

dana ZIS adalah Al-Azhar Peduli Umat. Meskipun jumlah yang berhasil dihimpun

tidak sebesar yang diperoleh oleh lembaga-lembaga sebelumnya. Akan tetapi,

lembaga ini konstan dalam meningkatkan penghimpunan dana. Pada 2005,

lembaga ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 2.395.127.876,00 dan

meningkat menjadi Rp. 3.658.656.076,00 pada 2006. Peningkatan yang signifikan

terjadi pada 2007, di mana dana yang dapat dikumpulkan mencapai Rp.

6.652.372.041 dan pada 2008 mencapai Rp. 8.750.761.125,00 pada 2008.62

Kecenderungan meningkat juga dialami oleh LAZ Dewan Dakwah Islam

Indonesia (LAZ DDII). Pada 2002, lembaga ini baru berhasil menghimpun dana

ZIS sebesar Rp. 133.550.000,00 dan meningkat menjadi Rp. 576.518.725,00 pada

2003. Akan tetapi, dalam tiga tahun kemudian, tepatnya 2005, dana ZIS sebesar

Rp. 2.543.552.941,00 berhasil dihimpun oleh lembaga ini. Bahkan, pada 2008,

lembaga ini telah berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp.

5.090.592.283,00.63

Peningkatan penghimpunan dana ZIS yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

milik perusahaan juga terus meningkat. Yayasan Baitul Maal BRI, misalnya, pada

2001 hanya berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 646.638.277,00 dan

meningkat secara signifikan pada 2002 dengan meraih Rp. 2.262.191.761,00. Pada

2008, berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 7.868.330.017,00.64

Kecenderungan seperti itu juga dialami oleh Badan Pengelola ZIS Mandiri.

Lembaga ini dalam rentang antara 2001 dan 2003 berhasil menghimpun dana ZIS

dalam jumlah ratusan juta, tepatnya masing-masing secara berurutan Rp.

561.272.489,00 dan Rp. 718.593.080,00 serta Rp. 908.034.610,00. Kemudian,

pada 2005 sudah mencapai angka di atas satu milyar, tepatnya Rp.

1.550.571.175,00 dan Rp. 2.878.210.117,00 pada 2007.65

Baitu Maal Umat Islam BNI (Bamuis BNI) juga memiliki kecenderungan

meningkat dalam menghimpun dana ZIS. Seperti dilaporkan kepada FOZ, pada

2000, lembaga ini berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 3.882.125.000,00

dan meningkat menjadi Rp. 4.260.324.000,00 dan Rp. 4.822.108.000,00 pada 2001

dan 2002. Peningkatan yang sangat signifikan terjadi pada 2003, di mana lembaga

ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 12.690.066.000,00. Bahkan, dalam

dua tahun terakhir, lembaga ini mampu mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp.

21.465.448.000,00 dan Rp. 23.447.293.000,00 masing-masing pada 2007 dan

2008.66

61 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 62 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 63 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 64 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 65 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 66 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24

Page 182: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

172

Perkembangan Filantropi Islam

Peningkatan yang signifikan dalam pengumpulan dana ZIS ditunjukkan oleh

Baitul Maal Muamalat (BMM). Pada 2001, misalnya, lembaga ini berhasil

menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 1.261.744.267,00 dan meningkat menjadi Rp.

3.076.829.550,00 pada 2002. Peningkatan yang sangat tajam terjadi pada 2005,

ketika lembaga ini sukses menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 16.572.101.418,00.

Sementara itu, dalam laporan terakhirnya yang disampaikan kepada FOZ,

lembaga ini telah berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 22.016.100.759,00

pada 2008.67

Berbeda dengan lembaga-lembaga di atas yang cenderung konstan

mengalami peningkatan, beberapa LAZ milik perusahaan mengalami flunktuasi,

seperti dialami oleh Baitul Maal Pupuk Kujang dan Baitul Maal Pupuk Kaltim.

BM Pupuk Kujang, misalnya, pada 2001, berhasil menghimpun dana ZIS sebesar

Rp. 545.423.289,00 dan meningkat dua kali lipat, yaitu Rp. 1.386.333.990,00 pada

2002. Akan tetapi, dalam tahun berikutnya, penurunan terjadi, sehingga dana yang

berhasil dihimpun menjadi Rp. 745.078.757,00. Dalam dua tahun berikutnya,

2004-2005, terjadi peningkatan dalam penghimpunan ZIS, yakni masing-masing

Rp. 1.229.216.582,00 dan Rp. 1.575.159.175,00. Namun, pada 2006, jumlah

tersebut merosot cukup tajam dan lembaga ini hanya berhasil menghimpun Rp.

716.468.702,00.68

Kecenderungan fluktuatif ini juga terjadi pada BM Pupuk Kaltim. Pada

2000, lembaga ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 1.056.201.224,00

dan terus meningkat menjadi Rp. 1.245.115.355,00 setahun kemudian. Akan

tetapi, dalam dua tahun berikutnya, dana yang berhasil dihimpun mengalami

penurunan cukup tajam, yaitu 456.579.349,00 pada 2002 dan Rp. 871.672.601,00

pada 2003. Meskipun demikian, pada 2006, lembaga ini berhasil meningkatkan

pengumpulan dana ZIS hingga mencapai Rp. 2.460.750.968,00.69

Baituzzakah Pertamina juga menunjukkan kecenderungan fluktuatif, tetapi

akhirnya mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Pada 2001, lembaga ini

baru berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 579.898.362,00 dan menurun

menjadi Rp. 398.512.444,00 dan Rp. 395.863.847,00 masing-masing pada 2003

dan 2004. Akan tetapi, dua tahun kemudian, yaitu pada 2005, dana ZIS sebesar

Rp. 2.238.196.273,00 dan pada 2008 meroket hingga mencapai Rp.

23.447.293.000,00.70

Penghimpunan dana ZIS oleh LAZ milik organisasi massa (ormas) Islam

menunjukkan perkembangan yang berbeda, seperti Persatuan Islam dan

Muhammadiyah. LAZ Persatuan Islam, misalnya, berhasil menghimpun dana ZIS

sebesar Rp. 1.242.781.961,00 pada 2007 dan Rp. 1.006.997.356,00. Di sini terlihat

adanya penurunan yang relatif besar, yakni sekitar Rp. 200 juta atau kurang lebih

20%. Seperti LAZ Persis, LaZIS Muhammadiyah (LaZISmu) menunjukkan

peningkatan yang konstan dari tahun ke tahun kemudian mengalami penurunan.

Pada 2003, misalnya, LaZISmu berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp.

1.170.959.233,00 dan meningkat menjadi Rp. 1.923.885.721,00 pada 2004.

67 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 68 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 69 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 70 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24

Page 183: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

173

Bab V

Setelah meningkat secara signifikan pada 2005 menjadi Rp. 6.805.360.308,00

angka tersebut kemudian menurun menjadi Rp. 5.153.242.027,00 pada 2006.71

Beberapa lembaga pengelolaan zakat sebenarnya juga melaporkan hasil

penghimpunan yang mereka lakukan kepada FOZ, seperti Dompet Peduli Umat

Daarut Tauhiid, Rumah Yatim, PPA Darul Quran dan lain sebagainya. Akan

tetapi, mengingat laporan yang mereka sampaikan hanya setahun terakhir, maka

peningkatan penghimpunan dana ZIS tidak dapat diketahui. Meskipun demikian,

dana yang berhasil mereka himpun merentang dari ratusan juta hingga milyaran

rupiah.72

Berdasarkan penelitian yang dilakukan IMZ (Indonesia Magnificence of

Zakat), dana yang terkumpul secara nasional sejak 2002 hingga 2010 mencapai

angka berikut.73

Tahun Jumlah ZIS (dalam milyar) Pertumbuhan (%)

2002 68.39 --

2003 85.28 24,70

2004 150.09 76,00

2005 295.52 96,90

2006 373.17 26,28

2007 740.00 98,30

2008 920.00 24,32

2009 1.200.00 30,43

2010 1.400.00 16.66

Peningkatan jumlah dana yang dihimpun dari tahun ke tahun ini

menunjukkan bahwa ke depan jumlah tersebut akan semakin besar. Dalam

prediksi IMZ, jumlah dana ZIS pada 2011 akan mencapai 1,85 trilyun hingga di

atas 2 trilyun. Prediksi ini didasarkan pada fakta bahwa peningkatan itu akan terus

berlangsung dan akan mendapat landasan yang lebih kokoh jika UU Zakat yang

akan diamandemen segera rampung.74

Dari uraian di atas terlihat bahwa lembaga-lembaga filantropi Islam di

Indonesia sangat beragam. Keragaman ini terlihat dari latar belakang afiliasi yang

kepadanya lembaga tersebut berasal. Ada yang berlatar belakang organisasi massa

atau sosial keagamaan tertentu, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam,

Nahdlatul Ulama dan lain sebagainya, dan ada pula yang berlatar belakang

perusahaan atau badan usaha, seperti LAZ Bank Syariah Mandiri, Baitul Maal

BRI, Baitul Maal Muamalat, Baituzzakah Pertamina, LAZ Semen Kujang, LAZ

Pupuk Kaltim dan lain sebagainya. Di samping itu, ada juga filantropi yang tidak

terikat dengan organisasi atau perusahaan, tetapi sejenis LSM, seperti Dompet

Dhuafa Republika, PKPU, Rumah Zakat, DPU-Daarut Tauhid, YSDF dan lain

sebagainya.

Dalam hal penghimpunan dana ZIS, umumnya lembaga-lembaga ini

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, terbukti bahwa

71 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 72 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 73 IMZ, Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta: IMZ, 2010), 135-

136. 74 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 136.

Page 184: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

174

Perkembangan Filantropi Islam

lembaga-lembaga yang bercorak LSM memiliki pencapaian yang jauh lebih tinggi

ketimbang lembaga-lembaga yang memiliki afiliasi tertentu. Lembaga-lembaga

yang berafiliasi dengan pemerintah, misalnya, ternyata berhasil mengumpulkan

dana ZIS jauh lebih rendah daripada lembaga-lembaga bercorak LSM. Ini juga

berlaku bagi lembaga-lembaga yang berafiliasi kepada organisasi massa (ormas)

Islam tertentu, maupun yang berafiliasi kepada perusahaan atau badan usaha

tertentu. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada lembaga-

lembaga swasta jauh lebih tinggi daripada lembaga-lembaga yang memiliki

afiliasi dengan pemerintah, ormas atau perusahaan/badan usaha.

Di samping itu, keberhasilan lembaga-lembaga bercorak LSM dalam

menghimpun dana ZIS mengimplikasikan akan kerja keras mereka dalam

menggerakkan masyarakat untuk membayar zakat. Ini dibarengi dengan

pengelolaan yang transparan dan pendayagunaan yang dapat dirasakan secara

langsung oleh masyarakat. Sebaliknya, lembaga-lembaga yang berafiliasi kepada

pemerintah, ormas atau perusahaan/badan usaha tidak menunjukkan peningkatan

yang memadai, di antaranya karena kurang gencarnya sosialisasi yang mereka

lakukan.

Perkembangan lembaga-lembaga filantropi yang dikemukakan di atas juga

memiliki padanannya di Mesir, terutama dalam bidang zakat. Seperti

dikemukakan oleh Sullivan, zakat yang semula banyak dikendalikan oleh

lembaga-lembaga negara, kini mengalami ‚privatisasi.‛ Ini terjadi karena lembaga

non-pemerintah tersebut mampu memobilisasi zakat dan memberikan layanan

secara langsung bagi masyarakat dibandingkan yang dilakukan oleh lembaga

pemerintah. Jumlah ini pun kini semakin meningkat.75

C. Respons Civil Society Islam terhadap Rencana Revisi UU Zakat dan

Dampaknya terhadap Filantropi Islam

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, disahkannya UU No. 38 Tahun

1999 tentang Pengelolaan Zakat, di satu sisi, telah mendorong lahirnya sejumlah

BAZ dan LAZ. Akan tetapi, hasil yang diperoleh masih jauh dari yang

diharapkan. Kritik pun diarahkan tidak saja pada pengelolaannya, tetapi juga pada

undang-undang itu sendiri. Dalam pandangan beberapa pihak, undang-undang ini

terbukti tidak mampu mendorong orang yang sudah berkewajiban membayar

zakat untuk menunaikannya, di antaranya, karena tidak ada sanksi yang harus

mereka hadapi.

Dalam pandangan H. Tulus, keinginan amandemen terhadap UU No. 38

Tahun 1999 menunjukkan bahwa pengeloaan zakat yang dipayungi oleh undang-

undang ini belum terpenuhi secara memadai. Ia mengusulkan beberapa perubahan,

di antaranya, perampingan organisasi amil zakat melalui sentralisasi pengelolaan

zakat. Dengan begitu, dana zakat akan terkumpul pada satu lembaga dan

pengdistribusian serta pemanfaatannya akan terfokus.76

Ini menunjukkan bahwa

baru tiga tahun undang-undang ini dilaksanakan, sejumlah pihak telah melihat

ketidakefektifannya, termasuk dari pihak pemerintah sendiri.

75 Denis Sullivan, Private Voluntary Organizations in Egypt: Islamic Development, Private

Initiative and State Control (Gaibesville, Fla.: University Press of Florida, 1994), 68. 76 H. Tulus, ‚Amandemen Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat:

Tinjauan Konstitusi Kaitannya dengan Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat.‛ Makalah

disampaikan pada Munas III Forum Zakat, Balikpapan, 25-28 April 2003.

Page 185: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

175

Bab V

Pandangan serupa disampaikan oleh Nasrun Harun. Menurutnya, kehadiran

UU No. 38 Tahun 1999 terbukti kurang menghasilkan perkembangan yang berarti.

Ini dibuktikan antara lain oleh potensi zakat yang, menurut hasil penelitian PBB

UIN Jakarta, mencapai Rp. 19,3 trilyun, tetapi laporan yang diterima Direktorat

Pemberdayaan Zakat justru sangat jauh dari angka tersebut. Menurut Nasrun, ada

beberapa sebab mengapa pengelolaan zakat yang sudah dipayungi undang-undang

dan Keputusan Menteri Agama dan Dirjen itu belum menunjukkan hasil yang

maksimal. Pertama, tidak adanya ketentuan yang tegas yang mewajibkan muzakki

membayar zakat. Memang undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap

Muslim yang mampu wajib membayar zakat. Namun, ketentuan ini tidak

terlaksana karena tidak dibarengi dengan ketentuan sanksi bagi yang tidak

melaksanakannya. Kedua, dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa amil

zakat dapat dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat, yang penjabarannya, dalam

Keputusan Menteri dan Dirjen, adalah organisasi masyarakat Islam (Ormas), yang

bergerak dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Akan tetapi, yang terjadi

adalah organisasi-organisasi pengelola zakat yang bukan ormas Islam dimaksud.77

Atas dasar itu, Nasrun ingin mengajukan revisi undang-undang tersebut

dengan perhatian khusus pada empat hal. Pertama, undang-undang zakat harus

memiliki peraturan pemerintah. Kedua, Muslim yang mampu tetapi tidak

membayar zakat harus diberi sanksi. Ketiga, zakat harus dikelola oleh BAZ,

sedangkan organiasi-organisai lain, seperti LAZ, diubah statusnya menjadi unit

pengumpul zakat, tanpa wewenang menyalurkannya. Keempat, zakat harus

menjadi pengurang pajak. Meskipun hal ini telah disebutkan dalam undang-

undang, tetapi implementasinya hingga saat ini belum berjalan.78

Bersamaan dengan masa persidangan 2009-2014 DPR-RI, masalah

amandemen undang-undang zakat ini menjadi salah satu agenda legislasi yang

telah disiapkan dan sedang dibicarakan di DPR. Setidak-tidaknya ada dua model

usulan resmi yang masing-masing telah dipersiapkan oleh pemerintah dan DPR.

Jika yang dipersiapkan oleh pemerintah adalah perubahan atas UU No. 38 Tahun

1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang dipersiapkan oleh DPR adalah menyusun

ulang seluruh isi undang-undang tersebut. Tidak heran jika keduanya memiliki

beberapa perbedaan yang mendasar.

Pertama, yang dijadikan pertimbangan pemerintah dalam menyusun

perubahan ini adalah kondisi undang-undang dan pelaksanaannya. Misalnya,

dalam menimbang (a) disebutkan bahwa undang-undang tersebut kurang tegas

dalam pelaksanaan kewajiban zakat. Dikemukakan lebih jauh dalam menimbang

(b) bahwa meskipun sudah berjalan selama delapan tahun sejak dilaksanakan,

potensi zakat umat Islam baru tergali 5%. Di samping itu, beberapa ketentuan

dalam undang-undang tersebut kurang sesuai dengan perkembangan dan

kebutuhan masyarakat Indonesia.79

Berbeda dengan draft tersebut, draft yang diajukan oleh DPR didasarkan

pada pertimbangan bahwa (1) Negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, (2)

77 Nasrun Harun, ‚Kami Tidak Berniat Membubarkan LAZ,‛ dalam Infoz, Edisi 4 Tahun VI

(2010), 8. 78 Nasrun Harun, ‚Kami Tidak Berniat Membubarkan LAZ,‛ 8. 79 Lihat Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

yang disiapkan oleh Departemen Agama, bagian Menimbang.

Page 186: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

176

Perkembangan Filantropi Islam

menunaikan zakat merupakan kewajiban umat Islam yang mampu berdasarkan

syariat Islam, (3) pelaksanaan pengelolaan zakat berlum dilakukan secara optimal,

(4) UU No. 38 Tahun 1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan

masyarakat, sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.80

Kedua, dalam draft yang dirancang pemerintah, pengelola zakat akan

diserahkan kepada BAZNAS atau BAZDA yang dibentuk oleh pemerintah pusat,

provinsi atau kabupaten/kota. Lembaga-lembaga inilah yang bertanggung jawab

menghimpun dan mendistribusikan dana zakat. Adapun LAZ yang dibentuk oleh

masyarakat diberi peran sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) bagi BAZ setempat.

Dengan kata lain, menurut RUU versi pemerintah ini, LAZ akan dilebur atau

diintegrasikan ke dalam BAZ sebagai unsur masyarakat, sehingga berperan hanya

mengumpulkan, tanpa peran pendistribusian. Yang berhak mendistribusikan dan

mendayagunakan dana zakat hanyalah BAZ.81

Sementara itu, dalam RUU versi DPR, BAZ yang dibentuk pemerintah

disebut Badan Pengelola Zakat (BPZ), yang tugas utamanya adalah koordinasi

dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat

yang dilakukan oleh LAZ. Dengan demikian, BPZ tidak memiliki kewenangan

untuk menghimpun dan menyalurkan dana zakat, tetapi sekadar sebagai

pengawas. Adapun penghimpunan dan penyaluran dana zakat menjadi wewenang

sepenuhnya LAZ.82

Meskipun begitu, LAZ tidak bisa dengan serta merta

menyalurkan dana zakat, mengingat kebijakan pengelolaan zakat ada di tangan

BPZ. Kebijakan ini merentang dari pendataan, penelitian dan pemetaan hingga

penyusunan database muzakki dan mustahik.83

Ketiga, draft RUU versi pemerintah menetapkan bahwa orang yang

berkewajiban membayar zakat, tetapi tidak membayarnya, ia diancam dengan

hukuman denda sebesar zakat yang wajib dibayarkannya.84

Ini merupakan

konsekuensi dari Pasal 2 UU No. 38 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa zakat

merupakan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam

dan mampu atau badan milik orang Muslim. Akan tetapi, kewajiban tersebut tidak

dibarengi dengan sanksi sama sekali bagi yang tidak melaksanakannya. Seperti

diuraikan sebelumnya, inilah yang menjadi target kritik banyak orang bahwa UU

No. 38 Tahun 1999 tidak memiliki kekuatan memaksa bagi muzakki yang lalai

tidak membayar. Di samping itu, sanksi bagi pengelola juga disebutkan, yakni

berupa hukuman kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta) bagi petugas, dan hukuman

kurungan paling lama tiga tahun dan/atau denda sebanyak-banyak Rp.

500.000.000,00 bagi pengurus BAZ.85

Dalam draft versi DPR, persoalan ini tidak mengalami perubahan. Dalam

Pasal 6 Draft RUU versi DPR memang disebutkan bahwa ‚Setiap muzakki wajib

membayar zakat berdasarkan syariat Islam.‛86

Akan tetapi, tidak satu pun pasal

menyebutkan sanksi bagi orang yang tidak membayarnya, padahal ia mampu.

80 Lihat Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat yang disiapkan oleh DPR, bagian Menimbang. 81 Drfat RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 7. 82 Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 16. 83 Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 17. 84 Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 21 ayat (1). 85 Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 21 ayat (2) dan (3). 86 Draft RUU tentang Zakat, Pasal 6.

Page 187: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

177

Bab V

Seperti UU No. 38 Tahun 1999, draft RUU ini hanya menekankan sanksi bagi

pengelola zakat, di mana disebutkan bahwa pengelola yang tidak benar diancam

pidana kurungan dari satu tahun hingga sepuluh tahun dan/atau dari Rp.

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) hingga Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).87

Keempat, draft RUU versi pemerintah tetap memberlakukan UU No. 38

Tahun 1999, sepanjang tidak ada ketentuan yang berlawanan.88

Yang demikian itu

karena yang diajukan oleh pemerintah hanyalah perubahan dan penambahan atas

undang-undang tersebut. Sementara itu, draft RUU yang diajukan DPR bersifat

total, yang konsekuensinya adalah pembatalan dan pencabutan UU No. 38 Tahun

1999.89

Dengan kata lain, jika RUU yang diajukan DPR ini disetujui, secara

otomatis UU sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi.

RUU tersebut telah diajukan untuk dibahas oleh DPR bersama pemerintah.

Dalam Sidang Paripurna 31 Agustus 2010, seluruh fraksi sepakat menyambut

positif RUU ini dan bersedia untuk membahasnya. Fraksi Demokrat, misalnya,

memandang pengelolaan ZIS harus dilakukan secara profesional dan dapat

memberikan manfaat bagi pengentasan kemiskinan, pengangguran dan dapat

meningkatkan ekonomi kerakyatan. Sementara itu, Fraksi Golkar mendorong

adanya pemisahan fungsi zakat, infak dan shadaqah, pemisahan BAZ (menjadi

BPZIS) dan LAZ, keterkaitan zakat dan pajak, di samping penetapan sanksi bagi

muzakki yang lalai membayarnya. Berbeda dengan itu, F-PDIP menghendaki agar

aspek paksaan dari negara terhadap zakat dihindari. Di samping itu, antara zakat

dan pajak harus diposisikan dalam tempat yang berbeda. F-PKS menekankan agar

peran pemerintah memiliki daya paksa terhadap pembayar zakat, zakat dapat

mengurangi nilai pajak penghasilan dan pentingnya insentif bagi pembayar zakat.

Seperti Golkar, F-PPP juga mengusulkan agar RUU ini diubah menjadi RUU

tentang ZIS, di samping pemilahan yang tegas tentang fungsi kelembagaan yang

ada. Sorotan terhadap kelembagaan ini juga menjadi perhatian F-KB, termasuk

masalah pengurangan pajak dengan zakat dan penyadaran berzakat kepada

masyarakat.90

Upaya mengubah atau mengganti UU No. 38 Tahun 1999 di atas telah

mengundang respons, baik di kalangan civil society atau pengelola zakat, maupun

di kalangan sarjana. Ahmad Juwaini,91

Ketua Forum Zakat (FOZ), melihat

perbedaan antara kedua draft tersebut dari sudut pandang sebab musababnya,

yang meliputi beberapa faktor. Pertama, akibat pemahaman fikih. Maksudnya,

pihak yang memandang zakat sebagai wilayah kekuasaan negara dan pihak yang

menyebut zakat sebagai wilayah kekuasaan masyarakat, sama-sama didasarkan

pada buku-buku fikih, yang memiliki preseden di masa lalu. Kedua, faktor historis

di Indonesia. Artinya, ada pihak yang memahami bahwa zakat semula dikelola

oleh negara, khususnya pada masa kesultanan/kerajaan, dan akhirnya diserahkan

kepada masyarakat. Ketiga, faktor pengetahuan dan pengalaman. Perbedaan di

atas menunjukkan bahwa antara pengambil kebijakan dan pelaksana pengeloaan

87 Draft RUU tentang Zakat, Pasal 50-52. 88 Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 24 ayat (2). 89 Draft RUU tentang Zakat, Pasal 55. 90 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 123-130. 91 Ahmad Juwaini, ‚Menyingkap Perbedaan UU Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net

/index.php?act=paparan&id=5

Page 188: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

178

Perkembangan Filantropi Islam

zakat terdapat pengetahuan dan pengalaman yang berbeda mengenai zakat, dari

penghimpunan hingga pendayagunaannya. Keempat, faktor penentuan prioritas

dan prasyarat. Sejauh ini, memang masih terdapat penilaian yang beragam

mengenai mengapa zakat yang terkumpul berdasarkan UU No. 38 Tahun 1999

belum maksimal. Sebagian berpendapat bahwa hal itu menunjukkan

kekurangpercayaan masyarakat terhadap BAZ yang dibentuk pemerintah, di satu

sisi, dan kurangnya konsentrasi akibat banyaknya LAZ yang mengelola zakat.

Kelima, penerapan hukum dan persuasi. Seperti ditunjukkan oleh kedua draft di

atas, versi pemerintah menghendaki agar sanksi terhadap orang yang mampu,

tetapi tidak membayar zakat diterapkan, sementara versi DPR hanya menekankan

aspek persuasi dari undang-undang.92

Terhadap gagasan pemerintah, yang menghendaki LAZ dilebur ke dalam

BAZ sebagai unsur masyarakat, Ahmad Juwaini menyampaikan keberatannya.93

Menurutnya, memang dalam sejarah awal Islam, zakat ditangani langsung oleh

negara. Akan tetapi, ada juga ulama yang membolehkan pemerintah menyerahkan

wewenangnya kepada swasta. Ini menunjukkan bahwa BAZ dan LAZ

dimungkinkan untuk bekerja berdampingan secara sinergis. Lebih jauh, kalau

alasan penghapusan LAZ karena lembaga ini dipandang sebagai penyebab

minimnya dana zakat yang terkumpul oleh BAZ, hal itu harus dilihat secara

objektif. Artinya, tidak semua LAZ itu berkemampuan memadai dan baik dalam

berbagai hal, sebagaimana tidak semua BAZ memiliki etos dan kinerja yang buruk

dalam mengelola zakat. Karena itu, Juwaini melihat adanya LAZ saat ini masih

dibutuhkan, selama negara belum sanggup secara total mengelola zakat.

Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada masalah zakat, tetapi juga pada sektor

keuangan, pendidikan dan lain sebagainya. Kita melihat adanya bank negara, di

samping bank swasta, lembaga pendidikan negeri, juga lembaga pendidikan

swasta. Dengan kata lain, adanya lembaga ganda, yang dibentuk oleh pemerintah

dan swasta, semestinya dapat disinergikan, seperti dalam sektor-sektor yang lain.

Ia mengakui, pengeloaan zakat oleh negara secara total merupakan sebuah ideal.

Namun, kenyataannya hal itu masih sulit dilakukan.94

Dalam pandangan Juwaini, sebenarnya masih banyak persoalan yang jauh

lebih substansial dalam persoalan zakat ketimbang sekadar gagasan menghapus

atau meleburkan LAZ ke dalam BAZ. Ini meliputi masih rendahnya kesadaran

masyarakat untuk membayar zakat, kesukaan masyarakat menyalurkan zakatnya

secara langsung ke mustahik, bukan ke lembaga, belum efektifnya regulasi zakat,

seperti pengurangan pajak bagi orang yang sudah membayar zakat, belum adanya

standar manajemen bagi pengelola zakat dan lain sebagainya.95

Sejalan dengan sikap di atas, Forum Zakat (FOZ) mengusulkan draft RUU

tentang Zakat. Perbedaan penting antara draft RUU FOZ dengan draft lainnya

terletak pada perlunya organisasi bernama Badan Zakat Indonesia (BZI), yang

akan menaungi organisasi-organisasi pengelola zakat (OPZ), baik yang dibentuk

92 Ahmad Juwaini, ‚Menyingkap Perbedaan UU Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/

index.php?act=paparan&id=5 93 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4 94 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4 95 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4

Page 189: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

179

Bab V

oleh pemerintah maupun masyarakat.96

Di samping itu, dalam draft ini diusulkan

adanya sebuah Asosiasi OPZ yang, antara lain, dimaksudkan untuk member

pertimbangan dan rekomendasi bagi BZI.97

Seperti draft versi pemerintah, draft

FOZ menyebutkan adanya sanksi bagi muzakki yang tidak membayar zakat, yaitu

berupa pembayaran zakat yang ditinggalkan ditambah dengan biaya administrasi

sebesar 10% dari jumlah zakat yang harus dibayar.98

Di sini terlihat bahwa dengan adanya BZI, maka organisasi pengelola zakat

yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat memiliki kedudukan setara,

sehingga organisasi seperti LAZ yang dikenal sekarang tidak harus dilebur ke

dalam BAZ dan tetap memiliki wewenang menyalurkan dana zakat asalkan sesuai

dengan kebijakan BZI. Dengan kata lain, draft RUU versi FOZ ini lebih dekat

kepada draft RUU versi DPR dibandingkan dengan draft versi pemerintah, yang

hendak melebur LAZ ke dalam BAZ. Meskipun demikian, dalam hal sanksi, draft

RUU versi FOZ ini lebih dekat kepada versi pemerintah, dengan sedikit tekanan

tambahan 10%, yang tidak ditemukan dalam draft yang disebut terakhir ini. Yang

demikian itu karena draft versi DPR tidak memberikan sanksi apapun bagi

muzakki yang lalai membayar zakat.

Sementara itu, Didin Hafidhuddin,99

Ketua BAZNAS, berpandangan bahwa

usulan perubahan UU No. 38 Tahun 1999 dinilai positif, terutama dalam

kaitannya dengan penyempurnaan undang-undang tersebut. Ia mengusulkan

beberapa hal dalam penyempurnaan tersebut. Pertama, perlunya sistem

pengelolaan zakat yang terintegrasi secara nasional, tetapi tetap terdesentralisasi

sesuai dengan wilayah penghimpunan zakat. Dalam konteks ini, baik BAZ

maupun LAZ yang selama ini telah berperan aktif harus tetap dipertahankan,

karena kedua-duanya sebenarnya bukan organ pemerintah. Memang BAZ

dibentuk oleh pemerintah, akan tetapi ia bukan organ pemerintah, dan dalam

pelaksanaannya tidak bekerja atas nama pemerintah.100

Kedua, peran negara perlu

diperkuat, terutama dalam mendorong dan memfasilitasi pengelolaan zakat. Ini

sejalan dengan preseden yang ada dalam sejarah Islam, di mana negara (ulu> al-amr) wajib mengatur semua kepentingan masyarakat, tak terkecuali pengelolaan

zakat. Karena itu, BAZ yang dibentuk oleh pemerintah perlu tetap dipertahankan,

demikian juga lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.101

Ketiga, sanksi mestinya tidak hanya berlaku bagi pengelola, tetapi juga bagi

muzakki yang tidak mau membayar zakat. Hal itu karena membayar zakat bukan

sekadar menunaikan kewajiban agama, tetapi juga kewajiban qad}a>’i>, yaitu

kewajiban agama yang bila tidak dijalankan akan berdampak pada hilangnya hak

bagi kaum miskin. Di sinilah fasilitas negara diperlukan. Di beberapa negara, yang

menerapkan sanksi administratif bagi muzakki yang enggan membayar zakat

96 Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 1 ayat (6). 97 Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 1 ayat (9) dan Pasal 32. 98 Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 50. 99 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66. Pandangan ini disampaikan di hadapan

Komisi VIII DPR RI pada Selasa, 4 Mei 2010, ketika diminta pendapat BAZNAS tentang perubahan

undang-undang zakat. 100 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 101 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66

Page 190: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

180

Perkembangan Filantropi Islam

terbukti efektif untuk mendorong peningkatan penerimaan zakat secara

signifikan.102

Keempat, ada insentif bagi pembayar zakat, misalnya sebagai kredit

pajak. Hal ini justru akan meningkatkan keduanya, jika keduanya dilaksanakan

secara terintegrasi. Dengan begitu, data kekayaan wajib pajak dapat dijadikan

sebagai objek zakat, dan sebaliknya data penghasilan yang wajib dizakati dapat

digali untuk meningkatkan perolehan pajak. Menurut Didin Hafidhuddin, kalau

pun penghasilan pajak negara berkurang, hal itu tidak berarti menurun, tetapi

beralih ke sektor zakat.103

Kelima, perlunya Badan Zakat Indonesia (BZI). Ini

dimaksudkan untuk memaksimalkan peran regulasi, pengawasan dan koordinasi

bagi BAZ dan LAZ. Lembaga ini berada di bawah Presiden, yang keanggotaannya

diusulkan oleh kementerian terkait dan penentuannya melalui uji kepatutan dan

kelayakan oleh DPR.104

Keenam, peran masyarakat yang selama ini telah berhasil

tidak boleh dihilangkan. Yang diperlukan adalah bagaimana antara lembaga yang

dibentuk masyarakat (LAZ) dan oleh pemerintah (BAZ) mampu membangun

sinergi, sehingga tidak menciptakan pengelolaan yang tumpang tindih.105

Pandangan di atas sejalan dengan draft RUU Zakat yang diusulkan oleh

BAZNAS. Secara umum, draft yang disusun oleh BAZNAS ini lebih dekat dengan

draft versi DPR dan usulan FOZ. Seperti draft versi FOZ, draft RUU versi

BAZNAS juga mengusulkan adanya Badan Zakat Indonesia, yang akan bertindak

sebagai regulator bagi pengelolaan zakat.106

Adapun yang bertindak sebagai

pengelola zakat adalah BAZ dan LAZ,107

yang memeroleh izin dari BZI.108

Draft

versi BAZNAS juga menekankan sanksi bagi muzakki yang enggan membayar

zakat, yaitu berupa sanksi yang akan ditetapkan oleh BZI.109

Terlihat bahwa BAZNAS melalui usulannya tidak menghendaki adanya

peleburan LAZ ke dalam BAZ seperti disyaratkan dalam draft versi pemerintah.

Sebaliknya, BAZNAS menghendaki adanya sebuah lembaga baru yang akan

menjadi wasit bagi organisasi-organisasi pengelola zakat, baik yang didirikan oleh

pemerintah (BAZ) maupun yang didirikan oleh masyarakat (LAZ). Namun, draft

versi BAZNAS ini juga mendukung keterlibatan negara, terutama pemberian

sanksi bagi mustahik yang enggan atau lalai membayar zakat.

Respons lain dikemukakan oleh sejumlah lembaga yang tergabung dalam

Gerakan Masyarakat Peduli Zakat (GEMAZ).110

Ada beberapa poin penting yang

menjadi sikap gerakan ini. Pertama, zakat pada dasarnya adalah kedermawanan

102 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 103 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 104 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 105 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam

http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 106 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 1 ayat (8) dan Pasal 15. 107 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 21. 108 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 22 dan 26. 109 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 52. 110 Gerakan ini terdiri atas Center for the Study of Religion and Culture (CSRC UIN Jakarta),

Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Dompet Dhuafa (DD), Perhimpunan Filantropi

Indonesia (PFI), PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), YAPPIKA, Indonesian

Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Page 191: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

181

Bab V

masyarakat dan oleh masyarakat dan bagi masyarakat. Dengan demikian, zakat

berada pada ranah masyaraka sipil dan telah terbukti berhasil menggerakkan

aktivitas masyarakat, tanpa banyak bergantung pada negara.111

Kedua, pemerintah

semestinya hanya berperan sebagai regulator, tanpa harus terlibat dalam

pengelolaan dana zakat. Ini dimaksudkan untuk menjamin independensi

masyarakat dan mendukung pengelolaan yang baik (good governance).112

Ketiga,

GEMAZ berharap agar UU tentang Zakat dapat memberikan kejelasan tugas dan

wewenang masing-masing regulator, pengelola dan pengawas.113

Pembagian ini

penting agar profesionalisme zakat dapat tercipta dengan baik.

Keempat, dalam pandangan GEMAZ, pengaturan pengelolaan zakat harus

didasarkan pada keragaman lembaga yang ada dan tidak hanya mengakui satu

bentuk saja. Keragaman itu akan memunculkan sikap profesional di kalangan

lembaga-lembaga itu sendiri dan karenanya pemerintah justru harus memfasilitasi

perkembangannya.114

Di samping empat poin di atas, GEMAZ berpendapat bahwa pembayaran

zakat hendaknya dapat menjadi pengurang wajib pajak. Ini dimaksudkan sebagai

insentif bagi pertumbuhan pajak. Sementara itu, dalam masalah sanksi bagi wajib

zakat, gerakan ini menolaknya. Yang lebih dipentingkan, bagi gerakan ini,

transparansi pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga pengelola.115

Dari berbagai pandangan di atas, setidak-tidaknya ada dua persoalan penting

yang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Yaitu, tatakelola organisasi

zakat dan pemberian sanksi bagi muzakki yang enggan membayarnya. Dalam

bidang organisasi zakat, misalnya, Nasrun Harun menegaskan bahwa LAZ tidak

dibubarkan, tetapi fungsinya saja yang dialihkan, yakni sebagai Unit Pengumpul

Zakat (UPZ), yang tidak boleh menyalurkan zakat. Ditegaskan oleh Nasrun Harun

bahwa hanya BAZ yang memiliki wewenang untuk menyalurkan zakat.116

Meskipun dalam draft revisi tidak disebutkan secara eksplisit kata-kata

‚dihapuskan,‛ beberapa orang menilai bahwa hal itu sama dengan memupus peran

yang selama ini telah dimainkan oleh lembaga-lembaga swasta yang bergerak

dalam pengelolaan zakat. Amelia Fauzia, misalnya, berpendapat bahwa peleburan

LAZ ke dalam BAZ seperti dikehendaki oleh draft revisi sulit dilakukan. Karena

itu, peleburan hanya akan berarti penghapusan. Konsekuensinya, pengembangan

civil society di Indonesia akan mengalami hambatan.117

Pendapat serupa disampaikan oleh Sofyan Syafii Harahap, Direktur Islamic

Economics and Finance, Universitas Trisakti. Menurutnya, draft revisi memang

tidak menyebutkan kata penghapusan LAZ, tetapi menutup perannya untuk

menyalurkan zakat sama dengan mengamputasinya. Karena itu, Sofyan

menyarankan agar BAZ berperan sebatas sebagai regulator (pengatur) dan

pengawas, tanpa harus ikut mengelola dana zakat. Di sini BAZ dapat mengawasi

sejauh mana ketentuan yang ditetapkan telah dilaksanakan oleh LAZ. BAZNAS,

111 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 120. 112 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 113 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 114 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 115 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 116 Republika, 19 Desember 2009. 117 Republika, 19 Desember 2009.

Page 192: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

182

Perkembangan Filantropi Islam

misalnya, harus berperan sebagai jembatan antara civil society dan negara, bukan

sebagai alat komersialisasi pemerintah.118

Sementara itu, Azyumardi Azra menentang keras penghapusan LAZ yang

sudah tumbuh dalam masyarakat. Menurutnya, jika pengelolaan zakat dilakukan

oleh negara atau lembaga yang dibentuk oleh negara, maka pendistribusiannya

akan sangat lambat, sehingga orang yang terkena gempa atau musibah bisa jadi

meninggal duluan sebelum menerima bantuan. Pemerintah, dalam pandangan

Azyumardi, tidak reaktif terhadap musibah, tetapi lembaga-lembaga filantropi

inilah yang berperan paling duluan. Apalagi Kementerian Agama, yang mengurus

haji dan madrasah saja kedodoran, tidak mungkin mampu menghimpun dan

menyalurkan zakat dengan baik. Oleh sebab itu, upaya untuk membubarkan LAZ

harus ditolak.119

Terkait dengan draft RUU tentang zakat, Azra berpendapat bahwa

pemerintah cukup sebagai regulator dan pengawas dalam penghimpunan dan

pendistribusian zakat, dan tidak bertindak sebagai operator. Ia melihat bahwa

RUU tersebut hanya ingin memperkuat posisi pemerintah, yang akan memenopoli

pengelolaan zakat hampir secara keseluruhan. Hal ini tentu berlawanan dengan

kenyataan sejarah, di mana zakat selama berabad-abad telah dikelola oleh

masyarakat melalui berbagai lembaga, apakah organisasi Islam, masjid-masjid

atau lainnya. Yang juga tidak kalah pentingnya, meskipun dikelola secara

konvensional, terbukti banyak pesantren, sekolah Islam, rumah sakit, klinik

kesehatan dan bahkan kebutuhan operasional organisasi-organisasi Islam yang

didirikan dan dibiayai oleh dana zakat dan infak/shadaqah. Dengan begitu,

lembaga-lembaga Islam tidak selalu menggantungkan pada subsidi pemerintah

dan dapat berperan sebagai civil society yang mendorong lahirnya budaya sipil,

yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat demokratis.120

Azra lebih jauh mengidentikkan modus pemerintah yang hendak melakukan

sentralisasi zakat ini dengan modus yang telah dilakukan Gamal Abdul Naser

dalam menasionalisasi Universitas Al-Azhar Kairo. Seperti dimaklumi,

universitas ini memiliki sumber dana filantropi yang sangat besar, sehingga

mampu berdikari tanpa sedikit pun bergantung pada subsidi pemerintah, dan

bahkan dapat memberikan beasiswa bagi mahasiswa dari berbagai negara. Akan

tetapi, setelah dinasionalisasi oleh Naser, lembaga ini menjadi bergantung pada

pemerintah. Ide sentralisasi pengelolaan zakat di Indonesia ini, karenanya, hanya

akan membonsai lembaga-lembaga pengelola zakat masyarakat, dan pada

akhirnya akan ‚mengancam independensi umat Islam.‛121

Persoalan sentralisasi pengelolaan zakat ini sebenarnya adalah persoalan

apakah zakat harus dikelola oleh negara sepenuhnya, tanpa memberi ruang bagi

publik, ataukah menyerahkan sepenuhnya kepada publik. Dua pilihan ini tentu

tidak realistis, mengingat ketika zakat sudah masuk ke dalam ranah hukum, maka

akan terjadi persinggungan kepentingan antara negara dan publik. Seperti

ditunjukkan di bagian awal bab ini, sejumlah lembaga pengelola zakat swasta

118 Republika, 19 Desember 2009. 119 Republika, 19 Desember 2009. 120 Azyumardi Azra, ‚Negara dan Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.uinjkt.ac.id/index.php/

section-blog/28-artikel/1410-negara-dan-pengelolaan-zakat.html 121 Azyumardi Azra, ‚Konsep Pemerintah Bisa Mengancam Independensi Umat Islam,‛ Infoz,

Edisi 4 Tahun VI (2010), 9.

Page 193: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

183

Bab V

telah menunjukkan kinerjanya dengan baik sehingga memeroleh kepercayaan

masyarakat. Karena itu, sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara bukan saja

tidak tepat, tetapi bisa jadi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.122

Ini memiliki preseden dalam sejarah perzakatan di Indonesia. Pada masa

pemerintahan Orde Baru, Soeharto bersedia mengelola zakat secara nasional.

Gagasan ini didukung oleh beberapa ulama seperti Hamka dan KH. Hasan Basri.

Akan tetapi, selama tiga tahun ia mengelola, terbukti hasilnya jauh dari perkiraan,

yakni hanya sebesar 39,5 juta rupiah dan 2,475 dollar Amerika. Padahal,

diprediksi saat itu dana yang dapat dihimpun mencapai 2,5 trilyun rupiah setiap

tahunnya.123

Ini membuktikan bahwa sentralisasi pengelolaan zakat tidak

menyelesaikan persoalan.

Lebih jauh, Amelia Fauzia menilai peleburan LAZ ke dalam BAZ sangat

tidak realistis. Yang demikian itu karena perbedaan ideologi yang dipegang oleh

masing-masing LAZ dan BAZ. Jika yang pertama tumbuh dari masyarakat

(bottom-up), yang kedua dibentuk oleh pemerintah (top-down). Menurut Amelia

Fauzia, sejumlah studi tentang peleburan atau merger lembaga filantropi

membutuhkan kesamaan ideologi, visi, landasan, donatur dan lain sebagainya.

Amelia memberikan contoh bagaimana BAZNAS dan Dompet Dhuafa telah

melakukan merger dalam bidang manajemen pada 2006. Namun, upaya itu hanya

berjalan selama satu tahun. Ini membuktikan bahwa penggabungan dua lembaga

saja yang berbeda ideologi, setidak-tidaknya, sulit dilakukan. Apalagi jika

penggabungan itu dilakukan oleh sebegitu banyak LAZ. Lebih jauh, LAZ pada

dasarnya adalah lembaga civil society, yang melakukan pemberdayaan terhadap

masyarakat dan berusaha menyejahterakan mereka. Karena itu, jika LAZ ini

dilebur, masyarakat akan kehilangan manfaat yang telah mereka terima darinya, di

samping kepercayaan donatur yang diberikan kepadanya mungkin juga akan

hilang. Akibatnya, peleburan itu menjadi kontraproduktif bagi pertumbuhan civil

socity, sekaligus memundurkan filantropi Islam di Indonesia.124

Sementara itu, Ahmad Sutarmadi, salah seorang perumus RUU tentang

Pengelolaan Zakat, menegaskan bahwa semangat undang-undang tersebut pada

dasarnya adalah desentralisasi, dalam arti bahwa tidak seluruh persoalan harus

dikelola oleh pemerintah, termasuk zakat. Ini sejalan dengan semangat reformasi

saat itu, yang lebih didominasi oleh kekuatan sipil. Bahkan, dalam penyusunan

RUU pun, pemerintah hanya bertindak sebagai sekretaris. Adapun terhadap

pandangan bahwa LAZ hanya diperbolehkan bagi organisasi massa (Ormas) Islam,

ia merespons bahwa sebenarnya LAZ sudah banyak, karena itu undang-undang ini

juga mengakomodir keberadaan mereka yang telah berkiprah. Karena itu, gagasan

pemerintah yang akan melebur LAZ ke dalam BAZ dipandangnya sebagai upaya

yang tidak bijak. Kalau pun ada LAZ yang tidak berkinerja bagus, hal itu tidak

bisa dijadikan alasan untuk menggeneralisasi seluruh LAZ.125

122 Syamsul Ma’arif, ‚Mengawal Zakat di Parlemen,‛ dalam http://imz.or.id/new/article/118/

mengawal-zakat-di-parlemen/ 123 Amelia Fauzia, ‚Centralizing Zakat: The Wrong Solution,‛ dalam

http://ameliafauzia.blogspot.com/2009/12/centralizing-zakat-wrong-solution_18.html. 124 Amelia Fauzia, ‚Peleburan LAZ Berarti Mematikan Gerakan Civil Society,‛ dalam

http://ameliafauzia.blogspot.com/2009/12/peleburan-laz-berarti-mematikan-gerakan.html (diakses 20

November 2010). 125 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara

dalam Infoz, 4:6 (2010), 25-27.

Page 194: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

184

Perkembangan Filantropi Islam

Sejalan dengan itu, Uswatun Hasanah menyarankan agar BAZ dan LAZ

dipertahankan karena terbukti keduanya telah mendapat kepercayaan masyarakat

dalam membayar zakat. Lebih jauh, ia mengusulkan agar ada lembaga negara,

seperti Badan Zakat Nasional, yang berwenang membuat peraturan dan

melakukan pengawasan terhadap BAZ dan LAZ.126

Pandangan ini sesuai dengan

usulan BAZNAS sebagaimana disebutkan di muka.

Dari uraian di atas terlihat bahwa kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 telah

memberikan landasan kuat bagi pengelolaan zakat di Indonesia, meskipun dalam

pelaksanaannya belum mendatangkan hasil secara maksimal. Upaya revisi

terhadap undang-undang tersebut kini tengah dipersiapkan dan dibicarakan di

DPR bersama dengan pemerintah. Jika draft revisi yang diajukan oleh pemerintah

disetujui, beberapa dampak negatif bagi filantropi Islam tampaknya tidak dapat

dihindari. Pertama, lembaga-lembaga filantropi Islam yang bergerak dalam bidang

penghimpunan zakat hanya akan berperan sebagai ‚pekerja,‛ yakni sekadar

sebagai penghimpun zakat, sedangkan pendistribusiannya hanya berada di tangan

BAZ yang dibentuk oleh pemerintah. Mengingat kebijakan penyaluran ada di

pihak pemerintah, tidak menutup kemungkinan penyaluran tersebut harus melalui

birokrasi yang panjang. Kedua, sentralisasi pengelolaan zakat juga menunjukkan

bahwa independensi umat Islam akan tercerabut. Selama ini, sejumlah lembaga

dengan bebas menggali dana zakat dari masyarakat untuk kepentingan ibadah,

pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Dengan adanya undang-undang baru

tersebut, lembaga-lembaga harus menunggu persetujuan dari BAZ yang dikelola

oleh pemerintah. Karena itu, gagasan ini hanya akan membuat lembaga-lembaga

tersebut mengalami ketergantungan kepada pemerintah. Padahal, salah satu

semangat reformasi adalah desentralisasi, di mana masyarakat dapat berperan

aktif, termasuk dalam pengelolaan zakat. Ketiga, sentralisasi pengelolaan zakat

oleh pemerintah tidak menutup kemungkinan akan menurunkan kepercayaan

masyarakat. Hal itu terbukti pernah terjadi pada masa Orde Baru di bawah kendali

Soeharto. Akibatnya, semangat orang berzakat yang kini tengah tumbuh bisa

melorot karena ketidakpercayaan mereka terhadap pengelolaan pemerintah.

Pada masa Nabi Saw., zakat memang tidak dipisahkan dari urusan negara.

Ini dibuktikan di antaranya dengan membentuk lembaga perwakilan untuk

memungut dan mendistribusikan zakat. Dengan kata lain, pengelolaan zakat bisa

dilakukan dengan mengangkat wakil oleh negara. Hal itu dicontohkan oleh Nabi

Saw., yang mengangkat Mu‘a>dh ibn Jabal sebagai petugas zakat di Yaman, di

samping pengajar agama sebagai tugas utamanya.127

Hingga batas tertentu, BAZ dapat dipandang sebagai wakil pemerintah

mengingat beberapa hal berikut ini. Pertama, dari segi pembentukannya, BAZ

dibentuk oleh pemerintah dari tingkat pusat hingga tingkat kecamatan.128

Kedua,

dari segi keanggotaan pengurus, BAZ diisi oleh sebagian orang-orang pemerintah,

di samping tokoh-tokoh masyarakat. Ini disebutkan secara eksplisit dalam UU No.

38 Tahun 1999 Pasal 6 ayat (4). Ketiga, BAZ juga memeroleh bantuan dari

pemerintah sebagai dana operasional yang diambil dari anggaran pemerintah di

126 Uswatun Hasanah, ‚Penataan Lembaga Amil Zakat di Indonesia dan Permasalahannya,‛

Jurnal Syari‘ah, 2:2 (Januari-Juni 2010), 18. 127 ‚Waka>lah,‛ dalam al-Mawsu> ‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 30. 128 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 6 ayat (2).

Page 195: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

185

Bab V

masing-masing tingkatannya.129

Dengan kata lain, meskipun memiliki

independensi, BAZ tidak mungkin bisa beroperasi tanpa keterlibatan negara dan

karenanya tetap tunduk kepada negara.

Meskipun demikian, dalam sejarah Islam, ada juga preseden bahwa zakat

diserahkan wewenang pengumpulan dan pendistribusiannya kepada masyarakat

(tawliyah). Ini terjadi pada masa Khalifah ‘Uthma>n ibn ‘Affa>n. Berbeda dengan

dua khalifah sebelumnya, kebijakan khalifah ketiga dalam masalah zakat ini

mengalami perubahan, terutama dalam hal pemungutan. ‘Uthma>n tetap

melibatkan negara, namun membolehkan masyarakat untuk membayarkan

zakatnya secara langsung kepada mustahik. Kebijakan ini diambil karena

dilatarbelakangi oleh sikap yang merugikan kedua belah pihak, baik amil maupun

muzakki. Di satu sisi, petugas zakat dipermalukan karena harus mengejar-ngejar

kekayaan masyarakat dan, di sisi lain, masyarakat juga merasa terganggu

privasinya karena kekayaannya harus dibongkar oleh petugas zakat. Atas dasar

itu, ‘Uthma>n kemudian mengambil jalan tengah, dengan menugaskan pengumpul

untuk menarik zakat atas harta yang terlihat saja (z}a>>hirah) dan menyerahkan

kepada masyarakat sendiri zakat atas harta yang tidak terlihat (ba>t}inah) dan

menyerahkannya langsung kepada mustahik atau lembaga resmi negara.

Berdirinya LAZ di Indonesia ini merupakan bentuk dari pemberian

kewenangan (tawliyah) negara kepada masyarakat. Sebelumnya, lembaga-

lembaga ini mewujudkan diri dalam individu-individu, seperti kyai, ustadz, atau

tokoh agama lainnya, di samping kepada lembaga-lembaga pendidikan atau

organisasi keagamaan, seperti pesantren, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan

sebagainya. Akan tetapi, potensi besar zakat dari masyarakat dan kurangnya

efektitivatas lembaga-lembaga ini mendorong berdirinya sejumlah LAZ yang

belakangan ini semakin banyak jumlahnya.

Dari uraian di atas, kedua lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh

pemerintah (BAZ) dan masyarakat (LAZ) memiliki justifikasi historis dalam

sejarah Islam. Karenanya, keduanya dapat beroperasi secara beriringan, asalkan

dilakukan secara sinergis dan dengan semangat membangun masyarakat, yang

menjadi tujuan disyariatkannya zakat itu sendiri.

129 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 23.

Page 196: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

186

BAB VI

PENUTUP

Dalam bab-bab sebelumnya telah diuraikan secara panjang lebar tentang zakat dan

wakaf serta kaitannya dengan negara. Diawali dari kondisi pengaturan zakat dan

wakaf, pembahasan telah dilanjutkan dengan dampak disahkannya undang-undang

tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf dalam bentuk

lembaga-lembaga filantropi Islam. Sebagai penutup, bab ini akan menguraikan

kesimpulan bahasan dan implikasinya sebagai saran-saran.

A. Kesimpulan

Persoalan utama yang diangkat dalam disertasi ini adalah hubungan negara

pasca-Orde Baru dengan filantropi Islam. Persoalan ini telah mengalami dinamika

yang tak pernah berhenti sejak Indonesia merdeka. Salah satu sebabnya adalah

posisi negara yang berada di antara kutub sekular dan teokratis, atau bukan negara

sekular sekaligus bukan negara agama. Posisi seperti itu memunculkan persoalan,

di antaranya, seberapa jauh negara harus terlibat dalam masalah zakat dan wakaf.

Persoalan filantropi Islam, yang meliputi zakat dan wakaf, merupakan

pranata yang sangat potensial secara ekonomis. Dalam sejarahnya, filantropi

Islam telah berperan penting dalam penyebaran Islam, pendirian lembaga-lembaga

pendidikan dan lain sebagainya. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa

filantropi Islam telah membantu menyejahterakan masyarakat, khususnya, mereka

yang tidak mampu. Karena itu, filantropi Islam mendapat perhatian yang besar

dari negara-negara, khususnya negara-negara Muslim.

Dalam situasi krisis multidimensi, terutama krisis ekonomi, pemerintah

Indonesia pasca-Orde Baru melihat zakat dan wakaf dapat membantu masyarakat

yang jumlah kemiskinannya semakin meningkat. Karena itu, pemerintah

mengakomodasinya melalui undang-undang, yang memang menjadi aspirasi kaum

Muslim Indonesia. Sebenarnya, usaha-usaha agar zakat diundangkan telah lama

dilakukan, bahkan sejak masa pemerintahan Soekarno dan terus berlangsung

hingga masa pemerintahan Soeharto. Akan tetapi, upaya itu mengalami kegagalan

karena otoritarianisme rezim yang dipimpin oleh kedua presiden itu. Di samping

itu, kecurigaan sebagian masyarakat lain bahwa hal itu dapat mengarah pada

pemberlakuan Piagam Jakarta.

Dengan bergulirnya reformasi, yang memberikan kebebasan, aspirasi itu

mengemuka kembali dan diterima dengan baik oleh pemerintah. Adapun faktor-

faktor yang mendorong diakomodasinya aspirasi itu adalah sebagai berikut.

Pertama, faktor historis, yaitu bahwa aspirasi ini telah lama menjadi keinginan

umat Islam. Kedua, faktor ekonomis, yaitu potensi zakat yang diyakini dapat

menyejahterakan masyarakat dan karenanya memerlukan pengelolaan yang baik.

Ketiga, faktor yuridis, yaitu lemahnya peraturan tentang zakat, di mana tumpang

tindih antara peraturan-peraturan itu, sehingga melemahkan pengelolaan zakat.

Page 197: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

187

Bab VI

Meskipun telah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pengelolaan zakat

masih tumpang tindih karena peraturan yang tidak menyeluruh. Keempat, faktor

sosial-politik, yaitu di samping posisi Presiden Habibie, yang memiliki kedekatan

dengan FOZ, yang mempersiapkan draft RUU, kepentingan politik bagi karier

politiknya ke depan juga mendorongnya mengakomodasi aspirasi umat Islam,

dengan harapan dapat menarik simpati masyarakat. Lebih dari itu, DPR pun

memiliki kepentingan untuk menunjukkan sikap aspiratifnya terhadap

kepentingan masyarakat.

Sementara itu, wakaf juga merupakan pranata yang memiliki potensi

ekonomis yang sangat besar, dan karenanya diakomodasi dalam undang-undang

oleh negara. Adapun faktor-faktor yang mendorong diakomodasinya RUU tentang

Wakaf, di samping karena pengalaman beberapa negara lain, juga karena faktor-

faktor berikut. Pertama, faktor ekonomi dan kesejahteraan. Seperti zakat, wakaf

diyakini dapat membantu kesejahteraan masyarakat miskin, yang berarti dapat

membantu tugas negara. Kedua, kurang memadainya peraturan yang ada. Sejauh

ini, wakaf diatur dalam berbagai peraturan yang melibatkan lembaga-lembaga

yang berbeda. Ketiga, faktor politik. Selama ini Presiden Megawati dicurigai akan

menghambat aspirasi Islam, sehingga kampanye penolakan terhadap

kepresidennya telah lama terjadi. Untuk menghindari kesan itu, pemerintahannya

mengakomodasi kepentingan umat Islam.

Dengan diakomodasinya dua bentuk filantropi Islam, yakni zakat dan wakaf,

ke dalam undang-undang, hubungan Islam dan negara pasca-Orde Baru tampak

bersifat saling terkait secara substansial, meskipun keduanya merupakan entitas

yang berbeda. Keterlibatan ini telah memposisikan negara sebagai legislator,

supervisor sekaligus sebagai fasilitator dalam persoalan zakat dan wakaf. Kondisi

ini membantah penilaian bahwa Indonesia adalah negara sekular, seperti yang

dikemukakan oleh Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ira M. Lapidus, Adam

Schwarz dan Riaz Hasan.

Di samping itu, disahkannya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat dan

Undang-undang tentang Wakaf memiliki implikasi positif bagi perkembangan

pengelolaan kedua pranata ini di Indonesia, yang ditunjukkan dengan

meningkatnya lembaga filantropi Islam. Lembaga-lembaga ini akan memperkokoh

civil society, yang sangat dibutuhkan bagi sebuah negara demokratis seperti

Indonesia. Akan tetapi, perkembangan itu akan mengalami pemiskinan peran, jika

rencana amandemen RUU tentang Pengelolaan Zakat akan mengakomodir

gagasan peleburan lembaga-lembaga filantropi yang dibentuk masyarakat, yang

selama ini telah berkiprah besar dalam masyarakat. Meskipun demikian, tarik

menarik antara kepentingan negara dan lembaga-lembaga swasta terhadap

persoalan filantropi ini tampaknya belum berakhir.

B. Saran-saran

Dari hasil penelitian ini ada beberapa catatan yang patut dikemukakan

sebagai rekomendasi. Pertama, dalam negara yang demokratis saat ini, umat Islam

mempunyai peluang sangat besar untuk menyampaikan aspirasinya. Akan tetapi,

aspirasi itu harus didasarkan pada “public reason” yang dapat diterima oleh semua

pihak, sehingga tidak terkesan diskriminatif. Maksudnya, alasan-alasan aspirasi

itu tidak semata-mata untuk kepentingan umat, tetapi juga bagi bangsa secara

keseluruhan. Kedua, perjuangan politik mempunyai signifikansi yang sangat

Page 198: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

188

Penutup

tinggi bagi penyampaian aspirasi umat. Karena itu, keterlibatan Muslim dalam

politik sudah seharusnya menjadi perhatian mereka. Dengan begitu, aspirasi umat

akan lebih mudah tersalurkan.

Page 199: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

189

Addendum

Rencana Revisi UU No. 38 Tahun 1999 dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam

Setelah satu dasawarsa disahkan, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan

Zakat banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Dari pihak pemerintah

(Direktorat Pengembangan Zakat), potensi zakat yang diprediksi mencapai

puluhan trilyun, terbukti hanya berhasil dikumpulkan sebesar sekitar 1,2 trilyun,

padahal undang-undang telah disahkan dan peraturan yang terkait telah

dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Diduga penyebab tidak

teraktualisasikannya potensi itu adalah lemahnya undang-undang itu sendiri dan

desentralisasi pengumpulan zakat.

Kelemahan utama undang-undang tersebut, dalam pandangan pihak ini,

adalah bahwa meskipun zakat telah ditegaskan sebagai kewajiban, hal itu tidak

dibarengi dengan sanksi apa yang mesti diterima jika seseorang yang telah mampu

membayar zakat, tetapi ia melalaikannya. Sementara itu, kelemahan fundamental

dalam pengelolaan, menurut pihak ini, adalah banyaknya lembaga pengumpul

zakat yang tidak tersentralisasi. Ini ditunjukkan dengan adanya BAZ yang

dibentuk oleh pemerintah, yang merentang dari pusat hingga tingkat kecamatan,

di samping adanya LAZ yang dibentuk oleh masyarakat, dari tingkat nasional

hingga kabupaten/kota. Padahal, LAZ yang diamanatkan oleh undang-undang

adalah organisasi massa (ormas) keagamaan yang bergerak dalam bidang dakwah,

pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam. Akan tetapi, banyak lembaga

pengelola zakat yang tidak memenuhi kriteria itu. Akibatnya, dana ZIS yang

terkumpul menjadi tercecer di berbagai lembaga, dan penyalurannya pun tidak

satu arah.

Kritik terhadap UU No. 38 Tahun 1999 juga dikemukakan oleh para aktivis

pengelola zakat, terutama yang tergabung dalam Forum Zakat (FOZ). Dalam

pandangan pihak ini, kelemahan mendasar undang-undang ini adalah tidak adanya

sanksi yang mesti diberikan kepada muzakki yang enggan membayarkan

zakatnya. Lebih jauh, pihak ini juga menyadari kurangnya koordinasi di antara

sesama lembaga pengelola zakat.

Kondisi di atas mendorong pemerintah untuk mengajukan revisi terhadap

undang-undang zakat yang ada. Di antara poin penting yang hendak dimasukkan

dalam revisi tersebut adalah penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai membayar

zakat. Selain itu, masalah zakat sebagai pengurang wajib pajak juga menjadi

usulan penting dalam revisi ini, mengingat dalam pelaksanaannya hal itu tidak

berjalan dengan baik. Yang penting lagi, LAZ yang selama ini telah aktif terlibat

dalam pengelolaan zakat akan dialihkan fungsinya sekadar sebagai pengumpul

zakat, tanpa diberi kewenangan untuk menyalurkannya.

Terhadap gagasan ini, banyak pihak yang mengajukan keberatan, di

antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, jika hanya BAZ yang diberikan

kewenangan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan dana zakat, sementara

LAZ hanya berwenang mengumpulkan tanpa mendistribusikan, ini berarti ada

upaya sentralisasi atau nasionalisasi pengelolaan zakat. Kedua, melalui upaya

sentralisasi ini, negara berarti telah melibatkan secara total terhadap pengelolaan

zakat, bukan sekadar sebagai regulator, tetapi juga sebagai operator sekaligus.

Ketiga, lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat secara otomatis akan

dilemahkan, karena posisinya hanya sebagai pengumpul zakat minus

Page 200: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

190

pendistribusiannya. Padahal, selama ini dengan dana zakat yang berhasil

dikumpulkan, lembaga-lembaga ini telah berhasil memainkan perannya dalam

penguatan masyarakat sipil (civil society) dalam berbagai bidang, seperti

pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Bahkan, dalam penyusunan awal RUU

tentang zakat pasca-Orde Baru, peran lembaga-lembaga tersebut tidak dapat

diabaikan.

Dalam pandangan saya, beberapa persoalan di atas sebenarnya bisa

diselesaikan. Terhadap masalah nasionalisasi zakat, misalnya, hal itu pernah

dilakukan di beberapa negara Muslim, tetapi tidak seluruhnya berhasil dengan

mulus. Arab Saudi dan Pakistan barangkali dapat disebut sebagai contoh yang

berhasil dengan mulus. Hal itu karena sikap total yang ditunjukkan oleh negara,

sehingga terkait dengan kementerian yang ada. Ini tentu sulit dilakukan di

Indonesia, karena belum ada sinkronisasi antarkementerian. Sebagai contoh,

dalam undang-undang ditegaskan bahwa pembayaran zakat dapat mengurangi

wajib pajak. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal itu belum terlaksana hingga

hari ini. Jika hal itu dilaksanakan, secara otomatis dana zakat yang bisa terkumpul

saat ini sudah mencapai trilyunan rupiah, karena secara otomatis orang yang

membayar pajak berarti akan terkurangi 2,5% sebagai pembayaran zakat. Ini tidak

terjadi, di antaranya, karena keterkaitan antarkementerian belum terjalin dengan

baik.

Lebih jauh, jika hanya pemerintah yang berhak mendistribusikan zakat,

maka pengeluarannya harus melalui birokrasi negara. Karena itu bisa

dibayangkan, betapa lamanya pendistribusian ini akan sampai kepada mustahik,

apalagi untuk kepentingan-kepentingan mendesak lainnya, seperti bencana alam

dan sebagainya. Sebaliknya, efektivitas pendistribusian ini justru ditunjukkan oleh

LAZ karena tidak harus melalui birokrasi yang panjang dan lebih bisa dirasakan

oleh masyarakat secara langsung. Lembaga-lembaga swasta itu terbukti selalu

berada di garda depan dalam penanggulangan bencana alam dan sebagainya.

Lebih penting lagi, jika hanya pemerintah yang berhak menyalurkan dana

zakat, ini akan memunculkan masalah kepercayaan (trust) masyarakat. Sejauh ini,

LAZ dengan berbagai upayanya telah berhasil meraih kepercayaan itu, yang

dibuktikan dengan keberhasilan mereka dalam menghimpun dana zakat dalam

jumlah yang sangat besar. Pertanyaannya, ketika pendistribusiannya hanya berada

di tangan pemerintah, apakah kepercayaan itu akan tetap bertahan, jika lembaga

yang selama ini mereka percaya hanya berperan sebagai pengumpul? Preseden ini

telah terjadi pada masa Orde Baru, di mana ketika Soeharto menjadi amil

nasional, justru dana yang berhasil dihimpun hanya sedikit.

Sementara itu, dengan dihapusnya peran pendistribusian zakat dari LAZ, ini

berarti gerak lembaga yang terakhir akan terpasung. Semua yang membutuhkan

dana zakat, secara otomatis harus meminta kepada pemerintah dan

konsekuensinya semua akan bergantung kepada pemerintah. Padahal, semangat

reformasi, tak terkecuali semangat penyusunan awal RUU tentang zakat, adalah

partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan kata lain, semangat

partisipatoris ini dapat diwujudkan melalui civil society. Akan tetapi, jika dana

filantropi itu sendiri hanya berada di tangan pemerintah, peran civil society, tanpa

dana filantropi, dipastikan akan kembang kempis (la>-yah}ya> wala>-yamu>t) dan bisa

jadi mati. Karena itu, kedua-duanya, BAZ dan LAZ, harus dipertahankan dan

diupayakan berjalan secara sinergis. Memang, dana yang terkumpul tersebar

Page 201: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

191

dalam berbagai lembaga. Akan tetapi, jika terkumpul hanya dalam lembaga

pemerintah, apakah ada jaminan hal itu bisa dirasakan oleh masyarakat secara

merata? Sebenarnya, adanya LAZ merupakan salah satu bentuk reaksi masyarakat

terhadap konsentrasi pembayaran pajak, yang terbukti tidak berhasil juga

memeratakan kesejahteraan masyarakat. Jangan-jangan kalau dana zakat juga

terkonsentrasi di pihak pemerintah akan mengalami nasib serupa.

Terhadap sanksi bagi muzakki yang enggan membayar zakat, hal itu

sesungguhnya tidak mudah dilakukan. Di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan

Pakistan, hal itu berhasil dilakukan karena melibatkan banyak pihak atau

departemen. Sementara di Malaysia, hal itu hanya berhasil di Kuala Lumpur dan

Petaling Jaya dan tidak berhasil diterapkan di negara bagian lainnya. Kegagalan

ini, di antaranya, diakibatkan oleh tidak adanya database tentang muzakki dan

mustahik yang akurat. Jika sanksi tersebut diterapkan di Indonesia, pasti tidak

mudah, apalagi penegakan hukum di negeri ini terhadap pelanggar pajak saja

masih belum bisa diandalkan. Di samping itu, zakat pada dasarnya adalah masalah

filantropi—meskipun wajib secara keagamaan—yang didasarkan pada tanggung

jawab moral masyarakat. Jika diterapkan sanksi di dalamnya, hal itu menunjukkan

zakat bukan lagi persoalan ibadah dan filantropi, tetapi memiliki kedudukan

serupa dengan pajak. Karena itu, penerapan sanksi bagi muzakki hanya akan

mempersulit pemerintah sendiri.

Dari uraian di atas, saya melihat bahwa pengelolaan zakat yang selama ini

telah berjalan perlu dipertahankan, namun juga diperbaiki dalam hal pengawasan

dan sinerginya. Dengan begitu diharapkan zakat yang memiliki misi

menyejahterakan masyarakat dapat diwujudkan dan bisa dirasakan masyarakat.

Page 202: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

192

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Artikel

‘Abd Alla>h, Ah}mad ‘Ali. ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa al-Amwa>l

al-Zakawiyyah: Jumhu>riyyat al-Su>da>n wa al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-

Su‘u>diyyah,‛ dalam al-It}a>r al-Mu’assisi> li al-Zaka>h: ’Ab‘a>duh wa-Mad}a>mi>nuh, ed. Bu>‘alla>m ibn Jala>li> dan Muh}ammad al-‘Ilmi>. Jeddah:

IRTI-IDB, 2001.

‘Abd Alla>h, ‘Uthma>n H{usayn. al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i> al-Isla>mi>. Mans}u>rah: Da>r al-Wafa>’ li al-T{iba>‘ah wa al-Nashr, 1989.

Agung, Wahyu Dwi. ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi

Zakat sebagai Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Kuntoro

Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (eds.), Zakat dan Peran Negara.

Jakarta: Forum Zakat, 2006.

Ahmed, Habib. Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation. Jeddah: IRTI-

IDB, 2004.

Ali, Imtiaz B. Waqf: A Sustainable Development Institution for Muslim Communities. Valsayn, Trinidad and Tobago: Takaful T&T Friendly

Society, 2009.

Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI

Press, 1988.

---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

Alterman, Jon B. dan Shireen Hunter. The Idea of Philanthropy in Muslim Contexts. Washington, DC: Center for Strategic and International Studies,

2004.

Anderson, Lindsay. Conspicuous Charity. Tesis MA. Texas: Texas A&M

University, 2007.

Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World. London: The Athlone

Press, 1976.

Anheier, Helmut K. dan Regina A. List. A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the Non-Profit Sector. London-New York: Routledge,

2005.

Anonimous. Al-Was}a>ya> wa al-Awqa>f fi> al-Fiqh al-Isla>mi>. Beirut: al-Muassasah al-

Ja>mi‘iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr, 1996.

Anshory, Maria Ulfah. ‚Filantropi Islam dan Penguatan Hak Asasi Manusia,‛

dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed.

Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003.

Page 203: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

193

Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani

Press, 1996.

Arjomand, Said Amir. ‚Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam

pra-Modern,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren F.

Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, terj. Tim CRCS.

Jakarta: CRCS UIN Jakarta, 2007.

Al-‘Asqala>ni>, Ibn H}ajar. Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m. Riya>d}:

Maktabat Da>r al-Sala>m, 1997.

Aulawi, A. Wasit. ‚Sejarah Perkembangan Hukum Islam,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. Jakarta:

Gema Insani Press, 1996.

Awad, Mohammad Hashim. ‚Adjusting Tax Structure to Accommodate Zakah,‛

dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed. I.A. Imtizi

et.al. Jeddah: IDB-IRT, 2000.

‘Awdah, ‘Abd al-Qadi>r. al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad}‘i>. Kairo: Maktabat Da>r al-‘Uru>bah, 1963.

Azhari, M. Tahir. ‚Zakat dan Aplikasinya dalam Konteks Kesejahteraan Sosial,‛

Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang Pengelolaan Zakat,

Departemen Agama, Jakarta, 30 Agustus 1999.

Azra, Azyumardi. Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan,

2000.

---------. ‚The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of the

Shari‘a for Social Changes,‛ Jurnal Istiqra’, 6:6 (Juli-Desember 1992).

---------. ‚The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of the

Shari‘a for Social Changes,‛ dalam Sharia and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore: ISEAS, 2003.

---------. ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum

Zakat, 2006.

---------. ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta:

Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

---------. Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context. Jakarta-

Singapore: Solstice Publishing, 2006.

---------. “Faktor Islam di Indonesia Pasca-Soeharto,” dalam Indonesia di Tengah

Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, ed. Chris Manning dan

Peter van Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. Yogyakarta: LKiS,

2000.

---------. “Southeast Asian Islam in the Post-Bali Bombing: Debuking the Myth,”

dalam Indonesian Today: Problems and Perspectives, ed. Norbert Eschborn,

Sabrina Hackel and Joyce H. Richardson. Jakarta: Konrad-Adenauer-

Stiftung, 2004.

Babbie, Earl. The Practice of Social Research. Westford: Wadsworth Publishing

Company, 1998.

Page 204: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

194

Al-Ba>ju>ri>, Ibra>hi>m. H}a>shiyat al-Ba>ju>ri> ‘ala> Ibn Qa>sim al-Gha>zi>, jilid 1. Kairo: ‘I>sa>

al-Ba>bi> al-H}alabi>, t.th.

Bakar, Irfan Abu dan Chaider S. Bamualim, eds. Filantropi Islam dan Keadilan

Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di

Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006.

Bamualim, Chaider S. dan Irfan Abu Bakar, eds. Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta:

Pusat Bahasa dan Budaya, UIN Jakarta, 2005.

Bamualim, Chaider S. ‚Islamic Philanthropy in Indonesia: Trends and Challenges

towards Social Justice,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN

Jakarta, 2009.

Bashear, Suliman. ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in

Early Islam,‛ Arabica, 15 (1993).

Behrens-Abouseif, Doris. ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 10.

Leiden: Brill, 2000.

Bell, John Sophie Boyron dan Simon Whittaker. Principles of French Law.

Oxford: Oxford University Press, 1998.

Bell, Richard. Introduction to the Quran. Edinburgh: Edinburgh University Press,

1953.

Bell, Richard. The Origin of Islam in its Christian Environment. Edinburgh:

Edinburgh University Press, 1925.

Berg, Bruce L. Qualitative Research Methods for the Social Sciences. Boston-

London: Allyn and Bacon, 1995.

Berger, M. ‚Khayr,‛ The Encyclopedia of Islam, ed. Jane D. McAuliffe, vol. 4.

Leiden: Brill, 1997.

Bikmen, Filiz. ‚The Rich History of Philanthropy in Turkey: A Paradox of

Tradition and Modernity,‛ dalam Philanthropy in Europe: A Rich Past, A Promising Future, ed. Norine Mac-Donald and Luc Tayart de Borms.

London: Alliance Publishing Trust, 2008.

---------. “Progress on Civil Society Legislation in Turkey,” International Journal

of Not-for-Profit Law, 7:2 (2005).

---------. “A Move in the Right Direction, But Not the Destination: Turkey’s New

Foundation Law,” International Journal of Not-for-Profit Law, 10:3 (2008).

Biro Perbankan Syariah BI, ‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai:

Sebuah Kajian Konseptual,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam,

ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah. Jakarta: Pusat Studi Timur

Tengah dan Islam UI, 2006.

Bremer, Jennifer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building

Social Justice,‛ paper disampaikan pada CSID (Center for the Study of

Islam and Democracy) 5th

Annual Conference ‚Defining and Establishing

Justice in Muslim Societies.‛ Washington DC, 28-29 Mei 2004.

Brockelmann, C. History of Islamic Peoples. Albany, NY: SUNY Press, 1947.

Budihardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1992.

Page 205: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

195

Al-Bujayrimi>, Sulayma>n. Tuh}fat al-H{abi>b ‘ala> Sharh} al-Khat}i>b. Kairo: Mus}t}afa> al-

Ba>bi> al-H{alabi>, 1951.

Cammack, Mark. ‚Indonesia’s 1989 Religious Judicature Act: Islamization of

Indonesia or Indonenization of Islam?‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore:

ISEAS, 2003.

Carmona, A. ‚Wakf in Spain,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill,

2000.

Cizakca, Murat. ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-Nuqu>d)

for Modern Islamic Economics,‛ dalam Financing Development in Islam,

ed. M.A. Mannan. Jeddah: IRTI-IDB, 1416.

---------. ‚Awqa>f in History and Its Implication for Modern Islamic Economics,‛

Islamic Economics Studies, 6: 1 (1998).

Cohen, Mark C. Poverty and Charity in the Jewish Community of Medieval Egypt. Princeton: Princeton University Press, 2005.

Constitution of Turkish Republic, trans. by Sadik Balkan et. al. for the Committee

of National Unity. Ankara, 1961.

Coulson, N.J. ‚Bayt al-Ma>l: Legal Doctrine,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 1.

Leiden: Brill, 1986.

Dallal, Ahmad. ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam

Islam and Social Policy, ed. Stephen P. Heyneman. Nashvile: Vanderbilt

University Press, 2004.

Deguilhem, Randi. ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000.

Al-Dimyati., I‘a>nat al-T}a>libî>n, juz 3. Semarang: Mat}ba‘at Thaha Putra, t.th.

Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta:

Penerbit Djambatan dan KITLV, 1983.

Djatnika, Rachmat. ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ dalam

Berderma untuk Semua, ed. Idris Thaha. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya

UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

Djuanda, Gustian dkk. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan. Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2006.

Doa, M. Djamal. Manfaat Zakat Dikelola Negara. Jakarta: Nuansa Madani, 2002.

Effendy, Bahtiar. (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik.

Bandung: Mizan, 2000.

---------. Islam in Contemporary Indonesian Politics. Jakarta: Ushul Press, 2006.

---------. Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press, 2005.

Eickelman, Dale F. and James Piscatori. Muslim Politics. Princeton-Oxford:

Princeton University Press, 2004.

Fakhri, Muhammad. Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Disertasi Doktor.

Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Page 206: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

196

Fatah, Eep Saefullah. Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999.

Bandung: Mizan, 2000.

Fatwa, AM,. M. Jamal Doa dan Aries Muftie. Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif. Jakarta: Belantika, 2004.

Fauzia, Amelia. ‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya,‛

dalam decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesia-

peran-html, diakses 19 Juni 2009.

---------. ‚Bazis DKI Jakarta: Peluang dan Tantangan Badan Amil Zakat

Pemerintah Daerah,‛ dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar

(eds.), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005.

--------- dan Ary Hermawan. ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif

Filantropi Islam dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Idris Thaha (ed.),

Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam. Jakarta:

Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

---------. Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.

Disertasi PhD. Melbourne: The Asia Institute, The University of

Melbourne, 2008.

Federal Constitution of Malaysia.

Firdaus, Ismet. Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam, Tesis

Magister. Depok: FISIP, UI, 2004.

Forum Zakat. Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia. Jakarta: FOZ,

2001.

Friedman, Lawrence J. dan Mark D. McGarvie. Charity, Philanthropy, and Civility in American History. New York, NY: Cambridge University Press,

2003.

Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2006.

Garner, Bryan A., ed. in-chief. Black’s Law Dictionary. St. Paul: Thomson, 2004.

Gaus, Ahmad. Filantropi dalam Masyarakat Islam. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo, 2008.

Gha>nim, Ibra>hi>m al-Bayyu>mi>. al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r. Kairo: Da>r al-

Shuru>q, 1998.

Gilani, A. Shaukat J. ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social

Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3:1 (1985).

Gobee, E. dan C. Andriaase. Nasihat-nasihat C. Snouck Horgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jakarta:

INIS, 1992.

Haffening, W. ‚Waqf,‛ dalam First Encyclopaedia of Islam, vol. 8. Leiden: E.J.

Brill, 1987.

Hafiduddin, Didin. ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Kuntoro Noor Aflah

dan Mohd. Nasir Tanjung (eds.), Zakat dan Peran Negara. Jakarta: Forum

Zakat, 2006.

---------. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Page 207: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

197

Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformsi, Disertasi

Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Hamidiah, Emmy. ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan:

Mungkinkah,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan

Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006.

Hasan, Ahmad dan Muhammad Abdus Shahid. ‚Management and Development of

the Awqaf Assets,‛ Proceedings of Seventh International Conference: The Tawhidi Epistemology—Zakat and Waqf Economy. Bangi: Universiti

Kebangsaan Malaysia, 2010.

Hasan, Riaz. Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim, terj. Jajang

Jahroni, Udjang Tholib dan Fuad Jabali. Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2006.

--------- dan Ali Çarkoglu. ‚Giving and Gaining: Philanthropy and Social Justice

in Muslim Societies,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures,

4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta,

2009.

Hasan, Samiul. ‚Islamic Philanthropic Foundation and Social Justice,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the

Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2009.

---------. ‚Muslim Philanthropy and Social Security: Prospects, Practices and

Pitfalls,‛ paper disampaikan pada 6th

ISTR Biennial Conference, Bangkok,

9-12 July 2009.

Hasanah, Uswatun. Zakat dan Keadilan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Zakat di BAZ DKI Jakarta. Tesis Magister. Jakarta: Program Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah, 1989.

---------. ‚Profil dan Manajemen Filantropi di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta:

Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003.

---------. ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf: Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, 1:1 (Desember 208).

---------. Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan. Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN

Syarif Hidayatullah, 1997.

---------. ‚Penataan Lembaga Amil Zakat di Indonesia dan Permasalahannya,‛

Jurnal Syari‘ah, 2:2 (Januari-Juni 2010).

Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Helmanita, Karlina. ‚Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern:

Pengalaman Dompet Dhuafa,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed.

Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar. Jakarta: Pusat Bahasa dan

Budaya, UIN Jakarta, 2005.

Hennigan, Peter C. The Birth of Legal Insitution: The Formation of the in Waqf in Third-Century AH H{anafi> Legal Discourse. Leiden: Brill, 2004.

Page 208: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

198

Herasanti, Deby Nuri. Eksistensi Wakaf menurut KHI, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 2004.

Hudayati, Ataina dan Achmad Tohirin. “Management of Zakah: Centeralized vs

Decentralized Approach,” Proceedings of 7th

International Conference on

“The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy.” Bangi:

Universitas Kebangsaan Malaysia, 2010.

Ibrahim, Barbara. From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy. Kairo: American University in Cairo Press, 2008.

Ibn ‘Arabi>, Abu> Bakr. Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1. Beirut: Da>r al-Fikr, 1972.

Ihsan, Nur Hadi dkk. Profil Pondok Modern Darussalam Gontor. Gontor: Pondok

Modern Darussalam, 2006.

Ilchman, Warren F. et. al. ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, terj. Tim CRSC. Jakarta: CRSC UIN Jakarta, 2004.

IMZ. Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: IMZ,

2010.

Islahi, Abdul Azim. ‚Provision of Public Good: Role of Voluntary Sector (Waqf) in Islamic History,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A.

Mannan. Jeddah: IRTI-IDB, 1416.

Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Jahar, Asep Saepudin. ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in

post-Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13:3 (2006).

Jamjoom, Abdul Aziz M. Rashid. “Saudi Arabia: A Case Study,” dalam

Institutional Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed

Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB,

1995.

Jazuni. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Jeffery, Arthur. The Foreign Vocabulary of the Quran. Leiden: Brill, 2007.

Jeavons, Thomas H. ‚Religion and Philanthropy,‛ dalam

http://learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/religion_philanthrop

y.asp (diakses 5 Agustus 2010).

al-Jurja>ni. Kita>b al-Ta‘ri>fa>t. Beirut: Maktabat Lubna>n, 1985.

Juwaini, Ahmad. ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta:

Forum Zakat, 2006.

Ka‘bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Al-Kabisi>, Muh}ammad ‘A>bid ‘Abd Alla>h. Hukum Wakaf, terj. Ahrul Sani

Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada. Jakarta: IIMaN, 2004.

Kahf, Monzer. ‚Applied Institutional Models for Zakah Collection and

Distribution in Islamic Countries and Communities,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-

Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB, 1995.

Page 209: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

199

Kaleem, Ahmad dan Saima Ahmed. ‚The Quran and Poverty Alleviation: A

Theoretical Model for Charity-Based Islamic Microfinance Institution,‛

Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3 (2010).

Kamil, Sukron. ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqh:

Problem dan Solusi,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003.

Kareem, Shamsiah Abdul. ‚Contemporary Waqf Administration and

Development in Singapore: Challenges and Prospects.‛ Singapore: Islamic

Religious Council of Singapore, t.th.

Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2004.

Katjasungkana, Nursyahbani. ‚Filantropi Islam dan Gerakan Hak Asasi Manusia

di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003.

Kempe, John E. dan R.O. Winstedt. ‚A Malay Legal Digest Compiled for Abdul

Gharuf Muhaiyuddin Shah Sultan of Pahang (1592-1614),‛ JMBRAS, 21:1

(1948).

Khadduri, Majid. Islamic Conception of Justice. Baltimore and London: The John

Hopkins University Press, 1984.

Kimber, Richard. ‚Boundaries and Precepts,‛ dalam The Encyclopedia of the Quran, ed. Jane Dammen McAuliffe, vol. 1. Leiden: Brill, 2001.

Kozlowski, Gregory C. ‚Otoritas Agama, Reformasi dan Filantropi di Dunia Islam

Kontemporer,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warrant F.

Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L Queen II, terj. Tim CSRC. Jakarta:

CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

Kurniawati, ed. Kedermawanan Kaum Muslim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat Indonesia, Hasil Survei di 10 Kota. Jakarta: Pustaka Adina,

2004.

Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University

Press, 1995.

Lambton, A.K.S. ‚Wakf in Persia,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden:

Brill, 2000.

Layish, A. ‚Wakf in the Modern Middle East and North Africa,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 12. Leiden: Brill, 2000.

Lewis, Bernard. ‚Bayt al-Ma>l: History,‛ The Encyclopedia of Islam, Vol. 1.

Leiden: Brill, 1986.

Liddle, William R. ‚Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political

Thought and Action in New Order Indonesia,‛ dalam Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, ed. Mark

R. Woodward. Arizona: Arizona State University Press, 1996.

Lombardi, Clark Benner. State Law as Islamic Law in Modern Egypt. Leiden:

Brill, 2006.

Lubis, Ahmad Nur Fadhil. ‚Institutionalization and Unification of Islamic Courts

under the New Order,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 2:1 (1995).

Page 210: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

200

Madjid, Nurcholish. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di

Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997.

Mahamood, Siti Mashitoh. Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 2006.

Mahdi>, Mah}mu>d Ah}mad, ed. Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir: Nama>dhij Mukhta>rah min-Taja>rib al-Duwal wa al-Mujtama‘a>t al-Isla>miyyah. Jeddah:

IRTI-IDB, 1423.

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2001.

Majlis al-Sha‘b Jumhu>riyyat al-Mis}r. Dustu>r Jumhu>riyyat Mis}r al-‘Arabiyyah.

Al-Makassary, Ridwan. ‚BAZ Propinsi Jawa Barat: Eksistensi yang Mulai

Pudar?‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan

Abu Bakar. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2003.

Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su ‘udiyyah. Maba>di’ al-Dawlah. Riya>d}: Wiza>rat

al-Kha>rijiyyah, t.th.

Manan, M.A. ‚Beyond the Malaysian Twin Towers: Mobilization Efforts of Cash-

Waqf Fund at Local, National and International Leves for Development of

Social Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishmen of World

Social Bank,‛ Makalah disampaikan pada International Seminar on Awqaf

2008, ‚Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah,‛

Johor Bahru, 11-12 Agustus 2008.

Al-Mara>ghi>, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa>. Min Qad}a>ya> al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m.

Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970.

Mardjono, Hartono. Menegakkan Syari‘at Islam dalam Konteks Keindonesiaan.

Bandung: Mizan, 1997.

Mastura, Michael O. ‚The Making of a Civil Society through Waqf Institution in

Mindanao,‛ dalam Islam and Civil Society in Southeast Asia, ed.

Nakamura Mitsuo et. al. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,

2001.

Mas’udi, Masdar F. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1990.

Al-Ma>wa>rdi>. Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}aniyyah. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.

Mawardi, Imam. Socio-Political Background of the Enactment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tesis M.A. Montreal: Institute of Islamic

Studies, McGill University, 1997.

McChesney, Robert D. Charity and Philanthropy in Islam: Institutionalizing the Call to Do Good. Indianapolis: Indiana University Center on Philanthropy,

1993.

---------. ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛ dalam

http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil-

_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20/06/2009).

Mietzner, Marcus. “Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati, dan Pergulatan

Perebutan Kursi Kepresidenan,” dalam Indonesia di Tengah Transisi:

Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, ed. Chris Manning dan Peter van

Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. Yogyakarta: LKiS, 2000.

Page 211: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

201

Miftah, A.A. Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum. Jambi:

Sulthan Thaha Press, 2007.

Mohamed bin Abdul Wahab, et. al. “Malaysia: A Case Study,” dalam Institutional

Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-

Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB, 1995.

Mohsin, Magda Ismail Abdel. Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah. Johor Bahru: International Seminar on Awqaf, 2008.

Monroe, Alan D. Essentials of Political Research. Oxford: Westview Press, 2000.

Moten, Abdul Rashid and Syed Sirajul Islam. Introduction to Political Science. Singapore: Thompson, 2005.

--------- and El-Fatih A. Abdel Salam. Glossary of Political Science Terms. Singapore: Thompson, 2005.

Mubarok, Jaih. Wakaf Produktif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.

Muh}ammad, Muh}ammad H{a>mid. Qis}as} al-Mutas}addiqi>n: Fad}l al-S{adaqah, A<<da>buha> wa-Ah}ka>muha>. Iskandariyyah: Da>r al-I<ma>n, 2000.

Al-Munawar, Said Aqil Husin. ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf

dalam Rangka Membangun Kesejahteraan Masyarakat,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun

Hasanah. Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006.

Muslimin, Joko Mirwan. Islamic Law and Social Change: A Comparative Study of Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in Nation-States Egypt and Indonesia (1950-1995), Disertasi PhD. Hamburg:

Universitat Hamburg, 2005.

An-Naim, Abdullah-i Ahmed. Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati. Bandung: Mizan, 2007.

--------- and Asma M. Abdel Halim. ‚Rights-Based Approach to Philanthropy for

Social Justice in Islamic Societies,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and

Culture, UIN Jakarta, 2009.

Najib, Tuti A. dan Ridwan al-Makasary, eds. Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006.

Nanji, Azim. ‚Waqf,‛ dalam The Encyclopedia of Religion, ed. Lindsay Jones,

vol. 14. New York: Thomson, 2005.

Nasution, Mustafa E. ‚Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah.

Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006.

Noor, Zainulbahar. Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan.

Jakarta: Bening, 2006.

Al-Omar, Fuad Abdullah. ‚Management of Zakah through Semi-Government

Institutions,‛ dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed.

I.A. Imtiazi et.al. Jeddah: IRTI-IDB, 2000.

Payton, Robert L. Dan Michael P. Moody. Understanding Philanthropy. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2008.

Page 212: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

202

Perikhanian, A.G. ‚Iranian Society and Law,‛ dalam Cambridge History of Iran.

Cambridge: Cambridge University Press, 1986.

Peters, R. ‚Wakf,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000.

----------. ‚Wakf in Classical Islam,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 11. Leiden:

Brill, 2000.

Pioppi, Daniela. “From Religious Charity to the Welfare State and Back: The Case

of Islamic Endowment Revival in Egypt,” Working Paper No. 2004/34.

Florence: European University Institute, 2004.

Powers, David S. ‚Wakf in North Africa to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam,

vol. 11. Leiden: Brill, 2000.

Praja, Juhaya S. Perwakafan di Indonesia. Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992.

Prihatna, Andi Agung. ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,‛ dalam

Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar. Jakarta: Pusat

Budaya dan Bahasa UIN Jakarta, 2005.

Al-Qarad}a>wi>, Yu>suf. Fiqh al-Zaka>h. Beiru>t: Muassasat al-Risa>lah, 1994.

Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971.

Rahardjo, M. Dawam. ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai

Kebingungan Epistemologis,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Ahmadi Thaha. Jakarta: Teraju, 2003.

Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Quran, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka,

1983.

Rais, M. Amien. Tauhid Sosial. Bandung: Mizan, 1998.

Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge-Harvard: Harvard University Press,

1999.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.

Rid}a>, M. Rashi>d. Tafsi>r al-Mana>r, jilid 1. Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947.

Riddell, Peter G. “The Diverse Voices of Political Islam in Post-Soeharto

Indonesia,” Islam and Christian-Muslim Relations, 13:1 (2002).

Ridlo, M. Taufik. ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta:

Forum Zakat, 2006.

Riyadi, Rahmad. ‚Undang-undang Zakat dan Konsisi Perzakatan di Indonesia,‛

dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir

Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006.

Roestandi, Achmad dan Muchjidin Effendie, Komentar atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Penerbit Nusantara Press, 1991.

Rofiqurrahman. Filantropi Islam dan Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat, Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif

Hidayatullah, 2008.

Sa>‘a>ti>, Yah}ya> Mah}mu>d. al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah. Riya>d}:

Markaz Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, 1996.

Page 213: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

203

Saduman, Sazak dan Eyuboglu Ersen Aysun. ‚The Socio-Economic Role of Waqf

System in the Muslim Ottoman Cities’ Formation and Evaluation,‛ Trakia Journal of Sciences, 7:2 (2009).

Saidi, Zaim, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin. Kedermawanan untuk Keadilan Sosial. Jakarta: Piramedia, 2006.

---------. ‚Islam, Kapitalisme dan Filantropi.‛

---------. ‚Islamic Philanthropy: A Critical Overview,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion

and Culture, UIN Jakarta, 2009.

Sait, Siraj dan Hilary Lim. Land, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim World. London-New York: Zed Books, 2006.

Salim, Arskal and Azyumardi Azra, eds. Shari‘a and Politics in Modern Indonesia.

Singapore: ISEAS, 2003.

---------. ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam

Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi

Azra. Singapore: ISEAS, 2003.

---------. Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern

Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press, 2008.

---------. ‚The Influential Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formation of

Zakat (Alms) Law in Modern Indonesia,‛ Pacific Rim Law and Policy Journal Association, 15:3 (2006).

--------- dan Azyumardi Azra. ‚Introduction: The State and Shari‘a in the

Perspective of Indonesian Legal Politics,‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore:

Institute of South East Asian Studies, 2003.

Sarakhs}i>. Al-Mabsu>t. Kairo: 1906.

Sarjono. Kewenangan Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengurusan Zakat di Indonesia. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 1993.

Sazali, Farid Hasan. Temporalitas Wakaf dalam Hukum Nasional beserta Syariah Islam Yang Mendasarinya. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 2006.

Schacht, Joseph. ‚Zakat,‛ First Encyclopedia of Islam, vol. 4. Leiden: Brill, 1976.

Schwarz, Adam. A Nation in Waiting Indonesia in the 1990s. Australia: Allen &

Unwin Ltd., 1994.

Sekretariat Jenderal DPR-RI. Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Setjen DPR-RI, 1999.

---------. Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf. Jakarta: Setjen DPR-RI, 2004.

Sesli, Faik Ahmet. ‚Foundation Administration and Foundation Landownership in

Turkey form Past to Present,‛ African Journal of Business Management, 4:9 (2010).

Shemesh, A. Ben. Taxation in Islam: Yah}ya> ibn A<dam’s Kita>b al-Khara>j. Leiden:

Brill, 1958.

Shepard, William E. “Muhammad Said al-Ashmawi and the Application of the

Sharia in Egypt,” International Journal of Middle East Studies, 28:1

(February, 1996).

Page 214: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

204

Sheri, L.A. dan Grovesd, H.E. ‚The Constitution of Malaysia,‛ Malaysia Law Journal (Singapore, 1979).

Siddiqi, S.A. Public Finance in Islam. Delhi: Adam Publishers and Distributors,

1992.

Singer, Amy. Constructing Ottoman Beneficence: An Imperial Soup Kitchen in Jerussalem. Albany, NY: State University of New York Press, 2003.

Singleton, Royce A. dan Bruce C. Straits. Approaches to Social Research. New

York-Oxford: Oxford University Press, 1999.

Subhan, Arief dan Yusro Kilun, eds. Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Dakwah Press, 2007.

Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk. Jakarta: UI Press, 1995.

Sulek, Marty. ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3 (2010).

---------. ‚On the Modern Meaning of Philanthropy,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:2 (2010).

Sullivan, Denis. Private Voluntary Organizations in Egypt: Islamic Development, Private Initiative and State Control. Gaibesville, Fla.: University Press of

Florida, 1994.

Suny, Ismail. ‚Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Sutarmadi, Ahmad. ‚Sekilas tentang Filantropi Islam di Indonesia,‛ dalam

Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris

Thaha. Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

Tasniawan, Deny Wahyu. Studi Administrasi Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 terhadap Tingkat Ketertiban Wajib Zakat: Studi Kasus Baznas. Tesis

Magister. Depok: Kajian Timur Tengah dan Islam, UI: 2008.

Thaha, Idris, ed. Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam.

Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003.

Thohari, Hajriyanto Y. “Negara Santri: Menengok Tesis Cak Nur,” Kompas,

Senin, 13 Desember 1999.

---------. Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis. Jakarta: Pusat

Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005.

Tim Penulis. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat

Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005.

Tim Penulis. Proses Lahirnya Undang-Undang Wakaf. Jakarta: Direktorat

Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005.

Ting-Yuan Ho, Andrew. Charitable Giving: What Makes A Person Generous?

Tesis MA. Washington DC.: Georgetown University, Faculty of the

Graduate School of Arts and Sciences, 2006.

Turkish Civil Code of 1991.

Page 215: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

205

Al-‘Umar, Fuad Abdullah. ‚General, Administrative and Organizational Aspects,‛

dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed.

Ahmed Abdel-Fattah al-Shakeer dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah:

IDB-Institute of Research and Training, 1995.

Usman, Rachmadi. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesa. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

van Bruinessen, Martin. ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛

dalam Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity, ed.

Shireen T. Hunter. London-New York: M.E. Sharpe, 2009.

Vogel, Frank E. Islamic Law and Legal System in Saudi Arabia. Leiden: Brill,

2004.

Watts, Thomas D. ‚Charity,‛ dalam Encyclopedia of World Poverty, ed. M.

Odekon. London: Sage Publication, 2006.

Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic: Arabic-English, ed. J.

Milton Cowan. Beirut: Maktabat Lubna>n, 1974.

Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah. al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah.

Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992.

Weir, T.H. ‚Sadaka,‛ The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1997.

White, Andrew. ‚The Role of Islamic Waqf in Strengthening South Asian Civil

Society: Pakistan as Case Study,‛ International Journal of Civil Society Law, 4:2 (April 2006).

Yusuf, Maulana. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Zakat pada Baznas. Tesis

Magister. Depok: FISIP, UI, 2005.

Zahrah, Muh}ammad Abu>. Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf. Kairo: Ma‘had Dira>sa>t al-

‘Arabiyyah al-‘A>liyah, 1959.

Zuh}ayli>, Wahbah. Al-Was}a>ya> wa al-Waqf fi> al-Fiqh al-Isla>mi>. Damaskus: Da>r al-

Fikr, 1998.

---------. Al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1992.

Zysow, A. ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 11. Leiden: E.J. Brill, 2001.

B. Undang-undang dan Peraturan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Setjen

dan Kepaniteraan MK, 2007.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001.

Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2000.

Page 216: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

206

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977.

Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978.

Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978.

Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978.

Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.

15 Tahun 1990.

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun

2004.

Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran

Wakaf Uang.

Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1991.

‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11

Mei 2002.

‚Keputusan Fatwa MUI No. I/MUNAS/VII/MUI/5/2005.

Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf

Departemen Agama, 2009.

Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Komisi VIII, 2010.

Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Baznas, 2010.

Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Forum Zakat, 2010.

Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan

Zakat. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat, 2010.

UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

C. Website

http://www.answers.com/topic/ philanthropy (diakses 20 Juni 2009).

http://en.wikipedia.org/wiki/Philanthropy (diakses 20/06/2009).

http://www.muhammadiyah.or.id/jaringan-muhammadiyah.html (diakses 12

Januri 2011).

http://www.tusev.org.tr/content/detail.aspx?cn=318&c=68 (diakses 12 Januari

2011).

http://www.dzit.gov.sa/en/index/shtml (diakses 13-01-2011).

http://www.nefdev.org/phil/en/page.asp?pn=23#full (diakses 20 Januari 2011).

www.baznas.or.id.

http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010).

http://www.pkpu.or.id/about/sejarah (diakses 6 Agustus 2010).

Page 217: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

207

http://www.pkpu.or.id/images/uploads/MENTERI%20AGAMA.pdf (diakses 6

Agustus 2010).

http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010).

http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8

Agustus 2010).

http://www.lazismu.org (diakses 12 Desember 2010).

http://www.forumzakat.net/index.php?act=anggota&hal=5

D. Koran

Republika, Senin, 7 Juni 2010.

Media Indonesia, Selasa 2 Maret 2010.

Page 218: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

208

LAMPIRAN I

REKAPITULASI PEMASUKAN DANA ZIS1

Nama Lembaga Tahun ZIS Terkumpul Keterangan

BAZNAS 2001 2.700.073.354,-

2002 11.218.888.495,-

2007 14.592.016.646,-

2008 18.876.000.000,-

BAZIS DKI 2001 9.482.194.345,-

2002 11.550.000.000,-

2003 14.103.504.330,-

2004 16.257.823.896,-

2005 18.482.757.570,-

2007 27.213.963.125,-

Dompet Dhuafa 2000 13.655.105.172,-

2001 18.007.293.153,-

2002 21.504.964.430,-

2003 22.493.670.205,-

2004 30.360.851.863,-

2008 60.692.348.196,-

YDS Al-Falah 2002 6.011.753.576,-

2003 8.576.652.203,-

2004 11.344.498.869,-

2005 16.791.784.803,-

2006 21.457.533.629,-

2007 25.072.061.729,-

2009 28.038.146.332,-

PKPU 2000 10.854.900.871,-

2001 7.736.441.529,-

2002 8.540.110.141,-

2003 7.807.588.809,-

2004 12.448.784.632,-

2005 47.475.272.734,-

2008 45.611.971.485,-

Rumah Zakat Indonesia 2004 35.000.000.000,-

2005 63.312.466.256,-

2006 35.000.000.000,-

2007 41.800.426.390,-

2008 58.599.966.865,-

Al-Azhar Peduli Umat 2005 2.395.127.876,-

2006 3.658.656.076,-

2007 6.652.372.041,-

2008 8.750.761.125,-

1 Data ini diambil dari http://www.forumzakat.net (diakses 20 Juni 2009)

Page 219: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

209

LAZ DDII 2002 133.550.000,-

2003 576.518.725,-

2005 2.543.552.941,-

2008 5.090.592.283,-

Baitul Mal BRI 2001 646.638.277,-

2002 2.262.191.761,-

2008 7.868.330.017,-

ZIS Mandiri 2001 561.272.489,-

2002 718.593.080,-

2003 908.034.610,-

2005 1.550.571.175,-

2007 2.878.210.117,-

Bamuis BNI 2000 3.882.125.000,-

2001 4.260.324.000,-

2002 4.822.108.000,-

2003 12.690.066.000,-

2007 21.465.448.000,-

2008 23.447.293.000,-

Baitul Maal Muamalat 2001 1.261.744.267,-

2002 3.076.829.550,-

2005 16.572.101.418,-

2008 22.016.100.759,-

Baitul Mal Pupuk Kujang 2001 545.423.289,-

2002 1.386.333.990,-

2003 745.078.757,-

2004 1.229.216.582,-

2005 1.575.159.175,-

2006 716.468.702,-

Baitul Mal Pupuk Kaltim 2000 1.056.201.224,-

2001 1.245.115.355,-

2002 456.579.349,-

2003 871.672.601,-

2006 2.460.750.968,-

Baituzzakah Pertamina 2001 579.898.362,-

2003 398.512.444,-

2004 395.863.847,-

2005 2.238.196.273,-

2008 23.447293.000,-

LAZ Persatuan Islam 2007 1.242.781.961,-

2008 1.006.997.356,-

Lazis Muhammadiyah 2003 1.170.959.233,-

2004 1.923.885.721,-

2005 6.805360.308,-

2006 5.153.242.027,-

Page 220: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

210

LAMPIRAN II

DATA PENGUMPULAN DANA ZIS SECARA NASIONAL DARI BAZNAS1

Tahun Jumlah ZIS (dalam milyar) Pertumbuhan (%)

2002 68.39 --

2003 85.28 24,70

2004 150.09 76,00

2005 295.52 96,90

2006 373.17 26,28

2007 740.00 98,30

2008 920.00 24,32

2009 1.200.00 30,43

2010 1.400.00 16.66

1 Data ini diambil IMZ, Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan

(Jakarta: IMZ, 2010), 135-136.

Page 221: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

211

DAFTAR INDEKS

‘AbbasiyYah, 22, 29, 37

Abdurrahman Wahid, 6, 15, 71, 94, 131

Abu> Bakr, 24, 28, 31

Abu> Yu>suf, 29, 30

ahl al-dhimmah, 37

Ahmad Sutarmadi, 104, 183

al-as}na>f al-thama>niyah, 30, 78, 94

al-Ghaza>li>, 25, 31

Alla>h, 82

Al-Quran, 36, 39, 44, 54, 59, 60, 66, 67, 75, 87, 118, 143

A. Malik Fadjar, 63, 69, 73

amil, 4, 10, 11, 54, 57, 59-62, 67-69, 74, 76, 77, 85, 88, 92-95, 143, 160, 162-164,

167-169, 174, 175, 185

Arab Saudi, 3, 43, 44-46, 48, 64, 89-91, 125

Arskal Salim, 50

Ayyu>biyyah, 36

Azyumardi Azra, 8, 50, 71

Bahtiar Effendy, 96

baitul Mal, 29, 37, 55-59, 61, 65, 68, 70, 74, 77, 96

Bangladesh, 117, 118, 121, 122, 125, 129

BAZ, 10, 11, 29, 61, 76, 77, 93-96, 99-102, 156, 168, 174-181, 183-185

BAZIS, 9, 11, 58-60, 62, 70, 73, 78, 79, 169

BAZNAS, 10-12, 93, 94, 96, 98, 134, 155, 168, 169, 176, 179-181, 183, 184

birr, 33

Budha, 19, 97, 140

BWI, 16, 126, 130, 144, 149, 151-154

BZI, 178-180

civil society, 5, 6, 8, 9, 17, 42, 43, 155, 174, 177, 181-183, 187

Daarut Tauhiid, 162, 163, 168, 173

Didin Hafiduddin, 60

distribusi, 3, 10, 11, 29, 30, 40, 45-47, 51, 54, 56, 60, 61, 65-67, 69, 94, 95, 99,

100, 120, 166, 174, 176, 182, 184, 185

Dompet Dhuafa (DD), 9, 10, 70, 98, 156

Page 222: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

212

DPR, 17, 63, 67-69, 71-73, 75, 76, 79, 80, 91, 92, 99-101, 111, 114, 121, 129, 133-

136, 139, 149-150, 157, 175-180, 187

Fat}imiyyah, 30, 36

Fazlur Rahman, 31, 39

filantropi, 1-11, 13-23, 25, 31-33, 35, 36, 38, 42-44, 46-49, 56, 78, 79, 86, 96, 103,

113, 137, 145, 155, 156, 158-162, 164-170, 173, 174, 182-184, 186, 187

FOZ, 6, 68, 70-72, 156, 157, 168, 169, 171-173, 177-180, 187

Fraksi, 63, 77-79, 87-91, 135-138, 140-146, 148-150, 177

fuqaha>’, 30, 32

GEMAZ, 180, 181

Habibie, 5, 15, 71, 72, 91, 92, 131

h}abs, 138

Hadis, 21-25, 27, 33, 34, 60, 78, 121, 127, 144

h}arbi, 25

h}awl, 27, 89

Hazairin, 51, 97

Hindu, 19, 97, 140

h}uru>b al-riddah, 28

Ibn al-‘Arabi>, 23

Ibn Taymiyah, 39

infak, 8, 11, 15, 21, 23, 59, 70, 74-80, 83-88, 98, 99, 155-158, 160-164, 166, 167,

177, 182

IMZ, 168, 173

India, 19, 109

Islam, 2-17, 18-23, 25, 26, 28-33, 35-40, 42-48, 49-62, 64, 66, 67, 70, 72-76, 80-

82, 85, 87, 89, 91, 93-98, 100, 102, 103, 104, 106-110, 112-118, 121, 122,

125-127, 129-137, 139-142, 145-149, 155, 156, 160, 163, 165, 166, 168, 171-

176, 178, 179, 181-187

John Rawls, 40, 97

Jon B. Alterman, 2

karitas, 1, 15, 42, 118

keadilan sosial (social justice), 12, 20

kebijakan, 3, 4, 12, 14-17, 28, 29, 42, 43, 46, 47, 49, 52, 53, 55, 56, 59, 61, 62, 71,

72, 97, 103, 106-108, 126, 128-130, 134, 152, 167, 176, 177, 179, 184, 185,

konstitusi, 14, 41-45, 47, 52, 82, 97, 135, 147

Kristen, 19, 20, 22, 26, 32, 33, 36, 37, 53, 131, 140

Kuwait, 64, 67, 115, 140, 152

LAZ, 10, 92-95, 99, 100, 102, 155-157, 160, 163-168, 171-185

LAZISMU, 166-168, 172

legislasi, 13, 42, 46, 48, 49, 72, 73, 116, 131-133, 175

Libya, 3, 30, 64, 65, 67, 75, 94

Page 223: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

213

mafsadah, 40

Mahfud MD., 7, 72, 129

Majid Khadduri, 39

Malaysia, 3, 30, 43, 47, 48, 63-65, 67, 74, 86, 89, 91, 92, 109, 115-117, 125, 148,

152

M.A. Mannan, 121, 130

Marwa>niyyah, 36

mas}lah}at al-zaka>h wa al-dakhl, 45

mawqu>f bih, 34

mawqu>f ‘alayh, 34

M. Dawam Rahardjo, 19, 31

Megawati, 6, 15, 130-132, 134

Menteri Agama, 16, 57-59, 61-63, 68, 69, 72-76, 79, 88, 91-93, 99, 100, 110, 112-

114, 126, 129-134, 143, 150, 151, 157, 160, 163, 164, 166, 167, 175

Mesir, 32, 33, 35-37, 40,43, 46-48, 75, 86, 115, 119-122, 125, 146, 174

miqda>r, 27

MIAI, 55, 56

Monzer Kahf, 63, 130

Muhammadiyah, 6, 9, 56, 131, 134, 166-168, 172, 173, 185

Muh}ammad, 6, 21, 32, 63

MUI, 62, 127, 128, 130, 134, 136

Muslim, 2-5, 7, 9, 13, 15, 16, 18, 22, 23, 25, 26, 29-39, 43-47, 49, 51, 52, 54-57,

60, 62-64, 66, 68, 71, 74, 76, 78, 82, 85, 86,89, 91, 93, 96, 98-100, 102, 103,

107-110, 115, 117, 118, 121, 123, 131, 134-136, 140, 141, 147, 148, 162,

167, 175, 176, 186, 188

mustahik, 3, 9, 10, 29, 47, 54, 60, 61, 64-66, 85, 94, 99, 162, 163, 166, 176, 178,

180, 185

muzakki, 10, 47, 60, 64, 85, 86, 91, 99, 101, 102, 162, 175, 176, 177, 179-181, 185

Nabi, 2, 21, 23-26, 28, 32-34, 54, 144, 184

nazir, 106, 111, 112, 114, 118, 120, 125-127, 134, 138, 141-152

negara, 2-5, 7-11, 13-18, 22, 27-32, 35, 37-39, 41-49, 56-67, 69, 73-76, 78-82, 85,

86, 88-94, 96-98, 100-103, 105, 106, 111, 115-118, 120, 121, 123-126, 128,

130-133, 135, 137, 139-141, 145, 146, 148, 149, 152, 155, 156, 159, 162,

174-187

nis}a>b, 27, 29, 66

Orde Baru, 5-7, 10, 13-15, 17, 54, 60, 68, 73, 112, 115, 183, 184, 186, 187

Orde Lama, 4, 61

Pakistan, 3, 30, 42, 64, 66, 78, 92

partai, 5, 14, 55, 68, 75, 76, 81, 131, 135, 170

Pasca-Orde Baru, 6, 7, 14, 15, 17, 186, 187

PKPU, 159-162, 168, 170, 173

Page 224: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

214

public good, 1, 19

politik, 2-8, 13, 14, 17, 20, 27, 35, 36, 41, 42, 46, 55, 57, 68, 71, 72, 97, 111, 123,

124, 129, 131, 132, 150, 159, 187, 188

public reason, 97, 98, 187

Rachmat Djatnika, 23

receptio in complex, 50

receptie, 50, 51

receptie exit, 51

receptio a contrario, 51

rika>z, 27

Robert D. McChesney, 3

Rumah Zakat, 163-166, 169, 170, 173

RUU, 7, 15, 16, 59, 111, 115, 117, 121, 124-130, 132-150, 176-180, 182, 183, 187

shadaqah, 2, 8, 15, 18, 21-26, 30, 32, 33, 53, 59, 70, 74-80, 83-85, 86-88, 98, 99,

105, 114, 127, 155, 157, 158, 160-164, 166, 167, 177, 182

s}adaqat al-tat}awwu‘, 23, 87

s}adaqat al-nafl, 23

s}adaqah ja>riyah, 32

s}adaqah mawqu>fah,35

s}adaqah muh}arramah, 35

Shireen Hunter, 2

Snouck C. Hurgronje, 50, 53

Soeharto, 4, 5, 15, 58-62, 68-72, 76, 111, 115, 183, 184, 186

Soekarno, 4, 61, 68, 111, 115

Susilo Bambang Yudhoyono, 15, 150

Sudan, 3, 30, 66, 92

Sunnah, 23, 44, 77-80, 84, 87, 143

syariah, 39, 45, 46, 60, 62, 124, 126, 135, 136, 144, 147, 149, 153, 159, 163, 168,

173

Thomas H. Jeavons, 1

Turki Utsmani, 22, 118, 119, 121, 122

Turki, 22, 36, 37, 43, 44, 48, 67, 105, 115, 118, 119, 121, 122, 125

‘Umar, 24, 28, 29, 34, 35, 127, 144

‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z, 29

Umayyah, 29, 37

‘ushr, 29, 30

‘Uthma>n, 29, 185

Undang-undang zakat, 6, 13, 14, 17, 30, 61, 63, 65-68, 71, 75, 78, 81, 90, 175

Undang-undang wakaf, 44, 48, 115, 116, 133, 139, 145

UPZ, 176, 181

Page 225: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

215

Uswatun Hasanah, 11, 12, 130, 133, 184

wakif, 12, 46, 106, 111, 118, 124, 127, 134, 138-141, 147, 148

wakaf, 2, 4, 6-10, 12-21, 32-38, 42-44, 46-48, 53, 56, 58, 59, 67, 73, 74, 84, 103-

158, 160-163, 166, 169, 186, 187

wakaf dhurri /ahli, 35

wakaf khayri, 35

wakaf tunai, 127-130, 136, 149

wa>qif, 34, 35

wiza>rat al-awqa>f, 46

Yahudi, 20, 22, 25, 26, 37

Yaman, 3, 30, 64, 65

YDSF, 166, 168

Yu>suf al-Qarad}a>wi>, 3, 26

William R. Liddle, 7

Zakat, 2-18, 21-23, 25-33, 38, 44-49, 51-103, 105, 115, 116, 122, 127, 130-132,

138, 143, 155-158, 160-170, 173-185, 186, 187

zakat fitrah, 27, 47, 51, 54, 60, 65, 74, 96

Zaim Saidi, 6, 9

ZIS, 74, 78, 162, 163, 167-174, 177

Zoroastrianisme, 19-21

Zysow, 27, 64, 67

Page 226: FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7035/1/... · FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA . PASCA-ORDE BARU:

216

RIWAYAT HIDUP

Widyawati adalah dosen tetap Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Dilahirkan di Rangkasbitung,

Kabupaten Lebak, Banten, pada 17 April 1969, ia menyelesaikan pendidikan

dasarnya di kampung halamannya pada 1982, sementara pendidikan menengahnya

diperoleh dari Pondok Pesantren Modern Dar el-Qalam, Gintung, Balaraja,

Tangerang, pada 1988 dan sempat mengajar di almamaternya ini selama setahun.

Kemudian, ia melanjutkan studi S-1 di Fakultas Syariah IAIN (kini UIN) Sunan

Gunung Djati Bandung dan lulus pada 1994. Pendidikan S-2 diperoleh dari

Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang pada 1998. Sejak 2004, ia

meneruskan studi S-3 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sejak mahasiswa, ia aktif di organisasi kemahasiswaan, seperti Himpunan

Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Senat Fakultas Syariah. Di samping itu, ia juga

aktif di HMI Cabang Kabupaten Bandung dan menjadi ketua KOHATI di cabang

tersebut pada 1993. Dalam delapan tahun terakhir ini, ia sebagai anggota Senat

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Saat ini, ia

adalah anggota editor pelaksana Jurnal Politik Islam (Jurusan Siyasah) di fakultas

yang sama.

Selama menjadi dosen, ia telah menerbitkan beberapa tulisan, baik dalam

bentuk terjemahan maupun artikel di jurnal ilmiah. Buku terjemahannya meliputi

Ilmu Politik Islam (2000), Qiyas: Penalaran Analogis dalam Islam (2001),

Menentang Islam Politik (2004) dan Menimbang Ekonomi Islam (2005). Adapun

artikel-artikelnya dalam jurnal ilmiah meliputi “Syura dan Demokrasi Perspektif

Fiqh Siyasah” (Jurnal Asy-Syariah, 2006), “Wilayatul Faqih: Konsep Siyasah

Syiah Modern” (Jurnal Asy-Syariah, 2007), “Islam dan Konstitusionalisme”

(Jurnal Asy-Syariah, 2008) dan “Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga

Islam” (Jurnal Khazanah, 2008). “Kontribusi Politik Komparatif bagi

Pengembangan Fiqh Siyasah” (Jurnal Politik Islam, 2009) dan “Revolusi

Perspektif Fiqh Siyasah” (Jurnal Politik Islam, akan terbit). Penelitian yang

pernah dilakukan antara lain “Pemikiran Politik NU: Studi tentang Argumentasi

dalam Penerimaan Asas Tunggal Pancasila” (1994), “Pandangan Abdurrahman

Wahid tentang Demokrasi” (Puslit IAIN Bandung, 2000) dan “Metode Ijtihad

dalam Lembaga Bahtsul Masail” (2002).

Ia menikah dengan Munir pada 1994, dan dikarunia tiga orang anak: Salwa

Nurvidya (1995), M. Khursyid Hikam (2001) dan Refat Jahabidza (2007). Saat ini,

ia bersama keluarga tinggal di Komplek Tirtawening Kav. 24 Cisurupan, Cibiru,

Kota Bandung, 40615 (Telp. 022-780-0982)/[email protected]