fenomena golput di indonesia pasca orde baru...

124
FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Oleh Acu Nurhidayat NIM: 104033201077 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M.

Upload: duonglien

Post on 08-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA

PASCA ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh

Acu Nurhidayat

NIM: 104033201077

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.

Page 2: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Page 3: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA

PASCA ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh

Acu Nurhidayat

NIM: 104033201077

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.

Page 4: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Page 5: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA

PASCA ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Acu Nurhidayat

NIM: 104033201077

Pembimbing

Drs. Idris Thaha, M.Si

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.

Page 6: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA

ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) telah diujikan dalam

sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada 2 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik

Islam.

Jakarta, 2 Maret 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A.

NIP: 150262447 NIP: 150270808

Penguji I, Penguji II,

A. Bakir Ihsan, M.Si. M. Zaki Mubarak, M.Si.

NIP: 150326915 NIP: 150371093

Pembimbing,

Idris Thaha, M.Si.

NIP: 150318684

Page 7: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 11 Februari 2009

Acu Nurhidayat

Page 8: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan berbagai limpahan karunia kepada penulis sehingga dengan karunia

dan izin-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad

SAW, sebagai suri tauladan ummat yang telah rela menyumbangkan segenap

jiwa dan raganya demi kebahagiaan umat yang dicintainnya.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan dan

hambatan terutama pengumpulan literatur, mengingat data-data golput masih

sedikit sekali dalam buku. Memang ada beberapa buku yang khusus membahas

golput, akan tetapi dirasa kurang mencukupi. Dengan keyakinan kuat, untuk itu

penulis memberanikan diri meneruskan penyusunan skripsi ini walaupun data-

data yang penulis dapatkan masih berceceran dalam bentuk opini-opini. Namun,

berkat bimbingan, dorongan alhamdulillah karya ini dapat tersusun.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis

sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Orang Tua, Ibunda Iyoh tercinta yang selalu memberikan cinta dan kasih

sayangnya yang tak terbatas dan ridho maupun doa yang selalu mengiringi

setiap langkah penulis. Ayahanda Husni tercinta yang telah berjuang

sekuat tenaga untuk mendidik dan menyekolahkan penulis hingga ke

perguruan tinggi, juga nasehat, doa serta motivasi yang selalu diberikan.

Page 9: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

2. Keluarga tercinta, terutama kakak-kakak penulis yang selalu memberikan

motivasi: Kang Nana dan Ceu Yayah sekeluarga, Kang Oding dan Teh

Embet sekeluarga, Kang Encep dan Ceu Amih sekeluarga, A’ Rosid dan

Ceu Euis sekeluarga. Serta adik penulis, Ida Nurhayati dan keponakan-

keponakan penulis semuanya. Juga kepada keluarga besar yang selalu

memberikan dorongan dan doa kepada penulis.

3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fil. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.,

Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala bantuan yang selalu

terkait dengan masalah administrasi di jurusan.

5. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., pembimbing skripsi penulis. Terima kasih

atas bimbingan, pengarahan selama penulis di bimbing.

6. Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si. dan Ibu Suryani M.Si., terima kasih atas

nasihat dan masukan-masukan sebelumnya sehingga penulis terinspirasi

mengambil judul golput. Juga kepada Bapak Dr. Sirojudin Aly, M.A.,

Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si., serta kepada seluruh dosen Jurusan

Pemikiran Politik Islam, yang telah membimbing, mendidik dan

mewariskan ilmunya kepada penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu, tapi tidak mengurangi rasa hormat penulis. Semoga ilmu yang

telah diberikan menjadi bermanfaat dan menjadi amal ibadah dan pahala di

sisi Allah SWT.

Page 10: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin dan Perpustakaan Syariah UIN Jakarta yang telah memberikan

fasilitas kepada penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.

8. Pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI,

Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DKI Jakarta, bagian Humas

Komisi Pemilihan Umum (KPU), penulis ucapkan terima kasih.

9. Pimpinan dan semua Pengurus Yayasan Amal Abadi Beasiswa ORBIT

(YAAB-ORBIT), khusunya Mba Ibet, Mba Muji, dan Mas Tobar. Terima

kasih atas bantuan beasiswa pendidikannya selama ini, semoga amal yang

telah diberikan menjadi amal baik. Amin.

10. Teman-teman BEMJ PPI periode 2006-2007 serta teman-teman

seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam: Hafiz, Gozy, Azis, Iin

Solihin, Mulyani, Dhika M. Hayat, Bayu K.W, Ipeh, Siti Suraidah, Dieny

Aulia Pratiwi, Wulan, Bunda Lulut Lutfiyah, dan teman-teman semuanya

yang tidak cukup penulis tuliskan di sini. Terima kasih atas bantuan dan

kerjasamanya baik di organisasi maupun selama studi.

11. Teman-teman di HMI KOMFUF: Fahru, Subairi, Muhali, dan semuanya.

Juga teman-teman seperjuangan hidup di Aula Insan Cita (AIC) HMI

Cabang Ciputat: K. Rafi’i, Cak Burhani, Rony Setiawan, Husni, Deden

Sandi, Azra, Adul, Jawa. Khusus kepada Mang Usman, terima kasih atas

diskusi dan masukannya, Pak Amay dan Saudara Apung terima kasih atas

bantuan dan pinjaman bukunya. Tidak lupa teman-teman di Lembaga

Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI) HMI Cabang Ciputat: Yunda

Page 11: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Syifa S.F., Hasanuddin, Maheso Jenar, Nurul, Alvi. Selamat berjuang

demi menggapai hari esok yang lebih cerah.

12. Teman-teman Forum Silaturahmi Alumni Anbim-ORBIT (FSAA ORBIT):

Fathul Arif, Zamzam, Kang Deni Kurniawan, Mas Ahmad Rifa’i, Mba

Filda Angelia, dan semuanya.

13. Teman-teman di Persatuan Mahasiswa Bekasi (Permasi-Bekasi): Amir

Hamzah, Arif Riyadi, Iwan Rahmat, Oeng, Syamsul Rijal, Adi dan

semuanya. Semoga jiwa persatuan kita tetap kuat dan selalu terus terjaga.

14. Teman-teman Sosiologi Agama: Siti Nurhayati (Aya), Iik Ikrimah, Lina

Hermawati, Siti Nay Nurjanah, dan Nadzariyah. Terima kasih atas bantuan

semuanya dan semoga silaturahmi kita tetap terus terjalin.

15. Seluruh teman-teman yang telah membantu atas penyusunan skripsi ini.

Terima kasih atas motivasi dan bantuan semuanya.

“Tak ada gading yang tak retak,” kira-kira ungkapan inilah yang cocok

untuk skripsi ini. Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa,

penulisan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya.

Terakhir, hanya kepada Allah SWT penulis pasrahkan. Smoga skripsi ini

dapat bermanfaat adanya. Amin.

Jakarta, 11 Februari 2009

Penulis

Page 12: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah....................................................... 11

C. Tujuan Penelitian............................................................................ 11

D. Metode Penelitian .......................................................................... 12

E. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT

A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput ................................................... 15

B. Penyebab Seseorang Golput............................................................ 19

C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia..................................... 27

BAB III SEKILAS GAMBARAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2004

A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif.............................................. 37

1. Kontestan Partai-partai Politik .................................................. 41

2. Perolehan Suara Partai-partai Politik......................................... 43

3. Koalisi Partai-partai Politik....................................................... 45

Page 13: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

B. Pemilihan Umum Presiden Langsung ............................................ 49

1. .............................................................................................Pe

milu Presiden Putaran Pertama............................................ 51

2. .............................................................................................Has

il Pemilu Presiden Putara Pertama....................................... 53

3. .............................................................................................Pe

milu Presiden Putaran Kedua .............................................. 54

4. .............................................................................................Has

il Pemilu Presiden Putaran Kedua ....................................... 55

BAB IV FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PADA PEMILU 2004

A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat....................................... 57

B. Golput karena Masalah Teknis ......................................................... 68

C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004................................................ 74

1. .............................................................................................Gol

put Politis ........................................................................... 75

2. .............................................................................................Gol

put Teknis Administratif .................................................... 79

3. .............................................................................................Gol

put Teknis Non-Administratif ............................................ 81

D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak

Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru ............................................... 83

BAB V PENUTUP

Page 14: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

A. Kesimpulan .................................................................................... 92

B. Saran-saran..................................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 99

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 15: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum (pemilu) dalam sebuah negara demokrasi sudah menjadi

rutinitas dalam menentukan regenerasi kepemimpinan. Para teoretisi klasik, dari

Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,

khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting) merupakan kunci

menuju suatu pemerintahan yang demokratis.1 Pada momen pemilu itulah

masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya.

Di Indonesia, sejak paca kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia

telah melaksanakan sembilan kali pemilihan umum. Pemilu pertama diadakan

tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama paling demokratis yang diikuti oleh

banyak partai politik. Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam

kali yakni pemilu 1971 yang hanya diikuti oleh sepuluh kontestan peserta pemilu

kemudian dilanjutkan pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang hanya

diikuti oleh tiga kontestan. Selanjutnya pasca Orde Baru, bangsa Indonesia telah

melaksanakan dua kali pemilu, yakni pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestan

partai politik dan pemilu 2004 yang diikuti 24 kontestan partai politik.

Namun di balik cerita penyelenggaraan pemilu tersebut, pasca pemilu

1955, yakni pada era 1970an ada satu isu penting yang dimotori oleh sebagian

intelektual dan budayawan di tengah situasi penyelenggaraan pemilu yang tidak

jujur dan adil itu. Isu tersebut yaitu adanya gerakan moral yang memboikot

1Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT

Nimas Multima, 2004), h. 67.

Page 16: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

pemilu dengan cara tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu tiba.

Kelompok ini dikenal dengan nama golongan putih (golput).

Golput adalah golongan yang secara sadar menyatakan untuk tidak

memilih. Golput mulai muncul pada pemilu 1971 yang digagas oleh Arief

Budiman. Bersama rekan-rekannya waktu itu, ia memboikot pemilu sebagai

kekecewaan terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggapnya tidak demokratis

dengan membatasi partai-partai politik. Dengan membatasi jumlah partai,

pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni

kemerdekaan berserikat dan berpolitik.2Dalam hal ini ungkapan Arief Budiman

perlu untuk dikutip:

“…Sebagai protes kepada UU pemilu yang waktu itu membatasi

jumlah partai. Soeharto membatasi jumlah partai dan mencegah orang-orang yang kritis masuk menjadi anggota partai. Waktu itu saya dan

teman-teman berbicara, “ini sama juga bohong, katanya kita boleh memilih”…atas dasar itu kita memboikot pemilu….”3

Sikap tidak senang terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan

internal partai politik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam

pengerahan masa yang hanya dikhususkan untuk mendukung partai pemerintah

dan bahkan masyarakat dikerahkan hanya untuk bekerja dan tidak punya peran

sama sekali dalam politik. Maka, kelompok-kelompok mahasiswa bersatu

menganjurkan pencoblosan di luar prosedur resmi. Kelompok ini oleh Arief

Budiman dinamakan golongan putih (golput) karena mengacu pada rekomendasi

2Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h.

105. 3Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch

tanggal 29 Januari 2004. Lihat “Menghadang Politisi Busuk,” dalam Talk Show Denny J.A Metro

TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 41.

Page 17: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Putih

disebandingkan dengan lawannya yakni hitam, kotor.4

Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa itu,

partai-partai politik juga hanya dijadikan sebagai mesin politik bagi rezim yang

sedang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik nampak sebagai elit

pemerintah dan menjadi corong terhadap program-program pemerintah. Mereka

sama sekali terpisah dengan massa sehingga dengan meningkatnya kemuakan di

tingkat akar rumput (grass root) terutama di kota-kota besar seperti Jakarta,

Bandung, Yogyakarta, serta kota-kota besar lainnya muncul apatisme dari

masyarakat terhadap parpol-parpol yang ada yang diangapnya tidak mewakili

aspirasi masyarakat di bawah.5

Jadi jelas bahwa golput yang digagas oleh Arief Budiman dan kawan-

kawan adalah merupakan sikap yang secara sadar sebagai sebuah gerakan moral

yang sengaja dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dan

terhadap partai-partai politik.

Fenomena golput pasca 1971 masih terus menampakkan eksistensinya

setiap kali pemilu. Pengaruh golput menjadi lebih meluas, kali ini golput muncul

bersama dengan berbagai bentuk protes yang ada dalam masyarakat. Seperti yang

diungkapkan Arbi Sanit bahwa golput sudah tidak lagi merupakn gerakan protes

yang berdiri sendiri di kalangan luas pada umumnya dan di kalangan masyarakat

yang kritis terhadap penguasa pada khusunya. Akan tetapi golput telah menyatu

ke dalam berbagai gerakan yang bertujuan memperbaiki dan mencari alternatif

4Diakses pada 29 November 2008 dari http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakan-

golput-dan-masa-depan-bangsa.html 5 Ibid.

Page 18: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dalam rangka penyempurnaan sistem politik Indonesia yang berdasarkan prinsip-

prinsip demokrasi universal.6

Kemunculan golput berikutnya bertujuan untuk mendorong proses

demokratisasi di Indoensia dengan cara menggugat secara langsung keabsahan

(legitimacy) kekuasaan rezim Orde Baru. Tidak hanya pada pelaksanaan pemilu,

akan tetapi dalam pelaksanaan sistem politik yang sudah ada.7

Dalam pemilu 1977, fenomena golput muncul di tengah-tengah krisis

politik yang dihadapi pemerintah Orde Baru. Di antaranya, adanya kebijakan fusi

terhadap partai politik (1973), munculnya kerusuhan Malari (1974),

terbongkarnya kasus korupsi Pertamina (1975), dan kasus korupsi di departemen-

departemen. Pada pemilu 1982, perpecahan-perpecahan politik di tingkat elit lebih

banyak dibicarakan orang. Terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit.

Ketidakpuasan elit-elit terhadap Orde Baru terlihat dengan muncunlnya pressure

groups seperti kelompok Petisi 50.8

Pada pemilu 1987, Golkar mendapatkan suara paling tinggi yaitu 73,2%.

Kemenangan Golkar harus dibayar dengan biaya tinggi, yakni munculnya

ketegangan baru di kalangan elit-elit politik. Ketegangan ini berpusat pada

masalah-masalah strategis dalam pemerintahan yang belum terselesaikan yaitu

proses pergantian kepemimpinan nasional, stabilitas nasional, dan pembangunan

ekonomi.9 Dalam pemilu tahun ini proses regenerasi kepemimpinan menjadi isu

politik yang paling penting.

6Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1992), h.32. 7 Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta:

LEKHAT, 1994), h.8. 8Ibid., h. 8-10.

9Ibid., h. 11-12.

Page 19: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Pada pemilu 1992, isu yang paling muncul yaitu demokratisasi politik dan

ekonomi. Keduanya adalah reaksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde

Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti inilah sikap dan

dukungan terhadap golput muncul di tengah-tengah protes tersebut. Sikap golput

tidak saja berkembang di kalangan pelajar, tetapi juga orang-orang miskin kota

dan desa yang merasakan secara langsung dampak dari pembangunan seperti

penggusuran tanah, buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Penggusuran besar-

besaran seperti terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Situasi inilah yang antara

lain membuat isu golput mendapatkan dukungan dari masyarakat. 10

Pemilu 1997 juga tidak banyak berbeda, bahkan ada semacam ketegasan

bahwa pemilu sudah kehilangan legitimasinya. Kali ini suara golput mencapai

sekitar 9,42%.11Ketidakpuasan masyarakat terlihat pasca pemilu, mereka

menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek yang kurang

demokratis. Apalagi setelah lebih dari 30 tahun Golkar berkuasa, kini

memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar pertanda matinya

demokrasi di Indonesia.12

Isu golput juga terjadi tidak hanya pada masa Orde Baru saja yang

dianggap oleh sebagian masyarakat kurang demokratis. Pada era Reformasi

sekalipun ternyata fenomena ini sering terus ditemukan setiap kali pemilihan

umum baik pada pemilu 1999 maupun pada pemilu 2004.

10

Ibid., h. 11-12. 11

Mengenai data-data golput dari setiap pemilu dapat dilihat dalam AA GN Ari Dwipayana,

“Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?”

artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26 12

Diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20

sah%20dan%20Suharto%20harus%20dipertahankan%20.htm

Page 20: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Pada pemilu 1999 jumlah golput mencapai 10,21%.13

Angka ini cukup

tinggi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu masa Orde Baru. Di antara

penyebabnya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada masa ini karena

pemerintahan Habibie dinilainya telah gagal dalam menyelesaikan berbagai

macam masalah, diantaranya seperti berlarut-larutnya penuntasan kasus KKN

Soeharto dan kroni-kroninya.14

Jika kita amati, ternyata fenomena ini (baca: angka golput) pasca Orde

Baru mengalami peningkatan. Menurut AA GN Ari Dwipayana, Dosen Fisipol

UGM, mengutip hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menuliskan

bahwa Pemilu 1971 angka golput mencapai 6,64%, pemilu 1977 mencapai 8,40%,

pemilu 1982 mencapai 8,53%, pemilu 1987 mencapai 8,39%, pemilu 1992

mencapai 9,09%, pemilu 1997 mencapai 9,42%, pemilu 1999 mencapai 10,21%

dan pemilu 2004 mengalami peningkatan signifikan yakni mencapai 23,34%.15

Pemilu 2004 adalah pemilu langsung pertama kali dilaksanakan dalam

sejarah Indonesia untuk memilih presiden. Pada tahun ini rakyat Indonesia

mendapatkan kesempatan memilih secara langsung sesuai dengan amandemen

pasal 1 (ayat 2) UUD 1945 yang menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.” Dengan kata lain saatnya rakyat

berdaulat atas kehendak dan hak-hak politiknya.16

Sepanjang sejarahnya, baru

13

Mengenai 10,21% diambil dari artikelnya AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia

Menjelang Pemilu 2009 Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?” diakses pada 18

Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26 14 “Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto

dkk., Pemilihan Umum1999: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.7. 15

AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009:

Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?”artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari

http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26 16Tabrani Sabirin, Pemilu Presiden 2004 (T.tp.: Komisi Pemilihan Umum, 2005), h. 3.

Page 21: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

tahun ini bangsa Indonesia mencapai keberhasilan dalam meraih pencapaian

demokrasi terbesar.17

Ada hal menarik di sini yang perlu penulis teliti lebih jauh pada pemilu

2004, yakni tingginya angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu

sebelumnya. Meningkatnya angka golput pada pemilu kali ini mengejutkan semua

kalangan. Padahal pada pemilu 2004 ini masyarakat sudah diberikan kebebasan

untuk berpolitik, tidak seperti pada era 70-an yang disebut-sebut pemilu kurang

demokratis. Sehingga, logis jika masyarakat ada yang tidak menyalurkan aspirasi

politiknya baik karena kekecewaan terhadap pemerintah saat itu ataupun sistem

pemilu yang tidak jurdil dan selalu dimenangkan oleh Golkar.

Akan tetapi pasca tumbangnya Orde Baru, partai politik sebagai wadah

agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat banyak bermunculan, masyarakat

diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan aturan perundang-undangan

yang ada. Fenomena yang terjadi justru malah sebaliknya, tingkat partisipasi

masyarakat malah menurun, bahkan pada pemilu 2004 tingkat partisipasi

masyarakat paling rendah dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Menurut Faisal Baasir, Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI menuturkan

bahwa meningkatnya angkat golput pada pemilu 2004 juga perlu dicermati, sebab

fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan

terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi sekalipun

yang disebut-sebut pemilu paling demokratis, ternyata masih ditandai oleh

tingginya angka golput,18 sehingga kehadiran golongan ini tidak bisa diabaikan

17

Ibid., h. 1. 18

Faisal Baasir, “Fenomena Golput dalam Pemilu 2004,” artikel diakses pada 18 Oktober

2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm

Page 22: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

begitu saja mengingat pemerintahan yang kurang didukung dengan partisipasi

tinggi dikhawatirkan kurang stabil.

Begitu juga dalam temuan Demos,19golongan putih (golput) masih

bertengger di urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan akan

mencapai 34.509.246 suara (23,34%) pada pemilu legislatif. Dengan

meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 adalah indikasi apatisme politik

yang mengejutkan.20

Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, faktor apa yang menyebabkan

golput mengalami peningkatan pada pemilu 2004? Apakah memang semata-mata

merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah? Ataukah karena faktor lain,

misalnya pencoblosan tidak benar yang mengakibatkan surat suara rusak, sedang

berada di luar kota ketika pemilu berlangsung, atau dampak dari liberalisasi

politik pasca Orde Baru? Ataukah karena masalah kendala teknis, misanya karena

tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)?

Pasca Orde Baru memang menyisakan kompleksitas permasalahan yang

ada, mulai dari tuntutan terhadap perbaikan ekonomi yang merupakan dampak

dari krisis 1998 yang tidak kunjung reda, korupsi terjadi di semua lini baik di

pemerintahan maupun di DPR, elit-elit politik dianggap tidak memperhatikan

aspirasi rakyat yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat kecewa terhadap

elit-elit politik yang berkuasa.

19

Demos adalah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi. Sisipan Demos merupakan kerja sama antara Tempo dengan perkumpulan Demos, sebuah perkumpulan di Jakarta yang

bergiat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia.

Sisipan ini disponsori oleh Uni Eropa. Dalam edisi ketiganya, Demos menampilkan topik partai

politik pasca Orde Baru. 20

Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan

05.

Page 23: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Akibat dari kekecewaan tersebut di atas, tidak jarang mereka

mengungkapkannya dengan cara tidak mencoblos pada saat pemilu tiba.

Berdasarkan wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput, mereka

mengaku tidak akan menghadiri bilik suara/golput, setidaknya mempunyai empat

alasan. Pertama, Pemerintahan di era Reformasi, baik di masa pemerintahan Gus

Dur, maupun di masa Megawati Soekarnoputri telah gagal, pemerintah tidak

sanggup memperbaiki kondisi ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan

1997. Kedua, mereka menilai kehadirannya ke bilik suara tidak ada arti apa-apa,

justru yang ada malah kerugian baik waktu, tenaga maupu finansial. Ketiga,

adanya urusan yang lebih penting. Urusan lebih penting di sini harus dipahami

dalam konteks tidak adanya nilai lebih. Daripada mencoblos lebih baik

mengerjakan yang lebih penting misalnya ke toko dan lain sebagainya. Keempat,

karena malas, malas dalam hal ini harus ditempatkan dalam kerangka tidak

adanya nilai lebih terhadap aktivitas politik dalam pemilu.21

Menurut Demos, fenomena golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal.

Pertama, mulai mencuatnya rasionalitas pemilih, dengan pemilu yang relatif

aman, damai, dan demokratis, rakyat bisa lebih leluasa dalam mengekspresikan

kebebasan dan kedaulatannya. Pada pemilu 2004 membuktikan bahwa rakyat

punya rasionalitas sendiri. Elit-elit politik dinilainya hanya mementingkan

golongan dan partainya. Kedua, belum memadainya partai alternatif. Kebebasan

memang menciptakan peluang sekaligus juga ancaman akan terpragmentasinya

kekuatan reformis, ini disebabkan partai-partai baru muncul “setengah hati”

dengan ragam interes primordialnya, sehingga akan menjadi hambatan tersendiri

21Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 244-247.

Page 24: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

bagi terciptanya konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik mengalami

malfungsi, terutama kaitannya dengan fungsi representasi. Partai politik tidak

mampu mengagregasikan kepentingan rakyat.22

Selain faktor di atas, ada juga indikasi meningkatnya golput disebabkan

oleh faktor lain. Misalnya adanya kesalahan dalam hal pencoblosan yang

mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah, ada juga karena kesalahan teknis

pendataan yang kurang akurat. Mengenai indikasi yang terakhir dapat dilihat

misalnya pada saat penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU

menyebutkan sejumlah faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu adanya

pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali baik di tempat yang sama maupun di

tempat yang berbeda, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena

pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih tapi sudah

mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang masih

terfdaftar, dan adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih.23

Untuk membuktikan indikasi-indikasi tersebut di atas, penulis merasa

tertarik mengungkap fenomena golput di Indonesia paca Orde Baru (era

Reformasi) yang mengalami trend peningkatan. Dalam hal ini penulis mencoba

untuk melihat dan menggali lebih jauh lagi khusus pada pemilu 2004 yang

merupakan pemilu langsung baik untuk memilih anggota legislatif maupun

presiden dalam sejarah pemilu di Indonesia. Hal ini akan disusun dalam sebuah

tulisan berbentuk skripsi dengan judul: “Fenomena Golput di Indonesia Pasca

Orde Baru (Studi Kasus pada Pemilu 2004).”

22

Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan

05 23

Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/

Mengapa-golput

Page 25: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar jangkauan skripsi ini

lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan tersebut mengenai fenomena

golput di Indonesia pada pemilu 2004.

Berpijak pada batasan serta latar belakang masalah tersebut, maka penulis

perlu merumuskan permasalahan ini dalam bentuk pertanyaan: Faktor apa yang

menyebabkan meningkatnya golput di Indonesia pada pemilu 2004?

Adapun sub-sub permasalahan yang akan ditelusuri sebagai berikut:

1. Apa yang menyebabkan masyarakat kecewa terhadap parpol dan elit-elit

politik pada pemilu 2004?

2. Apakah meningkatnya golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh

adanya faktor kendala teknis?

3. Apakah golput pada pemilu 2004 ada kaitannya dengan dampak dari

liberalisasi politik pasca Orde Baru?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan dan

menganalisa lebih jauh tentang fenomena golput pada pemilu 2004 lewat

indikator-indikator sebagai berikut:

1. Adanya kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik.

2. Adanya faktor kendala teknis, baik administratif maupun non administratif

3. Adanya dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.

Page 26: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan berupa pengumpulan

data dari berbagai literatur. Penulis menggunakan jenis penelitian Library

Research (studi kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan data-data yang

berkaitan dengan pemilu 2004 berupa buku-buku, artikel dari berbagai media baik

elektronik maupun cetak yang kemudian dibahas dan dianalisis lalu ditulis dalam

bentuk karya ilmiah.

Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua

metode yaitu metode deskriptif dan analisis yaitu dengan mendeskripsikan dan

kemudian menganalisisnya sesuai dengan temuan penulis.

Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan Pedoman

Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), yang diterbitkan oleh

CeQDA, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun ke dalam lima bab. Bab I

Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan secara ringkas konteks serta

permasalahan yang diangkat sebagai cerminan isi skripsi ini secara global. Bab ini

mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, rumusan dan batasan

masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II, penulis membahas golput sebagai variabel pertama. Pada Bab ini

pembahasan meliputi pengertian dan jenis-jenis golput yang diutarakan oleh para

pengamat. Tidak sedikit para pengamat mengomentari tentang golput, bahkan

beberapa pengamat ada yang mengklasifikasikan golput kepada beberapa jenis. Di

Page 27: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

antaranya, ada golput ideologis, golput politis, golput pragmatis dan golput karena

kecelakaan; penyebab seseorang memilih golput, di sini diuraikan tentang apatis,

anomi, alienasi, dan sinisme yang merupakan bentuk ketidakikutsertaan

masyarakat dalam berpartisipasi; mengulas sekilas tentang sejarah golput di

Indonesia, di sini penulis menjabarkan sejarah golput dari pemilu 1971 hingga

pemilu pasca Orde Baru yakni pemilu 1999.

Selanjutnya pada Bab III, penulis membahas sekilas tentang pemilu

presiden dan legislatif pada pemilu 2004 yang merupakan variabel kedua dari

skripsi ini. Bahasan terdiri dari kontestan partai-partai politik peserta pemilu. Di

antara kontestan partai politik pemilu 2004, ada yang berasaskan Islam, sekuler

dan nasionalis yang nantinya akan penulis uraikan; hasil perolehan suara partai-

partai politik, di sini penulis juga menjelaskan tentang perbandingan suara yang

sah dan tidak sah serta jumlah keseluruhan pemilih; selanjutnya koalisi partai-

partai politik, di sini penulis akan menjabarkan tentang koalisi yang terjadi pada

saat itu yang pada akhirnya berujung pada terjalinnya koalisi kebangsaan dan

koalisi kerakyatan pada tahapan pemilihan presiden putaran kedua; dan terakhir

membahas tentang pemilihan presiden secara langsung yang merupakan pemilu

pertama di Indonesia, bahasan meliputi pelaksanaan pemilu presiden dan hasil

dari pilpres putaran pertama, pelaksanaan pilpres putaran kedua dan perolehan

hasil pilpres putaran kedua.

Selanjutnya pada Bab IV sebagai inti skripsi ini, penulis akan

menguraikan fenomena golput di Indonesia pada pemilu 2004. Mengenai

pemahaman golput tentunya penulis mengacu pada pandangan para tokoh yang

sudah banyak memberikan komentar seperti yang akan banyak diuraikan pada bab

Page 28: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

kedua. Permasalahan-permasalahan yang akan diangkat terkait dengan

menigkatnya golput pada pemilu 2004 yaitu adanya indikasi-indikasi sebagai

berikut: adanya kekecewaan masyarakat terhadap partai dan elit-elit politik,

adanya kendala teknis baik administratif maupun non administratif, dan adanya

dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.

Pada Bab V penulis menutup dengan kesimpulan-kesimpulan yang

berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini. Karena

bahasan golput ini masih jarang yang meneliti dan penulis ketika mencari data

juga merasa kesulitan, pada bab ini juga penulis menambahkan saran-saran

terutama menyarankan kepada peneliti-peneliti lain agar dapat meneliti mengenai

golput lebih jauh lagi. Bagaimana pun juga, kita setuju atau tidak setuju terhadap

golput, yang jelas golput sudah menjadi fenomena yang selalu ada di setiap

pemilihan umum dan keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pacsa Orde

Baru, rakyat sudah diberikan kebebasan dalam segala hal, khususnya dalam

bidang politik. Untuk itu, pada bab ini penulis juga menyarankan kepada khalayak

umum agar menggunakan hak pilihnya pada setiap pemilu/pilkada sebagai bentuk

partisipasi politik dalam rangka menentukan pemimpin yang lebih baik.

Page 29: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

BABA II

TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT

A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput

Berbicara mengenai golput adalah berbicara sebuah fenomena yang selalu

ramai diperbincangkan setiap kali pemilu. Realitas yang ada membuktikan bahwa

di setiap pemilu dari mulai pemilu 1955-2004, angka pemilih yang tidak sah dan

atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu terus ditemukan. Apakah

angka-angka tersebut masuk pada kategori golput?

Untuk itu, walaupun golput hanyalah suatu fenomena dan belum bisa

dikategorikan secara akademis, paling tidak pada bab ini, penulis ingin

menguraikan terlebih dahulu pengertian dan jenis-jenis golput menurut pandangan

para pengamat. Sehingga, nantinya penulis tidak bias dalam mengartikan golput

itu sendiri.

Golput atau “golongan putih” adalah sebutan yang dialamatkan kepada

orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sering pula

didefinisikan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai

peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada

sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk

menentukan pemimpinnya.24

Dalam literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku

nonvoting. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada

fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Di

24

Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta:

PT Nimas Multima, 2004), h. 69.

Page 30: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

beberapa negara dunia ketiga, perilaku nonvoting umumnya termanifestasikan

dalam berbagai bentuk. Di Brazil misalnya, di samping dimanifestasikan dalam

bentuk ketidakhadiran, juga dimanifestasikan dalam bentuk merusak kartu suara

atau tidak mencoblos (blank and spoiled ballots). Perilaku tidak memilih seperti

ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah,

partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Bentuk semacam ini juga

banyak ditemui di negara-negara yang menerapkan hukum wajib coblos seperti

Australia, Belgia, Italia, Brazil, dan yang lainnya.25

Menurut Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)

2004, menuturkan bahwa golput khusus dialamatkan hanya kepada mereka yang

memang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara

atau sengaja merusak surat suaranya. Golput harus dilakukan sebagai sebuah

kesadaran politik.26

Berbeda dengan Ramlan Surbakti, Menurut Indra J. Piliang, peneliti dari

Center for Strategic and International Studies (CSIS), golput terbagi ke dalam tiga

kategori. Pertama, golput ideologis, yaitu golput yang disebabkan oleh penolakan

terhadap sistem ketatanegaraan. Sebagaimana halnya golput era 1970-an, yakni

semacam gerakan anti-state. Orang yang golput menganggap bahwa pemilu

dianggapnya hanya bagian dari korporasi elit-elit politik yang sebenarnya tidak

punya legitimasi kedaulatan rakyat. Kaum golput seperti ini memandang

bahwasanya undang-undang pemilu hanyalah bagian dari rekayasa segelintir

orang untuk mencari keuntungan atau kenikmatan. Kedua, golput pragmatis,

yaitu golput yang didasarkan oleh perhitungan rasional. Orang yang golput

25

Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 241-242. 26

Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/13/

mengapa-golput/

Page 31: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

memandang bahwa pemilihan umum baginya tidak berdampak apa-apa. Golput

model ini mirip dengan fardu ‘ain dan fardu Kifayah dalam hukum Islam, yakni

bagi orang yang memilih sudah mewakili keseluruhan, sementara bagi orang yang

tidak ikut memilih tidak ada “dosa politik kolektif.” Orang-orang yang mencari

nafkah dan orang-orang yang tidak hadir pada hari pemilihan dengan berbagai

macam alasan termasuk golput model ini. Sikap mereka setengah-setengah

memandang pemilu, antara percaya dan tidak. Ketiga, golput politis, yaitu golput

yang disebabkan oleh faktor-faktor politik. Contoh Gus Dur menyatakan dirinya

golput akibat keputusan KPU dan Ikatan Dokter Indonesia yang memutuskan

bahwa ia tidak memenuhi syarat menjadi calon presiden. Juga golput yang

dilakukan oleh pendukung fanatik pasangan calon presiden dan wakil presiden

yang kalah dalam putaran pertama. Tapi sebenarnya kelompok ini masih percaya

kepada negara, juga percaya pada pemilu. Hanya saja akibat preferensi politiknya

berubah atau sistemnya secara sebagain juga merugikan mereka.27

Sementara menurut Arief Budiman28, Sosiolog dan pengajar di Universitas

Melbourne, Australia, menggolongkan golput pada tiga macam. Pertama golput

yang disebabkan oleh karena alasan politik, umpamanya golput akibat dari protes

terhadap undang-undang pemilu yang dianggapnya tidak jurdil dan kurang

demokratis atau karena semua calon yang ada di matanya kuarng layak. Kedua,

golput karena memang benar-benar apatis terhadap pemilu. Baginya urusan

politik adalah urusan elit-elit politik, politik di Indonesia dianggap sangat elitis,

27

Indra J. Piliang, “Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia,” artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/1163352.htm

28Arief Budiman adalah salah satu pelopor gerakan golput. Ia dan rekan-rekannya

memboikot pemilu 1971 dengan cara menyatakan tidak akan memilih pada pemilu tersebut.

Pemilu waktu itu dianggapnya tidak demokratis. Golkar dan aparat pemerintah dianggap telah

melakukan tindakan tidak wajar terhadap para peserta pemilu yang lain. Lihat “Golongan putih”

dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.197.

Page 32: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dampak dari pemilu tidak akan berguna bagi masyarakat, karena para elit hanya

memikirakan kepentingan dirinya sendiri. Ketiga, golput karena “kecelakaan”.

Banyak orang yang tidak memahami aturan pemilu, sehingga tata cara

pencoblosan yang benar tidak mereka ketahui misalnya tidak boleh mencoblos di

luar gambar atau tidak boleh mencoblos lebih dari satu kali.29

Eep Saefulloh Fatah, selaku Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi

Indonesia mengungkapkan bahwa golput pasca Orde Baru mewakili spektrum

luas dan beragam. Dalam hal ini ia membagi golput kepada beberapa jenis. Ada

golput karena teknis-teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran dan lain-lain),

berhalangan hadir ke TPS atau mereka yang salah mencoblos sehingga surat

suaranya rusak. Ada juga golput teknis-politis, misalnya mereka yang tidak

terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga

statistik, penyelenggara pemilu). Selanjutnya golput politis, mereka yang golput

menganggap bahwa semua kandidat yang ada di matanya tidak ada yang bagus

dan pada akhirnya ia tidak punya pilihan terhadap kandidat yang ada atau tidak

percaya bahwa pilkada [pemilu] akan membawa perubahan dan perbaikan. Dan

kelima, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme

demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan

fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.30

29

Arief Budiman, “Golput, Gejala dan Masa Depannya,” artikel diakses pada 29

November 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19/KL/mbm.20040719.

KL93851id.html 30

Di masa Orde Baru, memilih terkesan merupakan kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi, sehingga golput merupakan

semacam perlawanan. Pasca Orde Baru, memilih merupakan hak, memilih atau tidak, tidak ada

sanksi. Dalam kontek ini, maka golput tidak hanya mewakili kelompok homogen (kelompok yang

protes )saja. Akan tetapi, golput sudah mewakili sebuah spektrum luas dan beragam. Lihat: Eep

Sefuloh Fatah, “Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta,” artikel diakses pada 08 Desember

2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisis-politik-mengelola-golput-jakarta

Page 33: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Pada realitasnya, dalam penghitungan hasil pemilu, golput biasanya

dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena, misalnya tidak hadir, kertas

suara kosong, surat suara rusak disengaja atau surat suara rusak yang tidak

disengaja. Panitia biasanya melabel terhadap surat suara tersebut dengan sebuatan

suara tidak sah, kecuali untuk yang tidak hadar.31

Dari pandangan para tokoh di atas, penulis lebih sepakat terhadap

pengkategorian golput tersebut menjadi beberapa jenis mengingat sulitnya untuk

mengidentifikasi secara pasti berapa jumlah golput yang memang benar-benar

tidak memilih yang disebabkan atas kekecewaan. Hal ini hanya dapat diprediksi

dari hasil lembaga-lembaga survei yang melakukan penelitian dan itu pun jika

penelitiannya valid. Dengan adanya survei setidaknya bisa mengidentifikasi suara

tidak sah tersebut. Dalam konteks pemilu 2004, dengan melihat indikator yang

sudah dipaparkan pada bab I, penulis mengklasifikasikan golput menjadi tiga:

golput politis, golput teknis administratif, dan golput teknis non administratif.

Ketiga kategori golput tersebut akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.

B. Penyebab Seseorang Golput

Golput adalah suatu hal yang selalu ada di setiap pemilu. Apalagi terhadap

negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa

semakin demokratis suatu negara, maka semakin sedikit angka pengembalian

suara.32

Di negara-negara maju seperti Amerika sekalipun, tingkat partisipasi

masih rendah. Di beberapa kota di Amerika, masalah-masalah politik bukan

31

Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 296. 32Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput h. 89.

Page 34: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

menjadi perhatian masyarakat. Mereka lebih memusatkan pada kegiatan-kegiatan

yang menyangkut makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, kesenangan,

tempat berteduh, kenyamanan, persahabatan, harga diri sosial, dan yang

lainnya.33

Dalam studi perilaku pemilih (voter behavior), ada tiga teori yang

menjelaskan fenomena golput. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut

dalam pemilihan akibat dari latar belakang sosiologis. Misalnya faktor agama,

pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Kedua, teori psikologis. Keputusan

seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh faktor psikologis seperti

kedekatan (attachment) dengan partai atau kandidat yang ada. Ketiga, teori

ekonomi politik. Keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan

rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa

perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan akan adanya perubahan, dan

sebagainya.34

Idris Thaha dalam bukunya menuliskan, ada dua faktor yang menyebabkan

partisipasi warga negara dalam politik. Pertama, kesadaran terhadap hak dan

kewajiban sebagai warga negara. Kedua, sikap dan kepercayaan atau penilaian

warga negara terhadap pemerintah. Akan tetapi, keduanya tidak bisa berdiri

sendiri. Bisa jadi faktor tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat di

pengaruhi juga oleh faktor lain, misalnya status sosial dan ekonomi, afiliasi

politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.35

33

Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin

Rais (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), h. 224. 34

“Studi Golput dalam Pilkada DKI Jakarta,” dalam catatan kaki, diakses pada 27 Januari

2009 dari www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_STUDI_EXIT_POLL_ 35

Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin

Rais. h. 224-225.

Page 35: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Seymour Martin Lipset, berdasarkan data pemilihan umum dari Amerika

Serikat dan beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman, Swedia, Norwegia dan

Finlandia menemukan bahwa di negara-negara tersebut orang kota lebih banyak

memberikan suara daripada orang desa; mereka yang berumur 35 dan 55 lebih

banyak daripada yang usianya di bawah 35 tahun ataupun di atas 55 tahun; pria

lebih banyak daripada wanita; yang kawin lebih banyak daripada yang belum

kawain. Lebih lanjut Lipset mengungkapkan bahwa orang yang berpendapatan

tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung lebih

banyak daripada orang yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.36

Berbeda dengan Lipset, Muhammad Asfar dalam bukunya

mengungkapkan bahwa di Indonesia khususnya pada era Reformasi, justru para

pendukung golput (orang yang tidak berpartisipasi memberikan suara) malah dari

orang-orang yang pendidikannya memadai. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa

dari hasil wawancara dengan para responden, diketahui setidaknya terdapat dua

penjelasan. Petama, pendidikan tinggi memungkinkan seseorang dapat mengakses

informasi lebih memadai, sehingga mereka mempunyai informasi yang cukup

tehadap kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan demikian mereka bisa tahu

baik keberhasilan-keberhasilan pemerintah maupun kekurangan-kekurangannya.

Kedua, perguruan tinggi memungkinkan seseorang untuk dapat membaca dan

menganalisis realitas sosial, ekonomi dan politik, sehingga lewat pergurun tinggi

tersebut seseorang mengetahui seperangkat “ alat” baik berupa teori, konsep untuk

36

Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1998), h. 9.

Page 36: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

menjelaskan dan menganalisis fenomena sosial dan politik. Sehingga informasi

yang mereka dapatkan tidak ditelan dengan mentah-mentah.37

Dalam bukunya Badri Khairuman, tipologi dari orientasi-orientasi yang

menandai ketidakikutsertaan masyarakat dalam urusan-urusan politik, termasuk

dalam pemberian suara pada saat pemilihan umum disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama apatis (masa bodoh), sikap ini lebih dari sekedar manifestasi kepribadian

otoriter. Sikap ini terjadi akibat dari ketertutupan terhadap rangsangan politik,

baginya kegiatan politik tidak memberikan manfaat dan kepuasan, sehingga

mereka tidak punya minat dan perhatian terhadap politik. Kedua anomi (terpisah),

sikap ini merujuk kepada sikap ketidakmampuan, terutama kepada keputusasaan

yang dapat diantisapasi. Ia masih mengakui bahwa kegiatan politik adalah sesuatu

yang berguna, akan tetapi ia merasa tidak dapat memengaruhi peristiwa-peristiwa

dan kekuatan-kekuatan politik. Singkat kata, Anomi adalah sikap—jika hal ini

menjadi ekstrem dan meluas—akan mencakup suatu perasaan ketidakberdayaan

dalam mengendalikan hidup secara umum. Ketiga alienasi (terasing), sikap ini

berbeda dari apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada

pemerintah yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai

dampak terhadap dirinya. Individu yang teralienasi tidak hanya menarik diri dari

kegiatan politik, akan tetapi ia juga dapat mengambil alternatif untuk

menggulingkan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan, atau dengan cara tanpa

kekerasan atau melakukan hijrah.38

Michael Rush dan Phillip Althoff mengemukakan pendapat serupa

terhadap orang-orang yang tidak turut serta berpartisaipasi dalam masalah politik.

37

Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 259-262. 38

Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput, h. 87-

88.

Page 37: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Di samping ketiga yang sudah disebutkan tadi seperti apatis, alienasi (terasing),

anomi (terpisah), ia menambahkan sinisme. Sinisme merupakan satu sikap yang

dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidakaktifan.39

Robert Agger dan rekan-rekannya mendefinisikan sinisme sebagai

“kecurigaan yang buruk dari sifat manusia”. Sinisme merupakan perasaan yang

menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa

pesimisme lebih realistis daripada optimisme; bahwa individu harus

memperhatikan kepentingan sendiri, karena masyarakat itu pada dasarnya ego-

sentris (memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri). Secara politis, sinisme

menampilkan diri dalam berbagai cara: bahwa politik adalah urusan kotor, bahwa

politisi itu tidak dapat dipercaya, bahwa individu menjadi bulan-bulanan dari

kelompok yang melakukan manipulasi, bahwa kekuasan sebenarnya dilakukan

oleh orang-orang tanpa muka.40

Menurut Azyumardi Azra, penyebab golput di Indonesia belum bisa

dipastikan apakah memang benar-benar oleh karena ideologi, sikap apatis atau

karena faktor lain, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih. Adanya golput di

Indonesia tidak sama seperti di negara-negara lain, misalnya Inggris dan Amerika

yang memang di sebabkan oleh sikap apatis. Akan tetapi di Indonesia berbeda

dengan negara lain.41

Sedangkan menurut Roby Muhamad, dalam artikelnya menulis sedikitnya

ada tiga alasan mengapa seseorang memilih golput. Pertama, seseorang memilih

39

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2003), h. 146. 40

Ibid., h. 146-147. 41

Pernyataan ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra kepada wartawan di sela-sela acara

seminar bertema “Membangun Jati Diri Bangsa untuk Masa Depan Indonesia” di gedung rektorat

Universitas Brawijaya Malang, Sabtu (17/7) ketika masih menjabat Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Diakses pada 27 November 2008 dari http://www.sinarharapan.co.id/Berita/

0302/05/nas10.html/

Page 38: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

golput karena diluar kehendak, misalanya sakit parah yang mengakibatkan ia tidak

bisa memilih. Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan

ketidakpercayaan pada sistem yang ada. Ketiga, menggangap memilih tidak

memberi keuntungan apa-apa bagi dirinya.42

Robi Cahyadi Kurniawan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, dalam

opininya menulis, golput erat kaitannya dengan partisipasi. Partisipasi merupakan

perilaku atau aktivitas. Basis partisipasi menurut Huntington dan Nelson

(1977:15) dapat berupa individu maupun kolektif/kelompok.43

Hal senada juga

terdapat dalam bukunya Ramlan Surbakti, bahwa partisipasi politik dapat pula

dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individual dan kolektif.

Partisipasi individual maksudnya, seseorang yang menulis surat berisi tuntutan

atau keluhan kepada pemerintah. Yang dimaksud partisipasi kolektif ialah

kegiatan warga negara secara serentak seperti kegiatan dalam proses pemilihan

umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua, yakni partisipasi kolektif

konvensional seperti pemilihan umum dan partisipasi kolektif yang tidak

konvensional, seperti pemogokkan yang tidak sah, huru-hara dan lain

sebagainya.44

Menurut Gabriel A. Almond yang dikutip oleh Cheppy Haricahyono,

bentuk partisipasi seperti aktivitas pemberian suara (voting), diskusi politik,

kegiatan kampanye, bergabung dengan kelompok kepentingan, atau melakukan

komunikasi dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif dianggapnya

42Robi Mumahamad, “Golput dan Memilih dengan Rasional,” artikel diakses pada 27

November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/01002822/golput.dan. memi-

lih.denagn rasional 43

Robi Cahyadi Kurniawan, “Mencermati Fenomena Golput,” artikel diakses pada 27

November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940 44

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI,

1999), h. 143.

Page 39: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

sebagai bentuk yang normal atau yang sudah umum biasa dilakukan dalam

demokrasi modern.45

Penelitian individu di Barat umumnya memiliki basis individual,

menekankan pada kegiatan politik individu warga negara. Dalam hal ini bekaitan

dengan sistem nilai individualisme atau disebabkan kesadaran politik warga

negaranya tinggi. Sementara di Indonesia menekankan pada komunalisme

(kebersamaan atau gotong royong), artinya tindakan politik seseorang dipengaruhi

oleh struktur politik yang ada, status sosio-ekonominya, juga dipengaruhi oleh

kesadaran terhadap politik dan kepercayaan terhadap pemerintah. Apabila

seseorang memiliki kesadaran politik dan tingkat kepercayaan terhadap

pemerintah tinggi, maka tingkat partisipasi akan tinggi dan cenderung aktif.

Sebaliknya apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan terhadap pemerintah

rendah, maka partisipasi cenderung pasif (apatis).46

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan,

bentuk partisipasi politik ada yang dimobilisasi dan ada yang otonom. Partisipasi

yang dimobilisasi adalah kegiatan/aktivitas yang dikendalikan oleh orang lain di

luar si pelaku, dimaksudkan untuk memengaruhi pengambilan keputusan

pemerintah. Misalnya petani-petani memberikan suara karena disuruh berbuat

demikian oleh tuan tanahnya. Di antara mereka juga ada yang memang tidak

mengerti makna tindakan mereka. Sementara partisipasi yang otonom adalah

sebaliknya yaitu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku sendiri yang

bermaksud untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tingkat

45

Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 1999), h. 181-182. 46

Robi Cahyadi Kurniawan, “Mencermati Fenomena Golput,” artikel diakses pada 27

November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940

Page 40: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

partisipasi yang otonom pada umumnya lebih tinggi dalam sistem-sistem politik

yang demokratis daripada dalam sistem-sistem diktator.47

Pada konteks Indonesia, penulis melihat bahwa partisipasi politik yang

dimobilisasi banyak terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa ini banyak

masyarakat yang dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenangkan salah satu

kontestan peserta pemilu pendukung pemerintah, para pejabat sipil dilarang

berpolitik agar loyal pada negara yang pada akhirnya juga dimobilisasi untuk

memilih Golkar. Pasca tumbangnya Orde Baru, terjadilah liberalisasi politik,

masyarakat bebas memilih partai manapun, termasuk tidak memilih merupakan

hak rakyat. Dalam konteks kebebasan itulah maka partisipasi yang terjadi adalah

partisipasi otonom, yakni adanya kebebasan sepenuhnya untuk menentukan siapa

calon pemimpin yang akan dipilihnya.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa tinggi-rendahnya

partisipasi masyarakat tidak bisa dipengaruhi oleh satu faktor saja, akan tetapi

dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lainnya, misalnya faktor tingkat kepercayaan

masyarakat; faktor mobilisasi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru; faktor

sosiologis seperti ikut-ikutan keluarga, pengaruh lingkungan tempat tinggal,

lingkungan organisasi; Faktor tingkat pendidikan, ekonomi, demografi dan tingkat

pendapatan (income); juga oleh faktor psikologis misalnya seperti kedekatan

dengan calon atau bahkan kekecewaan terhadap calon/kontestan peserta pemilu

yang pada akhirnya berujung pada sikap apatis.

Morris Rosenberg yang dikutif oleh Rush dan Althoff, mensugestikan tiga

alasan pokok apati politik. Pertama, adanya konsekuensi yang ditanggung dari

47

Untuk lebih jelasnya mengenai partisipasi yang dimobilisasi dan yang otonom lihat

Samuel P. Hungtinton dan Joan M. Nelson, Partisipasi politik: Tak Ada Pilihan Mudah (Jakarta:

PT.Sangkala Pulsar, 1984), h. 7-12.

Page 41: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

aktivitas politik. Dalam hal ini dapat mengambil beberapa bentuk, misalnya

individu merasa bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai

aspek hidupnya. Kedua, adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa

partisipasi politik adalah hal yang sia-sia saja, oleh karenanya tidak efektif. Ia

beranggapan bahwa menggabungkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan

suatu tujuan politik adalah tidak berguna. Ketiga, tidak adanya rangsangan yang

memadai di mata rakyat untuk berpartisipasi, baik materil maupun non materil.

Dengan tidak adanya perangsang menambahkan perasaan apati.48

Penyebab golput pada pemilu 2004, menurut penulis disebabkan oleh

banyak faktor. Di antaranya, faktor psikologis yakni adanya kekecewaan pada

elit-elit politik. Dalam hal ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elit politik

khususnya pemerintah sangat rendah, sehingga yang terjadi adalah sikap apatis.

Bagi mereka ikut memilih tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa yang pada

akhirnya minat untuk berpartisipasi menjadi tidak ada. Selain faktor kekecewaan

tersebut, ada juga faktor lain yang ikut memengaruhinya seperti faktor

pendidikan, ekonomi, demografi, liberalisasi politik, dan daftar pemilih kurang

akurat juga termasuk sebagai penyebab meningkatnya golput pada pemilu 2004.

C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia

Pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia diadakan tahun 1955

untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu 1955 adalah

pemilu yang dianggap paling demokratis pertama kalinya yang pernah diadakan di

Indonesia. Pada saat itu rakyat bergairah untuk berperan serta dalam

48Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, h. 144-146.

Page 42: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

mensukseskan pemilu tersebut. Kemungkinan pada saat itu belum ada fenomena

golongan putih (golput) kalaupun mungkin ada tidak terdengar suaranya. Kira-

kira sekitar 91,54% dari jumlah rakyat pemilih terdaftar ikut menyampaikan

suaranya dalam pemilihan anggota DPR dan kira-kira sekitar 90% dari rakyat

pemilih terdaftar ikut menyampaikan suaranya dalam pemilihan anggota Dewan

Konstituante.49

Golput muncul pada awal tahun 1970-an, sebagai reaksi terhadap segala

kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, pada saat menjelang pemilu

tahun 1971. Para pelopor golput adalah para aktivis angkatan ’66 diantaranya

Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Julius Usman, Imam Waluyo dan juga

Adnan Buyung Nasution. Yang kemudian gerakan ini mendapatkan dukungan

dari berbagai daerah seperti Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang serta Solo.50

Menurut Harian Kami terbitan tanggal 4 Juni 1971, golput lahir di Balai Budaya

Jakarta dengan menyatakan tidak akan memilih salah satu tanda gambar peserta

pemilu waktu itu. Gerakan ini memperoleh dukungan dari beberapa dewan

mahasiswa dan senat mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia,

terutama di Jawa.51

Sebenarnya hakikat dari sikap dasar aktivis pendukung golput terhadap

rezim Orde Baru tertangkap dari perjuangan angkatan ’66 dalam merealisasikan

dan melahirkan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA). Tuntutan pertama yaitu

bubarkan PKI menjadi sasaran pergolakan mahasiswa dan komponen Orde Baru

49

Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta: LEKHAT, 1994), h. iv. Lihat juga: Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for

Constitutional Government in Indonesia a Socio-legal Study of The Indonesia Konstituante 1956-

1959, h. 30 50

Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 2. 51

“Golongan putih,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6 (Jakarta: PT. Delta

Pamungkas: 2004), h. 197.

Page 43: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

lainnya yang meliputi dua sistem kekuasaan otoritarianisme yang sedang tumbuh

di Indonesia. Pertama Demokrasi Terpimpin Soekarno sejak pertengahan tahun

1959 dan kedua Partai Komunis yang meniti puncak usahanya untuk menguasai

negara lewat kudeta 30 September 1965. Tuntutan kedua, di balik kabinet sebagai

sasaran tuntutan mahasiswa, terihat sistem pemerintahan yang kurang efektif

sekalipun telah dibekali dengan kekuasan memusat berupa kewenangan untuk

mengintervensi DPR GR dan dilandasi oleh hanya tiga kekuatan politik

(Angkatan Darat, PKI dan PNI). Demokratisasi dan pengepektifan sistem

pemerintahan adalah hakikat dari tuntutan mahasiswa mengenai perombakan

kabinet. Tuntutan ketiga, penurunan harga yang bermakna pembangunan ekonomi

secara terencana dan terkontrol.52

Kesenjangan tujuan dan realitas pemilu dengan demokrasi sebagi cita-cita

Orde Baru antara lain tercermin di dalam tuntutan pertama TRITURA yaitu

pembubaran PKI sebagai realitas dan simbol dari kekuatan non demokrasi Orde

Lama. Inilah yang memotivasi lahirnya golput sebagai gerakan protes politik.

Seperti terungkap dalam deklarasinya pada tanggal 28 Mei 1971, mereka menolak

pelanggaran peraturan pemilu oleh segenap kontestan. Mereka tidak menerima

perlakun istimewa pemerintah terhadap Golkar. Semuanya itu menurut gerakan

52

Secara formal tuntutan pertama terpenuhi melalui TAP MPRS No. XXV tahun 1966

tanggal 5 Juli 1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan aktivis serta penyebaran ideologinya

di seluruh Indonesia. Ketetapan ini sebagai bentuk pengukuhan konstitusional terhadap

pembubaran PKI yang dilaksanakan lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dibuat Presiden

Soekarno kepada Jendral Soeharto sebagai pelaksana kekuasaan presiden. Adapaun tuntutan kedua

adalah Tap MPR No. XLIV tahun 1968 tertanggal 27 Maret 1968 tentang pengangkatan Jendral

Soeharto sebagai presiden, sehingga posisinya sebagai pelakasana kekuasaan presiden ditetapkan

oleh MPRS No. IX tanggal 21 Juni 1966 ditingkatkan. Walau demikian pelaksanan Tritura kedua dan ketiga tidak selesai dengan politik secara formalitas sebab pengembangan sistem pemerintahan

dan pelaksanan sistem pembangunan menyangkut aspek kehidupan dan kelembagaan masyarakat

dan kenegaraan yang luas. Gerakan protes golput periode awal ini, sesungguhnya berpangkal

kepada tuntutan rakyat untuk melakasanakan pembaruan sistem pemerintahan. Untuk lebih

jelasnya lihat: Drs. Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik ( Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1992), h.19-20.

Page 44: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

golput tidak sejalan dengan maksud untuk menumbuhkan demokrasi secara

konkret.53

Golput bukanlah berbentuk sebuah organisasi. Menjelang pemilu 1971

golput muncul hanyalah suatu kekuatan moral yang merupakan jawaban terhadap

situasi politik yang tidak sehat. Jadi golput muncul sebagai sebuah sikap protes

terhadap suramnya iklim demokrasi di negeri ini. Sebagai kekuatan moral, golput

tidak mempunyai keanggotaan yang resmi dan terorganisir dengan baik.54

Dalam deklarasinya juga disebutkan bahwa keanggotaan golput

diperuntukkan bagi “mereka yang tidak puas dengan keadaan sekarang karena

aturan permainan demokrasi di injak-injak, tidak saja oleh partai politik, tapi juga

oleh golongan karya, dalam usahaya untuk memenangkan pemilu menggunakan

aparat pemerintah di luar batas aturan main yang demoktratis”. Siapa saja yang

tidak suka, tidak setuju dengan sistem politik, dapat bergabung dengan golput.

Golput terbuka untuk orang-orang yang mendukung terwujudnya sistem politik

yang demokratis.55

Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti

halnya partai-partai lain juga melakukan pendidikan politik kepada masyarakat

agar masyarakat dapat bersikap kritis dan kreatif terhadap kehidupan politik di

Indonesia. Yang dimaksud pendidikan politik di sini adalah menanamkan

kesadaran kepada masyarakat bahwa di dalam suatu pemilihan umum, tidak ikut

memilih juga merupakan hak setiap waga negara.56

53

Ibid., h.26-27. 54

Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 3. 55

Ibid., h.3. 56Ibid., h. 3-4.

Page 45: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Dalam memberikan ceramah yang dilakukan di kampus IPB, Marsilam

Simanjuntak dan Julius Usman melakukan kampanye golput dan bertukar pikiran

terhadap 250 orang mahasiswa IPB, Univ. Inbu Chaldun, IAIN, dan wakil

organisasi mahasiswa seperti GM-sos, PMKRI, HMI, GMKI, GMNI dan Laskar

Hasanudin Noor.57

Selain memberikan ceramah-ceramah dan pendidikan politik, golput juga

melakukan kampanye untuk menyebarkan ide-idenya. Dalam hal ini misalnya

yang sering mereka lakukan seperti membuat pernyataan di media-media cetak,

penempelan tanda gambar golput berupa segi lima hitam di atas kertas/kain

dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan

dengan tanda gambar peserta pemilu lain. Dengan melihat cara-cara yang

dilakukannya, golput tampaknya bukanlah sekedar suatu gerakan moral, tetapi

telah menyerupai tindakan politik suatu kekuatan sosial politik peserta pemilu.

Bedanya partai politik sebagai peserta pemilu untuk memperkenalkan program-

programnya dijamin oleh undang-undang pemilu, sementara golput tidak

memiliki jaminan itu. Oleh sebab itu, oleh pemerintah gerakan ini dinilainya

inkonstitusional.58

Pada pemilu selanjutnya yakni pemilu 1977, 1982, 1987, dan pemilu 1992

pembicaran mengenai golput selalu muncul. Protes golput pada tahun-tahun ini

berbeda dengan golput pada pemilu 1971. Dalam hal ini Arbi Sanit menjelaskan:

“… Protes golput terhadap pelaksanaan pemilu 1977, 1982, 1987 dan

bahkan terhadap pemilu tahu 1992 mendatang mengarah perhatiannya kepada proses pembentukkan legitimasi sistem politik. Itu berarti bahwa

tingkah laku pemilih yang tergolong pada kategori golput merupakan ujud dari protes mereka terhadap proses pemenuhan kebutuhan sistem politik di

Indonesia akan dukungan masyarakat yang dipandang tidak

57

Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik, h. 28. 58“Golongan putih,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6, h. 197.

Page 46: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

mengoperasikan pengembangan demokrasi. Secara spesifik dapat

dibedakan dua protes golput setelah 1971. Pertama, ialah memprotes proses pemilu sebagai mekanisme bagi pembentukkan legitimasi bagi

format politik Orde Baru yang mampu menegakkan stabilitas politik akan tetapi menjurus kepada pemusatan kekuasaan dan berwatak penekan.

Kedua, golput merupakan gerakan protes terhadap proses pemilu sebagai mekanisme legitimasi bagi kebijaksanaan dan kegiatan pembangunan dan

berhasil meningkatkan penghasilan nasional akan tetapi diwarnai oleh berbagai kesenjangan.”59

Pada pemilu 1977, golput mendapat perhatian kembali, walaupun

beberapa tokohnya tidak aktif lagi, pembicaraan mengenai golput muncul di

tengah-tengah krisis yang dihadapi oleh Orde Baru yakni krisis munculnya

kerusuhan Malari (1974), terbongkarnya juga kasus korupsi pada Pertamina

(1975) dan kasus-kasus korupsi lainnaya. Juga adanya fusi terhadap partai-partai

politik (1973) tidak luput dari protes masyarakat, para pendukung partai-partai

politik, terutama dari kalangan Umat Islam yang menganggapnya kebijakan

tersebut sebagai sikap anti Islam.60

Protes juga diikuti oleh para tokoh pendiri Orde Baru sendiri: para jendral,

intelaktual, seniman, wartawan dan politisi sipil lainnya. Di samping dari para

tokoh di atas, protes juga datang dari para mahasiswa. Orde Baru menjawabnya

dengan sikap represif. Penangkapan terhadap para tokoh mahasiswa di seluruh

Indonesia makin memperdalam krisis politik di Indonesia. Dalam kondisi seperti

ini, golput menjadi pilihan politik bagi kalangan terpelajar tersebut.61

Pada pemilu 1982, terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit. Ketidak

puasan para elit terhadap pemerintah Orde Baru terlihat dengan munculnya

kelompok-kelompok penekan (pressure groups) seperti kelompok Petisi 50 yang

merupakan kelompok oposisi yang anggota-anggotanya terdiri dari para jenderal

59

Ibid, h.30-31. 60

Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia, h. 9. 61Ibid., h.10.

Page 47: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dan politisi sipil. Peranan mahasiswa pada tahun ini dibekukan oleh rezim Orde

Baru dengan arsiteknya Daud Yusuf sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan

dan dilanjuktkan oleh Prof. Nugroho Notosusanto dengan memberlakukan

normalisasi kehidupan kampus pada awal 1980-an. Mahasiswa dijauhkan dari

diskusi-diskusi politik.62

Dalam pemilu 1987, isu penting yang menjadi perdebatan yaitu mengenai

proses regenerasi kepemimpinan. Dalam pemilu tahun ini, tuntutan masyarakat

akan terwujudnya demokratisasi dalam bidang politik dan ekonomi muncul di

mana-mana. Termasuk dalam perubahan kepemimpinan nasional dan keadilan

sosial. Protes-protes dari masyarakat terlihat memenuhi pemberitaan media masa

akhir tahun 1980-an yang meliputi konflik-konflik tanah, masalah perburuhan,

pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan. Namun yang sering mendapat

perhatian dari masyarakat adalah menyangkut isu monopoli dalam bidang

ekonomi yang melibatkan aktivitas bisnis keluarga Soeharto. Pemberitaan tersebut

menjadikan isu ekonomi tersebut menjadi isu politik yang besar menjelang pemilu

1992.63

Pemilu 1992 diadakan pada situasi disaat masyarakat sedang memprotes

kebijakan pemerintah terkait dengan demokratisasi politik dan demokratisasi

ekonomi. Reaksi tersebut cermin dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah

Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti ini, sikap protes

dan dukungan juga muncul terhadap golput. Kali ini, pendukung golput tidak saja

dari kalangan terpelajar, tetapi dari orang-orang miskin kota dan desa yang merasa

62

Ibid., h. 10-11. 63Ibid., h. 12-14.

Page 48: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dirugikan langsung dari pembangunan Orde Baru. Misalnya petani digusur

tanahnya dan buruh-buruh yang kehilangan pekerjaannya.64

Protes juga terjadi di beberapa tempat misalnya, rakyat dirugikan oleh

proyek-poyek pembangunan seringakali rakyat mengancam secara terang-

terangan akan memboikot pemilihan umum 1992 yang berarti mereka sudah tidak

percaya terhadap Golkar dan partai-partai politik yang lainnya sebagai wakil

rakyat. Misalnya satu kasus terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah, ribuan rakyat

tergusur untuk membuat proyek waduk besar.65

Situasi seperti ini yang dirasa

golput mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Pada pemilu 1997 juga tak banyak berbeda. Bahkan ada semacam

ketegasan bahwa pemilu telah kehilangan legitimasinya. Hasil dari jajak pendapat

TEMPO Interaktif, masyoritas responden menyatakan tidak akan memilih atau

golput, yakni (64%) akan memilih “yang lain” dari tiga OPP yang ada. Yang

dimaksud dengan “yang lain”, sebagian responden menyatakan “tidak ada OPP

yang dipilih”. Kelompok kedua mengenai yang lain yang mereka maksud adalah

“golput”, ada lagi yang menyatakan tidak akan memilih yang berarti tidak akan

datang ke TPS. Masih dari kelompok yang ini menyatakan “masih bingung,

belum tahu, atau belum menentukan pilihan”.66

Dari sikap responden tersebut

jelas bahwa mereka masih ragu terhadap tiga kontestan yang ada akan membawa

perubahan.

Pasca pemilu 1997, banyak pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu.

Mereka menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek

64

Ibid., h. 14. 65

Ibid. 66

“Golkar Akan Mengang, tapi Golput Kian Mengancam,” dalam Pemilu 1997: Jajak

Pendapat dan Analisa (T.tp.: Institut Studi Arus Informasi, 1997), h.10-11.

Page 49: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

yang kurang demokratis. Apalagi setelah kurang lebih 30 tahun Golkar berkuasa

kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar sebagai pertanda

matinya demokrasi di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru

dapat dilihat pada setiap unjuk rasa mahasiswa yang selalu membawa keranda

mayat. Di banyak universitas telah muncul aksi protes dari mahasiswa sebagai

penolakan terhadap pemilu yang tidak jurdil itu. Mereka juga melihat bahwa

pemilu 1997 merupakan rekayasa pemerintah untuk mempertahankan status quo-

nya. Mereka menganggap pemerintahan Soeharto yang membuat masa depan

bangsa ini menjadi kelam.67

Aksi mahasiswa yang menentang terpilihnya kembali

Soeharto semakin marak. Isu melakukan reformasi di segala bidang dan turunkan

Soeharto dari kursi kepresidenan mulai disuarakan oleh mahasiswa. Aksi secara

bersamaan hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.68

Pemilu 1999 merupakan episode puncak dari gerakan reformasi sejak

awal 1998. Gerakan ini telah berhasil menurunkan Soeharto dari kursi

kepresidenan pada 21 Mei 1998. Sejak saat itu saluran aspirasi masyarakat

terbuka lebar antara lain dengan bermunculannya partai-partai politik, tumbuh

pesatnya media massa,69

diberikannya hak kebebasan masyarakat di segala bidang

termasuk dalam bidang politik. Pada pemilu kali ini masyarakat sudah tidak bisa

dimobilisasi lagi sebagaimana pemilu-pemilu Orde Baru, masyarakat bebas

menentukan pilihannya, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka.

Pada pemilu tahun ini bukan berarti tidak ada golput, justru pada pemilu tahun ini

67

“Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral,” artikel diakses pada 11

Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20sah%20dan%20Suharto%

20harus%20dipertahankan%20.htm 68

Al-Chaidar, Reormasi Prematur (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 15. 69

“Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto dkk.,

Pemilihan Umum: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.8.

Page 50: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

jumlah golput mengalami peningkatan, yakni mencapai 10,21%. Angka ini cukup

tinggi jika dibandingkan dengan angka-angka golput semasa Orde Baru.

Menurut hasil wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput

yang mengaku tidak akan memilih, di antara alasannya adalah pemerintahan di era

Reformasi baik di masa Gus Dur maupun Megawati telah gagal membawa amanat

rakyat dan tuntutan reformasi. Pemerintah gagal dalam memperbaiki kondisi

ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan tahun 1997. Pemerintah juga

dinilai gagal dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, seperti tidak

sanggup memperbaiki sisi buram pemerintahan masa lalu, yaitu memberantas

KKN. Tidak hanya pemerintah, anggota DPR juga baik secara individu maupun

kelembagaan dinilai tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan

DPR/DPRD juga dinilai terjangkit praktek-praktek KKN. Di samping itu, partai-

partai politik juga dianggapnya tidak memperdulikan nasib rakyat, hanya sibuk

mengurusi kepentingan kelompok dan elit-elitnya.70

70Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 244-245.

Page 51: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

BAB III

SEKILAS GAMBARAN PEMILU

LEGISLATIF DAN PRESIDEN 2004

A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif

Penjelasan pada bab dua yang menguraikan mengenai golput memberikan

pemahaman akan sebuah pengertian golput yang terjadi pada pemilu 2004.

Pandangan golput yang telah dibahas pada bab dua pun sangat urgen dalam

memberikan pengklasifikasian dan pengidentifikasian seputar golput yang terjadi

pada pemilu 2004 lalu.

Penulis sudah menyinggung sedikit seputar golput dan sedikit membahas

tentang pemilu 2004 pada bab I, akan tetapi belum memberikan penjelasan

gambaran khusus seputar pemilu 2004. Oleh karena itu, pada Bab III ini penulis

mencoba membahas sekilas gambaran pemilu 2004 baik pemilu legislatif maupun

pemilu presiden secara langsung.

Pemilu tahun 2004 adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk memilih anggota

DPR/DPRD. Di samping untuk memilih anggota DPR/DPRD, pemilu 2004 juga

sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yakni adanya pemilihan

presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Tidak hanya itu,

kekhususan pada pemilu kali ini ditandai dengan munculnya lembaga baru yaitu

Page 52: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana setiap provinsi diwakili oleh empat

orang anggota DPD.

Pemilu kali ini juga istimewa karena untuk pertama kalinya, pemerintah

mengadopsi ketentuan mengenai kuota 30% untuk meningkatkan keterwakilan

politik perempuan dalam undang-undang pemilu. Di tengah kondisi minimnya

tingkat representasi formal perempuan di lembaga-lembaga politik, terutama di

lembaga legislatif, masuknya ketentuan tersebut membawa “angin segar” bagi

upaya peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Walaupun harus pula diakui,

bahwa ketentuan tersebut belum “mengikat” partai politik (karena masih bersifat

sukarela) dan belum disertai sanksi apapun bagi parpol yang tidak

menjalankannya.71

Pemilihan umum anggota legislatif sebagaimana dengan ketentuan yang

digariskan dalam undang-undang adalah saran untuk memilih anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem

proporsional dengan daftar calon terbuka. Sedangkan untuk memilih anggota

DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Sistem proporsional

daftar terbuka ini memberikan kesempatan bagi calon anggota legislatif, baik yang

berasal dari partai politik maupun perseorangan untuk berkompetisi secara

terbuka. Artinya, calon-calon yang dikenal oleh masyarakat sekalipun di daftar

calon nanti berada pada nomor urut terakhir, apabila ia mendapatkan dukungan

dari konstituennya, maka ia akan duduk menjadi anggota legislatif.72

71Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR

RI, 2003), h. ix. 72Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembagaan

Pemerintah,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003), h. 6.

Page 53: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Pemilih dengan calon legislatifnya pada sistem seperti ini akan

mempunyai ikatan hubungan batin yang kuat, terutama untuk lingkungan

masyarakat di daerah calon itu ikut berkompetisi. Pada pemilu 2004 ini, rakyat

tidak hanya memilih gambar parpol semata, akan tetapi harus pula memilih nama

orang yang berasal dari parpol yang berangkutan. Sedangkan untuk calon

perseorangan yang berasal dari calon anggota DPD, pemilih tinggal memilih

(mencoblos) nama orang yang bersangkutan.73

Sebelum pemilu 2004, beberapa pemilu di Indonesia menggunakan sistem

proporsional tertutup, sehingga calon-calon yang diajukan hanya ditetapkan oleh

pemimpin parpol. Calon anggota legislatif yang akan menjadi wakil rakyat tidak

jarang kurang dikenal oleh rakyat di daerah pemilihannya sendiri. Oleh karena itu

muncul kesan rakyat berada di posisi pinggiran dalam mengartikulasikan

kedaulatannya. Mereka (rakyat) harus menerima wakil-wakil dan pemimpinnya

yang sesuai dengan kehendak parpol.74 Masyarakat belum bisa menentukan secara

langsung anggota DPR yang nantinya akan menjadi wakil rakyat tersebut.

Kembali kepada pembahasan pemilu legislatif 2004, dalam hal

penyelenggaraan pemilu tersebut, ada tahapan-tahapan dalam rangka

penyelenggarannya. Sesuai dengan UU No. 12/2003 menetapkan bahwa tahapan-

tahapan penyelenggara pemilu terdiri atas sembilan tahapan. Tahapan-tahapan

penyelenggaraan pemilu itu kemudian dijabarkan dalam keputusan KPU No.

100/2003 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilu 2004

yang dikeluarkan pada 24 April 2003.75

73Ibid. 74Ibid., h. 7. 75Topo Santoso dan Didik Suprianto, Mengawasi Pemilu Mengawali Demokrasi (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004),h. 34.

Page 54: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu 2004 dimulai dari Pendaftaran

Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P-4B); pendaftaran, penelitian

dan penetapan peserta pemilu yang terdiri dari (a) peserta pemilu dari partai

politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (b)

peserta pemilu dari perseorangan untuk pemilu anggota DPD; penetapan daerah

pemilihan dan jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan anggota DPR dan

DPRD; pencalonan angggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;

kampanye pemilu.76

Tahapan selanjutnya yaitu pemungutan suara terdiri dari (a)

pemungutan dan penghitungan suara di TPS (b) rekapitulasi suara di PPS, PPK,

PPLN, KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi; penetapan hasil pemilu anggota

DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; penetapan perolehan

kursi dan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota;pengucapan sumpah/janji anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi

serta DPR dan DPD.77 Selanjutnya untuk jadwal pemilu legislatif, KPU

menetapkan pada 5 April 2004.78

Dari tahapan-tahapan pemilu di atas, ternyata tahapan pendataan pemilih

dan pendaftaran penduduk berkelanjutan atau yang biasa disingkat pendataan P4B

di atas masih menyisakan pengalaman buruk dalam pemilu 2004 lalu. Pengalaman

tersebut terungkap setelah hari H pencoblosan, dalam hal ini terungkap masih

banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Pasalnya pendataan tersebut dari jauh-jauh hari sudah dilakukan oleh Komisi

Pemilihan Umum (KPU) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS),

akibatnya data tersebut menjadi kurang akurat, mengingat masih banyaknya

76Ibid. 77Ibid., 34-35. 78Tabrani Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, (T.tp: KPU, 2005), h. 10.

Page 55: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

pemilih yang belum tercantum. Contoh kasus di Jakarta saja ada sekitar dua juta

warga yang mempunyai hak pilih dinyatakan tidak bisa memilih akibat dari

namanya tidak terdaftar.79

2. Kontestan Partai-partai Politik

Pemilu legislatif 2004 diikuti oleh 24 partai politik. Adapun 24 partai

politik peserta pemilu tersebut, enam diantaranya merupakan parpol yang berhasil

memenuhi electoral threshold 2% sesuai dengan UU No.3 tahun 1999 tentang

pemilihan umum yang kemudian diubah dengan undang-undang No.12 tahun

2003 tentang pemilu. Adapun sisanya adalah partai politik baru.80

Keenam partai

yang otomatis menjadi peserta pemilu adalah Partai PDI Perjuangan pimpinan

Megawati Soekarnoputri, Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung, Partai

Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz, Partai Amanat Nasional

pimpinan Amin Rais, Partai Bulan Bintang pimpinan Yusril Ihza Mahendra, dan

Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Alwi Sihab.81

Selain dari keenam partai tersebut di atas, beberapa di antaranya,

merupakan partai kelanjutan dari peserta pemilu 1999 yang menggganti nama

agar dapat mengikuti pemilu 2004. Seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang

sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK), Partai Penegak Demokrasi Indonesia

(Partai PDI) yang sebelumnya bernama PDI, Partai Nasional Indonesia

Marhaenisme (PNI Marhaenisme) yang sebelumnya bernama PNI Supeni, Partai

79Topo Santoso, “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya,” Jurnal Demokrasi dan HAM,

Vol.4, No.1, 2004, h. 18. 80Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai

politik Peserta Pemilu 2004,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen DPR RI, 2003), h. 45.

81 Tabrani Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, h. 57.

Page 56: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP Indoensia) yang sebelumnya bernama

PKP, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) yang

sebelumnya bernama PNU.82

Di samping partai kelanjutan dari pemilu 1999, terdapat juga partai politik

pecahan dari partai yang sudah ada, seperti Partai Bintang Reformasi (PBR)

melalui sosok KH. Zainuddin MZ dan Djafar Badjeber yang sebelumnya berada

dalam PPP, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) melalui sosok Eros

Djarot yang sebelumnya berada dalam PDIP, serta Partai Kaya Peduli Bangsa

(PKPB) yang sebelumnya para personil partai tersebut adalah kader utama Partai

Golkar seperti R. Hartono dan Ary Mardjono.83

Selain mantan peserta 1999 dan pecahan dari partai-partai yang sudah ada,

terdapat juga parpol yang merupakan gabungan parpol yang tidak lolos electoral

pemilu 1999 yaitu Partai Sarikat Indonesia yang merupakan gabungan delapan

parpol yaitu Partai IPKI, Partai Daulat Rakyat, PNI Front Marhaenisme, PNI

Massa Marhaenisme, Partai Persatuan, Partai Katolik Demokrat, dan Partai

Bhineka Tunggal Ika. Juga terdapat partai baru yang sengaja dibentuk untuk

menghadapi pemilu 2004 yakni Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK)

pimpinan Ryaas Rasyid, Partai Perhimpunan Indonesia Baru pimpinan Sjahrir,

serta Partai Persatuan Daerah pimpinan Usman Sapta.84

Dilihat dari asasnya, 24 partai politik yang lolos mengikuti pemilu 2004

adalah PNI Marhaenisme dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan yang kedua-

duanya berasaskan Marhaenisme Bung Karno; lima partai berasaskan Islam yakni

82Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai

Politik Peserta Pemilu 2004,”h. 45. 83Ibid. 84Ibid.

Page 57: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai

Persatuan Nadhlatul Ummah Indonesia (PNUI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),

dan Partai Bintang Reformasi (PBR); sementara yang berasaskan Pancasila yaitu

Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Merdeka, Partai Persatuan Demokrasi

Kebangsaan (PDK), Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Demokrat, Partai

Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia

(PPDI), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB),

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

(PDIP), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Golkar, Partai Patriot Pancasila,

Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Daerah, dan Partai Pelopor.85

Dari uraian partai-partai politik peserta pemilu 2004 di atas, secara asas

dan program memiliki asas dan program yang relatif sama yaitu pancasila,

walaupun beberapa partai memiliki asas spesifik seperti asas Islam dan asas

Marhaenisme ajaran Bung Karno. Namun dalam jabaran programnya, seluruh

partai menyatakan akan memperjuangkan seluruh masyarakat Indonesia tanpa

sekat agama, ras, suku, dan golongan, terutama kaum lemah. 86

3. Perolehan Suara Partai-partai Politik

Mengenai perolehan suara dari 24 partai peserta pemilu 2004 tersebut,

berdasarkan hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat

85Mengenai partai-partai politik peserta pemilu 2004 yang meliputi kepengurusan partai, asas

partai, tanggal berdirinya, keterangan pengesahan dari Dep. Kehakiman dan HAM, Visi Misi, dan Program Kerjanya lihat: Komisi Pemilihan Umum, Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Perjalanan dan Profilnya, ( Jakarta: KPU, 20003), h. 22-135. Lihat juga: Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan, ed. Partai-partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta: Kompas, 2004. Lihat juga: Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen DPR RI, 2003), h. 46-49.

86Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004,”h. 49.

Page 58: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

tujuh partai politik yang mendapat suara terbanyak dan mampu melewati ambang

elektoral (electoral threshold), yaitu Partai Golkar yang menempati urutan

pertama dengan perolehan suara sebesar 21,58% suara, kemudian secara berturut-

turut diikuti oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperoleh

suara sebesar 18,53%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebesar 10,57%, Partai

Persatua Pembangunan (PPP) sebesar 8,15%, Partai Demokrat (PD) sebesar

7,45%, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 7,34%, dan Partai Amanat

Nasional (PAN) sebesar 6,44%.87

Sementara partai-partai politik lainnya tidak mampu melewati ambang

yang sudah ditetapkan oleh KPU sebesar 3% suara pemilih secara nasional. Dari

partai-partai tersebut adalah Partai PNI Marhaenisme dengan perolehan 0,81%,

Partai Buruh Sosial Demokrat mendapatkan 0,56%, Partai Bulan Bintang

mendapatkan 2,62%, Partai Merdeka 0,74%, Partai Persatuan Demokrasi

Kebangsaan mendapatkan 1,16%, Partai Perhimpunan Indonesia Baru

mendapatkan 0,59%, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan mendapatkan 1,08%,

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mendapatkan 1,26%, Partai Penegak

Demokrasi Indonesia mendapatkan 0,75%, Partai Persatuan Nadhlatul Ummah

Indonesia mendapatkan 0,97%, Partai Karya Peduli Bangsa mendapatkan 2,11%,

Partai Bintang Reformasi mendapatkan 2,44%, Partai Damai Sejahtera

mendapatkan 2,13%, Partai Patriot Pancasila mendapatkan 0,95%, Partai Sarikat

Indonesia mendapatkan 0,60%, Partai Persatuan Daerah mendapatkan 0,58%, dan

terakhir Partai Pelopor mendapatkan 0,77% (lihat: Lampiran 1).

87Asep Ridwan, “Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” Jurnal

Demokrasi dan HAM, Vol. 4, No.1, 2004, h. 32.

Page 59: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Pada pemilu legislatif 2004, Jumlah pemilih yang terdaftar secara

keseluruhan yaitu 148.000.369 pemilih. Dari jumlah keseluruhan tersebut,

pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 124.420.339 pemilih (84,07%)

dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya/golput sebanyak

23.580.030 pemilih (15,93%). Dari seluruh jumlah pemilih, terdapat 113.462.414

(91,19%) surat suara sah dan 10.957.925 (8,81%) suarat suara yang tidak sah

(lihat: Lampiran 1). Jadi keseluruhan jumlah pemilih yang tidak menggunakan

hak pilihnya dan suara yang tidak sah pada pemilu legislatif 2004 sebesar

34.537.955 (23,34%) pemilih. Jumlah tersebut oleh sebagian orang disebut

golput.

4. Koalisi Partai-partai Politik

UU No. 23 tahun 2003 menyebutkan bahwa rekrutmen calon presiden

dilakukan oleh partai politik. Kemudian selanjutnya pada pasal 6A ayat (2) UUD

1945 menjelaskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan

oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan tersebut selanjutnya

diterjemahkan melalui UU No. 23 tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil

presiden. Dalam pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “peserta pemilu presiden dan

wakil presiden adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh

partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Selanjutnya

pada pasal 101 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya

Page 60: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dapat diajukan oleh partai politik yang memperoleh kursi di DPR sebanyak 3%

atau yang memperoleh 5% suara sah secara nasional dalam pemilu legislatif.”88

Mengenai pengaturan koalisi, dalam UU pilpres tidak disebutkan secara

eksplisit. Artinya, mekanisme koalisi yang dibentuk dan aturan main yang harus

dilakukan dalam berkoalisi tidak diatur dalam UU pilpres. Dalam UU pilpres

hanya menyebutkan tentang peran partai politik atau gabungan partai politik. Pada

pasangan gabungan partai politik inilah yang kemudian diterjemahkan dalam

bentuk koalisi antar partai dalam mengusung calon pasangan presiden dan wakil

presiden.89

Dari 24 partai politik yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan

wakil presiden hanya ada tujuh partai politik yaitu Golkar, PDIP, PKB, PPP, PD,

PKS, dan PAN. Dari ketujuh partai di atas, yang mencalonkan pasangan presiden

dan wakil presiden hanya ada lima partai yaitu Golkar, PDIP, PPP, PD, dan PAN.

Sedangkan PKB dan PKS tidak mencalonkan. PKB tidak mencalonkan karena di

tolak oleh KPU dengan alasan tidak memenuhi kesehatan jasmani dan rohani,

sedangkan PKS berdasarkan keputusan Masjlis Suro-nya untuk tidak mengajukan

pasangan calon presiden dan wakil presiden.90

Dari pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan masing-

masing partai ternyata terbentuk oleh hasil koalisi. Ini terlihat dari lima pasangan

calon presiden dan wakil presiden hanya PPP yang tidak melakukan koalisi,

sedangkan empat partai berkoalisi dengan partai-partai lainnya.91

88Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan

Kesimpulan,” dalam Lili Romli, dkk., Pemilihan Presiden Langsung 2004 dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h.186.

89Ibid., h 187-188. 90Ibid.. h.186. 91Ibid., h.188.

Page 61: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Menarik melihat proses tampilnya pasangan capres-cawapres dalam

pemilu presiden 2004. kombinasi pasangan capres-cawapres itu dianggap

mewakili spektrum ideologi politik yang berbeda. Dengan kata lain, masing-

masing pasangan bisa saja mengklaim mewakili spektrum ideologi yang sama.

Wiranto yang pada waktu itu memenangkan dalam konvensi Partai Golkar,

setelah Gus Dur gagal maju dari calon PKB, akhirnya meminang Salahuddin

Wahid, adik kandung Abdurahman Wahid. Pasangan Wiranto-Salahudin ini

diharapkan dapat meraup suara Golkar dan kaum nahdliyyin (massa NU) yang

berbasis kuat di Jawa Timur.92

Wiranto-Salahuddin Wahid membentuk pola koalisi dengan pertimbangan

bahwa sosok Wiranto dianggap dapat membawa harapan para pendamba

terjaminnya keamanan. Sedangkan Salahuddin Wahid (Gus Solah) adalah tokoh

PKB yang diharapkan bisa meraup suara dari massa PKB.93

Sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi dianggap

sebagai kombinasi representasi kelompok nasionalis dan Islam tradisional (NU).

Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dan juga puteri Soekarno, proklamator dan

presiden RI pertama. Sedangkan Hasyim adalah Ketua Umum (non-aktif) PB

NU. Sehingga dengan demikian diharapkan bisa meraup pendukung panatik

Megawati, Bung Karno dan kaum nahdliyyin pendukung Hasyim Muzadi. Lagi

pula posisi Megawati waktu itu sedang menjabat sebagai presiden yang dianggap

memiliki posisi yang strategis.94

92Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004 (Ttp.: Komisi Pemilihan Umum,2005),h. 46. 93Sri Nuryanti,”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004,” dalam Lili Romli dkk.,

Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 72.

94 Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 46-47.

Page 62: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Pasangan Amin Rais-Siswono Yudhohusodo juga tidak kalah penting.

Amin Rais dianggap mewakili Islam Muhammadiyah berpasangan dengan

Siswono yang dianggap mewakili spektrum nasionalis. Pasangan ini juga

diharapkan tidak hanya meraup suara Muhammadiyah yang merupakan Ormas

Islam terbesar kedua di Indonesia, tapi juga suara kaum nasionalis, khususnya

pendukung Siswono. Sebab selain tokoh nasionalis, Siswono juga dikenal sebagai

pemimpin organisasi petani yang tergabung dalam Himpunan Kerukunan Tani

Indonesia (HKTI).95

Selanjutnya pasangan SBY-JK, pasangan yang dicalonkan oleh Partai

Demokrat, PBB, PKPI sebagai capres dan cawapres. Dalam soal representasi,

kombinasi pasangan ini lebih dianggap sebagai representasi Jawa-Luar Jawa

ketimbang kombinasi Ideologi apapun. Apalagi dengan karismanya SBY,

beberapa survei selalu menempatkan SBY sebagai calon yang terfavorit.96

Diharapkan, pasangan ini dapat meraup suara dari Jawa dan luar Jawa yang

simpati pada pasangan tersebut.

Terakhir kombinasi pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Pasangan ini

bahkan dianggap mewakili dua spektrum politik yang berbeda, tidak hanya

kombinasi tokoh Islam dan nasionalis atau sipil militer, akan tetapi Jawa-Luar

Jawa.97

Sehingga diharapkan dapat meraup suara tidak hanya dari kalangan Islam

saja, akan tetapi dari kalangan nasionalis sekalipun.

Pada pilpres putara kedua, pola koalisi cenderung cair dan pragmatis. Ini

terlihat dari kelompok pendukung masing-masing kandidat dalam membangun

koalisi. Kubu Megawati dalam membangun dukungan membentuk koalisi

95Ibid., h. 47. 96Ibid., h. 47-48. 97Ibid., h. 48.

Page 63: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

kebangsaan. Koalisi ini didukung antara lain oleh partai-partai politik yang pada

pilpres putara pertama mengusung Wiranto dan Hamzah Haz. Sementara

pasangan SBY-JK membentuk koalisi kerakyatan. PKS yang pada putara pertama

mendukung Amin-Siswono, kini pada putara kedua menjadi pendukung pasangan

SBY-JK. Masuknya PKS dalam koalisi ini karena SBY-JK setuju atas lima syarat

(1) konsisten melakukan perubahan; (2) mempertahankan kedaulatan RI di dunia

internasional; (3) konsisten melanjutkan demokratisasi dan reformasi; (3)

meningkatkan kualitas moral bangsa, menegakkan hukum dan HAM; dan (5)

mendukung perjuangan bangsa Palestina dan tidak membuka hubungan

diplomatik dengan Isarel.98

Sehubungan dengan hal koalisi tersebut di atas, Dhurorudin mengatakan

bahwa pola koalisi yang terjadi telah meruntuhkan sekat ideologis antara Islam

dan ideologi sekuler. Hal ini karena dalam koalisi kebangsaan, di samping terdiri

dari partai-partai sekuler terdapat juga partai-partai Islam seperti PPP dan PBR.

Demikian juga halnya dalam koalisi kerakyatan terdapat partai-partai Islam seperti

PBB dan PKS.99

B. Pemilihan Umum Presiden Langsung

Pemilu 2004 tercatat sebagai pengalaman baru yang sangat penting bagi

bangsa Indonesia, karena baik calon-calon legislatif maupun calon presiden

dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini artinya sebagian terbesar elit politik

98Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan

Kesimpulan”, h. 188-189. 99Ibid., h. 189.

Page 64: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Indonesia saat ini direkrut secara langsung oleh konstituennya.100

Dalam hal ini

rakyatlah yang punya kedaulatan penuh terhadap penetapan para pemimpin yang

berkuasa sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di

tangan rakyat.

Ada tiga kelebihan pemilihan presiden langsung. Pertama, secara teoritis

sistem pemilihan presiden secara langsung lebih demokratis ketimbang dengan

pemilihan tidak langsung, karena langsung melibatkan partisipasi rakyat. Kedua,

pemilihan presiden langsung mampu meminimalisasi distorsi demokrasi, selama

ini pemilihan presiden dilakukan di MPR yang artinya presiden bertanggung

jawab kepada MPR. Padahal dalam negara demokrasi, jabatan presiden langsung

dipertanggungjawabakan kepada publik.101

Ketiga, dalam pemilihan presiden dan

wakil presiden secara langsung, juga peluang munculnya politik uang (many

politics) relatif bisa diminimalisir ketimbang jika memilih presiden melalui

demokrasi perwakilan. Anggap saja anggota MPR yang berhak memilih sekitar

1000 orang, maka seseorang yang berusaha melakukan many politics akan lebih

mudah menyuap mereka ketimbang menyuap 180 juta lebih rakyat Indonesia yang

punya hak pilih.102

Dalam hal ini, haruslah menjadi kemauan dasar kekuasaan penguasa.

Dalam sebuah negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat itu, kemauan tersebut

dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur, adil dan terbuka yang

100Igna Kleden, “Pemilu 2004 Seberapa Langsung Pemilihan Langsung?,” dalam Syamsudin

Haris Ed., Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai (Jakarata: PT Gramedia Pustaka Utama, LIPI dan Netherlands Institute for Multiparty Democracy , 2005), h.xi.

101Dra. Triwahyuningsih, M.Hum, Pemilihan Presiden Langsung (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 138-139.

102Saifullah AMM, Quo Vadis Pemilu 2004? (Ciputat :Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 41-42.

Page 65: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

diselenggarakan berdasarkan hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan.103

Jadi, kemauan rakyat yang dinyatakan dalam pemilu merupakan legitimasi bagi

penguasa negara untuk memerintah pada suatu periode tertentu. Periode tersebut

jika di Indonesia lima tahun.104

Dalam hal pelaksanaanya, pemilu presiden 2004 dilaksanakan dengan dua

tahapan, mengingat tidak adanya calon yang mendapatkan dari 50% di lebih dari

separuh jumlah provinsi di Indonesia sesuai dengan pasal 67 UU No. 23 tahun

2003.105

Pada tahapan pertama calon pasangan capres dan cawapres yang maju

sebanyak lima pasangan dari enam nama pasangan. Kelima nama pasangan

tersebut adalah pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekaroputri–

Hasyim Muzadi, Amien Rais–Siswono Yudohusodo, Susilo Bambang

Yudhoyono–Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.106 Sementara

pasangan Gus Dur-Marwah Daud Ibrahim tidak lulus syarat sehat jasmani dan

rohani oleh KPU yang berdasarkan rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia

(IDI).

1. Pemilu Presiden Putaran Pertama

Pemungutan suara pemilu presiden putaran pertama dilaksanakan pada

Senin, 5 Juli 2004. Calon pemilih yang berjumlah 155.048.268 menggunakan hak

pilihnya di 574.945 TPS. Mereka memberikan suaranya kepada calon presiden

103Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total (Jakarta:

Erlangga, 2001), h. 301. 104Prof.Dr. H. Harun Alrasid, S.H, Pemilihan Umum sebagai Perwujudan Kedaulatan Rakyat

(Jakarta: STIH IBLAM, 2004), h. 4. 105 Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 107. 106 Sri Nuryanti,”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004,” dalam Lili Romli,

Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi Demokarsi di Indonesia (Jakarta:LIPI Press, 2005), h. 72.

Page 66: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dan calon wakil presiden yang mereka kehendaki di seluruh Indonesia dan

perwakilan RI di luar negeri.107

Di sejumlah negara, masyarakat Indonesia berbondong-bondong

mendatangi TPS. Di Singapura, 41 ribu warga Indonesia memberikan suaranya

serentak di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura di kawasan 7

Chatsworth Road. Meskipun bukan hari libur, para majikan di Singapura

memberikan ijin kepada pembantunya dari Indonesia untuk mengikuti pemilu.108

Pemilu presiden putara pertama secara umum berlangsung tertib dan

lancar. Tidak ada gangguan signifikan yang berhubungan langsung dengan pemilu

presiden. Menko Polkam Ad Interim Hari Sabarno mengatakan bahwa tidak ada

laporan mengenai gangguan keamanan dan politik di wilayah Indonesia selama

hari pencoblosan. Pujian bahkan datang dari kalangan pengamat asing yang

mengatakan bahwa pilpres putaran pertama berlangsung jujur, adil, dan aman. Hal

itu antara lain dikemukakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy

Carter, seusai bertemu Presiden Megawati.109

Keberhasilan melaksanakan Pemilu 2004 juga merupakan episode penting

perjalanan sejarah bangsa Indonesia setelah 60 tahun merdeka. Beberapa tahun

lalu, rakyat Indonesia mungkin sulit membayangkan akan mampu melaksanakan

pemilu secara langsung dan demokratis. Terlepas dari beberapa kelemahan dan

kekuarangan, yang jelas pemilu 2004 menjadi lompatan besar dalam sejarah

kedaulatan rakyat di Indonesia. Di sisi lain, keberhasilan pemilu 2004

107 Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 87. 108Ibid., h. 89. 109Ibid.

Page 67: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

menempatkan Indonesia sebagai Negara Islam (mayoritas muslim) yang

demokrasinya paling maju di seluruh dunia.110

Dari keberhasilan yang sudah dipaparkan di atas, pemilu presiden putaran

pertama ternyata masih meninggalkan permasalahan dalam hal surat suara yang

salah coblos. Dalam hal ini banyak warga yang tidak membuka lebar-lebar kertas

suara. Akibatnya, kertas suara itu tercoblos dua kali pada pasangan calon hingga

menembus ke depan. Dalam penghitungan timbul perdebatan apakah surat suara

itu sah atau tidak. Tidak sedikit petugas yang mengatakan bahwa surat suara yang

tembus itu tidak sah.111

Dengan adanya kejadian seperti ini, maka KPU mengirimkan surat edaran

ber-Nomor 1151/15/VII/2004 tertanggal 5 Juli 2004 yang menyatakan bahwa

surat suara yang dicoblos dalam kondisi terlipat dua secara horizontal, yang

mengakibatkan coblosan tembus ke halaman judul, tetap dinyatakan sebagai surat

suara yang sah.112

Dikeluarkannya Surat KPU tersebut bertujuan untuk menyelamatkan suara

rakyat yang sangat berharga dalam proses pemilihan umum dan untuk

menyamakan status suara sah di seluruh Indonesia. Dari berbagai daerah KPU

mendapatkan laporan lisan bahwa surat suara yang dicoblos dalam kondisi terlipat

dua secara horizontal jumlahnya cukup besar. Tujuan KPU untuk menyelamatkan

surat suara tersebut ternyata benar-benar terbukti, yakni presentase suara tidak sah

menjadi rata-rata 2,17 persen dibandingkan dengan suara tidak sah pada pemilu

legislatif 2004 lalu yang mencapai 8,81 persen. Angka tersebut sangat kecil, kalau

110Ibid., h. 90. 111Ibid. 112Ibid., h. 91.

Page 68: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dirata-ratakan pada tiap TPS, suara tidak sah untuk tiap TPS tidak sampai 5 suara

(tepatnya 4,66).113

2. Hasil Pemilu Presiden Putaran Pertama

Hasil pemilu presiden putaran pertama yang sudah dihitung dan sudah

diumumkan oleh KPU tanggal 26 Juli 2004 menempatkan pasangan Susilo

Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada urutan pertama dengan perolehan suara

39.838.184 (33,57%) disusul oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim

Muzadi dengan perolehan suara 31.569.104 (26,61%). Selanjutnya yang

memperoleh suara pada urutan ketiga yaitu pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid

dengan perolehan 26.286.788 (22,15%), kemudian pada urutan keempat Amin

Rais-Siswono Yudhohusodo dengan perolehan 17.392.931 (14,66%), dan terakhir

pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar dengan perolehan suara 3.569.868 atau

3,01% (lihat: Lampiran 2).

Pemilih yang terdaftar secara keseluruhan pada pilpres putara pertama

sebanyak 153.320.544 pemilih. Dari hasil pemungutan suara presiden putaran

pertama, jumlah pemilih yang ikut mencoblos sebanyak 122.293.844 (79,76%)

dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya/golput sebanyak

31.026.700 (20,24%). Dari seluruh jumlah pemilih yang mengikuti pencoblosan

yakni sebanyak 122.293.844 pemilih, terdapat 119.656.868 (97,84%) surat suara

yang sah dan 2.636.976 (2,16%) suarat suara yang tidak sah (lihat: Lampiran 2).

Jadi keseluruhan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dan suara

113Ibid., h. 93.

Page 69: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

yang tidak sah pada pemilu presiden putara pertama sebesar 33.663.676 (21,96%)

pemilih. Jumlah tersebut oleh sebagian orang disebut golput.

3. Pemilu Presiden Putaran Kedua

Pemilu presiden putara kedua dilaksanakan mengingat tidak ada pasangan

yang mencapai suara 50% lebih. Sesuai dengan pasal 67 UU No. 23 tahun 2003

tentang pemilu presiden dan wakil presiden menetapkan bahwa dalam hal tidak

ada pasangan calon terpilih yang memperoleh suara lebih dari 50% di lebih dari

separuh jumlah provinsi di Indonesia, maka dua pasangan yang memperoleh suara

terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam

pemilu.114

Dalam pasal ini, artinya pemilu dilaksanakan dengan dua tahapan untuk

memilih kembali dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak pertama

dan kedua tersebut.

Dengan melihat hasil rekapitulasi dari KPU, maka hasil penghitungan

suara pemilu presiden dan wakil presiden 2004 putaran pertama di kantor KPU

pada Senin malam (26/07), hasilnya yang menempati perolehan suara pada urutan

pertama adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (39.838.184

suara) dan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (31.569.104 suara).

Ke dua pasangan ini berhak mengikuti pemilu presiden putaran kedua. Sementara

itu pasangan Wiranto-Salahudin, Amin Rais-Siswono Yudohusodo, dan Hamzah

Haz-Agum Gumelar secara berturut-turut menempati urutan ketiga, keempat dan

kelima.115

114Ibid., h.107. 115Ibid., h.106-107.

Page 70: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Jadi jelas dengan melihat hasil perolehan suara dari masing-masing

pasangan tadi, mengingat masing-masing pasangan tidak ada yang mendapatkan

lebih dari 50% suara di lebih dari separuh jumlah provinsi, maka pemilu presiden

dilaksanakan dengan dua putaran.

4. Hasil Pemilu Presiden Putaran Kedua

Hasil pemilu presiden putaran kedua diumumkan oleh KPU di Hotel

Borobudur, Jakarta (04/10). Dari hasil yang diumumkan tersebut menetapkan

pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla resmi

dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2004.

Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan sejak 2 Oktober malam hingga 4 Oktober

siang, jumlah suara sah seluruhnya 114.257.054 dan suara tidak sah 2.405.651

(2,05%).116 Dari perolehan suara tersebut didapatkan bahwa pasangan SBY-JK

dengan nomor urut 4 mendapat 69.266.350 (60,62%) suara. Sedangkan pasangan

Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dengan nomor urut 2 mendapat

44.990.704 (39,38%) suara.117

Dengan demikian maka pasangan Susilo Bambang

Yudhoyono-Jusuf Kalla menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009.

Keseluruhan jumlah pemilih terdaftar sebesar 150.644.184 pemilih. Dari

seluruh jumlah tersebut, jumlah pemilih yang mengikuti pemilihan sebesar

116.662.705 (77,44%) pemilih, sementara jumlah pemilih yang tidak

menggunakan hak pilihnya sebesar 33.981.479 pemilih (22,56%). Dari

116.662.705 pemilih, terdapat suara sah sebanyak 114.257.054 (97,94%) suara,

sedangkan suara yang tidak sah sebanyak 2.405.651 (2,06%) suara (lihat:

116Ibid., 159. 117Ibid.

Page 71: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Lampiran 3). Jadi keseluruhan jumlah pemilih pada pemilu 2004 pada putaran

kedua yang tidak menggunakan hak pilihnya dan suara yang tidak sah sebesar

36.387.130 (24,15%) pemilih. Jumlah tersebut oleh sebagian orang disebut golput.

Page 72: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

BAB IV

FENOMENA GOLPUT DI IDONESIA

PADA PEMILU 2004

A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat

Seperti yang telah dibahas pada Bab III, bahwa Pemilu 2004 adalah

pemilu pertama di Indonesia untuk memilih langsung presiden dan wakil

presiden, anggota DPR, dan memilih lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan

Daerah (DPD). Pada pemilu kali ini partai politik yang mengikuti pemilu

sebanyak 24 parpol. Artinya, hanya setengah dari jumlah parpol peserta pemilu

1999. Juga yang membedakan dengan pemilu sebelumnya yaitu adanya sistem

proposional terbuka.

Penyelenggaran pemilu 2004 ini diadakan pada era Reformasi yang

ditandai dengan adanya kebebasan kepada rakyat untuk menentukan atau memilih

calon pemimpin, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka. Berbeda

dengan masa Orde Baru memilih terkesan sebagai kewajiban, rakyat dimobilisasi

untuk memilih dan para pejabat sipil diwajibkan memilih partai pemerintah.

Birokrasi pemerintahan seperti pegawai negeri sipil tidak dibuat netral. Melalui

korpri, pegawai negeri ini menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar,118

sehingga

tidak heran sebelum pemilu hasilnya sudah bisa ditebak terlebih dahulu karena

pemenang sudah ditentukan oleh sistem yang ada.

118Denny J.A., Visi Indonesia Baru Setelah Gerakan Reformasi 1998 (Yogyakarta: LKIS

Yogyakarta, 2006), h. 48.

Page 73: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Pasca Orde Baru tumbang dan bergantinya era Reformasi, masyarakat

sudah tidak bisa dimobilisasi lagi oleh pemerintah, mereka bebas memilih dan

sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika para elit

politik tidak bisa memberikan yang terbaik, maka konsekuensinya rakyat tidak

akan memilih elit politik tersebut. Bahkan ketika masyarakat sudah tidak percaya

terhadap partai politik, pemerintah, ataupun terhadap tatanan sistem yang ada,

maka tidak jarang mereka mengekspresikannya dengan sikap apatis atau masa

bodoh terhadap pemilu, mereka beranggapan bahwa mengikuti pemilu baginya

tidak akan memengaruhi apa-apa.

Tingginya angka golput pada pemilu 2004 seperti yang sudah dijelaskan

pada Bab III, serta berdasarkan berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh

berbagai lembaga yaitu sebagai refleksi atas ketidakpercayaan politik dari para

pemilih terhadap partai politik atau elit-elit politik yang ada.

Memang harus diakui, pemilu 2004 diadakan di tengah-tengah

menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, khususnya partai

politik yang sedang berkuasa. Berbagai studi yang dilakukan beberapa lembaga

menunjukkan rendahnya kepercayaan pemilih kepada partai politik. Akibatnya

para pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu 1999 belum tentu

menggunakan haknya pada pemilu 2004. Juga para pemilih yang dulunya memilih

partai tertentu, tidak ada jaminan pada pemilu 2004 akan memilih partai yang

sama. Polling yang dilakukan CESDA-LP3ES menunjukkan lebih dari separuh

(51%) di sepuluh kota besar di Indonesia menyatakan bahwa tidak ada satu partai

politik pun yang memperhatikan suara rakyat.119

119Muhammad Asfar, Presiden Golput, (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 304.

Page 74: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Akibat dari menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap parpol bisa

dilihat dari hasil perbandingan perolehan suara pada pemilu 1999 dengan

perolehan suara pada pemilu 2004. Lima besar parpol pemenang pemilu 1999

gagal memelihara kepercayaan rakyat. PDIP sebagai partai berkuasa semula

memperoleh 35.689.073 (33,74%) suara pada pemilu 1999, lalu anjlok ke

peringkat kedua dengan perolehan suara 21.026.629 (18,53%) pada pemilu 2004.

Meskipun perolehan Golkar mengalami sedikit kenaikan menjadi nomor satu pada

pemilu 2004, Golkar juga sama-sama mengalami penurunan presentase suara dari

22,44% (1999) menjadi 21,58% (2004). PKB dan PPP mengalami nasib serupa.

Sementara PAN yang awalnya berada di nomor urut kelima pada pemilu 1999

dikalahkan oleh pendatang baru yakni Partai Demorat dan PKS. Yang lebih tragis

lagi angka golput berada pada urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka

diperkirakan mencapai 34.509.246 suara (23,34%) pada pemilu legislatif.120

Jika melihat temuan di atas, ternyata sama dengan hasil perolehan pemilu

yang sesungguhnya, yakni jika perolehan suara tidak sah ditambah dengan suara

yang tidak hadir pada pemilu legislatif 2004, maka hasilnya mencapai 23,34%.

Jumlah suara tersebut jelas sangat menggangu terhadap legitimasi para elit politik

yang berkuasa. Begitu juga pada pemilihan presiden, jumlah golput (suara yang

tidak sah ditambah pemilih yang tidak hadir) pada pilpres putaran pertama

sebagaimana yang sudah dibahas di Bab III juga tinggi yakni sebesar 33.663.676

(21,96%) suara. Sementara jumlah golput pada perolehan suara pilpres putaran

kedua lebih besar lagi yakni mencapai 36.387.130 (24,15%) suara.

120

Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan

05.

Page 75: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Angka-angka tersebut di atas, jika dibandingkan dengan tingkat

ketidakhadiran pemilih di Amerika Serikat, yang rata-rata 40-50 persen, memang

tidak terlalu tinggi. Akan tetapi, jika dibandingakan dengan tingkat ketidakhadiran

di bebrapa negara di Eropa yang memakai sistem proporsional, tingkat

ketidakhadiran di atas sebenarnya cukup tinggi. Oleh karena itu, tingginya angka

goloput pada pemilu 2004 ini harus mendapatkan perhatian serius dari semua

pihak,121

sehingga reformasi yang sedang berjalan ini pemerintahannya benar-

benar legitimate.

Lantas apa yang menyebabkan meningkatnya golput pada pemilu 2004?

Sesuai dengan data-data yang penulis dapatkan, setidaknya terdapat tiga sebab.

Pertama, disebabkan oleh banyaknya kegagalan pemerintah saat itu, mulai dari

kegagalan dalam memenuhi janji reformasi, kegagalan komunikasi politik

menjelaskan kesulitan yang ada, kegagalan partai untuk melakukan pendidikan

politik,122serta kegagalan dalam perbaikan ekonomi. Dengan melihat realitas yang

ada, kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga parlemen baik di

pusat maupun di daerah meningkat tajam. Hasil survei LSI pada April 2004,

walaupun secara makro ekonomi terlihat adanya peningkatan, akan tetapi sekitar

44,7% pemilih memandang buruk kondisi ekonomi nasional saat itu, sekitar

27,2% memberikan nilai sedang, 16,0% memberikan nilai sangat buruk dan 7,3%

saja yang memberikan nilai baik. Dari hasil survei tersebut terlihat gambaran

kekecewaan masyarakat terhadap partai politik yang berkuasa saat itu.123

121Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 300. 122Denny, J.A. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia

(Yogyakarta:LKIS, 2006), h. 64. 123Asep Ridwan, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” Jurnal

Demokrasi dan HAM, Vol. 4, No. I. 2004, h. 17.

Page 76: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Hasil survei LSI juga menunjukkan sekitar lebih dari 60% responden

menilai hidup di era Orde Baru lebih baik dibandingkan di era Reformasi. Tidak

sampai 25% yang mengaku hidup di era sekarang lebih baik.124 Maka dari itu

jangan heran apabila suara Golkar pada pemilu 2004 ini mengalami peningkatan

dibandingkan dengan PDIP, karena masyarakat menganggap Golkar identik

dengan Orde Baru. Penelitian yang dilakuakan oleh Pusat Studi Demokrasi dan

HAM (PuSDeHAM), Surabaya terhadap 2.332 pemilih di Jawa Timur

menunjukkan, hanya 4,8% yang mengaku pemerintahan Megawati berhasil dan

lebih dari 70% tidak percaya lagi pada PDIP.125

Alasan kekecewaan mereka tidak percaya juga cukup beragam, mulai dari

keterlibatan atau setidaknya ada dugaan anggota DPRD dari Fraksi PDIP dalam

penyalahgunaan APBD, dugaan keterlibatan many politics dalam berbagai kasus

pemilihan gubernur/walikota/bupati dari PDIP dalam menjalankan roda

pemerintahan sampai sikap-sikap pejabat publik anggota dewan dari PDIP yang

tidak memihak wong cilik, seperti dalam menyikapi masalah penggusuran,

pedagang kaki lima, tukang becak, kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan

sebagainya. Semua ini yang mendorong pemilih untuk tidak hadir ke bilik

suara.126

Kedua, di samping kekecewaan terhadap partai yang berkusa, penilaian

masyarakat menjadi antipati terhadap parpo-parpol yang ada. Masyarakat sudah

tidak percaya terhadap janji elit-elit partai. Partai politik telah gagal menjadi

refresentasi politik masyarakat. Akibatnya aspirasi, harapan, ketakutan, keinginan

publik tidak tertangkap dan tersaluarkan lewat wadah partai-partai politik dan

124 Muhammad Asfar, Presiden Golput,h. 303. 125Ibid., h.303. 126 Ibid., h.303-304.

Page 77: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

pada akhirnya timbul sikap kecewa terhadap partai-partai politik tersebut.127

Alih-

alih memperjuangkan kepentingan rakyat, partai politik ternyata asyik dengan

kepentingannya sendiri. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja:

kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal,

ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dan yang lainnya. Semuanya itu

tampak tidak dihiraukan oleh partai-partai politik. Padahal ketika mereka

berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Oleh

karena itu, tidak heran ketika rakyat kemudian psimis dan kecewa terhadap partai-

partai politik yang ada. Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka

hanya selalu dijadikan “objek” pengatasnamaan rakyat.128

Sikap kekecewaan

tersebut terungkap seperti disampaikan Bung Idris, penelepon dari Bogor pada

acara “Parliament Watch” Metro TV bahwa partai politik selama ini kurang ada

keberpihakan kepada rakyat, elit-elitnya yang duduk di DPR malah lebih setia

kepada partainya ketimbang kepada rakyat yang memilih.129

Kekecewaan publik terhadap kinerja partai-partai politik yang kurang

memuaskan diakui juga oleh Ali Maskur Musa dari PKB. Kinerja partai-partai

tersebut menurutnya lebih berakar dari rekrutmen partai yang tidak

memperhatikan timbal balik antara yang memilih dan yang dipilih. Sehingga

sering kali anggota dewan kurang memperhatikan yang diwakili. Ini disebabkan

karena dahulu, pimpinan partai tidak memilih tokoh-tokoh yang dekat dengan

pemilihnya. Dengan sistem proporsional tertutup, siapa yang dekat dengan DPP

127Denny, J.A. Memperkuat Pilar Kelim: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia, h. 19. 128Mahrus Irsyam dan Lili Romli, ed., Menggugat Partai Politik (Depok: LIP FISIP UI, 2003), h.

142. 129“Memilih Politisi dalam Sistem Pemilihan Terbuka,“ dalam Denny J.A, Parliament Watch:

Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h. 146.

Page 78: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

merekalah yang dicalonkan dan publik tidak diberi kesempatan untuk memilih

orangnya.130

Mengenai kekecewaan tersebut, dalam hal ini setidaknya terdapat tiga

masalah utama yang berhubungan erat dengan tingkat adaptasi dari partai politik

dengan lingkungan yang berubah. Pertama, permasalahan korupsi dan permainan

uang yang begitu akut, baik di tingkat partai politik, parlemen, dan birokrasi

pemerintah. Kedua, krisis lapangan pekerjaan yang tidak selesai-selesai sebagai

turunan dari krisis ekomoni nasional. Ketiga, ketimpangan ekonomi yang begitu

dalam di antara kelas-kelas sosial.131

Kompleksitas ini yang menyebabkan tingkat

partisipasi masyarakat menurun.

Fakta korupsi besar-besaran terhadap aset publik baik di lembaga

birokrasi, parlemen, dan segenap instansi ini terlihat dari laporan lembaga-

lembaga internasional tahun 2003. Transparency Internasional yang memantau

permasalahan korupsi di berbagai negara menunjukkan bahwa Indonesia bersama

Kenya berada di posisi keenam sebagai negara terkorup di dunia. Sementara

dalam kawasan Asia, Indonesia berada pada urutan tiga besar bersama Banglades

dan Miyanmar. Pada level Asean, Indonesia berada pada urutan kedua. Isu

korupsi inilah yang membuat masyarakat kecewa terhadap pemerintah

sebagaimana yang diungkapkan Arief Budiman bahwa “…isu korupsi telah

130 Pernyataan ini disampaikan dalam acara Parliament Watch tanggal 6 Februari 2003 di

Metro TV. Lihat: “Memilih Politisi dalam Sistem Pemilihan Terbuka,“ dalam Denny J.A, Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia, h. 146.

131Asep Ridwa, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” h. 57.

Page 79: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dalam

memberantasnya….”132

Di samping korupsi di atas, krisis ekonomi masih menjadi krisis yang

parah. Ledakan partisipasi politik seiring dengan transisi politik menuju

demokrasi sejak 1998 diikuti oleh ledakan pengangguran yang sangat tinggi.

Imbas krisis tersebut telah meningkatkan angka pengagguran tahun 1998 sebesar

5,1 juta orang atau 5,46% dari jumlah angkatan kerja.133

Kekecewaan masyarakat

sebenarnya cukup beralasan karena mengingat pada masa Orde Baru,

pertumbuhan ekonomi setidaknya membuat kemakmuran untuk mereka.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof. William Liddle sebagai berikut:

“Saya bisa mengerti kenapa sebagian masyarakat suka pada masa itu.

Sebab selama 30 tahun ada pembangunan ekonomi, kira-kira 6% per tahun. Sehingga masyarakat merasa Orde Baru membawa kemakmuran

buat mereka, dan sekarang laju pertumbuhan tidak secepat itu. Kita bisa mengerti kalau ada kekecewaan dengan pemerintahan demokratis.”134

Sementara fungsi parpol yang dikatakan sebagai wadah agregasi dan

artikulasi kepentingan rakyat, sebagai wadah penyalur asprasi rakyat, sebagai

pereda konflik seakan-akan tidak ada gunannya, tidak berfungsi. Malahan partai

itu sendiri yang mempertontonkan hal-hal yang tidak etis yang semestinya tidak

boleh terjadi. Misalnya konflik yang sering terjadi di tubuh parpol sendiri yang

sudah menjadi santapan rutin masyarakat kala itu, di antara elit politik partai

terjadi gontok-gontokan, memperebutkan posisi dan jabatan, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah yang berujung pada terpragmentasinya partai-partai

132 Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch

tanggal 29 Januari 2004. Lihat “Menghadang Politisi Busuk,” dalam Talk Shaow Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 48.

133Asep Ridwan, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” h. 59-60. Lihat juga “Indonesia dalam Krisis,”Kompas 2002.

134Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch tanggal 1 April 2004. Lihat “Pemilu dan Perubahan Kekuasaan,” dalam Talk Shaow Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi, h. 15.

Page 80: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

politik yang ada. Begitulah keadaan partai politik di Indonesia, terpragmentasinya

partai-partai politik hanya karena elitnya tidak bisa menerima kekalahan. Pihak

yang kalah segera membuat partai tandingan. Partai yang tidak lolos verifikasi

Depkeh juga tidak dapat menerima dengan ikhlas, aneka gugatan juga dibuat,135

dengan demikian yang sering terjadi adalah keributan di tingkat elit-elit politik.

Ketiga, masyarakat melihat bahwa elit-elit politik yang muncul

kebanyakan masih dimainkan oleh elit-elit lama yang memang dirasa tidak bisa

membawa perubahan. Bagi mereka yang kecewa beranggapan bahwa kebanyakan

tokoh yang muncul masih warisan “lama” zaman Orde Baru Soeharto. Tokoh

yang memang benar-benar baru jumlahnya hanya sedikit. Padahal reformasi

membutuhkan tenaga baru yang bisa membawa angin segar.136

Jadi mereka yang

kecewa menganggap bahwa pemilu 2004 sama saja seperti pemilu-pemilu

sebelumnya yang hasilnya tidak bisa diharapkan. Intinya hiruk pikuk politik

selama pasca Orde Baru tidak membawa perubahan yang sangat signifikan pada

masyarakat.

Contoh kasus, ketidakhadiran pemilih pada pemilu presiden nampaknya

ditopang oleh pigur-pigur pasangan capres-cawapres yang dianggap tidak cukup

kredibel dalam menyelesaikan persoalan dan mengatasi tantangan bangsa ke

depan. Ada capres yang dianggap kredibel, namun cawapresnya diangap tidak

kredibel, begitu juga sebaliknya. Penilaian ini terutama diberikan oleh pemilih

terpelajar seperti mahasiswa. Di mata mahasiswa pasangan capres-cawapres

memiliki track record kelam di masa lampau.137 Dalam hal ini pemilih lebih

135Denny J.A. Partai politik pun Berguguran (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006), h.60. 136Arief Budiman, “Demokrasi, Materi, dan Golput,” dalam Luthfi Assyaukanie dan Stanley,

ed., Kebebesan Negara Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 13. 137Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 305.

Page 81: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dilatarbelakangi oleh faktor psikologis yang mengakibatkan mereka kecewa,

karena mereka melihat pasangan yang maju tersebut dianggapnya tidak akan bisa

membawa perubahan.

Adanya dominasi elit-elit lama, misalnya bisa dilihat dalam hal

menentukan regulasi calon presiden di DPR, fraksi-fraksi yang ada masih

mempertahankan elit-elit lama yang akan diajukan menjadi presiden dan wakil

presiden tersebut agar masuk bursa calon presiden. Dalam hal merumuskan

regulasinya juga tidak jarang berujung pada kepentingan politik jangka pendek

yang berakhir dengan happy ending daripada memutuskan berdasarkan

standarisasi yang rasional berdasarkan kepentingan rakyat banyak. Ambil contoh

Fraksi Golkar dalam menentukan electoral threshold mengajukan usul 35%,

pemerintah 25%, sedangkan partai-partai lainnya mengusulkan hanya 3%.

Berkaitan dengan syarat pendidikan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Reformasi dan

Fraksi Bulan Bintang mengajukan syarat minimal S1, sedangkan Fraksi PDIP

menentangnya dengan mengajukan cukup dengan syarat SLTA. Mengenai

persyaratan kesehatan jasmani dan rohani didukung oleh semua fraksi kecuali

Fraksi PKB yang menolaknya. Sementara tentang larangan terdakwa, semua

fraksi menyetujuinya kecuali Fraksi Golkar yang menetangnya.138

Dari perdebatan di atas terlihat jelas bahwa fraksi-fraksi yang ada di DPR

hanya mementingkan golongannya masing-masing, sedangkan agenda besar

jangka panjang yang seharusnya memutuskan berdasarkan rasionalitas

kepentingan nasional bangsa Indonesia tidak mereka pikirkan. Dalam hal ini

terlihat jelas dengan saling adu serangnya setiap fraksi dalam menentukan regulasi

138Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan

Kesimpulan,” dalam Lili Romli, dkk., Pemilihan Presiden Langsung 2004 dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 183.

Page 82: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

syarat pencalonan presiden tersebut. Misalnya Fraksi Golkar mengusulkan

electoral threshold 35% dalam upaya untuk mengganjal calon-calon lain, serta

menaikkan posisi tawar Partai Golkar, sementara partai yang menolaknya tentu

saja untuk memperlancar calon presiden yang mereka usung. Sementara mengenai

sehat jasmani dan rohani dimaksudkan untuk mengganjal Gus Dur, sedangkan

syarat pendidikan harus mimimal S1 dimaksudkan untuk menganjal Megawati

yang pendidikannya tidak sampai kuliah, walaupun ia sempat kuliah. Sementara

larangan terdakwa untuk mengganjal Akbar Tanjung. Seperti diketahui umum,

pada waktu itu Akbar Tanjung sedang berstatus terdakwa terkait dengan masalah

korupsi Bulog.139

. Dengan demikian, maka keputusan untuk menentukan regulasi tersebut

disepakati berdasarkan kompromi-kompromi sebagai berikut: untuk batasan

electoral threshold ditentukan parpol atau gabungan parpol yang memenuhi

persyaratan perolehan suara 3% dari jumlah kursi di DPR. Dalam hal pendidikan,

terjadi kompromi bahwa syarat minimal adalah SLTA. Dengan syarat seperti ini,

maka Megawati dapat lolos menjadi capres. Sebagai kompensasi atas dukungan

syarat pendidikan SLTA, maka larangan terdakwa menjadi presiden dihapus, lalu

sebagai gantinya dicantumkanlah syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara

berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.” Mengenai kesehatan

jasmani dan rohani, akhirnya semua fraksi mencabut larangan itu dan

dikembalikan ketentuannya berdasarkan pada pasal 6 UUD 1945. Dengan

ketentuan ini akhirnya Gus Dur tidak lagi terganjal dengan persyaratan tersebut,

139Ibid., h. 182-183.

Page 83: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

ini sebagai hadiah untuk PKB yang telah mencabut usulannya tentang larangan

terdawa dan syarat SLTA, walaupun dalam perkembangannya akhirnya Gus Dur

tetap terganjal dengan ketentuan pasal 6 ayat d UU No. 23 tahun 2003 yang

menyatakan “mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan

kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.” Dalam hal ini KPU sebagai

penyelenggara pilpres berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

yang memerikasa semua kesehatan capres dan cawapres menyatakan Gus Dur

tidak lolos.140

Dengan mulai meningkatnya rasionalitas rakyat, maka pada pemilu 2004

ini masyarakat memberikan pelajaran kepada para politisi kita, sebagai wakil

rakyat, sebagai pemimpin negara, mereka harus memperhatikan kepentingan

rakyat. Turunnya tingkat partisispasi pemilih (registered voter turnout) pada

pemilu kali ini, menghukum para elit-elit politik kita bahwa ketika kepentingan

dan aspirasi rakyat tidak diperhatikan, maka rakyat menjadi golput.141

B. Golput karena Masalah Teknis

Di samping kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik,

khususnya elit yang sedang berkuasa pada waktu itu, meningkatnya angka golput

juga disebabkan oleh adanya kendala teknis, baik kesalahan dalam hal pendataan

KPU/Lembaga Statistik maupun tata cara pencoblosan yang tidak benar.

Mengenai faktor kesalahan pendataan penduduk dapat diketahui misalnya

pada saat pengumuman penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU

menyebutkan mengenai sejumlah faktor yang menyebabkan meningkatnya angka

140Ibid., h. 184-185. 141

Diakses 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05.

Page 84: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

golput, diantaranya yaitu masih adanya pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali

di tempat yang berbeda, adanya pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali di

tempat yang sama, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena

pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih akan tetapi

sudah mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang

masih terdaftar, adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih dan

tidak datang ke TPS142

. Faktor teknis inilah yang juga penyebab meningkatnya

angka golput pada pemilu 2004 lalu.

Faktor kendala teknis di atas, salah satunya dipicu oleh pendaftaran

pemilih yang telah lebih dahulu dilakukan oleh KPU bekerja sama dengan Biro

Pusat Statistik (BPS) yang disebut dengan P-4B. Seperti yang sudah penulis

jelaskan pada bab III, pendataan seperti ini jika tidak didukung dengan data-data

baru dari RT/RW di lapangan maka akan menyebabkan data kurang akurat,

banyak pemilih yang semestinya terdaftar sebagai pemilih tidak masuk dalam

daftar pemilih. Setelah hari H baru terungkap ada jutaan warga yang belum

terdaftar. Di DKI Jakarta saja tercatat ada sekitar 2 juta warga yang sebenarnya

berhak memilih tetapi tidak dapat menggunakan hak pilihnya.143

Didik Supriyanto, Koordinator Bidang Pengawas Pemilu (Panwas),

membenarkan bahwa penyebab naiknya golput adalah daftar pemilih yang tidak

“bersih”. Artinya masih ada pemilih yang tidak dikenal atau yang semestinya

tidak berhak memilih, tetapi tercantum dalam daftar. Pertambahan jumlah pemilih

pun pantas diragukan. Sebagai perbandingan, pada pemilu 1999 jumlah pemilih

142Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/

Mengana-golput. 143Topo Santoso, “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya,” Jurnal Demokrasi dan

HAM, Vol. 4, No.I, 2004.

Page 85: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

terdaftar hanya 118,158 juta orang. Namun, dalam lima tahun saja, jumlah pemilih

terdaftar melejit menjadi 148 juta pada pemilu legislatif dan 155,048 juta pada

pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama. Pertambahan jumlah pemilih

ini patut diragukan mengingat tidak mungkin pertambahan pemilih yang begitu

pesat hanya dalam lima tahun saja. Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Umum KPU

2004 juga mengakui, bahwa dari total pemilih terdaftar, terdapat sekitar 2,5 persen

yang merupakan pemilih yang tidak dikenal (ghost voters). 144

Dari pemaparan di

sini jadi jelas bahwa menigkatnya angka golput pada pemilu 2004 diantaranya

juga disebabkan karena adanya faktor pendataan yang kurang akurat.

Di samping adanya kesalahan teknis KPU tadi, ada juga yang disebabkan

karena teknis lain misalnya kesalahan pencoblosan, dalam hal ini tata cara

pencoblosan yang tidak benar bisa menyebabkan surat suara menjadi rusak.

Banyak masyarakat yang belum paham tentang tata cara pencoblosan yang benar

ditambah surat suara yang terlalu lebar mengakibatkan kesulitan bagi pemilih

dalam membuka kertas suara tersebut.

Satu kasus pernah terjadi pada pemilu presiden putaran pertama, banyak

pemilih tidak membuka lebar-lebar kertas suaranya dan mengakibatkan kertas

suara tercoblos dua. Kertas suara tercoblos dua yang menembus sampai bagian

depan menjadi kontroversi antara sah dan tidak, banyak petugas di lapangan

menganggap surat suara tersebut tidak sah. Akan tetapi, surat suara tersebut masih

bisa diselamatkan oleh KPU dengan surat edarannya ber-Nomor

1151/15/VII/2004 yang menyebutkan bahwa surat suara yang dicoblos dalam

kondisi terlipat dua secara horizontal, yang mengakibatkan coblosan menembus

144Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/

Mengapa-golput

Page 86: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

ke halaman judul, tetap dinyatakan suara sah. Walaupun demikian, Penulis

menduga, dari kasus salah coblos tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya

coblosan yang mengenai calon lain dan jelas ini menjadi suara tidak sah.

Dalam hal kesalahan pencoblosan, menurut penulis terjadi setidaknya

disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pemilih kurang memahami cara

pencoblosan yang benar. Pemilu 2004 adalah pemilu pertama dengan sistem dan

tata cara pemilihan yang berbeda dengan pemilu sebelumnya, yaitu adanya sistem

proporsional terbuka yakni nama-nama caleg terpampang dengan jelas, berbeda

dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang hanya memilih partai. Dengan perbedaan

seperti ini pemilih kurang memahami cara pencoblosan dengan benar. Kurangnya

pemahaman terhadap tata cara pencoblosan, ada kemungkinan juga disebabkan

faktor sosialasi. Penulis menduga bahwa sosialasi pada pemilu 2004 tidak sampai

pada masyarakat luas. Walaupun sering juga dilakukan lewat berbagai macam

media, sepertinya banyak masyarakat kurang memperhatikan hal tersebut.

Kurangnya informasi yang didapatkan oleh masyarakat, diperkuat juga

oleh temuan LSI terhadap dua data survei. Survei pertama di 220 desa dan kota di

semua provinsi kecuali Aceh bulan Agustus 2003. Survei kedua bulan November

2003 di 370 desa dan kota di seluruh provinsi termasuk Aceh. Kesimpulan yang

didapat bahwa pengetahuan pemilih mengenai pemilu tidak memadai. Banyak

pemilih yang tidak tahu apa itu DPD atau KPU.145

Jika terhadap lembaga yang

akan dipilih saja tidak tahu, tidak bisa diharapkan pula mereka mengetahui tata

cara pencoblosan yang benar.

Dengan minimnya sosialisasi pelaksanaan teknis pemilu 2004 lalu, banyak

145Denny, J.A. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia, h. 62-63.

Page 87: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

masyarakat yang masih belum paham mengenai aturan baru pada pemilu tersebut.

Dalam hal ini Ray Rangkuti, Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu

(KIPP) Nasional mencontohkan, peraturan pemilihan yang baru, surat suara

dikatakan sah apabila pemilih mencoblos nomor atau tanda gambar dan atau nama

caleg. Artinya, masih sah jika si pemilih hanya mencoblos nomor atau tanda

gambar saja. Surat suara dianggap tidak sah jika si pemilih hanya mencoblos

nama caleg sementara nomor atau tanda gambar tidak dipilih. Jadi, golput bukan

semata-mata sebagai ekspresi perlawanan atau sikap politik saja. Akan tetapi, bisa

juga muncul lantaran soal teknis146

disebabkan kurangnya pemahaman terhadap

aturan baru.

Jadi dengan adanya sistem proporsional terbuka dengan tata cara

pencoblosan yang rumit ini mengakibatkan masayarakat banyak yang salah dalam

hal pencoblosan. Mereka banyak yang tidak tahu bagaimana mencoblos dengan

benar. Memang kenyataan tentang kemungkinan kurangnya pemahaman pemilih

mengenai pemberian suara ini tanda-tanda awalnya sudah nampak pada saat

simulasi pemilu dilakukan di beberapa tempat. Tidak sedikit suara pemilih

mengalami nasib dinyatakan tidak sah.147

Pemilu legislatif 2004 lalu memang menyisakan problem “memilih

kucing dalam karung.” Profil partai terlihat mendominasi pilihan politik. Nama-

nama calon sepertinya tidak tersosialisasi dengan baik. Kalaupun tersosialisasi,

banyaknya daftar nama caleg membuat para pemilih kurang mengakses informasi

para caleg secara keseluruhan. Pengetahuan tentang calon legislatif hanya

146

Diakses pada 27 Januari 2009 dari http://www2.kompas.com/kompas.com/kompas-cetak/0304/28/nasional/280770.htm

147Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembaagaan Pemerintah,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen ADPR RI, 2003), h. 22.

Page 88: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

sebagian dan minim. Sehingga tidak sedikit orang yang kemudian salah coblos,

bingung atau ada juga yang mencoblos sekenanya tanpa mengetahui profil nama

caleg yang sesungguhnya.148

Kenyataan ini yang menyebabkan adanya tuduhan terhadap sistem

proporsional terbuka yang dijalankan bersifat setengah hati, apalagi dalam

menentukan calon terpilih masih menggunakan nomor urut. Mereka yang

langsung memperoleh suara sesuai dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP)

langsung menjadi anggota terpilih. Akan tetapi, sebaliknya apabila ternyata hasil

pemilihan tidak mencapai angka pembagi, maka untuk itu berlaku nomor urut

calon. Lagi-lagi masyarakat pemilih tidak dapat menghukum calon atau partai

yang tidak disukainya dengan mengalihkan suara ke partai atau calon lain secara

bersilang, karena tidak diijinkan oleh undang-undang.149

Kedua, pemilih di Indonesia mayoritas berpendidikan rendah yang

memang bukan sebagai pemilih rasional. Dengan banyaknya lambang partai,

mereka bingung harus memilih partai mana ketika masuk ke TPS yang pada

akhirnya pilihannya menjadi asal coblos, sekenanya. Juga dengan pencoblosan

yang rumit mengakibatkan banyak surat suara yang dinyatakan tidak sah

disebabkan kesalahan pencoblosan tadi. Berbeda dengan pemilu 1999, walaupun

banyak partai politik, tata cara pencoblosan pada pemilu tersebut tidak serumit

pada pemilu 2004. Apalagi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu Orde Baru

yang hanya diiukti oleh tiga gambar kontestan partai politik.

148

Diakses pada 27 Januari 2009 dari http://saidiman.wordpress.com/2007/06/08/masa-

depan-golput-pada-pemilu-presiden/ 149Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembaagaan

Pemerintah,” h. 22-23.

Page 89: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Sedangkan untuk pemilu presiden putaran pertama, pemilih yang golput

sedikit mengalami penurunan menjadi 21,96%, angka ini lebih kecil bila

dibandingkan dengan pemilu legislatif. Menurunnya angka golput menurut

penulis, pertama disebabkan tata cara pemilihan presiden tidak serumit pada

pemilu legislatif dan kontestan yang harus dicoblos juga tidak sebanyak gambar

parpol. Kedua, adanya dampak dari surat edaran yang dikeluarkan KPU Nomor

1151/15/VII/2004 terkait dengan kasus salah colos, dengan surat edaran tersebut

ternyata terbukti presentase suara tidak sah pada pemilu presiden putara pertama

menjadi rata-rata 2,17% dibandingkan dengan suara tidak sah pada pemilu

legislatif yang sampai mencapai 8,81%.150

Sementara pada pilpres putara kedua,

penulis menduga meningkatnya angka golput ada juga diantaranya disebabkan

oleh kejenuhan atau kelelahan pemilih. Pemilih sudah merasa jenuh dengan

mendatangi TPS-TPS, apalagi jika TPS-nya jauh dari tempat tinggal pemilih.

C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004

Sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, bahwa meningkatnya golput

pada pemilu 2004 bukan merupakan cerminan dari homogenitas sekelompok

orang yang merasa kecewa saja baik terhadap partai politik, elit-elit politik,

pemerintah maupun terhadap sistem politik yang ada. Akan tetapi, meningkatnya

jumlah golput juga disebabkan karena adanya kesalahan teknis, seperti kesalahan

pendataan KPU atau kesalahan teknis lainnya seperti dalam hal pencoblosan. Cara

pencoblosan yang tidak benar akan mengakibatkan kertas suara menjadi rusak.

150Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004 (Ttp.: Komisi Pemilihan Umum,2005), h. 93.

Page 90: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Mengenai golput sendiri sebenarnya masih debatable, ada yang

mengatakan bahwa golput khusus dialamatkan kepada orang yang memang

sengaja tidak mau memilih akibat dari kekecewaan masyarakat, ada juga yang

beranggapan pasca Orde Baru justru istilah golput mengalami pergeseran makna,

tidak ditujukan hanya kepada homogenitas kelompok yang khusus tidak mau

memilih saja akibat preferensi politik atau kekecewaan tadi, mengingat sistem

pemilu sudah tidak direkayasa lagi oleh pemerintah dan juga karena

banyak/beragamnya alasan mengapa orang golput dan beragam pula alasan

mengapa seseorang tidak mau memilih. Dalam hal ini tidak sedikit para pengamat

juga menggolongkan golput pada beberapa kategori, mengingat golput yang

secara sadar susah dideteksi seberapa besarnya dan kalaupun bisa hanya lewat

lembaga-lembaga survei yang meneliti saja.

Dari pemaparan yang sudah dijelaskan di atas, penulis sendiri menarik

kesimpulan bahwa golput yang terjadi pada pemilu 2004 dapat digolongkan pada

tiga kategori seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Pertama,

golput politis yakni golput yang disebabkan karena sikap kekecewaan masyarakat

baik terhadap elit-elit politik, pemerintah berkuasa yang tidak bisa membawa

perubahan dan elit-elit politik yang hanya mementingkan dirinya. Kedua, golput

teknis administratif yang disebabkan karena kesalahan pendataan oleh KPU atau

Biro Pusat Statistik (BPS). Dan ketiga golput teknis non administratif yang

disebabkan karena kesalahan dalam pencoblosan, tidak hadir karena alasan yang

sangat mendesak seperti sakit keras, ke luar kota dan lain sebagainya yang bukan

disebabkan karena kekecewaan.

Page 91: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

1. Golput Politis

Mengenai golput politis sama seperti golput era 70an sebagaimana yang

sudah penulis paparkan sebelumnya yaitu sebagai reaksi atas ketidakpuasan

terhadap pemerintah, terhadap sistem politik yang ada, maupun terhadap partai-

partai saat itu yang selalu menjadi corong kekuasaan Orde Baru. Orang yang tidak

mencoblos benar-benar dari kesadaran dirinya sendiri akibat dari kekecewaan

masyarakat yang menganggap pemerintah atau elit-elit politik gagal membawa

bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Mereka lebih bersikap golput daripada

harus memilih.

Golput seperti ini biasanya dilakukan oleh kalangan terpelajar yang secara

akademis relatif mumpuni. Mereka sudah bisa membaca dan menganalisa baik

keberhasilan-keberhasilan pemerintah, para anggota wakil rakyat di DPR, para

elit-elit partai, maupun kekurangan-kekurangannya. Dengan penilaian tersebut

mereka menjadi kritis terhadap pemerintah, sehingga cara mereka menentukan

pemimpin pun benar-benar berdasarkan hitung-hitungan yang rasional, tidak asal

coblos. Jika partai dianggap gagal menyalurkan aspirasinya, maka mereka akan

golput. Sebaliknya jika partai dianggap mampu mengartikulasikan dan

mengagregasi kepentinganya, maka mereka akan memilih partai tersebut.

Sikap Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang menyatakan akan golput

disebabkan karena keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak

meloloskan beliau, termasuk juga dalam kategori golput ini. Gus Dur golput

karena merasa kecewa terhadap KPU dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang

menurutnya diskriminatif, menghalangi pencalonannya untuk menjadi presiden.

Sedangkan alasan Fadjroel Rahman tidak memilih karena dalam pandangannya

Page 92: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

tidak ada satu pun calon yang berani dan terbuka mengajukan program mengusut

korupsi Orde Baru, menentang militerisme yang membela kekerasan masa lalu.151

Dari pengalaman pemilu 2004 tersebut, menurut penulis, banyaknya

kekecewaan masyarakat bukan disebabkan karena sistem politik atau karena

sistem pemilu. Berbeda dengan masa Orde Baru, kekecewaan memang

disebabkan oleh sistem politik yang otoriter dan sistem pemilu yang banyak

direkayasa oleh pemerintah untuk selalu memenangkan Golkar dan partai politik

yang ada waktu itu hanya dijadikan corong program-program pemerintah Orde

Baru yang keberadaannya tidak punya daya kritis sama sekali.

Pada pemilu 2004, sistem pemilu sudah banyak yang direvisi, Komisi

Pemilihan Umum (KPU) sendiri sebagai lembaga penyelenggara pemilu sudah

tidak bernaung di bawah lembaga pemerintahan lagi, KPU sudah independen,

mandiri. Ketidakpusaan masyarakat pada pemilu 2004, menurut penulis lebih

disebabkan karena faktor kekecewaan masyarakat terhadap elit-elit politik,

pemerintah yang kurang memperhatikan nasib rakyat, serta anggota DPR yang

saat ini (era Reforamsi) tidak bisa membawa perubahan, mereka lebih

mementingkan golongan sendiri-sendiri, KKN sering terdengar di mana-mana

yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi terhadap elit-

elit yang berkuasa.

Untuk mengetahui berapa jumlah golput yang memang benar-benar tidak

memilih atas kesadaran sendiri yang disebabkan kekecewaan tersebut sangat sulit

diketahui. Sebab hasil dari KPU pun tidak ada data yang pasti berapa jumlah

orang yang golput atas kekecewaan tersebut, sebab hasil pemilu tidak disertai

151Tabrani Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, (T.tp: Komisi Pemilihan Umum, 2005), 156.

Page 93: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

alasan mengapa ikut memilih, mengapa tidak ikut memilih, atau kenapa memilih

secara salah. Informasi ini hanya dapat dilihat berdasarkan survei pemilih.152

Dari hasil survei, Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan

sebelum pemilihan umum legislatif 5 April 2004 lalu, diperoleh gambaran: 87

persen menyatakan akan ikut pemilu; 10,5 persen tidak ikut pemilu; 2,5 persen

menjawab tidak tahu. Proporsi 10,5 persen dari pemilih yang melaporkan tidak

ikut pemilu, apakah mereka golput dalam pengertian protes terhadap pemilu

karena dianggap tidak jurdil, tidak ada gunanya bagi pemilih, dan sebagainya?

Dari hasil temuan LSI, alasan di balik ketidakmauan ikut pemilu itu juga beragam.

Yang memandang pemilu tidak ada gunanya bagi pemilih, hanya menguntungkan

partai politik atau calon, amat kecil jumlahnya, sekitar 2,3 persen dari total warga

yang punya hak pilih.153

Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh survei LSI setelah pemilu

dilaksanakan. Pertanyaan yang disampaikan kepada responden adalah "Sejauh

manakah pemilu 5 April berjalan secara bebas dan adil?" dari pertanyaan tersebut

46,2 persen menyatakan amat jurdil tanpa masalah berarti; 26,9 persen

menyatakan jurdil dengan sedikit masalah teknis; 17,9 persen menyatakan jurdil

tetapi banyak hambatan teknis; 2,4 persen menyatakan tidak jurdil; dan selebihnya

menyatakan tidak tahu. Yang menyebutkan pemilu legislatif 5 April tidak jurdil

hanya 2,4 persen. Proporsi ini kurang lebih sama dengan hasil survei sebelum

pemilu yang menyatakan tidak ikut pemilu karena tidak ada gunanya bagi

pemilih.154

152Saeful Muzani, “Mitos Golput,” artikel diakses pada 27 Januarai 2009 dari

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0405/25/opini/1037926.htm 153Ibid. 154Ibid.

Page 94: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Jika merujuk pada hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di atas

dapat disimpulkan, proporsi golput karena protes terhadap keadaan politik, partai

politik, atau terhadap calon yang bersaing dalam pemilu di matanya tidak ada

yang layak hanya sekitar 2,4%. Artinya mereka yang benar-benar golput atas

kesadaran untuk tidak memilih yang disebabkan kekecewaan hanya sekitar 2,4%.

Ini pun jika hasil surveinya valid.

2. Golput Teknis Administratif

Yang dimaksud dengan golput pada kategori ini yaitu golput yang

disebabkan karena kesalahan administrasi oleh KPU. Pemilih yang semestinya

memilih terganjal oleh data yang tidak akurat, sehingga masyarakat tidak bisa

memilih. Mereka tidak memilih bukan berdasarkan atas kekecewaan, akan tetapi

memang benar-benar atas kesalah teknis oleh KPU atau petugas pencatat data.

Seperti yang sudah di bahas di atas, bahwa meningkatnya angka golput

pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh data-data yang kurang akurat tersebut.

Ketidakakuratan data terlihat dengan banyaknya masyarakat yang mengaku belum

terdaftar. Kelalaian seperti ini menyebabkan suara berharga dari masyarakat jadi

sia-sia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ny. Nurul Hidayat, ketua PPS

Kelurahan Kramat, Jakarta Pusat, kepada tim pemantau PPK dan PPS Kota

Jakarta Pusat, ia mengatakan bahwa di pemukimannya masih banyak warga yang

belum terdaftar sebagai pemilih. Bahkan walaupun ada yang sudah di daftar P-4B

tetap saja namanya tidak tercantum baik dalam DPT maupun dalam Daftar

Pemilih Tetap Tambahan (DPTT).155 Ungkapan yang sama juga dilontarkan oleh

155

“Banyak Warga Jakpus Tak Terdaftar dalam DPT,” berita diakses pada 24 Februari

2009 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=24136

Page 95: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Ketua PPS Kelurahan Bungur-Jakarta Pusat, Hasnan Manan, ia mengatakan

bahwa banyak warga yang tidak terdaftar petugas P-4B. menurutnya

kemungkinan pada saat pendaftaran, petugas statistik tidak melibatkan pengurus

RT/RW setempat, akan tetapi lebih kepada pendataan sistem per blok, akibatnya

banyak warga yang terlewatkan.156

Hal yang sama juga terjadi di Kuala Pembuang, ibu kota Kabupaten

Seruyan, Palangkaraya-Kalteng. Di sini ribuan warga yang bermukim di

pedalaman Kabupaten Seruyan, terancam tidak bisa mengikuti pemilu disebabkan

belum terdaftar sebagai pemilih, terutama yang bersal dari daerah-daerah yang

terisolasi serta para karyawan puluhan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa

sawit. Bupati Seruyan, Rasyidi Harun mengakui masih banyak warganya yang

belum terdaftar sebagai pemilih. Ia mengatakan yang menjadi penyebab adalah

kendala di daerah pedalaman yang mengakibatkan BPS kesulitan menjangkau

mereka sehingga data pemilih dan data penduduk jauh dari kenyataan.157

Data-data di atas merupakan gambaran dari sebagaian wilayah di

Indonesia yang teryata banyak warga yang belum terdaftar akibat kurang

akuratnya pendataan tersebut. Bahkan sampai batas limit 30 hari habis, di Kota

Denpasar, sampai hari terakhir ada daftar warga yang masih tercecer. Dalam hal

ini kritikan timbul dari ketua PPP Kota Denpasar, ia meragukan validitas data

yang dikeluarkan panitia P-4B, pasalnya banyak pendatang musiman yang turut

terdata sedangkan warga yang mengantongi KTP banyak lolos.158

Untuk mengetahui berapa jumlah golput yang berdasarkan atas kesalahan

156Ibid. 157“Ribuan Warga Pedalaman Tak Terdaftar Pemilu,” berita diakses pada 24 Februarai 2009

dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/25/daerah/873674. 158“Pendataan Pemilih, Titik Rawan Pemilu Berkualitas,” berita diakses pada 24 Februari

2009 dari http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/5/2/pol3.htm

Page 96: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

pendatan, penulis tidak menemukan data pasti. Akan tetapi jika melihat hasil

temuan survei Jaringan Universitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk

Pemantau Pemilihan Umum 2004 (Jurdil Pemilu 2004) yang dilakukan selama

16-19 Februari 2004 atas 5.592 responden di 375 desa/kelurahan di 12 propinsi

ternyata cukup mengejutkan. Menurut hasil survei lembaga ini, ditemukan 9%

pemilih atau setara dengan 13,2 juta dari 147 juta pemilih belum terdaftar dan 4%

(5,88 juta) pemilih merupakan pemilih hantu atau pemilih yang sebenarnya tidak

ada. Rustam Ibrahim, Wakil Ketua Jurdil pemilu 2004 menerangkan bahwa hasil

survei itu menunjukkan 91% benar-benar telah terdaftar. Sisanya 9% belum

terdaftar karena namanya belum tercantum di DPT.159

Mengenai masih adanya jumlah pemilih yang belum terdaftar diakui juga

oleh Biro Pusat Statistik (BPS), namun jumlah tersebut berbeda dengan hasil

survei Jurdil di atas. Menurut BPS, jumlah pemilih yang belum terdaftar

diperkirakan tidak sampai setengah persen dari jumlah pemilih yang mencapai

146 juta orang berdasarkan data per 10 Januari 2004. Selain belum terdaftar,

menurut Soerdarti Surbakti, Kepala BPS, dalam pemilih tetap yang ada selama

ini, ada kemungkinan beberapa nama yang salah.160

Ramlan Surbakti, Wakil

Ketua Umum KPU 2004 juga mengakui, dari total pemilih terdaftar, terdapat

sekitar 2,5 persen yang merupakan pemilih yang tidak dikenal (ghost voters). 161

3. Golput Teknis Non-Administratif

159“Sebanyak 13,2 juta Pemilih Belum Terdaftar,” berita diakses pada 24 Februari 2009 dari

http:/www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/11/politikhukum/906594.htm 160“Jumlah Pemilih Belum Terdaftar Kurang dari 0,5%,” berita diakses pada 24 Februari 2009

dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/02/nas8.htm 161Diakses pada 27 November dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/

Mengana-golput.

Page 97: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Golput teknis non administratif adalah golput yang terjadi karena

kesalahan yang bukan disebabkan oleh pendataan penduduk seperti yang sudah

dijelaskan di atas. Golput model ini misalnya disebabkan oleh kesalahan

pencoblosan yang menyebabkan surat suara menjadi tidak sah, juga berhalangan

hadir karena ada gangguan lain misalnya berhalangan hadir disebabkan karena

sakit parah, ketiduran, keluar kota dan lain-lain. Golput model ini—meminjam

ungkapan Eep Saefulloh Fatah—sebagai golput teknis-teknis tertentu.

Penulis melihat pada pemilu 2004, bahwa terjadinya peningkatan angka

golput juga disebabkan oleh faktor non teknis tersebut, misalnya untuk pemilu

presiden dan wakil presiden putaran pertama lalu, KPU juga sudah sempat

melontarkan alasan mengenai rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Penurunan

tersebut diantaranya dikarenakan pada saat pemungutan suara 5 Juli 2004 lalu

bertepatan dengan final Euro 2004. Faktor lokal lain seperti tingginya mobilitas

masyarakat pada kota-kota besar dan buruknya cuaca di sejumlah tempat juga

sempat disebut salah satu yang memengaruhi penurunan partisipasi pemilih pada

pemilu 2004 lalu.162

Selain faktor di atas, ada juga faktor lainnya seperti surat suara yang

terlalu lebar, mengakibatkan surat suara tercoblos dua. Seperti yang sudah penulis

paparkan di atas, kejadian tersebut sempat menjadi perdebatan petugas di TPS

antara suara sah dan tidak. Walaupun pada akhirnya surat suara tersebut oleh KPU

dinyatakan sebagai suara sah, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya surat

suara yang tercoblos dua sampai menembus calon lain dan ini jelas menjadi suara

tidak sah. Faktor lainnya juga, bahwa pemilu kali ini menggunakan sistem

162Ibid.

Page 98: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

proporsional terbuka dan rumit, tidak seperti biasanya yang hanya memilih

lambang partai. Dengan sistem seperti ini, Masih banyak pemilih yang belum

memahami pencoblosan dengan benar. Ditambah dengan banyaknya partai tidak

sedikit dari pemilih yang kebingungan. Dari hasil survei LSI pra pemilu legislatif,

yakni dua minggu menjelang pemilu dilangsungkan didapatkan bahwa “…sekitar

18 persen menyatakan belum tahu bagaimana mencoblos dengan benar….”Hasil

survei LSI setelah pemilu juga tidak jauh berbeda dengan hasil survei pra pemilu.

Dari hasil survei pasca pemilu didapatkan bahwa “…17,9 persen menyatakan

jurdil tetapi banyak hambatan teknis….”163

Ini artinya bahwa 17,9 persen tersebut

adalah pemilih yang banyak mengalami kesulitan dalam pencoblosan disebabkan

karena faktor ketidaktahuan tata cara pencoblosan tersebut. Proporsi ini hampir

sama seperti hasil survei pra pemilu yakni 18 persen yang mengatakan belum tahu

bagaimana mencoblos dengan benar.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa 17,9 persen pemilih di atas

yang mengatakan memilih banyak hambatan tidak bisa digeneralisir sebagai

pemilih yang merusak surat suara akibat kurangnya pemahaman tersebut. Bisa

jadi orang yang tidak memahami tata cara pencoblosan pun secara kebetulan ia

mencoblos dengan benar. Yang jelas, hasil akhir suara yang tidak sah hanya

sebesar 8,81 persen. Ini pun sulit dideteksi apakah jumlah suara tidak sah tersebut

akibat dari kesalahan pencoblosan semata atau bukan.

D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak Liberalisasi Politik

Pasca Orde Baru

163Artikel diakses pada 27 Januarai 2009 dari http://www2.kompas.com/kompas-

cetak/0405/25/opini/1037926.htm

Page 99: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Teorisasi yang dikemukakan oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C.

Schmitter, Indoensia sepeninggal Soeharto memasuki fase “liberalisasi politik

awal.” Fase ini secara teoritis sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah ke

mana.” Menurut kedua pakar tersebut, transisi adalah interval antara suatu rezim

politik dan rezim yang lain. Transisi dimulai dengan proses perpecahan sebuah

rezim otoritarian dan pengesahan beberapa bentuk demokrasi; atau kembalinya

bentuk pemerintahan otoriter atau kemunculan aktor revolusioner. Ciri yang

menandai fase ini adalah ketika para penguasa otoriter, memulai memodifikasi

peraturan-peraturannya sendiri sebagai jaminan yang lebih kuat bagi hak-hak

individu dan kelompok.164

Sedangkan liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan

hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi

individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindasan sewenang-wenang yang

dilakukan oleh negara atau pihak ketiga. Liberalisasi politik pasca Orde Baru

antar lain ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat, setiap

kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun

dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya

luapan kebebesan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan

membentuk organisasi.165

Pada tataran akar rumput, ledakan partisipasi politik banyak mengambil

bentuk huru-hara, kekerasan massa, atau paraktek penjarahan kolektif. Di

kalangan mahasiswa terjadi demonstrasi dan protes di mana-mana. Sementara

ledakan partisipasi politik di tataran elit-elit politik di tandai dengan maraknya

164Mahrus Irsyam dan Lili Romli ed., Menggugat Partai Politik (Depok: LIP FISIP UI, 2003), h.

131-132. 165Ibid., h.132.

Page 100: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

pendirian partai politik.166

Pada masa-masa akhir sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru,

partisipasi masyarakat dalam bentuk kekerasan, huru-hara terjadi di mana-mana,

faktor pemicunya dikarenakan terjadinya krisis ekonomi, kenaikan BBM, listrik,

transportasi, sembako dan sebagainya memancing mahasiswa protes turun ke

jalan. Radikalisasi gerakan mahasiswa serta situasi yang antagonistik tercipta dan

pada akhirnya terjadi kerusuhan massa di luar kampus yang penuh dengan

kekerasan, bercorak anti kemapanan (pemerintahan Orba) dan berbau SARA

seperti terjadi di Medan dan sekitarnya (April 1998), di Jakarta (13 dan 14 Mei

1998) dan di Solo (14 Mei 1998).167

Akumulasi kemuakan masyarakat terhadap elit-elit politik terjadi ketika

elit-elit politik hasil pemilihan umum tahun 1999 tidak bisa memberikan

perubahan yang berarti, semakin meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan,

korupsi merajalela di semua lini. Banyak orang kemudian mengeluh putus asa dan

berpikir kembali bahwa keadaan di masa Soeharto lebih baik. Paling tidak di masa

Soeharto orang mudah mencari pekerjaan, makan dan kebutuhan pokok

lainnya.168

Menurut penulis, meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 juga

disebabkan oleh dampak dari liberalisasi politik, yakni adanya kebebasan di

segala bidang, masyarakat bisa bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak

hati nuraninya, termasuk bebas menentukan pilihan politik sekalipun golput

pilihannya. Berbeda dengan masa Orde Baru, hak-hak politik rakyat banyak yang

166Ibid., h. 133. 167Harlem Siahaan, “Kekerasan dalam Persfektif Sejarah” Majalah Prisma, 1 September-

Oktober 1998, h. 15. 168“Editorial,”Jurnal Bersatu, edisi Mei 2008, h. 5.

Page 101: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

dikekang termasuk hak dalam menentukan pilihan, masyarakat banyak yang

dimobilisasi untuk memenangkan salah satu kontestan peserta pemilu pendukung

pemerintah, pemilu terkesan merupakan kewajiban daripada sebagai hak warga

negara.

Hal tersebut bisa terlihat dari tingginya partisipasi politik rakyat pada masa

Orde Baru. Pada pemilu 1971, jumlah suara yang sah mencapai 94,02% dari

pemilih terdaftar. Selanjutnya pada pemilu 1977, 1982, 1987 dan 1992 jumlah

suara yang sah juga masih tinggi yaitu berturut-turut mencapai 90,93%, 92,03%,

91,31%, dan 91% dari pemilih terdaftar. Dengan demikian, rezim Orde Baru dapat

mengajukan klaim kepada publik bahwa legitimasi politik yang diperoleh dari

rakyat sangat kokoh. Dengan dasar klaim tersebut, maka kebijakan dan program-

program yang dibuat pemerintah juga mendapatkan legitimasinya pula dari

rakyat.169

Berbeda dengan masa Orde Baru, pada era Reformasi, yakni pasca

tumbangnya Soeharto, semua tatanan politik berubah total. Di saat era transisi

dimulai—seperti teorinya O’Donell dan Schmitter—maka protes terjadi di mana-

mana, tuntutan terhadap hak politik yang selama bertahun-tahun dikekang oleh

rezim Orde Baru terus disuarakan. Golkar yang saat itu banyak diprotes oleh

masyarakat yang dianggap sebagai kepanjangan tangan rezim Orde Baru mulai

memperbaiki diri untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari konstituennya,

kebebasan dalam segala hal pada masa ini terlihat jelas dan justru terkesan

kebablasan.

Tentu saja dalam hal ini liberalisasi politik atau melonggarnya kontrol dan

169Muhammad AS Hikam, “Pemilu dan Legitimasi Politik” dalam Syamsuddin haris, dkk.,

Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1998), h. 57.

Page 102: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

kekangan terhadap kehidupan politik tidak sama dengan demokrasi. Kebebasan

menyampaikan pendapat bisa dibalas dengan kebebasan untuk tidak

mendengarkan pendapat orang lain. Kebebasan dalam situasi ketimpangan dengan

mudah bisa berkembang menjadi tirani kelompok yang kuat terhadap yang lemah,

mayoritas terhadap minoritas, kebebasan memilih pun tidak ada artinya ketika

hanya orang dengan dukungan politik dan finansial cukup saja yang bisa

bertarung dalam arena pemilihan umum. Liberalisasi ini pada dasarnya lebih

banyak memberi pihak berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya.170

Hal ini nampak dalam ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam.

Tidak adanya peningkatan kerja serius dari pemerintah untuk menangani

permasalahan pengangguran. Tercatat tahun 2003 angka pengangguran di

Indonesia sebesar 5,1 juta jiwa atau sekitar 5,46% dari angka kerja yang

berjumlah 92,7 juta jiwa dan jumlah 40 juta jiwa pengangguran terselubung.

Realitas ini menunjukkan begitu timpangnya keadaan ekonomi politik kita. Di

satu sisi, begitu banyak uang yang terhambur dalam arena politik, begitu

tingginya political cost terbuang di negeri ini, sementara di sisi lain pemerintah

tidak mampu mengelola urusan publik dan memberikan lapangan kerja yang layak

bagi warganya, dan sebagian rakyat hidup dengan standar kehidupan yang jauh

dari kelayakan.171

Kemudian dampak liberalisasi politik di era Reformasi, dibuktikan dengan

semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan

partai politik dengan berbagai macam asas dan ideologinya. Tercatat ada 48 partai

politik yang mengikuti pemilu 1999. Fenomena yang sama muncul kembali pada

170“Editoraial,”Jurnal Bersatu, h. 4. 171Airlangga, “Darwinisme Partai Politik dalam Pemilu 2004,” Jurnal Demokrasi dan HAM,

Vol. 4, No.1, 2004, h. 60.

Page 103: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

pemilu 2004, walaupun sebelumnya muncul perdebatan saat membicarakan

mengenai terlalu loggarnya UU No. 2 tahun 1999 tentang persyaratan partai

politik.172 Walaupun demikian berbagai partai politik kembali marak. Pada pemilu

2004 tercatat partai yang lolos mengikuti pemilu sebanyak 24 partai politik.

Munculnya partai-partai baru itu memang tidak terlepas dari semakin

terbukanya keran kebebasan sejak bergulirnya rezim Orde Baru. Dalam konteks

ini juga dipertegas dengan hasil temun Demos tentang maslah-masalah dan

pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia, diantaranya adanya peningkatan

kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sejak 1999

(78,9%) diakui oleh para aktivis pro demokrasi cukup memberikan peluang bagi

para aktor, khususnya politisi dalam rangka memasuki kembali arena politik.173

Pada masa Orde Baru, hak-hak masyarakat terutama dalam politik di

kekang. Oposisi tidak dibenarkan pada masa itu, kelembagaan oposisi tidak diakui

keberadaannya dalam struktur kelembagaan formal sehingga tidak memiliki

saluran politik. Organisasi baik politik maupun non politik hanya diizinkan untuk

memakai satu asas yaitu pancasila. Sebagaimana yang dikutip oleh Eep Sefullah

Fatah, Presiden Soeharto sendiri dalam otobiografinya mengungkapkan sebagai

berikut:

“Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala

Barat….tentu saja ada kontrol atas pelaksanaan yang dilakukan oleh

pemerintah. Kesalahan yang dikaukan oleh pemerintah harus dibetulkan.

Tetapi semua harus ingat atas kesepakatan yang telah kita ambil di sini.

Oposisi yang asal saja menentang, asal saja berbeda, tidak kita kenal di

sini.”174

172

“Partai Kagetan,” berita diakses pada 13 Oktober 2008 dari

http://www.demosindonesia .org/pdf/3Demos25Jan05.

173Ibid. 174Eep Saefulloh Fatah, Penghianatan Demokrasi a la Orde Baru (Bandung, PT Remaja

Rosdakarya, 2000), h. 49.

Page 104: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Penelitian R. William Liddle tentang pemilu-pemilu Orde Baru

menunjukkan betapa partisipan pada pemilu Orde Baru lebih banyak disebabkan

oleh mobilisasi birokrasi negara, baik pusat maupun lokal. Pemilih lebih banyak

dikendalikan oleh “komando” pamong atau pejabat birokrasi dan militer. Ini

menunjukkan bahwa apa yang disebut Huntington dan Nelson sebagai partisipasi

politik otonom kurang terlihat secara berarti, sebaliknya mobilisasi terkesan lebih

kuat.175Maka dari itu jangan heran apabila angka partisipasi selalu tertinggi.

Pasca Orde Baru, masyarakat sudah diberikan kebebasan dalam berbagai

hal, termasuk kebebasan dalam bidang politik. Hal yang patut disanyangkan di

sini adalah bawah euporia politik yang terjadi tidak disertai dengan tersedianya

politisi-politisi yang memadai, hal ini terlihat betapa partai-partai politik tersebut

masih tetap menjadi perebutan kekuasaan semata dibandingkan dengan

memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat.176

Misalnya dalam jajak

pendapat kompas (1/12) pernah menyimpulkan psimisme masyarakat, disebutkan

dalam jajak pendapat tersebut, publik meragukan kiprah partai-partai baru mampu

mengadakan perubahan. Bahkan hampir dua pertiga bagian responden merasa

tidak yakin partai baru mampu memperjuangkan aspirasi rakyat.177 Begitu juga

dengan partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Hasil Polling yang dilakukan

CESDA-LP3ES seperti yang sudah penulis bahas di atas menunjukkan lebih dari

separuh (51%) di sepuluh kota besar di Indonesia menyatakan bahwa tidak ada

satu partai politik pun yang memperhatikan suara rakyat.

Dengan melihat realitas yang ada selama ini, ketidakpercayaan publik

175Ibid., h. 51. 176

Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan

05 177Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik (Jakrta: Kompas, 2004), h.86.

Page 105: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

tersebut terbukti pada pemilu 2004 terhadap parpol-parpol yang dianggapnya

tidak mampu membawa perubahan, alih-alih memperjuangkan kepentingan

rakyat, partai-partai politik ternyata masih asyik dengan kepentingannya sendiri.

Dengan demikian, tidak heran masyarakat yang merasa kecewa memprotes elit-

elit tersebut mengungkapakannya dengan cara tidak ikut memilih.

Selain kecewa terhadap partai-partai yang ada, banyaknya partai politik

juga menyebabkan masyarakat tidak sedikit yang merasa kesulitan menentukan

pilihannya. Di satu sisi menjamurnya partai politik memang cermin dari

demokrasi karena adanya kebebasan termasuk kebebasan mendirikan partai

politik. Akan tetapi, di sisi lain banyaknya partai politik kerap membingungkan

pemilih. Kebingungan dimulai dari pengenalan gambar dan nama parpol yang

bisa dikatakan ada kemiripan dengan yang lainnya. Visi misi serta isu yang

disusung juga tidak sedikit ada kemiripan. Dengan banyaknya jumlah parpol,

tidak dapat dihindari bahwa ideologi dan isu-isu yang mereka tawarkan juga tidak

jauh berbeda dengan parpol-parpol yang ada. Oleh karena itu, masyarakat akan

semakin bingung untuk memilih partai mana yang memang benar-benar sesuai

dengan hati nuraninya. Kebingungan ini akan melahirkan sebuah sikap untuk

tidak memilih,178

atau memilih dengan cara asal-asalan yang pada akhirnya

mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah. Kebingungan tersebut bisa dilihat

dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Metro TV, dalam hal ini pertanyaan

yang diajuakan kepada responden adalah “Apa pendapat anda dengan adanya

peserta pemilu yang puluhan partai?” Sebanyak 85% responden menjawab

178

Diakses pada 17 Januari 2009 dari

http://www.lembagarisetinformasi.com/artikel/sosial-dan-politik/11-huru-hara-golput.html

Page 106: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

‘membingungkan,’ 7% ‘lebih baik’ dan 8% ‘tidak peduli.’179

Ini artinya dengan

banyaknya partai masyarakat semakin bingung dalam menentukan pilihannya.

Menurut penulis, demokrasi tidak mesti selamnya dicirikan dengan

banyaknya kontestan partai politik. Banyaknya partai yang bermunculan pasca

Orde Baru memang bisa dipahami, mengingat selama kurang lebih 32 tahun

bangsa Indonesai dikekang secara politik. Pengurangan terhadap jumlah partai

harus terus dilakukan asalkan tidak dengan cara pemaksaan sebagaimana yang

dipraktekkan Orde Baru. Pembatasan terhadap partai-partai politik dalam pemilu

merupakan penyelewengan terhadap prinsip demokrasi. Demikianlah jumlah

parpol (PPP, Golkar, dan PDI) yang boleh mengikuti pemilu semasa Orde Baru.180

Ketentuan threshold dan verifikasi untuk menjaring partai peserta pemilu

perlu diperketat lagi dan harus terus diapresiasi, sehingga ke depannya partai-

partai politik yang dapat mengikuti pemilu benar-benar partai yang memenuhi

syarat sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Penyeleksian dengan cara ini

terhadap partai-partai politik sudah sangat demokratis mengingat pengurangan

tersebut berdasarkan kompetisi perolehan suara partai bukan karena paksaan.

Dalam hal ini partai yang tidak mendapatkan dukungan masyarakat akan

sendirinya tereliminasi. Dengan demikian masyarakat tidak kebingungan lagi

dalam memilih partai.

179Denny J.A, Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia, h. 143. 180 Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total (Jakarta:

Erlangga, 2001), h. 304.

Page 107: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Golput atau golongan putih adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang

yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sebutan yang

dialamatkan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu peserta

pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang atau

sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, golput baru lahir menjelang pemilu

1971 sebagai sikap kekecewaan sekelompok orang terhadap rezim Orde Baru

yang dimotori oleh Arief Budiman dan kawan-kawan sebagai gerakan moral

dalam rangka memboikot pemilu yang dianggapnya tidak jurdil, tidak

demokratis, dan banyak dimanipulasi oleh pemerintah. Bagi pandangan kelompok

ini, pemilu hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru agar

mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Pada masa ini banyak masyarakat yang

dimobilisasi untuk mengikuti pemilu, seperti pegawai negeri sipil yang tergabung

dalam korpri diharuskan memilih Golkar. Pada masa ini memilih terkesan sebagai

kewajiban.

Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti

halnya partai-partai lain yaitu melakukan pendidiakan politik, membuat

pernyataan-pernyataan di media cetak, dan menempelkan tanda gambar golput

berupa segi lima hitam di atas kertas/kain dengan warna dasar putih dengan

tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan dengan tanda gambar peserta

Page 108: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

pemilu lain. Dengan melihat cara-cara seperti ini, maka gerakan ini tidak hanya

sebagai gerakan moral, akan tetapi sudah menyerupai kekuatan politik.

Pasca tumbangnya Orde Baru, memilih tidak memilih merupakan hak dan

tidak ada sanksi apapun bagi yang tidak memilih. Memilih atau tidak sama saja

nilainya manakala dilakukan dengan bertanggung jawab. Dalam hal memilih

merupakan hak, maka fenomena ini (golput) sudah tidak lagi mewakili

homogenitas sekelompok orang yang secara sadar memboikot pemilu. Lagi pula

banyak/beragam alasan mengapa seseorang tidak memilih dan banyak alasan pula

kenapa seseorang tidak ikut pemilu atau tidak memilih. Pada realitasnya golput

juga oleh kebanyakan orang sering ditujukan untuk menggeneralisir suara yang

tidak sah dan tidak memilih. Dengan arti kata, secara umum golput dipakai untuk

menggambarkan banyak fenomena misalnya tidak hadir ke bilik suara, kartu suara

rusak baik disengaja maupun tidak, dan kartu suara kosong.

Mengenai golput pasca Orde Baru, seperti yang sudah penulis jelaskan

pada bab II, beberapa tokoh/pengamat membagi golput kepada beberapa kategori:

Indra J. Piliang mengelompokkan golput pada tiga jenis yaitu golput ideologis,

politis dan pragmatis; Arief Budiman mengelompokkan golput menjadi tiga jenis

yaitu golput karena politis, apatis, dan karena kecelakaan; adapun Eep Saefulloh

Fatah mengelompokkan golput menjadi empat jenis yaitu golput teknis-teknis

tertentu, golput teknis-politis, golput politis, dan golput ideologis.

Sesuai dengan pengelompokkan golput di atas, penulis mengambil benang

merahnya bahwa faktor-faktor penyebab mengingaktnya golput pada pemilu 2004

sesuai dengan temuan penulis berdasarkan data-data yang didapatkan menjadi tiga

jenis: golput politis, golput administratif dan golput non administratif.

Page 109: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Dari rumusan dan uraian yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya,

penulis menyimpulkan bahwa meningkatnya angka golput pada pemilu 2004

disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, sebagai sikap kekecewaan masyarakat

terhadap elit-elit yang berkuasa, pemerintah, dan parlemen baik di pusat maupun

di daerah meningkat tajam. Pemerintah dalam hal ini tidak mampu memberikan

perubahan yang sangat berarti: kemiskinan, korupsi merajalela, krisis lapangan

pekerjaan yang tidak selesai-selesai. Juga anggota dewan di parlemen yang

disebut wakil rakyat kurang memperhatikan yang diwakilinya, malah mereka

lebih setia kepada partai ketimbang kepada rakyat yang memilih.

Di samping kekecewaan terhadap pemerintah dan parlemen, masyarakat

juga menjadi antipati terhadap partai-partai yang ada. Banyaknya partai politik

dengan berbagai macam asas dan ideologinya tidak dapat memperjuangkan

kepentingan rakyat. Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, elit-elit

politik malah asyik dengan kepentingan kelompok-kelompoknya. Harapan dan

aspirasi masyarakat dibiarkan begitu saja. Fungsi partai yang disebut sebagai

wadah aspirasi rakyat, sebagai pereda konflik, sebagai artikulasi dan agregasi

kepentingan rakyat seolah-oleh tidak berfungsi.

Tidak hanya itu, munculnya aktor-aktor lama pada pemilu presiden juga

menjadi pemicu menurunnya tingkat partisipasi masyarakat. Bagi pemilih

rasional, elit-elit lama tersebut dirasa tidak akan mampu memberikan perubahan

yang signifikan. Mereka melihat bahwa fugur-figur yang bertarung ternyata figur-

figur yang mempunyai track record kelam di masa lalu, sehingga mereka

beranggapan bahwa diadakannya pemilu juga tidak akan membawa perubahan

yang berarti.

Page 110: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Kedua, meningkatnya golput juga disebabkan karena kendala teknis, baik

administratif maupun non administratif. Teknis administratif misalnya pencatatan

pendataan pemilih yang kurang akurat. Data-data yang dipakai rupanya tidak

didukung dengan data-data baru dari RT/RW di lapangan, sehingga yang terjadi

adalah banyaknya pemilih yang tidak terdaftar. Pendataan yang kurang akurat

mengakibatkan suara berharga dari masyarakat hilang begitu saja. Adapun teknis

administratif, misalnya disebabkan oleh tingkat moblitas masyarakat yang tinggi

di kota-kota besar, pada saat pemungutan suara 5 Juli bertepatan dengan final

Euro 2004, buruknya cuaca di sejumlah tempat, dan ada juga kemungkinan karena

kasus salah coblos.

Mengenai kesalahan pencoblosan menurut penulis terjadi disebabkan oleh

dua faktor. Pertama, adanya tata cara pencoblosan yang rumit dan berbeda dengan

pemilu sebelumnya, yakni adanya sistem proporsional terbuka, dalam hal ini

nama-nama calon terpampang dengan jelas. Tata cara pemilihan seperti ini, untuk

pertama kalinya menyulitkan bagi pemilih apakah hanya memilih lambang partai

saja atau kedua-duanya atau memilih nama calonnya saja. Dengan sistem yang

baru ini, ditambah kurangnya sosialisasi mengakibatkan masyarakat bingung

dalam menentukan pilihan yang pada akhirnya pilihannya menjadi asal coblos.

Kenyataan tentang kurangnya pemahaman terhadap tata cara pencoblosan sudah

nampak pada saat simulasi di beberapa tempat, banyak surat suara yang

dinyatakan tidak sah. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, masyarakat hanya

memilih lambang partai, sehingga mereka lebih mudah dalam menentukan

pilihannya, sebab yang harus mereka coblos hanya lambang partai semata. Kedua,

Page 111: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

adanya pengaruh banyak partai membuat masyarakat juga bingung harus memilih

partai yang mana.

Ketiga, meningkatnya golput juga disebabkan oleh karena adanya dampak

dari liberalisasi politik pasca Orde Baru. Adanya liberalisasi politik antar lain

ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat. Dalam hal ini setiap

kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun

dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya

luapan kebebasan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan

membentuk organisasi, termasuk kebebasan untuk menentukan pemimpin.

Liberalisasi politik pada tataran akar rumput ditandai dengan adanya

kebebasan dalam segala hal, bebas dalam menentukan pemimpin, termasuk bebas

untuk tidak memilih (golput). Dengan kondisi seperti ini rakyat akan lebih leluasa

dalam menentukan pemimpinnya pada saat pemilu tiba. Mereka akan memilih jika

elit-elit politik di matanya bisa membawa perubahan dan memperhatikan

aspirasinya. Akan tetapi, mereka bisa golput jika elit-elit politik di matanya tidak

bisa membawa perubahan yang berarti. Berbeda dengan masa Orde Baru

kebebesan dikekang, sehingga tidak memilih kerap sering berhadapan dengan

koersi dan refresi dari pemerintah. Masyarakat diwajibkan loyal pada negara, PNS

tidak dibuat netral dan diwajibkan menyalurkan aspirasinya kepada Golkar.

Dengan kata lain kebebasan dalam berpolitik tidak ada.

Liberalisasi politik dalam tataran elit-elit politik dibuktikan dengan

semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan

partai dengan berbagai asas dan ideologinya. Akan tetapi sayangnya euporia

politik tidak dibarengi dengan politisi-politisi yang memadai, dengan demikian

Page 112: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

banyak terjadi pragmentasi partai-partai politik, pertikaian di tubuh parpol sering

terekspos oleh media. Dampak dari tidak adanya elit-elit yang baik di mata publik

tersebut yang terjadi kemudian adalah hilangnya rasa kepercayaan masyarakat,

masyarakat menjadi antipati terhadap partai yang ada.

B. Saran-saran

Penelitian terhadap fenomena golput masih sangat minim, penulis

mengalami kesulitan dalam mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan

judul tersebut. Kajian-kajian mengenai golput walaupun ada, baru dalam bentuk

opini pada artikel-artikel yang kurang memberikan penjelasan lebih mendalam.

Buku yang khusus mengkaji golput yang penulis temukan hanya empat buku:

Presiden Golput yang ditulis oleh Muhammad Asfar, Politik Golput di Indonesia;

Kasusu Peristiwa Jogja 1992 yang ditulis oleh Priyambudi Sulistianto, Golput

Aneka Pandangan dan Fenomena Politik yang disunting oleh Drs. Arbi Sanit, dan

keempat Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput yang ditulis oleh

Badri Khaeruman, dkk.

Penelitian tentang golput yang penulis lakukan ini baru penelitian yang

sifatnya deskriptif. Untuk itu kepada para peneliti, penulis menyerankan agar

fenomena ini tidak dilewatkan begitu saja. Harus ada penelitian-penelitian yang

lebih mendalam lagi dalam mengungkap fenomena yang selalu ada pada ritual

lima tahunan ini, mengingat belum semua masyarakat luas tahu dan paham yang

dimaksud dengan golput. Memang secara akademis belum ada kategorisasi

tentang golput. Untuk itu, penulis pun ketika mengklasifikasikan golput hanya

berdasarkan pandangan-pandangan dari para tokoh/pengamat politik yang

Page 113: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

conceren terhadap kajian tersebut. Walaupun demikian setidaknya penulis

mencoba membantu memberikan gambaran tentang faktor-faktor apa saja yang

menyebabkan meningkatnya golput pada pemilu 2004 lalu.

Kepada para elit politik, pemerintah, jadikanlah fenomena ini sebagai

bentuk introspeksi dalam rangka perbaikan hidup kenegaraan ke depannya,

sebagai social control terhadap elit-elit baik di DPR maupun di eksekutif, baik di

pemerintahan pusat maupun di daerah. Fenomena ini jangan dijadikan sebagai

ancaman terhadap legitimasi kekuasaan. Dengan adanya fenomena ini diharapkan

pemerintah bisa benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat banyak bukan

kepentingan golongan.

Kepada lembaga pencatat data pemilih, baik BPS, KPU, petugas RT/RW

dan petugas-petugas penyelenggara pemilu lainnya yang terkait dengan pendataan

penduduk diharapkan agar dapat bekerja lebih ekstra lagi dalam mendata pemilih.

Dengan demikian nantinya pemilih yang tidak terdaftar dapat diminimalisir

karena dampaknya selain bisa memperbesar jumlah golput juga dapat

mengakibatkan terjadinya konflik bagi para caleg atau parpol yang merasa

dirugikan dengan kasus tersebut.

Kepada khalayak umum, dengan adanya kebebasan di era Reformasi ini,

penulis menyarankan pada setiap pemilu maupun pilkada agar memberikan hak

suara sesuai dengan kata hati sebagai bentuk partisipasi politik dalam rangka

menentukan pemimpin dan nasib bangsa yang lebih baik. Sehingga pemerintahan

yang terpilih nantinya benar-benar mendapatkan pengakuan yang sah dari

masyarakat dan pemerintahannya pun legitimate.

Page 114: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Al Chaidar. Reformasi Prematur. Jakarta: Darul Falah, 1998.

Al Rasid, Harun. Pemilihan Umum sebagai Perwujudan Kedaulatan Rakyat.

Jakarta: STIH IBLAM, 2004.

AS Hikam, Muhammad. “Pemilu dan Legitimasi Politik.” Dalam Syamsuddin

Haris dkk. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga Rampai.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1998: h. 49.

Benedanto, Pax, dkk. Pemilihan Umum: Demokrasi atau Rebut Kursi?. Jakarta:

LSPP, 1999.

Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1998.

Budiman, Arief. “Demokrasi, Materi, dan Golput.” Dalam Luthfi Assyaukanie dan Stanley, ed. Kebebesan Negara Pembangunan. Jakarta: Pustaka

Alvabet, 2006: h. 13.

Fatah, Eep Saefulloh. Penghianatan Demokrasi a la Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.

Haricahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 1999.

Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan M. Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan

Mudah. Jakarta: PT.Sangkala Pulsar, 1984.

Irsyam, Mahrus dan Romli, Lili, ed. Menggugat Partai Politik. Depok: LIP FISIP

UI, 2003.

J.A, Denny. Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2006.

______. Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia Jakarta:

Sinar Harapan, 2006.

______. Visi Indonesia Baru Setelah Gerakan Reformasi 1998. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006.

______. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei

Indonesia.Yogyakarta: LKIS, 2006.

Page 115: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

______. Partai Politik pun Berguguran .Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006.

Khaeruman, Badri, dkk. Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput.

Jakarta: PT Nimas Multima, 2004.

Kleden, Igna. “Pemilu 2004 Seberapa Langsung Pemilihan Langsung?.” Dalam Syamsudin Haris, Ed. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarata:

PT Gramedia Pustaka Utama, LIPI dan Netherlands Institute for Multiparty Democracy , 2005: h. xi.

Nuryanti, Sri. ”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004.” Dalam Lili

Romli, Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi

Demokarsi di Indonesia Jakarta: LIPI Press, 2005: h. 55.

Pahlevi, Indra. “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap

Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004.” Dalam Sali Susiana, Pemilu

2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I Setjen DPR RI,

2003: h. 35.

Pamungkas, Sri Bintang. Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi

Total. Jakarta: Erlangga, 2001.

Pemilu 1997: Jajak Pendapat dan Analisa. T.tp.: Institut Studi Arus Informasi,

1997.

Prayudi. “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembagaan Pemerintah.” Dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis

Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003: h. 1.

Romli, Lili. “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan

Kesimpulan.” Dalam Lili Romli, dkk. Pemilihan Presiden Langsung 2004

dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press,

2005: h. 179.

Rush, Michael dan Althoff, Phillip. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2003.

Saifullah. Quo Vadis Pemilu 2004?. Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2003.

Sanit, Arbi. Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1992.

Santoso, Topo dan Suprianto, Didik. Mengawasi Pemilu Mengawali Demokrasi.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Sulistiyanto, Priambudi. Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya. Yogyakarta: LEKHAT, 1994.

Page 116: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI,

1999.

Susetyo, Benny. Hancurnya Etika Politik. Jakrta: Kompas, 2004.

Susiana, Sali. Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003.

Syabirin, Tabrani dkk. Pemilu Legislatif 2004. T.tp: Komisi Pemilihan Umum,

2005.

______. Tabrani, dkk. Pemilu Presiden 2004. Ttp.: Komisi Pemilihan Umum,

2005.

Thaha, Idris. Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.

Amin Rais Jakarta: Teraju Mizan, 2005.

Triwahyuningsih. Pemilihan Presiden Langsung. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

Yogya, 2001.

2. Media

“Banyak Warga Jakpus Tak Terdaftar dalam DPT.” Berita diakses pada 24

Februari 2009 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=24136

“Golongan Putih.” Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004: h. 197.

“Jumlah Pemilih Belum Terdaftar Kurang dari 0,5%.” Berita diakses pada 24

Februari 2009 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/02/nas8.htm

“Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral.” Artikel diakses

pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997

%20d409245940An%20Suharto%20harus%20dipertahankan%.htm

“Pendataan Pemilih, Titik Rawan Pemilu Berkualitas.” Berita diakses pada 24

Februari 2009 dari http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/5/2/pol3.

Htm.

“Ribuan Warga Pedalaman Tak Terdaftar Pemilu.” Berita diakses pada 24

Februarai 2009 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/25/daerah/

873674.

“Sebanyak 13,2 Juta Pemilih Belum Terdaftar.” Berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http:/www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/11/politikhukum/90

6594.htm

Page 117: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Baasir, Faisal. “Fenomena Golput dalam Pemilu 2004.” Artikel diakses pada 18

Oktober 2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm

Budiman, Arief. “Golput, Gejala dan Masa Depannya.” Artikel diakses pada 29 Nopember 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19

/KL/

Dwipayana, AA GN Ari. “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?.” Artikel diakses pada 18 Oktober

2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26

Fatah, Eep Sefulloh. “Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta.” Artikel diakses

pada 08 Desember 2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisis-

politik-mengelola-golput-jakarta

http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_In

http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20

http://www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_ST UDI_EXIT_POLL_

http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakan-golput-dan-masa-depan-bangsa. html

http://saidiman.wordpress.com/2007/06/08/masa-depan-golput-pada-pemilu-presi

den/

http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05

http://www.lembagarisetinformasi.com/artikel/sosial-dan-politik/11-huru-haragol

put.html

http://www.sinarharapan.co.id/Berita/0302/05/nas10.html/

http://www2.kompas.com/kompas.com/kompas-cetak/0304/28/nasional/280770.

htm

http:/p4ndu3121990.wordpress.com/200808/13/mengapa-golput/

Kurniawan, Robi Cahyadi. “Mencermati Fenomena Golput.” Artikel diakses pada

27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2

008080Mbm.20040719.KL93851id

Mardika, I Nyoman. “Demokrasi, Golput, dan Pemilu 2004.” Artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/

3/16/Op2.htm

Page 118: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Muhamad, Robi. “Golput dan Memilih dengan Rasional.” Artikel diakses pada 27

November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/0100 2822/gol

Muzani, Saeful. “Mitos Golput.” Artikel diakses pada 27 Januarai 2009 dari

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0405/25/opini/1037926.htmngapa-olput/

Piliang, Indra J. “Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia.” Artikel diakses pada

29 Nopember 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/11

63352

Pribadi, Airlangga. “Darwinisme Partai Politik dalam Pemilu 2004.” Jurnal

Demokrasi dan HAM Vol.4 No.1. 2004: h. 53.

Ridwan, Asep. ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia.”

Jurnal Demokrasi dan HAM. Vol.4 No.I. 2004: h. 30.

Santoso, Topo. “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya.” Jurnal

Demokrasi dan HAM, Vol.4. No.I. 2004: h. 9.

Siahaan, Harlem, “Kekerasan dalam Persfektif Sejarah” Majalah Prisma, 1 September-Oktober 1998: h. 3.

Page 119: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Lampiran 1:

Hasil perolehan suara 24 partai politik peserta pemilu 2004

No.

Urut

Partai Politik Jumlah

Suara

Persen Jmh

Kursi

1 PNI Marhaenisme 923.159 0,81% 1

2. Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 0,56% 0

3. Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62% 11

4. Partai Merdeka 842.541 0,74% 0

5. Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15% 58

6 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 1,16% 5

7 Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 0,59% 0

8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 1,08% 1

9 Partai Demokrat 8.455.225 7,54% 57

10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26% 1

11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 0,75% 1

12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah

Indonesia

895.610 0,79% 0

13. Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44% 52

14. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11% 2

15. Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57% 52

16. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34% 45

17. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44% 13

18 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,54% 109

19 Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13% 12

20 Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58% 128

Page 120: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

21. Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95% 0

22. Partai Sarikat Indonesia 679.296 0,60% 0

23. Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58% 0

24. Partai Pelopor 878.932 0,77% 2

Jmh 113.462.414 100,00% 550

Perbandingan suara pemilih yang sah dan suara yang tidak sah

Pemilih Jumlah Presentase

Suara sah 113.462.414 91,19%

Suara tidak sah 10.957.925 8,81%

Total Pemilih 124.420.339 100,00%

Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih

(golput)

Jenis Jumlah Presentase

Memilih 124.420.339 84,07%

Golput

(tdk memilih)

23.580.030 15,93%

Grand Total 148.000.369 100,00%

*) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004

Page 121: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Lampiran 2:

Hasil perolehan suara pilpres putaran pertama

No.

Urut

Pasangan Capres dan Cawapres Jumlah

Suara

Presentase

1. Wiranto – Salahuddin Wahid 26.286.788 22,15%

2. Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi 31.569.104 26,61%

3. Amin Rais-Siswono Yudohusodo 17.392.931 14,66%

4 Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 39.838.184 33,57%

5 Hamzah Haz-Agum Gumelar 3.569.861 3,01%

Jmh

Suara

119.656.868 100,00%

Perbandingan hasil suara pemilih yang sah dan yang tidak sah

Pemilih Jumlah Suara Presentase

Suara sah 119.656.868 97,84%

Suara tidak sah 2.636.976 2,16%

Total Pemilih 122.293.844 100,00%

Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih

(golput)

Jenis Hasil Suara Presentase

Memilih 122.293.844 79,76%

Golput

(tdk memilih)

31.026.700 20,24%

Grand Total 153.320.544 100,00%

*) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004

Page 122: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Lampiran 3:

Hasil perolehan suara pilpres putaran kedua

No.Urut Pasangan Capres dan Cawapres Jumlah

Suara

Presentase

2 Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi 44.990.704 39,38%

4 Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 69.266.350 60,62%

Jumlah

Suara Sah

114.257.054 100,00%

Perbandingan suara pemilih yang sah dan suara yang tidak sah

Pemilih Jumlah Suara Presentase

Suara sah 114.257.054 97,94%

Suara tidak sah 2.405.651 2,06%

Total Pemilih 116.662.705 100,00%

Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih

(golput)

Jenis Hasil Suara Presentase

Memilih 116.662.705 77,44%

Golput

(tdk memilih)

33.981.479 22,56%

Grand Total 150.644.184 100,00%

*) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004

Page 123: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa

Nomor : Istimewa Lamp : 1 (satu) bundle

Perihal : Pengajuan Judul Skripsi

Kepada Yth,

Ketua Jurusan Program Studi Pemikiran Politik Islam

di- tempat

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Sehubungan dengan tugas akumulatif akhir perkuliahan untuk mencapai gelar

kesarjanaan, maka saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Acu Nurhidayat

NIM : 104033201077

Fak/ Jur : Ushuluddin dan Filsafat/Pemikiran Politik Islam

Semester : IX

Dengan ini saya mengajukan proposal skripsi dengan judul : “Fenomena Golput

di Indonesia Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pada Pemilu 2004

”. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya lampirkan :

1. Outline 2. Abtraksi

3. Daftar Pustaka Sementara

Demikian pengajuan proposal judul skripsi ini saya buat, atas perhatian dan persetujuan bapak/ibu saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 22 Oktober 2008

Dosen Penasehat Pemohon

A. Bakir Ihsan, M.Si Acu Nurhidayat NIP: 150 326 915 NIM: 104033201077

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pemikiran Politik Islam

Drs. Agus Darmadji, M.Fils

NIP : 150 262 447

Page 124: FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7539/1/ACU... · Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa