bab i pendahuluan -...

16
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah perkara yang selalu dicari oleh setiap orang. Sebuah cita-cita yang selalu berusaha diraih oleh setiap manusia. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup sengsara. Akan tetapi persepsi manusia tentang kebahagiaan ini berbeda-beda, sehingga berbeda pula cara untuk mewujudkan kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan seringkali dianggap sebagai suatu emosi atau perasaan, khususnya perasaan gembira. Kegembiraan atau kenikmatan seringkali dihubungkan dengan kebahagiaan, misalnya “Saya senang bertemu denganmu”, “Saya gembira berada di rumah lagi” juga “Saya bahagia dengan pekerjaan saya saat ini”. Hampir semua bentuk kenikmatan sepertinya dapat membuat seseorang bahagia (Franklin, 2010). Kenikmatan seperti yang dicontohkan tersebut disebut kenikmatan ragawi. Jenis kenikmatan ragawi ini diantaranya terpenuhinya kebutuhan pangan, memiliki harta dan tempat berteduh (rumah), dapat menikmati minuman beralkohol, dan seks. Franklin mengungkapkan bahwa kenikmatan ragawi adalah sesuatu yang menyenangkan dan beberapa orang beranggapan hal tersebut adalah kunci menuju kebahagiaan. Hal ini dipertegas oleh Epikuros (dalam Mardani, 2010),

Upload: duongdiep

Post on 07-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebahagiaan adalah perkara yang selalu dicari oleh

setiap orang. Sebuah cita-cita yang selalu berusaha diraih

oleh setiap manusia. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup

sengsara. Akan tetapi persepsi manusia tentang kebahagiaan

ini berbeda-beda, sehingga berbeda pula cara untuk

mewujudkan kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan seringkali

dianggap sebagai suatu emosi atau perasaan, khususnya

perasaan gembira. Kegembiraan atau kenikmatan seringkali

dihubungkan dengan kebahagiaan, misalnya “Saya senang

bertemu denganmu”, “Saya gembira berada di rumah lagi”

juga “Saya bahagia dengan pekerjaan saya saat ini”. Hampir

semua bentuk kenikmatan sepertinya dapat membuat

seseorang bahagia (Franklin, 2010). Kenikmatan seperti yang

dicontohkan tersebut disebut kenikmatan ragawi.

Jenis kenikmatan ragawi ini diantaranya terpenuhinya

kebutuhan pangan, memiliki harta dan tempat berteduh

(rumah), dapat menikmati minuman beralkohol, dan seks.

Franklin mengungkapkan bahwa kenikmatan ragawi adalah

sesuatu yang menyenangkan dan beberapa orang

beranggapan hal tersebut adalah kunci menuju kebahagiaan.

Hal ini dipertegas oleh Epikuros (dalam Mardani, 2010),

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

2

seorang filsuf Yunani yang mengungkapkan bahwa

kebahagiaan hidup manusia adalah kenikmatan. Kenikmatan

adalah satu-satunya hal yang baik, serta menjadi awal dan

tujuan hidup yang bahagia.

Kenikmatan ragawi yang lebih sering dicari oleh

kebanyakan orang adalah uang. Uang diyakini dapat

membawa kebahagiaan dan pandangan ini tidak hanya

berlaku bagi beberapa individu saja akan tetapi beberapa dari

institusi sosial penting yang ada di lingkungan juga ikut serta

dalam upaya menghimpun kekayaan. Hal ini tentu saja

menjadi sedikit menimbulkan kontroversi dimana jika dilihat

lebih dalam, dasar rancangan kerja sebuah institusi sosial

yang mana seharusnya lebih kepada berjalan untuk sesuatu

tanpa menitikberatkan pada seberapa besar keuntungan yang

akan didapat atau bisa dikatakan layaknya sebuah pemberian.

Apa yang terjadi saat ini cenderung bertolak belakang karena

institusi-institusi sosial seperti pengadilan, kesehatan, politik

dan pendidikan, lebih mengedepankansisi “mendapatkan”,

atau bisa dikatakan dengan money oriented, sebagai suatu

pencapaian yang utama daripada “memberi” itu sendiri

(Franklin, 2010). Hal ini diperkuat dalam penelitian yang

dilakukan oleh Frank (dalam Myers, 2004) yang

mengungkapkan bahwa orang berusaha untuk memperoleh

lebih banyak uang yang akan digunakannya untuk membeli

barang-barang mewah sehingga membuatnya menjadi lebih

bahagia. Wilson (dalam Seligman, 2005) juga

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

3

mengungkapkan hal yang sama dalam risetnya mengenai

kebahagiaan dan menghasilkan suatu temuan bahwa salah

satu orang-orang yang dikategorikan bahagia adalah orang

yang berpenghasilan besar.

Tidak dapat dipungkiri bahwa uang adalah unsur

yang penting dalam kesejahteraan manusia, dan juga untuk

kelangsungan hidup berbagai macam institusi yang ada.

Uang sangat penting dalam penyediaan barang-barang yang

esensial seperti makanan, pakaian dan sebagainya. Uang juga

memberikan rasa aman, status dan kemampuan untuk

membeli barang-barang yang disukai. Bagi institusi, uang

digunakan untuk membayar gaji karyawan, membeli

peralatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para

pekerjanya mengerjakan pekerjaannya dengan baik

(Franklin, 2010). Pada banyak negara, khususnya negara

miskin, individu yang memiliki banyak uang biasanya lebih

bahagia daripada mereka yang berjuang untuk mencukupi

kebutuhan dasar hidupnya (Diener & Biswas-Diener, 2009;

Howell & Howell, 2008; Lucas & Schimmack, 2009).

Individu yang tinggal di negara kaya juga memiliki

kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan individu yang

tinggal di negara miskin (Diener et al., 2009; Inglehart,

2008).

Selain uang, pernikahan juga sangat erat

hubungannya dengan kebahagiaan (Seligman, 2005).

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

4

Terdapat dua penjelasan mengenai hubungan antara

kebahagiaan dengan pernikahan. Penjelasan yang pertama

yaitu orang yang bahagia lebih atraktif sebagai pasangan

daripada yang tidak bahagia. Sedangkan yang kedua adalah

pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat

membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis

dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan

peran sebagai pasangan dan orang tua, menguatkan identitas

dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Menurut Myers

(dalam Carr, 2004), individu yang menikah lebih bahagia

daripada individu yang tidak menikah, mereka yang bercerai,

berpisah atau tidak pernah menikah. Hal ini diperkuat dengan

penelitian dari Pusat Riset Opini Nasional Amerika Serikat

menyurvei 35.000 warga Amerika selama 30 terakhir ; 40 %

dari orang yang menikah mengatakan mereka “sangat

bahagia”, sedangkan hanya 24 % dari orang yang tidak

menikah, bercerai, berpisah dan ditinggal mati pasangannya

yang mengatakan hal ini (Seligman, 2005).

Relasi antar individu yang memengaruhi

kebahagiaan, menurut Carr (2004), tidak hanya dalam bentuk

suami-isteri atau dengan kata lain relasi dalam suatu ikatan

pernikahan, akan tetapi relasi antara orangtua-anak, antar

saudara kandung, antar anggota keluarga besar, dan anggota

grup sosial. Memelihara komunikasi dengan anggota

keluarga meningkatkan dukungan sosial. Hal ini tidak hanya

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

5

membawa kebahagiaan tetapi juga meningkatkan fungsi

sistem kekebalan tubuh manusia (Carr, 2004). Individu yang

berhubungan dekat dengan kelompok sosialnya juga

dikatakan lebih bahagia, dikarenakan orang yang bahagia

lebih atraktif dan menarik untuk dipilih sebagai teman dan

sahabat (Carr, 2004).

Individu yang bahagia lebih puas dengan kehidupan

mereka, puas dengan hubungan percintaan, persahabatan,

puas akan kesehatan jasmani dan psikis mereka, pendidikan

dan pekerjaan yang mereka kerjakan. Penelitian psikologi

baru-baru ini melaporkan bahwa individu yang secara

konsisten mempunyai tingkat kebahagiaan tinggi

memperoleh keuntungan atau manfaat dalam berbagai

bidang. Kebahagiaan berkorelasi positif pada hasil akhir

yang berhasil dalam banyak dimensi utama kehidupan

(Lyubomirsky, King & Diener, 2005; Myers, 1993; and

Seligman, 2003). Mereka yang melaporkan bahwa dirinya

bahagia, dalam kesehariannya lebih sering menunjukkan

emosi yang positif. Dibandingkan dengan individu yang

tidak bahagia, mereka lebih fokus, cenderung tidak

menunjukkan sifat bermusuhan dan juga tidak bersikap

kasar. Selain itu, mereka juga lebih bersikap mencintai,

mudah memaafkan dan menolong orang lain, cenderung

lebih mudah untuk memercayai sesuatu, lebih enerjik,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

6

kreatif, mudah bersosialisasi, dan lebih tegas menentukan

pilihannya (Myers et al, 2000).

Orang-orang yang bahagia memiliki karakteristik

tertentu, yaitu (1) menghargai diri sendiri berarti orang

tersebut cenderung menyukai dirinya sendiri dan memiliki

kepercayaandiri yang cukup tinggi, (2) optimis berarti orang

tersebut percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab

permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga

orang tersebut berusaha lebih keras pada setiap kesempatan

agar dapat mengalami peristiwa baik, (3) terbuka yang berarti

orang tersebut mudah bersosialisasi dengan orang lain serta

membantu orang lain yang membutuhkan serta (4) mampu

mengendalikan diri berarti orang tersebut memiliki kontrol

diri pada hidupnya serta memiliki kekuatan atau kelebihan

pada hidupnya (Myers, 2004).

Dari banyak penelitian yang sudah dilakukan,

sebagian besar memiliki hasil akhir yang menyatakan bahwa

memiliki uang dapat meningkatkan rasa aman dan status

sosial seseorang. Begitu pula dengan pernikahan yang sangat

berhubungan dengan kebahagiaan. Hal ini semakin

menguatkan pengaruh kenikmatan ragawi terhadap

kebahagiaan. Akan tetapi, pada Survei Indonesian Happiness

Index (IHI) yang dilakukan oleh Frontier Consultan Group

pada tahun 2007, menunjukkan bahwa kota Semarang yang

mana tingkat penghasilan penduduknya lebih kecil

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

7

dibandingkan dengan penduduk kota Jakarta, memiliki

tingkat kebahagiaan mencapai 48,75 dari skala 1-100. Nilai

ini lebih besar dibandingkan dengan lima kota besar yang

ada di Indonesia yaitu Makassar (47,95), Bandung (47,85),

Surabaya (47,19), Jakarta (46,20) dan Medan (46,12)

(Murwani, 2007). Menurut Irawan (dalam Murwani 2007),

orang Semarang paling tinggi kebahagiaannya kemungkinan

karena tidak memiliki harapan yang tinggi. Selain itu,

ditambahkan bahwa sikap nrima khas orang Jawa yang

melekat pada penduduk Semarang membuat mereka lebih

tenang dengan segala kondisi yang ada, sehingga hidup

mereka lebih rileks dan dapat menikmati apa yang mereka

miliki.

Hasil penelitian ini diperkuat dengan adanya

penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa

kebahagiaan orang Indonesia lebih tinggi dibandingkan

dengan negara Eropa, seperti Spanyol, Italia dan Jerman.

Indonesia menempati urutan ke-40 dari 97 negara dalam

tingkat kebahagiaan penduduknya. Selain itu, berdasarkan

peta kebahagiaan dunia yang dikemukakan oleh seorang

pakar psikologi dari Universitas Leicester Inggris, tingkat

kebahagiaan Indonesia berada di urutan 64 dari 178 negara di

dunia. Nation SWLS Score dari penelitian tersebut

memperlihatkan peringkat Indonesia berada di atas negara-

negara Asia lainnya, seperti Taiwan (68), Cina (82), dan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

8

Jepang (90) (Sutanto, 2006). Begitu pula dengan data survey

tingkat nasional di Amerika yang dikemukakan oleh Glenn

and Weaver memperlihatkan bahwa di awal tahun 70-an

sampai 1986 terdapat penurunan hubungan yang positif

antara menikah dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan.

Walaupun pada tahun 1972 hanya sekitar 15 persen dari

orang yang tidak menikah mengatakan bahwa mereka sangat

bahagia, sedangkan hampir 40 persen orang yang menikah

mengatakan mereka sangat bahagia. Akan tetapi di tahun

1986, persentase dari orang yang tidak menikah yang

mengatakan mereka sangat bahagia mencapai hampir 30

persen. Selain itu, jumlah orang yang menikah yang

mengatakan bahwa mereka sangat bahagia mengalami

penurunan sampai hanya 30 persen (dalam Lamana and

Riedmann, 1994). Hasil dari beberapa survey di atas

menunjukkan bahwa ternyata penghasilan atau pendapatan

individu yang tinggi serta pernikahan bukan menjadi jaminan

seseorang dapat memperoleh kebahagiaan.

Mill (1952) berpendapat bahwa kenikmatan ragawi

lebih pantas untuk hewan, sedangkan manusia selain

kenikmatan ragawi juga mencari kepuasan yang lebih mulia,

yang mana hal ini dianggap sebagai “higher pleasure” atau

dapat dikatakan sebagai kenikmatan yang lebih tinggi,

sebuah kegembiraan yang berasal dari seni, musik, filosofi,

agama, dan sebagainya (dalam Franklin, 2010). Konsep

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

9

“higher pleasure” yang dikemukakan oleh Mill, didukung

oleh pendapat Seligman (2005) mengenai kebahagiaan, yang

sebenarnya mengacu pada emosi positif yang dirasakan oleh

individu (seperti ketika menggunakan ekstasi) serta aktivitas

positif yang tidak mempunyai komponen perasaan sama

sekali (seperti keterlibatan individu secara menyeluruh pada

kegiatan yang disukainya).

Seligman memberikan gambaran individu yang

mendapatkan kebahagiaan yang autentik (sejati) yaitu

individu yang telah dapat mengidentifikasikan dan mengolah

atau melatih kekuatan dasar (terdiri dari kekuatan dan

keutamaan) yang dimilikinya dan menggunakannya pada

kehidupan sehari-hari, baik dalam pekerjaan, cinta,

permainan, dan pengasuhan. Peterson dan Seligman (2004)

mendefinisikan kekuatan (strength) sebagai proses atau

mekanisme psikologis yang membentuk keutamaan (virtue)

individu. Sedangkan keutamaan (virtue) adalah karakteristik

inti yang dihargai oleh para filsuf dan agamawan. Dengan

demikian kebahagiaan adalah suatu keadaan dimana individu

berada dalam afek positif (perasaan yang positif) dan untuk

mencapai kebahagiaan yang autentik, individu harus dapat

mengidentifikasikan, mengolah, dan melatih serta

menggunakan kekuatan (strength) serta keutamaan (virtue)

yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

10

Penjelasan mengenai kebahagiaan sejati yang telah

dijelaskan oleh Seligman (2005) mengubah cara pandang

menggapai kebahagiaan melalui mengumpulkan uang

sebanyak-banyaknya dan memenuhi kebutuhan biologis

menjadi mengidentifikasikan dan mengolah atau melatih

kekuatan dasar (terdiri dari kekuatan dan keutamaan) yang

dimilikinya dan menggunakannya pada kehidupan sehari-

hari. Akan tetapi memiliki banyak uang, pernikahan,

pemenuhan kebutuhan biologis bukanlah faktor utama dalam

keberhasilan seseorang mencapai kebahagiaan.

Tuhan sepertinya menjadi lebih penting dalam

kebahagiaan seseorang daripada uang (Franklin, 2010).

Myers (dalam Franklin, 2010) telah mengamati bahwa Tuhan

atau agama menyediakan beberapa elemen penting dalam

kehidupan manusia. Pertama, manusia adalah makhluk sosial

dan sejalan dengan bekerjasama dengan individu lain,

seseorang akan menemukan dirinya berada dalam komunitas

yang besar, nyaman, dan saling melindungi. Kedua, agama

memaparkan mengenai tujuan hidup dan memberikan arti

bagi eksistensisebagai manusia (Franklin, 2010). Myers

berpendapat bahwa manusia butuh percaya pada sesuatu

yang kekuatannya melebihi kekuatan manusia. Di dalam

Tuhan, individu menemukan penerimaan yang tak bersyarat

dan rasa aman. Agama memberikan pemahaman bahwa

manusia di dunia ini tidak sendirian dan dapat percaya pada

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

11

sesuatu yang amat hebat, kuat dan menjaga serta melindungi

umat manusia. Kebahagiaan tidak dapat ditemukan pada

barang-barang duniawi atau kenikmatan fisik tetapi lebih

kepada memahami Tuhan. Hanya Tuhan dan agama dapat

membawa kebahagiaan yang sejati (Franklin, 2010).

Dalam memahami Tuhan dan agama, terdapat

beberapa individu yang mendalami ajaran-ajaran agama

tertentu dan menghayati serta menghidupi aturan-aturan dan

kehendak-kehendak Tuhan. Individu tersebut biasanya

menolak beberapa faktor kebahagiaan yang bersifat duniawi

atau kenikmatan ragawi. Imam biarawan adalah salah satu

biarawan yang terpanggil untuk mencapai kepenuhan hidup

kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Mereka berupaya

untuk menerima dapat mengikuti jejak Kristus dan

menyerupai citra-Nya, dengan segenap jiwa membaktikan

diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap

sesama (Darminta, 2006).

Di dalam biara, kehidupan para imam biarawan diikat

oleh peraturan yang ketat yaitu „kaul‟. Kaul tersebut terdiri

dari janji untuk hidup dalam kemiskinan, kemurnian dan

ketaatan (Aleksander,2007). Dalam Aleksander (2007)

dengan janji untuk hidup dalam kemiskinan, biarawan akan

menyalurkan apa yang ia dapatkan kepada umat baik berupa

pemberian materi seperti barang-barang berharga dan uang

ataupun spiritual seperti nasehat dan doa. Hal tersebut

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

12

merupakan perwujudan kaul kemiskinan yang diikrarkan

ketika melaksanakan tugas perutusannya.

Pada kaul ketaatan, biarawan mengikrarkan ketaatan

dengan mematuhi para pemimpin mereka menurut kaidah

pedoman dan konstitusi mereka (Hardawiryana, 1992). Akan

tetapi, ketaatan tidak berarti mengikat diri kepada satu orang

atau kepada peraturan tertentu. Ketaatan berarti kerelaan

untuk mengabdikan diri kepada masyarakat dalam rangka

dan menurut tujuan suatu kumpulan religius tertentu (Jacobs,

1987). Oleh karena itu dikatakan bahwa seorang biarawan

tidak bisa mencari dan melaksanakan kehendaknya sendiri

tetapi kehendak Tuhan, mereka juga tidak bisa menentukan

akan berkarya dimana dan dengan siapa dikarenakan hal

seperti itu ditentukan oleh pemimpin mereka. Dengan kaul

ketaatan mereka harus mengikuti instruksi atau perintah

pemimpin mereka (Tarigan, 2007).

Dalam kaul kemurnian, biarawan tidak

diperkenankan untuk memiliki pasangan hidup. Sesuai

dengan kaul kemurnian yang diucapkannya. Kaul kemurnian

ini harus dihargai sebagai karunia rahmat yang sangat luhur

demi “kerajaan sorga” (Hardawiryana, 1992). Ditambahkan

pula oleh Hardawiryana (1992) bahwa kaul kemurnian ini

secara istimewa membebaskan hati manusia supaya lebih

berkobar cinta kasihnya terhadap Tuhan dan juga pada semua

orang.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

13

Rev Tim Meares adalah seorang imam dari gereja

Katolik di Rocky Mount. Ia berusia 27 tahun saat ditahbiskan

sebagai seorang imam dan saat ini telah berusia 41 tahun.

Keputusannya untuk menjadi seorang imam tidak pernah ia

sesali bahkan ia mencintai kesehariannya sebagai imam. Ia

berkata bahwa ia sangat suka menjadi pendeta. Ia tidak

pernah memilih untuk menjadi seorang pendeta, tetapi Tuhan

yang memilihnya (Mc Farland, 2009). Sependapat dengan

apa yang dikatakan oleh imam Rev Tim Meares, Romo

Surya yang mana merupakan imam biarawan dari salah satu

gereja katolik di Salatiga, dalam wawancaranya dengan

peneliti mengatakan bahwa menjadi seorang Imam adalah

sebuah panggilan dan tidak ada perasaan menyesal menjadi

seorang Imam biarawan. Hal ini juga diperjelas dalamJacobs

(1987) bahwa arti dari hidup religius terletak dalam

panggilan, dan hanya dalam panggilan. Dalam hidup religius

justru menjadi kentara arti panggilan bagi semua orang

Kristiani. Berikut ini adalah kutipan wawancara dengan

pastor tersebut, beberapa waktu lalu dimana ia

mengungkapkan kehidupannya dalam menjalankan perannya

sebagai seorang imam:

“…….menjadi pastor adalah suatu panggilan

hidup saya. Banyak pastor-pastor muda yang

bertanya pada saya, bagaimana caranya agar bisa

setia menjadi seorang pastor sampai usia lanjut

seperti saya. Saya meyakini bahwa apabila kita

sadar akan status kita sebagai pastor, kita akan

lebih yakin dan mantap dengan pilihan kita.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

14

Banyak orang yang tidak sadar, sehingga ia

gampang tergoda dengan lingkungan sekitar.

Ucapan Bunda Maria ketika dipilih oleh Tuhan

untuk menjadi alat Tuhan dalam melahirkan

wujud Tuhan sebagai manusia yang membuat saya

terus yakin dan mantap adalah “Terjadilah aku

atas kehendak – Mu Tuhan”

(Komunikasi Personal, 18 April 2012)

Pendapat dari kedua pastor di atas memberikan suatu

pandangan bahwa menjadi seorang pastor merupakan suatu

hal yang sungguh disyukuri. Walaupun harus menggeluti

hidup yang serba sederhana, mereka tidak pernah menyesali

keputusan yang telah diambil.

Hal ini cukup kontradiktif dimana hasil riset oleh

Pusat Riset Terapan di Apostolate, sebuah pusat riset

nonprofit yang memimpin studi-studi di gereja Katolik

menerangkan di dalam websitenya bahwa justru jumlah

jumlah laki-laki yang masuk dunia kependetaan di Amerika

Serikat telah menurun secara signifikan dalam 3 dekade

terakhir. Jumlah totalnya turun dari 58,909 di tahun 1975

menjadi 40, 580 di tahun 2008 (McFarland, 2009). Beberapa

hal yang kontradiktif mengenai kehidupan seorang imam

biarawan menyebabkan peneliti ingin mengetahui bagaimana

proses perjalanan seorang imam dari awal ditahbiskan sampai

saat ini ia masih menggeluti pekerjaannya. Selain itu

bagaimana konsep kebahagiaan yang diinginkan dan dialami

oleh seorang imam biarawan. Oleh karena itu peneliti merasa

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

15

tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Gambaran

Kebahagiaan Pada Imam Biarawan.

B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan

masalah apa yangmenjadi fokus dalam penelitian ini. Dalam hal

ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam

bentuk pertanyaan penelitian, yaitu bagaimanakah gambaran

kebahagiaan pada Imam biarawan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran

kebahagiaan pada Imam biarawan serta mengidentifikasikan

emosi positif dari masing-masing imam biarawan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan

sumbangan ilmupengetahuan dalam bidang psikologi

perkembangan dan bidang psikologi positif. Selain itu, dapat

pula berkontribusi dalam kajian ilmu teologi dengan tujuan

menambah pemahaman mengenai gambaran kebahagiaan

pada Imam biarawan.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6743/1/T1_802007030_BAB I.pdfperalatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para pekerjanya mengerjakan

16

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Imam Biarawan

Dapat menjadi masukan bagi para imam

biarawan dalam menilai kehidupannya apakah termasuk

ke dalam individu yang bahagia atau tidak. Selain itu,

penelitian ini dapat membantu Imam biarawan dalam

memahami aspek apa saja yang dapat meningkatkan

kebahagiaan sehingga diharapkan Imam biarawan dapat

mengoptimalkan potensinya untuk mencapai kebahagian

sesuai dengan apa yang diharapkannya.

b. Bagi Gereja dan Lembaga Pendidikan bagi

Imam Biarawan

Dengan mengetahui gambaran kebahagian pada

Imam biarawan, diharapkan gereja maupun praktisi yang

bekerja pada sekolah seminari dapat membantu

mengoptimalkan potensi pastor biarawan sehingga

mereka dapat memperoleh kebahagiaan secara

maksimal.