pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20....

36
. . , ' 0 t : : _ ' ' . . . . . '. . . ....... ".<· : : : . '.'> . . : . . . .". : .... . . . . . : . . . ··:·.>:: ... ,:... _ .::.; .. \··: · · ." ' Editor · Pro[ ·· or. Komaruddin Hidayat . ..... . ·.. . . . " .. .. ·.-: . : . . .' ' . . . . . . ..: . . . .. ' ' ' o t . .. . 1 . . o . \ : ' I o I ' 0 0

Upload: ledang

Post on 06-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

. . . . . ..

· .

0

• • • , '

0

t ::: _ ' '

. . . . . '. .. .......".<· : :· : .'.'> . . : . . . .". : .... . . . . . : . . . ··:·.>::...,:..._ .::.;..\··:···. " 'Editor · Pro[··or. Komaruddin Hidayat . ..... . ·.. . . . " .. ..·.-: .:. ..' ' . . . . . . ..: . . . ..

' ' ' o • t . .. . 1

. .

o . \ • : ' I o I ' •

0 0

Page 2: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

D

Menghidupi Filantropi Islam

AMELIA FAUZIA

engan setengah berlari kecil saya berjalan menuju gedung rektorat

IAIN, memenuhi panggilan rektor yang pada waktu itu (tahun

2001) dijabat oleh Azyumardi Azra, untuk ikut menyambut seorang

tamu. Tapi rupanya, pesan itu terlambat sampai ke kantor Pusat Bahasa

dan Budaya (PBB), tempat di mana saya beraktivitas. Ketika sampai di

rektorat saya diberitahu kalau tamu sudah pulang dan pertemuan sudah

bubar. Saya hanya diberi dua lembar kertas dengan tulisan yang berjudul

Isla mic Philanthropy for S ocialjustice , yaitu sebuah abstrak untuk callfor

propos al penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim .

Agak mengerenyit saya baca tulisan singkat itu sambil kembali ke

kantor, dan langsung mencari kamus dan melihat arti kata philanthropy

itu. Istilah filantropi berasal dari bahasa Yunani, dari kata philos (berarti

cinta) dan, antropos (berarti manusia ), yaitu aktivitas yang didasari atas

kecintaan kepada manusia. Padanan kata philanthropy adalah charity.

Setelah membaca bolak balik call for research proposal itu sampai

beberapa kali dan search di dunia maya yang kala itu masih langka, saya

simpulkan padanan kata filantropi dalam bahasa Indonesia kira-kira

adalah kedermawanan (sosial).

Rupanya studi filantropi sudah berkembang pesat di belahan Barat,

khususnya di Am.erika Serikat. Filantropi didefinisikan sebagai segala

406

Page 3: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

aktivitas privat (non-pemeri ntah) dalam hal memberi dan melayani se­

cara sukarela yang ditujukan untuk kebajikan bersama. Dan, filantropi

Islam berarti aktivitas filantropi yang didasari oleh nilai dan ajaran Is­

lam , dan/atau dilakukan oleh Muslim. Ketika mendalarni lagi bentuk

dan akti vitas yang dianggap sebagai praktik filantropi Islam, muncullah

zakat, wakaf, dan sedekah yang prinsipnya memang kegiatan berderma.

Ternyata, begiru banyak kegiatan filantropi atau kedermawanan yang

muncul dari tradisi Islam, dan biasanya dikategorikan sebagai sedekah

atau kebajikan. Bahkan dalam Hadis, sedekah iru banyak sekali ragam

dan contohnya termasuk menyingkirkan paku dari jalan, dan tersenyum

juga adalah sedekah. Praktik kedermawanan bi!ia juga dalam bentuk pe­

layanan (5ervice) atau biasa disebut aktivitas kerelawanan ( volunteer ing),

di mana pelakunya disebut relawan. Kederrnawana n iru tidak hanya

menyangkut memberikan sesuaru yang keliha tan (materiel) tapi juga

immaterial, seperti memberikan tenaga, wakru, pelayanan, memberikan

pikiran, ilmu, doa, dan semua yang mengindikasikan pemberian .1

Ketika digali lebih dalam, dok'.1:rin tentang filantropi iru mengakar

kuat dalam Islam, bahkan terlembagakan dalam zakat, wak.af, dan lem­

baga kedermawanan lain. Doktrin ini bisa dilihat dari Al-Qyr'an yang

menyebutkan bahwa keclermawan an iru adalah tancla dari keimanan.2

Begitu juga jelas disebutkan dalam beberapa Hadis, bahwa "sedekah

adalah bukti keimanan" ( al-shadaqat burhan) 3 termasuk Hadis yang cu­

kup terkenal bahwa tidaklah beriman seseorang Muslim yang ticlur de­

ngan perut kenyang, seclangkan tetangganya kelaparan. Tenyata, wila­

yah studi filantropi Islam itu begitu kaya, namun tidak terlihat menarik

ketika dilabeli sebagai studi tentang zakat, seclekah, clan wak.a£

Bagi peneliti sosial dan kajian Isla mic studies di akhir tahun 90-an

di Indonesia, subjek kajian tentang zakat, sedekah, clan wakaf, bukan­

lah isu yang seksi . Topik zakat clan wakaf sangat lekat clengan kajian

hukum, ujung-ujungnya fikih, di mana kajiannya cenclerung konserva-

1 Dalain \V.F. llchman, S.N . Katz, and E.L Q!ieen, Eds., Philanthropy in the World's

Traditions, (Bloomington: Indiana University Press , 1998) bisa dilihat beragam tradi si yang

dimakn ai sebagai g iving atau filantropi. 2 Misalnya, Qli.al-Baqarah, l77 dan al-Ma'un, 1-7. 3 Shahih M uslim, Hadis No. 432, 2253, 2254 , dan 2255.

407

Page 4: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

tif, "hitam-putih", boleh-tidak, clan halal-haram. Merupakan kesalah­

pahaman jika melihat zakat hanya menjadi subjek dalam bidang studi

syariah saja, dan karenanya tidak bisa terkoneksi dengan studi filamropi

yang sudah berkembang di luar Indonesia. Wajar jika teman··teman do­

sen dari pusat-pusat studi yang ada di kampus tidak ada yang tertarik

untuk mengajukan proposal penelitian tentang filantropi ini. Tapi saya,

sebagai .peneliti sejarah sosi melihat isu ini dengan berbeda. Studi fi.­

lantropi Islam itu bukan kajian normatif, tapi lebih pada kajian historis

dan sosiologis.

Semakin saya dalami, semakin isu filantropi ini mena rik, karena

yang sebenarnya diteliti adalah fenomena praktik sosial keagamaan ma­

syarakat, bukan kajian hukum. Misalnya, faktor apa yang melatarbela­

kangi masyarakat berwakaf? Mengapa mayoritas wakaf adalah masjid

dan berbeda di Timur Tengah clan Abad Pertengahan di mana bentuk

wakaf begitu progresif, misalnya banyak yang dalam bentuk hotel, pasar,

rumah sakit, perkebunan? Berapa banyak l\1uslim yang menun aikan za­

kat, clan ke mana mereka menyalurka nnya, dan apa motif sosial mereka?

ltulah cuplikau awal bagaimana saya mengenal tema filantropi di tahun

2001, yang kemudian menjadi penelitian yang saya pimpin di enam ne­

gara dibiayai oleh the Ford Foundation, clan kemudian menjadi pilihan

topik studi Ph.D. saya di Universitas Melbourne kemudian.

Mudah bagi saya masuk pada wilayah kajiau filantropi, bukan saja

karena basis saya adalah sejarah sosial, tapi juga karena saya pernah

nyantri dan hidup dalam lingkungan Muhammadiyah yang rajin ber­

amal sosial. Tradisi filantropi berakar kuat dalam pesantren, <la.lam du­

nia santri, juga dalam organisasi sosial Muhammadiyah. Tidak hanya

itu, tradisi filantropi, berde rma, berbuat kebajikan itu juga kuat di dunia

akadem_;k. lntelektualitas itu dibangun dari banyak akar tradisi, salah

satunya ·adalah tradisi filantropi. Tanpa saya sadari, langkah saya belajar

di pesantren, menjadi pondasi penting bagi keilmuan saya ke depan clan

bagi studi tentang filantropi.

Bukan , lni Pesantren Modern!

Lulus dari SDN Situgintung sebagai juara kclas, banyak yang me­

nyayangkan sa:ya kenapa masuk pesantren, yang kesannya terbelakang,

408

Page 5: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

ilmunya ketinggalan zaman, santrinya pada kudisan, dan tempatnya di

pedesaan, jauh dari Jakarta. Ayah tak pemah memaksa saya. Kakak­

kakak saya j uga pada sekolah di SMP dan SMA. Yang saya ingat, saya

duduk di depan kaca dan ngomong sendiri, saya mau pilih SMP atau

pesantren . Saya mantap memutuskan ketika itu dengan pertimbanga n

sederhana: kalau di SMP saya hanya akan dapat ilmu "dunia", tapi kalau

di pesantren saya dapat dua ilmu, "ilmu dunia" dan "ilmu akhirat".

"llmu dunia" dan "ilmu akhirat" ini secara tidak langsung saya da­

pati dari dua dunia pendidikan yang beda. Pagi saya pakai baju seragam

putih clan rok merah selutut, clan siang pakai baju seragam putih, rok

hijau selut:ut dan kerudung putih . Pagi saya bersekolah di SD negeri,

di bagian utara lapangan Situgintung, Kelurahan Rempoa, dan siang

hari di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, di bagian timur lapang­

an yang sama. Dua dunia dan ilmunya ini bisa saya pelajari tanpa ada

clash. Dan di depan kaca itu saya membayangkan di pesantren akan ada

ustadz dan ustadzah yang baik seperti yang mengajar saya di madrasah

Ibtidaiyah selama ini. Walau madrasah muridnya hanya puluhan, hidup

dari sumbangan donatur dari para pegiat Muhammadiyah- termasuk.

orang tua saya-, gurunya mendapat bayaran yang seadanya, tapi empat

orang guru madrasah itu memiliki semangat voluntarisme yang tinggi.

Ikhlas rnengajar, sabar rnenghadapi anak-anak unik yang kebanyakan

dari kelas buruh, yang sebagian tidak sanggup mem bayar uang bayar­

an bulanan Rp 500 itu. Ibu Suhartini, yang pu'nya toko Aida di depan

kampus IAIN Ciputat, selalu membawa permen untuk dibagikan di

sekolah. Ustadz Syarifuddin juga tetap ceria dan semangat memimpin

upacara bendera dengan menggelegar walau murid yang berbaris hanya

terdiri dari dua puluh sampai tiga puluh peserta .

Saya mengkhayal pesantren akan sama menyenangkannya dengan

madrasah lbtidaiyah. Di MI, setiap upacara Senin, saya selalu menda -

pat tugas. Kadang, menjadi komandan upacara, menjadi pembawa aca­

ra, menjadi pembaca naskah Pancasila, atau ·pengibar bendera. Tentu

keaktifan peran saya ini karena saya dianggap jauh memiliki keter am­

pilan dan wawasan yang didapat dari bersekolah di SD, dibanding te­

man-teman saya yang hanya belajar di madrasah. Ustadz Munji, kepala

sekolal1,juga sangat sabar dan bijak. Di kelas tiga saya pernah protes ke

409

Page 6: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

beliau-di ruang kepala sekolah yang kecil, gelap dan lembab itu-bah­

wa madrasah jangan kalah sama SD clan karenanya pelajaran olahraga

jangan hanya senam, tapi sekali-kali juga berenang. Usul saya itu dite··

rima! Dan Ustadz Munji yang mengantar kami murid madrasah bere­

nang di Kolam Renang Tirta Maya di Sawangan, kolam renang umum

yang cukup ramai, campur antara laki-laki clan perempuan, clan belum

ada pakaian renang yang tertutup full body di zaman itu. Ustadz hanya

perintah-perintah saja di tepi kolam menyuruh kami berenang. Ia tidak

terlihat jengah, mungkin karena badan kami kecil-kecil clan kami di­

anggap seperti anak sendiri olehnya. Waiau setelah itu tidak pernah ada

lagi pelajaran berenang dari madrasah, program berenang yang satu­

satunya itu membuat saya bangga sekali menjadi murid ibtidaiyah . Ar­

tinya, madrasah Ibtidaiyah saya lebih keren dibanding SD negeri ya ng

olahraganya harrya senam dan lari keliling lapangan. Dan, kesimpulan

saya, sekolah agama termasuk pesantren itu tidak kalah majunya dengan

sekolah negeri. Kesimpulan yang sebenarnya ingin membesarkan hati,

karena dalam setiap lomba-lomba di tingkat kecamatan clan provinsi

saya tahu madrasah jarang ikut clan tidak kompetitif.

Bekal juara di SD clan Ml, membuat saya mudah masuk pesantren.

Pilihannya adalah Pondok Pesantre n Darunnajah terletak di Ulujami

Jakarta Selatan, karena relatif masih di Jakarta, dan ini adalah pesantre.n

modern yang ada sekolah madrasah tsanawiyahnya. Dan, itu menjadi

jaw aban saya kepada yang mencibir clan menyayangkan pilihan sekolah

saya. Yang saya tidak tahu, ayah saya mpanya adalah salah satu anggota

yayasan clan merupakan kawan akrab Ustadz Mahrus, pemimpin pon­

dok. Di pesantren, saya tidak diperlakukan istimewa, bahkan tidak ada

yang talm-termasuk saya sendiri-kalau ayah juga terlibat di yayasan

clan cukup membantu pondok di masa masa awal-walau kemudian

hari karena kekritisannya, di tahun 2000-an, nama ayah dihilangkan

dari pengurus yayasan.

Pesantren: Tradisi Filantropi yang Mengakar Kuat

Hari petama di pesantren penuh kesibukan membeli barang­

barang di kopera si termasuk kasur busa yang terlihat bagus tapi kalau

ditiduri melempes clan panas, ember, gilesan untuk mencuci pakaian,

410

Page 7: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

peralatan makan, dan lainnya. Seminggu pertama saya sulit tidur dan

ketakutan karena cerita-cerita seram yang beredar dan hampir setiap

hari menyaksikan santri kesurupan atau kesetanan dan pingsan, dan me­

nangis minta ditengok atau ingin pindah sekolah. Tadinya, di pesan­

tren saya kira tidak ada setan lagi, karena penuh dengan orang mengaji,

banyak kiai, ustadz, dan doa-doa. Tapi ternyata tidak. Justru lebih ba­

nyak cerita seram dibandingkan waktu saya tinggal di rumah terpencil

di tengah kebun kosong, yang hanya berjarak 50 meter dengan kubur­

an Poncol yang dianggap angker itu. Cerita ayah untuk menenangkan

enam anak-anaknya (yang masih usia SD dan SMP) ketika kami pin­

dah ke Cirendeu dari Kompleks IAIN Ciputat masih sangat lekat di

ingatan. Awalnya kami selalu ketakutan dan jika tidur selalu mimpi

hantu, setan, dan sejenisnya. Suatu sore, ayah panggil kami semua untuk

ngobrol di beranda rumah. Masing-masing ditanya, pernahkah kami

melihat langsung pocong, setan atau tengkorak? Semua menggeleng­

kan kcpala. Berceritalah ayah bahwa dunia makhluk-makhluk seperti

itu memang ada, kita percaya, tapi kita hidup di dunia manusia. Merck.a

tidak akan mengganggu jika kita tidak mengganggu. Ending-nya ayah

bilang, kalau ketemu tengkorak, jangan takut, suruh saja sekalian ker­

ja membantu kita mencangkul kebun kita yang luas4 yang tak terurus

ini. Kan lumayan kita tidak perlu menggajinya ... Kalimat-kalimat itu

begitu temgiang clan berusaha menjadi pelawan rasa takut di awal ke­

hidupan di pondok.Alhamdulillah berhasil. Saya betah, malas pulang ke

rumah, d an hanya ditengok sebulan sek.ali-lebih sering oleh sepupu­

untuk mengantarkan uang bayaran sekolah.

Pesantren Darunnajah menyebut dirinya sebagai pesantren mo­

dern, dengan gedung tembok yang dianggap modern, sistem sekolah

formal, organisasi santri, dan segudang aktivitas ekstrakurikuler untuk

santri. Tentu saja, aktivitas kepondokan tetap ada, di antaranya shalat

jemaah lima waktu, mengaji kitab kuning, muhadarah (belajar pidato),

shalawatan dan yasinan malam Jumat. Suasana pertemanan segera tum-

4 Rumah tcrletak di tengah kebun seluas sckitar 2.500m2·di mana pembeliannya dilakukan

sedikit-sedikit dari penduduk lokal yang merupakan suku Betawi. Kebun dipenuhi pohon

jambu klutuk, jambu air, dan b(.rbagai pohon besar, membuat suasana rumah segi::r, asri,

tapi juga gelap dan menakutkan di malam hari.

411

Page 8: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

huh, selai.n juga kekeluargaan , persaudaraan sesama santri yang men-·

jad ikan pondok sebagai rumah kedua.5 Cerita pendirian Darunnajah

tak jauh beda dengan pondok-pondok lain, yang bermula ada kiai yang

memiliki ilmu agama dan mengajarkannya, memiliki idealisme untuk

berdakwah, lalu menyedekahkan atau mewakafkan tanah, murid-rnurid

berdatangan untuk belajar, clan masyarakat membantu. untuk mendiri­

kan bangunan pondok.6 Dari proses pendirian saja, bisa dill.hat bahwa

pesantren sarat dengan nilai-nilai kerelawanan, kebajikan, ikhlas meng··

ajarkan ilmu, aktivitas wakaf dan sedekah, yaitu aktivitas filantropi. Di

kebanyakan pesantren tradisional, kiai/nyai clan santri adalah donatur

sekaligus juga pengelola clan penerima sumbangan.7 Jika pesantren di

pedesaan kental dengan suasana bersah aja, di mana kiai mengajar tanpa

digaji, bahkan memberikan akomodasi seadanya yang gratis buat santri,

santri membalasnya dengan sei.khlasnya menyumbangkan waktu dan

tenaga untuk pondok, clan sesekali membawa buah tangan untuk kiai,

pesantren modern di kota besar seperti Darunnajah , memiliki sistem

layaknya sekolah biasa. Ada pendaftaran, test masuk, clan bayaran bu­

lanan sekolah, bahkan ada uang pembangunan yang lazim diminta di

sekolah-sekolah swasta . Hanya saja, tradisi kesederhan aan, keikhiasan,

kerelawanan, reciprocity (sating membalas pembcrian), tetap mengakar

kuat. Walaupun digaji, guru-guru ini digaji sekadarnya, bahkan kami

santri sering merasa terenyuh mendengar cerita-cerita selentingan be­

rapa mereka digaji.

Dalam tradisi pesantren modern, wakaf clan sedekah menjadi pola

fondrais ing utama bagi pesantren, di mana pesantren juga mengambil

bentuk organisasi non-profit modern, yaitu bentuk yayasan atau yaya-

5 Lagu hymne Darunnajah-yang sama dengan hymne semua pesantren yang berk.ibla t

kc Pondok Gontor-menyebutk an peran dan rasa santri terhadap pond ok layaknya ihu.

"Studi tentang pesantren yang paling tua.yaitu F.Fokkcns, "De Priesterscilool" and Anon ,

"Priesters en Pricsterscholen,"TNI, vol. 17 (1855), p. 10-17, scdikit mcngulas kehidupan

kescderhanaan clan voluntarismenya .Rujukan ten tang pesanrren yang cukup terkenal adalab

Zarnakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang PandanganHidup Kiai, (Jakarta: Lern­ baga Penclitian ,Pcndidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1982) dan Perhimp:.inan

Pengembangan Pmmtren dan masyarakat (P3M ),Dirtktori Pesantrenl(Jakarta ; P3M, 1986),

sclintaJ saja memperlihatkan kcsukarelawan an dan unsur kedermawanan di pesantren . 7 Lihat satu sub bagian berjudul Pesantren and PhJanthropy dalam Amelia Fau:z ia, Faith

and the State, A History of Islamic Philan thropy in Ind onesia, Leiden & Boston , Brill, 2013.

412

Page 9: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI Fll.ANTROPI ISLAM

san wakaf, untuk lebih menguatkan bahwa pesantrcn bukanlah milik

pribadi kiai, tapi milik umat.8 Bagi pesantren modern seperti ini, buda­

ya reciprocity ini scmakin mcnurun, terlebih pesantren yang dianggap

masuk sebagai lembaga pendidikan kelas menengah, seperti pesantren

Darunnajah, di mana saya belajar clan mondok selama enam tahun

(1984-1990).

Darunnajah ketika itu dianggap sebagai salah satu pesantren pionir

di Jakarta. Pionir karena sistem pesantren yang berbasis di pedesaan,

bisa survi'!le dalam kehidupan perkotaan modern, apalagi mejadi salah

satu sekolah Islam favorit di Jakarta di tahun '80 clan '90-an.. Sema­

ngat clan tradisi filantropinya tetap kuat di pesantren, yaitu menekan­

kan kesederhanaan, kemandirian, dan keikhlasan. Walau tidak gratis,

Pesantr.::n Darunnajah tetap saja mengetengahkan kesederhanaan, dan

senantiasa menekankan bahwa biaya yang di.tarik pesantren ini cukup

murah dibandingkan dengan biaya hidup di Jakarta,9 dan ada subsi­

di silang bagi anak yatim yang menempuh pendidikan secara gratis.

Buat santri yang berasal dari kelas menengah atas, tinggal di pesantren

Darunnajah atau pesantren sejenis di Jakarta, tentu penderitaan juga.

Tinggal berhimpitan di kamar dengan minimal 20 santri, cukup satu

kasur dan satu lemari untuk menyimpan pakaian seadanya; makan ha­

ms antri cukup lama, menu makanan paling umum adalah tempe dan

sayur kol, makan pagi biasanya hanya sayur kol dan kerupuk merah; to­

ilet dan kamar mandi selalu antri, kondisinya seadanya, kurang terawat,

dan sering kehabisan air, kalau mau mandi nyaman hams bangun jam

setengah empat pagi tapi berjuang melawan ketakutan dengan suasana

kamar mandi yang gelap, scram, tedetak di pojokan tanah pondok; tiap

hari ada tugas membersihkan kamar, dan lingkungan asrama, member­

sihkan kamar mandi seminggu sckali; pake baju diirit karena nyucinya

juga harus antri, rebutan jemuran dan antri seterikaan; mau ngomong

susah karena harus pake bahasa Arab atau lnggris, clan hidup penuh

8 Tradisi ini dimulai oleh Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, png menjadi panutan

dalam sistem pendidikan pesantren modern.Fauzia, Faith and the State, 122.

• Bayaran bulanan pondok memang lebih murah jika dihitung biaya SPP sekolah, uang

rnakan, transpo t, dan akomodasi diJakarta.Bayaran yang saya ingat di masa akhir di pondok

(tahun 1989) itu sebesar Rp. 27.500 per bulan untuk asrama dan sekolah.

413

Page 10: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

disiplin dari hangun tidur sampai tidur lagi. ltu makna keseharian dari

kesederhanaan, kemandirian, clan keikhlasan. Karenanya, di awal tahun

ajaran ham, hanyak santri ham yang tidak hetah clan suka kesurupan,

stres menghadapi hidup seperti itu.

Di Darunnajah, tradisi filantropi dibangun melalui cerita tentang

wakaf clan sumhangan, clan Hadis-Hadis tentang keistimewaan bcrder­

ma. Biasanya cerita itu diulang setiap ada tamu (minimal satu hulan

satu tamu penting yang semua santri diminta untuk ikut menghormati),

setiap tahun ketika acara orientasi santri ham, dan setiap ketika ada

orang tua wali murid datang. Belum lagi doa-doa yang cukup panjang

clan diamini oleh seluruh santri sebagai ucapan terima kasih ditujukan

kepada para donatur itu. Karenanya para santri sangat akrab clan hafal

dengan istUah wakaf dan sumhangan. Misalnya, sejarah Darunnajah,

dimulai dengan 5 hektar kurang tanah wakaf yang diberikan oleh Us­

tadz Manaf (mertua Ustadz Mahrus Amin). Masjid dan semua asrama

dihangun dengan pembiayaan dari sumbangan. Bangunan masjid dan

gedung sekolah pertama itu malah dibangun masih denga n cara gotong

royong santri yang seadanya. Sumbangan yang cukup besar terdengar

adalah dari Rahithah Alam al-lslamiyah, di mana hangunannya disehut

Gedung Rahithah.Justm di pesantren modern tradisi zakat tidak bt:gitu

mengena di hati, karena akhir Ramadhan dan Idul fitri adalah wak­

tu liburan di mana pesantren kosong. Paling Ustadz Mahrus sekadar.

mengingatkan santri supaya nanti membayar zakat, tapi pembayaran

zakat dilakukan di mmah masing-masing, sesuai dengan tradisi keluar­

ga. Jadi kalau pesantren tradisional lekat dengan pembayaran zakat dan

fitrah yang diberikan ke kiai, pake "salam tempel'', di Damnnajah tradisi

itu tidak ada. Zakat dan sedekah inilah yang membiayai hidup pesan­

tren traisional. Dan, jangan dianggap remeh sumbangan serta zakat

ini. Dalam penelitian untuk disertasi saya, saya herkunjung beberapa

kali ke Pondok Berjan atau nama resminya Pesantren An-Nawawi di

Purworejo. Dal.am sebuah perhelatan haul pemimpin tarekat, yaitu kiai

Nawawi, sekitar 10.000 orang hadir, kebanyakan dari anggota tarikat

Naqsabandiyah. Mereka ini masing-masing memheri sedekah clan za­

kat (haik yang diherikan dalam kotak amal), maupun herupa salam tern-

414

Page 11: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

--

MENGHIDUPI FILANTROPI !SLAM

pel kepada kiai.10 Saking banyaknya amplop, kiai butuh asisten untuk

menghitungnya selama satu dua hari. Dan, santri memiliki panitia sen­

diri yang mengedarkan kotak amal clan melaporkan hasil pendapatan

fundraising di akhir perhelatan. Pola zakat dan sedekah seperti ini tidak

dimiliki oleh pesantren modern seperti Darunnajah, dengan pondok

yang dipagar terpisah dari masyarakat clan ma mk harus lapor petugas

keamanan. Dengan keterlibatan masyarakat yang scdemikian rupa, dan

kuatnya tarekat, wajar saja jika pondok Berjan menolak bantuan dari

Timur Tengah yang menurut mereka berorientasi Wahabi. Hal ini ber­

beda dengan Darunnajah yang sangat terbuka dengan segala bantuan

dari Ti!D.ur Tengah, pernah ada dari Raja Fahd juga, termasuk bantuan

berupa beasiswa untuk belajar di beberapa u niversitas, seperti Al-Azhar

Cairo.

Beasiswa merupak.an kata yang juga cukup akrab di telinga para

santri Darunnajah clan didapat salah satunya dari tamu yang clatang ke

ponclok. Dari tahun 1984 sampai 1990, tamu asing datang hampir sela­

lu dari Timur Tengah, clenga.n jubah clan sorban panjang, clan memberi­

kan pic.lato dalam bahasa Arab di masjid. Ada sebuah piclato entah dari

siapa yang begitu berkesan-mungkin karena bahasa Arabnya mudah

saya cerna-sehingga saya punya cita-cita •.mtuk bisa sekolah ke Timur

Tengah. Apalagi penguasaan bahasa Arab saya cukup leading"di pondok

dan lebih bagus dari bahasa lnggris.

T.radisi filantropilah yang mendatangkan para tamu itu, dengan

berbagai alas'l.11 mereka untuk berderma. Tradisi ini membcntuk kos­

mologi santri tentang adanya dunia lain, clunia ilmu pengetahuan yang

penuh harapan, jauh di sana, clan harus dicapai dengan belajar lebih giat

fagi. Konstruksi ini yang dibangun di pesantren, di bawah kepemim­

pinan k!ai sebagai seorang "broker sosial" jika meminjam istilah yang

dipakai Geertz clan Horikoshi, 11 yang menjadi penghub ng bagi ko-

to U11Jo1ya, yang paling tahu perkiraan jumlah pengunjung adalah ibu pengasuh yang

bertanggung jawab di dapur.Dengan cara menghirung jumlah piring berisi hidangan nasi

dan lauk makan siang yang d.isediakan dan dihabisk.an oleh pengunjung. Itu pun jumlah

minimal, karena banyak pengunjung yang rid.tic bemasil masuk ke area utama haul sehingga

rocmbdi makan'.ln dari penjual yang bertebaran . Fauzia, Faith and the Stau, h. 124. 11 Cuiturclbrokerd:ili.rn konteks kiai Darunnajah, tidak jelas apakah seperti temu.an Hiroko

Horikoshi, Kiai dan Perubuhan Sosial,Jakarta, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan

415

Page 12: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

rnunitas kecilnya kepada dunia lain di luar sana. Dan, kiai ini rnelakukan

interpretasi clan memilihkan dunia apa yang baik dihubungkan dengan

dunia santri di bawahnya . Tradisi filantropi ini secara tidak langsung

telah berperan sebagai jembatan bagi -santri untuk melihat dunia-wa­

lau dunia yang hanya satu warna saja yang dipilihkan oleh kiai. Dalam

teori Social Capital-nya Robert Putnam, inilah fungsi fi.lantropi seba­

gai elemen bonding (mengikat) clan bridging (menghubungkan); para

donatur datang berawal dari adanya ikatan kesamaan agama (Islam),

yang akhirnya rnenghubungkan dunia Asia dengan tapi dari dunia Ti­

mur Tengah) yang jauh berbeda budaya. Elemen bonding clan bridging

ini mendorong aktivitas filantropi di b<:rbagai konteks sosial.Walaupun

dalam teorinya Putnam bilang bahwa elemen bonding itu lebih bersifat

eksklusif karena lahir dari kesamaan tertentu, misalnya sentimen agama,

sentimen etnis, dan elemen bridging itu lebih bersifat lnklusif, misalnya

fandraising palang merah indonesia yang siapa pun dan apa pun agama

clan kebangsaannya bisa berderma, sepertinya pemisahan bonding clan

bridging ini sulit dilakukan karena relasi sosial sudah sangat terbuka.

Entah para santri memahami pidato-pidato atau tidak, tapi setidaknya

tradisi filantropi yang dibawa berupa pesan untuk berderma dan melan­

jutkan sekolah ke luar negeri itu sudah tertanam baik dalam kepala saya

ketika kelas enam di Darunnajah.

Tradisi kedermawanan dalam keseharian yang dilakukar1 santri sc­

cara tidak sadar cukup kuat mengakar, mungkin ka.rena santri hidup·

layaknya anak yatim (itu yang dirasakan sebagai santri dahulu, artinya

jauh dari orangtua), yang ada adalah sesama santri lain sehingga mem­

bentuk solidaritas yang kuat untuk saling menolong. Santri senior ber­

fungsi sebagai kakak (clan memang dipanggil kakak sebelum memang­

gil nama), clan kiai berfungsi sebagai pengasuh, seperti orang tua angkat

yang mengasuh anak-anak yang tidak ada orang tuanya. Menolong itu

dipaharrµ sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sebagai keharusan,jika

Masyarakat, 1987, atau seperti temuan Cliffort Geertz, "The Javanese Kiai: 'Ihe Changing

Role of a Cultural Broker", Comparative Studies in Society and History, (2): 250-256, 1959.

Barn pada tahun 2006-ke atas Pesantren Darunnajah agak terbuka dengan tamu-tam u asing

dari "Barat",termasuk perdana menteri lnggr is Tony Blair dan membuka diri pada program

pertukaran guru/pelaj;i.r dengan sebuah sekolah Katolik di London.

416

Page 13: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI Fil...ANTROP! ISLAM

memang mampu, dan dilakukan segera kapan pun itu. Kejadian-kejadi­

an kecil di lingkungan pondok sepertinya mengonstruksi demikian. Mi­

salnya, pemah ada scorang santri yang kesurupan clan mengamuk pada

jam 2 malam. Suasana malam saja sudah gelap dan seram, apalagi di­

tambah dengan ada yang kesurupan. Situasi mencekam dan kegaduhan

terjadi di asrama, dan ending-nya biasanya adalah Ustadz l\!Iahrus yang

datang, membawa sabuk yang dianggap sakti oleh santri itu, menenang­

kan santri kesurupan sehingga ia tidur lagi, dan semua kembali tenang.

Di kalangan santri pinjam meminjam uang sudah bias a,sharing ber­

bagi makanan, sudah menjadi waktu yang ditunggu-tunggu-mungkin

lebih pas di kalangan santri perempuan yang sering dibawakan makan -

an oleh orangtua nya. Sepertinya ti.dak mungkin kalau tidak berbagi, wa­

lau ada juga satu dua kasus yang di luar kebiasaan. Ada lagi tradisi me­

minjam yang sepertinya tidak jelas apa itu minjam atau mencuri, gosob.

Ini hiasanya terjadi untuk kasus sendal jepit, benda yang cukup krusial

untuk digunakan ke kamar mandi clan ke masjid. Awalnya mungkin

meminjam sebentar, tapi jadi keterusan. Apalagi santri yang kehilangan

sandal akan mengambil sandal lain. Gosob sendal jepit ini cukup parah,

sampai ada kebiasaan unt:uk menuliskan nama di sendal jepit agar tidak

tertukar dan/atau tidak dipakai orang-walau tetap hilang juga .... Dan

ada kebiasaan meletakkan sendal jepit di tempat-tempat yang tersem­

bunyi di sekitar pintu masjid pula. Santti berpikir, "'ulima ridho-hu"12

maksudnya sudah tahu bahwa yang punya pasti akan meridhai walau­

pun k.ita pakai tanpa permisi, singkatnya pasti dibolehkan. Tentu saja,

jika. ketahuan atau sendal kita hilang, tetap ada perasaan jengkel, apalagi

kalau harus nyeker dari masjid ke asrama dengan jalan yang becek. Ber­

lama-lama mengaji di masjid pun menjadi tidak khuryuk karena kha­

watir sendal hilang ....

Selain tradisi memakai sendal orang seenakriya, lebih banyak tradisi

kebaikan di pesantren yang membahagiakan tentunya. Salah satunya

"ngerjain'' ketika ada yang ulang tahun. Walaupun sering santri itu dibu­

at nangis terlebih dahulu, di ujung kita semua bilang ini sandiwara saja

clan ramai-ramai. menyanyikan lagu Seiamat Ulang Tahun (dalam baha-

12 lni istilah yang digunakan di pesantren di Jawa Tengah.

417

Page 14: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETJGA

sa Indonesia atau nggris), plus memberi kado sekadarnya. Ulang tahun

menjadi momen pemberian itu biasa di berbagai kultur (dan mungkin

tidak disebut filantropi dalam definisi yang strik). Di Darunnaja.h ada

dua ulang ta.hun di mana saya sangat terkesan. Pertama, ulang ta.hun

ketika kelas empat (kelas satu Aliyah), di mana saya mendapat surpri­

se kiriman hadia.h dari ayah. Yang membuat terkesan adala.h ada kartu

nama ayah terselip, dan di situ ada kata-kata ini., "Liez, ca.h ayu .... Kamu

adalah anak yang diharapkan meneruskan cita-cita orang tua. Gantung­

kanlah cita-citamu setinggi langit.... Papa.h berdoa semoga cita-cita­

mu tercapai. Ttd., Ridlo Masduki" . Terkesan sekali dengan kartu kecil

itu, sampai saya simpan bertahun-tahun ba.hkan selepas di pondok, clan

menjadi pengingat bahwa saya belajar di pesantren harus sungguh­

sungguh karena menjadi harapan orang tua. Dan, ada beberapa sahabat

yang pa.ham dengan kartu kecil itu dan selalu memanggil saya dengan

nama Mbak Liez. Nama yang diberi oleh mba.h, yaitu Lieza. Narna itu

juga lama-lama digunakan karena ayah kalau ke pondok selalu mencari

saya melalui pengumuman dengan nama itu "al-i'lan, li-tahdur ukhtz.­

na Liza min Ciputat ila baiti al-Mudhir, al-an" (pengumuman, Saudari

Lieza ditunggu di rumah direktur sekarang). Saya tidak ingat pembe­

rian kadonya apa, mungkin kue ulang tahun. Tapi justru kartu kecil itu

yang saya ingat. Ulang ta.hun kedua yang teringat, saya pulang dari se­

kolah dan melihat kasur saya di tingkat dua ( bunk-bed'} super berantak­

an ... pada.hal seingat saya pagi sebelum berangkat saya rapihkan karena

ini adala.h hari spesial.Dengan kesal clan sedih saya naik ke atas tempat

tidur clan merapikan kasur yang super kacau itu. Tiba-tiba, dari benda­

benda tak jelas berantakan muncul kado kecil beserta ucapan selamat

ulang ta.hun dari Stety Fauzia.h ... langsung terenyuh dan meleleh hati

ini rasanya. Dan, kemudian muncul lagu selamat ulang ta.hun dari ka­

wan-kawan sekamar yang diam-diam suda.h memantau.

Waktu kelas enam (kelas tiga Aliyah), saya tinggal di karnar de­

kat dengan rumah Ustadz Mahrus, di mana di belakangnya ada dapur

umum. Malam hari kami suka menanti-nanti santri putra yang berkun··

jung ke dapur untuk membuat nasi goreng dari nasi makan malam yang

tersisa. Sambil menggoda mereka yang berjalan sambil tersipu-sipu-­

biasanya santri kelas enam juga- kami berharap siapa tahu dapat jatah

418

Page 15: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGH\DUPl F\LANTROP\ \SLJ\!IA

nasi goreng. Walau dekat dapur, santri putri tidak memiliki leluasa ke

sana dibandi.ng santri putra. Stety yang biasanya sering menggoda dan

menitipkan salam dari santri putri lain ke santri putra melalui relawan

nasi goreng ini .. .!

Ada sebuah kejadian yang mungkin kalau dikategorikan katego­

ri penerima manfaat filantropi menurut Al-Q.!U'an masuk pada orang

yang butuh bantuan tapi tidak dapat mengatakannya. 13 Di awal tahun,

ada seorang santri di kamar baru yang saya tempati, yang menurut san­

tri lain merniliki kebiasaan yang aneh. Ketika tidur, ia tetap saja meng­

gunakan jilbabnya. Padahal kebiasaan di kamar para santri selalu me­

lepas jilbab bahkan menggunakan k.aus pendek atau daster layaknya di

rumah. Anaknya cantik, putih, sopan, baik rambutnya panjang hitam,

tapi selalu ia ikat kuncir kuda. Sesekali ia pakai kaus pendek, tapi ke­

tika tidur tetap saja berkerudung. Beberapa kali ada yang bertanya, dia

jawab, lebih enak begitu. Suatu ketika, keti.ka ia sudah tidur, beberapa

santri yang penasaran mendekat dan dengan mudah menyingkap dan

melihat rambutnya. Setelah beberapa saat kami bergidik menyaksikan

kutu rambut yang berjalan di helai-helai rambutnya, dari yang gendut

kenyang darah, yang sedang, sampai kutu-kutu kecil, berseliweran tanpa

ada kekhawatiran cliciduk. Terbukalah rahasianya, bahwa ia malu punya

problem kutu rambut dan khawatir kutu ini akan menyebar ke tem­

pat lain ketika ia tidur. Keesokan harinya, kami diam-diam membeli

peditok (racun kutu rambut) dan serit (sisir rambut untuk menjaring

kutn), dan pma-pura menawarkan kepadanya, dan seterusrtya memban­

tu dia keramas dan menggunakan serit. Kami sekamar sangat puas clan

senang bisa membantu santri ini keluar clari problemnya, orang yang

butuh bantuan, tapi ia malu mengatakannya. Dalam masyarakat hal ini

sering terjadi, karenanya approach pember.ian zakat clan bantuan harus

lebih sensitif, tidak merenclahkan, clan dapat dengan jell melihat siapa

yang butuh ban tuan. Para santri tidak pemah belajar khusus tentang ini,

tapi dalam keseharian praktik ini terbangun di pondok.

Masa enam tahun di pondok dilalui cukup menyenangkan. Banyak

11 Al·Q}lr'an surah adz-Dzaariyaat (51]: 19 yarig berbunyi: Dan dalam hartamu, ada halt.

bagi orang yang meminta dan yang tidak. meminta.

419

Page 16: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

sesuatu yang dipelajari, tapi secara tidak sadar ada tradisi filantropi yang

terbawa kuat, clan menjadi landasan ketika masuk pada komunitas keil­

muan yang lebih besar clan beragam, yaitu IAlN.

IAIN: Memberi llrnu, Ikhlas Beramal

Mahasiswa-termasuk dosen dan staf IAIN-dahulu di tahun '90-

an sering menyebut, baik secara serius maupun bercanda, istilah "ikhlas

beramal". lni adalah motto Kementerian Agama, mungkin dibuat ta­

hun '50-an ketika kementerian ini dibentuk.Canclaan ini juga masih

sering saya dengar-juga saya pakai-saat ini setelah rnenjadi dosen di

kampus UIN Jakarta. Biasany, istilah ini keluar ketika merujuk. suatu

kondisi kekurangan, misalnya gaji yang kecil, fasilitas tidak memadai,

harus kerja lembur tapi tidak dibayar, clan sejenis itu. Arah penggunaan

istilah ini sebenarnya lebih positif, untuk mengatakan bahwa "sudahlah

kita terima saja, toh kita bekerja di IAIN ini adalah amal ibadah". Dari

Kementerian Agama yang terbatas itu, lahirlah ADIA, IAIN, STAIN,

dan kemudian UIN, yang punya cita-cita tinggi clan bisa berhasil di

antaranya ka:rena motto "ikhlas beramal". Tidak akan ada, dosen seperti

Azyumardi Azra yang melakukan transformasi dari IAIN kc UlN jika

tidak ada Harun Nasution, yang ikhlas beramal membesarkan pascasar­

jana IAIN Jakarta, yang menjadi mentor clan menciptakan intelektual

Muslim. Harun Nasution juga melahirkan Komaruddin Hiclayat, yang

berupaya memperkuat UIN dengan menuliskan narasi tradisi intelek­

tual santri (buku ini) untuk dibaca clan menjadi inspirasi para santri.

Azyumarq.i mencari mahasiswa potensial, menclorong clan membantu

mereka bisa studi di universitas terbaik di clunia, berharap mereka akan

kembali lagi untuk membangun IAIN: ikhlas beramal.

lkhlas beramal itu sebenarnya motto yang memiliki nilai filantro­

pi yang sangat kuat. Bahwa kita bekerja, mengajar, berkiprah di JAIN,

adalah melakukan sesuatu kebajikan untuk orang lain, untuk lembaga,

untuk masyarakat umum, tanpa terlalu mengharapkan balasan dari ma­

nusia. Berharap ini menjadi amal ibadah dan mendapat balasan dari

Tuhan. Dalam studi filantropi clan antropologi, unsur atau fakto.r ini di-

420

Page 17: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

sebut "the third party ",14 pihak ketiga. Bahwa aktivit2.s memberi itu bu­

kan sekadar ada dua pihak yaitu pemberi dan pen.erima, tapi ada pihak

kctiga, yaitu Tuhan, yang menjadi motivasi dan tujuan orang melakukan

kegiatan derma.

Kira-kira, suasana seperti itulah IAIN di tahun '90-an. Kadang

mahasiswa, termasuk saya rnengatakan-antara miris dan bangga­

bahwa biaya kullah di IAIN adalah biaya kuliah termurah di Jakarta.

Dengan dosen, mahasiswa yang berlatar belakang santri, sepertinya

kekurangan ini menjadi tidak masalah, bahkan menjadi pemicu untuk

kerja. kera.s. Dan tradisi filantropi ini memang biasanya muncul dari

.kemiskinan, kekurangan, hal ini menjadi salah satu jawaban mengapa

misalnya di Amerika Seri.Ir.at banyak sekali lernbaga filantropi diban­

dingkan dengan di negara-negara Eropa. Nah kekurangan ini di IAIN

menjadi tidak masalah karena mengingatka.n para mahasiswa-dosen

seperti halnya kekurangan yang dialami di pesantren dahulu: tidur

seadanya, kelas seadanya, gaji tetap mungkin tidak ada, dan lain-lain.

Dosen sebagian besar berasal dari santri, clan mahasiswa, juga sehagian

besar dari santri,15 tidak melihat kekurangan itu sebagai negati£ Yang

mena.rik adalah, bahwa kekurangan ini dengan intervensi the third party

beiubah menjadi kekuaran positif untuk melakukan perub an. Hal ini

dirnungkinkan salah satunya karena konteks politik Orde Baru yang

memarginalkan Islam politik ketika itu, sehingga malah ada 5emangat

"Islamisasi" hidden di hati pegiat IAIN di awal tahun '90-an yang bisa

mengubah kondisi kekurangan menjadi semangat untuk perubahan.

Itulah IAIN!

Keinginan unruk perubahan itu juga dipahami oleh mahasiswa

IAIN ketika itu, bahwa apa yang ada di kampus tidaklah cukup untuk

melakukan perubahan, untuk mendapatkan cita-cita yang lebih tinggi.

Basis cita-cita yang sudah dicanangkan di pesantren masih sangat kuat

14 "The thirdparty "misalnya menjadi tema utama dalam konferensi The Ethics of Religious

Giving in Asia: Historical and Ethnograpic Explorations, 9-10 Oct 2014, di Asia Research ·

Institute, National University of Singapore.

15 Saya ingat, di kdas saya, hanya ada dua mahasiswa yang tidak berasal dari latar belakang

pesanrren a<a:i madrasah sehingga kesuli ta n mengikuti mata kuliah yang terkait dengan

bahasa Arab-(seperti Nahwu, Balaghagh).

421

Page 18: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

membekas clan semakin kuat. Salah satunya adalah kesadaran bahwa

bahasa merupakan ilmu bantu yang sangat penting untuk menggapai

cita-cita itu. Sejak tahun pertama kuliah sampai tahun ketiga, kursus

bahasa merupakan aktivitas "sambilan"saya setelah kuliah: kursus baha­

sa Inggris clan kemudian bahasa Belanda. Untuk mencari tempat kursus

yang baik, saat itu tidaklah mudah, sehingga saya cukup berkawan akrab

dengan angkot, metromini, kopaja, clan kowanbisata, u ntuk bisa kursus

bahasa lnggris di LIA Slipi dan bahasa Belanda di Erasmus Huis (Ku­

ningan), atau mendapat berkah kedermawanan kawan-kawan kursus

yang sudah kerja yang punya mobil untuk ditebengin sampai tcmpat

tertenru. Di semester akhir kuliah, saya sempat ambil program TOEFL

secara mandiri, dan juga sudah mengantongi sertifikat internasional

membaca bahasa Belanda level 1. Dua bahasa itu, plus bahasa Arab,

membawa saya dapat menulis skripsi dengan baik, di bawah bimbingar.

Dr. Badri Yatim, dan "bimbingan'' Profesor Sartono Kartodirdjo, seja­

rawan nomor satu Indonesia ketika itu yang saya ka.gumi dan dengan

modal nekat saya wawancarai. Skripsi saya bukan tentang filantropi,

tapi gerakan Ratu Adil, di mana kuriositas studi "new history" atau seja­

rah sosial begitu membuat saya terkesima. Tapi skripsi saya dibungkus

dengan nilai kebaikhatian dari banyak orang, khususnya Prof. Sartono

itu, yang mau saja menerima mahasiswa IAIN Jakarta yang tidak di­

kenalnya, clan apalagi mengkritik argumennya, untuk "dibimbing" dan

alhamdulillah dapat cum laude.

Ada situasi di kampus yang memhuat kenyamanan stu<li saya agak ·

terganggu, yaitu ketika mahasiswa atau dosen lain mengetahui bahwa

saya adalah anak seorang dosen di Fakultas Adah juga, yaitu Drs. H.

Ridlo Masduki (ketika itu belum Dr. clan profesor). Salah satu "dok­

trin'' yang saya dapat dari Darunnajah adalah bahwa bukanlah seorang

pemuda kalau dia sesumbar (clan bergantung pada) ayah saya, tetapi

seorang pemuda adalah yang berani bilang inilah (dada) saya: Laisa

alfota nian yaqulu kana aby, walakinn al-Jata man yaqulu ha anadza) .

Alasannya sederhana, karena saya tidak mau nilai A saya dianggap ka­ rena ada hubungannya dengan Ayah saya, clan bukan karena jerih payah

saya sendiri. Penyembunyian identitas ini gagal kerik-_a di semester agak

atas, ayah clan ib saya rajin membuat acara yang melibatkan mahasiswa

422

Page 19: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

'

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

·1

1

dan sering kali menjadi donatur kegiatan mahasiswa, khususnya HMI. I

Ayah dan ibu dari sisi ekonomi memang lumayan berkecukupan, tapi ·1

tetap saja anak-anaknya dididik disiplin dan tidak mendapat fasilitas

layaknya orang yang berkecukupan. Sepatu butut, naik angkot, uang ja­

jan yang standar, dan seterusnya sehingga saya juga terdorong untuk

menjadi guru privat untuk mendapat tambah:m bell buku. Sering kali

acara buka puasa bersama di rumah, salah satu acara yang pasti dipe­

nuhi mahasiswa-sekalian perbaikan gizi katanya-di mana makanan

pasti ludes dibawa pulang pula, walau agak malu-malu. Ayah hampir

sehlu memberi sumbangan untuk segala macam proposal kegiatan ma­

hasiswa (yang penting mau pun tidak), clan ibu juga menjadi favorit bagi

pengurus Kohati (ini saya dengar belakangan) karena sering menspon­

sori kursus membuat makanan clan keterampilan lainnya di rumah (clan

lagi-lagi, hasilnya bisa dibawa pulang mahasiswa). Ibu clan ayah sangat

dermaw.n, bahka n kami anak-anaknya sampai iri hati pada orang lain!

Mungkin doktrin filanrropi ayah clan ibu saya itu adalah bahwa pem­

berian ke anak clan keluarga adalah kewajiban, bukan kedermawanan.

Dan, itu sudah cukup ditunaikan. Malah kedisiplinan menjadi prinsip

pendidikan mereka yang lebih kelihatan di mata anak-anaknya, sedang­

kan di mata orang lain nilai kedermawanan jauh lebih terHhat. Hidden

protest (meminjam dari James Scott) sering dilakukan kakak-kakak saya

misalnya dengan tidak mau membantu bekerja di warung kelontong

dan rumah makan Soto Sokaraja milik ibu. Kata mereka "enakan jadi

pembantu sekalian, kerja digaji; sedangkan kita anak-anaknya, kerja le­

bih berat, 5ering dimarahin clan nggak dikasih uang pula ...". lni hal

yang baru bisa saya pahami ketika sudah berkeluarga, dan menyelami

makna mendidik clan mendisiplinkan anak. Dengan kedermawanan

orang tua ini, ketidaknyamanan tentang identitas sebagai anak dosen

ini tidak tt'rlalu penting lagi ditutupi, bahkan saya senang ketika men­

jadi mediator untuk permintaan sumbangan, atau menjadi tuan rumah

suatu kegiatan. Lagi pula, identitas "ha anadza" ini sudah solid, ketika

nilai-nilai saya dari semester ke semester sudah ajek bagus-bagu.> semua.

Keunggulan kampus IAIN Jakarta di antar-anya adalah aktivitas

kemahasiswaan, yang saya benar-benar bisa menyelami keragamanan,

mendapat wawasan, mendapat teman clan jaringan, dan belajar membu-

42.3

Page 20: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

at proposal dan helajar herdehat-walau saya tidak suka herdehat. Or­

ganisasi yang cukup memheri hanyak pengaruh dalam perkemhangan

diri saya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cahang Ciputat,

Lemhag;a Studi Sejarah Kehudayaan Islam (LS2KI) herhasis di jurus­

an Sejarah Kehudayaan Islam fakultas Adah, dan kelompok penci.nta

alam dan lingkungan Kemhaga lnsani Ihnu Batutah (RANITA). Saya

pernah menjadi pengurus di ketiga organisasi itu, untuk masa/tahun

yang tidak hersamaan, dan untuk satu periode saja. Saya cukup exci­

ted dengan LS2KI karena hisa ketemu dan mendatangkan orang-orang

seperti Taufik Ahdullal1, Anhar Gonggong, dan mendiskusikan buku­

huku sejarah terharu. HMI henar-henar organisasi yang saya ikuti dari

semester satu dan memhuat saya melek dengan dunia politik--dan itu

saya tidak suka.Walau tentu saja, ada kawan-kawan HMI seangkatan di

Fakultas Adah yang memhentuk jaringan dan kemudian hari hertemu

lagi ketika sama-sama menjadi dosen di UIN.

Ujung dari heragam aktivitas organisasi ini adalah mencari keder­

mawanan orang lain supaya kegiatan hisa herjalan. Lagi-lagi, kederma­

wanan menjadi unsur penting hagi dunia IAIN Ciputat. Justru karena

organisasi ini herhasis kerelawanan, non-profit, idealisme, mereka yang

aktif di organisasi tersortir hukan orang yang mencari duit-sebagai tu­

juan utama-tapi kalau mencari makan gratis ketika ada acara itu her­

kahlah .... Dan, mungkin juga karena para mahasiswa dan aktivis kam­

pus ini para mantan santri, sudah cukup kenyang dengan kekurangan

dan karenanya punya idealisme dan cita-cita yang tinggi untuk dikejar.

Sa.ya helajar menulis proposal kegiatan, memhuat surat permohonan,

dan jalan kaki menghadapi orang maupun perusahaan untuk mencari

sumhangasponsor untuk memhiayai idealisme yang dimiliki mahasis­

wa di Ciputat. Sepertinya, proses "helajar" ini yang memhuat saya cukup

lihai memhuat proposal kegiatan KKN, proposal skripsi, proposal studi

S-2, dan surat permohonan heasiswa, plus hagaimana strategi mendapat

rekomendasi dari orang hehat.

Ada satu organisasi yang mengajari saya hal lain-hukan persaing­

an dan perdehatan-tapi teamwork solidaritas dan kecintaan akan ling­

kungan, yaitu organisasi pecinta alam Ranita. Solidaritas itu bisa diben­

tuk, walau tentu saja, .orang yang memiliki potensi solidaritas lebih hesar

424

Page 21: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

akan survive. Belum tentu santri lebih solider dari yang lain, tapi santri

punya kecenderungan tahan banting karena sudah biasa "menderita".

Sebenarnya, sebagai santri saya nggak menderita-menderita sangat

mondok di Darunaajah. Kata orang, itu adalah pesantren moden1, dan

makanannya mewah. Tapi tentu saja ada "penderitan"lain yang jika di­

teorikan seperti relative depriviation. ltulah konteks yang dialami santri

di mana ia dikasihani dan. "menderita"walau nyantri di pondok modern

di Jalr..arta. Kembali, solidaritas itu adalah basis dari filantropi, karena so­

lidaritas itu memiliki empati. Dalam Ranita, uniknya, solidaritas itu le­

bih diperkuat lagi untuk menjalankan misi kecintaan lingkungan hidup.

Di sini muncul kata cinta,philos. Organisasi yang ketika dilihat dari luar

lebih banyak iseng dan jalan-jalan, naik gunung, temyata mengandung

n.ilai -nilai yang dalam.

Di Ranita saya bertemu dengan tradisi pencinta alam dari luar

lr..ampus IAIN Jakarta. Dari yang sekuler, cuek, preman, sampai yang

agamis, itu ada. Kelompok pecinta alam pada tahun '90-an itu meng­

anggap karni cukup aneh-walau mereka tidak r.aerendahkan karena

terbiasa melihat yang aneh bahkan lebih aneh lagi dari kami. Karena

terkait dengan agama, justru mereka apresiasi. An.eh rnisalnya ada seke­

lompok pecinta al.am yang mau subuh-subuh di kaki Gunung Semem

berwudhu di Danau Ranu Kumbolo, ata.u malam-malam sempat-sem­

patnya turun ke air dari. posko Kandang Badak di Gunung Gede untuk

wudhu melaksanakan shalat Isya. ltu pemah saya lakukan. Sebetulnya,

yang justru terjad.i adalah kegiatan pccil1.ta alam itu menciptakan peng­

alaman kesulitan (kehabisan air minum, tcrsesat, kehabisan makanan di

gunung, kondisi jalan terjal dan sangat sulit, badai, air bah) yang mela­

tih jiwa solidaritas clan kedermawanan, clan spi.ritualitas. Dalam latih­

an, memang kondisi kesulitan ini sering dikonstruksi, diciptakan oleh

senior, misalnya harus berjalan kaki (padahal ada kendaraan yang ber­

f>liweran), berhaus-hausan bahkan minum air sungai (padahal suka ada

tukang es dan warung). Latihan-latihan ini sebenarnya lebih banyak

melatih jiwa, spiritualitas, bukan fisik. Karenanya di Raruta, tidak per­

nah ditemui kasus-kasus terkait moralitas, tidak pernah dalam sejarah­

nya (semoga tetap begitu). l\1ungkin hal ini juga dikonstruk dari cita­

cita Ranita itu sendiri yang cukup idealis. Bayangkan saja, sekelompok

425

Page 22: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

mah2siswa yang terinspirasi dengan lbnu Batutah, seorang pengembara

Muslim, ilmuwan pula, sepertinya akan jauh dari kekhawatiran p:ira

orangtua yang takut anak gadisnya kenapa-kenapa di atas gunung sa.na.

IAIN Ciputat di tingkat kegiatan mahasiswanya memiliki tradisi yang

mendorong intelektualitas, bahkan kegiatan pecinta alam saja tidak le­

pas dari intrvensi virtual intelektual Muslim, sekelas Ibnu Batutah ....

Sebenarnya yang dikhawatirkan ayah clan ibu saya bukan urusan

moralitas, tapi kekhawatiran kalau anaknya hilang di gunung! Suatu

ketika, saya ikut ekspedisi ke Rakata tua (sisa gunung Krakata u

yang pernah meletus clan tenggelam di 1888) bersama polda l.Vletro

Jaya. Ekspedisi ini penuh idealisme untuk menyambut 17 Agustus

tahun (mungkin) 1994. Bersama tiga orang kawan laki-laki dari

Ranita, kami menempuh berbagai kondisi dengan sekitar 15 anggota

Brimob dan beberapa pecinta alam dari kelompok lain: terdampar di

Pulau Sanghiyang tidak ada kapal, menghadapi badai di tengah laut,

terombang-ambing kapal yang mati mesinnya di tengah laut, ketegangan

menangkap pencuri batu apung-maklum sama Brimob!, kehabisan air

minum, makan mi instan dengan air asin, minum dari air batang pisang,

dan sejenisnya. Akhirnya kami bisa berdiri tegak di atas Krakatau Tua

di depan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia raya dan

berdoa. Di atas puncak sana, masih saja ritual, keindonesiaan dan ke­

islaman dan kemanusiaan tidak hilang. Setelah kembali, baru saya sadar

bahwa ayah saya mencari-cari sampai menginterogasi ketua Ranita,

karena khawatir kehilangan saya. Senang juga mendengarnya ....

Nilai solidaritas dan kedermawanan dibuktikan dengan berha:>ilnya

Ranita membuat menara rock climbing pertama di IAIN di tahun 1994

itu, sampai mendatangkan pertama kalinya Menteri Pemuda clan Olah­

raga (Menpora) ke kampus IAIN. Di balik upayafundraising clan min­

ta sumbangan, ada kolaborasi cinta antara ketua panitia (saya) dengan

ketua Ranita, Amir Maruf, yang menjadi tambatan hati saya. Pertaut­

an hati ini teruji dengan solidaritas dan kedermawanan yang romantis,

bertahan kuat sampai saat ini dan semoga sampai akhir hayat.

426

Page 23: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPJ FILANTROPI ISLAM

Universalitas Filantropi : Dari Ciputat ke Leiden dan Melbourne

Bagi Ilchman dan banyak pengkaji filantropi lainnya, fi.lantropi dan

beragam aktivitas kedermawanan adalah fonomena universal, aktivitas

yang mirip-rnirip, dilakukan di budaya lain dengan nama yang lain.

Aktivita 5 ini begitu lekat dengan konteks geografi, kultur yang mem­

bentuknya. 16 .Misalnya, jika dalam Islam ad. zakat, maka dalam Kristen

Protestan ada tithe atau persepuluhan. Muslim di daerah pedesaan me­

miliki tradisi berderma kepada atau melalui guru/tokoh agama, dan itu

juga yang ada dalam tradisi Buddha. Pemberia.n sedekah jika di masjid

selalu ada kotak amal, di kuil-kuil di Jepang, hampir semua memiliki se­

macam kotak amal yang besar. Praktiknya hampir sama. Selain itu, akti­

vitas generosity tidak melulu dalam bentuk pemberian benda, tapi sering

kali dalam bentuk yang abstrak, misalnya memberi nasihat , memberi

restu, memberi informasi, yang nilainya bisa jauh dari yang materiel.

Pemberian jenis ini, menjadi motor penggerak bagi dunia intelektual,

di mana saja, dalam kasus ini di Ciputat, di Leiden dan di Melbourne.

Sebagai mahasiswa sejarah Islam dan menulis tentang Indonesia,

saya bercita·-cita untuk melanjutkan studi ke Universitas Leiden. Ba­

nyak tangan Tuhan yang membantu saya memenuhi cita-cita ini. Se­

::elah menempuh pendidika n calon dosen beberapa bulan, hampir saja

saya berangY...at ke tempat lain. Tapi dosen tamu dari INIS (Indonesian

Netherlands Cooperation in Islamic Studies) di fakultas Adah yaitu Jo­

han Hendrik Meulema n tahu cita·-cita saya untuk belajar ke Leiden

dan membantu saya mewujudkannya. Bantuan Amir sangat krusial di

saat-saat menentukan ini, termasuk menemani menghadap Prof M.

Atho' Muz<lhar-yang dikenal killer--tapi ternyata baik dan memberi

saya restu untuk mundu.r dari program lain untuk mendaftar ke Leiden.

Dengan modal IELTS (dapat nilai 7 tanpa belajar), sertifikat internasi­

onal bahasa Belanda, proposal Ratu Adil, plus rekomendasi dari Johan

1'1euleman, tidak lama sa.ya dapat kabar bahwa saya bisa berangkat ke

Leiden dalam waktu kurang dari dua bulan . Dengan bantuan banyak

pihak, <lalam waktu kurang dari satu bulan , saya clan Amir mempersi-

16 Ilchrn an, et c.I.

427

Page 24: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

apkan pernikahan, yaitu satu hari sebelum saya berangkat ke Leiden.

Pilihan hidup itu kadang tidak enak. Tapi pilihan ini dapat diambil atas

kebaikan hati suami yang mendo:rong saya pergi belajar di Leiden.

Di Leiden, segera saya beradaptasi clan menemukan kebajikan­

kebajikan dan bentuk filantropi yang sebagian agak serupa. Ada ko­

munitas Indonesia yang menawarkan kehangatan dan menghilangkan

kerinduan akan makanan, bahasa, clan senda gurau ala Indonesia, clan

membantu menunaikan zakat di penghujung Ramadan; ada komunitas

Muslim dari Maroko dan Turkey, dengan modal agama sebagai pin­

tu masuk, menawarkan kehangatan makanan clan persahabatan; acia

orang-orang Belanda yang sesekali mengundang makan, memberikan

pelukan persahabatan. Di Leiden ada festival jalanan, hiburan musik

gratis di area openmarket, toko-toko barang bekas (seperti baju, sepatu,

farniture), clan pasar barang bekas yang cukup terkenal di Groeneoord­

halen yang menjadi surga bagi pendatang sementara seperti kami para

mahasiswa. Ada juga lembaga charity yang sudah mapan, toko barang

bekas milik lembaga amal, rumah penampungan alms houses yang sudah

ada dari tahun 1600, clan gereja yang memiliki asrama clan gedung yang

sering dipakai untuk acara mahasiswa. Waktu tahun 1997 itu pernah

pula ada mahasiswa Indonesia Muslim yang tinggal menumpang di

akomodasi yang disediakan gereja, gratis pula.

Saya mendapat dukungan clan bantuan untuk studi dari banyak

orang lain lagi. Ada orang-orang Belanda yang mau menjadi respon­

den clan saya wawancarai untuk paper tentang khitanan di Belanda, ada

Nico Kaptein yang banyak memfasilitas penelitian tesis, ada Dick van

Der Meij yang mengajari hanacaraka, ada Azyumardi Azra yang mem­

beri masukan tesis, ada Merle Ricklefs yang mau datang ke Leiden clan

saya wawancarai tentang mesianisme Jawa sekaligus membaca tesis saya,

ada orang-orang Indonesia yang membantu mengecek bahasa lnggTis

tesis saya yang masih berantakan tanpa bayaran, clan kebaikan hati para

pengajar clan staf lain yang membuat studi menjadi lebih nyarnan wa­

laupun tetap berat. Adapun di Ciputat Amir berkutat dengan klliiah

S-2, mengajar di S-1, clan mengembangkan bisnis Komputer Kafe yang

bisa membawanya menengok saya dua kali, membelikan saya notebook

kcren clan hp untu dipakai di Leiden.

428

Page 25: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI !SLAM

Kebajikan, kedermawanan itu ada di mana-mana, dilakukan oleh

siapa saja. Dal.am studi filantropi modern, kedermawanan sering kali

dilihat terlembagakan dan pemberian ditujukan bagi orang lain. Tapi

studi antropologi melihat bahwa kedermawanan ini begitu luas, dan

memasukkan generosity yang diberikan oleh pasangan hidup seseorang,

yang sering kali tidak dianggap ( neglected). Kebajikan da.n pemberian

bantuan termasuk motivasi berperan penting dalam dunia intelektual.

lni bisa dilihat dalam kata pengantar dan acknowledgment dalam buku,

laporan atau artikel, termasuk dari pencrbit kelas dunia. Bahkan un­

tuk jurnal tertentu mereka membuat aturan bagaimana a.tau di mana

meletakkan pengakuan atas kontribusi dan bantuan orang/lembaga da­

lam penelitian atau penulisan karya mereka. Membaca acknowledgment

menjadi menarik karena dari situ terlihat genealogi serta "sumbangan"

intelektual dari siapa clan dari lembaga apa yang mengitari penulis.

Ucapan terima kasih yang ditulis oleh penulis kelas dunia, biasanya "ka­

wan-kawan"mereka juga ilmuwan dari universitas dan lembaga-lemba­

ga keilmuan mapan juga . Dan tentu saja, dari orang terdekat mereka!

Secara tidak sadar, para intelektual melakukan tradisi generosity, dan

dunia intelektual itu berutang budi pada tradisi filantropi. Saya pernah

mendengar sebuah joke, tentang siapa yang paling banyak utangnya di

dunia? Jawabnya adalah ilmuwan. Coba lihat pengantar buku mereka,

sering sekali bilang "saya berutang kepada ..." yang dalam bahasa Ing­

gris menggunakan istilah seperti "owe" dan "be indebted'..M aka saya pun

ikut melakukan tradisi itu, di mana dalan1 satu halaman tesis saya (se­

telah halaman judul) ada tulisan seperti ini "I dedicate this thesis to my

husband, Amir Ma'rt/; who helped and inspired me in so many ways."

Berrnodal ijazah cumlaude saya kembali ke Ciputat denga:i niat

ingin mengabdikan diri setelah mendapat beasiswa, namun birokrasi

tidak semudah itu untuk memfasilitasi niat mulia. Saya ditolak di Fa­

kultas Adah. Azyumardi-lah yang memfasilitasi saya, termasuk mem­

berikan tempat untuk berkiprah, yaitu dengan SK pendidan Pusat Ba­

hasa clan Budaya (PBB), di mana saya dan JM Muslimin masuk dalam

kepengurusan pusat tersebut. PBB dikepalai oleh Drs. Murni Djamal,

Iv1A, mantan pejabat di lingkungan Kementerian Agama yang lulus S-2

dari McGill University._ Beragam kegiatan seminar dan penelitian sosial

42S

Page 26: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

llagamaan, pembuatan jurnal Kultur dan aktivitas lain membuat PBB

ini beranjak besar, memberi berbagai pelayanan bahasa, sekaligus juga

menjadi salah satu pusat studi yang independen, mampu mencari dana

sendiri, bahkan memfasilitasi banyak dosen-dosen muda melakukan

penditian.

Di sinilah perkenalan saya dengan te;.na filantropi seperti

yang disampaikan di awal tulisan. Saya dan kawan-ka:wan di PBB

memberanikan diri untuk membuat proyek penelitian ini, dan tidak

tanggung-tanggung, di enam negara, yaitu Indonesia, India, Mesir,

Tanzania, Turki, dan lnggris, di mana IAIN Jakarta menjadi global

koordinatornya. Saya menghor ati kebijakan Pak Murni Djamal

dan Abdullahi Ahmed an-Nairn yang mendoro:ig dan memberi saya

kesempatan untuk menjadi direktur proyek ini. Proyek filantropi

menghasilkan beberapa buku, seminar, konferens, di enam negara itu clan

yang paling penting adalah mendorong adanya kebijakan munculnya

praktik filantropi yang lebih strategis untuk perubahan masyarakat

Muslim sendiri. Studi fi.lantropi ini membuat saya memiliki passion

yang lebih dalam dan concern karena belum ada studi komprehensif

tentang sejarah filantropi Islam, minimal di Indonesia. Dan passion itu

adalah untuk studi S-3 di Melbourne University, dibimbing oleh Merle

Ricklefs!

Beasiswa dari Australian Development Scholarship (ADS)17 mu­

dah didapat dengan ijasah cumlaude dari universitas Leiden dan nama

besar Merle Ricklefs serta Azyumadi Azra yang merekomendasi saya.

Terlebih lagi, surat rekomendasi dari mantan pembimbing S-2, Nico

Kaptein, ternyata sangat menyentuh dan kuat. Statemen pertarna di su­

rat itu di luar kebiasaan dan dugaan, dia rnenulis terjernahannya seperti

ini: "Dengan berat hati saya rnerekornendasikan Amelia Fauzia untuk

mendapat beasiswa studi dari ADS, karena Amelia seharusnya belajar

di Universitas Leiden di bawah bimbingan saya, tapi karena alasan ke­

luarga Amelia mengundurkan diri dari beasiswa ini dan meminta saya

untuk mendul$ung re:i.cananya untuk belajar ke Universitas Melbour­

ne." Lagi-lagi; banyak tangan-tangan malaikat yang mernberi saya ke-

17 Saat ini nama ADS diub h menjadi Australia Awards.

430

Page 27: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

mudahan untuk studi fi.lantropi.

Masa empat tahun setengah di Melbourne, merupakan masa yang

kaya untuk belajar filantropi dan mengalami praktik filantropi itu sen­

diri. Dengan tekad ikut membesarkan Elkana dan Farhan di Melbour­

ne, Amir meninggalkan Komputer Kafe, dan mewakafkan semua aset

yang ada termasuk meja clan perlengkapa n kursus komputer (berikut

pelayanan teknisi selama setahun) ke scbuah pesantren di Panmg, yang

baru kita kcnal, rapi memiliki semangat clan manajemen yang cukup

baik. Kita tidak ernah menengok lab komputer itu sampai sekarang,

bahkan Amir tidak pernah mendatang: pesantren itu secara langsung,

hanya saya yang mengurusnya. Terpengaruh oleh studi filantropi, hibah

komputer ini kita sebut sebagai wakaf, clengan harapan membuka mata

juga bahwa wakaf itu tidak mesti bentuknya ta nah clan bangunan sa­

ja.18 Episode Melbourne sangat menyenangkan, karena beasiswa ADS

sai;igatfamily friendly clan memungkinkan kami sekcluarga untuk ting­

gal clan sekolah atau bekerja di Melbourne. Selain itu, kami sekeluarga

bukan saja menjadi bene'volent atau penerima manfaat filantropi clan ke­

dermawanan dari orang lain, tapi kami juga berkesempatan melakukan

hal yang sama.

Seperti pernah disebutkan sebelurnnya, dalam praktik filantropi, se­

lalu ada minimal dua pihak yang terlibat, yaitu donatur clan penerima.

Ada juga organisasi intermediari, perantara, yang menerima clan menya­

lurkan bantuan atau biasa disebut sebagai lembaga charity atau lembaga

filantropi. Kalau di Indonesia dalam konteks zakat disebut Lembaga

Amil Zakat. Di Australia, jenis organisasi yang mengelola filantropi

juga beragam: ada yang solid dengan bentuk yayasan non-profit, sering

disebut lembaga charity seperti Oxfam, ada yang bentuknya organisa­

si network volunteer (yang paling besar ada Australia volunteering, dan

Australia Volunteer lnternational-AVI),ada organisasi charity bersifat

keagamaan, ada pula berupa organisasi non ·-profit berbasis keanggota-

L i Go:.raka n wakaf yang cukup mengemuka acialah wakaf produktif . Sebenarnya istilah

wakaf mdah sd1.arusnya produ.kt if.Tapi karen a pada praktiknya tidak produktif, kata ini

clis.,m atka n setela.h k ara wakaf.Lihat perdebarar, mengenai istilah ini di Amelia Fauzia, Emi

ll niiah clan Uswr.run Hasa n ah , 'Wakaf Produktif di DKI J;;.karta", Badan Wakaf lndonesia

dan Lembaga Penelitian UIN Jakarta , 2012.

431

Page 28: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

an yang mengelola langsung dananya dalam bentuk kegiatan, misalnya

CERES (Community Environment Park). Nyemplung di studi filan­

tropi membuat saya akrab clan mengalami langsung praktik filantropi

di Australia, khususnya di Kota Melbourne, kota yang sangat menye­

nangkan untuk keluarga, tapi cukup berat bagi mahasiswa karena terlalu

banyak festival clan keindahan yang menggoda untuk dikunjungi.

Sekolah merupakan salah satu lembaga yang bisa memfasilitasi

kegiatan kedermawanan. Childcare clan TK-nya Elka dan Farhan, the

Harnet House, memiliki program working bee, beberapa k.ali dalam

setahun. Istilah working bee (arti letterlijknya adalah lebah pekerja)

ini adalah kerja bakti! Jauh-jauh ke Melbourne, ternyata di sini juga

ada kerja bakti. Orang Indonesia merasa kerja bakti tidak keren, clan

berangsur meninggalkan kegiatan ini kecuali di kampung, padahal itu

adalah bentuk kerja sosial yang memperkuat kerekatan sosial, dan sa­

lah satu bentuk filantropi tentunya. Sebagai orang yang terlatih kerja

bakti di pondok dahulu, (bahkan yang cukup menyenangkan adalah

menguras kolam kamar mandi yang seperti kolam renang kecil), saya

dan Amir senang melakukan working bee ini. Para orang tua berkumpul,

dikoordinasi oleh sekolah untuk melakukan apa saja yang bisa mercka

lakukan, misalnya mengecat pagar, mencabut rumput liar, dan membuat

permainan anak di taman. Bentuk lai n pun bisa, misalnya ada orang tua

murid yang bersedia menjadi relawan bidang teknisi komputer untuk

hari Jumat atau Sabtu. Kegiatan kerja bakti ini secara tidak langsung ·

menguatkan- -kalau bahasa UIN-silaturahmi sehingga secara tidak

langsung membentuk komunikasi clan menguatkan civil society. Ya, teo­

ri yang cukup mengemuka, aktivitas filantropi itu menjadi tanda adanya

kelompok atau aktivitas civil society, karena aktivitas ini memperkuat

kemandirian kelompok masyarakat clan membentuk organisasi yang

menjadi penyangga clan penyeimbang antara masyarakat clan negara.

Contoh lain adalah kegiatan-kegiatankerelawanan yang diseleng·­

garakan oleh Moreland Primary School, Sekolah Dasar di mana Elka

clan Farhan belajar. Cukup unik di sini, bahwa orang t:ua diajak untuk

berpartisipasi langsung dalam pendidikan j tidak hanya sekadar rnem­

bantu pekerjaan rumah (yang jarang sekali ada). Bentuk partisipasi di

antaranya adalah i:ienjadi asisten guru di sekolah, di kelas anaknya lang-

432

Page 29: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

sung. Ini menjadi pengalaman berharga, melihat secara langsung pendi­

dikan di Australia, di mana guru sangat terhuka, egaliter, santai, tapi juga

sangat dihormati dan tegas. Ketika ada seorang guru yang akan pensiun,

Elka dan kawan-kawannya ribut berpikir apa yang mereka mau berikan.

Terpikir saya, kalau di Indonesia kita ada lagu tentang guru, misalnya

Hymne Guru, Terima kasihku Guru. Akhirnya saya mengkoordinasi dan

mengajari anak-anak lagu ini "terima kasihku, kuucapkan, pada guruku

tulus ...."Pada saat upacara senin pagi yang dibarengi dengan perpisah­

an dengan Sue (bcgitu nama gum itu dipanggil, tanpa ms. atau mrs.),

sa:ya mengiringi anak-anak Indonesia me:nyanyi dengan petikan gitar.

Kami mendapat apresiasi tinggi, dan rupanya banyak anak Australia

yang mau belajar menyanyi Indonesia, dan akhirnya seminggu sekali

saya mengajar Indonesian Choir di Moreland Primary School. Salah

satu yang saya ajari dan tampilkan di sekolah adalal1 lagu Rasa Sayange.

Selain karena lagu ini riang, karena ketika itu ada ribut-ribut dengan

negara tetangga Malaysia tentang lagu itu, ehm.

Walaupun kami suka rnelakukan kegiatan 'lJolunteer, membayar

zakat, berderma ke Indonesia, pernah menjadi anggota CERES,

kehidupan kami di Melboume cllimp saja. Pada tahun kedua,

kehid.upan cukup nyaman, karena Amir bekerja fall-time, sehingga

cukup untuk berjalan-jalan dan menabung. Tetapi di tahun pertama,

kehidupan lr..ami sangat sulit, bahkan untuk sekadar .membeli. burger di

McD. Yang banyak menolong kami untuk melengkapi peralatan rumah,

termasuk keperluan belajar anak-anak adalah "street charity".Ini istilah

saya sendiri, yang sebenarnya adalah ada hari di mana orang boleh

membu.ang sampah yang besar··besar (seperti furniture, gorden, baju,

perlengkapan dapur, dan elektronik), di pinggir jalan di depan rumah

mereka. Biasanya, "sampah" ini dibiarkan saja selama dua minggu­

supaya dimanfaatkan oleh yang membutuhkan-baru terakhir digaruk

oleh mobil sampah. Kami sering berjalan sekadar iseng, atau serius

berputar mencari barang-barang yang kami butuhkan. Alhamdul/iah,

dua komputer di 1umah, printer, tape recorder, CDplayer, pemanas, meja

belajar, dan buku cerita, kami dapat dari pinggir jalan ini. Bagi orang­

orang ini, elektronik dan kompu.ter cukup empat tahun saja, termasuk

pedengkapan furnitur yang perlu diperbarui, dan alasan lainnya yang

433

Page 30: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

membuat benda-benda yang masih bagus ini dibuang di pinggir jalan.

Cara membuangnya juga sangat rapi, sampai-sampai biasanya kalau

TV, masih ada remote control clan panduannya, begitu juga komputer,

diletakkan dengan rapi CD asli program Windows-nya. :Mereka

yang membuang ini sadar, masih banyak orang-orang yang dhuafa,

termasuk mahasiswa, yang membutuhkan barang--barang tersebut,

tapi tidak mau meminta-minta. Mungkin ini seperti kelompok yang

disebut sebelumnya "bagi yang meminta clan bagi mereka yang tidak

meminta" . Artinya, kelompok orang dhuafa tapi yang tidak meminta­

minta ini juga ada di berbagai budaya dan periode, termasuk pada masa

Nabi Muhammad di Jazirah J\.rab, di Indonesia, bahkan di Australia.

Dalam kajian ekonomi, mereka ini yang ada di garis bawah kelompok

middle class, memiliki pekerjaan tetap, tidak termasuk orang miskin yang

mendapat bantuan, tapi sebenarnya masih berkekurangan. Mungki.n ini

seperti profesi guru dan pegawai negeri di Indonesia.

Dengan kehidupan yang kaya dengan tradisi filantropi di atas, saya

menulis disertasi. Tidak berbeda dengan ketika melakukan studi di

Ciputat clan di Leiden, banyak kemudahan clan keblljikan yang dila­

kukan orang lain sehingga saya mendapat manfaat . Bab-bah disertasi

diberi komentar oleh para ahli Islam atau Indonesia. Yang paling ber­

kontribusi adalah Merle Ricklefs, yang tetap memberikan bimbingan

sekalipun sudah resign dari Universitas Melbourne. Tujuh mahasiswa

Ph.D. termasuk saya, masih dibimbingnya sampai selesai Ph.D., tanpa

embel-embel honor dari universitas. Ini tradisi filantropi..Tradisi ini se­

perti yang dilakukan oleh kiai, yang mengajar, tanpa dibayar. Jadi, "kiai"

Ricklefs, semoga menjadi amal jariyah .... Dan apa yang dilakukan oleh

Merle juga menjadi tradisi yang cukup kuat di para Indonesianis terma­

suk mahasiswa bimbingannya. Kebajikan biasanya berbuah kebajikan .

Memilih topik filantropi bukan hal yang mudah, karena belum

pernah dilakukan oleh para lndonesianis sebelumnya. Belum lagi harus

berkali-kali menjelaskan, bahwa studi saya bukan studi syariah tentang

zakat dan wakaf, tapi studi sejarah sosial dan sejarah gerakan sosial ke­

agamaan. Walau memang saya mencari sumber data primer tentang

praktik filantropi itu dari banyak Hadis dan fikih, selain juga dari arsip

kolonial, manuskrip, _wawancara sejarah lisan, dan observasi. Yang le-

434

Page 31: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

bih menantang dari data adalah menemukan argumen. Setiap bertemu

bimbingan, Merle bertanya, "what is your argument?' Pertanyaan yang

membuat momok dan pusing tujuh keliling selama tiga tahun setengah,

clan akhirnya di tahun terakhir mulai menampakkan hasil. Awalnya saya

membangun argumen bahwa Muslim menggunakan aktivitas filantropi

(seperti zakat, sedekah, wakaf, dan segudang kegiatan kedermawanan

lain) untuk perubahan sosial dan politik. Mudah mencari pembuktian

bahwa filantropi digunakan untuk perubahan sosial (seperti yang di­

lakukan oleh Muhammadiyah), tapi untuk perubahan politik, data itu

menjadi abu·-abu. Argumen itu juga terlalu standar, tidak ada yang baru

dari s.isi teori dan temuan. Hasil pergumulan dengan data dan disku­

si intensif dengan l\1erle, akhirnya saya melihat bahwa ada kontestasi

antara negara dan civil society sepanjang sejarah Indonesia dala.m pe­

ngelolaan fila ntropi Islam. ltulah. argumen utama disertasi dan alham­

dulillah lulus dengan baik, dan disertasi akhirnya bisa terbit di E.J. Brill,

Leiden, di tahun 2013, setelah di<lorong clan dibantu khususnya oleh

\1erle Ricklefs .

Mendorong Filantropi Indonesia: Potensi Sangat Besar

Selesai studi di Melbourne tahun 2008, saya kembali mengajar di

UIN Ciputa.t dan ikut terlibat dalam upaya reformasi praktik filantropi

di Indonesia. Saya senang bisa membantu kawan-ka,wan pegiat zakat

seperti Forum Zakat (FOZ) clan pegiat filantropi pada umumnya di

Indonesia, tidak hanya sekadar menuliskan mt:reka sebagai bahan ka­

jian tapi terlibat dengan mereka dalam memperkuat gerakan filantro­

pi Islam. Saya juga pernah berbicara sebagai saksi ahli di Mahkamah

Konstitusi (2011) untuk mendukung Judicial Review Undang-Undang

Zakat yang dilakukan oleh teman-teman dari organisasi pegiat zakat,

seperti Dompet Dhuafa clan Rumah Zakat. Ini merupakan positioning

yang sebenarnya sulit karena saya ini dosen di bawah Kementerian

Agama, dan judicial re'uiew ini secara ddak Jangsung mengkritisi dan

berbeda posisi dengan Kementerian Agama yang waktu itu berusaha

mcngambil alih semua pembayaran zalr.at untuk desentralisasi di bawah

negara. Cita-cita zakat dikelola dengan lebih baik clan bisa lebih efektif

pendayagun aannya ini bagus, tapi sentralisasi bukanlah cara yang tepat

435

Page 32: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

untuk itu karena akan mematikan civil society. Jadi, clisertasi saya ten­

tang kontestasi anta.ra civil society dan nega.ra dalam pengelolaan filan­

tropi Islam itu saya alami langsung dalam proses judicial review di atas.

Aktivitas kedermawanan zakat, sedekah, dan wakaf berimplikasi pada

tiga hal, pertama adanya pengumpulan dana clan aset yang climanfaat­

kan oleh organisasi sosial dan komunitas untuk menolong, keclua men­

ciptakan mang publik untuk menclorong kebajikan sosial, clan ketiga

adalah menciptakan dan memperkuat civil society. Selain itu, aktivitas

kedermawanan yang suka rela itu ada faktor "thirdparty ",faktor Tuhan,

faktor keikhlasan, faktor kemanusiaan, faktor hati, dan faktor abstrak

lainnya yang tidak mudah memaksa pembaya.ran serta pengelolaannya

hanya ke satu lembaga saja yaitu pemerintah. Justru aspek filantropi itu

akan hilang jika dikelola oleh nega.ra.

Sekalipun judicial review itu dikabulkan sebagian, dan pemerin­

tah tetap bersikukuh bahwa pengelolaan zakat hanya boleh dilakukan

oleh Baznas dan unit di bawahnya, ternyata pada praktiknya, u ndang­

undang ini dan aturannya tidak mudah mengubah praktik kederma­

wanan yang ada di masyarakat. Sudah tiga tahun berlalu da.ri keputLsan

undang-undang di tahun 2011, dan tidak ada pembahan bera.rti dari

praktik berzakat di Indonesia yang mendorong masyarakat secara wka­

rela membayarkan zakat mereka ke badan pemerintah. Hal ini karena

zakat itu melekat pada tradisi, di mana akar tradisi ini panjang, di an­

taranya melekat pada aktivitas keagamaan keseharian termasuk juga di

pesantren. Masya.rakat sudah terbiasa berzakat dengan beragam cara,

ada yang pakai salam tempel dititipkan ke kiai, ada yang autodebet ke

lembaga yang dianggap amanah, ada yang diberikan dalam aca.ra open

house, ada yang disalurkan untuk proyek-proyek pengentasan kemiskin­

an, ada yang dibuat gedung sekolah, dan lainnya. Transformasi memang

perlu dilakukan, tapi harus strategis, bottom-up, dan mengontekskan

perubahan tradisi.

Keterlibatan dalam advokasi itu menyenangkan, karena itu yang

menjadi idealisme saya melakukan proyek penelitian filantropi Islam

clan studi Ph.D. saya. Praktik zakat, sedekah, clan wakaf justru rnenja-·

di pendorong bagi perkernbangan geraka n filantropi ketika dibungkus

dalam studi filantropi yang masuk pada ranah kajian sejarah dan kajian

436

Page 33: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

sosial atau kajian-kajian empiris lainnya. Secara tidak langsung, studi

ini mendorong profesionalisme pengelolaan zalr.at dan wakaf, termasuk

semangat transparansi clan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pub­

lik, clan mendorong keterlibata n perempuan dalam kegiatan filantropi.19

Upaya advokasi yang saya lakukan untuk gerakan "filantropi untuk

keadilan sosial", tidaklah mudah. Hasil survey penelitian filantropi yang

dilakukan saya clan kawan-kawan di PBB atau kemudian berganti nama

menjadi CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) menye­

butkan bahwa besarnya derma masyarakat Muslim dalam satu tahun itu

(data tah un 2004) minimal ada.lah 19,3 triliun rupiah (di luar hitungan

wakaf). Bayangkan, bahwa potensi filantropi yang begitu besar clan me­

limpah seperti air hujan seakan turun ke bumi, membanjiri sebentar tapi

kemudian hilang tak berbekas. Masyarakat miskin tetap miskin, tidak

berubah, tetap menjadi peminta-minta. Banyak organisasi amil zakat

yang t·erpaku pada pemberian santunan (rnisalnya korban banjir, korban

kebakaran , clan seterusnya) , tanpa secara serius melakukan upaya bagai­

mana supaya mengurangi banjir dan mengurangi kcbakaran sehingga

tidak ada bncana.Inilah pentingnya strategicphilanthropy atau strategic

gi•uing. Gerakan socialjustice philanthropy ini mengupayakan perubahan

bahwa organisasi filantropi perlu memikirkan upaya program jangka

panjang yang lebih efektif untuk mengurangi kemisk:inan.

Upaya di atas sulit karena di Indonesia minim contoh. Oleh kare­

nanya di kampus , saya bersama Prof.Jamhari , Emi llmiah, Prof. Koma­

ruddin Hidayat, serta kawan-kawan lain, membuat organisasi kederma­

wanan Islam yang kami beri nama SocialTrust :Fund.Dengan membawa

misi socialjustice philanthropy, Jembaga non-struktural ini berkembang

cukup cepat dan di tahun pertama sudah mendapat grant dari the Ford

Foundation, kemudian dari Global Fund for Community Foundation,

dari Mayapada group (Dt.Taher), termasuk juga dari lembaga filantropi

nasionaJ di Indonesia seperti Dompet Dhuafa, CSR seperti Eka Tjip­

ta foundation, dan organisasi lokaJ seperti Darma Wanita cabang illN

19 Amelia Fauzia, "Religious Practices: Zakar (Almsgiving): Indonesia."Encyclopedia

of Women & I>lamu Cultures. General Editor Suad Joseph . Brill Online, 2013.Refr.rence .

http ://www .paulyonline .brill.nl/ entries/ encyclopedi:i-of-womc n-and-Islamic-cultures/

religious-practiccs-zakat-almsgiving-indonesia-COM_001 464.

437

Page 34: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

BAGIAN KETIGA

Jakarta! Dalam sebuah pertemuan pemberian beasiswa di rektorat, saya

cukup surprise mendengar Direktur Dompet Dhuafa mengucapkan te­

rima kasih kepada UIN Jakarta khususnya kepada saya yang menjadi

pionir melakukan studi tentang filantropi karena secara tidak langsung

telah membuat zakat clan organisasi pengelola zakat menjadi diterima

oleh masyarakat dunia. Ringkasnya, zakat booming karena kajian filan­

tropi, yang telah mengenalkan zakat di kajian filantropi dunia. Memang

itulah yang terjadi. Kalau sebelumnya agak sulit menjelaskan praktik-·

praktik kedermawanan yang beragam ini, kini dengan isitlah filamropi

Islam, masyarakat internasional lebih mudah memahami fenomena za­

kat, wakaf clan sedekah. Selain itu, kajian filantropi menggulirkan pen­

tingnya lcmbaga filantropi non-pemerintah yang berbasis NGO atau

yayasan, clan pentingnya studi :6.lantropi dilakukan. Kajian filantropi

berhasil menjadi trendsetter dalam perubahan kebijakan publik.

Proyek penelitian filantropi bisa berhasil membawa diskursus a1.<a­

demik clan gerakan filantropi di Indonesia karena dikelola oleh kelom­

pok santri di UIN Jakarta; yang memiliki akar kuat tradisi filantropi Is­

lam tapi bisa melihat universalitas tradisi itu dalam diskursus akademik

disandingkan dengan tradisi lain di dunia. Studi filantropi menunjuk­

kan bahwa filantropi itu adalah fenomena universal yang bisa ditemui

di berbagai periode historis dan berbagai peradaban .w Ide filantropi bisa

diterima di Indonesia dan dunia Islam karena menggunakan bar1asa

santri yang dipahami oleh dua dunia, dunia keilmuan "bara t" clan dunia

"Islam". Penolakan kalangan Islam clan kecurigaan bahwa proyek. filan -

tropi ini adalah agenda "Barat", menjadi hilang. Kekhawatiran bahwa

proyek filantropi sangat sensitif dan be.rhenti setelah peristiwa 9/11 ter­

nyata salah. arena proyek clan gerakan ini bisa menggunaka .n tradisi

filantropi Islam itu sendiri untuk melakuka.n perubahan .

Praktik filantropi Islam buka n sekadar aktivitas, tapi ia mengakar di

tradisi yang kuat, tradisi langit clan bumi yang kaya. Begitu juga seorang

santri, padanya juga melekat akar kekayaan tradisi Islam, terrnasuk tra­

disi kedermawanan itu sendiri. Ke mana pun santri menjadi, bawah sa­

darnya akan tetap membawa tradisi ini.

20 llchman, et al.

438

Page 35: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit

MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM

iUi bihi nasta'in ala umur al-dunya wa al-din.

Leiden, 15 Desembet 2015

Bib\iogratl

Fauzia, Amelia. 1998. " The Ratu Adil Movement and the Searchfar Justi­

ce". Thesis. Leiden University. p. ii.

:Friedman, Lawrence ]. and Mark D. MacGarvie (Eds.). 2003. Charity,

Philanthropy , and Civility in American History. Cambridge Univer­

sity Press.

McCarthy; Kathleen D. 2003.American C:•eed: Philanthropy and the Rise

of Civil Society 1700-1865. Chicago: University of Chicago.

Payton, R.L. 1988. Philanthropy: Voluntary ./iction far the Public Good.

New York: American Council on Education/McMillan.

Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alont: The Collapse and Revival of

American Community.N ew York: Simon & Schuster.

https://www.oxfam.org.au.

http://www.volunteeringaustralia.org.

http://www.australianvolunteers.com.

http://www.ceres.org.au.

439

Page 36: Pr - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45636/2/20. 2015_Menghidupi...penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim . Agak mengerenyit