bab i pendahuluan 1.1 latar...

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menghadapi perekonomian di masa depan, Indonesia diyakini akan menghadapi tantangan berupa era globalisasi ekonomi yang tidak lagi bisa dihindari, terdekat adalah integrasi ekonomi ASEAN dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung tahun 2015. Negara, wilayah hingga kota yang tidak memiliki inovasi dalam pembangunan ekonomi tidak akan mampu bersaing. Tren yang ada saat ini adalah setiap daerah bersaing menonjolkan identitasnya, mengemas potensi daerah yang dimiliki sedemikian rupa sehingga berbeda dari kompetitornya. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Amanat dari peraturan tersebut erat kaitannya dengan marketing atau pemasaran dan semakin didukung dengan perkembangan entrepreneurial city. Pemasaran daerah atau marketing places menjadi salah satu model entrepreneurial yang cukup terkenal bagi pemerintah sejak tahun 1970 (Griffiths, 1998). Kartajaya et al. (2002: 78) berpendapat bahwa entrepreneurial adalah pemerintah yang jeli dan selalu berpikir keras untuk melihat dan memanfaatkan peluang yang muncul dalam upaya memakmurkan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Ashworth dan Voogd (1994) menambahkan 3 atribut pada teori pemasaran daerah sebagai pengembangan dalam disiplin ilmu marketing

Upload: trantuong

Post on 10-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menghadapi perekonomian di masa depan, Indonesia diyakini akan

menghadapi tantangan berupa era globalisasi ekonomi yang tidak lagi bisa

dihindari, terdekat adalah integrasi ekonomi ASEAN dalam bentuk Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung tahun 2015. Negara, wilayah

hingga kota yang tidak memiliki inovasi dalam pembangunan ekonomi tidak akan

mampu bersaing. Tren yang ada saat ini adalah setiap daerah bersaing

menonjolkan identitasnya, mengemas potensi daerah yang dimiliki sedemikian

rupa sehingga berbeda dari kompetitornya. Hal ini sejalan dengan amanat

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan

potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Amanat dari peraturan tersebut erat

kaitannya dengan marketing atau pemasaran dan semakin didukung dengan

perkembangan entrepreneurial city.

Pemasaran daerah atau marketing places menjadi salah satu model

entrepreneurial yang cukup terkenal bagi pemerintah sejak tahun 1970 (Griffiths,

1998). Kartajaya et al. (2002: 78) berpendapat bahwa entrepreneurial adalah

pemerintah yang jeli dan selalu berpikir keras untuk melihat dan memanfaatkan

peluang yang muncul dalam upaya memakmurkan dan meningkatkan kualitas

hidup masyarakatnya. Ashworth dan Voogd (1994) menambahkan 3 atribut pada

teori pemasaran daerah sebagai pengembangan dalam disiplin ilmu marketing

2

yaitu pemasaran pada organisasi non-profit, social marketing dan marketing

image yang berkontribusi pada kebebasan aliran pemasaran konvensional yang

harus diterapkan sesuai dengan tujuan awalnya. Pemasaran yang diterapkan pada

sebuah kota dapat menjadi proses untuk mengemas image sebuah kota menjadi

positif untuk menarik perhatian dari potensi wisatawan, investor dan penduduk.

Kota Medan merupakan salah satu dari kota-kota yang memiliki banyak

peninggalan masa lalu yang kental dengan kekayaan budaya dan arsitektur

bangunan bersejarah. Kota Medan, kota multietnis, ibukota Provinsi Sumatera

Utara memiliki peran penting dalam konstelasi ekonomi Pulau Sumatera. Kota ini

merupakan kota perdagangan dan hubungan penerbangan internasional terpenting

yang menghubungkan kota-kota di Pulau Sumatera ke negara-negara tetangga

seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, sehingga bukan sesuatu yang

berlebihan jika menyebutkan kota ini sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian

barat yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian utara.

Perjalanan terbentuknya Kota Medan memiliki nilai perjuangan dan

perkembangan sosial budaya masyarakat dengan berbagai peninggalan berupa

artefak, bangunan yang mengandung karakter khas lokal bernilai sejarah serta

nilai pengetahuan yang tinggi baik dari ciri khas arsitektural yang sangat berguna

dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sejarah maupun pertumbuhan

perekonomian Kota Medan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah kondisi

bangunan dan kawasan bersejarah baik secara kuantitas maupun kualitas semakin

menurun ditinjau dari segi arsitektur, segi konstruksi serta segi fungsi bangunan

karena adanya tekanan nilai ekonomis yang mendorong terjadinya alih fungsi

3

bangunan dan kawasan bersejarah menjadi bangunan/kawasan yang lebih bernilai

ekonomis jangka pendek. Nilai lahan yang semakin tinggi sementara nilai

bangunan/kawasan bersejarah yang semakin turun akibat penyusutan nilai

ekonomis menyebabkan desakan tersebut semakin besar.

Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Kota Medan mengalami

dinamika pesat yang ditandai dengan pertambahan penduduk yang tinggi serta

laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Menurut data BPS, Kota Medan

memiliki laju pertumbuhan ekonomi dengan tren positif dalam kurun waktu 5

tahun terakhir (2007 – 2011), berdasar harga konstan tahun 2000 rata-rata

pertumbuhan ekonomi Kota Medan sebesar 6.865 persen, di atas rata-rata

pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama yaitu sebesar 6.29 persen.

Sebuah prestasi pada sektor ekonomi yang cukup membanggakan. Dalam hal

peran suatu sektor dalam menunjang perekonomian daerah di Kota Medan dapat

dilihat dari data PDRB menurut lapangan usaha, sebagaimana diuraikan dalam

Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1 Struktur PDRB Kota Medan Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2007 – 2011 (Persen)

No Sektor/Lapangan Usaha Tahun

2007 2008 2009 2010 2011 1. Primer. 2,85 2,82 2,79 2,67 2,5 a. Pertanian 2,84 2,81 2,79 2,67 2,5 b. Pertambangan dan Penggalian 0,01 0 0 0 0 2. Sekunder. 27,93 27,26 26,2 26,45 26,57 a. Industri Pengolahan 16,28 15,96 14,95 14,97 14,38 b. Listrik, Gas dan Air Bersih 1,88 1,75 1,71 1,7 1,69 c. Konstruksi 9,77 9,55 9,54 9,78 10,5

3. Tersier. 69,21 69,92 71,01 70,87 70,92 a. Perdagangan, Hotel dan Restoran 25,44 25,92 26,85 26,92 25,92 b. Transportasi dan Telekomunikasi 19,02 19,08 19,63 18,95 19,02 c. Keuangan dan Jasa Perusahaan 14,13 14,63 13,85 14,27 15,11 d. Jasa-jasa lainnya 10,63 10,29 10,67 10,72 10,88

T o t a l 100 100 100 100 100 Sumber: BPS Kota Medan, 2012

4

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa sektor tersier selama kurun

waktu tahun 2007 – 2011 mendominasi perekonomian di Kota Medan dengan

rata-rata kontribusi 70.386 persen (terbesar berasal dari sektor perdagangan, hotel

dan restoran). Tentunya bagi kalangan pelaku bisnis di sektor ini,

mempertahankan nilai-nilai budaya relatif dianggap tidak lagi relevan dengan

perkembangan zaman. Sebagai tambahan, kontradiksi dengan tren pertumbuhan

ekonomi yang semakin membaik ini, Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia

melakukan survei livable city terhadap kota-kota besar di Indonesia pada Tahun

2009 dan 2011. Livable city adalah sebuah lingkungan dan suasana kota yang

nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat

dari berbagai aspek baik aspek fisik (tata ruang, lingkungan, transportasi, fasilitas

kesehatan, fasilitas pendidikan dan infrastruktur) serta aspek non-fisik (ekonomi,

kemanan dan sosial-budaya). Kota Medan bertahan pada peringkat terbawah

selama kurun waktu tahun 2009 – 2011 dengan capaian hanya sebesar 52,28

persen dan 46,67 persen. Kondisi tersebut bahkan lebih buruk dari capaian Kota

Jakarta yaitu sebesar 50,71 persen. Hasil survei secara lengkap ditampilkan pada

Tabel 1.2 berikut.

Tabel 1.2 Most Livable City Index Kota-Kota di Indonesia Tahun 2009 dan 2011 (Persen)

No Kota Index Tahun

2009Index Tahun

20111 Yogyakarta 65,34 66,52 2 Denpasar NA 63,63

3 Makassar 56,52 58,46 4 Manado 59,9 56,39 5 Surabaya 53,13 56,38

6 Semarang 52,52 54,63 7 Banjarmasin 52,61 53,16

5

No Kota Index Tahun

2009 Index Tahun

2011 8 Batam NA 52,69 Jayapura 53,86 52,56 10 Bandung 56,37 52,32

11 Palembang NA 52,15 12 Palangkaraya 52,04 50,86 13 Jakarta 51,9 50,71

14 Pontianak 43,65 46,93

15 Medan 52,28 46,67 Sumber: Ikatan Ahli Perencana, 2013

Snapshot sederhana dan aktual mengenai persepsi warga kota yang

tergambarkan dalam index livable city tersebut menunjukkan bahwa Kota Medan

khususnya masih jauh dari kondisi ideal sebagai kota nyaman dan di masa depan

akan semakin tidak nyaman apabila tidak ada tindakan berani, kreatif dan

progresif dari para pemimpin kota. Padahal antara tahun 1920 – 1930-an, Kota

Medan telah menjadi kota perdagangan yang indah dan jaya dengan sebutan

“Parijs van Sumatera”. Sisa-sisa dari wujud nyata julukan tersebut masih

terekam dalam wujud fisik bangunan-bangunan yang berdiri kokoh hingga kini

dan telah berumur lebih dari setengah abad bahkan beberapa bangunan telah

berumur lebih dari seratus tahun. Bersama bangunan-bangunan tersebut terekam

sejarah perkembangan Kota Medan, meskipun sebagian dari bangunan-bangunan

tersebut telah dirobohkan.

Pada Tahun 2013 terdapat sebanyak 175 hotel di Kota Medan dengan rata-

rata tingkat pertumbuhan sebesar 4,2 persen/tahun (BPS Kota Medan, 2013),

seharusnya Kota Medan mampu menarik orang untuk stay di Kota Medan.

Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata tingkat okupansi hotel tidak lebih dari

50 persen dengan rata-rata lama kunjungan wisatawan hanya 1,67 hari

(bandingkan dengan rata-rata lama menginap wisatawan di Indonesia menurut

6

BPS Nasional yaitu 7.84 hari pada Tahun 2011 dan 7.70 hari pada Tahun 2012).

Angka yang relatif kecil bagi sebuah kota yang bertumpu pada perkembangan

sektor tersier.

Tabel 1.3 Tingkat Okupansi dan Lama Tamu Menginap (Stay Overnight) Hotel di Kota Medan

Tahun Tingkat Okupansi

(persen) Lama menginap

Tamu Medan (hari)

2008 51,26 NA

2009 47,76 1,61

2020 51,19 1,51

2011 53,81 1,85 2012 52,34 1,71

Rata-rata 51,272 1,67 Sumber: BPS Kota Medan, 2013

Kondisi tersebut diatas pada akhirnya mengakibatkan Kota Medan hanya

dijadikan sebagai “kota transit” bagi kalangan wisatawan karena belum

menemukan objek dan daya tarik wisata yang menarik di Kota Medan. Wisatawan

dalam hal ini menggunakan definisi dari International Union of Office Travel

Organization (IUOTO) dan World Tourism Organization (WTO) yang juga

digunakan oleh BPS, di mana wisatawan adalah seseorang atau sekelompok orang

yang melakukan perjalanan ke sebuah atau beberapa negara di luar tempat tinggal

biasanya atau keluar dari lingkungan tempat tinggalnya untuk periode kurang dari

12 bulan dan memiliki tujuan untuk melakukan berbagai aktivitas wisata (leisure

dan pleasure) atau tanpa bermaksud memperoleh penghasilan di tempat yang

dikunjungi. Beberapa objek wisata Kota Medan yang tercatat oleh BPS adalah

Museum Perjuangan, Museum Rahmad, Taman Margasatwa, Taman Budaya,

Istana Maimun dan Mesjid Raya Kota Medan. Padahal dengan seringnya Kota

Medan menjadi tujuan MICE seharusnya Kota Medan memiliki potensi pasar

7

pariwisata yang cukup baik. Namun hal ini tidak termanfaatkan dengan baik

karena potensi wisatawan tersebut lebih memilih untuk melakukan wisata pada

objek dan daya tarik wisatawan yang terletak di kota dan kabupaten berdekatan

dengan Kota Medan antara lain Kabupaten Tapanuli Utara (Danau Toba dan

Pulau Samosir), Kabupaten Langkat (Bukit Lawang dan Tangkahan), Kabupaten

Karo (Berastagi, Air Terjun Sipiso-piso dan Bukit Gundaling) serta beberapa

objek wisata menarik lainnya.

Kekayaan heritage berupa bangunan bernilai sejarah yang berpotensi

menarik wisatawan justru tidak terkelola dengan baik. Dalam kurun waktu 10

tahun terakhir, 10 dari 42 bangunan bernilai sejarah telah beralih fungsi atau

bahkan dihancurkan. Padahal menurut Kearns dan Philo (1993), kemungkinan

promosi sebagai bagian dari pemasaran daerah juga bisa dilakukan melalui seni,

festival dan daya tarik kebudayaan. Hal ini juga sudah dibuktikan melalui

penelitian yang dilakukan oleh Trueman et al. (2004) bahwa city of Bradford

di Inggris berhasil melakukan rebranding yaitu mengubah image dari sebuah kota

industri yang kotor dan tua melalui kekayaan heritage yang dikombinasikan

dengan ide-ide baru dan kreativitas. Namun jika Kota Medan ingin melakukan

rebranding seperti apa yang dilakukan oleh city of Bradford melalui pemanfaatan

heritage bukanlah perkara mudah. Penyebabnya adalah sesuai dengan apa yang

dikatakan oleh Hatz dan Schultz (2001), bahwa penciptaan brand sebuah kota

akan sangat sulit karena merujuk pada interaksi tiga variabel yaitu visi, budaya

dan image yang perlu disejajarkan dalam rangka menciptakan brand yang kuat.

Akan tetapi kota dengan sebuah new brand yang terintegrasi dengan framework

8

destinantion branding dan strategi pengembangan pariwisata telah terbukti

memiliki kontribusi besar terhadap aliran kunjungan wisatawan, investasi dan

menarik orang untuk tinggal menjadi penduduk tetap. City branding menurut

pendapat berbagai ahli merupakan tindakan menjual image kota yang telah

terbentuk. Setelah kota memiliki image maka branding selanjutnya berperan

untuk menumbuhkan, mempengaruhi persepsi orang lain mengenai image kota itu

sendiri. Dengan kata lain, upaya menciptakan kota sesuai dengan brand yang

dipilih karena city branding berfokus pada menciptakan persepsi orang mengenai

kota dan membentuk kota seperti image yang ditetapkan dengan upaya-upaya

tertentu.

1.1.1 Studi Kasus Singapura: “Uniquely Singapore”

Singapura adalah salah satu negara dengan pertumbuhan sektor pariwisata

sangat tinggi. Keterbatasan budaya dan sumber daya alam yang dimiliki

menyebabkan pertumbuhan tersebut tidak hanya diperoleh melalui investasi dan

pembangunan mega proyek saja, melainkan peran marketing yang cukup besar

(Henderson, 2007). Dimulai pada tahun 1970-an, Singapura menggunakan brand

“Instan Asia” yang menunjukkan bahwa pengunjung dapat menikmati budaya

utama Asia di multiras Singapura dan kemudian diganti menjadi “Surprising

Singapore” pada 1980-an yang menjanjikan perpaduan eksotis oriental dan gaya

barat modernitas. Karakteristik kemudian terus berganti menjadi “New Asia-

Singapura” yang diperkenalkan pada akhir 1990-an untuk mengungkapkan

bagaimana Singapura menginginkan dunia melihat apa yang terjadi pada

negaranya di akhir abad ke-20.

9

Pentingnya memiliki image tujuan yang kuat telah disorot dalam beberapa

tahun terakhir karena persaingan meningkat dan beberapa krisis ekonomi yang

menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Singapura masih belum stabil. Hal ini

kemudian mendorong peninjauan kembali terhadap brand “New Asia Singapura”

pada awal abad ke-21. Titik inilah yang kemudian mendorong terjadinya revolusi

brand di Singapura. Pada pertengahan tahun 2003, Pemerintah Singapura

melakukan upaya penggantian brand tersebut menjadi sebuah brand baru yang

lebih kredibel, menarik, berbeda dan universal. Melakukan dialog bersama 400

stakeholder kunci, terdiri dari perwakilan pemerintah, mitra industri di dalam dan

di luar negeri, wisatawan dan investor serta warga Singapura, hasilnya adalah

“Uniquely Singapura”. Brand baru ini menekankan pada diversity, kosmopolitan,

infrastruktur kelas dunia, delivery (akses, efisien, ramah, aman), experience

(nyaman, bebas stres, welcome) dan benefit (terpenuhi, memuaskan,

menyenangkan, bermanfaat/memperkaya). Point-point tersebut yang kemudian

menentukan atribut brand kosmopolitan, modern, keragaman budaya, kualitas

efisien dan campuran keragaman tersebut pada sebuah lingkungan hidup

berdampingan yang nyaman.

Gambar 1.1 Milestone City Branding Singapura

1970-an “Instant Asia”: Budaya utama

asia pada multiras yang

dimiliki Singapura

1980-an “Surprising Singapore”: Perpaduan

eksotis oriental dan modernitas

1990-an “New Asia

Singapore”: Relaksasi

peraturan demi kenyamanan

2003-an “Uniquely

Singapore”: kosmopolitan,

modern, diversity, efisien dan kenyamanan

10

“Uniquely Singapore” resmi digunakan pada bulan Maret 2004. City

branding tersebut kemudian terintergasi dengan program lainnya dan tertuang

dalam strategi pariwisata yang dikenal dengan Tourism 2015 (T2015). Hal ini

merupakan sinyal kuat bahwa Pemerintah Singapura berniat untuk mengubah

sektor pariwisata menjadi pendorong ekonomi utama bagi Singapura. Target yang

ingin dicapat adalah memperoleh penerimaan 3 kali lebih besar menjadi

S$30.000.000.000, kedatangan pengunjung dua kali lipat menjadi 17 juta orang

dan menciptakan 100.000 lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan pariwisata

pada akhir tahun perencanaan yaitu tahun 2015.

Hasilnya adalah pada tahun 2013 jumlah kedatangan wisatawan ke

Singapura mendekati angka target, tepatnya 15.567.923 wisatawan atau

meningkat sebesar 154,10 persen dari awal brand dilaunching yaitu tahun 2003

dengan total penerimaan dari sektor pariwisata sebesar S$23.000.000.000.

Meskipun secara kuantitatif masih diperlukan studi yang memisahkan dampak

spesifik dari marketing akan tetapi setidaknya peningkatan secara signifikan

terjadi setelah adanya launching city brand “Uniquely Singapore”, sebagaimana

dapat dilihat pada Tabel 1.4 dan Gambar 1.2 berikut.

Tabel 1.4 Jumlah Kedatangan Internasional dan Lama Kunjungan Wisatawan di Singapura Tahun 1966 – 2013

Tahun Jumlah (orang)

Lama Kunjungan (hari)

1966 128.670 NA

1970 579.284 NA

1980 2.562.085 NA

1990 5.332.654 NA

2000 7.691.000 3,2

2001 7.522.000 3,2

11

Tahun Jumlah (orang)

Lama Kunjungan (hari)

2002 7.567.112 3,1

2003 6.126.569 3,2

2004 8.328.118 3,2

2005 8.940.000 3,4

2006 9.751.141 3,4

2007 10.284.545 3,6 2008 10.116.054 4 2009 9.682.690 4 2010 11.641.701 4 2011 13.171.303 3,7 2012 14.496.091 3,5 2013 15.567.923 3,7

Sumber: Singapore Tourism Board, 2014

Gambar 1.2 Jumlah Kedatangan Internasional di Singapura Tahun 1966 – 2013 (orang)

Sumber: Singapore Tourism Board, 2014 1.1.2 Studi Kasus George Town, Malaysia: “City of Living Culture”

Kota Sejarah George Town, Penang (Malaysia), dijuluki sebagai “the city

of living culture”, menyusun strategi untuk mewujudkan kotanya sesuai dengan

brandnya. Fokus Pariwisata di Kota bersejarah George Town adalah heritage dan

Jumlahkedatanganinternasional

12

local wisdom, yang merupakan kulminasi dari penjajahan masa lalu dan kekayaan

sejarah. Kota Sejarah George Town memfokuskan upaya konservasi pada

bangunan pra-perang. Upaya pemerintah untuk menempatkan kota tua atau pusat

bersejarah pada world heritage list. Lokasi tersebut meliputi area seluas kurang

lebih 259,38 ha yang terdiri dari peninggalan kota pada abad ke-18 dengan konsep

water front city dan lingkungan multietnis. Menurut UNESCO lokasi tersebut

sebagai sebuah contoh luar biasa dari permukiman multibudaya tradisional yang

paling mewakili budaya toleransi, perdamaian, keragaman, konflik dan

kontinuitas dalam menghadapi modernisasi dan perubahan sosial.

George Town, dengan penduduk yang terdiri dari Cina, India dan Melayu

mengklaim bahwa kotanya telah menciptakan “living culture” dalam

keberagaman tersebut. Budaya lokal, campuran Cina, India, Jawi Pekan dan

Melayu (bahasa Arab setempat, Rawa, Minang, Achinese, dan keturunan Jawa)

adalah potensi yang kemudian dijadikan sebagai selling point. Meskipun

demikian, sumber daya budaya analog dengan "bahan baku" dalam proses

produksi, perlu diolah lebih lanjut untuk kemudian dapat menjadi produk wisata

yang dapat dijual. Jadi image dibangun dari sebuah komunitas dengan kelompok

etnis yang berbeda tetapi mampu hidup dalam keharmonisan. The Harmony Trail

dengan koleksi bangunan bersejarah dari Cina, India dan Melayu adalah contoh

dari keharmonisan tersebut. Pemerintah dalam upaya menempatkan George Town

pada daftar warisan dunia UNESCO juga mengintegrasikan nilai-nilai

kemanusiaan tersebut dengan arsitektur dan perencanaan kota.

13

Proses penciptaan image adalah proses selektif. George Town memilih

sejarah kolonial sebagai image dan kemudian diwakilkan melalui brand “City of

living culture”. Heritage dipilih sebagai produk pariwisata yang inherent bersama

etnis dan budaya (bahasa/dialek, sistem kepercayaan, ritual dan gaya hidup).

George Town telah berhasil menciptakan image yang kuat, meskipun tetap

menjual produk melalui promosi dan partisipasi dari sektor publik dan swasta.

Kota Bersejarah George Town telah berhasil memanfaatkan keanekaragaman

budaya dan heritage. Sebagai modal pembangunan masa depan, image kota terus

dipertahankan melalui konservasi dan pelestarian. Upaya bersama antara

pemerintah, sektor swasta dan masyarakat setempat sangat penting untuk

menjamin keberlanjutan Kota Bersejarah George Town yang bertumpu pada

industri pariwisata heritage.

Gambar 1.3 Jumlah Wistawan Lokal dan Mancanegara di Penang, Malaysia Tahun 2005 – 2012 (orang)

Sumber: Kementerian Pariwisata Malaysia dan Penang Institute, 2014

Berdasarkan Gambar 1.3, dapat dilihat tren meningkat untuk jumlah

kedatangan wisatawan internasional dan lokal selama bertahun-tahun. Pada tahun

2008, jumlah kunjungan ke George Town mencapai 6.310.000 wisatawan setelah

Jumlahwisatawanlokaldanmancanegara

Tahun

14

George Town secara resmi diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO

di tahun tersebut. Ledakan kunjungan wisatawan dengan jumlah lebih dari 3 kali

lipat (320 persen) ini kemudian melambat tetapi tetap stabil di antara 5.96 dan

6.09 juta wisatawan hingga tahun 2012. Terdapat titik balik pada tahun 2009,

ketika jumlah wisatawan internasional mulai melebihi pengunjung lokal. Sejak

itu, persentase tetap konstan, mencapai proporsi yang hampir sama antara

wisatawan lokal dan internasional.

Helbrecht (1994: 528), membahas relevansi filosofi pemasaran kota dan

metoda bagi pemerintah daerah bahwa pemasaran kota memungkinkan

peningkatan level kualitas kebijakan pembangunan daerah dalam hal

komprehensif, kreativitas dan fleksibilitas. Sumber daya baru dalam bentuk ide,

modal dan pengetahuan lokal yang dimobilisasi untuk kebijakan lokal.

Berdasarkan cara tersebut, pemasaran kota memungkinkan pendekatan strategis

untuk menciptakan kerjasama publik dan sektor swasta. City branding

menyiratkan perubahan yang signifikan dari perspektif pemasaran yang

menyeluruh. Pemasaran adalah sebuah proses yang dapat digunakan untuk

menyelesaikan berbagai tujuan yang ditetapkan oleh kota, karena untuk

membahas pemasaran kota hanya dalam hal ekonomi adalah untuk

menyederhanakan maknanya (Paddison, 1993). City branding dipahami sebagai

sarana baik untuk mencapai keunggulan kompetitif dalam rangka meningkatkan

investasi masuk dan pariwisata, dan juga untuk mencapai pembangunan

masyarakat, memperkuat identitas lokal dan identifikasi warga dengan kota serta

15

mengaktifkan semua kekuatan sosial untuk menghindari pengucilan sosial dan

kerusuhan.

Saat ini, aktivitas pemasaran dianggap sebagai hal yang cukup penting oleh

banyak kalangan pemerintahan, tidak terkecuali Pemerintah Kota Medan.

Pada bulan Januari 2012, bersamaan dengan penetapan Kota Medan sebagai

Tahun Kunjungan Wisata (Visit Medan Year 2012) oleh Kementerian Budaya dan

Pariwisata Republik Indonesia, Kota Medan secara resmi menggunakan brand

logo beserta tag line “This is Medan”, sebagai city branding yang bertujuan

menarik minat wisatawan dan investasi di Kota Medan. Meskipun belum ada

peraturan formal yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam menetapkan logo dan

tag line tersebut sebagai city branding Kota Medan, namun aktivitas promosi

pariwisata di Kota Medan menggunakan logo dan tag line tersebut sebagai salah

satu perangkatnya.

Gambar 1.4 City Branding Kota Medan

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, 2014

16

Arti dan makna brand logo tersebut adalah sebagai berikut.

This is Medan

This is Medan merupakan penterjemahan kedalam versi Bahasa Inggris dari kalimat; Ini Medan, Bung!!. Kalimat tersebut merupakan image yang sudah melekat bagi Kota Medan sejak era tahun 1970-an, akan tetapi berasosiasi negatif karena berdekatan dengan makna arogansi/superior/premanisme yang terjadi di Kota Medan. Maksud This is Medan tanpa kata “bung” bertujuan untuk menghilangkan image negatif tersebut. Jadi ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa telah terjadi relaksasi dalam aspek kemanan dan kenyamanan pada dunia luar (softening).

Emoticon smile berwarna merah

Seluruh penduduk Kota Medan siap mendukung perubahan yang dimaksudkan oleh tag line: This is Medan yang diwakilkan dengan tanda senyum. Masyarakat Kota Medan akan menyambut baik semua orang yang akan berkunjung ke Kota Medan.

Payung Agung

Payung agung dalam Kebudayaan Melayu adalah sebagai tanda kebesaran dan keagungan seorang raja sebagai pengayom masyarakat yang dipimpinnya. Dalam brand logo tersebut payung agung adalah sebagai lambang sapta pesona yang memayungi industri pariwisata di Kota Medan. Sapta Pesona sendiri merupakan merupakan sebutan bagi 7 unsur pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata di Indonesia, yang terdiri dari: 1. aman; 2. tertib; 3. bersih; 4. sejuk; 5. indah; 6. ramah; 7. kenangan.

Tujuan Pemerintah Kota Medan menciptakan city branding tersebut secara

teori mengadopsi makna dan filosofis pemasaran daerah (marketing places)

sebagai instrumen penting untuk memperkuat perekonomian daerah dan daya

saing global. Kartajaya et al. (2002: 177) mendefinisikan pemasaran daerah/kota

sebagai perencanaan dan perancangan suatu daerah/kota agar mampu memenuhi

dan memuaskan keinginan dan harapan “pasar targetnya” yang meliputi tiga

pihak, yaitu:

17

1. penduduk dan masyarakat daerah tersebut;

2. pengunjung, pengusaha, investor dari dalam dan luar daerah; dan

3. pengembang dan event organizers serta pihak-pihak lainnya yang membantu

meningkatkan daya saing daerah tersebut.

Dalam tiga dekade terakhir, jumlah kota yang menggunakan metoda

pemasaran terus meningkat disebabkan oleh persaingan intensif untuk

memperoleh lebih banyak investasi, penerimaan dari sektor pariwisata dan

penduduk (Kotler et al., 1999: 21). Kavaratzis (2004) berpendapat bahwa dalam

konsep pemasaran kota (city marketing) akan sangat tergantung dari bagaimana

membangun, mengkomunikasikan dan mengatur image kota tersebut. Objek dari

pemasaran kota adalah image kota yang pada akhirnya akan menjadi starting

point dalam mengembangkan city branding. Beberapa contoh kota beserta brand

yang dimiliki antara lain Paris dengan keromatisannya, Milan sebagai Kota

Fashion, Washington dikenal dengan Kota Power, Tokyo dengan

kemodernannya, Lagos sebagai Kota Korupsi, Barcelona dengan kebudayaannya,

Rio sebagai kota fun (Anholt, 2006).

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan pada dasarnya adalah

mengikuti tren yang saat ini berkembang pada kota-kota besar lainnya seperti

“Malaysia the Truly Asia” sebagai brand nasional dan “City of the Future” pada

konteks Kota Kuala Lumpur. Sementara untuk konteks Indonesia sendiri seperti

Bali dengan “Bali: Shanti, Shanti, Shanti”, Yogyakarta dengan “Jogja Never

Ending Asia”, Solo dengan “Solo the Spirit of Java”, Semarang dengan

“Semarang the Beauty of Asia” dan Jawa Tengah dengan “Passion Strength

18

Herritage”. Penggunaan brand logo yang disertai dengan tag line pun memiliki

kemiripan yaitu menggunakan Bahasa Inggris dengan harapan brand logo dan tag

line yang diciptakan memiliki cakupan internasional. Intinya adalah satu, bahwa

ide di balik branding sebuah kota adalah untuk melakukan persuasi kepada

customer atau target pasar bahwa sebuah kota mampu memenuhi kebutuhan lebih

baik dari kompetitornya. Brand yang simple dan naratif memiliki pengaruh besar

terhadap keputusan seseorang untuk mengunjungi kota, membeli barang dan jasa,

melakukan kegiatan bisnis atau bahkan berpindah tempat tinggal (Anholt, 2006).

Berdasarkan hal tersebut, menjadi penting bagi Kota Medan untuk

membedakan dirinya dari kota-kota lain, sehingga generasi apapun akan

mempromosikan kekuatan dan karakteristik unik yang dimiliki Kota Medan dan

pada gilirannya dapat diakui dan diadopsi oleh masyarakat untuk menciptakan

keberlanjutan Kota Medan sebagai kota yang bertumpu pada sektor tersier.

Sebagai tambahan bahwa city branding tidak hanya bermanfaat dalam aspek

ekonomi, akan tetapi juga berdampak pada budaya dan konservasi, sehingga city

brand yang kuat diharapkan akan memperbaiki tatanan dan lingkungan kehidupan

Kota Medan. Perbaikan pada persepsi orang tentang brand sebuah kota membantu

dalam peremajaan kota (Trueman et al., 2004). Namun apakah This is Medan

sebagai city branding telah berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan tujuannya

sebagaimana kisah sukses city branding Singapura dan George Town akan

menjadi sebuah pertanyaan yang menarik untuk dijawab, karena apapun yang

dijadikan sebagai sebuah brand harus mampu dilaksanakan secara fokus,

sistematik dan menarik agar komunitas bisnis, wisatawan, pengunjung dan

19

penduduk lokal tetap setia kepada Kota Medan. Sebuah city branding yang

seharusnya tidak memiliki disonansi antarstakeholder.

1.2 Keaslian Penelitian

Literatur dan penelitian empiris terhadap city branding bisa dikatakan masih

sedikit jumlahnya, saat ini fokus literatur hanya pada tataran perbaikan secara

konseptual. Fatimah (2010) melakukan penelitian tentang potensi kuliner (tahu

bakso) sebagai city branding Kabupaten Semarang. Penelitian tersebut

memperkirakan dampak potensi city branding terhadap peningkatan

perekonomian Kabupaten Semarang bila dilihat dari pengaruh sektor industri

kecil dan rumah tangga dalam meningkatkan tenaga kerja. Studi ini

menyimpulkan bahwa tahu bakso dinilai potensial sebagai city branding

Kabupaten Semarang berdasarkan analisis brand association dan perceived

quality. Selain itu, potensi city branding tersebut dinilai dapat memberikan

pengaruh terhadap peningkatan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah

tangga.

Raubo (2010) melakukan penelitian tentang city branding dan dampaknya

pada daya tarik kota bagi external audiens. Untuk mengetahui dampaknya, Raubo

(2010) menggunakan multiple regresi untuk mengetahui apakah terdapat

hubungan antara kekuatan city branding terhadap 2 indikator yaitu pariwisata

dengan jumlah kunjungan wisatawan yang menginap dan estimasi penanaman

modal asing dalam rentang waktu 1 tahun. Penelitian dilakukan terhadap 29

negara di Eropa di mana kekuatan branding masing-masing kota menggunakan

hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Saffron European City Brand

20

Barometer. Penelitian dilakukan untuk menguji hipotesis apakah kekuatan city

branding mempengaruhi daya tarik sebuah kota menurut external audiens, dengan

kata lain semakin tinggi nilai kekuatan city brand indexnya maka akan semakin

besar pula jumlah kunjungan wisatawan bermalam dan penanaman modal asing

di kota tersebut. Hasilnya adalah tidak satu pun hipotesis yang ditolak, artinya

hubungan antara kekuatan city branding dengan jumlah kunjungan wisatawan dan

nilai investasi adalah signifikan.

Deffner dan Metaxas (2006) menyusun rencana contoh pemasaran Kota Nea

Ionia, Yunani melalui implementasi branding. Isi makalah berupa panduan

rencana pemasaran tentang bagaimana image multidimensi Kota Nea Ionia secara

efektif dapat dipromosikan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa

pentingnya mengembangkan branding atau brand kota untuk meningkatkan

statusnya sebagai tujuan wisata, lokasi usaha dan perumahan. Branding

berkontribusi terhadap pembangunan identitas lokal. Branding berhubungan

dengan nilai ekonomi dan simbolis, kota-kota harus memiliki kedalaman,

orisinalitas dan karakter yang berbeda melalui pilihan materi, keragaman dan ciri

menonjol.

Anholt (2006) dan Hildreth (2008) keduanya sama-sama melakukan

pengukuran terhadap kekuatan dari sebuah city brand. Anholt (2006) meneliti 30

kota di dunia dan menyusun ranking kota-kota tersebut berdasarkan brandnya

yang dikenal dengan Anholt-GMI City Brand Index. Pengukuran yang dilakukan

oleh Anholt didasarkan kepada 6 komponen, yaitu: the presence, the place, the

potential, the pulse, the people dan the prerequisites. Hildreth (2008) juga

21

melakukan studi untuk mengetahui kekuatan city brand. Perbedaannya, studi

dilakukan dengan mengukur kekuatan aset dan kekuatan city brand dalam rangka

mencari korelasi apakah aset memperkuat brand sebuah kota. Studi ini menilai

kekuatan city brand berdasarkan persentase kekuatan aset.

Secara ringkas studi-studi empiris terdahulu terkait city branding disajikan

pada Tabel 1.5 berikut.

Tabel 1.5 Rangkuman Studi-studi Empiris Terdahulu terkait City Branding

No Peneliti Metoda Hasil 1. Kavaratzis (2004) Pendekatan pengembangan

konsep corporate branding dengan beberapa modifikasi yang dapat diterapkan dalam city branding.

Penggunaan city branding dan efek potensialnya terhadap penduduk kota yang didasarkan pada kombinasi pengukuran pemasaran kota dan komponen manajemen city branding.

2. Anholt (2006) Pengukuran yang dilakukan oleh Anholt didasarkan kepada 6 komponen, yaitu: the presence, the place, the potential, the pulse, the people dan the prerequisites. Sebanyak 17.502 responden disurvei secara on-line untuk melakukan penilaian terhadap 30 kota di dunia berdasarkan 6 komponen tersebut.

Ranking kota berdasarkan brand-nya

3. Henderson (2007) Pendekatan studi kasus dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin melalui interview kepada siapa saja yang terlibat dalam branding. Sebuah metoda yang sering digunakan oleh bidang periklanan sektor pariwisata.

Keunikan Singapore dibanding negara tentangganya di Asia Tenggara memang dianggap sebagai kekuatan dalam sektor pariwisata. Brand yang cukup kuat pada kenyataannya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan wisatawan.

4. Hildreth (2008) Mengukur kekuatan aset dan kekuatan city brand dalam rangka mencari korelasi apakah aset memperkuat brand sebuah kota. Studi ini menilai kekuatan city brand berdasarkan persentase kekuatan aset.

Ranking kota berdasarkan brand-nya.

5. Riyadi (2009) Penelitian dilakukan dengan desk study untuk mengetahui seberapa pentingkah brand bagi sebuah kota dan bagaimana merumuskan brand yang tepat untuk suatu daerah.

Merumuskan brand suatu daerah agar benar-benar dapat dibedakan dari daerah lain sebagai salah satu strategi promosi untuk meraih keunggulan bersaing baik tingkat lokal, regional bahkan internasional. Untuk membangun brand yang kuat diperlukan berbagai kajian dan analisa yang mendalam selain juga kreatifitas.

22

Lanjutan Tabel 1.5

No Peneliti Metoda Hasil 6. Fatimah (2010) Menganalisis potensi tahu bakso

sebagai city branding dan pengarunya terhadap peningkatan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah tangga. Studi ini dilakukan dengan menggunakan metoda deskriptif untuk menganalisis konsumen dan analisis korelasi pearson serta metoda forecasting untuk melihat pengaruh potensi city branding terhadap perekonomian daerah.

1. Tahu bakso berpotensi menjadi city branding berdasarkan hasil analisis brand awareness yang menduduki tingkat top of mind.

2. Potensi tahu bakso sebagai city branding akan meningkatkan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah tangga di Kab. Semarang.

7. Deffner dan Metaxas (2006)

Penciptaan dan pelaksanaan kemasan/packaging, menghitung karakter multidimensi Nea Ionia sebagai produk akhir.

Produk akhirnya adalah image Kota Nea Ionia yang merupakan gabungan unsur tradisional dan modern serta mempertimbangkan strategi tertentu yang ingin dikembangkan Nea Ionia. Produk akhir kota tersebut didasarkan pada pariwisata dengan tiga dimensi sebagai berikut: kegiatan budaya, olahraga dan kuliner .

8. Raubo (2010) Multiple regresi untuk menguji hipotesis apakah terdapat hubungan antara kekuatan city branding sebuah kota dengan jumlah kunjungan wisatawan bermalam dan nilai investasi asing.

Hipotesis diterima artinya model tersebut signifikan.

Pada bagian latar belakang, disampaikan bahwa dibutuhkan sebuah city

branding yang jelas dan konsisten, serta dapat diterima oleh semua pemangku

kepentingan atau stakeholder. Jika hal ini tercapai maka akan berkontribusi besar

terhadap kekuatan branding sebuah kota, begitu juga sebaliknya. Dalam konteks

Kota Medan, aset heritage yang memiliki potensi cukup besar untuk

dikembangkan menjadi city branding diyakini akan membawa manfaat bagi kota

dalam jangka panjang. Namun bagi stakeholder lainnya, mempertahankan

heritage dianggap tidak lagi relevan terhadap perkembangan Kota Medan saat ini.

Berdasarkan perbedaan persepsi tersebut dibutuhkan sebuah penelitian untuk

23

mengidentifikasi persepsi stakeholder dalam rangka mengatasi kesenjangan

kinerja brand yang sudah ditetapkan. Secara khusus faktor-faktor mendasar yang

dapat membedakan penelitian ini dengan sebelumnya adalah:

1. penelitian dilakukan secara deskriptif untuk memberikan gambaran tentang

persepsi masing-masing stakeholder terhadap city branding dan kinerja city

branding;

2. penelitian menggunakan Uji AC2ID (Balmer, 2001) untuk mengidentifikasi

konflik antara persepsi stakeholder dan inkonsistensi strategi city branding;

3. penelitian empiris tentang city branding pertama untuk lokasi Kota Medan.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tujuan

Pemerintah Kota Medan menetapkan logo beserta tag line “This is Medan”

adalah sebagai city branding atau sebagai komunikasi sekunder menurut kerangka

teoritis membangun city branding (Kavaratzis, 2004). Sejatinya, city branding

tersebut akan memperkuat persepsi positif Kota Medan yang berkaitan dengan

tinggal, berkunjung dan investasi. Sebagai kota yang bertumpu pada sektor tersier,

city branding penting mengingat rendahnya tingkat okupansi dan buruknya

penilaian masyarakat terhadap kenyamanan Kota Medan (most liveable city index)

serta yang tidak kalah pentingnya adalah penghancuran secara massive terhadap

aset kota yaitu heritage menyebabkan Kota Medan kehilangan identitasnya.

Perpaduan ketiga hal tersebut akan mengancam keberlanjutan perekonomian Kota

Medan. Diharapkan city branding mampu bekerja secara opimal untuk

memperbaiki kondisi tersebut, sebagaimana tujuannya.

24

Fokus penelitian dan literatur yang selama ini adalah lebih kepada

bagaimana membangun sebuah brand tersebut. Belum banyak literatur yang

melakukan studi untuk mengidentifikasi dan memberikan gambaran tentang

bagaimana kinerja city branding. Oleh karena itu, hal ini membuat menarik bagi

peneliti untuk melakukan penelitian tentang city branding dengan pertanyaan

penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran kinerja city branding (brand performance), apakah

sesuai dengan tujuannya yaitu menjadikan Kota Medan lebih atraktif untuk

menarik kunjungan wisatawan dan berinvestasi?

2. Apakah terjadi konflik atau disonansi yang disebabkan perbedaan persepsi

antarstakeholder terhadap city branding dalam rangka mewujudkan city

branding ideal bagi Kota Medan?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. menganalisis perkembangan jumlah kunjungan wisatawan dan nilai investasi

sebelum dan sesudah ditetapkannya city branding. Hal ini dilakukan untuk

memberikan deskripsi terhadap kinerja city branding (brand performances)

Kota Medan;

2. mengidentifikasi konflik atau disonansi persepsi antarstakeholder terhadap

city branding dalam rangka mewujudkan city branding ideal bagi Kota

Medan.

25

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang, rumusan

masalah dan tujuan penelitian maka manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini

adalah:

1. memperkaya khasanah studi empiris bagi kalangan akademisi dalam

memahami implementasi ilmu pemasaran pada sektor publik khususnya

marketing places atau pemasaran daerah;

2. sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam perencanaan dan

pengambilan kebijakan khususnya dalam mengoptimalkan kinerja city

branding sebagai akibat adanya konflik atau disonansi persepsi

antarstakeholder.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut: Bab I adalah

pengantar yang menguraikan tentang latar belakang masalah penelitian, keaslian

penelitian, manfaat dan tujuan dan sistematika penulisan. Bab II adalah studi

literatur yang menguraikan tentang tinjauan pustaka dan teori yang terkait dengan

penelitian, studi empiris berupa rangkuman best practice yang dijadikan sebagai

benchmarking dalam penelitian. Bab III adalah metoda riset yang menguraikan

pendekatan penelitian, data dan sumber data serta alat-alat analisis yang

digunakan untuk menemukan jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian.

Bab IV adalah temuan dan analisis data yang menguraikan hasil penelitian dan

pembahasan. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran dan

keterbatasan penelitian.