bab i pendahuluan 1. latar belakang...

47
1 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Runtuhnya rezim Orde Baru membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya ditandai dengan liberalisasi politik di tingkat nasional dan tingkat lokal. Artinya sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik nondemokratis menjadi sistem politik yang demokratis. Namun perubahan sistem politik ini tidak serta merta mengakhiri kekuatan politik lama yang lahir dan berkembang pada masa Orde Baru tersebut. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Hadiz dan Robinson yang mengemukakan bahwa berbagai kepentingan predator (penulis : kekuatan politik lama) yang dibesarkan di bawah sistem patronase rezim Suharto yang begitu luas dan terpusat – yang menjalar dari istana Kepresidenan di Jakarta hingga ke propinsi-propinsi, kota-kota dan desa-desa – sebagian besar masih terus hidup dan berpengaruh (Hadiz, 2005 : 295). Memang menjadi sebuah anomali manakala sistem politik yang demokratis yang dihadirkan oleh rezim Reformasi, justru memberi ruang tumbuh dan berkembangnya berbagai dinasti politik di beberapa daerah pada berbagai level kekuasaan. Bahkan fenomena dinasti politik ini sudah menyentuh kekuasaan politik ditingkat desa dengan hadirnya dinasti kepala desa yang merupakan warisan kekuasaan rezim Orde Baru, seperti yang dijumpai di Desa Puput yang menjadi lokus penelitian dari studi ini.

Upload: vanthien

Post on 22-May-2018

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

 

1  

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Runtuhnya rezim Orde Baru membawa dampak yang sangat signifikan

terhadap perubahan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya

ditandai dengan liberalisasi politik di tingkat nasional dan tingkat lokal. Artinya

sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik nondemokratis

menjadi sistem politik yang demokratis. Namun perubahan sistem politik ini tidak

serta merta mengakhiri kekuatan politik lama yang lahir dan berkembang pada

masa Orde Baru tersebut.

Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Hadiz dan Robinson yang

mengemukakan bahwa berbagai kepentingan predator (penulis : kekuatan politik

lama) yang dibesarkan di bawah sistem patronase rezim Suharto yang begitu luas

dan terpusat – yang menjalar dari istana Kepresidenan di Jakarta hingga ke

propinsi-propinsi, kota-kota dan desa-desa – sebagian besar masih terus hidup dan

berpengaruh (Hadiz, 2005 : 295).

Memang menjadi sebuah anomali manakala sistem politik yang demokratis

yang dihadirkan oleh rezim Reformasi, justru memberi ruang tumbuh dan

berkembangnya berbagai dinasti politik di beberapa daerah pada berbagai level

kekuasaan. Bahkan fenomena dinasti politik ini sudah menyentuh kekuasaan

politik ditingkat desa dengan hadirnya dinasti kepala desa yang merupakan

warisan kekuasaan rezim Orde Baru, seperti yang dijumpai di Desa Puput yang

menjadi lokus penelitian dari studi ini.

 

2  

Selanjutnya, fokus kajian dari studi ini adalah tentang dominasi kekuasaan

di tingkat desa oleh sebuah kekuatan politik lama yang disebut dengan Dinasti

Mustohfa atau dinasti kepala desa. Dinasti Mustohfa telah berkuasa di Desa Puput

sejak tahun 1971 sampai saat ini secara terus menerus. Tiga generasi dari dinasti

ini yang terdiri dari empat kepala desa, secara bergantian telah mewarnai sejarah

kepemimpinan di Desa Puput dalam kurun waktu lebih dari 41 tahun.

Fenomena dinasti kepala desa yang berdiri sejak masa Orde Baru dapat

dibaca sebagai kemampuan kekuatan politik lama bertransformasi menyikapi

perubahan-perubahan akibat peralihan rezim otoriter ke rezim demokratis. Artinya

sustainabilitas dominasi kekuasaan mereka pada masa Orde Baru berhasil

dipertahankan pada masa Reformasi. Bila disimak dengan seksama survivabilitas

Dinasti Mustohfa pasca tumbangnya rezim Orde Baru, erat kaitannya dengan

“kegagalan” rezim Reformasi dalam merestrukturisasi sistem politik, sosial dan

ekonomi secara komprehensif. Perubahan struktur politik ditingkat nasional dan

lokal tidak dibarengi dengan perubahan struktur sosial dan ekonomi secara

komprehensif sehingga masih banyak mengalami ketimpangan.

Setelah 14 tahun berdirinya rezim Reformasi, masih banyak dijumpai di

beberapa wilayah, tingkat pendidikan formal maupun pendidikan nonformal

masyarakat setempat yang masih rendah. Selain itu sumber-sumber ekonomi

utama seperti perkebunan dan pertambangan di daerah itu masih terkonsentrasi

ditangan sekelompok kecil korporasi maupun elit desa (salah satunya termasuk

Dinasti Mustohfa), sehingga menyebabkan masyarakat dalam keadaaan terpaksa

ataupun tidak harus tunduk patuh kepada keinginan-keinginan para elit tersebut,

 

3  

termasuk ambisi politik. Tujuannya adalah untuk menjamin keberlangsungan

distribusi jasa-jasa dan sumber-sumber penghidupan mereka (sustainabilitas

subsistensi) yang dikuasai oleh dinasti politik. Kondisi tadi menyadarkan kita

bahwa survivabilitas sebuah dinasti politik sangat bergantung kepada

sustainabilitas hubungan timbal balik (reciprocal) yang terjalin dalam sebuah

relasi patron-klien, yang menempatkan dinasti politik sebagai patron dan

masyarakat sebagai klien.

Terkait dengan pelaksanaan demokrasi di tingkat desa, rezim Orde Baru

maupun rezim Reformasi masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.

Orde Baru hadir dengan karakter yang tertutup dalam rekrutmen politik di tingkat

desa. Sedangkan Reformasi hadir dengan rekrutmen politik yang lebih terbuka.

Akibat dari rekrutmen politik yang tertutup tersebut, jabatan-jabatan politis seperti

kepala desa sering berotasi diantara elit desa dari kelompok yang sama, walaupun

dalam setiap suksesinya sudah dilakukan melalui demokrasi elektoral. Studi

Antlov di salah satu desa di Jawa Barat dengan judul Negara Dalam Desa ;

Patronase Politik Lokal (Antlov, 2003) membuktikan fenomena tersebut. Namun

dinasti kepala desa yang ditemukan Antlov tersebut hanya bertahan pada masa

Orde Baru saja.

Rezim Orde Baru memberlakukan berbagai persyaratan dan seleksi yang

ketat terhadap elit desa yang akan mengikuti Pilkades. Studi yang dilakukan oleh

Latief di Jawa Tengah (Latief, 2000 : 191) dan Suharni dkk di Jawa Tengah dan

DIY (Suharni dkk, 1992 : 36) menemukan bahwa berbagai tahapan seleksi di

tingkat kabupaten harus diikuti oleh bakal calon kepala desa. Jika dalam

 

4  

serangkaian seleksi tersebut mereka dinyatakan lolos, maka mereka berhak untuk

mengikuti Pilkades di desanya masing-masing. Bahkan Antlov dalam salah satu

risetnya di Jawa Barat mengemukakan bahwa selain harus lolos berbagai tahapan

seleksi yang dilakukan oleh panitia skrining (screening) di tingkat kabupaten,

seorang bakal calon kepala desa harus terlebih dahulu menyatakan diri atau paling

tidak, dianggap sebagai pendukung Golkar.

Peran negara yang sangat dominan ini untuk memastikan bahwa siapa pun

yang bertarung dalam Pilkades adalah elit desa yang hanya memiliki

monoloyalitas kepada negara dan Golkar sebagai partai negara. Jika mereka

dianggap bukan pendukung setia negara maupun Golkar, maka sudah dapat

dipastikan bahwa mereka tidak akan lulus dalam serangkaian seleksi tersebut.

Loyalitas kepada negara ditunjukkan dengan kesediaan melaksanakan dan

menyukseskan berbagai program pemerintah. Seperti yang diutarakan Mas’oed

bahwa kebijakan publik dari pemerintah pusat yang melibatkan peran kepala desa

itu terdapat dalam berbagai bidang, seperti bidang pembangunan perkebunan,

kesehatan, penarikan pajak, dan lain-lain. Singkatnya hampir semua departemen

di Jakarta punya proyek pembangunan yang pelaksanaannya memerlukan kepala

desa sebagai pelaksana lapangan (Mas’oed, 2003 : 128). Kondisi itu memaksa

kepala desa menjalani dualisme fungsi ; sebagai klien dari negara sekaligus patron

bagi masyarakatnya. Sedangkan loyalitas kepada Golkar diwujudkan dengan

mendukung Golkar untuk memenangkan setiap pemilihan umum (Pemilu) di

wilayahnya.

 

5  

Bagi sebuah dinasti politik yang dibesarkan di masa Orde Baru, dukungan

dari negara memberikan andil yang cukup besar untuk mempertahankan jabatan

kepala desa. Sebagai klien negara, kepala desa menjadi pejabat lapangan untuk

melaksanakan program-program pemerintah. Di dukung oleh kondisi itu, kepala

desa dapat menggunakan berbagai program pemerintah, sebut saja program

bantuan desa (BANDES), Inpres desa tertinggal (IDT), dan program-program

lainnya untuk melanggengkan kekuasaannya. Bantuan-bantuan tersebut bisa saja

dimanipulasi kepala desa sebagai salah satu bentuk kedermawanannya (patron)

untuk masyarakatnya (klien).

Ada dua hal yang dapat ditarik dari Pilkades pada masa orde, terkait dengan

kontestasi yang harus dilalui oleh seorang kandidat kepala desa untuk sampai

pada kursi kekuasaan. Pertama, memenangkan “restu negara” melalui

serangkaian persyaratan dan seleksi oleh pemerintah dari tingkat desa, kecamatan

dan kabupaten. Kedua, sebagai jabatan politis, jabatan kepala desa harus

dimenangkan melalui dukungan rakyat dengan suara terbanyak. Mas’oed bahkan

memiliki pandangan yang lebih ekstrem terkait dengan Pilkades, menurutnya

keberhasilan seseorang untuk menjadi pejabat desa itu (kepala desa) lebih banyak

ditentukan oleh wewenang di luar desa melalui serangkaian seleksi oleh pejabat

kabupaten daripada oleh para pemilih dalam desa (Mas’oed, 2003 : 127).

Rekrutmen politik terbuka pada masa Reformasi ditandai dengan semakin

beragamnya kontestan yang mengikuti Pilkades. Mereka berasal dari berbagai

latar belakang dan ideologi politik yang berbeda. Kondisi ini disebab oleh

dihapuskannya serangkaian persyaratan dan seleksi di tingkat kabupaten yang

 

6  

selama ini dijadikan alat oleh pemerintah untuk menjegal bakal calon kepala desa

yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah Orde Baru dan Golkar. Artinya

kepala desa terpilih sudah terlepas dari kewajiban untuk memberikan loyalitas

tunggalnya kepada negara dan Golkar, sekaligus penghapusan perannya sebagai

klien bagi negara dan Golkar.

Meskipun demikian, kehilangan posisi sebagai “klien” negara menjadi

kerugian tersendiri bagi dinasti politik. Sebab, berbagai program dan bantuan

pemerintah yang rutin disalurkan pada masa Orde Baru, sudah dihapuskan atau

penggunaannya sudah lebih selektif karena pengawasan oleh lembaga baru seperti

badan perwakilan desa (BPD). Selain itu proteksi negara terhadap “klien”

setianya, dengan menjegal bakal calon kepala desa lainnya melalui sejumlah

persyaratan dan tes sudah tidak ada lagi. Melihat berbagai kondisi di atas,

pertarungan antar elit desa dalam Pilkades di masa Reformasi benar-benar

mengandalkan kekuatan politik mereka sendiri untuk meraih dukungan

masyarakat (pemilih). Elit yang menjadi kandidat kepala desa harus memiliki

berbagai keunggulan sumber daya (resources) agar para pemilih yakin bahwa

mereka layak menjadi pemimpin tertinggi di desanya. Bagi pejabat incumbent

ataupun keluarganya tantangan menjadi lebih kompleks, sebab selain harus

memiliki berbagai keunggulan sumber daya, masa kepemimpinan sebelumnya

dijadikan tolak ukur apakah mereka masih layak untuk dipilih atau tidak.

Mencermati berbagai kondisi pada masa Orde Baru dan Reformasi di atas,

mempertahankan sebuah kekuasaan bukanlah hal yang mudah terutama pada saat

transisi pergantian rezim pemerintahan. Hasrat beberapa kelompok masyarakat

 

7  

untuk mengakhiri kekuasaan pejabat desa yang pernah menjadi “klien negara” di

masa Orde Baru bermunculan, sebagai bentuk euforia atas kemenangan rezim

Reformasi. Dalam kurun waktu 1998-1999, di Kecamatan Simpangkatis (saat itu

masih berstatus kecamatan pembantu) ada dua desa, yaitu Sungkap dan Celuak

yang mengalami kekisruhan politik. Kepala desa di dua desa itu terpaksa

mengundurkan diri dari jabatannya karena desakan kuat dari berbagai elemen

masyarakat di desanya masing-masing (Purnamawan, 12/03/2013; Syamsiar

12/03/2013; dan Sa’ib, 01/05/2013). Dua kasus tadi membuktikan bahwa pasca

tumbangnya Orde Baru, masyarakat di kedua desa kehilangan kepercayaan dan

dukungannya kepada para pemimpin desa yang merupakan produk Orde Baru dan

warisan dinasti politik sebelumnya. Sebab Kepala Desa Celuak saat itu

merupakan anak dari Kepala Desa Celuak periode sebelumnya. Sungguhpun

demikian Dinasti Mustohfa berhasil melewati berbagai tantangan dari transisi dua

rezim tersebut, dengan tetap eksis menguasai jabatan kepala desa.

Kemenangan dinasti politik dalam setiap pergulatan politik pada dua rezim

pemerintahan, disebabkan oleh sejumlah besar pendukung politik yang loyal

terhadap mereka. Masing-masing generasi kepala desa dari dinasti politik ini

mampu memelihara loyalitas pendukungnya, bahkan dari waktu ke waktu mereka

mampu memperluas jumlah konstituennya. Artinya kepala desa pertama dari

dinasti politik ini telah membangun sebuah jaringan kekuasaan, yang berhasil

dipelihara dan diperkuat oleh generasi-generasi kepala desa berikutnya dari

dinasti tersebut.

 

8  

Loyalitas para pendukung politik ini hadir bukan tanpa sebab, mereka

punya alasan tersendiri untuk tetap mendukung Dinasti Mustohfa memimpin Desa

Puput. Ada hubungan baik yang terus dijaga oleh Dinasti Mustohfa terhadap para

pendukung politiknya, dengan memberikan berbagai keuntungan dalam bentuk

materi maupun nonmateri. Sehingga orang-orang yang berada dalam jaringan

kekuasaannya merasa berkepentingan untuk terus mendukung mereka

mempertahankan jabatan kepala desa, untuk menjamin sustainabilitas distribusi

materi maupun nonmateri yang mereka terima.

Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Dinasti

Mustohfa pada posisi puncak kekuasaan di Desa Puput ditopang oleh loyalitas

para pendukung politik yang berada dalam sebuah jaringan klientelistik yang kuat

dan luas. Terkait dengan durasi kekuasaannya yang lama, bekerjanya jaringan

klientelistik Dinasti Mustohfa cenderung dinamis. Kondisi tersebut terkait dengan

berbagai perubahan yang terjadi akibat perubahan struktur sosial, ekonomi dan

politik yang terjadi di tingkat nasional maupun lokal.

2. PERUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang muncul

dalam penelitian ini adalah :

“Mengapa sebuah keluarga mampu mempertahankan jabatan kepala desa

dalam dua rezim pemerintahan yang berbeda ?”

 

9  

3. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk melakukan pemetaan terhadap berbagai sumber daya yang digunakan

oleh dinasti kepala desa untuk mempertahankan kekuasaannya.

2. Untuk mengetahui kalangan mana saja yang menjadi pendukung politik setia,

bagi dinasti kepala desa.

3. Untuk mengetahui strategi dinasti kepala desa dalam mensiasati perubahan-

perubahan akibat pergantian rezim pemerintahan.

4. Untuk memotret wajah demokrasi lokal di tingkat desa masa Orde Baru dan

masa Reformasi.

4. KERANGKA TEORITIK

Untuk menganalisa eksistensi dinasti politik di tingkat desa, penulis

menggunakan dua kerangkan teori. Teori yang pertama adalah kontestasi elit

untuk membahas tentang persaingan-persaingan para elit desa memperebutkan

jabatan kepala desa melalui sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Teori yang

kedua adalah parton-klien yang menunjukkan soliditas dan sustainabilitas

hubungan dinasti kepala desa (patron) dengan para pendukung politiknya (klien).

Walaupun kedua teori memiliki perpektif dan caranya masing-masing

dalam menganalisa sebuah fenomena sosial maupun politik, namun penulis

mengelaborasi keduanya dengan beberapa pertimbangan ; pertama, jabatan kepala

desa adalah sebuah posisi politik tertinggi di desa, dimana untuk mendapatkan

jabatan tersebut seorang kandidat harus menjadi pemenang (meraih suara

terbanyak) dalam sebuah kompetisi elektoral (Pilkades). Maksudnya seorang

 

10  

kandidat terlebih dahulu harus berhasil menggalang dukungan masyarakat

(pemilih). Kedua, dilihat dari catatan panjang kemenangan Dinasti Mustohfa

dalam setiap Pilkades Puput sejak tahun 1971, penulis yakin bahwa mereka

memiliki pendukung politik luas dan loyal. Artinya mereka berhasil membangun

sebuah jaringan kekuasaan untuk mempertahankan jabatan kepala desa tersebut.

Jika kedua teori dikaitkan, maka loyalitas pemilih dalam kurun waktu yang lama

salah satunya dapat diraih dan dipelihara melalui relasi patron-klien. Dinasti

kepala desa sebagai patron mendistribusikan berbagai sumber daya berupa materi

ataupun jasa kepada pemilih sebagai kliennya. Sedangkan pihak klien membalas

pemberian tersebut, dengan selalu mendukung langkah-langkah politik patronnya

terutama dalam memenangkan setiap Pilkades di Desa Puput.

4.1 Kontestasi Elit Desa

Jabatan kepala desa merupakan jabatan eksekutif politis pertama di

Indonesia yang harus diperoleh melalui pemilihan langsung oleh rakyat

(demokrasi elektoral). Argumen ini didukung dengan kehadiran undang-undang

No. 14 tahun 1946 tentang perubahan dalam stbld : 1907 no. 212 tentang

pemilihan kepala desa (Pilkades). Undang-undang tentang Pilkades tersebut

merupakan revisi terhadap golongan pemilih (yang memiliki hak suara) dalam

Pilkades yang lebih diperluas lagi. Jika dalam Stb. 1907 No. 212 para pemilih

hanya terbatas pada masyarakat yang merupakan kalangan elit desa karena faktor

kekayaan, kedudukan, pekerjaan, keturunan dan lain-lainnya. Undang-undang No.

14 tahun 1946 memberikan hak memilih kepala desa, kepada setiap warga negara

 

11  

laki-laki dan perempuan yang sudah berusia minimal 18 tahun atau sudah

menikah.

Jika undang-undang tersebut dicermati, ada perubahan yang sangat

fundamental terkait dengan Pilkades. Pada masa kolonial Belanda pemilihan

kepala desa sangat elitis, sebab para pemilih (voter) hanya terbatas pada kalangan

“tokoh” desa saja. Pasca dikeluarkannya undang-undang No. 14 tahun 1946

pemilih berdasarkan status kewarganegaraan. Lahirnya undang-undang tersebut

sebagai bentuk kepedulian negara terhadap hak-hak demokrasi rakyat dalam

menentukan pemimpinnya, walaupun hanya pada tingkat desa. Artinya, sejak

awal kemerdekaan orang-orang yang menginginkan jabatan politik tertinggi di

tingkat desa tersebut, harus melewati dan memenangkan sebuah persaingan

(kontestasi politik) antar kandidat kepala desa dalam sebuah pemilihan langsung

oleh masyarakat, yang dikenal dengan Pilkades. Bagi kepala desa terpilih

legitimasi atas kekuasaannya semakin kuat karena memenangkan sebuah

kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral.

Memahami kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral, Kang

dalam tulisannya Race and Democratic Contestation menyatakan bahwa

Kontestasi demokrasi adalah kompetisi deliberatif di antara para pemimpin politik

untuk membentuk dan membingkai pemahaman masyarakat tentang politik

elektif, kebijakan publik, dan urusan sipil. Ini meliputi proses dimana pemimpin

berani, mendorong, dan menantang masyarakat untuk berpikir tentang politik.

Persaingan pemilihan hanya satu elemen yang menonjol dari kompetisi yang lebih

besar ini di antara para pemimpin politik untuk mempengaruhi sosial politik -

 

12  

sebuah proses yang sehat dari kontestasi demokrasi yang menarik dalam dan

melibatkan masyarakat dalam proses tersebut untuk memenangkan hati dan

pikiran warga negara (Kang, 2008 : 738).

Pendapat di atas mencerminkan bahwa produk dari sebuah kontestasi

politik tidak hanya hadirnya seorang pemimpin yang terpilih. Lebih jauh, dampak

dari kontestasi politik adalah tingkat pemahaman masyarakat yang lebih baik

tentang demokrasi elektoral terutama tentang segala akibat positif maupun negatif

yang muncul dari pilihan politik mereka, serta partisipasi aktif mereka dalam

setiap pengambilan kebijakan publik dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut

kepentingan umum.

Jika dikaitkan dengan kehidupan di desa, salah satu bentuk partisipasi aktif

masyarakat adalah adanya kontrol sosial dan rasa solidaritas yang tinggi antar

sesama penduduk desa. Menyangkut kontrol sosial yang berlaku di masyarakat

desa, Said menjelaskan bahwa Kontrol sosial dalam khasanah pedesaan yaitu alat

pengawasan warga desa terhadap segala bentuk interaksi dan hubungan sosial

yang terjadi di masyarakat. Bila terjadi penyimpangan atau pelanggaran norma

sosial dan adat istiadat yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, maka

masyarakat desa dapat menjatuhkan sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di

tingkat lokal (Said, 2007 : 334).

Artinya, kontrol sosial yang berlaku di desa dapat pula digunakan oleh

masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Jika terjadi

pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa maupun elit

pemerintahan desa lainnya, maka masyarakat dapat memberikan sanksi berupa

 

13  

sanksi moral maupun sanksi politis. Salah satunya adalah jika seorang kepala desa

melakukan penyalagunaan wewenangnya, maka dia tidak akan terpilih (menang)

pada Pilkades periode berikutnya.

Sistem yang demokratis menghendaki sebuah kontestasi politik terbuka

bagi siapa saja untuk menjadi kandidat. Hal ini untuk menjamin adanya

kesetaraan kesempatan bagi setiap masyarakat desa untuk memperebutkan jabatan

kepala desa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Schumpeter yang

mengartikan demokrasi dengan melibatkan suatu keadaan dimana setiap orang,

pada prinsipnya, bebas bersaing memperebutkan kepemimpinan politik (Held,

2007 : 179).

Pada prakteknya, demokrasi ala Schumpeterian tersebut hanya terbatas

kepada kalangan elit desa saja. Artinya walaupun regulasi itu lahir dengan

semangat demokrasi yang memberikan kesetaraan kesempatan bagi siapa saja

untuk mengikuti kontestasi politik, namun kenyataannya hanya segelintir orang

saja yang menjadi kontestan dalam setiap Pilkades. Kondisi ini berhubungan erat

segala persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan

yang terkait lainnya. Selain itu yang terpenting adalah tuntutan masyarakat yang

menghendaki agar pemimpinnya adalah orang-orang yang memiliki keunggulan-

keunggulan yang melebihi mereka. Orang-orang dengan keunggulan lebih inilah

kemudian dikenal dengan elit. Argumen ini sejalan dengan pendapat Bottomore

yang menyatakan bahwa elit sebagai kelompok-kelompok fungsional, terutama

okupasional, yang memiliki status tinggi (demi alasan apapun juga) dalam suatu

masyarakat. (Bottomore, 2006 : 11).

 

14  

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh kalangan elit ini beragam

karena ekonomi, kultural maupun politis. Seorang elit bisa saja memiliki salah

satu dari keunggulan tersebut,atau bisa juga ketiganya. Dalam sebuah konteks

demokrasi elektoral, semakin banyak jenis dan derajat keunggulan yang dimiliki

oleh seorang elit desa semakin besar pula kesempatannya untuk memenangkan

Pilkades. Namun yang patut dicatat adalah penggunaan keunggulan-keunggulan

elit harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakatnya, serta perubahan-

perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut.

Pada masa Orde Baru, negara menerapkan pola rekrutmen politik yang

tertutup, bahkan sampai pada rekrutmen politik di desa. Jabatan-jabatan politik di

tingkat desa yang dipilih oleh masyarakat maupun yang berdasarkan penunjukkan,

hanya diisi oleh segelintir orang yang dianggap sebagai “orang-orang” pemerintah

atau Golkar. Pendapat ini mengacu pada pemikiran Gaffar bahwa dalam negara

yang tidak demokratis, rekrutmen politik biasanya dilakukan secara tertutup.

Artinya peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa

gelintir orang saja (Gaffar, 2006 : 8).

Rekrutmen yang bersifat tertutup ini ditandai dengan besarnya peran negara

dalam menentukan bakal calon kepala desa untuk mengikuti Pilkades. Berbagai

persyaratan dan seleksi di tingkat kecamatan maupun kabupaten adalah bentuk-

bentuk campur tangan negara yang dapat menggagalkan bakal calon kepala desa

menjadi kontestan dalam Pilkades. Dalam studinya di salah satu desa di Jawa

Barat tahun 1990 Antlov menggambarkan kontrol negara yang begitu besar

terhadap Pilkades. Sebagai langkah pertama kontrol negara terhadap proses

 

15  

pemilihan ini (Pilkades), semua calon harus lolos dari apa yang dikenal sebagai

skrining (screening). Riwayat hidup para calon diperiksa untuk memastikan

bahwa mereka adalah pendukung Orde Baru yang setia. Proses ini dilakukan

dengan dua cara ; pertama, setiap calon diwajibkan untuk mengisi sejumlah

dokumen yang bahan-bahannya disiapkan dan disetujui oleh pejabat kecamatan

… kedua, enam bulan sebelum pemilihan, proses skrining dilakukan dengan

memanggil semua calon ke ibukota kabupaten (Bandung) untuk diwawancarai

dan mengikuti ujian resmi lisan dan tertulis tentang Pancasila, sejarah Indonesia,

hukum nasional, dan berbagai urusan lain yang penting bagi kepala desa

Indonesia yang setia (Antlov, 2003 : 281-282.).

Melalui kontrol pada berbagai tingkatan ini pihak kecamatan maupun

kabupaten dapat menggagalkan orang yang dianggap tidak setia pada pemerintah.

Salah satunya adalah bakal calon kepala desa yang menjadi kader PPP ataupun

PDI (non Golkar). Sebab pada masa itu Golkar adalah partai pemerintah,

sehingga tidak mendukung Golkar berarti tidak setia pada pemerintahan saat itu.

Artinya siapapun yang lolos mengikuti Pilkades adalah elit-elit desa yang setia

pada negara dan sudah menjadi kader Golkar.

Peran negara yang sangat dominan tidak hanya terbatas dalam menentukan

calon kepala desa saja. Rekrutmen jabatan perangkat desa, juga menjadi

domainnya negara melalui kecamatan maupun kabupaten1. Kepala desa hanya

berhak mengajukan nama-nama calon perangkat desa. Artinya negara bisa saja

                                                            1 Untuk  lebih  jelasnya  lihat pasal 14, 15, dan 16 UU No. 5  tahun 1979  tentang Pemerintahan Desa.  

 

16  

menolak usulan kepala desa jika calon yang diajukan dianggap tidak setia kepada

negara dan Golkar. Antlov menambahkan bahwa pemimpin-pemimpin alternatif

tidak diberi akses pada kekuasaan resmi melalui berbagai jalan. Secara hukum,

monoloyalitas menjamin bahwa hanya anggota Golkar saja yang dapat menjadi

pegawai negeri dan pamong desa (Antlov, 2003 : 227).

Kelahiran rezim Reformasi membawa dampak yang besar bagi perubahan

sistem politik nasional. Rezim Reformasi menghendaki Indonesia menjadi negara

yang demokratis, dimana salah satu cirinya adanya kesetaraan kesempatan bagi

setiap warga negara untuk mengikuti kompetisi memperebutkan jabatan-jabatan

politis. Dalam konteks politik pedesaan, proses demokratisasi pada masa

Reformasi, ditandai dengan redefinisi hak-hak politik masyarakat desa. Ketika

rezim Orde Baru berakhir, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya

yang selama puluhan tahun dikebiri. Salah satu tuntutan yang paling sering

ditemui adalah ledakan partisipasi politik dikalangan elit desa, yang ditandai

dengan munculnya sejumlah kandidat kepala desa dalam setiap pelaksanaan

Pilkades.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Gaffar tentang rekrutmen politik

yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu

sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi

syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai

peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut

(Gaffar, 2006 : 8). Pendapat tadi menegaskan bahwa meskipun kompetisi yang

terbuka bagi siapa saja, tetapi orang-orang yang bertarung dalam sebuah

 

17  

kontestasi politik harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan dengan

undang-undang, walaupun sudah lebih fleksibel dibandingkan masa Orde Baru.

Hilangnya kontrol negara atas tahapan-tahapan Pilkades dan bakal calon

kepala desa, memberikan ruang partisipasi politik yang semakin luas bagi

masyarakat. Kondisi ini telah merangsang banyak elit desa untuk berkompetisi

memperebutkan jabatan kepala desa. Pastinya kompetisi akan semakin sengit,

dengan kehadiran elit-elit desa yang pada masa Orde Baru bukan bagian dari

subordinasi negara maupun Golkar. Artinya, dalam kontestasi politik di tingkat

desa demokrasi ala Schumpeterian baru benar-benar diterapkan pasca Reformasi.

Rezim Reformasi ingin menyajikan pertarungan antar elit desa yang lebih

beragam dibandingkan Orde Baru. Mereka berasal dari kekuatan politik lama

yang ingin mempertahankan eksistensi kekuasaannya di desa. Dari sisi lain hadir

pula elit desa baru, yaitu mereka yang sebelumnya tidak berani muncul pada masa

Orde Baru, atau tidak pernah mendapatkan kesempatan karena perlakuan rezim

yang diskriminatif. Sampai pada bagian ini, dapat difahami bahwa rezim

Reformasi menghendaki persaingan yang adil (fair) dalam setiap Pilkades.

Meskipun Reformasi memberikan ruang yang luas bagi kalangan elit desa

untuk bersaing dalam Pilkades, namun tidak serta merta mereduksi kekuatan-

kekuatan politik lama. Sebuah dinasti politik yang pernah berkuasa pada masa

lalu, memiliki basis dukungan politik yang kuat, yang telah dibangun dan

dipelihara sejak awal kekuasaannya. Pendapat ini sejalan dengan analisa Bakti

yang menyatakan bahwa kekuasaan seorang elit (Puang) di Wajo dari Orde Baru

sampai Reformasi, diperkuat melalui anggota kerabat dan kroni dalam

 

18  

pemerintahan sehingga mencapai titik hegemoni. Dia (Puang) menunjuk kerabat

untuk menduduki jabatan birokratif yang strategis “basah” dan menguntungkan.

Melalui tempat tinggalnya orang memperoleh kenaikan pangkat, dan para

keluarga muncul sebagai birokrat-birokrat yang berkuasa … Pasca Reformasi,

organisasi-organisasi masyarakat sipil yang berpotensi mengimbangi dominasi

Puang malah dimasukkan ke dalam rezimnya dengan memberikan bantuan dalam

bentuk bangunan fisik dan dana. Demikian pula dengan kelompok-kelompok

(LSM) yang mengkritisi pemerintahannya diiming-imingi dengan uang atau

ditekan oleh Puang (Bakti, 2007 : 491-504).

Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa dalam mempertahankan

kekuasaannya, elit keluarga tersebut mendistribusikan berbagai jabatan strategis

kepada anggota keluarga dan orang-orang dekatnya. Sedangkan untuk orang atau

kelompok yang berpotensi menjadi lawan politiknya didistribusikan sumber daya

dalam bentuk materi ataupun dengan paksaan (coercive). Walaupun arena

kontestasi dan kekuasaannya berbeda, yaitu desa dan kabupaten, namun hasil

studi Bakti tersebut dapat dijadikan salah satu perspektif untuk mengkaji

kontestasi elit di tingkat desa.

Kemenangan kekuatan politik lama dalam setiap Pilkades memperlihatkan

beberapa hal ; pertama, jaringan kekuasaan yang dimiliki elit lama yang terdiri

dari anggota keluarga dan orang-orang dekat masih efektif digunakan untuk

memenangkan kontestasi memperebutkan kekuasaan. Kedua, kekuatan elit lama

semakin meluas dengan bergabungnya orang-orang dan organisasi-organisasi

masyarakat yang berpotensi sebagai lawan politik, menjadi bagian dari jaringan

 

19  

kekuasaannya. Ketiga, demokrasi yang dianggap memberikan kesempatan bagi

elit lain untuk memegang jabatan politis, kenyataannya justru memperkuat

hegemoni elit lama terhadap jabatan tersebut. Kalaupun ada elit baru yang

mengisi jabatan-jabatan politik, namun mereka hanyalah bagian dari subordinasi

dari elit lama, sehingga kehadiran mereka malah memperkuat jaringan kekuasaan

elit lama.

4.2 Patron-Klien

Untuk membaca survivabilitas sebuah dinasti politik, penulis juga

menggunakan teori patron-klien sebagai kerangka analisis. Artinya ada jaringan

kekuasaan yang sudah dibangun melalui jaringan patron-klien oleh sebuah dinasti

politik, untuk memenangkan setiap kontestasi elektoral memperebutkan jabatan

kepala desa. Beberapa literatur yang telah dihasilkan oleh beberapa ilmuwan

sosial dan politik mengakui bahwa praktek-praktek kekuasaan patron-klien yang

sudah ada pada masa pra-kolonial, tetap berlangsung pada masa Orde Baru,

bahkan hingga saat ini. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Eko Sutoro yang

melihat adanya ciri khas seperti, kedudukan, tingkah laku dan keseluruhan

hirarkhi dalam struktur kekuasaan sebagian besar tergantung pada hubungan

personal kekeluargaan atau antara patron (bapak) dan klien (anak buah) (Sutoro,

2003 : 50).

Konsep patron-klien sebenarnya berangkat dari teori pertukaran sosial

(social exchange theory) yang dikemukakan oleh Blau, bahwa

Ketidakseimbangan dalam masyarakat terhadap materi dan keadaan sosial adalah

 

20  

menghasilkan perbedaan dalam kekuasaan (Spread, 1984 : 162). Maksudnya

struktur kekuasaan muncul karena terjadinya suatu hubungan pertukaran yang

tidak seimbang. Ketidakseimbangan pertukaran melahirkan kesenjangan

kekuasaan dan ketidakseimbangan rasa hormat, sehingga menjadi sangat relevan

dengan dasar hubungan patron-klien. Dalam konsep pertukaran sosial,

mensyaratkan salah satu diantara dua pihak yg melakukan pertukaran harus

memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak

penerima (pihak lain tersebut) tidak memiliki sumber daya yang sama nilainya

untuk dipertukarkan dengan pihak pemberi. Sehingga satu-satunya cara untuk

membalas pertukaran ini adalah dengan memberikan kepatuhan (menerima posisi

sebagai subordinasi) kepada pihak pemberi sumber daya tadi.

Dalam konsepsi patron-klien membahas lebih spesifik tentang pertukaran

sosial. Salah satu ilmuwan sosial dan politik, Scott mengemukakan bahwa

Hubungan patron-klien sebagai hubungan pertukaran antara dua orang (dyadic)

yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seorang

individu yang lebih tinggi status sosial ekonominya (patron) menggunakan

pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan

dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang

pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan,

termasuk jasa pribadi kepada patron (Scott, 1972a : 92).

Dalam hubungan patron-klien ada pihak yang menjadi superior (patron)

dengan kelebihan status sosial dan ekonominya, dan pihak yang menjadi inferior

(klien) karena status sosial dan ekonominya lebih rendah. Orang-orang berada

 

21  

pada posisi sebagai inferior tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga

membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada

kondisi seperti inilah sang patron membantu memenuhi kebutuhan kliennya

dengan status dan sumber dayanya. Pelras menambahkan bahwa hubungan

patron-klien digolongkan sebagai hubungan yang tidak sejajar (tetapi tidak

mengikat) antara atasan (patron atau pemimpin) dengan sejumlah bawahan (klien,

pelayan, atau pengikut), berdasarkan pertukaran pelayanan yang asimetris, di

mana secara de facto patron tergantung kepada para klien yang memberi

pelayanan cuma-cuma yang bisa mencakup kewajiban secara ekonomis, tugas-

tugas dengan upah atau tidak, menjadi prajurit perang, dukungan politik dan

pelayanan lainnya, diimbangi dengan peran patron untuk menjadi figur pemimpin

bagi semua klien dan pemberian bantuan, termasuk pinjaman uang dan

perlindungan (Pelras, 1981 : 2-3).

Masyarakat pedesaan secara umum saling mengenal satu sama lain karena

lingkup kehidupan yang memang kecil. Frekuansi dan intensitas interaksi mereka

cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari, baik antar masyarakat yang setara

status sosial dan ekonominya, maupun antara masyarakat dengan status sosial dan

ekonomi yang berbeda (antara elit desa dengan masyarakat biasa).

Interaksi yang relatif mudah dilakukan di lingkungan sosial pedesaan

disebabkan oleh kedekatan emosional (perasaan) masyarakatnya karena hubungan

pertemanan maupun karena sebagian masyarakat desa masih memiliki hubungan

kekerabatan. Melalui interaksi yang sering dilakukan, mereka mengetahui

berbagai kesulitan yang dialami oleh tetangga, teman, dan kerabatnya. Demikian

 

22  

pula sebaliknya, segala kelebihan atau keunggulan dalam berbagai aspek yang

dimiliki oleh elit desa juga diketahui oleh masyarakatnya. Akibat yang

ditimbulkan adalah munculnya kekuasaan, sebab masing-masing pihak akan

saling “mendekat” dengan kondisinya masing-masing. Masyarakat yang tidak

mampu berusaha memenuhi kebutuhannya dengan mencari bantuan pihak lain,

sedangkan elit desa dengan segala sumber daya yang dimiliki dapat membantu

masyarakat yang membutuhkan pertolongannya.

Atas dasar kedekatan emosional dan bantuan-bantuan sumber daya itulah

Scott membagi ikatan patron-klien menjadi dua ; ikatan yang bersifat afektif dan

instrumental. Orang-orang yang terikat karena kedekatan emosional dengan

seorang patron merupakan “pengikut inti (core)” dari sebuah ikatan patron-klien

yang bersifat afektif, dan mereka begitu kuat terikat kepada patronnya. Sedangkan

orang-orang yang terikat kepada patron hanya karena hadiah materi atau jasa

dianggap sebagai “pengikut pinggiran (periphery)” dari ikatan patron-klien yang

bersifat instrumental, dan ikatan ini relatif mudah terlepas (Scott, 1972a : 99).

Walaupun demikian bukan berarti dalam ikatan afektif tidak terjadi pertukaran

sumber daya materi ataupun jasa, namun itu bukan satu-satunya alasan terjalinnya

relasi patron-klien.

Bekerjanya relasi patron-klien di sebuah desa sangat tergantung kepada

struktur ekonomi di desa tersebut. Desa-desa di mana sumber-sumber ekonomi

utama seperti perkebunan, pertambangan dan yang lainnya, yang masih dikuasai

oleh sekelompok kecil elit desa, serta angka kemiskinan yang masih tinggi,

menjadi lahan subur bagi bekerjanya relasi patron-klien. Relasi yang terbangun

 

23  

bersifat vertikal di mana ada elit desa biasanya berperan sebagai “atasan (patron)”

dan masyarakat yang menjadi “bawahan (klien).” Patron biasanya memberikan

perlindungan, bantuan material dan spiritual kepada anak-buahnya, dan sebagai

imbalannya, para anak buah akan memberikan dukungan dan loyalitas kepada

patron (Muhaimin, 1991 : 11).

Namun, bila dicermati dalam relasi patron-klien sulit untuk menentukan

siapa yang paling diuntungkan atas pertukaran-pertukaran tersebut, sebab bisa

saja hal tersebut berlangsung secara seimbang. Patron menyediakan kebaikan,

pekerjaan, perlindungan, atau bahkan jabatan, sedangkan klien menawarkan

penghormatan dan dukungan politik. Sehingga jika dicermati hubungan semacam

ini akan terasa sulit membedakan “siapa yang memanfaatkan siapa” sebab

sebenarnya masing-masing pihak mendapatkan sesuatu yang diharapkannya

(Muhaimin, 1990 : 25).

Relasi patron-klien dapat digunakan untuk memahami dominasi sebuah

dinasti politik desa di masa Orde Baru dan Reformasi. Kemenangan dalam setiap

Pilkades dan mampu melewati transisi politik pasca pergantian rezim

pemerintahan, menjadi bukti bahwa dinasti politik itu memiliki basis loyalitas

pendukung politik yang terintegrasi ke dalam sebuah jaringan klientelistik yang

kuat, dan kemampuan bertransformasi yang baik. Artinya, elektabilitas dinasti

politik itu sangat tergantung kepada seberapa besar jaringan klientelistik yang

berhasil dibangun dan dipelihara sepanjang sejarah kekuasaannya.

Pelras mengungkapkan ada tiga cara dalam membangun jaringan patron-

klien, yaitu (Pelras, 1981 : 15-16) ; Pertama, dengan menunjukkan kedemawanan

 

24  

dan membangkitkan rasa hormat dari kalangan pengikut dengan melindungi dan

menjaga kesejahteraan mereka lebih baik dibanding yang lain. Kedua, dengan

membangkitkan kebanggaan pengikut dan harapan akan masa depan yang lebih

baik dengan menduduki jabatan tinggi atau tampak sebagai orang yang paling

berpeluang untuk menduduki jabatan tersebut. Pengikut pada gilirannya akan

merasa ikut terhormat, dan berharap memperoleh keuntungan dari jabatan

pemimpinnya, karena dengan memegang jabatan tersebut meningkatkan peluang

patron mereka untuk mendistribusikan kembali kekayaan yang diperolehnya.

Ketiga, untuk memperluas jaringan pengikut adalah melalui ”perkawinan politik”

dengan menikahi anggota keluarga bangsawan. Tujuannya adalah untuk

menambah pengikut, kehormatan atau menaikkan status sosial.

Pelras menambahkan bahwa pengikut dapat pula diperoleh melalui ;

pertama, ”warisan”, ketika seorang patron meninggal dunia, pengikutnya

terkadang mengabdikan kesetiaannya kepada salah seorang anak sang pemimpin,

tetapi proses tersebut bukan hal yang terjadi secara otomatis. Kedua, dengan

memperlihatkan karisma pribadi yang luhur. Pada kedua cara tersebut lanjut

Pelras, yang harus diperhatikan adalah status sang patron, jabatan yang ia pegang,

dan kepribadiannya (Pelras, 2006 : 206)2. Koentjaraningrat menambahkan bahwa

karisma pribadi seorang pemimpin dalam masyarakat kontemporer ditandai

dengan kepemilikan lambang-lambang kepemimpinan, dan memiliki ciri-ciri

rohaniah yang disegani (Koentjaraningrat, 1984 : 140).

                                                            2  Sebenarnya menurut  Pelras  ada  tiga  cara  untuk meraih  pengikut,  namun  poin  ketiga  dalam manusia  Bugis  (2006  :  206)  sama  dengan  poin  ketiga  dalam  tulisan  Pelras  (1981)  Hubungan Patron‐Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. 

 

25  

Kelima cara yang ditawarkan oleh Pelras berada dalam konteks kehidupan

masyarakat Sulawesi Selatan dengan sistem stratifikasi sosialnya yang masih

kaku. Sungguhpun demikian, kenyataannya kelima cara itu masih relevan berlaku

pada masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang luwes dan rawan

mobilisasi sosial, di mana orang-orang yang menjadi patron hanyalah mereka

yang memiliki kekayaan, jabatan, dan pengetahuan atau keahlian.

Terkait dengan pertukaran sumber daya antara patron dengan kliennya,

Scott (1972b : 9) mengklasifikasikannya sebagai berikut : Sarana dasar

subsistensi. Dalam kehidupan di pedesaan, pelayanan utama yang diberikan oleh

patron kepada klien berupa pekerjaan, jabatan-jabatan di pemerintahan desa atau

organisasi desa3. Praktek-praktek seperti ini dapat kita temukan dalam pada masa

Orde Baru di mana seorang elit desa mempekerjakan buruh yang juga merupakan

pendukung politiknya yang setia. Disamping itu seorang kepala desa mengangkat

para elit desa yang punya pengaruh besar di masyarakat menjadi perangkat desa

atau pengurus organisasi desa lainnya.

Jaminan krisis subsistensi. Umumnya, patron diharapkan memberikan

pinjaman pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi krisis, atau

membantu pada saat usaha klien dalam keadaan bangkrut. Jadi, patron diharapkan

memberikan jaminan “dasar” subsistensi bagi kliennya dengan menyerap

kerugian-kerugian (dalam usaha atau pekerjaan) yang dapat merugikan kehidupan

klien jika tidak dilakukan oleh patron.                                                             3 Organisasi desa yang dimaksudkan dalam  tesis  ini adalah organisasi keagamaan dalam hal  ini pengurus  mesjid,  dan  lembaga  kemasyarakatan.  Selanjutnya  lembaga  kemasyarakatan  yang menjadi objek pembahasan penulis batasi menjadi tiga, yaitu ; LKMD (LPM), RT, dan RW dengan pertimbangan bahwa ketiga  lembaga desa  itulah yang banyak bersinggungan dengan pelayanan administrasi pemerintahan dan pembangunan di Desa.   

 

26  

Perlindungan. Perlindungan ini berarti melindungi klien dari gangguan atau

tekanan dari pihak lain. Gangguan atau tekanan bisa saja datang dari musuh

pribadi maupun dari pemerintah melalui tentara, pejabat, pengadilan, maupun

pemungut pajak). Gangguan atau tekanan tersebut tidak hanya yang mengancam

pribadi dan keluarga klien saja, namun mencakup juga ancaman terhadap usaha

atau pekerjaannya.

Perantara dan pengaruh. Jika patron melindungi kliennya dari perusakan

atau intimidasi yang datang dari luar, ia juga menggunakan kekuatan dan

pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar untuk kepentingan kliennya.

Perlindungan merupakan peran defensifnya dalam menghadapi dunia luar;

keperantaraan adalah peran agresifnya.

Pelayanan kolektif patron. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat

melakukan fungsi ekonomi kolektif. Mereka bisa mengelola dan memberikan

bantuan berupa subsidi untuk badan amal setempat, menyumbangkan tanah untuk

kepentingan komunal, mendukung pelayanan publik lokal (seperti sekolah, jalan-

jalan kecil, dan bangunan masyarakat), tuan rumah kunjungan pejabat, dan

sponsor festival desa dan perayaan.

Arus barang dan jasa dari klien ke patron, menurut Scott pada umumnya

sangat sulit untuk mengkarakterisasikannya karena, sebagai “orang” patronnya,

seorang klien umumnya menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan

patron apa pun bentuknya, termasuk melayani sebagai anggota setia dari faksi

patron lokal. Bagi klien, unsur kunci dari evaluasi ialah perbandingan antara jasa

yang diterimanya dengan yang diberikannya. Makin besar nilai yang diterimanya

 

27  

dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar

kemungkinannya ia melihat ikatan ini sebagai sah (Scott, 1972b : 9-10).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa baik patron maupun klien masing-

masing memiliki sumber daya berupa materi atau jasa yang dapat dipergunakan

dalam sebuah hubungan pertukaran. Artinya pertukaran dapat terjadi ketika

sumber daya yang diberikan oleh patron dapat diterima oleh klien, dan sebaliknya

patron dapat pula menerima sumber daya yang diberikan oleh kliennya. Dengan

demikian, walaupun di awal disebutkan bahwa hubungan patron-klien merupakan

hubungan pertukaran yang tidak seimbang, namun kenyatannya hubungan yang

terjalin bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).

Bila dikontekskan dengan keperluan studi tentang dinasti kepala desa ini,

pemikiran Scott tadi dapat disederhanakan seperti berikut ini

Tabel 1.1 Arus Pertukaran Materi dan Jasa

Antara Dinasti Kepala Desa dan Klien

Arus Pertukaran Materi dan Jasa No Dari Dinasti Kepala Desa

ke Klien No Dari Klien ke

Dinasti Kepala Desa 1. Distribusi sumber daya

ekonomi 1. Dukungan suara pada setiap

Pilkades 2. Lapangan kerja 2. Dukungan terhadap kinerja

patron 3. Jabatan formal di desa 3. Membela patron dalam konflik 4. Pelayanan spiritual

Perlu diperhatikan bahwa hubungan patron-klien bukanlah hubungan

bersifat permanen dan tertulis, artinya sewaktu-waktu salah satu pihak dapat

memutuskan hubungan tersebut. Hal tersebut bisa disebabkan oleh baik patron

 

28  

maupun klien sudah merasa tidak nyaman lagi dengan hubungan tersebut karena

berbagai alasan, atau kondisi klien yang mengalami peningkatan hidup sehingga

tidak membutuhkan bantuan patronnya lagi.

Terkait dengan pernyataan tersebut Putra menyatakan bahwa hubungan

patron-klien juga perlu didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang

memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien) melalukan

penawaran, artinya bilamana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak

memberi seperti yang diharapkannya, dia dapat menarik diri dari hubungan

tersebut tanpa terkena sanksi masalah (Putra, 2007 : 4-9).

Hubungan kerjasama antara patron dan klien sangat dibutuhkan dalam

dunia politik terutama dalam konteks politik di pedesaan. Terlebih lagi bagi

sebuah dinasti politik yang ingin mempertahankan kekuasaannya melalui

kontestasi elektoral. Terkait hal tersebut Scott menambahkan bahwa di satu sisi,

pemilihan umum dapat dilihat sebagai pembentukan kembali mekanisme

redistributif dari pengaturan tradisional. Sekali lagi posisi patron menjadi agak

lebih tergantung pada persetujuan sosial komunitasnya-persetujuan sosial yang

kini didukung oleh kekuatan untuk mengalahkan dia atau kandidat di tempat

pemungutan suara. Tidak dapat bergantung pada paksaan langsung, dan

dihadapkan dengan pesaing, patron pemilu tahu ia harus (kecuali kalau kekuatan

ekonomi lokalnya adalah menentukan) biasanya menawarkan kliennya hal yang

lebih baik daripada saingannya jika ia berharap untuk mempertahankan

kekuasaan setempat (Scott, 1972a : 109-110).

 

29  

Pendapat di atas menunjukkan bahwa karir politik patron sangat tergantung

kepada dukungan para kliennya. Patron harus mampu menampilkan diri sebagai

kandidat yang paling layak dipilih, berupa distribusi berbagai sumber daya

sebelum maupun setelah pemilihan dilaksanakan. Apalagi dalam sebuah

kontestasi politik, kandidat lainnya (lawan politik) juga menawarkan berbagai

sumber daya kepada para pemilih, termasuk kepada klien dari seorang patron.

Kondisi ini memaksa patron harus bisa membaca sumber daya apa yang cocok

untuk diberikan kepada kliennya, sebab mereka berasal dari berbagai latar

belakang yang berbeda. Sumber daya ekonomi atau materi mungkin cocok

diberikan kepada klien yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.

Terkait argumen tersebut Wantchekon menjelaskan bahwa hasil empiris

menunjukkan klientelisme berhasil untuk semua jenis kandidat tetapi sangat baik

untuk kandidat regional dan incumbent. Saya berpendapat bahwa daya tarik

kredibilitas klientelis dan aksesibilitas terhadap barang klientelis sangat

mempengaruhi perilaku pemilih … Misalnya, kandidat incumbent memiliki

sarana untuk membuat daya tarik klientelis lebih kredibel dengan memberikan

sebagian barang yang dijanjikan sebelum pemilu. Kandidat oposisi dapat

mengambil keuntungan dari ketidakmampuan yang terungkap dari incumbent

dalam menyediakan barang-barang publik selama siklus pemilu sebelumnya

untuk membuat jenis barang publik yang dijanjikan lebih menarik dan lebih

kredibel (Wantchekon, 2003 : 421-422).

Distribusi jabatan formal di desa adalah salah satu langkah politik yang

tepat dalam rangka memperluas jaringan klientelisme. Klien dari elit desa

 

30  

memiliki pengaruh di kalangan keluarga maupun orang-orang dalam

kelompoknya. Merekrut mereka ke dalam jaringan klientelisme dinasti kepala

desa, maka keluarga dan orang-orang dalam kelompoknya dengan sendirinya

menjadi pendukung politik bagi dinasti kepala desa.

Selama sang patron dapat menjamin sustainabilitas pekerjaan atau jabatan

mereka, maka selama itu pula para klien selalu memberikan loyalitas politik

kepada patronnya. Sebab bila karir politik patronnya berakhir, maka para klien

juga akan kehilangan pekerjaan maupun jabatannya. Terkait hal tersebut Itoh

menambahkan bahwa Kesetiaan seorang pendukung politik kepada pemimpinnya

karena beberapa alasan diantaranya, karena keyakinan politik yang sama,

hubungan baik, kepribadian yang saling mengisi, dan yang terpenting adalah karir

seorang pendukung politik sangat tergantung kepada kesuksesan karir politik

pemimpinnya (Itoh, 2003 : 140-141).

5. STUDI TENTANG DINASTI POLITIK YANG SUDAH DIHASILKAN

Salah satu kesulitan dalam menyusun tesis ini adalah penulis belum (tidak)

berhasil menemukan literatur-literatur dengan pokok bahasan yang sama tentang

dinasti kepala desa. Meskipun lingkup kekuasaannya kecil namun posisi politik

kepala desa cukup signifikan karena bersentuhan langsung dengan kehidupan

masyarakat dan aktifitas pelayanan publik. Sehingga peran kepala desa cukup

menentukan bagi kesuksesan program-program pemerintah. Penulis mereview dua

studi yang membahas tentang dinasti politik yang telah dihasilkan oleh ilmuwan

sosial dan politik.

 

31  

Bakti memotret peran politik seorang elit lokal di Kabupaten Wajo

Sulawesi Selatan dalam membangun dinasti politik, melalui tulisannnya yang

berjudul Kekuasaan Keluarga di Wajo Sulawesi Selatan. Perubahan rezim politik

Orde Baru ke Reformasi tidak serta merta mengakhiri dominasi politik sang

puang (nama tokoh sentral dalam tulisan Bakti). Bahkan kekuasaannya menjadi

semakin menguat pasca Reformasi dengan adanya liberalisasi politik sampai

tingkat lokal.

Beberapa jabatan penting dan strategis di eksekutif maupun di legislatif

Wajo telah dikooptasi oleh Puang dengan menempatkan orang-orang dari

kalangan keluarga maupun orang-orang yang dekat dengannya. Dominasi Puang

juga merambah dalam ranah organisasi-organisasi non pemerintah seperti KNPI

dan ICMI. Artinya berbagai sumber daya (resource) yang melekat pada jabatan-

jabatan tersebut turut mengalir dan dinikmati pula oleh Puang dalam rangka

memperluas jaringan politik klientelismenya.

Namun yang perlu diperhatikan adalah jaringan klientelisme yang dibangun

oleh Puang hanyalah terbatas dari kalangan keluarganya dan teman-teman

dekatnya saja. Cerita-cerita tentang lawan-lawan politik yang berhasil dia rangkul

menjadi bagian dari barisan pendukungnya tidak tergambar dalam tulisan Bakti

ini. Kalaupun ada hanyalah keberhasilan dia “berdamai” dengan kalangan LSM,

organisasi lokal, dan pers untuk tidak mengkritisi gaya pemerintahan dan politik

dinastinya. Selain itu literatur yang ditawarkan oleh Bakti ini hanya

menggambarkan tentang keberhasilan Puang menempati puncak kekuasaan di

Kabupaten Wajo sebagai Ketua DPRD dan kemudian menjadi Bupati.

 

32  

Eksistensi dinasti politik Wajo ini masih belum teruji mengingat kekuasaan

Puang baru berumur satu periode, apalagi jabatan Bupati dimenangkannya melalui

pemilihan oleh DPRD Wajo yang sebagian besar anggotanya adalah aliansi politik

Puang dari kalangan kerabat dan kawan dekatnya. Artinya jabatan Puang sebagai

Bupati belum teruji melalui sistem pemilihan elektoral, dan survivabilitas dinasti

politik ini juga belum teruji karena belum ada keluarga dekat Puang yang berhasil

mewarisi jabatan yang sama sebagai Bupati di Wajo.

Keberhasilan Puang membangun dinasti politiknya juga tidak terlepas dari

faktor stratifkasi sosial masyarakatnya yang kaku, dengan kehadiran kaum

bangsawan dan non bangsawan. Bagaimanapun Puang juga mewarisi kekuasaan

tradisional yang mendudukkannya sebagai salah satu bangsawan di Wajo,

demikian pula dengan isterinya. Bagi masyarakat Wajo maupun Sulawesi Selatan

kaum “ningrat” ini masih dianggap layak untuk menduduki berbagai jabatan

politik setempat.

Dalam lingkup yang lebih kecil Antlov dengan karyanya yang berjudul

Negara Dalam Desa : Patronase Kepemimpinan Lokal, mencoba menganalisa

jaringan klientelisme di tingkat desa pada masa Orde Baru. Negara berperan

sebagai patron dan kepala desa sebagai klien dari negara, serta disaat yang sama

kepala desa bertidak sebagai patron bagi masyarakatnya. Peran ganda seperti ini

merupakan syarat mutlak bagi seorang elit desa untuk meraih jabatan kepala desa

maupun jabatan-jabatan di pemerintahan desa dan organisasi desa lainnya.

Cerita-cerita tentang upaya sekelompok elit desa untuk membangun sebuah

dinasti politik juga tergambar cukup jelas dalam literatur ini. Seorang kepala desa

 

33  

yang pernah berkuasa selama 4 tahun di era 1957-1960 dan kemudian 8 tahun

(satu periode) dari tahun 1981-1990 berhasil mewariskan jabatan tersebut kepada

besannya pada periode berikutnya (1990-1998). Namun berdirinya dinasti politik

tersebut didukung oleh kekuatan patronase negara yang sangat dominan pada

masa Orde Baru. Eksistensi dinasti politik ini serta-merta berakhir pasca

runtuhnya rezim otoriarian tersebut, artinya, kekuatan dinasti kepala desa itu

sangat rentan terhadap pergantian rezim pemerintahan.

6. DEFINISI KONSEPTUAL

Agar fokus penelitian lebih jelas dan terarah, maka penulis membuat

pembatasan dan penegasan terhadap definisi konsep, yaitu sebagai berikut :

1. Dinasti politik atau dinasti kepala desa adalah sekumpulan orang atau elit desa

yang masih memiliki hubungan keluarga dekat yang saling mendukung dan

secara bergantian menduduki jabatan kepala desa melalui pemilihan kepala

desa (Pilkades) pada periodenya masing-masing.

2. Elit desa adalah sekumpulan kecil orang (minoritas) yang bertempat tinggal di

desa, yang karena keunggulan atau kelebihan berupa materi ataupun

nonmateri memiliki pengaruh atau kekuasaan atas masyarakat lainnya

(mayoritas) di desa tersebut. Biasanya elit desa menduduki berbagai jabatan

formal di desa atau kalangan tertentu dengan status sosial yang lebih tinggi

dari masyarakat desa lainnya.

 

34  

3. Relasi adalah bentuk hubungan antara dua aktor yang berbeda dalam dunia

politik maupun lainnya, di mana terjadi hubungan tukar-menukar kepentingan

antara keduanya.

4. Patronase atau patron-klien adalah interaksi diadik yang bersifat timbal balik

(reciprocal), dan saling menguntungkan di antara individu-individu yang

berperan sebagai patron dan klien yang memiliki perbedaan penguasaan

sumber daya. Patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, bantuan ekonomi dan

perlindungan bagi klien. Di sisi lain klien menawarkan dukungan politik dan

penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbol

(sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah dan seterusnya).

5. Klientelisme adalah jaringan yang digunakan untuk melakukan

pendistribusian sumber daya patronase, melalui transaksi antara politisi

(patron) dan warga (klien) dimana hadiah materi yang ditawarkan sebagai

imbalan atas dukungan politik dalam pemilu.

6. Kontestasi elit adalah persaingan para elit dalam memperebutkan suatu

jabatan politik melalui pemilihan langsung oleh rakyat di suatu wilayah

berdasarkan tingkatannya masing-masing.

7. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk memudahkan pengumpulan data, maka defenisi konseptual yang ada

dioperasionalkan ke dalam indikator-indikator agar mampu menggambarkan dan

menjelaskan gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapun

operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut :

 

35  

1. Dinasti Kepala Desa atau Dinasti Mustohfa adalah H. Mustohfa dan anak

keturunannya dari dari garis anaknya yang pertama yaitu H. Mazlah. Penulis

sengaja membatasi anggota dinasti politik ini dari keturunan Mazlah karena

beberapa hal ; pertama, pasca Mustohfa, penerus dinasti ini hanya berasal dari

garis keturunan Mazlah. Kedua, Mazlah dan keluarganya memiliki sumber

daya patronase yang lebih besar dan lebih kuat dibandingkan anak-anak

Mustohfa lainnya, dan mereka bergerak secara aktif menggunakan sumber

daya patronasenya itu terutama ekonomi, untuk memelihara dan memperluas

jaringan klientelistik yang sudah dibangun oleh Mustohfa. Mazlah beserta

anak dan menantunya secara bergantian terjun dalam kontestasi elektoral

(Pilkades) untuk mempertahankan sustainabilitas dominasi kekuasaan

keluarganya di Desa Puput pasca berakhirnya periode kekuasaan Mustohfa.

2. Elit desa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang

memiliki pengaruh dan kekuasaan atas masyarakat di Desa Puput. Oleh karena

pengaruh dan kekuasaan itu mereka bisa memobilisasi masyarakat dalam

rangka mencapai tujuan-tujuan politiknya sendiri maupun tujuan politik orang

lain, salah satunya Dinasti Mustohfa. Dalam konteks penelitian ini elit Desa

Puput terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, guru, PNS,

perangkat desa, pengurus organisasi desa, pengusaha, pimpinan partai politik,

petani kaya dan lain-lain. Sebagian dari elit Desa Puput adalah anggota

jaringan klientelistik Dinasti Mustohfa, sedangkan yang lainnya merupakan

lawan politik dinasti tersebut.

 

36  

3. Relasi dalam penelitian ini dilihat sebagai pola hubungan yang terjadi antara

Dinasti Mustohfa dengan para elit desa dan masyarakat yang menjadi bagian

dari jaringan klientelistiknya. Pada prakteknya dinasti kepala desa melakukan

beberapa pendekatan dengan kalangan elit desa maupun masyarakat agar

mereka menjadi pendukung politik yang setia ; pertama, pendekatan dan kerja

sama dengan para elit desa, di mana terjadi transaksi kepentingan antara

keduanya. Dinasti Mustohfa merangkul mereka melalui distribusi berbagai

pekerjaan, jabatan perangkat desa, dan pengurus organisasi desa, serta

distribusi materi langsung dalam berbagai bentuk. Kedua, pendekatan dan

kerja sama dengan masyarakat, di mana terjadi transaksi kepentingan antara

keduanya. Dinasti kepala desa mendistribusikan kepada mereka pekerjaan,

dan materi serta jasa dalam berbagai bentuk.

4. Patronase atau patron-klien di sini dipahami sebagai hubungan diadik yang

bersifat timbal balik (reciprocal), saling menguntungkan antara Dinasti

Mustohfa dengan elit desa dan masyarakat di Desa Puput dalam aktiftas

sehari-hari maupun aktifitas pemerintahan desa. Masing-masing pihak yang

berelasi ini menjadikan sumber daya pribadi maupun sumber daya jabatan

sebagai barang atau jasa yang saling dipertukarkan. Dinasti Mustohfa

menawarkan materi, jasa, pekerjaan, jabatan perangkat desa, dan pengurus

organisasi desa. Sedangkan elit desa dan masyarakat memberikan dukungan

politik untuk Dinasti Mustohfa berupa ; mobilisasi dan dukungan suara pada

setiap Pilkades, mendukung kinerja patron, dan membela patron pada saat

berkonflik dengan pihak lain.

 

37  

5. Klientelisme dalam penelitian ini dipahami sebagai orang pribadi yang terdiri

dari elit desa dan masyarakat, maupun organisasi-organisasi yang ada di Desa

Puput berupa organisasi keagamaan, kemasyarakatan, perempuan,

kepemudaan dan olahraga, yang menerima distribusi sumber daya patronase

dalam berbagai bentuk dari Dinasti Mustohfa. Selanjutnya orang-orang dan

organisasi-organisasi tersebut secara pribadi ataupun kolektif memobilisasi

orang-orang dekatnya dan anggotanya agar mendukung setiap langkah-

langkah politik Dinasti Mustohfa.

6. Kontestasi elit adalah persaingan antara elit Dinasti Mustohfa dengan elit desa

lainnya dalam memperebutkan jabatan kepala desa melalui pemilihan

langsung (Pilkades) di Desa Puput dari tahun 1971 sampai dengan 2011. Pada

masa Orde Baru kontestasi elit lokal ini diwarnai dengan intervensi negara

yang sangat besar dalam setiap Pilkades melalui serangkaian persyaratan dan

tes, sehingga dukungan negara mutlak dibutuhkan untuk memenangkan

jabatan kepala desa. Di masa Reformasi intervensi negara hilang, sehingga

para kandidat hanya mengandalkan kekuatan politiknya sendiri untuk meraih

posisi puncak di sebuah desa.

8. KERANGKA FIKIR

Kerangka pikir merupakan kesatuan dari teori, dalil-dalil maupun konsep-

konsep yang dijadikan acuan dalam penelitian. Dalam kerangka fikir diuraikan

hubungan dan keterkaitan antara variable-variabel dalam penelitian, dan

selanjutnya oleh penulis variabel-variabel itu diterangkan lebih mendalam agar

 

38  

sesuai dengan keperluan penelitian yang pada akhirnya dapat menemukan

jawaban atas pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini, penulis

mengkombinasikan dan mengelaborasi teori patron-klien dan teori kontestasi elit

menjadi sebuah kerangka analisis bagi fenomena dinasti kepala desa (dinasti

politik) beserta data-data dan temuan-temuan terkait fenomena tersebut.

Gambar 1.1 Kerangka Fikir

9. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan salah satu penelitian kualitatif, yang mana dengan

menggunakan metode penelitian ini, penulis dapat mengeksplorasi pengalaman

subjektif orang, dan makna yang mereka hubungkan dengan pengalaman-

pengalaman tersebut (Marsh dan Stoker, 2010 : 242). Untuk meneliti fenomena

dinasti kepala desa, penulis menggunakan salah satu varian metode kualitatif yaitu

studi kasus. Menurut Yin studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila

pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti

Jabatan Kepala Desa

Dinasti Kepala Desa (Patron)

o Dukungan pada Pilkades o Pendukung kinerja patron o Pembela patron dlm

konflik

o Bantuan materi o Pekerjaan o Jabatan di desa o Pelayanan spiritual

Konversi

Pengikut (Klien)

 

39  

hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang

diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer

(maka kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 2002 : 1).

Metode studi kasus sangat cocok untuk kepentingan penelitian ini dalam

mengungkap eksistensi dinasti kepala desa di desa Puput. Melacak kemampuan

dinasti kepala desa dalam mempertahankan kekuasaannya hanya bisa dilakukan

melalui riset lapangan yang mencakup kegiatan mencatat, mengamati,

mendengarkan, merasakan, mengumpulkan dan menangkap semua fenomena data

dan informasi tentang kasus yang diteliti (Salim, 2006 : 123).

Dalam rangka untuk mengumpulkan data primer maupun skunder, penulis

telah melakukan penelitian selama 40 hari dari tanggal 28 September sampai

dengan 6 November 2012. Sungguhpun demikian menyangkut kelengkapan data,

setelah waktu tersebut penulis masih melakukan beberapa wawancara via telepon

seluler (handphone) dengan beberapa informan lama maupun informan baru.

Selain itu untuk keperluan data tertulis, penulis juga menghubungi dinas atau

instansi terkait via email.

9.1 Lokasi Penelitian

Studi ini dilakukan di Desa Puput yang termasuk ke dalam wilayah

Kecamatan Simpangkatis Kabupaten Bangka Tengah Propinsi Kepulauan Bangka

Belitung. Lokus ini dipilih karena desa ini sampai saat ini masih dipimpin oleh

kepala desa yang berasal dari satu keluarga yang sama sejak lebih dari empat

dekade yang lalu. Walaupun secara prosedural proses demokrasi telah dijalankan

 

40  

dalam setiap suksesi kepemimpinan di desa tersebut, melalui pemilihan kepala

desa. Fenomena ini relevan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis.

9.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan dua sumber bukti,

yaitu ; wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi. Kedua sumber

bukti (data) tersebut sangat diperlukan untuk melacak eksistensi sebuah dinasti

kepala desa yang hidup dalam dua sistem politik yang berbeda.

a. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Wawancara mendalam merupakan data primer sehingga penulis sangat

memperhatikan siapa informan yang diwawancarai dan di mana wawancara itu

dilakukan. Disamping itu, hal ini terkait dengan informan yang menjadi target

wawancara tentu saja memiliki latar belakang yang berbeda, dan pandangannya

yang berbeda pula terhadap fenomena yang diteliti. Sehingga sangat

mempengaruhi jawaban dan pemaknaan (interpretasi) terhadap pertanyaan-

pertanyaan yang penulis ajukan pada saat wawancara. Menurut Marsh dan

Stokker wawancara mendalam memungkin orang untuk menceritakan kisah

mereka sendiri dengan bahasa yang akrab bagi mereka. Ketika pembahasan isu-

isu mengalir secara alami, dimungkinkan unuk memahami logika argumen

terwawancara dan pemikiran asosiatif yang mendorong mereka pada kesimpulan

tertentu (Marsh dan Stoker, 2010 : 242).

 

41  

Wawancara mendalam yang dilakukan juga berdasarkan pada sebuah

panduan wawancara yang telah disusun, pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan

peyelidikan informal untuk memfasilitasi wawancara yang telah penulis lakukan

dengan informan tentang kasus yang penulis teliti ini, dan pertanyaan-pertanyaan

yang penulis buat dengan cara tidak terstruktur. Sebab panduan wawancara hanya

dibutuhkan untuk pengecekan topik yang akan dicakup, walaupun urutan

pembahasannya tidak ditentukan sebelumnya. Pertanyaan terbuka digunakan

untuk memungkinkan informan berbicara panjang lebar tentang suatu topik

permasalahan yang menjadi fokus penelitian penulis. Bahkan pada beberapa

situasi, peneliti bahkan bisa meminta responden untuk mengetengahkan

pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi

tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya (Yin, 2002 : 109).

Untuk kebutuhan data penelitian penulis telah mewawancarai 25 orang

informan secara langsung maupun via telepon seluler.

1. Tujuh orang informan utama terdiri dari ;

a. Kepala desa incumbent.

b. Mantan kepala desa periode 1996-2005 dan 2005-2011.

c. Kakak kandung kepala desa incumbent.

d. Ibu kandung kepala desa incumbent.

e. Mantan perangkat desa yang pernah menjadi kandidat kepala desa pada

Pilkades 1995.

f. Mantan ketua LKMD (LPM) 1996-2011 yang pernah menjadi kandidat

kepala desa pada Pilkades 1995.

 

42  

g. Tokoh masyarakat yang pernah menjadi lawan politik dinasti kepala desa

pada awal Reformasi. Selanjutnya yang bersangkutan menjadi orang dekat

dan tim sukses dinasti kepala desa pada Pilkades 2005.

2. Dua orang informan dari perangkat Desa Puput.

3. Satu orang mantan perangkat Desa Puput.

4. Satu orang anggota badan permusyawaratan desa (BPD).

5. Tiga orang informan dari tokoh agama.

6. Dua orang informan dari tokoh perempuan.

7. Dua orang informan dari tokoh pemuda.

8. Dua orang informan dari mantan PNS yang pernah bertugas di Kecamatan

Simpangkatis, dan saat ini bertugas di tempat lain.

9. Dua orang informan dari PNS yang sedang bertugas di Kecamatan

Simpangkatis.

10. Dua orang dari tokoh masyarakat .

11. Satu orang ketua partai politik Desa Puput.

Penulis menemui beberapa kendala terkait pengumpulan dan kelengkapan

data, diantaranya minimnya catatatan tentang sejarah kepemimpinan dan Pilkades

di Desa Puput, termasuk masa bakti masing-masing kepala desa. Pemerintah Desa

Puput, pihak kecamatan, maupun keluarga kepala desa tidak memiliki data-data

yang lengkap. Untuk keperluan tersebut penulis melakukan crosscheck dengan

beberapa mantan perangkat desa, staf kecamatan dan mantan staf kecamatan, dan

beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat senior di Desa Puput. Demikian pula

dengan berbagai sumber daya patronase yang dimiliki dinasti kepala desa yang

 

43  

penulis terima dari mereka tidak lengkap, sehingga penulis mengkonfirmasi

dengan dinas atau instansi terkait berkenaan dengan data-data tersebut. Sehingga

data yang berhasil dikumpulkan cukup akurat dan dijamin validitasnya.

b. Dokumentasi

Dokumentasi sebagai data skunder cukup penting guna menunjang

keberhasilan penelitian ini. Data-data tersebut berupa dokumen tertulis

mengenai Pilkades, pemerintah desa, dan terkait dinasti kepala desa serta data-

data lainnya yang memiliki relevansi dengan kepentingan penelitian. Untuk

studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan

menambah bukti dari sumber-sumber lain (Yin, 2002 : 104). Berikut ini data

skunder yang berhasil dihimpun.

No Jenis Data Sumber Data Keterangan 1. Peraturan tentang

Pemerintahan Desa Peraturan tentang Pemilihan

Kepala Desa Peraturan tentang Organisasi

Kemasyarakatan

UU No. 14 / 1946 UU No. 5 / 1979 UU No. 19 / 1965 UU No. 32 / 2004 Permendagri No. 6 /

1981 Keppres No. 28 /

1980

www.presidenri.go.id http://www.kemendagr

i.go.id

2. Sejarah Desa Data Perangkat Desa Organisasi Kemasyarakatan

Profil desa Potensi desa

Kantor Kepala Desa Puput

3. Luas lahan perkebunan Pertambangan Perdagangan Data perekonomian lainnya

Kecamatan Dalam Angka

Data perkebunan Potensi Desa Puput Profil Desa Puput

BPS Bangka Tengah PPL BPK Kec.

Simpangkatis Kantor Kepala Desa

Puput

 

44  

9.3 Analisa Data

Walaupun data primer dan skunder masing-masing dapat berdiri sendiri,

namun untuk kepentingan penelitian ini penulis mengkombinasikan kedua data

tersebut agar data yang dibutuhkan dapat saling menunjang dan melengkapi. Dari

data primer dan sekunder yang masih mentah di atas, penulis menganalisis dan

menginterpretasikan secara kritis untuk menangkap serangkaian makna yang

tersembunyi di balik realitas yang ada. Proses analisis dan interpretasi data ini

penulis lakukan sejak dalam proses wawancara mendalam dengan para informan.

Setelah itu, penulis melakukan reduksi data untuk melihat data atau informasi

mana yang menurut penulis signifikan dan sesuai dengan kasus dan permasalahan

dalam penelitian ini.

Dari penjelasan tadi dapat dilihat bahwa proses penafsiran data telah

penulis lakukan melalui proses yang terjadi secara terus-menerus dan

berkelanjutan dalam rentang waktu tertentu, yakni mulai dari pengumpulan data

sampai dengan pengambilan kesimpulan. Dengan harapan bahwa penelitian yang

telah dilakukan oleh penulis dan telah terwujudkan dalam tesis ini sudah

menemukan realitas yang sesungguhnya tentang kemampuan sebuah dinasti

politik di Desa Puput mempertahankan jabatan kepala desa dalam dua rezim

pemerintahan yang berbeda.

10. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam rangka untuk mengantarkan penulis sampai pada jawaban atas

pertanyaan penelitian, Tesis ini disusun dalam enam bab. Bab pertama adalah

 

45  

pendahuluan, terdiri dari ; latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, kerangka teoritik, studi dinasti politik yang telah dihasilkan, definisi

konseptual, definisi operasional, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika

penulisan.

Bab kedua menggambarkan tentang struktur sosial ekonomi masyarakat

dan sejarah elit dinasti kepala desa. Bagian ini akan membahas tentang struktur

sosial dan ekonomi masyarakat Desa Puput dan sejarah elit dinasti kepala desa

sejak tahun 1971 sampai saat ini. Penulis yakin bahwa kondisi-kondisi tersebut

memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah dinasti

politik yang dibingkai dalam relasi patron-klien. Pembahasan pada bagian ini

terdiri dari subbab ; pertama, Mengenal sekilas Desa Puput. Kedua, struktur sosial

dan ekonomi yang terbagi dalam ; sistem kekerabatan, pendidikan, dan ekonomi.

Ketiga, sejarah elit dinasti kepala desa yang terdiri dari ; H. Mustohfa, H. Mazlah,

H. Jumrah Toha dan H. Zulkarnain. Selain itu pada subbab kedua ini penulis juga

menganggap penting untuk mengulas tentang trauma masa lalu masyarakat Desa

Puput terhadap kepemimpinan kepala desa yang berasal dari luar dinasti kepala

desa. Tujuannya untuk membandingkan kepemimpinan dinasti kepala desa

dengan elit-elit desa lainnya pada periodenya masing-masing.

Bab ketiga, mendeskripsikan tentang basis sumber daya patronase yang

dimiliki oleh dinasti kepala desa. Bagian ini akan mengulas tiga basis sumber

daya patronase yang digunakan oleh dinasti kepala desa untuk meraih dukungan

politik dari berbagai kalangan di Desa Puput. Pembahasan bagian ini terdiri dari

tiga subbab ; pertama, sumber daya ekonomi yang terbagi lagi menjadi ;

 

46  

perkebunan, pertambangan, dan perdagangan. Kedua, kualitas personal atau

individu yang terdiri dari ; keahlian spiritual. Ketiga, jabatan politik yang terdiri

dari ; jabatan perangkat desa dan organisasi desa.

Bab keempat, arena membangun dan memelihara jaringan klientelisme.

Bagian ini akan mengulas tentang di arena mana saja dinasti kepala desa

membangun jaringan klientelisme, dan sumber daya apa saja yang didistribusikan

melalui masing-masing arena tersebut. Bab ini terdiri dari enam subbab ; pertama,

Pelayanan Spiritual (Keagamaan), kedua, Distribusi Sumber Daya Ekonomi, yang

terbagi menjadi ; Distribusi Sumber Daya Ekonomi Rutin dan Distribusi Sumber

Daya Ekonomi Insidentil. Ketiga, Rekrutmen Jabatan Formal. Keempat,

Rekrutmen Tenaga Kerja (Buruh).

Bab kelima, Efektifitas dan Dinamika Klientelisme. Bagian ini akan

mengulas tentang peran jaringan klientelisme dalam mereproduksi dukungan

politik pada setiap Pilkades di Desa Puput sejak tahun 1971. Kemudian

dilanjutkan dengan pembahasan tentang berbagai fragmentasi dalam tubuh

klientelisme serta bagaimana Dinasti Mustohfa mengkonsolidasikan kembali

jaringan klientelismenya. Bagian ini terdiri dari tiga subbab ; pertama, Efektifitas

jaringan klientelisme, yang terbagi ke dalam ; Reproduksi dukungan politik di

masa Orde Baru, dan Reproduksi dukungan politik di masa Reformasi. Kedua,

Fragmentasi klientelisme, yang terbagi menjadi ; Keretakan jaringan klientelisme

dan Konflik ; Melawan kekuatan supra desa dan intra desa. Ketiga, Potensi

konsolidasi klientelisme.

 

47  

Bab keenam, merupakan penutup dari seluruh penulisan tesis ini, dan

merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian. Pembahasan dalam bagian ini

menyajikan kesimpulan dan refleksi teoritik atas temuan penelitian.