bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Suparto Brata, sastrawan yang dilahirkan di Surabaya tanggal 27 Februari
19321, merupakan penulis produktif, baik sebagai penulis karya sastra Jawa maupun
karya sastra Indonesia. Ia menulis dalam tiga periodisasi politik Indonesia, yaitu masa
Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Sejak tahun 1958 sampai tahun 2013, ia telah
berhasil menulis 135 karya yang berupa naskah drama, cerita bersambung, novel, dan
beberapa penelitian, serta 60 cerita pendek.2 Selain menulis karya sastra, sastrawan
keturunan bangsawan dari Surakarta Hadiningrat ini juga menulis beberapa buku
tentang sejarah Surabaya.
Suparto Brata lebih dikenal sebagai sastrawan berbahasa Jawa (daerah)
daripada sastrawan Indonesia. Di arena sastra Jawa, Suparto Brata dianggap sebagai
salah satu pembaharu sastra Jawa Modern. Puncak dari perjuangan Suparto Brata
dalam arena sastra Jawa berada di era tahun 2000-an yang ditandai dengan tiga kali
penerimaan Hadiah Sastra Rancage. Tahun 2000 Suparto Brata menerima hadiah
tersebut karena dinilai berjasa dalam upaya pelestarian sastra Jawa. Selanjutnya di
1 Tanggal lahir Suparto Brata di sini didasarkan pada buku Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis Buku
(2011) yang ditulis sendiri oleh Suparto Brata. Dalam www.wikipedia.com disebutkan tanggal 23
Februari 1932. 2 Tulisan-tulisan tersebut terdiri dari tulisan berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia. Novel-novel
yang dihasilkan seringkali dari cerita bersambung yang dipublikasikan di koran. Beberapa novel
berbahasa Indonesia merupakan hasil terjemahan dari novel berbahasa Jawa atau sebaliknya.
2
tahun 2001 dan 2005 mendapatkan penghargaan untuk kumpulan cerpen yang
berjudul Trem dan roman yang berjudul Donyane Wong Culika.
Konsekrasi Suparto Brata sebagai sastrawan daerah telah didapatkan jauh
sebelum tahun 2000-an. Atmowiloto (1984: 45), di Sarasehan Jatidiri Sasta Daerah
tahun 1984, menyebut Suparto Brata dengan “Ki Ageng” Suparto Brata. Penyebutan
“Ki Ageng” merupakan bentuk penghormatan terhadap kiprah Suparto Brata dalam
pelestarian sastra Jawa. Sementara itu, Quinn (1995: 36) dalam desertasinya
menyebut karya Suparto Brata memiliki gambaran nyata tentang pribadi dan
masyarakat. Menulis dengan nama samaran Peni, karya Surparto Brata mungkin
merupakan satu-satunya karya sastra Jawa kontemporer yang menyajikan gambaran
rinci, nyata, dan simpatik tentang seorang wanita muda yang penuh semangat dalam
menyambut pengalaman baru pindah dai desa ke kota besar, hidup sendiri di sana,
dan mencapai keberhasilan dalam berkarier.
Kondisi dan posisi Suparto Brata di arena sastra Jawa berbeda dengan di arena
sastra Indonesia. Produktivitas Suparto Brata dalam menciptakan karya sastra
Indonesia ternyata kurang mendapatkan perhatian agen-agen legitimit dalam arena
sastra Indonesia. Budi Darma (1995: 99) mengatakan bahwa sampai sekarang (tahun
1995-pen) Suparto Brata belum mempunyai kartu tanda penduduk sastra Indonesia.
Bahkan dengan nada sarkas, produktivitas Suparto Brata dianalogikan dengan tukang
ketik kantor kecamatan. Pendapat lain muncul dari Maman S. Mahayana (2007: 45-
46) yang menyebut karya-karya berlatar revolusi yang muncul di tahun 1980-an,
salah satunya karya Suparto Brata, kurang mengangkat aspek kemanusiaan atas
3
peristiwa revolusi, menyebabkan yang terungkap hanya gambaran peristiwanya,
bukan hakikat dan makna bagi manusia dan kemanusiaan.
Meskipun tidak mendapatkan penghargaan nasional, pada tahun 2007 Suparto
Brata terpilih sebagai penerima penghargaan internasional The SEA Write Award di
Bangkok untuk novelnya yang berjudul Saksi Mata. Penghargaan ini, secara
simbolik, menyejajarkan Suparto Brata dengan sastrawan-sastrawan Indonesia
lainnya seperti Y.B. Maungunwijaya, Saini K.M., Goenawan Mohammad, Sapardi
Djoko Damono, Budi Darma, dan lain-lain. Setelah memperoleh penghargaan
tersebut, Suparto Brata menulis sebuah pengakuan di majalah Jaya Baya yang
menegaskan bahwa ia tidak pernah mendapatkan legitimasi dalam arena sastra
Indonesia. Pengakuan tersebut ditulis sebagai berikut:
Saya, Suparto Brata, sudah menulis sejak tahun 1950. Saat itu saya
terpaksa mengarang untuk mencari nafkah buat hidup, dan menulis adalah
pilihanku. Tetapi tulisanku selalu ditolak oleh redaksi. Baru tahun 1952,
tulisanku ada yang diterbitkan oleh surat kabar, dipublikasikan untuk
umum. Selanjutnya saya hidup bukan hanya dari menulis, tetapi berbagai
macam pekerjaan. Hanya saja, menulis tidak bisa dipisahkan dari
penghidupanku, meskipun tidak bisa menghasilkan tulisan yang hebat
untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi sampai sekarang, saya sudah
menghasilkan 125 judul buku, tidak ada satupun yang pernah di cetak
ulang, apalagi diterjemahkan dalam bahasa asing. Itu membuktikan bahwa
sebenarnya tulisanku mutunya kacangan3. Karena itu, sampai di usia tuaku
sekarang ini, saya belum pernah mendapat hadiah utama tingkat nasional
(Indonesia) dalam hal menulis.
Pengakuan Suparto Brata tersebut menegaskan bahwa, sebelum tahun 2007,
dalam kontestasi arena Sastra Indonesia Suparto Brata mengalami kegagalan ditinjau
3 Kacangan meupakan ungkapan khas Surabaya untuk menyatakan sesuatu yang rendah dan remeh.
4
dari prinsip hierarki heteronom maupun prinsip hierarki otonom. Kegagalan dalam
prinsip hierarki heteronom dapat diketahui dari pernyataan bahwa tidak ada satupun
dari karya-karyanya yang pernah cetak ulang. Meskipun tidak ada indeks penjualan
yang lebih rinci, pernyataan tersebut menyiratkan karya-karya Suparto Brata tidak
laris. Sedangkan dari prinsip otonom dapat diketahui dari kenyataan bahwa Suparto
Brata tidak pernah mendapatkan penghargaan atau hadiah utama di tingkat nasional.
Fenomena Suparto Brata ini menunjukkan bahwa nilai sebuah karya sastra
dan derajat konsekrasi sastrawan berubah-ubah di tiap-tiap waktu atau periode. Pada
masing-masing periode menyiratkan adanya dominasi kekuasaan dengan aturan-
aturan permainan yang berbeda-beda. Keberhasilan atau kegagalan seorang sastrawan
sangat dipengaruhi oleh kemampuannya untuk mendapatkan ‘nilai’ karya-karyanya
dari pihak-pihak yang memiliki otoritas dan legitimasi. Pada masa Orde Baru, karya-
karya Suparto Brata dinilai rendah sehingga ia tidak mendapatkan konsekrasi sebagai
sastrawan Indonesia. Namun pada masa pasca-Orde Baru atau masa reformasi dan
setelahnya karya Suparto Brata dianggap bernilai sehingga ia mendapatkan laba
simbolik berupa penghargaaan The SEA Award.
Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis kontestasi simbolik atau
perjuangan dan pergulatan Suparto Brata dalam arena sastra Indonesia pada masa
Orde Baru, sehingga kegagalannya dapat terjelaskan. Oleh karena itu, penelitian ini
akan menggunakan pendekatan yang dapat melihat sastra secara keseluruhan, yaitu
pembacaan secara eksternal dan internal novel Suparto Brata; pembacaan terhadap
kondisi sastra dan kondisi sosial politik yang ketika Suparto Brata menuliskan novel
5
dan memperjuangkan nilai karyanya. Pendekatan semacam itu, dapat ditemukan
dalam teori strukturalisme genetik Pierre Bourdieu.
Pierre Bourdieu merumuskan teori sosiologi sastra yang tidak hanya
menganalisis karya sastra sebagai objek kajian, tetapi juga produksi simbolis karya,
yaitu nilai sebuah karya. Pendekatan sosiologi Bourdieu dimaksudkan untuk
memahami karya sastra sebagai manifestasi keseluruhan, yang di dalamnya terpusat
sebuah arena dan semua determinasi inheren di dalam struktur. Bourdieu memahami
arena sastra sebagai ruang bagi pengarang, sebagai salah satu agen, untuk melakukan
kontestasi guna mendapatkan posisi dan laba, baik laba ekonomi maupun, terutama,
laba simbolik (konsekrasi). Praktik yang dilakukan agen dalam arena sastra
dipengaruhi oleh habitus dan modal yang dimiliki oleh agen.
Dengan demikian, untuk memahami karya Suparto Brata harus mengkaji juga
bagaimana habitus Suparto Brata, modal-modal yang digunakan Suparto untuk
berjuang dan bergulat dalam arena sastra Indonesia, dan strategi-strategi
pendistribusian modal Suparto Brata tersebut. Penelitian ini juga akan
mempresentasikan konstruksi arena sosial dan arena sastra pada masa Orde Baru
sehingga skema generatif atau aturan permainan pada periode tersebut dapat
ditemukan.
6
Adapun yang menjadi objek material penelitian ini adalah Suparto Brata
sebagai salah satu agen dan novel Mencari Sarang Angin (2005)4. Secara umum
karya-karya Suparto Brata memiliki tipe yang sama. Novel-novelnya seringkali
menggunakan sejarah sebagai latar waktu. Sungkowati (2009) mencatat peristiwa
sejarah yang menjadi objek atau melatari novel-novel Suparto Brata antara lain
Surabaya Tumpah Darahku dan Saksi Mata (zaman pendudukan Jepang di
Surabaya); November Merah (pertempuran 10 November di Surabaya); Kremil
(pemberontakan G 30/S PKI/ 1965-1967); Gadis Tangsi (zaman kolonialisme
Belanda di Medan); Mencari Sarang Angin (masa kolonialisme Belanda-
Pemberontakan PKI Madiun-Agresi Militer Belanda II/1935-1950); Kerajaan
Raminem (kedatangan Jepang/peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang); dan
Maghligai di Ufuk Timur (zaman Pendudukan Jepang di Bagelen-Solo).
Pemilihan novel Mencari Sarang Angin sebagai objek material didasarkan
beberapa pertimbangan. Pertama, dari pembacaan awal peneliti terhadap beberapa
novel karya Suparto Brata ditemukan bahwa Mencari Sarang Angin merupakan novel
yang menghadirkan tokoh yang identik dengan biografi Suparto Brata. Novel
Mencari Sarang Angin menceritakan seorang pemuda bernama Darwan
Prawirakusuma yang datang ke Surabaya untuk bekerja sebagai wartawan di surat
kabar Dagblad Ekspres. Darwan merupakan keturunan bangsawan Surakarta. Selain
bekerja, kepergian Darwan ke Surabaya didasari beberapa alasan, yaitu keinginannya
4 Mencari Sarang Angin diciptakan pada 27 Januari 1991 – 26 April 1991. Dimuat secara bersambung
di Jawa Pos, 23 Oktober 1991 – 27 Desember 1991. Digubah kembali dan diterbitkan oleh Grasindo
Jakarta tahun 2005.
7
keluar dan meninggalkan segala macam harta benda dan martabat sebagai bangsawan
Surakarta, pencarian jati diri, serta karena sakit hati lantaran dituduh menyukai selir
ayahandanya
Kedua, peneliti menilai bahwa novel Mencari Sarang Angin merupakan novel
yang mewakili hampir semua novel Suparto Brata karena menghadirkan tiga (3)
arena kekuasaan5. Peristiwa yang terjadi dalam novel Mencari Sarang Angin dimulai
pada akhir masa kolonialiasasi Indonesia (tahun 1936) dan diakhiri pada tahun 1948,
yaitu ketika terjadi peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Dengan demikian, novel
Mencari Sarang Angin menghadirkan tiga (3) masa pemerintahan di Indonesia, yaitu
masa pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan Indonesia. Lebih lanjut,
Mencari Sarang Angin menghadirkan penyikapan terhadap konflik antara ‘yang
dominan’ dan ‘yang subordinat’ dalam tiga arena kekuasaan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konstruksi arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia pada masa
Orde Baru?
2. Bagaimana trajektori dan akumulasi modal Suparto Brata?
5 Novel Gadis Tangsi menghadirkan dua arena kekuasaan, yaitu masa pemerintahan Belanda dan
pendudukan Jepang. Novel-novel yang lain hanya menghadirkan satu arena kekuasaaan.
8
3. Bagaimana strategi Suparto Brata dalam kontestasi simbolik di arena sastra
Indonesia melalui novel Mencari Sarang Angin?
1.3 Hipotesis
Derajat kesuksesan Suparto Brata dalam kontestasi simbolik di arena sastra
Indonesia dipengaruhi oleh relevansi modal dan strateginya terhadap skema generatif
aturan permainan dalam arena sastra pada masa Orde Baru.
1.4 Objek
Objek penelitian ini terdiri dari dua kategori, yaitu objek formal dan objek
material. Objek formal penelitian ini adalah arena produksi kultural. Adapun objek
material penelitian ini adalah Suparto Brata dan novel Mencari Sarang Angin karya
Suparto Brata.
1.5 Tujuan
Penelitian ini secara ilmiah bertujuan mengaplikasikan teori strukturalisme
genetik Pierre Bourdieu untuk menganalisis arena produksi kultural novel Mencari
Sarang Angin karya Suparto Brata. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah agar
masyarakat, setelah membaca tulisan ini, mendapat gambaran tentang bagaimana
arena produksi kultural novel Mencari Sarang Angin karya Suparto Brata yang terdiri
dari:
1. konstruksi arena sastra Indonesia dan aturan mainnya pada masa Orde Baru;
9
2. trajektori, habitus, dan modal Suparto Brata dalam kontestasi simbolik di arena
sastra Indonesia;
3. strategi-strategi Suparto Brata dalam kontestasi simbolik di arena sastra Indonesia.
1.6 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran pustaka, terdapat kajian yang memiliki keterkaitan
dengan objek material penelitian, yaitu novel Mencari Sarang Angin. Berikut ini
dipaparkan seccara sekilas tentang beberapa bahan pustaka yang dimaksud. Selain
berkaitan dengan novel Mencari Sarang Angin, penelitian-penelitian yang berkaitan
dengan pengarang juga akan diuraikan. Penguraian kajian pustaka ini bertujuan untuk
menempatkan posisi sekaligus untuk menunjukan orisinalitas penelitian ini di antara
penelitian yang telah ada.
Purwitasari (2005) dalam skripsinya yang berjudul Novel Mencari Sarang
Angin karya Suparto Brata: Sebuah Analisis Struktur Genetik mengkaji hubungan
Mencari Sarang Angin dengan riwayat hidup pengarang. Hasil dari penelitian
tersebut adalah temuan tentang adanya kesamaan antara tokoh dalam Mencari Sarang
Angin dengan Suparto Brata. Selain itu juga menemukan ide dan pemikiran Suparta
Brata bahwa masyarakat harus memahami sejarah bangsanya. Sementara itu, Puryanti
(2008) membahas nasionalisme Indonesia dalam novel Mencari Sarang Angin karya
Suparto Brata.
Berbeda dengan Puryanti, Sungkowati (2010) dalam jurnal Humaniora
membahas novel Mencari Sarang Angin dengan pendekatan poskolonial. Ia
10
menemukan adanya ambivalensi dalam teks. Ambivalensi tersebut bukan hanya
terlihat dari ruang dan waktu yang ada dalam teks, tetapi juga dialektika antara
budaya Eropa (Belanda) dan budaya Jawa. Sehubungan dengan posisi antara Eropa
dan Jawa, atau antara kolonialis dan koloni itu, ambivalensi telah terjadi tidak hanya
penerimaan logika Eropa dan penjagaan filosofi, penerimaan nilai-nilai demokrasi
dan feodalisme, tetapi juga antara monogami dan perkawinan poligami.
Penelitian selanjutnya dilakukan yang oleh Sungkowati (2009) yaitu
menggunakan novel Mencari Sarang Angin sebagai objek material tunggal. Dalam
majalah Lingua, Sungkowati menuliskan penelitian yang berjudul Lintasan Sejarah
Indonesia dalam Novel-novel Suparto Brata. Ia menempatkan novel-novel Suparto
Brata sebagai sumber primer penyusunan sejarah Inonesia mulai pada masa kolonial
sampai masa Orde Baru.
Sementara itu, Untoro (2006) dalam tesis yang berjudul Pemikiran Suparto
Brata dalam Karya-karya Sastranya menganalisis tujuh novel Suparto Brata.
Didasarkan pada buku George Quinn yang berjudul The Novel In Javanese (Novel
Berbahasa Jawa) sebagai referensi utama, tesis tersebut menemukan adanya idelogi
priyayi dalam novel-novel Suparto Brata. Ideologi priyayi ini juga dipengaruhi oleh
latar belakang Suparto Brata yang merupakan keturunan bangsawan (keraton
Surakarta Hadiningrat).
Berdasarkan data-data yang diuraikan tersebut, orisinalitas penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra Pierre
Bourdie, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis arena produksi novel Mencari
11
Sarang Angin. Penelitian ini memiliki tujuan akhir menemukan strategi-strategi yang
digunakan Suparto Brata dalam kontestasi simbolik tersebut sehingga praktik sastra
Suparto Brata dapat dijelaskan, dimana dalam hal ini praktik tersebut mengalami
kegagalan.
Pendekatan sosiologi sastra Pierre Bourdie bukanlah hal baru dalam khasanah
penelitian sastra Indonesia. Tercatat ada tiga penelitian yang telah dilakukan, yaitu
oleh Karnanta (2012) yang meneliti novel trajektori Andrea Hirata melalui novel
Sang Pemimpi; Anwar (2013) yang membahas praktik sastra dari Persada Studi
Klub; dan Astika (2013) yang membahas praktik Umbu Landu Paranggi dalam arena
sastra Bali. Ketiga penelitian tersebut dilatarbelakangi keberhasilan masing-masing
agen, sebagai objek material, dalam arena sastra Indonesia.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sosiologi sastra Bourdieu yang
telah ada yaitu pada latar belakang penelitian. Sebagaimana telah dijelaskan di awal
penelitian ini berangkat dari fenomena kegagalan praktik agen dalam meraih
legitimasi dan konsekrasi di arena sastra Indonesia. Penelitian ini juga berusaha
membuktikan bahwa teori strukturalisme genetik Pierre Bourdieu dapat diterapkan
untuk membedah kegagalan agen (sastrawan) dalam konstestasi simbolik di arena
sastra.
1.7 Teori Arena Produksi Kultural: Pembacaan Internal dan Eksternal
Analisis terhadap karya sastra tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara
karya sastra dengan pengarang, kondisi sosial pengarang, kondisi sastra dan
12
kemungkinan-kemungkinan dalam sastra yang dihadapi oleh pengarang. Karya sastra
yang diciptakan dengan estetika tertentu dan dengan tematik tertentu merupakan hasil
pembacaan pengarang terhadap realitas yang melingkupinya atau hasil internalisasi
pengarang terhadap arena sosial dan arena sastra. Karya sastra juga menjadi salah
satu bentuk modal simbolik yang digunakan untuk berjuang dan bergulat dalam
sastra. Oleh karena itu, untuk memahami karya sastra harus menelusuri dan
memahami hubungan antara elemen-elemen tersebut. Kajian sastra semacam ini
berada dalam ruang lingkup kajian sosiologi sastra.
Sosiologi seni atau sastra, menurut Bourdieu (2010: 16) adalah persoalan
tentang bagaimana memahami karya seni sebagai manifestasi arena secara
keseluruhan, yang di dalamnya terpusat semua kekuasaan arena dan semua
determinisme yang inheren di dalam struktur. Sosiologi seni dan sastra tidak hanya
menjadikan produksi material sebagai objek kajiannya, tetapi juga produksi simbolis
karya, yaitu produksi nilai sebuah karya atau, yang kira-kira sederajat dengan itu,
produksi keyakinan terhadap nilai karya tersebut. Oleh karena itu, sosiologi seni dan
sastra juga harus mempertimbangkan peran produser makna dan nilai karya—seperti
kritikus, penerbit, pengelola galeri, dan agen-agen lain yang tugas-tugas mereka
membuat konsumen mampu mengetahui dan mengakui karya seni (Bourdieu, 2010:
15).
Lebih lanjut, Bourdieu (2010: 4) mengatakan bahwa tugas sebenarnya dari
sosiologi sastra adalah mengkonstruksi ruang posisi dan ruang pengambilan posisi di
mana arena seni dan sastra diekspresikan. Struktur arena, yaitu ruang posisi-posisi,
13
tak lain adalah struktur distribusi modal properti-properti spesifik yang mengatur
keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba eksternal atau laba spesifik
(seperti pestise sastra) yang dipertaruhkan di dalamnya (Bourdieu, 2010: 5). Teori
arena produksi kultural Bourdieu dan metode analitisnya yang dalam dan ketat
meliputi kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang
simbolis (Johnson, 2010: xxiii).
Oleh karena itu, Pierre Bourdieu mengembangkan metodologi strukturalisme
genetik6 sebagai upaya untuk melakukan pembacaan internal dan pembacaan
eksternal, sebagai upaya pendamaian atau pertautan antara struktur dan agen.
Strukturalisme genetik dirancang untuk memahami genesis struktur sosial, yaitu
arena sastra, maupun genesis disposisi habitus agen-agen yang terlibat di dalamnya
6 Bourdieu memberikan beberapa penamaan untuk menyebut teorinya antara lain strukturalisme
konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis (dalam Choses Dites: Uraian dan Pemikiran [2011:
163]) dan strukturalisme genetik (dalam Choses Dites: Uraian dan Pemikiran [2011: 20-21] dan Arena
Produksi Kultural [2010: 213]). Randal Johnson dalam pengantarnya untuk buku Arena Produksi
Kultural menyebutnya sebagai sosiologi genetik atau strukturalisme genetik (hlm. xiv). Istilah
strukturalisme konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis digunakan Bourdieu untuk menjelaskan
ciri penelitiannya yang dibukukan dalam Distinction. Sedangkan strukturalisme genetik, sejauh yang
saya baca, digunakan dalam konteks arena produksi kultural, khususnya arena seni. Strukturalisme
genetik Bourdieu ini tidak dapat disamakan dengan strukturalisme genetik Lucien Goldmann.
Perbedaan di antara keduanya terletak pada pandangan mengenai hubungan antara struktur karya dan
struktur sosial. Johnson (2010: xxx) menjelaskan bahwa “teori-teori refleksi”, dalam gaya Lukacs dan
Goldmann, menempatkan penulis sebagai seorang juru bicara ketidaksadaran (the unconsciousness)
suatu kelompok. “Teori-teori refleksi” percaya adanya homologi-homologi tertentu antara struktur
karya dan struktur sosial, atau antara karya dan pandangan dunia kepentingan sosial kelas tertentu.
Bagi Bourdieu, hubungan tersebut tidak dapat serta-merta terjadi, pandangan dunia kelompok
bukanlah suatu yang homogen. Bourdieu mengkritik para peneliti yang berusaha mengaitkan karya-
karya seni secara langsung kepada asal-usul pengarangnya melalui metode-metode kuantitatif atau
kualitatif, atau yang berusaha mencari penjelasan di dalam kelompok-kelompok yang sudah
menggunakan karya-karya tertentu sebagai rujukan, atau pihak-pihak yang diniatkan menjadi sasaran
karya-karya itu (Johnson, 2010: xxviii). Pendekatan-pendekatan semacam itu—hubungan langsung
seni dengan struktur sosial—disebut Bourdieu sebagai “efek hubungan pendek”. Untuk menangkis hal
tersebut, Bourdieu mengembangkan teori arena.
14
(Bourdieu, 2010: 213). Mengenai istilah strukturalisme genetik ini Bourdieu (2011:
21) menjelaskan:
Dalam pengertian ini, jika saya ingin bermain-main dengan label-
label yang disukai oleh mereka yang menikmati permainan arena
intelektual sejak filsuf-filsuf tertentu memperkenalkan ke arena itu cara
atau model-model yang berlaku di arena seni, maka saya akan katakan
bahwa saya berusaha mengembangkan suatu strukturalisme genetik:
bahwa analisis atas struktur-stuktur objektif—dari berbagai arena yang
berbeda-beda—yang tidak dapat dipisahkan dari analisis tingkat individu-
individu biologis tentang asal-usul (genesis) struktur mental yang sampai
pada tingkat tertentu merupakan produk dari pembatinan stuktur sosial;
tidak dapat dipisahkan, juga, dari analisis genesis struktur sosial itu
sendiri: ruang sosial, dan kelompok-kelompok di dalamnya, merupakan
produk pembentukan sejarah (di mana setiap agen berpartisipasi
berdasarkan posisi mereka dalam ruang sosial dan dengan struktur mental
melalui pemahaman mereka tentang ruang tersebut).
Dengan metode strukturalisme genetik ala Bourdieu ini akhirnya ia
mengembangkan teori arena untuk menganalisis karya sastra secara utuh. Bourdieu
(1990: 147) mengatakan bahwa teori arena mengacu pada penolakan hubungan
langsung biografi individual dengan karya sastra (atau hubungan dengan “kelas
sosial” yang menjadi asal sebuah karya), penolakan terhadap analisis internal karya
individual, bahkan analisis intertekstual. Hal itu karena penelitian terhadap karya
sastra harus melakukan keduanya secara bersamaan. Bourdieu memostulatkan
eksistensi dari korespondensi yang cukup teliti, sebuah homologi, antara ruang
kemungkinan karya di dalam perbedaannya, variasinya (dalam kaidah
intertektualitas), dan ruang produser serta lembaga produksi, review, penerbit, dan
lain-lain. Perihal teori arena tersebut, Bourdieu (2011: 196-198) memberikan
penjelasan secara rinci sebagai berikut:
15
Teori arena memang berujung pada penolakan cara yang langsung
menghubungkan biografi individual denga karya (atau asal-usul “kelas
sosial” dengan karya) dan pada penolakan atas analitis internal terhadap
sebuah karya atau bahkan analisis intertektualitas. Ini dikarenakan apa
yang kita hadapi adalah semua hal ini pada saat yang bersamaan. Saya
mendalilkan bahwa ada sebuah korespondensi yang cukup tegas, sebuah
homologi, antara ruang hasil karya dengan segala perbedaannya,
variasinya (lewat intertekstualitas), dengan ruang produsen serta institusi
produksi, reviews, penerbitan dan sebagainya. Kita harus memperhatikan
posisi yang berbeda-beda di dalam arena sebagaimana yang didefinisikan
dengan mempertimbangkan genre yang dipraktikkan, membuat ranking
genre ini, yang bisa ditentukan berdasarkan tempat dia dipublikasikan
(penerbit, reviews, galeri dam sebagainya) dan tanda-tanda konsekrasi
atau, lebih sederhananya, lamanya waktu yang diperlukan terhitung sejak
pertama kali masuk permainan, namun juga dengan indikator-indikator
yang lebih eksternal, seperti asal-usul sosial, geografis, yang dapat
terungkap lagi di dalam posisi-posisi yang dtempati dalam arena. Posisi-
posisi yang diambil di ruang moda ekspresi, ruang dan bentuk literer dan
artistik (sajak gaya alexandrian atau matra lainnya, rima atau sajak yang
bebas, soneta atau baladadan sebagainya), ruang-ruang tema-tema dan
tentu saja ruang segala macam petunjuk formal yang subtil yang telah
dikenali oleh analisis sastra tradisional sejak lama berkorespondensi
dengan posisi-posisi yang berbada-beda ini… Metode itu (metode arena)
mununtut agar kita melakukan semua hal yang telah dilakukan oleh
metode-metode canggih yang telah dikenal selama ini (pembacaan
internal, analisis biografi dan sebagainya), yang secara umum dilakukan
hanya pada seorang pengarang saja, dan menuntut bahwa apa yang kita
lakukan itu adalah demi mengkonstruksi arena karya-karya dan arena
para produsen dan sistem relasi yang tercipta antara dua rangkaian relasi
ini.
Teori arena Bourdieu tersebut dapat dipahami sebagai teori untuk memahami
karya sastra (seni) secara menyeluruh dengan menganalisis relasi antara karya sastra,
biografi pengarang, arena sastra, dan arena sosial. Objek ilmu karya-karya kultural
adalah korespondensi di antara dua struktur homolog, yakni antara struktur karya-
karya (yaitu genre, bentuk, dan tema) dengan struktur arena sastra, sebuah arena
kekuatan-kekuatan yang mau tak mau menjadi arena pergulatan (Bourdieu, 2010:
16
243). Karya sastra merupakan manifestasi dari internalisasi eksternal pengarang yang
menghasilkan pemilihan bentuk artistik, gaya, dan tema. Karya sastra merupakan
proyek artistik pengarang yang dipertarungkan dalam arena sastra sekaligus salah
satu bentuk modal simbolik pengarang dalam pertarungan itu. Oleh karena itu analisis
internal terhadap karya sastra merupakan upaya untuk mengelaborasi unsur-unsur
tersebut.
Operasionalisasi teori Bourdieu mencakup tiga konsep utama, yaitu, habitus,
modal, dan arena. Arena adalah sebuah semesta sosial sesungguhnya, tempat
terjadinya—sesuai hukum-hukum tertentu—akumulasi bentuk-bentuk modal tertentu,
sekaligus tempat relasi-relasi kekuasaan berlangsung (Bourdieu, 2010: 215). Masing-
masing arena memiliki otonomi yang memungkinkan adanya suatu konvensi,
struktur, dan sanksi, yang berbeda satu sama lain, tetapi saling memengaruhi. Arena
sastra, misalnya, memiliki otonomi, konvensi, dan struktur objektif yang berbeda,
contohnya, dengan arena pendidikan atau kekuasaan.
Habitus didefinisikan sebagai basis generatif bagi agen untuk bertindak dan
melakukan praktik. Bourdieu (2001: 101) menjelaskan bahwa habitus sebagai sebuah
sistem disposisi terhadap suatu praktik adalah basis generatif bagi perilaku-perilaku
yang teratur; oleh karena itu jadi basis bagi regularitas bentuk-bentuk praktik. Habitus
merupakan sebuah struktur yang dihasilkan dari struktur yang dihadapi oleh agen.
Dalam hubungannya dengan pengarang, habitus pengarang dibentuk oleh struktur-
struktur yang dihadapinya, misalnya budaya dan sosial pengarang.
17
Modal menjadi elemen penting dalam proses penciptaan karya sastra dan
proses perjuangan dan pergulatan pengarang dalam arena sastra. Bourdieu membagi
modal menjadi empat jenis, yaitu modal ekonomi, sosial, simbolik, dan kultural. Di
bawah ini akan diuraikan secara lebih rinci mengenai ketiga konsep tersebut.
1.7.1 Habitus: Basis Generatif Agen
Habitus merupakan basis generatif bagi individu untuk bertindak, melakukan
praktik. Agen-agen sosial (individu, kelompok atau intitusi yang terisolasi)
melakukan praktik dan bersosialisasi dengan struktur sosialnya melalui habitus. Di
dalam beberapa buku dan esainya, Bourdieu (1977: 72; 1990b: 53; dalam Johnson,
2010: xv; dalam Mahar, dkk., 2009: 13) mendefinisikan habitus sebagai:
sebagai sistem disposisi7 yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan,
struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai
penstruktur struktur-struktur, yaitu prinsip-prinsip yang melahirkan dan
mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang
bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa
mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau
penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk
mencapainya.
Penjelasan Bourdieu tersebut dapat dimaknai bahwa habitus adalah, pertama,
sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan. Habitus merupakan
sebuah sistem yang dibentuk oleh sistem disposisi yang telah bertahan lama. Dengan
7 Disposisi mengungkapkan hasil dari suatu praktik pengaturan, dengan arti mendekati kata seperti
struktur, tetapi juga menunjukkan suatu cara berada, terkait dengan kebiasaan (terutama tubuh) dan,
khususnya, kecenderungan (predisposition, tendency, propensity, atau inclination) Bourdieu
(1977:214). Dapat dikatakan bahwa disposisi mencakup tiga hal, yaitu 1) hasil praktik pengaturan yang
setara dengan definisi struktur; 2) cara berada agen-agen terkait dengan kebiasaan; dan 3)
kecenderungan.
18
kata lain, habitus dibentuk oleh sejarah. Ia diperoleh dari hasil pembelajaran atau
internalisasi struktur objektif. Habitus mengambil skema pembentukannya dari
struktur objektif atau arena sosial. Namun, tidak berarti habitus mereproduksi total
skema yang membentuknya, melainkan berdialektika dengan skema-skema yang
lebih dulu terinternalisasi dalam struktur subjektif individu.
Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan
berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jelas habitus bukan
kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis
maupun biologis. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas
bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas (Takwin, 2009: xix).
Habitus juga dapat disebut merupakan hasil dari internalisasi eksternal yang
dimunculkan sebagai eksternalisasi internal.
Kedua, struktur yang distrukturkan yang diasumsikan sebagai penstruktur
struktur-struktur, yaitu prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan
praktik-praktik dan reperesentasi-representasi. Habitus merupakan sistem bagi praktik
agen-agen, merupakan basis genaratif bagi agen untuk melakukan praktik. Habitus
merupakan konstruksi perantara, bukan konstruksi pendeterminasi: habitus tetap
memberikan peran kreatif aktor untuk berimprovisasi, bebas, dan otonom. Habitus
menjadi dasar penggerak tindakan dan pemikiran yang mengombinasikan disposisi
sebagai kecenderungan sikap dan skema klasifikasi generatif sebagai basis penilaian
(Jenkins, 2010: 15).
19
Habitus sebagai sistem disposisi akan menghasilkan perbedaan gaya hidup
dan praktik-praktik kehidupan, sesuai dengan pengalaman dan proses internalisasi
agen dalam berinteraksi dengan agen lain maupun struktur objektif tempat dia berada.
Sekumpulan pola yang terinternalisasi tersebut mencakup berbagai prinsip klasifikasi,
seperti baik-buruk, sakit-sehat, benar-salah, masuk akal-tidak masuk akal, rasional-
irrasional, dan lainnya.
Ketiga, habitus bekerja di aras bawah sadar. Habitus seringkali muncul dari
tindakan-tindakan spontan ketika individu menghadapi masalah atau berada dalam
sebuah arena tertentu. Hal ini sesuai dengan pemahaman Jenkins (2010: 107) yang
menyatakan bahwa skema-skema habitus menyatu pada nilai-nilai dan gerak tubuh
(gestures) yang paling otomatis, seperti cara berjalan, cara makan, maupun gaya
bicara. Skema klasifikatori generatif yang menjadi esensi dari habitus tersimbolkan
dalam hakikat manusia
Beberapa aspek habitus, secara ringkas dijelaskan oleh Webb (2002: 38)
meliputi empat poin, yaitu, pertama, pengetahuan (cara bagaimana memahami dunia,
kepercayaan, dan nilai) selalu dibentuk melalui habitus; kedua, segala tindakan, nilai-
nilai atau cara berprilaku dipengaruhi oleh trajektori (lintasan/perjalanan) kulturalnya;
ketiga, habitus selalu dibentuk dalam momen praktik. Habitus terus dibawa dan
dibentuk agen dalam momen praktik: ketika menghadapi masalah, pilihan atau
konteks dimana habitus berlangsung. Dengan kata lain, habitus selalu ada dalam
kehidupan sehari-hari; keempat, habitus bekerja di level bawah sadar, karena habitus
secara keseluruhan menyatu dalam nilai-nilai yang dianut oleh agen.
20
1.7.2 Modal: Properti-properti Kekuatan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa arena sastra merupakan ruang
perjuangan dan pergulatan agen-agen untuk menempati ruang-ruang posisi yang ada
dan juga untuk mendapatkan laba, baik laba simbolik (prestise dan konsekrasi)
maupun laba ekomoni. Dalam menjalankan praktik tersebut, agen-agen dipengaruhi
oleh habitus dan modal yang dimilikinya. Bourdieu (1987: 3-4) menjelaskan konsep
modal dalam wilayah yang lebih luas daripada sekedar determinasi ekonomi:
Dunia sosial dapat dipahami sebagai ruang multidimensional yang
dibentuk secara empiris dengan cara menyingkap faktor-faktor
pembedaan yang utama yang memperhitungkan perbedaan-perbedaan
yang sudah diungkap dalam suatu semesta sosial yang terberi, atau,
dengan kata lain, dengan cara menyingkap kekuasaan-kekuasaan atau
bentuk-bentuk modal yang atau dapat menjadi efisien, seperti kartu-
kartu As dalam sebuah permainan katu, dalam semesta khusus ini, yaitu,
dalam pertarungan (kompetisi) bagi pengusaan barang-barang yang
langka di seluruh semesta ini. Selanjutnya, struktur ruang ini diisi
distribusi beraneka bentuk modal yang melalui pendistribusian properti-
properti tersebut yang terus aktif dalam semesta yang tengah dikaji ini—
yaitu properti-properti yang mampu meneguhkan kekuatan, kekuasaan,
dan sebagai konsekuensinya keuntungan di tangan para pemegangnya...
kekuasaan-kekuasaan fundamental ini, berdasarkan penelitian empiris
saya, pertama berupa modal ekonomis, dan dalam berbagai jenisnya;
kedua modal kultural, atau lebih tepatnya modal informasi, dalam
berbagai jenisnya pula; ketiga dua bentuk modal yang berhubungan
sangat kuat, yaitu modal sosial, yang terdiri atas sumber-sumber daya
yang berdasarkan hubungan dan keanggotaan kelompok, dan modal
simbolis yang berbentuk jenis-jenis modal yang diambil secara berbeda-
beda ketika modal-modal tersebut diterima dan diakui secara sah.
Dari uraian tersebut di atas, modal menjadi salah satu faktor terjadinya
perbedaan-perbedaan dalam sebuah ruang kompetisi, sebab sebuah ruang kompetisi
merupakan ruang distribusi berbagai macam modal. Dijelaskan pula bahwa modal
21
terdiri dari empat bentuk, yaitu 1) modal ekomoni dengan segala bentuknya seperti
uang, harta benda, dan seterusnya; 2) modal kultural atau lebih tepatnya modal
informasi yang berbentuk pencapaian tertentu, seperti pendidikan, ketrampilan, dan
seterusnya; 3) modal sosial yang mencakup jaringan seseorang, pergaulan, atau gerak
seseorang dalam kehidupan sehari-hari, keanggotaan dalam suatu kelompok yang
dapat memberikan berbagai bentuk dukungan kolektif pada anggota-anggotanya; dan
4) modal simbolis yang dapat terekspresikan dari wibawa, kharisma, selera, dan
seterusnya.
Pembedaan konseptual antara satu modal dengan modal lain tidak terjadi
secara ketat dan bersifat tertutup. Namun, modal-modal tersebut bersifat terbuka,
mempunyai hubungan erat, dan dapat dikonversi antara satu dengan yang lain.
Hubungan antarmodal ini dapat dicontohkan sebagai berikut: seseorang yang miliki
uang lebih (modal ekonomi) dapat membeli buku karya sastra, dapat mempelajari
sastra (modal kultural), akhirnya dia bisa menulis karya sastra yang bagus. Karya-
karyanya yang bagus (modal simbolik) tersebut membuat dia diajak untuk
bergabungan dengan kelompok sastra yang terkenal (modal sosial). Dengan begitu,
karya-karyanya semakin mendapatkan legitisasi (modal simbolik sekaligus laba
simbolik) dan semakin laris (laba ekonomi). Contoh ini memperlihatkan bahwa satu
modal dapat mendorong munculnya modal yang lain.
22
1.7.3 Arena8: Tempat Perjuangan (To Strugle) dan Pergulatan (To Force)
Arena dapat dimaknai sebagai sebuah ruang yang memiliki aturan-aturan
‘main’ sendiri yang berbeda dengan aturan dalam arena lain. Arena sastra memiliki
juga memiliki aturan-aturan dan hukum-hukum yang dimainkan oleh agen-agen
sastra (penulis, kritikus, penerbit, dll) yang berbeda dengan arena-arena lainnya.
Arena merupakan ranah kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga
merupakan suatu ranah (arena-pen) yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-
posisi (Mahar, 2009:10).
Ranah (arena-pen) merupakan sebuah semesta yang di dalamnya karakteristik
produsen didefinisikan oleh posisi-posisi mereka dalam relasi-relasi produksi, oleh
kedudukan yang mereka tempati dalam sebuah ruang relasi-relasi objektif tertentu
(Barnard, 2009: 98). Ranah (arena-pen) didefinisikan oleh sistem relasi objektif
kekuasaan yang terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem
objektif yang terdapat di antara titik-titik simbolik: karya seni, manifesto artistik,
deklarasi politik, dan sebagainya (Mahar, 2009: 10).
Mengenai definisi arena sastra, Bourdieu (2010: 214) menjelaskan bahwa
arena sastra sebagai:
8 Istilah yang dipakai Bourdieu dalam bahasa Prancis adalah champ, dalam bahasa Inggris adalah field
yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi arena atau ranah. Antara arena dan
ranah tidak terdapat perbedaan secara konseptual. Namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) ada perbedaan antara arena dan ranah. Kata arena diartikan sebagai bidang (yg menjadi
tempat bersaing, berjuang, dsb), sedangkan kata ranah diartikan sebagai elemen atau unsur yg dibatasi;
bidang disiplin. Selanjutnya peneliti lebih memilih menggunakan arena daripada ranah, karena kata
arena lebih menyiratkan adanya pergulatan, persaingan, dan perjuangan daripada sekedar pembedaan
ruang.
23
semesta sosial independen yang punya hukum-hukum keberfungsiannya
sendiri terkait dengan keberfungsian anggota-anggotanya, hubungan-
hubungan kekuasaannya yang spesifik, yang mendominasi dan yang
didominasi, dan seterusnya. Dengan kata lain, membahas arena sastra
berarti mengamati karya sastra yang diproduksi oleh suatu semesta sosial
tertentu yang memiliki institusi-institusi tertentu dan yang mematuhi
hukum-hukum tertentu pula.
Arena sastra tidak serta-merta melepaskan relasinya dengan arena yang lain.
Dalam arena produksi kultural dan arena kekuasaan, arena sastra berada di kutub
dominan dalam posisi terdominasi. Meskipun demikian, arena sastra masih memiliki
otonomi yang relatif terhadap arena kekuasaan, terutama dalam prinsip-prinsip
hierarkisasi ekonomi dan politisnya, dan meletakkan diri di kutub dominan relasi-
relasi kelas (Bourdieu, 2010: 6). Dengan demikian, arena sastra adalah tempat
hierarki ganda antara prinsip hierarki heteronom yang mengacu pada kesuksesan
sebagaimana dapat diukur dengan indeks-indeks, seperti angka penjualan buku,
jumlah pementasan, serta penghargaan-penghargaan lainnya; dan prinsip hierarki
otonom yang mengacu pada derajat konsekrasi yang spesifik atau prestise
kesusasteraan atau artistik yang diperoleh dari rekan sesama sastrawan atau seniman
legitimit (Bourdieu, 2010: 6–7).
Sebagaimana arena-arena lainnya, di arena sastra juga mengindikasikan
adanya pola hubungan dominasi-terdominasi. Arena sastra adalah arena kekuatan (a
field of forces) dan arena pergulatan (a field of struggle) yang cenderung mengubah
ataupun melanggengkan arena kekuatan tersebut. Jaringan relasi-relasi objektif di
antara posisi-posisi tersebut mendorong dan mengorientasikan strategi-strategi yang
24
digunakan para penghuni beragam posisi berbeda dalam pergulatan mempertahankan
atau mengimprovisasi posisi-posisi mereka, yaitu pengambilan-posisi. Kekuatan dan
bentuk strategi-strategi ini bergantung pada posisi yang ditempati setiap agen di
dalam relasi-relasi kekuasaan (Bourdieu, 2010: 5). Pergulatan tersebut dikarenakan
struktur arena terdiri dari ruang posisi-posisi, yakni struktur distribusi modal properti-
properti spesifik yang mengatur keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba
eksternal atau laba spesifik (seperti prestise sastra) yang dipertaruhkan di dalamnya
(Bourdieu, 2010: 5).
Strategi dan lintasan (trajektori) memang menjadi dua konsep utama dalam
teori arena Bourdieu. Strategi dapat diartikan sebagai produk dari rasa praktis seperti
halnya rasa permainan yang partikular dan historis (Bourdieu, 2011: 82). Ide tentang
strategi—seperti halnya orientasi praktik—sebagai sesuatu yang tidak sadar atau tidak
terkalkulasi maupun terdeterminasi secara mekanis. Ia merupakan produk intuitif
‘pengetahuan’ tentang aturan-aturan permainan (Bourdieu dalam Mahar, 2009: 22).
Strategi yang diterapkan oleh agen-agen tersebut sangat tergantung pada besarnya
modal yang dimiliki dan juga struktur modal dalam posisi di lingkup sosial.
Haryatmoko (2003: 15) menjelaskan strategi yang digunakan untuk
mempertahankan dan mendapatkan berbagai bentuk modal, yaitu (1) strategi
investasi biologis yang terletak dalam upaya untuk mengkontrol jumlah keturunan
supaya dapat menjamin pewarisan modal dan memudahkan kenaikan posisi sosial;
(2) strategi pewarisan yang berfungsi untuk menjamin kekayaan (tanah, toko, uang)
karena modal ekonomi menentukan dalam hubungan kekuasaan; (3) strategi
25
pendidikan yang mengarah pada usaha menghasilkan pelaku sosial yang “mumpuni”
agar mampu menerima warisan kelompok atau memperbaiki jejaring sosial; (4)
startegi investasi ekonomi merupakan upaya untuk mempertahankan atau menambah
modal dari berbagai jenisnya; dan (5) strategi investasi simbolis yaitu upaya
mempertahankan atau meningkatkan pengakuan sosial, tujuannya untuk
mereproduksi persepsi dan penilaian yang mendukung kekhasan, misalnya pewarisan
nama.
Strategi-strategi dari para pelaku ini bertujuan untuk mempertahankan posisi
atau memperjuangankan posisi dominan dalam ruang sosial. Strategi-strategi ini
menimbulkan perubahan posisi-posisi agen dalam rute perjalanannya dari satu titik ke
titik-titik selanjutnya. Gerak perubahan agen dalam ruang posisi inilah yang disebut
sebagai lintasan-lintasan sosial atau trajektori atau biografi yang dikonstruksi.
Trajektori dijelaskan oleh Bourdieu (2010: 58) sebagai:
Serangkaian gerak suksesif seorang agen di dalam ruang yang
terstruktur (berhierarki), yang bisa mengalami pergantian dan distorsi,
atau lebih tepatnya, di dalam struktur distribusi jenis-jenis modal berbeda
yang dipertaruhkan di dalam arena, modal ekonomi dan modal konsekrasi
spesifik (dengan jenis yang berbeda-beda). Gerak-gerak ini
mendefinisikan penuaan sosial (social ageing), terdiri atas atas dua
susunan. Mereka dibatasi kepada salah satu sektor arena dan terletak di
sepanjang sumbu konsekrasi yang sama, di mana penuaan ditandai oleh
akumulasi positif, nol atau negatif modal spesifik; atau mereka malah
menyebabkan perubahan sektor dan rekonversi (pengalihan bentuk)
modal spesifik tertentu menjadi jenis modal lainatau rekonversi modal
lain ke dalam modal ekonomi
Gagasan tentang trajektori dapat dipandang sebagai sesuatu yang dihasilkan
dari perjuangan modal simbolik di dalam ranah-ranah dan dapat dibaca dengan cara
26
mempertimbangkan secara hati-hati jaringan relasi-relasi ekonomi, budaya, dan
sosial. Trajektori sosial merupakan rangkaian posisi-posisi yang berturut-turut yang
ditempati oleh agen atau kelompok yang sama dalam ruang (Bourdieu, 1996: 258).
Mereka (agen dan kelompok) mencapai sukses lewat sebuah rute atau trajektori yang
berbeda-beda. Rute yang paling umum adalah apa yang dinamakan Bourdieu dengan
‘trajektori modal’. Sebuah kelompok yang berbagai modal ini mungkin diharapkan
untuk mengikuti ‘sekumpulan kemungkinan trajektori yang kurang lebih sama, yang
mengantar pada posisi-posisi yang kurang lebih sepadan (Mahar, dkk, 2009: 25-26).
Lebih lanjut, Bourdieu (2010: 58) menjelaskan bahwa untuk memahami
trajektori perlu ditetapkan pada momen tersebut, dan di berbabagai titik kritis setiap
karirnya, konfigurasi ruang kemungkinan-kemungkinan yang tersedia, nilai sosial
yang dilekatkan kepada setiap kemungkinan tersebut, dan juga makna nilai yang
diberikan oleh agen-agen atau kelas-kelas agen berbeda menurut kategori-kategori
persepsi dan apresiasi yang terbentuk secara sosial yang diterapkan pada
kemungkinan-kemungkinan tersebut.
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai
objek tertentu yang kodrat keberadaannya dinyatakan oleh teori (Faruk, 2012: 58).
Metode penelitian dibagi menjadi yaitu metode pengumpulan data dan analisis data.
Metode pengumpulan data menggunakan dua langkah yaitu wawancara dan studi
27
pustaka. Sedangkan metode analisis teks dilakukan dengan menggunakan teori arena
produksi kultural Pierre Bourdieu.
Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap, yaitu wawancara dan studi
pustaka. Wawancara dilakukan untuk menelusuri lebih jauh tentang genesis (asal-
asul) pengarang, hubungan-hubungannya dengan orang atau kelompok dalam arena
sastra, dan juga orientasinya terhadap sosial dan sastra.
Pengumpulan data atau metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan paradigma ilmu humaniora yang bertumpu pada aspek makna, interpretasi
dan studi pustaka. Data penelitian ini adalah data kualitatif dan dikumpulkan dengan
metode kualitatif. Data kualitatif berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat,
ciri, keadaan, dari segala sesuatu dengan segala sesuatu lainnya. Sesuatu tersebut bisa
berupa benda-benda fisik, pola-pola prilaku, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, bahkan bisa pula berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Penelitian ini menggunakan data-data yang diambil dari teks novel Mencari
Sarang Angin. Novel Mencari Sarang Angin merupakan novel yang diciptakan 27
Januari 1991 – 26 April 1991. Novel ini sebelumnya pernah dimuat di Jawa Pos, 23
Oktober 1991 – 27 Desember 1991, sebagai cerita bersambung. Pada tahun 2005,
Mencari Sarang Angin diterbitkan oleh Grasindo (726 halaman). Penelitian ini juga
menggambil data dari bahan-bahan bacaan yang terkait dengan objek kajian, seperti
kondisi sosial-politik Indoensia tahun 1991, kondisi sastra Indonesia tahun 1991,
biografi Suparto Brata, sejarah Indonesia jaman kolonial, dan sejarah Surabaya jaman
28
Kolonial. Bahan bacaan tersebut berupa buku, majalah, jurnal, karya ilmiah, dan
lainnya.
Sedangkan metode analisis teks menggunakan metode arena produksi kultural
Pierre Bourdieu. Menurut Johnson (2010: xxxiii), metode Bourdieu berusaha
memadukan tiga tingkatan realitas sosial berikut ini.
(1) Posisi sastra atau arena seni di dalam, apa yang disebutnya, arena kekuasaan
(seperangkat relasi kuasa dominan di dalam masyarakat tertentu atau, dengan kata
lain, kelas-kelas berkuasa);
(2) Struktur arena sastra (struktur posisi-posisi objektif yang ditempati oleh agen-
agen yang saling bersaing untuk mendapatkan legitimasi di dalam arena, selain
juga karakteristik objektif agen-agen itu sendiri); dan
(3) Asal-muasal habitus produsen (karakter yang terstruktur dan menstrukturkan yang
melahirkan praktik-praktik).
1.9 Sistematik Penyajian
Bab I: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Objek, Tujuan, Tinjauan Pustaka,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penyajian.
Bab II: Menemukan konstruksi arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia
pada masa Orde Baru. Dalam bab ini akan menemukan hubungan antara arena
kekuasaan dan arena sastra Indonesia pada masa Orde Baru, ruang-ruang
kemungkinan yang disediakan arena sastra Indonesia dan aturan permaian yang
berlaku pada masa tersebut.
29
Bab III: Menjelaskan trajektori Suparto Brata yang didalamnya akan
mencakup habitus dan modal-modal Suparto Brata yang dalam kontestasi di arena
sastra Indonesia pada masa Orde Baru dengan menitikberatkan pada novel Mencari
Sarang Angin.
Bab IV: Mengurai strategi Suparto Brata dalam kontestasi simbolik dan
relevansi strategi tersebut terhadap aturan permainan di arena sastra Indonesia guna
menjelaskan kegagalan dan kesuksesan Suparto Brata dalam arena sastra Indonesia.
Bab V: Simpulan.