bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suparto Brata, sastrawan yang dilahirkan di Surabaya tanggal 27 Februari 1932 1 , merupakan penulis produktif, baik sebagai penulis karya sastra Jawa maupun karya sastra Indonesia. Ia menulis dalam tiga periodisasi politik Indonesia, yaitu masa Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Sejak tahun 1958 sampai tahun 2013, ia telah berhasil menulis 135 karya yang berupa naskah drama, cerita bersambung, novel, dan beberapa penelitian, serta 60 cerita pendek. 2 Selain menulis karya sastra, sastrawan keturunan bangsawan dari Surakarta Hadiningrat ini juga menulis beberapa buku tentang sejarah Surabaya. Suparto Brata lebih dikenal sebagai sastrawan berbahasa Jawa (daerah) daripada sastrawan Indonesia. Di arena sastra Jawa, Suparto Brata dianggap sebagai salah satu pembaharu sastra Jawa Modern. Puncak dari perjuangan Suparto Brata dalam arena sastra Jawa berada di era tahun 2000-an yang ditandai dengan tiga kali penerimaan Hadiah Sastra Rancage. Tahun 2000 Suparto Brata menerima hadiah tersebut karena dinilai berjasa dalam upaya pelestarian sastra Jawa. Selanjutnya di 1 Tanggal lahir Suparto Brata di sini didasarkan pada buku Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis Buku (2011) yang ditulis sendiri oleh Suparto Brata. Dalam www.wikipedia.com disebutkan tanggal 23 Februari 1932. 2 Tulisan-tulisan tersebut terdiri dari tulisan berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia. Novel-novel yang dihasilkan seringkali dari cerita bersambung yang dipublikasikan di koran. Beberapa novel berbahasa Indonesia merupakan hasil terjemahan dari novel berbahasa Jawa atau sebaliknya.

Upload: doanmien

Post on 07-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Suparto Brata, sastrawan yang dilahirkan di Surabaya tanggal 27 Februari

19321, merupakan penulis produktif, baik sebagai penulis karya sastra Jawa maupun

karya sastra Indonesia. Ia menulis dalam tiga periodisasi politik Indonesia, yaitu masa

Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Sejak tahun 1958 sampai tahun 2013, ia telah

berhasil menulis 135 karya yang berupa naskah drama, cerita bersambung, novel, dan

beberapa penelitian, serta 60 cerita pendek.2 Selain menulis karya sastra, sastrawan

keturunan bangsawan dari Surakarta Hadiningrat ini juga menulis beberapa buku

tentang sejarah Surabaya.

Suparto Brata lebih dikenal sebagai sastrawan berbahasa Jawa (daerah)

daripada sastrawan Indonesia. Di arena sastra Jawa, Suparto Brata dianggap sebagai

salah satu pembaharu sastra Jawa Modern. Puncak dari perjuangan Suparto Brata

dalam arena sastra Jawa berada di era tahun 2000-an yang ditandai dengan tiga kali

penerimaan Hadiah Sastra Rancage. Tahun 2000 Suparto Brata menerima hadiah

tersebut karena dinilai berjasa dalam upaya pelestarian sastra Jawa. Selanjutnya di

1 Tanggal lahir Suparto Brata di sini didasarkan pada buku Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis Buku

(2011) yang ditulis sendiri oleh Suparto Brata. Dalam www.wikipedia.com disebutkan tanggal 23

Februari 1932. 2 Tulisan-tulisan tersebut terdiri dari tulisan berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia. Novel-novel

yang dihasilkan seringkali dari cerita bersambung yang dipublikasikan di koran. Beberapa novel

berbahasa Indonesia merupakan hasil terjemahan dari novel berbahasa Jawa atau sebaliknya.

2

tahun 2001 dan 2005 mendapatkan penghargaan untuk kumpulan cerpen yang

berjudul Trem dan roman yang berjudul Donyane Wong Culika.

Konsekrasi Suparto Brata sebagai sastrawan daerah telah didapatkan jauh

sebelum tahun 2000-an. Atmowiloto (1984: 45), di Sarasehan Jatidiri Sasta Daerah

tahun 1984, menyebut Suparto Brata dengan “Ki Ageng” Suparto Brata. Penyebutan

“Ki Ageng” merupakan bentuk penghormatan terhadap kiprah Suparto Brata dalam

pelestarian sastra Jawa. Sementara itu, Quinn (1995: 36) dalam desertasinya

menyebut karya Suparto Brata memiliki gambaran nyata tentang pribadi dan

masyarakat. Menulis dengan nama samaran Peni, karya Surparto Brata mungkin

merupakan satu-satunya karya sastra Jawa kontemporer yang menyajikan gambaran

rinci, nyata, dan simpatik tentang seorang wanita muda yang penuh semangat dalam

menyambut pengalaman baru pindah dai desa ke kota besar, hidup sendiri di sana,

dan mencapai keberhasilan dalam berkarier.

Kondisi dan posisi Suparto Brata di arena sastra Jawa berbeda dengan di arena

sastra Indonesia. Produktivitas Suparto Brata dalam menciptakan karya sastra

Indonesia ternyata kurang mendapatkan perhatian agen-agen legitimit dalam arena

sastra Indonesia. Budi Darma (1995: 99) mengatakan bahwa sampai sekarang (tahun

1995-pen) Suparto Brata belum mempunyai kartu tanda penduduk sastra Indonesia.

Bahkan dengan nada sarkas, produktivitas Suparto Brata dianalogikan dengan tukang

ketik kantor kecamatan. Pendapat lain muncul dari Maman S. Mahayana (2007: 45-

46) yang menyebut karya-karya berlatar revolusi yang muncul di tahun 1980-an,

salah satunya karya Suparto Brata, kurang mengangkat aspek kemanusiaan atas

3

peristiwa revolusi, menyebabkan yang terungkap hanya gambaran peristiwanya,

bukan hakikat dan makna bagi manusia dan kemanusiaan.

Meskipun tidak mendapatkan penghargaan nasional, pada tahun 2007 Suparto

Brata terpilih sebagai penerima penghargaan internasional The SEA Write Award di

Bangkok untuk novelnya yang berjudul Saksi Mata. Penghargaan ini, secara

simbolik, menyejajarkan Suparto Brata dengan sastrawan-sastrawan Indonesia

lainnya seperti Y.B. Maungunwijaya, Saini K.M., Goenawan Mohammad, Sapardi

Djoko Damono, Budi Darma, dan lain-lain. Setelah memperoleh penghargaan

tersebut, Suparto Brata menulis sebuah pengakuan di majalah Jaya Baya yang

menegaskan bahwa ia tidak pernah mendapatkan legitimasi dalam arena sastra

Indonesia. Pengakuan tersebut ditulis sebagai berikut:

Saya, Suparto Brata, sudah menulis sejak tahun 1950. Saat itu saya

terpaksa mengarang untuk mencari nafkah buat hidup, dan menulis adalah

pilihanku. Tetapi tulisanku selalu ditolak oleh redaksi. Baru tahun 1952,

tulisanku ada yang diterbitkan oleh surat kabar, dipublikasikan untuk

umum. Selanjutnya saya hidup bukan hanya dari menulis, tetapi berbagai

macam pekerjaan. Hanya saja, menulis tidak bisa dipisahkan dari

penghidupanku, meskipun tidak bisa menghasilkan tulisan yang hebat

untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi sampai sekarang, saya sudah

menghasilkan 125 judul buku, tidak ada satupun yang pernah di cetak

ulang, apalagi diterjemahkan dalam bahasa asing. Itu membuktikan bahwa

sebenarnya tulisanku mutunya kacangan3. Karena itu, sampai di usia tuaku

sekarang ini, saya belum pernah mendapat hadiah utama tingkat nasional

(Indonesia) dalam hal menulis.

Pengakuan Suparto Brata tersebut menegaskan bahwa, sebelum tahun 2007,

dalam kontestasi arena Sastra Indonesia Suparto Brata mengalami kegagalan ditinjau

3 Kacangan meupakan ungkapan khas Surabaya untuk menyatakan sesuatu yang rendah dan remeh.

4

dari prinsip hierarki heteronom maupun prinsip hierarki otonom. Kegagalan dalam

prinsip hierarki heteronom dapat diketahui dari pernyataan bahwa tidak ada satupun

dari karya-karyanya yang pernah cetak ulang. Meskipun tidak ada indeks penjualan

yang lebih rinci, pernyataan tersebut menyiratkan karya-karya Suparto Brata tidak

laris. Sedangkan dari prinsip otonom dapat diketahui dari kenyataan bahwa Suparto

Brata tidak pernah mendapatkan penghargaan atau hadiah utama di tingkat nasional.

Fenomena Suparto Brata ini menunjukkan bahwa nilai sebuah karya sastra

dan derajat konsekrasi sastrawan berubah-ubah di tiap-tiap waktu atau periode. Pada

masing-masing periode menyiratkan adanya dominasi kekuasaan dengan aturan-

aturan permainan yang berbeda-beda. Keberhasilan atau kegagalan seorang sastrawan

sangat dipengaruhi oleh kemampuannya untuk mendapatkan ‘nilai’ karya-karyanya

dari pihak-pihak yang memiliki otoritas dan legitimasi. Pada masa Orde Baru, karya-

karya Suparto Brata dinilai rendah sehingga ia tidak mendapatkan konsekrasi sebagai

sastrawan Indonesia. Namun pada masa pasca-Orde Baru atau masa reformasi dan

setelahnya karya Suparto Brata dianggap bernilai sehingga ia mendapatkan laba

simbolik berupa penghargaaan The SEA Award.

Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis kontestasi simbolik atau

perjuangan dan pergulatan Suparto Brata dalam arena sastra Indonesia pada masa

Orde Baru, sehingga kegagalannya dapat terjelaskan. Oleh karena itu, penelitian ini

akan menggunakan pendekatan yang dapat melihat sastra secara keseluruhan, yaitu

pembacaan secara eksternal dan internal novel Suparto Brata; pembacaan terhadap

kondisi sastra dan kondisi sosial politik yang ketika Suparto Brata menuliskan novel

5

dan memperjuangkan nilai karyanya. Pendekatan semacam itu, dapat ditemukan

dalam teori strukturalisme genetik Pierre Bourdieu.

Pierre Bourdieu merumuskan teori sosiologi sastra yang tidak hanya

menganalisis karya sastra sebagai objek kajian, tetapi juga produksi simbolis karya,

yaitu nilai sebuah karya. Pendekatan sosiologi Bourdieu dimaksudkan untuk

memahami karya sastra sebagai manifestasi keseluruhan, yang di dalamnya terpusat

sebuah arena dan semua determinasi inheren di dalam struktur. Bourdieu memahami

arena sastra sebagai ruang bagi pengarang, sebagai salah satu agen, untuk melakukan

kontestasi guna mendapatkan posisi dan laba, baik laba ekonomi maupun, terutama,

laba simbolik (konsekrasi). Praktik yang dilakukan agen dalam arena sastra

dipengaruhi oleh habitus dan modal yang dimiliki oleh agen.

Dengan demikian, untuk memahami karya Suparto Brata harus mengkaji juga

bagaimana habitus Suparto Brata, modal-modal yang digunakan Suparto untuk

berjuang dan bergulat dalam arena sastra Indonesia, dan strategi-strategi

pendistribusian modal Suparto Brata tersebut. Penelitian ini juga akan

mempresentasikan konstruksi arena sosial dan arena sastra pada masa Orde Baru

sehingga skema generatif atau aturan permainan pada periode tersebut dapat

ditemukan.

6

Adapun yang menjadi objek material penelitian ini adalah Suparto Brata

sebagai salah satu agen dan novel Mencari Sarang Angin (2005)4. Secara umum

karya-karya Suparto Brata memiliki tipe yang sama. Novel-novelnya seringkali

menggunakan sejarah sebagai latar waktu. Sungkowati (2009) mencatat peristiwa

sejarah yang menjadi objek atau melatari novel-novel Suparto Brata antara lain

Surabaya Tumpah Darahku dan Saksi Mata (zaman pendudukan Jepang di

Surabaya); November Merah (pertempuran 10 November di Surabaya); Kremil

(pemberontakan G 30/S PKI/ 1965-1967); Gadis Tangsi (zaman kolonialisme

Belanda di Medan); Mencari Sarang Angin (masa kolonialisme Belanda-

Pemberontakan PKI Madiun-Agresi Militer Belanda II/1935-1950); Kerajaan

Raminem (kedatangan Jepang/peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang); dan

Maghligai di Ufuk Timur (zaman Pendudukan Jepang di Bagelen-Solo).

Pemilihan novel Mencari Sarang Angin sebagai objek material didasarkan

beberapa pertimbangan. Pertama, dari pembacaan awal peneliti terhadap beberapa

novel karya Suparto Brata ditemukan bahwa Mencari Sarang Angin merupakan novel

yang menghadirkan tokoh yang identik dengan biografi Suparto Brata. Novel

Mencari Sarang Angin menceritakan seorang pemuda bernama Darwan

Prawirakusuma yang datang ke Surabaya untuk bekerja sebagai wartawan di surat

kabar Dagblad Ekspres. Darwan merupakan keturunan bangsawan Surakarta. Selain

bekerja, kepergian Darwan ke Surabaya didasari beberapa alasan, yaitu keinginannya

4 Mencari Sarang Angin diciptakan pada 27 Januari 1991 – 26 April 1991. Dimuat secara bersambung

di Jawa Pos, 23 Oktober 1991 – 27 Desember 1991. Digubah kembali dan diterbitkan oleh Grasindo

Jakarta tahun 2005.

7

keluar dan meninggalkan segala macam harta benda dan martabat sebagai bangsawan

Surakarta, pencarian jati diri, serta karena sakit hati lantaran dituduh menyukai selir

ayahandanya

Kedua, peneliti menilai bahwa novel Mencari Sarang Angin merupakan novel

yang mewakili hampir semua novel Suparto Brata karena menghadirkan tiga (3)

arena kekuasaan5. Peristiwa yang terjadi dalam novel Mencari Sarang Angin dimulai

pada akhir masa kolonialiasasi Indonesia (tahun 1936) dan diakhiri pada tahun 1948,

yaitu ketika terjadi peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Dengan demikian, novel

Mencari Sarang Angin menghadirkan tiga (3) masa pemerintahan di Indonesia, yaitu

masa pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan Indonesia. Lebih lanjut,

Mencari Sarang Angin menghadirkan penyikapan terhadap konflik antara ‘yang

dominan’ dan ‘yang subordinat’ dalam tiga arena kekuasaan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat dirumuskan beberapa

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konstruksi arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia pada masa

Orde Baru?

2. Bagaimana trajektori dan akumulasi modal Suparto Brata?

5 Novel Gadis Tangsi menghadirkan dua arena kekuasaan, yaitu masa pemerintahan Belanda dan

pendudukan Jepang. Novel-novel yang lain hanya menghadirkan satu arena kekuasaaan.

8

3. Bagaimana strategi Suparto Brata dalam kontestasi simbolik di arena sastra

Indonesia melalui novel Mencari Sarang Angin?

1.3 Hipotesis

Derajat kesuksesan Suparto Brata dalam kontestasi simbolik di arena sastra

Indonesia dipengaruhi oleh relevansi modal dan strateginya terhadap skema generatif

aturan permainan dalam arena sastra pada masa Orde Baru.

1.4 Objek

Objek penelitian ini terdiri dari dua kategori, yaitu objek formal dan objek

material. Objek formal penelitian ini adalah arena produksi kultural. Adapun objek

material penelitian ini adalah Suparto Brata dan novel Mencari Sarang Angin karya

Suparto Brata.

1.5 Tujuan

Penelitian ini secara ilmiah bertujuan mengaplikasikan teori strukturalisme

genetik Pierre Bourdieu untuk menganalisis arena produksi kultural novel Mencari

Sarang Angin karya Suparto Brata. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah agar

masyarakat, setelah membaca tulisan ini, mendapat gambaran tentang bagaimana

arena produksi kultural novel Mencari Sarang Angin karya Suparto Brata yang terdiri

dari:

1. konstruksi arena sastra Indonesia dan aturan mainnya pada masa Orde Baru;

9

2. trajektori, habitus, dan modal Suparto Brata dalam kontestasi simbolik di arena

sastra Indonesia;

3. strategi-strategi Suparto Brata dalam kontestasi simbolik di arena sastra Indonesia.

1.6 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran pustaka, terdapat kajian yang memiliki keterkaitan

dengan objek material penelitian, yaitu novel Mencari Sarang Angin. Berikut ini

dipaparkan seccara sekilas tentang beberapa bahan pustaka yang dimaksud. Selain

berkaitan dengan novel Mencari Sarang Angin, penelitian-penelitian yang berkaitan

dengan pengarang juga akan diuraikan. Penguraian kajian pustaka ini bertujuan untuk

menempatkan posisi sekaligus untuk menunjukan orisinalitas penelitian ini di antara

penelitian yang telah ada.

Purwitasari (2005) dalam skripsinya yang berjudul Novel Mencari Sarang

Angin karya Suparto Brata: Sebuah Analisis Struktur Genetik mengkaji hubungan

Mencari Sarang Angin dengan riwayat hidup pengarang. Hasil dari penelitian

tersebut adalah temuan tentang adanya kesamaan antara tokoh dalam Mencari Sarang

Angin dengan Suparto Brata. Selain itu juga menemukan ide dan pemikiran Suparta

Brata bahwa masyarakat harus memahami sejarah bangsanya. Sementara itu, Puryanti

(2008) membahas nasionalisme Indonesia dalam novel Mencari Sarang Angin karya

Suparto Brata.

Berbeda dengan Puryanti, Sungkowati (2010) dalam jurnal Humaniora

membahas novel Mencari Sarang Angin dengan pendekatan poskolonial. Ia

10

menemukan adanya ambivalensi dalam teks. Ambivalensi tersebut bukan hanya

terlihat dari ruang dan waktu yang ada dalam teks, tetapi juga dialektika antara

budaya Eropa (Belanda) dan budaya Jawa. Sehubungan dengan posisi antara Eropa

dan Jawa, atau antara kolonialis dan koloni itu, ambivalensi telah terjadi tidak hanya

penerimaan logika Eropa dan penjagaan filosofi, penerimaan nilai-nilai demokrasi

dan feodalisme, tetapi juga antara monogami dan perkawinan poligami.

Penelitian selanjutnya dilakukan yang oleh Sungkowati (2009) yaitu

menggunakan novel Mencari Sarang Angin sebagai objek material tunggal. Dalam

majalah Lingua, Sungkowati menuliskan penelitian yang berjudul Lintasan Sejarah

Indonesia dalam Novel-novel Suparto Brata. Ia menempatkan novel-novel Suparto

Brata sebagai sumber primer penyusunan sejarah Inonesia mulai pada masa kolonial

sampai masa Orde Baru.

Sementara itu, Untoro (2006) dalam tesis yang berjudul Pemikiran Suparto

Brata dalam Karya-karya Sastranya menganalisis tujuh novel Suparto Brata.

Didasarkan pada buku George Quinn yang berjudul The Novel In Javanese (Novel

Berbahasa Jawa) sebagai referensi utama, tesis tersebut menemukan adanya idelogi

priyayi dalam novel-novel Suparto Brata. Ideologi priyayi ini juga dipengaruhi oleh

latar belakang Suparto Brata yang merupakan keturunan bangsawan (keraton

Surakarta Hadiningrat).

Berdasarkan data-data yang diuraikan tersebut, orisinalitas penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra Pierre

Bourdie, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis arena produksi novel Mencari

11

Sarang Angin. Penelitian ini memiliki tujuan akhir menemukan strategi-strategi yang

digunakan Suparto Brata dalam kontestasi simbolik tersebut sehingga praktik sastra

Suparto Brata dapat dijelaskan, dimana dalam hal ini praktik tersebut mengalami

kegagalan.

Pendekatan sosiologi sastra Pierre Bourdie bukanlah hal baru dalam khasanah

penelitian sastra Indonesia. Tercatat ada tiga penelitian yang telah dilakukan, yaitu

oleh Karnanta (2012) yang meneliti novel trajektori Andrea Hirata melalui novel

Sang Pemimpi; Anwar (2013) yang membahas praktik sastra dari Persada Studi

Klub; dan Astika (2013) yang membahas praktik Umbu Landu Paranggi dalam arena

sastra Bali. Ketiga penelitian tersebut dilatarbelakangi keberhasilan masing-masing

agen, sebagai objek material, dalam arena sastra Indonesia.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sosiologi sastra Bourdieu yang

telah ada yaitu pada latar belakang penelitian. Sebagaimana telah dijelaskan di awal

penelitian ini berangkat dari fenomena kegagalan praktik agen dalam meraih

legitimasi dan konsekrasi di arena sastra Indonesia. Penelitian ini juga berusaha

membuktikan bahwa teori strukturalisme genetik Pierre Bourdieu dapat diterapkan

untuk membedah kegagalan agen (sastrawan) dalam konstestasi simbolik di arena

sastra.

1.7 Teori Arena Produksi Kultural: Pembacaan Internal dan Eksternal

Analisis terhadap karya sastra tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara

karya sastra dengan pengarang, kondisi sosial pengarang, kondisi sastra dan

12

kemungkinan-kemungkinan dalam sastra yang dihadapi oleh pengarang. Karya sastra

yang diciptakan dengan estetika tertentu dan dengan tematik tertentu merupakan hasil

pembacaan pengarang terhadap realitas yang melingkupinya atau hasil internalisasi

pengarang terhadap arena sosial dan arena sastra. Karya sastra juga menjadi salah

satu bentuk modal simbolik yang digunakan untuk berjuang dan bergulat dalam

sastra. Oleh karena itu, untuk memahami karya sastra harus menelusuri dan

memahami hubungan antara elemen-elemen tersebut. Kajian sastra semacam ini

berada dalam ruang lingkup kajian sosiologi sastra.

Sosiologi seni atau sastra, menurut Bourdieu (2010: 16) adalah persoalan

tentang bagaimana memahami karya seni sebagai manifestasi arena secara

keseluruhan, yang di dalamnya terpusat semua kekuasaan arena dan semua

determinisme yang inheren di dalam struktur. Sosiologi seni dan sastra tidak hanya

menjadikan produksi material sebagai objek kajiannya, tetapi juga produksi simbolis

karya, yaitu produksi nilai sebuah karya atau, yang kira-kira sederajat dengan itu,

produksi keyakinan terhadap nilai karya tersebut. Oleh karena itu, sosiologi seni dan

sastra juga harus mempertimbangkan peran produser makna dan nilai karya—seperti

kritikus, penerbit, pengelola galeri, dan agen-agen lain yang tugas-tugas mereka

membuat konsumen mampu mengetahui dan mengakui karya seni (Bourdieu, 2010:

15).

Lebih lanjut, Bourdieu (2010: 4) mengatakan bahwa tugas sebenarnya dari

sosiologi sastra adalah mengkonstruksi ruang posisi dan ruang pengambilan posisi di

mana arena seni dan sastra diekspresikan. Struktur arena, yaitu ruang posisi-posisi,

13

tak lain adalah struktur distribusi modal properti-properti spesifik yang mengatur

keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba eksternal atau laba spesifik

(seperti pestise sastra) yang dipertaruhkan di dalamnya (Bourdieu, 2010: 5). Teori

arena produksi kultural Bourdieu dan metode analitisnya yang dalam dan ketat

meliputi kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang

simbolis (Johnson, 2010: xxiii).

Oleh karena itu, Pierre Bourdieu mengembangkan metodologi strukturalisme

genetik6 sebagai upaya untuk melakukan pembacaan internal dan pembacaan

eksternal, sebagai upaya pendamaian atau pertautan antara struktur dan agen.

Strukturalisme genetik dirancang untuk memahami genesis struktur sosial, yaitu

arena sastra, maupun genesis disposisi habitus agen-agen yang terlibat di dalamnya

6 Bourdieu memberikan beberapa penamaan untuk menyebut teorinya antara lain strukturalisme

konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis (dalam Choses Dites: Uraian dan Pemikiran [2011:

163]) dan strukturalisme genetik (dalam Choses Dites: Uraian dan Pemikiran [2011: 20-21] dan Arena

Produksi Kultural [2010: 213]). Randal Johnson dalam pengantarnya untuk buku Arena Produksi

Kultural menyebutnya sebagai sosiologi genetik atau strukturalisme genetik (hlm. xiv). Istilah

strukturalisme konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis digunakan Bourdieu untuk menjelaskan

ciri penelitiannya yang dibukukan dalam Distinction. Sedangkan strukturalisme genetik, sejauh yang

saya baca, digunakan dalam konteks arena produksi kultural, khususnya arena seni. Strukturalisme

genetik Bourdieu ini tidak dapat disamakan dengan strukturalisme genetik Lucien Goldmann.

Perbedaan di antara keduanya terletak pada pandangan mengenai hubungan antara struktur karya dan

struktur sosial. Johnson (2010: xxx) menjelaskan bahwa “teori-teori refleksi”, dalam gaya Lukacs dan

Goldmann, menempatkan penulis sebagai seorang juru bicara ketidaksadaran (the unconsciousness)

suatu kelompok. “Teori-teori refleksi” percaya adanya homologi-homologi tertentu antara struktur

karya dan struktur sosial, atau antara karya dan pandangan dunia kepentingan sosial kelas tertentu.

Bagi Bourdieu, hubungan tersebut tidak dapat serta-merta terjadi, pandangan dunia kelompok

bukanlah suatu yang homogen. Bourdieu mengkritik para peneliti yang berusaha mengaitkan karya-

karya seni secara langsung kepada asal-usul pengarangnya melalui metode-metode kuantitatif atau

kualitatif, atau yang berusaha mencari penjelasan di dalam kelompok-kelompok yang sudah

menggunakan karya-karya tertentu sebagai rujukan, atau pihak-pihak yang diniatkan menjadi sasaran

karya-karya itu (Johnson, 2010: xxviii). Pendekatan-pendekatan semacam itu—hubungan langsung

seni dengan struktur sosial—disebut Bourdieu sebagai “efek hubungan pendek”. Untuk menangkis hal

tersebut, Bourdieu mengembangkan teori arena.

14

(Bourdieu, 2010: 213). Mengenai istilah strukturalisme genetik ini Bourdieu (2011:

21) menjelaskan:

Dalam pengertian ini, jika saya ingin bermain-main dengan label-

label yang disukai oleh mereka yang menikmati permainan arena

intelektual sejak filsuf-filsuf tertentu memperkenalkan ke arena itu cara

atau model-model yang berlaku di arena seni, maka saya akan katakan

bahwa saya berusaha mengembangkan suatu strukturalisme genetik:

bahwa analisis atas struktur-stuktur objektif—dari berbagai arena yang

berbeda-beda—yang tidak dapat dipisahkan dari analisis tingkat individu-

individu biologis tentang asal-usul (genesis) struktur mental yang sampai

pada tingkat tertentu merupakan produk dari pembatinan stuktur sosial;

tidak dapat dipisahkan, juga, dari analisis genesis struktur sosial itu

sendiri: ruang sosial, dan kelompok-kelompok di dalamnya, merupakan

produk pembentukan sejarah (di mana setiap agen berpartisipasi

berdasarkan posisi mereka dalam ruang sosial dan dengan struktur mental

melalui pemahaman mereka tentang ruang tersebut).

Dengan metode strukturalisme genetik ala Bourdieu ini akhirnya ia

mengembangkan teori arena untuk menganalisis karya sastra secara utuh. Bourdieu

(1990: 147) mengatakan bahwa teori arena mengacu pada penolakan hubungan

langsung biografi individual dengan karya sastra (atau hubungan dengan “kelas

sosial” yang menjadi asal sebuah karya), penolakan terhadap analisis internal karya

individual, bahkan analisis intertekstual. Hal itu karena penelitian terhadap karya

sastra harus melakukan keduanya secara bersamaan. Bourdieu memostulatkan

eksistensi dari korespondensi yang cukup teliti, sebuah homologi, antara ruang

kemungkinan karya di dalam perbedaannya, variasinya (dalam kaidah

intertektualitas), dan ruang produser serta lembaga produksi, review, penerbit, dan

lain-lain. Perihal teori arena tersebut, Bourdieu (2011: 196-198) memberikan

penjelasan secara rinci sebagai berikut:

15

Teori arena memang berujung pada penolakan cara yang langsung

menghubungkan biografi individual denga karya (atau asal-usul “kelas

sosial” dengan karya) dan pada penolakan atas analitis internal terhadap

sebuah karya atau bahkan analisis intertektualitas. Ini dikarenakan apa

yang kita hadapi adalah semua hal ini pada saat yang bersamaan. Saya

mendalilkan bahwa ada sebuah korespondensi yang cukup tegas, sebuah

homologi, antara ruang hasil karya dengan segala perbedaannya,

variasinya (lewat intertekstualitas), dengan ruang produsen serta institusi

produksi, reviews, penerbitan dan sebagainya. Kita harus memperhatikan

posisi yang berbeda-beda di dalam arena sebagaimana yang didefinisikan

dengan mempertimbangkan genre yang dipraktikkan, membuat ranking

genre ini, yang bisa ditentukan berdasarkan tempat dia dipublikasikan

(penerbit, reviews, galeri dam sebagainya) dan tanda-tanda konsekrasi

atau, lebih sederhananya, lamanya waktu yang diperlukan terhitung sejak

pertama kali masuk permainan, namun juga dengan indikator-indikator

yang lebih eksternal, seperti asal-usul sosial, geografis, yang dapat

terungkap lagi di dalam posisi-posisi yang dtempati dalam arena. Posisi-

posisi yang diambil di ruang moda ekspresi, ruang dan bentuk literer dan

artistik (sajak gaya alexandrian atau matra lainnya, rima atau sajak yang

bebas, soneta atau baladadan sebagainya), ruang-ruang tema-tema dan

tentu saja ruang segala macam petunjuk formal yang subtil yang telah

dikenali oleh analisis sastra tradisional sejak lama berkorespondensi

dengan posisi-posisi yang berbada-beda ini… Metode itu (metode arena)

mununtut agar kita melakukan semua hal yang telah dilakukan oleh

metode-metode canggih yang telah dikenal selama ini (pembacaan

internal, analisis biografi dan sebagainya), yang secara umum dilakukan

hanya pada seorang pengarang saja, dan menuntut bahwa apa yang kita

lakukan itu adalah demi mengkonstruksi arena karya-karya dan arena

para produsen dan sistem relasi yang tercipta antara dua rangkaian relasi

ini.

Teori arena Bourdieu tersebut dapat dipahami sebagai teori untuk memahami

karya sastra (seni) secara menyeluruh dengan menganalisis relasi antara karya sastra,

biografi pengarang, arena sastra, dan arena sosial. Objek ilmu karya-karya kultural

adalah korespondensi di antara dua struktur homolog, yakni antara struktur karya-

karya (yaitu genre, bentuk, dan tema) dengan struktur arena sastra, sebuah arena

kekuatan-kekuatan yang mau tak mau menjadi arena pergulatan (Bourdieu, 2010:

16

243). Karya sastra merupakan manifestasi dari internalisasi eksternal pengarang yang

menghasilkan pemilihan bentuk artistik, gaya, dan tema. Karya sastra merupakan

proyek artistik pengarang yang dipertarungkan dalam arena sastra sekaligus salah

satu bentuk modal simbolik pengarang dalam pertarungan itu. Oleh karena itu analisis

internal terhadap karya sastra merupakan upaya untuk mengelaborasi unsur-unsur

tersebut.

Operasionalisasi teori Bourdieu mencakup tiga konsep utama, yaitu, habitus,

modal, dan arena. Arena adalah sebuah semesta sosial sesungguhnya, tempat

terjadinya—sesuai hukum-hukum tertentu—akumulasi bentuk-bentuk modal tertentu,

sekaligus tempat relasi-relasi kekuasaan berlangsung (Bourdieu, 2010: 215). Masing-

masing arena memiliki otonomi yang memungkinkan adanya suatu konvensi,

struktur, dan sanksi, yang berbeda satu sama lain, tetapi saling memengaruhi. Arena

sastra, misalnya, memiliki otonomi, konvensi, dan struktur objektif yang berbeda,

contohnya, dengan arena pendidikan atau kekuasaan.

Habitus didefinisikan sebagai basis generatif bagi agen untuk bertindak dan

melakukan praktik. Bourdieu (2001: 101) menjelaskan bahwa habitus sebagai sebuah

sistem disposisi terhadap suatu praktik adalah basis generatif bagi perilaku-perilaku

yang teratur; oleh karena itu jadi basis bagi regularitas bentuk-bentuk praktik. Habitus

merupakan sebuah struktur yang dihasilkan dari struktur yang dihadapi oleh agen.

Dalam hubungannya dengan pengarang, habitus pengarang dibentuk oleh struktur-

struktur yang dihadapinya, misalnya budaya dan sosial pengarang.

17

Modal menjadi elemen penting dalam proses penciptaan karya sastra dan

proses perjuangan dan pergulatan pengarang dalam arena sastra. Bourdieu membagi

modal menjadi empat jenis, yaitu modal ekonomi, sosial, simbolik, dan kultural. Di

bawah ini akan diuraikan secara lebih rinci mengenai ketiga konsep tersebut.

1.7.1 Habitus: Basis Generatif Agen

Habitus merupakan basis generatif bagi individu untuk bertindak, melakukan

praktik. Agen-agen sosial (individu, kelompok atau intitusi yang terisolasi)

melakukan praktik dan bersosialisasi dengan struktur sosialnya melalui habitus. Di

dalam beberapa buku dan esainya, Bourdieu (1977: 72; 1990b: 53; dalam Johnson,

2010: xv; dalam Mahar, dkk., 2009: 13) mendefinisikan habitus sebagai:

sebagai sistem disposisi7 yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan,

struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai

penstruktur struktur-struktur, yaitu prinsip-prinsip yang melahirkan dan

mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang

bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa

mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau

penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk

mencapainya.

Penjelasan Bourdieu tersebut dapat dimaknai bahwa habitus adalah, pertama,

sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan. Habitus merupakan

sebuah sistem yang dibentuk oleh sistem disposisi yang telah bertahan lama. Dengan

7 Disposisi mengungkapkan hasil dari suatu praktik pengaturan, dengan arti mendekati kata seperti

struktur, tetapi juga menunjukkan suatu cara berada, terkait dengan kebiasaan (terutama tubuh) dan,

khususnya, kecenderungan (predisposition, tendency, propensity, atau inclination) Bourdieu

(1977:214). Dapat dikatakan bahwa disposisi mencakup tiga hal, yaitu 1) hasil praktik pengaturan yang

setara dengan definisi struktur; 2) cara berada agen-agen terkait dengan kebiasaan; dan 3)

kecenderungan.

18

kata lain, habitus dibentuk oleh sejarah. Ia diperoleh dari hasil pembelajaran atau

internalisasi struktur objektif. Habitus mengambil skema pembentukannya dari

struktur objektif atau arena sosial. Namun, tidak berarti habitus mereproduksi total

skema yang membentuknya, melainkan berdialektika dengan skema-skema yang

lebih dulu terinternalisasi dalam struktur subjektif individu.

Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan

berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jelas habitus bukan

kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis

maupun biologis. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas

bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas (Takwin, 2009: xix).

Habitus juga dapat disebut merupakan hasil dari internalisasi eksternal yang

dimunculkan sebagai eksternalisasi internal.

Kedua, struktur yang distrukturkan yang diasumsikan sebagai penstruktur

struktur-struktur, yaitu prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan

praktik-praktik dan reperesentasi-representasi. Habitus merupakan sistem bagi praktik

agen-agen, merupakan basis genaratif bagi agen untuk melakukan praktik. Habitus

merupakan konstruksi perantara, bukan konstruksi pendeterminasi: habitus tetap

memberikan peran kreatif aktor untuk berimprovisasi, bebas, dan otonom. Habitus

menjadi dasar penggerak tindakan dan pemikiran yang mengombinasikan disposisi

sebagai kecenderungan sikap dan skema klasifikasi generatif sebagai basis penilaian

(Jenkins, 2010: 15).

19

Habitus sebagai sistem disposisi akan menghasilkan perbedaan gaya hidup

dan praktik-praktik kehidupan, sesuai dengan pengalaman dan proses internalisasi

agen dalam berinteraksi dengan agen lain maupun struktur objektif tempat dia berada.

Sekumpulan pola yang terinternalisasi tersebut mencakup berbagai prinsip klasifikasi,

seperti baik-buruk, sakit-sehat, benar-salah, masuk akal-tidak masuk akal, rasional-

irrasional, dan lainnya.

Ketiga, habitus bekerja di aras bawah sadar. Habitus seringkali muncul dari

tindakan-tindakan spontan ketika individu menghadapi masalah atau berada dalam

sebuah arena tertentu. Hal ini sesuai dengan pemahaman Jenkins (2010: 107) yang

menyatakan bahwa skema-skema habitus menyatu pada nilai-nilai dan gerak tubuh

(gestures) yang paling otomatis, seperti cara berjalan, cara makan, maupun gaya

bicara. Skema klasifikatori generatif yang menjadi esensi dari habitus tersimbolkan

dalam hakikat manusia

Beberapa aspek habitus, secara ringkas dijelaskan oleh Webb (2002: 38)

meliputi empat poin, yaitu, pertama, pengetahuan (cara bagaimana memahami dunia,

kepercayaan, dan nilai) selalu dibentuk melalui habitus; kedua, segala tindakan, nilai-

nilai atau cara berprilaku dipengaruhi oleh trajektori (lintasan/perjalanan) kulturalnya;

ketiga, habitus selalu dibentuk dalam momen praktik. Habitus terus dibawa dan

dibentuk agen dalam momen praktik: ketika menghadapi masalah, pilihan atau

konteks dimana habitus berlangsung. Dengan kata lain, habitus selalu ada dalam

kehidupan sehari-hari; keempat, habitus bekerja di level bawah sadar, karena habitus

secara keseluruhan menyatu dalam nilai-nilai yang dianut oleh agen.

20

1.7.2 Modal: Properti-properti Kekuatan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa arena sastra merupakan ruang

perjuangan dan pergulatan agen-agen untuk menempati ruang-ruang posisi yang ada

dan juga untuk mendapatkan laba, baik laba simbolik (prestise dan konsekrasi)

maupun laba ekomoni. Dalam menjalankan praktik tersebut, agen-agen dipengaruhi

oleh habitus dan modal yang dimilikinya. Bourdieu (1987: 3-4) menjelaskan konsep

modal dalam wilayah yang lebih luas daripada sekedar determinasi ekonomi:

Dunia sosial dapat dipahami sebagai ruang multidimensional yang

dibentuk secara empiris dengan cara menyingkap faktor-faktor

pembedaan yang utama yang memperhitungkan perbedaan-perbedaan

yang sudah diungkap dalam suatu semesta sosial yang terberi, atau,

dengan kata lain, dengan cara menyingkap kekuasaan-kekuasaan atau

bentuk-bentuk modal yang atau dapat menjadi efisien, seperti kartu-

kartu As dalam sebuah permainan katu, dalam semesta khusus ini, yaitu,

dalam pertarungan (kompetisi) bagi pengusaan barang-barang yang

langka di seluruh semesta ini. Selanjutnya, struktur ruang ini diisi

distribusi beraneka bentuk modal yang melalui pendistribusian properti-

properti tersebut yang terus aktif dalam semesta yang tengah dikaji ini—

yaitu properti-properti yang mampu meneguhkan kekuatan, kekuasaan,

dan sebagai konsekuensinya keuntungan di tangan para pemegangnya...

kekuasaan-kekuasaan fundamental ini, berdasarkan penelitian empiris

saya, pertama berupa modal ekonomis, dan dalam berbagai jenisnya;

kedua modal kultural, atau lebih tepatnya modal informasi, dalam

berbagai jenisnya pula; ketiga dua bentuk modal yang berhubungan

sangat kuat, yaitu modal sosial, yang terdiri atas sumber-sumber daya

yang berdasarkan hubungan dan keanggotaan kelompok, dan modal

simbolis yang berbentuk jenis-jenis modal yang diambil secara berbeda-

beda ketika modal-modal tersebut diterima dan diakui secara sah.

Dari uraian tersebut di atas, modal menjadi salah satu faktor terjadinya

perbedaan-perbedaan dalam sebuah ruang kompetisi, sebab sebuah ruang kompetisi

merupakan ruang distribusi berbagai macam modal. Dijelaskan pula bahwa modal

21

terdiri dari empat bentuk, yaitu 1) modal ekomoni dengan segala bentuknya seperti

uang, harta benda, dan seterusnya; 2) modal kultural atau lebih tepatnya modal

informasi yang berbentuk pencapaian tertentu, seperti pendidikan, ketrampilan, dan

seterusnya; 3) modal sosial yang mencakup jaringan seseorang, pergaulan, atau gerak

seseorang dalam kehidupan sehari-hari, keanggotaan dalam suatu kelompok yang

dapat memberikan berbagai bentuk dukungan kolektif pada anggota-anggotanya; dan

4) modal simbolis yang dapat terekspresikan dari wibawa, kharisma, selera, dan

seterusnya.

Pembedaan konseptual antara satu modal dengan modal lain tidak terjadi

secara ketat dan bersifat tertutup. Namun, modal-modal tersebut bersifat terbuka,

mempunyai hubungan erat, dan dapat dikonversi antara satu dengan yang lain.

Hubungan antarmodal ini dapat dicontohkan sebagai berikut: seseorang yang miliki

uang lebih (modal ekonomi) dapat membeli buku karya sastra, dapat mempelajari

sastra (modal kultural), akhirnya dia bisa menulis karya sastra yang bagus. Karya-

karyanya yang bagus (modal simbolik) tersebut membuat dia diajak untuk

bergabungan dengan kelompok sastra yang terkenal (modal sosial). Dengan begitu,

karya-karyanya semakin mendapatkan legitisasi (modal simbolik sekaligus laba

simbolik) dan semakin laris (laba ekonomi). Contoh ini memperlihatkan bahwa satu

modal dapat mendorong munculnya modal yang lain.

22

1.7.3 Arena8: Tempat Perjuangan (To Strugle) dan Pergulatan (To Force)

Arena dapat dimaknai sebagai sebuah ruang yang memiliki aturan-aturan

‘main’ sendiri yang berbeda dengan aturan dalam arena lain. Arena sastra memiliki

juga memiliki aturan-aturan dan hukum-hukum yang dimainkan oleh agen-agen

sastra (penulis, kritikus, penerbit, dll) yang berbeda dengan arena-arena lainnya.

Arena merupakan ranah kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga

merupakan suatu ranah (arena-pen) yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-

posisi (Mahar, 2009:10).

Ranah (arena-pen) merupakan sebuah semesta yang di dalamnya karakteristik

produsen didefinisikan oleh posisi-posisi mereka dalam relasi-relasi produksi, oleh

kedudukan yang mereka tempati dalam sebuah ruang relasi-relasi objektif tertentu

(Barnard, 2009: 98). Ranah (arena-pen) didefinisikan oleh sistem relasi objektif

kekuasaan yang terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem

objektif yang terdapat di antara titik-titik simbolik: karya seni, manifesto artistik,

deklarasi politik, dan sebagainya (Mahar, 2009: 10).

Mengenai definisi arena sastra, Bourdieu (2010: 214) menjelaskan bahwa

arena sastra sebagai:

8 Istilah yang dipakai Bourdieu dalam bahasa Prancis adalah champ, dalam bahasa Inggris adalah field

yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi arena atau ranah. Antara arena dan

ranah tidak terdapat perbedaan secara konseptual. Namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) ada perbedaan antara arena dan ranah. Kata arena diartikan sebagai bidang (yg menjadi

tempat bersaing, berjuang, dsb), sedangkan kata ranah diartikan sebagai elemen atau unsur yg dibatasi;

bidang disiplin. Selanjutnya peneliti lebih memilih menggunakan arena daripada ranah, karena kata

arena lebih menyiratkan adanya pergulatan, persaingan, dan perjuangan daripada sekedar pembedaan

ruang.

23

semesta sosial independen yang punya hukum-hukum keberfungsiannya

sendiri terkait dengan keberfungsian anggota-anggotanya, hubungan-

hubungan kekuasaannya yang spesifik, yang mendominasi dan yang

didominasi, dan seterusnya. Dengan kata lain, membahas arena sastra

berarti mengamati karya sastra yang diproduksi oleh suatu semesta sosial

tertentu yang memiliki institusi-institusi tertentu dan yang mematuhi

hukum-hukum tertentu pula.

Arena sastra tidak serta-merta melepaskan relasinya dengan arena yang lain.

Dalam arena produksi kultural dan arena kekuasaan, arena sastra berada di kutub

dominan dalam posisi terdominasi. Meskipun demikian, arena sastra masih memiliki

otonomi yang relatif terhadap arena kekuasaan, terutama dalam prinsip-prinsip

hierarkisasi ekonomi dan politisnya, dan meletakkan diri di kutub dominan relasi-

relasi kelas (Bourdieu, 2010: 6). Dengan demikian, arena sastra adalah tempat

hierarki ganda antara prinsip hierarki heteronom yang mengacu pada kesuksesan

sebagaimana dapat diukur dengan indeks-indeks, seperti angka penjualan buku,

jumlah pementasan, serta penghargaan-penghargaan lainnya; dan prinsip hierarki

otonom yang mengacu pada derajat konsekrasi yang spesifik atau prestise

kesusasteraan atau artistik yang diperoleh dari rekan sesama sastrawan atau seniman

legitimit (Bourdieu, 2010: 6–7).

Sebagaimana arena-arena lainnya, di arena sastra juga mengindikasikan

adanya pola hubungan dominasi-terdominasi. Arena sastra adalah arena kekuatan (a

field of forces) dan arena pergulatan (a field of struggle) yang cenderung mengubah

ataupun melanggengkan arena kekuatan tersebut. Jaringan relasi-relasi objektif di

antara posisi-posisi tersebut mendorong dan mengorientasikan strategi-strategi yang

24

digunakan para penghuni beragam posisi berbeda dalam pergulatan mempertahankan

atau mengimprovisasi posisi-posisi mereka, yaitu pengambilan-posisi. Kekuatan dan

bentuk strategi-strategi ini bergantung pada posisi yang ditempati setiap agen di

dalam relasi-relasi kekuasaan (Bourdieu, 2010: 5). Pergulatan tersebut dikarenakan

struktur arena terdiri dari ruang posisi-posisi, yakni struktur distribusi modal properti-

properti spesifik yang mengatur keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba

eksternal atau laba spesifik (seperti prestise sastra) yang dipertaruhkan di dalamnya

(Bourdieu, 2010: 5).

Strategi dan lintasan (trajektori) memang menjadi dua konsep utama dalam

teori arena Bourdieu. Strategi dapat diartikan sebagai produk dari rasa praktis seperti

halnya rasa permainan yang partikular dan historis (Bourdieu, 2011: 82). Ide tentang

strategi—seperti halnya orientasi praktik—sebagai sesuatu yang tidak sadar atau tidak

terkalkulasi maupun terdeterminasi secara mekanis. Ia merupakan produk intuitif

‘pengetahuan’ tentang aturan-aturan permainan (Bourdieu dalam Mahar, 2009: 22).

Strategi yang diterapkan oleh agen-agen tersebut sangat tergantung pada besarnya

modal yang dimiliki dan juga struktur modal dalam posisi di lingkup sosial.

Haryatmoko (2003: 15) menjelaskan strategi yang digunakan untuk

mempertahankan dan mendapatkan berbagai bentuk modal, yaitu (1) strategi

investasi biologis yang terletak dalam upaya untuk mengkontrol jumlah keturunan

supaya dapat menjamin pewarisan modal dan memudahkan kenaikan posisi sosial;

(2) strategi pewarisan yang berfungsi untuk menjamin kekayaan (tanah, toko, uang)

karena modal ekonomi menentukan dalam hubungan kekuasaan; (3) strategi

25

pendidikan yang mengarah pada usaha menghasilkan pelaku sosial yang “mumpuni”

agar mampu menerima warisan kelompok atau memperbaiki jejaring sosial; (4)

startegi investasi ekonomi merupakan upaya untuk mempertahankan atau menambah

modal dari berbagai jenisnya; dan (5) strategi investasi simbolis yaitu upaya

mempertahankan atau meningkatkan pengakuan sosial, tujuannya untuk

mereproduksi persepsi dan penilaian yang mendukung kekhasan, misalnya pewarisan

nama.

Strategi-strategi dari para pelaku ini bertujuan untuk mempertahankan posisi

atau memperjuangankan posisi dominan dalam ruang sosial. Strategi-strategi ini

menimbulkan perubahan posisi-posisi agen dalam rute perjalanannya dari satu titik ke

titik-titik selanjutnya. Gerak perubahan agen dalam ruang posisi inilah yang disebut

sebagai lintasan-lintasan sosial atau trajektori atau biografi yang dikonstruksi.

Trajektori dijelaskan oleh Bourdieu (2010: 58) sebagai:

Serangkaian gerak suksesif seorang agen di dalam ruang yang

terstruktur (berhierarki), yang bisa mengalami pergantian dan distorsi,

atau lebih tepatnya, di dalam struktur distribusi jenis-jenis modal berbeda

yang dipertaruhkan di dalam arena, modal ekonomi dan modal konsekrasi

spesifik (dengan jenis yang berbeda-beda). Gerak-gerak ini

mendefinisikan penuaan sosial (social ageing), terdiri atas atas dua

susunan. Mereka dibatasi kepada salah satu sektor arena dan terletak di

sepanjang sumbu konsekrasi yang sama, di mana penuaan ditandai oleh

akumulasi positif, nol atau negatif modal spesifik; atau mereka malah

menyebabkan perubahan sektor dan rekonversi (pengalihan bentuk)

modal spesifik tertentu menjadi jenis modal lainatau rekonversi modal

lain ke dalam modal ekonomi

Gagasan tentang trajektori dapat dipandang sebagai sesuatu yang dihasilkan

dari perjuangan modal simbolik di dalam ranah-ranah dan dapat dibaca dengan cara

26

mempertimbangkan secara hati-hati jaringan relasi-relasi ekonomi, budaya, dan

sosial. Trajektori sosial merupakan rangkaian posisi-posisi yang berturut-turut yang

ditempati oleh agen atau kelompok yang sama dalam ruang (Bourdieu, 1996: 258).

Mereka (agen dan kelompok) mencapai sukses lewat sebuah rute atau trajektori yang

berbeda-beda. Rute yang paling umum adalah apa yang dinamakan Bourdieu dengan

‘trajektori modal’. Sebuah kelompok yang berbagai modal ini mungkin diharapkan

untuk mengikuti ‘sekumpulan kemungkinan trajektori yang kurang lebih sama, yang

mengantar pada posisi-posisi yang kurang lebih sepadan (Mahar, dkk, 2009: 25-26).

Lebih lanjut, Bourdieu (2010: 58) menjelaskan bahwa untuk memahami

trajektori perlu ditetapkan pada momen tersebut, dan di berbabagai titik kritis setiap

karirnya, konfigurasi ruang kemungkinan-kemungkinan yang tersedia, nilai sosial

yang dilekatkan kepada setiap kemungkinan tersebut, dan juga makna nilai yang

diberikan oleh agen-agen atau kelas-kelas agen berbeda menurut kategori-kategori

persepsi dan apresiasi yang terbentuk secara sosial yang diterapkan pada

kemungkinan-kemungkinan tersebut.

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai

objek tertentu yang kodrat keberadaannya dinyatakan oleh teori (Faruk, 2012: 58).

Metode penelitian dibagi menjadi yaitu metode pengumpulan data dan analisis data.

Metode pengumpulan data menggunakan dua langkah yaitu wawancara dan studi

27

pustaka. Sedangkan metode analisis teks dilakukan dengan menggunakan teori arena

produksi kultural Pierre Bourdieu.

Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap, yaitu wawancara dan studi

pustaka. Wawancara dilakukan untuk menelusuri lebih jauh tentang genesis (asal-

asul) pengarang, hubungan-hubungannya dengan orang atau kelompok dalam arena

sastra, dan juga orientasinya terhadap sosial dan sastra.

Pengumpulan data atau metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif

dengan paradigma ilmu humaniora yang bertumpu pada aspek makna, interpretasi

dan studi pustaka. Data penelitian ini adalah data kualitatif dan dikumpulkan dengan

metode kualitatif. Data kualitatif berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat,

ciri, keadaan, dari segala sesuatu dengan segala sesuatu lainnya. Sesuatu tersebut bisa

berupa benda-benda fisik, pola-pola prilaku, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-

norma, bahkan bisa pula berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

Penelitian ini menggunakan data-data yang diambil dari teks novel Mencari

Sarang Angin. Novel Mencari Sarang Angin merupakan novel yang diciptakan 27

Januari 1991 – 26 April 1991. Novel ini sebelumnya pernah dimuat di Jawa Pos, 23

Oktober 1991 – 27 Desember 1991, sebagai cerita bersambung. Pada tahun 2005,

Mencari Sarang Angin diterbitkan oleh Grasindo (726 halaman). Penelitian ini juga

menggambil data dari bahan-bahan bacaan yang terkait dengan objek kajian, seperti

kondisi sosial-politik Indoensia tahun 1991, kondisi sastra Indonesia tahun 1991,

biografi Suparto Brata, sejarah Indonesia jaman kolonial, dan sejarah Surabaya jaman

28

Kolonial. Bahan bacaan tersebut berupa buku, majalah, jurnal, karya ilmiah, dan

lainnya.

Sedangkan metode analisis teks menggunakan metode arena produksi kultural

Pierre Bourdieu. Menurut Johnson (2010: xxxiii), metode Bourdieu berusaha

memadukan tiga tingkatan realitas sosial berikut ini.

(1) Posisi sastra atau arena seni di dalam, apa yang disebutnya, arena kekuasaan

(seperangkat relasi kuasa dominan di dalam masyarakat tertentu atau, dengan kata

lain, kelas-kelas berkuasa);

(2) Struktur arena sastra (struktur posisi-posisi objektif yang ditempati oleh agen-

agen yang saling bersaing untuk mendapatkan legitimasi di dalam arena, selain

juga karakteristik objektif agen-agen itu sendiri); dan

(3) Asal-muasal habitus produsen (karakter yang terstruktur dan menstrukturkan yang

melahirkan praktik-praktik).

1.9 Sistematik Penyajian

Bab I: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Objek, Tujuan, Tinjauan Pustaka,

Metode Penelitian, dan Sistematika Penyajian.

Bab II: Menemukan konstruksi arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia

pada masa Orde Baru. Dalam bab ini akan menemukan hubungan antara arena

kekuasaan dan arena sastra Indonesia pada masa Orde Baru, ruang-ruang

kemungkinan yang disediakan arena sastra Indonesia dan aturan permaian yang

berlaku pada masa tersebut.

29

Bab III: Menjelaskan trajektori Suparto Brata yang didalamnya akan

mencakup habitus dan modal-modal Suparto Brata yang dalam kontestasi di arena

sastra Indonesia pada masa Orde Baru dengan menitikberatkan pada novel Mencari

Sarang Angin.

Bab IV: Mengurai strategi Suparto Brata dalam kontestasi simbolik dan

relevansi strategi tersebut terhadap aturan permainan di arena sastra Indonesia guna

menjelaskan kegagalan dan kesuksesan Suparto Brata dalam arena sastra Indonesia.

Bab V: Simpulan.