warganegara dan orang asing, 1958.pdf

290

Upload: dodieu

Post on 17-Jan-2017

322 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Prof. Mr Dr GOUW GIOK SIONG

W A R G A N E G A R A

d a n

0 J A N G A SING' /

(berikut Peraturan2 dan Tjontoh2)

(f/

r P e n e r b i t KENG PO, Djakarta.

¿ ¿ S

PjiRPUSTA^AA^ Mo. s t n ib o c k tyO 'jZFAT.Htr.ttTH ~ UNIVERSITAS D 00.••¿SIA,

i-fohon d ikcm ba liko .n ->i|,‘ nf,gu- ‘

sesari r-'h. "brvnn. ££^2. "fcsb« j.brivTfxln •

?r-—

O s

>/

f k

« ^ 9- rt< rr19T r ^ 1-t) !

n

1-3 MAY \ m -( f ,C j 2 7 AUG1971 M lZ

’ a11m

!®iH(d

i

iiI

/pern­

ya —

ex-

% . ha i

| 1 Tk a tar]6 'di nas m a h a s is wa 'd i dai a m ' *d an ^ laksanaan Penpsongat> |j

® sendiri dan atas beaja pemertateh dll negGrl’

Harga : Rp. 37.—. p orto 10%,

! j K E N G P O (Bag. Penerbitan) ■ Pintu Besar Selatan 86-88 - D ja k a r ta -K c ta . ¡ij

^ 'a ia is ia iB i^ 'a ia ^

W A R G A N BG A R 4dan * s

OB AN G ASING

(berikut Peraturan2 dan Tjontoh2)'

. r. *..* 'v: A", n'

■v*' ' j ■~ :» -v -v*

" \t Ík. =¿. T * *„ . ‘‘wN-v/* ■ •* ■■ > / ( j i• :- rr— / v. ' s/*>' I !

{ / . .-W . -■■. . .- \ 7 /-\ Prof. n ; ’-: ó r j c ^ w .G IO K S I Ó N G / /

« n r ^ ^ i s ^ L » ^ . pada Fakultas \ "lia^uui V ^ a n ' ^tásjarakat

'■• .fcniyoJ^^S indonesia' di TDjakartn.

*' ■>!. ’ '' PengaríaE^.áj Dinkárta.

Call Number

3 n . &

¿ Universitas Indonesia " g o 2012 ^ perpustakaan

Penerbit Reng Po, Pintu Besar 86,-88 Djakarta.

II

Harga Rp. 68.— ‘ Porto : 10%

S ^ a f a <~ Pengantar.

Masalah kewarganegaraan merupakan suatu soal jang pen- ting bagi kita di Indonesia. Diwaktu sekarang lebih- lagi terasa pentingnja status warganegara atau asing jang dimiliki oleh se­seorang dinegeri ini. Hal ini disebabkan oleh pengeluaran pel­bagai peraturan2 baru jang demikian „deras mengalirnja laksana air dari gunung”. Proces pemberian „isi” kepada status warga­negara ini dalam masa bergeloranja semangat nasionalisme se­perti kita alami sekarang nampaknja tak akan berkurang di- kelak kemudian hari. Perhatian terhadap soal2 warganegara dan orang asing semakin memuntjak !

Berhubung dengan itu kami telah rasa perlu untuk menulis rangkaian karangan tentang masalah kewarganegaraan ini, an- taranja dalam madjalah „Pantja Warna”. Adalah menggembira­kan bahwa kini karangan2 tersebut dapat dihimpunkan dalam buku ini. Beberapa karangan jang telah diterbitkan dalam ma­djalah tentang hukum sekalian dihimpunkan dalam buku ini. Oleh karena itu buku ini memperlihatkan tjorak agak „dualistisch”. Sebagian besar ditulis setjara populer, sedangkan sebagian lain dimaksudkan untuk pembatja jang lebih mengenal seluk-beluknja ilmu hukum.

Lain daripada itu, seperti djuga dengan buku2 kami „Mas=^\ alah Perumahan” dan „Masalah Agraria”, telah dihimpunkan pula pelbagai peraturan terpenting dibidang kewarganegaraan In- donesia. Dengan demikian kiranja akan bertambah manfaatnja bagj praktek. Peraturan2 jang tersebar disana sini pada umumnja su-v^/ kar untuk didapati oleh chalajak ramai. Kiranja himpunan pesf ' aturan2 sekarang ini dapat membantu pendjabat2 — misalnja pe­gawai-pegawai imigrasi, pegawai2 Kementerian Kehakiman, para I hakim, para pengatjara, dsb. — dan semua mereka — misalnji ' pedagang2, pengusaha, peladjar dsb. — jang dalam kehidupe hari2 seringkah harus mempergunakan peraturan2 jang bei"'* paut dengan hal2 kewarganegaraan.

Achirulkalam perlu kami mengutjapkan terima kasih,Redaksi „Pantja Warna”, „Sin Po” dan „Hukum dan jvrasju_ rakat” berhubung dengan penerbitan kembali karangan2 tersebut, kepada Sdr.. Tan Eng Sin dan Gani Djemat untuk koreksi

drukproef2.Mudah2an buku sederhana ini dapat membantu kearah pembi­

naan warga2 jang sedar dan berguna bagi Negara dan masjarakal

Indonesia !

Djakavta, 17 Djtrni 1958. ' Penulis.

D a f t a r - i s i• halaman

Bab I : Faham kewarganegaraan.

§ 1. Pentmgnja status kewarganegaraan ......................................... 1

§ 2. Tiap negara berdaulat untuk menentukan sendiri siapa2

warganja ....................................................................................... 5

§ 3. Azas keturunan atau azas daerah-kelahiran ......................... 10

Bab n : Tindjauan sedjarah kedudukan hukum kenegaraan golongan

Tionghoa di Indonesia.

Dari „asing” sampai „Nederlands Onderdaan” ...................... 16

Bab m : Kekaulanegaraan Belanda (Nederlands Onderdaanschap)

dibandingkan dengan kewarganegaraan Indonesia.

§ 1. Pentingnja kekaulanegaraan Belanda untuk kewarganega­

raan Indonesia ............................................................................ 42

§ 2. j,Pergerakan Tionghoa” sebagai sebab Undang2 Kekaula­

negaraan Belanda ........................................................................ 43

§ 3. Keberatan-keberatan terhadap kekaulanegaraan Belanda ... 45

§ 4. „Isi” daripada kekaulanegaraan Belanda ................................. 47

§ 5. Diskriminasi antara sesama warganegara batu sontohan

terutama Kekaulanegaraan Belanda sebagai tjontoh ....... 51

Bab IV : „Isi” kewarganegaraan Indonesia.

§ 1. Hak untuk memilih dan dipilih ........................... ................. 57

§ 2. Lapangan usaha chusus untuk warganegara ...................... 58 .

§ 3. Tindakan“ chusus terhadap orang asing .............................. 61

§ 4. Pengawasan terhadap orang2 asing ..................................... 66

^ Pendaftaran dan padjak .................... .... 71

§ 6. Kewarganegaraan dan hak atas tanah ................................. 75

§ 7. Hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban warganegara atau

asmS ............................................................................................ 80

ab v : Siapa warganegara R.L ?

Y . § !• Pasal 144 U.U.D.S....... 83

• * ^ 3 p ! ' f U* Uan Perih*l Pembagian Warga Negara ..." .........• 85§ 3. Perdjandjian Soenario-Chou, 1955 ......................................... 89

ndang-undang tentang Kewarganegaraan R .1.................. 91

Bab V I: Perkawinan dan kewarganegaraan.

§ 2 JaL UL P: re, T r dalam perkawinan tjampuran .......... 96

atau seban? • ' perempuan mengikuti status suami

§ 3. Perkawinan11*-1 memegang tetaP kewarganegaraan semula ? 101Perkawinan tjampuran dan padjak bangsa asing ........... 107

Bab VII: Soal assimilasi,Pembagian gc Indonesia.

Dan W.N.I. keturunan asing sampai W.N.t.„asli" .............. 113

fn d tS T e°l0ne“ ' r , t i “ d“ > Perubahan masjarakat

hacinan

LAMPIRAN PERATURAN-PERATURAN. i . v

1. Undang2 No. 3 tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk-/ :

Negara Republik Indonesia ................................................................•'■'121 Ví

2. Undang2 1947 No. 6 tentang perubahan Undang2 No. 3 tahun 194';. ’•

tentang Warga Negara dan penduduk Negara Republik Indonesia 129

3. Undang2 1947 No. 8 tentang memperpandjang waktu untuk mens-

adjukan pernjataan berhubung dengan kewargaan Negara In^- i

nesia .......................................................................................................... \

4. Undang2 1947 No. 9 tentang naturalisasi Frans Matheas Hessc ' s/,^

5. Persetudjuan Perihal Pembagian Warganegara, L.N. 1950 No. 2 • l i á ,

6. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pembagian Warga \ .

negara .............................................................................................................................. 139 :

7. Undang2 Pengawasan orang asing, U.U. Dar. 1953 No. 9, L.N. • ’

1953 No. 64 .................. ;........................................................................ vI43

8. Pendjelasan Undang2 Darurat No. 9 tahun 1953 TLN 463 tentang '

pengawasan orang asing ..................................................................... 144,- "•

9. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengawasan terhadap 1 (

orang Asing jang berada di Indonesia, No. 45 tahun 1954, I-.v.

1954 No. 83 .......................................................................................... .5

10. Pendjelasan P.P. No. 45 tahun 1954 tentang pelaksanaan ■. ■

awasan terhadap orang asing jang berada di Indonesia, TJj\; • ■

No. 645 ..............................................................................................< ■}

U. Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/012/1957 tentang k e ' 1 * ^

dinasi pelaksanaan pengawasan orang asing, B.N. 1957 No. 60 :■ 154 '

12- Pendjelasan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/012/1957

13- Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran orang asing, No. 32 1

tahun 1954, LN 1954 No. 52 .................................................................

14- Pendjelasan P.P. No. 32 tahun 1954 tentang pendaftaran orang '• • \ \

asing, TLN No. 569 ........................................................................... . 161

15- Penetapan Menteri Kehakiman tg. 1 Djuni 1954 No. J.M.2/17/2 ' •

tentang Peraturan tjara pendaftaran orang asing, TLN 593 ...... 1U3 -i

*6. Undang2 Darurat No. 9 tahun 1955 tentang Kependudukan oran j

asing, LN 1955 No. 33 ............................................................................. I<j5

!7. Pendjelasan U.U. Dar. No. 9 tahun 1955 tentang kependudukan

orang asing, TLN 812 ......................................................................... 167

18. Perdjandjian Indonesia — R.R.T. tentang penjelesaian dwikewar-

ganegaraan, 22 April 1955, U.U. 1958 No. 2 .................................... 169

19. Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 tentang beberapa

hal mengenai kewarganegaran, 4 Djuni 1957 ................................ 179

halaman:

20. Pendjelasan P.P.M. No. Prt/PM/09/1957 tentang beberapa ha l ^

mengenai kewarganegaraan ....................................................................

21 Peraturan Penguasa Militer No. 756/P.M.T./1957 tentang per­

ubahan dan tambahan aturan bea meterai 1921, B.N. 1957 No. 71, ^

4 Agustus 1957 .................................................................. .................

22. Pendjelasan P.P.M. tg. 14 Agustus 1957 No. 756/P.M.T./1957 ten­

tang perubahan dan tambahan aturan bea meterai 1921 .......... 185

23. Peraturan Penguasa Militer No. 875/PMT/1957 tentang perubahan

dari P.P.M. No. 756/PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957, tentang

perubahan dan tambahan aturan bea meterai 1921, tgl. 10

Oktober 1957, B.N. 1957 No. 87 ....................................................... 187

24. Pendjelasan P.P.M./Menteri Pertahanan No. 875/PMT/1957 tgl.

10 Oktober 1957 ................................................................................ 189

25. Instruksi No. HI/7/PMT/1957 Menteri Pertahanan, tgl. 10 Oktober

1957 bagi pedjabat2 resmi, chusus pamong 'pradja, Inspeksi Ke­

uangan, Kas Negara, para Hakim dan Kepala2 Perwakilan Repu­

blik Indonesia diluar negeri untuk memperlakukan Peraturan

Penguasa Militer/K.S.A.D. No. Prt/PM/09/1957 tgl. 4 Djuni 1957

dan Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan, No. 756/

PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957 sebagaimana dirubah dan di­

tambah kemudian dengan Peraturan Penguasa Militer/Menteri

Pertahanan, No. 875/PMT/1957 tgl. 10-10-1957 ............................... 191

e26. Undang2 Darurat No. 16 tahun 1957 tentang Padjak Bangsa

Asing tahun 1957, L.N. 1957 No. 63 .............................................. 202

27. Memori Pendjelasan Undang2 Darurat No. 16 tahun 1957 tentang

Padjak Bangsa Asing, TLN 1957 No. 1345 ................................... 210jjujco. jjaiigoa IJLjlN lysv no. 1340 ...........................P

28. -Peraturan Penguasa Militer No. 989/PMT/1957, tgl. 6 Nopember

r 1957, tentang Pengawasan Pengadjaran Asing, B.N. 1957 No. 99>

29. Pendjelasan P.P.M. tentang Pengawasan Pengadjaran Asing wn

989/PMT/tahun 1957 tgl. 6 Nopember 19^7 228

“ 1‘" l'“ ik*n' P“ »® »«" Kebud.ja.n tgl.P e lS ™ » ', N°' m “26/S «**5«laksanaan Pengawasan Pengadjaran Asing ................... . . 233

1957 t i t a n r S aja 2 m er/Mtenteri Pertahanan No- HI/13/PM/

ngan-Pedjabat KementerianVp/Tf^^sa-Penguiasa Militer de-

naan Peraturan Penguasa MiiV ^ aerah tentang Pelaksa-

tanggal 6 Nopember 1957 tenta 989/™ T/tahun 1957,«n TT 37 t6ntang^Pengawasan Pengadjaran Asing 25132. Undang2 tentang Kewarganegaraan w ,

Pendjelasan, U.U. 1958 No 62 Indonesia berikut

W A RG A N EG A RA DA N ORANG ASING.

BAB I : FAHAM KEW ARGANEGARAAN.

§ 1. Pentingnja status kewarganegaraan.

Semendjak diproklamirkan Republik Indonesia soal kewarga­negaraan merupakan suatu masalah jang tetap aktuil. Perhatian terhadap persoalan ini tak kundjung padam. Terutama daripada fihak mereka jang dipandang sebagai „warganegara baru mas­alah ini merupakan buah tuturan jang tak habis2nja dalam per- tjakapan se-hari2. Djuga dalam pelbagai karangan dan siaran2 melalui pers soal ini merupakan suatu persoalan jang hangat.

Perhatian memuntjak diwaktu belakangan ini, tatkala dalam rangkaian pernjataan keadaan S.O.B. oleh penguasa militer telah dikeluarkan pelbagai peraturan jang dengan lantas ,,ber- bitjara” kepada orang2 jang bersangkutan. Kami maksudkan peraturan2 perihal padjak istimewa untuk bangsa asing,*) peratur­an pembuktian kewarganegaraan2) dengan embePan pembajaran -Padjak” 3) puia serta lain2 tindakan2 jang bersangkutan dengan status kewarganegaraan ini. 4) Djuga dengan pembitjaraan Ran- tjangan Undang2 mengenai Dwikewarganegaraan <>) dan RUU

kewarganegaraan 7) dalam Parlemen masalah kewarganegaraan

mendjadi bertambah aktuil. . 1 , 2, Diwaktu sekarang ini status seseorang dinegeri kita lebih dari dahulu dirasa sebagai suatu hal jang penting. Kmi persoalan- n* tak lebih lama berkumandang dalam suasana teoretis. Kmi adalah sanoat penting dalam kehidupan setiap orang dmegen kita aPakah ia° termasuk warganegara atau bukan. Bukan sadja

jj°nsekwensi2 dilapangan finansiil ja n ,.

1 * 9 « P e r a t u r a n j a n g t e r l e t a k d i b i d a n g e k o n o m , , » ) , , a n g d , s e r t a ,

n 9 a n s a n k s i t u n t u t a n p i d a n a - , j e r ] a |u d j . ] e b i h 2k a n b a h w a Dapat dikatakan dengan tidaic waraaneaara

Sedjak dilahirkan hinqqa kelobang kubur status warganegaraa t « u b u k a n d i w a k t u s e k a r a n g i n i m e r u p a k a n s u a t u h a l , a „ g p e n -

3} J -a m p lia n p | £ a tu ra n n J . ^ ^ " p j ^ e l a s i i n ' n o . 22; P e ro b a h a n , N o. 23 , P e n d je -Lampiran Peraturan No. 21, re

41 lasan 24. r .^ t n r a n No. 25,. (instruksi berkenaan dengan pem-J L ihat m isalnja Lampiran Peratu r i tang pengawasan pengadjaran asing, pen-

buktian k e w a r g a n e g a r a a n ) , No. ¿'t• £ laksana (No. 30) serta instruksi kerdja- djelasan No. 29, dengan Per^ n »n

ri sama dalam pelaksanaannja l™ ’ No. 2 tahun 1958, lihat Lampiranb) Kem udian telah ditetapkan sebagai u.•j. Peraturan No. 18. , u.U. No. 62 tahun 1958, lihat Lampiran> Kemudian telah ditetapkan sefcag

o\ Peraturan No. 32. , »n) L ihat bab IV paragrap 4 dan o.

L ihat bab IV , paragrap 2.9)

ting bagi setiap orang disini. Kelahiran sebagai baji asing atau bukan mempunjai akibat atas hukum jang berlaku bagi dirinja^ sang baji itu. Hukum baginja dalam hubungan hidup se-hari2. suatu kompleks peraturan2 atau norma2 hukum jang lazimnja ter­kenal sebagai „hukum perdata” (burgerlijk recht, hukum sipil), banjak sedikit dipengaruhi oleh status sianak tersebut. Satu dan lain karena dipakainja suatu azas jang dilapangan hukum perdata internasional dikenal sebagai „nationaliteitsprincipe" (azas kewar- ganegaraan) . Menurut azas ini maka hukum seseorang warganegara mengenai „status, hak2 dan kewenangannja” tetap melekat padanja dimanapun ia berada. D juga apabila ia ini merantau keluar negeri maka hukum jang berlaku baginja berkenaan dengan hal2 ini tetap ialah hukum nasionalnja. Umumnja jang dipandang termasuk dalam „status, hak2 dan kewenangannja” ialah hukum jang merupakan bagian daripada hukum-kekeluargaan (familie- recht). Misalnja peraturan2 mengenai hubungan anak dan orang tua, mengenai kedudukan anak dibawah umur, mengenai per­walian, mengenai pengawasan safih (curatele), mengenai kemam­puan dan idzin untuk menikah, mengenai kedudukan dalam per­kawinan dan sebagainja. Pendek kata, materie jang terkenal dengan istilah „personeel statuut” tergantung daripada kewar- ganegaraan seseorang. Djadi untuk semua hal2 ini adalah pen­ting untuk mengetahui status apakah jang dipunjai oleh seseorang diwaktu ia dilahirkan. Untuk mengetahui hukum manakah jang berlaku baginja sedjak lahirnja berkenaan dengan hal2 tersebut perlulah diketahui apakah ia ini dalam negeri kelahirannja dipan­dang sebagai warganegara atau asing. Djika misalrija seorang anak warganegara Indonesia dilahirkan dinegeri Swiss, maka untuk menentukan apakah ia ini sudah dewasa atau belum ber­lakulah hukum Indonesia, bukan hukum Swiss, Demikian pula de­ngan orang2 asing jang berada di Indonesia, maka untuk hal2 jang serupa berlaku pula hukum nasional mereka. Apabila seorang asing jang tinggal di Indonesia hendak menikah, maka perlu diperhatikan pula apakah telah dipenuhi sjarat2 jang'ditentukan baginja menuruf- hukum nasionalnja untuk dapat menikah. Pendek kata dari tjontoh2 sederhana jang diambil dari pergaulan hidup se-hari2 ini kiranja sudah tegas betapa pentingnja untuk mengetahui apakah kewarga- negaraan dari jang bersangkutan. Harus diakui bahwa tidak semua negara2 didunia ini memegang pada prinsip-kewarganegaraan ter­sebut. Ada negara2 jang memakai azas-dom icilie (domiciliebeginsel). Tetapi bagi Indonesia hingga kini jang masih berlaku ialah azas- kewarganegaraan (pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetge- ving) 10). Inilah sekedar tentang pentingnja status kewarganega- raan berkenaan dengan hubungan2 perdata internasional.

10) Lihat untuk ini, Mr. Wirjono Prodjodikoro , Azas-azas hukum perdata Inter­nasional, Djakarta, 1952, h. 22 dst.

Tetapi bukan sadja dibidang hukum perdata djadi antara „private personen” — kewarganegaraan seseorang merupakan suatu hal jang penting. Kewarganegaraan ini memegang peranan pula dilain lapangan, jaitu dibidang jang umum terasa sebagai „hal2 jang lebih besar Kami maksudkan hal2 dilapangan apa jang di­namakan „hukum publik”. Dalam hubungan antara Negara dan perseorangan-lah lebih2 njata pentingnja status kewarganegaraan seseorang. Apakah seorang termasuk warganegara atau asing be­sar sekali konsekwensijija dalam kehidupan publik ini. Lebih2 dari­pada dalam suasana hubungan antara perseorangan (private personen), maka dalam bidang publik ini terasa betapa pentingnja status kewarganegaraan. Hal ini adalah logis. Masuk diakal, djika diingat bahwa sebenarnja kewarganegaraan itu tidak lain arti- nja daripada „keanggautaan" daripada sesuatu negara. 11) Setjara sederhana dapat kita mengadakan perumpamaan dengan mengam­bil suatu perkumpulan (vereniging) sebagai tjontoh. Sesuatu per­kumpulan memerlukan organisasi tertentu. Bahkan perkumpulan ini

* sendiri dapat pula dipandang — dan pun dinamakan oleh chalajak ramai sebagai suatu organisasi. Negara pun merupakan suatu organisasi tertentu. 12) Suatu organisasi tentunja memerlukan pula orang2 jang dapat dipandang merupakan inti daripadanja. Setiap perkumpulan harus mempunjai anggauta2. Demikian pula setiap negara perlu mempunjai „anggauta2”. Mereka inilah, para „ang­gauta daripada sesuatu negara lazim disebut dengan istilah Ywar8ane9ara”- Suatu perkumpulan tanpa anggauta adalah suatu emustahilan. Suatu negara tanpa warga2 djuga adalah suatu hal

tak mungkin! Tanpa warga2 sesuatu negara belum komplit. Warga2 ini merupakan suatu anasir jang tak dapat dielakkan bila sesuatu organisasi hendak memperkenalkan diri sebagai suatu n^9ara- Dikalangan para ahli hukum hal ini dikenal sebagai adjaran tentang essentiala daripada suatu negara. Untuk dapat 1Pandang sebagai suatu negara haruslah dipenuhi tiga hal. Setiap

negara harus mempunjai: suatu wilajah tertentu (staatsgebied), organisasi tertentu, d^n ’snatu „personengebied” tertentu.

L’jika salah satu unsur ini tidak odp. ra?ka belum lagi dapat orang berbitjara tentang suatu negara ;.,n^<j .iierdeka dan berdaulat.

Negara Republik Indonesia ciiftfikenalkan sebagai suatu ne­gara jang merdeka dan berdaulat. .pun negara kita ini takterketjuali daripada apa^ jang ditetop^^.sebagai sjarat mutlak untuk dapat diakui sebagai sedemiki'ah.\\‘;Mgara Republik Indo­nesia pun harus memp;mjai warga2njal tersendiri. Dan sjarat ini memang sudah dipenuhi-, tyfejaupun sesuatu sekitar ini belum sem-

11) Bdgk. J. G. Starke, An introduction to International law, 1947, h. 180; H. Lauter- pacht, International law and human rights, New York, 1950, h. 7; Prof. Mr. K. D. Kollewij», Nationaliteit en burgerschap in het Koninkrijk der Nederlanden en in de Nederlands-Indonesische Unie, „Indonesie”, tahun I, 1947, h. 98, Dr. Ko

De meervoudige nationaliteit, disertasi, Leiden, 1957, h. 1 dengan definisinja tentang „juridische nationaliteit” .

12) Bdgk. Prof. Dr. J.H.A. Logemann, Het staatsrecht van Indonesie, 1954, h. 17.

purna. Ketidaksempurnaannja ialah karena negara kita diwaktu se­karang ini masih belum mempunjai suatu peraturan kewarganega- raan sendiri. Tetapi walaupun peraturan tersendirinja masih be­lum ada, negara Republik Indonesia sudah mempunjai warga2nja. Bukankah tatkala terdjadi „penjerahan” (lebih baik, pemulihan atau pengakuan) kedaulatan dengan sedemikian banjak perkataan telah diadakan „pembagian warganegara” antara Republik Indone­sia dan Keradjaan Belanda (stijl baru). (Persetudjuan Perihal' Pembagian Warganegara). 13) Dapat dikatakan bahwa pada waktu pengakuan kedaulatan itu telah diadakan pembagian dari­pada anggauta2 Keradjaan Belanda dalam bentuk jang lama. Djika dipandang persetudjuan K.M.B. ini sebagai suatu tjara membagi­kan warga, maka tegaslah bahwa sesungguhnja apa jang telah ter- djadi ialah suatu hal jang statis. Dengan lain perkataan: jang telah diatur hanja ialah keadaan tertentu pada waktu itu. Jang di-bagi2- kan hanja orang2 jang pada waktu itu sudah ada. Djadi, orang2

jang belum dilahirkan pada waktu pengakuan kedaulatan, setjara strict juridis belum diatur kewarganegaraannja. Misalnja anak2 jang dilahirkan setelah pengakuan kedaulatan, sekalipun dari anak2 orang2 Indonesia jang lazim digolongkan „asli” belum lagi dapat dipandang sebagai warganegara Indonesia. Misalnja untuk mengambil suatu tjontoh jang seringkali digunakan: Megawatianak Presiden kita pun masih belum dapat dipandang sebagai war­ganegara Indonesia. Inilah salah satu konsekwensi daripada belum adanja peraturan tersendiri dari negara Republik Indonesia me­ngenai kewarganegaraan. Maka hal ini sadja sudah menundjuk- kan betapa pentingnja bagi negara kita untuk selekas mungkin memiliki suatu peraturan kewarganegaraan sendiri. Semoga Undang2 ini jang diharapkan1 dalam tempo singkat akan dapat diselesaikan oleh Parlemen kita achir2nja menghilangkan keragu- raguan sekitar kewarganegaraan Indonesia ini. 14)

Apakah jang merupakan hak2 dan kewadjiban daripada se­orang warganegara dilapangan hukum publik dalam garis2 besar sudah diketahui umum dinegeri kita. Orang asing tidak diper­bolehkan turut tjampur de.ugan politik dalam negeri. Karenanja pula tak diperkenankanlah neorang asing turut serta dalam pe­milihan umum baik dengan mempergunakan hak pilih atau de­ngan mentjaloni diri supaja-terpilih. (Actief en passief kiesrecht). Orang asing umumnja igtk dapat menduduki djabatan2 penting dalam negara. Orang asing dapat dibatasi pula dalam kekebasan- kebebasannja. Dapat diadakan peraturan2 chusus mengenai pengawasan jang tidak perlu berlaku terhadap warganegara. Dan djika perlu dapat djuga seorang asing ini diusir (dienjahkan) atau diserahkan kepada negara asing (uitlevering). Wargane-

13) Lampiran Peraturan No. 5.14) Setelah buku Ini dizet telah diundangkan U.U. No. 62 tahun 1958 tentang

Kewarganegaraan Indonesia. Lihat Lampiran Peraturan No. 32.

4

gara tak dapat diusir. Djuga peraturan2 tentang keluar masuk negara berlainan untuk orang asing dan warganegara. Selain daripada itu dapat 'diadakan pula pelbagai peraturan chusus jang ditudjukan kepada pembatasan kebebasan orang2 asing dibidang ekonomi, mengenai perusahaan2 tertentu jang disediakan bagi warganegara, pekerdjaan2 jang hanja dapat dilakukan oleh war- ganegara, dan sebagainja. Siapa jang memperhatikan perkem­bangan kehidupan se-hari2 dalam masjarakat . kita, tentunja tak buta akan adanja gedjala2 bahwa tindakan2 dan peraturan2 ber­kenaan dengan apa jang disebut sepintas lalu diatas akan ber­tambah. Segi ini diharapkan dapat dibahas dalam uraian ber­ikut. 15).

Siapakah termasuk warganegara atau asing dapat ditentu­kan oleh masing2 negara bersangkutan sendiri. Dalam hal menen­tukan siapa2 merupakan warganja setiap negara adalah becdau- lat. 16). Artinja bahwa setiap negaralah dapat menentukan sen­diri dengan setjara bebas siapakah jang dikehendakinja sebagai warganegara, siapa tidak. Hal ini dipandang suatu hak jang tak dapat dilepaskan daripada kedaulatan negara2 masing2. Siapakah merupakan warganegara Republik Indonesia, itulah merupakan hak Republik Indonesia untuk menentukan. Negara2 lain tak da­pat turut tjarnpur. Demikian pula siapakah termasuk warganegara Amerika, itulah hak mutlak Amerika sendiri untuk menentukan.

Dalam menentukan siapa2 merupakan warganja, sesuatu ne­gara hanja terikat kepada beberapa hal. Adalah umum bahwa a am kebebasan untuk menentukan siapa2 termasuk warga2nja

ini, sesuatu negara tak dapat melanggar apa jang terkenal se- a9ai ,,general principles” dilapangan hukum internasional ber- enaan dengan kewarganegaraan. Harus ada persesuaian dengan

aPa. iang diterima dalam konvensP internasional, kebiasaan inter- nasional dan prinsip2 hukum jang umum setjara internasional di­terima dibidang kewarganegaraan ini.S 2. Tiap negara berdaulat untuk menentukan sendiri siapa2

warganja.Setiap Negara jang berdaulat dgypat menentukan sendiri siapa-

siapa adalah warganegaranja. Dalam melakukan penetapan ini dapat dikatakan tak ada pembatasan jang berarti. Kita telah saksi- kan dari paragrap jang lalu bahwa batas2 ini dapat ditjakup dalam kata2: pertentangan dengan apa jang diterima dalamkonvensi2 internasional, kebiasaan internasional dan prinsip3

hukum jang umum setjara internasional diterima dalam bidang ke- ■Warganegaraan”.

15) L iha t bab IV .

16) Bdgk. m isalnja Konvensi untuk Kodifikasi Hukum internasinal di Den Haag tahun 3930; jurisprudensi internasional tetap. Untuk tjontoh2 lihat Dr. A.M. i ! « v ™ general principles of law, as applied by international tribunals,1946, n. 99 dst. Lihat djuga Dr. Ko Swan Sik, o.c. h. 15 dst. serta batjaan jang disebut disitu.

o

Apa jang merupakan kebiasaan internasional dan prinsip2 hukum jang umum diterima ini masih merupakan suatu hal jang agak samar2. Tidak dapat diberikan suatu uraian jang pasti tentang apa jang dimaksudkan dengan kata2 ini. Orang hanja dapat menegaskan lebih djauh apa jang dimaksudkan dengan istilah2 tersebut. Misalnja dapat dikatakan, bahwa sesuatu negara dalam menentukan siapa2 merupakan warganja, tak dapat menarik didalamnja orang2 jang sama sekali tidak ada hubungan sedikitpun dengan negara bersangkutan. Sebagai tjontoh: Republik Indonesia bebas untuk menentukan siapakah jang mendjadi warganja. Tetapi Indonesia tak dapat menetapkan bahwa misalnja orang2 jang hidup di Kutub2 Utara atau Selatan pun termasuk warganja! Tentunja tjontoh ini tak akan terdjadi dalam praktek. Tetapi dengan tjontoh ekstreem ini kiranja mendjadi lebih tegas apa jang dimaksudkan dengan kata2 „tidak ada hubungan sedikitpun”.

Djuga penetapan kewarganegaraan jang misalnja didasarkan atas keagamaan orang2 bersangkutan, atau atas bahasa jang digunakan se-hari2 atau warna-kulit orang2 bersangkutan belaka, dirasakan sebagai bertentangan dengan prinsip2 umum ini. Misalnja negara X tak dapat diakui djikalau menentukan, bahwa semua orang didunia ini jang beragama Boeddha adalah warganja. Negara Y pun tidak dapat menentukan bahwa semua orang didunia jang berbahasa Inggeris adalah warganja. Negara Z pun tidak dapat menentukan bahwa semua orang jang berkulit kuning adalah warganja, dst. Tjontoh2 ini dapat diperbanjak dengan lain2 tjontoh lagi. Tetapi kiranja djelaslah sudah apakah jang dimaksudkan dengan istilah2 tersebut.

Prinsip bahwa setiap negara adalah berdaulat untuk sendiri menentukan siapakah merupakan warganegaranja merupakan suatu sendi jang penting. Sebagai konsekwensi dari diterimanja azas ini dapatlah djuga kita saksikan, bahwa fidak boleh suatu negara l a i n menentukan siapakah jang merupakan warga dari sesuatu negara. Misalnja negara A hanja dapat menentukan siapa2 jang merupakan warga2 dari negara2 A. Tetapi negara A ini tidak dapat menentukan dalam undang2 kewarganegaraannja siapa2 merupakan warga dari negara B, dst. Kedaulatan negara B tak mengidzin- kannja.

Apa jang dikatakan disini nampaknja logis dan mudah dime­ngerti. Tetapi kepentingan daripada azas ini seringkali dilupakan, setidak2nja tak memperoleh perhatian jang sewadjarnja.

Pembitjaraan2 dalam Parlemen kita mengenai ratifikasi daripada Perdjandjian mengenai Dwikewarganegaraan dengan R.R.T. mem­perkuat apa jang dikatakan disini. Usaha dari Siauw Giok Tjhan c.s. terutama dikerahkan agar supaja hak untuk menentukan sen­diri siapa2 warga R.I. ini dipergunakan sepenuhnja. 1) Apalagi

1) Lihat a.l. penegasannja dalam Laporan pada Konperensi Pusat Pleno Baperki, tg. 18-19-20 Okt. 1957 : „Mempertjepat proses integrasi” . Berita Baperki, tahun V, no. 38, Pebr. 1958, h. 2.

6

setelah oleh fihak R.R.T. dengan tegas dinjatakan pula hak dari­pada R.I. untuk melakukan penetapan ini. Menurut pertukaran nota tertanggal 3 Djuni 1955 antara kedua negara, setelah ditan­datangani perdjandjian tersebut, maka kepada Indonesia diberikan kebebasan sepenuhnja untuk menetapkan siapa2 jang merupakan warganegara Indonesia. 2) Kita mengetahui dari berita2 dalam pers beberapa waktu berselang 3) bahwa pada waktu diterima baik ratifikasi perdjandjian tersebut oleh D.P.R. dari fihak pemerintah- pun telah diperhatikan pula apa jang telah dikemukakan setjara politis oleh wakil2 golongan ketjil. Akan diperhatikan lebih djauh siapa2 jang sudah dapat dipandang hanja merupakan warganegara Indonesia sec, hingga tak memerlukan melakukan lagi pernjataan_ mengenai pemilihan c.q. penolakan kewarganegaraan jang lain. Tentang ini akan kita bitjarakan lebih djauh dibawah.

Bipatridie, apatridie.

Sebagai konsekwensi prinsip kebebasan untuk menentukan sendiri2 siapakah merupakan warganja, kita saksikan tidak adanja unirormitet dilapangan peraturan2 mengenai kewarganegaraan ini. Sebaliknja daripada kesamarataan, jang kita lihat dalam kenjataan ialah anekaragam peraturan dan azas2 mengenai kewarganegaraan. Negara2 bebas untuk memilih azas2 manakah jang hendak dipakai- £Ja dalam menentukan siapa2 merupakan warganja. Terutama arena tidak adanja keseragaman dalam peraturan kewarganega-

r ,an kita saksikan timbulnja masalah jang terkenal sebagai 'h'W . war9ane9araan" dan „tanpa kewarganegaraan". Istilah2 tpatridie dan apatridie ini sering kita ketemukan dalam berita pers lta ^iwaktu belakangan ini. 4)

Walaupun pada umumnja soal dwikewarganegaraan timbul karena perbedaan2 dalam peraturan2 kewarganegaraan pelbagai negeri, kadang2 mungkin pula terdjadi seorang mendjadi bipatride (ber-dwikewarganegaraan) dengan adanja peraturan2 jang sama dalam negara2 bersangkutan. Dalam literatur terkenal suatu peris­tiwa jang atjapkali disebut sebagai tjontoh dari kemungkinan ini.. Kami maksudkan perkara Carlier. B) Walaupun Undang2 kewar­ganegaraan Perantjis dan Belgia bunjinja sama, Carlier ini men­djadi berbarang warganegara Belgia dan Perantjis. Carlier dilahirkan di Belgia dari orang tua Perantjis. Karena azas keturun- an jang dianut oleh Perantjis ia adalah warganegara Perantjis. Akan tetapi disamping itu Carlier djuga mempunjai kewarganegaraan Belgia karena ia telah mempergunakan hak optie jang diberikan oleh undang2 Belgia bagi orang2 serupa ia jang dilahirkan d’ Belgia. Hak jang serupa terdapat pula dalam perundang2an Pe-

2) Bab V, paragrap 3, lihat Lampiran Peraturan No. 18.3) Sln Po, 18 Desember 1957.4) Lebih djauh lihat bab V paragrap 3 dan 4.5) Disebut pula oleh Dr Ko Swan Sik, De meervoudige nationaliteit, h. 119 dan 273.

rantjis. Carlier mendjadi warganegara Belgia karena optie itu tetapi kewarganegaraan Perantjis tak hilang. Disinilah suatu tjontoh daripada kemungkinan bipatridie walaupun dengan peraturan2 jang sama.

Dalam menentukan kewarganegaraan terkenal , dua azas jang umumnja digunakan : azas kelahiran (ius soli) atau azas keturunan (ius sanguinis). Dengan azas ius soli ini dimaksudkan, bahwa ke- warganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannja. Orang jang dilahirkan diwilajah negara X adalah warga pula dari negara X. Azas ius sanguinis sebaliknja memandang kepada ke­turunan daripada orang bersangkutan. Orang jang dilahirkan daripada orangtua warganegara X, merupakan pula warga dari negara X.

Sebagai tjontoh daripada peraturan2 kewarganegaraan jang masing2 menganut azas kelahiran dan azas keturunan ini dapat kita sebut peraturan2 tentang kewarganegaraan dinegeri ini sebelum pengakuan kedaulatan. Seperti diketahui, maka diwaktu itu berlaku disini dua peraturan. Pertama jang mengatur „Nederlanderschap” (W et op het Nederlanderschap en het ingezetenschap, Ned. Staatsblad 1892 no. 268). Undang2 ini terutama didasarkan atas azas keturunan. Jang dikedepankan ialah bahwa seseorang jang dilahirkan dari seorang jang berstatus Belanda, adalah „Neder- lander” (pasal 1). Lain halnja dengan peraturan jang terutama dimaksudkan untuk Hindia Belanda dahulu, jaitu peraturan me­ngenai „Nederlands-Onderdaanschap”. (W et houdende regeling van het Nederlands onderdaanschap van niet-Nederlanders) . Staatsblad 1910 no. 296. 6) Peraturan ini terutama didasarkan atas azas kelahiran. Mereka jang dilahirkan dari orang tua jang ,,me­netap” (gevestigd) dalam wilajah Hindia Belanda (Suriname dan Curacao) adalah Nederlands Onderdaan (pasal 1 ajat 1 sub le).

-Terutama karena dianutnja azas2 jang berbeda ini dalam per­aturan kewarganegaraan, timbullah masalah bipatridie atau multipa- tridie. Orang dapat mempunjai lebih dari satu kewarganegaraan, dua dan kadang2 lebih dari dua (multipatride). Tetapi untuk me­mudahkan pembitjaraan kita, tak akan dipersoalkan lebih djauh hal2 berkenaan dengan lebih dari dua kewarganegaraan ini.

Djika satu negara menganut azas kelahiran dan negara lain menganut azas keturunan dapatlah timbul dwikewarganegaraan. Tjontoh jang sudah tjukup diketahui dinegeri kita : masalah dwike- warganegaraan orang2 turunan Tionghoa disini. Menurut undang2 kewarganegaraan Tiongkok dari tahun 1929 maka setiap orang jang dilahirkan dari orang tua Tionghoa, dimanapun mereka berada dan berapa lama pun mereka sudah melawat keluar Tiongkok, tetap tinggal warganegara Tiongkok. 7)

6) Untuk isi terpenting dari undangi in i, lihat bab II dan III.7) Lihat lebih djauh bab V paragrap 2, 3 dan 4.

8

Menurut peraturan2 kewarganegaraan Hindia Belanda (Wet op het Nederlands Onderdaanschap diatas tadi), peraturan Repu­blik Indonesia .stijl lama (Undang2 1946 No. 3 tentang Warga .Negara dan Penduduk Negara 8) mereka ini disebabkan kelahiran dari orang tua jang „menetap” disini c.q. „jang lahir dan bertempat . •' kedudukan dan kediaman selama sedikitnja 5 tahun berturut-turut ,jang paling achir dalam daerah Negara Indonesia", adalah pula ^

«warganegara Indonesia. Karena itu orang2 keturunan Tionghoa bersangkutan (Peranakan) mempunjai kewarganegaraan rangkap.Persetudjuan Perihal Pembagian Kewarganegaraan 9) pun meng­adakan pembagian daripada Nederlandse Onderdanen antara Republik Indonesia dan Keradjaan Belanda stijl baru. Golongan orang2 turunan Tionghoa bersangkutan jang tidak mempergunakan hak repudiasi mereka dalam tempo 2 tahun tetap dipandang • warganegara Republik Indonesia. Djuga karena inilah orang2 bersangkutan (Peranakan) mempunjai kewarganegaraan rangkap.

Perdjandjian Chou En Lai — Soenario dari tanggal 22-4-1955 jang telah diterima baik ratifikasinja oleh Parlemen pada sidang tanggal 17-12-1957 memberi djalan untuk mengatasi dwikewarga- negaraan ini. 10) Orang2 jang bersangkutan telah diwadjibkan untuk memilih dengan tegas untuk salah satu kewarganegaraan tersebut. Setelah ini dilakukan, kewarganegaraan jang lain akan hilang. Dengan demikian akan diharapkan berachirnja kewarga- negaraan rangkap warganegara Indonesia turunan Tionghoa.Seperti diketahui berdasarkan pertukaran nota antara perdana menteri kedua negara bersangkutan tertanggal 3 Djuni 1955 seba­gian dari orang2 termaksud akan diketjualikan daripada keharusan untuk memilih ini. Siapa2 mereka jang „kedudukan sosial dan politiknja” sudah menundjukkan dengan tegas bahwa mereka setjara diam~diam sudah melepaskan,- kewarganega^an R.R.T. menurut kabar terachir masih akanvdipashkan kelak, w leh Dr Ko Swan Sik, dalam disertasinja tentairap*j5e^meervouclige nationali- teit (1957) jang dipertahankannja baru^ni^di Leiden dengan hasil cum laude, pertukaran nota ini dilihat dari segi juridis dalam rangka penjelesaian masalah kewarganegaraan rangkap, tak dapat dipudji. 11) Siapa2 jang memperhatikan soal dwikewarganegaraan dinegeri kita sebaiknja memperhatikan seperlunja saran2 dan pen­dapat2 jang merupakan hasil penjelidikan mendalam pada thesis itu.

Dalam Rantjangan Undang2 Kewarganegaraan jang beberapa waktu berselang telah disampaikan pula kepada Parlemen, ternjata hasrat untuk mentjegah timbulnja kewarganegaraan- rangkap dan terdjadinja kemungkinan tanpa-kewarganegaraan (apatridie) telah

8) Lampiran Peraturan no. 8.9) Lam piran Peraturan no. 5.

10) U ntuk naskah perdjandjian ini, lihat Lampiran Peraturan no. 18.11) h. 306.

9

diutamakan. Kewarganegaraan Indonesia tidak diberikan kepada orang2, jang umumnja „tjakap” untuk itu bila mereka, sudah mem- punjai kewarganegaraan lain. Sebaliknja kewarganegaraan Indonesia diberikain kepada orang2 jang umumnja dipandang „kurang tjakap” untuk itu, semata2 untuk menghindarkan terdjadi- nja tanpa kewarganegaraan.

Ternjata pula bahwa dalam Rantjangan ini, berlainan daripada peraturan2 dibidang tersebut jang pernah diadakan berkenaan dengan kewarganegaraan dinegeri ini, pembuat-undang2 tjondong kepada azas-keturunan (ius sanguinis). Tidak lebih lama diguna­kan azas-kelahiran dalam wilajah Indonesia sebagai pegangan untuk kewarganegaraan Republik Indonesia. Rupanja faham2 nasionalisme jang sedang bergelora di Negara kita dibidang inipun tak dapat tidak harus memperoleh tempat sewadjarnja ! 12)

§ 3. Azas keturunan atau azas daerah-kelahiran.Peraturan2 tentang kewarganegaraan tak dapat disangkal

adalah pembawaan daripada perkembangan zaman Baru diwaktu belakangan orang dimuka bumi memikirkan hal2 sekitar kewarga­negaraan. Usia peraturan2. kewarganegaraan dapat dikatakan masih muda. Kira2 baru dimulai sedjak abad jang lalu dan permulaan abad sekarang ini. Hal ini mudah dimengerti bila kita selalu ingati bahwa peraturan2 tentang kewarganegaraan berhu­bungan erat dengan faham2 tentang nasionalisme. Peraturan2 kewarganegaraan adalah pembawaan daripada tjita2 nasional modern. Baru dengan dibentuknja Negara2 Nasional mulai dirasa kebutuhan akan peraturan2 jang menentukan lebih pasti siapa2 dapat dipandang sebagai para „anggauta” negara bersangkutan.

Diika kita melihat sedjarah perkembangan peraturan kewar­ganegaraan dinegeri kita sudah djelaslah apa jang dikatakan tadi- Peraturan tentang kewarganegaraan (nationaliteits ■—•, onderdaan- schapsregelingen) dari Hindia Belanda sediakala baru terdapat diwaktu belakangan.

Adalah tidak mengherankan bahwa dizaman Kompenie (V.O.C.) orang belum memikirkan tentang peraturan2 kewargane­garaan. Pada waktu itu perbedaan bukanlah dilakukan antara warganegara dan orang asing. Orang lebih memperhatikan sifat2 lahiriah (uiterlijke kenmerken) atau lain2 kriteria seperti kepertja- jaan (keagamaan) jang mudah nampaknja. Demikianlah perbedaan2 dilakukan karena ,,huid en haar”, karena mereka adalah „Compag- niesdienaren, vrije luyden of slaven”, karena orang2 adalah „Christenen” atau „Onchristenen, blinde heidenen”, ,,mixtisen” , „poetisen”, „castisen”, „onegten”, „bastaarden van Europesen” dsb. *•)

Baru pada waktu rakjat Belanda mendjadi insjaf akan dirinja sebagai suatu „Natie” karena berkembangnja perasaan kebangsaan,

12) Tentang RUU Kewarganegaraan ini, lihat lebih djauh bab ' V, paragrap 4 .

1) L ihat lebih d jauh bab II.

]0

baru pada saat itulah timbul kebutuhan untuk menentukan siap.a2- kah jang merupakan \varga2: daripada „Keradjaan Belanda” .

las soli, dan ius sanguinis.

Bahwa peraturan kewarganegaraan merupakan hasil daripada faham2 nasionalisme penting pula untuk dapat mengerti gedjala2

_ sekitar perkembangan kedua azas jang lazim dipakai dalam peraturan2 tersebut : azas keturunan (ius sanguinis) atau azas daerah-kelahiran (ius soli). Menurut jang pertama maka seorang anak jang dilahirkan dari ajah (atau ibu, djika tak ada hubungan hukum dengan ajah) warganegara merupakan warganegara pula. Menurut jang kedua maka seorang jang dilahirkan dalam negara bersangkutan merupakan warga dari negara itu. Kita saksikan

,, dari kenjataan disekitar kita, bahwa azas kelahiran daerah ini telah terdesak oleh azas keturunan. Banjak negara jang tadinja menganut azas ius soli pada, berbalik dan menerima azas ius sanguinis. Per­kembangan sematjam ini adalah sedjalan dengan tumbuhnja faham2 tentang nasionalisme. Keadaan dibenua Eropah dengan djelas memperlihatkan hal ini. Hampir semua negara, terketjuali Inggris telah menggantikan ius soli dengan ius sanguinis. Perantjis dalam tahun 1804, Austria dalam tahun 1811, Belgia dalam tahun 1831, Rumania dalam tahun 1865, Italia dalam tahun 1865, Turki dalam tahun 1869, Djerman dalam tahun 1870, Spanjol djuga dalam P .Un 1870, Hungaria ditahun 1879, Norwegia ditahun 1888,

e anda ditahun 1892, Swiss ditahun 1894, Monaco ditahun 1900. Bulgaria ditahun 1903 dst.

Dalam suasana sematjam ini tak heranlah kita untuk men- engar utjapan2 se-olah2 azas ius soli adalah kolot dan kuno, zas ini dipandang tak surup lagi dengan panggilan zaman, bah­an ditjap sebagai suatu azas feodaal ! Ius sangu^nislah jang

modern, jang sesuai dengan kebutuhan2 suatu negara modern.Pada waktu dinegeri Belanda diperdebatkan rantjangan

ew r9anegaraan dari tahun 1892 maka menteri Djustisi Smidt telah mengutip perkataan2 daripada pelbagai sardjana hukum jang rata2 mengemukakan bahwa ius soli sudah harus ditinggal­kan. Menteri Djustisi Belanda ini telah mensitir kata2 terkenal dari sardjana hukum Inggeris kenamaan Westlake. 3) Dengan sengadja Westlake telah dipilihnja untuk lebih2 menguatkan pendapatnja bahwa sebenarnja ius soli ini adalah suatu prinsip kolot jang harus ditinggalkan! Negara Inggeris seperti diketahui masih memegang teguh pada azas ius soli ini. Tetapi Westlake tak menjetudjuinja. Dengan terus terang dinamakannja azas ini suatu prinsip feodal. Jang modern ialnil ius sanguinis, demikian antara lain utjapan dari Bluntschli .mahaguru di Heidelberg. 4)

3) Dalam Serie Wetgeving van der Hoeven, h. 3, disitir pula oleh Mr P.H. Fromberg, Het Nederlandsch Onderdaanschap, Verspreide Geschriften. Leiden, 1926, h. 694.

4) Serie Wetgeving van der Hoeven, h. 3.

Apakah benar ius soli adalah kolot dan ius sanguinis adalah modern? Tentang pertanjaan ini para sardjana hukum tak se~ faham. Djika dikatakan ius soli ini sebagai azas jang kolot, mengapa kenjataan menundjukkan hal2 jang berlainan ? NegaraAmerika Serikat terkenal sebagai salah satu negara termoderndidunia. Tetapi Amerika Serikat ini masih mengutamakan ius soli!

Jang mana lebih baik: ius soli atau ius sanguinis? Pertanjaan ini tak dapat didjawab begitu sadja. Keadaan negara2 bersang­kutan masih harus digunakan sebagai latar belakang. Djawaban atas pertanjaan tersebut tak dapat dlepaskan daripada keadaan ini. Djika kita memperhatikan hal2 ini, ternjatalah bahwa negara2 jang memilih ius sanguinis pada umumnja termasuk negara2 emigrasi. Banjak warga2nja melawat keluar negeri. Untuk dapat mempertahankan se~dapat2nja hubungan pertalian antara negara2 ini dengan anggauta2nja jang berada dalam perantauan dipan­dang perlu untuk menganut azas ius sanguinis. Tak peduli ke- manapun ia bepergi, ia ini masih warga kami! Tak peduli di-manapun ia melahirkan anak, anak itu pun harus dipandangsebagai warga kami pula, demikian kira2 pikiran jang didjadikan pegangan oleh negara2 bersangkutan. Sikap sedemikian ini ter­pengaruh oleh hasrat untuk sebanjak mungkin mentjegah orang2 „terlepas” daripada negara asalnja. Kepentingan bagi negara misalnja terletak dalam kewadjiban untuk membela negeri, untuk dienstplicht dan pembajaran padjak2.

Sebaliknja kepentingan negara2 jang termasuk negeri2 immigrasi adalah berlainan. Negara2 ini djustru berkepentingan bahwa warga2 asing jang masuk dalam negeri mereka setjepat mungkin diassimilir mendjadi rakjat mereka. Terutama dalam negeri2 jang masih kekurangan warga. Hubungan pertalian dengan negara asal setjepat mungkin harus dilepaskan. Para imigran ini setjepat mungkin harus didjadikan warganegara daripada negara baru jang telah dipilih oleh mereka sebagai tem­pat mentjari kehidupan. Terlampau banjak orang asing menimbul­kan persoalan2 orang asing jang sukar untuk diatasi. Terlalu banjak orang asing membawa pengaruh2 jang besar dan turut tjampur tanganja negara2 asal mereka melalui saluran2 diplomatik. ..Perlindungan2 oleh para ambassador dan konsol2 negara2 asing ini akan membawa ketegangan2 jang umumnja tak disuka oleh negara imigrasi bersangkutan. Untuk negeri2 sematjam ini sudah teranglah ius soli adalah jang paling tepat.5) Orang2 jang tadinja asing menetap dalam wilajah negara bersangkutan dan melahirkan anak2 disitu. Anak2 ini haruslah dipandang sebagai warga daripada negara bersangkutan. Dengan dem'kian selekas

5) Bdgk Mr J.P.A. Francois, Handboek van het volkenrecht, tjet. kedua. 1949. h. 457.

12

mungkin ditjiptakan suatu hubungan antara anak bersangkutan dan • negara dimana ia dilahirkan dan hidup. Keadaan sedemikian jang dihadapi oleh negara2 dibenua Amerika. Keadaan sematjam ini pulalah jang terdapat dinegeri kita tatkala Hindia Belanda hendak membuat peraturan kewarganegaraan-nja.

Seperti diketahui ,,Wet op het Nederlands Onderdaanschap van niet-Nederlanders" dari tahun 1910 ini mengutamakan ius soli. Djika kita melihat keadaan di Hindia Belanda waktu itu. maka memang azas inilah satu2nja jang setjara praktis dapat di­pergunakan. Pada waktu itu bagi terbanjak orang disini belum ada sistim pendaftaran kelahiran pada burgerlijke stand. Bagaimana harus dibuktikan hal keturunan ini ? Siapa jang dapat membuktikan bahwa ia benar2 dilahirkan dari seorang ajah jang berstatus kaula- negara pula ? Keberatan2 jang sama masih berlaku sekarang ini dimana menurut Undang-undang Kewarganegaraan jang terbaru azas keturunanlah jang dikedepankan. Hanja dengan adanja suatu sistim Tjatatan Sipil jang berlaku untuk semua golongan- rakjat jang berada dinegeri ini dapatlah diharapkan penglaksana- an undang2 tersebut setjara effektip! Seperti diketahui hanja untuk beberapa golongan rakjat (Eropah, Timur Asing Tionghoa, In­donesia Nasrani, dan Indonesia golongan ningrat) berlaku (dapat berlaku) kewadjiban untuk mendaftarkan kelahiran ini pada kantor2 Tjatatan Sipil. Bagi golongan rakjat terbanjak (jang kini lazimnja disebut : „asli” ) tak ada kewadjiban men­daftarkan pada Kantor2 Tjatatan Sipil ini. Sebanjak2nja dalam praktek kelahiran dalam golongan rakjat ini dilaporkan kepada kepala2 kampong atau lurah2. Siapa jang mengetahui praktek kenjataan sehari-hari dinegeri kita akan merasakan pula bahwa disinilah terdapat suatu bagian lemah daripada pemilihan azas ius sanguinis ini. Daftar2 jang sana sini dibuat oleh para Lurah tak lengkap. Dan dalam prakteknja ternjata terlampau mudah dirobah2 atau ditambah2kan. Apalagi djika diingati bahwa suatu nama- keturunan (geslachtsnaam) pada umumnja tak terdapat diantara golonganrakjat „asli” ini. Djadi dalam prakteknja akan kita saksi­kan, bahwa untuk menentukan keturunan orang2 bersangkutan, jang terutama akan didjadikan pegangan ialah sifat- lahiriah kembali! Djika seorang warna kulit, roman muka, rambut, mata, hidungnja a la Indonesia-asli dan tekukan suara namanja berbunji asli pula, orang inilah dapat dipandang berketurunan pula dari seorang warga negara Indonesia. Dalam prakteknja kewarganega- raannja tak akan disangsikan. Bahkan pernah kedjadian orang dari golonganrakjat lain pun (misalnja dari golonganrakjat Timur Asing Tionghoa) jang sifat2 lahiriahnja mirip orang Indonesia „asli" — misalnja dari suku Menado — serta bersedia pula untuk membuang nama Tionghoanja dan memakai nama Indonesia „asli” dengan mudah dapat memperoleh keterangan Lurah serta dengan itu memperoleh paspor Indonesia sebagai warganegara dengan nama asli Indonesia ! Padahal orang tersebut semula ter-

^ a j S p a S ' d a ^ p a S S t g

®?»toh9im t w kiranja dilukiskan betapa besamja j u t a a n pemakaian „azas keturunan” bagi sesuatu negara jang mas belum mempunjai sistim pembuktian keturunan jang sempurna bagi • aolonganrakjatnja jang terbesar. Suatu perbaikan kearah mi harus dimulai. Sistim tjatatan sipil sebaiknja diadakan pula bagi semua

golonganrakjat jang berada disini. 1 1 1

D jika azas keturunan hendak dilaksanakan dengan baik maka hal ini tak dapat diabaikan. Pendaftaran daripada para pemilih dalam rangka pemilihan umum jang baru lalu dapat dipandang sebagai suatu langkah baik kearah ini. Kewadjiban pendaftaran bagi perkawinan-perkawinan jang dilangsungkan dihadapan pen- djabat nikah setjara Islam serta pentjatatan talak dan rudjuk, menurut peraturan terachir dari penguasa dapat dilihat pula se­bagai suatu langkah baik kearah pembuktian setjara tertib dari­pada status perseorangan golonganrakjat terbesar dinegeri kita.

Ada faktor lain jang membikin pertanjaan azas manakah jang terbaik, ius soli atau ius sanguinis, mendjadi kurang penting. Da­lam praktek tak demikian penting sistim mana jang dipilih. Bagi kebanjakan orang azas jang dipilih tak berarti banjak oleh karena mereka ini biasanja adalah kelahiran diatas territoir negara dari orang tua jang mendjadi warganegara. Tambahan lagi, umumnja negara2 tidak memilih setjara konsekwen hanja salah satu dari­pada azas ini. Dalam prakteknja sebenarnja umum dipakai suatu kombinasi daripada kedua azas. Kedua azas digunakan, hanja jang satu lebih dikedepankan daripada jang lain. Negara2 jang pertama2 mementingkan azas ius sanguinis toh tak mengabaikan sama sekali azas daerah kelahiran. Demikian misalnja dalam W et op het Ne- derlanderschap 1892, demikian pula dalam Undang2 Kewarga-

^ g?raf n Jndonesia' Warganegara Belanda adalah orang jang

t * t ? Se%an9 a>ah (ibu ^rganegara Belanda (pasal 1)

djadikannja warganegara Belanda (pa£ l T a S tb )

soli aDd l t r s “ aN»“ Sp dibuat. ,„s

dapat dipertanggungjawabkan V j ^ dl9unakan danR e p u b l i k Indonesia, berlainan denaan d S aan ah berubah!hendak menentukan siapa2 jang meruntkT U P^tama kalisia (dengan Undang2 1946 No 3 8 l war9ane9ara Indone- — — °- ) kmi sudah mempunjai

6) Untuk persoalan tentane

7) Selandjutnja Uhat bab V Darr.»SSlng” (Peleburan) in i . .8) Lampiran Peraturan No. ? " agraP 4- ’ Uhat bab VI1-

14

Lorj; ,,qr atas Persetudjuan Perihal warga2 negara (menurut atau be menunggu terwudjudnjaPembagian W arga Negara) UUDS) »).Undang2 Kewarganegaraan jang pas i ^ ^ ternjata ius

Pada waktu pembuatan, nsekarang perkembangan menun- soliJah jang diutamakan. Tetap am nasionalisme sedang ber- djukkan adanja tjita berlainan. Janq sudah tjukup banjak.

gelora ! Warganegara Jnd°n“ J h mendjadinja pula dengan setjara Bahkan ada jang dipandang mengeluarkan mereka mi taktak sungguh2! Maka hasrat rliandiurkan. Dalam suasanadisembunjikan : sistim aktip Pe*jn .. bahwa berlainan daripada sematjam ini tak dibuat heran se i P' > ^ ^ ^ini azaswet op het Nederlanderschap dan Undang

ius sanguinislah jang dikedepan

9) Lihat bab V paragrap 1-

Bab I I : TINDJAUAN SEDJARAH K EDU DU K A N H U K U M KENEGARAAN G O LO N G A N T IO N G H O A D I INDONESIA.

Dari „asing” sampai „Nederlands Onderdaan”. L Sebelum 1892.

Dapat dikatakan bahwa peraturan tentang kewarganegaraan (Nationaliteits-, onderdaanschapsregelingen) bagi Hindia-Belanda sediakala baru terdapat diwaktu belakangan, meskipun „Onder- danen-begrip” sudah lama ada x). Memang per&turan2 tentang kewarganegaraan adalah pembawaan daripada tjita2 nasional modern. Baru dengan dibentuknja Negara2 Nasional dipertengah- an dan penghabisan abad jang lalu mulai terasa kebutuhan akan peraturan2 jang menentukan lebih pasti siapa2 dapat dianggap se­bagai „anggauta” 2), sebagai „nationalen” daripada negara ber­sangkutan, dirasakan sangat kebutuhan akan penentuan hubungan pertalian antara negara dan rakjatnja.

Baru sedjak itulah timbul faham2 jang mengemukakan bahwa disamping suatu wilajah (territoir, grond- atau lebih tepat: ruimte- gebied) dan organisasi politik, adalah suatu sjarat mutlak bagi tiap2 Negara merdeka, untuk djuga mempunjai suatu „personengebied atau ,personensubstraat”. 3)

Maka adalah tidak mengherankan, bahwa dizaman Kompenie (V.O.C.) masih belum terdapat peraturan2 tentang kewarganega­raan. Pada waktu itu perbedaan bukanlah dilakukan antara warga- negara dan „orang asing”. Orang lebih banjak memperhatikan sifat2 lahir (uiterlijke kenmerken) atau lain2 kriteria seperti keper- tjajaan (keagamaan) jang mudah nampaknja. Begitulah perbedaan2 dilakukan karena „huid eA haar”, karena mereka adalah ,,Com- pagniesdienaren”, vrije luyden of slaven 4), karena orang2 adalah „Christenen” atau „Onchristenen, blinde heidenen” c), ,,mixtisen”, „poestisen”, „castisen”, .onegten”, „bastaarden van Europesen” «) dan sebagainja.

1) J. H. Carpentier Alting, Grondslagen der rechtsbedeling, 2e druk , 1926 h. l l j .2) Starke, J G. An Introduction to International law, 1947, h. 180 b itjara tentang

„membership” ; demikian pula H. Lauterpacht, In ternational law and hum an rights, N.Y. 1950, h. 7; begitupun definisi ,ju r id ische nationalite it” dari Ko Swan Sik dalam disertasinja baru2 Ini, „De Meervoudige nationalite it” , Leiden, 1957, h. 1 serta R. D. Kollewijn, Nationaliteit en burgersehap in het K on inkrijk der Nederlanden en in de Nederlands-Indonesische Unie. „Indonésie” , thn. ke-I1947, h. 98.

3) Kollewijn, Nationaliteit en burgersehap, h. 104.4) W.E. van Mastenbroek, De historische ontwikkeling van de staatsrechtelijke

indeeling der bevolking van Ned.-Indië, diss. A ’dam, 1934, h. 36.5) Bdgk. G. J. Resink, Over ons gemeenschappelijk verleden in het recht van

vrede, dalam Gedenkboek 25 jaar rechtswetenschappelijk Hoger Onderwijs in Indonesië, h. 252.Kriterium agama ini malahan lebih dipakai daripada kriterium karena ke­turunan (ras). Lihat van Mastenbroek, o.c. h. 10 dst., h. 13 .

6) J. Th. Petrus Blumberger, De Indo-Europeesche beweging in Ned.-Indië 1939, h. 9.

16

Meskipun demikian, ada djuga dikenal perkataan ,,burger” 7) tetapi hanja dari kota2. Begitulah terdapat burgers dari Batavia atau dari Ambon, akan tetapi dalam lingkungan „nasional” jang meliputi seluruh wilajah, istilah ini masih belum dipakai.

Hal ini mudah dimengerti. Kompenie bukan datang disini untuk mendirikan suatu Negara atau mempunjai maksud politik lainnja. Mereka hanja datang mengumbara dikepulauan ini untuk berdagang, untuk mentjari keuntungan materiil se-besar2nja. V.O.C. seperti umum mengetahui adalah suatu „handelslichaam”. maka adalah lumrahnja bahwa mereka sama sekali tidak memu­singkan kepala dengan soal2 politis dan kenegaraan s). Politik mereka adalah politik ..merkantiel”.

Baru pada waktu rakjat Belanda mendjadi insjaf akan dirinja sebagai suatu „Natie”, baru sesudah perasaan kebangsaan dari bangsa Belanda ibarat kembang mulai mekar, baru pada saat itu timbullah kebutuhan jang semakin lama dirasakan semakin keras, suatu kebutuhan akan peraturan kewargaan-negara bagi „Ke- radjaan Belanda”. Baru sesudah saat itu orang mulai mentjari akan suatu formulering juridis daripada keanggautaan n) Negara

t jang baru10).

A. Peranakan Tionghoa sebagai „Nederlander”.aa. „Staatsrechtelijk en burgerrechtelijk Nederlanderschap’

Sesudah melalui perkembangan2 jang sesuai dengan djalannja arus zaman •— dari „vestiging” dan „inboorlingschap pada zaman Bataafsche Republiek, penggantian dari perkataan boorlingen der Vereenigde Nederlanden” dengan „Nederlanders^ dalam G.'W. 1814 dan 1815, maka istilah „Nederlanderschap sampai pada Burgerlijk Wetboek Belanda dari tahun 1838 n ).

Pasal2 jang mengatur „Nederlanderschap” ini ialah pasal 5-12 B.W . dengan titel „Van Nederlanders en V reem de lingen .

Pasal jang pertama ialah jang terpenting bagi kita. Sub ke 1 bunji- nja sebagai berikut: „Nederlanders zijn: allen die binnen het Koninkrijk of dezelfs kolonien zijn geboren uit ouders. aldaar

7) Verslaff van de Commissie tot bestudeering van staatsrechtelijke hervormingen, selandjutnja disingkatkan: Commissie-Visman, Verslag II, h. 99; van Masten- broek o.c. h. 12 dst;

8) Untuk memindjam perkataan dari de Kat Angelino, sikap Kompenie dapat disebut „opportunistisch” (Staatkundig beleid en bestuurszorg in Ned. Indie, II» h. 18); Supomo-Djokosutono, Sedjarah politik hukum adat I, h. 27. Sedapat mungkin tak tjampur dalam usaha2 jang tak perlu guna kepentingan perda­gangan mereka, itulah sifat terutama dari politik Kompenie; Bdgk. Mr, Dr. H. Westra, Dualistisch Staatsrecht, pidato pelantikan 1931, Utrecht h. 4.

9) Bdgk. H.W.B. Thomas, De wet op het Nederlanderschap en het ingezeten- schap, diss. Leiden 1893, h. 6 dst.

10) Com.-Visman, verslag II, h. 99.l l j C.W. van der Pot, Handboek v. h. Ned. Staatsr. 3e. dr. 1948 h. 114.

17

gevestigd” 12). Djadi, selain daripada orang2 turunan Belanda, djuga orang2 Indonesia, Tionghoa dan Arab jang dilahirkan di Hindia Belanda, adalah orang2 Belanda 13) tetapi hanja dalam artian civielrechtelijk. 14).

„Burgervechtelijk Nederlanderschap” ini tak membawa hak2 dan kewadjiban2 politik-staatkundig seperti jang biasanja melekat pada status warganegara. „Burgerschapsrechten en plichten” ti­daklah termasuk mendjadi hak serta kewadjiban daripada seorang „civiele Nederlander”. Tetapi tidaklah dapat dikatakan bahwa status ini hanja membawa hak2 sipil (privaatrechten) sadja. Selain daripada itu, status tersebut pula membawa akibat2 dalam perlin­dungan diplomatik serta hal2 pengusiran (uitzetting) dan penje- rahan (uitlevering) 15). Begitulah orang2 Tionghoa jang lahir di Indonesia atas dasar pasal2 tersebut dalam B.'W. Belanda dapat mengalami rupa2 faedah karena perlindungan2 diplomatik dari Konsol2 Belanda. Istimewa di negeri3 Timur, jang pada waktu itu .masih belum bangun atau baru sadja mendusin dari ,,pules” mereka, perlindungan Konsol2 bagi orang Tionghoa tersebut ber­arti djuga 16). Begitulah seorang Tionghoa kelahiran Indonesia jang sedang berpergian kenegeri leluhurnja sendiri dan telah me­lakukan kedjahatan atau mendapat lain2 kesulitan disana, pada waktu itu diadili oleh pengadilan2 Konsolair Belanda serta men­dapat perlindungan dan pertolongan lainnja dari Konsol2 Belanda. Mereka djuga berdasarkan pasal2 B.W\ Belanda itu tidak dapat diusir atau diserahkan 17) pada negeri2 asing. Dalam hal2 ini

12) Seterusnja pasal 5 tsb. bunjin ja sbb. :„2e. Hinderen buiten s’lands uit Nederlanders geboren;3e. Allen die binnen het Koninkrijk zijn geboren, hoezeer u it ouders, aldaar

niet gevestigd, mits zij zelve hunne woonplaats aldaar vestigen;4e. Hinderen, buiten s’lands geboren u it vreemde ouders, welke binnen het

koninkrijk of deszelfs kolonie gevestigd, doch voor s’lands dienst afwezigof anderszins op reis zyn;

5e. Allen welke zijn genaturaliseerd of het regt van inboorlingschap hebben verkregen”.

13) Bdgk. Van Sande Bakhuyzen, Nederlandsch Onderdaanschap, diss. Leiden 1900, h. 72: „Algemeen wordt aangenomen dat tot 1 Ju li 1893 de Inlandsche bevol- king daarop haar onderdaaanschap steunen kon”.

14) Menurut J.H. Abendanon, Publiek en privaatrechtelijke verhoudingen tusschen Nederland en Nederlandsche kolonien, 1891 h. 48 dan 51, sebelum tahun 1850 Nederlanderschap menurut B.W. mempunjai arti bagi hukum sipil maupun bagi hukum-kenegaraan. Baru dengan S. 1850/44 tim bullah suatu „dubbel Nederlanderschap” .

15) Dasar daripada uitlevering in i adalah pasal 108 RR, jang semula hanja ber- bunji: „Allen die zieh op het grondgebied van Ned. Indie bevinden hebben aar.spraak op bescherming van persoon en goederen” . D jadi, bun jin ja ham pir sama dengan pasal 3 G.W. 1848 jang mengatur soal in i untuk negeri Belanda. Hanja alinea 2 dari pasal G.W. tersebut jang mengatur lebih land ju t tentang „uitlevering” tidak terdapat dalam 108 RR. Baru karena rentjana Undang2 dari Menteri van Goltstein ps. 108 RR. ditambahkan dengan perkataan2 : 9>De regelen bij uitlevering van vreemdelingen in acht te nemen worden vastgesteld bij algemeene Verorderung”. Peraturan jang melaksanakan Undang2 in i, ia lah K.B. 8 Mei 1883, S. 1883/188. Lebih landjut untuk soal „uitlevering” in i liha t F.G. Panhuys, Uitlevering van vreemde misdadigers met betrekking tot onze overzeesche bezittingen, diss. Leiden 1891, h. 44, 61 dst.

16) Mannoury, J., Het Nederlandsche Nationaliteitsrecht, 1947, h. 54 dst.17) Lihat djuga van Sandick, L.H.W., Chineezen buiten China, Hunne beteekenis

voor de ontwikkeling van Zuid-Oost-Azie, speciaal van Nederlandsch-Indie, h. 449.

18

berdasarkan pasal2 B.W . Belanda tersebut mereka dapat diper­lihatkan terhadap dunia luar sebagai kaula-negara Belanda, „Ne­derlands Onderdaan” 18).

Terhadap pemerintah2 asing, Konsol2 Belanda dapat menun- djukkan pada pasal2 dalam B.W. tersebut untuk membuktikan bahwa benar2 orang2 jang dilahirkan di Keradjaan Belanda dapat dianggap sebagai „Nederlanders” dan oleh karena itu berhak mendapat perlindungan serta dalam beberapa negara Timur dja- tuh dibawah kekuasaan peradilan Konsolair mereka. Tentu sadja dari fihak pemerintah2 asing diusahakan agar supaja kedudukan jang dieloni ini, dibataskan sedapat mungkin. Hal ini dapat dilihat umpamanja dari kesulitan2 jang terbit dengan pemerintah Turki, sesudahnja Undang2 ,,wet op het Nederlanderschap en Ingezeten- schap” 1892 pasal-pasal B.W . tersebut diatas dihapuskan.

Sementara itu, disamping pasal2 5-12 N.B. W . dengan Undang2 dari 28 Djuli 1850, S. 44 (diubah dengan S. 1851/46) untuk melaksanakan pasal 7 G .W . 1848 19) diatur apa jang di­namakan „Staatsrechtelijk Nederlanderschap”. Status ini membawa hak2 politik, „het genot van burgerschapsregten” seperti jang biasanja melekat pada status warganegara. Peraturan ini dibatas­kan pada negeri Belanda ditepi Noordzee, djadi tidak berlaku bagai Hindia Belanda, maka tidak penting bagi kita dan karena- nja tidak akan diperbintjangkan lebih djauh disini.

Tjukup adalah bilamana diterangkan bahwa sistim dua matjam „Nederlanderschap” ini telah membawa banjak ke­sulitan2 jang sukar diatasi. Memang sistim ini jang dalam teori sudah tidak bisa dipertanggung-djawabkan, dalam praktek se­perti kenjataan telah membuktikan tak dapat dipertahankan. Maka pendapat umum para penulis rata2 semua mentjela dua- matjam „Nederlanderschap” itu. Ingatlah umpamanja kepada apa dikatakan oleh Opzoomer jang dikutip oleh M.v.T. Wet 1892 ten­tang sistim sulit tersebut ja’ni suatu „ongereimdheid” 20) .

18) Dalam perdjandjian2 internasional istilah Nederlands Onderdaan sudah lama dipakai djauh sebelum peraturan 1910. Bandingkan Fromberg, V e r s p r e id e (be­schriften, h. 692 dst. Mannoury o.c. 54 dst. van der Pot, o.c. h. 116.

19) pasal 1 berbunji :„Nederlanders, ten aanzien van het genot van burgerschapsrechten, zijn : le . die geboren zijn uit ouders binnen het R ijk In Europa gevestigd;2e. die, binnen het Rijk in Europa uit aldaar niet gevestigde ouders ge­

boren, binnen het jaar nadat zij den vollen ouderdom van 23 jaren heD- ben bereikt, hun voornamen om daar te blijven wonen aan het bestuur hunnen woonplaats hebben verklaard;Zij echter welke dien ouderdom bij de afkondiging dezer wet reects hebben bereikt, kunnen die verklaring nog gedurende het jaar na die afkondiging doen.

3e. die genaturaliseerd zijn;4e. die van de in de voorafgaande nummers genoemde afstammen ten wäre

de geboorte op een ttjdstip mögt hebben plaats gehad, waarop de ouders in een der termen van art. 10 waren vervallen”.

20) Aantekeningen op het burgerlijk Wetboek, Amsterdam 1874, 2e herziene druk, dl. I h. 31, 34; bandingkan Buijs, De Grondwet I, Arnhem 1883, h. 30; De wet op het Nederlanderschap en Ingezetenschap, Serie Wetgeving van der Hoeven, h. 2.

19

Sesudah kwalifikasi tersebut diberikannja lukisan dari kekatjauan2 jang disebabkan oleh „tweeërlei Nederlanderschap” 21 ) itu; ,,op de vraag of iemand Nederlander is, moest voortaan de wedervraag volgen: wat voor Nederlander meent gij? een civielen Nederlander of een politieken Nederlander ? Van denzelfden per- soon moet men in den eenen zin bevestigen, in den anderen zin ontkennen, dat hij Nederlander is”.

Maka diwaktu Rentjana Undang2 tentang „Nederlander­schap en ingezetenschap 1892” diadjukan kepada Staten-Generaal, semua anggauta merasa legah bahwa dalam djangka pendek akan lenjap kesulitan2 serta keraguan2 karena dua matjam „Nederlan­derschap tadi22). Dan dari mulut Pemerintah Belanda djuga ter­dengar bahwa memang Undang2 1892 tersebut dimaksudkan un­tuk setjepat mungkin melenjapkan dua matjam Nederlanderschap itu dan mengadakan kesatuan dalam peraturan kewarganegaraan Belanda.

Sekarang kita melihat apakah artinja status „civiele Neder­lander” bagai golongan Tionghoa di H india Belanda. Dengan singkat : tidak banjak ! Hak2 jang diberikan di Hindia Belanda pada mereka tidak dihubungkan dengan status „Nederlander”.

Untuk keadaan di Hindia Belanda sendiri status „burger- rechtelijk Nederlanderschap” ini tidak membawa faedah ,apa2 adalah suatu nationaliteit kosong, suatu kewarganegaraan jang tak disertai isi, 23) untuk memindjam perkataan2 dari Fromberg.suatu „nationalité nue...... juist iets voor Indië, het land van denschijn” 24 ) suatu Nederlanderschap -hanja untuk burgerlijk recht dinegeri Belanda!

Ada lain sebab lagi mengapa status „privaatrechtelijk Neder­landerschap” tak berarti sama sekali bagi golongan Tionghoa di Indonesia. Kependudukan, ,,Ingezetenschap" pada waktu itu adalah dasar daripada pemberian hak2 dan kewadjiban2.

Ingezetenschap inilah jang penting 23 ) jang menentukan ber-

21) „Indien er ooit een rechtsstof, die in zieh zelf duidelijk en eenvoudig is, door de bemoeiing van den wetgever duister en verward is gemaakt, dan is het die van het Nederlanderschap” (Het burgelijk Wetboek dl. I. h. 43). Bdgk. kebe­ratan- dari anggauta le Kamer Mr. W .J. Tonckens, pada waktu diadakan pembitjaraan-’ tentang Undang2 1850 tsb. dalam sidang tg. 26 Ju li 1850 : „m aar men late niet gelijktijdig twee of meer wetten vigeren die over het Neder­landerschap of niet Nederlanderschap van elkander verschillende bepalingenbevatten, wat men dan ook zeggen m oge ............... Deze verschillende wettenik herhaal het, moeten aanleiding geven tot onzekerheid, verwarring en onder- ling strijdige beslissingen en hiertoe kan en mag ik niet rneewerken,” L.F.G.P. Schreuder, Wetten betreffende het Nederlanderschap, Het Ingezetenschap en de Naturalisatie, Schiedam 1880, h. 102, 103.

22) Serie wetgeving van der Hoeven, h. 8.23) Dalam rangka uraian Ko Swan Sik tentang „materiele nationaliteitsbegrip”

jang memandang kewarganegaraan menurut hukum positip „ o p zich ze lf nog inhoudloos" (diss. h. 8), harus kita katakan bahwa „burgerrechtelijk Neder­landerschap” bagi orang- Tionghoa di Hindia Belanda in i tidak d id jad ikan „titik pertalian” (aanknopingspunt) untuk berlakunja kaidah- hukum jang memberi isi kepada status tersebut.

241 Verspreide Geschriften, selandjutnja disingkatkan : V.G., 432 dst., 689.25) Margadant, Het Regeeringsreglement III, 277 ; Carpentier A lting, o.c. h. 111 ;

Abendanon, o.c. h. 69 dst.; de Louter o.c. h. 128; Logemann, College- aantekeningen Staatsrecht van Ned. Indie, 1947, h. 88 dst.

20

lakunja hukum perdata Hindia Belanda (ps. 16 oud A.B.), jang mewadjibkan „memanggul sendjata” dengan djalan mengambil ba­gian dalam „schutterijen”, (RR 1854, ps. 113), jang memberi hak petisi (ps. 112 RR, 116 I.S.), jang memberikan hak memilih (dalam th. 1908), jang mendjadi sjarat untuk keanggautaan Dewan2 setem­pat dan daerah (lócale en gewestelijke raden) dsb.

Maka tidak heran bahwa Regeringsreglement (jaitu dapat di­pandang sebagai Undang2 Dasar waku itu; kemudian diubah men­djadi Indische Staatsregeling ; selandjutnja disingkatkan dengan : R.R.) dari 1854 mempunjai banjak peraturan2 tentang ingezeten- schap, bahkan „Inboorlingen des lands” 2(i) sendiri djuga dianggap sebagai „Ingezetene” dalam RR. tsb. 27).

Meskipun seorang asing, tidak mendjadi soal, asal sadja mem­punjai status ingezetene, lantas bolehlah ia mendapat hak2 dan ke- wadjiban2 tersebut diatas, jang sesungguhnja dalam suatu negara modern hanja diberikan kepada seorang warganegara. Rupanja orang tidak begitu memusingkan kepala tentang pengertian „nationaliteit”. Kewarganegaraan dan kependudukan dianggap sama. Pasal 5 dari Ind. A.B. sebelum 1915 menetapkan, bahwa orang2 jang bukan penduduk ialah orang2 asing28).

Akan tetapi, kata Fromberg, apabila kepentingan pendjadjahan Belandalah ianq memeganq peranan, lantas señala sesuatu berubah dan dalam R.R., Comptabiliteitswet dan R.O., untuk pegawai- pamong-pradja, keuangan dan kehakiman, digunakan sebagai ukuran : „politieke Nederlanderschap”. Menurut R.R. siapa2 jang dianggap sebagai „Nederlander” ditetapkan oleh ,,wetten van het Koninkrijk”. Jang berlaku untuk menentukan status ,,politieke Nederlander” ini. ialah peraturan dari 1850. Begitu gandjil adalah keadaan tersebut sehingga penulis kita merasa perlu untuk me­ngatakan : ,,In dit verband is het Nederlanderschap stellig eenbeneficium; maar de inlanders en gevestigde Chineezen, de Aziaten kregen de schil, de Westerlingen en hunne afstammelingen devrucht” 29),

Tentang „anugerah” untuk dapat mendjadi Nederlander ini. Abendanon pernah mengatakan: „dat m.i. een groote fout isgeweest, toen de wet op het Nederlanderschap werd behandeld. dat men niet den toestand heeft bestendigd, die krachtens het Nederlandsch Burgerlijk Wetboek bestond. De Chineezen in

26) Tentang apa jang dimaksudkan dengan istilah ini ada perbedaan faham. Pen­dirian dengan pengikut terbanjak adalah jang lebih meluas, jaitu jang disam- Ping rakjat asli, menganggap djuga orang= lain iang terlahir di Indonesia (d.a. orang Tionghoa) sebagai termasuk dalani istilah tersebut. Begitulah Margadant dan Abendanon (o.c. h. 63). Bandingkan van de Sande Bakhyuzen, h. 40.

27) Ps. 106 RR bunjin ja sebagai beriku t: „Ingezetenen van Ned. Indie, zijn,behalve de inboorlingen des lands allen die op den voet bij het vorig artikel bepaald, hun verblijf binnen Ned. Indie gevestigd hebben".

28) Teks tersebut bunjin ja sebagai berikut :„Vreemdelingen zijn dezulken, die geene ingezetenen zijn van Ned. Indie, uitgezonderd de Nederlanders en /,ij die, volgens de Ned. Wetten, als zoodanig zijn te beschouwen” .

29) V.G., h. 432 dst.

Indie geboren uit daar gevestigde ouders, waren Nederlanders. Zij hadden dit moeten blijven. De wetgever heeft hun echter slechts een tweede klasse Nederlanderschap toegekend in den vorm van onderdaanschap”, en dit is een verkeerde maatregel geweest” 3°).

Sesudah melihat pendirian kami terhadap status „civiele Nederlander” tersebut —■ dalam mata Abendanon sama dengan „eerste klasse” — maka tjukup djelaslah bahwa kami tak demi­kian menghargai utjapan Abendanon ini. Suatu status jang kosong tak sewadjarnja disajangi bila hilang!

Oleh karena ingezetenschap membawa begitu banjak hak2 dan kewadjiban publik, maka tak dapat dibuat heran bahwa banjak orang menjamakan sadja ingezetenschap di Hindia Belanda ini dengan Nederlanderschap dinegeri Belanda. Tetapi ini adalah kurang tepat menurut pandangan Van Sande Bak- huyzen dalam dissertasinja diatas.31)

bb) Dianggap sebagai orang asing.

Meskipun golongan Peranakan Tionghoa mendapat status „civiele Nederlander”, namun dalam praktek se-hari2 dikepulau- an Hindia Belanda mereka diperlakukan sebagai orang asing, bahkan lebih buruk daripada orang2 asing biasa 3 2 ) seperti dapat dilihat dari apa jang diuraikan lebih landjut dibawah tentang ini.

Maka pada waktu dengan „wet op het Nederlanderschap en Ingezetenschap” 1892, pasal 5 B .W . dihapuskan berlakunja bagi golongan Peranakan Tionghoa jang berdiam di Indonesia bagi mereka, hal ini dalam praktek tidak mengakibatkan perubahan besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa sama sekali tidak terasa perubahan oleh mereka, jang berada didalam Negeri. Kami katakan „didalam negeri”, oleh karena seperti telah diketahui dalam hubungan dengan luar negeri, .Nederlanderschap karena pasal 5 N .B .W .” ini, memang ada artinja djuga dalam praktek bagi orang2 Peranakan Tionghoa. Arti ini, tentu sadja diperbesar bukan sedikit karena diterimanja amandemen anggauta Tweede Kamer Dk Beuufort 33) serta penambahan dalam Slotbepaling Undang2 tersebut, perkataan2 jang sedapat mungkin mengkom- pensir kekuatannja amandemen Levyssohn Norman dalam hal „uitlevering”. Akan tetapi „tenaga” amandemen Levyssohn Norman jang akan kita uraikan setjara tersendiri dibawah ini adalah djauh lebih kuat.

30) A.V. Indisch Gen. 19 Nov. 1912, uraian Mr. Fromberg tentang „De Chineesche beweging op Java”, h. 58.

31) h. 39-44; Bdgk. Marcella Algemeene bepalingen van wetgeving, diss. Leiden 1913, h. 133-140.

32) Bdgk. Fromberg V.G. h. 405 : Ong Eng Dle, Chineezen In Ned.-Indie, cllssA ’dam 1943 h. 237, 240.

33) Beraadslagingen 2e Kamer 20 October 1892, Serie wetgeving v.d. Hoeven.

22

Pasal 5 N .B .W . masih dapat dianggap sebagai suatu pene­tapan status setjara „volkenrechtelijk” dari orang2 jang dilahir­kan di Indonesia. Konsol2 Belanda karena pasal N .B.W . ini mendapat membuktikan terhadap pemerintah2 asing, terhadap siapa mereka melindungi orang2 „Nederlanders”, bahwa orang jang dilindungi termasuk dalam lingkungan negara Belanda. Tetapi peraturan penutup jang hanja mengenai uitlevering, djadi berlaku dalam lapangan kedjahatan, tidak dapat dipertahan­kan dengan baik terhadap pemerintah negeri2 luar jang memang seperti adalah lumrahnja sedapat mungkin ingin memperketjil posisi dieloni dari mereka jang dilindungkan.

cc. Amandemen Levyssohn-Norman.

Umum sudah mengetahui isi dan akibat daripada aman­demen Levyssohn Norman tersebut. Keburukannja diakui oleh hampir rata2 semua penulis dan ahli tentang keadaan2 di Indo­nesia. 34) Begitulah de Savornin Lohman pada waktu dibitjara- kannja ,,wet op het Nederlandsch Onderdaanschap” 1910, sam­pai merasa perlu untuk berkeluh: „we hebben- een groote fout be- gaan in 1892 door de aanneming van het am andem en t Levy­ssohn Norman” 35). Mengapa? Dengan singkat untuk memakai perkataan2 dari Fromberg, karena ,,met een enkelen forschen stoot” ber-djuta2 saamhorigen van eeuwen her”, terlempar ke­luar dari lingkungan negara (staatsverband) Belanda. 36)

Dan apa gerangan jang mendorong Levyssohn N o rm a n

untuk mengadjukan usulnja jang mengakibatkan „denationalisa- tie” 37) dari ber-djuta2 orang ini? Tidak lain daripada ketakutan jang tidak beralasan, karena melihat hantu2 disiang hari. 38) Dalam lingkungan ini adalah baiknja untuk mengingat djuga pada apa jang dikatakan oleh anggauta Mr. P.C. Schooneve ld

pada waktu diadakan perdebatan berkenaan dengan Undang 1850 tentang „bahaja2” — jang sebenarnja tidak ada dji- kalau orang2 jang lahir di djadjahan2 dianggap djuga sebagai ,,politieken Nederlanders”, dengan hak2 untuk merasai nikmatnja

34) de Louter, o.c. h. 131; van de Sande Bakhuyzen, o.c. h. 22 dan batjaan jan 2 disebut disana ; H.W.B. Thomas, diss. h. 156. Abendanon Indisch Genootschap 9 Dec. 1909, Verslag h. 38 dst. ; Fromberg, Verspreide Geschriften, h. 689 dst., 727, 730 dst. Commissie-Vlsman II, h. 138 ; Margadant, III, h. 252 ; Klem t J es, I. h. 98 dst. (R.H. uitgave) ; van der Pot, o.c. h. 116.

35) Fromberg, V.G. o.c.36) Berlainan : Commissie-Visman, jang menganggap bahwa dengan d i t e r i m a n j a

amandemen Levyssohn Norman istilah „Nederlander” hilang artin ja sebagal istilah „Nationaliteit”, karena meskipun rakjat Indonesia kehilangan status ,Niederländer” namun mereka tetap mempunjai nationaliteit Belanda.

37) Istilah in i dipakai oleh Marcella, o.c. 137.38) Bandingkan umpamanja anggauta Tweede Kamer sendiri, de Beaufort, jang

menganggap keberatan tersebut „zoo al niet hersenschimmig dan toch zeer gering” (sidang 20 Oktober 1892, serie wetgeving van der Hoeven, h. 1«»;.

23

„burgerschapsrechten 39)Mereka chawatir bahwa dengan didjadikan „Nederlanders”

orang2 Indonesia serta Peranakan lainnja jang dilahirkan di- kepulauan tersebut dapat memangku djabatan2 atau lain2 pri- vileges jang sebermula direservir bagi „Nederlanders” sadja. 40) Bukan sadja Levyssohn Norman takut bahwa dengan dimasuk- kannja golongan Asia pada Nederlanders dalam artian politik dari Undang2 1892, akan terbentuk apa jang disebut oleh Thorbecke suatu „gemeenschap van naam zonder eenige gemeen- schap van recht of volkswezen”, 41) tetapi dalam praktek Levy­ssohn Norman djuga sudah gambarkan kechawatiran2 jang tak beralasan. Umpamanja Levyssohn Norman takut bahwa seorang Indonesia Peranakan Tionghoa nanti dengan membilang : „Sajaini seorang Belanda” seperti dahulukala djuga rasul Paulus pernah katakan „civis Romanus Sum”, dapat mendjadi opsir dalam tentara Hindia Belanda, „bahaja” mana se-dapat2nja harus ditjegah! Begitu djuga dengan berpedoman pada „civis Romanus Sum” seorang Tionghoa kelak bisa mendjadi suatu pegawai negeri, hal mana adalah tabu!

Dari itu Levyssohn Norman mengusulkan sebagai aman­demen atas pasal2 peralihan dari Undang2 1892 jang diadjukan oleh pemerintah Belanda, suatu „bendungan” terhadap masuknja golongan2 jang dianggapnja lebih rendah, sehingga pasal peralihan tersebut dubah demikian rupa hingga orang2 jang pada waktu mulai berlakunja Undang2 tersebut mempunjai status „Neder- lander” tetap mempunjainja, ,,met uitzondering van de inlander s

39) „ ................... Waar is toch wel het groote bezwaar, het onmetelijke gevaar,om dadelijk die burgerschapsrechten te verleenen aan alle de inboorlingen van onze kolonien ? Ik wilde gaarne kennen het groote bezwaar, het wisse gevaar, dat daarin zoude gelegen zijn. Ik weet dat men m ij zal toevoegen : „Hoe zal men al die bevolkingen, waaronder zelfs menscheneters behoren burgerschapsrechten verleenen ? Dat is nooit gehoord ! Maar ik antwoordsteeds met de vraag : „Waar is het gevaar ? ................... ” (Schreuder, o.c. h. 41 ;van de Sande Bakhuyzen, o.c. h. 78).

40) Umpamanja Levyssohn Norman sebutkan pasal- 2, 4, dan 8 RR (GG dan Lt. GG) • ps. 45-47 RR tentang pengeluaran karena alasan2 po litik , hal mana mesti diberitahukan pada Staten-Generaal dan ps. 105 tentang toelating dari „Neder­landers” orang- asing.

41) Perkataan Thorbecke jang terkenal in i telah beliau u tjapkan sebagai Menteri Dalam Negeri, pada waktu ia „meng-kuntji” dengan U ndang2n ja dari th . 1850 golongan orang Asia jang dilahirkan di Indonesia, (Schreuder o.c. h. 48)’ Akan tetapi djika pendirian ini konsekwen dipertahankan, maka orang2 bos- negers dari West-Indie djuga harus ditolak sebagai „Nederlander” m enuru t Undang2 1892, hal mana tidak dilakukan. Lihat v.d. Sande Bakhuyzen, o.c. h. 24 • v. der Pot o.e., h. 116; Lebih landjut tentang ketjaman atas pendirian Thorbecke ini, lihat H.W.B. Thomas, o.c. h. 156;Bandingkan pula J.H. Wagener, diss. De verhouding tussehen het Neder- landsche en het Nederlandsch-Indische Privaatrecht, Leiden 1932 h. 44 noot 2 dan 3, jang mengutip passage in i dengan lengkap (dari Parlementaire rede- voering II, h. 309) djuga Kranenburg, Ned. Staatsr. h. 146, sbb. : „m en zalhet dan waarlijk met de rede strijdig achten, die inlanders nederlanders te noemen. Zij zijn geplaatst in geheel verschillende toestand. Waartoe zou het dienen hen nederlanders te noemen ? Het zou wezen gemeenschap van naam zonder eenige gemeenschap van regt of volkswezen. En zie hier een hoofdgrond • Nederlanders die het zijn volgens dit ontwerp, zijn leden der nederlandse Natie" Maar het lidmaatschap der nederlandsche Natie zou, geloof ik met meer regt aan de Duitschers en Engelschen, dan aan den inlanders van Java o f van de Molukken worden toegekend” .

24

f

en de met hen gelijkgestelden m de kolonien en bezittingen in andere werelddelen. 42)

Karena diterima baik amandemen de Beaufort, maka slot- bepaling dari Undang2 1892 diubah dari rentjana pemerintah semula sehingga dalam hal „uitlevering” untuk mengatasi ke­sulitan jang disebabkan oleh karena ber-djuta2 orang Indonesia, Tionghoa dan Arab tidak dianggap lebih lama sebagai Neder- lander, mereka terus dapat dianggap sebagai Nederlander. Dari itu pada alinea jang mengikuti alinea ke 2 dari peraturan penu­tup ditambahkan ..behalve in art. 22 der wet van 6 April 1875 (S. 66), waarin de woorden „volgens het Burgerlijk Wetboek” vervangen worden „volgens de wet op het Nederlanderschap en Ingezetenschap, alsmede hen die in de Nederlandsche kolonien en bezittingen in andere werelddelen uit aldaar gevestigde ouders zijn geboren”.

Akan tetapi, meskipun demikian, dalam hubungan inter­nasional, seperti diatas sudah dikatakan, kehilangan status Ne­derlander menurut pasal2 B.W . Belanda bagi golongan2 jang dilahirkan di Indonesia, diantaranja orang2 Tionghoa- per­anakan, telah membawa kerugian2 jang dirasakan.

Banjak negeri2 asing, umpamanja Siam, Tiongkok, Turki,— berkenaan dengan orang2 jang naik hadji — dan sebagai- nja, tidak mau menganggap lebih lama orang2 bukan-Eropah sebagai „Nederlanders". 43) Umpamanja konsol Belanda di Siam mendjadi ragu2 siapakah jang sekarang dapat dilindungi sebagai warganegara Belanda. Mereka adjukan pertanjaan2 kepada pemerintah pusat Belanda dan pada mereka diberi advies 44) ) untuk hanja menganggap sebagai ..Nederlands On- derdaan”, orang2 jang selain daripada terlahir di Indonesia djuga telah tinggal disitu se-dikit2nja 6 tahun lamanja. Interpretasi se- matjam ini telah diturut oleh konsulat2 Belanda di negeri2 Timur.

Diketahui bahwa diwaktu itu dalam hubungan dengan lain2 negeri Asia, orang jang bersangkutan suka dapat diang­gap sebagai Nederlandsch Onderdaan karena perlindungan- serta hak2 istimewa (exterritorialiteit). Dalam suasana abad jang lalu, dimana terutama negara Asia rata2 masih pada ,.tidur , pada status Nederlands Onderdaan diberikan ,,privileges” oleh pemerintah2 negeri Asia. 45)

42) Menteri Djustisi Smidt lantas setudju dengan perubahan itu dan mengusulkan sebagai teks „Met uitzondering van hen die in Nederlandsch Indie ingevolge de wet van 2 September 1854 (S. 129), als inlanders en daarmede gelijkgestelden worden beschouwd, zijn zij, op het tijdstip waarop deze wet in werking treedt, den staat van Nederlander bezitten, Nederlanders enz”, teks mana sesudah diadakan perubahan taalkundig karena peringatan anggauta Bool „daarmede

, mendjadi „met dezen” karena „De inlanders zijn geen zielloze voorwerpen . — adalah jang diterima. Lihat serie wetgeving van der Hoeven, h. 160 dst.

43) ps. 12 dari Undang-undang 1892 sendiri menetapkan bahwa „Alien die volgens deze wet den staat van Nederlanders niet bezitten, zijn vre e m d e lin ge n .

44) Lihat van Sandick, o.c. h. 453, 196.45) Bandingkan van Sande Bakliuyzen o.c. 38 dst.

25

Guna mentjegah kesulitan2 lebih landjut maka diadakan peraturan sementara 46). Sebagai „Nederlandsche Onderdanen” telah dianggap mereka jang dilahirkan di Indonesia, ketjuali mereka jang mempunjai kebangsaan asing. Karena tambahan belakangan keragu2an serta kesulitan2 jang meliputi soal ini belum lenjap sama sekali. Apakah orang2 Peranakan Tionghoa dapat dianggap sebagai „Nederlandsch Onderdaan?” Negeri leluhur mereka tetap menganggap mereka sebagai orang2 Tionghoa, sebagai warganegara Tiongkok. Tambahan la'gi, politik pemerintah Hindia Belanda memperlakukan mereka sebagai orang2 asing, sebagai „vreemde oosterlingen”. M aka melihat semua ini adalah terang bahwa suatu peraturan definitip tentang Nederlandsch Onderdaanschap sangat dibutuhkan.

Pembitjaraan tentang Nederlandsch Onderdaanschap ini kita landjutkan kemudian. Sebelumnja akan dibitjarakan dahulu pembagian2 dalam masjarakat kolonial. Hal ini adalah perlu un­tuk suatu pengertian jang baik.

B. Pembagian Masjarakat.

Soal jang penting untuk memperoleh kesan jang tepat dari­pada kedudukan hukum golongan Tionghoa di Indonesia adalah masalah pembagian masjarakat. Pembagian ini dapat berlangsung setjara vertikal atau horizontal. Jang dimaksudkan dengan pem­bagian setjara vertikal (verticale scheidingen) ialah perbedaan jang dilakukan lurus dari atas kebawah dengan tidak memandang kedudukan sosial dari orang2 bersangkutan. Biasanja perbedaan2 sematjam itu terutama didasarkan atas keturunan, perbedaan bangsa karena „ras” atau djenis bangsa. Masjarakat di-potong2 dalam kotak2 atau segi2, pemotongan ,,pisau”-pemisah mana di- djuruskan setjara vertikal dari atas kebawah. Sebaliknja apa jang disebutkan perbedaan2 horizontal, terdapat dalam tiap2 ma­sjarakat. Perbedaan horizontal ini didasarkan atas perbedaan sosial jang dizaman sekarang lebih mudah untuk diterima. Sebagai kriterium umpamanja diambil: kemampuan, pendidikan, keachli- an, tingkat hidup dan sebagainja. Batas2 belakangan ini adalah djauh lebih „soepel”. Kemungkinan untuk pindah dari satu „golongan ’ kedalam „lain golongan” adalah lebih leluasa. Pem­bagian setjara horizontal dapat dikatakan suatu keharusan dari tiap2 masjarakat.

Istilah jang dipakai disini digunakan pula dalam laporan Commissie-Visman ditahun 1940. 47)

46) Dengan G.b. 10 Okt. 1903 no. 5, Bb 5909.

47) 2e dr. New York 1944. Dalam artian berlainan istilah in i dipakai d ian taran ja oleh Wertheim, Het Rassenprobleem, De ondergang van een mythe, h. 65 dst jang menganggap „color line” dalam masjarakat kolonial berdjalan „horizonta l” ’ memotong seluruh masjarakat dengan begitu rupa sehingga dalam bagian atas terdapat orang- kulit putih, rakjat jang d id jadjah dibagian bawah.

26

Pembagian golongan3 bangsa (ras).

Apa jang menjolok mata bagi tiap2 penindjau dari masja- rakat dikepulauan ini adalah perbedaan2 dalam masjarakat, jang terutama didasarkan atas keturunan penduduk masing2. Sama se­kali tidak ada homogeniteit, sebaliknja djustru heterogoniteit-lah tjorak terpenting. 48) Bukan sadja rakjat jang mendiami Hindia Belanda ini adalah beraneka-warna dan berasal dari pelbagai keturunan atau suku bangsa, tetapi tak kurangnja adalah „mozaiek” hukum jang berlaku diberatus2 pulau nusantara kita. Hukum jang masing2 berlainan dalam sifat dan tjoraknja. Maka mengingat kenjataan ini kalimat pertama Van Vollenhoven dalam standaardwerk beliau „Het adatrecht van Nederlandsch Indië”, ja’ni bahwa seorang ahli hukum jang telah memahami hukum negeri Belanda, akan merasa mengindjak suatu „dunia baru bila ia mulai mempeladjari hukum Indonesia jang beraneka warna ini, 49) adalah djitu dan tepat. Memang, perbedaan2 dalam masjarakat Indonesia, menerbitkan kebutuhan* akan hukum jang berlainan, 50) dan kebutuhan2 jang berlainan ini sebaliknja meminta hukum jang masing2 tjotjok pada kebutuhan tersebut. Karena „verschil in maatschappelijke- en rechtsbehoef- ten” ini, timbullah „rechtsverscheidenheid”. Perkataan inilah jang mendjadi pegangan terkuat dari para ahli tentang hukum Indonesia jang membela adanja pluralisme dalam lapangan hukum. 51 ) Pluralisme dimana perlu ini bukannja diadakan untuk membeda2kan, tetapi sebaliknja djustru untuk memberi hukum jang se-mutu, jang nilainja sama, jang gelijkwaardig, mes­kipun tidak hukum jang sama, bukan „gelijk recht” bagi semua orang. 52)

48) Bandingkan Prof. Dr. I.J. Brugmans dan Mr. Soenario, „Enkele gegevens vansociaalen aard”, dalam verslag Commissie-Visman I. h. 53; ,„De meest opvallende kentrek van de samenleving in Nederlands-Indie is de heterogene samenstelling der bevolking” ; Commissie-Visman U h. 8 ; J.W . Cordes, De Privaatrechtelijke toestand der Vreemde Oosterlingen op Java en Kladoera, diss. Leiden 1887, h. 1 ; FurnivaU bitjara ten tang : „ p lu ra l society (Netherlands India, A study of plural economy, 1944, h. 446 dst.) Lihat djuga W . F. Wertheim , Indonesian society in transition, 1956, bab ke-1, „Bhinneka Tunggal Ika”, h. 1 dst.

49) „W ie na het recht van Nederland het recht -van Nederlandsch-Indie in studie neemt komt een nieuwe wereld binnen”, Adatrecht I, h. 3.

50) Bandingkan Verslag Com.-Visman II, h. 40.51) Bandingkan A.D.A. De Kat Angelino, Staatkundig beleid en bestuurszorg in

Ned.-Indie, s’Gravenhage 1930, dl. II, h. 175 dst.; J.W.C. Cordes o.e. h. 1.52) In ilah pendirian dari Commissie voor de herziening van het Strafprocesrecht

(1928/29), jang djuga mendjadi pendirian resmi daripada pemerintah H indja Belanda dalam soal unifikasi : „Ter voorkoming van mogelijk misverstand moge er ook te dezer plaatse nog eens met nadruk de aandacht op gevestigd worden, dat het einddoel niet is het seheppen eener formeele geljjkheid in dien zin, dat ook bij groot verschil in rechtsbehoeften toch voor alle inwoners in Ned. Indie of althans voor bepaalde groepen der bevolking gelijke rechtsvoo In­schriften zouden moeten gelden, doch wel eene gelijkheid in bescherming van de eigen behoeften der verschiUende volksgroepen, niettegenstaande het onderscheid in Landaard, opdat die groepen bevrediging zuUen vinden in de erkenning van het feit dat zij op gelijken voet als andere groepen door de rechtsorde worden behandeld”, Officieele bescheiden enz. L a n d s d r u k k e r i j 194U/ 41, dl. n h. 106, 114; Comm.-Spit, Belage dari d l . n , h. 3 De Unificatiege- dachte van de Commissie tot herziening Strafprocesrecht; Bdgk. KoUewijn V.O. h. 167, 230 dan Gouw Giok Siong, Hukum antargolongan, h. 170 dst.

Apa jang kita singgung setjara singkat disini adalah inti- pokok dari soal unifikasi jang tak akan dibitjarakan lebih djauh disini. Hanja perlu kami kemukakan pendapat kami bahwa aksen jang terlalu banjak ditarohkan atas „verschil in rechtsbehoeften” atjapkali adalah stimulans terpenting untuk djustru mengadakan, djadi kedok terutama untuk menjelimuti, diskriminasi.53).

aa) Perbedaan bangsa oleh Undang3.

Apa jang disinggung diatas hanja dimaksudkan sebagai pengantar kata dari paragrap ini. Bagian utama dari uraian sekarang ini ialah perbedaan2 jang mengakibatkan dibagi2nja masjarakat karena keturunan, karena bangsa (dalam artian: ras,). Jang terutama dimaksudkan bukan perbedaan dalam masjarakat, karena karangan ini terutama dibataskan pada lapangan juridis. Perbedaan2 dalam masjarakat Hindia Belanda sebelum perang dunia kedua merupakan tjukup bahan2 untuk suatu buku tersendiri. 54).

Kami akan mulai dengan suatu pemandangan umum menge­nai perbedaan dalam per-undang2an ini. Kemudian kami akan menjelidiki pelbagai kemungkinan termasuknja orang Tionghoa dalam golongan istilah2 tertentu.

Perbedaan karena keturunan dari golongan2 penduduk Hindia Belanda oleh Undang2 dimana2 terdapat. Biasanja sebagai pokok pangkal perbedaan ini orang mengambil pasal 109 RR (belakangan mendjadi 163 I.S.).

Pasal 109 RR baru untuk pertama kali masuk dalam R R tahun 1854. Sebelumnja tidak terdapat peraturan sedemikian. Jang sedari tahun 1848 sudah ada ialah pasal 6 ■—' 1 0 A.B. 55) Maksud dari peraturan jang belakangan ini ialah untuk meng­gantikan garis perbedaan lama antara orang2 Keristen dan bukan-Keristen. 56)

53) Bandingkan dalam hubungan in i perkataan11 dari W er t heim : „D e jurid ischevoorstelling, dat Europeanen en Inlanders als gelijkwaardige bevolkingsgroepen naast elkaar »tonden, en onderworpen aan een bestuursstelsel en aan rechts- voorschrllten, die bij elke groep het beste passen b lijk t by nadere toetsine met vol te houden”.

54) Untuk perbedaan“ dalam masjarakat in i lihat, W.F. W erthe im , Het Rassen--?e °,ndergang van een mythe, Den Haag 1948, istimewa h. 76 dst. :

h! 1 dS;0rrlJZe 1950, h. 51 dst. Indonesian society in transition , 1956,

55) Bunjinja pasal= itu adalah sbb. : „6. De ingezetenen van Nederlandsch Ind iesc *n Europeanen en daarmede gelijkgestelde personen, en

5 en met deze gelijkgestelde personen.■; j,ur°Peanen worden geltjkgesteld: le. alle Christenen, daaronder be-

n welke tot de Inlandsche bevolking behooren ; 2e. alle anderepersonen van waar ook afkomstig, die niet In de omschrüving vallen van het volgende artikel.8. Met Inlanders worden gelijkgesteld de Arabieren Mooren, C h in e e ze n en alle anderen die Mohamedanen of Heidenen zijn.a. Het burgerlijk en handelsregt in Ned. Indie ingevoerd o f in te voeren is toepasselijk op alle Europeese en daarmede gelijkgestelde ingezetenen van Ned. Indie.10. De Gouverneur Generaal is bevoegd om ten aanzien van de In landsche Christenen in het algemeen of van enkele hunne gemeenten, tijde lijk zoodanige ultzonderingen op de bepalingen van het voorgaande artike l te m aken, als h ij noodzakelijk zal oordelen.

56) van Mastenbroek, o.c. h. 59 dst.

28

Djika kita menengok lebih djauh lagi kebelakang, dapat disaksikan bahwa memang sedari zaman Kompeni sudah ada perbedaan2 dalam masjarakat dikepulauan ini. 57) Akan tetapi perbedaan2 jang dilakukan belum begitu tegas dan kriterium2 lain, diantaranja kriterium agama, ialah ukuran jang terpenting, jang djauh lebih penting daripada kriterium ras. 58)

Perbedaan jang sampai pada Indische Staatsregeling, pasal 163, hanja telah tumbuh setjara lambat laun.

Dalam benteng2 Kompeni sediakala berlaku sematjam per­bedaan antara hamba2-Kompeni (Compagniesdienaren) dan „Vrije burgers”. Dalam teori bagi semua golongan penduduk wilajah Kompeni berlaku hukum Belanda, hukum Kompenie59) Plakat2, maklumat2 dan ordonantie2 undang2 berlaku bagi sege­nap penduduk dengan tak mengenal perbedaan bangsa atau agama.60) Hanja bagi „Mooren en de Heydenen” diadakan perketjualian dalam lapangan hukum keluarga dan hukum warisan. Diluar tempat2 jang diduduki oleh Kompeni tetap berlaku hukum aneka warna dari rakjat bumiputera.

Kesatuan dihadapan Undang2 dalam daerah Kompeni tidak dipertahankan setjara konsekwen. Sistem wijk2-tinggal jang terpisah, peraturan2 tersendiri bagi harta-peninggalan golongan Tionghoa dsb., adalah tjontoh2. 61).

Dalam tahun 1747 telah dibentuk suatu Landraad di Semarang jang ditugaskan untuk mengadili perkara2 orang2 bumiputera. Jang dipakai sebagai petundjuk ialah suatu kompen- dium dari hukum Islam. Inilah untuk pertama kalinja, bahwa principe susunan peradilan (rechtspleging dan rechtsbedeling) jang terpisah diterima baik. Dalam kota2 besar lainnja masih tetap berlaku sisa2 kesatuan. Umpamanja di Batavia dan Surabaja masih sampai tahun 1824 peradilan jang sama berlaku untuk golongan Eropah dan bukan-Eropah. 62)

Selandjutnja dengan melalui A.B. dalam tahun 1848 per­bedaan2 karena keturunan tibalah dalam RR sebagai pasal 109. Sedjak tertjiptanja pasal itu sudah terkenal karena kesulitan2 dan keragu2an jang mendjadi pembawaannja. Para penulis bi- tjara tentang pasal tersebut sebagai pasal jang „de droevige ver- maardheid geniet van een der dubbelzinnige artikelen der In­dische grondwet te zijn”. 63)

57) L ihat tentang in i, van Mastenbroek, o.c. 16 dst.58) van Mastenbroek, o.c. h. 10, 19 dst. 46.59) Supomo-Djokosutono, I, h. 10 dst.60) G. von Faber, Het familie-en erfrecht der Chineezen in Ned. IndiS Diss. Leiden

1895, h. 6, 8 ;61) Bandingkan M.H. van der Valk, De positie der Chineezen in Ned.-lndie, dalam

Koloniale Studlgn 1936 no. 5, 6 h. 14.62) van Mastenbroek, t.a.p. h. 54.63) K. Zorab, De publiekrechteiyke toestand der Vreemde Oosterlingen in Ned.

Oost Indle, diss. Leiden 1890, h. 1 ; Bandingkan J.W.C. Cordes o.c. jang berkata tentang „weinige voorschriften in het RR, waarover terecht zoveel getwist wordt” ; Marcella, o.c. h. 131-133 ;

*

29

Teks dari pasal tsb. bunjinja sebagai berikut :„De bepajingen van dit reglement en van alle andere alge-

meene verordeningen, waarin sprake is van Europeanen en In- landers zijn, waar het tegendeel niet bepaald is, toepasselijk op de met hen gelijkgestelde personen.

Met Europeanen worden gelijkgesteld alle Christenen en alle personen, niet, vallende in de termen der volgende zinsnede.

Met Inlanders worden gelijkgesteld Arabieren, Mooren, Chineezen en allen die Mohamedanen of heidenen zijn.

De Inlandsche Christenen blijven onderworpen aan het ge- zag der Inlandsche hoofden en met opzigt tot regten, lasten en verpligtingen, aan dezelfde algemeene, gewestelijke en gemeen- telijke verordeningen en instellingen als de Inlanders die het Christendom niet belijden.

De Gouverneur Generaal kan in overeenstemming met den Raad van Indie uitzonderingen maken op de toepassing der in dit artikel gestelde regels”.

Djadi, rakjat Hindia Belanda dibagi dalam dua „hoofdklas- sen”: Europeanen dan Inlanders, serta dua „neven-klassen” 64) : de met Europeanen of Inlanders gelijkgestelden”.

Dibawah „met Europeanen g.g.” termasuk orang2 Australia, Amerika dan Afrika Selatan, karena mereka ini umumnja ber­agama Keristen. 65) Orang2 Tionghoa, Arab atau India diang­gap sebagai „met Inlanders gelijkgestelden”, oleh karena mereka ini pada umumnja waktu itu 66) adalah „Mohamedanen of heidenen”.

Sebenarnja golongan „met Inlanders g.g.” ini, sedari semula merupakan suatu golongan tersendiri, oleh karena dalam banjak hal, peraturan2 jang berlaku bagi mereka ini adalah berlainan daripada untuk golongan „Inlanders”. 67) Sebaliknja antara go­longan Europeanen dan m.d.g.g. tidak ada perbedaan sama sekali 68) sehingga dapat dikatakan bahwa sesungguhnja hanja

64) Istilah lili diantaranja dipakai oleh Marcella, diss. h. 131.Lihat djuga Nederburgh, De klassen der bevolking van Ned. Indie, Wet en Adat, le en 2e jrg., Eerste band, h. 298 dst.Herzieningscommissie 1918 bitjara tentang „hoofd” dan „bijgroepen” .

65) Karena djustru agama jang dipakai sebagai kriterium , maka m enurut beberana penulis (diantaranja De Kat Angelino o.e. n , h. 178 dst.) in i m em buktikan bahwa jang mendjadi dasar dari perbedaan bukannja rasdiskriminasi, akan te tap i se­sungguhnja perbedaan dalam kebutuhan sosial dan-hukum.

66) Hanja sebagian ketjil dari mereka memeluk agama K eristen dan m enuru t ps. 7 A.B., karena in i termasuk golongan „met Europeanen gelijkgesteld” Bandingkan W. F. Prins, De bevolkingsgroepen in het Ned. Ind. recht, Koloniale Studien, Dec. 1933, Jrg. 17 no. 6 h. 622; van Mastenbroek, o.c. h. 60.

Dalam golongan mana menurut 109 RR orang2 Vreemde Oosterlingen ja n g memeluk agama Keristen harus dihitung penulis2 tak sepaham. Jang m engang­gap mereka dalam golongan „met Inlanders g..g. „Carpentier A lting , o.c. 2e dr. h. 107, Cordes, o.c. h. 10, 11; von Faber o.c. h. 23 dst. dan batjaan ja n g disebut disitu. Berlainan, de Louter, Winckel dsb., L ihat d juga van Mastenbroek h. 64 dst.

67) Untuk menghindarkan tersinggungnja perasaan, maka istilah „In landers” ja n g tak surup lagi dengan zaman sedapat mungkin diganti dalam ura ian in i dengan istilah „bumiputera” atau „pribum i” .

68) Bandingkan van Mastenbroek o.c. h. 83.

30

terdapat tiga golongan, jaitu : Europeanen, Inlanders danVreemde Oosteclingen.

Perbedaan antara pasal2 dari A.B. dan 109 RR terletak diantaranja pada tidak termasuknja orang2 Indonesia dan lain2 keturunan (Tionghoa, dsb.) jang memeluk agama Keristen dalam golongan Eropah. A.B. hanja berlaku bagi penduduk, 109 RR djuga buat bukan penduduk. 69) A.B. hanja berlaku bagi hukum perdata, RR djuga bagi hukum publik. 70)

Perbedaan dalam RR ini mempunjai akibat jang penting bagi bagian2 hukum lainnja. Demikianlah umpamanja pasal 67 RR, jang menerbitkan dualisme dalam lapangan kepamongpradjaan (bestuur) pasal 75 RR untuk pembahagian hukum (rechts- bedeling); pasal2 94, 124, 129 R.O. untuk peradilan (rechts- pleging); dalam lapangan hukum perdata : dan hukum pidana serta hflkum-kerdja pun pasal ini telah mendjadi dasar daripada perbedaan2. Dualisme tersebut djuga nampak pada politik peng­angkatan dan upah dari pemerintah, pada pemungutan padjak2, dalam politik-pendidikan, dalam politik pemerintahan dengan sistem pas2-djalan, sistem wijk2-tinggalnja, dalam badan— per­wakilan dsb.

Perbedaan2 jang didasarkan atas pasal 109 RR boleh dikata didasarkan atas „ras . 71) Akan tetapi sesuai dengan anggapan Commissie-Visman tidak dapat disangkal bahwa „tot op zekere hoogte” perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai suatu per­bedaan sosial 72) suatu perbedaan karena „sferen” jang ber­lainan dalam mana masing2 orang hidup. Sedari dahulu Blume 73) sudah menganggap perbedaan ini didasarkan atas perbedaan masjarakat Barat dan masjarakat Timur. Harus diakui bahwa dibuka djuga kesempatan — walau ketjil — untuk berpindah kedalam golongan-rakjat „Eropah”. Ingat sadja umpamanja pada peraturan tentang „persamaan hak”, (gelijkstelling). 74)

69) MarceUa tap. h. 132.70) van Mastenbroek, o.c. h. 62.?1) Begitulah a.l. anggapan Herzienlngscomraissie 1918, dibawah pimpinan dari

Carpentier A lting jang berpendapat bahwa pasal tersebut adalah suatu per­tahanan setjara „kunstmatig” daripada perbedaan2 bangsa dalam perundang-an, Verslag, h. 39 dst., maka dianggapnja suatu „anachronisme”, h. 49. Berlainan, Mlnderheidsnota dari anggauta2 Commissie tersebut, Kan, Kindermann, Weiter, Verslag h. 412. D juga lain-’ penulis menganggap azas dari perbedaan2 tidak lain daripada perbedaan dalam kebutuhan sosial dan hukum , sekali-kali bukan perbedaan karena „ras” . Diantaranja umpamanja De Kat Angelino o.e. I, 503, I I h. 177 dst. : „Deze indeeling schijnt te staan op rassistische basis; zijdeed het echter. geenzins uit raciale of overheerschersneigingen, veeleer omdat toenmaals het versehil in rechtsbehoeften over het algemeen geheel raciaal verschillen” . Mr. A. Neytzell de W ilde : „gezonde differentiatie” dan bukan „discriminatie”, De Rechtsbedeeling der Indische bevolkingsgroepen in ont- wikkeling en verwikkeling, Indisch Genootschap, Vergadering 16 October 1931, h. 85, 89, 91.

72) Verslag H, h. 45 dst.73) Mr. H.A. Blume, De toekenning van regt op verbllif in Ned. Indie en de

hoofdonderscheidingen in zij ne bevolking, n.a.v. art. 105, 106, 107 en 109 v.h. RR voor Ned. Indie, Leyden, 1858, h. 170 dst.

74) Tentang persamaan hak in i lihat disertasi kami, Segi2 hukum peraturan per­kawinan tjampuran, Djakarta 1955 h. 23, dan buku kami Hukum antargolongan, h. 96 dst.

31

Bagi terbanjak orang2 turunan Tionghoa „gelijkstelling” ini tak dapat dihargai. Mereka jang menggunakan kesempatan untuk mendapat persamaan hak dengan golongan Eropah banjak sedikit dianggap .sebagai orang „jang menjeberang”. Kesan baik tentang impopulairiteit peraturan gelijkstelling tersebut dapat dilihat dari apa jang ditulis oleh seorang Tionghoa terkemuka pada McNair tentang in i: "They would be required to state in their petition to the governor-general that because they were so highly educated that they could no longer move with ease in the Chinese circle, therefore beg to be treated as European. Thus a son is forced to admit that as he can no longer assosiate with his father, brothers and other chinese relative, therefore ask that he be allowed to enter European society. Is it a wonder then, in spite of so many advantages in having the same right of treat­ment as those given to Europeans, no honorable Chinese would care to secure those rights?” 75)

Lagipun kemungkinan untuk mempergunakan lembaga per- samaan-hak ini semula tak demikian lebar terbukanja, mengingat sjarat2nja jang „berat”: pertama2 dalam tahun 1884 sjarat „vol- komen geschiktheid" untuk masjarakat Eropah (Bb. 4029), sam­pai tahun 1894 tetap disertai dengan pemelukan agama Nasrani (Bb. 4998) dan baru pada permulaan abad ini (1913) diutamakan sjarat kebutuhan-hukum (rechtsbehoeften) dari jang bersang­kutan (Bb. 7962).

Untuk mentjegah salah faham harus sekedar ditegaskan di- sini bahwa peraturan tentang persamaan hak itu bukan merupa­kan peraturan tentang nasionaliteit, hanja dibataskan pada perbedaan golonganrakjat dalam negeri sendiri, menurut pasal 163 I.S .76)

Status „Europeaan” walau seringkah dikemukakan sebagai „zonder kleur”, dalam suatu onderscheiding jang „interpretatief- dispositief” 77) biar bagaimanapun djuga harus dianggap sebagai dari „hogere rang”, seperti „superieur”. 78) „Gelijkstelling” de­ngan orang Eropah itu merupakan suatu „gunst” 79) jang tidak sembarangan dapat diberikan kepada siapa sadja jang mau. Abendanon bitjara tentang „tot Europeaan promoveeren”, tentang „den salon der met Europeanen gelijkgestelden binnen- treden . 80) Wertheim bitjara tentang „bovenschikking” dan

7o) T.K. Hauw, dalam H.F. McNair, The Chinese Abroad, Shanghai 1925, h . 108.76) Bahwasanja kekeliruan mudah terdjadi, dapat kita saksikan dari kenjataan

bahwa umpama seorang ahli seperti Mac Nair namakan orang jang geiykgesteld in i „naturalized”, o.e. h. 107.

77) Bdgk. Carpentier Alting, Grondslagen, 2e uitg. 1926, h. 96; K leintjes 1, h . 107 : Logemann, Collegeaantekeningen, h. 86, W .F. de Waal, Indisch of Rijksburger- schap, 1940, h. 12.

78) Margadant OT h. 265.79) o.c. I l l h. 296.80) J.H. Abendanon, I.G. A.V. 7 Jan. 1896, h . 4.

32

„onderschikking”, bukan dari „nevenschikking” 81) „Betere strafrechtspraak, betere regeling van het vooronderzoek, grootere waarborgen voor de persoonlijke vrijheid, beter arbeidsrecht, een betere positie in en tegenover de weermacht, ziedaar even zoovele voorbeelden van bevoorrechting van den Europeaan”. 82)

Sebagai tjontoh dari apa jang disebut disini, dapat kita ambil pasal 2 No. 6 dari Algemeen Politiestrafreglement voor de In­landers 83) jang sesuai dengan pasal 4 No. 6 dari Reglemen untuk orang2 Eropah, melarang dengan keras kepada orang2 jang berasal Tionghoa — meskipun ia sudah gelijkgesteld dengan Europeanen — untuk berpakaian seperti orang Eropah. 84) Tjara berpakaian dari Vreemde Oosterlingen diatur dengan Bijblad 3707 dan 6241. 85)

Sebaliknja adalah benar bahwa apakah seseorang termasuk golongan Eropah tidak dapat kentara dari sifat2 lahir, tanda2 ras seperti warna kulit, rambut dan sebagainja. Golongan Eropah menurut hukum terdiri untuk sebagian dari orang2 bukan kulit- putih, mengingat mereka masuk golongan tsb. karena persamaan hak, perkawinan tjampuran, kelahiran dari perkawinan tjampuran. pengakuan (erkenning), perundang2an chusus (Japannerwet), hukum keluarga dalam negeri leluhur jang sesuai dengan hukum Belanda.

Prins telah minta perhatian untuk kenjataan ini. 86) Van Marle telah membuktikannja dengan memberi angka2 tegas. 87) Menurut penulis ini maka golongan Eropah antara tahun2 1881 ■—- 1940 telah bertambah dengan djalan :

persamaan hak dengan 16.500 orang perkawinan tjampuran dengan 16.000 orang kelahiran dari perkawinan tjampuran 29.000 orang pengakuan 48.000 orang.

81) Herrijzend Azië, h. 50, 62, Untuk tjontoh2 dari „onderschikking” tsb. lihat h. 50 dst.

82) W.F. Wertheim, „Vrijheid, gelijkheid, broederschap”, De Fakkel, le jrg . h. 225(1941), seperti dikutip oleh A. van Marle, De groep der Europeanen in Ned.-Indië, iets over ontstaan en groei”, Indonésie Ve jrg . nr. 2 I h. 77.

83) S. 1872/111 ; hukum denda Rp. 10,— sampai Rp. 15,— atau hukum badan 1sampai 6 hari terhadap : „Die zieh in het openbaar vertoont v e r m o m d inandere kleederdragt, dan in die van den landaard of de kunne, w a a r to e h« of zij behoort, met uitzondering van gemaskerde of gekostumeerde optogten .

84) Bdgk. pula Herzienings-commissie 1918 jang dengan terus terang mengakui, bahwa „Het versehil in recht kreeg soms het karakter van b e v o o r r e c h t i n g van de eene groep boven de andere, b.v. bij voorschriften omtrent huiszoeking (onder Europeanen van waarborgen voorzien, den niet Europeaan o v e r la te n d e

aan het wel willen van hoofd of beambte) ; b i j de verschillende b e h a n d e l in g

t.a.v. het lager onderwijs, bij het wijkenstelsel enz” .85) Bb. 3707 menegaskan bahwa perubahan agama belum memberi hak untuK

perubahan tjara berpakaian. Bb. 6241 memuat suatu sirkuler dari S e k r e t a r is Gubememen no. 1279 ttg. 27 Maret 1905 tentang pergerakan Tionghoa untuk membuang „totjang” (haarstaart, buntut rambut) mereka. Setelah diadakan pemeriksaan ternjata bahwa pergerakan in i tidak mempunjai maksud politis untuk menjeludupi pembatasan* tjara berpakaian. Lihat djuga diss. kami. Perkawinan Tjampuran, h. 23, 59. ,

86) W.F. Prins, De bevolkingsgroepen in het Nederlandsch-Indische recht, Kol. Stua. 17e jrg ., 1933, h. 652 dst.

87) A . van Marle, o.c.

33

bb) akibatnja dalam kenjataan sosial.

Tidak dapat disangkal pula, bahwa perbedaan terurai diatas oleh mereka jang karena keturunannja mendjadi korban dari per­lakuan2 jang merendahkan, dirasakan sebagai sangat menusuk. Apalagi, bilamana suatu bangsa jang sama2 terhitung bangsa Asia dan dianggap sebagai suatu rivale, berkat usaha negeri leluhurnja telah dapat diterima sebagai „Europeanen”, dapat masuk dalam taraf kelas satu ! Jang dimaksudkan ialah orang2 Djepang jang sedjak 1899 (S. 202; S. 121) masuk dalam „kasta” Eropah. 8B) Karena ini, terlebih lagi orang2 Tionghoa merasa diri mereka ditjap „minderwaardig”.

Memang susah diterima bagi seseorang apabila tiap2 pelatjur Djepang atau tiap2 tukang ikan atau badjak laut Tionghoa For- mosa (djadi, sampai belum beberapa lama, seorang warganegara Djepang), sebagai terdakwa dalam perkara pidana, dimadjukan dihadapan Raad van Justitie, dengan lebih banjak d jam inan^ja bagi suatu peradilan jang baik sedangkan tiap2 orang Tionghoa biar bagaimana tinggi kedudukan sosialnja, dalam perkara jang sama ,harus mendjongkok-djongkok dan membongkok2 dihadapan Landraad. 89)

Segi psyehologis ini tak dapat dikesampingkan bagi suatu pengertian jang baik. 90)

Tidak dapat, disangkal pula bahwa perbedaan dalam per­undangan adalah sebab serta pendorong terutama untuk meng­adakan rupa2 matjam perbedaan dalam pergaulan masjarakat se­hari2. 91) Kenjataan sosial dalam masjarakat Hindia Belanda mem- buktikannja.

Dalam suasana sematjam ini, dalam suasana saling membeda2- kan, tidak untuk dibuat heran bahwa perasaan senasib, perasaan sebangsa, perasaan kearah kesatuan, kearah homogeniteit tinggal impian belaka. 92)

Karena keturunan jang dianggap paling penting, maka per­talian karena keturunan (rasverwantschap) dirasakan lebih kuat

88) Pernah kedjadian bahwa orang Tionghoa masuk golongan Eropah dengan d ja lan mendjadi orang Djepang dahulu dengan membeli tanah di Formosa.

89) Bdgk. Wertheim, Rassenprobleem h. 130; Verslag o.c. h. 292 ; Ong Eng D iediss. h. 243 ; Com.-Visman II, h. 131; Kleintjes I h. 115. ’

90) R. van Eck, Verslag Herzieningscom, 1918 h. 480; A. NeytzeU de W ilde , o.e. Indisch genootschap, 1931, h. 93 dst. bitjara tentang „sentimentsgrief” .

91) Menurut minderheidsnota dari anggauta2 Herzieningscommissie Kan-Kindermann- Welter, baru djika perbedaan bangsa tak lebih lama m endjad i pedoman dalam masjarakat, tibalah saat untuk menghapuskan peraturan2 jang didasarkan atas perbedaan bangsa. Djadi, bukan penghapusan lebih dahulu dalam perundang2an jang dilihat sebagai stimulans bagi masjarakat untuk m enghilangkan perbedaan2 karena turunan. Verslag h. 414.

92) Ingat dalam hubungan in i pada perkataan2 dari S. Ritsema van Eck jangdengan kejakinan diulangi oleh Herzieningscom. 1918 (h. 44) : „Het beginselvan ras-en godsdienstverschil is ontbindend in plaats van vereenigend; er zit geen toekomst in. Alle kwesties die tot ras-en godsdienstverschil toegescherpt worden dragen een uiterst prikkelend karak ter; men verdraagt in deze m aar weinig...........” Bdgk. Fromberg, V. G. h. 709, Com. Visman H, h. 84, 90.

34

daripada pertalian kewarganegaraan. Begitulah karena orang2 Tionghoa meskipun mereka ini Nederlandsche Onderdanen, terus menerus dianggap sebagai orang Tionghoa, maka tak dapat dibuat heran bahwa mereka ini lebih erat perhubungannja dengan orang2 dari Tiongkok daripada dengan lain2 golongan kaulanegara Belanda. 93)

Bilamana pemerintah sendiri memberi tjontoh dalam hal mem­bedakan, maka sukar diharap bahwa dalam kehidupan sosial se-hari2 rakjat dapat mendjauhkan segala perbedaan2 jang di­dasarkan atas keturunan., 94) Adalah tugas dari penguasa untuk djustru mengundjuk djalan jang harus dilalui oleh masjarakat. Keburukan sikap membeda2kan dari penguasa ini, lebih2 terasa, djika orang beranggapan bahwa dalam masjarakat sendiri per­bedaan2 karena keturunan sudah tidak banjak lagi, setidak^ja sudah banjak kurangan dan semakin lama semakin berkurang.

Perbedaan2 jang dibikin oleh Undang2 dalam pandangan itu akan dirasakan sebagai „kunstmatig” dan „reeds bij de geboorte ten doode opgeschreven”. 95) Neytzell de Wilde menganggap pasal 163 I.S. ini hanja suatu batu-sontohan („steen des aan- stoots” ) jang sebaiknja dihapuskan sadja untuk melenjapkan suatu „sentimentsgrief”. 96)

Sistem pendidikan jang memisah2kan golongan bangsa telah mengakibatkan hidup terpisahnja orang2 dalam masjarakat se-hari2. Dari masih ketjilnja sudah diresapkan anak2 dengan perbedaan bangsa.

Garis2 perbedaan amat tinggi dan tebal sehingga oleh wakil2 orang jang terkena pernah digambarkan sebagai berikut:

,,Garis jang memisahkan bangsa2 oleh politiek djadjahan jang didjalankan di ini Hindia soeda dibikin djadi begitu tebal, hingga tembok benteng jang paling tebal djoega masi kalah tebalnja dengan itu. Sebab tembok benteng jang bagaimana tebal dengan dilapis wadja masi bisa dipetjahkan dengan beberapa poeloe kali tembakan meriam jang djitoe. Tapi itu tembok jang memisahkan bangsa2 disini, njata soeda tidak bisa dipetjahkan dengan pertjam- poeran hidoep sama sama sampe ber-abad-abad”. 97)

Larangan untuk menerima seorang Timur Asing (Vreemde Oosterling) mendjadi pegawai negeri, telah tidak sedikit membantu diskriminasi dalam penerimaan buruh oleh dunia dagang Eropah. Sebagai pegawai staf hanja dapat diterima orang2 Eropah, ter­istimewa jang totok.

93) Minderheidsnota, Hitsema v. Eck, Verslag Herzienings Commissie h. 482.94) Com. Visman II, h. 24.95) Herzienings commissie 1918, Verslag h. 40, 44 dst.; Berlainan anggauta2 Kan-

Kindermann-Welter, o.c. h. 41 dst.96) o.c. I.G. 1931, h. 95.97) Fromberg dan pergerakan Tionghoa, artikel dalam Sin Po, 16 D ju li 1921, Tjoe

Bou San, brosur ^Petikan2 artikel dari Sin Po”, 1921 h. 226.

35

Sistim „wijk2” dan pas2-djalan telah membantu membimbing barricade2 pemisah diantara golongan2 bangsa dipenghidupan se hari2. Banjak hotel2, tempat2 mandi, sositet2, dan lain2 tempat umum jang menolak menerima tetamu turunan Tionghoa. 98) Se­ribu satu matjam perbedaan2 setjara langsung atau tidak langsung— antaranja sebagai tjontoh sjarat2 jang digunakan untuk mene­rima pegawai2, seperti: ukuran tinggi badan, tingkah laku, faham akan bahasa Belanda dan sebagainja jang menjolok sert& me- njakitkan hati orang2 jang didjadikan korban. Oleh suara gerakan Tionghoa jang ekstreem pernah dikatakan tentang ini setjara agak melebih2! :

„Di Hindia Olanda marika tertindes dibawah perbedahan Oendang-oendang. Apa jang bisa mendjadi sedikit enak, itu tentoe tida didjadikan bagian dari orang Tionghoa. Dalam deradjat orang Tionghoa dipersamakan dengan peri boemi jang ditaloekin; orang boleh ditarik ka Landraad dan misti

mengadep pada hakim jang lebih rendah ; orang disediaken

\ b‘i a 'aen dari meroesaken dan merendah-

d i r noesia: „ otana di,aroehnoenia kpmorrlil- ^ entiet dengen apa saban menit orang E , s a ^ S l u b'Sa tecamPa s : orang ditempatkentida lagi djadi tempa? dfman111 ^ 11 “ f 9 Poen>a roemah saban saat oolitip i! °^ai*g djadi toewan, lantaran bersender pada sat men99ledah, maski djoega tjoema

golongan dan ditemoltken d a f V keloear dari itoe orang tida dapat hak ata« t u™ 9 n9an Europeaan : dapat itoe” M) tas ^nah seperti orang periboemi

sebab daripada diperkuatkannia^Sa tic a^ sedikit telah mendjadi Karena inilah golongan TiormV,J Perasaan sesegolongan. 10°)

pereratkan pengikat a S a c,ol Indonesia telah lebih mem-

mendiad! dunia" terK n d S sulta “T tUmnan mercka sen<litl-

lon9an b“ 9 s a —------------- Pat tumbuh, ibarat pohon jang

»1 ? £ £ £ • £ * ? " “ '■»• »•

».The cofoni^-crisu0/ ? - Menurut Prof « a 16 DjuU 1921’

3 6 n ° ' 2’ t 8 ' 15 * * 1950 h . 33.

tak tjukup disirami untuk dapat hidup dan berkembang dengan subur!

II. Dari 1910 — 1942.

a) Peranakan Tionghoa s e b a g a i n^derlands Onderdaan”,b) W c t op het Nederfandsch Onderdaanschap.

Kita sudah melihat kesulitan2

Jhapuskannja status Nederlari_er Nonnan. Kita telah tegas-diterima baiknja a m a n d e m e n L e v y t e r le t a k dalam perhu-kan bahwa kesulitan2 tersebu untu^ perlindungan konsol2,bungan dengan ¡uar negeri. Teruta enjahan serta „uitleve-untuk soal3 jang berhubungan . 9 daaanq internasional njata- r*n9” (penjerahan) dan perdjan jitah kesukaran2 tersebut. ■ 2 „ ;ang sebenarnja

Karena amandemen itu er ju gtaatsverband'’ telah dike-

berupakan bagian dari „Ne ^ bahwa pemerintah Belanda^uarkan. Maka telah kita sa^ k e s u l i t a n jang timbul karena telah berusaha untuk meringa „ jam bubungan ini kita termga foiandemen Levyssohn-Norman. . ¿a interpretasi dari peme-

• ia p m td ^ V a k a !1‘b S « « “ ’a”9 -

masih sangat dibutuhkan • kesulitan2 dengan luar «eaen

, . Tambahan lagi, ^ . " ¿ - ¿ didalam

S - “ ™ "

''P ad a empat puluh djuta orang, Pe9araan tersendiri. * ~1— ff*t a t a a n tersendiri. ^ „ d * * Onderdaanschap".

Sa> Sebab daripada „Wetop het N '

P»____ Ts«fiahoa. j nr; diurusan dalamPergerakan Tionghoa* ^ ^

W g dimaksudkan ^"«Seri sendiri supaja d>a<*a„ S ialah ■■Pecgf ' l „ i perlakuan sama-

P a a ? ^ i ?H % aS « * a n untuk p e r b a i k » ^ « berada *

r “ * “ “ 'ItoTT'""'*"—-— u i2, sePe „ 239 d®*-. Y f« Volienhoven V.G. I ^ h . 10. ElJg V»*, ■^ fc ,gr schaP ? 1940,,^ i omberg; °ng 37

sti*ah ini dipakai oleh *T

dimaksudkan dengan istilah tersebut. 104) Pergerakan itu umumnja kurang dikenal dan kurang mendapat penghargaan dari chalajak ramai. Bagi lapisan majoritet rakjat Indonesia umumnja pergerakan tersebut, jang diantaranja mempunjai sebagai tudjuan program terutama: perlakuan sama rata,-gelijkstelling sama sekali dengan golongan „Eropah” sediakala, 105) tidak populer. 106)

Mudah sekali timbul salah faham bahwa dengan keinginan untuk dipersamaratakan dengan golongan Eropah, orang2 Tiong­hoa ini menundjukkan bahwa mereka tidak senang dianggap sama seperti dipersamakan dengan, tidak mau sesuka-senasib dengan golongan rakjat Indonesia majoritet. 107)

Akan tetapi, Fromberg 108) sendiri sudah katakan, bahwa soal sebenarnja bukan terletak disitu. Maksud dan tudjuan dari per­gerakan Tionghoa ialah bukan karena ingin melukakan perasaan golongan bumiputera. Kegandjilan oleh orang2 Tionghoa bukannja dirasakan oleh karena mereka dipersamakan dengan golongan bumi­putra. Djadi untuk memindjam istilah dari Fromberg, bukannja terletak dalam „positieve”, jaitu persamaan dengan bumiputra, akan tetapi dalam „negatieve”, karena tidak dipersamakan dengan golongan Eropah.

Dan djika dilihat setjara objektip, usaha pergerakan Tionghoa, kearah perlakuan sama rata, djustru membawa pula manfaat djuga bagi golongan rakjat bumiputra. 109) Karena pergerakan Tionghoa ini djuga masjarakat Indonesia telah turut bangun, sehingga dalam sekedjap mata sadja telah didirikan sana sini perhimpunan2 nasio­nal Indonesia. no) Dan keuntungan jang positip djuga ternjata

104) Bdgk. Fromberg, De Chineesche beweging op Java : „A.V. Indisch Genootschan 19 Nov. 1912 h. 26. Berlainan adalah pendirian aliran jang la jak disebut dengan nama „Sin Po-groep”, jang menganggap tud juan pergerakan Tionghoa ia lah diperlakukannja orang Tionghoa oleh Undang? sama dengan orang2 E ropah sedangkan Nederlands Onderdaanschap coûte que coûte mesti d ibuang olr>li orang2 Tionghoa.

105) Pada tahun 1926 masih diadjukan suatu rekes bersama oleh orang2 Peranakan Tionghoa, untuk dimasukkannja dalam golongan Eropah. Bdgk. da lil ke-Vin diss. Han Swie Tian, Bijdrage tot de kennis van het fam ilie en erfrecht der Chineezen in Ned.-Indië, Utrecht, 1936, h. 114.

106) Bdgk. van Sandick, jang meskipun terkenal bersympathie dengan o rane2Tionghoa, namun berpendapat bahwa tidak boleh diadakan suatu gelijkstelling daripada segenap golongan Tionghoa dengan orang2 Eropah, karena : „D ooralle Chineezen tot Europeanen te verheffen, plegen wij een groot onrecht tegenover de klasse van hoogstaande inlanders, die ons met recht voor de voeten zullen gooien dat wij hen achterstellen bij den m insten Chineeschpn koelie”, o.e. h. 190. e

107) Dalam buku dari A.K. Pringgodigdo dimana dikupas faktor2 jang m enjebabkan timbul dan hidup tumbuhnja „Pergerakan Indonesia” tidak di-usik2 sedikitDun

Djakarta 5*fM0Shra5)an Tlonghoa” In i (Sedjarah Pergerakan Rak ja t Indonesia,

Suatu kesan baik tentang perasaan takut akan reaksi dari fihak bum ipu tera bila diadakan perbaikan2 dalam kedudukan orang2 Tionghoa sadja d igam barkan oleh Abendanon diwaktu beliau mengetjam usul2 pembaruan From berg ( a v Indische Genootschap 19 Nop. 1912, waktu m em bitjarakan „De Chineesche beweging op Java” h. 55, 59).

108) V.G., h. 778; Ong Eng Die, o.e. 234 dst.109) Bdgk. Verslag Herzieningscom. 1918, Ong Eng Die, o.e. h. 239.110) Boedi Oetomo dalam thn. 1908, Sarikat Islam d itahun 1913, liha t d juga S

Fum ivall, Netherlands India, A study of p lural economy, 1944, h. 242, dst ' Colonial policy and practice, A comparative study of Burma and N etherlands India, 1948, h. 232 ; Han Tiauw Tjong, De Chinezen op Java en het Ned Onderdaanschap, Indische Gids thn. 41, 1919 h. 949 ; C.T. Bertling, Gelijkstelling van Chineezen met Europeanen, Kol. Stud. I le jrg ., 1927, h. 47, 48.

38

dengan terwudjudnja „Nederlands Onderdaanschap”. Pergerakan Tionghoa tidak dapat disangkal merupakan dorongan utama dari­pada diadakannja peraturan onderdaanschap ini. 111 )

Dengan ini turutlah teratur kedudukan golongan bumiputra setjara internasional. Tentang maksud program, isi dan hasil2 dari gerakan Tionghoa ini akan diuraikan satu dan lain dibawah.

Pendorong utama bagi pemerintah Hindia Belanda untuk suatu peraturan tentang nasionalitet rakjat Hindia Belanda ialah kechawatiran akan „hilangnja” ber-djuta2 orang keturunan Tiong­hoa, jang sebenamja karena hidup turun-temurun, telah dilahirkan dan djuga akan dikubur dikepulauan ini> bekerdja berusaha serta berniaga disini harus dianggap sebagai anak2 negeri ini. Bukan sadja setjara juridis sosiologis hal ini dapat dipertanggung djawab- kan, Politis-staatkundig pun anggapan ini dapat dipandang bidjak- sana. Kesulitan2 besar akan dialami oleh negara2 dengan ber- djuta2 „orang asing”. 112)

Suasana kehidupan kolonial pada permulaan abad ini di Hindia Belanda adalah demikian rupa, hingga adalah sewadjarnja bahwa orang2 Tionghoa dikepulauan ini tidak dapat menganggap dirinja lain daripada orang2 asing. Harapan mereka tidak diletakkan atas negeri dimana mereka dilahirkan. Keadaan memaksa untuk me­nengok kepada negeri leluhur. Perlindungan diharapkan hanja daripada negeri jang telah lama ditinggalkan mereka. Dalam periode bangunnja Asia, dalam suasana „Aziatisch Réveil” ini, dapat dimengerti bahwa hanja dari suatu negara leluhur jang kuat, boleh diharapkan perlindungan bagi para perantau. 113) Djepang didjadikan tjontoh jang njata. Orang2 Depang telah memperoleh perlakuan jang sama dengan orang2 Eropah oleh karena negara Djepang dapat memaksa pemerintah Belanda untuk bertindak demikian. Pada waktu itu djustru Tiongkok djuga telah mendusin. Raksasa jang begitu lama tidur pulas, sekarang sudah bangun !

Perhatian dan tundjangan jang diperoleh Hoakiao (orang Tionghoa perantauan) dari negeri leluhur dan negeri leluhur dari Hoakiao ini adalah timbal-balik. Diwaktu clynasti Manchu masih berkuasa, para emigran ini dianggap sebagai pendjahat2 terhadap siapa dapat didjatohkan hukuman mati. Mereka ini dipandang sebagai orang-orang jang melalaikan kewadjiban sutjinja untuk memelihara leluhur mereka. 114)

111) L ihat Fromberg V.G. h. 649; De Louter o.c. h. 131; Com. Visman n h. 100, 130 ; H.F. Mcnair, o.c. h. 104 dst.Sebaliknja sebab utama dari dibentuknja Undang2 W.N. Negara Tiongkok ada kedjadian- di Hindia Belanda, McNair, o.c. h. 26, 104 dst.

112) Bdgk. de Groot, Het personeel statuut van apatriden en bipatriden, diss. 1939h. 13. Berlainan R. van Eck, Verslag Herzieningscom. 1918, h. 487, m inderheids- nota van Eck.

113) Bdgk. C .T. Bertling, o.c. h. 44 dst.114) Lihat McNair, o.e., h. 2 ; Victor Purcell, The Chinese in South East Asia, h. 34

d s t .; d juga Ko Swan Sik, diss., h. 121 dst.

39

t

Dalam suasana demikian dapat dimengertilah mengapa T iong­kok diwaktu itu sama sekali tak menaroh perhatian pada rakjatnja jang pergi mengumbara kelain negeri. Karenanja mudah dimengerti sikap pemerintah Tiongkok jang amat pasip ketika ber-ulang2 beribu2 orang2 Tionghoa telah dibunuh dinegeri2 perantauan, antaranja tahun 1740 di Batavia.

Pada penghabisan abad ke-19 keadaan baru mulai berubah. Dengan proklamasi gubernur Kwangtung ditahun 1859, dapat di­katakan setjara resmi untuk pertama kalinja diakui hak rakjat Tiongkok untuk meninggalkan tanah leluhur mereka serta kembali lagi kesana dengan tak usa takut ditangkap atau dituntut serta diperas, karena melanggar suatu peraturan hukum.

Kemudian disempurnakan kebebasan untuk merantau ini. Keadaan sama sekali berubah sebagai akibat revolusi nasional. Negeri leluhur sekarang dengan tegas menganut politik-melindungi terhadap rakjatnja dalam pengumbaraan. Guna perlindungan ini, diperlukan suatu undang2 kewarganegaraan jang luas. Peraturan ini harus dapat terus menganggap rakjat dalam pengumbaraan— walau sudah ratusan tahun berselang pun meninggalkan, dan biar sudah tak ada hubungan sedikitpun dengan negeri leluhur, — tetap sebagai anggauta2 „Chung Hua M in Kuo”. Mereka dapat menikmati perlindungan serta hak2 politis di negeri Tiongkok. Demikanlah dalam tahun 1909 telah lahir Undang2 Kewargane­garaan Tiongkok dengan tjorak2 >,behoudzuchtig”-nja jang ter­kenal. Demikianlah telah disediakan untuk Hoakiao dalam D P R di Tiongkok dari tahun 1912, 6 daripada total 274 kursi wakil2. 115)

Semangat nasionalisme jang sedang bergelora dinegeri lelu­hur, tidak bisa tidak harus dirasai pula oleh Hoakiau di H india Belanda. Semangat nasional laksana angin telah meniup2 dan mengobarkan pula api nasional dalam hati2 orang2 Tionghoa di Indonesia, api jang memangnja harus diakui sedari dahulu belum pernah padam sama sekali. 116) Lebih kuat Tiongkok mendjadi, lebih banjak orang2 Tionghoa di Hindia Belanda merasakan diri mereka Tionghoa. 117) Dari suatu „état hermite” Tiongkok telah berubah mendjadi suatu „état nation”. 118)

Melihat keadaan semua itu pemerintah Hindia Belanda insjaf akan bahaja apabila demikian banjak orang Tionghoa mendjadi terlepas sama sekali dari lingkungan Hindia Belanda. M aka di~ buatnja peraturan2 jang bermaksud untuk mentjegah terdjadinja hal jang tak diinginkan itu. 119)

115) Lebih landjut, tentang in i, lihat McNair, o.c. h. 1, dst. h . 312 dst.116) Ong Eng Die, o.c. h. 246; Fromberg, V.G., h. 645.117) Bdgk. R. v. Eck, minderheidsnota dalam Verslag Herzienings com. o.c. h . 487.118) Fromberg, Chinezen en het natlonalitpits beginsel, V.G. h . 645.119) Umpamanja sistem w ijk2 tinggal dan pas d jalan dihapuskan (1918) ; politie-rol

dihilangkan (S. 1914/317); padjak-padjak dl-unifislr (S. 1921/312) : „Herzieneordonnantie op de inkomsten belasting 1920” kesempatan belad jar bagi oranga bukan Eropah d iperbaik i; diganti sjarat Nederlanderschap u n tu k m end jad i pegawal-negeri dengan Ned. Onderdaanschap (S. 1913/658).

40

Tambahan lagi, keadaan mendjadi semakin mendesak ber­hubung Pemerintah Tiongkok sendiri dalam tahun 1909 sudah siap dengan peraturan kewarganegaraannja, serta berniat untuk mengi­rimkan Konsol2, „High Commissioners”, dan „Inspekteur2 peng- adjarannja”. 12°) ke Hindia Belanda. Dengan maksud untuk meng­hindarkan supaja orang2 Tionghoa Peranakan djatuh dibawah kekuasaan jurisdiksi Konsol2 Tiongkok, pemerintah Hindia Belanda dengan ter-gesa2 menetapkan undang^ja tentang .»Nederlandsch Onderdaanschap van niet-Nederlanders” (S. 1910/296). Isi per­aturan kekaulanegaraan Belanda tersebut akan kita bahas ter­sendiri dalam bab jang berikut, seraja mengadakan perbandingan dengan kewarganegaraan Republik Indonesia. Dengan melakukan perbandingan ini kiranja tjorak aktuil daripada masalah tersebut terpelihara setjukupnja.

120) Fromberg, o.c. h. 645.

41

NESIA.§ 1. Pentingnja Kekaulanegaraan Belanda untuk

Kewarganegaraan Indonesia.

Peraturan dibidang kewarganegaraan jang berlaku d’ ^Hindia Belanda sediakala masih perlu diperhatikan bilamana ingin mengetahui dengan djelas siapa- jang termasuk warganeg Republik Indonesia sekarang ini. Undang2 Kekaulanegaraan da dari orang2 bukan-Belanda (Wet op het Nederlands Onde daanschap van niet Nederlanders) dapat dipandang sebagai su sendi utama daripada keanggautaan negara (kewarganegara kita. Bukankah Persetudjuan Perihal Pembahagian W arga N e g a - jang pada saat pengakuan kedaulatan mententukan siapa )any dibagikan mendjadi warga negara R.I., pada hakekatnja menundju kepada peraturan kekaulanegaraan ini? Dan bukankah dala pasal 144 UUDS jang masih berlaku ditetapkan pula bahwa orang jang menurut atau berdasar Persetudjuan Perihal P e m b a g i3**-

Warga Negara tersebut memperoleh kebangsaan Indonesia adala warganegara Indonesia ? Siapa2 mereka ini pembatja tentu suda" mengetahuinja.

Setjara singkat dapat dikatakan bahwa mereka jang „ m e n u r u t

Persetudjuan tersebut memperoleh kewarganegaraan IndoneS ia

ialah: kaulanegara-Belanda-bukan-orang-Belanda jang tidak nolak kewarganegaraan Indonesia. Dan jang dimaksudkan deng3*1 mereka jang „berdasar" Peraturan tersebut memperoleh kewarg3"' negaraan Indonesia ialah: orang2 Belanda jang memilih kebang' saan Indonesia dengan djalan optie (Siapa2 jang diartikan dengan „orang Belanda” ini ditentukan oleh „Wet op het N e d e r l a n d e r '

schap”' dari tahun 1892 jang tak akan dibitjarakan lebih land j^ dalam karangan ini) Untuk mengetahui siapa2 jang te rm a su k

istilah „kaulanegara Belanda bukan oranq Belanda” norln kit&

oleh Undang* d«'” ” 3“

Maka bagi kita ada tjukuo ala^n« * i i 1 n'•? teipcnting daripada DeratuJn ^lasan untuk membahas segi

karena pentingnya untuk m e n o S * “1' tai- Buk“ sad,amasuk warganeqara R I tetsn- f slaPa sebenarnja sudah teC' peroleh bahan « r W i n i a n ^ p u la™tuk sekedar dapat me»' ganegaraan R.I. janq telah ant)angan Undang2 Kev-rar'akan saksikan b«ap“ diauh „ „ I oleh Parlemen itu. K i» nja daripada golonaan lcehin 9aan chalajak ramai — chusu5'

dalam waktu Ln?a9 4 b e r ~ ^ P « berubab 1 Deberapa puluh tahun ini! Bab ini dapa'

42

bab J'ang Ja lT land)utan Pembahasan tindjauan sedjarah dalam

^ enffapa ius son ?

^ k ’ da9dZT lahun “ K ? “ ' “ tekaulaMgaraao? " a ‘A h s a £ fc „ j ! 1 ¿ Pen39ti”f M “ “ M ai/ra“^en9an azas ius soli ini S K J3ng , 'a,pf )an9 dimaksudkan baW a DPn„ j : Sebenarnja tak usa dibuat heran sedikitnrm

pe™>hhan a za T d a e 'T t^ u* “ T ? ! . 3235 daerah kelah^an ini

* < » 9 dapat C « a ^ d V ™ it n ^ ) di" " ia’ ■bahka"

§ »Pergerakan Tionghoa” sebagai sebab Undang3 Kekaulanegaraan Belanda.

kelahJranh ^ Saksikan bahwa dalam memilih antara azas daerah Jcet'utuha 3 rfUT aZas keturunan ini harus diperhatikan keadaan dan Undano2 j ukum dari negara2 bersangkutan masing2. Pembuat- ®eland f 91,1' fa^un 1910 telah memperhatikan keadaan Hindia diabailf1 u .^ tu itu- Diu9a keadaan di-negara2 Asia lainnja tak Banj- , an’ Hindia Belanda merupakan suatu negara immigrasi. tinq , orang2 dari luar telah datang disini untuk mentjari nafkah didjgj. hidup. Demikian umumnja keadaan dalam negeri2 jang ditud' Jl ^ uafu politik penguasa jang bidjaksana tentunja akan ban.- V1' ,an kearah memperketjil bahajanja jang timbul karena rnUri ¡T?1-*3 o^ang2 asing didalam negeri. Maka dihindarkan sedapat aSin(y , ln ^inibulnja apa jang terkenal sebagai suatu „masalah orang darj^ , (Vreemdelingenvraagstuk). Pengaruh dan tjampur tangan Hege . a perwakilan2 asing dengan rakjat jang berada didalam

ri harus diperketjil sedapat mungkin. Maka oleh karena itu secjg Saksikan bahwa dikerahkan pula sesuatu oleh penguasa supaja

Pat mungkin orang2 jang berada dinegeri ini dipandang sebagai ini f dalam lingkungan kekuasaannja. Salah satu djalan kearah difjgj a^ Penggunaan daripada azas ius soli. Orang jang dilahirkan Bel= m "wilajah Hindia Belanda dipandang sebagai kaulanegara

anda.

]aild Perttaba„gan serupa inilah /ai>9 mendorong pemerintah Be­l l , ^ Pada waktu itu untuk memfflh azas daerah kelah,ran bag,

ius m‘-.wala"P“.n dS ” Qp het Nederlanderschap”. SikapB e S a T n “ akan mend/adi iebih djelas lagi bagi kita

,Pabj]a eJdnad . . i «, merupakan dorongan utama^ ^ a f e ^ S t S m f n g e n a , k iauiaan Beianda untuk

'feaiTs? jjee h, 65 dst., h. 26.

wa" ^ Bakhuyzen’ -!ii3®kan van de Sande Bakhuyzen^ d is s .^ ^- fromberg-, Verspreide Geschnften,

43

Hindia Belanda ini ialah djustru perkembangan sesuatu di Tiongkok dan sekitar Hoakiau disini. Dari sedjarah pembikinan peraturan tersebut ddlam bab jang lalu dapat kita saksikan bahwa jang merupakan faktor penting daripada dibuatnja peraturan Nederlands Onderdaanschap setjara tergesa-gesa ialah apa jang terkenal se­bagai „Pergerakan Tionghoa” 3) dinegeri ini. Pembuatan undang2 itu distimulir oleh sikap pemerintah nasional di Tiongkok dengan pembuatan Undang2 Kewarganegaraan Tiongkok jang berpedoman pada „pertalian selama-lamanja” antara orang2 Tionghoa dalam perantauan dan negeri leluhur mereka. 4) Keinginan pemerintah Tiongkok ini untiik membuka konsolat2 di Hindia Belanda merupa­kan dorongan pula. „Persoalan Tionghoa” ternjata sedjak dahulu kala telah memusingkan penguasa dinegeri ini dan mendjadi sebab daripada banjak peraturan2 penting.

Selain daripada pemilihan jang disesuaikan dengan politik penguasa, setjara praktis pun azas daerah kelahiranlah jang dapat digunakan. Bukankah diwaktu itu (1910) untuk bagian terbesar daripada rakjat dinegeri ini belum berlaku peraturan mengenai pentjatatan sipil ? Burgerlijke Stand hanja berlaku untuk golongan- rakjat Eropah. Bagi golonganrakjat Timur-Asing-Tionghoa seperti diketahui peraturan mengenai Burgelijke Stand ini baru berlaku sedjak 1919 setjara ber-angsur2. Untuk golongan rakjat Indonesia jang kini lazimnja disebut „asli” (terketjuali jang termasuk kaum ningrat) dan golonganrakjat Timur-Asing-bukan-Tionghoa hingga kini belum berlaku peraturan serupa itu. Bagaimana dapat orang2 ini membuktikan asal usul keturunan mereka ? Tak ada surat2 pembuktian jang dapat dipertjajai atau dapat didjadikan pegangan. Maka teranglah, tak mungkin diterima azas keturunan ini bagi peraturan kewarganegaraan jang hendak dibuat. 5)

Oleh karena itu digunakanlah azas daerah kelahiran. Pada pokoknja maka oleh peraturan Nederlands Onderdaanschap ter­sebut dipandang sebagai kaulanegara Belanda : tiap orang jang dilahirkan diwilajah Hindia Belanda dari orang tua jang „bertempat tinggal" disitu. Istilah jang digunakan untuk „bertempat tinggal” ialah „gevestigd”. Dan menurut tafsiran jang lazim berlaku serta memperoleh dukungan kuat daripada para ahli mengenai hukum Indonesia jang berpengaruh (gezaghebbend), maka jang diartikan ialah hanja „hoofdverblijf hebbend”, djadi pengertian domicilie jang dikenal dalam Burgerlijk Wetboek, bukan istilah „gevestigd” daripada peraturan2 imigrasi (jaitu : „vestiging” baru setelah 10

3) Selain karangan2 Fromberg dalam Verspreide Geschriften-nja tentang „perge­rakan Tionghoa” ini, lihat pula : „De Chineesche beweging op Java, RapatUmum Indisch Genootschap, tanggal 19 Nopember 1912, h. 26.

4) Lihat pula Laporan Kommissie-Visman, II, h. 100, 130 ; H.F. McNair, The Chinese Abroad, h. 104 dst. Setjara timbal-balik, djuga keadaan2 dengan orang2 T ionghoa dalam perantauan di Nusantara inilah jang mendjadi dorongan utama daripada dibentuknja Undang2 Kewarganegaraan Tiongkok, McNair, o.c. h. 26, 104 dst.

5) Kesulitan2 jang sama akan kita hadapkan dengan diterima ba ikn ja Undangi Kewarganegaraan R.I. dengan azas ius sanguinis (Pasal 1).

44

tahun). °) Dengan digunakan tafsiran jang lebih luas ini, semakin banjak orang terhitung mendjadi kaulanegara Belanda. Walau dilahirkan dari orang tua jang belum sampai 10 tahun berumah tinggal disini, anak tersebut sudah dipandang kaulanegara Indo­nesia. Suatu tjara interpretasi jang sesuai dengan politik pemerintah Hindia Belanda diwaktu itu berkenaan dengan orang2 asing seperti terurai diatas. Tafsiran ini kemudian mendjadi pegangan resmi pula daripada pemerintah R.I., Kabinet Ali. (tafsiran Menteri Kehakiman Mr Djody jang terkenal). 7)

§ 3. Keberatan-keberatan terhadap kekaulanegaraanBelanda.

Adanja hasrat untuk membuat sebanjak mungkin orang2 men­djadi kaulanegara dengan menggunakan azas daerah kelahiran dan tafsiran jang luas ini telah menimbulkan reaksi dari kalangan tertentu. Bagi orang2 jang tidak suka untuk dihitung mendjadi kaulanegara Belanda, hal ini dipandang sebagai terlalu memaksa. Sama sekali tidak ada kemungkinan untuk menolak kekaulanega­raan ini. Hak repudiasi tidak dikenal. 8) Kebebasan seseorang untuk memilih sama sekali tak diperhatikan. Memang harus diakui bahwa dalam hal kewarganegaraan, jang termasuk bidang hukum publik ini, peranan pilihan oleh perseorangan tak dapat berlaku seperti dilapangan hukum perdata. Tetapi bila diabaikan sama seksli kebebasan memilih ini segala sesuatu akan dirasakan sebagai lebih2 menjakitkan. °) Pemuka2 dari „Pergerakan Tionghoa” ianq sedia­kala dipelopori oleh S>'n Po dengan terang2an menolak kekaula­negaraan Belanda ini. Orientasi daripada r*®reka se-mata2 ditudiu- kan kepada negeri leluhur. Tidak adanja kebebasan untuk memilih ini merupakan salah satu daripada keberatan mereka. Sebaaai lukisan dikutip disini perkataan2 jang dipakai oleh Tjoe Bou San, pelopor pergerakan ini jang terkenal dalam Sin Po : „Dan maoe

6) M isalnja tja ta tan2 mahaguru5 Logemann dan Kollcwrjn dalam Indisch Tijdschrift vnn het Recht (disingkatkan T) djilid 141 h. 354, berlainan d^ri putusan Hooggerechtshof. 10 Dian. 1935, T 141/351. Lebih djauh lihat J.H. Wagener, De verhoudlng tusschen het Nederlandsche en het Nederlandsch-Indische privant- recht, dlss. Leiden, 1P32. h. 64, Logemann, Collegeaantekeningen over het staatsrecht van Nederlands Indië, 1947, h. 92 ; Ph. Klelntjes. Staatsinstellin^en van Nederlands Indië, 6e dr. penerbitan Rechtshogeschool D jakarta, I, h. 101 ; dalil ke-4 dari disertasi kami, Segi-segi hukum peraturan perkawinan tjam ­puran, 1955.

i) Siapa termasuk warganegara Indonesia, brosur Mr Djody Gondokusumo ; Lihat pula tjeram ah Menteri Kehakiman in i : „Tenthng Kewarganegaraan dan Iie- warganegaraari rangkap, Berita Baperki, tahun tt, no. 11-12, 1955, h. 12.

8) Fromberg, Verspreide Geschritten, h. 694 dst. Mr Gouw Soei Tjiang menggang- pao Wet nn het Ned^ri^nds Onderdaanschap tahun 1910 in i „dictatoriaal” , karena tidak memperdulikan sama sekali „individuele overwegingen” dan dal:>m hubungan in i mengandjurkan perbaikan dengan djalan apa jang dina- m akannja „democratisöring der Onderdaanschapswet” , De Chineesche Nationa- liteitswet m.b.t. de Peranakan Chinezen in Indonesië, dalam Medelingen van de Chung Hwa Fa Lu She Hui, H impunan Ahli Hukum Tionghoa, tahun I, 2 Pebr. 1948, h. 8, 11.

9) M enurut beberapa penulis djustru kemauan perseorangan itu lah dasar jang sehat un tuk mendjadikan orang warganegara jang sedjati. Bdgk. H.W.B. Thomas, De wet op het Nederlanderschap en het lngezetenschap, diss., Leiden 1893, h. 11.

45

atau tidak satoe peranakan Tionghoa selamanja mesti djadi Neder- landsch Onderdaan. Sebelas atau doea belas tahoen lalu, ketika kerahajatan Belanda maoe dilahirkan, diitoe waktoe orang Tionghoa soedah ikoet memikirkan satoe daja boeat lolos dari itu ikatan, jang pelahan2 nanti tjeraikan marika dari Tiongkok.” 10) Fromberg, jang terkenal sebagai seorang jang telah banjak berusaha untuk memperbaiki nasib daripada orang2 turunan Tionghoa dizaman Hindia Belanda, djuga telah mengetjam tidak adanja kemungkinan repudiasi dalam Undang2 kaulanegara Belanda tersebut. 11)

Kita saksikan dari sesuatu ini, bahwa dikalangan orang2 Tionghoa dinegeri ini, Nederlands Onderdaanschap tak disukai ! Demikian tak disukai hingga orang mentjari segala daja upaja untuk dapat „lolos” daripadanja. Telah diusulkan pula supaja ke­kaulanegaraan Belanda baru diberikan kepada mereka jang dila­hirkan dari orang2 tua jang djuga dilahirkan di Hindia Belanda. Demikian pula suatu usul dari Fromberg. Dengan begitu diharapkan agar supaja dapat ditjegah sedapat mungkin bahwa orang2 jang masih terlampau erat hubungannja dengan negeri leluhurnja Tiongkok, dipaksakan mendjadi kaulanegara Belanda. Dengan tjara demikian diharapkan pula akan tertjapainja lebih banjak ke­pastian bahwa orang2 jang didjadikan kaulanegara Belanda, akan benar2 bergiat untuk mendjadi kaula jang sedjati. Dengan djalan inipun orang jang mendjadi kaulanegara Belanda akan berkurang.

Bagaimana keadaan sekarang terhadap kewarganegaraan In ­donesia ? Apakah masih nampak dengan njata adanja aliran seperti Pergerakan Tionghoa dahulu ? Pada umumnja dapat dikatakan bahwa orang2 Peranakan Tionghoa diwaktu sekarang ini tidak menentang kewarganegaraan Indonesia. Dibandingkan dengan waktu Undang2 kekaulanegaraan Belanda ditjiptakan, keadaan telah djauh berubah. Dahulu mereka ini umumnja tak suka untuk didjadikan kaulanegara. Kini pada umumnja sebaliknja mereka merasa dirugikan apabila kewarganegaraan Indonesia hendak di­ambil kembali dari mereka. Kita hanja perlu ingat kepada reaksi jang heibat tatkala Rantjangan Undang2 Kewarganegaraan Indo­nesia dari Kabinet Ali diumumkan. Seperti diketahui, maka dalam Rantjangan tersebut telah dikemukakan sjarat turunan kedua untuk tetap dapat memegang terus kewarganegaraan Indonesia tanpa perlu setjara aktip memilih lagi (pasal 4 jo. Pasal Peralihan I ajat 1). Menurut pendjelasan RU U tersebut, maka tudjuan pem- buat-undang2 ialah untuk , mentjapai rakjat jang homogeen. Berhubung dengan itu Rantjangan tersebut sama sekali „tidak memaksakan' orang-orang bersangkutan mendjadi warganegara. Berbeda sekali dengan Undang2 kekaulanegaraan Belanda seperti

10) TJoe Bou San, Petikan artikel2 dari „Sin Po”, brosur, 1921, h. 173.11) Fromberg, Verspreide Geschriften. h. 694 dst. L ihat d juga Laporan Kommissi-

Visman, H, h. 129.

46

dipaparkan diatas ! Reaksi atas sjarat turunan kedua untuk me­nentukan apakah seorang wadjib menjatakan lagi memilih kewar- ganegaraan R.I. ini tjukup diketahui. Kita masih teringat akan usaha giat dari Baperki untuk menentang sjarat ini. Telah diadakan suatu Panitya Kerdja Kewarganegaraan, jang dengan statementnja tertanggal 27 Oktober 1954, telah mengetjam habis2an sjarat2 tersebut. 12 Sjarat keturunan kedua ini waktu dahulu telah di- andjurkan oleh pemuka2 kalangan Tionghoa berkenaan dengan kekaulanegaraan Belanda. Tetapi sjarat jang serupa ini adalah tabu berkenaan dengan kewarganegaraan Indonesia ! Sungguh satu hal jang menjolok mata. Tetapi tak dapat dibuat heran sedikitpun bila diselidiki lebih djauh akan i s i daripada kedua peraturan tersebut. Hal ini akan kita tjoba lakukan dalam paragrap2 jang berikut.

§ 4. „Isi” daripada kekaulanegaraan Belanda.Telah kita saksikan bahwa kekaulaan negara Belanda bagi

orang2 turunan Tionghoa dinegeri ini adalah tidak populer. Sifat „memaksa” tanpa memungkinkan kebebasan memilih sama sekali dipandang sebagai suatu hal jang menjakitkan. *) Tidak adanja kemungkinan untuk menolak ini adalah sebagai duri dimata! Betapa berlainan daripada apa jang diperlihatkan dalam Perse- tudjuan Perihal Pembagian Kewarganegaraan berkenaan dengan kewarganegaraan Indonesia. 2) Orang dapat mengatakan bahwa dalam persetudjuan belakangan ini kita berhadapan dengan suatu tjara peralihan wilajah berikut lingkungan-kuasa-orang (personen- gebied) jang bersangkutan: pembagian antara Republik Indonesia (Serikat) dan Keradjaan Belanda (stijl baru). Dalam hal demikian ini memang adalah lazimnja bahwa kepada orang2 jang bersang­kutan diberikan kesempatan untuk memilih dalam lingkungan negara manakah mereka ini hendak terhitung. Tetapi djika kita memperhatikan pula peraturan kewarganegaraan jang pertama2 telah ditjiptakan oleh Republik Indonesia tatkala masih beribu-kota di Djokjakarta, maka djuga disitulah nampak adanja kemungkinan untuk melakukan pemilihan (optie) atau menolak (repudiatie) kewarganegaraan R.I. 3) Dengan adanja kesempatan ini, kiranja tak dapat disangkal bahwa peraturan belakangan itu m em perlih a t­

kan tjorak jang lebih „elegant” daripada Peraturan Kewargane­garaan Belanda tahun 1910. Walaupun kebebasan perseorangan dibidang hukum publik seperti kewarganegaraan harus diakui sangat terbatas, tak dapat disangkal bahwa faktor psychologis ini adalah penting sekali. Faham kewarganegaraan bukan se-mata2 suatu

12) Berbagai pertimbangan tentang R.U.U. Kewarga-negaraan R.I., dalam Berita Baperki, Nomor Istimewa, h. 41 dst.

1) Bab I I I paragrap 3.2) Pasal 3 mengatur hak opsi, pasal 5 s/d 7 hak repudiasi. Lihat Lampiran No. 5.3) Pasal 1 sub b Undang2 1946 No. 3, Pasal 3a jang ditambahkan dengan Undang2

1947 No. 6, L ihat lampiran2 no. 1 dan 2.

47

pengertian juridis. Faktor2 sosial-psychologis memegang pera penting. Bukankah kewarganegaraan ini harus kita pandang sebag suatu ikatan-hubungan antara negara dan perseorangan ? W arg - negara dari suatu negara berarti mendjadi anggota daripada nega itu. Bagaimana dapatlah hubungan ini merupakan hubungan jang sehat djika sedjak semula dirasakan sebagai dipaksakan?

Disamping tak adanja kemungkinan untuk mempergunakan hak menolak ini masih terdapat lain2 kekurangan pada Peraturan Kekaulanegaraan Belanda. Kekurangan inipun terletak dibidang sentimen. Ada jang merasa keberatan terhadap istilah „ N e d e r l a n d s

Onderdaan". Perkataan „onderdaan” ini terlampau berbau „onder- doen” kata mereka. Karena pemakaian istilah ini orang lekas teringat kepada gambaran membongkok-bongkoki diri setjara kurang enak. Dilihatnja dalam istilah ini suatu segi „minder- waardig”. Orang teringat pada „onderhorigheid”, kaula, budak, seperti rakjat daripada suatu negeri djadjahan. 4) Djika kita meneliti hal ini lebih djauh, maka ternjata bahwa pandangan se­mat j am ini tak kuat. Adalah suatu kebiasaan untuk menjebut warga2~negara dari suatu negara sebagai „onderdanen”, „subject” . dilapangan hukum antarnegara. 5) Misalnja dalam traktat2 dalam dokumen2 diplomatik dan sebagainja. Oleh beberapa penulis2 ahli' hukum dikemukakan pendapat bahwa negara2 jang tersusun setjara monarchis menjebut anggauta mereka dengan istilah „onderdanen", Negara2 Republik lebih tjondong kepada pemakaian istilah „warga- negara, Staatsbürgers, citizens, citoyens”. «) Tidak dapa dilihatdalam perbedaan pemakaian ini suatu sifat perbudakan senerti „onderhorigheid dan zaman feodal. 7) seper

«lasa” 1 lL T b e ria S fu „ S ^ dlSa"8kal »™ n>g adaSchap” ’ , Ä S r s „ ä Ä tak disebabkan bunji kata2 istilah tor^k teirWaar 9 * TetaPi hal inii s i -nja tak sebagaimana dapat d‘h I309 pcntinS ia a^ bahwawarganegaraan jang sempurna s\ j i dariPada suatu ke"Belanda ini dengan „Nederlande J , . andingkan kekaulaan belakangan dipandang se~olah2 teranglah bahwa jang

tmggi nilainja.

4) Bdglc. misalnja karangan a i1/2, 15 Mei 1950. h l i ‘ APakah artinia

5) \inttul5 « ontoh’J> uhat From W o 13 kum ? dalam „Republik”,

^ndboekrvandh ^ eNedtlstaatte^ Sr * ^ ei^ 7Gehell54*’ ?t h ' 692 dst.; Mannoury,

tepat un tuk ling- Laporan Kommisi-

48

tiHnL- eraturai\kekaulanegaraan Belanda dari tahun 1910 misalnia danat n9ena}. suatu kemungkinan naturalisasi. Orang asing tidak or;fnn aturalisir mendjadi kaulanegara Belanda. Apabila terdapat

m aK lfSm9 Jan9 ingin memPeroleh status kaulanegara Belanda ]a «anja mungkin baginja untuk memilih djalan jang tidak Q 9SUn9- Ia harus menaturalisir dirinja mendjadi „Nederlander”.

engan dilakukannja hal ini setjara otomatis ia ini mendjadi ^•status kaulanegara Belanda pula. Djadi tegasnja, seorang

q ederlander” dengan sendirinja merupakan pula „Nederlands nderdaan”, tetapi tidak sebaliknja ! Seorang „Nederlands Onder-

aan tidak selalu adalah seorang „Nederlander”.

Adanja dualisme antara Nederlanderschap dan Nederlandsch ^aerdaanschap ini merupakan kegandjilan jang amat dirasakan

° eh fihak2 jang bersangkutan. Dalam suasana pendjadjahan Hindia elanda maka adanja dualisme ini dirasakan sebagai pembela- angan. Perbedaan2 jang terdapat antara kedua status ini merupa-

*an batu sontohan. 9) Status „orang Belanda” ternjata lebih tinggi °an lebih dieloni. Kepada status inilah sedjak semula segala rupa j^k2 dilekatkan. Status kaulanegara Belanda semua tak berarti apa2, mika dilakukan perbandingan antara isi kedua faham ini, maka Perbedaan ini sangat menjolok mata. I s i daripada kedua status lnf tidak dapat kita lihat dalam peraturan2 jang mengatur status2 itu. si daripada status „orang Belanda" tidak dapat kita lihat dalam

"W et op het Nederlanderschap”. 10) Demikian pula, isi daripada S atus kaulanegara Belanda tak dapat kita lihat pada „Wet op het i^derlands Onderdaanschap van niet-Nederlanders”. Isi daripada

kewarqanegaraan seperti lazimnja tak dapat diketemukan a*am peraturan kewarganegaraan bersangkutan. Apakah jang

? endjadi hak3 dan kewadjiban2 seorang warganegara tersebar da,,a« pelbagai peraturan lainnja. Dapat dikatakan tersebar di- Seluruh perundang2an negara bersangkutan.,.L Berkenaan dengan hak2 serta kewadjiban kaulanegara Belanda

?íba*dinqkan dengan status „orang Belanda halnja demikian pula.mengetahui apakah jang merupakan hak2 seorang Belanda

dan men9e an“ ; Belanda haruslah kita menjelidiki pera-

turan2 ja n ^ berlaku di Hindia Belanda waktu dahulu Pertama2 dana«. J g berlaKj „Mara selaianq pandang peraturan jangdina j a memai}^fn3 ,„r:Dada ketatanegaraan Hindia Belanda, jait an9 sebagai dasar P„ r antas nampak bagi kita bahwa

° t!" V ”angCld a p íT S ^ ‘ *«>djadi G “ber"Ur D’e"deral ata“

----- . ,mo mpneanggap perlu untuk menghapuskan} s ampaikan Herzieningscommlssie 1918 g rfan Nederiands Onderdaanschap

i. 5 antara Nederlanderscn p . h p ng berlaku umum.d e n o L Pi<r? e ¿ on^adakan satu matjam aN®dS a semula Undangi tahun 1892 O en f™ h £ - kembalilah Kita kePad^ n yerslag h. 278 dst. Lihat djuga f e b e l S m a S d l r $ e b ^ / t i a t a l s^terusnja. Laporan Komisi-Visman, n ,

h n}oQS amandemen in> het Nederlanderschap10) »V „¡.n w et van 12 v e c .

Staatsblad 1892 no. 268, Wer> het ingezetenschap.

49

Letnan Gubernur D jenderal hanja orang2 Belanda (pasal 2 dan4 I.S.). Djuga ternjata bahwa dalam Dewan2 Perwakilan seper misalnja Volksraad, Dewan2 Propinsi, local atau kotapra ja terdapat suatu golongan „N ederlander s?’ tersendiri jang memer lukan djaminan istimewa (pasal 55 I.S.). Njata daripada ini ba wa golongan orang Belanda ini mempunjai kepentingan tersendiri jan9 berlainan dan perlu didjamin terhadap golongan2 jang hanja kaulap negara Belanda. Pengertian Nederlanderschap ini masih banjaK artinja untuk dualisme dalam kepamongpradjaan. Kita saksikan Pula bahwa status Nederlanderschap ini membawa hak2 dan perlin­dungan istimewa jang tidak terdapat pada status kaulanegara Belanda. Misalnja beslit2-pembuangan (verbanningsbesluiten) haruslah dibuat terhadap orang2 Belanda ini dengan memberitahu' kan alasan2nja („met redenen omkleed” ; pasal 35 ajat 2 I.S-)- Djika bukan-Nederlander, rupanja tak diperlukan pemberitahuan alasan2 ini! Ketentuan jang sama dapat kita lihat berkenaan dengan hak untuk menetap (recht van verblijf) dan hak2 exorbitant (pasal 35 - 37 I.S.). Untuk pemberian tanah oleh negara dengan hak errpacht dan lain2 peraturan agraria pun ternjata bahwa status N ederlander ini mempunjai hak2 tertentu. Djuga mengenai idzin untuk dapat memakai tanda2 pangkat asing (vreemde ridderorden) ternjata diperhatikan status Nederlander ini. Demikianlah beberapa

K ™ ' C * men’°lok1mf ta; Dari tjontoh2 ini dapatlah kita saksikan

S h t i n S PS i r a f Stf u1s ”oran9 Belanda” ini dipandang

sebagai 9» S ^ ^ r ^ t 0M ”:0ra”8' Bdan,ia dipand“ 9

telah diperbaiki pula oleh ne kekaulanegaraan Belandazaman. 11) Umpamanja diwakt? b t lS ’ melihat desakan2 aliran Belanda dimungkinkan oleh ngan seorang kaulanegaraPresiden dan anggauta RaaH ^ erarfurian untuk mendjadi wakil

Ketua dan Anggota Algemene^pV t ^pasa 9 *•$•), mendjad1 Comptabiliteitswet), mendiadi u kenkamer (pasal 43 Indische sampai pada Presiden H oogaerp l/? dalam semua tingkatan,

Orgamsatie) tnendjadi notaris (nac i i pasal 120 Rechterlijkememang u djabatan2 dalam dinas 3 ^eglement notarisambt) >

S . . ]n9a lain2 hak janq daSfl mendjadi opsir dalam

lanpn ( uependudukan) lambaT L ^ atkan kepada »mgezete^ lanegara Belanda. « mbat la«n dioper kepada status kau-

12) h-ak2 mem ilih dan d ip ilihLaporan Komisl Visman, n h « , W iaJnscha„ i i SJ,ai,at Nederlander telah

■ h- 99 dst. nap • Pasal 83, 130, 145 Grondwet.

50

Disamping ^ “ o p S i n t u r k i S a n orang*status kaulanegara Belanda P t erbedaan sosial —turunan Tionghoa dmegeri ini, bedaan dalam hukum jang banjak sedikit terpengaruh ru karena adanja Perbedaandirasakan amat menjakitk . ) walau sudah sama didjadikandalam kehidupan masjaraka i > akanqan ini lebih2 tak disukai, kaulanegara Belanda, status jang _ . harus diperlakukan da am Masakah sesama kaulanegara m » \ ambing» ? Disini tak akan

kehidupan se-hari2 seperti „ perbedaan2 dalam kehidupandipersoalkan lebih landjut tentang per _ ^

sosial ini. 13) i n pembawaan dan setiap ma-Karena „color line ,mer^ ^ t dimengertilah mengapa status

sjarakat kolonial, 14) ®a a 2 bersangkutan dipan ikaulanegara Belanda oleh orang bers 9 , gtatus k ^ u Wsuatu hal jang tak patut t u k e w a r g a n e g a r a a n J^ng

garaan ini dipandang se kata Fromberg.

„kosong , suatu ^ ¡^g g a ra a n Belanda ita un memang sudahnenmanja status kekau 9 daripada apa jang kaulanegara

tak memperoleh hak tenschap • & ¿ erupakan „vol-dipunjainja berdasarkan anqaap penuh, tak £ Se-olah2Belanda m e r e k a pun ^ 3 padahal kewadjibaii ^ kita kepadawaardige staatsburger . hubungan ^ n alam suasana

W a °ara= s e b a g i

demikian dapatlah a»““ *» N ederlands> berikut : „Orang lihat * . boetak airdjadi tjoemi2 jang m e m b i k m

___ Wci tjoemi2 jang ®em 1 qara batu sontohan

• antara sesama wargane3 tjontoh.5. Diskriminasi antar _ Belanda sebagaterutama. Kekaulanegara bag. golongan

B e la n d a ternjata tak te ah kitaKekaulaan negar ¿¡negeri ini. S an tentang kekaulaan

orang2 turunan Tiong j lu_ p alam pe kekurangan2. T®tap1,iihat dalam paragrap2 )a«9 1 9 1 0 terdaf t n terletak dalam

negara Belanda dari -a tak ¿1 S U bagi tiap2 faham ke­jang terutama mem jang terpe agn jang berisi. „ siPeraturan tersebut be ^ kewargan 9 t diketemukan dalam

Warganegaraan iala aIieqaraan midarinnrlo c£>c,atu kewarganeg

— --------- „ s Le iin w- ng v a n , " " disertasi

13> L ihat Bab U I pa^ o b le ern’ °dl. n > S' rta l®5®’ bab eannja The colonial dst., Het Rasse^misx-Vi?nia" ,iranJ D jalc , 5nt dalam karan^ „ t o n ’ The Science

_ dst., L ap °ran J5 inan tjamP j{an hal n Ra1 , wertheim dalamperaturan perkaw:m menge»“ * unan k a r a n ^ karangan

l4) Raymond Kennedy ^e , dalam 30g Lih anschap” dalam Sin Po-crisis and the fu crisis, Onderdaans 1921j h. 174.of m an in the W Nederlands Sin P°» 1)3noot no. 13 diatas. berg dan £ tikel da«

!5) Tjoe Bou San, „Mr ^ a n - p e t ^ a n 51

21 Mei 1920, brosur f

peraturan* tentang kewarganegaraan. ) Dalam Pe tur mendjadinegara Belanda pun tak dapat kita membatja aPaJ a”9 Belanda.hak2 dan kewadjiban2 d a r i p a d a seseorang kaulanega ^Untuk mengetahui hal ini perlu kita mengadakan tindjauan seluruh sistim hukum jang berlaku. Demikian halnja pula de ^ kewarganegaraan Indonesia sekarang ini. Untuk meng dan kewadjiban2 seseorang warganegara Indonesia tak dapat semata-mata memperhatikan peraturan kewarganegaraan terse D jika kita hanja berpaling kepada Undang2 K e w a rg a n e g a r

jang kini telah diundangkan, tak akan dapat diketahui apakah jany sebenarnja merupakan hak2 dan kewadjiban seorang w a r g a n e g a r ^

Indonesia. Untuk mengetahui hal jang belakangan harus diper hatikan pelbagai peraturan hukum jang memberi „isi” kepada statu warganegara Indonesia ini.

Supaja dapat mengetahui isi daripada kekaulaan negara Belanda telah kita mengadakan tindjauan selajang pandang dalam pelbagai lapangan hukum dalam paragrap2 jang lalu. Dalam we' lakukan hal itu kita saksikan bahwa terutama adanja perbedaan antara Nederlanderschap dan Nederlands Onderdaanschap-lah jang mendjadi batu sontohan. Status orang Belanda menurut hukum dipandang sebagai lebih tinggi dan lebih unggul daripada status kekaulaan negara Belanda. Tetapi disamping perbedaan ini masih ada lain2 hal lagi dalam kenjataan hukum Hindia Belanda jang membuat Nederlands Onderdaanschap tak populer. "

Kami maksudkan perbedaan karena keturunan bangsa (ras)- Masjarakat kolonial tak dapat tidak harus didasarkan atas per­bedaan keturunan bangsa ini. ,,Color line merupakan tjiri universil daripada sistim kolonialisme. 2) Ditindjau dari sudut kekaula- negaraan maka kita saksikan bahwa antara sesama kaulaneqara Be anda terdapat perbedaan perlakuan jang disandarkan atas keturunan bangsa im. Adanja politik mem-beda2kan diantara se-

populeran 9313 ^ merUpakan pok<* dari semua ketidak-

Perbedaan karena keturunan banasa j idang2an Hindia Belanda. Perbedaan oleh H ukT peCUn".

iann ■i riuKuin mi memnuniai

Underdaan, mereka ini masih dianaaa , JdQ1Kan ¡Nederlands perundang2an jang berlaku. MeroV* ? ,sebagai orang2 asing dalam'T:___• »' / t r _ 11\1 .1 * . j.

„Timur Asing’ („Vreemde Oos t e r l i n a pn r \^ ^lengan rakjat istilah mi terbajang bahwa mereka K u \ *-engan tegas dalam negeri ini. Mereka adalah „asina” dipandang sebagai anak2kan dalam peraturan bersangkutan mf numt kata2 jang diguna- — — n9kUtan’ maka status mereka ini di-

1) Bdgk. Ko Swan Sik T)a m

„ < * “ • ■ » . » ■ »■* » « “ ,S * S “ ,T ¿ " „ f >;~»a Kennedy “ “ '“ ,lsm “ °‘ ’3) Marcella, H, Algemee™ 4' w ertheim jang disebut dalam

52 gen Van Wet^ . Leiden, 1913.

I

gantungkan pula pada hukum keluarga jang berlaku „in hun land” („dalam negeri ■—• leluhur ■—■ mereka ’ ; pasal 163 I.S.). 4) Walau­pun mereka ini sudah dihitung sebagai anggauta Hindia Belanda dengan didjadikan kaulanegara Belanda tanpa dapat memilih, mereka ini terus menerus diperingatkan bahwa mereka ini se- benarnja „asing” disini. Pasal jang merupakan dasar daripada Pembagian golonganrakjat di Hindia Belanda ini terdapat dalam Indische Staatsregeling, jaitu peraturan jang dapat dianggap sebagai

Undang2 Dasar bagi Hindia Belanda. 5)

Perbedaan dipelbagai lapangan hukum.

Tetapi bukan sadja dalam Indische staatsregeling terdapat Peraturan2 jang menjinggung perbedaan menurut hukum mi.

« S T naesibdilangP1saama 'sepeS^golonganrakjat Bumiputera.t ! L , 9 2 i-larinarla Denuntut umum tak ada•lerhadan t in d a k a n 2 se-wenang^ danpaaa penumu

£ * « 5 % ■ !* * U * *

dah ^ eleluasf n peS UahSaaha ia untuk digandjar dengan tahanan ^h u lu (vooronderzoek), hah/ J ^ Venqadi\an sendiri, semua iniPreventip, atjara dimuka sidang P 9erbedaan perlakuan antara ^emperlihatkan betapa besar ada ] P sama2 kauk_esa®a kaulanegara. Orang- Belandajang ) mem.

egara Belanda, tetapi termasu ^ ^ . j aripacja golongan2 rakjat

Punjaj djaminan2 jang djauh Ie i Asing, betapa terpeladjarOrang d a r i g o lo n g a n ra k ja t T i m u r ^

dim11 kedudukannja d a l a m , koka sama seperti rakjatr^ u k a hakim k r im in il, harus I sistim „politierol. ,

umiPutera. Dalam hubungan mi P enang2 dapat turut me-

■£sr tiukup terkenaI' "Perse,a”Saina politie-rol”. °) . arhirnia telah diadakan pelbagai

Harus diakui, bahwa pa ir|ana inj. Satu dan lain diwudjud- P^rbaikan dalam hukum at)fraf - na sebagai „Reglemen Indonesia

dalam apa jang terkenal Reglement, Staatsbladloln diperbaharui" (Herzien . kjta saksikan perbaikan ini baru d V 1 «o. 32). Akan te tap i, sepert tetkaIa balatentara Niponb'lakukan dalam tahun 1941 . J j dengan apa jang dikatakan

dimuka pintu! kita alami suatu suasanaWertheim, diwaktu 7) Tetapi apakah tidak

’ rijheid, Gelijkheid, Broederschap

Komisi V W ? * * u m ini, lihat bu*u .arni,

RiiirUK arti dari paSal mi956 h- 3S- j* «India Belanda dan Mr P.H. Fromberg,SgKESBaFKfea* - ■* «• -Wertheim , Vrijheid, Geiu ^

sudah kasep ? Apakah tak terlampau menjolok mata apa jang telah mendjadi dorongan „kearah perbaikan dan persamarataan” ini ? Dan selain daripada itu, peraturan2 tentang makanan, pakaian per­lakuan dan sebagainja dalam pendjara2 masih membeda2kan.

Baru oleh penduduk Djepang telah diadakan persamarataan peraturan hukum atjara pidana dengan didjadikannja „Reglemen Indonesia jang Diperbaharui” ini berlaku untuk semua golongan- rakjat. Keadaan ini tetap berlangsung hingga kini. Sekarang „H.I.R.” berlaku sebagai hukum atjara peradilan di Indonesia untuk semua orang, tanpa memperbedakan golonganrakjat. Go- longanrakjat „Eropah” tak menikmati lagi suatu hukum atjara pidana (Reglemen t op de Strafvordering) tersendiri.

Dibidang hukum kerdja nampak pula suatu perbedaan jang menjolok. Sedjak tahun 1927 untuk golonganrakjat Eropah berlaku hukum kerdja jang baru setjara tersendiri (pasal 1601 - 1603 B .W .). Hukum baru jang mengenal pelbagai djaminan tertentu hanja dapat diperlakukan untuk orang2 bukan golonganrakjat „Eropah” , bila­mana mereka ini mengerdjakan apa jang termasuk istilah „Europese arbeid”. Apa jang termasuk „pekerdjaan Eropah” ini harus di­tentukan oleh hakim dalam tiap sengketa setjara konkrit. Pada umumnja dengan istilah ini dimaksudkan pekerdjaan jang biasanja dilakukan oleh orang2 Eropah. Tetapi interpretasi hakim tentang ini seringkali berbeda. Tambahan lagi, dengan bertambahnja madju perkembangan masjarakat disini, semakin lama semakin banjaklah orang2 bukan Eropah mengerdjakan pekerdjaan2 jang dahulu chusus dilakukan oleh orang Eropah. Dengan demikian bertambah surutlah kemungkinan untuk melakukan „Europese arbeid”. 8) Sebagai tjontoh : dahulu pekerdjaan pemegang buku dan direktur sesuatu perusahaan chusus dikerdjakan oleh orang2 Eropah. Tetapi bagai­mana halnja dalam tahun2 dekat pada peperangan atau diwaktu sekarang ini ? Dengan demikian timbullah ketidakpastian hukum. Njatalah bahwa karena hal ini pula timbullah perasaan tidak senang bagi golongrakjat pekerdja jang bukan Eropah. Mereka mengalami diskriminasi, walaupun seksama kaula 'negara !

Sekarang tak nampak lagi adanja perbedaan hukum kerdja antara golongan rakjat seperti sediakala. Benar peraturan2 jang lama masih belum ditjabut kembali. Akan tetapi dalam sengketa"2 perburuhan dewasa ini jang dikoordinir dan diadili oleh apa jang dikenal chalajak ramai sebagai P-4, maka instansi ini tidaklah merasa terikat kepada kriterium „Europese arbeid” dsb. Peraturan2 hukum kerdja dari sebelum perang, menurut berbagai keputusan dari instansi tersebut, hanja dipergunakan sebagai „pedoman”. °) Dengan diambilnja pelbagai tindakan pula oleh penguasa nasional

8) Tentang in i lihat lebih djauh R.D. Kollewijn, Het op arbeidsovereenkomsten toe te passen recht, Indisch Tijdschrift van het Recht, 139/19 dst.

9) H. Th. Ch. Kai dan V.F.M. den Hartog, Pemandangan ringkas tentang hu kum d i Indonesia, 1955, h. 127.

54

dibidang perburuhan ini, dapat dikatakan bahwa tak lagi terdapat persoalan perbedaan hukum kerdja diwaktu belakangan ini.

Djuga dilapangan hukum lainnja masih terdapat perbedaan hukum. Demikian halnja dibidang hukum tanah dan hukum perdata. Disini nampaklah pula dualisme atau pluralisme hukum. Aneka warna hukum dikedua lapangan ini akan tetapi harus diakui bukan- nja se-mata2 terdorong oleh hasrat untuk mengadakan diskriminasi. Sebaliknja, dibidang ini adanja pluralisme hukum ini disebabkan karena adanja perbedaan dalam kebutuhan2 hukum (verschil in rechtsbehoeften). 10 ) Bahwa untuk golonganrakjat Eropah dan Timur Asing (untuk sebagian) berlaku Kitab2 Burgerlijk Wetboek serta Wetboek van Koophandel sedangkan untuk golonganrakjat Bumiputera berlaku hukum adat tak tertulis (jang berbeda pula untuk masing2 suku) bukan disebabkan karena perlakuan diskrimi- natip. Bahwa dilapangan hukum tanah terdapat tanah2 jang tunduk dibawah hukum Eropah dan tanah2 jang takluk pada hukum adat bukan pula akibat diskriminasi. Hal ini mendjadi djelas djika kita ingat kepada Larangan Pengasingan Tanah, Vervreemdingsverbod (Stbl. 1875/179). Dengan peraturan ini djustru diadakan larangan bagi orang2 bukan-Bumiputera untuk memperoleh (setjara dise-

• ngadja) akan tanah milik Indonesia. Peraturan ini banjak sedikit telah membantu untuk mentjegah petani Indonesia kehilangan se­mua tanah berusahanja. Tentang larangan pengasingan ini kami telah uraikan sesuatu dalam rangka pembitjaraan „masalah Agraria”. 11 )

Lain2 perbedaan tetapi di-lain2 lapangan masih diketemukan perbedaan antara seksama kaulanegara. Dilapangan pendidikan nampak dengan njata akan hal ini. Perbedaan2 terdapat antara E.L.S., H.C.S., H.I.S., H.A(rabische)S., Schakelschool, Sekolah Rakjat (volksschool), vervolgschool, H.C.K., H.I.K. dsb. Kewa- djiban untuk menjediakan sekolahan2 bagi pemerintah hanja di­tentukan bagi golonganrakjat Eropah (pasal 181 I.S.). Pembajaran gadjih2 pun belum lenjap dari perbedaan karena keturunan bangsa. Skala2 gadjih adalah berlainan untuk pegawai negeri Eropah atau bukan. Demikian pula halnja dengari gadjih guru2 jang berdiploma Eropah atau Indonesia (Tionghoa). Perbedaan jang sama nampak dikalangan angkatan perang, pada ketentaraan atau angkatan laut. Djuga terdapat perbedaan dalam hal pensiun. Untuk orang2 djanda serta jatim piatu Eropah terdapat peraturan2 tersendiri. Peraturan perlop keluar negeri hanja berlaku bagi pegawai bangsa Eropah. Mereka jang bukan Eropah hanja mungkin menikmati tjuti diluar negeri dengan idzin istimewa dari Gubernur Djenderal. Sistim perwakilan rakjat masih tegas memperlihatkan diperlukannja per­lindungan golongan rakjat pengusaha terhadap golongan2 rakjat

10) Bdgk. Gouw Giok Siong, Hukum antargolongan, h. 170 dst.11) D iterbitkan pula oleh Keng Po.

55

lain (pasal 55 I.S.). Perbedaan perlakuan terdapat pula dalam rumah2 sakit pemerintah, dalam pengangkutan melalui air bagi pegawai negeri. Subsidie jang diberikan kepada rumah2 pemeli­haraan orang2 miskin diperbedakan menurut masing2 taraf kehi­dupan jang berkepentingan : setjara Timur atau setjara Barat ! 12)

Semua perbedaan ini terdapat antara sesama kaulanegara Belanda ! Perbedaan2 ini masih berlangsung terus hingga pendu­dukan Djepang. Herankah kita apabila status Nederlands Onder- daanschap sebelum perang pasifik ini tak dapat melahirkan warga2 sedjati ?

Dalam bab jang berikut kami harap dapat memberikan tin- djauan jang serupa berkenaan dengan kewarganegaraan Indonesia sekarang ini.

12) Lihat untuk in i Laporan Komisi Visman n , h. 54 dst.

56

BAB I V : „ISI” K E W A R G AN E G A R A AN INDONESIA.

Apa jang merupakan hak2 dan kewadjiban2 dari seseorang warganegara tidak dapat dilihat dari peraturan tentang kewarga- negaraan. Undang2 jang mengatur kewarganegaraan sesuatu negara tidak memberitahukan apakah jang merupakan „isi” daripada status kewargaan tersebut. „Isi” ini hanja dapat kita lihat dari rangkaian peraturan2 dan ketentuan2 jang tersebar diseluruh lapangan hukum. Hal ini sudah kita saksikan waktu dibitjarakan status kekaula- negaraan Belanda sebagai bahan perbandingan dengan kewarga­negaraan Indonesia. Dari uraian tentang kekaulanegaraan Belanda dalam bab jang lalu telah kita saksikan bahwa sebenarnja status ini adalah „kosong” belaka ! Oleh karena itu tak dapatlah ke- kaulaan negara Belanda ini didjadikan populer. Bagaimana halnja sekarang dengan kewarganegaraan Indonesia ?

Untuk mengetahui apakah jang merupakan hak2 dan kewa­djiban2 dari seorang warganegara Indonesia tak dapat kita hanja memandang pada Undang2 tentang Kewarganegaraan Indonesia jang kini telah berlaku. Dalam undang2 tersebut hanja dipersoal­kan tjara2 memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Apa jang mendjadi „isi” daripada kewarganegaraan Indonesia, hanja dapat kita ketahui setelah mengadakan tindjauan seksama dipelbagai bidang hukum dan administrasi. Peraturan2 jang telah dibuat oleh penguasa jang bersangkut paut dengan status kewarga­negaraan harus kita perhatikan. Dalam melakukan hal ini perlu kita perhatikan pula rangkaian peraturan2 jang diwaktu belakangan telah dibuat oleh penguasa militer atau penguasa perang. Per­aturan2 dan ketentuan2 dalam keseluruhannja inilah jang memberi „isi” kepada kewarganegaraan Indonesia.

§ 1. Hak untuk memilih dan dipilih.

Ada beberapa hak2 dan kewadjiban2 jang menurut pandangan klassik melekat pada status warganegara. Jang dimaksudkan ialah apa jang terkenal sebagai hak2 politis dan dibidang ketatanegaraan (politiek-staatkundige rechten). Hak untuk turut serta dalam pe­merintahan dan badan2 perwakilan rakjat dengan mempergunakan hak untuk dipilih dan memilih (actief en passief kiesrecht) meru­pakan salah satu hak azasi dari seseorang warganegara. Bahwa orang asing tak diperkenankan turut serta dalam pemilihan ini adalah logis. Undang2 Pemilihan Umum *) d juga menegaskan dalam pasal pertamanja bahwa hak untuk dipilih mendjadi anggauta Konstituante atau Dewan Perwakilan Rakjat disediakan melulu bagi warganegara. Ketentuan jang serupa dapat kita ketemukan dalam peraturan2 mengenai pemilihan anggauta2 Dewan Perwakilan Rakjat

1) Lembaran Negara 1953 no. 29.

57

Daerah 2) (pasal 2 dan 120). Harus dibuktikan bahwa orang jang terpilih „benar seorang warganegara Indonesia” (pasal 91). Ketentuan2 ini merupakan penglaksanaan daripada apa jang di­tentukan dalam UUDS (pasal 23 ajat 1), bahwa „setiap warga­negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil2 jang dipilih dengan bebas menurut tjara jang ditentukan oleh Undang2”.

Untuk dapat dipilih mendjadi Presiden Republik Indonesia orang haruslah warganegara Indonesia, demikian ditentukan dalam Undang2 Dasar Sementara kita (pasal 45 ajat 5). Djika kita mem­perhatikan perkembangan sekitar pasal ini, maka ternjata ada kemadjuan2 dalam faham kewarganegaraan. Bukankah didalam konstitusi R.I.S. masih dapat dibatja bahwa Presiden ini harus „orang Indonesia” (pasal 69 ajat 3) sedangkan lebih dahulu lagi pernah disjaratkan pemelukan agama Islam disamping ke-aslran untuk dapat diterima sebagai pemangku djabatan ini ? Kini di­tentukan bahwa setiap warganegara Indonesia berhak untuk dipilih mendjadi Presiden. Apa jang ditentukan ini adalah sesuai dengan ketentuan lain dalam Undang2 Dasar Sementara, bahwa setiap warganegara dapat diangkat dalam tiap-tiap djabatan pemerintah. Berlainan dengan orang asing jang hanja dapat diterima dalam djabatan pemerintah menurut aturan2 tertentu (pasal 23 ajat 2).

§ 2. Lapangan usaha chusus untuk warganegara.Selain daripada untuk djabatan2 resmi dalam pemerintahan dan

perwakilan ini masih terdapat pelbagai pekerdjaan dan lapangan usaha jang chusus disediakan untuk warganegara. 3) Kita saksikan misglnja baru2 ini bahwa untuk dapat mendjadi anggauta daripada apa jang dinamakan „Dewan Perniagaan dan Perusahaan” sjarat warganegara adalah mutlak (pasal 4). 4) Lebih djauh kita saksikan bahwa berkenaan dengan penggilingan padi dan penjosohan beras pun terdapat ketentuan jang serupa. Dalam membuat peraturan ini 5) telah diperhatikan azas2 jang dianggap patut berhubung dengan politik ekonomi nasional. Politik ini memerlukan bahwa perusahaan2 jang pekerdjaannja terletak dalam lapangan persediaan bahan makanan tidak dikuasai oleh orang2 jang berwarganegara lain daripada warganegara Indonesia. Persediaan lapangan kerdja chusus untuk warganegara ini dapat kita lihat pula dalam peraturan jang dibuat berkenaan dengan Perusahaan Muatan Kapal Laut. 6) Sebelum peraturan ini maka menurut kenjataan sebagian terbesar daripada perusahaan veem adalah kepunjaan bangsa asing. Hal ini

2) Lembaran Negara 1956 no. 44, Undang2 1956 no. 19.3) Dalam UUDS (pasal 28 ajat 1) dapat kita membatja bahwa seorang w a rg a ­

negara berhak sesuai dengan ketjakapannja atas pekerdjaan jang la jak bag i kemanusiaan.

4) Lembaran Negara 1956 no. 17, P.P. 1956 no. 11.5) Peraturan Pemerintah tahun 1954 no. 42, Pendjelasan dalam TLN 1954 no. 610.6) Peraturan Pemerintah 1954 no. 61, Pendjelasan dalam TLN no. 712.

58

dirasakan bertentangan dengan politik ekonomi nasional jang memerlukan bahwa perusahaan2 mengurus barang muatan kapal laut tidak dikuasai oleh orang asing ini. Maka peraturan jang di­adakan berdasarkan Ordonansi Pembatasan Perusahaan 1934 (Bedrijfsreglementeringsordonnantie) ini mengadakan pelbagai sja- rat tertentu jang membataskan lapangan usaha orang2 bukan- warganegara dilapangan perusahaan2 tersebut. Djuga dalam lapangan pengusahaan, pengangkutan otobis telah kita saksikan ketentuan jang sedjalan. Bahkan dalam penglaksanaan peridzinan otobis ini terlihat adanja pengutamaan daripada sebagian sesama warganegara jang dipandang termasuk golongan „ekonomis lemah”. Hal ini tak akan kita bitjarakan lebih djauh dalam paragrap se­karang jang - terutama memperhatikan perbedaan antara status warganegara dan asing.

Dalam pedoman untuk pelaksanaan peridzinan otobis ini ter­dapat pula pelbagai sjarat jang menarik berkenaan dengan bentuk badan usaha fihak2 jang bersangkutan. Diutarakan dalam suatu keputusan Menteri Perhubungan jang chusus untuk itu bahwa perseroan2 atau kongsi2 bersangkutan, baik pengurus, direksi atau dewan komisaris harus terdiri dari warganegara Indonesia 7). Dalam peraturan pemerintah tentang perizinan pelajaran ditentukan pula bahwa idzin ini hanja dapat diberikan- kepada badan hukum Indonesia jang berkedudukan di Indonesia. 8) Suatu tjontoh lain ialah pembikinan garam setelah penghapusan monopoli garam oleh pemerintah. Djuga disini disediakan pembikinan garam ini kepada warganegara. (pasal 2 UUDarurat tentang Penghapusan Monopoli Garam dan Pembikinan Garam Rakjat). 9)

Lapangan kerdja bagi orang asing semakin k e tjil!Dalam rangka uraian ini perlu diperhatikan pula pelbagai

peraturan jang diwaktu belakangan telah ditjiptakan oleh pengusaha berkenaan dengan bidang pekerdjaan dan usaha untuk warganegara dan orang asing. Kita saksikan dari rentetan peraturan2-jang me­lihat keadaan dalam waktu dekat nampaknja akan mendjadi lebih „deras” lagi mengalirnja —, bahwa lapangan kerdja bagi orang asing akan tambah tjiut. Disini kita sebut misalnja sebagai tjontoh penetapan bersama dari menteri perindustrian dan menteri per­dagangan mengenai apa jang diartikan dengan „perusahaan asing”. 10) Menurut pengumuman ini maka perusahaan2 asing dalam bentuk badan hukum ialah sesuatu badan usaha jang dalam akta pembentukannja tidak menjatakan sebaliknja berkewarga- negaraan Indonesia ataupun kewarganegaraan pemegang sahamnja

7) Keputusan Menteri Perhubungan tg. 15 Nop. 1954 Nr. L 1/2/17, Tambahan Lembaran Negara 1954 no. 702.

8) Pasal 3 dari Lembaran Negara 1957 no. 104, Pendjelasan dalam TLN 1957 no. 1454.9) Lembaran Negara 1957 no. 82.

10) Keputusan bersama Menteri Perindustrian dan Menteri perdagangan no. 2077/ M/Perind., no. 2430/M/Perdag., ttg. 3 Sept. 1957.

59

tidak djelas. Menurut peraturan ini dikehendaki adanja saham2 dibuat diatas nama (op naam) untuk menentukan status asingnja atau tidak. Kami tak akan persoalkan apakah penetapan tentang keharusan saham „op naam” ini untuk menentukan kewargane- garaan perusahaan bersangkutan mempunjai dasar hukum atau belum. 11) Hanja disebut penetapan ini sebagai suatu tjontoh dari­pada „pengisian” faham kewarganegaraan oleh penguasa diwaktu achir ini. Konsekwensi daripada status asing bagi fihak pengusaha ini adalah berat. Dengan memiliki status asing ini orang terkena dibawah pelbagai beban jang tak diletakkan atas warganegara. Berkenaan dengan penetapan ini misalnja pengusaha asing dalam waktu terbatas telah diwadjibkan untuk meminta idzin supaja boleh melandjutkan perusahaannja. Ketentuan ini disertai dengan pelbagai peraturan jang serupa atau dipandang sebagai peraturan2 pelaksa­naan. Untuk mendirikan perusahaan2 asing baru atau memperluas- nja serta memindahkan tempat dan memindahkan hak dari perusahaan2 tersebut tidak akan diberi idzin. 12)

Dalam rangka pembatasan lapangan kerdja bagi orang asing ini perlu kita sebut pula pelbagai tindakan jang telah diambil oleh badan2 pemerintahan rendahan. Tindakan2 ini tentunja sudah di­saksikan oleh pembatja sendiri diwaktu mengikuti berita2 dalam harian2 achir2 ini. Sebagai tjontoh disini disebut suatu keputusan daripada Dewan Perwakilan Rakjat Kotapradja Bandung dibulan Oktober tahun jang lalu, agar „izin jang kini ada pada bangsa asing untuk pemotongan hewan, ditjabut”. 13) Ada lain tjontoh jang lebih menjolok lagi! Jaitu resolusi DPRD-P Kabupaten Pandeglang jang menurut berita isinja telah diterima oleh DPRD-P Kabupaten Garut dibulan Oktober 1957 djuga, agar supaja orang asing dilarang untuk masuk dalam daerah2 tersebut. Dengan resolusi ini Pemerintah didesak agar supaja melarang masuknja orang2 asing dalam daerah2 itu untuk berusaha dilapangan distri­busi, industri ketjil, pengangkutan dan memburuh tanpa memer­lukan keahlian tinggi. 14)

Djuga kewadjiban pendaftaran perusahaan, baik jang ketjil maupun jang besar diberbagai kota dan beban untuk melaporkan tenaga2 buruh asing jang dipergunakan serta memperoleh idzin untuk itu harus dilihat sebagai tindakan2 pengisian daripada ke­warganegaraan Indonesia Kedudukan orang asing dibidang ini tambah sukar sedjalan dengan berkobarnja semangat nasionalisme !

11) Dipersoalkan misalnja oleh Konperensi Pleno Pusat Baperki d i D jakarta bu lan Oktober 1957, lihat Sin Po, 21 Oktober 1957.

12) Bdgk. pengumuman Kepala inspeksi perdagangan dalam negeri dan perekono­mian umum Sumatera Selatan, Sin Po, 24 Okt. 1957.

13) Keng Po, 17 Okt. 1957.14) Keng Po, 19 Okt. 1957.

60

Dapatkah dipertanggung-djawabkan tindakan3 ini ?

Tak disangkal penguasa berwenang untuk mengadakan tin­dakan2 pembatasan kebebasan berusaha daripada orang asing demi kepentingan para warganegara. Memang ketentuan ini dapat di­katakan telah diterima dalam negara2 lain pula. Negeri Belanda misalnja mengenal djuga pembatasan2 serupa daripada pekerdjaan orang asing (Misalnja W et van 16 Mei 1934 tot regeling van het verrichten van arbeid door vreemdelingen, 15) Staatsblad 1934 no. 257 dan W et van 22 April 1937 tot regeling van het zelfstandig uitoefenen van beroepen en bedrijveri door vreemdelingen. Staats­blad 1937 no. 628). 10 ) Djuga dinegeri Belanda orang asing me- merlukan idzin chusus dari Menteri Sosial untuk melakukan pekerdjaan baik sebagai buruh, setjara bebas (vrij beroep) atau sebagai pengusaha. Keadaan disini hanja menjolok mata karena kedudukan orang2 asing dalam rangka ekonomi kolonial adalah dieloni. Karenanja tindakan2 terhadap orang2 asing ini lebih2 terasa. Lagi pula segala sesuatu telah diadakan dengan gelombang2 jang tak berhenti, hingga lebih terasa oleh jang terkena. Kami tak sangsikan kewenangan penguasa menurut hukum internasional untuk mengadakan tindakan3 itu. Hanja kiranja segala sesuatu dapat didjalankan dengan bidjaksana, supaja djanganlah nasiona­lisme berupa chauvinisme jang mendjadi dorongan. Kiranja pun sesuatu ini melulu dibataskan pada pengisian status warganegara terhadap asing dan sekali-kali tak dibelokkan kearah pengutamaan sesegolongan warganegara terhadap sesama warganegara. Para- grap ini akan kita achiri dengan mengulangi harapan jang di- "tjapkan Mr Soenario waktu membitjarakan peraturan2 untuk orang asing dimuka t jorong RRI Djakarta : „Asal sadja berdasarkan azas negara hukum jang demokratis, atau dengan lebih tepat, berdasar­kan „Pantja Sila” kita, ja’ni ke-Tuhanan, kemanusiaan, kebang­gaan, demokrasi dan keadilan sosial !” 17)

§ 3. Tindakan2 chusus terhadap orang3 asing.

Dalam suasana berkobarnja semangat nasional kita saksikan tindakan2 terhadap orang2 asing semakin bertambah. Tindakan2 chusus terhadap orang2 asing ini meminta perhatian dalam rangka pembitjaraan kita. Apa jang merupakan hak2 seorang warganegara dapat disimpulkan pula dari tindakan2 chusus terhadap orang2 asing ini. Hak2 dan kewadjiban2 orang asing jàng termasuk „vreemdelingenstatuut" ini, perlu diperhatikan djuga. Dengan de­mikian dapat kita memperoleh gambaran daripada apa jang merupakan „isi” status warganegara.

15) J.A . Fruin, De Nederlandsche Wetboeken, 1952, h. 2529.16) idem, h. 2575.17) Masalah-masalah disekitar soal warganegara dan orang asing, brosur, Djakarta,

tak bertahun, h. 14.

61

Berkenaan dengan keluar-masuk negara terdapat perbedaan2 jang tegas antara status warganegara atau asing. Seorang warga- negara setelah meninggalkan Indonesia berhak untuk kembali lagi kesini. Tak demikian dengan orang asing. Ia berhak untuk me­ninggalkan Indonesia tetapi tidak berhak pula untuk kembali. Hal ini ditegaskan dalam Undang2 Dasar Sementara : „Setiaporang (djadi djuga orang asing) berhak meninggalkan negeri dan— djika ia warganegara atau penduduk ■— kembali kesitu” (pasal9 ajat 2). Ternjata dari pasal ini bahwa bukan sadja seorang warganegara berhak untuk kembali, melainkan djuga seorang „penduduk”, (ingezetene).

Status penduduk.Siapakah „penduduk” ini ? Status penduduk inipun perlu

sekedar kita singgung dalam rangka pembahasan kita. Dalam Undang2 Dasar Sementara terdapat pula suatu ketentuan berke­naan dengan kependudukan (ingezetenschap) ini. „Penduduk Negara ialah mereka jang diam di Indonesia menurut aturan2 jang ditetapkan dengan Undang2” (pasal 6). Pada waktu pasal ini dimuatkan dalam Undang2 Dasar Sementara maka undang2 jang mengatur hal2 kependudukan ialah Toelatingsbesluit (Stbl. 1916-47, ber-ulang2 diubah) berdasarkan pasal 160 Indische Staatsregeling. Kini pembuat Undang2 nasional telah mengadakan peraturan sendiri. Dengan undang2 darurat telah diatur „Kependudukan orang asing” (UUDar. 31 Mei 1955 no. 9, L.N. 1955 No. 33, Pendjelasan dalam TLN 812). *) Dengan diadakannja peraturan ini, maka peraturan2 lama ditjabut. Akan tetapi tak ditegaskan peraturan2 manakah jang dihapuskan. Hanja dikatakan bahwa jang ditjabut ialah ,.ketentuan2 jang bertentangan dengan ketentuan2” dalam undang2 darurat tersebut. Oleh karena itu timbul kebim­bangan tentang masih berlaku tidaknja peraturan2 lama. Bukankah dalam peraturan2 lama diatur kependudukan setjara umum, djadi djuga dari para warganegara. Undang2 darurat ini hanja mengatur kependudukan dari orang2 asing.

Menurut undang2 darurat ini, maka „orang asing mendjadi penduduk Negara Indonesia, djikalau dan selama ia menetap di Indonesia” (pasal 2). Siapa jang bukan warganegara ialah orang asing. Tetapi untuk menetapkan siapa2 warganegara ternjata kadang2 tak mudah. Satu dan lain disebabkan karena Indonesia belum mempunjai undang2 kewarganegaraan. la) Keluhan ini sudah seringkah terdengar. Keragu2an timbul misalnja untuk anak2 jang dilahirkan dari perempuan2 asing jang menikah dengan wargane­gara Indonesia setelah pengakuan kedaulatan. Mengenai status perempuan jang belakangan ini pernah kita singgung satu dan lain tatkala membitjarakan peraturan penguasa militer berkenaan dengan

1) Lampiran peraturan no. 16; Pendjelasan, lam piran no. 17.la) Setelah karangan in i dibuat U.U. tentang Kewarganegaraan R.I. te lah d iu n ­

dangkan.

62

pembuktian kewarganegaraan, jang ternjata telah diperbaharui dalam rangka Undang2 Keadaan Bahaja. 2)

Pelbagai golongan orang asing.Kelompok orang2 asing sendiri tak „homogeen”. Didalam ke­

lompok orang2 asing ini masih harus diadakan pelbagai perbedaan. Hak2 mereka ini tergantung daripada golongan dimana' mereka termasuk. Orang asing jang diidzinkan untuk bertempat tinggal di Indonesia dapat dibagi dalam dua golongan besar. Jang pertama ialah mereka jang diberikan suatu „idzin masuk" (toelating, admission) dengan hak tinggal disini untuk waktu tertentu. Golongan lainnja sudah diperbolehkan untuk tinggal t e t a p disini. Mereka inilah jang dipandang sebagai ,.penduduk”. Djadi jang digunakan sebagai pegangan ialah ,,menetap” (gevestigd).

Bilamana dapat kita memandang seorang asing sudah menetap disini ? Berlainan dengan Undang2 Kekaulanegaraan Belanda tahun 1910 —■ seperti telah dibahas dalam karangan2 jang lalu — tak dapat dipergunakan disini pengertian domicilie belaka daripada Burgerlijk Wetboek. Hanja mempunjai ..hoofdverblijf” atau ..berada” sadja di Indonesia tak tjukup. Istilah ,,diam” jang di­gunakan dalam pasal 6 Undang2 Dasar Sementara njatalah tak dapat ditafsirkan sebagai se-mata2 „berada”. Dengan „diam” ini harus diartikan „bertempat tinggal setjara menetap.” 3)

Djadi haruslah ada suatu kenjataan menetap sebelum seorang asing dapat dipandang penduduk negeri ini. Berapa lamakah harus ia ini tinggal di Indonesia supaja dapat diidzinkan tinggal tetap ?

Menurut peraturan jang lama tak ada ketentuan jang pasti tentang hal ini. Segala sesuatu telah digantungkan kepada praktek administrasi. Dan menurut praktek ini umumnja orang asing baru­lah dapat diberikan idzin menetap setelah 10 tahun. D jangka waktu10 tahun ini diambil dari djangka2 waktu jang dikenal dalam Toeïatingsbesluit. Suatu „Kartu Idzin Masuk” pertama berlaku untuk 2 tahun. Kemudian ini dapat diperpandjang dengan 2 tahun dan sekali lagi diperpandjang dengan 6 tahun. Total mendjadi 10 tahun. Djadi pada umumnja seorang asing menurut peraturan dahulu ini hanja dapat diberikan idzin menetap — karena mana ia mendjadi penduduk — setelah 10 tahun bertempat tinggal disini. Tetapi tak ada suatu larangan bilamana idzin menetap ini di­berikan lebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan djika adalah dalam kepentingan daripada Hindia Belanda sendiri bahwa seorang asing diberikan „status” penduduk, walau 10 tahun bertempat tinggal belum dapat dipenuhinja.

2) bab V.3) Bdgk. Prof. Dr J.H.A. Logemann, Ingezetenschap van vreemdelingen in Indo­

nésie, Mededelingen Documentatlebureau Overzees recht, tahun 5 no. 11/12,Nop.-Des. 1955, h. 73.

63

Status penduduk ini memberikan pelbagai hak. Hak2 ini me­nurut hukum jang lama terletak antaranja dibidang ekonomis. Sebagai tjontoh disebut disini sjarat2 untuk dapat memperoleh hak erfpacht. Disamping status kaulanegara Belanda djuga diterima kependudukan sebagai sjarat. (pasal 11 Agrarisch Besluit, Stbl. 1870 No. 118). Djuga untuk konsesi2 pertambangan dikenal sjarat2 serupa (pasal 4 Indische Mijnwet). 4) Sjarat2 berkenaan dengan erfpacht dan konsesi pertambangan menurut peraturan dahulu ini karena kurang sesuai dengan zaman kini dapat dipandang tak ber­laku lagi. Demikian pula dengan pelbagai hak jang dahulu pernah dilekatkan pada status „ingezetenschap”, tetapi kemudian telah diubah dan digandengkan pada kekaulanegaraan Belanda. Hal ini telah kita saksikan diwaktu membitjarakan „isi” kekaulanegaraan Belanda tersebut. 3) Tetapi nistjaja demikian, ada satu hak jang dapat dikatakan terpenting bagi status kependudukan. Jaitu, bahwa seorang penduduk ini berhak untuk bertempat tinggal di Indonesia. (pasal 160 I.S. ajat 3). Hanja bilamana ia tak dilahirkan disini, ada kemungkinan bahwa ia diusir karena merupakan bahaja bagi ketertiban umum, (pasal 35 I.S.). Diwaktu sekarang dapatlah di­ambil tindakan2 jang lebih luas lagi terhadap orang3 asing — termasuk penduduk — berdasarkan Undang2 Darurat tentang Pengawasan Orang Asing (L.N. 1953 No. 64, pendjelasan dalam TLN 463). G) Peraturan ini akan kita bitjarakan lebih djauh kelak. 7).

P erubahan-perubahan.

Djangka waktu bertempat tinggal dinegeri ini sebelum dapat memperoleh idzin menetap kini telah ditentukan dalam Undang2 Darurat mengenai Kependudukan Orang Asing. Sekarang disjarat- kan bertempat tinggal berturut-turut di Indonesia untuk 15 tahun lamanja sebelum dapat memperoleh idzin menetap ini (pasal 3). Hal ini adalah berlainan daripada praktek jang tadinja didjalani.

Lain daripada itu ditentukan pula bahwa „surat2 imigrasi” jang diberikan berdasarkan peraturan dahulu, kini tak berlaku lagi. Pemilik2 surat2 lama jang berkenaan dengan kependudukan seperti „Vergunning tot Vestiging”, „Verklaring van Iingezetenschap” , „Surat Keterangan Kependudukan Sementara” dsb., harus ditukar dengan jang baru. Untuk ini diperlukan pembajaran beaja (Rp. 500,— untuknja sendiri dan Rp. 300,— untuk isteri dan anak ; pasal 4).

Keharusan untuk meminta idzin menetap ini membawa risiko. Penguasa tak diwadjibkan untuk memberikan idzin menetap ini, walau segala sjarat2 telah dipenuhi oleh sipemohon. Dan. dalam

4) Lihat Prof. Dr. J.H.A. Logemann, CoUege-aantekeningen over het staatsrecht van Nederlands India, h. 93.

5) bab III par. 4.

6) Lampiran peraturan no. 7 ; Pendjelasan, lampiran no. 8.7) par. 4 bab ini.

64

hal permohonan ditolak, maka jang bersangkutan ini dapat di­keluarkan (pasal 3 ajat 4). Atas dasar2 apakah dapat ditolak per­mohonan ini ? Dalam undang2 darurat bersangkutan tak diterang- kannja. Tetapi dasar2 ini dapat kita ketemukan dalam peraturan jang lama, jaitu pasal 12 Toelatingsbesluit. Pasal ini dapat di­pandang masih berlaku karena tak bertentangan dengan undang2 darurat tentang Kependudukan Orang Asing. Penolakan dapat diadakan berdasarkan kepentingan ketertiban umum (openbare rust en orde) atau djika sipemohon dipandang tak dapat mentjari nafkah setjukupnja baginja sekeluarga atau djika ia ini setelah kedatangannja disini telah dihukum karena melakukan kedjahatan. Djelaslah bahwa alasan2 jang dapat dipergunakan ini luas sekali. Pendjabat2 jang bersangkutan dapat „mengulurkan” sekehendak mereka.

Bagaimana dengan orang2 asing jang dilahirkan disini ? Mereka ini pun diharuskan mempunjai surat idzin menetap. Dan mereka pun harus memenuhi sjarat2 mengenai tempat tinggal 15 tahun berturut-turut tersebut ta^i. Djika hal ini belum dipenuhi mereka hanja „dapat” diberikan „Kartu Izin masuk”.

Orang asing penduduk ini mudah sekali kehilangan statusnja (pasal 5). Sebagai alasan pertama disebut: melepaskan hak menetap. Apakah sebenarnja melepaskan hak ini ? Tidaklah di- djelaskan apa jang diartikan dengan istilah tersebut. Lain daripada itu disebut: kediaman terus-menerus lebih dari 18 bulan diluarnegeri. Prof. Logemann telah menganggap alasan ini terlampau keras, misalnja bagi seorang jang untuk kesehatannja perlu ber­istirahat lama dinegeri dingin ! 8) Djuga lain2 ketjaman telah di- kemukakan oleh beliau terhadap tjara2 kehilangan status penduduk setjara terlampau gampang ini. Memori Pendjelasan sebaliknja mengemukakan, bahwa status penduduk jang hilang ini mudah diperoleh kembali. Setelah orang asing bersangkutan bertempat tinggal lagi di Indonesia dapatlah ia memperoleh kembali suatu idzin menetap. Dalam hal demikian tak berlakulah sjarat bahwa ia ter­lebih dahulu harus lagi berturut-turut bertempat tinggal 15 tahun disini.

Lain daripada itu kependudukan ini djuga hilang djika orang asing bersangkutan di-enjahkan. Dalam hal ini kita saksikan adanja p.elbagai kemungkinan jang tadinja tak dikenal. ■ Pembahasan ke­mungkinan pengenjahan terhadap orang asing ini kita akan kupas lebih djauh dalam rangka pembitjaraan tindakan2 pengawasan ter­hadap mereka dalam paragrap berikut.

8) Ingezetenschap van vreemdelingdn, o.c. h. 80.Pengertian tentang Negara Hukum , diterbitkan pula oleh Keng Po3 1956.

§ 4. Pengawasan terhadap orang asing.Menurut ketentuan dalam Undang2 Dasar Sementara, maka

„setiap orang berhak dengan bebas bergerak dan tinggal dalam perbatasan Negara” (pasal 9 ajat 1). Kemudian ditetapkan pula bahwa „setiap orang berhak meninggalkan negeri dan .— djika ia warganegara atau penduduk .—• kembali kesitu” (ajat 2). Dalam memberikan kebebasan bergerak ini tak diadakan perbedaan antara warganegara atau asing. Akan tetapi, apa jang ditjantumkan dengan megahnja dalam Undang2 Dasar Sementara ini dalam prakteknja dapat dibatasi ! Dan pembatasan ini dapat pula di- ' pertanggungdjawabkan menurut norma2 hukum. Satu dan lain karena pasal dalam Undang2 Dasar Sementara jang disebut tadi termasuk bab tentang hak2 dan kebebasan2 dasar manusia. Hak2 serupa ini menurut pasal dari Undang2 Dasar Sementara lainnja (pasal 33) dapat diperketjil. Kepada pembuat-undang2 diberi kuasa untuk mengadakan pembatasan ini. Kata2 jang dipergunakan dalam pasal 33 ini, jaitu bahwa pembatasan hanja boleh diadakan „untuk mendjamin pengakuan dan penghormatan jang tak boleh tiada ter­hadap hak2 serta kebebasan2 orang lain, dan untuk memenuhi sjarat2 jang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesedjahteraan dalam suatu masjarakat jang demokratis” adalah tjukup luas untuk memasukkan kedalamnja segala tindakan2 pembuat-undang2 ber­kenaan dengan pengawasan terhadap orang asing. 1)

Undang2 Pengawasan orang asing.Dengan undang2 darurat 1953 No. 9 (L.N. 1953 No. 64, Pen-

djelasan TLN No. 463) 2) telah ditetapkan suatu peraturan jang chusus ditudjukan terhadap orang2 asing dinegeri ini. Undang2 darurat tentang „pengawasan orang asing” ini dapat dipandang sebagai suatu peraturan pokok diatas mana telah disandarkan pel­bagai peraturan penglaksanaan jang semua bermaksud untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Guna dapat melakukan pengawasan ini dipandang perlu untuk mentjiptakan suatu organisasi chusus jang dinamakan „Organisasi Pengawasan Orang Asing”. O rga­nisasi ini dapat diadakan oleh Menteri Kehakiman. Tetapi tugas . dan kekuasaan daripada organisasi ini diatur pula dengan Peraturan Pemerintah (pasal 1, 2).

Peraturan pemerintah jang dimaksudkan dalam undang2 darurat ini ialah „P.P. tentang Pelaksanaan Pengawasan terhadap orang Asing jang berada di Indonesia” (tahun 1954 no. 45, Pen- djelasan TLN no. 645). 3) Intisari peraturan ini tjukup dikenal oleh chalajak ramai. Berkenaan dengan tugas melakukan penga­wasan ini telah diadakan pelbagai tindakan2 jang membataskan

1) Lihat Mr F.R. Bohtlingk, De noodwet vreemdelingentoezicht, da lam M edede lingen Documentatiebureau Overzees recht, Pebr. 1954, thn. 4 no. 2, h. 10.

2) Lampiran peraturan no. 7 ; Pendjelasan no. 8. > i3) Lampiran peraturan no. 9 ; Pendjelasan no.-10.

pembebasan bergerak daripada orang2 bersangkutan. Terkenal adalah ketentuan2 dengan disertai antjaman hukuman untuk me­ngadakan pelaporan diri pada kantor polisi tempat tinggalnja atau tempat kediamannja segera setelah orang asing bersangkutan mem­peroleh kartu idzin masuk di Indonesia (pasal 3 ajat 1). Djuga bilamana ia pindah maka haruslah dilaporkannja hal ini kepada kantor polisi dalam tempo 7 hari (ajat 2). Tambahan lagi, bukan sadja untuk berpindah tempat tinggal, tetapi djuga untuk bepergian kelain tempat lebih dari 30 hari haruslah diadakan laporan (pasal4). Djuga djika ia menginap ditempat lain, baik dihotel (pasal 5 s/d 7) maupun dirumah lain jang bukan merupakan rumah penginapan (pasal 8) terdapat keharusan untuk mengadakan laporan ini. Dalam prakteknja peraturan ini tjukup terkenal. Pengi­sian formulir2 djika ingin menginap di-hotel2 berikut pembuktian sekedar mengenai status jang bersangkutan, adalah akibat daripada ketentuan ini. -1)

Selandjutnja dengan peraturan inipun telah ditjiptakan suatu Biro jang membantu Menteri Kehakiman dalam melakukan penga­wasan terhadap orang asing. „Biro Pengawasan Orang Asing" ini kiranja sudah tjukup terkenal pula dalam praktek se-hari2.

Koordinasi.Dalam rangka keadaan darurat perang kita saksikan bahwa

Penguasa Militer telah mengadakan tindakan chusus untuk me­ngadakan pengawasan setjara lebih tertib terhadap orang2 asing ini. Agar supaja dapat dilantjarkan dan diintensivir pelaksanaan tentang pengawasan terhadap orang2 asing ini dibuatlah Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/012/1957 ttg. 3 Djuli 1957 tentang ..Pelaksanaan koordinasi pengawasan orang asing jang berada di Indonesia". (B.N. 1957 no. 60). 5) Setelah berlakunja Undang2 Keadaan Bahaja ternjata peraturan ini telah diperbaharui. Maksud daripada peraturan ini ialah untuk dapat memungkinkan penje- lenggaraan pengawasan „setjara serempak dan tertentu". Guna mentjapai hal ini haruslah terdapat koordinasi jang se-baik2nja. Koordinasi dalam pelaksanaan pengawasan ini harus diatur dari pusat sampai kedaerah2.

Menarik perhatian kita, bahwa dalam usaha untuk mentjapai koordinasi ini dalam pendjelasan daripada Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengawasan orang asing tersebut diatas telah disinggung pula hal koordinasi irii. Bahkan tak terdjadinja tindakan? jang simpang-siur dipandang sebagai sjarat mutlak untuk meng­hindarkan tjemooh dari dunia internasional ! Kata Menteri Ke­hakiman dalam pendjelasaiinja, bahwa tindakan2 bersimpang siur

4) Lihat tjontoh pengisian formulir oleh hotel", lampiran pada Lampiran peraturan no. 10.

5) Lampiran peraturan no. 11; Pendjelasan no. 12.

ini „sangat merugikan baik moreel maupun materieel bagi orang asing jang bersangkutan, maupun Pemerintah kita dimata dunia internasional. Dalam rangka ini malah telah dikutib perkataan2 dari seorang sardjana hukum kenamaan, Prof. van Vollenhoven : „het eene drogargument is d it : het buitenland heeft geen reden tot beklag, als wij aantonen zijn onderdanen en belangen niet slechter te hebben bejegend dan wij het onze eigen onderdanen doen. W il een land of een overzeesch gebied voor eigen onderdanen en belangen beneden zulk een (intemationale) standaard blijven, dat is zijn zaak : maar vreemde onderdanen en belangen hebben daronder niet te lijden” (Staatsrecht Overzee, h. 241). Lebih djauh dirasa perlu untuk menambahkan dalam pendjelasan resmi tersebut : „Tentang kerugian jang diderita oleh orang karena kelalaian kita. Pemerintah kita dapat dituntut oleh Pemerintah asing jang ber~ sangkutan”’. Kata2 ini kiranja perlu diperhatikan pula oleh pen- djabat2 jang ditugaskan untuk melaksanakan pengawasan terhadap orang asing ini. Dalam zaman bergeloranja semangat nasional pun masih perlu diingati bahwa memang ada apa jang terkenal sebagai batas2 minimum daripada hukum internasional terhadap orang asing. c)

Menurut peraturan dari Penguasa Militer tentang koordinasi pengawasan terhadap orang asing ini, maka Biro Pengawasan Orang Asing dari Kementerian Kehakiman dimasukkan dalam Badan Koordinasi dan diserahi tugas sekretariat daripada badan tersebut. Lain daripada itu ditundjuk pula pelbagai pendjabat jang memegang peranan penting berkenaan dengan keamanan negara untuk turut serta duduk dalam badan itu.

»>Hafc2 exorbitant'’.Bagi kita adalah penting untuk mengetahui dalam garis2 besar

apakah jang mendjadi kewenangan dan tugas pekerdjaan daripada badan pengawas ini. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa instansi ini dapat mengambil pelbagai tindakan2 terhadap orang2 asing. Kebebasan bergerak daripada orang2 asing dapat dibatasi dengan sangat oleh badan pengawas ini. Pasal 5 menjatakan tindakan2 apakah dapat diambil terhadap orang3 asing ,,jang ber- bahaja untuk ketenteraman, kesusilaan atau kesedjahteraan umum atau tidak mengindahkan peraturan2 jang diadakan bagi orang2 asing jang berada di Indonesia” (ajat 1). Tindakan2 ini meliputi : pertama, keharusan untuk berdiam disuatu tempat tertentu di Indonesia. Inilah jang < terkenal dengan nama „internering” . Lain daripada itu dapat pula orang asing bersangkutan dilarang untuk berada di beberapa tempat tertentu di Indonesia dari mana ia harus pergi. Djadi ia tak diperbolehkan untuk tinggal dibeberapa bagian

6) Untuk in i lihat Andreas H. Roth, The m in im um standard of in ternationa l law applied tot aliens, Leiden 1949, h. 185.

68

wilajah Indonesia. Selandjutnja ia ini dapat dikeluarkan dari Indonesia sekalipun ia penduduk negeri Indonesia ! Jang bela­kangan ini terkenal pula dengan istilah „externering”. Pengenjahan jang dapat dilakukan djuga terhadap orang asing jang berstatus pènduduk merupakan pengluasan daripada kewenangan jang di­berikan pada penguasa dalam „Toelatingsbesluit”. Pengusiran terhadap seorang penduduk tak dapat disandarkan atas Toelatings­besluit ini, karena siapa jang sudah memperoleh status penduduk tidak takluk lagi pada Toelatings-besluit tersebut. Tentang ini sudah diuraikan satu dan lain dalam karangan jang lalu.

Tindakan2 ini perlu kita perhatikan lebih djauh. Apakah ke­kuasaan jang diberikan kepada Menteri Kehakiman untuk mela­kukan tindakan2 terhadap orang asing ini merupakan suatu hal baru ? Tidak demikian, karena dalam hukum jang diwarisi dari zaman kolonial pun dikenal tindakan2 jang serupa ini. Dalam Indische Staatsregeling jang dapat dipandang sebagai Undang2 Dasar bagi Hindia Belanda sediakala terdapat pelbagai pasal jang memberikan hak serupa kepada penguasa untuk bertindak terhadap orang2 jang tak disukai. Gubernur Djenderal dengan kata sepakat Raad van Indië dapat mengenjahkan orang2 jang tak dilahirkan disini dan dipandang membahajakan bagi ketertiban umum dan keamanan. Demikian kita batja dalam pasal 35. Pasal3 berikutnja memberikan lain2 kewenangan kepada penguasa : ia dapat meng­internir orang2 jang dilahirkan disini (pasal 37). Atau ia dapat melarang jang bersangkutan untuk berada dibeberapa tempat ter­tentu dari Hindia Belanda (pasal 36 dan 37). Pasal2 ini terkenal karena keburukan dalam penglaksanaannja. Penggunaan hak2 exorbitant (exorbitante rechten) ini merupakan lembaran hitam daripada sedjarah pendjadjahan dinegeri ini. Kita telah saksikan bahwa dengan mempergunakan hak2 ini penguasa telah membuang ( Digul ! ) para pendekar kemerdekaan. Interniran ini dilakukan djuga terhadap seksama kaulanegara ! Hak2 exorbitant ini tidak hanja dapat diperlakukan terhadap orang2 asing, tetapi djuga ter­hadap para warganegara. Disinilah terletak kegandjilannja ! 7)

Tjontoh negara® lain.Kewenangan2 penguasa untuk bertindak terhadap orang asing

sebenarnja tidak merupakan suatu hal jang luar biasa. Terhadap orang asing memang dapat diambil tindakan2 kekuasaan seperti tertera dalam Undang2 darurat Pengawasan Orang Asing. Dilain- lain negara pun dapat kita saksikan adanja kemungkinan untuk bertindak setjara bersamaan. Djuga dinegeri Belanda terdapat peraturan2 jang serupa. Persamaan adalah sedemikian hingga orang jang meneliti undang2 darurat kita dan peraturan2 jang ber­laku dinegeri Belanda akan tak lepas daripada sangkaan bahwa

7) Bdgk. Bôhtlingk o.c., h. 11.

69

sesungguhnja peraturan2 Belanda inilah jang rupanja telah diambil sebagai tjontoh. 8)

Dengan „wet van 13 Augustus (Stbl. no. 39) tot regeling der toelating en uitzetting van vreemdelingen” telah diatur pula ke- wenangan pemerintah Belanda untuk melakukan „externering” terhadap orang2 asing jang dipandang berbahaja untuk ketertiban umum (pasal 12). Terhadap mereka ini pun dapat diambil tindakan internering atau larangan untuk berdiam diberbagai bagian dalam negeri (pasal 13). Djuga dalam W et van 17 Juni 1918 (Stbl. no. 410) berkenaan dengan peraturan2 lebih djauh tentang penga­wasan orang asing dalam keadaan luar biasa dan dalam „Vreem- delingen-reglement” (Stbl. 1918 no. 521) kita saksikan ketentuan ketentuan jang bersamaan bunjinja dengan pasal 5 dari undang2 darurat kita. Pemerintah Belanda atau Menteri Kehakiman ber­wenang untuk melakukan interniran atau melarang kediaman dalam tempat2 tertentu dari orang2 asing jang dipandang „berbahaja untuk ketertiban umum, keamanan, kesehatan atau kesusilaan” atau jang tak patuh terhadap peraturan2 jang berlaku berkenaan dengan pengawasan orang asing.

Djuga kemungkinan bagi orang asing bersangkutan untuk membela diri dihadapan Pengadilan Tinggi setelah mengaku bahwa ia adalah warganegara Indonesia (karena mana peraturan2 ini tak berlaku baginja), seperti ditentukan dalam pasal 6, terdapat dalam peraturan2 Belanda (pasal 20 daripada Stbl. 1849 no. 39 : di­hadapan Hoge Raad). Rupanja kemungkinan untuk membela diri dihadapan instansi peradilan ini dipandang perlu untuk menghin­darkan hilangnja kesan bahwa-seperti dengan megahnja tertjantum dalam pasal pertama Undang2 Sementaranja — „Republik Indo­nesia jang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara-hukum jang demokratis!” 9)

Pengawasan Pengadjaran Asing.Pembatasan kemerdekaan bergerak orang2 asing dibidang pen­

didikan ternjata dirasa perlu pula untuk diadakan. Demi „kepen­tingan keamanan dan ketertiban umum” Penguasa Militer dalam suasana S.O.B. telah mengeluarkan „Peraturan tentang Penga­wasan Pengadjaran Asing” (no. 989/PMT/tahun 1957, tg. 6 Nopember 1957, B.N. 1957 no. 99) 10) jang disusul oleh peraturan pelaksanaan dari Menteri P.P.K. tg. 13 Nopember 1957 no. 113826/S u ) dan Instruksi Menteri Pertahanan untuk mengadakan koordinasi dalam pelaksanaan peraturan tersebut didaerah (no. III/PM/1957). » )

8) Mr Soenario dalam brosurnja Masalah-masalah disekitar soal W arganegara dan orang asing telah menjebut pula peraturan3 Belanda in i, h. 12 dst.

9) Tentang istilah „Negara Hukum” in i lihatkan rangkaian tje ram ah rad io kam i,Pengertian tentang Negara Hukum , diterbitkan pu la oleh Keng Po, 1956.

10) Lampiran peraturan no. 28 ; Pendjelasan no. 29.11) Lampiran peraturan no. 30.12) Lampiran peraturan no. 31.

70

§ 5. Pendaftaran dan padjak.

Pendaftaran.Supaja dapat melakukan pengawasan terhadap orang2 asing

dengan baik pembuat-undang2 merasa perlu untuk mengadakan berbagai peraturan lain. Peraturan Pemerintah mengenai pendaf­taran orang asing dapat dipandang 'sebagai salah satu peraturan penglaksanaan daripada undang2 darurat tentang pengawasan orang asing (L.N. 1953 no. 64) x) jang telah kita bahas dalam paragrap jang lalu. Bagaimana dapat dilakukan pengawasan setjara tertib bilamana tak diketahui benar2 tentang segala seluk-beluk daripada orang2 jang harus ditilik ini ? Oleh karena itu dirasakan perlu untuk mengadakan kewadjiban pendaftaran. Inilah djalan satu2nja untuk mengetahui dengan sebenarnja berapa banjak orang asing dinegeri ini, dimanalah mereka ini bertempat tinggal, apakah jang merupakan pekerdjaan mereka dan bagaimana adalah ke­dudukan mereka dalam masjarakat. Lain daripada itu dapat pula dikumpulkan berbagai keterangan dari orang2 asing ini. Sekalian dapat diketahui pula apakah mereka ini telah datang setjara sjah di Indonesia atau tidak. Terhadap imigran2 jang liar ini dapat di­adakan tindakan2 selandjutnja. Selain daripada itu dapat pula diadakan pembaharuan daripada „surat2 imigrasi” orang2 asing ini. Oleh karena banjak orang asing tak mempunjai surat2 imigrasi lagi disebabkan hilang berhubung dengan pergolakan2 jang telah kita alami dinegeri ini, maka kepada mereka ini dapat diberikan surat2 imigrasi jang baru. Surat2 imigrasi jang lama pun akan di­ganti dengan jang baru. Dengan demikian terdapat keseragaman dalam surat2 ini. Demikianlah dapat kita batja dalam Pendjelasan (TLN 1954 no. 569) 2) atas Peraturan Pemerintah tahun 1954 no. 32 tentang Pendaftaran Orang Asing (L.N. 1954 no. 52). 3)

Isi terpenting daripada peraturan ini sudah tjukup terkenal oleh chalajak ramai. Terutama orang2 asing jang dibebankan untuk melakukan pendaftaran dengan sanksi hukuman ini telah merasakan sendiri betapa berat kewadjiban tersebut. Dapat dikatakan bahwa disamping peraturan mengenai kewadjiban melapor djika bepergian, peraturan tentang pendaftaran inilah jang pertama-tama telah „berbitjara” kepada masjarakat orang asing. Mereka ini mengalami perlakuan oleh penguasa jang berbeda daripada para warganegara. Peraturan inilah djuga jang per-tama2 setjara massaal membawa beban kepada masjarakat asing dalam keseluruhannja. Hampir se­mua orang asing terkena pada kewadjiban untuk melakukan pendaftaran ini. Hanja beberapa gelintir (seperti mereka jang be­

1) Lampiran peraturan no. 7.2) Lampiran peraturan no. 14.3) Lampiran peraturan no. 13.

rada disini dengan „short visit” untuk tak lebih lama dari 3 bulan, para anak dibawah umur 2 tahun dan para anggota corps diplomatik serta anggota organisasi2 internasional, pasal 3) dibebaskan. Ke­harusan mendaftarkan ini sudah berlaku bagi mereka jang baru sadja datang di Indonesia (dalam tempo seminggu, pasal 2). Mereka jang sudah berada disini harus melakukannja pula dalam tempo tertentu (6 bulan, kemudian diperpandjang untuk wilajah2 tertentu, pasal 3 dan 4 jang ditambahkan kemudian).

Berkenaan dengan pendaftaran ini penguasa mengumpulkan pula pelbagai keterangan jang berguna untuk menentukan status orang2 bersangkutan. Segala keterangan mengenai dirinja harus diberikan oleh mereka. Nama, kewarganegaraan, pekerdjaan, kedudukan sipil, nama anggota keluarga, lain2 keterangan dan bantuan jang diperlukan untuk mengenal dirinja, seperti foto dan tjap djari, semua ini dikumpulkan (pasal 5). Perasaan kurang me- njenangkan daripada orang2 jang diambil sidik djarinja dalam rangka pendaftaran ini dapat dimengerti.

Lain daripada itu, maka setelah melakukan pendaftaran itu orang asing berwadjib untuk selekas mungkin (dalam 14 hari) melaporkaH pula segala perobahan2 mengenai kedudukan sipilnja. Dengan demikian daftar2 dapat terpelihara terus.

Tjara pelaksanaannja.Umum diketahui bahwa pelaksanaan daripada segala sesuatu

jang bersangkutan dengan pendaftaran ini telah diserahkan oleh Menteri Kehakiman pada Djawatan Imigrasi. Hal ini ditetapkan dalam „Peraturan Tjara Pendaftaran Orang Asing" (Penetapan Menteri Kehakiman 1 Djuni 1954 nr. J.M. 2/17/2, TLN 593). }) Kantor2 Imigrasi jang terpentjar diseluruh nusantara mengadakan suatu bagian dengan nama „Bagian Pendaftaran Orang Asing” .

Kita ketahui lebih djauh dari praktek pelaksanaannja, bahwa pendaftaran ini telah dilakukan dengan ber-angsur2. 5) Pekerdjaan ini dilakukan dalam pelbagai phase. Pada phase pertama dilakukan pengisian daripada pormulir2 pendaftaran. Tidak diadakan peme­riksaan terhadap segala seluk beluk mengenai status daripada mereka jang mendaftarkan diri ini. Tak diadakan saringan dalam melakukan pendaftaran tingkat pertama ini. Setiap orang jang menganggap dirinja asing dapat melakukan pendaftaran tersebut. Baru kemudian, setelah diadakan pemeriksaan dan saringan dalam taraf phase kedua, orang2 jang setjara salah telah menganggap dirinja sebagai asing, dapat ditjoret pendaftarannja. D jadi dalam phase jang kedualah baru dilakukan pemeriksaan terhadap status sebenarnja dari orang2 asing jang telah mendaftarkan diri. Peker­djaan ini dalam praktek semula dilaksanakan oleh Panitya

4) Lampiran peraturan no. 15.5) Lihat untuk in i, Soenardi, Menindjau sedjenak pendaftaran orang asing di

Indonesia, Warta Imigrasi, tahun ke-VIII no. 11, Nop., 1957, h. 19.

72

Pemeriksaan Orang Asing. Dalam Panitya tersebut terdapat anggota2 dari berbagai instansi militer dan sipil jang mempunjai sangkut paut dengan orang2 asing dinegeri ini. Kemudian ternjata bahwa tjara bekerdja daripada Panitya ini kurang memuaskan. Maka pada pertengahan tahun 1957 telah diadakan perubahan. Panitya ini dibubarkan dan segala sesuatu berkenaan dengan pen­daftaran orang asing diserahkan sama sekali kepada Djawatan Imigrasi.

Kewadjiban mempunjai surat3 imigrasi.Berkenaan dengan kewadjiban untuk melakukan pendaftaran

ini telah kita saksikan diatas bahwa orang2 asing bersangkutan djuga diharuskan untuk mempunjai surat2 imigrasi (pasal 4). Kewadjiban ini njata ditudjukan terhadap semua orang asing jang berada disini (terketjuali golongan ketjil tersebut tadi). Padahal menurut peraturan jang hingga kini berlaku banjak sekali orang asing dinegeri ini jang sama sekali tak pernah mempunjai, apalagi diharuskan untuk mempunjai surat2 imigrasi ini. Mereka diantara orang2 asing jang belum pernah mengimigreer masuk kenegeri ini tentunja tak pernah melewati pelbagai atjara seperti tertera dalam Toelatingsbesluit. Mereka ini bahkan adalah kaulanegara dan sudah terhitung penduduk menurut hukum jang lama, hanja karena ber­tempat tinggal dan menetap disini. Tetapi surat2 imigrasi seperti „toelatingskaart” (kartu idzin masuk) atau „idzin menetap” (ver- gunning tot vestiging) mereka ini tak mempunjai. Dalam golongan ini misalnja harus kita hitung orang2 Indo Belanda jang tak menggunakan kesempatan untuk memilih kewarganegaraan Indo­nesia dalam rangka pemulihan kedaulatan. Mereka ini walau asing disini menurut hukum jang lama tak pernah diharuskan untuk memiliki gurat2 imigrasi. Tetapi kini, mereka inipun harus mem­punjai surat2 tersebut, Kewadjiban untuk mempunjai surat2 imigrasi ini dipandang sebagai kelandjutan daripada pendaftaran dan pengawasan orang asing, demikian kita dapat batja dalam pen- djelasan resminja. Sanksi atas tak mempunjai surat2 imigrasi ini ialah hukuman (pasal 8 : maksimum kurungan 1 tahun atau denda Rp. 100.000,— ).

Berkenaan dengan surat2 imigrasi ini kita ketemukan keten­tuan lebih djauh dalam penetapan Menteri Kehakiman mengenai tjara pendaftaran tersebut. Dalam phase kedua daripada pendaf­taran ini dapatlah kepada orang asing diberikan surat imigrasi bila ia „tidak dapat menundjukkan surat imigrasi jang sah atau tidak lagi atau belum lagi mempunjai surat imigrasi jang sah”. Kemungkinan pemberian surat imigrasi ini digantungkan pada sjarat bahwa „menurut pemeriksaan ada kemungkinan kepadanjaboleh diberikan surat tanda penduduk atau Kartu Idzin M asuk.......dengan denda Rp. 500,—”. Alasan untuk mengadakan denda pula terhadap mereka jang dahulu belum pernah dimungkinkan mem­

73

peroleh surat2 imigrasi tentunja agak mengetjewakan bagi jang bersangkutan. Lagipun, apakah sudah pasti kepada mereka ini „harus” diberikan surat imigrasi termaksud ? Praktek se-hari2 harus membuktikannja ! Tidak mengherankan bilamana ketentuan ini telah mengakibatkan ketjaman2 daripada pelbagai kalangan ahlihukum jang memperhatikan kepentingan orang2 asing bersang­kutan ini. e)

Padjak bangsa asing.Ternjata bahwa pengumpulan keterangan2 jang diperoleh

dengan melakukan pendaftaran ini telah membawa manfaat lain bagi penguasa. Keuntungan ini sedjalan dengan ketentuan tentang „denda Rp. 500,—•” tadi, djuga terletak dibidang fiskal. Jang kita maksudkan ialah Undang2 Darurat tentang „Padjak bangsa asing” jang sudah tjukup terkenal pokok2nja oleh chalajak ramai (U U Dar. no. 16 tahun 1957, L.N. 1957 no. 63, Pendjelasan TLN No. 1345). 7) Kemungkinan untuk mendjalankan pelaksanaan padjak istimewa terhadap orang asing telah diberikan oleh pendaftaran jang telah dilakukan dalam rangkaian pengawasan chusus ini. Dengan tak adanja daftar lengkap daripada orang asing ini tentunja Djawatan Padjak akan menghadapi kesulitan2 jang sukar untuk diatasi dalam pelaksanaan Undang2 Darurat tersebut. Hal ini diakui dengan terus terang dalam pendjelasan resmi atas peraturan tersebut. Tatkala diadakan „taksiran pemasukan padjak” ini dalam pendjelasan tersebut disebut angka2 jang diperoleh dari Kantor Imigrasi Pusat bagian Pendaftaran Orang Asing di Djakarta. Djumlah penduduk bangsa asing pada achir tahun 1956 merupakan pula hasil daripada pendaftaran tersebut: 1.224.682djiwa. Ternjata bahwa kantor pendaftaran ini mempunjai angka2 jang terlengkap. Kantor Pusat Statistiek sekalipun belum mempunjai angka2, orang2 asing pada saat achir 1956 tersebut. Be*rdasarkan angka2 hasil pendaftaran ini telah diadakan pula perhitungan djumlah padjak istimewa jang akan masuk ini. Djumlahnja lumajan djuga. menurut teorinja memang dapat membantu „keadaan keuangan negara pada waktu ini jang sangat mengchawatirkan” (menurut kata2 resmi, alasan utama diadakan padjak istimewa ini). Lebih djauh diterangkan pula bahwa bahan2 jang diperlukan untuk mengenakan Padjak bangsa Asing ini terutama diperoleh dari sumber kantor2 imigrasi jang melakukan pendaftaran. Nama2 bangsa asing lengkap dengan alamat dapat diperoleh dari Kantor2 tersebut. Njatalah sudah betapa erat hubungannja antara pendaf­taran dan pemungutan padjak istimewa ini.

Disamping kepentingan finansiil, telah dikemukakan pula bahwa padjak istimewa ini diadakan karena kediaman orang asing

6) Lihat m isalnja karangan dalam Mededelingen Docum entatiebureau Overzees Recht, Universitas Leiden, tahun ke-IV, Sept. 1954 no. 9, h. 70 : De registratie van vreemdelingen.

7) Lampiran peraturan no. 26 ; Memori Pendjelasan no. 27.

di Indonesia ini merupakan suatu „gunst”. Disini mereka bahkan mendapat suatu hak utama (voorrecht) untuk mentjau nafkah. Mereka ini merupakan suatu saingan jang berat terhadap bangsa Indonesia sendiri. Mengenai hak utama untuk mentjari nafkah ini. tentu segala sesuatu dapat diakui kebenarannja dalam suasana ekonomi kolonial. Tetapi dengan adanja sikap tegas daripada penguasa disegala bidang kehidupan ekonomi waktu belakangan ini, dengan rentetan peraturan2 jang membatasi kebebasan berusaha dari orang2 asing, kiranja ,,hak utama” ini sudah demikian „uitgehold”, hingga sukar untuk masih memandang alasan padjak

'bangsa asing ini adalah sesuai dengan kenjataan. Se-tidak2nja : „hak utama” ini dalam waktu jang akan datang akan tambah ditereteli lagi !

Kata memori pendjelasan tersebut: „Dinegara lainnja orang asing tidak mudah mendapat pekerdjaan atau melakukan suatu usaha, dan untuk itu, orang asing diharuskan meminta izin terlebih dahulu dari instansi jang mengurus soal itu. Lain halnja di Indonesia. Orang asing jang datang di Indonesia tidak dilarang untuk mentjari nafkah di Indonesia”. Kata2 ini adalah sesuai dengan keadaan pada waktu ditulisnja (1 Djuli 1957). Tetapi bagaimana setelah rangkaian larangan2 chusus mengenai orang2 asing, seperti kewadjiban idzin untuk memburuh, kewadjiban idzin untuk berusaha, kewadjiban mendaftarkan perusahaan dan perindustrian dsb. jang dikeluarkan achir2 ini? 8)

§ 6. Kewarganegaraan dan hak atas tanah.

Pemberian „isi” pada status warganegara ternjata tidak ke­tinggalan pula dibidang hukum perdata. Pemilikan daripada hak2 atas tanah dikemudian hari akan digantungkan kepada status warganegara atau bukan. Sedjak dahulukala kita ketahui bahwa dalam bidang pemilikan atas tanah ini terdapat pembatasan2 ter-

1 tentu. Tetapi pembatasan jang dikenal hingga kini, sedjak di-adakannja oleh pembuat-undang2 kolonial, tidak dilekatkan pada pengertian kewarganegaraan atau kekaulanegaraan. Larangan pengasingan tanah milik (grondvervreemdingsverbod) termaktub dalam Stbl. 1875 no. 179 ditarik atas garis2 pembedaan golongan- rakiat (bevolkingsgroepen). Seperti diketahui, maka oleh peraturan

'ini dilarang cpf-iap peralihan dengan sengadia daripada tanah milik (tanah dibawahi" hulcum adat) oleh orang2 Indonesia „asli” kepada golonganrakjat lainnja. x)

8) Lihat bab IV par. 2 dst.

1) Untuk isi dan arti larangan pengasingan tanah ini, lihat buku kami „Masalah Agraria”, diterbitkan pula oleh Keng Po, Djakarta, 1958.

75

Larangan pengasingan tanah.Jang penting dalam hubungan pembitjaraan kita sekarang ialah

untuk menegaskan bahwa dalam larangan pengasingan tanah ter­sebut hak2 untuk memperoleh tanah milik setjara langsung tidaklah digantungkan kepada status kekaulanegaraan Belanda. Apakah seseorang kaulanegara Belanda atau tidak, itulah bukan meru­pakan ukuran baginja untuk memperoleh tanah milik dari orang Indonesia anak negeri (Bumiputera) setjara langsung. Jang di­perhatikan ialah apakah orang jang hendak memperoleh tanah milik mi termasuk golonganrakjat Bumiputera atau tidak. Peraturan larangan pengasingan tanah ini hingga kini masih berlaku. Kini jang didjadikan pegangan masih tetap golonganrakjat Bumiputera (dengan istilah sekarang : Indonesia „asli” ) atau tidak. Seorang warganegara Indonesia bilamana tak termasuk golonganrakjat „asli” ini, tidak diperkenankan menurut hukum jang berlaku untuk membeli tanah milik dari orang Indonesia „asli”.

Hal ini telah merupakan batu sontohan bagi perasaan mereka jang terhitung warganegara Indonesia tetapi tak termasuk go­longanrakjat „asli”. Setjara ber-kelebih2an atjapkali dikemukakan : „Tanah jang kutjinta, tanah jang djika perlu harus kubela dengan djiwa raga-ku, tanah ini tak dapat kumiliki !” Kata2 ini kami anggap ,,berkelebih2an” (overdreven). Tetapi tak dapat disangkal mempunjai djuga inti kebenaran. Bukankah setjara „ leluasa” dapatlah jang bersangkutan ini memperoleh tanah2 seperti eigendom, erfpacht, opstal, pemakaian dan sebagainja ! Pendek kata, hak2 atas tanah jang takluk kepada hukum barat (Eropah) adalah „bebas” untuk diperoleh (baik setjara langsung maupun maupun tak langsung) oleh orang2 „tidak asli” ini. Bahkan, bila kita menafsirkan sesuatu menurut hukum, maka dapatlah djuga orang2 bersangkutan ini m e m i l i k i tanah milik Indonesia ini. Hanja tjara2 memperoleh tertentu (jaitu jang setjara lanqsung, dengan sesuatu perbuatan sengadja) adalah terlarang. Tidak lain2 tjara memperoleh setjara tak sengadja (misalnja perkawinan tjampuran, pertjampuran harta, pewarisan tanpa wasiat, perubahan status daripada sipemilik dsb.). Peristiwa2 ini dapat mengakibatkan bahwa seorang „tidak asli” pun dapat memperoleh tanah milik Indonesia. Demikian sekedar tentang isi daripada larangan pengasingan tanah ini.

„Idzin Djaksa”.Dengan sengadja tadi, tatkala membitjarakan kemampuan

untuk memperoleh tanah jang takluk pada hukum Eropah oleh warganegara „tidak asli” telah kita menaroh perkataan2 „leluasa” dan „bebas” dengan „aanhalingstekens”. Kita teringat pada peraturan pembuat-undang2 nasional jang membataskan pula ke­bebasan bergerak dalam transaksi2 mengenai tanah2 jang takluk dibawah hukum Eropah ini. Kami maksudkan peraturan jang oleh

76

chalajak ramai terkenal sebagai „idzin Djaksa” (U.U.Dar. 1951 no. 1, dikuatkan dengan U.U. 1954 no. 24), Peraturan ini men- sjaratkan diperolehnja idzin untuk pemindahan hak tanah-tanah dan barang2 tetap lainnja jang bertakluk kepada hukum Eropah dari Menteri Kehakiman (kini Menteri Agraria U.U. no. 76 tahun 1957). 2)

Setjara singkat dapat dikemukakan sepandjang berkenaan dengan pembitjaraan kita sekarang ini, bahwa peraturan penga­wasan tersebut menurut pendjelasan resminja diadakan untuk mentjegah agar supaja orangz asing tak dirugikan djika kelak dalam perundang2an nasional ditentukan bahwa mereka ini tak diper­kenankan untuk memiliki tanah2 dan barang2 tetap lainnja ini. Oleh karena itu disjaratkan idzin dari jang berwadjib sebelumnja -sesuatu tanah atau barang tetap lainnja dibawah hukum Eropah dapat dibalik nama pada kantor2 pendaftaran tanah. Apa jang diartikan dengan tanah2 jang takluk dibawah hukum Eropah ialah misalnja : eigendom, erfpacht, opstal dsb. Dengan lain perkataan : tanah2 jang didaftarkan.

Dengan demikian dalam prakteknja kita saksikan bahwa ke­bebasan daripada orang2 asing dan warganegara keturunan asing, untuk memperoleh tanah Eropah telah dibataskan. Tudjuan dari­pada peraturan ini djuga ialah untuk menghindarkan terdjadinja spekulasi2 dengan tanah bersangkutan. Djika suatu permohonan idzin ini menurut pendapat pendjabat bersangkutan berbauvspekulasi atau diadjukan oleh seorang asing, maka permohonan ini dapat ditolak.

Dengan membuat peraturan ini penguasa telah memberi kesan bahwa dikemudian hari orang2 asing dinegeri ini tak akan diper­kenankan untuk memiliki tanah. Kesan ini terbukti benar apabila kita menindjau lebih djauh Rantjangan Undang2 Pokok Agraria jang telah diadjukan kepada Parlemen dengan amanat Presiden tertanggal 24 April 1958 (no. 1307/HK/58) baru2 ini.

R.U.U. Pokok Agraria.

Dalam RUU Pokok Agraria tersebut dengan tegas diadakan perbedaan antara warganegara dan orang2 asing. Hak2 diatas tanah jang bersifat tetap ternjata telah disediakan bagi para warganegara. „Hak milik” dalam bentuk baru — jaitu jang direntjanakan akan menggantikan eigendom dan hak milik menurut hukum adat ■— hanja dapat dipunjai oleh warganegara! Orang2 asing tak di­perkenankan untuk memperolehnja. Djuga tidak dapat mempunjai- nja. „Hanja warganegara Indonesia dapat mempunjai hak milik, (pasal 14 ajat 1). Bagaimana halnja dengan orang2 asing jang sudah mempunjai hak eigendom atas tanah ini sedjak sebelum

2) Idem, bab I.

77

Lerlakunja UU Pokok Agraria ini ? Tentang ini tak diberikan pen- djelasan jang terang. Hanja dapat disimpulkan bahwa mereka ini akan diharuskan pula untuk memindahkan hak mereka kepada warganegara. Atau harus mengubahnja mendjadi hak jang kurang- an, seperti „hak usaha”, „hak bangunan”, „hak pakai” (semuanja dalam bentuk baru). Orang2 asing jang berkediaman di Indonesia diperkenankan untuk memegang hak2 tersebut belakangan ini (pasal 23, 31, 40).

Jang setjara tegas ditentukan ialah tentang tjara2 memperoleh hak milik setjara tak sengadja oleh orang2 asing setelah Undang- undang ini berlaku. Dalam RUU tersebut disebut tiga tjara mem­peroleh hak milik atas tanah orang2 asing setjara tak langsung. Jaitu dengan djalan pewarisan tanpa wasiat atau karena pewarisan harta disebabkan perkawinan tjampuran dan perubahan status dari­pada seorang warganegara Indonesia mendjadi asing. Dalam ketiga hal ini tak dengan sendirinja hak dari orang asing atas tanah milik bersangkutan mendjadi batal. Kepadanja diberikan waktu tertentu— jang lamanja akan ditetapkan lebih djauh kemudian dalam pe­raturan pelaksanaan — untuk memindahkan hak miliknja. Tjara pelepasan hak inipun akan ditentukan lebih djauh dalam peraturan tersendiri. Akan tetapi sudah dapat dibajangkan bahwa pelepasan hak ini hanja akan dapat dilakukan kepada seorang warganegara Indonesia, (pasal 14 ajat 3). Djika tidak dilakukan pelepasan hak dalam djangka waktu jang ditentukan tanah bersangkutan men­djadi milik Negara !

Ketentuan jang serupa sudah kita kenal dalam perundang2an agraria jang diwarisi dari zaman Hindia Belanda. D juga dalam hukum tanah dahulu ini kita ketemukan ketentuan2 berkenaan dengan diperolehnja setjara tidak langsung akan tanah2 Indonesia oleh orang2 jang menurut aturan pada umumnja tak diperkenan­kan untuk memperolehnja. Disini dapat disebut peraturan ber­kenaan dengan tanah usaha diatas tanah2 partikelir. Seperti diketahui, maka tanah usaha ini disediakan bagi orang2 dari golonganrakjat Indonesia „asli” dan Timur Asing. Apabila seorang dari golonganrakjat Eropah memperolehnja karena sesuatu peris­tiwa hukum jang tak disengadja (warisan tanpa wasiat, pertjam- puran harta karena perkawinan tjampuran, 3) perubahan status dari Indonesia „asli” mendjadi Eropah, karena „gelijkstelling” misalnja), 4) maka ia wadjib untuk memindahkannja dalam tempo2 tahun kepada seorang Indonesia „asli” atau Timur Asing (pasal 12 ajat 4 daripada Reglemen Tanah2 Partikelir disebelah Barat Tjimanuk, Stbl. 1912 no. 422). Apabila hal ini tak dilakukan, maka hak orang Eropah atas tanah tersebut hapus menurut hukum. Ketentuan jang serupa terdapat pula dalam Reglemen Agraria

3) Untuk in i lihat disertasi kami „Segi-segi hukum peraturan perkaw inan t ja m ­puran”, Djakarta 1955, tjetakan kedua, 1958.

4) Untuk pelbagai tjara perubahan status ini, lihat buku kam i „H ukum antar- golongan”, Djakarta, 1956, bab V.

78

untuk Sumatera Barat (Stbl. 1915 no. 98, pasal 17 dan 18). Djuga kita ketemukan ketentuan bersamaan berkenaan dengan hak istimewa jang terkenal dengan nama „landerijenbezitsrecht”. Hak ini adalah hak daripada orang2 Timur Asing jang mirip pada hak usaha diatas tanah2 bekas tanah partikelir jang telah dibeli kembali oleh pemerintah. Hak ini tak boleh dimiliki oleh orang2 Eropah. Djika seorang Eropah memperolehnja djuga karena salah suatu perbuatan tak sengadja tersebut tadi, maka ia ini wadjib melepas- kannja kepada orang lain jang dapat memenuhi sjarat2 untuk memegangnja. (pasal 3 ajat 3 dari Stbl. 1913 no. 702). s)

Kita saksikan daripada tjontoh2 ini bahwa apa jang diren- tjanakan oleh pembuat-undang2 bukan merupakan soal baru sama sekali.

Sebagai suatu landjutan daripada ketentuan ini, kita mem- batja bahwa perbuatan2 jang setjara langsung dengan sengadja ditudjukan kepada peralihan hak milik oleh warganegara kepada orang asing dinjatakan batal menurut hukum (pasal 16 ajat 2). Dengan istilah „perbuatan jang setjara langsung dengan sengadja ditudjukan kepada peralihan hak milik” kami artikan segala per­buatan jang memang dimaksudkan oleh mereka jang melakukannja untuk memindahkan hak. Misalnja : djual beli, penghibahan(schenkinq) atau pewarisan dengan membuat wasiat, mendjadikan wakaf, dsb. Semua perbuatan2 ini dengan sedemikian banjak per­kataan telah disebut oleh pembuat-undang2. Djika misalnja seorang warqanegara mendiual tanah miliknja kepada oranq asing, maka pendiualan ini adalah batal dengan sendirinja. Akibat daripada batalnja perbuatan ini ialah bahwa tanah bersangkutan mendjadi tanah Negara !

Menurut RUU Pokok Agraria ini tidak akan diadakan per­bedaan lebih lama antara warganeqara asli atau bukan asli berkenan dengan hak2 atas tanah. Garis pembedaan seperti di­kenal dalam larangan pengasingan tanah Stbl. 1875 no. 179 akan ditinggalkan ! Suatu kemadjuan dalam perkembangan pengertian tentang kewarganegaraan jang patut dihargai!

Jang dipandang perlu dalam sistim pembuat RUU Pokok Agraria ialah pengawasan atas semua transaksi jang setjara lang­sung ditudjukan untuk mengalihkan hak2 atas tanah diantara kalangan sesama warganectara. Penqawasan jang sudah kita kenal dengan sjarat permintaan idzin untuk setiap pemindahan hak dari­pada tanah2 jang bertakluk pada hukum Eropah (UUDar. 1952 no. 1 tersebut diatas). Tetapi kini tak dibataskan pengawasan ini terhadap tanah2 dibawah hukum Eropah sadia. Semua matjam hak atas tanah berada dibawah pengawasan. Perlu ditambahkan disini, bahwa pada hakekatnja memang pembuat undang2 dengan RU U

5) Untuk peraturan2 ini, idem, h. 82.

79

F '

tersebut hendak mengadakan taatean ■hanja satu matjam hukum atas semua tanah dinegen . hukum tanah tak lebih lama dipertahankan. ^ .

Demikianlah kita saksikan adanja suatu pemberian „isi status warganegara jang besar akibat nja dalam e ' ^P setjaraKetentuan2 ini akan mempengaruhi kehidupan mas jarak , akekonomis maupun sosial dinegeri kita. Penguasa memang untuk membatasi hak milik orang asing atas tanah. lak a _Q 2

tuan dalam hukum internasional jang menghalang inja. ) r asing hendaknja mejakinkan apa jang dikelak kemudian hari a ditentukan ini berkenaan dengan hak2 atas tanah dinegeri ini.

§ 7. Hak? dan kewadjiban2 W arganegara atau asing.Dalam mengadakan pembatasan antara pengertian w a r g a n e -

gara dan orang asing telah kita melihat adanja pelbagai hak jang disediakan chusus untuk warganegara. Hak2 ini terutama termj\s' i 3 lingkungan daripada apa jang terkenal sebagai hak2 politik. , jang mempengaruhi penentuan djalan jang akan ditempuh ole“ Negara. Telah kita sebut hak2 untuk memilih dan dipilih, h3** untuk diangkat dalam djabatan terpenting. Oleh karena djabatan terpenting ini disediakan bagi para warganegara maka orang asing tak diperbolehkan untuk memangkunja. Sebaliknja bilamana se" orang warganegara menerima baik untuk mendjadi pegawai penting daripada negara lain, maka bagi negara asalnja terdapat alasan untuk mentjabut kewarganegaraannja. Perbuatan serupa ini di" pandang sebagai tak sewadjarnja dilakukan oleh w a r g a n e g a r ^

sedjati. Dengan melakukan hal ini ia se-olah2 menundjukkan tak menghargakan lagi mendjadi warga dari negara asalnja. B e r h u "

bung dengan ini dalam UU Kewarganegaraan Indonesia jang telah diundangkan baru2 ini x) dapat kita batja sebagai salah satu tjara kehilangan kewarganegaraan Indonesia : „masuk dalam dinas ne- gara asing tanpa idzin terlebih dahulu dari Menteri K e h a k i m a n ,

pltfkvv Tjan di-na,S ne9ara ianq dipangkunja m e n u r u t p e r a t u r a n

Republik Indonesia hanja dapat dipangku oleh warqanegara' (pasal

lungan ^ saksika« « M « suatu hu"

terdapat^ pula kete-ntii me™an9^u djabatan dinas negara asing in*

dalam dinas tentara V kf * af\ den9an PemasukanSudah tjukup d i k e t a h u i K a V m i ! Z m ^ ii: i dahulu dari N e g a r a -

diwadjibkan untuk melakukan war^ane9aralab j a n g dapat

warganegara masuk dalam tentara11 milltfr- APabila se°ran9tentara asing, maka dapatlah disimpul'

6) Lihat Andreas H. Roth n ,» =Leiden 1949, h. 165. * iraum Standard of law appUed to alie«s,

1) Lampiran peraturan no. 32.

80

kan daripada hal ini bahwa ia tak menghargai lebih djauh ke- wargaan dari negara asalnja. Dalam UU Kewarganegaraan kita saksikan pula ketentuan sedemikian (pasal 17 sub f).

Sjarat untuk kehilangan kewarganegaraan sematjam ini adalah lazim dalam peraturan2 kewarganegaraan. Djuga dalam Undang2 kewarganegaraan Belanda (1892) dan Undang2 Kekaulanegaraan Belanda (1910) kita saksikan tjara kehilangan kewarganegaraan ini. Berhubung dengan pengakuan kedaulatan timbullah persoalan tentang warga2 Belanda jang telah mendjadi pegawai dari R.I.(S). Apakah mereka ini kehilangan kewarganegaraan Belanda n treka seperti ditentukan dalam pasal 7 sub ^e ? Tidak, karena pemerintah Belanda chusus untuk mengatasi hal ini telah memberikan idzin seperlunja kepada para warga Belanda dan kaulanegara Belanda jang sudah masuk dalam dinas negara atau ketentaraan R.I. serta kemudian akan memasukinja. (Firman Keradjaan 28 Des. 1951, Stbl. no. 603). Berkenaan dengan pemasukan dalam dinas negara atau ketentaraan asing ini sebagai akibat dari perang dunia kedua timbullah banjak persoalan jang perlu dibawa kemuka hakim ber­kenaan dengan turut sertanja orang2 Belanda dalam dinas negara Djerman. 2)

Perbedaan antara warganegara dan asing kita saksikan bukan sadja terbatas pada keadaan dalam negeri. Hal ini nampak pula dalam ketentuan berkenaan dengan perlindungan jang dapat di­berikan kepada sesuatu warga oleh negaranja. Perlindungan di­plomatik diluarnegeri ini hanja diberikan kepada warganegara. Orang2 asing tak termasuk disini. Kemungkinan diberikannja per­lindungan ini dipandang sebagai demikian penting hingga pernah dianggap sebagai salah satu sjarat terutama untuk menentukan status kewarganegaraan. Demikianlah kita saksikan UU Kewar- ganegaraan Indonesia memuat dalam pasal2 penutupnja : „Dalam pengertian kewarganegaraan termasuk semua djenis lindungan oleh sesuatu Negara” (pasal penutup II). Pasal ini dipandang perlu untuk ditambahkan pada UU Kewarganegaraan tersebut oleh karena menurut memori pendjelasan, perhubungan hukum tererat antara seorang dengan suatu negara tidak dinjatakan dengan istilah jang sama arti dan isinja dimasing-masing negara. Oleh karena itu dalam UU tersebut didjelaskan bahwa jang dimaksud dengan "kewarganegaraan” ialah „segala djenis hubungan dengan suatu ne<?ara jang mengakibatkan adanja kewadjiban negara itu untuk

m&lindungi orang jang bersangkutan”.Lain daripada itu perbedaan antara warganegara dan asing

nampak pula dalam pelbagai bagian hukum perdata. Perbedaan ■ni tegas sekali berkenaan dengan hukum perdata internasional. Menurut peraturan hukum perdata internasional jang berlaku disini maka berkenaan dengan status personeel, hukum nasional dari

tentang akibat=nja,' " Schouten dan

81

tiap2 warganegara Indonesia tetap melekat padanja dan mengikuti dimanapun ia berada (pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetge- ving). Djuga bila ia bepergian keluar negeri, maka hukum Indonesia tetap berlaku baginja berkenaan dengan statuut personeel (misalnja sjarat2 untuk menikah, hubungan suami-isteri, anak orang tua, perwalian, perwalian saf ih dsb.). Peraturan ini ditafsirkan sedemi­kian rupa hingga djuga orang2 asing jang berada di Indonesia hendaknja berkenaan dengan status personeel tunduk kepada hukum nasional mereka (asing bagi Indonesia). 3)

Diluar bidang hukum perdata internasional ini pada umumnja dalam hukum perdata tak dikenal perbedaan jang berarti antara warganegara atau asing. Dilapangan hukum pidana dapat kita sebut ketentuan bahwa beberapa pasal2 kedjahatan jang diatur dalam Kitab Undang2 Hukum Pidana Indonesia tetap berlaku, djuga apabila warganegara Indonesia jang melakukannja berada diluar negeri (pasal 5 K.U.H.P.). Terutama jang dimaksudkan ialah ke­djahatan2 politik, kedjahatan berkenaan dengan ketatanegaraan dan kewibaan negara, bigamie, pembadjakan laut dsb.

Selain daripada itu perbedaan terutama terletak dalam bidang ekonomi dan sosial. Pelbagai peraturan2 chusus jang ditudjukan untuk membataskan kebebasan daripada orang2 asing dibidang ini telah kita uraikan setjara tersendiri. 4) Peraturan2 inilah jang mem­bantu baniak dalam memberikan „isi” pada status warganegara. Kita saksikan bahwa „isi” daripada status warganegara ini tak sama di-mana2. Terdapat perbedaan jang ditentukan menurut se- djarah dan waktu. „Isi” daripada status orang Belanda (Neder- lander), atau kaulanegara Belanda dan kewarganegaraan Indonesia sekarang tak sama. Isi daripada status warganegara Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan, hinaqa diwaktu sekarang ini tak seruoa dengan misalnja tahun janq lalu atau pada tahun2 pertama setelah pengakuan kedaulatan. Melihat gedjala2 se-hari2 dengan bergelorania semanqat nasionalisme dinegeri ini faham kewarga- neqaraan dalam waktu jang dekat akan tjeoat berlainan pula dari­pada sekarang ini. Proses pemberian „isi” nampaknja akan di- pertjepat!

Demikianlah telah kita saksikan dalam garis2 besar perbedaan antara status warganegara dan asing.

3) Lihat bab I ; Mr W irjono Prodjodikoro, Azas-azas hukum perdata in ternasional, D jakarta, 1052, h. 22.

4) Lihat paragraph la innja dari bab ini.

BAB V : SIA PA W A R G A N E G A R A R.I. ?

§ 1. Pasal 144 U.U.D.S.Kini tiba kita pada persoalan siapa2kah menurut hukum positip

jang berlaku sekarang dapat dipandang sebagai warganegara Republik Indonesia. Setelah itu dapat kita mengadakan tindjauan selajang pandang tentang hukum kewarganegaraan dikelak kemu­dian hari.

Untuk mengetahui siapa2 jang merupakan warganegara R.I. tak dapat kita mengabaikan peraturan2 tentang kewarganegaraan atau kekaulanegaraan jang pernah diadakan dahulu. Pasal 144 U.U.D.S. memberikan ketentuan sebagai berikut : „Sambil menungguperaturan kewarganegaraan dengan Undang-undang jang tersebut dalam pasal 5 ajat 1, maka jang sudah mendjadi warganegara Republik Indonesia ialah mereka jang menurut atau berdasar atas persetudjuan perihal pembagian warga negara jang dilampirkan kepada Persetudjuan Perpindahan memperoleh kebangsaan Indo­nesia, dan mereka jang kebangsaannja tidak ditetapkan oleh Persetudjuan tersebut, jang pada tanggal 27 Desember 1949 sudah mendjadi warganegara Indonesia menurut perundang-undangan Republik Indonesia jang berlaku pada tanggal tersebut.” Tang di­maksudkan dengan peraturan R.I. stijl lama ini ialah U.U. no. 3 tahun 1946. *) kemudian ditambah dengan U.U. no. 6 2) dan 8 3) tahun 1947, semuanja berlaku surut sedjak hari proklamasi 17 Agustus 1945.

Siapakah jang dimaksudkan dengan pasal 144 UUDS ini ? Kita saksikan pasal ini menjebut tiga kelompok dari orang2 jang sudah dipandang warga R.I.

Pertama : mereka jang „menurut” Persetudjuan Perihal Pem­bagian Warga Negara K.M.B. memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Jang dimaksudkan dengan istilah ini ialah kaulanegara- Belanda-bukan-orang-Belanda jang tidak menolak kewarganega­raan Indonesia. Disinilah terhitung orang2 keturunan Tionghoa jang kelahiran di Indonesia dari orang tua jang berkediaman disini dan tidak mempergunakan kesempatan untuk menolak kewarganegaraan Indonesia dalam djangka 2 tahun setelah penjerahan kedaulatan (pasal 5 PPPW N ). Inilah jang disebutkan „stelsel passief”.

Kedua : mereka jang „berdasar” atas Persetudjuan Perihal Pem­bagian Warganegara memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Jang dimaksudkan ialah orang Belanda jang telah memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan djalan memilih (optie) untuk itu, dalam djangka waktu 2 tahun tersebut, kemungkinan mana

1) Lampiran peraturan no. 1.2) Lampiran peraturan no. 2.3) Lampiran peraturan no. 3.

83

diberikan pada mereka karena mereka dilahirkan di Indonesia atau pada saat penjerahan kedaulatan (27 Desember 1949) bertempat tinggal di Indonesia se-kurang2nja 6 bulan (pasal 3 P P P W N ). Inilah jang terkenal sebagai „stelsel actief”.

Ketiga : mereka jang kewarganegaraannja tidak ditetapkan olehPersetudjuan Perihal Pembagian Warganegara jang pada tanggal 27 Desember 1949 sudah mendjadi warganegara Republik Indo­nesia menurut perundang-undangan R.I.-Djokdjakarta. Seperti diketahui maka Persetudjuan Pembagian dari K.M.B. hanja me­ngatur orang2 jang mempunjai „nationaliteit” Belanda. Nasionalitet Belanda ini ialah kekaulanegaraan Belanda. Hanja orang2 inilah jang di-bagi2kan antara kedua Negara jang berpisah. Sebagian dibagikan kepada negara baru Republik Indonesia, sebagian tetap pada Keradjaan Belanda (stijl baru). Orang2 jang bukan kaula- negara Belanda tidak diatur oleh Persetudjuan Pembagian terse­but. 4) Mereka inilah jang dimaksudkan dengan kelompok ketiga sekarang ini. Mereka jang bukan kaulanegara Belanda, tetapi telah melakukan naturalisasi (pewargaan) berdasarkan U.U. no. 3 tahun 1946 tetap diakui sebagai warganegara Indonesia. Sebagai tjontoh daripada naturalisasi orang2 jang bukan kaulanegara Belanda ini dapat disebut disini naturalisasi dari Frans Matheas Hesse kelahiran di Djerman dengan U.U. 1947 no. 9. 5) Tidak banjak orang jang telah memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan djalan naturalisasi berdasarkan U.U. jang lama itu.

Kita saksikan dengan ketentuan dari pasal 144 U U D S ini jang mengakui mereka tetap sebagai warganegara R.I., bahwa akibat2 daripada perundang2an kewarganegaraan R.I. Djokjakarta ini dipandang berlaku terus. Tetapi, setelah Persetudjuan Perihal Pembagian Warganegara dari K.M.B. berlaku, maka dapat di­katakan bahwa sepandjang berkenaan dengan kaulanegara Belanda, U.U. dari R.I. stijl lama ini tak dapat dipandang berlaku terus. Dalam konsiderans daripada Persetudjuan Perihal Pembagian Warganegara tersebut dinjatakan dengan tegas bahwa pembagian ini berkenaan dengan orang-orang jang pada saat penjerahan ke­daulatan adalah kaulanegara Belanda stijl lama, termasuk disitu orang2 jang menurut perundang2an R.I. adalah warganegara R.I. (stijl'lama). Djadi, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa pembagian ini tak menghiraukan mereka dari kaulanegara Belanda (berstatus orang Belanda) jang dizaman Republik Djokjakarta dahulu sudah melakukan optie. Mereka inipun turut dibagi menurut Persetudjuan Perihal Pembagian Warganegara. Dengan lain perkataan, segala sesuatu harus berkenaan dengan Persetudjuan Pembagian ini di­

4) Prof. Dr W.L.G. Lemaire, Het Recht in Indoneslg, H ukum Indonesia, 1952, h. 225 ; Prof. Dr J.H.A. Logemann, Het Staatsrecht van Indonesie, 1955, tje t. ke 3, h. 96; Prof. Dr R. Soepomo, Undang3 Dasar Sementara Repub lik Indonesia, tjet. ke-2, h. 129.

5) Lampiran peraturan no. 4.

84

ulangi oleh mereka jang termasuk kaulanegara Belanda ini. Tidak demikian dengan mereka jang bukan kaulanegara Belanda dan seperti disebut dalam pasal 144 UUDS karenanja tak termasuk Persetudjuan Pembagian itu.

Berkenaan dengan hal ini timbullah pertanjaan : apakah U.U. no. 3 tahun 1946 dari R.I. Djokjakarta itu masih harus dipandang berlaku sedjak penjerahan kedaulatan ? Sesuai dengan pendapat ahlihukum terbanjak G) kami memandangnja tak berlaku lagi. Pasal 144 UUDS berbitjara tentang keadaan pada saat penjerahan kedaulatan, „sambil menunggu pada peraturan kewarganegaraan dengan undang2 jang tersebut dalam pasal 5 ajat 1 ”. Berhubung U.U. no. 3 tahun 1946 itu tak berlaku lagi sekarang ini dan akibat2nja hanja dipelihara terus sepandjang tak bersangkutan dengan kaulanegara Belanda, kami menganggap perintjian daripada siapa2 merupakan warganegara R.I. dengan menjebut semua ke­mungkinan dari U.U. no. 3 tahun 1946 ini (djuga jang mengenai orang2 dengan status kaulanegara Belanda) seperti dilakukan dalam Memori Pendjelasan Undang2 Darurat Padjak Bangsa Asing (TLN 1957 no. 1345) 7) adalah tak pada tempatnja.

§ 2. Persetudjuan Perihal Pembagian W arg a Negara.Telah kita saksikan bahwa untuk mengetahui siapa2 jang

merupakan warganegara R.I. menurut dan berdasarkan Persetu­djuan Perihal Pembagian Warganegara (PPPW N ) dari K.M.B. 1) harus diperhatikan apa jang tertera dalam peraturan tentang ke- warganecjaraan (nasionalitet) Belanda. Jang belakangan ini diatur dalam Undang2 tentang Nederlanderschap dari tahun 1892 dan Undang2 tentang Kekaulanegaraan Belanda tahun 1910. Kekaula- negaraan Belanda inilah jang merupakan nasionalitet bagi Kera- diaan Belanda. ,.Isi” darinada penaertian kekaulaneqaraan Belanda ini telah kita saksikan dengan seksama dalam bab jang lalu. 2)

Setjara singkat dapat dikatakan bahwa warqanegara Reoublik Indonesia sekaranq ini ialah mereka jang dahulu tergolong kaula­negara Belanda iana telah memperoleh kewarganegaraan Indonesia „menurut” PPPW N atau „berdasarkan atas” peraturan tersebut telah memilih kewarqanegaraan Indonesia dan selandjutnja mereka janq telah dinaturalisir menurut undang2 kewarganegaraan R.I. Djokjakarta.

Djika kita mengikuti selajang pandang apakah jang mendjadi pegangan daripada PPPW N ini, maka kita saksikan adanja perintjian sebagai berikut:

6) Loseraann o.c. h. 37, Dr Ko Swan SLk, De meervoudige nationaliteit, disertasi Leiden, 1957, h. 153.

7) Lampiran peraturan no. 27.

1) Lampiran Peraturan no. 5.2) bab III.

85

I. Kelompok orang2 Belanda („Nederlanders” ) pada umum- nja tetap memegang teguh kewarganegaraan Belanda (pasal 3).

II. Kelompok orang2 jang terkenal sebagai kaulanegara Belanda dari golongan jang kini lazimnja disebut Indonesia „asli” jang berada di Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia, ketjuali mereka jang bertempat tinggal di Suriname atau Antillen Belanda dan dilahirkan dalam wilajah Keradjaan Belanda (bentuk sekarang ini), pasal 4.

III. Kelompok daripada orang2 kaulanegara Belanda ke­turunan asing (jang bukan berstatus orang Belanda). Disinilah terutama termasuk golonganrakjat jang menurut sistim hukum warisan kolonial dikenal sebagai „Timur Asing” : keturunanTionghoa dan Arab. Djika mereka dilahirkan di Indonesia, maka mereka ini memperoleh kewarganegaraan Indonesia (pasal 5). Djika mereka dilahirkan diluar Indonesia, maka perlu diadakan perintjian lebih djauh : 1. apabila bertempat tinggal di Indonesia, maka menurut pasal 5 mereka memperoleh kewarganegaraan Indonesia ; 2. djika mereka bertempat tinggal di Keradjaan Belanda (bentuk baru), menurut pasal 6 mereka tetap berkewarganegaraan Belanda ; 3. djika mereka bertempat tinggal diluar wilajah kedua negara jang membuat persetudjuan ini dan lahir di Keradjaan Belanda (bentuk baru), maka menurut pasal 7 mereka tetap ber­kewarganegaraan Belanda ; 4. djika mereka bertempat tinggal dan dilahirkan diluar wilajah kedua negara bersangkutan, maka menurut ajat 2 dari pasal 7 berlakunja pasal 7 ini atau pasal 5 baginja tergantung kepada tempat lahir daripada bapaknja atau ibunja (djika tak ada hubungan hukum dengan bapaknja).

Segala sesuatu jang ditentukan pada umumnja ini dapatlah di-„korigeer” sendiri lebih djauh oleh jang bersangkutan dengan diberikannja hak memilih atau menolak. 3) Dengan demikian se­seorang jang merasa pembagian setjara massaal ini tak tjotjok bagi dirinja, dapatlah mengadakan perubahan dengan mempergu­nakan kesempatan untuk memilih kewarganegaraan jang lain atau menolak kewarganegaraan jang diberikan padanja. Djangka waktu ditetapkan 2 tahun setelah peralihan kedaulatan (sampai 27 Desember 1951). Para pembatja masih teringat tentunia baqaimana sibuknja para pendjabat jang ditugaskan dengan penglaksanaan opsi atau repudiasi tersebut pada minggu2 terachir sebelum lewatnja diangka tersebut. Penqadilan2 Negeri setempat se-olah2 „diserbu” oleh orang2 jang hendak mempergunakan hak menolak atau me­milih. Peraturan penglaksanaan berkenaan dengan pemilihan atau penolakan ini ditetapkan tersendiri dengan Peraturan Pemerintah (L.N. 1950 no. 8; 4) lihat djuga pasal 12 P P P W N ).

3) Bdgk. Lemaire, Het recht in Indonesie, h. 132.4) Lampiran Peraturan no. 6

86

Pasal2 lainnja daripada PPPW N dalam garis2 besar mengatur : penafsiran tentang apa jang diartikan dengan „dewasa” dalam PPPW N ini, jaitu 18 tahun atau menikah lebih dahulu (pasal 1); 5) penafsiran tentang mereka jang menurut peraturan2 R.I. Djokjakarta sudah mempunjai kewarganegaraan R.I. (pasal 2); ketentuan2 berkenaan dengan orang2 jang belum berumur 18 tahun (pasal 8 dan 9).

Pada umumnja orang2 jang dianggap belum dewasa ini mem­punjai suatu status jang tergantung daripada status orang tua mereka. Jang diutamakan ialah status daripada sang ajah. Dalam hal tak ada hubungan hukum dengan sang ajah ini maka sang ibulah jang menentukan status anak ini. Bagimana apabila untuk sang ajah (ibu) tak berlaku PPPW N ini, umpamanja karena mereka ini bukanlah berstatus kaulanegara ‘Belanda vpada saat peralihan kedaulatan ? Dalam hal ini ditetapkan bahwa pasal2 dari PPPW N berlaku setjara langsung bagi anak2 bersangkutan.

Dalam prakteknja pernah timbul kesangsian apakah jang sebenarnja harus diartikan dengan anak2 jang belum sampai umur 18 tahun ini. Sampai saat manakah harus dihitungnja umur ini ? Sampai peralihan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 atau haruslah usia ini ditentukan pada detik dilakukannja sesuatu penolakan atau pemilihan oleh anak bersangkutan (oleh orang tuanja baginja)? Pernah kedjadian bahwa pada pelbagai Penga­dilan Negeri diterima djuga pernjataan untuk menolak kewarga­negaraan Indonesia oleh seorang anak kaulanegara Belanda keturunan Tionghoa jang pada saat penjerahan kedaulatan belum 18 tahun, tetapi pada saat ia melakukan penolakan tersebut baru sardja merajahkan ulang tahunnja jang ke-18. Apakah penolakan" serupa ini adalah sjah ? Menurut pendapat terbanjak: tidak! Karena apakah seorang anak sudah dewasa atau belum haruslah ditentukan pada saat pengakuan kedaulatan. Anak belum dewasa ialah mereka jang „mendjelang penjerahan kedaulatan” (istilah jang ber-ulang2 kita ketemukan dalam PPPW N) belum berumur 18 tahun. Djadi dalam tjontoh kita ini, anak2 bersangkutan jang telah menolak sendiri kewarganegaraan Indonesia (tanpa bantuan dari orang tua mereka) dapat meminta supaja pernjataan itu di- tjabut, karena telah dilakukan setjara tidak sjah. G) Lain halnja djika penolakan ini telah dilakukan oleh orang tua sianak. Dalam hal ini maka penolakan tersebut adalah sjah.

Kedudukan dari fihak perempuan jang melakukan perkawinan ditentukan oleh status sang suami. Dalam hal ini dikemukakan istilah „mengikuti” (pasal 10). Sang isteri karenanja bukan sadja

5) Dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958 terdapat perbedaan dalam penentuan um ur ini. Ada 18 tahun (pasal 1 ajat 1 sub b, pasal 3 ajat 2, pasal 4 ajat 2, pasal 13, pasal 15, pasal 16) ada 21 tahun (pasal 5 ajat 2 sub a, pasal 14, pasal 17 sub e).

6) Untuk pendirian pemerintah Belanda jang sesuai, lihat surat2 resmi jang telah dikutip dalam Practicus, Nationaliteitsrecht, 6.1 hal. 3

87

I

memperoleh, tetapi pula turut serta dalam perubahan2 status jang setelah perkawinan berlangsung dilakukan oleh sang suami. Ketentuan serupa ini bukan hal baru bagi, perundang2an di Indonesia. Sudah sedjak achir abad jang lampau terdapat peraturan jang terkenal sebagai „Peraturan Perkawinan Tjampuran” (Stbl. 1898 no. 158). 7) Pasal terpenting dari seluruh peraturan ini, pasal2, djuga menjatakan hal jang serupa berkenaan dengan status seorang isteri jang mengadakan perkawinan tjampuran. Djuga dalam perundang2an kewarganegaraan Belanda tahun 1892 (pasal5) dan Undang2 kekaulanegaraan Belanda tahun 1910 dikenal ketentuan serupa. Demikian pula adalah azas jang digunakan dalam Undang2 kewarganegaraan dari R.I. bentuk lama (no. 3 tahun 1946). 8) Lebih djauh kita dapat membatja azas mengikuti ini dalam Undang2 Darurat Padjak Bangsa Asing (no. 16 tahun 1957, pasal 3). Azas mengekor belaka oleh sang isteri ini telah dilepas­kan dalam UU Kewarganegaraan jang kini telah diterima (pasal 7, 8). Tentang status perempuan dalam perkawinan tjampuran internasional telah kita mengadakan tindjauan tersendiri dalam rangkaian tulisan ini. 10)

Dwikewarganegaraan.

Berkenaan dengan kesempatan jang diberikan kepada orang2 bersangkutan untuk mengadakan pemilihan atau penolakan daripada kewarganegaraan jang diberikan kepada mereka setjara massaal terdapat pula suatu kemungkinan untuk menghilangkan kewargaan rangkap djika dikehendaki. Orang2 keturunan Tionghoa jang di- samping kekaulanegaraan Belanda djuga mempunjai kewargane­garaan Tiongkok pada saat melakukan pernjataan menolak ke­warganegaraan Indonesia, dengan sendirinja tidak akan lebih lama merupakan bipatride. Dengan penolakan kewarganegaraan Indo­nesia tersebut, tanpa disertai keterangan inrpn m^rnilih kewarga­negaraan Belanda (ajat terachir pasal 5 P P P W N ) maka jang bersangkutan mendjadi terlepas daripada dwikewarganegaraannia. Untuk selandjutnja ia ini hanja dianggap sebagai warganegara Tiongkok.

Pada mereka dari orang2 keturunan Tionghoa jang tak menolak kewarqanegaraan Indonesia akan diberikan kesempatan lagi untuk membebaskan diri daripada „beban” dwikewarganegaraan.

Seperti diketahui sebab utama daripada adanja kewargane­garaan rangkap dari para warganegara Indonesia keturunan Tionghoa ini ialah karena bentrokan antara sistim ius soli dan ius sanguinis. Telah kita saksikan bahwa Undang2 kekaulanegaraan

7) Untuk pembahasan peraturan in i lih'=t: disertasi kam i, Set*i2 hukum peraturanperkawinan tjampuran, Djakarta, 1955, tjetakan kedua 1958.

8) Lampiran Peraturan no. 1.9) Lampiran Peraturan no. 26.

10) bab VI.

S8

Belanda tahun 1910 mengutamakan ius soli, sedangkan sebaliknja Undang2 Kewarganegaraan Tiongkok (jang pertama dari 1909, kemudian dari 1912, 1914, 1929) mengkedepankan ius sanguinis. Oleh karena itu dapatlah dianggap orang2 keturunan Tionghoa jang berstatus kaulanegara Belanda (kemudian warganegara Indonesia) sebagai warga Tiongkok pula. Mereka adalah bipatride, walaupun tak dapat disangkal bahwa kewarganegaraan Indonesialah bagi mereka adalah jang „effectief”. 31)

Kesulitan2 jang timbul berkenaan dengan dwikewarganegaraan daripada orang Tionghoa dalam perantauan ini tjukup diketahui. Disinilah terletak salah satu sumber kesulitan2 jang telah menim­bulkan „persoalan Tionghoa” di-riegara2 Asia Tenggara. Segala sesuatu telah mendjadi lebih sukar tatkala dalam permulaan abad ini pemerintah Tiongkok nasionalis ternjata memperlihatkan sikap „mempertahankan” para warganegaranja sedapat mungkin. Bagi perseorangan jang bersangkutan tak ada djalan untuk dibebaskan daripada kewarganegaraan Tiongkoknja, bila tak ada persetudjuan terlebih dahulu daripada penguasa di Tiongkok. Tjara2 untuk meng­hilangkan kewarganegaraan Tiongkok setelah dilahirkan, misalnja dengan adoptie, perkawinan tjampuran oleh seorang perempuan, naturalisasi, optie dsb., semua ini digantungkan pada sjarat : idzin terlebih dahulu daripada pemerintah Tiongkok. Dan prakteknja menundjukkar. bahwa idzin ini hampir tak pernah diberikan !

§ 3. Perdjandjian Soenario-Chou, 1955.Politik mempertahankan ini telah dirobah sama sekali oleh

pemerintah R.R.T. Hal ini dapat disaksikan dengan tegas dalam perdjandjian antara Indonesia dan R.R.T. dari 22 April 1955, lebih terkenal sebagai perdjandjian Soenario-Chou, jang kini masih menunggu pelaksanaannja. 13) Seperti diketahui maka tudjuan utama daripada perdjandjian antarnegara ini ialah untuk meng­hilangkan status dwikewarganegaraan daripada para warga kedua negara ini. Tjara untuk melenjapkan dwikewarganegaraan ini ialah dengan djalan mengadakan kewadjiban kepada orang2 bersang­kutan untuk mengadakan pilihan setjara tegas untuk salah satu kewarganegaraan (pasal 1). Pilihan ini harus dilakukan dengan njata. tak dapat setjara diam2. Dengan demikian dapatlah diperoleh lebih banjak kepastian bahwa jang bersangkutan ini memang se- tiara sungguh2 menghendaki kewarganegaraan jang dipilihnja. Dengan adanja ketentuan serupa inipun akan dipermudah hal pembuktian kewarganegaraan. Pembuktian ini merupakan sesuatu jang penting, terutama bagi pendjabat2 Negara jang harus melak­

11) Bdgk. Piauw Giok Tjhan, Mempertjepat proses integrasi. Laporan Ketua Umum Baperki kepada Konferensi Pusat Pleno tanggal 18-19-20 Oktober 1957, Berita Baperki, tahun V no. 38, Pebr. 1958, h. 1.

12) Bdgk. Dr. Ko Swan Sik, De meervoudige nationaliteit, disertasi Leiden, 1957, h. 124.

13) Untuk naskah perdjandjian ini, Lihat Lampiran Peraturan no. 18.

89

sanakan pemerintahan se-hari2. Demikian pentingnja hal pembuktian ini, hingga Penguasa Militer (kemudian Penguasa Perang) telah memandang perlu untuk dalam rangka S.O.B. (kemudian Undang2 Keadaan Bahaja) mengadakan peraturan tersendiri „perihal pem­buktian kewarganegaraan" (no. Prt/PM/09/1957 ttg. 4 D juni 1957, 14) kemudian ditambah dengan pelbagai peraturan, 1o) instruksi pelaksanaan no. III/7/PMT/1957, 10 Okt. 1957 1G dst.). Isi daripada peraturan jang telah membikin demikian banjak heboh karena digandengkan oleh keharusan membajar „beaja meterai” tinggi ini dan karenanja dipandang diskriminatoris oleh jang ter­kena ini, kiranja tjukup terkenal dikalangan pembatja !

Dengan diadakannja pemilihan untuk salah satu kewargane­garaan bersangkutan ini maka menurut perdjandjian Soenario-Chou, kewarganegaraan jang lainnja akan hilang (pasal IV ). Keharusan untuk memilih ini ialah dalam tempo 2 tahun setelah berlakunja perdjandjian ini (pasal II ajat 1). Sanksi atas tak melakukan ke­harusan memilih ini ialah bahwa mereka (jang waktu berlakunja perdjandjian telah dewasa) dianggap telah memilih untuk ke- wargaan negara Republik Indonesia (c.q. Republik Rakjat Tiongkok), bilamana jang bersangkutan „dari pihak bapaknja berketurunan Indonesia (resp. Tionghoa)”, (pasal V ajat 1). Ketentuan2 tersendiri diadakan berkenaan dengan mereka jang tak mempunjai hubungan hukum dengan sang ajah. Istilah „berke­turunan” ini hendak kami tafsirkan, sesuai dengan pendapat Dr Ko Swan Sik 17) sebagai suatu ukuran jang bersifat ethnis, raciaal. Keturunan daripada sang ajah ini mengakibatkan bahwa menurut Undang2 Kewarganegaraan Tiongkok berdasarkan ius sanguinis jang bersangkutan merupakan warganegara Tiongkok. Djika mereka ini tak melakukan pilihan jang diharuskan itu, maka mereka akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan untuk kemudian hanja memiliki kewarganegaraan Tiongkok. Dengan djalan demikian dapatlah diselesaikan masalah kewarganegaraan rangkap jang tak dikehendaki ini.

Penukaran nota berkenaan dengan perdjandjian ini antara perdana menteri Ali Sastroamidjojo dan Chou En Lai pada tanggal3 Djuni 1955 telah memberikan keleluasaan bagi pemerintah Indonesia untuk menentukan sendiri bahwa sebagian dari­pada mereka jang bersangkutan dengan perdjandjian ini, dapat dipandang hanja mempunjai satu kewarganegaraan dan tidak merupakan bipatriden karena status politik dan sosial mereka me- nundjukkan, bahwa mereka ini telah menolak kewarganegaraan Tiongkok. Karenanja menurut pandangan pemerintah R.I. mereka

14) Lampiran Peraturan no. 19 ; Pendjelasan no. 20.15) Lampiran Peraturan no. 21 ; Pendjelasan no. 22 ; P e r o b a h a n , Lam piran Pera­

turan no. 23, Pendjelasan no. 24.16) Lampiran Peraturan no. 25.17) De meervoudige nationaliteit, h. 305.

90

ini hanja warganegara Indonesia. Maka mereka ini tak diharuskan untuk memilih lagi. Kita ketahui bahwa penukaran nota ini adalah hasil daripada usaha para pemuka golongan warganegara Indonesia turunan Tionghoa ini (antara lain jang tergabung dalam Baperki), jang hendak memperketjil keharusan „memilih lagi” ini sedapat mungkin. 18)

§ 4. U.U. tentang kewarganegaraan R.I.

Undang2 Kewarganegaraan Indonesia jang telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat menarik perhatian karena adanja be­berapa hal baru jang tak dikemukakan dalam per-undang2an ber­kenaan dengan kewargaan (kekaulanegaraan) jang sampai seka­rang telah kita alami dinegeri ini. *)

las sanguinis menggantikan ius soli.

Jang per-tama2 menjolok ialah pengutamaan azas ius sanguinis. Hal ini adalah berbeda baik dengan Undang2 kekaulanegaraan Belanda dari tahun 1910 2) maupun dengan Undang2 Kewarga- negaraan dan penduduk No. 3 tahun 1946 3) (dari Republik bentuk lama). Sekarang bukan lagi daerah kelahiran (ius soli) jang di­utamakan, melainkan keturunanlah jang menentukan kewarganega­raan. Pasal pertama dari UU Kewarganegaraan tersebut menjata- kan sebagai orang Indonesia : „orang jang mempunjai hubungan hukum kekeluargaan dengan ajahnja jang pada waktu lahir orang itu warganegara Republik Indonesia”. Dalam memori pendjelasan- nja diterangkan bahwa adalah lazim jang keturunan dipakai sebagai suatu dasar untuk menentukan kewarganegaraan seseorang. Adalah sewadjarnja bahwa suatu Negara menganggap seorang anak se­bagai warganegaranja dimanapun ia dilahirkan, apabila orang tua itu warganegara dari Negara itu. Pengutamaan ius sanguinis tak dikurangkan oleh kenjataan bahwa UU ini djuga memperhatikan azas kelahiran didalam daerah apabila tak diketahui kedua orang tua anak bersangkutan. Ketentuan jang serupa dapat kita saksikan djika kedua orang tuanja tak mempunjai kewarganegaraan atau tak diketahui kewarganegaraannja. Demikian pula ius solilah jang berlaku apabila orang jang lahir didalam daerah Republik Indonesia

' pada waktu lahirnja tidak mendapat kewarganegaraan ajahnja atau ibunja. Tegasnja dengan ketentuan2 belakangan ini hendak di­hindarkan bahwa seseorang mendjadi tanpakewarganegaraan (apatride). Karenanja dapat diterima „pelembutan” daripada ber- lakunja azas keturunan tersebut. Kita akan saksikan bahwa penghin­

18) Bdgk. Statement dari Panitya Kerdja Kewarganegaraan Baperki, 27 Okt. 1954 : Berbagai pertimbangan tentang R.U.U. Kewarga-Negaraan R.I., Berita Baperki, Nomor Istimewa, h. 41.

1) Untuk naskah U.U. Kewarganegaraan ini, lihat Lampiran Peraturan No. 32.2) Lihat bab III.3) Lampiran Peraturan No. 1.

91

daran daripada kemungkinan seseorang mendjadi tanpakewarga- negaraan (atau mendjadi mempunjai dwikewarganegaraan) telah merupakan tudjuan utama daripada pembuat-undang2 Kewarga- negaraan ini.

Pemakaian ius sanguinis ini dan tidak azas daerah kelahiran adalah sesuai dengan semangat nasionalisme Indonesia jang sedang mengalami masa bergeloranja ! Pemupukan perasaan2 nasional telah membantu banjak untuk mengkedepankan azas keturunan ini. Kini tak demikian mudah bagi seorang asing untuk karena kelahiran sadja dalam wilajah Indonesia dipandang sebagai warganegara R.I. Pendirian jang serupa djuga nampak pada per~undang2an kewarga- negaraan daripada negara2 tetangga di Asia jang baru menikmati alam kemerdekaan. Thailand misalnja memperlihatkan pula per­kembangan jang serupa. Dalam per-undang2an kewarganegaraan jang pertama dari tahun 1913 dikedepankan ius soli sebagai dasar untuk memperoleh kewarganegaraan Thai. Tetapi dalam undang2 kewarganegaraannja jang baru dari tahun 1952 (diubah 1953) kita saksikan bahwa diutamakan ius sanguinis. Dalam praktek berkena­an dengan kewarganegaraan di Filipina ternjata bahwa ius solilah jang diutamakan. Tetapi hal ini berubah kemudian.

Ius soli dipandang tak tjukup lagi untuk memastikan bahwa seseorang jang bersangkutan dapat dipandang sebagai warganegara jang sungguh2. Njatalah bahwa kini diutamakan pemupukan „natie” jang homogeen oleh negara2 Asia dalam alam kemerdekaan ini. Dengan menggunakan ius sanguinis akan diperketjil terhitung- nja orang2 asing sebagai warganegara. Masalah minoritet akan berkurang. Tetapi dengan demikian tentunja orang2 asing dalam negara akan bertambah. Hal belakangan ini diharapkan untuk di- tjegah dengan djalan memperketjil kemungkinan imigrasi. Proses jang kita saksikan ini dapat disebut pula dengan kata2 bahwa „sociologische nationaliteit” didjadikan sjarat untuk kewarganega­raan setjara juridis (juridische nationaliteit) 4). Kewarganegaraan Indonesia dipersatukan dengan kebangsaan Indonesia. „Nation- building” ini ditudjukan kearah masjarakat jang homogeen. Hanja mereka jang dipandang setjara politis dan sosial dapat diassimilasi- kan setjara tjepat untuk mendjadi bangsa Indonesialah jang dipan­dang lajak untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Mentjegah bipatridie.

Perkembangan serupa ini adalah sedjalan dengan hasrat untuk mentjegah sedapat mungkin terdjadinja dwikewarganegaraan. U U kewarganegaraan Indonesia penuh dengan pasal2 jang njata diada­kan untuk menghindarkan terdjadinja bipatridie ini. Selalu ditentu­kan bahwa kewarganegaraan Indonesia hanja akan diperoleh „apa­bila tidak mempunjai kewarganegaraan lain”, atau tjara2 untuk memperoleh terbuka bagi mereka jang memenuhkan sjarat-sjaratnja „ketjuali djika ia apabila memperoleh kewarganegaraan Republik

4) Dr Ko Swan Sik, De meervoudige nationaliteit, h. 324.

92

Indonesia masih mempunjai kewarganegaraan lain. Misalnja di­tentukan bahwa seorang anak diluar perkawinan dari seorang ibu warganegara R.I. jang kewarganegaraannja turut ajahnja boleh memperoleh kewarganegaraan R.I. dengan djalan mengadjukan permohonan kepada Menteri Kehakiman, tetapi, hal ini hanja dapat dilakukannja apabila ia setelah memperoleh kewarganegaraan R.I. tidak mempunjai kewarganegaraan lain (pasal 3 ajat 1).

Demikian pula halnja dengan tjara memperoleh kewarganega­raan R.I. dengan djalan permohonan lainnja, jang terbuka bagi orang asing penduduk di Indonesia jang lahir pula dari seorang penduduk atau jang kemudian mendjadi penduduk jang djuga lahir di Indonesia. Mereka ini hanja diperbolehkan menggunakan ke­sempatan ini bilamana karenanja tak mendjadi berkelebihan ke­warganegaraan (pasal 4). Ketentuan serupa kita saksikan berke­naan dengan pewarganegaraan (naturalisasi) Kesempatan ini hanja terbuka bagi mereka jang „tidak mempunjai kewarganegaraan, atau kehilangan kewarganegaraannja apabila ia memperoleh kewarga­negaraan Republik Indonesia” (pasal 5 sub h).

Pendirian jang bersamaan kita saksikan berkenaan dengan perkawinan tjampuran. 5) Kemungkinan bagi perempuan asing untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena perkawinan hanja terbuka bagi mereka jang dengan memperoleh kewarganega­raan Indonesia itu tak akan mendjadi bipatride (pasal 7 dan pasal peralihan I).

Bahkan setjara lebih tegas lagi kita saksikan hasrat untuk mentjegah terdjadinja berkelebihan kewarganegaraan ini djika kita perhatikan tjara2 untuk hilangnja kewarganegaraan R.I. Tjara pertama untuk kehilangan kewarganegaraan Indonesia ialah dengan djalan „memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauannja sendiri” (pasal 17 sub a), dan sebagai kemungkinan kedua ialah karena „tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang jang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu” (pasal 17 sub b).

Kiranja dari tjontoh2 ini tjukup djelaslah betapa bipatridie ini dipandang sebagai merugikan bagi Negara oleh pembuat-undang2 kita. Djuga tjita2 untuk menghapuskan masalah bipatradie ini ada­lah sedjalan dengan apa jang kita saksikan dalam perkembangan negara2 Asia tetangga. Bipatridie di-negara2 ini terutama bersang­kutan dengan orang2 keturunan Tionghoa. Karena bentrokan an­tara azas ius soli dan ius sanguinis dari per-undang2an kewarga­negaraan Tiongkok timbullah dwikewarganegaraan. Pemakaian ius sanguinis dalam per-undang2an negara2 baru di Asia ini akan memperketjil terdjadinja dwikewarganegaraan dikemudian hari. Tetapi tentunja djalan jang terbaik untuk mengatasinja ialah de­ngan djalan mengadakan perdjandjian internasional, seperti misal-

5) Lihat bab VI.

93

nja antara Indonesia dan R.R.T. (perdjandjian Soenario-Chou dari tahun 1955 6) jang telah kita uraikan dalam paragrap jang lalu).

Dwikewarganegaraan se-dapat2nja ditjegah pula menurut ke­tentuan2 jang dapat kita batja dalam per-undang2an Burma tahun 1954 (Union Citizenship-Amendment-Act). Menurut ketentuan ini maka kepada orang2 bersangkutan diwadjibkan untuk melepaskan kewarganegaraan lain.

Djika tak dilakukannja hal ini maka sanksinja ialah hilangnja kewarganegaraan Burma. Kewadjiban ini harus dilakukan sebelum waktu tertentu (1 April 1955) atau dalam tempo setahun setelah orang bersangkutan dewasa atau setahun setelah berlakunja un­dang2 kewarganegaraan negara lain jang memberikan kepadanja kewarganegaraan tambahan itu. Tetapi tentunja untuk dapat mem­bawa manfaat, penolakan kewarganegaraan negara lain ini harus sesuai pula dengan peraturan jang berlaku untuk negara bersang­kutan. Seperti diketahui undang2 kewarganegaraan Tiongkok tak mengenal kemungkinan untuk menolak kewarganegaraan T iongkok. Oleh karena itu dalam per-undang2an Burma djuga ditentukan bahwa penolakan ini harus dilakukan „in accordance with the law of such foreign country”.

Djuga lain2 negara Asia memperlihatkan dengan tegas ketjon- dongan untuk mentjegah dwikewarganegaraan. Dalam peraturan2 Malaya terdapat kemungkinan untuk memperoleh „Federal Citi- zenship” dengan djalan pentjatatan (registration). Akan tetapi salah satu sjarat jang dikemukakan ialah bahwa jang bersangkutan harus menolak lain2 kewarganegaraannja. Demikian pula kita saksikan ketentuan2 dengan djiwa bersamaan dalam per~undang2an kewarganegaraan Siam tahun 1952 (diubah 1953) tersebut diatas. Telah kita saksikan bahwa ius soli dari peraturan jang lama (1913) telah diubah mendjadi ius sanguinis. Berkenaan dengan mereka jang telah memperoleh kewarganegaraan Siam berdasarkan ius soli dari peraturan lama terdapat kemungkinan untuk mengadakan „pentjabutan kewarganegaraan” (denationalisatie) Siam itu dalam hal terdapatnja kenjataan bahwa jang bersangkutan masih mem- punjai hubungan terlampau erat dengan negara leluhurnja. Atas permintaan fihak penuntut umum dapatlah ditjabut kewarganegara­an Siam dari seorang jang setelah dewasa lebih dari 10 tahun berdiam ber-turut2 dinegara ajahnja sedangkan dapat dibuktikan bahwa ia masih memiliki kewarganegaraan ajahnja itu. Lain dari­pada itu ditentukan pula bahwa kewarganegaraan Thai jang diper­oleh dengan djalan pewarganegaraan dapat ditjabut kembali bila jang bersangkutan ternjata masih mempunjai kewarganegaraannja semula. Sedjalan dengan hasrat untuk mentjegah dwikewarga­negaraan ini ialah kemungkinan untuk menolak kewarganegaraan Thai ini dengan seidzin menteri apabila jang bersangkutan ternjata

6) Lampiran Peraturan No. 18.

94

mempunjai kewarganegaraan lain disamping kewargancgaraan Thai ini.

Bahwa dwikewarganegaraan tak disukai njata dengan tegas pula daripada apa jang ditentukan oleh Penguasa Perang berkenaan dengan pembuktian kewarganegaraan Indonesia. Mereka jang di­samping kewarganegaraan Indonesia mempunjai paspor lain di­pandang sebagai tidak lagi memiliki kewarganegaraan Indonesia (pasal 2, Peraturan Penguasa Militer 4 Djuni 1957, 7) kemudian diulangi kembali dalam rangka U.U. Keadaan Bahaja). Hanja ke­pada mereka jang menghargai kewarganegaraan Indonesia selajak- nja diberikan status ini. Ketentuan serupa dapat kita ketemukan kembali dalam UU Kewarganegaraan (pasal 17 sub j). Disini ditjantumkan pula sebagai salah satu tjara kehilangan kewarga­negaraan Indonesia : „mempunjai paspor atau surat jang bersifat paspor dari negara asing atas namanja jang masih berlaku”.

Kiranja pembuat-undang2 dengan djelas telah menggambarkan bahwa „tak seorangpun dapat melajani dua Tuan” dengan baik. Warga jang sedjati tak dapat berdiri diatas dua perahu ! Pendirian sematjam ini dapat kita saksikan pula pada sjarat2 jang diminta dari mereka jang hendak memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan djalan naturalisasi. Disamping sjarat2 jang lazim diketemu- kan dalam per-undang2an jang mengatur naturalisasi, djuga dalam Rantjangan dari U.U. tsb. dapat kita batja : „membuktikan hasrat untuk mendjadi warganegara Republik Indonesia jang baik dengan tingkah laku dalam pergaulan dengan masjarakat Indonesia" (pasal5 sub d). Dalam U.U. jang kemudian diterima tak nampak lagi ketentuan ini.

Disini kita saksikan apa jang disebut pada permulaan paragrap ini, bahwa kewarganegaraan Indonesia setjara juridis hendak di­dekatkan pada faham kewarganegaraan setjara sosiologis. Kearah satu Bangsa Indonesia jang nasional homogeen ! Itulah sembojan jang djuga terbajang dalam pasal penutup daripada UU Kewar­ganegaraan tersebut : „Seorang warganegara Republik Indonesia jang berada didalam daerah Republik Indonesia dianggap tidak mempunjai kewarganegaraan lain” (pasal I).

7) Lampiran Peraturan No. 19, Pendjelasan No. 20.

95

BAB VI : PERKAW IN AN DAN K E W A R G A N E G A R A A N .

§ 1. Status perempuan dalam perkawinan tjampuran.

Seorang sardjana kenamaan pernah berkeluh bahwa fihak perempuan dalam perkawinan selalu telah merupakan suatu „lastige persoon” untuk ilmu hukum. J ) Diantara pembatja wanita kiranja djangan ada jang salah tangkap dan merasa tersinggung karena utjapan ini. Kata2 ini hanja diutarakan untuk melukiskan betapa sulit persoalan sekitar kedudukan wanita dalam perkawinan. Status perempuan jang menikah ini ternjata selalu berada di-tengah2 perhatian para pengedjar ilmu hukum. 2) Pelbagai soal jang sulit timbul sekitar masalah ini. Pelbagai tjara penjelesaian jang telah diandjurkan. Demikian banjak dan dengan demikian bervariasi hingga kadang2 sukar untuk mengadakan pilihan jang se-baik2nja. Terutama sedjalan dengan aliran emansipasi wanita ternjata ke­dudukan hukum fihak wanita dalam perkawinan selalu telah berada N dalam discussie. Baik di-negeri2 Barat maupun di Timur, ternjata persoalan ini merupakan suatu masalah jang hangat ! Djuga Indo­nesia mengenal persoalan ini. Djuga bagi wanita Indonesia per­soalan perkawinan berada di-tengah2 perhatian. Bahkan perbaikan daripada kedudukan perempuan Indonesia dalam perkawinan telah didjadikan program perdjoangan daripada pergerakan2 wanita di- negeri ini. 3)

Demikianlah keadaan dengan kedudukan perempuan dalam perkawinan biasa (intern). Persoalan ini sudah ternjata sulit sekali. Tetapi segala kesulitan ini berlipat ganda bilamana dipersoalkan kedudukan perempuan dalam perkawinan tjampuran. Seperti di­ketahui perkawinan jang dinamakan tjampuran ialah perkawinan daripada orang2 jang disini tunduk dibawah hukum berlainan. 4) Hukum jang berbeda antara kedua mempelai ini dapat disebabkan karena berbagai faktor. Misalnja karena perbedaan golongan rakjat (perkawinan antargolongan), karena perbedaan agama (perka­winan antaragama), karena tempat kediaman (perkawinan antar­tempat). Djuga perbedaan hukum ini dapat berlangsung dalam suasana internasional. Djika dua orang jang berkewarganegaraan lain ini menikah, maka terdjadilah suatu perkawinan tjampuran

1) R.D. Kollewijn, Ontaarding van het nationaliteitsbeginsel in het moderne internationaal privaatrecht, pidato peringatan ulang tahun kelima Rechtshoge- school di Djakarta, 28 Oktober 1929, h. 34 menetapkan in i, terutam a un tuk hukum perdata internasional.

2) Sebagai tjontoh disebut disini disertasi daripada Jantina Brouwer, De nationa- liteit van de gehuwde vrouw in België en in Nederland, 1955.

3) Lihat misalnja J. Prins, Adat en Islamitiesche plichtenleer in Indonésie, tje takan ke-3, 1954, h. 84 ; Nani Soewondo, Kedudukan wanita Indonesia dalam hukum dan masjarakat, Djakarta, 1955.

4) Pasal 1 dari Peraturan Perkawinan Tjampuran, Staatsblad 1898 no. 158 be rbun ji : „Perkawinan antara orang- jang di Indonesia tunduk kepada hukum jang ber­lainan ialah perkawinan tjam puran” . Untuk Ini lihat lebih d jauh disertasi kam i,

■ Segi- hukum peraturan perkawinan tjam puran”, D jakarta, 1955, tje t. ke-2 1958.

96

internasional (antarnegara). Perkawinan sematjam inilah jang terutama akan kita perhatikan dalam bab ini.

Bagaimana dengan kedudukan fihak isteri jang melangsungkan perkawinan internasional ? Apa jang akan terdjadi dengan ke- warganegaraannja ? Apakah ia akan memperoleh kewarganegaraan daripada fihak suaminja ? Atau sebaliknja ia ini dapat tetap mem­pertahankan kewarganegaraannja sendiri ? Apakah perkawinan dapat mempengaruhi status kewarganegaraannja dan dengan de­mikian djuga hukum jang pada umumnja berlaku baginja ? Dan bagaimana dengan status siisteri ini apabila sewaktu perkawinan masih berlangsung kemudian fihak suami berubah lagi kewarga­negaraan semulanja ? Apakah fihak perempuan harus mengikuti, harus mengekor fihak suami ? Pertanjaan2 inilah jang akan kita singgung dalam paragrap ini.

Bagi kita di Indonesia pertanjaan2 ini merupakan hal2 jang aktuil. Dalam Undang2 Kewarganegaraan Indonesia telah terdapat pula pasal2 tertentu jang mengatur kedudukan perempuan dalam perkawinan tjampuran. Diatur bagaimana akan mendjadi kewarga­negaraan daripada perempuan Indonesia jang menikah dengan lelaki asing dan bagaimana adalah kewarganegaraan daripada perempuan asing jang menikah dengan lelaki warganegara Indonesia. 5) Dalam Peraturan K.S.A.D. mengenai pembuktian kewarganegaraan baru2 inipun (PRT/PM/09/1957 tgl. 4-6-1957), 6) telah diatur setjara sepintas lalu tentang kedudukan orang2 perempuan asing jang menikah dengan lelaki Indonesia setelah pengakuan kedaulatan. Djuga dalam peraturan tentang padjak bangsa asing (Undang2 darurat no. 16 tahun 1957, Lembaran Negara 1957 no. 63) 7) jang telah demikian dihebohkan, terdapat pasal2 tertentu berke­naan dengan perkawinan tjampuran ini.

Sebenarnja sedjak dahulukala sudah ada suatu peraturan ter­tentu mengenai kedudukan wanita dalam perkawinan tjampuran internasional jang berlaku dinegeri kita. Dan menurut hemat kami, maka hingga kini pun ketentuan ini masih berlaku. Jang kami maksudkan ialah pasal 2 Peraturan Perkawinan Tjampuran Staatsblad tahun 1898 no. 158. Dalam pasal 2 tersebut dengan tegas dikatakan, bahwa seorang perempuan jang melangsungkan perkawinan tjampuran, mengikuti status sang suami baik dalam bidang hukum perdata maupun dalam bidang hukum publik. s) Peraturan ini menurut pandangan kami berlaku pula untuk per­kawinan internasional jang berkenaan dengan Indonesia (lihat a.l.

5) Pasal 7 dan 8.6) Lihat lampiran no. 19.7) Lihat lampiran no. 26.8) Pasal 2 Peraturan Perkawinan Tjampuran in i b e rb un ji: „De vrouw, die een

gemengd huwelijk aangaat, volgt staande huwelijk, publiek- en privaat- rechtelijk de staat van haren man”.

97

pasal 10 jang mengatur perkawinan jang dilangsungkan diluar negeri). 9) Berdasarkan peraturan ini maka seorang perempuan warga Belanda misalnja, jang menikah dengan seorang warga- negara Indonesia dengan sendirinja, menurut hukum a d a l a h warganegara Indonesia pula. Hal ini berlaku djuga bagi perkawinan jang dilangsungkan setelah pengakuan kedaulatan. Ada banjak penulis kenamaan dan djuga keputusan2 hakim jang membenarkan apa jang dikatakan disini. 10) Pembatja tentunja mengetahui bahwa pendirian sematjam ini dengan adanja Peraturan K.S.A.D. tentang beberapa hal mengenai kewarganegaraan tersebut tadi, tak dianut lebih lama oleh fihak pemerintah. Menurut pasal 3 Peraturan ter­sebut maka perempuan bersangkutan hanja dapat diperlakukan s e b a g a i warganegara setelah memperoleh ketetapan dari Men­teri Kehakiman. Menurut Instruksi jang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan sebagai pelaksanaan peraturan penguasa militer ter­sebut (no. III/7/PMT/1957 ttg. 10-10-1957), “ ) permohonan untuk memperoleh ketetapan dari Menteri Kehakiman ini perlu disertai dengan sjarat2 tertentu. Djadi perempuan ini dipandang belum merupakan warganegara Indonesia. Persoalan tersebut akan kami tindjau pula dalam bab berikut. Sekarang tak akan dipersoal- kannja lebih djauh.

Jang meminta perhatian kita sekarang ialah dasar pikiran jang tertjantum dalam pasal 2 Peraturan Perkawinan Tjampuran itu. Menurut ketentuan ini, maka fihak perempuan harus memperoleh status daripada sang suami. Dan bukan sadja memperoleh, tetapi lebih daripada itu ! Perempuan djuga harus m e n g i k u t i sang suami. Tjara mengikuti ini djuga berlaku untuk perobahan2 lebih djauh jang dilakukan oleh sang suami dengan kewarganegaraannja setelah perkawinan dilangsungkan. Untuk mengambil suatu tjontoh konkrit, maka kita saksikan hal sebagai berikut. Seorang wanita warga Belanda menikah dengan lelaki warganegara Indonesia. Menurut pasal tersebut maka perempuan Belanda memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Kemudian fihak suami menaturalisir dirinja atau melakukan opsi untuk mendjadi warganegara Perantjis. Bagaimana dengan kewarganegaraan siperempuan ? Ia ini djuga

9) Pasal 10 Ini berbunji : „Gemengde huwelijken aangegaan buiten Indonesie,' t 1" een Sedeeite van Indonesie waar het Indonesisch zelfbestuur nog

pestaat, zijn van waarde, indien zij gesloten zijn naar den vorm , gebru ike lijk L ^ iJ1 iv^.aar v°ltrekking heeft plaats gehad, m its geene der partijen genandeld h®obe tegen de voorschriften of vereischten van het voor haar geiaend recht, wat betreft de hoedanigheden en voorwaarden, welke gevorderd

. . . 'v<?rde* een huwelijk te kunnen aangaan” .1U) beoagai tjontoh disebut disini karangan dari Dr P. Bakker, De nationa lite it van

de Nederlandse vrouw na huwelijk met een Indonesier, dalam m ad ja lah „Het Personeel Statuut”, 1954, tahun ke-5, D jun i 1954 no. 6, h. 64, Mr. Z.A. K usum ah Atmadja, Hakim Pengadilan Negeri Purwakarta „Kedudukan Isteri dalam Per­kawinan Tjampuran”, dalam Star Weekly, 5 dan 12 A pril 1958 no. 640, 641, Pendjabat Imigrasi Denpasar, Soedibjo, daiam W arta Im igrasi, tahun V m no. 11, Nopember 1957, h. 11 dst., Keputusan Pengadilan Negeri D jakarta, 1 Sept. 1954, dan selandjutnja pendirian kam i serta penulis2 jang disebut dalam disertasi kami, o.c. tjet. ke-2, h. 95 dst.

11) Lihat lampiran no. 25.

98

turut mendjadi warganegara Perantjis. Dalam hal ini sama sekali tak ditanjakan dan tak diperhatikan apakah jang mendjadi ke- mauannja sendiri. Ia ini hanja harus mengekor, hanja harus mengikuti. Ia ini dipandang se-olah2 hanja suatu benda mati belaka ! Tak punja kemauan atau hak untuk memilih sendiri kewarganega- raan jang lebih disukainja. Maka pada umumnja dapat dikatakan bahwa ketentuan sematjam ini dipandang agak menjakitkan oleh fihak wanita. Apalagi dalam zaman pergerakan wanita untuk dapat perlakuan jang sama dengan lelaki dalam semua bidang peng­hidupan ! Dalam suasana emansipasi perlakuan sematjam ini dipandang sebagai tak sesuai lagi dengan martabat wanita. Maka aliran jang menentang azas mengikuti oleh fihak perempuan ini ternjata telah timbul di-mana2. Terutama di-lain2 negara jang lebih madju daripada disini ternjata aliran2 jang menghendaki kebebasan fihak wanita dalam perkawinan ini adalah lebih kuat. Aliran2 ini telah berhasil untuk melaksanakan perobahan2 dalam perundangan2- an jang berlaku di-negara2 masing2. 12) Dan memang ternjata banjak negara2 jang telah merobah perundang2annja selaras dengan keinginan pergerakan wanita ini. Dimana dahulu terbanjak negara didunia menganut azas-mengikuti agar supaja tertjapai kesatuan hukum dalam keluarga, kini jang diutamakan ialah kebebasan dari­pada fihak wanita dalam perkawinan tjampuran internasional. Kewarganegaraan daripada fihak isteri tidak lagi digantungkan kepada kewarganegaraan daripada suaminja. Hal ini tentunja membawa kesulitan2 tertentu, terutama berkenaan dengan hukum jang harus berlaku untuk mengatur perkawinan tersebut. Djika kedua mempelai tetap mempertahankan statusnja masing2, maka tidak terdjadi kesatuan hukum dalam perkawinan. Kesatuan demi­kian ini sangat diperlukan untuk dapat menunaikan kewadjiban sesuatu keluarga jang ditjiptakan dengan perkawinan itu.

Bukankah djustru inti daripada kehidupan masjarakat adalah keluarga ? Bukankah untuk dapat menunaikan tugasnja dalam masjarakat se-baik2nja keluarga ini harus dapat bertindak keluar sebagai suatu kesatuan bulat. Kesatuan ini bukan sadja harus ter­dapat setjara djasmani tetapi pun dalam alam pikiran batin. Djiwa kesatuan pun harus meliputi keluarga. Bagaimana hal ini dapat terwudjud bilamana masing2 mempelai tetap mempertahankan kewarganegaraan sendiri dengan segala akibat daripadanja ? Banjak kesulitan timbul karena adanja perbedaan kewarganegaraan dan perbedaan hukum dalam keluarga ini. Bagaimana harus diatur harta-kekajaan daripada perkawinan ? Bagaimana dengan status anak2 dan hukum jang berlaku bagi mereka ? Menurut hukum siapakah harus diatur hubungan antara orang tua dan anak ? Semua kesulitan ini tak akan timbul bilamana terdapat kesatuan

.12) Lihat untuk perkembangan sesuatu sekitar hal ini, brosur dari Panitya P.B.B., "Nationality of married women”, 1950.

99

hukum dalam keluarga, bilamana kedua msmpelai tunduk kep^^^^

' hukum jang sama, kepada hukum sang ‘ ^ ^ g i k u t i oleh daripada pendirian jang mendjungdjung t nggi azas 9 dalam fihak perempuan. Demi kepentingan kesatu keluargakeluarga! Para pendekar untuk kesatuan hukum da am J c e ^ ini telah menundjuk misalnja pada suatu peris i J 9 tjQntoh dalam Kitab Indjil. Perempuan Ruth dipandang seb 9 nmurni jang harus mendjadi teladan bagi setiaip orang P tjuicUp sedjati jang melakukan perkawinan tjampuran. ) 1 jerit ¿;a.terkenal bagi para pembatja jang sering mengundjungi 9 .gSeorang perempuan Jahudi bernama Naomi, karena adanja , kelaparan dinegeri Israel, telah menjingkir dengan dua anak nja kenegeri Moab. Dinegeri itu kedua anak lelaki terse Uirarefla kawin dengan perempuan2 Moab, bernama Orpa dan Ruth. naal nasib malang, kedua lelaki anak Naomi tersebut telah memn^ a, dunia. Setelah itu Naomi hendak pulang kenegeri asalnja>u, ^ negeri Israel. Maka sesuai dengan pandangan2 modern jang ber sekarang, Naomi telah andjurkan kepada kedua menantunja begini: „Biarlah aku pergi sendiri. Kamu, menantu2ku, tak usa kamu turutku kenegeri jang djauh !” Karena desakan mertu ini. Orpa tak turut dan kembalilah kepada orang tuanja dineg Moab. Tetapi Ruth tak mau menghiraukan apa jang dikemuka mertuanja ini. Dengan kata2 mengharukan jang kini merupa ajat2 emas bagi para pengundjung geredja, Ruth telah mengefl1 kakan : „Djanganlah kamu mendesak kepadaku agar supaja 3 meninggalkanmu. Kemana kamu akan pergi, kesitupun akan ikuti. Dimana kamu berdiam, disitu pun aku hendak berdia^1,; v karena : Bangsamu adalah bangsaku dan Aliahmu adalah Aliahku ■ (Ruth 1:16). Sedjak itulahi Ruth selalu di-pudja2kan sebag3 tjontoh oleh para pendekar azas-mengikuti. Mereka inipun menllJ1 . , djuk lain pasage daripada Kitab Indjil, jaitu dimana tertjantU£ ' bahwa „perempuan harus meninggalkan ajah-ibunja dan mendja satu dengan suaminja!’’ (Mattheus 19 : 6). Demikianlah pelba9a rationalisasies jang diutarakan untuk membela pendirian azaS, mengikuti oleh fihak perempuan demi kepentingan kesatu3 keluarga. Dalam pandangan ini tidaklah benar azas bahwa f'h3 perempuan mengikuti status daripada fihak suami harus dipandan9 sebagai diskriminasi. Bukan maksudnja untuk mengadakan Perbe' daan ,ang men,akitkan fihak perempuan. Azas mengikuti ini ha*)3

K T i T t 98" /V pa>a terdapat harmoni dalam keluarg3’ K ? ” ke,uar9a inilah jang sepatutnja diutat»3kan ? Bukankah keluarga ini harus dipandang sebagai anasir vit33*untuk masjarakat 1 Perkawinan i. 1 1 *.* ™danat rerKawinan adalah kontrak terpenting Ja :dapat diadakan seseorang selama hidup mereka. Tudjuannja i3*3*1

13) Tjontoh in i diambil dari nirtntn _ TTsettDe N e d e r la n d s e n a t io n a l i t e i ts w e te e v in e „J,« T ' K.M.J. van Sasse v,a g ( „ t u u t ” Djuni/Djuli 1953, tahun ke-4, h. 45. crltisch bezien, ”Het P e r s o n e e l S t a t i

100

tak lain daripada untuk membina suatu keluarga, suatu „gezm jang dapat meneruskan obor kehidupan dan dengan demikian men- djamin kelandjutan daripada masjarakat. Untuk ini diperlukan kesatuan dalam keluarga, kesatuan lahir dan bathm. Kesatuan baik setjara juridis maupun dalam djiwa perkawinan itu. Kesatuan hukum dalam keluarga ini tak b e r t e n t a n g a n dengan azas P“ »»®*' rataan suami-isteri. Azas m e n g i k u t i i n i bukannja diterima untuk

manfaat sang suami belaka. Jang dikedjar ia a er jami i j bahagian para mempelai dan dengan demikian pula demi kcsedj - teraan masjarakat. Apa jang dikatakan dismi lebih2 berati dalam

proses homogenisatie atau assitnilasi bangsa, ros ”

kan bangsa” ini lebih baik dapat tertjapai aPabl^ ke^ r | aiah. daripada ibu adalah sama dengan kewargan 9 memelihara

an^k^^'an^dUahi^kan^dal^rn -taman a

kewargane^ar^nnja3”^ 2”^™ dengan S rganegaraan daripada

ajah anak2 tersebut ?

Demikianlah sepintas ^ ^ b e d k u t akaTkita saksikanpembela2 azas-mengikuti ini. D Hnnai azas-bebas baqibahwa djuga Pendirian /^¿^fd in 'ra tiona lisa ties jang tak kalah fihak wanita mempunjai alasan

teguhnja.

k T lohih baik: perempuan mengikuti status suamiatau “ Tbaliknia menegang tetap kewarganegaraaMja

semula ?

Dalam bab ¡ang U « telah & T a rn y a “bahwa fihak perempuan me: g memelihara kesatuanmengikuti) terdorong oleh saksikan bahwa banjak alasan2hukum dalam keluarga. . _ D .uga telah kita saksikanjang dapat meneguhkan pe: ^ _ Antara lain dcngan

rationalisaties daripada p 9 tentang Naomi dan Ruth.tjerita terkenal daripada kitab IndjU, tem g

Azas persamarataan lelaki-perempuan.

1 •<. lukiskan baaaimana djuga pendirian jang Sekarang akan kita ' la Alasan jang sama dapat

lain mempunjai alasan akan kita melihat bagaimanadipertanggungdjawabkan. sekitar kita. Selesainja ini akan kitaadalah keadaan di-negara . paiing tjotjok bagi kita. Satumelihat azas manakah jang J mengingat pada sistim hukumdan lai„ ¡„i akan kita baha:s deng;.n me g ^ P ^ . ^ pef_jang berlaku dan kaidah . denaan Undang2 Kewarganega-s°alan ini mempunjai arti er , , raan Indonesia sebagai latar

m i

Azas bahwa fihak wanita harus mengikuti status daripada sang suami dalam suatu perkawinan tjampuran terutama oleh pergerakan wanita dipandang sebagai suatu hal jang menghinakan. Karena sama sekali tak diberi tempat kepada keinginan sendiri daripada fihak wanita bersangkutan, dipandanglah perlakuan ini sebagai tak sesuai dengan martabat manusia. Perempuan ini bukan suatu benda jang tak bernjawa, harus mengekor sadja kepada segala sesuatu jang dikehendaki oleh fihak suami, walaupun hal ini amat merugi­kan baginja. Sekarang ini dalam segala lapangan kehidupan, fihak wanita tak mau ketinggalan dengan lelaki. Gerakan emansipasi tak dapat menerima lebih djauh setiap pembelakangan daripada fihak wanita. Djuga tidak dapat diterima sikap mengeloni terhadap fihak lelaki dibidang kewarganegaraan. Haruslah perkawinan ini sama sekali tak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang. Anggapan ini adalah lebih sesuai dengan kedudukan wanita dalam dunia modern. Dengan demikian pun akan dihindarkan pelbagai tjara melangsungkan perkawinan jang chusus ditudjukan untuk dapat ,,menjelundupi” peraturan2 kewarganegaraan ! Berbagai bentuk perkawinan puraz (schijnhuwelijken) kiranja dapat di­tiadakan dengan diterima baiknja ketentuan, bahwa perkawinan sekali2 tak dapat mempengaruhi kewarganegaraan daripada fihak2 mempelai bersangkutan ! Dengan demikian pula terwudjud tjita2 bahwa djuga setjara juridis terdapat persamarataan antara lelaki dan perempuan.

Dimana pendekar2 azas-mengikuti telah memilih tjontoh dari­pada Kitab Indjil untuk meneguhkan pendiriannja, aliran jang menghendaki kebebasan wanita inipun merasa tak mau keting­galan. Merekapun menundjuk kepada suatu peristiwa terkenal jang terdapat dalam Kitab Indjil Perdjandjian Lama, tjerita tentang Samson dan Delila. 1) Oleh W akil wanita dari Amerika dalam Konperensi internasional di Den Haag tentang kewarganegaraan pada tahun 1930 telah dikemukakan hal ini. Sebagai suatu rationa- lisatie daripada aliran wanita ini akan kita singgung pula utjapan tersebut. Wakil wanita tadi telah menundjuk pada tidak-adilnja azas kewarganegaraan-mengikuti dengan mengambil peristiwa Samson dan Delila sebagai tjontoh. Samson adalah seorang Israel dan Allahnja adalah Jahwe.. Delila adalah seorang perempuan Filistin dan Allahnja adalah Dagon. Pemimpin2 Filistin telah men­dekati Delila dan membudjukinja supaja berichtiar memberitahukan kepada mereka rahasia kekuatan Samson. Apabila Delila pada waktu itu dapat dipandang tetap sebagai seorang Filistin, maka lebih mudah bagi kita untuk menerima apa jang telah diperbuatnja.

1) D juga tjontoh In i diambil dari pidato Mr Th. K.M .J. van Sasse van IJse lt, De Nederlandse nationaliteitswetgeving critisch bezien, „Het Personeel S ta tuu t” , tahun ke-4, D juni, DjuU 1953, h. 53.

102

D jika Delila ini tetap seorang Filistin, maka tidaklah demikian berat konflik djiwa jang dihadapinja ! Dan djuga tidak akan ia mjenga- lami demikian banjak tjemaran atas namanja seperti kini telah dialaminja setelah perbuatannja jang dipandang kedji itu ! Inilah pembawaan daripada pandangan bahwa fihak perempuan mengikuti status daripada fihak lelaki. Disinilah terdapat suatu hal jang tak patut (onredelijk), demikian wakil wanita tersebut. Benar tidaknja alasan2 jang dikemukakan ini terserah kepada pembatja. Kita tak akan persoalkannja lebih djauh. Hanja niendjadilah djelas dengan anecdote ini, betapa heibat diperdjoangkan azas-persamarataan oleh fihak wanita.

Dan bagaimana hasilnja ? Djika kita melihat perkembangan disekitar kita, maka dapat dikatakan perdjoangan fihak wanita ini telah memperoleh hasil jang gilang-gemilang. Dapat dikatakan bahwa pendirian aliran emansipasi inilah jang telah menang ! Dalam 20 tahun terachir, dapat dikatakan bahwa terbanjak negara telah menerima baik azas-persamarataan antara suami-isteri ini. Negara2 jang tadinja memegang teguh azas-mengikuti mengadakan perobahan2 dalam perundang2an mereka. Dahulu negara2 dengan azas-mengikuti adalah jang terbanjak. Tetapi kini segala sesuatu telah berubah. Djika kita setjara selajang pandang menindjau „stand”-nja pada waktu ini dapatlah kita memperoleh gambaran sebagai berikut: 2) *

Negara2 jang masih memegang „azas-mengikuti” :Negeri Belanda (sesuai dengan ini, sebagai warisan, pera­

turan kita pula jang terdapat dalam pasal 2 Peraturan Perkawinan Tjampuran), Belgia, Ethopia, Finlandia, Haiti, Hongaria (dengan tjatatan, bahwa perkawinan dengan orang asing harus disertai idzin terlebih dahulu dari Presidium Republik), Iran, Irak, Italie, Jordania, Junani, Korea Selatan, Libanon, Liechtenstein, Perantjis (dengan perubahan ber-kali2 : semula azas-mengikuti, kemudian dirobah mendjadi azas-persamarataan dan terachir dirobah kembali men- djadi azas-mengikuti), Portugal, Spanjol, Swiss, Thai, Turki.

Negara2 jang menerima „azas-persamarataan” :Albania Argentinia, Australia, Afrika Selatan, Brazillia,

Bulgaria, Burma, Cambodja, Canada, Chili, Columbia, Cuba, Denmark, Djerman (sedjak 1953), Ecuador, Eire, El. Salvador, Inggris, Israel, Jugoslavia, Luxembourg, Norwegia, Polandia, Rumania, Sailan, Selandia Baru, Swedia, Tsjechchoslowakia,

U.S.S.R., U.S.A.

2) Dapat diikuti dalam brosur PBB, Nationality of married women, 1950. Pem- bitjaraan brosur in i oleh L.J.A. de Groot dalam „Het Personeel Statuut” berkepala „De nationaliteit van gehuwde vrouwen”, tahun 1952, h. 89; schema pada h. 9. 1 dari Practicus Nationaliteitsrecht, diolah oleh A.J.C. Septer, Mr J.C. Schouten dan L.J.A. de Groot, Alphen aan den Rijn, 1954.

menerim^b^ik^a^11 terbesar dari dunia pada dewasa ini sudah

mda^anafeñ antara suami isteri- Tentu dalam

Jang setjara konsekwen"m eÍentE^b^h931 daIam prakt¿*;tidak memDenoarnli; L-», ukan bahwa perkawinan sama sekali

Rusia. Disanalah perkawlnan^a^33* ^ emPelai- ialah Sovjetmendapat fasilitet2 tertentu hPr\!T Í ta dapat berarti untuk Seorang perempuan SoviPf- • enaan dengan kewarganegaraan.tinggal warga Sovjet. LclakfasinoT den9au lelaki asing, tetap

dapat kesempatan untuk setjara «in ín? perkawinan itu tak nien' S ™ Sovjet. Demikian pula dengan ™ mperoleh k^wargane- menikah dengan warga Soviet ?PeremPuan asin9 Jan9memegang teguh pada azas-persamaratña ne9ara jang djugabagai kelonggaran baqi fihaV iar, i 1° lni’ masih terdapat ber-dengan salah seoranq waroa 9 akukan Perkawinan tjampuraninggris dan Amerika SerikatmalT *1' Misaln)a di Keradjaan seorang warga dapat memberi P a w i n a n tjampuran denganwarganegaraan Inggris atau Am ,™Pa an untuk memperoleh ke

fijara lebih mudah daripada bta« ^ 4 engan d’alan naturalisasi oleh ketiga negara besarIni naH ^ ^ k¡ta Saksikan’ bahw3

fZ r ? t3k daPat membawa neruh3hPnTÍPnÍa diakui bahwa Per'fihak dengan begitu sadja Han^a H ke,Yar9anegaraan bagi para

e.rtjapai kesatuan hukum dalam keb ^ 311 naturalisasi dapatTelah kita kataku u i uarga.

™ k 3n^lelaki'peremPuana d^amlir3nu)an9 meil9hendaki persa- Pida d ? Paí dipandang t e l a h m ^ r » lu p a k a n aliranlidikan Pp Perkemban9an sesuatu berk' daPat kita saksikan

PBB ini d ? enk3tan Ban9sa2 Oleh paen3an den9an hasil penje- 1950 nernS n Perantaraan Econom’ j 3 Untuk status wanita’ 'ain sP„ S Í ,Jms"lk“ suatu íe s E ' ^ S°Cial C° “”cil <“ tahu0

P | ne9a« s menerima baik . f memuat a ndjuran antara

a' Tidak dib„at De h A a9ai beri*mt:

d ^ m didasarkan atas sekse, baik6• Baik perkawinan „ a'am prattek-

kedua*"'131' dapat ®emi>Uenoar l?ie“lt>ubarannia (pertieraiaO'kemun™klnaPnlaj' a”9 tlanla da^at'Jf r9anegaraan daripada fihak a s i "! “nl“k n e n a t u r i f j :. dlter‘ma ialah terbukanjf

9 Jan, menikah deifi! Se' ia ta olehSBt“” “ianakah jang hariB s“ « n 9 w arga. >)

Pertama-tama u a P'lih ?mengadakan suatu 3]|USj d'kemukakan u

Pleidooi jang daD^ ahwa tidaklah dapat kita

3) tlon?1Jty of marr' merobah pendirian dari

bahwa pald^ a„1 rt . an °bs6rver-, 10p^ a sicJa^ ^ ‘lon the NatlonaUg104 0 1958. umum PBB pada tg. 2»

masing3 fihak. Kedua aliran mempunjai alasan2 teguh tersendiri jang masing2 dapat dipertanggungdjawabkan. Menginsjafkan fihak lain pun bukan tudjuan kita. Sebaiknja kita mendjawab pertanjaan jang manakah dari kedua azas adalah paling ai mi, engan melihat pula kepada kebutuhan2 hukum dan kesedaran hukum jang hidup dinegeri kita. Untuk dapat mend jadikan hukum jang dibe­bankan ini mendjadi hukum jang hidup haruslah terdap;at p e - sesuaian dengan apa jang hidup dalam masjarakat kita mi Harus pula dilihat bagimana sebenarnja adalah sist)im h^kum_ clinege kita jang chususnja mengatur pelbagai persoa an u u („hukum perselisihan”, teristimewa „hukum >Dan djika kita melakukan hal ini. maka nampaklah bahwa^bag,

kita sesungguhnja azas-per samar ataanla 1an9 , , t ^ surup

diterima. Mengikuti belaka dari ,PeremPu, Sediak dahululagi dengan keadaan jang berobah dinegeri kitu S e ^^d ah u h i

dilingkungan h u k u m adat pfihaga> a " ¡ ¡ „ p a d a [ihak wanita dengan d]elas kedudukan jang lebih t a * danpa^

S e g S t t ” *) '"d»"esia ”-e? “rUt hh“kr baSdapat9 bertindak s e i r i ¿alam n ^ P ^didalam maupun diluar hukum. , Kec[udukan bebas danjang hidup dibawah Burge:ij menimbulkan rasa iri hati dari- perempuan Indonesia mi kerap « cietim hukum Burgerlijkpada perempuan3 jang tahun - t e l a hWetboek. Dinegeri Belanda se j P „|,entikan ketidakmampuan mulai berlaku suatu undang jang 9 ¿iri ini. Burgerlijkfihak wanita jang bersuami untuk bertindak sena bahanWetboek jang masih berlaku disim b^um^mengen ^

demikian. Dilihat dan segi im ada p dalam perka-beri lebih banjak keleluasan ha^ t , a s u 2 i belaka. •) winan tjampuran daripada men9 peristiwa hukum dibidang

Djuga bila kita tindjau p , jah bahwa kedudukan fihak hukum antargolongan maka n p sejamanja tjotjok dengan apa wanita dalam perkawinan i _„_i ? GHR. Menurut pasal inijang hendak dikedepankan o e ., ^arus mengekor fihakPihak perempuan hanja harus atjaplcali kita saksikan halsuami. Tetapi dalam kenjataan , ,ang terkenal sebagaijang sebaliknja. Misalnja pa perdata Eropah (vrijwillige

penundukan ^ fcarf / ^ opees privaatrecht). ') Kita saksikan onderwerping aan het Eu P disjaratkan terlebih dahuludisini, bahwa untuk perbuatan

----------- .n huku kami Hukum antargolongan, Djakarta,

J ’ V9n5l6U,kh1St . ln i ^ V t ^ d i s l t a s i kami, Segi= hukum peraturan perkawinan

5) Untuk in i lihat lebih dJa .Q9 jgs dst.

* ';fn „„„„ „ i , ..... * * » - « - • * *■ *7> Untuk uraian tentang perbuatan hukum

dst.

105

persetudjuan daripada fihak isteri (isteri) lelaki Indonesia jang hendak menunduk diri pada hukum perdata Eropah itu. Demikian pula pada praktek lembaga persamaan-hak (gelijkstelling). 8) Seorang bukan Eropah hanja dapat di „gelijkgesteld” bilamana ia untuk perbuatan itu terlebih dahulu memperoleh persetudjuan dari­pada sang isteri, Djuga dalam peraturan perkawinan orang2 Indonesia Nasrani dengan orang Indonesia bukan-Nasrani kita kenal suatu kemungkinan, bahwa djustru hukum perkawinan dari­pada fihak isterilah jang merupakan hukum jang berlaku. Apabila seorang perempuan Indonesia Nasrani hendak kawin dengan se­orang lelaki Indonesia bukan-Nasrani, maka dapatlah atas kemauan daripada sang isteri ini, perkawinan tersebut, dilangsungkan me­nurut hukum jang berlaku bagi sang bakal-isteri, jaitu hukum perkawinan Indonesia Nasrani jang bersifat monogaam (Pasal 75 Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani) °)

Sekiranja dari beberapa tjontoh ini sudah tjukup djelaslah bahwa menurut hukum jang berlaku dinegeri kita ini, chususnja hukum jang mengatur hubungan2 tjampuran ini („hukum perse­lisihan”, atau lebih baik „hukum antar tata hukum”), 10) maka kepada fihak wanita diberikan kebebasan untuk memilih dan mengemukakan keinginannja. Dalam suasana sedemikian ini, kuranglah tjotjok kiranja suatu ketentuan jang se-mata2 mengha­ruskan fihak isteri untuk mengekor pada fihak suami. Maka apa jang telah tertera dalam Undang-undang Kewarganegaraan se­karang ini kiranja masih lebih dapat diterima oleh kita daripada ketentuan jang hingga kini masih terdapat dalam pasal 2 Peraturan Perkawinan Tjampuran. Dalam pasal 7 ajat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia ini dikemukakan, bahwa seorang perempuan asing jang menikah dengan lelaki warganegara dapat mendjadi warganegara, djika dalam satu tahun setelah perkawinan tersebut ia menerangkan keinginannja untuk itu, terketjuali karena- nja ia akan mendjadi bipatride (berdwikewarganegaraan). Dalam ajat kedua ditentukan, bahwa terketjuali ia mendjadi bipatride maka seorang perempuan asing jang menikah dengan lelaki war­ganegara, mendjadi pula warganegara, apabila suaminja dalam satu tahun setelah perkawinan tidak menjatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Keterangan melepaskan ini hanja dapat dilakukan djika suami itu karenanja tidak mendjadi apatride (tanpa- kewarganegaraan). Kita saksikan disini bahwa segala sesuatu di­sesuaikan dengan hasrat untuk mentjegah timbulnja bipatride atau apatridie. Selandjutnja ditentukan dalam pasal 8 bahwa seorang

8) idem, h. 96 dst.9) Staatsblad 1933 no. 74, Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Mlnahassa

en Amboina. Untuk pasal 75 dari Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani in i lihat disertasi J. Ph. van Hasselt, De botsingsbepalingen van de huweiyks- ordonnantie voor Christen Indonesiers, diss. Leiden 1952, jang chusus mem- persoalkannja. Lihat djuga, Hukum antargolongan, h. 131 dst.

10) Untuk istilah2 in i lihat Hukum antargolongan, h. 4 dst.

106

perempuan warganegara jang menikah dengan lelaki asing akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianja djika dalam satu tahun setelah perkawinan ia menjatakan kehendaknja akan ini. Tetapi kewarganegaraan Indonesia tak akan mendjadi hilang apabila karenanja perempuan bersangkutan mendjadi tanpa-kewarganega- raan. Melihat tjorak2 ini stelsel jang dipilih dalam Undang2 ke­warganegaraan kita mirip pada apa jang berlaku di Pakistan, India, Tiongkok (berdasarkan undang2 kewarganegaraan tg. 5 Pebruari 1929). 11) Njatalah dari ketentuan2 ini bahwa fihak perempuan tak lebih lama hendak dilihat sebagai semata-mata mengekor pada fihak suami!

§ 3. Perkawinan tjampuran dan padjak bangsa asing.Peraturan tentang padjak bangsa asing kini berada ditengah-

tengah perhatian chalajak ramai. Terutama daripada mereka jang terkena ! Djuga perkawinan tjampuran diwaktu belakangan ini ternjata menarik perhatian dari kalangan pelbagai lapisan masja- rakat dinegeri ini. Perkawinan tjampuran telah di-sebut2 pula dalam peraturan2 Penguasa Militer berkenaan dengan kewarganegaraan. Djuga dalam undang2 darurat tentang padjak bangsa asing (UUDar. no. 16 tahun 1957, L.N. 1957 no. 63) 1) telah disinggung „perkawinan tjampuran”. Dalam peraturan belakangan ini bahkan telah digunakan suatu tafsiran jang berlainan daripada apa jang lazimnja menurut hukum positip dipandang sebagai perkawinan tjampuran. Bukan sadja dalam kedua peraturan darurat tersebut kita ketemukan istilah perkawinan tjampuran ini. Djuga dalam keputusan Menteri Pertahanan selaku Penguasa Militer baru2 ini tentang keharusan untuk membajar Rp. 1000,^ (untuk orang dewasa) bagi tiap2 permintaan surat kewarganegaraan telah di- bitjarakan kedudukan perempuan asing jang menikah dengan war­ganegara Indonesia. 2) Karena banjaknja heboh sekitar peraturan2 ini adalah pada tempatnja bilamana diuraikan sekarang ini setjara sepintas lalu apakah jang sesungguhnja diartikan dengan istilah perkawinan tjampuran. 3)

Dalam peraturan2 darurat tersebut diatas hanja digunakan istilah „perkawinan tjampuran”. Tetapi suatu penerangan lebih djauh apakah jang sebenarnja diartikan dengan istilah tersebut

11) Lihat brosur „Nationality of married women” pada pembitjaraan negara2 jang berpendirian : kewarganegaraan isteri mengikuti atau tak-mengikuti kewarga­negaraan suami, tergantung daripada sjarat2 negara la in bersangkutan, supaja terhindar apatridie dan bipatridie (kelompok H).

1) Lampiran no. 26.

2) Peraturan Penguasa Militer no. 756/P.M.T./1957 tentang Perubahan dan Tam­bahan Aturan Bea Meterai 1921, 14 Agustus 1957, B.N. 1957 no. 87 berikut perobahannja dengan Peraturan Penguasa Militer no. 875/PMT/1957, B.N. 1957 no. 87. Lihat lampiran-lampiran, no. 21 dan 23. Oleh karena hingga kini belum diperbaharui dalam rangka Undang2 Keadaan Bphaja timbul ke-ragu2an dalam praktek tentang masih atau tidak lagi berlakunja, lihat m isalnja berita dalam Sin Po : „Bukan 1000 tapi 60 rupiah”, 5 Mei 1958.

3) Lihat pula paragrap 1 dan 2 dari Bab V.

107

tidak diberikan. Rupanja pembuat-undang2 berpendapat bahwa „man in the Street” di Indonesia sudah dapat tangkap apakah jang' diartikan dengan istilah itu. Tetapi pendirian semat jam ini me­rupakan suatu chajal. Sama chajalnja seperti azas jang diperguna­kan dalam sistim perundang2an dinegeri ini, bahwa setiap orang d i a n g g a p sudah mengetahui isi undang2 (,,een ieder wordt geacht de wet te kennen !” ).

Istilah perkawinan tjampuran merupakan suatu pengertian juridis. Apabila digunakan dalam sebuah peraturan dari pembuat- undang2 tentunja dapat diraba bahwa artian juridis inilah jang dimaksudkan. Dalam kehidupan se-hari2 masjarakat umum pun mempunjai pengertian tertentu tentang apakah jang dimaksudkan sebagai perkawinan tjampuran. Pandangan dari chalajak ramai ini lebih dikerahkan kepada hal2 sosiologis. Djika antara orang2 warganegara Indonesia turunan asing dipersoalkan masalah per­kawinan tjampuran, maka umumnja jang dimaksudkan ialah perkawinan antara apa jang lazim terkenal sebagai „asli” dan „tidak asli”. Misalnja sebagai tjontoh dapat kita sebut persoalan jang pernah dikemukakan dalam madjalah „Pantjawarna” no. 115 (15 Mei 1957). OJeh Redaksi telah diadakan suatu „annket” tentang masalah perkawinan antara „asli dan tidak asli”. Disini sebaqai faktor ianq dikemukakan untuk menentukan apakah sesuatu perkawinen adalah tjampuran atau tidak, ialah golonganrakjat (dahulu bevolkingsgroep). Benar perkawinan sematjam ini ter­masuk pula dalam istilah perkawinan tjampuran juridis. Tetapi perkawinan sematiam ini hanja merupakan sebagian daripada apa jang menurut hukum diartikan dengan istilah perkawinan tjam­puran. Perkawinan seruoa ini termasuk perkawinan2 tjampuran a n t a r g o l o n g a n (intergentiel).

Disampinq perkawinan tjampuran antargolongan, masih di­kenal lain2 perkawinan tjampuran. Sebagai janq terpenting disebut disini perkawinan2 a n t a r t e m p a t (interlocaal), a n t a r - a g a m a (interreligieus), dan a n t a r n e g a r a (interna- tionaal). 4)

Semua perkawinan jang disebut ini merupakan perkawinan tjampuran menurut artikata jang digunakan dalam Peraturan Per­kawinan Tjampuran (Reqeling op de Gemengde Huwelijken), Staatsblad 1898 no. 158. Dalam pasal pertama dari peraturan ini didjelaskan apakah jang dimaksudkan dengan perkawinan tjam­puran. Dengan demikian banjak perkataan ditegaskan bahwa dengan istilah perkawinan tjampuran diartikan : „perkawinan jang dilangsungkan antara fihak-fihak jang di Indonesia berada dibawah

4) Untuk uraian Istilah2 In i lihat disertasi kam i Segi2 hukum peraturan per­kawinan tjam puran, tjet. ke-2, h. 2 dst., buku kam i H ukum antargolongan, h. 1 dst.

108

W _

hukum jang berlainan”. 5) Adanja hukum jang tidak sama, jang 'berbeda untuk kedua mempelai inilah jang menjebabkan sesuatu perkawinan mendjadi perkawinan tjampuran.

Dan apakah jang menjebabkan adanja hukum jang berlainan ini ? Seperti diketahui di Indonesia sebagai warisan daripada stelsel hukum sediakala, terdapat anekawarna hukum. 6) Artinja, bahwa hukum jang berlaku untuk orang2 dinegeri ini tidak sama. Sebaliknja daripada berlakunja satu matjam hukum untuk semua orang, tanpa memperhatikan daerah kediaman, suku, agama, golonganrakjat, kebangsaan atau kewarganegaraan, terdapat pluralisme hukum. Untuk masing2 sukubangsa, golongan, penganut2 agama masing2 berlaku hukum jang berlainan, terutama dilapangan hukum perdata. Ketidaksamarataan jang merupakan pembawaan daripada tiap2 sistim kolonial dilapangan hukum lainnja, seperti dibidang hukum administrasi, hukum pidana dan hukum kenegaraan lambat- laun mendjadi hilang, selaras denqan arus zaman. Tetapi dilapanaan hukum perdata belum sampai kita kepada unifikasi hukum. Dan kebutuhan untuk mengadakan kesatuan hukum pula dibidang per­data ini tak dirasakan sekeras di-lapangan2 lain.

Bagaimanapun adalah tjita2 mengenai kesatuan hukum dinegeri ini, kenjataan menundjukkan bahwa dilapangan hukum perdata tak mudah ■— bila tak mau dikatakan tidak mungkin — tertjapai ke­satuan. Dilapangan hukum perkawinan pun menurut hemat kami tak mungkin untuk mengadakan hukum uniform janq dapat memenuhi kebutuhan hukum daripada semua golongan bersang­kutan. 7) Dalam pada itu perbedaan keagamaan dan kepertjajaan masing2 fihak jang bersangkutan memegang peranan penting. 8)

Perlu dikemukakan kiranja bahwa hukum janq berbeda ini bukan merupakan „perbedaan hukum” setjara diskriminatoris. Diustru denqan adania hukum ianq anekaracram dilananqan nprdata ini diharapkan terwudjudlah tjita2 tentang hukum jang se-baik^ja dapat berlaku untuk memenuhi kebutuhan hukum masing-masing golonqan. Djuga disini dapat berlaku „Bhinneka tunggal ika” !

Karena adanja anekawarna hukum ini, timbullah masalah per­kawinan tjampuran. Djika seorang menikah dengan orang „lain” janq tadinja dipandang se-olah2 merupakan „orang luar”, maka timbullah kesulitan2 tentang hukum manakah jang harus berlaku untuk perkawinan itu.

5) Pasal 1 tersebut be rbun ji: „Huwelljken tusschen personen, die in IndoneslSa in een verschillend recht onderworpen zijn, worden gem engde huw e lljke n genoemd”.

6) Tih-t tentan? in i himpunan tjeramah radio kam i „Pembaharuan hukum di Indonesia”, Penerbit Keng Po, 1957.

7) Lihat djuga bab- terachir dari disertasi kami dan buku Hukum antargolongan.8) Agak berlainan rupanja adalah usul inisiatip rantjangan undang2 perkawinan

dari N jonja Soemari c s. dan konsepsi P.K.I. jang masing2 diadjukan pada DPR pada tanggal 3 Pebruari dan 11 Maret 1958.

109

Perbedaan karena daerah tempat kediaman antara orang2 dari golongan Indonesia „asli” sendiri mengakibatkan terdjadinja per­kawinan tjampuran antartempat (interlocaal). Misalnja perkawinan antara seorang perempuan Sunda dan lelaki Palembang, antara orang Minangkabau dan Nias, dsb. Hukum jang berlainan adalah akibat daerah kediaman atau suku-bangsa berlainan. Untuk orang2 ini berlaku hukum adat jang berbeda. Perbedaan karena agama antara kedua mempelai dari golongan Indonesia „asli” membawa perkawinan tjampuran antaragama. Misalnja antara orang2 Indo­nesia Nasrani dan orang2 Indonesia Islam. Disini jang mendjadi sebab daripada berlainannja hukum ialah agama. Perlu kiranja di­perhatikan bahwa faktor agama untuk penentuan hukum hanja berlaku bagi orang2 dari sesama golongan Indonesia „asli” dan Timur Asing bukan Tionghoa. Bagi orang2 Eropah dan Timur Asing Tionghoa agama ini tidak penting untuk menentukan hukum jang berlaku. Untuk seorang Tionghoa atau Eropah jang ber­agama Islam, berlaku hukum jang tidak berlainan daripada orang Tionghoa atau Eropah jang memeluk agama Nasrani. 9)

Perkawinan antara orang2 dari golonganrakjat berlainan merupakan perkawinan tjampuran antargolorigan. Jang mendjadi sebab daripada hukum jang berbeda ialah faktor golonganrakjat. Sebagai tjontoh dari perkawinan ini dapat diambil perkawinan antara orang2 Eropah dan Tionghoa, antara Eropah dan Indonesia („asli” ), antara orang2 „asli” dan „tidak asli” dari zaman sekarang ini.

Berkenaan dengan padjak bangsa asing terutama jang di­pentingkan ialah perkawinan tjampuran antarnegara (internasional). Perkawinan tjampuran sematjam inilah jang dapat menjebabkan terdjadinja perubahan kewarganegaraan. Fihak perempuan jang tadinja warganegara karena perkawinan dengan seorang bangsa asing dapat mendjadi orang asing. Sebaliknja seorang perempuan jang tadinja asing, karena perkawinan dapat berubah status men­djadi warganegara Indonesia. 10)

Satu dan lain ini disebabkan karena adanja ketentuan dalam peraturan perkawinan tjampuran, bahwa „fihak perempuan mengikuti status daripada sang suami baik dalam bidang hukum perdata maupun dalam bidang hukum publik”. (Pasal 2 Peraturan Perkawinan Tjampuran). Dengan demikian, maka seorang perem­puan asing jang menikah dengan seorang warganegara Indonesia, mendjadi warganegara Indonesia dan bagmja berlaku peraturan2

9) Rupanja dalam rantjangan undang2 perkawinan jang d iad jukan oleh N j. Soemari cs. hendak diadakan penjimpangan daripada ketentuan in i. Agama dan adat rupanja hendak dipergunakan pula untuk menentukan hukum , d juga bagi lain-lain golongan rakjat daripada Indonesia-asli dan T im ur Asing bukan T iong­hoa. Pasal 2 rantjangan Nj. Soemari cs berbunji : „Tiap perkaw inan jangdilangsungkan menurut peraturan sesuatu agam a dan/atau H u k u m A d a t jang tidak bertentangan dengan dasar-’ Negara adalah sah” .

10) Lihat tentang in i paragrap 1 dan 2 Bab ini.

110

jang berlaku untuk seorang warganegara Indonesia, baik mengenai hukum sipil maupun mengenai hukum publik. Djika misalnja ia menikah dengan seorang Indonesia „asli”, maka dalam hukum kenegaraan dan hukum administrasi dipandanglah perempuan asing itu sebagai perempuan Indonesia „asli” pula. Misalnja dapatlah ia ini setjara sjah membeli tanah milik Indonesia dari orang Indonesia asli lainnja.

Bagi perkawinan tjampuran internasional sebelum pengakuan kedaulatan tidak dapat timbul ke-ragu2an mengenai kedudukan fihak isteri. Dengan tegas ditjantumkan dalam Persetudjuan perihal pembagian warganegara (pasal 10), bahwa „Isteri mengikuti ke­dudukan suaminja”. Suatu ketentuan jang dikenal pula dalam pasal 1 sub 3, 2 sub 2 'Wet op het Nederlandschonderdaanschap van niet-Nederlanders dan pasal 5 W et op het Nederlander- en ingezetenschap.

Hanja bagi perkawinan tjampuran sesudah 27 Desember 1959 dapat timbul ke-ragu2an karena Republik Indonesia belum mem- punja suatu peraturan kewarganegaraan sendiri. 10a) Oleh karena itu dalam 'Peraturan Penguasa Militer tentang Kewarganegaraan baru2 ini dirasakan perlu untuk mengadakan penegasan tentang perempuan asing jang kawin dengan seorang warganegara setelah pengakuan kedaulatan. Perempuan2 ini akan diperlakukan sebagai warganegara Indonesia setelah ia mendapat ketetapan dari Menteri Kehakiman. Dengan demikian dapatlah perempuan ini diperlakukan sebagai warganegara dengan tidak mempersoalkan apakah ia ini setjara juridis adalah warganegara Indonesia atau bukan. Demikian diterangkan dalam pendjelasan peraturan tersebut. Bagi kami jang menganggap Peraturan Perkawinan Tjampuran, S. 1898/158 ber­laku pula untuk perkawinan tjampuran internasional, sepandjang tak dikurangi oleh azas2 hukum internasional jang lebih tinggi, seperti tertjantum dalam traktat2 dan jurisprudensi, 11) tentunja tak perlu di-ragu2kan lagi, bahwa seorang perempuan asing jang menikah dengan warganegara Indonesia, djuga setelah pemulihan kedaulatan, mengikuti status suaminja (pasal 2 Peraturan Perka­winan Tjampuran). Menurut interpretasi kami maka perempuan asing ini bukan sadja harus „diperlakukan sebagai” warganegara Indonesia, tetapi ia adalah warganegara Indonesia.

Dilihat dari sudut ini dapatlah kita menerima apa jang di­tentukan mengenai kedudukan wanita berkenaan dengan padjak bangsa asing : „Seorang wanita jang melakukan perkawinan tjam­puran, mempunjai status kebangsaan suaminja sedjak saat per­kawinan” (pasal 3 ajat 1).

Pada achir paragrap ini perlu diminta perhatian pula untuk suatu keistimewaan daripada peraturan padjak bangsa asing. Jaitu bahwa suatu „pergaulan’ tjampuran harus dipandang sudah me­

10a) Diwaktu karanean in i dibuat belum diterima U.U. tentang Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.

11) Pendirian in i telah kam i kemukakan dalam disertasi kami, tjet. ke-2, h. 94 dst.

111

rupakan perkawinan tjampuran. „Hubungan antara laki isteri jang oleh masjarakat dipandang sebagai hidup bersama” djuga dipan­dang sebagai perkawinan tjampuran. 12) Kami tak dapat melihat apa jang mendjadi ratio pembuat-undang2 untuk menetapkan hal ini. Apakah dengan interpretasi serupa ini diharapkan bahwa padjak akan bertambah banjak masuknja ? Kami sangsikan hal ini ! Kami rasa bahwa sebaliknja dalam hari kemudian akan bertambah­lah „hidup bersama” oleh perempuan2 asing dengan lelakir Indonesia. Bukan sadja dengan maksud untuk mengegoskan padjak bangsa asing, tetapi pula karena hal ini adalah sedjalan dengan arus perkembangan masjarakat kita dewasa ini. Hubungan dengan lelaki Indonesia tidak lebih lama selalu berarti „turun” dalam tangga kedudukan masjarakat, bahkan sebaliknja ! 13)

I

\

12) A jat 4 pasal 3 b e rb un ji: „Djuga termasuk kawin tjam puran dalam artikata Undang-undang Ini ialah hubungan antara laki-istri jang oleh m asjarakat d i­pandang sebagai hidup bersama.

13) Tentang tendenz in i lihat bab pertama dari disertasi kami.

112

BAB VII : SO AL ASSIM ILASI.

PEM BAGIAN GOLONGAN2 RAKJAT DAN PERUBAHAN M A SJA R AK AT INDONESIA.

Dari W .N .I. keturunan asing sampai W .N .I. „asli’ .

Para sardjana hukum dari zaman sekarang sudah insjaf bahwa mereka se-kali2 tak dapat menutup mata untuk apa jang sedjak Sinzheimer mendjadi terkenal sebagai ,,de rechtelijke werkelijk- heid”. a) Terutama dilapangan bagian ilmu hukum antargolongan, sudah lama orang mendjadi biasa dengan memperhatikan faktor2 masjarakat ini. Misalnja pada waktu harus ditetapkan apakah sudah terwudiud suatu persamaan hak setjara informil (informeel rechtelijke gelijkstelling), atau pada waktu harus dipastikan apakah seseorang sudah dapat dipandang terlebur (opgelost, menurut pasal 163 I,S. ajat 3), atau bilamana harus diputuskan apakah seseorang dapat dipandang telah beralih agama (overgang van godsdienst), lagi pula bilamana setjara antartempat (interlocaal) harus diselidiki apakah seseotang sudah tertjampur dengan rakjat asli (vermenging met de autochtone bevolking) atau telah terlak­sana persatuan dengan masjarakat hukum setempat (deelgenoot- schap van locale rechtsgemeenschap). Dalam semua hal ini faktor jang menentukan ialah apakah dapat dikatakan bahwa orang jang bersangkutan ini sudah beralih setjara sosial. Peralihan sosial (maatschappelijke overgang) ini merupakan suatu pegangan jang teguh dalam pemeriksaan sesuatu ini. Untuk dapat menetapkan sudah atau belum terwudjudnia hal2 ini harus diadakan penje- lidikan setjara saksama daripada kenjataan2 dalam masjarakat.

Karena itu kita pun tak dapat mengabaikan proses2 jana sedang berlangsung dalam masjarakat sekitar kita. Umum diketahui masjarakat kita sekarang ini sedang mengalami suatu proses per­alihan, sedang berada ,,in transition”, untuk memindjam kata2 dari kalimat buku himpunan karangan Wertheim baru2 ini. 2) Keadaan jang berubah dalam masjarakat Indonesia di alam kemerdekaan tentunja perlu diperhatikan sepenuhnja.

Diwaktu sekarang oleh pemuka2 jang memegang kemudi pimpinan negara selalu dikedepankan hal persatuan. Kesatuan ini di-tjita2kan disegala lapangan kehidupan dalam negara. Dalam suasana kesatuan dan persatuan ini tentunja harus ditindjau kem­bali kelak masih adanja pembagian golongan2 rakjat (bevolkings- groepen) jang menentukan hukum seseorang setjara berlainan. Walaupun dalam rangka Undang2 Dasar Sementara — dan tentu­nja djuga dalam U.U.D. jang pasti dikemudian hari — kini tak ada tempat lagi untuk suatu pasal seperti pasal 163 I.S., tak dapat

1) De taak der rechtssociologie, 1935, h. 12 dst.2) Indonesian society in transition, A study of social change, 1956.

113

diabaikan kenjataan, bahwa isi arti pasal tersebut bagi kita masih penting dalam menghadapi pelbagai persoalan hukum dewasa ini. Seperti dikatakan Soewandi 3) maka walaupun pasal2 mengenai perbedaan2 hukum tak dapat dilihat dalam Undang2 Dasar Semen­tara kita, dalam praktek se-hari2 masih perlu kita menjelami pasal2 dari I.S. jang mengadakan perbedaan golongan2 rakjat dan hukum untuk pelbagai golongan masing2. Lagipun, sesuai dengan penulis2 pengantar hukum kita seperti Lemaire, 4) Utrecht, 5) Amin °) dan belakangan ini Soediman Kartohadiprodjo 7) serta Dormeier, 8) maka karena belum adanja peraturan2 baru tersendiri jang mene­gaskan politik-hukum Negara kita,” istimewa mengenai hukum perdata” berdasarkan pasal peralihan bersangkutan (ps. 142 UUDS) haruslah dipandang pasal tersebut hingga kini tetap berlaku. Dalam UUDS hanja pasal 25 ajat 2 mengingatkan kita kepada pendirian pembuat undang2, bahwa aneka warna hukum untuk masing2 golongan masih diberi tempat, karena „perbedaan dalam kebutuhan masjarakat dan kebutuhan hukum golongan rakjat akan diperhatikan”. Akan tetapi, kami sependirian dengan Supomo 9) bahwa pasal tersebut hanja mengingat akan perbedaan jang telah ada, dan bukan dimaksudkan untuk melahirkan per­bedaan2 baru dalam perundang2an. Bahkan diharapkan agar supaja perbedaan2 jang ada itu akan hilang, se-tidak2nja berkurang dengan perkembangannja masjarakat. Hal ini nampak pula dalam kenjataan hasil pekerdjaan badan pembuat-undang2 kita, jang tak satu di- tudjukan se-mata2 berlaku untuk sesegolongan (misalnja peraturan2 kesatuan dilapangan perburuhan, a.l. L.N. 1951/2, 1951/3, 1951/4, 1951/88 dst.).

Dalam menilaikan pasal 163 I.S. jang seperti umum diketahui, merupakan pokok daripada perundang2an Hindia Belanda tentang pembagian menurut golongan2 rakjat, orang tak sefaham. Lemaire menganggapnja sebagai „interpretatief dispositief”. 10) Djuga Soediman Kartohadiprodjo mengemukakan segi' ini dalam buku Pengantar hukumnja tersebut. 11) Bila sifat interpretatief-dispositief inilah jang dikemukakan, tentunja tak demikian banjak tempat untuk melihat dalam pokok pikiran pasal tersebut suatu pembagian jang pada hakekatnja disandarkan atas diskriminasi racial. Demikianlah orang dapat memandangnja sebagai suatu „gezonde

3) Sekitar kodifikasi hukum nasional di Indonesia, tjeram ah 1955.4) Hukum Indonesia, 2e dr., 1955, h. 241 n.5) Pengantar dalam hukum Indonesia, tjet. ke-2, 1955, h. 119 n.6) Mr. S.M. Amin, Bertamasja kealam hukum , 1954 h. 44 (setjara implicite).7) Pengantar dalam tata hukum Indonesia, h. 25.8) Dr. J.J. Dormeier, Pengantar ilm u hukum, 1955, h. 83, 84 dst.9) Pendjelasan Rentjana UUDS pada pasal tsb.

10) Hukum Indonesia, tjet. ke-2, h. 241 n. Bdg. pula K leintjes : Staatsinstellingen van Ned. Indie 6e herz. uitgave h. 107. Logemarin, College-aantekeningen Staatsrecht van Ned. Indie h. 88.

11) Pengantar tata hukum di Indonesia, h. 25.

114

differentiatie” dan bukan „discriminatie”. 12) Tetapi, bagi siapa jang sesuai dengan pandangan Wertheim, 13) melihat masjarakat kolonial Hindia Belanda diwaktu itu, chususnja dalam abad ke-19 sebagai suatu masjarakat kasta, 14) tentunja lebih mentjotjoki suatu penglihatan, bahwa pada intinja „color line” dari Kennedy 15) irtemegang peranan terpenting dalam mengadakan pembagian2 golongan rakjat ini.

Sesungguhnja bukan se-mata2 „verschil in rechtsbehoeften”- lah jang merupakan pendorong utama bagi pembuat undang2 diwaktu dahulu untuk mengadakan peraturan2 berbeda bagi sese- golongan. Suara2 sematjam ini sudah djauh2 dimuka terdengar, djuga dari kalangan orang2 bidjaksana dikalangan golongan penguasa sendiri. 18) Sesuatu ini tak dikurangi karena kenjataan pula, bahwa ilmu hukum antargolongan dari pendukung2nja .— terutama dalam pribadi „bapak pentjipta”-nja Kollewijn, 17) selalu mengemukakan, memperkembangkan dan memupuk azas „persamarataan dari semua stelsel hukum" seperti setjara „strict juridisch” 18) dapat disimpulkan djuga dari pasal 2 Peraturan Perkawinan Tjampuran, S. 1898/158.

Memang tak dapat disangkal, bahwa sesuai dengan anggapan Commissie-Visman, dapat dilihat perbedaan dalam perundang2an tersebut „tot op zekere hoogte” sebagai suatu perbedaan sosial, suatu perbedaan karena „sferen" jang berlainan dalam mana masing2 orang hidup. 18) Blume pun sudah melihat perbedaan ini sebagai disandarkan atas perbedaan masjarakat Barat dan Timur. 20)

Dalam hubungan ini dapat misalnja kita teringat pada ke­mungkinan jang dibuka — walaupun semula hanja setjara „op een kier” karena sjarat2 berat seperti: „volkomen geschiktheid” untuk

12) a.l. oleh A. Neytzell de W ilde, De Rechtsbedeeling der Indische bevolkings- groepen, in ontwikkeling en verwikkeling, Indisch Genootschap, Vergadering 16 Okt. 1931, h. 85, 89, 91. Bdgk. djuga A.D.A. De Kat Angelino, Staatkundig beleid en bestuurszorg in Nederlandsch Indie, I, h. 508.

13) Het rassenprobleem, De ondergang van een mythe, 1948, h. 63 d s t.; Herrijzend Azie, 1950, h. 50 dst. ; Indonesian Society in transition, h. 41, 136, dst.

14) Lihat disertasi kami, Segi-segi hukum peraturan perkawinan tjampuran. 1955, h. 21 dst.

15) The colonial crisis and the future, dalam himpunan karangan Ralph Linton, The science of man in the world crisis, h. 308.

16) Bdgk. Herzieningscommlssle 1918, dibawah pimpinan Carpentier Alting, jang mengemukakan bahwa pasal tersebut merupakan suatu pertahanan setjara „kunstmatig” daripada perbedaan2 bangsa dalam per-undang-’an, Verslag, h. 39 dst.

17) Verzamelde opstellen over intergentiel privaatrecht, a.l. dalam karangan2 Inter- gentiel privaatrecht, T. 131/517, replik dalam T. 132/309 atas djawaban Henry Solus. T. 132/309; Intergentielrecht in Nederlands-Indie, T. 151/551; Conflicts of Western and non-Western la w ; Enige opmerkingen over de gelding van het Indonesische Wetboek van koophandel na de souvereiniteitsoverdracht; Intergentiel recht in Algerije.

18) Lihat Wertheim , Boekbespreking „Kollewijn”, Verzamelde opstellen over inter­gentiel privaatrecht, Indonesie, IXe jrg. h. 172.

19) Verslag II, h. 45 dst.20) Mr. H.A. Blume, De toekenning van regt op verblijf in Nederlandsch Indie

en de hoofdonderscheidingen in zijne bevolking, n.a.v. artikel 105, 106, 107 en 109 van het Regeringsreglement voor Ned. Indie, Leyden, 1858, h. 170 dst.

115

masjarakat Eropah (Bb 4029), sampai 1894 disertai dengan pe- melukan agama Nasrani (Bb 4998) dan baru pada permulaan abad ini diperlunak mendjadi terutama kebutuhan-hukum dari jang ber­sangkutan (Bb 7962) .— untuk berpindah kegolongan Eropah dengan djalan persamaan hak (gelijkstelling).

Tetapi kemungkinan beralih ini tidak mengurangi kebenaran daripada kenjataan jang tak dapat dielakkan, bahwa perundang- undangan positip bagi golongan rakjat Eropah dahulukala memang merupakan pengelonan bila dibandingkan dengan apa jang berlaku bagi orang2 bukan-Eropah. Status ..Europeaan" dipandang sebagai ,,van hogere rang”, sebagai ..superieur”, maka karenanja persa­maan hak dengan orang2 Eropah itu merupakan suatu „gunst" jang tak dapat setjara sembarangan sadja diberikan kepada siapa sadja jang mau, demikian Margadant. ai) Abehdahon bffjara tentang ,,tot Europeaan promoveeren”, tentang „den salon der met Europeanen gelijkgestelden binnentreden”. 22) Wertheim bitjara tentang „bovenschikking” en „onderschikking”, bukan dari „neven- schikking". 23) „Betere strafrechtspraak, betere regeling van het vooronderzoek, grootere waarborgen voor de persoonlijke vrijheid, beter arbeidsrecht, een betere positie in en tegenover de weermacht, ziedaar evenzoovele voorbeelden van bevoorrechting van den Europeaan”, demikian dikatakan beliau pada tempat lain. 24)

Perbedaan daripada golongan rakjat berdasarkan ras ini terbajang dalam seluruh struktur masjarakat diwaktu itu. Bukan se-mata2 dalam lapangan2 hukum jang tersebut diatas kentara tjorak masjarakat seperti kita lukiskan tadi. Sebagai tjontoh dari sifat mem-beda2kan ini misalnja dapat disebut larangan dengan antjaman sanksi hukuman pidana, untuk berpakaian berlainan dari­pada apa jang telah ditentukan untuk masing2 golongan rakjat. Pasal 2 no. 6 Algemeen Politiestrafreglement untuk golongan bumi- putera, S. 1872/111 mengantjam orang dengan hukuman denda bahkan dapat djuga hukuman badan, jang berani memperlihatkan diri dihadapan muka umum setjara „vermomd in andere kleeder-dragt, dan die van den landaard, ............... waartoe hij behoort”.Jang diketjualikan daripada ketentuan ini hanja ialah „gemaskerde of gekostumeerde optogten”.

Dalam hubungan ini menarik perhatian beberapa peristiwa jang njata sekali memperlihatkan tjorak typisch daripada masjarakat kasta ini. Dalam tahun 190 5 25) Sekretaris Gubernemen masih merasa perlu untuk mengeluarkan sirkuler agar supaja pamong

21) Het Regeringsreglement, III. h. 265, 296.22) J.H. Abendanon, Indisch Genootschap, A.V., 7 D januari 1896, h. 4.23) Herrijzend Azië, h. 50, 62. Untuk tjontoh3 dari „onderschikking” tersebut liha t

disana, h. 50 dst. Djuga, Indonesian society in transition, h. 136 dst.24) Vrÿheid, gelijkheid, broederschap, De Fakkel, le jrg . h. 225, 1941, seperti

dikutip oieh A. van Marie, De groep der Europeanen in Ned. Indië , lets over ontstaan en groei, Indonesië, Ve jrg., h. 97.

25) Bb 6241 sirkuler no. 1279 ttg. 27 Maret 1905.

116

pradja mengamat-amati pergerakan Tionghoa untuk membuang „totjang” (buntut rambut, haarstaart) mereka. Setelah diadakan penjelidikan seksama ternjata bahwa pergerakan memotong totjang ini tidak mempunjai arti politis untuk menjelundupi peraturan2 pembatasan tentang tjara berpakaian jang ditentukan untuk masing2 golongan rakjat. Suatu keputusan dari Raad van Justitie Surabaja ditahun 1896 2C) djuga dengan tegas memperlihatkan batas2 pem­bagian menurut kriteria2 lahiriah (uiterlijke kenmerken) serupa ini. Dipertimbangkan dalam keputusan ini bahwa untuk menentukan status dari seorang perempuan jang memakai nama dengan tekukan lidah Eropah „Veverkorn”, tak dapat se-mata2 diambil tjara ber­pakaian dari jang bersangkutan sadja. Dikatakan, „dat wel is waar die kabaia een witte is en zij zieh ook de weelde veroorlooft van op sloffen te loopen, doch daargelaten dat die kleedingstukken wel eens meer door niet-Europeesche vrouwen worden gedragen, toch zeker niet behoeft te worden betoogd, dat het individu niet eigen­mächtig zijn publiekrechtelijken staat kan regelen dodr het aantrekken van een of ander kleedingstuk en althans hieruit niet mag worden afgeleid, dat hij (of zij) tot de Europeesche bevolking behoort, wanneer alle andere kenmerken van dien landaard ontbreken”.

Dalam hubungan ini djuga menarik peristiwa Si Tjim Kang alias Eduard Leonard Jöner jang menurut hakim roman mukanja seperti seorang Eropah, dan berpakaian tjara Eropah serta „het haar op Europeesche wijze draagt”. 27) Keputusan2 sekitar masalah persamaan hak setjara informil (informeel-rechtelijke gelijkstelling) jang telah dibahas oleh Prins 28) djuga mentitikberatkan kepada sifat2 lahirlah ini. 20) ——

Bahwa memang pengutamaan sifat2 lahir dalam menentukan status seseorang bukan merupakan suatu hal jang baru dapat dilihat dari kenjataan bahwa seperti ternjata dari penjelidikan Resink —°) sedjak zaman Kompenie orang sudah mengadakan perbedaan2 ber­dasarkan kriteria „in huid of in haar”.

Diwaktu dahulu kita saksikan bahwa terutama masalah per­samaan hak dengan golongan Eropah-lah jang banjak minta per­hatian. Nilai2 sosial dalam susunan masjarakat diwaktu dahulu adalah sedemikian rupa bahwa tendens lebih menundiukkan hasrat untuk menaik diatas tanggakedudukan hidup se-hari2 karena per­samaan hak dengan orang'2~Eropah daripada merosot kelembah

26) T. 68/121, 1 Agustus 1896.27) W. 1671/105, Hgh, 3e K. 4 D juni 1895.28) Nederlander of inhe^mseh onderdaan niet-Nederlander, T. 147/746.29) Bdgk. perkara Isaak Thomas Runner, T. 21/323, RvJ D jakarta, l i Ag. 1862,

HgH, le K., 21 Ag. 1862 ; van Marie, o.c. 1/108; perkara R.A. de Fretes, T. 19/473, RvJ Amboina, 11 Sept. 1860; HgH tak bertanggal; perkara Oey Tjwan Ge, alias W illem de la Rambelje, T. 64/280, HgH, 16 Apr. 1895.

30) Over ons gemeenschappelijk verleden in het recht van vrede, Gedenkboek 25 jaar rechtswetenschappeUJk hoger onderwijs in Indonesie, 1949, h. 252.

117

golongan rakjat bumiputera. Dimasa itu orang tak demikian suka dipandang tergolong golongan rakjat otochtoon ini, bahkan orang2 bukan rakjat „asli", merasa „malu” untuk dipandang terhitung „masuk di kampung”, terketjuali dalam hal memperoleh hak2 atas tanah2 Indonesia. Tetapi kini keadaan sesuatu sudah berubah se- luruhnja. Golongan rakjat jang dewasa ini disebut „Indonesia asli” A1) telah memperoleh kedudukan dalam tangga masjarakat jang tertinggi. Dizaman Djepang malah orang Eropah ini dipan­dang sebagai jang terrendah dalam kedudukan sosial. Tentang proses penggeseran nilai2 sosial ini Wertheim -2) telah uraikan setjara mendalam dalam bukunja jang baru2 terbit.

Selaras dengan kenjataan ini diwaktu sekarang masalah pele­buran (oplossing) dalam golongan rakjat Indonesialah jang me­minta perhatian. Persamaan hak dengan golongan rakjat Eropah tak lebih lama berarti dan dalam praktek tidak dipergunakan sama sekali. Perubahan penghargaan masjarakat ini nampak misalnja pada kenjataan dikalangan orang2 turunan Tionghoa jang dahulu telah mendjadi „Staatsblad Europeanen” karena persamaan hak. Pemakaian2 nama tjara Barat dengan huruf2 singkatan letter ketjil dibagian depan sedjak zaman Djepang mulai berkurang dan kini dapat dikatakan hampir tak nampak lagi. Misalnja „K. B. Tan" sekarang kembali mendjadi „Tan Kim Ban”. Kini orang lebih suka dipandang sebagai tergolong „Indonesia asli”, bilamana soalnia untulc memperoleh pengakuan2 dan "lisensi2 sebagai importir na- sionai ! „Tan mendjeima sebagai „Tanudjaja”, nama2 ketjil de­ngan Bunji suara Indonesia (seperti Moeljono Thio, Arif Budiman Tjen) tampil kemuka ! Memang, Logemann ^-) telah melihat de­ngan djitu, waktu mengatakan, bahwa dalam praktek seringkali terdjadi, bahwa untuk dapat memperoleh hak2 atas tanah atau memangku djabatan kepala desa, orang suka sekali untuk lekas2 dipandang dirinja sebagai sudah terlebur ! Akan tetapi, untuk menghadap dimuka hakim pidana dihadapan Landraad diwaktu dahulu, orang lebih suka menganggap dirinja belum terlebur ! Satu dan lain mudah dimengerti, karena tak seorangpun suka untuk ber- djongkok2 dimuka Landraad apabila tidak terpaksa. Atjapkali motief2 dari orang2 jang hendak dipandang sebagai sudah terlebur ini, adalah tak murni.

Berhubung dengan itu, perlulah kita ber-hati2 dalam menjata- kan seseorang sudah atau belum terlebur dalam golongan rakjat Indonesia asli. Kita ketahui, bahwa untuk menentukan sudah ter- wudjudnja peleburan ini, pembuat undang2 tak menjediakan sjarat2 tertentu dalam peraturan2 tersendiri jang dapat didjadikan pe­gangan.

31) Denpan istilah in i hanja dimaksudkan golongan-rakjat „Inlanders” dahulu me­nurut pasal 163 I.S.

32) Indonesian society in transition, chususnja bab V I : „The changing statussystem”.

33) Staatsrecht van Ned. Indie, h. 87.

118

Karena tak adanja kriterium tertulis ini, praktek sehari-harilah jang harus menjatakan sudah-belum terwudjudnja suatu peleburan. Segala sesuatu ini karenanja, sesuai dengan pandangan Klein- tjes, —l ) merupakan suatu „feitelijke kwestie” jang tergantung

A daripada faham2 jang dianut oleh dan sikap daripada masjarakat sendiri. Seperti dikatakan Supomo —5) maka peleburan ini harus dianggap ada, apabila seorang dari golongan rakjat Eropah atau Timur Asing memeluk agama Islam, hidup dikalangan masjarakat Indonesia asli, meniru kebiasaan2 hidup jang belakangan ini, pendek kata sama sekali hidup sebagai orang Indonesia asli didalam ma­sjarakat Indonesia dan merasa dirinja sebagai demikian djuga.

Pemelukan agama Islam ini memang tak dapat disangkal me­rupakan faktor jang penting dalam rangkaian faktor1 lainnja untuk menentukan apakah seseorang sudah dapat dianggap telah terlebur. Akan tetapi peralihan keagama Islam ini sadja menurut faham kami belum tjukup untuk dapat menerima telah terwudjudnja peleburan dalam masjarakat Indonesia asli. Oleh karena itu tak dapat kami ikuti dalil jang pernah diadjukan dalam suatu surat-gugat, se-olah2 karena „masoek agama Islam”, Oey Brenti Nio, dapat dipandang telah „djadi orang Djawa”. -S-®) Karena itu pun tak dapat kami menjetudjui dipandangnja tak dapat diganggu-gugat lagi perkawin­an2 tjampuran jang telah dilangsungkan dimuka penghulu antara lelaki Eropah jang telah memeluk agama Islam (disertai dengan pemakaian nama Islam atau tidak) dan perempuan Indonesia Islam. —7) Perkawinan lelaki Eropah v. H. dengan perempuan Indonesia M . binti M . S. dihadapan penghulu di Djakarta, dengan memakai nama Zekie bin Ahmar, merupakan perkawinan jang me­langgar ketentuan seperti tertjantum dalam pasal 6 ajat 1 Peraturan Perkawinan Tjampuran. Karena tak ada lain2 faktor jang menja-

* takan, bahwa v. H. ini sesungguhnja sudah terlebur dalam golongan rakjat Indonesia, perkawinan tjampuran ini harus dilangsungkan dimuka pegawai Tjatatan Sipil bersangkutan.

Bahwa peralihan agama sadja belum membawa peleburan se­lain merupakan pandangan tetap dari terbanjak penulis — seperti misalnja van Macle 38), Blume 39) —■, adalah pula pendirian pasti daripada jurisprudensi. Disini diminta perhatian untuk keputusan Hooggerechtshof ditahun 1925 40) jang memandang seorang pe­rempuan Tionghoa Ong Soei Nio, walaupun telah „masuk Islam”, belum lagi mendjadi orang Indonesia. Krijgsraad Magelang di­tahun 1928 41) pun memperhatikan adanja lain2 faktor disamping-

34) Staatsinstellingen, 1, h. 112.35) Sistim hukum di Indonesia, h. 17.36) T. 110/205, Ldr. Poerbalingga, 16 Nopember 1916.37) L ihat diss. Perkawinan Tjampuran, h. 42, 149.38) o.c. I, h. 117 n. 16.39) o.c. h. 179.40) T. 122/454, Hgh, Ie K, 11 D jun i 1925, RvJ Padang, 26 Ag. 1920.41) T. 131/508, Krijgsraad Magelang, 25 Ag. 1928.

119

nja pemelukan agama Islam dalam menentukan apakah Tjoa Peng An alias Kartopawico sudah dapat dipandang sebagai terlebur. Djuga Landraad Selajar ditahun 1930 42), pada waktu menentukan bahwa seorang asal Tionghoa sudah terlebur, telah memperhatikan banjak faktor2 lain daripada peralihan kepada agama Islam belaka. Jang pula membantu terlaksananja proses peleburan ini, misalnja ialah dikenakannja fihak jang bersangkutan dalam padjak sebagai orang Indonesia, sifat2 lahir, roman muka se-mata2 mirip pada orang Indonesia, pendidikan, pemakaian bahasa dsb. Lain daripada itu, djuga kenjataan bahwa „Karel Johan van der Moore” dalam ke­hidupan sehari2 memakai nama „Moehamad Affandi”, sedangkan ia ini dengan nama tersebut untuk ber-tahun2 telah mendiadi Kepala desa Tjipaisan dan telah membuat pula suatu naskah ikatan-kredit (credietverband), merupakan faktor2 jang walaupun nama resminja dalam akta kelahiran dari Burgerlijke Stand adalah nama Eropah jang disebut pertama, mendorong untuk memandang sebagai sudah terwudjud peleburan 4&).

Kami pun untuk waktu sekarang ini tjondong kepada pendirian seperti terurai dalam pertimbangan2 keputusan2 tersebut. Pemelukan agama Islam sadia belum tjukup untuk menerima telah terleburnja seseoranq. Peralihan agama tak merupakan faktor jann dapat mem­pengaruhi hukum mereka jang tergolong Eropah dan Timur Asing.

Penggantian nama belaka belum merupakan djaminan jang tjukup untuk terwudiudnja peleburan ini. Hanja dengan tjara se- demikianlah, dapat diharapkan terhindarnja „frauduleuse overgang van godsdienst. 44) „simulatie” atau „wetsontduiking”. Pendirian ini misalnja artinja penting berkenaan dengan masih berlakunja laranqan penaasinaan tanah Indonesia oleh orang2 Indonesia ke- tangan orang2 bukan Indonesia. Denaan demikian dapat diharap­kan pula diperketiilnja sedapat mungkin perubahan2 status ter­dorong oleh motief2 jang kurang murni !

42) T. 135/409, 11 Okt. 1930.43) T. 133/145, RvJ Djakarta, 11 Djan. 1924; berlainan dari Ldr. Purwakarta

18 Oktober 1922.44) Bdgk. Lemaire, Overgang van godsdienst als probleem voor het in tergentie l

privaatrecht, diss., 1932, h. 80 ; J. Ph. van Hasselt, De botsingsbepalingen van de huwelijksordonnantie voor Christen-Indonesiers, diss. 1952, h. 47 dst.

120

1

UNDAN G-UN DAN G 1946 No. 3W A R G A NEGARA. PENDUDUK NEGARA.Peraturan tentang Warga Negara dan PendudukNegara. '

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA .

Menimbang : bahwa untuk meneguhkan kedudukan Negara Re­publik Indonesia, perlu sekali diadakan aturan jang menetapkan kewargaan Negara dan kedudukan hukum penduduk Negara Republik Indonesia ;

Mengingat : akan pasal 26, pasal 20 ajat 1, berhubung denganpasal IV Aturan Peralihan dari Undang-undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden, tertanggal 16-10-1945 No. X ;

Dengan persetudjuan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat;

M e m u t u s k a n :

Menetapkan peraturan sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG TENTANG W A R G A NEGARA DAN PENDUDUK NEGARA INDONESIA .

Pasal 1.

Warga Negara Indonesia ialah :

a. orang jang asli dalam daerah Negara Indonesia ;b. orang jang tidak masuk dalam golongan tersebut diatas

akan tetapi turunan dari seorang dari golongan itu, jang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman didalam daerah Negara Indonesia, dan orang bukan turunan se­orang dari golongan termaksud, jang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikitnja 5 tahun ber­turut2 jang paling achir didalam daerah Negara Indonesia, jang telah berumur 21 tahun, atau telah kawin, ketjuali djika ia menjatakan keberatan mendjadi Warga Negara Indonesia karena ia adalah warga negara Negeri lain ;

c. orang jang mendapat kewargaan Negara Indonesia dengan tjara naturalisasi ;

d. anak jang sah, disahkan atau diakui dengan tjara jang sah oleh bapanja, jang pada waktu lahirnja bapanja mempunjai kewargaan Negara Indonesia ;

e. anak jang lahir dalam 300 hari setelah bapanja, jang mem- punja kewargaan Negara Indonesia, meninggal dunia ;

f. anak jang hanja oleh ibunja diakui dengan tjara jang sah, jang pada waktu lahirnja mempunjai kewargaan Negara Indonesia ;

121

g. anak jang diangkat dengan tjara jang sah oleh seorangWarga Negara Indonesia ;

h. anak jang lahir didalam daerah Negara Indonesia, jang oleh bapanja ataupun oleh ibunja tidak diakui dengan tjara jang sah ;

i. anak jang lahir didalam daerah Negara Indonesia, jang tidak diketahui siapa orang tuan j a atau kewargaan negara orang tuanja.

Pasal 2.

(1)' Seorang perempuan selama didalam perkawinan turut ke- wargaan negara suaminja.

(2) Permohonan atau pernjataan untuk merubah k e w a r g a a n

negara tidak dapat diadjukan oleh seorang isteri.

Pasal 3.

(1) Kewargaan Negara Indonesia jang diberikan kepada seorang bapa dengan sendirinja berlaku djuga untuk anak-anaknja

^ i5 j 3 ’ ,a kan atau olehnja diakui dengan tjara jang sah, dan anak-anak-angkatnja jang belum berumur 21 tahun dan belum kawin.

(2) & r , Ne9ara Indonesia J'ang diberikan kepada seoranglaku e an M^ra naturalisasi dengan sendirinja ber'belum Kp3 Un U .^ak-anaknja jang sah atau disahkan, jang

^ belum berumur 21 tahun dan belum kawin.

ian9 d'dapat oleh seorang ibu hania olehnia”^ % .e djuga untuk anak-anaknja jang

s r ian9 ian9 wum be"^ a n a 9^ ^ ^ 1'93311 Negara Indonesia seorang bapa ata« anak-anaknia ,penntiian diatas berlaku djuga untuknja, hania diika Un\. penntj*an itu dan anak-anak-angkat' negara negeri lain"3 303 ltu turut mendapat kewargaa11

atau sebagai ak^aTdar^69^ 3 Indonesia seorang ibu karena taan sebagai terseL t ^ Perkawina™ja atau karena pernja; anak-anaknja. 3 3m Pasa 10 tidak berlaku untuk

(1) Pernjataan tersebut d ^ aS3^dengan tulisan kepada^ P3sa bab b harus d i s a m p a i k a n taln,n ^ePaaa Menteri TfoW,,-___ _________ 1

(3)

(4)

(5)

(2 )

dengan tulisan k e p ad a ^ P3sa bab b harus disampaikan tahun setelah peraturan Kehakiman dalam waktu ^

orang jang bersangkutan P3Sal tersebut berlaku buat

Bersama dengan- surat ni> •harus menjampaikan ata,, r,“ Jataan’ °rang jang menjataka« bukti jaitu ; “ 3tau bersanggup akan memberi bukti'

122

a. kelahirannja dan kelahiran anak-anaknja menurut perin- tjian dalam pasal 3, jang belum berumur 21 tahun dan belum kawin, dengan nama-nama jang lengkap dari mereka dan dari isteri-isterinja ;

b. perkawinan-perkawinannja ;

c. perputusan perkawinan-perkawinannja ;

d. bahwa mereka adalah warga negara negeri lain.

(3) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima surat pernjataan itu Menteri Kehakiman harus mendaftarkan dan mengumum­kan pernjataan itu dalam madjallah Pemerintah, djika per­njataan itu disahkan dan untuk siapa pernjataan itu berlaku, dan memberitahukan putusan tentang pernjataan itu kepada orang jang menjatakan.

Pasal 5.(1) Kewargaan Negara Indonesia dengan tjara naturalisasi di­

peroleh dengan berlakunja undang-undang jang memberikan naturalisasi itu.

(2) Jang dapat memperoleh kewargaan Negara Indonesia de­ngan tjara naturalisasi ialah orang jang telah berumur 21 tahun atau jang telah kawin, jang telah bertempat keduduk-

- an atau bertempat kediaman didalam daerah Negara Indo­nesia selama 5 tahun berturut-turut jang paling achir dan jang tjakap berbahasa Indonesia..

(3) Untuk tiap-tiap naturalisasi harus dibajar kepada Kas Negeri Indonesia uang sedjumlah Rp. 500.'—

(4) Permohonan untuk mendapat kewargaan Negara Indonesia, dengan tjara naturalisasi harus disampaikan dengan tulisan diatas kertas jang bermeterai kepada ^lenteri Kehakiman dengan perantaraan Pengadilan Negeri dari daerah tempat

kedudukan pemohon.(5) Bersama dengan permohonan untuk naturalisasi pemohon

harus menjampaikan atau bersanggup akan memberi bukti-

bukti dari h a l:a. kelahirannja dan kelahiran anak-anaknja menurut perin-

dala i pasal 3. jang belum berumur 21 tahun dan belum kawin, dengan nama-nama jang lengkap dan me­

reka dan dari isteri-isterinja ,

b. perkawinan-perkawinannja;

c. perputusan perkawinan-perkawinannja ;

d telah bertempat kedudukan atau bertempat kediaman di­dalam daerah Negara Indonesia selama 5 tahun berturut-

turut jang paling achir ;e. Ketjakapan berbahasa Indonesia ;f. telah membajar untuk naturalisasi uang sedjumlah jang

ditetapkan diatas kepada Kas Negen Indonesia ;

123

g. djika pemohon itu orang dari negeri asing, bahwa un­dang-undang negeri asing itu tidak mendjadi halangan bagi naturalisasi tersebut.

(6) Setelah menerima surat permohonan itu maka Pengadilan Negeri berwadjib dengan selekas-lekasnja memeriksanja untuk menetapkan apakah sjarat-sjarat jang ditetapkan oleh undang-undang ini dipenuhi. Dengan selekas-lekasnja se­telah mengambil penetapan tentang permohonan itu maka Pengadilan Negeri berwadjib mengirimkan salinan dari pe­netapan itu disertai dengan surat permohonan dan surat- surat lampirannja kepada Menteri Kehakiman.

(7) Djika permohonan itu dikabulkan maka dengan selekas- lekasnja .Menteri Kehakiman harus memberitahukannja ke­pada pemohon dengan perantaraan Ketua Pengadilan Negeri jang bersangkutan.

(8) Undang-undang jang mengabulkan permohonan untuk na­turalisasi akan berlaku pada hari pemohon dihadapan Peng­adilan Negeri dari daerah tempat kedudukannja bersumpah atau berdjandji setia kepada Negara Indonesia sebagai berikut:

Saja bersumpah (berdjandji), bahwa saja mengakui dan menerima kekuasaan jang tertinggi dari Negara Indonesia dan akan menepati kesetiaan kepadanja, bahwa saja akan mendjundjung tinggi hukum-hukum Negara Indonesia, dan bahwa saja memikul kewadjiban ini dengan rela hati dan tidak akan mengurangi sedikitpun.

(9) Dari penjumpahan atau pengambilan djandji ini oleh penulis Pengadilan Negeri harus dibikin rentjana,

(10) Kepada orang jang telah bersumpah atau berdjandji itu dan kepada semua orang jang turut terbawa dalam naturalisasi itu oleh Pengadilan Negeri seketika itu djuga harus diberikan sehelai kartu bukti Warga Negara Indonesia menurut tjon- toh jang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman.

(11) Dengan selekas-lekasnja Pengadilan Negeri harus mem­beritahukan pemberian kartu bukti itu kepada Menteri Ke­hakiman.

(12) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima pemberitahuan tersebut diatas maka Menteri Kehakiman harus mendaftar­kan dan mengumumkannja dalam madjallah Pemerintah.

(13) Djika permohonan untuk naturalisasi tidak dikabulkan maka djumlah uang jang dibajarkan kepada Kas Negeri Indonesia harus dikembalikan lagi.

Pasal 6.(1) Bilamana anak jang mendapat kewargaan Negara Indonesia

karena terbawa dalam naturalisasi bapa atau ibunja sampai berumur 21 tahun atau sebelum itu kawin, maka dalam tahun

124

jang berikut ia boleh menjatakan bahwa ia tidak suka lagi terbawa dalam naturalisasi itu.

(2) Pernjataan itu harus disampaikan kepada Menteri Kehakim­an dengan tulisan. Bersama dengan surat pernjataan orang jang menjatakan harus menjampaikan atau bersanggup akan memberi bukti-bukti tentang:

a. kelahirannja dan kelahiran anak-anaknja menurut perin- tjian dalam pasal 3, dengan nama-nama jang lengkap dari mereka dan dari isteri-isterinja ;

b. kelahirannja sebelum bapa atau ibunja mendapat kewar- gaan Negara Indonesia dengan tjara naturalisasi;

c. perkawinan-perkawinannja ;d. perputusan perkawinan-perkawinannja ;e. bahwa anak-anaknja tersebut diatas dengan pernjataan

ini mendapat kewargaan Negara negeri lain.

(3) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima surat pernjataan itu maka Menteri Kehakiman harus mendaftarkan dan mengumumkan pernjataan itu dalam madjallah Pemerintah, djika pernjataan itu disahkan dan untuk siapa pernjataan itu berlaku, dan memberitahukan putusan tentang pernjataan itu kepada orang jang menjatakan.

Pasal 7.

Naturalisasi djuga dapat diberikan dengan beralasan kepen­tingan Negara. Dalam hal ini maka peraturan-peraturan tersebut dalam pasal 5 ajat 2 sampai dengan ajat 7 dan ajat 13 tidak berlaku.

Undang-undang jang memberikan naturalisasi ini tiap-tiap kali menetapkan sjarat-sjaratnja untuk naturalisasi ini.

Pasal 8.Kewargaan Negara Indonesia akan hilang :

1. oleh karena mendapat kewargaan Negara dari negeri lain.2. oleh karena dengan tidak mendapat idzin lebih dahulu dari

Presiden Republik Indonesia masuk mendjadi peradjurit atau pegawai Negeri dari negeri lain.

Pasal 9.

( I ) Seorang perempuan jang disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannja kehilangan kewargaan Negara Indo­nesia, dapat memperoleh kewargaan itu kembali, djika dalam waktu 1 tahun setelah perkawinannja terputus ia menjata­kan kehendaknja kepada Menteri Kehakiman dengan tulisan. Bersama dengan surat pernjataan orang jang menjatakan harus menjampaikan atau bersanggup akan memberi bukti- bukti tentang :a. perkawinannja;b. perputusan perkawinannja ;c. bahwa ia sebelum kawin itu adalah Warga Negara Indo­

nesia ;

125

d. kelahiran dan nama-nama jang lengkap dari anaknja jang lahir diluar perkawinan sesudahnja perkawinan ter­maksud diatas terputus, jang hanja olehnja diakui de­ngan tjara jang sah.

(2) Dengan sglekas-lekasnja setelah menerima surat pernjataan itu maka Menteri Kehakiman harus mendaftarkan dan mengumumkan pernjataan itu dalam madjallah Pemerintah, djika pernjataan itu disahkan dan untuk siapa pernjataan itu berlaku, dan memberitahukan putusan tentang pernjataan itu kepada orang jang menjatakan.

Pasal 10.

(1) Seorang perempuan jang disebabkan oleh atau sebagaiakibat dari perkawinannja mendapat kewargaan Negara Indonesia, tetap mendjadi "Warga Negara Indonesia, ketjuali djika dalam waktu 1 tahun setelah perkawinannja terputus, ia menjatakan dengan tulisan kepada Menteri Kehakiman, ba~hwa ia tidak suka lagi mendjadi Warga Negara Indonesia. Bersama dengan surat pernjataan orang jang menjatakan harus menjampaikan atau bersanggup akan memberi bukti- bukti tentang : Ia. perkawinannja ;b. perputusan perkawinannja ;c. bahwa ia sebelum kawin itu bukan W^arga Negara Indo­

nesia.

(2) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima surat pernjataan itu maka Menteri Kehakiman harus mendaftarkan dan mengumumkan pernjataan itu dalam madjallah Pemerintah djika pernjataan itu disahkan, dan memberitahukan putusan tentang pernjataan itu kepada orang jang menjatakan.

Pasal 11.

(I) Anak Warga Negara Indonesia jang kehilangan kewargaan Negara Indonesia karena terbawa oleh bapa atau ibunja jang dengan tjara naturalisasi memperoleh kewargaan Negara dari negeri lain, dapat memperoleh kewargaan Negara Indo­nesia kembali, djika dalam waktu 1 tahun setelah ia berumur 21 tahun atau sebelumnja itu setelah ia kawin ia menjatakan kehendaknja kepada Menteri Kehakiman dengan tulisan. Bersama dengan surat pernjataan orang jang menjatakan harus menjampaikan atau bersanggup akan memberi bukti- bukti tentang :a. kelahirannja dan kelahiran anak-anaknja menurut perin-

tjian dalam pasal 3, dengan nama-nama jang lengkap dari mereka dan dari isteri-isterinja ;

b. kelahirannja sebelum bapa atau ibunja mendapat kewar­gaan negara dari negeri lain dengan tjara naturalisasi ;

126

c. perkawinannja ;

d. perputusan perkawinan-perkawinannja.

(2) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima surat pernjataan itu maka Menteri Kehakiman harus mendaftarkan dan mengumumkan pernjataan itu dalam madjallah Pemerintah, djika pernjataan itu disahkan dan untuk siapa pernjataan itu berlaku, dan memberitahukan putusan tentang pernjataan itu kepada orang jang menjatakan.

Pasal 12.

Menteri Kehakiman harus mengadakan dan memelihara dalam departemennja sebuah daftar guna pendaftaran-pendaftaran ter­sebut diatas.

Pasal 13.Barang siapa bukan "Warga Negara Indonesia, ialah orang

asing.Pasal 14.

(1) Penduduk Negara Indonesia ialah tiap-tiap orang jang ber­tempat kedudukan didalam daerah Negara Indonesia selama 1 tahun berturut-turut.

(2) Kedudukan-hukum Penduduk Negara Indonesia seseorang hilang dengan sendirinja oleh karena orang itu bertempat kedudukan diluar daerah Negara Indonesia.

(3) Seorang perempuan selama didalam perkawinan turut ke­dudukan-hukum penduduk negara suaminja.

(4) Anak jang belum berumur 21 tahun dan belum kawin di­anggap sebagai penduduk negara Indonesia, djika bapa atau walinja mempunjai kedudukan-hukum Penduduk Negara Indonesia.Bilamana anak itu sampai berumur 21 tahun atau sebelum itii kawin, maka ia tetap mendjadi Penduduk Negara Indo­nesia, djika ia bertempat kedudukan didalam daerah Negara Indonesia.

Pasal 15.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkannja

PERATURAN PERALIHAN.

1. Orang-orang, jang pada waktu undang-undang ini mulai ber­laku tidak mempunjai bapa lagi dan waktu itu belum berumur 21 tahun dan belum kawin, adalah Warga Negara Indonesia, djika bapanja pada waktu meninggal dunia memenuhi sjarat- sjarat tersebut dalam pasal 1 bab b.

Jang dapat menjatakan sebagai tersebut dalam achir pasal 1 bab b buat orang-orang tersebut diatas ialah wali orang-orang itu.

127

2. Seorang perempuan jang pada waktu undang-undang ini mulai berlaku tidak mempunjai suami lagi karena suaminja jang achir meninggal dunia, sedangkan suami itu pada waktu meninggal dunia memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 1 bab b, adalah Warga Negara Indonesia, ketjuali djika dalam waktu1 tahun sesudahnja undang-undang ini berlaku ia menjatakan tidak suka mendjadi Warga Negara Indonesia karena ia sen­diri tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut.

Dalam hal ini berlaku peraturan-peraturan dalam pasal 10 dengan perbedaan ajat 1 kalimat 2 bab c mendjadi : bahwa ia tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 1 bab a atau pasal 1 bab b.

Sampai waktu jang akan ditetapkan dengan Peraturan Peme­rintah maka surat pernjataan tersebut dalam pasal 4 ajat 1, pasal 6 ajat 2, pasal 9 ajat 1, pasal 10 ajat 1 dan pasal 11 ajat 1 harus disampaikan kepada Menteri Kehakiman dengan perantaraan Pengadilan Negeri dari daerah tempat kedudukan orang jang menjatakan.

Setelah menerima surat pernjataan tersebut dalam ajat 1 maka Pengadilan Negeri dengan selekas-lekasnja harus meneruskan- nja kepada Menteri Kehakiman.

Agar Undang-Undang ini diketahui oleh umum, memerintah­kan supaja diumumkan sebagai biasa.

Ditetapkan di Jokjakarta

pada tanggal 10 April 1946.

PRESIDEN REPUBLIK IN D O N E S IA , SOEK ARN O .

Menteri Kehakiman,

S O E W A N D I.

Diumumkan

pada tanggal 10 April 1946.

Sekretaris Negara,

A. G. PR IN G G O D IG D O .

128

UNDANG-UNDANG 1947 No. 6 *)W A R G A NEGARA. PENDUDUK NEGARA.

Mengubah undang-undang No. 3 tahun 1946 jang telah diubah dengan undang-undang No. 6 tahun 1947. Hal memperpandjang waktu untuk meng- adjukan pernjataan berhubung dengan kewargaan Negara Indonesia.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ,

Menimbang : bahwa perlu diadakan beberapa perubahan dalamUndang-undang No. 3 tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Republik Indonesia ;

Mengingat : Pasal 20 ajat (1) Undang-undang Dasar berhubungdengan pasal IV Aturan Peralihan dari Undang- undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden ter­tanggal 16-10-1945 No. X ;

Dengan persetudjuan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat;

M e m u t u s k a n :

Menetapkan peraturan sebagai berikut:UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN UNDANG-

U N D A N G No. 3 TAHUN 1946 TENTANG W A R G A NEGARA DAN PENDUDUK NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

Pasal 1.Undang-Undang No. 3 tahun 1946 tentang Warga Negara

dan penduduk Negara Republik Indonesia diubah dan ditambah sebagai berikut:a. Pasal 1 bab b harus dibatja :

b. Orang jang tidak masuk dalam golongan tersebut diatas akan tetapi turunan dari seorang dari golongan itu dan lahir, bertempat kedudukan dan kediaman dalam daerah Negara Indonesia, dan orang bukan turunan seorang dari golongan termaksud jang lahir dan bertempat kedudukan dan ke­diaman selama sedikitnja 5 tahun berturut-turut jang paling achir didalam daerah Negara Indonesia, jang telah berumur 21 tahun atau telah kawin ;

b. Titik pada achir kalimat pasal 1 bab i diganti dengan titik koma;

c. Pasal 1 ditambah denganj. badan-hukum jang didirikan menurut hukum jang berlaku

dalam Negara Indonesia dan bertempat kedudukan didalam daerah Negara Indonesia ;

d. Antara pasal 3 dan pasal 4 ditambah :

2

* ) B erita Negara Republik Indonesia 1947 No. 8.

129

Pasal 3a.Seorang Warga Negara Indonesia tersebut dalam pasal 1

bab b, jang mempunjai kewargaan negara dari negeri lain, dapat melepaskan kewargaannja dari Negara Indonesia dengan me- njatakan keberatan mendjadi W arga Negara Indonesia.

Pasal 3b.

Djika seorang Warga Negara Indonesia tersebut dalam pasal 1 bab b meninggal dunia pada waktu ia masih menjata- kan keberatan mendjadi Warga Negara Indonesia, maka de­ngan mengingat aturan dalam pasal 3a, hak untuk menjatakan keberatan ini dilandjutkan, buat anak-anaknja jang sah, disah­kan, diakui atau diangkat dengan tjara jang sah, oleh walinja masing-masing, dan buat djandanja oleh dia sendiri, ketjuali djika djanda itu masuk dalam golongan tersebut dalam pasal 1 bab a, jang dalam hal itu tetap mendjadi W arga Negara Indo­nesia.

e. Pasal 4 ajat (1) harus dibatja :(1) Pernjataan keberatan tersebut dalam pasal 3a harus di­

sampaikan dengan tulisan kepada Menteri Kehakiman dalam waktu 1 tahun setelah aturan dalam pasal 1 bab b berlaku buat orang jang bersangkutan ;

f. Pasal 5 ajat (3) harus dibatja :(5) Untuk tiap-tiap naturalisasi harus dibajar kepada Kas

Negeri uang sedjumlah 200 rupiah ;

g. Antara pasal 11 dan pasal 12 ditambah:

Pasal lla .(1) Surat pernjataan tersebut dalam pasal 4 ajat (1), pasal

6 ajat (2), pasal 9 ajat (1), pasal 10 ajat (1) dan pasal11 ajat (1) harus disampaikan kepada Menteri Kehakim­an dengan perantaraan Pengadilan Negeri jang daerah hukumnja meliputi tempat kedudukan orang jang me- njatakan.

(2) Setelah menerima surat pernjataan itu, maka Pengadilan Negeri berwadjib dengan selekas-lekasnja memeriksanja untuk menetapkan apakah sjarat-sjarat jang ditetapkan oleh Undang-undang ini dipenuhi.Dengan selekas-lekasnja setelah mengambil penetapan tentang pernjataan itu, maka Pengadilan Negeri harus mengirimkan salinan dari penetapan itu kepada Menteri Kehakiman disertai dengan surat pernjataan dan surat- surat lampirannja.

h. Antara pasal 14 dan pasal 15 ditambah :

Pasal 14a.Segala sesuatu jang perlu untuk mendjalankan aturan-

aturan dalam Undang-Undang ini diatur oleh Peraturan Peme­rintah.

130

i. Pasal 15 harus dibatja :Undang-undang ini mulai berlaku pada hari 17 Agustus 1945.

j. Peraturan Peralihan harus dibatja :I. Orang jang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku

tidak mempunjai bapa lagi dan pada waktu itu belum ber­umur 21 tahun dan belum kawin adalah Warga Negara Indonesia, djika bapanja pada waktu meninggal dunia memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 1 bab b. Selama belum berumur 21 tahun atau belum kawin maka jang dapat menjatakan keberatan sebagai tersebut dalam pasal 3a buat orang itu ialah walinja.

II. Seorang perempuan jang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku tidak mempunjai suami lagi karena suaminja jang achir meninggal dunia, sedang suaminja itu pada waktu meninggal dunia memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 1 bab a atau pasal 1 bab b dan ia sendiri tidak, adalah Warga Negara Indonesia. Dalam waktu 1 tahun sesudah 10 April 1946 ia dapat melepaskan kewargaannja dari Negara Indonesia. Dalam hal ini berlaku aturan-aturan dalam pasal 3ai, pasal 10 dan pasal lla , dengan perbedaan pasal 10 ajat (1) kalimat 2 bab c mendjadi: bahwa ia tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 1 bab a atau pasal 1 bab b.

III. Orang jang pada waktu tanggal 10 April 1946 memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 1 bab b atau berada dalam keadaan tertera dalam pasal 9 ajat (1), pasal 10 ajat (1) atau pasal 11 ajat (1) dapat mempergunakan hak pernja- taan masing-masing dalam waktu 1 tahun setelah hari ter­sebut.Demikian pula orang jang kehilangan bapa atau suami ter­maksud dalam pasal 3b antara tanggal 17 Agustus 1945 dan 10 April 1946 dapat mempergunakan hak pernjataan masing-masing dalam waktu tersebut.

Pasal 2.Undang-undang ini mulai berlaku pada, hari 17 Agustus 1954.

Ditetapkan di Jogjakarta

pada tanggal 27 Pebruari 1947. PRESIDEN REPUBLIK INDON ESIA

SOEKARNO.

Menteri Kehakiman, SOESANTO T IRTOPRODJO .

Diumumkan pada tanggal 3 Maret 1947.

Sekretaris Negara,A. G. PR IN GGOD IGDO .

131

U N D AN G-U N D AN G 1947 No. 8. x)

W A R G A N EG ARA . PE N D U D U K N E G A R A .

Mengubah undang2 No. 3 tahun 1946 jang telah diubah dengan undang2 No. 6, tahun 1947. Mem- perpandjang waktu untuk mengadjukan pernjataan berhubung dengan kewargaan Negara Indonesia.

PRESIDEN REPUBLIK IN D O N ES IA .

Menimbang : bahwa buat masa permulaan ini waktu untuk meng­adjukan sesuatu pernjataan berhubung dengan ke­wargaan negara Indonesia perlu diperpandjang ;

Mengingat : pasal 20 ajat (1) Undang-undang Dasar berhubungdengan pasal IV Aturan Peralihan dari Undang- undang Dasar dan Maklumat W ak il Presiden ter­tanggal 16-10-1945 No. X ;

Dengan persetudjuan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat ;

M e m u t u s k a n :

Menetapkan peraturan sebagai berikut:

U N D A N G 2 TEN TA N G M EM PERPANDTANG W A K T U UNTUK MENGADTUKAN PERNTATAAN B ERH U B U N G

DEN GA N K E W A R G A A N N EG A RA IN D O N E S IA .

Pasal 1.

Undang-undang No. 3 tahun 1946 tentang W arga Negara dan Penduduk Negara Indonesia sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 6 tahun 1947 diubah sebagai berikut :

a. Peraturan Peralihan I ditambah dengan kalimat ke-3, jang berbunji:

„Pernjataan itu dapat diadjukan sampai tanggal 10 April 1948”.

b. Dalam Peraturan Peralihan II kalimat ke-2, perkataan2 :„Dalam waktu 1 tahun sesudah 10 April 1946”

diganti dengan

„Sampai tanggal 10 April 1948”.c. Dalam Peraturan Peralihan III kalimat ke-1 dan ke-2 perkata­

an2 : „tanggal 10 April 1946” diganti dengan :„tanggal 10 April 1947”.

Pasal 2. 'Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 10 April 1947.

3

1) Berita Negara Republik Indonesia 1947 No. 17.132

Ditetapkan di Jogjakarta

pada tanggal 1 Mei 1947.

PRESIDEN REPUBLIK INDON ESIA , SOEKARNO.

Menteri Kehakiman,

SOESANTO T IRTOPRODJO .

Diumumkan

pada tanggal 2 Mei 1947

Sekretaris Negara,

A.G. PR IN G G O D IG D O .

P E N D J E L A S A N

UNDANG-UNDANG 1947 No. 8 TENTANG MEMPERPAN- D JAN G W A K T U UNTUK M ENGADJUKAN PER-

N JATAAN BERHUBUNG DEN GAN KEWARGA- AN NEGARA INDONESIA .

Dalam hampir satu tahun sesudah Undang-undang tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia diumumkan, ter- njata sedikit sekali orang-orang termaksud dalam pasal 1 bab b

> (dengan singkat orang-orang Peranakan) jang menjatakan kebe- ratannja mendjadi Warga Negara Indonesia.

Lebih-lebih orang djanda, jang mendjadi Warga Negara Indo­nesia karena perkawinannja, tiada jang menjatakan mau melepas­kan kewargaannja dari Negara Indonesia. Demikian pula orang djanda, jang karena perkawinannja kehilangan kewargaan Negara Indonesia lagi.

Keadaan demikian ini mungkin sekali disebabkan oleh karena Undang-undang tentang Warga Negara Indonesia itu belum tjukup diketahui atau dimengerti oleh umum.

Sesuai dengan djiwa dari Undang-undang itu, jang meng­hargai kemerdekaan seseorang untuk menetapkan kewargaan ne- garanja, maka kepada orang-orang jang sebetulnja ingin atau hendak mengadjukan pemjataan-pernjataan itu, hendaknja diberi kesempatan lagi.

Oleh karena itu maka baiklah kiranja djika waktu untuk mengadjukan pernjataan jang akan lampau pada hari 10 April 1947 (atau sebelum 10 April 1948) diperpandjang sampai 10 April 1948.

133

*

U N D AN G-U N D AN G 1947 No. 9 *)

W A R G A N EG ARA , NATURALISASI.

Naturalisasi Frans Matheas Hesse.

PRESIDEN REPUBLIK IN D O N ES IA ,

Menimbang : a. bahwa Menteri Kehakiman dengan perantaraanPengadilan Negeri Indramaju telah menerima surat permohonan jang bermeterai dari Frans Matheas Hesse, tertanggal 3 September 1946, jang menjatakan keinginannja mendjadi W'arga Negara Indonesia dengan djalan naturalisasi ;

b. bahwa menurut ketetapan Pengadilan Negeri Indramaju No. 1/1946/1 tanggal 18-12-1946, se­gala sjarat-sjarat jang ditetapkan oleh Undang- undang tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia telah dipenuhi ;

c. bahwa tidak ada alasan untuk menolak permo­honan tersebut;

Mengingat : Pasal 20 ajat (1) berhubung dengan pasal IVAturan Peralihan Undang-undang Dasar dan Mak­lumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 No. X, pasal 1 bab c dan pasal 5 Undang-undang ten­tang Warga Negara dan Penduduk Negara Indo­nesia ;

Dengan persetudjuan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat ;

M e m u t u s k a n :

Menetapkan peraturan sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG T EN T A N G N A T U RA LISA S I FRANS M ATHEAS HESSE.

Pasal 1..Permohonan Frans Matheas Hesse, lahir pada tanggal 2 Djuli

1879, di Huls/Krys Kempen Rhynland di Djerman, bertempat ting­gal di Karangampel, kabupaten Indramaju, untuk mendjadi W arga Negara Indonesia dikabulkan, dengan pengertian, bahwa ia mem­peroleh kewargaan Negara pada hari ia dihadapan Pengadilan Negeri dari daerah tempat kedudukannja bersumpah atau berdjandji setia kepada Negara Indonesia, sebagai termaksud dalam pasal 5 ajat (8) Undang-undang tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia.

Pasal 2.Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan.

4

* ) B erita Negara Republik Indonesia 1947 No. 18.

134

4I

Ditetapkan di Jogjakarta

pada tanggal 2 Mei 1947.

PRESIDEN REPUBLIK INDON ESIA , SOEKARNO.

Menteri Kehakiman, SOESANTO TIRTOPRODJO .

Diumumkan

pada tanggal 3 Mei 1947.

Sekretaris Negara,a .g . PR IN G G O D IG D O .

5 PERSETUDJUAN PERIHAL PEMBAGIAN WARGA-

NEGARA.

L.N. 1950 No. 2

Republik Indonesia Serikat dan Keradjaan Nederland,

menimbang bahwa pada saat penjerahan kedaulatan bagi orang-orang jang hingga saat itu kaulanegara Keradjaan Nederland ^ terhadap kepada Republik Indonesia Serikat termasuk orang- orang jang menurut perundang-undangan Republik Indonesia war- ganegara Republik tersebut — haruslah ditetapkan apakah mereka akan berkebangsaan Belanda ataukah berkebangsaan Indonesia,

bermupakat bahwa tentang hal tersebut pada saat itu berlaku penetapan jang berikut :

Pasal 1. Dalam arti peraturan ini jang disebut dewasa ialah mereka jang berusia delapanbelas tahun penuh atau jang telah kawin lebih dahulu.

Djika telah berlangsung pemutusan pertalian kawin sebelum mereka berusia delapanbelas tahun penuh, maka mereka itu tetap dewasa.

2. Bagi Republik Indonesia Serikat, bila persetudjuan ini di­perlakukan kepada orang-orang jang warganegara Republik Indo­nesia menurut perundang-undangan kewarganegaraan Republik tersebut pada saat mendjelang waktu penjerahan kedaulatan, maka dimana disebut, „memperoleh” atau „memilih” kebangsaan Indo­nesia atau bertempat tinggal disitu sekurang-kurangnja enam bulan, Indonesia, dan, dimana disebut „tetap memegang” kebangsaan Belanda atau „menolak” kebangsaan Indonesia, hilanglah kebang­saan Republik.

3. Orang-orang Belanda jang dewasa tetap memegang ke­bangsaan Belanda, akan tetapi djika mereka dilahirkan di Indo­nesia atau bertempat tinggal disitu sekurang-kurangnja enam bulan, maka mereka berhak akan menjatakan didalam waktu jang ditetap­kan bahwa mereka memilih kebangsaan Indonesia.

135

4. (1) Melainkan apa jang ditentukan pada pasal ini ajat kedua, maka kaulanegara Belanda bukan-orang-Belanda jang de­wasa, jang mendjelang waktu penjerahan kedaulatan termasuk golongan penduduk orang-orang asli di Indonesia, memperoleh ke- bangsaan Indonesia, akan tetapi, djika mereka lahir diluar Indo­nesia dan bertempat tinggal di Negeri Belanda atau diluar daerah peserta Uni, mereka berhak akan menjatakan didalam waktu jang ditentukan bahwa mereka memilih kebangsaan Belanda.

(2) Kaulanegara Belanda jang tersebut pada ajat diatas, jang bertempat tinggal di Suriname atau di Antillen Belanda :

a. djika mereka lahir diluar daerah Keradjaan, maka mereka memperoleh kebangsaan Indonesia, akan tetapi mereka berhak akan menjatakan didalam waktu jang ditentukan bahwa mereka memilih kebangsaan Belanda ;

b. djika mereka lahir didaerah Keradjaan, maka mereka tetap memegang kebangsaan Belanda, akan tetapi mereka berhak akan menjatakan didalam waktu jang ditentukan bahwa mereka memilih kebangsaan Indonesia.

5. Orang-asing jang kaulanegara Belanda bukan-orang- Belanda jang telah dewasa mendjelang waktu penjerahan kedau­latan dan jang lahir di Indonesia atau bertempat tinggal di Republik Indonesia Serikat mendapat kebangsaan Indonesia, tetapi berhak menolaknja didalam waktu jang ditetapkan itu ;

djika dalam hal ini mendjelang waktu penjerahan kedaulatan kebangsaannja tidak lain lagi daripada kebangsaan Belanda, maka mereka itu mendapat kembali kebangsaan itu ;

djika pada saat itu mereka mempunjai kebangsaan asing pula, maka sesudah menolak kebangsaan Indonesia mereka hanjalah mendapat kembali kebangsaan Belanda, djikalau mereka pada wak­tu itu djuga menjatakan keterangan guna itu.

6. Orang-asing jang kaulanegara Belanda bukan-orang- Belanda jang telah dewasa mendjelang waktu penjerahan kedau­latan, jang lahir tidak di Indonesia dan bertempat tinggal di Ke­radjaan, tetap berkebangsaan Belanda, tetapi mereka berhak di­dalam waktu jang ditetapkan menolak kebangsaan Belanda dan memilih kebangsaan Indonesia ;

djika mereka itu pada saat tersebut mempunjai kebangsaan asing pula, maka mereka berhak akan menolak kebangsaan Belanda dengan begitu sadja.

Hak menolak kebangsaan Belanda itu, berhubung atau tidak dengan memilih kebangsaan Indonesia, tidaklah berlaku bagi pen­duduk Suriname jang berasal dari India atau Pakistan.

7. Orang-asing jang kaulanegara Belanda bukan-orang- Belanda dari luar negeri jang telah dewasa mendjelang wak­tu penjerahan kedaulatan jang bertempat tinggal diluar daerah peserta Uni dan jang lahir di Negeri Belanda, Suriname atau

136

Antillen Belanda, tetap berkebangsaan Belanda, tetapi, djika orang tua mereka kaulanegara Belanda karena lahir di Indonesia, maka mereka berhak didalam waktu jang ditetapkan memilih kebangsaan Indonesia dengan menolak kebangsaan Belanda itu ;

djika pada saat tersebut mereka berkebangsaan asing djuga, maka mereka berhak menolak kebangsaan Belanda dengan begitu sadja.

Djika mereka lahir diluar daerah peserta Uni, maka berlakunja pasal ini atau pasal 5 baginja tergantung kepada tempat lahir bapaknja atau ibunja, jaitu menurut pembedaan-pembedaan ter- maktub pada Undang-undang 1892 tentang Kewarganegaraan Be­landa dan Penduduk, pasal-1 ;

djika orang tua itu lahir pula diluar daerah peserta Uni, maka jang menentukan ialah tempat lahir bapaknja ataupun ibunja.

8. Jang belum dewasa mengikuti kebangsaan bapaknja atau­pun ibunja menurut pembedaan-pembedaan jang termaktub pada Undang-undang 1892 tadi, djikalau orang tua itu mendjelang waktu penjerahan kedaulatan kaulanegara Belanda dan masih hidup.

9. Aturan-aturan diatas langsung berlaku bagi jang belum dewasa jang bapaknja atau ibunja, menurut pembedaan-pembedaan termaktub pada Undang-undang 1892 pasal 1 tersebut, mendjelang waktu penjerahan kedaulatan bukan kaulanegara Belanda atau telah meninggal, ja'ni dengan pengertian bahwa dalam hal jang terachir itu tempat tinggalnja jang sebenarnja akan dianggap tempat ting- galnja jang sah dan bahwa dalam kedua hal itu, dimana tersebut menjatakan keterangan, maka keterangan itu dapatlah dinjatakan oleh wakilnja jang sah.

Djika tidak ada wakil jang sah, maka tempoh-tempoh jang di­tentukan akan mulai sedjak saat seorang wakil diangkat.

10. Isteri itu mengikuti kedudukan suaminja. Sesudah, putus pertalian kawin maka selama waktu setahun sesudah itu jang perempuan berhak akan memperoleh atau menolak kebangsaan jang diperolehnja seandainja ia belum kawin pada saat penjerahan ke­daulatan, ataupun jang dapat diperolehnja atau ditolaknja, ialah dengan djalan menjatakan keterangan.

11. Karena mendjalankan hak memilih atau menolak kebang­saan tidaklah mendjadi batal sesuatu tindakan jang terlangsung sebelum itu jang sekiranja akan mendjadi sah seandainja hak itu tidak didjalankan

KETENTUAN-KETENTUAN PENDJALANKAN.

12. Keterangan-keterangan tentang memilih atau menolak kebangsaan dapat dinjatakan oleh jang berhak dihadapan, ataupun dikirimkan berupa surat kepada baik Komisaris-komisaris Agung kedua belah pihak, baik hakim harian biasa orang-orang bersang­kutan itu, maupun pegawai-pegawai jang lagi akan ditundjukkan

137

untuk itu dikedua negara oleh tingkatan-djawatan jang berkuasa. Dinegeri asing keterangan tersebut boleh dinjatakan dihadapan ataupun dikirimkan berupa surat kepada pegawai-pegawai diplo­matik atau konsol kedua belah pihak jang didaerahnja orang jang bersangkutan itu bertempat tinggal.

Tanda-tangan jang dibubuh dibawah surat penjatakan kete­rangan ataupun tjap empoe djari harus dinjatakan sahnja (dilega­lisir).

Barangsiapa jang menjatakan keterangan atau mengirimkannja berupa surat, dengan segera akan diberi atau dikirimi seputjuk surat bukti tentang itu.

Sekalian keterangan jang dinjatakan dalam masa satu bulan- kalender diumumkan pada bulan jang berikut pada Surat Berita Negara penerbitan negara jang pegawainja sudah dipermaklumi keterangan tad i; duplikat atau salinan jang sah keterangan tadi dikirimkan setiap bulan kepada Pemerintah negara jang lain.

Kedua belah pihak berdjandji akan mengumumkan dengan se- luas-luasnja keleluasaan menjatakan keterangan tersebut. Kete­rangan itu serta surat bukti jang akan diberikan tentang itu bebas daripada meterai dan biaja.

13. Arti perkataan „waktu jang ditentukan” pada persetu- djuan ini ialah masa jang lamanja dua tahun sesudah penjerahan kedaulatan.

14. Keputusan atas hal melakukan atau rintangan melakukan hak-opsi boleh diminta kepada hakim harian biasa pada tempat tinggal orang jang bersangkutan. Djikalau orang itu bertempat tinggal dinegeri asing, maka jang berkuasa ialah Pengadilan Arron- dissemen di Amsterdam dan hakim harian biasa di Djakarta (Batavia). Membantah putusan itu maka boleh diminta pengadilan lebih tinggi ataupun dipergunakan alat-alat pengadilan lain seperti untuk perkara sipil. Keputusan jang tidak dapat diubah lagi di­beritahukan oleh Pemerintah Negeri jang daerah-hukumnja tempat keputusan itu diambil kepada Pemerintah Pihak jang lain ;

Pemerintah Pihak jang lain mengakui keputusan itu.

TJATATAN.

Tentang kebangsaan penduduk Irian (Nieuw-Guinea) tidak diputuskan suatu apapun pada ketentuan-ketentuan diatas ini, dji­kalau kedaulatan atas daerah itu tiada berpindah kepada Republik Indonesia Serikat.

138

PERATURAN-PEMERINTAH PELAKSANAAN PEM ­BAGIAN W ARGAN EG ARA

(Per.-Pem. No. 1, tg. 31 Djan. 1950) LN/1950-8.

(Pendjelasan TLN 2)

Konsiderans. M e n i m b a n g : bahwa perlu diadakan ke­tentuan-ketentuan pendjalankan lebih landjut untuk melaksanakan Persetudjuan perihal Pembagian Warganegara, jang dilampirkan pada Persetudjuan Perpindahan, jang tertjapai pada Konperensi Medja Bundar di Den Haag pada tanggal 2 Nopember 1949 ;

M e n g i n g a t : pasal 141 ajat 1 Konstitusi;

M e m u t u s k a n :

M e n e t a p k a n :

Peraturan-Pemerintah tentang mendjalankan hak memilih dan hak menolak kebangsaan Indonesia bagi orang jang mendjelang waktu penjerahan kedaulatan kaulanegara Keradjaan Belanda.

Pasal 1. Keterangan tentang memilih atau menolak kebang­saan Indonesia dapat dinjatakan, dengan bebas dari pada meterai dan biaja, oleh orang jang bersangkutan sendiri atau, djika ia belum dewasa, oleh wakilnja jang sah dengan lisan dihadapan ataupun dengan surat kepada :

1. Hakim-perdata harian biasa orang jang bersangkutan, jang daerah hukumnja meliputi tempat tinggal orang itu, djika ia ber­tempat tinggal dipulau Djawa atau dipulau Madura ;

2. Hakim-perdata tersebut diatas, atau Bupati ataupun pe- djabat Pamong Pradja lain sederadjat Bupati, jang daerahnja me­liputi tempat tinggal orang jang bersangkutan, djika ia bertempat tinggal di Indonesia, diluar pulau Djawa dan pulau Madura ;

3. Komisaris Agung Republik Indonesia Serikat pada peme­rintah Keradjaan Belanda,, djika orang jang bersangkutan bertempat tinggal didalam daerah Keradjaan Belanda ;

4. W akil diplomatik atau konsol Republik Indonesia Serikat atau pedjabat lain jang diserahi mengurus kepentingan Indonesia pada sesuatu negara asing, jang daerahnja meliputi tempat tinggal orang jang bersangkutan, djika ia bertempat tinggal diluar daerah peserta U n i;

5. Pengadilan Negeri (sekarang „Landgerecht” ) di Djakarta, djika orang jang bersangkutan bertempat tinggal diluar daerah pe­serta Uni dan tiada ada salah seorang pedjabat tersebut pada angka 4 jang daerahnja meliputi tempat tinggalnja.

Pasal 2. Keterangan jang dinjatakan, baik dengan lisan mau­pun dengan surat, harus disertai pemberian-pemberian jang dapat tjukup memberi penundjukan sepintas-lalu (summier) kepada pe­djabat, bahwa orang jang bersangkutan memenuhi sjarat-sjarat untuk memilih atau menolak kebangsaan Indonesia, dan, djika ke-

6

139

terangan dinjatakan oleh orang lain, maka harus dibuktikan bahwa orang ini adalah wakil jang sah dari orang jang bersangkutan.

Pasal 3. (1) Dari keterangan jang dinjatakan dengan lisanjang pemberian-pemberian atau buktinja termaksud dalam pasal 2 mentjukupi, pedjabat tersebut dalam pasal 1 membuat surat tjatatan dalam empat rangkap, jang ditanda-tanganinja, menurut model A jang terlampir pada Peraturan-Pemerintah ini.

(2) Keterangan tentang memilih atau menolak kebangsaan Indonesia jang dinjatakan dengan surat, harus dikirimkan dalam empat rangkap dan harus menjebutkan hal-hal tentang diri orang jang bersangkutan jang menundjukkan ia berhak memilih atau me­nolak kebangsaan Indonesia, sebagaimana tertera dalam model A tersebut diatas.

Tanda-tangan atau tjap (empu) diari jang dibubuh dibawah surat penjatakan keterangan, harus dinjatakan sahnja menurut aturan-aturan jang berlaku untuk orang jang menjatakan kete­rangan.

(3) Djika hal-hal jang disebutkan dalam surat penjatakan keterangan menurut pendapat pedjabat jang menerimanja tjukup ditundjukkan sepintas-lalu dengan pemberian-pemberian jang di­sertakan pada surat penjatakan keterangan, maka dibawah masing- masing lembar olehnja dibubuh keterangan jang ditanda-tanganinja sebagai berikut:

Diterima di ............................ (Nama tempat kantor pedjabat)pada tanggal ......................... (hari, bulan dan tahun)................................................ (pediabatan)................................................ (nama pedjabat).

(4) Selembar surat tjatatan penjatakan keterangan atau se­lembar surat penjatakan keteranoan jang sudah dibubuh keterano- an-penerimaan oleh pedjabat diberikan atau dikirimkan kepada orang jang menjatakan keterangan, dan berlaku sebagai bukti ten­tang penjatakan keterangan.

Dua lembar dikirimkan kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, dan selembar lagi disimpan oleh pedjabat dengan didjahit dalam suatu barkas bersama dengan surat-surat (tjatatan) penjatakan keterangan jang lain, dengan diberi nomor-urut me­nurut hari pembuatan atau penerimaan.

Barkas itu djika sudah tjukup tebal •—■ setidak-tidaknja pada achir tahun — didjilid dengan diberi samak jang kuat.

Pasal 4. Djika pedjabat menganggap pemberian-pemberian jang disertakan pada keterangan tidak tjukup memberi penundjuk- an-sepintas-lalu akan hak orang jang bersangkutan atau bukti akan hak orang jang menjatakan untuk orang lain, maka semua surat olehnja dikembalikan kepada jang menjatakan keterangan, dengan membubuh keterangan dibawah surat penjatakan keterangan itu, sebagai berikut:

140

Dikembalikan karena ............ (alasan pengembalian)

di .......................... ................ (nama tempat kantor pedjabat)

pada tanggal ........................ (hari, bulan dan tahun)

................................................ (pedjabatan)

................................................ (tanda-tangan pedjabat)

................................................ (nama pedjabat).

Pasal 5. Menteri Kehakiman didalam kementeriannja dan masing-masing pedjabat tersebut dalam pasal 1 dalam kantornja, memelihara sebuah daftar untuk penjatakan keterangan memilih, dan sebuah daftar lagi untuk pentjatatan keterangan menolak ke- bangsaan Indonesia, masing-masing disusun seperti model B jang terlampir pada Peraturan-Pemerintah ini, hanja dengan perbedaan nama.

Semua keterangan jang diterima, baik jang dinjatakan dengan lisan maupun jang dikirimkan dengan surat, segera setelah surat tjatatannja dibuat atau keterangan-penerimaan termaksud dalam pasal 3 ajat 3 dibubuh, oleh pedjabat ditjatat dalam daftar.

Pasal 6. (1) Dari dua lembar surat (tjatatan) penjatakanketerangan jang diterima, Menteri Kehakiman memisahkan selem­bar untuk, bersama dengan semua surat (tjatatan) penjatakan ke­terangan jang diterima dalam masa satu bulan-kalender, disampai­kan kepada Pemerintah Keradjaan Belanda dengan melalui Komisaris Agung Keradjaan Belanda pada Pemerintah Republik Indonesia Serikat, pada permulaan bulan jang berikut.

Selembar lagi disimpan sebagaimana tertera dalam pasal 3 ajat 4 kalimat kedua dan ketiga.

(2) Menteri Kehakiman mengusahakan pemuatan semua ke­terangan, jang diterima dalam masa satu bulan-kalender, dalam Berita-Negara Republik Indonesia Serikat, pada bulan jang berikut.

Pasal 7. Djika Menteri Kehakiman dapat mengetahui, bahwa seorang jang keterangannja tentang memilih atau menolak kebang- saan Indonesia telah diterima, sesungguhnja tidak memenuhi sjarat, maka segera ia mengembalikan surat (tjatatan) penjatakan kete­rangan jang masih ada dalam kementeriannja kepada orang jang menjatakan keterangan dengan melalui pedjabat jang menerimanja agar supaja daftar dan barkasnja dibetulkan.

Hal ini oleh Menteri Kehakiman diberitahukan kepada Komi­saris Agung Keradjaan Belanda pada Pemerintah Republik Indo­nesia Serikat, djika perlu, dan disiarkan djuga didalam Berita- Negara.

Pasal 8. Pemilihan atau penolakan kebangsaan Indonesia mulai berlaku pada hari surat tjatatan penjatakan keterangan dibuat atau pada hari surat penjatakan keterangan diterima oleh pedjabat jang berwadjib.

141

D jikalau dengan suatu keputusan-hakim diputus, bahwa orang jang bersangkutan dan/atau orang jang menjatakan keterangan jang tidak diterima oleh pedjabat sesungguhnja memenuhi sjarat- sjarat, maka pemilihan atau penolakan kebangsaan Indonesia oleh orang itu berlaku djuga mulai pada hari surat (tjatatan) tentang keterangan jang tidak diterima, seharusnja dibuat atau pada hari surat penjatakan keterangannja diterima oleh pedjabat itu.

Guna itu orang jang bersangkutan dapat mengirimkan tiga lembar salinan jang sah dari keputusan-hakim itu kepada jang berwadjib.

Pedjabat tersebut dan Menteri Kehakiman berbuat dengan salinan keputusan-hakim jang sah ini seperti dengan surat penjata­kan keterangan jang dibubuh keterangan-penerimaan.

Pasal 9. Beraturan-Pemerintah ini dapat disebut : „Peratur- an-Pemerintah pelaksanaan pembagian warganegara”.

Pasal 10. Peraturan-Pemerintah ini segera berlaku dan ber­laku surut sampai pada waktu pemulihan kedaulatan.

U N D A N G 2 PEN GAW ASAN ORANG ASING.

(Undang2 Darurat tgl. 16 Okt. 1953 No. 9) LN 1953-64.

Konsid. Menimbang : bahwa perlu diadakan pengawasan ter­hadap orang2 asing jang berada di Indonesia dan Organisasi Peng­awasan Orang Asing sebagai alat perlengkapan jang chusus diberi tugas untuk melakukan pengawasan itu ;

Menimbang : bahwa karena keadaan-keadaan jang mendesak, peraturan ini perlu segera diadakan ; dst.

UN DAN G-U N DAN G DARURAT TENTANG PENG- -

A W A SA N O RAN G ASING.

Pasal 1.Menteri Kehakiman melakukan pengawasan terhadap orang2

asing jang berada di Indonesia.

Pasal 2.

Untuk menjelenggarakan pengawasan termaksud dalam pasal 1, Menteri Kehakiman dapat mengadakan Organisasi Pengawas Orang Asing, jang tugas dan kekuasaannja diatur dengan Per­aturan Pemerintah.

Pasal 3.Pelaksanaan Pengawasan tersebut dalam pasal 2 diatur lebih

landjut dengan Peraturan Pemerintah, jang dapat mengantjamkan hukuman2 atas pelanggaran aturan2nja, berupa hukuman kurungan atau denda denqan setinggi-tingginja masing2 satu tahun atau se­ratus ribu rupiah.

Hal2 jang diantiam denqan hukuman2 tersebut dianggap se­bagai kedjahatan. (LN. 54-83.)

Pasal 4.

Tiap2 orang asing jang berada di Indonesia diwadjibkan mem­berikan segala keterangan atau bantuan jang diperlukan untuk mengenal dirinja.

Pasal 5.

(1) Orang2 asing jang berbahaja untuk ketenteraman, kesu­silaan atau kesedjahteraan umum atau tidak mengindahkan per­aturan2 jang diadakan bagi orang2 asing jang berada di Indonesia, oleh Menteri Kehakiman :a. dapat diharuskan untuk berdiam pada sesuatu tempat jang ter­

tentu di Indonesia ;b. dapat dilarang untuk berada di beberapa tempat jang tertentu

di Indonesia dari mana ia harus pergi;c. dapat dikeluarkan dari Indonesia, meskipun ia penduduk Ne­

gara.

7

143

(2) Surat keputusan Menteri Kehakiman dalam mendjalan­kan kekuasaannja menurut ajat 1 bermuat alasan2 dan pertim­bangan2.

(3) Sebelumnja orang asing jang menurut ajat 1 huruf c pasal ini dikeluarkan dari Indonesia ia dimasukkan dalam tahanan dahulu dengan diberi kesempatan untuk membela diri.

Lamanja tahanan itu tidak boleh melebihi waktu satu tahun.(4) Ajat 1 pasal ini tidak mengurangi hak orang asing untuk

meninggalkan Indonesia atas beaja sendiri djikalau ia tidak ter­sangkut lagi dalam perkara pidana dan semua kewadjiban2nja terhadap Republik Indonesia dipenuhinja.

Pasal 6.(1) Barang siapa jang dikenakan pasal 5 ajat 1 dan mengaku

dirinja warga negara Republik Indonesia, dapat mengadjukan per­mohonan kepada Pengadilan jang daerah hukumnja meliputi tempat tinggalnja orang itu, untuk menetapkan bahwa pasal tersebut tidak berlaku baginja.

(2) Pengadilan jang berhak menurut ajat 1 ialah Pengadilan Tinggi.

Pasal 7.Undang2 ini tidak berlaku bagi :

a. pedjabat2 diplomatik dan konsuler asing ;b. pegawai2 organisasi2 antar-negara jang diberikan kedudukan

jang dapat disamakan dengan kedudukan mereka jang disebutpada huruf a.

Pasal 8.Undang2 Darurat ini disebut Undang2 Pengawasan Orang

Asing dan mulai berlaku pada hari diundangkan. (20 Okt. ’53.)

8

P E N D J E L A S A N

U N DAN G 2 DARURAT No. 9 T A H U N 1953, TLN 463T EN TAN G

PEN G A W A SA N O R A N G A S IN G U M U M

Berhubung dengan banjaknja orang-orang asing di Indonesia jang kian hari akan bertambah pula, pertambahan mana sebagian besar merupakan pemasukan setjara illegal melalui daerah-daerah pinggiran (Riau, Kalimantan Barat), maka sangat perlu diadakan pengawasan terhadap orang-orang asing pada umumnja.

Agar pengawasan dapat dilakukan dengan saksama, dianggap perlu menugaskannja chusus pada suatu Organisasi Pengawas Orang Asing.

Dengan diadakannja pengawasan tersebut perlu pula ditentu­kan kewadjiban orang-orang asing untuk memberi keterangan ten­tang dirinja (pasal 2) dan, berdasarkan pasal 33 Undang-undang

144

Dasar Sementara, membatasi beberapa haknja bilamana perlu bagi kepentingan Negara.

Karena sangat mendesaknja keadaan, perlu hal-hal tersebut diatur dengan undang-undang darurat.

PASAL DEM I PASAL

Pasal 1Oleh karena pada Menteri Kehakiman telah ditugaskan peng­

awasan atas masuk dan keluarnja orang-orang asing, jang dise­lenggarakan oleh Djawatan Imigrasi maka sebagai landjutan tugas itu memang telah selajaknja pengawasan terhadap orang-orang asing jang telah atau sedang berada di Indonesia diserahkan djuga kepada Menteri Kehakiman.

Pasal 2.Dalam pasal ini diserahkan pada peraturan pemerintah untuk

mengatur tugas dan kekuasaan Organisasi Pengawas Orang Asing itu.

Pasal 3.

Oleh sebab antjaman hukuman harus didasarkan pada undang- undang maka perlu ketentuan dalam pasal ini.

Pasal 4.Tjara-tjara mengenal diri ialah antara lainnja memberikan foto

atau tjap-djari serta riwajat hidupnja dan sebagamja.Pasal 5.

Ajat 1 pasal ini merupakan pembatasan pasal 9 Undang- undang Dasar Sementara.

Pasal 6.

Tidak memerlukan pendjelasan.Pasal 7.

Tidak memerlukan pendjelasan.Pasal 8.

Tidak memerlukan pendjelasan.

9

ORAN G ASING. PENGAW ASAN . PELAK­SANAAN. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1954, tentang pelaksanaan pengawasan terhadap orang asing jang berada di Indonesia* LN 1954 No. 83. (Pendjelasan dalam Tambahan Lembar- an-Negara No. 645).

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ,

' Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan tentang pelak­sanaan pengawasan terhadap orang asing jang berada di Indonesia;

Mengingat: pasal 3 Undang-undang Pengawasan Orang Asing (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 64) ;

145

Mendengar : Dewan Menteri dalam rapatnja jang ke-60 pada Tanggal 14 Djuli 1954 ;

M e m u t u s k a n :Menetapkan :

Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengawasan terhadap orang Asing jang berada di Indonesia.

BAB I.

Tentang hubungan Menteri Kehakiman dengan Alat-alat Kepolisian dan Organisasi-organisasi iang tugasnja

bersangkutan dengan orang Asing.Pasal 1.

(1) Tiap-tiap instansi Pemerintah jang mempunjai tugas ke­polisian dan tiap-tiap organisasi jang tugasnja bersangkutan dengan orang asina. dalam hal pengawasan orang asina bekerdja menurut petundjuk Menteri Kehakiman dan memberi segala keterangan jang dianggap perlu olehnja.

(2) Tiap-tiap instansi atau organisasi tersebut dalam ajat 1 jang mengetahui atau diberitahu tentang tingkah laku seorang asing jana mentiurigakan harus dengan segera memberitahukannja ke­pada Menteri Kehakiman.

(3) Instansi-instansi dan organisasi-organisasi tersebut dalam ajat 1 harus saling membantu dalam menunaikan tugasnja.

BAB II.

Tentang Biro Pengawasan orang Asing.Pasal 2..

(1) Untuk membantu Menteri Kehakiman dalam mendjalan- kan tugas penqawasan orang asing maka pada Kementerian Ke­hakiman diadakan suatu biro dengan nama Biro Penqawasan Orang Asing dibawah pimpinan Kepala Bagian Hukum Kriminil dan Ke­tentaraan.

(2) Pada biro tersebut dalam ajat 1 dapat ditempatkan pe­gawai-pegawai jang diberi kekuasaan pemeriksaan dan/atau pe- njelidikan.

(3) Pegawai-pegawai itu menurut sjarat-sjarat jang akan ditetapkan bersama oleh Perdana Menteri dan Menteri Kehakiman dapat diuga diberi kuasa untuk menahan denqan ketentuan bahwa tahanan itu harus disahkan oleh Menteri Kehakiman dalam waktu sepuluh hari.

BAB III.

Tentang kewadjiban orang Asing melaporkan diri.Pasal 3.

(1) Tiap-tiap orang asing jang mendapat kartu idzin masuk

146

di Indonesia harus melaporkan diri kepada kantor polisi dari tempat tinggalnja atau tempat kediamannja segera setelah ia mempunjai tempat tinggal atau tempat kediaman.

(2) Apabila seorang asing jang dimaksud dalam ajat 1 pin­dah maka ia sebelum itu harus memberitahukan kepada kantor polisi dari tempat tinggalnja atau tempat kediamannja jang lama tentang waktu kepindahannja dan kemana ia akan pindah, dan dalam tudjuh hari setelah tiba ditempat tinggalnja atau tempat kediaman­nja jang baru ia harus melaporkan diri kepada kantor polisi se­tempat.

(3) Mereka jang telah melaporkan diri diberi keterangan dari kantor polisi jang menerima laporan itu.

Pasal 4.Orang asing jang telah melaporkan diri menurut pasal 3 ajat 1

jang telah berumur enam belas tahun, harus memberitahukan kepada kantor polisi dari tempat tinggalnja atau tempat kediamannja apa­bila ia meninggalkan tempat itu lebih dari tiga puluh hari dengan memberitahukan alamat-alamatnja dalam waktu itu.

BAB IV.

Tentang tempat penginapan dan memberi kesempatan menginap.Pasal 5.

(1) Pada tiap-tiap tempat penginapan harus diadakan daftar tamu orang asing tersendiri, dimana harus ditulis nama, kelamin, umur, pekerdjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan, tanggal da­tang, asal dan tudjuan serta tandatangan tiap-tiap tamu jang menginap disitu.

(2) Pengurus tempat penginapan atau wakilnja harus me- ;akinkan diri bahwa sitamu adalah sungguh-sungguh orang jang diterangkan dalam daftar tamu, dengan berhak untuk minta diper­lihatkan paspor atau surat pengenalan lainnja dari tamu itu.

(3) Tiap-tiap orang asing jang telah berumur enam belas tahun dan tinggal disuatu tempat penginapan harus mengisi suatu formulir, menurut tjontoh A jang dilampirkan pada peraturan ini, dalam dua rangkap dengan dibubuhi tandatangannja.

(4) Formulir-formulir itu disediakan oleh pengurus tempat penginapan tersebut.

Pasal 6.

(1) Sehelai formulir tersebut dalam pasal 5 ajat 3 setelah di­isi harus segera disampaikan kepada kantor polisi setempat dan sehelai lagi harus disimpan oleh pengurus tempat penginapan sam­pai satu tahun.

Pasal 7.Jang dimaksud dengan tempat penginapan dalam peraturan ini

ialah tiap-tiap ruangan jang disediakan untuk menginap dengan dipungut bajaran.

147

Pasal 8.

Tiap-tiap orang jang memberi kesempatan menginap kepada seorang asing harus memberitahukan kepada kantor polisi setempat dalam tempo dua puluh empat djam sedjak kedatangan orang asing itu.

BAB V .

Tentang pengenalan diri, penahanan dan penilikan.Pasal 9.

(1) Tiap-tiap orang asing harus memperlihatkan surat ke­terangan polisi jang telah diterimanja atau paspornja atau surat pengenalannja, apabila diminta oleh seorang anggota polisi, se­orang pegawai imigrasi atau seorang anggota tentara jang sedang bertugas.

(2) Apabila orang asing itu tidak dapat memperlihatkan surat-surat termaksud dalam ajat 1, maka ia harus memberi kete­rangan tjukup sehingga ia tidak perlu memperlihatkan surat-surat keterangan atau paspornja tersebut.

(3) Apabila seorang asing tidak memenuhi apa jang ditentu­kan dalam ajat 1 dan 2 pasal ini, maka ia oleh pedjabat tersebut ajat 1 dapat ditahan atau ditempatkan dibawah penilikan polisi, imigrasi atau tentara.

(4) Dalam waktu empat puluh delapan djam pedjabat jang menahannja atau jang menempatkan orang asing itu dibawah peni­likan memberitahukan penahanan atau penilikan ini kepada Menteri Kehakiman jang akan menjelesaikan selandjutnja.

BAB V I.

Tentang hukuman pidana.Pasal 10.

Barang siapa dengan sengadja atau karena kealpaannja me- lan9i?ar pasal 3 ajat 1 dan 2, pasal 4, pasal 5 ajat 1, 2 dan 3, pasal 6 ajat 1 dan 2 dan pasal 8 dihukum dengan hukuman ku­rungan selama-lamanja satu tahun dan/atau hukuman denda se~ tinggi-tingginja seratus ribu rupiah.

BAB V II.

Penutup.Pasal 11.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diundang­kan. Agar setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan peng­undangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

148

Ditetapkan di Djakarta,

pada tanggal 26 Agustus 1954.

Presiden Republik Indonesia, SOEKARNO.

Perdana Menteri,

ALI SASTROAM IDJOJO .

Menteri Kehakiman,

D JODY GONDOKUSUM O.

Menteri Luar Negeri, SUNARIO.

Menteri Dalam Negeri, HAZA IR IN .

Menteri Pertahanan,IW A KUSUMASUMANTRI.

Diundangkan

pada tanggal 31 Agustus 1954.

Menteri Kehakiman, D JO D Y GON DOKU SU M O.

10

O RA N G ASING. PENGAW ASAN . PELAK­SANAAN. Pendjelasan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1954, tentang pelaksanaan pengawasan terhadap orang asing jang berada di Indonesia, TLN No. 645.

PENDJELASAN UM UM .

1. Untuk melaksanakan tugas jang dimaksudkan dalam pasal 3 Undang-undang Pengawasan Orang Asing (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 64), Menteri Kehakiman membutuhkan bantuan sepenuhnja dari tiap-tiap pegawai kepolisian dan organisasi baik sipil maupun militer jang tugasnja bersangkutan dengan orang asing :

a. dengan memberi segala keterangan kepadanja jang oleh- nja dianggap perlu untuk pengawasan orang asing ;

b. dengan mendjalankan segala sesuatu dalam lingkungan pekerdiaannja jang diminta oleh Menteri Kehakiman ;

149

c. dengan segera memberitahukan kepadanja segala sesuatu jang mereka mengetahuinja atau diberitahukannja tentang tingkah laku seorang asing jang mentjurigakan ;

d. dengan mewadjibkan mereka saling membantu dalam me­nunaikan tugasnja ; (lihat pasal 1).

2. Disamping bantuan termaksud dalam bab 1, Menteri Ke­hakiman membutuhkan djuga sebuah staf pegawai atasan dan pegawai-pegawai bawahan jang akan membantu beliau dalam se­gala hal mengenai pengawasan orang asing. Untuk itu maka pada Kementerian Kehakiman diadakan satu biro dengan nama Biro Pengawasan Orang Asing dibawah pimpinan Kepala Bagian Hu­kum Kriminil dan Ketentaraan.

Agar supaja Menteri Kehakiman dapat mendjalankan tugasnja dengan sempurna epektip, sebaik-baiknja dan setjepat-tjepatnja, djika perlu dengan menjimpang dari djalan menurut tjara jang di­tentukan dalam bab • 1, misalnja dalam hal laporan-laporan jang diterima oleh Menteri Kehakiman bertentangan satu sama lain atau kepadanja diberikan andjuran-andjuran, saran-saran jang berten­tangan satu dengan jang lain atau sesuatu laporan dianggap „ten- dentieus”, sehingga satu dan lain harus di-„check” kebenarannja, maka untuk itu Menteri Kehakiman harus mempunjai kekuasaan sepenuhnja atas pegawai-pegawai jang mempunjai kekuasaan pe­meriksaan dan/atau penjelidikan dan dengan memenuhi sesuatu sjarat punja kekuasaan djuga untuk menahan.

Berhubung dengan itu maka pasal 2 diadakan.

3. Selandjutnja untuk mempermudah pengawasan terhadap orang asing itu, maka diadakan beberapa ketentuan-ketentuan de­ngan antjaman hukuman misalnja :

a. tiap-tiap orang asing jang mendapat kartu idzin masuk di Indonesia harus melaporkan diri kepada kantor polisi dari tempat tinggalnja atau tempat kediamannja segera setelah ia mempunjai tempat tinggal atau tempat kediaman : (pasal 3 ajat 1).

b. apabila seorang asing jang dimaksud sub a pindah, maka ia sebelum itu harus memberitahukan kepada kantor polisi dari tempat tinggalnja atau tempat kediamannja jang lama tentang waktu kepindahannja dan kemana ia akan pindah, dan dalam tudjuh hari setelah tiba ditempat tinggalnja atau tempat kediamannja jang baru ia harus melaporkan diri kepada kantor polisi setempat; (pasal 3 ajat 2).

c. orang asing jang telah melaporkan diri menurut sub a jang telah berumur enambelas tahun, harus memberitahu­kan kepada kantor polisi dari tempat tinggalnja atau tem­pat kediamannja dengan memberitahukan alamat-alamat- nja dalam waktu itu; (pasal 4).

150

d. pada tiap-tiap tempat penginapan harus diadakan daftar tamu orang asing tersendiri, dimana harus ditulis nama, kelamin, umur, pekerdjaan, tempat tinggal, kewarganega- raan, tanggal datang, asal dan tudjuan serta tandatangan tiap-tiap tamu jang menginap disitu ; (pasal 5 ajat 1).

e. pengurus tempat penginapan atau wakilnja harus mejakin- kan diri bahwa sitamu adalah sungguh-sungguh orang jang diterangkan dalam daftar tamu, dengan berhak untuk minta diperlihatkan paspor atau surat pengenalan lainnja dari tamu itu ; (pasal 5 ajat 2).

f. tiap-tiap orang asing jang telah berumur enambelas tahun dan tinggal disuatu tempat penginapan harus mengisi suatu formulir, menurut tjontoh A jang dilampirkan pada peraturan ini dalam dua rangkap dengan dibubuhi tanda- tangannja ; (pasal 5 ajat 3).

g. sehelai formulir tersebut dalam pasal 5 ajat 3 setelah diisi harus segera disampaikan kepada kantor polisi setempat dan sehelai lagi harus disimpan oleh pengurus tempat penginapan sampai satu tahun; (pasal 6 ajat 1).

h. formulir tersebut serta daftar tamu harus setiap waktu dapat diperiksa oleh seorang anggota polisi atau seorang pedjabat jang ditundjuk oleh Menteri Kehakiman ; (pasal 6 ajat 2).,

i. tiap-tiap orang jang memberi kesempatan menginap ke­pada seorang asing harus memberitahukan kepada kantor polisi setempat dalam tempo dua puluh empat djam sedjak kedatanqan oranq asing itu; (pasal 8). .(lihat pasal 10).

Selain dari itu ada ketentuan-ketentuan lain, jang walaupun tidak mengandung antjaman hukuman, tetapi memuat antjaman tahanan atau penempatan dibawah penilikan polisi. Ketentuan itu misalnja berlaku terhadap seorang asing jang tidak dapat memper­lihatkan surat keteranqan polisi atau paspornja atau surat penge- nalannja atau tidak dapat memberi keterangan tjukup. (pasal 9).

' PENDJELASAN PASAL DEM I PASAL.

Pasal 1.

Dengan instansi Pemerintah jang memnuniai tunas kepolisian misalnia dimaksudkan neqawai-peoawai polisi dari Djawatan Ke­polisian Negara, dari Pamongpradia, anggota-anggota Angkatan Peranq, jang mempunjai tugas kepolisian.

Dengan organisasi-organisasi jang tugasnia bersangkutan de­ngan orang asing misalnia dimaksudkan, pelbagai dinas reserse, penielidik aliran masjarakat, ..intelligence Service” atau dengan nama apapun djuga jang tugasnja bersangkutan dengan orang asing.

151

Mereka kesemuanja dalam mendjalankan tugas mengenai orang asing harus bekerdja menurut petundjuk Menteri Kehakiman. Ini untuk menghindarkan tindakan bersimpang-siur antara alat-alat kekuasaan negara, jang akibatnja sangat merugikan baik moreel maupun materieel bagi orang asing jang bersangkutan, maupun Pemerintah kita dimata dunia internasional. ,,(het eene drogargu- ment is d it : het buitenland heeft geen reden tot beklag, als wij aantonen zijn onderdanen en belangen niet slechter te hebben be- jegend dan wij het onze eigen onderdanen doen. W il een land of een overzeesch gebied voor eigen onderdanen en belangen be- neden zulk een (internationale) standaard blijven, dat is zijn zaak : maar vreemde onderdanen en belangen hebben daaronder niet te lijden”, van Vollenhoven Staatsrecht Overzee hal. 241).

Tentang kerugian jang diderita oleh orang asing karena ke­lalaian kita, Pemerintah kita dapat dituntut kerugian oleh Peme­rintah asing jang bersangkutan.

Pasal 2.

(lihat pendjelasan umum)

Pasal-pasal 3, 4, 5 dan 6.

(lihatlah pendjelasan umum)

Pasal 7.

Tjukup djelas.

Pasal 8.

(lihat pendjelasan umum)

Pasal-pasal 9 dan 10.

(lihat pendjelasan umum)

Pasal 11.

Tidak perlu pendjelasan.

Termasuk Lembaran-Negara No. 83 tahun 1954.

Diketahui :

Menteri Kehakiman,

* D JO D Y G O N D O K U S U M O .

152

DA

FT

AR

A

(ter

mak

sud

Per

atur

an

Pem

erin

tah

'N r

45

tahu

n 19

54

pasa

l 5

ajat

3).

in•«rvo

S •©

S•a<

£S<

mCD

05c

1 ^ 2 2 ; w 2 g „ : « S I §

"w 60/11 F« j j -a a !s(j t (3•S o j-0 0 3.

« > w •Z X ?. ./ ^ cflC i fl. 3^J! » 5 w S= -n c •s 2 g

5 • 'ga u o

•o l£ o

: E £

A. JH, *

L. Cn> ra .X n

JWHOK

2n 'C“- 2 < § Z <3 £z, s w S a cu K

etju

a)!

deng

an

huru

f lat

in na

ma-

nam

a or

ang

Tion

ghoa

ha

rus

ditu

lis

djug

a de

ngan

hu

ruf

Tion

ghoa

.

PERATURAN PENGUASA M ILITER

No. Prt/PM/012/1957.

„PELAKSANAAN KOORD INASI PEN G A W A SA N O R A N G ASING JANG BERADA D I IN D O N E S IA ”.

B.N. 1957 No. 60

KEPALA STAF ANGKATAN DARAT

selaku

PENGUASA M ILITER ATAS DAERAH AN G K A T A N DARAT DISELURUH W ILA JA H IN DON ESIA .

Menimbang :

a. bahwa berhubung dengan keadaan, perlu melantjarkan dan mengintensivir pelaksanaan tentang pengawasan terhadap orang-orang asing jang berada di Indonesia,

b. bahwa untuk memungkinkan penjelenggaraan pengawasan tersebut ajat a setjara serempak dan tertentu, perlu mengada­kan koordinasi tentang pelaksanaan pengawasan jang dapat meliputi sampai kedaerah-daerah tertentu.

Mengingat:

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia tahun 1957 No. 40 tanggal 14 Maret 1957 ;

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia tahun 1957 No. 48 tanggal 28 Maret 1957;

3. Regeling Op den Staat van Oorlog en van Beleg tersebut dalam Stbl. 1939 — 582 jo Stbl. 1940 — 79 (sebagaimana telah diubah dan ditambah), pasal 37 ;

4. Undang-undang Darurat No. 9 tahun 1953 tentang „Peng­awasan Orang Asing” dan peraturan-peraturan pelaksanaan- nja dalam Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1954 ;

Mendengar ;Usul Panitia Pengawasan Orang Asing Koordinator Bagian

Keamanan Staf Harian Penguasa Militer Pusat jang terdiri atas wakil-wakil dari Kementerian Kehakiman (Biro Pengawasan Orang Asing), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perburuhan, Kabinet Perdana Menteri (Biro Keaman­an), Kedjaksaan Agung Djawatan Reserse Pusat, Staf Harian Penguasa Militer Pusat, Staf Umum Angkatan Darat-I, Angkatan Udara, Angkatan Laut, Kepolisian Negara Bagian Dinas Peng­awas Keselamatan Negara dan Bagian Reserse Kriminil, Djawatan Imigrasi ;

M e m u t u s k a n :

Menetapkan :„Peraturan Tentang Koordinasi Pelaksanaan Pengawasan

Orang Asing” sebagai berikut:

11

154

Pasal 1.

(1) Untuk melantjarkan dan mengintensivir pelaksanaan peng­awasan terhadap orang-orang Asing jang berada di Indo­nesia, sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat No. 9 tahun 1953 dan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1954, demikian pula jang tertjakup dalam peraturan-peraturan Imi­grasi sebagai tertjantum dalam „Toelatingsbesluit” dan Toelatingsordonnantie” jang kini masih berlaku, diseluruh Indonesia diadakan „Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing” jang berpusat diibu-kota Djakarta.

(2) Ditiap ibu-kota Propinsi atau ditempat-tempat lain jang di­anggap perlu diadakan „Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah”.

Pasal 2..

Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Pusat bekerdja dibawah supervisi Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer, dan didaerah-daerah dibawah supervisi Penguasa Militer setempat.

Pasal 3.(1) Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing terdiri atas

wakil-wakil dari:

a. Kementerian Kehakiman Biro Pengawasan Orang Asing ;b. Kementerian Dalam Negeri;c. Kementerian Luar Negeri;d. Kementerian Perburuhan ;e. Kedjaksaan Agung Djawatan Reserse Pusat;f. Angkatan Darat;g. Biro Keamanan Perdana Menteri;h. Kepolisian Negara Bagian D.P.K.N. ;i. Djawatan Imigrasi;jang akan ditundjuk oleh instansinja masing-masing.

(2) Susunan Badan terdiri atas:a. Kepala Biro Pengawasan Orang Asing Kementerian Ke­

hakiman sebagai Kepala ;b. W akil dari Biro Keamanan Perdana Menteri sebagai

W akil Kepala ;c. Lain-lainnja sebagai tersebut ajat 1 diatas sebagai Ang-

gauta.

(3) Pedjabat-pedjabat tersebut ajat 2 diatas diangkat oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer.

(4) Biro Pengawasan Orang Asing pada Kementerian Kehakiman merupakan Sekretariat dari Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing.

Segenap pegawai Biro Pengawasan Orang Asing Kemen­terian Kehakiman mendjadi pegawai Sekretariat.

155

Kepala Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing me- nundjuk seorang diantara pegawai-pegawai Sekretariat se­bagai Kepala Sekretariat.

Pasal 4.(1} Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing bertugas me-

njempurnakan peraturan-peraturan jang diperlukan dalam bidang pengawasan orang Asing, untuk disjahkan oleh Ke­pala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer.

(2) Memberikan petundjuk-petundjuk (instruksi) tentang pelak­sanaan pengawasan Orang Asing jang diperlukan, kepada instansi-instansi jang mempunjai tugas kepolisian dan orga­nisasi-organisasi resmi jang tugasnja bersangkutan dengan Orang Asing.

(3) Untuk mendjamin akan terlaksananja tindakan pengawasan, baik jang bersifat repressief maupun jang bersifat preventief, dalam hal-hal jang meragu-ragukan Badan Koordinasi Peng­awasan Orang Asing mempunjai wewenang untuk menundjuk instansi-instansi tertentu tersebut pada ajat 2 diatas guna me- njelesaikannja.

(4) Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing memberi per­timbangan kepada Menteri Kehakiman dalam soal-soal pe-ngenjahan Orang Asing.

(5) Tentang tindakan tersebut ajat 3 dan hasil-hasil tindakan.Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asincr berkewad'ibanmemberikan laporan kepada Kepala Staf Angkatan D=>rat selaku Penguasa Militer dalam waktu 24 (dua puluh empat) djam.

Pasal 5.

(1) Dalam melaksanakan tugasnja Badan Koordinasi Penqawas- an Orang Asing dapat meminta bantuan dari semua instansi dan setiap orang jang dianggap perlu.

(2) Semua instansi dan setiap orang tersebut ajat 1 diatas di- wadjibkan memberikan bantuannja.

(3) Kewadjiban memberi bantuan oleh seseorang ditiadakan, diika orang jang bersangkutan isterinja atau keluarganja menurut tjabang pertama dapat dituntut karena bantuan itu.

Pasal 6.(1) Pembentukan Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing

Daerah diselenggarakan oleh Penguasa Militer setempat.(2) Susunan Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah

terdiri atas :a. Pengawas-Kedjaksaan Pengadilan-pengadilan Negeri

Daerah Propinsi atau Kepala Kedjaksaan Pengadilan Ne­geri setempat, sebagai Kepala ;

b. Seorang pedjabat jang ditundjuk oleh Gubernur sebagai wakil dari Kepala Daerah, sebagai W ak il Kepala ;

156

c. Seorang Perwira dari Staf Harian Penguasa Militer se­tempat, sebagai anggauta ;

d. Komandan C.P.M. setempat sebagai anggauta ;e. Kepala Polisi Daerah Propinsi Bagian D.P.K.N. sebagai

anggauta ;f. Kepala Kantor Imigrasi setempat sebagai anggauta, de­

ngan ketentuan bahwa anggauta tersebut merangkap se­bagai Kepala Sekretariat dari Badan Koordinasi Peng­awasan Orang Asing Daerah.

(3) Kepala Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah diangkat oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer. Pedjabat lain-lainnja diangkat oleh Penguasa Militer setempat.

(4) Kepala Kantor Imigrasi setempat/anggauta Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing merangkap Kepala Sekretariat menundjuk beberapa orang pegawai bawahannja sebagai pe­gawai Sekretariat Badan Koordinasi dibawah pimpinannja.

Pasal 7.

(1) Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah bertugas untuk :a. melaksanakan peraturan-peraturan dalam bidang peng­

awasan Orang Asing jang telah ditentukan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer ;

b. memberikan saran-saran tentang pelaksanaan pengawasan Orang Asing kepada Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Pusat.

(2) Dalam melaksanakan tugasnja Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah diberi wewenang untuk, dalam hal-hal jang meragu-ragukan menundjuk instansi mana jang diwa- djibkan menjelesaikannja.

(3) Tentang tindakan sebagai tersebut ajat lb dan ajat 2 Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah berkewadjiban memberikan laporan kepada Penguasa Militer setempat dalam waktu dua puluh empat djam. Laporan sebagai dimaksud dalam waktu sesingkat-singkatnja djuga dikirimkan kepada Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Pusat.

Pasal 8.

Untuk wewenang mendapatkan bantuan dari instansi-instansi atau sembarang siapa jang diperlukan, terhadap Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah berlaku penentuan-penentuan tertjantum dalam pasal 5.

Pasal 9.

Hasil-hasil usaha pelaksanaan tugas jang bersangkutan dengan soal pengenjahan selekas mungkin disampaikan kepada Badan Ko­ordinasi Pengawasan Orang Asing Pusat.

157

Perbelandjaan untuk Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing seluruhnja dibebankan kepada Kementerian Kehakiman.

Pasal 11.Hal-hal jang bersangkutan dengan pelaksanaannja tugas Ba­

dan Koordinasi Pengawasan Orang Asing, tidak/belum ditentukan dalam peraturan ini, diputus oleh Kepala Staf Angkatan Darat se­laku Penguasa Militer.

Pasal 12.(1) Barang siapa jang sebagaimana dinjatakan dalam pasal 5 dan

8 tidak memberikan bantuan jang diminta kepadanja, dihukum dengan hukuman pendjara setinggi-tingginja satu tahun.

(2) Tindak-pidana tertjantum pada ajat 1 diatas dianggap sebagai kedjahatan.

Pasal 13.

Peraturan Penguasa Militer ini mulai berlaku pada hari di- umumlcan. Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, meme­rintahkan pengumuman Peraturan Penguasa Militer ini dengan penempatan dalam Berita-Negara dan surat-surat kabar harian serta pengumuman dalam siaran Pemerintah Radio Republik Indo­nesia.

Diumumkan : Dikeluarkan di Djakarta

pada tanggal 3 Djuli 1957. pada tanggal 1 Djuli 1957.

Pasal 10.

PENDJELASAN PERATU RA N PEN G U A SA M IL IT E R

No. Prt/PM/012/1957.

PENDJELASAN U M U M .

Pada dewasa ini terdapat berbagai instansi, baik sipil maupun militer, jang melakukan tugas dalam lapangan pengawasan ter­hadap orang-orang Asing jang berada di Indonesia.

Agar supaja pengawasan itu dapat dilaksanakan dengan sek­sama, dan supaja segala sesuatu dapat diusahakan serba lantjar dan intensief, pula untuk menghindarkan adanja simpang-siur da­lam tindakan dari berbagai instansi tersebut dalam lapangan jang sama, maka Penguasa Militer memandang perlu diwudjudkannja suatu Koordinasi antara instansi-instansi jang bersangkutan.

PENDJELASAN PASAL D E M I PASAL

Pasal 1.1. Jang dimaksudkan dengan koordinasi adalah kerdja-sama da­

lam hubungan sedjadjar antara instansi-instansi tersebut diatas dengan tudjuan memperoleh hasil-guna sebesar-besarnja di-

158

dalam mengambil tindakan-tindakan jang diperlukan untuk mempergiat pengawasan terhadap orang-orang Asing.

2. Supaja pelaksanaan pengawasan tersebut dapat didjalankan de­ngan intensief sampai kepelosok-pelosok, maka sebagai kelan- djutan dari Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Pusat, perlu pula adanja „Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah” ditiap ibu-kota Propinsi atau ditempat- tempat lain jang dianggap perlu, jang pembentukannja dise­suaikan dengan kebutuhan dan susunan serta tempat kedu­dukan instansi-instansi anggauta didaerah.

Pasal 2.Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing melakukan tugas

dalam lapangan keamanan, sehingga dalam bekerdjanja perlu di­tempatkan dibawah supervisi Penguasa Militer selaku instansi jang bertanggung djawab mengenai soal keamanan Negara seluruhnja didalam keadaan darurat perang.

Pasal 3.Mengingat funksi dan tugas Biro Pengawasan Orang Asing

Kementerian Kehakiman dalam lapangan pengawasan terhadap orang Asing serta mengingat perlunja ada continuiteit didalam pe- kerdjaan dikemudian hari, maka adalah tepat sekali bahwa didalam Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing ini Biro Pengawasan Orana Asing Kementerian Kehakiman diserahi tugas Sekretariat Koordinasi.

Sesuai dengan pekerdjaannja, maka Kepala Biro Pengawasan Orang Alsing Kementerian Kehakiman ditundjuk sebagai Kepala Badan Koordinasi, dan Wakil Biro. Keamanan pada Kabinet Per­dana Menteri jang mewakili suatu Biro jang membantu pimpinan Pemerintah dalam mendjalankan kebidjaksanaan politik-polisionil, ditundjuk sebagai Wakil Kepala Badan Koordinasi.

Funksi Kepala dan Wakil Kepala ialah memimpin musjawa- rah-musjawarah Badan ini.

Pasal 4.

Supaja pengawasan orang Asing dapat dilakukan sebaik-baik- nja, maka Peraturan-peraturan jang ada dalam bidang pengawasan orang Asing perlu disempurnakan, jang pelaksanaannja dikerdja- kan oleh instansi-instansi jang melakukan pengawasan sendiri.

Selandjutnja pasal 1 ini mengatur wewenang dari Badan Koor­dinasi, antara lain chusus dalam soal-soal pengenjahan orang Asing, Badan tersebut memberi pertimbangan-pertimbangan kepada Men­teri Kehakiman jang hingga kini dilakukan oleh Biro Pengawasan Orang Asing Kementerian Kehakiman.

Pasal 5.Pasal ini menjebutkan antara lain kewadjiban jang harus di­

penuhi oleh semua instansi dan setiap orang untuk memudahkan pengawasan.

159

Pasal 6.Susunan Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Daerah

pada dasarnja disesuaikan dengan susunan Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing Pusat.

Pasal 7 sampai dengan Pasal 9.

Tjukup djelas.

Pasal 10.

Supaja perbelandjaan mengenai pengawasan orang Asing ber­pusat disatu Kementerian, dan oleh karena pengawasan orang Asing ditugaskan kepada Menteri Kehakiman, maka perbelandjaan untuk Badan Koordinasi Pengawasan Orang Asing seluruhnja dibebankan kepada Kementerian Kehakiman.

Pasal 11 sampai dengan Pasal 13.

Tjukup djelas.

13PE N D AFTAR AN O R AN G A SIN G .

(Peraturan Pemerintah tg. 20 April 1954 No. 32) LN. 54-52.

PRESIDEN REPUBLIK IN D O N E S IA ,

Menimbang : bahwa guna pelaksanaan pengawasan orang asing jang dikehendaki oleh Undang2 Pengawasan Orang Asing antara lain perlu diadakan pendaftaran orang asing ;

Mengingat : pasal 98 Undang2 Dasar Sementara RepublikIndonesia dan pasal2 3 dan 7 Undang2 Darurat No. 9 tahun 1953 tentang Pengawasan Orang Asing (LN. 53-64) >

M e m u t u s k a n : Menetapkan :

PERATURAN PEM ER IN T A H T E N T A N G PEN ­DAFTARAN O R A N G ASING .

Pasal 1. Menteri Kehakiman mengadakan dan memelihara daftar orang asing untuk seluruh Indonesia.

Pasal 2. (1) Tiap2 orang asing jang berada di Indonesiadiharuskan mendaftarkan diri kepada pedjabat jang ditundjuk oleh Menteri Kehakiman.

(2) Bagi orang asing jang baru masuk di Indonesia pendaf­taran itu harus dilakukan olehnja dalam waktu satu minggu sesudah ia masuk di Indonesia.

(3) Bagi orang asing jang sudah ada di Indonesia pendaf­taran itu harus dilakukan olehnja paling lambat dalam waktu enam bulan sesudah peraturan ini mulai berlaku.

(4) (Ditambah LN 54-95.) Menteri Kehakiman dapat mem- perpandjang waktu enam bulan termaksud dalam ajat 3 untuk wila- jah tertentu apabila keadaan diwilajah itu memerlukan.

160

Pasal 3. Jang dibebaskan dari kewadjiban termaksud dalam pasal 2 ialah :a. mereka jang mendapat idzin untuk tinggal sementara waktu

di Indonesia paling lama untuk tiga bulan ;b. orang tua atau wali untuk anak2 jang belum berumur dua

tahun ;c. orang2 asing jang tersebut dalam pasal 7 Undang2 Pengawas­

an Orang Asing, selama mereka melakukan tugasnja.

Pasal 4. Tiap2 orang asing2, ketjuali jang tersebut dalam pasal 7 Undang2 Pengawasan Orang Asing, diharuskan mempunjai „surat imigrasi" jang diperlukan.

Pasal 5. (1) Tiap2 orang 'asing diwadjibkan memberikansegala keterangan mengenai dirinja, namanja, kewarga-negaraan- nja, pekerdjaannja, kedudukan-sipilnja, nama2 anggota keluarganja dan lain2 keterangan dan bantuan jang diperlukan untuk mengenal dirinja, seperti fotonja, tjap djarinja dan sebagainja.

(2) Tiap2 orang asing diwadjibkan pula dalam waktu empat belas hari melaporkan perobahan2 tentang hal2 jang dimaksudkan ajat 1 pasal ini.

Pasal 6. Barangsiapa mempunjai suatu surat imigrasi jang tidak berlaku lagi diwadjibkan menjerahkannja sendiri atau dengan surat atas tanggungan sendiri dalam waktu empat belas hari kepada Kepala Kantor Imigrasi dari tempat tinggalnja, ketjuali kalau Men­teri Kehakiman menundjuk pedjabat lain.

Pasal 7. Tjara pendaftaran selandjutnja diatur oleh Menteri Kehakiman.

Pasal 8. Barangsiapa tidak memenuhi. atau tidak lengkap memenuhi suatu kewadjiban jang dipikulkan kepadanja menurut pasal 2, pasal 4, pasal 5, pasal 6 atau suatu aturan dari Menteri Kehakiman berdasarkan pasal 7 dihukum dengan hukuman ku­rungan selama-lamanja satu tahun atau hukuman denda setinggi- tingginja seratus ribu rupiah.

Pasal 9. Pasal Peralihan. Barangsiapa pada saat berlakunja peraturan ini mempunjai suatu surat imigrasi jang tidak berlaku lagi diwadjibkan menjerahkannja menurut jang ditentukan oleh pasal 6 dalam waktu empat belas hari sesudah saat tersebut.

Pasal 10. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari

diundangkan (24 April 1954).

ORAN G ASING. PENDAFTARAN. Pendje- lasan Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1954, tentang pendaftaran Orang Asing, TLN No. 569.

PENDJELASAN.

P e n d j e l a s a n U m u m .

Untuk melaksanakan dengan saksama pengawasan terhadap

161

orang asing, perlu diketahui ditempat-tempat mana mereka berada di Indonesia, berapa djumlah mereka itu, apa pekerdjaan dan ke- dudukan-sipil mereka dan lain-lain keterangan lagi. Satu-satunja djalan untuk memperoleh keterangan-keterangan ini ialah meng­adakan pendaftaran bagi mereka.

Dengan pendaftaran orang asing itu dapat pula diketahui apa­kah mereka berada di Indonesia setjara sah atau tidak, sehingga terhadap mereka jang ternjata telah memasuki negeri kita ini me­lalui djalan jang illegal dapat diadakan tindakan selajaknja.

Banjak pula diantara orang asing jang meskipun setjara sah berada di Indonesia telah kehilangan surat imigrasinja berhubung dengan pergolakan-pergolakan dalam masa jang lampau. Pada saat pendaftaran itu mereka dapat diberikan surat jang baru jang se­ragam dalam tiap-tiap djenisnja, keseragaman mana tidak ada pada waktu ini berhubung dengan peraturan-peraturan jang saling ber­ganti sedjak dahulu itu.

Pendjelasan pasal demi pasal.

Pasal 1.

Guna dapat melaksanakan pengawasan jang senantiasa ber­langsung terus, maka disamping mengadakan daftar orang asing. Menteri Kehakiman ditugaskan pula untuk memelihara daftar ter­sebut.

Pasal 2.

Kewadjiban orang asing untuk mendaftarkan diri perlu diada­kan untuk mentjapai pendaftaran jang selengkap-lengkapnja.

Pasal 3.Pasal ini memberi pengetjualian untuk mendaftarkan diri pada

3 golongan orang asing, jaitu :

a. mereka jang berada di Indonesia selama tidak lebih dari 3 bulan, karena beradanja mereka disini masih bersifat kun- djungan singkat (shortvisit) ; djika sekiranja mereka men­dapat perpandjangan waktu sehingga beradanja disini lebih dari 3 bulan, maka mereka harus mendaftarkan diri.

b. orang tua atau wali anak-anak dibawah umur 2 tahun ; untuk anak-anak ini kewadjiban mendaftarkan bagi orang tua atau wali tersebut baru timbul segera sesudah anak-anak itu men­tjapai' 2 tahun ; sebelum itu anak-anak tersebut hanja ditjatat dalam kartu orang tua atau walinja.

c. orang-orang jang dimaksud dalam pasal 7 Undang-undang Pengawasan Orang Asing, pada umumnja ialah pedjabat- pedjabat perwakilan asing di Indonesia jang masuk kemari dengan visa diplomatik atau dinas dan anggota-anggota badan antarnegara jang berkedudukan sama dengan mereka itu.

162

Pasal 4.Kewadjiban orang asing untuk mempunjai surat imigrasi ada­

lah landjutan dari pendaftaran dan pengawasan mereka.

Pasal 5.Pasal ini menjebutkan beberapa kewadjiban jang antara lain

harus dipenuhi oleh orang asing untuk melengkapkan pendaftaran^

Pasal 6.Agar djangan sampai surat-surat imigrasi djatuh dalam tangan

orang lain jang dapat mempergunakannja setjara tidak sah, maka surat-surat jang tidak berlaku lagi harus diserahkan kembali pada jang berwadjib.

Pasal 7.* Tidak memerlukan pendjelasan.

Pasal 8.Untuk mendjamin agar supaja kewadjiban-kewadjiban jang

ditentukan dalam pasal 2 dan pasal 4 sampai dengan pasal 6 serta- dalam aturan-aturan Menteri Kehakiman selandjutnja dipenuhi, perlu diadakan ketentuan pidana dalam pasal ini. Tindak pidana dalam pasal ini, sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Pengawas­an Orang Asing, adalah kedjahatan.

Pasal 9.Pasal Peralihan.

Tidak memerlukan pendjelasan.

Pasal 10.Tidak memerlukan pendjelasan.

Termasuk Lembaran-Negara No. 52 tahun 1954.

Diketahui:

Menteri Kehakiman,

D JODY GONDOKUSUM O.

15PERATURAN TJARA PENDAFTARAN ORANG ASING.(Penetapan Menteri Kehakiman tg. 1 Djuni 1954 No. J.M. 2/17/2)

, TLN. 593.

Pasal 1. Sebagai pedjabat pada siapa tiap2 orang asing jang berada di Indonesia diharuskan mendaftarkan diri, ditundjuk Kepala Djawatan Imigrasi.

Pasal 2. (1) Pada Kantor Pusat Djawatan Imigrasi danKantor2 Imigrasi diadakan suatu bagian dengan nama „Bagian Pendaftaran Orang Asing”.

163

(2) Ditempat-tempat jang akan ditundjuk dan diwaktu-* waktu jang akan ditentukan oleh Kepala Djawatan Imigrasi dapat dibentuk suatu rombongan pegawai pendaftaran jang sifatnja ber­pindah-pindah dengan nama „mobile team” dan terdiri dari se- djumlah Pedjabat Imigrasi, jang dalam melakukan tugasnja dapat meminta bantuan dari Pamongpradja dan Polisi setempat.

Pasal 3. (1) Orang asing jang berada di Indonesia untuklebih dari tiga bulan, mendaftarkan dirinja dengan mengisi daftar pertanjaan rangkap dua jang disediakan pada pedjabat2 jang akan ditundjuk oleh Kepala Djawatan Imigrasi.

(2) Daftar pertanjaan tersebut setelah diisi dan ditanda­tangani oleh jang berkepentingan diserahkan kembali kepada pe­djabat tersebut dalam ajat 1, jang membubuhi meterai retribusi sebesar sembilan rupiah pada selembar dari padanja jang kemudian akan dikirim kepada Kepala Djawatan Imigrasi.

(3) Sebagai bukti bahwa orang asing itu telah mendaftarkan airi, ia akan menerima „Surat Pendaftaran”, jang dibubuhi meterai retribusi sebesar satu rupiah.

(4) Bagi orang asing jang baru masuk di Indonesia, sebagai bukti jang dimaksud dalam ajat 3 dipakai surat imigrasinja jang dibubuhi keterangan dan meterai retribusi sebesar satu rupiah.

Pasal 4. (1) W akil jang sah dari anak2 dibawah umur ataucari orang2 jang berada dalam pengampuan harus mendaftarkan anak atau orang jang berada dibawah kekuasaannja masing2 ter­sendiri.

(2) Bagi orang asing jang berada dalam rumah perawatan atau pendjara, kewadjiban mendaftarkan diri atau pemberitahuan jang dimaksud dalam pasal 5 ajat 2 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1954 dilakukan dengan perantaraan kepala rumah perawat­an atau pendjara itu.

(3) Pada perubahan mengenai diri wakil jang sah tersebut dalam ajat 1, maka wakil jang baru harus memberi keterangan2 jang diperlukan oleh Djawatan Imigrasi.

Pasal 5. Untuk pemeriksaan pendaftaran, orang2 asing akan dipanggil untuk menghadap pada pedjabat jang ditundjuk oleh Kepala Djawatan Imigrasi, dengan membawa surat2 imigrasinja, paspornja atau surat2 keterangan lainnja.

Pasal 6. Djika orang asing pada waktu menghadap seperti termaksud dalam pasal 5 tidak dapat menundjukkan surat imigrasi jang sah atau tidak lagi atau belum lagi mempunjai surat imigrasi jang sah, sedang menurut pemeriksaan ada kemungkinan kepada- nja boleh diberikan surat tanda penduduk atau Kartu Idzin Masuk dengan denda lima ratus rupiah, maka pada surat pendaftarannja ditjatat bahwa ia boleh menerima salah satu surat imigrasi tersebut.

Pasal 7. Peraturan ini berlaku mulai tanggal 1 Djuni 1954.

164

n',

KEPEN DUDUKAN ORANG ASING.

(Undang2 Darurat tg. 31 Mei 1955 No. 9.) LN 1955-33.

Presiden Republik Indonesia,Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan mengenai ke-

pendudukan orang asing ;bahwa karena keadaan2 jang mendesak, peraturan ini perlu

segera diadakan ;

Mengingat : pasal 6 dan 96 Undang2 Dasar Sementara Repu­blik Indonesia ;

M e m u t u s k a n :

A. Mentjabut ketentuan2 jang bertentangan dengan keten­tuan 2 dibawah ini ;

B. Menetapkan : Undang2 Darurat tentang kependudukan orang asing.

Pasal 1. Djika didalam salah satu pasal berikut dalam Un­dang2 Darurat ini dipakai perkataan :a. „bertempat tinggal” artinja berada di Indonesia dengan izin

masuk, menurut aturan2nja ;b. „anak” artinja anak jang sah, disahkan, diakui atau diangkat

dengan sah, jang umumja dibawah 18 tahun dan belum kawin;c. „isteri” artinja isteri jang sah dan tidak bertjerai medja dengan

suaminja („van tafel en bed gescheiden” ).

Pasal 2. Orang asing mendjadi penduduk Negara Indonesia,djikalau dan selama ia menetap di Indonesia.

Pasal 3. (1) Orang asing menetap di Indonesia, djika iamendapat izin bertempat tinggal disini setelah izin masuknja habis berlaku.

Selandjutnja izin itu disebut „izin menetap”.Izin menetap itu hanja dapat diberikan kepada orang asing

jang sudah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal di Indonesia. Ketentuan ini tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 6 ajat 2 .(2) Isteri dari orang asing tersebut diatas selama dalam per­

kawinan, dianggap menetap di Indonesia, sesudah ia bertempat tinggal di Indonesia.

(3) Anak dari seorang bapak atau, djika ia tidak ataupun tidak lagi mempunjai bapak, dari seorang ibu jang menetap di Indonesia, dianggap menetap di Indonesia, sesudah ia bertempat tinggal di Indonesia.

(4) Orang Asing jang tidak mendapat izin menetap harus keluar atau dikeluarkan dari Indonesia.

Pasal 4. ( 1 ) Orang asing jang menetap di Indonesia diwa-djibkan mempunjai surat penduduk dari Menteri Kehakiman.

16

165

(2) Untuk mendapat surat penduduk ini, ia harus membajarRp. 500.— (lima ratus rupiah) untuk diri sendiri dan Rp. 300.—(tiga ratus rupiah) untuk masing2 isteri dan anak tersebut dalam pasal 3 ajat 2 dan 3.

(3) Terhadap orang asing jang dibawah perwalian atau pengampuan, kewadjiban meminta surat penduduk, terletak pada walinja atau pengampunja, dengan ketentuan bahwa apabila wali itu badan hukum pada kewadjiban itu terletak pada pengurusnja.

Pasal 5. Orang asing tidak menetap lagi di Indonesia, apa­bila ia :

a. melepaskan hak menetap :

b. berada diluar negeri terus-menerus selama lebih dari 18 bulan ;

c. tidak memenuhi kewadjiban selama ia berada diluar negeri, memberitahukan dirinja kepada Perwakilan Republik Indone­sia, menurut ketentuan Menteri Kehakiman ;

d. memperoleh kedudukan diluar negeri jang serupa dengan ke­dudukan menetap di Indonesia ;

e. di-enjahkan; *

f. berangkat keluar negeri untuk mempersatukan diri dengan suaminja jang tidak bertempat tinggal di Indonesia.

Pasal 6 . ( 1 ) Orang asing tersebut dalam pasal 3 ajat 1 jangtidak menetap lagi di Indonesia berdasarkan pasal 5, dapat mem­peroleh izin menetap setelah bertempat tinggal di Indonesia lagi.

(2 ) Izin jang dimaksud dalam ajat 1 dapat diberikan setiap waktu.

(3) Ketentuan2 dalam pasal 4 berlaku djuga untuk orang2

jang memperoleh izin menetap tersebut dalam ajat 1 .

Pasal 7. ( 1 ) Barangsiapa melanggar ketentuan2 dalam pa­sal 4 dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanja satu tahun dan/atau hukuman denda setinggi-tingginja seratus ribu rupiah.

(2 ) Perbuatan2 jang dapat dikenakan hukuman seperti jang tertjantum dalam ajat 1 adalah kedjahatan.

Pasal 8 . Surat2 imigrasi mengenai kependudukan jang diberi­kan sebelum Undang2 Darurat ini berlaku, tidak berlaku lagi pada waktu jang akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman.

Pasal 9. Undang2 Darurat ini mulai berlaku pada hari di­undangkan (9-6-’55).

166

17

O R A N G ASING. KEPENDUDUKAN. Pendje- lasan Undang-undang Darurat No. 9 tahun 1955, tentang kependudukan orang asing, TLN 812.

PENDJELASAN.

U m u m .

Orang asing jang diperbolehkan bertempat tinggal di Indo­nesia merupakan dua golongan.

Golongan pertama ialah mereka jang mendapat „izin masuk” („admission” ) dengan memperoleh hak buat tinggal dinegeri ini untuk waktu jang tertentu.

Golongan jang lain ialah mereka jang diperbolehkan tinggal tetap disini. Berapa lamanja orang harus tinggal di Indonesia, supaja diperbolehkan tinggal tetap itu, menurut peraturan jang hingga sekarang berlaku, tidak ada kepastian. Hanja praktek tata- usaha (administrasi) mengambil sebagai ukuran 10 tahun. Ukuran ini didasarkan pada peraturan tentang djangka waktu dapat ber- lakunja „Kartu Izin Masuk”, jaitu untuk pertama kali selama 2 tahun jang dapat diperpandjang dengan 2 tahun dan kedua kalinja dengan 6 tahun.

Orang jang diperbolehkan tinggal tetap disini, menurut per­aturan jang berlaku hingga sekarang mendapat „status” penduduk („Ingezetene” ) .

Karena pada „status” penduduk itu digandengkan beberapa hak, maka dianggap perlu untuk mengganti praktek tata-usaha itu dengan peraturan jang pasti dan mengatur hal-hal mengenai ke­pendudukan itu lebih landjut.

Menurut Undang-undang Darurat ini „status” penduduk djuga dihubungkan dengan berternpat tinggal tetap di Indonesia (dalam Undang-undang Darurat ini dipakai istilah „menetap” ).

Dengan menjimpang dari praktek tersebut diatas dalam Un- dang-undang Darurat ini ditetapkan bahwa untuk dapat menetap di Indonesia, orang asing harus sudah 15 tahun berturut-turut ber­tempat tinggal di Indonesia (lihat pasal 3).

Dengan adanja Undang-undang Darurat ini, maka semua ke­tentuan-ketentuan jang bertentangan ditjabut.

Begitu pula tidak berlaku lagi surat-surat keterangan jang lama mengenai kependudukan, seperti „Vergunning tot Vestiging”, „Verklaring van Ingezetenschap”, „Surat Keterangan Kependu­dukan Sementara” dan sebagainja.

Barangsiapa masih mempunjai surat-surat demikian harus menggantinja dengan jang baru seraja memenuhi sjarat-sjarat se­perti tersebut dalam pasal 4, Mereka jang pada saat berlakunja Undang-undang Darurat ini ada diluar negeri harus segera menu­karkan surat-surat tersebut sesampainja mereka di Indonesia.

167

Oleh karena pendaftaran orang asing jang kini sedang dilaku­kan, sekarang telah sampai pada taraf menentukan status orang asing, maka untuk dapat melandjutkan pendaftaran itu perlu segera diadakan peraturan ini.

Pasal demi pasal.

Pasal 1.

Menurut aturan imigrasi orang jang mendapat izin masuk sadja jang boleh bertempat tinggal di Indonesia. Demikianlah orang jang hanja untuk sementara sadja berada dinegeri ini tidaklah dianggap bertempat tinggal di Indonesia.

Pasal 2.Tidak memerlukan pendjelasan..

Pasal 3.Sjarat 15 tahun bertempat tinggal di Indonesia adalah untuk

pertama kali berdiam. Untuk kedua kali dan selandjutnja izin tinggal tetap disini dapat diberikan setiap waktu.

Orang asing jang lahir di Indonesia selama ia belum meme­nuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 3 hanja dapat memperoleh Kartu Izin masuk.

Pasal 4.Kewadjiban untuk meminta surat bukti terletak pada jang

mendapat izin menetap disini sendiri, ketjuali djika ia berada di- bawah perwalian atau pengampuan, dalam hal demikian maka ke­wadjiban untuk mendapat izin itu terletak pada walinja atau pengampunja. Orang jang mendapat izin menetap tadi berkewa- djiban djuga untuk meminta surat bukti bagi isteri dan anaknja. Kalau anak itu berada dibawah perwalian, kewadjiban itu terletak pada walinja.

Pasal 5.Meskipun menurut pasal ini orang asing gampang kehilangan

izin menetapnja disini, akan tetapi ia mudah mendapatnja kembali menurut pasal 6 dari Undang-undang Darurat ini.

Pasal 6 , 7, 8 dan 9.

Tidak memerlukan pendjelasan.

Termasuk Lembaran-Negara No. 3 3 tahun 1955.

Diketahui :

Menteri Kehakiman,

D JO D Y G O N D O K U S U M O .

168

UNDANG-UNDANG No. 2 TAHUN 1958 tentang

PERSETUD JU AN AN T AR A REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK R AKJAT TIONGKOK MENGENAI

SO A L D W IK EW AR G AN E G ARAAN .

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Mengingat:

bahwa perlu perdjandjian antara Republik Indonesia dan Re­publik Rakjat Tiongkok mengenai soal dwikewarganegaraan dise- tudjui dengan undang-undang ;

Mengingat :a. pasal X IV perdjandjian tersebut;

b. pasal-pasal 89 dan 120 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia ;

c. Undang-undang No. 29 tahun '57 (Lembaran Negara tahun 1957 No. 101).

Dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat;

M E M U T U S K A N

Menetapkan :

UNDANG-U NDANG TENTANG PERSETUDTUAN DTUGA PERDTANDTIAN ANTARA REPUBLIK IN D O N E­SIA D A N REPUBLIK RAKJAT T IONGKOK M ENGENAI SOAL D W IK EW A RG A N EG A RA A N .

Pasal 1.Perdjandjian antara Republik Indonesia dan Republik R^kiat

Tiongkok mengenai soal dwikewarganegaraan tertanggal 22 April 1955, termasuk pertukaran nota antara Perdana Menteri Ali Sas- troamidjojo dan Perdana Menteri Chou En Lai tertanggal Peking 3 Djuni 1955, jang salinannja dilampirkan pada undang-undang jni, dengan ini disetudjui.

Pasal 2.Perdjandjian tersebut diatas mulai berlaku pada tanggal penu­

karan surat-surat pengesahan jang akan dilangsungkan di Peking.

Pasal 3.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.. Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan

pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lem­baran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Djakarta pada tanggal 11 Djanuari 1958

Pedjabat Presiden Republik Indonesia

SART ON O

Menteri Luar Negeri

SU BAN DRIO

Diundangkan pada tanggal 27 Djanuari 1958

Menteri Kehakiman

G. A. M A E N G K O M

Lembaran Negara No. 5 tahun 1958.

PERDJANDJIAN R.I. - R.R.T. M E N G E N A I SOAL D W IK E W A R G A N E G A R A A N

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok berdasar atas : prinsip persamaan deradjat : prin­sip saling memberi manfaat; dan prinsip tidak tjampur tangan didalam politik dalam negeri Negara masing2 berkeinginan menje- lesaikan sebaik-baiknja dengan kerdja-sama dalam persahabatan masalah kewarganegaraan dari orang2 jang serempak mempunjai kewarganegaraan Republik Indonesia dan kewarganegaraan Repu­blik Rakjat Tiongkok, memutus mengadakan Perdjandjian ini dan untuk itu telah mengangkat Wakil2 Berkuasa Penuh mereka : Pemerintah Republik Indonesia : Jang Mulia Sunario, Menteri Luar Negeri; dan Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok : Jang Mulia Chou En Lai, Menteri Luar Negeri; jang, setelah saling meme­riksa surat2 kuasa masing2 jang terdapat benar dan baik, menje- tudjui pasal2 sebagai berikut:

Pasal I.

Kedua Pihak Agung Jang Berdjandji menjetudjui, bahwa ba- rangsiapa serempak mempunjai ^kewarganegaraan Republik Indo­nesia dan kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok harus memilih satu diantara kewarganegaraan Republik Indonesia dan kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok itu, dengan dasar menurut kehendak jang berkepentingan sendiri.

Orang perempuan dalam perkawinan, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut diatas, djuga harus memilih satu dian­tara dua kewarganegaraan itu, dengan dasar menurut kehendak jang berkepentingan sendiri.

170

Barangsiapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut dalam pasal I sudah dewasa pada waktu Perdjandjian ini mulai berlaku, harus memilih satu diantara dua kewarganegaraan itu da­lam waktu dua tahun setelah Perdjandjian ini mulai berlaku.

Jang disebut orang dewasa dalam Perdjandjian ini ialah orang jang berumur delapanbelas tahun penuh atau orang jang belum berumur delapanbelas tahun penuh akan tetapi telah kawin.

Pasal III.

Barangsiapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut dalam pasal I ingin tetap mempunjai kewarganegaraan Republik Indonesia, harus menjatakan keterangan melepaskan kewarganega­raan Republik Rakjat Tiongkok kepada petugas Republik Indonesia jang berwadjib. Setelah menjatakan keterangan itu dianggap telah memilih kewarganegaraan Republik Indonesia menurut kehendak sendiri.

Barangsiapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut dalam pasal I ingin tetap mempunjai kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok, harus menjatakan keterangan melepaskan ke­warganegaraan Republik Indonesia kepada petugas Republik Rakjat Tiongkok jang berwadjib. Setelah menjatakan keterangan itu orang itu dianggap telah memilih kewarganegaraan Republik Rak­jat Tiongkok menurut kehendak sendiri.

Petugas Republik Indonesia jang berwadjib tersebut diaias ialah : di Republik Indonesia : petugas2 jang ditundjuk oleh Pe­merintah Republik Indonesia.

Di Republik Rakjat Tiongkok: Kedutaan Besar Republik Indonesia dan Konsolat-Konsolat Republik Indonesia di Republik Rakjat Tiongkok — djika ada — dan kantor2 sementara, jang menurut keperluan diadakan oleh Kedutaan Besar atau Konsolat- Konsolat jang bersangkutan dan jang dilajani oleh pegawainja. Untuk mengadakan kantor sementara itu harus didapat persetudju- an dari Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok.

Petugas Republik Rakjat Tiongkok jang berwadjib tersebut diatas ialah : di Republik Rakjat Tiongkok : petugas-petugas jang ditundjuk oleh Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok.

Di Republik Indonesia : Kedutaan Besar Republik Rakjat Tiongkok dan Konsolat-Konsolat Republik Rakjat Tiongkok di Republik Indonesia dan kantor2 sementara, jang menurut keperluan diadakan oleh Kedutaan Besar atau Konsolat-Konsolat jang ber­sangkutan dan jang dilajani oleh pegawainja. Untuk mengadakan kantor sementara itu harus didapat persetudjuan dari Pemerintah Republik Indonesia.

Untuk memudahkan orang2 jang mempunjai dua kewarganega­raan tersebut dalam Pasal I dalam memilih kewarganegaraan, kedua

Pasal II.

171

Pihak Agung Jang Berdjandji menjetudjui untuk memakai tjara pernjataan keterangan jang sederhana.

Ketentuan2 tentang tjara memilih kewarganegaraan dalam pasal ini pada dasarnja berlaku djuga bagi orang2 jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut dalam pasal I, jang bertempat ting­gal diluar wilajah Negara Republik Indonesia dan diluar wilajah Negara Republik Rakjat Tiongkok.

Pasal IV.

Kedua Pihak Agung Jang Berdjandji menjetudjui, bahwa ba- rangsiapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut dalam pasal I, telah memilih kewarganegaraan Republik Indonesia me­nurut ketentuan2 Perdjandjian ini, dengan sendirinja kehilangan kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok, dan, bahwa barang- siapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut dalam pasal I, telah memilih kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok menurut ketentuan2 Perdjandjian ini, sendirinja kehilangan kewarganegara­an Republik Indonesia.

Pasal V .Kedua Pihak Agung Jang Berdjandji menjetudjui, bahwa ba- .

rangsiapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan jang tersebut dalam pasal I, tidak menjatakan pilihan kewarganegaraan dalam waktu dua tahun sebagai ditentukan dalam pasal II dianggap telah memilih kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia dari pihak bapaknja berketurunan Indonesia dan dianggap telah memilih ke­warganegaraan Republik Rakjat Tiongkok, apabila ia dari pihak bapaknja berketurunan Tionghoa.

Apabila orang itu tidak mempunjai hubungan hukum dengan bapaknja atau apabila tidak diketahui kewarganegaraan bapaknja, maka ia dianggap telah memilih kewarganegaraan Republik Indo­nesia, apabila ibunja dari pihak bapak berketurunan Indonesia dan dianggap telah memilih kewarganegaraan Republik Rakjat Tiong­kok, apabila ibunja dari pihak bapak berketurunan Tionghoa.

Pasal V I.Barangsiapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut

dalam pasal I, belum dewasa pada waktu Perdjandjian ini mulai berlaku, harus memilih kewarganegaraan dalam waktu satu tahun setelah ia dewasa.

Sementara belum dewasa orang tersebut diatas dianggap hanja mempunjai kewarganegaraan jang dipilih oleh orang tuanja atau oleh bapaknja menurut ketentuan2 Perdjandjian ini.

Apabila orang tersebut diatas tidak mempunjai hubungan hu­kum dengan bapaknja atau apabila bapaknja telah meninggal dunia sebelum menjatakan pilihan kewarganegaraan dalam waktu jang ditentukan ataupun apabila tidak diketahui kewarganegaraan bapak­nja, ia dianggap hanja mempunjai kewarganegaraan jang dipilih oleh ibunja menurut ketentuan2 Perdjandjian ini.

Apabila orang tersebut diatas setelah dewasa tidak memilih kewarganegaraan dalam waktu jang ditentukan dalam pasal ini, maka dia dianggap menurut kehendak sendiri telah memilih ke­warganegaraan jang diturutnja selama ia belum dewasa.

Pasal V II.

Barangsiapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut dalam pasal I, jang telah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dan kehilangan kewarganegaraan Republik Tiongkok, dengan sendirinja akan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia-nja, apabila ia, setelah meninggalkan wilajah Negara Republik Indonesia dan bertempat tinggal tetap diluar wilajah Negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Repu­blik Rakjat Tiongkok kembali atas kehendak sendiri.

Barangsiapa, jang mempunjai dua kewarganegaraan tersebut dalam pasal I jang telah memperoleh kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok dan kehilangan kewarganegaraan Republik Indo­nesia, dengan sendirinja akan kehilangan kewarganegaraan Repu­blik Rakjat Tiongkok-nja, apabila ia, setelah meninggalkan wilajah Negara Republik Rakjat Tiongkok dan bertempat tinggal tetap diluar wilajah Negara Republik Rakjat Tiongkok, memperoleh ke­warganegaraan Republik Indonesia kembali atas kehendak sendiri.

Pasal V III.Anak-anak jang dilahirkan diwilajah Negara Republik Rakjat

Tiongkok mempunjai kewarganegaraan Republik Indonesia sedjak waktu lahir, apabila orang tuanja ataupun hanja bapaknja mem­punjai kewarganegaraan Republik Indonesia.

Anak-anak jang dilahirkan diwilajah Negara Republik Indo­nesia mempunjai Kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok se­djak waktu lahir, apabila orang tuanja ataupun hanja bapaknja mempunjai kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok.

Pasal IX.

Seorang anak jang mempunjai kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok, apabila sebelum berumur lima tahun diangkat sah sebagai anak oleh seorang warganegara Republik Indonesia, memperoleh karena itu kewarganegaraan Republik Indonesia dan dengan sendirinja kehilangan kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkoknja.

Seorang anak jang mempunjai kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila sebelum berumur lima tahun diangkat sah sebagai anak oleh seorang warganegara Republik Rakjat Tiongkok mem­peroleh karena itu kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok dan dengan sendirinja kehilangan kewarganegaraan Republik Indo­nesia-nja.

Pasal X.Apabila seorang warganegara Republik Indonesia kawin de­

ngan seorang warganegara Republik Rakjat Tiongkok, maka

masing2 tetap memiliki kewarganegaraan jang dimilikinja sebelum kawin, terketjuali apabila salah satu dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan dari jang lain. Apabila ia memperoleh kewarganegaraan jang lain itu, dengan sendirinja, ia kehilangan kewarganegaraannja jang semula di­milikinja.

Permohonan jang tersebut diatas harus diadjukan kepada pe­tugas jang berwadjib dari Negara jang bersangkutan.

Pasal X I.

Kedua Pihak Jang Berdjandji menjetudjui demi perbaikan ke­adaan hidup warganegaranja masing2, jang berdiam dalam Negara pihak jang lain, mengandjurkan kepada warganegaranja masing2

jang berdiam dalam Negara pihak jang lain itu, jaitu warganegara Republik Indonesia jang berdiam dalam wilajah Negara Republik Rakjat Tiongkok dan warganegara Republik Rakjat Tiongkok jang berdiam dalam wilajah Negara Indonesia, supaja mereka meng­indahkan hukum dan adat-istiadat Negara dimana mereka berdiam dan tidak turut kegiatan2 politik dari Negara jang didiaminja.

Kedua Pihak Agung Jang Berdjandji menjetudjui saling me­lindungi menurut undang2 masing2 hak2 dan kepentingan2 jang sah dari warganegara pihak jang lain, jang berdiam dalam wilajah Negaranja.

Pasal X II.

Kedua Pihak Agung Jang Berdjandji menjetudjui, bahwa ten­tang soal2 pelaksanaan jang tidak diatur didalam Perdjandjian ini, dapat diadakan pertukaran pikiran diantara kedua pihak.

Pasal X III.

Apabila diantara kedua Pihak Jang Berdjandji timbul perse­lisihan didalam menafsirkan atau melaksanakan Perdjandjian ini, perselisihan itu akan diselesaikan dengan perundingan diantara kedua pihak.

Pasal X IV .

Perdjandjian ini akan disahkan oleh Kedua Pihak Agung Jang Berdjandji sesuai dengan tjara jang telah ditetapkan oleh „Un­dang2 Dasar” masing2 dan akan mulai berlaku pada hari penukaran pengesahan, jang akan dilangsungkan di Peking.

Perdjandjian ini berlaku untuk duapuluh tahun dan sesudah waktu itu berlaku terus terketjuali apabila salah satu pihak hendak memutuskannja. Kehendak itu harus diberitahukan dengan tertulis kepada pihak jang lain dan Perdjandjian ini akan berachir setahun setelah pemberitahuan itu disampaikan.

Untuk menjaksikannja, maka Wakil2 Berkuasa Penuh telah menandatangani Perdjandjian ini dan telah membubuhi pula me­terai mereka.

174

\

Dibuat dalam rangkap dua di Bandung, pada hari keduapuluh dua bulan April tahun seribu sembilan ratus limapuluh lima dalam bahasa Indonesia dan Tionghoa.

Naskah dalam kedua bahasa itu mempunjai kekuatan jang sama.

Untuk Republik Indonesia

SUNARIO

Menteri Luar Negeri

Untuk Republik Rakjat Tiongkok

CHOU EN-LAI

Menteri Luar Negeri

Jang Mulia,Peking, 3 Djuni 1955.

Pada tanggal 22 April 1955 Republik Rakjat Tiongkok dan Republik Indonesia telah menanda-tangani Perdjandjian mengenai soal Dwikewarganegaraan. Pada waktu Jang Mulia mengundjungi Republik Rakjat Tiongkok, kedua Pemerintah kita telah bertukar pikiran lebih landjut sepenuhnja di Peking tentang tudjuan dan tjara pelaksanaan Perdjandjian ini dan telah mentjapai persesuaian faham jang sekarang saja njatakan lagi sebagai berikut :

1. Tudjuan dari Perdjandjian mengenai soal Dwikewarga­negaraan tersebut diatas ialah menjelesaikan soal Dwikewarganega­raan antara Republik Rakjat Tiongkok dan Republik Indonesia, suatu masalah jang kita warisi dari djaman jang lampau dan penje- lesaian masalah adalah sesuai dengan kepentingan Rakjat kedua negara. Untuk mentjapai tudjuan tersebut diatas, kedua Pemerintah menjetudjui dalam melaksanakan Perdjandjian tersebut diatas, un­tuk mengambil segala tindakan-tindakan jang seperlunja dan mem­berikan segala kelonggaran sehingga segenap orang jang mem­punjai Dwikewarganegaraan dapat memilih kewarganegaraannja menurut kehendak sendiri.

2. Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok dan Pemerintah Republik Indonesia menjetudjui bahwa diantara mereka jang se­rempak berkewarganegaraan Republik Indonesia dan Republik Rakjat Tiongkok terdapat suatu golongan, jang dapat dianggap mempunjai hanja satu kewarganegaraan dan tidak mempunjai dwi­kewarganegaraan karena, menurut pendapat Pemerintah Republik Indonesia, kedudukan sosial dan politik mereka membuktikan bahwa dengan sendirinja (setjara implisit) telah melepaskan kewarganega­raannja Republik Rakjat Tiongkok.

175

Jang Mulia Mr. Ali Sastroamidjojo

Perdana Menteri Republik Indonesia P e k i n g .

Orang-orang jang termasuk golongan tersebut diatas, karena mereka mempunjai hanja satu kewarganegaraan, tidak diwadjibkan untuk memilih kewarganegaraan menurut ketentuan-ketentuan Per­djandjian Dwikewarganegaraan.

Djikalau dikehendakinja, seputjuk surat keterangan tentang ltu daPat diberikan kepada orang-orang sedemikian itu.

3. Untuk menghindarkan sesuatu salah faham mengenai ke- X?V3P berjakunja djangka waktu 2 0 tahun dalam pasal

P e m e r S an )ian, ‘"T * 9 3 1 1 * 9 3 1 7 3 3 1 1 -sebut diatas, kedua

jang sekali S ' „ “e J S ! h ' J st “ ¿“ „ g T p e ” -

dengan terSebut di^a s dilaksanakan

Djakarta suatu Panitia Re emermtah menjetudjui membentuk di

merintah Reoublik “ f ,anft terdiri dari wakil-wakil Pe-Tiongtok C l s F w T S dan P™=ri„,ah Republik Rak(at dan merentjanakan tiara ersama itu ialah memperbintjangkan

negaraan S u ? pdaksan3an Perdjandjian D w i k U a V

memilih kewar^mtSraan f1™ jang ditetapkan untukdari pada orang-orana ianrr m3 0 ^ . ^dukan jang sekarang ini akan berubah sampai dan kewarganegaraan tidak

warganegaraannja^esuai dennp u ” ereka “ ^ u k a n pilihan ke-tersebut diatas. n eterLtuan-ketentuan Perdjandjian

tudju dari Jang MuUa, m ^ k a ? emperoleh Pernjataan se-

akan merupakan suatu persesuai / u ' n dJawaban Jang MuliaPemerintah Republik G 0S aia^ faha^ jang telah ditjapai antara n i i ? tentang pelaksanaan p , enJeTintah Republik RakjattenafaeW r9ane9faraan dan akan mr,f Lan, Van men9 fenai masalahtepatan dengan waktu 1 pada waktu jang ber-

Kami memperaunalca i Perdjandjian tersebut diatas-

Pa ’“ 9 Mulia mi u„,„k menjatakan ke-

m 9 setinggi-tingginja.

J

CHOU EN LAI

Perdana Menteri Dewan N e g a r a

Republik Rakjat Tiongkok.

176 Peking, 3 Djuni 1955*

Jang Mulia,

K am i m e n ja takan bahw a kam i telah “ “ “ f “ “ “ t ' “ 9 '3

tertangga l 3 D ju n i 1955^ > a” 9 “ r ” b llk R ak ja t T iongkok dan

r

soal D w ikew arganegaraan . P a ° a p merintah kita telah bertukar

R epub lik R a k ja t T iongkok , ke u pek i tentang tud juan dan

p ik iran leb ih la n d ju t sePenu 1 . dan teiah mentjapai persesuaian

tja ra pe laksanaan P e rd jand jian sebaqai berikut :

faham ja n g sekarang sa ja ' ^ ^ ^ ^ ^ n g e n î ' s o d Dwikewarga-

1. T u d ju a n dari P e rd jand j* soal Dwikewarganega-

negaraan tersebut d iatas ia lah m ^nJ Han Republik Indonesia,

raan an ta ta R e p ub lik R ak ja t T ” " f t o m a n j a n g lam pau dan pe-

suatu m asa lah jan g k ita warisi d engan kepentingan rakjatn je lesa ian m asa lah itu ada lah sesuai ae g

kedua neqara. , . kedua Pemerintah' Untuk mentjapai tu^ uan i t Seperdjandjian tersebut diatas,

menjetudjui dalam melaksan nc[akan seperlunja dan mem-untuk mengambil segala tin<da Seqenap orang jang mem­berikan segala kelonggaran se: i 19 mernjlih kewarganegaraannja punjai D w i k e w a r g a n e g a r a a n

m enuru t kehendak sendiri.

Jang Mulia Chou En Lai Perdana Menteri D e w a n N e g a r a

Republik Rakjat T i o n g k o k

P e k i n q . rri. , i. j an Pemerintah. R e o u b l i k R a k j a t T i o n g k o k d s e _

Peking, 3 Djanuari 1955.

2.‘ "pemerintah B * ^ R£ £ U ’r£ S £

Rakjat Tiongkok terdf P J aaneqaraan dan tidak me®p,UIi eDUblik mempunjai hanja satu kewarg ¡¡t pendapat Peme" n^ L ^ ¿Lhwa kewarganegaraan karena, i politik mereka membuk i kIndonesia, kedudukan sosial dan. tdah melepaskanmereka dengan sendirinja \ ) t Tiongkok. tari>na^arganegaraannja R e p u ‘masuk golongan t ^ ^ k 'd i w a d j i b k a n

Orang-orang jang kewarganegaraan, ti . p eJ>te re k a mempunjai hanja satu k rut ketentuan-ketentu^ t u k memilih kewarganegaraandjandjian Dwikewarganegaraan. ^ keterangan tent g, Djikalau dikehendakmja, sep' J ng sedemikian itu.hal itu dapat diberikan kepad faham mengenai, 3. U ntuk menghindarkan “ ¿ tu 20 «hnn ^ m pasal^ « u a n tentang berlakunja f aa„ tersebut d,atas.* I V Perdjandjian Dwkewarganeg ^

Pemerintah menjetudjui tafsiran jang berikut, jaitu orang-orang jang sekali t’elah memilih kewargaegaraannja sesuai dengan Per- djandjian tersebut diatas, tidak akan diwadjibkan memilih lagi se­telah djangka waktu 2 0 tahun itu berachir.

4. Agar supaja Perdjandjian tersebut diatas dilaksanakan dengan memuaskan, kedua Pemerintah menjetudjui membentuk di Djakarta suatu Panitia Bersama jang terdiri dari wakil-wakil Pe­merintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok.

Tugas Panitia Bersama itu ialah memperbintjangkan dan me- rentjanakan tjara pelaksanaan Perdjandjian Dwikewarganegaraan tersebut diatas.

5. Sebelum djangka waktu dua tahun jang ditetapkan untuk memiilh kewarganegaraan berachir, kedudukan jang sekarang ini daripada orang-orang jang mempunjai Dwikewarganegaraan tidak akan berubah sampai dan setelah mereka melakukan pilihan ke- warganegaraannja sesuai dengan ketentuan- Perdjandjian tersebut diatas.

Djika hal-hal tersebut diatas memperoleh pernjataan setudju dari Jang Mulia, maka nota ini dan djawaban Jang Mulia akan merupakan persesuaian /aham jang telah ditjapai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok tentang pelaksanaan Perdjandjian mengenai masalah Dwikewarga­negaraan dan akan mulai berlaku pada waktu jang bertepatan dengan waktu mulai berlakunja Perdjandjian tersebut diatas.

Atas nama Pemerintah Republik Indonesia kami membenarkan hal-hal jang tertera didalam nota Jang Mulia. Nota Jang Mulia dan djawaban kami atas nota itu merupakan persesuaian faham jang telah ditjapai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok tentang pelaksanaan dari Perdjandjian mengenai masalah Dwikewarganegaraan dan akan mulai berlaku pada waktu jang bertepatan dengan waktu mulai berlakunja Perdjandjian tersebut diatas.

Kami mempergunakan kesempatan ini untuk menjatakan ke­pada Jang Mulia hormat kami setinggi-tingginja.

ALI SA ST RO A M ID JO JO

Perdana Menteri

Republik Indonesia.

178

PERATURAN PEN GU ASA MILITER No. Prt/PM/09/1957, tentang

KE W ARGAN EGARAAN . *)

KEPALA STAF ANGKATAN DARAT SELAKU PENGUA­SA M ILITER ATAS DAERAH ANGKATAN DARAT

DISELURUH W ILA JA H INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk kepentingan keamanan perlu diadakanbeberapa ketentuan mengenai kewarganegaraan ;

Mengingat : Regeling op den Staat van Oorlog en van Beleg,Stbl. tahun 1939 No. 582 (sebagaimana telah diubah dan ditambah) pasal 37 ;

Mendengar : Saran-saran Kementerian Kehakiman ;

M e m u t u s k a n :

Menetapkan : Peraturan tentang „Beberapa hal mengenai ke­warganegaraan”, sebagai berikut :

Pasal 1.

( 1 ) Barang siapa oleh instansi resmi harus membuktikan bahwa ia warganegara Republik Indonesia harus minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnja untuk menetapkan apa­kah ia warganegara Republik Indonesia atau tidak, menurut atjara perdata biasa.

Pengadilan Negeri menetapkan dalam tingkat pertama dan terachir. Sebelum mengambil penetapan Pengadilan Negeri men­dengar pegawai Djawatan Imigrasi dan djika tidak ada pegawai tersebut mendengar Djaksa.

(2) Ketentuan ajat (1) tidak mengurangi ketentuan chusus dalam peraturan lain, apabila ketentuan peraturan lain itu meng­hendaki penetapan oleh pengadilan jang lebih tinggi dari Peng­adilan Negeri.

Pasal 2.

Seorang warganegara Republik Indonesia, jang mempunjai paspor atau surat jang bersifat paspor dari negara asing atas nama- nja dan masih berlaku, dianggap bukan warganegara Republik Indonesia lagi.

1) Dengan berlakunja Undang2 Keadaan Bahaja 1957 (no. 74, L.N. 1957/160; TLN 1957/1485) maka sedjak 17 April 1958 peraturan in i tidak berlaku lagi. Tetapi kemudian peraturan in i dengan teks bersamaan telah dihidupkan kem­bali. (Lihat misalnja surat-keputusan Kepala Staf Angkatan Laut ttg. 16 April 1958 no. Z. 1/1/5, B.N. 1958 no. 37, sebagai pengganti P.P.M.-K.S.A.L. tg. 25 D ju li 1957 no. A 21/2/15 tentang beberapa hal mengenai kewarganegaran).

Pasal 3.

Seorang perempuan asing jang kawin dengan seorang warga- negara Republik Indonesia sesudah tanggal 27 Desember 1949 di­perlakukan sebagai warganegara Indonesia setelah ia mendapat ketetapan dari Menteri Kehakiman.

Pasal 4.

Peraturan Penguasa Militer ini mulai berlaku pada hari di­umumkan.

Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintah­kan Pengumuman Peraturan Penguasa Militer ini dengan penem­patan dalam Berita Negara Republik Indonesia, surat-surat kabar dan pengumuman dalam siaran Pemerintah Radio Republik Indo­nesia.

Dikeluarkan di Djakarta,

pada tanggal 4-6-1957

Kepala Staf Angkatan Darat

Selaku Penguasa Militer,

A. H. N ASU T ION .

Diumumkan

pada tanggal 4-6-1957.

180

P E N D J E i /a S A N

20

PE RAT U R AN PE N G U ASA MILITER No. Prt./PM/09/1957

Pendjelasan umum.

Hingga sekarang kita belum mempunjai peraturan kewarga- negaraan sendiri.

Siapa sekarang warga-negara itu ditentukan oleh peraturan- peraturan jang dulu, dan peraturan-peraturan itu kini sudah tidak berlaku lagi, atau tidak mengatur hal-hal jang terdjadi sesudah 27 Desember 1949.

Meskipun juridis ada ketentuan siapa sekarang warga-negara, namun untuk mengetahui dalam praktek apakah seseorang warga- negara Indonesia atau tidak adalah sukar, lagi pula tidak ada ketentuan peraturan jang menundjuk instansi mana jang wenang menetapkan kewarga-negaraan seseorang pada umumnja ; padahal penetapan atau pembuktian kewarga-negaraan sangat diperlukan.

Hal-hal terdjadi sesudah 27 Desember 1949 ialah mengenai kehilangan dan memperoleh kewarga-negaraan Indonesia.

Untuk kepentingan keamanan perlu sekali ada ketentuan dalam hal mana seorang warga-negara Indonesia, dianggap warga-negara Indonesia lagi ; dan dalam mana seorang asing boleh diperlakukan sebagai warga-negara Indonesia.

Pendjelasan pasal demi pasal. i

Pasal 1 .

Pasal ini menundjuk Pengadilan Negeri sebagai instansi jang wenang menetapkan apakah seseorang warga-negara Indonesia atau tidak. Tidaknja ditundjuk instansi lain ialah karena penetapan itu berdasarkan ketentuan-ketentuan juridis.

Dalam pada itu supaja Pengadilan Negeri tidak dibandjiri dengan permintaan-permintaan untuk menetapkan kewarga-nega- raan, maka kewadjiban Pengadilan Negeri untuk menetapkan di­batasi pada hal orang jang minta itu diharuskan membuktikan kewarga-negaraan Indonesianja oleh suatu instansi resmi.

Apabila suatu peraturan chusus menundjuk Hakim jang lebih tinggi (misalnja Undang-undang pengawasan orang asing, jang menundjuk Pengadilan Tinggi), maka peraturan chusus itu tetap berlaku.

Pasal 2.Seorang jang karena perbuatannja dapat menundjukkan bah­

wa ia kurang menghargakan kewarga-negaraan Republik Indonesia, hendaknja dalam keadaan darurat 'perang sekarang .ini dianggap bukan warga-negara Republik Indonesia lagi.

181

Dengan belum adanja peraturan kewarga-negaraan status isteri perkawinan sesudah 27 Desember 1949 belum diatur.

Untuk mentjegah anggapan seakan-akan seorang perempuan asing jang kawin dengan seorang warga-negara Indonesia, dengan sendirinja mendjadi warga-negara Indonesia, maka pasal ini meng­adakan sjarat dalam mana orang perempuan asing itu dapat diper­lakukan sebagai warga-negara Indonesia, dengan tidak memper­soalkan apakah ia juridis warga-negara Indonesia atau bukan.

Pasal 3.

21

PERATURAN PE N G U ASA MILITER No. 756/P.M.T./1957

tentang „Perubahan dan Tambahan Aturan Bea Meterai 19 21”,

B.N. 1957 No. 71.M ENTERI PERTAHANAN

SELAKU PENGUASA M ILITER T ERT IN GG I ;

Menimbang : bahwa berhubung dengan keadaan keuangan negara, dianggap perlu untuk memungut bea atas surat permohonan untuk memperoleh surat keterangan kewarga-negaraan Republik Indonesia :

bahwa berkenaan dengan hal tersebut, perlu diadakan per­ubahan dan tambahan Aturan Bea Meterai 1921 ;

bahwa karena keadaan mendesak perubahan dan tambahan Aturan Bea Meterai 1921 tersebut perlu segera diadakan ;

Mengingat :

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia tahun 1957 No.40 tentang pernjataan keadaan darurat perang atas se­luruh wilajah Negara Republik Indonesia ;

2 . Regeling op den Staat van Oorlog en van Beleg Stbl. tahun 1939 No. 582 (sebagaimana telah diubah dan di­tambah kemudian) pasal 37 ;

3. Peraturan Pemerintah tahun 1954 No. 55 (sebagaimana telah diubah dan ditambah kemudian) tentang penundjuk- an penguasa-penguasa militer, pasal 2 angka 1 ;

4. Peraturan Penguasa Militer Kepala Staf Angkatan Darat, tanggal 4 Djuni 1957 No. Prt./P.M ./09/1957 tentang i „Beberapa hal mengenai kewarga-negaraan”.

5. Aturan Bea Meterai 1921, sebagaimana telah diubah dan ditambah, terachir dengan Undang-Undang tahun 1956 No. 33 (Lembaran-Negara tahun 1956 No. 78) tentang penghapusan ordonansi Staatsblad 1946 No. 115 dan pembebasan bea meterai, padjak pendapatan dan padjak

182

perseroan untuk hal-hal tertentu tentang pembebasan modal dari perseroan dan persekutuan ;

Mendengar : Saran-saran Kementerian Keuangan ;

M e m u t u s k a n :

Menetapkan Peraturan tentang : „Perubahan dan tambahanAturan Bea Meterai 1921”, sebagai berikut:

Pasal 1.

Aturan Bea Meterai 1921, sebagaimana telah diubah dan di­tambah, terachir dengan Lembaran-Negara tahun 1956 No. 7t8, diubah dan ditambah lagi seperti berikut :

I. Dalam Bab V, sesudah nomer 1 2 , ditambah :„13. permohonan untuk memperoleh surat keterangan

kewarga-negaraan”.

II. Dalam pasal 45, sesudah nomer 1 2 , ditambah :„13. (1) Surat permohonan untuk memperoleh surat

keterangan kewarga-negaraan, untuk setiap orang jang namanja disebutkan dalam permo­honan itu, dikenakan bea tetap :a. seribu rupiah untuk setiap orang dewasa :b. lima ratus rupiah untuk setiap orang jang

belum dewasa ;c. tudjuh ratus lima puluh rupiah untuk se­

orang perempuan Asing jang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia sesudah tanggal 27 Desember 1949.

(2) Bea tersebut dikembalikan kepada pemohon surat keterangan kewarga-negaraan :le. djika surat keterangan jang berkenaan

tidak diberikan, atau 2 e. djika pemohon ternjata tidak mampu.

(3) Barangsiapa jang telah mempunjai surat ke­terangan kewarga-negaraan pada saat sebelum berlakunja peraturan ini, jang diberikan kepa- danja oleh pengadilan negeri atau pengadilan jang lebih tinggi, harus menjatakan setjara tertulis kepada instansi-instansi termaksud ten­tang penerimaan surat keterangan tersebut.

(4) Surat pernjataan penerimaan surat keterangan kewarga-negaraan jang dimaksud pada ajat(3) dikenakan bea tetap untuk setiap orang jang namanja disebutkan dalam surat kete­rangan kewarga-negaraan jang diberikan ke- padanja, seperti ditentukan dalam ajat ( 1 ), ketjuali djika jang berkenaan tidak mampu.

183

'l

(5) Dalam hal orang jang bersangkutan tidak me- ; masukkan surat pernjataan penerimaan te but diatas, maka untuk melakukan Peratura\ ■ ini tanda penjerahan atau tjatatan menge penjerahan surat keterangan kewarga-negar - an jang ada pada instansi-instansi jang lS pada ajat (3 ), dianggap sama dengan su

pernjataan penerimaan itu.

III. Dalam pasal 47, sesudah ajat (2), disisipkan:„(2a). Dengan tidak mengurangi ketentuan pada ajat ^ bea meterai atas surat permohonan dan surat pernjataa

' penerimaan jang disebutkan masing-masing dalam PaS45 ke-13 ajat (1) dan (4) harus dilunasi dengan mempe - gunakan surat kuasa untuk menjetor di Kas Negara .

' , IV. Dalam pasal 47, sesudah ajat (3), disisipkan:,,(3a). Menjimpang dari ketentuan pada ajat (3). ojJK bea masing-masing menurut pasal 45 ke-13 ajat (4) dan(5) tidak dilunasi menurut tjara jang ditetapkan sarnpaJ djumlah jang terutang, maka dikenakan denda masing' masing sebanjak dua ganda dan empat ganda dari keku- ■ rangan djumlah bea tersebut”. '

Pasal 2.

Peraturan Penguasa Militer ini mempunjai daja surut, mula* berlaku pada tanggal 4 Djuni 1957. ;

Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja memerintahkan f pengumuman Peraturan Penguasa Militer ini dengan penempat3 1 1

dalam Berita-Negara Republik Indonesia, surat-surat kabar dan pengumuman dalam siaran Pemerintah Radio Republik Indonesia- .

Diumumkan pada tanggal: ^

14 Agustus 1957.Dikeluarkan di Djakarta

pada tanggal 14 Agustus 1957.

Menteri Pertahanan

Selaku Penguasa Militer TertingiP’

D JU AN D A. v

184

PENDJELASAN PERATURAN PENGUASA MILITER TERTINGGI

tanggal H Agustus 1957 No. 756/P.M.T./1957

tentang :

»Perubahan dan Tambahan Aturan Bea Meterai 1921”.

PENDJELASAN UMUM.

War ? er^ j bun9 dengan keadaan keuangan negara jang mengcha- , an dewasa ini telah diambil tindakan-tindakan jang dianggap

er u oleh Pemerintah baik dilapangan penerimaan maupun dila- Pangan pengeluaran negara.

Oleh karena tarip-tarip padjak jang telah ada tidak dapat erus menerus dinaikkan begitu sadja dengan tidak membahajakan

L ef aan alat-alat produksi didalam negeri dan/atau menambah e~*an rakjat tergolong ekonomis lemah, maka oleh Pemerintah

m d a k a n kearah penaikan tarip-tarip tersebut harus dilakukan se-nemat-hematnja.

Maka oleh karena itu oleh Pemerintah dalam rangka usahanja untuk memperbesar penerimaan negara ditjari djalan lain seperti

maksud dalam peraturan ini jakni memungut bea dari surat per- j?°honan untuk memperoleh surat keterangan kewarga-negaraan Republik Indonesia, jang pada hakekatnja disebabkan besarnja bea tersebut merupakan suatu padjak berhubung dengan pemberian Surat izin (vergunning).

' Oleh karena dengan peraturan baru ini padjak berkenaan di­akui oleh golongan jang ekonomis kuat, maka dengan demikian dapat dihindarkan penambahan beban pada golongan jang ekono-mis lemah.

Walaupun demikian dengan pemungutan bea tersebut tidak berarti golongan ekonomis kuat periodik harus memikul beban itu, °*eh karena dikandung maksud untuk mengadakannja hanja sekali sadia (eenmalig).

PENDJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1.

A d. I. Tjara meminta keterangan kewarga-negaraan Repu- £Iik Indonesia ialah menurut saluran dan sesuai dengan Peraturan lQen9uasa Militer Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 4 Djuni 1 9 5 7 No. Prt./P.M./09/1957 tentang kewarga-negaraan.

Ad. II Dikandung maksud agar supaja setiap orang jang na«ianja tertjantum didalam surat permohonan jang bersangkutan *fe«ibajar seribu rupiah atau lima ratus rupiah menurut patokan ae^asa atau tidak Ditilik dari sudut keadilan, maka adalah pada feniPatnja, djika permohonan seseorang untuk memperoleh surat .^rga-neaaraan ditolak oleh instansi jang berwenang untuk itu, ntuk mengembalikan bea jang telah dilunasi.

185

Demikian djuga pengembalian bea tadi dilakukan dalam hal jang bersangkutan — jakni setiap orang jang namanja tertjantum didalam surat permohonan itu — ternjata tidak mampu.

Untuk mentjegah hal-hal jang tidak diinginkan, maka walau­pun seseorang termasuk tidak mampu, untuk mulanja tidak dike- tjualikan dari pembajaran bea termaksud.

Djika setelah itu ternjata dari surat keterangan Kepala Daerah Setempat, bahwa ia benar tidak mampu, maka djumlah jang telah ia bajar dikembalikan.

Untuk mentjegah supaja seseorang jang telah mempunjai surat keterangan kewarga-negaraan pada saat sebelum berlakunja per­aturan ini luput dari pembajaran djumlah jang ditentukan dan luput pula dari pengenaan padjak bangsa asing (oleh karena ia bukan orang asing) jang direntjanakan bersamaan dengan peraturan ini dikeluarkan, sedang disamping itu tidak dapat pula dilakukan „nazegeling” menurut pasal 20 Aturan Bea Meterai 1921, oleh karena peraturan ini tadinja tidak ada. Dengan demikian ia tidak ada melakukan pelanggaran Aturan Bea Meterai 1921.

Dengan maksud agar supaja dalam hal ini orang termaksud dapat djuga disuruh membajar djumlah jang ditentukan, maka ia disuruh memasukkan surat pernjataan kepada instansi-instansi jang berkenaan tentang penerimaan surat keterangan tersebut. Surat pernjataan penerimaan ini dikenakan bea tetap sesuai dengan tjara pemungutan bea terhadap surat permohonan tersebut diatas. Hanja dalam hal ini tidak mampu dapat ia lampirkan sekali pada surat pernjataan penerimaan berkenaan, surat keterangan dari Kepala Daerah Setempat.

Ad. III. Dari semua tjara melunasi bea meterai dipilih tjara penglunasan berkenaan dengan djalan mempergunakan surat kuasa untuk menjetor di Kas Negara, satu dengan lain untuk menghin­darkan pemalsuan meterai, djika dipergunakan meterai untuk mem­bajar dalam djumlah besar.

Ad. IV. Sanksi dari tidak atau tidak tjukup melunasi bea dari suatu surat permohonan, adalah tidak dipertimbangkan per- mohonannja. Oleh karena itu dalam hal surat pernjataan penerima­an atau tanda penjerahan/tjatatan mengenai penjerahan surat ke­terangan kewarga-negaraan jang telah dimiliki pada saat sebelum peraturan ini berlaku tidak atau tidak tjukup dilunasi bea jang terutang, harus diadakan sanksinja, ialah berupa denda masing- masing sebesar dua dan empat ganda dari bea tersebut.

Pasal 2 .Peraturan Penguasa Militer ini mempunjai daja surut, berlaku

pada tanggal 4 Djuni 1957, jalah tanggal mulai berlakunja Per­aturan Penguasa Militer Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 4

Djuni 1957 No. Prt./P.M./09/57 tentang ,,Beberapa hal mengenai kewarga-negaraan”, agar supaja dapat mulai berlaku bersamaan.

Selandjutnja tidak memerlukan pendjelasan.

186

Kementerian Pertahanan. Surat keterangan kewarga-negaraan.

23

PERATU RAN PE N GU ASA MILITER N o .: 875/PMT/1957

tentang„Perubahan dari Peraturan Penguasa Militer No.: 756/PMT/1957,

tgl. 14 Agustus 1957, tentang Perubahan dan Tambahan Aturan Bea Meterai 1921, BN 1957 No. 87.

M ENTERI PERTAHANAN selaku

PENGUASA M ILITER ATAS SELURUH W ILA JA H INDONESIA .

Menimbang :bahwa perlu mengadakan perubahan dalam Peraturan Pengua­

sa Militer No. 756/PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957, agar lebih sesuai dengan maksud dan tudjuan dikeluarkannja Peraturan ter­sebut, satu dan lain dalam hubungannja dengan tindakan2 keaman­an dan ketertiban umum Negara Republik Indonesia ;

Mengingat:1 . Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 40 tahun 1957 ;2 . Regeling op de Staat van Oorlog en van Beleg (Staatsblad

1939, No. 582) sebagaimana diubah dan ditambah kemudian, pasal 6 , 35 dan 37 ;

3 . Peraturan Pemerintah tahun 1955 No. 55, sebagaimana diubah dan ditambah kemudian, pasal 2 angka 1 ;

4. Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. 756/ PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957;

M EM UTUSKAN :

Menetapkan :„PERATURAN TENTANG PERUBAHAN DARI PER­AT U RA N PENGUASA M ILITER No. 756/PMT/1957, TAN G G A L 14 AGUSTUS 1957, TENTANG PERUBAH­AN DA N TAM BAHAN ATURAN BEA M ETERAI 1921”

sebagai berikut:

Pasal 1.

I. Merubah Konsiderans dari Peraturan Penguasa Militer No.: 756/PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957 jang mengenai Pertim­bangan, sehingga berbunji sbb.:

Menimbang :bahwa dalam rangka tindakan2 untuk kepentingan keamanan

Negara, perlu diatur pelaksanaan dari pada Peraturan Penguasa Militer/K.S.A.D. No. : Prt/PM/09/1957, tgl. 4 Djuni 1957 ten­tang „Beberapa hal mengenai kewarga-negaraan” ;

187

bahwa perlu pula mengatur hal2 jang mengenai segi keuangan sebagai akibat daripada pelaksanaan Peraturan Penguasa Militer tersebut diatas setjara sentral dengan djalan mengubah dan me­nambah Aturan Bea Meterai 1921, perubahan dan penambahan mana harus dengan segera diadakan oleh karena keadaan men­desak ;

II. Mengubah Pasal 1 (II) 13. (2 ) dari Peraturan Penguasa Militer No. : 756/PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957, sehingga ber- bunji sbb. :

(2 ) 1 . Bea tersebut dikembalikan kepada pemohon surat ke­terangan kewarga-negaraan, djika surat keterangan jang berkenaan tidak diberikan.2. Djika pemohon tidak mampu, ia dibebaskan dari pem- bajaran bea meterai tersebut, dengan ketentuan bahwa Negara mempunjai hak tagih selama 5 (lima) tahun atas pembajaran bea meterai itu, terhitung dari tanggal surat pernjataan tidak mampu jang cliberikan kepadanja, djika dalam waktu itu ternjata sipemohon bukan tergolong tidak mampu lagi.

III. Mengubah pasal 1 (II) 13. (3) dari Peraturan Penguasa Militer No. 756/PMT/1957, tg. 14 Agustus 1957, sehingga ber- bunji sebagai berikut:

(3) Barangsiapa jang telah mempunjai surat keterangan ke­warga-negaraan pada saat sebelum dikeluarkannja Instruksi Men­teri Pertahanan selaku Penguasa Militer untuk melaksanakan Per­aturan ini sesuai dengan pasal 1 (V ), jang diberikan kepadanja oleh sesuatu instansi Pemerintahan jang ditundjuk untuk ini, harus menjatakan setjara tertulis kepada instansi2 termaksud tentang pe­nerimaan surat keterangan tersebut.

Pasal 2.

I. Menambah Peraturan Penguasa Militer No. 756/PMT/ 1957 tgl. 14 Agustus 1957, Pasal 1 (IV ), dengan satu alinea sbb. :

„(3b) Pula menjimpang dari ketentuan pada ajat (3), djika dalam hal Negara menggunakan hak tagih sesuai dengan ketentuan terachir dari pasal 1 (II) 13.

(2 ) 2 . bea tersebut tidak dilunasi menurut tjara jang ditetap­kan sampai.djumlah jang terutang, maka dikenakan denda sebanjak dua ganda dari kekurangan djumlah bea tersebut”.

II. Menambah Peraturan Penguasa Militer No. 756/PMT/ -957 tgl. 14 Agustus 1957, pasal 1 , dengan:

V . Hal2 jang mengenai pelaksanaan dari Peraturan ini diatur dalam suatu Instruksi Menteri Pertahanan selaku Penguasa Militer.

188

Pasal 3.

Peraturan Penguasa Militer ini mempunjai daja surut, mulai berlaku pada tanggal 4 Djuni 1957.

Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan pengumuman Peraturan Penguasa Militer ini dengan penempatan dalam Berita Negara Republik Indonesia, surat2 kabar dan peng­umuman dalam siaran Pemerintah, Radio Republik Indonesia.

Dikeluarkan di : Djakarta. Pada tanggal: 10-10-1957.

M ENTERI PERTAHANAN selaku

PENGUASA MILITER, ttd.

(DJUANDA).

Diumumkan pada tanggal*: 10-10-1957.Sesuai dengan aselinja Kementerian

Pertahanan Bagian Umum Pd. Kepala Biro Tata Usaha,

ttd.

(SOEDARSONO).

24

P E N D J E L A S A N

PERATURAN PENGUASA M ILITER/ M ENTERI PERTAHANAN

No.: III/7/PMT/1957 ; B.N. 1957 No. 87.

1 . Adapun Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan, No. 756/PMT/1957 tgl. 14 Agustus 1957 itu bermaksud untuk mengatur pelaksanaan dari sesuatu Peraturan Penguasa M i­liter jang terdahulu, jaitu Peraturan Penguasa Militer/KSAD, No. Prt/PM/09/1957 tertanggal 4 Djuni 1957, jang memuat suatu kelandjutan tindakan2 dalam rangka mendjamin dan mempertahankan keamanan dan ketertiban umum. Karena da­lam hal permintaan surat keterangan kewarganegaraan dirasa perlu untuk memberikan suatu aturan umum, termasuk segi keuangan jang timbul dalam persoalan itu, sehingga terdapat persamaan diseluruh daerah2 kekuasaan Penguasa Militer Daerah, maka dikeluarkanlah Peraturan Penguasa Militer jang tersebut terdahulu diatas.

189

Berhubung dengan tindakan2 kean/anan tadi, dirasa perlu untuk merobah bahagian konsiderans dari Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan tadi sehingga disesuaikan dengan usul-maksud semula.

Prosedure mengenai pembajaran bea meterai bagi golongan tidak-mampu perlu pula diubah, sehingga lebih mudah dan lantjar dalam pelaksanaannja. Karena keadaan tidak-mampu ini adalah suatu keadaan jang mungkin berubah, maka Negara masih memegang hak untuk selama 5 tahun menagih pem­bajaran bea-meterai tersebut, djika kemudian ternjata bahwa jang bersangkutan sudah tidak lagi dapat dianggap termasuk golongan tidak-mampu.

Daja-surut dari peraturan ini, setjara garis besarnja ialah se- djak tanggal dikeluarkannja ataupun berlakunja Instruksi Menteri Pertahanan jang mengatur pelaksanaan dari Peraturan Penguasa Militer ini, dirangkaikan pada Peraturan Penguasa Militer/KSAD No. Prt./PM/09/1957 tgl. 4 Djuni 1957, di­hitung surut kembali. Instruksi ini akan segera menjusul.

Setiap orang jang sebelum tanggal berlakunja Instruksi itu nanti telah pernah mendapat suatu surat keterangan ke- warganegaraan dari instansi2 Pemerintahan jang ditundjuk untuk ini, harus memenuhi ketentuan2 mengenai berlaku surat Peraturan ini seperti tertjantum dalam Pasal 1 (III).

Pun mengenai besarnja denda, dalam hal seorang jang semu- lanja tidak mampu, selama djangka waktu 5 tahun itu ternjata tidak lagi dapat dianggap tidak mampu, dan ditagih oleh Negara tetapi tidak melunaskan bea tersebut, perlu ditentukan disini.Achirnja untuk memperlakukan peraturan Penguasa Militer ini, jang pula dihubungkan dengan Peraturan Penguasa Militer/ KSAD tersebut diatas, perlu dikeluarkan suatu instruksi chusus oleh Menteri Pertahanan selaku Penguasa Militer, jang meng­atur tjara2 permintaan surat Keterangan Kewarga-negaraan serta pembajaran bea-meterai atas surat permohonannja.

Kementerian Pertahanan Surat Keterangan

Kewarganegaraan.

I N S T R U K S I No. : III/7/PMT/1957 ; B.N. 1957 No. 87.

M EN TERI PERTAHANAN SELAKU PENGUASA MILITER

ATAS SELURUH W ILAJAH INDONESIA

Menimbang :

Bahwa perlu mengatur tjara2 permintaan surat keterangan ke- warga-negaraan seperti jang dimaksud oleh Peraturan Penguasa Militer/K.S.A.D. No. : Prt./PM/09/1957, tgl. 4 Djuni 1957, dan tjara2 pembajaran bea-meterai atas surat permohonan untuk mem­peroleh surat keterangan kewarga-negaraan tersebut seperti jang ditetapkan dalam Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan, No. 756/PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957, sebagaimana diubah dan ditambah kemudian ;

Mengingat:1 . Regeling op de Staat van Oorlog en van Beleg, Stbl. 1939 No.

582, (seperti diubah dan ditambah kemudian), pasal 35 dan 37;2. Peraturan Penguasa Militer/K.S.A.D. No. Prt./PM/09/1957

tgl. 4 Djuni 1957 : tentang „Beberapa hal mengenai kewarga­negaraan”.

3. Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. : 756/ PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957, tentang „Perubahan dan tambahan Aturan Bea Meterai 1921”.

4 . Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. : 875/ PMT/1957 tgl. 10 Oktober 1957, tentang „Perubahan dari Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan, No. 756/ PMT/1957”.

Mendengar :Saran2 Kementerian Kehakiman, Kementerian Keuangan, Ke-

menterian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :„INSTRUKSI BAGI PEDJABAT 2 R E S M I; CHUSUS PA­

M O N G PRADJA, INSPEKSI KEUANGAN, KAS NEGARA, PARA HAK IM DAN KEPALA 2 PERW AKILAN REPUBLIK IN D O N ES IA D ILUAR NEGERI, untuk memperlakukan PER­ATURAN PENGUASA MILITER/K.S.A.D. No. Prt/PM /09/ 1957, tgl. 4 Djuni 1957, dan PERATURAN PENGUASA M ILI­TER /M EN T ER I PERTAHANAN, N o .: 756/PMT/1957 tgl. 14 Agustus 1957 sebagaimana diubah dan ditambah kemudian dengan Peraturan Penquasa Militer Menteri Pertahanan, No. 875/PMT/ 1957 tgl. 10 Oktober 1957”.

25

191

sebagai berikut:

BAB I : DAR I HAL INSTANSI RESM I

Pasal 1 .Instansi resmi jang berwenang untuk meminta pembuktian ke­

warga-negaraan Indonesia menurut Peraturan Penguasa Militer/ K.S.A.D. No. : Prt/PM/09/1957, ialah Instansi resmi, jang dalam mendjalankan tugasnja, berdasar atas suatu peraturan jang sjah mengenai lapangan pekerdjaannja, harus mengetahui apakah se­seorang itu warganegara Indonesia atau tidak, satu dan lain ber­hubung sesuatu kepentingan jang dirangkaikan pada hal pembedaan warga-negara atau bukan-warga-negara.

Pasal 2.Pembuktian kewarga-negaraan Indonesia itu hanja dimintakan

oleh Instansi resmi, djika kewarga-negaraan jang berkepentingan itu disangsikan, karena tidak djelas dapat diketahui dari tanda2

luar maupun dari surat2, ataupun disangsikan karena hal2 lain.

BAB I I : DARI HAL PERM O H O N A N D IDALAM NEGERI.

Untuk permohonan surat keterangan kewarga-negaraan jang ciimadjukan oleh jang berkepentingan jang berada didalam Negeri berlaku atjara sebagai berikut:

. Pasal 3.Instansi resmi jang meragu-ragukan kewarga-negaraan sese­

orang jang sedang berurusan dengan instansi resmi tersebut untuk sesuatu kepentingan, meminta pembuktian kewarga-negaraan itu dengan tjara memberi ,,surat penundjukan” sebagai tjontoh ter- 'ampir, kepada jang berkepentingan untuk dibawa kepada Hakim Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 4.

(1) Dengan melampirkan surat penundjukan tersebut, maka jang berkepentingan mengadjukan surat Permohonan kepada Ha­kim Pengadilan Negeri setempat, untuk diberi surat keterang­an kewarga-negaraan.

(2) Pendaftaran dilakukan pada Panitera Pengadilan Negeri jang bersangkutan, disertai dengan pembajaran ongkos-pengadilan sebanjak Rp. 60.—■ (enampuluh rupiah).

(3) Untuk ini diberikan surat tanda pembajaran oleh Panitera Pengadilan Negeri tersebut.

(4) Dengan pendaftaran tadi, permohonan jang berkepentingan dimasukkan dalam daftar perkara-perkara (rol).

Pasal 5.‘ Djika Hakim berpendapat, bahwa instansi resmi jang mem­

berikan surat penundjukan itu bukan instansi resmi seperti jang

192

dimaksud oleh Peraturan Penguasa Militer/K.S.A.D. No. Prt/09/ 1957 sebagaimana didjelaskan dalam Instruksi ini, maka ia (Hakim) dapat menolak penundjukan tersebut.

Pasal 6 .Jang berkepentingan, dengan memperlihatkan surat tanda pem-

bajaran dari Panitera Pengadilan Negeri, meminta Surat-kuasa untuk menjetor kepada Inspeksi Keuangan jang meliputi daerah dimana ia bertempat-tinggal.

Pasal 7.( 1 ) Setelah Surat-kuasa untuk menjetor diberi oleh Inspeksi Ke­

uangan jang bersangkutan, jang berkepentingan melunaskan bea-meterai jang dikenakan atas surat permohonannja se~ banjak djumlah jang diperhitungkan untuk tiap2 nama jang tertjantum dalam surat permohonan tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. 756/PMT/1957, sebagaimana diubah dan ditambah, pada Kas Negara setempat.

(2 ) Pembajaran sebanjak djumlah jang dikenakan tersebut diatas dilakukan sekali gus.

(3) Pembajaran bea-meterai ini tidak dapat dilakukan denganmeterai tempel, tetapi hanja setjara jang tersebut diatas tadi.

(4 ) Pedjabat Kas Negara membubuhi tanda lunas pada surat-kuasa untuk menjetor tadi.

Pasal 8 .( 1 ) Dengan surat-kuasa untuk menjetor jang telah dibubuhi tanda

lunas tsb. jang berkepentingan kembali kepada Hakim Peng­adilan Negeri setempat, untuk melaporkan hal pembajaran lunas tadi.

\2) Setelah pelaporan diatas, Hakim Pengadilan Negeri jang ber­sangkutan dapat memeriksa permohonan jang berkepentingan.

Pasal 9.Hakim, dengan perantaraan Djuru-sita, memberitahukan ke­

pada sipemohon tentang waktu dan tempat ia (Hakim) akan meng­adakan sidang untuk memeriksa permohonan dari sipemohon.

Pasal 10.Untuk pemeriksaan dalam sidang tersebut diatas berlaku atjara

perdata jang lazim untuk surat2 penetapan Hakim.

Pasal 11.Dalam mempertimbangkan permohonan jang berkepentingan.

Hakim wadjib karena djabatannja menambah dasar2 hukum, jang oleh jang berkepentingan tidak atau lupa dimadjukan.

Pasal 12.( 1 ) Sebelum mengambil penetapan, Hakim mendengar pegawai

Djawatan Imigrasi; ditempat dimana pegawai ini tidak a'da. Hakim mendengar Djaksa.

(2) Keterangan dari D jawatan Imigrasi atau D jaksa tersebut hanja merupakan bahan pertimbangan untuk Hakim.

Pasal 13.

( 1 ) Dalam hal Hakim meluluskan permohonan jang berkepenting­an, ia (Hakim) menetapkan hal tersebut dengan memberikan suatu keterangan kewarga-negaraan Indonesia kepadanja.

(2) Panitera Pengadilan Negeri jang bersangkutan mentjatat tentang hal penetapan ini dalam suatu daftar chusus untuk ini.

Pasal 14.

( 1 ) Dalam hal Hakim menolak permohonan jang berkepentingan, ia (Hakim) menetapkan hal tersebut dengan menjatakan penolakan ini dalam sidang.

(2) Kepada jang berkepentingan diberikan surat penetapan pe­nolakan atas permohonannja ; atas dasar penolakan ini ia dapat meminta pembajaran kembali dari bea-meterai jang telah disetor olehnja dengan tjara jang lazim berlaku pada Inspeksi Keuangan.

(3) Panitera Pengadilan Negeri jang bersangkutan mentjatat ten­tang hal penolakan ini dalam suatu daftar chusus untuk ini.

(4) Tiap2 diadakan penolakan, Panitera Pengadilan Negeri me­ngirim tembusan surat penolakan tersebut kepada Kementeri- an Kehakiman untuk disiarkan kepada Pengadilan2 Negeri lainnja serta kepada instansi2 jang dianggap perlu oleh Men­teri Kehakiman.

(5) Kementerian Kehakiman mengirim suatu daftar penolakan kepada Kementerian Luar Negeri untuk diteruskan kepada Kepala2 Perwakilan R.I. di Luar Negeri.

Pasal 15.

(1) Surat Ketetapan Menteri Kehakiman, jang sesuai dengan pasal 3 Peraturan Penguasa Militer/K.S.A.D. No. Prt./PM / 09/1957 memperlakukan perempuan asing jang kawin dengan seorang warga-negara Indonesia sesudah tanggal 27 Desem­ber 1949 sebagai warga-negara Indonesia, mempunjai daja­laku sama dengan surat keterangan kewarga-negaraan dari Hakim.

(2 ) Surat Ketetapan Menteri Keh-akiman tersebut hanja berlaku selama perkawinan perempuan jang bersangkutan belum ter­putus dan tidak ada hal2 lain jang menjebabkan perempuan itu kehilangan kewarga-negaraan Indonesianja.

(3) Untuk mendapat surat tersebut, perempuan asing jang ber­sangkutan harus membuktikan, bahwa ia telah menjatakan dalam tindakan2 tertentu tentang hasratnja untuk mendjadi warga-negara Indonesia.

194

(1) Surat permohonan untuk memperoleh surat ketetapan Menteri Kehakiman tersebut dimadjukan kepada Kepala Biro Peng­awasan Orang Asing (Bipora) djika jang berkepentingan bertempat tinggal di Djakarta Raya, dan djika ia bertempat tinggal didaerah lain kepada Kepala Kantor Imigrasi jang meliputi daerah tempat tinggalnja.

(2 ) Pada surat permohonan harus dilampirkan:

1. Surat2 jang dapat membuktikan, bahwa suami perempuan jang bersangkutan adalah warga-negara Indonesia ;

2 . surat lahir atau surat kenal dari perempuan jang ber­sangkutan ;

3. surat nikahnja, atau salinan dari surat2 tersebut sub 1, 2 dan 3 jang disahkan oleh pedjabat resmi jang ber­wenang.

(3) Surat permohonan tersebut harus disertai pembajaran ongkos leges sebanjak Rp. 30.— (tiga puluh rupiah), untuk pem­bajaran mana diberikan surat tanda bajaran oleh Kepala Biro Pengawasan Orang Asing atau Kepala Kantor Imigrasi jang bersangkutan.

(•4 ) Jang berkepentingan, dengan memperlihatkan surat tanda bajar tersebut, meminta surat kuasa untuk menjetor kepada Inspeksi Keuangan jang meliputi daerah tempat tinggalnja.

(5 ) Setelah menurut pasal 7 Instruksi ini ia melunaskan bea-meterai jang dikenakan atas surat permohonannja, jang ber­kepentingan menjerahkan surat tanda bajar lunas kepada pe­djabat jang semula menerima surat permohonannja itu.

Pasal 17.Kepala Biro Pengawasan Orang Asing atau Kepala Kantor

imigrasi meneruskan surat permohonan beserta lampiran2nja ke­pada Menteri Kehakiman dengan disertai pendapatnja dan tjatatan, bahwa ongkos leges sebanjak Rp. 30.— (tiga puluh rupiah) telah dipenuhi, serta surat tanda bajar lunas pada surat kuasa untuk menjetor.

Pasal 18.

( 1 ) Sekretaris Kementerian Kehakiman mentjatat surat keputusan jang meluluskan dan jang menolak permintaan jang berke­pentingan masing2 dalam suatu daftar chusus.

(2 ) Atas dasar surat penolakan, jang berkepentingan dapat me­minta pembajaran kembali dari bea-meterai jang telah di- setornja.

(3 ) Tiap2 diadakan penolakan, Sekretaris Kementerian Kehakim­an mengirimkan tembusan surat penolakan tersebut kepada instansi2 jang dianggap perlu oleh Menteri Kehakiman dan kepada Kementerian Luar Negeri untuk diteruskan kepada Kepala2 Perwakilan R.I. di Luar Negeri.

Pasal 16.

195

BAB III: DARI HAL PERMOHONAN DILUAR NEGERI.Untuk permohonan surat keterangan kewarga-negaraan jang

dimadjukan oleh jang berkepentingan jang berada di Luar Negeri, berlaku atjara sebagai berikut:

Pasal 19.

Instansi resmi di Luar Negeri, jang berwenang untuk meminta pembuktian kewarga-negaraan, ialah Perwakilan2 Republik Indo­nesia atau Bagian2 dari Perwakilan2 tsb., jang berdasar suatu per­aturan jang sjah mengenai lapangan pekerdjaannja, harus menge­tahui apakah seseorang itu warga-negara Indonesia atau tidak, satu dan lain berhubung dengan sesuatu kepentingan jang dirangkaikan pada hal pembedaan antara warga-negara atau bukan-warga- negara.

Pasal 20.Instansi resmi memintakan pembuktian kewarga-negaraan tadi

dengan memberi nota penundjukan kepada jang bersangkutan jang ditudjukan kepada Hakim Pengadilan Negeri di Djakarta dengan perantaraan Kepala Perwakilan.

Pasal 21.(1) Dengan melampirkan nota penundjukan tersebut, jang ber­

kepentingan mengadjukan surat permohonan kepada Hakim Pengadilan Negeri di Djakarta dengan perantaraan Kepala Perwakilan.

(2 ) Pendaftaran dilakukan pada pedjabat jang ditundjuk oleh Kepala Perwakilan jang bersangkutan, untuk ini ia mengada­kan suatu daftar chusus.

(3) Untuk pendaftaran ini dipungut biaja-kanselarij sebanjak Rp. 60,— (enampuluh rupiah), menurut kurs pari.

Pasal 2 2 .(1) Kepala Perwakilan meneruskan surat permohonan beserta

lampiran2nja dan nota penundjukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di Djakarta dengan disertai pendapatnja, dan tjatatan bahwa biaja kanselarij sebanjak nilaian Rp. 60,—■ (enampuluh rupiah) telah' dipenuhi, serta surat2 atau salinannja jang di- sjahkan dan oleh jang berkepentingan dianggap tjukup untuk membuktikan, bahwa jang berkepentingan dianggap tjukup untuk membuktikan, bahwa ia adalah warga-negara Indonesia.

1,2) Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Djakarta jang menen­tukan apakah jang bersangkutan warga-negara Indonesia, atau tidak, dikirim kepada Kepala Perwakilan jang bersang­kutan, dan apabila ditentukan bahwa sipemohon warga-negara Indonesia, maka keputusan itu tidak disampaikan kepadanja sebelum ia membajar lunas bea meterai sebanjak nilai djumlah rupiah menurut kurs pari jang dikenakan pada surat permo­honan tsb. sesuai dengan Peraturan Penguasa Militer/Men­

196

teri Pertahanan No. 756/PMT/1957, sebagaimana diubah dan ditambah kemudian.

Pasal 23.( 1 ) Permintaan untuk diperlakukan sebagai warga-negara Indo­

nesia dari perempuan asing jang kawin dengan seorang warga-negara Indonesia sesudah tanggal 27 Desember 1949, diadjukan kepada Menteri Kehakiman dengan perantaraan Kepala Perwakilan, dengan disertai pembajaran biaja kan- selarij sebanjak nilaian Rp. 30.— (tigapuluh rupiah) me­nurut kurs pari.

(2) Pada surat permohonan harus dilampirkan :1 . surat2 jang dapat membuktikan, bahwa suami perempuan

jang bersangkutan adalah warga-negara Indonesia ;2 . surat lahir atau surat kenal dari perempuan jang ber­

sangkutan ;3. surat nikahnja, atau salinan dari surat2 sub 1, 2 dan 3,

jang disjahkan oleh pedjabat resmi jang berwenang.

(3 ) Kepala Perwakilan meneruskan surat permohonan serta lam- piran2nja kepada Menteri Kehakiman dengan disertai pen- dapatnja dan tjatatan bahwa biaja-kanselarij tersebut telah dipenuhi.

(4) Surat keputusan Menteri Kehakiman tentang dapat tidaknja diperlakukan sebagai warga-negara Indonesia dikirim kepada Kepala Perwakilan jang bersangkutan, dan apabila ditentu­kan bahwa sipemohon diperlakukan sebagai warga-negara Indonesia, maka keputusan ini tidak disampaikan kepadanja sebelum ia membajar lunas bea-meterai sebanjak nilai djumlah rupiah menurut kurs pari jang dikenakan pada surat permo­honan tersebut sesuai dengan Peraturan Penguasa Militer/ Menteri Pertahanan No. 756/PMT/1957, sebagaimana di­ubah dan ditambah kemudian.

Pasal 24.( 1 ) Apabila perempuan asing jang mengadjukan permohonan tsb.

akan bertolak ke Indonesia sebelum memperoleh surat kete­tapan Menteri Kehakiman, maka ia harus meminta visum untuk Indonesia.

(2) Atas usul Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri menun- djuk Perwakilan2 mana dapat memberi visum atas kuasa sen­diri untuk selama 3 bulan kepada perempuan termaksud.

BAB I V : DARI HAL TIDAK M AM PU

Pasal 25.( 1 ) Pernjataan tidak mampu baru dianggap sjah, djika diberikan

oleh Pamong Pradja setempat sebagai instansi pertama dan diperkuat oleh Inspeksi Keuangan jang bersangkutan sebagai instansi kedua.

197

(2 ) Untuk Luar Negeri, maka pernjataan tidak mampu ini di­berikan oleh Kepala Perwakilan R.I. jang bersangkutan.

(3) Pernjataan tidak mampu ini membebaskan pemegang dari ke- wadjiban untuk membajar bea meterai seperti jang ditetapkan oleh Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. 756/PMT/1957, sebagaimana diubah dan ditambah kemu­dian.

(4) Pernjataan tidak mampu seperti dimaksud diatas mempunjai daja laku hanja terhadap hal permohonan surat keterangan kewarga-negaraan ini seperti tertjantum dalam Peraturan2

Penguasa Militer diatas.

(5) Jang berkepentingan mendaftarkan keterangan/Pernjataan tidak mampu pada Panitera Pengadilan Negeri jang bersang­kutan ; setelah pendaftaran ini. Hakim dapat memeriksa per- mohonannja.

Pasal 26.

Untuk memperlakukan Peraturan2 Penguasa Militer tersebut di­atas, maka :

( 1 ) semua pegawai negeri, baik didalam maupun diluar negeri, diperlakukan sebagai golongan tidak mampu, jang dimaksud dengan Pegawai negeri, ialah pada pokoknja mereka, jang digadjih menurut PERATURAN GADJIH PE G A W A I NEGERI (P.G.P.N.), atau menurut peraturan gadjih jang dapat disamakan dengan P.G.P.N.

(2 ) semua penerima pensiun dan tundjangan jang bersifat pen­siun dipersamakan dengan golongan sub ( 1 ) diatas..

Pasal 27.

(1) Panitera Pengadilan Negeri mentjatat hal2 tidak mampu ini dalam suatu daftar chusus.

(2 ) Kepala Perwakilan di Luar Negeri mentjatat pemberian per­njataan tidak mampu dalam suatu daftar chusus ; tindasan dari daftar tersebut dikirim olehnja kepada Pengadilan Ne­geri di Djakarta.

Pasal 28.(1) Dalam hal Negara menggunakan hak tagih sesuai dengan

ketentuan, terachir dalam pasal 1 (II) 13 (2) 2 dari Per­aturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. 756/ PMT/1957, tgl. 14 Agustus 1957 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Peraturan Penguasa Militer/Menteri Per­tahanan No. 875/PMT/1957 tgl. 10-10-1957, maka Bea Me­terai itu dikenakan atas surat keterangan kewarga-negaraan jang telah diberikan kepada jang berkepentingan, sebanjak djumlah jang diperhitungkan untuk setiap orang jang nama- nja disebutkan dalam surat keterangan tadi, seperti ditentu­kan dalam pasal 1 (II). 13 ( 1 ) Peraturan Penguasa Militer/

198

Menteri Pertahanan No. 756/PMT/1957, tgl. 14 Agustus, sebagaimana diubah dan ditambah kemudian.

(2) Bea Meterai itu harus dilunaskan menurut tjara jang ditentu­kan dalam pasal 22 ajat 1 Aturan Bea Meterai 1921 untuk surat2 jang dibuat di Luar Negeri.

BAB V : DARI HAL BERLAKU SURUT.

Pasal 29.

( 1 ) Barang siapa jang sebelum dikeluarkannja Instruksi ini, se­suai dengan pasal 1 (III) jo pasal 2 II dari Peraturan Pe­nguasa Militer/Menteri Pertahanan No. 875/PMT/1957 tgl. 10-10-1957, telah pernah mendapat surat keterangan ke­warga-negaraan dari Hakim, dapat melunaskan bea-meterai sebanjak djumlah jang ditetapkan dalam Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. 756/PMT/1957, sebagai­mana diubah dan ditambah kemudian untuk tiap2 nama jang tertjantum dalam surat keterangan tersebut, dengan mem­bawa/mengirim surat pernjataan penerimaan surat keterangan kewarga-negaraan jang telah dibubuhi tanda-periksa oleh Pengadilan jang bersangkutan, kepada Inspeksi Keuangan dalam ressort mana ia bertempat tinggal, agar diberi surat kuasa untuk menjetor dan kemudian menjetor sebanjak djum­lah tadi pada Kas Negara setempat.

(2) Jang berkepentingan melaporkan kembali kepada Pengadilan Negeri jang bersangkutan tentang pembajaran dari Kas Ne­gara ; Panitera Pengadilan Negeri mentjatat tentang hal ini dalam daftar mengenai pengeluaran surat2 keterangan ke­warga-negaraan.

(3 ) Untuk hal tersebut ajat ( 1 ) diatas ditetapkan batas waktu selama 6 (enam) bulan untuk daerah Djawa dan Madura, dan 9 (sembilan) bulan untuk daerah2 lainnja, terhitung mulai diumumkannja Instruksi ini.

Pasal 30.( 1 ) Djika seseorang jang telah pernah mendapat surat keterangan

kewarga-negaraan dari Hakim, tetapi tidak memasukkan surat pernjataan penerimaan seperti dimaksud diatas sesudah ber­laku batas waktu seperti jang ditetapkan dalam pasal 29 itu, maka kepadanja disampaikan kutipan dari surat tgnda penje- rahan atau tjatatan mengenai penjerahan surat keterangan kewarga-negaraan jang ada pada Pengadilan jang bersang­kutan dengan perantaraan Djuru Sita atau menurut tjara2 lain jang lazim untuk hal ini, dengan perintah untuk melunaskan bea-meterai seperti jang ditetapkan dalam peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. 756/PMT/1957, sebagai­mana diubah dan ditambah kemudian.

(2 ) Jang berkepentingan melaporkan tentang pembajaran lunas tadi sesuai dengan pasal 7 Instruksi ini, kepada Pengadilan

199

jang bersangkutan dengan memperlihatkan tanda lunas dari Kas Negara ; Panitera mentjatat tentang hal ini dalam daftar mengenai pengeluaran surat2 keterangan kewarga-negaraan.

Dalam hal jang berkepentingan tidak memenuhi perintah pembajaran tersebut, jaitu djika ia selama 1 (satu) bulan sesudah menerima kutipan seperti tsb. dalam ajat ( 1 ) diatas belum menjetor bea-meterai jang dikenakan, maka terhadap- nja dikenakan denda sesuai dengan Pasal 1 (IV ) dari Per­aturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan No. 756/ PMT/1957 sebagaimana diubah dan ditambah kemudian, menurut tjara seperti jang tertjantum dalam BAB X IV dari Aturan Bea Meterai 1921.

Dikeluarkan d i : Djakarta.

Pada tanggal : 10-10-1957.

M ENTERI PERTAH AN A N

, SELAKU PENGUASA M IL ITER

ttd.

( D J U A N D A ) Diumumkan pada tanggal: 10-10-1957.

S U R A T P E N U N D J U K A N *)

(urgensi pembuktian kewarganegaraan)

Instansi resmi cfm Peraturan Penguasa Militer/KSAD No. Prt./PM/09/1957, dalam hal ini diwakili oleh :

Kepala ........................................................................................... 1)

berdasarkan : ................................................................................. 2)

Jang mengatur lapangan-pekerdjaan serta tugas Djawatan/

Kantor tersebut diatas, meminta pembuktian kewarga-negaraan dari

N a m a

Pekerdjaan

Tempat tinggal

! )

sesuai denaan pasal 1 dari Peraturan'Penquasa Militer/K.S.A.D. No.: Prt/PM/09/1957, tanggal 4 Djuni 1957, karena dari tanda2

luar mengenai orang jang namanja tersebut diatas, maupun dari surat2 keterangan lainnja. tidak djelas dapat ditetapkan kewarga- negaraannja.

Berdasarkan hal diatas menundjukkan perihal pembuktian ke­warga-negaraan tadi kepada Hakim Pengadilan Negeri di :

......................... tgl.................... ...19.

Kepala ...................................... tsb.

( ................................

*) Lampiran Intruksi Menteri Pertahanan no. : 1I1/7/PMT/1957 tgl. 10 Oktober ’57. 11 diisi Djawatan/Kantor/dsb.-nja.2) Undang2, peraturan2 sesuai ketentuan pasal 1 Instruksi M.P. no .’......................3) diisi nama, dsb. dari jang berkepentingan.4) Pengadilan Negeri setempat.

201

26

PADJAK TAHUN 1957. BANGSA ASING. Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1957, ten­tang padjak bangsa asing tahun 1957. (Pendje- lasan dalam Tambahan Lembaran-Negara No. 1345), L.N. 1957 No. 63. i)

PRESIDEN REPUBLIK INDON ESIA ,

Menimbang :a. bahwa dianggap perlu, berhubung dengan perkembangan ke­

adaan keuangan Republik Indonesia, untuk menambah peng­hasilan negara ;

b. bahwa karena keadaan-keadaan jang mendesak, peraturan ini perlu segera diadakan ;

Mengingat: pasal 96 dan 117 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia ;

M e m u t u s k a n :

Menetapkan :Undang-undang Darurat Padjak Bangsa Asing tahun 1957.

B A B I.

Objek, Status Kebangsaan,Pasal 1.

Dengan nama Padjak Bangsa Asing dikenakan padjak atas orang-orang bangsa asing jang bertempat kediaman di Indonesia.

Pasal 2.(1) Jang dimaksudkan dengan bangsa asing, ialah mereka

jang tidak mempunjai kewarga-negaraan Indonesia, dan mendapat izin untuk masuk dan bertempat kediaman di Indonesia, walaupun hanja untuk sementara waktu.

(2 ) Dimana seorang bertempat kediaman ditentukan menurut keadaan.

(3) Dalam hal terdapat keragu-raguan atau perselisihan ten­tang kewarga-negaraan, maka hal ini diputuskan oleh Pengadilan Negeri.

Pasal 3.(1) Seorang wanita jang melakukan kawin tjampuran, mem-

punjai status kebangsaan suaminja sedjak saat perkawinan.(2 ) Anak-anak jang belum tjukup umur mempunjai status

kebangsaan ajahnja.(3) Seorang wanita, setelah putusnja nikah tjampuran, tetap

memiliki status jang diperoleh dalam nikah tjampuran ketjuali djika ia setelah itu kawin lagi dengan seorang laki-laki untuk siapa ber­laku hukum jang berlainan dengan hukum suami jang dahulu, atau

1) U.U. Darurat in i kemudian telah ditetapkan sebagai U.U.

202

djika ia dalam waktu satu tahun setelah pemutusan perkawinan ter­sebut, memberikan pernjataan bahwa ia akan kembali lagi ke statusnja semula.

(4) Djuga termasuk kawin tjampuran dalam arti-kata Un­dang-undang ini ialah hubungan antara laki-isteri jang oleh masja- rakat dipandang sebagai hidup bersama.

B A B II.

Masa Padjak, Penanggung Padjak.

Pasal 4.( 1 ) Padjak dikenakan berdasarkan keadaan pada awal masa

padjak atau awal masa, dalam mana orang asing itu masuk di , Indonesia. '

(2) Masa padjak setiap kali berlangsung tiga tahun, dimulai dengan tanggal 1 Djanuari 1957.

Pasal 5.

( 1 ) Padjak dikenakan kepada kepala keluarga atau kepada orang jang dianggap sedemikian, untuk seluruh anggota keluarga- nja jang penuh mendjadi tanggungannja.

(2) Jang dianggap sebagai anggota keluarga ialah mereka jang merupakan keluarga sedarah atau semenda jang belum dewasa jang pada awal masa padjak penuh mendjadi tanggungannja.

(3) Seorang anggota keluarga dianggap penuh mendjadi tanggungan wadjib padjak, djika ia pada saat jang menentukan bertempat tinggal bersama-sama dengan wadjib padjak, ketjuali anak-anak jang belum dewasa, dan tidak mempunjai pendapatansendiri.

(4) Dengan anak dimaksudkan mereka jang menurut hukum jang berlaku bagi mereka dianggap sebagai anak.

(5) Seorang wanita jang hidup terpisah menurut hukum (scheiding van tafel en bed) dikenakan padjak tersendiri, sedjak saat diputuskannja oleh hakim dengan suatu surat keputusan.

(6 ) Anak jang belum dewasa dan tak berajah-ibu, dikena­kan padjak pada walinja.

B A B III.

Pendaftaran, Pemberitahuan dan Kewadjiban

Memberitahukan.

Pasal 6 .(1) Mereka jang baru untuk pertama kalinja mendapat izin

bertempat tinggal di Indonesia, diwadjibkan dalam tempo tiga pu­luh hari sesudah mendapat izin, mendaftarkan diri di Kantor In­speksi Keuangan, dalam ressort mana ia bertempat kediaman.

203

( 2 ) Sebelum masa padjak mulai, kepada wadjib padjak di­kirimkan surat pemberitahuan. Bentuk surat pemberitahuan ditetap­kan oleh Menteri Keuangan.

(3) Surat pemberitahuan harus diisi menurut keadaan sebe- narnja ditanda tangani dan dikembalikan kepada Inspeksi Keuang­an jang bersangkutan dalam djangka waktu tiga puluh hari setelah tanggal penjerahan.

(4) Perubahan dalam susunan keluarga harus diberitahukan kepada Inspeksi Keuangan jang bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari, sesudah perubahan terdjadi.

(5) Dalam keadaan luar biasa jang tak dapat diduga semula djangka waktu tersebut dalam ajat 3, atas permintaan wadjib pa­djak, dapat diperpandjang oleh Kepala Inspeksi Keuangan dengan paling lama dua bulan.

Pasal 7.(1) Bila diminta wadjib padjak berkewadjiban memberi ke­

terangan jang diperlukan oleh pedjabat jang dibebani dengan kete­tapan, mengenai surat pemberitahuan jang dimasukkan dan segala sesuatu jang berhubungan dengan itu.

(2) Djika kewadjiban jang tertera pada ajat 1 dan 4 dari pasal 6 dan ajat pertama dari pasal ini, tidak atau tidak sepenuhnja ditjukupi, atau bila surat pemberitahuan jang dimaksudkan pada ajat 3 pasal terdahulu, tidak dikembalikan, sekalipun telah dikirim surat peringatan tertjatat, maka padjak dikenakan setjara djabatan dengan ditambah dengan sebesar 1 0 0 % dari djumlah padjak jang dikenakan.

(3) Denda termaksud dalam ajat terdahulu, atas permintaan wadjib padjak, dapat dikurangkan atau dihapuskan oleh Kepala Djawatan Padjak, bila terdapat alasan-alasan jang dapat diterima.

B A B IV.

KETETAPAN PADJAK.

Pasal 8 .(1) Padjak dikenakan dalam ressort Inspeksi Keuangan, di-

mana wadjib padjak bertempat kediaman.(2 ) Ketetapan padjak ditetapkan setjepat mungkin setelah

awal masa padjak. Dalam hal ketetapan belum dapat ditetapkan, dapat dikenakan ketetapan sementara.

(3) Ketetapan padjak ditetapkan oleh Kepala Inspeksi Ke- uangan, masing-masing untuk ressortnja.

(4) Ketetapan padjak dimuat dalam kohir jang mendjadi penagihan.

(5) Segera setelah kohir ditetapkan, maka kepada wadjib padjak diberitahukan ketetapan padjak jang dimuat dalam kohir dengan menjerahkan surat ketetapan padjak.

204

(1) Mereka jang kewadjiban padjaknja mulai setelah awal masa padjak atau berachir dalam masa padjak, maka padjaknja untuk tahun jang tidak penuh dari masa padjak, ditetapkan pada suatu djumlah jang sebanding, dengan mengalikan djumlah padjak jang seharusnja terhutang untuk satu tahun penuh dengan suatu petjahan jang pembilangnja terdiri dari djumlah hari mereka ada di Indonesia, dan penjebutnja dirupakan oieh angka 360.

Untuk melakukan ajat ini sebelum penuh dihitung 30 hari dan bagian bulan kurang dari 1 0 hari dibulatkan penuh sampai 1 0 hari.

(2 ) Bila selama masa padjak terdapat perubahan dalam su­sunan keluarga, maka dapat diadakan penindjauan kembali atas ketetapan padjak dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada ajat terdahulu.

B A B V.

Pembebasan Perorangan.

Pasal 10.

Dibebaskan dari padjak ialah :

a. warga negara bangsa asing jang bekerdja pada Pemerintah Republik Indonesia. Mereka jang setjara teratur mendapat pembajaran, gadji atau honorarium jang dibebankan kepa­da keuangan negara, dapat dianggap sebagai bekerdja pada Pemerintah Republik Indonesia. Dalam keuangan umum Indonesia termasuk djuga keuangan daerah swatan­tra dan swapradja.

b. wakil-wakil diplomatik, konsul-konsul dan lain-lain wakil negara asing, serta orang jang dipekerdjakan pada dan bertempat kediaman bersama-sama dengan mereka, dengan sjarat bahwa mereka itu mempunjai kewarga-negaraan ne­gara asing jang diwakilinja dan mereka tidak melakukan perusahaan atau pekerdjaan bebas di Indonesia ;

c. pegawai sipil dan militer dari angkatan darat, laut dan udara dari negara asing ;

d. wakil-wakil organisasi internasional jang ditundjuk oleh Menteri Keuangan ;

e. para turis bangsa asing jang ada di Indonesia, asal sadja mereka ada di Indonesia tidak lebih dari tiga bulan ;

f. orang-orang jang mendjalankan research di Indonesia un­tuk kepentingan ilmu pengetahuan, lain dari pada untuk kepentingan komersil, demikian itu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan ;

g. orang asing jang ada di Indonesia untuk sementara waktu, asal tidak melebihi djangka waktu tiga bulan.

Pasal 9.

205

Djumlah padjak, keberatan

tagihan susulan.

Pasal 11.Padjak dikenakan tiga tahun sekali dan padjak berdjumlah untuk tiap-tiap tahun, untuk :

a. kepala keluarga atau orang jang dianggapsedemikian .............................................. ....... Rp. 1.500.'

b. isteri atau isteri-isteri wadjib padjak seorang. ,, 750.—. c. anggota keluarga sedarah dalam keturunan

lurus kebawah, jang belum tjukup um ur............ 375.—d. anggota keluarga lain ........................ .......... „ 750.—'

Pasal 12.Ketentuan dalam Undang-undang Padjak Pendapatan 1944

pasal-pasal 13, 14, 14a, 14b, diberlakukan sesuai.

Pasal 13.(1) Bila kepala keluarga tidak semestinja tidak dikenakan

padjak atau ketetapan padjak dikenakan terlampau rendah atau tidak semestinja dikurangkan atau tidak semestinja dihapuskan,' maka padjak jang kurang dipungut itu dapat ditagih kemudian, selama sedjak tanggal penjerahan surat ketetapan atau keputusan pengurangan tidak telah lewat waktu tiga tahun.

(2 ) Padjak jang termasuk dalam suatu tagihan kemudian ditambah dengan 1 0 0 % dari djumlah padjak.

(3) Tambahan itu tidak terhutang bila dan sekedar tagihan kemudian itu merupakan akibat dari pemberitahuan tambahan suka­rela, tertulis atau tidak, dari pihak wadjib padjak, jang padjaknja kurang dipungut itu, atau disebabkan karena kechilafan djawatan.

(4) Kepala Djawatan Padjak atas dasar kesesatan atau ke­chilafan jang dapat dimaafkan, jang dengan jakin ditundjukkan kepadanja, berhak mengurangi atau membatalkan tambahan jang dikenakan menurut ajat 2 pasal ini.

(5) Barangsiapa berkeberatan terhadap ketetapan tagihan kemudian jang dikenakan kepadanja, dapat memadjukan surat minta banding kepada Madjelis Pertimbangan Padjak, menurut tjara jang ditentukan dalam peraturan pertimbangan urusan padjak, dalam waktu tiga bulan sesudah tanggal penjerahan surat kete­tapan tagihan susulan.

Pasal 14.(1) Pedjabat jang dibebani dengan ketetapan setjara dja-

batan atau atas permintaan wadjib padjak, dapat membetulkan kesalahan tulis atau hitung jang terdjadi pada pembuatan kohir atau surat ketetapan padjak, dan dapat mengurangkan atau mem­batalkan ketetapan jang salah ditetapkan, berdasarkan kechilafan- kechilafan dalam peristiwa.

B A B VI.

206

*> • *

(2 ) Hak jang diberikan dalam ajat pertama hilang,' djika telah lewat waktu dua tahun sesudah tanggal penjerahan surat ketetapan padjak, ketjuali djika dalam waktu itu oleh jang ber­sangkutan diadjukan permohonan dengan surat untuk pelaksanaan hak itu.

B A B VII.

Penagihan. '

Pasal 15.( 1 ) Ketetapan padjak terhutang oleh orang jang namanja

tertjantum pada kohir.(2) Padjak ditagihkan dalam empat angsuran jang sama

besarnja dan dimulai dengan bulan setelah bulan penjerahan surat ketetapan padjak untuk tahun-tahun dari masa padjak sampai de­ngan tahun penetapan. Dalam hal-hal lain, dimulai dengan bulan kedua dari tahun jang bersangkutan.

(3 ) Tiap tanggal 15 djatuh satu angsuran.

(4 ) Pembajaran angsuran jang terlambat dilakukan dikena­kan denda sebesar 3% setiap bulan.

(5 ) Bila penanggung padjak menunggak padjak lebih dari dua angsuran, maka padjak dapat ditagih seluruhnja sekaligus.

(6 ) Kepala Inspeksi Keuangan dapat memperkenankan pe­nundaan pembajaran, djika terdapat alasan-alasan jang mendesak.

(7 ) Atas hutang jang diberikan penundaan pembajaran itu terhutang suatu bunga sebanjak setengah prosen untuk tiap-tiap bulan, mulai hari djatuhnja angsuran hingga hari pembajaran. Untuk melakukan ajat ini sebagian dari bulan dihitung sebulan

(8 ) Kewadjiban membajar tidak tertunda oleh pemasukan surat keberatan terhadap ketetapan padjak.

Pasal 16.

(1) Kas negara mempunjai hak mendahulu untuk padjak atas barang-barang milik penanggung padjak dan atas barang-barang milik anggota jang mendjadi tanggungannja, baik barang bergerak maupun harta tetap.

(2) Hak mendahulu jang diberikan dalam ajat pertama lebih kuat dari segala hak lain, ketjuali hutang dengan hak mendahulu seperti tersebut dalam pasal 1139 No. 1 dan 4 pasal 1149 No. 1

Kitab Undang-undang Hukum Sipil, dan pasal-pasal 80 dan 81 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, oogstverband, gadai dan hipotik jang dikuasai oleh Ketentuan-ketentuan dalam Kitab Un­dang-undang Hukum Sipil, jang ditaruh sebelum awal tahun jang bersangkutan ; dalam hal hipotik ditaruh sesudah saat itu, sekedar untuk itu diberikan suatu keterangan hipotik sebagaimana dimak­sudkan pada ajat 4 pasal ini.

207

(3) Hak mendahulu itu hilang djika lampau waktu dua tahun sesudah awal tahun jang bersangkutan.

(4) Sebelum atau sesudah ditaruhnja suatu hipotik dalam arti kata Undang-undang Hukum Sipil, pemberi hipotik dapat minta suatu keterangan, bahwa hipotik itu lebih kuat dari pada hak men­dahulu untuk padjak-padjak atas tahun-tahun sebelum penaruhan hipotik itu. Keterangan itu dapat diminta dari Kepala Inspeksi Keuangan dalam Daerah siapa pemberi hipotik bertempat kediaman. Kepala Inspeksi Keuangan memberikan keterangan itu kalau tidak ada suatu padjak jang berhak lebih dari pada hipotik tersebut, atau bila menurut pendapatnja ada djaminan, bahwa padjak jang berhak lebih dari pada hipotik itu akan dilunasi.

Dalam keterangan itu disebut tahun-tahun jang bersangkutan. Dalam hal keterangan tidak diberikan maka pemberi hipotik

dapat memadjukan keberatannja kepada Kepala Djawatan Padjak, jang bila menurut pendapatnja terdapat alasan-alasan untuk itu, masih akan menjuruh memberikan keterangan itu. Terhadap crediet- verband ketentuan ini berlaku sesuai.

Pasal 17.(1) Peraturan-peraturan dalam Undang-undang ini tentang

terhutangnja, tanggung-djawab dan hak mendahulu bukan sadja meliputi padjak-padjak, akan tetapi meliputi djuga bunga-bunga, biaja-biaja dan denda-denda.

(2 ) Hutang padjak kedaluwarsa setelah lewat lima tahun, dihitung :a. djika kohir ditetapkan dalam masa padjak jang bersangkutan,

dari awal tahun dalam mana penetapan dilakukan sekedar mengenai padjak jang terhutang untuk tahun-tahun dari masa padjak sampai dengan tahun penetapan, dan selainnja mulai awal tahun untuk mana padjak terhutang ;

b. djika kohir ditetapkan sesudah masa padjak jang bersangkutan mulai awal tahun dalam mana kohir ditetapkan.

B A B V III.

Peraturan Pidana.

Pasal 18.(1) Barangsiapa untuk diri sendiri atau untuk orang lain

mengisi surat pemberitahuan, seperti dimaksudkan dalam pasal 6

ajat 3 dan 4, dengan keterangan-keterangan jang tidak benar atau tidak lengkap, maka djika oleh karena itu negara dirugikan, di­hukum dengan hukuman pendjara paling lama enam bulan atau hukuman denda paling banjak sepuluh ribu rupiah.

(2 ) Ketentuan pada ajat pertama tidak berlaku, bila jang memberitahukan, selama kedjaksaan belum mengetahui hal itu, atas kehendak sendiri, melakukan lagi pemberitahuan jang benar dan lengkap dan lagi pula surat ketetapan padjak belum ditetapkan.

Peraturan Penutup.

Pasal 19.

Dalam hal-hal tertentu, dimana pengenaan padjak dirasa ku­rang adil, Menteri Keuangan berhak membebaskan atau mengu­rangkan padjak.

Pasal 20.Padjak ini dapat dikurangkan dari pendapatan penanggung

padjak sebagai beban perseorangan.

Pasal 21.Menteri Keuangan berhak mengeluarkan peraturan-peraturan

jang diperlukan untuk mendjalankan Undang-undang ini.

Pasal 22.Undang-undang Dasar ini mulai berlaku pada tanggal 1 Dja-

nuari 1957..

Agar supaja setiap orang mengetahuinja, memerintahkan peng­undangan Undang-undang Darurat ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Djakarta " , pada tanggal 1 Djuli 1957.

Presiden Republik Indonesia,

SOEKARNO. -

Menteri Keuangan a.i..

DJUANDA.

Menteri Kehakiman,G. A. MAENGKOM .

Diundangkan pada tanggal 1 Djuli 1957.

Menteri Kehakiman,G. A. M AEN GKOM .

B A B IX.

209

PADJAK BANGSA ASING. Memori Pendje- lasan Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1957, tentang Padjak Bangsa Asing, T.L.N. 1957 No. 1345.

M EM O R I PENDJELASAN.

U m u m .

Alasan jang utama untuk mengadakan padjak ini ialah ke­adaan keuangan negara pada waktu ini jang sangat mengchawatir- kan. Sebagai alasan jang kedua dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :

Negara Indonesia adalah milik dari bangsa Indonesia. Pada azasnja bangsa asing jang ada di Indonesia mendapat suatu „gunst” untuk bertempat kediaman di Indonesia. Lagi pula mereka men­dapat suatu hak utama (voorrecht) untuk mentjari nafkah dinegara kita, jang berarti mereka merupakan persaingan terhadap bangsa kita sendiri. Disamping itu pada umumnja bangsa asing jang da-- tang ke Indonesia atau sudah ada di Indonesia tergolong dalam kias jang mempunjai atau bermodal atau setidak-tidaknja mem- punjai kedudukan jang djauh lebih baik daripada bangsa Indonesia.

Selandjutnja mereka di Indonesia mendapatkan perlindungan dari Pemerintah mengenai harta, benda dan keselamatan dirinja.

Dinegara lainnja orang asing fidak mudah mendapat pekerdja- an atau melakukan suatu usaha, dan untuk itu, orang asing di­haruskan meminta izin terlebih dahulu dari instansi jang mengurus soal itu. Lain halnja di Indonesia. Orang asing jang datang di Indonesia tidak dilarang untuk mentjari nafkah di Indonesia. Dalam kebanjakan hal dalam persaingan mendapatkan nafkah, orang asing menang dari bangsa Indonesia, djustru karena pendidikan mereka jang lebih tinggi ataupun djustru karena keuletan mereka.

Kesimpulan dari apa jang diuraikan diatas ialah bahwa sudah sewadjarnja bangsa asing jang ada di Indonesia itu untuk hak-hak tersebut diatas jang mereka dapat, ikut membantu meringankan pengeluaran negara dengan tjara memberi bantuan berupa padjak jang sifatnja specifiek. Tidak dapat disangkal bahwa orang asing tersebut telah djuga membajar padjak-padjak seperti bangsa Indo­nesia (misalnja padjak pendapatan, verponding, padjak rumah tangga, padjak upah, padjak pendjualan dsb.) tetapi padjak-padjak tersebut tidak merupakan padjak-padjak jang specifiek bagi bangsa asing.

Dengan adanja padjak baru ini maka dapat pula diketahui di- belakang hari, bangsa-bangsa asing jang tidak mampu dan tidak tjukup mempunjai mata pentjarian di Indonesia. Orang itu seharus- njalah dikeluarkan dari Indonesia, karena hanja merupakan beban bagi Negara Indonesia.

27

210

rr

Dari sector keuangan negara masih djuga ada untung bagi orang bangsa asing, karena mereka diperkenankan mentransfer sebagian dari penghasilannja keluar negeri (dengan kurs resmi). Ini berarti pembebanan devisen negara jang tidak sedikit. Lagi pula dalam djangka waktu tertentu bangsa, asing diperkenankan pulang menengok sanak keluarganja dinegara asal, dan untuk itu dipergunakan djuga devisen negara. Djustru karena pada waktu itu kurs resmi dan kurs dalam perdagangan bebas berbeda, maka beban itu banjak djuga artinja.

Meskipun padjak ini dimaksudkan untuk bangsa asing, namun ada djuga pengetjualian-pengetjualian jang harus diperhatikan, hal mana ditjantumkan dalam pasal 1 0 .

TAKSIRAN PEMASUKAN PADJAK.

Menurut angka-angka jang diperoleh dari Kantor Imigrasi Pusat bagian Pendaftaran Orang Asing di Djakarta, djumlah pen­duduk bangsa asing jang ada di Indonesia pada achir tahun 1956 ada 1.224.682 djiwa. Dengan sengadja kami turut. angka-angka dari Djawatan Imigrasi ini, oleh karena Kantor Pusat Statistiek belum mempunjai angka-angka djumlah penduduk bangsa asing pada saat achir 1956. Kalau dari djumlah ini kita ambil 3 2 % ja n 9

dibebaskan dari padjak berdasarkan pasal 1 0 , maka tinggallah 1.224.682 — 6.123 = 1.218.559. Dan djika tarip ditetapkan untuk Kepala keluarga Rp. 1.500,—■, untuk isteri Rp. 750,— dan untuk anak-anak Rp. 375,— maka dapat diharapkan uang masuk se- djumlah :

kepala keluarga = 300.000 X Rp. 1.500,— = Rp. 450.000.000,—

34 isteri = 300.000 X „ 750,— = ., 225.000.000,—\/2 anak-anak = 600.000 X ., 375,— = 225.000.000,—

Djumlah = Rp. 900.000.000,'—

Dan kalau untuk perceptie kosten ditaksir 1 °/o dari djumlah itu rnaka bersih akan dapat masuk uang sedjumlah Rp. 900.000.000,'— — Rp. 9.000.000,— = Rp. 891.000.000,—.

TJARA M ENGENAKAN PADJAK TERSEBUT.

Pertama-tama timbul pertanjaan djawatan mana jang lebih mudah mengenakan padjak ini, Djawatan Imigrasi atau Djawatan Padjak.

Setelah kami pertimbangkan baik buruknja, maka pilihan djatuh pada Djawatan Padjak. Benar Djawatan Imigrasi selalu melaku­kan pengawasan terhadap orang asing ini, tetapi Djawatan Imigrasi tidak mempunjai apparat dan administrasi jang djitu untuk meng­adakan administrasi padjak. Lagi pula walaupun pengenaan di­lakukan oleh Djawatan Imigrasi, toch sedikit banjak masih djuga harus dilakukan administrasi di Inspeksi Keuangan berhubung de­

211

ngan penagihannja serta pendjumlahan uang padjak itu. Tetapi walaupun demikian tidak berarti bahwa kami akan mengabaikan djasa-djasa Djawatan Imigrasi, bahkan sebaliknja, kami membutuh­kan sekali djasa dari Djawatan Imigrasi, sehingga perlu sekali kerdja-sama jang erat dengan Djawatan Imigrasi. Dan dalam me­lakukan pekerdjaan pengawasan sudah sewadjamja bahwa Dja­watan Imigrasi mengawasi djuga tentang pembajaran padjak- padjak bangsa asing ini.

BAHAN-BAHAN JANG D IPERLUKAN UNTUK M E N G E ­NAKAN PADJAK BANGSA ASING.

Bahan-bahan jang diperlukan untuk pertama kalinja, untuk mengetahui bangsa asing jang bertempat kediaman disuatu tempat, dapat diperoleh dari berbagai-bagai sumber :

a. dari Kantor-kantor Imigrasi dan Kantor-kantor Imigrasi tja- bang. Di Indonesia seluruhnja ada 26 kantor-kantor tersebut. Jakni:

1 . Djakarta,2 . Bandung,3. Semarang,4. Surabaja,5. Lho Seumawe (kantor tjabang).6 . Kutaradja,7. Medan,8 . Bagan Siapi-api,9. Pakan Baru,

1 0 . Padang (kantor tjabang),1 1 . Bengkalis (kantor tjabang),1 2 . Djambi,13. Palembang,14. Pangkal Pinang,15. Tandjung Pinang,16. Blakang Padang,17. Tandjung Balai/Karimun,18. Pontianak,19. Singkawang,

2 0 . Bandjarmasin (Kal. Utara/Kal. Selatan),2 1 . Balikpapan (kantor tjabang),2 2 . Makassar,23. Menado,24. Ambon (kantor tjabang),25. Kupang,26. Denpasar.

Dari kantor-kantor tersebut dapat diperoleh nama-nama dari bangsa asing lengkap dengan alamatnja.

212

b. Dikota-kota besar terdapat Kantor Pendaftaran Penduduk, dan sebagai anak bagian ada pendaftaran untuk orang-orang asing. Dari kantor tersebut dapat pula diperoleh keterangan menge­nai orang asing.

c. Orang asing jang baru mendapat izin untuk masuk di Indonesia mudah dapat diketahui, karena sedatangnja di Indonesia me­reka diharuskan melaporkan diri pada Kantor Imigrasi jang bersangkutan, dan untuk keperluan Djawatan Padjak, Dja- watan Imigrasi tentunja tidak ada keberatan untuk memberi­tahukan hal itu kepada Inspeksi Keuangan jang bersangkutan.

PASAL DEM I PASAL.

Pasal 1.Pasal ini mendjelaskan siapa jang dikenakan padjak bangsa

asing. Semua bangsa asing jang ada di Indonesia, ketjuali jang dibebaskan dalam pasal 1 0 , dengan tidak pandang umur, kelamin, mendjadi subjek bangsa asing. Dari subjek harus dibedakan pe­nanggung atau pembajar padjak. Pembajaran padjak adalah kepala keluarga atau orang jang dianggap sedemikian, jaitu orang-orang jang berdiri sendiri.

Pasal 2.

(1) Untuk mendjalankan siapa bangsa asing maka telah di­ambil sebagai pangkalan kewarga-negaraan Indonesia. Djadi siapa pun djuga jang tidak mempunjai kewarga-negaraan Indonesia, ada­lah bangsa asing. Kesulitan jang kita hadapi pada waktu ini ialah bahwa pasal 5 dari Undang-undang Dasar Sementara jang ber- bun ji: „Kewarga-negaraan Republik Indonesia diatur oleh Un­dang-undang” belum mendapat pelaksanaan, karena hingga seka­rang Undang-undang Kewarga-negaraan itu belum ada. Sambil menunggu keluarnja Undang-undang termaksud maka sementara kewarga-negaraan didasarkan pada pasal 144 U.U.D.S. jang bunji- nja sebagai berikut: „Sambil menunggu peraturan kewarga-negara­an dengan Undang-undang jang tersebut dalam pasal 5 ajat 1, maka jang sudah mendjadi warga negara Republik Indonesia ialah mereka jang menurut atau berdasar atas persetudjuan perihal pem­bagian warga negara jang dilampirkan kepada Persetudjuan Per­pindahan memperoleh kebangsaan Indonesia, dan mereka jang ke- bangsaannja tidak ditetapkan oleh Persetudjuan tersebut, jang pada tanggal 27 Desember 1949 sudah mendjadi warga negara Indonesia menurut perundang-undangan Republik Indonesia jang berlaku pada tanggal tersebut (jaitu Undang-undang No. 3 tahun 1946 Republik Indonesia).

Berpangkalan kepada dua peraturan tersebut diatas itu (Un­dang-undang No. 3 tahun 1946 Republik Indonesia dan Persetu­djuan Perpindahan) maka jang mendjadi warga negara Indonesia ialah :

213

Undang-undang No. 3 tahun 1946 Republik Indonesia.a. orang asli dalam daerah Negara Indonesia,b. orang jang tidak masuk golongan diatas, akan tetapi turunan

dari seorang dari golongan itu, jang lahir dan bertempat ke­dudukan dan kediaman didalam daerah Negara Indonesia, danorang bukan turunan seorang dari golongan termaksud, jang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikitnja lima tahun berturut-turut jang paling achir didalam daerah Negara Indonesia, jang telah berumur dua puluh satu tahun, atau telah kawin, ketjuali djika mereka menjatakan 'keberatan mendjadi warga negara Indonesia, karena mereka mendjadi warga negara, negara lain (passieve stelsel),

c. orang-orang jang mendapat kewarga-negaraan Negara Indo­nesia dengan tjara naturalisasi. (Hingga kini Undang-undang Naturalisasi belum ada),

d. anak-anak jang sah, disahkan atau diakui dengan tjara jang sah oleh bapaknja, jang pada waktu lahirnja mempunjai ke­warga-negaraan Indonesia,

e. anak-anak jang lahir 300 hari setelah bapaknja, jang mem­punjai kewarga-negaraan Negara Indonesia, meninggal dunia„

f. anak-anak jang hanja oleh ibunja diakui dengan tjara jang sah, jang pada waktu lahirnja ibunja mempunjai kewarga- negaraan Indonesia,

g. anak-anak jang diangkat dengan tjara jang sah oleh seseorang warga negara Indonesia,

h. anak-anak jang lahir didalam negara Indonesia, jang oleh bapaknja atau ibunja tidak diakui setjara sah,

i. anak-anak jang lahir didaerah Negara Indonesia, jang tidak diketahui siapa orang tuanja atau kewarga-negaraan orang tuanja.

Berdasarkan Persetudjuan Peralihan Konperensi Medja Bun­dar maka jang mendjadi warga Negara Indonesia ialah :

a. orang Belanda jang dilahirkan di Indonesia atau bertempat tinggal disitu sekurang-kurangnja enam bulan, dalam waktu dua tahun sedjak tanggal 27 Desember 1949, berhak menjata­kan untuk memilih kebangsaan Indonesia (actieve stelsel),

b. golongan penduduk orang-orang asli di Indonesia dengan sen- dirinja mendjadi warga Negara Indonesia,

c. orang Indonesia asli kaula negara Belanda jang dilahirkan di Indonesia jang bertempat tinggal di Suriname atau Nederland- se Antillen berhak dalam waktu jang ditentukan menolak ke­warga-negaraan Indonesia (dan memilih kewarga-negaraan Belanda),

d. orang Indonesia asli kaula negara Belanda jang lahir dalam Keradjaan Belanda dan bertempat tinggal dinegeri Belanda, Suriname atau Nederlandse Antillen mendjadi warga negara

214

Belanda ketjuali djika mereka dalam waktu jang ditentukan memilih kewarga-negaraan Indonesia,

e. orang asing kaula negara Belanda, bukan orang Belanda, jang lahir di Indonesia atau bertempat tinggal disitu dan pada tang­gal 27 Desember 1949 telah dewasa, mendjadi warga negara Indonesia, akan tetapi mereka berhak dalam waktu jang di­tentukan untuk menolaknja,

f. anak-anak jang dilahirkan oleh orang tuanja jang mendjadi warga negara Indonesia.

g. wanita-wanita jang kawin dengan orang-orang jang mendjadi warga negara Indonesia,

Pada prinsipnja semua orang asing jang mendapat izin masuk merupakan subjek padjak ini, walaupun mereka hanja untuk semen­tara waktu berada di Indonesia, Terhadap ini diadakan beberapa ketjualian (lihat pasal 1 0 ).

(2) Dimana seorang bertempat kediaman tidak ditentukan berdasarkan undang-undang tapi didasarkan pada keadaan sebe- narnja (fejten).

Penentuan tempat kediaman ini penting untuk mengetahui di- ressort inspeksi mana seseorang harus dikenakan padjak.

(3) Untuk menghindarkan penjelidikan tentang kewarga- negaraan jang memakan waktu jang pandjang maka dibuka ke­mungkinan untuk mengadjukan segala perselisihan atau keragu- raguan tentang kewarga-negaraan kepada hakim setempat, untuk diputuskannja.

Pasal 3.

1 . Tjukup djelas.2 . Sebagai batas kedewasaan ialah umur 21 tahun, ketjuali djika

mereka sebelum mentjapai umur itu telah kawin.Djika perkawinan diputuskan sebelum mereka mentjapai umur 2 1 tahun, maka mereka tidak kembali kekeadaan belum dewasa.

3 . Tjukup djelas. .Untuk menghindarkan keragu-raguan maka hubungan antara laki-isteri dipandang sebagai kawin tjampuran, meskipun formil tidak memenuhi sjarat-sjarat hukum jang berlaku, asalkan sadjaoleh masjarakat dipandang sebagai hidup bersama antara laki-isteri („piaraan” ).

Pasal 4.1 . Pengenaan padjak didasarkan pada keadaan pada awal masa

padjak atau pada awal masa orang asing datang di Indonesia, dan kalau kemudian terdjadi perubahan-perubahan dalam su­sunan keluarga maka oleh pasal 9 dibuka kemungkinan untuk mengadakan penindjauan kembali, sehingga dapat dikenakan tambahan padjak atau pengurangan padjak.

215

2. Untuk memudahkan tjara pengenaan maka telah dipilih tjara mengenakan padjak berdasarkan keadaan pada suatu waktu tertentu (beslissende tijdstip).

Masa padjak ditetapkan untuk 3 tahun. Sistim ini membawa penjederhanaan dalam administrasi padjak, jang mengenakan padjak sekali untuk tiga tahun. Penindjauan kembali ketetapan selama masa padjak berlangsung, hanja dilakukan kalau ter­dapat perubahan dalam susunan keluarga wadjib padjak.

Pasal 5.’l. Kepala keluarga atau orang jang berdiri sendiri, adalah pe­

nanggung padjak. Kepala keluarga adalah penanggung padjak bagi semua anggota keluarga jang mendjadi tanggungannja. Orang-orang jang berdiri sendiri adalah penanggung untuk diri sendiri.

2 . Tjukup djelas.

3. Sjarat mutlak untuk dapat dianggap sebagai anggota keluarga jang penuh mendjadi tanggungannja ialah :

a. bertempat tinggal bersama dengan kepala keluarga, ke- tjuali anak-anak jang belum dewasa, jang untuk kepen­tingan pendidikan harus berada dilain tempat di Indonesia.

b. tidak mempunjai pendapatan sendiri.

Anak jang belum dewasa, akan tetapi mempunjai pendapatan sendiri, dianggap sebagai orang jang berdiri sendiri dan dikenakan padjak tersendiri atas nama ajahnja atau walinja.

Seorang saudara dari kepala keluarga jang sudah dewasa dan jang bertempat tinggal bersama-sama dengan kepala keluarga, penuh mendjadi tanggungannja, dan tidak mempunjai pendapatan sendiri, dianggap sebagai orang jang berdiri sendiri karena ia tidak memenuhi sjarat tertjantum dalam pasal 5 ajat 2.

Batas dewasa diambil batas umur 2 1 tahun.Djadi mereka jang pada awal sesuatu tahun sudah mentjapai

umur lengkap 2 1 tahun dianggap dewasa.Orang tua wadjib padjak atau dari isteri wadjib padjak dalam

keadaan bagaimanapun djuga narus dianggap sebagai orang jang berdiri sendiri.

4. Karena untuk orang asing berlaku hukum jang untuk masing- masing berlainan maka pengertian anak tergantung pada hu­kum jang berlaku bagi mereka. Misalnja untuk bangsa Tiong­hoa anak pungut adalah sah berdasarkan hukum jang berlaku bagi mereka, hal mana belum tentu berlaku untuk bangsa lain.

5. Untuk mengenakan wanita jang hidup terpisah menurut hukum (scheiding van tafel en bed) dianut pendirian seperti dalam mengenakan padjak pendapatan.

6 . Anak jang tak berajah-ibu lagi dan belum dewasa dikenakan padjak pada walinja, dan dalam hal demikian ia tidak dianggap

216

sebagai orang jang berdiri sendiri, dan dikenakan padjak me­nurut tarip jang berlaku untuk anak-anak.

Pasal 6 .1. Tjukup djelas. Mengenai antjamannja lihat ajat 2 pasal 7.2. Tjukup djelas.3. Tjukup djelas, antjaman lihat pasal 7 ajat 2.4. Tjukup djelas, antjaman lihat pasal 7 ajat 2 .5. Dalam hal-hal jang memaksa, jang menjebabkan ketidak­

adilan maka pemasukan surat pemberitahuan dapat diperpan- djang oleh Kepala Inspeksi. Kemungkinan ini hanja merupa­kan keketjualian, dan supaja dipergunakan setjara hemat sekali.

Pasal 7.]. Kewadjiban memberitahukan ini diantjamkan djuga denda

seperti tertjantum dalam pasal 7 ajat 2.

2 . Tjukup djelas.3. Permohonan pengurangan denda dapat diadjukan dengan me­

lalui Kepala Inspeksi Keuangan jang bersangkutan, dan kepala tersebut memberi advis kepada Kepala Djawatan Padjak.

Pasal 8 .

1 . Tjukup djelas.2 . Padjak sekaligus dibuat rampung untuk masa tiga tahun.

.Hanja dalam hal-hal dimana masih terdapat keragu-raguan maka sebagai pengetjualian dapat dikenakan ketetapan se­mentara.Mengenakan ketetapan sementara supaja dilakukan setjara hemat.

3 . Tjukup djelas.4 . Ketetapan padjak dimuat dalam kohir. Ini berarti bahwa pa­

djak ini tergolong dalam padjak-padjak berkohir, dan tentang penagihan dapat diberlakukan peraturan-peraturan penagihan jang berlaku bagi padjak-padjak berkohir, dengan lain perka­taan padjak ini dapat ditagih dengan djalan surat paksa.

5 . Tjukup djelas.

Pasal 9.

1 . Ajat ini membuka kemungkinan untuk mengenakan padjakkepada mereka jang baru mulai mendjadi wadjib padjak se­sudah awal masa padjak atau, dan pula untuk mengadakan penindjauan kembali padjak dari mereka jang berhenti men­djadi wadjib padjak dalam masa padjak. Andai kata seorang baru mendjadi wadjib padjak pada tanggal 1 Djuli 1958, maka untuk masa padjak 1 Djanuari 1957 sampai dengan 31 De­sember 1959 orang itu hanja akan dikenakan untuk tahun 1958. selama enam bulan dan tahun 1959 penuh untuk satu tahun. Begitu pula orang jang kewadjiban padjaknja berhenti dalam

217

masa padjak akan diberikan pengurangan jang sesuai. Untuk memudahkan penghitungan maka sebagian dari bulan jang kurang dari 10 hari dibulatkan penuh mendjadi 10 hari.

2. Penindjauan kembali dilakukan djuga djika terdapat perubah­an dalam susunan keluarga.

Pasal 10.

Pembebasan perseorangan jang tertjantum dalam pasal initidak hanja mengenai diri kepala keluarga, melainkan meliputidjuga seluruh keluarganja jang penuh mendjadi tanggungannja (lihat pasal 5). Djawatan Imigrasi supaja mengeluarkan orang asing jang ada di Indonesia jang tidak mendapatkan penghasilan jang tjukup untuk kehidupan diri sendiri beserta keluarganja. Ukuran tidak mampu diserahkan kepada kebidjaksanaan Kepala Inspeksi Keuangan jang bersangkutan berdasarkan ketetapan pa­djak jang dikenakan kepada wadjib padjak. Guna uniformiteit dianggap perlu Kepala Djawatan Padjak memberi pedoman bila­mana seorang asing dianggap tidak mampu. Karena kemampuan itu adalah pengertian jang relatief dan bergandengan djuga dengan daerah sehingga bersifat lokal, maka sewadjarnja Pamong Pradja setempat diminta djuga pendapatnja. Pada hakekatnja orang asing akan dianggap tidak mampu diserahkan kepada kebidjaksanaan Kepala Inspeksi untuk hidup jang lajak dengan keluarganja.

Jang dimaksudkan dengan wakil-wakil organisasi internasional, ialah orang-orang dari P.B.B. dan organisasi internasional lainnja (umpama Palang Merah) jang perlu berada di Indonesia untuk mendjalankan tugas organisasi tersebut.

Pembebasan para toeris dan orang asing jang ada di Indonesia untuk short visit atau mereka jang mendjalankan research tidak perlu pendjelasan.

Pasal 11.

Jang dikenakan tarip Rp. 1.500,— ialah kepala keluarga atau orang jang harus dianggap berdiri sendiri. Dengan demikian maka seorang saudara wadjib padjak jang sudah dewasa dan bertempat tinggal bersama-sama dengan wadjib padjak, harus dianggap se­bagai orang jang berdiri sendiri, walaupun ia penuh mendjadi tang­gungannja. Ketjuali djika saudara itu belum dewasa, bertempat tinggal bersama-sama dengan wadjib padjak dan tidak berpeng­hasilan sendiri.

Demikian djuga anak jang sudah dewasa, walaupun ia belum mempunjai pendapatan sendiri dan masih bertempat tinggal ber­sama-sama dengan wadjib padjak dan mendjadi tanggungannja harus dianggap sebagai orang jang berdiri sendiri.

Dengan anggota keluarga sedarah dalam keturunan lurus ke- bawah jang belum tjukup umur dimaksudkan anak-anak wadjib padjak, dan tjutju-tjutju wadjib padjak jang penuh mendjadi tang­gungannja.

218

Dengan demikian jang termasuk dalam anggota keluarga lain ialah saudara-saudara atau saudara isteri wadjib padjak jang belum dewasa jang memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 5 ajat 2 dan 3.

Pasal 12.Keberatan-keberatan mengenai ketetapan padjak ini dapat di-

adjukan dengan tjara jang sama sebagai jang berlaku bagi padjak pendapatan 1944, seperti tertjantum dalam pasal-pasal 13, 14, 14a dan 14b.

Pasal 13.1. Tagihan susulan sewaktu-waktu dapat dilakukan asal sadja

tidak telah lewat waktu tiga tahun dihitung dari tanggal pe- njerahan surat ketetapan padjak atau surat keterangan pengu­rangan.Berpedoman kepada pendirian jang dianut dalam padjak pen­dapatan maka tagihan susulan tidak perlu terikat dengan ada- nja suatu novum, sehingga dengan demikian kesalahan-kesa- lahan dari fihak fiscus dapat djuga dibetulkan dengan djalan tagihan susulan.Kesalahan-kesalahan dari fihak fiscus jang merugikan wadjib padjak dapat dibetulkan dengan djalan pasal 14.Akan tetapi kalau pembetulan itu merugikan wadjib padjak, maka pembetulan ini dilakukan dengan menggunakan pasal 13, jaitu tagihan .susulan. Dengan djalan ini maka bagi wadjib padjak masih ada kemungkinan untuk menentang ketetapan tagihan susulan djika ia tidak menjetudjui ketetapan itu. Batas waktu tiga tahun ini hanja disangkutkan dengan tanggal penjerahan surat ketetapan padjak atau dengan tanggal pe- njerahan surat keputusan pengurangan, demikian itu sesuai dengan pendirian dalam Ordonansi Verponding 1928 jang menggunakan djuga systeem masa padjak (belasting tijdvak). Berdasarkan sistim ini maka dapat terdjadi bahwa batas waktu tagihan susulan mendjadi kurang dari tiga tahun jakni dalam hal padjak ditetapkan sesudah awal masa padjak untuk tahun- tahun sesudah tahun penetapan. Ketentuan ini tidak mengu­rangi wewenang Djawatan Padjak untuk melakukan pasal 9 ajat 2 jo. pasal 6 ajat 4.

2. Tambahan 100% merupakan bagian dari ketetapan padjak, se­hingga untuk itu berlaku peraturan-peraturan jang berlaku bagi ketetapan, misalnja soal penagihan, penundaan pembajaran, denda-denda, bunga dan sebagainja.

3. Djika terdapat perubahan dalam susunan keluarga (tambahan) maka wadjib padjak diharuskan untuk memberitahukan hal itu dalam waktu sebulan. (Pasal 6 ajat 4).Djika hal ini tidak dilakukan maka wadjib padjak menghadapi kemungkinan dikenakan tagihan susulan menurut pasal 13

219

ajat 1 dan 2 dengan ditambah dengan 100%. Akan tetapi bila sebelum hal ini diketahui oleh Djawatan Padjak, oleh wadjib padjak dengan kehendak sendiri masih lagi dilakukan pemberitahuan, maka tagihan susulan dikenakan dengan tiada tambahan.

Dalam beberapa hal dimana tagihan susulan menjebabkan ke- tidak-adilan, maka Kepala Djawatan Padjak diberi hak untuk mengurangi atau membatalkan tambahan jang dikenakan ber­dasarkan ajat 2 pasal 13. Dalam surat permohonan pembe­basan atau pengurangan tambahan itu harus dikemukakan alasan-alasan jang menjebabkan tidak mungkin dilaksanakan- nja ketentuan termaksud dalam pasal 6 ajat' 4.

Tjukup djelas.

Pasal 14.Ajat ini membuka kemungkinan untuk mengadakan pembetulan atas kesalahan-kesalahan tulis atau hitung jang terdjadi pada pembuatan kohir. Walaupun demikian perlu diberikan pem­batasan waktu untuk dapat melakukan wewenang itu. Pembatasan waktu sesuai dengan sikap jang dianut bagi ta­gihan susulan, digantungkan pada tanggal penjerahan surat ketetapan padjak.

Waktu untuk mengadakan pembetulan-pembetulan dibatasi dengan dua tahun» akan tetapi kalau dari pihak wadjib padjak dimadjukan permintaan tertulis, dalam d jangka waktu dua ta­hun itu, untuk mengadakan pembetulan maka pembatasan waktu itu tidak berlaku lagi. Permohonan untuk mengadakan pembetulan kesalahan hitung dan tulis atau kechilafan dalam peristiwa-peristiwa ini harus dibedakan dengan surat keberat­an. Surat keberatan pada pokoknja menentang ketetapan se­bagaimana ditetapkan oleh fihak administrasi, akan tetapi surat permohonan meminta perhatian administrasi, atas kesalahan- kesalahan jang telah dilakukan administrasi jang merugikan wadjib padjak.

Pasal 15.Orang jang namanja tertjantum pada surat ketetapan padjak adalah orang jang bertanggung-djawab tentang pembajaran padjak. Anak-anak jang tak berajah ibu dikenakan padjak atas nama walinja, jang ikut bertanggung-djawab atas pem­bajaran padjak.Tjukup djelas.

Tjukup djelas.

Denda sebesar 3% untuk setiap angsuran jang terlambat mem- punjai maksud paedagogisch bagi bangsa asing jang ada di Indonesia, jakni djustru karena mereka berada dinegara jang bukan negaranja mereka harus lebih patuh memenuhi segala peraturan jang berlaku di Indonesia.

Kalau wadjib padjak tidak membajar padjaknja sekaligus dalam waktu jang telah ditentukan administrasi padjak, maka padjak ditagih dengan djalan surat paksa.Tjara-tjara melakukan surat paksa sesuai dengan tjara-tjara jang dilakukan untuk padjak berkohir lainnja.

Djika terdapat alasan jang mendesak diperkenankan penun­daan pembajaran, untuk paling lama 6 bulan. Alasan-alasan harus dikemukakan kepada Kepala Inspeksi Keuangan setem­pat, jang bila terdapat alasan jang dapat diterima, dapat me­merintahkan membuat peraturan pembajaran.

Bunga setengah persen untuk setiap bulan penundaan pem­bajaran adalah lazim dalam hukum padjak, umpama di Padjak Perseroan.Dengan adanja kemungkinan ini wadjib padjak tidak usah terkena denda 3%, asalkan sadja ia memasukkan permohonan- nja pada waktunja (sebelum angsuran djatuh waktunja) dan terdapat alasan-alasan jang mendesak. Alasan-alasan mana jang dapat dianggap sebagai alasan mendesak ditentukan oleh Kepala Inspeksi Keuangan jang bersangkutan.Tjukup djelas.

Pasal 16.

Mengenai hak mendahulu dan pembebanan padjak pada ba­rang milik wadjib padjak dianut pendirian jang sama seperti jang berlaku bagi Padjak pendapatan. Pembebanan pertama- tama dilakukan terhadap milik wadjib padjak, jakni orang jang namanja tertjantum pada surat ketetapan padjak. Disamping itu harta-benda anggota keluarga -jang mendjadi tanggungan- naj djuga dapat dibebani djika pada wadjib padjak tidak ada lagi barang jang dapat dibebani.

Tjukup djelas.

Tjukup djelas.Tjukup djelas.

Pasal 17.

Tjukup djelas.Untuk waktu kadaluwarsa dianut sistim jang berlaku bagi Padjak Verponding, jang sementara tidak dilakukan seluruh- nja. xBatas waktu kadaluwarsa seperti dianut dalam Ordonansi- Verponding 1928, djelas mengenai penagihan padjak dan tidak mengenai penetapannja. Lagi pula kadaluwarsa hutang padjak didasarkan terutama kepada awal tahun dimana dilakukan penetapan. Dalam ajac ini dibeda-bedakan penetapan kohir dalam masa padjak dan sesudah masa padjak. Djika kohir ditetapkan dalam masa padjak jang bersangkutan kadaluwarsa akan mengenai :

a. tahun padjak sampai dengan tahun dimana kohir ditetap­kan.

b. tahun-tahun sesudah tahun penetapan kohir.Untuk a, kadaluwarsa dihitung mulai awal tahun jang ber­

sangkutan.

Bila kohir ditetapkan sesudah masa padjak maka kadalu­warsa mulai dihitung dari awal tahun penetapan kohir. Dengan demikian sistim jang dianut disini berlainan sekali dengan sistim kadaluwarsa jang dipakai di Padjak Pendapatan jang digantungkan pada achir tahun takwim jang bersangkutan.

Pasal 18.1. Antjaman hukuman dalam ajat ini adalah antjaman hukuman

pidana jang didjatuhkan oleh Hakim. Perbuatan jang dian- tjamkan hukuman pidana ini dianggap sebagai kedjabatan.

2. Tjukup d jelas.

Pasal 19.Maksud dari pasal ini ialah untuk melakukan billijkheidsordon-

nantie, dengan tjara jang mudah. Untuk mentjapai maksud ini tjukup dengan mengadjukan surat permohonan kepada Menteri Keuangan melalui Kepala Djawatan Padjak, jang untuk ini mem­beri nasehat seperlunja.

Pasal 20.Karena padjak ini merupakan beban wadjib padjak jang ber­

sifat persoonlijk, lagi pula jang ditimbulkan diluar kehendak wadjib padjak sendiri, maka dirasa pada tempatnja djika beban padjak ini dianggap sebagai beban perseorangan jang dapat dikurangkan dari pendapatan kotor wadjib padjak.

Pasal 21.Tjukup djelas.

Pasal 22.Tjukup djelas.

Termasuk Lembaran-Negara No. 63 tahun 1957.

Diketahui :

Menteri Kehakiman,

G. A. M A E N G K O M .

222

KEM ENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA . PERATURAN PENGUASA MILITER

No. 989/PMT/Tahun 1957

tentang

PEN G A W A SA N PENGADJARAN ASING, B.N. 1957 No. 99 M ENTERI PERTAHANAN SELAKU PENGUASA MILITER

ATAS SELURUH W ILAJAH INDONESIA

Menimbang :

1. bahwa untuk kepentingan keamanan dan ketertiban umum perlu diadakan ketentuan tentang pengawasan pengadjaran asing di Indonesia ;

2. bahwa ketentuan-ketentuan dalam Ordonnantie Pengawasan Pengadjaran Partikelir (Stbl. 1932 No. 494) sebagaimana telah diubah dan ditambah terachir dengan ordonansi termuat dalam Stbl. 1940 No. 3, belum tjukup mendjamin pengawasan peng- adj'aran asing di Indonesia ;

3. bahwa guna mendjamin keamanan dan ketertiban umum ter­sebut, perlu ditetapkan peraturan penguasa militer, agar peng­awasan pengadj'aran asing berdjalan sebagaimana mestinja ;

Mengingat :1. Keputusan Presiden No. 40 tahun 1957, tanggal 14 Maret 1957

tentang pernjataan seluruh wilajah Indonesia dalam keadaan darurat perang ;

2. Keputusan Presiden No. 48 tahun 1957, tanggal 28 Maret 1957 tentang amanat penegasan tentang tata-kerdja bagi para pe- djabat pada segenap alat perlengkapan Negara/Pemerintah diseluruh wilajah Republik Indonesia :

3. Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 1954 (Lembaran-Negara 1954 No. 96) sebagaimana telah diubah dan ditambah kemu­dian, pasal 2 angka 1, tentang penundjukan penguasa-pengua­sa militer ;

4. Undang-undang Dasar Sementara R.I. pasal 31 ;5. Regeling op de Staat van Oorlog en van Beleg (Stbl. 1939

No. 582), pasal 6, 13, 15, 16, 23 dan 37;

Mengingat pula :1. Ordonansi pengawasan pengadjaran partikelir (Stbl. 1932 No.

494) sebagaimana telah diubah dan ditambah terachir denganStbl. 1940 No. 3 ; \

2. Undang-undang No. 4 tahun 1950 R.I. dulu pasal 1 ajat 2 joUndang-undang No. 12 tahun 1954 (Lembaran-Negara 1954 No. 38), tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah ;

3. Keputusan Presiden No. 24«tahun 1953, tentang Hari2 libur;

28

223

M e m u t u s k a n

Menetapkan : „Peraturan tentang pengawasan pengadjaran asing” sebagai berikut:

B A B I.

Ketentuan umum.

Pasal 1,Semua ketentuan atau peraturan mengenai sekolah asing jang

ada dan tidak bertentangan dengan ataupun tidak terdapat dalam peraturan ini dan atau peraturan pelaksanaannja, tetap berlaku.

' Pasal 2.(1) Jang dimaksudkan dengan sekolah asing ialah sekolah

partikelir jang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa peng­antar dan/atau menggunakan rentjana peladjaran asing.

(2) Sekolah partikelir lain jang seperdua dari djumlah peng- adjarnja atau lebih terdiri atas orang asing, dianggap dan diper­lakukan sebagai sekolah asing.

B A B II.

Hal pengadjar.

Pasal 3. i(1) Setiap orang asing jang mengadjar pada sekolah asing

atau sekolah partikelir lain, diwadjibkan memperoleh izin dari Men­teri Pendidikan dan Kebudajaan, selandjutnja disebut Menteri, atau pedjabat jang ditundjuk olehnja.

(2) Setiap warganegara Indonesia, selandjutnja disebut war- ganegara, jang mengadjar disekolah asing diwadjibkan memberi­tahukan kepada Menteri.

B A B III.

Hal Sekolah.

Pasal 4.(1) Sekolah asing jang pada saat mulai berlakunja peraturan

ini telah ada dan sedang berdjalan, diwadjibkan memperoleh izin dari Menteri untuk diperkenankan melandjutkan usahanja.

(2) Sedjak saat peraturan ini mulai berlaku, tidak diberikan lagi izin untuk mendirikan sekolah asing baru, ketjuali dalam hal luar biasa jang ditentukan oleh Menteri.

Pasal 5.a. Penjelenggaraan sesuatu sekolah asing dan

b. pendirian atau penjelenggaraan sekolah partikelir lain olehbukan warganegara, hanja dapat dilakukan oleh suatu badanhukum jang bertempat-kedudukan di Indonesia setelah mem­peroleh izin untuk itu dari Menteri.

224

(1) Permohonan izin untuk menjelenggarakan atau mendiri­kan sekolah harus disertai bukti-bukti jang sah tentang kedudukan hukum badan hukum, pengurus badan hukum, pengurus sekolah, para pengadjar murid-murid, djenis dan tingkat sekolah dan di­lakukan oleh pengurus badan hukum.

(2) Menteri menetapkan tjontoh surat isian dan sjarat-sjarat jang diperlukan bagi segala permohonan izin.

Sekolah asing hanja dapat mempergunakan kepustakaan peng- adjaran jang sesuai dengan pedoman Menteri.

Pasal 8.(1) Sekolah asing tidak diperkenankan menjelenggarakan

pengadjaran lebih tinggi dari pada tingkat menengah.

(2) Menjimpang dari pada ajat (2) pasal 4 dan ajat (1) pasal ini untuk keperluan tertentu suatu badan hukum dapat di­izinkan mendirikan dan menjelenggarakan sekolah asing diatas tingkat menengah untuk pendidikan kedjuruan chusus dengan lama beladjar paling lama nominal satu tahun, segala sesuatu dengan persetudjuan Dewan Menteri.

Pasal 9.(1) Sekolah asing pada azasnja diselenggarakan semata-mata

bagi orang asing.(2) Dalam djumlah jang sangat terbatas beberapa sekolah

asing tertentu dapat diizinkan oleh Menteri menerima murid warganegara.

Pasal 10.(1) Sekolah asing diwadjibkan membuktikan, bahwa murid-

muridnja warganegara asing, dengan keterangan-keterangan jang sah.

(2) Sambil menunggu keputusan instansi jang berwadjib, Menteri berhak melarang sesuatu sekolah asing menerima dan/atau mempunjai murid jang kebenaran kewarganegaraan asingnja di­ragukan.

Pasal 11.

Ketentuan termuat pada pasal 9 dan 10 tidak berlaku bagi pengadjaran asing jang :

a. diperuntukkan melulu bagi orang dewasa ;b. mempunjai rentjana peladjaran jang amat terbatas, terdjadi

atas satu mata peladjaran pokok dan beberapa mata peladjaranbantu jang berhubungan erat dengan mata peladjaran pokok ;

c. bersifat pendidikan chusus ;d. tidak memberikan peladjaran ketjerdasan umum ;e. tidak memberikan lebih dari 12 djam peladjaran dalam se­

minggu.

Pasal 6.

225

B A B IV .

Hal wewenang-wewenang Menteri.

Pasal 12.Menteri berhak menundjuk pedjabat-pedjabat didaerah atau

instansi lain untuk mendjalankan tugas dalam pengawasan peng- adjaran asing, dengan ketentuan bahwa dalam hal melarang se­seorang mengadjar dan menutup sesuatu sekolah harus mendapat persetudjuan lebih dulu dari Menteri.

Pasal 13.Penguasa Militer Menteri Pertahanan setelah mendengar

Menteri menentukan ditempat-tempat mana dapat diselenggarakan sekolah asing.

Pasal 14.Gedung, ruangan, halaman dan perlengkapan sekolah asing

jang tidak atau dianggap tidak perlu diperqunakan laai karena pelaksanaan peraturan ini, ditentukan oleh Penguasa Militer jang ditundjuk oleh atau atas dasar Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 1954, (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 96 sebagaimana telah diubah/ditambah kemudian), untuk segala usaha penampungan murid-murid jang berasal dari sekolah asing.

B A B V.

Hal bea meterai.

Pasal 15.Semua izin untuk mengadjar dan menjelenggarakan sekolah

dikenakan bea meterai, ialah :

1. bagi pengadjar jang dimaksudkan pada pasal 2 ;a. pada sekolah tingkat sekolah rakjat termasuk taman

kanak-kanak dua ratus lima puluh rupiah ;b. pada sekolah tingkat sekolah menengah lima ratus rupiah ;c. pada sekolah diatas tingkat sekolah menengah tudjuh ra­

tus lima puluh rupiah :

2. untuk menjelenggarakan sekolah jang dimaksudkan pada pasal4 dan 8 ;

a. bagi sekolah tingkat sekolah rakjat termasuk tamankanak-kanak dua ribu lima ratus rupiah ;

b. bagi sekolah tingkat sekolah menengah lima ribu rupiah ;

c. bagi sekolah diatas tingkat sekolah menengah tudjuh ribu lima ratus rupiah ;

B A B VI.

Hal hukuman.Pasal 16.

Bila ternjata bahwa para murid warganegara Indonesia suatu sekolah asing jang ditutup karena peraturan ini dipetjah-petjah

226

mendjadi beberapa rombongan kurang dari 10 murid untuk melan- djutkan usaha meluaskan pengadjaran asing, sehingga maksud per­aturan ini tidak tertjapai, maka perbuatan demikian itu dianggap sebagai pelanggaran.

Pasal 17.(1) Diantjam dengan hukuman kurungan selama-lamanja tiga

bulan atau denda sebanjak-banjaknja Rp. 15.000.— (lima belas ribu rupiah) barang siapa melanggar ketentuan-ketentuan jang dimak­sudkan pada pasal 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 13, 20 atau melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam pasal 16.

(2) D jika pelanggaran tersebut ajat (1) diatas dilakukan oleh/atau atas nama suatu badan hukum, sesuatu perserikatan atau suatu jajasan, maka tuntutan dilakukan dan hukuman didjatuhkan :

a. terhadap badan hukum, perserikatan atau jajasan itu, ataub. terhadap mereka jang memberi perintah atau melalaikan

kewadjiban sehingga mengakibatkan pelanggaran tadi atau jang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan pelanggaran tadi, atau

c. terhadap kedua-duanja.

(3) Selain dikenakan hukuman tersebut dalam ajat (1), pe­langgaran terhadap ketentuan pasal 7 dan pasal 20 diantjam dengan penutupan sekolah.

Pasal 18.Perbuatan pidana tersebut dalam pasal 17 adalah pelanggaran.

B A B VII.

Hal ketentuan peralihan dan penutup.Pasal 19.

(1) Keadaan pada lapangan pengadjaran asing pada saat berlakunja peraturan ini tetap berlaku selama dan sekedar belum disesuaikan denqan ketentuan peraturan ini sampai enam bulan se- djak mulai berlakunja, dengan ketentuan bahwa perubahan-per­ubahan sebagai akibat dari pada peraturan ini harus segera dilakukan sedjak saat mulai berlakunja.

(2) Guna mengatur lebih landjut dan melaksanakan keten­tuan-ketentuan termuat dalam Peraturan Penguasa Militer ini. Menteri dapat menetapkan peraturan-peraturan dan mengambil tindakan seperlunja.

Pasal 20.

Setiap pendiri, penjelenggara dan/atau pemimpin sekolah di- wadjibkan memberikan bantuan setjukupnja dalam pelaksanaan peraturan ini.

Pasal 21,Peraturan Penguasa Militer ini mulai berlaku pada hari di­

umumkan.

227

Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, maka peraturan ini diumumkan dalam Berita-Negara, surat-surat kabar dan dalam siaran-siaran Pemerintah melalui Radio.

Ditetapkan d i : Djakarta.

Pada tanggal : 6 Nopember 1957.

Menteri Pertahanan

selaku

Penguasa Militer, ttd.

D JUANDA.

Diumumkan pada tanggal 18 Nopember 1957.

29

P E N D J E L A S A N

PERATURAN PENGUASA M ILITER

tentang

Pengawasan Pengadjaran Asing (No. 989/PMT/tahun 1957) tanggal 6 Nopember 1957

Dikeluarkan oleh :

M ENTERI PERTAHANAN SELAKU PENGUASA M ILITER

U m u m .

Sedjak berachirnja masa pendjadjahan di Indonesia, pertum­buhan dan perkembangan sekolah-sekolah partikelir sedemikian pesatnja, sehingga perlu diperhatikan dan diadakan pengawasan seperlunja.

Pengawasan itu lebih-lebih diperlukan, karena sebagai akibat dari perubahan ketatanegaraan, pada lapangan pengadjaran parti­kelir timbul persoalan baru. Disamping sekolah partikelir jang mengikuti rentjana peladjaran Pemerintah dan menggunakan ba­hasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, telah banjak pula didiri­kan dan diselenggarakan sekolah-sekolah partikelir mengikuti ren­tjana peladjaran jang berlainan sekali dan menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar.

Sekolah-sekolah tersebut kemudian ini pada umumnja didirikan dan diselenggarakan baik oleh badan-badan atau orang-orang asing penduduk Indonesia, maupun oleh warganegara Indonesia chusus- nja terdiri atas warganegara keturunan asing, jang tersebar dise- luruh wilajah Republik Indonesia sampai ketempat-tempat jang amat terpentjil letaknja.

22S

Sekolah-sekolah itu bukan dikundjungi oleh murid-murid asing sadja melainkan djuga oleh peladjar-peladj'ar warganegara Indo­nesia, bahkan dipelbagai tempat mereka ini merupakan bagian jang terbesar, sehingga disekolah itu mereka dengan sendirinja menerima pendidikan dan pengadjaran asing karena tiap negara mempunjai sistim pendidikan dan pengadjaran sendiri jang berbeda dengan sistim pendidikan dan pengadjaran Indonesia sebagaimana tertjan- tum dalam undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengadjaran disekolah (Undang-undang No. 4 tahun 1950 jo Un­dang-undang No. 12 tahun 1954).

Selain dari pada itu, sesuai dengan asas-asas demokrasi, se­kolah-sekolah ini didirikan dan diselenggarakan oleh badan-badan dan orang-orang jang menganut pendirian, ketatanegaraan jang berlainan, bahkan saling bertentangan, sehingga sekolah-sekolah itu merupakan lapangan dan sasaran pertengkaran politik, jang da­pat menimbulkan hal-hal jang tidak dikehendaki oleh Pemerintah.

Keadaan tersebut diatas tak dapat diatasi dengan peraturan perundangan jang ada, karena satu-satunja peraturan jang dapat digunakan jaitu „Toezichtordonnantie Particulier Onderwijs”, Staatsblad 1932 No. 494 dengan perubahannja dan tidak mentjakup penjelesaian masalah pengawasan sekolah asing.

Keadaan jang demikian itu mendesak Penguasa segera meng­ambil tindakan sesuai dengan keadaan perang dan darurat perang untuk menetapkan peraturan guna menjalurkan pertumbuhan se­kolah tersebut kearah jang menguntungkan atau sekurang-kurang- nja tidak merugikan negara dan masjarakat. t

Peraturan ini tidak berlaku bagi sekolah-sekolah jang semata- mata mengadjarkan sesuatu agama, madzab keagamaan atau per­siapan bagi pengadjaran keagamaan.

Pasal demi pasal :

B A B V

Pasal 1.Tjukup djelas.

Pasal 2.

( 1 ) Dengan rentjana peladjaran asing dimaksudkan pula tiap-tiap rentjana peladjaran jang sangat berlainan dengan jang digunakan disekolah-sekolah Indonesia jang setingkat. .

(2) Djika seperdua atau lebih dari djumlah pengadjar pada sesuatu sekolah „nasional” terdiri atas orang asing, maka sukar untuk dikatakan, bahwa sekolah itu masih „nasional”, karena pe­ngaruh dialirkan dari atas kebawah, dari guru kemurid. Unsur dan pengaruh asing dari sekolah itu adalah terlalu besar untuk dapat dipertahankan dan didjamin djiwa, sifat dan tjorak nasionalnja. Itulah sebabnja maka sekolah jang demikian dianggap dan diper­lakukan sebagai sekolah asing.

229

B A B II.

PbshI 3

janq didirikan^;?^/^^!1 den9an sekolah partikelir ialah sekolah menerima ateuDnn ^^ng ga rakan oleh pihak partikelir, baik jang

atau P™merintah^^aerah. menerima ^ntuan dari Pemerintah Pusat

(2) Tjukup djelas.

B A B III.

diberikan kepada^sekokTa?211 161199 3^311 sek°lah asing hanjaKetjuali dalam hal luar biasa Jan9f,t^ ah ada dan memenuhi sjarat.

butuhan akan pendidikan dan penaad a f m .sesuatu tempat ke-sangat mendesak, sedanakan c*V f ' , J ran, 91 warganegara asing

menampungnja, dapat diizinkan m^ T £ J3ng 3da tidak dap3tnkan mendirikan sekolah asing.

r t , , Pasal 5.

oranaan ^angmruranghdadpair dannia Sekolah' sekolah oleh perse-pendidikan dan penoadiaKn £ ertan9Sun9-djawabkan dari sudut alat untuk mentjapai tudiuan u-j3k sedikit sekolah dipakai

kan dan pengadjaran. 301 dang lain dari pada pen-

d ir ik^aoIehSs?aatibaadan hukumh:Sek°lah tersebut hanJa dapat di- dan berkedudukan di IndonecS ^ n 9 tUnduk pada hukum Indonesia ukum itu bukan bersifat nprj* en9an ketentuan bahwa badan

dirikan untuk tudj„a„ a m JT d a T X 3 me'a,'nkan >a" 9 melulu di'

(1) p i Pasal 6.

jan9 sah dari

dan buk"1 j iper*ukan antara ]afmi demikian djuga siarat-sehinaa U p dJ'aran jang dipakai ° men9enai rentjana peladjaran

7 , ? ¿¡n dapat be J ? T " “ 1“ ” P eriksaan .

(2> " “ « '» k a r U n d fe t " » “ 9a" lanl,ar'

la'-hal jang dapat tnen,-

Iah-madjakh a t a ^ ^ buku“buku p S ’ asing hanja di-Menteri jano ° p^nerbitan lain T-»3 ,3r' brosur-brosur, madja-

an ditetapkan kemudian SCSUai den9an pedoman

Ketentuan ini m *• Pasal 8-

^ a ^ a „ TiS ' jaaf 9 i ' A t d ^ * as" " 'a Universitas asinB Per-

dari pada sekolah memf Uniai Pengaruh 91 if-u9 karena kedudukan-

230 rendah da« ,uas d3n mendalam

Dipandang tidaklah sesuai dengan kepentingan negara dan masjarakat untuk mengizinkan adanja sekolah asing jang menje- enggarakan pengadjaran diatas tingkat menengan.

Orang asing dapat melandjutkan peladjarannja pada perguruan tinggi nasional, asalkan memenuhi sjarat-sjarat penerimaan, atau meneruskan peladjarannja diluar negeri.

Penjimpangan tersebut dalam ajat (2) ini dirasa perlu untuk menjelenggarakan pengadjaran kedjurusan chusus setahun diatas tingkat menengah. Mengingat bahwa perusahaan-perusahaan asing besar jang membutuhkan tenaga bangsa Indonesia untuk dipeker- djakan sebagai tenaga ahli atau staf dalam perusahaannja.

Pasal 9.

Pada asasnja izin mendirikan dan menjelenggarakan sekolah asing semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan Pengadjaran warganegara asing penduduk Indonesia sesuai dengan dasar-dasar pendidikan dan pengadjaran mereka sendiri, asalkan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

Dengan mengingat kebutuhan pendidikan dan pengadjaran bagi keluarga pedjabat perwakilan Indonesia atau pedjabat lain jang karena pekerdjaannja kerap kali berada dan menetap diluar negeri untuk beberapa tahun lamanja, serta mengingat kemungkinan sesuatu keluarga Indonesia, karena pekerdjaannja bertempat tinggal djauh terpentjil dari sekolah-sekolah nasional, sehingga terpaksa memasukkan anak-anaknja pada sekolah asing jang dekat. Maka Pada sekolah-sekolah asing tertentu dapat diizinkan menerima murid warganegara Indonesia dalam djumlah jang sangat terbatas.

Pasal 10.

Ketentuan ini bermaksud memberi tanggung-djawab kepada Penjelenqqaraan atau pemimpin sekolah agar mereka dengan teliti memeriksa kewarganegaraan setiap murid atau tjalon murid |ang

ada pada sekolahannja.

Pasal 11.t t . t i a l a h k u r s u s - k u r s u s u n t u k m e n a m b a h p e -

d,us.ru disele„93arakan u„,„t memenuh? keperluan masjarakat, misalnja kursus bahasa asing, kursus mengSTdalam bahasa asing, kursus memegang buku dalam

bahasa asing dan lain sebagainja.

B A B IV.

Pasal 12.i „ r r i i a a n n e n q a w a s a n s e k o l a h asing,

. Guna melantjarkan pe nwijabat-pedjabat lain untuk men­yenteri diberi hak menunduk p ^ a te tp e j

djalankan sebagian tugas dana 231

Pasal 13.

Ketentuan ini bermaksud untuk memusatkan sekolah-sekolah asing pada tempat-tempat jang sangat dirasa perlu kebutuhannja dan jang mudah didatangi oleh ,para petugas agar pengawasan dapat dipermudah sehingga kepentingan negara dan masjarakat lebih terdjamin.

Pasal 14.✓ w

Ketentuan ini perlu untuk menegaskan wewenang Penguasa Militer untuk merequireer gedung-gedung atau peralatan sekolah lain jang karena akibat pelaksanaan peraturan ini sekolah ditutup. Serta untuk mentjegah penggunaan gedung dan peralatan sekolah tersebut bagi kepentingan lain.

B A B V . '

Pasal 15.Tjukup djelas.

Pasal 16.Tjukup djelas.

B A B V I.

Pasal 17.Tjukup djelas.

Pasal 18.Tjukup djelas.

B A B V II.

Pasal 19.Dengan mengingat ketentuan pasal 20 sekolah-sekolah asing

jang telah ada diperbolehkan terus menjelenggarakan usahanja dan diberi batas waktu enam bulan untuk dengan segera menjesuaikan dengan peraturan ini.

Pasal 20.Tjukup djelas.

Pasal 21.Tjukup djelas.

232

S A L I N A N :

30

No.: 113826/S. PETIKAN dari Daftar surat2 keputusan^ Menteri Pendidikan, Peng-

Lampiran : 7 adjaran dan Kebudajaan Re­publik Indonesia.

M EN T ER I PENDIDIKAN, PENGADJARAN DAN KEBU­

DAJAAN REPUBLIK INDONESIA.

Menimbang: bahwa perlu diadakan peraturan tentang pelak­sanaan Pengawasan Pengadjaran Asing sebagaimana tertjantum dalam Peraturan Penguasa Militer tentang Pengawasan Pengadjar­an Asing ;

Mengingat: Peraturan Penguasa Militer Menteri Pertahanan tgl. 6 Nopember 1957 No. 989/PMT/1957 tentang Pengawasan Pengadjaran Asing ;

Mendengar : Kepala Biro Pendidikan Asing ;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :

Peraturan tentang Pelaksanaan Pengawasan Pengadjaran Asing.

B A B I.

Ketentuan Umum.

Pasal 1.

(1) Jang dimaksudkan dengan „Peraturan Penguasa Militer” dalam peraturan ini ialah Peraturan Penguasa Militer Menteri Pertahanan tanggal 6 Nopember 1957 No.: 989/PMT/1957 ten­tang Pengawasan Pengadjaran Asing.

(2) Peraturan ini selandjutnja disebut „Peraturan Pelaksa­naan”.

B A B II.

P e t u g a s .

Pasal 2.

Untuk melaksanakan peraturan ini ditundjuk :a) Biro Pendidikan Asing, selandjutnja disingkatkan dengan

B.P.A., jang bertugas melakukan kordinasi pengawasan dan pembuatan peraturan pelaksanaan ;

b) Kordinator Inspeksi Pengadjaran Daerah (Kepala Perwakilan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan), di­bantu oleh Inspeksi Pengadjaran Asing, selandjutnja dising­katkan dengan I.P.A., dan Inspeksi lain untuk pelaksanaan ;

dengan ketentuan bahwa segala sesuatu harus dilaksanakan dalam hubungan erat dengan Penguasa Militer setempat.

233

B A B III.Pengadjaran Sekolah Asing.

Pasal 3.

(1) Setiap warga negara Indonesia jang mengadjar pada sekolah asing diwadjibkan memberitahukan kehendaknja lebih dahulu kepada Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, selandjutnja disebut Menteri, dengan menggunakan surat isian Model A l seperti tersebut dalam lampiran I Peraturan Pelaksanaan.

(2) Pemberitahuan akan mengadjar dilain sekolah asing di­lakukan dengan surat isian Model A II seperti tersebut dalam lam­piran II Peraturan Pelaksanaan.

Pasal 4.Untuk memperoleh izin termaksud pada pasal 3 ajat 1 Per­

aturan Penguasa Militer pemohon diwadjibkan menggunakan surat isian Model BI seperti tersebut dalam lampiran III Peraturan Pe­laksanaan ini untuk dikirimkan kepada I.P.A.

Pasal 5.Sarat-sarat jang harus dipenuhi oleh pemohon izin adalah :

a) berusia sekurang-kurangnja 18 tahun;b) beridjazah serendah-rendahnja jang setaraf dengan tingkat

sekolah dimana ia akan bekerdja sebagai pengadjar ;c) berkelakuan baik jang dibuktikan dengan keterangan Kepala

Polisi setempat.

Pasal 6.(1) Bila seorang pemegang izin mengadjar pindah mengadjar

pada sekolah asing lain, maka hal itu harus segera diberitahukan kepada jang berwadjib dengan menggunakan surat isian Model A II seperti tersebut dalam lampiran II Peraturan Pelaksanaan.

(2) Pada surat isian termaksud dalam ajat (1) dibubuhkan tanggal dan nomor izin mengantar jang bersangkutan.

Pasal 7.Izin mengadjar ditjabut, apabila ternjata bahwa pemegang izin :

a) memberikan keterangan palsu waktu minta izin ;b) memberikan pengaruh kepada para murid setjara langsung

atau tidak langsung hingga dapat dianggap membahajakan ketenteraman dan ketertiban umum ;

c) tidak memberikan bantuan setjukupnja kepada pegawai jang diserahi tugas pengawasan sekolah-sekolah asing ;

d) tidak mengindahkan peraturan untuk sekolah asing jang ber­laku.

Pasal 8.(1) Orang asing pemegang tanda penerimaan SPA /II jang

pada saat mulai berlakunja Peraturan Penguasa Militer sedang mendjabat guru pada sesuatu sekolah asing jang telah diperkenan­kan melandjutkan usahanja, diwadjibkan segera mengadjukan per­mohonan izin selambat-lambatnja tiga bulan setelah peraturan ini berlaku.

234

(2) Pada permohonan izin itu dilampirkan djuga tanda pe­nerimaan SP A /III jang terachir.

B A B IV

Penjelenggaraan sekolah.Pasal 9.

(1) Permohonan izin untuk menjelenggarakan sekolah asing seperti dimaksudkan pada pasal 4 Peraturan Penguasa Militer di­lakukan dengan menggunakan surat isian Model BII seperti ter­sebut dalam lampiran ke IV peraturan ini.

(2) Permohonan izin tersebut pada ajat (1) disampaikan kepada I.P.A. segera dan selambat-lambatnja tiga bulan sedjak saat berlakunja peraturan ini.

* Pasal 10.Sarat untuk memperoleh izin seperti dimaksudkan dalam pasal

4 Peraturan Penguasa Militer adalah seperti berikut:a) pemohon adalah suatu badan hukum jang berkedudukan di

Indonesia dan melakukan pekerdjaan sosial dan amal;b) sekolah jang akan diselenggarakan bertudjuan semata-mata

memberikan pendidikan dan pengadjaran jang terlepas dari pada maksud-maksud politik tertentu ;

c ) menurut pendapat Menteri sekolah tersebut memenuhi kebu­tuhan masjarakat sekelilingnja, berwudjud djumlah murid bukan warga negara Indonesia jang tjukup besar ;

d) keadaan gedung memenuhi sarat minimum untuk memelihara keselamatan dan kesehatan murid ;

e) pemohon tidak bermaksud memperoleh keuntungan jang tidak lajak ;

f) ketjuali ketentuan tersebut diatas, bagi permohonan izin seperti dimaksudkan pada pasal 4 ajat (1) Peraturan Penguasa M i­liter, kenjataan bahwa sekolah jang bersangkutan telah ada dan sedang berdjalan pada saat Peraturan Penguasa Militer mulai berlaku.

Pasal 11.Tiap perobahan berkenaan dengan nama, tingkat dan/atau

djenis sekolah harus segera diberitahukan kepada I.P.A.Pasal 12.

Izin menjelenggarakan sekolah asing dapat ditjabut apabila ternjata bahwa :a) Sarat-sarat tertjantum pada pasal 10 tidak dipenuhi lagi;b) Pemohon pada waktu mengadjukan permohonan izin ternjata

memberikan keterangan-keterangan pateu ;c) Sekolah tidak memberikan bantuan setjukupnja kepada para

pengawas sekolah asing, sebagai dimaksudkan dalam pasal 20 Peraturan Penguasa Militer;

d) Sekolah menundjukkan kegiatan-kegiatan jang dianggap ber­tentangan dengan kepentingan, keamanan dan ketertiban Indonesia.

235

Pasal 13.Bila pembentukan badan hukum seperti termaksud pada pasal

10 huruf a belum dapat dilaksanakan, akan tetapi usaha kearah itu telah didjalankan, kepada sekolah jang bersangkutan dapat diberi­kan izin sementara jang berlaku selama-lamanja enam bulan.

B A B V.

Penerimaan Murid.

Pasal 14.

(1) Sekolah asing pada asasnja tidak diperkenankan menerima dan/atau mempunjai murid warga negara Indonesia.

(2) Ketentuan pada ajat (1) tidak berlaku bagi pengadjaran asing jang lazim disebut „Kursus” sebagai dimaksudkan padapada pasal 11 Peraturan Penguasa Militer.

Pasal 15.Bila ternjata bahwa murid warga negara Indonesia suatu sekolah

asing jang ditutup sebagai akibat pelaksanaan Peraturan Penguasa Militer dipetjah-petjah mendjadi beberapa rombongan kurang dari sepuluh murid untuk melandjutkan usaha meluaskan pengadjaran asing, maka usaha demikian itu dihentikan/dilarang.

Pasal 16.Permohonan izin untuk menerima dan/atau mempunjai murid

warga negara Indonesia seperti dimaksudkan dalam pasal 9 ajat 2 Peraturan Penguasa Militer disampaikan kepada B.P.A. melaluiI.P.A.

Pasal 17.

Sarat untuk memperoleh izin seperti dimaksudkan pada pasal 16 ialah :

a) Menundjukkan bukti bahwa sekolah asing jang bersangkutan telah menerima permintaan dari orang tua atau wali murid warga negara Indonesia, jang karena djabatan/pekerdjaan, atjapkali bertempat tinggal diluar negeri sehingga anak2nja diluar negeri itu terpaksa menerima pendidikan asing.

b) Memberikan djaminan tjukup bahwa sekolah jang bersang­kutan tidak akan menerima murid baru warga negara Indonesia sebelum memperoleh persetudjuan B.P.A. atau I.P.A.

Pasal 18.

Tiap triwulan sekolah pemegang izin seperti dimaksudkan pada pasal 9 ajat 2 Peraturan Penguasa Militer, wadjib mengirim­kan daftar nama para murid warga negara Indonesia dari sekolah- nja beserta nama dan alamat orang tua atau wali murid masing2.

Pasal 19.Izin menerima murid warga negara Indonesia ini dapat di-

tjabut bila :

236

a) Ternjata bahwa pemohon pada waktu minta izin memberikan keterangan« jang tidak benar ;

b) Sekolah jang bersangkutan tidak mengindahkan peraturan jang berlaku baginja ;

c) Sekolah jang bersangkutan ternjata telah menerima murid warga negara Indonesia tanpa persetudjuan B.P.A. atau I.P.A.;

d) Menurut pendapat Menteri djumlah murid warga negara Indo­nesia jang berhak mengundjungi sekolah asing sudah sangat ketjil, sehingga tidak ada alasan lagi untuk diteruskan izinnja.

B A B VI.

Kepustakaan Pengadjaran.

Pasal 20.Semua buku peladjaran, buku perpustakaan atau penerbitan

lain jang digunakan atau jang bersangkut paut dengan pengadjaran pada sekolah asing, tidak boleh mengandung anasir politik dan/ atau hal-hal jang dapat menggangu atau membahajakan keamanan dan ketertiban umum, sesuai dengan pedoman Menteri.

Pasal 21.Buku-buku peladjaran jang telah mempunjai tjap lambang

negara Republik Indonesia dibubuhi kata-kata :„Telah diperiksa oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan Republik Indonesia”,

adalah buku-buku jang telah diperiksa dan diizinkan oleh Menteri.

Pasal 22.(1) Atas permintaan Kepala I.P.A., sekolah asing diwadjibkan

mengirimkan buku perpustakaan sekolah jang tertulis dalam bahasa asing kekantor I.P.A. untuk diteruskan ke B.P.A.

(2) Sebagai hasil pemeriksaan termaksud pada ajat (1), buku2 jang diizinkan dipakai disekolah asing, diberi tjap oleh B.P.A. dengan keterangan- bahwa buku2 itu diperkenankan diguna­kan disekolah asing.

Pasal 23.Sekurang-kurangnja tiga bulan sekali B.P.A. mengumumkan

hasil pemeriksaan buku2 agar sekolah jang mempunjai buku2 ter- tjantum pada daftar itu, dapat:a) Meminta tjap izin kepada B.P.A. bagi jang diperkenankan :b) Mengeluarkan buku2 jang tidak diizinkan dari sekolah.

B A B VII.

Penampungan murid warga negara Indonesia.

Pasal 24.(1) Murid warga negara Indonesia jang meninggalkan sekolah

asing karena pelaksanaan Peraturan Penguasa Militer se-dapat-dapatnja ditampung oleh sekolah2 nasional dalam kelas- kelas setingkat.

(2) Bila penampungan oleh sekolah2 nasional jang telah ada tidak memungkinkan karena kekurangan tempat, dapat diseleng­garakan sekolah nasional baru baik berupa sekolah negeri maupun sekolah partikelir.

Pasal 25.(1) Penundjukan gedung, ruangan, halaman dan/atau perleng­

kapan sekolah asing seperti dimaksudkan pada pasal 14 Per­aturan Penguasa Militer dilakukan setelah mendengar pen­dapat Kordinator Inspeksi Pengadjaran Daerah (Kepala Perwakilan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Ke- budajaan) dan I.P.A. setempat, berdasarkan perbandingan djumlah murid asing dan murid warga negara Indonesia jang berasal dari sekolah asing.

(2) Penggunaan sebuah gedung bekas sekolah asing untuk dua djenis sekolah, jakni asing dan Indonesia, pada waktu jang sama sedapat-dapatnja dihindarkan.

B A B V III.

Ketentuan Penutup.Pasal 26.

Semua surat izin jang dimaksudkan dalam peraturan ini dapat diberikan setelah dipenuhi ketentuan termaksud pada pasal 15 Per­aturan Penguasa Militer dan ditetapkan menurut lampiran V , V I dan V II peraturan ini.

Pasal 27.

Peraturan ini dapat disebut Peraturan Pelaksanaan dan mulai berlaku pada tanggal 20 Nopember 1957.

Menteri Pendidikan, Pengadjaran

dan Kebudajaan,

ttd: (P R IJO N O ).

238

Salinan kepada :

1. D ire k tu r K a b in e t P residen.

2. D ire k tu r K a b in e t P e rdana M enteri.

3. S ek re tar is D e w a n M en te r i.

4. P e n g u a s a M il ite r M e n te r i P ertahanan . '

5. S e m ua K em en te rian ..

6. T h e u su r i N e g a ra K em enterian Keuangan.

7 . D e w a n P e n g a w as K e uangan N egara.

8. P e rw a k ila n D e w a n P engaw as K euangan di Jog ja arta.

9. K e tu a D e w a n P e rw ak ila n R ak ja t.

10. Seksi E D e w a n P e rw ak ilan R ak ja t.

11. D ja w a ta n P e rbe ndaharaan dan Kas2 Negeri.

12. D ja w a ta n P e rd ja la n an .

13. D ja w a ta n K e po lis ian N egara .

14. D ja w a ta n Im ig ra s i K em enterian Kehakim an.

15. S e m ua K a n to r P usa t P erbendaharaan .

16. K a n to r U ru s a n Pegaw ai.

17. S e m ua K a n to r T ja b an g D ja w a ta n Perd ja lanan .

18. Semua Presiden Universitas.19. Semua Ketua/Dekan Fakultas/Perguruan Tinggi*

20. Dewan Penasehat Antar Universitas.

P P dan K23. Kepala Djawatan Pendidikan Umum dan Kepala Djawatan

Pend. Kedjuruan.24. Kepala Biro Pendidikan Asing.25. Semua Koordinator Inspeksi Pengadjaran Daerah.26. Semua Inspeksi Pengadjaran Asing Daerah/Tja ang.27. Semua Kantor P.P.K. Propinsi dan Daerah setingkat

pinsi.28. Semua Kepala Inspeksi S.R. Kabupaten/Kota esar.

29. Semua Kepala Inspeksi S.M.P. Daerah.30. Semua Kepala Inspeksi Pendidikan Guru Daerah.

31. Semua Kepala Inspeksi S.R. Daerah.

32. Semua Kepala Inspeksi S.G.A. _33. Semua Kepala Inspeksi S.T.P./S.T.M. Daerah.

34. Semua Gubernur Propinsi. i.35. Kepala Daerah Istimewa Jogjakarta.36. ^Vali Kotapradja Djakarta Raja.

239

Lampiran I dari Keputusan Menteri P. P. dan K. tanggal 13

Nopember 1957 No. : 113826/S.

N o .:........

SURAT IS IAN M O D EL A I

SURAT PEM BERITAHU AN

untuk

M EN G A D JA R D ISEKOLAH ASING.

PERHATIAN : 1) Surat isian in i setelah diisi dan ditanda-tangani harusdisampaikan rangkap empat kepada Inspeksi Peng- adjaran Asing Daerah, jang akan memberikan „Tanda penerimaan”.

2) Kepada jang bersangkutan diperingatkan bahwa ia dapat dituntut dimuka hakim, apabila dalam surat isian in i terdapat keterangan jang tidak sesuai dengan ke­adaan sebenarnja.

3) . Mengadjukan Model A l sekali lagi hanja diperkenan­kan djika alasan penting.

1. Nama lengkap(nama Tionghoa ditulis djuga dengan huruf Tionghoa tjetak)

2. Alamat lengkap

3. Tempat dan tanggal kelahiran

4. Kebangsaan

5. Idjazah-idjazah jang dipunja

(terangkan nama, tingkat dan

tempat sekolahnja dan tanggal

diperolehnja)

6. Pengalaman sebagai guru

(terangkan nama dan tempat se­

kolah serta waktunja d a r i..........

.............. sampai ......................... )

7. Bahasa pengantar jang diguna­kan waktu mengadjar

8. Tingkat/djenis peladjaran jang akan diberikan oleh jang ber­kepentingan

b) ..........................

d) ..........................

(dari tgl............ sampai tgl..... .)b) ...........................

(dari tgl........... sampai tgl..... ...t

d) ...........................(dari tgL.......... sampai tgl..... ....)

(dari tgL.......... sampai tgl..... ....)

Tingkat peladjaran ..............................

240

(Taman Kanak-kanak, S.R.,

S.M.P., S.M.A. dis.)

9. Akan bekerdja sebagai guru

atau guru Kepala pada sekolah

(tjoret jang tidak perlu)

10. D isamping mengadjar pada se­

kolah tersebut No. 10, meng-

adjar d juga disekolah

Mata peladjaran :

a) ..................................................

b) ..................................................

c) .......................................d) ........................................e)

Nama sekolah ...........................

Alamat sekolah ..........................

Mulai ............................................

Nama dan alamat sekolah lain.

a> .................................................

b)

c)

11. Apakah pernah mengadjukan

surat isian Model A-I? Djika su­

dah : dimana, tanggal dan nomor

berapa ? Sebab apakah tuan

mengadjukan Model A-I baru?

12. Menguasaikah tuan bahasa Indo­

nesia ? D jika ja , idjazah atau

surat keterangan apakah jang

telah tuan peroleh?

(Menurut bahasa Indonesia ada­

lah sarat m utlak bagi guru ke­

pada sekolah asing)

tgl............................ 19,Diisi dengan sebenarnja.

Tanda tangan.

potret-pas jangbersangkutan

I

TAN DA PEN ER IM A A N

(sebagai bagian surat isian Model A l)

Jang bertanda tangan dibawah ini menerangkan telah mene­

rima surat pemberitajhuan untuk mengadjar disekolah asing (surat

isian Model A-I tgl............................................. N o .:....................... )

dari Tuan/Njonja/Nona .......................................*..........................

alamat lengkap .... ..............................................................

Untuk mengadjar disekolah asing :

Nama sekolah : .............

Alamat sekolah : .............

..................... tgl.............................19.

Kepala Inspeksi Pengadjaran Asing

Daerah...............................

( ...................................... )•

Potret-pas jang

bersangkutan

242

Lampiran II dari Keputusan Menteri P. P. dan K. tanggal 13 Nopember 1957 No.: 113826/S.

NoT:.............................

SU RA T IS IAN M ODEL A-II

SURAT PEMBERITAHUAN

untuk mengadjar

DISEKOLAH ASING LAIN.

PERHATIAN: 1. Surat isian ini, setelah diisi dan ditanda-tangani, harusdisampaikan rangkap empat kepada Inspeksi Pengadjaran Asing Daerah, jang akan memberikan „Tanda Penerimaan”.

2. Sekolah ini dianggap sebagai „domicili” guru jang ber­sangkutan. Djika guru tersebut pindah mengadjar kese- kolah asing lain (djadi „domicili” diubah) maka ia harus memberitahukan kepindahannja itu dengan mengadjukan surat isian Model A-II baru.

Jang bertanda tangan dibawah in i:

Nama lengkap : ............................................................................

A la m a t lengkap : ................................................................................................

adalah pemegang„ Tanda Penerimaan” surat isian Model A-l No............

izin mengadjar

tgl................................................jang sekarang mengadjar disekolah asing :

Nama sekolah : ...........................................................................

A la m a t sekolah : ...............................................................................................

Memberitahukan dengan hormat bahwa mulai tanggal..................hendak mengadjar disekolah asing :

Nama sekolah : ............................................................................

Alamat sekolah : ................,...........................................................dalam mata-peladjaran :

a) .................. 1.....................................

b) .........................................................

c) .........................................................

........................... tgl............................19.......

Tanda tangan,

( ..................................... )•

Potret-pas jangbersangkutan

243

TANDA PENERIM AAN

(sebagai bagian dari surat isian Model A-II)

Jang bertanda tangan dibawah ini menerangkan telah mene­

rima surat pemberitahuan untuk mengadjar disekolah asing lain

(surat isian Model A-II No................ tgl.............................) dari :

Tuan/Njonja/Nona : ......................

Alamat lengkap ;

Pemegang

„Tanda. Penerimaan' surai isian Model A-I N o .............

izin mengadjar

tg1...............................i mengadjar disekolah asing : ............

Nama sekolah :

Alamat sekolah :

dan akan mengadjar disekolah 'asing :...............................................

Nama sekolah :

Alamat sekolah : dalam mata peladjaran : ..........................................................

a) ..............b) .................... ;;;;;;;;..........................

c) ................. .............................

.................... ................................... 19.

Kepala Inspeksi Pengadjaran Asing,

Daerah

Tjabang ................. ...............

<...................................... .

Potret-pas jangbersangkutan

244

Lampiran III dari Keputusan Menteri P.P. dan K. tanggal 13

Nopember 1957 No. 113826/S.

PERMOHONAN IZ IN untuk

MENGADJAR DISEKOLAH ASING 2)

Jang bertanda tangan dibawah in i:

Alamat : ...................................................

Nama : ...................................................

mohon dengan hormat diberi izin untuk mengadjar. Keterangan2 jang diperlukan adalah :

Model B.I.

1. Nama lengkap pemohon (nama Tionghoa ditulis djuga dengan huruf Tionghoa tjetak)

2. Alamat lengkap

3. Tempat dan tanggal kelahiran

4. Kebangsaan

Tjatatan:

5. Idjazah3 jang dipunjai

a) Terangkan nama, tingkat dan tempat sekolahnja.

b) Sekolah menengah harus di­terangkan tingkat S.M.P. atauS.M.A.

6. Nama dan alamat sekolah di- mana pemohon (akan) bekerdja

sebagai guru7. Tingkat peladjaran jang akan di­

berikan (T.K, S.R., S.M.P., dsb.)

8. Bahasa pengantar jang diguna­kan pada waktu mengadjar

9. Mata peladjaran jang (akan di-

( adjarkan)

10. Nomor dan tanggal SPA/H dan

SPA/m terachir (Hanja untuk pemegang „Tanda Penerimaan” SPA/H-Ht)

1.2.3.

Diisi dengan sebenarnja,

............ tgl........................Pemohon,

(.................................... >•

19.

Potret-pasPemohon

245

PERHATIAN :1. Tidak akan diberi izin ataupun izin jang diberikan dapat ditjabut, bila

temjata keterangan2 diatas tidak sesuai dengan keadaan sebenarnja dan dapat dituntut dimuka hakim.

2. Surat permohonan ini, setelah diisi dan ditandatangani disampaikan

rangkap empat kepada Inspeksi Pengadjaran Asing setempat.3. Pada surat permohonan ini dilampirkan :

a) Enam helai potret-pas.b) Surat kelakuan baik dari Kepolisian.c) Daftar pengalaman sebagai guru dengan mentjantumkan nama sekolah,

alamat sekolah, serta bulan dan tahun waktu mengadjar.d) Riwajat hidup pemohon dengan disertai salinan idjazah2 dan kete­

rangan lain jang sah.

24b

Model B IL f<>ri p P dan K. tanggal 13

U " * “ IV n “ ' W

PERMOHONAN IZIN

PEN IE L E N G G A R A ^ 2 ^ 2 ----- -

•-------------------------------; m ' .................................................................................................................................................................... .......................

Nama lengkap : ............... ........................................

Bertempat tinggal di : ............... .........................................

Mohon diperkenankan — " ‘ ““ ‘ ' t ’ '

Keterangan mengenai sekolah asin^ --------- ........... Z.

1- Nama dan 'alamat Badanjang akan bertindak se.^a® j„n njelenggara sekolah (Bila Hukum in i belum dapa disini kan setjara resmi, tulis’? , kan usaha3 jang telah didjalankan

untuk membentuk „Bad

kum” itu).

2.

3.

4.

5.

Nam a dan alamat sekolah.(Nama sekolah Tiongho dengan huruf asing).Djenis/tingkat pengad jarim (T- ^ S.R., S.M.P., S.M.A., SekoiD agang dsb.). ^

Bahasa Pengantar jang a agunakan.suuaKan. .

H ari bulan dan t a h u n sekolaini m ulai diselenggarakan.

..., tgl- ••............ . ■ ' ‘ pemohon-

(■

2.

.) izin ja.n ¿engan^ke-gggHATIAN: .......H-atas'tidak sesU31

T idak akandapat ditjabut, bila teiW Jat d i t u » g dan ditanda seteinpat.adaan sebenarn ja d a ^ . setelah gadjaran H ukum ’ ,

S u ra t perm ohonan Tnspeksl P . n ; oendirianrangkap empat k^ n ini d i la ^ J t dengan Pen P ada su rat perm ohon bersangkut Pa) sem ua su rat2 janggara sekolah-

sebagai p e n je le n g g * 2 4 /

b) d a fta r para pengadja

q) Haftnr nara muna*

sebagai p e n j e i e ^ daftar para p e n g a « “ daftar para muría-

Lampiran V dari Keputusan Menteri P. P. dan K. tanggal 13

Nopember 1957 No.: 113826/S.

I Z I Nuntuk

M ENGADJAR DISEKOLAH ASING

No.........................

M ENTERI

PENDIDIKAN, PENGADJARAN DAN KEBUDATAAN REPUBLIK INDONESIA .

Memberi izin kepada

................................................................. x)

............................................................................. 2)Alamat: ;........................................ .......

. dilahirkan di ............................pada tanggal/tahun ................... ........................................................bangsa ................................. ..........................................................untuk mengadjar di .......................................................

.. T S e k o l a h A s i n qNama dan alamat:

a..........

t ............................................................................... ,...................... :::C........................... ........................................

tinggal : ......... ...................................................................... ......... !d jenis : ................ ............................................... ..................

Bahasa pengantaj. jang dipergunakan' adaiah'•............................Bea meterai sedjumlah Rp............ ............A-Uaiatmenurut tanda penjetoran tgl.:.......... .................. N o^ 1

A.n. Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan

4 Kebudajaan epa a Biro Pendidikan Asing

D a ^ h nSpeks* Pengadjaran Asing

Tjabang ............. .....................................

Pemegang izin s) ^ ......................................................... ..

Potret-pas

Model C.I.

i? Mama pemeSang izin.

3 S ° r r p aAndi untuk nama Tionghoa

248 menUtUPi SCbaglan P°'ret-pas-

Model C.II.Lam

lel C.II. , T, 4 1 , 0

.piran V I dari Keputusan Menteri P. P. K. tanggal N opem ber 1957 No. 113826/S.

I z i n

m e n j e l e n g g a r a k a n s e k o l a h a s i n g

Memberi iz in kepada „B adan Hukum

N am a: .....................................

tem pa t k edudukan .............''*'*/

u n tu k menjelenggarakan se ua

S e k o l a h A ^ n g

n am a

a la m a t

t in g k a t

d je n is : ....................

b a h a sa p eng an ta r : •/ k_J _ _ _ i__l'Dahasa pengam an • -• ..................................

(B ea m eterai sebesar P1 ■ j a penjetoran tangg

te la h d ib a ja r lunas menuru ...............................No. ........

...........19........

........................ .^■pengadj3« 11 dan

" “7 ‘J t s z ™

: : i , - — “

........ )

.)•

249

Model C.III.

Lampiran V II dari Keputusan Menteri P. P. dan K. tanggal 13

Nopember 1957 No. 113826/S.

I Z I N

untukM EN ERIM A M U R ID W A R G A N EG ARA IN D O N ES IA

No.:

PEND ID IKAN

M ENTERI

PEN GA DJARA N DAN KEBUDAJAAN

REPUBLIK IN DON ESIA

Memberi izin kepada :

A; ........

untuk menerima/mempunjai murid2 warga negara Indonesia, de­ngan ketentuan bahwa setiap penerimaan murid baru warga negara Indonesia hanja dilakukan setelah memperoleh persetudjuan Ke- menterian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan.

.............................................................. 19.......

A.n. Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan

Kebudajaan Kepala Biro Pendidikan Asing

(...................................... )•

250

K E M E N T E R IA N PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI.

t No. III/13/PM/57.

tentangKerdja-Sama antara Penguasa-Penguasa Militer dengan Pedjabat- Pedjabat Kementerian P.P.K. di Daerah tentang Pelaksanaan Peraturan Penguasa Militer, No. 989/PMT/tahun 1957, tanggal

6 Nopember 1957 tentang Pengawasan Pengadjaran Asina.

BN 1957 No. 99.

P E N G U A SA M IL IT ER/M EN T ERI PERTAHANAN:

Mengingat :

1- Peraturan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan, No. 989/PMT/57, tanggal 6 Nopember 1957.

2.. Peraturan Penglaksanaan dari Menteri P.P. & K. No. 113826/S, tanggal 13 Nopember 1957.

Menimbang :

bahwa perlu segera mengeluarkan instruksi bagi para Pengua­sa M i iter di Daerah, agar tertjapai isi maksud Peraturan Penguasa Mihter/Menteri Pertahanan, No. 989/PMT/57, tanggal 6 Nopem­ber 957, dalam suasana kerdja-sama jang erat dan harmonis dengan para pedjabat lain di Daerah.Menginstruksikan kepada :

semua Penguasa Militer di Daerah sbb. :

1 • Dalam melaksanakan isi Peraturan Penguasa Militer No. 989/PMT/57 tentang pengawasan Pengadjaran Asing, para Penguasa Militer supaja hubungan dan kerdja-sama jang erat dengan pedjabat didaerah jang bersangkutan terutama dengan :

Biro Pendidikan Asing/Inspeksi Pendidikan Asing dan Koordinator Inspeksi Pengadjaran Daerah.

2- Apabila dipandang perlu para Penguasa Militer dapat mengambil tindakan jang tegas, sesuai dengan wewenang jang diberikan kepadanja sebagai tertjantum dalam pasal- pasal „Regeling op de Staat van Oorlog en van Beleg” Stbl. 1939 No. 583 sebagaimana telah diubah dan di- 1 tambah.

Dikeluarkan d i: Djakarta.Pada tanggal: 19 Nopember 1957.

Penguasa Militer/Menteri Pertahanan

Ir. DJUANDA.

31

251

32

U N D AN G -U N D AN G No. 62 T A H U N 1958 tentang

K E W A R G A N E G A R A A N REPUBLIK IN DO N ESIA.PRESIDEN REPUBLIK IN D O N E S IA

Menimbang : bahwa perlu diadakan Undang-undang kewarga-negaraan Republik Indonesia ;

Mengingat : a. pasal-pasal 5 dan 144 Undang-undang DasarSementara Republik Indonesia ;

b. pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara Re­publik Indonesia ;

Dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rak jat;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :

U N D A N G -U N DA N G T EN T A N G K E W A R G A N E G A R A A N

REPUBLIK IN D O N ES IA .

Pasal 1.

Warganegara Republik Indonesia ialah :

a. orang-orang jang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perdjandjian-perdajndjian dan/atau peraturan-peraturan jang berlaku sedjak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warganegara Republik Indonesia ;

b. orang jang pada waktu lahirnja. mempunjai hubungan hukumkekeluargaan dengan ajahnja, seorang warganegara Republik Indonesia, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Repu­blik Indonesia tersebut dimulai sedjak adanja hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum keke­luargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia dibawah 18 tahun ;

c. anak jang lahir dalam 300 hari setelah ajahnja meninggaldunia, apabila ajah itu pada waktu meninggal dunia warga­negara Republik Indonesia ;

d. orang jang pada waktu lahirnja ibunja warganegara Republik Indonesia, apabila ia pada waktu itu tidak mempunjai hubungan hukum kekeluargaan dengan ajahnja ;

e. orang jang pada waktu lahirnja ibunja warganegara RepublikIndonesia, djika ajahnja tidak mempunjai kewarganegaraan,atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ajahnja :

f. orang jang lahir didalam wilajah Republik Indonesia selama kedua orang tuanja tidak diketahui :

252

g. seorang anak jang diketemukan didalam wilajah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanja ;

h. orang jang lahir didalam wilajah Republik Indonesia, djika kedua orang tuanja tidak mempunjai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanja tidak diketahui ;

i. orang jang lahir didalam wilajah Republik Indonesia jang pada waktu lahirnja tidak mendapat kewarganegaraan ajah- atau ibunja, dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ajah- atau ibunja itu ;

j. orang jang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesiamenurut aturan-aturan Undang-undang ini.

Pasal 2.

(1) Anak asing jang belum berumur 5 tahun jang diangkat oleh seorang warganegara Republik Indonesia, memperoleh kewar­ganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinjata- kan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang jang mengangkat anak itu.

(2) Pernjataan sah oleh Pengadilan Negeri termaksud harus dimintakan oleh orang jang mengangkat anak tersebut dalam 1 tahun setelah pengangkatan itu atau dalam 1 tahun setelah Undang- undang ini mulai berlaku.

Pasal 3.(1) Anak diluar perkawinan dari seorang ibu warganegara

Republik Indonesia atau anak dari perkawinan sah, tetapi dalam pertjeraian oleh hakim anak tersebut diserahkan pada asuhan ibunja seorang warganegara Republik Indonesia, jang kewarganegaraannja turut ajahnja seorang asing, boleh mengadjukan permohonan ke­pada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia setelah memperoleh kewarganegara­an Republik Indonesia tidak mempunjai kewarganegaraan lain atau menjertakan pernjataan menanggalkan kewarganegaraan lain me­nurut tjara jang ditentukan oleh ketentuan hukum dari negara asal- nja dan/atau menurut tjara jang ditentukan oleh perdjandjian penjelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara jang bersangkutan.

(2) Permohonan tersebut diatas harus diadjukan dalam I tahun sesudah orang jang bersangkutan berumur 18 tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnja.

(3) Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permo­honan itu dengan persetudjuan Dewan Menteri.

(4) Kewarganegaraan Republik Indonesia jang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.

253

(1) Orang asing jang lahir dan bertempat tinggal didalam wilajah Republik Indonesia jang ajah- atau ibunja, ■— apabila ia tidak mempunjai hubungan hukum kekeluargaan dengan ajahnja — , djuga lahir didalam wilajah Republik Indonesia dan penduduk Republik Indonesia, boleh mengadjukan permohonan kepada Men­teri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indo­nesia, apabila ia setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mempunjai kewarganegaraan lain, atau pada saat mengadjukan permohonan ia menjampaikan djuga surat pernjataan menanggalkan kewarganegaraan lain jang mungkin dimilikinja se­suai dengan ketentuan-ketentuan hukum jang berlaku dinegara asalnja atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan didalam perdjan- djian penjelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara jang bersangkutan.

(2) Permohonan tersebut diatas harus diadjukan dalam 1 tahun sesudah orang jang bersangkutan berumur l£_tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri dari tempat ting- galnja.

(3) Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permo­honan itu dengan persetudjuan Dewan Menteri.

(4) Kewarganegaraan Republik Indonesia jang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanqqal keputusan Menteri Kehakiman.

Pasal 5.(1) Kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarga­

negaraan diperoleh dengan berlakunja keputusan Menteri Kehakim- an jang memberikan pewarganegaraan itu.

(2) Untuk mengadjukan permohonan pewarganegaraan pe' mohon harus :

N

a. sudah berumur 21 tahun ;

b. lahir dalam wilajah Republik Indonesia, atau pada waktu mengadjukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sedikit-dikitnja 5 tahun berturut-turut jang pahng achir atau sama sekali selama 10 tahun tidak ber- turut-turut ;

c. — apabila ia seorang laki-laki jang kawin — mendapat

persetudjuan isteri (isteri-isteri)nja ;d. tjukup dapat berbahasa Indonesia dan mempunjai sekedar

pengetahuan tentang sedjarah Indonesia serta tidak pernah dihukum karena melakukan suatu kedjahatan jang merugi­kan Republik Indonesia ;

e. dalam keadaan sehat rochani dan djasmani ;

f. membajar pada Kas Negeri uang sedjumlah antara Rp. 500,— sampai Rp. 10.000,— jang ditentukan besamja

Pasal 4.

254

oleh Djawatan Padjak tempat tinggalnja berdasarkan penghasilannja tiap bulan jang njata dengan ketentuan tidak boleh melebihi penghasilan njata sebulan ;

g. mempunjai mata pentjaharian jang tetap ;

h. tidak mempunjai kewarganegaraan, atau kehilangan ke~ warganegaraannja apabila ia memperoleh kewarganegara­an Republik Indonesia atau menjertakan pernjataan me­nanggalkan kewarganegaraan lain menurut ketentuan hukum dari negara asalnja atau menurut ketentuan hukum perdjandjian penjelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara jang bersangkutan.

Seorang perempuan selama dalam perkawinan tidak boleh mengadjukan permohonan pewarganegaraan.

(3) Permohonan untuk pewarganegaraan harus disampaikan dengan tertulis dan dibubuhi meterai kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal pemohon ;

Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan bersama dengan permohonan itu harus disampaikan bukti-bukti tentang hal> hal tersebut dalam ajat 2 ketjuali jang tersebut dalam huruf d.

Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia me­meriksa bukti-bukti itu akan kebenarannja dan mengudji pemohon akan ketjakapannja berbahasa Indonesia dan akan pengetahuannja tentang sedjarah Indonesia.

(4) Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permo­honan pewarganegaraan dengan persetudjuan Dewan Menteri.

(5) Keputusan Menteri Kehakiman jang memberikan pewar­ganegaraan mulai berlaku pada hari pemohon dihadapan Peng­adilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnja mengutjapkan sumpah atau djandji setia dan. berlaku surut hingga hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman tersebut.

Sumpah atau djandji setia itu adalah seperti berikut:

„Saja bersumpah (berdjandji) :„bahwa saja melepaskan seluruhnja segala kesetiaan ke-

„pada kekuasaan asing ;„bahwa saja mengakui dan menerima kekuasaan jang ter- „tinggi dari Republik Indonesia dan akan menepati ke-

„setiaan kepadanja ;„bahwa saja akan mendjundjung tinggi Undang-undang „Dasar dan hukum-hukum Republik Indonesia dan akan „membelanja dengan sungguh-sungguh ;„bahwa saja memikul kewadjiban ini dengan rela hati dan „tidak akan mengurangi sedikitpun.

(6) Setelah pemohon mengutjapkan sumpah atau djandji setia termaksud diatas, Menteri Kehakiman mengumumkan pewar-

255

negaraan itu dengan menempatkan keputusannja dalam Berita- Negara.

(7) Apabila sumpah atau djandji setia tidak diutjapkan dalam waktu tiga bulan setelah hari tanggal keputusan Menteri Keha­kiman, maka keputusan itu dengan sendirinja mendjadi batal.

(8) D jumlah uang tersebut dalam ajat 2 dibajarkan kembali, ■apabila permohonan pewarganegaraan tidak dikabulkan.

(9) D jika permohonan pewarganegaraan ditolak, maka pe­mohon dapat mengadjukan permohonan kembali.

Pasal- 6.

Pewarganegaraan djuga dapat diberikan dengan alasan kepen­tingan Negara atau telah berdjasa terhadap Negara oleh Pemerin­tah dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat.

Dalam hal ini dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 hanja berlaku ketentuan-ketentuan ajat 1, ajat 5, ajat 6 dan ajat 7.

Pasal 7.

(1) Seorang perempuan asing jang kawin dengan seorang warganegara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun se­telah perkawinannja berlangsung menjatakan keterangan untuk itu, ketjuali djika ia apabila memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunjai kewarganegaraan lain, dalam hal mana keterangan itu tidak boleh dinjatakan.

(2) Dengan keketjualian tersebut dalam ajat 1 perempuan asing jang kawin dengan seorang warganegara Republik Indonesia djuga memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia satu tahun sesudah perkawinannja berlangsung, apabila dalam satu tahun itu suaminja tidak menjatakan keterangan untuk melepaskan kewarga­negaraan Republik Indonesia-nja.

Keterangan itu hanja boleh dinjatakan dan hanja mengakibat­kan hilangnja kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila dengan kehilangan itu suami tersebut tidak mendjadi tanpa ke­warganegaraan.

(3) Apabila salah satu dari keterangan tersebut dalam ajat 1 dan 2 sudah dinjatakan, maka keterangan jang lainnja tidak boleh dinjatakan.

(4) Keterangan-keterangan tersebut diatas harus dinjatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang jang menjatakan keterangan itu.

Pasal 8.(1) Seorang perempuan warganegara Republik Indonesia

jang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia-nja, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannja berlangsung menjatakan keterangan untuk itu, ketjuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan Repu­blik Indonesia itu mendjadi tanpa kewarganegaraan.

256

(2) Keterangan tersebut dalam ajat 1 harus dinjatakan ke­pada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang jang menjatakan keterangan itu.

Pasal 9.

(1) Kewarganegaraan Republik Indonesia jang diperoleh oleh seorang suami dengan sendirinja berlaku terhadap isterinja, ketjuali apabila setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia isteri itu masih mempunjai kewarganegaraan lain.

(2) Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang suami dengan sendirinja berlaku terhadap isterinja, ketjuali apabila isteri itu akan mendjadi tanpa kewarganegaraan.

Pasal 10.(1) Seorang perempuan dalam perkawinan tidak boleh meng-

adjukan permohonan tersebut dalam pasal 3 dan pasal 4.-(2) Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh

seorang isteri dengan sendirinja berlaku terhadap suaminja? ketjuali apabila suami itu akan mendjadi tanpa kewarganegaraan.

Pasal 11.(1) Seorang jang disebabkan oleh atau sebagai akibat dari

perkawinannja kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan itu kembali djika dan pada waktu ia setelah perkawinannja terputus menjatakan keterangan untuk itu.

Keterangan itu harus dinjatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus kepada Pengadilan Negeri atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnja.

(2) Ketentuan ajat 1 tidak berlaku dalam hal orang itu apa­bila setelah memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indo­nesia masih mempunjai kewarganegaraan lain.

Pasal 12.

(1) Seorang perempuan jang disebabkan oleh atau sebagai akibat perkawinannja memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, kehilangan kewarganegaraan itu lagi, djika dan pada waktu ia setelah perkawinannja terputus menjatakan keterangan

untuk itu.Keterangan itu harus dinjatakan dalam waktu 1 tahun setelah

perkawinan itu terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan

Republik Indonesia dari tempat tinggalnja.(2) Ketentuan ajat 1 tidak berlaku apabila orang itu dengan

kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia-nja mendjadi

tanpa kewarganegaraan.Pasal 13.

(1) Anak jang belum berumur 18 tahun dan belum kawin jang mempunjai hubungan hukum kekeluargaan dengan ajahnja sebelum ajah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, -turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia.

Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak jang karena ajahnja mem­peroleh kewarganegaraan Republik Indonesia mendjadi tanpa ke- warganegaraan.

(2) Kewarganegaraan Republik Indonesia jang diperoleh se­orang ibu berlaku djuga terhadap anak-anaknja jang tidak mem- punjai hubungan hukum kekeluargaan dengan ajahnja, jang belum berumur 18 tahun dan belum kawin setelah mereka bertempat ting­gal dan berada di Indonesia. Apabila kewarganegaraan Republik Indonesia itu diperoleh dengan pewarganegaraan oleh seorang ibu jang telah mendjadi djanda karena suaminja meninggal maka anak- anak jang mempunjai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, jang belum berumur 18 tahun dan belum kawin turut memper­oleh kewarganegaraan Republik Indonesia djuga, setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia.

Keterangan tentang tempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anaknja jang karena ibunja memper­oleh kewarganegaraan Republik Indonesia mendjadi tanpa kewar­ganegaraan.

Pasal 14.(1) Bilamana anak termaksud dalam pasal 2 dan pasal 13

sampai berumur 21 tahun, maka ia kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia lagi, djika dan pada waktu ia menjatakan ke­terangan untuk itu.

Keterangan itu harus dinjatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 21 tahun kepada Pengadilan Negeri atau Per­wakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnja.

(2) Ketentuan ajat 1 tidak berlaku apabila anak itu dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia-nja mendjadi tanpa kewarganegaraan.

Pasal 15.(1) Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh

seorang ajah berlaku djuga terhadap anak-anaknja jang mempunjai hubungan hukum kekeluargaan dengan ajah itu, jang belum berumur 18 tahun dan belum kawin, ketjuali djika dengan kehilangan ke­warganegaraan Republik Indonesia-nja . anak-anak itu mendjadi tanpa kewarganegaraan.

(2) Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang ibu berlaku djuga terhadap anak-anaknja jang tidak mem­punjai hubungan hukum kekeluargaan dengan ajahnja, ketjuali djika dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia anak-anak itu mendjadi tanpa kewarganegaraan.

(3) Apabila ibu itu kehilangan kew arganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan diluar negeri dan ibu itu telah mendjadi djanda karena suaminja meninggal, maka ketentuan- ketentuan dalam ajat 2 berlaku djuga terhadap anak-anaknja jang

258

mempunjai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, setelah anak-anak itu bertempat tinggal dan berada diluar negeri.

Pasal 16.

(1 ) Seorang anak jang kehilangan kewarganegaraan Repu­blik Indonesia-nja karena ajah- atau ibunja kehilanqan kewarga­negaraan itu, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali setelah anak tersebut sampai berumur 18 tahun, djika dan pada waktu ia menjatakan keterangan untuk itu.

Keterangan termaksud harus dinjatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 18 tahun kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnja.

(2) Ketentuan aiat 1 tidak berlaku dalam hal anak itu — apa­bila setelah memperoleh kewarganeoaraan Republik Indonesia -— masih mempunjai kewarganegaraan lain.

Pasal 17.

Kewarganegaraan Republik Indonesia hilang karena :

a. memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauannia sendiri, dengan pengertian bahwa djikalaü orang fang bersangkutan pada waktu memperoleh kewarganegaraan lain itu berada da­lam wilajah Republik Indonesia kewarganegaraan Republik Indonesia-nja baru diangaap hilang apabila Menteri Kehakim­an dengan persetudjuan Dewan Menteri atas kehendak sendirf atau atas permohonan orang jang bersangkutan menjatakannja hilang ;

b. tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedang­kan orang jang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu r

c. diakui oleh orang asing sebagai anaknja, djika orang jang ber­sangkutan belum berumur 18 tahun dan belum kawin dan dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mendjadi tanpa kewarganegaraan ;

d. anak jang diangkat dengan sah oleh orang asing sebagai anak­nja, djika anak jang bersangkutan belum berumur 5 tahun dan dengan kehilangan kewarganeqaraan Republik Indonesia tidak

mendjadi tanpa kewarganegaraan ;

e. dinjatakan hilang oleh Menteri Kehakiman dengan persetudju­an Dewan Menteri atas permohonan orang jang bersangkutan, djika ia telah berumur 21 tahun, bertempat tinggal diluar negeri dan dengan dinjatakan hilang kewarganegaraan Republik Indones ia- n ja tidak mendjadi tanpa kewarganegaraan ;

f. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman ;

g. tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman masuk dalam dinas negara asing atau dinas suatu organisasi antar- negara jang tidak dimasuki oleh Republik Indonesia sebagai anggauta, djika djabatan dinas negara jang dipangkunja me­nurut peraturan Republik Indonesia hanja dapat dipangku oleh

259

warganegara atau djabatan dalam dinas organisasi antarnegara tersebut memerlukan sumpah atau djandji djabatan ;

b. mengangkat sumpah atau menjatakan djandji setia kepada negara asing atau bagian dari padanja ;

i. dengan tidak diwadjibkan, turut serta dalam pemilihan sesuatu jang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing ;

j. mempunjai paspor atau surat jang bersifat paspor dari negara asing atas namanja jang masih berlaku ;

k. lain dari untuk dinas negara, selama 5 tahun berturut-turut bertempat tinggal diluar negeri dengan tidak menjatakan ke- inginannja untuk tetap mendjadi warganegara sebelum waktu itu lampau dan seterusnja tiap-tiap dua tahun ; keinginan itu harus dinjatakan kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnja. Bagi warganegara Republik Indonesia jang berumur dibawah 18 tahun terketjuali apabila ia sudah pernah kawin, masa lima dan dua tahun tersebut diatas mulai berlaku pada hari tanggal ia mentjapai umur 18 tahun.

Pasal 18.

Seorang jang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termaksud dalam pasal 17 huruf k memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali djika ia bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan Kartu Izin Masuk dan menjatakan keterangan untuk itu.

Keterangan itu harus dinjatakan kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnja dalam 1 tahun setelah orang itu bertempat tinggal di Indonesia.

Pasal 19.

Kewarganegaraan Republik Indonesia jang diberikan atau di' peroleh atas keterangan-keterangan jang tidak benar dapat ditjabut kembali oleh instansi jang memberikannja atau oleh instansi jang menerima keterangan-keterangan itu.

Pasal 20.Barangsiapa bukan warganegara Republik Indonesia adalah

orang asing.

P E R A T U R A N P E R A L IH A N

Pasal I.

Seorang perempuan jang berdasarkan pasal 3 Peraturan Pe­nguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 dan pasal 3 Peraturan Pe­nguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/014/1958 telah diperlaku­kan sebagai warganegara Republik Indonesia, mendjadi warga­negara Republik Indonesia, apabila ia tidak mempunjai kewarga­negaraan lain.

\

260

I

Seorang jang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku berada dalam keadaan tertera dalam pasal 7 atau pasal 8, dapat menjatakan keterangan tersebut dalam pasal-pasal itu dalam waktu 1 tahun sesudah mulai berlakunja Undang-undang ini, dengan pengertian bahwa suami seorang perempuan jang mendjadi warga- negara Republik Indonesia termaksud dalam pasal I peraturan- peralihan tidak dapat menjatakan keterangan tersebut dalam pasal 7 ajat 2 lagi.

Pasal III.Seorang perempuan jang menurut perundang-undangan jang

berlaku sebelum Undang-undang ini mulai berlaku dengan sendiri- uja warganegara Republik Indonesia seandainja ia tidak dalam perkawinan, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, djika dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannja ter­putus atau dalam 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku menjatakan keterangan untuk itu kepada Pengadilan Negeri atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnja.

Pasal IV .Seorang jang tidak turut dengan ajahnja atau ibunja memper­

oleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pemjataan ke­terangan menurut perundang-undangan jang berlaku sebelum Undang-undang ini berlaku, karena orang itu pada waktu ajahnja atau ibunja menjatakan keterangan itu sudah dewasa, sedangkan ia sendiri tidak boleh menjatakan keterangan memilih kewarga­negaraan Republik Indonesia, adalah warganegara Republik Indo­nesia djika ia dengan ketentuan ini atau sebelumnja tidak mem- punjai kewarganegaraan lain.

Kewarganegaraan Republik Indonesia jang diperoleh orang tersebut berlaku surut hingga waktu ajah/ibunja memperoleh ke­warganegaraan itu.

Pasal V .Menjimpang dari ketentuan-ketentuan pasal 4 ajat 1 dan 2

anak-anak ianq antara tanggal 27 Desember 1949 sampai 27 De­sember 1951 oleh orang tuanja ditolakkan kewarganegaraan Repu­blik Indonesia-nja, dalam tempo satu tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku, daoat mengadiukan permohonan kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnja untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia ber­usia dibawah 28 tahun ; selandjutnja berlaku pasal 4 ajat 3' dan 4.

Pasal V I.Seorang asing jang sebelum Undanq-undang ini mulai berlaku

pernah masuk dalam ketentaraan Republik Indonesia dan memenuhi sjarat-sjarat jang akan ditentukan oleh Menteri Pertahanan, mem­peroleh kewarganegaraan Republik Indonesia djika ia menjatakan

Pasal II.

261

keterangan untuk itu kepada Menteri Pertahanan atau kepada

pendjabat jan§ ditundjuk olehnja.Kewarganegaraan Republik Indonesia jang diperole orang

tersebut diatas berlaku surut hingga saat orang itu masuk dalam

ketentaraan itu.

Pasal V II.Seorang jang sebelum Undang-undang ini mulai berlaku berada

dalam dinas tentara asing termaksud dalam pasal 17 huruf f atau berada dalam dinas negara asing atau dinas suatu organisasi antar negara termaksud dalam pasal 17 huruf g, dapat minta izin kepada Menteri Kehakiman dalam waktu 1 tahun setelah Undang-undang

ini mulai berlaku.

PERATURAN PENUTUP.

Pasal I.

Seorang warganegara Republik Indonesia jang berada didalam wilajah Republik Indonesia dianggap tidak mempunjai kew arga ­

negaraan lain.

Pasal II.Dalam pengertian kewarganegaraan termasuk semua djenis

lindungan oleh sesuatu negara.

Pasal III.Dalam melakukan Undang-undang ini anak jang belum ber- '

umur 18 tahun dan belum kawin dianggap turut bertempat tingg i dengan ajah atau ibunja menurut perintjian dalam pasal 1 huruf b, c atau d.

Pasal IV.

Barangsiapa perlu membuktikan bahwa ia warganegara Repu­blik Indonesia dan tidak mempunjai surat bukti jang menundjukkan bahwa ia mempunjai atau memperoleh atau turut mempunjai atau turut memperoleh kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Peng­adilan Negeri dari tempat tinggalnja untuk menetapkan apakah ia warganegara Republik Indonesia atau tidak menurut atjara perdata biasa.

Ketentuan ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan chusus dalam atau berdasarkan Undang-undang lain.

Pasal VDari pernjataan-pernjataan keterangan janq menjebabkan di-

pero ehnja atau hilangnja kewarganegaraan Republik Indonesia,oleh pendjabat jang bersangkutan disampaikan salinan kepada Menteri Kehakiman.

Pasal V I.Menteri Kehakiman mengumumkan dalam Berita-Negara

nama-nama orang jang memperoleh atau kehilangan kewarganega­raan Republik Indonesia.

262

Pasal V II.

Segala sesuatu jang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan- ketentuan Undang-undang ini diatur dengan peraturan Pemerintah.

Pasal V III.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan de­ngan ketentuan bahwa aturan-aturan pasal 1 huruf b sampai huruf j, pasal 2, pasal 17 huruf a, c dan h berlaku surut hingga 27 Desember 1949.

Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Djakarta

pada tanggal 29 Djuli 1958.

PRESIDEN REPUBLIK IN D O N ES IA ,

SOEKARN O .

M EN T ER I KEHAK IM AN ,

G. A. M A E N G K O M .

Diundangkan •

pada tanggal 1 Agustus 1958.

M EN T E R I KEH AK IM A N ,

G. A. M A E N G K O M .

MEMORI PENDJELASAN mengenai

UNDANG-UNDANG TENTANG K E W A R G A N E G A R A A N REPUBLIK INDONESIA.

A. U m u m .Undang-undang kewarganegaraan pada pokoknja mengatur;

I. memperoleh kewarganegaraan ;

II. kehilangan kewarganegaraan.

I. Memperoleh kewarganegaraan.Menurut undang-undang ini kewarganegaraan Republik Indo­

nesia diperoleh :

a. karena kelahiran ;b. karena pengangkatan ;c. karena dikabulkannja permohonan ;d. karena pewarganegaraan ;e. karena atau sebagai akibat dari perkawinan ;f. karena turut ajah/ibu-nja ;g. karena pernjataan.

a. Karena kelahiran. •Dalam undang-undang ini kewarganegaraan Republik Indo­

nesia diperoleh karena kelahiran berdasarkan keturunan dan ber­dasarkan kelahiran didalam wilajah Republik Indonesia untuk men- tjegah adanja orang jang tanpa kewarganegaraan.

Bahwa keturunan dipakai sebagai suatu dasar adalah lazim. Sudah sewadjarnja suatu negara menganggap seorang anak sebagai warganegaranja dimanapun ia dilahirkan, apabila orang tua anak itu warganegara dari negara itu.

Dalam pada itu tidak selalu kedua orang tua anak itu ber­samaan kewarganegaraan, dan tidak selalu anak itu m e m p un ja i

hubungan hukum kekeluargaan dengan kedua orang tuanja. O le h

karena itu, maka salah seorang dari orang tuanja itu harus di­dahulukan.

Dalam hal kewarganegaraan undang-undang ini mengangqap selalu ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ibu r hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ajah hanja ada apabila anak itu lahir dalam atau dari perkawinan sah atau apabila anak itu diakui setjara sah oleh ajahnja.

Apabila ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ajah, maka ajah itulah jang menentukan kewarganegaraan anak (lihat pasal 1 sub b dan c), ketjuali djika ajah itu tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknja karena ia tidak mempunjai kewarganegaraan atau karena kewarganegaraannja tidak diketahui, dalam hal mana ibunja jang menentukan (lihat pasal 1 sub e).

264

Apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dengan ajah maka jang menentukan kewarganegaraan anak itu ialah ibunja (lihat pasal 1 sub d).

Kelahiran didalam wilajah Republik Indonesia sebagai dasar untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dalam undang-undang ini hanja dipakai untuk menghindarkan adanja orang tanpa kewarganegaraan jang lahir didalam wilajah Republik Indonesia dan hanja dipakai selama perlu untuk menghindarkan itu (lihat pasal 1 sub f, g dan h).

b. Karena pengangkatan.Pengangkatan anak adalah biasa di Indonesia. Sah atau tidak

sahnja pengangkatan anak itu ditentukan oleh hukum jang meng­angkat anak. Adakalanja anak jang diangkat itu anak (orang) asing, akan tetapi karena betul-betul diperlakukan sebagai anak sendiri, tidak diketahui atau dirasakan lagi asal orang itu. Maka hendaknja kepada anak demikian itu diberikan status orang tua jang mengangkatnja.

Sebagai djaminan bahwa pengangkatan itu sungguh-sungguh, pengangkatan sebagai digambarkan diatas dan supaja anak asing jang diangkat itu betul-betul masih bisa merasa warganegara Indo­nesia, maka pemberian kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak angkat itu hendaknja dibatasi pada anak jang masih muda sekali (lihat pasal 2).

c. Karena permohonan.1. Ada kemungkinan seorang anak karena berlakunja suatu

aturan turut kewarganegaraan ajahnja, sedangkan sesungguhnja ia merasa lebih berdekatan dengan ibunja, jang berkewarganegaraan Republik Indonesia.

Hendaknja kepada anak itu 'diberi kesempatan untuk memper­oleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia dianggap sudah bisa menentukan kewarganegaraannja sendiri.

Pemberian kesempatan itu hendaknja dibatasi pada anak di- luar perkawinan, karena dalam perkawinan orang tua dan anak pada prinsipnja merupakan suatu kesatuan jang statusnja ditentu­kan oleh bapaknja. Dalam pada itu karena orang jang bersang­kutan sekian lamanja orang asing, maka kesempatan itu berupa

suatu permohonan.Tentang memperoleh kewarganegaraan dengan permohonan

ini, lihat pasal 3.2. Negara jang memperkenankan orang dari luar bertempat

tinggal menetap didalam wilajahnja, pada suatu saat selajaknja menerima keturunan dari orang luar itu dalam lingkungan kewar- gaannja. Sampai dimana dan dengan tjara bagaimana ius soli di­lakukan terhadap orang-orang jang tidak tanpa kewarganegaraan ini itulah tergantung pada keadaan negara masing-masing.

Karena kewarganegaraan itu djanganlah dipaksakan kepada orang jang sudah mempunjai kewarganegaraan lain, maka pema-

hendakrvia31 in9kungan kewarganegaraan Republik Indonesia itu hendaknja da ang dan keinginan orang itu sendiri.

iang diheritan3^ 11"!? 3San sePer^ diatas (No. 1) maka kesempatanjang diberikan itu berupa suatu perm ohonan .

undana irU latah diberi kesempatan itu, menurut undang-

iana kemudi j3ng lahir dari seorang penduduk atauSjarat selandiutaf^ M V, PL n uduIc’ )an9 djuga lahir di Indonesia.

^ S S J ( i £ ^ . ia £idak m^ ad-'

d. Karena pewarganegaraan.

nega iR epub l^ IndoneS I S a S f mendiadi war9a'melaksanakan keinginan itu Trnn? j ,n kesemPatan untuk tidak boleh terqanqgu olpk r,' k • sadja' kepentingan Indonesia

pemberian p e ^ g T e g ira a 'i^ d T k V ^ " 9*"'9™ itu. Supaja pemberian itu, maka diadakan siar», ' ™ 9an den9'3n maksud sifat objectief. rat~sjarat jang kesemuanja ber-

sanaan kekuasaan executiefWmr|?an^garaan itu termasuk kebidjak- raan itu ialah Pemerintah rlli 3 l* an9 memberikan pewarganega- persetudjuan i C M e i t a l “ Kehakiman dengan

a» P ^ ^ a n e g a r a -

dan tidak bo,eh

ing in m end jad i w arganegara R epub lik *1 ^ pe rm ohonan o ra n 9 Ja n 9 A d a kem unqk inan bah™ ^ . donesia.

Perlu seorang diwarganegarakan^af pentin9an Indonesia sendiri,

Dflll,aSt tfrhadaP Republik Indones ir^r01? 119 asing karena te]ahhal ini sjarat-sjarat janq dit* f , jaknJa diwarganegarakan.

warganegaraan biasa tentu’^ T * T i " permohonan P*'Lihat pasal 6. ] ldak berlaku.

C* Karena atau sebaqai a k i h ^ jUndang-undang ini bernenH perkawi«an.

J j jg 3 meinpelai sedapat-dapatnia311 ^abwa dalam perkawinan neoaraa™3’* a ^ itu akan mo 1?e?1PUnJai kewarganegaraan

ganeqaraan T t3npa kewarganeqaraanm^ kelebihan kewarga-

warganegaraaTT^i119 dirasakan berat^ m n9hilan9kan kewar-

t J & r a & s 1» “ a2as

bawah!93” keWar9an' 9araa”’,Ua9kan dd itK tC k9an‘i'h “i 'f v rangkan lebih landjut di-r> ivarena turut s%ia%.

Pada dasarnja « u k * ^ de266 wasa turut memperoleh ke-

Warganegaraan Republik Indonesia dengan ajahnja atau dengan

apa^^a tldak ada hubungan hukum kekeluargaan dengan

Kedudukan anak akan diterangkan lebih landjut dibawah.

9* Karena pernjataan.110 ^ ain dari kepada seorang perempuan asing jang kawin de- y n seorang warganegara Republik Indonesia untuk memperoleh

seM31!?3116 313311 ^ ePub^k Indonesia lebih dulu dari satu tahun 0r 6 3 Pei-kawinannja berlangsung (pasal 7 ajat 1) dan kepada Incjn§"°rang untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Republik fja °nesia jang hilang karena turut orang lain, undang-undang ini n n-*a| memberi kemungkinan untuk memperoleh kewarganegaraan bp K u ndonesia dengan pernjataan kepada orang-orang, jang

u b u n g a n dengan keadaan peralihan dimana ada vacuum dalam

diaH-Uran kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak bisa men- n J Warganegara Republik Indonesia (lihat peraturan peralihan Pasal-paSai III, IV, V, V I).

Kehilangan kewarganegaraan.aka Sdain dan akibat dari perkawinan dan turut ajah/ibu, jang kew* ^lterari9kan dibawah, hal-hal jang menjebabkan kehilangan dir 3r9anegaraan Republik Indonesia, dalam undang-undang ini

Ja^tumkan dalam pasal 17.Seb / ^ eh ila n g a n kew argane ga raan R epub lik Indonesia itu dapa t di-

ab k an o leh k arena o rang ja n g bersangkutan memperoleh ke-

in • a n e g a ra an baru dengan kem auann ja send iri a tau karena ia , 9m m e m p u n ja i satu kewarganegaraan sad ja sedangkan ia tidak , ertem P a t t in g g a l d i Indones ia , a tau karena perbuatan-perbuatan

a t 9 ,daPat m e n u n d ju k k a n bahw a orang jang bersangkutan tidak

u k u ra n g m e n g h a rg ak an kew arganegaraan R epub lik Indonesia.

k ern a tarn p a d a itu m em pero leh kew arganegaraan la in dengan

hilg a u a n n ja send ir i t id a k selalu dengan send irin ja m engakibatkan

j^ .^SJn ja k e w a rg an e g a raan Republik Indones ia (pasa l 17 h u ru f a). 0r. a n 9a n kew a rgane ga raan R e p ub lik Indonesia membebaskan

s e £ $ , j'a n 9 be rsangku tan dari kew ad jiban-kew ad jiban w arganegara,

t id a f r * 3 a p a b i l a kew arganegaraan R epub lik Indonesia orang itu

Oleh , n 9- m ak a ia t id a k b isa d ipe rlakukan sebagai orang asing.

n J, k a rena itu m aka h e n d ak n ja kew arganegaraan R epub lik Indo-

hal itu b a ru h ila n g k a la u ada p e rn ja taan dari Pem erin tah (dalam

i u i lni Menteri K e hak im an dengan pe rse tud juan D ew an M e n te r i) .

a ta Cri K e h a k im a n m e n ja tak an h ila ng itu atas kehendak sendiri

a tas p e rm in ta a n o rang ja n g bersangkutan .

Hen ari oranq-orang warganegara jang bertempat tinggal diluar f e * «bagaim ana d % a n t lk a „ dalam pasal >7 l.uruf - d a p a t Va^ apkan bantuan untuk berkala membentahiikan kepada Jtu lla« Republik Indonesia dari tempat tinggalnja, bahwa mereka

lllasih warganegara Republik Indonesia dan masih ingin terus

267

inendjadi warganegara. Bagi warganegara jang bertempat tinggal diluar negeri karena mendjalankan dinas negara, pernjataan ini dianggap tidak perlu.

Sanctie atas keteledoran orang-orang itu memang berat, akan tetapi sanctie itu dapat mudah dihilangkan apabila ia kembali di Indonesia. (Lihat pasal 18).

Turut kewarganegaraan orang lain.

1. Perkawinan.

Seperti telah diterangkan diatas undang-undang ini menguta­makan azas kesatuan kewarganegaraan dari kedua mempelai, azas mana tidak didjalankan apabila menimbulkan kelebihan kewarga­negaraan atau tanpa-kewarganegaraan, atau dirasakan berat apabila mengasingkan begitu sadja seorang warganegara janq kawin de­ngan orang asing.

Pada dasarnja jang menentukan kesatuan kewarqaneqaraan itu suami. 3 a

Berhubung dengan dirasakan berat untuk mengasinqkan se­orang warganegara karena perkawinannja. maka menurut undang-

i a r i f f , Seoran9 warganegara Republik Indonesia perempuan, annia kaJl en^an, seoran9 asing, tidak kehilangan kewarganegara-

sencUri P6rkaWir n |tU' .ketJ.uali aPabila ¡a melepaskannja

kewarganegaraan.311 ^ ^ 13 tldak akan mendiadi tanPa'

n e n f S f ^ ^ ,dasarnja kewarganegaraan suami jang me-

waraaneaar?iav 9iT 9 t™ ®cmberi kesempatan djuga kepadaS iaki-laki untuk melepaskan kewarganegaraannja. ka-

kewarganegaraan^ ^ ** demikian tertjapai kesatuan-

da» ^ hr ebr diatasnegaraan. ma£a sedang pere„p„aTasi„ o i , ,er“ eblha" k™arga-

orang warganegara Republik Indonesia tidak® ¿ j T ” " 9a" £ kewarganegaraan Republik Indonesia memperoleh

kan ket“ra” g a7 L tu \ T „T ,a ?"a“ a1“?” ! .^ Seke“ ka ,a setelah perkawinan termaksud berla 1 3 3 am waktu satu tahundari perempuan tersebut, atau tiAal- j ^ sun9 . ^dak ada pernjataan sah dari suaminja untuk melenai 3 a pernjataan keterangan jang Indonesianja — satu tahun' i ^ kewarganegaraan Republik

Satu dan lain dengan keketiualia awma” itu berJangsung. setelah memperoleh kewaraanpr, J *n Perempuan itumempunjai kewarganegaraan la ln^3*1' p k Indonesia masih

(Lihat pasal 7 dan pasal 8).

d i u , „ ^ r di ^

negaraan Republik Indonesia. (Lihat na^ l Q ^ llan9an kewarga-\ mat pasal 9 dan pasal 10).

268

2* Kedudukan anak.Pada umumnja anak jang belum dewasa ■— jaitu belum ber­

a u r 18 tahun dan belum kawin — turut ajahnja atau turut ibunja, ( dJ*ka tidak ada hubungan hukum kekeluargaan dengan ajahnja.

Dalam satu hal perubahan status seorang ibu berlaku buat Semua anaknja ; jaitu kalau ibu itu sudah djanda karena suaminja meninggal dunia dan perubahan status itu disebabkan karena suatu

Perbuatan jang memerlukan pertimbangan sungguh-sungguh, jaitu arena pewarganegaraan.

Karena memperoleh kewarganegaraan baru dapat dikatakan ® a arti jang rieel kalau orang itu bertempat tinggal dinegara jang

emberikan kewarganegaraan baru itu, maka anak tersebut baru rut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia

6r a di Indonesia.

^ ®erhubung dengan azas djangan membuat orang tanpa ke-

Re ^u?e9araan- maka anak tidak turut kehilangan kewarganegaraan ia * Indonesia dengan bapak/ibu-nja, kalau dengan demikian ^ d j a d i tanpa kewarganegaraan, dan sjarat berada di Indonesia tan * 3nak tersebut diatas, tidak berlaku apabila anak itu mendjadi

Pa kewarganegaraan.

Tentang kedudukan anak itu lihatlah pasal 13 dan 15 ; djuga raturan penutup pasal III.

Kembali asal.

ora ^ eoran9 jaiig berubah kewarganegaraan karena kebawa oleh dib«9 lain atau mengikuti orang lain, pada pokoknja hendaknja la eri kesempatan untuk kembali asal bilamana orang itu tidak

1 turut orang lain itu.

ylaka. seorang perempuan jang memperoleh kewarganegaraan tiie] Indonesia karena turut suaminja, pada waktunja bolehjariePaskan kewarganegaraan Republik Indonesia itu lagi ; seora^ng Slla9 .ehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia karena turut tves! ^ ^ sterinja boleh memperoleh kewarganegaraan Republik Indo-

R9ta 9^u djuga halnja dengan anak jang turut ajah atau ibunja,

k U jvnak angkat.bljj 2as jang menghalangi melepaskan kewarganegaraan Repu- k.uta ndonesia, ialah kalau dengan demikian orang jang bersang-

*1 mendjadi tanpa kewarganegaraan.kvas ian9 menghalangi seorang memperoleh kewarganegaraan hk Indonesia kembali ialah azas mentjegah berkelebihan ke­

n e g a ra an .T’

t-ai^ j e.ntan9 s°al kembali asal ini lihatlah pasal 11, 12, 14 dan 16.

^ erhubungan~hukum tererat antara seorang dengan suatu ne- 9ara tidak dinjatakan dengan istilah jang sama arti dan isinja

’masing-masing negara.

269

Maka dalam undang-undang ini diterangkan bahwa jang dimaksud dengan kewarganegaraan ialah segala d jenis hu­bungan dengan suatu negara jang mengakibatkan adanja ke- wadjiban negara itu untuk melindungi orang jang bersangkutan. (Lihat peraturan-penutup pasal II).

b. Undang-undang ini tidak mengingini adanja berkelebihan ke­warganegaraan, akan tetapi hal ini dari satu pihak sadja tida

bisa ditjegah.

Untuk mengurangi keberatan-keberatan jang ditimbul­kan karena bipatridie itu maka dalam undang-undang ini di- tjantumkan ketentuan, bahwa seorang warganegara Republik Indonesia jang berada di Indonesia dianggap tidak mempunjai kewarganegaraan lain. (Lihat peraturan-penutup pasal 1).

c. Berhubung dengan peraturan-peraturan jang mengenai orang asing, perlu diterangkan dalam undang-undang ini bahwa barang-siapa bukan warganegara Republik Indonesia adalah orang asing. (Lihat pasal 20).

d. Berhubung dengan keadaan di Indonesia, maka sering diper­lukan pembuktian tentang kewarganegaraan. Apabila kewarga­negaraan Republik Indonesia dimilikinja karena suatu permo­honan atau pernjataan, maka dengan sendirinja orang-orang jang mengadjukan permohonan atau menjatakan 'keterangan itu mendapatkan surat bukti, jang mungkin berlaku djuga bagi isteri atau anak-anaknja. Buat orang-orang jang tidak perlu mengadjukan permohonan atau menjatakan keterangan perlu ditetapkan instansi mana jang boleh dan berwadjib memberikan surat bukti itu. Karena surat bukti itu hanja diperlukan apa- bila diminta pembuktian dan supaja instansi termaksud tidak tanpa perlu dibandjiri dengan permintaan, maka surat bukti itu hanja dapat diminta apabila sungguh-sungguh diperlukan.

Pada umumnja instansi jang memberikan surat-bukti itu dapat ditetapkan Pengadilan Negeri, akan tetapi ada kemung­kinan undang-undang lain atau peraturan berdasarkan undang- undang lain menghendaki instansi atau pembuktian lain.

Ketentuan-ketentuan umum. (Lihat peraturan penutup i pasal IV ).

e. Supaja tidak ada vacuum dalam kewarganegaraan beberapa pasal dari undang-undang ini hendaknja dilakukan surut hing- ga 27 Desember 1949. (Lihat peraturan-penutup pasal V I I I ) •

f. Untuk menjesuaikan keadaan seseorang sebelum berlakunja undang-undang ini dengan peraturan undang-undanq ini maka diadakan peraturan peralihan (pasal-pasal I, II V II) demi­kian djuga untuk mengatur sesuatu jang menurut sifatnia tidak akan terdjadi lagi (pasal-pasal III, IV, V, V I)

270

a- Untuk menghilangkan keragu-raguan tentang siapa-siapa ada­lah warganegara Republik Indonesia sesudahnja Proklamasi

Pada tanggal 17 Agustus 1945, maka perlu diadakan ketegasan

tentang hal itu, walaupun konsiderans undang-undang ini telah

menundjuk kepada pasal 144 Undang-undang Dasar Semen­

ara , dimana sebetulnja materie ini djuga sudah ditjakup.

acja i ^ en9an demikian maka warganegara Republik Indonesia

1- niereka jang termasuk golongan penduduk orang-orang aselidi Indonesia ;

mereka jang termasuk golongan sub 1 jang lahir diluar .Indo-

Qesia dan bertempat-tinggal di Negeri Belanda atau diluar

uajah Keradjaan Belanda dan Republik Indonesia jang de­

wasa dalam 2 tahun sesudah 27-12-49 tidak memilih kebangsa-3 a* Belanda ;

|fng lahir diluar w ilajah Keradjaan Belanda dan bertempat- n9gal di Suriname atau Antillen Belanda jang dewasa dalam

tahun sesudah 27-12-49 tidak memilih kebangsaan Belanda ;

j^n9 lahir diw ilajah Keradjaan Belanda dan bertempat-tinggal

1 Suriname atau Antillen Belanda jang dewasa dalam 2 tahun

Sudah 27-12-1949 menjatakan memilih kebangsaan Indonesia;

®rang_0rang dewasa keturunan Belanda jang lahir di Indonesia au bertempat tinggal di Indonesia sekurang-kurangnja enam

2 ^ an sebelum 27-12-1949 jang dalam waktu 2 tahun sesudah

5 -12-1949 menjatakan memilih kebangsaan Indonesia ;

gpfn9"orang asing bukan termasuk kaulanegara Belanda jang

b''U t ”1 27-12-1949 telah dewasa mendjadi warganegara Repu- 7 Indonesia berdasafkan Undang-undang No. 3 /1946;

rang_orang asing kaulanegara Belanda bukan orang Belanda

^ ^9 pada. 27-12-1949 telah dewasa dan lahir di Indonesia jang

kek901 ^ tahun sesudah 27-12-1949 tidak menjatakan menolakS. angsaan Indonesia ;

lah^ termasuk sub 7 jang pada 27-12-1949 telah dewasa dan j.- lr diluar w ilajah Indonesia dan bertempat-tinggal di Kera-

n°lak ®e anda Jan9 dalam 2 tahun sesudah 27-12-1949 me- an t kebangsaan Belanda dan menjatakan memilih kebangsa-

9. ja^ ln donesia ;

ber^ terrnasuk sub 7 jang pada 27-12-1949 telah dewasa jang

klik itlPat"tinggal diluar w ilajah Keradjaan Belanda dan Repu-

A n t n r 011 dan la^ r di Negeri Belanda, Suriname atau l^nd eii Belanda, tetapi orang tua mereka kaulanegara Be- 27_i^’ karena lahir di Indonesia, dalam 2 tahun sesudah keK "1^49 memilih kebangsaan Indonesia dengan menolak

angsaan Belanda ;

P a s a l d e m i p a s a l .

Pasal 1.

271

10. jang termasuk sub 7 djika mereka lahir diluar wilajah Kera- djaan Belanda dan Republik Indonesia jang pada 27-12-1 VW telah dewasa dan orang tuanja lahir di Indonesia, dan dalam2 tahun sesudah 27-12-1949 memilih kebangsaan Indonesia atau tidak menjatakan menolak kebangsaan Indonesia.

b, c, d dan e.Sudah selajaknja keturunan seorang warganegara Republik

Indonesia adalah warganegara Indonesia.Sebagaimana telah diterangkan diatas dalam bab I huruf a

• jang menentukan status anak ialah ajahnja.Apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan dengan ajah-

i nja atau apabila ajahnja tidak mempunjai kewarganegaraan ataupun (selama) tidak diketahui kewarganegaraannja, maka barulah ibunja jang menentukan status anak itu.

Hubungan hukum kekeluargaan antara ibu dan anak selalu ada ; antara ajah dan anak diluar perkawinan baru ada, kalau ajahnja mengadakan hubungan hukum setjara juridis.

Anak baru turut kewarganegaraan ajahnja setelah ajah itu mengadakan hubungan hukum kekeluargaan, dan apabila hubungan hukum itu baru diadakan setelah anak itu mendjadi dewasa, maka anak itu tidak turut kewarganegaraan ajahnja.

f, g dan h.

Mendjalankan iussoli supaja orang-orang lahir di Indonesia tidak ada jang tanpa kewarganegaraan.Pasal 2, 3 dan 4.

Tjukup didjelaskan dalam pendjelasan bab I sub b dan c.

Pasal 5.

Pewarganegaraan diberikan (atau tidak diberikan) atas per­mohonan.

Instansi jang memberikan pewarganegaraan itu ialah Menteri Kehakiman dengan persetudjuan Dewan Menteri. Persetudjuan Dewan Menteri ialah untuk mendjamin adanja penindjauan jang saksama sebelum mengadakan keputusan atas permohonan pewar­ganegaraan.

Menteri Kehakiman mengabulkan (atau menolak) permohonan pewarganegaraan dengan Keputusan Menteri Kehakiman.

Keputusan Menteri Kehakiman itu mulai berlaku pada hari pemohon mengutjapkan sumpah atau djandji, akan tetapi berlaku surut hingga hari tanggal keputusan Menteri itu, sehingga mulai hari tanggal ini pemohon mendjadi warganegara Republik Indo­nesia.

Sumpah atau djandji itu harus diutjapkan dalam waktu jang tertentu. Apabila waktu itu sudah lampau maka pemohon tidak diperkenankan mengutjapkan sumpah atau djandji lagi. Keputusan Menteri Kehakiman jang memberi pewarganegaraan itu dengan sendirinja batal. ;

272

Tentang sjarat-sjarat.

ajat 2.

a. ' untuk mengubah status ini ialah umur 18 tahun atau perkawin­an belum tjukup. «Untuk ini hendaknja umur ditentukan lebih tinggi dan perkawinan sebelum itu tidak ada pengaruhnja.

Begitu djuga melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia karena mempunjai kewarganegaraan lain (lihat pasal 17 sub c);

b. bertempat tinggal dalam wilajah Republik Indonesia sekian lamanja adalah untuk menundjukkan bahwa pemohon sungguh- sungguh ingin berkehidupan di Indonesia, sjarat ini dapat di­ganti dengan kelahiran dalam wilajah Republik Indonesia ;

c. karena perubahan status ini besar artinja dan berlaku buat keluarga, maka apabila pemohon itu orang laki-laki dalam per­kawinan, hendaknja isteri — atau isteri-isterinja memberi per- setudjuannja ;

d- sjarat tjukup dapat berbahasa Indonesia dan sekedar menge­tahui sedjarah Indonesia serta tidak pernah dihukum karena melakukan suatu kedjahatan jang merugikan Republik Indo­nesia perlu ditjantumkan karena kewarganegaraan Republik Indonesia hendaknja hanja dapat diberikan kepada seorang asing, jang sungguh-sungguh mau mendjadi orang Indonesia ;

e- tjukup djelas ;f- sjarat pembajaran kepada Kas Negeri diadakan perbedaan

menurut tinggi-rendahnja penghasilan jang njata dari pemohon, dengan pembatasan tidak boleh melebihi penghasilan jang njata sebulan ;

9- sjarat harus mempunjai mata pentjaharian jang tetap adalahuntuk mentjegah supaja mereka tidak mendjadi beban «negara ;

b- untuk menghindarkan berkelebihan kewarganegaraan.

Pasal 6.

Tjukup djelas.Pasal 7, 8, 9 dan 10.

T ju k u p d id je la sk a ii d a lam pertd jc la s a n te n ta n g p& rk aW m a ii.

i i 12Mengatur kembali-asal bagi seorang jang perkawinannja telah

terputus. , , , , , , ,Hal ini tjukup didjelaskan dalam pendjelasan tentang kembali-

asal.

Pasal 13 dan 15.Mengatur kedudukan anak.Hal ini tjukup didjelaskan dalam pendjelasan tentang kedu­

dukan anak.

Pasal 14 dan 16.Mengatur kembali-asal bagi anak setelah anak itu diangkat

boleh menentukan kedudukannja sendiri.Dalam hal ini minta diperhatikan bahwa untuk memperoleh

kembali kewarganegaraan Republik Indonesia ditetapkan umur 18

273

/

tahun, sedangkan' untuk- melepaskan kewarganegaraan Republik

Indonesia ditetapkan umur 21 tahun.Perkawinan sebelum itu tidak ada pengpruhnja.

Pasal 17.fylengatur hal-hal jang menjebabkan hilangnja kewarganega-

raan Republik Indonesia.a. sudah diterangkan dalam pendjelasan bab II.b. sesuai dengan mentjegah berkelebihan kewarganegaraan ; lagi

pula orang jang bersangkutan menundjukkan kurang meng­hargai kewarganegaraan Republik Indonesia.

c. dan d. batas umur ialah’18 tahun berlainan dengan ketentuan-pasal 2. Apabila menurut perundang-undangan orang tua jang mengangkat anak itu tidak memperoleh kewarganegaraan orang tua itu, maka anak itu hanja kehilangan kewarganega­raan Indonesia, apabila ia mempunjai kewarganegaraan lain.

e. untuk memberi kesempatan bagi orang jang berkelebihan ke- warganegaraan, melepaskan kewarganegaraan Republik Indo- nesianja, umur ditentukan 21 tahun.

f. sudah lazim.g. tidak semua djabatan mengakibatkan hilangnja kewarganega­

raan, melainkan hanja jang diuraikan dalam ketentuan ini.h. i, dan j.

Orang jang melakukan salah satu perbuatan itu atau memang warganegara dari negara asing itu atau (akan) mendjadi warganegara dari negara itu.Karena berkelebihan kewarganegaraan jang diterima dengan mendjalankan ius soli berdasarkan anggapan bahwa orang jang bersangkutan mempunjai kewarganegaraan lain tidak karena kemauannja sendiri, maka apabila ternjata orang itu melakukan perbuatan-perbuatan jang menundjukkan hasratnja bertindak sebagai warganegara asing itu, maka anggapan itu tidak ber­arti lagi,

k. tjukup didjelaskan dalam pendjelasan bab II.Pasal 18.

Tjukup didjelaskan dalam pendjelasan bab II.Pasal 19. ,

Tjukup djelas.

Pasal 20, Peraturan peralihan pasal-pasal I. II, III, IV , VI, V II dan peraturan penutup.

Tjukup didjelaskan dalam pendjelasan tentang lain-lain. Peraturan peralihan pasal V.

Diadakan sebagai pengetjualian dari pasal 4 ajat 1 dan 2 oleh karena sudah selajaknja bahwa kepada mereka janq dalam masa diantara 27 Desember 1949 dan 27 Desember 1951 oleh orang tuanja ditolakkan kewarganegaraan Republik Indonesia, diberi kesempatan djuga untuk mengadjukan permohonan un­tuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA No 1647274

'ii'.'niiuHninMiii.iiiiinHiniiiimiiiiiimniimmmiMniminnniimnMiniiiimimninimraimnnmniiininiiiiiiiiinininnHiiniiininniiiijB!S '§ig Sudah te rb it: H

| P E N G E R T IA N T E N T A N G N E G A R A H U K U M J

H * G °uw Giok Siong, Lektor Luar Biasa pada §jH ^ u;~as Hukum dan Pengetahuan Masjarakat Universitas Indonesia B| dan Pengatjara di Djakarta. J

p • Isinja a.l. membahas soal2 : Sifat2 negara hukum — Negara modern f

B N*** ne^ a*a hukum — Kebebasan pemerintah dan negara hukum — gj egara Republik Indonesia negara hukum ? — Tudjuan negara dan ¡g1 egara hukum — Hubungan antara negara dan hukum — Hak2 M| azasi manusia dan negara hukum — Negara hukum dan hukum ¡|B a am Perbuatan melanggar hukum — Perbuatan melanggar {J § . lukum dari pemerintah — Perbuatan melanggar hukum dan kebi- SB djaksanaan pemerintah — Tjara-nja menggugat negara — Tjontoh3 gB P_e lkara terhadap pemerintah — Dasar2 tanggung djawab negara — gi Negara hukum dan pemilihan umum. B

j ® Ukuran 15 X 22 cm., tebal 96 halaman, ditjetak atas kertas jang g|

g tjukup baik, disertai daftar batjaan. Harga hanja @ Rp. 8.50, =

| porto 10% sedikitnja Rp. 1.50. Pesanan pada penerbitnja: J

g Keng Po (bagian Penerbitan), Pintubesar Selatan 86-88, Djakarta-Kota. ¡1

©

P E M B A H A R U A N H U K U M D I IN D O 'N ES IA |M

Membentangkan masalah pembaharuan hukum di rndonesia jang B sudah lama mendesak itu. A.l. menjinggung soal": Unifikasi ghukum di Indonesia — Hukum perdata baru — Pembaharuan g

hukum kontrak — Hukum agraria — Hukum perkawinan Hukum g antargolongan — dan soal2 lain lagi. Disertai daftar batjaan tjukup |§ lengkap untuk mereka jang ingin memperdalam pengetahuan jj mengenai masalah pembaharuan hukum ditanah air kita untuk jj mengganti warisan kolonial. ¡g

Ditulis oleh Mr Dr Gouw Giok Siong jang sudah tak asing lagi, j

setjara jang dapat dipertanggung-djawabkan tetapi sederhana dan jj mudah dimengerti. m

I ® Buku ini pantas dibatja oleh para mahasiswa, peladjar, pokrol, gj§ djaksa, pegawai pemerintah, pemimpin, politikus, wakil2 rakjat, jH tiap orang tjerdik-pandai jang memperhatikan hari kemudian hukum Mg' ditanah air kita ini ! p

II ® Ilarga Rp. 17.50. Ongkos kirim 10%. g

1 M A S A L A H \' E R ll'Mi A H A N 1rd r51pj • (B E R IK U T P E R A T U R A N - D A N T J O N T O H 2) ^ ;j|] Isi a.l. membahas : Peraturan- perumahan darurat jang terpenting — Sifat Jg

¡3 hukum V.B.,/apa V.B. itu, .sampai diraana kekualaanja ? — Perbuatan se- [|j

S weriang-wenang Kantor Urusan. Perumahan,, perlinddrifean bagi sang korban, gj

¿] peranan hakim — Unsur- perbuatan melanggar hukum dari Kantor Urusan ¡3

^ Perumahan — Alasan- untuk penghentian sewa, gangguan2- jang sangat dan ^

p) kelalaian besar dalam memenuhkan- kewadjiban sebagai penjewa — Pelak- S

r3 sanaan perintah pengosongan, bantahan terii. • uelaksaninja, d.1.1. ’ . H

‘3 Ilarga llp. 28.—. ongkos kirim 10',i. @

H ®ElSIi3I3®S13j,3!Si31S!3ISj3j'3,'c!Ei3EEH5ISS!SISISM3ISSiiei,2fMSEIBISISMBJ3J3I3EISJ3J5E® -

| M A S A L A H A (i K A R l A ' §

jll (psrubahan2 t e r a c h j j ie r t k u t peratura n2 dan tjo n to h 2)

:£ Isi a .l.. Penghapusan tanah ^ K j u f i r , okkupasi illegul, peraturan baru t««r j i i

tai>7 persewaan tanah, hak konversi, larangan pengasingan tanah berhubun& ^ji V kewarganegaraan „tidak asli”, sistim „Ali Baba". tinra i.-intr tidak

B uku-buku karangan 7 rof. M** D r G o u w 'Giok Siong :

g; tai>7 persewaan tanah, hak konversi, larangan pengasingan tanah berhubunW^^ji

st dengan kewarganegaraan „tidak asli”, sistim „Ali Baba’1, tjara jang tidak

i;i dUarangjang diperbolehkan, pendjualan'patla orang bukan Indonesia, Hukuih ;ir Agraria Nasional jang baru. £ t Uj

mpminrt *hvfP ''v!'1!]811 pe,aturanJ (indang1), dan tjontoh- seperti : permohonan v|l

^udT unn s?wn h’ SCW-a- tanah kGpada orang bukan Indonesia, per- 'J*

'sewa-menjewa dT l"36* “ neg0ri kepada p nakal Ulegal, perdjandjian |

’ i:K

Iiarga Rp- 33-—, ongkos kirim 10%. i;:

f ,„i ..,.'’tliATUI’AN IUI1U TENTANG PEKtfMAHAN. 'I/ Bab I Undang- darurat No 3 th i™ , t» tjabutan dan tudinar. tentang urusan perumahan (pen-

f mengurus pembagian n e n ^ 1'™ " lama ~ keleluasaan penguasa

S Bab II Perlindungan dan d' 3311 ~ djam inan bagi perseorangan). /

> menjediakan temn-iTl02” *)ag*. umuin (tentang pentjabutan S.I.P.

£ lll*k pemilik rumah -- b-i ft0883111*-T s^arat= Jang harus dipenuhi — «*'

/ Bab III Organisasi Instansi i ^ P° USi ~ h“k memadj ukan keberatan). £

i ° ».v p,rtaa„„ t ;;;; zir“lm u™ ■«»»•*-»• iJ termasuk urusan perum ;)^3'1 porumahan lama (jang tidak dan jang ?■j PUng — rtimnUi! ,•___ an rumah perwakilan — rum ah i knm- *1—— ui Uban perumahan ^ , --- J * 4 J 6 7J

p u n g — ru m a h - ia n * r u m a h p e r w a k i la n — r u m a h 2 k a m - ytj, ru tu iih - b a r u — y B ci an m er lU lC an — h o t e l / l o s m e n --

/ rumah- penginapan - k ™ ^ berlakunj a ~ V.B. un tuk penghjm i i

£ Perllndungan pada para pen' ^ pengurus:! rum ah penginapan 't f * 1S „ . , T untuk merahasiakan — r,eni?,'V a~ .kewadj iban Pegawai“ perumahan f Bab V Peraturan- peralihan daPnengganllan kerugian). . S

8 Diperlengkap denganteks lenl PeiU,Ulp- ■

V Urusan perumahan. 3P UU ^ r u r a t No. 3 tahun 1958 tentang £

' P'ntU BMar Se'atan 86 88 ‘ D'akar+a’Kota- %