bab i-iv (1)
DESCRIPTION
1Perdarahan postpartum adalah perdarahan dengan jumlah banyak terjadi segera setelah persalinan yang mengganggu kesejahteraan ibu dan terlihat ibu menjadi lemas bahkan pre syok ataupun syok. Salah satu intervensti yang penting untuk mencegah perdarahan postpartum primer adalah penggunaan uterotonika seperti oksitosin dan misoprostol yang merupakan bagian dari manajemen aktif kala tiga persalinan.TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu masalah kesehatan
dunia. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Angka
Kematian Ibu (AKI) tahun 2007 adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup.
(Badan Pusat statistik & Macro International, 2007) Dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Tenggara angka ini adalah masih tinggi. Indonesia
berupaya menurunkan angka ini menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2015. (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2012)
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia khususnya di Jawa Barat
masih tinggi. Angka yang pasti saat ini di Jawa Barat belum diketahui, namun
diperkirakan tidak jauh dari angka nasional, yaitu AKI 421 per 100.000
kelahiran hidup. Pada akhir PELITA VI diharapkan terdapat penurunan angka
kematian ibu menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup. ( Djuhaeni, 2009)
Perdarahan hebat adalah penyebab yang paling utama dari kematian
ibu diseluruh dunia. Sebagian besar kasus perdarahan pada persalinan terjadi
selama persalinan kala tiga. Diperkirakan ada 14.000.000 kasus perdarahan
dalam kehamilan paling sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan
sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu
empat jam setelah melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul
1
2
selama persalinan kala tiga. Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai
kehilangan darah sebanyak lebih dari 500 ml setelah kelahiran dan perdarahan
pasca persalinan berat didefinisikan kehilangan darah lebih dari 1000 ml
(Shane 2002).
Dalam penelitian deskriptif yang dilakukan oleh sebuah Rumah sakit
bagian Obstetri dan Ginekologi di Pakistan diperoleh data secara retrospektif
dari tanggal 1 januari sampai 31 Desember 2009 dengan jumlah total 302
kematian, terdapat 74 kasus kematian ibu dinyatakan bahwa 34 kasus
kematian terbanyak (45,9%) terjadi karena perdarahan postpartum yang
disebabkan atonia uteri. (Fayyaz et al., 2011)
Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan
kurang dari satu jam. Lebih dari 90 % dari seluruh kasus perdarahan pasca
salin yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi disebabkan oleh atonia
uteri. Sebagian besar kematian akibat perdarahan pascapersalinan terjadi pada
beberapa jam pertama setelah kelahiran bayi. Karena alasan ini,
penatalaksanaan persalinan kala tiga sesuai dengan standar dan penerapan
manajemen aktif kala tiga merupakan cara terbaik dan sangat penting untuk
mengurangi kematian ibu. (JNPK-KR, 2008)
Penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga terdiri dari pemberian
uterotonika, penegangan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri yang
efektif mencegah perdarahan pasca persalinan. Penggunaan uterotonika dapat
menurunkan 40% insidensi perdarahan pasca persalinan. Obat uterotonika
yang sering digunakan adalah oksitosin. Selain itu juga penggunaan
3
uterotonika yang lain adalah sintometrin dan prostaglandin E1 (misoprostol).
(Carpenter, 2001)
Oksitosin synthetic termasuk dalam golongan oksitosik. Oksitosik
ialah obat yang merangsang kontraksi uterus. (Ganiswara, 1995) Oksitosin
merupakan obat pilihan utama untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan
mempunyai efektivitas yang sama dengan ergot alkalaoid dan prostaglandin
tetapi dengan efek samping yang lebih rendah. (Carpenter, 2001)
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 sintetik obat yang
telah diberikan secara oral dan diindikasikan untuk mencegah ulkus lambung
akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. (Allen &O’Brien, 2009)
WHO melakukan penelitian yang membandingkan antara misoprostol
600 mcg per rectal dengan 10 IU Intramuscular, dan hasilnya diperoleh tidak
ada perbedaan jumlah darah pasca persalinan. Namun dengan
mempertimbangkan efek samping yang berkaitan dengan perbedaan dosis
misoprostol maka WHO menyatakan adalah bijaksana untuk melakukan uji
klinis terhadap misoprostol dengan dosis yang lebih rendah. (Situmorang,
2009)
Dalam suatu penelitian prospektif observasional yang melibatkan 237
orang wanita didapatkan bahwa pemberian 600 mcg misoprostol per oral
segera setelah penjepitan tali pusat hanya memberikan insidens perdarahan
postpartum sebesar 6%, dan tidak ada yang mengalami perdarahan ≥1000cc.
(Goldberg et al., 2001)
4
Berdasarkan hasil penelitian, uterotonika misoprostol 600 mcg per
rectal sama efektifnya dibandingkan 10 IU oksitosin intramuscular. Walaupun
efektivitasnya sama dengan oksitosin intramuscular, namun misoprostol
unggul dalam hal kepraktisan cara pemberian dan lebih menyenangkan pasien
karena tidak harus disuntik, lebih mudah disimpan dan lebih tahan lama.
(Manu, 2004)
Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2500/MENKES/SK/XII/2011 usulan
untuk memasukkan misoprostol untuk kelas oksitosik ini belum dapat
diterima, walaupun penggunaanya sudah sangat meluas untuk mencegah
perdarahan pada persalinan. Hal ini disebabkan karena obat ini belum
mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) untuk indikasi tersebut, disamping keamanananya (kemungkinan
penyalahgunaan).
Penyimpanan oksitosin dan ergometrin dalam jangka panjang
memerlukan lemari pendingin, yang memungkinkan tidak tersedia pada
beberapa kondisi. (Shane, 2002)
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa potensi obat oksitosika
akan menurun bila tidak disimpan dengan cara yang benar. Disarankan agar
obat-obatan oksitosika disimpan dalam lemari es (suhu antara 2-6 oC) dan
dihindarkan dari sinar matahari langsung. Obat ini dapat disimpan selama 1
bulan dalam suhu 30 oC atau 2 minggu dalam suhu 40 oC. (IBI, 2006)
5
Berdasarkan pengalaman, penulis menemukan bahwa di berbagai
tempat praktik seperti praktik bidan swasta, puskesmas bahkan rumah sakit,
penyimpanan obat-obatan oksitosik seperti tidak sesuai dengan stándar yang
seharusnya disimpan di dalam rantai dingin dan tidak terkena cahaya.
Gülmezoglu et al (2007) dalam Cochrane Review menilai efek
profilaksis prostaglandin pada persalinan kala III. Tiga puluh tujuh uji
misoprostol dan 9 uji prostaglandin intramuskular (42.621 perempuan)
dimasukkan dalam studi ini.
Peneliti ini menyimpulkan bahwa pilihan uterotonika di tempat dimana
manajemen aktif bisa dilakukan adalah 10 IU oksitosin yang diberikan IV atau
IM. Pemakaian oksitosin secara luas di berbagai tempat persalinan harus
menjadi tujuan utama.
Namun oksitosin mempunyai keterbatasan dalam penyimpanannya dan
sedikit lebih mahal dari pada misoprostol. Kalau keadaan ini menjadi kendala,
maka pemakaian misoprostol dapat dipertimbangkan. Dosis empiris yang
sering digunakan dalam berbagai uji adalah 600 mcg oral. (DEPKES RI,
2008)
Misoprostol stabil pada suhu kamar dan stabil terhadap cahaya.
misoprostol memiliki banyak keunggulan dan mudah dipergunakan, terutama
jika dibandingkan dengan preparat prostaglandin lainnya, misoprostol relatif
murah, stabil, mudah disimpan, dan cepat diabsorpsi sehingga beberapa
penelitian dilakukan berkaitan dengan penggunaanya di bidang obstetric dan
ginekologi. (Carpenter, 2001)
6
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengetahui
lebih lanjut mengenai “Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk
pencegahan perdarahan postpartum primer ditinjau dari berbagai literatur“?
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penyusunan
Karya Tulis Ilmiah ini adalah “Bagaimana efektivitas pemberian oksitosin dan
misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer ditinjau dari
berbagai literatur?”
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai efektivitas pemberian
oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum
primer
2. Tujuan khusus
a. Memaparkan konsep perdarahan postpartum
b. Memaparkan tentang oksitosin
c. Memaparkan tentang misoprostol
d. Memaparkan efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk
pencegahan perdarahan postpartum primer berdasarkan cara kerja,
waktu atau onset reaksi, cara pemberian dan dosis, efek samping,
penyimpanan obat dan sumber daya
7
D. Manfaat
Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, penulis berharap
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Diantaranya:
1). Bagi penulis
Penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang berguna dari
berbagai literatur
2). Bagi Tenaga Kesehatan
Agar tenaga kesehatan lebih mengetahui efektivitas oksitosin dan
misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan yang dapat
dikembangkan lebih lanjut
3). Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan informasi bagi mahasiswi
lain
E. Ruang lingkup
Dalam karya tulis ilmiah ini, akan dibahas mengenai konsep
perdarahan postpartum, oksitosin dan misoprostol serta efektivitas pemberian
oksitosin dan misoprostol berdasarkan cara kerja, waktu atau onset reaksi,
cara pemberian dan dosis, efek samping, penyimpanan obat dan sumber daya
untuk pencegahan perdarahan postpartum primer
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep perdarahan postpartum
1. Pengertian
Perdarahan pasca partum adalah perdarahan berlebihan dari traktus
genital setelah bayi lahir hingga 6 minggu setelah persalinan. Jika terjadi
selama kala tiga persalinan atau dalam 24 jam setelah melahirkan, perdarahan
ini disebut perdarahan pasca partum primer. Jika terjadi setelah 24 jam
pertama hingga minggu keenam pasca partum, perdarahan ini disebut
perdarahan pasca partum sekunder. (Fraser & Cooper, 2009)
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi segera setelah
persalinan melebihi 500 ml yang dibagi menjadi bentuk perdarahan
postpartum primer (atonia uteri, retensio plasenta, robekan jalan lahir) dan
sekunder (tertinggalnya sebagian plasenta atau membranya, perlukaan terbuka
kembali, infeksi pada tempat implantasi plasenta). (Manuaba et al., 2007)
Perdarahan postpartum primer adalah berapapun jumlah darah yang
hilang yang mengganggu kesejahteraan ibu. Akan tetapi, harus selalu diingat
bahwa gangguan pada kondisi ibu mungkin tidak terlihat sampai ia telah
kehilangan sejumlah darah yang membahayakan dirinya. (Boyle, 2008)
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat
dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh ke dalam
keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan
9
tetapi terus menerus yang juga berbahaya karena kita tidak menyangka
akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan juga jatuh
dalam keadaan pre syok atau syok. (Mochtar, 1998)
2. Penyebab
Perdarahan merupakan akibat dari kelainan pada 4 faktor utama yang
mendasari terjadinya perdarahan menurut Anderson & Etches (2007), yaitu:
a. Tonus otot terdiri dari atonia uteri (70 %)
Penyebab perdarahan terbanyak adalah karena tonus otot yang
disebabkan karena atonia uteri (80-85%). (Versavel & Darling, 2006). Pada
kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit.
Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta, maka
ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas tempat
melekatnya plasenta. (JNPK-KR, 2008)
Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit anyaman
pembuluh darah yang berjalan diantara serabut saraf tadi. Atonia uterus adalah
suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi
maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak
terkendali. (JNPK-KR, 2008)
Kesalahan paling sering adalah mencoba mempercepat kala tiga.
Dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologi pelepasan
plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang
mengakibatkan perdarahan. (Oxorn & Forte, 2010)
10
Atonia uteri dan kemungkinan perdarahan pascapartum segera pada
wanita normal sebenarnya dapat diantisipasi segera sebelum kelahiran terjadi.
Kondisi berikut ini harus diwaspadai bidan mengingat potensi perdarahan
pascapartum segera berhubungan dengan atonia uterus menurut Varney (2008)
adalah
a) Distensi uterus pada kehamilan (kehamilan kembar, polihidramnion, atau
bayi besar). Polihidramnion atau kehamilan kembar yang menyebabkan
distensi uterus yang berlebihan.
Jika ketuban pecah saat persalinan pada kasus polihidramnion atau
setelah kelahiran bayi pertama dalam kehamilan multiple, penyempitan
rongga uterus yang mendadak dan luas dapat menjadi presipitasi pelepasan
plasenta. Saat uterus sangat teregang dalam kehamilan, sel otot menjadi
kurang mampu berkontraksi dan retraksi pada kala tiga persalinan. (Boyle,
2008)
b) Induksi oksitosin atau augmentasi
Persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih rentan
mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum. (Cunningham et al.,
2005)
c) Persalinan cepat atau presipitatus
Kerja uterus yang berlebihan pada kala satu dan kala dua persalinan
dapat mengakibatkan kegagalan retraksi otot uterus pada kala tiga,
jalannya janin yang terlalu cepat pada jalan lahir dapat menghalangi
regangan jaringan yang berangsur-angsur dan perlahan, yang dapat
11
mengakibatkan laserasi serviks, vagina, atau perineum sehingga
meningkatkan kehilangan darah. (Boyle, 2008)
d) Kala satu dan dua persalinan yang memanjang atau partus lama
Persalinan lama yang mengakibatkan inersia uterus. Dalam
persalinan yang fase aktifnya berlangsung lebih dari 12 jam, inersia uteri
dapat terjadi kelelahan otot. (Fraser &Cooper, 2009)
Kelelahan akibat partus lama, bukan hanya rahim yang lelah
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang
keletihan kurang mampu bertahan terhadap kehilangan darah. (Oxorn &
Forte, 2010)
e) Grand multiparitas
Wanita dengan paritas tinggi mungkin beresiko besar mengalami
atonia uteri. Fuchs dkk. (1985) melaporkan hasil akhir pada hampir 5800
wanita para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan
postpartum sebesar 2,7 persen pada wanita ini meningkat empat kali lipat
dibandingkan dengan obstetric umum.
Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan postpartum
sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen
pada mereka dengan para atau lebih. (Cunningham et al., 2005)
12
f) Riwayat atonia uterus/ perdarahan pascapartum pada saat melahirkan anak
sebelumnya
Riwayat obstetric yang detail yang diperoleh pada pemeriksaan
antenatal yang pertama akan memastikan dilakukanya pengaturan agar ibu
dapatmelahirkan di unit konsultan. (Fraser & Cooper, 2009)
b. Trauma jalan lahir terdiri dari laserasi, hematom, inversio uteri,
rupture uteri (20 %)
Perdarahan yang cukup banyak dapat terjadi dari robekan yang
dialami selama proses melahirkan baik yang normal maupun tindakan. Jalan
lahir harus diinspeksi sesudah tiap melahirkan selesai hingga perdarahan
dapat dikendalikan. (Oxorn & Forte, 2010)
c. Jaringan plasenta tertahan atau retensio plasenta (10 %)
Retensio sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan
mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus darah tetap
terbuka, dan menimbulkan perdarahan postpartum. (Oxorn & Forte, 2010)
d. Kelainan faktor koagulasi terdiri dari koagulapati (1%)
Hal-hal yang berhubungan dengan kelainan pembekuan darah antara
lain solusio plasenta, pre-eklampsia, septkemia dan sepsis dan emboli air
ketuban. (Situmorang, 2009)
13
3. Pencegahan
Untuk mengurangi kemungkinan perdarahan postpartum khususnya
disebabkan atonia uteri atau retensio plasenta maka dilaksanakan tatalaksana
aktif pertolongan kala tiga. (Manuaba et al., 2007)
Ada tiga langkah manajemen aktif kala tiga yaitu memberikan
oksitosin 10 IU unit secara intramuscular dalam waktu satu menit setelah bayi
lahir, penegangan talipusat terkendali, massase fundus uteri segera setelah
plasenta lahir. (JNPK-KR, 2008)
Penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan telah direkomendasikan
International Confederation of Midwives (ICM) and International Federation
of Gynaecologists Obstetricians (FIGO) yang efektif untuk mencegah
perdarahan postpartum. (Fayyaz et al., 2011)
Manajemen aktif kala tiga telah terbukti merupakan cara terbaik untuk
mencegah timbulnya perdarahan pasca persalinan. Rumah sakit yang telah
memasukkan praktik ini dalam prosedur tetapnya mendapatkan adanya
penurunan bermakna kejadian perdarahan pasca persalinan. (DEPKES RI,
2008)
Manajemen aktif kala tiga telah dianggap sebagai cara menurunkan
hemoragi pascapartum pada ibu dengan risiko peningkatan kehilangan darah
dan manajemen ini telah didukung oleh World Health Organization (1994)
sebagai suatu cara menurunkan perdarahan postpartum ketika tidak ada
keterbatasan akses mendapatkan produk darah atau sumber lain. (Walsh,
2008)
14
Penatalaksanaan aktif merupakan kebijakan yang mengharuskan
dilakukanya pemberian uterotonika profilaktik sebagai tindakan pencegahan
untuk menurunkan resiko perdarahan pasca partum tanpa memperdulikan
status obstetrik ibu. Kebijakan penatalaksanaan aktif biasanya meliputi
pemberian rutin agens uterotonika, baik secara intravena, intramuskular
maupun secara oral.
Pemberian ini dilakukan bersamaan dengan pengkleman talipusat
segera setelah kelahiran bayi dan pelahiran plasenta dengan menggunakan
traksi tali pusat terkontrol. Penatalaksanaan aktif kala tiga merupakan
kebijakan penatalaksanaan persalinan kala tiga yang paling banyak dilakukan
di dunia. (Fraser & Cooper, 2009)
Suatu meta-analisa dari studi-studi tersebut, yang tersedia melalui
database Cochrane dan WHO reproductive Health Library (Kesehatan
Reproduksi WHO) menegaskan bahwa pengelolaan aktif berkaitan dengan
berkurangnya kehilangan darah ibu (termasuk perdarahan post partum biasa
hingga berat), berkurangnya anemia setelah persalinan dan berkurangnya
kebutuhan terhadap trasfusi darah.
Pengelolaan aktif juga berkaitan dengan berkurangnya risiko kala III
yang patologis dan berkurangnya pemakaian obat-obat uterotonika yang
berlebihan, sehingga manajemen Aktif Kala III penting dilakukan. ( Shane,
2002)
Beberapa studi berskala besar, yang dilakukan secara acak dan
terkontrol (dilakukan di RS yang memiliki perlengkapan yang lengkap)
15
membandingkan pengaruh Pengelolaan Aktif Kala III dengan Pengelolaan
Menunggu pada suatu percobaan di Dublin, Irlandia, 705 ibu bersalin
ditangani secara aktif dengan 0,5 ergometrin dan dilakukan penegangan
talipusat terkendali, sementara 724 ibu bersalin ditangani secara
menunggu/fisiologis.
Hasil dari percobaan tersebut adalah berkurangnya perdarahan pasca
persalinan dan berkurangnya kasus anemia di antara ibu bersalin yang
mendapat penanganan pengelolaan Aktif Kala III. ( Shane, 2002)
Ibu bersalin yang ditangani dengan aktif secara bermakna menurunkan
kasus perdarahan pasca persalinan, dan sisa plasenta serta lebih sedikit
memerlukan tambahan obat-obatan uterotonika. Tidak satupun dari studi-studi
tersebut di atas memperlihatkan meningkatnya kasus komplikasi serius
sehubungan dengan pengelolaan aktif. Di Indonesia, uterotonika yang
digunakan umumnya adalah oksitosin. ( Shane, 2002)
Beberapa uji klinis telah dilakukan oleh beberapa negara sedang
berkembang salah satunya di Mozambique yang memperoleh hasil dimana
misoprostol 400 mcg per rectal sama efektifnya dengan oksitosin 10 IU IM
dalam mencegah perdarahan postpartum. (Situmorang, 2009)
Penelitian yang dilakukan di Inggris menyimpulkan misoprostol
sebagai uterotonik pengganti efektif dalam mencegah perdarahan postpartum
serta dapat diberikan bila oksitosin tidak tersedia. (Situmorang, 2009)
Penelitian pada tahun 1998 telah membandingkan pemakaian
misoprostol untuk penatalaksanaan aktif kala tiga dibanding dengan placebo.
16
Pada penelitian di Afrika selatan tersebut menggunakan uji klinik acak pada
550 penderita.
Pada pemberian misoprostol secara rectal dengan dosis 400 mcg,
didapatkan perdarahan ≥1000 ml pada kelompok misoprostol 4,8 % dan pada
placebo 7% (tidak bermakna), dan pemberian oksitosin juga berbeda tidak
bermakna dari kelompok yaitu 3,3 % pada kelompok misoprostol dan 4,7 %
pad kelompok placebo. (Manu, 2004)
B. Oksitosin
1. Pengertian
Oksitosin adalah bentuk sintesis oksitosin alami yang diproduksi
dalam pituitary posterior dan aman digunakan dalam konteks luas
dibandingkan kombinasi agens ergometrin/oksitosin. ( Fraser & Cooper, 2009)
Oksitosin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofise
posterior (oksitosin endogen), yang pada wanita pasca melahirkan hormon ini
menstimulasi produksi air susu dan kontraksi uterus untuk menghasilkan
perdarahan dari uterus.
Oksitosin baik endogen maupun eksogen bekerja pada reseptor di
uterus yaitu miometrium dan desidua (endometrium). Namun, jumlah
oksitosin endogen adalah tidak cukup untuk mencegah perdarahan pasca
persalinan sehingga dibuat suatu oksitosin sintetik (oksitosin eksogen) untuk
digunakan sebagai preparat uterotonika dalam mencegah perdarahan
postpartum. (Situmorang, 2009)
17
Oksitosin merangsang otot polos uterus dan kelanjar mama. Fungsi
perangsangan ini bersifat selektif dan cukup kuat. Stimulus sensories pada
serviks, vagina dan payudara secara reflek melepaskan oksitosin dari hipofisis
posterior. (Ganiswara, 1995)
Oksitosik menyebabkan uterus berkontraksi. Oksitosin adalah
uterotonik endogen dari lobus posterior kelenjar hipofisis. Uterotonik eksogen
meliputi bentuk-bentuk sintesis oksitosin, ergot, dan prostaglandin. Bentuk
sintesis oksitosin (pitocin, Oxytocin, Syntocinon) menstimulasi kontraksi
intermitten. (Varney, 2008)
2. Indikasi
Oksitosin dapat membantu menghasilkan kontraksi uterus pada kala III
persalinan, sehingga dapat mengontrol perdarahan postpartum. (Fitrianingsih,
Dwi & Zulkoni, A, 2009).
a. Terapi perdarahan postpartum
Pada perdarahan postpartum yang disebabkan atonia uteri,
tetesan oksitosin merupakan metode terapi yang baik. Pemberian
tetesan ini efektif untuk memperbaiki tonus uterus dan dapat
dipertahankan selama diperlukan. (Oxorn & Forte, 2010)
b. Pencegahan perdarahan postpartum
Untuk mempercepat kelahiran placenta dan untuk mengurangi
perdarahan pada kala plasenta, oksitosin dapat diberikan sebelum
plasenta lahir (Oxorn & Forte, 2010)
18
Bila oksitosin digunakan untuk mengontrol perdarahan uteri,
pemakaian injeksi intravena secara cepat harus dihindari, karena dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah akut. (Fitrianingsih, Dwi &
Zulkoni, A, 2009).
Penyuntikan obat-obat uterotonika segera setelah melahirkan
bayi adalah salahsatu intervensi paling penting yang digunakan untuk
mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin dan traksi tali pusat
adalah intervensi utama dari manajemen aktif dikaitkan dengan tahap
ketiga lebih pendek, dan kehilangan darah berkurang. (Shane, 2002)
Obat-obatan oksitosika makin banyak digunakan secara rutin
pada kala tiga persalinan untuk membantu pelepasan plasenta dan
mengendalikan perdarahan. Keuntungan pemberian obat-obatan
oksitosika dalam manajemen kala tiga telah di buktikan melalui
beberapa uji coba klinis. Bila kebijaksanaan penggunaan obat-obatan
oksitosika dalam persalinan akan dilaksanakan, maka bidan harus
dilatih sehingga memiliki kompetensi untuk memberikan obat tersebut
mampu mengenali efek samping obat itu. Bidan harus mampu
mengenali tanda-tanda dini keracunan oksitosika, terutama tanda-tanda
dini rupture uteri dan merujuk segera untuk mendapatkan bantuan
dokter spesialis secepatnya. (IBI, 2006)
Uterotonika profilaksis menurunkan risiko perdarahan
postpartum sebesar 60% dan menurunkan tambahan uterotonika
19
sekitar 70% dihubungkan dengan efeksamping obat seperti nausea dan
nyeri kepala. (Dasuki et al, 2010)
Penggunaan uterotonik sangat bermanfaat dalam
mengendalikan perdarahan uterus pascapartum. Kerja yang diharapkan
dapat cepat diperoleh melalui rute intermuskular maupun rute
intervena untuk obat oksitosin terlarut, dan tidak ada bahaya
kardiovaskuler pada pemberian langsung intravena masing-masing
obat ini. (Varney, 2008)
3. Kontraindikasi
Kontraindikasi pada penggunaan oksitosin menurut Oxorn & Forte
(2010) adalah
a. Ada disproprsi, umumnya berupa panggul sempit, dan obstruksi jalan
lahir oleh tumor.
b. Grandemultipara, kemungkinan terjadinya rupture uteri terlampau
besar
c. Bekas SC
d. Uterus yang hipertonik (Hipertonic uterus) atau yang tak terkoordinasi
(incoordinate uterus).
Keadaan hipertonik atau inkoordinasi uterus ini menjadi
semakin buruk pada pemberian oksitosin dan dapat menimbulkan
cincin konstriksi.
20
Pemberian oksitosin merupakan kontraindikasi jika uterus
sudah berkontraksi dengan kuat atau bila terdapat obstruksi mekanis
yang menghalangi kelahiran anak seperti plasenta previa atau
disporporsi sefalopelvik. Jika keadaan serviks masih belum siap,
pematangan serviks harus dilakukan sebelum pemberian oksitosin.
(Jourdan, 2004)
e. Kelelahan ibu
Keadaan ini harus diatasi dengan istirahat dan pemberian
cairan, bukan dengan stimulasi oleh oksitosin. Kontraksi otot uterus
memerlukan glukosa maupun oksigen. Jika pasokan keduanya tidak
terdapat pada otot yang berkontraksi tersebut dan keadaan ini mungkin
terjadi karena starvasi atau pasokan darah yang tidak memadai maka
respons yang timbul terhadap pemberian oksitosin tidak akan adekuat
sehingga pemberian oksitosin secara sedikit demi sedikit tidak akan
efektif. Situasi ini lebih cenderung dijumpai pada persalinan yang
lama. (Jourdan, 2004)
f. Fetal distress
Bukan saja oksitosin tidak boleh diberikan pada keadaan ini,
tetapi juga bila dalam pemberian tetesan terjadi ketidakteraturan atau
kelambatan denyut jantung, maka tetesan tersebut harus dihentikan.
g. Segala jenis kelainan prsentasi dan posisi
21
Kelainan letak yang diperkirakan tidak dapat lahir spontan
pervaginam misalnya letak lintang merupakan kontraindikasi.
(Fitrianingsih, Dwi & Zulkoni, A, 2009).
Pemberian infus oksitosin merupakan kontraindikasi pada ibu
hamil yang menghadapi risiko melahirkan per vaginam, misalnya
kasus dengan malpresentasi atau solusio plasenta atau dengan risiko
ruptur uteri yang tinggi. Pemberian infus oksitosin yang terus menerus
pada kasus dengan resistensi dan inersia uterus merupakan
kontraindikasi. (Jourdan, 2004)
Obat-obatan oksitosika tidak boleh diberikan secara
intramuskulaer sebelum bayi dilahirkan. Bidan perlu diingatkan bahwa
obat-obatan oksitosika tidak boleh diberikan sebelum bayi lahir,
kecuali atas petunjuk dokter dan itu pun hanya sebagai terapi untuk
mempercepat persalinan. Bila diberikan sebelum bayi lahir, obat-
obatan oksitosika selalu harus diberikan dalam cairan intravenous
(dengan titrasi) sehingga bisa dihentikan bila kontraksi menjadi terlalu
kuat. Pemberian dimulai dengan beberapa tetes per menit dan
meningkat sampai kontraksi menjadi kuat. (IBI, 2006)
Penggunaan obat oksitosika untuk mempercepat persalinan
berkaitan dengan terjadinya rupture uteri dan perdarahan antepartum
hebat. Oleh karena itu pemberian obat oksitosika sebelum persalinan
harus dilakukan dengan hati-hati dan selalu dibawah pengawasan
22
dokter. Penggunaan obat-obatan oksitosika sebelum persalinan bukan
bagian dari praktik normal kebidanan. (IBI, 2006)
C. Misporostol
1. Pengertian
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1. Misoprostol telah
disahkan FDA (Food And Drug Administration) sejak tahun 1988 untuk
mencegah ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid
Sejak tahun 1990, misoprostol banyak digunakan dalam bidang obstetri dan
ginekologi karena efeknya terhadap kontraksi uterus dan penipisan serviks
yang diberikan secara oral. Kemudian, secara off label saat ini, misoprostol
menjadi salah satu obat yang penting di bidang obstetri dan ginekologi. Pada
tahun 2005, penggunaan misoprostol untuk kehamilan tidak diakui oleh FDA
(Food And Drug Administration) karena dapat menyebabkan hiperstimulasi
uterus. (Bellad & Goudar, 2006)
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 sintetis yang telah
disahkan oleh FDA sejak tahun 1985. Sebagai analog prostaglandin E1
sintetis, misoprostol bersifat uterotonika dan memiliki efek dalam pelebaran
servik. Preparat misoprostol ini merupakan satu-satunya preparat
prostaglandin yang terjangkau untuk pematangan serviks dan induksi
persalinan di negara-negara miskin. (DEPKES RI, 2008)
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 obat yang telah
disahkan (Food And Drug Administration) untuk mencegah ulkus lambung
23
akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. Misoprostol dipasarkan
dalam dua bentuk sediaan yaitu tablet 100 mcg dan 200 mcg (Goldberg &
Wing, 2003)
Misoprostol termasuk dalam golongan hormon prostaglandin yang
dapat menyebabkan kontraksi uterus dan penipisan serviks. Misoprostol telah
di pasarkan sejak 1985 dengan merek Cytotec®. Misoprostol tersedia lebih
dari 80 negara di seluruh dunia untuk mencegah ulkus lambung akibat
penggunaan obat anti inflamasi non steroid (Fiala & Weeks, 2005)
Prostaglandin merupakan asam-asam carboxylat dengan 20 atom
carbon yang secara enzimatik terbentuk dari asam-asam lemak essential
polyunsaturasi. Kebanyakan organ tubuh mampu mensitesis prostaglandin
disamping mampu memetabolismenya menjadi senyawa-senyawa yang
kurang aktif. (Oxorn & Forte, 2010)
Berdasarkan strukturnya, prostaglandin dibagi menjadi empat
kelompok yaitu kelompok E, F, A dan B. Tiga senyawa dari kelompok E dan
tiga senyawa dari kelompok F merupakan senyawa primer. Delapan senyawa
lainya adalah matabolit dari enam senyawa induk tersebut. Tigabelas diantara
empat belas senyawa prostaglandin yang dikenal terdapat pada manusia.
(Oxorn & Forte, 2010)
Cara kerjanya yang tepat belum diketahui, tetapi diperkirakan
prostaglandin menjadi bagian dari mekanisme yang mengendalikan transmisi
dalam saraf simpatetik. Tampak adanya ada dua aktivitas yang umum yaitu
24
pengubahan kontraktilitas otot polos dan modulasi aktivitas hormonal. (Oxorn
& Forte, 2010)
Prostaglandin menghasilkan respons-respons fisiologik dengan ragam
yang luas. Baik kelompok E maupun F memiliki daya stimulasi yang sangat
kuat terhadap myometrium. Namun demikian, pada keadaan dimana
pemberian oksitosin merupakan kontraindikasi, prostaglandin bisa memainkan
peranan dalam menstimulasi aktivitas uterus pada saat aterm. (Oxorn & Forte,
2010)
Didalam tubuh terdapat berbagai jenis prostaglandin (PG) dan tempat
kerjanya berbeda-beda, serta saling mengadakan interaksi dengan autakoid
lain, neurotransmitter, hormone serta obat-obatan. Prostaglandin ditemukan
pada ovarium, miometrium, dan cairan menstrual dengan konsenterasi berbeda
selama siklus haid. (Ganiswara, 1995)
Pada manusia Prostaglandin berperan penting dalam peristiwa
persalinan. Berlainan dengan oksitosin prostaglandin merangsang terjadinya
persalinan, pada setiap usia kehamilan. (Ganiswara, 1995)
Dibagian kebidanan penggunaan prostaglandin terbatas pada PGE2 dan
PGF2α.. Semua PGF merangsang kontraksi uterus baik hamil maupun tidak
hamil. Sebaliknya PGE2 merelaksasi jaringan uterus tidak hamil in vitro, tetapi
memperlihatkan efek oksitosik lebih kuat dari PGF2α pada kehamilan trimester
kedua dan ketiga. Untuk memulai persalinan aterm, PGE2 sama efektifnya
dengan PGF2α atau oksitosin. (Ganiswara, 1995)
25
2. Indikasi
Indikasi yang diakui oleh FDA adalah untuk pencegahan dan
pengobatan ulkus lambung akibat pemakaian antiinflamasi non steroid.
Indikasi ini didasarkan pada efeknya merangsang sistem mucus dan
bikarbonat di lambung dan mengurangi produksi asam lambung.
Pemakaian misoprostol di bidang obstetri dan ginekologi pada
umumnya direkomendasikan pada daerah di mana uterotonika atau
prostaglandin tidak tersedia atau terlalu mahal. Pada daerah dengan sumber
daya terbatas (low-resource settings), keamanan pemakaian misoprostol
hendaknya diperbandingkan dengan metode aborsi yang tidak aman seperti
ramuan herbal, insersi benda asing atau trauma yang disengaja.
Manfaat misoprostol adalah untuk terminasi kehamilan, induksi
persalinan penatalaksanaan kala tiga persalinan dan penatalaksanaan
perdarahan pasca persalinan. Penggunaan misoprostol untuk keadaan tersebut
tidak diindikasikan pada kemasan obat (off-label). Di Indonesia, misoprostol
sudah banyak digunakan dalam praktik kebidanan, baik untuk terminasi
kehamilan, induksi persalinan maupun penatalaksanaan perdarahan pasca
persalinan
Ditetapkanya status penggunaan: terbatas, Hingga saat ini misoprostol
masuk dalam kategori obat golongan G (Obat keras yang hanya bisa
didapatkan dengan resep dokter) artinya penggunaan obat ini, baik untuk
pembelian maupun penggunaan harus selalu dalam pengawasan dokter.
(DEPKES RI, 2008)
26
Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep
dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain
obat jantung, obat darah tinggi/hipertensi, obat darah rendah/antihipotensi,
obat diabetes, hormon, antibiotika, dan beberapa obat ulkus lambung. Obat
golongan ini hanya dapat diperoleh di Apotek dengan resep dokter.
(www.yoyoke.web.ugm.ac.id)
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1, berbeda dengan
prostaglandin lainya, tidak memiliki efek signifikan pada paru-paru atau
pembuluh darah (dan dapat digunakan pada penderita asma). (Fiala & Weeks,
2005)
Penggunaan misoprostol dalam bidang obstetric dan ginekologi tidak
ada satupun yang disetujui Badan Pengawasan Obat dan makanan di Amerika
Serikat (Food And Drug Administration). (Allen & O’Brien, 2009)
Misoprostol mempunyai pengaruh terhadap kontraksi uterus dan
penipisan serviks sehingga misoprostol banyak digunakan dalam bidang
obstetric dan ginekologi diantaranya menurut Goldberg, et al, (2001) adalah
a. Abortus terapeutikus/medical abortion.
b. Induksi Persalinan
Goldberg & Wing (2003) Pada Agustus tahun 2003, (Cytotek,
Searle) sebagai manufaktur dari misoprostol yang telah mengeluarkan
peringatan tertulis kepada seluruh provider kesehatan di Amerika yang
berisikan peringatan pemberian misoprostol untuk wanita hamil karena
27
didapatkanya laporan kejadian rupture uteri setelah penggunaanya
pada induksi persalinan di beberapa negara.
Peringatan tertulis ini kemudian banyak rekasi dan kontroversi
diberbagai negara, Banyak rumah sakit yang kemudian menghilangkan
obat ini dari daftar obatnya. Bahkan di beberapa negara terjadi
pembatasan pemasukan obat dikarenakan fungsinya yang dapat
mengakibatkan aborsi dan sering kali digunakan sebagai aborsi illegal.
Namun, The American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG), kemudian mengungkapkan persetujuanya
terhadap penggunaan misoprostol ini untuk induksi persalinan.
Perdebatan dan kontroversipun kemudian terjadi di berbagai media dan
forum terbuka.
c. Pencegahan perdarahan postpartum
Beberapa studi klinis kecil telah menganjurkan bahwa 400-600
misoprostol yang diberikan secara mcg misoprostol (diberikan melalui
mulut dan dubur) memiliki efektivitas seperti oksitosin dan ergometrin
dalam mengurangi perdarahan pasca persalinan. Beberapa hasil studi
menemukan bahwa misoprostol seefektif oksitosin, tetapi disertai
dengan menggigil dan suhu tubuh meningkat. (Shane, 2002)
Bambigboye dkk (1998) melaporkan misoprostol 400 mcg
yang diberikan per rectal efektif mencegah perdarahan persalinan.
(Carpenter, 2001)
28
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 yang dapat
menjadi alternatif obat uterotonika yang digunakan dalam
penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dalam pernyataan
International Federation of Gynaecology and Obstetrics (FIGO) dan
International Confederation of Midwives (ICM), prevention and
treatment of postpartum Haemorrhage: New Advances for low
Resources Setting. Jika tidak tersedia oksitosin, dan tidak ada tenaga
kesehatan kurang terlatih, pemberian misoprostol per oral yang
diberikan satu menit setelah bayi lahir yang dapat menstimulasi uterus
berkontraksi yang akan membantu terlepasnya plasenta. Sebelum
memberikan misoprostol juga harus memastikan bahwa tidak ada janin
kedua. (POPHI, 2008)
d. Penanganan perdarahan postpartum.
Dalam suatu penelitian deskriptif didapatkan misoprostol dapat
menghentikan perdarahan postpartum yang tidak responsive dengan
pemberian oksitosin dan metilergometrine. Penelitian tersebut
melibatkan 14 wanita yang mendapatkan 1000 mcg misoprostol per
rectal setelah pemberian oksitosin dan metilergometrine, dan pada
semua kasus perdarahan berhenti dalam waktu 3 menit setelah
pemberian misoprostol. (DEPKES RI, 2008)
29
3. Kontraindikasi
Adapun Kontraindikasi Penggunaan misoprostol menurut DEPKES RI
(2008) adalah:
a. Kehamilan
Pada kemasan obat terbaru terdapat peringatan bahwa
misoprostol dikontraindikasikan pada kehamilan karena memiliki efek
abortus. Namun demikian FDA mengetahui bahwa pada beberapa
keadaan, penggunaan misoprostol untuk terapi medis yang tepat,
rasional dan diterima. Peresepan obat untuk indikasi yang belum
disahkan ini sering dilakukan untuk terapi pada wanita hamil dan tidak
dianggap sebagai percobaan karena telah didasarkan pada bukti-bukti
ilmiah yang ada.
Misoprostol merupakan stimulator kontraksi uterus pada
kehamilan lanjut yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kematian
janin serta ruptur uterus jika digunakan dalam dosis yang tinggi. Oleh
karena itu, pemakaiannya harus mengikuti dosis yang dianjurkan dan
tidak melebihi dosis tersebut.
Berdasarkan aspek legal, misoprostol tidak dapat digunakan
pada kehamilan karena sampai saat ini misoprostol hanya
diregistrasikan untuk penatalaksanaan ulkus gaster dan duodenal yang
refrakter terhadap antagonis H-2 reseptor.
30
a) Pada kasus kehamilan bekas SC. Angka kejadian ruptur uteri pada
penggunaan misoprostol meningkat pada trimester 3. Sedangkan
di trimester 1 dan 2 tidak menunjukkan perbedaan bermakna
b) Pada kasus suspect CPD
c) Pada kasus kehamilan multiple dan grande multi
d) Pada kasus presentasi bokong. Presentasi bokong bukan
kontraindikasi untuk induksi dengan misoprostol. Namun,
pertimbangkan kelebihan dan kekuranganya jika dibandingkan SC
e) Pada kasus pertumbuhan janin terhambat. Misoprostol
meningkatkan resiko terjadinya hipoksia intra uteri dihubungkan
dengan efek sampingnya hiperkontraktilitas miometrium
f) Pada kematian mudigah, blighted ovum, abortus medicinalis,
abortus inkomplit dan insipiens. Misoprostol dapat digunakan
dengan aman (sesuai dosis) untuk kasus tersebut. Hal yang perlu
diperhatikan adalah untuk abortus inkomplit/insipiens dimana
biasanya sedang/telah terjadi perdarahan yang banyak, sedangkan
misoprostol membutuhkan waktu untuk bekerja.
g) Pada obortus infeksiosa dan missed abortion, sering kali telah
terjadi perlekatan dalam kavum uteri, hingga penggunaan
misoprostol tidak cukup untuk mengeluarkan seluruh jaringan.
Kondisi ini meningkatkan resiko sepsis
31
h) Pada mola hidatidosa. karena jaringan mola yang banyak dan
miometrium yang tipis, penggunaan misoprostol meningkatkan
resiko tertinggalnya jaringan mola dan rupture uteri.
Meskipun jarang, Misoprostol dapat menimbulkan kelainan
congenital yang serius diantaranya adalah sindroma Mobius
(kelainan congenital pada wajah). (Goldberg et al., 2001)
b. Postpartum
Kontraindikasi Pemberian misoprostol untuk perdarahan
postpartum adalah alergi terhadap pemberian misoprostol. Ataupun
prostaglandin lainya. (Faundes, 2005)
Dalam penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan, sebelum
memberikan misoprostol juga harus memastikan bahwa tidak ada janin
kedua. (POPHI, 2008)
D. Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan
perdarahan postpartum primer
1. Pengertian Efektivitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti
berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah
populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil
guna atau menunjang tujuan. Disebut efektif apabila tercapai tujuan
ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. (Rihadini, 2012)
32
2. Cara Kerja
a. Oksitosin
Oksitosin yang beredar akan berefek bila terdapat reseptor
oksitosin pada membrane sel otot polos uterus sehingga merangsang
pelepasan sel yang akan menyebabkan kontraksi uterus. Oksitosin
terikat pada reseptornya pada membrane sel miometrium, yang
selanjutnya terbentuk siklik adenosin-5-monofosfat (camp).
Oksitosin bekerja dengan menimbulkan depoarisasi potensial
membrane sel, sehingga terjadi penurunan nilai ambang listrik
membrane sel. Dengan terikatnya oksitosin pada membrane sel, maka
Ca 2+ dimobilisasi dari reticulum sarkoplasmik untuk mengaktivasi
protein kontraktil. (Manu, 2004)
Oksitosin bekerja selektif pada otot polos uterus untuk
menstimulasi kontraksi ritmis pada uterus, meningkatkan frekuensi
kontraksi yang telah ada dan meningkatkan tonus otot-otot polos
uterus. Respon yang ditimbulkan tergantung pada ambang rangsangan
uterus terhadap obat ini.
Oksitosin terutama bekerja pada akhir kehamilan, selama
kehamilan dan segera setelah proses persalinan. Oksitosin sintetik
tidak mempunyai efek pada system kardiovaskuler seperti peningkatan
tekanan darah yang biasanya terjadi karena sekresi vasopressin oleh
pituitary posterior.
33
Oksitosin juga bekerja pada reseptor-reseptor sel mioepitel di
payudara dan menstimulasi kontraksi sel-sel, ini yang menyebabkan
mengalirnya air susu ke duktus yang lebih besar, serta memudahkan
keluarnya air susu. (Fitrianingsih & Zulkoni, 2009)
Oksitosin dalam penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dapat
digunakan untuk membuat rahim berkontraksi. Sintetik oksitosin juga
dapat digunakan untuk mencegah dan menangani kontraksi uterus.
(Khan & El-Refaey, 2006)
b. Misoprostol
Misoprostol (Cytotec, Arthrotec) berkhasiat menghambat
produksi asam lambung dan melindungi mukosa. Selain itu,
meningkatkan sekresi mucus dan bikarbonat, dan mempengaruhi
sirkulasi darah di mukosa lambung. (Tjay & Rahardja, 2007)
Prostaglandin dipercaya sebagai pengatur regulasi
myometrium. prostaglandin dapat digunakan dalam penatalaksanaan
aktif kala tiga persalinan dalam menurunkan perdarahan postpartum.
Prostaglandin diproduksi oleh jaringan desidua dan jaringan plasenta.
(Khan &El Refaey, 2006)
Sampai sekarang literatur mengenai cara kerja misoprostol
untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan masih terbatas. Pada
pemakaian per oral, efek didapatkan secara sistemik untuk mencapai
reseptornya di uterus sedangkan pada pemakaian secara vaginal
memberikan efek secara topical.
34
Pada pemakaian misoprostol per rectal, obat akan diserap
melalui mukosa rectal dan akan masuk ke sirkulasi darah, sehingga
uterus akan berkontraksi (target organ) melalui peningkatan hubungan
kesenjangan (gap junction) dan peningkatan kadar Ca 2+ intraceluler,
peningkatan reseptor oksitosin, peningkatan actin-miosin sehingga
terjadi kontraksi miometrium. (Manu, 2004)
Penelitian lain membandingkan pemberian 600 mcg
misoprostol peroral segera setelah penjepitan tali pusat dengan
plasebo. Pada penelitian ini terbukti secara signifikan bahwa kejadian
perdarahan post-partum dan jumlah darah post-partum lebih rendah
pada kelompok misoprostol, sehingga misoprostol dianggap
merupakan obat yang tepat untuk pencegahan perdarahan post-partum
pada daerah dengan sarana dan sumber daya yang rendah. (DEPKES
RI, 2008)
Diab KM dkk (1999) meneliti pemberian misoprostol per oral
dan rectal dengan dosis 200 mcg dan 400 mcg dibandingkan dengan
oksitosin 5 IU dan ergometrine 0,2 mcg intramuscular. Didapatkan
hasil dimana dengan pemberian misoprostol per oral perdarahan lebih
sedikit dan dengan per rectal efek samping lebih minimal dibanding
per oral. (Carpenter, 2001) Benzinger dkk menyatakan pada rectum
tidak ditemukan sistem termoregulasi. (IDAI, 2008)
35
3. Waktu atau onset bekerja
a. Oksitosin
Oksitosin bekerja dalam 2,5 menit yang diberikan secara
intramusculer. Data penelitian terbaru menunjukkan bahwa oksitosin
merupakan pilihan uterotonik yang efektif jika penatalaksanaan kala
tiga persalinan profilaktik dilakukan, terutama pada ibu yang
mengalami kehilangan darah lebih dari 1000 ml. (Fraser & Cooper,
2009)
Oksitosin mempunyai waktu paruh yang singkat yaitu dalam
beberapa menit. Beberapa hasil penelitian menunjukkan waktu paruh
oksitosin 2,5-5 menit karena itu pemberianya harus diulang untuk
mempertahankan kadarnya didalam plasma. (Manu, 2004)
Oksitosin akan bekerja dalam waktu 1 menit setelah pemberian
intravena dan 3-4 menit melalui intramuskuler dengan waktu paruh
yang singkat berkisar 1-10 menit. Peningkatan kontraksi uterus
dimulai hampir seketika. Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-
40 menit sesudah pemberianya. (Royadi et al., 2010)
Oksitosin menyebabkan uterus berkontraksi dan bekerja 2-3
menit setelah pemberian intramuscular, dan mempunyai waktu paruh
10-12 menit. (Situmorang, 2009)
Waktu paruh oksitosin diperkirakan berkisar 1-20 menit,
kendati data-data farmakologis yang lebih mutakhir menunjukkan
angka 15 menit. Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-40 menit
36
sesudah pemberianya Meskipun sampai sejauh mana oksitosin
melintasi plasenta masih belum jelas namun oksitosin dengan cepat
dieliminasi lewat hati, ginjal dan enzim plasenta. (Jourdan, 2004)
b. Misoprostol
Tabel 2.1
Rute pemberian misoprostol
4. Cara pemberian dan dosis
a. Oksitosin
Obat-obatan oksitosika yang diberikan pada manajemen kala
tiga dapat mencegah terjadinya perdarahan pasca salin. Pemberian 10
IU oksitosin segera setelah bayi lahir dan manajemen aktif kala tiga
akan mencegah perdarahan pasca persalinan. (IBI, 2006)
Pemberian oksitosin 10 IU Intramuskular sebagai manajemen
aktif kala tiga persalinan berguna untuk merangsang uterus
berkontraksi yang juga mempercepat pelepasan plasenta. (Manu, 2004)
Rute Onset reaksi Lama Reaksi
Oral 8 menit 2 jam
Sublingual 11 menit 3 jam
Vaginal 20 menit 4 jam
Rektal 100 menit 4Jam
37
Oksitosin diberikan baik secara injeksi intravena maupun
intramuscular. Namun demikian, pemberian oksitosin melalui bolus
intravena dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan fatal, terutama
jika terdapat perburukan kardiovaskuler. Jika diberikan sebagai bolus
intravena, obat ini harus segera diberikan secara perlahan dengan dosis
yang tidak lebih dari 5IU. (Jourdan, 2004)
b. Misoprostol
Pada semua rute pemberian, absorpsi terjadi sangat cepat tetapi
yang paling cepat bila misoprostol diberikan secara oral (mencapai
konsenterasi puncak setelah 12 menit, waktu paruh 20-30 menit).
(Fiala & Andrew Weeks, 2005)
Dosis, efektifitas dan keamanan penggunaan misoprostol untuk
pencegahan perdarahan pasca persalinan. Untuk pencegahan
perdarahan pasca persalinan, diberikan misoprostol 400-600 mcg,
peroral atau rectal, segera setelah bayi lahir dan sebelum plasenta lahir.
(Carpenter, 2001)
a) Misoprostol per oral
Menurut Dasuki, et al. (2010) penelitian tentang
perbandingan efektivitas misoprostol 600 mcg per oral dengan 10
IU secara intramuskular yang dilakukan secara uji klinik ajak
terkontrol.
Didapatkan hasil penelitian bahwa rata-rata lama kala tiga
(0,21 ml), jumlah perdarahan kala tiga (0,55 ml), jumlah
38
perdarahan kala empat (3,46 ml) pada prevensi perdarahan
postpartum menggunakan misoprostol per oral dibandingkan
dengan pemberian oksitosin intramuskuler tidak berbeda baik
secara statistik maupun secara klinis.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efektifitas
misoprostol per oral tidak berbeda baik dengan oksitosin untuk
prevensi perdarahan postpartum.
Sebagaimana uterotonika yang lain, misoprostol
menyebabkan rahim berkontraksi sehingga dapat mengurangi
perdarahan pasca persalinan. Misoprostol memiliki manfaat
potensial termasuk mudah diberikan (melalui mulut dan dubur),
murah dan stabil. Efektivitasnya, dibandingkan dengan obat-obatan
uterotonika yang lain dalam mengurangi perdarahan pasca
persalinan. (Shane, 2002).
Misoprostol dengan dosis 400 mcg per oral dapat
menurunkan 81% insidensi perdarahan postpartum yang telah
terbukti pada wanita di Bangladesh.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan Negara yang
berkembang seperti India, Guinea Bissau, Indonesia, Nepal,
Nigeria yang menujukkan misoprotol efektif untuk mencegah
perdarahan postpartum jika tidak tersedia oksitosin. (Nashreen et
al., 2011)
b) Misoprostol per rectal
39
Penelitian tentang perbandingan efektifitas misoprostol per
bukkal dan rektal dan oksitosin terhadap jumlah darah kala IV
persalinan dengan melkaukan randomized clinical trial Hasil
penelitian menurut Royadi et al (2010) adalah Misoprostol 400
mcg per rektal mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap
jumlah perdarahan kala 1V dibandingkan misoprostol 400 mcg per
bukkal dan oksitosin 10 IU per intramuskuer.
Terlihat semua pasien yang terlibat dalam penelitian ini
jumlah perdarahanya < 500 ml atau rata-rata 35-80 ml. Diantara
ketiga obat uterotonika tersebut misoprostol rektal paling sedikit
jumlah perdarahanya dibanding misoprostol per bukkal dan
oksitosin intramuskuler dengan rata-rata 43,82 ml. Tidak
ditemukan perbedaan signifikan efek samping pada kedua
kelompok perlakuan.
Hal ini disebabkan karena lapisan epitel di mukosa rectum
lebih tipis dan tidak berkreatin. Pembuluh darah vena di rectum
juga banyak. Bila penyerapan obat melalui vena rektalis media dan
vena rektalis inferior, maka absorpsi obat akan masuk kedalam
sirkulasi sistemik dan tidak melewati metabolisme lintas pertama
sehingga bioavailibiltas baik. Bila melalui vena rectalis superior
yang merupakan bagian dari sirkulasi portal, setelah terabsorpsi
langsung dibawa ke hati melalui vena porta.
40
Pada pemberian melalui rectal rata-rata waktu untuk
mencapai konsenterasi maksimum adalah 40-65 menit.
Metabolisme lintas pertama dihati adalah sekitar 50% obat yang
diabsorpsi dari rectum akan melalui sirkulasi portal. Prinsip
pemberian secara rectal adalah sama dengan pemberian oral dalam
penyebaranya di mukosa mulut. Efek pertama pada pemberian
secara rectal tergantung dari tingkat area mukosa rectal dimana
obat tersebut diserap. Keuntungan pemberian cara rectal adalah
bisa diberikan pada penderita yang mengalami gangguan
pencernaan seperti mual, muntah, tidak sadar pada penderita pasca
bedah.
Pada pemberian obat melalui bukkal penyerapan obat lebih
lambat karena lapisan epitel bukkal lebih tebal dibandingkan
mukosa rectum walaupun juga tidak berkreatin. Pembuluh darah di
mukosa bukkal juga tidak melewati vena porta hepatica tapi
langsung ke vena jugularis kemudian ke vena kava dan selanjutnya
ke sirkulasi sistemik. Sedangkan pada efek samping tidak
memperlihatkan hubungan yang signifikan terhadap jenis efek
samping dari penggunaan obat tersebut.
Menurut Situmorang (2009) dalam penelitian tentang
perbandingan efektifitas misoprostol 400 mcg per rectal dengan 10
IU oksitosin pada penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga yang
41
dilakukan secara uji klinis acak terkontrol (randomized clinical
trial).
Didapatkan hasil penelitian bahwa Tidak ada perbedaan
bermakna rata-rata volume darah kala IV, pada kelompok
misoprostol 63,17 ml sedangkan kelompok oksitosin 151,50 ml
Ada perbedaan bermakna rata-rata lamanya kala tiga, dimana
kelompok misoprostol 10,6 menit sedangkan kelompok oksitosin
13,9 menit.
Secara penelitian radiologis awal mengidentifikasi bahwa
pelepasan plasenta biasanya terjadi setelah 3 menit kelahiran bayi.
Penelitian lebih baru menemukan rata-rata lama kala tiga adalah
6,8 menit, dengan rentang intrakuartal 4 sampai 10 menit. (Wals,
2008)
Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275 persalinan
pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi lama kala tiga
adalah 6 menit. (Cunningham et al., 2005)
Tidak dijumpai subyek yang mengeluhkan efek samping pada
kelompok misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin
dijumpai 2 subyek (6,6%) mengeluhkan nyeri kepala,
Tidak dijumpai kejadian retensio plasenta, atonia uteri,
perlunya penambahan uterotonika, dan kematian pada kelompok
misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin dijumpai satu
kasus. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa efektifitas
42
misoprostol 400 mcg per rectal sama dengan oksitosin sebagai
uterotonika.
Dalam perbandingan antara misoprostol per rectal dengan
intramuscular oksitosin dapat disimpulkan bahwa misoprostol
sebagai altenatif sebagai uterotonika seperti oksitosin yang
digunakan dalam manajemen aktif kala tiga khususnya di negara
berkembang. Dan misoprostol memiliki efektifitas yang sama
untuk pencegahan perdarahan postpartum seperti oksitosin.
Sehingga misoprostol per rectal dapat dijadikan sebagai alternatif
pengganti oksitosin jika tidak tersedia. (Shrestha, 2011)
5. Efeksamping
a. Oksitosin
Obat-obatan oksitosika tersebut bukan tanpa efek samping. Ada
ibu bersalin yang mendapat dosis tunggal oksitosika yang akan dialami
menurut IBI (2006) adalah
a) Cardiac arrest (henti jantung)
Pemberian oksitosin dengan jumlah yang besar dapat
mengakibatkan vasodilatasi yang nyata dan mendadak sehingga
penurunan tekanan darah, khususnya tekanan diastolic. Curah
jantung dapat berkurang dan penurunan curah jantung dapat
memicu reflex takikardia. (Jourdan S, 2004)
43
b) Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh edema paru atau
perdarahan intra serebral akibat hipertensi hebat
c) Kecenderungan meningkatnya insiden dari lambatnya pelepasan
atau tidak bisa lepasnya plasenta.
Dalam studi di Dublin (Irlandia), ditemukan insidensi
plasenta manual (ada gangguan pelepasan plasenta), insiden
perdarahan postpartum sekunder yang lebih tinggi,
d) Mual, sakit kepala dan nyeri setelah persalinan.
Mual dan muntah dapat disebabkan oleh kontraksi otot polos
usus atau kerja langsung oksitosin pada zona pemicu kemoreseptor
dan pusat muntah dalam medula oblongata. (Jourdan, 2004)
Selama sembilan bulan terakhir kehamilan, daya reaksi otot
rahim terhadap oksitosin meningkat sebesar delapan kali lipat. Bila
dilakukan pemberian oksitosin, baik frekuensi maupun kekuatan
kontraksi otot polos rahim akan meningkat sehingga rasa nyeri
persalinan semakin hebat. Pasien melaporkan bahwa kontraksi yang
diinduksi oleh pemberian oksitosin terasa lebih nyeri daripada
kontraksi pada persalinan spontan. Penguatan persalinan dengan
oksitosin membawa risiko hiperstimulasi uerus, karena beberapa
individu hipersensitif terhadap oksitosin, pemberian infuse oksitosin
selalu mengandung bahaya kontraksi uterus yang tetanik atau
spasmodic sekalipun dosis yang diberikan sudah rendah. (Jourdan,
2004)
44
e) Oksitosika juga berpotensi meningkatkan tekanan darah, namun
dapat mengurangi insiden perdarahan postpartum primer.
Oksitosin bekerja pada reseptor hormone anti diuretic dalam
pembuluh darah untuk menghasilkan vasokonstriksi. Efek
vasokonstriksi ini dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah yang
hebat dan mendadak hingga diatas 200/120 mmHg, kenaikan
tekanan darah yang hebat serta mendadak ini dapat menimbulkan
krisis hipertensi, dan kematian ibu pernah terjadi. (Jourdan, 2004)
f) Kontraksi pembuluh darah tali pusat
Jika mekanisme proteksi ini diaktifkan sebelum waktunya,
janin akan mengalami kekurangan oksigen. Hipoksia janin dapat
menimbulkan bradikardia, disritmia kardiak dan bahkan kematian.
Setiap keadaan gawat janin sudah ada sebelumnya cenderung
menjadi semakin berat dengan pemberian infus oksitosin. (Jourdan,
2004)
g) Kerja antidiuretik
Jika preparat oksitosin sintetik diberikan, khususnya dengan
dosis tinggi, maka kerjanya menyerupai kerja hormone antidiuretik.
Tanpa pemantauan yang cermat, hal ini dapat menimbulkan retensi
cairan yang berbahaya. Setiap air yang ditahan akan mengalir lewat
osmosis dari plasma kedalam cairan jaringan dan kemudian
kedalam sel-sel tubuh yang akan membengkak. Retensi air dapat
meningkatkan volume cairan jaringan. Peningkatan ini pada
45
gilirannya akan menimbulkan edema dependen, kenaikan tekanan
vena jugularis dan bahkan edema paru yang mengganggu
pernafasan serta oksigenasi. Retensi air dapat menyebabkan
intoksikasi air (Pembengkakan sel) namun, tidak semua kasus
intoksikasi air lebih cenderung terjadi jika diberikan cairan infuse
yang hipotonik, seperti larutan glukosa (dekstrosa). (Jourdan, 2004)
h) Reaksi hipersensitivitas
b. Misoprostol
Efek samping misoprostol untuk pencegahan perdarahan
postpartum tergantung dosis yang diberikan. Suatu studi melaporkan
efek samping yang terjadi yaitu demam dan menggigil pada pemberian
misoprostol 400 mcg yang diberikan setelah penjepitan talipusat
menurun dari 11% menjadi 4%. Studi lain menyatakan jika
misoprostol diberikan 400 mcg atau 200 mcg diberikan per rectal
terjadi 7% insidensi menggigil. (UM et al., 2009).
Adapun efek samping yang paling umum terjadi pada
pemberian misoprostol menurut Goldberg et al., (2001) adalah
a) Diare
Efek samping pemberian misoprostol yang terjadi adalah
diare (3%). (Carpenter, 2001). Diare juga merupakan hal yang
mungkin terjadi setelah pemberian misoprostol akan tetapi,
biasanya dapat diatasi dengan sendirinya setelah 1 hari. (Gynuity
Health Projects, 2007).
46
b) Mual dan muntah
Insidensi muntah (8%) pada pemberian misorostol.
(Carpenter, 2001). Peningkatan kontraktilitas traktus
gastrointestinal keadaan ini akan menimbulkan diare, muntah, dan
kram abdomen. (Jourdan, 2004). Mual dan muntah bisa terjadi 2
sampai 6 jam setelah pemberian misoprostol. Jika dibutuhkan
maka diberikan anti emetic (anti mual)
c) Nyeri perut
Kram atau nyeri perut, biasanya terjadi setelah melahirkan,
biasanya tejadi dalam beberapa jam pertama dan mungkin mulai
terjadi setelah 30 menit pemberian misoprostol. Nonsteroidal anti-
inflammatorydrugs (NSAIDs) atau analgesia lain dapat digunakan
untuk menghilangkan rasa sakit tanpa mempengaruhi keberhasilan.
(Gynuity Health Projects, 2007)
d) Demam
Insidensi demam (suhu> 38C) adalah 2 sampai 34%.
(Carpenter, 2001) Insidensi Efek samping demam lebih sedikit
dibandingkan dengan menggigil, dan demam belum tentu
menunjukkan infeksi. Peningkatan suhu tubuh sering didahului
dengan menggigil, puncaknya terjadi 1-2 jam setelah pemberian
misoprostol, dan secara bertahap berkurang dalam waktu 2-8 jam.
jika dibutuhkan, antipiretik dapat digunakan untuk menghilangkan
demam. Jika demam atau menggigil berlangsung setelah 24 jam,
47
pasien harus diberi tindakan medis untuk menghindari infeksi.
(Gynuity Health Projects, 2007)
Normalnya prostaglandin bekerja pada hipotalamus untuk
menimbulkan panas (pireksia) ketika terjadi infeksi. Pireksia
dengan kenaikan suhu yang melebihi 1oC terjadi pada 34% pasien
yang mendapatkan misoprostol oral untuk pencegahan postpartum.
Efek ini biasanya bersifat sepintas dan akan hilang dalam waktu
beberapa jam setelah pemberian berakhir. (Jourdan, 2004).
Prostaglandin PGE2 dan 15 metil PGF2α yang
meningkatkan suhu tubuh sekilas dan diduga kerjanya melalui
pusat pengatur suhu di hipotalamus. (Ganiswara, 1995)
Dalam otak prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap
zat-zat pirogen berasal dari bakteri (infeksi). Prostaglandin ini
menstimulasi pusat regulasi suhu di hipotalamu dan menimbulkan
demam. (Tjay & Rahardja, 2007)
Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh diatas normal
sebagai akibat peningkatan pusat pengaturan suhu di hipotalamus
yang dipengaruhi oleh Interlukein-1. Pengaturan suhu pada
keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara
produksi dan pelepasan panas.
Demam disebabkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen.
Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan
sel tertentu lainya secara langsung atau dengan perantaraan
48
pembuluh limfe masuk sistem sirkulasi dan dibawa ke
hipotalamus. Didalam pusat pengendalian suhu tubuh pirogen
endogen menimbulkan perubahan metabolic, antara lain sintesis
prostaglandin E2 (PGE2) yang mempengaruhi pusat pengendalian
suhu tubuh sehingga set point untuk suhu tersebut ditingkatkan
untuk suhu tubuh yang lebih tinggi. Pusat ini kemudian
mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk meningkatkan
aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi
aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi demam.
(IDAI, 2008)
e) Mengigil
Jalur pemberian oral dapat berhubungan dengan menggigil
(19 sampai 62%). (Carpenter, 2001) Menggigil merupakan efek
samping yang paling umum terjadi dari pemberian misoprostol
selama postpartum, terjadi dalam satu jam pemberian dan efek
samping sementara akan mereda setelah 2-6 jam setelah
melahirkan. (Gynuity Health Projects, 2007)
Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan
vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan vasokonstriksi
dengan menggigil sebagai respons terhadap kenaikan suhu tubuh.
Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf memegang peranan
penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh.
49
Pada lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat,
pusat pengatur suhu di hipotalamus mempengaruhi serabut saraf
eferen dari sistem saraf autonom untuk melebarkan pembuluh
darah. Peningkatan aliran darah di kulit menyebabkan pelepasan
panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit ke sekitarnya
dalam bentuk keringat. Di lain pihak, ada lingkungan dingin,
penurunan aliran peredaran darah dikulit (vasokonstriksi) akan
mempertahankan suhu tubuh. Hipertermia maligna adalah keadaan
patologis, ditandai adanya peningkatan produksi panas yang tidak
terkendali. (IDAI, 2008)
c. Oksitosin dan misoprostol
Penelitian multicenter WHO melakukan randomisasi trial dalam
penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dengan pemberian oksitosin 10
IU intramuskuler dibandingkan dengan misoprostol 600 mcg oral
menunjukkan misoprostol memiliki efektivitas yang sama dengan
oksitosin atau metilergometrine dalam mengurangi perdarahan jika
diberikan sebagai manajemen aktif kala tiga dalam persalinan.
Dibandingkan dengan perempuan yang menerima oksitosin,
perempuan yang menerima misoprostol 600 mcg peroral segera setelah
persalinan memiliki jumlah kehilangan darah yang lebih besar,
membutuhkan uterotonika lain dan memiliki insidens mengalami
peningkatan suhu dan menggigil. (Gulmezoglu et al., 2001)
50
Penelitian Amant tahun 1999 membandingkan efektifitas dan
efeksamping misoprostol oral dibandingkan dengan metilergometrine
intravena dalam pencegahan perdarahan postpartum. Hasil penelitian ini
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna terhadap perdarahan pasca
persalinan, namun misoprostol berhubungan dengan efeksamping yang
lebih besar. (Capenter, 2001)
Menurut Shresta et al., (2011) Dalam journal Rectal Misoprostol
versus Intramuscular Oksitosin for prevention of postpartum Hemorrhage
adapun hasil penelitianya adalah efeksamping dalam 6 jam diantara
kelompok misoprostol dan oksitosin secara statistik terdapat kemiripan
secara signifikan. Sedangkan efeksamping yang timbul antara kelompok
misoprostol dan oksitosin dalam 24 jam secara statistik tidak signifikan
Tabel 2.2
Efeksamping antara misoprostol dan oksitosin
Efek samping dalam 6 jam
Misoprostol Oksitosin
Tidak ada efek samping
73 % 87%
Demam dengan menggigil
25 % 10 %
Nyeri perut 2% 3%
Efek samping dalam 24 jam
Misoprostol Oksitosin
Tidak ada efek samping
77 % 89%
Demam dengan menggigil
16 % 4%
Nyeri perut 7% 7%
51
Perbedaan yang agak menonjol adalah pada efek samping obat
terutama menggigil, sedangkan mual ditemukan 5 kasus pada penggunaan
misoprostol dan 1 kasus pada penggunaan oksitosin. Menurut Nissen, efek
samping misoprostol yang terbanyak adalah diare diikuti mual dan
muntah. Hal ini disebabkan misoprostol menyebabkan kontraksi otot polos
longitudinal traktus gastrointestinal tetapi relaksasi pada otot polos
sirkuler. Pada penelitian ini tidak ditemukan efek samping berupa diare.
Untuk efek samping misoprostol berupa menggigil, pada
farmakokinetika dari misoprostol belum pernah disebutkan penyebabnya.
Tetapi pada penelitian El-Refaey ditemukan kejadian menggigil 62%.
Tidak dilakukan tindakan atau terapi untuk mengatasi menggigil, karena
tidak dikatakan tidak menimbulkan morbiditas, hanya perasaan yang tidak
menyenangkan. Terjadi sekitar 20 menit setelah menelan obat
(misoprostol) dan berlangsung selama 10-15 menit.
Pada penelitian ini, dari 120 kasus misoprostol, didapatkan 14 kasus
dengan menggigil (11,7 %). Seluruhnya berlangsung 10-15 menit dan
tidak ada tindakan tambahan yang diberikan. Menurut WHO insidensi
menggigil pada persalinan normal tanpa intervensi 10% sehingga efek
samping obat berupa menggigil masih harus dilihat lagi, apakah
disebabkan oleh misoprostol. Apakah menggigil disebabkan oleh
52
misoprostol, maka farmakokinetikanya yang dapat menerangkan adalah
bahwa misoprostol ini bereaksi menimbulkan proses inflamasi berupa
demam.
Demam tersebut menimbulkan meggigil pada kasus pemakaian
misoprostol. Dari 13 kasus misoprostol yang didapatkan menggigil hanya
7 kasus yang mengalami kenaikan temperatur, sedangkan lainnya tetap
atau turun. ( Dasuki., et al 2010)
Adapun meggigil dapat ditemukan jika misoprostol digunakan dalam
dosis tinggi. efek samping penggunaan rectal untuk pencegahan
perdarahan postpartum, Khan et al menunjukkan bahwa mengigil terjadi
73 % pada pemberian rectal dan 95% pada pemberian oral.
Adapun Analisis berdasarkan efeksamping antara misoprostol dan
oksitosin mennunjukkan demam dan menggigil dengan frekuensi paling
tinggi pada kelompok misoprostol 41% sedangkan oksitosin 14%. Dan
nyeri perut terjadi pada kelompok misoprostol dan oksitosin. ketika
pasien mengalami menggigil dapat diberikan selimut. Demam dan
menggigil yang terjadi pada kelompok prostaglandin E (misoprostol) yang
terjadi di pusat termoregulator. (Shrestha, 2011)
6. Penyimpanan
a. Oksitosin
Oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine dan
methylergometrine. Jika oksitosin, ergometrine & methylergometrine
53
disimpan dalam rantai dingin atau cold chain dengan suhu 4-8 OC atau
dalam keadaan tidak terkena cahaya, jumlah zat aktifnya tidak akan
menghilang. Namun, jika disimpan dalam suhu yang lebih tinggi dan
terkena cahaya, oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan
ergometrine dan methylergometrine. Secara penglihatan ergometrine
dapat terdeteksi jika kehilangan zat aktifnya, yaitu larutan ergometrine
akan kehilangan bahan aktifnya kurang dari 90 %.
Ergometrine dan methylergometrine sangat sensitif terhadap
cahaya. Kedua obat tersebut harus disimpan dalam keadaan gelap atau
tidak terkena cahaya dan akan kehilangan zat aktifnya jika terpapar
cahaya dalam waktu yang singkat.
Perbedaan kestabilan antara oksitosin, ergometrine dan
methylergometrine sangat penting jika terpapar cahaya. Penulis
menemukan bahwa ergometrine dan methylergometrine akan cepat
kehilangan potensinya jika terpapar cahaya bahkan cahaya langsung .
Rata-rata ergometrine dan methylergometrine akan kehilangan potensi
zat aktifnya sebesar 21% dan 27 % dari masing-masing obat tersebut
akan kehilangan zat aktifnya selama satu bulan penyimpanan jika
terpapar cahaya tidak langsung. Oksitosin tidak menunjukkan banyak
kehilangan potensi jika dilakukan uji yang sama. Penulis
menyimpulkan bahwa oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan
ergometrine dan methylergometrine, karena oksitosin tidak memiliki
efek buruk jika terpapar cahaya.
54
Tabel 2.3
Kesimpuan studi simulasi tentang kestabilan obat oksitosika
dibawah kondisi tropis
Rata-rata zat aktif setelah 12 bulan
penyimpanan
Gelap, 4-8 oC
Gelap, 30 oC
Terkena
cahaya
21-25 oC
Ergometrine Kehilangan
5 %
Kehilangan
31 %
Kehilangan
90 %
Methylergometrine Kehilangan
4 %
Kehilangan
18 %
Kehilangan
90 %
Oksitosin Kehilangan
0 %
Kehilangan
14 %
Kehilangan
7 %
Nilai rata-rata presentase kehilangan potensi berdasarkan zat aktifnya.
WHO dalam penelitianya menyimpulkan bahwa obat uterotonika
dapat disimpan dalam dua minggu jika suhu 400 C atau satu bulan
dengan suhu 300 C selama tidak menyebabkan efek yang serius tentang
55
potensi obat oksitosika tersebut. Oleh karena itu, obat oksitosika
tersebut tidak didinginkan dari pemasok atau central store yang tidak
akan menimbulkan efek yang signifikan tentang potensi obat
oksitosika injeksi. Dalam kasus tidak tersedia rantai dingin atau cold
chain, oksitosin dan ergometrine mungkin sementara waktu
penyimpanannya tidak pada rantai pendingin maksimum selama 3
bulan dengan suhu tidak melebihi 300 C.
Oleh sebab itu dalam peningkatan efektivitas, kestabilan yang
lebih baik, kontraindikasi dan efeksamping yang lebih sedikit dan
biaya yang sama. WHO merekomendasikan oksitosin sebagai obat
pilihan utama yang diberikan pada manajemen aktif kala tiga
persalinan di negara-negara berkembang. Jika oksitosin tidak tersedia,
ergometrine boleh digunakan jika penyimpananya baik dan tidak
terkena cahaya. (www.pphprevention.org/files/Practicalguidance-
secure_00.)
Penyimpanan oksitosin harus ditempat yang tidak terkena dengan
cahaya diantara 4-22 oC, misalnya didalam lemari es. ( Jourdan, 2004)
56
Bagan 2.1
Pemilihan obat oksitosika
Jika oksitosin dan ergometrine tersedia
Lemari pendingin?
(2-8 o C)
IYA
Kontraindikasi untuk ergometrine?
IYA
OKSITOSIN
TIDAK
PENYIMPANAN*
Lokasi:
Central drug store Labor/delivery
unit Postpartum unit
Selama pengangkutan
CAHAYA OKSITOSIN
GEL
Kontraindikasi untuk ergometrine?
TIDA
OKSITOSIN ATAU ERGOMETRINE **
T
IYA OKSITOSIN
57
b. Misoprostol
Misoprostol telah tersedia dalam bentuk tablet yang mempunyai
masa aktif obat adalah 18-36 bulan. Dan penyimpanan oksitosin dalam
suhu dibawah 25-30 oC (77 - 86 oF) disimpan dalam tempat yang
kering. Dan misoprostol stabil pada suhu ruangan.
7. Sumber daya
Apabila ditinjau dari segi ekonomis dan biaya, penggunaan
misoprostol per rectal lebih mahal dari pada oksitosin intramuskuler, tetapi
misoprostol mempunyai keuntungan yaitu: lebih praktis dalam hal cara
pemberian, penyimpanan mudah, dan tidak perlu keahlian dalam
pemakaian. (Manu, 2004)
Dengan mempertimbangkan masih banyak persalinan dilakukan
penolong belum benar-benar terampil dan tanpa pengetahuan penggunaan
oksitosin yang standar, misoprostol dapat menjadi uterotonika alternatif
untuk menurunkan kejadian perdarahan pasca persalinan secara global.
(Situmorang, 2009)
Untuk melaksanakan pemberian oksitosika secara rutin pada
manajemen kala tiga di Negara-negara asia tenggara perlu
dipertimbangkan masalah biaya. Komponen biaya bukan hanya meliputi
58
biaya pelatihan dan biaya obat, tetapi juga biaya penyimpanan (lemari es),
penyimpanan persediaan dan transportasi. (IBI, 2006).
Dalam jurnal Misoprostol and active management of the third stage
of labor yang melakukan penelitian tentang penggunaan misoprostol 600
mcg per oral dalam manajemen aktif kala tiga persalinan, didapatkan hasil
penelitian bahwa wanita yang diberikan misoprostol 11% lebih sedikit
kehilangan darah 500 ml. Sehingga dapat dipertimbangkan pemberian
misoprostol ketika oksitosin tidak tersedia (Prata et al., 2006)
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan
praktik bidan bahwa bidan tidak berwenang dalam pemberian misoprostol.
Dan bidan hanya berwenang untuk pemberian uterotonika pada
manajemen aktif kala tiga dan postpartum.
USP Expert Advisory Panel merekomendasikan misoprostol sebagai
alternative dalam mengurangi insidens perdarahan pasca persalinan,
terutama pada kondisi tidak tersedia oksitosin dan obat uterotonik lainnya.
karena adanya pengaruh yang dihasilkan oleh misoprostol terhadap
kontraksi uterus dan penipisan serviks dapat digunakan untuk pencegahan
dan penanganan perdarahan postpartum. (Carpenter, 2001)
59
BAB III
PEMBAHASAN
A. Konsep perdarahan postpartum
Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa
perdarahan postpartum adalah perdarahan dengan jumlah banyak yang
terjadi segera setelah persalinan setelah bayi lahir hingga 6 minggu setelah
persalinan yang dapat mengganggu kesejahteraan ibu seperti ibu menjadi
lemas bahk dalam keadaan pre syok atau syok. Sehingga, seorang bidan
harus cepat dan tanggap untuk melakukan intervensi jika terjadi perdarahan
postpartum.
Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum
primer sebesar 70-85 %. Atonia uteri adalah keadaan otot uterus tidak
mengalami retraksi dan kontraksi yang kuat sehingga pembuluh darah
terbuka.
60
Deteksi dini komplikasi selama kehamilan dan persalinan sangat
penting bagi bidan, sehingga kemungkinan terjadi perdarahan postpartum
akan segera diantisipasi segera sebelum kelahiran terjadi.
Pada kasus-kasus perdarahan pasca persalinan dapat diramalkan
seperti kasus kelahiran bayi besar, uterus yang overdistensi kemungkinan
besar akan menjadi hipotonik setelah persalinan. Sehingga, wanita dengan
janin yang besar, janin lebih dari satu atau hamil kembar, hidramanion,
partus lama, induksi/stimulasi, cenderung mengalami perdarahan karena
atonia uteri.
Suatu meta-analisa dari studi-studi tersebut, yang tersedia melalui
database Cochrane dan WHO reproductive Health Library (Kesehatan
Reproduksi WHO) menegaskan bahwa pengelolaan aktif berkaitan dengan
berkurangnya kehilangan darah ibu (termasuk perdarahan post partum biasa
hingga berat), berkurangnya anemia setelah persalinan dan berkurangnya
kebutuhan terhadap trasfusi darah. WHO merekomendasikan pengelolaan
aktif Kala III untuk setiap persalinan ( Shane, 2002)
B. Oksitosin
Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa
oksitosin endogen adalah suatu hormon alami yang diproduksi oleh
hipotalamus dan diekskesikan oleh kelenjar hipofisis posterior.
Oksitosin baik endogen maupun eksogen bekerja pada reseptor di
uterus yaitu miometrium dan desidua (endometrium) dan payudara.
59
61
Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi otot polos uterus dan kelenjar
payudara sehingga, oksitosin memiliki peranan dalam proses persalinan dan
pengeluaran air susu.
Namun, jumlah oksitosin endogen adalah tidak cukup untuk
mencegah perdarahan pasca persalinan sehingga dibuat suatu oksitosin
sintetik (oksitosin eksogen) untuk digunakan sebagai preparat uterotonika
dalam mencegah perdarahan postpartum. (Situmorang, 2009) Bentuk
sintesis oksitosin (pitocin, Oxytocin, Syntocinon) menstimulasi kontraksi
uterus.
Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus sehingga dapat
mengontrol perdarahan postpartum. Sehingga oksitosin eksogen merupakan
obat uterotonika yang utama digunakan secara rutin pada kala tiga
persalinan untuk membantu pelepasan plasenta dan mencegah perdarahan
postpartum primer.
C. Misoprostol
Misoprostol termasuk dalam golongan hormon prostaglandin yang
dapat menyebabkan kontraksi uterus dan penipisan serviks. Misoprostol
telah di pasarkan sejak 1985 dengan merek Cytotec®. (Fiala & Weeks,
2005)
Misoprostol adalah sintetis dari analog prostaglandin E1. Pada
awalnya misoprostol digunakan untuk mencegah ulkus lambung akibat
penggunaan obat anti inflamasi non steroid.
62
FDA (Food And Drug Administration) hanya menerima dan
menganjurkan untuk digunakan sebagai pencegahan ulkus lambung akibat
penggunaan obat anti inflamasi non steroid. Dan secara off label misoprostol
menjadi obat yang penting dalam bidang obstetri dan ginekologi karena
efeknya terhadap kontraksi uterus dan penipisan serviks.
Searle, selaku manufaktur dari misoprostol pada tahun 2000 telah
mengeluarkan peringatan tertulis kepada seluruh provider kesehatan di
Amerika yang berisikan peringatan pemberian misoprostol untuk wanita
hamil dan juga untuk penggunaan di bidang kebidanan. Karena
didapatkanya laporan kejadian rupture uteri setelah penggunaanya pada
induksi persalinan di beberapa negara.
Namun, The American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG), kemudian mengungkapkan persetujuanya terhadap penggunaan
misoprostol ini untuk induksi persalinan.
D. Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan
perdarahan postpartum primer
1. Cara kerja oksitosin dan misoprostol
Seperti yang dikemukakan oleh Fitrianingsih & Zulkoni (2009)
Oksitosin bekerja pada membrane sel otot polos uterus sehingga
merangsang pelepasan sel yang akan menyebabkan kontraksi uterus.
Sedangkan cara kerja misoprostol seperti yang dikemukakan oleh
Manu (2004) Sampai sekarang literatur mengenai cara kerja
63
misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan masih
terbatas. Pada pemakaian per oral, efek didapatkan secara sistemik
untuk mencapai reseptornya di uterus sedangkan pada pemakaian
secara vaginal memberikan efek secara topical.
Pada pemakaian misoprostol per rectal, obat akan diserap
melalui mukosa rectal dan akan masuk ke sirkulasi darah, sehingga
uterus akan berkontraksi (target organ) melalui peningkatan hubungan
kesenjangan (gap junction) dan peningkatan kadar Ca 2+ intraceluler,
peningkatan reseptor oksitosin, peningkatan actin-miosin sehingga
terjadi kontraksi miometrium.
2. Waktu atau onset bekerja oksitosin dan misoprostol
Oksitosin memiliki onset bekerja lebih cepat dibandingkan
dengan misoprostol. Oksitosin bekerja dalam 2,5 menit yang diberikan
secara intramusculer. Sedangkan misoprostol memiliki onset reaksi
paling cepat yaitu misoprostol per oral bekerja dalam 8 menit
dibandingkan dengan misoprostol per sublingual, vaginal dan rectal.
3. Cara pemberian dan dosis
a. Oksitosin
Oksitosin dapat diberikan secara rutin pada setiap persalinan
yang telah direkomendasikan oleh WHO. Obat-obatan oksitosika
yang mengandung oksitosin syntetik yang diberikan pada
64
manajemen aktif kala tiga persalinan efektif mencegah terjadinya
perdarahan postpartum. Intervensi yang dilakukan dengan pemberian
10 IU oksitosin secara intramuskuler segera satu menit setelah bayi
lahir. Dan dikontraindikasikan jika terdapat janin kedua.
b. Misoprostol
Dosis penggunaan misoprostol untuk pencegahan perdarahan
pasca persalinan yang telah direkomendasikan adalah misoprostol
400-600 mcg peroral atau rectal, yang diberikan segera setelah bayi
lahir dan sebelum plasenta lahir.
a) Misoprostol per oral
Pada semua rute pemberian, absorpsi terjadi sangat cepat
tetapi yang paling cepat bila misoprostol diberikan secara oral
(mencapai konsenterasi puncak setelah 12 menit, waktu paruh
20-30 menit). (Fiala & Andrew Weeks, 2005)
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa dengan
pemberian misoprostol per oral dapat menurunkan insidensi
perdarahan postpartum. Seperti yang dikemukakan oleh Dasuki,
et al. (2010) dalam penelitian yang dilakukan secara uji klinik
ajak terkontrol tentang perbandingan efektivitas misoprostol 600
mcg per oral dengan 10 IU secara intramuskular didapatkan hasil
penelitian efektifitas misoprostol per oral tidak berbeda baik
dengan oksitosin untuk prevensi perdarahan postpartum dalam
65
hal rata-rata lama kala tiga, jumlah perdarahan kala tiga jumlah
perdarahan kala empat.
b) Misoprostol per rectal
Misoprostol per rectal juga efektif untuk menurunkan
insidensi perdarahan postpartum seperti yang dikemukakan oleh
Royadi, et al. (2010) bahwa misoprostol 400 mcg per rektal
mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap jumlah
perdarahan kala 1V dibandingkan misoprostol 400 mcg per
bukkal.
Hal ini disebabkan karena lapisan epitel di mukosa
rectum lebih tipis dan tidak berkreatin. Pada pemberian obat
melalui bukkal penyerapan obat lebih lambat karena lapisan
epitel bukkal lebih tebal dibandingkan mukosa rectum walaupun
juga tidak berkreatin. Keuntungan pemberian cara rectal adalah
bisa diberikan pada penderita yang mengalami gangguan
pencernaan seperti mual, muntah, tidak sadar pada penderita
pasca bedah.
4. Efek samping
Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa
bahwa efek samping yang terjadi pada kelompok oksitosin lebih kecil
dibandingkan dengan kelompok misoprostol untuk pencegahan
perdarahan postpartum primer.
66
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gulmezoglu et
al., (2001) perempuan yang menerima misoprostol 600 mcg peroral
segera setelah persalinan memiliki insidens mengalami peningkatan suhu
dan menggigil. Beberapa hasil studi menemukan bahwa misoprostol
seefektif oksitosin, tetapi disertai dengan menggigil dan suhu tubuh
meningkat. (Shane, 2002)
Hal ini diperkuat oleh Shresta et al., (2011) Dalam journal Rectal
Misoprostol versus Intramuscular Oxytocin for prevention of postpartum
Hemorrhage hasil penelitianya adalah efeksamping lebih besar pada
kelompok misoprostol. Efek samping yang terjadi adalah
a. Demam dan menggigil sebesar 25 % pada kelompok misoprostol
sedangkan 10 % pada kelompok oksitosin pada 6 jam pertama.
Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Dasuki, et
al. (2010) tentang perbandingan efektivitas misoprostol 600 mcg per oral
dengan 10 IU secara intramuskular dinyatakan bahwa perbedaan yang
agak menonjol adalah pada efek samping obat terutama menggigil.
Pada penelitian ini, dari 120 kasus misoprostol, didapatkan 14
kasus dengan menggigil (11,7 %). Seluruhnya berlangsung 10-15 menit
dan tidak ada tindakan tambahan yang diberikan. Dari 13 kasus
misoprostol yang didapatkan menggigil hanya 7 kasus yang mengalami
kenaikan temperatur, sedangkan lainnya tetap atau turun.
67
Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan
vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan vasokonstriksi dengan
menggigil sebagai respons terhadap kenaikan suhu tubuh. (IDAI, 2008)
Dalam otak prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap zat-
zat pirogen berasal dari bakteri (infeksi). Prostaglandin ini menstimulasi
pusat regulasi suhu di hipotalamu dan menimbulkan demam. (Tjay &
Rahardja, 2007)
b. Nyeri perut
Nyeri perut sebesar 2% pada kelompok misoprostol sedangkan
3% pada kelompok oksitosin. Oksitosin menyebabkan mual, sakit kepala
dan nyeri setelah persalinan.
Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Situmorang
(2009) Tidak dijumpai subyek yang mengeluhkan efek samping pada
kelompok misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin dijumpai 2
subyek (6,6%) mengeluhkan nyeri kepala.
Kram atau nyeri perut, biasanya terjadi setelah melahirkan,
biasanya tejadi dalam beberapa jam pertama dan mungkin mulai terjadi
setelah 30 menit pemberian misoprostol. Nonsteroidal anti-
inflammatorydrugs (NSAIDs) atau analgesia lain dapat digunakan untuk
menghilangkan rasa sakit tanpa mempengaruhi keberhasilan. (Gynuity
Health Projects, 2007)
68
Adapun efek samping yang paling umum terjadi pada pemberian
misoprostol menurut Carpenter (2001) adalah diare (3 %), muntah (8%),
Nyeri perut, demam (2 sampai 34%) , Mengigil (19 sampai 62%).
5. Penyimpanan
Penyimpanan obat-obatan oksitosika sesuai dengan standar harus
selalu diperhatikan. Penyimpanan oksitosin disarankan pada rantai
dingin atau cold chain dengan suhu 4-8 OC atau dalam keadaan tidak
terkena cahaya, sehingga jumlah zat aktifnya tidak akan menghilang.
Oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine dan
methylergometrine. ergometrine dan methylergometrine akan cepat
kehilangan zat aktifnya jika tidak disimpan dalam rantai dingin atau
cold chain dengan suhu 4-8 OC atau dalam keadaan tidak terkena cahaya.
Sehingga penyimpanan oksitosin yang tidak pad rantai dingin atau cold
chain dapat disimpan dalam dua minggu jika suhu 400 C atau satu bulan
dengan suhu 300 C.
Rata-rata ergometrine dan methylergometrine akan kehilangan
potensi zat aktifnya sebesar 21% dan 27 % dari masing-masing obat
tersebut akan kehilangan zat aktifnya selama satu bulan penyimpanan
jika terpapar cahaya tidak langsung
Pemakaian oksitosin secara luas di berbagai tempat persalinan
harus menjadi tujuan utama. Namun oksitosin mempunyai keterbatasan
dalam penyimpanannya dan sedikit lebih mahal dari pada misoprostol.
69
Jika keadaan ini menjadi kendala, maka pemakaian misoprostol dapat
dipertimbangkan.
Penyimpanan misoprostol lebih mudah dibandingkan dengan
oksitosin. Misoprostol tidak memerlukan rantai dingin, misoprostol
stabil pada suhu ruangan dengan suhu dibawah 25-30 oC (77 - 86 oF)
disimpan dalam tempat yang kering.
6. Sumber daya
Asuhan kebidanan yang berkualitas khususnya selama
tatalaksana aktif persalinan kala tiga dapat memberikan kenyamanan
bagi ibu, sehingga bidan dapat mepertimbangkan pemilihan obat
uterotonika yang utama untuk profilaksis perdarahan postpartum
tergantung pada penilaian klinis dari pemberi pelayanan kesehatan,
tersedianya pilihan obat, dan pertimbangan antara manfaat dan efek
sampingnya.
Oksitosin memerlukan tenaga terlatih, memerlukan jarum suntik
steril sedangkan misoprostol melihat cara pemberian yang mudah, tanpa
memerlukan tenaga kesehatan, tanpa memerlukan jarum suntik dan
stabil dalam suhu kamar.
Oeh karena itu, misoprostol dapat dipertimbangkan sebagai
alternative dalam mengurangi insidens perdarahan pasca persalinan,
70
terutama pada kondisi tidak tersedia oksitosin dan obat uterotonik
lainnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Perdarahan postpartum adalah perdarahan dengan jumlah banyak
terjadi segera setelah persalinan yang mengganggu kesejahteraan ibu
dan terlihat ibu menjadi lemas bahkan pre syok ataupun syok. Salah
satu intervensti yang penting untuk mencegah perdarahan postpartum
primer adalah penggunaan uterotonika seperti oksitosin dan
misoprostol yang merupakan bagian dari manajemen aktif kala tiga
persalinan.
2. Dalam tubuh manusia mengeluarkan oksitosin alami yang disebut
dengan oksitosin endogen, karena jumlahnya tidak cukup mencegah
perdarahan postpartum primer sehingga dibuat suatu oksitosin eksogen
atau oksitosin sintetik.
71
Pemberian oksitosin eksogen terutama dalam manajemen aktif kala
tiga persalinan lebih efektif pada ibu hamil yang beresiko seperti
anemia, grandemultipara, riwayat perdarahan postpartum sebelumnya,
hamil kembar, dan bayi besar, hidramnion, dan partus lama.
Sedangkan oksitosin endogen lebih efektif diberikan pada ibu yang
tidak memiliki resiko untuk terjadinya perdarahan postpartum primer.
3. Misoprostol adalah sintetik dari analog prostaglandin E1, efeknya
dapat menstimulasi kontraksi uterus sehingga dapat digunakan untuk
mencegah perdarahan postpartum primer pada manajemen aktif kala
tiga persalinan.
4. Efektivitas oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan
postpartum primer berdasarkan cara kerja, waktu atau onset reaksi,
cara pemberian dan dosis, efeksamping, penyimpanan, dan
sumberdaya
a. Oksitosin bekerja pada otot polos uterus sehingga dapat
menstimulasi kontraksi uterus dan misoprostol dapat berinteraksi
dengan reseptor di dalam sel myometrim, yang dapat memicu
terjadinya kontraksi uterus.
b. Oksitosin memiliki onset reaksi yang lebih cepat dibandingkan
dengan misoprostol sehingga efektivitas oksitosin dalam hal onset
reaksi lebih baik dibandingkan dengan misoprostol.
c. Oksitosin dapat diberikan segera 1 menit setelah bayi lahir dengan
dosis 10 IU secara intramuskuler sedangkan dosis misoprostol 400-
72
600 mcg yang diberikan secara oralatau rectal. Misoprostol per oral
paling cepat diabsorpsi dibandingkan dengan pemberian
misoprostol sublingual, vaginal dan rectal.
d. Efek samping lebih besar pada kelompok misoprostol untuk
mencegah perdarahan postpartum primer. Demam dan menggigil
merupakan efeksamping yang paling menonjol. Sedangkan
efeksamping lainya nyeri perut.
e. Keefektifan oksitosin terhadap pencegahan perdarahan postpartum
primer memerlukan kedisiplinan dalam hal penyimpanan harus
menggunakan rantai dingin atau cold chain dengan temperatur 4-8
oC atau dalam keadaan tidak terpapar cahaya sehingga seluruh zat
aktif bisa dipelihara dengan baik.
Apabila disimpan dengan suhu yang lebih tinggi dan terpapar
cahaya, oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine
dan metylergometrine yang sangat sensitive terhadap cahaya yang
dalam waktu singkat akan kehilangan zat aktifnya. Apabila
terpapar cahaya tidak langsung tingkat kehilangan obat uterotonika
ergometrine dan methylergometrine 21-27 % dalam satu bulan.
Sedangkan misoprostol disimpan dalam tempat yang kering dan
tidak memerlukan rantai dingin.
f. Oksitosin harus diberikan oleh seorang penolong persalinan yang
terlatih, memerlukan jarum suntik steril dan memerlukan rantai
dingin atau cold chain dalam hal penyimpananya sedangkan
73
misoprostol bisa dilakukan sendiri tanpa memerlukan tenaga
terlatih, mudah cara pemberianya dan tanpa memerlukan jarum
suntik steril.
B. Rekomendasi
1. Bagi Produsen ( Tempat penyimpanan awal)
Harus memperhatikan peraturan-peraturan bagaimana penyimpanan
oksitosin harus disimpan dalam rantai dingin dengan suhu 4-8 oC
sampai ke konsumen dalam kondisi cold chain atau dalam keadaan
tidak terpapar cahaya. Sedangkan misoprostol dalam hal penyimpanan
tidak memerlukan rantai dingin sehingga disimpan dalam suhu
ruangan.
2. Bagi Petugas kesehatan khususnya bidan (Pengguna oksitosin)
Untuk petugas kesehatan khusunya bidan wajib menyiapkan
penyimpanan oksitosin baik dari segi temperature dengan suhu 4-8 oC
dan tidak terpapar cahaya, apabila sistem ini tidak terlaksana
hendaknya oksitosin tidak digunakan untuk pencegahan perdarahan
postpartum primer karena akan kehilangan zat aktifnya.
3. Tempat-tempat pemberi pelayanan khusunya Rumah Bersalin
74
Diperlukan lemari pendingin atau refrigerator untuk menyimpan
oksitosin dengan suhu 4-8 oC, jika tidak tersedia lemari pendingin
dapat disimpan selama 2 minggu dengan suhu 30 oC dan 1 bulan
dengan suhu 40 oC.
4. Bagi Pembuat kebijakan
Diperlukan adanya pertimbangan pemberian misoprostol sebagai
uterotonika alternatif untuk menurunkan kejadian perdarahan
postpartum primer secara gobal khususnya di beberapa tempat yang
mungkin pemberian intervensi manajemen aktif kala tiga secara penuh
tidak memungkinkan karena masih banyak persalinan yang dilakukan
penolong yang belum benar-benar terampil dan tanpa pengetahuan
penggunaan oksitosin yang standar, tidak adanya rantai dingin atau
cold chain dan jarum suntik yang steril, sehingga penggunaan
oksitosin tidak memungkinkan.
5. Bagi mahasiswa
Perkembangan ilmu pengetahuan mengenai pemberian uterotonika
seperti oksitosin dan misoprostol efektif untuk mencegah perdarahan
postpartum primer dalam manajemen aktif kala tiga persalinan terus
berkembang melalui berbagai penelitian. Oleh karena itu, mahasiswi
diharapkan untuk terus meningkatkan pengetahuan dengan mengikuti
perkembangan dari penelitian-penelitian tersebut.
75