bab i sampai bab iv

172
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pembahasan tentang sejarah Islam tentu tidak terlepas dari pembahasan tentang sumber-sumber rujukannya. Sejarah Islam sendiri bukan sekedar dongeng atau hikayat yang sebagian besarnya dinukil berdasarkan “Konon”. Pembahasan tentangya dibangun atas kajian ilmiah melalui dukungan referensi yang valid. Sebab seseorang tidak mungkin bisa menggambarkan peristiwa sejarah secara tepat apabila sumbernya tidak otentik 1 . Namun problem yang dihadapi kemudian adalah ketika umat Islam dituntut menatap kembali sejarah yang telah berlalu lebih dari seribu tahun. Ada beberapa kendala yang menghalangi pandangan tersebut. Sehingga tidak menghasilkan suatu pandangan yang benar-benar jernih dan utuh. Oleh karena itu, Muḥammad Quṭb dalam buku Kaifa Naktubu At Tārikh Al Islāmī, menyarankan untuk menulis ulang sejarah umat Islam. Ada beberapa hal yang mengharuskan umat Islam untuk menyusun kembali sejarahnya. Hal tersebut 1 Al Khamīs, ‘Utsmān bin Muḥammad, Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Saw Hingga Terbunuhnya Ḥusain Bin Alī Ra, Terj. Syafarudin, (Jakarta: Penerbit Imam Syafi’i, 2012), p.vi 1

Upload: onebody-dan-kawan-kawan

Post on 08-Aug-2015

103 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I sampai BAB IV

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembahasan tentang sejarah Islam tentu tidak terlepas dari pembahasan

tentang sumber-sumber rujukannya. Sejarah Islam sendiri bukan sekedar

dongeng atau hikayat yang sebagian besarnya dinukil berdasarkan “Konon”.

Pembahasan tentangya dibangun atas kajian ilmiah melalui dukungan referensi

yang valid. Sebab seseorang tidak mungkin bisa menggambarkan peristiwa

sejarah secara tepat apabila sumbernya tidak otentik1.

Namun problem yang dihadapi kemudian adalah ketika umat Islam

dituntut menatap kembali sejarah yang telah berlalu lebih dari seribu tahun.

Ada beberapa kendala yang menghalangi pandangan tersebut. Sehingga tidak

menghasilkan suatu pandangan yang benar-benar jernih dan utuh. Oleh karena

itu, Muḥammad Quṭb dalam buku Kaifa Naktubu At Tārikh Al Islāmī,

menyarankan untuk menulis ulang sejarah umat Islam. Ada beberapa hal yang

mengharuskan umat Islam untuk menyusun kembali sejarahnya. Hal tersebut

ditempuh untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah Islam ditulis.

Antara lain adalah:

Pertama, literatur sejarah umat Islam yang ditulis oleh para Ulama’

terdahulu merupakan sebuah kompilasi sejarah yang demikian besar. Hal itu

terjadi karena para Ulama’ sangat memegang amanah ilmiah. Sehingga para

Sejarawan menulis yang mereka ketahui dan mereka dengar dalam literatur

sejarah. Meskipun isinya merupakan pengulangan atau saling bertentangan satu

sama lain atau bahkan sesuatu yang jauh memungkinan untuk terjadi.2

Kedua, literatur sejarah yang ditulis pada masa modern baik oleh

orientalis maupun para peneliti atau orang-orang yang terpengaruh oleh para

Sejarawan, lebih menggunakan alur cerita yang menarik, mudah dicerna dan

1Al Khamīs, ‘Utsmān bin Muḥammad, Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Saw Hingga Terbunuhnya Ḥusain Bin Alī Ra, Terj. Syafarudin, (Jakarta: Penerbit Imam Syafi’i, 2012), p.vi

2Muḥammad Quṭb, Kaifa Naktubu At Tārikh Al Islamī, (Kairo-Mesir: Dār Asy Syuruq, 1992), p.11-12.

1

Page 2: BAB I sampai BAB IV

dapat memberikan pemahaman yang cepat kepada pembacanya. Namun

banyak dari literatur tersebut ditulis tidak dengan semangat amanah ilmiah atau

memang ditujukan untuk suatu tujuan tertentu. Sehingga banyak terjadi distorsi

dan penarikan kesimpulan yang berlebihan.

Ketiga, dalam mengkaji sejarah Islam sering mengembalikan segala

sesuatu kepada faktor-faktor politik, peperangan, ekonomi dan sebagainya.

Sehingga seakan-akan agama ini hanyalah sebuah budaya yang sama dengan

budaya yang lain. Tidak mempunyai sentuhan syar’i.3

Keempat, dalam mengkaji sejarah Islam sering melupakan hubungan

antara karakteristik umat ini, yang telah diunggulkan Allah Swt dari kondisi

kemanusiaan dengan segala aspeknya. Umat Islam bukan hanya sekedar

sebuah fenomena sejarah yang kebetulan timbul ke permukaan. Namun umat

Islam adalah umat tauhid yang besar dan telah dipilih Allah Swt sebagai saksi

atas seluruh manusia. Demikian juga sering melupakan pengaruh yang

dihasilkan oleh umat Islam terhadap kemanusiaan sepanjang sejarah.4

Dari keempat uraian di atas dapat menggambarkan secara singkat tentang

bagaimana sejarah Islam ditulis. Hal ini penulis kaitkan dengan keotentikan

sejarah dalam peristiwa pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra yang tidak terlepas

dari distorsi sebagaimana yang terjadi pada sejarah Islam yang lain.

Peristiwa Karbala terjadi pada tanggal 10 Muḥarram 61 H (9 atau 10

Oktober  680 M) di Karbala, Irak. Pada waktu itu terjadi pertempuran antara

pendukung dan keluarga Ḥusain bin ‘Alī ra dengan pasukan militer yang

dikirim oleh Yazīd bin Muawiyah, Khalifah Bani ‘Umayyah saat itu. Pihak

Ḥusain bin ‘Alī ra terdiri dari anggota keluarga Nabi Muḥammad Saw dan

beberapa pengikutnya sekitar 72 sampai 128 orang yang terdiri dari beberapa

wanita dan anak-anak dari keluarganya. Di pihak lain, pasukan bersenjata

Yazīd bin Mu’āwiyah dipimpin oleh ‘Umar bin Sa’ad berjumlah 4.000 sampai

10.000 yang berakhir pada terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra.5

3 Muḥammad Quṭb, p.184 Ibid, p.24-265 Ibnu Katsīr, Al Bidāyah Wa An Nihāyah, Dār Al Kutub Al Ilmiyyah (Beirūt: Dār Al Kutub Al

‘Ilmiyyah, 1403 H), p.VIII/161-1652

Page 3: BAB I sampai BAB IV

Peristiwa ini menyisakan kontroversi yang sangat signifikan dalam tubuh

kaum Muslimin. Bagi kaum Syī’ah peristiwa ini sangat menyakitkan dan

menyudutkan daulah ‘Umayyah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab

atas terbunuhnya cucu Nabi Saw di Karbala. Bahkan tidak sedikit kecaman-

kecaman yang mereka tujukan kepada para sahabat.

Dalam literatur Ahlus Sunnah diungkapkan bahwa sejarah pertumpahan

darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan yang justru

dapat menimbulkan fitnah perpecahan di tengah umat Islam. Di antaranya

adalah:

Pertama, ketika hari pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra, langit menurunkan

hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang sedangkan

langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.6

Kedua, tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah

penyembelihan Ḥusain bin ‘Alī ra.7

Ketiga, mereka juga menisbatkan kepada Rasūlullah Saw sebuah

perkataan yang diambil dari ayat: “Mereka ini adalah titipanku pada kalian,”

kemudian Allah Swt menurunkan ayat: “Katakanlah Aku tidak meminta

kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam

kekeluargaan.”8. Ibnu Taimiyah menuturkan: “Apakah masuk akal Rasūlullah

Saw menitipkan kepada makhluk, padahal Allah Swt tempat penitip yang

terbaik. Sedangkan ayat yang mereka anggap diturunkan Allah Swt berkenaan

dengan peristiwa pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra merupakan satu bentuk

kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam surat As Syūrā dan surat ini

Makkiyah. Allah Swt menurunkan surat ini sebelum ‘Alī bin Abī Ṭālib ra dan

Fāṭimah menikah.”9

Dalam literatur Syī’ah terdapat ulasan-ulasan yang megisyaratkan akan

keterlibatan kaum Syī’ah dalam pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra. Hal ini akan

semakin menarik untuk diulas karena data-data yang ditulis oleh para Ulama’

6 Ibnu Taimiyah, Minhājus Sunnah An Nabawiyah, (Tanpa Penerbit: 1969), p.IV/5177 Ibid, p.IV/5178 QS. asy Syûrâ : 42-239 Ibnu Taimiyah, op.cit, p.IV/518

3

Page 4: BAB I sampai BAB IV

Syī’ah tidak selalunya menyudutkan daulah ‘Umayyah. Data-data tersebut

menjadi suatu yang urgen demi menjaga amanah ilmiah dalam pengungkapan

kronologi peristiwa dan pengambilan kesimpulan kajian. Di antara isyarat

tersebut adalah:

Pertama, Muḥammad bin ‘Alī bin Abī Ṭālib ra, yang dikenal dengan

nama Ibnu Al Ḥanafiyyah, menasehati saudaranya, Ḥusain bin ‘Alī ra. Ia

berkata: “Wahai Saudaraku engkau telah mengetahui pengkhianatan penduduk

Kufah terhadap ayah dan saudaramu, Ḥasan bin ‘Alī ra. Aku khawatir engkau

akan mengalami seperti yang mereka alami.10

Kedua, ketika Ḥusain bin ‘Alī ra berpidato di hadapan orang-orang

Kufah menyinggung ulah dan perilaku mereka pada masa lampau terhadap

ayah dan saudaranya dengan mengatakan: “Jika kalian tidak melaksanakan dan

menepati janji kalian, bahkan kalian membatalkan bai’at (sumpah setia) kalian

kepadaku, maka hal seperti itu tidaklah aneh. Kalian telah melakukannya

terhadap ayah, saudara dan pamanku, Muslim bin ‘Aqīl. Orang yang berhasil

ditipu oleh kalian benar-benar tertipu.”11 Padahal dalam literatur Syī’ah

dijelaskan bahwa sebelum keberangkatan Ḥusain bin ‘Alī ra ke Kufah, mereka

telah mengirim surat sebanyak 12.00012. Bahkan mereka juga sudah berbai’at

melalui Muslim bin ‘Aqīl atas nama Ḥusain bin ‘Alī ra sebanyak 18.000

orang13.

Berangkat dari berbagai kesimpang-siuran tersebut penulis berkeinginan

untuk membahas dalam bentuk skripsi berjudul Pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī

ra (Studi komparatif antara perspektif Syī’ah dan Ahlus Sunnah). Upaya ini

penulis tempuh dalam rangka mengungkap bagaimana fakta yang terjadi di

Karbala dan mengungkap siapa yang paling bertangung jawab atas

terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra serta memberikan solusi bagaimana seharusnya

seorang Muslim menyikapi tragedi Karbala, agar tidak berlebih-lebihan dalam

10 Ibnu Ṭawūs, Al Luhuf, (Qom: Mansyurat Asy Syarīf Ar Rāḍī), p.3911 Ma’alimul Madrasatain. p.III/71-7212 Ibnu Katsīr, p, VIII/14913 Ibid, p. 167

4

Page 5: BAB I sampai BAB IV

menyikapinya, apalagi sampai menghina para sahabat yang terlibat dalam

peristiwa tersebut.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana sejarah peristiwa pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra menurut

Syī’ah dan Ahlus Sunnah?

1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian dari kajian ini bertujuan untuk :

1. Mengungkap sejarah peristiwa pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra menurut

Syī’ah dan Ahlus Sunnah.

1.4. KONTRIBUSI PENELITIAN

Setelah penelitian ini selesai diharapkan mampu memberikan kontribusi

yang bermanfaat baik secara teoritis dan praktis.

1. Secara teoritis

Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan

bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini diharapkan juga bisa dijadikan

sebagai pedoman bagi para peneliti untuk melakukan penelitian labih lanjut.

2. Secara praktis

Sebagai sumbangan pemikiran dan wawasan khazanah Islamiyah yang

ilmiah bagi masyarakat luas dalam bidang ‘Aqīdah.

1.5. KAJIAN PUSTAKA

Sejauh penelitian penulis, kajian yang menyoal secara khusus tentang

kontroversi pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra menurut Syi’āh dan Ahlus Sunnah

tidak tersusun dalam bentuk satu buku utuh, namun hanya terdapat dalam sub-

sub pembahasan dalam literatur-literatur yang berkenaan dengan masalah

tersebut.

5

Page 6: BAB I sampai BAB IV

Adapun salah satu buku pegangan yang penulis jadikan literatur utama

adalah buku Minhājus Sunnah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Beliau menulis buku ini dalam rangka mengkritisi berbagai klaim keliru Syī’ah

yang terkandung dalam buku Minhājul Karāmah yang ditulis oleh Ḥasan bin

Yūsuf Al Hillī.

Sedangkan dalam literatur sejarah penulis juga mendapatkan dalam buku

Al Kāmil Fi At Tārikh yang ditulis oleh Ibnu Atsīr. Al Bidāyah Wa An

Nihāyah yang ditulis oleh Ibnu Katsīr. Maqtal Al Ḥusain oleh ‘Abdur Razaq Al

Mūsawi Al Mukarram. Nahjul Balāghah oleh Muḥammad Ar Riḍā bin Al

Ḥasan Al Mūsawi.

Penulis juga mendapati kronologi kejadian pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī

ra dalam buku-buku ḥadīts. Semisal, ṣaḥīḥ Bukhāri, ṣaḥīḥ Muslim dan yang

lainnya, berserta buku-buku syarahnya.

Adapun tulisan-tulisan yang lain hanyalah tulisan-tulisan dalam bentuk

artikel dan tulisan lepas yang kebanyakan terdiri dari statemen yang

mengandung berbagai kontroversi saling membantah dalam jejaring sosial

internet dan lain sebagainya.

Dari data tersebut penulis mengamati bahwa sampai saat ini belum ada

penelitian mengenai kontroversi yang mengkomparasikan antara literatur

Syī’ah dan Ahlus Sunnah dalam bentuk skripsi. Sehingga dengan hadirnya

skirpsi ini dapat mengungkap berbagai kesimpang-siuran dalam peristiwa

tersebut.

1.6. METODE PENELITIAN

1.6.1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang valid maka penulis

akan menggunakan metode library research (tinjauan pustaka). Tinjauan

Pustaka mempunyai arti peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait

(review of related literature).14 Sehingga dalam penulisan ini untuk

14 Achmad Djunaidi, Penulisan Tinjauan Pustaka (http://mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a05-metlit-tinjaupustaka.pdf) 31/10/2010 pukul 12:30.

6

Page 7: BAB I sampai BAB IV

mengetahui perihal pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra penulis meneliti dari

berbagai sumber literatur yang bersumber dari Syī’ah dan Ahlus Sunnah.

1.6.2. Tehnik pengumpulan data

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

metode dokumentasi15. Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data

dengan cara mengambil data yang berasal dari dokumen asli atau data-data

literatur16 kemudian dikelompokan menjadi dua, yaitu; data primer (utama)

dan data sekunder (penunjang).

1.6.3. Analisis data

Dari penjelasan diatas maka dalam menganalisa data tersebut digunakan

metode analisa yang dilakukan dengan jalan content analysis. Metode ini

untuk menganalisa secara langsung pada buku-buku primer yang berkaitan

degan peristiwa terkait. Karena dinilai menimbulkan berbagai kejanggalan,

ketidak beresan, kelemahan dan kesalahan.17

Dalam menganalisa data yang ada juga digunakan metode Komparatif,

yaitu menganalisa data yang berbeda dalam literatur Syī’ah maupun Ahlus

Sunnah, dengan cara membandingkan untuk mencari yang lebih kuat atau

untuk mencari kemungkinan untuk mengkompromikannya.18

1.7. SISTEMATIKA PENULISAN

Sebagai penjabaran lebih lanjut bagi penelitian ini, maka pembahasan

yang direncanakan meliputi empat bab sebagai berikut:

Didalam bab pertama, terdiri dari pendahuluan yang berisi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kontribusi penelitian, metode penelitian

dan sistematika penulisan skripsi.

15 Gulo, W. Metodologi penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2005), p. 123.16 A. Aziz Alimul Hidayat, Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data, (Jakarta:

Penerbit Salemba Medika, 2007), p. 88.17 H. Hadari Nawawi & H. Mimi martini; Penelitian Terapan (Gadjah Mada University Prees) 18 Neuman. Lawrence, Sosial Research Methods, (USA, 2000), p.401

7

Page 8: BAB I sampai BAB IV

Pada bab kedua, terdiri dari landasan teori yaitu sekilas biografi Ḥusain

bin ‘Alī ra, deskripsi Syī’ah, deskripsi Ahlus Sunnah, pembunuhan Ḥusain bin

‘Alī ra, dengan menjelaskan latar belakang terjadinya peristiwa tersebut,

kronologi, dan bagaimana sikap Syī’ah dan Ahlus Sunnah.

Pada bab ketiga, terdiri dari analisa penulis dalam mengkomparasikan

tentang pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra antara perspektif Syī’ah dan Ahlus

Sunnah, penyebab perbedaan sikap antara keduanya dan mengungkap jati diri

pembunuh Ḥusain bin ‘Alī ra serta mengenai keterlibatan Yazīd bin

Mu’awiyyah dalam peristiwa tersebut.

Pada bab keempat, terdiri dari kesimpulan penulis beserta saran dan

kritik.

8

Page 9: BAB I sampai BAB IV

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Biografi Ḥusain bin ‘Alī ra

2.1.1.Nasabnya

Beliau adalah Ḥusain bin ‘Alī ra bin Abī Ṭālib bin ‘Abdil Muṭālib bin

Hāsyim bin ‘Abdi Manāf bin Quṣay Al Quraisyī Al Hāsyimī. Kun-yahnya

Abū 'Abdillah. Seorang Imām yang mulia, cucu yang merupakan salah satu

bunga kehidupan Rasūlullah Saw di dunia dan kesayangannya di samping

Ḥasan ra. Kedua orang tuanya adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib dan Fāṭimah Az

Zahrā’ binti Rasūlullah Saw. Dilahirkan pada tanggal 5 Sya’bān tahun

keempat Hijriyah, dan jarak umur antara beliau dengan Ḥasan, kakaknya,

menurut sebagian Ulama’ adalah satu kali masa suci ditambah masa

kehamilan19.

Ḥusain bin ‘Alī ra memiliki enam anak: yaitu ‘Alī bin Ḥusain Al

Akbar; panggilannya adalah Abū Muḥammad, dan ibunya bernama

Syahzanah, putri Kaisar Yazdarjid, ia termasuk yang selamat dari peristiwa

Karbala, ‘Alī bin Ḥusain Al Asghar; ibunya bernama Laila binti Murrah bin

‘Urwah bin Mas’ūd Ats Tsaqafī, ia terbunuh di Karbala, Ja’far bin Ḥusain;

ibunya adalah dari suku Quda’ah, ia meninggal saat Ḥusain bin ‘Alī masih

hidup, selanjutnya adalah ‘Abdullah bin Ḥusain; terbunuh di Karbala,

Sukainah binti Ḥusain; ibunya bernama Rabab binti Imru’ Al Qais bin Adi

dari suku Kalb dan Ma’d. Rabab juga ibu dari ‘Abdullah bin Ḥusain, dan

Fāṭimah binti Ḥusain; ibunya bernama Ummu Ishāq binti Ṭalhah bin

‘Ubaidillah dari Taim.20

2.1.2.Bentuk fisik dan sifatnya

Secara fisik Ḥusain bin ‘Alī ra lebih mirip dengan Rasūlullah Saw pada

bagian dada sampai kaki, sementara Ḥasan bin ‘Alī ra lebih mirip dengan

19 Ibnu Katsīr, p.VIII/14920 Al Mufīd, Sejarah ‘Amīrul Mu’minīn ‘Alī bin Abī Ṭālib As & Para Imam Ahlul Bait Nabi

Saw, Terj. Muhammad Anis Maulachela & Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera, 2007), p.495-4969

Page 10: BAB I sampai BAB IV

Rasūlullah Saw pada wajahnya21. Paska Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh,

kepalanya dibawa ke hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyād di Kufah. Sesampainya

di sana, ‘Ubaidullah menggosok-gosok kepala Ḥusain bin ‘Alī ra dengan

sebatang kayu seraya memasukannya ke mulutnya, dan berkata: “Alangkah

bagus giginya” Anas bin Mālik berkata: “Demi Allah Swt aku akan

mendo’akan keburukan untukmu. Sungguh aku melihat sendiri Rasūlullah

Saw mencium mulut Ḥusain bin ‘Alī ra tempat engkau memasukan kayumu

itu.”22 Dalam riwayat yang lain Anas berkata: “Ḥusain bin ‘Alī ra merupakan

orang yang termasuk paling mirip dengan Rasūlullah Saw“23.

Tentang sifat Ḥusain bin ‘Alī ra lainnya, antara lain sebagaimana yang

dibawakan oleh Adh Dhahabī rahimahullah dari riwayat Sa’īd bin ‘Amr, ia

berkata: "Sesungguhnya Ḥasan ra pernah berkata kepada Ḥusain bin ‘Alī ra:

“Betapa ingin aku memiliki sebagian kekerasan hatimu”. Lalu Ḥusain bin

‘Alī ra menjawab: “Dan betapa ingin aku memiliki sebagian kelembutan

lidahmu”24.

2.1.3.Kemuliaannya

Beliau memiliki kedudukan mulia di sisi Rasūlullah Saw dan sangat

dicintainya. Dari Ibnu Abī Nu’mi, ia berkata: "Aku mendengar ‘Abdullah bin

‘Umar ra ketika ditanya oleh seseorang yang datang dari Irak tentang hukum

orang yang berihram. kata Syu’bah: “Saya menduga ia bertanya tentang

hukum membunuh lalat. Maka ‘Abdullah bin 'Umar berkata: "Lihatlah orang-

orang Irak bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat, padahal mereka

telah membunuh putra dari putri Rasūlulah Saw. Padahal Nabi Saw telah

bersabda:

�اي� ه�م�ا �ت ان ح� ي �ا م�ن� ر� ي الد�ن

21 A Ibnu Katsīr, p.VIII/15022 Aṭ Ṭabrānī, Sulaimān bin Aḥmad. Mu’jam Al Kabīr, no.5017, p.V/206; Al ‘Asqalani, Aḥmad

bin Ḥajar, Fatḥul Bāri Syarah Ṣaḥīḥ Al Bukhāri, (Beirūt: Dār Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1989), Kitāb Fadhaa-ilush Shahabah, Bab Manaaqibul Hasan WAl Ḥusain, no.3748

23 Al Albāni, Ṣaḥīḥ Sunan At Tirmidhi, (Riyāḍ: Maktabah Al Ma’ārif, 1420 H/2000 M), p.III/540, no.3778

24 Adh Dhahabi, Siyār A’lām Nubalā’, (Kairo-Mesir: Mu’assasah Ar Risālah, 1422 H/2001 M), p.III/287

10

Page 11: BAB I sampai BAB IV

"Keduanya (Ḥasan dan Ḥusain) adalah dua buah tangkai bungaku di

dunia"25.

Adh Dhahabi rahimahullah dalam Siyar A’lâm Nubalâ’26 menyebutkan

riwayat dari Jâbir ra yang ketika melihat Ḥusain bin ‘Alī ra masuk ke dalam

Masjid mengatakan: “Barangsaiapa yang ingin melihat seorang sayyid

(pemuka) dari para pemuda ahli jannah maka lihatlah Ḥusain bin ‘Alī ra ini”.

Saya mendengar hal itu dari Rasūlullah Saw"27.

Dalam kitāb yang sama, adh Dhahabi rahimahullah membawakan

riwayat dari Ummu Salamah, ia berkata: "Sesungguhnya Nabi Saw

menyelimuti ‘Alī, Fāṭimah serta kedua anaknya (Ḥasan dan Ḥusain) dengan

sebuah selimut, kemudian beliau Saw bersabda:

�ه�م�" �لل �ء� ا ؤ�ال ����ل� ه ����ه ت� أ �ي ت�ي ب �ن �ي، ب ام�ت �����ه�م� و�ح �لل �ذه�ب ا ه�م� أ ع�ن

جس� ه�م الر- �ا و�ط�ه-ر : ي ا". ف�ق�لت� ر4 �طه�ي ول� ت س� �ا ر� �ن ه�م؟ الله�! أ ال� م�ن ��� ق

�ك� �ن �ل�ى : إ رA إ ي .خ�

"Ya Allah Swt, mereka adalah ahli bait putriku dan kesayanganku. Ya

Allah Swt, hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan

sesuci-sucinya”. Aku (Ummu Salamah) bertanya: Apakah aku termasuk

mereka?. Beliau Saw menjawab: "Sesungguhnya engkau menuju kepada

kebaikan"28.

Rasūlullah Saw juga bersabda:

Cن ي �ا و� م�ن-ي ح�س� �ن ، م�ن أ Aن ي �ح�ب� ح�س� �ح�ب� م�ن الله� أ 4ا، أ ن ي نC ح�س� ي ��� ح�س

Cط ب �اط� م�ن� س� ب األس

"Ḥusain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian darinya,

Allah Saw akan mencintai siapa saja yang mencintai Ḥusain. Dan Ḥusain

adalah satu umat di antara umat-umat yang lain dalam kebaikannya"29.

25 Al ‘Asqalani, Fatḥul Bāri Syarah Ṣaḥīḥ Al Bukhāri, p.VII/95, no.375326 Adh Dhahabi, p.III/282-28327 Dikatakan oleh pentahqiq Siyar A’lâm Nubalâ bahwa para perawinya adalah para perawi yang

dipakai dalam Kitāb Ṣaḥīḥ, kecuali Ar Ar Rabî’ bin Sa’d, tetapi ia tsiqah (terpercaya)28 Ḥadīts ini dikatakan oleh Adh Dhahabi bahwa isnad-nya jayyid (baik), diriwayatkan dari

beberapa jalan dari Syahr. Sementara pentaḥqīq mengatakan, ḥadīts itu Ṣaḥīḥ dengan syawâhidnya. Lihat Adh Dhahabi, p.III/283

11

Page 12: BAB I sampai BAB IV

Demikianlah kedudukan Ḥusain bin ‘Alī ra, beliau sempat hidup

bersama Rasūlullah Saw selama sekitar lima tahun. Rasūlullah Saw sangat

menyayangi dan memuliakannya sebagaimana menyayangi dan memuliakan

Ḥasan ra hingga beliau Saw wafat. Sepeninggal Rasūlullah Saw, Abū Bakar,

'Umar dan ‘Utsmān ra pun sangat mencintai, memuliakan dan

mengagungkannya. Dan Ḥusain bin ‘Alī ra selalu menyertai ayahnya, ‘‘Alī

bin Abī Ṭālib ra sampai wafatnya.

2.1.4.Ḥadīts nubuwah tentangnya

Jauh hari sebelum Ḥusain bin ‘Alī ra wafat, Rasūlullah Saw pernah

menceritakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra akan wafat dalam keadaan terbunuh.

Adh Dhahabi rahimahullah membawakan beberapa riwayat tentang itu, di

antaranya dari ‘Alī ra, ia berkata:

“Aku datang kepada Rasūlullah Saw ketika kedua mata beliau

bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: "Jibril baru saja datang, ia

menceritakan kepadaku bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra kelak akan mati dibunuh.

Kemudian Jibril berkata: "Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau

tanahnya?" Aku menjawab: "Ya.” Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia

menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku.

Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku.”30

Para Ulama’ berselisih pendapat tentang kapan Ḥusain bin ‘Alī ra

wafat. Tetapi, Adh Dhahabi, Ibnu Katsīr dan Ibnu Ḥajar Al ‘Asqalani

rahimahumullah lebih menguatkan bahwa wafatnya pada hari ‘Asyūra bulan

Muḥarram tahun 61 H31. Sedang umurnya juga diperselisihkan, ada yang

29 Ḥadīts ini hasan, diriwayatkan oleh Imām Tirmidzi dan Imām Ibnu Majah. Lihat Al Albāni, Ṣaḥīḥ Sunan At Tirmidhi, p.III/539 no. 3775 Dan Al Albāni, Ṣaḥīḥ Sunan Ibnu Mājah, (Riyāḍ: Maktabah Al Ma’ārif, 1417 H/1997 M), p.I/64-65, no.118-143

30 Lihat Adh Dhahabi, p.III/288-289. Pentahqiq kitāb ini (Muḥammad Na’im Al ‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy) mengatakan, ḥadīts itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imām Aḥmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh Al Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah. 

31 Lihat Adh Dhahabi, p.III/318, Ibnu Katsīr, p.VIII/172, Al ‘Asqalani, Tahdhīb At Tahdhīb, (India: Maṭba’ah Majlis Dā-irah Al Ma’ārif An Nizhāmiyah, Tanpa Tahun), p.II/356

12

Page 13: BAB I sampai BAB IV

mengatakan 58 tahun, 55 tahun dan 60 tahun. Tetapi Ibnu Ḥajar rahimahullah

menguatkan bahwa umur beliau 56 tahun32.

Demikianlah biografi Ḥusain bin ‘Alī ra bin Abī Ṭālib ra secara

ringkas. Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Ḥusain

bin ‘Alī ra atau kuburan kepala Ḥusain bin ‘Alī ra di Syām, di Asqalan, di

Mesir atau di tempat lain, maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali.

Karena semua Ulama’ dan Sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah

memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan mereka menyebutkan bahwa

kepala Ḥusain bin ‘Alī ra dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah

kuburan Ḥasan ra33.

32 Al ‘Asqalani, Tahdhīb At Tahdhīb p.II/35633 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmū’ Fatāwā, (Beirūt: Mu’assasah Ar Risalah, 1997), p.XXVII/465

13

Page 14: BAB I sampai BAB IV

2.2. Deskripsi Syī’ah

2.2.1.Secara bahasa

Kata Syī’ah bermakna: �اع� ب �ت �أل ,(Pengikut) ا ص�ار� �ن �أل ,(Penolong) ا

خ�اص�ة� �ل .(Teman dekat) ا

2.2.1.1. Penggunaan kata Syī’ah dalam Al Qur’an

Kalimat Syī’ah dalam derivasinya yang bermakna secara bahasa, yang

termaktub di dalam Al Qur’an adalah:

Pertama, bermakna firqah (kelompok), umat atau jamā’ah (kumpulan)

orang.

Allah Swt berfirman,

�م� ز�ع�ن� ث �ن �ن �ل- م�ن ل يع�ةA ك �ه�م ش� ي� د� أ �ش� حم�ن� ع�ل�ى أ Sا الر� �ي ت ع�

“Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap Syī’ah siapa di

antara mereka yang sangat durhaka kepada Ar Rahman (Yang Maha

Pemurah)”34.

Maksud dari “Tiap-tiap Syī’ah” adalah “Dari tiap kelompok jamā’ah

dan umat”.

Kedua, bermakna firqah (golongan).

Allah Swt berfirman,

�ن� �ذ�ين� إ ق�وا ال �ه�م ف�ر� �وا د�ين �ان �ع4ا و�ك ي ه�م ل�ست� ش� ءA ف�ي م�ن ي ش�

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah dien-Nya dan

mereka menjadi Syī’ah tidak ada tanggung jawabmu sedikut pun terhadap

mereka.”35

Maksud dari “Mereka menjadi Syī’ah” adalah “Golongan”.36

Ketiga, bermakna serupa.

Firman Allah Swt,

�ق�د �ا و�ل ن �ك �هل �م أ �اع�ك ي �ش �رA م�ن ف�ه�ل أ م�د�ك

34 QS. Maryam: 6935 QS. Al An’am: 15936 Riḍā, Muḥammad Rasyīd bin ‘Alī, Tafsīr Al Qur’anul Ḥakīm (Tafsir Al Manar), (Mesir: Al

Hai-ah Al Miṣriyah Al ‘Āmah Lil Kitāb, 1990), p.VIII/21414

Page 15: BAB I sampai BAB IV

“Dan sungguh telah Kami binasakan Asy Syī’ah dari kalian, maka

adakah orang yang mau mengambil pelajaran.”37

Maksud dari “Asy Syī’ah dari kalian” adalah “Yang serupa dengan

kalian dalam kekufuran, dari umat-umat yang terdahulu”.38

Keempat, bermakna pengikut, teman dekat, dan penolong.

Allah Swt berfirman,

�ة� و�د�خ�ل� م�د�ين �ةA ح�ين� ع�ل�ى ال �ه�ا م�ن غ�فل هل� ن� ف�يه�ا ف�و�ج�د� أ �ي ل ج� ر�

�الن� �ت �قت ذ�ا ي ����ه� م�ن ه يع�ت ���ذ�ا ش ���د�و-ه� م�ن و�ه ����ه� ع �غ�اث ت ��ذ�ي ف�اس ��� م�ن ال

�ه� يع�ت �ذ�ي ع�ل�ى ش� ه� ع�د�و-ه� م�ن ال �ز� ى ف�و�ك ���ى م�وس ���ه� ف�ق�ض ���ي ال� ع�ل ��� ق

ط�ان� ع�م�ل� م�ن ه�ذ�ا ي �ه� الش� �ن �ينC م�ض�ل_ ع�د�و_ إ م�ب

“Maka didapatinya di dalam kota dua orang laki-laki yang berkelahi,

yang seorang dari Syī’ahnya (Bani Israil) dan seorang lagi dari musuhnya

(kaum Fir’aun), maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan

kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya, lalu Musa

meninjunya, dan matilah musuhnya itu.”39

2.2.2.Secara istilah

Dalam mendefinisikan Syī’ah secara istilah para Ulama’ berbeda

pendapat:

Pertama, Syī’ah adalah setiap orang yang berwali kepada ‘Alī ra dan

Ahlul Baitnya.

Sebagaimana perkataan Al Fairuz Abādi, “Nama ini sesungguhnya

telah umum atas setiap orang yang berwali kepada ‘Alī ra dan Ahlul Baitnya

sehingga jadilah nama khusus bagi mereka.”

Kedua, Syī’ah adalah orang-orang yang menolong Ahlul Bait dan

meyakini Imāmahnya (kepemimpinannya) ‘Alī ra, dan khalīfah yang

sebelumnya adalah menẓālimi beliau.

37 QS. Al Qamar: 5138 Aṭ Ṭabāri, Ibnu Jarīr, Jāmi’ Al Bayān ‘An Ta’wīl Ayil Qur-ān, (Beirūt: Dār Al Fikr, 1984),

p.XXVII/11239 QS. Al Qaṣaṣ: 15 dan lihat juga Al Azharī, Muḥammad bin Aḥmad, Tahdhīb Al Lughah,

(Beirūt: Dār Iḥya-ut Turāts Al ‘Arabī, 2001), p.III/6315

Page 16: BAB I sampai BAB IV

Ketiga, Syī’ah adalah orang-orang yang lebih mengutamakan ‘Alī ra

daripada ‘Utsmān ra.

Keempat, Syī’ah adalah setiap kelompok yang mengutamakan ‘Alī ra

atas Khulafā’ Ar Rāsyidīn sebelumnya, dan ia berpendapat bahwa Ahlul Bait

adalah orang yang paling berhak menjadi khalīfah.

Dari empat pendapat di atas, pendapat yang paling rājih (tepat) adalah

pendapat keempat. Karena kesesuainnya dengan konteks Syī’ah sebagai suatu

kelompok yang mempunyai pemikiran-pemikiran dan ideologi-ideologi

tertentu.40

2.2.3.Pokok-pokok ajarannya

Pertama, pada rukun Iman

Syī’ah hanya memiliki 5 rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada

para Malāikat, Rasūl, Qaḍa’ dan Qadar- yaitu: Tauhid (kesaan Allah Swt), Al

‘Adl (keadilan Allah Swt), Nubuwah (kenabian Saw), Imāmah

(kepemimpinan Imām), dan Ma’ad (hari kebangkitan dan pembalasan).41

Kedua, pada rukun Islam

Syī’ah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam, yaitu;

Ṣālat, Zākat, Puasa, Haji, dan Wilāyah (perwalian).42

Ketiga, pada Al Qur’an

Syī’ah meyakini bahwa Al Qur’an sekarang ini telah diubah, ditambahi

atau dikurangi dari yang seharusnya, seperti, “Wa inkumtum fī raibim mimma

nazzalnā ‘alā ‘abdinā fī ‘Alīyin fa’ tū bi sūratim mim mitslih.”43 Ada

tambahan “Fī ‘Alīyin” dari teks asli Al Qur’an yang berbunyi, “Wa inkumtum

fī raibim mimma nazzalnā ‘alā ‘abdinā fa’ tū bi sūratim mim mitslih.”44.

Karena itu mereka meyakini bahwa Abū ‘Abdillah (Imām Syī’ah) berkata,

“Al Qur’an yang dibawa oleh Jibrīl as kepada Muḥammad Saw adalah 17.000

40 ‘Iwaji, Ghālib bin ‘Alī, Firaq Al Mu’aṣirah, (Riyāḍ: Maktabah Laynah, 1993), p.1/132-13341 Lihat ‘Aqa’idul Imāmyah oleh Muḥammad Ridha Mudhaffar dll.42 Lihat Al Kulaini, Muḥammad bin Ya’qūb, Al Kāfi, (Beirūt: Dār At Ta’āruf, 1411 H/1990 M),

p.II/1843 Al Kulaini, Kitābul Hujjah, p.I/41744 QS. Al baqarah/2:23

16

Page 17: BAB I sampai BAB IV

ayat.”45 Al Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf

Fāṭimah.46

Keempat, pada para Sahabat

Syī’ah meyakini bahwa para Sahabat sepeninggal Nabi Saw, mereka

murtad, kecuali beberapa orang saja, seperti: Al Miqdād bin Al Aswad, Abū

Dhar Al Ghifāry dan Salmān Al Fārisy.47 (ada tambahan lagi dari ibnul arabi)

2.2.4.Kemunculan dan perkembangannya

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang periode munculnya Syī’ah:

Pertama, Syī’ah muncul sejak zaman Rasūlullah Saw, ketika mereka

menyeru kepada persatuan dan kelompok ‘Alī ra.

Pendapat ini dijadikan dalil oleh Muḥammad Ḥusain Az Zainu; dari

kalangan Ulama’ Syī’ah dan lainnya.48 Dalil itu disebutkan juga oleh an

Nubakhti dalam kitāb Firaq-nya49 dan ditegaskan oleh Khumaini50 pada masa

sekarang. Bahkan Ḥasan Asy Syairāzi berpendapat, “Islam tak lain hanyalah

Syī’ah, dan Syī’ah tak lain adalah Islam. Islam dan Syī’ah adalah dua nama

yang sama, karena hakikat yang satu yang telah Allah Swt turunkan dan telah

disebarkan oleh Rasūlullah Saw.”51

Kedua, Syī’ah muncul ketika Perang Jamāl, peperangan ini dikenal juga

dengan perang unta, yaitu perang yang terjadi di Baṣrah, Irak pada tahun 656

masehi, antara pasukan yg berpihak pada ‘Alī bin Abī Ṭālib dan pasukan

yang berpihak kepada Aisyah yang menginginkan keadilan atas terbunuhnya

khalīfah terdahulu yaitu ‘Utsmān bin Affān.52

Ketiga, Syī’ah muncul pada akhir kepemimpinan ‘Utsmān ra dan kuat

pada masa ‘Alī ra.

45 Al Kulaini, Al Kafi fil Ushul, p.II/63446 Ibid, Al Kafii fil Ushul, p.I/240-241 47 Ibid, Ar-Raudhah minal Kafi, p.VIII/245, Al Ushul minal Kafi, p.II/24448 ‘Iwaji, p.1/132-13349 Ẓahir, Iḥsan Ilāhi, Asy Syī’ah Wa At Tasyayu’, (Pakistan: Idarah Tarjuman As Sunnah, 1984),

p.1950 Al Khumah Al Islamiyah, p.13651 As Salamu Al Ḥusainiyah, p.1152 Ibnu An Nadīm, Al Fahrasat, (Beirūt: Maktabah Khiyāṭ, Tanpa Tahun), p.249

17

Page 18: BAB I sampai BAB IV

Keempat, Syī’ah muncul setelah terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra.

Ini adalah pendapat Kamal Muṣṭafa Syaibi, dia adalah orang Syī’ah, dia

berpendapat bahwa Syī’ah muncul setelah terbunuhnya Ḥusain.53

Kelima, Syī’ah muncul pada saat Perang Ṣiffīn; Pertempuran ini terjadi

di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abū Sufyan dan ‘Alī bin Abī Ṭālib di

tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syām) pada 1 Ṣafar tahun 37

Hijriyah. yang berakhir dengan mengadakan Tahkim (perundingan damai)

antara keduanya.

Ini adalah pendapat sebagian dari Ulama’ Syī’ah, sebagaimana

pendapat Al Khurasani, Abū Ḥamzah, dan Abū Ḥātim, begitu juga para

Ulama’ lainnya, seperti Ibnu Hazm dan Aḥmad Amīn.54

Adapun pendapat pertama, yaitu yang mengatakan bahwa Syī’ah itu

sudah ada sejak zaman Nabi Saw, adalah pendapat yang melampui batas,

bohong, dan tidak dapat diterima oleh nalar maupun ucapan, karena

Rasūlullah Saw diutus oleh Allah Saw untuk mengeluarkan manusia dari

keẓāliman menuju cahaya, dan dari paganisme (penyembah berhala) kepada

tauhid.

Adapun pendapat yang benar adalah pendapat yang kelima –yang

berpendapat bahwa Syī’ah muncul setelah perang Ṣiffīn- yaitu ketika

pecahnya Khawārij dan berkumpulnya mereka di Nahrawain. 55

Ajaran Syī’ah timbul sebagai akibat dari pengaruh keyakinan-

keyakinan orang Persia yang menganut agama raja dan warisan nenek

moyang. Orang-orang Persia telah memberikan andil besar dalam proses

pertumbuhan Syī’ah untuk membalas dendam terhadap Islam yang telah

menghancurluluhkan kekuatan mereka dengan mengatasnamakan Islam

sendiri.

53 Asy Syaibī, Kāmil Muṣtafa, Aṣ Ṣilatu Baina At Taṣawuf Wa At Tasyayu’, (Beirūt: Dārul Andalus, 1982), p.23

54 Ẓahir, p.2555 ‘Iwaji, p.1/134-135

18

Page 19: BAB I sampai BAB IV

Ide Syī’ah bercampur aduk dengan ide-ide yang datang dari keyakinan-

keyakinan di Asia seperti Budhisme, Brahmaisme, dan mereka-mereka yang

berkeyakinan tentang adanya Reinkernasi dan Pantheisme.

Syī’ah mengadopsi ide-idenya dari Yahudisme yang telah membawa

tapak-tapak berhalaisme. Pendapat mereka tentang ‘Alī ra, para Imām, dan

Ahlul Bait (keluarga Rasūlullah Saw) mendapat titik temu dengan pendapat-

pendapat orang Kristen tentang Isa Almasih (Yesus Kristus), yaitu

menuhankannya.

Orang-orang Syī’ah hampir mirip dengan orang-orang Kristen dalam

memperingati hari-hari besar, memperbanyak gambar dan patung, dan

membuat-buat sesuatu yang luar biasa dan mengembalikannya kepada Imām.

Mengenai perkembangan Syī’ah pada abad pertama hijriyah belum

merupakan aliran yang solid sebagai trend yang mempunyai berbagai macam

keyakinan seperti yang berkembang pada abad kedua hijriyah dan abad-abad

berikutnya.

Pokok-pokok penyimpangan Syī’ah pada periode pertama:

a. keyakinan bahwa Imām sesudah Rasūlullah Saw adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib

ra, sesuai dengan sabda Nabi Saw. Karena itu para khalifah dituduh

merampok kepemimpinan dari tangan ‘Alī bin Abī Ṭālib ra .

b. Keyakinan bahwa Imām mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).

c. Keyakinan bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib ra dan para Imām mengetahui rahasia

ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan

menuhankan ‘Alī ra dan para Imām mereka.

d. Keyakinan tentang ketuhanan ‘Alī bin Abī Ṭālib ra yang dideklarasikan

oleh para pengikut ‘Abdullah bin Sabā’ dan akhirnya mereka dihukum

bakar oleh ‘Alī bin Abī Ṭālib ra karena keyakinan tersebut.

e. Keyakinan mengutamakan ‘Alī bin Abī Ṭālib atas Abū Bakar dan Umat

bin Khaṭab ra. Padahal ‘Alī ra sendiri mengambil tindakan hukum cambuk

80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.

19

Page 20: BAB I sampai BAB IV

f. Keyakinan mencaci maki para Sahabat atau sebagian Sahabat seperti

‘Utsman bin Affan ra dan yang lainnya.56

Pada abad kedua hijriyah, perkembangan keyakinan Syī’ah semakin

menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat kayakinan

baku dan terus berkembang sampai berdiri dinasti Fāṭimiyah di Mesir dan

dinasti Ṣofawiyah di Iran. Terakhir aliran tersebut tarangkat kembali dengan

revolusi Khumaini dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979

hingga saat ini57.

2.2.5. Sebutan lain Syī’ah

2.2.5.1. Imāmiyah Itsna ‘Asyriyah

Syī’ah Imāmmiyah adalah sekte terbesar di antara sekian banyak

firqah Syī’ah. Pada masa sekarang apabila disebut “Syī’ah” maka yang

dimaksud adalah Syī’ah Imāmiyah. Karena Syī’ah Imāmiyah telah

mencakup sebagian besar pendapat-pendapat dan ‘aqīdah yang dianut oleh

firqah-firqah Syī’ah yang ada58.

Syī’ah Imāmiyah Itsna Ashriyah adalah sebuah kelompok yang

berpegang teguh kepada keyakinan bahwa ‘Alī ra adalah yang berhak

mewarisi khilāfah setelah Rasūlullah Saw wafat, dan bukan Abū Bakar,

‘Umar ataupun ‘Utsmān. Mereka meyakini adanya 12 Imām. Imām yang

terakhir menurut mereka mengasingkan diri, masuk dalam sebuah gua di

Samara (sebuah kota di Irak dekat sungai Tigris, arah utara Baghdad). Sekte

Imāmiyah inilah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah dalam pemikiran

dan ide-idenya yang spesifik. Mereka sangat berambisi untuk menyebarkan

madhhabnya ke segenap penjuru dunia Islam59.

Dua belas Imām yang dijadikan Imām oleh dan untuk mereka adalah

sebagai berikut:

56 Lihat Dirasat fil Ahwa’ Firaq Wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minha, Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al Aql p. 237

57 Tim Ulin Nuha, Dirāsatul Firāq, (Solo: Pustaka Arafah, 2010), p.90-9158 Ibid, p.8259 Ibid, p.82

20

Page 21: BAB I sampai BAB IV

1. ‘Alī bin Abī Ṭālib ra, digelari dengan “Al Murtaḍa”. Khalīfah keempat

Khulafā’ Ar Rāsyidīin, menantu Rasūlullah Saw, dibunuh oleh

‘Abdurrahman bin Muljam di Masjid Kufah pada tanggal 17 Ramaḍān

tahun 40 H.

2. Ḥasan bin ‘Alī, digelari “Al Mujtaba”.

3. Ḥusain bin ‘Alī ra, digelari “Asy Syahīd”.

4. ‘Alī Zainal ‘Ābidīn bin Ḥusain (80-122 H), digelari “As Sajjad”.

5. Muḥammad Bāqir bin ‘Alī Zainal ‘Ābidīn (wafat tahun 114 H), digelari

“Al Bāqir”.

6. Ja’far Ṣādiq bin Muḥammad Bāqir (wafat tahun 148 H), digelari “Aṣ

Ṣādiq”.

7. Musa Kāẓim bin Ja’far Ṣādiq (wafat tahun 183 H), digelari “Kāẓim”

(yang mampu menahan diri).

8. ‘Alī Riḍa bin Mūsa Kāẓim (wafat tahun 203 H), digelari “Ar Riḍa”.

9. Muḥammad Jawwad bin ‘Alī Riḍa (195- 226 H), digelari “At Taqy”.

10. ‘Alī Hadi bin Muḥammad Jawwad (212-254 H), digelari “An Naqy”.

11. Ḥasan ‘Askari bin ‘Alī Hadi (232-260 H), digelari “Az Zaky”.

12. Muḥammad Mahdi bin Muḥammad Al ‘Askari yang digelari “Imām Al

Muntaẓar” (Imām yang dinantikan). Diyakini bahwa Imām yang ke dua

belas telah masuk ke dalam gua.60

Secara historis, di antara tokoh-tokohnya yang menonjol ialah

‘Abdullah bin Sabā’, seorang Yahudi dari Yaman, yang berpura-pura

memeluk Islam. Dialah sebenarnya sutradara berkobarnya fitnah terhadap

khalīfah ‘Utsmān ra hingga beliau terbunuh, dan selanjutnya Alī ra dan

pengikutnya menjadi sasaran rekayasanya. Ia pernah berkata ketika masih

menganut agama Yahudi, bahwa Yusa’ bin Nūn telah mendapat warisan

dari Mūsa ‘Alaihissalām, sebagaimana di dalam Islam, bahwa ‘Alī ra, juga

telah mendapat wasiat dari Muḥammad Saw.

Kehidupan ‘Abdullah bin Sabā’ berpindah-pindah dari Madinah ke

Mesir, Kufah, Fusṭaṭ, dan Baṣrah, kemudian berkata kepada ‘Alī ra,

60 Tim Ulin Nuha, p.82-8321

Page 22: BAB I sampai BAB IV

“Engkau, Engkau!” dengan maksud engkaulah Allah Swt. Sesuatu yang

mendorong ‘Alī ra memutuskan untuk membunuhnya, tetapi ‘Abdullah bin

‘Abbas menasihatinya agar keputusan itu tidak dilaksanakan. Kemudian

‘Abdullah bin Sabā’ dibuang ke Madain. Namun upaya ‘Abdullah bin Sabā’

untuk menanamkan ajarannya di kalangan umat Islam tak pernah berhenti.

Demikianlah ‘Abdullah bin Sabā’ sebagai biang keladi bagi berlangsungnya

peperangan antara ‘Alī dan Muawiyah (dalam perang Ṣiffīn) juga antara

‘Alī dan Aisyah (dalam perang Jamāl)61.

Sekte Syī’ah Imāmiyah dewasa ini tersebar di Iran, dan terpusat di

negara tersebut. Sebagian mereka banyak pula di Irak. Keberadaan mereka

terbentang luas sampai ke Pakistan. Di samping itu, mereka juga

mempunyai sekte di Libanon. Adapun di Syiria, jumlahnya sedikit, tetapi

mempunyai hubungan yang kuat dengan Nuṣairiyah yang juga termasuk

Syī’ah ekstrim.62

2.2.5.2. Ismā’īliyah

Disebut juga Tujuh Imām; dinamakan demikian sebab mereka percaya

bahwa Imām hanya tujuh orang dari ‘Alī bin Abī Ṭālib, dan mereka percaya

bahwa Imām tujuh ialah Ismā’īl. Urutan Imām mereka yaitu:

‘Alī bin Abī Ṭālib, Ḥasan bin ‘Alī, Ḥusain bin ‘Alī ra, ‘Alī bin

Ḥusain, Muḥammad bin ‘Alī, Ja’far bin Muḥammad, dan terakhir adalah

Ismā’īl bin Ja’far (721-755 H), ia adalah anak pertama Ja’far Aṣ Ṣādiq dan

kakak Mūsa Al Kāẓim63.

2.2.5.3. Zaidiyah

Disebut juga lima Imām; dinamakan demikian sebab mereka

merupakan pengikut Zaid bin ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra bin Abī Ṭālib.

61 Tim Ulin Nuha, p.8462 Al Juhani, Māni’ Ibnu Ḥammad, Al Mausū’ah Al Muyassarah Fī Adyān Wa Al Madhāhib Wa

Al Ahzāb Al Muāṣirah, (Riyaḍ: Dār An Nadwah, 1418 H), I/55-6063 Tim Ulin Nuha, Op.cit., p.84

22

Page 23: BAB I sampai BAB IV

Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah

sebelum ‘Alī tidak sah. Urutan Imām mereka yaitu:

‘Alī bin Abī Ṭālib, Ḥasan bin ‘Alī, Ḥusain bin ‘Alī ra, ‘Alī bin

Ḥusain, dan terakhir Zaid bin ‘Alī 658-740 H, juga dikenal dengan Zaid bin

‘Alī Asy-Syahīd, ia adalah anak ‘Alī bin Ḥusain dan saudara tiri

Muḥammad Al Bāqir64.

2.2.5.4. Rāfiḍah

Dalam Minhāj As Sunnah, Ibnu Taimiyah mengemukakan alasan

mengapa ada sekte Syī’ah yang disebut Rāfiḍah. Menurut Ibnu Taimiyah,

“Dikatakan kepada Al Imām Aḥmad, ‘Siapa itu Rāfiḍah?’ Beliau menjawab,

‘Orang yang mencela Abū Bakar dan ‘Umar.’ Karena alasan inilah mereka

dinamakan Rāfiḍah. Sebab mereka meninggalkan Zaid bin ‘Alī tatkala

beliau loyal kepada kedua khalīfah (Abū Bakar dan ‘Umar) sedangkan

mereka benci kepada keduanya. Sehingga orang yang membenci mereka

berdua dinamakan Rāfiḍah65.

2.2.5.5. Nuṣairiyah

Nuṣairiyah adalah sebuah gerakan kebatinan yang muncul pada abad

ketiga hijriyah. Para penganutnya dikenal sebagai orang-orang Syī’ah

ekstrim yang meyakini adanya sifat ketuhanan pada diri ‘Alī ra, dengan

demikian mereka menganggapnya Tuhan. Tujuan pencetus gerakan ini

adalah untuk menghancurkan Islam dan memecah belah persatuannya.

Mereka senantiasa menyertai orang-orang yang menyerbu bumi umat Islam.

Penjajahan Perancis menanamkan orang-orang Nuṣairiyah di Syiria dengan

sebutan “Alawiyyin” untuk mengelabuhi dan menutupi hakikat mereka yang

sebenarnya.66

Pendiri sekte ini ialah Abū Syu’aib Muḥammad bin Nushair Al Bashri

An Numairi (wafat tahun 207 H), sezaman dengan tiga orang Imām Syī’ah,

64 Tim Ulin Nuha, p.8565 Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, p.IV/43566 Wamy, p.402

23

Page 24: BAB I sampai BAB IV

yaitu, ‘Alī Al Hadi (Imām kesepuluh, Ḥasan Al Asykari (Imām kesebelas),

dan Muḥammad Al Mahdi (Imām keduabelas).

Orang-orang Nuṣairiyah menduduki kawasan pegunungan Nuṣairiyah

di Ladziqiyah. Pada akhir-akhir ini mereka tersebar di kota-kota Syiria yang

bertetangga dengan mereka. Sejumlah besar orang Nuṣairiyah ada juga yang

menduduki sebelah barat Anatolia, yang dikenal dengan nama Takhtajiyah

dan Hatsabun. Sementara yang bertempat tinggal di sebelah timur Anatolia

disebut “Qazl Basyih.”

Di beberapa bagian kawasan Turki dan Albania dikenal dengan nama

“Baktasyiah.” Ada juga yang tinggal di Persia Turkistan, dan dikenal

dengan nama “Ula Ilahiyah.” Dan sebagian lagi ada pula yang hidup di

Lebanon dan Palestina67.

Masih banyak lagi penamaan Syī’ah yang biasa dipakai untuk

mewakili ‘aqīdah mereka, Namun penulis mencukupkan lima nama di atas

saja, karena pada hakikatnya semua Syī’ah mempunyai keyakinan dasar

yang sama yaitu setiap kelompok yang mengutamakan ‘Alī ra atas Khulafā’

Ar Rāsyidīn sebelumnya, dan ia berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah orang

yang paling berhak menjadi khalīfah. Perbedaannya berkisar pada

penuhanan ‘Alī bin Abī Ṭālib ra sebagaimana yang diyakini oleh Nuṣairiyah

dan pengkafiran para Sahabat sebagaimana yang diyakini oleh Imāmiyah

Itsna Asyariyah, sedangkan Zaidiyah tidak sampai menuhankan ‘Alī bin Abī

Ṭālib, bahkan Zaidiyah tidak mengkafirkan Abū Bakar dan ‘Umar, hanya

mengutamakan ‘Alī bin Abī Ṭālib atas ‘Utsmān saja, sehingga dengan

keyakinan ini Zaidiyah dianggap paling dekat keyakinannya dengan Ahlus

Sunnah.

67 Ibid, p.40824

Page 25: BAB I sampai BAB IV

2.3. Deskripsi Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah

2.3.1.Pengertian Sunnah

2.3.1.1. Secara bahasa

Kata As Sunnah mempunyai bentuk jamak yaitu As Sunan. Secara

bahasa berarti sejarah (perjalanan hidup) dan jalan (metode) yang ditempuh.

Ibnu Manẓūr rahimahullah berkata, “Sunnah makna awalnya adalah

jalan yang ditempuh oleh para pendahulu yang akhirnya ditempuh oleh

orang lain sesudahnya.”68

At Tanawy rahimahullah berkata, “As Sunnah secara bahasa adalah

jalan, baik jalan itu terpuji (baik) maupun buruk.”69

Ibnu Atsīr rahimahullah berkata, “Dalam ḥadīts berulang kali

disebutkan kata As Sunnah dan pecahan katanya. Asal maknanya adalah

sejarah hidup dan jalan yang ditempuh.”70 Makna ini juga disebut dalam

ḥadīts, “Kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal

demi sejengkal sehasta demi sehasta, sampai kalau mereka masuk lubang

biawak pun kalian akan ikut.” Para Sahabat bertanya, “Apakah mereka

orang Yahudi dan Nashrani wahai Rasūlullah Saw?” Beliau menjawab,

“Siapa lagi kalau bukan mereka.”71

Begitu juga bila dikatakan, “Ṣalat witir itu Sunnah maka maknanya

adalah jalan atau hal yang diperintahkan dan dilaksanakan para Sahabat dan

Rasūlullah Saw.”72

Dalam penggunannya, apabila disebutkan kata As Sunnah maka

maknanya adalah jalan kebaikan saja. “Ia Ahlus Sunnah”, maka maknanya,

“Ia adalah orang yang menempuh jalan yang lurus dan terpuji.”73

68 Ibnu Manẓūr, Lisānul ‘Arab, (Beirut: Dār Al Fikr, Tanpa Tahun), p.XIII/220, Bab Sunan 69 Al A’zhamy, Dirāsāt Fī Al Ḥadīts An Nabawy Wa Tārikhu At Tadwīni, (Beirut: Al Maktab Al

Islāmy,1992), p.I/170 Ibnu Atsīr, An Nihāyah Fī Gharībil Ḥadīts, (Beirūt: Maktabah Al ‘Ilmiyyah, Tanpa Tahun),

p.II/22371 Ṣaḥīḥ Bukhāri 3456, Fathul Bari p.VI/495; An Naisābūrī, Muslim bin Al Ḥajāj Ābū Al Ḥusain

Al Qusyairī, Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirūt: Dār At Turāts Al ‘Arabī, Tanpa Tahun), no.2669, 678172Al Mahmud, Mauqifu Ibnu Taimiyah Minal ‘Asyā’irah, (Riyādh: Maktabah Ar Rusyd, 1995),

p.I/2373Tim Ulin Nuha, p.18

25

Page 26: BAB I sampai BAB IV

2.3.1.2. Secara istilah

Makna As Sunnah berbeda-beda tergantung dari disiplin ilmu apa

dalam memandangnya,74 dalam studi ‘Aqīdah makna As Sunnah adalah

seperti yang disebutkan oleh Dr. Ibrāhīm Al Buraikān, beliau berkata,

“Makna As Sunnah berarti mengikuti ‘Aqīdah Aṣ Ṣaḥīḥaḥ (keyakinan yang

benar) yang Tsābitah (solid) berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah

Rasūlullah Saw.” Beliau juga mengatakan, “As Sunnah merupakan

ungkapan untuk sikap Ittiba’ (mengikuti) manhaj Al Kitāb dan As Sunnah

An Nabawiyah dalam persoalan Ushul (pokok) dan Furū’ (cabang).”75

Berdasarkan penjelasan singkat di atas bisa di pahami bahwa Ahlus

Sunnah adalah orang yang mengikuti Sunnah dan berpegang teguh

dengannya, yaitu para Sahabat dan setiap Muslim yang mengikuti jalan

mereka sampai hari kiamat.

Sehingga Ahlus Sunnah bukan monopoli golongan tertentu, dan lebih

dari itu Ahlus Sunnah bukan sekedar nama, akan tetapi ia merupakan

Manhaj (jalan hidup) para Sahabat. Maka janganlah kita terjebak dengan

pengakuan, karena ukurannya bukan nama, namun sesuai atau tidaknya

amalan hidupnya dengan petunjuk Rasūlullah Saw dan para Sahabat76.

2.3.2.Pengertian Jamā’ah

2.3.2.1. Secara bahasa

Kata Jamā’ah secara bahasa berarti kelompok, bersatu, lawan dari

kata berpecah belah. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah ḥadīts yang

menerangkan perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan,

disebutkan bahwa golongan yang selamat hanya satu yaitu jamā’ah, dalam

74Lihat Al Khātib, Muhammad ‘Ujaj, As Sunnah Qabla At Tadwīn, (Beirut: Dār Al Fikr, 1997), p.18-20; Al A’zhamy, p.I/1; Al Mahmud, p.I/24-26; Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, p.IV/155; Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah An Nabawiyah, (Tanpa Penerbit, 1406 H), p.II/163

75 Al Buraikan, Al Madkhāl Li Ad Dirāsah Al Aqādah Al Islāmiyah, (Dār As Sunnah, 1414 H), p.12

76 Tim Ulin Nuha, p.1926

Page 27: BAB I sampai BAB IV

riwayat lain Mā Ana ‘Alaihi wa Aṣḥābī (apa yang Saya Saw dan para

sahabatku berada di atasnya).77

2.3.2.2. Secara istilah

Para Ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan definisi Jamā’ah

secara istilah. Secara global pendapat mereka dapat dikelompokan menjadi

lima pendapat, yaitu78:

Pertama, yang dimaksud dengan jamā’ah adalah generasi Sahabat.

Dalam ḥadīts-ḥadīts tentang jamā’ah disebutkan bahwa yang selamat adalah

“Mā Ana ‘Alaihi wa Aṣḥābī” yaitu apa yang Saya Saw dan para sahabatku

berada di atasnya. Ini merupakan pendapat khalifah ‘Umar bin ‘Abdul

‘Azīz. Dengan artian ini setiap orang yang beramal berdasarkan Al Qur’an

dan As Sunnah sesuai pemahaman generasi Sahabat bisa disebut Ahlus

Sunnah Wal Jamā’ah.

Kedua, yang dimaksud dengan jamā’ah adalah para Ulama’

Mujtahidin dari kalangan Ulama’ ḥadīts, Ulama’ fikih, dan Ulama’-Ulama’

lain. Yang berpendapat demikian adalah Imām Muḥammad bin Mubārak,

Isḥāq bin Rahawaih, Imām Tirmidhi, para Ulama’ Ushul fikih dan

sekelompok Ulama’ salaf.

Ketiga, yaitu kesepakata umat Islam dalam suatu masalah tertentu.

Bila seluruh umat Islam telah mengadakan Ijma’ (kesepakatan) maka wajib

bagi mereka untuk mengikutinya. Orang yang menyelisihinya tidak

termasuk sebagai Ahlus Sunnah. Misalnya umat Islam telah sepakat tentang

wajibnya ṣalāt lima waktu. Orang yang berpendapat ṣalāt lima waktu itu

tidak wajib, maka ia tidak termasuk Ahlus Sunnah. Banyak para Ulama’

yang mengembalikan pendapat ketiga ini kepada pendapat kedua karena

77 Lihat As Syaibānī, Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal, Musnad Imām Aḥmad bin Ḥanbal, (Mu’assasah Ar Risālah, 1421 H/2001 M), p.IV/120; Abadī, Abū Aṭ Ṭayyib Syamsy Al Ḥaq Al Aẓīm, ‘Awnul Ma’būd Syarah Sunan Abū Dāwūd, (Tanpa Tahun Penerbit), no.4597; Al Hakim p.I/128, Ad Dārimī, ‘Abdullah bin ‘Abdurraḥman, Sunan Ad Dārimī, (Beirūt: Dār Al Kitāb Al ‘Arabī, 1407 H), no.2521; disahihkan Albani dalam As Ṣaḥīḥah p.204.

78 Al ‘Asqalani, Fatḥul Bāri, p.XIII/37; Al ‘Ayni, ‘Umdatul Qāri’ Syarah Ṣaḥīḥ Al Bukhāri, (Syirkah Maktabah Wa Maṭba’ah Muṣṭafa Al Bāby Al Halaby, 1972), p.XXIV/195; Asy Syāṭibi, Abū Isḥāq Ibrāhīm bin Mūsa, Al I’tiṣām, (Saudi Arabia: Dār Ibnu ‘Affan), p.II/260-265

27

Page 28: BAB I sampai BAB IV

pada dasarnya yang berijma’ itu bukan umat Islam secara umum namun

Ulama’ Mujtahidin.

Keempat, kelompok mayoritas umat Islam (Sawādul a’ẓam). Artinya

jika suatu hal telah diyakini dan dijalankan oleh umat Islam maka yang

meyelisihinya terhitung orang yang sesat dan bukan termasuk Ahlus

Sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat Abū Mas’ūd Al Anṣāri, ‘Uqbah

bin ‘Amīr bin Tsa’labah Al Anṣāri, dan ‘Abdullah bin Mas’ūd.

Kelima, makna jamā’ah adalah pemerintahan negara Islam atau

khilāfah Islāmiyah dengan seorang Imām atau khalīfah. Siapa taat pada

Imām berarti mengikuti jamā’ah dan siapa yang membangkang atau

memberontak berarti bukan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah. Orang yang mati

dalam keadaan membangkang pada Imām yang sah, maka ia mati seperti

orang yang mati dalam keadaan jahiliyah. Yang berpendapat demikian

adalah Aṭ Ṭābāri, Ibnu ‘Arabi, dan Al Mubārakfūri.

Dari kelima pendapat di atas, para Ulama’ menyimpulkan bahwa

makna jamā’ah pada dasarnya berkisar pada dua makna pokok79:

Pertama, aspek ilmiah; yaitu bersepakat atas satu ‘Aqīdah, satu

manhāj yang benar yaitu Al Qur’an dan As Sunnah serta memahaminya

sebagaimana pemahaman generasi Sahabat, Tābi’īn, Tābi’ut Tabi’īn dan

Ulama’ Mujtahidin sesudahnya yang terpercaya terhadap kedua sumber

Islam ini. Pendapat ini merangkum pendapat pertama hingga keempat.

Dalam hal ini jamā’ah artinya mengikuti kebenaran meskipun ia sendirian,

dan meninggalkan kebatilan meski kebatilan itu dianut oleh mayoritas

manusia di muka bumi ini.

Ibnu Mas’ūd berkata, ”Jamā’ah adalah apa yang sesuai dengan

kebenaran meski engkau sendirian.”80

79 Aṣ Ṣawi, Ṣalah, Jamā’ah Al Muslimīn Mafhūmuha Wa Kaifiyatu Luzūmiha Fī Wāqi’ina Al Mu’āṣir, (Dār Aṣ Ṣafwah, 1413 H), p.21; Ba’ady, Jamāl bin Aḥmad Basyīr, Wujūb Luzūm Al Jamā’ah Wa Tarqi At Tafaruq, (Dār Al Waṭan Li Nasyr, 1412 H), p.96-97

80 Ḥasan, ‘Utsmān bin ‘Alī, Minhāj Al Istidlāl ‘Alā Masā’il I’tiqād ‘Inda Ahlis Sunnah Wa Al Jamā’ah, (Riyāḍ: Maktabah Ar Rusyd, 1413 H), p.38-39; Al Lālikā-i, Syarah Uṣūl Al I’tiqād Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah, (Riyaḍ: Maktabah Laynah, 1993), p.I/108

28

Page 29: BAB I sampai BAB IV

Asy Syāṭibi berkata, ”Sudah jelas bahwa jamā’ah dengan makna ini

tidak mensyaratkan banyak sedikitnya pengikut, tapi yang disyaratkan

adalah sesuai tidaknya dengan kebenaran sekalipun diselisihi oleh mayoritas

umat manusia.”81

Kedua, aspek politik; berjamā’ah artinya berkumpul dan hidup di

bawah sebuah negara Islam, di bawah kepemimpinan seorang Imām atau

khalīfah yang sah secara syar’i. Ini merupakan pendapat kelima dalam

makna jamā’ah seperti yang sudah diterangkan di atas. Selain para Ulama’

Salaf yang telah disebutkan di atas, para Ulama’ kontemporer juga

menyebutkan hal ini.

Dr. Riḍa Na’san Al Mu’ṭi dalam tahqīq dan dirāsahnya (tela’ah) atas

kitāb Al Ibānah ‘An Syarī’ati Al Firqah An Nājiyah karangan Ibnu Baṭah

mengatakan, ”Bab ini menguatkan bahwa berjamā’ah itu wajib dan keluar

dari jamā’ah itu tidak boleh, baik jamā’ah dalam arti berkumpulnya umat

Islam di bawah kepemimpinan seorang Imām maupun berkumpulnya umat

Islam di atas satu ‘Aqīdah.”

2.3.3.Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah

Seperti telah dijelaskan, Sunnah merupakan ungkapan kesetiaan

mengikuti manhāj Al Qur’an dan As Sunnah dalam segala dimensinya, baik

yang prinsipil (ushul) maupun yang non-prinsipil (furu’).

Sedangkan kata jamā’ah berarti orang-orang yang berkumpul. Tapi

yang dimaksud dengan jamā’ah dalam terminologi syari’at Islam adalah

Rasūlullah Saw, para Sahabatnya, Tabi’īn, dan semua generasi yang

mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Rasūlullah Saw telah

ditanya tentang siapakah yang termasuk golongan yang selamat. Maka beliau

Saw terkadang menjawab, ”Yang mengikuti Aku dan para sahabatku” tapi di

lain waktu beliau Saw menjawab, ”Al Jamā’ah.”

Dengan demikian maka yang dimaksud Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah

sebagai kata majemuk adalah orang yang mengikuti ‘Aqīdah Islam yang

81 Asy Syāṭibi, p.I/14929

Page 30: BAB I sampai BAB IV

benar, komitmen dengan manhāj Rasūlullah Saw bersama para Sahabat,

Tabi’īn dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari

kiamat. Rasūlullah Saw bersabda,

“Hendaklah kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para

khalīfah yang lurus sesudahku, gigitlah ia dengan gigi gerahammu.”82

2.3.4.Sebab penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah

Menurut Ibnu Taimiyah Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah adalah madhhab

yang sudah ada sejak dulu. Ia sudah dikenal sebelum masa Abū Ḥanīfah,

Mālik, Syāfi’i, dan Aḥmad. Ahlus Sunnah adalah madhhab Sahabat yang

diterima dari Nabi Muḥammad Saw. Barang siapa menentang itu, menurut

pandangan Ahlus Sunnah berarti ia pembuat bid’ah.83

Dan jika pada suatu masa atau di suatu tempat terjadi penisbatan

madhhab Ahlus Sunnah terhadap seorang Ulama’ atau Mujaddid

(pembaharu), maka hal itu bukan karena Ulama’ tersebut telah menciptakan

sesuatu yang baru atau mengada-ada. Pertimbangannya semata-mata karena

ia selalu menyerukan manusia agar kembali kepada As Sunnah.

Adapun mengenai awal penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah atau

Ahlul Ḥadīts ialah ketika terjadinya perpecahan dengan munculnya berbagai

golongan sesat serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah

Ahlus Sunnah menampakan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik

dalam ‘Aqīdah maupun manhāj mereka. Namun pada hakikatnya, mereka itu

hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yang dijalankan Rasūlullah Saw

dan para Sahabatnya.

Para Ulama’ seperti Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dan Imām ‘Abdul

Qādir Al Baghdadi menyebutkan bahwa dinamakan Ahlus Sunnah Wal

Jamā’ah kerena mengikuti jalan, petunjuk, dan sunnah Rasūlullah Saw 84.

Nama tersebut sebagai pembeda dari firqah-firqah (golongan) sesat yang

82 As Syaibānī, Musnad Imām Aḥmad, p.IV/126-12783 Ibnu Taimiyah, Minhāju Sunnah, p.III/48284Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, III/157; Al Baghdādī, ‘Abdul Qāhir bin Ṭahir bin Muḥammad.

Al Farqu Bainal Firaq, (Beirūt: Dār Al Afāq Al Jadīdah, 1977), p.36130

Page 31: BAB I sampai BAB IV

menyimpang dari apa yang telah dituntunkan oleh Rasūlullah Saw dan sudah

tersebar luas ketika itu.

2.3.5.Sebutan lain Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah

2.3.5.1. Ahlul Ḥadīts

Ḥadīts adalah ucapan Rasūlullah Saw. Ahlul Ḥadīts adalah orang-

orang yang menisbatkan kepada orang yang menjadikan ḥadīts Rasūlullah

Saw sebagai salah satu sumber penerimaan ‘aqīdah Islam yang benar.

Dalam hal ini sama saja apakah mereka itu Ulama’ ḥadīts atau Ulama’ fikih

atau Ulama’ uṣūl fikih atau orang-orang yang zuhud atau lainnya.

Penamaan mereka sebagai Ahlul Ḥadīts dimaksudkan untuk

membedakan dengan Ahlul Kalam (filosof) yang menganggap bahwa kalam

mereka harus didahulukan atas ḥadīts Rasūlullah Saw dalam bidang ‘aqīdah.

Alasannya ḥadīts itu hanya memberikan indikasi yang bersifat hipotesis

(ẓanni) sedangkan akal mereka memberi indikasi yang bersifat yakin

(muṭlaq). Dengan demikian ḥadīts-ḥadīts Rasūlullah Saw dalam bidang

.aqīdah sama sekali tidak berguna.

Ahlul Ḥadīts semakna dengan Ahlus Sunnah, artinya mereka ini

kelompok umat Islam yang paling berpegang teguh kepada sunnah

Rasūlullah Saw dan Jamā’ah. Kerenanya Imām Aḥmad mengatakan, ”Kalau

mereka (Jamā’ah) itu bukan Ahlul Ḥadīts, saya tidak tahu lagi siapa mereka

itu.”

Imām Abū Isma’il Aṣ Ṣabūni dalam kitāb beliau yang berjudul

‘Aqīdatus Salaf Aṣḥābul Ḥadīts, menyatakan, “Mereka itu mengikuti Nabi

Saw dan para Sahabat beliau yang mereka itu laksana benang. Mereka

mengikuti Salafus Ṣāliḥ dari kalangan Imām-Imām dalam dien ini dan

Ulama’ kaum Muslimin dan berpegang teguh dengan apa yang para Ulama’

berpegang teguh padanya, yaitu dien yang kuat dan kebenaran yang nyata

dan membenci Ahlul Bid’ah yang membuat bid’ah dalam dien, tidak

mencintai mereka dan tidak pula bersahabat dengan mereka.”85

85 Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah Ma’alim Al Inthilaqati Al Kubra, p.5431

Page 32: BAB I sampai BAB IV

2.3.5.2. Ahlul Atsār

Secara bahasa kata Atsār maknanya bekas, sisi atau pengaruh. Adapun

secara syar’inya maka ada dua pendapat para Ulama’.

Mayoritas Ulama’ mengatakan bahwa atsār khusus untuk perkataan

dan perbuatan Sahabat dan Tabi’īn. Sedang untuk Nabi Saw, mereka

menyebutnya dengan ḥadīts atau sunnah.

Namun demikian pendapat mayoritas Ulama’ lebih kuat, dikatakan,

”Atsāru ḥadītsan”, artinya, ”Aku meriwayatkan sebuah ḥadīts”. Pendapat ini

juga dikuatkan oleh Al ‘Irāqi dan Ibnu Ḥajar.86

Maka dalam hal ini, Ahlus Sunnah sering juga disebut dengan Ahlul

Atsār. Ahlus Sunnah disebut dengan Ahlul Atsār karena mereka mengikuti

atsār-atsār yang diriwayatkan dari Rasūlullah Saw dan para Sahabat.

2.3.5.3. Salaf

Makna Salaf secara bahasa adalah orang yang terdahulu sesuai urutan

waktu (pendahulu, nenek moyang). Salaf artinya jamā’ah (kelompok

pendahulu). Salaf juga bermakna para pendahulu dari bapak-bapak dan

kerabat yang secara umur dan kemuliaannya lebih tinggi.

Adapun secara syar’i para Ulama’ menyatakan bahwa makna salaf

tidak jauh dari makna Sahabat, Tabi’īn, Tabi’ut Tabi’īn dari kalangan para

Ulama’, dan Imām terpercaya yang telah diakui keilmuan dan ittiba’nya

terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Yaitu para Ulama’ yang tidak terkena

tuduhan bid’ah baik bid’ah Mufassiqah (kefasikan) ataupun Mukaffirah

(kekafiran).87

2.3.5.4. Firqah An Nājiyah

Selain Ahlus Sunnah, Ahlul Ḥadīts, Ahlul Atsār, dan Salaf; Ahlus

Sunnah Wal Jamā’ah juga sering disebut dengan Firqah An Nājiyah,

86 As Suyūṭī, Jalāludin, Tadrību Ar Rāwi, (Riyaḍ: Dār Aṭ Ṭayyibah, 1422 H), p.VI/10987 Al Buraikan, p.14

32

Page 33: BAB I sampai BAB IV

didasarkan pada ḥadīts-ḥadīts yang menerangkan akan pecahnya umat Islam

menjadi 73 golongan, dimana 72 golongan akan tersesat dan yang selamat

(najiyah) hanya satu saja yaitu ‘Mā Ana ‘Alaihi wa Aṣḥābi’ (apa yang aku

dan para sahabatku berada di atasnya), Ahlus Sunnah dan dalam lafal lain

disebutkan jamā’ah.88

2.3.5.5. Ṭāifah Manṣūrah (Kelompok yang menang, ditolong Allah

Swt)

Ṭāifah Manṣūrah adalah nama lain dari Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah

yang disebutkan dalam ḥadīts-ḥadīts yang menyebutkan hal ini.

Di antara ḥadīts-ḥadīts tersebut adalah yang diriwayatkan oleh

Sahabat Mughirah dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda, ”Akan senantiasa

ada manusia dari umatku yang menang (berada di atas kebenaran) sampai

datang pada mereka urusan (keputusan) Allah Swt sedang mereka dalam

keadaan ẓahirīn (menang).”89

Golongan yang mendapat pertolongan sebagaimana yang disebut

dalam ḥadīts-ḥadīts Rasūlullah Saw adalah golongan pejuang dari kalangan

Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah yang memang layak untuk memperoleh

pertolongan Allah Swt, baik secara moral maupun material. Pertolongan

Allah Swt itu misalnya: ilmu yang ṣaḥīḥ (benar), perilaku yang lurus

terhadap sunnah-sunnah (ketetapan) Allah Swt di alam semesta, serta

melaksanakan hal-hal yang dijadikan Allah Swt sebagai wasilah (perantara)

untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika tidak, atau jika hanya sekedar

iman dan mengikuti ‘aqīdah Ahlus Sunnah tanpa menjalankan hal-hal yang

bisa mendatangkan kemenangan serta tanpa menjalankan sunnah-sunnah

Allah Swt di alam semesta –dengan tidak melebihkan seseorang atas

selainnya- maka Allah Swt tidak akan menjamin pertolongan, kemenangan,

88 Ma’alim Al Inthilaqi Al Kubra, p.58-6289 Bukhāri, p.VIII/149 dengan lafal ‘Kelompok di atas kebenaran’, p.VIII/189, Muslim, p.171,

Darimi, p.437, Aḥmad, IV/244,252,348 dengan lafal ‘Berperang di atas jalan kebenaran…’, Aṭ Ṭabrānī, Sulaimān bin Aḥmad. Mu’jam Al Kabīr, no.959,960,962 dengan lafal ‘Sampai datang kiamat kepada mereka.

33

Page 34: BAB I sampai BAB IV

dan kekuasaan di muka bumi, sebagaimana telah dijanjikan-Nya buat

hamba-hamba-Nya yang ṣālih dan ikhlāṣ.90

Maka jelaslah bahwa golongan yang mendapat pertolongan itu adalah

golongan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah. Golongan ini selalu melaksanakan

fikih yang ṣaḥīḥ yang mengacu pada salaf dan para Imām. Golongan ini

senantiasa menjalankan hal-hal yang bisa mendatangkan kemenangan

sehingga sudah selayaknya Allah Swt memberi mereka pertolongan. Mereka

juga sama sekali tidak memperdulikan orang-orang yang menentang,

meremehkan, atau merendahkan mereka.91

2.4. Pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī as menurut Syī’ah

2.4.1.Latar belakang peristiwa

2.4.1.1. Pengangkatan Yazīd bin Mu’āwiyah dan penolakan Ḥusain bin

‘Alī as membai’atnya

Menurut Al Ya’qūbi, Yazīd segera memegang tampuk kepemimpinan

di awal bulan Rajab tahun 60 Hijriyah paska wafatnya Mu’āwiyah. Karena

itulah, ia harus mengukuhkan posisinya di atas para pembesar agar mereka

tunduk kepadanya, termasuk para pembesar Bani Hāsyim sekalipun. Ia

segera menulis surat kepada bawahannya di Madinah, Al Walid bin ‘Uṭbah

bin Abī Sufyan, yang isinya, ”Jika suratku ini telah sampai, datangkanlah

Ḥusain bin ‘Alī as dan ‘Abdullah bin Zubaīr. Mintalah kepada mereka untuk

membai’atku. Jika keduanya menolak, pukul tengkuknya dan kirim kepala

mereka kepadaku. Atur juga agar orang-orang mau membai’atku jika ada

yang menolak, jalankanlah hukumannya, termasuk Ḥusain dan ‘Abdullah

bin Zubaīr. Wassalam.”92

Menurut Syī’ah sejak awal Yazīd telah mengambil jalan pintas,

dengan memerintahkan orang-orang untuk membunuh Ḥusain bin ‘Alī ra

hanya karena menolak berbai’at. Kemampuan sekutu Ḥusain bin ‘Alī as

90 Tim Ulin Nuha, p.2791 Ibid, p.2792Idris Al Ḥusaini, Karena Ḥusain bin Alī Aku Syī’ah, Terj. Muhdhor Assegaf, (Jakarta: Penerbit

Cahaya, 2008), p.34634

Page 35: BAB I sampai BAB IV

tidak sanggup membendung kejahatan dan keẓāliman Yazīd. Bahkan Yazīd

tidak segan-segan mempersiapkan keinginan kotornya, yaitu membunuh

Ḥusain bin ‘Alī as dan ‘Abdullah bin Zubaīr, bila utusan Yazīd datang

mereka berkata, ”Kami segera datang menemuimu bersama orang-orang.”

Marwan memberi Isyarat kepada Al Walid untuk mencegah keduanya

keluar. Namun pihak sekutu Ḥusain bin ‘Alī as mampu membutakan Al

Walid sehingga dia tidak tahu kalau keduanya sudah keluar. Maka keluarlah

Ḥusain bin ‘Alī as menuju Makkah, dan tinggal beberapa hari di sana,

sampai penduduk Kufah mengirimkan banyak surat. Mereka menyatakan

diri sudah kembali kepada Ḥusain bin ‘Alī ra di bawah komando Ibnu Abī

Hani dan Sa’īd bin ‘Abdillah. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut,

“Bismillahirrahmanirrahim. Kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, dari para

pengikutnya yang Mukmin dan Muslim, Amma ba’du. Mari segera kembali.

Orang-orang sudah menanti Anda. Mereka tidak memiliki Imām selain

Anda. Maka bergegaslah. Sekali lagi, bergegaslah. Wassalam.”93

2.4.1.2. Ḥusain mengirim Muslim bin ‘Aqīl dan penghianatan

penduduk Kufah terhadapnya

Setelah itu Ḥusain bin ‘Alī ra mengirim utusannya, Muslim bin ‘Aqīl

untuk menyuruh mereka membai’at Ḥusain bin ‘Alī ra.94 Sesampainya di

Kufah Muslim bin ‘Aqīl tinggal di rumah Al Mukhtār bin ‘Ubaid, yang

sekarang disebut rumah Salmi bin Musayyib. Kaum Syī’ah mulai

mengunjunginya dan memberikan bai’at kepadanya atas nama Ḥusain bin

‘Alī ra, hingga mencapai 18.000 orang. Karenanya Muslim menulis surat

kepada Ḥusain untuk memberikan informasi tentang bai’at kaum Syī’ah

Kufah dan mendesak beliau untuk segera datang.95

Keberadaan Muslim bin ‘Aqīl lambat laun terdengar oleh Nu’man bin

Basyīr yang menjabat sebagai gubernur Kufah saat itu. Namun Nu’man

93 Idris Al Ḥusaini, p.346-34794 Al Mufid, Sejarah ‘Amīrul Mu’minīn Ali bin Abī Ṭālib As & Para Imām Ahlul Bait Nabi Saw,

(Jakarta: Lentera, 2007), p.39295 Al Mufid, p.394

35

Page 36: BAB I sampai BAB IV

tidak bertindak tegas dalam menuntaskan masalah ini. Sehingga seorang

sekutu Bani ‘Umayyah, ‘Abdullah bin Muslim bin Rabi’ah Al Hadrami

yang tidak sepakat dengan Nu’man menulis surat kepada Yazīd bin

Mu’āwiyah:

“Muslim bin ‘Aqīl telah datang ke Kufah. Kaum Syī’ah telah

membai’atnya atas nama Ḥusain bin ‘Alī ra bin Abī Ṭālib. Jika engkau

merasa perlu, maka kirimlah seorang yang kuat, yang akan melaksanakan

perintahmu dan bertindak dengan cara yang sama seperti engkau melawan

musuhmu. Nu’man bin Basyīr adalah seorang yang lemah atau bertindak

lemah.”96

Ketika surat itu sampai kepada Yazīd, ia lalu memanggil Sarjun,

seorang pembantu Mu’āwiyah, dan bertanya: “Apa pendapatmu tentang

Ḥusain yang telah yang telah mengirim Muslim bin ‘Aqīl ke Kufah untuk

mengambil bai’at atas nama dirinya aku juga tahu bahwa Nu’man adalah

seorang yang lemah. Aku pun memperoleh berita yang buruk tentangnya.

Siapakah menurutmu yang seharusnya aku tunjuk untuk menjadi gubernur

Kufah?”

Saat itu Yazīd sedang kesal dengan ‘Ubaidullah bin Ziyād. Karena itu

Sarjun menjawab: “Apakah engkau berpikir jika Mu’āwiyah masih hidup

dan menasehatimu, maka engkau akan melaksanakan nasehat itu.”

“Ya.” Jawab Yazīd.97

Sarjun lalu membuat sepucuk surat penunjukan untuk ‘Ubaidullah bin

Ziyād sebagai gubernur Kufah:

Inilah nasehat Mu’āwiyah yang ia perintahkan sebelum meninggal.

Karenanya gabungkan dua kota, Baṣrah dan Kufah dibawah kekuasaan

‘Ubaidullah.

“Aku akan lakukan itu. Aku akan mengirim surat kuasa yang telah

ditulis ayahku untuk ‘Ubaidullah bin Ziyād.” Jawab Yazīd.

96 Ibid, p.39597 Ibid, p.395

36

Page 37: BAB I sampai BAB IV

Setelah itu ia memanggil Muslim bin Amr Al Bahili untuk diutus

mengantarkan surat berikut kepada ‘Ubaidullah:

“Pengikutku di Kufah telah menginformasikan kepadaku bahwa Ibnu

‘Aqīl ada di sana dan berkomplot untuk menyebarkan pemberontakan di

antara kaum Muslimin. Karena itu jika engkau selesai membaca surat ini,

segeralah ke Kufah dan carilah Ibnu ‘Aqīl sampai ketemu, seperti engkau

mencari manik-manik. Ikat ia dengan rantai, lalu bunuh atau usir ia.”

Wassalam.

Dengan cara seperti ini Yazīd memberinya kekuasaan atas Kufah agar

Muslim bin ‘Amr pergi menemui ‘Ubaidullah di Baṣrah untuk

menyampaikan ketetapan dan surat itu. ‘Ubaidullah memerintahkan agar

persiapan segera dilakukan dan keberangkatan ke Kufah dilakukan

besoknya. Ketika meninggalkan Baṣrah, ia mengangkat saudaranya

‘Utsmān, sebagai wakilnya. Ia menuju Kufah bersama Muslim bin Amr,

Syuraik bin A’war Al Haritsi, keluarga dan rombongan lainnya.98

Ketika sampai di Kufah, ia mengenakan surban hitam dan

berkerudung. Sementara berita tentang keberangkatan Ḥusain bin ‘Alī as

telah sampai di telinga masyarakat yang sedang mengharapkan kedatangan

beliau. Ketika melihat ‘Ubaidullah, mereka mengira ia adalah Ḥusain.

Ketika melewati kerumunan orang ‘Ubaidullah mengucapkan salam.

Mereka berkata: “Selamat datang wahai putra Rasūlullah Saw kedatangan

anda adalah sesuatu yang menggembirakan.”

Ia melihat sambutan hangat masyarakat kepada Ḥusain sebagai

sesuatu yang dapat mempersulit dirinya. Ketika jumlah mereka telah begitu

banyak sehingga dapat menjadi penghalang, Muslim bin ‘Amr berkata: “Ini

adalah gubernur ‘Ubaidullah bin Ziyād.”

Ia melanjutkan perjalanan hingga sampai di istana gubernur pada

malam hari. Sejumlah besar orang, yang tidak ragu kalau dia adalah Ḥusain,

tetap mengerumuninya. Nu’man bin Basyīr menolak ia dan rombongan.

Salah seorang dari rombongan menyeru kepadanya untuk membukakan

98 Al Mufid, p.39637

Page 38: BAB I sampai BAB IV

pintu. Namun Nu’man karena masih mengira kalau ia adalah Ḥusain, naik

ke balkon dan menyeru ke bawah: “Aku memohon kepada Allah Swt di

hadapanmu, kalau engkau tidak menarik diri dariku, demi Allah, aku tidak

akan menyerahkan jabatan (amanah)-ku kepadamu, namun aku tak ingin

memerangimu.”

Ibnu Ziyād tidak menjawabnya. Namun ia semakin mendekat ketika

Nu’man di balkon istana. Lalu ia mulai berkata kepadanya: “Buka. Engkau

belum membuka. Sungguh engkau melewati malam yang panjang (di

malam itu engkau tidur bukannya memerintah).”

Seorang lelaki di belakangnya mendengar itu, dan ia pun segera

mundur menuju kumpulan orang-orang Kufah yang sedang mengikuti Ibnu

Ziyād dan mengiranya sebagai Ḥusain. Ia lalu berkata: “Saudara-saudara

sekalian, ini adalah Ibnu Murjanah.99 Demi Allah yang tiada tuhan selain

Dia.” Nu’man pun segera membukakan pintu, dan ia pun masuk. Mereka

lalu membanting pintu di hadapan orang-orang yang seketika itu bubar.100

Berita tentang kedatangan ‘Ubaidullah bin Ziyād terdengar oleh

Muslim bin ‘Aqīl, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah Al Mukhtār

dan pindah ke rumah Hani bin ‘Urwah. Orang-orang Syī’ah mulai

mengunjungi rumah Hani bin Urwah secara sembunyi-sembunyi agar tidak

terlihat oleh ‘Ubaidullah, dan saling berpesan untuk merahasiakan

keberadaan Muslim bin ‘Aqīl.101

Namun lambat laun persembunyian Muslim bin ‘Aqīl tercium oleh

‘Ubaidullah bin Ziyād sehingga ia dan sekutunya memutuskan untuk

membunuh Muslim bin ‘Aqīl tanpa ada pembelaan sedikitpun dari

penduduk Kufah yang telah mengikrarkan sumpah setiannya kepada Ḥusain

bin ‘Alī as. Sehingga sesaat sebelum Muslim bin ‘Aqīl gugur ia berucap,

“Allahu Akbar,” lalu memohon ampun kepada Allah dan bershalawat.

Setelah itu berkata, “Ya Allah Swt berikanlah keputusan hukum antara kami

dan orang-orang yang telah mengundang kami (penduduk Kufah-Syī’ah),

99 Sebutan untuk ‘Ubaidullah bin Ziyād, yang dirujuk dari nama Ibunya100 Al Mufid, p.397101 Ibid, p.398

38

Page 39: BAB I sampai BAB IV

yang berbohong kepada kami, dan yang meninggalkan kami.” Dan Muslim

bin ‘Aqīl pun terbunuh secara ẓālim.102

Setelah itu giliran Hani bin Urwah yang ikut dibunuh karena

bersekutu dengan Muslim bin ‘Aqīl. Sesaat sebelum terbunuh ia sempat

mencari pendukungnya (penduduk Kufah) namun tidak ada satu pun yang

menolongnya, hingga munculah dihadapannya seorang budak Turki milik

‘Ubaidullah bernama Rasyīd, menghantamnya dengan pedang, sedangkan

Hani dalam keadaan terbelenggu rantai, namun serangan Rasyīd tidak

mengubah keadaanya. Hani pun berteriak: “Kepada Allah kita kembali. Ya

Allah aku mohon rahmat dan keridhaan-Mu,” lalu Rasyid menghantamnya

lagi hingga meninggal.103

2.4.1.3. Ḥusain bin ‘Alī as mulai berangkat ke Kufah dan nasehat agar

tidak melanjutkan perjalanannya

Muslim bin ‘Aqīl memulai perlawanan di Kufah hari selasa 8

Dhulḥijjah 60 H. Dan ia terbunuh hari Rabu, 9 Dhulḥijjah (pada tahun yang

sama) di hari ‘Arāfah, Ḥusain as berangkat dari Makkah menuju Irak

bertepatan dengan hari perlawanan Muslim bin ‘Aqīl di Kufah, bertepatan

pula dengan Hari Tarwiyah,104 setelah tinggal di Makkah sejak hari-hari

terakhir Sya’ban dan berlanjut di bulan Ramaḍān, Syawāl, Dhulqa’dah,

hingga delapan hari pertama di bulan Dhulḥijjah 60 H. Selama beliau

tinggal di Makkah, sejumlah orang Makkah dan Baṣrah menemui beliau,

bergabung bersama keluarga dan pembantu-pembantu beliau.105

Ketika memutuskan untuk berangkat menuju Irak, terlebih dahulu

Ḥusain bin ‘Alī as melakukan ṭawaf dan sa’i. Kemudian beliau

102 Aṭ Ṭabarī, Muḥammad bin Jarīr, Tārīkh Ṭabarī (Tārīkh Al Umam Wa Ar Rusul Wa Al Mulūk), (Beirūt: Dārul Kutub Al ‘Ilmiyah, 1407 H), p.V/378; Al Mas’ūdī, ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī, Murūj Adh Dhahab Wa Ma’ādin Al Jauhar, (Dārul Fikr, 1393 H), p.III/6; Dikisahkan bahwa sebelum Muslim dibunuh, ia sempat melakukan perlawanan dan Ibnu Ziyād memanggil Bakar bin Humran Al Ahmari dan berkata kepadanya: “Naiklah (saat itu mereka sedang berada di puncak istana) engkau akan menjadi orang pertama yang akan memotong kepalanya.”

103 Lihat proses pembunuhan Muslim bin ‘Aqīl dan Hani bin Urwah dalam Al Mufid, p.418-419104 Hari Tarwiyah adalah satu hari sebelum hari Arafah. Yaitu ketika para jamā’ah haji

mengumpulkan air dari sumur zam-zam.105 Al Mufid, p.422

39

Page 40: BAB I sampai BAB IV

menanggalkan pakaian ihram beliau setelah melaksanakan umrah. Karena

beliau tidak dimungkinkan untuk menunaikan haji, karena khawatir

tertangkap dan diserahkan kepada Yazīd bin Mu’āwiyah. Kemudian beliau

segera berangkat bersama anak-anak, keluarga, serta pengikut setia beliau.

Sementara beliau belum memperoleh kabar tentang Muslim bin ‘Aqīl.106

Diriwayatkan bahwa Farazdaq, seorang penyair berkata:

“Aku melaksanakan ibadah haji bersama ibuku tahun 60 H. Aku

sedang mengendarai unta ibuku ketika aku memasuki kota suci Makkah. Di

sana aku bertemu Ḥusain bin ‘Alī as yang sedang meninggalkan Makkah

ditemani beberapa orang lelaki yang membawa pedang dan perisai.

“Rombongan siapakah ini?” Aku bertanya

“Ḥusain bin ‘Alī as.” Jawab salah seorang dari mereka

Lalu aku memberikan salam kepada beliau dan berkata: “Semoga

Allah menjamin diri anda dan mengabulkan keinginan anda, demi ayah dan

ibuku, wahai putra Rasūlullah. Namun apa yang membuat anda tergesa-gesa

meninggalkan haji”

Jika aku tidak bergegas pergi, aku akan ditangkap, ”Jawab beliau as.

Lalu beliau bertanya kepadaku: “Siapakah engkau?”

“Seorang Arab,” jawabku. Dan beliau tidak bertanya lebih jauh.

“Katakan kepadaku tentang masyarakat yang engkau tinggalkan,”

tanya beliau.

“Anda mengajukan pertanyaan yang baik. Hati mereka bersama anda,

namun pedang mereka diarahkan ke anda. Keputusan telah datang dari

langit, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. ”Jawabku

“Engkau berkata benar tentang berbagai urusan yang menjadi milik

Allah. Setiap waktu Dia terlibat berbagai urusan. Jika nasib telah diputuskan

seperti apa yang kita inginkan dan kita menjadi puas karenanya, kita memuji

Allah karena rahmat-Nya. Hanya Dia saja tempat kita mencari pertolongan

dan tempat kita bersyukur. Meski nasib mungkin menghalangi harapan-

106 Ibid, p.42240

Page 41: BAB I sampai BAB IV

harapan kita, namun Allah tidak pernah menjauhkan orang-orang yang

benar niatnya dan berhati takwa,” jawab beliau.

“Benar semoga Allah pada akhirnya membawa anda ke apa yang

menjadi tujuan anda dan menjaga anda terhadap berbagai ancaman.” kataku

Lalu aku bertanya kepada beliau mengenai janji dan tata cara haji.

Beliau pun menjelaskannya. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan

sembari mengucapkan salam dan kami pun berpisah.107

Ketika Ḥusain bin ‘Alī as meninggalkan Makkah, Yahya bin Sa’id bin

Al ‘Aṣ berpapasan dengan beliau bersama sekelompok orang. Mereka diutus

untuk menemui Ḥusain bin ‘Alī as oleh Amr bin Sa’īd.108

“Pulanglah,” perintah mereka. Namun beliau menolak dan terus

melanjutkan perjalanan. Kedua kelompok itu pun berhadapan untuk saling

menyerang dengan cambuk masing-masing. Akhirnya beliau dapat

melanjutkan perjalanan, hingga tiba di At Tan’im. Di sana beliau

menjumpai gerombolan berunta yang datang dari arah Yaman. Beliau lalu

menyewa unta-unta itu sebagai tambahan kekuatan untuk beliau maupun

pengikut-pengikut beliau. Kemudian beliau berkata kepada pemiliknya:

“Siapa dari kalian yang ingin ikut bersama kami ke Irak, kami akan

membayar ongkos sewanya dan engkau akan memperoleh perjalanan yang

baik. Dan bila kalian ingin berpisah dari kami di suatu jalan, maka kam

tetap akan membayar ongkos sewa atas perjalanan yang telah ditempuh.”109

Sebagian ikut beliau dan sebagian lagi menolaknya. ‘Abdullah bin

Ja’far mengutus kedua anaknya, ‘Aun dan Muḥammad, untuk menyusul

beliau dan memberikan sepucuk surat kepada beliau yang isinya:

“Aku memohon kepada engkau di hadapan Allah agar engkau kembali

setelah membaca surat ini. Aku sangat khawatir langkah yang engkau

tempuh akan membawa kehancuranmu dan keluargamu. Jika engkau binasa

hari ini, maka cahaya di bumi ini akan padam, karena engkau adalah standar

107 Ibnu A’tsam dalam Al Futuh, p.V/77. Al Khawarizmi, Muwaffiq bin Aḥmad, Maqtalu Al Ḥusain, (Qom: Mansyurat Maktabati Al Mufīd), p.I/223; Ibnu Syahr Asywab, p.IV/95. Al Majlisi, Bihār Al Anwār, (Beirūt: Mū-assasah Wafā’, 1403 H), p.XL/365

108 Gubernur Makkah yang ditetapkan oleh Yazīd109 Al Mufid, p.423-424

41

Page 42: BAB I sampai BAB IV

bagi orang-orang yang memperoleh petunjuk dan harapan bagi orang-orang

beriman. Jangan bergegas dalam perjalananmu, karena aku akan

mengirimkan surat lagi.” Wassalam.

‘Abdullah bin Ja’far lalu pergi ke Amr bin Sa’īd dan memintanya

untuk menulis surat kepada Ḥusain guna menawarkan jaminan keamanan

dan berjanji untuk memperlakukanya dengan baik, agar beliau mau kembali.

Amr bin Sa’īd kemudian menulis sepucuk surat kepada Ḥusain as seperti

apa yang diinginkan ‘Abdullah bin Ja’far. Ia mengirimkannya melalui

saudaranya, Yahya bin Sa’īd, dan ‘Abdullah. Mereka menyusul beliau

sebagaimana yang dilakukan oleh kedua anak ‘Abdullah. Keduannya

menyerahkan surat Amr kepada Ḥusain as dan berusaha sekuat tenaga untuk

membujuk beliau agar mau kembali.

“Aku bertemu Rasūlullah Saw dalam tidurku, dan beliau

memerintahkanku untuk melakukan apa yang sedang aku lakukan sekarang

ini” jawab Ḥusain as

“Mimpi apakah itu?” Tanya mereka

“Aku belum bercerita kepada siapa pun, dan aku tidak akan bercerita

sampai aku menemui tuhanku Swt,” jawab beliau

Ketika ‘Abdullah bin Ja’far telah putus asa membujuk beliau, ia pun

mengatakan kepada kedua anaknya, Aun dan Muḥammad untuk tetap

bersama Ḥusain dan pergi berjuang bersama beliau. Sementara ia sendiri

kembali bersama Yahya bin Sa’īd ke Makkah. Ḥusain as cepat-cepat

menuju Irak, hingga tiba di Dhaturriqa’.110

Ketika mengetahui perjalanan Ḥusain bin ‘Alī as dari Makkah ke

Kufah, ‘Ubaidullah bin Ziyād mengirim Ḥuṣain bin Numair si pimpinan

tentara untuk tinggal di Qadisiyah dan membentuk pasukan perlindungan

bagi Qadisiyah dan Khaffan, juga bagi Qadisiyah dan Al Quṭquṭanah. Ia

menginformasikan juga kepada orang-orangnya bahwa Ḥusain sedang

menuju Irak.111

110 Al Mufid, p.424-425111 Ibid, p.425

42

Page 43: BAB I sampai BAB IV

Ketika tiba di Al Ḥajar, daerah di sekitar Baṭn Ar Rumah, Ḥusain

mengutus Qais bin Musyir Aṣ Ṣidawi untuk menemui penduduk Kufah.

Ḥusain bin ‘Alī ra belum memperoleh kabar terbaru tentang Muslim bin

‘Aqīl. Beliau menulis surat kepada mereka:

Bismillahirrahmanirrahim,

Dari Ḥusain bin ‘Alī ra

Kepada saudara-saudara Mu’min dan Muslim,

Salamun’ Alaikum

Segala puji bagi Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Surat Muslim bin

‘Aqīl telah sampai di tanganku, memberikan informasi tentang keputusan

dan kesepakatan masyarakat kalian untuk mendukung kami dan untuk

memperjuangkan hak-hak kami. Aku telah memohon kepada Allah agar

memberikan kebaikan kepada kami dan membalas keputusan kalian itu

dengan pahala yang paling besar. Aku berangkat menuju kalian dari

Makkah pada tanggal 8 Dhulhijjah, bertepatan dengan hari Tarwiyyah.

Bila utusanku telah sampai kepada kalian, maka bersegeralah untuk urusan

kalian karena aku akan segera datang kepada kalian dalam beberapa hari

lagi. Wassalamu’alaikum warahmatullah.

Sebelumnya Muslim bin ‘Aqīl sudah mengirimkan surat kepada

Ḥusain as tujuh belas hari sebelum dibunuh. Dan isi surat orang Kufah

kepada Ḥusain antara lain mengatakan: “Di sini ada seratus ribu pedang.

Jangan ditunda-tunda.”

Qais bin Musyir membawa surat Ḥusain ke Kufah. Namun ketika tiba

di Qadisiyah Huṣain bin Numair yang sudah dipersiapkan oleh ‘Ubaidullah

untuk mencegah rombongan Ḥusain menahannya dan kemudian

mengutusnya untuk menemui ‘Ubaidullah bin Ziyād.112

Sesampainya dihadapan ‘Ubaidullah Qais diperintah naik mimbar

untuk mengutuk Ḥusain bin ‘Alī ra. Qais pun naik mimbar. Dan setelah

memuji dan bertasbih kepada Allah, Qais berkata: “Saudara-saudara, orang

ini –Ḥusain bin ‘Alī as- sebaik-baik makhluq Allah swt, putra Fāṭimah binti

112 Al Mufid, p.24643

Page 44: BAB I sampai BAB IV

Rasūl Saw. Aku diutus olehnya untuk menemui kalian. Berilah jawaban

untuknya.”

Lalu Qais malah mengutuk ‘Ubaidullah bin Ziyād berserta ayahnya.

Dan memohonkan ampun serta berdo’a bagi ‘Alī bin Abī Ṭālib ra.

‘Ubaidullah segera meyuruh orang untuk melemparkan Qais dari atas istana.

Mereka pun lalu melempar Qais, dan tubuh Qais pun terhempas, seorang

lelaki bernama ‘Abdul Mālik bin ‘Umair Al Lakhmi mendekatinya untuk

kemudian menggorok lehernya.113

Sementara kejadian ini berlangsung Ḥusain tetap melanjutkan

perjalanan dalam keadaan tidak tahu apapun. Ḥusain berulang kali bertemu

orang dalam perjalanannya di ataranya ketika beliau sampai di daerah

bermata air. Dia bertemu seseorang yang bernama ‘Abdullah bin Muti’. Dan

beliau juga bertemu ‘Abdullah bin Sulaimān dan Al Munẓīr bin Musyam’il

keduanya dari suku Asad, mereka berdua menyusul dari Makkah setelah

menuntaskan haji dan bertemu di Ats Tsa’labiyyah. Mereka yang bertemu

Ḥusain pada intinya menginginkan agar Ḥusain kembali ke Makkah

sebagaimana yang dilakukan oleh Farazdak dan ‘Abdullah bin Ja’far

sebelumnya. Kali ini bahkan ‘Abdullah bin Sulaiman dan Al Mundzir bin

Musyam’il memberi tahu Ḥusain kalau Muslim bin ‘Aqīl dan Hani bin

Urwah telah dibunuh.

Ḥusain beristrija’ “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un” semoga Allah

merahmati mereka berdua.” Ḥusain mengulang ucapan ini beberapa kali.

Beliau pun menawari keluarga Muslim bin ‘Aqīl yang telah ditinggal mati

ayah mereka.

Anak-anak Muslim bin ‘Aqīl menjawab: “Demi Allah, kami tak akan

kembali sebelum dapat membalas atau sebelum merasakan yang ayah kami

rasakan.” 114

113 Ibid, p.426114 Lihat Al Mufid, p.427, 430-431 dikisahkan ada seorang lagi yang senasib dengan Muslim bin

‘Aqīl dan Hani bin Urwah, yaitu ‘Abdullah bin Yaqthur. Lihat Tim A’lāmul Hidāyah, Teladan Abadi Imam Ḥusain, Terj. Abdullah Beik, (Jakarta: Al Huda, 1428 H/2007 M), p.193

44

Page 45: BAB I sampai BAB IV

Ḥusain bin ‘Alī as kemudian mengeluarkan pernyataan tertulis untuk

dibacakan di hadapan orang-orang:

Bismillahirrahmanirrahim

Kabar tentang pembunuhan Mengerikan atas diri Muslim bin ‘Aqīl,

Hani bin Urwah dan ‘Abdullah bin Yaqṭur telah sampai ke telinga kita.

Syī’ah kita telah meninggalkan kita. Kalau di antara kalian ada yang mau

pergi meninggalkan kami silahkan saja bisa pergi dengan leluasa tanpa

digelayuti rasa bersalah.

Orang-orang pun mulai meninggalkan Ḥusain bin ‘Alī ra. Dan kini

yang tersisa tinggalah orang-orang yang memang mengikuti Ḥusain sejak

dari Madinah menuju Makkah sampai ke Kufah ditambah sejumlah kecil

orang yang bergabung dengan Ḥusain. Beliau melakukan itu karena sadar

bahwa orang-orang Arab mengikuti dirinya karena mengira Ḥusain akan ke

sebuah daerah yang penduduknya setia kepadanya –ternyata sebaliknya-.

Dan Ḥusain tak mau bersama mereka tanpa tahu sepenuhya hendak ke mana

sebenarnya.115

2.4.1.4. Pertemuan Ḥusain bin ‘Alī as Dengan Al Ḥurr bin Yazīd

Dalam perjaanannya Ḥusain bin ‘Alī ra singgah. Tak lama setelah

memasang tenda, rombongan Ḥusain bin ‘Alī as didatangi seribu pasukan

kuda yang dipimpin oleh Al Ḥurr bin Yazīd. Pasukan yang tampak siap

berperang itu berjajar di depan Ḥusain bin ‘Alī ra dan para sahabatnya yang

juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang masing-masing di

pinggang.116

Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap

kepala. Ḥusain bin ‘Alī ra dan para sahabatnya memerintahkan para

pengikutnya supaya air yang masih tersisa diminum dan diminumkan

kepada kuda-kuda mereka. Hingga tengah hari itu suasana masih relatif

tenang. Begitu waktu ṣalāt ẓuhur tiba, Imām memerintah seorang

115 Al Mufid, p.431116 Tim A’lāmul Hidāyah, p.194.

45

Page 46: BAB I sampai BAB IV

pengikutnya yang bernama Hajjaj bin Masruq Al Ja'fi untuk mengumandang

adhan. Seusai adhan, beliau berdiri di depan pasukan Al Ḥurr untuk

menyampaikan suatu kata kepada mereka yang beliau pandang sebagai

orang-orang Kufah tersebut.117

“Hai orang-orang!” Seru Ḥusain bin ‘Alī as setelah menyatakan pujian

kepada Allah dan salawat kepada Rasūl-Nya. “Aku tidaklah datang kepada

kalian kecuali setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian, orang-

orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian

merasa tidak memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian

kepada jalan yang benar. Oleh sebab inilah aku pun bergerak ke arah kalian.

Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji kalian, maka

aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke

negeriku.”118

Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Ḥusain bin ‘Alī

as itu terdiam seribu bahasa. Tak ada seorang yang angkat bicara.119 Beliau

kemudian memerintahkan muadhin tadi untuk mengumandangkan iqāmah

setelah meminta Al Ḥurr supaya menunaikan ṣalāt bersama pasukannya

sebagaimana Ḥusain bin ‘Alī as juga ṣalāt bersama para pengikut setianya.

Uniknya, Al Ḥurr menolak ṣalāt sendiri. Dia meminta ṣalāt berjamā’ah di

belakang beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam ṣalāt

dhuhur berjamā’ah yang dipimpin Ḥusain bin ‘Alī as.120

Seusai ṣalāt, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-

masing. Beberapa lama kemudian kedua rombongan ini bergabung kembali

untuk menunaikan ṣalāt ‘aṣar berjamā’ah dipimpin oleh Ḥusain bin ‘Alī as.

Seusai ṣalāt ‘aṣar beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian

kepada Allah dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:

“Amma ba'du. Hai orang-orang,...kata-kata kalian sekarang sudah

tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang

117 Abatasya Islamic Website, Tragedi Karbala, (http://abatasya.net), p.24118 Tim A’lāmul Hidāyah, Op.cit., p.195119 Nasikh Attawarikh, p.II/145120 Al Mufid, p.II/79; Al Futuh, p.V/85. Al Khawarizmi, Maqtalul Ḥusain, p.I/596

46

Page 47: BAB I sampai BAB IV

menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi

meninggalkan kalian.”121

Al Ḥurr menjawab: “Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang

engkau katakan itu.”

Ḥusain bin ‘Alī as memerintahkan ‘Aqabah bin Sam'an untuk

mengambil surat-surat itu supaya diperlihatkan kepada Al Ḥurr. Setelah

melihat surat-surat itu, Al Ḥurr mengatakan: “Aku bukan bagian dari

mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan

untuk menyosong bala tentaramu dan menggiringmu hingga kamu

menyerah di depan ‘Ubaidullah bin Ziyād.”

Kata-kata Al Ḥurr rupanya tak diduga sebelumnya oleh Ḥusain bin

‘Alī as. Kata-kata ini mengundang kegeraman beliau. Beliau

memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda

yang terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda

mereka. Perintah Ḥusain bin ‘Alī as pun mereka laksanakan. Namun begitu

hendak bergerak, jalan rombongan Ḥusain bin ‘Alī as dihadang oleh

pasukan Al Ḥurr.

“Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Al Ḥurr, apa yang kamu

inginkan dari kami?” Seru Ḥusain bin ‘Alī as gusar.

“Engkau menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku

pasti juga mengucapkan kata-kata yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah

wanita yang sangat patut dimuliakan.” Kata Al Ḥurr.122

“Lantas apa maumu?” Tanya Imām lagi.

“Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyād.”

“Aku tidak akan pernah bersamamu.”

“Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu

aku bawa ke Kufah dan aku serahkan kepada Ibnu Ziyād. Wahai Ḥusain,

demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan terbunuh jika kamu

berperang.”

121 Nasikh Attawarikh, p.II/145. Al Futuh, p.V/87. Al Khawarizmi, Maqtalul Ḥusain, p.I/332122 Al Mufid, p.II/80

47

Page 48: BAB I sampai BAB IV

“Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah

urusan kalian akan selesai jika aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian

bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang kesatria apabila kebenaran sudah

diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan

orang-orang yang ṣāliḥ, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan

para pendurhaka.”

Kata-kata Ḥusain bin ‘Alī ra ini mulai menyentuh hati Al Ḥurr. Al

Ḥurr mendekati Ḥusain bin ‘Alī as sambil memerintahkan pasukan bergerak

mengikuti perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara beliau

dan Al Ḥurr hingga ketika sampai di lembah Baiḍah beliau mengatakan:

“Kalau kamu hendak berperang denganku maka aku siap berduel

denganmu.”123

Al Ḥurr menjawab: “Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku

hanya ditugaskan menyerahkan dirimu kepada Dārul Imārah. Jika engkau

tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau kembali ke

Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku.

Kalau tidak, maka aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyād agar dia

menentukan apa yang harus aku lakukan.” Di lembah Baiḍah ini semua

rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-

masing.124

Sampai pada tahap ini Ḥusain bin ‘Alī as masih bersikukuh untuk

meneruskan perjalanan menuju Kufah walaupun sudah beberapa kali

dihimbau untuk tidak melanjutkan perjalanan. Dan Allah Swt lah yang akan

menjawab semua skenario agung-Nya melalui khiṭāb Nubuwah yang telah

masyhūr terlantun dari lisan Nabi-Nya Saw, bahwa Ḥusain bin ‘Alī as akan

menemui ajalnya di Karbala.

2.4.2.Kronologi pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī as di Karbala

2.4.2.1. Ḥusain bin ‘Alī as tiba di Karbala

123 Diskusi antara Ḥusain bin Alī as dengan Al Ḥurr terdapat dalam. Al Khawarizmi, Maqtal Al Ḥusain, p.I/229. Al Majlisi, p.XL/375

124 Abatasya Islamic Website, p.2648

Page 49: BAB I sampai BAB IV

Tentang keberadaan Ḥusain bin ‘Alī as di Karbala diriwayatkan

bahwa ketika beliau tiba di padang ini kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba

berhenti. Kuda itu tidak bergeming dan memaku, kendati beliau sudah

menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri.

Beliau lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama,

kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakinya.

Karena itu, Ḥusain bin ‘Alī as nampak mulai curiga sehingga

bertanya: “Apakah nama daerah ini?”

Orang-orang menjawab: “Qadisiyah.”

“Adakah nama lain?”, tanya Imām lagi.

“Sāti' Al Furat.”

“Selain itu ada nama lain lagi?”

“Karbala...”

Mendengar jawaban terakhir ini Ḥusain bin ‘Alī as segera berucap:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari karb (kegundahan) dan balā’

(malapetaka).”125

Imām lalu berseru kepada para pengikutnya: “Kita berhenti disini,

karena di sinilah akhir perjalanan kita, di sinilah tempat tumpahnya darah

kita, dan di sinilah tempat kita dikebumikan.”126

Ḥusain bin ‘Alī as memerintahkan seluruh rombongan berhenti dan

mendirikan tenda sambil memperjelas keadaan dan keputusan berikutnya

yang akan diambil.127

Sementara itu ‘Ubaidullah bin Ziyād sudah mendapat laporan bahwa

Ḥusain bin ‘Alī as berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada beliau

berisikan desakan agar beliau membai’at Yazīd. ‘Ubaidullah mengancam

Ḥusain bin ‘Alī as pasti akan mati jika tetap menolak memberikan bai’at.

Ḥusain bin ‘Alī as membaca surat itu kemudian melemparkannya

jauh-jauh sambil berkata kepada kurir ‘Ubaidullah, bahwa surat itu tidak

akan dibalas oleh beliau. ‘Ubaidullah murka setelah mendengar laporan

125 Nasikh Attawarikh juz hal.168126 Al Majlisi, p.XLIV/382127 Tim A’lāmul Hidāyah, p.199

49

Page 50: BAB I sampai BAB IV

sang kurir tentang sikap Ḥusain bin ‘Alī ra ini. Dipanggilnya ‘Umar bin

Sa'ad, orang yang sangat mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota

Rey. “Cepat pergi!” Seru ‘Ubaidullah kepada ‘Umar. “Habisi Ḥusain,

setelah itu datanglah kemari lalu pergilah ke Rey untuk menjabat di sana

selama 10 tahun.”128

‘Umar bin Sa'ad meminta waktu satu hari untuk berpikir, dan

‘Ubaidullah pun memberinya kesempatan itu. ‘Umar kemudian berunding

dengan teman-temannya. Dia disarankan supaya tidak menerima tugas

untuk membunuh cucu Rasūl itu. Namun, saran itu tidak meluluhkan

hatinya yang sudah dilumuri ambisi untuk bertahta. Maka, dengan

memimpin 4.000 pasukan dia bergerak menuju Karbala. Begitu tiba di

Karbala, mulai penganiayaan terjadi terhadap Ḥusain bin ‘Alī ra beserta

rombongannya. ‘Umar bin Sa'ad bahkan tak segan-segan mencegah mereka

untuk mendapatkan seteguk air minum.129

Ḥusain bin ‘Alī as dan ‘Umar bin Sa’ad sempat berdiskusi singkat.

Ḥusain bin ‘Alī as menjelaskan sikap beliau dan rombonganya. Ḥusain bin

‘Alī as mengajaknya bergabung. Beliau juga menjelaskan beberapa alasan

menjunjung kebenaran dan kewajiban untuk menghilangkan segala bentuk

keẓāliman dan tindakan destruktif lainnya. Ḥusain bin ‘Alī as pun

memaparkan perubahan sikap para pendukungnya dan janji-janji mereka

yang semula mendukungnya.

Namun ‘Umar bin Sa’ad adalah perlaksana tugas yang baik. Dia

menuruti semua keinginan rezim Bani ‘Umayyah. Oleh karenanya segala

tujuan dan ambisinya adalah melaksanakan perintah ‘Ubaidullah bin Ziyād

untuk memaksa Ḥusain bin ‘Alī as berbai’at kepada Yazīd. ‘Umar bin Sa’ad

mengutarakan hal ini kepada Ḥusain bin ‘Alī as. Hanya ada dua pilihan dari

tawaran berbai’at atau beliau dan seluruh keluarga serta sahabatnya

dibunuh.130

128 Al Irbili, Kasyful Ghummah Fī Ma’rifatil ‘Ā-immah, (Beirūt: Dār Al Ahwā’, 1405 H), p.V/225

129 Sugan Nameh ‘Alī Muḥammad hal.227130 Al Mufid, p.II/85. Al Futuh, V/98. Al Majlisi, p.XL/284 Aṭ Ṭibrisī, Al Faḍl bin Al Ḥasan,

A’lāmul Warī Bi A’lāmil Huda, Taṣḥīḥ dan Ta’līq ‘Alī Al Ghifārī, (Beirūt: Dārul Ma’rifah, 1399 50

Page 51: BAB I sampai BAB IV

2.4.2.2. Malam Asyura

‘Umar bin Sa’ad berangkat pada sore hari kamis tanggal 9 Muharram

–hari Tasyu’a-. Begitu juga Syimr bin Dhul Jausyan. Syimr berdiri di

hadapan para sahabat Ḥusain bin ‘Alī as kemudian bertanya, “Di mana

anak-anak keponakan kami, yaitu anak-anak Imām ‘Alī dari Ummul Banīn,

‘Abbās, Ja’far, ‘Abdullah dan ‘Utsmān.”

Ḥusain bin ‘Alī ra menyeru kepada mereka, ”Jawablah pertanyaanya,

sekalipun dia fasik, karena dia adalah paman kalian.” Mereka dianggap

keponakannya karena Ummul Banin dan Syimr adalah sama-sama dari Bani

Kilab.

Salah satu dari mereka menjawab dengan bertanya, ”Apa yang kamu

inginkan dari kami?”

Syimr menjawab, ”Kalian aku jamin keamanaannya, maka janganlah

kalian celakakan diri kalian dengan bergabung bersama saudara kalian

Ḥusain as, namun nyatakan kepatuhan kalian kepada Yazīd.”

Mereka menjawab dengan tegas, ”Semoga Allah mengutukmu dan

mengutuk pemberi keamananmu. Apakah jiwa kami dalam keadaan aman,

sementara putra Rasūlullah tidak memiliki keamanan atas jiwanya?”

Kedua belah pihak terlibat adu mulut yang sengit hingga akhirnya

Ḥusain bin ‘Alī as memerintahkan ‘Abbās untuk menemui mereka dan

merundingkan hingga esok pagi. ‘Umar bin Sa’ad pun mengabulkan

penundaan hingga besok.131

Pada malam perundingan suasana menjadi damai, Ḥusain bin ‘Alī ra

dan para sahabatnya menghidupkan malamnya dengan ṣalāt, istighfar, dan

do’a. Suara mereka terdengar seperti suara lebah. Di antara mereka ada yang

sujud, rukuk, berdiri, dan duduk. Sembari mendengar Ḥusain bin ‘Alī as dan

rombongannya melakukan ibadah, 33 orang pasukan ‘Umar bin Sa’ad

berlalu lalang menjaga pasukan Ḥusain bin ‘Alī as.132

H), p.I/451. Al Khawarizmi, Maqtalul Ḥusain, p.I/245131 Tim A’lāmul Hidāyah, p.202-203132 Ibid, p.206

51

Page 52: BAB I sampai BAB IV

2.4.2.3. Hari Asyura dan peringatan Ḥusain bin ‘Alī as terhadap

pasukan Kufah

Malam perdamaian telah berlalu dan kini terbitlah hari yang

menakutkan. Hari Asyura. Hari kesyahīdan Ḥusain bin ‘Alī as dan para

Ahlul Baitnya. Ḥusain bin ‘Alī ra dihadapkan pada jumlah yang tak

seimbang.

Pasukan Yazīd yang dipimpin ‘Umar bin Sa’ad semakin mendekat

dan mengepung Ḥusain bin ‘Alī as dan rombongannya. Ḥusain bin ‘Alī as

mengetahui tekad mereka untuk membunuh beliau jika tidak membai’at

Yazīd.

Kemudian beliau memperingati pasukan Kufah dengan berkhutbah

sebagai berikut:

Amma Ba’du.

“Lihatlah siapa diriku, telusurilah garis keturunanku kemudian lihatlah

siapa diri kalian. Apakah layak bagi kalian membunuhku dan menginjak-

injak kehormatanku. Bukankah aku putra dari putri Nabi kalian. Bukankah

aku putra penerima wasiat Nabi kalian. Bukankah aku putra dari anak

pamannya yang pertama kali mengimaninya. Bukankah Hamzah pemimpin

para syuhada itu adalah pamanku. Bukankah Ja’far Aṭ Ṭayyar yang terbang

ke jannah dengan dua sayapnya adalah pamanku. Bukankah kalian pernah

mendengar Nabi bersabda tentang aku dan saudaraku sebagai penghulu

pemuda Jannah. Jika kalian mempercayaiku dan itu adalah kebenaran, demi

Allah aku tidak pernah berbohong sejak aku tahu bahwa Allah membenci

para pembohong. Jika kalian tidak mempercayaiku, maka ada orang-orang

yang kalian bisa bertanya kepadanya, seperti Jabir bin ‘Abdullah Al Anṣārī,

Abū Sa’īd Al Khudrī, Sahl bin Sa’ad As Sā’idī, Zaid bin Arqam dan Anas

bin Mālik, pasti mereka akan memberi kesaksian bahwa mereka pernah

mendengar sabda itu dari Rasūlullah Saw tentang diriku dan saudaraku.

Apakah hal itu tidak mampu menggagalkan niat kalian untuk membunuhku.

Jika kalian ragukan bahwa aku adalah putra dari putri Nabi kalian. Demi

52

Page 53: BAB I sampai BAB IV

Allah saat ini tidak ada di dunia ini dari barat hingga timur selain diriku dan

putra dari putri Nabi kalian.

‘Celakalah kalian. Apakah kalian membunuhku karena menuntut balas

pembunuhan yang kulakukan atas seorang dari kalian. Ataukah karena uang

yang aku rampas. Ataukah karena menegakan hukum qiṣaṣ.”133

Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Kemudian beliau

melanjutkan:

“Wahai Syabt bin Rub’i. Wahai Hajjar bin Abjur. Wahai Qais bin

Asy’ats. Wahai Yazīd bin Ḥarits. Bukankah kalian telah mengirim surat

kepadaku. Qais bin Asy’ats menjawab.”Aku tidak memahami apa yang

engkau katakan. Terimalah tawaran untuk ikut di bawah kepemimpinan

Yazīd.”

Ḥusain bin ‘Alī as berkata: “Demi Allah aku tidak akan menyerahkan

tanganku dengan hina. Aku tidak akan mengakui sebagaimana pengakuan

seorang budak. Wahai hamba-hamba Allah, aku berlindung kepada tuhanku

dan tuhan kalian agar kalian tidak merajamku. Aku berlindung kepada

tuhanku dan tuhan kalian dari setiap orang yang sombong yang tidak

meyakini hari perhitungan.”134

Mereka tidak terpengaruh sedikitpun dan tetap memegang pendirian

semula. Mereka hanya menginginkan perang tenggelam dalam kebatilan

mereka. Mereka menjawab ajakan Ḥusain bin ‘Alī as seperti kaum Madyan

menjawab seruan Nabi mereka, seperti yang Allah abadikan di dalam Al

Qur’an: “Kami tidak banyak memahami apa yang engkau katakan, kami

melihatmu sebagai orang yang lemah”135

2.4.2.4. Al Ḥurr bergabung dalam barisan Ḥusain bin ‘Alī as

Dari sekian banyak pasukan ‘Umar bin Sa’ad, hanya Al Ḥurr bin

Yazīd Ar Riyahi beberapa orang yang terpengaruh ucapan Ḥusain bin ‘Alī

as. Dia menyesali apa yang pernah dilakukannya kepada Ḥusain bin ‘Alī as.

133 Tim A’lāmul Hidāyah, p.209-210134 Tim A’lāmul Hidāyah, p.211135 Qs. Hud: 91

53

Page 54: BAB I sampai BAB IV

Dia menarik pelana kudanya keluar dari barisan dan mendekati pasukan

Ḥusain bin ‘Alī as. Kemudian kembali lagi ke barisannya semula. Dia

dicekam kekalutan dan kebingungan, dia berkata, “Demi Allah Swt aku

sedang menimbang-nimbang diriku antara jannah dan neraka, antara dunia

dan akhirat. Semestinya tidak ada jalan lain bagi seorang yang berakal

kecuali memilih jannah dan akhirat.” Akhirnya dia menghentak kudanya

untuk bergabung ke pasukan Ḥusain bin ‘Alī as.

Al Ḥurr kemudian berbicara lagi, ”Demi Allah Swt aku tidak

menganggap taubatku sudah diterima kecuali dengan berperang bersamamu

dan terbunuh demi menyelamatkan jiwamu wahai putra Rasūlullah Saw.”

Setelah itu ia berkhutbah di hadapan pasukan ‘Umar bin Sa’ad

mengingatkan mereka akan surat yang mereka tulis dan undangan mereka

serta menasehati mereka agar tidak memerangi Ḥusain bin ‘Alī as. Lalu dia

maju ke medan laga dan bertempur dengan pasukan musuh hingga akhirnya

diserbu dan gugur sebagai syahīd.136

2.4.2.5. Peperangan dimulai dan kesyahīdan Ḥusain bin ‘Alī as

Sebelum peperangan benar-benar pecah. Ḥusain bin ‘Alī as sempat

mengingatkan kembali kepada pasukan Kufah dan menuntut undangan yang

telah mereka khianati.137

Namun peperangan sudah tidak mungkin terelakan dan kedua pasukan

yang tidak seimbang itu pun saling menyerang dan terus berkecamuk

sehingga pengikut Ḥusain bin ‘Alī as gugur satu demi satu begitu juga dari

pasukan ‘Umar bin Sa’ad. Sampai pada suatu keadaan dimana Ḥusain bin

‘Alī as harus berjuang seorang diri. Tak ada lagi yang dapat membantunya.

Beliau menyeru, “Adakah yang siap menjunjung kehormatan Rasūllulah

Saw?” ‘Alī Zainal ‘Abidīn yang sedang sakit tidak mengikuti perang hendak

keluar dari kemah. Kondisinya yang lemah menyebabkan beliau terhuyung

tak mampu membawa pedang. Ia ingin membantu Ḥusain bin ‘Alī as,

136 Al Mufid, p.II/99. Al Futuh, p.V/113. Al Majlisi, p.V/15137 Tim A’lāmul Hidāyah, p.213-214

54

Page 55: BAB I sampai BAB IV

namun dilarang oleh beliau dan memerintah Ummu Kultsum untuk

menyelamatkannya.138

Ahli sejarah mencatat bahwa ketika Ḥusain bin ‘Alī as kembali ke

kemahnya, Syimr bin Dhul Jausyan menghampirinya bersama

segerombolan eksekutor lainya. Mereka mengepung Ḥusain bin ‘Alī as.

Mālik bin Naṣr Al Kindi maju menyerang beliau. Mengarahkan pedangnya

kearah kepala Ḥusain bin ‘Alī as hingga kepala beliau berlumuran darah.

Syimr bin Dhul Jausyan memerintah tentara berkuda dan pejalan kaki

mengepung beliau. Pasukan panah diperintah memanahnya dari segala

penjuru.

Sekali dilepas ratusan anak panah melesat. Anak panah-anak panah itu

menancap ke tubuh suci Ḥusain bin ‘Alī as hingga tubuh beliau seperti

seekor landak. Dalam kondisi demikian, Syimr mendekatinya.

Saat itu Zainab keluar dari kemah dan berteriak memanggil ‘Umar bin

Sa’ad. ”Celaka engkau wahai ‘Umar. Apakah Abū ‘Abdillah dibunuh,

sedangkan engkau duduk menontonnya?” ‘Umar diam seribu bahasa.

Kemudian Zainab berteriak lagi, ”Adakah seorang Muslim di antara

kalian?” tak seorang pun menjawab.139 Sampai pada titik ini ‘Umar bin

Sa’ad dan sebagian pasukan lainya tak berkutik mereka hanya bisa terdiam

membisu tak bergeming sedikitpun. Sungguh pemandangan yang sangat

memilukan.

Syimr berteriak dan memanggil pasukan pejalan kaki, ”Celakalah

kalian, mengapa kalian hanya menonton? Binasalah kalian, seranglah orang

ini dari segala penjuru.”

Zurah bin Syarīk memukul beliau dari belakang tepat mengenai

pundak kiri beliau hingga patah. Seorang lagi memukul lehernya. Sinan bin

Anas menusuk tubuh Ḥusain bin ‘Alī as. Saat itulah tubuh beliau yang

disanggah anak-anak panah menancap tersungkur ke bumi. Khuli bergegas

mendekati beliau untuk merenggut kepala Ḥusain bin ‘Alī as. Namun tiba-

138 Ibid, p.220-221139 Tim A’lāmul Hidāyah, p.223

55

Page 56: BAB I sampai BAB IV

tiba tangannya gemetar tak kuasa melakukannya. Syimr bin Dhul Jausyan

berteriak, ”Semoga Allah melumpuhkan tanganmu, mengapa tanganmu

gemetar demikian?”

Kemudian Syimr yang sedari tadi melihat turun dari kudanya dan

menyembelih leher Ḥusain bin ‘Alī as. Dengan demikian nyawa Ḥusain

telah direnggut melalui Syimr bin Dhul Jausyan.140

Hari itu langit menjadi lusuh, suasana menjadi gelap. Hanya garis

merah memanjang di langit tampak menakutkan. Inilah peringatan Allah

atas orang-orang yang menumpahkan darah-darah suci dan menginjak-injak

seluruh kehormatan Allah Swt.141

2.4.3.Sikap Syī’ah terhadap pembunuh Ḥusain bin ‘Alī as

Syī’ah mengatakan Ḥusain bin ‘Alī as adalah Imām yang wajib ditaati;

tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya, tidak

boleh melakukan ṣalāt jamā’ah kecuali di belakangnya atau orang yang

ditunjuknya, baik ṣalāt lima waktu ataupun ṣalāt Jum'at dan tidak boleh

berjihad melawan musuh kecuali dengan izinnya dan lain sebagainya.142

Kaum Syī’ah juga menyikapi hari pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī as

sebagai perayaan yang dirayakan setiap tahunnya. Dalam perayaan tersebut

kaum Syī’ah melakukan ritual memukul diri, meratap, menangisi kepergian

Ḥusain bin ‘Alī as. Di dalam ritual itu juga diadakan ceramah mengenang

tragedi Karbala. Sekaligus melaknat dan mencaci orang-orang yang tertuduh

paling bertanggung jawab atas kematian cucu Nabi Saw, tak terkecuali Yazīd

bin Mu’āwiyah.143

Ritual penyiksaan diri pada hari 'Asyura di Karbala dimulai pada abad

ke-4 Hijriyah pada masa dinasti Al Buwaih. Kemudian berlanjut pada masa

dinasti Al Fāṭimiyah. Acara tersebut sekarang ini diselenggarakan di negara-

negara berpenduduk mayoritas Syī’ah. Seperti Iran, Irak, India, Syria, dll.144

140 Al Mufid, p.II/99. Al Futuh, p.V/113. Al Majlisi, p.V/15141 Al Irbili, p.II/9; Aṭ Ṭibrisī, p.I/429142 Al Khamīs, p.259143 Al Iniqal Al Sha’ab Fil Madhhab Wal Mu’taqad, p.368-369144 Lihat Man Qatalal Ḥusain, hal: 60

56

Page 57: BAB I sampai BAB IV

Ad Dimastāni menegaskan: “Meratapi kematian Ḥusain dengan

berteriak-teriak hukumnya wajib ‘aini (wajib atas setiap pribadi).”145

Ayatullah Al 'Uẓma Syaikh Muḥammad Ḥusain An Nāti berkata,

“Tidak ada masalah tentang hukum bolehnya memukul pipi dan dada dengan

tangan sampai merah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi, memukul

pundak dan punggung dengan rantai sampai kulit kemerahan dan gosong.

Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu menyebabkan keluarnya darah.

Begitu pula mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan

pedang.”146

Ja’far bin Muḥammad bin Qulawaih Qummi, salah satu tokoh paling

diagungkan dalam sekte Syī’ah, dalam kitābnya Kāmiluz Ziyārāt

meriwayatkan:

�ارك الله السالم( قال: خلق )عليه جعفر أبي عن��الى تب� وتع

�ل كربالء أرض��ق أن قب��ة يخل��ة الكعب��رين بأربع��ف وعش��ام، أل� ع

�ل زالت فما عليها، وبارك وقد�سها��ق قب��ه خل��ق الل��ة الخل� مقد�س

الجنة في أرض أفضل الله يجعلها حتى كذلك تزال وال مباركة،

Dari Abū Ja’far Alaihissalam dia berkata: “Allah telah menciptakan

tanah Karbala 24 ribu tahun sebelum Allah menciptakan Ka’bah, Dan Allah

telah menyucikan dan memberkatinya. Tanah Karbala tersebut sudah dalam

keadaan suci dan berkah semenjak makhluk Allah (yang lain) belum tercipta,

dan akan senantiasa demikian sampai Allah menjadikannya tanah yang paling

utama di surga.”147

�ه كتب عيد يوم غير في بحقjه عارف4ا الحسين قبر أتى من� الل

�برورات عمرة وعشرين حجjة عشرين له��والت.. ومن م��اه مقب� أت

145 Lihat Man Qatalal Ḥusain, hal: 60146 Lihat Man Qatalal Ḥusain, hal: 60147Ibnu Qūlawaih, Ja’far bin Muḥammad, Kāmiluz Ziyārāt, (Najf: Al Maṭba’ah Al

Murtaḍawiyah, 1356 H), no. 280 dan 28457

Page 58: BAB I sampai BAB IV

�رة.. ومن ومائة حجjة مائة له الله كتب عيد يوم في��اه عم��وم أت� ي

�ف حجjة ألف له الله كتب بحقjه عارف4ا عرفة��رة وأل��برورات عم� م

jالت، عادل إمام أو مرسل نبي مع غزوة وألف متقب

“Barangsiapa mendatangi kuburan Husein (Karbala) pada selain hari

‘Ied disertai pengakuan akan haknya, maka Allah mencatat untuknya 20 kali

haji dan 20 kali umrah yang mabrur dan maqbul (diterima). Barangsiapa

mendatanginya di hari ‘Ied, maka Allah mencatat 100 kali haji dan 100 kali

umrah untuknya. Dan barangsiapa mendatangi kuburan Ḥusein di Hari

‘Arafah disertai pengakuan akan haknya, maka Allah mencatat untuknya

1000 kali haji dan 1000 kali umrah yang mabrur dan maqbul, plus pahala

1000 kali berperang bersama Nabi utusan atau Imām yang adil.”148

jي ل�و الحجj ل�تركتم ق�بره وبفض�ل زيارت�ه بفض�ل ح�دjثتكم أن

ا jخ�ذ الل�ه أنj علمت أم�ا ويح�ك أح�د، منكم حجj وما رأس4 ك�ربالء ات

4ا حرم4ا 4ا آمن jخذ أن قبل مبارك jة يت حرم4ا؟ مك

“Andaikata aku bertutur tentang keutamaan ziarah ke makam (Husein

bin ‘Alī) dan keistimewaan makamnya, niscaya kalian akan meninggalkan

Haji, dan tidak akan ada satu pun di antara kalian akan menunaikan Haji.

Celaka engkau, tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah telah menjadikan

Karbala sebagai tanah haram yang aman dan berkah, jauh sebelum Allah

menjadikan Makkah sebagai tanah haram?”149

jدأ الله إن��jظر يب �الن��بر زوjار إلى ب��ين ق�jة علي بن الحس �ي� عش

�ك؟( الراوي: وكيف )قال الموقف"، أهل إلى نظره قبل عرفة� ذل

�ك في -: ألنj يزعمون - كما الله عبد أبو قال��ا أوالد أولئ� وليس زن

زنا أوالد هؤالء في

148 Al Kulaini, Furu’ Al Kāfi: 1/324, Ibnu Qūlawaih, p.169. Nukilan dari Nashir ‘Alī Al Qofāri, Uṣul Maẓhab Asy Syī’ah. (Tanpa Penerbit: 1414 H), p.2/460

149 Al Majlisi, 33/101, Ibnu Qūlawaih, p.26658

Page 59: BAB I sampai BAB IV

Imām Ja’far mengatakan: “Sesungguhnya Allah lebih dulu melihat para

peziarah kuburan Ḥusain bin ‘Alī di malam Arafah sebelum Dia melihat

orang-orang yang wukuf di Arafah. (Seorang perawi berkata: ‘Bagaimana

bisa begitu?’), Abū ‘Abdillah (Ja’far) berkata—sebagaimana klaim Syī’ah—:

“Karena pada orang-orang yang wukuf di ‘Arafah itu, ada anak-anak zina,

sedangkan para peziarah kuburan Ḥusain (di hari Arafah) tidak ada satu pun

anak hasil zina.”150

2.5. Pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra menurut perspektif Ahlus Sunnah

2.5.1.Latar belakang peristiwa

2.5.1.1. Pengangkatan Yazīd bin Mu’āwiyah dan penolakan Ḥusain bin

‘Alī ra membai’atnya

Pembahasan mengenai latar belakang peristiwa pembunuhan Ḥusain

bin ‘Alī ra bermula saat pembai’atan Yazīd dan penolakan Ḥusain bin ‘Alī

ra untuk membai’atnya, serta keluarnya Ḥusain bin ‘Alī ra dari Makkah

menuju Kufah151.

Ibnu Katsīr menjelaskan dalam kitāb Al Bidāyah Wa An Nihāyah

bahwa ketika Yazīd dibai’at menjadi Khalīfah pada tahun 60 H. Umurnya

ketika itu 34 tahun. Namun Ḥusain bin ‘Alī ra dan ‘Abdullah bin Zubaīr ra

belum membai’atnya, padahal keduanya berada di Madinah. Ketika

keduanya diminta membai’at Yazīd, ‘Abdullah bin Zubaīr ra berkata pada

para utusan Yazīd, “Aku akan pikirkan malam ini, kemudian aku akan

beritahukan pendapatku. Mereka berkata, “Baiklah kalau begitu.” Ketika

malam sudah tiba, dia keluar dari Madinah dan lari menuju Makkah. Dia

urung membai’at Yazīd152.

Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra dihadapkan kepada utusan Yazīd dan

dikatakan padanya, “Lakukanlah bai’at secara sembunyi-sembunyi, tapi aku

akan membai’at secara terang-terangan di depan orang-orang.” Mereka

150 Al Kāsyāni, Al Faidh, Al Wāfi, (Asfan-Iran: Maktabah Alī bin Abī Ṭālib, 1406 H), p.8/222 151 Lihat Ibnu Katsīr, pada peristiwa-peristiwa tahun 60 H, p.VIII/161152 Ibid, pada peristiwa-peristiwa tahun 60 H, p.VIII/161

59

Page 60: BAB I sampai BAB IV

berkata: “Baiklah kalau begitu.” Ketika malam telah tiba, dia pun keluar

dari Madinah untuk menyusul ‘Abdullah bin Zubaīr ra153.

2.5.1.2. Penduduk Irak mengirimkan surat kepada Ḥusain bin ‘Alī ra

Berita tentang Ḥusain bin ‘Alī ra yang tidak membai’at Yazīd bin

Mu’āwiyah ra rupanya telah terdengar oleh penduduk Irak. Mereka tidak

menyukai Yazīd bin Mu’āwiyah, bahkan mereka tidak menyukai

Mu’āwiyah. Mereka hanya menginginkan ‘Alī dan anak-anaknya.

Kemudian penduduk Kufah mengirimkan surat-surat kepada Ḥusain bin

‘Alī ra. Di dalam surat-surat itu, mereka semua mengatakan: “Kami telah

membai’atmu. Kami tidak sudi orang selainmu. Kami tidak membai’at

Yazīd, tetapi hanya membai’atmu.” Surat-surat semakin banyak

berdatangan kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, hingga mencapai lebih dari 500

pucuk surat. Semuanya datang dari penduduk Kufah, mengajaknya untuk

datang ke tempat mereka.154

2.5.1.3. Ḥusain bin ‘Alī ra mengirim Muslim bin ‘Aqīl

Ḥusain bin ‘Alī ra mengirimkan sepupunya, Muslim bin ‘Aqīl bin

Abī Ṭālib ra untuk mempelajari dan mengetahui lebih jauh keadaan yang

sebenarnya di sana, serta melihatnya dari dekat. Setelah tiba di Kufah,

Muslim bin ‘Aqīl mencari informasi sampai dia mengetahui bahwa

masyarakat memang menolak Yazīd bin Mu’āwiyah ra. Mereka hanya

menginginkan Ḥusain bin ‘Alī ra. Muslim tinggal di rumah Hani’ bin

‘Urwah. Lantas orang-orang datang berbondong-bondong untuk membai’at

Muslim bin ‘Aqīl atas nama Ḥusain bin ‘Alī ra 155.

An Nu’mān bin Basyīr ketika itu menjadi gubernur Yazīd bin

Mu’āwiyah ra untuk daerah Kufah. Saat mendengar berita bahwa Muslim

bin ‘Aqīl berada di Kufah dan penduduk mendatanginya dan membai’atnya

atas nama Ḥusain bin ‘Alī ra, An Nu’man pura-pura tidak tahu dan tidak

153 Ibid, pada peristiwa-peristiwa tahun 60 H, p.VIII/161154 Al Khamīs, p.229155 Aṭ Ṭabarī, p.III/318

60

Page 61: BAB I sampai BAB IV

terlalu peduli dengan masalah ini. Namun beberapa orang bawahan An

Nu’man datang menemui Yazīd di Syām dan mengabarinya tentang apa

yang terjadi. Mereka menceritakan bahwa Muslim telah dibai’at oleh orang-

orang, sementara An Nu’mān bin Basyīr tidak terlalu memperhatikan

masalah ini156.

2.5.1.4. Pengangkatan ‘Ubaidullah bin Ziyād menjadi Gubernur

Kufah

Mendengar laporan para bawahan An Nu’man, Yazīd memerintahkan

supaya An Nu’man dicopot dari jabatannya, dan mengirim ‘Ubaidullah bin

Ziyād sebagai penggantinya menjadi gubernur Kufah. Ketika itu,

‘Ubaidullah adalah gubernur Baṣrah. ‘Ubaidullah diserahi mandat untuk

menangani Kufah dan Baṣrah sekaligus157.

‘Ubaidullah tiba di Kufah pada malam hari dengan memakai cadar.

Ketika dia lewat di depan orang-orang, dia memberi salam kepada mereka,

dan mereka pun menjawab seraya mengatakan : “Wa alaikumus salam,

wahai putra anak perempuan Rasūlullah Saw.” Mereka menyangka bahwa

itu adalah Ḥusain bin ‘Alī ra yang telah tiba pada malam hari secara

sembunyi-sembunyi sambil mengenakan cadar158.

Melihat hal tersebut ‘Ubaidullah sadar bahwa masalah ini memang

sudah serius. Masyarakat sedang menunggu kedatangan Ḥusain bin ‘Alī ra.

Seketika itu juga dia masuk ke istana dan mengirimkan bekas budaknya

yang bernama Ma’qil untuk mempelajari lebih jauh keadaan yang tengah

terjadi, dan mencari tahu siapa otak yang mengatur masalah ini159.

Ma’qil kemudian pergi dengan menyamar sebagai seorang yang

datang dari Hims dengan membawa 3 ribu dinar untuk membantu Ḥusain

bin ‘Alī ra. Dia bertanya kepada orang-orang dan akhirnya dia ditunjukan

rumah Hani’ bin ‘Urwah. Dia pun masuk dan bertemu dengan Muslim bin

156 Al Khamīs, Op.cit., p.230157 Al Khamīs, p.231158 Ibid, p.231159 Ibid, p.232

61

Page 62: BAB I sampai BAB IV

‘Aqīl, kemudian membai’at dan memberikan dana sebesar 3 ribu dinar.

Sejak itu, dia rutin datang ke sana selama beberapa hari, sampai dia tahu

keadaan mereka. Setelah itu, ia kembali ke tempat ‘Ubaidullah bin Ziyād

untuk memberi informasi yang ia dapat160.

2.5.1.5. Keluarnya Ḥusain bin ‘Alī ra menuju Kufah

Setelah keadaan kondusif dan banyak orang yang sudah membai’at

Muslim bin ‘Aqīl, Muslim mengirimkan surat kepada Ḥusain bin ‘Alī ra

supaya dia datang ke Kufah karena segala sesuatunya sudah siap. Maka

Ḥusain bin ‘Alī ra pun keluar dari Makkah pada hari Tarwiyah161.

Sementara itu ‘Ubaidullah sudah mengetahui apa yang dilakukan oleh

Muslim bin ‘Aqīl. Ia lantas berkata, “Bawa Hani’ bin ‘Urwah ke

hadapanku!” Tidak lama kemudian Hani’ bin ‘Urwah pun didatangkan ke

hadapannya. Ia kemudian mengintrograsinya: “Dimana Muslim bin ‘Aqīl?”

Hani’ menjawab: “Aku tidak tahu.”

‘Ubaidullah kemudian memanggil Ma’qil, menyuruhnya masuk dan

bertanya kepada Hani’, “Kenalkah engkau dengan orang ini?” Hani’

menjawab, “Ya.” Ia pun terkejut dan baru tahu bahwa itu hanyalah siasat

‘Ubaidullah bin Ziyād belaka. ‘Ubaidullah kemudian bertanya lagi

kepadanya, “Di mana Muslim bin ‘Aqīl?” Dia Menjawab, “Demi Allah swt,

seandainya dia berada di bawah telapak kakiku ini, niscaya aku tidak akan

pernah mengangkatnya.” ‘Ubaidullah lantas memukulnya dan

memerintahkannya supaya dia dipenjara.

2.5.1.6. Pengkhianatan Orang-orang Kufah terhadap Muslim bin ‘Aqīl

Kabar dipenjaranya Hani’ akhirnya terdengar oleh Muslim bin ‘Aqīl.

Ia kemudian keluar bersama 4.000 orang dan mengepung istana

‘Ubaidullah. Para peduduk Kufah juga ikut serta dalam pengepungan itu.

Ketika itu, ‘Ubaidullah sudah bersama dengan para tokoh masyarakat. Ia

160 Ibid p.232161 Al Mufid, p.422

62

Page 63: BAB I sampai BAB IV

berkata kepada mereka, “Perintahkan orang-orang untuk meninggalkan

Muslim bin ‘Aqīl.” Ia juga menjanjikan imbalan-imbalan kepada mereka

dan menakut-nakuti mereka dengan datangnya tentara Syām.

Maka mulailah para pemuka masyarakat memerintahkan supaya

Muslim bin ‘Aqīl ditinggalkan. Para ibu berdatangan dan meminta agar

anaknya kembali, seseorang datang minta saudaranya pulang, memimpin

suku datang dan melarang orang-orang mendekati Muslim bin ‘Aqīl, sampai

yang tersisa dari 4.000 itu hanya 30 orang saja162.

Bahkan ketika menjelang malam yang tersisa hanya Muslim bin ‘Aqīl

saja. Mereka semua telah pergi. Muslim ditinggalkan sendiri, berjalan

menyusuri jalanan Kufah, tidak tahu ke mana tujuannya. Ia kemudian

mengetuk pintu rumah seorang perempuan dari Kindah dan berkata

kepadanya, “Tolong, aku minta air.” Perempuan itu merasa tidak

mengenalnya, lalu dia pun bertanya: “Siapa anda?” Muslim menjawab:

“Aku Muslim bin ‘Aqīl.” Lalu, dia pun menceritakan apa yang telah terjadi

tentang orang-orang yang telah meninggalkanya, sementara Ḥusain bin ‘Alī

ra akan segera datang, karena dia telah mengirim surat kepadanya supaya

datang. Akhirnya, perempuan itu memasukannya ke sebuah rumah di

sampingya, serta membawakannya air dan makanan.

Akan tetapi anak dari perempuan itu bergegas mengabari ‘Ubaidullah

bin Ziyād tentang keberadaan Muslim bin ‘Aqīl. Maka ‘Ubaidullah

mengirim 70 orang untuk mengepungnya. Muslim melawan mereka, tapi

akhirnya ia menyerah ketika mereka menjamin keamanan untuk dirinya. Ia

kemudian digelandang ke istana gubernur, tempat ‘Ubaidullah bin Ziyād

berada. Setelah Muslim masuk, ‘Ubaidullah bertanya, “Apa yang

menyebabkan dirimu melakukan kudeta ini?” Muslim menjawab, “Karena

kami telah memberikan bai’at kami kepada Ḥusain bin ‘Alī ra. ”‘Ubaidullah

berkata, “Bukankah kalian telah membai’at Yazīd?” ‘Ubaidullah juga

berkata, “Aku akan membunuhmu.” Muslim berkata, “Izinkan aku

berwasiat.” ‘Ubaidullah berkata, “Silahkan anda berwasiat.”

162 Al Khamīs, p.23263

Page 64: BAB I sampai BAB IV

Muslim menoleh kemudian melihat ‘Umar bin Sa’ad bin Abī

Waqqash, lantas berkata padanya, “Engkau orang yang paling dekat

hubungan keluarganya deganku. Kemarilah aku ingin berwasiat kepadamu.”

Muslim kemudian membawanya ke samping rumah dan berpesan

kepadanya supaya mengirimkan seseorang untuk menemui Ḥusain bin ‘Alī

ra dan memintanya agar kembali ke Madinah. ‘Umar pun mengirimkan

seseorang untuk mengabari Ḥusain bin ‘Alī ra bahwa masalah ini sudah

selesai, dan penduduk Kufah telah menipunya.

Muslim mengucapkan kalimat yang populer, “Bawalah keluargamu

pulang, dan janganlah engkau tertipu dengan penduduk Kufah. Karena

penduduk Kufah telah membohongimu dan juga membohongiku.

Sementara, pendapat seorang pembohong tidak dapat diterima.”

Muslim bin ‘Aqīl terbunuh pada hari ‘Arafah. Sementara Ḥusain bin

‘Alī ra keluar dari Makkah pada hari Tarwiyah, sehari sebelum terbunuhnya

Muslim bin ‘Aqīl.

2.5.1.7. Desakan para Sahabat agar Ḥusain bin ‘Alī ra tidak ke Kufah

Sebenarya para sahabat banyak yang berusaha melarang Ḥusain bin

‘Alī ra datang ke Kufah, di antaranya: ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin

‘Abbās, ‘Abdulah bin Amr bin Al ‘Aṣ, Abū Sa’īd Al Khudri, ‘Abdullah bin

Az Zaubair ra dan saudara-saudara Ḥusain bin ‘Alī ra sendiri, Muḥammad

bin Al Ḥanafiyyah. Ketika mereka mengetahui bahwa Ḥusain ingin pergi ke

Kufah, mereka sontak mencegahnya.163

Berikut adalah perkataan-perkataan sebagian dari para Sahabat

tersebut:

Pertama, ‘Abdullah bin ‘Abbās ra.

Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra hendak keluar, ‘Abdullah bin ‘Abbās

berkata, “Seandainya bukan karena khawatir orang-orang tidak menghinaku

163 Al Khamīs, p.23464

Page 65: BAB I sampai BAB IV

dan menghinamu, niscaya aku akan pengang kepalamu erat-erat supaya

engkau tidak bisa pergi”164

Kedua, Ibnu ‘Umar.

Asy Sya’bi menuturkan bahwasannya Ibnu ‘Umar ra tengah berada di

Makkah ketika mendengar berita perginya Ḥusain bin ‘Alī ra ke Irak.

Kemudian dia menyusulnya dengan menempuh perjalanan selama 3 hari.

Setelah bertemu ia bertanya, “Engkau hendak kemana?” Ḥusain bin ‘Alī ra

menjawab, “Ke Irak.” Ia mengatakan itu seraya mengeluarkan surat-surat

yang dikirim dari Irak, yang menyebutkan dukungan penduduk Irak

terhadap dirinya. Ia berkata, “Ini surat-surat dan bai’at mereka.”165

Ibnu ‘Umar ra berkata, “Engkau jangan pergi ke tempat mereka.”

Namun Ḥusain bin ‘Alī ra enggan kembali, dan tetap bersikukuh

melanjutkan perjalanan.

Maka, Ibnu ‘Umar ra berkata: “Aku ingin memberitahumu sebuah

ḥadīts; suatu ketika Jibril datang kepada Nabi Saw dan meyuruhnya untuk

memilih antara dunia atau akhirat. Maka, beliau memilih akhirat dan enggan

terhadap dunia. Engkau ini adalah darah daging beliau. Demi Allah swt,

janganlah seorang pun dari kalian memegang jabatan kepemimpinan lagi.

Tidaklah Allah swt memalingkan jabatan kepemimpinan itu dari kalian

kecuali Dia menginginkan yang terbaik bagi kalian.” Tetapi Ḥusain bin ‘Alī

ra tetap enggan mengurungkan niatnya. Melihat hal itu, Ibnu ‘Umar ra

kemudian memeluknya seraya menangis dan berkata, “Semoga Allah swt

melindungi dirimu dari pembunuhan.”166

Ketiga, ‘Abdullah bin Zubaīr ra

Ia bertanya kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, “Engkau ingin pergi ke mana?

Apakah engkau ingin pergi ke tempat kaum yang telah membunuh ayah dan

saudaramu? Janganlah engkau pergi.”167 Akan tetapi Ḥusain bin ‘Alī ra

enggan kembali dan tetap ingin pergi.

164 Ibnu Katsīr, p.VIII/161165 Ibnu Katsīr, p.VIII/162166 Ibid, p.VIII/162167 Ibid, p.VIII/163

65

Page 66: BAB I sampai BAB IV

Keempat, Abū Sa’id Al Khudri ra

Ia berkata, “Wahai Abū ‘Abdullah, aku ingin menasehatimu dan aku

benar-benar menyayangi kalian. Aku sudah mendengar kabar bahwa

kelompok pengikutmu di Kufah telah menyuratimu dan mengajakmu untuk

pergi ke tempat mereka. Padahal aku telah mendengar ayahmu berkata

tentang mereka, “Demi Allah swt, aku telah bosan dan marah kepada

mereka. Mereka pun telah bosan dan marah kepadaku. Mereka sama sekali

tidak pernah menepati janji. Siapa saja yang mendapat dukungan mereka,

maka dia telah mendapat anak panah yang tumpul. Demi Allah swt, mereka

sama sekali tidak mempunyai niat dan tekad untuk membela suatu urusan.

Mereka juga sama sekali tidak mempunyai kesabaran dalam peperangan.168

Selain para sahabat, ada juga orang yang menasehati Ḥusain bin ‘Alī

ra untuk tidak pergi. Di antaranya adalah sang penyair Farazdak. Ketika

Ḥusain bin ‘Alī ra keluar dan bertemu Farazdak, Ḥusain bin ‘Alī ra bertanya

kepadanya, “Engkau dari mana?” Farazdak menjawab, “Dari Irak.” Ḥusain

bin ‘Alī ra bertanya, “Bagaimana keadaan penduduk Irak?” Farazdak

menjawab, “Hati-hati mereka memihakmu, tetapi pedang-pedang mereka

memihak Bani ‘Umayyah.” Tetapi meski begitu Ḥusain bin ‘Alī ra tetap

bersikeras dan berkata, “Hanya Allah swt tempat meminta pertolongan.”169

2.5.1.8. Ḥusain bin ‘Alī ra sampai di Qadisiyah

Kabar tentang penangkapan dan pembunuhan Muslim bin ‘Aqīl ra

akhirnya sampai kepada Ḥusain bin ‘Alī ra melalui utusan yang dikirim oleh

‘Umar bin Sa’ad ra. Setelah itu Ḥusain bin ‘Alī ra berniat untuk kembali.

Maka Ḥusain bin ‘Alī ra meminta pendapat anak-anak Muslim bin ‘Aqīl.

Mereka pun berkata, “Tidak, demi Allah kami tidak akan kembali sampai

kami menuntut balas atas kematian ayah kami. ”Ḥusain bin ‘Alī ra pun

setuju dengan pendapat mereka.

168 Ibnu Katsīr, p.VIII/163169 Ibid, p.VIII/168

66

Page 67: BAB I sampai BAB IV

Setelah ‘Ubaidullah mengetahui kabar kepergian Ḥusain bin ‘Alī ra ke

Kufah, dia memerintahkan Al Ḥurr bin Yazīd At Tamimī untuk bergerak

dari Kufah disertai 1.000 pasukan pertama untuk menyongsong kedatangan

Ḥusain bin ‘Alī ra di tengah perjalanan. Akhirnya dia pun bertemu Ḥusain

bin ‘Alī ra di sebuah tempat dekat Qadisiyah170.

Al Ḥurr berkata kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, “Anda ingin ke mana

wahai putra dari anak perempuan Rasūlullah Saw?” Ḥusain bin ‘Alī ra

menjawab, “Ingin ke Irak.”

Al Ḥurr berujar, “Aku perintahkan anda untuk kembali, supaya Allah

swt tidak menurunkan fitnah kepada diriku dengan sebab anda. Pulanglah ke

tempat asalmu, atau anda pergi ke Syām, tempat Yazīd bin Mu’āwiyah ra

berada. Jangan datang ke Kufah.”

Ḥusain bin ‘Alī ra enggan menuruti perintah itu. Ia tetap berjalan

menuju Irak . Al Ḥurr bin Yazīd kemudian menghadang dan melarangnya.

Ḥusain bin ‘Alī ra berkata, “Celaka engkau! Menjauhlah engkau

dariku!”

Al Ḥurr bin Yazīd menjawab: “Demi Allah swt seandainya perkataan

tadi keluar dari orang Arab selainmu, niscaya aku akan menghukumnya dan

juga ibunya. Tapi aku tidak dapat melakukan hal itu terhadap dirimu, karena

ibumu adalah pemimpin kaum wanita di Jannah.”171

2.5.2.Kronologi pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra di Karbala

2.5.2.1. Ḥusain bin ‘Alī ra tiba di Karbala

Sampai pada tahap ini Ḥusain bin ‘Alī ra tetap bersikeras untuk

melanjutkan perjalanan. Beliau tidak menghiraukan peringatan dari para

Sahabat dan himbauan dari Al Ḥurr untuk kembali ke Madinah.

Ḥusain bin ‘Alī ra memilih untuk tetap melanjutkan perjalanannya dan

berhenti di sebuah tempat bernama Karbala. Ia bertanya, “Apa nama tempat

170 Percakapan Antara Ḥusain bin Alī ra dan Al Ḥurr bisa dilihat di Ibnu Katsīr, p.VIII/168 dan Aṭ Ṭabarī, p.III/305

171 Aṭ Ṭabarī, p.III/30567

Page 68: BAB I sampai BAB IV

ini?” orang-orang menjawab: “Karbala.” Ia pun berkata: “Itu menunjukan

karbun (kesedihan) dan balā-un (ujian)172.

Mendengar hal itu ‘Ubaidullah bin Ziyād mengutus tentara ‘Umar bin

Sa’ad dengan jumlah 4.000 orang, ia berbicara kepada Ḥusain bin ‘Alī ra

dan mengajaknya pergi menuju Irak, tempat ‘Ubaidullah berada. Namun

lagi-lagi Ḥusain bin ‘Alī ra enggan menurutinya.

Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra melihat keadaan semakin genting, ia pun

berkata kepada ‘Umar bin Sa’ad, “Aku memberimu 3 opsi, pilihlah mana

yang engkau inginkan.” ‘Umar bertanya, “Apa saja opsi itu?” Ḥusain bin

‘Alī ra berkata: “Engkau biarkan aku pulang, atau pergi ke salah satu

perbatasan kaum Muslimin, atau aku pergi ke tempat Yazīd di Syām agar

aku menaruh tanganku di atas tangannya untuk membai’atnya.”

‘Umar bin Sa’ad berkata: “Baiklah tapi engkau sebaiknya mengirim

seseorang kepada Yazīd, dan aku akan mengirim seseorang kepada

‘Ubaidullah bin Ziyād. Kita tunggu apa hasilnya. Yang sangat disayangkan

Ḥusain bin ‘Alī ra tidak mengirim utusan kepada Yazīd, sementara itu

‘Umar bin Sa’ad mengirim utusan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyād.

Ketika utusan telah sampai dihadapan ‘Ubaidullah bin Ziyād dan

mengabarinya bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra berkata, “Aku memberimu 3

pilihan,” maka ‘Ubaidullah pun tidak keberatan dengan pilihan mana saja

yang akan diambil oleh Ḥusain bin ‘Alī ra. Namun ketika itu ada seorang

yang bernama Syimr bin Dhul Jausyan bersama ‘Ubaidullah bin Ziyād. Dia

termasuk orang yang dekat dengan ‘Ubaidullah. Syimr berkata, “Tidak,

demi Allah swt sebaiknya anda saja yang putuskan, dan dia harus menerima

keputusanmu.” ‘Ubaidullah tertarik dengan pendapatnya, lalu berkata,

“Baiklah, dia harus menerima keputusanku.”173

‘Ubaidullah lantas mengirimkan Syimr bin Dhul Jausyan, dan berkata

kepadanya, “Pergilah untuk menemui ‘Umar bin Sa’ad sampai Ḥusain bin

‘Alī ra bersedia menerima keputusanku. Jika ‘Umar bin Sa’ad menerima hal

172 Percakapan antara Ḥusain bin Alī dan Umar bin Sa’ad bisa dilihat Ibnu Katsīr, p.VIII/168173 Ibnu Katsīr, p.VIII/189

68

Page 69: BAB I sampai BAB IV

ini, maka biarkan dia tetap sebagai paglima. Tetapi jika dia menolak, maka

engkaulah penggantinya.”

Sebelumnya ‘Ubaidullah mempersiapkan pasukan ‘Umar bin Sa’ad

yang berjumlah 4.000 orang untuk berangkat ke Rayy, dan berkata

kepadanya, “Selesaikan masalah Ḥusain bin ‘Alī ra lebih dahulu, setelah itu

barulah pergi ke Rayy.” Dia juga menjanjikannya akan diangkat sebagai

gubernur wilayah itu.

Maka Syimr bin Dhul Jausyan pun pergi. Kabar bahwa Ḥusain bin

‘Alī ra harus rela tunduk pada putusan ‘Ubaidullah terdengar oleh Ḥusain

bin ‘Alī ra. Ia lantas berkata: “Demi Allah swt aku tidak akan pernah tunduk

kepada keputusan ‘Ubaidullah selama-lamanya.”

2.5.2.2. Ḥusain bin ‘Alī ra Mengingatkan tentara Kufah agar takut

kepada Allah Swt

Ketika itu jumlah orang yang ikut bersama Ḥusain bin ‘Alī ra adalah

72 penunggang kuda. Sedangkan jumlah tentara Kufah adalah 5.000 orang.

Ketika kedua pasukan sudah berhadapan Ḥusain bin ‘Alī ra berkata kepada

tentara ‘Ubaidullah, “Berpikir dan introspeksilah diri kalian! Pantaskah

kalian memerangi orang sepertiku? Aku ini adalah cucu Rasūlullah Saw dari

putrinya dan hanya akulah cucu Rasūlullah Saw yang masih hidup di muka

bumi. Rasūlullah Saw pernah bersabda tentang diriku dan saudaraku:

“Dua orang ini (Ḥasan dan Ḥusain bin ‘Alī ra) adalah pemimpin para

pemuda penduduk jannah.”174

Ḥusain bin ‘Alī ra mulai mengajak mereka untuk meninggalkan

‘Ubaidullah bin Ziyād dan bergabung bersamanya. Maka 30 orang di antara

mereka pun bergabung bersama Ḥusain, termasuk Al Ḥurr bin Yazīd At

Tamimī, panglima garda depan pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyād. Melihat hal

itu ada orang yang berkata kepada Al Ḥurr bin Yazīd, “Engkau datang ke

174Sunan Tirmidzi, Kitāb Al Manaqib, Bab Al Hasan dan Al Ḥusain, No.3768, ḥadīts ini dhaif menurut riwayat dari Ḥusain dan Ṣaḥīḥ menurut riwayat dari Kudzaifah, Abū Sa’id dan selain mereka berdua.

69

Page 70: BAB I sampai BAB IV

sini bersama kami sebagai panglima garda depan namun sekarang kau

dengan (pasukan) Ḥusain?”

Al Ḥurr menanggapi, “Celakalah kalian, demi Allah swt aku sedang

memberi pilihan kepada diriku antara jannah dan neraka. Dan demi Allah

swt aku hanya akan memilih jannah walaupun tubuhku dipotong-potong dan

dibakar.”

Ketika itu hari kamis, Ḥusain bin ‘Alī ra melaksanakan ṣalāt ẓuhur

dan ‘aṣar, dan beliau menjadi Imām bagi dua kelompok pasukan itu, yaitu

pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyād dan pengikutnya. Sebelumnya Ḥusain bin

‘Alī ra berkata kepada mereka, “Kalian mengangkat Imām kalian, kami juga

demikian.” Mereka menjawab, “Tidak, kami ingin menjadi makmum ṣalāt

di belakangmu.” Maka mereka pun mengerjakan ṣalāt ẓuhur dan ‘aṣar

diimāmi oleh Ḥusain bin ‘Alī ra.

Ketika waktu maghrib hampir tiba, mereka memajukan kuda-kuda

mereka menuju ke arah Ḥusain bin ‘Alī ra yang selalu membawa

pedangnya. Ketika ia yang baru tidur sejenak melihat mereka bergerak, ia

bertanya kepada para pengikutnya: “Apa-apaan ini?” Para pengikut Ḥusain

bin ‘Alī ra berkata, “Pergilah ke tempat mereka, dan ajaklah mereka

berbicara, kemudian tanyakan pada mereka: “Apa yang mereka inginkan?”

Maka pergilah 20 orang penunggang kuda di antara mereka, termasuk

Al Abbas bin ‘Alī bin Abī Ṭālib, saudara Ḥusain bin ‘Alī ra (dari ibu yang

lain). Mereka pun mengajak pasukan ‘Ubaidullah berbicara dan bertanya

kepada mereka. Pasukan itu pun menjawab: “Ḥusain bin ‘Alī ra harus

tunduk pada keputusan ‘Ubaidullah bin Ziyād atau berperang!”

Mereka menjawab, “Tunggu dahulu sampai kami beritahu Abū

‘Abdullah Ḥusain bin ‘Alī ra.” Mereka lalu bergegas menuju ke tempat

Ḥusain bin ‘Alī ra dan memberitahunya. Ḥusain bin ‘Alī ra berkata,

“Katakan kepada mereka, ‘Berilah kami waktu malam ini. Besok kami

kabari kalian. Aku ingin ṣalāt menghadap Rabbku, karena aku suka

mengerjakan ṣalāt untuk Rabbku.” Ḥusain bin ‘Alī ra menghabiskan malam

70

Page 71: BAB I sampai BAB IV

itu untuk mengerjakan ṣalāt dan meminta ampunan kepada Allah Swt serta

berdo’a kepada-Nya, diikuti oleh para pengikut setianya.175

2.5.2.3. Perang Ṭaf

Pada hari jum’at berkobarlah peperangan antara dua pasukan tersebut,

karena Ḥusain bin ‘Alī ra menolak untuk menyerah kepada ‘Ubaidullah bin

Ziyād. Perang ini terjadi antara dua pasukan yang tidak seimbang. Para

pengikut Ḥusain bin ‘Alī ra memandang bahwa percuma saja menghadapi

pasukan sebanyak ini. Satu-satunya keinginan mereka adalah mati membela

Ḥusain bin ‘Alī ra. Mereka pun gugur satu persatu di hadapan Ḥusain bin

‘Alī ra, sampai semuanya gugur tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali

Ḥusain bin ‘Alī ra dan anaknya yang sedang sakit, ‘Alī bin Ḥusain.

Hanya tinggal Ḥusain bin ‘Alī ra sendirian. Sepanjang siang tidak ada

seorang pun yang berani mendekat ke arahnya, karena mereka takut

mendapat petaka bila membunuhnya. Situasi ini terus berlangsung sampai

kemudian Syimr bin Dhul Jausyan datang, kemudian berseru, “Celakalah

kalian! Semoga ibu-ibu kalian kehilangan kalian, kepung dan bunuh dia.”

Mereka pun maju dan mengerubungi Ḥusain bin ‘Alī ra. Ia berjuang di

tengah-tengah mereka dengan pedangnya, sehingga berhasil membunuh

siapa saja yang bisa dibunuh. Namun keberanian saja tidak cukup sanggup

untuk mengalahkan jumlah yang banyak.

Syimr berseru, “Celakalah kalian apa yang kalian tunggu” Mereka pun

maju hingga Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh. Orang yang secara langsung

membunuh Ḥusain bin ‘Alī ra adalah Sinān bin Anas An Nakha’i. Dialah

yang memotong kepala Ḥusain bin ‘Alī ra. Ada yang mengatakan yang

membunuh secara langsung adalah Syimr bin Dhul Jausyan semoga Allah

Swt membinasakan mereka.

Setelah Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh, kepalanya dibawa ke hadapan

‘Ubaidullah bin Ziyād di Kufah. Sesampainya di sana, ‘Ubaidullah

menggosok-gosok kepala Ḥusain bin ‘Alī ra dengan sebatang kayu seraya

175 Al Khamīs, p.24271

Page 72: BAB I sampai BAB IV

memasukannya ke mulutnya, dan berkata: “Alangkah bagus giginya” Anas

bin Mālik berkata: “Demi Allah Swt aku akan mendo’akan keburukan

untukmu. Sungguh aku melihat sendiri Rasūlullah Saw mencium mulut

Ḥusain bin ‘Alī ra tempat engkau memasukan kayumu itu.”176

Ibrahim An Nakha’i berkata: “Seandainya aku termasuk orang-orang

yang ikut dalam pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra, kemudian aku dimasukan

ke dalam Jannah, niscaya aku akan sangat malu lewat di depan Rasūlullah

Saw dan wajahku dilihat oleh beliau.”177

2.5.2.4. Mereka yang ikut terbunuh bersama Ḥusain bin ‘Alī ra

Anak-anak ‘Alī bin Abī Ṭālib yang ikut terbunuh bersama Ḥusain bin

‘Alī ra adalah, Ja’far, ‘Abbās, Abū Bakar, Muḥammad, dan ‘Utsman.

Anak-anak Ḥusain bin ‘Alī ra yang terbunuh adalah ‘Abdullah dan

‘Alī Al Akbar bukan ‘Alī Zainal Abidin.

Sementara yang terbunuh dari anak-anak Ḥasan bin ‘Alī ra adalah

‘Abdullah, Al Qasim, dan Abū Bakar. Dari anak-anak ‘Aqīl adalah Aun dan

Muḥammad dan yang lainnya.178 Total semua keluarga Rasūlullah Saw yang

gugur dalam peristiwa tersebut ada delapan belas orang.

Dari nama-nama para korban ada yang bernama Abū bakar dan

‘Utsman, kedua nama tersebut dipakai oleh Ahlul Bait, namun kaum Syi’ah

tidak menyukai nama tersebut karena keduannya adalah nama khalīfah

sebelum ‘Alī bin Abī Ṭālib yang diklaim telah merampas kekhilafahan Alī

paska wafatnya Rasūlullah Saw.

2.5.3.Sikap Ahlus Sunnah terhadap pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra

Sikap Ahlus Sunnah terhadap pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra adalah

dengan menyatakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra bukanlah pemberontak. Sebab

kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya ingin

176 At Thabrani, Mu’jamul Kabir, no.5017, p.V/206. Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Fadhaa-ilush Shahabah, Bab Manaaqibul Hasan WAl Ḥusain, no.3748

177 At Thabrani, Mu’jamul Kabir, no.2829, p.III/112 dan sanadnya Ṣaḥīḥ178 Khalīfah bin Khayyaṭ, Tārikh Khalīfah bin Khayyaṭ, (Riyāḍ: Dār Aṭ Ṭayyibah, 1405 H), p.234

72

Page 73: BAB I sampai BAB IV

memberontak, beliau bisa mengerahkan penduduk Makkah dan sekitarnya

yang sangat menghormati dan menghargai beliau. Karena saat Ḥusain bin

‘Alī ra di Makkah, kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang

masih hidup pada masa itu di Makkah. Beliau seorang alim dan ahli ibadah.

para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena beliaulah Ahlul

Bait yang paling besar pada waktu itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan komentar

tentang terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra sebagai berikut:

“Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh pada hari ‘Asyura, yang dilakukan

oleh sekelompok orang ẓālim yang melampaui batas, dan dengan demikian

berarti Allah Swt telah memuliakan Ḥusain bin ‘Alī ra untuk memperoleh

kematian sebagai syahīd, sebagaimana Allah Swt juga telah memuliakan

Ahlul Baitnya yang lain dengan mati syahīd, seperti Hamzah, Ja’far, ayahnya

yaitu ‘Alī dan lain-lain dengan mati syahīd. Dan mati syahīd inilah salah satu

cara Allah Swt untuk meninggikan kedudukan serta derajat Ḥusain bin ‘Alī

ra. Maka ketika itulah sesungguhnya Ḥusain bin ‘Alī ra dan saudaranya, yaitu

Ḥasan bin ‘Alī ra menjadi pemuka para pemuda Ahli Jannah.”179

Syaikhul Islam juga mengomentari para pembunuh Ḥusain bin ‘Alī ra

dengan mengatakan:

“Ḥusain bin ‘Alī ra telah dimuliakan Allah Swt dengan mati syahīd

pada hari ‘Asyura. Dengan peristiwa Karbala Allah Swt juga berarti telah

menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membatu pembunuhan

terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Ḥusain

bin ‘Alī ra memiliki contoh yang baik dari para syuhadā’ yang

mendahuluinya. Sesungguhnya Ḥusain bin ‘Alī ra dan saudaranya merupakan

dua orang pemuka dari para pemuda Ahli Jannah. Keduanya merupakan

orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua

tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar

menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para

Ahlul Baitnya yang lain. Karena itulah Allah Swt memuliakan keduanya

179 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmū’ Fatāwa, p.XXV/30273

Page 74: BAB I sampai BAB IV

dengan mati syahīd sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai

pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap

Ḥusain bin ‘Alī ra ini merupakan musibah besar. Dan Allah Swt

mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ (mengucapkan innā lillāhi wa

innā ilaihi rāji’ūn) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya:

�م �ك و�ن ���ل �ب �ن ءA و�ل ي ����ش وف� م�ن� ب ���خ وع� ال ���ج �قصA و�ال و�ال� م�ن� و�ن �� األم

ف�س� ات� و�األن �م�ر� ر� و�الث �ش- ذ�ين� و�ب ���. ال �ر�ين� اب ����ذ�ا الص ه�م إ �ت اب ���ص� �ةC أ يب ��� م�ص

�وا �ا ق�ال �ن ه� إ ����ل ا ل ����ن ه� و�إ ���ي �ل ك� إ ����ئ �ول . أ ون� ���اج�ع ه�م ر� �ي �و�اتC ع�ل ل ���-ه�م م�ن ص ب ر�

Cم�ةح �ك� و�ر� �ئ �ول . ه�م� و�أ �د�ون� م�هت ال

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan

berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-

orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Innā lillāhi wa

innā ilaihi rāji’ūn"180. “Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang

sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang

mendapat petunjuk."181

Ahlus Sunnah juga mengklarifikasi mengenai riwayat-riwayat yang

menyebutkan bahwa langit menurunkan hujan darah, tembok-tembok

berlumuran darah, dan tidak seorang pun mengangkat batu kecuali dia

melihat darah di bawahnya, atau tidak seorang pun menyembelih unta kecuali

semua bagian unta itu akan menjadi darah, ini semua adalah kebohongan dan

omong kosong belaka. Riwayat ini tidak mempunyai sanad yang ṣaḥīḥ kepada

Nabi Saw, atau kepada seorang pun dari mereka yang sezaman dengan

peristiwa ini. Semua riwayat-riwayat tersebut sanadnya terputus dan hanya

diriwayatkan oleh mereka yang hidup setelah peristiwa ini.182

Dari pernyataan sikap tersebut tidak diragukan lagi bahwasanya

peristiwa terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra merupakan musibah besar yang

menimpa umat Islam. Karena tidak ada lagi cucu laki-laki dari anak

180 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmū’ Fatāwam, p.IV/511181 Qs. Al Baqarah: 2/155-157182 Lihat Ibnu Katsīr, pada peristiwa-peristiwa tahun 61 H

74

Page 75: BAB I sampai BAB IV

perempuan Rasūlullah Saw yang masih hidup, selain dia. Kini ia telah

terbunuh secara teraniaya dan sebagaimana yang menimpa Ahlul Baitnya.

Peristiwa terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra ini, bagi dunia Islam merupakan

sebuah musibah. Namun bagi Ḥusain bin ‘Alī ra sendiri ini adalah sarana

untuk mati syahīd, kemuliaan, pengangkatan derajat, dan kedekatan kepada

Allah Swt. Sebab Allah Swt telah memilihnya pindah ke akhirat menuju

Jannah-Nya, sebagai pengganti dari dunia yang keruh ini.183

Ahlus Sunnah juga menyayangkan kepergian Ḥusain bin ‘Alī ra ke

Kufah. Sebagaimana para pembesar Sahabat yang telah berusaha

melarangnya pergi ke sana pada saat itu. Dengan perginya Ḥusain bin ‘Alī ra,

orang-orang ẓālim dan keji itu mendapat kesempatan menyakiti cucu

Rasūlullah Saw sampai mereka membunuhnya dalam keadaan teraniaya dan

syahīd. Peristiwa terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra berdampak kerusakan dan

fitnah yang tidak akan terjadi bila ia tetap di Madinah.184

Namun inilah takdir Allah Swt. Apa yang Allah Swt tadirkan pasti

terjadi, walaupun manusia tidak menghendakinya dan dan sunatullah

(ketetapan Allah) telah membuktikan betapa dahsyatnya kebenaran ḥadīts

nubuwah tentang terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra ini. Dan dengannya kaum

Muslimin harus lebih berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang

berlebihan terkait peristiwa tersebut, apalagi sampai menghina Sahabat yang

terlibat di dalamnya.

Peristiwa terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra tidak lebih dahsyat daripada

terbunuhnya para Nabi. Kepala Yahya bin Zakariya as dijadikan bayaran

kepada seorang pelacur, dan Nabi Zakariya as juga dibunuh. Demikian juga

dengan ‘Umar bin Khaṭāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Alī bin Abī Ṭālib ra. Mereka

semua lebih utama dibadingkan Ḥusain bin ‘Alī ra. Oleh karena itu Ahlus

Sunnah menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menampar-nampar

wajahnya atau merobek-robek pakaiannya dan lain-lainnya jika mengingat

183 Al Khamīs, p.257184 Al Khamīs, p.257

75

Page 76: BAB I sampai BAB IV

terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra pada hari ‘Asyura. Karena Nabi Saw

bersabda:

الجيوب شق و الخدود لطم من منا ليس

“Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya

dan merobek-robek pakaiannya (ketika ada yang meninggal dunia).”185

Beliau juga bersabda:

الشاقة و الحالقة و الصالقة من أنابريئ

“Aku berlepas diri dari Aṣ Ṣāliqah, Al Ḥāliqah, dan Asy Syāqah.”186

Aṣ Ṣāliqah artinya orang yang menjerit-jerit. Al Ḥāliqah artinya orang

yang mencukur rambutnya. Asy Syāqah artinya orang yang merobek-robek

pakaiannya (yang dilakukan untuk menyesali kematian seseorang).

Beliau juga bersabda:

“Sungguh jika orang yang meratapi mayit tidak bertaubat maka pada

hari kiamat nanti dia akan memakai baju dari kudis dan pakaian dari ter yang

panas.”187

Ahlus Sunnah memberikan solusi dalam menyikapi suatu musibah

sepert ini adalah dengan mengatakan apa yang difirmankan oleh Allah Swt:

“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka

mengucapkan: "Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn (sesungguhnya kami milik

Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”188

185 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Janā’iz, Bab Laisa Minna Man Syaqq Al Juyyub, no.1294 dan Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Imām, Bab Tahriim Dharbil Khudud, no.103.

186 Ṣaḥīḥ Buhari, Kitāb Al Al Janā’iz, Bab Mā Yunha ‘Anil Halqi Indal Mushibah, no.1296 dan Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Imām, Bab Tahriim Dharbil Khudud wa Syaqqil Juyyub Wad Du’aa bi Da’wAl Jahiliyyah, no.140, 167.

187 Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Al Janā’iz, Bab At Tasydiid Fi Niyaahah, no.934188 Qs.Al Baqarah: 156

76

Page 77: BAB I sampai BAB IV

BAB III

ANALISA

3.1. Komparasi perspektif antara Syī’ah dan Ahlus Sunnah terhadap

pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra

Pada bab kedua telah dipaparkan perihal pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra

berikut sikap Syī’ah maupun Ahlus Sunnah menurut perspektif masing-masing.

Banyak perkara yang menurut penulis perlu dijelaskan lebih detail. Sehingga

upaya komparasi perspektif antara Syī’ah dan Ahlus Sunnah dapat terwujud.

Meskipun pada sisi tertentu ada perkara-perkara yang sama sekali tidak dapat

dikompromikan. Setidaknya ada tiga pertanyaan penting yang harus dijawab

untuk mengetahui perkara mana saja yang dapat dikompromikan dan tidak

dapat dikompromikan. Pertanyaan tersebut antara lain:

Pertama, Apa yang melatar belakangi Ḥusain bin ‘Alī ra menolak

berbai’at kepada Yazīd bin Mu’āwiyah?

Kedua, siapakah penduduk Kufah yang dimaksud dalam peristiwa

Karbala?

Ketiga, bagaimana seharusnya kaum Muslimin menyikapi peristiwa

Karbala?

Dengan sedikitnya tiga pertanyaan ini diharapkan akan menambah

keutuhan berfikir dalam mengambil kesimpulan terhadap petaka yang telah

menimpa cucu Rasūlullah Saw dan para Ahlul Baitnya.

3.1.1.Latarbelakang Ḥusain bin ‘Alī ra menolak berbai’at kepada Yazīd

bin Mu’āwiyah

Syī’ah berpendapat bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra ingin melakukan revolusi

kepemimpinan yang telah direbut oleh Bani ‘Umayyah189. Awalnya berpusat

pada saat tragedi Saqifah pasca wafatnya Rasūlullah Saw yang berakibat

pemindahan khilafah dari tangan legal, yaitu Imām ‘Alī as. Para pendukung

Saqifah menyerukan kewajiban bergabung dengan jamā’ah, mengharamkan

189 Tim A’lāmul Hidāyah, p.139-14077

Page 78: BAB I sampai BAB IV

tindakan-tindakan yang memecah belah umat dan mewajibkan untuk taat

kepada pemimpin terpilih. Maka Imām ‘Alī as telah berusaha maksimal

dengan seluruh kemampuan untuk memperbaiki tindakan-tindakan destruktif

yang dilakukan oleh para khalīfah yang dijamin terpelihara dari kesalahan.

Semua itu disaksikan oleh Ḥusain bin ‘Alī as dengan jelas, apalagi pada masa

pemerintahan ‘Utsman.190

Kemudian pada zaman kepemimpinan kakaknya, Ḥusain bin ‘Alī as

menyaksikan dan memahami seluruh pasal-pasal perdamaian yang

ditandatangani Imām Ḥasan as dan Mu’āwiyah. Ḥusain bin ‘Alī as

menyaksikan perjanjian tersebut dilanggar oleh Mu’āwiyah yang

memanipulasi perjanjian tersebut. Mu’āwiyah menjadikan agama sebagai

tameng untuk merealisasikan konspirasi biadabnya.191

Keadaan pada zaman Ḥusain bin ‘Alī as sama sekali berbeda. Setelah

kematian Mu’āwiyah, menurut pandangan Ḥusain bin ‘Alī as yang ma’ṣūm,192

pada saat yang sama beliau adalah pemegang tampuk kepemimpinan yang

sah, tidak ada cara lain kecuali melawan Yazīd. Sangat tidak logis dan tidak

memiliki landasan jika Ḥusain bin ‘Alī as menerima kepemimpinan Yazīd

dan Bani ‘Umayyah.193

Ditambah lagi surat-surat yang dilayangkan oleh penduduk Kufah

kepada beliau adalah sebuah legalitas politik beliau yang membuktikan

bahwa kebangkitan bukanlah masalah personal dan keinginan pribadi

beliau.194 Namun karena bujukan dari penduduk Kufah yang menginginkan

beliau menjadi Khalīfah.

Sedangkan Ahlus Sunnah dalam menyikapi hal ini melihat pada

peristiwa paska terbunuhnya ‘Alī bin Abī Ṭālib ra195. Al Qadhi Abū Bakar

190 Tim A’lāmul Hidāyah, p.139-140191 Ibid, p.140192 Kaum Syi’ah berkeyakinan bahwa setiap Imām mereka ma’ṣūm terbebas dari kesalahan dan

dosa sebagaimana yang dimiliki oleh para Nabi.193 Ibid, p.140194 Ibid, p.142195 Dalam pembahasan ini penulis tidak akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana

kepemimpinan empat Khulafa’ur Rasyidin dan berbagai kontroversi yang terjadi di dalamnya. Tetapi penulis akan mencukupkan pada paska terbunuhnya ‘Alī bin AbīṬālib ra dilanjutkan kepada pemerintahan Hasan bin ‘Alī ra yang kemudian melakukan perjanjian damai kepada

78

Page 79: BAB I sampai BAB IV

berkata, Ucapan Syī’ah bahwa ‘Alī mewasiatkan khilāfah kepada Ḥasan,

adalah batil. ‘Alī tidak mewasiatkan kepada siapapun196, akan tetapi bai’at

untuk Ḥasan terlaksana berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin, Ḥasan bin

‘Alī ra lebih berhak dari pada Mu’āwiyah daripada banyak orang selainnya.

Lalu mediasi berakhir dengan pengunduran dirinya dari perkara ini demi

melindungi darah umat agar ridak tertumpah dan bukti kebenaran janji Nabi

Saw melalui sabdanya di mimbar,

“Anakku ini adalah sayid, mudah-mudahan Allah mendamaikan

dengannya dua kelompok besar dari kaum Muslimin.”197

Maka janji terlaksana dan bai’at untuk Mu’āwiyah sah dan hal itu

merupakan wujud harapan Nabi Saw terhadap kepemimpinannya terhadap

kaum Muslimin, beliau Saw bersabda:

“Khalifah (akan berlangsung) tiga puluh tahun kemudian ia menjadi

kerajaan.”

Jika dihitung mulai dari diangkatnya Abū Bakar sampai pengunduran

diri Ḥasan bin ‘Alī ra maka jumlanya adalah tiga puluh tahun tidak lebih dan

tidak kurang sehari pun.

Ḥadīts yang berupa sanjungan kepada Ḥasan sekaligus berita gembira

dengan ini, adalah terwujudnya perdamaian melalui tangan beliau dan

penyerahan perkara ini darinya kepada Mu’āwiyah merupakan akad dari

Ḥasan untuk Mu’āwiyah. Hal itu terjadi di sebuah tempat bernama Maskan di

sungai Dujail, pada bulan Rabī’ul Awal tahun 41 H. Tahun tersebut

dinamakan ‘Ammul Jamā’ah (tahun perdamaian) karena kaum Muslimin

berjamā’ah setelah sebelumnya terpecah dan mereka mulai berkonsentrasi

kepada perang keluar dan penaklukan serta menyebarkan dakwah Islam.198

Mu’āwiyah. Sekaligus berpindahnya kepemimpinan Islam kepada Bani ‘Umayyah sampai pada pengangkatan Yazīd bin Mu’āwiyah dan penolakan Ḥusain bin Alī ra terhadapnya.

196 Bahwa orang-orang berkata kepada ‘Alī ra “Angkatlah pengganti (sebagai khalifah) bagi kami.” ‘Alī ra menjawab, “Tidak, akan tetapi aku membiarkan kalian sebagaimana Rasulullah Saw membiarkan kalian kepadanya...” Imām Aḥmad meriwayatkan dalam musnadnya, p.I/30, no.1078 dan 1/156, no.1339, sanadnya Ṣaḥīḥ.

197 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Ash Shulh, Bab ke-9, p.III/169 dan Bukhāri juga meriwayatkan dalam Manaqib Hasan Wa Ḥusain, Kitāb Fadha’il Ash Shahabah, Bab ke-22, p.IV/216.

198 Muhibbuddin Al Khātib dalam tahqiq dan ta’liq, Lihat Ibnul ‘Arabi, Meluruskan Sejarah, Menguak Tabir Fitnah, Sejak Rasūlullah Wafat Hingga Masa Bani ‘Umayyah, Terj. Izzudin

79

Page 80: BAB I sampai BAB IV

Ibnu Taimiyah berkata: “Ḥadīts tentang Ḥasan menjelaskan bahwa

perdamaian di antara dua kelompok merupakan perkara terpuji yang dicintai

Allah Swt dan Rasūl-Nya. Adapun apa yang dilakukan oleh Ḥasan dari itu,

maka ia termasuk keutamaan dan jasa besarnya yang dipuji oleh Nabi

Saw.”199

Jika dikatakan bukankah di antara Sahabat terdapat orang yang lebih

pantas memegang perkara ini daripada Mu’āwiyah. Maka jawabannya

banyak, akan tetapi Mu’āwiyah memiliki beberapa keunggulan, yaitu: ‘Umar

menyatukan seluruh Syām di bawah kepemimpinan Mu’āwiyah, manakala

dia mengetahui keluhuran hidupnya, pelaksanaanya terhadap tugas menjaga

kehormatan Islam dan mengamankan perbatasan, perbaikannya terhadap bala

tentara, kemenangannya atas musuh dan keahliannya dalam memimpin

rakyat.200 Semua itu sebagai bukti kredibilitas Mu’āwiyah sebagai seorang

pemimpin yang layak.

Rasūlulullah Saw dan Ahlul Bait bersaksi bahwa Mu’āwiyah adalah

seorang yang fakih. Dari ḥadīts Ibnu Mulaikah bahwa seseorang berkata

kepada Ibnu ‘Abbās: “Apakah engkau memiliki sesuatu pendapat tentang

‘Amīrul Mu’minīn Mu’āwiyah, karena dia tidak berwitir kecuali dengan satu

raka’at.” Ibnu Abbas menjawab, “Dia seorang yang fakih.”201

Dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda kepada Mu’āwiyah:

“Ya Allah jadikanlah dia pemberi petunjuk, yang diberi petunjuk, dan

berikanlah petunjuk dengannya,”202

Beliau juga bersabda kepada Mu’āwiyah:

“Ya Allah ajarilah dia Al Kitāb dan ḥisab dan lindungilah dia dari

‘adhab.”203

Karimi, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 1431 H/2010 M), p.278-279199 Ibnu Taimiyah, Minhājus Sunnah, p.II/242200 Ibid, p.III/185201 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Manaqib Ash Shahabah, Bab ke-28, p.IV/219202 Jami’ut Tirmidzi, Kitāb Manaqib, Bab ke-47, sanadnya Ṣaḥīḥ203 Rawi-rawi do’a Nabi Saw untuk Mu’āwiyah dari kalangan sahabat lebih banyak dari sekedar

dihitung. Lihat Ibnu Katsīr, VIII/120-121 dan biografi Mu’āwiyah pada huruf Mim dalam Kitāb Tarikh Daimasyq, Ibnu Asakir.

80

Page 81: BAB I sampai BAB IV

Nabi Saw juga bergembira karena bermimpi melihat perang Mu’āwiyah

dalam ḥadīts Ummu Ḥaram bahwa beberapa orang dari umatnya mengarungi

lautan biru sebagai raja di atas singgasana, atau layaknya raja di atas

singgasananya, dan hal itu terjadi pada masa kepemimpinan Mu’āwiyah,

ḥadits tersebut sebagai berikut:

“Sesungguhnya Nabi Saw pernah tidur qailulah (tidur sejenak) di

rumah Ummu Ḥaram. Beliau bangun sambil tertawa karena beliau bermimpi

melihat orang-orang dari umatnya berperang dijalan Allah Swt mengarungi

birunya lautan bagaikan raja-raja di atas singgasana. Kemudian beliau

meletakan kepalanya lalu tidur lagi, lalu beliau bangun dengan mimpi yang

sama. Ummu Ḥaram berkata kepada beliau, ‘Do’akan aku kepada Allah agar

aku termasuk dari mereka.’ Rasūlullah Saw bersabda: “Engkau berada

bersama orang-orang pertama.”204

Ibnu Katsir berkata: “Maksud Nabi Saw adalah tentara Mu’āwiyah

ketika menyerang Qubruṣ dan menaklukannya pada tahun 27 H pada masa

‘Utsmān bin ‘Affān dengan Mu’āwiyah sebagai panglima, setelah beliau

membangun angkatan laut Islam pertama dalam sejarah, Ummu Ḥaram

menyertai suaminya ‘Ubaidah bin Ṣāmit ditambah Abū Darda’, Abū Dhar

dan lain-lain. Ummu Ḥaram gugur di jalan Allah Swt, kuburannya di Qubruṣ

sampai hari ini. Ibnu Katsīr berkata: “Kemudian panglima pasukan kedua

adalah Yazīd bin Mu’āwiyah dalam menyerang Qastantiniyah. Dia berkata:

‘Ini adalah salah satu tanda kebenaran nubuwah yang paling agung.”205

Sebelum Mu’āwiyah wafat, dia mengangkat anaknya Yazīd sebagai

penggantinya. Sehingga tersebar isu kontroversial antara dirinya dengan

‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Zubaīr, dan ‘Abdurrahman bin Abī

Bakar. Hal ini sudah diklarifikasi oleh Ibnul Arabī dalam kitābnya Al

‘Awāṣim Minal Qawāṣim. Bahwa setelah Mu’āwiyah memanggil mereka

bertiga satu-persatu ke dalam kemahnya. Mu’āwiyah keluar lalu beliau naik

mimbar, beliau berkata: “Kami mendengar pembicaraan orang-orang yang

204 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Jihad, Bab ke-3, III/201 dan Muslim, Kitāb Imarah, no.160.205 Ibnu Katsir, p.VIII/229

81

Page 82: BAB I sampai BAB IV

bernada sumbang. Mereka mengeklaim bahwa Ibnu ‘Umar, ‘Abdullah bin

Zubaīr dan ‘Abdurrahman bin Abī Bakar tidak membai’at Yazīd, padahal

mereka telah mendengar, menaati, dan membai’at kepadanya.”206

Namun yang dipermasalahkan adalah tentang sikap Mu’āwiyah yang

telah meninggalkan yang lebih utama dengan tidak menjadikan pengangkatan

anaknya menggunakan Syura (pemilihan secara musyawarah oleh dewan

yang dibentuk), ia langsung mengkhususkannya kepada salah seorang

kerabatnya lebih-lebih anaknya sendiri dan meninggalkan apa yang

diisyaratkan oleh ‘Abdullah bin Zubaīr untuk melakukan syura, lalu

Mu’āwiyah mengangkat anaknya, mengakadkan bai’at untuknya dan orang-

orang membai’atnya, meskipun ada juga yang tidak membai’at. Bai’atpun

terwujud secara syar’i karena ia sah dengan satu orang, dan ada yang

berpendapat dengan dua orang.207

Jika dikatakan untuk siapa syarat-syarat Imāmah. Maka umur bukan

termasuk syaratnya dan tidak terbukti ada syarat yang tidak terpenuhi oleh

Yazīd.208

Jika dikatakan di antarannya adalah ‘Adalah (keadilan) dan ilmu,

sementara Yazīd sendiri bukan orang adil dan alim. Maka dengan apa

seseorang mengetahui dia tidak berilmu dan tidak adil. Jika Yazīd tidak

memiliki keduanya niscaya ia telah disinggung oleh tiga orang utama yang

mengusulkan kepada Mu’āwiyah agar tidak melakukan bai’at untuknya tadi.

Akan tetapi mereka hanya mempermasalahkan keputusan dalam perkara ini

yang diambil oleh Mu’āwiyah, di mana yang mereka inginkan adalah

syura.209

Jika dikatakan ada yang lebih unggul daripada Yazīd dalam ‘Adalah

dan ilmu, seratus bahkan seribu. Ibnul ‘Arabi menyebutkan bahwa

kepemimpinan orang yang utama padahal ada yang lebih utama adalah

masalah khilafiyah (perselisihan pendapat) di antara para Ulama’.210

206 Lihat selengkapnya; Ibnul Arabi, p.302-307207 Ibid, p.314-315208 Ibid, p.315209 Ibid, p.315-316210 Ibnul Arabi, p.316

82

Page 83: BAB I sampai BAB IV

Adapun tentang predikat ‘Adalah maka kesaksian untuknya telah

diberikan oleh salah seorang Ahlul Bait Muḥammad bin ‘Alī bin Abī Ṭālib

dalam dialognya terhadap Ibnu Muṭi’ yang menuduh Yazīd seorang fasik,

pemabuk dan tuduhan lainnya pada saat terjadi pemberontakan di Madinah

terhadap Yazīd. Muḥammad berkata: “Aku tidak melihat apa yang kalian

katakan padanya. Aku telah hadir kepadanya dan tinggal bersamanya. Aku

melihatnya menjaga ṣalāt, memilih kebaikan, bertanya tentang fikih dan

berpegang pada sunnah.”211

Tentang ilmu maka apa yang lazim darinya bagi orang sepertinya dalam

kedudukan sepertinya, dia memilikinya secara memadai bahkan lebih dari

memadai. Al Mada’ meriwayatkan bahwa salah seorang Ahlul Bait; Ibnu

‘Abbās datang kepada Mu’āwiyah setelah Ḥasan bin ‘Alī ra wafat, Yazīd

datang kepada Ibnu ‘Abbās. Dia duduk sebagai orang yang berbela sungkawa

ketika Yazīd berdiri dari sisinya, Ibnu Abbas berkata: “Jika Bani Harb

(nisbah kepada bapaknya Abū Sufyan) pergi, maka pergilah Ulama’

manusia.”212

Dari riwayat-riwayat dan keterangan di atas menunjukan akan

keabsahan kepemimpinan Mu’āwiyah dan Yazīd yang diridhai oleh para

Ahlul Bait dan Sahabat secara umum. Adapun penolakan yang dilakukan oleh

Ḥusain bin ‘Alī ra maka walaupun hal tersebut tidak dibenarkan namun status

beliau dalam masalah tersebut adalah Mujtahid jika benar, maka

mendapatkan dua pahala, jika salah maka satu pahala.213 Sebenarnya beliau

sudah ditahan dengan berbagai cara dan upaya beberapa Sahabat namun

penduduk Kufahlah yang memicu dengan ratusan surat yang terus membujuk

berangkat dan berakhir pada kesyahīdannya. Ini adalah bukti kebenaran

ḥadīts Nubuwah yang agung. Yang patut dijadikan pelajaran bagi orang-

orang yang berfikir.

3.1.2.Jati diri penduduk Kufah

211 Ibnu Katsir, p.VIII/233212 Ibid, p.VIII/228213 Ibnul Arabi, O.cit., p.345

83

Page 84: BAB I sampai BAB IV

Syī’ah berpendapat bahwa yang dimaksud penduduk Kufah adalah Bani

‘Umayyah, sehingga semua perkataan yang mengarah kepada penduduk

Kufah seluruhnya disematkan kepada Bani ‘Umayyah. Namun ada juga yang

mengatakan bahwa orang-orang Kufah saat itu adalah masyarakat yang paling

memusuhi Yazīd dan mencintai Ḥusain bin ‘Alī as lebih darinya.

Sebenarnya Ahlus Sunnah dan Syī’ah sepakat bahwa pembunuh

Ḥusain bin ‘Alī ra adalah penduduk Kufah. Namun yang aneh adalah

kesimpulan yang berbeda terhadap status penduduk Kufah sebenarnya. Jika

memang yang dituduhkan Syī’ah itu benar, maka hal tersebut sangat sulit

untuk dinalar. Mengingat tidak didapatkan riwayat yang secara tegas

mengatakan bahwa Bani ‘Umayyah yang membujuk Ḥusain bin ‘Alī ra untuk

pergi ke Kufah, dan suatu yang mustahil juga bagi Bani ‘Umayyah

mengirimkan surat kepda Ḥusain bin ‘Alī ra untuk menggulingkan rezimnya

sendiri.

Dalam hal ini penulis menukilkan isyarat tegas Ibnul ‘Arabi dengan

mencantumkan sub judul dalam kitābnya Al ‘Awāṣim Minal Qawāṣim, beliau

mencantumkan celaan Ahlul Bait kepada Syī’ah disebutkan bahwa seorang

penulis kitāb At Tuhfah Al Itsna Al Asyariyyah berkata: “Allamah Syī’ah

pada zaman ini. Syaikh Ḥibatuddin Asy Syahrastani, menukil apa yang

diriwayatkan oleh Al Jahiz dari Khuzaimah Al Asadi, yang berkata: ‘Aku

masuk ke Kufah bersamaan dengan berangkatnya Ḥusain bin ‘Alī ra bersama

keluargannya dari Karbala kepada ‘Ubaidullah bin Ziyād. Aku melihat

wanita-wanita Kufah pada saat itu sedang berdiri meratap dengan merobek-

robek leher baju, aku mendengar ‘Alī bin Ḥusain berkata dengan suara

lemah.”Wahai penduduk Kufah, kalian menangisi kami padahal kalianlah

yang membunuh kami.”214 –siapa lagi yang meratap dan merobek baju selain

Syī’ah, pen-

Aku melihat Zainab binti ‘Alī, aku tidak melihat wanita yang lebih jelas

pembicaraan dari padanya, dia berkata,”Wahai orang-orang Kufah wahai para

penghianat dan para pengecut, kubur tidak tertutup, tanah yang landai tidak

214 Ibnul Arabi, p.339-34084

Page 85: BAB I sampai BAB IV

tenang, kalian hanyalah seperti seorang perempuan yang menguraikan

benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali,

kalian menjadikan sumpah (bai’at) sebagai alat penipuan di antaramu.

Katahuilah yang ada pada kalian hanyalah kebencian dan kesialan, tabi’at

darah dan tipu daya musuh. Kalian tidak lain kecuali seperti rumput hijau di

atas kotoran atau perak di atas wanita di liang lahat. Begitu buruk apa yang

kalian lakukan, Allah Swt memurkai kalian dan kalian akan kekal di dalam

‘adhab. Apakah kalian menangis? Demi Allah Swt menangislah –kalimat

sindiran kepada Syī’ah, pen-, demi Allah Swt kalian pantas menangis,

banyaklah menangis dan sedikitlah tertawa, kalian berhasil meraih aib dan

keburukannya, kalian tidak akan menghilangkannya dengan mencuci

setelahnya selama-lamanya.”215

Dalam literatur sejarah yang membahas tentang peristiwa Karbala

penulis tidak mendapatkan ada yang mengatakan bahwa Bani ‘Umayyah ada

yang berbai’at kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, bahkan yang terjadi justru

sebaliknya, yaitu mengingatkan Ḥusain bin ‘Alī ra untuk berbai’at kepada

Yazīd. Para Sahabat dan sebagian masyarakat juga menahan Ḥusain untuk

pergi menemui penduduk Kufah. Fakta ini menyatakan bahwa Bani

‘Umayyah terlepas dari tuduhan membai’at Ḥusain bin ‘Alī ra apalagi sampai

mengundangnya ke Kufah. Yang sebenarnya terjadi adalah orang-orang

Syī’ah yang mengundang dan berbai’at kepada Ḥusain bin ‘Alī ra namun

kemudian mengkhianatinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab

terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra adalah orang-orang Syī’ah Kufah sendiri.

3.1.3.Menyikapi peristiwa Karbala

Syī’ah berpendapat bahwa peristiwa Karbala adalah peristiwa yang

sangat memilukan dan mereka sangat bersedih ketika mengenang tragedi

tersebut. Alasan mereka yang populer adalah karena yang terbunuh di

dalamnya terdiri dari para Ahlul Bait Nabi Saw terutama cucu beliau sendiri,

Ḥusain bin ‘Alī ra. Hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi mereka

215 Ibid, p.339-34085

Page 86: BAB I sampai BAB IV

untuk mengenang dan meratapi setiap tahunnya. Mereka melakukan ritual

berupa meratap, memukuli diri sampai berdarah-darah bahkan mereka juga

melaknat Bani ‘Umayyah terutama Yazīd bin Mu’āwiyah sebagai manusia

yang paling bertanggung jawab atas kematian Ḥusain bin ‘Alī ra. Peringatan

tersebut dinamakan peringatan hari ‘Asyura atau peringatan Karbala.

Dalam menyikapi hal ini Ibnu Taimiyah mengelompokan umat manusia

menjadi tiga golongan: dua golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-

tengah.216

Golongan Pertama: Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Ḥusain

bin ‘Alī ra itu merupakan tindakan benar. Karena Ḥusain bin ‘Alī ra

memberontak kapada pemimpin217 dan ingin memecah belah kaum Muslimin.

Rasūlullah Saw bersabda :

�م م�ن �م ج�اء�ك ك ر� �م� لA ع�ل�ى و�أ ��ج دA ر� ��د� و�اح ��ر�ي �ن ي ق� أ ر- ���ف �م ي �ك اع�ت �� ج�م

�وه� �ل كان من كائنا ف�اقت

"Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian

berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah belah jamā’ah

kalian, maka bunuhlah dia, siapa pun orangnya"218

Kelompok pertama ini mengatakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra datang

saat urusan kaum Muslimin berada di bawah satu pemimpin yaitu Yazīd bin

Muawiyah dan Ḥusain bin ‘Alī ra hendak memecah belah umat atau dalam

kata lain pemberontak.

Sebagian lagi mengatakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra merupakan orang

pertama yang memberontak kepada penguasa. Kelompok ini melampaui

batas, sampai berani menghinakan Ḥusain bin ‘Alī ra. Inilah kelompok

‘Ubaidullah bin Ziyād, Hajjâj bin Yusūf dan lain-lain. Sedangkan Yazīd bin

Muāwiyah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum ‘Ubaidullah, namun

sebenarnya ia tidak menghendaki pembunuhan ini.219

216 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, p.IV/553217 Hiqbah Minat Tarikh, p.259218 Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Imarah, Bab Hukmu Man Farraqa AmrAl Muslimin Wa Huwa

Mujtami’, no.1852219 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, p.IV/553

86

Page 87: BAB I sampai BAB IV

Golongan Kedua: Mereka mengatakan Ḥusain bin ‘Alī ra adalah Imām

yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan

perintahnya; tidak boleh melakukan ṣalāt jamā’ah kecuali di belakangnya atau

orang yang ditunjuknya, baik ṣalāt lima waktu ataupun ṣalāt Jum'at dan tidak

boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan izinnya dan lain sebagainya.

Ini adalah pendapat Syī’ah.220

Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf

adalah pemimpin golongan pertama (mereka disebut juga Nashibi). Ia sangat

benci kepada Ḥusain bin ‘Alī ra dan merupakan sosok yang ẓālim. Sementara

kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abī ‘Ubaid yang mengaku

mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Ḥusain bin ‘Alī ra. Orang inilah

yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh

‘Ubaidullah bin Ziyād dan memenggal kepalanya. Pasukan Mukhtâr bin Abī

‘Ubaid ini disebut juga dengan At Tawwabun yaitu orang-orang yang

menyesal tidak membela Ḥusain bin ‘Alī ra padahal mereka telah sumpah

setia untuk membela dan membai’atnya.221

Golongan Ketiga: Yaitu Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah yang tidak sejalan

dengan pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan

kedua. Mereka mengatakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh dalam

keadaan terẓālimi dan mati syahīd222. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah Wal

Jamā’ah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok.223

Sebagaimana sabda Nabi Saw:

الجنة أهل شباب سيدا الحسين و الحسن

“Ḥasan dan Ḥusain bin ‘Alī ra adalah dua pemimpin para pemuda

penduduk Jannah.”224

Ahlus Sunnah juga menegaskan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra bukanlah

pemberontak. Sebab kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak.

220 Ibid, p.IV/553. Hiqbah Minat Tarikh, p.259221 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, Op.cit., p.IV/553222 Hiqbah Minat Tarikh, Op.cit., p.259223 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, Op.cit., p.IV/553. 224 Jami’ut Tirmidzi, Kitāb Al Manaqib, Bab Manaqibul Hasan wAl Ḥusain bin Alī ra, no.3768

87

Page 88: BAB I sampai BAB IV

Seandainya mau memberontak, beliau bisa mengerahkan penduduk Makkah

dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau. Karena saat

Ḥusain bin ‘Alī ra di Makkah, kewibaannya mengalahkan wibawa para

Sahabat lain yang masih hidup pada masa itu di Makkah. Beliau seorang alim

dan ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena

beliaulah Ahlul Bait yang paling besar.225

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Setelah peristiwa terbunuhnya

Ḥusain bin ‘Alī ra, orang-orang membuat dua bid’ah:

Pertama, bid’ah kesedihan dan ratapan yang dilakukan pada setiap hari

‘Asyura dengan menampar-nampar wajah, tangisan, kehausan, dan lantunan

syair kesedihan. Juga hal-hal lain yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan

ini, seperti mencaci dan melaknat para salaf dan memasukan orang yang tidak

berdosa bersama pelaku yang sebenarnya, sampai mencela para Sahabat.

Kemudian cerita terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra, yang kebanyakan adalah

kebohongan, dibacakan dalam peringatan tersebut. Tujuan orang yang

membuat acara ini adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan umat. Kalau

tidak demikian maka apa maksud mereka mengulang-ulang pembacaan

peristiwa ini setiap tahun dengan melukai diri sampai berdarah,

mengagungkan dan bergantung pada masa lampau, serta mengusap-usap

kuburan.226

Kedua, bid’ah senang-senang dan gembira ria, membagikan manisan,

dan menggembirakan keluarga pada hari terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra.227

Bi’ah pertama dilakukan Syī’ah dan bid’ah kedua dilakukan Nashibi.

Keduanya dibuat karena pada saat itu di Kufah ada orang-orang yang

membela Ahlul bait, yang dipimpin oleh Al Mukhtār bin ‘Ubaid, seorang

pembual yang mengaku dirinya sebagai Nabi, dan ada pula orang-orang yang

membenci Ahlul Bait, diantaranya Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Padahal

bid’ah tidak boleh diberantas dengan bid’ah serupa, tetapi dengan

menegakkan sunnah Nabi Saw sesuai dengan perintah Allah Swt:

225 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, p.IV/553226 Ibid, p.V/554227 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, p.IV/553

88

Page 89: BAB I sampai BAB IV

“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka

mengucapkan:"Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn (sesungguhnya kami milik

Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”228

Ibnu Katsīr rahimahullah berkata: "Setiap Muslim akan merasa sedih

atas terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra. Sesungguhnya dia adalah salah seorang

dari generasi terkemuka kaum Muslimin, juga salah seorang Ulama’ di

kalangan para Sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasūlullah Saw. Ia

adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani dan pemurah. Tentang apa

yang dilakukan Syī’ah (di hari 'Asyura) seperti bersedih-sedih dan berkeluh-

kesah merupakan tindakan tidak pantas. Boleh jadi, itu mereka lakukan

adalah karena pura-pura dan riya’. Sesungguhnya ayah Ḥusain ('Ali bin Abī

Thâlib ra) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam

keadaan terbunuh. Akan tetapi, mereka tidak menjadikan hari kematiannya

sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Ḥusain bin ‘Alī ra (yang

diperingati). 'Ali bin Abī Thâlib ra terbunuh pada hari Jum'at saat keluar

rumah mau melaksanakan ṣalāt ṣubuh, pada tanggal 17 Ramaḍān, tahun 40

Hijriyah.229

Allah Swt telah memanggil Rasūlullah Saw, penghulu anak Adam di

dunia dan akhirat, sama seperti para Nabi sebelumnya ‘Alaihimussalam.

Namun tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela

sungkawa, atau melakukan perbuatan yang serupa dengan orang-orang Syiah

pada hari kematian Ḥusain. Tidak seorang pun menyebutkan bahwa terjadi

sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang

disebutkan Syiah pada hari kematian Ḥusain. Seperti terjadinya gerhana

matahari, adanya cahaya merah di langit dan lain-lain –riwayat batil, pen-"230

Syaikh Fāḍil Ar Rūmi rahimahullah, seorang Ulama’ Dinasti

‘Utsmāniyah mendudukkan kesalahan Syī’ah dalam masalah ini dengan

menyatakan: "Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muḥarram sebagai hari

berduka karena terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra yang dilakukan kaum Syiah,

228 Qs.Al Baqarah: 156229 Ibnu Katsīr, p.VIII/208230 Ibnu Katsīr, p.VIII/208

89

Page 90: BAB I sampai BAB IV

hal itu adalah perbuatan orang-orang sesat sewaktu di dunia. Tetapi mereka

mengira telah melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal Allah Swt dan

Rasūl Saw saja tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah

para Nabi atau hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi terhadap

hari kematian orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka.231

Pada kesempatan lain beliau menyatakan: "Di antara bentuk bid'ah yang

dilakukan sebagian manusia pada hari 'Asyura adalah menjadikan hari

tersebut sebagai hari berduka. Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa

diri pada hari tersebut. Disamping itu mereka mencaci para Sahabat

Rasūlulullah Saw yang telah meninggal, berdusta atas nama keluarga Nabi

Saw, dan melakukan berbagai kemungkaran lainnya yang dilarang di dalam

Al Qur'an dan Sunnah Rasūlullah Saw serta kesepakatan kaum Muslimin.232

Sesungguhnya Ḥusain bin ‘Alī ra telah dimuliakan Allah Swt dengan

menjadikannya sebagai orang yang mati syahīd pada hari tersebut. Dia dan

saudaranya Ḥasan adalah dua pemuda penghuni Jannah. Sekalipun

terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan

tetapi Allah Swt mensyariatkan bagi kaum Muslimin ketika mengalami

musibah untuk mengucapkan kalimat istirjâ' (innâ lillâh wa innâ ilaihi

raji’ûn).233

Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi Saw pada hari

peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, perbuatan

ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi jika disertai dengan memukul-

mukul muka, merobek-robek baju, berteriak-teriak yang merupakan

kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat dan mencaci orang-orang Mukmin

(para Sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum), serta membantu orang-orang

zindiq untuk merusak Islam.234

Rasūlullah Saw telah menerangkan hukum menyiksa diri atas peristiwa

musibah yang menimpa seseorang dalam ḥadīts berikut ini:

231 Majâlisul Abrâr majlis, no.37232 Ibid, no.37233 Ibid, no.37234 Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37

90

Page 91: BAB I sampai BAB IV

س� �ي �ا ل ب� م�ن م�ن خ�د�ود� ض�ر� ق� ال �وب� و�ش� ي ج� �د�عو�ى و�د�ع�ا ال �ة� ب �ي اه�ل ج� ال

"Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka,

merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah"235

Dalam ḥadīts lain, Rasūlullah Saw bersabda:

Cع ����ب ر� م�ت�ي ف�ي أ

� ر� م�ن أ ����م ة� أ �����ي اه�ل ج� �ه�ن� ال� ال ون ����ك ر� �ت ر� ي ���ف�خ : ال

اب� �حس� �األ اب� ف�ي و�الط�عن� ب ���س �ن ق�اء� األ ���س ت س � و�اال� �ج�وم الن ���ة� ب ����اح -ي و�الن

ال� ع�ل�ى ���. و�ق -ت� م�ي ة� ال ����ح �ائ �م إذ�ا : الن �ب ل �ت ل� ت ��ا ق�ب ����ه ام� م�وت ����ق وم� ت ��� ي

�ام�ة� ق�ي ه�ا ال �ي �الC و�ع�ل ب ر انA م�ن س� عC ق�طر� بA م�ن و�د�ر ج�ر�

"Ada empat perkara yang termasuk perkara jahiliyah terdapat di tengah

umatku; berbangga dengan kesukuan, mencela keturunan (orang lain),

meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat" Kemudian

beliau Saw menambahkan: "Wanita yang meratapi mayat apabila tidak

bertaubat sebelum meninggal, ia akan dibangkit pada hari kiamat dengan

memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta"236

Abū Musa Al Asy 'ari ra berkata:

�ا �ن �ر�يءC أ �ر�ئ� م�م�ا ب ه� ب ول� م�ن س� �ه� ر� �ه� ص�ل�ى الل ه� الل ��ي �م� ع�ل ل ��� إن� و�س

س�ول� �ه� ر� �ه� ص�ل�ى الل ه� الل �ي �م� ع�ل ل �ر�يءC و�س� �ق�ة� م�ن ب ال ح� �ق�ة� ال ال ��� , , و�الص

اق�ة� و�الش�

"Aku berlepas diri orang-orang yang Rasūlullah Saw berlepas diri dari

mereka. Sesungguhnya Rasūlullah Saw berlepas diri dari wanita yang

mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-

robek baju (saat ditimpa musibah)"237

3.2. Jati diri para pembunuh Ḥusain bin ‘Alī ra

Pelaku pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra secara langsung yang masyhur

ada dua orang, yaitu Sinan bin Anas An Nakha’i dan Syimr bin Dhul Jausyan.

Sementara yang menjadi otak pembunuhan ini adalah ‘Ubaidullah bin Ziyad.

235 Bukhāri dan Muslim236 Muslim237 Bukhâri dan Muslim

91

Page 92: BAB I sampai BAB IV

Padahal dulunya, ’Ubaidullah dan Syimr ini termasuk pendukung ‘Alī

(Syi’atu ‘Alī). Kesimpulan ini merujuk kepada berapa alasan berikut:

Pertama, ‘Ubaidullah bin Ziyad dimasukkan oleh Aṭ Ṭūsi –’ulama

Syī’ah- di dalam kitābnya Ar Rijāl, ke dalam sahabat-sahabat ‘Alī bin Abī

Ṭālib ra.238

Kedua, Syimr bin Dhul Jausyan dikomentari oleh An Namizi Asy

Syahrudi –’ulama Syī’ah- : “Pada perang Ṣiffīn ia berada dalam barisan

pasukan ‘Amīrul Mu’minīn ‘Alī bin Abi Ṭālib ra.”239

Ketiga, Sejarah tidak akan melupakan peranan Syits bin Rib’ī di dalam

pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala. Syits bin Rib’ī adalah seorang

Syi’ah tulen, pernah menjadi duta kepada ‘Alī di dalam peperangan Ṣiffīn,

sentiasa bersama Ḥusain. Dia juga yang menjemput Ḥusain ke Kufah untuk

mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan Yazīd. ‘Ulama

Syī’ah memaparkan bahwa dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera

untuk menentang Ḥusain dan dialah orang yang pertama-tama turun dari

kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain.240

Dr. ‘Utsman bin Muḥammad Al Khāmis –’ulama Ahlus Sunnah- dalam

bukunya Ḥiqbah Minat Tārikh menyebutkan bahwa para pembunuh Ḥusain

bin ‘Alī ra mendapatkan siksa dunia sebelum siksa akhirat. Ia menegaskan

bahwa orang yang memerintahkan untuk membunuh Ḥusain bin ‘Alī ra

adalah ‘Ubaidullah bin Ziyad. Tidak lama setelah Ḥusain bin ‘Alī ra

terbunuh, ‘Ubaidullah juga dibunuh oleh Al Mukhtār bin ‘Ubaid sebagai

balasan terhadap terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra. Padahal Al Mukhtār ini

termasuk di antara mereka yang meninggalkan Muslim bin ‘Aqīl.241

Penduduk Kufah ingin menebus dosa mereka sendiri karena beberapa

alasan sebagai berikut:

Pertama, meninggalkan Muslim bin ‘Aqīl yang menyebabkan ia

terbunuh, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang bergerak membelanya.

238 Aṭ Ṭūsi, Rijāl Aṭ Ṭūsi, (Najāf: Al Maṭba’ah Al Ḥaidariyyah, 1961), bagian ke-120, p.54 239 Asy Syahrudi, An Namizi, Mustadrakāt ‘Ilm Ar Rijāl Al Ḥadīts, (Qumm: Mu’assasah An

Nasyr Al Islāmi, 1425 H), bagian ke-6899, p.IV/220240 Khulashatu Al Mashaaib, hal. 37241 Al Khamīs, p.245

92

Page 93: BAB I sampai BAB IV

Kedua, ketika Ḥusain bin ‘Alī ra berangkat menuju Kufah, tidak ada

seorang pun di antara mereka yang membelanya kecuali yang dilakukan oleh

Al Ḥurr bin Yazīd At Tamimī dan segelintir orang dari pasukannya.

Penduduk Kufah justru meninggalkannya. Oleh karena itu pada peringatan

Karbala para pengikut Syī’ah, memukul-mukul dada-dada mereka dan

melakukan hal-hal yang menurut mereka bisa menghapus kesalahan-

kesalahan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dan seperti itulah klaim

mereka selama ini.242

Dari ‘Umarah bin ‘Umair –‘ulama Ahlus Sunnah-, dia menuturkan:

“Ketika kepala ‘Ubaidullah dan teman-temannya didatangkan, kemudian

dibariskan di halaman masjid, aku pun mendekat, lalu aku mendengar orang-

orang berkata: ‘Telah datang, telah datang.’ Maka tiba-tiba seekor ular

merambat melewati kepala-kepala itu, kemudian masuk ke lubang hidung

‘Ubaidullah bin Ziyād, dan diam di sana beberapa saat. Setelah itu ular itu

keluar dan pergi sampai tidak kelihatan lagi. Selanjutnya mereka berkata lagi:

‘Telah datang, telah datang.’ Ular yang tadi menghilang datang lagi dan

melakukan hal serupa sebanyak dua atau tiga kali.”243

Inilah pembalasan dari Allah Swt kepada orang yang punya andil besar

dalam pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra.

Dari Abū Raja’ Al Aṭāridi, dia berkata: “Janganlah kalian mencela ‘Alī

dan Ahlul Bait, karena mereka adalah tetangga kita dari Balhujin - Salah satu

kabilah Arab-. Lantas seseorang menyela apakah kalian tidak melihat orang

fasik ini (maksudnya Ḥusain bin ‘Alī ra) semoga Allah Swt membunuhnya.

Maka Allah Swt menimpakan kepada orang tadi dengan penyakit kaukab244 di

kedua bola matanya, kemudian Allah Swt menjadikannya buta.”245

242 Pasukan Al Mukhtār yang menuntut balas atas terbununya Ḥusain bin Alī ra menamakan diri mereka pasukan At Tawabbun (yang bertaubat) sebagai pengakuan dari mereka atas keteledoran mereka terhadap Ḥusain bin Alī ra. Inilah awal mula munculnya Syī’ah dalam bentuk gerakan politik. Sementara dalam bentuk pemahaman aqidah dan fiqih, kemunculannya lama setelah peristiwa ini, yaitu beberapa waktu setelah runtuhnya Daulah Bani ‘Umayyah.

243 Jaami’ut Tirmidzi, Kitāb Al Manāqib, Bab Manaaqibul Hasan wal Ḥusain, no.3780. At Tirmidzi berkata: “ḥadīts ini hasan Ṣaḥīḥ.”

244 Kaukab adalah noda putih yang mengenai mata. Kadang-kadang, menyebabkan hilangnya penglihatan

245 Aṭ Ṭabranī, Mu’jamul Kabir, p.III/2830, sanad ḥadīts ini Ṣaḥīḥ93

Page 94: BAB I sampai BAB IV

Sebelum mengungkap lebih jauh tentang jati diri para pembunuh

Ḥusain bin ‘Alī ra, perlu disebutkan kilas balik sejarah beberapa tahun

sebelumnya, yaitu pada masa ‘Alī bin Abī Ṭālib dan Ḥasan bin ‘Alī ra yang

mengungkapkan kekesalannya kepada para pendukung mereka (Syī’ah-nya).

a. ‘Alī bin Abī Ṭālib ra dan pendukungnya

‘Alī bin Abī Ṭālib ra mengeluhkan para pendukungnya, yaitu

penduduk Kufah (Syī’ah-nya ‘Alī ra) . Ia berkata dalam kita Nahjul

Balāghah: “Umat-umat terdahulu takut terhadap keẓāliman para

pemimpinnya, tapi aku justru takut terhadap keẓāliman rakyatku. Aku

mengajak kalian untuk berjihad, namun tidak ada yang menyambut

ajakanku. Aku berbicara pada kalian kepada kebaikan secara rahasia dan

terang-terangan, tetapi kalian tidak patuh. Aku nasehati kalian, tetapi

kalian tidak menerima. Apakah kalian ada, tetapi pada hakikatnya tidak

ada? Apakah kalian para hamba sahaya, tetapi seolah-olah sebagai

majikan.246

Aku bacakan hukum kepada kalian, namun kalian lari darinya. Aku

nasehati kalian dengan nasehat yang bagus, namun kalian lari darinya.

Aku ajak kalian untuk berjihad terhadap pembelot, tetapi belum sempat

aku mengakhiri perkataanku, kalian sudah membubarkan diri,247 kembali

ke tempat kalian, dan kalian memanipulasi nasehat-nasehat yang telah

diberikan. Aku meluruskan kalian pada pagi hari, namun sore harinya

kalian kembali padaku dalam keadaan bengkok laksana punggung ular.

Yang memberi nasehat telah melemah, tertapi orang yang dinasehati

makin mengeras.248

Wahai orang-orang yang tubuhnya hadir di sini tapi pikirannya

tidak tahu di mana, yang berbeda-beda keinginannya, dan yang menjadi

ujian bagi para pemimpinnya, teman kalian tunduk kepada Allah Swt,

sedangkan kalian mendurhakai-Nya. Aku sungguh sangat berharap –

246 Nahjul Balāghah, (Beirūt: Dār At Ta’aruf), p.I/187-189247 Ayyadiya saba (dalam teks asli) adalah ungkapan yang dijadikan sebagai perumpamaan dalam

hal perpecahan. Lihat: Lisaanul Arab, kolom سبأ248 Nahjul Balaghah, p.I/187-189

94

Page 95: BAB I sampai BAB IV

demi Allah Swt- Mu’āwiyah akan menukar kalian dariku, seperti

menukar dinar dengan dirham, dimana dia mengambil dariku sepuluh

orang di antara kalian dan memberiku seorang dari mereka.

Wahai penduduk Kufah, aku diuji melalui kalian dengan lima

masalah:

Pertama, kalian tuli tapi mempunyai pendengaran

Kedua, kalian bisu tapi bisa berbicara

Ketiga, kalian buta tapi mempunyai penglihatan

Keempat, kalian pengecut ketika menghadapi peperangan

Kelima, tidak ada di antara kalian teman yang dapat dipercaya

ketika mendapat ujian. Celakalah kalian! Kalian seperti kawanan unta

kehilangan penggembalanya, jika digiring dari satu sisi dia lari ke sisi

yang lain.249

Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka juga menuduh ‘Alī bin

Abī Ṭālib ra sebagai pembohong. Syarif Ar Radhi –‘ulama Syī’ah-

meriwayatkan dari ‘Amīrul Mu’minīn ‘Alī bin Abī Ṭālib ra berkata:

“Amma ba’du. Wahai penduduk Irak, kalian itu seperti wanita hamil

yang ketika kehamilannya telah sempurna, ia keguguran, suaminya mati,

menjanda dalam waktu yang lama, dan pusakanya diwarisi orang yang

hubungan kekeluargaannya sangat jauh dengannya. Demi Allah Swt aku

tidak mendatangi kalian dengan sukarela. Tapi aku datang kepada kalian

dengan terpaksa. Aku sudah mendengar bahwa kalian mengatakan ‘Alī

berbohong –semoga Allah Swt membinasakan kalian- kepada siapa Aku

pernah berbohong?”250

‘Alī bin Abī Ṭālib ra juga berkata: “Semoga Allah Swt memerangi

kalian, kalian mencemari hatiku dengan nanah, memenuhi dadaku

dengan amarah, mencekokiku dengan kesedihan, seteguk demi seteguk,

dan kalian merusak pikiranku dengan kedurhakaan dan

pengkhianatan.”251

249 Ibid, p.I/187-189250 Nahjul Balaghah, p.I/118-119251 Ibid, p.I/187-189

95

Page 96: BAB I sampai BAB IV

b. Ḥasan bin ‘Alī ra dan pendukungnya

Ḥasan bin ‘Alī ra berkata: “Demi Allah Swt Mu’āwiyah jauh lebih

baik dari pada mereka (Syī’ah-nya Ḥasan bin ‘Alī ra). Mereka mengaku

bahwa mereka pendukungku yang loyal, padahal mereka ingin sekali

membunuhku. Demi Allah Swt seandainya Mu’āwiyah melakukan

perjanjian damai denganku yang akan menyelamatkan diriku, dan aku

merasa aman dengan keluargaku, maka ini jauh lebih baik daripada

mereka (orang-orang Syī’ah Kufah) membunuhku, yang mengakibatkan

keluarga dan istriku terlantar. Seandainya aku berperang melawan

Mu’āwiyah, maka pasukan Mu’āwiyah akan menyeretku kepadanya

dalam keadaan selamat.252

Ḥasan bin ‘Alī ra juga berkata: “Wahai penduduk Irak, aku

meninggalkan kalian disebabkan tiga hal:

Pertama, pembunuhan yang kalian lakukan terhadap ayahku

Kedua, luka yang kalian torehkan padaku

Ketiga, hartaku yang telah kalian rampas.253

c. Penghianatan penduduk Kufah dan merekalah para pembunuh Ḥusain bin

‘Alī ra

Setelah menyimak keluhan ‘Alī bin Abī Ṭālib dan Ḥasan bin ‘Alī

ra terhadap pendukungnya. Penulis akan menyebutkan perkataan

Muḥammad bin ‘Alī bin Abī Ṭālib, yang dikenal dengan nama Ibnu Al

Hanafiyyah saat menasehati saudaranya, Ḥusain bin ‘Alī ra. Ia berkata:

“Wahai saudaraku engkau telah mengetahui penghianatan penduduk

Kufah terhadap ayah dan saudaramu. Aku juga takut engkau akan

mengalami seperti yang mereka alami.254

Penyair yang terkenal dengan nama Farazdak berkata kepada

Ḥusain bin ‘Alī ra, ketika Ḥusain bin ‘Alī ra bertanya tentang para

pendukungnya yang akan ia datangi: “Hati-hatilah mereka memang

252 An Nadwah, p.III/208 dan Fii Rihaab Ahlul Bait, p.270253 Laqaad Syayya’anil Ḥusain, p.283254 Ibnu Thawus, p.39. Asyuraa, Al Ihsa’i, p.115. Al Majalis Al Fakhirah, ‘Abdul Ḥusain, p.75.

Muntahal ‘Amaal, p.I/454. dan Alaa Khuthal Ḥusain, p.96.96

Page 97: BAB I sampai BAB IV

bersamamu, tapi pedang mereka selalu mengancamu. Hanya saja takdir

itu turun dari langit (Allah Swt), dan Allah Swt dapat melakukan apa saja

yang Dia kehendaki.” Ḥusain bin ‘Alī ra berkata: “Engkau benar segala

sesuatu memang milik Allah Swt. Setiap hari Dia selalu mengurus

makhluk-Nya. Jika memang takdir Allah Swt turun sesuai dengan yang

kita suka dan inginkan, maka kita memuji-Nya atas segala nikmat-Nya.

Dialah tempat meminta tolong agar dapat mensyukuri nikmat. Tetapi jika

ketentuan tidak sesuai dengan harapan, maka Allah Swt tidak akan jauh

dari orang yang kebenaran adalah niatnya dan ketakwaan adalah

perilakunya.”255

Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra berpidato di depan orang-orang Kufah,

ia menyinggung ulah dan perilaku mereka masa lampau terhadap ayah

dan saudaranya: “Jika kalian tidak melaksanakan dan tidak menepati janji

kalian, bahkan kalian membatalkan bai’at kalian kepadaku, maka hal

seperti itu tidaklah aneh. Kalian telah melakukannya terhadap ayah,

saudara, dan pamanku, Muslim bin ‘Aqīl. Orang yang berhasil ditipu

oleh kalian benar-benar tertipu.”256

Beliau juga diketahui telah mendoakan keburukan untuk mereka

dengan kata-katanya: “Binasalah kamu ! Tuhan akan membalas bagi

pihakku di dunia dan di akhirat……..Kamu akan menghukum diri kamu

sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu

akan menumpahkan darahmu sendiri. Kamu tidak akan mendapat

keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu.

Apabila mati nanti sudah tersedia azab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu

akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang

paling dahsyat kekufurannya”.257

Berikut beberapa kesaksian Ahlul Bait dan para ‘ulama Syi’ah

terkait pembunuhan Ḥusain yang dilakukan oleh penduduk Kufah:

255 Al Majalis Al Fakhirah, p.79. Alaa Khutal Ḥusain, p.100.256 Ma’alimul Madrasatain, p.III/72. Ma’alish Sibthain, p.I/275. Bahrul Ulum, p.194, Nafsul

Mahmum, p.172. Khairul Ash-haab, p.39 dan Tuzhlamuz Zahraa’, p.170257 Baqir Majlisi – Jilaau Al’Uyun, hal. 409

97

Page 98: BAB I sampai BAB IV

a. ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra yang terkenal dengan nama Zainal Abīdin

‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra mengecam para pengikutnya yang

mengkhianati dan membunuh ayahnya, ia berkata: “Wahai manusia aku

benar-benar ingin bertanya kepada kalian, ingatkah kalian ketika kalian

mengirimkan surat kepada ayahku, kemudian kalian menipunya? Kalian

menjanjikan kepadanya kesetiaan dan bai’at, tetapi kalian memerangi dan

meninggalkannya. Sungguh perbuatan itu akan membinasakan kalian.

Alangkah jelek pikiran kalian, dengan mata yang mana kalian akan

melihat Rasūlullah Saw ketika bertanya kepada kalian: ‘Kalian telah

membunuh keluargaku dan menodai kehormatanku. Kalian bukanlah

umatku.”

Maka bergemuruhlah suasana dengan tangisan para wanita yang

mengharu biru dari segala penjuru. Mereka saling berkata: “Celakalah

kalian disebabkan apa yang kalian lakukan” ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra

kemudian berkata: “Semoga Allah Swt mengasihi orang yang menerima

nasehatku dan melaksanakan wasiatku menyangkut Allah Swt dan Rasūl-

Nya serta keluarganya. Karena dalam diri Rasūlullah Saw terdapat suri

teladan yang baik bagi kita.”

Mendengar perkataan tersebut mereka pun serentak berkata: “Kami

semua akan mendengar, patuh dan menjagamu, kami tidak akan

meremehkanmu dan tidak akan juga membenci dirimu. Perintahlah kami

semaumu semoga Allah Swt meramatimu. Kami akan memerangi orang

yang engkau perangi. Kami akan berdamai dengan orang yang engkau

ajak berdamai. Kami benar-benar akan membawa Yazīd dan kami akan

berlepas diri dari orang yang menẓālimimu dan menẓālimi kami.”

‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra berkata: “Mustahil wahai para

pengkhianat dan para pecundang. Aku akan mengikuti keinginan kalian.

Apakah kalian juga akan mengkhianatiku seperti yang kalian lakukan

terhadap orangtuaku? itu tidak akan pernah aku lakukan, demi Rabb yang

menciptakan unta-unta, luka itu belum sembuh. Ayahku dan keluarganya

terbunuh kemarin. Aku tidak akan lupa dengan kisah meninggalnya

98

Page 99: BAB I sampai BAB IV

Rasūlullah Saw, keluarganya, serta ayahku dan anak-anaknya. Kesedihan

itu selalu hadir setiap saat. Pahitnya masih terasa di tenggorokan dan

kerongkonganku. Duri itu masih tetap bersarang di dadaku.”258

Ketika Imām Zainal Abīdin lewat dan melihat penduduk Kufah

sedang meratap dan menangis, ia membentak mereka seraya berkata:

“Kalian ratapi dan menangisi kami (Ahlul Bait) siapakah yang

membunuh kami?”259

b. Ummu Kulsum binti ‘Alī rah

Ummu Kultsum berkata: “Wahai orang-orang Kufah (Syī’ah)

alangkah jahatnya kalian. Kenapa kalian meninggalkan dan membunuh

Ḥusain? Kalian rampas dan warisi harta bendanya, kalian tawan istri-

istrinya, dan kalian susahkan dia? Maka celaka dan jauhlah kalian dari

rahmat Allah Swt. Musibah apa yang telah menimpa kalian, dosa apa

yang telah kalian pikul di punggung kalian, darah siapa yang telah kalian

tumpahkan, istri-istri siapa yang kalian tawan, anak-anak siapa yang

kalian rampas, dan harta benda siapa yang kalian rampok? Kalian telah

membunuh laki-laki terbaik setelah Nabi Saw. Rasa kasih sayang telah

dicabut dari hati kalian.”260

c. Zainab binti ‘Alī rah

Zainab binti ‘Alī rah ketika berbicara di hadapan kumpulan orang

yang menyambutnya dengan isak tangis dan jeritan berkata: “Apakah

kalian benar-benar menangis dan meratap? Demi Allah Swt menangislah

kalian banyak-banyak dan tertawalah sedikit. Karena kalian telah

mendapatkan cela dan kehinaannya. Dan kalian tidak akan pernah bisa

258 Khutbah ini disebutkan oleh Aṭ Ṭabrasī dalam Aṭ Ṭabrasī, Aḥmad bin ‘Alī bin Abī Ṭālib, Al Iḥtijāj, (Beirūt: Mu’assasah Al A’lamī, 1401 H), p.II/32.; Ibnu Ṭawus, p.92; Al Amin dalam Lawaa’ijul Asyjaan, p.158. Abbas Al Qummi dalam Muntahal Amaal, I/157, Ḥusain Kurani dalam Rihlah Karbala, p.183. ‘Abdurrazaq Al Muqrim dalam Maqtalul Ḥusain, p.317. Murtadha Iyad dalam Maqtalul Ḥusain, Cet.4, 1996, p.87 dan diulang oleh Abbas Al Qummi dalam Nafsul Mahmum, p.360. Radhi Al Qazwini juga menyebutkannya dalam Tuhlamuz Zahraa’, p.262.

259 Ibnu Ṭawus, p.86. Nafsul Mahmum, p.357. Maqtalul Ḥusain, Murtadha Iyad, p.83. dan Tuhlamuz Zahraa’, p.257

260 Ibnu Ṭawus, p.91. Nafsul Mahmum, p.363. Maqtalul Ḥusain, Al Muqrim, p.316. Lawaa’ijul Asyjaan, p.157. Maqtalul Ḥusain, Murtadha Iyad, p.86 dan Tuzhlamuz Zahraa’, p.261.

99

Page 100: BAB I sampai BAB IV

membersihkannya untuk selama-lamanya. Bagaimana bisa kalian

mencuci dosa pembunuhan terhadap keturunan penutup para Nabi?”261

Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Zainab binti ‘Alī rah

mengeluarkan kepalanya dari tandu yang membawanya sambil berkata

kepada para penduduk Kufah: “Diamlah wahai orang-orang Kufah.

Kaum laki-laki dari kalangan kalian membantai kami (Ahlul Bait),

sementara kaum wanita kalian menangisi kami. Maka Allah Swt lah yang

akan menjadi hakim di antara kami dan kalian pada hari Kiamat.”262

d. Jawad Muḥadditsi

Jawad Muḥadditsi –‘ulama Syī’ah- berkata: “Semua penyebab ini

mengakibatkan Imām ‘Alī menerima dua kepahitan dari mereka, Imām

Ḥasan menghadapi pengkhianatan mereka, Muslim bin ‘Aqīl terbunuh di

tengah-tengah mereka secara teraniaya, dan Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh

kehausan di Karbala, sebuah tempat di dekat Kufah, di tangan tentara

Kufah.”263

e. Ḥusain Kurani

Ḥusain Kurani –‘ulama Syī’ah- berkata: “Penduduk Kufah tidak

hanya membelot dari Ḥusain bin ‘Alī ra, bahkan disebabkan sikap

mereka yang tidak berpendirian, mereka mengambil sikap ketiga, yaitu

mulai berlomba-lomba menuju Karbala untuk memerangi Ḥusain bin

‘Alī ra. Di Karbala mereka memulai berlomba-lomba mengukir sejarah

dengan perbuatan-perbuatan yang membuat syaitan senang dan membuat

Allah Swt murka.”264

Ḥusain Kurani juga berkata: “Kita juga akan menemukan perbuatan

lain yang menunjukan kemunafikan orang-orang Kufah, yakni ‘Abdullah

bin Hauzah At Tamimī berdiri di depan Ḥusain bin ‘Alī ra dan berteriak

lantang: ‘Adakah Ḥusain di antara kalian? Padahal orang ini adalah salah

seorang penduduk Kufah. Padahal kemarin dia termasuk pendukung ‘Alī.

261 Ma’Al Ḥusain Fi Nahdhatihi, p.295262 Abbas Al Qummi dalam Nafsul Mahmum, p.365. Radhi bin Nabi Al Qazwini dalam

Tuzhlamuz Zahraa’, p.264263 Mausu’ah Asyura, p.59264 Fii Rihlah Karbala, p.60-61

100

Page 101: BAB I sampai BAB IV

Dan kemungkinan dia termasuk orang yang mengirimkan surat kepada

Ḥusain atau memberikan dukungan kepadanya untuk menjadi khalīfah.

Tapi setelah itu dia berkata: “Wahai Ḥusain bergembiralah dengan

neraka.”265

f. Murtaḍā Muṭahari

Murtaḍā Muṭahari –‘ulama Syī’ah- berkata: “Tidak diragukan lagi

bahwa penduduk Kufah adalah pendukung ‘Alī, dan yang membunuh

Ḥusain bin ‘Alī ra adalah pendukungnya sendiri (Syi’ah-nya Ḥusain).”266

Murtadha Muthahari juga berkata: “Kita tetapkan bahwa kisah ini

teramat penting dari sisi ini. Kita mengatakan bahwa Ḥusain terbunuh di

tangan orang –yang mengaku Islam-, bahkan di tangan Syī’ah, 50 tahun

setelah wafatnya Rasūlullah Saw. Itu suatu hal yang mengherankan,

sebuah teka-teki yang aneh dan sangat menarik perhatian.”267

Sementara yang memberi perintah dan senang dengan terbunuhnya

Ḥusain adalah ‘Ubaidullah bin Ziyad. Yang melakukan pembunuhan

secara langsung terhadap Ḥusain adalah Syimr bin Dhul Jausyan dan

Sinan bin Anas An Nakha’i itu ironi, mengingat mereka bertiga

termasuk pendukung ‘Alī dan termasuk personil ‘Alī dalam perang

Ṣiffīn.268

g. Kāẓim Al Ihsā’i An Najfi

Kāẓim Al Ihsā’i An Najfi –‘ulama Syī’ah- berkata: “Pasukan yang

keluar memerangi Ḥusain bin ‘Alī ra berjumlah 300.000 orang.

Semuanya penduduk Kufah. Tidak ada orang Syām, Hijaz, India,

Pakistan, Sudan, Mesir, dan Afrika di antara mereka. Mereka semua

adalah orang-orang Kufah, berkumpul dari berbagai kabilah.”269

h. Muḥsīn Al Amīn

Muhsin Al Amin –‘ulama Syī’ah- berkata: “Ada 20.000 orang

penduduk Irak membai’at Ḥusain dan mengkhianatinya, lalu

265 Fii Rihlah Karbala, p.60-61266 Al Malhamatul Ḥusainiyyah, p.I/129267 Al Malhamatul Ḥusainiyyah, p.III/94268 Ibid,p.III/94269 Asyura, p.89

101

Page 102: BAB I sampai BAB IV

memeranginya. Padahal bai’at itu masih mereka pegang. Hingga

akhirnya mereka membunuhnya,”270

i. Qāḍī Nūrullah Syustri

Qāḍī Nūrullah Syustri –‘ulama Syī’ah- juga menulis di dalam

bukunya Majālis Al’Mu’minīn bahwa setelah sekian lama (kurang lebih

4 atau 5 tahun) Ḥusain terbunuh, pemimpin orang–orang Syī’ah

mengumpulkan orang–orang Syī’ah dan berkata, ” Kita telah memanggil

Ḥusain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian

kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini

tidak akan diampuni kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita.“

Dengan itu berkumpulah sekian banyak orang–orang Syi’ah di tepi

Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang artinya, ”Maka

bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah

dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan

kamu.“271 Kemudian mereka saling membunuh sesama diri mereka

sendiri. Inilah golongan yang dikenal dalam sejarah Islam dengan gelaran

“At Tawābūn”.272

Dari semua kesaksian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

ternyata pembunuh Ḥusain bin ‘Alī ra di Karbala adalah orang-orang

Syī’ah Kufah yang mengkhianati sampai pada taraf membunuh cucu

Nabi Saw tercinta. Bahkan Ahlul Bait dan ‘ulama-‘ulama Syī’ah pun

mengakui hal tersebut. Lantas mengenai tuduhan-tuduhan yang ditujukan

kepada Bani ‘Umayyah adalah semata-mata hanya untuk mengalihkan

isu politik saja. Seakan-akan Yazīd bin Mu’āwiyah dan Bani ‘Umayyah

lah yang paling bertanggung jawab atas peristiwa memilukan ini.

3.3. Keterlibatan Yazid bin Mu’awiyyah dalam pembunuhan Ḥusain bin

‘Alī ra

270 Al ‘Āmlī, Muḥsin Al Amīn, A’yānusy Syī’ah, (Damaskus: Maṭbu’ah bin Zaidūn, Tanpa Tahun), p.I/26

271 Qs. Al Baqarah: 54272 Qāḍī Nūrullah Syustri, Majālis Al’Mu’minīn

102

Page 103: BAB I sampai BAB IV

3.3.1.Posisi Yazīd bin Mu’awiyyah terkait pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī

ra

Yazīd bin Mu’awiyyah tidak mempunyai andil dalam pembunuhan

Ḥusain bin ‘Alī ra. Pernyataan ini bukan dalam rangka pembelaan terhadap

Yazīd semata, tetapi pembelaan terhadap kebenaran.273

Perlu diingat bahwa Yazīd mengirim ‘Ubaidullah bin Ziyad sekedar

untuk menghalangi masuknya Ḥusain bin ‘Alī ra ke Kufah dan dia tidak

memerintahkan supaya Ḥusain bin ‘Alī ra dibunuh, adapun tuduhan Syī’ah

bahwa Yazīd telah merencanakan pembunuhan tersebut adalah tidak benar.

Bahkan Ḥusain bin ‘Alī ra sendiri berbaik sangka kepada Yazīd seperti dalam

perkataanya: “Biarkan aku pergi ke tempat Yazīd, kemudian aku taruh

tanganku di atas tangannya (berbai’at).”274

Ibnu Taimiyah berkata: “Yazīd bin Mu’āwiyah tidak pernah

memerintahkan pembunuhan terhadap Ḥusain bin ‘Alī ra. Demikian menurut

kesepakatan para Ulama’ ahli ḥadīts. Akan tetapi hanya memerintahkan Ibnu

Ziyād supaya melarang Ḥusain memasuki wilayah Irak. Saat berita

terbunuhnya Ḥusain terdengar oleh Yazīd, dia menampakan kesedihan yang

mendalam atas peristiwa ini. Dari sikapnya yang diam mematung terdengar

tangisannya. Dia tidak pernah menawan satu pun perempuan dari keluarga

Ḥusain bin ‘Alī ra. Tetapi sebaliknya dia menghormati keluarga Ḥusain bin

‘Alī ra, membebaskan mereka sampai dia mengembalikan mereka ke negri

mereka.275

Mengenai riwayat yang menyebutkan penghianaan terhadap wanita-

wanita keluarga Rasūlullah Saw mereka dibawa ke Syām sebagai tawanan

dan dihinakan disana, semua ini adalah riwayat yang tidak benar. Sebaliknya

Bani ‘Umayyah sangatlah menghormati Bani Hāsyim. Karena itu ketika Al

Hajjaj bin Yusuf menikahi Fāthimah binti ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Abdul Mālik

bin Marwan tidak menyetujuinya. Yazīd memerintahkan Al Hajjaj supaya

273 Lihat uraian detainnya di Al Khamīs, p.261-266274 Al Khamīs, p.261275 Ibnu Taimiyah, Minhājus Sunnah, p.IV/557-559

103

Page 104: BAB I sampai BAB IV

melepaskan dan menceraikannya. Mereka memuliakan Bani Hāsyim, bahkan

tidak ada seorang pun perempuan Bani Hāsyim yang tertawan.”276

Perempuan-perempuan Bani Hāsyim pada waktu itu terhormat dan

dimuliakan. Karena itu riwayat yang menyebutkan bahwa kepala Ḥusain bin

‘Alī ra dikirim kepada Yazīd ini juga tidak benar. Yang benar kepala Ḥusain

bin ‘Alī ra tetap berada di tangan ‘Ubaidullah bin Ziyad di Kufah. Ḥusain bin

‘Alī ra sendiri kemudian dimakamkan, akan tetapi tidak diketahui dimana

kuburannya. Pendapat yang masyhur mengatakan, ia dikuburkan di Karbala,

tempat ia dibunuh277, para ‘ulama dan sejarawan juga menyebutkan bahwa ia

dikuburkan di Madinah.278

3.3.2.Sikap moderat terhadap Yazīd

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Orang-orang yang memerangi

Yazīd pecah menjadi tiga kelompok: dua kelompok berlebihan dan satu lagi

moderat.

Pertama, kelompok ini amat fanatik dan sangat mencintai Yazīd.

Bahkan mereka mengatakan bahwa Yazīd adalah Nabi dan dia Ma’shum.279

Kedua, mereka sangat anti kepada Yazīd dan membencinya bahkan

mengkafirkannya. Kelompok ini mengatakan bahwa Yazīd adalah orang

munafik yang pura-pura menampakkan keislaman tapi menyembunyikan

kemunafikan serta benci kepada Nabi Saw.280

Mereka menisbatkan Sya’ir ini kepada Yazīd –ketika Ḥusain bin ‘Alī ra

terbunuh maupun ketika Yazīd melakukan tindakannya pada orang-orang

Harrah:

Oh, andai nenek moyangku yang mati di Badar menyaksikan

Kesedihan orang Khazraj akibat tertembus tombak

Telah kami bunuh pemuka mereka276 Ibid, p.IV/557-559277 Al Khamīs, p.262278 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwa p.XXVII/465279 Ibnu Taimiyah, Mukhtaṣar Minhājus Sunnah An Nabawiyah, (Ṣan’a: Dār uṣ Ṣidīq, 1426

M/2005 M)p.I/346280 Ibid, p.I/346

104

Page 105: BAB I sampai BAB IV

Dan itu membalas kekalahan kami di Badar

Mereka juga menisbatkan syair berikut kepada Yazīd:

Saat rombongan itu tampak dan terlihat kepala-kepalanya

Di atas tanah Jirun, burung gagak pun meracau,

Sedang aku berkata: meratap atau tidak sama saja,

Sungguh telah kutunaikan pada Nabi hutangku

Syaikhul Islam melanjutkan penjelasannya, sekaligus mewakili

pendapat ketiga mengatakan: “Pendapat dua kelompok ini tidak benar. Yazīd

adalah salah seorang penguasa kaum Muslimin, serta salah seorang khalīfah

mereka. Jadi sekali lagi ditegaskan, pendapat kedua kelompok ini tidak

benar.281

Mengenai terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra, tidak diragukan lagi bahwa

dia terbunuh dalam keadaan teraniaya dan syahīd, sebagimana orang-orang

yang terbunuh dalam keadaan teraniaya dan syahīd seperti dirinya. Siapa pun

yang terlibat atau senang terhadap pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra, maka ia

termasuk orang yang maksiat kepada Allah Swt dan Rasūl-Nya. Sungguh ini

adalah musibah yang menimpa umat Islam, baik yang terbunuh dari kalangan

keluarga Ḥusain bin ‘Alī ra ataupun bukan. Pembunuhan ini bagi Ḥusain bin

‘Alī ra adalah mati syahīd. Dengan itu derajat dan kedudukannya di sisi Allah

Swt akan dinaikan.”282

3.3.3.Larangan mencela Yazīd bin Mu’āwiyah

Di antara kejadian penting yang terjadi pada zaman pemerintahan Yazīd

adalah perang Harrah,283 perang terhadap ‘Abdullah bin Zubaīr ra dan

permbunuhan terhadap Ḥusain bin ‘Alī ra. Karena peristiwa-peristiwa inilah

sebagian orang membolehkan melaknat Yazīd, di samping ada pula orang-

orang yang melarangnya.

281 Ibnu Taimiyah, Mukhtaṣar Minhājus Sunnah An Nabawiyah, p.I/346282 Ibid, p.I/346283 Perang ini terjadi ketika penduduk Madinah memberontak kepada Yazīd. Ketka itu Yazīd

menghalalkan Madinah (membolehkan perang dan pertumpahan darah di kota ini) selama tiga hari. Al Khamīs, p.264

105

Page 106: BAB I sampai BAB IV

Apabila merujuk pada kaidah hukum maka orang yang membolehkan

laknat tersebut terlebih dahulu harus menetapkan tiga hal.284

Pertama, menetapkan bahwa Yazīd benar-benar fasik.

Kedua, menetapkan bahwa Yazīd belum bertaubat dari kefasikannya;

mengingat orang kafir saja diterima taubatnya oleh Allah Swt, apalagi orang

fasik.

Ketiga, menetapkan bolehnya melaknat sosok tertentu.

Hukum melaknat sosok tertentu yang sudah meninggal –yang tidak

dilaknat Allah Swt dan Rasūl-Nya- hukumnya adalah haram. Dalilnya ḥadīts

ṣaḥīḥ dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda:

قدموا ما إلي أفضوا قد فإنهم األموات تسبوا ال

“Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena

mereka telah mendapatkan apa yang sudah mereka kerjakan.”285

Agama Allah Swt tidaklah tegak di atas caci maki. Akan tetapi, tegak di

atas akhlaq yang mulia. Caci maki sama sekali bukanlah bagian dari agama

Allah Swt. Bahkan Rasūlullah Saw bersabda:

كفر قتاله و فسوق المسلم سباب

“Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah

kekufuran.”286

Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, jika memang

benar Yazīd itu seorang fasik. Hanya Allah Swt yang maha mengetahui hal

ini.

Bahkan dalam sebuah riwayat ṣaḥīḥ, Nabi bersabda:

لهم مغفور قيصر مدينة يغزون جيش أول

“Tentara pertama yang memerangi kota kaisar (konstantinopel), dosa

mereka diampuni.”287

284 Ibid, p.264285 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Al Janā’iz, Bab Mā Yunha ‘an Sabbil Amwaat, no.1393286 Muttafaq Alaih: Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Iman, Bab Khauful Mu’min an Yuhbath ‘Amaluh,

no.48. Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Iman, Bab Bayan Qaulin Nabi Saw Shibatul Muslim Fusuq wa Qitaluhu Kufrun, no.64

287 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Jihad, Bab Mā Qiila Fii Qitaalir Ruum, no.2924.106

Page 107: BAB I sampai BAB IV

Pasukan yang disebut-sebut dalam ḥadīts ini, ketika itu di bawah

panglima Yazīd bin Mu’āwiyah. Disebutkan pula bahwa yang ikut serta

dalam pasukan ini di antaranya adalah Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubaīr, Ibnu ‘Abbās,

dan Abū Ayyūb ra pada tahun 49 H.

Ibnu Katsīr berkata: “Yazīd melakukan kesalahan yang fatal ketika

memerintahkan gubernurnya, Muslim bin ‘Uqbah, pada perang Harrah untuk

menghalalkan Madinah selama tiga hari. Apalagi dengan terjadinya

pembunuhan terhadap beberapa Sahabat dan anak-anak mereka.”288

Pada akhirnya urusan Yazīd bin Mu’āwiyah kita serahkan kepada Allah

Swt, sebagaimana yang dikatakan oleh Adh Dhahabi: “Kita tidak mencaci

makinya dan tidak pula mencintainya.”289

Seseorang yang menemui Imām Abū Zur’ah Ar Rāzi, kemudian berkata

kepadanya: “Aku membenci Mu’āwiyah.” Abū Zur’ah bertanya: “Mengapa?”

orang itu menjawab: “Karena dia memerangi ‘Alī tanpa alasan yang

dibenarkan Islam.” Imām Ar Rāzi pun menyatakan: “Rabbnya Mu’āwiyah

maha pengasih. Musuh Mu’āwiyah juga pengasih. Lalu apa urusanmu dengan

mereka (‘Alī dan Mu’āwiyah)?”290

3.3.4.Kesedihan Yazīd atas gugurnya Ḥusain bin ‘Alī ra dan sikapnya

kepada keluarganya

Aṭ Ṭabāri menyebutkan bahwa ketika keluarga Ḥusain datang kepada

Ibnu Ziyād pada waktu isyā’, dia menyediakan rumah untuk mereka,

memberi mereka harta, nafkah dan pakaian kemudian memberangkatkan

mereka kepada Yazīd.291

Profesor Darruzah berkata.”Ini membuktikan bahwa riwayat-riwayat

yang menetapkan mu’āmalah yang baik dari ‘Ubaidullah bin Ziyād,

kemudian dari Yazīd kepada anak Ḥusain yang masih kecil, anak-anak

perempuan dan istrinya, tangisan Yazīd atasnya dan keikutsertaan

288 Ibnu Katsīr, p.VIII/220289 Adh Dhahabi, p.IV/36290 Ibnu Asakir, Tarikh Dimisyqi, 291 Aṭ Ṭabari dalam Ibnul Arabi, p.338

107

Page 108: BAB I sampai BAB IV

keluarganya, laki-laki dan perempuan dalam hal itu adalah lebih ṣaḥīḥ

daripada riwayat-riwayat yang menyatakan kekerasannya dan kebrutalannya

kepada mereka, lebih-lebih tidak terjadi perang yang sengit yang

mengobarkan emosi dan kemarahan dimana akibatnya harus dipikul oleh para

wanita dan anak-anak. Apa yang terjadi telah terjadi di luar keinginan mereka

bahkan mereka sendiri membencinya.292

Di antara bukti-bukti atas hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Aṭ

Ṭabāri dan Ibnu Qutaibah sekaligus, yaitu kelanjutan hubungan baik dan surat

menyurat antara Yazīd dengan ‘Alī bin Ḥusain, dan sikap ‘Alī bin Ḥusain

sesaat setelah pemberontakan Madinah di mana mereka meriwayatkan bahwa

‘Alī dan kerabatnya tidak terlibat pada gerakan itu. Dan bahwa Yazīd

mewasiatkan kepada panglimanya dan memintanya mendekat kepadanya dan

menyampaikan kepadanya bahwa suratnya telah sampai kepadanya dan

bahwa orang-orang buruk itu telah menyibukannya darinya. Panglima Yazīd

menyambut ‘Alī bin Ḥusain dengan ramah dan mempersilahkannya duduk di

kursi kebesaran dan menyampaikan surat Yazīd kepadanya.”293

Fakta mu’āmalah sebagai bukti dari kebohongan para pembohong yang

menyatakan bahwa Ahlul Bait ditawan, dinaikan ke punggung unta tanpa

pelana paska gugurnya Ḥusain. Ini adalah kedustaan yang jelas. Umat

Muḥammad Saw tidak menghalalkan menawan wanita Bani Hāsyim, mereka

memerangi Ḥusain karena takut padanya. Karena diisukan Ḥusain akan

merebut kerajaan mereka. Ketika Ḥusain gugur perkaranya selesai dan

keluarganya dipulangkan ke Madinah. Akan tetapi kebodohan Syī’ah294

kepada hal tersebut adalah puncak dalam masalah ini. Tidak ragu bahwa

pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra termasuk dosa besar, pelaku dan orang yang

rela kepadanya berhak atas ‘adhab, akan tetapi pembunuhan terhadap Ḥusain

tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap bapaknya, tidak pula lebih

besar daripada pembunuhan terhadap iparnya ‘Umar dan tidak pula lebih

besar daripada pembunuhan terhadap suami bibinya, ‘Utsmān bin ‘Affān ra.

292 Darruzah, p.VIII/384293 Aṭ Ṭabarī, p.IV/379, Al Imāmah Wa As Siyasah, p.I/2294 Dalam Kitābnya Ibnu Arabi menyebut Syī’ah dengan sebutan Rafidhah

108

Page 109: BAB I sampai BAB IV

Yang menyayat hati lagi adalah bahwa orang-orang munafik yang

berbibir manis dari kota Kufah yang mengundang Ḥusain mengangkatnya

sebagai khalīfah –untuk menjadi pengikut setianya (Syī’ah-nya)-, mereka

itulah yang menipunya dan berlepas diri darinya, merekalah penyebab utama

terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra di Karbala dan kemudian mereka

menangisinya.295 Wallahu A’lam.

295 Ibnul Arabi, 339109

Page 110: BAB I sampai BAB IV

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

4.1. SIMPULAN

4.2. KETERBATASAN PENELITIAN

4.3. SARAN

110