Download - BAB I sampai BAB IV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pembahasan tentang sejarah Islam tentu tidak terlepas dari pembahasan
tentang sumber-sumber rujukannya. Sejarah Islam sendiri bukan sekedar
dongeng atau hikayat yang sebagian besarnya dinukil berdasarkan “Konon”.
Pembahasan tentangya dibangun atas kajian ilmiah melalui dukungan referensi
yang valid. Sebab seseorang tidak mungkin bisa menggambarkan peristiwa
sejarah secara tepat apabila sumbernya tidak otentik1.
Namun problem yang dihadapi kemudian adalah ketika umat Islam
dituntut menatap kembali sejarah yang telah berlalu lebih dari seribu tahun.
Ada beberapa kendala yang menghalangi pandangan tersebut. Sehingga tidak
menghasilkan suatu pandangan yang benar-benar jernih dan utuh. Oleh karena
itu, Muḥammad Quṭb dalam buku Kaifa Naktubu At Tārikh Al Islāmī,
menyarankan untuk menulis ulang sejarah umat Islam. Ada beberapa hal yang
mengharuskan umat Islam untuk menyusun kembali sejarahnya. Hal tersebut
ditempuh untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah Islam ditulis.
Antara lain adalah:
Pertama, literatur sejarah umat Islam yang ditulis oleh para Ulama’
terdahulu merupakan sebuah kompilasi sejarah yang demikian besar. Hal itu
terjadi karena para Ulama’ sangat memegang amanah ilmiah. Sehingga para
Sejarawan menulis yang mereka ketahui dan mereka dengar dalam literatur
sejarah. Meskipun isinya merupakan pengulangan atau saling bertentangan satu
sama lain atau bahkan sesuatu yang jauh memungkinan untuk terjadi.2
Kedua, literatur sejarah yang ditulis pada masa modern baik oleh
orientalis maupun para peneliti atau orang-orang yang terpengaruh oleh para
Sejarawan, lebih menggunakan alur cerita yang menarik, mudah dicerna dan
1Al Khamīs, ‘Utsmān bin Muḥammad, Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Saw Hingga Terbunuhnya Ḥusain Bin Alī Ra, Terj. Syafarudin, (Jakarta: Penerbit Imam Syafi’i, 2012), p.vi
2Muḥammad Quṭb, Kaifa Naktubu At Tārikh Al Islamī, (Kairo-Mesir: Dār Asy Syuruq, 1992), p.11-12.
1
dapat memberikan pemahaman yang cepat kepada pembacanya. Namun
banyak dari literatur tersebut ditulis tidak dengan semangat amanah ilmiah atau
memang ditujukan untuk suatu tujuan tertentu. Sehingga banyak terjadi distorsi
dan penarikan kesimpulan yang berlebihan.
Ketiga, dalam mengkaji sejarah Islam sering mengembalikan segala
sesuatu kepada faktor-faktor politik, peperangan, ekonomi dan sebagainya.
Sehingga seakan-akan agama ini hanyalah sebuah budaya yang sama dengan
budaya yang lain. Tidak mempunyai sentuhan syar’i.3
Keempat, dalam mengkaji sejarah Islam sering melupakan hubungan
antara karakteristik umat ini, yang telah diunggulkan Allah Swt dari kondisi
kemanusiaan dengan segala aspeknya. Umat Islam bukan hanya sekedar
sebuah fenomena sejarah yang kebetulan timbul ke permukaan. Namun umat
Islam adalah umat tauhid yang besar dan telah dipilih Allah Swt sebagai saksi
atas seluruh manusia. Demikian juga sering melupakan pengaruh yang
dihasilkan oleh umat Islam terhadap kemanusiaan sepanjang sejarah.4
Dari keempat uraian di atas dapat menggambarkan secara singkat tentang
bagaimana sejarah Islam ditulis. Hal ini penulis kaitkan dengan keotentikan
sejarah dalam peristiwa pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra yang tidak terlepas
dari distorsi sebagaimana yang terjadi pada sejarah Islam yang lain.
Peristiwa Karbala terjadi pada tanggal 10 Muḥarram 61 H (9 atau 10
Oktober 680 M) di Karbala, Irak. Pada waktu itu terjadi pertempuran antara
pendukung dan keluarga Ḥusain bin ‘Alī ra dengan pasukan militer yang
dikirim oleh Yazīd bin Muawiyah, Khalifah Bani ‘Umayyah saat itu. Pihak
Ḥusain bin ‘Alī ra terdiri dari anggota keluarga Nabi Muḥammad Saw dan
beberapa pengikutnya sekitar 72 sampai 128 orang yang terdiri dari beberapa
wanita dan anak-anak dari keluarganya. Di pihak lain, pasukan bersenjata
Yazīd bin Mu’āwiyah dipimpin oleh ‘Umar bin Sa’ad berjumlah 4.000 sampai
10.000 yang berakhir pada terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra.5
3 Muḥammad Quṭb, p.184 Ibid, p.24-265 Ibnu Katsīr, Al Bidāyah Wa An Nihāyah, Dār Al Kutub Al Ilmiyyah (Beirūt: Dār Al Kutub Al
‘Ilmiyyah, 1403 H), p.VIII/161-1652
Peristiwa ini menyisakan kontroversi yang sangat signifikan dalam tubuh
kaum Muslimin. Bagi kaum Syī’ah peristiwa ini sangat menyakitkan dan
menyudutkan daulah ‘Umayyah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab
atas terbunuhnya cucu Nabi Saw di Karbala. Bahkan tidak sedikit kecaman-
kecaman yang mereka tujukan kepada para sahabat.
Dalam literatur Ahlus Sunnah diungkapkan bahwa sejarah pertumpahan
darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan yang justru
dapat menimbulkan fitnah perpecahan di tengah umat Islam. Di antaranya
adalah:
Pertama, ketika hari pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra, langit menurunkan
hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang sedangkan
langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.6
Kedua, tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah
penyembelihan Ḥusain bin ‘Alī ra.7
Ketiga, mereka juga menisbatkan kepada Rasūlullah Saw sebuah
perkataan yang diambil dari ayat: “Mereka ini adalah titipanku pada kalian,”
kemudian Allah Swt menurunkan ayat: “Katakanlah Aku tidak meminta
kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam
kekeluargaan.”8. Ibnu Taimiyah menuturkan: “Apakah masuk akal Rasūlullah
Saw menitipkan kepada makhluk, padahal Allah Swt tempat penitip yang
terbaik. Sedangkan ayat yang mereka anggap diturunkan Allah Swt berkenaan
dengan peristiwa pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra merupakan satu bentuk
kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam surat As Syūrā dan surat ini
Makkiyah. Allah Swt menurunkan surat ini sebelum ‘Alī bin Abī Ṭālib ra dan
Fāṭimah menikah.”9
Dalam literatur Syī’ah terdapat ulasan-ulasan yang megisyaratkan akan
keterlibatan kaum Syī’ah dalam pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra. Hal ini akan
semakin menarik untuk diulas karena data-data yang ditulis oleh para Ulama’
6 Ibnu Taimiyah, Minhājus Sunnah An Nabawiyah, (Tanpa Penerbit: 1969), p.IV/5177 Ibid, p.IV/5178 QS. asy Syûrâ : 42-239 Ibnu Taimiyah, op.cit, p.IV/518
3
Syī’ah tidak selalunya menyudutkan daulah ‘Umayyah. Data-data tersebut
menjadi suatu yang urgen demi menjaga amanah ilmiah dalam pengungkapan
kronologi peristiwa dan pengambilan kesimpulan kajian. Di antara isyarat
tersebut adalah:
Pertama, Muḥammad bin ‘Alī bin Abī Ṭālib ra, yang dikenal dengan
nama Ibnu Al Ḥanafiyyah, menasehati saudaranya, Ḥusain bin ‘Alī ra. Ia
berkata: “Wahai Saudaraku engkau telah mengetahui pengkhianatan penduduk
Kufah terhadap ayah dan saudaramu, Ḥasan bin ‘Alī ra. Aku khawatir engkau
akan mengalami seperti yang mereka alami.10
Kedua, ketika Ḥusain bin ‘Alī ra berpidato di hadapan orang-orang
Kufah menyinggung ulah dan perilaku mereka pada masa lampau terhadap
ayah dan saudaranya dengan mengatakan: “Jika kalian tidak melaksanakan dan
menepati janji kalian, bahkan kalian membatalkan bai’at (sumpah setia) kalian
kepadaku, maka hal seperti itu tidaklah aneh. Kalian telah melakukannya
terhadap ayah, saudara dan pamanku, Muslim bin ‘Aqīl. Orang yang berhasil
ditipu oleh kalian benar-benar tertipu.”11 Padahal dalam literatur Syī’ah
dijelaskan bahwa sebelum keberangkatan Ḥusain bin ‘Alī ra ke Kufah, mereka
telah mengirim surat sebanyak 12.00012. Bahkan mereka juga sudah berbai’at
melalui Muslim bin ‘Aqīl atas nama Ḥusain bin ‘Alī ra sebanyak 18.000
orang13.
Berangkat dari berbagai kesimpang-siuran tersebut penulis berkeinginan
untuk membahas dalam bentuk skripsi berjudul Pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī
ra (Studi komparatif antara perspektif Syī’ah dan Ahlus Sunnah). Upaya ini
penulis tempuh dalam rangka mengungkap bagaimana fakta yang terjadi di
Karbala dan mengungkap siapa yang paling bertangung jawab atas
terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra serta memberikan solusi bagaimana seharusnya
seorang Muslim menyikapi tragedi Karbala, agar tidak berlebih-lebihan dalam
10 Ibnu Ṭawūs, Al Luhuf, (Qom: Mansyurat Asy Syarīf Ar Rāḍī), p.3911 Ma’alimul Madrasatain. p.III/71-7212 Ibnu Katsīr, p, VIII/14913 Ibid, p. 167
4
menyikapinya, apalagi sampai menghina para sahabat yang terlibat dalam
peristiwa tersebut.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah peristiwa pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra menurut
Syī’ah dan Ahlus Sunnah?
1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian dari kajian ini bertujuan untuk :
1. Mengungkap sejarah peristiwa pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra menurut
Syī’ah dan Ahlus Sunnah.
1.4. KONTRIBUSI PENELITIAN
Setelah penelitian ini selesai diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang bermanfaat baik secara teoritis dan praktis.
1. Secara teoritis
Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan
bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini diharapkan juga bisa dijadikan
sebagai pedoman bagi para peneliti untuk melakukan penelitian labih lanjut.
2. Secara praktis
Sebagai sumbangan pemikiran dan wawasan khazanah Islamiyah yang
ilmiah bagi masyarakat luas dalam bidang ‘Aqīdah.
1.5. KAJIAN PUSTAKA
Sejauh penelitian penulis, kajian yang menyoal secara khusus tentang
kontroversi pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra menurut Syi’āh dan Ahlus Sunnah
tidak tersusun dalam bentuk satu buku utuh, namun hanya terdapat dalam sub-
sub pembahasan dalam literatur-literatur yang berkenaan dengan masalah
tersebut.
5
Adapun salah satu buku pegangan yang penulis jadikan literatur utama
adalah buku Minhājus Sunnah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau menulis buku ini dalam rangka mengkritisi berbagai klaim keliru Syī’ah
yang terkandung dalam buku Minhājul Karāmah yang ditulis oleh Ḥasan bin
Yūsuf Al Hillī.
Sedangkan dalam literatur sejarah penulis juga mendapatkan dalam buku
Al Kāmil Fi At Tārikh yang ditulis oleh Ibnu Atsīr. Al Bidāyah Wa An
Nihāyah yang ditulis oleh Ibnu Katsīr. Maqtal Al Ḥusain oleh ‘Abdur Razaq Al
Mūsawi Al Mukarram. Nahjul Balāghah oleh Muḥammad Ar Riḍā bin Al
Ḥasan Al Mūsawi.
Penulis juga mendapati kronologi kejadian pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī
ra dalam buku-buku ḥadīts. Semisal, ṣaḥīḥ Bukhāri, ṣaḥīḥ Muslim dan yang
lainnya, berserta buku-buku syarahnya.
Adapun tulisan-tulisan yang lain hanyalah tulisan-tulisan dalam bentuk
artikel dan tulisan lepas yang kebanyakan terdiri dari statemen yang
mengandung berbagai kontroversi saling membantah dalam jejaring sosial
internet dan lain sebagainya.
Dari data tersebut penulis mengamati bahwa sampai saat ini belum ada
penelitian mengenai kontroversi yang mengkomparasikan antara literatur
Syī’ah dan Ahlus Sunnah dalam bentuk skripsi. Sehingga dengan hadirnya
skirpsi ini dapat mengungkap berbagai kesimpang-siuran dalam peristiwa
tersebut.
1.6. METODE PENELITIAN
1.6.1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang valid maka penulis
akan menggunakan metode library research (tinjauan pustaka). Tinjauan
Pustaka mempunyai arti peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait
(review of related literature).14 Sehingga dalam penulisan ini untuk
14 Achmad Djunaidi, Penulisan Tinjauan Pustaka (http://mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a05-metlit-tinjaupustaka.pdf) 31/10/2010 pukul 12:30.
6
mengetahui perihal pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra penulis meneliti dari
berbagai sumber literatur yang bersumber dari Syī’ah dan Ahlus Sunnah.
1.6.2. Tehnik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
metode dokumentasi15. Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data
dengan cara mengambil data yang berasal dari dokumen asli atau data-data
literatur16 kemudian dikelompokan menjadi dua, yaitu; data primer (utama)
dan data sekunder (penunjang).
1.6.3. Analisis data
Dari penjelasan diatas maka dalam menganalisa data tersebut digunakan
metode analisa yang dilakukan dengan jalan content analysis. Metode ini
untuk menganalisa secara langsung pada buku-buku primer yang berkaitan
degan peristiwa terkait. Karena dinilai menimbulkan berbagai kejanggalan,
ketidak beresan, kelemahan dan kesalahan.17
Dalam menganalisa data yang ada juga digunakan metode Komparatif,
yaitu menganalisa data yang berbeda dalam literatur Syī’ah maupun Ahlus
Sunnah, dengan cara membandingkan untuk mencari yang lebih kuat atau
untuk mencari kemungkinan untuk mengkompromikannya.18
1.7. SISTEMATIKA PENULISAN
Sebagai penjabaran lebih lanjut bagi penelitian ini, maka pembahasan
yang direncanakan meliputi empat bab sebagai berikut:
Didalam bab pertama, terdiri dari pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kontribusi penelitian, metode penelitian
dan sistematika penulisan skripsi.
15 Gulo, W. Metodologi penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2005), p. 123.16 A. Aziz Alimul Hidayat, Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data, (Jakarta:
Penerbit Salemba Medika, 2007), p. 88.17 H. Hadari Nawawi & H. Mimi martini; Penelitian Terapan (Gadjah Mada University Prees) 18 Neuman. Lawrence, Sosial Research Methods, (USA, 2000), p.401
7
Pada bab kedua, terdiri dari landasan teori yaitu sekilas biografi Ḥusain
bin ‘Alī ra, deskripsi Syī’ah, deskripsi Ahlus Sunnah, pembunuhan Ḥusain bin
‘Alī ra, dengan menjelaskan latar belakang terjadinya peristiwa tersebut,
kronologi, dan bagaimana sikap Syī’ah dan Ahlus Sunnah.
Pada bab ketiga, terdiri dari analisa penulis dalam mengkomparasikan
tentang pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra antara perspektif Syī’ah dan Ahlus
Sunnah, penyebab perbedaan sikap antara keduanya dan mengungkap jati diri
pembunuh Ḥusain bin ‘Alī ra serta mengenai keterlibatan Yazīd bin
Mu’awiyyah dalam peristiwa tersebut.
Pada bab keempat, terdiri dari kesimpulan penulis beserta saran dan
kritik.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Biografi Ḥusain bin ‘Alī ra
2.1.1.Nasabnya
Beliau adalah Ḥusain bin ‘Alī ra bin Abī Ṭālib bin ‘Abdil Muṭālib bin
Hāsyim bin ‘Abdi Manāf bin Quṣay Al Quraisyī Al Hāsyimī. Kun-yahnya
Abū 'Abdillah. Seorang Imām yang mulia, cucu yang merupakan salah satu
bunga kehidupan Rasūlullah Saw di dunia dan kesayangannya di samping
Ḥasan ra. Kedua orang tuanya adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib dan Fāṭimah Az
Zahrā’ binti Rasūlullah Saw. Dilahirkan pada tanggal 5 Sya’bān tahun
keempat Hijriyah, dan jarak umur antara beliau dengan Ḥasan, kakaknya,
menurut sebagian Ulama’ adalah satu kali masa suci ditambah masa
kehamilan19.
Ḥusain bin ‘Alī ra memiliki enam anak: yaitu ‘Alī bin Ḥusain Al
Akbar; panggilannya adalah Abū Muḥammad, dan ibunya bernama
Syahzanah, putri Kaisar Yazdarjid, ia termasuk yang selamat dari peristiwa
Karbala, ‘Alī bin Ḥusain Al Asghar; ibunya bernama Laila binti Murrah bin
‘Urwah bin Mas’ūd Ats Tsaqafī, ia terbunuh di Karbala, Ja’far bin Ḥusain;
ibunya adalah dari suku Quda’ah, ia meninggal saat Ḥusain bin ‘Alī masih
hidup, selanjutnya adalah ‘Abdullah bin Ḥusain; terbunuh di Karbala,
Sukainah binti Ḥusain; ibunya bernama Rabab binti Imru’ Al Qais bin Adi
dari suku Kalb dan Ma’d. Rabab juga ibu dari ‘Abdullah bin Ḥusain, dan
Fāṭimah binti Ḥusain; ibunya bernama Ummu Ishāq binti Ṭalhah bin
‘Ubaidillah dari Taim.20
2.1.2.Bentuk fisik dan sifatnya
Secara fisik Ḥusain bin ‘Alī ra lebih mirip dengan Rasūlullah Saw pada
bagian dada sampai kaki, sementara Ḥasan bin ‘Alī ra lebih mirip dengan
19 Ibnu Katsīr, p.VIII/14920 Al Mufīd, Sejarah ‘Amīrul Mu’minīn ‘Alī bin Abī Ṭālib As & Para Imam Ahlul Bait Nabi
Saw, Terj. Muhammad Anis Maulachela & Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera, 2007), p.495-4969
Rasūlullah Saw pada wajahnya21. Paska Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh,
kepalanya dibawa ke hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyād di Kufah. Sesampainya
di sana, ‘Ubaidullah menggosok-gosok kepala Ḥusain bin ‘Alī ra dengan
sebatang kayu seraya memasukannya ke mulutnya, dan berkata: “Alangkah
bagus giginya” Anas bin Mālik berkata: “Demi Allah Swt aku akan
mendo’akan keburukan untukmu. Sungguh aku melihat sendiri Rasūlullah
Saw mencium mulut Ḥusain bin ‘Alī ra tempat engkau memasukan kayumu
itu.”22 Dalam riwayat yang lain Anas berkata: “Ḥusain bin ‘Alī ra merupakan
orang yang termasuk paling mirip dengan Rasūlullah Saw“23.
Tentang sifat Ḥusain bin ‘Alī ra lainnya, antara lain sebagaimana yang
dibawakan oleh Adh Dhahabī rahimahullah dari riwayat Sa’īd bin ‘Amr, ia
berkata: "Sesungguhnya Ḥasan ra pernah berkata kepada Ḥusain bin ‘Alī ra:
“Betapa ingin aku memiliki sebagian kekerasan hatimu”. Lalu Ḥusain bin
‘Alī ra menjawab: “Dan betapa ingin aku memiliki sebagian kelembutan
lidahmu”24.
2.1.3.Kemuliaannya
Beliau memiliki kedudukan mulia di sisi Rasūlullah Saw dan sangat
dicintainya. Dari Ibnu Abī Nu’mi, ia berkata: "Aku mendengar ‘Abdullah bin
‘Umar ra ketika ditanya oleh seseorang yang datang dari Irak tentang hukum
orang yang berihram. kata Syu’bah: “Saya menduga ia bertanya tentang
hukum membunuh lalat. Maka ‘Abdullah bin 'Umar berkata: "Lihatlah orang-
orang Irak bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat, padahal mereka
telah membunuh putra dari putri Rasūlulah Saw. Padahal Nabi Saw telah
bersabda:
�اي� ه�م�ا �ت ان ح� ي �ا م�ن� ر� ي الد�ن
21 A Ibnu Katsīr, p.VIII/15022 Aṭ Ṭabrānī, Sulaimān bin Aḥmad. Mu’jam Al Kabīr, no.5017, p.V/206; Al ‘Asqalani, Aḥmad
bin Ḥajar, Fatḥul Bāri Syarah Ṣaḥīḥ Al Bukhāri, (Beirūt: Dār Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1989), Kitāb Fadhaa-ilush Shahabah, Bab Manaaqibul Hasan WAl Ḥusain, no.3748
23 Al Albāni, Ṣaḥīḥ Sunan At Tirmidhi, (Riyāḍ: Maktabah Al Ma’ārif, 1420 H/2000 M), p.III/540, no.3778
24 Adh Dhahabi, Siyār A’lām Nubalā’, (Kairo-Mesir: Mu’assasah Ar Risālah, 1422 H/2001 M), p.III/287
10
"Keduanya (Ḥasan dan Ḥusain) adalah dua buah tangkai bungaku di
dunia"25.
Adh Dhahabi rahimahullah dalam Siyar A’lâm Nubalâ’26 menyebutkan
riwayat dari Jâbir ra yang ketika melihat Ḥusain bin ‘Alī ra masuk ke dalam
Masjid mengatakan: “Barangsaiapa yang ingin melihat seorang sayyid
(pemuka) dari para pemuda ahli jannah maka lihatlah Ḥusain bin ‘Alī ra ini”.
Saya mendengar hal itu dari Rasūlullah Saw"27.
Dalam kitāb yang sama, adh Dhahabi rahimahullah membawakan
riwayat dari Ummu Salamah, ia berkata: "Sesungguhnya Nabi Saw
menyelimuti ‘Alī, Fāṭimah serta kedua anaknya (Ḥasan dan Ḥusain) dengan
sebuah selimut, kemudian beliau Saw bersabda:
�ه�م�" �لل �ء� ا ؤ�ال ����ل� ه ����ه ت� أ �ي ت�ي ب �ن �ي، ب ام�ت �����ه�م� و�ح �لل �ذه�ب ا ه�م� أ ع�ن
جس� ه�م الر- �ا و�ط�ه-ر : ي ا". ف�ق�لت� ر4 �طه�ي ول� ت س� �ا ر� �ن ه�م؟ الله�! أ ال� م�ن ��� ق
�ك� �ن �ل�ى : إ رA إ ي .خ�
"Ya Allah Swt, mereka adalah ahli bait putriku dan kesayanganku. Ya
Allah Swt, hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan
sesuci-sucinya”. Aku (Ummu Salamah) bertanya: Apakah aku termasuk
mereka?. Beliau Saw menjawab: "Sesungguhnya engkau menuju kepada
kebaikan"28.
Rasūlullah Saw juga bersabda:
Cن ي �ا و� م�ن-ي ح�س� �ن ، م�ن أ Aن ي �ح�ب� ح�س� �ح�ب� م�ن الله� أ 4ا، أ ن ي نC ح�س� ي ��� ح�س
Cط ب �اط� م�ن� س� ب األس
"Ḥusain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian darinya,
Allah Saw akan mencintai siapa saja yang mencintai Ḥusain. Dan Ḥusain
adalah satu umat di antara umat-umat yang lain dalam kebaikannya"29.
25 Al ‘Asqalani, Fatḥul Bāri Syarah Ṣaḥīḥ Al Bukhāri, p.VII/95, no.375326 Adh Dhahabi, p.III/282-28327 Dikatakan oleh pentahqiq Siyar A’lâm Nubalâ bahwa para perawinya adalah para perawi yang
dipakai dalam Kitāb Ṣaḥīḥ, kecuali Ar Ar Rabî’ bin Sa’d, tetapi ia tsiqah (terpercaya)28 Ḥadīts ini dikatakan oleh Adh Dhahabi bahwa isnad-nya jayyid (baik), diriwayatkan dari
beberapa jalan dari Syahr. Sementara pentaḥqīq mengatakan, ḥadīts itu Ṣaḥīḥ dengan syawâhidnya. Lihat Adh Dhahabi, p.III/283
11
Demikianlah kedudukan Ḥusain bin ‘Alī ra, beliau sempat hidup
bersama Rasūlullah Saw selama sekitar lima tahun. Rasūlullah Saw sangat
menyayangi dan memuliakannya sebagaimana menyayangi dan memuliakan
Ḥasan ra hingga beliau Saw wafat. Sepeninggal Rasūlullah Saw, Abū Bakar,
'Umar dan ‘Utsmān ra pun sangat mencintai, memuliakan dan
mengagungkannya. Dan Ḥusain bin ‘Alī ra selalu menyertai ayahnya, ‘‘Alī
bin Abī Ṭālib ra sampai wafatnya.
2.1.4.Ḥadīts nubuwah tentangnya
Jauh hari sebelum Ḥusain bin ‘Alī ra wafat, Rasūlullah Saw pernah
menceritakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra akan wafat dalam keadaan terbunuh.
Adh Dhahabi rahimahullah membawakan beberapa riwayat tentang itu, di
antaranya dari ‘Alī ra, ia berkata:
“Aku datang kepada Rasūlullah Saw ketika kedua mata beliau
bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: "Jibril baru saja datang, ia
menceritakan kepadaku bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra kelak akan mati dibunuh.
Kemudian Jibril berkata: "Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau
tanahnya?" Aku menjawab: "Ya.” Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia
menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku.
Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku.”30
Para Ulama’ berselisih pendapat tentang kapan Ḥusain bin ‘Alī ra
wafat. Tetapi, Adh Dhahabi, Ibnu Katsīr dan Ibnu Ḥajar Al ‘Asqalani
rahimahumullah lebih menguatkan bahwa wafatnya pada hari ‘Asyūra bulan
Muḥarram tahun 61 H31. Sedang umurnya juga diperselisihkan, ada yang
29 Ḥadīts ini hasan, diriwayatkan oleh Imām Tirmidzi dan Imām Ibnu Majah. Lihat Al Albāni, Ṣaḥīḥ Sunan At Tirmidhi, p.III/539 no. 3775 Dan Al Albāni, Ṣaḥīḥ Sunan Ibnu Mājah, (Riyāḍ: Maktabah Al Ma’ārif, 1417 H/1997 M), p.I/64-65, no.118-143
30 Lihat Adh Dhahabi, p.III/288-289. Pentahqiq kitāb ini (Muḥammad Na’im Al ‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy) mengatakan, ḥadīts itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imām Aḥmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh Al Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah.
31 Lihat Adh Dhahabi, p.III/318, Ibnu Katsīr, p.VIII/172, Al ‘Asqalani, Tahdhīb At Tahdhīb, (India: Maṭba’ah Majlis Dā-irah Al Ma’ārif An Nizhāmiyah, Tanpa Tahun), p.II/356
12
mengatakan 58 tahun, 55 tahun dan 60 tahun. Tetapi Ibnu Ḥajar rahimahullah
menguatkan bahwa umur beliau 56 tahun32.
Demikianlah biografi Ḥusain bin ‘Alī ra bin Abī Ṭālib ra secara
ringkas. Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Ḥusain
bin ‘Alī ra atau kuburan kepala Ḥusain bin ‘Alī ra di Syām, di Asqalan, di
Mesir atau di tempat lain, maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali.
Karena semua Ulama’ dan Sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah
memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan mereka menyebutkan bahwa
kepala Ḥusain bin ‘Alī ra dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah
kuburan Ḥasan ra33.
32 Al ‘Asqalani, Tahdhīb At Tahdhīb p.II/35633 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmū’ Fatāwā, (Beirūt: Mu’assasah Ar Risalah, 1997), p.XXVII/465
13
2.2. Deskripsi Syī’ah
2.2.1.Secara bahasa
Kata Syī’ah bermakna: �اع� ب �ت �أل ,(Pengikut) ا ص�ار� �ن �أل ,(Penolong) ا
خ�اص�ة� �ل .(Teman dekat) ا
2.2.1.1. Penggunaan kata Syī’ah dalam Al Qur’an
Kalimat Syī’ah dalam derivasinya yang bermakna secara bahasa, yang
termaktub di dalam Al Qur’an adalah:
Pertama, bermakna firqah (kelompok), umat atau jamā’ah (kumpulan)
orang.
Allah Swt berfirman,
�م� ز�ع�ن� ث �ن �ن �ل- م�ن ل يع�ةA ك �ه�م ش� ي� د� أ �ش� حم�ن� ع�ل�ى أ Sا الر� �ي ت ع�
“Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap Syī’ah siapa di
antara mereka yang sangat durhaka kepada Ar Rahman (Yang Maha
Pemurah)”34.
Maksud dari “Tiap-tiap Syī’ah” adalah “Dari tiap kelompok jamā’ah
dan umat”.
Kedua, bermakna firqah (golongan).
Allah Swt berfirman,
�ن� �ذ�ين� إ ق�وا ال �ه�م ف�ر� �وا د�ين �ان �ع4ا و�ك ي ه�م ل�ست� ش� ءA ف�ي م�ن ي ش�
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah dien-Nya dan
mereka menjadi Syī’ah tidak ada tanggung jawabmu sedikut pun terhadap
mereka.”35
Maksud dari “Mereka menjadi Syī’ah” adalah “Golongan”.36
Ketiga, bermakna serupa.
Firman Allah Swt,
�ق�د �ا و�ل ن �ك �هل �م أ �اع�ك ي �ش �رA م�ن ف�ه�ل أ م�د�ك
34 QS. Maryam: 6935 QS. Al An’am: 15936 Riḍā, Muḥammad Rasyīd bin ‘Alī, Tafsīr Al Qur’anul Ḥakīm (Tafsir Al Manar), (Mesir: Al
Hai-ah Al Miṣriyah Al ‘Āmah Lil Kitāb, 1990), p.VIII/21414
“Dan sungguh telah Kami binasakan Asy Syī’ah dari kalian, maka
adakah orang yang mau mengambil pelajaran.”37
Maksud dari “Asy Syī’ah dari kalian” adalah “Yang serupa dengan
kalian dalam kekufuran, dari umat-umat yang terdahulu”.38
Keempat, bermakna pengikut, teman dekat, dan penolong.
Allah Swt berfirman,
�ة� و�د�خ�ل� م�د�ين �ةA ح�ين� ع�ل�ى ال �ه�ا م�ن غ�فل هل� ن� ف�يه�ا ف�و�ج�د� أ �ي ل ج� ر�
�الن� �ت �قت ذ�ا ي ����ه� م�ن ه يع�ت ���ذ�ا ش ���د�و-ه� م�ن و�ه ����ه� ع �غ�اث ت ��ذ�ي ف�اس ��� م�ن ال
�ه� يع�ت �ذ�ي ع�ل�ى ش� ه� ع�د�و-ه� م�ن ال �ز� ى ف�و�ك ���ى م�وس ���ه� ف�ق�ض ���ي ال� ع�ل ��� ق
ط�ان� ع�م�ل� م�ن ه�ذ�ا ي �ه� الش� �ن �ينC م�ض�ل_ ع�د�و_ إ م�ب
“Maka didapatinya di dalam kota dua orang laki-laki yang berkelahi,
yang seorang dari Syī’ahnya (Bani Israil) dan seorang lagi dari musuhnya
(kaum Fir’aun), maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan
kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya, lalu Musa
meninjunya, dan matilah musuhnya itu.”39
2.2.2.Secara istilah
Dalam mendefinisikan Syī’ah secara istilah para Ulama’ berbeda
pendapat:
Pertama, Syī’ah adalah setiap orang yang berwali kepada ‘Alī ra dan
Ahlul Baitnya.
Sebagaimana perkataan Al Fairuz Abādi, “Nama ini sesungguhnya
telah umum atas setiap orang yang berwali kepada ‘Alī ra dan Ahlul Baitnya
sehingga jadilah nama khusus bagi mereka.”
Kedua, Syī’ah adalah orang-orang yang menolong Ahlul Bait dan
meyakini Imāmahnya (kepemimpinannya) ‘Alī ra, dan khalīfah yang
sebelumnya adalah menẓālimi beliau.
37 QS. Al Qamar: 5138 Aṭ Ṭabāri, Ibnu Jarīr, Jāmi’ Al Bayān ‘An Ta’wīl Ayil Qur-ān, (Beirūt: Dār Al Fikr, 1984),
p.XXVII/11239 QS. Al Qaṣaṣ: 15 dan lihat juga Al Azharī, Muḥammad bin Aḥmad, Tahdhīb Al Lughah,
(Beirūt: Dār Iḥya-ut Turāts Al ‘Arabī, 2001), p.III/6315
Ketiga, Syī’ah adalah orang-orang yang lebih mengutamakan ‘Alī ra
daripada ‘Utsmān ra.
Keempat, Syī’ah adalah setiap kelompok yang mengutamakan ‘Alī ra
atas Khulafā’ Ar Rāsyidīn sebelumnya, dan ia berpendapat bahwa Ahlul Bait
adalah orang yang paling berhak menjadi khalīfah.
Dari empat pendapat di atas, pendapat yang paling rājih (tepat) adalah
pendapat keempat. Karena kesesuainnya dengan konteks Syī’ah sebagai suatu
kelompok yang mempunyai pemikiran-pemikiran dan ideologi-ideologi
tertentu.40
2.2.3.Pokok-pokok ajarannya
Pertama, pada rukun Iman
Syī’ah hanya memiliki 5 rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada
para Malāikat, Rasūl, Qaḍa’ dan Qadar- yaitu: Tauhid (kesaan Allah Swt), Al
‘Adl (keadilan Allah Swt), Nubuwah (kenabian Saw), Imāmah
(kepemimpinan Imām), dan Ma’ad (hari kebangkitan dan pembalasan).41
Kedua, pada rukun Islam
Syī’ah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam, yaitu;
Ṣālat, Zākat, Puasa, Haji, dan Wilāyah (perwalian).42
Ketiga, pada Al Qur’an
Syī’ah meyakini bahwa Al Qur’an sekarang ini telah diubah, ditambahi
atau dikurangi dari yang seharusnya, seperti, “Wa inkumtum fī raibim mimma
nazzalnā ‘alā ‘abdinā fī ‘Alīyin fa’ tū bi sūratim mim mitslih.”43 Ada
tambahan “Fī ‘Alīyin” dari teks asli Al Qur’an yang berbunyi, “Wa inkumtum
fī raibim mimma nazzalnā ‘alā ‘abdinā fa’ tū bi sūratim mim mitslih.”44.
Karena itu mereka meyakini bahwa Abū ‘Abdillah (Imām Syī’ah) berkata,
“Al Qur’an yang dibawa oleh Jibrīl as kepada Muḥammad Saw adalah 17.000
40 ‘Iwaji, Ghālib bin ‘Alī, Firaq Al Mu’aṣirah, (Riyāḍ: Maktabah Laynah, 1993), p.1/132-13341 Lihat ‘Aqa’idul Imāmyah oleh Muḥammad Ridha Mudhaffar dll.42 Lihat Al Kulaini, Muḥammad bin Ya’qūb, Al Kāfi, (Beirūt: Dār At Ta’āruf, 1411 H/1990 M),
p.II/1843 Al Kulaini, Kitābul Hujjah, p.I/41744 QS. Al baqarah/2:23
16
ayat.”45 Al Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf
Fāṭimah.46
Keempat, pada para Sahabat
Syī’ah meyakini bahwa para Sahabat sepeninggal Nabi Saw, mereka
murtad, kecuali beberapa orang saja, seperti: Al Miqdād bin Al Aswad, Abū
Dhar Al Ghifāry dan Salmān Al Fārisy.47 (ada tambahan lagi dari ibnul arabi)
2.2.4.Kemunculan dan perkembangannya
Para Ulama’ berbeda pendapat tentang periode munculnya Syī’ah:
Pertama, Syī’ah muncul sejak zaman Rasūlullah Saw, ketika mereka
menyeru kepada persatuan dan kelompok ‘Alī ra.
Pendapat ini dijadikan dalil oleh Muḥammad Ḥusain Az Zainu; dari
kalangan Ulama’ Syī’ah dan lainnya.48 Dalil itu disebutkan juga oleh an
Nubakhti dalam kitāb Firaq-nya49 dan ditegaskan oleh Khumaini50 pada masa
sekarang. Bahkan Ḥasan Asy Syairāzi berpendapat, “Islam tak lain hanyalah
Syī’ah, dan Syī’ah tak lain adalah Islam. Islam dan Syī’ah adalah dua nama
yang sama, karena hakikat yang satu yang telah Allah Swt turunkan dan telah
disebarkan oleh Rasūlullah Saw.”51
Kedua, Syī’ah muncul ketika Perang Jamāl, peperangan ini dikenal juga
dengan perang unta, yaitu perang yang terjadi di Baṣrah, Irak pada tahun 656
masehi, antara pasukan yg berpihak pada ‘Alī bin Abī Ṭālib dan pasukan
yang berpihak kepada Aisyah yang menginginkan keadilan atas terbunuhnya
khalīfah terdahulu yaitu ‘Utsmān bin Affān.52
Ketiga, Syī’ah muncul pada akhir kepemimpinan ‘Utsmān ra dan kuat
pada masa ‘Alī ra.
45 Al Kulaini, Al Kafi fil Ushul, p.II/63446 Ibid, Al Kafii fil Ushul, p.I/240-241 47 Ibid, Ar-Raudhah minal Kafi, p.VIII/245, Al Ushul minal Kafi, p.II/24448 ‘Iwaji, p.1/132-13349 Ẓahir, Iḥsan Ilāhi, Asy Syī’ah Wa At Tasyayu’, (Pakistan: Idarah Tarjuman As Sunnah, 1984),
p.1950 Al Khumah Al Islamiyah, p.13651 As Salamu Al Ḥusainiyah, p.1152 Ibnu An Nadīm, Al Fahrasat, (Beirūt: Maktabah Khiyāṭ, Tanpa Tahun), p.249
17
Keempat, Syī’ah muncul setelah terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra.
Ini adalah pendapat Kamal Muṣṭafa Syaibi, dia adalah orang Syī’ah, dia
berpendapat bahwa Syī’ah muncul setelah terbunuhnya Ḥusain.53
Kelima, Syī’ah muncul pada saat Perang Ṣiffīn; Pertempuran ini terjadi
di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abū Sufyan dan ‘Alī bin Abī Ṭālib di
tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syām) pada 1 Ṣafar tahun 37
Hijriyah. yang berakhir dengan mengadakan Tahkim (perundingan damai)
antara keduanya.
Ini adalah pendapat sebagian dari Ulama’ Syī’ah, sebagaimana
pendapat Al Khurasani, Abū Ḥamzah, dan Abū Ḥātim, begitu juga para
Ulama’ lainnya, seperti Ibnu Hazm dan Aḥmad Amīn.54
Adapun pendapat pertama, yaitu yang mengatakan bahwa Syī’ah itu
sudah ada sejak zaman Nabi Saw, adalah pendapat yang melampui batas,
bohong, dan tidak dapat diterima oleh nalar maupun ucapan, karena
Rasūlullah Saw diutus oleh Allah Saw untuk mengeluarkan manusia dari
keẓāliman menuju cahaya, dan dari paganisme (penyembah berhala) kepada
tauhid.
Adapun pendapat yang benar adalah pendapat yang kelima –yang
berpendapat bahwa Syī’ah muncul setelah perang Ṣiffīn- yaitu ketika
pecahnya Khawārij dan berkumpulnya mereka di Nahrawain. 55
Ajaran Syī’ah timbul sebagai akibat dari pengaruh keyakinan-
keyakinan orang Persia yang menganut agama raja dan warisan nenek
moyang. Orang-orang Persia telah memberikan andil besar dalam proses
pertumbuhan Syī’ah untuk membalas dendam terhadap Islam yang telah
menghancurluluhkan kekuatan mereka dengan mengatasnamakan Islam
sendiri.
53 Asy Syaibī, Kāmil Muṣtafa, Aṣ Ṣilatu Baina At Taṣawuf Wa At Tasyayu’, (Beirūt: Dārul Andalus, 1982), p.23
54 Ẓahir, p.2555 ‘Iwaji, p.1/134-135
18
Ide Syī’ah bercampur aduk dengan ide-ide yang datang dari keyakinan-
keyakinan di Asia seperti Budhisme, Brahmaisme, dan mereka-mereka yang
berkeyakinan tentang adanya Reinkernasi dan Pantheisme.
Syī’ah mengadopsi ide-idenya dari Yahudisme yang telah membawa
tapak-tapak berhalaisme. Pendapat mereka tentang ‘Alī ra, para Imām, dan
Ahlul Bait (keluarga Rasūlullah Saw) mendapat titik temu dengan pendapat-
pendapat orang Kristen tentang Isa Almasih (Yesus Kristus), yaitu
menuhankannya.
Orang-orang Syī’ah hampir mirip dengan orang-orang Kristen dalam
memperingati hari-hari besar, memperbanyak gambar dan patung, dan
membuat-buat sesuatu yang luar biasa dan mengembalikannya kepada Imām.
Mengenai perkembangan Syī’ah pada abad pertama hijriyah belum
merupakan aliran yang solid sebagai trend yang mempunyai berbagai macam
keyakinan seperti yang berkembang pada abad kedua hijriyah dan abad-abad
berikutnya.
Pokok-pokok penyimpangan Syī’ah pada periode pertama:
a. keyakinan bahwa Imām sesudah Rasūlullah Saw adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib
ra, sesuai dengan sabda Nabi Saw. Karena itu para khalifah dituduh
merampok kepemimpinan dari tangan ‘Alī bin Abī Ṭālib ra .
b. Keyakinan bahwa Imām mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
c. Keyakinan bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib ra dan para Imām mengetahui rahasia
ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan
menuhankan ‘Alī ra dan para Imām mereka.
d. Keyakinan tentang ketuhanan ‘Alī bin Abī Ṭālib ra yang dideklarasikan
oleh para pengikut ‘Abdullah bin Sabā’ dan akhirnya mereka dihukum
bakar oleh ‘Alī bin Abī Ṭālib ra karena keyakinan tersebut.
e. Keyakinan mengutamakan ‘Alī bin Abī Ṭālib atas Abū Bakar dan Umat
bin Khaṭab ra. Padahal ‘Alī ra sendiri mengambil tindakan hukum cambuk
80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
19
f. Keyakinan mencaci maki para Sahabat atau sebagian Sahabat seperti
‘Utsman bin Affan ra dan yang lainnya.56
Pada abad kedua hijriyah, perkembangan keyakinan Syī’ah semakin
menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat kayakinan
baku dan terus berkembang sampai berdiri dinasti Fāṭimiyah di Mesir dan
dinasti Ṣofawiyah di Iran. Terakhir aliran tersebut tarangkat kembali dengan
revolusi Khumaini dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979
hingga saat ini57.
2.2.5. Sebutan lain Syī’ah
2.2.5.1. Imāmiyah Itsna ‘Asyriyah
Syī’ah Imāmmiyah adalah sekte terbesar di antara sekian banyak
firqah Syī’ah. Pada masa sekarang apabila disebut “Syī’ah” maka yang
dimaksud adalah Syī’ah Imāmiyah. Karena Syī’ah Imāmiyah telah
mencakup sebagian besar pendapat-pendapat dan ‘aqīdah yang dianut oleh
firqah-firqah Syī’ah yang ada58.
Syī’ah Imāmiyah Itsna Ashriyah adalah sebuah kelompok yang
berpegang teguh kepada keyakinan bahwa ‘Alī ra adalah yang berhak
mewarisi khilāfah setelah Rasūlullah Saw wafat, dan bukan Abū Bakar,
‘Umar ataupun ‘Utsmān. Mereka meyakini adanya 12 Imām. Imām yang
terakhir menurut mereka mengasingkan diri, masuk dalam sebuah gua di
Samara (sebuah kota di Irak dekat sungai Tigris, arah utara Baghdad). Sekte
Imāmiyah inilah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah dalam pemikiran
dan ide-idenya yang spesifik. Mereka sangat berambisi untuk menyebarkan
madhhabnya ke segenap penjuru dunia Islam59.
Dua belas Imām yang dijadikan Imām oleh dan untuk mereka adalah
sebagai berikut:
56 Lihat Dirasat fil Ahwa’ Firaq Wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minha, Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al Aql p. 237
57 Tim Ulin Nuha, Dirāsatul Firāq, (Solo: Pustaka Arafah, 2010), p.90-9158 Ibid, p.8259 Ibid, p.82
20
1. ‘Alī bin Abī Ṭālib ra, digelari dengan “Al Murtaḍa”. Khalīfah keempat
Khulafā’ Ar Rāsyidīin, menantu Rasūlullah Saw, dibunuh oleh
‘Abdurrahman bin Muljam di Masjid Kufah pada tanggal 17 Ramaḍān
tahun 40 H.
2. Ḥasan bin ‘Alī, digelari “Al Mujtaba”.
3. Ḥusain bin ‘Alī ra, digelari “Asy Syahīd”.
4. ‘Alī Zainal ‘Ābidīn bin Ḥusain (80-122 H), digelari “As Sajjad”.
5. Muḥammad Bāqir bin ‘Alī Zainal ‘Ābidīn (wafat tahun 114 H), digelari
“Al Bāqir”.
6. Ja’far Ṣādiq bin Muḥammad Bāqir (wafat tahun 148 H), digelari “Aṣ
Ṣādiq”.
7. Musa Kāẓim bin Ja’far Ṣādiq (wafat tahun 183 H), digelari “Kāẓim”
(yang mampu menahan diri).
8. ‘Alī Riḍa bin Mūsa Kāẓim (wafat tahun 203 H), digelari “Ar Riḍa”.
9. Muḥammad Jawwad bin ‘Alī Riḍa (195- 226 H), digelari “At Taqy”.
10. ‘Alī Hadi bin Muḥammad Jawwad (212-254 H), digelari “An Naqy”.
11. Ḥasan ‘Askari bin ‘Alī Hadi (232-260 H), digelari “Az Zaky”.
12. Muḥammad Mahdi bin Muḥammad Al ‘Askari yang digelari “Imām Al
Muntaẓar” (Imām yang dinantikan). Diyakini bahwa Imām yang ke dua
belas telah masuk ke dalam gua.60
Secara historis, di antara tokoh-tokohnya yang menonjol ialah
‘Abdullah bin Sabā’, seorang Yahudi dari Yaman, yang berpura-pura
memeluk Islam. Dialah sebenarnya sutradara berkobarnya fitnah terhadap
khalīfah ‘Utsmān ra hingga beliau terbunuh, dan selanjutnya Alī ra dan
pengikutnya menjadi sasaran rekayasanya. Ia pernah berkata ketika masih
menganut agama Yahudi, bahwa Yusa’ bin Nūn telah mendapat warisan
dari Mūsa ‘Alaihissalām, sebagaimana di dalam Islam, bahwa ‘Alī ra, juga
telah mendapat wasiat dari Muḥammad Saw.
Kehidupan ‘Abdullah bin Sabā’ berpindah-pindah dari Madinah ke
Mesir, Kufah, Fusṭaṭ, dan Baṣrah, kemudian berkata kepada ‘Alī ra,
60 Tim Ulin Nuha, p.82-8321
“Engkau, Engkau!” dengan maksud engkaulah Allah Swt. Sesuatu yang
mendorong ‘Alī ra memutuskan untuk membunuhnya, tetapi ‘Abdullah bin
‘Abbas menasihatinya agar keputusan itu tidak dilaksanakan. Kemudian
‘Abdullah bin Sabā’ dibuang ke Madain. Namun upaya ‘Abdullah bin Sabā’
untuk menanamkan ajarannya di kalangan umat Islam tak pernah berhenti.
Demikianlah ‘Abdullah bin Sabā’ sebagai biang keladi bagi berlangsungnya
peperangan antara ‘Alī dan Muawiyah (dalam perang Ṣiffīn) juga antara
‘Alī dan Aisyah (dalam perang Jamāl)61.
Sekte Syī’ah Imāmiyah dewasa ini tersebar di Iran, dan terpusat di
negara tersebut. Sebagian mereka banyak pula di Irak. Keberadaan mereka
terbentang luas sampai ke Pakistan. Di samping itu, mereka juga
mempunyai sekte di Libanon. Adapun di Syiria, jumlahnya sedikit, tetapi
mempunyai hubungan yang kuat dengan Nuṣairiyah yang juga termasuk
Syī’ah ekstrim.62
2.2.5.2. Ismā’īliyah
Disebut juga Tujuh Imām; dinamakan demikian sebab mereka percaya
bahwa Imām hanya tujuh orang dari ‘Alī bin Abī Ṭālib, dan mereka percaya
bahwa Imām tujuh ialah Ismā’īl. Urutan Imām mereka yaitu:
‘Alī bin Abī Ṭālib, Ḥasan bin ‘Alī, Ḥusain bin ‘Alī ra, ‘Alī bin
Ḥusain, Muḥammad bin ‘Alī, Ja’far bin Muḥammad, dan terakhir adalah
Ismā’īl bin Ja’far (721-755 H), ia adalah anak pertama Ja’far Aṣ Ṣādiq dan
kakak Mūsa Al Kāẓim63.
2.2.5.3. Zaidiyah
Disebut juga lima Imām; dinamakan demikian sebab mereka
merupakan pengikut Zaid bin ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra bin Abī Ṭālib.
61 Tim Ulin Nuha, p.8462 Al Juhani, Māni’ Ibnu Ḥammad, Al Mausū’ah Al Muyassarah Fī Adyān Wa Al Madhāhib Wa
Al Ahzāb Al Muāṣirah, (Riyaḍ: Dār An Nadwah, 1418 H), I/55-6063 Tim Ulin Nuha, Op.cit., p.84
22
Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah
sebelum ‘Alī tidak sah. Urutan Imām mereka yaitu:
‘Alī bin Abī Ṭālib, Ḥasan bin ‘Alī, Ḥusain bin ‘Alī ra, ‘Alī bin
Ḥusain, dan terakhir Zaid bin ‘Alī 658-740 H, juga dikenal dengan Zaid bin
‘Alī Asy-Syahīd, ia adalah anak ‘Alī bin Ḥusain dan saudara tiri
Muḥammad Al Bāqir64.
2.2.5.4. Rāfiḍah
Dalam Minhāj As Sunnah, Ibnu Taimiyah mengemukakan alasan
mengapa ada sekte Syī’ah yang disebut Rāfiḍah. Menurut Ibnu Taimiyah,
“Dikatakan kepada Al Imām Aḥmad, ‘Siapa itu Rāfiḍah?’ Beliau menjawab,
‘Orang yang mencela Abū Bakar dan ‘Umar.’ Karena alasan inilah mereka
dinamakan Rāfiḍah. Sebab mereka meninggalkan Zaid bin ‘Alī tatkala
beliau loyal kepada kedua khalīfah (Abū Bakar dan ‘Umar) sedangkan
mereka benci kepada keduanya. Sehingga orang yang membenci mereka
berdua dinamakan Rāfiḍah65.
2.2.5.5. Nuṣairiyah
Nuṣairiyah adalah sebuah gerakan kebatinan yang muncul pada abad
ketiga hijriyah. Para penganutnya dikenal sebagai orang-orang Syī’ah
ekstrim yang meyakini adanya sifat ketuhanan pada diri ‘Alī ra, dengan
demikian mereka menganggapnya Tuhan. Tujuan pencetus gerakan ini
adalah untuk menghancurkan Islam dan memecah belah persatuannya.
Mereka senantiasa menyertai orang-orang yang menyerbu bumi umat Islam.
Penjajahan Perancis menanamkan orang-orang Nuṣairiyah di Syiria dengan
sebutan “Alawiyyin” untuk mengelabuhi dan menutupi hakikat mereka yang
sebenarnya.66
Pendiri sekte ini ialah Abū Syu’aib Muḥammad bin Nushair Al Bashri
An Numairi (wafat tahun 207 H), sezaman dengan tiga orang Imām Syī’ah,
64 Tim Ulin Nuha, p.8565 Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, p.IV/43566 Wamy, p.402
23
yaitu, ‘Alī Al Hadi (Imām kesepuluh, Ḥasan Al Asykari (Imām kesebelas),
dan Muḥammad Al Mahdi (Imām keduabelas).
Orang-orang Nuṣairiyah menduduki kawasan pegunungan Nuṣairiyah
di Ladziqiyah. Pada akhir-akhir ini mereka tersebar di kota-kota Syiria yang
bertetangga dengan mereka. Sejumlah besar orang Nuṣairiyah ada juga yang
menduduki sebelah barat Anatolia, yang dikenal dengan nama Takhtajiyah
dan Hatsabun. Sementara yang bertempat tinggal di sebelah timur Anatolia
disebut “Qazl Basyih.”
Di beberapa bagian kawasan Turki dan Albania dikenal dengan nama
“Baktasyiah.” Ada juga yang tinggal di Persia Turkistan, dan dikenal
dengan nama “Ula Ilahiyah.” Dan sebagian lagi ada pula yang hidup di
Lebanon dan Palestina67.
Masih banyak lagi penamaan Syī’ah yang biasa dipakai untuk
mewakili ‘aqīdah mereka, Namun penulis mencukupkan lima nama di atas
saja, karena pada hakikatnya semua Syī’ah mempunyai keyakinan dasar
yang sama yaitu setiap kelompok yang mengutamakan ‘Alī ra atas Khulafā’
Ar Rāsyidīn sebelumnya, dan ia berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah orang
yang paling berhak menjadi khalīfah. Perbedaannya berkisar pada
penuhanan ‘Alī bin Abī Ṭālib ra sebagaimana yang diyakini oleh Nuṣairiyah
dan pengkafiran para Sahabat sebagaimana yang diyakini oleh Imāmiyah
Itsna Asyariyah, sedangkan Zaidiyah tidak sampai menuhankan ‘Alī bin Abī
Ṭālib, bahkan Zaidiyah tidak mengkafirkan Abū Bakar dan ‘Umar, hanya
mengutamakan ‘Alī bin Abī Ṭālib atas ‘Utsmān saja, sehingga dengan
keyakinan ini Zaidiyah dianggap paling dekat keyakinannya dengan Ahlus
Sunnah.
67 Ibid, p.40824
2.3. Deskripsi Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah
2.3.1.Pengertian Sunnah
2.3.1.1. Secara bahasa
Kata As Sunnah mempunyai bentuk jamak yaitu As Sunan. Secara
bahasa berarti sejarah (perjalanan hidup) dan jalan (metode) yang ditempuh.
Ibnu Manẓūr rahimahullah berkata, “Sunnah makna awalnya adalah
jalan yang ditempuh oleh para pendahulu yang akhirnya ditempuh oleh
orang lain sesudahnya.”68
At Tanawy rahimahullah berkata, “As Sunnah secara bahasa adalah
jalan, baik jalan itu terpuji (baik) maupun buruk.”69
Ibnu Atsīr rahimahullah berkata, “Dalam ḥadīts berulang kali
disebutkan kata As Sunnah dan pecahan katanya. Asal maknanya adalah
sejarah hidup dan jalan yang ditempuh.”70 Makna ini juga disebut dalam
ḥadīts, “Kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal
demi sejengkal sehasta demi sehasta, sampai kalau mereka masuk lubang
biawak pun kalian akan ikut.” Para Sahabat bertanya, “Apakah mereka
orang Yahudi dan Nashrani wahai Rasūlullah Saw?” Beliau menjawab,
“Siapa lagi kalau bukan mereka.”71
Begitu juga bila dikatakan, “Ṣalat witir itu Sunnah maka maknanya
adalah jalan atau hal yang diperintahkan dan dilaksanakan para Sahabat dan
Rasūlullah Saw.”72
Dalam penggunannya, apabila disebutkan kata As Sunnah maka
maknanya adalah jalan kebaikan saja. “Ia Ahlus Sunnah”, maka maknanya,
“Ia adalah orang yang menempuh jalan yang lurus dan terpuji.”73
68 Ibnu Manẓūr, Lisānul ‘Arab, (Beirut: Dār Al Fikr, Tanpa Tahun), p.XIII/220, Bab Sunan 69 Al A’zhamy, Dirāsāt Fī Al Ḥadīts An Nabawy Wa Tārikhu At Tadwīni, (Beirut: Al Maktab Al
Islāmy,1992), p.I/170 Ibnu Atsīr, An Nihāyah Fī Gharībil Ḥadīts, (Beirūt: Maktabah Al ‘Ilmiyyah, Tanpa Tahun),
p.II/22371 Ṣaḥīḥ Bukhāri 3456, Fathul Bari p.VI/495; An Naisābūrī, Muslim bin Al Ḥajāj Ābū Al Ḥusain
Al Qusyairī, Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirūt: Dār At Turāts Al ‘Arabī, Tanpa Tahun), no.2669, 678172Al Mahmud, Mauqifu Ibnu Taimiyah Minal ‘Asyā’irah, (Riyādh: Maktabah Ar Rusyd, 1995),
p.I/2373Tim Ulin Nuha, p.18
25
2.3.1.2. Secara istilah
Makna As Sunnah berbeda-beda tergantung dari disiplin ilmu apa
dalam memandangnya,74 dalam studi ‘Aqīdah makna As Sunnah adalah
seperti yang disebutkan oleh Dr. Ibrāhīm Al Buraikān, beliau berkata,
“Makna As Sunnah berarti mengikuti ‘Aqīdah Aṣ Ṣaḥīḥaḥ (keyakinan yang
benar) yang Tsābitah (solid) berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah
Rasūlullah Saw.” Beliau juga mengatakan, “As Sunnah merupakan
ungkapan untuk sikap Ittiba’ (mengikuti) manhaj Al Kitāb dan As Sunnah
An Nabawiyah dalam persoalan Ushul (pokok) dan Furū’ (cabang).”75
Berdasarkan penjelasan singkat di atas bisa di pahami bahwa Ahlus
Sunnah adalah orang yang mengikuti Sunnah dan berpegang teguh
dengannya, yaitu para Sahabat dan setiap Muslim yang mengikuti jalan
mereka sampai hari kiamat.
Sehingga Ahlus Sunnah bukan monopoli golongan tertentu, dan lebih
dari itu Ahlus Sunnah bukan sekedar nama, akan tetapi ia merupakan
Manhaj (jalan hidup) para Sahabat. Maka janganlah kita terjebak dengan
pengakuan, karena ukurannya bukan nama, namun sesuai atau tidaknya
amalan hidupnya dengan petunjuk Rasūlullah Saw dan para Sahabat76.
2.3.2.Pengertian Jamā’ah
2.3.2.1. Secara bahasa
Kata Jamā’ah secara bahasa berarti kelompok, bersatu, lawan dari
kata berpecah belah. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah ḥadīts yang
menerangkan perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan,
disebutkan bahwa golongan yang selamat hanya satu yaitu jamā’ah, dalam
74Lihat Al Khātib, Muhammad ‘Ujaj, As Sunnah Qabla At Tadwīn, (Beirut: Dār Al Fikr, 1997), p.18-20; Al A’zhamy, p.I/1; Al Mahmud, p.I/24-26; Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, p.IV/155; Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah An Nabawiyah, (Tanpa Penerbit, 1406 H), p.II/163
75 Al Buraikan, Al Madkhāl Li Ad Dirāsah Al Aqādah Al Islāmiyah, (Dār As Sunnah, 1414 H), p.12
76 Tim Ulin Nuha, p.1926
riwayat lain Mā Ana ‘Alaihi wa Aṣḥābī (apa yang Saya Saw dan para
sahabatku berada di atasnya).77
2.3.2.2. Secara istilah
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan definisi Jamā’ah
secara istilah. Secara global pendapat mereka dapat dikelompokan menjadi
lima pendapat, yaitu78:
Pertama, yang dimaksud dengan jamā’ah adalah generasi Sahabat.
Dalam ḥadīts-ḥadīts tentang jamā’ah disebutkan bahwa yang selamat adalah
“Mā Ana ‘Alaihi wa Aṣḥābī” yaitu apa yang Saya Saw dan para sahabatku
berada di atasnya. Ini merupakan pendapat khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Azīz. Dengan artian ini setiap orang yang beramal berdasarkan Al Qur’an
dan As Sunnah sesuai pemahaman generasi Sahabat bisa disebut Ahlus
Sunnah Wal Jamā’ah.
Kedua, yang dimaksud dengan jamā’ah adalah para Ulama’
Mujtahidin dari kalangan Ulama’ ḥadīts, Ulama’ fikih, dan Ulama’-Ulama’
lain. Yang berpendapat demikian adalah Imām Muḥammad bin Mubārak,
Isḥāq bin Rahawaih, Imām Tirmidhi, para Ulama’ Ushul fikih dan
sekelompok Ulama’ salaf.
Ketiga, yaitu kesepakata umat Islam dalam suatu masalah tertentu.
Bila seluruh umat Islam telah mengadakan Ijma’ (kesepakatan) maka wajib
bagi mereka untuk mengikutinya. Orang yang menyelisihinya tidak
termasuk sebagai Ahlus Sunnah. Misalnya umat Islam telah sepakat tentang
wajibnya ṣalāt lima waktu. Orang yang berpendapat ṣalāt lima waktu itu
tidak wajib, maka ia tidak termasuk Ahlus Sunnah. Banyak para Ulama’
yang mengembalikan pendapat ketiga ini kepada pendapat kedua karena
77 Lihat As Syaibānī, Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal, Musnad Imām Aḥmad bin Ḥanbal, (Mu’assasah Ar Risālah, 1421 H/2001 M), p.IV/120; Abadī, Abū Aṭ Ṭayyib Syamsy Al Ḥaq Al Aẓīm, ‘Awnul Ma’būd Syarah Sunan Abū Dāwūd, (Tanpa Tahun Penerbit), no.4597; Al Hakim p.I/128, Ad Dārimī, ‘Abdullah bin ‘Abdurraḥman, Sunan Ad Dārimī, (Beirūt: Dār Al Kitāb Al ‘Arabī, 1407 H), no.2521; disahihkan Albani dalam As Ṣaḥīḥah p.204.
78 Al ‘Asqalani, Fatḥul Bāri, p.XIII/37; Al ‘Ayni, ‘Umdatul Qāri’ Syarah Ṣaḥīḥ Al Bukhāri, (Syirkah Maktabah Wa Maṭba’ah Muṣṭafa Al Bāby Al Halaby, 1972), p.XXIV/195; Asy Syāṭibi, Abū Isḥāq Ibrāhīm bin Mūsa, Al I’tiṣām, (Saudi Arabia: Dār Ibnu ‘Affan), p.II/260-265
27
pada dasarnya yang berijma’ itu bukan umat Islam secara umum namun
Ulama’ Mujtahidin.
Keempat, kelompok mayoritas umat Islam (Sawādul a’ẓam). Artinya
jika suatu hal telah diyakini dan dijalankan oleh umat Islam maka yang
meyelisihinya terhitung orang yang sesat dan bukan termasuk Ahlus
Sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat Abū Mas’ūd Al Anṣāri, ‘Uqbah
bin ‘Amīr bin Tsa’labah Al Anṣāri, dan ‘Abdullah bin Mas’ūd.
Kelima, makna jamā’ah adalah pemerintahan negara Islam atau
khilāfah Islāmiyah dengan seorang Imām atau khalīfah. Siapa taat pada
Imām berarti mengikuti jamā’ah dan siapa yang membangkang atau
memberontak berarti bukan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah. Orang yang mati
dalam keadaan membangkang pada Imām yang sah, maka ia mati seperti
orang yang mati dalam keadaan jahiliyah. Yang berpendapat demikian
adalah Aṭ Ṭābāri, Ibnu ‘Arabi, dan Al Mubārakfūri.
Dari kelima pendapat di atas, para Ulama’ menyimpulkan bahwa
makna jamā’ah pada dasarnya berkisar pada dua makna pokok79:
Pertama, aspek ilmiah; yaitu bersepakat atas satu ‘Aqīdah, satu
manhāj yang benar yaitu Al Qur’an dan As Sunnah serta memahaminya
sebagaimana pemahaman generasi Sahabat, Tābi’īn, Tābi’ut Tabi’īn dan
Ulama’ Mujtahidin sesudahnya yang terpercaya terhadap kedua sumber
Islam ini. Pendapat ini merangkum pendapat pertama hingga keempat.
Dalam hal ini jamā’ah artinya mengikuti kebenaran meskipun ia sendirian,
dan meninggalkan kebatilan meski kebatilan itu dianut oleh mayoritas
manusia di muka bumi ini.
Ibnu Mas’ūd berkata, ”Jamā’ah adalah apa yang sesuai dengan
kebenaran meski engkau sendirian.”80
79 Aṣ Ṣawi, Ṣalah, Jamā’ah Al Muslimīn Mafhūmuha Wa Kaifiyatu Luzūmiha Fī Wāqi’ina Al Mu’āṣir, (Dār Aṣ Ṣafwah, 1413 H), p.21; Ba’ady, Jamāl bin Aḥmad Basyīr, Wujūb Luzūm Al Jamā’ah Wa Tarqi At Tafaruq, (Dār Al Waṭan Li Nasyr, 1412 H), p.96-97
80 Ḥasan, ‘Utsmān bin ‘Alī, Minhāj Al Istidlāl ‘Alā Masā’il I’tiqād ‘Inda Ahlis Sunnah Wa Al Jamā’ah, (Riyāḍ: Maktabah Ar Rusyd, 1413 H), p.38-39; Al Lālikā-i, Syarah Uṣūl Al I’tiqād Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah, (Riyaḍ: Maktabah Laynah, 1993), p.I/108
28
Asy Syāṭibi berkata, ”Sudah jelas bahwa jamā’ah dengan makna ini
tidak mensyaratkan banyak sedikitnya pengikut, tapi yang disyaratkan
adalah sesuai tidaknya dengan kebenaran sekalipun diselisihi oleh mayoritas
umat manusia.”81
Kedua, aspek politik; berjamā’ah artinya berkumpul dan hidup di
bawah sebuah negara Islam, di bawah kepemimpinan seorang Imām atau
khalīfah yang sah secara syar’i. Ini merupakan pendapat kelima dalam
makna jamā’ah seperti yang sudah diterangkan di atas. Selain para Ulama’
Salaf yang telah disebutkan di atas, para Ulama’ kontemporer juga
menyebutkan hal ini.
Dr. Riḍa Na’san Al Mu’ṭi dalam tahqīq dan dirāsahnya (tela’ah) atas
kitāb Al Ibānah ‘An Syarī’ati Al Firqah An Nājiyah karangan Ibnu Baṭah
mengatakan, ”Bab ini menguatkan bahwa berjamā’ah itu wajib dan keluar
dari jamā’ah itu tidak boleh, baik jamā’ah dalam arti berkumpulnya umat
Islam di bawah kepemimpinan seorang Imām maupun berkumpulnya umat
Islam di atas satu ‘Aqīdah.”
2.3.3.Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah
Seperti telah dijelaskan, Sunnah merupakan ungkapan kesetiaan
mengikuti manhāj Al Qur’an dan As Sunnah dalam segala dimensinya, baik
yang prinsipil (ushul) maupun yang non-prinsipil (furu’).
Sedangkan kata jamā’ah berarti orang-orang yang berkumpul. Tapi
yang dimaksud dengan jamā’ah dalam terminologi syari’at Islam adalah
Rasūlullah Saw, para Sahabatnya, Tabi’īn, dan semua generasi yang
mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Rasūlullah Saw telah
ditanya tentang siapakah yang termasuk golongan yang selamat. Maka beliau
Saw terkadang menjawab, ”Yang mengikuti Aku dan para sahabatku” tapi di
lain waktu beliau Saw menjawab, ”Al Jamā’ah.”
Dengan demikian maka yang dimaksud Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah
sebagai kata majemuk adalah orang yang mengikuti ‘Aqīdah Islam yang
81 Asy Syāṭibi, p.I/14929
benar, komitmen dengan manhāj Rasūlullah Saw bersama para Sahabat,
Tabi’īn dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari
kiamat. Rasūlullah Saw bersabda,
“Hendaklah kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para
khalīfah yang lurus sesudahku, gigitlah ia dengan gigi gerahammu.”82
2.3.4.Sebab penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah
Menurut Ibnu Taimiyah Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah adalah madhhab
yang sudah ada sejak dulu. Ia sudah dikenal sebelum masa Abū Ḥanīfah,
Mālik, Syāfi’i, dan Aḥmad. Ahlus Sunnah adalah madhhab Sahabat yang
diterima dari Nabi Muḥammad Saw. Barang siapa menentang itu, menurut
pandangan Ahlus Sunnah berarti ia pembuat bid’ah.83
Dan jika pada suatu masa atau di suatu tempat terjadi penisbatan
madhhab Ahlus Sunnah terhadap seorang Ulama’ atau Mujaddid
(pembaharu), maka hal itu bukan karena Ulama’ tersebut telah menciptakan
sesuatu yang baru atau mengada-ada. Pertimbangannya semata-mata karena
ia selalu menyerukan manusia agar kembali kepada As Sunnah.
Adapun mengenai awal penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah atau
Ahlul Ḥadīts ialah ketika terjadinya perpecahan dengan munculnya berbagai
golongan sesat serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah
Ahlus Sunnah menampakan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik
dalam ‘Aqīdah maupun manhāj mereka. Namun pada hakikatnya, mereka itu
hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yang dijalankan Rasūlullah Saw
dan para Sahabatnya.
Para Ulama’ seperti Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dan Imām ‘Abdul
Qādir Al Baghdadi menyebutkan bahwa dinamakan Ahlus Sunnah Wal
Jamā’ah kerena mengikuti jalan, petunjuk, dan sunnah Rasūlullah Saw 84.
Nama tersebut sebagai pembeda dari firqah-firqah (golongan) sesat yang
82 As Syaibānī, Musnad Imām Aḥmad, p.IV/126-12783 Ibnu Taimiyah, Minhāju Sunnah, p.III/48284Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, III/157; Al Baghdādī, ‘Abdul Qāhir bin Ṭahir bin Muḥammad.
Al Farqu Bainal Firaq, (Beirūt: Dār Al Afāq Al Jadīdah, 1977), p.36130
menyimpang dari apa yang telah dituntunkan oleh Rasūlullah Saw dan sudah
tersebar luas ketika itu.
2.3.5.Sebutan lain Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah
2.3.5.1. Ahlul Ḥadīts
Ḥadīts adalah ucapan Rasūlullah Saw. Ahlul Ḥadīts adalah orang-
orang yang menisbatkan kepada orang yang menjadikan ḥadīts Rasūlullah
Saw sebagai salah satu sumber penerimaan ‘aqīdah Islam yang benar.
Dalam hal ini sama saja apakah mereka itu Ulama’ ḥadīts atau Ulama’ fikih
atau Ulama’ uṣūl fikih atau orang-orang yang zuhud atau lainnya.
Penamaan mereka sebagai Ahlul Ḥadīts dimaksudkan untuk
membedakan dengan Ahlul Kalam (filosof) yang menganggap bahwa kalam
mereka harus didahulukan atas ḥadīts Rasūlullah Saw dalam bidang ‘aqīdah.
Alasannya ḥadīts itu hanya memberikan indikasi yang bersifat hipotesis
(ẓanni) sedangkan akal mereka memberi indikasi yang bersifat yakin
(muṭlaq). Dengan demikian ḥadīts-ḥadīts Rasūlullah Saw dalam bidang
.aqīdah sama sekali tidak berguna.
Ahlul Ḥadīts semakna dengan Ahlus Sunnah, artinya mereka ini
kelompok umat Islam yang paling berpegang teguh kepada sunnah
Rasūlullah Saw dan Jamā’ah. Kerenanya Imām Aḥmad mengatakan, ”Kalau
mereka (Jamā’ah) itu bukan Ahlul Ḥadīts, saya tidak tahu lagi siapa mereka
itu.”
Imām Abū Isma’il Aṣ Ṣabūni dalam kitāb beliau yang berjudul
‘Aqīdatus Salaf Aṣḥābul Ḥadīts, menyatakan, “Mereka itu mengikuti Nabi
Saw dan para Sahabat beliau yang mereka itu laksana benang. Mereka
mengikuti Salafus Ṣāliḥ dari kalangan Imām-Imām dalam dien ini dan
Ulama’ kaum Muslimin dan berpegang teguh dengan apa yang para Ulama’
berpegang teguh padanya, yaitu dien yang kuat dan kebenaran yang nyata
dan membenci Ahlul Bid’ah yang membuat bid’ah dalam dien, tidak
mencintai mereka dan tidak pula bersahabat dengan mereka.”85
85 Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah Ma’alim Al Inthilaqati Al Kubra, p.5431
2.3.5.2. Ahlul Atsār
Secara bahasa kata Atsār maknanya bekas, sisi atau pengaruh. Adapun
secara syar’inya maka ada dua pendapat para Ulama’.
Mayoritas Ulama’ mengatakan bahwa atsār khusus untuk perkataan
dan perbuatan Sahabat dan Tabi’īn. Sedang untuk Nabi Saw, mereka
menyebutnya dengan ḥadīts atau sunnah.
Namun demikian pendapat mayoritas Ulama’ lebih kuat, dikatakan,
”Atsāru ḥadītsan”, artinya, ”Aku meriwayatkan sebuah ḥadīts”. Pendapat ini
juga dikuatkan oleh Al ‘Irāqi dan Ibnu Ḥajar.86
Maka dalam hal ini, Ahlus Sunnah sering juga disebut dengan Ahlul
Atsār. Ahlus Sunnah disebut dengan Ahlul Atsār karena mereka mengikuti
atsār-atsār yang diriwayatkan dari Rasūlullah Saw dan para Sahabat.
2.3.5.3. Salaf
Makna Salaf secara bahasa adalah orang yang terdahulu sesuai urutan
waktu (pendahulu, nenek moyang). Salaf artinya jamā’ah (kelompok
pendahulu). Salaf juga bermakna para pendahulu dari bapak-bapak dan
kerabat yang secara umur dan kemuliaannya lebih tinggi.
Adapun secara syar’i para Ulama’ menyatakan bahwa makna salaf
tidak jauh dari makna Sahabat, Tabi’īn, Tabi’ut Tabi’īn dari kalangan para
Ulama’, dan Imām terpercaya yang telah diakui keilmuan dan ittiba’nya
terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Yaitu para Ulama’ yang tidak terkena
tuduhan bid’ah baik bid’ah Mufassiqah (kefasikan) ataupun Mukaffirah
(kekafiran).87
2.3.5.4. Firqah An Nājiyah
Selain Ahlus Sunnah, Ahlul Ḥadīts, Ahlul Atsār, dan Salaf; Ahlus
Sunnah Wal Jamā’ah juga sering disebut dengan Firqah An Nājiyah,
86 As Suyūṭī, Jalāludin, Tadrību Ar Rāwi, (Riyaḍ: Dār Aṭ Ṭayyibah, 1422 H), p.VI/10987 Al Buraikan, p.14
32
didasarkan pada ḥadīts-ḥadīts yang menerangkan akan pecahnya umat Islam
menjadi 73 golongan, dimana 72 golongan akan tersesat dan yang selamat
(najiyah) hanya satu saja yaitu ‘Mā Ana ‘Alaihi wa Aṣḥābi’ (apa yang aku
dan para sahabatku berada di atasnya), Ahlus Sunnah dan dalam lafal lain
disebutkan jamā’ah.88
2.3.5.5. Ṭāifah Manṣūrah (Kelompok yang menang, ditolong Allah
Swt)
Ṭāifah Manṣūrah adalah nama lain dari Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah
yang disebutkan dalam ḥadīts-ḥadīts yang menyebutkan hal ini.
Di antara ḥadīts-ḥadīts tersebut adalah yang diriwayatkan oleh
Sahabat Mughirah dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda, ”Akan senantiasa
ada manusia dari umatku yang menang (berada di atas kebenaran) sampai
datang pada mereka urusan (keputusan) Allah Swt sedang mereka dalam
keadaan ẓahirīn (menang).”89
Golongan yang mendapat pertolongan sebagaimana yang disebut
dalam ḥadīts-ḥadīts Rasūlullah Saw adalah golongan pejuang dari kalangan
Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah yang memang layak untuk memperoleh
pertolongan Allah Swt, baik secara moral maupun material. Pertolongan
Allah Swt itu misalnya: ilmu yang ṣaḥīḥ (benar), perilaku yang lurus
terhadap sunnah-sunnah (ketetapan) Allah Swt di alam semesta, serta
melaksanakan hal-hal yang dijadikan Allah Swt sebagai wasilah (perantara)
untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika tidak, atau jika hanya sekedar
iman dan mengikuti ‘aqīdah Ahlus Sunnah tanpa menjalankan hal-hal yang
bisa mendatangkan kemenangan serta tanpa menjalankan sunnah-sunnah
Allah Swt di alam semesta –dengan tidak melebihkan seseorang atas
selainnya- maka Allah Swt tidak akan menjamin pertolongan, kemenangan,
88 Ma’alim Al Inthilaqi Al Kubra, p.58-6289 Bukhāri, p.VIII/149 dengan lafal ‘Kelompok di atas kebenaran’, p.VIII/189, Muslim, p.171,
Darimi, p.437, Aḥmad, IV/244,252,348 dengan lafal ‘Berperang di atas jalan kebenaran…’, Aṭ Ṭabrānī, Sulaimān bin Aḥmad. Mu’jam Al Kabīr, no.959,960,962 dengan lafal ‘Sampai datang kiamat kepada mereka.
33
dan kekuasaan di muka bumi, sebagaimana telah dijanjikan-Nya buat
hamba-hamba-Nya yang ṣālih dan ikhlāṣ.90
Maka jelaslah bahwa golongan yang mendapat pertolongan itu adalah
golongan Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah. Golongan ini selalu melaksanakan
fikih yang ṣaḥīḥ yang mengacu pada salaf dan para Imām. Golongan ini
senantiasa menjalankan hal-hal yang bisa mendatangkan kemenangan
sehingga sudah selayaknya Allah Swt memberi mereka pertolongan. Mereka
juga sama sekali tidak memperdulikan orang-orang yang menentang,
meremehkan, atau merendahkan mereka.91
2.4. Pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī as menurut Syī’ah
2.4.1.Latar belakang peristiwa
2.4.1.1. Pengangkatan Yazīd bin Mu’āwiyah dan penolakan Ḥusain bin
‘Alī as membai’atnya
Menurut Al Ya’qūbi, Yazīd segera memegang tampuk kepemimpinan
di awal bulan Rajab tahun 60 Hijriyah paska wafatnya Mu’āwiyah. Karena
itulah, ia harus mengukuhkan posisinya di atas para pembesar agar mereka
tunduk kepadanya, termasuk para pembesar Bani Hāsyim sekalipun. Ia
segera menulis surat kepada bawahannya di Madinah, Al Walid bin ‘Uṭbah
bin Abī Sufyan, yang isinya, ”Jika suratku ini telah sampai, datangkanlah
Ḥusain bin ‘Alī as dan ‘Abdullah bin Zubaīr. Mintalah kepada mereka untuk
membai’atku. Jika keduanya menolak, pukul tengkuknya dan kirim kepala
mereka kepadaku. Atur juga agar orang-orang mau membai’atku jika ada
yang menolak, jalankanlah hukumannya, termasuk Ḥusain dan ‘Abdullah
bin Zubaīr. Wassalam.”92
Menurut Syī’ah sejak awal Yazīd telah mengambil jalan pintas,
dengan memerintahkan orang-orang untuk membunuh Ḥusain bin ‘Alī ra
hanya karena menolak berbai’at. Kemampuan sekutu Ḥusain bin ‘Alī as
90 Tim Ulin Nuha, p.2791 Ibid, p.2792Idris Al Ḥusaini, Karena Ḥusain bin Alī Aku Syī’ah, Terj. Muhdhor Assegaf, (Jakarta: Penerbit
Cahaya, 2008), p.34634
tidak sanggup membendung kejahatan dan keẓāliman Yazīd. Bahkan Yazīd
tidak segan-segan mempersiapkan keinginan kotornya, yaitu membunuh
Ḥusain bin ‘Alī as dan ‘Abdullah bin Zubaīr, bila utusan Yazīd datang
mereka berkata, ”Kami segera datang menemuimu bersama orang-orang.”
Marwan memberi Isyarat kepada Al Walid untuk mencegah keduanya
keluar. Namun pihak sekutu Ḥusain bin ‘Alī as mampu membutakan Al
Walid sehingga dia tidak tahu kalau keduanya sudah keluar. Maka keluarlah
Ḥusain bin ‘Alī as menuju Makkah, dan tinggal beberapa hari di sana,
sampai penduduk Kufah mengirimkan banyak surat. Mereka menyatakan
diri sudah kembali kepada Ḥusain bin ‘Alī ra di bawah komando Ibnu Abī
Hani dan Sa’īd bin ‘Abdillah. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut,
“Bismillahirrahmanirrahim. Kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, dari para
pengikutnya yang Mukmin dan Muslim, Amma ba’du. Mari segera kembali.
Orang-orang sudah menanti Anda. Mereka tidak memiliki Imām selain
Anda. Maka bergegaslah. Sekali lagi, bergegaslah. Wassalam.”93
2.4.1.2. Ḥusain mengirim Muslim bin ‘Aqīl dan penghianatan
penduduk Kufah terhadapnya
Setelah itu Ḥusain bin ‘Alī ra mengirim utusannya, Muslim bin ‘Aqīl
untuk menyuruh mereka membai’at Ḥusain bin ‘Alī ra.94 Sesampainya di
Kufah Muslim bin ‘Aqīl tinggal di rumah Al Mukhtār bin ‘Ubaid, yang
sekarang disebut rumah Salmi bin Musayyib. Kaum Syī’ah mulai
mengunjunginya dan memberikan bai’at kepadanya atas nama Ḥusain bin
‘Alī ra, hingga mencapai 18.000 orang. Karenanya Muslim menulis surat
kepada Ḥusain untuk memberikan informasi tentang bai’at kaum Syī’ah
Kufah dan mendesak beliau untuk segera datang.95
Keberadaan Muslim bin ‘Aqīl lambat laun terdengar oleh Nu’man bin
Basyīr yang menjabat sebagai gubernur Kufah saat itu. Namun Nu’man
93 Idris Al Ḥusaini, p.346-34794 Al Mufid, Sejarah ‘Amīrul Mu’minīn Ali bin Abī Ṭālib As & Para Imām Ahlul Bait Nabi Saw,
(Jakarta: Lentera, 2007), p.39295 Al Mufid, p.394
35
tidak bertindak tegas dalam menuntaskan masalah ini. Sehingga seorang
sekutu Bani ‘Umayyah, ‘Abdullah bin Muslim bin Rabi’ah Al Hadrami
yang tidak sepakat dengan Nu’man menulis surat kepada Yazīd bin
Mu’āwiyah:
“Muslim bin ‘Aqīl telah datang ke Kufah. Kaum Syī’ah telah
membai’atnya atas nama Ḥusain bin ‘Alī ra bin Abī Ṭālib. Jika engkau
merasa perlu, maka kirimlah seorang yang kuat, yang akan melaksanakan
perintahmu dan bertindak dengan cara yang sama seperti engkau melawan
musuhmu. Nu’man bin Basyīr adalah seorang yang lemah atau bertindak
lemah.”96
Ketika surat itu sampai kepada Yazīd, ia lalu memanggil Sarjun,
seorang pembantu Mu’āwiyah, dan bertanya: “Apa pendapatmu tentang
Ḥusain yang telah yang telah mengirim Muslim bin ‘Aqīl ke Kufah untuk
mengambil bai’at atas nama dirinya aku juga tahu bahwa Nu’man adalah
seorang yang lemah. Aku pun memperoleh berita yang buruk tentangnya.
Siapakah menurutmu yang seharusnya aku tunjuk untuk menjadi gubernur
Kufah?”
Saat itu Yazīd sedang kesal dengan ‘Ubaidullah bin Ziyād. Karena itu
Sarjun menjawab: “Apakah engkau berpikir jika Mu’āwiyah masih hidup
dan menasehatimu, maka engkau akan melaksanakan nasehat itu.”
“Ya.” Jawab Yazīd.97
Sarjun lalu membuat sepucuk surat penunjukan untuk ‘Ubaidullah bin
Ziyād sebagai gubernur Kufah:
Inilah nasehat Mu’āwiyah yang ia perintahkan sebelum meninggal.
Karenanya gabungkan dua kota, Baṣrah dan Kufah dibawah kekuasaan
‘Ubaidullah.
“Aku akan lakukan itu. Aku akan mengirim surat kuasa yang telah
ditulis ayahku untuk ‘Ubaidullah bin Ziyād.” Jawab Yazīd.
96 Ibid, p.39597 Ibid, p.395
36
Setelah itu ia memanggil Muslim bin Amr Al Bahili untuk diutus
mengantarkan surat berikut kepada ‘Ubaidullah:
“Pengikutku di Kufah telah menginformasikan kepadaku bahwa Ibnu
‘Aqīl ada di sana dan berkomplot untuk menyebarkan pemberontakan di
antara kaum Muslimin. Karena itu jika engkau selesai membaca surat ini,
segeralah ke Kufah dan carilah Ibnu ‘Aqīl sampai ketemu, seperti engkau
mencari manik-manik. Ikat ia dengan rantai, lalu bunuh atau usir ia.”
Wassalam.
Dengan cara seperti ini Yazīd memberinya kekuasaan atas Kufah agar
Muslim bin ‘Amr pergi menemui ‘Ubaidullah di Baṣrah untuk
menyampaikan ketetapan dan surat itu. ‘Ubaidullah memerintahkan agar
persiapan segera dilakukan dan keberangkatan ke Kufah dilakukan
besoknya. Ketika meninggalkan Baṣrah, ia mengangkat saudaranya
‘Utsmān, sebagai wakilnya. Ia menuju Kufah bersama Muslim bin Amr,
Syuraik bin A’war Al Haritsi, keluarga dan rombongan lainnya.98
Ketika sampai di Kufah, ia mengenakan surban hitam dan
berkerudung. Sementara berita tentang keberangkatan Ḥusain bin ‘Alī as
telah sampai di telinga masyarakat yang sedang mengharapkan kedatangan
beliau. Ketika melihat ‘Ubaidullah, mereka mengira ia adalah Ḥusain.
Ketika melewati kerumunan orang ‘Ubaidullah mengucapkan salam.
Mereka berkata: “Selamat datang wahai putra Rasūlullah Saw kedatangan
anda adalah sesuatu yang menggembirakan.”
Ia melihat sambutan hangat masyarakat kepada Ḥusain sebagai
sesuatu yang dapat mempersulit dirinya. Ketika jumlah mereka telah begitu
banyak sehingga dapat menjadi penghalang, Muslim bin ‘Amr berkata: “Ini
adalah gubernur ‘Ubaidullah bin Ziyād.”
Ia melanjutkan perjalanan hingga sampai di istana gubernur pada
malam hari. Sejumlah besar orang, yang tidak ragu kalau dia adalah Ḥusain,
tetap mengerumuninya. Nu’man bin Basyīr menolak ia dan rombongan.
Salah seorang dari rombongan menyeru kepadanya untuk membukakan
98 Al Mufid, p.39637
pintu. Namun Nu’man karena masih mengira kalau ia adalah Ḥusain, naik
ke balkon dan menyeru ke bawah: “Aku memohon kepada Allah Swt di
hadapanmu, kalau engkau tidak menarik diri dariku, demi Allah, aku tidak
akan menyerahkan jabatan (amanah)-ku kepadamu, namun aku tak ingin
memerangimu.”
Ibnu Ziyād tidak menjawabnya. Namun ia semakin mendekat ketika
Nu’man di balkon istana. Lalu ia mulai berkata kepadanya: “Buka. Engkau
belum membuka. Sungguh engkau melewati malam yang panjang (di
malam itu engkau tidur bukannya memerintah).”
Seorang lelaki di belakangnya mendengar itu, dan ia pun segera
mundur menuju kumpulan orang-orang Kufah yang sedang mengikuti Ibnu
Ziyād dan mengiranya sebagai Ḥusain. Ia lalu berkata: “Saudara-saudara
sekalian, ini adalah Ibnu Murjanah.99 Demi Allah yang tiada tuhan selain
Dia.” Nu’man pun segera membukakan pintu, dan ia pun masuk. Mereka
lalu membanting pintu di hadapan orang-orang yang seketika itu bubar.100
Berita tentang kedatangan ‘Ubaidullah bin Ziyād terdengar oleh
Muslim bin ‘Aqīl, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah Al Mukhtār
dan pindah ke rumah Hani bin ‘Urwah. Orang-orang Syī’ah mulai
mengunjungi rumah Hani bin Urwah secara sembunyi-sembunyi agar tidak
terlihat oleh ‘Ubaidullah, dan saling berpesan untuk merahasiakan
keberadaan Muslim bin ‘Aqīl.101
Namun lambat laun persembunyian Muslim bin ‘Aqīl tercium oleh
‘Ubaidullah bin Ziyād sehingga ia dan sekutunya memutuskan untuk
membunuh Muslim bin ‘Aqīl tanpa ada pembelaan sedikitpun dari
penduduk Kufah yang telah mengikrarkan sumpah setiannya kepada Ḥusain
bin ‘Alī as. Sehingga sesaat sebelum Muslim bin ‘Aqīl gugur ia berucap,
“Allahu Akbar,” lalu memohon ampun kepada Allah dan bershalawat.
Setelah itu berkata, “Ya Allah Swt berikanlah keputusan hukum antara kami
dan orang-orang yang telah mengundang kami (penduduk Kufah-Syī’ah),
99 Sebutan untuk ‘Ubaidullah bin Ziyād, yang dirujuk dari nama Ibunya100 Al Mufid, p.397101 Ibid, p.398
38
yang berbohong kepada kami, dan yang meninggalkan kami.” Dan Muslim
bin ‘Aqīl pun terbunuh secara ẓālim.102
Setelah itu giliran Hani bin Urwah yang ikut dibunuh karena
bersekutu dengan Muslim bin ‘Aqīl. Sesaat sebelum terbunuh ia sempat
mencari pendukungnya (penduduk Kufah) namun tidak ada satu pun yang
menolongnya, hingga munculah dihadapannya seorang budak Turki milik
‘Ubaidullah bernama Rasyīd, menghantamnya dengan pedang, sedangkan
Hani dalam keadaan terbelenggu rantai, namun serangan Rasyīd tidak
mengubah keadaanya. Hani pun berteriak: “Kepada Allah kita kembali. Ya
Allah aku mohon rahmat dan keridhaan-Mu,” lalu Rasyid menghantamnya
lagi hingga meninggal.103
2.4.1.3. Ḥusain bin ‘Alī as mulai berangkat ke Kufah dan nasehat agar
tidak melanjutkan perjalanannya
Muslim bin ‘Aqīl memulai perlawanan di Kufah hari selasa 8
Dhulḥijjah 60 H. Dan ia terbunuh hari Rabu, 9 Dhulḥijjah (pada tahun yang
sama) di hari ‘Arāfah, Ḥusain as berangkat dari Makkah menuju Irak
bertepatan dengan hari perlawanan Muslim bin ‘Aqīl di Kufah, bertepatan
pula dengan Hari Tarwiyah,104 setelah tinggal di Makkah sejak hari-hari
terakhir Sya’ban dan berlanjut di bulan Ramaḍān, Syawāl, Dhulqa’dah,
hingga delapan hari pertama di bulan Dhulḥijjah 60 H. Selama beliau
tinggal di Makkah, sejumlah orang Makkah dan Baṣrah menemui beliau,
bergabung bersama keluarga dan pembantu-pembantu beliau.105
Ketika memutuskan untuk berangkat menuju Irak, terlebih dahulu
Ḥusain bin ‘Alī as melakukan ṭawaf dan sa’i. Kemudian beliau
102 Aṭ Ṭabarī, Muḥammad bin Jarīr, Tārīkh Ṭabarī (Tārīkh Al Umam Wa Ar Rusul Wa Al Mulūk), (Beirūt: Dārul Kutub Al ‘Ilmiyah, 1407 H), p.V/378; Al Mas’ūdī, ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī, Murūj Adh Dhahab Wa Ma’ādin Al Jauhar, (Dārul Fikr, 1393 H), p.III/6; Dikisahkan bahwa sebelum Muslim dibunuh, ia sempat melakukan perlawanan dan Ibnu Ziyād memanggil Bakar bin Humran Al Ahmari dan berkata kepadanya: “Naiklah (saat itu mereka sedang berada di puncak istana) engkau akan menjadi orang pertama yang akan memotong kepalanya.”
103 Lihat proses pembunuhan Muslim bin ‘Aqīl dan Hani bin Urwah dalam Al Mufid, p.418-419104 Hari Tarwiyah adalah satu hari sebelum hari Arafah. Yaitu ketika para jamā’ah haji
mengumpulkan air dari sumur zam-zam.105 Al Mufid, p.422
39
menanggalkan pakaian ihram beliau setelah melaksanakan umrah. Karena
beliau tidak dimungkinkan untuk menunaikan haji, karena khawatir
tertangkap dan diserahkan kepada Yazīd bin Mu’āwiyah. Kemudian beliau
segera berangkat bersama anak-anak, keluarga, serta pengikut setia beliau.
Sementara beliau belum memperoleh kabar tentang Muslim bin ‘Aqīl.106
Diriwayatkan bahwa Farazdaq, seorang penyair berkata:
“Aku melaksanakan ibadah haji bersama ibuku tahun 60 H. Aku
sedang mengendarai unta ibuku ketika aku memasuki kota suci Makkah. Di
sana aku bertemu Ḥusain bin ‘Alī as yang sedang meninggalkan Makkah
ditemani beberapa orang lelaki yang membawa pedang dan perisai.
“Rombongan siapakah ini?” Aku bertanya
“Ḥusain bin ‘Alī as.” Jawab salah seorang dari mereka
Lalu aku memberikan salam kepada beliau dan berkata: “Semoga
Allah menjamin diri anda dan mengabulkan keinginan anda, demi ayah dan
ibuku, wahai putra Rasūlullah. Namun apa yang membuat anda tergesa-gesa
meninggalkan haji”
Jika aku tidak bergegas pergi, aku akan ditangkap, ”Jawab beliau as.
Lalu beliau bertanya kepadaku: “Siapakah engkau?”
“Seorang Arab,” jawabku. Dan beliau tidak bertanya lebih jauh.
“Katakan kepadaku tentang masyarakat yang engkau tinggalkan,”
tanya beliau.
“Anda mengajukan pertanyaan yang baik. Hati mereka bersama anda,
namun pedang mereka diarahkan ke anda. Keputusan telah datang dari
langit, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. ”Jawabku
“Engkau berkata benar tentang berbagai urusan yang menjadi milik
Allah. Setiap waktu Dia terlibat berbagai urusan. Jika nasib telah diputuskan
seperti apa yang kita inginkan dan kita menjadi puas karenanya, kita memuji
Allah karena rahmat-Nya. Hanya Dia saja tempat kita mencari pertolongan
dan tempat kita bersyukur. Meski nasib mungkin menghalangi harapan-
106 Ibid, p.42240
harapan kita, namun Allah tidak pernah menjauhkan orang-orang yang
benar niatnya dan berhati takwa,” jawab beliau.
“Benar semoga Allah pada akhirnya membawa anda ke apa yang
menjadi tujuan anda dan menjaga anda terhadap berbagai ancaman.” kataku
Lalu aku bertanya kepada beliau mengenai janji dan tata cara haji.
Beliau pun menjelaskannya. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan
sembari mengucapkan salam dan kami pun berpisah.107
Ketika Ḥusain bin ‘Alī as meninggalkan Makkah, Yahya bin Sa’id bin
Al ‘Aṣ berpapasan dengan beliau bersama sekelompok orang. Mereka diutus
untuk menemui Ḥusain bin ‘Alī as oleh Amr bin Sa’īd.108
“Pulanglah,” perintah mereka. Namun beliau menolak dan terus
melanjutkan perjalanan. Kedua kelompok itu pun berhadapan untuk saling
menyerang dengan cambuk masing-masing. Akhirnya beliau dapat
melanjutkan perjalanan, hingga tiba di At Tan’im. Di sana beliau
menjumpai gerombolan berunta yang datang dari arah Yaman. Beliau lalu
menyewa unta-unta itu sebagai tambahan kekuatan untuk beliau maupun
pengikut-pengikut beliau. Kemudian beliau berkata kepada pemiliknya:
“Siapa dari kalian yang ingin ikut bersama kami ke Irak, kami akan
membayar ongkos sewanya dan engkau akan memperoleh perjalanan yang
baik. Dan bila kalian ingin berpisah dari kami di suatu jalan, maka kam
tetap akan membayar ongkos sewa atas perjalanan yang telah ditempuh.”109
Sebagian ikut beliau dan sebagian lagi menolaknya. ‘Abdullah bin
Ja’far mengutus kedua anaknya, ‘Aun dan Muḥammad, untuk menyusul
beliau dan memberikan sepucuk surat kepada beliau yang isinya:
“Aku memohon kepada engkau di hadapan Allah agar engkau kembali
setelah membaca surat ini. Aku sangat khawatir langkah yang engkau
tempuh akan membawa kehancuranmu dan keluargamu. Jika engkau binasa
hari ini, maka cahaya di bumi ini akan padam, karena engkau adalah standar
107 Ibnu A’tsam dalam Al Futuh, p.V/77. Al Khawarizmi, Muwaffiq bin Aḥmad, Maqtalu Al Ḥusain, (Qom: Mansyurat Maktabati Al Mufīd), p.I/223; Ibnu Syahr Asywab, p.IV/95. Al Majlisi, Bihār Al Anwār, (Beirūt: Mū-assasah Wafā’, 1403 H), p.XL/365
108 Gubernur Makkah yang ditetapkan oleh Yazīd109 Al Mufid, p.423-424
41
bagi orang-orang yang memperoleh petunjuk dan harapan bagi orang-orang
beriman. Jangan bergegas dalam perjalananmu, karena aku akan
mengirimkan surat lagi.” Wassalam.
‘Abdullah bin Ja’far lalu pergi ke Amr bin Sa’īd dan memintanya
untuk menulis surat kepada Ḥusain guna menawarkan jaminan keamanan
dan berjanji untuk memperlakukanya dengan baik, agar beliau mau kembali.
Amr bin Sa’īd kemudian menulis sepucuk surat kepada Ḥusain as seperti
apa yang diinginkan ‘Abdullah bin Ja’far. Ia mengirimkannya melalui
saudaranya, Yahya bin Sa’īd, dan ‘Abdullah. Mereka menyusul beliau
sebagaimana yang dilakukan oleh kedua anak ‘Abdullah. Keduannya
menyerahkan surat Amr kepada Ḥusain as dan berusaha sekuat tenaga untuk
membujuk beliau agar mau kembali.
“Aku bertemu Rasūlullah Saw dalam tidurku, dan beliau
memerintahkanku untuk melakukan apa yang sedang aku lakukan sekarang
ini” jawab Ḥusain as
“Mimpi apakah itu?” Tanya mereka
“Aku belum bercerita kepada siapa pun, dan aku tidak akan bercerita
sampai aku menemui tuhanku Swt,” jawab beliau
Ketika ‘Abdullah bin Ja’far telah putus asa membujuk beliau, ia pun
mengatakan kepada kedua anaknya, Aun dan Muḥammad untuk tetap
bersama Ḥusain dan pergi berjuang bersama beliau. Sementara ia sendiri
kembali bersama Yahya bin Sa’īd ke Makkah. Ḥusain as cepat-cepat
menuju Irak, hingga tiba di Dhaturriqa’.110
Ketika mengetahui perjalanan Ḥusain bin ‘Alī as dari Makkah ke
Kufah, ‘Ubaidullah bin Ziyād mengirim Ḥuṣain bin Numair si pimpinan
tentara untuk tinggal di Qadisiyah dan membentuk pasukan perlindungan
bagi Qadisiyah dan Khaffan, juga bagi Qadisiyah dan Al Quṭquṭanah. Ia
menginformasikan juga kepada orang-orangnya bahwa Ḥusain sedang
menuju Irak.111
110 Al Mufid, p.424-425111 Ibid, p.425
42
Ketika tiba di Al Ḥajar, daerah di sekitar Baṭn Ar Rumah, Ḥusain
mengutus Qais bin Musyir Aṣ Ṣidawi untuk menemui penduduk Kufah.
Ḥusain bin ‘Alī ra belum memperoleh kabar terbaru tentang Muslim bin
‘Aqīl. Beliau menulis surat kepada mereka:
Bismillahirrahmanirrahim,
Dari Ḥusain bin ‘Alī ra
Kepada saudara-saudara Mu’min dan Muslim,
Salamun’ Alaikum
Segala puji bagi Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Surat Muslim bin
‘Aqīl telah sampai di tanganku, memberikan informasi tentang keputusan
dan kesepakatan masyarakat kalian untuk mendukung kami dan untuk
memperjuangkan hak-hak kami. Aku telah memohon kepada Allah agar
memberikan kebaikan kepada kami dan membalas keputusan kalian itu
dengan pahala yang paling besar. Aku berangkat menuju kalian dari
Makkah pada tanggal 8 Dhulhijjah, bertepatan dengan hari Tarwiyyah.
Bila utusanku telah sampai kepada kalian, maka bersegeralah untuk urusan
kalian karena aku akan segera datang kepada kalian dalam beberapa hari
lagi. Wassalamu’alaikum warahmatullah.
Sebelumnya Muslim bin ‘Aqīl sudah mengirimkan surat kepada
Ḥusain as tujuh belas hari sebelum dibunuh. Dan isi surat orang Kufah
kepada Ḥusain antara lain mengatakan: “Di sini ada seratus ribu pedang.
Jangan ditunda-tunda.”
Qais bin Musyir membawa surat Ḥusain ke Kufah. Namun ketika tiba
di Qadisiyah Huṣain bin Numair yang sudah dipersiapkan oleh ‘Ubaidullah
untuk mencegah rombongan Ḥusain menahannya dan kemudian
mengutusnya untuk menemui ‘Ubaidullah bin Ziyād.112
Sesampainya dihadapan ‘Ubaidullah Qais diperintah naik mimbar
untuk mengutuk Ḥusain bin ‘Alī ra. Qais pun naik mimbar. Dan setelah
memuji dan bertasbih kepada Allah, Qais berkata: “Saudara-saudara, orang
ini –Ḥusain bin ‘Alī as- sebaik-baik makhluq Allah swt, putra Fāṭimah binti
112 Al Mufid, p.24643
Rasūl Saw. Aku diutus olehnya untuk menemui kalian. Berilah jawaban
untuknya.”
Lalu Qais malah mengutuk ‘Ubaidullah bin Ziyād berserta ayahnya.
Dan memohonkan ampun serta berdo’a bagi ‘Alī bin Abī Ṭālib ra.
‘Ubaidullah segera meyuruh orang untuk melemparkan Qais dari atas istana.
Mereka pun lalu melempar Qais, dan tubuh Qais pun terhempas, seorang
lelaki bernama ‘Abdul Mālik bin ‘Umair Al Lakhmi mendekatinya untuk
kemudian menggorok lehernya.113
Sementara kejadian ini berlangsung Ḥusain tetap melanjutkan
perjalanan dalam keadaan tidak tahu apapun. Ḥusain berulang kali bertemu
orang dalam perjalanannya di ataranya ketika beliau sampai di daerah
bermata air. Dia bertemu seseorang yang bernama ‘Abdullah bin Muti’. Dan
beliau juga bertemu ‘Abdullah bin Sulaimān dan Al Munẓīr bin Musyam’il
keduanya dari suku Asad, mereka berdua menyusul dari Makkah setelah
menuntaskan haji dan bertemu di Ats Tsa’labiyyah. Mereka yang bertemu
Ḥusain pada intinya menginginkan agar Ḥusain kembali ke Makkah
sebagaimana yang dilakukan oleh Farazdak dan ‘Abdullah bin Ja’far
sebelumnya. Kali ini bahkan ‘Abdullah bin Sulaiman dan Al Mundzir bin
Musyam’il memberi tahu Ḥusain kalau Muslim bin ‘Aqīl dan Hani bin
Urwah telah dibunuh.
Ḥusain beristrija’ “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un” semoga Allah
merahmati mereka berdua.” Ḥusain mengulang ucapan ini beberapa kali.
Beliau pun menawari keluarga Muslim bin ‘Aqīl yang telah ditinggal mati
ayah mereka.
Anak-anak Muslim bin ‘Aqīl menjawab: “Demi Allah, kami tak akan
kembali sebelum dapat membalas atau sebelum merasakan yang ayah kami
rasakan.” 114
113 Ibid, p.426114 Lihat Al Mufid, p.427, 430-431 dikisahkan ada seorang lagi yang senasib dengan Muslim bin
‘Aqīl dan Hani bin Urwah, yaitu ‘Abdullah bin Yaqthur. Lihat Tim A’lāmul Hidāyah, Teladan Abadi Imam Ḥusain, Terj. Abdullah Beik, (Jakarta: Al Huda, 1428 H/2007 M), p.193
44
Ḥusain bin ‘Alī as kemudian mengeluarkan pernyataan tertulis untuk
dibacakan di hadapan orang-orang:
Bismillahirrahmanirrahim
Kabar tentang pembunuhan Mengerikan atas diri Muslim bin ‘Aqīl,
Hani bin Urwah dan ‘Abdullah bin Yaqṭur telah sampai ke telinga kita.
Syī’ah kita telah meninggalkan kita. Kalau di antara kalian ada yang mau
pergi meninggalkan kami silahkan saja bisa pergi dengan leluasa tanpa
digelayuti rasa bersalah.
Orang-orang pun mulai meninggalkan Ḥusain bin ‘Alī ra. Dan kini
yang tersisa tinggalah orang-orang yang memang mengikuti Ḥusain sejak
dari Madinah menuju Makkah sampai ke Kufah ditambah sejumlah kecil
orang yang bergabung dengan Ḥusain. Beliau melakukan itu karena sadar
bahwa orang-orang Arab mengikuti dirinya karena mengira Ḥusain akan ke
sebuah daerah yang penduduknya setia kepadanya –ternyata sebaliknya-.
Dan Ḥusain tak mau bersama mereka tanpa tahu sepenuhya hendak ke mana
sebenarnya.115
2.4.1.4. Pertemuan Ḥusain bin ‘Alī as Dengan Al Ḥurr bin Yazīd
Dalam perjaanannya Ḥusain bin ‘Alī ra singgah. Tak lama setelah
memasang tenda, rombongan Ḥusain bin ‘Alī as didatangi seribu pasukan
kuda yang dipimpin oleh Al Ḥurr bin Yazīd. Pasukan yang tampak siap
berperang itu berjajar di depan Ḥusain bin ‘Alī ra dan para sahabatnya yang
juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang masing-masing di
pinggang.116
Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap
kepala. Ḥusain bin ‘Alī ra dan para sahabatnya memerintahkan para
pengikutnya supaya air yang masih tersisa diminum dan diminumkan
kepada kuda-kuda mereka. Hingga tengah hari itu suasana masih relatif
tenang. Begitu waktu ṣalāt ẓuhur tiba, Imām memerintah seorang
115 Al Mufid, p.431116 Tim A’lāmul Hidāyah, p.194.
45
pengikutnya yang bernama Hajjaj bin Masruq Al Ja'fi untuk mengumandang
adhan. Seusai adhan, beliau berdiri di depan pasukan Al Ḥurr untuk
menyampaikan suatu kata kepada mereka yang beliau pandang sebagai
orang-orang Kufah tersebut.117
“Hai orang-orang!” Seru Ḥusain bin ‘Alī as setelah menyatakan pujian
kepada Allah dan salawat kepada Rasūl-Nya. “Aku tidaklah datang kepada
kalian kecuali setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian, orang-
orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian
merasa tidak memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian
kepada jalan yang benar. Oleh sebab inilah aku pun bergerak ke arah kalian.
Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji kalian, maka
aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke
negeriku.”118
Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Ḥusain bin ‘Alī
as itu terdiam seribu bahasa. Tak ada seorang yang angkat bicara.119 Beliau
kemudian memerintahkan muadhin tadi untuk mengumandangkan iqāmah
setelah meminta Al Ḥurr supaya menunaikan ṣalāt bersama pasukannya
sebagaimana Ḥusain bin ‘Alī as juga ṣalāt bersama para pengikut setianya.
Uniknya, Al Ḥurr menolak ṣalāt sendiri. Dia meminta ṣalāt berjamā’ah di
belakang beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam ṣalāt
dhuhur berjamā’ah yang dipimpin Ḥusain bin ‘Alī as.120
Seusai ṣalāt, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-
masing. Beberapa lama kemudian kedua rombongan ini bergabung kembali
untuk menunaikan ṣalāt ‘aṣar berjamā’ah dipimpin oleh Ḥusain bin ‘Alī as.
Seusai ṣalāt ‘aṣar beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian
kepada Allah dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:
“Amma ba'du. Hai orang-orang,...kata-kata kalian sekarang sudah
tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang
117 Abatasya Islamic Website, Tragedi Karbala, (http://abatasya.net), p.24118 Tim A’lāmul Hidāyah, Op.cit., p.195119 Nasikh Attawarikh, p.II/145120 Al Mufid, p.II/79; Al Futuh, p.V/85. Al Khawarizmi, Maqtalul Ḥusain, p.I/596
46
menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi
meninggalkan kalian.”121
Al Ḥurr menjawab: “Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang
engkau katakan itu.”
Ḥusain bin ‘Alī as memerintahkan ‘Aqabah bin Sam'an untuk
mengambil surat-surat itu supaya diperlihatkan kepada Al Ḥurr. Setelah
melihat surat-surat itu, Al Ḥurr mengatakan: “Aku bukan bagian dari
mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan
untuk menyosong bala tentaramu dan menggiringmu hingga kamu
menyerah di depan ‘Ubaidullah bin Ziyād.”
Kata-kata Al Ḥurr rupanya tak diduga sebelumnya oleh Ḥusain bin
‘Alī as. Kata-kata ini mengundang kegeraman beliau. Beliau
memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda
yang terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda
mereka. Perintah Ḥusain bin ‘Alī as pun mereka laksanakan. Namun begitu
hendak bergerak, jalan rombongan Ḥusain bin ‘Alī as dihadang oleh
pasukan Al Ḥurr.
“Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Al Ḥurr, apa yang kamu
inginkan dari kami?” Seru Ḥusain bin ‘Alī as gusar.
“Engkau menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku
pasti juga mengucapkan kata-kata yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah
wanita yang sangat patut dimuliakan.” Kata Al Ḥurr.122
“Lantas apa maumu?” Tanya Imām lagi.
“Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyād.”
“Aku tidak akan pernah bersamamu.”
“Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu
aku bawa ke Kufah dan aku serahkan kepada Ibnu Ziyād. Wahai Ḥusain,
demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan terbunuh jika kamu
berperang.”
121 Nasikh Attawarikh, p.II/145. Al Futuh, p.V/87. Al Khawarizmi, Maqtalul Ḥusain, p.I/332122 Al Mufid, p.II/80
47
“Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah
urusan kalian akan selesai jika aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian
bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang kesatria apabila kebenaran sudah
diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan
orang-orang yang ṣāliḥ, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan
para pendurhaka.”
Kata-kata Ḥusain bin ‘Alī ra ini mulai menyentuh hati Al Ḥurr. Al
Ḥurr mendekati Ḥusain bin ‘Alī as sambil memerintahkan pasukan bergerak
mengikuti perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara beliau
dan Al Ḥurr hingga ketika sampai di lembah Baiḍah beliau mengatakan:
“Kalau kamu hendak berperang denganku maka aku siap berduel
denganmu.”123
Al Ḥurr menjawab: “Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku
hanya ditugaskan menyerahkan dirimu kepada Dārul Imārah. Jika engkau
tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau kembali ke
Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku.
Kalau tidak, maka aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyād agar dia
menentukan apa yang harus aku lakukan.” Di lembah Baiḍah ini semua
rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-
masing.124
Sampai pada tahap ini Ḥusain bin ‘Alī as masih bersikukuh untuk
meneruskan perjalanan menuju Kufah walaupun sudah beberapa kali
dihimbau untuk tidak melanjutkan perjalanan. Dan Allah Swt lah yang akan
menjawab semua skenario agung-Nya melalui khiṭāb Nubuwah yang telah
masyhūr terlantun dari lisan Nabi-Nya Saw, bahwa Ḥusain bin ‘Alī as akan
menemui ajalnya di Karbala.
2.4.2.Kronologi pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī as di Karbala
2.4.2.1. Ḥusain bin ‘Alī as tiba di Karbala
123 Diskusi antara Ḥusain bin Alī as dengan Al Ḥurr terdapat dalam. Al Khawarizmi, Maqtal Al Ḥusain, p.I/229. Al Majlisi, p.XL/375
124 Abatasya Islamic Website, p.2648
Tentang keberadaan Ḥusain bin ‘Alī as di Karbala diriwayatkan
bahwa ketika beliau tiba di padang ini kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba
berhenti. Kuda itu tidak bergeming dan memaku, kendati beliau sudah
menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri.
Beliau lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama,
kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakinya.
Karena itu, Ḥusain bin ‘Alī as nampak mulai curiga sehingga
bertanya: “Apakah nama daerah ini?”
Orang-orang menjawab: “Qadisiyah.”
“Adakah nama lain?”, tanya Imām lagi.
“Sāti' Al Furat.”
“Selain itu ada nama lain lagi?”
“Karbala...”
Mendengar jawaban terakhir ini Ḥusain bin ‘Alī as segera berucap:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari karb (kegundahan) dan balā’
(malapetaka).”125
Imām lalu berseru kepada para pengikutnya: “Kita berhenti disini,
karena di sinilah akhir perjalanan kita, di sinilah tempat tumpahnya darah
kita, dan di sinilah tempat kita dikebumikan.”126
Ḥusain bin ‘Alī as memerintahkan seluruh rombongan berhenti dan
mendirikan tenda sambil memperjelas keadaan dan keputusan berikutnya
yang akan diambil.127
Sementara itu ‘Ubaidullah bin Ziyād sudah mendapat laporan bahwa
Ḥusain bin ‘Alī as berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada beliau
berisikan desakan agar beliau membai’at Yazīd. ‘Ubaidullah mengancam
Ḥusain bin ‘Alī as pasti akan mati jika tetap menolak memberikan bai’at.
Ḥusain bin ‘Alī as membaca surat itu kemudian melemparkannya
jauh-jauh sambil berkata kepada kurir ‘Ubaidullah, bahwa surat itu tidak
akan dibalas oleh beliau. ‘Ubaidullah murka setelah mendengar laporan
125 Nasikh Attawarikh juz hal.168126 Al Majlisi, p.XLIV/382127 Tim A’lāmul Hidāyah, p.199
49
sang kurir tentang sikap Ḥusain bin ‘Alī ra ini. Dipanggilnya ‘Umar bin
Sa'ad, orang yang sangat mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota
Rey. “Cepat pergi!” Seru ‘Ubaidullah kepada ‘Umar. “Habisi Ḥusain,
setelah itu datanglah kemari lalu pergilah ke Rey untuk menjabat di sana
selama 10 tahun.”128
‘Umar bin Sa'ad meminta waktu satu hari untuk berpikir, dan
‘Ubaidullah pun memberinya kesempatan itu. ‘Umar kemudian berunding
dengan teman-temannya. Dia disarankan supaya tidak menerima tugas
untuk membunuh cucu Rasūl itu. Namun, saran itu tidak meluluhkan
hatinya yang sudah dilumuri ambisi untuk bertahta. Maka, dengan
memimpin 4.000 pasukan dia bergerak menuju Karbala. Begitu tiba di
Karbala, mulai penganiayaan terjadi terhadap Ḥusain bin ‘Alī ra beserta
rombongannya. ‘Umar bin Sa'ad bahkan tak segan-segan mencegah mereka
untuk mendapatkan seteguk air minum.129
Ḥusain bin ‘Alī as dan ‘Umar bin Sa’ad sempat berdiskusi singkat.
Ḥusain bin ‘Alī as menjelaskan sikap beliau dan rombonganya. Ḥusain bin
‘Alī as mengajaknya bergabung. Beliau juga menjelaskan beberapa alasan
menjunjung kebenaran dan kewajiban untuk menghilangkan segala bentuk
keẓāliman dan tindakan destruktif lainnya. Ḥusain bin ‘Alī as pun
memaparkan perubahan sikap para pendukungnya dan janji-janji mereka
yang semula mendukungnya.
Namun ‘Umar bin Sa’ad adalah perlaksana tugas yang baik. Dia
menuruti semua keinginan rezim Bani ‘Umayyah. Oleh karenanya segala
tujuan dan ambisinya adalah melaksanakan perintah ‘Ubaidullah bin Ziyād
untuk memaksa Ḥusain bin ‘Alī as berbai’at kepada Yazīd. ‘Umar bin Sa’ad
mengutarakan hal ini kepada Ḥusain bin ‘Alī as. Hanya ada dua pilihan dari
tawaran berbai’at atau beliau dan seluruh keluarga serta sahabatnya
dibunuh.130
128 Al Irbili, Kasyful Ghummah Fī Ma’rifatil ‘Ā-immah, (Beirūt: Dār Al Ahwā’, 1405 H), p.V/225
129 Sugan Nameh ‘Alī Muḥammad hal.227130 Al Mufid, p.II/85. Al Futuh, V/98. Al Majlisi, p.XL/284 Aṭ Ṭibrisī, Al Faḍl bin Al Ḥasan,
A’lāmul Warī Bi A’lāmil Huda, Taṣḥīḥ dan Ta’līq ‘Alī Al Ghifārī, (Beirūt: Dārul Ma’rifah, 1399 50
2.4.2.2. Malam Asyura
‘Umar bin Sa’ad berangkat pada sore hari kamis tanggal 9 Muharram
–hari Tasyu’a-. Begitu juga Syimr bin Dhul Jausyan. Syimr berdiri di
hadapan para sahabat Ḥusain bin ‘Alī as kemudian bertanya, “Di mana
anak-anak keponakan kami, yaitu anak-anak Imām ‘Alī dari Ummul Banīn,
‘Abbās, Ja’far, ‘Abdullah dan ‘Utsmān.”
Ḥusain bin ‘Alī ra menyeru kepada mereka, ”Jawablah pertanyaanya,
sekalipun dia fasik, karena dia adalah paman kalian.” Mereka dianggap
keponakannya karena Ummul Banin dan Syimr adalah sama-sama dari Bani
Kilab.
Salah satu dari mereka menjawab dengan bertanya, ”Apa yang kamu
inginkan dari kami?”
Syimr menjawab, ”Kalian aku jamin keamanaannya, maka janganlah
kalian celakakan diri kalian dengan bergabung bersama saudara kalian
Ḥusain as, namun nyatakan kepatuhan kalian kepada Yazīd.”
Mereka menjawab dengan tegas, ”Semoga Allah mengutukmu dan
mengutuk pemberi keamananmu. Apakah jiwa kami dalam keadaan aman,
sementara putra Rasūlullah tidak memiliki keamanan atas jiwanya?”
Kedua belah pihak terlibat adu mulut yang sengit hingga akhirnya
Ḥusain bin ‘Alī as memerintahkan ‘Abbās untuk menemui mereka dan
merundingkan hingga esok pagi. ‘Umar bin Sa’ad pun mengabulkan
penundaan hingga besok.131
Pada malam perundingan suasana menjadi damai, Ḥusain bin ‘Alī ra
dan para sahabatnya menghidupkan malamnya dengan ṣalāt, istighfar, dan
do’a. Suara mereka terdengar seperti suara lebah. Di antara mereka ada yang
sujud, rukuk, berdiri, dan duduk. Sembari mendengar Ḥusain bin ‘Alī as dan
rombongannya melakukan ibadah, 33 orang pasukan ‘Umar bin Sa’ad
berlalu lalang menjaga pasukan Ḥusain bin ‘Alī as.132
H), p.I/451. Al Khawarizmi, Maqtalul Ḥusain, p.I/245131 Tim A’lāmul Hidāyah, p.202-203132 Ibid, p.206
51
2.4.2.3. Hari Asyura dan peringatan Ḥusain bin ‘Alī as terhadap
pasukan Kufah
Malam perdamaian telah berlalu dan kini terbitlah hari yang
menakutkan. Hari Asyura. Hari kesyahīdan Ḥusain bin ‘Alī as dan para
Ahlul Baitnya. Ḥusain bin ‘Alī ra dihadapkan pada jumlah yang tak
seimbang.
Pasukan Yazīd yang dipimpin ‘Umar bin Sa’ad semakin mendekat
dan mengepung Ḥusain bin ‘Alī as dan rombongannya. Ḥusain bin ‘Alī as
mengetahui tekad mereka untuk membunuh beliau jika tidak membai’at
Yazīd.
Kemudian beliau memperingati pasukan Kufah dengan berkhutbah
sebagai berikut:
Amma Ba’du.
“Lihatlah siapa diriku, telusurilah garis keturunanku kemudian lihatlah
siapa diri kalian. Apakah layak bagi kalian membunuhku dan menginjak-
injak kehormatanku. Bukankah aku putra dari putri Nabi kalian. Bukankah
aku putra penerima wasiat Nabi kalian. Bukankah aku putra dari anak
pamannya yang pertama kali mengimaninya. Bukankah Hamzah pemimpin
para syuhada itu adalah pamanku. Bukankah Ja’far Aṭ Ṭayyar yang terbang
ke jannah dengan dua sayapnya adalah pamanku. Bukankah kalian pernah
mendengar Nabi bersabda tentang aku dan saudaraku sebagai penghulu
pemuda Jannah. Jika kalian mempercayaiku dan itu adalah kebenaran, demi
Allah aku tidak pernah berbohong sejak aku tahu bahwa Allah membenci
para pembohong. Jika kalian tidak mempercayaiku, maka ada orang-orang
yang kalian bisa bertanya kepadanya, seperti Jabir bin ‘Abdullah Al Anṣārī,
Abū Sa’īd Al Khudrī, Sahl bin Sa’ad As Sā’idī, Zaid bin Arqam dan Anas
bin Mālik, pasti mereka akan memberi kesaksian bahwa mereka pernah
mendengar sabda itu dari Rasūlullah Saw tentang diriku dan saudaraku.
Apakah hal itu tidak mampu menggagalkan niat kalian untuk membunuhku.
Jika kalian ragukan bahwa aku adalah putra dari putri Nabi kalian. Demi
52
Allah saat ini tidak ada di dunia ini dari barat hingga timur selain diriku dan
putra dari putri Nabi kalian.
‘Celakalah kalian. Apakah kalian membunuhku karena menuntut balas
pembunuhan yang kulakukan atas seorang dari kalian. Ataukah karena uang
yang aku rampas. Ataukah karena menegakan hukum qiṣaṣ.”133
Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Kemudian beliau
melanjutkan:
“Wahai Syabt bin Rub’i. Wahai Hajjar bin Abjur. Wahai Qais bin
Asy’ats. Wahai Yazīd bin Ḥarits. Bukankah kalian telah mengirim surat
kepadaku. Qais bin Asy’ats menjawab.”Aku tidak memahami apa yang
engkau katakan. Terimalah tawaran untuk ikut di bawah kepemimpinan
Yazīd.”
Ḥusain bin ‘Alī as berkata: “Demi Allah aku tidak akan menyerahkan
tanganku dengan hina. Aku tidak akan mengakui sebagaimana pengakuan
seorang budak. Wahai hamba-hamba Allah, aku berlindung kepada tuhanku
dan tuhan kalian agar kalian tidak merajamku. Aku berlindung kepada
tuhanku dan tuhan kalian dari setiap orang yang sombong yang tidak
meyakini hari perhitungan.”134
Mereka tidak terpengaruh sedikitpun dan tetap memegang pendirian
semula. Mereka hanya menginginkan perang tenggelam dalam kebatilan
mereka. Mereka menjawab ajakan Ḥusain bin ‘Alī as seperti kaum Madyan
menjawab seruan Nabi mereka, seperti yang Allah abadikan di dalam Al
Qur’an: “Kami tidak banyak memahami apa yang engkau katakan, kami
melihatmu sebagai orang yang lemah”135
2.4.2.4. Al Ḥurr bergabung dalam barisan Ḥusain bin ‘Alī as
Dari sekian banyak pasukan ‘Umar bin Sa’ad, hanya Al Ḥurr bin
Yazīd Ar Riyahi beberapa orang yang terpengaruh ucapan Ḥusain bin ‘Alī
as. Dia menyesali apa yang pernah dilakukannya kepada Ḥusain bin ‘Alī as.
133 Tim A’lāmul Hidāyah, p.209-210134 Tim A’lāmul Hidāyah, p.211135 Qs. Hud: 91
53
Dia menarik pelana kudanya keluar dari barisan dan mendekati pasukan
Ḥusain bin ‘Alī as. Kemudian kembali lagi ke barisannya semula. Dia
dicekam kekalutan dan kebingungan, dia berkata, “Demi Allah Swt aku
sedang menimbang-nimbang diriku antara jannah dan neraka, antara dunia
dan akhirat. Semestinya tidak ada jalan lain bagi seorang yang berakal
kecuali memilih jannah dan akhirat.” Akhirnya dia menghentak kudanya
untuk bergabung ke pasukan Ḥusain bin ‘Alī as.
Al Ḥurr kemudian berbicara lagi, ”Demi Allah Swt aku tidak
menganggap taubatku sudah diterima kecuali dengan berperang bersamamu
dan terbunuh demi menyelamatkan jiwamu wahai putra Rasūlullah Saw.”
Setelah itu ia berkhutbah di hadapan pasukan ‘Umar bin Sa’ad
mengingatkan mereka akan surat yang mereka tulis dan undangan mereka
serta menasehati mereka agar tidak memerangi Ḥusain bin ‘Alī as. Lalu dia
maju ke medan laga dan bertempur dengan pasukan musuh hingga akhirnya
diserbu dan gugur sebagai syahīd.136
2.4.2.5. Peperangan dimulai dan kesyahīdan Ḥusain bin ‘Alī as
Sebelum peperangan benar-benar pecah. Ḥusain bin ‘Alī as sempat
mengingatkan kembali kepada pasukan Kufah dan menuntut undangan yang
telah mereka khianati.137
Namun peperangan sudah tidak mungkin terelakan dan kedua pasukan
yang tidak seimbang itu pun saling menyerang dan terus berkecamuk
sehingga pengikut Ḥusain bin ‘Alī as gugur satu demi satu begitu juga dari
pasukan ‘Umar bin Sa’ad. Sampai pada suatu keadaan dimana Ḥusain bin
‘Alī as harus berjuang seorang diri. Tak ada lagi yang dapat membantunya.
Beliau menyeru, “Adakah yang siap menjunjung kehormatan Rasūllulah
Saw?” ‘Alī Zainal ‘Abidīn yang sedang sakit tidak mengikuti perang hendak
keluar dari kemah. Kondisinya yang lemah menyebabkan beliau terhuyung
tak mampu membawa pedang. Ia ingin membantu Ḥusain bin ‘Alī as,
136 Al Mufid, p.II/99. Al Futuh, p.V/113. Al Majlisi, p.V/15137 Tim A’lāmul Hidāyah, p.213-214
54
namun dilarang oleh beliau dan memerintah Ummu Kultsum untuk
menyelamatkannya.138
Ahli sejarah mencatat bahwa ketika Ḥusain bin ‘Alī as kembali ke
kemahnya, Syimr bin Dhul Jausyan menghampirinya bersama
segerombolan eksekutor lainya. Mereka mengepung Ḥusain bin ‘Alī as.
Mālik bin Naṣr Al Kindi maju menyerang beliau. Mengarahkan pedangnya
kearah kepala Ḥusain bin ‘Alī as hingga kepala beliau berlumuran darah.
Syimr bin Dhul Jausyan memerintah tentara berkuda dan pejalan kaki
mengepung beliau. Pasukan panah diperintah memanahnya dari segala
penjuru.
Sekali dilepas ratusan anak panah melesat. Anak panah-anak panah itu
menancap ke tubuh suci Ḥusain bin ‘Alī as hingga tubuh beliau seperti
seekor landak. Dalam kondisi demikian, Syimr mendekatinya.
Saat itu Zainab keluar dari kemah dan berteriak memanggil ‘Umar bin
Sa’ad. ”Celaka engkau wahai ‘Umar. Apakah Abū ‘Abdillah dibunuh,
sedangkan engkau duduk menontonnya?” ‘Umar diam seribu bahasa.
Kemudian Zainab berteriak lagi, ”Adakah seorang Muslim di antara
kalian?” tak seorang pun menjawab.139 Sampai pada titik ini ‘Umar bin
Sa’ad dan sebagian pasukan lainya tak berkutik mereka hanya bisa terdiam
membisu tak bergeming sedikitpun. Sungguh pemandangan yang sangat
memilukan.
Syimr berteriak dan memanggil pasukan pejalan kaki, ”Celakalah
kalian, mengapa kalian hanya menonton? Binasalah kalian, seranglah orang
ini dari segala penjuru.”
Zurah bin Syarīk memukul beliau dari belakang tepat mengenai
pundak kiri beliau hingga patah. Seorang lagi memukul lehernya. Sinan bin
Anas menusuk tubuh Ḥusain bin ‘Alī as. Saat itulah tubuh beliau yang
disanggah anak-anak panah menancap tersungkur ke bumi. Khuli bergegas
mendekati beliau untuk merenggut kepala Ḥusain bin ‘Alī as. Namun tiba-
138 Ibid, p.220-221139 Tim A’lāmul Hidāyah, p.223
55
tiba tangannya gemetar tak kuasa melakukannya. Syimr bin Dhul Jausyan
berteriak, ”Semoga Allah melumpuhkan tanganmu, mengapa tanganmu
gemetar demikian?”
Kemudian Syimr yang sedari tadi melihat turun dari kudanya dan
menyembelih leher Ḥusain bin ‘Alī as. Dengan demikian nyawa Ḥusain
telah direnggut melalui Syimr bin Dhul Jausyan.140
Hari itu langit menjadi lusuh, suasana menjadi gelap. Hanya garis
merah memanjang di langit tampak menakutkan. Inilah peringatan Allah
atas orang-orang yang menumpahkan darah-darah suci dan menginjak-injak
seluruh kehormatan Allah Swt.141
2.4.3.Sikap Syī’ah terhadap pembunuh Ḥusain bin ‘Alī as
Syī’ah mengatakan Ḥusain bin ‘Alī as adalah Imām yang wajib ditaati;
tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya, tidak
boleh melakukan ṣalāt jamā’ah kecuali di belakangnya atau orang yang
ditunjuknya, baik ṣalāt lima waktu ataupun ṣalāt Jum'at dan tidak boleh
berjihad melawan musuh kecuali dengan izinnya dan lain sebagainya.142
Kaum Syī’ah juga menyikapi hari pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī as
sebagai perayaan yang dirayakan setiap tahunnya. Dalam perayaan tersebut
kaum Syī’ah melakukan ritual memukul diri, meratap, menangisi kepergian
Ḥusain bin ‘Alī as. Di dalam ritual itu juga diadakan ceramah mengenang
tragedi Karbala. Sekaligus melaknat dan mencaci orang-orang yang tertuduh
paling bertanggung jawab atas kematian cucu Nabi Saw, tak terkecuali Yazīd
bin Mu’āwiyah.143
Ritual penyiksaan diri pada hari 'Asyura di Karbala dimulai pada abad
ke-4 Hijriyah pada masa dinasti Al Buwaih. Kemudian berlanjut pada masa
dinasti Al Fāṭimiyah. Acara tersebut sekarang ini diselenggarakan di negara-
negara berpenduduk mayoritas Syī’ah. Seperti Iran, Irak, India, Syria, dll.144
140 Al Mufid, p.II/99. Al Futuh, p.V/113. Al Majlisi, p.V/15141 Al Irbili, p.II/9; Aṭ Ṭibrisī, p.I/429142 Al Khamīs, p.259143 Al Iniqal Al Sha’ab Fil Madhhab Wal Mu’taqad, p.368-369144 Lihat Man Qatalal Ḥusain, hal: 60
56
Ad Dimastāni menegaskan: “Meratapi kematian Ḥusain dengan
berteriak-teriak hukumnya wajib ‘aini (wajib atas setiap pribadi).”145
Ayatullah Al 'Uẓma Syaikh Muḥammad Ḥusain An Nāti berkata,
“Tidak ada masalah tentang hukum bolehnya memukul pipi dan dada dengan
tangan sampai merah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi, memukul
pundak dan punggung dengan rantai sampai kulit kemerahan dan gosong.
Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu menyebabkan keluarnya darah.
Begitu pula mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan
pedang.”146
Ja’far bin Muḥammad bin Qulawaih Qummi, salah satu tokoh paling
diagungkan dalam sekte Syī’ah, dalam kitābnya Kāmiluz Ziyārāt
meriwayatkan:
�ارك الله السالم( قال: خلق )عليه جعفر أبي عن��الى تب� وتع
�ل كربالء أرض��ق أن قب��ة يخل��ة الكعب��رين بأربع��ف وعش��ام، أل� ع
�ل زالت فما عليها، وبارك وقد�سها��ق قب��ه خل��ق الل��ة الخل� مقد�س
الجنة في أرض أفضل الله يجعلها حتى كذلك تزال وال مباركة،
Dari Abū Ja’far Alaihissalam dia berkata: “Allah telah menciptakan
tanah Karbala 24 ribu tahun sebelum Allah menciptakan Ka’bah, Dan Allah
telah menyucikan dan memberkatinya. Tanah Karbala tersebut sudah dalam
keadaan suci dan berkah semenjak makhluk Allah (yang lain) belum tercipta,
dan akan senantiasa demikian sampai Allah menjadikannya tanah yang paling
utama di surga.”147
�ه كتب عيد يوم غير في بحقjه عارف4ا الحسين قبر أتى من� الل
�برورات عمرة وعشرين حجjة عشرين له��والت.. ومن م��اه مقب� أت
145 Lihat Man Qatalal Ḥusain, hal: 60146 Lihat Man Qatalal Ḥusain, hal: 60147Ibnu Qūlawaih, Ja’far bin Muḥammad, Kāmiluz Ziyārāt, (Najf: Al Maṭba’ah Al
Murtaḍawiyah, 1356 H), no. 280 dan 28457
�رة.. ومن ومائة حجjة مائة له الله كتب عيد يوم في��اه عم��وم أت� ي
�ف حجjة ألف له الله كتب بحقjه عارف4ا عرفة��رة وأل��برورات عم� م
jالت، عادل إمام أو مرسل نبي مع غزوة وألف متقب
“Barangsiapa mendatangi kuburan Husein (Karbala) pada selain hari
‘Ied disertai pengakuan akan haknya, maka Allah mencatat untuknya 20 kali
haji dan 20 kali umrah yang mabrur dan maqbul (diterima). Barangsiapa
mendatanginya di hari ‘Ied, maka Allah mencatat 100 kali haji dan 100 kali
umrah untuknya. Dan barangsiapa mendatangi kuburan Ḥusein di Hari
‘Arafah disertai pengakuan akan haknya, maka Allah mencatat untuknya
1000 kali haji dan 1000 kali umrah yang mabrur dan maqbul, plus pahala
1000 kali berperang bersama Nabi utusan atau Imām yang adil.”148
jي ل�و الحجj ل�تركتم ق�بره وبفض�ل زيارت�ه بفض�ل ح�دjثتكم أن
ا jخ�ذ الل�ه أنj علمت أم�ا ويح�ك أح�د، منكم حجj وما رأس4 ك�ربالء ات
4ا حرم4ا 4ا آمن jخذ أن قبل مبارك jة يت حرم4ا؟ مك
“Andaikata aku bertutur tentang keutamaan ziarah ke makam (Husein
bin ‘Alī) dan keistimewaan makamnya, niscaya kalian akan meninggalkan
Haji, dan tidak akan ada satu pun di antara kalian akan menunaikan Haji.
Celaka engkau, tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah telah menjadikan
Karbala sebagai tanah haram yang aman dan berkah, jauh sebelum Allah
menjadikan Makkah sebagai tanah haram?”149
jدأ الله إن��jظر يب �الن��بر زوjار إلى ب��ين ق�jة علي بن الحس �ي� عش
�ك؟( الراوي: وكيف )قال الموقف"، أهل إلى نظره قبل عرفة� ذل
�ك في -: ألنj يزعمون - كما الله عبد أبو قال��ا أوالد أولئ� وليس زن
زنا أوالد هؤالء في
148 Al Kulaini, Furu’ Al Kāfi: 1/324, Ibnu Qūlawaih, p.169. Nukilan dari Nashir ‘Alī Al Qofāri, Uṣul Maẓhab Asy Syī’ah. (Tanpa Penerbit: 1414 H), p.2/460
149 Al Majlisi, 33/101, Ibnu Qūlawaih, p.26658
Imām Ja’far mengatakan: “Sesungguhnya Allah lebih dulu melihat para
peziarah kuburan Ḥusain bin ‘Alī di malam Arafah sebelum Dia melihat
orang-orang yang wukuf di Arafah. (Seorang perawi berkata: ‘Bagaimana
bisa begitu?’), Abū ‘Abdillah (Ja’far) berkata—sebagaimana klaim Syī’ah—:
“Karena pada orang-orang yang wukuf di ‘Arafah itu, ada anak-anak zina,
sedangkan para peziarah kuburan Ḥusain (di hari Arafah) tidak ada satu pun
anak hasil zina.”150
2.5. Pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra menurut perspektif Ahlus Sunnah
2.5.1.Latar belakang peristiwa
2.5.1.1. Pengangkatan Yazīd bin Mu’āwiyah dan penolakan Ḥusain bin
‘Alī ra membai’atnya
Pembahasan mengenai latar belakang peristiwa pembunuhan Ḥusain
bin ‘Alī ra bermula saat pembai’atan Yazīd dan penolakan Ḥusain bin ‘Alī
ra untuk membai’atnya, serta keluarnya Ḥusain bin ‘Alī ra dari Makkah
menuju Kufah151.
Ibnu Katsīr menjelaskan dalam kitāb Al Bidāyah Wa An Nihāyah
bahwa ketika Yazīd dibai’at menjadi Khalīfah pada tahun 60 H. Umurnya
ketika itu 34 tahun. Namun Ḥusain bin ‘Alī ra dan ‘Abdullah bin Zubaīr ra
belum membai’atnya, padahal keduanya berada di Madinah. Ketika
keduanya diminta membai’at Yazīd, ‘Abdullah bin Zubaīr ra berkata pada
para utusan Yazīd, “Aku akan pikirkan malam ini, kemudian aku akan
beritahukan pendapatku. Mereka berkata, “Baiklah kalau begitu.” Ketika
malam sudah tiba, dia keluar dari Madinah dan lari menuju Makkah. Dia
urung membai’at Yazīd152.
Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra dihadapkan kepada utusan Yazīd dan
dikatakan padanya, “Lakukanlah bai’at secara sembunyi-sembunyi, tapi aku
akan membai’at secara terang-terangan di depan orang-orang.” Mereka
150 Al Kāsyāni, Al Faidh, Al Wāfi, (Asfan-Iran: Maktabah Alī bin Abī Ṭālib, 1406 H), p.8/222 151 Lihat Ibnu Katsīr, pada peristiwa-peristiwa tahun 60 H, p.VIII/161152 Ibid, pada peristiwa-peristiwa tahun 60 H, p.VIII/161
59
berkata: “Baiklah kalau begitu.” Ketika malam telah tiba, dia pun keluar
dari Madinah untuk menyusul ‘Abdullah bin Zubaīr ra153.
2.5.1.2. Penduduk Irak mengirimkan surat kepada Ḥusain bin ‘Alī ra
Berita tentang Ḥusain bin ‘Alī ra yang tidak membai’at Yazīd bin
Mu’āwiyah ra rupanya telah terdengar oleh penduduk Irak. Mereka tidak
menyukai Yazīd bin Mu’āwiyah, bahkan mereka tidak menyukai
Mu’āwiyah. Mereka hanya menginginkan ‘Alī dan anak-anaknya.
Kemudian penduduk Kufah mengirimkan surat-surat kepada Ḥusain bin
‘Alī ra. Di dalam surat-surat itu, mereka semua mengatakan: “Kami telah
membai’atmu. Kami tidak sudi orang selainmu. Kami tidak membai’at
Yazīd, tetapi hanya membai’atmu.” Surat-surat semakin banyak
berdatangan kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, hingga mencapai lebih dari 500
pucuk surat. Semuanya datang dari penduduk Kufah, mengajaknya untuk
datang ke tempat mereka.154
2.5.1.3. Ḥusain bin ‘Alī ra mengirim Muslim bin ‘Aqīl
Ḥusain bin ‘Alī ra mengirimkan sepupunya, Muslim bin ‘Aqīl bin
Abī Ṭālib ra untuk mempelajari dan mengetahui lebih jauh keadaan yang
sebenarnya di sana, serta melihatnya dari dekat. Setelah tiba di Kufah,
Muslim bin ‘Aqīl mencari informasi sampai dia mengetahui bahwa
masyarakat memang menolak Yazīd bin Mu’āwiyah ra. Mereka hanya
menginginkan Ḥusain bin ‘Alī ra. Muslim tinggal di rumah Hani’ bin
‘Urwah. Lantas orang-orang datang berbondong-bondong untuk membai’at
Muslim bin ‘Aqīl atas nama Ḥusain bin ‘Alī ra 155.
An Nu’mān bin Basyīr ketika itu menjadi gubernur Yazīd bin
Mu’āwiyah ra untuk daerah Kufah. Saat mendengar berita bahwa Muslim
bin ‘Aqīl berada di Kufah dan penduduk mendatanginya dan membai’atnya
atas nama Ḥusain bin ‘Alī ra, An Nu’man pura-pura tidak tahu dan tidak
153 Ibid, pada peristiwa-peristiwa tahun 60 H, p.VIII/161154 Al Khamīs, p.229155 Aṭ Ṭabarī, p.III/318
60
terlalu peduli dengan masalah ini. Namun beberapa orang bawahan An
Nu’man datang menemui Yazīd di Syām dan mengabarinya tentang apa
yang terjadi. Mereka menceritakan bahwa Muslim telah dibai’at oleh orang-
orang, sementara An Nu’mān bin Basyīr tidak terlalu memperhatikan
masalah ini156.
2.5.1.4. Pengangkatan ‘Ubaidullah bin Ziyād menjadi Gubernur
Kufah
Mendengar laporan para bawahan An Nu’man, Yazīd memerintahkan
supaya An Nu’man dicopot dari jabatannya, dan mengirim ‘Ubaidullah bin
Ziyād sebagai penggantinya menjadi gubernur Kufah. Ketika itu,
‘Ubaidullah adalah gubernur Baṣrah. ‘Ubaidullah diserahi mandat untuk
menangani Kufah dan Baṣrah sekaligus157.
‘Ubaidullah tiba di Kufah pada malam hari dengan memakai cadar.
Ketika dia lewat di depan orang-orang, dia memberi salam kepada mereka,
dan mereka pun menjawab seraya mengatakan : “Wa alaikumus salam,
wahai putra anak perempuan Rasūlullah Saw.” Mereka menyangka bahwa
itu adalah Ḥusain bin ‘Alī ra yang telah tiba pada malam hari secara
sembunyi-sembunyi sambil mengenakan cadar158.
Melihat hal tersebut ‘Ubaidullah sadar bahwa masalah ini memang
sudah serius. Masyarakat sedang menunggu kedatangan Ḥusain bin ‘Alī ra.
Seketika itu juga dia masuk ke istana dan mengirimkan bekas budaknya
yang bernama Ma’qil untuk mempelajari lebih jauh keadaan yang tengah
terjadi, dan mencari tahu siapa otak yang mengatur masalah ini159.
Ma’qil kemudian pergi dengan menyamar sebagai seorang yang
datang dari Hims dengan membawa 3 ribu dinar untuk membantu Ḥusain
bin ‘Alī ra. Dia bertanya kepada orang-orang dan akhirnya dia ditunjukan
rumah Hani’ bin ‘Urwah. Dia pun masuk dan bertemu dengan Muslim bin
156 Al Khamīs, Op.cit., p.230157 Al Khamīs, p.231158 Ibid, p.231159 Ibid, p.232
61
‘Aqīl, kemudian membai’at dan memberikan dana sebesar 3 ribu dinar.
Sejak itu, dia rutin datang ke sana selama beberapa hari, sampai dia tahu
keadaan mereka. Setelah itu, ia kembali ke tempat ‘Ubaidullah bin Ziyād
untuk memberi informasi yang ia dapat160.
2.5.1.5. Keluarnya Ḥusain bin ‘Alī ra menuju Kufah
Setelah keadaan kondusif dan banyak orang yang sudah membai’at
Muslim bin ‘Aqīl, Muslim mengirimkan surat kepada Ḥusain bin ‘Alī ra
supaya dia datang ke Kufah karena segala sesuatunya sudah siap. Maka
Ḥusain bin ‘Alī ra pun keluar dari Makkah pada hari Tarwiyah161.
Sementara itu ‘Ubaidullah sudah mengetahui apa yang dilakukan oleh
Muslim bin ‘Aqīl. Ia lantas berkata, “Bawa Hani’ bin ‘Urwah ke
hadapanku!” Tidak lama kemudian Hani’ bin ‘Urwah pun didatangkan ke
hadapannya. Ia kemudian mengintrograsinya: “Dimana Muslim bin ‘Aqīl?”
Hani’ menjawab: “Aku tidak tahu.”
‘Ubaidullah kemudian memanggil Ma’qil, menyuruhnya masuk dan
bertanya kepada Hani’, “Kenalkah engkau dengan orang ini?” Hani’
menjawab, “Ya.” Ia pun terkejut dan baru tahu bahwa itu hanyalah siasat
‘Ubaidullah bin Ziyād belaka. ‘Ubaidullah kemudian bertanya lagi
kepadanya, “Di mana Muslim bin ‘Aqīl?” Dia Menjawab, “Demi Allah swt,
seandainya dia berada di bawah telapak kakiku ini, niscaya aku tidak akan
pernah mengangkatnya.” ‘Ubaidullah lantas memukulnya dan
memerintahkannya supaya dia dipenjara.
2.5.1.6. Pengkhianatan Orang-orang Kufah terhadap Muslim bin ‘Aqīl
Kabar dipenjaranya Hani’ akhirnya terdengar oleh Muslim bin ‘Aqīl.
Ia kemudian keluar bersama 4.000 orang dan mengepung istana
‘Ubaidullah. Para peduduk Kufah juga ikut serta dalam pengepungan itu.
Ketika itu, ‘Ubaidullah sudah bersama dengan para tokoh masyarakat. Ia
160 Ibid p.232161 Al Mufid, p.422
62
berkata kepada mereka, “Perintahkan orang-orang untuk meninggalkan
Muslim bin ‘Aqīl.” Ia juga menjanjikan imbalan-imbalan kepada mereka
dan menakut-nakuti mereka dengan datangnya tentara Syām.
Maka mulailah para pemuka masyarakat memerintahkan supaya
Muslim bin ‘Aqīl ditinggalkan. Para ibu berdatangan dan meminta agar
anaknya kembali, seseorang datang minta saudaranya pulang, memimpin
suku datang dan melarang orang-orang mendekati Muslim bin ‘Aqīl, sampai
yang tersisa dari 4.000 itu hanya 30 orang saja162.
Bahkan ketika menjelang malam yang tersisa hanya Muslim bin ‘Aqīl
saja. Mereka semua telah pergi. Muslim ditinggalkan sendiri, berjalan
menyusuri jalanan Kufah, tidak tahu ke mana tujuannya. Ia kemudian
mengetuk pintu rumah seorang perempuan dari Kindah dan berkata
kepadanya, “Tolong, aku minta air.” Perempuan itu merasa tidak
mengenalnya, lalu dia pun bertanya: “Siapa anda?” Muslim menjawab:
“Aku Muslim bin ‘Aqīl.” Lalu, dia pun menceritakan apa yang telah terjadi
tentang orang-orang yang telah meninggalkanya, sementara Ḥusain bin ‘Alī
ra akan segera datang, karena dia telah mengirim surat kepadanya supaya
datang. Akhirnya, perempuan itu memasukannya ke sebuah rumah di
sampingya, serta membawakannya air dan makanan.
Akan tetapi anak dari perempuan itu bergegas mengabari ‘Ubaidullah
bin Ziyād tentang keberadaan Muslim bin ‘Aqīl. Maka ‘Ubaidullah
mengirim 70 orang untuk mengepungnya. Muslim melawan mereka, tapi
akhirnya ia menyerah ketika mereka menjamin keamanan untuk dirinya. Ia
kemudian digelandang ke istana gubernur, tempat ‘Ubaidullah bin Ziyād
berada. Setelah Muslim masuk, ‘Ubaidullah bertanya, “Apa yang
menyebabkan dirimu melakukan kudeta ini?” Muslim menjawab, “Karena
kami telah memberikan bai’at kami kepada Ḥusain bin ‘Alī ra. ”‘Ubaidullah
berkata, “Bukankah kalian telah membai’at Yazīd?” ‘Ubaidullah juga
berkata, “Aku akan membunuhmu.” Muslim berkata, “Izinkan aku
berwasiat.” ‘Ubaidullah berkata, “Silahkan anda berwasiat.”
162 Al Khamīs, p.23263
Muslim menoleh kemudian melihat ‘Umar bin Sa’ad bin Abī
Waqqash, lantas berkata padanya, “Engkau orang yang paling dekat
hubungan keluarganya deganku. Kemarilah aku ingin berwasiat kepadamu.”
Muslim kemudian membawanya ke samping rumah dan berpesan
kepadanya supaya mengirimkan seseorang untuk menemui Ḥusain bin ‘Alī
ra dan memintanya agar kembali ke Madinah. ‘Umar pun mengirimkan
seseorang untuk mengabari Ḥusain bin ‘Alī ra bahwa masalah ini sudah
selesai, dan penduduk Kufah telah menipunya.
Muslim mengucapkan kalimat yang populer, “Bawalah keluargamu
pulang, dan janganlah engkau tertipu dengan penduduk Kufah. Karena
penduduk Kufah telah membohongimu dan juga membohongiku.
Sementara, pendapat seorang pembohong tidak dapat diterima.”
Muslim bin ‘Aqīl terbunuh pada hari ‘Arafah. Sementara Ḥusain bin
‘Alī ra keluar dari Makkah pada hari Tarwiyah, sehari sebelum terbunuhnya
Muslim bin ‘Aqīl.
2.5.1.7. Desakan para Sahabat agar Ḥusain bin ‘Alī ra tidak ke Kufah
Sebenarya para sahabat banyak yang berusaha melarang Ḥusain bin
‘Alī ra datang ke Kufah, di antaranya: ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin
‘Abbās, ‘Abdulah bin Amr bin Al ‘Aṣ, Abū Sa’īd Al Khudri, ‘Abdullah bin
Az Zaubair ra dan saudara-saudara Ḥusain bin ‘Alī ra sendiri, Muḥammad
bin Al Ḥanafiyyah. Ketika mereka mengetahui bahwa Ḥusain ingin pergi ke
Kufah, mereka sontak mencegahnya.163
Berikut adalah perkataan-perkataan sebagian dari para Sahabat
tersebut:
Pertama, ‘Abdullah bin ‘Abbās ra.
Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra hendak keluar, ‘Abdullah bin ‘Abbās
berkata, “Seandainya bukan karena khawatir orang-orang tidak menghinaku
163 Al Khamīs, p.23464
dan menghinamu, niscaya aku akan pengang kepalamu erat-erat supaya
engkau tidak bisa pergi”164
Kedua, Ibnu ‘Umar.
Asy Sya’bi menuturkan bahwasannya Ibnu ‘Umar ra tengah berada di
Makkah ketika mendengar berita perginya Ḥusain bin ‘Alī ra ke Irak.
Kemudian dia menyusulnya dengan menempuh perjalanan selama 3 hari.
Setelah bertemu ia bertanya, “Engkau hendak kemana?” Ḥusain bin ‘Alī ra
menjawab, “Ke Irak.” Ia mengatakan itu seraya mengeluarkan surat-surat
yang dikirim dari Irak, yang menyebutkan dukungan penduduk Irak
terhadap dirinya. Ia berkata, “Ini surat-surat dan bai’at mereka.”165
Ibnu ‘Umar ra berkata, “Engkau jangan pergi ke tempat mereka.”
Namun Ḥusain bin ‘Alī ra enggan kembali, dan tetap bersikukuh
melanjutkan perjalanan.
Maka, Ibnu ‘Umar ra berkata: “Aku ingin memberitahumu sebuah
ḥadīts; suatu ketika Jibril datang kepada Nabi Saw dan meyuruhnya untuk
memilih antara dunia atau akhirat. Maka, beliau memilih akhirat dan enggan
terhadap dunia. Engkau ini adalah darah daging beliau. Demi Allah swt,
janganlah seorang pun dari kalian memegang jabatan kepemimpinan lagi.
Tidaklah Allah swt memalingkan jabatan kepemimpinan itu dari kalian
kecuali Dia menginginkan yang terbaik bagi kalian.” Tetapi Ḥusain bin ‘Alī
ra tetap enggan mengurungkan niatnya. Melihat hal itu, Ibnu ‘Umar ra
kemudian memeluknya seraya menangis dan berkata, “Semoga Allah swt
melindungi dirimu dari pembunuhan.”166
Ketiga, ‘Abdullah bin Zubaīr ra
Ia bertanya kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, “Engkau ingin pergi ke mana?
Apakah engkau ingin pergi ke tempat kaum yang telah membunuh ayah dan
saudaramu? Janganlah engkau pergi.”167 Akan tetapi Ḥusain bin ‘Alī ra
enggan kembali dan tetap ingin pergi.
164 Ibnu Katsīr, p.VIII/161165 Ibnu Katsīr, p.VIII/162166 Ibid, p.VIII/162167 Ibid, p.VIII/163
65
Keempat, Abū Sa’id Al Khudri ra
Ia berkata, “Wahai Abū ‘Abdullah, aku ingin menasehatimu dan aku
benar-benar menyayangi kalian. Aku sudah mendengar kabar bahwa
kelompok pengikutmu di Kufah telah menyuratimu dan mengajakmu untuk
pergi ke tempat mereka. Padahal aku telah mendengar ayahmu berkata
tentang mereka, “Demi Allah swt, aku telah bosan dan marah kepada
mereka. Mereka pun telah bosan dan marah kepadaku. Mereka sama sekali
tidak pernah menepati janji. Siapa saja yang mendapat dukungan mereka,
maka dia telah mendapat anak panah yang tumpul. Demi Allah swt, mereka
sama sekali tidak mempunyai niat dan tekad untuk membela suatu urusan.
Mereka juga sama sekali tidak mempunyai kesabaran dalam peperangan.168
Selain para sahabat, ada juga orang yang menasehati Ḥusain bin ‘Alī
ra untuk tidak pergi. Di antaranya adalah sang penyair Farazdak. Ketika
Ḥusain bin ‘Alī ra keluar dan bertemu Farazdak, Ḥusain bin ‘Alī ra bertanya
kepadanya, “Engkau dari mana?” Farazdak menjawab, “Dari Irak.” Ḥusain
bin ‘Alī ra bertanya, “Bagaimana keadaan penduduk Irak?” Farazdak
menjawab, “Hati-hati mereka memihakmu, tetapi pedang-pedang mereka
memihak Bani ‘Umayyah.” Tetapi meski begitu Ḥusain bin ‘Alī ra tetap
bersikeras dan berkata, “Hanya Allah swt tempat meminta pertolongan.”169
2.5.1.8. Ḥusain bin ‘Alī ra sampai di Qadisiyah
Kabar tentang penangkapan dan pembunuhan Muslim bin ‘Aqīl ra
akhirnya sampai kepada Ḥusain bin ‘Alī ra melalui utusan yang dikirim oleh
‘Umar bin Sa’ad ra. Setelah itu Ḥusain bin ‘Alī ra berniat untuk kembali.
Maka Ḥusain bin ‘Alī ra meminta pendapat anak-anak Muslim bin ‘Aqīl.
Mereka pun berkata, “Tidak, demi Allah kami tidak akan kembali sampai
kami menuntut balas atas kematian ayah kami. ”Ḥusain bin ‘Alī ra pun
setuju dengan pendapat mereka.
168 Ibnu Katsīr, p.VIII/163169 Ibid, p.VIII/168
66
Setelah ‘Ubaidullah mengetahui kabar kepergian Ḥusain bin ‘Alī ra ke
Kufah, dia memerintahkan Al Ḥurr bin Yazīd At Tamimī untuk bergerak
dari Kufah disertai 1.000 pasukan pertama untuk menyongsong kedatangan
Ḥusain bin ‘Alī ra di tengah perjalanan. Akhirnya dia pun bertemu Ḥusain
bin ‘Alī ra di sebuah tempat dekat Qadisiyah170.
Al Ḥurr berkata kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, “Anda ingin ke mana
wahai putra dari anak perempuan Rasūlullah Saw?” Ḥusain bin ‘Alī ra
menjawab, “Ingin ke Irak.”
Al Ḥurr berujar, “Aku perintahkan anda untuk kembali, supaya Allah
swt tidak menurunkan fitnah kepada diriku dengan sebab anda. Pulanglah ke
tempat asalmu, atau anda pergi ke Syām, tempat Yazīd bin Mu’āwiyah ra
berada. Jangan datang ke Kufah.”
Ḥusain bin ‘Alī ra enggan menuruti perintah itu. Ia tetap berjalan
menuju Irak . Al Ḥurr bin Yazīd kemudian menghadang dan melarangnya.
Ḥusain bin ‘Alī ra berkata, “Celaka engkau! Menjauhlah engkau
dariku!”
Al Ḥurr bin Yazīd menjawab: “Demi Allah swt seandainya perkataan
tadi keluar dari orang Arab selainmu, niscaya aku akan menghukumnya dan
juga ibunya. Tapi aku tidak dapat melakukan hal itu terhadap dirimu, karena
ibumu adalah pemimpin kaum wanita di Jannah.”171
2.5.2.Kronologi pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra di Karbala
2.5.2.1. Ḥusain bin ‘Alī ra tiba di Karbala
Sampai pada tahap ini Ḥusain bin ‘Alī ra tetap bersikeras untuk
melanjutkan perjalanan. Beliau tidak menghiraukan peringatan dari para
Sahabat dan himbauan dari Al Ḥurr untuk kembali ke Madinah.
Ḥusain bin ‘Alī ra memilih untuk tetap melanjutkan perjalanannya dan
berhenti di sebuah tempat bernama Karbala. Ia bertanya, “Apa nama tempat
170 Percakapan Antara Ḥusain bin Alī ra dan Al Ḥurr bisa dilihat di Ibnu Katsīr, p.VIII/168 dan Aṭ Ṭabarī, p.III/305
171 Aṭ Ṭabarī, p.III/30567
ini?” orang-orang menjawab: “Karbala.” Ia pun berkata: “Itu menunjukan
karbun (kesedihan) dan balā-un (ujian)172.
Mendengar hal itu ‘Ubaidullah bin Ziyād mengutus tentara ‘Umar bin
Sa’ad dengan jumlah 4.000 orang, ia berbicara kepada Ḥusain bin ‘Alī ra
dan mengajaknya pergi menuju Irak, tempat ‘Ubaidullah berada. Namun
lagi-lagi Ḥusain bin ‘Alī ra enggan menurutinya.
Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra melihat keadaan semakin genting, ia pun
berkata kepada ‘Umar bin Sa’ad, “Aku memberimu 3 opsi, pilihlah mana
yang engkau inginkan.” ‘Umar bertanya, “Apa saja opsi itu?” Ḥusain bin
‘Alī ra berkata: “Engkau biarkan aku pulang, atau pergi ke salah satu
perbatasan kaum Muslimin, atau aku pergi ke tempat Yazīd di Syām agar
aku menaruh tanganku di atas tangannya untuk membai’atnya.”
‘Umar bin Sa’ad berkata: “Baiklah tapi engkau sebaiknya mengirim
seseorang kepada Yazīd, dan aku akan mengirim seseorang kepada
‘Ubaidullah bin Ziyād. Kita tunggu apa hasilnya. Yang sangat disayangkan
Ḥusain bin ‘Alī ra tidak mengirim utusan kepada Yazīd, sementara itu
‘Umar bin Sa’ad mengirim utusan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyād.
Ketika utusan telah sampai dihadapan ‘Ubaidullah bin Ziyād dan
mengabarinya bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra berkata, “Aku memberimu 3
pilihan,” maka ‘Ubaidullah pun tidak keberatan dengan pilihan mana saja
yang akan diambil oleh Ḥusain bin ‘Alī ra. Namun ketika itu ada seorang
yang bernama Syimr bin Dhul Jausyan bersama ‘Ubaidullah bin Ziyād. Dia
termasuk orang yang dekat dengan ‘Ubaidullah. Syimr berkata, “Tidak,
demi Allah swt sebaiknya anda saja yang putuskan, dan dia harus menerima
keputusanmu.” ‘Ubaidullah tertarik dengan pendapatnya, lalu berkata,
“Baiklah, dia harus menerima keputusanku.”173
‘Ubaidullah lantas mengirimkan Syimr bin Dhul Jausyan, dan berkata
kepadanya, “Pergilah untuk menemui ‘Umar bin Sa’ad sampai Ḥusain bin
‘Alī ra bersedia menerima keputusanku. Jika ‘Umar bin Sa’ad menerima hal
172 Percakapan antara Ḥusain bin Alī dan Umar bin Sa’ad bisa dilihat Ibnu Katsīr, p.VIII/168173 Ibnu Katsīr, p.VIII/189
68
ini, maka biarkan dia tetap sebagai paglima. Tetapi jika dia menolak, maka
engkaulah penggantinya.”
Sebelumnya ‘Ubaidullah mempersiapkan pasukan ‘Umar bin Sa’ad
yang berjumlah 4.000 orang untuk berangkat ke Rayy, dan berkata
kepadanya, “Selesaikan masalah Ḥusain bin ‘Alī ra lebih dahulu, setelah itu
barulah pergi ke Rayy.” Dia juga menjanjikannya akan diangkat sebagai
gubernur wilayah itu.
Maka Syimr bin Dhul Jausyan pun pergi. Kabar bahwa Ḥusain bin
‘Alī ra harus rela tunduk pada putusan ‘Ubaidullah terdengar oleh Ḥusain
bin ‘Alī ra. Ia lantas berkata: “Demi Allah swt aku tidak akan pernah tunduk
kepada keputusan ‘Ubaidullah selama-lamanya.”
2.5.2.2. Ḥusain bin ‘Alī ra Mengingatkan tentara Kufah agar takut
kepada Allah Swt
Ketika itu jumlah orang yang ikut bersama Ḥusain bin ‘Alī ra adalah
72 penunggang kuda. Sedangkan jumlah tentara Kufah adalah 5.000 orang.
Ketika kedua pasukan sudah berhadapan Ḥusain bin ‘Alī ra berkata kepada
tentara ‘Ubaidullah, “Berpikir dan introspeksilah diri kalian! Pantaskah
kalian memerangi orang sepertiku? Aku ini adalah cucu Rasūlullah Saw dari
putrinya dan hanya akulah cucu Rasūlullah Saw yang masih hidup di muka
bumi. Rasūlullah Saw pernah bersabda tentang diriku dan saudaraku:
“Dua orang ini (Ḥasan dan Ḥusain bin ‘Alī ra) adalah pemimpin para
pemuda penduduk jannah.”174
Ḥusain bin ‘Alī ra mulai mengajak mereka untuk meninggalkan
‘Ubaidullah bin Ziyād dan bergabung bersamanya. Maka 30 orang di antara
mereka pun bergabung bersama Ḥusain, termasuk Al Ḥurr bin Yazīd At
Tamimī, panglima garda depan pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyād. Melihat hal
itu ada orang yang berkata kepada Al Ḥurr bin Yazīd, “Engkau datang ke
174Sunan Tirmidzi, Kitāb Al Manaqib, Bab Al Hasan dan Al Ḥusain, No.3768, ḥadīts ini dhaif menurut riwayat dari Ḥusain dan Ṣaḥīḥ menurut riwayat dari Kudzaifah, Abū Sa’id dan selain mereka berdua.
69
sini bersama kami sebagai panglima garda depan namun sekarang kau
dengan (pasukan) Ḥusain?”
Al Ḥurr menanggapi, “Celakalah kalian, demi Allah swt aku sedang
memberi pilihan kepada diriku antara jannah dan neraka. Dan demi Allah
swt aku hanya akan memilih jannah walaupun tubuhku dipotong-potong dan
dibakar.”
Ketika itu hari kamis, Ḥusain bin ‘Alī ra melaksanakan ṣalāt ẓuhur
dan ‘aṣar, dan beliau menjadi Imām bagi dua kelompok pasukan itu, yaitu
pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyād dan pengikutnya. Sebelumnya Ḥusain bin
‘Alī ra berkata kepada mereka, “Kalian mengangkat Imām kalian, kami juga
demikian.” Mereka menjawab, “Tidak, kami ingin menjadi makmum ṣalāt
di belakangmu.” Maka mereka pun mengerjakan ṣalāt ẓuhur dan ‘aṣar
diimāmi oleh Ḥusain bin ‘Alī ra.
Ketika waktu maghrib hampir tiba, mereka memajukan kuda-kuda
mereka menuju ke arah Ḥusain bin ‘Alī ra yang selalu membawa
pedangnya. Ketika ia yang baru tidur sejenak melihat mereka bergerak, ia
bertanya kepada para pengikutnya: “Apa-apaan ini?” Para pengikut Ḥusain
bin ‘Alī ra berkata, “Pergilah ke tempat mereka, dan ajaklah mereka
berbicara, kemudian tanyakan pada mereka: “Apa yang mereka inginkan?”
Maka pergilah 20 orang penunggang kuda di antara mereka, termasuk
Al Abbas bin ‘Alī bin Abī Ṭālib, saudara Ḥusain bin ‘Alī ra (dari ibu yang
lain). Mereka pun mengajak pasukan ‘Ubaidullah berbicara dan bertanya
kepada mereka. Pasukan itu pun menjawab: “Ḥusain bin ‘Alī ra harus
tunduk pada keputusan ‘Ubaidullah bin Ziyād atau berperang!”
Mereka menjawab, “Tunggu dahulu sampai kami beritahu Abū
‘Abdullah Ḥusain bin ‘Alī ra.” Mereka lalu bergegas menuju ke tempat
Ḥusain bin ‘Alī ra dan memberitahunya. Ḥusain bin ‘Alī ra berkata,
“Katakan kepada mereka, ‘Berilah kami waktu malam ini. Besok kami
kabari kalian. Aku ingin ṣalāt menghadap Rabbku, karena aku suka
mengerjakan ṣalāt untuk Rabbku.” Ḥusain bin ‘Alī ra menghabiskan malam
70
itu untuk mengerjakan ṣalāt dan meminta ampunan kepada Allah Swt serta
berdo’a kepada-Nya, diikuti oleh para pengikut setianya.175
2.5.2.3. Perang Ṭaf
Pada hari jum’at berkobarlah peperangan antara dua pasukan tersebut,
karena Ḥusain bin ‘Alī ra menolak untuk menyerah kepada ‘Ubaidullah bin
Ziyād. Perang ini terjadi antara dua pasukan yang tidak seimbang. Para
pengikut Ḥusain bin ‘Alī ra memandang bahwa percuma saja menghadapi
pasukan sebanyak ini. Satu-satunya keinginan mereka adalah mati membela
Ḥusain bin ‘Alī ra. Mereka pun gugur satu persatu di hadapan Ḥusain bin
‘Alī ra, sampai semuanya gugur tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali
Ḥusain bin ‘Alī ra dan anaknya yang sedang sakit, ‘Alī bin Ḥusain.
Hanya tinggal Ḥusain bin ‘Alī ra sendirian. Sepanjang siang tidak ada
seorang pun yang berani mendekat ke arahnya, karena mereka takut
mendapat petaka bila membunuhnya. Situasi ini terus berlangsung sampai
kemudian Syimr bin Dhul Jausyan datang, kemudian berseru, “Celakalah
kalian! Semoga ibu-ibu kalian kehilangan kalian, kepung dan bunuh dia.”
Mereka pun maju dan mengerubungi Ḥusain bin ‘Alī ra. Ia berjuang di
tengah-tengah mereka dengan pedangnya, sehingga berhasil membunuh
siapa saja yang bisa dibunuh. Namun keberanian saja tidak cukup sanggup
untuk mengalahkan jumlah yang banyak.
Syimr berseru, “Celakalah kalian apa yang kalian tunggu” Mereka pun
maju hingga Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh. Orang yang secara langsung
membunuh Ḥusain bin ‘Alī ra adalah Sinān bin Anas An Nakha’i. Dialah
yang memotong kepala Ḥusain bin ‘Alī ra. Ada yang mengatakan yang
membunuh secara langsung adalah Syimr bin Dhul Jausyan semoga Allah
Swt membinasakan mereka.
Setelah Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh, kepalanya dibawa ke hadapan
‘Ubaidullah bin Ziyād di Kufah. Sesampainya di sana, ‘Ubaidullah
menggosok-gosok kepala Ḥusain bin ‘Alī ra dengan sebatang kayu seraya
175 Al Khamīs, p.24271
memasukannya ke mulutnya, dan berkata: “Alangkah bagus giginya” Anas
bin Mālik berkata: “Demi Allah Swt aku akan mendo’akan keburukan
untukmu. Sungguh aku melihat sendiri Rasūlullah Saw mencium mulut
Ḥusain bin ‘Alī ra tempat engkau memasukan kayumu itu.”176
Ibrahim An Nakha’i berkata: “Seandainya aku termasuk orang-orang
yang ikut dalam pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra, kemudian aku dimasukan
ke dalam Jannah, niscaya aku akan sangat malu lewat di depan Rasūlullah
Saw dan wajahku dilihat oleh beliau.”177
2.5.2.4. Mereka yang ikut terbunuh bersama Ḥusain bin ‘Alī ra
Anak-anak ‘Alī bin Abī Ṭālib yang ikut terbunuh bersama Ḥusain bin
‘Alī ra adalah, Ja’far, ‘Abbās, Abū Bakar, Muḥammad, dan ‘Utsman.
Anak-anak Ḥusain bin ‘Alī ra yang terbunuh adalah ‘Abdullah dan
‘Alī Al Akbar bukan ‘Alī Zainal Abidin.
Sementara yang terbunuh dari anak-anak Ḥasan bin ‘Alī ra adalah
‘Abdullah, Al Qasim, dan Abū Bakar. Dari anak-anak ‘Aqīl adalah Aun dan
Muḥammad dan yang lainnya.178 Total semua keluarga Rasūlullah Saw yang
gugur dalam peristiwa tersebut ada delapan belas orang.
Dari nama-nama para korban ada yang bernama Abū bakar dan
‘Utsman, kedua nama tersebut dipakai oleh Ahlul Bait, namun kaum Syi’ah
tidak menyukai nama tersebut karena keduannya adalah nama khalīfah
sebelum ‘Alī bin Abī Ṭālib yang diklaim telah merampas kekhilafahan Alī
paska wafatnya Rasūlullah Saw.
2.5.3.Sikap Ahlus Sunnah terhadap pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra
Sikap Ahlus Sunnah terhadap pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra adalah
dengan menyatakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra bukanlah pemberontak. Sebab
kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya ingin
176 At Thabrani, Mu’jamul Kabir, no.5017, p.V/206. Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Fadhaa-ilush Shahabah, Bab Manaaqibul Hasan WAl Ḥusain, no.3748
177 At Thabrani, Mu’jamul Kabir, no.2829, p.III/112 dan sanadnya Ṣaḥīḥ178 Khalīfah bin Khayyaṭ, Tārikh Khalīfah bin Khayyaṭ, (Riyāḍ: Dār Aṭ Ṭayyibah, 1405 H), p.234
72
memberontak, beliau bisa mengerahkan penduduk Makkah dan sekitarnya
yang sangat menghormati dan menghargai beliau. Karena saat Ḥusain bin
‘Alī ra di Makkah, kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang
masih hidup pada masa itu di Makkah. Beliau seorang alim dan ahli ibadah.
para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena beliaulah Ahlul
Bait yang paling besar pada waktu itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan komentar
tentang terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra sebagai berikut:
“Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh pada hari ‘Asyura, yang dilakukan
oleh sekelompok orang ẓālim yang melampaui batas, dan dengan demikian
berarti Allah Swt telah memuliakan Ḥusain bin ‘Alī ra untuk memperoleh
kematian sebagai syahīd, sebagaimana Allah Swt juga telah memuliakan
Ahlul Baitnya yang lain dengan mati syahīd, seperti Hamzah, Ja’far, ayahnya
yaitu ‘Alī dan lain-lain dengan mati syahīd. Dan mati syahīd inilah salah satu
cara Allah Swt untuk meninggikan kedudukan serta derajat Ḥusain bin ‘Alī
ra. Maka ketika itulah sesungguhnya Ḥusain bin ‘Alī ra dan saudaranya, yaitu
Ḥasan bin ‘Alī ra menjadi pemuka para pemuda Ahli Jannah.”179
Syaikhul Islam juga mengomentari para pembunuh Ḥusain bin ‘Alī ra
dengan mengatakan:
“Ḥusain bin ‘Alī ra telah dimuliakan Allah Swt dengan mati syahīd
pada hari ‘Asyura. Dengan peristiwa Karbala Allah Swt juga berarti telah
menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membatu pembunuhan
terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Ḥusain
bin ‘Alī ra memiliki contoh yang baik dari para syuhadā’ yang
mendahuluinya. Sesungguhnya Ḥusain bin ‘Alī ra dan saudaranya merupakan
dua orang pemuka dari para pemuda Ahli Jannah. Keduanya merupakan
orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua
tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar
menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para
Ahlul Baitnya yang lain. Karena itulah Allah Swt memuliakan keduanya
179 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmū’ Fatāwa, p.XXV/30273
dengan mati syahīd sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai
pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap
Ḥusain bin ‘Alī ra ini merupakan musibah besar. Dan Allah Swt
mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ (mengucapkan innā lillāhi wa
innā ilaihi rāji’ūn) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya:
�م �ك و�ن ���ل �ب �ن ءA و�ل ي ����ش وف� م�ن� ب ���خ وع� ال ���ج �قصA و�ال و�ال� م�ن� و�ن �� األم
ف�س� ات� و�األن �م�ر� ر� و�الث �ش- ذ�ين� و�ب ���. ال �ر�ين� اب ����ذ�ا الص ه�م إ �ت اب ���ص� �ةC أ يب ��� م�ص
�وا �ا ق�ال �ن ه� إ ����ل ا ل ����ن ه� و�إ ���ي �ل ك� إ ����ئ �ول . أ ون� ���اج�ع ه�م ر� �ي �و�اتC ع�ل ل ���-ه�م م�ن ص ب ر�
Cم�ةح �ك� و�ر� �ئ �ول . ه�م� و�أ �د�ون� م�هت ال
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-
orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Innā lillāhi wa
innā ilaihi rāji’ūn"180. “Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk."181
Ahlus Sunnah juga mengklarifikasi mengenai riwayat-riwayat yang
menyebutkan bahwa langit menurunkan hujan darah, tembok-tembok
berlumuran darah, dan tidak seorang pun mengangkat batu kecuali dia
melihat darah di bawahnya, atau tidak seorang pun menyembelih unta kecuali
semua bagian unta itu akan menjadi darah, ini semua adalah kebohongan dan
omong kosong belaka. Riwayat ini tidak mempunyai sanad yang ṣaḥīḥ kepada
Nabi Saw, atau kepada seorang pun dari mereka yang sezaman dengan
peristiwa ini. Semua riwayat-riwayat tersebut sanadnya terputus dan hanya
diriwayatkan oleh mereka yang hidup setelah peristiwa ini.182
Dari pernyataan sikap tersebut tidak diragukan lagi bahwasanya
peristiwa terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra merupakan musibah besar yang
menimpa umat Islam. Karena tidak ada lagi cucu laki-laki dari anak
180 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmū’ Fatāwam, p.IV/511181 Qs. Al Baqarah: 2/155-157182 Lihat Ibnu Katsīr, pada peristiwa-peristiwa tahun 61 H
74
perempuan Rasūlullah Saw yang masih hidup, selain dia. Kini ia telah
terbunuh secara teraniaya dan sebagaimana yang menimpa Ahlul Baitnya.
Peristiwa terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra ini, bagi dunia Islam merupakan
sebuah musibah. Namun bagi Ḥusain bin ‘Alī ra sendiri ini adalah sarana
untuk mati syahīd, kemuliaan, pengangkatan derajat, dan kedekatan kepada
Allah Swt. Sebab Allah Swt telah memilihnya pindah ke akhirat menuju
Jannah-Nya, sebagai pengganti dari dunia yang keruh ini.183
Ahlus Sunnah juga menyayangkan kepergian Ḥusain bin ‘Alī ra ke
Kufah. Sebagaimana para pembesar Sahabat yang telah berusaha
melarangnya pergi ke sana pada saat itu. Dengan perginya Ḥusain bin ‘Alī ra,
orang-orang ẓālim dan keji itu mendapat kesempatan menyakiti cucu
Rasūlullah Saw sampai mereka membunuhnya dalam keadaan teraniaya dan
syahīd. Peristiwa terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra berdampak kerusakan dan
fitnah yang tidak akan terjadi bila ia tetap di Madinah.184
Namun inilah takdir Allah Swt. Apa yang Allah Swt tadirkan pasti
terjadi, walaupun manusia tidak menghendakinya dan dan sunatullah
(ketetapan Allah) telah membuktikan betapa dahsyatnya kebenaran ḥadīts
nubuwah tentang terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra ini. Dan dengannya kaum
Muslimin harus lebih berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang
berlebihan terkait peristiwa tersebut, apalagi sampai menghina Sahabat yang
terlibat di dalamnya.
Peristiwa terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra tidak lebih dahsyat daripada
terbunuhnya para Nabi. Kepala Yahya bin Zakariya as dijadikan bayaran
kepada seorang pelacur, dan Nabi Zakariya as juga dibunuh. Demikian juga
dengan ‘Umar bin Khaṭāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Alī bin Abī Ṭālib ra. Mereka
semua lebih utama dibadingkan Ḥusain bin ‘Alī ra. Oleh karena itu Ahlus
Sunnah menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menampar-nampar
wajahnya atau merobek-robek pakaiannya dan lain-lainnya jika mengingat
183 Al Khamīs, p.257184 Al Khamīs, p.257
75
terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra pada hari ‘Asyura. Karena Nabi Saw
bersabda:
الجيوب شق و الخدود لطم من منا ليس
“Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya
dan merobek-robek pakaiannya (ketika ada yang meninggal dunia).”185
Beliau juga bersabda:
الشاقة و الحالقة و الصالقة من أنابريئ
“Aku berlepas diri dari Aṣ Ṣāliqah, Al Ḥāliqah, dan Asy Syāqah.”186
Aṣ Ṣāliqah artinya orang yang menjerit-jerit. Al Ḥāliqah artinya orang
yang mencukur rambutnya. Asy Syāqah artinya orang yang merobek-robek
pakaiannya (yang dilakukan untuk menyesali kematian seseorang).
Beliau juga bersabda:
“Sungguh jika orang yang meratapi mayit tidak bertaubat maka pada
hari kiamat nanti dia akan memakai baju dari kudis dan pakaian dari ter yang
panas.”187
Ahlus Sunnah memberikan solusi dalam menyikapi suatu musibah
sepert ini adalah dengan mengatakan apa yang difirmankan oleh Allah Swt:
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: "Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn (sesungguhnya kami milik
Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”188
185 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Janā’iz, Bab Laisa Minna Man Syaqq Al Juyyub, no.1294 dan Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Imām, Bab Tahriim Dharbil Khudud, no.103.
186 Ṣaḥīḥ Buhari, Kitāb Al Al Janā’iz, Bab Mā Yunha ‘Anil Halqi Indal Mushibah, no.1296 dan Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Imām, Bab Tahriim Dharbil Khudud wa Syaqqil Juyyub Wad Du’aa bi Da’wAl Jahiliyyah, no.140, 167.
187 Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Al Janā’iz, Bab At Tasydiid Fi Niyaahah, no.934188 Qs.Al Baqarah: 156
76
BAB III
ANALISA
3.1. Komparasi perspektif antara Syī’ah dan Ahlus Sunnah terhadap
pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra
Pada bab kedua telah dipaparkan perihal pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra
berikut sikap Syī’ah maupun Ahlus Sunnah menurut perspektif masing-masing.
Banyak perkara yang menurut penulis perlu dijelaskan lebih detail. Sehingga
upaya komparasi perspektif antara Syī’ah dan Ahlus Sunnah dapat terwujud.
Meskipun pada sisi tertentu ada perkara-perkara yang sama sekali tidak dapat
dikompromikan. Setidaknya ada tiga pertanyaan penting yang harus dijawab
untuk mengetahui perkara mana saja yang dapat dikompromikan dan tidak
dapat dikompromikan. Pertanyaan tersebut antara lain:
Pertama, Apa yang melatar belakangi Ḥusain bin ‘Alī ra menolak
berbai’at kepada Yazīd bin Mu’āwiyah?
Kedua, siapakah penduduk Kufah yang dimaksud dalam peristiwa
Karbala?
Ketiga, bagaimana seharusnya kaum Muslimin menyikapi peristiwa
Karbala?
Dengan sedikitnya tiga pertanyaan ini diharapkan akan menambah
keutuhan berfikir dalam mengambil kesimpulan terhadap petaka yang telah
menimpa cucu Rasūlullah Saw dan para Ahlul Baitnya.
3.1.1.Latarbelakang Ḥusain bin ‘Alī ra menolak berbai’at kepada Yazīd
bin Mu’āwiyah
Syī’ah berpendapat bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra ingin melakukan revolusi
kepemimpinan yang telah direbut oleh Bani ‘Umayyah189. Awalnya berpusat
pada saat tragedi Saqifah pasca wafatnya Rasūlullah Saw yang berakibat
pemindahan khilafah dari tangan legal, yaitu Imām ‘Alī as. Para pendukung
Saqifah menyerukan kewajiban bergabung dengan jamā’ah, mengharamkan
189 Tim A’lāmul Hidāyah, p.139-14077
tindakan-tindakan yang memecah belah umat dan mewajibkan untuk taat
kepada pemimpin terpilih. Maka Imām ‘Alī as telah berusaha maksimal
dengan seluruh kemampuan untuk memperbaiki tindakan-tindakan destruktif
yang dilakukan oleh para khalīfah yang dijamin terpelihara dari kesalahan.
Semua itu disaksikan oleh Ḥusain bin ‘Alī as dengan jelas, apalagi pada masa
pemerintahan ‘Utsman.190
Kemudian pada zaman kepemimpinan kakaknya, Ḥusain bin ‘Alī as
menyaksikan dan memahami seluruh pasal-pasal perdamaian yang
ditandatangani Imām Ḥasan as dan Mu’āwiyah. Ḥusain bin ‘Alī as
menyaksikan perjanjian tersebut dilanggar oleh Mu’āwiyah yang
memanipulasi perjanjian tersebut. Mu’āwiyah menjadikan agama sebagai
tameng untuk merealisasikan konspirasi biadabnya.191
Keadaan pada zaman Ḥusain bin ‘Alī as sama sekali berbeda. Setelah
kematian Mu’āwiyah, menurut pandangan Ḥusain bin ‘Alī as yang ma’ṣūm,192
pada saat yang sama beliau adalah pemegang tampuk kepemimpinan yang
sah, tidak ada cara lain kecuali melawan Yazīd. Sangat tidak logis dan tidak
memiliki landasan jika Ḥusain bin ‘Alī as menerima kepemimpinan Yazīd
dan Bani ‘Umayyah.193
Ditambah lagi surat-surat yang dilayangkan oleh penduduk Kufah
kepada beliau adalah sebuah legalitas politik beliau yang membuktikan
bahwa kebangkitan bukanlah masalah personal dan keinginan pribadi
beliau.194 Namun karena bujukan dari penduduk Kufah yang menginginkan
beliau menjadi Khalīfah.
Sedangkan Ahlus Sunnah dalam menyikapi hal ini melihat pada
peristiwa paska terbunuhnya ‘Alī bin Abī Ṭālib ra195. Al Qadhi Abū Bakar
190 Tim A’lāmul Hidāyah, p.139-140191 Ibid, p.140192 Kaum Syi’ah berkeyakinan bahwa setiap Imām mereka ma’ṣūm terbebas dari kesalahan dan
dosa sebagaimana yang dimiliki oleh para Nabi.193 Ibid, p.140194 Ibid, p.142195 Dalam pembahasan ini penulis tidak akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana
kepemimpinan empat Khulafa’ur Rasyidin dan berbagai kontroversi yang terjadi di dalamnya. Tetapi penulis akan mencukupkan pada paska terbunuhnya ‘Alī bin AbīṬālib ra dilanjutkan kepada pemerintahan Hasan bin ‘Alī ra yang kemudian melakukan perjanjian damai kepada
78
berkata, Ucapan Syī’ah bahwa ‘Alī mewasiatkan khilāfah kepada Ḥasan,
adalah batil. ‘Alī tidak mewasiatkan kepada siapapun196, akan tetapi bai’at
untuk Ḥasan terlaksana berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin, Ḥasan bin
‘Alī ra lebih berhak dari pada Mu’āwiyah daripada banyak orang selainnya.
Lalu mediasi berakhir dengan pengunduran dirinya dari perkara ini demi
melindungi darah umat agar ridak tertumpah dan bukti kebenaran janji Nabi
Saw melalui sabdanya di mimbar,
“Anakku ini adalah sayid, mudah-mudahan Allah mendamaikan
dengannya dua kelompok besar dari kaum Muslimin.”197
Maka janji terlaksana dan bai’at untuk Mu’āwiyah sah dan hal itu
merupakan wujud harapan Nabi Saw terhadap kepemimpinannya terhadap
kaum Muslimin, beliau Saw bersabda:
“Khalifah (akan berlangsung) tiga puluh tahun kemudian ia menjadi
kerajaan.”
Jika dihitung mulai dari diangkatnya Abū Bakar sampai pengunduran
diri Ḥasan bin ‘Alī ra maka jumlanya adalah tiga puluh tahun tidak lebih dan
tidak kurang sehari pun.
Ḥadīts yang berupa sanjungan kepada Ḥasan sekaligus berita gembira
dengan ini, adalah terwujudnya perdamaian melalui tangan beliau dan
penyerahan perkara ini darinya kepada Mu’āwiyah merupakan akad dari
Ḥasan untuk Mu’āwiyah. Hal itu terjadi di sebuah tempat bernama Maskan di
sungai Dujail, pada bulan Rabī’ul Awal tahun 41 H. Tahun tersebut
dinamakan ‘Ammul Jamā’ah (tahun perdamaian) karena kaum Muslimin
berjamā’ah setelah sebelumnya terpecah dan mereka mulai berkonsentrasi
kepada perang keluar dan penaklukan serta menyebarkan dakwah Islam.198
Mu’āwiyah. Sekaligus berpindahnya kepemimpinan Islam kepada Bani ‘Umayyah sampai pada pengangkatan Yazīd bin Mu’āwiyah dan penolakan Ḥusain bin Alī ra terhadapnya.
196 Bahwa orang-orang berkata kepada ‘Alī ra “Angkatlah pengganti (sebagai khalifah) bagi kami.” ‘Alī ra menjawab, “Tidak, akan tetapi aku membiarkan kalian sebagaimana Rasulullah Saw membiarkan kalian kepadanya...” Imām Aḥmad meriwayatkan dalam musnadnya, p.I/30, no.1078 dan 1/156, no.1339, sanadnya Ṣaḥīḥ.
197 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Ash Shulh, Bab ke-9, p.III/169 dan Bukhāri juga meriwayatkan dalam Manaqib Hasan Wa Ḥusain, Kitāb Fadha’il Ash Shahabah, Bab ke-22, p.IV/216.
198 Muhibbuddin Al Khātib dalam tahqiq dan ta’liq, Lihat Ibnul ‘Arabi, Meluruskan Sejarah, Menguak Tabir Fitnah, Sejak Rasūlullah Wafat Hingga Masa Bani ‘Umayyah, Terj. Izzudin
79
Ibnu Taimiyah berkata: “Ḥadīts tentang Ḥasan menjelaskan bahwa
perdamaian di antara dua kelompok merupakan perkara terpuji yang dicintai
Allah Swt dan Rasūl-Nya. Adapun apa yang dilakukan oleh Ḥasan dari itu,
maka ia termasuk keutamaan dan jasa besarnya yang dipuji oleh Nabi
Saw.”199
Jika dikatakan bukankah di antara Sahabat terdapat orang yang lebih
pantas memegang perkara ini daripada Mu’āwiyah. Maka jawabannya
banyak, akan tetapi Mu’āwiyah memiliki beberapa keunggulan, yaitu: ‘Umar
menyatukan seluruh Syām di bawah kepemimpinan Mu’āwiyah, manakala
dia mengetahui keluhuran hidupnya, pelaksanaanya terhadap tugas menjaga
kehormatan Islam dan mengamankan perbatasan, perbaikannya terhadap bala
tentara, kemenangannya atas musuh dan keahliannya dalam memimpin
rakyat.200 Semua itu sebagai bukti kredibilitas Mu’āwiyah sebagai seorang
pemimpin yang layak.
Rasūlulullah Saw dan Ahlul Bait bersaksi bahwa Mu’āwiyah adalah
seorang yang fakih. Dari ḥadīts Ibnu Mulaikah bahwa seseorang berkata
kepada Ibnu ‘Abbās: “Apakah engkau memiliki sesuatu pendapat tentang
‘Amīrul Mu’minīn Mu’āwiyah, karena dia tidak berwitir kecuali dengan satu
raka’at.” Ibnu Abbas menjawab, “Dia seorang yang fakih.”201
Dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda kepada Mu’āwiyah:
“Ya Allah jadikanlah dia pemberi petunjuk, yang diberi petunjuk, dan
berikanlah petunjuk dengannya,”202
Beliau juga bersabda kepada Mu’āwiyah:
“Ya Allah ajarilah dia Al Kitāb dan ḥisab dan lindungilah dia dari
‘adhab.”203
Karimi, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 1431 H/2010 M), p.278-279199 Ibnu Taimiyah, Minhājus Sunnah, p.II/242200 Ibid, p.III/185201 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Manaqib Ash Shahabah, Bab ke-28, p.IV/219202 Jami’ut Tirmidzi, Kitāb Manaqib, Bab ke-47, sanadnya Ṣaḥīḥ203 Rawi-rawi do’a Nabi Saw untuk Mu’āwiyah dari kalangan sahabat lebih banyak dari sekedar
dihitung. Lihat Ibnu Katsīr, VIII/120-121 dan biografi Mu’āwiyah pada huruf Mim dalam Kitāb Tarikh Daimasyq, Ibnu Asakir.
80
Nabi Saw juga bergembira karena bermimpi melihat perang Mu’āwiyah
dalam ḥadīts Ummu Ḥaram bahwa beberapa orang dari umatnya mengarungi
lautan biru sebagai raja di atas singgasana, atau layaknya raja di atas
singgasananya, dan hal itu terjadi pada masa kepemimpinan Mu’āwiyah,
ḥadits tersebut sebagai berikut:
“Sesungguhnya Nabi Saw pernah tidur qailulah (tidur sejenak) di
rumah Ummu Ḥaram. Beliau bangun sambil tertawa karena beliau bermimpi
melihat orang-orang dari umatnya berperang dijalan Allah Swt mengarungi
birunya lautan bagaikan raja-raja di atas singgasana. Kemudian beliau
meletakan kepalanya lalu tidur lagi, lalu beliau bangun dengan mimpi yang
sama. Ummu Ḥaram berkata kepada beliau, ‘Do’akan aku kepada Allah agar
aku termasuk dari mereka.’ Rasūlullah Saw bersabda: “Engkau berada
bersama orang-orang pertama.”204
Ibnu Katsir berkata: “Maksud Nabi Saw adalah tentara Mu’āwiyah
ketika menyerang Qubruṣ dan menaklukannya pada tahun 27 H pada masa
‘Utsmān bin ‘Affān dengan Mu’āwiyah sebagai panglima, setelah beliau
membangun angkatan laut Islam pertama dalam sejarah, Ummu Ḥaram
menyertai suaminya ‘Ubaidah bin Ṣāmit ditambah Abū Darda’, Abū Dhar
dan lain-lain. Ummu Ḥaram gugur di jalan Allah Swt, kuburannya di Qubruṣ
sampai hari ini. Ibnu Katsīr berkata: “Kemudian panglima pasukan kedua
adalah Yazīd bin Mu’āwiyah dalam menyerang Qastantiniyah. Dia berkata:
‘Ini adalah salah satu tanda kebenaran nubuwah yang paling agung.”205
Sebelum Mu’āwiyah wafat, dia mengangkat anaknya Yazīd sebagai
penggantinya. Sehingga tersebar isu kontroversial antara dirinya dengan
‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Zubaīr, dan ‘Abdurrahman bin Abī
Bakar. Hal ini sudah diklarifikasi oleh Ibnul Arabī dalam kitābnya Al
‘Awāṣim Minal Qawāṣim. Bahwa setelah Mu’āwiyah memanggil mereka
bertiga satu-persatu ke dalam kemahnya. Mu’āwiyah keluar lalu beliau naik
mimbar, beliau berkata: “Kami mendengar pembicaraan orang-orang yang
204 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Jihad, Bab ke-3, III/201 dan Muslim, Kitāb Imarah, no.160.205 Ibnu Katsir, p.VIII/229
81
bernada sumbang. Mereka mengeklaim bahwa Ibnu ‘Umar, ‘Abdullah bin
Zubaīr dan ‘Abdurrahman bin Abī Bakar tidak membai’at Yazīd, padahal
mereka telah mendengar, menaati, dan membai’at kepadanya.”206
Namun yang dipermasalahkan adalah tentang sikap Mu’āwiyah yang
telah meninggalkan yang lebih utama dengan tidak menjadikan pengangkatan
anaknya menggunakan Syura (pemilihan secara musyawarah oleh dewan
yang dibentuk), ia langsung mengkhususkannya kepada salah seorang
kerabatnya lebih-lebih anaknya sendiri dan meninggalkan apa yang
diisyaratkan oleh ‘Abdullah bin Zubaīr untuk melakukan syura, lalu
Mu’āwiyah mengangkat anaknya, mengakadkan bai’at untuknya dan orang-
orang membai’atnya, meskipun ada juga yang tidak membai’at. Bai’atpun
terwujud secara syar’i karena ia sah dengan satu orang, dan ada yang
berpendapat dengan dua orang.207
Jika dikatakan untuk siapa syarat-syarat Imāmah. Maka umur bukan
termasuk syaratnya dan tidak terbukti ada syarat yang tidak terpenuhi oleh
Yazīd.208
Jika dikatakan di antarannya adalah ‘Adalah (keadilan) dan ilmu,
sementara Yazīd sendiri bukan orang adil dan alim. Maka dengan apa
seseorang mengetahui dia tidak berilmu dan tidak adil. Jika Yazīd tidak
memiliki keduanya niscaya ia telah disinggung oleh tiga orang utama yang
mengusulkan kepada Mu’āwiyah agar tidak melakukan bai’at untuknya tadi.
Akan tetapi mereka hanya mempermasalahkan keputusan dalam perkara ini
yang diambil oleh Mu’āwiyah, di mana yang mereka inginkan adalah
syura.209
Jika dikatakan ada yang lebih unggul daripada Yazīd dalam ‘Adalah
dan ilmu, seratus bahkan seribu. Ibnul ‘Arabi menyebutkan bahwa
kepemimpinan orang yang utama padahal ada yang lebih utama adalah
masalah khilafiyah (perselisihan pendapat) di antara para Ulama’.210
206 Lihat selengkapnya; Ibnul Arabi, p.302-307207 Ibid, p.314-315208 Ibid, p.315209 Ibid, p.315-316210 Ibnul Arabi, p.316
82
Adapun tentang predikat ‘Adalah maka kesaksian untuknya telah
diberikan oleh salah seorang Ahlul Bait Muḥammad bin ‘Alī bin Abī Ṭālib
dalam dialognya terhadap Ibnu Muṭi’ yang menuduh Yazīd seorang fasik,
pemabuk dan tuduhan lainnya pada saat terjadi pemberontakan di Madinah
terhadap Yazīd. Muḥammad berkata: “Aku tidak melihat apa yang kalian
katakan padanya. Aku telah hadir kepadanya dan tinggal bersamanya. Aku
melihatnya menjaga ṣalāt, memilih kebaikan, bertanya tentang fikih dan
berpegang pada sunnah.”211
Tentang ilmu maka apa yang lazim darinya bagi orang sepertinya dalam
kedudukan sepertinya, dia memilikinya secara memadai bahkan lebih dari
memadai. Al Mada’ meriwayatkan bahwa salah seorang Ahlul Bait; Ibnu
‘Abbās datang kepada Mu’āwiyah setelah Ḥasan bin ‘Alī ra wafat, Yazīd
datang kepada Ibnu ‘Abbās. Dia duduk sebagai orang yang berbela sungkawa
ketika Yazīd berdiri dari sisinya, Ibnu Abbas berkata: “Jika Bani Harb
(nisbah kepada bapaknya Abū Sufyan) pergi, maka pergilah Ulama’
manusia.”212
Dari riwayat-riwayat dan keterangan di atas menunjukan akan
keabsahan kepemimpinan Mu’āwiyah dan Yazīd yang diridhai oleh para
Ahlul Bait dan Sahabat secara umum. Adapun penolakan yang dilakukan oleh
Ḥusain bin ‘Alī ra maka walaupun hal tersebut tidak dibenarkan namun status
beliau dalam masalah tersebut adalah Mujtahid jika benar, maka
mendapatkan dua pahala, jika salah maka satu pahala.213 Sebenarnya beliau
sudah ditahan dengan berbagai cara dan upaya beberapa Sahabat namun
penduduk Kufahlah yang memicu dengan ratusan surat yang terus membujuk
berangkat dan berakhir pada kesyahīdannya. Ini adalah bukti kebenaran
ḥadīts Nubuwah yang agung. Yang patut dijadikan pelajaran bagi orang-
orang yang berfikir.
3.1.2.Jati diri penduduk Kufah
211 Ibnu Katsir, p.VIII/233212 Ibid, p.VIII/228213 Ibnul Arabi, O.cit., p.345
83
Syī’ah berpendapat bahwa yang dimaksud penduduk Kufah adalah Bani
‘Umayyah, sehingga semua perkataan yang mengarah kepada penduduk
Kufah seluruhnya disematkan kepada Bani ‘Umayyah. Namun ada juga yang
mengatakan bahwa orang-orang Kufah saat itu adalah masyarakat yang paling
memusuhi Yazīd dan mencintai Ḥusain bin ‘Alī as lebih darinya.
Sebenarnya Ahlus Sunnah dan Syī’ah sepakat bahwa pembunuh
Ḥusain bin ‘Alī ra adalah penduduk Kufah. Namun yang aneh adalah
kesimpulan yang berbeda terhadap status penduduk Kufah sebenarnya. Jika
memang yang dituduhkan Syī’ah itu benar, maka hal tersebut sangat sulit
untuk dinalar. Mengingat tidak didapatkan riwayat yang secara tegas
mengatakan bahwa Bani ‘Umayyah yang membujuk Ḥusain bin ‘Alī ra untuk
pergi ke Kufah, dan suatu yang mustahil juga bagi Bani ‘Umayyah
mengirimkan surat kepda Ḥusain bin ‘Alī ra untuk menggulingkan rezimnya
sendiri.
Dalam hal ini penulis menukilkan isyarat tegas Ibnul ‘Arabi dengan
mencantumkan sub judul dalam kitābnya Al ‘Awāṣim Minal Qawāṣim, beliau
mencantumkan celaan Ahlul Bait kepada Syī’ah disebutkan bahwa seorang
penulis kitāb At Tuhfah Al Itsna Al Asyariyyah berkata: “Allamah Syī’ah
pada zaman ini. Syaikh Ḥibatuddin Asy Syahrastani, menukil apa yang
diriwayatkan oleh Al Jahiz dari Khuzaimah Al Asadi, yang berkata: ‘Aku
masuk ke Kufah bersamaan dengan berangkatnya Ḥusain bin ‘Alī ra bersama
keluargannya dari Karbala kepada ‘Ubaidullah bin Ziyād. Aku melihat
wanita-wanita Kufah pada saat itu sedang berdiri meratap dengan merobek-
robek leher baju, aku mendengar ‘Alī bin Ḥusain berkata dengan suara
lemah.”Wahai penduduk Kufah, kalian menangisi kami padahal kalianlah
yang membunuh kami.”214 –siapa lagi yang meratap dan merobek baju selain
Syī’ah, pen-
Aku melihat Zainab binti ‘Alī, aku tidak melihat wanita yang lebih jelas
pembicaraan dari padanya, dia berkata,”Wahai orang-orang Kufah wahai para
penghianat dan para pengecut, kubur tidak tertutup, tanah yang landai tidak
214 Ibnul Arabi, p.339-34084
tenang, kalian hanyalah seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali,
kalian menjadikan sumpah (bai’at) sebagai alat penipuan di antaramu.
Katahuilah yang ada pada kalian hanyalah kebencian dan kesialan, tabi’at
darah dan tipu daya musuh. Kalian tidak lain kecuali seperti rumput hijau di
atas kotoran atau perak di atas wanita di liang lahat. Begitu buruk apa yang
kalian lakukan, Allah Swt memurkai kalian dan kalian akan kekal di dalam
‘adhab. Apakah kalian menangis? Demi Allah Swt menangislah –kalimat
sindiran kepada Syī’ah, pen-, demi Allah Swt kalian pantas menangis,
banyaklah menangis dan sedikitlah tertawa, kalian berhasil meraih aib dan
keburukannya, kalian tidak akan menghilangkannya dengan mencuci
setelahnya selama-lamanya.”215
Dalam literatur sejarah yang membahas tentang peristiwa Karbala
penulis tidak mendapatkan ada yang mengatakan bahwa Bani ‘Umayyah ada
yang berbai’at kepada Ḥusain bin ‘Alī ra, bahkan yang terjadi justru
sebaliknya, yaitu mengingatkan Ḥusain bin ‘Alī ra untuk berbai’at kepada
Yazīd. Para Sahabat dan sebagian masyarakat juga menahan Ḥusain untuk
pergi menemui penduduk Kufah. Fakta ini menyatakan bahwa Bani
‘Umayyah terlepas dari tuduhan membai’at Ḥusain bin ‘Alī ra apalagi sampai
mengundangnya ke Kufah. Yang sebenarnya terjadi adalah orang-orang
Syī’ah yang mengundang dan berbai’at kepada Ḥusain bin ‘Alī ra namun
kemudian mengkhianatinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab
terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra adalah orang-orang Syī’ah Kufah sendiri.
3.1.3.Menyikapi peristiwa Karbala
Syī’ah berpendapat bahwa peristiwa Karbala adalah peristiwa yang
sangat memilukan dan mereka sangat bersedih ketika mengenang tragedi
tersebut. Alasan mereka yang populer adalah karena yang terbunuh di
dalamnya terdiri dari para Ahlul Bait Nabi Saw terutama cucu beliau sendiri,
Ḥusain bin ‘Alī ra. Hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi mereka
215 Ibid, p.339-34085
untuk mengenang dan meratapi setiap tahunnya. Mereka melakukan ritual
berupa meratap, memukuli diri sampai berdarah-darah bahkan mereka juga
melaknat Bani ‘Umayyah terutama Yazīd bin Mu’āwiyah sebagai manusia
yang paling bertanggung jawab atas kematian Ḥusain bin ‘Alī ra. Peringatan
tersebut dinamakan peringatan hari ‘Asyura atau peringatan Karbala.
Dalam menyikapi hal ini Ibnu Taimiyah mengelompokan umat manusia
menjadi tiga golongan: dua golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-
tengah.216
Golongan Pertama: Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Ḥusain
bin ‘Alī ra itu merupakan tindakan benar. Karena Ḥusain bin ‘Alī ra
memberontak kapada pemimpin217 dan ingin memecah belah kaum Muslimin.
Rasūlullah Saw bersabda :
�م م�ن �م ج�اء�ك ك ر� �م� لA ع�ل�ى و�أ ��ج دA ر� ��د� و�اح ��ر�ي �ن ي ق� أ ر- ���ف �م ي �ك اع�ت �� ج�م
�وه� �ل كان من كائنا ف�اقت
"Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian
berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah belah jamā’ah
kalian, maka bunuhlah dia, siapa pun orangnya"218
Kelompok pertama ini mengatakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra datang
saat urusan kaum Muslimin berada di bawah satu pemimpin yaitu Yazīd bin
Muawiyah dan Ḥusain bin ‘Alī ra hendak memecah belah umat atau dalam
kata lain pemberontak.
Sebagian lagi mengatakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra merupakan orang
pertama yang memberontak kepada penguasa. Kelompok ini melampaui
batas, sampai berani menghinakan Ḥusain bin ‘Alī ra. Inilah kelompok
‘Ubaidullah bin Ziyād, Hajjâj bin Yusūf dan lain-lain. Sedangkan Yazīd bin
Muāwiyah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum ‘Ubaidullah, namun
sebenarnya ia tidak menghendaki pembunuhan ini.219
216 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, p.IV/553217 Hiqbah Minat Tarikh, p.259218 Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Imarah, Bab Hukmu Man Farraqa AmrAl Muslimin Wa Huwa
Mujtami’, no.1852219 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, p.IV/553
86
Golongan Kedua: Mereka mengatakan Ḥusain bin ‘Alī ra adalah Imām
yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan
perintahnya; tidak boleh melakukan ṣalāt jamā’ah kecuali di belakangnya atau
orang yang ditunjuknya, baik ṣalāt lima waktu ataupun ṣalāt Jum'at dan tidak
boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan izinnya dan lain sebagainya.
Ini adalah pendapat Syī’ah.220
Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf
adalah pemimpin golongan pertama (mereka disebut juga Nashibi). Ia sangat
benci kepada Ḥusain bin ‘Alī ra dan merupakan sosok yang ẓālim. Sementara
kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abī ‘Ubaid yang mengaku
mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Ḥusain bin ‘Alī ra. Orang inilah
yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh
‘Ubaidullah bin Ziyād dan memenggal kepalanya. Pasukan Mukhtâr bin Abī
‘Ubaid ini disebut juga dengan At Tawwabun yaitu orang-orang yang
menyesal tidak membela Ḥusain bin ‘Alī ra padahal mereka telah sumpah
setia untuk membela dan membai’atnya.221
Golongan Ketiga: Yaitu Ahlus Sunnah Wal Jamā’ah yang tidak sejalan
dengan pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan
kedua. Mereka mengatakan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh dalam
keadaan terẓālimi dan mati syahīd222. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah Wal
Jamā’ah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok.223
Sebagaimana sabda Nabi Saw:
الجنة أهل شباب سيدا الحسين و الحسن
“Ḥasan dan Ḥusain bin ‘Alī ra adalah dua pemimpin para pemuda
penduduk Jannah.”224
Ahlus Sunnah juga menegaskan bahwa Ḥusain bin ‘Alī ra bukanlah
pemberontak. Sebab kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak.
220 Ibid, p.IV/553. Hiqbah Minat Tarikh, p.259221 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, Op.cit., p.IV/553222 Hiqbah Minat Tarikh, Op.cit., p.259223 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, Op.cit., p.IV/553. 224 Jami’ut Tirmidzi, Kitāb Al Manaqib, Bab Manaqibul Hasan wAl Ḥusain bin Alī ra, no.3768
87
Seandainya mau memberontak, beliau bisa mengerahkan penduduk Makkah
dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau. Karena saat
Ḥusain bin ‘Alī ra di Makkah, kewibaannya mengalahkan wibawa para
Sahabat lain yang masih hidup pada masa itu di Makkah. Beliau seorang alim
dan ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena
beliaulah Ahlul Bait yang paling besar.225
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Setelah peristiwa terbunuhnya
Ḥusain bin ‘Alī ra, orang-orang membuat dua bid’ah:
Pertama, bid’ah kesedihan dan ratapan yang dilakukan pada setiap hari
‘Asyura dengan menampar-nampar wajah, tangisan, kehausan, dan lantunan
syair kesedihan. Juga hal-hal lain yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan
ini, seperti mencaci dan melaknat para salaf dan memasukan orang yang tidak
berdosa bersama pelaku yang sebenarnya, sampai mencela para Sahabat.
Kemudian cerita terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra, yang kebanyakan adalah
kebohongan, dibacakan dalam peringatan tersebut. Tujuan orang yang
membuat acara ini adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan umat. Kalau
tidak demikian maka apa maksud mereka mengulang-ulang pembacaan
peristiwa ini setiap tahun dengan melukai diri sampai berdarah,
mengagungkan dan bergantung pada masa lampau, serta mengusap-usap
kuburan.226
Kedua, bid’ah senang-senang dan gembira ria, membagikan manisan,
dan menggembirakan keluarga pada hari terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra.227
Bi’ah pertama dilakukan Syī’ah dan bid’ah kedua dilakukan Nashibi.
Keduanya dibuat karena pada saat itu di Kufah ada orang-orang yang
membela Ahlul bait, yang dipimpin oleh Al Mukhtār bin ‘Ubaid, seorang
pembual yang mengaku dirinya sebagai Nabi, dan ada pula orang-orang yang
membenci Ahlul Bait, diantaranya Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Padahal
bid’ah tidak boleh diberantas dengan bid’ah serupa, tetapi dengan
menegakkan sunnah Nabi Saw sesuai dengan perintah Allah Swt:
225 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, p.IV/553226 Ibid, p.V/554227 Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, p.IV/553
88
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan:"Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn (sesungguhnya kami milik
Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”228
Ibnu Katsīr rahimahullah berkata: "Setiap Muslim akan merasa sedih
atas terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra. Sesungguhnya dia adalah salah seorang
dari generasi terkemuka kaum Muslimin, juga salah seorang Ulama’ di
kalangan para Sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasūlullah Saw. Ia
adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani dan pemurah. Tentang apa
yang dilakukan Syī’ah (di hari 'Asyura) seperti bersedih-sedih dan berkeluh-
kesah merupakan tindakan tidak pantas. Boleh jadi, itu mereka lakukan
adalah karena pura-pura dan riya’. Sesungguhnya ayah Ḥusain ('Ali bin Abī
Thâlib ra) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam
keadaan terbunuh. Akan tetapi, mereka tidak menjadikan hari kematiannya
sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Ḥusain bin ‘Alī ra (yang
diperingati). 'Ali bin Abī Thâlib ra terbunuh pada hari Jum'at saat keluar
rumah mau melaksanakan ṣalāt ṣubuh, pada tanggal 17 Ramaḍān, tahun 40
Hijriyah.229
Allah Swt telah memanggil Rasūlullah Saw, penghulu anak Adam di
dunia dan akhirat, sama seperti para Nabi sebelumnya ‘Alaihimussalam.
Namun tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela
sungkawa, atau melakukan perbuatan yang serupa dengan orang-orang Syiah
pada hari kematian Ḥusain. Tidak seorang pun menyebutkan bahwa terjadi
sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang
disebutkan Syiah pada hari kematian Ḥusain. Seperti terjadinya gerhana
matahari, adanya cahaya merah di langit dan lain-lain –riwayat batil, pen-"230
Syaikh Fāḍil Ar Rūmi rahimahullah, seorang Ulama’ Dinasti
‘Utsmāniyah mendudukkan kesalahan Syī’ah dalam masalah ini dengan
menyatakan: "Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muḥarram sebagai hari
berduka karena terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra yang dilakukan kaum Syiah,
228 Qs.Al Baqarah: 156229 Ibnu Katsīr, p.VIII/208230 Ibnu Katsīr, p.VIII/208
89
hal itu adalah perbuatan orang-orang sesat sewaktu di dunia. Tetapi mereka
mengira telah melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal Allah Swt dan
Rasūl Saw saja tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah
para Nabi atau hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi terhadap
hari kematian orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka.231
Pada kesempatan lain beliau menyatakan: "Di antara bentuk bid'ah yang
dilakukan sebagian manusia pada hari 'Asyura adalah menjadikan hari
tersebut sebagai hari berduka. Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa
diri pada hari tersebut. Disamping itu mereka mencaci para Sahabat
Rasūlulullah Saw yang telah meninggal, berdusta atas nama keluarga Nabi
Saw, dan melakukan berbagai kemungkaran lainnya yang dilarang di dalam
Al Qur'an dan Sunnah Rasūlullah Saw serta kesepakatan kaum Muslimin.232
Sesungguhnya Ḥusain bin ‘Alī ra telah dimuliakan Allah Swt dengan
menjadikannya sebagai orang yang mati syahīd pada hari tersebut. Dia dan
saudaranya Ḥasan adalah dua pemuda penghuni Jannah. Sekalipun
terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan
tetapi Allah Swt mensyariatkan bagi kaum Muslimin ketika mengalami
musibah untuk mengucapkan kalimat istirjâ' (innâ lillâh wa innâ ilaihi
raji’ûn).233
Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi Saw pada hari
peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, perbuatan
ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi jika disertai dengan memukul-
mukul muka, merobek-robek baju, berteriak-teriak yang merupakan
kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat dan mencaci orang-orang Mukmin
(para Sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum), serta membantu orang-orang
zindiq untuk merusak Islam.234
Rasūlullah Saw telah menerangkan hukum menyiksa diri atas peristiwa
musibah yang menimpa seseorang dalam ḥadīts berikut ini:
231 Majâlisul Abrâr majlis, no.37232 Ibid, no.37233 Ibid, no.37234 Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37
90
س� �ي �ا ل ب� م�ن م�ن خ�د�ود� ض�ر� ق� ال �وب� و�ش� ي ج� �د�عو�ى و�د�ع�ا ال �ة� ب �ي اه�ل ج� ال
"Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka,
merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah"235
Dalam ḥadīts lain, Rasūlullah Saw bersabda:
Cع ����ب ر� م�ت�ي ف�ي أ
� ر� م�ن أ ����م ة� أ �����ي اه�ل ج� �ه�ن� ال� ال ون ����ك ر� �ت ر� ي ���ف�خ : ال
اب� �حس� �األ اب� ف�ي و�الط�عن� ب ���س �ن ق�اء� األ ���س ت س � و�اال� �ج�وم الن ���ة� ب ����اح -ي و�الن
ال� ع�ل�ى ���. و�ق -ت� م�ي ة� ال ����ح �ائ �م إذ�ا : الن �ب ل �ت ل� ت ��ا ق�ب ����ه ام� م�وت ����ق وم� ت ��� ي
�ام�ة� ق�ي ه�ا ال �ي �الC و�ع�ل ب ر انA م�ن س� عC ق�طر� بA م�ن و�د�ر ج�ر�
"Ada empat perkara yang termasuk perkara jahiliyah terdapat di tengah
umatku; berbangga dengan kesukuan, mencela keturunan (orang lain),
meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat" Kemudian
beliau Saw menambahkan: "Wanita yang meratapi mayat apabila tidak
bertaubat sebelum meninggal, ia akan dibangkit pada hari kiamat dengan
memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta"236
Abū Musa Al Asy 'ari ra berkata:
�ا �ن �ر�يءC أ �ر�ئ� م�م�ا ب ه� ب ول� م�ن س� �ه� ر� �ه� ص�ل�ى الل ه� الل ��ي �م� ع�ل ل ��� إن� و�س
س�ول� �ه� ر� �ه� ص�ل�ى الل ه� الل �ي �م� ع�ل ل �ر�يءC و�س� �ق�ة� م�ن ب ال ح� �ق�ة� ال ال ��� , , و�الص
اق�ة� و�الش�
"Aku berlepas diri orang-orang yang Rasūlullah Saw berlepas diri dari
mereka. Sesungguhnya Rasūlullah Saw berlepas diri dari wanita yang
mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-
robek baju (saat ditimpa musibah)"237
3.2. Jati diri para pembunuh Ḥusain bin ‘Alī ra
Pelaku pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra secara langsung yang masyhur
ada dua orang, yaitu Sinan bin Anas An Nakha’i dan Syimr bin Dhul Jausyan.
Sementara yang menjadi otak pembunuhan ini adalah ‘Ubaidullah bin Ziyad.
235 Bukhāri dan Muslim236 Muslim237 Bukhâri dan Muslim
91
Padahal dulunya, ’Ubaidullah dan Syimr ini termasuk pendukung ‘Alī
(Syi’atu ‘Alī). Kesimpulan ini merujuk kepada berapa alasan berikut:
Pertama, ‘Ubaidullah bin Ziyad dimasukkan oleh Aṭ Ṭūsi –’ulama
Syī’ah- di dalam kitābnya Ar Rijāl, ke dalam sahabat-sahabat ‘Alī bin Abī
Ṭālib ra.238
Kedua, Syimr bin Dhul Jausyan dikomentari oleh An Namizi Asy
Syahrudi –’ulama Syī’ah- : “Pada perang Ṣiffīn ia berada dalam barisan
pasukan ‘Amīrul Mu’minīn ‘Alī bin Abi Ṭālib ra.”239
Ketiga, Sejarah tidak akan melupakan peranan Syits bin Rib’ī di dalam
pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala. Syits bin Rib’ī adalah seorang
Syi’ah tulen, pernah menjadi duta kepada ‘Alī di dalam peperangan Ṣiffīn,
sentiasa bersama Ḥusain. Dia juga yang menjemput Ḥusain ke Kufah untuk
mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan Yazīd. ‘Ulama
Syī’ah memaparkan bahwa dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera
untuk menentang Ḥusain dan dialah orang yang pertama-tama turun dari
kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain.240
Dr. ‘Utsman bin Muḥammad Al Khāmis –’ulama Ahlus Sunnah- dalam
bukunya Ḥiqbah Minat Tārikh menyebutkan bahwa para pembunuh Ḥusain
bin ‘Alī ra mendapatkan siksa dunia sebelum siksa akhirat. Ia menegaskan
bahwa orang yang memerintahkan untuk membunuh Ḥusain bin ‘Alī ra
adalah ‘Ubaidullah bin Ziyad. Tidak lama setelah Ḥusain bin ‘Alī ra
terbunuh, ‘Ubaidullah juga dibunuh oleh Al Mukhtār bin ‘Ubaid sebagai
balasan terhadap terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra. Padahal Al Mukhtār ini
termasuk di antara mereka yang meninggalkan Muslim bin ‘Aqīl.241
Penduduk Kufah ingin menebus dosa mereka sendiri karena beberapa
alasan sebagai berikut:
Pertama, meninggalkan Muslim bin ‘Aqīl yang menyebabkan ia
terbunuh, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang bergerak membelanya.
238 Aṭ Ṭūsi, Rijāl Aṭ Ṭūsi, (Najāf: Al Maṭba’ah Al Ḥaidariyyah, 1961), bagian ke-120, p.54 239 Asy Syahrudi, An Namizi, Mustadrakāt ‘Ilm Ar Rijāl Al Ḥadīts, (Qumm: Mu’assasah An
Nasyr Al Islāmi, 1425 H), bagian ke-6899, p.IV/220240 Khulashatu Al Mashaaib, hal. 37241 Al Khamīs, p.245
92
Kedua, ketika Ḥusain bin ‘Alī ra berangkat menuju Kufah, tidak ada
seorang pun di antara mereka yang membelanya kecuali yang dilakukan oleh
Al Ḥurr bin Yazīd At Tamimī dan segelintir orang dari pasukannya.
Penduduk Kufah justru meninggalkannya. Oleh karena itu pada peringatan
Karbala para pengikut Syī’ah, memukul-mukul dada-dada mereka dan
melakukan hal-hal yang menurut mereka bisa menghapus kesalahan-
kesalahan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dan seperti itulah klaim
mereka selama ini.242
Dari ‘Umarah bin ‘Umair –‘ulama Ahlus Sunnah-, dia menuturkan:
“Ketika kepala ‘Ubaidullah dan teman-temannya didatangkan, kemudian
dibariskan di halaman masjid, aku pun mendekat, lalu aku mendengar orang-
orang berkata: ‘Telah datang, telah datang.’ Maka tiba-tiba seekor ular
merambat melewati kepala-kepala itu, kemudian masuk ke lubang hidung
‘Ubaidullah bin Ziyād, dan diam di sana beberapa saat. Setelah itu ular itu
keluar dan pergi sampai tidak kelihatan lagi. Selanjutnya mereka berkata lagi:
‘Telah datang, telah datang.’ Ular yang tadi menghilang datang lagi dan
melakukan hal serupa sebanyak dua atau tiga kali.”243
Inilah pembalasan dari Allah Swt kepada orang yang punya andil besar
dalam pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra.
Dari Abū Raja’ Al Aṭāridi, dia berkata: “Janganlah kalian mencela ‘Alī
dan Ahlul Bait, karena mereka adalah tetangga kita dari Balhujin - Salah satu
kabilah Arab-. Lantas seseorang menyela apakah kalian tidak melihat orang
fasik ini (maksudnya Ḥusain bin ‘Alī ra) semoga Allah Swt membunuhnya.
Maka Allah Swt menimpakan kepada orang tadi dengan penyakit kaukab244 di
kedua bola matanya, kemudian Allah Swt menjadikannya buta.”245
242 Pasukan Al Mukhtār yang menuntut balas atas terbununya Ḥusain bin Alī ra menamakan diri mereka pasukan At Tawabbun (yang bertaubat) sebagai pengakuan dari mereka atas keteledoran mereka terhadap Ḥusain bin Alī ra. Inilah awal mula munculnya Syī’ah dalam bentuk gerakan politik. Sementara dalam bentuk pemahaman aqidah dan fiqih, kemunculannya lama setelah peristiwa ini, yaitu beberapa waktu setelah runtuhnya Daulah Bani ‘Umayyah.
243 Jaami’ut Tirmidzi, Kitāb Al Manāqib, Bab Manaaqibul Hasan wal Ḥusain, no.3780. At Tirmidzi berkata: “ḥadīts ini hasan Ṣaḥīḥ.”
244 Kaukab adalah noda putih yang mengenai mata. Kadang-kadang, menyebabkan hilangnya penglihatan
245 Aṭ Ṭabranī, Mu’jamul Kabir, p.III/2830, sanad ḥadīts ini Ṣaḥīḥ93
Sebelum mengungkap lebih jauh tentang jati diri para pembunuh
Ḥusain bin ‘Alī ra, perlu disebutkan kilas balik sejarah beberapa tahun
sebelumnya, yaitu pada masa ‘Alī bin Abī Ṭālib dan Ḥasan bin ‘Alī ra yang
mengungkapkan kekesalannya kepada para pendukung mereka (Syī’ah-nya).
a. ‘Alī bin Abī Ṭālib ra dan pendukungnya
‘Alī bin Abī Ṭālib ra mengeluhkan para pendukungnya, yaitu
penduduk Kufah (Syī’ah-nya ‘Alī ra) . Ia berkata dalam kita Nahjul
Balāghah: “Umat-umat terdahulu takut terhadap keẓāliman para
pemimpinnya, tapi aku justru takut terhadap keẓāliman rakyatku. Aku
mengajak kalian untuk berjihad, namun tidak ada yang menyambut
ajakanku. Aku berbicara pada kalian kepada kebaikan secara rahasia dan
terang-terangan, tetapi kalian tidak patuh. Aku nasehati kalian, tetapi
kalian tidak menerima. Apakah kalian ada, tetapi pada hakikatnya tidak
ada? Apakah kalian para hamba sahaya, tetapi seolah-olah sebagai
majikan.246
Aku bacakan hukum kepada kalian, namun kalian lari darinya. Aku
nasehati kalian dengan nasehat yang bagus, namun kalian lari darinya.
Aku ajak kalian untuk berjihad terhadap pembelot, tetapi belum sempat
aku mengakhiri perkataanku, kalian sudah membubarkan diri,247 kembali
ke tempat kalian, dan kalian memanipulasi nasehat-nasehat yang telah
diberikan. Aku meluruskan kalian pada pagi hari, namun sore harinya
kalian kembali padaku dalam keadaan bengkok laksana punggung ular.
Yang memberi nasehat telah melemah, tertapi orang yang dinasehati
makin mengeras.248
Wahai orang-orang yang tubuhnya hadir di sini tapi pikirannya
tidak tahu di mana, yang berbeda-beda keinginannya, dan yang menjadi
ujian bagi para pemimpinnya, teman kalian tunduk kepada Allah Swt,
sedangkan kalian mendurhakai-Nya. Aku sungguh sangat berharap –
246 Nahjul Balāghah, (Beirūt: Dār At Ta’aruf), p.I/187-189247 Ayyadiya saba (dalam teks asli) adalah ungkapan yang dijadikan sebagai perumpamaan dalam
hal perpecahan. Lihat: Lisaanul Arab, kolom سبأ248 Nahjul Balaghah, p.I/187-189
94
demi Allah Swt- Mu’āwiyah akan menukar kalian dariku, seperti
menukar dinar dengan dirham, dimana dia mengambil dariku sepuluh
orang di antara kalian dan memberiku seorang dari mereka.
Wahai penduduk Kufah, aku diuji melalui kalian dengan lima
masalah:
Pertama, kalian tuli tapi mempunyai pendengaran
Kedua, kalian bisu tapi bisa berbicara
Ketiga, kalian buta tapi mempunyai penglihatan
Keempat, kalian pengecut ketika menghadapi peperangan
Kelima, tidak ada di antara kalian teman yang dapat dipercaya
ketika mendapat ujian. Celakalah kalian! Kalian seperti kawanan unta
kehilangan penggembalanya, jika digiring dari satu sisi dia lari ke sisi
yang lain.249
Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka juga menuduh ‘Alī bin
Abī Ṭālib ra sebagai pembohong. Syarif Ar Radhi –‘ulama Syī’ah-
meriwayatkan dari ‘Amīrul Mu’minīn ‘Alī bin Abī Ṭālib ra berkata:
“Amma ba’du. Wahai penduduk Irak, kalian itu seperti wanita hamil
yang ketika kehamilannya telah sempurna, ia keguguran, suaminya mati,
menjanda dalam waktu yang lama, dan pusakanya diwarisi orang yang
hubungan kekeluargaannya sangat jauh dengannya. Demi Allah Swt aku
tidak mendatangi kalian dengan sukarela. Tapi aku datang kepada kalian
dengan terpaksa. Aku sudah mendengar bahwa kalian mengatakan ‘Alī
berbohong –semoga Allah Swt membinasakan kalian- kepada siapa Aku
pernah berbohong?”250
‘Alī bin Abī Ṭālib ra juga berkata: “Semoga Allah Swt memerangi
kalian, kalian mencemari hatiku dengan nanah, memenuhi dadaku
dengan amarah, mencekokiku dengan kesedihan, seteguk demi seteguk,
dan kalian merusak pikiranku dengan kedurhakaan dan
pengkhianatan.”251
249 Ibid, p.I/187-189250 Nahjul Balaghah, p.I/118-119251 Ibid, p.I/187-189
95
b. Ḥasan bin ‘Alī ra dan pendukungnya
Ḥasan bin ‘Alī ra berkata: “Demi Allah Swt Mu’āwiyah jauh lebih
baik dari pada mereka (Syī’ah-nya Ḥasan bin ‘Alī ra). Mereka mengaku
bahwa mereka pendukungku yang loyal, padahal mereka ingin sekali
membunuhku. Demi Allah Swt seandainya Mu’āwiyah melakukan
perjanjian damai denganku yang akan menyelamatkan diriku, dan aku
merasa aman dengan keluargaku, maka ini jauh lebih baik daripada
mereka (orang-orang Syī’ah Kufah) membunuhku, yang mengakibatkan
keluarga dan istriku terlantar. Seandainya aku berperang melawan
Mu’āwiyah, maka pasukan Mu’āwiyah akan menyeretku kepadanya
dalam keadaan selamat.252
Ḥasan bin ‘Alī ra juga berkata: “Wahai penduduk Irak, aku
meninggalkan kalian disebabkan tiga hal:
Pertama, pembunuhan yang kalian lakukan terhadap ayahku
Kedua, luka yang kalian torehkan padaku
Ketiga, hartaku yang telah kalian rampas.253
c. Penghianatan penduduk Kufah dan merekalah para pembunuh Ḥusain bin
‘Alī ra
Setelah menyimak keluhan ‘Alī bin Abī Ṭālib dan Ḥasan bin ‘Alī
ra terhadap pendukungnya. Penulis akan menyebutkan perkataan
Muḥammad bin ‘Alī bin Abī Ṭālib, yang dikenal dengan nama Ibnu Al
Hanafiyyah saat menasehati saudaranya, Ḥusain bin ‘Alī ra. Ia berkata:
“Wahai saudaraku engkau telah mengetahui penghianatan penduduk
Kufah terhadap ayah dan saudaramu. Aku juga takut engkau akan
mengalami seperti yang mereka alami.254
Penyair yang terkenal dengan nama Farazdak berkata kepada
Ḥusain bin ‘Alī ra, ketika Ḥusain bin ‘Alī ra bertanya tentang para
pendukungnya yang akan ia datangi: “Hati-hatilah mereka memang
252 An Nadwah, p.III/208 dan Fii Rihaab Ahlul Bait, p.270253 Laqaad Syayya’anil Ḥusain, p.283254 Ibnu Thawus, p.39. Asyuraa, Al Ihsa’i, p.115. Al Majalis Al Fakhirah, ‘Abdul Ḥusain, p.75.
Muntahal ‘Amaal, p.I/454. dan Alaa Khuthal Ḥusain, p.96.96
bersamamu, tapi pedang mereka selalu mengancamu. Hanya saja takdir
itu turun dari langit (Allah Swt), dan Allah Swt dapat melakukan apa saja
yang Dia kehendaki.” Ḥusain bin ‘Alī ra berkata: “Engkau benar segala
sesuatu memang milik Allah Swt. Setiap hari Dia selalu mengurus
makhluk-Nya. Jika memang takdir Allah Swt turun sesuai dengan yang
kita suka dan inginkan, maka kita memuji-Nya atas segala nikmat-Nya.
Dialah tempat meminta tolong agar dapat mensyukuri nikmat. Tetapi jika
ketentuan tidak sesuai dengan harapan, maka Allah Swt tidak akan jauh
dari orang yang kebenaran adalah niatnya dan ketakwaan adalah
perilakunya.”255
Ketika Ḥusain bin ‘Alī ra berpidato di depan orang-orang Kufah,
ia menyinggung ulah dan perilaku mereka masa lampau terhadap ayah
dan saudaranya: “Jika kalian tidak melaksanakan dan tidak menepati janji
kalian, bahkan kalian membatalkan bai’at kalian kepadaku, maka hal
seperti itu tidaklah aneh. Kalian telah melakukannya terhadap ayah,
saudara, dan pamanku, Muslim bin ‘Aqīl. Orang yang berhasil ditipu
oleh kalian benar-benar tertipu.”256
Beliau juga diketahui telah mendoakan keburukan untuk mereka
dengan kata-katanya: “Binasalah kamu ! Tuhan akan membalas bagi
pihakku di dunia dan di akhirat……..Kamu akan menghukum diri kamu
sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu
akan menumpahkan darahmu sendiri. Kamu tidak akan mendapat
keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu.
Apabila mati nanti sudah tersedia azab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu
akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang
paling dahsyat kekufurannya”.257
Berikut beberapa kesaksian Ahlul Bait dan para ‘ulama Syi’ah
terkait pembunuhan Ḥusain yang dilakukan oleh penduduk Kufah:
255 Al Majalis Al Fakhirah, p.79. Alaa Khutal Ḥusain, p.100.256 Ma’alimul Madrasatain, p.III/72. Ma’alish Sibthain, p.I/275. Bahrul Ulum, p.194, Nafsul
Mahmum, p.172. Khairul Ash-haab, p.39 dan Tuzhlamuz Zahraa’, p.170257 Baqir Majlisi – Jilaau Al’Uyun, hal. 409
97
a. ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra yang terkenal dengan nama Zainal Abīdin
‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra mengecam para pengikutnya yang
mengkhianati dan membunuh ayahnya, ia berkata: “Wahai manusia aku
benar-benar ingin bertanya kepada kalian, ingatkah kalian ketika kalian
mengirimkan surat kepada ayahku, kemudian kalian menipunya? Kalian
menjanjikan kepadanya kesetiaan dan bai’at, tetapi kalian memerangi dan
meninggalkannya. Sungguh perbuatan itu akan membinasakan kalian.
Alangkah jelek pikiran kalian, dengan mata yang mana kalian akan
melihat Rasūlullah Saw ketika bertanya kepada kalian: ‘Kalian telah
membunuh keluargaku dan menodai kehormatanku. Kalian bukanlah
umatku.”
Maka bergemuruhlah suasana dengan tangisan para wanita yang
mengharu biru dari segala penjuru. Mereka saling berkata: “Celakalah
kalian disebabkan apa yang kalian lakukan” ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra
kemudian berkata: “Semoga Allah Swt mengasihi orang yang menerima
nasehatku dan melaksanakan wasiatku menyangkut Allah Swt dan Rasūl-
Nya serta keluarganya. Karena dalam diri Rasūlullah Saw terdapat suri
teladan yang baik bagi kita.”
Mendengar perkataan tersebut mereka pun serentak berkata: “Kami
semua akan mendengar, patuh dan menjagamu, kami tidak akan
meremehkanmu dan tidak akan juga membenci dirimu. Perintahlah kami
semaumu semoga Allah Swt meramatimu. Kami akan memerangi orang
yang engkau perangi. Kami akan berdamai dengan orang yang engkau
ajak berdamai. Kami benar-benar akan membawa Yazīd dan kami akan
berlepas diri dari orang yang menẓālimimu dan menẓālimi kami.”
‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī ra berkata: “Mustahil wahai para
pengkhianat dan para pecundang. Aku akan mengikuti keinginan kalian.
Apakah kalian juga akan mengkhianatiku seperti yang kalian lakukan
terhadap orangtuaku? itu tidak akan pernah aku lakukan, demi Rabb yang
menciptakan unta-unta, luka itu belum sembuh. Ayahku dan keluarganya
terbunuh kemarin. Aku tidak akan lupa dengan kisah meninggalnya
98
Rasūlullah Saw, keluarganya, serta ayahku dan anak-anaknya. Kesedihan
itu selalu hadir setiap saat. Pahitnya masih terasa di tenggorokan dan
kerongkonganku. Duri itu masih tetap bersarang di dadaku.”258
Ketika Imām Zainal Abīdin lewat dan melihat penduduk Kufah
sedang meratap dan menangis, ia membentak mereka seraya berkata:
“Kalian ratapi dan menangisi kami (Ahlul Bait) siapakah yang
membunuh kami?”259
b. Ummu Kulsum binti ‘Alī rah
Ummu Kultsum berkata: “Wahai orang-orang Kufah (Syī’ah)
alangkah jahatnya kalian. Kenapa kalian meninggalkan dan membunuh
Ḥusain? Kalian rampas dan warisi harta bendanya, kalian tawan istri-
istrinya, dan kalian susahkan dia? Maka celaka dan jauhlah kalian dari
rahmat Allah Swt. Musibah apa yang telah menimpa kalian, dosa apa
yang telah kalian pikul di punggung kalian, darah siapa yang telah kalian
tumpahkan, istri-istri siapa yang kalian tawan, anak-anak siapa yang
kalian rampas, dan harta benda siapa yang kalian rampok? Kalian telah
membunuh laki-laki terbaik setelah Nabi Saw. Rasa kasih sayang telah
dicabut dari hati kalian.”260
c. Zainab binti ‘Alī rah
Zainab binti ‘Alī rah ketika berbicara di hadapan kumpulan orang
yang menyambutnya dengan isak tangis dan jeritan berkata: “Apakah
kalian benar-benar menangis dan meratap? Demi Allah Swt menangislah
kalian banyak-banyak dan tertawalah sedikit. Karena kalian telah
mendapatkan cela dan kehinaannya. Dan kalian tidak akan pernah bisa
258 Khutbah ini disebutkan oleh Aṭ Ṭabrasī dalam Aṭ Ṭabrasī, Aḥmad bin ‘Alī bin Abī Ṭālib, Al Iḥtijāj, (Beirūt: Mu’assasah Al A’lamī, 1401 H), p.II/32.; Ibnu Ṭawus, p.92; Al Amin dalam Lawaa’ijul Asyjaan, p.158. Abbas Al Qummi dalam Muntahal Amaal, I/157, Ḥusain Kurani dalam Rihlah Karbala, p.183. ‘Abdurrazaq Al Muqrim dalam Maqtalul Ḥusain, p.317. Murtadha Iyad dalam Maqtalul Ḥusain, Cet.4, 1996, p.87 dan diulang oleh Abbas Al Qummi dalam Nafsul Mahmum, p.360. Radhi Al Qazwini juga menyebutkannya dalam Tuhlamuz Zahraa’, p.262.
259 Ibnu Ṭawus, p.86. Nafsul Mahmum, p.357. Maqtalul Ḥusain, Murtadha Iyad, p.83. dan Tuhlamuz Zahraa’, p.257
260 Ibnu Ṭawus, p.91. Nafsul Mahmum, p.363. Maqtalul Ḥusain, Al Muqrim, p.316. Lawaa’ijul Asyjaan, p.157. Maqtalul Ḥusain, Murtadha Iyad, p.86 dan Tuzhlamuz Zahraa’, p.261.
99
membersihkannya untuk selama-lamanya. Bagaimana bisa kalian
mencuci dosa pembunuhan terhadap keturunan penutup para Nabi?”261
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Zainab binti ‘Alī rah
mengeluarkan kepalanya dari tandu yang membawanya sambil berkata
kepada para penduduk Kufah: “Diamlah wahai orang-orang Kufah.
Kaum laki-laki dari kalangan kalian membantai kami (Ahlul Bait),
sementara kaum wanita kalian menangisi kami. Maka Allah Swt lah yang
akan menjadi hakim di antara kami dan kalian pada hari Kiamat.”262
d. Jawad Muḥadditsi
Jawad Muḥadditsi –‘ulama Syī’ah- berkata: “Semua penyebab ini
mengakibatkan Imām ‘Alī menerima dua kepahitan dari mereka, Imām
Ḥasan menghadapi pengkhianatan mereka, Muslim bin ‘Aqīl terbunuh di
tengah-tengah mereka secara teraniaya, dan Ḥusain bin ‘Alī ra terbunuh
kehausan di Karbala, sebuah tempat di dekat Kufah, di tangan tentara
Kufah.”263
e. Ḥusain Kurani
Ḥusain Kurani –‘ulama Syī’ah- berkata: “Penduduk Kufah tidak
hanya membelot dari Ḥusain bin ‘Alī ra, bahkan disebabkan sikap
mereka yang tidak berpendirian, mereka mengambil sikap ketiga, yaitu
mulai berlomba-lomba menuju Karbala untuk memerangi Ḥusain bin
‘Alī ra. Di Karbala mereka memulai berlomba-lomba mengukir sejarah
dengan perbuatan-perbuatan yang membuat syaitan senang dan membuat
Allah Swt murka.”264
Ḥusain Kurani juga berkata: “Kita juga akan menemukan perbuatan
lain yang menunjukan kemunafikan orang-orang Kufah, yakni ‘Abdullah
bin Hauzah At Tamimī berdiri di depan Ḥusain bin ‘Alī ra dan berteriak
lantang: ‘Adakah Ḥusain di antara kalian? Padahal orang ini adalah salah
seorang penduduk Kufah. Padahal kemarin dia termasuk pendukung ‘Alī.
261 Ma’Al Ḥusain Fi Nahdhatihi, p.295262 Abbas Al Qummi dalam Nafsul Mahmum, p.365. Radhi bin Nabi Al Qazwini dalam
Tuzhlamuz Zahraa’, p.264263 Mausu’ah Asyura, p.59264 Fii Rihlah Karbala, p.60-61
100
Dan kemungkinan dia termasuk orang yang mengirimkan surat kepada
Ḥusain atau memberikan dukungan kepadanya untuk menjadi khalīfah.
Tapi setelah itu dia berkata: “Wahai Ḥusain bergembiralah dengan
neraka.”265
f. Murtaḍā Muṭahari
Murtaḍā Muṭahari –‘ulama Syī’ah- berkata: “Tidak diragukan lagi
bahwa penduduk Kufah adalah pendukung ‘Alī, dan yang membunuh
Ḥusain bin ‘Alī ra adalah pendukungnya sendiri (Syi’ah-nya Ḥusain).”266
Murtadha Muthahari juga berkata: “Kita tetapkan bahwa kisah ini
teramat penting dari sisi ini. Kita mengatakan bahwa Ḥusain terbunuh di
tangan orang –yang mengaku Islam-, bahkan di tangan Syī’ah, 50 tahun
setelah wafatnya Rasūlullah Saw. Itu suatu hal yang mengherankan,
sebuah teka-teki yang aneh dan sangat menarik perhatian.”267
Sementara yang memberi perintah dan senang dengan terbunuhnya
Ḥusain adalah ‘Ubaidullah bin Ziyad. Yang melakukan pembunuhan
secara langsung terhadap Ḥusain adalah Syimr bin Dhul Jausyan dan
Sinan bin Anas An Nakha’i itu ironi, mengingat mereka bertiga
termasuk pendukung ‘Alī dan termasuk personil ‘Alī dalam perang
Ṣiffīn.268
g. Kāẓim Al Ihsā’i An Najfi
Kāẓim Al Ihsā’i An Najfi –‘ulama Syī’ah- berkata: “Pasukan yang
keluar memerangi Ḥusain bin ‘Alī ra berjumlah 300.000 orang.
Semuanya penduduk Kufah. Tidak ada orang Syām, Hijaz, India,
Pakistan, Sudan, Mesir, dan Afrika di antara mereka. Mereka semua
adalah orang-orang Kufah, berkumpul dari berbagai kabilah.”269
h. Muḥsīn Al Amīn
Muhsin Al Amin –‘ulama Syī’ah- berkata: “Ada 20.000 orang
penduduk Irak membai’at Ḥusain dan mengkhianatinya, lalu
265 Fii Rihlah Karbala, p.60-61266 Al Malhamatul Ḥusainiyyah, p.I/129267 Al Malhamatul Ḥusainiyyah, p.III/94268 Ibid,p.III/94269 Asyura, p.89
101
memeranginya. Padahal bai’at itu masih mereka pegang. Hingga
akhirnya mereka membunuhnya,”270
i. Qāḍī Nūrullah Syustri
Qāḍī Nūrullah Syustri –‘ulama Syī’ah- juga menulis di dalam
bukunya Majālis Al’Mu’minīn bahwa setelah sekian lama (kurang lebih
4 atau 5 tahun) Ḥusain terbunuh, pemimpin orang–orang Syī’ah
mengumpulkan orang–orang Syī’ah dan berkata, ” Kita telah memanggil
Ḥusain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian
kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini
tidak akan diampuni kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita.“
Dengan itu berkumpulah sekian banyak orang–orang Syi’ah di tepi
Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang artinya, ”Maka
bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah
dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan
kamu.“271 Kemudian mereka saling membunuh sesama diri mereka
sendiri. Inilah golongan yang dikenal dalam sejarah Islam dengan gelaran
“At Tawābūn”.272
Dari semua kesaksian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
ternyata pembunuh Ḥusain bin ‘Alī ra di Karbala adalah orang-orang
Syī’ah Kufah yang mengkhianati sampai pada taraf membunuh cucu
Nabi Saw tercinta. Bahkan Ahlul Bait dan ‘ulama-‘ulama Syī’ah pun
mengakui hal tersebut. Lantas mengenai tuduhan-tuduhan yang ditujukan
kepada Bani ‘Umayyah adalah semata-mata hanya untuk mengalihkan
isu politik saja. Seakan-akan Yazīd bin Mu’āwiyah dan Bani ‘Umayyah
lah yang paling bertanggung jawab atas peristiwa memilukan ini.
3.3. Keterlibatan Yazid bin Mu’awiyyah dalam pembunuhan Ḥusain bin
‘Alī ra
270 Al ‘Āmlī, Muḥsin Al Amīn, A’yānusy Syī’ah, (Damaskus: Maṭbu’ah bin Zaidūn, Tanpa Tahun), p.I/26
271 Qs. Al Baqarah: 54272 Qāḍī Nūrullah Syustri, Majālis Al’Mu’minīn
102
3.3.1.Posisi Yazīd bin Mu’awiyyah terkait pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī
ra
Yazīd bin Mu’awiyyah tidak mempunyai andil dalam pembunuhan
Ḥusain bin ‘Alī ra. Pernyataan ini bukan dalam rangka pembelaan terhadap
Yazīd semata, tetapi pembelaan terhadap kebenaran.273
Perlu diingat bahwa Yazīd mengirim ‘Ubaidullah bin Ziyad sekedar
untuk menghalangi masuknya Ḥusain bin ‘Alī ra ke Kufah dan dia tidak
memerintahkan supaya Ḥusain bin ‘Alī ra dibunuh, adapun tuduhan Syī’ah
bahwa Yazīd telah merencanakan pembunuhan tersebut adalah tidak benar.
Bahkan Ḥusain bin ‘Alī ra sendiri berbaik sangka kepada Yazīd seperti dalam
perkataanya: “Biarkan aku pergi ke tempat Yazīd, kemudian aku taruh
tanganku di atas tangannya (berbai’at).”274
Ibnu Taimiyah berkata: “Yazīd bin Mu’āwiyah tidak pernah
memerintahkan pembunuhan terhadap Ḥusain bin ‘Alī ra. Demikian menurut
kesepakatan para Ulama’ ahli ḥadīts. Akan tetapi hanya memerintahkan Ibnu
Ziyād supaya melarang Ḥusain memasuki wilayah Irak. Saat berita
terbunuhnya Ḥusain terdengar oleh Yazīd, dia menampakan kesedihan yang
mendalam atas peristiwa ini. Dari sikapnya yang diam mematung terdengar
tangisannya. Dia tidak pernah menawan satu pun perempuan dari keluarga
Ḥusain bin ‘Alī ra. Tetapi sebaliknya dia menghormati keluarga Ḥusain bin
‘Alī ra, membebaskan mereka sampai dia mengembalikan mereka ke negri
mereka.275
Mengenai riwayat yang menyebutkan penghianaan terhadap wanita-
wanita keluarga Rasūlullah Saw mereka dibawa ke Syām sebagai tawanan
dan dihinakan disana, semua ini adalah riwayat yang tidak benar. Sebaliknya
Bani ‘Umayyah sangatlah menghormati Bani Hāsyim. Karena itu ketika Al
Hajjaj bin Yusuf menikahi Fāthimah binti ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Abdul Mālik
bin Marwan tidak menyetujuinya. Yazīd memerintahkan Al Hajjaj supaya
273 Lihat uraian detainnya di Al Khamīs, p.261-266274 Al Khamīs, p.261275 Ibnu Taimiyah, Minhājus Sunnah, p.IV/557-559
103
melepaskan dan menceraikannya. Mereka memuliakan Bani Hāsyim, bahkan
tidak ada seorang pun perempuan Bani Hāsyim yang tertawan.”276
Perempuan-perempuan Bani Hāsyim pada waktu itu terhormat dan
dimuliakan. Karena itu riwayat yang menyebutkan bahwa kepala Ḥusain bin
‘Alī ra dikirim kepada Yazīd ini juga tidak benar. Yang benar kepala Ḥusain
bin ‘Alī ra tetap berada di tangan ‘Ubaidullah bin Ziyad di Kufah. Ḥusain bin
‘Alī ra sendiri kemudian dimakamkan, akan tetapi tidak diketahui dimana
kuburannya. Pendapat yang masyhur mengatakan, ia dikuburkan di Karbala,
tempat ia dibunuh277, para ‘ulama dan sejarawan juga menyebutkan bahwa ia
dikuburkan di Madinah.278
3.3.2.Sikap moderat terhadap Yazīd
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Orang-orang yang memerangi
Yazīd pecah menjadi tiga kelompok: dua kelompok berlebihan dan satu lagi
moderat.
Pertama, kelompok ini amat fanatik dan sangat mencintai Yazīd.
Bahkan mereka mengatakan bahwa Yazīd adalah Nabi dan dia Ma’shum.279
Kedua, mereka sangat anti kepada Yazīd dan membencinya bahkan
mengkafirkannya. Kelompok ini mengatakan bahwa Yazīd adalah orang
munafik yang pura-pura menampakkan keislaman tapi menyembunyikan
kemunafikan serta benci kepada Nabi Saw.280
Mereka menisbatkan Sya’ir ini kepada Yazīd –ketika Ḥusain bin ‘Alī ra
terbunuh maupun ketika Yazīd melakukan tindakannya pada orang-orang
Harrah:
Oh, andai nenek moyangku yang mati di Badar menyaksikan
Kesedihan orang Khazraj akibat tertembus tombak
Telah kami bunuh pemuka mereka276 Ibid, p.IV/557-559277 Al Khamīs, p.262278 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwa p.XXVII/465279 Ibnu Taimiyah, Mukhtaṣar Minhājus Sunnah An Nabawiyah, (Ṣan’a: Dār uṣ Ṣidīq, 1426
M/2005 M)p.I/346280 Ibid, p.I/346
104
Dan itu membalas kekalahan kami di Badar
Mereka juga menisbatkan syair berikut kepada Yazīd:
Saat rombongan itu tampak dan terlihat kepala-kepalanya
Di atas tanah Jirun, burung gagak pun meracau,
Sedang aku berkata: meratap atau tidak sama saja,
Sungguh telah kutunaikan pada Nabi hutangku
Syaikhul Islam melanjutkan penjelasannya, sekaligus mewakili
pendapat ketiga mengatakan: “Pendapat dua kelompok ini tidak benar. Yazīd
adalah salah seorang penguasa kaum Muslimin, serta salah seorang khalīfah
mereka. Jadi sekali lagi ditegaskan, pendapat kedua kelompok ini tidak
benar.281
Mengenai terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra, tidak diragukan lagi bahwa
dia terbunuh dalam keadaan teraniaya dan syahīd, sebagimana orang-orang
yang terbunuh dalam keadaan teraniaya dan syahīd seperti dirinya. Siapa pun
yang terlibat atau senang terhadap pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra, maka ia
termasuk orang yang maksiat kepada Allah Swt dan Rasūl-Nya. Sungguh ini
adalah musibah yang menimpa umat Islam, baik yang terbunuh dari kalangan
keluarga Ḥusain bin ‘Alī ra ataupun bukan. Pembunuhan ini bagi Ḥusain bin
‘Alī ra adalah mati syahīd. Dengan itu derajat dan kedudukannya di sisi Allah
Swt akan dinaikan.”282
3.3.3.Larangan mencela Yazīd bin Mu’āwiyah
Di antara kejadian penting yang terjadi pada zaman pemerintahan Yazīd
adalah perang Harrah,283 perang terhadap ‘Abdullah bin Zubaīr ra dan
permbunuhan terhadap Ḥusain bin ‘Alī ra. Karena peristiwa-peristiwa inilah
sebagian orang membolehkan melaknat Yazīd, di samping ada pula orang-
orang yang melarangnya.
281 Ibnu Taimiyah, Mukhtaṣar Minhājus Sunnah An Nabawiyah, p.I/346282 Ibid, p.I/346283 Perang ini terjadi ketika penduduk Madinah memberontak kepada Yazīd. Ketka itu Yazīd
menghalalkan Madinah (membolehkan perang dan pertumpahan darah di kota ini) selama tiga hari. Al Khamīs, p.264
105
Apabila merujuk pada kaidah hukum maka orang yang membolehkan
laknat tersebut terlebih dahulu harus menetapkan tiga hal.284
Pertama, menetapkan bahwa Yazīd benar-benar fasik.
Kedua, menetapkan bahwa Yazīd belum bertaubat dari kefasikannya;
mengingat orang kafir saja diterima taubatnya oleh Allah Swt, apalagi orang
fasik.
Ketiga, menetapkan bolehnya melaknat sosok tertentu.
Hukum melaknat sosok tertentu yang sudah meninggal –yang tidak
dilaknat Allah Swt dan Rasūl-Nya- hukumnya adalah haram. Dalilnya ḥadīts
ṣaḥīḥ dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda:
قدموا ما إلي أفضوا قد فإنهم األموات تسبوا ال
“Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena
mereka telah mendapatkan apa yang sudah mereka kerjakan.”285
Agama Allah Swt tidaklah tegak di atas caci maki. Akan tetapi, tegak di
atas akhlaq yang mulia. Caci maki sama sekali bukanlah bagian dari agama
Allah Swt. Bahkan Rasūlullah Saw bersabda:
كفر قتاله و فسوق المسلم سباب
“Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah
kekufuran.”286
Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, jika memang
benar Yazīd itu seorang fasik. Hanya Allah Swt yang maha mengetahui hal
ini.
Bahkan dalam sebuah riwayat ṣaḥīḥ, Nabi bersabda:
لهم مغفور قيصر مدينة يغزون جيش أول
“Tentara pertama yang memerangi kota kaisar (konstantinopel), dosa
mereka diampuni.”287
284 Ibid, p.264285 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Al Janā’iz, Bab Mā Yunha ‘an Sabbil Amwaat, no.1393286 Muttafaq Alaih: Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Iman, Bab Khauful Mu’min an Yuhbath ‘Amaluh,
no.48. Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb Al Iman, Bab Bayan Qaulin Nabi Saw Shibatul Muslim Fusuq wa Qitaluhu Kufrun, no.64
287 Ṣaḥīḥ Bukhāri, Kitāb Al Jihad, Bab Mā Qiila Fii Qitaalir Ruum, no.2924.106
Pasukan yang disebut-sebut dalam ḥadīts ini, ketika itu di bawah
panglima Yazīd bin Mu’āwiyah. Disebutkan pula bahwa yang ikut serta
dalam pasukan ini di antaranya adalah Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubaīr, Ibnu ‘Abbās,
dan Abū Ayyūb ra pada tahun 49 H.
Ibnu Katsīr berkata: “Yazīd melakukan kesalahan yang fatal ketika
memerintahkan gubernurnya, Muslim bin ‘Uqbah, pada perang Harrah untuk
menghalalkan Madinah selama tiga hari. Apalagi dengan terjadinya
pembunuhan terhadap beberapa Sahabat dan anak-anak mereka.”288
Pada akhirnya urusan Yazīd bin Mu’āwiyah kita serahkan kepada Allah
Swt, sebagaimana yang dikatakan oleh Adh Dhahabi: “Kita tidak mencaci
makinya dan tidak pula mencintainya.”289
Seseorang yang menemui Imām Abū Zur’ah Ar Rāzi, kemudian berkata
kepadanya: “Aku membenci Mu’āwiyah.” Abū Zur’ah bertanya: “Mengapa?”
orang itu menjawab: “Karena dia memerangi ‘Alī tanpa alasan yang
dibenarkan Islam.” Imām Ar Rāzi pun menyatakan: “Rabbnya Mu’āwiyah
maha pengasih. Musuh Mu’āwiyah juga pengasih. Lalu apa urusanmu dengan
mereka (‘Alī dan Mu’āwiyah)?”290
3.3.4.Kesedihan Yazīd atas gugurnya Ḥusain bin ‘Alī ra dan sikapnya
kepada keluarganya
Aṭ Ṭabāri menyebutkan bahwa ketika keluarga Ḥusain datang kepada
Ibnu Ziyād pada waktu isyā’, dia menyediakan rumah untuk mereka,
memberi mereka harta, nafkah dan pakaian kemudian memberangkatkan
mereka kepada Yazīd.291
Profesor Darruzah berkata.”Ini membuktikan bahwa riwayat-riwayat
yang menetapkan mu’āmalah yang baik dari ‘Ubaidullah bin Ziyād,
kemudian dari Yazīd kepada anak Ḥusain yang masih kecil, anak-anak
perempuan dan istrinya, tangisan Yazīd atasnya dan keikutsertaan
288 Ibnu Katsīr, p.VIII/220289 Adh Dhahabi, p.IV/36290 Ibnu Asakir, Tarikh Dimisyqi, 291 Aṭ Ṭabari dalam Ibnul Arabi, p.338
107
keluarganya, laki-laki dan perempuan dalam hal itu adalah lebih ṣaḥīḥ
daripada riwayat-riwayat yang menyatakan kekerasannya dan kebrutalannya
kepada mereka, lebih-lebih tidak terjadi perang yang sengit yang
mengobarkan emosi dan kemarahan dimana akibatnya harus dipikul oleh para
wanita dan anak-anak. Apa yang terjadi telah terjadi di luar keinginan mereka
bahkan mereka sendiri membencinya.292
Di antara bukti-bukti atas hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Aṭ
Ṭabāri dan Ibnu Qutaibah sekaligus, yaitu kelanjutan hubungan baik dan surat
menyurat antara Yazīd dengan ‘Alī bin Ḥusain, dan sikap ‘Alī bin Ḥusain
sesaat setelah pemberontakan Madinah di mana mereka meriwayatkan bahwa
‘Alī dan kerabatnya tidak terlibat pada gerakan itu. Dan bahwa Yazīd
mewasiatkan kepada panglimanya dan memintanya mendekat kepadanya dan
menyampaikan kepadanya bahwa suratnya telah sampai kepadanya dan
bahwa orang-orang buruk itu telah menyibukannya darinya. Panglima Yazīd
menyambut ‘Alī bin Ḥusain dengan ramah dan mempersilahkannya duduk di
kursi kebesaran dan menyampaikan surat Yazīd kepadanya.”293
Fakta mu’āmalah sebagai bukti dari kebohongan para pembohong yang
menyatakan bahwa Ahlul Bait ditawan, dinaikan ke punggung unta tanpa
pelana paska gugurnya Ḥusain. Ini adalah kedustaan yang jelas. Umat
Muḥammad Saw tidak menghalalkan menawan wanita Bani Hāsyim, mereka
memerangi Ḥusain karena takut padanya. Karena diisukan Ḥusain akan
merebut kerajaan mereka. Ketika Ḥusain gugur perkaranya selesai dan
keluarganya dipulangkan ke Madinah. Akan tetapi kebodohan Syī’ah294
kepada hal tersebut adalah puncak dalam masalah ini. Tidak ragu bahwa
pembunuhan Ḥusain bin ‘Alī ra termasuk dosa besar, pelaku dan orang yang
rela kepadanya berhak atas ‘adhab, akan tetapi pembunuhan terhadap Ḥusain
tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap bapaknya, tidak pula lebih
besar daripada pembunuhan terhadap iparnya ‘Umar dan tidak pula lebih
besar daripada pembunuhan terhadap suami bibinya, ‘Utsmān bin ‘Affān ra.
292 Darruzah, p.VIII/384293 Aṭ Ṭabarī, p.IV/379, Al Imāmah Wa As Siyasah, p.I/2294 Dalam Kitābnya Ibnu Arabi menyebut Syī’ah dengan sebutan Rafidhah
108
Yang menyayat hati lagi adalah bahwa orang-orang munafik yang
berbibir manis dari kota Kufah yang mengundang Ḥusain mengangkatnya
sebagai khalīfah –untuk menjadi pengikut setianya (Syī’ah-nya)-, mereka
itulah yang menipunya dan berlepas diri darinya, merekalah penyebab utama
terbunuhnya Ḥusain bin ‘Alī ra di Karbala dan kemudian mereka
menangisinya.295 Wallahu A’lam.
295 Ibnul Arabi, 339109
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1. SIMPULAN
4.2. KETERBATASAN PENELITIAN
4.3. SARAN
110