bab i - iv top
DESCRIPTION
KompresTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rumah sakit merupakan suatu tempat pelayanan kesehatan sekaligus tempat
perawatan bagi orang sakit, 60% pasien yang dirawat mendapat terapi intravena
dengan tujuan agar terpenuhinya kebutuhan cairan, elektrolit, obat intravena dan
nutrisi parenteral ke dalam tubuh (1,2). Terapi intravena beresiko menimbulkan
komplikasi yang bersifat lokal yang salah satunya akan menyebabkan flebitis
sebagai kejadian terbanyak (3,4,5).
Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia,
faktor mekanik maupun agen bakteri yang sering terjadi sebagai komplikasi dari
terapi intravena (6,7). Di Indonesia, jumlah kejadian rata-rata flebitis pada pasien
rawat inap tahun 2006 berjumlah 744 orang (17,11%) (8). Dari laporan tahunan
pengendalian infeksi nosokomial RSUD Ulin Banjarmasin pada tahun 2008,
didapatkan angka kejadian flebitis sebagai komplikasi pemasangan terapi
intravena 0,41% atau 47% dari seluruh kejadian infeksi nosokomial yang terdapat
di RSUD Ulin Banjarmasin. Sementara prevalensi angka kejadian infeksi
nosokomial di RSUD Ratu Zalecha Martapura didapatkan pada tahun 2007, yaitu
1,01% dari pasien yang dirawat, dan pada tahun 2008 angka kejadian infeksi
nosokomial meningkat menjadi 3,15% (9).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ratu Zalecha Martapura merupakan
rumah sakit kelas C sesuai dengan SK Menkes RI Nomor
2
214/Menkes/SK/11/1993 tanggal 26 Februari 1993 yang mempunyai visi menjadi
rumah sakit rujukan terbaik dari wilayah Banua Enam, yaitu rujukan untuk pasien
yang berasal dari daerah Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara,
Hulu Sungani Tengah, Hulu Sungai Selatan dan Tapin (9).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Ratu Zalecha
Martapura pada bulan Maret 2011, didapatkan hasil rekapitulasi laporan harian di
ruangan rawat inap penyakit dalam dari Januari sampai Desember 2008
ditemukan beberapa jenis infeksi, yaitu ISK 0,13%, dekubitus 0,26%, dan flebitis
1,015%, sedangkan di ruangan rawat inap bedah ditemukan juga beberapa kasus
infeksi, yaitu ISK 0,26%, dekubitus 0,46%, dan flebitis 1,2% (9). Akan tetapi,
observasi secara langsung yang dilakukan calon peneliti pada hari yang sama
menunjukkan kejadian flebitis lebih tinggi yaitu di ruangan rawat inap penyakit
dalam sebanyak 6,25% dari pasien yang di rawat, ruangan rawat inap bedah
sebanyak 3,12% dari pasien yang di rawat, dan ruang rawat kelas III sebanyak
5,55% dari pasien yang di rawat.
Flebitis merupakan komplikasi dari terapi intravena yang disebabkan baik
oleh iritasi kimia maupun faktor mekanik serta agen bakteri yaitu daerah insersi
jarum infus yang tidak memperhatikan prinsip sterilitas serta pemasangan
menetap jarum infus selama 72 jam tidak dipindahkan (6). Kejadian flebitis
apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan terjadinya komplikasi yaitu
tromboflebitis yaitu adanya bekuan darah dalam vena dan emboli paru (10).
Gejala klinis dari flebitis adalah nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi, dan teraba
3
seperti kabel di bagian vena yang terpasang kateter intravena. Respon yang paling
dirasakan oleh pasien berupa nyeri yang mengganggu (6).
Kebutuhan rasa nyaman merupakan kebutuhan dasar setelah kebutuhan
fisiologis yang harus terpenuhi. Seseorang yang mengalami nyeri akan berdampak
pada aktivitas sehari-harinya. Orang tersebut akan terganggu pemenuhan
kebutuhan istirahat dan tidurnya, pemenuhan individual dan interaksi sosialnya
berupa menghindari percakapan, menarik diri dan menghindari kontak (11).
Metode farmakologi yang digunakan untuk penatalaksanaan nyeri meliputi
analgetika narkotika dan analgetika non narkotika, sedangkan metode
nonfarmakologi yang digunakan seperti mengatur posisi dengan tepat, relaksasi,
distraksi, massase dan stimulasi kulit berupa kompres dapat dilakukan untuk
penatalaksanaan nyeri. Metode nonfarmakologis seperti kompres merupakan
tindakan mandiri dari perawat, ekonomis, dan tidak menimbulkan efek samping
(11,12).
Terapi kompres dingin merupakan salah satu metode nonfarmakologis
untuk menurunkan nyeri. Terapi kompres dingin adalah tindakan memasang suatu
zat dengan suhu rendah pada bagian tubuh untuk tujuan terapeutik. Terapi ini
dilakukan pada nyeri, suhu tinggi, radang, memar, dan luka terbuka atau tertutup.
Pengaruh dari terapi kompres dingin adalah vasokontriksi, anestesi lokal,
menurunkan metabolisme sel dan menurunkan ketegangan otot (13,14).
Menurut Annisa (2003), kompres dingin efektif dalam menurunkan
intensitas nyeri ibu post partum dengan bendungan payudara di wilayah kerja
puskesmas kecamatan Gending kabupaten Probolinggo. Menurut Istichomah
4
(2007), kompres dingin efektif dalam menurunkan derajat nyeri pasien dengan
kontusio di RSUD Sleman.
Berdasarkan teori dan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti pengaruh pemberian kompres dingin terhadap derajat nyeri pasien
dengan flebitis di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh pemberian terapi kompres dingin terhadap
derajat nyeri pasien dengan flebitis di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian
kompres dingin terhadap derajat nyeri pasien dengan flebitis di instalasi rawat
inap RSUD Ratu Zalecha Martapura.
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi derajat nyeri pasien dengan flebitis sebelum dilakukan
kompres dingin di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura.
2. Mengidentifikasi derajat nyeri pasien dengan flebitis sesudah dilakukan
kompres dingin di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura.
3. Menganalisa pengaruh pemberian terapi kompres dingin terhadap derajat
nyeri pasien dengan flebitis di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura.
5
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesempatan untuk
mengaplikasikan intervensi keperawatan mandiri berupa kompres dingin,
memberikan alternatif terapi nonfarmakologis berupa kompres dingin untuk
menurunkan derajat nyeri pada pasien dengan flebitis secara efektif dan efisien,
serta memberikan bahan rujukan referensi untuk penelitian berikutnya mengenai
manajemen nyeri.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Flebitis
1. Definisi
Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia,
faktor mekanik maupun agen bakteri yang sering terjadi sebagai komplikasi dari
terapi intravena. Flebitis dikarakteristikkan dengan adanya nyeri, kemerahan,
bengkak, indurasi, dan teraba seperti kabel di bagian vena yang terpasang kateter
intravena (6,15). Flebitis merupakan infeksi nosokomial yang terjadi salah satu
faktor penyebabnya adalah prosedur pemasangan terapi intravena yang tidak
sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku atau sikap dari
perawat yang melaksanakan tindakan kolaborasi berupa terapi intravena yang
tidak memerhatikan konsep sterilitas (8).
2. Etiologi
Berdasarkan faktor-faktor yang terlibat dalam terjadinya komplikasi
pemberian terapi intravena berupa flebitis yaitu sebagai berikut:
a. Faktor kimia yaitu obat dan cairan intravena yang dimasukkan ke tubuh
melalui vena (16). Obat dan cairan intravena terutama berhubungan dengan
pH dan tonisitasnya (10,17).
b. Faktor mekanis yaitu jenis kanula, ukuran kanula, letak dan lama pemberian
terapi intravena. Kanula yang dimasukkan pada daerah lekukan sering
menyebabkan flebitis mekanis (18,19,10). Ukuran kanula yang tidak sesuai
7
dengan ukuran vena dan tidak terfiksasi dengan baik juga dapat menyebabkan
flebitis mekanis (10,20).
c. Faktor bakteri yaitu infeksi nosokomial oleh agen infeksi yang terjadi selama
perawatan karena tidak memperhatikan prinsip sterilitas (7,10,21).
3. Derajat
Skor visual untuk flebitis yang telah dikembangkan oleh Andrew Jackson
sebagai berikut (21,23):
0 : tempat suntikan tampak sehat
1 : salah satu dari tanda ini yaitu nyeri dan merah pada tempat suntikan
2 : dua dari berikut jelas yaitu nyeri, eritema dan pembengkakan
3 : semua dari berikut jelas yaitu nyeri sepanjang kanula, eritema, indurasi
4 : semua dari berikut jelas yaitu nyeri sepanjang kanula, eritema, indurasi dan
vena seperti kabel teraba jelas
5 : semua dari berikut jelas yaitu nyeri sepanjang kanula, eritema, indurasi,
vena seperti kabel teraba jelas dan demam.
4. Gejala Klinis
Gejala klinis dari flebitis adalah nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi, dan
teraba seperti kabel di bagian vena yang terpasang kateter intravena (6).
8
Gambar 2.1 Wilayah Kemerahan dan Vena Teraba seperti Kabel
Gambar 2.2 Wilayah Kemerahan dan Pembengkakan
5. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi apabila flebitis tidak mendapatkan intervensi lebih
lanjut adalah emboli paru serta tromboflebitis yaitu terdapatnya bekuan darah di
dalam vena (10).
9
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan nyeri pada kasus flebitis diberikan obat anti nyeri misalkan
aspirin dan asam mefenamat. Penatalaksanaan dilakukan dengan pembedahan jika
terjadi komplikasi lebih lanjut dengan indikasi pengangkatan thrombus (24).
B. Nyeri
1. Definisi
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
merupakan sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
muncul dari kerusakan jaringan secara aktual atau potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan (25).
Menurut Brunner and Suddart (2001), nyeri adalah pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual
maupun potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari perawatan
kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan
beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri dapat mengganggu dan
menyulitkan banyak orang (26).
2. Faktor yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri adalah usia, jenis kelamin, obat-
obatan, budaya, pemahaman tentang nyeri, perhatian, kecemasan, kelelahan, dan
pengalaman masa lalu (11).
10
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak-anak dan lanjut usia. Menurut tahap tumbuh kembang dibedakan,
neonatus (lahir-28 hari), bayi (1 bulan-1 tahun), todler (1-3 tahun), pre sekolah (3-
6 tahun), usia sekolah (6-12 tahun), remaja (12-18/20 tahun), dewasa muda (20-40
tahun), dewasa menengah (40-65 tahun), dan lansia (65-74 tahun). Perbedaan
perkembangan yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
begaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri (11).
b. Jenis Kelamin
Menurut Gil (1990) dalam buku Potter & Perry, secara umum, pria dan
wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri. Diragukan
apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam
mengekspresikan nyeri (11).
c. Obat-obatan
Obat-obatan termasuk obat analgetik yang diberikan akan mempengaruhi
pemberian makna nyeri oleh pasien. Waktu paruh obat analgetik yang belum
berakhir akan mempengaruhi nyeri yang dirasakan (11).
d. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Menurut Maerinelli (1978) dalam buku Potter & Perry,
beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang
11
alamiah, sedangkan kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku yang
tertutup (introvert) (11).
e. Pemahaman tentang Nyeri
Seseorang memberikan makna terhadap nyeri dipengaruhi oleh pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi
kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan (11).
f. Perhatian
Menurut Gil (1990) dalam buku Potter & Perry, perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan
(distraksi) dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun (11).
g. Kecemasan
Hubungan antara nyeri dan kecemasan bersifat kompleks. Kecemasan
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan
suatu perasaan cemas. Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih
mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada individu yang memiliki
status emosional yang kurang stabil (11).
h. Kelelahan
Kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Kelelahan yang disertai kesulitan tidur akan meningkatkan
persepsi terhadap nyeri. Nyeri berkurang setelah individu melewati periode tidur
yang lelap dibanding pada akhir hari yang melelahkan (11).
12
i. Pengalaman Masa Lalu
Individu yang mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh
atau menderita nyeri yang berat, maka rasa takut dapat muncul. Sebaliknya,
individu yang mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang dan
kemudian nyeri tersebut berhasil dihilangkan, individu akan lebih mudah untuk
menginterpretasikan sensasi nyeri (11).
3. Klasifikasi
Dua kategori dasar dari nyeri adalah:
a. Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang berkaitan dengan cedera spesifik seperti
kerusakan atau cedera jaringan. Manifestasi klinis nyeri akut adalah onset waktu
yang cepat, berakhir dengan singkat dan sembuh dengan sendirinya. Nyeri akut
biasanya hilang dengan sendirinya tanpa tindakan setelah kerusakan atau cedera
jaringan sembuh. Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi
dengan beratnya lesi atau stimulus. Nyeri akut terjadi dalam waktu singkat dari 1
detik sampai kurang dari 6 bulan (26,27).
b. Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronis berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dikaitkan dengan penyebab atau
cedera spesifik. Nyeri kronis tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan
tepat. Nyeri kronis sulit untuk diobati karena nyeri kronis tidak memberikan
13
respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis
mempunyai awitan yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (14,26,27).
4. Mekanisme Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas
dalam kulit. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, saraf perifer sebagai
reseptor nyeri secara anatomis ada yang bermielin dan ada yang tidak bermielin
(14).
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatic dalam (deep somatic), dan pada
daerah visceral. Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf
perifer. Zat kimia (substansi bradikinin, prostaglandin) dilepaskan sehingga
menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari area yang
terluka ke otak, dan menyusun tahap untuk penyembuhan (respon inflamasi).
Sinyal nyeri dari area yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia
disepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (area pada spinal yang menerima
sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat
sensoris di otak dimana sensasi seperti panas, dingin, nyeri dan sentuhan pertama
kali dipersepsikan. Pesan kemudian dihantarkan ke cortex, dimana intensitas dan
lokasi nyeri dipersepsikan (14).
Persepsi dari nyeri dan respons motoriknya terjadi di otak. Kedua kejadian
itu diperankan oleh mekanisme neural yang secara keseluruhan disebut action
system. Sel-sel khusus di cornu dorsalis medulla spinalis bertindak sebagai
14
inisiator action system tersebut. Daerah sel-sel khusus itu dinamakan target area.
Intervensi yang disalurkan melalui serabut besar bertindak sebagai penghambat
aktivitas yang dikeluarkan oleh target area, sehingga pintu gerbang untuk masuk
ke action system tertutup (27).
Gambar 2.3 Alur Perjalanan Nyeri
Penyembuhan nyeri dimulai sebagai sinyal dari otak kemudian turun ke
spinal cord. Pada bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk
mengurangi nyeri di area yang terluka (14).
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri, namun teori gerbang kendali
nyeri atau teori pengontrolan nyeri (Gate control theory) dianggap paling relevan.
Menurut Melzack dan Wall (1965), impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh
mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Melzack dan Wall (1965),
melaui Gate control theory mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat
15
sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri (14).
Gambar 2.4 Mekanisme Nyeri
5. Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat dibagi dua cara, yaitu :
a. Manajemen Farmakologi
1) Analgetika narkotika
Obat analgetik narkotika merupakan kelompok obat yang memiliki sifat
opium atau morfin. Jenis obat ini dapat menyebabkan ketergantungan. Jenis obat
ini digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri hebat, seperti pada kasus patah
tulang dan penyakit kanker kronis (12).
16
2) Analgetika non narkotika
Obat analgesik non nakotik dikenal dengan istilah analgetik/
analgetika/analgesik perifer. Analgetika non nakotik terdiri dari obat-obat yang
tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan obat analgetik non
nakotik cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa
berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek
menurunkan tingkat kesadaran (12).
b. Manajemen Non Farmakologi
1) Distraksi
Distraksi merupakan metode mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal lain
sehingga pasien akan lupa pada nyeri yang dialami (11).
2) Relaksasi
Relaksasi merupakan pembebasan mental dan fisikal dari ketegangan (11).
3) Stimulasi kulit
a) Kompres hangat
Kompres hangat merupakan pemberian rasa hangat pada pasien dengan
menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang
memerlukan (11).
b) Kompres dingin
Kompres dingin merupakan pemberian suatu zat dengan suhu rendah pada
tubuh untuk tujuan terapeutik (11)
17
6. Skala Nyeri
Skala nyeri adalah alat untuk mengukur gambaran tentang seberapa parah
nyeri dirasakan oleh individu. Ukuran skala nyeri sangat subjektif dan bersifat
individual. Nyeri dalam intensitas yang sama dapat dirasakan sangat berbeda oleh
dua orang yang berbeda. Perawat dapat menggunakan skala nyeri untuk
pengukuran derajat nyeri sebelum dan sesudah terapi atau saat gejala menjadi
lebih memburuk serta menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (11).
Gambar skala penilaian derajat nyeri adalah sebagai berikut (26):
a. Skala Analog Visual
Gambar 2.5 Skala Analog Visual
Digunakan untuk mengetahui skala nyeri, skala ini terdiri dari enam wajah
kartun yang diurutkan dari seorang yang tersenyum (tidak ada rasa sakit),
meningkat ke wajah yang kurang bahagia sampai ke wajah yang sedih, wajah
penuh air mata (rasa sakit yang paling buruk).
b. Skala Deskriptif Verbal (Verbal Discriptor Scale (VDS))
Gambar 2.6 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif
18
Terdiri dari sebuah garis lurus dengan 5 kata penjelas dan berupa urutan
angka 0 sampai dengan 10 yang mempunyai jarak yang sama sepanjang garis.
Gambaran tersebut di susun dari “ tidak nyeri” sampai dengan “nyeri berat tidak
terkontrol atau nyeri sangat berat” (11).
c. Skala Intensitas Nyeri Numerik
Gambar 2.7 Skala Intensitas Nyeri Numerik
Skala ini biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat ringannya rasa sakit
atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif
nyeri. Skala numerik, dari 0 hingga 10 (8).
d. Skala Nyeri Bourbanis
Keterangan:
0 = Tidak nyeri
1-3 = Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 = Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, mendeskripsikan nyeri, serta dapat
mengikuti perintah dengan baik.
19
7-9 = Nyeri berat terkontrol, secara obyektif klien tidak dapat mengikuti
perintah tetapi masih memberikan respon pada tindakan, menunjukkan
lokasi nyeri tetapi tidak dapat mendeskripsikan nyeri dan tidak dapat
diatasi dengan perubahan posisi, nafas panjang serta distraksi.
10 = Nyeri berat tidak terkontrol, pasien tidak dapat lagi berkomunikasi
untuk mengungkapkan nyeri.
Gambar 2.9 Skala Nyeri Bourbanis
7. Proses Pengukuran Nyeri
Menurut Potter & Perry (2005), pengukuran nyeri perlu dilakukan
pengkajian karakteristik nyeri untuk membantu perawat membentuk pengertian
pola nyeri dan tipe nyeri. Perawat mengajukan pertanyaan untuk menentukan
awitan, durasi, rangkaian nyeri, kemudian perawat meminta pasien menunjukkan
lokasi nyeri. Alat pengkajian skala nyeri berupa numeris, deskriptif dan analog
visual. Pasien menetapkan suatu titik pada skala yang berhubungan dengan
persepsi pasien tentang derajat nyeri pada waktu melakukan pengkajian (26).
C. Kompres Dingin
1. Definisi
Kompres dingin adalah tindakan memasang suatu zat dengan suhu rendah
pada bagian tubuh untuk tujuan terapeutik. Tindakan ini selain untuk mengurangi
rasa nyeri juga untuk menurunkan suhu tubuh, mencegah peradangan meluas dan
mengurangi perdarahan lokal. Tindakan kompres dingin dilakukan pada nyeri,
suhu tinggi, radang, memar, dan luka terbuka atau tertutup (13).
20
2. Tujuan
Kompres dingin digunakan untuk mengurangi nyeri, mencegah peradangan
meluas, mencegah edema, menurunkan suhu tubuh dan mengontrol perdarahan
dengan meningkatkan vasokontriksi. Memberikan rasa dingin dengan
menggunakan suatu zat dengan suhu rendah pada daerah nyeri bertujuan untuk
mengurangi inflamasi yang terjadi pada tempat yang terserang nyeri sehingga
sensasi nyeri pasien berkurang (11,13).
3. Indikasi Kompres Dingin
Kompres dingin diindikasikan pada nyeri, suhu tinggi, inflamasi, memar,
batuk atau muntah darah, pasca tonsilektomi dan luka terbuka atau tertutup.
Kompres dingin dilakukan selama kurang dari 20 menit karena pemaparan dingin
yang terlalu lama akan menyebabkan cidera jaringan (11).
4. Pengaruh Kompres Dingin
Pengaruh dari terapi kompres dingin antara lain reaksi vasokontriksi
sehingga menurunkan aliran darah ke daerah tubuh yang mengalami cedera,
mencegah terbentuknya edema, dan mengurangi inflamasi. Impuls nyeri yang
terhambat di daerah saraf perifer menyebabkan reaksi anastesi lokal sehingga
mengurangi nyeri. Penurunan metabolisme sel menyebabkan kebutuhan sel pada
jaringan berkurang. Perubahan viskositas yang terjadi akan meningkatkan
koagulasi darah pada tempat cedera. Relaksasi otot akan menurunkan ketegangan
otot sehingga menghilangkan nyeri (11,13).
21
5. Prosedur Kompres Dingin
a. Tahap Preinteraksi
1) Membaca catatan perawatan dan catatan medis pasien
2) Menetapkan tujuan prosedur tindakan
3) Mencuci tangan
4) Mempersiapkan alat: ekskrag, handuk kecil, perlak, termos es, termometer
raksa dan sarung tangan
b. Tahap Orientasi
1) Memberi salam serta memanggil nama kesenangan pasien
2) Memperkenalkan nama
3) Menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilakukan kepada
pasien atau keluarga
4) Melakukan kontrak waktu dan tempat pelaksanaan tindakan
5) Menjelaskan informed concent
c. Tahap Kerja
1) Memberikan kesempatan pasien untuk bertanya sebelum memulai tindakan
2) Menjaga privasi pasien
3) Mengkaji kondisi dan tanda vital pasien: temperatur tubuh dan nadi
4) Mencuci tangan dan memakai sarung tangan jika diperlukan
5) Memberikan posisi yang nyaman kepada pasien
6) Memasang perlak tahan air di bawah pergelangan tangan pasien
22
7) Menyiapkan peralatan kompres yaitu memasukkan es batu yang berukuran
kecil ke dalam ekskrag dan mengeluarkan sisa udara yang terdapat di
dalamnya.
8) Memastikan segel pengunci tertutup rapat sehingga tidak akan menyebabkan
kebocoran
9) Meletakkan ekskrag di daerah yang mengalami nyeri bekas insersi jarum
intravena yang telah dilepas maksimal 25 menit sebelum dilakuan kompres
dingin dengan diameter luas permukaan tempat kompres 5 cm dan dilakukan
selama 15 menit
10) Perhatikan respon pasien setiap 5 menit selama pemberian kompres
11) Mengeringkan pergelangan tangan dan kaji kembali respon pasien terhadap
terapi
d. Tahap Terminasi
1) Merapikan dan membersihkan serta mengembalikan peralatan
2) Mencuci tangan
3) Mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan
4) Memberikan reinforcement kepada pasien atas kerjasamanya
5) Mengakhiri pertemuan dengan cara yang baik
6) Mendokumentasikan tindakan (13).
23
BAB III
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
Terapi intravena seringkali menyebabkan terjadinya komplikasi berupa
flebitis. Faktor yang menyebabkan komplikasi ini antara lain faktor kimia,
mekanis, dan agen bakteri (28). Flebitis dikarakteristikkan dengan adanya nyeri,
kemerahan, bengkak, indurasi, dan teraba seperti kabel pada vena yang terpasang
kateter intravena (7,20,23). Nyeri merupakan salah satu manifestasi dari flebitis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri adalah usia, jenis kelamin, obat-obatan,
budaya, pemahaman tentang nyeri, perhatian, kecemasan, kelelahan, pengalaman
masa lalu (11).
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan perawat untuk manajemen nyeri
pada pasien dengan flebitis adalah dengan terapi kompres dingin. Kompres dingin
adalah tindakan memasang suatu zat dengan suhu rendah pada bagian tubuh untuk
tujuan terapeutik. Pengaruh dari terapi kompres dingin yang dapat menurunkan
derajat nyeri, antara lain reaksi vasokontriksi sehingga menurunkan aliran darah
ke daerah tubuh yang mengalami cedera, mencegah terbentuknya edema, dan
mengurangi inflamasi. Impuls nyeri yang terhambat di daerah saraf perifer
sehingga impuls yang seharusnya disampaikan ke otak untuk dipersepsikan tetapi
terhambat oleh upaya penutupan jalan impuls sehingga menyebabkan reaksi
anastesi lokal. Relaksasi otot akan menurunkan ketegangan otot sehingga
menghilangkan nyeri (11,13).
24
Berdasarkan uraian landasan teori maka kerangka konsep penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Terapi Kompres Dingin terhadap Derajat Nyeri Pasien dengan Flebitis
Keterangan :
= diamati/dilakukan
= tidak diamati/dilakukan
Derajat Nyeri
Ketegangan otot menurun
Relaksasi otot
Terapi dengan kompres dingin
Eritema RadangVena terlihat seperti kabel
NyeriIndurasi
(-) Flebitis (+) Flebitis
Flebitis mekanikFlebitis kimiaFlebitis agen bakteri
UsiaJenis kelaminObat-obatanBudayaPemahaman tentang nyeriPerhatianKecemasanKelelahanPengalaman masa lalu
Terapi Intra Vena
Penurunan aliran darah ke daerah cidera
Vasokontriksi
Penurunan edema
Penurunan inflamasi
Anestesi lokal
Impuls nyeri terhambat
25
B. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh terapi kompres
dingin terhadap penurunan derajat nyeri pasien dengan flebitis.
26
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Pra Eksperimental.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah one group pretest –
postest design. Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan pengamatan
awal (pretest) terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi. Setelah diberikan
intervensi, kemudian dilakukan pengamatan akhir (postest).
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien di instalasi rawat inap RSUD
Ratu Zalecha Martapura.
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi yang disesuai
dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Jumlah sampel minimal dalam penelitian ini
adalah 30 sampel penelitian.
Kriteria inklusi sampel penelitian:
1. Pasien yang mengalami nyeri akibat flebitis
Pretest PostestIntervensi
27
2. Pasien yang terapi intravenanya telah dilepas maksimal 25 menit sebelum
dilakuan kompres dingin
3. Pasien perempuan berusia 20-50 tahun
4. Pasien yang saat penelitian tidak sedang mendapatkan analgetik
5. Pasien sadar sepenuhnya
6. Pasien bersedia untuk diteliti
Kriteria ekslusi sampel penelitian:
1. Pasien menolak melanjutkan terapi
2. Pasien mengalami kondisi yang membutuhkan tindakan emergency.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: ekskrag, handuk
kecil, perlak, termos es, termometer raksa, sarung tangan, kertas penilaian skala
intensitas nyeri deskriptif, dan lembar persetujuan penelitian.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian terapi kompres dingin.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat penelitian ini adalah derajat nyeri pasien dengan flebitis.
E. Definisi Operasional
1. Kompres Dingin
28
Kompres dingin adalah prosedur meletakkan alat kompres dingin berupa
ekskrag di daerah yang mengalami nyeri bekas insersi jarum intravena yang telah
dilepas maksimal 25 menit sebelum dilakuan kompres dingin dengan diameter
luas permukaan tempat kompres 5 cm. Kompres dingin diberikan dengan cara
memasukkan es batu yang berukuran kecil ke dalam ekskrag selama 1x15 menit.
Suhu ekskrag berkisar antara 12 - 18 derajat celcius.
2. Nyeri Pasien dengan Flebitis
Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia,
faktor mekanik maupun agen bakteri yang sering terjadi sebagai komplikasi dari
terapi intravena. Flebitis dikarakteristikkan dengan adanya nyeri, kemerahan,
bengkak, indurasi, dan teraba seperti kabel di bagian vena yang terpasang kateter
intravena (6,15). Respon yang paling dirasakan oleh pasien berupa nyeri yang
mengganggu.
Skala nyeri adalah alat ukur gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu. Pengukuran skala nyeri menggunakan alat yang berupa
Verbal Discriptor Scale (VDS) yang terdiri dari sebuah garis lurus dengan 5 kata
penjelas yang mempunyai jarak yang sama sepanjang garis.
Pengukuran derajat nyeri menggunakan skala Intensitas Nyeri Deskriptif
(Verbal Discriptor Scale (VDS)), yaitu sebagai berikut:
29
Gambar 4.2 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif (Verbal Discriptor Scale (VDS)) yang Digunakan Saat Penelitian
Keterangan:
0 = tidak nyeri
1-3 = nyeri ringan
4-6 = nyeri sedang
7-9 = nyeri berat terkontrol
10 = nyeri berat tidak terkontrol
Skala : Ordinal
F. Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura
dengan prosedur sebagai berikut:
1. Surat ijin studi pendahuluan diurus dari Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat kemudian diajukan kepada Direktur RSUD Ratu
Zalecha Martapura.
2. Studi pendahuluan dilakukan ke tempat penelitian dengan disertakan surat
rekomendasi studi pendahuluan dari Fakultas Kedokteran Universitas
30
Lambung Mangkurat diajukan kepada Direktur RSUD Ratu Zalecha
Martapura.
3. Data sekunder dikumpulkan meliputi gambaran umum tempat penelitian dan
sampel penelitian.
4. Surat ijin penelitian diurus dari Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat diajukan kepada Direktur RSUD Ratu Zalecha Martapura.
5. Kunjungan kedua dilakukan ke tempat penelitian dengan disertakan surat ijin
penelitian untuk dilaporkan rencana penelitian dan tujuan serta teknis
pelaksanaannya.
6. Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian disiapkan sesuai keperluan.
7. Sampel penelitian dipilih sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
8. Setelah dipastikan adanya keluhan nyeri peneliti menjelaskan prosedur
kepada sampel penelitian dan memberikan lembar persetujuan penelitian
kepada pasien sebagai tanda persetujuan untuk dijadikan sampel penelitian.
9. Data dikumpulkan dengan cara mengkaji skala nyeri pasien menggunakan
skala intensitas nyeri deskriptif pada kelompok perlakuan selanjutnya dicatat
dalam lembar observasi.
10. Teknik manajemen nyeri dilakukan dengan terapi kompres dingin pada
daerah yang mengalami nyeri bekas insersi jarum intravena yang telah dilepas
maksimal 25 menit sebelum dilakuan kompres dingin dengan diameter luas
permukaan tempat kompres 5 cm.
11. Terapi kompres dingin dilakukan selama 15 menit.
31
12. Respon pasien dikaji berupa suhu tubuh dan kenyamanan pasien setiap 5
menit.
13. Setelah selesai pasien dianjurkan untuk relaksasi dan dilakukan pengukuran
ulang skala intensitas nyerinya. Hasil pengukuran di catat pada lembar
observasi.
14. Hasil data penelitian didokumentasikan.
15. Editing data dan analisis dilakukan sesuai prosedur.
G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan subjek penelitian sesuai dengan
kriteria inklusi. Setelah itu dilakukan pengukuran derajat nyeri terhadap pasien
pada kelompok perlakuan sebelum dilakukan tindakan kompres dingin.
Selanjutnya diberikan penjelasan tentang prosedur terapi yang akan dilakukan.
Setelah itu dilakukan terapi kompres dingin sesuai prosedur pada daerah yang
nyeri bekas insersi jarum intravena yang telah dilepas. Kemudian pasien
dianjurkan untuk relaksasi dan dilakukan pengukuran ulang skala intensitas
nyerinya. Hasil pengukuran di catat pada lembar observasi.
Pengolahan data terdiri dari 4 tahap, yaitu:
a. Editing atau mengedit data, dimaksudkan untuk mengevaluasi kelengkapan,
konsistensi dan kesesuaian data yang diperlukan untuk menguji hipotesis atau
menjawab tujuan penelitian. Pada tahap editing ini peneliti melakukan
pengecekan data yang ada, antara lain kode pasien, umur dan derajat nyeri.
b. Coding atau mengkode data, merupakan suatu metode untuk
mengkonversikan data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol
32
yang cocok untuk keperluanan alisis terhadap hasil observasi yang dilakukan,
antara lain:
1
2
3
4
5
S1
S2
=
=
=
=
=
=
=
Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat terkontrol
Nyeri berat tidak terkontrol
Skala nyeri sebelum diberikan terapi kompres dingin
Skala nyeri sesudah diberikan terapi kompres dingin
c. Entry data, merupakan proses memasukkan data ke komputer dengan
melakukan aplikasi program SPSS. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
program SPSS 17.0 for windows release.
d. Tabulating (tabulasi data), merupakan proses mengklasifikasikan data
menurut kriteria tertentu sehingga diperoleh frekuensi dari masing-masing
item yang diobservasi. Tabulasi data ini bertujuan untuk mempermudah
dalam proses uji hipotesis.
H. Cara Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji hipotesis Wilcoxon Rank
Test untuk mengetahui perbedaan tingkat nyeri pasien dengan flebitis di instalasi
rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura sebelum dan sesudah dilakukan
pemberian terapi kompres dingin. Teknik ini digunakan untuk menguji hipotesis
komparasi dua sampel berpasangan bila datanya berbentuk ordinal.
33
Uji signifikansi terhadap hasil dengan membandingkan tingkat kemaknaan
(p) dengan tingkat signifikan (α) 5%. Hipotesis penelitian akan diterima jika nilai
tingkat kemaknaan (p) lebih kecil dari tingkat signifikan (α).
I. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan. Dimulai dari bulan Juni –
September 2011 di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai pengaruh pemberian terapi kompres dingin terhadap
derajat nyeri pasien dengan flebitis di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura telah dilakukan, dan didapatkan sampel penelitian sebanyak 30
responden. Responden tersebut dipilih secara purposive sampling di instalasi
rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura.
A. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini berupa seluruh responden
berjenis kelamin perempuan yang mempunyai rentang usia, jenis penyakit, jenis
pekerjaan, dan pendidikan terakhir yaitu sebagai berikut:
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Usia
Data demografi responden di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura berdasarkan rentang usia yang dapat di lihat pada gambar 5.1.
34
Gambar 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Usia
Hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 5.1 menunjukkan bahwa
hampir setengah responden berusia 35-39 berjumlah 10 orang (33.33%), sebagian
kecil berusia 40-44 berjumlah 7 orang (23.33%), berusia 45-50 berjumlah 6 orang
(20.00%), berusia 25-29 berjumlah 4 orang (13.33%), berusia 20-24 berjumlah 2
orang (6.66%), dan berusia 30-34 berjumlah 1 orang (3.33%).
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Penyakit
Data demografi responden di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura berdasarkan jenis penyakit yang dapat di lihat pada gambar 5.2.
33.33%23.33%
20.00% 6.66%13.33%
3.33%
35
Gambar 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Penyakit
Hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 5.2 menunjukkan bahwa
sebagian kecil responden mempunyai latar belakang penyakit hipertensi
berjumlah 6 orang (20.00%), tipus dan gastritis berjumlah 5 orang (16.66%),
astma dan DM masing-masing berjumlah 4 orang (13.33%), anemia, malaria, dan
diare masing-masing berjumlah 2 orang (6.66%).
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Data demografi responden di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura berdasarkan jenis pekerjaan yang dapat di lihat pada gambar 5.3.
20.00% 16.66%
13.33%
16.66%
13.33%
6.66%6.66%
6.66%
36
Gambar 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 5.3 menunjukkan bahwa
hampir setengah responden mempunyai latar belakang jenis pekerjaan ibu rumah
tangga berjumlah 11 orang (36.66%), sebagai petani dan wiraswasta masing-
masing berjumlah 8 orang (26.66%) dan sebagian kecil sebagai PNS berjumlah 3
orang (10%).
4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Data demografi responden di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura berdasarkan pendidikan terakhir yang dapat di lihat pada gambar 5.4.
36.66%
26.66%26.66%
10.00%
37
Gambar 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 5.4 menunjukkan bahwa
hampir setengah responden mempunyai latar belakang pendidikan terakhir
sekolah menengah atas berjumlah 14 orang (46.66%), sebagian kecil
diploma/perguruan tinggi berjumlah 7 orang (23.33%), sekolah dasar berjumlah 6
orang (20%), dan sekolah menengah pertama berjumlah 3 orang (10%).
B. Derajat Nyeri pada Pasien dengan Flebitis Sebelum Dilakukan Kompres Dingin
Hasil penelitian tentang derajat nyeri pada pasien dengan flebitis sebelum
dilakukan kompres dingin di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura
dapat di lihat pada gambar berikut:
46.66%
23.33% 20.00%
10.00%
38
Gambar 5.5 Derajat Nyeri Sebelum Dilakukan Kompres Dingin pada Pasien dengan Flebitis di Instalasi Rawat Inap RSUD Ratu Zalecha Martapura
Hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 5.5 menunjukkan bahwa
sebagian besar mengalami nyeri sedang berjumlah 18 orang (60%), hampir
setengah mengalami nyeri ringan berjumlah 9 orang (30%), dan sebagian kecil
mengalami nyeri berat terkontrol berjumlah 3 orang (10%).
Terjadinya kerusakan sel dalam jaringan akibat flebitis menyebabkan
terlepasnya substansi nyeri. Menurut Handerworker dan Wolt (1991), substansi
nyeri yang terlepas berasal dari tiga tempat, pertama dari kerusakan sel itu sendiri
yang akan melepas histamin, kalium, asetilkolin, serotonin, dan ATP. Selain itu
terjadi sintesa prostaglandin dari metabolisme asam arakhidonat dengan bantuan
siklooksigenase. Kedua, substansi nyeri berupa bradikinin dilepaskan dari plasma
darah melalui pembuluh darah yang berubah permeabilitasnya. Ketiga, substansi
nyeri yang dilepaskan dari ujung-ujung saraf sendiri yang disebut substan P.
60.00%
30.00%10.00%
39
Akibat dari terlepasnya substansi nyeri tersebut diatas menyebabkan
perubahan-perubahan lokal yaitu tanda-tanda inflamasi berupa kemerahan
(rubor), hangat (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan
fungsi (functio laesa).
C. Derajat Nyeri pada Pasien dengan Flebitis Sesudah Dilakukan Kompres Dingin
Hasil penelitian tentang derajat nyeri pada pasien dengan flebitis sesudah
dilakukan kompres dingin di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha Martapura
dapat di lihat pada gambar berikut:
Gambar 5.6 Derajat Nyeri Sesudah Dilakukan Kompres Dingin pada Pasien dengan Flebitis di Instalasi Rawat Inap RSUD Ratu Zalecha Martapura
Hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 5.6 menunjukkan bahwa
hampir seluruhnya mengalami nyeri ringan berjumlah 27 orang (90%), dan
sebagian kecil mengatakan bahwa nyerinya hilang berjumlah 3 orang (10%).
90.00%10.00%
40
Berdasarkan data saat post test, didapatkan hasil yaitu tingkatan nyeri ringan
dengan prosentase 90% dan yang tidak mengeluhkan nyeri sebanyak 10%. Hal ini
berarti terjadi penurunan tingkat nyeri setelah dilakuan terapi kompres dingin.
D. Pengaruh Pemberian Terapi Kompres Dingin terhadap Derajat Nyeri Pasien dengan Flebitis
Untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi kompres dingin terhadap
derajat nyeri pasien dengan flebitis di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura dilakukan dengan membandingkan derajat nyeri sebelum dan sesudah
pemberian terapi kompres dingin. Hasil analisa penelitian ini dapat di lihat pada
tabel, yaitu sebagai berikut:
Tabel 5.1 Uji Non-Parametrik Wilcoxon Signed Rank Test Pengaruh Pemberian Terapi Kompres Dingin Terhadap Derajat Nyeri Pasien dengan Flebitis di Instalasi Rawat Inap RSUD Ratu Zalecha Martapura
Tingkat nyeri sebelum perlakuan –Tingkat nyeri setelah perlakuan
Z - 4.669a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Berdasarkan perhitungan statistik dengan menggunakan program aplikasi
SPSS 17 untuk desain pre dan post test pada satu kelompok dengan jumlah
sampel 30 orang dan nilai α = 0,05 didapatkan nilai signifikansi 0,000 yang berarti
p < 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi
kompres dingin terhadap derajat nyeri pasien dengan flebitis di instalasi rawat
inap RSUD Ratu Zalecha Martapura.
41
Kompres dingin merupakan tindakan memasang suatu zat dengan suhu
rendah pada bagian tubuh untuk tujuan terapeutik. Menurut Kusyanti (2004),
Kompres dingin digunakan untuk mengurangi nyeri, mencegah peradangan
meluas, mencegah edema, menurunkan suhu tubuh dan mengontrol perdarahan
dengan meningkatkan vasokontriksi. Menurut Potter (2005), memberikan rasa
dingin dengan menggunakan suatu zat dengan suhu rendah pada daerah nyeri
bertujuan untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada tempat yang terserang
nyeri sehingga sensasi nyeri pasien berkurang.
Penurunan derajat nyeri yang terjadi setelah dilakukan kompres dingin,
sesuai dengan mekanisme Gate Control Theory oleh Melzack dan Wall (1965),
yang mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka
dan impuls dihambat saat pertahanan ditutup. Upaya menutup pertahanan tersebut
terjadi saat dilakukan kompres dingin yang dapat menghambat impuls nyeri yang
akan disampaikan ke otak untuk dipersepsikan.
Menurut Tamsuri (2007), stimulasi kulit dalam hal ini pemberian kompres
dingin dipercaya dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang memblok transmisi
stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf berdiameter besar A-Beta
sehingga menurunkan transmisi implus nyeri melalui serabut kecil A-delta dan
serabut saraf C. Selain upaya penutupan pertahanan tersebut, kompres dingin juga
mempunyai pengaruh lain yaitu reaksi vasokontriksi sehingga menurunkan aliran
darah ke daerah tubuh yang mengalami cedera, mencegah terbentuknya edema,
dan mengurangi inflamasi. Selain itu relaksasi otot akan menurunkan ketegangan
otot sehingga menghilangkan nyeri.
42
Menurut Annisa (2003), kompres dingin efektif dalam menurunkan
intensitas nyeri ibu post partum dengan bendungan payudara di wilayah kerja
puskesmas kecamatan Gending kabupaten Probolinggo. Menurut Istichomah
(2007), kompres dingin efektif dalam menurunkan derajat nyeri pasien dengan
kontusio di RSUD Sleman.
Dari pembahasan di atas dapat dinyatakan bahwa pemberian terapi kompres
dingin pada pasien yang mengalami nyeri akibat flebitis memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap penurunan derajat nyeri pasien dengan flebitis.
43
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 30 responden
yang mengalami nyeri akibat flebitis di instalasi rawat inap RSUD Ratu Zalecha
Martapura, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1. Tingkat nyeri responden sebelum perlakuan (pre-test) sebanyak 18 responden
(60%) nyeri sedang, 9 responden (30%) nyeri ringan dan 3 responden (10%)
mengalami nyeri berat terkontrol.
2. Tingkat nyeri responden setelah perlakuan (post-test) sebanyak 27 responden
(90%) nyeri ringan dan 3 responden (10%) mengatakan bahwa nyerinya hilang.
3. Pemberian kompres dingin berpengaruh terhadap penurunan nyeri akibat
flebitis dengan p = 0.000, didukung dengan data sebanyak 24 sampel penelitian
(80%) terjadi penurunan tingkat nyeri dan tidak ada responden yang
menyatakan terjadi peningkatan tingkat nyeri setelah perlakuan (post-test).
B. Saran
Direkomendasikan kepada peneliti selanjutnya untuk membandingkan
antara kompres dingin dengan kompres hangat dalam manajemen nyeri akibat
flebitis. Pada penelitian lebih lanjut sebaiknya digunakan alat kompres dalam
manajemen nyeri yang ukurannya lebih kecil demi kenyamanan pasien.
Direkomendasikan pada pihak rumah sakit untuk meningkatkan sosialisasi dan
penerapan yang lebih intensif terhadap pemberian kompres dingin mengingat cara
44
ini lebih murah, mudah dan tanpa efek samping dibandingkan dengan metode
farmakologi.