bab i-iii fix

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa dasawarsa terakhir ini filsafat konstruktivisme sangat banyak mempengaruhi pembelajaran fisika di banyak negara dan mulai dipraktikkan di beberapa tempat di Indonesia. Secara menonjol yang ditekankan dari filsafat konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan itu bentukan (konstruksi) siswa sendiri. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk lewat pengalaman indrawi, lewat melihat, menjamah, membau, mendengar, dan akhirnya merumuskannya dalam pikiran. Pengetahuan yang dibentuk dengan sendirinya harus memunculkan dorongan untuk mencari atau menemukan pengalaman baru. Dalam konteks belajar seperti ini, aktivitas siswa menjadi syarat mutlak agar siswa mampu bukan untuk mengumpulkan banyak fakta melainkan dapat menemukan sesuatu (pengetahuan) dan mengalami perkembangan pemikiran. Dengan demikian, siswa hanya akan mengerti sungguh- sungguh dan mempunyai kompetensi dalam bidang fisika yang digeluti, bila siswa sendiri belajar secara aktif, mengolah bahan, mencernanya, dan merumuskannya di dalam pemikirannya sendiri. Semua hal lain termasuk pelajaran dan arahan guru hanya 1

Upload: mela-cerium

Post on 23-Dec-2015

226 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

teori belajar kontruktivisme adalah salah satu teori belajar yang sangat baik untuk diterapkan.

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa dasawarsa terakhir ini filsafat konstruktivisme sangat banyak

mempengaruhi pembelajaran fisika di banyak negara dan mulai

dipraktikkan di beberapa tempat di Indonesia. Secara menonjol yang

ditekankan dari filsafat konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan itu

bentukan (konstruksi) siswa sendiri. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk

lewat pengalaman indrawi, lewat melihat, menjamah, membau, mendengar,

dan akhirnya merumuskannya dalam pikiran.

Pengetahuan yang dibentuk dengan sendirinya harus memunculkan

dorongan untuk mencari atau menemukan pengalaman baru. Dalam konteks

belajar seperti ini, aktivitas siswa menjadi syarat mutlak agar siswa mampu

bukan untuk mengumpulkan banyak fakta melainkan dapat menemukan

sesuatu (pengetahuan) dan mengalami perkembangan pemikiran. Dengan

demikian, siswa hanya akan mengerti sungguh-sungguh dan mempunyai

kompetensi dalam bidang fisika yang digeluti, bila siswa sendiri belajar

secara aktif, mengolah bahan, mencernanya, dan merumuskannya di dalam

pemikirannya sendiri. Semua hal lain termasuk pelajaran dan arahan guru

hanya merupakan bahan yang harus diolah dan dirumuskan oleh siswa

sendiri.

Dalam konteks pembelajaran konstruktivis, peran guru berubah dari

paradigma lama. Dalam paradigma lama, guru adalah sumber segalanya dan

merekalah yang aktif untuk memberikan pelajaran dengan system bank

(guru aktif, siswa pasif; guru memberi siswa diberi; guru tahu dan siswa

tidak tahu; guru mengajar dan siswa diajar) berubah ke siswa aktif dan guru

membantu. Sedangkan, dalam konteks pembelajaran konstruktivis, guru

berperan sebagai fasilitator yang membantu agar konstruksi siswa berjalan

efektif, efisien, dan benar (Suparno, 2007)

Dalam praktik mengajar siswa SD sampai SMA, tampak jelas bahwa

kebanyakan siswa hanya mau belajar fisika secara sungguh-sungguh bila

1

pembelajarannya menarik dan menyenangkan. Terdapat istilah physics is

fun, artinya fisika itu menyenangkan. Bila siswa senang, maka mereka akan

belajar sendiri. Apabila siswa belajar sendiri secara sungguh-sungguh, maka

dengan sendirinya siswa akan semakin menguasai bahan fisika dan menjadi

berkompetensi. Untuk itu, sangat penting bila guru fisika dapat mengajar

fisika yang menyenangkan. Di samping itu, guru fisika diharapkan lebih

dekat dengan siswa, banyak humor, dan menjalin relasi yang dialogis

dengan siswa. Dengan demikian siswa tidak takut dan lebih berani untuk

bertanya kepada guru.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa hal yang dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1.2.1. Bagaimanakah pengertian pendekatan kontruktivisme dan proses

belajar menurut filsafat kontruktivisme ?

1.2.2. Bagaimanakah membangun pembelajaran fisika yang kontruktif?

1.2.3. Bagaimanakah implikasi pendekatan kontruktivisme dalam kegiatan

belajar mengajar di dalam kelas?

1.2.4. Bagaimanakah keunggulan dan kelemahan dari pendekatan

kontruktivisme?

1.3. Tujuan Penulisan

Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari

penulisan makalah ini, diantaranya.

1.3.1. Untuk mendeskripsikan pengertian kontruktivisme dan mengetahui

bagaimana proses belajar siswa menurut filsafat kontruktivisme.

1.3.2. Untuk mendeskripsikan cara membangun pemblajaran fisika yang

kontruktif.

1.3.3. Untuk mendeskripsikan implikasi pendekatan kontruktivisme dalam

kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.

1.3.4. Untuk mendeskripsikan keunggulan dan kelemahan dari pendekatan

kontruktivisme.

2

1.4. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat dipaparkan dari penulisan makalah ini, yaitu:

1.4.1 Bagi Penulis

Penulisan makalah ini dapat menambah wawasan mengenai

pembuatan makalah serta materi mengenai pendekatan dalam

pembelajaran di kelas kepada penulis. Sehingga, hal ini dapat

menjadi bekal ketika menjadi seorang tenaga pendidik, serta

pendekatan kontruktivisme ini dapat dijadikan sebagai salah satu

metode ataupun strategi dalam mengajar.

1.4.2 Bagi Pembaca

Penulisan makalah ini dapat dijadikan salah satu literature untuk

menambah wawasan mengenai pendekatan kontruktivisme dan cara

membangun proses yang kontruktiv dalam pembelajaran.

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Proses Belajar Menurut Filsafat Konstruktivisme

Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif,

bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam

diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada

pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada

pemutakhiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi

prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-

lepas. Proses tersebut berupa “.....constructing and restructuring of knowledge

and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing

conceptual consistency....”. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman

oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan

melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam

budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran

harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan

semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada

unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan

dari luar seperti nilai, ijazah dan sebagainya (Budiningsih, 2005).

Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah

memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal

tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh

sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak

sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar

pembelajaran dan pembimbingan. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan

pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim

bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan

kemauannya.

Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam

kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya

sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas

4

lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi

kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu

yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk

berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif,

dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.

Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik,

memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.

Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas

autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir

yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau

“strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga

mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang

luas dengan berbagai perspektif (Budiningsih, 2005).

Dalam pendidikan dua aliran konstruktivisme banyak digunakan dan

bahkan digabungkan, yaitu konstruktivisme yang lebih personal (Piaget) dan yang

lebih sosial (Vygotsky). Konstruktivisme yang lebih personal disebut

konstruktivisme psikologis personal yang ditemukan oleh Piaget. Sedangkan yang

lebih sosial disebut sosiokulturalisme yang ditemukan oleh Vygotsky.

2.1.1 Konstruktivisme Psikologis Personal (Piaget)

Konstruktivisme psikologis diawali oleh Piaget yang meneliti bagaimana

seorang anak membangun pengetahuan kognitifnya. Dalam penelitiannya Piaget

mengamati bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk pengetahuannya

sendiri. Pola berpikir yang digunakan anak-anak dan orang dewasa dalam

menangani obyek-obyek di dunia di sebut skema. Skema digunakan untuk

memecahkan masalah dan bertindak; tiap-tiap skema memperlakukan seluruh

obyek dan kejadian dengan cara yang sama. Ia lebih menekankan bagaimana

seorang anak secara sendiri mengkonstruksi pengetahuan dari interaksinya dengan

pengalaman dan objek yang dihadapinya. Dalam pandangan ini anak

mengkonstruksi pengetahuan dengan secara terus-menerus mengasimilasi dan

mengakomodasi informasi baru (Nur, 2004).

Dalam pembentukan pengetahuan lewat skema-skema itu, seorang anak

mengerjakannya sendiri tanpa orang lain. Memang Piaget juga berbicara soal

5

pengaruh lingkungan sosial terhadap anak, tetapi ia tidak secara jelas memberikan

model bagaimana hal itu terjadi pada anak (Suparno, 2007). Dalam kasus belajar

fisika, maka anak diberi kebebasan untuk mempelajari sendiri dan kemajuannya

dapat sendiri-sendiri. Tekanannya adalah siswa hanya dapat mengerti fisika bila ia

sendiri belajar dan dengan demikian membangun pengetahuannya sendiri.

2.1.2 Sosiokulturalisme (Vygotsky)

Sumbangan paling penting dari teori Vygotsky adalah penekanan pada

hakikat sosiokultural dan pembelajaran. Ia yakin bahwa belajar terjadi pada saat

anak-anak sedang bekerja dalam zona perkembangan terdekat mereka (zone of

proximal development). Tugas-tugas di dalam zona perkembangan terdekat adalah

tugas-tugas yang seseorang anak tidak dapat melakukannya sendiri namun dapat

melakukannya dengan bantuan teman sebaya atau orang dewasa yang lebih

kompeten. Itulah sebabnya dalam pendidikan, siswa perlu berinteraksi dengan

orang lain atau para ahli dan juga terlibat dengan situasi yang cocok dengan

pengetahuan yang ingin digeluti. Misalnya, para siswa yang belajar fisika

dipertemukan dengan para ahli fisika yang dapat bercerita tentang tugas dan

pekerjaannya serta penemuan-penemuan mereka. Sekaligus juga para siswa perlu

dibawa ke laboratorium dimana para ahli bekerja dan meneliti. Dalam interaksi

dengan mereka itulah, para siswa ditantang untuk mengkonstruksi

pengetahuannya lebih sesuai dengan konstruksi para ahli.

Menurut Cobb (1994) dalam Suparno (2007), kegiatan seseorang dalam

mengerti sesuatu selalu dipengaruhi oleh partisipasinya dalam praktik-praktik

sosial dan kultural yang ada, seperti situasi sekolah, masyarakat, teman dan lain-

lain. Situasi sekolah jelas dapat membantu dan menghambat siswa dalam

mendalami ilmu pengetahuan. Masyarakat dapat juga memacu siswa mengerti,

tetapi juga dapat menghalangi. Misalnya masyarakat yang sungguh antusias

terhadap perkembangan fisika, akan memacu siswa bersemangat mempelajari

fisika pula. Teman-teman di kelas pun punya andil yang besar dalam

perkembangan pengetahuan siswa. Belajar bersama teman dalam studi kelompok

membahas suatu topik fisika bagi banyak siswa akan membantu mereka

membangun pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mereka dapat saling

6

membetulkan gagasan yang keliru, mereka dapat saling melengkapi gagasan

masing-masing dan belajar dari pendapat teman.

Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa belajar merupakan proses

aktif pebelajar mengkontruksikan makna, baik itu berupa teks, dialog, pengalaman

fisika, dan lain-lain. Suastra (2013) mengatakan bahwa proses belajar tersebut

bercirikan sebagai berikut:

1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa

yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Kontruksi arti itu

dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punya.

2. Kontruksi arti itu adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali

berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan

rekontruksi, baik secara kuat atau lemah.

3. Belajar bukanlah kegiatan pengumpulan fakta, melainkan lebih suatu

pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar

bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu

sendiri Fosnot (dalam Suastra, 2013), suatu perkembangan yang menuntut

penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4. Proses sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dala keraguan

yang mernagsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan

adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.

5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pebelajar dengan dunia fisik

dan lingkungan sosial budayanya.

2.2 Pembelajaran Fisika Yang Konstruktivis

Fisika oleh Piaget dikelompokkan sebagai pengetahuan fisis, yang

merupakan pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek atau kejadian serta

bagaimana objek-objek itu berinteraksi satu dengan yang lain. Siswa memperoleh

pengetahuan fisis tentang suatu objek dengan mengerjakan atau bertindak

terhadap objek itu melalui inderanya. Pengetahuan fisik ini didapat dari abstraksi

langsung akan sesuatu objek. Maka sangat jelas bahwa untuk mempelajari fisika

dan membentuk pengetahuan tentang fisika, diperlukan kontak langsung dengan

hal yang ingin diketahui. Inilah sebabnya dalam fisika metode eksperimen dan

inquiry, dimana siswa dapat mengamati, mengukur mengumpulkan data,

7

menganalisa data, dan menyimpulkan sangat cocok untuk mendalami fisika.

Metode ilmiah yang sangat jelas menunjukkan proses abstraksi terhadap kejadian

kongkrit, tepat untuk digunakan dalam mempelajari fisika.

Biasanya siswa sudah membawa konsep-konsep fisika sebelum mereka

mengikuti pelajaran formal di sekolah. Misalnya mereka sudah membawa konsep

gerak, gaya, listrik, magnet, dan lain-lain, yang mereka ketahui dari hidup sehari-

hari. Kadang konsep-konsep mereka itu tidak tepat dan tidak sesuai dengan

pengertian para ahli fisika. Itulah yang disebut miskonsepsi. Oleh karena itu

seorang guru fisika perlu mengerti bahwa siswanya bukanlah lembaran kertas

kosong (tabula rasa) yang begitu saja dapat dicekoki. Seorang guru fisika

konstruktivis beranggapan bahwa siswanya itu sudah mengerti sesuatu sebelum

mengikuti pembelajaran fisika karena pengalaman hidup siswa itu. Pengertian

awal itulah yang perlu dikembangkan dan diluruskan dalam belajar di sekolah.

Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial emosional,

kultural masuk ke dalam kelas. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka.

Oleh sebab itu, guru harus dapat membantu memajukan dan

memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih ilmiah.

Oleh karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial,

maka studi kelompok dapat dikembangkan dalam belajar fisika. Dalam studi

kelompok siswa masing-masing harus berpikir dan mempelajari lebih dulu materi.

Setelah itu mereka baru saling mengungkapkan apa yang ditemukan dalam

pemahaman itu dan mengadakan diskusi lebih lanjut. Dalam diskusi dan

perdebatan lebih lanjut, siswa dimungkinkan untuk memantapkan gagasan mereka

dengan gagasan teman. Bila gagasan mereka tidak benar, mereka akan ditantang

untuk merubahnya. Sedangkan bagi siswa yang gagasannya ternyata benar, ia

akan semakin yakin dan mengerti.

Dalam konstruktivisme, peran seorang guru fisika bukanlah untuk

mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya kepada siswa, tetapi lebih

sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa dapat mengkonstruksi

pengetahuan mereka secara cepat dan efektif. Fungsi sebagai mediator dan

fasilitator dari guru oleh Suparno (2007) dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai

berikut:

8

1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa ambil

tanggung jawab dalam membuat perencanaan belajar, melakukan proses

belajar, dan membuat penelitian.

2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang

keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan

gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.

3. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir secara produktif.

Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung belajar

siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan

pengalaman konflik.

4. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa itu

jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah

pengetahuan siswa itu dapat digunakan untuk menghadapi persoalan baru

yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan

kesimpulan siswa.

Sebagai guru yang konstruktivis, guru fisika selain mengerti isi bahan

fisika juga perlu mengerti bagaimana isi itu dalam perkembangan sejarah fisika

berkembang. Pemahaman historis ini akan meletakkan suatu pengetahuan dalam

konteks yang mudah dipahami, dari pada terlepas begitu saja. Misalnya dalam

menjelaskan mengenai listrik, guru fisika harus mengerti juga bagaimana sejarah

penemuan dan pengembangan listrik dalam hidup. Bahkan guru fisika dituntut

untuk mengerti bagaimana listrik itu digunakan dalam teknologi modern yang

setiap hari dihadapi siswa dalam hidup mereka. Maka pengajaran fisika perlu

dikaitkan dengan sejarah, perkembangan serta teknologi yang terkait.

Berdasarkan pendapat Suparno (2007), langkah-langkah dalam

pengelolaan pembelajaran yang konstruktivistik dapat dilihat dari tiga sisi yakni:

persiapan, pelaksanaan dan evaluasi.

Sebelum guru mengajar (Tahap Persiapan)

 Mempersiapkan bahan yang mau diajarkan dengan seksama. 

9

 Mempersiapkan alat-alat peraga/praktikum yang akan digunakan agar

pembelajaran lancar. 

 Mempersiapkan pertanyaan dan arahan untuk merangsang siswa aktif

belajar. Persoalan konkrit dari hidup sehari-hari dapat digunakan untuk

merangsang siswa berpikir. 

Mempelajari keadaan siswa, mengerti kelemahan dan kelebihan siswa,

sehingga dapat mengajar lewat keadaan siswa dan dapat membantu siswa

lebih tepat. 

Mempelajari pengetahuan awal siswa. Lewat pengetahuan awal ini guru

akan membantu siswa mengembangkan pengertiannya.

 Selama proses pembelajaran (Tahap Pelaksanaan)

Siswa dibantu aktif belajar; menekuni bahan.

Siswa dipacu bertanya;

Menggunakan metode ilmiah dalam proses penemuan sehingga siswa

merasakan sendiri pengetahuan mereka. Dengan demikian siswa lebih

yakin akan pengetahuannya.

Mengikuti pikiran dan gagasan siswa;

Menggunakan variasi metode pembelajaran seperti studi kelompok, studi

di luar kelas, di luar sekolah, dengan simulasi, eksperimen dan lain-lain.

Dengan berbagai metode ini, siswa dapat dibantu menurut inteligensi

mereka.

Siswa diajak melakukan kunjungan ke tempat pengembangan fisika di luar

sekolah seperti museum, tempat laboratorium, tempat bersejarah, Badan

Meteorologi dan Geofisika dan lain-lain.

Mengadakan praktikum terpimpin maupun bebas terlebih untuk topik yang

sulit sehingga siswa lebih mengerti.

Tidak mencerca siswa yang berpendapat salah atau lain, sebaliknya

pendapat mereka diperhatikan.

10

Menerima jawaban alternatif dari siswa dan dibahas. 

Kesalahan konsep siswa ditunjukkan dengan arif dan buka dicela. 

Menyediakan data anomali untuk menantang siswa berpikir.

Siswa diberi waktu berpikir dan merumuskan gagasan mereka tanpa harus

dikejar-kejar waktu.

Siswa diberi kesempatan mengungkapkan pikirannya sehingga guru

mengerti apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak.

Siswa diberi kesempatan untuk mencari pendekatan dengan caranya

sendiri dalam belajar dan menemukan sesuatu.

Mengadakan evaluasi yang kontinu dan menyertakan proses belajar dalam

evaluasi itu.

Sesudah proses pembelajaran (Tahap Evaluasi)

Guru memberi pekerjaan rumah, mengumpulkannya dan mengoreksinya.

Tanpa dikoreksi, PR tidak banyak gunanya, karena siswa yang keliru akan

tetap keliru bila tidak ditunjukkan dimana ia keliru.

Memberikan tugas lain untuk pendalaman materi.

Tes yang membuat siswa berpikir, bukan hafalan perlu dikembangkan

guru.

Siswa tidak dianggap seperti tabula rasa, tetapi sebagai subyek yang sudah

tahu sesuatu.

Model kelas yaitu siswa aktif dan guru menyertai (fasilitator).

Bila ditanya siswa dan tidak dapat menjawab, tidak perlu marah dan

mencerca siswa. Lebih baik mengakuinya dan mencoba mencari bersama.

Menyediakan ruang tanya jawab dan diskusi.

Guru dan siswa saling belajar. Banyak informasi untuk sumber belajar

selain guru maka mereka perlu saling belajar dan mengembangkan.

11

Dalam mengajar yang penting bukan bahan selesai, tetapi siswa belajar

untuk belajar sendiri.

Memberikan ruang bagi siswa untuk boleh salah. Siswa masih dalam

proses belajar, maka mereka boleh membuat kesalahan. Dari kesalahan itu

dapat dibantu berkembang.

Hubungan guru-siswa yang dialogal, saling dialog, dan kerjasama dalam

mendalami pengetahuan.

Mengembangkan pengetahuan yang luas dan mendalam.

Mengerti konteks bahan yang mau diajarkan sehingga dapat menjelaskan

secara kontekstual.

2.3 Implikasi Pembelajaran Kontruktivisme dalam Belajar Mengajar di

dalam Kelas

Model pembelajaran konstruktivisme meliputi empat tahapan, yaitu :

a. Tahapan pertama (Apersepsi)

Pada tahap ini dilakukan kegiatan menghubungkan konsepsi awal,

mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan dari materi sebelumnya yang

merupakan konsep prasyarat. Misalnya: “mengapa baling-baling dapat

berputar?”.

b. Tahap kedua (eksplorasi)

Pada tahap ini siswa mengungkapkan dugaan sementara terhadap

konsep yang mau dipalajari. Kemudian siswa menggali menyelidiki dan

menemukan sendiri konsep sebagai jawaban dari dugaan sementara yang

dikemukakan pada tahap sebelumnya, melalui manipulasi benda langsung.

c. Tahap ketiga (Diskusi dan Penjelasan Konsep)

Pada tahap ini siswa mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan

tamuannya, pada tahap ini pula guru menjadi fasilitator dalam menampung

dan membantu siswa membuat kesepakatan kelas, yaitu setuju atau tidak

dengan pendapat kelompok lain serta memotifasi siswa mengungkapkan

alasan dari kesepakatan tersebut melalui kegiatan tanya jawab.

d. Tahap keempat (Pengembangan dan Aplikasi)

12

Pada tahap ini guru memberikan penekanan terhadap konsep-konsep

esensial, kamudian siswa membuat kesimpulan melalui bimbingan guru

dan menerapkan pemahaman konseptual yang telah diperoleh melalui

pembelajaran saat itu melalui pengerjaan tugas.

Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme, berikut ini dipaparkan

tentang penerapannya di kelas:

1) Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar. Dengan

menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong

siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan

identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan

pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta

menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap

proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah

(problem solver).

2) Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan

beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. Berfikir reflektif

memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-

gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan

pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan

mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan

penyelidikan.

3) Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. Guru yang menerapkan

proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa

untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon

faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk

menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis,

prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau

pemikirannya

4) Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan

siswa lainnya. Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial

dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk

13

mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka

memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan

dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan

mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas

pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman

untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna

akan terjadi di kelas

5) Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong

terjadinya diskusi. Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai

macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis

tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme

dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa

untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi

kelompok dan pengalaman nyata.

6) Guru memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-

materi interaktif. Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan

konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan

menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru

membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-

pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-

sama.

Paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah

memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal

tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh

sebab itu, meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak

sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar

pembelajaran dan pembimbingan.

Dalam belajar konstruktivisme, guru atau pendidik berperan membantu

agar proses mengkonstruksi pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya

membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih

memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat

14

mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai

dengan kemauannya. Peranan kunci guru dalam interaksi pembelajaran adalah

pengendalian, yang meliputi:

a. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk

mengambil keputusan dan bertindak.

b. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.

c. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar

siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.

Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa peranan utama dalam

kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya

sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas

lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi

kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu

yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk

berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif,

dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.

Pandangan konstruktivisme mengemukakan bahwa lingkungan belajar

sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap

realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan

pada pengalaman. Pandangan konstruktivisme mengemukakan bahwa realitas ada

pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya

berdasarkan pengalamannya. Konstruktivisme mengarahkan perhatiannya pada

bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur

mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan

peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivisme mengakui bahwa pikiran adalah

instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan

terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar

manusia secara individual.

Teori belajar konstruktivisme mengakui bahwa siswa akan dapat

menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks

pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan

15

minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi

fungsi konseptual dunia eksternal. Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivisme dapat

diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang

menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan”

pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada

taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan

evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.

Berikut ini dikemukakan contoh penerapan kontruktivisme pada Rencana

Pelaksaanaan Pembelajaran (RPP).

Mata pelajaran : Fisika

Kelas/Semester : III/2

Pertemuan ke : 2 (dua)

Alokasi waktu : 2x20 menit

Standar Kompetensi : 4.3 Disekitar arus listrik terdapat medan magnet

Kompetensi Dasar : 4.3.3.Penghantar berarus listrik dalam medan magnet

mengalami gaya yang besarnya tergantung pada kuat arus, kuat medan magnet,

dan panjang penghantar

Indikator:

1. Menjelaskan prinsip-prinsip motor listrik

2. Menjelaskan komponen motor listrik

3. Menjelaskan cara kerjamotor listrik

4. Menjelaskan penggunaan motor listrik

I. Tujuan Pembelajaran Umum

1. Siswa memahami kemagnetan dan pengaruhnya serta mampu melaksakan

untuk menyelidiki sifat kemagnetan dan keelektromagnetan dan mampu

memecahkan masalah yang berkaitan dengan produk teknologi sederhana.

II. Tujuan Pembelajaran Khusus

1. Siswa diharap mampu menjelaskan prinsip-prinsip motor listrik

2. Siswa diharap mampu menjelaskan bagian-bagian motor listrik

16

3. Siswa diharap mampu menjelaskan cara kerja motor listrik

4. Siswa diharap mampu member minimal 5 contoh alat yang menggunakan

motor listrik.

III. Materi Pelajaran

1. Prinsip motor listrik

2. Komponen motor listrik

3. Cara kerja motor listrik

4. Penggunaan motor listrik

Langkah-langkah Pembelajaran

No Fase (Tahapan) Kegiatan Pembelajaran Pendidikan Karakter1. Apersepsi 1) Guru memberi pertanyaan

problematis tentang

fenomena yang sering

dijumpai siswa dalam

kehidupan sehari-hari dan

mengkaitkannya dengan

konsep motor listrik.

Contoh pertanyaan yang

diberikan guru kepada

siswa:

Dalam kehidupan sehari-

hari apakah yang dimaksud

motor?

2) Siswa didorong agar

mengemukakan penge-

tahuan awalnya tentang apa

yang telah guru tanyakan

yaitu mengenai motor listrik

dan selain itu siswa diberi

kesempatan untuk mengko-

munikasikan dan meng-

Dalam fase ini siswa

akan mampu mem-

bentuk dan mengem-

bangkan karakter kre-

atif, bersahabat, ber-

fikir kritis dan

demokratis.

17

ilustrasikan pemahamannya

tentang konsep motor listrik

tersebut.

Contohnya dari pertanyaan

guru tersebut siswa dapat

menjawab sepeda motor,

kendaraan bermotor roda

dua.

2. Eksplorasi 1) Guru meminta siswa yang

telah berada dalam bentuk

kelompok kerja untuk

menafsirkan pengamatan

(interprestasi) berupa

kesimpulan sementara

(dugaan sementara) ter-

hadap permasalahan yang

ada dengan melakukan

eksperimen atau percobaan.

Contoh kegiatan guru pada

tahap ini, yaitu:

Pada tahap ini siswa

dibagi menjadi beberapa

kelompok kecil dengan

masing-masing kelompok

diberi piranti percobaan

yaitu Molibadul dengan DC

yang komponen-komponen-

nya belum dirakit, yaitu

rumah motor, magnet, dan

rotor.

Selanjutnya siswa diberi

waktu untuk melaksanakan

Dalam fase ini

karakter siswa yang

bisa dikembangkan

adalah rasa ingin tahu,

disiplin, kerja keras,

jujur, tanggungjawab,

solidaritas dan kreatif.

18

percobaan dan melaporkan

hasil pengamatan mereka

tentang prinsip kerja motor

listrik dan cara kerja motor

listrik.

2) Siswa diminta melakukan

identifikasi/pengamatan

atau menyelidiki dan

menemukan konsep melalui

pengumpulan, pengorgani-

sasian, dan menginter-

prestasikan data dalam

suatu kegiatan yang telah

dirancang oleh guru.

Contoh kegiatan siswa

pada tahap ini, yaitu:

Siswa diminta oleh guru

melakukan percobaan. Pada

pelaksanaan percobaan

siswa diberi kebebasan

untuk mencoba merakit,

mengamati, dan mendisku-

sikan prinsip kerja motor

listrik. Setelah itu siswa

diminta untuk melaporkan

hasil pengamatannya dalam

membuat kesimpulan

sementara tentang konsep

motor listrik dan proses

kerja motor listrik.

3. Diskusi/Penjelasan Konsep

1) Guru mengarahkan siswa Dalam fase ini siswa

19

agar siswa melakukan

diskusi kelompok untuk

menghasilkan kesepakatan

dan kesimpulan, kemudian

hasilnya difloorkan di kelas.

Contoh kegiatan guru pada

tahap ini, yaitu:

Guru mengarahkan siswa

agar berdiskusi. Sehingga

diskusi yang dilakukan agar

mengarahkan siswa sampai

pada kesimpulan bahwa :

Konsep motor listrik

adalah mengubah energi

listrik menjadi energi

gerak.

Prinsip kerja motor

listrik adalah

memanfaatkan gaya yang

dialami penghantar

berarus listrik dan medan

magnet.

Komponen penting

motor listrik yaitu rumah

motor, Kumparan,

Magnet dan Komutator.

Menggambarkan skema

motor listrik

2) Siswa memikirkan penjelas-

an dan solusi yang

didasarkan pada hasil

akan mampu

membentuk dan

mengembangkan

karakter kreatif,

bersahabat, demokratis

dan bertanggung

jawab.

20

observasi siswa ditambah

dengan penguatan guru dan

selanjutnya siswa mem-

bangun pemahaman baru

tentang konsep yang telah

dipelajari.

Contoh kegiatan siswa

pada tahap ini, yaitu:

Siswa melakukan sharing

tentang percobaannya

dengan rekan lain dari

kelompok lain tentang apa

yang sudah mereka lakukan

eksperimen atau apa yang

sudah mereka teliti tentang

prinsip kerja motor listrik

tersebut.

4 Pengembangan

dan Aplikasi

1) Guru mengajukan per-

tanyaan-pertanyaan yang

konseptual untuk menguji

apakah siswa telah benar-

benar memahami konsep

dasar yang diinginkan.

Contoh kegiatan guru pada

tahap pengembangan, yaitu:

Guru memberikan

pertanyaan kepada siswa,

seperti:

Apakah konsep motor

listrik?

Jelaskan konsep kerja

motor listrik?

Pada fase ini karakter

siswa yang bisa

dikembangkan yaitu

disiplin, kreatif, kerja

keras, kerja sama, rasa

ingin tahu dan

tanggung jawab.

21

Apakah gunanya

komutator?

2) Guru dapat menambahkan

atau memperbaiki proses

sains yang lepas dari

pengamatan siswa dengan

pertanyaan yang ber-

hubungan dengan konsep

motor listrik tersebut.

Contoh kegiatan guru pada

tahap evaluasi ini yaitu:

Guru memberikan

pertanyaan antara lain:

Jika tidak ada magnet

permanen bisakah kita

membuat motor listrik? 

Apakah semua energy

listrik menjadi energy

gerak?

Apakah arus dalam

kumparan itu bolak

balik atau searah?

3) Siswa mengembangkan

konsep-konsep yang telah

ditemukannya sendiri

melalui percobaan yang

telah dilakukan dan

mengubah konsep yang

salah sesuai arahan dari

guru. Siswa juga dapat

22

mengaplikasikan pemaham-

an konsep konstektualnya

berdasarkan apa yang sudah

mereka diskusikan ber-

dasarkan konsep motor

listrik tersebut.

Kelebihan kontruktivisme adalah siswa dapat berpikir untuk

menyelesaikan masalah, mengembangkan gagasan dan membuat

keputusan. Siswa dapat lebih paham karena terlibat secara langsung dalam

membina pengetahuan baru, dan mereka dapat mengapliksikannya dalam semua

situasi. Selain itu, siswa terlibat secara langsung dan aktif, sehingga mereka akan

ingat lebih lama terhadap semua konsep yang dipelajarinya. Di samping itu,

kemahiran sosial diperoleh ketika berinteraksi dengan rekan dan guru dalam

membina pengetahuan baru sehingga:

1. Memunculkan kesadaran bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa

sendiri,

2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan

mencari sendiri pertanyaannya,

3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman

konsep secara lengkap, mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi

pemikir yang mandiri,  

4. Menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

2.4 Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme

Kekurangan atau kelemahan dari konstruktivisme dapat kita lihat dalam

proses belajarnya yaitu peran guru sebagai pendidik menjadi lebih pasif

(hanya sebagai fasilitator) dan dapat timbul persepsi yang berbeda antara

siswa satu dengan yang lainnya.

a) Keunggulan Pendekatan Konstruktivisme

Keunggulan pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut.

23

1) Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berpikir untuk

menyelesaikan masalah, merencanakan ide dan membuat

keputusan.

2) Siswa terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru,

mereka akan lebih paham dan boleh mengaplikasikannya dalam

semua situasi.

3) Siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat

lebih lama semua konsep. Siswa mampu membina sendiri

pemahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan

menyelesaikan masalah dalam situasi baru.

4) Adanya kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan

rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.

5) Siswa aktif dalam berbagai kegiatan, sehingga mereka paham,

ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat.

b) Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme

Kelemahan pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut.

1) Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru.

2) Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan

pembelajaran berbasis konstruktivisme.

3) Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan

baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup

besar.

4) Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai

dengan mata pelajaran yang diasuh.

5) Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir.

6) Pembelajaran ini mengisyaratkan perubahan sistem evaluasi yang

belum diterapkan oleh guru.

7) Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru.

8) Adanya budaya negatif di lingkungan siswa.

24

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

3.1.1. Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang

sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu.

Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam

kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri.

3.1.2. Langkah-langkah dalam pengelolaan pembelajaran yang

konstruktivistik dapat dilihat dari tiga sisi yakni: persiapan,

pelaksanaan dan evaluasi.

3.1.3. Dalam kegiatan pembelajaran terdapat tiga tahap yang perlu

dilaksanakan yakni tahap merancang RPP, tahap proses pembelajaran,

dan tahap penilaian. Terdapat empat sintak dalam pendekatan

kontruktivisme. Adapun keempat aspek tersebut adalah fase apersepsi,

eksplorasi, diskusi/penjelasan konsep, pengembangan dan aplikasi.

Dalam penerapan pendekatan kontruktivisme ini dapat berupa

skenario pembelajaran dan RPP.

3.1.4. Kekurangan atau kelemahan dari konstruktivisme dapat kita lihat

dalam proses belajarnya yaitu peran guru sebagai pendidik menjadi

lebih pasif (hanya sebagai fasilitator). Sedangkan keunggulan dari

25

pembelajaran konstruktivisme yaitu siswa dapat membangun sendiri

pengetahuannya.

3.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:

3.2.1. Dalam pembelajaran di era sekarang ini yang merupakan

pembelajaran yang bersifat student center hendaknya kita sebagai

guru yang merupakan fasilitator dan moderator dapat menjalankan

fungsinya sehingga pembelajaran dapat berlasngsung secar efektif dan

efisien.

3.2.2. Dengan pembelajaran model kontruktivisme diharapkan bermakna

dan ada hubungan dengan kehidupan nyata siswa, sehingga mereka

termotivasi untuk mengarahkan dirinya sendiri dan menguji

pengetahuan atau pemahaman lama mereka dalam menyelesaikan

tugas tersebut.

26