bab i-iii fix
DESCRIPTION
teori belajar kontruktivisme adalah salah satu teori belajar yang sangat baik untuk diterapkan.TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beberapa dasawarsa terakhir ini filsafat konstruktivisme sangat banyak
mempengaruhi pembelajaran fisika di banyak negara dan mulai
dipraktikkan di beberapa tempat di Indonesia. Secara menonjol yang
ditekankan dari filsafat konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan itu
bentukan (konstruksi) siswa sendiri. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk
lewat pengalaman indrawi, lewat melihat, menjamah, membau, mendengar,
dan akhirnya merumuskannya dalam pikiran.
Pengetahuan yang dibentuk dengan sendirinya harus memunculkan
dorongan untuk mencari atau menemukan pengalaman baru. Dalam konteks
belajar seperti ini, aktivitas siswa menjadi syarat mutlak agar siswa mampu
bukan untuk mengumpulkan banyak fakta melainkan dapat menemukan
sesuatu (pengetahuan) dan mengalami perkembangan pemikiran. Dengan
demikian, siswa hanya akan mengerti sungguh-sungguh dan mempunyai
kompetensi dalam bidang fisika yang digeluti, bila siswa sendiri belajar
secara aktif, mengolah bahan, mencernanya, dan merumuskannya di dalam
pemikirannya sendiri. Semua hal lain termasuk pelajaran dan arahan guru
hanya merupakan bahan yang harus diolah dan dirumuskan oleh siswa
sendiri.
Dalam konteks pembelajaran konstruktivis, peran guru berubah dari
paradigma lama. Dalam paradigma lama, guru adalah sumber segalanya dan
merekalah yang aktif untuk memberikan pelajaran dengan system bank
(guru aktif, siswa pasif; guru memberi siswa diberi; guru tahu dan siswa
tidak tahu; guru mengajar dan siswa diajar) berubah ke siswa aktif dan guru
membantu. Sedangkan, dalam konteks pembelajaran konstruktivis, guru
berperan sebagai fasilitator yang membantu agar konstruksi siswa berjalan
efektif, efisien, dan benar (Suparno, 2007)
Dalam praktik mengajar siswa SD sampai SMA, tampak jelas bahwa
kebanyakan siswa hanya mau belajar fisika secara sungguh-sungguh bila
1
pembelajarannya menarik dan menyenangkan. Terdapat istilah physics is
fun, artinya fisika itu menyenangkan. Bila siswa senang, maka mereka akan
belajar sendiri. Apabila siswa belajar sendiri secara sungguh-sungguh, maka
dengan sendirinya siswa akan semakin menguasai bahan fisika dan menjadi
berkompetensi. Untuk itu, sangat penting bila guru fisika dapat mengajar
fisika yang menyenangkan. Di samping itu, guru fisika diharapkan lebih
dekat dengan siswa, banyak humor, dan menjalin relasi yang dialogis
dengan siswa. Dengan demikian siswa tidak takut dan lebih berani untuk
bertanya kepada guru.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa hal yang dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1.2.1. Bagaimanakah pengertian pendekatan kontruktivisme dan proses
belajar menurut filsafat kontruktivisme ?
1.2.2. Bagaimanakah membangun pembelajaran fisika yang kontruktif?
1.2.3. Bagaimanakah implikasi pendekatan kontruktivisme dalam kegiatan
belajar mengajar di dalam kelas?
1.2.4. Bagaimanakah keunggulan dan kelemahan dari pendekatan
kontruktivisme?
1.3. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari
penulisan makalah ini, diantaranya.
1.3.1. Untuk mendeskripsikan pengertian kontruktivisme dan mengetahui
bagaimana proses belajar siswa menurut filsafat kontruktivisme.
1.3.2. Untuk mendeskripsikan cara membangun pemblajaran fisika yang
kontruktif.
1.3.3. Untuk mendeskripsikan implikasi pendekatan kontruktivisme dalam
kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.
1.3.4. Untuk mendeskripsikan keunggulan dan kelemahan dari pendekatan
kontruktivisme.
2
1.4. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat dipaparkan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.4.1 Bagi Penulis
Penulisan makalah ini dapat menambah wawasan mengenai
pembuatan makalah serta materi mengenai pendekatan dalam
pembelajaran di kelas kepada penulis. Sehingga, hal ini dapat
menjadi bekal ketika menjadi seorang tenaga pendidik, serta
pendekatan kontruktivisme ini dapat dijadikan sebagai salah satu
metode ataupun strategi dalam mengajar.
1.4.2 Bagi Pembaca
Penulisan makalah ini dapat dijadikan salah satu literature untuk
menambah wawasan mengenai pendekatan kontruktivisme dan cara
membangun proses yang kontruktiv dalam pembelajaran.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Belajar Menurut Filsafat Konstruktivisme
Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif,
bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam
diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemutakhiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-
lepas. Proses tersebut berupa “.....constructing and restructuring of knowledge
and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing
conceptual consistency....”. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman
oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan
melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam
budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran
harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan
semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada
unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan
dari luar seperti nilai, ijazah dan sebagainya (Budiningsih, 2005).
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh
sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak
sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar
pembelajaran dan pembimbingan. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan
pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim
bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan
kemauannya.
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas
4
lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi
kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu
yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk
berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif,
dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik,
memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas
autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir
yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau
“strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga
mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang
luas dengan berbagai perspektif (Budiningsih, 2005).
Dalam pendidikan dua aliran konstruktivisme banyak digunakan dan
bahkan digabungkan, yaitu konstruktivisme yang lebih personal (Piaget) dan yang
lebih sosial (Vygotsky). Konstruktivisme yang lebih personal disebut
konstruktivisme psikologis personal yang ditemukan oleh Piaget. Sedangkan yang
lebih sosial disebut sosiokulturalisme yang ditemukan oleh Vygotsky.
2.1.1 Konstruktivisme Psikologis Personal (Piaget)
Konstruktivisme psikologis diawali oleh Piaget yang meneliti bagaimana
seorang anak membangun pengetahuan kognitifnya. Dalam penelitiannya Piaget
mengamati bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk pengetahuannya
sendiri. Pola berpikir yang digunakan anak-anak dan orang dewasa dalam
menangani obyek-obyek di dunia di sebut skema. Skema digunakan untuk
memecahkan masalah dan bertindak; tiap-tiap skema memperlakukan seluruh
obyek dan kejadian dengan cara yang sama. Ia lebih menekankan bagaimana
seorang anak secara sendiri mengkonstruksi pengetahuan dari interaksinya dengan
pengalaman dan objek yang dihadapinya. Dalam pandangan ini anak
mengkonstruksi pengetahuan dengan secara terus-menerus mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi baru (Nur, 2004).
Dalam pembentukan pengetahuan lewat skema-skema itu, seorang anak
mengerjakannya sendiri tanpa orang lain. Memang Piaget juga berbicara soal
5
pengaruh lingkungan sosial terhadap anak, tetapi ia tidak secara jelas memberikan
model bagaimana hal itu terjadi pada anak (Suparno, 2007). Dalam kasus belajar
fisika, maka anak diberi kebebasan untuk mempelajari sendiri dan kemajuannya
dapat sendiri-sendiri. Tekanannya adalah siswa hanya dapat mengerti fisika bila ia
sendiri belajar dan dengan demikian membangun pengetahuannya sendiri.
2.1.2 Sosiokulturalisme (Vygotsky)
Sumbangan paling penting dari teori Vygotsky adalah penekanan pada
hakikat sosiokultural dan pembelajaran. Ia yakin bahwa belajar terjadi pada saat
anak-anak sedang bekerja dalam zona perkembangan terdekat mereka (zone of
proximal development). Tugas-tugas di dalam zona perkembangan terdekat adalah
tugas-tugas yang seseorang anak tidak dapat melakukannya sendiri namun dapat
melakukannya dengan bantuan teman sebaya atau orang dewasa yang lebih
kompeten. Itulah sebabnya dalam pendidikan, siswa perlu berinteraksi dengan
orang lain atau para ahli dan juga terlibat dengan situasi yang cocok dengan
pengetahuan yang ingin digeluti. Misalnya, para siswa yang belajar fisika
dipertemukan dengan para ahli fisika yang dapat bercerita tentang tugas dan
pekerjaannya serta penemuan-penemuan mereka. Sekaligus juga para siswa perlu
dibawa ke laboratorium dimana para ahli bekerja dan meneliti. Dalam interaksi
dengan mereka itulah, para siswa ditantang untuk mengkonstruksi
pengetahuannya lebih sesuai dengan konstruksi para ahli.
Menurut Cobb (1994) dalam Suparno (2007), kegiatan seseorang dalam
mengerti sesuatu selalu dipengaruhi oleh partisipasinya dalam praktik-praktik
sosial dan kultural yang ada, seperti situasi sekolah, masyarakat, teman dan lain-
lain. Situasi sekolah jelas dapat membantu dan menghambat siswa dalam
mendalami ilmu pengetahuan. Masyarakat dapat juga memacu siswa mengerti,
tetapi juga dapat menghalangi. Misalnya masyarakat yang sungguh antusias
terhadap perkembangan fisika, akan memacu siswa bersemangat mempelajari
fisika pula. Teman-teman di kelas pun punya andil yang besar dalam
perkembangan pengetahuan siswa. Belajar bersama teman dalam studi kelompok
membahas suatu topik fisika bagi banyak siswa akan membantu mereka
membangun pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mereka dapat saling
6
membetulkan gagasan yang keliru, mereka dapat saling melengkapi gagasan
masing-masing dan belajar dari pendapat teman.
Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa belajar merupakan proses
aktif pebelajar mengkontruksikan makna, baik itu berupa teks, dialog, pengalaman
fisika, dan lain-lain. Suastra (2013) mengatakan bahwa proses belajar tersebut
bercirikan sebagai berikut:
1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa
yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Kontruksi arti itu
dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punya.
2. Kontruksi arti itu adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali
berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan
rekontruksi, baik secara kuat atau lemah.
3. Belajar bukanlah kegiatan pengumpulan fakta, melainkan lebih suatu
pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar
bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu
sendiri Fosnot (dalam Suastra, 2013), suatu perkembangan yang menuntut
penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4. Proses sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dala keraguan
yang mernagsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pebelajar dengan dunia fisik
dan lingkungan sosial budayanya.
2.2 Pembelajaran Fisika Yang Konstruktivis
Fisika oleh Piaget dikelompokkan sebagai pengetahuan fisis, yang
merupakan pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek atau kejadian serta
bagaimana objek-objek itu berinteraksi satu dengan yang lain. Siswa memperoleh
pengetahuan fisis tentang suatu objek dengan mengerjakan atau bertindak
terhadap objek itu melalui inderanya. Pengetahuan fisik ini didapat dari abstraksi
langsung akan sesuatu objek. Maka sangat jelas bahwa untuk mempelajari fisika
dan membentuk pengetahuan tentang fisika, diperlukan kontak langsung dengan
hal yang ingin diketahui. Inilah sebabnya dalam fisika metode eksperimen dan
inquiry, dimana siswa dapat mengamati, mengukur mengumpulkan data,
7
menganalisa data, dan menyimpulkan sangat cocok untuk mendalami fisika.
Metode ilmiah yang sangat jelas menunjukkan proses abstraksi terhadap kejadian
kongkrit, tepat untuk digunakan dalam mempelajari fisika.
Biasanya siswa sudah membawa konsep-konsep fisika sebelum mereka
mengikuti pelajaran formal di sekolah. Misalnya mereka sudah membawa konsep
gerak, gaya, listrik, magnet, dan lain-lain, yang mereka ketahui dari hidup sehari-
hari. Kadang konsep-konsep mereka itu tidak tepat dan tidak sesuai dengan
pengertian para ahli fisika. Itulah yang disebut miskonsepsi. Oleh karena itu
seorang guru fisika perlu mengerti bahwa siswanya bukanlah lembaran kertas
kosong (tabula rasa) yang begitu saja dapat dicekoki. Seorang guru fisika
konstruktivis beranggapan bahwa siswanya itu sudah mengerti sesuatu sebelum
mengikuti pembelajaran fisika karena pengalaman hidup siswa itu. Pengertian
awal itulah yang perlu dikembangkan dan diluruskan dalam belajar di sekolah.
Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial emosional,
kultural masuk ke dalam kelas. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka.
Oleh sebab itu, guru harus dapat membantu memajukan dan
memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih ilmiah.
Oleh karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial,
maka studi kelompok dapat dikembangkan dalam belajar fisika. Dalam studi
kelompok siswa masing-masing harus berpikir dan mempelajari lebih dulu materi.
Setelah itu mereka baru saling mengungkapkan apa yang ditemukan dalam
pemahaman itu dan mengadakan diskusi lebih lanjut. Dalam diskusi dan
perdebatan lebih lanjut, siswa dimungkinkan untuk memantapkan gagasan mereka
dengan gagasan teman. Bila gagasan mereka tidak benar, mereka akan ditantang
untuk merubahnya. Sedangkan bagi siswa yang gagasannya ternyata benar, ia
akan semakin yakin dan mengerti.
Dalam konstruktivisme, peran seorang guru fisika bukanlah untuk
mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya kepada siswa, tetapi lebih
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuan mereka secara cepat dan efektif. Fungsi sebagai mediator dan
fasilitator dari guru oleh Suparno (2007) dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai
berikut:
8
1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa ambil
tanggung jawab dalam membuat perencanaan belajar, melakukan proses
belajar, dan membuat penelitian.
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
3. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir secara produktif.
Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung belajar
siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan
pengalaman konflik.
4. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa itu
jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah
pengetahuan siswa itu dapat digunakan untuk menghadapi persoalan baru
yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan
kesimpulan siswa.
Sebagai guru yang konstruktivis, guru fisika selain mengerti isi bahan
fisika juga perlu mengerti bagaimana isi itu dalam perkembangan sejarah fisika
berkembang. Pemahaman historis ini akan meletakkan suatu pengetahuan dalam
konteks yang mudah dipahami, dari pada terlepas begitu saja. Misalnya dalam
menjelaskan mengenai listrik, guru fisika harus mengerti juga bagaimana sejarah
penemuan dan pengembangan listrik dalam hidup. Bahkan guru fisika dituntut
untuk mengerti bagaimana listrik itu digunakan dalam teknologi modern yang
setiap hari dihadapi siswa dalam hidup mereka. Maka pengajaran fisika perlu
dikaitkan dengan sejarah, perkembangan serta teknologi yang terkait.
Berdasarkan pendapat Suparno (2007), langkah-langkah dalam
pengelolaan pembelajaran yang konstruktivistik dapat dilihat dari tiga sisi yakni:
persiapan, pelaksanaan dan evaluasi.
Sebelum guru mengajar (Tahap Persiapan)
Mempersiapkan bahan yang mau diajarkan dengan seksama.
9
Mempersiapkan alat-alat peraga/praktikum yang akan digunakan agar
pembelajaran lancar.
Mempersiapkan pertanyaan dan arahan untuk merangsang siswa aktif
belajar. Persoalan konkrit dari hidup sehari-hari dapat digunakan untuk
merangsang siswa berpikir.
Mempelajari keadaan siswa, mengerti kelemahan dan kelebihan siswa,
sehingga dapat mengajar lewat keadaan siswa dan dapat membantu siswa
lebih tepat.
Mempelajari pengetahuan awal siswa. Lewat pengetahuan awal ini guru
akan membantu siswa mengembangkan pengertiannya.
Selama proses pembelajaran (Tahap Pelaksanaan)
Siswa dibantu aktif belajar; menekuni bahan.
Siswa dipacu bertanya;
Menggunakan metode ilmiah dalam proses penemuan sehingga siswa
merasakan sendiri pengetahuan mereka. Dengan demikian siswa lebih
yakin akan pengetahuannya.
Mengikuti pikiran dan gagasan siswa;
Menggunakan variasi metode pembelajaran seperti studi kelompok, studi
di luar kelas, di luar sekolah, dengan simulasi, eksperimen dan lain-lain.
Dengan berbagai metode ini, siswa dapat dibantu menurut inteligensi
mereka.
Siswa diajak melakukan kunjungan ke tempat pengembangan fisika di luar
sekolah seperti museum, tempat laboratorium, tempat bersejarah, Badan
Meteorologi dan Geofisika dan lain-lain.
Mengadakan praktikum terpimpin maupun bebas terlebih untuk topik yang
sulit sehingga siswa lebih mengerti.
Tidak mencerca siswa yang berpendapat salah atau lain, sebaliknya
pendapat mereka diperhatikan.
10
Menerima jawaban alternatif dari siswa dan dibahas.
Kesalahan konsep siswa ditunjukkan dengan arif dan buka dicela.
Menyediakan data anomali untuk menantang siswa berpikir.
Siswa diberi waktu berpikir dan merumuskan gagasan mereka tanpa harus
dikejar-kejar waktu.
Siswa diberi kesempatan mengungkapkan pikirannya sehingga guru
mengerti apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak.
Siswa diberi kesempatan untuk mencari pendekatan dengan caranya
sendiri dalam belajar dan menemukan sesuatu.
Mengadakan evaluasi yang kontinu dan menyertakan proses belajar dalam
evaluasi itu.
Sesudah proses pembelajaran (Tahap Evaluasi)
Guru memberi pekerjaan rumah, mengumpulkannya dan mengoreksinya.
Tanpa dikoreksi, PR tidak banyak gunanya, karena siswa yang keliru akan
tetap keliru bila tidak ditunjukkan dimana ia keliru.
Memberikan tugas lain untuk pendalaman materi.
Tes yang membuat siswa berpikir, bukan hafalan perlu dikembangkan
guru.
Siswa tidak dianggap seperti tabula rasa, tetapi sebagai subyek yang sudah
tahu sesuatu.
Model kelas yaitu siswa aktif dan guru menyertai (fasilitator).
Bila ditanya siswa dan tidak dapat menjawab, tidak perlu marah dan
mencerca siswa. Lebih baik mengakuinya dan mencoba mencari bersama.
Menyediakan ruang tanya jawab dan diskusi.
Guru dan siswa saling belajar. Banyak informasi untuk sumber belajar
selain guru maka mereka perlu saling belajar dan mengembangkan.
11
Dalam mengajar yang penting bukan bahan selesai, tetapi siswa belajar
untuk belajar sendiri.
Memberikan ruang bagi siswa untuk boleh salah. Siswa masih dalam
proses belajar, maka mereka boleh membuat kesalahan. Dari kesalahan itu
dapat dibantu berkembang.
Hubungan guru-siswa yang dialogal, saling dialog, dan kerjasama dalam
mendalami pengetahuan.
Mengembangkan pengetahuan yang luas dan mendalam.
Mengerti konteks bahan yang mau diajarkan sehingga dapat menjelaskan
secara kontekstual.
2.3 Implikasi Pembelajaran Kontruktivisme dalam Belajar Mengajar di
dalam Kelas
Model pembelajaran konstruktivisme meliputi empat tahapan, yaitu :
a. Tahapan pertama (Apersepsi)
Pada tahap ini dilakukan kegiatan menghubungkan konsepsi awal,
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan dari materi sebelumnya yang
merupakan konsep prasyarat. Misalnya: “mengapa baling-baling dapat
berputar?”.
b. Tahap kedua (eksplorasi)
Pada tahap ini siswa mengungkapkan dugaan sementara terhadap
konsep yang mau dipalajari. Kemudian siswa menggali menyelidiki dan
menemukan sendiri konsep sebagai jawaban dari dugaan sementara yang
dikemukakan pada tahap sebelumnya, melalui manipulasi benda langsung.
c. Tahap ketiga (Diskusi dan Penjelasan Konsep)
Pada tahap ini siswa mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan
tamuannya, pada tahap ini pula guru menjadi fasilitator dalam menampung
dan membantu siswa membuat kesepakatan kelas, yaitu setuju atau tidak
dengan pendapat kelompok lain serta memotifasi siswa mengungkapkan
alasan dari kesepakatan tersebut melalui kegiatan tanya jawab.
d. Tahap keempat (Pengembangan dan Aplikasi)
12
Pada tahap ini guru memberikan penekanan terhadap konsep-konsep
esensial, kamudian siswa membuat kesimpulan melalui bimbingan guru
dan menerapkan pemahaman konseptual yang telah diperoleh melalui
pembelajaran saat itu melalui pengerjaan tugas.
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme, berikut ini dipaparkan
tentang penerapannya di kelas:
1) Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar. Dengan
menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong
siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan
identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan
pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta
menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap
proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah
(problem solver).
2) Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan
beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. Berfikir reflektif
memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-
gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan
pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan
mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan
penyelidikan.
3) Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. Guru yang menerapkan
proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa
untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon
faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk
menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis,
prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau
pemikirannya
4) Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan
siswa lainnya. Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial
dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk
13
mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka
memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan
dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan
mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas
pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman
untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna
akan terjadi di kelas
5) Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong
terjadinya diskusi. Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai
macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis
tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme
dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa
untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi
kelompok dan pengalaman nyata.
6) Guru memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-
materi interaktif. Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan
konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan
menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru
membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-
pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-
sama.
Paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh
sebab itu, meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak
sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar
pembelajaran dan pembimbingan.
Dalam belajar konstruktivisme, guru atau pendidik berperan membantu
agar proses mengkonstruksi pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya
membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih
memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat
14
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai
dengan kemauannya. Peranan kunci guru dalam interaksi pembelajaran adalah
pengendalian, yang meliputi:
a. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak.
b. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
c. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar
siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas
lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi
kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu
yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk
berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif,
dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Pandangan konstruktivisme mengemukakan bahwa lingkungan belajar
sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap
realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan
pada pengalaman. Pandangan konstruktivisme mengemukakan bahwa realitas ada
pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya
berdasarkan pengalamannya. Konstruktivisme mengarahkan perhatiannya pada
bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur
mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivisme mengakui bahwa pikiran adalah
instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan
terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar
manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivisme mengakui bahwa siswa akan dapat
menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan
15
minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi
fungsi konseptual dunia eksternal. Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivisme dapat
diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang
menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan”
pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada
taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan
evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
Berikut ini dikemukakan contoh penerapan kontruktivisme pada Rencana
Pelaksaanaan Pembelajaran (RPP).
Mata pelajaran : Fisika
Kelas/Semester : III/2
Pertemuan ke : 2 (dua)
Alokasi waktu : 2x20 menit
Standar Kompetensi : 4.3 Disekitar arus listrik terdapat medan magnet
Kompetensi Dasar : 4.3.3.Penghantar berarus listrik dalam medan magnet
mengalami gaya yang besarnya tergantung pada kuat arus, kuat medan magnet,
dan panjang penghantar
Indikator:
1. Menjelaskan prinsip-prinsip motor listrik
2. Menjelaskan komponen motor listrik
3. Menjelaskan cara kerjamotor listrik
4. Menjelaskan penggunaan motor listrik
I. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Siswa memahami kemagnetan dan pengaruhnya serta mampu melaksakan
untuk menyelidiki sifat kemagnetan dan keelektromagnetan dan mampu
memecahkan masalah yang berkaitan dengan produk teknologi sederhana.
II. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Siswa diharap mampu menjelaskan prinsip-prinsip motor listrik
2. Siswa diharap mampu menjelaskan bagian-bagian motor listrik
16
3. Siswa diharap mampu menjelaskan cara kerja motor listrik
4. Siswa diharap mampu member minimal 5 contoh alat yang menggunakan
motor listrik.
III. Materi Pelajaran
1. Prinsip motor listrik
2. Komponen motor listrik
3. Cara kerja motor listrik
4. Penggunaan motor listrik
Langkah-langkah Pembelajaran
No Fase (Tahapan) Kegiatan Pembelajaran Pendidikan Karakter1. Apersepsi 1) Guru memberi pertanyaan
problematis tentang
fenomena yang sering
dijumpai siswa dalam
kehidupan sehari-hari dan
mengkaitkannya dengan
konsep motor listrik.
Contoh pertanyaan yang
diberikan guru kepada
siswa:
Dalam kehidupan sehari-
hari apakah yang dimaksud
motor?
2) Siswa didorong agar
mengemukakan penge-
tahuan awalnya tentang apa
yang telah guru tanyakan
yaitu mengenai motor listrik
dan selain itu siswa diberi
kesempatan untuk mengko-
munikasikan dan meng-
Dalam fase ini siswa
akan mampu mem-
bentuk dan mengem-
bangkan karakter kre-
atif, bersahabat, ber-
fikir kritis dan
demokratis.
17
ilustrasikan pemahamannya
tentang konsep motor listrik
tersebut.
Contohnya dari pertanyaan
guru tersebut siswa dapat
menjawab sepeda motor,
kendaraan bermotor roda
dua.
2. Eksplorasi 1) Guru meminta siswa yang
telah berada dalam bentuk
kelompok kerja untuk
menafsirkan pengamatan
(interprestasi) berupa
kesimpulan sementara
(dugaan sementara) ter-
hadap permasalahan yang
ada dengan melakukan
eksperimen atau percobaan.
Contoh kegiatan guru pada
tahap ini, yaitu:
Pada tahap ini siswa
dibagi menjadi beberapa
kelompok kecil dengan
masing-masing kelompok
diberi piranti percobaan
yaitu Molibadul dengan DC
yang komponen-komponen-
nya belum dirakit, yaitu
rumah motor, magnet, dan
rotor.
Selanjutnya siswa diberi
waktu untuk melaksanakan
Dalam fase ini
karakter siswa yang
bisa dikembangkan
adalah rasa ingin tahu,
disiplin, kerja keras,
jujur, tanggungjawab,
solidaritas dan kreatif.
18
percobaan dan melaporkan
hasil pengamatan mereka
tentang prinsip kerja motor
listrik dan cara kerja motor
listrik.
2) Siswa diminta melakukan
identifikasi/pengamatan
atau menyelidiki dan
menemukan konsep melalui
pengumpulan, pengorgani-
sasian, dan menginter-
prestasikan data dalam
suatu kegiatan yang telah
dirancang oleh guru.
Contoh kegiatan siswa
pada tahap ini, yaitu:
Siswa diminta oleh guru
melakukan percobaan. Pada
pelaksanaan percobaan
siswa diberi kebebasan
untuk mencoba merakit,
mengamati, dan mendisku-
sikan prinsip kerja motor
listrik. Setelah itu siswa
diminta untuk melaporkan
hasil pengamatannya dalam
membuat kesimpulan
sementara tentang konsep
motor listrik dan proses
kerja motor listrik.
3. Diskusi/Penjelasan Konsep
1) Guru mengarahkan siswa Dalam fase ini siswa
19
agar siswa melakukan
diskusi kelompok untuk
menghasilkan kesepakatan
dan kesimpulan, kemudian
hasilnya difloorkan di kelas.
Contoh kegiatan guru pada
tahap ini, yaitu:
Guru mengarahkan siswa
agar berdiskusi. Sehingga
diskusi yang dilakukan agar
mengarahkan siswa sampai
pada kesimpulan bahwa :
Konsep motor listrik
adalah mengubah energi
listrik menjadi energi
gerak.
Prinsip kerja motor
listrik adalah
memanfaatkan gaya yang
dialami penghantar
berarus listrik dan medan
magnet.
Komponen penting
motor listrik yaitu rumah
motor, Kumparan,
Magnet dan Komutator.
Menggambarkan skema
motor listrik
2) Siswa memikirkan penjelas-
an dan solusi yang
didasarkan pada hasil
akan mampu
membentuk dan
mengembangkan
karakter kreatif,
bersahabat, demokratis
dan bertanggung
jawab.
20
observasi siswa ditambah
dengan penguatan guru dan
selanjutnya siswa mem-
bangun pemahaman baru
tentang konsep yang telah
dipelajari.
Contoh kegiatan siswa
pada tahap ini, yaitu:
Siswa melakukan sharing
tentang percobaannya
dengan rekan lain dari
kelompok lain tentang apa
yang sudah mereka lakukan
eksperimen atau apa yang
sudah mereka teliti tentang
prinsip kerja motor listrik
tersebut.
4 Pengembangan
dan Aplikasi
1) Guru mengajukan per-
tanyaan-pertanyaan yang
konseptual untuk menguji
apakah siswa telah benar-
benar memahami konsep
dasar yang diinginkan.
Contoh kegiatan guru pada
tahap pengembangan, yaitu:
Guru memberikan
pertanyaan kepada siswa,
seperti:
Apakah konsep motor
listrik?
Jelaskan konsep kerja
motor listrik?
Pada fase ini karakter
siswa yang bisa
dikembangkan yaitu
disiplin, kreatif, kerja
keras, kerja sama, rasa
ingin tahu dan
tanggung jawab.
21
Apakah gunanya
komutator?
2) Guru dapat menambahkan
atau memperbaiki proses
sains yang lepas dari
pengamatan siswa dengan
pertanyaan yang ber-
hubungan dengan konsep
motor listrik tersebut.
Contoh kegiatan guru pada
tahap evaluasi ini yaitu:
Guru memberikan
pertanyaan antara lain:
Jika tidak ada magnet
permanen bisakah kita
membuat motor listrik?
Apakah semua energy
listrik menjadi energy
gerak?
Apakah arus dalam
kumparan itu bolak
balik atau searah?
3) Siswa mengembangkan
konsep-konsep yang telah
ditemukannya sendiri
melalui percobaan yang
telah dilakukan dan
mengubah konsep yang
salah sesuai arahan dari
guru. Siswa juga dapat
22
mengaplikasikan pemaham-
an konsep konstektualnya
berdasarkan apa yang sudah
mereka diskusikan ber-
dasarkan konsep motor
listrik tersebut.
Kelebihan kontruktivisme adalah siswa dapat berpikir untuk
menyelesaikan masalah, mengembangkan gagasan dan membuat
keputusan. Siswa dapat lebih paham karena terlibat secara langsung dalam
membina pengetahuan baru, dan mereka dapat mengapliksikannya dalam semua
situasi. Selain itu, siswa terlibat secara langsung dan aktif, sehingga mereka akan
ingat lebih lama terhadap semua konsep yang dipelajarinya. Di samping itu,
kemahiran sosial diperoleh ketika berinteraksi dengan rekan dan guru dalam
membina pengetahuan baru sehingga:
1. Memunculkan kesadaran bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa
sendiri,
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
mencari sendiri pertanyaannya,
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman
konsep secara lengkap, mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi
pemikir yang mandiri,
4. Menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
2.4 Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme
Kekurangan atau kelemahan dari konstruktivisme dapat kita lihat dalam
proses belajarnya yaitu peran guru sebagai pendidik menjadi lebih pasif
(hanya sebagai fasilitator) dan dapat timbul persepsi yang berbeda antara
siswa satu dengan yang lainnya.
a) Keunggulan Pendekatan Konstruktivisme
Keunggulan pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut.
23
1) Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berpikir untuk
menyelesaikan masalah, merencanakan ide dan membuat
keputusan.
2) Siswa terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru,
mereka akan lebih paham dan boleh mengaplikasikannya dalam
semua situasi.
3) Siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat
lebih lama semua konsep. Siswa mampu membina sendiri
pemahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan
menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4) Adanya kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan
rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
5) Siswa aktif dalam berbagai kegiatan, sehingga mereka paham,
ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat.
b) Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme
Kelemahan pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut.
1) Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru.
2) Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran berbasis konstruktivisme.
3) Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan
baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup
besar.
4) Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai
dengan mata pelajaran yang diasuh.
5) Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir.
6) Pembelajaran ini mengisyaratkan perubahan sistem evaluasi yang
belum diterapkan oleh guru.
7) Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru.
8) Adanya budaya negatif di lingkungan siswa.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
3.1.1. Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang
sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu.
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri.
3.1.2. Langkah-langkah dalam pengelolaan pembelajaran yang
konstruktivistik dapat dilihat dari tiga sisi yakni: persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi.
3.1.3. Dalam kegiatan pembelajaran terdapat tiga tahap yang perlu
dilaksanakan yakni tahap merancang RPP, tahap proses pembelajaran,
dan tahap penilaian. Terdapat empat sintak dalam pendekatan
kontruktivisme. Adapun keempat aspek tersebut adalah fase apersepsi,
eksplorasi, diskusi/penjelasan konsep, pengembangan dan aplikasi.
Dalam penerapan pendekatan kontruktivisme ini dapat berupa
skenario pembelajaran dan RPP.
3.1.4. Kekurangan atau kelemahan dari konstruktivisme dapat kita lihat
dalam proses belajarnya yaitu peran guru sebagai pendidik menjadi
lebih pasif (hanya sebagai fasilitator). Sedangkan keunggulan dari
25
pembelajaran konstruktivisme yaitu siswa dapat membangun sendiri
pengetahuannya.
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
3.2.1. Dalam pembelajaran di era sekarang ini yang merupakan
pembelajaran yang bersifat student center hendaknya kita sebagai
guru yang merupakan fasilitator dan moderator dapat menjalankan
fungsinya sehingga pembelajaran dapat berlasngsung secar efektif dan
efisien.
3.2.2. Dengan pembelajaran model kontruktivisme diharapkan bermakna
dan ada hubungan dengan kehidupan nyata siswa, sehingga mereka
termotivasi untuk mengarahkan dirinya sendiri dan menguji
pengetahuan atau pemahaman lama mereka dalam menyelesaikan
tugas tersebut.
26