bab i-ii

22
BAB I PENDAHULUAN Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung (Maggioni, 2005). Sekitar 900.000 orang di Inggris menderita gagal jantung. Dimana insindensi dan prevalensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Anonim, 2010). Data epidemiologi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa, diperkirakan sebanyak 20 dari 1000 individu berusia 65- 69 tahun menderita gagal jantung dan meningkat menjadi >80 dari 1000 individu pada usia lebih dari 84 tahun (Yanci et al., 2013). Sedangkan prevalensi gagal jantung pada negara-negara berkembang diperkirakan sebesar 2% (Mann dan Chakinala, 2012). Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap awal penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup (Davis, et al., 2000). 1

Upload: sinde-nijucimi-sekai

Post on 17-Sep-2015

227 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hytkuyvo8to8yovi8yopkuty7iu7viu7ty7utvti6rtyiu7vtiu7toi78y6vkjuhkci756clo87t6c ouy ckjuygkiuylvioy,jkyu75okitzxwutr5365876987

TRANSCRIPT

14

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung (Maggioni, 2005). Sekitar 900.000 orang di Inggris menderita gagal jantung. Dimana insindensi dan prevalensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Anonim, 2010). Data epidemiologi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa, diperkirakan sebanyak 20 dari 1000 individu berusia 65-69 tahun menderita gagal jantung dan meningkat menjadi >80 dari 1000 individu pada usia lebih dari 84 tahun (Yanci et al., 2013). Sedangkan prevalensi gagal jantung pada negara-negara berkembang diperkirakan sebesar 2% (Mann dan Chakinala, 2012).Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda tanda klinis pada tahap awal penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup (Davis, et al., 2000).Gagal jantung memiliki prognosis yang buruk. Di Inggris, 30-40% pasien yang terdiagnosis gagal jantung meninggal dalam setahun, akan tetapi angka mortalitasnya kurang dari 10% setiap tahunnya.(NHS guideline) Sedangkan angka mortalitas di Amerika Serikat adalah 50% dalam kurun waktu 5 tahun diagnosis (Yanci et al., 2013).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Jantung KongestifA.1 Definisi

Gagal jantung adalah ketidak-mampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat, maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks hemeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan- perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel dan mekanisme Frank-Starling. Dengan demikian, manifestasi klinis gagal jantung terdiri dari berbagai respon hemodinamik, renal, neural, dan hormonal yang tidak normal.

Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload.

Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di sistem vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif. Apabila tekanan pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang sering terjadi pada infark miokard akut, sehingga dalam waktu singkat menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum jantung sempat mengadakan mekanisme kompensasi yang kronis, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif akut (Kabo, 2010).A.2 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkemban yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial (Lip, et al., 2000).

Maka, secara umum, Penyebab gagal jantung kongestif dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyakit miokard sendiri dan gangguan mekanik pada miokard.

1. Penyakit pada miokard sendiri, antara lain :

a. Penyakit jantung koroner (penyakit jantung iskemik)

b. Kardiomiopati

c. Miokarditis dan penyakit jantung reumatik d. Iatrogenik akibat obat-obat seperti adriamisin atau akibat radiasi.

2. Gangguan mekanik pada miokard, terbagi atas :a. Kelebihan beban tekanan (pressure overload)Sebagai contoh : hipertensi, stenosis aorta, koartasio aorta b. Kelebihan beban volume (Volume overload)Sebagai contoh : insufisiensi aorta atau mitrai, penyakit jantung bawaan (left to right shunt) atau transfusi berlebihanc. Hambatan pengisianSebagai contoh : constrictive pericarditis atau tamponade jantung (Kabo, 2010).A.3 Patofisiologi

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi/remodelling dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Jackson, et al., 2000).

Seperti yang digambarkan pada gambar 1, remodeling struktural dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik). Sindrom gagal jantung yang simtomatik akan tampak bila timbul faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktivitas berlebihan,emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatik juga akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progresivitas penyakit yang mendasarinya /underlying HD.

Gambar 1. Skematik kompensasi pada gagal jantung

(Sumber : Pangabean, 2009)

A.4 Diagnosis

Akibat bendungan di berbagai organ dan low output, pada penderita gagal jantung kongestif gejala dan tanda berikut ini hampir selalu ditemukan.

a. Gejala paru berupa : dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Selain itu batuk batuk nonproduktif yang timbul pada waktu berbaring.

b. Gejala dan tanda sistemik berupa lemah, cepat capek, oliguri, nokturi, mual, muntah, desakan vena sentralis meningkat, takikardi, pulse pressure sempit, asites, hepatomegali dan edema perifer.

c. Gejala susunan saraf pusat berupa: insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.

Adapun kriteria yang kerap digunakan dalam menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif adalah kriteria Framingham. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal 2 kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai 2 kriteria minor. Kriteria minor tersebut dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan penyakit seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik (Kabo, 2010).

Tabel 1. Kriteria Framingham

(Sumber : Pangabean, 2009)

Kriteria mayorKriteria minor

Paroxysmal nocturnal dyspneaEdema malleolus bilateral

Distensi vena leherDyspnea pada aktivitas biasa

Ronki ParuTakikardia (>120/menit)

S3 gallopBatuk nocturnal

Kardiomegali (rasio kardiotorak >50% pada rontgen torak)Hepatomegali

Edema paru akutEfusi pleura

Refluks hepatojugularPenurunan dalam kapasitas vital dalam 1/3 dari maksimal

Peningkatan tekanan vena jugularis

Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari sebagai respon terhadap pengobatan

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai (Davies et al., 2000; Hobbs et al., 2000; Niemenen, 2005). Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru (Senni et al., 1999; Abraham dan Scarpinato, 2002).

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan (Davies et al., 2000; Niemenen, 2005).Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan (Davies et al., 2000).Berdasarkan gejala sesak napas yang terjadi, New-York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung kongestif menjadi 4 kelas yaitu:

Kelas 1 : Aktifitas sehari-hari tidak terganggu. Sesak timbul jika melakukan kegiatan fisik yang berat.

Kelas 2 : Aktifitas sehari-hari terganggu sedikit.

Kelas 3 : Aktifitas sehari-hari sangat terganggu. Merasa nyaman pada wakln istirahat.

Kelas 4 : Walaupun istirahat terasa sesakKelas NYHA ini bersifat reversibel artinya pasien dapat naik kelas dari kelas II ke III ataupun sebaliknya turun dari kelas III ke kelas II setelah mendapatkan pengobatan. Akan tetapi kerusakan struktur jantung bersifat irreversibel, artinya sekali rusak maka tetap rusak (Kabo, 2010).A.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penatalaksaan paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan progosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya.

Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelangsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna katup prostesis (Gibbs et al., 2000).

Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi penatalaksaan non farmakologis dan farmakologis. Gagal jantung kronis bisa terkompensasi ataupun dekompensasi. Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yang mungkin timbul adalah episode udema paru akut maupun malaise, penurunan toleransi latihan dan untuk menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat (Lee, 2005).

Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi dan pemberian natrium bikarbonat utnuk memperbaiki asidosis (Gibbs et al., 2000).

Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid dengan dosis 40 mg-80 mg IV/24 jam. Hal ini akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasodilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan (Davies, 2000).

Penatalaksanan Umum dari gagal jantung kronis tanpa Obat-obatan meliputi Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan

Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual, serta rehabilitasi

Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol

Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba

Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas

Hentikan kebiasaan merokok.

Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus

Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia kias I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid

Sedangkan untuk penatalaksanaan dengan obat-obatan

Angiotensin-Converting enzyme inhibitor Diuretik

Penyekat beta

Antagonis reseptor aldesteron

Antagonis reseptor angiotensin II

Glikosida jantung Vasodilator agents (nitrat/hidralazin)

Nesiritid, merupakan peptid natriuretik tipe B

Obat inotropik positif, dobutamin, milrinon, enoksimon

Calcium sensitizer, levosimendan Antikoagulan

Anti aritmia

Oksigen (Ghani, 2009)B. Edema

B.1 DefinisiEdema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh, pada praktik klinik sehari-hari yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor- faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta berpindahnya air dari intravaskular ke interstitium.

B.2 Patofisiologi

Edema terjadi pada kondisi di mana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik interstisial, atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai peran sentral dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraselular melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormon antidiuretik disekresikan sebagai respons terhadap perubahan dalam volume darah, tonisitas dan tekanan darah untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Konsep Volume Darah Arteri Efektif (VDAE) merupakan hal penting dalam memahami mengapa ginjal menahan natrium dan air. VDAE didefinisikan sebagai volume darah arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah arteri. VDAE yang normal terjadi pada kondisi di mana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondisi terjadi pengurangan volume darah arteri (perdarahan, dehidrasi), penurunan curah jantung (gagal jantung) atau peningkatan capacitance pembuluh darah arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga VDAE dapat berkurang dalam keadaan volume darah aktual yang rendah, normal atau tinggi. Pada- orang normal, pembebanan natrium akan meningkatkan volume ekstraseluler dan VDAE yang secara cepat merangsang natriuresis untuk memulihkan volume tubuh normal. Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air.

Penurunan VDAE akan mengaktifasi reseptor volume pada pembuluh darah besar, termasuk low-pressure baroreceptors, intrarenal receptors sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis yang akan menurunkan aliran darah pada ginjal. Jika aliran darah ke ginjal berkurang akan dikompensasi oleh ginjal dengan menahan natrium dan air melalui mekanisme sebagai berikut:

B.2.a Peningkatan reabsorbsi garam dan air di tubulus proksimalis Penurunan aliran darah ke ginjal dipersepsikan oleh ginjal sebagai penurunan tekanan darah sehingga terjadi kompensasi peningkatan sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus. Renin akan meningkatkan pembentukan angiotensi II, angiotensin II ini akan menyebabkan kontriksi arteriol eferen sehingga terjadi peningkatan fraksi filtrasi (rasio laju filtrasi glomerulus terhadap aliran darah ginjal) dan peningkatan tekanan osmotik kapiler glomerulus. Peningkatan tekanan osmotik ini akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi air pada tubulus proksimalis.B.2.b Peningkatan reabsorbsi natrium dan air tubulus distalis.

Angiotensin II akan merangsang kelenjar adrenal melepaskan aldosteron, aldosteron ini akan menyebabkan retensi natrium pada tubulus kontortus distalis.

Penyebab umum edema:

1. Penurunan tekanan osmotik Sindrom nefrotik Sirosis hepatis

Malnutrisi

2. Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap protein

Angioneurotik edema

3. Peningkatan tekanan hidrostatik

Gagal jantung kongestif Sirosis hepatis

4. Obstruksi aliran limfe

Gagal jantung kongestif

5. Retensi air dan natrium

Gagal ginjal

Sindrom nefrotik (Ghanie, 2009)B.3 Edema pada Gagal Jantung Kongestif

Gagal jantung kongestif ditandai kegagalan pompa jantung, saat jantung mulai gagal memompa darah, darah akan terbendung pada sistem vena dan saat yang bersamaan volume darah pada arteri mulai berkurang. Pengurangan pengisian arteri ini (direfleksikan pada VDAE) akan direspons oleh reseptor volume pada pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi sistem saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha untuk mempertahankan curah jantung yang memadai.

Akibat vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan ke pembuluh darah otak, jantung dan paru, sementara ginjal dan organ lain akan mengalami penurunan aliran darah. Akibatnya VDAE akan berkurang dan ginjal akan menahan natrium dan air.

Kondisi gagal jantung yang sangat berat, juga akan terjadi hiponatremia, ini terjadi karena ginjal lebih banyak menahan air dibanding dengan natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin. Keadaan ini diperberat oleh tubulus proksimal yang juga menahan air dan natrium secara berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang

Di lain pihak, ADH juga merangsang pusat rasa haus, menyebabkan peningkatan masukan air.Terapi edema harus mencakup penyebab mendasarinya yang reversibel (jika memungkinkan pengurangan asupan sodium) harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis. Pada beberapa pasien terapi non farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yakni kurang dari jumlah yang diekskresikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki di atas level dari atrium kiri. Pada kondisi tertentu diuretik harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis.

Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang mendasarinya, berat ringannya penyakit dan urgensi penyakitnya. Efek diuretik berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal.

Klasifikasi diuretik berdasarkan tempat kerja:

1. Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimalis

Carbonic anhydrase inhibitor: asetazolamid (Diamoks)

Phosphodiesterase inhibitor: teofilin

2. Diuretik yang bekerja pada loop of henle

Sodium-potassium chloride inhibitors: bumetanid (Bumeks), ethacrynic acicl (Edecrin), furosemid (Lasix)

3. Diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal

Sodium chloride Inhibitors: klortalidon (Higroton), hidroklorotiazid (Esidriks), metolazon (Diulo)

4. Diuretik yang bekerja pada cortical collecting tubule

Antagonis aldosteron: spirono lakton (Aldakton)

Sodium Channel blockers: amilorid (Midamor), triamterene (Direnium) (Efendi dan Pasaribu, 2009)2

1