9.bab i & bab ii
TRANSCRIPT
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
1/15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik merupakan kelainan
kongenital dimana tidak dijumpai pleksus auerbach, pleksus meissner dan pleksus henle
yang mengakibatkan inkoordinasi gerakan peristaltik, sehingga terjadi hambatan pasase
usus. Kelainan ini mulai dari sfingter ani internal ke arah proksimal dengan jarak yang
bervariasi yaitu pada rektosigmoid (short segment) sekitar 75%, kolon ascendes atau
kolon tranversum (long segment) sekitar 17%, sedangkan pada seluruh kolon bahkan
melibatkan beberapa sentimeter ileum bagian distal (Total Colonic Aganglionois
(TCA)) hanya 8%.2,3
Obstruksi fungsional yang ditimbulkan oleh persarafan abnormal usus bagian
distal biasanya bermanifestasi sebagai obstruksi letak rendah sejak lahir. Keluarnya tinja
mekonium pertama tertunda sampai 24 jam atau lebih merupakan tanda klinis yang
signifikan.1 Pemeriksaan yang digunakan untuk membantu mendiagnosa penyakit
Hirschsprung mencangkup biopsi rektum, manometri anal, pemeriksaan radiologis foto
polos abdomen dan enema barium.2
Penyakit Hirschsprung disebabkan oleh kegagalan migrasi sel sel saraf
parasimpatis mienterikus dari sefalo ke kaudal sehingga terjadi ileus fungsional dan
dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang proksimal.
Okamoto dan Ueda lebih lanjut menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi
akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke
distal mengikuti serabut serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai
rektum dari minggu ke 5 12 kehamilan.16
Ruysch (1691) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang
aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa megakolon.8,28
Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas
gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai megakolon
kongenital. Tetapi pada pembuktian bahwa penyakit Hirschsprung merupakan
megakolon sekunder terhadap obstruksi. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan
kematian 2 orang pasiennya masing masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita
konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah
1
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
2/15
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
3/15
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
4/15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati
sekitar dua atau tiga inchi pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran
kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum,
descendens, dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu
dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci
terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan
internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9 inchi.1
1
3
2
4
6
5
7
8
Gambar 1.1 Vaskularisasi sistem arteri pada re k tum :
1.Aorta pars abdominalis, 2. A.Iliaka communis, 3. Aa.Messenterika Inferior,
4. A.Rektalis superior, 5. A.Iliaka interna, 6. A.iliaka eksterna,
4
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
5/15
7.a. Rektalis media, 8.a.Rektalis inferior
Vaskularisasi kolon diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri
mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai
dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga
cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media.
Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari
sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika
inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis
superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi pada daerah rektum diatur oleh arteria
sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. 11,12
1
3
2
4
6
5
7
8
Gambar 1.2 Vaskularisasi sistem vena pada r ektum :
1.V.Cava Inferior, 2. V.Iliaka Communis, 3. V.Mesenterika Inferior,
4. V.rektalis superior, 5. V.Iliaka eksterna,6.V.iliaka interna, 7. V.rektalis media,
8. Vv.Rektalis inferior
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena
mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari
sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. 12
5
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
6/15
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus
ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral
mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis
medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika dan bersinaps
dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus
mienterikus (Aurbach) dan submukosa (meissner). Perangsangan simpatis
menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang
paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus
intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya.6
2.2. INSIDEN
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1 kasus
diantara 5400 7200 kelahiran hidup. Insidensi penyakit Hirschsprung di Indonesia
tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar satu diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono
mencatat 20 40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN
Cipto Mangunkusomo Jakarta.2
Awal 1900an penyakit ini umumnya terdiagnosa pada anak usia 2 3 tahun.
Tahun 1950 1970 pada usia 2 6 bulan. Saat ini hampir 90 % penyakit Hirschprung
sudah terdiagnosa pada periode neonatus. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada laki
laki daripada wanita, dengan rasio perbandingan 4 : 1. Namun jika segmen usus yang
aganglionosis lebih panjang maka insidensi pada wanita lebih besar daripada laki laki.
Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada colon
(sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22
pasangan kembar yang terkena yang kebanyakan mengalami long segment
aganglionosis.15
2.3. ETIOLOGI
Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari kristaneuralis menuju
saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah distal. Padaminggu ke lima kehamilan sel sel saraf tersebut akan mencapai esofagus, pada
6
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
7/15
minggu ke tujuh mencapai mid gut dan akhirnya mencapai kolon pada minggu ke dua
belas. Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel sel krista neuralis akan melakukan
proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh saluran pencernaan. Sel
sel tersebut kemudian berkelompok membentuk agregasi badan sel. Kelompok
kelompok ini disebut ganglia yang tersusun atas sel sel ganglion yang berhubungan
dengan sel bodi saraf dan sel sel glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua
lingkaran cincin pada stratum sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam
disebut pleksus submukosus Meissnerr dan bagian luar disebut pleksus mienterikus
Auerbach.28
Terjadinya segmen usus yang aganglionik pada penyakit Hirschsprung
diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal dari sel kristaneuralis di
daerah kolon distal. Pada tahun 1994 ditemukan dua gen yang berhubungan dengan
kejadian penyakit Hirschsprung yaitu mutasi gen RET (receptor tyrosin kinase) dan
mutasi gen EDNRB (endothelin receptor B). Mutasi RET yang berlokasi pada
kromosom 10q11.2 menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular yang
diperlukan dalam pertumbuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Sedangkan gen
EDNRB yang berlokasi pada kromososm 13q22 diperlukan untuk perkembangan dan
pematangan sel sel kristaneuralis yang mempersarafi kolon. Defek dari mutasi genetik
ini adalah mengganggu atau menghambat persinyalan yang penting untuk
perkembangan normal dari sistem saraf enterik.19
2.4. PATOFISIOLOGI
Usus normal menerima sistem persarafan secara intrinsik dari sistem persarafan
parasimpatik (kolinergik) dan simpatik (adrenergik). Serabut saraf kolinergik
menyebabkan rangsangan pada usus (kontraksi) dan menghalang sfingter ani,
sedangkan serabut serabut adrenergik menghalang usus (relaksasi) dan mengaktifkan
sfingter ani. Sebagai tambahan, terdapat satu lagi sistem saraf intrinsik enterik yang luas
di dalam dinding usus sendiri yang tersusun dikenali sebagai serabut saraf penghalang,
non-adrenergic non-cholinergic (NANC)' yang berfungsi dalam pengaturan sekresi
intestinal, pergerakan usus serta pertahanan mukosa. Sel sel ganglion
mengkoordinasikan aktivitas otot usus dengan mengimbangkan sinyal yang diterima
dari serabut saraf adrenergik dan kolinergik, dan dari serabut penghalang intrinsik
(enterik) NANC.17
7
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
8/15
Pada Penyakit Hirschprung, sel sel ini tidak dijumpai sehingga koordinasi
kontraksi dan relaksasi pada usus tidak terjadi. Ketiadaan serabut saraf penghalang
NANC dari sistem saraf enterik dan transmitter neuropeptidanya menyebabkan spasme
pada usus. Peptida Vasoaktif intestinal (VIP) adalah relaksan utama pada sfingter ani
internus; VIP mengandung serabut serabut saraf yang tidak terdapat pada usus
aganglionik penderita Penyakit Hirschsprung. Nitrit Oksida (NO) adalah suatu
neurotransmitter dalam saraf penghalang NANC, yang menyebabkan relaksasi pada
dinding usus. Produksi NO secara normalnya terdapat pada pleksus enterik dalam usus.
Kekurangan NO dan serabut saraf yang mengandung VIP pada usus aganglionik
penderita Hirschsprung mungkin merupakan faktor utama dalam patofisiologi penyakit
ini.17
2.5. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit Hirschsprung adalah sebagai berikut:
1. Hirschsprung segmen pendek
Pada Hirschsprung segmen pendek daerah aganglionik meliputi rektum sampai
sigmoid, ini disebut penyakit Hirschsprung klasik. Ini terbanyak (80%) ditemukan
pada laki laki, yaitu lima kali lebih banyak daripada perempuan.
2. Hirschsprung segmen panjang
Pada Hirschsprung segmen panjang ini daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari
sigmoid.
3. Hirschsprung kolon aganglionik total
Dikatakan Hirschsprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik mengenai
seluruh kolon.
4. Hirschsprung kolon aganglionik universal
Dikatakan Hirschsprung aganglionosis universal bila daerah aganglionik meliputi
seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.15
2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit Hirschprung harus ditegakkan secara dini, keterlambatan
diagnosis menyebabkan timbulnya komplikasi seperti perforasi, enterokolitis, dan sepsis
yang merupakan penyebab kematian tersering.2
2.6.1. Pemeriksaan Klinis
8
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
9/15
Pemeriksaan klinis pada penyakit Hirschsprung dapat di bedakan berdasarkan
usia gejala klinis mulai terlihat :
1. Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran
mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang
signifikan. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan gejala pada enterokolitis berupa
diare, distensi abdomen, feses berbau busuk dan disertai demam. 2,8,28
2. Periode Anak. Pada anak gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan
gizi buruk(failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding
abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feses biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
defekasi. 2,8,28
2.6.2. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi
Biopsi yang dilakukan dapat dengan dua cara yaitu biopsi rektal dengan
pengambilan sample yang tebal dan biopsi rektal dengan penyedotan sederhana.
Keuntungan cara yang pertama adalah hasil Patologi Anatomi yang didapatkan
mempunyai gambaran yang khas namun cara ini agak rumit karena sebelum biopsi
dilakukan prosedur seperti operasi dengan anastesi umum, serta resiko perdarahan lebih
besar.2
Cara yang kedua mempunyai keuntungan berupa prosedurnya yang tidak rumit,
resiko perdarahan lebih sedikit, akan tetapi gambaran Patologi Anatominya tidak khas.
Hasil PA penyakit Hirschprung pada umumnya didapatkan dinding rektum dari lapisan
mukosa sampai muskularis tidak didapatkan adanya ganglion Meissner dan Aurbach.2
2. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto polos abdomen terlihat adanya zona transisi antara kolon
proksimal (mengalami dilatasi) dan kolon distal (mengalami obstruksi). Ini disebabkan
oleh nonrelaksasi bagian usus yang aganglionik.2
Pada foto dengan enema barium, terlihat lumen rektosigmoid kecil, bagian
proksimalnya terlihat daerah transisi dan kemudian melebar. Gambaran zona transisinya
yaitu abrupt (perubahan mendadak dari segmen sempit ke segmen dilatasi), cone
9
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
10/15
(berbentuk seperti corong atau kerucut) dan funnel (bentuk seperti cerobong).
Permukaan mukosa di bagian usus yang melebar tampak tidak teratur karena proses
enterokolitis. Enema barium tidak perlu diteruskan kearah proksimal bila tanda tanda
penyakit Hirschsprung yang khas tersebut di atas sudah terlihat. Apabila tanda tanda
yang khas tersebut tidak dijumpai, maka pemeriksaan enema barium diteruskan untuk
mengetahui gambaran kolon proksimal. Mungkin ditemukan penyebab yang lain. Pada
penyakit Hirschsprung dengan gambaran foto enema barium yang tidak jelas dapat
dilakukan foto retensi barium. Foto dapat dibuat 24 sampai 48 jam setelah foto enema
barium pertama. Pada foto retensi, barium masih terlihat di kolon proksimal, tidak
menghilang atau terkumpul di daerah distal. Dan mungkin mencapai tanda tanda khas
penyakit Hirschsprung yang lebih jelas.2
Gambar 1.3 Pada gambar enema barium tampak rektum mengalami penyempitan,
dilatasi sigmoid, dan daerah transisi yang melebar.
3. Pemeriksaan Manometri
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal.
Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis,
radiologis dan histologis meragukan. Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik
adalah :
a. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.
b. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik.
c. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi sfinkter interna setelah
distensi rektum akibat desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan.2,9,18
10
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
11/15
2.7.1. PENATALAKSANAAN
2.7.2. Penatalaksanaan Preoperatif
Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah tindakan
preoperatif harus dikerjakan terlebih dahulu. Pada penderita dalam keadaan konstipasi
dan diare yang bergantian maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan
pemberian cairan intra vena, antibiotik dan pemasangan pipa lambung. Apabila sebelum
operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka dilakukan tindakan penyelamatan
atau life saving on enterokolitis yaitu pencegahan terhadap hipotermi, terapi antibiotik
profilaksis secara intravena, dan melakukan wash outdengan cairan fisiologis 2 3 kali
perhari selama 3 sampai 4 hari.7
2.7.2. Penatalaksanaan Operatif
1. Penatalaksanaan Sementara
Tindakan bedah sementara adalah melakukan diversi feses dalam bentuk stoma atau
kolostomi. Kolostomi dibuat pada bagian usus yang sudah mengandung ganglion,
biasanya dibuat sigmoidostomi one loop, yaitu anus dan ujung paling proksimal dari
bagian usus yang aganglioner dijahit rapat atau ditutup kemudian bagian sigmoid yang
mengandung ganglion ini dimuarakan pada kulit.26
Kolostomi dikerjakan pada:
a. Pasien neonatus, karena tindakan bedah definitif langsung tanpa kolostomi
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian yang disebabkan oleh kebocoran
anastomosis dan abses rongga pelvis.
b. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis. Pasien kelompok ini
mempunyai kolon yang sangat terdilatasi dengan kolostomi ukuran kolon akan
mengecil kembali dalam waktu 3 6 bulan sehingga anastomosis nantinya lebih
mudah.
c. Pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum yang buruk.8
2. Penatalaksanaan Definitif
a. Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi sfingter
ani, anastomosis dilakukan secara langsung. Pembedahan ini disebut sebagai
prosedur tarik terobos atau pull through abdominoperineal. Dalam prosedur ini
11
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
12/15
puntung rektum ditinggalkan 2 3 cm dari garis mukokutan. Rektum yang
ditinggalkan sebenarnya merupakan segmen yang masih aganglionsis yang tidak
direseksi karena dapat terjadi inkontinensia. Prosedur ini dikenal sebagai Swenson I.
Untuk mengurangi apasme sfingter ani, Swenson melakukan sfingterotomi posterior
yaitu puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 1 cm di bagian
posterior, dikenal sebagai Swenson II.25,28
b. Prosedur Duhamel
Teknik prosedur duhamel tahun 1956 adalah dengan mempertahankan rektum, kolon
proksimal ditarik rektorektal transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal end to
side. Prosedur ini sering terjadi stenosis, inkontinensia, dan pembentukan fekaloma
dalam puntung rektum yang ditinggalkan terlalu panjang. Untuk mengatasi hal
tersebut dilakukan berbagai modifikasi. Prinsipnya adalah membiarkan rektum tetap
ada, kemudian usus yang normal persarafannya dimasukkan ke dalam rektum melalui
celah pada dinding posterior dari arah retrorektal. Dinding rektum bagian depan yang
aganglionik tetap ada, sehingga reflek kontrol defekasi tetap baik. Dinding belakang
rektum nantinya terdiri dari kolon yang normal. Pada permulaan operasi, rektum
ditutup dan dipotong kemudian kolon proksimal dipotong sampai pada daerah yang
diinginkan pada daerah dengan persarafan normal. Duhamel sendiri menganjurkan
seluruh kolon yang menyempit dan yang melebar direseksi karena biasanya bagian
tersebut atoni dan mudah terjadi pengerasan feses. Pada tahap berikutnya dilakukan
insisi endoanal, yaitu insisi semisirkular pada dinding posterior dan kanalais analis
kira kira 1 cm di atas pinggir anus. Mukosa dan sfingter dibuka langsung ke arah
retrorektal yang sudah dibebaskan sebelumnya. Kedua ujung insisi ditahan dengan
jahitan sementara, sebagai tempat untuk anastomosis koloanal. Ujung yang normal
persarafannya diturunkan melalui daerah retrorektal menembus mukosa dan keluar
melalui anus.27
c. Prosedur Soave
Soave melakukan prosedur bedah dengan pendekatan abdominoperineal dengan
membuang lapisan mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskuler, selanjutnya
dilakukan penarikan kolon normal keluar anus melalui selubung seromuskuler
rektosigmoid. Prosedur ini disebut pula sebagai prosedur tarik terobos endorektal,
kemudian setelah 21 hari sisa kolon yang diprolapkan dipotong. Hal penting yang
diperhatikan pada teknik ini adalah membebaskan rektum, diseksi tepat pada dinding
rektum, terus ke bawah ke arah sfingter, kemudian reseksi seluruh anus yang
12
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
13/15
mengandung segmen aganglionik. Kedua ujung yang dipotong yakni bagian
proksimal, yaitu usus yang normal dan bagian distal yang patologik ditutup
sementara dengan jahitan. Setelah rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya, ujung
rektum dibalik / prolaps ke arah anus. Ujung bagian proksimal yang normal
persarafannya dilakukan pull-through melalui lumen rektum yang terbalik, kemudian
dilakukan anastomosis dengan ujung anorektal. Anastomosis dilakukan di perineal
dan bukan intraabdominal. Letak anastomosis tepat di atas anus. Reseksi rektum
meninggalkan 1,5 cm dinding rektum bagian depan dan hampir seluruh rektum
bagian belakang.22,23,24
d. ProsedurTransanal Endorectal Pull Through
Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan dilatasi anus
dan pembersihan rongga anorektal dengan povidon iodine, mukosa rektum diinsisi
melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga
submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa
yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga
terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa.4
2.7.3. Penatalaksanaan Post Operatif
Pada awal periode post operatif, pemberian makanan peroral rata rata dimulai
pada hari kedua sesudah operasi dan pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai pada
pertengahan hari ke empat pada pasien yang sering muntah pada pemberian makanan.
Intolerasi protein dapat terjadi selama periode ini dan memerlukan perubahan formula.
ASI tidak dikurangi atau dihentikan.7 Antibiotik diberikan sampai 2 hari pasca operasi.
Pengawasan yang teliti pada daerah perineum untuk mencegah terjadinya infeksi
dengan melihat ada tidaknya eritema atau selulitis. Untuk mencegah ekskoriasis
diberikan salf zinc dan tiap hari kasa betadin diganti untuk menutup irisan operasi. 5
2.8. PROGNOSIS
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang
mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10 %
pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20 %.14
Hekkinen (1997) mengusulkan 7 parameter objektif untuk menilai fungsi anorektaldengan masing masing memiliki skor. Selain untuk mendapatkan penilaian kuantitatif,
13
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
14/15
sistem skoring ini juga untuk menyeragamkan penilaian terhadap fungsi anorektal
dimana sebelumnya penilaian berbeda beda diantara para ahli bedah. Meskipun
parameter yang disampaikan Heikkinen dkk bukanlah hal yang baru, namun
menggabungkan parameter tersebut dan membuatnya sebagai suatu sistem skoring
merupakan terobosan baru dalam menilai fungsi anorektal. Skor 14 diartikan bahwa
penderita tidak mendapat gangguan anorektal sama sekali, layaknya orang normal.
Penderita dengan skor antara 10 13 dikelompokkan sebagai kontinensia baik yakni
diyakini penderita tidak memiliki gangguan sosial yang berarti, tidak memiliki
keterbatasan dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari hari, baik dalam pekerjaan
maupun berolah raga. Kontinensia sedang adalah penderita dengan skor antara 5 9
dimana penderita diyakini memiliki keterbatasan dalam kehidupan sosialnya terutama
akibat adanya kecipirit, serta obstipasi yang berulang. Sedangkan skor 4 atau lebih kecil
disebut inkontinensia total yang menimbulkan gangguan sosial yang berat serta
keterbatasan yang bermakna dalam pekerjaan serta selalu memerlukan koreksi bedah. 10
14
-
7/28/2019 9.BAB I & BAB II
15/15
Tabel 2.1 Penilaian fungsi anorektal menurut Hekkinen
15
No. Yang Diamati Skor
1. Frekensi buang air dalam 1 hari
a. 1 2 kali2
b. 3 5 kali 1
c. lebih dari 5 kali 0
2. Bentuk (konsistensi) tinja
a. Padat 2
b. Lunak 1
c. Cair 0
3. Buang air besar tanpa disadari :
a. Tidak pernah 2
b. Selalu, jika sedang stres 1
c. Selalu setiap waktu 0
4. Perasaan ingin buang air besar (kebelet)a. Ada 2
b. Terus menerus, meski feses sudah keluar 1
c. Tidak pernah ada 0
5. Lamanya kemampuan menahan perasaan ingin buang air
besar sebelum mendapat tempat (WC) yang diinginkan :
a. Beberapa menit 2
b. Beberapa detik 1
c. Tidak mampu sama sekali 0
6. Kemampuan mengenali/memisahkan bentuk tinja yang akan
keluar (Apakah padat, cair atau gas ) :
a. Mampu 2
b. Mampu kalau sedang buang air besar saja 1
c. Tidak mampu 0
7. Pemakaian obat-obatan untuk memperlancar buang air
besar :
a. Tidak perlu 2
b. Kadang-kadang 1
c. Selalu 0