bab i & ii

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kreativitas menjadi topik yang kurang mendapatkan perhatian pada zaman dahulu. Beberapa alasan yang menjadikan kreativitas sebagai topik yang kurang mendapatkan perhatian adalah karena adanya pandangan tradisional bahwa kreativitas merupakan faktor turunan (Hawadi, 2001), sehingga kreativitas merupakan bawaan yang tidak dapat berkembang karena faktor lain selain keturunan. Rendahnya rasa percaya diri pada kebanyakan orang bahwa dirinya memiliki kreativitas yang baik, akan dapat menjadi faktor penghambat bagi berkembangnya kreativitas. Pandangan bahwa inteligensi lebih penting daripada kreativitas, orang-orang beranggapan bahwa orang yang memiliki inteligensi tinggi akan lebih sukses daripada orang-orang yang kreatif, dan menurut kebanyakan orang bahwa kreativitas tidak dapat diukur (Hawadi, 2001) Kreativitas mulai menjadi topik perhatian ketika memasuki pertengahan abad ke-20, tepatnya

Upload: aiuck-sucai

Post on 24-Jul-2015

81 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I & II

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Kreativitas menjadi topik yang kurang mendapatkan perhatian pada

zaman dahulu. Beberapa alasan yang menjadikan kreativitas sebagai topik

yang kurang mendapatkan perhatian adalah karena adanya pandangan

tradisional bahwa kreativitas merupakan faktor turunan (Hawadi, 2001),

sehingga kreativitas merupakan bawaan yang tidak dapat berkembang karena

faktor lain selain keturunan. Rendahnya rasa percaya diri pada kebanyakan

orang bahwa dirinya memiliki kreativitas yang baik, akan dapat menjadi

faktor penghambat bagi berkembangnya kreativitas. Pandangan bahwa

inteligensi lebih penting daripada kreativitas, orang-orang beranggapan bahwa

orang yang memiliki inteligensi tinggi akan lebih sukses daripada orang-orang

yang kreatif, dan menurut kebanyakan orang bahwa kreativitas tidak dapat

diukur (Hawadi, 2001)

Kreativitas mulai menjadi topik perhatian ketika memasuki

pertengahan abad ke-20, tepatnya pada tahun 1950. Pada tahun 1950 mulai

banyak penelitian yang menggunakan topik kreativitas, kemudian penelitian

yang menggunakan topik kreativitas semakin bertambah banyak pada tahun

1975 sampai dengan 1994. Sternberg dan Lubart melakukan pencarian artikel

jurnal pada database dengan menggunakan kata kunci creativity, divergent

thinking, dan creativity measurement, hasilnya artikel jurnal yang menjadikan

kreativitas sebagai topik penelitian semakin meningkat (Sternberg, 2004: 3).

Penelitian yang menjadikan kreativitas sebagai topik saat ini semakin

berkembang karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka

pendapat orang-orang terdahulu tentang kreativitas yang dianggap kurang

perlu untuk diberikan perhatian dan untuk dikembangkan, terhapus sudah.

Page 2: BAB I & II

Perkembangan zaman yang menuntut agar individu menjadi pribadi

yang memiliki inteligensi baik dan kreatif semakin hangat dirasakan. Individu

yang memiliki inteligensi baik dapat terus bertahan dan semakin maju karena

ilmu pengetahuan dan teknologi akan semakin berkembang dengan seiring

bergantinya zaman. Individu yang memiliki inteligensi baik juga dapat

disejajarkan dengan individu yang memiliki kreativitas tinggi. Ketika zaman

terus berganti, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, semakin

banyak orang-orang yang memiliki inteligensi baik, maka orang-orang yang

dapat bertahan adalah orang-orang yang memiliki keunikan dan ciri khas yang

membedakannya dari orang lain. Orang-orang tersebut adalah orang-orang

yang memiliki kreativitas yang tinggi. Seperti yang disebutkan dalam

(Hawadi, 2001) seorang pakar pendidikan Amerika, Renzulli (1981) bersama

dengan dua orang temannya Sally dan Reis yang dikenal dengan konsep

mereka “Three Rings Conception” mengatakan bahwa mereka yang memiliki

keunggulan dan mampu untuk berprestasi tinggi adalah mereka yang memiliki

ciri-ciri yaitu kemampuan diatas rata-rata, kreativitas, serta pengikatan diri

terhadap tugas.

Tiga ciri yang disebutkan dalam “Three Rings Conception” saling

memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Dalam arti bahwa orang-orang

yang memiliki inteligensi baik juga dituntut untuk memiliki kreativitas

sebagai kemampuan untuk bersikap luwes (flexibility), lancar dalam

memberikan pendapatnya (fluency), mampu menciptakan sesuatu yang baru

(originality) serta kemampuannya memperkaya suatu ide (elaboration),

namun di satu pihak juga dituntut memiliki tanggung jawab terhadap tugas

yang diberikan pada dirinya (Hawadi, 2001)

Tiga ciri dalam “Three Rings Conception” hendaknya terkandung di

dalam pendidikan, karena pendidikan sebagai tempat untuk menghasilkan

calon-calon penerus bangsa yang dibutuhkan untuk kemajuan negara.

Page 3: BAB I & II

Kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini menggunakan kurikulum tahun

2006 yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

KTSP memiliki ciri-ciri (http://blog.tp.ac.id/pelaksanaan-kurikulum-

pendidikan-di-indonesia, diakses pada 23 September 2011) sebagai berikut:

1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara

individual maupun secara klasikal

2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan

keberagaman, penyampaian dalam pembelajaran menggunakan

pendekatan dan metode yang bervariasi

3. Sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber belajar

lainnya yang memenuhi unsur edukatif

4. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya

penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi

5. Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum

berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa

sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana

pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah

ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan

kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga

pengembangan silabusnya.

Kenyataan yang harus disadari adalah praktek dari KTSP masih

kurang mencakup tiga ciri dalam “Three Rings Conception”. Guru sebagai

pengajar dalam dunia pendidikan dinilai kurang berkompeten dan kurang

kreatif seperti yang diungkapkan oleh empat pakar pendidikan asal Jepang

(http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/25/17192010/Guru.Dituntut.Kreatif

.dan.Inovatif, diakses pada 25 April 2012). Pendidikan di Indonesia

memberikan porsi yang lebih untuk peningkatan inteligensi dan tanggung

jawab terhadap tugas saja, sedangkan untuk perkembangan kreativitas masih

kurang diberikan porsi yang cukup.

Page 4: BAB I & II

Pendidikan di Indonesia lebih banyak menuntut siswa untuk berfikir

konvergen, yaitu berfikir pada satu hasil tertentu saja. Pertanyaan yang dibuat

untuk siswa berupa pertanyaan tertutup yang memerlukan satu jawaban saja,

dengan mengandalkan pada ingatan atau hafalan. Cara berfikir konvergen

dapat meningkatkan inteligensi, namun kreativitas siswa tidak dapat

berkembang. Sebaliknya, melalui cara berfikir divergen, siswa dapat

memberikan serangkaian alternatif jawaban dan mengembangkan kemampuan

memecahkan masalah (Hawadi, 2001). Maka melalui cara berfikir divergen,

kreativitas siswa dapat berkembang.

Cara berfikir divergen untuk menunjang perkembangan kreativitas

dapat melalui kegiatan-kegiatan yang menyenangkan sehingga anak

melakukannya dengan senang hati dan tanpa paksaan, kegiatan-kegiatan yang

menyenangkan dapat berupa kegiatan bermain. Kegiatan bermain memiliki

fungsi untuk mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya

cipta (kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan, melepaskan

ketegangan, dan terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan perkembangan

lainnya (dalam penelitian yang berjudul Model Permainan di Sekolah Dasar

Berdasarkan Pendekatan DAP (Developmentally Appropriate Practice) oleh

Rochdi Simon, Tatat Hartati, Arsilah, & Imas Faridah).

Ketika anak memasuki masa SD (Sekolah Dasar), sebagian besar

waktu anak digunakan untuk belajar dan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah),

sehingga anak menjadi jarang melakukan permainan seperti ketika masih usia

prasekolah (Hurlock, 2004: 159). Permainan yang populer pada usia SD

adalah bermain konstruktif. Bermain konstruktif merupakan permainan yang

membuat sesuatu hanya untuk bersenang-senang saja, tanpa memikirkan

manfaatnya (Hurlock, 2004: 160). Permainan konstruktif berupa permainan

membentuk, membangun, menyusun, memperbaiki potongan-potongan benda

menjadi sebuah bentuk yang sesuai dengan yang telah ada di kehidupan.

Page 5: BAB I & II

Jenis permainan yang kami pilih dalam penelitian ini adalah jenis

permainan konstruktif berupa permainan jigsaw puzzle. Permainan jigsaw

puzzle merupakan suatu permainan menyusun dan memperbaiki potongan-

potongan gambar yang telah ada menjadi suatu gambar yang utuh. Untuk

menyelesaikan permainan jigsaw puzzle, maka yang diperlukan adalah

memilih dan menentukan beberapa alternatif cara untuk menyusun potongan-

potongan gambar agar dapat disusun sehingga membentuk suatu gambar yang

utuh kembali. Cara menyusunnya bebas sesuai dengan kehendak para

pemainnya, karena cara yang dapat digunakan untuk menyusun adalah

beragam cara, sehingga para pemain dapat bebas menentukan beberapa

alternatif cara untuk memecahkan permainan tersebut.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang akan

diperhatikan dalam eksperimen ini adalah pembuktian adanya peningkatan

kreativitas pada anak usia 8 tahun setelah bermain jigsaw puzzle.

1.3 PEMBATASAN MASALAH

Pembatasan masalah dalam eksperimen ini adalah:

1. Permainan

Permainan terdiri dari berbagai macam model dan cara memainkannya.

Media yang digunakan juga bervariasi. Permainan dilakukan untuk mengisi

waktu luang sekaligus dapat menghibur bagi para pemainnya. Beberapa

permainan memerlukan imajinasi bagi para pemainnya. Permainan yang

memerlukan imajinasi para pemainnya adalah model permainan yang kami

maksudkan dalam eksperimen ini.

Permainan konstruktif adalah permainan yang kami piliih, karena

permainan tersebut merupakan permainan yang bersifat aktif dengan

memproduksi obyek yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari atau media

Page 6: BAB I & II

massa dalam bentuk konstruknya, misalnya seperti permainan jigsaw puzzle

ini. Anak melihat berbagai jenis, bentuk macam-macam benda ataupun

makhluk hidup didalam kehidupan sehari-hari ataupun media massa, melalui

alat bermain jigsaw puzzle ini anak dapat mengkonstruk berbagai macam jenis

serta bentuk dari berbagai macam hewan dll kedalam imajinasinya dalam

permainan ini, yaitu dengan memasang-masangkan bentuk yang sesuai dengan

benda yang di konstruk. Permainan ini membutuhkan imajinasi untuk dapat

mengkonstruk suatu jenis atau bentuk dari benda atau yang lainnya, maka jenis

permainan ini juga dapat merangsang kreativitas anak.

2. Kreativitas

Kreativitas merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh sesorang

untuk menciptakan hal yang baru. Namun tidak selalu benar-benar dari hal

yang baru atau belum pernah ada sebelumnya. Tetapi bisa juga dengan

menggunakan hal yang sudah ada lalu dikombinasikan atau diberi tambahan

sehingga menciptakan hal yang baru yang berbeda dengan yang sudah pernah

ada sebelumnya.

Kreativitas dapat muncul dengan sering berlatih, adanya keinginan, situasi

yang mendukung, dan permainan yang merangsang kreativitas.

3. Siswa SD

Siswa SD berusia kurang lebih 7 sampai 12 tahun. Pada usia ini merupakan

tahapan awal dari kreativitas. Siswa SD merupakan suatu tahap peralihan awal

yang harus dipersiapkan dibidang pemenuhan tugas akademik. Anak harus

mulai dipersiapkan untuk berfikir kreatif, bukan hanya untuk belajar.

1.4 PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dari permainan konstruktif jigsaw

puzzle terhadap tingkat kreativitas siswa sekolah dasar

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan kreativitas melalui

model permainan konstruktif jigsaw puzzle bagi siswa sekolah dasar

3.

Page 7: BAB I & II

1.5 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh

dari permainan Jigsaw Puzzle terhadap kreativitas anak Sekolah Dasar (SD).

Manfaat dari penelitian ini adalah:

A. Manfaat Teoritis

1. Melalui penelitian ini diharapkan akan nampak sejauhmana manfaat

penggunaan permainan konstruktif Jigsaw Puzzle terhadap munculnya

kreativitas dari anak-anak SMA

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan agar

untuk dilakukan penelitian berkelanjutan semacam ini dikemudian hari. Hasil

penelitian dapat mendorong untuk akan dilakukannya penelitian lanjutan

tentang peranan permainan konstruktif Jigsaw Puzzle untuk anak-anak bahkan

dewasa dengan variabel lain diluar faktor kreativitas.

B. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat menjadikan referensi bagi mahasiswa psikologi,

sarjana psikologi profesi atau dosen, dll untuk memberikan terobosan baru

bagaimana salah satu cara untuk mengembangkan kreativitas pada individu.

2. Dengan begitu, siapapun yang membaca susunan eksperimen kami dapat lebih

bisa mengembangkan kreativitasnya salah satunya melalui permainan

konstruktif Jigsaw Puzzle atau yang merasa belum mempunyai kreativitas bisa

menemukan cara memunculkan kreativitas dalam diri sendiri karena

kreativitas sebenarnya merupakan hal yang bisa dipelajari dan diasah bukan

semata hanya bersifat bawaan.

Page 8: BAB I & II

DAFTAR PUSTAKA

Hawadi, Akbar & Reni. 2001. Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal sifat, bakat, dan kemampuan anak. Jakarta: Gramedia

Hurlock, Elizabeth B. 2004. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga

Sternberg, Robert J. 2004. Handbook of Creativity. Cambridge: Cambridge University Press

Yatimul Ainun & Lusia Kus Anna. 2012. Guru Dituntut Kreatif dan Inovatif. Diakses pada tanggal 25 April 2012 pada http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/25/17192010/Guru.Dituntut.Kreatif.dan.Inovatif

Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan di Indonesia. Diakses pada tanggal 23 September 2001 pada http://blog.tp.ac.id/pelaksanaan-kurikulum-pendidikan-di-indonesia

Page 9: BAB I & II

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kreativitas

2.1.1 Pengertian Kreativitas

Menurut Munandar (dalam Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, 1999)

menyatakan bahwa kreativitas adalah hasil dari interaksi antara individu dengan

lingkungannya. Kreativitas menunjukkan ada tiga tekanan kemampuan yaitu yang

berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan/ menjawab

masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif (Munandar. 1992).

Kreativitas juga dapat diartikan sebagai pengalaman mengekspresikan dan

mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan diri

sendiri, dengan alam, dan dengan orang lain. (Clark Moustakis dalam Munandar,

1999:18). Sedangkan Renzulli (dalam Munandar,1999) mengungkapkan bahwa

kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memperoleh

gagasan-gagasan baru yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah atau untuk

melihat hubungan baru antar unsur-unsur yang telah ada sebelumnya.

(Carl Rogers dalam Alwisol, 2009 Psikologi Kepribadian) Rogers merupakan

salah satu tokoh Psikologi Humanistik. Rogers beranggapan bahwa manusia itu

bebas, rasional, utuh, berfikir secara subyektif, proaktif, mudah berubah, heterostatis,

dan sukar dipahami. Didalam teorinya rogers menuliskan tentang 5 sifat khas orang

yang berfungsi sepenuhnya (fully human being), salah satunya yaitu tentang

kreativitas.

Kreativitas (Creativity) adalah Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan

kepercayaan kepada organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk

memiliki kreativitas dengan ciri – ciri bertingkah laku spontan, tidak defensif,

berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus

kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.

Page 10: BAB I & II

(John. W. Santrock : 2003 dalam adolescence Perkembangan Remaja hal 162-

163) Beberapa pakar kreativitas yaitu Disney, Edison, Caruso, dan Churchill yakin

bahwa intelegensi tidaklah sama dengan kreativitas. Satu hal yang membedakan

adalah antara cara berfikir konvergen (convergent thingking) yang menghasilkan satu

jawaban yang benar dan merupakan ciri khas cara berfikir pada tes intelegensi, dan

cara berfikir divergen (divergent thingking), yang menghasilkan banyak jawaban atau

jalan keluar bagi pertanyaan yang sama dan lebih merupakan tanda dari kreativitas

(Guilford, 1967 dalam John W. Santrock, 2003)

Dalam Santrock. 2003, Kreativitas adalah kemampuan untuk memikirkan

sesuatu dengan cara yang baru dan tidak lazim dan kemampuan untuk menemukan

cara pemecahan unik dalam menghadapi masalah.

2.1.2 Pengembangan Kreativitas

(Utami Munandar: 2001 dalam Mengembangkan Kreativitas, Mulyadi, et al hal:205-

208) Upaya untuk pengembangan kreativitas dalam makna dari srategi 4-P yaitu:

1. Pribadi

Kreativitas disini dikaitkan dengan adanya ciri-ciri kreativitas yang terdapat pada diri

individu, yaitu ciri-ciri yang bersifat:

aptitude atau kognitif (berkaitan dengan kemampuan berfikir) seperti:

kelancaran, keluwesan, keunikan dan kemampuan elaborasi.

non-aptitude atau afektif (berkaitan dengan sikap dan perasaan)

seperti: rasa ingin tahu, ingin mencoba hal-hal baru, berani menghadapi resiko, tidak

takut salah, keras kepala dan sebagainya.

Selain itu Hulbeck dalam Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat (Munandar,

1999) mengungkapkan bahwa tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan

kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan Stenberg (dalam

Munandar, 1999) mengungkapkan bahwa kreativitas merupakan titik temu antara tiga

atribut psikologis yakni intelegensi, kognitif, dan kepribadian atau motivasi

2. Pendorong

Pendorong dibagi atas dua faktor yaitu:

Page 11: BAB I & II

Pendorong yang bersifat internal adalah pendorong dari dalam diri

individu, yaitu hasrat dan motivasi yang kuat pada diri kita sendiri.

Pendorong yang bersifat eksternal adalah pendorong dari luar diri

individu, seperti diperolehnya aneka macam pengalaman yang kaya, lingkungan yang

cenderung menghargai berbagai gagasan unik dari sang anak, tersedianya sarana dan

prasarana yang menunjang sikap kreatif, dan sebagainya.

3. Proses

Disini lebih ditekankan pada kegiatan bersibuk diri secara kreatif. Artinya

kreativitas lebih ditinjau dari aspek kegiatan “bermain” dengan gagasan-gagasan

dalam pikiran tanpa terlalu menekankan pada apa yang dihasilkan oleh proses

tersebut.

4. Produk

Disisni kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencipta dan

menghasilkan produk-produk baru. Pengertian baru disini tidak berarti harus selalu

baru sama sekali, namun bisa pula merupakan suatu kombinasi atau gabungan dari

beberapa hal yang sebelumnya sudah ada.

2.2 Bermain

2.2.1 Pengertian Bermain

Bermain merupakan salah satu ciri dari usia anak sekolah (Hurlock, 1999

dalam Khotimah, 2010). Bermain dapat memicu kreativitas seperti yang disebutkan

Buhler dalam Ayah Bunda, 2000 dalam Khotimah,2010. Menurut Buhler kegiatan

bermain memberikan anak pengalaman berhadapan dengan masalah-masalah dan dan

menganggapnya sebagai tantangan-tantangan yang menggairahkan dimana kelas jika

dewasa, anak akan diharapkan menjadi orang dewasa yang kreatif dan optimis dalam

menghadapi masalah-masalah kehidupannya. Melalui eksperimentasi dalam bermain

anak-anak akan menemukan bahwa merancang sesuatu yang baru dan berbeda yang

dapat menimbulkan kepuasan dan kemudian mereka akan mengalihkan minat

kreatifnya ke situasi di luar bermain (Hurlock, 1997). Hurlock menyatakan bahwa

Page 12: BAB I & II

pengaruh bermain bagi perkembangan anak salah satunya adalah merangsang

kreativitas anak (Hurlock. 1978)

Bermain secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu aktif dan

pasif (“hiburan”). Dalam bermain aktif kesenangan timbul dari apa yang dilakukan

individu, apakah dalam bentuk kesenangan berlari atau membuat sesuatu dengan lilin

atau cat. Anak-anak kurang melakukan kegiatan bermain aktif ketika mendekati masa

remaja dan mempunyai tanggungjawab lebih besar dirumah dan di sekolah serta

kurang bertenaga karena pertumbuhan pesat dan perubahan tubuh. Dalam bermain

pasif kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain. Pemain menghabiskan sedikit

energi. Anak yang menikmati temannya bermain, memandang orang atau hewan di

televisi, menonton adegan lucu atau membaca buku adalah bermain tanpa

mengeluarkan banyak tenaga. (Hurlock. 1978). (Hurlock. 1978) membagi bermain

aktif dalam berbagai bentuk, dan salah satu nya adalah bermain konstruktif

2.2.2 Bermain Konstruktif

Hurlock dalam Khotimah, 2010 menyatakan bahwa permainan konstruktif

merupakan salah satu permainan imajinasi yang disukai oleh anak usia sekolah. Pada

saat anak memasuki masa usia sekolah, anak mulai kehilangan minat dengan

permainan drama dan lebih memilih untuk bermain konstruktif karena mereka sudah

mampu membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Smilansky dalam

Hendrick, 1995 dalam Khotimah, 2010 mengatakan bahwa bermain konstruktif

merupakan kegiatan bermain dimana anak-anak melakukan permainan yang

bertujuan untuk satu tujuan jangka pendek seperti bermain puzzle atau menggambar,

mereka belajar menggunakan benda-benda, memanipulasi obyek-obyek untuk

membentuk sesuatu.

2.3 Tahapan usia anak

2.3.1 Perkembangan kognitif usia 9-11 tahun

Usia 9-11 tahun termasuk dalam kategori usia sekolah dimana usia sekolah

dimulai dari usia 6 sampai 13 atau 14 tahun (Hurlock, dalam Khotimah, 2010). Usia 9

Page 13: BAB I & II

sampai 11 tahun termasuk tahapan operasional konkret milik Piaget, pada tahapan ini,

anak sudah mampu melakukan konservasi yakni mengerti bahwa sifat-sifat suatu

obyek akan tetap sama meskipun terjadi perubahan bentuk pada obyek tersebut.

2.3.1 Kreativitas Anak pada Usia 9-11 tahun

2.5 Hubungan antara Bermain Konstruktif dengan Kreativitas anak

Bermain konstruktif menurut Smilansky merupakan kegiatan bermain dimana

anak-anak memanipulasi obyek untuk membentuknya menjadi sesuatu, dan

Smilansky memberi contoh salah satu permainannya yaitu puzzle. Bermain sendiri

merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kreativitas seperti yang

diungkapkan oleh Buhler dalam Ayah Bunda, 2000 dalam Khotimah 2010. Bermain

juga merupakan belajar yang paling efektif bagi anak-anak. Melalui kegiatan bermain

yang menyenangkan, anak akan melatih gerakan-gerakan motorik maupun

kemampuan otaknya untuk semakin memperdalam suatu kemampuan (Mulyadi,

1998). Anak dalam permainan konstruktif dapat menuangkan ide-ide dan juga

imajinasinya dan anak yang imajinatif termasuk ke dalam ciri anak yang kreatif

(Munandar, 1999)

2.5 Kerangka Konseptual

Berdasarkan teori-teori yang telah disajikan sebelumnya, maka kerangka konseptual

dari eksperimen ini adalah,

2.6 Hipotesis

Permainan Konstruktif

KREATIVITAS

Page 14: BAB I & II

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Ho = Tidak ada pengaruh kegiatan bermain konstruktif terhadap

peningkatan kreativitas anak

Ha = Ada pengaruh kegiatan bermain konstruktif terhadap peningkatan

kreativitas anak

DAFTAR PUSTAKA

Page 15: BAB I & II

Alwisol, 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM PressHurlock, B. Elizabeth, 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Mulyadi, Seto. 1998. Memacu Bakat dan Kreativitas. Jakarta:GramediaMulyadi, Seto et al, 2001. Pengalaman Hidup 10 Tokoh Kreativitas Indonesia:

Mengembangkan Kreativitas. Jakarta: Pustaka PopulerMunandar, Utami. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka

CiptaSantrock, John. W, 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga

ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/JPS/article/view/359/296