bab i dan ii

24
PENDAHULUAN Craniosynostosis merupakan kelainan craniofacial yang membutuhkan terapi pembedahan yang paling sering dijumpai. Craniosynostosis adalah suatu kondisi dimana terjadi penutupan prematur satu atau lebih sutura cranial yang muncul di intrauterine atau sesaat setelah kelahiran. 1 Hal tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan pada sutura yang lain dan akan membuat bentuk kepala yang abnormal. Selain bentuk yang abnormal, kelainan tersebut juga dapat memberikan gangguan fungsional seperti peningkatan tekanan intra kranial, hydrocephalus, gangguan perkembangan, dan amblyopia. 2 Craniosynostosis ditemukan 1 dari 3000 kelahiran. Sagittal dan coronal craniosynostosis merupakan tipe yang paling sering ditemui dan ditemukan empat kali lipat lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. 2 Craniosynostosis dikategorikan sebagai isolated craniosynostosis dan syndromic craniosynostosis. Isolated craniosynostosis ditemukan pada 80% kasus dan biasanya bersifat sederhana, tidak berasosiasi dengan abnormalitas lain dan etiologinya non-genetik. Kemungkinan terjadi isolated craniosynostosis adalah retriksi kepala fetal saat di intrauterine. Syndromic craniosynostosis memiliki

Upload: achmad-fitrah

Post on 18-Jul-2016

24 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

craniosynostosis

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I dan II

PENDAHULUAN

Craniosynostosis merupakan kelainan craniofacial yang membutuhkan terapi

pembedahan yang paling sering dijumpai. Craniosynostosis adalah suatu kondisi

dimana terjadi penutupan prematur satu atau lebih sutura cranial yang muncul di

intrauterine atau sesaat setelah kelahiran.1 Hal tersebut dapat menyebabkan

pertumbuhan pada sutura yang lain dan akan membuat bentuk kepala yang abnormal.

Selain bentuk yang abnormal, kelainan tersebut juga dapat memberikan gangguan

fungsional seperti peningkatan tekanan intra kranial, hydrocephalus, gangguan

perkembangan, dan amblyopia.2

Craniosynostosis ditemukan 1 dari 3000 kelahiran. Sagittal dan coronal

craniosynostosis merupakan tipe yang paling sering ditemui dan ditemukan empat

kali lipat lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan.2 Craniosynostosis

dikategorikan sebagai isolated craniosynostosis dan syndromic craniosynostosis.

Isolated craniosynostosis ditemukan pada 80% kasus dan biasanya bersifat sederhana,

tidak berasosiasi dengan abnormalitas lain dan etiologinya non-genetik.

Kemungkinan terjadi isolated craniosynostosis adalah retriksi kepala fetal saat di

intrauterine. Syndromic craniosynostosis memiliki gejala yang lebih kompleks

dimana sering kali lebih dari satu sutura yang terlibat dan bersifat genetik. Syndromic

craniosynostosis sering kali dikaitkan dengan mutasi pada Fibroblast Growth Factor

Receptors (FGFR).3

Managemen untuk anak dengan craniosynostosis telah berkembang selama

beberapa dekade terakhir dan mayoritas terapi pembedahan. Kesulitan dari anestesi

adalah manajemen dari transfuse darah massif dan prolonged anesthesia pada anak

yang seringkali menjadi sulit karena masalah spesifik dari sindrom craniosynostosis.

Persiapan pre-operatif, induksi dan rumatan anesthesia, kontrol dari pendarahan,

penggunaan produk darah, gangguan metabolik, dan keadaan post-operatif harus

diperhatikan dengan cermat.3

Page 2: BAB I dan II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Craniosynostosis

Pertumbuhan dari tulang kepala anak memiliki garis lurus dengan

pertumbuhan bayi anak. Pada saat kelahiran, bayi memiliki hamper 40% dari ukuran

otak dewasa dan pada usia 9 tahun, otak dan tulang kepala akan mendekati 90% dari

ukuran orang dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini terjadi akibat keberadaan dari

sutura yang belum bergabung dan fontanel yang masih terbuka. Tulang kepala

memiliki empat sutura, yakni sutura coronal, sutura lamboid, sutura metopic, dan

sutura sagittal. (Gambar 1)

Gambar 1. Sutura pada kranial

Penutupan dari sutura yang premature akan berujung pada craniosynostosis

yang menyebabkan gambaran dismorfik pada kepala jika tidak diobati (Gambar 2).

Gangguan perkembangan otak dan gangguan kognitif merupakan efek yang bisa

terjadi akibat dari craniosynostosis yang tidak diobati.4

Page 3: BAB I dan II

Gambar 2. Craniosynostosis

Insiden dari terjadinya craniosynostosis adalah 1 dari 3000 kelahiran.2 Banyak

teori yang mengkategorikan craniosynostosis. Salah satu kategori yang paling sering

adalah non-sindromik dan sindromik. Non-sindromik craniosynostosis hanya

mengenai satu sutura dan tidak disertai dengan sindrom lainnya. 50% dari kasus non-

sindromik craniosynostosis hanya melibatkan sutura sagitalis. Formasi tersebut

disebut juga scaphocephali. Sutura coronal paling sering terkena selain sutura sagittal

dengan angka kejadian 20% dari kasus craniosynostosis, dan disebut juga

plagiocephali. Angka kejadian craniosynostosis pada sutura metopic adalah 10%, dan

disebut juga trigonocephali.4 Sindromik craniosynostosis terhitung 20% dari kasus

craniosynostosis dan biasanya melibatkan dua atau lebih sutura. Lebih dari 150

sindrom sudah diidentifikasi berdasarkan gambaran klinisnya, namun sindrom apert

Page 4: BAB I dan II

dan sindrom crouzon merupakan yang paling sering ditemukan.kedua sutura koronal

biasanya mengalami gangguan pada keuda sindrom ini. Penderita sindro apert dan

crouzon juga biasanya mengalami midface hypoplasia dan apnea obstruktif karena

anatomi jalan napas yang abnormal.4

Sebagian besar craniosynostosis diturunkan secara genetik autosomal

dominan. Mutasi pada gen yang mengkode Fibroblast Growth Factor Receptors

(FGFRs) menyebabkan sebagian besar sindrom. Fibroblast Growth Factors (FGFs)

berikatan dengan FGFRs dan mengatur pertumbuhan dan differensiasi sel. Interaksi

yang abnormal dari kedua protein berujung pada sinyal intrasellular yang abnormal.

Contohnya pada sindrom apert, FGF berikatan degngan FGFR 2 yang abnormal

dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga memberikan sinyal yang premature

pada sel tulang yang immature untuk berdifferensiasi dan menyebabkan penutupan

sutura.3

Baik craniosynostosis sindromik ataupun non-sindromik bisa menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial. Angka kejadian peningkatan tekanan intrakranial

tercatat pada 40% - 70% dari kasus sindromik craniosynostosis akibat penutupan

sutura yang multipel. Peningkatan tekanan intrakranial bisa disebabkan oleh

hidrosefalus, obstruksi jalan napas, ukuran kepala yang terlalu kecil untuk otak

(disproporsi kranioserebral) atau abnormalitas drainase vena di otak. gejala dari

peningkatan tekanan intrakranial melliputi sakit kepala, iritabilitas, kejang, gangguan

perkembangan, kebutaan, dan kematian.4

Manajemen pada craniosynostosis adalah pembedahan. Tujuan dari

manajemen ini adalah untuk mencegah progresifitas yang abnormal, untuk

memperbaiki abnormalitas, dan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang bisa

muncul jika pembedahan tidak dilakukan. Pembedahan bisa dilakukan berdasarkan

indikasi emergensi ataupun elektif. Pembedahan emergensi dilakukan jika memenuhi

kriteria, yaitu memerlukan perlindungan terhadap jalan napas dengan cepat,

memerlukan perlindungan terhadap mata dengan cepat, dan untuk mengurangi

peningkatan tekanan intrakranial baik bersifat akut ataupun kronik. Pada pembedahan

Page 5: BAB I dan II

elektif, waktu untuk pembedahan masih kontroversial. Pembedahan pada usia 3 dan 6

bulan memiliki keuntungan karena tulang yang masih lembut sehingga mudah untuk

dibentuk kembali dan otak masih berada dalam masa pertumbuhan yang cepat.

Kerugian dari operasi pada usia dini adalah pembedahan berulang yang bisa

menyebabkan disproporsi kranioserebral yang berujung pada craniostenosis. Risiko

pada anak juga meningkat mengingat volume darah yang lebh kecil.3

2.2. Manajemen Anestesi

2.2.1. Penilaian Pre-operatif

2.2.1.1. Jalan Napas (Airway)

Penilaian terhadap jalan napas merupakan hal yang penting dalam

perencanaaan teknik anestesi untuk pembedaan craniofacial. Pada sindrom yang

bersangkutan dengan cranialsynostosis, seperti sindrom apert dan crouzon,

didapatkan gangguan pada jalan napas. Pada sindrom apert, midface hypoplasia dan

proptosis dapat menyulitkan pemasangan sungkup muka. Ukuran hidung yang kecil

dan choanal stenosis menyebabkan resistensi tinggi terhadap aliran udara melalui rute

nasal yang menyebabkan penderita mengharuskan bernapas melalui mulut.

Pemasangan sungkup muka dengan mulut tertutup cukup sulit, namun maneuver jalan

napas, ditambah penggunaan oropharyngeal airway (OPA), nasopharyngeal airway

(NPA), atau continuous positive airway pressure (CPAP) biasanya cukup efektif

dalam menanggulangi obstruksi. Tindakan intubasi melalui laringoskop biasanya

berhasil di mayoritas kasus. Merupakan hal yang penting untuk memastikan jika pipa

endotrakea tidak akan melengkung atau terkompresi, dan yang paling penting adalah

memastikan dan menegah pergeseran pipa endotrakea yang dapat menyebabkan hal

merugikan, seperti intubasi endobrochial atau ekstubasi yang tidak disengaja.3

2.2.1.2. Sistem Respirasi

Page 6: BAB I dan II

Sebuah studi menunjukkan komplikasi respirasi ditemukan pada 6,1%

penderita sindrom apert. Riwayat infeksi saluran napas atas merupakan faktor risiko

terjadinya komplikasi respirasi pada intraoperatif. Mengi merupakan komplikasi

respirasi yang paling sering ditemukan, bahkan pada beberapa kasus, keadaan mengi

dapat membatalkan rencana operasi. Mekasnisme terjadinya mengi kemungkinan

karena saluran pernapasan bawah mengalami kekakuan atau bergabungnya cincin

trakea secara vertikal dan akumulasi dari sekret yang menyebabkan bunyi mengi yang

monofonik. Hal ini bisa diatasi dengan suctioning trakea, anestesia yang dalam, dan

terapi bronkodilator.

2.2.1.3. Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Hamper 50% penderita sindrom apert, sindrom crouzon, dan sindrom pfeiffer

mengalami OSA. Obstruksi dapat terjadi di tempat yang bermacam-macam, namun

midface hypoplasia dapat menyebabkan distorsi pada anatomi nasofaring.

Penggunaan pipa nasofaring (NPA) diindikasikan pada masa infansi, penggunaan

NPA memegang peranan penting dalam managemen obstruksi jalan napas atas. Anak

penderita craniosynostosis sering dijadwalkan untuk dilakukan trakeostomi 1-2

minggu sebelum pembedahan kraniofasial. Trakeostomi dapat membuat saluran

napas menjadi stabil dan memastikan prosedur intraoperatif dan postoperative yang

lebih lancar. Pada anak dengan obstruksi saluran napas atas yang tidak dilakukan

trakeostomi, proses induksi anestesi bisa cukup sulit mengingat kemungkinan

terjadinya obstruksi saluran napas ketika induksi. Namun pada sebagian besar kasus,

maneuver seperti jaw thrust dan penggunaan alat bantu baik itu pipa oral atau pun

nasofaring sudah cukup.

Selain kemungkinan obstruksi saluran napas atas terjadi ketika proses

anestesi, efek jangka panjang dari obstruksi saluran napas atas terhadap system

kardiovaskular dan system saraf pusat. Ketika tidur, obstruksi saluran napas yang

dapat terjadi pada anak dengan sindromik craniosynostosis akan membentuk sebuah

siklus yang melibatkan tekanan intrakranial (ICP) dan tekanan perfusi serebral (CPP).

Page 7: BAB I dan II

Pada fase aktif dari proses tidur, sebuah studi menemukan terjadinya peningkatan

tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi serebral. Penurunan dari tekanan

perfusi serebral yang bersifat intermitten dan episodik mempunyai efek negatif pada

neurological dan gangguan kognitif dalam jangka panjang.

2.2.2. Induksi dan Rumatan Anestesi

Masih banyak perdebatan mengenai induksi melalui intravena dan inhalasi

pada pasien pediatrik, seperti distress yang disebabkan oleh penahanan sungkup pada

wajah dan ketidaknyamanan dengan kanula intravena. Salah satu pertimbangan pada

akses intravena adalah kesulitan pemasangan selang intravena, jadi induksi inhalasi

lebih baik digunakan untuk mengoptimalkan akses intravena. Risiko obstruksi saluran

napas atas merupakan risiko yang ada pada seluruh proses induksi anestesi, namun

risiko ini meningkat pada kasus-kasus sindromik craniosynostosis, terutama obstruksi

pada saluran napas atas. Oleh karena itu, induksi inhalasi disertai rumatan dengan

ventilasi spontan sering dilakukan untuk meminimalisasi risiko gangguan pada jalan

napas. Pipa orofaring (OPA) juga dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dari jalan

napas. Biasanya, induksi inhalasi dilakukan menggunakan sevoflourane.

Rumatan anestesi menggunakan agen volatile dan campuran oksigen/udara

{nitrous oxide tidak disarankan mengingat risiko terjadinya emboli udara pada vena

(VAE)}. Bolus fentanyl dengan dosis 10-15 µg/kgBB dan pelumpuh otot non-

depolarisasi digunakan untuk awal dari proses pembedahan. Ketika mendekati akhir

dari proses pembedahan, kombinasi dari morfin, parasetamol intravena, dan anti-

emetik diberikan pada penderita (beberapa institusi menggunakan remintanil). Pietrini

melakukan sebuah studi membandingkan remintanil dan sevofluran dengan

remintanil dan isofluran pada anak yang menjalani pembedahan dan tidak ditemukan

perbedaan dari parameter hemodinamik ataupun waktu pemulihan.

2.2.3. Posisi

Page 8: BAB I dan II

Penempatan posisi perlu dilakukan secara hati-hati untuk mengoptimalkan

proses pembedahan dan untuk meminimalisasi risiko komplikasi. Pasien bisa berada

dalam posisi supinasi, pronasi, atau berada pada posisi pronasi yang dimodifikasi.

Posisi pronasi yang dimodifikasi ini disebut juga posisi “sphinx” karena pasien

berada dalam posisi pronasi dengan kepala dan leher ekstensi sehingga dagu berada

dalam posisi relaks dengan bantuan tahanan. Namun, pada posisi sphinx,

hyperekstensi dari leher dapat berujung pada kerusakan sumsum tulang belakang.

Pada posisi ini harus dipastikan bahwa tidak ada tekanan langsung ke leher untuk

meminimalisir tekanan vena dan menghindari potensi peningkatan tekanan

intrakranial dan pendarahan vena.

Gangguan pada mata dapat muncul baik pada sindromik ataupun non-

sindromik craniosynostosis. Abrasi dan iritasi kornea dari cairan pembersih dapat

dihindari dengan lubrikan topical. Pada anak dengan sindromik synostosis, risiko

terjadi gangguan meningkat karena proptosis. Mekanisme lain daari gangguan pada

bola mata disebabkan oleh tekanan terhadap mata. Tekanan tersebut bisa berujung

pada kerusakan saraf optic dan iskemi retina yang berujung pada kebutaan

pascaoperasi.

2.2.4. Neuroanestesia

Anak dengan craniosynostosis baik sindromik atau non-sindromik mengalami

peningkatan tekanan intrakranial. Kadar normal untuk tekanan intrakranial dan

tekanan perfusi serebral pada anak belum diteliti secara rinci. Namun, kadar tekanan

intrakranial <10 mmHg dianggap normal. Tekanan intrakranial >15 mgHg telah

disetujui sebagai hipertensi intrakranial. Banyak anak dengan craniosynostosis

kompleks yang tekanan intrakranialnya terus dipantau untuk membantu keputusan

intervensi operatif. Pada kasus penderita disertai peningkatan intrakrania, tekanan

perfusi serebral perlu dipantau sampai operasi selesai.

Kadar normal dari tekanan perfusi serebral bermacam-macam tergantung

umur, namun konsensus menyatakan tekanan perfusi serebral 40-50 mmHg pada

Page 9: BAB I dan II

infansi dan anak dianggap normal. Para dokter anestesi harus bisa meminimalisasi

faktor yang meningkatkan tekanan intrakranial, seperti hiperkapnia dan hipoksia, dan

faktor yang meningkatkan tekanan vena seperti posisi pasien dan batuk.

Emboli udara vena (VAE) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada

operasi craniosynostosis. Faberowski dkk menemukan bahwa insidensi VAE saat

craniectomy untuk craniosynostosis adalah 82,6% ketika dideteksi menggunakan

precordial Doppler. Mereka juga menemukan bahwa mayoritas dari VAE tidak ada

hubungan dengan perubahan hemodinamik. Dari seluruh VAE yang terdeteksi, 48,4%

mengalami perubahan pada Doppler dengan sendirinya. 36% dari kasus VAE

memiliki hubungan dengan perubahan end-tidal CO2, dan hanya 15,6% berasosiasi

dengan hipotensi. Tingginya insidensi VAE pada infansi disebabkan oleh kehilangan

darah yang cepat yang meyebabkan penurunan tekanan vena sentral (CVP) sehingga

perubahan gradient tekanan antara atrium kanan dan tempat pembedahan membuat

terbentuknya gelembung udara.

2.2.5. Pendarahan

Pada sebagian besar kasus, transfusi merupakan hal yang tidak terhindarkan

karena terjadinya pendarahan yang masif pada operasi craniofacial. Persentase

volume darah yang hilang meningkat pada anak-anak karena faktor usia dan berat

badan. Hal ini terjadi karena ukuran kepala yang relatif besar sehingga area untuk

terjadi pendarahan lebih besar dan persentase darah pada kepala yang lebih banyak.

Operasi yang lama (durasi dari induksi sampai keluar dari theater lebih dari 5

jam) berasosiasi dengan peningkatan kehilangan volume darah (BVL). Peningkatan

BVL ini bisa berujung pada transfusi. Sindromik craniosynostosis bukan merupakan

faktor risiko terjadi peningkatan BVL. Namun, sindromik synostosis seringkali

bersifat kompleks dan memerlukan operasi yang lama. Hipotermia merupakan salah

satu faktor yang berkontribusi dalam terjadinya koagulopati yang dapat meningkatkan

BVL dan sering terjadi pada operasi craniofacial. Intervensi awal dan cepat untuk

Page 10: BAB I dan II

mempertahankan keadaan normothermi perlu dilakukan untuk mencegah hipotermi

yang dapat memperparah BVL.

Pada proses pembedahan, ada saat ketika pendarahan terjadi secara tiba-tiba.

Pengetahuan mengenai staging pembedahan membuat para dokter anestesi mampu

untuk memprediksi dan mempersiapkan untuk menanggulangi pendarahan.

Pendarahan muncul pada diseksi kepala awal dan pengangkatan periosteum.

Panduan transfusi berbeda-beda pada setiap pusat kesehatan. Pada saat terjadi

pendarahan yang cepat dan banyak, parameter hemodinamik seperti tekanan arteri

dan tekanan vena pusat bisa menjadi pemandu untuk transfusi. Pada keadaan

hemodinamik stabil, indikasi absolut transfusi bisa diterapkan yaitu ketika kadar

hemoglobin 7-8 g/dL atau hematokrit (Hct) 0,27-0,3. Strategi untuk menanggulangi

pendarahan salah satunya adalah transfusi pada fase awal, ketika proses pembukaan

coronal, transfusi 20% dari perkiraan volume sel darah merah ditambah fresh frozen

plasma (FFP) sepertiga dari volume tersebut dan infus kristaloid sebanyak 8

ml/kgBB/jam. Namun, cara ini banyak ditentang karena dapat menyebabkan

overtransfusi.

2.2.5.1. Transfusi Sel Darah Merah (RBC)

Pada anak dengan usia lebih dari 4 bulan, transfusi sel darah merah

(RBC) diindikasikan jika pendarahan intraoperatif >15% dari total volume

darah dan kadar hematokrit <24% pada masa perioperatif dengan gejala

anemia. Penggunaan formula Hb yang diinginkan – Hb actual x berat (kg) x 3

dapat memberikan jumlah volume darah yang diinginkan (biasanya 10 – 20

mL RBC/kg). Perhitungan pendarahan maksimal (MABL) juga perlu

dilakukan dalam intraoperatif untuk memperhitungkan kapan transfusi

dilakukan, formula MABL = EBV (Ho – H1): Ho, dimana EBV merupakan

estimasi volume darah total, Ho adalah kadar hematokrit awal dan H1 adalah

kadar hematokrit paling rendah yang bisa diterima.4

2.2.5.2. Transfusi Trombosit

Page 11: BAB I dan II

Pasien pembedahan dengan pendarahan mikrovaskular biasanya

membutuhkan terapi jika hitung platelet kurang dari 50 x 109 /L, dan jarang

membutukan terapi jika lebih dari 100 x 109 /L. Dosis pemberian platelet

konsentrat biasanya adalah satu platelet konsentrat per 10 kgBB. Pada anak

dengan berat dibawah 10 kg, pemberian 5 mL/kg – 10 mL/kg dapat

meningkatkan kadar platelet sebanyak 50 – 100 x 109 /L.

2.2.5.3. Fresh Frozen Plasma (FFP)

FFP diindikasikan pada koreksi pendarahan mikrovaskular ketika

prothrombin dan waktu partial thromboplastin (APTT) lebih dari 1,5x normal.

FFP juga diindikasikan untuk mengkoreksi pendarahan mikrovaskular pada

saat transfuse masif ketika tes koagulasi tidak dapat dilakukan. Dosis FFP

harus dihitung untuk mendapatkan minimum 30% dari konsentrasi faktor

plasma, yang biasanya bisa didapat dengan dosis 10 mL/kg – 15 mL/kg FFP.

2.2.5.4. Criopresipitat

Criopresipitat sebaiknya dipertimbangkan pada saat pendarahan

mikrovaskular terjadi dengan kadar fibrinogen dibawah 80 mg/dL. Satu unit

criopresipitat per 10 kg tubuh meningkatkan konsentrasi fibrinogen plasma

sebanyak 50 mg/dL dalam keadaan tidak ada pendarhan masif.

Pada seluruh jenis operasi perbaikan craniosynostosis, transfuse RBC

merupakan hal yang umum dilakukan, sedangkan transfusi platelet, FFP, dan

criopresipitat terhitung jarang digunakan.

2.2.6. Transfusi Darah Homolog dan Cell Salvage

Page 12: BAB I dan II

Transfusi darah homolog (HBT) memiliki risiko tinggi (SHOT) dan

berbahaya. Hal ini meliputi reaksi hemolitik akut, gangguan akut pada paru karena

transfuse, infeksi, dan komplikasi dari transfusi masif seperti koagulopati, gangguan

elektrolit dan gangguan asam basa. Oleh karena itu, strategi dalam mengurangi

kebutuhan dari transfusi darah homolog telah dibuat (tabel 1).

Pre-operatif Intra-operatif

Suplemen besi Teknik pembedahan meticulous

Erythropoetin Infiltrasi adrenalin

Intraoperatif cell salvage

Acute normovolemic hemodilusi

Hypervolemik hemodilusi

Controlled hypotension

Anti-fibrinolitik

Transfusi darah

Tabel 1. Strategi konservasi darah

Kadar hematokrit preoperatif yang rendah merupakan penanda peningkatan

kebutuhan HBT. Untuk mengoptimalisasi hematokrit preoperatif, perlu diagnosis dan

terapi terhadap anemia, penggunaan suplemen besi, dan eritropoetin. Recombinant

Human Erythropoetin (EPO) diberikan melalui subkutan setiap minggu selama 3-4

minggu sebelum pembedahan bisa meningkatkan kadar hematokrit preoperatif

sebanyak 28-56% dan mengurangi kebutuhan transfusi.

Intraoperatif cell salvage memiliki risiko berbahaya, termasuk koagulopati,

hemolysis, kontaminasi bakteri, dan kerusakan pada platelet. Sebuah studi

menunjukkan bahwa mikroorganisme yang paling sering ditemukan adalah

coagulase-negative staphylococci. Namun, tidak ada satupun pasien yang menerima

Page 13: BAB I dan II

transfuse darah kultur positif menunjukan gejala ataupun gambaran laboratorium

bacteremia.

Teknik dilusi darah sering kali digunakan untuk mengurangi transfuse darah

allogenik. Hemodilusi normovolemik akut meliputi pengambilan darah utuh dari

pasien dan mengganti volume ini dengan kristaloid atau koloid. Kemudian darah utuh

ini akan dimasukkan kembali pada akhir operasi. Sebuah studi telah dilakukan untuk

meneliti teknik ini dan tidak ditemukan keuntungan dalam penggunaan teknik ini.

Penggunaan antifibrinolitik sudah sering digunakan dan menunjukan hasil

yaitu menurunnya kebutuhan transfusi. Asam tranexamat sering digunakan dalam

beberapa pusat kesehatan di dunia. Masih banyak perdebatan mengenai mekanisme

asam tranexamat dalam mengurangi pendarahan.

2.2.7. Gangguan Metabolik

Gangguan metabolik yang muncul pada operasi adalah terganggunya fisiologi

asam basa dan elektrolit akibat kehilangan darah yang signifikan dan proses transfusi

baik itu kristaloid, koloid, ataupun produk darah.

Insiden hipokalsemia pada sebuah studi terhadap pendarahan dan

manajemennya pada operasi craniosynostosis adalah 10% (hipokalsemia

didefinisikan sebagai kadar kalsium <0,9 mM). Hal ini mayoritas disebabkan oleh

transfuse dari darah yang mengandung citrate.

Peningkatan kadar potassium plasma sering kali muncul setelah pasien

menjalani transfusi. Insiden terjadinya hyperkalemia (potassium >5,5 mM) pada

sebuah studi adalah 45%. Packed Red Cell (PRC) yang disimpan lebih dari 2 minggu

mengandung >40 mM potassium. Sebaliknya, PRC yang disimpan <1 minggu

memiliki <20 mM. Karena alasan tersebut, PRC yang digunakan pada operasi

craniofacial anak sebaiknya berusia <1 minggu.

Sebuah studi metabolik asidosis pada operasi craniosynostosis

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara maksimum base

deficit dan total volume darah dan colloid yang diberikan selama intraoperatif.

Page 14: BAB I dan II

Stricker dkk mengungkapkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara jumlah

cairan kristaloid yang diberikan dengan metabolic asidosis intraoperative (BE <-5 dan

pH <7,3). Menurut penelitian yang dilakukan Choi dkk, 25% dari pasien memiliki

base deficit awal <-4 pada saat insersi dari jalur arteri. Hal ini menjelaskan bahwa

kemungkinan ketoasidosis merupakan konsekuensi dari puasa preoperatif.

2.2.8. Manajemen Post-operatif

Pada sebagian besar kasus, pasien akan diekstubasi setelah operasi selesai dan

dipindahkan ke ruang pemulihan. Jika pasien masih dalam keadaan tidak stabil, telah

menjalani operasi “prolonged”, dan memiliki riwayat gangguan jalan napas maka

ekstubasi bisa ditunda hingga keadaan pasien stabil. Mayoritas pasien akan dirawat

pada pediatric intensive care unit (PICU). Kadar hematokrit harus diperhatikan pada

saat postoperatif. Pemeriksaan koagulasi diindikasikan jika pendarahan berlebih pada

saat post-operatif.

Seperti pada operasi lain, manajemen nyeri merupakan hal yang krusial.

Penggunaan opioid dengan dosis yang tepat biasanya dibutuhkan, dengan follow up

untuk memastikan bahwa pasien menerima opioid dengan adekuat. Penggunaan non-

steroid anti inflammatory drugs (NSAID) biasanya ditunda karena menghindari

terjdinya inhibisi platelet dan peningkatan pendarahan post-operatif. Asetaminofen

bisa digunakan sebagai penambah opioid.

Page 15: BAB I dan II

KESIMPULAN

Craniosynostosis adalah sebuah kondisi kompleks yang bersifat

multifaktorial. Bukan hanya sindromik craniosynostosis, non-sindromik

craniosynostosis bisa saja menyebabkan gangguan perkembangan otak yang bisa

berujung pada gangguan belajar dan gangguan kognitif. Keuntungan dari

penanggulangan craniosynostosis dengan cepat adalah insidensi dari gangguan

kognitif yang bisa dihindari. Dengan penanggulangan berupa operasi, tentunya perlu

dipersiapkan dengan matang terutama dari segi anestesi. Manajemen preoperasi,

intraoperasi, dan post-operasi harus dipersiapkan. Monitoring terhadap keadaan

pasien intraoperatif menjadi masalah yang paling berat mengingat terjadinya

pendarahan yang masif dan pemilihan transfusi yang memiliki banyak efek samping.

Namun, dengan persiapan preoperatif yang matang dan monitoring volume

intravaskuler saat operasi, hasil yang baik bisa didapat.