bab i a. latar belakang -...

58
1 BAB I A. Latar Belakang Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan (World Bank, 2005:5), (Elizabeth, 2007:129-130) dan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya (Anitasari dkk, 2010: 28) memantik kritik dan reaksi dari beragam unsur masyarakat. Unsur-unsur masyarakat yang peduli dengan nasib perempuan kemudian muncul dan membentuk kelompok atau organisasi non-pemerintah untuk memperjuangkan dan memberdayakan perempuan. Salah satu unsur masyarakat tersebut adalah LSM perempuan yang kemudian tampil membantu, mendampingi dan membela kaum perempuan. LSM-LSM perempuan tersebut memproklamirkan diri sebagai organisasi yang otonom, independen dan berwawasan gender (Rahayu, 1996:32). Pemberdayaan semakin perlu dilakukan mengingat perempuan memiliki potensi yang jika dikembangkan akan mendukungnya berperan sesuai dengan kedudukannya (Elizabeth, 2007:128). Sebagian besar LSM-LSM perempuan menganggap kegagalan pemerintah dalam menangani permasalahan perempuan diakibatkan oleh dipaksakannya paradigma pembangunanisme yang cenderung teknokratis dan didominasi model top-down (Sugiyanto, 2002:91). Banyak program pemerintah yang tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh perempuan. Salah satu penyebabnya adalah program-program tersebut kurang relevan dengan kebutuhan dan keinginan perempuan. Hal itu merupakan konsekuensi logis karena dalam penentuan, perumusan program dan pengambilan keputusan perempuan tidak disertakan sehingga aspirasi, kepentingan dan kebutuhan mereka tidak terakumulasi dalam program. Padahal seharusnya pendekatan

Upload: dangnhi

Post on 10-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

1

BAB I

A. Latar Belakang

Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan (World Bank, 2005:5),

(Elizabeth, 2007:129-130) dan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya (Anitasari

dkk, 2010: 28) memantik kritik dan reaksi dari beragam unsur masyarakat. Unsur-unsur

masyarakat yang peduli dengan nasib perempuan kemudian muncul dan membentuk

kelompok atau organisasi non-pemerintah untuk memperjuangkan dan memberdayakan

perempuan. Salah satu unsur masyarakat tersebut adalah LSM perempuan yang

kemudian tampil membantu, mendampingi dan membela kaum perempuan. LSM-LSM

perempuan tersebut memproklamirkan diri sebagai organisasi yang otonom, independen

dan berwawasan gender (Rahayu, 1996:32). Pemberdayaan semakin perlu dilakukan

mengingat perempuan memiliki potensi yang jika dikembangkan akan mendukungnya

berperan sesuai dengan kedudukannya (Elizabeth, 2007:128).

Sebagian besar LSM-LSM perempuan menganggap kegagalan pemerintah dalam

menangani permasalahan perempuan diakibatkan oleh dipaksakannya paradigma

pembangunanisme yang cenderung teknokratis dan didominasi model top-down

(Sugiyanto, 2002:91). Banyak program pemerintah yang tidak dapat dirasakan

manfaatnya oleh perempuan. Salah satu penyebabnya adalah program-program tersebut

kurang relevan dengan kebutuhan dan keinginan perempuan. Hal itu merupakan

konsekuensi logis karena dalam penentuan, perumusan program dan pengambilan

keputusan perempuan tidak disertakan sehingga aspirasi, kepentingan dan kebutuhan

mereka tidak terakumulasi dalam program. Padahal seharusnya pendekatan

Page 2: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

2

pemberdayaan lebih berpusat pada rakyat untuk mendorong kapasitas masyarakat agar

mampu meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal (Hikmat, 2001 : 14).

Pada dasarnya LSM dan pemerintah berbeda dalam mendefinisikan masalah-

masalah perempuan serta strategi untuk mengatasinya (Harsono, 1997:292). LSM

perempuan melihat permasalahan perempuan berakar pada adanya ketimpangan gender

dalam struktur dan sistem sosial, ekonomi, dan politik masyarakat (Rahmawati, 2001:8,

Lingham, 2007:136). Sedangkan pemerintah memandang permasalahan perempuan lebih

sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut berpengaruh pada

perumusan kebijakan pemberdayaan perempuan yang kurang menyentuh akar persoalan

(Zubaedi, 2007, Fakih, 1996). Oleh karena itu wajar jika permasalahan yang dihadapi

perempuan sulit terselesaikan.

Di Indonesia, LSM-LSM perempuan sudah relatif lama bermunculan.

Pertumbuhan LSM perempuan di Indonesia ditandai dengan berdirinya LSM perempuan

pertama dengan nama Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) yang dibentuk tahun 28

september 1982 di Yogyakarta oleh 6 aktivis perempuan. Sasaran pemberdayaan Yasanti

adalah kaum buruh dan remaja putus sekolah (Rahmawati, 2001:71). LSM perempuan

lainnya adalah Rifka Annisa yang fokus pada penanganan kasus-kasus kekerasan

terhadap perempuan, seperti perkosaan, pemukulan atau penganiayaan suami terhadap

istri dan pelecehan seksual (Zubaedi,2007:271), YKF yang melakukan pemberdayaan

hak-hak politik dan hak-hak reproduksi perempuan dalam perspektif agama Islam,

LSPPA (Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak) yang fokus

sosialisasi nilai adil gender pada anak melalui lingkungan, PLIP (Pusat Informasi

Perempuan) Mitra Wacana yang menyediakan jaringan informasi dan pusat data tentang

perempuan (Rahmawati, 2001:88).

Page 3: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

3

Berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, pada tahun 2006 muncul Yayasan

Sahabat Ibu (YSI) sebagai LSM perempuan yang berlokasi di Yogyakarta. Pada awal

berdirinya, YSI hanya concern pada recovery pasca bencana gempa DIY 2006

untuk komunitas perempuan, program untuk anak-anak, dan program recovery ekonomi

untuk keluarga. Program ini bertujuan untuk membangun soliditas keluarga-

keluarga anggota komunitas agar mereka lebih cepat melakukan recovery.

Pasca recovery bencana usai, Sasaran pemberdayaan YSI kemudian beralih ke

perempuan secara umum, khususnya yang minim akses ke sumberdaya produktif.

Alasannya adalah YSI memandang banyak perempuan di Yogyakarta yang sebenarnya

ingin mengembangkan potensi dan kapasitasnya namun terhambat oleh minimnya akses

ke sumber dan faktor yang mendukung mereka, khususnya akses ke sumber daya

produktif. Oleh karena itu, YSI berupaya melakukan pemberdayaan perempuan dengan

menarget perempuan-perempuan yang ingin mengembangkan potensi dan kapasitasnya

namun terkendala oleh minimnya akses ke sumber daya produktif (sahabatibu.org).

Dengan beralihnya sasaran pemberdayaan, Program pemberdayaan YSI kini juga

menjadi beragam dimana lebih menekankan aspek edukasi, parenting dan kewirausahaan

perempuan. Program-program pemberdayaan perempuan yang dijalankan YSI meliputi

pertama, Program PINTAR (Program Ibu Cerdas dan Terampil), sebuah program

edukasi dan Parenting terpadu yang dirancang untuk mencerdaskan kaum ibu dalam

mengembangkan pribadi dan mengelola keluarga, kedua program PROSIBU (Program

Santunan Untuk Ibu) yaitu program sosial yang berperan dalam membantu penyaluran

biaya pendidikan anak dan penyaluran dana sosial, ketiga program PRIMA (Program Ibu

dan Keluarga Mandiri), salah satu program Yayasan Sahabat Ibu yang fokus pada

Page 4: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

4

pemberdayaan ekonomi perempuan. Tujuan program PRIMA ini adalah untuk

menciptakan perempuan yang mandiri dalam ekonomi dan mensejahterakan keluarga.

Kehadiran YSI sebagai LSM perempuan diharapkan dapat memberdayakan

perempuan. Harapan tersebut bukanlah tanpa alasan karena Lenkowsky menunjukkan

banyak hasil studi kasus bahwa LSM lebih efektif dari pada birokrasi pemerintah

terutama dalam keadaan yang membutuhkan gerak cepat dan bantuan darurat (dalam

Sugiyanto, 2002:96). Mengacu pada temuan tersebut, peneliti berasumsi bahwa YSI juga

dipandang mampu memberdayakan perempuan selama ia menyediakan alternatif-

alternatif pemberdayaan yang gagal dipenuhi pemerintah.

Namun yang jadi masalah adalah bukan ada atau tidaknya kepedulian LSM dalam

memperjuangkan nasib perempuan, tetapi adanya perbedaan antar LSM perempuan

dalam mengusung beragam metodologi dan strategi untuk memperjuangkan nasib

perempuan. Keragaman tersebut terlihat dari isu-isu yang diperjuangkan, cara melihat

permasalahan perempuan, agenda yang direncanakan, strategi dan pendekatan yang

diterapkan (Rahmawati, 2001:88). Semua itu berakar pada ideologi yang digunakan

masing-masing LSM. Ideologi tersebut menjadi titik tolak untuk melihat permasalahan

perempuan. Perbedaan tersebut akhirnya membawa implikasi yang berbeda pula dalam

merumuskan strategi dan orientasi organisasi (Rahmawati, 2001:6).

Dalam konteks di ataslah kemudian strategi pemberdayaan yang ditempuh YSI

perlu dibahas. YSI sendiri diindikasikan memiliki strategi yang khas dan menarik untuk

dibahas. YSI terlahir dari keresahan beberapa aktivis terhadap permasalahan perempuan

di sekitarnya sehingga diasumsikan memiliki strategi pemberdayaan yang lebih bisa

mengakomodir aspirasi dan kebutuhan perempuan. Hal tersebut dimungkinkan terjadi

karena fokus pemberdayaan YSI beralih dari recovery bencana (filantropi) menuju

Page 5: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

5

pemberdayaan produktif yang tentunya menuntut perubahan strategi. YSI berniat

“membantu” pemerintah padahal pada dasarnya cara pandang LSM dan pemerintah

terhadap permasalahan perempuan berbeda. Seharusnya LSM lepas dan menjadi

alternatif dari pemerintah. Dan yang menarik adalah YSI banyak menerapkan praktik-

praktik keagamaan dalam proses pemberdayaan. Praktik-praktik keagamaan tersebut

antara lain ikrar, akad, pengajian, dan infaq. Di sisi lain, keseluruhan staf dan fasilitator

YSI terlibat aktif dalam politik praktis melalui Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sehingga

perlu diteliti apakah kedua hal tersebut termasuk bagian dari strategi pemberdayaannya.

Penelitian ini mengisi ruang kosong yang ditinggalkan penelitian terdahulu.

Sejauh ini penelitian terdahulu pada LSM-LSM perempuan hanya fokus pada ideologi

dan gerakannya, sebagaimana penelitian Rahmawati (2001) pada LSM-LSM perempuan

di Yogyakarta. Padahal penting juga melihat strategi dan hasil pemberdayaannya.

Penelitian Zubaedi (2007) pada LSM Yasanti dan Rifka Annisa di Yogyakarta

sebenarnya hampir sehaluan dengan penelitian ini namun ia kurang mengeksplorasi

strateginya dari paradigmatiknya dan pengaruhnya terhadap hasil pemberdayaan.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini disusun untuk menjawab pertanyaan berikut: (1) bagaimana strategi

pemberdayaan perempuan yang dijalankan oleh Yayasan Sahabat Ibu (YSI) sebagai

LSM perempuan? (2) Sejauh mana keberhasilan program-program pemberdayaan

tersebut? Untuk mengetahui bagaimana strategi pemberdayaan YSI, penelitian ini

mengadopsi tipologi strategi pemberdayaan mikro, mezzo dan makro. Sedangkan untuk

mengetahui tingkat keberhasilan pemberdayaan perempuan tersebut, penelitian ini

menggunakan analisis pemberdayaan perempuan dari Sara H. Longwe yang terdiri dari

beberapa level berikut; kesejahteraan, akses, partisipasi, penyadaran dan kontrol.

Page 6: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

6

C. Tujuan penelitian

Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami strategi

pemberdayaan perempuan yang diterapkan Yayasan Sahabat Ibu. Lebih khusus lagi

untuk mengetahui bagaimana paradigma YSI dalam memandang permasalahan

perempuan, apa yang menjadi agenda utama pemberdayaan YSI, bagaimana teknik

pemberdayaan yang ditempuh, apa saja masalah dalam pemberdayaan dan bagaimana

solusi yang diterapkan, (2) mengetahui hasil pelaksanaan program-program

pemberdayaan perempuan oleh YSI.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pengetahuan tentang strategi, pendekatan

dan hasil pemberdayaan perempuan yang dimotori LSM. Dalam tataran praktis,

penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan kebijakan bagi

stake holder tentang strategi dan pendekatan pemberdayaan perempuan. Lebih lanjut

bagi LSM perempuan lainnya, penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan refleksi

untuk memperbaiki program pemberdayaan yang telah dilakukan. Manfaat lain

penelitian ini adalah sebagai pemantik studi lanjut lainnya tentang LSM-LSM perempuan

beserta upaya dan hasil dari pemberdayaan yang dijalankannya.

E. Kajian Pustaka

Berkembang pesatnya jumlah NGO beserta perannya telah banyak melahirkan

studi dan kajian tentang NGO di kalangan akademisi, praktisi, agen donor swasta dan

resmi (Suharko, 2003:207). NGO telah menarik perhatian banyak kalangan karena

keberadaannya mendorong lahirnya transformasi sosial (Fakih, 1996), keadilan Sosial

(Zubaedi, 2007: 114), penguatan masyarakat sipil dan demokratisasi (Suharko,

2003:207). NGO juga menyediakan pendekatan alternatif kegagalan pembangunan

Page 7: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

7

industri dan patternalistik top-down terhadap kemiskinan dan masalah wanita (Hikmat,

2001:12). Melihat urgensitas dan kompleksitas peran NGO, tidak heran jika fenomena

NGO di Indonesia banyak mendapat sorotan dan kajian. Publikasi hasil kajian atau

penelitian tentang NGO pun melimpah. Meskipun demikian, hingga kini NGO masih

memiliki daya tarik tinggi untuk dibahas seiring dengan berkembangnya permasalahan

sosial yang menjadi perhatian dan basis perjuangannya, terutama isu tentang perempuan.

Terdapat beberapa penelitian yang menempatkan LSM perempuan sebagai

subyek penelitiannya. Salah satunya adalah Zubaedi (2005) yang dalam bukunya

memaparkan hasil penelitiannya terhadap LSM Yasanti dan Rifka Annisa. Fokus

penelitian ini adalah bentuk program, pelaksanaan dan sasaran pemberdayaan LSM

tersebut. Zubaedi (2005:271) menjelaskan segmentasi dan fokus kegiatan masing-masing

LSM. Misalnya LSM Yasanti yang memfokuskan kegiatannya pada pemberdayaan

kaum buruh dan remaja putus sekolah. Program pemberdayaan yang dilakukan LSM

Yasanti dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup kaum buruh perempuan baik

dari segi ekonomi, sosial maupun politik. Sedangkan Rifka Annisa cenderung

memfokuskan kegiatannya pada penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap, seperti

perkosaan, pemukulan atau penganiayaan suami terhadap istri dan pelecehan seksual.

Program-progamnya dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan perempuan agar

sederajat dengan laki-laki (Zubaedi, 2005:272).

Penelitian Zubaedi di atas memiliki kelebihan dalam menjelaskan berbagai

bentuk program, strategi, pendekatan, dan pelaksanaan program oleh subyek

penelitiannya. Namun, kekurangannya adalah tidak menyertakan sasaran atau partisipan

program dalam unit analisisnya. Sehingga tidak diketahui bagaimana hasil dari program

masing-masing LSM perempuan tersebut. Padahal, untuk mengetahui berhasil tidaknya

Page 8: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

8

suatu program hanya bisa diketahui dari sasaran program tersebut. Kekurangan tersebut

cukup beralasan karena dalam bukunya hanya membahas tema besar LSM perempuan

beserta isu pemberdayaan. Kekurangan ruang tersebut menjadi ruang bagi penelitian

lanjutan untuk mendalami implikasi dari pemberdayaan tersebut.

Penelitian lainnya terhadap LSM-LSM perempuan dilakukan oleh Rahmawati

yang meneliti lima LSM perempuan di Yogyakarta pada tahun 2001. Fokus

penelitiannya adalah ideologi dan gerakan feminis yang digunakan oleh LSM perempuan

tersebut. Tujuan penelitiannya adalah untuk memetakan paradigma, ideologi, strategi dan

pendekatan gerakan feminis LSM-LSM tersebut. Rahmawati (2001:88) menunjukkan

bahwa masing-masing LSM mempunyai perbedaan dalam isu-isu yang diperjuangkan,

cara melihat permasalahan perempuan, agenda yang direncanakan, strategi dan

pendekatan yang diterapkan. Perbedaan tersebut berakar pada ideologi yang menjadi titik

tolak LSM tersebut untuk melihat permasalahan perempuan dengan spesifikasi tertentu.

Perbedaan tersebut akhirnya membawa implikasi yang berbeda pula dalam merumuskan

strategi dan orientasi organisasi (Rahmawati, 2001:6).

Dari hasil penelitian Rahmawati dapat dipahami bahwa setiap LSM mengusung

beragam ideologi yang akhirnya menentukan sasaran, strategi dan gerakannya. Orientasi

yang dicanangkan pun juga berbeda. Pemahaman itu menjadi kontribusi penting bagi

pengetahuan tentang LSM perempuan beserta perjuangannya. Hasil penelitian tersebut

juga memicu inspirasi untuk melihat LSM perempuan secara kritis. Beragamnya ideologi

yang menjadi basis gerakan LSM perempuan mendorong pentingnya melihat apa

sebenarnya kepentingan dan agenda yang diusung. Penelitian ini pada dasarnya juga

terinspirasi dari temuan Rahmawati tersebut. Jika fokus penelitian Rahmawati adalah

Page 9: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

9

ideologi dan gerakan LSM perempuan, penelitian ini menyoroti dinamika kelompok

partisipan program pemberdayaan pada LSM yang berbeda.

Penelitian berikutnya tentang LSM perempuan dilakukan oleh Herliawati (2009)

pada komunitas Suara Ibu Peduli (SIP) di Cilandak. Hasilnya, penelitian tersebut

menggambarkan bentuk kegiatan pemberdayaan yang dilakukan SIP yaitu Kegiatan

simpan pinjam, Penjalinan Relasi, Pendampingan dan Konsultasi, Monitoring dan

evaluasi. Manfaat yang Bertambah pengetahuan, meningkatkan rasa diperoleh anggota

komunitas tersebut adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan sikap kritis, serta solidaritas

dan kepedulian terhadap sesama, membantu pendapatan keluarga. Penelitian tersebut

menempatkan tema dan subyek yang hampir serupa dengan penelitian ini.

Penelitian tersebut di atas menganalisis bagaimana pemberdayaan ekonomi

perempuan SIP beserta manfaat yang diperoleh anggota SIP dari program

pemberdayaannya. Penelitian tersebut juga menekankan bahwa modal sosial menjadi alat

dan media yang kontributif bagi program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh

SIP. Selain berbeda tema, subyek penelitian dan lokasi, penelitian tersebut kurang

mengeksplorasi proses sosial dalam dinamika kelompok anggota. Selain itu, kurang

meneliti lebih dalam tentang dinamika organisasi komunitas Suara Ibu Peduli terkait

bagaimana fund-raising, siapa pihak yang mendukung dan terlibat, bagaimana proses dan

tujuannnya, serta seperti apa bentuk kerjasama yang dibangun dalam jaringannya.

Berkaitan dengan manfaat dan hasil dari program pemberdayaan, terdapat

beberapa penelitan yang menyimpulkan bahwa program pemberdayaan mampu

berimplikasi positif bagi perempuan. Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh

Pramujiharso (2010) pada kasus pemberdayaan ekonomi produkti wanita muslim oleh

koperasi Rukun Makmur Sentosa. Penelitian tersebut membahas bentuk pemberdayaan

Page 10: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

10

yang dilakukan. Hasil penelitiannya mendeskripsikan bahwa bentuk pemberdayaan

adalah pemberdayaan sumber daya manusia, kegiatan keagamaan, kegiatan sosial,

kegiatan perekonomian. Dari pemberdayaan tersebut terjadi peningkatan taraf hidup,

tercukupinya kebutuhan hidup dan peningkatan aset perempuan. Namun, Penelitian

tersebut di atas hanya membahas sebatas bentuk kegiatan dari koperasi Rukun Makmur

Sentosa dan sedikit menganalisis hasilnya bagi perempuan muslim. Terlihat sekali

orientasi yang dituju adalah implikasi yang bersifat praktis tanpa melihat proses

pemberdayaan dan partisipasi perempuan secara mendalam. Kerangka teoretis yang

dijadikan acuan sangat minim sehingga penjelasannya terlalu sederhana.

Dari beberapa penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa LSM perempuan

memiliki semangat untuk memperjuangkan kaum perempuan melalui pelbagai program

pemberdayaan. Namun, masing-masing LSM berangkat dari paradigma dan ideologi

yang berbeda-beda sehingga implikasinya agenda dan gerakannya pun berbeda. Bentuk

kegiatan dan pendekatannya pun berbeda satu sama lainnya. Dari perbedaan tersebut

dapat diprediksikan hasil dari berbagai programnya pun berbeda. Meskipun demikian,

perbedaan tersebut tidak meniadakan tujuan awal dari dibentuknya LSM. Penelitian

Herliawati (2009) pada Suara Ibu Peduli membuktikan bahwa LSM (sebagai NGO)

mampu memberikan implikasi positif bagi perempuan. Dalam fokus pemberdayaan

ekonomi misalnya, perempuan dapat mengambil manfaat yang kontributif dari program

dan intsrumen pemberdayaan yang diinisiasi LSM.

Berkaitan dengan kerangka analisis pemberdayaan dari Sara H. Longwe, terdapat

penelitian menggunakan pisau analisis tersebut. Penelitian tersebut berjudul “ Model

Pemberdayaan Perempuan Miskin Melalui Pengembangan Kewirausahaan Keluarga

Menuju Ekonomi Kreatif di Kabupaten Karanganyar” oleh Marwanti dan Astuti (2012).

Page 11: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

11

Hasilnya, berdasar kerangka analisis pemberdayaan perempuan dari Sara H. Longwe,

kebijakan ataupun program untuk perempuan di Karanganyar cenderung mampu

meningkatkan kesejahteraan dan akses serta partisipasi namun belum menyentuh level

penyadaran kritis dan kontrol (Marwanti dan Astuti, 2012:140). Hasil penelitian tersebut

menjadi pijakan bagi untuk mengevaluasi sejauh mana program-program pemberdayaan

perempuan yang dimotori LSM dapat meningkatkan keberdayaan perempuan. Hal

tersebut perlu dikaji karena berbagai studi menunjukkan bahwa LSM lebih berhasil

dalam memberdayakan masyarakat dari pada pemerintah.

Hasil beberapa penelitian tersebut menjadi pijakan asumsi penelitian ini untuk

memandang positif setiap kegiatan pemberdayaan perempuan oleh LSM. Meskipun

sebenarnya peneliti dibingungkan oleh beberapa hasil penelitian yang memiliki dua

kesimpulan bertolak belakang. Di satu sisi penelitian-penelitian di atas menunjukkan

hasil yang positif terhadap LSM perempuan (Herliawati, 2009), di sisi lain hasil studi

Mansour Fakih (1996) terhadap berbagai LSM di Indonesia menunjukkan bahwa LSM

kurang mampu menciptakan transformasi sosial.

Beberapa kekurangan dan konradiksi hasil penelitian di atas menjadi alasan

perlunya meneliti Yayasan Sahabat Ibu sebagai LSM perempuan. Penelitian ini berusaha

melengkapi kekurangan dan perdebatan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini

memposisikan diri secara berbeda dari penelitian terdahulu. Perbedaan tersebut adalah

meskipun dari sisi tema penelitian ini serupa dengan penelitian terdahulu yakni

pemberdayaan perempuan, namun penelitian ini fokus pada strategi dan hasil dari

pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh LSM perempuan. Kebanyakan penelitian

terdahulu cenderung asyik membahas paradigma, ideologi, teori, strategi, pendekatan,

bentuk dan pelaksanaan program yang dijalankan LSM namun sedikit menyoroti

Page 12: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

12

hasilnya di lapangan. Oleh karena itu, penelitian ini penting dirancang untuk mengambil

bagian yang ditinggalkan tersebut.

F. Kerangka Teoretik

1. LSM: Tinjauan Umum

Istilah LSM sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi,

praktisi dan aktifis. Sebagian pihak mengartikan LSM sebagai terjemahan dari Non-

Government Organizations (NGO`s) atau organisasi non-pemerintah. Namun sebagian

pihak tidak setuju dengan penyebutan LSM sebagai terjemahan NGO`s karena istilah

LSM dianggap merupakan bentuk penjinakan terhadap NGO`s. Pihak yang tidak setuju

ini lebih menghendaki menyebut kembali nama lembaganya sebagai organisasi non-

pemerintah atau ORNOP (Fakih, 2004:6).

Uphoff (1995:20) juga membedakan NGO`s dan LSM. Menurutnya LSM adalah

bagian dari NGO`s namun NGO`s belum tentu LSM karena istilah NGO`s mengacu pada

sektor di luar pemeintah sedangkan LSM mengacu pada masyarakat di tingkat bawah.

Menurut Prijono (1995:950) NGO`s mencakup beragam organisasi di mana LSM juga

termasuk di dalamnya. Menurutnya, NGO`s meliputi Organisasi nirlaba (ONL) atau

Non-Profit Organization (NPO), Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM)

atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkaitan dengan proses dampak

pembangunan, pengembangan dan perubahan sosial serta pemberdayaan rakyat. Tujuan

dari lembaga-lembaga non-pemerintah adalah membangun keswadayaan yang tidak

bergantung kepada pemerintah (Sugiyanto, 2002:91).

Dalam konteks sekarang, menurut Fakih (2004) perdebatan pandangan di atas

mulai mencair dan tidak terlalu dipermasalahkan meskipun ada sebagian LSM yang

ingin kembali menyebut dirinya sebagai NGO. Atas dasar pernyataan Fakih tersebut,

Page 13: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

13

peneliti lebih memilih menggunakan istilah LSM karena sesuai dengan karakteristik YSI.

Definisi LSM sendiri juga beragam tergantung sudut pandang yang digunakan. Menurut

Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990 pada lampiran II LSM

diartikan sebagai“ organisasi atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat

warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta

bergerak di bidang tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud

partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan

masyarakat, yang menitik-beratkan kepada pengabdian secara swadaya”.

Pendapat lain mengatakan LSM merupakan bagian dari organisasi civil society

yang umumnya dikelola dalam wadah kelompok sosial serta memobilisasi sumber daya

berdasarkan nilai-nilai dan visi sosial (Zubaedi, 2007: 114). Pendapat lainnya

mendefinisikan LSM sebagai organisasi sosial yang kegiatannya berkaitan dengan proses

dampak pembangunan, pengembangan dan perubahan sosial serta pemberdayaan rakyat

(Prijono, 1995:950). Sedangkan untuk definisi NGO, UNDP (1993:84-85)

mengartikannya sebagai “ voluntary organizations that work with and very often on

behalf of others. Their work and their activities are focussed on issues and people

beyond their own staff and membership”.

Dari beragam definisi dan ciri-ciri LSM di atas, penelitian ini berusaha

memadukannya sehingga mendefinisikan LSM (NGO) sebagai organisasi sosial yang

dibentuk atas dasar kepentingan bersama untuk memperjuangkan kemanusiaan, keadilan

dan memperbaiki kondisi sosial melalui mobilisasi, pengembangan dan pemberdayaan

masyarakat. Dengan demikian, LSM perempuan adalah organisasi sosial yang diinisiasi

dan dimotori oleh beberapa perempuan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan

melalui mobilisasi, pengembangan dan pemberdayaan perempuan. Yayasan Sahabat Ibu

Page 14: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

14

dalam konteks ini merupakan LSM yang dibentuk oleh beberapa perempuan yang peduli

terhadap nasib kaum perempuan lainnya melalui program PROSIBU (karitatif), PINTAR

(edukasi) dan PRIMA (ekonomi).

Menurut Haddad (dalam Sugiyanto, 2002:95) organisasi sosial dapat dikatakan

sebagai LSM apabila sudah memenuhi ciri-ciri LSM sebagai berikut:

1. Bekerjasama karena kesamaan aspirasi dan kegiatan bersama, dimana hubungan-

hubungannya akrab dan mampu berkomunikasi dengan masyarakat bawah.

2. Untuk mencapai tujuan mereka bekerja sama dengan prinsip saling membantu

berdasarkan kepentingan bersama dengan substansi masalah kebutuhan mendasar.

3. Kelompok ini dikenali dengan istilah self help group dengan karakteristik

kelompok ini kecil, belum terorganisir secara baik, informal, miskin, berada di

pedesaan atau di perkampungan.

4. Dibantu oleh tenaga sukarela dan fokus kegiatannya pada proyek-proyek.

Dengan demikian, organisasi sosial yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak termasuk

LSM. Oleh karena itu perlu klarifikasi terhadap organisasi sosial mengingat perbedaan

latar sejarah serta kompleksnya peran LSM yang berbeda dari organsisasi lainnya.

Kemunculan LSM di Indonesia menurut Elderidge (dalam Zubaedi, 2007:122)

dipicu oleh dua hal, yakni pertama, adanya upaya mencari model partisipasi dalam

pembangunan sosial dan ekonomi yang memberikan penekanan lebih besar bagi

masyarakat sendiri dalam menentukan kebutuhan dan meningkatkan kemampuan dalam

mengelola kegiatan pembangunan secara mandiri. Kedua, adanya tuntutan kepada LSM

sebagai katalisator bagi pengembangan nilai-nilai dan proses demokrasi dalam

kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia secara lebih luas.

Page 15: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

15

LSM merupakan pendekatan alternatif terhadap kegagalan pembangunan industri

dan patternalistik top-down terhadap kemiskinan, masalah wanita dan sebagainya di

tingkat grassroot berskala kecil. Melalui karakteristik khas tersebut dimaksudkan agar

dapat mewujudkan lingkungan bagi pembangunan masyarakat itu sendiri. Dasar

asumsinya adalah untuk membangun harus disandarkan pada pemberdayaan masyarakat

(Hikmat, 2001). Clarke mengatakan bahwa secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan

melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah,

tetapi dari LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat (dalam Hikmat,

2001:5). Kalaupun ada relasi yang dibangun dengan pemerintah, hal itu dalam bingkai

kerjasama untuk saling melengkapi dan meraih tujuan.

Meskipun LSM berupaya menyediakan alternatif penyelesaian masalah yang

dihadapi masyarakat secara luas, dalam tubuh LSM sendiri sebenarnya sangat rentan

terserang masalah-masalah yang mengancam eksistensinya. Setidaknya menurut Eko

(2006:1-2) terdapat empat masalah besar yang seringkali dihadapi LSM. Pertama

problem internal seperti manajemen, organisasi, keuangan dan lain-lain yang terkait

dengan akuntabilitas dan keberlanjutan. Kedua, problem relasi LSM dengan elemen lain

terutama pemerintah dan masyarakat yang mengandung dua pola hubungan yakni

kemitraan dan konfontrasi. Ketiga, masalah pendekatan pemberdayaan dan strategi

gerakan LSM untuk membaca peta masalah dan merumuskan strategi aksi pemecahan

masalah. Keempat, LSM telah menjadi bagian dari polarisasi civil society (Ormas, LSM,

mahasiswa, pers, organisasi rakyat dan lain-lain). Empat masalah tersebut jika tidak

diantisipasi maka dapat mengurangi peran transformatif LSM pada masyarakat. Lebih

parah lagi masalah tersebut sangat mungkin mengancam eksistensi LSM sendiri.

Page 16: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

16

2. LSM dan Pemberdayaan Masyarakat

Melihat peranan yang dimainkan oleh LSM secara umum, Gaffar (1999:204)

memetakannya ke dalam dua kelompok besar, yaitu: pertama, Peranan dalam bidang

non-politik, yaitu memberdayakan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi.

Peranan demikian biasanya bersifat memfasilitasi dan mendampingi masyarakat untuk

menyelesaikan masalahnya dengan sedikit memberikan perubahan yang bersifat

struktural. Kedua, peranan dalam bidang politik, yaitu sebagai wahana untuk

menjembatani masyarakat dengan negara atau pemerintah. Dalam hal ini, LSM berfungsi

sebagai mediator yang mengantarai hubungan masyarakat dengan negara melalui

kepercayaan dari massa dan lobi-lobi terhadap kebijakan.

Pada dasarnya, Peran organisasi lokal, organisasi sosial, LSM, dan kelompok

masyarakat lainnya lebih sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayanan

sosial kepada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya (Hikmat, 2001:16).

Peranan tersebut mengisi kekosongan peran yang ditinggalkan pemerintah atau merubah

tatanan yang merugikan bagi kelompok lemah. LSM dapat menjadi kekuatan positif

untuk transformasi sosial yang diperlukan (Fakih, 2004:12). Sebagi pelaku perubahan

sosial LSM berperan sebagai fasilitator pendidikan, komunikator bagi kepentingan

masyarakat, lapis bawah, katalisator, dinamisator transformasi sosial, dan mediator

antara pemerintah dan lembaga lain seperti bank dan masyarakat (Zubaedi, 2007:120).

LSM-LSM memiliki beragam paradigma yang menjadi dasar gerakan dan strategi

kegiatannya. Perbedaan pandangan dalam merumuskan permasalahan dan kepentingan

perempuan berimplikasi timbulnya perbedaan dalam perumusan strategi dan orientasi

organisasi (Rahmawati, 2001:6). Adapun ragam paradigma LSM sendiri, peneliti

mengutip tipologi paradigma yang telah dipetakan Fakih (2004:122) berikut ini:

Page 17: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

17

Tabel 1.1 Peta Paradigma LSM

Konformisme Reformasi Transformasi

Sebab-sebab

masalah

keadaan rakyat

setempat

takdir Tuhan

nasib buruk

lemahnya pendidikan

penduduk yang

berlebihan

nilai-nilai tradisional

korupsi

eksploitasi

struktur yang

timpang

hegemoni kapitalis

Sasaran mengurangi

penderitaan

mendoakan

mengharapkan

meningkatkan produksi

membuat struktur yang

ada bekerja

mengubah nilai-nilai

rakyat

menentang

eksploitasi

membangun struktur

perekonomian/

politik yang baru

kontra-diskursus

Program perawatan anak

bantuan kelaparan

klinik

rumah panti

pelatihan teknis

bisnis kecil

pengembangan

masyarakat

bantuan hukum

pelayanan suplementer

penyadaran

pembangunan

ekonomi alternatif

serikat buruh

Koperasi

Tipe perubahan

dan asumsi Fungsional/ Keseimbangan Kritik Struktural

Tipe

Kepemimpinan

percaya pada

pemerintah

konsultatif

partisipatif

memiliki tanggung

jawab bersama

fasilitator partisipatif

disiplin yang kuat

Tipe Pelayanan memberi derma

pada yang miskin

kesejahteraan

membantu rakyat

menolong dirinya

Revolusi hijau

Pembangunan

komunitas

Pendidikan non formal

Pendidikan kejuruan

land reform

riset partisipatif

popular education

Inspirasi konformasi reformasi Emansipasi

Transformasi

Dari tiga paradigma di atas, menurut Fakih (2004) kebanyakan LSM di Indonesia masih

tergolong reformatif. Hanya sedikit saja LSM yang termasuk kategori transformatif.

Namun belakangan, menurut Fakih sebagian LSM mulai mempersiapkan dirinya untuk

menjadi transformatif. Kategorisasi dari Fakih di atas akan dipergunakan peneliti untuk

melihat posisi YSI dengan mencocokkannya dengan variabel-variabel di atas.

LSM juga berperan penting dalam mendukung kelompok swadaya masyarakat

melalui sejumlah upaya sebagai berikut: pertama, mengidentifikasi kebutuhan

masyarakat lokal dan strategi untuk memenuhinya. Kedua, memobilisasi dan

Page 18: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

18

menggerakkan usaha aktif masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Ketiga, merumuskan kegiatan jangka panjang dalam rangka mewujudkan sasaran-

sasaran pembangunan yang lebih umum. Keempat, menghasilkan dan memobilisasi

sumberdaya lokal atau eksternal untuk kegiatan pembangunan pedesaan. Kelima,

pengaturan, perencanaan dan pelaksanaan kelompok sasaran (Hannam, 1988:4).

Strategi program pengembangan NGO`s (LSM), Menurut Korten (dalam Prijono,

1996:99-100), tercermin dalam empat generasi, yaitu generasi pertama mengutamakan

untuk memenuhi kekurangan atau kebutuhan tertentu yang dialami oleh individu atau

keluarga (relief and welfare) seperti kebutuhan makanan, kesehatan, dan pendidikan.

Generasi kedua, memusatkan kegiatannya pada small-scale self reliant local

development yang meliputi pelayanan kesehatan, penerapan teknologi tepat guna dan

pembangunan infrastruktur. Kemudian generasi ketiga terlibat dalam sustainable system

development. Mereka melihat dampak pembangunan di regional, nasional dan

internasional. Generasi keempat, NGO`s sebagai fasilitator gerakan masyarakat dengan

membantu masyarakat mengorganisasikan diri, mengidentifikasi kebutuhan dan

memobilisasi sumber daya mereka. Arah pengembangan NGO`s tersebut dilengkapi

dengan generasi kelima yaitu pemberdayaan rakyat.

Pemberdayaan sebagai agenda generasi LSM kelima dilaksanakan melalui

kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi

dari LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke, 1991, dalam Hikmat,

2001:5). Adanya agenda pemberdayaan mengantarkan LSM menjadi pusat harapan

untuk mengatasi segera krisis akibat dilaksanakannya pembangunan global, perdamaian,

lingkungan, wanita dan pergerakan hak-hak asasi manusia (Korten, 1990).

Page 19: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

19

Pandangan mengenai pemberdayaan sendiri sebenarnya cukup beragam. Ragam

pandangan itu dipengaruhi oleh pengalaman historis dan format sosial ekonomi yang

beragam (Pranarka dan Vidhyandika, 1996 : 45-70). Pandangan yang pertama

mengartikan pemberdayaan sebagai penghancuran kekuasaan (power to no body).

Pandangan ini berkeyakinan bahwa kekuasaan telah mengasingkan dan menghancurkan

manusia dari eksistensinya. Untuk itu perlu menghapus kekuasaan itu sendiri. Pandangan

kedua lebih memandang pemberdayaan sebagai pembagian kekuasaan kepada setiap

orang (power to every body). Pandangan ini meyakini bahwa kekuasaan yang terpusat

berpotensi disalah gunakan dan cenderung mengeliminasi hak normatif manusia yang

tidak berkuasa. Agar tidak terjadi hal tersebut maka perlu mendistribusikan kekuasaan.

Sedangkan pandangan yang ketiga mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya

penguatan yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini menolak dua

pandangan di atas yang dianggap mustahil dan rentan chaos.

Dari tiga pandangan tentang pemberdayaan di atas, penelitian ini lebih memilih

pandangan yang ketiga karena lebih moderat dan sangat mungkin dipraktekkan. Peneliti

setuju memandang pemberdayaan sebagai pendistribusian kekuasaan tanpa harus

menghancurkan kekuasaan lain. Artinya di sini tidak ada pihak yang dihancurkan namun

justru sebaliknya menjadi mitra untuk kepentingan bersama. Alasannya pemberdayaan

justru akan menjadi masalah bila secara konseptual bersifat zero-sum, maksudnya,

memberdayakan untuk menguasai pihak lain. (Hikmat, 2001:2).

Pemberdayaan dalam konteks ini diartikan sebagai peningkatan kapasitas dari

yang semula lemah menjadi kuat, dari yang berdaya menjadi lebih berdaya agar dapat

melindungi pihak yang lemah. Menurut Giddens pemberdayaan adalah usaha

membangun daya “ transformative capacity of human action: the capability of human

Page 20: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

20

beings to intervene in a series of events so as to alter course” (dalam

Kartasasmita,1996). Pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

dan memperluas akses terhadap suatu kondisi untuk mendorong kemandirian yang

berkelanjutan serta mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri melalui

penciptaan peluang agar mampu berpartisipasi (Sumodiningrat,1999).

Mengacu pengertian pemberdayaan dari Giddens di atas, pemberdayaan diartikan

sebagai upaya meningkatkan kapasitas kelompok rentan dan lemah hingga mampu

memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga

mereka memiliki kebebasan (freedom) untuk mengemukakan pendapat, bebas dari

kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber

produktif yang dapat meningkatkan pendapatannya dan memenuhi kebutuhan; dan (c)

berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang menyangkut

mereka (Suharto, 2005:58). Kategori orang lemah yang jadi sasaran pemberdayaan

adalah (a) Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun

etnis (b) Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja penyandang

cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing (b) Kelompok lemah secara personal yakni

mereka yang mengalami masalah pribadi yang dan atau keluarga (Suharto, 2005:60).

Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut

(Moeljarto, 1995:68): (a) Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat harus dari masyarakat sendiri (b) Meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang ada untuk

mencapai kebutuhannya (c) Mentoleransi variasi lokal sehingga sifatnya fleksibel dan

menyesuaikan diri dengan kondisi lokal (d) Menekankan pada proses sosial learning (e)

Proses pembentukan jaringan antara birokrasi dan LSM.

Page 21: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

21

Pemberdayaan memerlukan masa proses belajar secara bertahap hingga mencapai

status mandiri. Proses itu antara lain: tahap penyadaran dan pembentukan perilaku, tahap

transformasi dan tahap peningkatan kemampuan intelektual. Tahap pertama penyadaran

dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan,

dimana dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki dan

menciptakan kondisi yang lebih baik di masa depan. Menurut Freire (2000), dengan

kesadaran kritis individu mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang

didengar, dilihat, dialami untuk memahami apa yang terjadi dilingkungannya. Kesadaran

hendaknya dimulai dari individu, kelompok hingga komunitas.

Sedangkan tahap kedua transformasi yaitu proses belajar tentang pengetahuan

kecakapan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Setelah mencapai tahap

ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan dasar

yang dibutuhkan. Tahap ketiga yaitu pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan

keterampilan untuk membentuk kemandirian. Kemandirian sendiri ditandai oleh

kemampuan untuk membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan

inovasi-inovasi dilingkungannya (Sumodiningrat dalam Sulistiyani, 2004:83-84).

Setidaknya ada tiga aktivitas sebagai proses pemberdayaan kepada masyarakat

yang perlu dilakukan, yaitu: pertama, pembentukan kelompok. Pemberdayaan dapat

dilakukan secara individu maupun secara kelompok. Pada satu kelompok terjadi dialog

yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas kelompok. Sementara

individu dalam kelompok belajar mendeskripsikan situasi, mengekspresikan opini dan

emosi masing-masing untuk merancang solusi dalam pemecahan masalah.

Kedua, pendampingan, dalam proses ini dilakukan pendefinisian tentang

masalah, menganalisa serta merancang sebuah kegiatan kelompok memerlukan

Page 22: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

22

pendamping yang berfungsi sebagai pendorong potensi kelompok. Pendamping bertugas

menyertai pembentukan penyelenggaraan kelompok sebagai fasilitator, komunikator

ataupun dinamisator. Sebagai fasilitator, pendamping bertugas memfasilitasi segala

kebutuhan dan mendorong proses pemberdayaan. Sebagai komunikator atau dinamisator,

pendamping bertugas memediasi komunikasi atau akses pada sumberdaya yang

mendukung upaya pemberdayaan termasuk informasi, pendidikan dan keuangan.

Ketiga, perencanaan kegiatan. Dalam tahap ini peran aktif setiap anggota

kelompok menentukan bidang usaha yang dapat digarap sesuai kemampuan agar

meningkatkan taraf hidupnya. Untuk suatu perencanaan kegiatan dalam pemberdayaan

masyarakat terdapat prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan antara lain: (1) Prinsip

kepercayaan yakni masyarakat diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan jenis

kegiatan yang sesuai dengan potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat (2) Prinsip

kebersamaan dan kegotong royongan yakni program harus mampu menumbuhkan

kebersamaan dan kegotong-royongan, kesetiakawanan dan kemitraan di antara kelompok

(3) prinsip kemandirian yakni menekankan program yang mendorong rasa percaya diri

bahwa masyarakat mampu menolong dirinya. Program harus bermanfaat dalam

meningkatkan taraf hidup anggota kelompok dan berkembang secara berkesinambungan,

sehingga pada saatnya tidak lagi diperlukan bantuan (Hartini, 2000 : 18-20).

Untuk melakukan pemberdayaan setidaknya ada beberapa strategi yang dapat

digunakan. Pentingnya strategi ini adalah untuk memudahkan mengatasi persoalan yang

dihadapi perempuan. Hal tersebut karena permasalahan perempuan sangatlah beragam

dan kompleks sehingga perlu melihat akar permasalahan dan merumuskan strategi

penyelesaiannya. Berikut model strategi pemberdayaan yang dapat digunakan.

Page 23: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

23

Tabel 1.2 Model Strategi Pemberdayaan

No Strategi/Pendekatan Sasaran Teknik Tujuan

1. Mikro (sering disebut

sebagai pendekatan

yang berpusat pada

tugas atau task

centered approach)

Individu,

Keluarga

Konselling, terapi,

bimbingan,

pembinaan,

managemen stres

dan intervensi

krisis.

Mengurangi tekanan,

menumbuhkan

kesadaran, , konsep

diri, tumbuhnya

motivasi, mengenal

potensi, kemampuan

dan kelemahan,

mengarahkan,

membimbing dan

melatih klien.

2. Mezzo Kelompok

, Peer

group,

self help

group

Pendidikan,

pelatihan, dinamika

kelompok

tingkatan kesadaran,

pengetahuan,

keterampilan, sikap

untuk mengatasi

masalah

sendiri/kelompok

3. Makro (Sering

disebut Large system

strategy)

Komunitas

dan

masyarakat

Kebijakan,

perencanaan dan

aksi sosial,

kampanye,

Lobbying, media

massa appeal,

organisasir

masyarakat dan

manajemenkonflik

Partisipasi masyarakat,

meningkatkan

perfoma/kinerja

organisasi, perubahan

kebijakan, dan

perubahan sosio

ekonomi.

Sumber: Fahruddin, Adi (ed). 2012. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan

Kapasitas Masyarakat. Bandung: Humaniora. Hal. 19

Dari tabel di atas, terlihat perbedaan masing-masing strategi dalam menentukan sasaran,

teknik dan tujuan pemberdayaan. Menurut Suharto (2005: 66-67) strategi pemberdayaan

di aras mikro dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konselling,

Page 24: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

24

stress management dan crisis intervention dengan tujuan utamanya adalah membimbing

atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.

Sedangkan pemberdayaan di aras mezzo menurut Suharto dilakukan terhadap

sekelompok klien sebagai media intervensi, dengan cara melalui pendidikan dan

pelatihan guna meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap

klien agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapiny. Pemberdayaan

di aras makro atau disebut juga strategi sistem besar memandang klien sebagai seorang

yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi mereka sendiri dan untuk memilih

serta menentukan strategi yang tepat untuk bertndak, dimana strategi ini lebih mengara

pada perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying,

pengorganisasian masyarakat dan manajemen konflik.

Dalam strategi mezzo, kedudukan kelompok sangat penting. Fungsi dari

pembentukan kelompok adalah untuk memudahkan pengorganisasian, yaitu upaya

mempersatukan sumberdaya pokok dengan cara yang teratur dan mengatur orang-orang

dalam pola organisasi, hingga mereka dapat melaksanakan aktivitas guna mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. (Anwar, 2007:45). Kelompok juga berfungsi sebagai media

dialog untuk menggali dan menyalurkan aspirasi para anggota. Menurut Freire (2000:81)

dialog menuntut adanya dan melahirkan pemikiran kritis. Friedmann (1988:255) juga

menyatakan bahwa kegiatan pembangunan akan efektif bila dilaksanakan melalui dialog

yang melibatkan hubungan saling mempercayai antara dua pihak atau lebih. Pentingnya

dialog dalam proses pemberdayaan karena dapat lebih detail menggali aspirasi dan

potensi yang ada di kalangan masyarakat sasaran. Dialog merupakan salah satu upaya

untuk melibatkan secara aktif kelompok sasaran (Anwar, 2007:40).

Page 25: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

25

Berkaitan dengan adanya pelatihan dalam pemberdayaan, Pemberdayaan diri dan

kelompok dapat lebih berdaya dengan mempelajari atau pelatihan keterampilan-

keterampilan hidup (life skills training) (Spence dan Sheperd, 1983:103). Pelatihan

sendiri merupakan usaha berencana yang diselenggarakan agar menguasai keterampilan,

pengetahuan dan sikap yang relevan dengan kebutuhan peserta pelatihan. Umumnya

pelatihan dilakukan untuk pendidikan jangka pendek dengan prosedur yang sistematis

dan terorganisir untuk tujuan tertentu. (Anwar, 2007:107).

Dalam kaitannya peran LSM dalam pemberdayaan, pada prakteknya Peran LSM

dalam memberdayakan rakyat dapat dirumuskan melalui pendidikan dan pendampingan

kemandirian melalui kelompok atau individu, yaitu (Ismawan, 2000:9-16): Pertama

menggali motivasi dan membangkitkan kesadaran anggota kelompok, kedua membantu

perkembangan, seperti pendidikan dan latihan, pemupukan modal dan pengelolaan,

sebagai katalisator hubungan kerjasama antar kelompok termasuk hubungan kerjasama

dengan lembaga lain demi tercapainya kemandirian. Dengan adanya pendamping,

kelompok diharapkan tidak bergantung pada pihak luar, namun dapat tumbuh dan

berfungsi sebagai suatu kelompok kegiatan yang mandiri. Pendamping diharapkan

membantu kelompok untuk suatu masa tertentu agar kelompok dapat berfungsi secara

mandiri (Prijono dan Pranarka,1996:142). Oleh karena itu, pendamping harus dapat

berfungsi sebagai berikut:

1. Fasilitator dan katalisator: melalui pembinaan dengan tinggal di tengah-tengah

kelompok menyertai proses perkembangan kelompok masyarakat, membantu

memecahkan masalah dan ikut menentukan alternatif pemecahan. Seorang

pembina bukan merupakan pemimpin tetapi merupakan sahabat kelompok dalam

proses mencapai dan mengembangkan kemandiriannya. seorang pembina juga

merupakan penghubung antara masyarakat dengan lembaga-lembaga terkait.

Page 26: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

26

2. Pelatih dan pendidik: peran ini berusaha mencarikan dan menyalurkan informasi

serta pengalaman dari luar ke dalam kelompok melalui berbagai metode untuk

meningkatkan pendidikan kelompok sasaran. Peningkatan pendidikan pada

kelompok dapat melalui dua jalur yaitu secara langsung dan tidak langsung.

Peningkatan pendidikan secara langsung dapat melalui penyuluhan, pelatihan,

konsultasi dan sebagainya. Sedangkan peningkatan pendidikan secara tidak

langsung terjadi sejalan dengan terintegrasinya anggota dalam kelompok

swadaya (Ismawan, 2003). Melalui kelompok tersebut, anggota berinteraksi

menumbuhkan kesadaran akan posisi dan potensi mereka.

3. Pemupuk modal: peran ini dilakukan untuk mendorong upaya penghematan,

usaha menabung dan kegiatan produktif. Dalam hal ini NGO`s dapat berfungsi

sementara sebagai lembaga keuangan setempat atau sebagai penghubung dengan

berbagai lembaga keuangan terdekat.

4. Penyelenggara proyek

Proyek di sini adalah proyek-proyek stimulan dalam rangka meningkatkan

kemandirian kelompok-kelompok swadaya.

Berkaitan dengan peran LSM dalam mendorong keberhasilan penyelenggaraan

kelompok swadaya, setidaknya ada 5 program pengembangan yang dapat disusun dan

disalurkan melalui tenaga-tenaga pendamping kelompok , yaitu (Ismawan, 2003):

a. Program pengembangan sumberdaya manusia yang meliputi kegiatan

pendidikan dan latihan untuk anggota maupun pengurus yang mencakup

pendidikan dan latihan tentang keterampilan mengelola kelembagaan

Page 27: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

27

kelompok, keterampilan teknik produksi, maupun keterampilan mengelola

usaha.

b. Program pengembangan kelembagaan kelompok, dengan membantu

menyusun peraturan rumah tangga, mekanisme organisasi, kepengurusan,

administrasi dan lain sebagainya.

c. Program pemupukan modal swadaya dengan membangun tabungan sosial dan

kredit anggota serta menghubungkannya dengan lembaga-lembaga keuangan

setempat untuk mendapatkan manfaat bagi pemupukan modal lebih lanjut.

d. Program pengembangan usaha, baik produksi maupun pemasaran dengan

berbagai studi kelayakan, informasi pasar, organisasi produksi dan pemasaran

dan lain-lain.

e. Program penyediaan informasi tepat guna, sesuai dengan kebutuhan

kelompok swadaya dengan berbagai tingkat perkembangannya,. Informasi ini

dapat berupa eksposure program, penerbitan buku-buku maupun majalah-

majalah yang dapat memberikan masukan-masukan yang mendorong inspirasi

ke arah inovasi usaha lebih lanjut.

Beragamnya peran LSM di atas tidak terlaksana dengan baik tanpa disertakannya

partisipasi aktif dari masyarakat. Hal tersebut karena menurut Clarke partisipasi

masyarakat melalui LSM merupakan kunci untuk memperoleh keadilan, hak asasi

manusia, dan demokrasi. (dalam Hikmat, 2001:5). Partisipasi sendiri diartikan sebagai

proses aktif dimana orang atau kelompok yang terkait mengambil inisiatif secara bebas

(dalam Mikkelson, 2001: 64). Bahkan menurut Fakih (dalam Juliantara, 1998:12), pada

dasarnya partisipasi merupakan pemberdayaan yang bermakna mencari ruang kepada

Page 28: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

28

rakyat untuk menjadi subyek proses perubahan sosial, pengambilan keputusan dan aksi

melawan ketidak adilan untuk transformasi sosial mereka sendiri.

Bentuk partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan sebagaimana yang

diungkapkan di atas adalah sebagai berikut (Krimer dalam Ismail, 2001:34): (a)

Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan program yang akan

dijalankan (b) Partisipasi dalam pembangunan program, perlu didengar pendapat dan

nasehat dari kelompok sasaran agar program sesuai dengan kebutuhan dan persoalan

yang dihadapi (c) Partisipasi dalam gerakan sosial, agar kelompok sasaran dapat ikut

dalam proses pengambilan keputusan dibutuhkan stimulasi dan dukungan agar dapat

menjadi pressure group yang efektif (d) Partisipasi berupa keterlibatan dalam berbagai

pekerjaan. Kelompok sasaran diasumsikan terbatas pada alternatif untuk melakukan

pekerjaan guna meningkatkan partisipanya.

3. LSM dan Pemberdayaan Perempuan

Kerangka teori yang ketiga ini digunakan untuk melihat bagaimana peran dan

upaya LSM dalam pemberdayaan perempuan serta apa tujuan dan hasil yang harus

dicapai. Secara umum peran LSM dalam pemberdayaan perempuan tidaklah jauh

berbeda dari peran LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara umum. Namun ada

perbedaan mendasar di antara keduanya, yakni isu yang diperjuangkan, strategi dan

tujuan dari pemberdayaan sebagaimana yang akan dijelaskan berikut. Peran LSM

dalam pemberdayaan perempuan dalam hal ini dapat disebut merupakan cakupan dari

LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, kerangka teori

ini banyak mengadopsi konsep peran LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara

umum namun diadaptasikan pada kerangka pemberdayaan perempuan.

Page 29: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

29

LSM perempuan didefinisikan sebagai sekumpulan perempuan dalam sebuah

organisasi yang dibentuk untuk memperjuangkan nasib dan kepentingan perempuan.

Bentuk kegiatan dan agenda untuk melaksanakan tujuan tersebut beragam, salah

satunya adalah pemberdayaan. Adanya inisiatif pemberdayaan dari LSM perempuan

yang ditujukan pada perempuan sebagai sasarannya mengandung arti bahwa

kepentingan perempuan belum terpenuhi sehingga perlu diperjuangkan. Dalam

konteks inil LSM perempuan kemudian tampil membantu, mendampingi dan

membela perempuan. LSM-LSM perempuan tersebut memproklamirkan diri sebagai

organisasi yang otonom, independen dan berwawasan gender (Rahayu, 1996:32).

Para aktifis perempuan memaknai pemberdayaan dalam tiga pemaknaan

berikut (Rinawati, 2010:48); pertama, sebagai kegiatan yang dapat menciptakan

kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, kedua, sebagai peran serta atau partisipasi

perempuan yang merupakan aktualisasi diri perempuan dalam masyarakat. Ketiga,

sebagai bentuk kepeduliannya terhadap sesama kaum perempuan. Dari tiga

pemakanaan yang berbeda tersebut, lantas memunculkan tiga jenis perempuan dalam

kaitannya dengan aktifitas pemberdayaan yaitu pertama perempuan pragmatis, yakni

perempuan yang memandang pemberdayaan sebagai instrumen untuk membantu dan

meningkatkan kesejahteraan perempuan, kedua, perempuan partisipatoris, yakni

perempuan yang memandang pemberdayaan sebagai peluang untuk berpartisipasi

dalam pembangunan yang di laksanakan di lingkungannya, ketiga, perempuan

feminis, yakni perempuan yang memaknai pemberdayaan sebagai kesejajaran

perempuan dengan laki-laki dalam bidang pembangunan (Rinawati, 2010:49).

Adanya upaya pemberdayaan perempuan tidak terlepas dari pandangan

negara-negara di dunia terhadap permasalahan perempuan. Sejak tahun 1970 an

Page 30: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

30

permasalahan perempuan mulai diperhatikan saat dimasukkannya kajian perempuan

dan pembangunan sebagai respon terhadap dominannya ideologi developmentalisme

yang terbukti menyudutkan dan meminggirkan perempuan. Banyak publikasi yang

menunjukkan dampak negatif developmentalisme terhadap perempuan. Diantaranya

adalah hasil studi Barbara Roger berjudul “the Domestication of Women:

Discrimination in Developing Country” membeberkan bahwa program Bank Dunia

tersebut sangat bias gender, Stamp (1989) dalam bukunya “ Technology, Gender and

Power in Africa, juga Boserup (1970), isu diskursus dan pengetahuan atau kekuasaan

(Mueller A. 1987) dalam publikasi berjudul Peasant and Professional: the Production

of Knowledge about in the Third World, maupun dari aspek lingkungan (Shiva, 1989)

serta aspek-aspek lainnya seperti Sen (1987), Ahmed (1985), Charlton (1984)

“Women in Development: Boulder”, McCarthy (1984), Dixon (1980) dan Wolf

(1986) (dalam Fakih, 2003:59-61).

Dari berbagai kritikan terhadap developmentalisme tersebut kemudian muncul

berbagai model pendekatan yang mengupayakan kepentingan perempuan dalam

pembangunan. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain: Women in Development

(WID) yang memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan, Women

and Development (WAD) yang meningkatkan kontrol perempuan dalam

pembangunan dan Gender and Development (GAD) yang menekankan kesetaraan

gender dalam pembangunan. Pendekatan-pendekatan tersebut kemudian digunakan

oleh negara-negara berkembang dan LSM-LSM perempuan sebagai acuan

pemberdayaan perempuan (Rahmawati, 2001:47).

Page 31: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

31

Berdasarkan pendekatan dan strategi gerakannya, LSM perempuan memiliki

keragaman aktifitas yang dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu (Triwijati,

1996:358-359):

a. LSM perempuan yang berupaya memenuhi kebutuhan praktis gender yaitu

kebutuhan mendasar perempuan seperti penyediaan makanan bernutrisi,

perbaikan tempat tinggal, peningkatan penghasilan, pekerjaan, pendidikan

dasar dan pelayanan kesehatan (Mosser, 1993).

b. LSM perempuan yang beorientasi pada pemenuhan kebutuhan strategis

gender. Menurut Molyneux (dalam Zubaedi, 2007:214) kebutuhan strategis

gender menyangkut kedudukan atau posisi perempuan di dalam masyarakat.

Menurut Zubaedi (2007:214) Fokus pemenuhan kebutuhan strategis adalah “

penyetaraan relasi dan partisipasi perempuan dengan laki-laki dalam hal

pembuatan keputusan, akses yang sama untuk mendapatkan kesempatan

bekerja, pendidikan, latihan, kepemilikan tanah, kekayaan dan kredit, upah

yang sama dengan laki-laki untuk jenis pekerjaan yang bernilai sama,

kebebasan untuk memilih dalam pernikahan dan reproduksi, perlindungan

terhadap pelecehan seksual dan kekerasan yang dilakukan suami di rumah”.

Untuk lebih mudah memahami bagaimana perbedaan kebutuhan praktis dan

kebutuhan strategis gender dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 32: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

32

Tabel 1.4 Perbandingan Kebutuhan Praktis (GPN) dan Strategis Gender (GSN)

Sumber: Moser, Caroline O. N. 1993. Gender Planning and Development: Theory,

Practice and Training. London Routledge.

Kebutuhan praktis Kebutuhan strategis

Ciri-

ciri

C

a

r

a

p

e

n

a

n

g

g

u

l

a

n

g

a

n

berhubungan dengan perbaikan

kondisi hidup yang tidak

memuaskan: kurangnya sumber

daya atau tidak terpenuhinya

kebutuhan dasar (kesehatan,

pangan, air minum dsb.).

Kebutuhan ini dapat segera

diidentifikasi karena dirasakan

secara langsung dapat terpenuhi

dalam kurun waktu relatif

pendek melalui intervensi

tertentu misalnya pembuatan

sumur, posyandu dll.

Berkaitan dengan peranan dan

kedudukan di masyarakat yang

dipengaruhi oleh faktor struktural

(ekonomi, sistem politik

perundang-undangan, norma-

norma sosial-budaya)

Menyangkut kepentingan hampir

semua perempuan, tetapi tidak

dapat diidentifikasi secara

langsung

Dapat terpenuhi melalui suatu

proses jangka panjang

Melibatkan perempuan sebagai

pemanfaatan atau bahkan

sebagai partisipan

Memperbaiki kondisi hidup

perempuan melalui kegiatan

yang memberikan suatu hasil

yang berefek langsung dan cepat

dirasakan

Melibatkan perempuan sebagai

pelaku atau memfasilitasi

perempuan untuk menjadi pelaku

dan penentu kebijakan

Dilakukan melalui penyadaran,

memperkuat kepercayaan diri,

pendidikan, pengembangan

organisasi perempuan dsb.

Memberdayakan perempuan untuk

memperoleh kesempatan yang

lebih luas dalam pengambilan

keputusan di segala bidang dan

tingkat masyarakat,

memperjuangkan akses dan

kontrol terhadap sumberdaya yang

lebih besar.

E

f

Tidak mengubah peranan-peran

dan hubungan sosial yang ada.

Mengubah peranan-peranan dan

hubungan sosial budaya.

Page 33: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

33

Upaya pemberdayaan perempuan dalam konteks sekarang dinilai cukup

signifikan karena: Pertama, proses pembangunan Indonesia menekankan

pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, sejauh ini belum berpihak terhadap

kepentingan kaum perempuan. Kedua, pada praktiknya perempuan masih ditempatkan

sebagai “pihak kedua” meski pengakuan normatif terhadap perempuan menguat.

Misalnya pada sektor pekerjaan modern, masih ada praktik terselubung yang

memarjinalkan kaum perempuan. Ketiga, adanya streotipe atau pelabelan terhadap

kelompok perempuan. Perempuan dipandang sebagai seorang yang lemah, emosional,

sensitif, tergantung, pasif, submissif, luwes, memerlukan perlindungan dan

sebagainya. Sedangkan laki-laki dinilai memiliki fisik yang kuat, agresif, lebih

rasional, ingin memimpin, melindungi, aktif, kompetitif, kaku, keras dan sebagainya

(Munandar, 1995 dalam Zubaedi:272-273).

Pemberdayaan perempuan menekankan pentingnya penguatan kapasitas untuk

meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal melalui kontrol internal atas sumber

daya materi dan non-material (Hikmat, 2001 : 14). Kapasitas sendiri adalah kualitas

dan daya tampung yang dimiliki untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya.

Kapasitas individu merupakan konsep yang dinamik sehingga dapat diubah dan

dikelola termasuk dalam hal ini adalah kapasitas intelektual untuk mencapai

tujuannya sendiri dan yang dikehendaki lingkungan. Dengan demikian, pemberdayaan

perempuan adalah pengembangan potensi dan sumber daya yang dimiliki perempuan

untuk meningkatkan kemandirian, pendidikan dan mendorong kesetaraan gender.

Pemberdayaan perempuan lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas keterlibatan

dan partisipasi mereka dalam segala aspek kehidupan” (Sadli, 1995:45-49).

Page 34: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

34

Peningkatan kapasitas perempuan berarti meningkatkan kualitas sumber daya

manusia perempuan agar dapat: (1) menganalisis lingkungannya (2) mengidentifikasi

masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, isu-isu, dan peluang-peluang (3)

memformulasi strategi-strategi untuk mengatasi masalah-masalah, isu-isu dan

kebutuhan-kebutuhan tersebut dan memanfaatkan peluang yang relevan. (4)

merancang sebuah rencana aksi, serta mengumpulkan dan menggunakan secara efektif

dan atas sumber daya yang berkesinambungan untuk mengimplementasikan,

monitoring, mengevaluasi rencana aksi tersebut (5) memanfaatkan umpan balik

sebagai pembelajaran (African Capacity Building Foundation, 2001). Pengembangan

kapasitas manusia dapat berupa pengembangan wawasan, peningkatan kemampuan

atau skill, akses informasi dan pengambilan keputusan.

Strategi pengembangan perempuan, meliputi perhatian ditujukan untuk

peningkatan kesejahteraan perempuan yang tergolong dalam kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah untuk mendapat kesempatan lebih besar dalam menuntut

pendidikan pasca pendidikan dasar, mendorong makin ikut berperannya perempuan

dalam mengambangkan dan memanfaatkan kemajuan teknologi bagi pembangunan

(Achmad, 1992:51-52). Kualitas keberhasilan suatu rumah tangga sangat tergantung

pada kemampuan dan potensi memadai dari wanita ( Elizabeth, 2007:131). Hal

demikian juga dinyatakan Tan (1997) bahwa pemberdayaan perempuan memperkuat

ketahanan keluarga dan relasi perempuan dengan lingkungannya dengan menekankan

aspek persamaan tanggung jawab untuk kesejahteraan.

Dengan mengimplementasikan pemikiran Sumodiningrat, Elizabeth

(2007:130-131) mengungkapkan sedikitnya ada tiga aspek yang dicakup dalam

pemberdayaan perempuan, yaitu: (1) menciptakan kondisi yang kondusif yang

Page 35: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

35

mampu mengembangkan potensi perempuan; (2) memperkuat potensi (modal) sosial

perempuan demi meningkatnya mutu kehidupannya; (3) mencegah dan melindungi

perempuan, serta mengentaskan ketertindasan dan kemarginalan bidang kehidupan

mereka. Upaya menciptakan suasana/iklim kondusif yang memungkinkan suatu

potensi dapat berkembang dan menguat dengan cara: (1) mendorong, memotivasi dan

membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki; (2) menciptakan aksesibilitas

terhadap berbagai peluang yang menjadikannya semakin berdaya; (3) diperlukan

tindakan perlindungan terhadap potensi sebagai bukti keberpihakan yang mencegah

dan membatasi persaingan yang tidak seimbang dan cenderung eksploitasi terhadap

yang lemah oleh yang kuat (Elizabeth, 2007:131).

Pemberdayaan perempuan menurut Mosser (1996:209-210) harus lebih

menekankan pada strategi pemberdayaan bawah ke atas (bottom-up). Pendekatan ini

mendorong peningkatan keberdayaan perempuan namun bukan untuk mendominasi

orang lain, melainkan kecakapan perempuan untuk meningkatkan kemandirian (self

reliance) dan kekuatan internal (internal strength) atau “ the right to determine

choices in life and to influence the direction of change, through the ability to gain

control over material and non material resources” (Prijono, 1996:199). Moser (2003)

juga mengingatkan bahwa strategi pemberdayaan perempuan bukan bermaksud untuk

menciptakan perempuan yang mengungguli laki-laki. Namun lebih berupaya

mengidentifikasi kekuasaan dalam kerangka kapasitas perempuan untuk

meningkatkan kemandirian dan kekuasaan internal.

LSM Perempuan dituntut mampu membantu perempuan sasarannya untuk

mencapai tujuan pemberdayaan berikut ini (Nugroho, 2008: 163-164):

Page 36: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

36

a. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan untuk melibatkan diri sebagai

subyek pembangunan. Peran dan potensi perempuan sangat dibutuhkan untuk

mengatur dan mengurus sumberdaya keluarga, terutama anak-anak dan

sumberdaya material rumah tangga lainnya. Anak-anak merupakan faktor utama

sumber daya manusia, sebagai calon generasi penerus (Elizabeth, 2007:131).

Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga sangat penting untuk

mempersiapkan anak-anak agar mampu memperoleh pekerjaan yang lebih baik

dari orang tuanya kelak, melalui pembekalan pendidikan dan keterampilannya,

di samping pembinaan akhlak dan martabat mereka (Elizabeth, 2007:131).

b. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam kepemimpinan, untuk

meningkatkan posisi tawar-menawar dan keterlibatan dalam setiap program

pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun melakukan

monitoring dan evaluasi kegiatan,

c. meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam mengelola usaha skala

rumah tangga, industri kecil maupun industri besar untuk menunjang

peningkatan kebutuhan rumah tangga, maupun membuka peluang kerja

produktif dan mandiri,

d. meningkatkan peran dan fungsi organisasi perempuan di tingkat lokal sebagai

wadah pemberdayaan kaum perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam

program pembangunan pada wilayah tempat tinggalnya.

4. Level Analisis Pemberdayaan Perempuan (Sara Hlupekile Longwe)

Sebenarnya ada beberapa kerangka analisis gender yang umum digunakan

(selengkapnya lihat lampiran), yakni kerangka analisis Moser (Development Planning

Unit), kerangka analisis Harvard (Gender Roles/people oriented planning), Gender

Page 37: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

37

Analysis Matrix (GAM), pendekatan relasi sosial, analisis kapasitas dan kerentanan

serta analisis pemberdayaan perempuan (Sara H. Longwe) (lihat March, Smyth dan

Mukhopadhyay, 1999). Setiap kerangka analisis di atas memiliki fokus, kelemahan dan

kelebihan tersendiri. Hal tersebut disebabkan oleh pendekatan dan orientasi yang

berbeda. Namun sayangnya, masing-masing kerangka analisis seakan berjalan sendiri

tanpa berusaha untuk saling melengkapi kekurangan.

Untuk memilih kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti

berdasar pada pertimbangan-pertimbangan yang disarankan March dkk (1999) yaitu

mempertanyakan (1) sejauh mana kerangka analisis gender tersebut mengulas relasi

sosial yang melampui isu gender? (2) sejauh mana fleksibilitas framework tersebut? (3)

apakah ia menganalisis relasi sosial atau peran sosial? (4) apakah framework tersebut

mencakup secara seimbang unsur sumberdaya intangible (abstrak, seperti:hak,

pertemanan, jaringan, skill, pengalaman di ruang publik, kepercayaan diri, kredibilitas,

status dan respek, leadership dan waktu perempuan) dan tangible (tampak, seperti:

tanah, pendapatan, alat produksi, modal dll.) (5) apa tujuan utama dari framework

tersebut, fokus pada efisiensi atau pemberdayaan, (6) framework mana yang dapat

diterapkan dalam mengkaji identitas dan peran laki-laki. Pertimbangan praktis lainnya

adalah apakah kerangka analisis tersebut sesuai dengan yang penelitian ini inginkan,

apa reaksi dari masyarakat jika kerangka tersebut digunakan, apa potensi limitasi dari

kerangka analisis tersebut dan bagaimana cara menyiasatinya.

Dari berbagai pertimbangan dan kriteria di atas, penelitian ini memilih kerangka

analisis pemberdayaan perempuan dari Sara Longwe karena banyak memenuhi

pertimbangan di atas dan sesuai dengan kondisi subyek dan konteks penelitian ini.

Kelebihan dari kerangka analisis Longwe adalah (1) ia mampu mengembangkan poin-

Page 38: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

38

poin kebutuhan praktis dan strategis gender secara hierarkis dan progresif (2)

menekankan pemberdayaan sebagai elemen dasar dari pembangunan dan asesmen

terhadap intervensi (3) memiliki perspektif politik kuat yang bertujuan mengubah

kondisi dan tindakan. Meskipun memiliki kelebihan, namun terdapat potensi

keterbatasan dalam kerangka analisis Sara Longwe yaitu; (1) kerangka analisis bersifat

statis tanpa memperhitungkan perubahan situasi dalam waktu tertentu (2) mengkaji

relasi gender dari sudut pandang keseteraan semata tanpa melibatkan aspek inter-relasi

antara hak dan tanggung jawab (3) cenderung mengabaikan bentuk lain dari

ketidaksetaraan dan relasi gender. Terlepas dari adanya kelebihan dan limitasi,

kerangka analisis Sara Longwe dirasa sesuai dengan konteks dan kebutuhan penelitian

ini. Oleh karena itulah kerangka tersebut dipilih.

Sebenarnya, kerangka Longwe dapat dioperasikan secara fleksibel sesuai

dengan tuntutan dan tujuan pemberdayaan. Dalam konteks makro, analisis Longwe

dapat digunakan untuk merancang kebijakan dan program-program pemberdayaan dari

pemerintah. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa besar perempuan menikmati

manfaat intervensi pemberdayaan dari pemerintah, Apakah intervensi tersebut mampu

mengakomodasi kebutuhan praktis dan strategis gender sekaligus ataukah masih bias

gender. Dalam posisi ini, intervensi pemberdayaan beroperasi dalam ranah institusional

(struktural) di mana pemerintah sebagai agen pemberdayaan merumuskan kebijakan

pemberdayaan perempuan sebagai obyeknya. Untuk mengetahui keberhasilan

pemberdayaan tersebut, dapat melihatnya dari analisis institusionalnya dengan

mempertanyakan poin-poin berikut: bagaimana aturan atau kebijakan dirumuskan?

Bagaimana pelaksanaannya? Sumberdaya apa yang digunakan dan apa yang

dihasilkan? Siapa yang terlibat dan tidak terlibat dalam pemberdayaan? Siapa yang

Page 39: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

39

melakukan aktifitas dalam pemberdayaan? Siapa yang terlibat dalam pengambilan

keputusan terkait pemberdayaan dan kebutuhan apa saja yang dipenuhi?

Namun, kerangka analisis institusional kurang mencakup permasalahan

perempuan secara komprehensif sehingga seringkali tidak tepat sasaran. Hal tersebut

karena perumusan program intervensi pemberdayaan terlalu teknokratis dan cenderung

project oriented. Pendekatan yang digunakan cenderung top-down sehingga kurang

mengakomodir kebutuhan dan permasalahan perempuan. Kualitas kebijakan gender

sendiri dapat dikategorisasikan sebagaimana yang ditunjukkan Mona Dahms berikut,

yaitu gender-blind, gender-aware (gender-neutral dan gender-specific) dan gender

redistributive. Kategori pertama menunjukkan kebijakan gender yang seringkali masih

bias laki-laki. Sedangkan kategori kedua menggambarkan kebijakan sensitif gender

yang berusaha melengkapi dan memenuhi kebutuhan tertentu. Kategori kebijakan

gender ketiga bertujuan untuk mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya produktif

secara egaliter. Lebih mudahnya lihat bagan yang diadopsi dari Dahms berikut.

Page 40: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

40

Dari bagan di atas, dapat diketahui bahwa kebijakan gender hanya berusaha

memenuhi kebutuhan dan mendistribusikan sumberdaya secara merata bagi perempuan.

Titik inilah yang menjadi kelemahan intervensi pemberdayaan yang diinisiasi

pemerintah dimana kurang menyentuh akar permasalahan perempuan. Akibatnya

adalah permasalahan yang dihadapi perempuan sulit diselesaikan. Dalam kondisi ini

lantas memunculkan kerangka pemberdayaan yang lahir dari refleksi terhadap

permasalahan perempuan oleh sebagian unsur masyarakat. Intervensi pemberdayaan

perempuan dari masyarakat lebih bersifat bottom-up sehingga dianggap mampu

mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan secara komprehensif. Dalam

konteks inilah Longwe kemudian menawarkan sebuah kerangka analisis pemberdayaan

perempuan mencakup kebutuhan praktis dan strategis gender yang disusun secara

hierarkis. Kerangka ini seringkali diadopsi oleh LSM atau NGO lainnya sehingga

diidentikkan sebagai kerangka pemberdayaan perempuan yang people oriented.

Longwe memandang pemberdayaan perempuan adalah sentral dalam proses

pembangunan. Pemberdayaan perempuan berarti menghasilkan mobilisasi dan

organisasi perempuan politis agar lebih mampu berperan maksimal (Longwe, 1998:22)

Ia juga memandang ketidaksetaraan gender tidak hanya muncul dari perbedaan peran

gender, namun dari pembagian kerja berdasar gender dan alokasi manfaat serta

sumberdaya. Oleh sebab itu, tujuan dari kerangka analisis tersebut adalah untuk

meningkatkan keberdayaan perempuan dengan cara mendorong (enabling) perempuan

agar memiliki kontrol setara pada faktor-faktor produksi dan berpartisipasi dalam

proses pembangunan. Dari tujuan tersebut, Longwe lantas membedakan antara

womens`s issues, yang berkaitan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam

peran sosial atau ekonomi, serta women`s concern yang berhubungan dengan

subordinasi, peran gender dan stereotip sex.

Page 41: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

41

Untuk meraih tujuan pemberdayaan perempuan dalam kerangka analisis

Longwe, dapat dilakukan beberapa langka berikut. Pertama, melengkapi kebutuhan

perempuan yakni kesejahteraan. Kedua, meningkatkan kesadaran perempuan tentang

hak yang harus diterimanya. Ketiga, melalui lima level pemberdayaan (kesejahteraan,

akses, penyadaran, partisipasi dan kontrol) untuk memfasilitasi akses, partisipasi dan

yang paling mendasar adalah memberikan kontrol perempuan pada aspek sosial

budaya, hukum dan politik. Dalam pandangan Longwe (March dkk, 1999:92)

pembangunan berarti menyediakan (enabling) ruang bagi perempuan untuk

mengendalikan hidupnya dan terhindar dari kemiskinan. Kemiskinan tidak dilihat

muncul dari kekurangan produktifitas, melainkan dari tekanan dan eksploitasi. Longwe

menunjukkan beberapa literatur yang cenderung menganalisis keseteraan antara laki-

laki dan perempuan berdasarkan sektor ekonomi dan masyarakat seperti kesetaraan

dalam pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya. Menurutnya, Analisis model seperti

itu lebih akan menimbulkan pemisahan kehidupan sosial dari pada meningkatkan

kesetaraan perempuan dalam proses pembangunan. Oleh karena itu Ia menawarkan

kerangka analisis pemberdayaan perempuan yang menurutnya lebih komprehensif.

Analisis pemberdayaan perempuan sangat berguna dalam mempromosikan

kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dalam tulisan “ Gender Awareness:

the Missing Element in the Third World Development Project” dalam Changing

Perceptions: Writings on Gender and Development, Longwe (1991) menyusun level

pemberdayaan perempuan yang harus diperhatikan yakni kesejahteraan, akses,

konsentasi/penyadaran, partisipasi dan kontrol. Kelima level pemberdayaan perempuan

tersebut tersusun secara hierarkis dimana tingkatan yang tertinggi adalah kontrol.

Semua level tersebut harus dipenuhi dalam upaya pemberdayaan perempuan. Berikut

dijelaskan level analisis pemberdayaan Longwe sebagaimana pada tabel.

Page 42: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

42

Tabel 1.4 Level Analisis Pemberdayaan Perempuan (Longwe)

Longwe’s Women’s Empowerment Framework

Control

Empowerment seeks a balance of power between women and

men, so that neither is in a position of dominance. It means that

women have power alongside men to influence their destiny and

that of their society. In Longwe’s view, empowerment is an inter-

connected cycle of countering discrimination and oppression.

Addressing the roots of inequality at one level leads to a

discussion about all of the other levels. Empowerment takes

place as individual women and groups of women move between

levels, gaining strength along the way.

Participation /

Mobilization

The individual woman in the home is not likely to make much

progress in challenging traditional norms – Power expands in

numbers and connection. Mobilization is therefore the fourth and

crucial stage of empowerment, which enables the collective

analysis of gender issues, and the collective commitment to

action. Mobilization is largely concerned with redefining

participation in decision making, as participation of a mobilized

group will spark the search for empowerment at yet another

level. In development projects, it includes involvement in needs

assessment, project design, implementation and evaluation.

Conscientisation

Here an understanding of the difference between sex roles and

gender roles comes into force with the belief that gender relations

and the gender division of labour should be fair and agreeable to

both sides, and not based on the domination of one over the

other. Access now pertains to women’s access to factors of

production, land, labour, credit, training, marketing facilities, and

all publicly available services and benefits - on an equal basis

with men. Equality of access is obtained by securing equality of

opportunity through legal reform to remove discriminatory

provisions.

Access

The gender gap at the welfare level results from inequality of

access to opportunity, information, and other resources.

Empowerment means that women are 1) made aware of the gap

and 2) animated to take actions for gaining access to their fair

and equal share of the various resources available within the

household, and within the wider system of state provision. Action

here takes women automatically to the next level.

Welfare

---------

At this base level work views women as passive recipients and

welfare pertains to the level of material welfare of women,

relative to men, with respect to food supply, income and medical

care, without reference to whether women are themselves the

active creators and producers of their material needs. This level is

not sustainable nor does it empower women.

Page 43: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

43

a. Welfare / Kesejahteraan

kesejahteraan adalah unsur material pada level dasar yang harus dipenuhi dalam

pemberdayaan perempuan. Asumsinya adalah perempuan selama ini dipandang

sebagai penerima pasif dari kesejahteraan yang diusahakan laki-laki tanpa melihat

kemampuan perempuan. Oleh karena itu, level pemberdayaan ini menekankan

perempuan harus menjadi kreator aktif dan produser untuk mencukupi kebutuhan

materialnya. Kesejahteraan dapat diukur melalui tercukupinya kebutuhan dasar seperti

makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan. Untuk memperbaiki kesejahteraan

diperlukan peningkatan akses perempuan terhadap sumber daya dan keterlibatan

dalam proses pemberdayaan.

b. Access / Akses

Akses menurut Longwe adalah kemampuan perempuan untuk memperoleh peluang

terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran,

tenaga kerja dan semua pelayanan publik. Argumen utama level pemberdayaan ini

adalah adanya kesenjangan kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki disebabkan

oleh ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya. Dengan kata lain, Rendahnya

produktifitas perempuan disebabkan oleh minimnya akses perempuan terhadap

sumber daya produktif seperti peluang, permodalan, informasi, pendidikan, pelatihan

dll. Sumber daya menurut ICRW (2011:5) tidak hanya terkait finansial melainkan

mencakup human capital (pendidikan, skill, dan pelatihan), financial capital (modal,

tabungan), social capital (jaringan sosial, mentor), physical capital (tanah, mesin).

Dengan memberikan akses terhadap permodalan dan pelatihan serta keuangan mikro

dapat membantu meningkatkan kapasitas perempuan (Maholtra, 2002). Begitu juga

dengan akses yang besar terhadap informasi akan membantu perempuan memperoleh

Page 44: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

44

akses pada kekuasaan (Narayan, 2002:18). Untuk meningkatkan akses perlu

melakukan penyadaran terhadap perempuan agar dapat mencari akar penyebab

kesenjangan akses yang mereka alami. Menurut Winati (2002) akses dapat dilihat dari

(1) sumberdaya yang diperoleh individu, (2) kegiatan yang dikerjakan individu dalam

usaha memperoleh beragam sumber daya. Dalam hal ini metode alokasi waktu dapat

dipakai untuk mengukur kegiatan tersebut, (3) siapa yang menikmati hasil kegiatan.

c. Conscientisation / Menumbuhkan Kesadaran Kritis Perempuan

Longwe mendefinisikan konsientasi sebagai kesadaran dalam memahami perbedaan

peran berdasarkan pembagian seks dan gender. Pada level ini, pemberdayaan dituntut

mampu menumbuhkan sikap kritis perempuan terhadap berbagai akar permasalahan

yang menimpanya seperti diskriminasi, subordinasi, stereotipe sehingga menciptakan

kesetaraan gender di segala aspek kehidupan. Dengan kesadaran kritis individu

mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dialami

untuk memahami apa yang terjadi dilingkungannya. Kesadaran hendaknya dimulai

dari individu, kelompok hingga komunitas (Freire, 2000). Kesadaran kritis dapat

dicapai melalui proses dialog untuk mendefinisikan dan memecahkan permasalahan

bersama (Freire 2000:81).

d. Participation / Partisipasi

Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan dan keikutsertaan aktif dalam pengambilan

keputusan,. Dalam konteks pemberdayaan, perempuan harus terlibat dalam penetapan

kebutuhan, perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Sejalan dengan

pemikiran Longwe, Menurut Craig dan Mayo, partisipasi pada dasarnya merupakan

komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan.

Individu-individu harus terlibat dalam proses pemberdayaan sehingga mereka dapat

Page 45: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

45

menumbuhkan rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk

mengembangkan keahlian baru (Hikmat, 2001:3). McArdle (1989) bahkan

menyatakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam

setiap proses pengambilan keputusan (dalam hikmat, 2001:6). Partisipasi dapat dilihat

dari peran serta perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga,

komunitas, masyarakat, maupun negara.

e. Control / Kontrol

Pada level puncak pemberdayaan ini, perempuan perempuan harus memiliki kontrol

setara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan sehingga tidak ada lagi

dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Pentingnya kontrol sebagai salah satu

unsur analisis pemberdayaan perempuan adalah perempuan mempunyai kekuasaan

untuk mengubah kondisi dan posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Konsep

kontrol berhubungan dengan aspek kekuasaan seseorang untuk menentukan segala

sesuatu yang menyangkut pelbagai kepentingan termasuk memperoleh beragam

sumberdaya bagi dirinya (Winati, 2002). Konsep kontrol menurut Winati dapat

dianalisis melalui bagaimana pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu

untuk melakukan sesuatu baik dalam rumah tangga maupun masyarakat luas.

Meskipun setiap level pemberdayaan tersusun secara hierarkis, namun

sebenarnya setiap intervensi pemberdayaan tidak harus dimulai dari level

kesejahteraan. Pada kenyataannya, Setiap intervensi tidak menunjukkan hasil sama

pada setiap level. Intervensi tersebut dapat memiliki komponen yang sesuai dan

memenuhi level tinggi namun tidak pada level yang lebih rendah (March,1999:94).

Oleh karena itu, pemberdayaan bisa saja di mulai dari level akses, konsientasi,

partisipasi untuk mencapai level puncak yaitu “kontrol”. Level pemberdayaan yang

Page 46: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

46

hierarkis tersebut seringkali disalah pahami sebagai alur yang linier. Hal tersebut yang

dikritik oleh March dkk (1999:100) sebagaimana berikut:

“ Hierarchy of levels may make users think that empowerment is a linier

process. Users may assume that in order to reach the level of “Control” an

intervention will have had to meet all the previous four levels. As explained

above, this is not the case. An Empowering intervention is likely to include

resource considerations at the level of “ Control” but not at the levels of

“welfare” and “Acces” (March dkk, 1999:100).

Pemberdayaan perempuan kemungkinan besar akan lebih berhasil jika

intervensi pemberdayaan fokus pada level tertinggi dari pada level yang lebih rendah.

Jika intervensi pemberdayaan hanya berkonsentrasi pada level paling bawah, yakni

kesejahteraan, dapat dikatakan pemberdayaan tidak akan berhasil. Partisipasi yang

setara dalam proses pembuatan keputusan tentang sumberdaya lebih penting untuk

meningkatkan pemberdayaan perempuan dari pada akses yang setara pada sumber

daya. Partisipasi dan akses adalah sama halnya dengan kontrol yang ekual.

Longwe (March dkk, 1999:94) menyarankan bahwa hal yang penting untuk

diukur bukan hanya intervensi pemberdayaan saja, melainkan juga tujuan dari

intervensi tersebut apakah sudah mengakomodasi permasalahan perempuan (women`s

issues) atau belum. Permasalahan perempuan mencakup kesetaran antara perempuan

dan laki-laki dalam peran sosial atau ekonomi dan melibatkan seluruh level

(kesejahteraan, akses, penyadaran, partisipasi dan kontrol). Suatu hal akan disebut

sebagai women`s issues saat menyangkut relasi laki-laki dan perempuan. Meskipun

demikian, Longwe tidak menunjukkan secara spesifik apakah pemberdayaan harus

menargetkan perempuan saja, laki-laki saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan.

Page 47: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

47

Dari berbagai penjelasan kerangka teoretik dan indikator pemberdayaan

perempuan di atas, penelitian ini merumuskan beberapa kriteria penilaian untuk

mengukur keberhasilan perempuan sebagai berikut:

Tabel 1.5 Indikator Pemberdayaan Perempuan Menurut Level Analisis Longwe

Level

Pemberdayaan

Indikator Pemberdayaan

Kontrol

- Kontrol dalam pengambilan keputusan di rumah tangga/

masyarakat (alokasi kebutuhan rumah tangga, KB, pendidikan

anak) dan dalam program pemberdayaan (perumusan,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi)

- Kepemilikan dan kemampuan manajerial dalam usaha

produktif

- Kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat darinya (pinjaman,

tabungan, pendapatan dan keuntungan)

Partisipasi

- Partisipasi dalam kelompok komunitas, asosiasi atau jaringan

sosial.

- Keterlibatan dalam pengambilan keputusan di kelompok atau

komunitas

- Partisipasi dalam proses perumusan hingga evaluasi program

pemberdayaan. Hal ini dapat dilihat dari : (1) berapa jumlah

perempuan yang terlibat (2) bagaimana bentuk partisipasi

perempuan (3) apa saja masalah selama perempuan

berpartisipasi (4) berapa jumlah perempuan yang keluar dari

program dan apa alasannya.

Konsientasi

- Mampu membedakan peran berdasar seks dan gender

- Mampu mengidentifikasi akar permasalahan kesenjangan

gender

- Timbul kepercayaan diri dan pengembangan potensi

- Memahami hak dan perannya

- Mampu menilai inklusi

Akses

- Dapat mengakses sumber daya produktif (finansial, pelatihan,

pendidikan, jaringan sosial dan tanah, mesin dsb).

- Akses pada kegiatan publik dan program

- Akses pada pelayanan publik

Kesejahteraan

- Peningkatan status ekonomi (pendapatan)

- Dimilikinya aset dari usaha produktif

- Meningkatnya kesehatan (nutrisi dan gisi)

- Terpenuhinya kebutuhan material pokok

Page 48: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

48

Untuk lebih mudah mengukur apakah suatu intervensi pemberdayaan sudah memenuhi

lima level analisis dan women`s issues dapat dicapai melalui tabel evaluasi berikut.

Tabel 1.6 Desain Evaluasi Pemberdayaan Perempuan

Sumber: diadopsi dari March, Smyth, Mukhopadhyay. 1999. A Guide to Gender-

Analysis Framework. Oxfam GB.

Level negatif menunjukkan tujuan dari pemberdayaan tidak mencakup women`s issues.

Sedangkan level netral mengindikasikan pemberdayaan memenuhi women`s issues

namun upaya tersebut tidak berdampak baik pada perempuan. Level positif berarti

bahwa pemberdayaan mampu memenuhi women`s issues dan memperbaiki posisi

perempuan terhadap laki-laki.

Sektor

program

Level pemberdayaan Level

women`s

issues

Kesejahteraan Akses Konsientasi Partisipasi Kontrol negatif /

netral/

Positif

Edukasi PINTAR:

Parenting

Keagamaan

kesehatan

Ekonomi PRIMA

Permodalan

Pelatihan

kewirausaha

an

Karitatif PROSIBU

Pembagian

sembako

Beasiswa

bagi anak

keluarga

miskin

Page 49: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

49

Bagan 1.1 Alur Pemberdayaan

Kondisi

Dasar/baseline Input

Program

Hasil

Program

Kontrol

Partisipasi

Kesadaran

Kritis

Akses

Kesejahteraan

Kontrol

Partisipasi

Kesadaran

Kritis

Akses

Kesejahteraan

Kondisi Awal Hasil

Program

Pemberdayaan

Page 50: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

50

Bagan 1.2 Kerangka Berpikir

Level Analisis Pemberdayaan Perempuan Longwe

Hambatan internal:

rendahnya SDM ,

kesadaran dan motivasi

Hambatan Eksternal: minim

akses pada sumberdaya

produktif dan jaringan sosial,

kurangnya sensitifitas gender

di masyarakat.

Pemberdayaan

perempuan

Strategi

Pemberdayaan

?

Program Pemberdayaan YSI: PROSIBU (Karitatif), PINTAR (Edukatif) PRIMA

(Produktif)

YSI:LSM

Perempuan

Mikro: individu, teknik pembinaan dan konseling, Mezzo: kelompok, teknik

pendidikan dan pelatihan. Makro: Sasaran Masyarakat/ Komunitas, teknik

lobbying ,aksi sosial, kebijakan.

Kesejahteraan:Terpenuhinya Kebutuhan pokok seperti: makanan, penghasilan,

perumahan dan kesehatan)

Akses: Peluang pada sumberdaya produktif (tanah,kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran,

lapangan kerja dan pelayanan publik)

Kesadaran:Tumbuhnya sikap kritis dan kemampuan memecahkan masalah bersama

Partisipasi: Peran serta dalam pengambilan keputusan, penetapan kebutuhan,

perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi

Kontrol: Kuasa dalam menentukan pilihan, keputusan dan atas sumberdaya produktif

Page 51: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

51

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang secara intensif

memahami realitas sosial, peristiwa, peran, kelompok dan interaksi. Metode ini

seringkali digunakan untuk mendalami realitas sosial yang kompleks. Alasan pemilihan

metode penelitian ini adalah untuk mendalami suatu proses sosial perlu pemahaman

secara intensif dengan cara meninjau dan terlibat langsung dengan subyek penelitian

untuk mendapatkan data yang komprehensif dan holistik. Dengan metode penelitian

kualitatif, peneliti dapat memahami realitas sosial beserta unsur-unsur dan faktor yang

melingkupinya. Peneliti dalam hal ini akan menekuni bagaimana strategi pemberdayaan

perempuan oleh Yayasan Sahabat Ibu serta sejauh mana hasil yang dirasakan kelompok

sasaran. Pendekatan yang digunakan untuk mendalaminya adalah pendekatan intrepetif

yaitu memahami dan menafsirkan sebuah realitas sosial. Pendekatan ini dinilai sangat

relevan dalam penelitian ini karena memberikan penekanan pada pemaknaan terhadap

realitas secara mendalam yang tidak cukup hanya dimengerti dalam bentuk taken for

granted. Unit analisis data penelitian ini yang utama adalah kelompok partisipan.

1. Subyek, Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada lima kelompok perempuan sasaran

pemberdayaan YSI yang tersebar di dua wilayah yakni Kabupaten Sleman dan Kota

Yogyakarta. Kelompok sasaran tersebut berlokasi di Sintokan (Wukirsari,

Cangkringan, Sleman), Rajek Lor dan Pundong I (Tirtoadi, Mlati, Sleman), Patukan

(Ambarketawang, Gamping, Sleman) dan Cokrodiningratan (Jetis, Kota Yogyakarta).

Perlu ditekankan bahwa unit analisis penelitian ini adalah kelompok, bukan daerah-

daerah yang disebutkan. Melalui unit analisis kelompok, penelitian ini diharapkan

dapat memahami bagaimana permasalahan perempuan, bagaimana strategi

pemberdayaan YSI yang diberikan padanya, dan bagaimana dinamikanya serta apakah

Page 52: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

52

kelompok tersebut dapat menyelesaikan permasalahannya. Pemilihan kelompok

sasaran didasarkan pada karakteristik dan dinamika masing-masing kelompok namun

bukan bermaksud untuk membandingkan antar kelompok. Dasar pertimbangan

tersebut untuk melihat apakah terdapat variasi strategi pada masing-masing kelompok

terpilih. Berikut pertimbangan karakteristik dan dinamika kelompok terpilih:

(a) Sintokan merupakan daerah binaan YSI yang pernah tertimpa bencana erupsi

Gunung Merapi pada 2006. YSI mendampingi kelompok ini sejak setelah

bencana sampai saat ini (2014) sehingga perlu melihat bagaimana peran YSI pada

kelompok partisipan dan bagaimana dinamikanya. Desa Wukirsari sendiri

memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di antara desa lainnya (Lampiran SK

Bupati Sleman 2011) yaitu 4444 warga miskin. Oleh karena itu, penting

menempatkannya sebagai subyek penelitian untuk melihat kontribusi YSI bagi

perempuan di sana.

(b) Tirtoadi adalah daerah kelompok sasaran yang terletak di wilayah di Kecamatan

Mlati. Kelompok binaan di daerah ini terdapat dua kelompok yakni di Dusun

Pundong I dan Rajek Lor. Meskipun dua kelompok ini terletak di satu desa yang

sama, namun menurut Ibu Tias -sebagai fasilitatornya- keduanya memiliki

dinamika yang berbeda. Kelompok binaan di Pundong lebih responsif dan

intensif mengikuti program pemberdayaan YSI sehingga anggotanya berkembang

pesat. Sedangkan kelompok partisipan di Rajek Lor kurang begitu berkembang.

Dua kecenderungan yang berbeda tersebut menarik peneliti untuk memilihnya

sebagai subyek penelitian.

(c) Patukan (Ambarketawang, Gamping, Sleman) adalah daerah kelompok sasaran

yang merupakan pusat pemerintahan di wilayah kecamatan. Namun hasil studi

Page 53: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

53

pendahuluan menemukan bahwa perempuan-perempuan produktif di Patukan

memiliki akses yang rendah terhadap sumber daya produktif seperti keuangan dan

informasi program pemerintah. Dekatnya jarak dengan pusat pemerintahan tidak

menjamin arus informasi dan program-program dari pemerintah dapat

terdistribusikan dengan baik pada perempuan di sana. Kondisi tersebut jadi

pertimbangan pentingnya mengetahui proses dan hasil pemberdayaan YSI pada

perempuan di daerah tersebut.

(d) Jetis adalah daerah kelompok sasaran yang berada di wilayah kota Yogyakarta

dan merupakan kelompok binaan yang relatif baru dibentuk, yakni awal tahun

2014. Setting sosial wilayah perkotaan dan lebih dekat dengan pusat

pemerintahan tersebut menjadi latar penting menempatkannya sebagai subyek

penelitian untuk mengetahui variasi hasil pemberdayaan antara kelompok

perempuan di pedesaan dan perkotaan.

Penelitian ini sebenarnya sudah lama dilakukan semenjak peneliti menempuh

studi pendahuluan terhadap Yayasan Sahabat Ibu rentang akhir bulan Oktober 2013-

Mei 2014. Peneliti melakukan pendekatan dengan YSI dengan cara memanfaatkan

relasi pertemanan. Peneliti berteman dengan seseorang yang mantan salah satu

fasilitator YSI pada tahun 2006 saat terjadi erupsi Merapi. Dari pertemanan itu

peneliti kemudian diperkenalkan dengan staf dan fasilitator lainnya yakni Ibu Lopinda

(staf administrasi) dan Bu Iin (Staf divisi PRIMA). Peneliti terlebih dahulu melakukan

pembacaan dokumentasi yang tersedia dalam literatur baik dalam bentuk on-line

maupun draft. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik dari Yayasan

tersebut berkaitan dengan program pemberdayaan perempuan yang dilakukannya.

Page 54: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

54

Dari Studi pendahuluan tersebut, peneliti kemudian merumuskan fokus permasalahan

dan subjek penelitian.

2. Kebutuhan dan Jenis Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data terkait dengan gambaran

umum tentang lokasi, setting (termasuk dalam jenis data sekunder), subyek penelitian

dan yang terkait dengan fokus kajian (jenis data sekunder). Data lokasi dan setting

penelitian dapat berupa data letak geografis, luas wilayah, demografis. Data yang

berhubungan dengan subyek penelitian seperti; identitas pribadi, latar belakang sosial,

pendidikan, ekonomi dan hal-hal yang terkait dengan penelitian. Sedangkan data

primer yang dibutuhkan untuk fokus kajian dalam penelitian ini adalah proses

pemberdayaan dan hasil yang dirasakan kelompok sasaran selama mengikuti kegiatan

pemberdayaan Yayasan Sahabat Ibu seperti tingkat kesejahteraan, akses pada pada

sumberdaya produktif dan ruang publik, kesadaran kritis, partisipasi dalam

pemberdayaan dan kontrol perempuan terhadap keputusan, pendapatan dan alokasi

sumberdaya produktif.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih secara purposive

dengan pertimbangan keterlibatannya dalam program pemberdayaan. Teknik

pemilihan informan ditentukan berdasar pada partisipasi dan pengetahuannya tentang

pemberdayaan. Kriteria informan terbagi menjadi dua, pertama, informan kunci yakni

informan yang mengetahui dan menjalani program-program pemberdayaan

perempuan dari YSI. Informan tersebut adalah staf, fasilitator Yayasan Sahabat Ibu

dan kelompok sasaran yang diwakili oleh ketua, sekretaris dan anggota. Informan dari

YSI berjumlah lima orang yang mewakili masing-masing struktur organisasi YSI.

Page 55: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

55

Sedangkan informan dari kelompok sasaran berjumlah 15 orang perempuan yang

mewakili kelompok terpilih. Informan kedua adalah tambahan yaitu pihak yang

mengetahui program pemberdayaan seperti perangkat desa, ketua dukuh hingga ketua

RT dan masyarakat sekitar yang tidak terlibat dalam kegiatan pemberdayaan. Sumber

data berikutnya adalah dokumentasi baik berupa laporan, publikasi, maupun foto dan

referensi atau literatur terkait.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti menempuh tiga metode

pengumpulan data. Ketiga metode pengumpulan data tersebut adalah:

a. Observasi

Observasi adalah proses pengumpulan data dari “tangan pertama” (otentik) dengan

cara mengamati masyarakat dan lingkungan tempat dilaksanakannya penelitian

Creswell (2012: 213). Teknik ini sangat relevan digunakan dalam penelitian ini

karena dengan cara ini peneliti dapat memahami proses pemberdayaan, dinamika

kelompok dan hasil pemberdayaan yang dicapai. Pengamatan dapat dilakukan

secara bebas dan terstruktur. Peneliti dalam hal ini memilih pengamatan secara

terstruktur dengan mengacu pada catatan poin-poin yang dibutuhkan. Dengan cara

seperti itu peneliti mampu mengeksplorasi perihal yang perlu diamati secara

menyeluruh. Peneliti melibatkan diri dalam proses pemberdayaan dan mengamati

bagaimana kegiatan tersebut berlangsung. Pelibatan langsung tersebut bertujuan

untuk penggalian informasi terkait permasalahan penelitian. Langkah ini juga

dimaksudkan untuk mengetahui implikasi program pemberdayaan terhadap

perempuan. Peneliti mencatat poin-poin penting dari hasil pengamatan tersebut.

Page 56: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

56

b. Wawancara

Peneliti juga mengumpulkan data melalui teknik wawancara. Melalui wawancara

peneliti mengetahui pandangan informan secara mendalam dalam

menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa

ditemukan melalui observasi. Wawancara akan dilakukan pada staf, fasilitator dan

partisipan Yayasan Sahabat Ibu. Peneliti juga mewanwancarai stake holder dan

perangkat desa. Peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan seputar fokus

kajian penelitian Seperti apa motivasi YSI memberdayakan perempuan, bagaimana

proses dan bentuknya, bagaimana pandangan partisipan tentang program

pemberdayaan, apa hasil yang dirasakan partisipan selama mengikuti program

pemberdayaan, bagaimana tanggapan perangkat desa dan lain sebagainya. Dalam

prosesnya, peneliti akan lebih banyak “diam” dan melakukan pencatatan terhadap

pernyataan-pernyataan yang dianggap penting. Hasil wawancara akan

diklarifikasikan dengan hasil dari observasi di lapangan dan studi dokumentasi.

c. Studi Dokumentasi

Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti juga melakukan studi

dokumentasi. Dengan mempelajari dokumentasi peneliti merasa maka kredibilitas

hasil penelitian kualitatif ini akan semakin tinggi. Peneliti mempelajari data yang

didokumentasikan YSI dalam laporan, publikasi baik dalam bentuk naskah maupun

file. YSI sendiri memiliki halaman website yang memudahkan peneliti mencari

data yang dibutuhkan seperti agenda dan hasil kegiatan pemberdayaan,

perkembangan kelompok binaan dan lain sebagainya.

Page 57: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

57

5. Pengujian Validitas data

Untuk tujuan mengetahui keabsahan hasil penelitian, peneliti perlu melakukan

pengujian validitas data. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik triangulasi, yakni

Pengujian validitas data dengan mengecek data dari teknik pengumpulan data dan

sumber data yang telah ada untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren

(Creswell, 2011: 287). Triangulasi data sendiri ada tiga jenis yaitu triangulasi sumber,

triangulasi teknik dan triangulasi waktu. Triangulasi sumber yakni pengujian validitas

data dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.

Dalam hal ini peneliti menggunakan triangulasi teknik, yaitu menguji validitas

data dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang

berbeda Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi dan

dokumentasi. Triangulasi teknik dalam penelitian ini sebagaimana berikut:

Bagan 1.3 Triangulasi Teknik

6. Teknik pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan data dalam penelitian ini ditempuh dengan cara

mengumpulkan semua data yang telah didapatkan untuk kemudian dipilah-pilah

sesuai dengan konteksnya. Data tersebut lalu dikoreksi dan disunting untuk

kepentingan analisis data. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam

Wawancara

Observasi

Studi dokumentasi

Staf,

fasilitator

dan

kelompok

sasaran YSI

Page 58: BAB I A. Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75195/potongan/S2-2014... · sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut

58

penelitian ini menggunakan teknik analisis data interaktif model Miles and Huberman

(1992:18) yaitu pengumpulan, reduksi, penyajian dan verifikasi data.

Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data memilah-memilahnya

menjadi kesatuan yang dapat dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan

pola, menemukan apa yang penting dan apa menjadi fokus lalu menyederhanakannya

(reduksi). Data dan informasi yang berkaitan dipilah dan dipilih untuk disajikan dalam

rangkaian data yang sistematis (display). Kemudian data diinterpretasikan dan

disimpulkan menjadi sebuah data valid (verifikasi).