bab i a. latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
A. Latar Belakang
Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan (World Bank, 2005:5),
(Elizabeth, 2007:129-130) dan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya (Anitasari
dkk, 2010: 28) memantik kritik dan reaksi dari beragam unsur masyarakat. Unsur-unsur
masyarakat yang peduli dengan nasib perempuan kemudian muncul dan membentuk
kelompok atau organisasi non-pemerintah untuk memperjuangkan dan memberdayakan
perempuan. Salah satu unsur masyarakat tersebut adalah LSM perempuan yang
kemudian tampil membantu, mendampingi dan membela kaum perempuan. LSM-LSM
perempuan tersebut memproklamirkan diri sebagai organisasi yang otonom, independen
dan berwawasan gender (Rahayu, 1996:32). Pemberdayaan semakin perlu dilakukan
mengingat perempuan memiliki potensi yang jika dikembangkan akan mendukungnya
berperan sesuai dengan kedudukannya (Elizabeth, 2007:128).
Sebagian besar LSM-LSM perempuan menganggap kegagalan pemerintah dalam
menangani permasalahan perempuan diakibatkan oleh dipaksakannya paradigma
pembangunanisme yang cenderung teknokratis dan didominasi model top-down
(Sugiyanto, 2002:91). Banyak program pemerintah yang tidak dapat dirasakan
manfaatnya oleh perempuan. Salah satu penyebabnya adalah program-program tersebut
kurang relevan dengan kebutuhan dan keinginan perempuan. Hal itu merupakan
konsekuensi logis karena dalam penentuan, perumusan program dan pengambilan
keputusan perempuan tidak disertakan sehingga aspirasi, kepentingan dan kebutuhan
mereka tidak terakumulasi dalam program. Padahal seharusnya pendekatan
2
pemberdayaan lebih berpusat pada rakyat untuk mendorong kapasitas masyarakat agar
mampu meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal (Hikmat, 2001 : 14).
Pada dasarnya LSM dan pemerintah berbeda dalam mendefinisikan masalah-
masalah perempuan serta strategi untuk mengatasinya (Harsono, 1997:292). LSM
perempuan melihat permasalahan perempuan berakar pada adanya ketimpangan gender
dalam struktur dan sistem sosial, ekonomi, dan politik masyarakat (Rahmawati, 2001:8,
Lingham, 2007:136). Sedangkan pemerintah memandang permasalahan perempuan lebih
sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut berpengaruh pada
perumusan kebijakan pemberdayaan perempuan yang kurang menyentuh akar persoalan
(Zubaedi, 2007, Fakih, 1996). Oleh karena itu wajar jika permasalahan yang dihadapi
perempuan sulit terselesaikan.
Di Indonesia, LSM-LSM perempuan sudah relatif lama bermunculan.
Pertumbuhan LSM perempuan di Indonesia ditandai dengan berdirinya LSM perempuan
pertama dengan nama Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) yang dibentuk tahun 28
september 1982 di Yogyakarta oleh 6 aktivis perempuan. Sasaran pemberdayaan Yasanti
adalah kaum buruh dan remaja putus sekolah (Rahmawati, 2001:71). LSM perempuan
lainnya adalah Rifka Annisa yang fokus pada penanganan kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan, seperti perkosaan, pemukulan atau penganiayaan suami terhadap
istri dan pelecehan seksual (Zubaedi,2007:271), YKF yang melakukan pemberdayaan
hak-hak politik dan hak-hak reproduksi perempuan dalam perspektif agama Islam,
LSPPA (Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak) yang fokus
sosialisasi nilai adil gender pada anak melalui lingkungan, PLIP (Pusat Informasi
Perempuan) Mitra Wacana yang menyediakan jaringan informasi dan pusat data tentang
perempuan (Rahmawati, 2001:88).
3
Berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, pada tahun 2006 muncul Yayasan
Sahabat Ibu (YSI) sebagai LSM perempuan yang berlokasi di Yogyakarta. Pada awal
berdirinya, YSI hanya concern pada recovery pasca bencana gempa DIY 2006
untuk komunitas perempuan, program untuk anak-anak, dan program recovery ekonomi
untuk keluarga. Program ini bertujuan untuk membangun soliditas keluarga-
keluarga anggota komunitas agar mereka lebih cepat melakukan recovery.
Pasca recovery bencana usai, Sasaran pemberdayaan YSI kemudian beralih ke
perempuan secara umum, khususnya yang minim akses ke sumberdaya produktif.
Alasannya adalah YSI memandang banyak perempuan di Yogyakarta yang sebenarnya
ingin mengembangkan potensi dan kapasitasnya namun terhambat oleh minimnya akses
ke sumber dan faktor yang mendukung mereka, khususnya akses ke sumber daya
produktif. Oleh karena itu, YSI berupaya melakukan pemberdayaan perempuan dengan
menarget perempuan-perempuan yang ingin mengembangkan potensi dan kapasitasnya
namun terkendala oleh minimnya akses ke sumber daya produktif (sahabatibu.org).
Dengan beralihnya sasaran pemberdayaan, Program pemberdayaan YSI kini juga
menjadi beragam dimana lebih menekankan aspek edukasi, parenting dan kewirausahaan
perempuan. Program-program pemberdayaan perempuan yang dijalankan YSI meliputi
pertama, Program PINTAR (Program Ibu Cerdas dan Terampil), sebuah program
edukasi dan Parenting terpadu yang dirancang untuk mencerdaskan kaum ibu dalam
mengembangkan pribadi dan mengelola keluarga, kedua program PROSIBU (Program
Santunan Untuk Ibu) yaitu program sosial yang berperan dalam membantu penyaluran
biaya pendidikan anak dan penyaluran dana sosial, ketiga program PRIMA (Program Ibu
dan Keluarga Mandiri), salah satu program Yayasan Sahabat Ibu yang fokus pada
4
pemberdayaan ekonomi perempuan. Tujuan program PRIMA ini adalah untuk
menciptakan perempuan yang mandiri dalam ekonomi dan mensejahterakan keluarga.
Kehadiran YSI sebagai LSM perempuan diharapkan dapat memberdayakan
perempuan. Harapan tersebut bukanlah tanpa alasan karena Lenkowsky menunjukkan
banyak hasil studi kasus bahwa LSM lebih efektif dari pada birokrasi pemerintah
terutama dalam keadaan yang membutuhkan gerak cepat dan bantuan darurat (dalam
Sugiyanto, 2002:96). Mengacu pada temuan tersebut, peneliti berasumsi bahwa YSI juga
dipandang mampu memberdayakan perempuan selama ia menyediakan alternatif-
alternatif pemberdayaan yang gagal dipenuhi pemerintah.
Namun yang jadi masalah adalah bukan ada atau tidaknya kepedulian LSM dalam
memperjuangkan nasib perempuan, tetapi adanya perbedaan antar LSM perempuan
dalam mengusung beragam metodologi dan strategi untuk memperjuangkan nasib
perempuan. Keragaman tersebut terlihat dari isu-isu yang diperjuangkan, cara melihat
permasalahan perempuan, agenda yang direncanakan, strategi dan pendekatan yang
diterapkan (Rahmawati, 2001:88). Semua itu berakar pada ideologi yang digunakan
masing-masing LSM. Ideologi tersebut menjadi titik tolak untuk melihat permasalahan
perempuan. Perbedaan tersebut akhirnya membawa implikasi yang berbeda pula dalam
merumuskan strategi dan orientasi organisasi (Rahmawati, 2001:6).
Dalam konteks di ataslah kemudian strategi pemberdayaan yang ditempuh YSI
perlu dibahas. YSI sendiri diindikasikan memiliki strategi yang khas dan menarik untuk
dibahas. YSI terlahir dari keresahan beberapa aktivis terhadap permasalahan perempuan
di sekitarnya sehingga diasumsikan memiliki strategi pemberdayaan yang lebih bisa
mengakomodir aspirasi dan kebutuhan perempuan. Hal tersebut dimungkinkan terjadi
karena fokus pemberdayaan YSI beralih dari recovery bencana (filantropi) menuju
5
pemberdayaan produktif yang tentunya menuntut perubahan strategi. YSI berniat
“membantu” pemerintah padahal pada dasarnya cara pandang LSM dan pemerintah
terhadap permasalahan perempuan berbeda. Seharusnya LSM lepas dan menjadi
alternatif dari pemerintah. Dan yang menarik adalah YSI banyak menerapkan praktik-
praktik keagamaan dalam proses pemberdayaan. Praktik-praktik keagamaan tersebut
antara lain ikrar, akad, pengajian, dan infaq. Di sisi lain, keseluruhan staf dan fasilitator
YSI terlibat aktif dalam politik praktis melalui Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sehingga
perlu diteliti apakah kedua hal tersebut termasuk bagian dari strategi pemberdayaannya.
Penelitian ini mengisi ruang kosong yang ditinggalkan penelitian terdahulu.
Sejauh ini penelitian terdahulu pada LSM-LSM perempuan hanya fokus pada ideologi
dan gerakannya, sebagaimana penelitian Rahmawati (2001) pada LSM-LSM perempuan
di Yogyakarta. Padahal penting juga melihat strategi dan hasil pemberdayaannya.
Penelitian Zubaedi (2007) pada LSM Yasanti dan Rifka Annisa di Yogyakarta
sebenarnya hampir sehaluan dengan penelitian ini namun ia kurang mengeksplorasi
strateginya dari paradigmatiknya dan pengaruhnya terhadap hasil pemberdayaan.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini disusun untuk menjawab pertanyaan berikut: (1) bagaimana strategi
pemberdayaan perempuan yang dijalankan oleh Yayasan Sahabat Ibu (YSI) sebagai
LSM perempuan? (2) Sejauh mana keberhasilan program-program pemberdayaan
tersebut? Untuk mengetahui bagaimana strategi pemberdayaan YSI, penelitian ini
mengadopsi tipologi strategi pemberdayaan mikro, mezzo dan makro. Sedangkan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan pemberdayaan perempuan tersebut, penelitian ini
menggunakan analisis pemberdayaan perempuan dari Sara H. Longwe yang terdiri dari
beberapa level berikut; kesejahteraan, akses, partisipasi, penyadaran dan kontrol.
6
C. Tujuan penelitian
Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami strategi
pemberdayaan perempuan yang diterapkan Yayasan Sahabat Ibu. Lebih khusus lagi
untuk mengetahui bagaimana paradigma YSI dalam memandang permasalahan
perempuan, apa yang menjadi agenda utama pemberdayaan YSI, bagaimana teknik
pemberdayaan yang ditempuh, apa saja masalah dalam pemberdayaan dan bagaimana
solusi yang diterapkan, (2) mengetahui hasil pelaksanaan program-program
pemberdayaan perempuan oleh YSI.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pengetahuan tentang strategi, pendekatan
dan hasil pemberdayaan perempuan yang dimotori LSM. Dalam tataran praktis,
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan kebijakan bagi
stake holder tentang strategi dan pendekatan pemberdayaan perempuan. Lebih lanjut
bagi LSM perempuan lainnya, penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan refleksi
untuk memperbaiki program pemberdayaan yang telah dilakukan. Manfaat lain
penelitian ini adalah sebagai pemantik studi lanjut lainnya tentang LSM-LSM perempuan
beserta upaya dan hasil dari pemberdayaan yang dijalankannya.
E. Kajian Pustaka
Berkembang pesatnya jumlah NGO beserta perannya telah banyak melahirkan
studi dan kajian tentang NGO di kalangan akademisi, praktisi, agen donor swasta dan
resmi (Suharko, 2003:207). NGO telah menarik perhatian banyak kalangan karena
keberadaannya mendorong lahirnya transformasi sosial (Fakih, 1996), keadilan Sosial
(Zubaedi, 2007: 114), penguatan masyarakat sipil dan demokratisasi (Suharko,
2003:207). NGO juga menyediakan pendekatan alternatif kegagalan pembangunan
7
industri dan patternalistik top-down terhadap kemiskinan dan masalah wanita (Hikmat,
2001:12). Melihat urgensitas dan kompleksitas peran NGO, tidak heran jika fenomena
NGO di Indonesia banyak mendapat sorotan dan kajian. Publikasi hasil kajian atau
penelitian tentang NGO pun melimpah. Meskipun demikian, hingga kini NGO masih
memiliki daya tarik tinggi untuk dibahas seiring dengan berkembangnya permasalahan
sosial yang menjadi perhatian dan basis perjuangannya, terutama isu tentang perempuan.
Terdapat beberapa penelitian yang menempatkan LSM perempuan sebagai
subyek penelitiannya. Salah satunya adalah Zubaedi (2005) yang dalam bukunya
memaparkan hasil penelitiannya terhadap LSM Yasanti dan Rifka Annisa. Fokus
penelitian ini adalah bentuk program, pelaksanaan dan sasaran pemberdayaan LSM
tersebut. Zubaedi (2005:271) menjelaskan segmentasi dan fokus kegiatan masing-masing
LSM. Misalnya LSM Yasanti yang memfokuskan kegiatannya pada pemberdayaan
kaum buruh dan remaja putus sekolah. Program pemberdayaan yang dilakukan LSM
Yasanti dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup kaum buruh perempuan baik
dari segi ekonomi, sosial maupun politik. Sedangkan Rifka Annisa cenderung
memfokuskan kegiatannya pada penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap, seperti
perkosaan, pemukulan atau penganiayaan suami terhadap istri dan pelecehan seksual.
Program-progamnya dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan perempuan agar
sederajat dengan laki-laki (Zubaedi, 2005:272).
Penelitian Zubaedi di atas memiliki kelebihan dalam menjelaskan berbagai
bentuk program, strategi, pendekatan, dan pelaksanaan program oleh subyek
penelitiannya. Namun, kekurangannya adalah tidak menyertakan sasaran atau partisipan
program dalam unit analisisnya. Sehingga tidak diketahui bagaimana hasil dari program
masing-masing LSM perempuan tersebut. Padahal, untuk mengetahui berhasil tidaknya
8
suatu program hanya bisa diketahui dari sasaran program tersebut. Kekurangan tersebut
cukup beralasan karena dalam bukunya hanya membahas tema besar LSM perempuan
beserta isu pemberdayaan. Kekurangan ruang tersebut menjadi ruang bagi penelitian
lanjutan untuk mendalami implikasi dari pemberdayaan tersebut.
Penelitian lainnya terhadap LSM-LSM perempuan dilakukan oleh Rahmawati
yang meneliti lima LSM perempuan di Yogyakarta pada tahun 2001. Fokus
penelitiannya adalah ideologi dan gerakan feminis yang digunakan oleh LSM perempuan
tersebut. Tujuan penelitiannya adalah untuk memetakan paradigma, ideologi, strategi dan
pendekatan gerakan feminis LSM-LSM tersebut. Rahmawati (2001:88) menunjukkan
bahwa masing-masing LSM mempunyai perbedaan dalam isu-isu yang diperjuangkan,
cara melihat permasalahan perempuan, agenda yang direncanakan, strategi dan
pendekatan yang diterapkan. Perbedaan tersebut berakar pada ideologi yang menjadi titik
tolak LSM tersebut untuk melihat permasalahan perempuan dengan spesifikasi tertentu.
Perbedaan tersebut akhirnya membawa implikasi yang berbeda pula dalam merumuskan
strategi dan orientasi organisasi (Rahmawati, 2001:6).
Dari hasil penelitian Rahmawati dapat dipahami bahwa setiap LSM mengusung
beragam ideologi yang akhirnya menentukan sasaran, strategi dan gerakannya. Orientasi
yang dicanangkan pun juga berbeda. Pemahaman itu menjadi kontribusi penting bagi
pengetahuan tentang LSM perempuan beserta perjuangannya. Hasil penelitian tersebut
juga memicu inspirasi untuk melihat LSM perempuan secara kritis. Beragamnya ideologi
yang menjadi basis gerakan LSM perempuan mendorong pentingnya melihat apa
sebenarnya kepentingan dan agenda yang diusung. Penelitian ini pada dasarnya juga
terinspirasi dari temuan Rahmawati tersebut. Jika fokus penelitian Rahmawati adalah
9
ideologi dan gerakan LSM perempuan, penelitian ini menyoroti dinamika kelompok
partisipan program pemberdayaan pada LSM yang berbeda.
Penelitian berikutnya tentang LSM perempuan dilakukan oleh Herliawati (2009)
pada komunitas Suara Ibu Peduli (SIP) di Cilandak. Hasilnya, penelitian tersebut
menggambarkan bentuk kegiatan pemberdayaan yang dilakukan SIP yaitu Kegiatan
simpan pinjam, Penjalinan Relasi, Pendampingan dan Konsultasi, Monitoring dan
evaluasi. Manfaat yang Bertambah pengetahuan, meningkatkan rasa diperoleh anggota
komunitas tersebut adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan sikap kritis, serta solidaritas
dan kepedulian terhadap sesama, membantu pendapatan keluarga. Penelitian tersebut
menempatkan tema dan subyek yang hampir serupa dengan penelitian ini.
Penelitian tersebut di atas menganalisis bagaimana pemberdayaan ekonomi
perempuan SIP beserta manfaat yang diperoleh anggota SIP dari program
pemberdayaannya. Penelitian tersebut juga menekankan bahwa modal sosial menjadi alat
dan media yang kontributif bagi program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh
SIP. Selain berbeda tema, subyek penelitian dan lokasi, penelitian tersebut kurang
mengeksplorasi proses sosial dalam dinamika kelompok anggota. Selain itu, kurang
meneliti lebih dalam tentang dinamika organisasi komunitas Suara Ibu Peduli terkait
bagaimana fund-raising, siapa pihak yang mendukung dan terlibat, bagaimana proses dan
tujuannnya, serta seperti apa bentuk kerjasama yang dibangun dalam jaringannya.
Berkaitan dengan manfaat dan hasil dari program pemberdayaan, terdapat
beberapa penelitan yang menyimpulkan bahwa program pemberdayaan mampu
berimplikasi positif bagi perempuan. Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh
Pramujiharso (2010) pada kasus pemberdayaan ekonomi produkti wanita muslim oleh
koperasi Rukun Makmur Sentosa. Penelitian tersebut membahas bentuk pemberdayaan
10
yang dilakukan. Hasil penelitiannya mendeskripsikan bahwa bentuk pemberdayaan
adalah pemberdayaan sumber daya manusia, kegiatan keagamaan, kegiatan sosial,
kegiatan perekonomian. Dari pemberdayaan tersebut terjadi peningkatan taraf hidup,
tercukupinya kebutuhan hidup dan peningkatan aset perempuan. Namun, Penelitian
tersebut di atas hanya membahas sebatas bentuk kegiatan dari koperasi Rukun Makmur
Sentosa dan sedikit menganalisis hasilnya bagi perempuan muslim. Terlihat sekali
orientasi yang dituju adalah implikasi yang bersifat praktis tanpa melihat proses
pemberdayaan dan partisipasi perempuan secara mendalam. Kerangka teoretis yang
dijadikan acuan sangat minim sehingga penjelasannya terlalu sederhana.
Dari beberapa penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa LSM perempuan
memiliki semangat untuk memperjuangkan kaum perempuan melalui pelbagai program
pemberdayaan. Namun, masing-masing LSM berangkat dari paradigma dan ideologi
yang berbeda-beda sehingga implikasinya agenda dan gerakannya pun berbeda. Bentuk
kegiatan dan pendekatannya pun berbeda satu sama lainnya. Dari perbedaan tersebut
dapat diprediksikan hasil dari berbagai programnya pun berbeda. Meskipun demikian,
perbedaan tersebut tidak meniadakan tujuan awal dari dibentuknya LSM. Penelitian
Herliawati (2009) pada Suara Ibu Peduli membuktikan bahwa LSM (sebagai NGO)
mampu memberikan implikasi positif bagi perempuan. Dalam fokus pemberdayaan
ekonomi misalnya, perempuan dapat mengambil manfaat yang kontributif dari program
dan intsrumen pemberdayaan yang diinisiasi LSM.
Berkaitan dengan kerangka analisis pemberdayaan dari Sara H. Longwe, terdapat
penelitian menggunakan pisau analisis tersebut. Penelitian tersebut berjudul “ Model
Pemberdayaan Perempuan Miskin Melalui Pengembangan Kewirausahaan Keluarga
Menuju Ekonomi Kreatif di Kabupaten Karanganyar” oleh Marwanti dan Astuti (2012).
11
Hasilnya, berdasar kerangka analisis pemberdayaan perempuan dari Sara H. Longwe,
kebijakan ataupun program untuk perempuan di Karanganyar cenderung mampu
meningkatkan kesejahteraan dan akses serta partisipasi namun belum menyentuh level
penyadaran kritis dan kontrol (Marwanti dan Astuti, 2012:140). Hasil penelitian tersebut
menjadi pijakan bagi untuk mengevaluasi sejauh mana program-program pemberdayaan
perempuan yang dimotori LSM dapat meningkatkan keberdayaan perempuan. Hal
tersebut perlu dikaji karena berbagai studi menunjukkan bahwa LSM lebih berhasil
dalam memberdayakan masyarakat dari pada pemerintah.
Hasil beberapa penelitian tersebut menjadi pijakan asumsi penelitian ini untuk
memandang positif setiap kegiatan pemberdayaan perempuan oleh LSM. Meskipun
sebenarnya peneliti dibingungkan oleh beberapa hasil penelitian yang memiliki dua
kesimpulan bertolak belakang. Di satu sisi penelitian-penelitian di atas menunjukkan
hasil yang positif terhadap LSM perempuan (Herliawati, 2009), di sisi lain hasil studi
Mansour Fakih (1996) terhadap berbagai LSM di Indonesia menunjukkan bahwa LSM
kurang mampu menciptakan transformasi sosial.
Beberapa kekurangan dan konradiksi hasil penelitian di atas menjadi alasan
perlunya meneliti Yayasan Sahabat Ibu sebagai LSM perempuan. Penelitian ini berusaha
melengkapi kekurangan dan perdebatan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini
memposisikan diri secara berbeda dari penelitian terdahulu. Perbedaan tersebut adalah
meskipun dari sisi tema penelitian ini serupa dengan penelitian terdahulu yakni
pemberdayaan perempuan, namun penelitian ini fokus pada strategi dan hasil dari
pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh LSM perempuan. Kebanyakan penelitian
terdahulu cenderung asyik membahas paradigma, ideologi, teori, strategi, pendekatan,
bentuk dan pelaksanaan program yang dijalankan LSM namun sedikit menyoroti
12
hasilnya di lapangan. Oleh karena itu, penelitian ini penting dirancang untuk mengambil
bagian yang ditinggalkan tersebut.
F. Kerangka Teoretik
1. LSM: Tinjauan Umum
Istilah LSM sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi,
praktisi dan aktifis. Sebagian pihak mengartikan LSM sebagai terjemahan dari Non-
Government Organizations (NGO`s) atau organisasi non-pemerintah. Namun sebagian
pihak tidak setuju dengan penyebutan LSM sebagai terjemahan NGO`s karena istilah
LSM dianggap merupakan bentuk penjinakan terhadap NGO`s. Pihak yang tidak setuju
ini lebih menghendaki menyebut kembali nama lembaganya sebagai organisasi non-
pemerintah atau ORNOP (Fakih, 2004:6).
Uphoff (1995:20) juga membedakan NGO`s dan LSM. Menurutnya LSM adalah
bagian dari NGO`s namun NGO`s belum tentu LSM karena istilah NGO`s mengacu pada
sektor di luar pemeintah sedangkan LSM mengacu pada masyarakat di tingkat bawah.
Menurut Prijono (1995:950) NGO`s mencakup beragam organisasi di mana LSM juga
termasuk di dalamnya. Menurutnya, NGO`s meliputi Organisasi nirlaba (ONL) atau
Non-Profit Organization (NPO), Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM)
atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkaitan dengan proses dampak
pembangunan, pengembangan dan perubahan sosial serta pemberdayaan rakyat. Tujuan
dari lembaga-lembaga non-pemerintah adalah membangun keswadayaan yang tidak
bergantung kepada pemerintah (Sugiyanto, 2002:91).
Dalam konteks sekarang, menurut Fakih (2004) perdebatan pandangan di atas
mulai mencair dan tidak terlalu dipermasalahkan meskipun ada sebagian LSM yang
ingin kembali menyebut dirinya sebagai NGO. Atas dasar pernyataan Fakih tersebut,
13
peneliti lebih memilih menggunakan istilah LSM karena sesuai dengan karakteristik YSI.
Definisi LSM sendiri juga beragam tergantung sudut pandang yang digunakan. Menurut
Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990 pada lampiran II LSM
diartikan sebagai“ organisasi atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat
warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta
bergerak di bidang tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud
partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, yang menitik-beratkan kepada pengabdian secara swadaya”.
Pendapat lain mengatakan LSM merupakan bagian dari organisasi civil society
yang umumnya dikelola dalam wadah kelompok sosial serta memobilisasi sumber daya
berdasarkan nilai-nilai dan visi sosial (Zubaedi, 2007: 114). Pendapat lainnya
mendefinisikan LSM sebagai organisasi sosial yang kegiatannya berkaitan dengan proses
dampak pembangunan, pengembangan dan perubahan sosial serta pemberdayaan rakyat
(Prijono, 1995:950). Sedangkan untuk definisi NGO, UNDP (1993:84-85)
mengartikannya sebagai “ voluntary organizations that work with and very often on
behalf of others. Their work and their activities are focussed on issues and people
beyond their own staff and membership”.
Dari beragam definisi dan ciri-ciri LSM di atas, penelitian ini berusaha
memadukannya sehingga mendefinisikan LSM (NGO) sebagai organisasi sosial yang
dibentuk atas dasar kepentingan bersama untuk memperjuangkan kemanusiaan, keadilan
dan memperbaiki kondisi sosial melalui mobilisasi, pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat. Dengan demikian, LSM perempuan adalah organisasi sosial yang diinisiasi
dan dimotori oleh beberapa perempuan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan
melalui mobilisasi, pengembangan dan pemberdayaan perempuan. Yayasan Sahabat Ibu
14
dalam konteks ini merupakan LSM yang dibentuk oleh beberapa perempuan yang peduli
terhadap nasib kaum perempuan lainnya melalui program PROSIBU (karitatif), PINTAR
(edukasi) dan PRIMA (ekonomi).
Menurut Haddad (dalam Sugiyanto, 2002:95) organisasi sosial dapat dikatakan
sebagai LSM apabila sudah memenuhi ciri-ciri LSM sebagai berikut:
1. Bekerjasama karena kesamaan aspirasi dan kegiatan bersama, dimana hubungan-
hubungannya akrab dan mampu berkomunikasi dengan masyarakat bawah.
2. Untuk mencapai tujuan mereka bekerja sama dengan prinsip saling membantu
berdasarkan kepentingan bersama dengan substansi masalah kebutuhan mendasar.
3. Kelompok ini dikenali dengan istilah self help group dengan karakteristik
kelompok ini kecil, belum terorganisir secara baik, informal, miskin, berada di
pedesaan atau di perkampungan.
4. Dibantu oleh tenaga sukarela dan fokus kegiatannya pada proyek-proyek.
Dengan demikian, organisasi sosial yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak termasuk
LSM. Oleh karena itu perlu klarifikasi terhadap organisasi sosial mengingat perbedaan
latar sejarah serta kompleksnya peran LSM yang berbeda dari organsisasi lainnya.
Kemunculan LSM di Indonesia menurut Elderidge (dalam Zubaedi, 2007:122)
dipicu oleh dua hal, yakni pertama, adanya upaya mencari model partisipasi dalam
pembangunan sosial dan ekonomi yang memberikan penekanan lebih besar bagi
masyarakat sendiri dalam menentukan kebutuhan dan meningkatkan kemampuan dalam
mengelola kegiatan pembangunan secara mandiri. Kedua, adanya tuntutan kepada LSM
sebagai katalisator bagi pengembangan nilai-nilai dan proses demokrasi dalam
kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia secara lebih luas.
15
LSM merupakan pendekatan alternatif terhadap kegagalan pembangunan industri
dan patternalistik top-down terhadap kemiskinan, masalah wanita dan sebagainya di
tingkat grassroot berskala kecil. Melalui karakteristik khas tersebut dimaksudkan agar
dapat mewujudkan lingkungan bagi pembangunan masyarakat itu sendiri. Dasar
asumsinya adalah untuk membangun harus disandarkan pada pemberdayaan masyarakat
(Hikmat, 2001). Clarke mengatakan bahwa secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan
melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah,
tetapi dari LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat (dalam Hikmat,
2001:5). Kalaupun ada relasi yang dibangun dengan pemerintah, hal itu dalam bingkai
kerjasama untuk saling melengkapi dan meraih tujuan.
Meskipun LSM berupaya menyediakan alternatif penyelesaian masalah yang
dihadapi masyarakat secara luas, dalam tubuh LSM sendiri sebenarnya sangat rentan
terserang masalah-masalah yang mengancam eksistensinya. Setidaknya menurut Eko
(2006:1-2) terdapat empat masalah besar yang seringkali dihadapi LSM. Pertama
problem internal seperti manajemen, organisasi, keuangan dan lain-lain yang terkait
dengan akuntabilitas dan keberlanjutan. Kedua, problem relasi LSM dengan elemen lain
terutama pemerintah dan masyarakat yang mengandung dua pola hubungan yakni
kemitraan dan konfontrasi. Ketiga, masalah pendekatan pemberdayaan dan strategi
gerakan LSM untuk membaca peta masalah dan merumuskan strategi aksi pemecahan
masalah. Keempat, LSM telah menjadi bagian dari polarisasi civil society (Ormas, LSM,
mahasiswa, pers, organisasi rakyat dan lain-lain). Empat masalah tersebut jika tidak
diantisipasi maka dapat mengurangi peran transformatif LSM pada masyarakat. Lebih
parah lagi masalah tersebut sangat mungkin mengancam eksistensi LSM sendiri.
16
2. LSM dan Pemberdayaan Masyarakat
Melihat peranan yang dimainkan oleh LSM secara umum, Gaffar (1999:204)
memetakannya ke dalam dua kelompok besar, yaitu: pertama, Peranan dalam bidang
non-politik, yaitu memberdayakan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi.
Peranan demikian biasanya bersifat memfasilitasi dan mendampingi masyarakat untuk
menyelesaikan masalahnya dengan sedikit memberikan perubahan yang bersifat
struktural. Kedua, peranan dalam bidang politik, yaitu sebagai wahana untuk
menjembatani masyarakat dengan negara atau pemerintah. Dalam hal ini, LSM berfungsi
sebagai mediator yang mengantarai hubungan masyarakat dengan negara melalui
kepercayaan dari massa dan lobi-lobi terhadap kebijakan.
Pada dasarnya, Peran organisasi lokal, organisasi sosial, LSM, dan kelompok
masyarakat lainnya lebih sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayanan
sosial kepada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya (Hikmat, 2001:16).
Peranan tersebut mengisi kekosongan peran yang ditinggalkan pemerintah atau merubah
tatanan yang merugikan bagi kelompok lemah. LSM dapat menjadi kekuatan positif
untuk transformasi sosial yang diperlukan (Fakih, 2004:12). Sebagi pelaku perubahan
sosial LSM berperan sebagai fasilitator pendidikan, komunikator bagi kepentingan
masyarakat, lapis bawah, katalisator, dinamisator transformasi sosial, dan mediator
antara pemerintah dan lembaga lain seperti bank dan masyarakat (Zubaedi, 2007:120).
LSM-LSM memiliki beragam paradigma yang menjadi dasar gerakan dan strategi
kegiatannya. Perbedaan pandangan dalam merumuskan permasalahan dan kepentingan
perempuan berimplikasi timbulnya perbedaan dalam perumusan strategi dan orientasi
organisasi (Rahmawati, 2001:6). Adapun ragam paradigma LSM sendiri, peneliti
mengutip tipologi paradigma yang telah dipetakan Fakih (2004:122) berikut ini:
17
Tabel 1.1 Peta Paradigma LSM
Konformisme Reformasi Transformasi
Sebab-sebab
masalah
keadaan rakyat
setempat
takdir Tuhan
nasib buruk
lemahnya pendidikan
penduduk yang
berlebihan
nilai-nilai tradisional
korupsi
eksploitasi
struktur yang
timpang
hegemoni kapitalis
Sasaran mengurangi
penderitaan
mendoakan
mengharapkan
meningkatkan produksi
membuat struktur yang
ada bekerja
mengubah nilai-nilai
rakyat
menentang
eksploitasi
membangun struktur
perekonomian/
politik yang baru
kontra-diskursus
Program perawatan anak
bantuan kelaparan
klinik
rumah panti
pelatihan teknis
bisnis kecil
pengembangan
masyarakat
bantuan hukum
pelayanan suplementer
penyadaran
pembangunan
ekonomi alternatif
serikat buruh
Koperasi
Tipe perubahan
dan asumsi Fungsional/ Keseimbangan Kritik Struktural
Tipe
Kepemimpinan
percaya pada
pemerintah
konsultatif
partisipatif
memiliki tanggung
jawab bersama
fasilitator partisipatif
disiplin yang kuat
Tipe Pelayanan memberi derma
pada yang miskin
kesejahteraan
membantu rakyat
menolong dirinya
Revolusi hijau
Pembangunan
komunitas
Pendidikan non formal
Pendidikan kejuruan
land reform
riset partisipatif
popular education
Inspirasi konformasi reformasi Emansipasi
Transformasi
Dari tiga paradigma di atas, menurut Fakih (2004) kebanyakan LSM di Indonesia masih
tergolong reformatif. Hanya sedikit saja LSM yang termasuk kategori transformatif.
Namun belakangan, menurut Fakih sebagian LSM mulai mempersiapkan dirinya untuk
menjadi transformatif. Kategorisasi dari Fakih di atas akan dipergunakan peneliti untuk
melihat posisi YSI dengan mencocokkannya dengan variabel-variabel di atas.
LSM juga berperan penting dalam mendukung kelompok swadaya masyarakat
melalui sejumlah upaya sebagai berikut: pertama, mengidentifikasi kebutuhan
masyarakat lokal dan strategi untuk memenuhinya. Kedua, memobilisasi dan
18
menggerakkan usaha aktif masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Ketiga, merumuskan kegiatan jangka panjang dalam rangka mewujudkan sasaran-
sasaran pembangunan yang lebih umum. Keempat, menghasilkan dan memobilisasi
sumberdaya lokal atau eksternal untuk kegiatan pembangunan pedesaan. Kelima,
pengaturan, perencanaan dan pelaksanaan kelompok sasaran (Hannam, 1988:4).
Strategi program pengembangan NGO`s (LSM), Menurut Korten (dalam Prijono,
1996:99-100), tercermin dalam empat generasi, yaitu generasi pertama mengutamakan
untuk memenuhi kekurangan atau kebutuhan tertentu yang dialami oleh individu atau
keluarga (relief and welfare) seperti kebutuhan makanan, kesehatan, dan pendidikan.
Generasi kedua, memusatkan kegiatannya pada small-scale self reliant local
development yang meliputi pelayanan kesehatan, penerapan teknologi tepat guna dan
pembangunan infrastruktur. Kemudian generasi ketiga terlibat dalam sustainable system
development. Mereka melihat dampak pembangunan di regional, nasional dan
internasional. Generasi keempat, NGO`s sebagai fasilitator gerakan masyarakat dengan
membantu masyarakat mengorganisasikan diri, mengidentifikasi kebutuhan dan
memobilisasi sumber daya mereka. Arah pengembangan NGO`s tersebut dilengkapi
dengan generasi kelima yaitu pemberdayaan rakyat.
Pemberdayaan sebagai agenda generasi LSM kelima dilaksanakan melalui
kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi
dari LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke, 1991, dalam Hikmat,
2001:5). Adanya agenda pemberdayaan mengantarkan LSM menjadi pusat harapan
untuk mengatasi segera krisis akibat dilaksanakannya pembangunan global, perdamaian,
lingkungan, wanita dan pergerakan hak-hak asasi manusia (Korten, 1990).
19
Pandangan mengenai pemberdayaan sendiri sebenarnya cukup beragam. Ragam
pandangan itu dipengaruhi oleh pengalaman historis dan format sosial ekonomi yang
beragam (Pranarka dan Vidhyandika, 1996 : 45-70). Pandangan yang pertama
mengartikan pemberdayaan sebagai penghancuran kekuasaan (power to no body).
Pandangan ini berkeyakinan bahwa kekuasaan telah mengasingkan dan menghancurkan
manusia dari eksistensinya. Untuk itu perlu menghapus kekuasaan itu sendiri. Pandangan
kedua lebih memandang pemberdayaan sebagai pembagian kekuasaan kepada setiap
orang (power to every body). Pandangan ini meyakini bahwa kekuasaan yang terpusat
berpotensi disalah gunakan dan cenderung mengeliminasi hak normatif manusia yang
tidak berkuasa. Agar tidak terjadi hal tersebut maka perlu mendistribusikan kekuasaan.
Sedangkan pandangan yang ketiga mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya
penguatan yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini menolak dua
pandangan di atas yang dianggap mustahil dan rentan chaos.
Dari tiga pandangan tentang pemberdayaan di atas, penelitian ini lebih memilih
pandangan yang ketiga karena lebih moderat dan sangat mungkin dipraktekkan. Peneliti
setuju memandang pemberdayaan sebagai pendistribusian kekuasaan tanpa harus
menghancurkan kekuasaan lain. Artinya di sini tidak ada pihak yang dihancurkan namun
justru sebaliknya menjadi mitra untuk kepentingan bersama. Alasannya pemberdayaan
justru akan menjadi masalah bila secara konseptual bersifat zero-sum, maksudnya,
memberdayakan untuk menguasai pihak lain. (Hikmat, 2001:2).
Pemberdayaan dalam konteks ini diartikan sebagai peningkatan kapasitas dari
yang semula lemah menjadi kuat, dari yang berdaya menjadi lebih berdaya agar dapat
melindungi pihak yang lemah. Menurut Giddens pemberdayaan adalah usaha
membangun daya “ transformative capacity of human action: the capability of human
20
beings to intervene in a series of events so as to alter course” (dalam
Kartasasmita,1996). Pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan
dan memperluas akses terhadap suatu kondisi untuk mendorong kemandirian yang
berkelanjutan serta mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri melalui
penciptaan peluang agar mampu berpartisipasi (Sumodiningrat,1999).
Mengacu pengertian pemberdayaan dari Giddens di atas, pemberdayaan diartikan
sebagai upaya meningkatkan kapasitas kelompok rentan dan lemah hingga mampu
memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga
mereka memiliki kebebasan (freedom) untuk mengemukakan pendapat, bebas dari
kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber
produktif yang dapat meningkatkan pendapatannya dan memenuhi kebutuhan; dan (c)
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang menyangkut
mereka (Suharto, 2005:58). Kategori orang lemah yang jadi sasaran pemberdayaan
adalah (a) Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun
etnis (b) Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja penyandang
cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing (b) Kelompok lemah secara personal yakni
mereka yang mengalami masalah pribadi yang dan atau keluarga (Suharto, 2005:60).
Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut
(Moeljarto, 1995:68): (a) Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat harus dari masyarakat sendiri (b) Meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang ada untuk
mencapai kebutuhannya (c) Mentoleransi variasi lokal sehingga sifatnya fleksibel dan
menyesuaikan diri dengan kondisi lokal (d) Menekankan pada proses sosial learning (e)
Proses pembentukan jaringan antara birokrasi dan LSM.
21
Pemberdayaan memerlukan masa proses belajar secara bertahap hingga mencapai
status mandiri. Proses itu antara lain: tahap penyadaran dan pembentukan perilaku, tahap
transformasi dan tahap peningkatan kemampuan intelektual. Tahap pertama penyadaran
dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan,
dimana dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki dan
menciptakan kondisi yang lebih baik di masa depan. Menurut Freire (2000), dengan
kesadaran kritis individu mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang
didengar, dilihat, dialami untuk memahami apa yang terjadi dilingkungannya. Kesadaran
hendaknya dimulai dari individu, kelompok hingga komunitas.
Sedangkan tahap kedua transformasi yaitu proses belajar tentang pengetahuan
kecakapan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Setelah mencapai tahap
ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan dasar
yang dibutuhkan. Tahap ketiga yaitu pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan
keterampilan untuk membentuk kemandirian. Kemandirian sendiri ditandai oleh
kemampuan untuk membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan
inovasi-inovasi dilingkungannya (Sumodiningrat dalam Sulistiyani, 2004:83-84).
Setidaknya ada tiga aktivitas sebagai proses pemberdayaan kepada masyarakat
yang perlu dilakukan, yaitu: pertama, pembentukan kelompok. Pemberdayaan dapat
dilakukan secara individu maupun secara kelompok. Pada satu kelompok terjadi dialog
yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas kelompok. Sementara
individu dalam kelompok belajar mendeskripsikan situasi, mengekspresikan opini dan
emosi masing-masing untuk merancang solusi dalam pemecahan masalah.
Kedua, pendampingan, dalam proses ini dilakukan pendefinisian tentang
masalah, menganalisa serta merancang sebuah kegiatan kelompok memerlukan
22
pendamping yang berfungsi sebagai pendorong potensi kelompok. Pendamping bertugas
menyertai pembentukan penyelenggaraan kelompok sebagai fasilitator, komunikator
ataupun dinamisator. Sebagai fasilitator, pendamping bertugas memfasilitasi segala
kebutuhan dan mendorong proses pemberdayaan. Sebagai komunikator atau dinamisator,
pendamping bertugas memediasi komunikasi atau akses pada sumberdaya yang
mendukung upaya pemberdayaan termasuk informasi, pendidikan dan keuangan.
Ketiga, perencanaan kegiatan. Dalam tahap ini peran aktif setiap anggota
kelompok menentukan bidang usaha yang dapat digarap sesuai kemampuan agar
meningkatkan taraf hidupnya. Untuk suatu perencanaan kegiatan dalam pemberdayaan
masyarakat terdapat prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan antara lain: (1) Prinsip
kepercayaan yakni masyarakat diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan jenis
kegiatan yang sesuai dengan potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat (2) Prinsip
kebersamaan dan kegotong royongan yakni program harus mampu menumbuhkan
kebersamaan dan kegotong-royongan, kesetiakawanan dan kemitraan di antara kelompok
(3) prinsip kemandirian yakni menekankan program yang mendorong rasa percaya diri
bahwa masyarakat mampu menolong dirinya. Program harus bermanfaat dalam
meningkatkan taraf hidup anggota kelompok dan berkembang secara berkesinambungan,
sehingga pada saatnya tidak lagi diperlukan bantuan (Hartini, 2000 : 18-20).
Untuk melakukan pemberdayaan setidaknya ada beberapa strategi yang dapat
digunakan. Pentingnya strategi ini adalah untuk memudahkan mengatasi persoalan yang
dihadapi perempuan. Hal tersebut karena permasalahan perempuan sangatlah beragam
dan kompleks sehingga perlu melihat akar permasalahan dan merumuskan strategi
penyelesaiannya. Berikut model strategi pemberdayaan yang dapat digunakan.
23
Tabel 1.2 Model Strategi Pemberdayaan
No Strategi/Pendekatan Sasaran Teknik Tujuan
1. Mikro (sering disebut
sebagai pendekatan
yang berpusat pada
tugas atau task
centered approach)
Individu,
Keluarga
Konselling, terapi,
bimbingan,
pembinaan,
managemen stres
dan intervensi
krisis.
Mengurangi tekanan,
menumbuhkan
kesadaran, , konsep
diri, tumbuhnya
motivasi, mengenal
potensi, kemampuan
dan kelemahan,
mengarahkan,
membimbing dan
melatih klien.
2. Mezzo Kelompok
, Peer
group,
self help
group
Pendidikan,
pelatihan, dinamika
kelompok
tingkatan kesadaran,
pengetahuan,
keterampilan, sikap
untuk mengatasi
masalah
sendiri/kelompok
3. Makro (Sering
disebut Large system
strategy)
Komunitas
dan
masyarakat
Kebijakan,
perencanaan dan
aksi sosial,
kampanye,
Lobbying, media
massa appeal,
organisasir
masyarakat dan
manajemenkonflik
Partisipasi masyarakat,
meningkatkan
perfoma/kinerja
organisasi, perubahan
kebijakan, dan
perubahan sosio
ekonomi.
Sumber: Fahruddin, Adi (ed). 2012. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan
Kapasitas Masyarakat. Bandung: Humaniora. Hal. 19
Dari tabel di atas, terlihat perbedaan masing-masing strategi dalam menentukan sasaran,
teknik dan tujuan pemberdayaan. Menurut Suharto (2005: 66-67) strategi pemberdayaan
di aras mikro dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konselling,
24
stress management dan crisis intervention dengan tujuan utamanya adalah membimbing
atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
Sedangkan pemberdayaan di aras mezzo menurut Suharto dilakukan terhadap
sekelompok klien sebagai media intervensi, dengan cara melalui pendidikan dan
pelatihan guna meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap
klien agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapiny. Pemberdayaan
di aras makro atau disebut juga strategi sistem besar memandang klien sebagai seorang
yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi mereka sendiri dan untuk memilih
serta menentukan strategi yang tepat untuk bertndak, dimana strategi ini lebih mengara
pada perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying,
pengorganisasian masyarakat dan manajemen konflik.
Dalam strategi mezzo, kedudukan kelompok sangat penting. Fungsi dari
pembentukan kelompok adalah untuk memudahkan pengorganisasian, yaitu upaya
mempersatukan sumberdaya pokok dengan cara yang teratur dan mengatur orang-orang
dalam pola organisasi, hingga mereka dapat melaksanakan aktivitas guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. (Anwar, 2007:45). Kelompok juga berfungsi sebagai media
dialog untuk menggali dan menyalurkan aspirasi para anggota. Menurut Freire (2000:81)
dialog menuntut adanya dan melahirkan pemikiran kritis. Friedmann (1988:255) juga
menyatakan bahwa kegiatan pembangunan akan efektif bila dilaksanakan melalui dialog
yang melibatkan hubungan saling mempercayai antara dua pihak atau lebih. Pentingnya
dialog dalam proses pemberdayaan karena dapat lebih detail menggali aspirasi dan
potensi yang ada di kalangan masyarakat sasaran. Dialog merupakan salah satu upaya
untuk melibatkan secara aktif kelompok sasaran (Anwar, 2007:40).
25
Berkaitan dengan adanya pelatihan dalam pemberdayaan, Pemberdayaan diri dan
kelompok dapat lebih berdaya dengan mempelajari atau pelatihan keterampilan-
keterampilan hidup (life skills training) (Spence dan Sheperd, 1983:103). Pelatihan
sendiri merupakan usaha berencana yang diselenggarakan agar menguasai keterampilan,
pengetahuan dan sikap yang relevan dengan kebutuhan peserta pelatihan. Umumnya
pelatihan dilakukan untuk pendidikan jangka pendek dengan prosedur yang sistematis
dan terorganisir untuk tujuan tertentu. (Anwar, 2007:107).
Dalam kaitannya peran LSM dalam pemberdayaan, pada prakteknya Peran LSM
dalam memberdayakan rakyat dapat dirumuskan melalui pendidikan dan pendampingan
kemandirian melalui kelompok atau individu, yaitu (Ismawan, 2000:9-16): Pertama
menggali motivasi dan membangkitkan kesadaran anggota kelompok, kedua membantu
perkembangan, seperti pendidikan dan latihan, pemupukan modal dan pengelolaan,
sebagai katalisator hubungan kerjasama antar kelompok termasuk hubungan kerjasama
dengan lembaga lain demi tercapainya kemandirian. Dengan adanya pendamping,
kelompok diharapkan tidak bergantung pada pihak luar, namun dapat tumbuh dan
berfungsi sebagai suatu kelompok kegiatan yang mandiri. Pendamping diharapkan
membantu kelompok untuk suatu masa tertentu agar kelompok dapat berfungsi secara
mandiri (Prijono dan Pranarka,1996:142). Oleh karena itu, pendamping harus dapat
berfungsi sebagai berikut:
1. Fasilitator dan katalisator: melalui pembinaan dengan tinggal di tengah-tengah
kelompok menyertai proses perkembangan kelompok masyarakat, membantu
memecahkan masalah dan ikut menentukan alternatif pemecahan. Seorang
pembina bukan merupakan pemimpin tetapi merupakan sahabat kelompok dalam
proses mencapai dan mengembangkan kemandiriannya. seorang pembina juga
merupakan penghubung antara masyarakat dengan lembaga-lembaga terkait.
26
2. Pelatih dan pendidik: peran ini berusaha mencarikan dan menyalurkan informasi
serta pengalaman dari luar ke dalam kelompok melalui berbagai metode untuk
meningkatkan pendidikan kelompok sasaran. Peningkatan pendidikan pada
kelompok dapat melalui dua jalur yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Peningkatan pendidikan secara langsung dapat melalui penyuluhan, pelatihan,
konsultasi dan sebagainya. Sedangkan peningkatan pendidikan secara tidak
langsung terjadi sejalan dengan terintegrasinya anggota dalam kelompok
swadaya (Ismawan, 2003). Melalui kelompok tersebut, anggota berinteraksi
menumbuhkan kesadaran akan posisi dan potensi mereka.
3. Pemupuk modal: peran ini dilakukan untuk mendorong upaya penghematan,
usaha menabung dan kegiatan produktif. Dalam hal ini NGO`s dapat berfungsi
sementara sebagai lembaga keuangan setempat atau sebagai penghubung dengan
berbagai lembaga keuangan terdekat.
4. Penyelenggara proyek
Proyek di sini adalah proyek-proyek stimulan dalam rangka meningkatkan
kemandirian kelompok-kelompok swadaya.
Berkaitan dengan peran LSM dalam mendorong keberhasilan penyelenggaraan
kelompok swadaya, setidaknya ada 5 program pengembangan yang dapat disusun dan
disalurkan melalui tenaga-tenaga pendamping kelompok , yaitu (Ismawan, 2003):
a. Program pengembangan sumberdaya manusia yang meliputi kegiatan
pendidikan dan latihan untuk anggota maupun pengurus yang mencakup
pendidikan dan latihan tentang keterampilan mengelola kelembagaan
27
kelompok, keterampilan teknik produksi, maupun keterampilan mengelola
usaha.
b. Program pengembangan kelembagaan kelompok, dengan membantu
menyusun peraturan rumah tangga, mekanisme organisasi, kepengurusan,
administrasi dan lain sebagainya.
c. Program pemupukan modal swadaya dengan membangun tabungan sosial dan
kredit anggota serta menghubungkannya dengan lembaga-lembaga keuangan
setempat untuk mendapatkan manfaat bagi pemupukan modal lebih lanjut.
d. Program pengembangan usaha, baik produksi maupun pemasaran dengan
berbagai studi kelayakan, informasi pasar, organisasi produksi dan pemasaran
dan lain-lain.
e. Program penyediaan informasi tepat guna, sesuai dengan kebutuhan
kelompok swadaya dengan berbagai tingkat perkembangannya,. Informasi ini
dapat berupa eksposure program, penerbitan buku-buku maupun majalah-
majalah yang dapat memberikan masukan-masukan yang mendorong inspirasi
ke arah inovasi usaha lebih lanjut.
Beragamnya peran LSM di atas tidak terlaksana dengan baik tanpa disertakannya
partisipasi aktif dari masyarakat. Hal tersebut karena menurut Clarke partisipasi
masyarakat melalui LSM merupakan kunci untuk memperoleh keadilan, hak asasi
manusia, dan demokrasi. (dalam Hikmat, 2001:5). Partisipasi sendiri diartikan sebagai
proses aktif dimana orang atau kelompok yang terkait mengambil inisiatif secara bebas
(dalam Mikkelson, 2001: 64). Bahkan menurut Fakih (dalam Juliantara, 1998:12), pada
dasarnya partisipasi merupakan pemberdayaan yang bermakna mencari ruang kepada
28
rakyat untuk menjadi subyek proses perubahan sosial, pengambilan keputusan dan aksi
melawan ketidak adilan untuk transformasi sosial mereka sendiri.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan sebagaimana yang
diungkapkan di atas adalah sebagai berikut (Krimer dalam Ismail, 2001:34): (a)
Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan program yang akan
dijalankan (b) Partisipasi dalam pembangunan program, perlu didengar pendapat dan
nasehat dari kelompok sasaran agar program sesuai dengan kebutuhan dan persoalan
yang dihadapi (c) Partisipasi dalam gerakan sosial, agar kelompok sasaran dapat ikut
dalam proses pengambilan keputusan dibutuhkan stimulasi dan dukungan agar dapat
menjadi pressure group yang efektif (d) Partisipasi berupa keterlibatan dalam berbagai
pekerjaan. Kelompok sasaran diasumsikan terbatas pada alternatif untuk melakukan
pekerjaan guna meningkatkan partisipanya.
3. LSM dan Pemberdayaan Perempuan
Kerangka teori yang ketiga ini digunakan untuk melihat bagaimana peran dan
upaya LSM dalam pemberdayaan perempuan serta apa tujuan dan hasil yang harus
dicapai. Secara umum peran LSM dalam pemberdayaan perempuan tidaklah jauh
berbeda dari peran LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara umum. Namun ada
perbedaan mendasar di antara keduanya, yakni isu yang diperjuangkan, strategi dan
tujuan dari pemberdayaan sebagaimana yang akan dijelaskan berikut. Peran LSM
dalam pemberdayaan perempuan dalam hal ini dapat disebut merupakan cakupan dari
LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, kerangka teori
ini banyak mengadopsi konsep peran LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara
umum namun diadaptasikan pada kerangka pemberdayaan perempuan.
29
LSM perempuan didefinisikan sebagai sekumpulan perempuan dalam sebuah
organisasi yang dibentuk untuk memperjuangkan nasib dan kepentingan perempuan.
Bentuk kegiatan dan agenda untuk melaksanakan tujuan tersebut beragam, salah
satunya adalah pemberdayaan. Adanya inisiatif pemberdayaan dari LSM perempuan
yang ditujukan pada perempuan sebagai sasarannya mengandung arti bahwa
kepentingan perempuan belum terpenuhi sehingga perlu diperjuangkan. Dalam
konteks inil LSM perempuan kemudian tampil membantu, mendampingi dan
membela perempuan. LSM-LSM perempuan tersebut memproklamirkan diri sebagai
organisasi yang otonom, independen dan berwawasan gender (Rahayu, 1996:32).
Para aktifis perempuan memaknai pemberdayaan dalam tiga pemaknaan
berikut (Rinawati, 2010:48); pertama, sebagai kegiatan yang dapat menciptakan
kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, kedua, sebagai peran serta atau partisipasi
perempuan yang merupakan aktualisasi diri perempuan dalam masyarakat. Ketiga,
sebagai bentuk kepeduliannya terhadap sesama kaum perempuan. Dari tiga
pemakanaan yang berbeda tersebut, lantas memunculkan tiga jenis perempuan dalam
kaitannya dengan aktifitas pemberdayaan yaitu pertama perempuan pragmatis, yakni
perempuan yang memandang pemberdayaan sebagai instrumen untuk membantu dan
meningkatkan kesejahteraan perempuan, kedua, perempuan partisipatoris, yakni
perempuan yang memandang pemberdayaan sebagai peluang untuk berpartisipasi
dalam pembangunan yang di laksanakan di lingkungannya, ketiga, perempuan
feminis, yakni perempuan yang memaknai pemberdayaan sebagai kesejajaran
perempuan dengan laki-laki dalam bidang pembangunan (Rinawati, 2010:49).
Adanya upaya pemberdayaan perempuan tidak terlepas dari pandangan
negara-negara di dunia terhadap permasalahan perempuan. Sejak tahun 1970 an
30
permasalahan perempuan mulai diperhatikan saat dimasukkannya kajian perempuan
dan pembangunan sebagai respon terhadap dominannya ideologi developmentalisme
yang terbukti menyudutkan dan meminggirkan perempuan. Banyak publikasi yang
menunjukkan dampak negatif developmentalisme terhadap perempuan. Diantaranya
adalah hasil studi Barbara Roger berjudul “the Domestication of Women:
Discrimination in Developing Country” membeberkan bahwa program Bank Dunia
tersebut sangat bias gender, Stamp (1989) dalam bukunya “ Technology, Gender and
Power in Africa, juga Boserup (1970), isu diskursus dan pengetahuan atau kekuasaan
(Mueller A. 1987) dalam publikasi berjudul Peasant and Professional: the Production
of Knowledge about in the Third World, maupun dari aspek lingkungan (Shiva, 1989)
serta aspek-aspek lainnya seperti Sen (1987), Ahmed (1985), Charlton (1984)
“Women in Development: Boulder”, McCarthy (1984), Dixon (1980) dan Wolf
(1986) (dalam Fakih, 2003:59-61).
Dari berbagai kritikan terhadap developmentalisme tersebut kemudian muncul
berbagai model pendekatan yang mengupayakan kepentingan perempuan dalam
pembangunan. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain: Women in Development
(WID) yang memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan, Women
and Development (WAD) yang meningkatkan kontrol perempuan dalam
pembangunan dan Gender and Development (GAD) yang menekankan kesetaraan
gender dalam pembangunan. Pendekatan-pendekatan tersebut kemudian digunakan
oleh negara-negara berkembang dan LSM-LSM perempuan sebagai acuan
pemberdayaan perempuan (Rahmawati, 2001:47).
31
Berdasarkan pendekatan dan strategi gerakannya, LSM perempuan memiliki
keragaman aktifitas yang dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu (Triwijati,
1996:358-359):
a. LSM perempuan yang berupaya memenuhi kebutuhan praktis gender yaitu
kebutuhan mendasar perempuan seperti penyediaan makanan bernutrisi,
perbaikan tempat tinggal, peningkatan penghasilan, pekerjaan, pendidikan
dasar dan pelayanan kesehatan (Mosser, 1993).
b. LSM perempuan yang beorientasi pada pemenuhan kebutuhan strategis
gender. Menurut Molyneux (dalam Zubaedi, 2007:214) kebutuhan strategis
gender menyangkut kedudukan atau posisi perempuan di dalam masyarakat.
Menurut Zubaedi (2007:214) Fokus pemenuhan kebutuhan strategis adalah “
penyetaraan relasi dan partisipasi perempuan dengan laki-laki dalam hal
pembuatan keputusan, akses yang sama untuk mendapatkan kesempatan
bekerja, pendidikan, latihan, kepemilikan tanah, kekayaan dan kredit, upah
yang sama dengan laki-laki untuk jenis pekerjaan yang bernilai sama,
kebebasan untuk memilih dalam pernikahan dan reproduksi, perlindungan
terhadap pelecehan seksual dan kekerasan yang dilakukan suami di rumah”.
Untuk lebih mudah memahami bagaimana perbedaan kebutuhan praktis dan
kebutuhan strategis gender dapat dilihat pada tabel berikut.
32
Tabel 1.4 Perbandingan Kebutuhan Praktis (GPN) dan Strategis Gender (GSN)
Sumber: Moser, Caroline O. N. 1993. Gender Planning and Development: Theory,
Practice and Training. London Routledge.
Kebutuhan praktis Kebutuhan strategis
Ciri-
ciri
C
a
r
a
p
e
n
a
n
g
g
u
l
a
n
g
a
n
berhubungan dengan perbaikan
kondisi hidup yang tidak
memuaskan: kurangnya sumber
daya atau tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar (kesehatan,
pangan, air minum dsb.).
Kebutuhan ini dapat segera
diidentifikasi karena dirasakan
secara langsung dapat terpenuhi
dalam kurun waktu relatif
pendek melalui intervensi
tertentu misalnya pembuatan
sumur, posyandu dll.
Berkaitan dengan peranan dan
kedudukan di masyarakat yang
dipengaruhi oleh faktor struktural
(ekonomi, sistem politik
perundang-undangan, norma-
norma sosial-budaya)
Menyangkut kepentingan hampir
semua perempuan, tetapi tidak
dapat diidentifikasi secara
langsung
Dapat terpenuhi melalui suatu
proses jangka panjang
Melibatkan perempuan sebagai
pemanfaatan atau bahkan
sebagai partisipan
Memperbaiki kondisi hidup
perempuan melalui kegiatan
yang memberikan suatu hasil
yang berefek langsung dan cepat
dirasakan
Melibatkan perempuan sebagai
pelaku atau memfasilitasi
perempuan untuk menjadi pelaku
dan penentu kebijakan
Dilakukan melalui penyadaran,
memperkuat kepercayaan diri,
pendidikan, pengembangan
organisasi perempuan dsb.
Memberdayakan perempuan untuk
memperoleh kesempatan yang
lebih luas dalam pengambilan
keputusan di segala bidang dan
tingkat masyarakat,
memperjuangkan akses dan
kontrol terhadap sumberdaya yang
lebih besar.
E
f
Tidak mengubah peranan-peran
dan hubungan sosial yang ada.
Mengubah peranan-peranan dan
hubungan sosial budaya.
33
Upaya pemberdayaan perempuan dalam konteks sekarang dinilai cukup
signifikan karena: Pertama, proses pembangunan Indonesia menekankan
pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, sejauh ini belum berpihak terhadap
kepentingan kaum perempuan. Kedua, pada praktiknya perempuan masih ditempatkan
sebagai “pihak kedua” meski pengakuan normatif terhadap perempuan menguat.
Misalnya pada sektor pekerjaan modern, masih ada praktik terselubung yang
memarjinalkan kaum perempuan. Ketiga, adanya streotipe atau pelabelan terhadap
kelompok perempuan. Perempuan dipandang sebagai seorang yang lemah, emosional,
sensitif, tergantung, pasif, submissif, luwes, memerlukan perlindungan dan
sebagainya. Sedangkan laki-laki dinilai memiliki fisik yang kuat, agresif, lebih
rasional, ingin memimpin, melindungi, aktif, kompetitif, kaku, keras dan sebagainya
(Munandar, 1995 dalam Zubaedi:272-273).
Pemberdayaan perempuan menekankan pentingnya penguatan kapasitas untuk
meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal melalui kontrol internal atas sumber
daya materi dan non-material (Hikmat, 2001 : 14). Kapasitas sendiri adalah kualitas
dan daya tampung yang dimiliki untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya.
Kapasitas individu merupakan konsep yang dinamik sehingga dapat diubah dan
dikelola termasuk dalam hal ini adalah kapasitas intelektual untuk mencapai
tujuannya sendiri dan yang dikehendaki lingkungan. Dengan demikian, pemberdayaan
perempuan adalah pengembangan potensi dan sumber daya yang dimiliki perempuan
untuk meningkatkan kemandirian, pendidikan dan mendorong kesetaraan gender.
Pemberdayaan perempuan lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas keterlibatan
dan partisipasi mereka dalam segala aspek kehidupan” (Sadli, 1995:45-49).
34
Peningkatan kapasitas perempuan berarti meningkatkan kualitas sumber daya
manusia perempuan agar dapat: (1) menganalisis lingkungannya (2) mengidentifikasi
masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, isu-isu, dan peluang-peluang (3)
memformulasi strategi-strategi untuk mengatasi masalah-masalah, isu-isu dan
kebutuhan-kebutuhan tersebut dan memanfaatkan peluang yang relevan. (4)
merancang sebuah rencana aksi, serta mengumpulkan dan menggunakan secara efektif
dan atas sumber daya yang berkesinambungan untuk mengimplementasikan,
monitoring, mengevaluasi rencana aksi tersebut (5) memanfaatkan umpan balik
sebagai pembelajaran (African Capacity Building Foundation, 2001). Pengembangan
kapasitas manusia dapat berupa pengembangan wawasan, peningkatan kemampuan
atau skill, akses informasi dan pengambilan keputusan.
Strategi pengembangan perempuan, meliputi perhatian ditujukan untuk
peningkatan kesejahteraan perempuan yang tergolong dalam kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah untuk mendapat kesempatan lebih besar dalam menuntut
pendidikan pasca pendidikan dasar, mendorong makin ikut berperannya perempuan
dalam mengambangkan dan memanfaatkan kemajuan teknologi bagi pembangunan
(Achmad, 1992:51-52). Kualitas keberhasilan suatu rumah tangga sangat tergantung
pada kemampuan dan potensi memadai dari wanita ( Elizabeth, 2007:131). Hal
demikian juga dinyatakan Tan (1997) bahwa pemberdayaan perempuan memperkuat
ketahanan keluarga dan relasi perempuan dengan lingkungannya dengan menekankan
aspek persamaan tanggung jawab untuk kesejahteraan.
Dengan mengimplementasikan pemikiran Sumodiningrat, Elizabeth
(2007:130-131) mengungkapkan sedikitnya ada tiga aspek yang dicakup dalam
pemberdayaan perempuan, yaitu: (1) menciptakan kondisi yang kondusif yang
35
mampu mengembangkan potensi perempuan; (2) memperkuat potensi (modal) sosial
perempuan demi meningkatnya mutu kehidupannya; (3) mencegah dan melindungi
perempuan, serta mengentaskan ketertindasan dan kemarginalan bidang kehidupan
mereka. Upaya menciptakan suasana/iklim kondusif yang memungkinkan suatu
potensi dapat berkembang dan menguat dengan cara: (1) mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki; (2) menciptakan aksesibilitas
terhadap berbagai peluang yang menjadikannya semakin berdaya; (3) diperlukan
tindakan perlindungan terhadap potensi sebagai bukti keberpihakan yang mencegah
dan membatasi persaingan yang tidak seimbang dan cenderung eksploitasi terhadap
yang lemah oleh yang kuat (Elizabeth, 2007:131).
Pemberdayaan perempuan menurut Mosser (1996:209-210) harus lebih
menekankan pada strategi pemberdayaan bawah ke atas (bottom-up). Pendekatan ini
mendorong peningkatan keberdayaan perempuan namun bukan untuk mendominasi
orang lain, melainkan kecakapan perempuan untuk meningkatkan kemandirian (self
reliance) dan kekuatan internal (internal strength) atau “ the right to determine
choices in life and to influence the direction of change, through the ability to gain
control over material and non material resources” (Prijono, 1996:199). Moser (2003)
juga mengingatkan bahwa strategi pemberdayaan perempuan bukan bermaksud untuk
menciptakan perempuan yang mengungguli laki-laki. Namun lebih berupaya
mengidentifikasi kekuasaan dalam kerangka kapasitas perempuan untuk
meningkatkan kemandirian dan kekuasaan internal.
LSM Perempuan dituntut mampu membantu perempuan sasarannya untuk
mencapai tujuan pemberdayaan berikut ini (Nugroho, 2008: 163-164):
36
a. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan untuk melibatkan diri sebagai
subyek pembangunan. Peran dan potensi perempuan sangat dibutuhkan untuk
mengatur dan mengurus sumberdaya keluarga, terutama anak-anak dan
sumberdaya material rumah tangga lainnya. Anak-anak merupakan faktor utama
sumber daya manusia, sebagai calon generasi penerus (Elizabeth, 2007:131).
Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga sangat penting untuk
mempersiapkan anak-anak agar mampu memperoleh pekerjaan yang lebih baik
dari orang tuanya kelak, melalui pembekalan pendidikan dan keterampilannya,
di samping pembinaan akhlak dan martabat mereka (Elizabeth, 2007:131).
b. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam kepemimpinan, untuk
meningkatkan posisi tawar-menawar dan keterlibatan dalam setiap program
pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun melakukan
monitoring dan evaluasi kegiatan,
c. meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam mengelola usaha skala
rumah tangga, industri kecil maupun industri besar untuk menunjang
peningkatan kebutuhan rumah tangga, maupun membuka peluang kerja
produktif dan mandiri,
d. meningkatkan peran dan fungsi organisasi perempuan di tingkat lokal sebagai
wadah pemberdayaan kaum perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam
program pembangunan pada wilayah tempat tinggalnya.
4. Level Analisis Pemberdayaan Perempuan (Sara Hlupekile Longwe)
Sebenarnya ada beberapa kerangka analisis gender yang umum digunakan
(selengkapnya lihat lampiran), yakni kerangka analisis Moser (Development Planning
Unit), kerangka analisis Harvard (Gender Roles/people oriented planning), Gender
37
Analysis Matrix (GAM), pendekatan relasi sosial, analisis kapasitas dan kerentanan
serta analisis pemberdayaan perempuan (Sara H. Longwe) (lihat March, Smyth dan
Mukhopadhyay, 1999). Setiap kerangka analisis di atas memiliki fokus, kelemahan dan
kelebihan tersendiri. Hal tersebut disebabkan oleh pendekatan dan orientasi yang
berbeda. Namun sayangnya, masing-masing kerangka analisis seakan berjalan sendiri
tanpa berusaha untuk saling melengkapi kekurangan.
Untuk memilih kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti
berdasar pada pertimbangan-pertimbangan yang disarankan March dkk (1999) yaitu
mempertanyakan (1) sejauh mana kerangka analisis gender tersebut mengulas relasi
sosial yang melampui isu gender? (2) sejauh mana fleksibilitas framework tersebut? (3)
apakah ia menganalisis relasi sosial atau peran sosial? (4) apakah framework tersebut
mencakup secara seimbang unsur sumberdaya intangible (abstrak, seperti:hak,
pertemanan, jaringan, skill, pengalaman di ruang publik, kepercayaan diri, kredibilitas,
status dan respek, leadership dan waktu perempuan) dan tangible (tampak, seperti:
tanah, pendapatan, alat produksi, modal dll.) (5) apa tujuan utama dari framework
tersebut, fokus pada efisiensi atau pemberdayaan, (6) framework mana yang dapat
diterapkan dalam mengkaji identitas dan peran laki-laki. Pertimbangan praktis lainnya
adalah apakah kerangka analisis tersebut sesuai dengan yang penelitian ini inginkan,
apa reaksi dari masyarakat jika kerangka tersebut digunakan, apa potensi limitasi dari
kerangka analisis tersebut dan bagaimana cara menyiasatinya.
Dari berbagai pertimbangan dan kriteria di atas, penelitian ini memilih kerangka
analisis pemberdayaan perempuan dari Sara Longwe karena banyak memenuhi
pertimbangan di atas dan sesuai dengan kondisi subyek dan konteks penelitian ini.
Kelebihan dari kerangka analisis Longwe adalah (1) ia mampu mengembangkan poin-
38
poin kebutuhan praktis dan strategis gender secara hierarkis dan progresif (2)
menekankan pemberdayaan sebagai elemen dasar dari pembangunan dan asesmen
terhadap intervensi (3) memiliki perspektif politik kuat yang bertujuan mengubah
kondisi dan tindakan. Meskipun memiliki kelebihan, namun terdapat potensi
keterbatasan dalam kerangka analisis Sara Longwe yaitu; (1) kerangka analisis bersifat
statis tanpa memperhitungkan perubahan situasi dalam waktu tertentu (2) mengkaji
relasi gender dari sudut pandang keseteraan semata tanpa melibatkan aspek inter-relasi
antara hak dan tanggung jawab (3) cenderung mengabaikan bentuk lain dari
ketidaksetaraan dan relasi gender. Terlepas dari adanya kelebihan dan limitasi,
kerangka analisis Sara Longwe dirasa sesuai dengan konteks dan kebutuhan penelitian
ini. Oleh karena itulah kerangka tersebut dipilih.
Sebenarnya, kerangka Longwe dapat dioperasikan secara fleksibel sesuai
dengan tuntutan dan tujuan pemberdayaan. Dalam konteks makro, analisis Longwe
dapat digunakan untuk merancang kebijakan dan program-program pemberdayaan dari
pemerintah. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa besar perempuan menikmati
manfaat intervensi pemberdayaan dari pemerintah, Apakah intervensi tersebut mampu
mengakomodasi kebutuhan praktis dan strategis gender sekaligus ataukah masih bias
gender. Dalam posisi ini, intervensi pemberdayaan beroperasi dalam ranah institusional
(struktural) di mana pemerintah sebagai agen pemberdayaan merumuskan kebijakan
pemberdayaan perempuan sebagai obyeknya. Untuk mengetahui keberhasilan
pemberdayaan tersebut, dapat melihatnya dari analisis institusionalnya dengan
mempertanyakan poin-poin berikut: bagaimana aturan atau kebijakan dirumuskan?
Bagaimana pelaksanaannya? Sumberdaya apa yang digunakan dan apa yang
dihasilkan? Siapa yang terlibat dan tidak terlibat dalam pemberdayaan? Siapa yang
39
melakukan aktifitas dalam pemberdayaan? Siapa yang terlibat dalam pengambilan
keputusan terkait pemberdayaan dan kebutuhan apa saja yang dipenuhi?
Namun, kerangka analisis institusional kurang mencakup permasalahan
perempuan secara komprehensif sehingga seringkali tidak tepat sasaran. Hal tersebut
karena perumusan program intervensi pemberdayaan terlalu teknokratis dan cenderung
project oriented. Pendekatan yang digunakan cenderung top-down sehingga kurang
mengakomodir kebutuhan dan permasalahan perempuan. Kualitas kebijakan gender
sendiri dapat dikategorisasikan sebagaimana yang ditunjukkan Mona Dahms berikut,
yaitu gender-blind, gender-aware (gender-neutral dan gender-specific) dan gender
redistributive. Kategori pertama menunjukkan kebijakan gender yang seringkali masih
bias laki-laki. Sedangkan kategori kedua menggambarkan kebijakan sensitif gender
yang berusaha melengkapi dan memenuhi kebutuhan tertentu. Kategori kebijakan
gender ketiga bertujuan untuk mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya produktif
secara egaliter. Lebih mudahnya lihat bagan yang diadopsi dari Dahms berikut.
40
Dari bagan di atas, dapat diketahui bahwa kebijakan gender hanya berusaha
memenuhi kebutuhan dan mendistribusikan sumberdaya secara merata bagi perempuan.
Titik inilah yang menjadi kelemahan intervensi pemberdayaan yang diinisiasi
pemerintah dimana kurang menyentuh akar permasalahan perempuan. Akibatnya
adalah permasalahan yang dihadapi perempuan sulit diselesaikan. Dalam kondisi ini
lantas memunculkan kerangka pemberdayaan yang lahir dari refleksi terhadap
permasalahan perempuan oleh sebagian unsur masyarakat. Intervensi pemberdayaan
perempuan dari masyarakat lebih bersifat bottom-up sehingga dianggap mampu
mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan secara komprehensif. Dalam
konteks inilah Longwe kemudian menawarkan sebuah kerangka analisis pemberdayaan
perempuan mencakup kebutuhan praktis dan strategis gender yang disusun secara
hierarkis. Kerangka ini seringkali diadopsi oleh LSM atau NGO lainnya sehingga
diidentikkan sebagai kerangka pemberdayaan perempuan yang people oriented.
Longwe memandang pemberdayaan perempuan adalah sentral dalam proses
pembangunan. Pemberdayaan perempuan berarti menghasilkan mobilisasi dan
organisasi perempuan politis agar lebih mampu berperan maksimal (Longwe, 1998:22)
Ia juga memandang ketidaksetaraan gender tidak hanya muncul dari perbedaan peran
gender, namun dari pembagian kerja berdasar gender dan alokasi manfaat serta
sumberdaya. Oleh sebab itu, tujuan dari kerangka analisis tersebut adalah untuk
meningkatkan keberdayaan perempuan dengan cara mendorong (enabling) perempuan
agar memiliki kontrol setara pada faktor-faktor produksi dan berpartisipasi dalam
proses pembangunan. Dari tujuan tersebut, Longwe lantas membedakan antara
womens`s issues, yang berkaitan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam
peran sosial atau ekonomi, serta women`s concern yang berhubungan dengan
subordinasi, peran gender dan stereotip sex.
41
Untuk meraih tujuan pemberdayaan perempuan dalam kerangka analisis
Longwe, dapat dilakukan beberapa langka berikut. Pertama, melengkapi kebutuhan
perempuan yakni kesejahteraan. Kedua, meningkatkan kesadaran perempuan tentang
hak yang harus diterimanya. Ketiga, melalui lima level pemberdayaan (kesejahteraan,
akses, penyadaran, partisipasi dan kontrol) untuk memfasilitasi akses, partisipasi dan
yang paling mendasar adalah memberikan kontrol perempuan pada aspek sosial
budaya, hukum dan politik. Dalam pandangan Longwe (March dkk, 1999:92)
pembangunan berarti menyediakan (enabling) ruang bagi perempuan untuk
mengendalikan hidupnya dan terhindar dari kemiskinan. Kemiskinan tidak dilihat
muncul dari kekurangan produktifitas, melainkan dari tekanan dan eksploitasi. Longwe
menunjukkan beberapa literatur yang cenderung menganalisis keseteraan antara laki-
laki dan perempuan berdasarkan sektor ekonomi dan masyarakat seperti kesetaraan
dalam pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya. Menurutnya, Analisis model seperti
itu lebih akan menimbulkan pemisahan kehidupan sosial dari pada meningkatkan
kesetaraan perempuan dalam proses pembangunan. Oleh karena itu Ia menawarkan
kerangka analisis pemberdayaan perempuan yang menurutnya lebih komprehensif.
Analisis pemberdayaan perempuan sangat berguna dalam mempromosikan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dalam tulisan “ Gender Awareness:
the Missing Element in the Third World Development Project” dalam Changing
Perceptions: Writings on Gender and Development, Longwe (1991) menyusun level
pemberdayaan perempuan yang harus diperhatikan yakni kesejahteraan, akses,
konsentasi/penyadaran, partisipasi dan kontrol. Kelima level pemberdayaan perempuan
tersebut tersusun secara hierarkis dimana tingkatan yang tertinggi adalah kontrol.
Semua level tersebut harus dipenuhi dalam upaya pemberdayaan perempuan. Berikut
dijelaskan level analisis pemberdayaan Longwe sebagaimana pada tabel.
42
Tabel 1.4 Level Analisis Pemberdayaan Perempuan (Longwe)
Longwe’s Women’s Empowerment Framework
Control
↑
↑
↑
↑
Empowerment seeks a balance of power between women and
men, so that neither is in a position of dominance. It means that
women have power alongside men to influence their destiny and
that of their society. In Longwe’s view, empowerment is an inter-
connected cycle of countering discrimination and oppression.
Addressing the roots of inequality at one level leads to a
discussion about all of the other levels. Empowerment takes
place as individual women and groups of women move between
levels, gaining strength along the way.
Participation /
Mobilization
↑
↑
↑
↑
The individual woman in the home is not likely to make much
progress in challenging traditional norms – Power expands in
numbers and connection. Mobilization is therefore the fourth and
crucial stage of empowerment, which enables the collective
analysis of gender issues, and the collective commitment to
action. Mobilization is largely concerned with redefining
participation in decision making, as participation of a mobilized
group will spark the search for empowerment at yet another
level. In development projects, it includes involvement in needs
assessment, project design, implementation and evaluation.
Conscientisation
↑
↑
↑
↑
↑
Here an understanding of the difference between sex roles and
gender roles comes into force with the belief that gender relations
and the gender division of labour should be fair and agreeable to
both sides, and not based on the domination of one over the
other. Access now pertains to women’s access to factors of
production, land, labour, credit, training, marketing facilities, and
all publicly available services and benefits - on an equal basis
with men. Equality of access is obtained by securing equality of
opportunity through legal reform to remove discriminatory
provisions.
Access
↑
↑
↑
The gender gap at the welfare level results from inequality of
access to opportunity, information, and other resources.
Empowerment means that women are 1) made aware of the gap
and 2) animated to take actions for gaining access to their fair
and equal share of the various resources available within the
household, and within the wider system of state provision. Action
here takes women automatically to the next level.
Welfare
---------
At this base level work views women as passive recipients and
welfare pertains to the level of material welfare of women,
relative to men, with respect to food supply, income and medical
care, without reference to whether women are themselves the
active creators and producers of their material needs. This level is
not sustainable nor does it empower women.
43
a. Welfare / Kesejahteraan
kesejahteraan adalah unsur material pada level dasar yang harus dipenuhi dalam
pemberdayaan perempuan. Asumsinya adalah perempuan selama ini dipandang
sebagai penerima pasif dari kesejahteraan yang diusahakan laki-laki tanpa melihat
kemampuan perempuan. Oleh karena itu, level pemberdayaan ini menekankan
perempuan harus menjadi kreator aktif dan produser untuk mencukupi kebutuhan
materialnya. Kesejahteraan dapat diukur melalui tercukupinya kebutuhan dasar seperti
makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan. Untuk memperbaiki kesejahteraan
diperlukan peningkatan akses perempuan terhadap sumber daya dan keterlibatan
dalam proses pemberdayaan.
b. Access / Akses
Akses menurut Longwe adalah kemampuan perempuan untuk memperoleh peluang
terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran,
tenaga kerja dan semua pelayanan publik. Argumen utama level pemberdayaan ini
adalah adanya kesenjangan kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki disebabkan
oleh ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya. Dengan kata lain, Rendahnya
produktifitas perempuan disebabkan oleh minimnya akses perempuan terhadap
sumber daya produktif seperti peluang, permodalan, informasi, pendidikan, pelatihan
dll. Sumber daya menurut ICRW (2011:5) tidak hanya terkait finansial melainkan
mencakup human capital (pendidikan, skill, dan pelatihan), financial capital (modal,
tabungan), social capital (jaringan sosial, mentor), physical capital (tanah, mesin).
Dengan memberikan akses terhadap permodalan dan pelatihan serta keuangan mikro
dapat membantu meningkatkan kapasitas perempuan (Maholtra, 2002). Begitu juga
dengan akses yang besar terhadap informasi akan membantu perempuan memperoleh
44
akses pada kekuasaan (Narayan, 2002:18). Untuk meningkatkan akses perlu
melakukan penyadaran terhadap perempuan agar dapat mencari akar penyebab
kesenjangan akses yang mereka alami. Menurut Winati (2002) akses dapat dilihat dari
(1) sumberdaya yang diperoleh individu, (2) kegiatan yang dikerjakan individu dalam
usaha memperoleh beragam sumber daya. Dalam hal ini metode alokasi waktu dapat
dipakai untuk mengukur kegiatan tersebut, (3) siapa yang menikmati hasil kegiatan.
c. Conscientisation / Menumbuhkan Kesadaran Kritis Perempuan
Longwe mendefinisikan konsientasi sebagai kesadaran dalam memahami perbedaan
peran berdasarkan pembagian seks dan gender. Pada level ini, pemberdayaan dituntut
mampu menumbuhkan sikap kritis perempuan terhadap berbagai akar permasalahan
yang menimpanya seperti diskriminasi, subordinasi, stereotipe sehingga menciptakan
kesetaraan gender di segala aspek kehidupan. Dengan kesadaran kritis individu
mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dialami
untuk memahami apa yang terjadi dilingkungannya. Kesadaran hendaknya dimulai
dari individu, kelompok hingga komunitas (Freire, 2000). Kesadaran kritis dapat
dicapai melalui proses dialog untuk mendefinisikan dan memecahkan permasalahan
bersama (Freire 2000:81).
d. Participation / Partisipasi
Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan dan keikutsertaan aktif dalam pengambilan
keputusan,. Dalam konteks pemberdayaan, perempuan harus terlibat dalam penetapan
kebutuhan, perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Sejalan dengan
pemikiran Longwe, Menurut Craig dan Mayo, partisipasi pada dasarnya merupakan
komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan.
Individu-individu harus terlibat dalam proses pemberdayaan sehingga mereka dapat
45
menumbuhkan rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk
mengembangkan keahlian baru (Hikmat, 2001:3). McArdle (1989) bahkan
menyatakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam
setiap proses pengambilan keputusan (dalam hikmat, 2001:6). Partisipasi dapat dilihat
dari peran serta perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga,
komunitas, masyarakat, maupun negara.
e. Control / Kontrol
Pada level puncak pemberdayaan ini, perempuan perempuan harus memiliki kontrol
setara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan sehingga tidak ada lagi
dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Pentingnya kontrol sebagai salah satu
unsur analisis pemberdayaan perempuan adalah perempuan mempunyai kekuasaan
untuk mengubah kondisi dan posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Konsep
kontrol berhubungan dengan aspek kekuasaan seseorang untuk menentukan segala
sesuatu yang menyangkut pelbagai kepentingan termasuk memperoleh beragam
sumberdaya bagi dirinya (Winati, 2002). Konsep kontrol menurut Winati dapat
dianalisis melalui bagaimana pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu
untuk melakukan sesuatu baik dalam rumah tangga maupun masyarakat luas.
Meskipun setiap level pemberdayaan tersusun secara hierarkis, namun
sebenarnya setiap intervensi pemberdayaan tidak harus dimulai dari level
kesejahteraan. Pada kenyataannya, Setiap intervensi tidak menunjukkan hasil sama
pada setiap level. Intervensi tersebut dapat memiliki komponen yang sesuai dan
memenuhi level tinggi namun tidak pada level yang lebih rendah (March,1999:94).
Oleh karena itu, pemberdayaan bisa saja di mulai dari level akses, konsientasi,
partisipasi untuk mencapai level puncak yaitu “kontrol”. Level pemberdayaan yang
46
hierarkis tersebut seringkali disalah pahami sebagai alur yang linier. Hal tersebut yang
dikritik oleh March dkk (1999:100) sebagaimana berikut:
“ Hierarchy of levels may make users think that empowerment is a linier
process. Users may assume that in order to reach the level of “Control” an
intervention will have had to meet all the previous four levels. As explained
above, this is not the case. An Empowering intervention is likely to include
resource considerations at the level of “ Control” but not at the levels of
“welfare” and “Acces” (March dkk, 1999:100).
Pemberdayaan perempuan kemungkinan besar akan lebih berhasil jika
intervensi pemberdayaan fokus pada level tertinggi dari pada level yang lebih rendah.
Jika intervensi pemberdayaan hanya berkonsentrasi pada level paling bawah, yakni
kesejahteraan, dapat dikatakan pemberdayaan tidak akan berhasil. Partisipasi yang
setara dalam proses pembuatan keputusan tentang sumberdaya lebih penting untuk
meningkatkan pemberdayaan perempuan dari pada akses yang setara pada sumber
daya. Partisipasi dan akses adalah sama halnya dengan kontrol yang ekual.
Longwe (March dkk, 1999:94) menyarankan bahwa hal yang penting untuk
diukur bukan hanya intervensi pemberdayaan saja, melainkan juga tujuan dari
intervensi tersebut apakah sudah mengakomodasi permasalahan perempuan (women`s
issues) atau belum. Permasalahan perempuan mencakup kesetaran antara perempuan
dan laki-laki dalam peran sosial atau ekonomi dan melibatkan seluruh level
(kesejahteraan, akses, penyadaran, partisipasi dan kontrol). Suatu hal akan disebut
sebagai women`s issues saat menyangkut relasi laki-laki dan perempuan. Meskipun
demikian, Longwe tidak menunjukkan secara spesifik apakah pemberdayaan harus
menargetkan perempuan saja, laki-laki saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan.
47
Dari berbagai penjelasan kerangka teoretik dan indikator pemberdayaan
perempuan di atas, penelitian ini merumuskan beberapa kriteria penilaian untuk
mengukur keberhasilan perempuan sebagai berikut:
Tabel 1.5 Indikator Pemberdayaan Perempuan Menurut Level Analisis Longwe
Level
Pemberdayaan
Indikator Pemberdayaan
Kontrol
↑
↑
↑
↑
- Kontrol dalam pengambilan keputusan di rumah tangga/
masyarakat (alokasi kebutuhan rumah tangga, KB, pendidikan
anak) dan dalam program pemberdayaan (perumusan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi)
- Kepemilikan dan kemampuan manajerial dalam usaha
produktif
- Kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat darinya (pinjaman,
tabungan, pendapatan dan keuntungan)
Partisipasi
↑
↑
↑
↑
↑
- Partisipasi dalam kelompok komunitas, asosiasi atau jaringan
sosial.
- Keterlibatan dalam pengambilan keputusan di kelompok atau
komunitas
- Partisipasi dalam proses perumusan hingga evaluasi program
pemberdayaan. Hal ini dapat dilihat dari : (1) berapa jumlah
perempuan yang terlibat (2) bagaimana bentuk partisipasi
perempuan (3) apa saja masalah selama perempuan
berpartisipasi (4) berapa jumlah perempuan yang keluar dari
program dan apa alasannya.
Konsientasi
↑
↑
↑
↑
↑
- Mampu membedakan peran berdasar seks dan gender
- Mampu mengidentifikasi akar permasalahan kesenjangan
gender
- Timbul kepercayaan diri dan pengembangan potensi
- Memahami hak dan perannya
- Mampu menilai inklusi
Akses
↑
↑
↑
↑
↑
- Dapat mengakses sumber daya produktif (finansial, pelatihan,
pendidikan, jaringan sosial dan tanah, mesin dsb).
- Akses pada kegiatan publik dan program
- Akses pada pelayanan publik
Kesejahteraan
↑
↑
↑
- Peningkatan status ekonomi (pendapatan)
- Dimilikinya aset dari usaha produktif
- Meningkatnya kesehatan (nutrisi dan gisi)
- Terpenuhinya kebutuhan material pokok
48
Untuk lebih mudah mengukur apakah suatu intervensi pemberdayaan sudah memenuhi
lima level analisis dan women`s issues dapat dicapai melalui tabel evaluasi berikut.
Tabel 1.6 Desain Evaluasi Pemberdayaan Perempuan
Sumber: diadopsi dari March, Smyth, Mukhopadhyay. 1999. A Guide to Gender-
Analysis Framework. Oxfam GB.
Level negatif menunjukkan tujuan dari pemberdayaan tidak mencakup women`s issues.
Sedangkan level netral mengindikasikan pemberdayaan memenuhi women`s issues
namun upaya tersebut tidak berdampak baik pada perempuan. Level positif berarti
bahwa pemberdayaan mampu memenuhi women`s issues dan memperbaiki posisi
perempuan terhadap laki-laki.
Sektor
program
Level pemberdayaan Level
women`s
issues
Kesejahteraan Akses Konsientasi Partisipasi Kontrol negatif /
netral/
Positif
Edukasi PINTAR:
Parenting
Keagamaan
kesehatan
Ekonomi PRIMA
Permodalan
Pelatihan
kewirausaha
an
Karitatif PROSIBU
Pembagian
sembako
Beasiswa
bagi anak
keluarga
miskin
49
Bagan 1.1 Alur Pemberdayaan
Kondisi
Dasar/baseline Input
Program
Hasil
Program
Kontrol
Partisipasi
Kesadaran
Kritis
Akses
Kesejahteraan
Kontrol
Partisipasi
Kesadaran
Kritis
Akses
Kesejahteraan
Kondisi Awal Hasil
Program
Pemberdayaan
50
Bagan 1.2 Kerangka Berpikir
Level Analisis Pemberdayaan Perempuan Longwe
Hambatan internal:
rendahnya SDM ,
kesadaran dan motivasi
Hambatan Eksternal: minim
akses pada sumberdaya
produktif dan jaringan sosial,
kurangnya sensitifitas gender
di masyarakat.
Pemberdayaan
perempuan
Strategi
Pemberdayaan
?
Program Pemberdayaan YSI: PROSIBU (Karitatif), PINTAR (Edukatif) PRIMA
(Produktif)
YSI:LSM
Perempuan
Mikro: individu, teknik pembinaan dan konseling, Mezzo: kelompok, teknik
pendidikan dan pelatihan. Makro: Sasaran Masyarakat/ Komunitas, teknik
lobbying ,aksi sosial, kebijakan.
Kesejahteraan:Terpenuhinya Kebutuhan pokok seperti: makanan, penghasilan,
perumahan dan kesehatan)
Akses: Peluang pada sumberdaya produktif (tanah,kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran,
lapangan kerja dan pelayanan publik)
Kesadaran:Tumbuhnya sikap kritis dan kemampuan memecahkan masalah bersama
Partisipasi: Peran serta dalam pengambilan keputusan, penetapan kebutuhan,
perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi
Kontrol: Kuasa dalam menentukan pilihan, keputusan dan atas sumberdaya produktif
51
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang secara intensif
memahami realitas sosial, peristiwa, peran, kelompok dan interaksi. Metode ini
seringkali digunakan untuk mendalami realitas sosial yang kompleks. Alasan pemilihan
metode penelitian ini adalah untuk mendalami suatu proses sosial perlu pemahaman
secara intensif dengan cara meninjau dan terlibat langsung dengan subyek penelitian
untuk mendapatkan data yang komprehensif dan holistik. Dengan metode penelitian
kualitatif, peneliti dapat memahami realitas sosial beserta unsur-unsur dan faktor yang
melingkupinya. Peneliti dalam hal ini akan menekuni bagaimana strategi pemberdayaan
perempuan oleh Yayasan Sahabat Ibu serta sejauh mana hasil yang dirasakan kelompok
sasaran. Pendekatan yang digunakan untuk mendalaminya adalah pendekatan intrepetif
yaitu memahami dan menafsirkan sebuah realitas sosial. Pendekatan ini dinilai sangat
relevan dalam penelitian ini karena memberikan penekanan pada pemaknaan terhadap
realitas secara mendalam yang tidak cukup hanya dimengerti dalam bentuk taken for
granted. Unit analisis data penelitian ini yang utama adalah kelompok partisipan.
1. Subyek, Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lima kelompok perempuan sasaran
pemberdayaan YSI yang tersebar di dua wilayah yakni Kabupaten Sleman dan Kota
Yogyakarta. Kelompok sasaran tersebut berlokasi di Sintokan (Wukirsari,
Cangkringan, Sleman), Rajek Lor dan Pundong I (Tirtoadi, Mlati, Sleman), Patukan
(Ambarketawang, Gamping, Sleman) dan Cokrodiningratan (Jetis, Kota Yogyakarta).
Perlu ditekankan bahwa unit analisis penelitian ini adalah kelompok, bukan daerah-
daerah yang disebutkan. Melalui unit analisis kelompok, penelitian ini diharapkan
dapat memahami bagaimana permasalahan perempuan, bagaimana strategi
pemberdayaan YSI yang diberikan padanya, dan bagaimana dinamikanya serta apakah
52
kelompok tersebut dapat menyelesaikan permasalahannya. Pemilihan kelompok
sasaran didasarkan pada karakteristik dan dinamika masing-masing kelompok namun
bukan bermaksud untuk membandingkan antar kelompok. Dasar pertimbangan
tersebut untuk melihat apakah terdapat variasi strategi pada masing-masing kelompok
terpilih. Berikut pertimbangan karakteristik dan dinamika kelompok terpilih:
(a) Sintokan merupakan daerah binaan YSI yang pernah tertimpa bencana erupsi
Gunung Merapi pada 2006. YSI mendampingi kelompok ini sejak setelah
bencana sampai saat ini (2014) sehingga perlu melihat bagaimana peran YSI pada
kelompok partisipan dan bagaimana dinamikanya. Desa Wukirsari sendiri
memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di antara desa lainnya (Lampiran SK
Bupati Sleman 2011) yaitu 4444 warga miskin. Oleh karena itu, penting
menempatkannya sebagai subyek penelitian untuk melihat kontribusi YSI bagi
perempuan di sana.
(b) Tirtoadi adalah daerah kelompok sasaran yang terletak di wilayah di Kecamatan
Mlati. Kelompok binaan di daerah ini terdapat dua kelompok yakni di Dusun
Pundong I dan Rajek Lor. Meskipun dua kelompok ini terletak di satu desa yang
sama, namun menurut Ibu Tias -sebagai fasilitatornya- keduanya memiliki
dinamika yang berbeda. Kelompok binaan di Pundong lebih responsif dan
intensif mengikuti program pemberdayaan YSI sehingga anggotanya berkembang
pesat. Sedangkan kelompok partisipan di Rajek Lor kurang begitu berkembang.
Dua kecenderungan yang berbeda tersebut menarik peneliti untuk memilihnya
sebagai subyek penelitian.
(c) Patukan (Ambarketawang, Gamping, Sleman) adalah daerah kelompok sasaran
yang merupakan pusat pemerintahan di wilayah kecamatan. Namun hasil studi
53
pendahuluan menemukan bahwa perempuan-perempuan produktif di Patukan
memiliki akses yang rendah terhadap sumber daya produktif seperti keuangan dan
informasi program pemerintah. Dekatnya jarak dengan pusat pemerintahan tidak
menjamin arus informasi dan program-program dari pemerintah dapat
terdistribusikan dengan baik pada perempuan di sana. Kondisi tersebut jadi
pertimbangan pentingnya mengetahui proses dan hasil pemberdayaan YSI pada
perempuan di daerah tersebut.
(d) Jetis adalah daerah kelompok sasaran yang berada di wilayah kota Yogyakarta
dan merupakan kelompok binaan yang relatif baru dibentuk, yakni awal tahun
2014. Setting sosial wilayah perkotaan dan lebih dekat dengan pusat
pemerintahan tersebut menjadi latar penting menempatkannya sebagai subyek
penelitian untuk mengetahui variasi hasil pemberdayaan antara kelompok
perempuan di pedesaan dan perkotaan.
Penelitian ini sebenarnya sudah lama dilakukan semenjak peneliti menempuh
studi pendahuluan terhadap Yayasan Sahabat Ibu rentang akhir bulan Oktober 2013-
Mei 2014. Peneliti melakukan pendekatan dengan YSI dengan cara memanfaatkan
relasi pertemanan. Peneliti berteman dengan seseorang yang mantan salah satu
fasilitator YSI pada tahun 2006 saat terjadi erupsi Merapi. Dari pertemanan itu
peneliti kemudian diperkenalkan dengan staf dan fasilitator lainnya yakni Ibu Lopinda
(staf administrasi) dan Bu Iin (Staf divisi PRIMA). Peneliti terlebih dahulu melakukan
pembacaan dokumentasi yang tersedia dalam literatur baik dalam bentuk on-line
maupun draft. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik dari Yayasan
tersebut berkaitan dengan program pemberdayaan perempuan yang dilakukannya.
54
Dari Studi pendahuluan tersebut, peneliti kemudian merumuskan fokus permasalahan
dan subjek penelitian.
2. Kebutuhan dan Jenis Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data terkait dengan gambaran
umum tentang lokasi, setting (termasuk dalam jenis data sekunder), subyek penelitian
dan yang terkait dengan fokus kajian (jenis data sekunder). Data lokasi dan setting
penelitian dapat berupa data letak geografis, luas wilayah, demografis. Data yang
berhubungan dengan subyek penelitian seperti; identitas pribadi, latar belakang sosial,
pendidikan, ekonomi dan hal-hal yang terkait dengan penelitian. Sedangkan data
primer yang dibutuhkan untuk fokus kajian dalam penelitian ini adalah proses
pemberdayaan dan hasil yang dirasakan kelompok sasaran selama mengikuti kegiatan
pemberdayaan Yayasan Sahabat Ibu seperti tingkat kesejahteraan, akses pada pada
sumberdaya produktif dan ruang publik, kesadaran kritis, partisipasi dalam
pemberdayaan dan kontrol perempuan terhadap keputusan, pendapatan dan alokasi
sumberdaya produktif.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih secara purposive
dengan pertimbangan keterlibatannya dalam program pemberdayaan. Teknik
pemilihan informan ditentukan berdasar pada partisipasi dan pengetahuannya tentang
pemberdayaan. Kriteria informan terbagi menjadi dua, pertama, informan kunci yakni
informan yang mengetahui dan menjalani program-program pemberdayaan
perempuan dari YSI. Informan tersebut adalah staf, fasilitator Yayasan Sahabat Ibu
dan kelompok sasaran yang diwakili oleh ketua, sekretaris dan anggota. Informan dari
YSI berjumlah lima orang yang mewakili masing-masing struktur organisasi YSI.
55
Sedangkan informan dari kelompok sasaran berjumlah 15 orang perempuan yang
mewakili kelompok terpilih. Informan kedua adalah tambahan yaitu pihak yang
mengetahui program pemberdayaan seperti perangkat desa, ketua dukuh hingga ketua
RT dan masyarakat sekitar yang tidak terlibat dalam kegiatan pemberdayaan. Sumber
data berikutnya adalah dokumentasi baik berupa laporan, publikasi, maupun foto dan
referensi atau literatur terkait.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti menempuh tiga metode
pengumpulan data. Ketiga metode pengumpulan data tersebut adalah:
a. Observasi
Observasi adalah proses pengumpulan data dari “tangan pertama” (otentik) dengan
cara mengamati masyarakat dan lingkungan tempat dilaksanakannya penelitian
Creswell (2012: 213). Teknik ini sangat relevan digunakan dalam penelitian ini
karena dengan cara ini peneliti dapat memahami proses pemberdayaan, dinamika
kelompok dan hasil pemberdayaan yang dicapai. Pengamatan dapat dilakukan
secara bebas dan terstruktur. Peneliti dalam hal ini memilih pengamatan secara
terstruktur dengan mengacu pada catatan poin-poin yang dibutuhkan. Dengan cara
seperti itu peneliti mampu mengeksplorasi perihal yang perlu diamati secara
menyeluruh. Peneliti melibatkan diri dalam proses pemberdayaan dan mengamati
bagaimana kegiatan tersebut berlangsung. Pelibatan langsung tersebut bertujuan
untuk penggalian informasi terkait permasalahan penelitian. Langkah ini juga
dimaksudkan untuk mengetahui implikasi program pemberdayaan terhadap
perempuan. Peneliti mencatat poin-poin penting dari hasil pengamatan tersebut.
56
b. Wawancara
Peneliti juga mengumpulkan data melalui teknik wawancara. Melalui wawancara
peneliti mengetahui pandangan informan secara mendalam dalam
menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa
ditemukan melalui observasi. Wawancara akan dilakukan pada staf, fasilitator dan
partisipan Yayasan Sahabat Ibu. Peneliti juga mewanwancarai stake holder dan
perangkat desa. Peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan seputar fokus
kajian penelitian Seperti apa motivasi YSI memberdayakan perempuan, bagaimana
proses dan bentuknya, bagaimana pandangan partisipan tentang program
pemberdayaan, apa hasil yang dirasakan partisipan selama mengikuti program
pemberdayaan, bagaimana tanggapan perangkat desa dan lain sebagainya. Dalam
prosesnya, peneliti akan lebih banyak “diam” dan melakukan pencatatan terhadap
pernyataan-pernyataan yang dianggap penting. Hasil wawancara akan
diklarifikasikan dengan hasil dari observasi di lapangan dan studi dokumentasi.
c. Studi Dokumentasi
Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti juga melakukan studi
dokumentasi. Dengan mempelajari dokumentasi peneliti merasa maka kredibilitas
hasil penelitian kualitatif ini akan semakin tinggi. Peneliti mempelajari data yang
didokumentasikan YSI dalam laporan, publikasi baik dalam bentuk naskah maupun
file. YSI sendiri memiliki halaman website yang memudahkan peneliti mencari
data yang dibutuhkan seperti agenda dan hasil kegiatan pemberdayaan,
perkembangan kelompok binaan dan lain sebagainya.
57
5. Pengujian Validitas data
Untuk tujuan mengetahui keabsahan hasil penelitian, peneliti perlu melakukan
pengujian validitas data. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik triangulasi, yakni
Pengujian validitas data dengan mengecek data dari teknik pengumpulan data dan
sumber data yang telah ada untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren
(Creswell, 2011: 287). Triangulasi data sendiri ada tiga jenis yaitu triangulasi sumber,
triangulasi teknik dan triangulasi waktu. Triangulasi sumber yakni pengujian validitas
data dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
Dalam hal ini peneliti menggunakan triangulasi teknik, yaitu menguji validitas
data dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi dan
dokumentasi. Triangulasi teknik dalam penelitian ini sebagaimana berikut:
Bagan 1.3 Triangulasi Teknik
6. Teknik pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan data dalam penelitian ini ditempuh dengan cara
mengumpulkan semua data yang telah didapatkan untuk kemudian dipilah-pilah
sesuai dengan konteksnya. Data tersebut lalu dikoreksi dan disunting untuk
kepentingan analisis data. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam
Wawancara
Observasi
Studi dokumentasi
Staf,
fasilitator
dan
kelompok
sasaran YSI
58
penelitian ini menggunakan teknik analisis data interaktif model Miles and Huberman
(1992:18) yaitu pengumpulan, reduksi, penyajian dan verifikasi data.
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data memilah-memilahnya
menjadi kesatuan yang dapat dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa menjadi fokus lalu menyederhanakannya
(reduksi). Data dan informasi yang berkaitan dipilah dan dipilih untuk disajikan dalam
rangkaian data yang sistematis (display). Kemudian data diinterpretasikan dan
disimpulkan menjadi sebuah data valid (verifikasi).