bab i pengantar -...

60
1 BAB I PENGANTAR 1.1.Latar Belakang Praksis jurnalisme lingkungan di Madura khususnya dalam peliputan ekplorasi minyak dan gas (migas) menjadi locus yang sangat menarik, bukan hanya lantaran dibingkai oleh peristiwa eksplorasi migas besar-besaran, melainkan karena konfigurasi aktornya yang unik. Isu yang khas dari bagaimana posisi konflik lingkungan migas di Madura, adalah peran dan posisi kiai sebagai salah satu faksi penting dari peta kepentingan dalam konflik. Untuk menunjukkan bukti dan menghindari klaim, peneliti memiliki contoh bagaimana kiai memberikan peran sekaligus memosisikan dirinya sebagai satu bagian penting dari suatu isu lingkungan. Dalam sengketa uji seismik PT SPE Petrolium di Madura, kiai merepresentasikan dirinya sebagai kelompok pemangku kepentingan rakyat. Gerakan ini diformalisasikan lewat pembentukan Forum Kiai Muda Madura yang memberikan kontraposisi atas uji seismik. 1 Menurut Suprayogo, paling tidak ada tiga klaim yang digunakan oleh kiai Madura sebagai alasan untuk melibatkan dirinya di luar wilayah keagamaan, terlebih fokus pada ranah persoalan ekonomi politik, termasuk dalam ranah yang sepintas lalu terdengar asing, yakni konflik lingkungan (Suprayogo, 1998). Pertama; bila lingkup teologi Islam ditelusuri, maka ruang gerak kiai 1 Ketua Forum Kiai Muda Madura KH Jurjiz Muzammil menyesalkan pernyataan pihak PT SPE Petroleum yang tidak bertanggung jawab bila kegiatan uji seismik menimbulkan masalah seperti semburan lumpur di Porong, Sidoarjo. Periksa http://www.tempo.co/read/news/2010/08/02/180268227/Forum-Kiai-Muda-Madura-Sesalkan- Pernyataan-Pihak-SPE-Petroleum. Diakses terakhir 18/12/12 .

Upload: phamtruc

Post on 11-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENGANTAR

1.1.Latar Belakang

Praksis jurnalisme lingkungan di Madura khususnya dalam peliputan

ekplorasi minyak dan gas (migas) menjadi locus yang sangat menarik, bukan

hanya lantaran dibingkai oleh peristiwa eksplorasi migas besar-besaran,

melainkan karena konfigurasi aktornya yang unik. Isu yang khas dari bagaimana

posisi konflik lingkungan migas di Madura, adalah peran dan posisi kiai sebagai

salah satu faksi penting dari peta kepentingan dalam konflik.

Untuk menunjukkan bukti dan menghindari klaim, peneliti memiliki

contoh bagaimana kiai memberikan peran sekaligus memosisikan dirinya sebagai

satu bagian penting dari suatu isu lingkungan. Dalam sengketa uji seismik PT SPE

Petrolium di Madura, kiai merepresentasikan dirinya sebagai kelompok pemangku

kepentingan rakyat. Gerakan ini diformalisasikan lewat pembentukan Forum Kiai

Muda Madura yang memberikan kontraposisi atas uji seismik.1

Menurut Suprayogo, paling tidak ada tiga klaim yang digunakan oleh kiai

Madura sebagai alasan untuk melibatkan dirinya di luar wilayah keagamaan,

terlebih fokus pada ranah persoalan ekonomi politik, termasuk dalam ranah yang

sepintas lalu terdengar asing, yakni konflik lingkungan (Suprayogo, 1998).

Pertama; bila lingkup teologi Islam ditelusuri, maka ruang gerak kiai

1 Ketua Forum Kiai Muda Madura KH Jurjiz Muzammil menyesalkan pernyataan pihak PT SPE

Petroleum yang tidak bertanggung jawab bila kegiatan uji seismik menimbulkan masalah seperti

semburan lumpur di Porong, Sidoarjo. Periksa

http://www.tempo.co/read/news/2010/08/02/180268227/Forum-Kiai-Muda-Madura-Sesalkan-

Pernyataan-Pihak-SPE-Petroleum. Diakses terakhir 18/12/12.

2

digambarkan sangat luas, bukan hanya pada aspek ritual dan bimbingan moral

tetapi juga pada nilai-nilai di semua sisi kehidupan baik dalam ilmu pengetahuan,

ekonomi, lingkungan, hukum, sosial, maupun persoalan politik. Sekalipun

sebagian besar ajaran Islam memberikan tuntunan yang bersifat garis besar, tetapi

norma-norma agama umum semisal lingkungan, politik, atau ekonomi, sering

digunakan sebagai dalil para ulama/kiai Madura dalam bergerak, baik dalam ranah

kritik pemikiran maupun praksis gerakan

Kedua, dilihat dari sisi sejarah politik lokal di Madura, keterlibatan kiai

dalam perkara publik (baca: ekonomi politik) telah terlihat dalam rentang waktu

yang lama di era kolonial. Peran para kiai lebih nampak pada saat sejumlah

pesantren ditempatkan sebagai pusat pengatur strategi melawan penjajah, banyak

para ulama yang memberikan dukungan moril, ekonomi maupun politik

(Steenbrink, 1994). Diskursus inilah yang membangun tradisi kiai lokal Madura

dalam menafsirkan sentimen ancaman ekonomi-politik dari eksplorasi migas di

ranah Madura.

Ketiga, posisi kiai sebagai elit lokal yang sangat kuat dan memiliki

legitimasi berbasis agama, memungkinkannya dalam memobilisasi massa dan

mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat. Posisi ini, ditambah

kepatuhan masyarakat Madura, menjadikan kiai terlibat dalam persoalan

pengambilan keputusan bersama, kepemimpinan, serta menyelesaikan persoalan-

persoalan sosial, pengembangan pendidikan dan kemasyarakatan.

Peta dan konstelasi media massa di Madura memiliki hubungan langsung

yang menguatkan alasan dilakukannya penelitian ini. Menurut observasi awal

3

peneliti, diskusi tentang jurnalisme lingkungan sesungguhnya telah banyak

dimulai. Bibit pembentukan komunitas jurnalis Madura yang membawa isu

lingkungan sebagai bagian penting dari perspektif pemberitaan sudah tampak.

Data yang didapat peneliti, memunculkan tanda tanya, misalnya tampak dari

wawancara peneliti dengan salah satu redaktur media lokal Radar Madura:

...teman-teman di Radar, tidak pernah berpikir mengenai hal

yang lebih berbahaya lagi. Sejujurnya, kita memang berpikir

pragmatis. Yang penting temen-temen dapat berita, menulis

berita, ya sudah. Kadang saya sendiri juga masa bodoh. Masa

bodohnya karena sejauh ini kita belum pernah merasakan

dampak langsungnya. Kalau kita di daerah terdampak, mungkin

cara berpikirnya akan lain.2

Dalam rentang waktu yang demikian panjang, dimana eksplorasi berjalan

bersamaan dengan banyak implikasi negatif untuk lingkungan lokal Madura,

perkembangan jurnalisme lingkungan dalam media massa Madura tak kunjung

menunjukkan tanda-tanda kritis. Persoalan lokalitas isu eksplorasi migas tidak

membuat jurnalisme lingkungan bertumbuhkembang. Observasi pendahuluan

yang dilakukan peneliti memperlihatkan, konsentrasi jurnalis yang sangat lemah

atas elaborasi konflik lingkungan. Persoalan ini yang menjadi salah satu fokus

dalam disertasi ini.

Kehidupan pers Madura memang unik dan menarik untuk dipelajari. Pada

saat jurnalis memberitakan suatu fakta, baik berupa peristiwa atau pernyataan

suatu narasumber (misalnya kiai, pejabat pemkab, tokoh berpengaruh, anggota

DPRD, atau kelompok ormas tertent), bisa memberikan efek amuk massa.

2 Wawancara peneliti dengan redaksi Radar Madura, pada 30 Oktober 2012

4

Anarkhisme oleh kelompok lewat perusakan kantor media atau intimidasi oleh

individu, beberapa kali terjadi di Madura. Menurut catatan Anggota Aliansi

Jurnalis Independen (AJI) Surabaya di Madura Muhammad Ghozi, kekerasan

terhadap pers dan jurnalis di Madura meningkat tajam. Tahun 2011 lalu hanya 1

kasus kekerasan yang menimpa kantor televisi lokal Madura Chanel. Tapi pada

2012 hingga medio 2013 tercatat sudah lima kasus kekerasan terkait karya

jurnalistik wartawan. Dua kasus di Sumenep, satu kasus di Pamekasan, satu kasus

di Sampang dan terakhir di Bangkalan. 3

Kondisi ini menciptakan sikap penuh

perhitungan dan hati-hati pada jurnalis Madura, jika akan mengangkat tokoh

sekelas kiai atau pemimpin kelompok tertentu sebagai narasumbernya.

Gambaran umum tentang bagaimana profil kepentingan dari media

Madura ditunjukkan oleh Rahmawati, et., al (2008). Dalam riset itu, kedudukan

wartawan yang berada di posisi paling bawah dalam penentuan kehadiran sebuah

teks di media membawa implikasi yang dalam. Dengan rutinitas kerja yang telah

berjalan lama, wartawan sangat paham apa yang menjadi pertimbangan redaksi

dalam memilih atau mengonstruksi suatu berita. Hegemoni ekonomi politik media

masuk melalui rutinitas kerja dalam keredaksian Radar Madura. Bahkan, pada

level analisis sociocultural terlihat bahwa produksi berita di media kini tidak bisa

dilepaskan dari pengaruh ekonomi media seperti oplah, persaingan antar media,

dan intervensi kepemilikan terhadap media serta institusi politik.

Bercermin pada banyak fakta, keputusan-keputusan politik terkait

pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, banyak ditentukan oleh kepentingan

3 http://ajisurabaya.org/kantor-radar-madura-dirusak-preman/diakses 15 Januari 2014

5

ekonomi dominan ketimbang pertimbangan akan batasan daya dukung lingkungan

hidup. Karena itu, keputusan-keputusan politik ini sebagian besar tidak

berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan kelestarian lingkungan hidup.

Media massa pun berhadapan dengan kondisi yang sama. Sebagai

interface antara hasil karya jurnalistik dengan masyarakat, sesungguhnya media

massa tidaklah bebas kepentingan. Jika dilihat dari sudut pandang idealis,

jurnalisme yang baik harusnya dapat membantu publik untuk mengerti apa yang

sedang berlangsung di sekelilingnya – sehingga mereka dapat ikut aktif dalam

proses pengelolaan keputusan-keputusan negara yang menyangkut hajat hidup

orang banyak. Mengikuti idealisme ini, pasti tumbuh harapan bahwa jurnalisme

akan mampu menjalankan peran penting di dalam menentukan kualitas demokrasi

termasuk didalamnya demokratisasi pengelolaan lingkungan hidup dan sumber

daya alam.

Persoalan di luar idealisme ini, upaya untuk menyajikan fakta dan

kebenaran dari berbagai permasalahan lingkungan hidup agar dapat dinikmati

publik tanpa hambatan, ternyata sangatlah sulit. Berkali-kali terungkap bahwa

industri migas berusaha menutup-nutupi berbagai persoalan lingkungan dengan

melakukan kampanye pendiskreditan terhadap kualitas kajian ilmiah tentang

lingkungan yang dinilai dapat mengusik bisnis mereka.

Terkait isu perubahan iklim misalnya, tahun 2005 Exxon Mobil pernah

meluncurkan suatu kampanye public relations secara terselubung untuk

menyebarkan keraguan mengenai kesahihan kajian-kajian ilmiah tentang

pemanasan global. Mereka mendanai pelobi-pelobi untuk memberi disinformasi

6

kepada publik dan para politisi tentang perubahan iklim. Perusahaan ini juga

meluncurkan kampanye iklan yang menyebarkan informasi bahwa masih terlalu

sedikit yang diketahui secara pasti tentang pemanasan global untuk mendasari

aksi pencegahan dan penanggulangan. Tujuan akhir mereka adalah agar

pemerintah tidak bertindak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Exxon Mobil

memiliki kekuasaan yang luar biasa di panggung ekonomi global, dan bersama

dengan industri otomotif dan energy, mereka berhasil menghadang implementasi

kesepakatan Kyoto selama lebih dari satu dekade. Meski Eropa sejak tahun 1990-

an telah mengembangkan langkah-langkah serius untuk menurunkan tingkat emisi

carbonnya, dengan semakin banyak memberi pangsa pada energi alternatif,

tidaklah demikian halnya di Amerika Serikat.

Akibatnya, Protokol Kyoto – konvensi internasional yang lahir sebagai

upaya menanggulangi perubahan iklim, hingga kini masih terseok-seok

mengalami berbagai ganjalan dalam proses implementasinya di sejumlah negara.

Konvensi ini kalah oleh berbagai kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Sebelas

tahun setelah Protokol Kyoto dicapai, penggunaan minyak bumi dan batubara

hampir tidak memiliki saingan yang berarti sebagai sumber energi.

Di masa Orde Baru, kita mengenal pemberangusan dan pembreidelan

media massa, bilamana media massa dipandang memberitakan hal-hal yang

mendeskreditkan pemerintah. Akibatnya, pada masa itu konflik lingkungan sangat

sedikit diberitakan. ―Pemasungan‖ ini menyebabkan berita lingkungan tak sempat

lolos ke ranah publik.

7

Secara teoritik, modus wacana kritik terkait media massa di Indonesia

pada penghujung Orde Baru (Orba) sampai sekitar tahun 2004 didominasi oleh

perspektif bahwa negara merupakan aktor opresi terhadap media massa. Media

massa dengan demikian berada satu nasib dengan masyarakat umum dalam hal

sama-sama menjadi korban politik Orba.

Ketika memasuki era reformasi, pemberangusan oleh negara seperti ini

tidak terjadi, dan kebebasan media masa lebih terjamin. UU Pers No.40/1999 dan

UU Penyiaran No.32/2002 merupakan monumen perjuangan penegakan

kebebasan berekspresi lewat media massa. Melalui dua UU ini, tidak ada lagi

prosedur Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk media cetak dan daerah

memiliki peluang mendirikan stasiun penyiaran lokal. Setelah jatuhnya Soeharto,

potensi industri surat kabar mulai tampak. Ratusan surat kabar bermunculan.

Tetapi ternyata dalam perkembangannya, tidak semua surat kabar ini dapat

bertahan dalam kompetisi bisnis. Jumlah penerbitan surat kabar menurun dari

1.881 pada tahun 2001 menjadi hanya 889 tahun 2006. Namun setelah 2006,

industri ini lambat laun mulai kembali tumbuh.

Distribusi media cetak, khususnya surat kabar, tersebar dengan cukup baik

di Indonesia. Jumlah penerbit media cetak, baik itu surat kabar maupun tabloid,

yang ada di setiap provinsi masih terus meningkat dari tahun ke tahun;

membuktikan bahwa media cetak tetap merupakan bentuk media yang paling

mudah diakses oleh warga negara. Saat ini, kepemilikan media cetak tidak hanya

terbatas pada elit politik dan elit pemerintahan saja, tetapi telah menjadi bisnis

yang menjanjikan di mana setiap orang dapat terlibat di dalamnya. Dhakidae, Hill

8

dan Sen (2000) mencatat bahwa pers telah berbalik dari sebuah medium berbasis-

pesan menjadi medium yang berbasis-pembaca, karena mereka membutuhkan

pemasukan iklan yang cukup besar. Media memberitakan isu-isu mainstream

adalah satu dari berbagai cara untuk memenuhi volume iklan yang dibutuhkan.

Beberapa pemain utama pada bisnis media cetak juga memiliki kanal-kanal media

lain seperti penyiaran dan perusahaan media online.

Era reformasi membawa Indonesia memasuki sistem liberalisasi di

berbagai bidang. Banyak orang tidak waspada bahwa era reformasi yang

menyebabkan liberalisasi politik, juga sering berarti liberalisasi ekonomi.

Penumbangan rezim otoriter di berbagai negara, selalu diikuti oleh penetrasi

investasi global. Dalam perspektif kebebasan pers klasik yang berakar pada

pikiran Rousseau tentang fungsi pilar keempat, media massa digambarkan sebagi

entitas yang berhadapan dengan ootoritas politik negara dan mengabaikan

kekuatan lain misalnya pasar. Padahal media juga memiliki watak intrinsik untuk

melakukan ekspansi kapital. Dengan kata lain, selepas otoritarianisme negara (di

era Orba), di era reformasi media massa Indonesia mengalami modus dominasi

yang dikendalikan oleh kekuatan pasar (liberalisasi media).

Dalam paradigma kritis terkait proses globalisasi, orang akan cenderung

berpikir bahwa proses liberalisasi media di Indonesia akan diikuti oleh intrusi

modal asing ke bisnis media Indonesia dalam manifes kepemilikan media. Untuk

kasus Indonesia tampaknya hal ini perlu dilihat dengan lebih hati-hati terutama

karena sampai saat ini, praktis kepemilikan media masih dikuasai oleh pemodal

domestik. Perlu dilihat lebih jernih pada aspek manakah kepentingan kapitalisme

9

global mendapatkan keuntungan dari proses reformasi media di Indonesia. Ada

beberapa celah memang untuk masuknya modal asing dari peleburan Indonesia ke

dalam sistem kapitalisme global, misalnya penjualan program media, media

franchising dan perusahaan iklan.

Dengan kata lain, meski sejak era reformasi outlet media massa

bertambah, namun kepemilikannya sebenarnya semakin langsing akibat proses

konglomerasi dan merger berbagai media ke dalam satu kelompok. Ini

memungkinkan media massa melakukan cross-marketing bagi produk-produk

mereka, yang pada akhirnya memungkinkan mereka meraup keuntungan lebih

besar. Proses ini juga meningkatkan kekuasaan ekonomi dan politik korporasi dan

pengiklan, namun mengurangi keragaman dan kedalaman berita yang dapat

dinikmati oleh publik.

Era reformasi menghasilkan liberalisasi media yang pada akhirnya justru

membentuk dominasi privat pada ruang publik dan konvergensi kepemilikan

media. Liberalisasi telah menggeser karakter lingkungan makro media dari state

authoritarian menjadi market authoritarian. Regulasi media yang muncul pun

bergeser dari regulasi berbasis negara ke regulasi berbasis pasar. Lepasnya kontrol

negara terhadap media massa dalam sistem politik otoriter, tidak serta merta

memunculkan media yang mampu berpihak kepada kepentingan publik karena

situasi dalam regulasi pasar memunculkan bentuk-bentuk kontrol baru terhadap

media atas dasar kuasa pasar. Kerentanan media terhadap tekanan eksternal tidak

lagi bersifat politis namun ekonomis (Hidayat, 2003).

10

Riset ini akan difokuskan pada pemberitaan kegiatan eksplorasi migas di

Madura (khususnya di Kabupaten Sumenep baik mulai dari perencanaan, uji

seismik, hingga eksplorasi migas) oleh media cetak di Jawa Timur. Mengapa

wilayah ini yang dipilih? Hal ini dilatarbelakangi oleh kegiatan eksplorasi migas

lepas pantai (offshore) khususnya di Jawa Timur hanya ada di Madura.

Oleh sebab itu, media cetak yang dipilih dalam penelitian ini adalah media

yang memiliki persyaratan : (1) selama lima tahun terakhir dari penelitian ini

dilakukan, memuat pemberitaan tentang eksplorasi migas di Madura (2)

Pemberitaan ini terutama tentang konflik lingkungan dan kerusakan lingkungan

yang diakibatkan oleh ekplorasi migas di Madura (3) Media ini terbit dan beredar

di Jawa Timur. (4) Media ini merupakan biro atau cabang dari kantor media yang

ada di pusat (dalam konteks ini Surabaya sebagai kantor pusat media tersebut).

Syarat ini peneliti tetapkan untuk melihat apakah ada intervensi atau kebijakan

khusus dari kantor pusat media tersebut, berkaitan dengan persoalan konflik

lingkungan akibat eksplorasi migas. Hal ini mengingat, industri migas biasanya

sebagai pemasang iklan besar di media. Oleh sebab itu menarik untuk meneliti

bagaimana kebijakan manajemen media ketika terjadi konflik antara korporasi

dengan komunitas lokal yang wilayahnya dijadikan lahan eksplorasi migas.

Apakah semua kebijakan pemberitaan ditentukan oleh kantor pusat media,

ataukah diserahkan sepenuhnya (otonomi) pada kantor biro atau cabang media

tersebut.

Beberapa media yang masuk kriteria media yang akan diteliti pada

awalnya adalah Surya, Radar Madura, Surabaya Post, dan Memorandum. Setelah

11

dilakukan wawancara awal dengan pengelola media lokal Madura tersebut,

peneliti menetapkan Radar Madura sebagai media yang akan diteliti. Hal ini

dilandasi oleh beberapa pertimbangan dan temuan fakta menarik : Media cetak

yang dipilih dalam penelitian ini adalah Radar Madura dengan alasan : Pertama,

sejarah jurnalisme Madura menunjukkan situasi yang kurang menguntungkan bagi

media ketika mengangkat ketokohan seorang kiai kharismatik ketika konflik

dengan kiai lainnya. Intimidasi, teror, bahkan perusakan kantor media akan

mereka dapatkan. Menurut catatan, perusakan kantor media oleh massa

pendukung kiai ini lebih sering dialami oleh Radar Madura. Oleh sebab itu,

peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana dalam konteks konflik migas di

Madura? Apakah media tetap berani menjadikan kiai sebagai narasumber

beritanya baik yang pro ataupun kontra eksplorasi migas, menghindari keduanya,

atau hanya menjadikan kiai yang selalu menentang rencana eksplorasi migas

sebagai sumber berita.

Kedua, peneliti ingin melihat apakah ada intervensi atau kebijakan khusus

dari kantor pusat media tersebut - Radar Madura merupakan bagian dari media

group Jawa Pos (surat kabar dengan oplah terbesar di Jawa Timur) - berkaitan

dengan persoalan konflik lingkungan akibat eksplorasi migas. Hal ini mengingat,

industri migas biasanya sebagai pemasang iklan besar di media. Oleh sebab itu

menarik untuk meneliti bagaimana kebijakan manajemen media ketika terjadi

konflik antara korporasi dengan komunitas lokal yang wilayahnya dijadikan lahan

eksplorasi migas. Apakah semua kebijakan pemberitaan ditentukan oleh kantor

12

pusat media, ataukah diserahkan sepenuhnya (otonomi) pada kantor biro atau

cabang media tersebut.

Selain itu, sebagai bagian dari anak perusahaan Jawa Pos, Radar Madura

masuk di Jawa Pos News Network (JPNN). Artinya, semua berita dari seluruh

wilayah Indonesia dari jaringan JPNN, bisa dikutip di media apapun yang

termasuk anak perusahaan Jawa Pos. Asumsi awal peneliti, berita konflik

lingkungan akibat adanya ekplorasi migas di Madura pasti juga akan dimuat di

Jawa Pos edisi Surabaya. Akan tetapi dari wawancara peneliti dengan kepala biro

Radar Madura, berita untuk wilayah Madura (meliputi Bangkalan, Sampang,

Pamekasan, dan Sumenep) hanya bisa dikonsumsi di Madura dan tidak dimuat di

Jawa Pos edisi Surabaya misalnya. Hal ini merupakan kebijakan manajemen

Jawa Pos di kantor pusat Surabaya. Latar belakang inilah yang menarik untuk

dikaji, mengingat media lain pasti memuat berita konflik (dalam bentuk unjuk

rasa) antara masyarakat yang memprotes eksplorasi migas oleh sebuah industri

migas.

Munculnya koran-koran anak Jawa Pos yang memakai nama Radar,

sebenarnya meniru harian Suara Karya, yang pernah membuat lampiran berita

pedesaan dari program koran masuk desa. Jawa Pos, yang terlalu

memprioritaskan berita nasional, sering tidak mempunyai tempat untuk berita-

berita dari kotamadya dan kabupaten. Maka dibuatlah lembar-lembar lampiran

Jawa Pos dengan nama Radar Malang, Radar Bojonegoro, Radar Kediri, Radar

Jember, Radar Bromo, Radar Banyuwangi, dan Radar Madiun. Lampiran ini

13

ternyata sanggup menarik pemasang iklan dari kota/kabupaten tersebut, sehingga

diputuskanlah Radar harus mandiri.

Kesuksesan memandirikan ketujuh Radar itu membuat Jawa Pos

terdorong untuk berkembang keluar Jawa Timur: Madura, Jawa Tengah, Jawa

Barat, Lampung, sampai ke Medan, bahkan ke Papua. Muncullah Radar Madura,

Radar Solo, Radar Tegal, Radar Banyumas, Radar Cirebon, Radar Bogor, Radar

Tangerang, Radar Lampung, Radar Medan, Radar Nauli (Sibolga), Radar

Jayapura, Radar Merauke, dan Radar Timika.

Dalam penerbitannya, koran Radar digabungkan dengan harian utama

Jawa Pos. Hanya dalam waktu sekejap, Jawa Pos menjadi leading. Radar cepat

mengakar di seluruh nusantara. Konsep Jawa Pos Nasional Network (JPNN) yang

dibangun Jawa Pos mampu bersaing di setiap daerah dan menjadi surat kabar

yang diperhitungkan secara nasional. Bahkan strategi ini banyak diadopi oleh

banyak koran-koran nasional lain dengan menciptakan koran lokal. 4

Radar Madura yang berkantor pusat di kota Bangkalan, saat ini telah

berusia 15 tahun. Sama dengan perusahaan induknya (Jawa Pos), Radar Madura

selain berbentuk koran juga telah mengembangkan sayap dalam bentuk portal

berita (website) radarmadura.co.id dan radio streaming di 107,6 FM. Hal ini

sebagai antisipasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang

semakin pesat. Sebagai penyesuaian terhadap teknologi baru, surat kabar sudah

saatnya juga mengembangkan distribusi berita mereka ke media online, membuat

4 http://www.lensaindonesia.com/2011/09/13/lolos-badai-moneter-jawa-pos-jadi-

koran-pelopor-resizing.html diakses 2 oktober 2014

14

berita online dan aplikasi yang dapat diakses di mana saja dan kapan saja selama

sambungan internet tersedia. Versi online dari media cetak telah menjadi populer

lima tahun belakangan ini, karena mereka juga menyediakan ruang untuk

partisipasi publik melalui pemberian komentar dan masukan, serta kanal khusus

untuk pembaca (Kompasiana – bagian dari kompas.com – dapat menjadi contoh

yang baik). Faktor lain yang berpengaruh terhadap populernya kanal online adalah

kecepatan. Membaca surat kabar online dan melalui tautan dapat membuat

seseorang mengetahui perkembangan berita secara jauh lebih cepat. Terlebih lagi,

media online menyebarkan berita dan informasi secara real time, lebih cepat

daripada media cetak.

Untuk melihat secara komprehensif bagaimana wacana media berkaitan

dengan isu-isu pertambangan migas dalam riset ini, peneliti menggunakan

pendekatan ekonomi-politik media. Dalam kajian media, perspektif ekonomi

politik media merupakan bagian dari perspektif kritis selain cultural studies, teori

kritis, feminisme, teori resepsi pesan, dan semiotika (Mohammadi &

Mohammadi, 1990, hal. 15). Pendekatan ekonomi politik merupakan sebuah

kajian yang diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan kritis (McQuail,

2000:82). Pendekatan ekonomi-politik memfokuskan pada kajian utama tentang

hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika media, dan ideologi media

itu sendiri. Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan,

kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi

media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan

sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media

15

yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah

kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik

pemilik modal dan pembuat kebijakan media (Garnham dalam Mcquail, 2000).

Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh

keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses

integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.

1.2. Permasalahan Penelitian

Penelitian ini mengambil studi kasus peliputan eksplorasi minyak dan gas

(migas) di Madura. Peneliti tidak menggunakan migas sebagai obyek penelitian

dalam konteks ini. Fokus peneliti lebih melihat bagaimana konflik lingkungan dan

kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai ekses dari kegiatan eksplorasi migas.

Bagaimana fakta ini terekspose lewat media massa terutama media cetak, yang

akan dikaji oleh peneliti.

Jurnalisme yang diterapkan dalam mengekspose kasus-kasus migas

(disebut sebagai jurnalisme isu migas dalam riset ini), bukan hanya jurnalisme di

ranah ekonomi semata, akan tetapi merupakan sebuah kombinasi ketrampilan

teknis dan kemampuan konseptual pengelola isu dalam menghadirkan teks-teks

sosial, ekonomi dan politik dari persoalan migas di sebuah negara seperti

Indonesia.

Definisi tentang jurnalisme isu migas memang belum pernah diutarakan

oleh para pakar jurnalisme. Akan tetapi jurnalisme isu migas ini bisa dimasukkan

sebagai bagian dari jurnalisme lingkungan. Hal ini mengingat fenomena

16

kerusakan lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri migas, merupakan isu

lingkungan hidup. Perkembangan terkini menunjukkan isu lingkungan yang

paling fenomenal adalah isu pemanasan global dan perubahan iklim. Sudah sejak

lama para ilmuwan mengingatkan bahwa peradaban manusia yang berkembang

begitu cepat paska revolusi industri, terutama keserakahannya mereguk energi

fosil yang seolah-olah tanpa batas – mengganggu ekuilibrium alam –

mengakibatkan pemanasan bumi. Pada gilirannya pemanasan bumi ini

mengakibatkan perubahan iklim yang membawa berbagai dampak yang sangat

serius bagi umat manusia.

Jurnalisme isu migas sama pentingnya dengan migas itu sendiri, bagi

penciptaan suatu tatanan hubungan masyarakat ekonomi dan sosial yang sehat dan

sejahtera. Sebagai aktivitas yang terjadi di ruang publik, jurnalisme dan produk

jurnalisme amat dipengaruhi oleh sistem sosial ekonomi dan politik pada saat ia

beroperasi (Muhtada, 2008).

Ketika melukiskan kondisi jurnalisme isu migas sebagai pengantar buku

Meliput Minyak (Covering Oil), Svetlana Tsalik mengungkapkan, peliputan isu

dan kasus-kasus migas adalah tugas yang cukup berat bagi jurnalis di berbagai

negara. Problem krusial yang mereka hadapi antara lain minimnya kemampuan

teknis jurnalisme dan komunikasi, batas waktu (deadline) kerja liputan yang ketat

dan tekanan dari aparat pemerintah dan perusahaan terkait. Masalah yang lebih

serius adalah minimnya independensi terhadap sumber berita akibat beban

ekonomi pribadi serta lemahnya penguasaan terhadap ilmu-ilmu yang berkaitan

langsung dengan industri migas (Tsalik, 2005).

17

Terlebih lagi, isu pertambangan belum dianggap oleh sebagian jurnalis

(media) sebagai persoalan krusial dan penting bagi publik dibandingkan isu-isu

politik, infotainment, dan olah raga. Jurnalis bahkan masih banyak yang belum

mengetahui tahapan dan istilah dalam kegiatan pertambangan (membedakan

antara ekplorasi, eksploitasi, atau uji seismik misalnya).

Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Golding & Murdoch,

1996; Curran, 1982, Smith, 2001, menunjukkan bahwa arah media telah terbukti

dipacu oleh kepentingan menangguk keuntungan (profit oriented) yang lebih

mengedepan, dibandingkan dengan logika profesional atau idealisme yang harus

diperjuangkan.

Katherine Bagley (2008) menyebut peliputan isu-isu minyak dan gas di

dunia akan selalu menjadi berita besar yang multidimensional, tidak hanya pada

konteks ekonomi dan sosial, tetapi juga teknologi, lingkungan dan politik

internasional. Kontroversi yang mencuat dalam kasus-kasus migas kerapkali tidak

hanya bersifat horizontal dan berskala regional, yaitu antara masyarakat yang

direkrut untuk menjalankan operasi pengeboran hingga distribusi dengan

masyarakat sekitar lokasi pengeboran, akan tetapi antara perusahaan pemegang

hak operasi dengan pemerintah selaku pemegang mandat rakyat atas sumber daya

migas. Konflik ini berskala internasional mengingat umumnya perusahaan

tambang merupakan investasi bisnis multinasional yang eksis karena keterbatasan

kompetensi perusahaan (bahkan negara) di tempat tambang minyak dan gas itu

berada.

18

Dilihat dari dampak yang timbul pasca pemberitaan, publikasi isu migas

seperti kelangkaan BBM, distribusi yang bermasalah atau aksi-aksi protes

masyarakat atas pencemaran lingkungan, tidak hanya memicu pergolakan

ekonomi, tetapi krisis politik lokal dan atau krisis hubungan antarnegara seperti

pernah terjadi antara Indonesia dengan Amerika Serikat dalam kasus tambang

Freeport.

Hal ini menunjukkan jurnalisme lingkungan khususnya pada liputan

seputar isu migas, tidak sepenuhnya steril dari pengaruh-pengaruh eksternal yang

beranjak dari persepsi pengelola media itu sendiri, dan relasi bisnis atau politik

yang terjalin antara pengelola media, pemilik perusahaan migas dan pengambil

keputusan pemerintah (penguasa) pusat maupun daerah.

Di bagian lain, sudah sekian lama media massa menjadi sebuah mesin

raksasa yang mendefinisikan khalayak (konsumen medianya) hanya sebagai objek

pasif yang menerima apa yang disampaikannya. Khalayak media, sebagai ‖yang

tak punya kuasa‖ dalam relasi kapital media, dideskripsikan sebagai komoditi oleh

agensi iklan dan redaktur media. Khalayak media hanyalah deretan angka yang

menjanjikan pertambahan nilai bagi produser atau pemilik media.

Untuk membantu menganalisis perubahan-perubahan yang mungkin

terjadi pada sebuah media massa dan lingkungannya, maka digunakan pendekatan

ekonomi-politik media. Studi ekonomi-politik media ini menganalisis perubahan-

perubahan yang terjadi karena adanya historical situatedness yang memungkinkan

hal tersebut menjadi seperti itu. Historical situatedness merupakan hasil interaksi

dari berbagai faktor yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Ia mungkin saja

19

merupakan sesuatu yang sederhana namun dapat pula merupakan sesuatu yang

kompleks, dan historical situatedness itu lahir akibat interkontekstualitas dari hal-

hal yang terdapat pada tiga level. Level pertama adalah level mikro yakni teks

yang dihasilkan oleh media. Level kedua adalah level messo yakni praktik-praktik

diskursus atau deskripsi dari proses-proses produksi dan konsumsi teks. Sedang

level ketiga adalah level makro yakni analisis tentang praktek-praktek

sosiokultural yang mempengaruhi proses-proses produksi dan konsumsi dari teks

media massa.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka pertanyaan

penelitian yang diajukan dalam disertasi ini adalah :

1. Bagaimana praktek-praktek produksi dan distribusi teks media seputar

eksplorasi migas di Madura?

2. Bagaimana interplay (pertarungan) antar aktor yang mempengaruhi

konstruksi media pada isu eksplorasi migas di Madura?

1.3. Studi Pustaka

Penelitian tentang pemberitaan media terhadap eksplorasi migas sejauh ini

telah dilakukan oleh beberapa peneliti, termasuk topik-topik lingkungan. Akan

tetapi penelitian dalam pemberitaan isu migas dengan perspektif ekonomi politik

media, untuk kasus di Indonesia masih jarang dilakukan. Untuk konteks yang

spesifik ini, belum pernah ada penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu dapat

dikatakan penelitian ini bersifat orisinal.

20

Bagaimana posisi media pada saat terjadi konflik lingkungan antara

komunitas lokal (masyarakat) dengan industri pelaksana suatu proyek

pembangunan? Hasil riset Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP)

Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 20085, menemukan fenomena media lokal

memanfaatkan momentum peresmian, konflik yang terjadi di perusahaan migas

untuk mengeruk keuntungan melalui iklan atau advertorial. Informasi yang

disampaikan kepada publik perihal keberadaan pertambangan menjadi bias,

sepotong-sepotong bahkan tidak obyektif. Sebagai illustrasi, sebuah berita tentang

kebocoran pipa dapat dimuat, hanya satu hari, tidak berlanjut karena pada hari

berikutnya perusahaan migas yang terkait memasang advertorial, baik atas

inisiatif dari perusahaan yang bersangkutan maupun oleh negosiasi yang

dilakukan pihak media setempat dengan humas perusahaan migas.

Secara lengkap PSKP UGM meneliti pemberitaan media lokal dan

nasional tentang konflik lingkungan6 meliputi Sumatera Express, Sriwijaya Post

dan Prabumulih Pos di Sumatera Selatan dan Jambi Express dan Jambi

Independent di Jambi. Sedangkan media nasional yang dipilih adalah: Kompas,

Republika, Seputar Indonesia dan Tempo interaktif). Hasil riset menunjukkan dari

93 item berita, terdiri dari 24 berita nasional Sumatera Selatan, 62 berita lokal, 2

berita nasional Jambi, 5 berita local, hasil analisisnya setali tiga uang dengan

kondisi makro institusi media setempat, yaitu: Pertama, judul-judul berita yang

dimuat baik pada koran lokal maupun nasional terkait tambang migas bersifat

5 Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyaakarta,

―Peta dan Resolusi Konflik Migas di Wilayah Sumatra Bagian Selatan,‖ kerjasama PSKP UGM

dan BP Migas, Desember 2008.

6 Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), ibid

21

informatif-deskriptif bukan kritis konstruktif. Pendekatan konflik sebagai nilai

berita masih lebih tinggi ketimbang pendekatan lain. Dalam beberapa berita,

masih cenderung bombastik seperti penggunaan kata: Heboh, Indikasi, Rawan

dan Resah

Kedua, pada berita yang berkaitan dengan aktifitas Community

Developmnet (comdev), nara sumber hanya dari perusahaan atau pemerintah,

tidak ada komentar dari warga penerima. Ketiga, jumlah sumber berita yang

berasal dari aparat pemerintah (Bupati, Kepala Dinas) BP Migas dan perusahaan

tambang masih lebih dominan ketimbang nara sumber dari kalangan warga

korban, pengamat independen atau observasi langsung wartawan. Upaya

perimbangan tidak dilakukan pada satu berita yang sama hari pemuatannya

Keempat, ukuran ruang berita yang disajikan relatif singkat hanya antara

4-12 paragraf, berpola straight news, sehingga muatannya tidak mendalam.

Kelima, dari sisi substansi isi, berita yang dimuat tidak beranjak dari judul

beritanya. Upaya pendalaman atas angle berita hanya dilakukan dengan cara

wawancara, bukan penggalian data kasus atau observasi lapangan di lokasi

peristiwa

Selain itu, fokus tentang konflik antara korporasi migas dengan komunitas

lokal masih jarang dilakukan. Kajian yang ada lebih banyak tentang relasi state -

society dalam konteks bahasan civil society (Barham, 1994)., atau antara state -

business dalam konteks bahasan ekonomi politik (Maxfield & Schneider, 1997).

Hanya sedikit dan kurang komprehensif pembahasan tentang hubungan tiga sektor

22

antara state – society - business namun bukan tata-relasi dua sektor antara

corporate - society (Warhurst, 2001).

Kajian sejenis di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) yang membahas konflik secara lebih umum antara korporasi dan

komunitas serta pemerintah (Erman, 2005.; Zulkarnaen, 2004). Kajian-kajian

yang ada umumnya berkenaan dengan community relation atau kajian tentang

community development dalam konteks kegiatan corporate social responsibility.

Terlebih lagi penelitian tentang bagaimana media meliput konflik antara

komunitas lokal dengan industri migas, yang tentunya juga melibatkan state

(dalam konteks ini pemerintah daerah), masih belum pernah dilakukan oleh

peneliti lain.

Sedangkan penelitian tentang pemberitaan lingkungan hidup oleh surat

kabar memang lebih banyak dilakukan oleh para peneliti Indonesia maupun

negara-negara lainnya. Salah satu penelitian itu misalnya penelitian oleh

Mochamad Nuryadi (2003), mengenai analisis isi informasi lingkungan hidup di

beberapa surat kabar, antara lain Kompas, Koran Tempo, dan Sinar Harapan.

Penelitian tersebut tujuannya hendak mengkaji karakteristik surat kabar dalam

menampilkan informasi lingkungan hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ketiga surat kabar tadi berupaya menyajikan berita lingkungan hidup secara

berimbang, akurat, jelas dan obyektif.

Juga penelitian Eko Kurniawan (2006), yang mencakup pemberitaan

lingkungan di surat kabar Bangka Pos, Babel Pos dan Rakyat Pos periode 1

Januari 2005 s/d 31 Desember 2005. Hasil penelitin ini menunjukkan dari aspek

23

kualitas, pemberitaan lingkungan oleh surat kabar masih belum optimal. Artinya

berita-berita yang disajikan hanya bersifat informatif untuk sekedar diketahui.

Penulisan berita yang hanya mengungkapkan kenyataan kerusakan lingkungan,

kurang dapat menggerakkan penghayatan masyarakat akan pentingnya menjaga

kelestarian lingkungan.

Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan hambatan yang

dihadapi jurnalis selama proses pembuatan berita lingkungan. Penelitian

Dunwoody & Griffin (1993), kedua peneliti ini berfokus pada relasi media dengan

sumber informasi-nya, yang ternyata menimbulkan hambatan-hambatan tertentu

dalam proses produksi berita. Sumber berita memiliki kekuatan sangat besar untuk

mengontrol informasi berkait peristiwa-peristiwa lingkungan, karena isu

lingkungan adalah isu yang sering menyangkut penjelasan-penjelasan bersifat

teknis dan kompleks. Selanjutnya, sumber berita juga menyediakan informasi

yang sangat lengkap, yang membebaskan jurnalis hadir pada setiap kejadian, yang

bisa jadi sangat luas jangkauannya.

Riset Mc.Donalds pada tahun 1993 membuktikan hal tersebut, dari 800

artikel lingkungan yang dimuat di media massa terkemuka di Amerika Serikat,

lebih dari 50 persen berasal dari pemerintah, posisi kedua ditempati oleh industri,

dan kurang dari 4 persen dari kelompok gerakan pro lingkungan.

Wilkins & Patterson (1998), melihat bahwa jurnalis terbatasi pada

kecenderungan pemberitaan berdasarkan peristiwa (event centered reporting).

Pemberitaan berdasar peristiwa ini akhirnya gagal dalam melihat isu-isu

lingkungan yang bersifat jangka panjang. Jurnalis lebih suka meliput peristiwa

24

tornado, angin topan, banjir bandang, longsor, daripada masalah rusaknya

ekosistem laut, atau suhu bumi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Akan tetapi terdapat perbedaan antara surat kabar harian dengan majalah

berita mingguan. Jumlah halaman yang lebih banyak, membuat majalah berita

lebih mendalam dan detail dalam mengupas isu lingkungan. Seperti dalam studi

yang dilakukan oleh Lundberg tahun 1989 tentang peliputan isu lingkungan di

majalah berita, konflik yang ada di dalam sebuah persoalan mengenai lingkungan

hidup menjadi sorotan bagi media. 7

Menurutnya, media cenderung mengambil

angle berita lingkungan dari dua sisi, yakni kerusakan-kerusakan yang terjadi

serta konflik dan tindakan atau praktek-praktek pencegahan, termasuk solusi.

Konflik lingkungan acapkali terjadi lantaran motif ekonomi politik.

Konflik dimaksudkan di sini sebagai “two or more persons or groups manifest the

belief that they have incompatible objectives” (Kriesberg, 1998). Definisi ini

sangat sederhana dan luwes namun memberi tempat atas adanya dimensi rasional

dari konflik. Konflik antara korporasi dengan komunitas lokal berbeda dengan

konflik antar kelas, etnik (seperti di Sampit), agama (seperti di Ambon dan Poso),

atau state and society (seperti pada peristiwa reformasi politik Mei 1998) karena

konflik korporasi-komunitas merupakan wujud dari perbedaan dan pertentangan

kepentingan utamanya ekonomi. Konflik korporasi-komunitas lokal terjadi bukan

untuk saling menghancurkan (sebagaimana antar kelompok agama atau etnik) atau

7 Berger, Guy. 2002. Environmental Journalism Meets the 21st Century. Intermedia Vol. 30 No. 5. h.8.http://search.proquest.com/docview/229265424/fulltextPDF/13D4A02B0A2765D5AF0/1?acc

ountid=44396. Akses: 7 April 2013

25

menjatuhkan (seperti state and society dengan jatuhnya Rejim Orde Baru),

melainkan untuk ―memenangkan‖ kepentingan terutama kepentingan ekonomi

komunitas terhadap korporasi (Prayogo dalam Achwan dkk., 2004).

Komunitas bertindak sebagai pihak yang ofensif sementara korporasi

sebaliknya, namun korporasi dilihat sebagai pihak yang mendatangkan sebab.

Sejatinya konflik antara korporasi dengan komunitas lokal berbeda dengan ethnic

conflict, class conflict, social movement, collective behavior, social riots, mass

riots, mass behavior, atau konsep sejenis lainnya karena konflik korporasi-

komunitas lokal memiliki tujuan dan substansi yang lebih rasional dan fokus.

George Junus Aditjondro mencontohkan konflik lingkungan seperti pada

kasus pelarangan yang dilakukan pemerintah pada warga yang digusur di sekitar

Kedungombo untuk menggarap ―sabuk hijau‖ waduk itu dengan menggunakan

retorika hukum (legalistik) dan saintifik (Aditjondro, 2003:52-53).

Dalam contoh kasus penggusuran warga pada proyek waduk

Kedungombo, Aditjondro menyebutkan bahwa pemerintah menggunakan retorika

(wacana) legalistik dan saintifik untuk mengabsahkan keputusannya. Dikatakan,

pemerintah menggunakan UU Pokok Pengairan No. 11 th. 1974 untuk

memutuskan bahwa keberadaan pemukiman rakyat di sekitar sabuk hijau waduk

tersebut harus digusur. Selain itu pejabat PU dan pemerintah daerah mengatakan,

keberadaan rakyat di kawasan periferi waduk tersebut akan menimbulkan erosi

yang akan menimbulkan sedimentasi. Aditjondro sendiri sudah mengkaji ulang

kedua wacana tersebut dan membuktikan sebaliknya. Meskipun dikatakan

tindakan pemerintah itu adalah bukti dari ekofasisme ―lunak‖ seperti yang

26

dikatakan Aditjondro, saya cenderung melihatnya sebagai salah satu dalih

pemerintah yang mengkamuflasekan ―penghijauan‖ sebagai alasan kepentingan

yang sifatnya ekonomis. Gerakan perlawanan anti-Bendungan Kedungombo ini,

sudah berlangsung lama, dimana orang di Kedungombo menyatu bersama kaum

terpelajar menolak pembangunan bendungan yang juga menggunakan dana utang

dari Bank Dunia.

Konflik antara korporasi migas dengan komunitas lokal menunjukkan

peningkatan yang signifikan terutama setelah reformasi politik 1998 hingga saat

sekarang ini. Gejala ini sangat menarik karena menunjukkan adanya pola dalam

bentuk peningkatan secara kuantitas maupun tingkat kekerasannya. Catatan

lengkap tentang jumlah konflik secara empirik sulit diperoleh karena pada saat

yang relatif bersamaan terjadi beragam peristiwa konflik yang lebih besar dan

lebih menarik perhatian media massa seperti konflik antar kelompok etnik di

Kalimantan dan antar kelompok agama di Ambon dan Poso atau lainnya. Oleh

sebab itu, konflik antara korporasi dengan komunitas lokal khususnya pada

industri tambang dan migas relatif luput dari perhatian media massa nasional dan

hanya sedikit saja yang tercatat menjadi berita.

Harian Berita Buana misalnya, berhasil mencatat sejumlah kejadian yang

melibatkan industri tambang selama selang 1998-2003 (Berita Buana, 20 Maret

2003) 8

, antara lain konflik dengan perusahaan Kaltim Prima Coal, Unocal,

Kideco Jaya Agung, Kelian Equatorial Mining, Tinto Harum, Indomuro Kencana,

Expans Tomori Sulawesi, Permata Karya Graha Sakti, Meares Soputan Mining,

8 Berita Buana, Dinamika konflik industri tambang dengan komunitas lokal 1998-2003, 20 Maret

2003

27

Prima Lestari, Pulau Indah Teknik, Inco, Newmont Minahasa Raya, Newmont

Nusa Tenggara, Freeport Indonesia, Newcrest Halmahera, serta Exxon Mobil di

Aceh. Kasus yang marak secara nasional adalah kasus dugaan pencemaran pada

Newmont Minahasa Raya di Sulut, serta awal tahun 2006 terjadi pada Freeport

Indonesia di Papua dan pada Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa. Hasil

penelitian antara tahun 1999-2003, menemukan fenomena yang sama pada

perusahaan Unocal, BP, BHP-Arutmin, Newmont Sumbawa, Banpu, dan KPC,

Banpu dan Berau Coal (Prayogo, 2004). Dari sejumlah kasus tersebut terlihat

bahwa konflik meningkat setelah reformasi tahun 1998 dan dengan digulirkannya

Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan 2004 serta Pemilihan Kepala

Daerah (Pilkada) tahun 2004.

Mengapa konflik jenis ini minim diberitakan oleh media dan hanya

ditampilkan sebatas unjuk rasa masyarakat terhadap industri migas? Edward dan

Cromwell (2005) menunjukkan jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, berkaitan

dengan kemampuan media memahami peristiwa-peristiwa yang sedang

berlangsung tidak secara tunggal ataukah satu sudut pandang (Adaptation of the

media to a stream of events). Kedua, Overreporting of significant but unusual

events, yaitu bagaimana media memberikan pemberitaan dalam jumlah dan

frekuensi yang tinggi mengenai peristiwa yang penting (dan seringkali,

sensasional). Kemudian Selective reporting of the newsworthy aspects of

otherwise nonnewsworthy situations, berkaitan dengan kemampuan media

mencari angle tertentu yang bisa dijadikan ―senjata‖ untuk membuat berita

tampak menarik dan penting. Juga berkaitan dengan Pseudoevents, or the

28

manufacturing of newsworthy events, adalah bagaimana media membuat suatu

peristiwa menjadi layak untuk dijadikan agenda masyarakat. Misalnya berita

tentang demonstrasi, protes, dan sebagainya. Serta Event summaries, or situations

that portray nonnewsworthy events in a newsworthy way, berkaitan dengan

bagaimana media mengkorelasikan peristiwa dari yang tak memiliki nilai berita

dengan hal lain hingga menjadi laik diberitakan. Misalnya berita tentang

hubungan antara kebiasaan merokok dengan kanker paru-paru.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan, memberikan inspirasi peneliti

untuk melakukan penelitian yang lebih memperdalam hasil kajian sebelumnya.

Subyektivitas tak terhindarkan dalam pemilihan obyek serta lokasi penelitian.

Harapan peneliti orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk :

1. Mengungkap praktek-praktek produksi dan distribusi teks media, terkait

dengan konflik lingkungan dalam konteks studi ini adalah eksploitasi

migas di Madura

2. Mengkaji proses interplay antara jurnalis, media, NGO, dan komunitas di

sekitar lokasi pertambangan migas (disebut sebagai agency dalam

pendekatan ekonomi politik media) dengan Pemda, DPRD, dan kebijakan

yang memberikan legitimasi proyek pertambangan migas (disebut sebagai

structure)

29

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoretis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan menambah wawasan

keilmuan khususnya bagi kalangan akademisi. Hal ini mengingat tidak

banyak penelitian yang mengambil isu di seputar kegiatan pertambangan

migas sebagai obyek, terutama kaitan antara posisi atau ideologi media

(jurnalis) dengan industri migas dan negara (yang direpresentasikan oleh

kebijakan Pemda, DPRD, maupun UU tentang Migas dan UU Pengelolaan

& Perlindungan Lingkungan Hidup); secara lebih khusus ketika hal ini

dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonomi-politik media yang

melakukan analisis secara komprehensif di berbagai level. Selain itu, oleh

karena metode dan pendekatan dalam penelitian ini yang bersifat kritikal

(tidak lagi positivis/tradisional), maka diharapkan riset ini dapat

mendorong perkembangan ilmu kemasyarakatan.

2. Manfaat Praktis. Ketika Peneliti mulai menekuni jurnalisme lingkungan,

masih minim studi kasus yang dapat dijadikan literatur, besar sekali

harapan disampaikan oleh pihak pengelola media untuk mendapatkan

kajian-kajian dan penelitian ilmiah yang akan mereka gunakan sebagai

acuan kebijakan dan pedoman melangkah dalam menerapkan jurnalisme

lingkungan dan mengemas isu-isu di seputar pertambangan ini. Dengan

demikian, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat praktis yang berarti

30

bagi perkembangan jurnalisme lingkungan secara khusus, dan media

massa secara umum.

1.6. Kerangka Teoretis

Institusi media massa, dalam banyak teori, dijelaskan sebagai organisasi

yang memiliki dua bagian penting: profesional dan bisnis. Di satu sisi, media

melakukan proses produksi teks pesan atau informasi yang tersedia dalam realitas

masyarakat dalam bentuk-bentuk yang bervariasi baik secara tercetak maupun

audio-visual. Usaha memproduksi teks media ini membutuhkan disiplin

profesional, dalam konteks ini adalah jurnalisme, yang menjadi kerangka etika

(ethics frame) bagi institusi media. Kerangka, atau lebih tepatnya ideologi

professional inilah yang memproduksi teks media. Di sisi yang lain, institusi

media, terutama komersial, menggunakan logika ekonomi (komodifikasi dan

komoditi) untuk bertahan hidup dalam konteks kompetisi industri. Logika

keuntungan dan kompetisi dalam konteks industri media menjadi alasan

bagaimana media massa dijalankan sebagai suatu organisasi sosial.

Dikotomi inilah yang acapkali menjadi pertarungan bagi institusi media

ketika memproduksi dan mendistribusikan teks - sebagai komoditi ekonomi media

- kepada khalayak yang menerima atau mengkonsumsi konten media. Segregasi

kepentingan antara profesional dan kepentingan pasar (market interest) seolah

menjadi ―the nature of media‖ atau kealamian - yang kemudian disebut sebagai

‗budaya‘ atau ‗kultur‘ media - yang harus diterima (given) sebagai sebuah

konstruk media sebagai bagian dari sistem sosial dalam masyarakat.

31

Berangkat dari asumsi semacam ini, studi yang akan dilakukan ini

mencoba mempertanyakan sekaligus melakukan dekonstruksi atas pandangan-

pandangan given terhadap media. Peneliti juga akan memeriksa apa, bagaimana

dan mengapa idealisme atau etika profesional seringkali dilanggar dan lebih

memenangkan kepentingan pasar atau orientasi ekonomi. Apakah media selalu

berada dalam lingkaran diskursif seperti ini? Perspektif ekonomi politik media

peneliti gunakan untuk membuktikan apakah wartawan beroperasi dengan standar

umum yang dianggap sebagai nilai berita, hampir menyerupai semacam ―sixth-

sense‖ tentang apa yang dianggap sebagai sesuatu yang menarik bagi publik, serta

asumsi tentang karakter, arah, dan kebiasaan mekanisme editorial.

1.6.1. Ekonomi Politik Media

Usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media massa

dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori perspektif ekonomi politik.

Dalam kajian media, perspektif ekonomi politik media merupakan bagian dari

perspektif kritis selain cultural studies, teori kritis, feminisme, teori resepsi pesan,

dan semiotika (Mohammadi & Mohammadi, 1990, hal. 15). Pendekatan ekonomi

politik merupakan sebuah kajian yang diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan

kritis (McQuail, 2000:82). Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian

utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika media, dan

ideologi media itu sendiri.

Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol

serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media

32

massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem

politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media yang

ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah kondisi

tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik

modal dan pembuat kebijakan media (Garnham dalam Mcquail, 2000:82).

Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh

keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses

integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.

Ekonomi politik sebagai sebuah pendekatan ternyata banyak melahirkan

berbagai isu sentral dalam kaitannya dengan proses relasi media dan publik.

Banyak yang dikemukakan oleh para ahli untuk melihat secara objektif terhadap

konsep ekonomi politik media massa. Lebih jauh misalnya, Vincent Mosco (1996)

dalam The Political Economy of Communication menyebutkan empat

karakteristik umum dari ekonomi-politik media massa. Pertama, memahami

perubahan sosial dan transformasi sejarah. Bisa dilihat dari revolusi kapitalis

dari masyarakat agraris ke masyarakat industrialis. Contoh, kelompok Canadian

Economy-Political, yang mengembangkan kajian proses perubahan sosial yang

ditempatkan dalam interaksi sejarah ekonomi, politik, budaya, dan ideologi

kehidupan sosial dengan dinamikanya yang berakar pada konflik sosial ekonomi.

Kedua, didasarkan pada analisa totalitas sosial yang lebih luas. Ekonomi

politik merangkum persoalan-persoalan yang terdapat dalam disiplin kajian lain.

Mills (1996) menyebut ekonomi-politik sebagai dasar dari kehidupan sosial untuk

mempelajari aspek-aspek hidup lain. Bagi kaum Marxian, totalitas diartikan

33

sebagai usaha memahami hubungan ekonomi-politik dengan bidang sosial dan

budaya masyarakat. Ketiga, filsafat moral. Berakar pada konsepsi tentang nilai-

nilai sosial dan konsepsi tentang praktek-praktek sosial yang pantas. Hal ini

diajukan untuk merujuk pada prinsip-prinsip universal-kemanusiaan seperti

keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan.

Keempat, praxis. Praxis ini mengacu pada aktivitas manusia yang kreatif

dan bebas dimana manusia mampu menghasilkan dan mengubah dunia dan

dirinya sendiri. Tujuan utama dari praxis adalah adanya tindakan. Media massa

dan kapitalisme membebaskan buruh dari alienasi keperluan yang digantikan

dengan bentuk alienasi baru – pengurangan kekuasaan tenaga kerja (menjadi

komoditas yang dapat dipasarkan.

Karakteristik di atas yang menggerakkan arus produksi media sebagai

bagian dari sistem ekonomi politik dalam sebuah negara. Bahwa industri media

ditentukan oleh faktor perluasan ekonomi-politik yang diatur oleh kepentingan

pemilik modal dan juga para penentu kebijakan semata.

Menurut Mosco (1996), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam

pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial,

khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi

dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian

luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Setidaknya

terdapat tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk mengaplikasikan

34

pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi : komodifikasi

(commodification); spasialisasi (spatialization); dan strukturasi (structuration).

Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari

nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar.

Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu

melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila

masing-masing diantaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai tambah

produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi

kebutuhan sosial dan individual.

Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat

dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial.

Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan

institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media

(Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun

vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah

bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal

adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang

dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk

memperoleh kontrol dalam produksi media.

Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses

sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi

35

interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco,

1996).

Herbert I. Schiller lebih menekankan pada aspek ekonomi dalam kajian

ekonomi-politik media (Schiller dalam Schudson, 1989). Ia melihat pentingnya

komersialisasi dalam industri media yang banyak menyajikan content komersial

melalui jasa periklanan yang mampu menyedot produsen untuk menawarkan

barang-barang konsumsi masyarakat yang ditayangkan melalui televisi atau media

lainnya. Seperti yang dilakukan di Amerika Serikat oleh perusahaan rokok, obat,

kosmetik, bir, mobil, bahan bakar, produk makanan, industri berat dan

sebagainya. Akhirnya melalui kampanye periklanan ini Amerika mampu

menaklukkan Asia, Afrika, hingga Eropa yang memiliki tradisi sebagai negara

yang ketat mengatur kehidupan sosial-politik masyarakatnya.

Schiller lebih menekankan aspek liberalisasi dalam industri media. Faktor

ekonomi sangat dominan bagi usaha meng-konglomerasi industri media bagi

usaha akumulasi modal yang kuat bagi para pemilik modal atau para agen

kapitalis. Media massa bukan sebagai bentuk penyaluran seni atau saluran budaya,

akan tetapi dilihat sebagai media kampanye periklanan internasional, dan sarana

efektif yang digunakan negara dengan kekuatan ekonomi besar untuk menguasai

negara lain yang secara ekonomi lemah. Media sebagai alat ekspansi ‗penjajahan‘

ekonomi kekuatan kapitalisme dunia.

Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan

Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik

36

komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif

ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam

paradigma kritis.

Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran

pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih

komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan

kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan

perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.

Mekanisme pasar itu, diatur oleh apa yang disebut Adam Smith sebagai

―tangan tersembunyi‖ (the invisible hand theory). Media massa menurut

pandangan liberal ini benar-benar dilihat sebagai sebuah produk kebudayaan yang

harus diberikan kesempatan secara bebas dan luas untuk dimiliki oleh siapapun

juga dan untuk berkompetisi secara bebas dalam pasar tersebut.

Varian ekonomi politik liberal merupakan aliran pemikiran yang

memberikan penekanan pada peran media massa di dalam mempromosikan

kebebasan untuk berbicara (freedom of speech). Pemikiran ini memiliki beberapa

kriteria. Kriteria yang pertama adalah masyarakat dipahami sebagai kelompok-

kelompok yang saling bersaing. Ini berarti tidak ada kelompok yang dominan.

Kriteria kedua adalah media dilihat sebagai sistem organisasi yang memiliki batas,

mendapatkan otonomi dari negara, partai-partai politik serta kelompok penekan.

Kriteria ketiga adalah kontrol media dimiliki oleh elit manajerial yang otonom,

sehingga dapat menciptakan fleksibilitas terhadap pekerja profesional media.

37

Kriteria keempat adalah hubungan antara institusi media dan khalayak bersifat

simetris.

Dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik

mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan

produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses

pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan

pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya,

akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam

struktur yang lebih luas lagi.

Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media

pada paradigma kritis. Mereka berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik

kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme,

keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan

dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan

publik.

Sifat holistik dalam perspektif ini (terutama dalam konteks analisa

ekonomi politik kritis) merupakan satu dari beberapa pertimbangan yang dibuat

dalam konteks perspektif ekonomi politik kritis. Holistik di sini berarti

menunjukkan adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara organisasi ekonomi

dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat historis dan secara

moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public goods. Aspek historis

dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa

38

pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media,

komodifikasi dan peran negara.

Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan ―dominasi‖

perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi

budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi

dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan

dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa

memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar. Proses komodifikasi justru

menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk

memilih dan menyaring informasi.

Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media

disini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan

mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas

objektif yang sudah bias karena dibentuk oleh kelompok kepentingan baik secara

politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada

antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan

merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi

dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas

kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media

dengan kepentingan kelas yang dominan.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada

campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik

39

atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis

mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat

juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan

sistem yang ada.

Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik

kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis

menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai

bagian dari ideologi dimana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat

melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu.

Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan

ke dalam norma-norma budaya dominan.

1.6.2. Jurnalisme Lingkungan

Definisi tentang jurnalisme lingkungan berakar dari komunikasi lingkungan

yang dalam penafsiran peneliti atas uraian Robert Cox (2010) dalam

Environmental Communication and the Public Sphere adalah studi dan penerapan

tentang bagaimana berbagai individu, lembaga, masyarakat serta budaya

membentuk, menyampaikan, menerima, memahami dan menggunakan pesan

tentang lingkungan itu sendiri, serta hubungan timbal-balik antara manusia

dengan lingkungan.

Apabila dikaitkan dengan jurnalistik, bisa kita tarik kesimpulan bahwa

Jurnalisme Lingkungan adalah pengumpulan, verifikasi, produksi, distribusi, dan

40

pertunjukan informasi terbaru yang berkaitan dengan berbagai peristiwa,

kecenderungan, permasalahan dan masyarakat, serta berhubungan dengan dunia

non-manusia dimana manusia berinteraksi didalamnya. Berita-berita seputar

lingkungan hidup ini memiliki beberapa ciri, antara lain : menunjukkan interaksi

saling memengaruhi antar komponen lingkungan, berorientasi dampak

lingkungan. Pemberitaan dapat dari level gen hingga level biosfer

Jurnalisme lingkungan hidup tidak hanya berbicara isu lingkungan di

seputar pembangunan. Menurut Don Michael Flournoy, isu lingkungan hidup

terkait dengan peristiwa seperti bencana alam, perubahan iklim, global warming,

penipisan lapisan ozon, dan lain-lainya seperti pengembangan teknologi serta

kebijakan pemerintah terkait lingkungan (Flournoy, 1988)

Pada prinsipnya jurnalisme lingkungan hidup sama formatnya dengan

jurnalisme yang lain. Namun, yang menjadi perbedaan adalah isu sentral dalam

pemberitaan, jurnalisme lingkungan hidup menitiberatkan peliputan dan produksi

teks berita pada realitas lingkungan hidup seperti; kerusakan lingkungan akibat

olah tangan manusia (pencemaran, banjir, tanah longsor, penggundulan hutan),

kearifan lokal, konservasi, limbah, penggunaaan sumber daya alam (Abrar, 1993).

Sehingga, kita dapat memahami jurnalisme lingkungan sebagai jurnalisme

konvensional lainnya yang harus taat etika dan menyampaikan fakta tetapi bertitik

tekan pada kasus lingkungan hidup dan sadar etika lingkungan yaitu; (1)

informasi yang relevan dengan latar belakang kasus lingkungan, (2) materi berita

menjernihkan situasi atau menjadi mediasi (dalam istilah McLuhan sebagai the

41

extension of man) dan (3) memperhatikan risiko pemberitaan dari kasus

lingkungan hidup.

Selain itu, menurut Anderson (1997) materi jurnalisme lingkungan baik

berita dan jurnalis wajib memiliki materi pengetahuan tentang lingkungan dan

nilai budaya dari masyarakat atau kasus lingkungan tersebut. Dalam pandangan

Anderson, jurang antara pengetahuan tentang lingkungan dan nilai budaya sekitar;

sering menjadikan liputan lingkungan jauh dari kata memuaskan. Semisal;

pemberitaan di negara dunia ketiga, sering karya jurnalisme lingkungan

memberikan judgments tertentu terhadap kondisi lingkungan yang sebenarnya

akarnya adalah budaya masyarakat yang belum bisa dikatakan beradab (Anderson,

1997:199-200).

Menurut Jim Detjen, Fred Fico, Xigen Li dan Yeonshim Kim, definisi

jurnalisme lingkungan adalah sebagai cara untuk memberi label pada pandangan

baru dalam melihat hubungan antara manusia dan habibatnya (Environmental

reporting is a way of labeling new way of looking at humankind – habitat

relationship) (Detjen, Fico, & Li,2000). Pandangan baru yang dimaksud adalah

perubahan dari pola pandang tradisional bahwa jurnalisme lingkungan sekedar

menyinggung pemeliharaan alam akan tetapi lebih dari itu yaitu dengan

memberikan pandangan modern terkait dengan isu yang lebih luas lagi, seperti

polusi dan sanitasi. Isu lingkungan merupakan isu yang kompleks dan meliputi

hal-hal yang lebih dari sekedar lingkungan. Isu lingkungan terbentang mulai dari

isu yang diasosiasikan dengan lingkungan alam seperti bumi, hingga ancaman

terhadap lingkungan dan masalah kesehatan makhluk hidup. Oleh sebab itu

42

seringkali isu lingkungan dikaitkan isu politik, ekonomi, dan sosial terkait dengan

masalah lingkungan.

Michael Frome menyatakan bahwa wartawan lingkungan harus membela

kesehatan dan keamanan planet ini dengan cara yang profesional maupun personal

menaruh perhatian pada isu pemanasan global, hujan asam (acid rain),

pengerusakan hutan tropis, kerusakan hutan belantara dan kepunahan hewan liar,

limbah beracun, polusi udara dan air, serta tekanan populasi yang menurunkan

kualitas kehidupan (Kaheru, 2005).

Dalam memberitakan suatu berita, konsep obyektivitas haruslah dipegang

oleh seorang pekerja media. Hal ini berarti pekerja media tersebut harus netral dan

mampu mengesampingkan pembelaan/advocacy kepada pihak apapun. Akan

tetapi hal tersebut tidak bisa diterapkan dalam pemberitaan isu lingkungan.

Menurut Frome, jika obyektivitas berarti menampilkan fakta dan

menyeimbangkan pandangan tanpa memberikan arah kepada khalayak berarti itu

bukanlah jurnalisme lingkungan. Bagi Frome, jurnalisme lingkungan – meski

didasarkan atas data dan suara serta melalui penelitian ilmiah – juga harus

menunjukkan imajinasi penulisnya, perasaan terdalam serta keinginannya untuk

meningkatkan usaha memperbaiki dunia ini. Oleh karenanya wartawan

lingkungan umumnya memiliki rasa simpati yang mendalam terhadap

perlindungan lingkungan, bahkan tak tertutup kemungkinan bagi pekerja media

untuk mengampanyekan lingkungan atau membentuk kelompok jurnalis peduli

lingkungan hidup (Kaheru, 2005).

43

Berita lingkungan hidup yang diproduksi oleh jurnalis memiliki lima

karakteristik khusus berdasarkan sumber, peristiwa, negativisme, pembingkaian

dan trivialisme (Kaheru, 2005, h.32). Pertama, Sumber : Jurnalis yang meliput

berita lingkungan cenderung lebih mengandalkan pendapat kelompok elit seperti

ilmuwan atau pejabat resmi negara. Misalnya, Hannigan (1995) menemukan

bahwa pemberitaan tumpahan minyak di California tahun 1969 lebih

mengandalkan tokoh penguasa (presiden, pejabat federal) dan organisasi

(perusahaan minyak) sebagai sumber berita. Kedua, Berorientasi pada peristiwa :

Berger (2002) menyatakan bahwa berita lingkungan umumnya bercerita tentang

krisis atau peristiwa dramatis. Media lebih tertarik untuk memberitakan isu

lingkungan yang tergolong besar seperti tumpahan minyak atau ledakan nuklir.

Pada dasarnya media sulit menjual berita tentang fenomena yang dampaknya baru

terlihat puluhan tahun kemudian seperti pemanasan global (Dumanoski, 1990,

h.6). Sayangnya kecenderungan meliput secara event-centered juga berpotensi

mengakibatkan inkonsistensi dalam pemberitaan isu lingkungan.

Ketiga, Negativisme : Lowe dan Morrison (1984, h.78) menyatakan bahwa

berita lingkungan cenderung berkisah tentang kemunduran dibandingkan

kemajuan. Media lebih menyukai berita-berita seperti tumpahan minyak di laut,

ledakan nuklir, polusi, atau deforestasi. Namun Campbell (1999) menyebut berita

lingkungan yang bersifat pesimis dan menyudutkan kegagalan teknologi atau

menusia berpotensi memberikan gambaran yang salah tentang kenyataan

sebenarnya. Keempat, Pembingkaian : Media menggunakan bahasa tertentu untuk

membahas suatu masalah agar khalayak menerima masalah tersebut sesuai dengan

44

keinginan media. Misalnya beberapa media membingkai ledakan nuklir

Chernobyl sebagai insiden terkait perang dingin dan bukan merupakan kecelakaan

nuklir sungguhan (Kaheru, 2005, h.32).

Kelima, Trivialisasi : Dalam meliput berita lingkungan terkadang media

memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan suatu isu sebagai akibat dari

pembingkaian atau sifat event centered. Hal ini dilakukan untuk menjaga bentuk

laporan straight news yang tidak menyediakan banyak tempat untuk informasi

latar belakang. Hal ini menunjukkan aspek lingkungan yang menjadi akar

persoalan justru tidak banyak disentuh, karena ketidakmampuan jurnalis

memahami persoalan lingkungan secara komprehensif.

Keadaan ini mengundang keprihatinan dari praktisi media, sehingga pada

tahun 1990-an berdiri The Society of Environmental Journalist (SEJ) yang

dipelopori The Philadelphia Inquirer, USA Today, Turner Broadcasting,

Minnesota Public Radio, dan National Geographic. Misi dari organisasi ini adalah

untuk menguatkan kualitas, capaian, dan viabilitas dari jurnalisme dalam

memberikan informasi kepada publik untuk memahami isu lingkungan

(Rademakers, thesis, 2004:4).

Terbentuknya SEJ diikuti oleh pendirian organisasi-organisasi profesional

yang juga concern terhadap persoalan lingkungan, juga lembaga-lembaga kajian

maupun institusi akademis. Misalnya The Environmental Jornalism Center of the

Radio – Center for Environmental Jornalism Universityof Colorado (1992),

International Federation of Environmental Journalists (1993), Knight Center for

Environmental Journalism – Michigan State University (1994), Earth Journalism

45

Network (2004). Ketika Center of Journalism dibentuk di University of Colorado

pada tahun 1992, para akademisi dan praktisi media memiliki kesadaran akan

perlunya sebuah standar etik khusus bagi jurnalisme lingkungan. Enam tahun

kemudian (1998) dilakukan ratifikasi code of ethics dalam event 6th World

Conggres of Environmental Journalism yang diselenggarakan di Colombo

Srilanka. Adapun poin-poin yang diratifikasi antara lain : Pertama, Jurnalis

lingkungan harus menginformasikan kepada publik tentang hal-hal yang menjadi

ancaman bagi lingkungan mereka, baik yang berskala global, regional, maupun

lokal. Kedua, tugas para jurnalis adalah untuk meningkatkan kesadaran publik

akan isu-isu lingkungan. Jurnalis harus berusaha untuk melaporkan dari berbagai

sudut pandang berkait dengan lingkungan.

Ketiga, Tugas jurnalis tidak hanya membangun kewaspadaan orang akan

hal-hal yang mengancam lingkungan mereka, tetapi juga menempatkan hal-hal

tersebut sebagai pembangunan. Jurnalis harus berusaha untuk menuliskan solusi-

solusi untuk persoalan lingkungan. Keempat. Jurnalis harus mampu memelihara

jarak dan tidak memasukkan kepentingan mereka. Sebagai aturan, jurnalis harus

melaporkan sebuah isu dari berbagai sudut pandang, terutama isu lingkungan yang

mengandung kontroversi. Kelima, Jurnalis harus menghindar sejauh mungkin dari

informasi yang sifatnya spekulatif/dugaan dan komentar-komentar tendensius. Ia

harus men-cek otensitas narasumber, baik dari kalangan industri, aparat

pemerintah, atau dari aktivis lingkungan.

Keenam, Jurnalis lingkungan harus mengembangakan keadilan akses

informasi dan membantu pihak-pihak, baik institusi maupun perorangan untuk

46

mendapatkan informasi tersebut. Ketujuh, Jurnalis harus menghargai hak dari

individu yang terkena dampak kerusakan lingkungan, bencana alam, dan

sejenisnya. Kedelapan, Jurnalis lingkungan tidak boleh menyembunyikan

informasi yang ia yakini sebagai sebuah kebenaram, atau membangun opini

publik dengan hanya menganalisis satu sisi saja.

Di Indonesia beberapa organisasi profesional untuk jurnalis lingkungan

juga telah didirikan diantaranya adalah Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia

atau Society of Environmetal Journalism (SIEJ), Kelompok Jurnalis Peduli

Lingkungan (KJPL), dan Sahabat Alam. Dalam prakteknya, jurnalis lingkungan

dituntut mampu menguasai persoalan lingkungan secara komprehensif, sehingga

dapat memberikan informasi yang jelas, solusi-solusi, memberikan prediksi

berkait dengan potensi resiko baik yang berskala kecil maupun besar, berkait

dengan sebuah isu lingkungan. Jurnalis tidak lagi hanya bersandar kepada

informasi dari kelompok-kelompok tertentu seperti pemerintah, pelaku industri,

bahkan para aktivis lingkungan dalam memahami sebuah isu lingkungan

(Keating, 1993).

Di Amerika Serikat gerakan lingkungan hidup yang lebih kritis, mulai

tumbuh sejak terbitnya buku karya ahli biologi Rachel Carlson berjudul Silent

Spring yang ditulis pada tahun 1962. Dalam buku itu Carlson menuliskan

47

kecemasannya terhadap industri pestisida, terutama DDT, yang ternyata

berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. 9

Sejak saat itu, berbagai kalangan termasuk kelompok media mulai

menyadari bahwa ada ancaman yang cukup serius terkait dengan kerusakan

lingkungan. Berita terkait lingkungan hidup pun semakin mendapat tempat,

mendampingi isu-isu perang yang pada era 1960-an sangat mendominasi. Peran

pers inilah yang mendorong gerakan lingkungan menemukan momentumnya yang

berujung pada aksi di New York. Pada dasawarsa 1970-an, media mulai

menempatkan isu lingkungan sebagai hal penting. Media-media utama seperti

Time, Fortune, Newsweek, Life, Look, The New York Times dan The Washington

Post, menempatkan berita-berita lingkungan di halaman depan. (Kirkpatrick Sale,

1996).

Kesadaran serupa juga tumbuh di Eropa. Pada bulan Januari 1972, majalah

di Inggris, The Ecologist menurunkan artikel berjudul A Blue Print for Survival,

yang ternyata sangat berdampak terhadap munculnya kesadaran lingkungan di

negara itu. Dalam artikel itu The Ecologist menyerang masyarakat industri karena

bahaya-bahaya lingkungan yang ditimbulkan. Tulisan ini juga memprediksi apa

yang mereka sebut ‖hari kiamat‖ jika kecenderungan-kecenderungan kerusakan

lingkungan dibiarkan apa adanya. Artikel ini mendapat tanggapan yang luar biasa,

9 http://kompos.web.id/2008/09/11/pers-gerakan-lingkungan/diakses 12 maret

2013

48

tak cuma berpengaruh di Inggris namun juga negara-negara Eropa daratan.

Puncaknya dihasilkan dokumen bersama tentang penyelamatan lingkungan yang

ditandatangani oleh sejumlah ilmuwan.

Seperti hasil penelitian yang membandingkan peliputan isu lingkungan di

Amerika Serikat dan Perancis. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa liputan isu

lingkungan di Perancis lebih didasarkan pada event yang sedang terjadi, hubungan

internasional dan liputan lain yang memberikan perspektif sempit mengenai

lingkungan. Sedangkan peliputan di Amerika lebih menekankan beritanya pada

konflik antara ilmu pengetahuan dan politisi (Brossard et al,.2004). Penelitian

tersebut menunjukkan bahwa setiap media memiliki caranya sendiri dalam

menggambarkan isu lingkungan sesuai dengan kepentingannya. Caranya adalah

dengan memfokuskan perhatian lebih kepada satu isu dan tidak kepada isu

lainnya. Dengan begitu media akan menciptakan pemahaman yang berbeda

mengenai inti dari masalah lingkungan.

Berita lingkungan memiliki karakteristik tersendiri. Dalam temuan Guy

Berger tahun 2002, 10

isu lingkungan yang masuk kedalam agenda media

menampakan beberapa karakteristik yang problematis. Pemberitaan lingkungan di

media massa merupakan hal yang kompleks. Tidak hanya membahas seputar

lingkungan alam, tetapi juga meliputi persoalan ekonomi, politik, dan sosial yang

ada di dalam lingkungan itu sendiri.

10 Lihat penjelasan Lundberg dalamDetwiler, Scott. 1993. A Ccontent Analysis of Environmental

Reporting in Time and the New York Times, 1991 and 199. Thesis Slippery Rock University

USA.http://www.detwiler.us/thesis.html .Diakses 3 Maret 2013

49

Penggunaan sumber berita dari kalangan pemerintah atau elit dalam

pemberitaan lingkungan identik dengan yang pernah dikemukakan Guy Berger, 11

seorang Profesor di School of Journalism & Media Studies at Rhodes University,

Afrika Selatan, mengemukakan bahwa grup elit, pemerintah lebih memiliki

otoritas dibandingkan dengan masyarakat sipil dan grup-grup penekan seperti

LSM. Pemberitaan lingkungan hidup sering menempatkan kelompok-kelompok

elit seperti pihak-pihak dari badan pemerintahan dan saintis sebagai sumber yang

berwenang terhadap sebuah informasi.

Melalui penelitian yang pernah dilakukan oleh Scott Detwiler, ditemukan

bahwa ada perbedaan mengenai isi pemberitaan lingkungan hidup di surat kabar

New York Times dan majalah Time. 12

Majalah Time menyajikan berita yang

bersifat analitis dan memuat informasi lebih banyak dari kalangan scientist beserta

sudut pandang mereka soal lingkungan hidup. Sedangkan New York Times

sebagai surat kabar harian cenderung hanya memberitakan seputar kebijakan dan

peran pemerintah terhadap isu lingkungan.

Jung-Hye Yang dalam penelitiannya, menganalisis bagaimana para

jurnalis lingkungan berinteraksi dengan hambatan-hambatan organisasi, dan

bagaimana hal tersebut mampu mempengaruhi cara jurnalis menginterpretasikan

11 Kaheru, Hamis. An Analysis of the Views of Journalists and Government Officials Regarding

the

Impact of New Vison‘s Coverage of the Nakivubo Channel Rehabilitation Project.Master Thesis

Rhodes Univeristy. h.33. http://eprints.ru.ac.za/272/1/Kaheru-thesis-TR005-25.pdfAkses: 3 April

2013

12 Detwiler, Scott. Op.cit. http://www.detwiler.us/thesis.html .Diakses 3 Maret 2013

50

peristiwa-peristiwa yang berkait dengan lingkungan hidup. 13

Beberapa hal

membedakan studi yang dilakukan oleh Yang dengan studi-studi yang telah ada

sebelumnya. Studi yang sebelumnya, melihat bagaimana faktor internal organisasi

mempengaruhi produksi berita-berita lingkungan, sementara studi Yang lebih

melihat bagaimana jurnalis sebagai individu berinteraksi dan mempersepsi

rutinitas organisasional tersebut, dan bagaimana jurnalis bernegosiasi dengan

berbagai hambatan pengetahuan yang membayangi mereka ketika melakukan

liputan terhadap peristiwa-peristiwa berkait dengan lingkungan.

Yang, ingin menemukan berbagai hambatan dan sebah organisasi media

massa dapat mempengaruhi jurnalis dalam pekerjaan mereka, berdasarkan apa

yang dirasakan oleh para jurnalis lingkungan tersebut. Dari interview yang

dilakukan oleh Yang terhadap enam jurnalis lingkungan senior di Amerika

Serikat, ada beberapa hal yang menjadi temuan menarik dalam penelitian ini. Para

jurnalis sepakat bahwa lingkungan adalah subyek yang menarik bagi pemberitaan,

dan mereka bersimpati terhadap persoalan tersebut. Tetapi, mereka secara tegas

menyatakan bahwa meski lingkungan selaras dengan personal value yang mereka

miliki, namun obyektifitas dan netralitas (sebagai prinsip utama yang harus

dipegang oleh jurnalis dalam pekerjaan mereka), penting untuk dipertahankan

dalam memandang persoalan lingkungan. Kesimpulan lain dari riset Yang,

13 tulisan Jung-Hye Yang mengenai Jurnalisme Lingkungan yang dimuat dalam Journal of

International and Area Studies. Yang melakukan riset mengenai proses produksi berita-berita

lingkungan di Amerika Serikat dan hambatan-hambatan apa sajakah yang dihadapi oleh para

jurnalis tersebut ketika melakukan peliputan isu lingkungan. Yang mewawancarai enam jurnalis lingkungan senior di Amerika. Mereka semua memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun meliput

berita-berita lingkungan. Yang menanyakan kepada para jurnalis tersebut, bagaimana persepsi

mereka terhadap berita-berita lingkungan dan hambatan apa sajakah yang dihadapi ketika

melakukan tugasnya dalam liputan lingkungan hidup. Interview dilakukan via telepon dengan

keenam jurnalis.

51

kesulitan jurnalis dalam memahami persoalan lingkungan yang kompleks,

biasanya disiasati dengan cara mencari experts di bidang lingkungan atau pemilik

otoritas. Ini menyebabkan jurnalis menjadi pihak yang lemah dan bergantung pada

sumber tersebut. Sumber berita menjadi kunci penting dalam proses produksi

berita.

Para responden percaya bahwa setiap pihak yang terlibat dalam sebuah

kasus lingkungan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi narasumber.

Namun, pada praktiknya beberapa jurnalis memberikan prioritas pada orang-orang

yang menjadi korban secara langsung dari kasus lingkungan yang terjadi, terutama

untuk isu-isu yang menyangkut masalah kesehatan. Para jurnalis tersebut percaya

bahwa untuk para korban itulah mereka ada disana. Namun, jurnalis hanya

berfokus pada pengalaman korban, daripada pernyataan-pernyataan yang dapat

memicu kontroversi secara politis. Hal ini semakin menguatkan ide bahwa

masyarakat awam tidak memiliki otoritas untuk memaparkan bukti-bukti. Sebagai

konsekuensi, jurnalis masih bergantung pada pemerintah, ilmuwan, dan korporasi

sebagai sumber yang lebih penting, karena mereka adalah kelompok ―decision

maker‖ dan ―policy maker‖.

Sementara dalam studi tesis yang dilakukan oleh seorang jurnalis Norwegia,

Njord V. Svendsen, terminologi jurnalisme lingkungan hidup mengandung unsur

peliputan green issue seperti usaha konservasi dan brown issue seperti polusi

udara14

. Menurut Svendsen, ranah peliputan jurnalisme lingkungan hidup

14 ―…the term environmental journalism includes both the coverage of ‗green‘ issues, such as

conservation, as well as ‗brown‘ issues like air pollution. Importantly, environmental journalism

deals not only with the natural world, but also with people and the social world in connection to

the natural world‖ seperti dikutip dari Svendsen, Njord V. Reporting Air Pollution In South

52

seharusnya tak terbatas hanya pada lingkungan alami namun juga sosial

masyarakat yang memiliki kaitan dengan kehidupan alam.

Fenomena ini menunjukkan, proses pembuatan berita bukanlah sebuah

proses yang bebas nilai. Terbitnya berita tidak lepas dari kompleksitas organisasi

media, yang di dalamnya terdapat pertarungan pelbagai kepentingan. Termasuk di

dalamnya adalah proses negosiasi dalam dinamika ruang redaksi mengenai

pembuatan berita, pemilihan peristiwa, dan penyeleksian isu. Peristiwa tak bisa

dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted ketika ingin diterjemahkan ke

dalam berita. Ada proses dialektika antara apa yang ada dalam pikiran wartawan

dengan peristiwa yang dilihatnya.

Menurut Tankard (dalam McQuail, 2000) media kerap melakukan

pengerangkaan atas berita yang didapatnya dengan melalui penyeleksian

(selection), penekanan (emphasis), pengurangan (exclusion), dan perluasan

(elaboration). Keempat hal itu menunjukkan bahwa media tak hanya menyusun

agenda untuk isu, kejadian, tokoh tertentu untuk terlihat lebih penting, namun juga

menunjukkan beberapa atribut spesifik yang dimiliki oleh kepentingan-

kepentingan tertentu.

Fishman (dalam McQuail, 2000), melengkapi teori ini dengan mengatakan

bahwa ada dua pendekatan bagaimana proses produksi berita dilihat. Pandangan

pertama sering disebut sebagai pandangan seleksi berita (selectivity of news) yang

melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya adalah proses seleksi, komunikator

akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak, mana yang ditekankan dan

Durban: A Case Study of Environmental Journalism In Durban Newspapers From 1985 – 2000.

Durban: University of Natal., hal. Pendahuluan.

53

mana yang disamarkan, mana yang layak diberitakan mana yang tidak. Pandangan

ini seolah menyatakan adanya realitas riil yang diseleksi wartawan untuk dibentuk

dalam sebuah berita. Pendekatan kedua adalah pendekatan pembentukan berita

(creation of news). Dalam pandangan ini peristiwa bukan diseleksi, melainkan

dibentuk. Wartawanlah yang membentuk peristiwa: mana yang disebut berita dan

mana yang tidak. Realitas bukan diseleksi melainkan dikreasi oleh wartawan.

Wartawan aktif berinteraksi dengan realitas dan sedikit banyak menentukan

bagaimana bentuk dan isi berita dihasilkan (McQuail, 2000, h 65).

Sementara itu, Shoemaker dan Reese (1996) menyebut beberapa faktor

yang memengaruhi kebijakan redaksi dalam memproduksi berita: Pertama,

Individual Level, pada level ini para jurnalis yang berperan besar dalam penentuan

agenda berita, berita mana yang disiarkan dan berita mana yang tidak diliput ata

diedit. Merekalah yang berhubungan dengan langsung dengan sumber berita dan

peristiwa berita (event), dan mereka bisa merekonstruksi event atau peristiwa yang

akan ditayangkan di media masing-masing. Dalam merekonstruksi event atau

peristiwa yang terjadi, para jurnalis dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan,

pengalaman, penalaran, dan pada batas tertentu berdasarkan persepsi

subyektifnya.

Kedua, Media Routine Level, para jurnalis dan editor dalam

merekonstruksi berita tunduk pada media rutin. Media rutin adalah praktek-

praktek media dimana keputusan dan persepsi mengenai event yang dibawa oleh

jurnalis ke ruang pemberitaan , dipengaruhi oleh cara profesional media di

perusahaan dimana mereka bekerja mengorganisasi sistem kerja mereka.

54

Ketiga, Organizational Level, disamping media rutin, organizational level

juga ikut terlibat dalam proses rekonstruksi berita atau peristiwa. Pada level ini

organisasi sebagai perangkat struktur industri media, ikut menentukan proses

rekonstruksi event atau peristiwa yang terjadi. Keempat, External Media Level,

proses rekonstruksi berita juga ditentukan oleh eksternal media. Menurut

Shoemaker dan Reese, terdapat lima faktor di luar organisasi media yang bisa

mempengaruhi isi media yaitu, sumber berita, iklan dan pelanggan, kontrol

pemerintah, pasar, dan teknologi.

Kelima, Ideological Level, level ideologi umumnya berkaitan dengan

struktur kekuasaan, dalam arti sejauhmana kekuasaan, melalui berbagai aturan

yang ditetapkan mampu memberi pengaruh atas proses pengambilan keputusan

rekonstruksi berita atau peristiwa dalam ruang pemberitaan media.

1.7. Kerangka Metodologis

1.7.1. Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan

perspektif ekonomi-politik media. Analisis ekonomi politik yang beraliran kritis,

terutama mencoba membongkar kesadaran palsu yang ditimbulkan oleh

―damaging arrangement‖ (Littlejohn, 2002) pada sedikitnya dua kondisi khusus.

Pertama, kecenderungan peralihan dari sistem media massa yang dikuasai

pemerintah menjadi sistem media massa yang dikendalikan sepenuhnya oleh

mekanisme atau kediktatoran pasar. Kecenderungan ini bukan hanya karena

terdapatnya penolakan populis oleh masyarakat mengingat sifat dan dampak

55

buruk dari sistem media yang dikembangkan selama rezim Orde Baru, namun

juga karena terdapatnya dorongan dari pemilik modal untuk mencari keuntungan

maksimal dan mencapai akumulasi modalnya seperti diisyaratkan dalam analisis-

analisis ekonomi politik media.

Kondisi khusus kedua, adalah terdapatnya sifat-sifat dan persoalan

internal di dalam institusi media massa sendiri yang masih merasa paling tahu dan

mengerti kebutuhan serta keinginan khalayak, sehingga proses perencanaan,

produksi, dan evaluasi isi media hanya dilakukan atau melibatkan sekelompok

kecil eksekutif di dalam institusi media tersebut, yang disebut sebagai

kecenderungan paternalistik. Melalui kecenderungan paternalistik ini sebetulnya

terjadi juga upaya membangun kesadaran palsu atau ―damaging arrangement‖

oleh sekelompok kecil elit yang menguasai formulasi kebijakan dan sumber-

sumber produksi jurnalistik dalam institusi media tersebut.

Menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif merupakan penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari pelaku

yang diamati. Lincoln dan Guba menyebutkan ciri-ciri penelitian kualitatif –

antara lain sebagai penelitian yang menempatkan manusia sebagai instrumen,

lebih mementingkan proses daripada hasil, juga membatasi dengan kriteria

tertentu untuk keabsahan data serta menyusun desain secara kualitatif yang terus

menerus disesuaikan dengan kondisi lapangan.

56

1.7.2. Disain Penelitian

Disain penelitian ini adalah studi kasus, khususnya liputan media

berkaitan dengan eksplorasi migas di Radar Madura. Studi kasus meneliti

kejadian, situasi dengan menggunakan cara-cara yang sistematis dalam

mengamati, mengumpulkan data, menganalisis informasi dan melaporkan

hasilnya. Studi kasus bertujuan untuk menampilkan informasi secara

komprehensif, sistematis, dan mendalam dari sebuah kasus. Menurut Robert

K.Yin (2003), a case study is an empirical inquiry that investigates a

contemporary phenomenon within is real-life context, especially when the

boundaries between phenomenon and context are not clearly evident. Studi kasus

merupakan bentuk penelitian empiris yang meneliti fenomena aktual dengan

konteks yang nyata, terutama ketika batas-batas antara fenomena dan konteks

tidak jelas. Aspek keunikan dari tema penelitian merupakan hal penting yang

menjadi alasan penggunaan studi kasus. Studi kasus berfokus menampilkan

realitas dengan mengetahui keragaman dan kekhususan objeknya. Hasil akhir

yang ingin diperoleh adalah menjelaskan keunikan kasus yang dikaji, umumnya

berkaitan dengan hakekat kasus, latar belakang historis, konteks kasus dan

persoalan lain di sekitar kasus yang dipelajari.

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini, dilakukan beberapa teknik

pengumpulan data antara lain :

1. Studi Dokumen/Literatur : digunakan dengan menelaah dan menganalisis

57

data-data yang telah ada baik berupa berita-berita di sejumlah media lokal

yang memuat isu eksplorasi migas. Selain itu juga dianalisis beberapa

dokumen seperti kebijakan Kementerian Pertambangan dan Energi, SK

Pemkab Sumenep dalam pemberian ijin eksplorasi migas. Beberapa

dokumen ini dianalisis untuk mengetahui dan mendeskripsikan peran

pemerintah dan DPRD selaku struktur di dalam menetapkan kebijakan

negara yang mengatur kebijakan eksplorasi migas di lokasi penelitian.

2. Indepth interview : wawancara mendalam dilakukan dengan key person

yang dijadikan nara sumber yang memahami substansi persoalan yang

dibahas dalam penelitian ini. Terutama deskripsi mengenai mekanisme

produksi berita seputar isu eksplorasi migas, posisi jurnalis dan media

terhadap isu-isu eksplorasi migas, dan advokasi lingkungan yang

kemungkinan telah dilakukan oleh jurnalis atau institusi media.

Narasumber penelitian yang akan diwawancarai antara lain redaktur media

dan jurnalis lokal. Selain itu, pemahaman dan sikap atas isu-isu seputar

pertambangan di media massa juga digali dengan melakukan indepth

interview pada sejumlah informan, misalnya perwakilan pihak industri

migas, tokoh masyarakat (kiai) di lokasi eksplorasi migas, pejabat Pemda

Kabupaten Sumenep, anggota DPRD, dan aktivis LSM yang concern pada

isu eksplorasi migas.

3. Observasi : Observasi dilakukan dengan mengamati proses produksi (rapat

redaksi, penugasan, peliputan, penulisan, serta editing berita) di Radar

Madura.

58

Tujuan dari wawancara mendalam serta observasi ini adalah untuk

mengenal nara sumber, mengeksplorasi realitas yang ia miliki, dan mengetahui

makna-makna apa yang ia berikan pada kehidupan sehari-harinya serta

kelompoknya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, peneliti harus bisa

menempatkan diri dalam posisi nara sumber yang diwawancarai, untuk

mendapatkan pemahaman terhadap proses-proses berpikir dari nara sumber.

Hanya dengan cara ini peneliti dapat mengetahui rekonstruksi dari perspektif nara

sumber (Glaser & Strauss, 1967; Strauss dan Corbin, 1990).

Pada tahap awal dari penelitian ini, sebuah daftar dari konsep-konsep telah

dibuat untuk digunakan sebagai pedoman selama wawancara dan pengamatan.

Urutan dari konsep-konsep yang dikemukakan dalam wawancara dan pengamatan

bukanlah merupakan persyaratan utama, karena akan lebih tergantung pada apa

yang disampaikan nara sumber, orientasi dan isi dari masing-masing jawaban.

Menggarisbawahi hubungan antara konsep-konsep menjadi penting untuk

kemudian mendapatkan sebuah visi yang jelas tentang hubungan-hubungan

interkontekstualitas (d‘Haenens et al, 1999).

1.7.4. Nara Sumber dan Lokasi Penelitian

Nara sumber untuk penelitian ini terdiri dari kalangan pengelola media

(redaktur) dan jurnalis Radar Madura, humas industri migas, tokoh masyarakat

(kiai) di lokasi penelitian, pemerintah daerah setempat, anggota DPRD, LSM yang

59

concern pada isue lingkungan (eksplorasi migas), dan pakar atau akademisi yang

menggeluti bidang ekonomi politik media.

Lokasi penelitian di Madura Jawa Timur (khususnya di Sumenep). Alasan

penetapan wilayah ini sebagai lokasi penelitian, dilatarbelakangi oleh konfigurasi

aktornya yang unik dalam eksplorasi migas di Madura. Terutama kiai sebagai

salah satu faksi penting dalam konflik lingkungan migas di Madura (baik yang

menyetujui maupun menentang rencana eksplorasi dengan menggerakkan para

santrinya atau lewat pembentukan Forum Kiai Muda Madura, maupun adanya

perebutan kue ekonomi antara satu kiai dengan kiai lainnya sebagai dampak

kegiatan ekplorasi migas melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

Pada beberapa contoh kasus di Madura, ketika media memberitakan kiai

kharismatik dan dianggap berita itu mencemarkan nama baik atau menjatuhkan

kewibawaan kiai tersebut, maka akan dilawan oleh para santri dan pengikut

setianya dengan melakukan tindakan anarkhis ke kantor media yang

memberitakan kiai tersebut (Radar Madura yang paling sering didemo dan dirusak

oleh massa ini).

Alasan lainnya, kegiatan eksplorasi migas lepas pantai (offshore)

khususnya di Jawa Timur hanya ada di Sumenep Madura. Juga terdapat beberapa

dampak sosial dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri

migas tersebut.

60

1.7.5. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap.

Pertama, reduksi data. Data yang diperoleh baik dari observasi, wawancara,

maupun studi dokumen/literatur, disimpulkan melalui penafsiran peneliti yang

diharapkan dapat memberikan data siap pakai. Kedua, display data. Data-data

yang berhasil dikumpulkan akan dijabarkan dalam bentuk kategori-kategori agar

mempermudah proses verifikasi. Pada tahap ini akan diperoleh sinopsis dan

kumpulan data kualitatif. Ketiga, penarikan kesimpulan beserta verifikasi data.

Penarikan kesimpulan berlangsung secara kontinyu selama riset dengan

mengamati data beserta teori yang dipakai. Kesimpulan bisa bersifat longgar dan

skeptis pada awalnya sampai menemukan bangunan kesimpulan yang kokoh.