bab i pendahuluan -...

15
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini kecurangan adalah salah satu kejahatan yang fenomenal di dunia. Tindak kecurangan ini berkembang pesat ditengah-tengah perkembangan teknologi dan perekonomian di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Tindak kecurangan telah membudaya baik di kalangan pemerintahan ataupun perusahaan, bahkan sekarang ini kalangan pemerintah dan pengusaha bergandengan tangan melakukan tindak kecurangan untuk mendapatkan keuntungan bersama. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak kecurangan ini telah melanda semua kalangan. Semua kecurangan ini menyebabkan kerugian yang begitu besar, hal ini diperkuat dengan temuan Association of Certified Fraud Examiner atau ACFE (2010) yang membuat laporan statistik atas biaya akibat fraud sebesar US$ 400 milyar pertahunnya. Kemudian KPMG (2003) dalam Ardiansyah (2013) mengemukakan bahwa kerugian perusahaan yang disebabkan financial reportingfraud sebesar US$ 257,9 juta dan jumlah kerugian tersebut cenderung meningkat setiap periodenya. Indonesia sendiri saat ini juga menjadi tempat berkembangnya tindak kecurangan khususnya kasus korupsi. Hal ini diperkuat dengan survei dari organisasi pengamat korupsi internasional yaitu Transparency international dalam situsnya www.transparency.org yang menempatkan Indonesia pada ranking 114 dari 177 negara dengan skor 32 dari skor tertinggi yaitu 100, bahkan pada

Upload: lydung

Post on 02-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini kecurangan adalah salah satu kejahatan yang fenomenal di dunia.

Tindak kecurangan ini berkembang pesat ditengah-tengah perkembangan

teknologi dan perekonomian di semua negara, baik negara maju maupun negara

berkembang. Tindak kecurangan telah membudaya baik di kalangan pemerintahan

ataupun perusahaan, bahkan sekarang ini kalangan pemerintah dan pengusaha

bergandengan tangan melakukan tindak kecurangan untuk mendapatkan

keuntungan bersama. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak kecurangan ini telah

melanda semua kalangan. Semua kecurangan ini menyebabkan kerugian yang

begitu besar, hal ini diperkuat dengan temuan Association of Certified Fraud

Examiner atau ACFE (2010) yang membuat laporan statistik atas biaya akibat

fraud sebesar US$ 400 milyar pertahunnya. Kemudian KPMG (2003) dalam

Ardiansyah (2013) mengemukakan bahwa kerugian perusahaan yang disebabkan

financial reportingfraud sebesar US$ 257,9 juta dan jumlah kerugian tersebut

cenderung meningkat setiap periodenya.

Indonesia sendiri saat ini juga menjadi tempat berkembangnya tindak

kecurangan khususnya kasus korupsi. Hal ini diperkuat dengan survei dari

organisasi pengamat korupsi internasional yaitu Transparency international

dalam situsnya www.transparency.org yang menempatkan Indonesia pada ranking

114 dari 177 negara dengan skor 32 dari skor tertinggi yaitu 100, bahkan pada

2

tahun 2013 organisasi ini menyebutkan bahwa kontrol korupsi di Indonesia itu hanya

27%. Hal ini memperlihatkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat

memprihatinkan dan harus segera mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat

agar bisa memulihkan kembali nama baik Indonesia di kalangan dunia.

Sebenarnya perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan

titik terang, hal ini terlihat dari pembentukan panitia yang memiliki wewenang

khusus untuk memberantas korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal tersebut merupakan salah satu wujud nyata dari keseriusan pemerintah untuk

memberantas korupsi. Komisi baru tersebut sudah banyak menorehkan prestasi

beberapa tahun ini dengan berbagai penemuan penyelewengan-penyelewengan besar

yang merugikan negara. Kasus-kasus korupsi yang pernah ditemukan oleh KPK

antara lain yaitu : kasus Bailout Bank Century, makelar kasus “Gayus Tambunan”,

Kasus Suap daging impor, kasus korupsi penggelapan dana pembangunan wisma atlit

Hambalang oleh “Nazarudin” dan yang paling terbaru adalah kasus penggelapan

pajak oleh mantan kepala Direktorat Jendral Pajak Hadi Purnomo. Suhartanto (2012)

mengatakan bahwa keberhasilan KPK tersebut menjadi cambuk bagi beberapa profesi

pemeriksa yang ada pada instansi pemerintah yaitu auditor sektor publik.

Keberhasilan-keberhasilan KPK dalam mengungkap sejumlah kasus besar korupsi

dan tindakan kecurangan tersebut menandakan melemahnya fungsi auditor khususnya

auditor sektor publik. Pernyataan tersebut diperparah dengan adanya kasus-kasus

yang memperlihatkan menurunnya kualitas pemeriksaan auditor sektor publik.

3

Pemerintah selalu berupaya untuk meminimalisir tindak kecurangan yang ada,

hal ini dikarenakan tindak kecurangan tersebut menimbulkan kerugian yang besar

bagi negara. Saat ini selain membentuk komisi khusus pemberantasan korupsi,

pemerintah juga terus berupaya untuk memaksimalkan peran auditor, baik auditor

internal ataupun eksternal. Salah satu upaya yang efektif dan efisien yaitu dengan

memaksimalkan peran auditor internal dalam pencegahan dan pendeteksian

kecurangan. Sifat dari pencegahan dan pendeteksian kecurangan yang lebih proaktif,

lebih mudah dilakukan dan diterapkan daripada tindakan yang bersifat reaktif,

contohnya tindakan investigatif atau forensik untuk kecurangan. Auditor internal

memiliki posisi yang lebih mudah untuk menemukan tindakan kecurangan

dibandingkan dengan auditor eksternal. Hal ini dikarenakan auditor internal tersebut

biasanya melekat dalam sebuah organisasi, bertugas untuk melakukan pengawasan

dan pemberian rekomendasi.

Rafael (2013) menyatakan bahwa, di dalam pemerintahan, pengawasan

terhadap urusan pemerintahan di daerah atau dapat dikatakan sebagai auditor internal

pemerintahan dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sesuai

dengan fungsi dan kewenangannya. Aparat Pengawas Intern Pemerintah sebagaimana

dimaksud adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga

Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota,

hal ini seperti yang tertulis di PP Nomor 79 tahun 2005 pada pasal 24 ayat (1) dan

ayat (2). APIP ini juga memiliki peran untuk memberantas korupsi, kolusi, dan

nepotisme dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan.

4

Saat ini peran APIP yang diharapkan dapat mampu meminimalisir tindak

kecurangan dan mendeteksi lebih dini adanya tindak kecurangan dihadapkan pada

fakta besar penemuan-penemuan tindak korupsi oleh BPK dan KPK. Sederet kasus

yang ditemukan oleh auditor eksternal pemerintah tersebut dan lembaga pemberantas

korupsi tersebut telah memperlihatkan ketidakmampuan auditor internal untuk

mencegah dan mendeteksi adanya tindak kecurangan khususnya korupsi di dalam

instansinya.

Fakta tersebut diperkuat oleh Ardiansyah (2013) yang menyebutkan bahwa

kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini menimbulkan opini negatif

masyarakat menyangkut ketidakmampuan profesi auditor sektor publik dalam

menjalankan tugas khususnya dalam pencegahan dan pendeteksian kecurangan.

Masyarakat menuntut auditor sektor publik untuk menjaga keprofesionalannya dan

tetap menjaga produk-produk audit yang dia hasilkan. Hal ini menyangkut laporan

keuangan yang diaudit oleh auditor sektor publik semata-mata tidak hanya untuk

kepentingan instansi/auditinya tetapi juga terdapat hak-hak dan kepentingan-

kepentingan pihak lain yang lebih penting seperti masyarakat. Pernyataan Ardiansyah

(2013) tersebut juga didukung oleh Amiruddin dan Sundari (2010), yang menyatakan

bahwa saat ini telah terjadi expectation gap antara masyarakat dan auditor.

Masyarakat menginginkan agar dalam pemeriksaanya, auditor senantiasa selalu bisa

menemukan kecurangan yang terjadi dalam laporan keuangan tetapi kenyataan yang

terjadi auditor terkadang tidak mampu menemukan kecurangan tersebut karena

adanya keterbatasan-keterbatasan dalam mendeteksi adanya tindak kecurangan/fraud.

5

Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (2008) bagian

Perencanaan pasal 3022 tentang Ketidakpatuhan Terhadap Peraturan Perundang-

undangan, Kecurangan dan Ketidakpatutan (Abuse) juga menyatakan:

“Auditor harus merancang auditnya untuk mendeteksi adanya ketidakpatuhanterhadap peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatutan (abuse).Lebih lanjut auditor harus menggunakan pertimbangan profesional untuk mendeteksikemungkinan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,kecurangan dan ketidakpatuhan (abuse). Auditor diwajibkan untuk melaporkanindikasi terjadinya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,kecurangan dan ketidakpatuhan (abuse) ini kepada pihak-pihak tertentu sesuai denganperaturan perundang-undangan.”

Standar-standar tersebut menjelaskan begitu besar tanggung jawab auditor

dalam menemukan suatu kecurangan atau fraud, tetapi hal ini begitu bertentangan

dengan fakta-fakta yang terjadi dilapangan, berbagai kasus kegagalan dan

ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi adanya tindak kecurangan membuktikan

bahwa masih lemahnya kepatuhan auditor terhadap standar yang telah ditetapkan.

Rafael (2013) menyatakan bahwa seorang auditor baik internal maupun eksternal

harus memiliki kemampuan untuk mendeteksi fraud yang dapat timbul. Kemampuan

mendeteksi fraud terlihat dari bagaimana auditor tersebut dapat melihat tanda-tanda

atau sinyal yang menunjukkan adanya indikasi terjadinya fraud yang disebut juga red

flags. Auditor yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi fraud, pasti bisa

mengidentifikasi indikator-indikator kecurangan dalam instansinya yang memerlukan

tindakan pemeriksaan lebih lanjut (investigasi).

Banyak faktor yang menyebabkan ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi

kecurangan. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari sisi internal (dalam diri auditor)

6

maupun sisi eksternal. Karim (2012) menyebutkan bahwa salah satu penyebab

ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan itu

adalah minimnya sikap skeptis yang dimiliki oleh auditor. Hal ini didukung dengan

penelitian yang dilakukan oleh Security and Exchange Commision (SEC) dalam

Hasanah (2010) yang menemukan bahwa urutan ketiga penyebab kegagalan audit

adalah tingkat skeptisisme profesional yang kurang memadai, dan dari 40 kasus audit

yang diteliti oleh SEC, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena auditor tidak

menerapkan tingkat skeptisisme profesional yang memadai.

Sejalan dengan hal tersebut, PCAOB (2007) juga menemukan bahwa

skeptisisme profesional merupakan masalah yang serius pada auditor saat melakukan

investigasi kecurangan, terutama dalam merespon risiko kecurangan sehingga gagal

untuk memenuhi standar. Auditor yang baik seharusnya memiliki skeptisisme

profesional, karena hal ini adalah salah satu tuntutan keahlian yang wajib dimiliki

sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN, 2007) yang

dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Pernyataan Standar

Pemeriksaan No. 01 yang menyatakan:

“Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntutauditor untuk melaksanakan skeptisisme profesional”.

Skeptisismeprofesional ini juga terbentuk tak hanya dari diri auditor sendiri,

tetapi juga dari pengalaman dan pelatihan-pelatihan yang didapatkannya. Adanya

tuntutan bagi auditor untuk mampu mendeteksi kecurangan sebagaimana yang

dipersyaratkan dalam berbagai standar audit, mengharuskan auditor untuk

7

meningkatkan kemampuannya. AICPA (2003) menyarankan bahwa fraud training

dapat membantu auditor dalam meningkatkan kemampuan dalam pertimbangan

kecurangan. Noviyani dan Bandi (2002) juga menyebutkan bahwa seorang auditor

yang telah mendapatkan pelatihan lebih, berpengaruh terhadap perhatian pada

perusahaan yang mengalami kekeliruan. Penelitian yang dilakukan oleh Fullerton dan

Durtschi (2004) juga menyimpulkan hal yang sama, yaitu terdapat perbedaan respon

terhadap tanda-tanda kecurangan sebelum dan setelah fraudawareness training.

Tetapi kesimpulan-kesimpulan tersebut bertolak belakang dengan kesimpulan Karim

(2012) yang menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan antara auditor yang pernah mengikuti pelatihan khususnya

audit investigatif/audit Forensik dengan auditor yang tidak pernah mengikuti

pelatihan audit investigatif/audit forensik.

Sesuai dengan permasalahan yang ada di Indonesia saat ini, yaitu banyaknya

tindak korupsi, menuntut seorang auditor memiliki keahlian khusus. Keahlian-

keahlian khusus tersebut bisa didapat dari sebuah pelatihan-pelatihan khusus salah

satunya adalah pelatihan tentang audit kecurangan. Audit kecurangan dalam Modul

Fraud Auditdari Pusdiklatwas BPKP (2008) diartikan sebagai disiplin ilmu baru guna

untuk mencegah, mendeteksi, dan mengungkapkan tindak kecurangan seperti

penggelapan, salah saji laporan keuangan, kejahatan di berbagai sektor baik swasta

maupun sektor publik dari mark-up biaya sampai dengan penyuapan. Amiruddin dan

Sundari (2010) mengatakan bahwa saat ini auditor sering mengalami kegagalan

dalam mendeteksi kecurangan dikarenakan tidak semua auditor pernah mengalami

8

kasus terjadinya tindak kecurangan ini sehingga pengalaman auditor berkaitan dengan

kecurangan masih minim, dari sinilah sisi pelatihan audit kecurangan sangat

dibutuhkan untuk melatih auditor memahami hal-hal atau gejala-gejala yang

berkaitan dengan adanya tindak kecurangan yang terjadi. Penjelasan tersebut

mengindikasikan bahwa sesuai dengan permasalahan dan fenomena saat ini,

dibutuhkan pelatihan audit kecurangan atau fraud audit bagi auditor. Auditor pasti

akan mendapatkan keahlian-keahlian dan pengalaman baru sesuai dengan

permasalahan yang terjadi di masyarakat sekarang dan pastinya akan meningkatkan

kemampuan auditor dalam melihat ada atau tidaknya indikasi-indikasi kecurangan

dalam instansinya setelah mendapatkan pelatihan tentang audit kecurangan tersebut.

Selain faktor skeptisismeprofesional dan pelatihan fraud audit, sikap

independensi adalah salah satu hal yang penting dalam keberhasilan pendeteksian

kecurangan dan peningkatan kemampuan auditor. Independensi saat ini menjadi

sorotan masyarakat karena banyaknya kasus suap-menyuap auditor menyebabkan

independensi seakan-akan menjadi suatu hal yang lumrah untuk diabaikan (Singgih

dan Bawono, 2010). Sebenarnya dalam hampir semua standar audit, independensi

adalah salah satu sikap yang benar-benar diutamakan dari seorang auditor, hal ini

sudah diungkapkan dalam beberapa standar audit salah satunya adalah dalam standar

SPKN. Dalam standar tersebut disebutkan bahwa independensi adalah sikap bebas

baik dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern dan

organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya (SPKN, 2007). Hal ini juga

9

sesuai dengan standar auditing yang dikeluarkan oleh IAPI, yaitu Standar Umum

kedua yang berbunyi

“Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalamsikap mental harus dipertahankan oleh auditor” (Mulyadi, 2002).

Ardiansyah (2013) menyebutkan bahwa independensi ini sangat berperan

dalam membantu tugas auditor untuk menemukan dan mendeteksi kecurangan

laporan keuangan. Keberanian auditor melaporkan adanya kesalahan dan kecurangan

pada laporan keuangan tergantung pada independensi auditor. Hal ini diperkuat

dengan penelitian milik Singgih dan Bawono (2010) yang menyimpulkan bahwa

independensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Singgih dan Bawono (2010)

juga menyebutkan bahwa sebuah audit hanya dapat menjadi efektif jika auditor

bersikap independen dan dipercaya untuk lebih cenderung melaporkan pelanggaran

perjanjian antara prinsipal (saham dan kreditur) dan agen (manajer). Hal ini sungguh

berbeda dengan penelitian milik Ardiansyah (2013) yang tidak menemukan pengaruh

antara independensi auditor dengan pendeteksian kecurangan pada laporan keuangan.

Auditor sebagai lembaga pemeriksa atas laporan keuangan saat ini memang

benar-benar menjadi sorotan publik. Pada sektor pemerintahan sendiri auditor itu

terbagi menjadi dua bagian yaitu auditor internal dan auditor eksternal. Auditor

internal dilaksanakan oleh inspektorat sedangkan auditor eksternal dilaksanakan oleh

BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Tugas dari inspektorat sebagai auditor internal

adalah menyelenggarakan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain yang

diberikan kepala daerah. Sedangkan tugas dari BPK adalah mengeluarkan pendapat

atau opini atas kewajaran laporan keuangan yang diperiksa. Dari perbedaan tugas

10

inilah terdapat suatu permasalahan yang timbul yaitu inspektorat sebagai aparat yang

berada di bawah wewenang Kepala Daerah biasanya berada di bawah pengaruh pihak

penentu kebijakan yang menyebabkan dekatnya hubungan interpersonal, baik

hubungan kekerabatan atau relasi kepentingan lain. Hal ini dapat mempengaruhi

independensi aparat inspektorat dalam melakukan fungsi pengawasan.

Objek penelitian ini diambil dari Inspektorat Kabupaten Sleman, hal ini

dikarenakan Inspektorat Kabupaten Sleman ini adalah salah satu Inspektorat teladan

di lingkungan Inspektorat se-Jawa Tengah dan DIY, keberhasilan daerah ini yang

dalam dua tahun terakhir ini sudah bisa mengantongi opini dari BPK Wajar Tanpa

Pengecualian dengan paragraf penjelasan menjadikan percontohan bagi Inspektorat-

inspektorat lain di sekitarnya. Di DI Yogyakarta sendiri, dari empat kabupaten yaitu

Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Sleman, hanya Kabupaten Sleman-lah yang

bisa mendapatkan opini WTP, berbeda dengan kabupaten lain yang masih beropini

Wajar Dengan Pengecualian. (www.inspektoratsleman.go.id). Hal ini bertolak

belakang dengan fakta lain yang terjadi yaitu dibalik semua keberhasilan tersebut ada

suatu kasus yang cukup memberatkan Inspektorat Kabupaten Sleman ini, kasus

terakhir yaitu penyelewengan dana hibah KONI 2010-2011 yang mengakibatkan

kerugian cukup besar. Sangat disayangkan bahwa kasus tersebut ditemukan dan

dilaporkan langsung lewat pengaduan masyarakat ke Pengadilan. Dari kasus ini

terlihat bahwa ada indikasi ketidakmampuan Auditor Inspektorat Kabupaten Sleman

dalam mendeteksi tindak kecurangan, dikarenakan dana hibah tersebut berasal dari

APBD Sleman, dan menjadi salah satu objek pemeriksaan yang seharusnya

11

penggunaan dana tersebut mendapat pengawasan dari Inspektorat Kabupaten Sleman.

Pemilihan Inspektorat Kabupaten Sleman sebagai Objek penelitian juga didasarkan

oleh banyaknya jumlah dari auditor yang dimiliki oleh lembaga ini yaitu 31 orang.

Jumlah auditor sebesar ini seharusnya bisa meminimalisir tindak penyelewengan

yang terjadi di daerahnya tetapi buktinya masih saja ditemukan kasus-kasus

kecurangan selama kurun waktu lima tahun terakhir ini (www.infokorupsi.com).

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Yang pertama

yaitu Ardiansyah (2013) yang meneliti pengaruh kompetensi dan independensi

auditor dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan menyimpulkan bahwa

kompetensi berpengaruh positif dalam pendeteksian kecurangan laporan keuangan

dan yang kedua menyimpulkan bahwa independensi tidak berpengaruh secara

signifikan dalam pendeteksian kecurangan laporan keuangan. Penelitian yang kedua

milik Abdul Karim (2012) yang meneliti tentang pengaruh skeptisisme profesional,

pelatihan audit investigatif/audit forensik dan pengalaman audit terhadap kemampuan

auditor untuk mendeteksi kecurangan hasilnya adalah terdapat perbedaan kemampuan

auditor dalam mendeteksi kecurangan antara auditor yang memiliki tingkat

skeptisisme profesional yang tinggi dengan auditor yang memiliki tingkat skeptisisme

profesional yang rendah, kesimpulan yang kedua tidak terdapat perbedaan

kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan antara auditor yang pernah

mengikuti pelatihan audit investigatif/audit forensik dengan auditor yang tidak pernah

mengikuti pelatihan audit investigatif/audit forensik. Penelitian yang ketiga yaitu

12

milik Fullerton dan Durtschi (2004) yang juga meneliti tentang pengaruh skeptisisme

profesional pada kemampuan mendeteksi kecurangan internal auditor dengan

menggunakan alat analisis ANOVA, menemukan auditor yang memiliki tingkat

profesional skeptisisme lebih besar pada umumnya memiliki keinginan yang lebih

besar untuk meningkatkan pencarian informasi yang berkaitan dengan tanda-tanda

kecurangan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian tersebut juga ditemukan bahwa

terdapat perbedaan respon atas tanda-tanda kecurangan sebelum dan sesudah fraud

awareness training. Penelitian yang terakhir yaitu milik Noviyani dan Bandi (2002),

mereka meneliti tentang pengaruh pengalaman dan pelatihan terhadap struktur

pengetahuan auditor tentang kekeliruan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa

pengalaman berpengaruh positif terhadap pengetahuan auditor tentang jenis

kekeliruan serta program pelatihan tidak mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan

auditor tentang jenis-jenis kekeliruan.

Berdasarkan pada perbedaan hasil penelitian-penelitian terdahulu dan masih

jarangnya penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan membuat hal tersebut menarik untuk diteliti, oleh

karena itu akan dilakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Skeptisisme

Profesional, Pelatihan Audit kecurangan, dan Independensi Terhadap

Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan (Studi di Inspektorat

Kabupaten Sleman)”.

13

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan

dan pertanyaan penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Apakah skeptisisme profesional auditor berpengaruh terhadap kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan?

b. Apakah pelatihan audit kecurangan berpengaruh terhadap kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan?

c. Apakah independensi auditor berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :

a. Menguji secara empiris pengaruh skeptisisme auditor terhadap kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan

b. Menguji secara empiris pengaruh pelatihan audit kecurangan terhadap kemampuan

auditor dalam mendeteksi kecurangan

c. Menguji secara empiris pengaruh independensi auditor terhadap kemampuan

auditor dalam mendeteksi kecurangan.

14

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

a. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

pengetahuan di bidang auditing khususnya dalam mempersiapkan calon-calon

auditor yang berkualitas.

b. Bagi praktisi khususnya auditor, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan

untuk kepentingan rekrutmen calon auditor internal maupun eksternal dengan

menambahkan beberapa kategori baru dalam penyeleksian calon auditor yaitu

skeptisisme dan independensi.

c. Bagi organisasi yaitu pihak Inspektorat Sleman, sebagai masukan dalam penilaian

kinerja seorang auditor dan peningkatan kualitas dalam penugasan serta

peningkatan kemampuan dalam pencegahan dan pendeteksian tindak kecurangan.

Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang

berarti dalam pengembangan ilmu akuntansi, khususnya pada bidang akuntansi

keperilakuan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan

perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan faktor

yang berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

15

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan ini disajikan dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:

BAB I Bab ini menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya

penelitian ini. Bab ini terdiri dari : latar belakang masalah, pertanyaan

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II Bab ini menguraikan landasan teori mengenai konsep-konsep yang terkait

dengan fraud, kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, auditor

internal, skeptisisme profesional, independensi, dan pelatihan audit

kecurangan dan juga pengembangan hipotesis.

BAB III Bab ini menjelaskan mengenai metode penelitian yang akan digunakan

dalam penelitian ini, sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Bab

ini terdiri dari : Definisi dan pengukuran variabel, jenis dan sumber data,

metode pengumpulan data, dan analisis data yang dilakukan.

BAB IV Bab ini berisi pembahasan atas hasil pengolahan data dan analisisnya.

BAB V Bab ini menyajikan kesimpulan, keterbatasan, implikasi dan saran bagipenelitian-penelitian selanjutnya.