bab i pendahuluan -...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Isu tentang pemanasan global telah menjadi ancaman bagi keamanan setiap manusia, karena semakin meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan di bumi dan faktor penyebab utamanya adalah karena berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Pada saat ini peningkatan emisi GRK tidak hanya disebabkan sektor industri yang dihasilkan oleh negara maju, namun negara berkembang juga ikut terlibat menyumbangkan emisi GRK. Peningkatan emisi ini dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan yang telah mencapai 20% dari keseluruhan emisi GRK global tiap tahunnya. 1 Oleh karena itu untuk menghadapi perubahan iklim yang terjadi akibat dampak dari pemanasan global, negara maju dan negara berkembang perlu berupaya mengurangi emisi GRK secepatnya dalam skala besar dan membatasi naiknya suhu global tidak lebih dari 2°C dari pengurangan emisi yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang serta harus memasukkannya ke dalam agenda rezim iklim global UNFCCC. 2 Pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan atau yang lebih dikenal dengan istilah REDD (reducing emissions from deforestation and forest degradation), berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya rendah dan waktu 1 A. Angelsen & S. Atmadja, Melangkah maju dengan REDD: isu, pilihan dan implikasi. CIFOR, Bogor, Indonesia, 2010. p. 5 2 A. Angelsen & S. Atmadja, p. 5

Upload: dinhnga

Post on 06-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Isu tentang pemanasan global telah menjadi ancaman bagi keamanan setiap

manusia, karena semakin meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK)

yang dihasilkan di bumi dan faktor penyebab utamanya adalah karena berbagai

aktivitas yang dilakukan manusia. Pada saat ini peningkatan emisi GRK tidak

hanya disebabkan sektor industri yang dihasilkan oleh negara maju, namun negara

berkembang juga ikut terlibat menyumbangkan emisi GRK. Peningkatan emisi ini

dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan yang telah mencapai 20% dari

keseluruhan emisi GRK global tiap tahunnya.1 Oleh karena itu untuk menghadapi

perubahan iklim yang terjadi akibat dampak dari pemanasan global, negara maju

dan negara berkembang perlu berupaya mengurangi emisi GRK secepatnya dalam

skala besar dan membatasi naiknya suhu global tidak lebih dari 2°C dari

pengurangan emisi yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan di

negara-negara berkembang serta harus memasukkannya ke dalam agenda rezim

iklim global UNFCCC.2

Pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan atau yang lebih

dikenal dengan istilah REDD (reducing emissions from deforestation and forest

degradation), berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya rendah dan waktu

1 A. Angelsen & S. Atmadja, Melangkah maju dengan REDD: isu, pilihan dan implikasi. CIFOR,

Bogor, Indonesia, 2010. p. 5 2 A. Angelsen & S. Atmadja, p. 5

2

yang singkat serta pada saat yang sama akan membantu mengurangi tingkat

kemiskinan dan memungkinkan pembangunan berkelanjutan. Mekanisme REDD

ini adalah sebuah mekanisme dalam upaya mitigasi lingkungan yang membahas

tentang cara mengurangi emisi karbon melalui penghentian penebangan hutan di

negara berkembang sehingga dapat digunakan sebagai area serapan karbon dalam

rangka menghadapi isu pemanasan global.3 Dalam mekanisme ini ditawarkan

insentif dari negara maju kepada negara berkembang yang mampu mengurangi

laju penebangan hutan,4 dengan mengusung konsep menghargai individu,

masyarakat, proyek, dan negara yang mampu mengurangi emisi GRK dengan cara

melakukan berbagai kegiatan konservasi hutan untuk tujuan menyimpan karbon

di hutan.

REDD dianggap sebagai cara yang paling nyata dan efisien dari segi waktu

dan biaya serta saling menguntungkan bagi negara yang bekerjasama dalam

mengimplementasikannya karena pengurangan emisi GRK dapat cepat dicapai

dengan melakukan reformasi kebijakan tanpa instrumen mitigasi lainnya. Oleh

karena itu REDD dinilai penting dalam upaya mitigasi lingkungan dan mulai

dimasukkan ke dalam agenda global UNFCCC pada COP ke 13 di Bali yang

menghasilkan Bali Action Plan yang mendukung kebijakan mekanisme REDD

tersebut. Setelah Bali Action Plan disetujui, setahun berikutnya kembali diadakan

pertemuan di Poznań, Polandia yang menghasilkan konsensus umum bahwa

kegiatan REDD sebaiknya diperluas, dengan menambahkan tiga areal strategis

terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Tiga areal strategis

tersebut yaitu pengurangan emisi melalui peranan konservasi, pengelolaan hutan 3 H. Sidik, Politik Lingkungan Internasional Indonesia terkait REDD+. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 2013.p. 2 4 H. Sidik, p.2-3

3

secara lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan. Kelima hal tersebut

bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-

negara berkembang. Perluasan mekanisme tersebut juga secara langsung telah

mengubah nama tampilan REDD menjadi REDD+, karena telah dimasukkan

beberapa konsep baru di dalamnya.

Dalam mendukung berjalannya mekanisme REDD+ tersebut diperlukan dana

yang cukup besar bagi negara berkembang untuk mengimplementasikannya, maka

dari itu perlu keterlibatan negara maju dalam hal pendanaan proyek mitigasi

lingkungan di negara berkembang. Kegiatan pendanaan tersebut juga akan

memberikan keuntungan bagi negara maju dalam memenuhi kewajiban untuk

menurunkan emisi GRK yang ditimbulkannya karena secara langsung kegiatan

proyek tersebut berpotensi dalam peningkatan cadangan karbon hutan yang

bermanfaat menurunkan emisi GRK secara global. Hal tersebut akan dinilai

sebagai bentuk kontribusi yang diberikan negara maju dalam hal upaya mengatasi

perubahan iklim yang terjadi. Jepang merupakan salah satu negara maju yang ikut

berperan serta dalam mendukung mekanisme REDD+, yang dibuktikan dengan

sebuah kebijakan hijau di negaranya yang menjelaskan bahwa Jepang

berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK dalam kadar rendah dengan

penggunaan teknologi ramah lingkungan dan menjanjikan bantuan keuangan

untuk negara berkembang guna mengatasi dampak pemanasan global.

Kebijakan lingkungan tersebut yaitu “The Cool Earth Partnership”, yang

diluncurkan pada forum ekonomi global pada bulan September 2009 dengan

memberikan dukungan dana sebesar 10 Milyar USD sebagai mekanisme bantuan

keuangan kepada negara berkembang untuk proyek adaptasi dan mitigasi

4

lingkungan.5 Proyek tersebut juga diharapkan dapat membantu pertumbuhan

ekonomi bagi negara berkembang. Kebijakan tersebut mulai diimplementasikan

Jepang melalui kerjasama ke berbagai negara, dan salah satu negara yang

bekerjasama dengan Jepang adalah Indonesia. Bentuk kerjasama proyek mitigasi

lingkungan yang dikenal dengan ‘Indonesia Japan Project for Development of

REDD+’ merupakan suatu program antara Pemerintah Indonesia (Kementerian

Kehutanan) dan Jepang (Japan International Cooperation Agency/JICA) yang

bertujuan untuk membangun/mengembangkan mekanisme REDD+ di Propinsi

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Secara resmi dokumen kerjasama atau

RoD (Record of Discussion) IJ-REDD+ Project telah ditandatangani pada

tanggal 4 Februari 2013 di Jakarta dengan durasi selama 3 Tahun (Juni 2013-Juni

2016).6

Jepang memilih Indonesia sebagai salah satu mitra dalam kerjasama tersebut

karena Jepang menilai Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki

jumlah luasan hutan tropis yang cukup luas. Sekitar 86-93 juta ha tutupan hutan

yang dimiliki Indonesia mempunyai potensi tinggi sebagai area penyimpanan

cadangan karbon yang bermanfaat bagi penurunan emisi GRK. Namun Indonesia

juga tercatat sebagai negara penghasil emisi ketiga terbesar di dunia setelah China

dan Amerika Serikat karena laju deforestasi dan degradasi hutan yang cukup

tinggi, untuk itu Jepang berupaya mencari solusi bersama dalam menghadapi

dampak pemanasan global yang terjadi. Kerjasama tersebut juga nantinya

diharapkan dapat membantu Jepang dalam memenuhi target penurunan emisi

5 Rainforest Foundation Norway, Studi pendahuluan atas Kebijakan Pengaman (Safeguards)

Donor-donor Bilateral untuk Program REDD di Indonesia, HuMA, Jakarta, 2011,p.74-82 6 Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung, IJ-REDD+ (online), 2013, �http://www.ekowisata.org/artikel/arsip-artikel>, diakses 24 November 2013.

5

GRK dari sektor industri dengan pembelian kredit karbon hutan di Indonesia,

mengingat bahwa negara tersebut juga mempunyai kewajiban memenuhi target

penurunan emisi sebesar 25% berdasarkan dari tahun 2020 sesuai perjanjian

Protokol Kyoto sebelumnya. 7

Pemenuhan target tersebut tidak akan terpenuhi apabila Jepang

mengupayakannya sendiri karena tingkat efisiensi emisi yang ditimbulkan Jepang

cukup tinggi sehingga memerlukan biaya tinggi untuk proses penurunannya, dan

biaya yang dikeluarkan hampir sama dengan biaya pengembangan teknologi baru.

Jepang menilai kerjasama tersebut sebagai media atau cara baru dalam

berinvestasi secara tepat dalam upaya perbaikan lingkungan dengan menekan

biaya lebih kecil dan secara tidak langsung kerjasama tersebut juga akan

mendorong terbentuknya kerjasama kredit pasar karbon yang tidak hanya

menguntungkan bagi perbaikan lingkungan dan pemenuhan target penurunan

emisinya, akan tetapi juga memberikan manfaat tambahan bagi Jepang dalam

mengamankan posisinya sebagai investor di negara berkembang khususnya

Indonesia.

Namun apabila melihat sumbangan emisi yang diberikan Jepang dari

sektor industrialisasi di tingkat global, banyak masyarakat luas menilai bahwa

tindakan Jepang bekerjasama dengan Indonesia dalam mekanisme REDD+ tidak

hanya semata-mata sebagai kontribusi yang diberikan Jepang dalam upaya

memperbaiki lingkungan secara global tetapi juga sebagai tanggapan dan

tanggungjawab Jepang terhadap berbagai kritikan masyarakat internasional akibat

polusi yang ditimbulkan dari sektor industri di negaranya dan tindakan praktik

7 A. Angelsen, A.dan S. Atmadja, p. 15

6

bisnis Jepang di negara berkembang yang menyebabkan tingginya pasokan impor

kayu lapis di negara Indonesia dan Malaysia untuk pemanfaatan industrialisasi di

negaranya8, sehingga secara tidak langsung ikut mendukung tingginya laju

deforestasi hutan di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, Jepang mendapat

penilaian dunia internasional sebagai negara yang selalu bertindak berdasarkan

kepentingan ekonomi saja tanpa memperhitungkan dampak yang ditimbulkannya

bagi lingkungan global sehingga menimbulkan kesan negatif bagi Jepang.9 Kesan

negatif tersebut nantinya akan menghambat tujuan kepentingan nasional negara

Jepang apabila terus berlangsung, oleh karena itu Jepang merasa perlu upaya

cepat dalam menanggapinya.

Tindakan Jepang dalam menjalankan kebijakan lingkungan REDD+ nya di

Indonesia dapat dilihat sebagai bentuk respon yang muncul karena berbagai alasan

yang dikonstruksi dari sebuah struktur sosial dan merupakan bentuk interaksi

negara tersebut dengan negara lainnya dalam sebuah keterlibatan di dalam

UNFCCC, sehingga membuat Jepang mulai bekerja dalam konteks struktur sosial

yang didasarkan pada sebuah aturan, norma, identitas, institusi, yang menjelaskan

bahwa tindakan tersebut mengacu pada sebuah norma dari institusi yang

diikutinya dan membantu menjelaskan perilaku negara tersebut dalam sebuah

tindakan. Tindakan tersebut menggambarkan bahwa kerjasamanya dengan

Indonesia dalam mekanisme REDD+ sebagai wujud dari upaya mengatasi

permasalahan lingkungan melalui pengumpulan ide-ide baru secara kolektif,

membagi pengetahuan, sumber material, dan praktis yang merupakan komponen

8 D.Potter, ‘Assessing Japan's Environmental Aid Policy’, Pacific Affairs, Vol. 67, No. 2, University of Coloumbia, (Summer, 1994), pp. 204 9 R.Sukmara dan Y, widarahestis, Perkembangan Diplomasi Luar Negeri Jepang di Asean Pasca Perang Dunia II, Universitas al-azhar Indonesia, Jakarta, 2011, p.4-8

7

dalam interaksi sebuah struktur sosial yang dipengaruhi politik internasional

sehingga membentuk suatu tujuan tertentu.

Oleh karena itu penelitian ini perlu dilihat dari sudut pandang

konstruktivis yang lebih menekankan pada ide-ide dan pengetahuan yang

membangun alur pemikiran Jepang untuk terlibat secara langsung dalam upaya

menangani isu lingkungan sehingga mulai menetapkan kebijakannya dan

menjalankannya di Indonesia. Perbedaan dengan sudut pandang lainnya, disini

Jepang bertindak sebagai aktor sosial bukan sebagai aktor rasional yang hanya

memandang bahwa suatu bentuk kerjasama bilateral hanya didasarkan pada

kepentingan ekonomi saja atau distribusi material sehingga dalam mengkaji

dinamika kerjasama ini tidak akan sekedar menganalisis distribusi kemampuan

secara material saja tetapi juga berkaitan dengan hubungan sosial antara keduanya

yang nantinya dapat bermanfaat dalam setiap proses pengambilan kebijakan

lingkungan dan dapat menjadi acuan pembelajaran dalam membagi pengetahuan

tentang tata kelola kebijakan lingkungan bagi negara lain khususnya masyarakat

Indonesia agar tidak hanya memanfaatkan lingkungan dari segi ekonomis saja

tetapi juga lebih memperhatikan lingkungan dengan menjaga kelestariannya untuk

proses pembangunan berkelanjutan.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, banyak keterangan yang

menjelaskan bahwa kerjasama REDD+ terhadap Indonesia merupakan salah satu

bentuk upaya diplomasi ekonomi yang akan dijalankan Jepang sebagai upaya

pencapaian tujuan kepentingan nasionalnya. Namun dengan melihat dari sudut

pandang konstruktivis, kerjasama tersebut akan memiliki makna berbeda sebagai

8

bentuk diplomasi lingkungan yang dijalankan Jepang untuk upaya mencari sebuah

solusi bersama dalam mengatasi isu lingkungan pemanasan global dalam suatu

interaksi sosial melalui sharing pengetahuan, distribusi material, dan praktis.

Berdasarkan hal tersebut, untuk mengetahui motif Jepang dalam kerjasama

tersebut dengan melihat dari pandangan konstruktivis, penulis merumuskan

masalah sebagai berikut: Mengapa Jepang terlibat dalam Proyek REDD+ di

Indonesia ditinjau dari Perspektif Konstruktivis ?

C. Reviu Literatur

Mekanisme REDD+ merupakan mekanisme kerjasama proyek mitigasi

lingkungan yang dilakukan oleh negara maju dan negara berkembang dalam

upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh tingginya

deforestasi dan degradasi lahan hutan. Dalam tulisan ini, penulis ingin melihat apa

yang mengkonstruksi keinginan Jepang melakukan kerjasama dalam proyek

mitigasi lingkungan dengan Indonesia dilihat dari perspektif konstruktivis.

Meskipun belum ada tulisan atau artikel yang membahas secara lebih spesifik

mengenai tema yang penulis ambil, namun penulis menemukan beberapa literatur

yang membahas isu lingkungan yang dilihat dari perspektif konstruktivis.

Tulisan pertama merupakan artikel dari Kenneth E. Wilkening yang

berjudul Culture and Japanese Citizen Influence on the Transboundary Air

Pollution Issue in Northeast Asia.10 Dalam artikel ini budaya digunakan sebagai

alat analisa yang berisi pemahaman ide-ide, sumber daya, yang dapat mendasari

suatu negara atau aktor untuk melakukan suatu tindakan dalam menanggapi isu

10 K,E, Wilkening, ‘Culture and Japanese Citizen Influence on the Transboundary Air Pollution Issue in Northeast Asia’, Journal Political Psychology, Vol. 20, No. 4 (Dec., 1999), p. 701-723.

9

lingkungan internasional serta adanya pengaruh masyarakat umum dalam upaya

mengatasi permasalahan lingkungan. Munculnya penelitian dari Amerika Serikat

pada tahun 1987 yang menyatakan tingginya polusi udara sehingga

mengakibatkan hujan asam disebabkan oleh beberapa daerah Asia Timur Laut

seperti Jepang, Korea selatan, China dan Taiwan akibat semakin banyaknya

aktivitas industri yang dilakukan negara tersebut. Aktivitas industri tersebut

menimbulkan limbah industri. Jepang sebagai salah satu negara yang banyak

menghasilkan limbah mercuri mulai berinisiatif untuk mengatasi masalah tersebut

dengan memunculkan ide-ide untuk mulai memonitoring tingkat pengurangan

hujan asam dengan menggunakan beberapa peralatan teknologi sederhana serta

melakukan kampanye lingkungan sebagai upaya mengatasi isu tersebut. Ide

tersebut muncul dari pemikiran konsep budaya Jepang terdahulu yang

disampaikan oleh masyarakat di Jepang sebagai agen sosial. Masyarakat umum di

Jepang mendefinisikan budaya sebagai nilai lingkungan bersama, maka dari itu

perlu dijaga kelestariannya. Budaya Jepang mengajarkan banyak hal untuk lebih

menghargai lingkungan yang berasal dari perspektif keagamaan mereka.

Masyarakat Jepang menilai bahwa lingkungan sangat penting untuk kelangsungan

hidup, maka dengan adanya fakta kerusakan lingkungan yang menyebabkan hujan

asam dan perubahan iklim serta penipisan ozon membuat masyarakat Jepang

khawatir dan mulai berinisiatif untuk melakukan berbagai macam tindakan.

Tindakan kecil dari masyarakat umum yang peduli akan lingkungan tersebut

dilakukan dengan menggunakan beberapa konsep budaya untuk menggerakkan

hati para penguasa elit di Jepang agar lebih berupaya menciptakan regulasi dan

kerjasama Internasional dalam mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.

10

Seperti menggelar aksi protes dengan tema-tema lingkungan menggunakan

berbagai media, pembuatan teknologi sederhana yang ramah lingkungan, serta

bekerjasama dengan beberapa ilmuwan yang memiliki akses ke birokrat

pemerintah pusat dan menyampaikan pesan warga negara.

Kegiatan tersebut akhirnya memotivasi tidak hanya masyarakat domestik

tetapi juga masyarakat internasional untuk berpartisipasi secara langsung dalam

mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi dan dibuktikan dengan

munculnya gagasan Marshal Plan dan Konferensi Rio De Jaeniro di Brazil. Dapat

dilihat dalam tulisan ini bahwa idiografik negara Jepang yang mencerminkan

kebudayaan mereka juga berpengaruh dalam mengkonstruksi suatu pembentukan

norma lingkungan internasional dengan masyarakat umum sebagai agen

penyampaian pengetahuan tentang bahaya lingkungan yang berpengaruh dalam

penetapan regulasi kebijakan di bidang lingkungan.

Tulisan selanjutnya, berjudul Social Construction of Climate Change

Karya Mary E. Pettenger11 yang menjelaskan tentang bagaimana konstruksi sosial

menginterprestasikan dan merespon keberadaan perubahan iklim. Penulisannya

lebih ditekankan pada dialog antara pengetahuan dan kekuasaan, dimana

pengertian sosial dari perubahan iklim telah dikonstruksi. Perubahan iklim

dipahami dari konteks situasi sosial, dimana pengetahuan dan struktur kekuasaan

sering diabaikan dalam pembuatan keputusan. Konstruksi pengetahuan adalah hal

yang mendasar untuk memahami perubahan iklim. Banyak para ilmuwan yang

berupaya memahami fenomena perubahan iklim yang terjadi, namun beberapa

pemimpin dunia berupaya untuk menghalangi kerjasama internasional yang

11M.E.Pettenger , “Social Construction Of Climate Change”, http://www.ashgate.com/isbn/9780754648024, Juli 2007, diakses tanggal 3 Januari 2014.

11

berkaitan mitigasi perubahan iklim karena terbentur dengan kepentingan mereka.

Semua negara memiliki pandangan yang berbeda terhadap perubahan iklim, ada

yang menganggap sebagai dilema, issu, bahkan krisis yang perlu diperhatikan.

Maka dari itu dengan pengetahuan yang mendasar tentang perubahan iklim yang

terjadi, perlu dilakukan konstruksi pengetahuan untuk menyamakan persepsi

dalam penyelesaiannya. Secara konseptual konstruksi perubahan iklim berangkat

dari ideasional, yaitu konsep perubahan iklim tidak akan terjadi apabila tidak

adanya ide yang mendasar dari para pemikir tentang ancaman lingkungan

sehingga negara perlu memperhatikan lingkungan. Selanjutnya ada agen yang

dapat mempengaruhi perilaku negara dan mengarahkan pada cara berpikir untuk

melakukan perubahan. Perubahan negara tersebut juga dikonstruksi norma-norma

yang berlaku yang disesuaikan dengan kepentingan mereka untuk melakukan

perubahan. Jelas bahwa konstruksi sosial yang mendasari terjadinya perubahan

suatu negara dalam merespon isu perubahan iklim, melalui pemahaman

makna intersubjektif yang diwujudkan dalam identitas, kepentingan, dan struktur

seperti norma dan wacana. Dengan adanya kekuatan ideasional, pelaku

dipengaruhi agen untuk membuat pilihan sebagai makhluk sosial yang

berinteraksi dalam struktur yang membentuknya.

Artikel ketiga berjudul Environmental Policy in Japan12 oleh Hidefumi

Imura yang merupakan reviu dari tulisan Miranda A. Schreurs. Dalam artikel ini

penulis menjelaskan tentang analisa kebijaksanaan lingkungan di Jepang yang

berfokus pada isu lingkungan dilihat dari beberapa aspek yang membangun

kebijakan termasuk keterlibatan dari peran lembaga formal dan informal, pemain

12

H, Imura, ‘Environmental Policy in Japan’, Journal of Japanese Studies, Vol.33, No.1, 2007, p. 290-294

12

kunci industri, dan aktivis lingkungan serta pengaruh dari standar lingkungan

internasional yang menjadi tren bagi implementasi kebijakan lingkungan di

Jepang. Jepang merupakan negara industri dengan kasus penyebaran polusi

lingkungan tertinggi di tahun 1950-1960an, namun Jepang cepat tanggap untuk

mengatasi permasalahan tersebut. Hal itu tidak terlepas dari peran serta

masyarakat Jepang yang terlibat sebagai partisi lingkungan hijau dan berbagai

organisasi lingkungan di tingkat nasional. Kebijakan lingkungan Jepang banyak

dipengaruhi oleh pandangan sejarah, kelembagaan, perkembangan sektor

lingkungan yang membangun struktur kebijakan di Jepang sehingga dibentuklah

dewan konsultatif yang mengajak para pelaku industri dan birokrasi pemerintah

untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Adanya tekanan dari luar juga

mempengaruhi politik dalam negeri Jepang, meskipun tekanan dari dalam cukup

dominan seperti munculnya NGO lingkungan Jepang yang memanfaatkan

berbagai teknologi untuk mempengaruhi pemerintah nasional sehingga mulai

memperhatikan lingkungan dengan memberikan bantuan dana untuk pengelolaan

lingkungan di Jepang.

Dari ketiga tulisan tersebut, dapat dilihat bahwa masalah lingkungan sudah

menjadi agenda utama yang menjadi permasalahan global yang banyak

diperdebatkan dari berbagai sudut pandang masing-masing penilaian masyarakat

luas. Perbedaan sudut pandang itu muncul karena identitas masing-masing negara

yang berbeda didasarkan kepada kepentingan materialnya, namun munculnya ide-

ide pemikiran baru yang tergabung dalam suatu struktur sosial dapat

mengkonstruksi pola pikir dan membentuk suatu norma yang menjadi acuan bagi

setiap tindakan yang dilakukan suatu negara menyangkut penyelesaian

13

permasalahan lingkungan tersebut. Meskipun setiap negara memiliki kepentingan,

namun inisiatif lain dapat muncul akibat pengaruh dari sharing pengetahuan yang

tergantung dari penyampaian aktor sebagai agen sehingga dapat mempengaruhi

suatu negara dalam proses pengambilan kebijakan. Penjelasan dari ketiga tulisan,

menjadi acuan bagi penulis untuk mencoba menganalisis lebih lanjut mengenai

hal apa yang telah mengkonstruksi Jepang yang memutuskan untuk menjalankan

politik REDD+ di Indonesia, tidak hanya semata-mata karena terdapat

kepentingan material namun ada inisiatif lain yang mengkonstruksi arah

pemikiran kebijakan yang diambil negara tersebut yang berangkat dari

pembelajaran sosial tentang akibat dari tindakannya terhadap lingkungan dan

mencoba mengubah perilakunya.

D. Kerangka Analisis

Dari beberapa ulasan reviu literatur sebelumnya, menjelaskan bahwa setiap

respon dalam penyelesaian permasalahan lingkungan tidak muncul begitu saja

tanpa suatu sebab akibat, ada suatu alasan yang mengkonstruksi suatu negara

dalam mengambil sebuah tindakan untuk kepentingan negaranya. Alasan tersebut

berangkat dari berbagai konsep ide dan pengetahuan yang terbentuk dari suatu

struktur sosial yang menjelaskan tindakan perilaku suatu negara dalam setiap

proses perumusan kebijakan yang diambil. Seperti halnya makna keterlibatan

Jepang dalam menjalankan politik REDD+ nya di Indonesia, keinginan tersebut

tidak muncul begitu saja, melainkan ada suatu bentuk konstruksi sosial dari

konsep pemahaman ide dan sharing pengetahuan akan pentingnya suatu upaya

untuk mengatasi isu pemanasan global. Konsep ide tersebut muncul dari suatu

interaksi sosial di dalam keterlibatannya di suatu konvensi lingkungan

14

internasional UNFCCC yang menghasilkan norma-norma lingkungan dan menjadi

dasar acuan Jepang dalam mengambil tindakan untuk menjalankan diplomasi

lingkungannya di Indonesia melalui mekanisme REDD+. Bentuk diplomasi yang

dijalankan tersebut sebagai upaya dalam pemenuhan suatu tujuan kepentingan

nasionalnya. Agar lebih memahami permasalahan dalam hubungan kerjasama

antar kedua Negara tersebut dikaitkan dengan hubungan kepentingan Negara

Jepang dalam menjalin kerjasama dalam mekanisme REDD+ diperlukan alat

analisis berupa seperangkat konsep dan teori untuk memudahkan dalam

menganalisis. Penulis menganalisis menggunakan teori konstruktivis yang

dihubungkan dengan konsep Politik lingkungan.

Dalam memahami suatu permasalahan internasional diperlukan pandangan

tertentu untuk mempermudah dalam menganalisa dan mencari jalan terbaik untuk

proses penyelesaiannya. Adanya kegagalan dalam pengambilan sudut pandang

akan memperkeruh suatu keadaan sehingga permasalahan semakin lama

terselesaikan. Pada masa perang dingin banyak negara yang memakai pandangan

teori realisme dan liberalisme untuk memprediksi ataupun memahami

transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis, namun sering

terjadi kegagalan dalam proses penyelesaiannya karena hanya didasarkan kepada

tingkat kepentingan masing-masing negara dalam bertindak. Kemudian,

Alexander Wendt menawarkan sebuah teori konstruktivisme untuk menjelaskan

segala permasalahan internasional dengan pendekatan yang sama sekali berbeda

dengan realisme ataupun liberalisme, tetapi tidak serta merta meninggalkan

pendekatan tersebut, pandangan ini lebih mengedepankan bagaimana memahami

permasalahan internasional tidak hanya didasarkan kepada kepentingan negara

15

melainkan apa yang mengkonstruksi tindakan suatu negara dalam memperoleh

kepentingannya dilihat dari identitas dan norma yang dianut suatu negara.

Identitas dan kepentingan merupakan hasil dari ide-ide yang disampaikan dalam

sebuah proses interaksi, yang kemudian membentuk kesadaran dan tindakan

bersama.13

Cara sederhana untuk memahami pendekatan konstruktivis adalah bahwa

ide yang begitu banyak di dunia dimana kita hidup adalah hasil kreasi kita,

dengan kata lain dunia kita ini adalah sebuah realita rekonstruksi sosial dimana

orang-orang percaya akan apa yang mereka lakukan. Singkatnya, ini semua

tentang bagaimana kesadaran manusia dan bagaimana hal ini diaplikasikan

terhadap hubungan internasional. Pendekatan konstruktivis dalam hubungan

internasional lebih memandang negara sebagai aktor sosial dibanding sebagai

aktor yang rasional. Sebagai aktor sosial, negara-negara bekerja dalam konteks

struktur sosial mereka yang didasarkan pada aturan-aturan, norma-norma,

identitas dan institusi.14 Dengan demikian suatu negara tidak bertindak secara

independen di luar struktur tersebut, tapi mengacu pada institusi itu, dengan kata

lain struktur tersebut membantu menjelaskan prilaku negara-negara dan

interaksinya dengan negara lain.

Termasuk dalam penulisan ini, penulis mencoba menganalisa memakai teori

konstruktivis dalam memahami permasalahan lingkungan. Permasalahan

lingkungan sering terjadi akibat banyaknya tekanan politik yang bersumber dari

aktivitas manusia yang kurang memperhatikan keberlanjutan dari proses

13

Al, Wendt, ‘Anarchy Is What Staes Make of It: the Social Construction of Power Politics’, International Organization, vol. 46 no. 2 (Spring 1992), pp. 391-425. 14 M, Caballero & Anthony, Regional security in Southeast Asia: Beyond The Asian Way, ISEAS, Singapore, 2005, p.32

16

pemanfaatan lingkungan untuk masa depan. Sehingga isu lingkungan perlu

mendapat perhatian di tingkat global karena dapat mengancam keberlangsungan

hidup manusia dan lingkungannya.

Menurut Greene (2005) isu lingkungan menjadi persoalan global atau

internasional karena beberapa alasan15, diantaranya: pertama, persoalan

lingkungan secara inheren berada dalam lingkup global, deforestasi dan degradasi

yang menyebabkan emisi karbon memberikan kontribusi terhadap peningkatan

gas rumah kaca dan perubahan iklim, persoalan ini secara otomatis menjadi isu

global dengan sendirinya. Kedua, beberapa persoalan berhubungan dengan

pengeksploitasian global commons seperti sumber-sumber yang dieksploitasi

semua anggota komunitas internasional seperti laut, atmosfer, dan ruang angkasa.

Ketiga, beberapa persoalan tersebut menembus lintas batas Negara meskipun

tidak mencakup global. Sebagai contoh adalah asap yang dihasilkan Indonesia

sampai ke Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, keempat banyak proses

eksploitasi secara berlebihan, atau degradasi lingkungan, praktik pertanian yang

tidak berkelanjutan, deforestasi dan degradasi hutan, pencemaran sungai, dan

persoalan lingkungan lain yang disebabkan oleh industrialisasi. Akhirnya proses-

proses yang mendorong ke arah overeksploitasi dan degradasi lingkungan itu

sendiri yang menjadi bagian dari proses politik lingkungan internasional.

Politik lingkungan biasa dikaitkan dengan proses pembuatan suatu

kebijakan dan implementasi proyek penanganan permasalahan lingkungan yang

telah menjadi isu internasional. Para ahli berpendapat bahwa politik lingkungan

tersebut tercipta dari berbagai kajian ilmu yang mengkaji peranan Negara, 15

R.D.Congleton,’ Environmental Politics and Economic Development’, Center for Study of Public Choice, George Mason University. 2002, http://devenvist.blogspot.com/2011/10/politik-lingkungan.html. diakses 4 Desember 2013.

17

institusi ekonomi politik, kekuasaan, norma dan ideologi, juga berkaitan dengan

hubungan internasional dalam mengatasi isu lingkungan seperti perubahan iklim

global, ekologi lingkungan, dan sebagainya.16 Politik lingkungan juga sering

dikaitkan dengan politik penguasaan dan kepemilikan sumber daya alam dan

perdagangan produk, selain itu juga dikaitkan dengan perumusan strategi dan

kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan SDA tersebut bagi masyarakat atau

pihak swasta dan pasar dengan memakai kekuatan politik untuk pencapaian

kepentingan politik, serta membahas peranan politik para pihak dalam

memperjuangkan keadilan dan kelestarian lingkungan, contohnya seperti peranan

NGO lingkungan atau epistemic community dalam mempengaruhi keputusan

politik pemerintah.17

Hasil dari berbagai pemikiran keterlibatan para pihak yang berkepentingan

dalam menghadapi permasalahan lingkungan tersebut yang harus dianalisis untuk

mencari solusi, disinilah peran pemerintah diutamakan untuk menampung semua

pemikiran dan menganalisis tanggapan dan saran yang diberikan oleh berbagai

pihak terkait dan ditindak lanjuti dengan membuat dan menegakkan peraturan

tentang pengendalian dampak lingkungan, yang juga kebijakan tersebut mengatur

tindakan perusahaan dan pihak swasta yang memberikan kontribusi dalam

kerusakan lingkungan yang terjadi. Implikasi dalam penetapan kebijakan

lingkungan tersebut biasanya memunculkan sebuah bentuk kerjasama dengan

Negara lain dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang menjadi

permasalahan internasional, agar permasalahan tersebut cepat terselesaikan.

16

I, Makoto, Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, p.9 17 I, Makoto, p.9-10

18

Dari beberapa pemaparan diatas maka dapat dilihat bahwa adanya hubungan

antara interaksi masalah lingkungan dan kekuatan politik yang akan berdampak

terhadap pembangunan, jadi permasalahan lingkungan perlu diperhatikan karena

dengan adanya jaminan bahwa lingkungan terjaga dengan baik maka akan ada

jaminan untuk keberlangsungan pembangunan di masa yang akan datang. Maka

dari itu Jepang perlu memandang politik lingkungan sebagai salah satu alat

pencapaian kepentingan negaranya.

Jepang menerapkan politik lingkungan REDD+ terhadap Indonesia sebagai

implikasi dari kebijakan lingkungan yang telah dirumuskan oleh pemerintah

Jepang sesuai dengan tujuan kepentingan negaranya. Namun penerapan politik

lingkungan tersebut tidak hanya semata karena alasan itu, ada alasan lain yang

mendasari tindakan Jepang dalam pelaksanaan politik lingkungannya karena

Jepang menjalankan serta merumuskan kebijakan lingkungan domestik sesuai

dengan norma yang dianutnya serta budaya yang mencerminkan identitas dari

negara tersebut. Untuk memahami alasan itu perlu melihat apa yang

mempengaruhi tindakan Jepang dalam melakukan implikasi kebijakan

domestiknya sehingga memutuskan bekerjasama dengan Indonesia dalam

mengatasi permasalahan lingkungan terkait mekanisme REDD+ dengan

mengambil sudut pandang menggunakan teori konstruktivis. Penganut

konstruktivis melihat struktur internasional sebagai struktur sosial yang disusun

dari pengetahuan yang telah dikenal secara sosial dan berdasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan non materil. Sehingga dapat diilustrasikan sebagai

berikut: bahwa kepentingan, kecenderungan pilihan dan keputusan aktor politik

19

sangatlah dipengaruhi oleh identifikasi diri yang biasanya terwujudkan dalam

bentuk identitas.

Menurut Wendt, proses konstruksi membuat seseorang dapat menentukan

kepentingannya. Konflik atau kerjasama tidak tergantung pada kepentingan, tetapi

tergantung pada sesuatu yang menentukan kepentingan itu sesuatu yang

dikonstruksikan, sehingga menentukan kepentingan. Sesuatu tersebut kemudian

disebut identitas.18 Reus-Smith menambahkan bahwa konstruktivis menekankan

pentingnya norma dalam membentuk tindakan politik dan hubungan yang saling

menentukan antara agen dan struktur.19

Konstruktivisme merupakan teori proses sosialisasi suatu norma. Norma

yang dimaksud yaitu suatu aturan yang berlaku dan menjadi patokan bagi suatu

negara atau aktor dalam berperilaku atau mengambil suatu tindakan, norma

memungkinkan suatu aktor untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana

tindakannya itu akan dinilai oleh orang lain. Proses sosialisasi suatu norma

meliputi proses adaptasi instrumental, proses sosialisasi (diskursus argumentatif),

proses pembiasaan atau institusionalisasi, ide-ide atau gagasan pemikiran yang

mendasari prinsip individu yang mengarah pada norma dan dapat mempengaruhi

perubahan identitas sehingga pada akhirnya menggambarkan suatu kepentingan.20

Menurut Reuss-Smith, konstruktivis memulai dengan asumsi yang

mengatakan bahwa politik terbentuk dari hal yang beragam serta merupakan

pertimbangan dan tindakan manusia yang multidimensional. Politik dapat pula

18 Al. Wendt, ‘Social Theory of international Politics’, American Political Science Review, vol. 88 no. 2, 1994, p. 389 19 C. Reus-Smith, ‘The politics of International Law’,Cambridge University Press, UK, 2004, p.22 20 T. Risse, S. C. Ropp dan K. sikkink (eds). 1999. The Power of Human rights international Norms and Domestic Change. UK: Cambridge University Press., hal: 27

20

dikatakan sebagai persinggungan antara kehidupan dan tantangan yang dihadapi

oleh manusia.21 Untuk memahami hal tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu

sifat dasar yang menjadi alasan atau pertimbangan politik. Dalam bertindak,

aktor-aktor juga mempunyai reason yang didasari pada argumen tadi yang

menurut konstruktivis reason ini berdimensi internal dan eksternal (public).

Pembentukan reason tersebut sangat dipengaruhi oleh struktur normatif dan

ideasional si aktor yaitu : pertama, melalui proses sosialisasi, struktur tersebut

membentuk definisi si aktor mengenai siapa dia dan apa yang diinginkan: kedua

melalui proses justifikasi publik, struktur tadi memberi kerangka bagi logic of

argument , dan reason atau pertimbangan dari tindakan suatu aktor dapat

diklarifikasikan berdasarkan tipe sebagai berikut:22

1. Idiographic: siapa saya, hal ini berkaitan dengan identitas

2. Purposive: apa yang saya inginkan, kaitannya adalah proses

pembentukan kepentingan (preferences)

3. Ethical: bagaimana saya harus bertindak: hal ini berhubungan dengan

adanya norma sosial.

4. Instrumental : bagaimana saya bisa mendapat apa yang saya inginkan:

artinya metode atau cara yang digunakan

Gambar I. The interstitial conception of politics

Sumber: Christian Reuss-Smith,2004, p.26

21 C.Reus-Smith, p.22 22

C. Reus-Smith, p.25

21

Maka kesimpulannya bahwa pertimbangan politik berada pada kerangka keempat

jenis alasan tersebut yang saling bersinggungan. Keempat alasan tersebut

menjelaskan bahwa politik harus didasarkan pada koordinasi moralitas dan

kekuasaan. Namun, tidak hanya pertimbangan politik yang multidimensi, aksi

politik pun multidimensi. Aksi politik merupakan ekspresi dari perilaku alasan

politik para aktor. Setiap aspek dari alasan pertimbangan politik akan

mempengaruhi ekspresi praktis politik. Alasan ideographic ada di balik tindakan

para aktor yang terlibat ketika mereka berusaha untuk mengartikulasikan,

menunjukkan, melaksanakan, serta menguji self-identities mereka melalui

tindakan verbal yang komunikatif.

Dari beberapa penjelasan beberapa ahli konstruktivisme, penulis lebih

cenderung menggunakan teori Reuss-Smith sebagai acuan dalam menganalisis

alasan dari keterlibatan Jepang dalam bekerjasama menjalankan mekanisme

REDD+ dengan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan pendekatan konstruktivis

Reus-Smith merupakan pembahasan lebih lanjut dari teori yang dikemukakan

oleh Alexander Wendt dan beberapa ahli konstruktivis lainnya, dan menekankan

pada tindakan para aktor dalam membentuk struktur politik.

Dengan melihat posisi Jepang sebagai aktor sosial yang peduli terhadap

masalah lingkungan dan selalu memperhatikan perbaikan kesinambungan dan

terlibat kerjasama dengan Indonesia dalam REDD+ tidak hanya berdasarkan

penilaian terhadap suatu bentuk kerjasama bilateral yang didasarkan pada

kepentingan ekonomi, hal tersebut semakin menarik untuk dianalisis memakai

teori konstruktivis, untuk melihat penilaian apa saja yang meng-konstruksi Jepang

memutuskan bekerjasama dalam proyek tersebut.

22

E. Argumen Utama

Keterlibatan Jepang dalam politik REDD+ di Indonesia dapat dimaknai

sebagai bentuk upaya pencapaian tujuan kepentingan nasional negaranya, yang

dapat dilihat dari sudut pandang konstruktivis dengan dikaitkan dengan beberapa

asumsi yang membentuk tujuan kepentingan negaranya. Asumsi tersebut

dikaitkan dengan beberapa alasan pertimbangan politik yang dapat di analisa

menggunakan keempat konsep dari teori konstruktivis yang dikemukakan oleh

Reuss-Smith yaitu sebagai berikut:

Jepang memiliki identitas (ideographic) sebagai negara yang dikenal sangat

memperhatikan keadaan alam beserta lingkungannya yang dilihat dari penerapan

ide-ide konsep budaya yang mempunyai penilaian tinggi terhadap keberadaan

lingkungannya dan membentuk identitas negaranya. Namun munculnya

industrialisasi banyak menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak hanya

menjadi permasalahan domestik tetapi sampai ke tingkat internasional yang

merubah pandangan internasional terhadap identitas yang dimilikinya.

Berangkat dari identitas yang dimiliki Jepang, sebagai negara yang peduli

terhadap lingkungan, Jepang berupaya cepat dalam merespon permasalahan

lingkungan yang muncul dengan berkontribusi langsung dalam upaya mengatasi

isu pemanasan global dan terlibat kerjasama dengan Indonesia melalui mekanisme

REDD+ serta diharapkan dapat membangun kepercayaan dunia internasional

kembali terhadap posisi Jepang sebelumnya dengan mencoba mengembangkan

konsep budaya satoyama kembali karena memiliki banyak manfaat untuk

mengatasi perubahan iklim yang terjadi.

23

Dilihat dari etis (Ethical) yang dimiliki, keputusan Jepang untuk

melaksanakan kerjasama mekanisme REDD+ terhadap Indonesia, sesuai dengan

norma-norma yang diadopsinya dalam United Nations Framework Convention on

Climate Change yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengarahkan

tindakannya dalam upaya pelestarian lingkungan dan berkontribusi mengatasi isu

pemanasan global, sesuai dengan norma sosial yang dimilikinya.

Adapun Strategi yang digunakan, Jepang berupaya menerapkan konsep

politik lingkungan dengan membuat beberapa kebijakan luar negeri dalam bidang

lingkungan berkaitan dengan mekanisme REDD+ dan menjalankannya dengan

melakukan kerjasama bilateral melalui lembaga JICA dengan beberapa Negara

berkembang, salah satunya Indonesia, sebagai alat (instrumental) agar tujuan

politik luar negeri Jepang dapat tercapai.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

eksplanatif, eksplanasi bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua

atau lebih gejala atau variabel melalui penggunaan teori dan konsep-konsep

dalam menjelaskan suatu fenomena.23 Metode yang digunakan dengan

menggunakan metode pendekatan empiris dan teoritis agar penelitian dapat

dipahami oleh pembaca lebih mudah sehingga dalam penelitian ini berusaha

menjelaskan bahwa yang menjadi objek penelitian adalah konsep ide dan struktur

normatif yang melatarbelakangi dan mengkonstruksi pandangan dan tindakan

Jepang dalam bidang lingkungan dan keterkaitannya dalam kerjasama

implementasi REDD+ di Indonesia. Penulisan ini akan memfokuskan pada 23 M, Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1990, p. 307

24

tulisan-tulisan ilmiah tentang konstruksi sosial lingkungan hidup khususnya

tentang mekanisme REDD+ yang dijalankan Jepang sebagai konsep politik

lingkungannya. Sumber lainnya bisa berupa dokumen negara, buku-buku

teks,jurnal-jurnal ilmiah dan beberapa hasil wawancara dengan lembaga terkait

mengenai kerjasama tersebut, yaitu wawancara dengan perwakilan kemenlu dari

Jepang dan JICA, kementerian kehutanan bagian PJLHKL, tim lapangan proyek

IJREDD+, dan sektor pendukung lainnya.

G. Sistematika Penulisan

Di dalam penulisan tesis ini dalam pembahasannya akan terbagi menjadi

empat bab, untuk lebih mempermudah dalam pemahaman akan pemikiran penulis.

Pada Bab I Pendahuluan ini, terdiri dari latar belakang masalah topik yang

penulis tulis, perumusan masalah, kerangka analisis, argumen utama serta metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II lebih menjelaskan tentang Peran REDD+ dalam menangani Isu

Perubahan Iklim, dari awal penjelasan mengenai kemunculan REDD+, bentuk

implementasinya di berbagai level pemangku kepentingan, serta keterlibatan

Jepang sebagai negara pendonor untuk menjalankan Implementasi REDD+ di

Indonesia.

Bab III akan lebih berfokus untuk menganalisis alasan yang mengkonstruksi

tindakan Jepang dalam pelaksanaan politik lingkungan Jepang di Indonesia dalam

kerjasama IJ-REDD+ dilihat dari teori konstruktivis yang diterangkan oleh Reuss-

Smith yang ditinjau dari 2 hal yaitu Idiografik yang dilihat dari konsep ideasional

dari budaya dan struktur normatif yang membentuk identitas sebagai negara

ramah lingkungan dan menganalisis tujuan keterlibatannya apakah sesuai dengan

25

argumen penulis yang menyatakan bahwa tujuan kepentingannya terbentuk dari

identitas yang dimilikinya dan sebagai respon yang diberikan kepada dunia

internasional terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi di tingkat global

serta penyesuaian dengan kepentingan nasional negara tersebut yang ingin

membangun sistem perekonomiannya berbasiskan penerapan ekonomi hijau.

Bab IV merupakan analisis selanjutnya dari alasan tindakan Jepang

bekerjasama dalam mekanisme REDD+ dilihat dari aspek etis (Ethical) dan

instrumental yang dilihat dari norma-norma yang membentuk tindakan Jepang

dari hasil keterlibatan dalam Konvensi Lingkungan UNFCCC yang diseuaikan

dengan norma sosial yang dimilikinya dalam menjalankan diplomasi

lingkungannya melalui lembaga JICA dalam kerjasama proyek implementasi

REDD+ di Indonesia,

Penutup tesis ini akan disampaikan di Bab V, yang berisi kesimpulan yang

bisa ditarik dari hasil pengkajian isu yang diteliti.