bab i pendahuluan -...

15
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1.1.1. Transportasi Massal Perkotaan Paradigma yang berkembang saat ini adalah mengenai Abad Kota, abad dimana orang kini dominan untuk memilih tinggal di kota. Kota kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan bak sebuah magnet yang menarik pergerakan manusia dari desa ke kota. Keberadaan magnet pusat pemerintahan, perekonomian, dan peradaban yang cenderung berada di pusat kota menjadi faktor penarik yang kuat disamping faktor pendorong seperti perkembangan desa yang lambat. Tingkat urbanisasi di Indonesia kini telah mencapai 50% , dan diperkirakan mencapai 68% pada tahun 2025 (Agustus 2012, datastatistik-indonesia.com). Berbondong bondong orang menggantungkan cita hidup sejahtera dengan hidup dan bekerja di kota. Kota kota ini semakin padat, melebar ke segala arah sehingga tercipta area area aglomerasi kota. Pembangunan fungsi lahan baru di kota dan sekitarnya merupakan masalah yang dilematis, di satu sisi merupakan signal positif terhadap perkembangan ekonomi yang dinamis, namun di sisi lain memberi konstribusi pada buruknya perkembangan struktur kota dan system transportasinya. Struktur ruang kota terencana mengalami banyak perkembangan dan perubahan sejalan dengan dibukanya banyak sistem jaringan jalan baru guna mengkoneksikan area aglomerasi dengan kota. Fenomena bottle

Upload: lyanh

Post on 07-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

1.1.1. Transportasi Massal Perkotaan

Paradigma yang berkembang saat ini adalah mengenai Abad Kota, abad

dimana orang kini dominan untuk memilih tinggal di kota. Kota – kota besar di

Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan bak

sebuah magnet yang menarik pergerakan manusia dari desa ke kota. Keberadaan

magnet pusat pemerintahan, perekonomian, dan peradaban yang cenderung berada

di pusat kota menjadi faktor penarik yang kuat disamping faktor pendorong

seperti perkembangan desa yang lambat. Tingkat urbanisasi di Indonesia kini

telah mencapai 50% , dan diperkirakan mencapai 68% pada tahun 2025 (Agustus

2012, datastatistik-indonesia.com).

Berbondong – bondong orang menggantungkan cita hidup sejahtera

dengan hidup dan bekerja di kota. Kota – kota ini semakin padat, melebar ke

segala arah sehingga tercipta area – area aglomerasi kota. Pembangunan fungsi

lahan baru di kota dan sekitarnya merupakan masalah yang dilematis, di satu sisi

merupakan signal positif terhadap perkembangan ekonomi yang dinamis, namun

di sisi lain memberi konstribusi pada buruknya perkembangan struktur kota dan

system transportasinya. Struktur ruang kota terencana mengalami banyak

perkembangan dan perubahan sejalan dengan dibukanya banyak sistem jaringan

jalan baru guna mengkoneksikan area aglomerasi dengan kota. Fenomena bottle

2

neck pada jam – jam sibuk pagi dan sore hari pada ruas jalan menuju kota ,

padatnya jalan oleh kendaraan merupakan cerminan kondisi kota-kota besar kini.

Pergerakan kendaraan dalam kota kini justru mengarah kepada perlambatan dan

stagnasi berupa kemacetan.

Pada umumnya orang melihat kepemilikian kendaraan bermotor pribadi

sebagai solusi bagi kebutuhan pergerakannya. Kredit kepemilikan kendaraan

bermotor di Indonesia sendiri tergolong cukup mudah. Tujuan utama

pembangunan jalan- jalan baru dan flyover demi kelancaran sirkulasi kota, kadang

justru menjadi pisau bermata dua, dimana hal ini juga dilihat sebagai peluang bagi

pengguna kendaraan pribadi sebagai kesempatan untuk menurunkan kendaraanya

ke jalan. Jalan yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pemindah pergerakan

manusia justru menjadi sarana pemindah kendaraan. Terjadi okupansi jalan yang

berlebih sehingga menimbulkan kemacetan dan mengganggu fungsi kota. Lambat

laut hal ini menimbulkan banyak kerugian baik secara fisik maupun material.

Membanjirnya kendaraan pribadi di ruas jalan-jalan juga sebagai akibat

ketidakberdayaan pemerintah dalam menyediakan sarana prasaranan transportasi

masal. Isu realisasi transportasi massal telah digaungkan pemerintah baik

pemerintah ibu kota seperti Jakarta sebagai representasi kota metropolitan dengan

berbagai program transportasi massal seperti Monorail , MRT, maupun waterway.

BRT dan KRL yang sudah diaplikasikan selama bertahun-tahun ternyata tidak

belum mampu memberi imbas berarti bagi pengurangan besarnya penggunaan

kendaraan pribadi yang akhirnya menimbulkan kemacetan dan polutan yang luar

biasa.

3

Penyediaan sarana transportasi massal dan pendukungnya baik secara

sistemik dan spasial di Indonesia nyatanya belum juga mantap, banyak masalah

yang terus saja muncul sehingga menimbulkan keengganan bagi masyarakat kota

untuk menggunakan transportasi perkotaan massal tersebut.

Rencana pembangunan jalur kereta api lintas negara seperti konsep

jaringan jalur jereta api di asia (Trans Asian railway) merupakan salah satu

perwujudan globalisasi dalam pembangunan jaringan jalur kereta api (Rencana

induk Perkeretaapian nasional tahun 2030, Kementerian perhubungan Ditjen

Perkertaapian, April 2011). Jejalin jalur perkereta apian antar tujuan dalam suatu

kota, pulau, dan antar Negara akan memberikan kemudahan keterhubungan.

Kebutuhan kereta api perkotaan di Indonesia dikaji dengan pendekatan

bahwa penyediaan layanannya harus tersedia di kota-kota besar yang mempunyai

jumlah penduduk lebih dari 1juta jiwa atau jika pergerakan internal kota tersebut

sudah memerlukan, angkutan masal berupa kereta api perkotaan. Kereta api

perkotaan melayani layanan commuter dan local yang dalam pelayanannya

terintegrasi dengan moda darat lainnya. Angkutan umum massal seperti kereta api

harus dapat menjadi tulang punggung pergerakan manusia. Terdapat banyak

manfaat positif dari penggunaan sistem transportasi masal seperti kereta, baik

terhadap manfaat ekonomis, sosial, dan lingkungan. Titik-titik transit angkutan

umum menjadi titik awal dari pergerakan manusia untuk mencapai tujuannya

masing-masing.

4

1.1.2. Perkembangan Perkeretaapian di D.I.Yogyakarta

Hadirnya kereta api di Indonesia, berawal dengan berdirinya perusahaan

swasta NV Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada 27

Agustus 1863. Sekitar enam tahun kemudian,tepatnya pada tanggal 10 April 1869,

Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan perusahaan kereta api Staats

Spoorwegen (SS). Pendirian SS ini dilatarbelakangi adanya kesulitan dalam

pembangunan jalur kereta, misalnya masalah finansial. Namun, ide pembangunan

jaringan jalur kereta api telah dikemukakan oleh Kolonel JHR Van Der Wijk,

seorang petinggi Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), pada 5 Agustus

1840, 23 tahun sebelum NISM didirikan. Menurut Kolonel JHR Van Der Wijk

kereta api merupakan salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah

pengangkutan dan akan sangat menguntungkan dalam bidang pertahanan. Ide

awal yang ia rencanakan adalah pembangunan jalur kereta api Batavia-Surabaya

melalui Yogyakarta dan Surakarta. Pemerintah Hindia Belanda menerima ide itu,

tetapi jalur yang dibangun malah menghubungkan Semarang dengan Surakarta

dan Yogyakarta.

NISM sendiri didirikan setelah mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal

Hindia Belanda saat itu, Mr. L.A.J.W. Baron Sloet Van De Beele untuk

membangun jalur Kemijen-Tanggung yang berjarak 26 km. Pembangunan jalur

kereta api di Jawa, kemudian dilakukan pada 17 Juni 1864, ditandai dengan

peletakan batu pertama oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke- 52 Van De

Beele. Jalur Kemijen-Tanggung selesai dan mulai dipergunakan pada 10 Agustus

1867. Jalur Kemijen-Tanggung ini kemudian diperpanjang hingga sampai

5

Yogyakarta melalui Surakarta dan mulai dipergunakan pada 10 Juni 1872.

Selesainya jalur baru ini sekaligus menandai masuknya kereta api untuk pertama

kali ke wilayah Yogyakarta. Stasiun Lempuyangan kemudian dibuka dan

diresmikan pada 2 Maret 1882. Semua jalur tersebut dikuasai dan dikelola oleh

NV. NISM (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij / Perusahaan Kereta

Api Hindia-Belanda).

Tumbuhnya kawasan-kawasan aglomerasi pada area pantai selatan pulau

Jawa termasuk D.I.Yogyakarta juga tidak dapat dihindari. Kota Yogyakarta

sebagai pusat pemerintahan D.I.Yogyakarta kini telah mengalami perluasan ke

berbagai penjuru. Keberadaan Kota Yogyakarta yang dekat dengan kota-kota

berkembang lainnya seperti kota Solo dan Purworejo menjadi salah satu faktor

pemicu tumbuhnya aglomerasi linier sepanjang jalan arteri utama kota

Yogyakarta ke barat menuju Wates, Purworejo dan ke timur menuju kota Klaten,

Solo, hingga Sukoharjo. Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota tujuan penting

di pulau Jawa membuat intensitas pergerakan dari dan ke kota Yogyakarta cukup

tinggi.

Pergerakan dari kota – kota tersebut menuju kota Yogyakarta dan

sebaliknya saat ini dominan dilakukan dengan berkendara dengan mobil ataupun

motor pribadi. Peningkatan okupansi jalan kendaraan menuju Yogyakarta tiba –

tiba menjadi cukup tinggi utamanya jika kita lihat pada titik pertemuan ring road

utara dan selatan terhadap jalan arteri kota.

6

Gambar 1.1. Titik sumber pergerakan dari dan ke kota Yogyakarta

(Pengolahan data, Juli 2012)

Yang perlu dilirik untuk selanjutya adalah mengenai transportasi massal

kereta sebagai masa depan pergerakan massal kota-kota masa depan Indonesia tak

terkecuali bagi Kota Yogyakarta. Terdapat kesempatan pengembangan

transportasi massal perkotaan bagi kota Yogyakarta, baik untuk pergerakan antar

kota-kota aglomerasi Yogyakarta seperti dari Kulon Progo dan Sleman maupun

pergerakan transportasi massal dengan kereta antar kota.

Dari tiga stasiun di D.I.Yogyakarta yaitu Stasiun Tugu, Lempuyangan,

dan Maguwo andil peranan layanan kereta api yang menghubungkan antar kota

dalam jarak dekat atau relasi lokal dimulai. Relasi kereta api local ini adalah yang

menghubungkan antara relasi Stasiun Kutoharjo – Stasiun Solo Balapan dan

stasiun-stasiun yang dilalui dalam relasi tersebut.

7

Gambar 1.2. Status Keaktifan jalur tertua di Jawa

( Ikaputra Research Agenda 2004 – 2007)

1.1.3. Kawasan Stasiun Lempuyangan

Stasiun Lempuyangan merupakan stasiun tertua di Yogyakarta. Stasiun

ini diresmikan pada tanggal 2 Maret 1882 sebagai stasiun tertua di Yogyakarta

saat ini melayani jalur kereta ekonomi jarak jauh dan jalur perkotaan. Dengan

luasan fisik stasiun yang tidak cukup besar stasiun Lempuyangan adalah salah

satu titik pergerakan antar kota yang penting di kota Yogyakarta. Sayangnya

potensi pergerakan yang diwadahi stasiun tidak diimbangi dengan desain spasial

area sekitar stasiun yang dapat mendukung bahkan meningkatkan transit ridership

pada area tersebut.

8

Gambar 1.3. Emplasemen Stasiun lempuyangan & area sekitar stasiun

(Dokumentasi Pribadi, Agustus 2012)

Kawasan sekitar stasiun cenderung mati bagi pergerakan berjalan kaki

bagi manusia yang seharusmya menjadi tumpuan penting dalam keberhasilan

fungsi transit perkereta apian. Jalan-jalan di sekitar stasiun lebih berfungsi sebagai

jalur pemindah kendaraan. Akibatnya di luar jam-jam kedatangan dan kepergian

kereta suasana transit pun tidak terasa pada area tersebut. Fasilitas feeder transit

seperti bus trans Jogja yang adapun tidak dapat berintegrasi dengan baik,

kedatangan penumpang menuju stasiun lebih diwadahi dengan penggunan

kendaraan pribadi.

Stasiun Lempuyangan sendiri dengan ketersediaan area empalsemen

yang cukup luas sesungguhnya memiliki potensi pengembangan kawasan sebagai

kawasan Urban Transit Oriented Development yang dapat memegang peranan

vital dalam skala kota Yogyakarta. Di sekitar stasiun didominasi dengan area

komersial, pendidikan, perkantoran dan pada layer berikutnya didominasi area

permukiman. Fungsi – fungsi bangkitan dan destinasi tujuan menuju pusat-pusat

kegiatan kota Yogyakarta pun tersebar cukup dekat dengan stasiun. Namun

sayangnya kondisi transit kawasan ini cenderung mati.

9

Begitu halnya dalam usaha penciptaan area transit stasiun Lempuyangan,

walkability menuju stasiun dan area sekitarnya perlu diperhatikan sedemikan rupa.

Untuk meningkatkan aktivitas transit sehingga mampu mengurangi

ketergantungan terhadap kendaraan bermotor pribadi.

1.1.4. Transit Oriented Development dan Walkability

Dalam usaha menarik minat masyarakat kepada penggunaan fasilitas

transportasi publik, tempat transit menjadi salah satu aspek penting dalam

pengembangan transportasi massal. Oleh karena itu untuk mencipatakan suasa na

pergerakan transit yang menyenangkan dan menjaga struktur ruang kota maka

dikenal konsep Transit Oriented Development (TOD).

Transit Oriented Development (TOD) mudah dimengerti sebagai konsep

perencanaan dan perancangan kota dengan mengintegrasikan antara tata guna

lahan, transportasi untuk menciptakan kota yang efisien. Banyak kota-kota di

dunia mampu menyelesaikan permasalahan kota dan transportasinya melalui

pengaplikasian system tranportasi massal dan TOD yang baik.

Landasan utama dari sistem Transit Oriented Development adalah nodal

yang terfokus pada pusat komersial , pemerintahan, dan tempat transit yang

potensial. Hal itu dapat ditunjukkan oleh jarak maksimal pejalan kaki yang dapat

ditempuh, berada pada pusat komersil, dimana terintegrasi dengan kantor

pemerintah sera permukiman, perkantoran dan ruang public sekitarnya.

Dalam menghubungkan fungsi-fungsi strategis dalam area TOD ,

Walkability adalah elemen kunci sukses efektivitas TOD yag sangat penting.

10

Walkability adalah kemampuan atau suasana yang memungkinkan terjadinya

aktivitas berjalan kaki yang nyaman dan menyenangkan. Keberhasilan system

walkability akan menciptakan suasana TOD yang dinamis, livable. Oleh karena

itu studi mengenai model walkability merupakan salah satu studi yang penting

dalam TOD.

Alasan pemilihan lokus studi pada kawasan Stasiun Lempuyangan,

adalah didasarkan beberapa pertimbangan dibawah ini:

1. Stasiun Lempuyangan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai

stasiun kereta perkotaan pada masa yang akan datang.

2. Stasiun Lempuyangan dikenal sebagai stasiun yang melayani jalur kereta

ekonomi dan antar kota, pada umumnya pengguna jasa jalur kereta ini

memiliki keterbatasan akses terhadap kepemilikan kendaraan pribadi

untuk menuju dan dari stasiun, baik dikarenakan kemampuan ekonomi,

jarak, kecukupan waktu, dan kepraktisan.

Keberadaan sarana transportasi publik dan akses bagi pejalan kaki untuk

mencapai sarana-sarana tersebut adalah penting.

3. Stasiun Lempuyangan terletak pada posisi yang strategis yaitu di pusat

kota dengan sebaran destinasi yang beragam seperti area pemerintahan,

perkantoran, komersil, dan pendidikan.

4. Emplasemen kawasan Stasiun Lempuyangan yang cukup luas,

memungkinkan untuk pengembangan kawasan stasiun yang lebih baik

dengan lingkungan yang walkable di masa mendatang.

11

1.2.Rumusan Permasalahan

Permasalahan timbul sebagai akibat adanya ketimpangan antara kondisi

ideal dengan kondisi empiris lapangan. Dalam studi kasus kawasan Stasiun

Lempuyangan kondisi kawasan stasiun yang merepresentasikan kawasan Transit

Oriented Development diduga mengalami ketimpangan kondisi empiris terhadap

idealnya kondisi walkability pada kawasan berbasis TOD. Rendahnya kualitas

walkability memicu masalah – masalah lainnya bagi kawasan.

Gambar 1.4. Skema Permasalahan

( Analisa, Juli 2012)

1.2.1. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan permasalahan, maka

didapatkan pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana kondisi walkability kawasan berbasis Transit Oriented

Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan ?

2. Faktor – factor apa saja yang mempengaruhi kondisi walkability kawasan

berbasis Transit Oriented Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan?

3. Bagaimana strategi meningkatkan walkability kawasan berbasis Transit

Oriented Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan?

12

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan permasalahan dan pertanyaan

penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi walkability kawasan berbasis Transit Oriented

Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan.

2. Mengidentifikasi faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi

walkability kawasan berbasis Transit Oriented Development pada kawasan

Stasiun Lempuyangan.

3. Merumuskan strategi meningkatkan walkability kawasan berbasis Transit

Oriented Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan.

1.4.Manfaat Penelitian

Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, maka manfaat yang diharapkan

dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan pertimbangan, arahan pengendalian, masukan bagi pemerintah

dan masyarakat dalam mengembangkan walkability pada kawasan stasiun

yang berbasis Transit Oriented Development.

2. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak –

pihak lain dalam meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya walkability

dalam kawasan Stasiun yang berbasis Transit Oriented Development.

13

1.5. Keaslian Penelitian

Tabel 1.x. Data Penelitian Mengenai Stasiun Lempuyangan

Topik No Tahun Peneliti Judul Lokus Fokus

Pedestrian

way,

walkability pada

kawasan

umum

1 2009 Ivan

Gunawan

Tesis MDKB UGM;

Model jalur pedestrian di jalan Sudirman Yogyakarta

berdasarkan aspek kenyamanan ruang jalan

Jl.Sudirman,

Yogyakarta

mengetahui tingkat kenyamanan pejalan kaki di jalur pejalan kaki pada

Jalan Sudirman dan menemukan faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhinya.

2 2011 Ria

Sulinda

Hutabarat

LO

Disertasi University of California;

Walkability Planning in Jakarta

Kota Jakarta Untuk mengetahui bagaimana ruang public bagi pedestrian tercipta di

Jakarta, dan urgensinya bagi pedestrian. Mengetahui bagaimana kondisi

dan perbedaan pedestrian & ruang pedestrian di Jakarta dengan kota-

kota di barat.

3 2013 Lana

Wiyananti

Penelitian Australia Awards;

Walkability and Pedestrian Facilities in Indonesian

Cities

Kota-kota besar di

Indonesia seperti

Padang, Yogyakarta,

dan Mataram.

Menyediakan informasi mengenai kondisi infrastruktur pedestrian

terkini dengan menggunakan parameter dari Global Walkability Index

dengan beberapa penyesuaian agar sesuai dengan kota-kota Indonesia.

walkability

pada

kawasan

TOD/ROD

1 2008 Sungjin

Park

Disertasi University of California, Berkeley;

Defining, Measuring, and Evaluating Path Walkability,

and Testing Its Impacts on Transit Users’ Mode Choice

and Walking Distance to the Station

Stasiun transit sub

urban di Mountain

View, California

Mengetes efek tingkat jalan sebagai bagian dari atribut urban design

terhadap perilaku pejalan kaki.

Mengetes dan megukur efek dari walkability jalur pejalan kaki terhadap

perilaku pejalan kaki,

2 2010 Ayse

N.Ozbil

Disertasi Georgia Institute of Technology;

Walking to the Station: The Effect of Street Connectivity

on Walkability and Access to Transit

Area dalam Jaringan

Kereta MARTA Rail

networks, Atlanta

Mengetahui hubungan antara kepadatan, tata guna lahan campuran, dan

konektivitas jaringan jalan terhadap perbedaan perilaku berjalan kaki,

utamanya mengenai pembagian mode berjalan transit dan jarak berjalan

kaki menuju dan dari stasiun.

3 2013 Lukluk

Zuraida

Jamal

Walkability pada kawasan berbasis Transit Oriented

Development,

Studi kasus: Kawasan Stasiun Lempuyangan.

Kawasan Stasiun

Lempuyangan

Mengetahui kondisi walkability dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya pada kawasan berbasis TOD. Mencari strategi guna

meningkatkan walkability pada kawasan tersebut.

Stasiun

lempuyangan

1 2004 Yuwono

Wiarco

Tesis Magister Sistem dan Teknik Transportasi UGM;

Fasilitas perpindahan moda di Stasiun Kereta Api :

Studi kasus Stasiun Lempuyangan Yogyakarta

Stasiun Lempuyangan

Yogyakarta

mengetahui kinerja pelayanan bus kota jalur 6 Kopata Yogyakarta dari

segi waktu menunggu dan jarak berjalan kaki, mengetahui pelayanan

fasilitas perpindahan moda di stasiun Lempuyangan berdasarkan

persepsi penumpang

Tabel 1.1. Data Penelitian Mengenai Stasiun Lempuyangan

( Kompilasi Data Tesis - Disertasi, April 2013)

14

1.6.SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pemahaman mengenai tulisan ini, disusunlah

sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I . PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang yang terdiri dari penjelasan mengenai perkembangan

transportasi perkotaan dan pentingnya Transit Oriented Development serta

Walkability dalam kawasan stasiun. Bab I juga terdiri atas Rumusan Masalah,

Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian dan Sistematika penulisan.

BAB II . TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tinjauan teoritis mengenai Transit Oriented Development serta

Walkability.

BAB III . METODE PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai pendekatan penelitian, lokasi penelitian, variabel

penelitian, tahapan penelitian, serta kerangka penelitian.

BAB IV . GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab ini akan membahas gambaran umum mengenai lokus kawasan Stasiun

Lempuyangan.

BAB V . HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memaparkan hasil identifikasi dan temuan yang ada di lapangan sesuai

dengan metode penelitian yang digunakan. Hasil penelitian tersebut dianalisa

dengan teori yang dijadikan landasan variabel dan sebagai materi pembahas hasil

temuan.

15

BAB VI . KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab ini membahas hasil kesimpulan dari analisa hasil penelitian, dan dari

kesimpulan tersebut dibuat rekomendasi berupa arahan desain (guidelines) serta

saran dari penelitian.