ketika mrt urai kemacetan jakartatataruang.bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi butaru5...
TRANSCRIPT
Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta
Macet adalah keadaan yang hampir setiap saat dialami
masyarakat Jakarta. Sebelumnya, macet hanya dialami,
saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun
kini, setiap saat dan setiap kesempatan, macet akan terus
menyertai, kemana pun mayarakat bepergian. Hal ini
mungkin dapat dimaklumi, mengingat perbandingan
jumlah pertumbuhan jalan dan pertumbuhan kendaraan
bermotor tidak seimbang. Tercatat. pertumbuhan jalan di
Jakarta kurang dari 1% per tahun padahal setiap hari
setidaknya ada 1000 lebih kendaraan bermotor baru turun
ke jalan di Jakarta.
Menurut Pakar Transportasi Dr.Techn. Ir. Danang Parikesit, M. Sc.(Eng), dampak secara
ekonomi akibat kemacetan ini, begitu nyata. Bahkan menurut survey, Danang
menyatakan, masyarakat Jakarta, akan menghabiskan 6-8%PDB untuk biaya transportasi.
Padahal menurut standart Internasional, biaya transportasi dikeluarkan oleh seseorang,
idealnya adalah 4% dari PDB.
Angka senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2005.
Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta ditaksir Rp 12,8triliun/tahun
yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya kesehatan.
Sementara berdasarkan SITRAMP II tahun 2004 menunjukan bahwa bila sampai
2020tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi maka perkiraan
kerugian ekonomi mencapai Rp 65 triliun/tahun.
Berdasarkan studi tersebut, maka jelas Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal
yang lebih andal. Salah satu alternatifnya adalah MRT. Menurut Danang Parikesit, yang
lahir Yogyakarta, 3 Juni 1965 silam, MRT memiliki nilai lebih, yang tidak bisa
didapatkan dari jenis angkutan yang lain. Berikut, wawancara singkat, mengenai
efektivitas pemilihan angkutan missal yaitu MRT, untuk mengurai menyelesaikan
permasalahan kemacetan di Jakarta khususnya dan di kota-kota besar lainnya di
Indonesia.
Bagaimana pendapat Prof. Danang mengenai keadaan transportasi di Indonesia,
khususnya di Jakarta?
Kalau kita lihat secara kinerja, kecepatan rata-rata orang melakukan kendaraan pribadi
dengan tidak mencapai 15 km/jam , kita sudah tidak kompetitif lagi. Thailand kin, sudah
mencapai 18 km/jam, Tokyo 20-22 km/jam.
Mengapa dikatakan tidak kompetitif?
Karena, akibat kemacetan ini, sejumlah kerugian akan melanda. Salah satunya adalah
kerugian secara ekonomi. Bahkan jika dikalikan setahun, kerugian secara ekonomi bisa
mencapai trilyunan rupiah. Dan, ternyata menurut survey per okober kemarin, kita
menghabiskan 6-8% PDB untuk biaya transport. Ini angka yang besar. Bahkan standart
internasional saja, hanya 4%.
Lalu, bagaimana penyelesaian kemacetan di Jakarta ini?
Kalau bicara tentang menyelesaikan transportasi, harus dipastikan orang yang ada di
dekat Jakarta misalnya Jabodetabek, mengalami kemajuan. Misalnya dalam kurun waktu
5-10 tahun, kecepatan tempuh meningkat dari 13 km/jam menjadi 18 km/jam. Tapi di
Jakarta khususnya, tidak ada progress, dulu macet, sekarang tambah macet. Salah satu
sebabnya adalah arus urbanisasi semakin lama semakin bertambah.
Dan, kecenderungannya adalah, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Mengingat
kendaraan massal kurang memadai maka, mereka lebih memilih menggunakan kendaraan
pribadi. Inilah salah satu sebab, kemacetan, setiap hari bertambah.
Apa skema yang tepat, untuk mengurai kemacetan ini?
Perjalanan tiap hari di Jakarta mencapai 40 Juta. Dari 40 juta perjalanan, 56%
menggunakan angkutan massal, dan 44% menggunakan kendaraan pribadi. Dimana,
untuk pengguna angkutan missal terbagi menjadi, 3% menggunakan KRL, 3%
menggunakan transjakarta, dan 50% menggunakan bis non transjakarta dan KRL. Jika
hal ini terus dibiarkan, saya khawatir kondisi di Jakarta akan semakin parah, karena
masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Bagaimana dengan wacana tentang MRT?
MRT, kini bukanlah wacana lagi. Namun, penyediaan MRT telah tertuang dalam Perpres
No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Ada dua perspektif
penting yang harus diperhatikan dalam mengatasi masalah transportasi. Yakni, jangka
pendek terkait mengatasi kemacetan dan jangka panjang adalah pengaturan pemanfaatan
ruang. Pembangunan MRT untuk Jakarta jelas sangat diperlukan demi mengatasi
kemacetan. Pembangunan MRT beserta sistem pendukungnya merupakan solusi yang
harus terus diupayakan. Juga diperlukan master plan untuk mengintegrasikan sistem
busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik sebagai MRT andalan di masa datang.
Dibutuhkan strategi untuk mengarahkan pilihan masyarakat menggunakan sarana
transportasi massal atau melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi
sehingga sistem transportasi massal dapat berjalan efektif.
Apakah MRT ini mampu mengurai kemacetan?
MRT bagian dari solusi transportasi. MRT mampu mengangkut penumpang dari satu
titik asal ke titik tujuan secara cepat, dan dalam jumlah yang besar. Namun, selain MRT
untuk mengatasi kemacetan diperlukan langkah-langkah lain seperti, peningkatan disiplin
lalu lintas, pembatasan volume lalu lintas, mendorong pengguna kendaraan pribadi
beralih ke MRT seperti dengan menyediakan fasilitas park & ride. Dan, yang paling
penting adalah mengintegrasikan sistem MRT dengan sistem angkutan massal lainnya
seperti bus umum, busway, dan kereta Jabodetabek. Sehingga sebelum ada pembatasan
jumlah kendaraan, Pemerintah hendaknya berupaya untuk menyediakan moda
transportasi massal yang andal, layak dan memadai sehingga masyarakatdengan
sendirinya akan lebih tertarik naik angkutan umum ketimbang bawa kendaraan sendiri.
Dengan begitu, penggunaan kendaraan umum dapat menjadi pilihan yang setara dengan
penggunaan kendaraan pribadi. Sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih
menggunakan transportasi publik.
Sistem MRT Jakarta sendiri dibangun untuk menjawab tantangan mobilitasyang rendah
karena terbatasnya ruang untuk bermobilitas. Kemacetan di jalanraya disebabkan oleh
ketidakseimbangan kapasitas jalan dengan volume kendaraan yang melaluinya.
Keunggulan sistem MRT Jakarta yang andal, tepat waktu, danharga tiketnya terjangkau
memberikan pilihan bagi pengguna kendaraan pribadikhususnya untuk beralih ke MRT.
Berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi iniakan meningkatkan ruang gerak di jalan
raya yang berdampak pada berkurangnyatingkat kemacetan serta tingkat polusi
Bagaimana mekanisme penyediaan MRT yang baik?
Terkait penyediaan MRT harus terintegrasi dengan penataan ruang. Harus ada
keterkaitan antara penataan ruang dengan sistem transportasi. Oleh karena itu,
diperlukan konsistensi dari pemangku kepentingan mulai tahap penyusunan
hingga implementasinya. Jakarta harus mencontoh negara-negara tetangganya
seperti Singapura dan Thailand yang telah berhasil mengatasi masalah kemacetan
dengan melakukan tindakan tersebut. Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta yang
saat ini dalam tahap penyusunan juga harus menyiapkan ruang yang diperlukan
MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit yang secara harafiah berarti
angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat.
Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta) yang berbasis rel. Rencananya, MRT
akan membentang kurang lebih ±108.7 km , yang terdiri dari Koridor Selatan –
Utara (Koridor Lebak Bulus - Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih ±21,7
km dan Koridor Timur – Barat sepanjang kurang lebih ±87 km.
Pembangunan Koridor Selatan-Utara dari Lebak Bulus – Kampung Bandan dilakukan
dalam 2 tahap.Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu menghubungkan Lebak Bulus
sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15.5 km dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan
6 stasiun bawah tanah) ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.Tahap II akan
melanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI ke Kampung Bandan yang akan mulai
dibangun sebelum tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi paling lambat
2020.Koridor Barat-Timur saat ini sedang dalam tahap pre-feasibility study. Koridor ini
ditargetkan paling lambat beroperasi pada 2027.
Apa kelebihan MRT ini?
MRT, adalah jenis angkutan massal yang mahal dalam pengadaannya, salah satunya
untuk biaya infrastruktur. Perhitungan kasarnya, 1 Km akan memakan biaya 1 trilyun.
Sehingga praktis jika ingin membangun MRT sepanjang 12 Km maka, biaya yang harus
dikeluarkan sebesar 12 trilyun sampai 14 trilyun. Dengan jumlah biaya yang demikian,
jika pemaknaan pembangunan MRT ini hanya untuk mengangut orang saja, kurang. Nah,
yang menjadi sisi keunggulan dari MRT ini adalah mampu mengembangkan daerah-
daerah sekitar MRT sesuai dengan tata ruang kota. Seperti di negara-negara yang telah
berhasil menggunakan moda ini, kawasan di sekitar MRT menjadi kawasan yang
berkembang. Ruang-ruang public maupun bisnis, akan sangat tertarik untuk
mengembangkan investasinya di sekitar MRT. Sehingga makin lama, kawasan sekitar
MRT akan berkembang, sehingga biaya operasional MRT yang cukup mahal jika hanya
untuk angkutan missal tersebut, dapat tertututi oleh berkembangnya daerah sekitar MRT.
Selain itu, MRT ini tidak hanya sekedar membantu mengatasi kemacetan, namun juga
sebagai pendorong bagi Pemprov DKI Jakarta untuk merestorasi tata ruang kota. Agar
lebih efektif dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Caranya adalah MRT
Jakarta diintergrasikan dengan tata ruang di kawasannya. Integrasi diwujudkan dengan
pembangunan jalan menuju stasiun atau menyediakan angkutan umum lain yang
memudahkan warga datang atau meninggalkan stasiun MRT.
Pada beberapa lokasi stasiun, dimungkinkan untuk membangun tempat parkir di stasiun
dan trotoar yang memadai untuk mengakses stasiun. Dengan cara ini, warga yang tinggal
atau beraktivitas di sekitar jalur MRT dapat merasakan manfaat langsungnya. Sementara
warga yang tinggal agak jauh juga dapat meninggalkan kendaraan pribadi dan mengakses
MRT dengan angkutan umum pendukung. Pemilik kendaraan pribadi juga dapat
memarkir kendaraan di dekat stasiun.
Terhubungnya stasiun MRT dengan pusat perbelanjaan, perkantoran dan pusat-pusat
aktivitas sosial lainnya akan memberikan manfaat tersendiri bagi pusat-pusat kegiatan
ini.Dengan laju manusia yang lebih baik, pusat perbelanjaan menjadi ramai dan
perkantoranterjamintingkathuniannya.
Lalu, Bagaimana pembiayan MRT ini?
Sekarang sudah ada sumber pembiayaannya. Tercatat, Pendanaan untuk proyek MRT ini
diperoleh pinjaman dari JICA dan jaminan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain,
proyek MRT ini merupakan proyek nasional yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI
Jakarta. Pada Oktober 2005 telah dikeluarkan surat keputusan Menko Perekonomian no.
057/2005 yang menetapkan pembayaran pinjaman tersebut ditanggung bersama oleh
Pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta dengan komposisi 42% : 58%. Segera setelah
keluarnya SK tersebut, pada tahun2005, juga disepakati struktur proyek dan konsep
pendanaan yang disepakati oleh Bappenas, Departemen Perhubungan, Departemen
Keuangan, Pemerintah Provinsi DKIJakarta dan JICA.
Terkait dengan kota Jakarta yang rawan bencana, terutama banjir, bagaimana
menurut Prof. Danang, tingkat keamanan MRT ini?
Sekarang kan sudah ada teknologinya untuk menyiasatinya. Berdasarkan pengalaman di
negara lain yang rawan gempa seperti di Jepang, begitu juga dengan masalah banjir,
transportasi MRT tetap bisa dijalankan. Persoalan banjir, tanah lembek dan gempa dapat
diatasi dengan rekayasa teknik. Misalnya saja di Hong Kong dan Bangkok, yang rawan
banjir. Rekayasa teknik yang dipergunakan untuk mengatasi banjir antara lain dengan
cara peninggian pintu masuk. Sedangkan untuk tanah lembek dapat diatasi dengan teknik
perbaikan tanah (soil improvement). Selain itu, struktur bangunan yang relatif pendek
pada MRT, membuat pengaruh gempa relatif tidak signifikan dibandingkan dengan
pengaruh gempa pada gedung-gedung tinggi. (berbagai sumber)
WATERFRONT CITY, BANJARMASIN
Sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota Oleh:
Raditya PU *
Kepala Bappeda Banjarmasin
Kota Seribu Sungai. Sudah sewajarnya jika sebutan tersebut diberikan masyarakat untuk
Banjarmasin. Kota yang dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu
Sungai Martapura dan Sungai Barito sehingga kota ini pun memiliki berpuluh-puluh
sungai, anak sungai dan bahkan kanal – kanal. Sungai memiliki arti yang sangat penting
bagi masyarakat Banjarmasin. Pasar Terapung yang sangat khas Banjarmasin menjadi
bukti penting eksistensi sungai di tengah kehidupan masyarakat. Aktivitas
perdagangannya „terapung‟, baik penjual maupun pembeli bertransaksi diatas sungai
dengan menggunakan perahu khas Banjar, Jukung.
Foto 1. Banjarmasin, Kota Seribu Sungai
Meskipun disebut sebagai kota seribu sungai,
namun kenyataannya Banjarmasin justru
kehilangan sungai dari sebelumnya 107 buah
menjadi 71 buah pada saat ini. (Foto: Paparan
Wakil Tentang Sungai, 2010)
Foto 2. Pasar Terapung Banjarmasin
Pasar terapung yang merupakan
cerminan kuatnya kultur kehidupan
perairan masyarakat Banjarmasin saat ini
menjadi salah satu daya tarik pariwisata
khas. (Foto: Paparan Wakil Tentang
Sungai, 2010)
Secara historis, Banjarmasin bahkan memiliki peran yang sangat strategis dalam
perdagangan antar pulau karena merupakan wilayah pertemuan Sungai Barito dan Sungai
Martapura. Di masa kolonial Belanda, Banjarmasin dengan aliran Sungai Barito yang
luas menjadi pelabuhan keluar-masuk barang dari Singapura dan Jawa menuju ke pantai
timur Kalimantan. Selain itu, secara internal, Suku Banjar banyak memanfaatkan
keberadaan sungai tersebut beserta anak sungainya sebagai jalur transportasi utama
dengan jukung sebagai „kendaraan‟ utama dalam pergerakan masyarakat. Pengaruhnya,
sebagian besar aktivitas dan permukiman masyarakat Banjarmasin berkembang di sekitar
sungai dengan karakteristik rumah mengapung, atau mereka sering menyebut sebagai
Rumah Lamin. Lebih jauh lagi, penggunaan sungai sebagai jalur transportasi
mempengaruhi orientasi muka bangunan, entrance bangunan menghadap ke sungai yang
merupakan salah satu karakteristik dari waterfront city.
Foto 3 : Karakteristik Permukiman waterfront
Banjarmasin selain memiliki tiga sungai besar (lebar lebih dari 500 meter) yakni Sungai
Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak, juga memiliki sungai-sungai berukuran
sedang (lebar di atas 25 m hingga 500 m) seperti Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai
Kuin dan Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil (lebar kurang dari 25 m) jumlahnya
sekitar 77 sungai, antara lain Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan
Sungai Tatas. Tidak mengherankan apabila kehidupan berbasis sungai menjadi daya tarik
unik bagi kota yang pernah menjadi ibukota Kesultanan Banjar dan dijuluki Venesia dari
timur ini.
Pemandangan yang khas dari kota sungai ini adalah adanya rumah-rumah dengan tipe
rumah panggung yang dibangun berderet menghadap sungai dan rumah lanting (rumah
terapung) yang berada di atas air di tepi sungai. Penduduk yang bermukim di sepanjang
aliran sungai memanfaatkan sungai sebagai prasarana transportasi. Selain itu terdapat
pula lanting atau batang, yaitu sejenis rakit yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai
tempat untuk MCK serta sebagai dermaga untuk menambatkan jukung.
Namun dalam perkembangannya, keunikan Banjarmasin tergerus oleh perkembangan
zaman. Simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai tidak selamanya
berjalan secara mutualisme. Pengaruh kolonialisasi Belanda sejak tahun 1860 secara
tidak langsung mengubah orientasi wajah kota melalui pembangunan jalan darat untuk
keperluan pengawasan terhadap pergerakan masyarakat Banjar. Penggunaan jalan seolah
berkompetisi dengan peran sungai sebagai jalur transportasi utama. Perlahan-lahan,
Foto 3. Karakteristik ideal sebuah waterfront city
Salah satu karakteristik ideal sebuah waterfront city yang juga diimpikan oleh Banjarmasin adalah muka bangunan yang menghadap ke
sungai. Dengan demikian, kebersihan sungai sebagai halaman depan rumah akan selalu menjadi prioritas para penghuninya. (Foto:
Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)
tumpuan aktivitas sungai tergantikan oleh dinamisme perkembangan jalan, penggunaan
jukung mulai digantikan oleh mobil dan motor.
Secara historis, jalan utama yang ada di Kota Banjarmasin berasal dari jalan lingkungan
perumahan yang dulunya merupakan jalur air dan berawa sehingga meskipun saat ini
telah mengalami perkerasan, namun jika dilewati beban yang cukup berat, jalan ini cepat
rusak karena kondisi fisik tanahnya yang labil. Kondisi tanah yang berawa dan seringkali
menimbulkan serangan nyamuk ini pulalah yang memunculkan gagasan dari dr. Murdjani
sebagai Gubernur Kalimantan pada awal tahun 1950-an untuk memindahkan ibukota
provinsi ke tempat yang dianggap lebih tinggi, yang sekarang dikenal sebagai
Banjarbaru.
Kota Banjarmasin sendiri mulai mengalami pergeseran orientasi dimana sungai tidak lagi
menjadi „muka depan‟ aktivitas namun justru menjadi „muka belakang‟, permukiman
menghadap ke jalan sebagai akses utama aktivitas. Perubahan orientasi tersebut secara
tidak langsung ternyata memberikan andil besar terhadap perubahan „perlakuan‟ terhadap
sungai, contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta
aktivitas „belakang‟ lainnya seperti MCK. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi
tidak teratur, kotor dan bahkan tidak sehat.
Hal ini menyebabkan penurunan kondisi sungai-sungai di kota tersebut, mulai dari
permasalahan penyempitan alur sungai, pendangkalan sungai, penggerusan tebing sungai
oleh aliran air, hilangnya sungai (baik tertutup bangunan maupun digunakan sebagai
lahan parkir), dan maupun terjadinya genangan permanen. Hal ini diperparah oleh
kondisi topografis Kota Banjarmasin yang rawan tergenang oleh air hujan dan air pasang.
Secara geografis, kota ini terletak pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah
permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Di sisi lain,
pembangunan sektor jasa seperti pertokoan yang berjalan pesat di Kota Banjarmasin juga
tidak diimbangi oleh penyediaan drainase yang memadai. Bantaran sungai cenderung
berubah menjadi permukiman liar sehingga mengurangi badan air. Di sisi lain, terdapat
pula ancaman lain. Penelitian yang dilakukan oleh Armi Susandi dkk dari Program Studi
Meteorologi ITB memperlihatkan bahwa Kota Banjarmasin memiliki kerawanan
terhadap kenaikan muka air laut yang cukup tinggi, yang dapat mencapai 0,48 meter pada
tahun 2050.
Foto 4 dan 5. Permukiman yang tidak teratur
Foto-foto yang diambil pada tahun 2005 dan 2006 di atas memperlihatkan contoh-
contoh permukiman yang tidak teratur. Situasi ini sangat kontras dengan citra
Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai.
Sungguh sangat disayangkan, citra Kota Banjarmasin sebagai waterfront city pada
jamannnya seolah hilang ditelan modernitas perkembangan perkotaan melalui dinamisme
pembangunan jalan. Padahal keberadaan sungai di Banjarmasin dan seluruh aktivitas
khas di sepanjang aliran sungai merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi Kota
Banjarmasin yang mampu menjadi daya tarik wisata serta penanda citra kota.
Lantas, apa yang dilakukan pemerintah?
Menyadari urgensi permasalahan tersebut, pemerintah Kota Banjarmasin tidak tinggal
diam. Degradasi lingkungan perkotaan yang terus meluas, ditambah lagi isu global
mengenai perubahan iklim akan semakin memperparah kondisi kota Banjarmasin.
Permukiman di sepanjang sungai semakin tidak terawat, masyarakat semakin buruk
dalam memperlakukan sungai. Kualitas air semakin menurun, penumpukan sampah
terjadi semakin banyak sehingga jukung semakin kesulitan melewati sungai. Dengan visi
pemerintahan mewujudkan kota yang harmonis dengan alam, keberlanjutan lingkungan
menjadi faktor kunci dalam perkembangan kota. Untuk mewujudkannya, langkah awal
yang dilakukan, pada tahun 2009, pemerintah membentuk SKPD baru yaitu Dinas Sungai
dan Drainase yang tugas pokok dan fungsinya mengarah pada perbaikan dan revitalisasi
sungai untuk mampu mendukung kembali aktivitas perkotaan.
Pembentukan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kota. Dengan jumlah penduduk
mencapai 627.245 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,07% per
tahun, kota ini menunjukkan perkembangan yang pesat terutama di sektor perdagangan
dan jasa. Pembangunan fasilitas perdagangan, seperti ruko yang menjadi salah satu
pemandangan yang acap dijumpai di berbagai sudut kota, seringkali tidak mengindahkan
struktur kota, khususnya jaringan drainase. Di sinilah SKPD baru tersebut berperan
dalam memastikan bahwa drainase pendukung aktivitas perkotaan tersedia secara baik, di
samping menormalisasi kembali fungsi sungai-sungai yang ada. Hal ini ditempuh melalui
pemeliharaan rutin harian seperti pembersihan sungai maupun pemeliharaan drainase
yang pada tahun 2010 mencakup 42 titik.
Satu catatan menarik dari apa yang dilakukan oleh Kota Banjarmasin, upaya perubahan
citra kota yang dilakukan cukup inovatif. Selain secara normatif, pemerintah
memasukkan konsep penataan kota yang berbasis sungai pada konsep struktur Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini ditempuh antara lain melalui pemantapan fungsi
jaringan Sungai Barito sebagai jalur pergerakan regional, pemantapan fungsi jaringan
Sungai Martapura sebagai jalur pergerakan regional dan jalur pergerakan dalam Kota
Banjarmasin, serta pemantapan fungsi jaringan Sungai Kuin, Sungai Alalak dan Sungai
Kelayan, sebagai jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota juga
meningkatkan kapasitas pelayanan dan efektivitas kebersihan kota melalui penambahan
personil petugas kebersihan kota menjadi 300 orang serta upaya penghijauan dan
pembangunan sarana persampahan yang lebih memadai, antara lain melalui
pembangunan TPA Basiri.
Lebih jauh lagi, Kota Banjarmasin juga melakukan upaya yang revolusioner dengan
mengadakan sayembara internasional untuk penataan tepian Sungai Martapura di
Kawasan Pusat Kota Banjarmasin dimana pemenang penataan kota dalam sayembara
tersebut akan dijadikan acuan dalam penataan waterfront city Banjarmasin saat ini.
Sayembara tersebut tidak bisa dipandang sebagai sebuah kompetisi semata, dibalik proses
tersebut, terdapat sebuah pembelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat
mengenai kepedulian terhadap perbaikan citra kota Banjarmasin terutama dalam upaya
mengembalikan fungsi sungai di Banjarmasin sebagai bagian dari aktivitas masyarakat
yang pernah ditinggalkan. Bahkan, terlihat dari besarnya animo pihak asing untuk
mengikuti sayembara tersebut, maka diharapkan penataan Kota Banjarmasin akan
semakin variatif dan adaptif terhadap perkembangan.
Secara teknis, perencanaan tepian sungai tersebut dilakukan dengan memperhitungkan
aspek hidrologis dan perilaku sungai. Bantaran sungai sendiri akan dikembangkan
sebagai ruang terbuka publik dengan konsep riverwalk. Akses untuk masyarakat ke
sungai sebagai milik umum juga akan dibuka seluas-luasnya. Hal menarik lainnya adalah
kawasan perdagangan dan jasa eksisting yang seringkali menimbulkan konflik, akan
ditata secara terintegrasi dengan konsep revitalisasi kawasan. Bangunan yang akan
dibangun pun disesuaikan secara teknis, yaitu dengan konsep rumah panggung dengan
material yang ringan. Upaya fisik yang telah dilakukan adalah pembangunan tanggul atau
siring di sepanjang Sungai Martapura, yang saat ini telah mencapai panjang 1 km dari
sekitar 5 km yang direncanakan.
Berhasilkah rencana tersebut?
Perlahan tapi pasti, mungkin kalimat tersebut sangat tepat untuk menggambarkan
bagaimana transformasi wajah kota Banjarmasin di sepanjang sungai. Upaya penanganan
drainase wilayah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan sungai yang
ada dan normalisasi sungai mati, dan revitalisasi bantaran sungai-sungai besar mulai
menampakkan hasil. Hal ini tak terlepas dari dukungan masyarakat yang juga ingin
melihat kotanya kembali bersih.
Foto 7. Penataan Sungai Miai
Foto di sebelah kiri memperlihatkan situasi Sungai Miai sebagai salah satu contoh sungai
kecil sebelum normalisasi, sedangkan foto sebelah kanan memperlihatkan situasi Sungai
Miai saat ini. Normalisasi serupa dilakukan pula pada sungai-sungai yang lain, seperti
Sungai Cemara, Sungai Beruntung, Sungai Belitung, Sungai Pandu, dan lain-lain. (Foto:
Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)
Foto 8. Penataan Kawasan Tendean
Kawasan Tendean merupakan bagian dari penataan tepi sungai di pusat kota. Gambar atas
memperlihatkan desain situasi yang diharapkan. Sedangkan foto pada bagian bawah
memperlihatkan situasi saat ini kawasan tersebut setelah pembangunan siring dan penataan
kawasan. (Foto: Pemkot Banjarmasin)
Namun meskipun begitu, beberapa hambatan masih dialami oleh pemerintah dalam
upaya merealisasikannya. Pergeseran perlakuan sungai bagi masyarakat Banjarmasin
ternyata justru sudah menjadi „budaya baru‟ dalam konteks kekinian. Memandang sungai
sebagai „bagian belakang‟ aktivitas masyarakat menjadi lebih familiar. Hal tersebut
terlihat melalui banyaknya timbunan sampah yang terbuang ke sungai, bahkan lama-
kelamaan sungai seakan dianggap sebagai TPA kota. Kultur tersebut menjadi salah satu
hambatan signifikan dalam penataan kota. Keberhasilan penataan tersebut harus
dibarengi dengan perubahan kembali pola pikir masyarakat terhadap keberadaan sungai
sebagai bagian penting dalam pembentukan citra Kota Banjarmasin sehingga warisan
citra waterfront bisa dikembalikan kembali.
Selain itu, permasalahan lahan juga memiliki andil yang sangat besar dalam menghambat
realisasi rencana tersebut. Sebagian lahan di sepanjang sungai yang akan diremajakan
ternyata sudah dikuasai oleh „preman‟ penguasa lahan yang memiliki konsekuensi
terhadap sulitnya proses pembebasan lahan. Namun, ternyata partisipasi masyarakat patut
diapresiasi. Dalam upaya relokasi dan pembongkaran bangunan, masyarakat yang
bertempat tinggal di sepanjang sungai mendukung sepenuhnya upaya tersebut, mereka
bahkan rela untuk direlokasi. Di Banjarmasin yang kehidupan masyarakatnya sangat
terikat dengan sungai, kesediaan ini adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, dengan
dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat, Adipura yang didambakan nampaknya
bukanlah hal yang mustahil.
Pemindahan pusat pemerintahan provinsi
Di sisi lain, Banjarmasin harus pula mempersiapkan pemindahan pusat pemerintahan
Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru. Pemindahan ini, yang merupakan
wacana lama, ketika Gubernur Kalimantan pada tahun 1951, dr. Murdjani, mengeluhkan
aktivitas pemerintahan yang seringkali terganggu akibat genangan air dan gelombang
pasang. Di sisi lain, kondisi Banjarmasin yang berawa-rawa juga menimbulkan ancaman
berbagai penyakit. Murdjani kemudian menganggap bahwa perlu mencari lokasi ibukota
Kalimantan Selatan yang baru.
Banjarbaru dipilih karena terletak di perbukitan yang bertanah padat, berbeda dengan
wilayah di sekitarnya yang cenderung berawa-rawa, sehingga dianggap layak sebagai
lokasi sebuah ibukota baru. Sebuah tim kajian kelayakan yang dipimpin oleh D.A.W.
Van der Peijl bekerjasama dengan Tim Planologi dari ITB merancang Banjarbaru sebagai
sebuah kota baru (new town) dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Palangkaraya.
Selanjutnya, kota baru ini mendapatkan status kota administratif selama 23 tahun, hingga
pada tahun 1997 kota ini ditetapkan sebagai Kotamadya.
Foto 9. Rencana Pemanfaatan Lahan di
sekitar kantor pemerintahan Provinsi
Gambar di samping memperlihatkan
rencana pemanfaatan ruang Kota
Banjarbaru di sekitar perkantoran provinsi,
yang terdiri atas perumahan dan fasilitas
pendukung, perhotelan, sekolah, hutan
kota, danau buatan dan alun-alun kota.
(Sumber: Distako Banjarbaru, 2010)
Saat ini Banjarbaru telah berkembang menjadi suatu kota yang berkembang pesat dan
mandiri, hingga telah sepenuhnya lepas dari Banjarmasin sebagai induknya. Kota baru ini
pun telah siap menerima rencana pemindahan perkantoran provinsi, antara lain dengan
mengakomodasi rencana pemindahan tersebut dalam Rencana Teknik Ruang Kawasan
Perkotaan Kota Banjarbaru. Wilayah perencanaannya berada di sekeliling kawasan
perkantoran Provinsi, agar kualitas ruangnya selaras dengan kualitas ruang kawasan
perkantoran provinsi. Perencanaan ini juga diperlukan untuk menghindari praktik
spekulasi lahan, yang merupakan praktik jamak yang mengiringi rencana pembangunan
suatu pusat baru. Perencanaan ini meliputi pengaturan perumahan dengan gradasi
kepadatan yang dikombinasikan dengan ruang terbuka hijau.
Bagaimana dengan Banjarmasin sendiri setelah pemindahan ini? Banjarmasin tampaknya
telah siap dengan isu ini. Pemindahan ini sekaligus membantu Banjarmasin mengurangi
beban kota, yang selama ini tertumpu khususnya di Kecamatan Banjarmasin Barat yang
mencapai 10.763 jiwa/km2. Sangat menarik untuk melihat bagaimana Banjarmasin dan
Banjarbaru akan berkembang di masa depan karena keduanya mewakili dua proses
perkembangan kota yang berbeda: Banjarmasin tumbuh sebagai kota yang organis,
sedangkan Banjarbaru tumbuh sebagai kota baru yang direncanakan. Namun keduanya
sama-sama menyiratkan optimisme di masa depan.
ALUN-ALUN
Oleh:
Suwardjoko P Warpani
SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota
Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Keraton, Kabupaten) selalu
dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau
dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu
juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan
besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009).
Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan maupun
kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang
pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor
kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang
dinamakan “Alun-alun”. Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit
yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Ada perbedaan antara Alun-alun Keraton (Istana Raja) dengan Alun-alun Kabupaten
(kediaman Bupati). Pada Keraton memiliki dua alun-alun, di depan dan di belakang
istana, sedangkan tempat tinggal resmi Adipati (Kadipaten) hanya memiliki satu alun-
alun yang terletak hanya di depan istana, seperti Mangkunegaran-Surakarta dan
Pakualaman-Yogyakarta. Begitu juga tempat tinggal resmi Bupati (Kabupaten) yang
hanya mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten. Saat ini dalam pemerintahan,
kabupaten menjadi sebuah daerah otonomi yang dikepalai oleh seorang Bupati, atau
pemerintahan setingkat di bawah propinsi.
Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alun-
alun bukan sekedar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni: di samping
sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak
jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi dan sejumlah alun-alun sudah berubah
wajah, namun sebagai elemen kota berupa “ruang terbuka umum”, ruang publik, masih
sangat diperlukan.
Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul
Sejak masa Kerajaan Majapahit alun-alun telah dikenal, namanya pun terabadikan dalam sebuah
riwayat, yakni Alun-alun Bubat. Kota-kota kerajaan kuno (seperti Surakarta dan
Yogyakarta), mempunyai dua buah alun-alun, satu terletak di utara Keraton dan satu lagi
terletak di selatan Keraton. Permukaan Alun-alun Keraton tersebut tidak berumput tetapi
berupa hamparan pasir halus (Kisdarjono, 2009), sedangkan Alun-alun Kabupaten
biasanya berumput. Bahkan halaman dalam Keraton berupa pasir halus yang konon
diambil dari pantai selatan Pulau Jawa, seperti isyarat dalam mitologi Laut Kidul.
Penggunaan hamparan pasir dilakukan atas dasar pertimbangan filosofis. Pada siang hari,
pasir menghadirkan suasana panas namun di malam hari udara semilir sejuk. Hal ini
diibaratkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dunia ini berpasang-pasangan.
Siang-malam, bahagia-duka, panas-dingin, dan seterusnya (Brongtodiningrat, 1978).
Selain itu, secara teknis dan praktis pun ternyata benar. Busana resmi keraton tanpa alas
kaki (kecuali Raja), dan para sentana dan abdidalem duduk bersila (bila terpaksa di
halaman). Pasir tidak akan mengotori telapak kaki meskipun basah, sehingga paseban
pun tidak kotor. Tak hanya itu, duduk bersila di atas pasir pun tidak akan mengotori kain,
bahkan air hujan pun cepat meresap ke perut bumi.
Di depan bangunan keraton terdapat pintu masuk yang menuju Sitinggil (Pendopo
Keraton), begitu pula di depan bangunan kabupaten terdapat pintu masuk menuju
Pendopo. Pendopo juga dinamakan Paseban, yang berasal dari kata seba (Kisdarjono,
2009). Sementara itu, dari tutur Ki Dalang Wayang, dikenal Paseban Jawi (paseban luar)
yang berfungsi sebagai tempat menunggu bagi para tamu yang hendak menghadap raja,
untuk hal ini tidak terdapat pada kabupaten.
Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh bangunan di penjuru mata angin, yakni: Masjid
Agung di sebelah Barat, bangunan keraton di sebelah Selatan, pasar di sebelah Utara, dan
sebelah Timur (dahulu) ada kebun binatang. Hal sedikit berbeda terdapat pada Alun-alun
Kabupaten, pasalnya pada sisi sebelah Timur biasanya berdiri bangunan penjara. Konon
letak penjara ini didasarkan pada pemikiran agar para terpidana segera menyadari
kekeliruannya dan bertobat, karena dipenjara berseberangan dengan tempat ibadah.
Alun-alun di depan masjid biasanya dimanfaatkan untuk shalat Ied pada waktunya.
Kemudian tak jauh dari masjid atau sebelahnya terdapat permukiman yang disebut
Kauman, kampung para santri. Barangkali, karena faktor masjid inilah maka bangunan
keraton di Jawa selalu menghadap Utara-Selatan, demikian pula pendopo kabupaten pada
umumnya menghadap Utara atau Selatan, kecuali Pendopo Kabupaten Kediri yang
menghadap ke Barat.
Disisi lain, jalan masuk terdapat di tengah-tengah membelah alun-alun. Kemudian pada
sisi kanan dan kiri selalu ditanami pohon beringin yang berpagar, karena itu masyarakat
(di Jawa) menyebutnya Ringin Kurung, dan biasanya dikeramatkan serta diberi nama
Kyai Jayandaru (kemenangan) dan Kyai Dewandaru (keluhuran). Sedangkan sebagian
masyarakat menyebutnya Ringin Kembar. Sebagai lambang kebesaran, Ringin Kurung
hanya ada di Keraton dan Kabupaten, sedangkan Kadipaten (meskipun memiliki
pemerintahan seperti daerah otonom) tidak memilikinya.
Di tempat itu, pada saat paseban rakyat yang ingin seba (menghadap raja), harus duduk
menunggu berjemur di alun-alun (dalam Bahasa Jawa disebut pepe) sampai waktunya
dipanggil jika raja berkenan menerimanya. Rakyat yang pepe adalah rakyat yang akan
menyampaikan keluhannya atau ingin melaporkan sesuatu langsung kepada raja.
Sementara itu, Ringin Kembar mengandung makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau
Bupati bukan sekedar penguasa melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya.
Ini hendaknya “dibaca” dari kanopi pohon beringin yang rindang memberi keteduhan
bagi siapapun yang kepanasan terik matahari, sedangkan akar yang tertanam kuat seolah-
olah menyiratkan kuasa raja yang mengakar pada rakyatnya. Dari sini pula bisa diartikan
lebih dalam makna keberadaan pohon beringin di alun-alun, sedangkan lapangnya
(jembar : Jawa) alun-alun menyiratkan kesan seorang penguasa (Raja, Bupati) yang
berpandangan luas (jembar nalare) sebagaimana konsep kepemimpinan Astabrata.
Perihal Ringin Kurung, juga memiliki makna dalam model busana, gaya tari, dan gaya
bahasa. Terdapat perbedaan antara Keraton Surakarta dengan Yogyakarta. serupa tapi
tak sama. Menurut versi Surakarta, di tengah-tengah alun-alun terdapat dua pohon
beringin, yakni: Kyai Jayadaru di sebelah Timur dan Kyai Dewadaru di sebelah Barat. Di
samping itu masih terdapat empat pohon beringin jantan, seperti Kyai Jenggot tumbuh di
Baratdaya, dan beringin betina Wok di Timurlaut, sementara itu beringin Gung terdapat
di Tenggara dan beringin Bitur menempati sisi sebelah Baratlaut.
Tak hanya itu, sejumlah beringin lain juga tumbuh rapat di Jalan Gladhag tak lebih
sebagai pohon peneduh (Setiadi, dkk; 2001). Tetapi jika menengok versi Yogyakarta, bila
kita dari Selatan masuk melalui Plengkung Gadhing (Nirbaya) ke komplek keraton, di
pinggir Alun-alun Selatan, tumbuh dua pohon beringin bernama Wok yang berasal dari
kata brewok, sedangkan dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun
menggambarkan bagian tubuh yang rahasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata,
namanya Supit Urang, lambang perempuan, sedangkan pagarnya terdapat ornamen buser
yang melambangkan sifat pemuda-pemudi. Di sisi lain, sebelah Utara terdapat dua pohon
beringin.
Selain pohon beringin yang ditanam dengan landasan filosofi pemerintahan, halaman
Keraton, Kadipaten, dan Kabupaten biasanya juga ditanami pohon yang mengandung
filosofi hubungan antar sesama, yaitu pohon Sawo Kecik (sawo mini), yang konon
mengandung pesan agar manusia hendaknya selalu nandur kabecikan (berbuat kebaikan)
kepada sesama. Bahkan biji buah sawo kecik dijadikan bahan mainan anak-anak masa
itu, anak-anak lelaki menggunakannya untuk diadu kekerasannya sesama teman
(ditumpangkan satu di atas yang lain, lantas diinjak sambil dihentakkan dengan tumit),
sedangkan anak-anak perempuan menggunakannya untuk main dakon (keterampilan
berhitung dan memindahkan biji kecik dari satu cekungan ke cekungan lain pada
semacam nampan kayu). Selain itu rindangnya pohon-pohon sawo kecik di halaman
digunakan sebagai peneduh yang menebar kesejukan. Konon ini pun mengandung pesan
bagi penguasa agar mampu memberi kesejukan kepada kawulanya.
Pada masa lampau, alun-alun dapat dikatakan sebagai pusat kemasyarakatan (civic
centre), di antaranya sebagai tempat upacara kegiatan kerajaan, rekreasi, hiburan, pasar
malam, kegiatan ekonomi, dan sebagainya; bahkan keberadaan pasar menjadi satu
kesatuan lokasi dengan alun-alun. Pasar Kabupaten pada masa lalu, selalu berdekatan
dengan alun-alun (di seberang jalan). Uniknya, pusat kemasyarakatan ini (berlaku bagi
Keraton) justru terletak di belakang Keraton (Surakarta dan Yogyakarta), yakni di Alun-
Alun Lor (Utara), karena Keraton menghadap ke Selatan. Buktinya, Dalem Ageng Praba
Suyasa sebagai pusat dari seluruh bangunan keraton, jelas menghadap ke arah selatan.
Ada riwayat yang mengungkapkan: “Kyai Tumenggung Wiraguna dumugi alun-alun
pengkeran lajeng nyengkal masjid ageng, beteng dalah sedaya griyanipun Kumpeni”.
Artinya: Kyai Tumenggung Wiraguna, sampai di alun-alun belakang lalu mengukur
masjid besar, benteng serta loji/rumah Kumpeni. Padahal keseluruhan bangunan itu tidak
terletak di Alun-alun Kidul (Setiadi, dkk; 2001).
Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya menyatu berada di dalam benteng (tembok
tinggi) sebagai salah satu sistem pertahanan tempo dulu. Ciri ini masih dapat ditemui di
Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pada Alun-alun Kidul
biasanya diselenggarakan gladen, latihan perang bagi para prajurit kerajaan secara
berkala. Pada saat tertentu gladen ini digelar menjadi tontonan masyarakat;
dipertontonkan keahlian sodoran (pertandingan keterampilan berkuda dan memainkan
tombak). Kira-kira analog dengan “gelar siaga” militer pada masa sekarang lengkap
dengan pasukan kavaleri untuk unjuk kesiagaan (show of force).
Ringin Kurung dan Gapura Alun-alun Kidul Yogyakarta 1920 (Dok. Ginong)
Sodoran atau rampogan
diadakan di alun-alun tiap
hari Sabtu atau Senin
(Seton atau Senenan).
Rampogan adalah laga
prajurit beramai-ramai
melawan seekor macan
(harimau); macan dirampog
(Jawa). Di alun-alun pula
biasanya digelar berbagai
upacara maupun keramaian,
seperti upacara Gerebeg, Sekaten, apel prajurit, dan pasar malam. Seperti disebutkan olah
Adrisijanti, peran alun-alun merambah aspek kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan
ekonomi. Menariknya, Kisdarjono (2009) menengarai bahwa di Jawa Barat juga terdapat
alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tetapi alun-alun tersebut tanpa pohon
beringin. Masjid seringkali terdapat di sebelah Barat alun-alun.
Alun-alun Kota Bandung tempo dulu pernah menjadi lapangan sepakbola sebelum pindah
di lapangan Gasibu (di depan Gedong Sate) dan kemudian pindah ke Sidolig. Pada masa
silam, di seberang Alun-alun Kabupaten Cilacap adalah tempat “perantaian”, yaitu
hukuman kepada orang yang dirantai dan dijemur tak jauh dari penjara (di sebelah Timur
alun-alun), juga pernah menjadi lapangan olah raga sejumlah sekolah, dan arena
kampanye pemilu 1955. Ini juga membuktikan bahwa kala itu alun-alun menyandang
aneka guna.
Alun-Alun Sekarang
Kini alun-alun pada umumnya sudah kehilangan atau ditinggalkan masyarakat, apalagi
makna filosofi yang terkandung didalamnya. Banyak alun-alun yang sudah tidak lagi
menampilkan ciri khasnya kecuali letaknya di depan kantor Bupati. Tidak ada lagi Ringin
Kurung atau Ringin Kembar yang tumbuh di kanan kiri akses jalan masuk kantor Bupati.
Dua contoh ekstrim, adalah Alun-alun Kota Blitar dan Alun-alun Kota Bandung.
Dua batang pohon beringin sebagai elemen Alun-alun Kota Blitar dikorbankan demi
pelebaran jalan karena tuntutan perkembangan lalu lintas. Elemen pohon di dalam
kawasan alun-alun diubah, tidak hanya pohon beringin, tetapi ditambah dengan pohon
yang dianggap lebih modern, yakni palem. Pohon baru ini ditanam dalam jumlah yang
cukup banyak sehingga menimbulkan kesan yang lebih menonjol daripada beringinnya
(Gunawan, Myra P; 2009). Tidak tahu apa pertimbangannya, maka sejumlah pohon
beringin di Alun-alun Kota Blitar diganti dengan pohon palem. Tatanan wajah alun-alun
pun sudah berbeda dibandingkan dengan alun-alun tradisional.
Bagian dalam Alun-alun Kota Blitar (2009)
Jalan masuk di antara jajaran pohon palem;
pohon beringin di dalam “kurungan”.
[Dok. PWK - SAPPK ITB]
Ringin Kurung yang menjadi ciri suatu
alun-alun, nampak kehilangan makna.
Pohon beringin tidak lagi di kanan-kiri
akses masuk Kabupaten, bahkan pagarnya “sangat” tinggi, terkesan seperti kurungan
(sangkar).
Zaman dulu, meskipun pohon beringin dipagari, masyarakat dengan bebas dapat masuk.
Bedanya, pohon beringin tempo dulu dikeramatkan, sedangkan kini hanya dianggap
sebagai tanaman biasa. Citra Alun-alun Kota Blitar seluas ± 20.000 m2
yang dibangun
pada tahun 1875 juga sudah hilang, hanya meninggalkan sebutan Alun-alun saja. Sudah
tidak lagi menjadi satu kesatuan jiwa tak terpisahkan dengan fungsi Kabupaten karena
rancangannya memang tidak berlandaskan filosofi alun-alun, tetapi sudah murni menjadi
salah satu elemen ruang terbuka kota, tempat aktivitas masyarakat.
Keadaan serupa juga dialami oleh Alun-alun Kota Bandung. Karena kehilangan makna
filosofi pohon beringin sudah enggan tumbuh dan memang tidak lagi ditanam karena
hamparannya sudah dilapisi perkerasan dan berubah fungsi. Alun-alun Kota Bandung
bahkan sudah bukan lagi alun-alun, hilangnya Alun-alun Kota Bandung sudah dirasakan
sejak 1984 (Warpani, Suwardjoko; 1984).
Alun-alun Kota Bandung sudah bermetamorfosa menjadi elemen ruang terbuka kota,
menjadi halaman Masjid Agung yang juga berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung.
Tidak ada lagi ciri-ciri sebuah alun-alun. Citra lapangan pun telah lenyap, padahal alun-
alun ini pernah menjadi lapangan sepak bola. Di bawah alun-alun dijadikan ruang bawah
tanah bagi PKL dan fasilitas umum, namun kurang diminati. PKL tetap bertebaran di
sekitar alun-alun bahkan tak jarang masuk meramaikan isi halaman Mesjid Raya ini.
Kasus Alun-alun Kota Bandung dan Blitar menunjukkan bahwa nasib alun-alun itu
berada di tangan pemangku kepentingan, yang saat ini lebih dikenal sebagai Pemerintah
Kota.
Karena melupakan filosofi keberadaan sebidang alun-alun serta tergoda oleh suatu
kepentingan, maka yang dipertimbangkan hanyalah ketersediaan lahan. Pameo yang
beredar perihal Alun-alun Kota Bandung adalah: ‘Ganti Walikota, diubah wajah alun-
alun’, seolah-olah di alun-alunlah potret karya bakti seorang walikota. Ada satu lagi:
Alun-alun Kota Semarang hilang akibat korban dari kepentingan ekonomi.
Alun-alun Kota Bandung tahun 1999
Bukan lagi alun-alun melainkan plasa.
Oleh karena itu, mau atau tidak
mau, pemangku otoritas harus
memiliki pemahaman yang
komprehensif. Keberpihakan
kepada kepentingan yang mana
harus jelas dan konsisten.
Ujungnya, nasib objek peninggalan
budaya itu berada dalam
keputusannya. Untuk
mengantisipasi proses tarik menarik
kepentingan itu, mau tidak mau,
pemangku otoritas harus
mempelajari juga medan kekuatan
kepentingan yang akan terlibat
dalam tarik-menarik itu (Kisdarjono, 2010), tetapi apakah harus melupakan filosofi
keberadaan suatu elemen kota ?
Ruang Terbuka Umum
Ruang terbuka umum sesungguhnya bukan entitas spesifik, melainkan sebuah kategori
yang berisi banyak varian. Terbuka bisa berarti berada dalam ruang terbuka, bukan dalam
gedung tertutup, tetapi bisa juga diartikan sebagai terbuka bagi pengunjung umum, dalam
arti siapa saja bisa masuk. Sebuah pusat perbelanjaan, misalnya, terbuka untuk
pengunjung umum, walaupun ia berbentuk gedung tertutup. Sebaliknya, lapangan golf
berada di udara terbuka, tetapi tidak semua orang bisa masuk, terbatas pada anggota atau
tamu yang harus membayar (Kisdarjono, 2009).
Monumen Mayor Bismo di Alun-alun Kediri
luas ± 1,5 Ha; umur ± 150 tahun
Tak bisa lagi disebut “Alun-alun”
Fungsi saat ini:
RTH, PKL, upacara; sebagian bekas standplat bis
OJC sekarang menjadi pertokoan. [Dok. PWK - SAPPK ITB]
Bagian dalam Alun-alun Madiun
Jalan berbelok dan tak ada Ringin Kurung
[Dok. PWK - SAPPK ITB]
Sebelah timur Alun-alun Madiun; bukan pohon peneduh, melainkan atap parabola
[Dok. PWK - SAPPK ITB]
Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya
menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang
sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan
waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi
sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak
anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham
berhak melakukan apa saja.
Banyak alun-alun yang tidak lagi bisa disebut alun-alun dalam makna tradisional. Alun-
alun sekarang adalah ruang terbuka umum, namun tidak seharusnya kehilangan makna
filosifis yang terkandung di dalamnya agar alun-alun masih menunjukkan ikatan budaya
dengan masyarakat dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan jaman. Alun-alun,
sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi sebagian anggota masyarakat adalah tempat
mencari nafkah. PKL sudah ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai
pedagang keliling sedangkan sekarang lebih banyak membangun jongko.
Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alun-alun sebagai ruang
terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian, bahkan seharusnya diperkuat
peran dan fungsinya. Selain berfungsi sebagai taman untuk menghirup udara segar,
rekreasi bersama keluarga, olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana
pendidikan.
Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya, memiliki nilai kesejarahan
dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa
dijual sebagai objek pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak bisa “berceritera” tentang
sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alun-alun dalam skala Keraton maupun dalam skala
Kabupaten. Menjadi objek maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang
terkandung sebagai warisan kekayaan budaya nasional.
MRT: Angkutan perkotaan masa depan?
Oleh:
Delik Hudalah1) dan Yudistira Pratama2)
1)Staf pengajar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan,
ITB 2)
Peneliti pada Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, ITB
Apakah itu MRT? MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang
mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi
dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan
menjadi beberapa jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail.
Bus MRT dapat dibedakan dengan bus angkutan
biasa dan kendaraan lain karena biasanya
merupakan shuttle bus yang memiliki rute
perjalanan tertentu dan beroperasi pada lajur
khusus, sehingga sering disebut buslane/busway.
Pemisahan lajur ini dilakukan agar penumpang
tidak mengalami penundaan waktu perjalanan dan
tidak terganggu oleh aktivitas moda angkutan lain
yang melintasi rute perjalanan yang sama. Busway
sendiri biasanya bervariasi ada yang berbentuk
ganda (bus gandeng), bus tunggal, dan bus
bertingkat. MRT jenis busway biasanya lebih banyak dipilih oleh kota-kota di negara
berkembang karena pengembangannya membutuhkan biaya yang lebih murah
dibandingkan dengan subway, monorel, ataupun tram. Kota Bogota di Kolombia
merupakan salah satu contoh sukses penerapan sistem busway.
MRT dalam bentuk subway pada prinsipnya
memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta
api. Namun, konstruksi teknisnya terdapat
perbedaan karena subway terletak di bawah
tanah (underground) tetapi stasiun-stasiunnya
langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Di
Eropa Barat, subway merupakan salah satu moda
angkutan yang sangat populer dan seringkali
dikenal dengan istilah metro system. Kota
London merupakan kota pertama yang
menerapkan sistem subway sebagai moda angkutan massal berkecepatan tinggi pada
tahun 1863.
Bogota, kota yang berhasil mengembangkan
busway
London, kota pertama yang
mengembangkan subway
Tram merupakan bentuk MRT dengan moda angkutan mirip dengan kereta api, tetapi
jalur operasinya dapat terintegrasi dengan jalan raya. Tram dapat ditemukan di hampir
semua kota menengah dan besar di Eropa dan di beberapa kota besar di Amerika. Tram
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1807 di Inggris dan merupakan bentuk awal MRT
di dunia. Dalam operasionalnya, dikenal dua jenis tram: (1) tram yang jalur operasinya
menyatu dengan jalur lalu-lintas kendaraan; dan (2) tram yang memiliki jalur operasional
tersendiri yang dikenal dengan istilah light rail.
Monorail merupakan MRT yang memiliki jalur tertentu dan biasanya tidak mengambil
ruang kota yang luas. MRT jenis ini biasanya memiliki jalur di atas jalan raya dan yang
ditopang dengan tiang-tiang yang sekaligus berfungsi untuk membentuk lintasan
monorail. Berbeda dengan MRT lainnya, monorail biasanya hanya terdiri atas satu rute
dengan sistem lintasan loop dengan beberapa stasiun pemberhentian yang
menghubungkan dengan MRT lainnya maupun langsung ke lokasi kegiatan tertentu.
Penggunaan monorail sudah banyak dikembangkan di kota-kota metropolitan di dunia
antara lain Moskow, Tokyo, dan Sydney.
Di mana MRT sukses diterapkan?
Konsep MRT sudah banyak diterapkan di kota-kota besar di negara maju maupun negara-
negara berkembang. Biasanya, MRT merupakan bagian dari implementasi sistem
transportasi umum terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu menghubungkan orang
dan barang dari satu titik ke titik lain secara efisien dan memiliki kemudahan dalam
melakukan perpindahan dari satu moda ke moda lain (modal shift) tanpa mengurangi
waktu tempuh perjalanan. Pengembangan yang terpadu akan menjadikan MRT tidak
hanya berfungsi sebagai sarana angkutan yang efisien, tetapi juga instrumen yang handal
untuk mengarahkan perkembangan kota besar.
Salah satu negara tetangga terdekat yang sukses dalam mengembangkan MRT sebagai
sistem terpadu ini adalah Singapura. MRT di Singapura sudah dapat dikatakan sebagai
“urat nadi” pertumbuhan ekonomi dan daya tarik investasi. MRT yang dikembangkan di
Singapura terdiri busway dan monorail. Terdapat empat jalur monorail MRT di
Singapura dan semuanya saling terhubung antara satu dengan yang lainnya sehingga
penumpang dapat mengakses seluruh bagian negara Singapura dengan mudah. Selain itu,
sistem ini juga terhubung dengan sistem busway sehingga memudahkan penumpang
untuk mengakses lokasi yang tidak terhubung oleh sistem monorail.
Monorail di Singapura memiliki 87 stasiun
dengan panjang lintasan keseluruhan
sepanjang 129,7 km. Kemudahan lain dari
MRT ini ialah adanya sistem fares and
ticketing yang mudah dan murah. Sistem
pembayaran tiket dilakukan dengan
mempergunakan kartu prabayar yang sudah
terisi sejumlah uang maupun uang logam.
Singapura, negara yang berhasil
mengembangkan monorail
Keunggulan sistem ini ialah penumpang hanya perlu satu kali membayar pada saat masuk
sehingga memberikan kemudahan untuk pindah lintasan, pindah moda, maupun keluar
menuju tujuan akhir. Sistem ini dikoordinasikan secara terintegrasi oleh suatu perusahaan
yang khusus menagani masalah fare and ticketing MRT di Singapura.
Contoh sukses lainnya adalah pengembangan Busway TransMillenio di Kota Bogota
Columbia. Pengembangan tahap pertama dilakukan dari tahun 1999 sampai dengan 2002
yang meliputi 470 bus dalam jalur sepanjang 41 km. Pengembangan TransMillenio tahap
dua dilakukan pada tahun 2002 sampai dengan 2006 dengan penambahan untuk lahan
ruang terbuka dan pedestrian, serta pengembangan sistem pengelolaan. Unsur utamanya
pengembangan armada berkapasitas tinggi, pembangunan jalur busway, dan stasiun
pemberhentian. Hingga saat ini, kapasitas pelayanan TransMillenio Busway merupakan
yang terbesar di dunia karena mampu melayani kebutuhan perangkutan penumpang
sekitar 35-40 ribu penumpang per jam. Untuk mempermudah proses ticketing, pihak
pengelola memberlakukan sistem smart card dimana pengguna hanya perlu mengisi kartu
dengan sejumlah nilai uang untuk mendapatkan layanan busway. Jalur busway dibuat dua
lajur, sehingga memungkinkan bus lain untuk menyalip jika bus yang ada di depannya
sedang berhenti.
Suatu keniscayaan Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan
perangkutan memiliki peran penting
dalam menggerakkan perekonomian kota-
kota besar di Indonesia. Permintaan akan
perangkutan akan semakin meningkat
seiring dengan pertumbuhan permintaan
akan barang dan jasa. Permintaan layanan
perangkutan juga akan semakin
meningkat seiring dengan semakin
besarnya jumlah penduduk. Karena ruang
yang terbatas, kota-kota besar seperti
Jakarta tidak mampu memenuhi tingginya permintaan pergerakan penduduk hanya
melalui penambahan jalan dan angkutan umum berkapasitas kecil. Akibatnya terjadi
penurunan tingkat pelayanan jalan pada ruas-ruas tertentu di mana pergerakan kendaraan
menjadi tersendat (fenomena bottleneck). Kondisi tersebut semakin parah dengan
munculnya emisi kendaraan yang dapat menimbulkan gangguan kondisi kesehatan dan
penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, lamanya waktu yang dihabiskan di jalan dapat
menimbulkan dampak psikologis berupa penurunan ketidakstabilan emosi dan dampak
ekonomis berupa penurunan tingkat produktivitas kerja.
Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan
perangkutan di kota-kota besar tersebut. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya
mengangkut penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai
situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena
penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.
Kemacetan telah menjadi keseharian di
kota besar seperti Jakarta
Kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), dan busway yang sudah dikembangkan
di kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai
sarana transportasi massal. Namun, di berbagai kota, ketiganya belum dapat sepenuhnya
dikategorikan sebagai MRT karena belum memenuhi kriteria sebagai sarana transportasi
yang benar-benar cepat dan handal dalam segala situasi.
Berangkat dari permasalahan lingkaran setan kemacetan di Ibukota Negara, busway
misalnya telah menjadi pilihan angkutan umum massal dan telah direalisasikan dalam
waktu yang relatif cepat sehingga mampu mengalahkan sistem angkutan berbasis rel
(KRL) yang sudah ada di Jakarta. Perlu dicatat bahwa hadirnya busway ini tidaklah
dimaksudkan untuk menghilangkan penggunaan kendaraan pribadi tetapi sebagai suatu
usaha untuk menyeimbangkan antara supply dan demand transportasi. Busway
diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan jalan yang sudah ada dengan cara
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat tidak seimbangnya antara kecepatan
penambahan jalan dengan kecepatan pertumbuhan penggunaan kendaraan. Pada proyek
sebelumnya, DKI Jakarta berencana membuat monorel tetapi proyek tersebut belum
terealisasi hingga sekarang karena terkendala penyediaan dana.
Pengembangan MRT di beberapa kota terbesar di Indonesia, khususnya di Jakarta, dapat
dikatakan cukup telat dan kurang antisipatif karena dilakukan setelah situasi terdesak
akibat semakin parahnya tingkat kemacetan. Padahal, kinerja penataan ruang kota besar
dapat dilihat diantaranya dari berhasil tidaknya penerapan MRT di kota tersebut.
Memang lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Namun, sebagai konsekuensinya,
kita harus siap menanggung biaya sosial yang sangat mahal. Beberapa ide pengembangan
MRT seperti busway di luar Jakarta dapat dikatakan cukup antisipatif dengan belajar dari
keterlambatan yang pernah dialami Jakarta. Namun, ini masih merupakan inisiasi dari
atas, belum asli berasal dari prioritas pemerintah lokal. Padahal yang akan merasakan
langsung manfaat MRT adalah pemerintah dan masyarakat lokal, bukan pemerintah
pusat.
Rencana pembangunan subway melalui PT MRT Jakarta dapat menjadi terobosan
mutakhir dalam pengembangan sistem angkutan massal, khususnya perkeretaapian, di
Indonesia. Dengan menawarkan kenyamanan, kecepatan dan kapasitas angkut yang yang
lebih besar, MRT berbentuk subway dapat menjadi moda transportasi yang sangat dinanti
untuk keberlanjutan sistem transportasi di Indonesia di masa depan. MRT ini
direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2016. Proyek MRT Jakarta yang akan
dibangun membentang dari Lebak Bulus di Jakarta Selatan dan Dukuh Atas di Jakarta
Pusat sepanjang 14,5 km. Empat kilometer diantaranya (4 stasiun) dibangun di bawah
tanah dan 10,5 km dibangun melayang di atas jalan (8 stasiun). Proyek ini adalah tahap 1
dari rencana 3 tahap pembangunan MRT di Jakarta. Tahap 2 adalah dari Dukuh Atas ke
Kota; dan tahap 3 adalah jalur Timur-Barat. Untuk pembangunan Tahap 2 dan tahap 3
saat ini sedang dalam pembuatan feasibility study.
Rencana Pembangunan MRT di DKI Jakarta
Benturan gaya hidup
Serba Salah
NafaskuTerasaSesak
BerimpitanBerdesakkan
Bergantungan
MemangSusah
JadiOrangYangTakPunya
Kemanapun Naik Bis Kota
Penggalan lirik di atas berasal dari salah satu lagu Achmad Albar yang cukup populer di
tahun delapan puluhan. Penggalan tersebut sebenarnya merefleksikan pandangan umum
masyarakat kita terhadap angkutan umum massal. Di Indonesia, kendaraan umum,
apalagi yang sifatnya massal, seringkali diidentikkan dengan kendaraan untuk orang
miskin. Jika tidak ditanggulangi, cara pandang yang keliru seperti ini dapat menjadi
momok bagi pengembangan MRT sebagai angkutan publik masa depan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya
masihberpandangan bahwa menggunakan
kendaraan pribadi merupakan simbol
yang dapat secara efektif menunjukkan
kekayaan, status sosial, dan martabat
seseorang. Cara pandang ini tidak
terlepas dari berkembangnya perilaku
Menerobos lintasan kereta api merupakan
perilaku yang membahayakan keselamatan
konsumerisme dan individualisme yang telah lama menggantikan norma kesederhanaan,
tenggang rasa, dan kesetiakawananan sosial yang dulu dikenal sebagai Adat Timur.
Globalisasi yang ditunjukkan dengan derasnya impor gaya hidup liberal dari negara-
negara maju telah mengisi norma baru dalam masyarakat. Misalnya melalui film-film dan
produk-produk yang mengedepankan konsumerisme dan gengsi. Gemerlap kehidupan
artis papan atas Hollywood yang tinggal di rumah-rumah mewah di kawasan pinggiran
telah menjadi acuan puncak kualitas hidup yang mengedepankan sisi materi. Kegiatan
melaju dengan menempuh jarak yang jauh dan sangat tergantung dengan penggunaan
kendaraan pribadi telah menjadi gaya hidup tersendiri.
Di Indonesia, angkutan umum khususnya
massal tidak hanya belum digemari
masyarakat, bahkan masih dianggap
sebagai salah satu biang persoalan
perkotaan. Jika ada kecelakaan di pintu
rel, seringkali yang disalahkan adalah
perusahaan kereta api karena dianggap
tidak mampu menjamin keamanan
pengendara mobil atau, yang lebih parah
lagi kereta api itu sendiri sudah dicap
sebagai angkutan yang membahayakan
keselamatan masyarakat. Baru-baru ini,
pola pikir yang terbalik seperti ini juga diterapkan dalam menyikapi beberapa kecelakaan
akibat menyebrang jalan pada lintasan busway di Jakarta. Atau persoalan keseharian, jika
kita mengendarai kendaraan pribadi melewati kemacetan, maka kita cenderung lebih
menyalahkan bus atau angkutan kota sebagai sumber utama kemacetan karena
pemngemudinya sering menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan.
Mungkin pola pikir seperti ini
pulalah yang secara berangsur telah
menyebabkan punahnya tram yang
dulu pada zaman pendudukan
Belanda cukup diandalkan sebagai
sarana angkutan massal di kota-kota
besar seperti Jakarta dan Semarang.
Kondisi ini sungguh ironi karena di
negara-negara asalnya pemerintah
justru rela menggelontorkan subsidi
dalam jumlah yang besar untuk
menjamin kelangsungan hidup tram ini.
Pengembangan MRT yang harmonis dan berkelanjutan haruslah berangkat dari gerakan
budaya. Kesadaran untuk beralih ke MRT sebaiknya tidak sekedar karena keterpaksaan
tetapi menjadi gaya hidup baru sehingga penerapannya akan menjadi mudah. Sebelum
MRT berkembang, warga Eropa Barat dan Cina terkenal sebagai pecinta sepeda, sebagai
cerminan moda transportasi yang sederhana dan ramah lingkungan. Dengan modal
Tram melewati kawasan Glodok,
Jakarta pada tahun 40an
Menggunakan jalur busway merupakan
perbuatan yang melanggar tata tertib lalu lintas
budaya seperti ini, tidaklah terlalu sulit bagi pemerintah untuk memperkenalkan MRT,
sebagai moda transportasi masa depan, kepada masyarakatnya.
Rekomendasi: Membudayakan MRT
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap
MRT? Pertama, penerapan MRT yang sukses sebagai gerakan budaya memerlukan
kepemimpinan yang kuat. Ini tidak serta merta dapat dimaknai dengan pemimpin yang
otoriter. Pemimpin yang diperlukan adalah yang dapat menjadi teladan yang baik bagi
masyarakatnya. Pemerintah misalnya dapat melakukan gerakan pejabat naik kendaraan
umum. Para pejabat juga seyogyanya memberikan contoh dengan tinggal pada jarak dan
lokasi permukiman yang masih memungkinkan untuk dapat diakses dengan kendaraan
umum.
Upaya-upaya terobosan yang cukup kreatif yang dapat secara tidak langsung menunjang
pengembangan MRT pun perlu terus dikembangkan. Misalnya, program car free day di
ruas-ruas jalan tertentu seyogyanya jangan hanya dipandang sebagai program populis
atau sekedar memindahkan simpul kemacetan. Sebaliknya, program seperti ini, terlepas
dari berbagai keterbatasannya, perlu diapresiasi dan didukung karena secara bertahap
dalam jangka panjang dapat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan
masyarakat akan gaya hidup yang lebih efisien, sehat, dan ramah lingkungan.
Kedua, penerapan MRT yang berkelanjutan memerlukan koordinasi antar sektor dan
antar tingkat pemerintahan. Peningkatan penggunaan kendaraan umum oleh masyarakat
luas akan lebih realistis jika diiringi dengan mekanisme disinsentif bagi pengguna
kendaraan pribadi dan insentif bagi pengguna kendaraan umum. Pemerintah perlu secara
konsisten mengelola dampak industri kendaraan melalui misalnya penerapan pajak yang
tinggi dan subsidi BBM yang lebih selektif. Sebagai kompensasinya, pemerintah dapat
mengalihkan dana yang ada untuk pengembangan infrastruktur massal dan penunjangnya.
Pembangunan rel kereta api misalnya menjadi prioritas sehingga tidak terlalu tergantung
dengan jalan tol.
Ketiga, seringkali kendala yang dihadapi bukanlah pada kualitas pelayanan MRT, tetapi
fasilitas penunjangnya. Untuk itu, dalam kerangka pengembangan MRT yang terpadu,
pemerintah harus mulai memikirkan misalnya sarana angkutan feeder (antara) yang
handal yang dapat menghubungkan rute MRT dengan pusat-pusat permukiman.
Pemerintah juga perlu memperbaiki jalur-jalur pejalan kaki yang menghubungkan halte-
halte dengan pusat-pusat kegiatan.
Dalam jangka panjang, pengembangan pusat-pusat permukiman maupun pusat-pusat
kegiatan baru di suatu kota perlu terintegrasi dengan master plan MRT. MRT sebagai
sarana angkutan skala perkotaan juga perlu lebih terintegrasi dengan sistem transportasi
skala wilayah maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan
mengembangkan simpul-simpul penghubung antar-moda seperti pengembangan halte
MRT yang dipadukan dengan pengembangan lokasi terminal bus, stasiun kereta api, atau
bahkan bandar udara dan pelabuhan. Lebih jauh lagi, sistem pembayaran sebaiknya
memanfaatkan teknologi otomatis seperti kartu prabayar atau chip dan sebaiknya dapat
terintegrasi dengan moda angkutan umum lain sehingga lebih efisien bagi pengguna.
Keempat, pengembangan MRT yang tangguh harus bertahap dan memperhatikan dampak
sosial selama proses transisi. Pengembangan MRT sebaiknya dimulai dengan yang
sederhana seperti busway. Lalu, seiring dengan bertambah rumitnya sistem pergerakan di
suatu kota, program berikutnya dapat melibatkan moda yang lebih rumit pula seperti
monorail, tram, atau subway.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan MRT berkonsekuensi pada
pengurangan lapangan kerja sektor transportasi kota karena operasinya relatif lebih padat
modal. Pemerintah harus memikirkan proses adaptasi dan pengalihan sebagian tenaga
kerja dan pengusaha sektor transportasi secara bertahap melalui peningkatan kapasitas,
bantuan permodalan, ataupun penyediaan lapangan kerja baru.
Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau
untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Oleh:
Catrini Pratihari Kubontubuh
Direktur Eksekutif BPPI dan Executive Committee for International of National Trusts
Organisation – Asian Region serta bekerja di Bank Dunia - Jakarta sebagai tim Social
Safeguard
Ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang telah berkembang
menuntut adanya penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan
partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan
(Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang)
I. Pendahuluan
Tantangan dalam melakukan penataan
ruang sebuah Kota Pusaka saat ini
adalah bagaimana merumuskan
langkah strategi penataan ruang kota
dalam sinergi kegiatan pelestarian yang
tepat. Tidak hanya melibatkan
kebijakan/keputusan dan berbagai
bentuk advokasi maupun mitigasi
terkini, namun penting
mempertimbangkan kota dalam
peradabannya di masa lampau.
Salah satunya adalah dengan mempelajari tipologi perkembangan sebuah kota, yang
tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh-pengaruh bentuk tata ruang
kota, perbedaan-perbedaannya serta menemukenali kearifan lokal yang bisa diterapkan
di masa kini.
Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud
dan berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta
saujana (Adishakti, 2008). Walau kota-kota di Indonesia banyak yang memiliki
kelimpahan keragaman pusaka, tetapi klasifikasi sebagai kota pusaka (atau sebutan lain
kota bersejarah, kota warisan, ataupun kota cagar budaya) baru mulai dipakai setelah
Konferensi Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia di Surakarta bulan Oktober 2008 yang
berhasil membentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI/Indonesian Heritage Cities
Network).
Terminologi “Kota Pusaka” dipakai untuk mendefinisikan sebuah bentuk kota yang
menempatkan penerapan kegiatan pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama
pengembangan kotanya. JKPI hingga kini telah beranggotakan 33 kota pusaka,
termasuk DI Yogyakarta. Inisiatif pembentukan jaringan ini merupakan sebuah upaya
strategis untuk membantu penataan ruang kota berbasis pelestarian dalam berbagai kota
yang sarat dengan kekentalan tradisi dan keragaman pusaka yang dimilikinya.
II. Pemahaman Sejarah Perkembangan Kota
Pemahaman sejarah memiliki kandungan akan “sesuatu yang tetap” yang perlu
dipertahankan, bukan berarti tidak bisa menerima perubahan, walau memang ada yang
tidak boleh diubah sama sekali. Pembangunan masa depan secara berkelanjutan
hendaknya mampu menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan
dinamika zaman secara terseleksi. Termasuk menjadi alat dan modal untuk
pengembangan budaya dan ekonomi. Apresiasi dan rasa yang dimiliki insan di bumi
terhadap pusaka yang ada menjadi kekuatan utama mencapai tujuan tersebut. Sehingga
perkembangan kota merupakan manifestasi dari upaya manusia mengembangkan
peradaban yang dimilikinya di masa lalu.
Studi sejarah kota di Indonesia meliputi pengenalan konsepsi, struktur dan bentuk kota
sebelum zaman kolonial yang didominasi oleh sistem kerajaan. Kota Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) merupakan kota yang berperan penting dalam menentukan
perkembangan sejarah Jawa. Pusat kerajaan di masa lampau merupakan tempat
pemusatan hampir seluruh aspek kehidupan kota baik tata ruang, arsitektur dan
aktivitas masyarakatnya. Dalam hal ini pusat kerajaan berarti sebuah wilayah kota yang
melingkupi keraton serta kompleksnya yang berada di dalam tembok benteng yang
mengelilinginya (Santoso, 2008). Dimensi ruang kota sudah terbentuk di masa tersebut
dengan pola catur pathus yaitu pusat kota berupa alun-alun dengan bagian sebelah utara
adalah lapangan bubat, sebelah timur adalah tempat persembahyangan, sebelah selatan
adalah keraton, dan sebelah barat adalah kompleks pemukiman. Salah satu instrumen
yang kuat dalam sejarah perkotaaan adalah pengaturan teritorial, ruang dan bangunan
berdasarkan konsepsi kosmografis serta kaidah penataannya.
III. Pengembangan Kota di Masa Lampau dan Masa Kini
Salah satu bentuk penanganan pengelolaan Kota Pusaka adalah dengan pelaksanaan
revitalisasi kawasan-kawasan pusaka yang berada di kota-kota tersebut. Revitalisasi
kawasan pusaka adalah upaya mengembalikan dan meningkatan vitalitas kawasan yang
memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Walau seringkali revitalisasi masih diartikan
dengan tidak tepat sebagai memperindah fisik kawasan semata, tanpa memikirkan
pemanfaatan baik dari segi sosial, budaya dan ekonomi.
Langkah awal untuk menunjang upaya revitalisasi adalah registrasi dan dokumentasi
semua pusaka yang dimiliki sebuah kota baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka
maupun pusaka rakyat. Berbagai sektor perlu diajak bersama-sama memahami,
mengamati, mengkaji berbagai aset pusaka di daerahnya, serta mendalami potensi dan
hambatan yang dihadapinya.
Selain itu, berbagai sektor dalam pemerintah kota perlu diajak menggarap kawasan
pusaka di daerahnya, meninjaunya dari berbagai aspek, dan mencoba menyepakati
kebijakan dan program yang optimal serta langkah apa yang perlu diambil.
Dalam hal ini dibutuhkan kreativitas dan pemahaman realistik dalam mengembangkan
program dan pencapaiannya. Termasuk perencanaan mengenai peraturan/panduan serta
sarana yang diperlukan misalnya, pengembangan organisasi, penyediaan SDM,
perlengkapan operasional, anggaran, promosi dan sebagainya. Pemerintah kota juga
perlu mengembangkan kerjasama antar kota/kabupaten, dalam sinkronisasi kebijakan
dan pengembangan program bersama terutama diantara para anggota JKPI.
Dalam kenyataan, mengelola suatu lingkungan pusaka, apapun bentuknya – saujana,
kota, desa, kawasan, area – akan menyangkut persoalan kepekaan, selera dan kreasi
pengelolanya terhadap pusaka-pusaka yang dimiliki wilayahnya (Adishakti, 2008). Bila
ditelaah, persoalan kepekaan menjadi dasar penting dalam prinsip tersebut. Ketika
melakukan inventarisasi berbagai pusaka yang ada diperlukan kepekaan dalam
menelaah dan menetapkan apa saja yang masuk dalam klasifikasi pusaka. Demikian
pula dalam proses yang sistematik untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu
aset pelestarian, termasuk dalam mengelola keterlibatan masyarakat. Kemudian juga
dengan prinsip bahwa pelestarian pusaka itu unik. Untuk dapat memahami keunikan ini
kepekaan adalah kuncinya.
Selera dan kreasi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkah ketika menindak
lanjuti hasil identifikasi dan melaksanakan proses sistimatik pelestarian beserta
perencanaan selanjutnya. Memadukan antara pelestarian pusaka dan pembangunan
ekonomi sebenarnya adalah pilihan dari pengelola kota dan daerah. Bila memiliki
selera memadukannya dan mampu berkreasi, prinsip universal tujuan pelestarian
terpadu dapat diikuti. Demikian pula dalam kewenangan penentu kebijakan dalam
menata keuangan dan peraturan yang menunjukkan keberpihakan pada pelestarian
pusaka yang komprehensif.
Arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan
pusaka. Dalam hal ini aspek legal yaitu UU No. 5 tahun 1992 dan revisinya belum
secara optimal dapat mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah disain arsitektur
pusaka. Demikian pula undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan
gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu
sendiri hingga kini belum diterbitkan. Undang Undang 26/2007 tentang Penataan
Ruang telah menyertakan Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka. DI
Yogyakarta sangat rentan terhadap bencana alam. Sudah saatnya perencanaan tata
ruang dan bangunan kota pusaka mengantisipasi pula persoalan resiko bencana untuk
pusaka.
.
IV. Pengembangan Yogyakarta sebagai Kota Pusaka
Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan lingkungan pusaka masih
merupakan hal yang relatif baru. Konsentrasi yang sudah dijalankan lebih pada
persoalan pusaka tunggal atau beberapa pusaka dengan perwujudan yang sama.
Di Indonesia, indikator kota pusaka apakah dikelola dengan benar, dapat dicermati dari
sistem pengelolaan dan aspek legal yang melindunginya. Sistem pengelolaan ini dapat
ditunjukkan dengan:
- Apakah daftar pusaka kota yang telah ditetapkan oleh kota itu sendiri telah
dimiliki?
- Adakah dinas khusus pemerintah kota yang menangani pusaka kota baik fisik
maupun non fisik?
- Adakah kebijakan untuk investasi pusaka, karena pada dasarnya banyak komponen
kota pusaka yang membutuhkan investasi bagi pengembangannya yang tepat?
Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, sebenarnya pengelola kota memiliki
kewenangan untuk mengembangkan aset pusakanya secara mandiri. Hal ini juga
menjadi indikator yang kuat akan ada dan tidaknya kepedulian kota terhadap
pusakanya. Termasuk selera dan tingkat kreasi pengelola kota tercermin dengan
langkah-langkah pengelolaannya.
Beberapa penanganan pelestarian kawasan menunjukkan bahwa kepekaan dan
kreativitas terhadap pusaka tunggal tidaklah cukup. Perlu dikembangkan kerjasama
dalam menangani keragaman pusaka dalam kawasan secara komprehensif. Pendekatan
holistik dalam pelestarian kawasan ini sangat diperlukan, bahkan di dalam menghadapi
kegiatan pemulihan kawasan akibat bencana sekalipun.
Bencana yang merupakan ancaman dapat menjadi sebuah peluang. Namun peluang
tersebut memerlukan kreativitas. Dan, kreasi ini perlu kolaborasi. Contoh pemulihan
Kawasan Pusaka Kotagede pasca gempa 2006 yang sedang dilakukan dan hasilnya
masih belum dapat dilihat. Menangani bangunan tradisional saja di kawasan yang
memiliki keragaman pusaka tidak akan memberikan dampak yang berarti. Ekonomi
lokal yang tergantung pada pengembangan pusaka budaya non-tangible seperti
makanan, kerajinan perlu dihidupkan bersamaan dengan wadah fisiknya. Kenyataan
menunjukkan kawasan pusaka di Daerah Istimewa Yogyakarta dan umumnya di
Indonesia masih belum menjadi bagian dari pembangunan daerah.
Menurut Adishakti, ada beberapa indikator yang mendukung kesimpulan ini. Pertama,
belum ada aspek legal yang tepat untuk melindunginya. Revisi Undang-undang No. 5
tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yaitu UU no. 12 tahun 2010 diharapkan mulai
mengakomodasi persoalan kawasan. Di sisi lain pengelolaan pelestarian kawasan
pusaka bukanlah bertujuan untuk mengawetkan/preservasi kawasan tersebut. Kawasan
pusaka perlu dapat terus tumbuh dan berkembang mengikuti zaman, namun tetap harus
memperhatikan proteksi dan kesinambungan pusaka-pusaka di dalam teritori kawasan.
Perlu kita cermati. Perda Propinsi DIY No. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Kawasan Cagar Budaya. Tepatkah penggunaan terminologi Kawasan Cagar Budaya?
Kedua, tentang aspek kelembagaan yang perlu mengakomodasi berbagai persoalan
pelestarian pusaka maupun umum secara komprehensif dan sistematik dalam
mengelolanya. Suatu kawasan perlu pengelolaan dari banyak sektor. Sementara pusaka
di dalam kawasan yang kemudian membentuk kawasan pusaka juga terdiri banyak aset
mulai dari pusaka alam, pusaka budaya tangible dan intangible, serta pusaka saujana.
Sudahkah kelembagaan di DIY mencerminkan hal tersebut?
Ketiga, pengelolaan pelestarian kawasan pusaka mensyaratkan adanya regristasi dan
dokumentasi semua pusaka yang dimilikinya baik alam, budaya maupun saujana, adi
pusaka maupun pusaka rakyat. Registrasi ini harus terus diperbaharui dan menjadi
acuan dalam perencanaan pembangunan daerah maupun informasi terbuka kepada
publik luas dan masyarakat. Sudahkah registriasi yang selalu diperbaharui dilakukan?
Dimanakah di DIY lembaga yang secara terpadu melakukan hal ini?
Keempat, sudahkah ruang lingkup perencanaan kawasan menyertakan keseluruhan
pusaka kawasan yang dimiliki sebagai bagian yang tidak terpisahkan baik dalam
penataan ruang maupun bangunan, termasuk Perencanaan Persiapan Resiko Bencana
untuk Pusaka.? Kenyataan menunjukkan pula bahwa pelestarian pusaka tidak
terakomodasi dalam UU RI No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Gempa Jogja tahun 2006 dan pemulihan Kawasan Pusaka Kotagede justru telah
membangunkan banyak pihak akan terpinggirkannya persoalan pusaka dalam
pembangunan daerah.
Kelima, arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi
kawasan pusaka. Kembali di sini aspek legal untuk mengakomodasi pemanfaatan
kembali dan olah disain arsitektur pusaka dipertanyakan. UU No. 12 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya sangat diharapkan dapat digunakan untuk melingkupi bangunan
pusaka yang dalam upaya pelestariannya perlu seleksi mana yang harus diawetkan
mana yang bisa dibongkar atau ditambah baru. Demikian pula undang-undang yang
lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula
peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan
untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan.
Keenam, pelestarian pusaka pada dasarnya adalah pengelolaan perubahan. Kesuksesan
pengelolaan perubahan selain didasari peraturan juga ditentukan oleh sumber daya
manusia pengelolanya. Seberapa banyak eksekutif dan legislatif memiliki kompetensi
di bidang pelestarian pusaka yang holistik dan komprehensif?
“MENDAMBAKAN KOTA LAYAK ANAK”
KOTA DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN RUANG BERMAIN ANAK
Oleh:
DR. Seto Mulyadi
Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, di dalamnya terdapat anak-
anak yang menyimpan banyak potensi. Mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan
yang diharapkan bisa membawa bangsa Indonesia menuju pada kemajuan. Karena di
antara jutaan anak-anak Indonesia, ada calon-calon pemimpin yang akan mengelola
negeri ini. Namun sampai saat ini penghargaan dan pemenuhan kebutuhan untuk anak-
anak di Indonesia sendiri masih harus terus ditingkatkan.
Pemerintah kini telah menjamin hak-hak dan kewajiban anak-anak Indonesia melalui
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-
undang itu, terdapat pasal yang berbunyi, setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan
diri. Selain itu, di pasal lainnya disebutkan bahwa anak-anak Indonesia berhak
memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Pemerintah terus berusaha untuk mengakomodir kebutuhan anak-anak Indonesia
sesuai yang diamanatkan Undang-undang Perlindungan Anak Indonesia itu. Untuk
mewujudkan tuntutan pasal yang telah disebutkan tersebut, maka perlu diciptakan sarana
dan kawasan yang memang diciptakan untuk kawasan bermain anak. Perlu diakui
hampir di setiap kota di Indonesia masih sangat minim sekali ketersediaan ruang publik,
khususnya taman bermain. Yang dimaksud dengan taman bermain anak adalah, anak
masih sangat kekurangan ruang bermain anak. Taman-taman bermain dengan udara yang
lepas kini harus berbagi tempat dengan mall dan real estat. Lebih kepada kepentingan
komersial dengan akses terbatas, hanya untuk kalangan ekonomi menengah ke atas
Fenomena seperti ini mengundang keprihatinan Ketua Komisi Nasional Anak, Seto
Mulyadi yang lebih dikenal dengan nama Kak Seto. Menurut Kak Seto, kawasan bermain
yang sudah ada dan berkembang saat ini, seperti di mall dan taman- taman bermain,
bukanlah sebuah konsep yang ideal bagi sebuah kawasan ruang bermain anak. Kawasan
itu, selain komersial, menurut Kak Seto juga sangat diskriminatif, karena hanya
kalangan yang berekonomi kecukupan yang bisa mengakses kawasan bermain anak
semacam itu. ” Cenderung lebih mengutamakan unsur bisnis dan kurang sekali menjawab
kebutuhan pemenuhan hak anak untuk bermain,” tekannya.
Kepentingan bisnis itu, dalam pandangan Kak Seto tampak pada rancang bangun Mall
yang hanya memenuhi kebutuhan untuk belanja. Padahal semua anak membutuhkan
udara udara segar dan tempat lapang, sehingga anak-anak bisa berlari-lari dan berkejar-
kejaran. ”Itu sangat bagus bagi pertumbuhan fisiknya dan baik pula untuk perkembangan
jiwanya. Bebas lepas dan lebih kreatif!” tegas Kak Seto.
Dalam pandangan pemerhati dan pencinta anak ini, konsep taman bermain anak yang
bergabung dengan kawasan pertokoan seperti di atas belum bisa dikatakan sebagai taman
bermain yang ideal. Tempat bermain itu, menurut pandangan ideal Kak Seto, sebaiknya
berupa tempat lapang dengan udara segar, yang bersifat alamiah. Jika terpaksa berada di
dalam ruangan, maka harus diusahakan ada keseimbangan dengan kegiatan di luar
ruangan. ”Anak Indonesia termasuk kurang beraktivitas di luar ruangan,” ungkap Kak
Seto.
Tempat bermain di alam, dengan ayunan atau panjatan dari kayu akan memberi
kegembiraan dan tantangan kepada anak-anak. Fasilitas-fasilitas seperti itu bisa
merangsang kecerdasan anak, tidak hanya kecerdasan kognitif dan kecerdasan sosial,
tetapi juga kecerdasan fisik/ keterampilan kinestetik. Hal-hal ini, menurut Kak Seto
sangat penting. Dia menyebut contoh, Taman Ria Pak Ooq di Lapangan golf Senayan
yang pernah ada pada tahun 1970-an.
Tugas Pemerintah Kota
Pemerintah Kota (Pemkot), menurut Kak Seto berkepentingan untuk mewujudkan
kawasan atau tempat bermain anak. Kepentingan ini dilandasi oleh keinginan untuk
mewujudkan generasi unggul. Oleh karena itu Pemkot harus memenuhi kebutuhan untuk
bermain anak-anak.
Kak Seto menguraikan, pada saat anak –anak bermain adalah proses belajar, kemudian
pada proses belajar ada proses mengasah potensi-potensi kecerdasan. Itulah pentingnya
menyediakan fasilitas bermain untuk anak-anak.
Di sisi lain, menyediakan fasilitas bermain anak juga merupakan amanat Undang –
undang Perlindungan Anak. Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, juga
mencanangkan program Kota Layak Anak. Program ini, demikian Kak Seto,
mensyaratkan adanya ruang-ruang publik yang bisa dipakai untuk anak-anak bermain
layang-layang seperti dulu. ”Sekarang, anak-anak terpaksa bermain layang-layang di atas
genteng atau di pinggir rel kereta api,” tegasnya.
Konkritnya, harap Kak Seto, suatu wilayah harus menyediakan minimal 5 persen dari
wilayahnya untuk ruang publik anak-anak. ”Sekarang ini satu persen juga tidak ada,”
tuturnya. Menurut pengamatan Kak Seto, di Indonesia belum ada kawasan bermain anak
yang ideal. Kenyataan ini, harap Kak Seto, bisa memacu semangat para pimpinan daerah
untuk tidak mendeskriminasi anak – anak, sehingga mengabaikan kepentingan tempat
bermain anak. Untuk itu Pemda/Pemkot harus menyediakan anggaran untuk anak dan
memberikan political will. Sebab, bangsa yang besar tidak hanya bisa menghargai jasa
para pahlawan, tapi juga bisa menghargai anak-anaknya. ”Masa lalu adalah penting, tapi
yang lebih penting lagi adalah masa depan. Yakni, dengan memberikan perhatian yang
serius pada anak-anaknya,” demikian Kak Seto.
Mengatasi Backlog Perumahan Bagi Masyarakat Perkotaan
Oleh:
Muh. Dimyati *)
Peminat Masalah Tata Ruang dan Perkotaan, bekerja di Kemenpera
1. Pendahuluan
Melihat judul tulisan ini, maka ada tiga kata kunci yang akan dibahas. Kata kunci
pertama adalah Backlog. Memasuki tahun 2008, penduduk Indonesia telah berjumlah
sekitar 225 juta jiwa. Dimana dari angka tersebut tercatat 57 juta sebagai kepala keluarga.
Apabila satu keluarga memiliki rumah sendiri, maka diperlukan 57 juta unit rumah,
namun kenyataannya hanya tercatat 51 juta unit rumah, sehingga masih terdapat
kekurangan (backlog) 6 juta unit rumah.
Sementara itu, pertumbuhan penduduk Indonesia tercatat rata-rata 1,7% setiap tahun,
maka dapat dikatakan setiap tahun terdapat kelahiran bayi hingga 3,8 juta jiwa. Jika
setiap rumah diasumsikan dihuni oleh satu keluarga yang terdiri dari 4 orang (Ibu, Bapak,
dan dua anak), maka diperlukan sebanyak 950.000 unit rumah baru. Artinya setiap tahun
(paling tidak tahun 2008) diperlukan sejumlah 950.000 unit rumah baru. Kalau angka
tersebut ditambah dengan backlog di atas, berarti pada tahun 2008 terdapat kekurangan
6,95 juta unit rumah.
Saat ini rata-rata pembangunan rumah hanya sekitar 350.000 unit per tahun. Karena
itulah maka setiap tahunnya mengalami kekurangan 600.000 unit rumah. (P.
Simanungkalit, 2008). Ternyata perhitungan itu sejalan dengan angka backlog dari
Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) yang mengacu asumsi ‘menghuni rumah’,
yaitu sebesar 7,4 juta unit untuk tahun 2009. Untuk memenuhi kekurangan rumah itu
diperlukan waktu sangat lama apabila tidak dilakukan upaya-upaya sistematis.
Melalui berbagai pertimbangan, maka dalam waktu lima tahun kedepan Kemenpera
merencanakan untuk menangani sekitar 25% backlog di atas, yaitu sekitar 1.842.994
unit. Apabila diasumsikan (asumsi rendah) rata-rata tambahan rumah tangga baru dalam
lima tahun ke depan sekitar 710.000 per tahun, maka yang akan ditangani dalam lima
tahun ke depan (2010-2014) sekitar 5.392.994 unit. Melihat pengalaman lima tahun lalu,
dimana potensi swadaya lebih tinggi dari yang difasilitasi pemerintah, maka asumsi
program Kemenpera untuk melakukan fasilitasi melalui Pemerintah sebesar 2.070.000
unit dan yang dikelola oleh swadaya masyarakat sekitar 3.322.994 unit, cukup beralasan
(Bahan Sosialisasi Dekonsentrasi Kemenpera, 2010).
Kemudian kata kunci kedua adalah Perumahan. Perumahan merupakan kelompok rumah
yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (UU No. 4 Tahun 1992). Dari
pengertian tersebut jelas sarana dan prasarana lingkungan hanyalah pelengkap kelompok
rumah. Namun pendapat lain mengatakan sarana dan prasarana lingkungan bukanlah
pelengkap, tetapi bagian satu bagian kelompok rumah agar dapat disebut perumahan.
Sehingga pengertian perumahan menjadi kelompok rumah dengan sarana dan prasarana
lingkungan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian.
Menurut penulis, pengertian kedua mempunyai makna adanya kewajiban membangun
sarana dan prasarana lingkungan sebelum dibangun kelompok rumah. Sedangkan
pengertian pertama tidaklah demikian. Tulisan ini masih mengacu pengertian yang
disebutkan dalam Undang-Undang No 4 tahun 1992 tersebut, karena dokumen itu masih
dipergunakan dalam sistem penyelenggaraan perumahan, kecuali hasil revisi yang sedang
dalam proses di DPR nantinya diputuskan lain.
Jadi pengertian backlog perumahan lebih dimaknakan kekurangan rumah, tidak wajib ada
prasarana dan sarana lingkungan tetapi dilengkapi prasarana dan sarana lingkungan.
Terminologi ‘yang dilengkapi’ dan ‘dengan atau menjadi bagian’ akan mempunyai
konsekuensi turunan yang sangat berbeda dalam pelaksanaannya, tidak hanya terkait cost
tetapi banyak masalah lainnya. Sehingga apabila saat ini banyak keluh kesah melalui
berbgai media tentang tidak optimalnya prasarana dan sarana lingkungan di permukiman
dan kurang mendapat respons, sangat bisa dimaklumi. Pasalnya hulu dari amanat perintah
di dalam undang-undangnya demikian adanya. Tentu penulis yakin sejatinya bukan hal
tersebut alasannya, tetapi karena memang adanya prioritas penanganan oleh pemerintah
karena terbatasnya penganggaran, atau pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan
yang dimaksud bukan menjadi tanggungjawab pemerintah.
Kata kunci ketiga adalah Masyarakat Perkotaan. Masyarakat perkotaan atau urban
community diartikan sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Mereka
adalah yang sifat dan ciri kehidupannya lebih individualistis, pembagian kerja antar
warganya lebih tegas dan nyata, interaksi antar warganya lebih berdasarkan faktor pribadi
atau kepentingan, dan interaksi sosial antar warganya kurang. Kawasan perkotaan adalah
wilayah yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi
(Undang-Undang 26/2007). Badan Pusat
Statistik memberi makna suatu wilayah
disebut kawasan perkotaan apabila
kepadatan penduduknya 500 orang/km2
atau lebih, kurang dari 25%
penduduknya hidup dari pertanian, dan
sekurang-kurangnya mempunyai delapan
fasilitas pelayanan umum, seperti: pasar,
sekolah, pusat kesehatan, dan
perkantoran.
Gambar 1.
Sebaran Penduduk Indonesia
(Sumber: Modifikasi Purnawan, 2010)
2. Kondisi Penyediaan Perumahan Saat ini di Perkotaan
Sebagai mukiman pasar (Max Weber, 1958) atau sebagai penyebar norma konsumsi
global (Potter, 1990), atau sebagai pusat pengembangan dan penyebaran budaya, kota
merupakan tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih (Dwight Sanderson).
Merujuk pada faktor kepadatan dan
jumlah penduduk, perkembangan
persentase penduduk dunia dari tahun
1950, tahun 2000 sampai 2030
menunjukkan kecenderungan yang
sangat luar biasa, yaitu bahwa persentase
penduduk kota berkembang dari 29,7%
(Tahun 1950) menjadi 47,4% (Tahun
2000) dan menjadi 61,1% (perkiraan
Tahun 2030).
Sebaran penduduk Indonesia di
perkotaan pun mengikuti pola yang tak
jauh berbeda dengan sebaran penduduk
dunia, sebagaimana terlihat pada
Gambar 1 (Purnawan, 2010).
Mencermati hal tersebut, penulis
berpendapat tidak ada pilihan lain selain
untuk mengharuskan pemerintah lebih
concern dalam mengurus masyarakat perkotaan, tanpa harus meninggalkan masyarakat
perdesaan, karena masalahnya saling berkaitan erat.
Salah satu urusan yang amat penting harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah
mengurus perumahan di perkotaan, tanpa meninggalkan urusan perumahan di perdesaan
(Gambar 2). Trend kebutuhan perumahan perkotaan terlihat lebih besar dibandingkan
kebutuhan perumahan perdesaan mulai tahun 2010. Selain itu jumlah rumah tidak layak
huni tercatat 12,88 juta rumah tangga (2007) dan luas kawasan permukiman kumuh
(Gambar 3) meningkat mencapai sekitar 57.800 ha (2009).
Dalam lima tahun ke depan, Kemenpera menargetkan sasaran pembangunan rusunawa
36.480 unit (380 twin blok), pembangunan rumah khusus 5.000 unit, fasilitasi
pembangunan rumah swadaya pembangunan baru 50.000 unit dan peningkatan kualitas
50.000 unit, penataan lingkungan permukiman kumuh 655 Ha, fasilitasi PSU kawasan
untuk mendukung 700.000 unit rumah, dan penyaluran bantuan subsidi perumahan
1.350.000 unit. (Renstra Kemenpera Tahun 2010-2014).
Seperti dapat diduga bahwa pencapaian sasaran tersebut tidak semulus dalam rencana,
tetapi sangat tergantung dinamika perekonomian nasional serta kesiapan pemerintah dan
pelaku lainnya. Sebagai contoh rencana penanganan 380 twin blok rumah susun yang
mendapat pengesahan untuk mendapatkan alokasi anggaran dalam Rencana Kerja
Pemerintah tahun 2011 sebanyak 100 twin blok. Rencana pembangunan swadaya yang
Gambar 2.
Tren Kebutuhan Rumah di Indonesia
(Sumber: Modifikasi Purnawan, 2010)
100.000 unit mendapat alokasi 25.000 unit, dan fasilitasi PSU kawasan yang 700.000 unit
mendapat alokasi 117.010 unit (Perpres 29/2010). Realisasi atas rencana kerja
pemerintah tersebut masih harus diuji sampai akhir tahun 2011. Angka-angka tersebut
memberikan gambaran bahwa guna mewujudkan rencana yang sudah ditetapkan dalam
Renstra memerlukan kesungguhan, kejujuran, kerja cerdas dan istiqomah seluruh
pemangku kepentingan, utamanya pemerintah dalam memperjuangkan keberlanjutan dan
kesinambungan program pada tahun-tahun mendatang.
Pencapaian lima tahun lalu (2004-2009) dapat menjadi lesson learned yang baik dalam
upaya peningkatan penimbunan backlog perumahan dan pengentasan lingkungan
permukiman kumuh. Melalui pasang surut yang ada, lima tahun lalu (Realisasi per 30
September 2009) Kementerian Perumahan Rakyat telah mampu mencapai sasaran
1.145.113 unit (90,5%) rumah baru layak huni atas target sasaran yang 1.265.000 unit,
rusunawa 31.510 unit (52,5%) atas target sasaran 60.000 unit, dan perumahan swadaya
3.139.523 unit (87,2%) atas target sasaran 3.600.000 unit, serta penataan kawasan seluas
7.369 Ha (68,8%) atas target sasaran 10.700 Ha (Memori Akhir Jabatan Menpera 2004-
2009).
Memang lingkungan strategis lima tahun lalu akan sangat berbeda dengan lima tahun ke
depan, tetapi keprihatinan para pemangku kepentingan yang menjadi hambatan dan
kendala serta semangatnya yang menjadi pendorong dan motivator pencapaian sasaran
perlu dipelajari untuk menyusun strategi yang lebih baik. Knowledge tersebut perlu
dikelola dan didokumentasikan dengan cermat, agar dapat dijadikan rujukan tertulis,
bukan sekedar menjadi personal knowledge yang disimpan dalam ingatan dan kenangan
pelakunya sendiri sehingga bermanfaat besar bagi upaya menimbun backlog yang
semakin besar tersebut.
3. Bagaimana Peran Pemangku Kepentingan
Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 menyatakan bahwa perumahan merupakan
urusan wajib pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal tersebut berarti
bahwa pemerintah daerah Kabupaten/Kota menjadi ujung tombak dalam melaksanakan
kewajiban menjamin perwujudan akan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat
menengah ke bawah. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kemampuan
pemerintah Kabupaten/Kota masih banyak yang terbatas.
Hal tersebut tampak antara lain dalam potret kemampuan fiskal daerah yang rata-rata
masih tergolong sedang, yaitu dari 25% (Tahun 2007) menjadi 23,2% (Tahun 2008) dan
yang tergolong rendah, yaitu dari 46,9% (tahun 2007) menjadi 47,6% (Tahun 2008) dari
seluruh jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Untuk itu dalam menjalankan
amanat UUD 1945 pasal 28H ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”, seluruh pemangku kepentingan baik Pemerintah
(Pusat dan Daerah), Para Pengembang/Swasta dan Masyarakat maupun Badan Nirlaba
perlu bersatu padu dalam karsa dan karya.
Dalam bersinergi, ketiga pilar utama pembangunan perumahan tersebut dapat berupaya
mewujudkan keberpihakannya kepada masyarakat menengah ke bawah melalui
penerapan konsep kerjasama
kemitraan (Gambar 4).
Dari gambaran tersebut jelas bahwa
dalam membangun perumahan untuk
masyarakat yang dilakukan bukan
secara swadaya, Pemerintah Daerah
bertugas memastikan ketersediaan
lahan, Pemerintah Pusat
memfasilitasi terwujudnya prasarana
dan sarana yang terkoneksi dengan
sistem perkotaan, dan Pengembang
bertugas membangun rumah beserta
parasarana dan sarana lingkungannya.
Sementara Perbankan menjadi
institusi yang mem- back up
manajemen penyaluran dananya.
Hasil kerjasama ketiga pilar tersebut akan membentuk suatu aset daerah dan aset
penduduk yang akan berkontribusi melalui perpajakan. Pajak tersebutlah yang akan
menjadi sumber dana pembangunan yang diandalkan. Circle tersebut akan mendorong
terwujudnya cadangan lahan (land banking) yang mencukupi dan dapat dikelola oleh
pemerintah daerah. Lahan tersebut pada saatnya akan dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah.
4. Apakah Rumah Susun Mampu Menjawab Persoalan Yang Ada
Telah diketahui bersama bahwa perkotaan semakin padat, sementara ketersediaan lahan
untuk perumahan semakin terbatas. Dengan demikian perumahan di perkotaan akan
sangat sulit dibangun, kecuali dengan pembangunan secara vertikal. Seperti dijelaskan
dalam pencapaian lima tahun lalu, pembangunan rumah susun sederhana (rusunawa dan
rusunami dengan peran swasta) dicapai 40,1% atau 34.143 unit atas target sasaran 85.000
unit (Realisasi akhir September 2009).
Membangun rumah susun di Indonesia, utamanya bagi masyarakat menengah ke bawah
memang menghadapi multi kendala. Tidak hanya kendala teknis pembangunan yang
relatif lebih dapat dikalkulasi secara matematis, tetapi juga kendala sosial, ekonomi, dan
budaya calon penghuninya yang terkadang tidak mudah dikalkulasi dan memerlukan
waktu yang tidak sebentar untuk mensosialisasikannya. Menghuni rumah susun, terutama
bagi masyarakat menengah ke bawah, memerlukan perjuangan ”melawan kultur” yang
perlu waktu untuk menyesuaikannya.
Gambar 4.
Skema Pemikiran Public Private Partnership
Bidang Pengembangan Perumahan Berbasis
Kawasan
Untuk itu, pembangunan rumah susun selain memang harus matang dalam perencanaan
bangunannya, harus pula disiapkan secara baik aspek kepenghuniannya. Beberapa kasus
tidak dihuninya rumah susun sederhana secara optimal menjadi pembelajaran tersendiri
bagi pemerintah dan kita semua. Memang beberapa ungkapan tersebut bukan alasan
untuk menghindar dari tanggungjawab, tetapi lebih kepada awarness yang perlu disikapi
dalam membangun rumah susun bagi masyarakat menengah ke bawah. Sebagai bangsa
yang besar, kita harus yakin bahwa untuk jangka panjang, hunian vertikal dapat menjadi
solusi pilihan yang mendapat dukungan publik secara luas.
Dari uraian singkat tersebut jelas bahwa hunian vertikal bukan satu-satunya alternatif
yang dapat menjawab masalah perumahan di perkotaan. Selain hunian vertikal, upaya
menghadirkan angkutan massal yang menghubungkan kawasan padat penduduk di
pinggiran kota, yang kebanyakan masih landed house, ke tempat mereka bekerja, untuk
sementara waktu menjadi alternatif yang masih elok untuk dipertimbangkan.
5. Bagaimana Strategi Agar Perumahan Yang Dibangun Dapat Tepat Sasaran
Kalau tepat sasaran diberi makna rumah yang dibangun dihuni oleh yang berhak dan
mampu menghuni, maka perlu didata sebenarnya seberapa besar segmen pasar riil
kebutuhan rumah, baik yang menengah ke bawah maupun yang menengah ke atas.
Namun mencari data seperti itu tidaklah mudah, karena sistem pendataan oleh BPS
belum benar-benar match dengan yang diperlukan oleh Kemenpera.
Mencari data berapa orang yang berhak dan berapa orang yang mampu menghuni
(memiliki) sementara ini masih dilakukan dengan berbagai pendekatan atau bahkan
estimasi. Itu pun validitasnya masih perlu diuji. Misalnya jumlah warga masyarakat yang
berhak menghuni rumah masih didekati dengan menghitung pertumbuhan penduduk dan
rata-rata hunian setiap rumahnya. Dari pendekatan yang dilakukan atau diestimasi
tersebut misalnya ketemu angka misalnya 7,4 juta kepala keluarga yang kemudian
dimaknakan sebagai 7,4 juta rumah (Estimasi untuk Tahun 2009). Jumlah yang mampu
memiliki didekati dengan berbagai pendekatan atau estimasi daya beli, misalnya melalui
variabel gaji pegawai, dan tentu ketemu angka yang lebih kecil jumlahnya.
Tanpa mengetahui data tersebut rasanya tidak mudah untuk membangun rumah yang
tepat sasaran, baik tepat dalam jumlah maupun tepat penghuninya. Belum lagi adanya
sikap dan kebiasaan sebagian warga masyarakat yang senang ”menyiasati” peraturan,
bukan mentaati peraturan. Misalnya persyaratan untuk mendapatkan bantuan perumahan
harus mempunyai bukti penghasilan kurang dari 2,5 juta rupiah per bulan.
Persyaratan tersebut bukannya ditaati tetapi justru dicari siasat bagaimana agar bisa
mendapatkan dukungan ”aspal” tetapi legal untuk memenuhi syarat tersebut sehingga
bisa memiliki rumah dengan cara subsidi, walau sebenarnya mereka itu tergolong warga
masyarakat yang tidak patut untuk disubsidi. Ini sudah masalah moral kebangsaan.
Banyak lagi contoh penyiasatan dalam berbagai bentuk. Praktek-praktek tersebut semakin
menjadikan perencanaan pembangunan rumah agar tepat sasaran semakin jauh dari
harapan.
Untuk itu pengawasan secara tegas dan penerapan sanksi yang adil, seperti misalnya
pembuktian terbalik bagi penghuni rumah bersubsidi atau pencabutan hak bagi yang
ternyata di kemudian hari terbukti menyiasati persyaratan yang ditentukan. Apabila
penegakan hukum dilakukan dengan tegas, jujur dan adil di bidang perumahan akan
dimungkinkan moral hazard seperti tersebut di atas akan berkurang dan bahkan
menghilang. Upaya terapi kejut (shock terapi) seperti itu perlu dilakukan, disamping juga
pembenahan berbagai peraturan yang masih lemah dan multi tafsir.
Di dalam keterbatasan yang ada, tentu perlu dirumuskan strategi pembangunan
perumahan yang jitu, termasuk mempertimbangkan ketepatan sasaran penghunian.
Strategi dimaksud antara lain dapat berupa: penyusunan kebijakan (NSPK) yang
mendorong kondusifitas pembangunan perumahan bagi seluruh pemangku kepentingan,
meningkatkan koordinasi dan kerjasama kemitraan dengan seluruh pemangku
kepentingan, mendorong perwujudan kelembagaan tingkat daerah dalam menangani
perumahan, memanfaatkan sumberdaya perumahan dan iptek serta kearifan lokal bidang
perumahan, serta terus mengupayakan perbaikan dan dukungan sistem pembiayaan
perumahan, dan juga pendataan dan penegakan hukum di bidang perumahan. Strategi
saja belum cukup, tentu harus diikuti berbagai program aksi untuk mewujudkannya.
Dalam beberapa hal Kemenpera terlihat terus berbenah. Beberapa kebijakan yang
menonjol akhir-akhir ini adalah peluncuran Skim Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP) yang prinsipnya memberi dorongan keringanan dalam kepemilikan
rumah dengan kepastian bunga rendah dengan masa tenor yang lebih panjang. Selain itu
peluncuran program Dana Alokasi Khusus dalam bidang perumahan yang akan dimulai
pada tahun 2011 serta pelaksanaan program Dekonsentrasi yang dimulai tahun 2010 juga
ikut mewarnai upaya reformasi program perumahan ke depan.
6. Penutup
Mengatasi kekurangan perumahan bagi masyarakat perkotaan bukanlah kerja sesaat,
melainkan satu pekerjaan besar yang harus sistematis dan berkelanjutan oleh seluruh
pemangku kepentingan. Langkah-langkah untuk mendorong terwujudnya berbagai
milestone yang memberikan multiplier effect terhadap penambahan terbangunnya unit
rumah perlu terus digali dan dilaksanakan secara sinergis. Karena hanya dengan cara
tersebut, kerja keras dan kerja cerdas yang selama ini dilakukan akan membawa hasil.
STRATEGI PENGEMBANGAN DAN MANAJEMEN KAWASAN CEPAT
TUMBUH
Oleh:
Bambang Tata Samiadji*
Konsultan Keuangan Publik. Sekarang bekerja di Kementerian Keuangan untuk
kegiatan Local Government Finance and Governance Reform – ADB/Kemenkeu
Sudah menjadi fenomena umum bahwa pertumbuhan kawasan tidak ada yang sama atau
merata. Pertumbuhan kawasan selalu menunjukkan adanya corak di mana lokasi-lokasi
tertentu tumbuh cepat, tumbuh secara pelan, tumbuh sangat lambat atau stagnan, dan
malah ada yang cenderung merosot atau “deterioration”. Walaupun corak pertumbuhan
kawasan-kawasan itu berbeda-beda, namun saling berkaitan dan bermitra secara
keruangan (spatial interaction).
Untuk ini patut diduga bahwa masing-masing kawasan saling menarik (pull) dan
mendorong (push) satu sama lain. Pada gilirannya, kawasan yang memiliki keunggulan
akan menjadi kawasan yang lebih cepat tumbuh dibanding kawasan-kawasan mitranya.
Di sinilah perlunya strategi untuk tetap menjaga posisioning pertumbuhan kawasan-
kawasan yang cepat tumbuh agar tetap tumbuh dalam hubungan ruang yang
komplementer dengan kawasan-kawasan lainnya.
Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) selalu berbasis ekonomi dan kota merupakan simpul
basis ekonomi atau kutub (bagian penting) bagi KCT. Sejauh ini belum ada KCT tanpa
atribut kota di dalamnya. Dengan demikian kota menjadi tumpuan bagi berlangsungnya
KCT. Namun demikian tidak semua kota menjadi simpul pertumbuhan kawasan, dan
kiranya hanya beberapa simpul atau kota-kota tertentu yang mampu me-“leverage”
pertumbuhan KCT.
Pada umumnya kota demikian itu mempunyai 2 keunggulan, yaitu “Comparative
Advantages” atau keunggulan alamiah - utamanya keunggulan lokasi (yang strategis);
dan “Competitive Advantages” atau keunggulan buatan yang diciptakan. Terbukti sejauh
ini bahwa Kawasan Metropolitan sebagai KCT mempunyai keunggulan lokasi dan
keunggulan kelengkapan prasarana yang mendorong semakin cepatnya tumbuh suatu
kawasan.
Potensi Kawasan Cepat Tumbuh (KCT)
Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) mudah dikenali dengan indikator pertumbuhan ekonomi
yang relatif lebih tinggi bahkan di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional. Kalau
pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional sekitar 5-7% pertahun, maka KCT diperkirakan
bisa tumbuh lebih dari 7% pertahun, atau bisa sekitar 9% pertahun bersama dengan
pertumbuhan ekonomi kota-kotanya bisa sampai 11% pertahun1 . Kawasan-kawasan ini
umumnya membentuk struktur Metropolitan yang kita kenal selama ini seperti :
Metropolitan Jakarta, Metropolitan Bandung, Metropolitan Surabaya, Metropolitan
Medan, dan Metropolitan Makasar serta beberapa metropolitan lainnya. Umumnya KCT-
KCT tersebut berada di Jawa yang memang sudah sejak lama sudah tumbuh cepat.
Namun belakangan juga telah muncul KCT-KCT baru di Luar Jawa seperti KCT Batam,
1 Hasil penelitian yang dilakukan Penulis dalam Paper yang berjudul “ Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota
Sebelum dan Pasca Krisis”, URDI, 2002.
KCT Samarinda-Balikpapan, dan KCT Banjarmasin. Ada kemungkinan kawasan-
kawasan lain di Luar Jawa pada masa mendatang menjadi KCT-KCT baru yang
kompetitif. Perkembangan ini akan tergantung pada pengungkitan (Leveraging)
“Comparative Advantages” dan “Competitive Advantages” dari kota-kota bersangkutan.
Sebagai basis dan simpul kegiatan ekonomi, KCT dengan kota-kota utamanya
mempunyai peran penting bagi perekonomian negara antara lain 2. Antara lain sekitar 14
KCT metropolitan, atau hanya sekitar 3% dari seluruh kota-kota di Indonesia telah
mampu menyumbang sekitar 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Selain
itu, KCT Metropolitan juga mempunyai peranan penting sebagai sumber penerimaan
fiskal nasional (APBN). Seperti diketahui bahwa 80% dari APBN berasal dari pajak dan
sekitar 70% berasal pajak badan, pajak pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya
bersumber di perkotaan. Diperkirakan 50% dari APBN disumbang oleh ke-14 KCT-KCT
Metropolitan.
Berdasarkan kenyataan di atas, KCT merupakan kunci atau andalan keekonomian
nasional dan oleh karenanya KCT-KCT harus terus ditumbuhkan demi pertumbuhan
ekonomi nasional. Ekonomi nasional yang kuat akan menjamin kestabilan politik dan
memberi kesempatan bagi tumbuhnya sektor lain yang pada gilirannya pula mampu
mengangkat kesejahteraan sosial bersama. Hal ini sesuai dengan visi Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) demi tercapainya pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas dan bersinambungan sehingga pendapatan perkapita nasional
setara dengan Negara-negara maju lainnya (Lampiran UU No 17 tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Namun tak dapat disangkal bahwa kemumpunian pertumbuhan KCT yang mampu
mengangkat perekonomian nasional itu tak bebas dari rundung permasalahan.
Diantaranya tingginya pertumbuhan penduduk terutama akibat migrasi (urbanisasi)
seiring dengan pertumbuhan ekonomi kota. Bertambahnya penduduk sebenarnya mampu
mendorong percepatan pertumbuhan lebih melesat bila kualitas sumber daya manusia itu
mumpuni, tetapi sebaliknya akan memburuk dan menuju kritis bila sebagian besar
kualitas penduduk non-trampil dan parasitis. Bertumbuhnya jumlah penduduk yang non-
trampil dan parasitis ini memungkinkan potensi kota sebagai basis pertumbuhan ekonomi
akan tergerus dan muncul persoalan-persoalan seperti kemiskinan kota, kesemrawutan
mobilitas penduduk, rendahnya pelayanan kepada masyarakat, dan kerusakan lingkungan
sebagai akibat daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tak ditingkatkan.
Persoalan lain akibat semakin bertumbuhnya KCT adalah ketimpangan antar daerah di
mana di satu pihak KCT semakin melaju, tetapi kawasan-kawasan lain semakin
tertinggal. Ketimpangan yang semakin melebar akan menciptakan mobilitas penduduk ke
KCT-KCT. Akibat lebih jauh pertumbuhan KCT menjadi sosok kawasan obesitas dan
invaliditas yang pada gilirannya bisa menganggu pertumbuhan ekonomi nasonal itu
sendiri.
Persoalan baru yang secara tak langsung sebagai akibat dari butir 1 dan 2 tersebut bahwa
KCT seringkali mendorong semakin membesarnya emisi karbon di kota-kota KCT yang
ada. Dampaknya akan menganggu lingkungan melalui perubahan cuaca yang ekstrem di
KCT sendiri maupun kawasan-kawasan lainnya.
2 Baca “Ekonomi Perkotaan” dari Bunga Rampai METROPOLITAN DI INDONESIA : KENYATAAN DAN
TANTANGAN DALAM PENATAAN RUANG, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2006
Berdasarkan kajian potensi KCT tersebut telah memberi sinyal bahwa KCT bagaikan
pisau bermata dua, yaitu selain sisi berjasa sebagai pendorong ekonomi nasional maupun
sumbangan yang besar terhadap kemampuan fiskal Negara dan daerah, tetapi sekaligus
juga sisi yang semakin meningkatnya pesoalan-persoalan kritis yang bisa meluas.
Strategi Pengembangan
Sesuai dengan tujuan nasional jangka panjang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas dan bersinambung, maka strategi pengembangan bisa ditawarkan
sebagai berikut :
1. Pengembangan KCT di seluruh Indonesia dilakukan sebagai bagian dari Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sehingga KCT menjadi bagian dari pembentukan
struktur wilayah nasional yang harmonis dan pemanfaatan ruang yang optimal sesuai
dengan potensi KCT. Boleh jadi KCT menjadi bagian dari pengembangan Kawasan
Strategis di samping kawasan-kawasan strategis lain yang ada.
2. Menjaga dan semakin memantapkan laju pertumbuhan pada masing-masing KCT
maupun kerja sama antar KCT membentuk jaringan KCT bersinerji mutualistis dalam
rangka “forward looking” pengembangan produk-produk ekonomi unggulan.
3. Mendorong pengembangan ekonomi KCT dengan memanfaatkan basis kawasan-
kawasan buritan (hinterland) sebagai basis rantai pasokan (supply chain). Dengan
demikian pengembangan KCT tidak berjalan sendiri maju ke depan, tetapi juga mampu
menarik kawasan-kawasan buritan untuk ikut maju. Dan dengan demikian percepatan
tumbuhnya KCT tidak meninggalkan posisi kawasan mitra di buritan, tetapi sebaliknya
mampu memacu tumbuhnya KCT-KCT baru dan perluasan jaringan KCT pada masa
lebih lanjut.
4. Mengawal pertumbuhan KCT dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan
menahan sebesar mungkin kegiatan-kegiatan pelepasan karbon hasil residu kegiatan
ekonomi KCT. Hal ini untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan produktivitas
dengan pelestarian lingkungan KCT, khususnya di lingkungan perkotaannya.
Melalui keempat strategi tersebut, maka implikasi kemungkinan perkembangannya
antara lain sebagai berikut :
1. Pertumbuhan KCT akan tetap berlangsung dengan kinerja yang lebih produktif
sehingga pertumbuhan itu mampu mendorong pertumbuhan lainnya serta mampu
menyerap kelebihan tenaga kerja dan mengurangi jumlah kemiskinan, khususnya
kemiskinan di perkotaan yang terus bertambah. Implikasi lain yang tak kalah pentingnya
bahwa pendorongan pertumbuhan KCT langsung akan mengangkat laju pertumbuhan
ekonomi nasional dan sekaligus juga mampu memberikan tambahan penerimaan fiskal
secara signifikan bagi pemerintah maupun pemerintahan daerah bersangkutan.
2. Pertumbuhan KCT bisa mendorong terbentuknya struktur tata ruang nasional yang
lebih hierarki dan efisien sehingga lebih mudah pengendaliannya menuju sistem tata
ruang yang lebih kokoh, dinamis dan seimbang antar kawasan.
3. Pertumbuhan KCT akan banyak menuntut perubahan paradigma pembangunan
kawasan yang boleh jadi munculnya banyak inisiatif pengembangan seperti pelibatan
swasta dan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan, reformasi birokrasi
pemerintahan yang lebih fokus, perhatian lebih serius pada masalah lingkungan
khususnya dampak perubahan iklim, dan terobosan skim pembiayaan untuk mendanai
berbagai kebutuhan percepatan KCT.
4. Munculnya problem ikutan berupa krisis akibat tingginya kebutuhan KCT, khususnya
krisis enerji yang bakal muncul dan marjinalisasi kelompok tertentu, yaitu kelompok
tradisional yang non-trampil atau “outsider” dalam mekanisme percepatan KCT.
Mengingat KCT merupakan fenomena pertumbuhan kawasan dan “exist” bagi
pertumbuhan ekonomi nasional termasuk daerah serta handal sebagai “prime mover”
bagi pembentukan struktur pengembangan wilayah. Namun di pihak lain bisa berpotensi
mencuatkan permasalahan baru yang serius, maka perlu antisipasi berupa langkah kelola
yang efektif bagi percepatan pengembangan KCT. Langkah kelola kelola ini juga untuk
mengeliminir dampak-dampak yang tidak diinginkan. Langkah-langkah tersebut
diantaranya:
1. Manajemen KCT
Pengembangan KCT merupakan ranah publik dan dengan demikian merupakan tanggung
jawab Pemerintah untuk mengelolanya melalui sistem kelembagaan. Tata kelola yang
perlu dilakukan tidak harus terbetuknya lembaga baru khusus menangani percepatan
KCT, tetapi setidaknya melalui 3 pendekatan yaitu : (1) Regulasi; (2) Kebijakan Fiskal;
dan (3) Bantuan Teknis.
2. Regulasi
Yaitu kebijakan pengembangan KCT melalui penetapan peraturan perundangan. Hal
yang dibutuhkan bahwa KCT adalah bagian integral dari penataan ruang nasional . Oleh
karena itu langkah yang perlu dilakukan adalah :
Pertama perlu penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional. Dengan ketetapan
ini, maka ada landasan bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah pengelolaan
percepatan KCT. Penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional perlu dirumuskan
dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) sebagai implementasi Kawasan Strategis
Nasional yang didefinisikan dalam PP Nomer 26 atahun 2008 tentang RTRWN.
Kedua, setelah penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis, maka dirumuskan lebih fokus
dalam suatu perencanaan strategis dan pelaksanaannya. Perencanaan dan pelaksanaan
pengembangan KCT tentunya akan melibatkan banyak sektor terkait termasuk dengan
pemerintah daerah bersangkutan. Oleh karenanya perlu ditetapkan secara tegas dalam
Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengembangan KCT-KCT masa depan. Dalam Inpres
ini tentunya juga memasukkan aspek-aspek lingkungan (khususnya soal berkaitan dengan
emisi karbon) dan efisiensi pemanfaatan enerji sebagaimana bagian dari strategi.
Ketiga, di tingkat daerah perlu melengkapi langkah-langkah nasional tersebut
diantaranya, penetapan Peraturan Daerah (perda) atau setidaknya Peraturan Kepala
Daerah terkait dengan Perpres dan Inpres yang ada.
3. Kebijakan Fiskal
Yaitu langkah-langkah fiskal atau penganggaran dari APBN di tingkat nasional dan
APBD di tingkat daerah. Langkah-langkah fiskal ini landasannya adalah regulasi yang
ditetapkan di atas dan perundangan yang berlaku, antara lain UU Nomer 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan perundangan tentang Desentralisasi Fiskal yang ada (UU
Nomer 33 tahun 2004 yang sebentar lagi akan direvisi). Kebijakan Fiskal yang perlu
dilakukan yaitu :
Pemerintah menganggarkan belanja operasional maupun belanja modal guna
memfasilitasi pengembangan di KCT-KCT yang ditetapkan. Dana-dana ini biasanya
dikelola oleh kementerian atau lembaga terkait untuk dikelola langsung maupun
diperbantukan ke daerah-daerah KCT selain tetap melanjutkan transfer ke daerah oleh
Kementerian Keuangan dalam rangka desentralisasi fiskal. Kebijakan Fiskal melalui
langkah-langkah penganggaran ini sangat penting dan terbukti sangat efektif3.
Walaupun Kebijakan Fiskal cukup efektif sebagai stimulus pengembangan kawasan,
bagaimanapun kapasitas fiskal sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan yang
sangat besar bagi pengembangan KCT khususnya kebutuhan investasi. Untuk itu perlu
ditetapkan strategi pengelolaan yang fokus terhadap penggalangan dana dari pihak
swasta dan masyarakat sendiri sesuai dengan peraturan dan perundangan. Strategi
pengelolaan dengan melibatkan swasta dan masyarakat juga terbukti ampuh dan pada
kenyataannya peran mereka justru lebih dominan dalam pembangunan ekonomi kawasan
selama ini, termasuk juga pelibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur.
Pemerintah Daerah juga menetapkan program-program strategis bagi KCT di daerahnya
khususnya dalam investasi. Kegiatan investasi ini selain bisa dilakukan secara rutin
melalui Belanja Modal, juga perlu dikembangkannya skim pembiayaan seperti pinjaman
daerah baik pinjaman dari Pemerintah, dari daerah lain, ataupun dari masyarakat berupa
Obligasi Daerah.
4. Bantuan Teknik
Bantuan Teknik adalah personal tenaga ahli yang diperbantukan kepada
kementerian/lembaga ataupun kepada daerah. Bantuan ini biasanya didanai oleh
Pemerintah dan bisa juga bantuan dari Negara Donor (Development Partner) berupa
technical Assistance. Tugas utama dari personel tenaga ahli ini kecuali membantu secara
teknis kepada kementerian/lembaga atupun daerah, adalah membantu memecahkan
masalah atau hambatan-hambatan di KCT dan pembinaan “Capacity Building” di
Pemerintah maupun pemerintah daerah. Dalam prakteknya, bantuan Teknis dari
Pemerintah itu tidak harus selalu ada. Oleh karenanya keberadaannya harus sesuai
dengan yang dibutuhkan.
5. Peranan “Stakeholder”
Walaupun pengembangan KCT merupakan ranah publik yang ditangani langsung oleh
Pemerintah, yang berkepentingan tidak hanya Pemerintah sendiri, tetapi juga seluruh
masyarakat baik masyarakat pengusaha atau swasta, juga masyarakat umumnya yang
selama ini menjadi subjek pembangunan itu sendiri. Untuk itu perlu ada 2 hal prinsip
yaitu : (1) Keterbukaan dan Transparansi dari Pemerintah, dan (2) Partisipasi masyarakat
dan swasta dalam percepatan pengembangan KCT.
Keterbukaan yang dilakukan oleh Pemerintah utamanya adalah informasi secara terbuka
dan langsung kepada masyarakat tentang rencana, program (dan pendanaan), target
(output) dan efek (outcome)-nya pengembangan KCT serta siapa saja yang terlibat
langsung dalam pengembangannya. Begitu juga perkembangannya secara kuartalan juga
disampaikan agar semua pihak mengetahui dan bisa memberi penilaian baik berupa
kesetujuannya, masukan-masukannya, termasuk juga kritikan yang diperlukan. Distribusi
informasi tersebut dilakukan dengan teknologi yang ada dan mudah di-akses oleh
masyarakat baik berupa media cetak maupun elektronik.
3 Bukti keefektifan kebijakan fiskal dalam pembangunan adalah penerapan Desentralisasi Fiskal sejak diterapkan tahun 2000 yang lalu telah berhasil mempertahankan kesenjangan antar daerah untuk tidak semakin timpang (melalui model Index Williamson). Penelitian dilakukan oleh DR. Hafrizal dalam papernya yang berjudul “Assessment of the Medium Term Expenditures Framework”, LGFGR (ADB), 2010.
Sedangkan partisipasi masyarakat bisa dilakukan melalui format yang sudah ada baik
dalam proses penganggaran seperti Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)
yang lebih terarah4, juga peningkatan Kerja Sama Pemerintah-Swasta-Masyarakat
(Public Private Partnership) untuk lebih dimasyarakatkan dan dikembangkan peluang
sebesar-besarnya. Namun diakui bahwa partisipasi masyarakat khususnya dalam skala
perencanaan yang luas seperti KCT ini tidak bisa seintensif skala perencanaan kecil
seperti pemukiman yang langsung terkait dengan kepentingannya. Oleh karenanya
Pemerintah bersama dengan pemerintah daerah yang harus aktif dan tidak menunggu
inisiatif masyarakat untuk berpartisipasi.
Di antara “stakeholder” lainnya, peranan pemerintah daerah adalah yang sangat utama
karena menyangkut daerah otonomnya dan manfaat serta dampak pengembangan KCT
ada di daerah bersangkutan. Kepentingan daerah ini tidak sendiri, tetapi terkait dengan
daerah-daerah mitra maupun daerah-daerah burit (hinterland). Oleh karenanya kerja sama
antar daerah (inter-regional cooperation) adalah keharusan sebagaimana diatur dalam PP
Nomer 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
Rangkuman
Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) adalah kenyataan sebagai fenomena dalam
perkembangan wilayah. Pengaruh ekonomi KCT sangat besar baik kepada keekonomian
nasional, keekonomian masyarakat, bahkan punya pengaruh signifikan terhadap kapasitas
fiskal nasional. Sesuai dengan rencana jangka panjang nasional untuk peningkatan
ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan, maka KCT perlu tetap dikembangkan
dan lebih ditumbuhkan. Namun KCT juga melahirkan banyak dampak, utamanya
urbanisasi, ketimpangan antar daerah, dan juga aspek lingkungan bila tidak dikelola
secara strategis dan sistematis.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka KCT selayaknya ditetapkan sebagai Kawasan
Strategis Nasional secara lebih legalistik melalui penetapan peraturan perundangan yang
kemudian diikuti dengan berbagai komitmen oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat, khususnya pihak swasta di bidang investasi.
4 Selama ini Musrenbang kurang terarah dan mulai kurang diminati oleh masyarakat karena hanya
“shopping list” keinginan tanpa dasar kapasitas anggaran. Reformasi model Musrenbang perlu dilakukan, antara lain Pemerintah/pemerintah daerah harus mampu menetapkan plafon tentative anggaran bagi kawasan.
Pemindahan Ibukota Negara
Oleh:
Deden Rukmana5
Asisten profesor dan koordinator program studi perencanaan
dan studi perkotaan di Savannah State University, AS
Ide pemindahan ibukota negara telah banyak dibicarakan berbagai pihak sejak beberapa
tahun lalu. Bahkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007
mulai banyak dibahas wacana pemindahan ibukota negara menyusul banjir besar yang
melanda Jakarta pada bulan Februari 2007. Pasalnya, Jakarta dianggap tidak mampu
mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu peran Jakarta
sebagai ibukota negara.
5 Penulis adalah asisten profesor dan koordinator program studi perencanaan dan studi perkotaan di
Savannah State University, AS
Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai membicarakan wacana pemindahan
ibukota negara dari Jakarta ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah
Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009. Menurut
SBY, beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara makin berat.
Pembahasan pemindahan ibukota negara harus dikaji dari berbagai aspek dan tidak hanya
melihat faktor kemacetan di Jakarta sebagai alasan pemindahan ibukota negara, tetapi
juga dilihat sebagai upaya strategis untuk mendistribusikan pembangunan secara merata.
(Kompas, 5 Agustus 2010).
Sementara itu, diawal September 2010, Presiden SBY mengemukakan pembentukan tim
kecil yang ditugaskan untuk mengkaji ide pemindahan ibukota negara. Kemudian muncul
tiga skenario dalam pemindahan ibukota negara, yakni :(1) tetap mempertahankan Jakarta
sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan; (2)
memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di pulau
Jawa; (3) memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar
pulau Jawa (Kompas, 13 September 2010).
Meski demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas ketiga skenario
pemindahan ibukota negara tersebut, melainkan hanya mencoba untuk menjelaskan
gagasan pemindahan ibukota negara berdasarkan pengalaman Indonesia sebelumnya dan
pengalaman negara-negara lainnya di dunia yang pernah berhasil ataupun gagal dalam
memindahkan ibukotanya.
Pemindahan Ibukota RI keluar Jakarta
Peran Jakarta sebagai ibukota negara tidak terlepas dari proses sejarah, sejak awal
penjajahan Belanda dulu yang menempatkan Jakarta sebagai pusat keluar masuk barang-
barang dari dan ke Indonesia. Posisi sebagai pusat distribusi ini semakin menguat dan
melebar ke dominasi politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah lainnya di Indonesia
hingga saat ini.
Bahkan, saat ini Jakarta menjadi pusat segala aspek kehidupan di Indonesia. Selain
sebagai pusat pemerintahan RI, juga sebagai pusat perdagangan, keuangan, jasa, hiburan,
olahraga, budaya, transportasi, dan penelitian. Sehingga tidak mengherankan dengan
peran sebagai pusat berbagai aktivitas di Indonesia itu, Jakarta mengalami proses
urbanisasi yang sangat cepat. Penduduk Jabodetabek bertambah dari 16,8 juta pada tahun
1990 menjadi 28,0 juta jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk ini sebanyak hampir 12
% dari total penduduk Indonesia, tetapi hanya menempati 0.3 % dari total wilayah
Indonesia.
Pesatnya urbanisasi di Jabodetabek ini ternyata tidak dapat diimbangi oleh tersedianya
fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang memadai, sehingga berbagai masalah seperti,
banjir, kemacetan lalu lintas dan permukiman kumuh menjadi semakin sulit diatasi.
Ketidakberdayaan Jakarta untuk mengatasi masalah banjir dan kemacetan seringkali
dijadikan salah satu pertimbangan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta.
Sementara itu, gagasan pemindahan ibukota dari Jakarta sebenarnya bukan hal yang baru.
Pemerintah Hindia Belanda telah merencanakan pemindahan ibukota dari Jakarta ke
Bandung pada tahun 1906 (Hartono 2009; Suganda 2007). Kota Bandung pun dijadikan
sebagai pusat komando militer pemerintah Hindia Belanda. Departemen Peperangan
(Departement van Oorlog) memindahkan berbagai instalasi dan personil sejak tahun 1816
sampai tahun 1920. Pabrik senjata Artillerie Constructie Winkel (Pindad) yang semula
berada di Surabaya dipindahkan ke Bandung mulai tahun 1889 sampai 1920
(Wiartakusumah 2006).
Rencana pemindahan ibukota dari Jakarta disebabkan juga oleh kondisi Jakarta yang
berada di daerah pantai yang rendah dan akrab dengan berbagai penyakit menular seperti
malaria dan diare (Suganda 2007). Meskipun rencana pemindahan ibukota ini kurang
mendapat dukungan Volksraad (Dewan Rakyat) tetapi Gubernur Jenderal J.P. Graaf van
Limburg Stirum (1916-1921) sangat bersikeras untuk memindahkan ibukota ke Bandung
(Suganda 2007).
Lahan seluas 27 hektar sumbangan Gemeente Bandoeng telah disiapkan untuk menjadi
kawasan pusat pemerintahan sipil di Bandung. Secara bertahap beberapa kantor
dipindahkan dari Jakarta ke Bandung termasuk Kantor Pertambangan dan Energi (1924),
gedung Geologisch Laboratorium (1928), Gedung Pensiun (1940), Perum Bio Farma
(1923), Kantor Pos Besar (1928) dan Kantor Pusat Kereta Api (1928). Di lahan yang
disiapkan untuk kawasan pusat pemerintahan sipil hanya sempat diselesaikan dua
bangunan yaitu Departement Verker en Gemeentewerken (1920) dan Hoofdbureu Post
Telegraf en Telefoon (1920). Sedangkan 12 bangunan lain yang direncanakan, tidak
sempat terealisasikan karena resesi dan korupsi yang juga menyebabkan gagalnya
kepindahan ibukota dari Jakarta ke Bandung (Suganda 2007).
Kemudian pada periode setelah kemerdekaan, Presiden Sukarno sempat menggagas
pemindahan ibukota negara ke Palangkaraya pada saat peresmian Palangkaraya sebagai
Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Bahkan Presiden Sukarno sempat
dua kali mengunjungi langsung potensi kota Palangkaraya untuk menjadi ibukota negara
(Wijanarka 2006). Posisi geografis Palangkaraya dianggap unik karena berada tepat di
tengah-tengah Indonesia. Namun rencana kepindahan ibukota ke Palangkaraya gagal
karena kesulitan penyediaan barang bangunan dan desakan dari beberapa duta besar yang
menginginkan Jakarta tetap sebagai ibukota negara. Setelah mengeluarkan Dekrit 5 Juli
1959, Presiden Sukarno meninggalkan gagasan pemindahan ibukota dan kembali
memfokuskan pembangunan di Jakarta yang kemudian dijadikan simbol kebangkitan
Indonesia.
Rencana pemindahan ibukota pun terus berlanjut, pada periode pemerintahan Orde Baru,
Presiden Suharto sempat juga menggagas pemindahan ibukota negara ke Jonggol, Jawa
Barat melalui Keppres 1 tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan
Jonggol sebagai Kota Mandiri. Keputusan ini mendukung rencana pengembangan kota
mandiri di Jonggol, Jawa Barat seluas 30 ribu hektar yang digagaskan oleh salah seorang
putra Soeharto, Bambang Trihatmodjo (Firman, 1997). Rencana pemindahan ibukota
Jonggol tidak berlanjut seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei
1998.
Alasan Pemindahan Ibukota
Ibukota negara adalah pusat kegiatan pemerintahan yang mencakup administrasi atau
eksekutif, legislatif dan judikatif. Ketiga kegiatan pemerintahan tersebut bisa berlokasi
dalam satu kota (classic capital) ataupun di beberapa kota (split capital). Sebagian besar
negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, memiliki satu ibukota. Tetapi ada juga
negara yang menerapkan split capital seperti Belanda (Amsterdam dan the Hague),
Afrika Selatan (Pretoria, Bloemfontein dan Cape Town), Bolivia (La Paz dan Sucre),
Israel (Jerusalem and Tel Aviv), Swaziland (Lobamba dan Mbabane), Malaysia (Kuala
Lumpur dan Putrajaya) dan Sri Lanka (Colombo dan Sri Jayawardenapura-Kotte).
Sejak Perang Dunia II berakhir, terdapat lebih dari sepuluh negara di dunia yang telah
memindahkan ibukotanya seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Alasan pemindahan ibukota
dari negara-negara itu sangat beragam. Mauritania dan Botswana memindahkan
ibukotanya karena kedua negara ini tidak memiliki ibukota di negaranya sendiri pada saat
memperoleh kemerdekaan. Ibukota Mauritania dan Ibukota Botswana sebelum merdeka
terletak diluar kedua negara tersebut. Ibukota Mauritania sebelum merdeka adalah Saint
Louis yang terletak di Senegal. Sementara itu, Ibukota Botswana sebelum merdeka
adalah Mafeking di Afrika Selatan (Gilbert 1989). Sementara itu, kepindahan Ibukota
Jerman dari Bonn ke Berlin adalah sebagai akibat dari penyatuan kembali Jerman Barat
dan Jerman Timur pada tahun 1990.
Table 1
Relokasi Ibukota-ibukota Negara di Dunia setelah Perang Dunia II
No. Negara Ibukota lamaIbukota baru Tahun
Relokasi
1. Mauritania Saint Louis Nouakchott 1957
2. Pakistan Karachi Islamabad 1959
3. Brazil Rio de JaineroBrasilia 1960
4. Botswana Mafeking Gaberone 1961
5. Malawi Zomba Lilongwe 1965
6. Belize Belize City Belmopan 1970
7. Tanzania Dar Es Salaam Dodoma 1973
8. Sri Lanka Colombo Sri Jayawardenapura-Kotte 1982
9. Pantai Gading Abidjan Yamoussoukro 1983
10. Jerman Bonn Berlin 1990
11. Nigeria Lagos Abuja 1991
12. Kazakhstan Astana Almaty 1997
13. Malaysia Kuala Lumpur Putrajaya 2000
14. Myanmar Rangoon Pyinmana 2006
Sumber: Corey (2004); Rawat (2005); Schatz (2003); Paddock (2006)
Sementara itu terdapat tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu : pertimbangan
politik, pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik. Pertimbangan politik
seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan ibukota. Dalam pertimbangan
ini berguna untuk meningkatkan persatuan nasional (national cohesion), membangun
simbol kebangkitan negara dan merepresentasikan lebih baik keragaman suku bangsa
adalah pertimbangan yang digunakan pemerintah Brazil, Nigeria dan Pakistan dalam
memindahkan ibukota negaranya masing-masing (Nwafor 1980; Stephenson 1970).
Selain itu, pemindahan ibukota juga dapat dijadikan cara untuk menegaskan arah politik
negara seperti saat pemerintah Tanzania memindahkan ibukotanya dari Dar es Salaam ke
Dodoma untuk lebih mengembangkan politik Sosialisme dengan membangun kawasan
pedesaan di Dodoma (Hoyle 1979). Pertimbangan sosio-ekonomi menjadi pertimbangan
penting dalam memindahkan ibukota khususnya untuk mengurangi ketimpangan wilayah
di negara-negara tersebut. Diharapkan dengan pembangunan ibukota baru dapat
mengembangkan kawasan baru yang dapat mengurangi pemusatan kegiatan di lokasi
ibukota yang lama. Ibukota-ibukota lama, seperti Rio de Jainero, Lagos, Dar es Salaam,
Zomba dan Belize City merupakan pusat pertumbuhan utama dan primate city di
negaranya masing-masing. Pertumbuhan ekonomi di ibukota-ibukota lama ini jauh lebih
cepat dibandingkan wilayah-wilayah lainnya di negara-negara tersebut (Nwafor 1980;
Potts 1985; Stephenson 1970).
Keterbatasan kondisi fisik di ibukota lama juga menjadi pertimbangan pemindahan
ibukota di beberapa negara seperti Nigeria, Brazil dan Pakistan. Ibukota-ibukota lama
termasuk Lagos, Rio de Jainero and Karachi dianggap sudah terlalu padat dan tidak
mampu lagi menampung kebutuhan ruang bagi pengembangan kota. Kota-kota tersebut
dianggap tidak mampu menyediakan infrastruktur dan fasilitas perkotaan yang memadai
serta memiliki harga lahan yang tinggi (Botka 1995; Doxiadis 1965).
Keputusan memindahkan Ibukota Belize dari Belize City ke Belmopan adalah akibat
seringnya bencana hurricane yang melanda Belize City (Gilbert 1989; Kearns 1973).
Bencana hurricane yang menimpa Belize City seringkali melumpuhkan kegiatan
pemerintahan Belize dan bahkan menyebabkan kerusakan dan kehilangan dokumen-
dokumen penting pemerintahan Belize (Kearns 1973).
Lokasi Ibukota Baru
Pertimbangan utama yang sering digunakan dalam memilih lokasi ibukota baru adalah
keterpusatan (centrality). Lokasi geografis ibukota baru yang berada di tengah-tengah
negara akan mendekatkan ibukota ke berbagai bagian negara secara lebih merata dan
memudahkan pelaksanaan tugas pemerintahan (Nwafor 1980). Pertimbangan
keterpusatan ini digunakan oleh beberapa negara dalam memindahkan ibukotanya
termasuk Brazil, Nigeria, Tanzania and Malawi (Hoyle 1979; Nwafor 1980; Potts 1985;
Stephenson 1970).
Kriteria utama yang digunakan oleh pemerintah Belize dalam memilih lokasi ibukota
barunya adalah lokasi yang jauh dari pantai dan bebas dari ancaman hurricane. Lokasi
ibukota baru dipilih di daerah pedalaman (interior region) adalah juga untuk memberikan
perhatian kepada kawasan yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian. Pemilihan
ibukota di daerah pedalaman juga diharapkan dapat mengembangkan sektor pertanian
yang sebelumnya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah Belize (Kearns 1973).
Beberapa negara diantaranya Malaysia dan Sri Lanka memindahkan ibukota barunya
tidak jauh dari ibukota lamanya. Malaysia memindahkan pusat pemerintahannya dari
Kuala Lumpur ke Putrajaya yang berjarak kurang lebih 25 km ke arah Selatan Kuala
Lumpur. Sri Lanka memindahkan pusat parlemennya dari Colombo ke Sri
Jayawardenapura-Kotte yang jaraknya sekitar 30 km dari Colombo. Pemilihan lokasi
yang tidak terlalu jauh agar menghemat biaya pembangunan ibukota baru.
Penutup
yang sangat mahal. Pengalaman dari beberapa negara misalnya Brazil dan Nigeria
menunjukkan bahwa pemindahan ibukota memakan proses yang sangat panjang. Brazil
memutuskan untuk memindahkan ibukotanya dari Rio de Jainero ke Brasilia melalui
konstitusi Brazil pada tahun 1834 dan 1946 dan baru direalisasikan pada pemerintahan di
bawah Presiden Kubitschek pada tahun 1960. Pemerintah Nigeria menyetujui
pemindahan ibukota keluar Lagos pada tahun 1975 dan baru pada tahun 1990 Abuja
ditetapkan secara resmi sebagai ibukota Nigeria (Nwafor 1980; Stephenson 1970).
Kegagalan memindahkan ibukota akibat kekurangan biaya seperti dialami oleh
pemerintah Hindia Belanda juga dialami Argentina pada tahun 1989. Argentina sempat
merencanakan memindahkan ibukotanya dari Buenos Aires ke Viedma. Kepindahan
ibukota negara sudah diputuskan oleh Kongres Nasional Argentina pada bulan Mei 1987
(Gilbert 1989). Namun upaya tersebut berhenti karena masalah ekonomi yang menimpa
Argentina pada tahun 1989.
Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami sebagai suatu proses
penting sebelum menentukan keputusan besar untuk memindahkan ibukota keluar Jakarta
atau tetap menempatkan Jakarta sebagai ibukota negara. Pengalaman dari berbagai
negara menunjukkan bahwa pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh
pertimbangan kondisi ibukota lama yang sudah terlalu padat dan kurang tersedianya
infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Pertimbangan politik dan sosio-ekonomi juga
menjadi faktor penting dalam keputusan pemindahan ibukota negara.
Indonesia perlu dengan sangat seksama membahas wacana pemindahan ibukota negara
ini. Studi yang mendalam dan melibatkan berbagai pihak di pusat maupun di daerah
diperlukan untuk menentukan pilihan terbaik dari ketiga skenario pemindahan ibukota
negara. Setelah pilihan tersebut ditetapkan akan diperlukan pula suatu perencanaan yang
komprehensif agar implementasi pilihan tersebut berjalan dengan sebaik-baiknya.
Keputusan pemindahan ibukota negara akan menjadi proyek publik terbesar dan
terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.