januari - februari 2012 tataruang...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
-
BKPRNBADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
tataruangBKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
buletin
BARCODE
GERAKANKOTA HIJAU
Surakartadan Komitmen Hijau
Planning for Sustainability In Sweden
Kebijakan PerkotaanTerkait Perubahan Iklim
Ruang Terbuka HijauDalam Kota yang Sehat
Potensi Tiga Kawasan:
Memahami RTR KawasanStrategis Nasional Perkotaan
Konferensi Perubahan Iklim2011 Durban
Mengembangkan Papua yang Kaya
Pending Zone/Holding Zone:Mempercepat dengan Menangguhkan
Program Mangrove Capital
Cities Can Lead UsTo A Green Future
Agenda Kerja BKPRN
JANUARI - FEBRUARI 2012
Imam S. ErnawiPROFIL
-
2 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
sekapur sirihAssalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh,
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih diberi kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi perdana di tahun 2012.
Dalam beberapa dekade terakhir, kota-kota di Indonesia mengalami permasalahan lingkungan yang hampir sama, antara lain banjir, transportasi, dan penanganan sampah, yang akhirnya menimbulkan penurunan kualitas ruang kota dan lingkungan. Permasalahan kota adalah permasalahan kompleks yang tidak bisa ditangani secara parsial atau hanya berbasis proyek, tetapi harus secara komprehensif melalui perencanaan yang matang dengan visi yang menjawab solusi ke depan yang berkelanjutan.
Kota hijau (green city) adalah kota yang sehat secara ekologis. Kota hijau harus dipahami sebagai kota yang memanfaatkan secara efektif dan efisien sumber daya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, dan menyinergikan lingkungan alami dan buatan.
Di seluruh dunia, kota hijau atau green cities telah menjadi model pengembangan perkotaan yang baru, baik di benua Amerika, Asia, Eropa, Australia, maupun Afrika. Fenomena yang sama juga dialami oleh Indonesia. Maka perlu dideklarasikan bahwa dampak perubahan iklim di Indonesia bukan hanya dihadapi melalui bidang kehutanan dengan REDD+ atau pengembangan lahan gambut, tetapi sekarang juga melalui pengembangan kawasan seperti entitas perkotaan, dengan konsep Green City. Ini merupakan tantangan baru dan terbesar yang sedang dihadapi Indonesia, terlebih karena lebih dari 52% penduduk nasional mendiami kawasan perkotaan. Indonesia saat ini fokus pada penanganan daerah perkotaan yang sangat rentan mengalami dampak perubahan iklim. Selain upaya-upaya mitigasi di bidang kehutanan atau yang lebih dikenal dengan program REDD+, pengembangan gambut atau peatland management, saat ini telah terdapat upaya yang lebih struktural dalam bidang adaptasi perkotaan. Banyak fakta menggambarkan betapa rentan dan sensitifnya daerah perkotaan dalam menghadapi perubahan iklim.
Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang yang terintegrasi menjadi unsur penting didalam mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Salah satunya adalah melalui Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang sedang berlangsung di 60 Kota dan Kabupaten. Bersama-sama Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota di dalam menjalankan program P2KH diharapkan bisa memenuhi ketetapan Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, terutama guna mencapai Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen, yang sekaligus juga merespon perubahan iklim yang terjadi.Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam perwujudan kota hijau yang berkelanjutan, serta pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan dapat sebagai pilar utama di dalam memonitor pengembangan dan implementasi kota hijau di Indonesia.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan UmumSelaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc
buletin tata ruang
PELINDUNG Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.
Dr. Eko Luky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.
PENANGGUNG JAWABIr. Iman Soedradjat, MPM.
Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sofjan Bakar, M.Sc.
DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM Ir. Basuki Karyaatmadja
PENASEHAT REDAKSIDR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng
Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
PEMIMPIN REDAKSIIr. Sita Indrayani,MM
WAKIL PEMIMPIN REDAKSIAria Indra Purnama, ST, MUM
REDAKTUR PELAKSANAIr. Melva Eryani Marpaung, MUM.
SEKRETARIS REDAKSIIndira P. Warpani, ST., MT., MSc
STAF REDAKSIIr. Dwi Hariawan, MA
Ir. Kartika Listriana, MPPM Ir. Nana Apriyana, MT
Wahyu Suharto, SE, MPAIr. Dodi S Riyadi, MT Ir. Indra Sukaryono
Endra Saleh ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST.
Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc
Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST
Marissa Putri Barrynanda, STHeri Khadarusno, ST
KOORDINASI PRODUKSIAngger Hassanah, SH
STAF PRODUKSI Alwirdan BE
KOORDINASI SIRKULASISupriyono S.Sos
STAF SIRKULASIDhyan Purwaty, S.Kom
Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRNAlamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA,
Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577Website BKPRN:http://www.bkprn.orgEmail:[email protected]
dan redaksi [email protected]
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 3Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
dari redaksi Salam hangat bagi pembaca setia Butaru..
Di awal tahun 2012 ini Buletin Tata Ruang kembali pada edisi pertamanya. Pada edisi ini Butaru mengangkat topik Green Cities (Kota Hijau), dimana perwujudan Kota Hijau merupakan sebuah konsep perkotaan dalam upaya menjaga keseimbangan lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial demi generasi mendatang yang lebih baik serta dalam upaya menjaga keberlangsungan planet bumi. Di sinilah posisi strategis act locally, while thinking globally tidak hanya sekadar slogan semata.
Pada Profil Wilayah akan ditampilkan Kota Surakarta, yang telah menyelesaikan Perda RTRW Kota dan juga termasuk kedalam kelompok kota yang sangat antusias untuk mengimplementasikan Konsep P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau). Dalam Topik Utama edisi kali ini, redaksi mendapat kontribusi artikel dari pemerhati masalah perkotaan Swedia yaitu Sixten Larsson yang memberikan sumbangan pemikirannya khusus untuk Bulletin Tata Ruang melalui tulisan dengan judul Planning for Sustainability in Sweden. Pada edisi ini pula selain artikel tentang Peningkatan Kualitas Lingkungan Melalui Kebijakan Perkotaan Terkait Perubahan Iklim, terdapat artikel RTH dalam Kota Kota Sehat, artikel Hasil Konferensi Perubahan Iklim-Durban, Kawasan Bentang Laut Papua, artikel terkait masalah Pending Zone, serta program Mangrove Capital.
Profil Tokoh kali ini menampilkan seorang pemerhati terkait masalah perkotaan dan penginisiasi kota hijau di Indonesia, Ir. Imam S Ernawi, MCM, yang akan mengungkapkan berbagai gagasannya, agar kita bisa lebih memberi perhatian pentingnya pengembangan kota wilayah yang respon terhadap perubahan iklim dalam mewujudkan sustainability.
Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan kota dapat menggiring kita menuju sebuah Masa Depan Hijau (Cities can lead us to a Green Future: Low Carbon Initiatives Make Economic Sense) yang menyatakan bahwa Kota-kota dapat mengambil peran unggulan (leading role) dalam menggiring dunia menuju masa depan yang lebih ramah iklim (a more climate-friendly future). Hal ini, lebih jauh dapat dicapai dalam waktu yang singkat, dan secara praktis tanpa tambahan ongkos/biaya. Dengan investasi hanya 2% dari GDP kota yang modern, karbon rendah, dan efisien energi dalam 10 tahun, akan mengurangi tingkat emisi karbon kota tersebut sebesar 40% tanpa tambahan biaya, bahkan dapat menghemat anggaran tahunan sebesar 2,2% dari GDP.
Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca dapat memperkaya wawasan.
Selamat membaca
Redaksi
PROFIL TOKOHImam S. Ernawi
PROFIL WILAYAHSurakartadan Komitmen HijauOleh: Redaksi Butaru
TOPIK UTAMAPlanning for SustainablityIn SwedenOleh: Sixten Larsson
TOPIK UTAMAKebijakan PerkotaanTerkait Perubahan IklimOleh: Direktur Perkotaan dan PerdesaanKementerian PPN/Bappenas
TOPIK UTAMARuang Terbuka HijauDalam Kota yang SehatOleh: Chris. D. Prasetijaningsih dan Mufty Riyan
TOPIK UTAMAPotensi Tiga Kawasan:Memahami RTR KawasanStrategis Nasional Perkotaan
TOPIK LAINKonferensi Perubahan Iklim2011 DurbanOleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAINMengembangkan Papua yang KayaOleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM
TOPIK LAINPending Zone/Holding Zone:Mempercepat dengan MenangguhkanOleh: Ir. chaerudin Mangkudisastra, M.Sc.
TOPIK LAINProgram Mangrove CapitalOleh: Redaksi Butaru
WACANACities Can Lead UsTo A Green FutureOleh: Redaksi Butaru
AGENDAAgenda Kerja BKPRN Januari - Februari 2012
04
08
11
15
19
24
30
34
40
44
46
47
daftar isi
-
4 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Imam S.Ernawi
Imam S. Ernawi adalah Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum. Lahir di Tuban, Jawa Timur, pada 10 Mei 1955, Imam menyelesaikan pendidikan dasar hingga lulus SMA di Probolinggo pada tahun 1973. Ia kemudian melanjutkan studinya di Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung dan lulus tahun 1979. Pada tahun 1991, ia mengambil studi pasca sarjana program Construction Management, dan program Engineering Policy, di Washington University St. Louis, Amerika Serikat.
Bergabung dengan Kementerian PU pada tahun 1980, Imam pun mulai terlibat dalam berbagai proyek penting di Kementerian tersebut. Selama hampir 30 tahun menata karir di institusi tersebut, ia telah memegang jabatan-jabatan antara lain Staf Ahli Menteri PU Bidang Keterpaduan Pembangunan (2005-2007); Kepala Pusat Kajian Kebijakan Dep. PU (2003-2005); Direktur Bina Teknik, Ditjen. Perumahan dan Permukiman, Dep. Kimpraswil (2001-2003); Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Publik, Dep. Kimbangwil (1999-2001); Direktur Bina Program Ditjen. Cipta Karya Dep. PU (1998-1999); dan Kepala Subdit Tata Bangunan Ditjen. Cipta Karya Dep. PU (1994-1998).
Di luar itu, ia juga aktif dalam berbagai keanggotaan profesi, antara lain Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), Himpunan Ahli Manajemen Konstruksi Indonesia (HAMKI), Society of American Value Engineers (SAVE), dan Construction Management Association of America (CMAA).
Sebagai inisiator Gerakan Kota Hijau, ia memandang penataan kota yang merujuk pada konsep green city atau kota hijau, tidak sekadar mengedepankan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), melainkan juga merencanakan dan menata ulang kota secara sehat dan ekologis. Visi-misi dan harapan beliau akan realisasi Kota Hijau di Indonesia yang dampaknya dapat dirasakan seluruh masyarakat, diuraikan pada wawancara berikut ini.
Apa latar belakang Kementerian PU menerapkan konsep Kota Hijau (Green Cities)?
Inisiatif mewujudkan kota hijau memiliki makna strategis karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan kota yang begitu cepat dan berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau. Beberapa tahun terakhir, permasalahan perkotaan semakin berat karena hadirnya fenomena perubahan iklim, yang menuntut kita semua untuk memikirkan secara lebih seksama. dan mengembangkan gagasan cerdas yang dituangkan ke dalam kebijakan dan program yang lebih komprehensif sekaligus realistis sebagai solusi perubahan iklim.
profil tokoh
Gerakan Kota Hijau: Merespon Perubahan Iklimdan Pelestarian LingkunganDirjen Penataan Ruang,
Kementerian PU
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 5Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
profil tokoh
Oleh karenanya, Kementerian Pekerjaan Umum, melalui Ditjen Penataan Ruang, mendorong terwujudnya kota hijau sebagai metafora dari kota berkelanjutan, yang berlandaskan penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, sekaligus yang mampu menjawab kebutuhan dan permasalahan kota/perkotaan aktual, sekaligus merespon tantangan perubahan iklim.
Apa visi dan misi pengembangan Kota Hijau (Green Cities) secara umum?
Misi kota hijau sebenarnya tidak hanya sekedar menghijaukan kota. Lebih dari itu, kota hijau dengan visinya yang lebih luas dan komprehensif, yaitu Kota yang Ramah Lingkungan, memiliki misi antara lain memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, dan Mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan baik secara lingkungan, sosial dan ekonomi secara seimbang.
Kota Hijau dapat diwujudkan apabila didukung oleh green building infrastructure dan partisipasi masyarakat (green community). Bagaimana kontribusi dua hal tersebut terhadap konsep Kota Hijau?
Menurut saya, terdapat beberapa atribut untuk mewujudkan kota hijau.
Yang pertama adalah perencanaan dan perancangan kota (Green Planning and Design), yang bertujuan meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang lebih sensitif terhadap agenda hijau, upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Kemudian yang ke dua adalah pembangunan ruang terbuka hijau (Green Open Space) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik kota/kabupaten, dengan target RTH 30%. Selanjutnya yang ke tiga adalah Green Community, yaitu pengembangan jaringan kerjasama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat. Yang ke empat adalah pengurangan dan pengolahan limbah dan sampah (Green Waste), dengan menerapkan zero waste. Yang ke lima adalah pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (Green Transportation) yang mendorong warga untuk menggunakan transportasi publik ramah lingkungan, serta berjalan kaki dan bersepeda dalam jarak pendek. Yang ke enam adalah peningkatan kualitas air (Green Water) dengan menerapkan konsep ekodrainase dan zero runoff. Lalu yang ke tujuh adalah Green Energy, yaitu pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan. Dan yang terakhir, ke delapan, adalah Green Building, yaitu penerapan bangunan hijau yang hemat energi.
Green waste, green transportation, green water, green energy, dan green building merupakan atribut yang sering kita sebut sebagai green
insfrastructure. Keseluruhan atribut kota hijau tersebut tidak berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan yang integral, termasuk dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi lokal sebagai dampak ikutan dari perwujudan masing-masing atribut.
Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Kota Hijau, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) saat ini merintis Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Apa saja hambatan dan tantangan dalam mewujudkan Program Pengembangan Kota Hijau tersebut?
Hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kota hijau di Indonesia dapat dicermati dalam beberapa aspek, yaitu aspek Turbinlakwas, ekonomi, sosial, lingkungan, tata kelola, dan spasial. Dalam aspek Turbinlakwas, ada masalah pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan yang harus diperhatikan. Pengaturan P2KH sebenarnya sudah cukup lengkap, namun masih perlu dilengkapi dengan peraturan turunan yang lebih detail, seperti Juknis, sehingga lebih mudah dalam operasionalisasinya. Lalu dalam pembinaan, P2KH terkendala karena belum optimalnya kapasitas kelembagaan dalam rangka perwujudan kota hijau di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, Rencana Tata Ruang belum sepenuhnya digunakan sebagai acuan pembangunan serta rendahnya keterlibatan stakeholders dalam penyelenggaraan RTH. Sedangkan masalah pengawasan adalah kurang
Green waste,green transportation, green water,green energy, dan green building merupakan atribut yang sering kitasebut sebagaigreen infrastructure.
-
6 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam
mewujudkan kota hijau di Indonesia
dapat dicermati dalam aspek
Turbinlakwas, ekonomi, sosial,
lingkungan, tata kelola dan spasial.
profil tokoh
optimalnya pengawasan oleh aparat.
Bagaimana dengan tantangan pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan?
Pada aspek ekonomi, P2KH menghadapi tantangan, yaitu tingginya pendanaan serta terbatasnya lahan perkotaan dalam mewujudkan ruang terbuka hijau sebesar 30% dari luas kota. Dalam aspek sosial, P2KH menghadapi masalah antara lain kecenderungan perilaku masyarakat yang kontraproduktif dan destruktif, serta kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya aspek lingkungan sehingga peran masyarakat dalam perwujudannya kota hijau rendah. Sedangkan dalam aspek lingkungan P2KH menghadapi tantangan, yaitu peningkatan jumlah penduduk perkotaan dari waktu ke waktu yang menyebabkan meningkatnya beban yang harus didukung oleh lingkungan, serta pembangunan yang cenderung berorientasi pada aspek ekonomi dan kurang memperhatikan aspek lingkungan.
Tadi bapak menyebutkan juga ada tantangan dalam aspek tata kelola. Apa saja yang termasuk?
Dalam aspek tata kelola, P2KH menghadapi masalah yaitu masih rendahnya kerjasama dan koordinasi antar sektor dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Kemudian yang terakhir, dalam aspek spasial, tantangan P2KH adalah perkembangan kawasan perkotaan yang cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl yang tidak terkendali, alihfungsi kawasan pertanian subur di pinggiran kota dan meningkatnya ketergantungan pada kendaraan bermotor, serta kurangnya lahan perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH.
di permukiman informal yang lebih terpapar oleh bahaya tersebut.
Kota yang tangguh adalah kota yang mempersiapkan diri terhadap dampak iklim di masa kini dan masa mendatang dengan membatasi kekuatan dan keparahan dampak tersebut. Meskipun dampaknya tetap terjadi, sebuah kota yang tangguh mampu menanggapi dengan cepat dan efektif, dengan cara yang tepat dan efisien. Untuk itu, membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim menjadi prioritas utama bagi kota. Selain mitigasi, yang kegiatannya sebagian besar terfokus pada masa lalu, kota-kota sekarang harus memainkan peran yang lebih besar dalam adaptasi.
Apa yang perlu dipersiapkan menurut bapak?
Membangun ketahanan tidak hanya memerlukan pengambilan keputusan yang cepat oleh pihak berwenang, tetapi juga jaring hubungan institusional dan sosial yang kuat dan mampu menyediakan jaring pengaman bagi warga yang rentan. Melalui kegiatan perencanaan formal dan persiapan informal, kota dapat membangun kekuatannya untuk menyesuaikan diri secara efektif pada dampak iklim di saat sekarang dan di masa depan, sembari bereksperimen dan berinovasi dalam pembuatan dan perencanaan kebijakan.
Kota-kota dapat menggiring kita menuju sebuah Masa Depan Hijau. Bagaimana pendapat bapak?
Kota hijau masa depan (future green cities) dapat terwujud jika kota-kota yang saat ini tengah kita inisiasi sebagai kota hijau dapat mengakomodasi prinsip-prinsip kota hijau, contohnya dengan diakomodasinya target pencapaian RTH sebesar 30% dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kotanya.
Kota hijau yang kita cita-citakan ini adalah kota masa depan milik generasi penerus. Hal ini sejalan
Konsep perkotaan Indonesia ke depan, Competitive Green City adalah suatu terobosan. Akan tetapi yang diperlukan Indonesia, terutama pada awal pelaksanaan, harus dapat membangun daya tahan (resilience) masyarakat dan pemerintah di tingkat lokal. Bagaimana menurut bapak?
Menurut saya, ketahanan kota lebih tepat dikaitkan dengan kota hijau dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Perubahan iklim dapat dilihat sebagai sebuah tantangan serius bagi kota-kota di seluruh dunia, terutama di negara berkembang, dimana urbanisasi terjadi sangat cepat. Perubahan iklim ini menimbulkan ancaman yaitu meningkatkan kerentanan, menghancurkan keuntungan ekonomi, dan menghalangi pembangunan sosial dan ekonomi. Masyarakat miskin kota akan menerima dampak paling berat, karena mereka tinggal dan bekerja
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 7Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Perwujudan kota hijau membutuhkan dukungan dan keterlibatan multi sektor dalam rangka memenuhi tercapainya berbagai atribut kota hijau.
profil tokoh
dengan harapan kita semua untuk mulai mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Keberhasilan upaya ini mensyaratkan adanya pendekatan kolaboratif, bukan sendiri-sendiri. bagaimana keterlibatan semua stakeholders khususnya pemerintah daerah?
Prakarsa P2KH merupakan tahapan yang lebih maju dalam siklus pelaksanaan penataan ruang yang tidak berhenti pada tataran perencanaan, namun telah bergulir pada tataran implementasi rencana dalam bentuk aksi-aksi nyata pada skala kota/kabupaten sebagai satu entitas yang utuh. P2KH juga bukan sekedar himpunan sektoral, melainkan suatu program sinergis dan kolaboratif dengan inisiatif utama dari pemerintah kota/kabupaten dan masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah pusat.
Karena itu, P2KH berbasis pada Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) yang berlandaskan penataan ruang sebagai panglima pengembangan wilayah, paradigma kota berkelanjutan, pentingnya kemandirian daerah, peran koordinasi provinsi dan fasilitasi pusat, dan intervensi program yang berkelanjutan.
Secara politis, inisiatif tersebut telah mendapat respon yang sangat positif dari pemerintah kabupaten/kota. Pada Peringatan Puncak Hari Tata Ruang 2011 pada tanggal 7-8 November yang lalu, telah dilakukan penandatanganan Piagam Komitmen Kota Hijau dan penyematan daun hijau pada pohon Kantajaura (Kanopi Kota Hijau Nusantara) oleh 60 Bupati/Walikota, sebagai bentuk komitmen bersama untuk mewujudkan kota hijau. Hal yang patut mendapatkan apresiasi ini merupakan sebuah loncatan besar bagi pemerintah daerah yang secara konkrit akan mewujudkan kota yang berkelanjutan.
Apa upaya-upaya yang harus dilakukan?
Perwujudan kota hijau membutuhkan dukungan dan keterlibatan sektor lain dalam rangka memenuhi tercapainya dua atribut kota hijau. Atribut yang pertama adalah sektor perhubungan dalam rangka menciptakan Green Transportation, yaitu Pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan, misalnya transportasi publik, jalur sepeda, dsb. Yang ke dua adalah sektor pengembangan permukiman yang meliputi Green Waste, yaitu usaha untuk melaksanakan prinsip 3R (mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur ulang dan meningkatkan nilai tambah), Green Water, yaitu efisiensi pemanfaatan sumberdaya air, dan Green Building, atau bangunan hemat energi. Aspek lain yang tak kalah penting adalah sektor energi dalam rangka Green Energy, yaitu pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan.
Aksi kolaboratif tersebut tentunya tidak hadir secara mekanistik semata, namun memerlukan proses yang konsisten dan sistematis, mulai dari sosialisasi, mobilisasi, persuasi, hingga implementasi, sehingga gerakan kolektif yang sebenarnya dapat terbangun.
Apa harapan bapak mengenai perwujudan Kota Hijau di Indonesia?
Kembali kepada judul besarnya tadi, kota hijau itu harus menjadi gerakan. Artinya semua pihak harus berperan. Tetapi gerakan itu harus bisa menjadi gerakan yang penjurunya adalah pemerintah daerah kabupaten/kota karena merekalah yang sebetulnya mendapatkan tugas dan kewenangan sesuai dengan otonomi daerah untuk mengurus kota atau wilayahnya. Sementara stakeholder
atau pemangku kepentingan yang lain harus mendorong, mempercepat, meningkatkan atau memperluas.
Apa kunci terciptanya Kota Hijau?
Saya kira kunci sukses untuk daerah sebagai penjuru gerakan ini adalah pertama leadership daerah tersebut harus baik. Jadi walikota harus pro green. Yang ke dua, politik anggaran di daerah tersebut harus berpihak ke arah ini, apakah lewat rencana program kerja pemerintah daerah tahunan, atau dengan kepandaian/kecerdasan mereka untuk bisa mengundang masyarakat dan dunia usaha. Yang terakhir adalah adanya green community dalam upaya menciptakan critical mass.
Jadi konsep Kota Hijau di sini bukan semata masalah RTH?
Hijau di sini memang berarti peningkatan luasan RTH, tapi bukan semata-mata untuk memenuhi syarat 30% (sesuai UU Penataan Ruang) atau beautification, tetapi untuk mewujudkan kinerja hijau yang dapat menjawab fungsi ekologi. Memang gerakan ini perlu perjuangan. Jadi kita perlu mengedukasi agar daerah-daerah merasa butuh, konsisten dan berkomitmen untuk mengalokasikan sumber dayanya, sehingga dampak gerakan ini semakin besar.
Perwujudan Kota Hijau ini harus dimulai dari mana?
Yang harus dilakukan adalah mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil-kecil, dan mulai dari diri sendiri. Masyarakat merubah perilakunya untuk lebih ramah lingkungan, hemat energi, tidak konsumtif terhadap energi. Lalu pemerintah daerah (kabupaten/kota) mendukung terwujudnya kota hijau melalui prakarsa P2KH.
-
8 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
profil wilayah
Kota terus bertumbuh, dari yang awalnya merupakan kota kecil yang minim infrastruktur dan fasilitas lainnya, kemudian berkembang menjadi kota besar.
Saat bicara tentang kota yang berhasil,ada permasalahan RTH di dalamnya.dan Komitmen Hijau
KOTA.KOTA IDENTIK dengan pemusatan seluruh kegiatan yang ditandai dengan pembangunan gedung yang menjulang tinggi, pembangunan infrastruktur sebagai penunjang dan sarana penduduk kota untuk mobilisasi, berbagai macam sarana transportasi, dan kepadatan penduduk yang tinggi dengan segala macam aktivitasnya yang ikut memenuhi dan mewarnai kehidupan kota setiap saat. Suatu kota dikatakan berhasil,maju, dan berkembang jika kota tersebut memiliki aktivitas perekonomian yang sangat tinggi yang didukung dengan pembangunan infrastruktur dan sarana pendukung lainnya serta diikuti dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Akan tetapi apakah semua pembangunan yang dilakukan diperkotaan memiliki pengaruh positif bagi kota secara keseluruhan??? Apakah pembangunan kota tersebut telah seimbang dengan daya dukung lingkungan kota tersebut???
Pembangunan tidak akan pernah berhenti dilakukan untuk membangun suatu kota, sehingga kota terus bertumbuh dari yang awal mulanya merupakan kota kecil dengan minim insfrastruktur dan fasilitas lainnya dan kemudian berkembang menjadi kota besar dan terus berkembang menjadi kota megapolitan seperti Jakarta. Kota Jakarta merupakan kota Megapolitan yang hingga saat ini sudah dapat dikatakan kota yang over capacity dapat dilihat dari jumlah penduduk Jakarta yang hingga kini menjadi angka 9.5 juta jiwa, yang idelanya penduduk Jakarta berkisar antara 4-5 juta jiwa atau setengah dari penduduk saat ini. Dengan kondisi kota yang over capacity tersebut, mulai timbulah berbagai macam permasalahan perkotaan, diantaranya masalah kemacetan, masalah sosial dapat dilihat dari tidak meratanya kesejahteraan masyarakat, ketidaknyaman masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari, dan permasalahan banjir yang merupakan amcaman Kota Jakarta pada setiap musim hujan bahkan saat ini tanpa musim hujan pun Jakarta Utara sering terendam akibat dari naiknya muka air laut/ROB akibat dari penurunan muka air tanah.
Bencana jebolnya Tanggul Situ Gintung pada Tahun 2009 lalu merupakan bencana alam yang disebabkan oleh
masyarakat yang telah melakukan penyimpangan terhadap RTRW, di mana di sekitar area tanggul tidak diperkenankan sebagai kawasan budidaya, akan tetapi kebutuhan akan lahan perkotaan yang semakin meningkat, peraturan tersebut diabaikan sehingga yang terjadi adalah bencana yang mengakibatkan kerugian yang materi dan jiwa yang besar. Sangat disayangkan bencana serupa sering terjadi khususnya di kota-kota besar, beberapa lapisan masyarakat yang hanya memikirkan keuntungan sepihak dengan sering melakukan penyimpangan terkait peruntukan guna lahan tanpa memikirkan kapasitas, keterbatasan daya dukung dan daya tamping suatu lahan perkotaan.
Menanggapi permasalahan di atas, UU Nomor 26 Tahun 2007 Tetang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa setiap Prop/Kab/Kota yang dalam proses penyusunan RTRW diwajibkan untuk memiliki proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada setiap wilayahnya sebesar 30%, atau untuk wilayah kota paling sedikit 20%. Perwujudan RTH pada setiap wilayah ini merupakan perwujudan dan penguatan dari tujuan Penataan Ruang, yaitu mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Kata berkelanjutan di dalam UU ini berkaitan erat dengan lingkungan, kualitas lingkungan sudah seharusnya dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi mendatang. Jika melihat tujuan dari Penataan Ruang, dapat dikatakan perencanaan tidak semata-mata hanya menuntut suatu wilayah agar produktif, akan tetapi juga memperhatikan keseimbangan lingkungan dan masyarakat di dalamnya.
Surakarta Oleh: Redaksi Butaru
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 9Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Kota Surakarta, yang juga dikenal dengan Solo terletak di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumalah penduduk 600.000 jiwa dengan luas 4.404,06 Ha yang terbagi atas 5 (lima) kecamatan, yaitu Kec. Laweyan, Kec. Serengan, Kec. Pasar Kliwon, Kec. Jebres, Kec. Banjarsari.
Kota Surakarta, selayaknya kota besar merupakan pusat pertumbuhan wilayah Jawa Tengah dengan potensi ekonomi sangat tinggi di bidang industry, perdagangan, pariwisata dan sector penunjang lainnya. Selain itu Kota Surakarta juga merupakan kota penghubung bagi daerah hinterland, di antaranya Kab. Boyolali, Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. Wonogiri, Kab. Sragen, dan Kab. Klaten.
Melirik potensi yang terkandung di dalamnya dan di dukung dengan letak yang strategis, tidak menjadikan Pemerintah Kota Surakarta memiliki keinginan sepenuhnya mengembangkan pembangunan yang optimal untuk Kota Surakarta ini. Dalam pembangunan Kota Surakarta, Pemkot tetap akan memperhatikan keseimbangan lingkungan di mana telah tertuang di dalam Tujuan Penataan Ruang yang telah tercantum di dalam draft Raperda RTRW Kota Surakarta, yaitu Mewujudkan Kota Surakarta Sebagai Kota Budaya yang Produktif, Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Dengan Berbasis Pada Sektor Industri Kreatif, Perdagangan dan Jasa, Pendidikan, Pariwisata, Serta Olah Raga.
Kata Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan yang merupakan amanat dari UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah dibuktikan dan direalisasikan melalui beberapa program dengan tujuan memperbaiki dan menyehatkan lingkungan Kota Surakarta, di mana program lingkungan tersebut telah berhasil dan meraih beberapa penghargaan, di antaranya melalui Kota Dalam Kebun yang dicanangkan oleh Ir. Joko Widodo selaku walikota Surakarta. Program ini dapat menciptakan kota yang sehat dan asri, hijau dipenuhi oleh pepohonan dengan sendirinya akan menciptakan iklim yang sejuk dan membuat
manusia di dalamnya merasakan sehat dan tenang yang merupakan idaman bagi setiap wilayah, khususnya di kota besar yang jauh dari suasana hijau dan asri. Sehingga tidak heran Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2011 memberikan penghargaan bagi Pemerintah Kota Surakarta atas kerja kersa di dalam penyehatan lingkungan kota dan menciptakan iklim yang sejuk.
Pada tahun 2011 juga Pemkot Surakarta Kota Langit Biru oleh Kementerian Lingkungan Hidup, di dalam penilaian ini, Kota Surakarta memiliki skor tertinggi untuk kategori kota besar dan telah menyisihkan 12 kota besar di Indonesia. Penilaian ini dilakukan dengan mengukur tingkat emisi gas buang dari sumber yang bergerak atau kendaraan bermotor dan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang telah dirancang pemkot untuk dapat menciptakan iklim mikro yang bersih.
Awal tahun 2011, melalui Direktorat Jenderal Penataan Ruang telah melakukan inisiasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) di 60 kota dan kabupaten. P2KH ini merupakan merupakan program dalam rangka mewujudkan amanat UU Penataan Ruang tentang perwujudan RTH 30%, selain itu juga merupakan reaksi dan tanggapan mengenai isu global yaitu Perubahan Iklim yang hingga kini dampaknya telah terjadi dibelahan bumi. Telah tercatat 20 Kota yang telah sepakat dengan menandatangani Komitmen Kota Hijau pada tanggal 7 November 2011, yang juga merupakan rangkaian Hari Peringatan World Town Planning Day (WTPD).
Berbagai penghargaan lingkungan telah diraih Surakarta, akan tetapi usaha pemkot untuk selalu menghijaukan dan ciptakan udara bersih tidak hanya berhenti sampai disini. Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang terpilih dan telah berkomitmen sebagai Kota Hijau, bentuk komitmen tersebut ditandai dengan penandatanganan piagam Komitmen Kota Hijau yang merupakan bentuk kesepakatan antara Pemkot Surakarta dengan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. Berbagai program Kota Hijau telah disiapkan oleh pemkot, perencanaan tersebut telah tertuang di dalam Draft Raperda RTRW Kota Surakarta, yang saat ini telah sampai pada tahap telah persetujuan substansi dan saat ini sedang pembahasan di DPRD setempat. Di dalam Draft Raperda RTRW Kota Surakarta telah mencantumkan bahwa RTH Kota Surakarta dibagi atas 2 (dua) RTH Publik yang meliputi taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, taman wisata alam, taman rekreasi, kebun binatang, lapangan olah raga, taman lingkungan perumahan dan permukiman, serta pedestrian. Dan RTH Privat, yang meliputi lahan pertanian kota atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan, taman lingkungan perkantoran, gedung komersial dan taman atap (roof garden).
Saat bicara tentang kota yang berhasil,ada permasalahan RTH di dalamnya.
-
10 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
profil wilayah
Direncanakan luas RTH Kota Surakarta dalam bentuk taman seluas 357 (tiga ratus lima puluh tujuh) Ha, RTH Dalam bentuk Taman Pemakaman Umum (TPU) seluas 50 (lima puluh) Ha, RTH dalam bentuk sempadan rel kereta api seluas 73 (tujuh puluh tiga) Ha dengan sebaran di beberapa kecamatan. Selain itu juga terdapat Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Kota Surakarta seluas 7 (tujuh) Ha yang juga tersebar diseluruh kawasan kecamatan. Untuk mewujudkan RTH yang telah direncanakan, Pemerintah Kota Surakarta telah melakukan kerjasama pendanaan melalui dana sharing APBN dan APDB serta pihak perbankan melalui Bank Mandiri yang telah melakukan kesepakatan terkait konsep kerjasama untuk merealisasikan RTH.
Solo City Walk merupakan salah satu bentuk perwujudan RTH public, Solo City Walk ini dapat memberikan kesejukan dan kehijauan pada Kota Surakarta, fasilitas pejalan kaki yang aman dengan sisi hijau kanan dan kiri dapat memberikan rasa sejuk di dalamnya. Selain itu lokasi PKL di beberapa bagian tidak mengganggu bagi pejalan kaki karena tempat untuk PKL telah disediakan oleh pemkot dengan rapi dan teratur.
Saat ini, telah tercatat 18.61% RTH di Kota Surakarta, di dalam perencanaan ke depan Pemerintah Kota Surakarta yang dibantu oleh jajarannya juga telah menyiapkan beberapa program dalam rangka merealisasikan Komitmen Kota Hijau, di antaranya adalah Program Green Building, menggalakkan konsep Roof Garden sebagaimana yang telah tercantum di dalan Draft
Seluruh penduduk Kota Surakarta juga berkewajiban
memelihara taman-taman lingkungan di lingkup RT/RW
atau kelurahan agar iklim mikro tetap terjaga dan mendukung
perwujudan Kota Hijau.
Planning for Sustainability
in Sweden
RTRW Kota Surakarta, pembangunan jalan lingkungan dengan menggunakan paving, penanaman 1 (satu) juta pohon, dan kegiatan sayembara inisiasi rencana kota.
Pada tahun 2009, Pemerintah Kota Surakarta juga telah mengeluarkan Perda berkaitan dengan RTH, yaitu Perda No. 8 Tahun 2009 Tentang Bangunan, yang mengatur adanya kewajiban untuk menetapkan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal 85%, kecuali lokasi tertentu, dan saluran air hujan sebelum dibuang ke saluran umum kota harus melalui sumur resapan terlebih dahulu.
RTH tidaklah hanya direncanakan dan dilaksanakan begitu saja, melainkan terdapat beberapa instansi Pemkot yang terlibat didalam kepengurusan dan perawatan RTH Kota Surakarta, di antaranya adalah untuk pengelolaan dan pemeliharaan taman kota, jalur hijau, dan lapangan dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Lingkungan Hidup berperan di dalam penyediaan pohon dan RTH di sempadan sungai, Dinas Pertanian juga terlibat di dalam penyediaan tanaman produktif, selain itu seluruh penduduk Kota Surakarta juga berkewajiban memelihara taman-taman lingkungan di lingkup RT/RW/Kelurahan agar iklim mikro tetap terjaga dan mendukung perwujudan Kota Hijau.
Perencanaan perwujudan RTH di Kota Surakarta memiliki beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi, antara lain mengenai status ruas jalan yang kewenangannya dimiliki oleh Perintah Propinsi, untuk kawasan sepadan sungai dan rel kereta api terdapat permasalahn dengan warga sekitar, karena banyak pemukiman liar yang telah berdiri disekitar sempadan tersebut, perlu ditingkatkan kembali koordinasi antara beberapa dinas terkait yang bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH agar pelaksanaan perwujudan RTH dapat terkoordinir dengan baik dan serasi, dan permasalahan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan dan perawatan RTH masih perlu untuk ditingkatkan kembali.
Sangat tidak mudah mendapatkan predikat Kota Bersih, karena kota identik dengan kebisingan dan polusi dari kendaraan, aktivitas pabrik, dan aktivitas penduduk kota yang terus mencemari lingkungan kota. Akan tetapi komitmen berbagai macam instansi baik pemerintahan, masyarakat, akademisi, dan sektor swasta yang turut menghijaukan lingkungan mereka, membuat Kota Surakarta menjadi hijau dan bersih.
RTH pada hakikatnya merupakan salah satu unsur ruang kota yang mempunyai peran penting serta dengan unsur kota lainnya dan memiliki pengaruh sangat positif bagi lingkungan sekitar. Perbaikan lingkungan tidak perlu diawali dengan langkah besar dan menciptakan sesuatu yang inovatif, melainkan berawal dari kesadaran diri sendiri yang nantinya akan memberikan dampak yang luas bagi lingkungan sekitar. (mpb)RTH Kota Surakarta
Januari - Februari 201 | buletin tata ruang
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 11Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
Planning for Sustainability
in SwedenOleh: Sixten Larsson
Urban Planner, Visual Communication ABSweden
URBAN DEVELOPMENT IN SWEDEN is based on a strong local self-governance. The municipalities in Sweden have the right and the duty to determine how the built environment should be developed and through its power of taxation, they also have the means for implementation. This decentralised character of the society is reflected in the administrative structure and in the legislation that governs different levels of government. This system has a long history. Many cities and towns had their rudimentary local planning and building regulations in place in the end of the 18th century. The main legislative instruments that guide urban development at present are the Local Government Act 1991, the Environmental Code (1999) and the revised Planning and Building Act (2011).
With the increasing complexity of development, globalisation trends, climate change issues and the need for a broader sustainability perspective, new demands are placed on municipalities regarding coordination and cooperation and new approaches to participation and stakeholder involvement. Furthermore, municipalities are required to take into account national interests as expressed in national policies and strategies such as: Swedish Environmental Objectives Climate and Energy Policy Swedish Strategy for Sustainable Development.
11Januari - Februari 201 | buletin tata ruang
-
12 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
The three pillars of sustainability must be seen as integral parts in urban development. Environmental ecological and biological processes;Social interaction between people and involvement; Economic balanced growth.
Cities and other built areas must provide a good, healthy living environment and contribute to good regional and global environments. Natural and cultural assets must be protected and developed. Buildings and amenities must be located and designed in accordance with sound environmental principles and in such a way as to promote sustainable management of land, water and other resources.
Swedish Environmental Quality Objectives, no. 15
The concept of sustainable planning and development
Social sustainabilitySocial sustainability entails integrated physical urban structure with mixed development, diverse housing options, meeting places and provision for interaction between different groups in the society. Equally important is the provisions for involvement in planning processes and in the democratic processes. Access to health and education services and fair distribution of income and assets are fundamental to sustainable social development.
Economic sustainabilityUrban areas are often called the engines of economic growth. While planning must encourage economic initiatives, economic sustainability requires that development is in balance with available resources and not harmful to the environment. Support for local production, recycling, reuse and energy efficient technologies are economic development in line with sustainability perspectives.
The concept of sustainable development has gained increasing attention among authorities, interest groups and the general public, due to a growing awareness of environmental threats and the potential consequences for economic development. The holistic perspective is however sometimes lacking. Sustainable planning and urban development require a conscious integration of social, economic, environmental as well as institutional, technical and functional considerations. Many municipalities have in recent years developed more inclusive and integrated planning and implementation processes, reflected in institutional structures, comprehensive planning, strategies and policies. The three pillars for sustainable development environmental, social, economic aspects are included in the formulation of development visions and all three need to be provided for in order to achieve sustainability.
Environmental sustainabilityEnvironmental sustainability concerns protection of biological and ecological processes and sustaining biological diversity. To achieve this, the impact of human activities must not exceed the carrying capacity of the environment. Urban planning needs to protect green areas and corridors, parks, forests and natural resources as well as agricultural land.
Climate change mitigation requires reducing emissions of greenhouse gases, designing infrastructure and buildings to withstand the expected effects. Transport system and energy provision must be based on renewable energy sources, efficient energy use and expansion of public transport systems.
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 13Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
Gteborg; the original fortification is a main feature. Haga (Gteborg), retaining the character and identity of the working class housing area. The Vllingby centre is given a new image, while protecting the urban design concept.
The impact of existing urban structuresThe visions and long-term strategies presented by Swedish municipalities focus on ideal and future development scenarios with optimistic assumptions regarding the outcome. However, development occurs in connection with or within existing urban structures, both in physical and socio-economic terms. Cities have grown over time and taken forms that reflect the attitudes and culture of the time.
Most Swedish towns have a historical core from medieval time or with an origin as military fortifications. Other town structures represent the industrialisation in the 19th century. Large suburban areas came into being during the great expansion and redevelopment programmes since the 1960s.
The planning and implementation processThe way in which urban planning and implementation processes are carried out is just as important as the content of the planning concepts. The integrated approach emphasise the linkages between the different stages of the process and the need to take implementation, operation and maintenance into account already at the plan preparation phase.
A participatory planning process, transparency and inclusiveness that involve relevant authorities, interest groups, communities, private sector and other stakeholders are necessity to promote sustainable development.
Planning principles for sustainable developmentThe planning principles that are applied in urban planning in Sweden reflect the ambitions to promote sustainable development and are found in most visions, strategies and comprehensive planning.Integration functional, socio-economic, culturalAccessibility public transport, cycle paths and walkways, services within walking distance.Compact urban structures - higher density, infilling and redevelopmentMixed development Variation of land uses and activitiesDiversity variation of housing types, architectural quality, character and identity.Public transport emphasis integral part of urban planning, energy efficiency.Protection of green areas and the natural environment limiting encroachment into natural areas, providing and conserving green areas within urban structures.Protection of cultural heritage and the built environment protection of areas and significant features in the urban environment.Protection of agricultural land and food production local food production, urban agriculture and farming.Local economic development support for businesses, skills development, efficient communication and good infrastructure.Safety and security safe walkways, street lighting, surveillance, meeting places, community involvement.Conservation of natural resources and assets waste reduction, recycling, renewable energy, energy efficiency.
-
14 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
Urban planning and implementation is a continuous process with need for feedback throughout the process and with evaluation of the outcome. The linkages between Programming, Planning, Implementation and Review require new approaches, institutional coordination and cooperation.
Vision for sustainable urban developmentMunicipalities in Sweden face many challenges in the form of lack of resources, financial restrictions and economic crises. There is need for considerable reforms and financial investments to promote sustainability and the main challenge is the need for innovative approaches to urban planning. The three aspects of sustainability environmental, social and economic need to be addressed with equal importance. Swedish municipalities have made great progress in evolving new concepts for planning and development. The key principles that have been identified are the components that guide the vision for sustainable urban development.
All aspects of sustainability must be addressed; focusing on economic and social aspects only might provide equitable situation but not sustainable; environmental and social focus would lead to a tolerable situation at best; and a focus on environmental and economic aspects might be seen as viable, but not sustainable in the long-term perspective. The planning principles are the tools to develop diverse and dynamic living environment.
topik utama
5 Planning for sustainability in Sweden Sixten Larsson, Urban Planner, Visual Communication AB
Protection of agricultural land and food production local food production, urban
agriculture and farming.
Local economic development support for businesses, skills development, efficient
communication and good infrastructure.
Safety and security safe walkways, street lighting, surveillance, meeting places, community
involvement.
Conservation of natural resources and assets waste reduction, recycling, renewable
energy, energy efficiency.
The planning and implementation process
The way in which urban planning and implementation processes are carried
out is just as important as the content of the planning concepts. The
integrated approach emphasise the linkages between the different stages of
the process and the need to take implementation, operation and
maintenance into account already at the plan preparation phase.
A participatory planning process, transparency and inclusiveness that involve
relevant authorities, interest groups, communities, private sector and other
stakeholders are necessity to promote sustainable development.
Urban planning and implementation is a continuous process with need for feedback throughout the process and with evaluation of the outcome. The linkages between Programming, Planning, Implementation and Review require new approaches, institutional coordination and cooperation.
1PROGRAMMING
3IMPLEMENTING
2PLANNING
REVIEW1
REVIEW
REVIEW
3
2
1 3
2Pr
otec
ting
of C
ultu
ral He
ritage and The Built Environtment
Co
mpact
Urban Structuring
Prot
ectio
n of
agric
ultural r
esources and food production
Accessibility
Public Transport
Rene
wa
ble Ene
rgy & Energy Effi ciency
Safety a
nd Security
Tran
spare
ncy and Participation
Loca
l Econo
mic Development
Prot
ectio
n Th
e G
reen Ar
ea & The Natural Environtment
Mixed
Development
Diversity
Integration
Was
te
Reduc
tion, Recycling, Re-Use
ENVIRONMENTAL
SUSTAINABLE
SOCIAL
ECONOMIC
Kebijakan Perkotaan
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 15Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utamatopik utama
Terkait Perubahan IklimKebijakan Perkotaan
Oleh: Ir. Hayu Parasati, MPS,Direktur Perkotaan dan Perdesaan
Kementerian PPN/Bappenas
Dalam kasus perubahan iklim, kota menjadi penyebab,sekaligus penanggung akibat yang paling parah.
URBANISASI MASIH MENJADI isu utama pembangunan perkotaan. Pada tahun 2050, diperkirakan populasi penduduk perkotaan di Asia akan mencapai 64%. Fenomena yang sama akan terjadi di Indonesia, dimana pada tahun 2025 penduduk perkotaan diperkirakan akan mencapai 67,5%.
Aglomerasi penduduk dan ekonomi di perkotaan memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Olahan data BPS mengindikasikan kota-kota metropolitan di Indonesia mampu menyumbangkan 20,37% dari total PDRB seluruh kota tahun 2008, demikian pula kota-kota besar yang mampu menyumbangkan 15,34%. (lihat tabel berikut)
Sumber : BPS 2008 , diolah*) Total 90 kota, kota-kota di Provinsi DKI Jakarta dianggap sebagai satu
kota otonom
Perubahan Iklim di IndonesiaIndonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke tiga di dunia. Maka jelas Indonesia sedang menghadapi berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. WWF Indonesia (1999) memperkirakan, temperatur akan meningkat antara 1.30C sampai dengan 4.60C pada tahun 2100 dengan trend sebesar 0.10C0.40C per tahun. Selanjutnya, pemanasan global akan menaikkan muka air laut sebesar 100 cm pada tahun 2100.
Akumulasi kejadian ini akan mempengaruhi infrastruktur, bangunan, dan kegiatan manusia saat ini dan mendatang. Pemanasan global akan meningkatkan temperatur, memperpendek musim hujan, dan meningkatkan intensitas curah hujan. Kondisi ini dapat mengubah kondisi air dan kelembaban tanah yang akhirnya akan mempengaruhi sektor pertanian dan ketersediaan pangan. Perubahan iklim juga akan meningkatkan dampak buruh dari wabah penyakit yang ditularkan melalui air atau vektor lain seperti nyamuk.
Kota juga merupakan penghasil emisi gas rumah kaca. Sumber utama emisi gas rumah kaca di kota adalah penggunaan bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, industri, rumah tangga, dsb. Rumah tangga di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar yang bersumber dari penggunaan energi lebih dari 100 juta ton per tahun. Industri di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar, meningkat dari 13 juta ton pada tahun 2003 menjadi 24 juta ton pada tahun 2005. Pada tahun 2007, penggunaan kendaraan bermotor di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar sebesar 40 juta ton, 16 juta ton diantaranya berasal dari Provinsi DKI Jakarta.
Kawasan perkotaan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim akibat populasinya yang besar, penggunaan infrastruktur yang intensif, aktivitas ekonomi tinggi, serta adanya konsentrasi penduduk miskin. Dampak perubahan iklim di perkotaan berpotensi menyebabkan ancaman kenaikan permukaan laut terhadap kota yang terletak di wilayah pesisir, badai ekstrim dan peningkatan suhu udara yang menimpa kota-kota di pesisir dan menghancurkan infrastruktur sosial maupun ekonomi, dan masyarakat
Asian Urbanization 2010 2050
Total Urban Population (millions) 1,649 3,247
Northeast Asia 805 1,284
South Asia 496 1,261
Central Asia 96 182
Urbanization (%) 41% 64%
Northeast Asia 50% 74%
South Asia 30% 55%
Southeast Asia 42% 65%
Central Asia 52% 67%
Kriteria Kota Presentase terhadap Jumlah
Seluruh Kota*)
Kontribusi PDRB terhadap Total PDRB
Kota Tahun 2008
Metropolitan ( > 1juta jiwa) 11,11% 20,37%
Besar (500.000 - 1juta jiwa) 15,55% 15,34%
Menengah (100.000 - 500.000 jiwa)
62,22% 7,82%
Kecil (50.000 - 100.000 jiwa) 11,11% 2,37%
Sumber: Asia 2050. Realizing the Asian Century
Lebih lanjut, perkembangan kontribusi PDRB kota metropolitan dan besar terhadap PDRB seluruh kota pada tahun 2005-2009 terus meningkat, sedangkan pada kota menengah dan kecil cenderung stagnan, bahkan menurun.
-
16 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Program-program terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim telah dilaksanakan oleh sektor-sektor pemerintah pusat, di antaranya : 1. Program Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (Kementerian Kesehatan)2. Program Koordinasi Kebijakan Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian)3. Program Pengelolaan SDA dan Program Pembinaan dan Pengembangan Infrastruktur Permukiman (Kementerian PU)4. Program Penanggulangan Bencana (BNPB)5. Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (Kementerian LH)6. Program Penciptaan Teknologi dan Varietas Unggul Berdaya Saing (Kementerian Pertanian)7. Program Pengelolaan Sumber Daya Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan)8. Program Pengelolaan dan Pelayanan Transportasi Darat (Kementerian Perhubungan)9. Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa dan Program Bina Pembangunan Daerah (Kemdagri)10. Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (Kemenakertrans)11. Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan (Kemenhut)12. Program Pengelolaan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Kemen ESDM)13. Program Peningkatan Kemampuan IPTEK untuk Penguatan Sistem Inovasi Nasional (Kemenristek)14. Program Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)15. Program Penelitian, Penguasaan, dan Pemanfaatan IPTEK (LIPI)16. Program Pengembangan dan Pembinaan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
berpenghasilan rendah di kota menjadi masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim karena keterbatasan sumber daya dan kapasitas yang dimiliki untuk mengantisipasi dampak-dampak tersebut.
Akibat perubahan iklim permukaan air laut di pesisir Jakarta diperkirakan akan meningkat 0,57 cm per tahun, sedangkan penurunan muka tanah sebesar 0,8 cm per tahun. Hal ini akan berdampak besar pada produktivitas infrastruktur dan ekonomi perkotaan.
Tantangan Mitigasi dan AdaptasiMitigasi perubahan iklim adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal tersebut dilakukan antara lain dengan cara perencanaan pembangunan kota, antara lain dengan pengendalian urban sprawl. Tujuannya adalah agar tidak terjadi penambahan jarak yang harus ditempuh penduduk dalam beraktivitas, serta tidak menambah kebutuhan penduduk untuk menggunakan kendaraan pribadi. Efektifitas strategi tersebut sangat bergantung pada gaya hidup dan kebutuhan penduduk kota.
Selain itu, juga dilakukan mitigasi seperti peningkatan efisiensi penggunaan energi pada kawasan terbangun di kota, peningkatan penggunaan sumber energi alternatif, dan pengembangan sistem transportasi massal dengan sumber energi alternatif yang bertujuan mengurangi penambahan kendaraan pribadi.
Sementara itu adaptasi perubahan iklim mencakup seluruh tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan kota dan penduduknya terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim merupakan dua hal yang harus dilaksanakan secara bersama-sama. Upaya mitigasi yang gagal akan mengakibatkan gagalnya upaya adaptasi pula.
Contoh-contoh upaya adaptasi antara lain meningkatkan sistem drainase kota untuk antisipasi peningkatan debit air hujan, meningkatkan sistem pengendalian banjir, perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang/guna lahan, meningkatkan ketahanan pangan, mengurangi penggunaan air untuk rumah tangga maupun industri, dan meningkatkan pemanfaatan sumber air alternatif seperti air hujan. Upaya-upaya adaptasi ini memerlukan pelibatan seluruh stakeholders perkotaan.
topik utama
Sea Level Rise (mm/year)0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0
Lampung
Sumatra
Surabaya
Semarang
Jakarta
Belawan
Cilacap
Indonesia
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 17Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Visi Perkotaan Nasional adalah terwujudnya kota yang layak huni, berkeadilan, mandiri, dan berdaya saing secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat perkotaan, sesuai dengan karakter potensi dan budaya lokal pada tahun 2024. Sementara misinya adalah: Meningkatkan pemerataan pembangunan kota-kota sesuai fungsinya dalam sistem perkotaan nasional. Meningkatkan pengembangan ekonomi kota yang produktif, atraktif, dan efisien, dengan memanfaatkan potensi unggulan dan daya dukung sumber daya. Mengembangkan sarana dan prasarana perkotaan yang memenuhi Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) serta mengedepankan pembangunan sosial dan budaya masyarakat. Meningkatkan kualitas tata ruang kota yang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menjamin daya tahan kota terhadap ancaman bencana dan dampak perubahan iklim. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan kota yang transparan, akuntabel, dan partisipatif serta mengedepankan proses komunikasi dan interaksi publik dalam perencanaan dan pembangunan kota.
Untuk mewujudkan visi dan mendukung misi tersebut, diberlakukanlah delapan kebijakan pembangunan perkotaan nasional, yaitu:1. meningkatkan peran kota sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi lokal, regional dan nasional yang berketahanan iklim (urban led development policy)2. menyebarkan pusat-pusat pertumbuhan perkotaan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antar wilayah (decentralized concentration)3. mengedepankan pembangunan manusia dan sosial-budaya dalam pembangunan perkotaan4. mendorong kota dan wilayah sekitarnya agar mampu mengembangkan ekonomi lokal dan meningkatkan kapasitas fiskal 5. memacu pemenuhan kebutuhan PSU kota serta penyediaan perumahan dan permukiman yang layak 6. mendorong terwujudnya kota-kota padat-lahan (compact city) yang didukung oleh pemanfaatan ruang perkotaan yang efisien serta penatagunaan tanah perkotaan yang berkeadilan
7. mendorong kota-kota dalam meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan dan siap menghadapi perubahan iklim serta adaptif terhadap kemungkinan bencana8. meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, kelembagaan, dan menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), serta mendorong munculnya kepemimpinan yang visioner.
Dalam KSPN terkait aspek lingkungan dan perubahan iklim tercantum dalam kebijakan ke tujuh yaitu mendorong kota-kota dalam meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan dan siap menghadapi perubahan iklim serta adaptif terhadap kemungkinan bencana. Hal ini yang meliputi: (1) Pengendalian kegiatan pembangunan kota agar tidak merusak lingkungan melalui mekanisme insentif disinsentif; dan (2) Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan pelibatan aktif masyarakat dalam mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat dan adaptif terhadap bencana dan perubahan iklim melalui pembangunan kota yang terintegrasi dan seimbang antara aspek ekonomi dan ekologi.
Dalam KSPN terkait aspek lingkungan dan perubahan
iklim tercantum dalam kebijakan ketujuh yaitu
mendorong kota-kota dalam meningkatkan
kualitas kesehatan lingkungan dan siap
menghadapi perubahan iklim serta adaptif terhadap
kemungkinan bencana.
topik utama
Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN)
VISI PEMBANGUNAN PANJANGIndonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur
- Pemerataan pertumbuhan kota metropolitan-besar-menengah-kecil
- Pengendalian kota-kota besar dan metropolotan - manajemen perkotaan
- Pembangunan kota menengah dan kota kecil - pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar perkotaan
- Keterkaitan ekonomi kota-desa - perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi dan perdagangan antar desa-kota
RPJPN 2005-2025
Kota sebagai suatukesatuan kawasan/wilayah
RPJPN 2005-2025
People Centered:
tempat tinggal berorientasi
pada kenyamanan,
kelayakan huni, dan kebutuhan penduduk kota
Engine of growth:
pendorong pertumbuhan nasional dan
regional
-
18 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Upaya Pemerintah Indonesia untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Setelah meratifikasi UNFCC 1994 dan Kyoto Protocol 2004, Pemerintah Indonesia berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim baik dalam kerangka regional maupun internasional. Pada tahun 2010 Pemerintah Indonesia meluncurkan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) 2010-2030, yang disusun untuk menetapkan tujuan nasional, sasaran sektoral, dan prioritas upaya-upaya yang berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi seluruh sektor. Muatan ICCSR juga telah diintegrasikan kedalam dokumen-dokumen perencanaan pembangunan yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Saat ini telah disusun Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
RAN-GRK disusun sebagai tindak lanjut komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 sebesar 26% dari BAU (bussiness as usual) dan sebesar 41% dengan bantuan internasional. RAN-GRK berisikan rencana aksi masing-masing bidang yang terkait erat dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam mengantisipasi terjadinya perubahan iklim, yaitu bidang kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi, industri dan transportasi dan juga bidang pengelolaan limbah. Untuk pelaksanaan di daerah, RAN GRK direncanakan akan dijabarkan ke dalam RAD GRK di tingkat provinsi. Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) diresmikan pada tanggal 14 September 2009, dan mulai beroperasi sejak Januari 2010. ICCTF diharapkan dapat menjadi komplemen dari berbagai mekanisme pendanaan yang telah ada dan dapat menjadi alternatif mekanisme pendanaan.
Saat ini ICCTF telah mendanai tiga kegiatan percontohan (pilot project) yaitu: (1) Riset dan pengembangan manajemen lahan gambut berkelanjutan (dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian); (2) Konservasi energi pada industri baja dan pulp kertas (dilaksanakan oleh Kementerian Perindustrian); dan (3) Penyadaran publik, pelatihan dan pendidikan untuk upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (dilaksanakan oleh BMKG dengan kolaborasi bersama LIPI, BPPT, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan).
Ruang Terbuka Hijau
Tindak Lanjut ke DepanAda beberapa upaya yang dilaksanakan di tingkat pusat dan daerah terkait masalah perubahan iklim.
Upaya yang dilakukan di tingkat pusat yang pertama adalah penetapan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN) dan integrasi upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup-mitigasi dan adaptasi perubahan iklim-penanggulangan bencana. Upaya yang ke dua adalah sinkronisasi kebijakan atau penyelarasan kebijakan nasional terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui RPJMN, ICCSR, RAN-GRK, ICCTF, penyelarasan atau keterkaitan berbagai inisiatif kota-kota dengan kebijakan dan program nasional terkait perubahan iklim.
Upaya yang ke tiga adalah pelaksanaan kebijakan dan pembiayaan, peningkatan daya tarik dan percepatan pembangunan kota menengah, kecil, dan perdesaan untuk mengendalikan kecenderungan urban sprawl di kota besar dan metropolitan, peningkatan kemitraan pemerintah-masyarakat-swasta, dan penerapan insentif-disinsentif penghematan penggunaan energi.
Upaya yang ke empat adalah melalui data dan informasi dengan cara sosialisasi kebijakan dan program nasional terkait perubahan iklim kepada pemerintah daerah, pertukaran informasi dan good practices upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Sedangkan upaya-upaya terkait perubahan iklim yang dilakukan di tingkat kota antara lain adalah dengan sinkronisasi kebijakan, yaitu integrasi Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK)-Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)-Kebijakan dan Strategi Perkotaan Daerah (KSPD).
Upaya yang ke dua adalah pelaksanaan kebijakan dan pembiayaan dengan cara pengendalian urban sprawl dan pemanfaatan ruang (termasuk keterpaduan guna lahan dan transportasi), penggunaan energi alternatif, pengembangan sistem transportasi massal, serta penerapan konsep bangunan hijau (green building) dengan material dan desain ramah lingkungan, juga penerapan insentif-disinsentif penghematan pengunaan energi. Sementara upaya yang ke tiga melalui data dan informasi yang bertujuan meningkatan kesadaran penduduk kota terhadap perubahan iklim dan menyusun database terkait perubahan iklim.
Referensi:- Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, BPS 2008 - www.wwf.or.id; www.iklimkarbon.com- Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009, Global Report on Human Settlement 2011 (UN-HABITAT)- Cities, Climate Change, and Multilevel Governance (OECD, 2009) , Indonesia and Climate Change (World Bank, 2007)
Pemerintah Indonesia berpartisipasi aktif dalam
upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
baik dalam kerangka regional maupun Internasional.
topik utama
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 19Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
dalam Kota yang Sehat Oleh: Chris. D. Prasetijaningsih1) dan Mufty Riyan2)
Ruang Terbuka Hijau
APAKAH ARTI KOTA SEHAT? Apakah kota seperti makhluk hidup yang bisa dideteksi kesehatannya? Bagaimana terminologi kota sehat muncul dari para ahli kesehatan dan perencana kota? Kerusakan lingkungan tidak hanya meningkatkan kematian akibat dari penyakit-penyakit yang ditimbulkan, Aktivitas yang terjadi di kawasan-kawasan pariwisata seringkali menjadi suatu cikal bakal timbulnya penyakit baru karena penduduk dari luar daerah maupun luar negeri membawa penyakit yang tidak terdeteksi atau terasa sebelumnya, dan dalam interaksi sekumpulan orang secara bersama-sama. Pentingnya kondisi kota yang sehat selain untuk mengurangi peningkatan jumlah penduduk sakit yang berakibat berkurangnya produktivitas, tetapi juga untuk mengurangi terbuangnya devisa negara akibat mengimpor obat-obatan dari luar negeri.
Tentu saja, definisi kota yang sehat tidak harus atau hanya dikriteriakan terhadap fisik kota, tetapi justru terhadap orang-orang atau makhluk yang hidup di dalamnya. Seringkali ahli infrastruktruktur mengembangkannya kepada kebutuhan akan fisik yang memungkinkan manusia hidup sehat. Pada kenyataannya itu tidak cukup, karena ada relasi antara orang dan alam yang mempengaruhi kesehatan seseorang, serta orang dan orang yang mencerminkan derajat kesehatan seseorang. Banyaknya kasus bunuh diri, seperti terjun dari bangunan bertingkat di perkotaan, meminum obat nyamuk di pedesaan, membunuh karena tersinggung, dll., semuanya seringkali bermula dari kondisi lingkungan yang kurang mendukung.
Jiwa dan tubuh yang sehat membutuhkan ruang yang sehat. Di sinilah peran ruang terbuka hijau kota yang memadukan
Pembangunan kota hijau bukan semata bertujuan menghijaukan sebuah kota. Di balik itu, ada agenda yang lebih kompleks, yaitu menyangkut warga kota yang lebih sehat.
unsur manusia dengan lingkungannya (alam) menjadi penting dalam membentuk kota sehat. Lalu, bagaimanakah mendefinisikan kota sehat yang lebih memadai dikaitkan dengan penerapan penyediaan Ruang Terbuka Hijau sebesar 20 persen di area publik dan 10 persen di lahan privat seperti yang digariskan dalam UU Tata Ruang No. 26 tahun 2007?
RUANG TERBUKA HIJAU DALAM KOTA SEHAT
KOTA SEHATPendekatan Kota Sehat pertama kali dikembangkan di Eropa oleh WHO pada tahun 1980-an sebagai strategi menyongsong Ottawa-Charter. Ditekankan bahwa kesehatan dapat dicapai dan berkelanjutan apabila sernua aspek, yaitu sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya diperhatikan. Penekanan tidak cukup pada pelayanan kesehatan, tetapi kepada seluruh aspek yang mempengaruhi kesehatan masyarakat, baik jasmani maupun rohani.
Tahun 1996, WHO menetapkan tema Hari Kesehatan Sedunia Healthy Cities for Better Life. Di Indonesia, Pilot Proyek Kota Sehat pertama kali diluncurkan di 6 kota, yaitu Kabupaten Cianjur, Kota Balikpapan, Bandar Lampung, Pekalongan, Malang, dan Jakarta Timur, yang dicanangkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 26 Oktober 1998 di Jakarta. Kemudian diikuti dengan pengembangan Kabupaten/Kota Sehat khususnya di bidang pariwisata di delapan kota, yaitu Kawasan Anyer di Kabupaten Serang, Kawasan Batu Raden di Kabupaten Banyumas, Kotagede di Kota Yogyakarta, Kawasan Wisata Brastagi di Kabupaten Karo, Kawasan Pantai Senggigi di Kabupaten Lombok Barat, Kawasan Pantai dan
topik utama
-
20 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
laut Bunaken di Kota Manado, Kabupaten Tana Toraja, dan Kawasan Nongsa dan Marina di Kota Batam (Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri, Pedoman Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat, 2005). Pada tahun berikutnya, 1 Maret 1999, konsep pembangunan berwawasan kesehatan dicanangkan oleh Presiden BJ Habibie. Pembangunan berwawasan kesehatan berarti setiap pembangunan yang dilakukan perlu mempertimbangkan aspek dan dampak kesehatan. Upaya meningkatkan kesehatan merupakan tanggung jawab semua sektor, masyarakat dan swasta. Pengertian Kabupaten/Kota Sehat adalah suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih, nyaman, aman, dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dengan kegiatan yang terintegrasi yang disepakati masyarakat dan pemerintah daerah.
Pada tahun 1999, upaya mewujudkan Kota Sehat, meliputi tiga aspek, yaitu:1. Pembuatan, penggunaan dan pemeliharaan sumber air bersih (sumur gali, sumur pompa, atau air pipa), jamban atau WC, tempat sampah dan lubang pembuangan sampah, dan tempat pembuangan air bekas dari dapur dan kamar mandi;2. Pemeliharaan kebersihan di dalam rumah, di pekarangan, serta makanan dan minuman (pemilihan bahan makanan, pengolahan, penyiapan, penyajian, dan penyimpanan);3. Penggunaan dan penyimpanan pestisida secara benar (seperti racun nyamuk dan racun hama agar tidak meracuni manusia, hewan peliharaan atau lingkungan).
Selanjutnya peringkat kota sehat bisa ditetapkan berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Terdapat 24 indikator yang masuk dalam IPKM. IPKM adalah indikator komposit yang menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan yang dirumuskan dari data kesehatan berbasis komunitas yaitu Riskesdas (riset kesehatan dasar), PSE (pendataan sosial ekonomi) dan survei podes (potensi desa) (Triono Soendoro, 2011; http://health.detik.com/read/2011/04/21/134659/1622759/763/daftar-kota-paling-sehat-dan-kurang-sehat; Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan No. 34 tahun 2005)
RUANG TERBUKA HIJAUKondisi fisik dari suatu lingkungan perkotaan terbentuk dari tiga unsur (dinamis) dasar yaitu pepohonan dan organisme di dalamnya, struktur (kondisi sosial), dan manusia (Grey, 1996). Gunadi (1995) menjelaskan istilah Ruang Terbuka (open space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. Ruang Terbuka berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square. Sedangkan zona hijau bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/jejaring listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan seterusnya. Zona hijau inilah yang kemudian kita sebut Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Dalam pendefinisian selanjutnya, RTH adalah bagian dari ruang terbuka yang merupakan salah satu bagian dari ruang-ruang di suatu kota yang biasa menjadi ruang bagi kehidupan manusia dan mahkluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan. Ruang terbuka dapat dipahami sebagai ruang atau lahan yang belum dibangun atau sebagian besar belum dibangun di wilayah perkotaan yang mempunyai nilai untuk keperluan taman dan rekreasi; konservasi lahan dan sumber daya alam lainnya; atau keperluan sejarah dan keindahan (Green, 1959).
Ruang terbuka hijau merupakan salah satu bentuk dari kepentingan umum. Penting untuk disediakan di dalam suatu kawasan karena dapat memberikan dampak positif berupa peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan menjadi pertimbangan penting dalam menentukan tata guna lahan di suatu kota (Keeble, 1959). Pendefinisian menurut Permendagri No.1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, RTH kawasan perkotaan merupakan bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
Pembangunan berwawasan kesehatan berarti setiap
pembangunan yang dilakukan perlu mempertimbangkan
aspek dan dampak kesehatan yang merupakan tanggung
jawab semua sektor, masyarakat dan swasta.
20 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 21Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
RTH memiliki tiga fungsi dasar, yaitu secara sosial, fisik, dan estetik (Adams, 1952). Secara sosial, RTH merupakan fasilitas untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan, dan olah raga. Ruang terbuka hijau kota dapat menjadi tempat untuk menjalin komunikasi antar masyarakat kota. Sedangkan secara fisik, RTH berfungsi sebagai paru-paru kota, melindungi sistem tata air, peredam bunyi, pemenuhan kebutuhan visual, dan menahan perkembangan lahan terbangun (sebagai penyangga). Pepohonan dan vegetasi yang ada di ruang terbuka hijau dapat menghasilkan udara segar dan menyaring debu serta mengatur sirkulasi udara sehingga dapat melindungi warga kota dari gangguan polusi udara. Lalu secara estetik, RTH kota berfungsi sebagai pengikat antar elemen gedung, sebagai pemberi ciri dalam membentuk wajah kota, dan juga sebagai salah satu unsur dalam penataan arsitektur perkotaan.
Berdasarkan definsi dan fungsinya, peran RTH sangat esensial dalam membangun suatu kota sehat. Keberadaan suatu RTH sebagai ruang terbuka yang bebas dan dilengkapi dengan elemen-elemen hijau seperti pepohonan dapat meningkatkan kesehatan warga kota, baik secara jasmani (fisik) maupun rohani (jiwa). Ini mengapa sebagian dari 24 indikator (IPKM), yang telah disinggung di atas, berkaitan dengan RTH, dilihat dari manfaat dan fungsi RTH.
Penyediaan RTH di suatu kota tidak hanya selalu dari pemerintah, seperti penyediaan taman kota, jalur hijau, dan lainnya. Namun, penyediaan RTH juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kesadaran penghuni kota akan pentingnya RTH. Berbagai jenis RTH dapat dilakukan di lahan privat milik masyarakat atau swasta. Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya peran RTH inilah yang juga penting dalam membangun kota sehat.
Sosialisasi mengenai penyediaan dan pemanfaatan RTH di tingkat masyarakat perlu dilakukan. Selain itu, pembentukan dan pelestarian komunitas hijau juga penting dalam rangka membangun gaya hidup sehat di masyarakat. Dukungan dari pemerintah dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan sosial dan kebijakan lokal yang mendorong, di antaranya adalah adanya insentif bagi masyarakat/swasta yang menyediakan RTH di halaman/lahan miliknya sendiri.
INDIKATORIndikator kota sehat yang terkait dengan penyediaan RTH adalah prevalensi pneumonia, prevalensi asma dan prevalensi ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut). RTH harus 30% dari luas wilayah kota. Bagian-bagian RTH (Ditjen Penataan Ruang, 2008) selalu mengandung tiga unsur dengan fungsi pokok RTH, yaitu yang pertama fisik-ekologis, termasuk perkayaan jenis dan plasma nutfahnya, yang ke dua, ekonomis, yaitu nilai produktif/finansial dan penyeimbang untuk kesehatan lingkungan, dan yang ke tiga adalah sosial-budaya, termasuk pendidikan, dan nilai budaya dan psikologisnya.
Dengan berbagai jenis tanaman pengisinya, RTH mempunyai multifungsi yaitu penghasil oksigen, bahan baku pangan, sandang, papan, bahan baku industri, pengatur iklim mikro, penyerap polusi udara, air dan tanah, jalur pergerakan
satwa, penciri (maskot) daerah, pengontrol suara, dan pandangan. Pencemaran udara yang sering menyebabkan penurunan kesehatan manusia adalah partikel yang sangat kecil (PM10 diameter aerodinamik sebesar 10 mikrometer) yang akan menyebabkan penyakit pernafasan, asma, dan kardiovaskular.
Kemenpera dalam lokakarya Standard Pelayanan Minimum bidang perumahan dan permukiman (Heripoerwanto, 2009)
menyatakan, untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan aman, sustainable human settlement perlu memperhatikan empat hal, yaitu menghemat input sumberdaya (tanah, air, energi, bahan bangunan); meminimasi limbah (padat, cair, polusi udara, suara, panas, GRK); menjamin keadilan (antargenerasi, antarwilayah, sosial); dan menjamin pengambilan keputusan yang baik (pendelegasian dan partisipasi).
Bila kita cermati, dewasa ini isu strategis yang terkait dengan pembangunan kota adalah semakin meningkatnya penduduk yang bermukim di kota. Pada 2010, penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 54%. Diperkirakan pada 2025, penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan mencapai 68%.
Kota hijau atau green city adalah konsep perkotaan, dimana masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial budaya
RTH berfungsi sebagai paru-paru kota,
melindungi sistem tata air, peredam bunyi,
pemenuhan kebutuhan visual, dan menahan perkembangan lahan
terbangun.
-
22 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
Dalam rangka mendorong kabupaten/kota berlomba-
lomba memperbaiki lingkungannya, ada beberapa
lomba/award yangdilakukan oleh pemerintah
dan dimotori oleh nstansi-instansi pemerintah.
(kearifan lokal) harus seimbang demi generasi mendatang yang lebih baik. Kota hijau berkorelasi dengan faktor urbanisasi yang menyebabkan pertumbuhan kota-kota besar menjadi tidak terkendali bila tidak ditata dengan baik.
Adapun kriteria kota hijau setidaknya memiliki delapan atribut, yaitu perencanaan dan perancangan kota ramah lingkungan, ruang terbuka hijau, konsumsi energi yang efisien, pengelolaan air, pengelolaan limbah, memiliki bangunan hemat energi, punya sistem transportasi berkelanjutan, dan pelibatan aktif masyarakat sebagai komunitas hijau (Marhum, 2011). Maka, kota hijau dengan penyediaan RTH akan menjadikan kota yang lebih baik yaitu kota sehat.
PERENCANAAN RUANG TERBUKA HIJAU
Berdasarkan Permendagri No.1 tahun 2007, perencanaan pembangunan dan pemanfaatan RTH kawasan perkotaan melibatkan para pelaku pembangunan. RTHKP publik tidak dapat dialihfungsikan, dan pemanfaatannya dapat dikerjasamakan dengan pihak ke tiga ataupun antar pemerintah daerah. Sedangkan RTH privat dikelola oleh perseorangan atau lembaga/badan hukum sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Pengendalian RTHKP dilakukan melalui perizinan, pemantauan, pelaporan dan penertiban. Penataan RTHKP melibatkan peranserta masyarakat, swasta, lembaga/badan hukum dan/atau perseorangan. Peranserta masyarakat dimulai dari pembangunan visi dan misi, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian, dapat dilakukan dalam proses pengambilan keputusan mengenai penataan RTHKP, kerjasama dalam pengelolaan, kontribusi dalam pemikiran, pembiayaan maupun tenaga fisik untuk pelaksanaan pekerjaan.
Dalam rangka mendorong kabupaten/kota berlomba-lomba memperbaiki lingkungannya, ada beberapa lomba/award yang dilakukan pemerintah dan dimotori oleh instansi-instansi pemerintah. Lomba ini ada yang menunjukkan kualitas daerah (kabupaten/kota) secara keseluruhan, tapi ada juga yang khusus pada aspek-aspek tertentu saja dan yang dilakukan pemerintah, seperti Adipura (aspek lingkungan), Inovasi Manajemen Award (aspek partisipasi dan inovasi penanganan), dan Adi Puritama (aspek permukiman, pengembang). Lomba ini juga merupakan suatu alat untuk memantau suatu daerah di dalam pelaksanaan program yang ada, lalu pemenangnya dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain.
Kota Surabaya sebagai salah satu pemenang Indonesia Green Region Award (IGRA) 2011 (igraaward.com) dapat dijadikan contoh bagaimana lingkungan yang hijau dibentuk melalui kegiatan atau program berbasis komunitas/masyarakat. Selain meningkatkan sendiri luas RTH-nya melalui pembangunan/revitalisasi taman-taman kota, Pemerintah Kota Surabaya juga sadar bahwa peningkatan kualitas lingkungan akan lebih mudah apabila melibatkan peranserta masyarakat. Program-program seperti Urban Farming, Surabaya Green and Clean, Surabaya Berwarna Bunga, dan meningkatkan kembali implementasi 3R (Reuse, Reduce, Recycle) dalam pengelolaan sampah, dilakukan dalam rangka membentuk kota hijau yang sehat.
Program-program ini telah meningkatkan RTH yang di bawah 10% menjadi 20,25% (Forum Diskusi Nasional Perkotaan, Bappenas 2011). Walikota Surabaya
Kota hijau berkorelasi dengan faktor urbanisasi yang menyebabkan pertumbuhan kota-kota besar menjadi tidak terkendali bila tidak ditata dengan baik.
-
buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 23Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
dalam presentasinya mengenai Kota Yang Berkelanjutan dan Berketahanan Iklim di Bappenas pada November 2011 yang lalu, menunjukkan adanya penurunan penderita penyakit seperti infeksi saluran pernafasan setelah dilakukan program-program terkait pemeliharaan ruang terbuka hijau, peningkatan kualitas lingkungan dengan perbaikan sanitasi, pengelolaan persampahan dan perbaikan kampung kumuh. Kota Denpasar yang juga memperoleh IGRA Award urutan ke tiga dan Kota Sehat ke dua pada tahun 2011, memiliki RTH 24% dari luas kota.
Kota sehat memerlukan inisiatif dari pemerintah kota untuk melakukan kebijakan dan program pembangunan kota yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Dengan demikian bisa kita simpulkan bila ruang terbuka hijau, sebagai bagian dari ruang publik, harus berkualitas karena menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi masyarakat, juga menjadi media untuk mengurangi berbagai macam polusi akibat aktivitas manusia. Ruang terbuka hijau menjadi salah satu elemen penting menuju Kota Sehat yang dapat mencegah terjadinya penurunan kualitas udara maupun meningkatnya emisi dari angkutan/mobil, industri, dan lain-lain, serta menjadi sarana hiburan dan tempat bersantai yang akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya.
Krisis RTH sebenarnya berkaitan dengan perencanaan yang tidak memadai, yang diakibatkan pergulatan antara kepentingan ekonomi versus kepentingan publik, serta kemampuan mengelola dan melaksanakan rencana yang ada. Perwujudan Kota Sehat memerlukan inisiatif dari pemerintah kota untuk melakukan kebijakan dan program pembangunan kota yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Selain meningkatkan kembali proporsi RTH di kawasan perkotaan, perwujudan kota sehat juga dapat dilakukan dari pendekatan di dalam lingkungan masyarakat kota dalam rangka mengembalikan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.
Kota sebagai tempat tinggal, harus menjadi ruang yang mampu menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakatnya agar layak huni dan nyaman (people centered). Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dapat terwujud melalui program-program berbasis komunitas (community-based program). Dalam hal ini, tata ruang harus memastikan terpenuhinya kebutuhan ruang masyarakat, terutama tersedianya ruang publik berupa Ruang Terbuka Hijau. Penelitian terus menerus terkait kebutuhan dan kualitas Ruang Terbuka Hijau juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas Rencana Tata Ruang yang sesuai dengan kebutuhan akan peningkatan kualitas kehidupan masyarakatnya. Karena pada akhirnya keberlanjutan sebuah kota tidak lagi dilihat dari program atau pembangunan fisiknya, melainkan tercermin dari kesehatan manusia-manusia di dalamnya.
Referensi:1) Widyaiswara Madya Penataan Ruang, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana Bappenas; [email protected]) Sarjana lulusan Perencana Wilayah dan Kota, ITB; [email protected]
No. Kota Sehat *) No. Igra Award **)
1 Makasar 1 Surabaya
2 Denpasar 2 Yogyakarta
3 Padang 3 Denpasar
4 Menado 4 Palangkaraya
5 Balikpapan 5 Banda Aceh
6 Solok
7 Cimahi
8 Sukabumi
Sumber:*) metro.kompasiana.com**) igraaward.com
Tabel. Kota Sehat dan IGRA Award tahun 2011
-
24 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012 Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
Memahami RTR KawasanStrategis Nasional Perkotaan
Kawasan Strategis Nasional bukan hanya
Jabodetabekpunjur. Mamminasata,
Mebidangro dan Sarbagita punya
potensi yang tak kalah pentingnya secara
nasional.
KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN) ialah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan. Hal ini karena secara nasional KSN berpengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah di dalamnya yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Di dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), ditetapkan 76 KSN yang memiliki kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi, serta pertahanan dan keamanan.
Hingga saat ini, telah ditetapkan 4 (empat) Perpres RTR KSN Perkotaan yaitu RTR Jabodetabekpunjur (Perpres 54/2008), Sarbagita (Perpres 45/2011), M