i. pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembalakan liar di Indonesia dianggap sebagai salah satu pendorong
deforestasi dan degradasi, yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati,
peningkatan emisi iklim, dan tata kelola hutan yang buruk (Pohnan & Stolen, 2013).
Pembalakan liar yang terus meningkat menimbulkan beragam reaksi dari berbagai
kalangan untuk perbaikan pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat sipil
menuntut adanya pemberantasan pembalakan liar dan pembatasan eksploitasi
hutan. Pasar kayu internasional terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa juga
menuntut jaminan kelestarian dan legalitas produk kayu dari Indonesia
(Kurnianingsih et al., 2011). Amerika Serikat dengan kebijakan Lacey Act
memberikan batasan yang tegas tentang produk hasil hutan yang dapat masuk ke
negaranya untuk mengurangi pembalakan liar. Pada awal Juli 2010, parlemen Uni
Eropa dengan kebijakan EU Timber Regulation (EUTR) mensyaratkan agar
importir menghindari impor kayu ilegal (Cashore & Stone, 2012).
Pandangan yang kurang baik dunia internasional terhadap Indonesia
mengenai kurang maksimalnya pemberantasan pembalakan liar berakibat pada
penolakan beberapa negara terhadap perdagangan kayu Indonesia di pasar
internasional (Sudarsono, 2009). Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia pada tahun
2009 menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009
tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
2
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak
(Purnomo et al., 2011).
Sistem legalitas kayu dikembangkan untuk memerangi illegal logging dan
illegal trade, memperbaiki tata kelola kehutanan (forest governance), dan
mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan (Darmawan et al., 2012). Sertifikasi
legalitas kayu diharapkan dapat mengurangi pasokan kayu ilegal, insentif harga
premium (Cashore & Stone, 2012), meningkatkan akses pasar, dan reputasi
perusahaan setelah sertifikasi (Bouslah et al., 2009). Verifikasi legalitas memiliki
fokus yang relatif sempit dan sederhana dibandingkan dengan sertifikasi hutan
lestari yang diharapkan dapat memperbaiki tata kelola hutan global. Pendekatan
verifikasi legalitas dirancang untuk ruang lingkup permasalahan penebangan kayu
ilegal dan tidak mencakup yang lebih luas dari standar lingkungan dan sosial seperti
halnya yang ditawarkan oleh sertifikasi hutan lestari (Cashore & Stone, 2012).
Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pemanfaatan Hutan
(BUK) Kementerian Kehutanan telah mewajibkan semua unit pengelolaan hutan
baik di wilayah hutan negara atau hutan rakyat untuk menerapkan kebijakan
legalitas kayu pada tahun 2013 (Mulyaningrum et al., 2013). SVLK diharapkan
dapat melindungi hutan rakyat dari “oknum nakal” yang memanfaatkan kemudahan
proses pemanfaatan kayu rakyat menggunakan Surat Keterangan Asal Usul
(SKAU) yang kini menjadi sasaran baru pembalakan dan perdagangan kayu ilegal
(Sugiharto, 2013). Menurut Yanadrian (2014), kayu-kayu yang dinyatakan berasal
dari hutan rakyat di Sumatera Utara, patut dicurigai terkait modus perdagangan
kayu ilegal.
3
Penerapan SVLK pada hutan rakyat menjadi sangat penting karena
membantu memastikan keabsahan kayu yang diperdagangkan, memotong mata
rantai perdagangan kayu dengan memotong jalur perantara, meningkatkan posisi
tawar para petani serta membuka peluang pasar yang lebih luas bagi produk kayu
hutan rakyat (Setyowati, 2012). Selain itu penerapan SVLK pada hutan rakyat
diharapkan dapat membentuk kelembagaan masyarakat yang berkomitmen pada
pengelolaan hutan yang berkelanjutan (Setyowati, 2012; Siddik, 2013). Namun
kebijakan legalitas kayu tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat karena
masyarakat merasa terbebani dengan biaya untuk memperoleh sertifikat legalitas
kayu. Banyak pihak yang meragukan kemanfaatan kebijakan legalitas kayu dapat
dirasakan oleh pemilik hutan rakyat, sehingga mengemuka pemikiran kritis
seberapa jauh kebijakan SVLK ini benar-benar dapat mencapai tujuannya yaitu
pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management, SFM) (Mulyaningrum,
2013).
Hasil penelitian sebelumnya pada Unit Manajemen Hutan Rakyat
(UMHR) Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) di Kulonprogo, Yogyakarta,
setelah mendapatkan sertifikat hijau Forest Stewardship Council (FSC), terjadi
peningkatan permintaan dan harga kayu bersertifikat sebanyak 30 %
(Mulyaningrum, 2013). Untuk kayu tropis bersertifikat Skema FSC di Sabah
Malaysia juga mengalami peningkatan permintaan pasar ekspor dan mencapai
harga premium sebesar 27 % - 56 % tergantung pada kelompok jenis (Kollert &
Lagan, 2007). Namun bagaimana dengan kayu hutan rakyat bersertifikat legalitas
4
kayu apakah juga mengalami peningkatan permintaan pasar dan mencapai harga
premium?.
Peningkatan akses pasar yang lebih baik dan insentif harga premium
tentunya sangat diharapkan bagi UMHR, namun peningkatan akses pasar ini dapat
meningkatkan intensitas penebangan. Ada semacam kekhawatiran dengan
peningkatan intensitas penebangan akan dapat mempengaruhi kelestarian hutan
rakyat. Menurut Widayanti (1999), Jaminan kelestarian hasil hutan rakyat akan
menurun sebanding dengan bertambahnya intensitas penebangan. Peningkatan
intensitas penebangan hutan rakyat terjadi seiring dengan meningkatnya peranan
hutan rakyat sebagai pemasok bahan baku industri perkayuan.
Bertitik tolak dari banyaknya keraguan akan kemanfaatan SVLK pada
hutan rakyat dan kekhawatiran terhadap penurunan kelestarian hutan rakyat, maka
penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui perubahan permintaan dan harga
kayu bersertifikat, serta menganalisis pengaruh peningkatan permintaan kayu
terhadap kelestarian produksi kayu hutan rakyat.
1.2 Rumusan Masalah
SVLK merupakan salah satu kebijakan hutan berbasis pasar yang
bertujuan untuk memberantas pembalakan liar dan sebagai instrumen perbaikan
tata kelola kehutanan yang baik (Setyowati, 2012). SVLK memastikan agar industri
kayu mendapatkan sumber bahan baku dengan cara legal dari sebuah sistem
pengelolaan sumberdaya hutan (SDH) yang lestari, yang mengindahkan aspek
5
legalitas, pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management, SFM),
dan tata kelola pemerintah yang transparan dan akuntabel (Darmawan et al., 2012).
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu memberi kepastian bagi pasar di Eropa,
Amerika, Jepang, dan negara-negara tetangga untuk produk kayu Indonesia
sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan akses pasar. Dengan SVLK, para
petani hutan rakyat diharapkan dapat menaikan posisi tawar dalam perdagangan
kayu dan konsumen tidak perlu merisaukan keabsahhan hasil kayunya (LEI, 2009).
Akan tetapi, dengan adanya peningkatan akses pasar akan meningkatkan intensitas
penebangan yang dikawatirkan dapat menurunkan kelestarian hutan rakyat.
Menurut Awang et al., (2002), bahaya utama dari kelestarian hutan rakyat adalah
jika terjadi pemanenan secara berlebihan terhadap hasil kayu di dalam hutan rakyat.
Disamping itu, ada kecenderungan pengelola hutan lebih mendahulukan
keuntungan daripada kelestarian hutannya (Setyowati, 2012). Berdasarkan uraian
tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terjadi perubahan permintaan dan harga kayu setelah UMHR
mendapatkan sertifikat legalitas kayu?
2. Bagaimana pengaruh permintaan kayu terhadap kelestarian produksi kayu
hutan rakyat setelah UMHR mendapatkan sertifikat legalitas kayu?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui perubahan permintaan dan harga kayu setelah UMHR
mendapatkan sertifikat legalitas kayu,
6
2. Mengetahui pengaruh permintaan kayu terhadap kelestarian produksi kayu
hutan rakyat setelah UMHR mendapatkan sertifikat legalitas kayu.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi ilmu pengetahuan dapat menambah informasi tentang pengaruh
peningkatan akses pasar terhadap kelestarian hutan rakyat.
2. Bagi pengelola hutan rakyat dapat memberikan informasi terkait kondisi
tegakan hutan rakyat terkini guna pengelolaan hutan rakyat yang lebih optimal.
3. Bagi pengambil kebijakan dapat memberikan data dan informasi tentang
kemanfaatan SVLK yang diperoleh petani hutan rakyat sehingga dapat
menentukan kebijakan yang akan diambil selanjutnya.
4. Bagi masyarakat dapat memberikan pengetahuan, pemahaman dan mungkin
dorongan minat untuk mengadopsi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
dalam pengelolaan hutan rakyatnya.
1.5 Batasan Penelitian
Pembatasan ruang lingkup penelitian bertujuan agar penelitian dapat lebih
fokus dan terarah dengan baik sesuai tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Untuk
itu perlu dilakukanlah pembatasan terhadap ruang lingkup penelitian ini yaitu:
1. Kemanfaatan penerapan SVLK pada unit manajemen hutan rakyat yang
dimaksud adalah peningkatan permintaan dan harga kayu sertifikasi legalitas
kayu.
7
2. Kelestarian hutan rakyat yang dimaksud adalah kelestarian produksi kayu yang
ditunjukkan melalui penebangan yang tidak over cutting.
1.6 Keaslian Penelitian
Kajian-kajian yang terkait dengan SVLK berupa makalah maupun kajian
ilmiah lainnya telah banyak dilakukan dan dilaporkan. Namun kajian tersebut
dalam bentuk thesis maupun desertasi belum banyak dilakukan, hal ini mungkin
dikarenakan kebijakan legalitas kayu baru diterbitkan tahun 2009. Penelusuran
yang dilakukan, baik melalui perpustakaan maupun internet, mendapatkan referensi
pustaka terkait dengan tema dan lokasi penelitian yang disajikan pada tabel 1.1.
Tabel 1.1 Hasil-hasil penelitian terkait dengan SVLK, kelestarian hutan rakyat dan
lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, DI. Yogyakarta.
Nama dan Judul
Penelitian
Lokasi dan
Metode PenelitianHasil Penelitian
Agus Sunardi,
Kajian Potensi Kayu dan
Kelestarian Hutan Rakyat
di Kabupaten Wonogiri
Sebagai Suplai Bahan
Baku Industri
Pengelolaan Kayu,
Tesis, 2007.
Lokasi: Kabupaten
Wonogiri, Jawa
Tengah.
Metode penelitian:
Deskriptif.
Perhitungan riap hutan rakyat
dengan luas 27.133 ha (luas
produktif) di Kab. Wonogiri
sebesar 229.623,366 m3/ tahun,
atau 8,462 m3/ha/tahun. Produksi
kayu hutan rakyat yang
diperkenankan untuk dipanen
adalah 128.589,08 m3/tahun untuk
menjaga kelestariannya. Jumlah
industri pengolahan kayu di
Kabupaten Wonogiri sebanyak
120 unit dengan kebutuhan bahan
baku industri kayu sebanyak
20.900 m3/tahun.
8
Dyah Nurhandayani,
Evaluasi Kelestarian
Hutan Rakyat Berbasis
Partisipasi Masyarakat
(Desa Putat, Kec. Patuk,
Kab. Gunungkidul),
Tesis, 2008.
Lokasi: Desa Putat,
Kecamatan Patuk,
Kabupaten
Gunungkidul,
DI. Yogyakarta.
Metode penelitian:
Evaluasi Kualitatif.
Mayoritas anggota KTHR adalah
petani, tiap keluarga memiliki 4-5
orang anggota keluarga. Kegiatan
berkelompok lebih memotivasi
untuk membangun keberhasilan
hutan rakyat.
Nur Rohman,
Kajian Dampak
Sertifikasi Pengelolaan
Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari
(PHBML) Terhadap
Pengelolaan Hutan
Rakyat (Studi Kasus
Pengelolaan Hutan
Rakyat oleh Koperasi
Wana Manunggal Lestari,
Gunungkidul, Provinsi
DI. Yogyakarta,
Tesis, 2010.
Lokasi: Desa
Girisekar, Dengok
dan Kedungkeris,
Kabupaten
Gunungkidul, DI.
Yogyakarta.
Metode penelitian:
Deskriptif.
Pemberian sertifikasi PHBML
memberikan dampak positif
terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat sebesar 1,94 %,
peningkatan kapasitas masyarakat
sebesar 52,76 % dan peningkatan
tutupan hutan sebesar 3,38 %.
Pemberian sertifikasi belum
menguntungkan secara ekonomi.
Akan tetapi pemberian sertifikasi
menguntungkan secara sosial dan
lingkungan.
Indrawan, Strategi
Implementasi Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) pada Industri
Furniture di Indonesia,
Tesis, 2012.
Lokasi: Jabotabek dan
Yogyakarta.
Metode penelitian:
Deskriptif kualitatif.
Strategi untuk mendorong
industri furniture segera
mendapatkan sertifikat SVLK
yaitu strategi insentif berupa
bantuan biaya kepada perusahaan
yang termasuk dalam kategori
UKM, sedangkan untuk industri
besar insentif yang diberikan
dapat berupa kemudahan dalam
proses ekspor dan proses
pengurusan perijinan
9
Firman Dermawan Yuda,
Manajemen Hutan
Rakyat: Perbandingan
Hutan Rakyat
Bersertifikasi Lestari
Dengan Hutan Rakyat
Belum Bersertifikasi
(Studi Kasus Hutan
Rakyat di Kabupaten
Gunungkidul dan
Kabupaten Cianjur),
Tesis, 2012.
Lokasi: Desa Dengok,
Kecamatan Playen
,Kabupaten
Gunungkidul, DI.
Yogyakarta, dan Desa
Mekargalih,
Kecamatan
Cikalongkulon,
Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat.
Metode penelitian:
Survei
Pengelolaan hutan pada kedua
jenis hutan rakyat tersebut
bersifat individual action dimana
proses perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan
dan pengawasan dilakukan dan
menjadi tanggungjawab petani
sebagai pengelola hutan rakyat.
Antara hutan rakyat bersertifikasi
lestari dan belum bersertifikasi,
pada aspek ekonomi dan
lingkungan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan. Pada
aspek sosial terdapat perbedaan
dalam kelembagaan. Pada kedua
daerah telah terbentuk lembaga
yang menaungi petani hutan
rakyat.
Depi Susilawati, The
Indonesian Timber
Legality Assurance
System (Indo-TLAS) in
the Community Forest:
An Evaluation of
Mandatory Timber
Verification and Local
Practice, Thesis, 2013.
Lokasi: Kabupaten
Blora, Wonosobo
Provinsi Jawa Tengah,
dan Kabupaten
Gunungkidul, Provinsi
DI. Yogyakarta.
Metode penelitian:
kualitatif.
Peran Asosiasi komunitas dalam
mengimplementasikan Indo-
TLAS menunjukkan signifikan.
Ini berarti efektivitas
kelembagaan tinggi. Pengetahuan,
keahlian dan pengalaman dari
petani setempat telah meningkat,
dan jaringan dan reputasi mereka
telah tumbuh. Sementara itu,
praktek-praktek tradisional
penebangan kayu dan pemasaran
sampai saat ini tetap tidak
berubah. Selain itu, harga
premium untuk kayu rakyat legal
belum ada.
10
Mulyaningrum,
Tinjauan Kritis
Kebijakan Legalitas
Kayu di Hutan Rakyat
(Kasus di Kabupaten
Lampung Tengah,
Konawe Selatan,
Buleleng, dan
Kulonprogo), Desertasi,
2013.
Lokasi: Kabupaten
Lampung Tengah
Provinsi Lampung,
Konawe Selatan
Provinsi Sulawesi
Tenggara, Buleleng
Provinsi Bali, dan
Kulonprogo Provinsi
Yogyakarta.
Metode penelitian:
Deskriptif kuantitatif
dan kualitatif.
Faktor penentu tipologi hutan
rakyat di lokasi penelitian yang
dominan adalah terbentuknya
harga pasar dan kapasitas
organisasi. Pemerintah, negara
mitra, dan lembaga donor yang
kuat mengakibatkan narasi
legalitas sebagai pembentuk
diskursus command and control
mendominasi proses pembuatan
kebijakan dan mengalahkan
narasi harga premium pembentuk
diskursus economic incentives.
Penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, hal
tersebut dapat dijelaskan melalui 3 faktor pembeda yaitu fokus, lokasi, dan metode
penelitian sebagai berikut:
Fokus penelitian : Dampak Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu pada
Kelestarian Produksi Kayu Hutan Rakyat.
Lokasi Penelitian : Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul,
Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta.
Metode Penelitian : Metode kualitatif dan kuantitatif.
Dengan demikian, penelitian ini masih relevan untuk dilaksanakan, sehingga
keaslian penelitian tentang Dampak Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Terhadap Kelestarian Produksi Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Gunungkidul, DI.
Yogyakarta masih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.