disebarkan melalui petisi -...
TRANSCRIPT
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Change.org merupakan platform petisi online yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk menyalurkan aspirasi mereka. Platform petisi online ini
memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan
perubahan. Masyarakat dapat mengajukan petisi untuk suatu perubahan dengan
menggalang dukungan melalui penandatanganan petisi secara virtual. Setiap tanda
tangan pendukung secara otomatis mengirimkan email yang berisi petisi kepada
target yang dituju yaitu pembuat kebijakan. Melalui email yang dikirimkan secara
otomatis ini, masyarakat menjadi lebih terhubung dengan lembaga pemerintah dan
korporasi swasta sebagai pembuat kebijakan.
Platform petisi online Change.org menjadi saluran penghubung antara
masyarakat dengan pembuat kebijakan. Melalui saluran ini, masyarakat dapat
menyampaikan protes dan kritik terhadap kinerja pemerintah dan korporasi.
Selain itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam urusan publik. Partisipasi
dan keterlibatan masyarakat dalam urusan publik ditunjukkan dengan inisiatif
mereka untuk memulai dan mendukung petisi online atas isu tertentu.
Keterlibatan masyarakat dalam permasalahan publik lebih difasilitasi
dengan adanya platform petisi online. Platform petisi online menyederhanakan
bentuk petisi tradisional, sehingga masyarakat semakin mudah mengajukan petisi
untuk menggalang dukungan tanpa perlu menghabiskan banyak tenaga, waktu,
dan biaya. Platform petisi online membuat masyarakat semakin terhubung,
sehingga kepedulian mereka atas isu tertentu menjadi lebih mudah dan lebih cepat
tersebar, serta dukungan atas kepedulian tersebut menjadi lebih mudah diperoleh.
Pada dasarnya petisi online merupakan bentuk partisipasi politik yang
menghubungkan masyarakat dengan pemerintah. Namun, bentuk partisipasi
politik ini juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Petisi online menjadi
media yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk menyampaikan kepedulian
mereka terhadap isu-isu sosial seperti isu hak asasi manusia, isu lingkungan, dan
isu kesejahteraan binatang. Kepedulian masyarakat terhadap isu-isu sosial ini
2
disebarkan melalui petisi online dan ditujukan untuk mencapai tindakan kebijakan
tertentu atas isu sosial tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa petisi online bisa
dimanfaatkan sebagai alat advokasi kebijakan.
Platform petisi online Change.org telah berkontribusi terhadap
perubahan baik dalam skala global maupun dalam skala lokal yaitu di Indonesia.
Perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa platform petisi online Change.org
Indonesia telah berperan dalam mendukung keberhasilan advokasi kebijakan.
Sejumlah petisi telah berhasil membawa perubahan dalam masyarakat. Salah satu
petisi yang berhasil adalah petisi yang dimulai oleh Hasna Pradityas terkait
perbaikan Jalan Raya Muncul di wilayah Tangerang Selatan. Petisi lain yang juga
berhasil antara lain petisi oleh Melanie Subono yang menuntut Komisi III DPR
untuk tidak meloloskan M. Daming Sanusi sebagai hakim agung, petisi oleh Nong
Mahmada terkait pemberhentian Bupati Garut Aceng Fikri, dan petisi oleh Anita
Wahid terkait pelemahan KPK.
Keberhasilan petisi tidak hanya ditunjukkan oleh petisi yang ditujukan
kepada aktor politik atau pemerintahan, tetapi juga ditunjukkan oleh petisi yang
ditujukan kepada aktor bisnis. Seorang konsumen Garuda Indonesia, Cucu Saidah,
memulai petisi yang ditujukan kepada Emirsyah Satar selaku Presiden Direktur
PT Garuda Indonesia untuk menghapus surat pernyataan bagi penyandang
disabilitas. Petisi ini memperoleh kemenangan. Beberapa contoh petisi online
yang berhasil tersebut menunjukkan bahwa petisi online Change.org Indonesia
memiliki kekuatan untuk membawa perubahan khususnya terkait kebijakan
sebagai tujuan advokasi kebijakan.
Ada petisi yang berhasil ada juga petisi yang belum berhasil. Petisi-petisi
ini belum memperoleh kemenangan walaupun di antara petisi-petisi yang belum
mencapai keberhasilan ini ada beberapa petisi yang telah memperoleh pendukung
dalam jumlah besar. Misalnya, petisi Tiza Mafira terkait pemberian kantong
plastik secara gratis oleh supermarket yang telah mencapai lebih dari 8.600
pendukung dan petisi Fahira Idris terkait penjualan minuman keras oleh
minimarket dengan lebih dari 6.700 pendukung. Petisi Angela Sutandar yang
ditujukan kepada Gubernur Yogyakarta agar membantu menghentikan kekejaman
3
perdagangan anjing untuk konsumsi juga belum mencapai keberhasilan walaupun
petisi ini telah memperoleh lebih dari 18.500 pendukung.
Petisi lain tentang perlindungan satwa yang juga masih belum mencapai
kemenangan adalah petisi stop sirkus keliling lumba-lumba. Petisi yang dimulai
oleh Coki Netral ini meminta beberapa perusahaan untuk tidak lagi memberikan
dukungan terhadap pertunjukan sirkus keliling lumba-lumba karena pengelola
sirkus tidak memperlakukan lumba-lumba dengan baik. Petisi ini telah mencapai
lebih dari 97.500 pendukung dan telah berhasil membawa beberapa perubahan.
Perubahan tersebut antara lain perusahaan-perusahaan swasta yang menjadi target
petisi berhenti memberikan dukungan terhadap sirkus keliling lumba-lumba.
Selain itu, protes terhadap eksploitasi lumba-lumba melalui petisi online ini juga
memperoleh respon positif dari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Zulkifli Hasan
dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian
Kehutanan mengeluarkan pernyataan pelarangan terhadap sirkus keliling lumba-
lumba dan menegaskan bahwa sirkus keliling lumba-lumba adalah ilegal.
Walaupun petisi ini telah berhasil membawa perubahan, tetapi faktanya
pertunjukkan sirkus keliling lumba-lumba masih terus berlangsung. Fakta ini
menunjukkan bahwa petisi online sebagai alat advokasi kebijakan untuk
menghentikan eksploitasi lumba-lumba belum sepenuhnya berhasil.
Kepedulian terhadap satwa di Indonesia juga ditunjukkan dari petisi Dian
Paramita dan Melanie Subono terkait penyelamatan satwa Kebun Binatang
Surabaya yang telah memperoleh lebih dari 75.300 pendukung. Beberapa kasus
terkait eksploitasi satwa dan penyiksaan terhadap hewan mendorong Dian
Paramita untuk membuat petisi online. Dian Paramita mempetisi Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Komisi III DPR RI untuk membentuk Komisi Nasional
Perlindungan Hewan. Petisi tersebut telah memperoleh lebih dari 12.800
pendukung. Namun, petisi-petisi ini belum mencapai keberhasilan.
Tidak semua petisi yang telah memperoleh tanda tangan pendukung
dalam jumlah besar bisa menuai kemenangan. Hal ini menunjukkan bahwa
banyaknya jumlah pendukung tidak menjamin kemenangan atau keberhasilan
suatu petisi. Padahal petisi online hadir sebagai platform bagi masyarakat untuk
4
menggalang dukungan dalam membuat suatu perubahan. Namun, pada faktanya
aktivitas menggalang dukungan saja tidak cukup untuk membuat suatu perubahan.
Sejumlah petisi belum dinyatakan menang walaupun telah mendapat respon dari
target petisi karena tujuan advokasi kebijakan belum terlaksana dengan baik.
Selain itu, petisi online tidak bisa berdiri sendiri untuk mencapai keberhasilan
advokasi kebijakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini
mencoba untuk menganalisis efektivitas petisi online Change.org Indonesia
sebagai alat advokasi kebijakan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana efektivitas petisi online Change.org Indonesia
sebagai alat advokasi kebijakan periode tahun 2012-2013?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menilai efektivitas petisi online
Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan periode tahun 2012-2013.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kajian studi Ilmu
Komunikasi terkait efektivitas petisi online sebagai alat advokasi
kebijakan.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan bentuk komunikasi yang
efektif melalui petisi online sebagai alat advokasi kebijakan.
5
1.5. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah petisi online dalam situs Change.org
Indonesia dan serangkaian aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan oleh
penggagas petisi bersama Change.org Indonesia. Aktivitas advokasi kebijakan
tersebut dilakukan untuk meningkatkan pengaruh petisi online dan mendukung
kemenangan petisi. Penelitian ini diarahkan kepada pengelola platform petisi
online Change.org Indonesia, pembuat atau penggagas petisi, dan komunitas yang
ikut mendukung aktivitas advokasi kebijakan.
1.6. Kerangka Pemikiran
a. Advokasi Kebijakan
Prakash dan Gugerty (2010:1) menjelaskan konsep advokasi sebagai
upaya sistematis oleh aktor tertentu untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu.
Upaya untuk mencapai tujuan kebijakan ini mengacu pada aktivitas advokasi.
Berdasarkan definisi advokasi dari The Merriam Webster Dictionary, Almog-Bar
dan Schmid (2014:13) membatasi aktivitas advokasi pada upaya untuk mengubah
hukum, kebijakan, praktik, dan perilaku dengan cara mendukung dan
mempromosikan persoalan atau usulan tertentu. Aktivitas advokasi yang
bertujuan untuk memengaruhi atau mengubah kebijakan disebut dengan advokasi
kebijakan. Jenkins dalam Mosley (2006:18) mendefinisikan advokasi kebijakan
sebagai upaya untuk memengaruhi keputusan elit institusional dalam kepentingan
kolektif atau bersama. Keputusan elit institusional ini merujuk pada tindakan
kebijakan terkait kepentingan publik oleh pembuat kebijakan.
Istilah elit institusional menunjukkan bahwa fokus advokasi kebijakan
tidak selalu ditargetkan kepada pemerintah tetapi pihak lain yang berpengaruh
dalam sistem kebijakan juga bisa menjadi target advokasi kebijakan (Mosley,
2006:19). Pihak lain yang juga berperan dalam kebijakan dan berpengaruh
terhadap kepentingan publik adalah institusi swasta. Advokasi tidak hanya
dilakukan untuk memengaruhi pemerintah dan sektor publik, tetapi dapat juga
dilakukan untuk mendorong perubahan di sektor swasta (Casey, 2011). Advokasi
kebijakan dimaknai sebagai setiap upaya untuk memengaruhi dan tidak dibatasi
6
pada serangkaian strategi tertentu (Mosley, 2006:19). Advokasi kebijakan
mengacu pada setiap upaya atau aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tindakan kebijakan dan tidak terpaku pada strategi tertentu. Advokasi kebijakan
dibatasi pada upaya yang dilakukan atas nama kepentingan kolektif atau bersama
(Mosley, 2006:19).
Advokasi kebijakan dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas seperti
mengadakan atau berpartisipasi dalam demonstrasi, mengorganisasi anggota
komunitas untuk mengambil tindakan terkait isu kebijakan, melobi (mengadakan
pertemuan dengan pejabat publik, memberikan testimoni publik), atau menulis
surat kepada editor, merilis laporan kebijakan, berpartisipasi dalam koalisi yang
bertujuan untuk memengaruhi kebijakan publik, dan mengedukasi publik tentang
isu-isu kebijakan (Mosley, 2006:20). Berbagai aktivitas tersebut ditujukan kepada
pembuat kebijakan secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas yang
ditujukan kepada pembuat kebijakan secara langsung misalnya melobi atau
mengadakan pertemuan langsung dengan pembuat kebijakan, sedangkan aktivitas
secara tidak langsung dapat dilakukan dengan menulis surat kepada editor untuk
menarik perhatian pembuat kebijakan.
Aktivitas advokasi kebijakan dikelompokkan ke dalam taktik insider dan
outsider dimana taktik insider dimaksudkan untuk mengubah kebijakan melalui
bekerja langsung dengan pembuat kebijakan dan elit institusional lainnya yang
menekankan bekerja di dalam sistem, sedangkan taktik outsider atau taktik tidak
langsung mengacu pada taktik ekstra institusional yang menekankan bekerja di
luar sistem, seperti edukasi publik, media massa, protes, boikot, dan demonstrasi
(Almog-Bar dan Schmid, 2014:21). Taktik advokasi dengan fokus insider
dilakukan melalui aktivitas seperti melobi atau bersaksi di hadapan legislatif,
sedangkan taktik advokasi dengan orientasi outsider dilakukan melalui aktivitas
dalam bentuk petisi, mobilisasi akar rumput, dan protes (Barakso, 2010:156-157).
Petisi termasuk dalam taktik outsider dimana aktivitas tersebut dilakukan di luar
sistem dengan menggalang dukungan atas isu sosial atau isu kebijakan tertentu.
Advokasi mencakup upaya meningkatkan kesadaran melalui media,
pengorganisasian, kampanye (edukasi dan mobilisasi), lobi, riset dan analisis
7
kebijakan, event, dan penggunaan sistem legal dan litigasi (Casey, 2011; Cohen
dkk, 2010; Mayoux, 2003). Upaya meningkatkan kesadaran melalui media bisa
dilakukan dengan cara bermitra dengan perusahaan media massa atau dengan
menarik perhatian media massa agar memberitakan isu atau permasalahan yang
dimaksud. Misalnya, menulis surat kepada editor atau menulis artikel opini dan
mengadakan konferensi pers.
Upaya pengorganisasian mengacu pada aktivitas membangun hubungan
atau koalisi dengan kelompok atau komunitas terkait isu. Kampanye meliputi
upaya edukasi dan mobilisasi yang ditujukan untuk memperoleh dukungan dari
publik atas isu, sehingga memengaruhi pembuat kebijakan. Lobi dilakukan
melalui pertemuan atau diskusi secara langsung dengan pembuat kebijakan. Riset
dan analisis kebijakan bisa dilakukan dengan cara mengevaluasi efektivitas dan
outcomes program yang ada (Casey, 2011). Event bisa dilakukan dengan cara
mempertemukan berbagai stakeholder dan pembuat keputusan untuk menyoroti
penyebab dan mengidentifikasi solusi atas permasalahan, dengan tindak lanjut
yang mencakup tindakan nyata dan segera (Cohen dkk, 2010:7). Upaya
penggunaan sistem legal dan litigasi berkaitan dengan upaya melalui sistem
hukum.
Berdasarkan kategori aktivitas advokasi tersebut, petisi merupakan salah
satu bentuk strategi kampanye yang meliputi upaya edukasi dan mobilisasi.
Edukasi publik dan mobilisasi cenderung mengarah pada bentuk yang
menunjukkan dukungan masyarakat atas isu atau persoalan tertentu seperti petisi
(Start dan Hovland, 2004:42). Pernyataan ini juga didukung oleh Casey (2011)
yang menyebutkan bahwa mengorganisasi atau mempromosikan petisi merupakan
salah satu contoh aktivitas dalam kategori edukasi dan mobilisasi.
Upaya atau aktivitas advokasi kebijakan dilakukan untuk menghasilkan
tindakan kebijakan sebagai tujuan utama. Pencapaian tujuan utama ini didukung
oleh outcomes yang dihasilkan oleh aktivitas advokasi kebijakan. Outcomes yang
mendukung pencapaian tindakan dan implementasi kebijakan tersebut antara lain
koverasi media, kesadaran publik, dukungan publik atau public will, dan
dukungan pembuat kebijakan atau political will (Coffman, 2003; Cohen dkk,
8
2010). Koverasi media menunjukkan pemberitaan terkait isu atau permasalahan
sosial oleh media massa cetak, elektronik, dan online. Kesadaran publik mengacu
pada kemampuan publik untuk mengetahui bahwa ada isu atau permasalahan
sosial dan usulan kebijakan atas isu tersebut. Dukungan publik atau public will
merujuk pada kesediaan publik untuk bertindak dalam mendukung isu atau usulan
kebijakan (Cohen dkk, 2010:64). Dukungan publik ini dapat dilihat dari aktivitas
mereka terkait isu atau permasalahan. Dukungan pembuat kebijakan atau political
will didefinisikan sebagai kesediaan pembuat kebijakan untuk bertindak dalam
mendukung isu atau usulan kebijakan (Cohen dkk, 2010:64).
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memberikan dampak
terhadap taktik advokasi kebijakan dengan menghadirkan advokasi online (e-
advocacy). Advokasi online ini digunakan oleh aktor advokasi kebijakan seperti
organisasi nonprofit untuk melakukan aktivitas advokasi karena sebagian besar
organisasi tersebut tidak mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk
mempromosikan aktivitas mereka (Almog-Bar dan Schmid, 2014:22). Advokasi
online mendukung aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan. Pemanfaatan
advokasi online bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam hal biaya dan
manfaat karena dapat menjadi solusi permasalahan terkait jarak, sehingga
berpeluang untuk memobilisasi kelompok dan pendukung baru (McNutt dalam
Almog-Bar dan Schmid, 2014:22).
Advokasi online memperluas pengaruh aktivitas advokasi. Menurut
beberapa peneliti, alat yang paling umum dalam memperluas aktivitas advokasi
adalah petisi online, blog, dan situs media sosial (Almog-Bar dan Schmid,
2014:22). Petisi online, blog, dan media sosial membantu penyebaran pesan
advokasi kebijakan dengan lebih cepat dan lebih luas, sehingga upaya dalam
memperoleh dukungan dari khalayak luas semakin mudah dilakukan. Aktivitas
advokasi online melalui petisi online, blog, dan situs media sosial serta alat
komunikasi massa lainnya mengurangi keperluan aktivis turun ke jalan untuk
menyebarkan pesan mereka (Casey, 2011).
Advokasi kebijakan dan advokasi terhadap isu-isu saat ini disebarkan dan
diyakinkan kepada masyarakat dengan media yang lebih sederhana, efisien, dan
9
efektif (Prajarto dalam Nurjaman, 2013:28). Misalnya, melalui petisi online.
Advokasi kebijakan melalui petisi online didukung dengan aktivitas advokasi
kebijakan lainnya sebagai upaya memengaruhi pembuat kebijakan secara tidak
langsung. Misalnya, dengan membentuk opini publik melalui koverasi media
sebagai outcomes dari aktivitas advokasi kebijakan. Advokasi digunakan untuk
mengubah pemikiran, memobilisasi public will, dan memengaruhi pemerintah
(Casey, 2011). Advokasi kebijakan melalui petisi online ditujukan untuk
memengaruhi pemikiran masyarakat dan memobilisasi public will sehingga
pemerintah sebagai pembuat kebijakan mengambil tindakan kebijakan. Advokasi
kebijakan melalui petisi online juga dapat ditujukan untuk memastikan penerapan
kebijakan. Oleh karena itu, petisi online menjadi salah satu media yang berperan
penting dalam advokasi kebijakan.
b. Petisi Online
Lindner dan Riehm (2011:3) mendefinisikan petisi sebagai permintaan
kepada otoritas publik, biasanya institusi pemerintahan atau parlemen. Petisi
memiliki tujuan antara lain untuk mengubah kebijakan publik atau mendorong
tindakan tertentu oleh institusi publik (Lindner dan Riehm, 2011:3). Petisi
memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan
mereka terkait kebijakan tertentu. Perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi menghasilkan petisi online sebagai bentuk baru dari petisi tradisional.
Kehadiran petisi online ini tidak mengubah fungsi petisi tradisional, tetapi
menawarkan jangkauan akses yang lebih luas dalam periode waktu yang lebih
singkat.
Petisi online dalam penelitian ini dapat digolongkan sebagai e-petitions
atau electronic petitions. Petisi online atau e-petitions dikategorikan menjadi tipe
formal dan informal (Mosca dan Santucci dalam Lindner dan Riehm, 2009:3).
Petisi online formal mengacu pada sistem petisi yang dioperasikan oleh lembaga
publik, sedangkan petisi online informal mengacu pada sistem petisi yang dibuat
dan diatur oleh organisasi nonpemerintah atau swasta (Lindner dan Riehm,
2009:3). Petisi online informal biasanya disampaikan kepada lembaga publik oleh
10
pengelola setelah mengumpulkan sejumlah tanda tangan dan petisi online
informal dapat dibedakan menjadi petisi online yang diinisiasi oleh LSM sebagai
bagian dari kampanye politik dan petisi online yang dioperasikan oleh organisasi
swasta baik komersial maupun nonprofit yang menyediakan infrastruktur berbasis
internet untuk memulai petisi online dan mengumpulkan tanda tangan online
(Lindner dan Riehm, 2009:3). Berdasarkan kategori tersebut, Change.org
Indonesia merupakan platform petisi online informal yang dikelola oleh
organisasi swasta berbentuk social enterprise atau kewirausahaan sosial.
Petisi online merupakan aktivitas online yang menarik volume partisipasi
warga negara (Chadwick dalam Panagiotopoulos dan Al-Debei, 2010:3).
Partisipasi warga negara ini bisa berupa partisipasi sosial dan politik. Petisi
biasanya mencakup isu yang luas, mulai dari pengaduan individu hingga
permintaan untuk mengubah kebijakan publik (Lindner dan Riehm, 2011:4).
Petisi online meningkatkan proses demokrasi, menghubungkan warga negara
dengan pemerintah, dan memfasilitasi keterlibatan warga negara (Panagiotopoulos
dan Al-Debei, 2010:3). Kemampuan petisi online untuk memfasilitasi permintaan
perubahan kebijakan publik dan menghubungkan masyarakat dengan pembuat
kebijakan menunjukkan bahwa petisi online bisa dimanfaatkan sebagai alat
advokasi kebijakan.
Petisi online adalah salah satu bentuk aksi kolektif yang muncul dari
pengguna internet melalui mailing lists atau website dan secara teknis website
petisi online memuat ruang digital dimana pengguna dapat memulai atau
menandatangani petisi serta melacak perkembangan petisi yang sudah ada
(Panagiotopoulos dan Al-Debei, 2010:5). Adanya ruang digital membuat petisi
online memiliki beberapa kelebihan dibandingkan petisi tradisional. Kelebihan
tersebut antara lain masyarakat dapat memperoleh latar belakang informasi,
membuat komentar tentang isu, menandatangani online, dan menerima feedback
tentang perkembangan petisi (Macintosh, Malina, dan Farrel, 2002:8). Petisi
online menunjukkan adanya partisipasi dan keterlibatan publik dalam proses
pembuatan kebijakan melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi.
11
Lindner dan Riehm (2011:5-6) menjelaskan fungsi umum petisi dalam
negara demokrasi dengan membaginya ke dalam tiga level yaitu
a. Fungsi level individu
Fungsi ini terkait dengan tujuan pribadi seperti kasus pengaduan atau
keluhan individu. Fungsi level individu juga bertujuan untuk mengubah
kebijakan publik. Dalam hal ini, petisi berperan membantu memasukkan
isu yang dipetisikan ke dalam agenda target petisi (pembuat kebijakan).
Fungsi level individu juga mencakup memobilisasi pendukung dan LSM
serta membantu kelompok kepentingan untuk menghidupkan pendukung
dan menangkap perhatian media.
b. Fungsi level intermediate
Fungsi ini dilihat dari perspektif target petisi. Fungsi level intermediate
antara lain mendukung parlemen mengontrol eksekutif, mengirim
informasi dan menjadi indikator politik, berpotensi memberikan kontribusi
kepada parlemen, serta berperan dalam proses penguatan parlemen dalam
sistem politik.
c. Fungsi level sistem
Fungsi ini dilihat dari perspektif komprehensif sistem politik. Petisi
berpotensi memberikan kontribusi pada fungsi sistem integrasi dan
legitimasi. Petisi memfasilitasi integrasi warga negara dalam sistem politik
karena dengan adanya petisi warga negara memiliki saluran formal untuk
mengirimkan permintaan mereka. Jika target petisi memutuskan untuk
menggunakan petisi sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan
politik, maka memungkinkan untuk mencapai legitimasi sistem politik.
Berdasarkan fungsi umum tersebut, Change.org Indonesia sebagai
platform petisi online melaksanakan beberapa fungsi antara lain fungsi level
individu. Pelaksanaan fungsi level individu petisi online Change.org Indonesia
meliputi memfasilitasi pengaduan atau keluhan masyarakat kepada pemerintah
atau korporasi, membantu mengupayakan pembuatan atau perubahan kebijakan
tertentu, membantu memasukkan isu yang dipetisikan ke dalam agenda target
petisi (pembuat kebijakan), memobilisasi pendukung dan LSM terkait isu tertentu,
12
serta membantu kelompok kepentingan (komunitas) untuk menghidupkan
pendukung dan menarik perhatian media massa. Kelompok menggunakan petisi
untuk memperoleh perhatian pemerintah, dan mereka sering berhasil karena petisi
sering kali memperoleh perhatian media (Macmanus, 1996:118). Schmidt dalam
Macmanus (1996:118) menyarankan pemimpin gerakan petisi untuk mengadakan
konferensi berita, mengirim press release, menyelenggarakan event media untuk
menangkap perhatian dan mengejar atau memburu editorial surat kabar, stasiun
televisi, dan radio.
Petisi online menjalankan fungsi dasar petisi tradisional dan dalam
menjalankan fungsinya tersebut petisi online didukung oleh media sosial.
Change.org Indonesia memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan
Youtube untuk mendukung fungsi petisi. Panagiotopoulos dkk (2010:2)
menjelaskan bagaimana kelompok jejaring sosial muncul untuk mendukung
proses pengajuan petisi online. Saebo dkk (2009) mengamati peran jejaring sosial
dan peningkatan potensi partisipasi online dimana jejaring sosial memungkinkan
penyebaran ide dan isu serta mencoba memengaruhi agenda setting politik
(Panagiotopoulos dkk, 2010:4).
c. Kerangka Evaluatif Efektivitas Petisi Online
Martin dan Kracher (2008:305) menawarkan kerangka konsep untuk
mengevaluasi efektivitas taktik protes bisnis online dengan menggunakan dua
konsep yaitu ultimate dan intermediate effectiveness. Penelitian ini mengadaptasi
kerangka konsep tersebut untuk mengukur dan mengevaluasi efektivitas petisi
online sebagai alat advokasi kebijakan. Adaptasi kerangka konsep tersebut
dilakukan karena petisi online merupakan salah satu bentuk dari taktik protes
bisnis online dan juga karena petisi online bisa dikatakan sebagai salah satu alat
dalam advokasi kebijakan yang setara dengan aktivitas protes. Penelitian ini
memaknai kerangka evaluatif tersebut tidak hanya bisa digunakan untuk
menganalisis taktik protes online terhadap bisnis saja. Namun, juga bisa
digunakan untuk menganalisis efektivitas taktik protes online terhadap
pemerintah.
13
Kerangka evaluatif untuk mengukur efektivitas taktik protes bisnis online
terdiri dari dua tingkat yaitu ultimate dan intermediate effectiveness. Ultimate
effectiveness menjelaskan bahwa taktik protes bisnis online dapat disebut efektif
jika mencapai tujuan akhir yaitu mendorong perubahan dalam kebijakan atau
praktik bisnis, sedangkan intermediate effectiveness menjelaskan bahwa walaupun
taktik protes bisnis online tidak mengubah praktik bisnis, taktik protes bisnis
online dapat disebut efektif jika mencapai tujuan intermediate yaitu menangkap
perhatian pemimpin bisnis (Martin dan Kracher, 2008:305). Jadi ketika aktivitas
protes terhadap bisnis secara online belum mampu menghasilkan perubahan
kebijakan, aktivitas protes online ini tetap bisa dikatakan efektif jika mampu
menangkap perhatian pembuat keputusan atau pemimpin bisnis. Misalnya,
melalui koverasi media yang bisa menarik perhatian pemimpin bisnis. Perhatian
pemimpin bisnis ini merupakan langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan
akhir dan dapat mendorong dukungan lebih lanjut terhadap persoalan (Vegh
dalam Martin dan Kracher, 2008:305). Hal ini menunjukkan bahwa tujuan
intermediate juga menjadi salah satu faktor yang menentukan tujuan akhir dari
taktik protes bisnis online.
Kerangka konsep evaluatif untuk mengukur efektivitas taktik protes
bisnis online juga dapat diaplikasikan untuk taktik protes bisnis offline yang
dimobilisasi oleh kelompok kepentingan warga (Martin dan Kracher, 2008:305).
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kerangka
konsep tersebut tidak hanya dapat digunakan untuk menilai efektivitas dari
aktivitas secara online, namun juga dapat digunakan untuk menilai efektivitas dari
aktivitas secara offline. Oleh karena itu, efektivitas petisi online yang juga
mencakup aktivitas offline untuk mendukung petisi online sebagai alat advokasi
kebijakan dapat dianalisis dengan menggunakan ultimate dan intermediate
effectiveness.
Martin dan Kracher (2008:305) menyebutkan kriteria utama untuk
menentukan intermediate dan ultimate effectiveness dari taktik protes bisnis
online antara lain support, public impact, dan disruption. Support merujuk pada
dukungan masyarakat terhadap isu. Public impact dikonseptualisasikan dengan
14
tingkat dan jumlah orang yang memperoleh informasi tentang penyebab protes
bisnis, juga bisa mencakup kesadaran komunitas atau konstituen bisnis, atau
mencakup perubahan sebenarnya yang dipengaruhi oleh protes tersebut (Martin
dan Kracher, 2008:305-306). Public impact menunjukkan perubahan pada publik
sebagai dampak dari aktivitas protes secara online dan offline. Kriteria ketiga
yaitu disruption to the business mengacu pada tingkat permasalahan dan
gangguan normal dalam aktivitas bisnis sehari-hari (Martin dan Kracher,
2008:306). Tiga kriteria utama tersebut bisa digunakan untuk menilai intermediate
dan ultimate effectiveness dari aktivitas yang dilakukan secara online dan offline
untuk mendukung petisi online sebagai alat advokasi kebijakan.
Penelitian ini menganalisis efektivitas petisi online Change.org Indonesia
sebagai alat advokasi kebijakan dengan menggunakan konsep ultimate dan
intermediate effectiveness. Efektivitas petisi online yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah efektivitas dari aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan
secara online dan offline untuk mendukung petisi online. Ultimate effectiveness
dalam penelitian ini menjelaskan bahwa petisi online dan aktivitas advokasi
kebijakan online dan offline dapat disebut efektif jika mencapai tujuan akhir yaitu
mendorong perubahan dalam kebijakan atau praktik bisnis dan pemerintah,
sedangkan intermediate effectiveness menjelaskan bahwa walaupun petisi online
dan aktivitas advokasi kebijakan online dan offline tidak mengubah kebijakan atau
praktik bisnis dan pemerintah, petisi online dan aktivitas tersebut dapat disebut
efektif jika mencapai tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pembuat
kebijakan baik dari institusi bisnis maupun pemerintah.
d. Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
dipahami bahwa advokasi kebijakan didefinisikan sebagai upaya atau aktivitas
untuk mencapai tindakan kebijakan terkait kepentingan kolektif. Konteks
advokasi kebijakan dalam penelitian ini adalah aktivitas Change.org Indonesia
yang dilakukan secara online dan offline untuk memperjuangkan kepentingan
publik yang dipetisikan guna membantu mencapai keberhasilan atau kemenangan
petisi online. Aktivitas ini dilakukan untuk mendukung dan menguatkan fungsi
15
petisi online sebagai media perubahan sehingga lebih berpengaruh. Petisi online
didefinisikan sebagai bentuk online dari petisi yang memfasilitasi permintaan
publik kepada pembuat kebijakan dengan menggalang dukungan melalui tanda
tangan secara virtual. Petisi online dapat dimanfaatkan sebagai alat advokasi
kebijakan untuk menggalang dukungan publik dan memengaruhi tindakan
kebijakan.
Change.org Indonesia menggerakkan aktivitas advokasi kebijakan
lainnya untuk mendukung petisi online. Aktivitas advokasi kebijakan lainnya
yang digerakkan oleh Change.org Indonesia antara lain upaya meningkatkan
kesadaran melalui media, pengorganisasian, lobi, serta event advokasi. Aktivitas
tersebut dilakukan untuk menguatkan fungsi petisi online sebagai alat advokasi
kebijakan guna mendukung pencapaian outcomes advokasi kebijakan. Outcomes
yang dihasilkan menunjukkan pengaruh dan perubahan sebagai dampak dari
aktivitas advokasi kebijakan.
Outcomes berbeda dengan output. Outcomes menunjukkan measures of
effect terkait perubahan yang terjadi dalam target populasi atau komunitas sebagai
hasil dari advokasi kebijakan, sedangkan output menunjukkan measures of effort
terkait apa dan berapa banyak yang dicapai, distribusi, jangkauan advokasi dan
output tidak bercerita banyak tentang efek (Coffman, 2002:20-21). Outcomes
dalam penelitian ini mulai dari variabel kognitif hingga variabel yang menyusun
konteks sosial terkait isu (Coffman, 2002:21).
Penelitian ini menggunakan dua konsep untuk menilai dan menganalisis
efektivitas petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan.
Konsep pertama adalah ultimate effectiveness dimana petisi online Change.org
Indonesia dan aktivitas yang dilakukan secara online dan offline untuk
mendukung petisi online dalam advokasi kebijakan, disebut efektif jika mencapai
tujuan akhir yaitu mendorong tindakan kebijakan. Tindakan kebijakan bisa berupa
pembuatan atau perubahan kebijakan dan tujuan akhir dari aktivitas advokasi
kebijakan juga mencakup implementasi kebijakan baik dalam praktik bisnis
maupun pemerintah.
16
Perubahan kebijakan tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas petisi online
dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang mendukung petisi online. Ada banyak
faktor lain yang memengaruhi perubahan kebijakan. Namun, penelitian ini fokus
mengkaji dan menyoroti perubahan kebijakan yang dinilai berhasil dicapai dari
aktivitas petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang mendukung
petisi online.
Konsep kedua adalah intermediate effectiveness dimana walaupun petisi
online Change.org Indonesia dan aktivitas yang dilakukan secara online dan
offline untuk mendukung petisi online dalam advokasi kebijakan, belum berhasil
mencapai tujuan akhir, aktivitas petisi online Change.org Indonesia bisa disebut
efektif jika mencapai tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pembuat
kebijakan. Intermediate effectiveness dianalisis dengan menggunakan tiga kriteria
antara lain support, public impact, dan disruption. Penelitian ini hanya
menggunakan dua kriteria yaitu support dan public impact. Hal ini dikarenakan
dua kriteria tersebut mengacu pada outcomes advokasi kebijakan yang mencakup
kesadaran publik, dukungan publik atau public will, dan dukungan pembuat
kebijakan atau political will, sedangkan kriteria disruption bukan merupakan
outcomes dalam advokasi kebijakan.
Kriteria support dan public impact menjadi indikator dari pencapaian
tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pembuat kebijakan. Tujuan
intermediate ini dapat dicapai melalui koverasi media yang juga merupakan
outcomes dari aktivitas advokasi kebijakan. Koverasi media ini bisa diperoleh
melalui aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan secara online dan offline
untuk mendukung petisi online. Indikator atau parameter yang digunakan untuk
menganalisis efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan diuraikan
dalam Tabel 2. Indikator yang dipilih dinilai telah cukup mewakili konsep untuk
menjelaskan efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan.
Tabel 1. Konsep Efektivitas Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan
Konsep Makna Konsep IndikatorUltimate effectiveness
Penilaian efektivitas berdasarkan pencapaian tujuan akhir yaitu
1. Perubahan kebijakan terkait permasalahan sosial yang dipetisikan
17
perubahan kebijakan 2. Implementasi atau pelaksanaan kebijakan
Intermediate effectiveness
Penilaian efektivitas berdasarkan pencapaian tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pembuat kebijakan
1. Koverasi media massa cetak, elektronik, dan online terkait permasalahan sosial yang dipetisikan
2. Kesadaran publik atas permasalahan sosial yang dipetisikan
3. Dukungan publik atau public will terhadap permasalahan sosial yang dipetisikan
4. Dukungan pembuat kebijakan atau political will terkait permasalahan sosial yang dipetisikan
Sumber: Diadaptasi dari Martin dan Kracher (2008:305-306) dan Coffman (2003)
1.7. Metodologi Penelitian
a. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan
efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Studi kasus dilakukan
ketika peneliti perlu memahami atau menjelaskan fenomena (Wimmer dan
Dominick, 2011:141). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka peneliti memilih
metode studi kasus karena peneliti ingin menggambarkan fenomena petisi online
Change.org Indonesia khususnya efektivitasnya sebagai alat advokasi kebijakan.
Penelitian ini menggunakan berbagai sumber bukti untuk menceritakan fenomena
kontemporer terkait petisi online Change.org Indonesia. Penelitian ini juga
memaparkan aktivitas lain secara online dan offline yang dilakukan oleh pengelola
dan pengguna petisi online Change.org Indonesia. Aktivitas tersebut merupakan
taktik untuk mendukung petisi online sebagai alat advokasi kebijakan.
Penelitian ini menggunakan studi kasus instrumental karena kasus tidak
menjadi minat utama tetapi kasus memainkan peranan suportif yang memudahkan
pemahaman atas sesuatu yang lain (Stake, 2009:301). Studi kasus instrumental
digunakan dalam penelitian untuk membantu mencapai tujuan tertentu, sehingga
18
metode studi kasus dalam penelitian bertindak sebagai sebuah instrumen atau alat
(Thomas, 2011:98). Metode studi kasus dalam penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman tentang kasus petisi online Change.org Indonesia
dimana kasus tersebut berfungsi sebagai instrumen untuk menilai efektivitas petisi
online sebagai alat advokasi kebijakan.
Studi kasus instrumental digunakan untuk meneliti suatu kasus tertentu
agar tersaji sebuah perspektif tentang isu dimana kasus dilihat secara mendalam
dan konteksnya dikaji secara menyeluruh (Stake, 2009:301). Kasus petisi online
Change.org Indonesia dianalisis melalui sejumlah isu yang dipetisikan untuk
menemukan efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Efektivitas
tersebut akan dilihat berdasarkan aktivitas-aktivitas advokasi kebijakan yang
dilakukan untuk mendukung petisi online.
b. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menganalisis petisi yang berhasil dan petisi yang belum
berhasil dalam situs petisi online Change.org Indonesia mulai dari Change.org
Indonesia berdiri yaitu pada bulan Juni tahun 2012 hingga bulan Desember tahun
2013. Petisi yang dianalisis dipilih berdasarkan beberapa kriteria antara lain petisi
berhasil menangkap perhatian media atau memperoleh koverasi media, petisi
melibatkan komunitas atau kelompok masyarakat tertentu, dan petisi berhasil
menggerakkan aktivitas lainnya yang mendukung outcomes advokasi kebijakan.
Berikut ini adalah petisi-petisi yang dipilih untuk dianalisis.
Tabel 2. Sample Petisi yang Berhasil
Kategori Petisi Berdasarkan Isu yang Dipetisikan
Petisi dan Penggagas Komunitas yang Terlibat
Antikorupsi Hentikan Pelemahan KPK oleh Anita Wahid
Komunitas Semut Rangrang
Kesejahteraan satwa Hentikan Promosi, Konsumsi, dan Penjualan Produk Hiu oleh WWF Indonesia
WWF Indonesia
Usut Kejadian Gajah Mati tanpa Gading oleh Aulia Ferizal
Kelompok pecinta satwa
19
Lingkungan Batalkan IMB PT EGI atas Hutan Kota Babakan Siliwangi oleh Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi
Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi
Hak asasi manusia/difabel
Hapuskan Surat Pernyataan bagi Penyandang Disabilitas oleh Cucu Saidah (Target Direktur Utama Garuda Indonesia)
General Election Network for Disability Access, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Ubah Kebijakan Diskriminatif yang Menolak Tuna Netra untuk Menabung oleh Trian Airlangga (Target Presiden Direktur BCA)
Komunitas Difabel
Sumber: Diadaptasi dari Change.org Indonesia (2013) diunduh dari http://www.change.org/id dan House of Infographics (2013) diunduh dari houseofinfographics.com/infografis-change-org-indonesia-di-tahun-2013/ pada tanggal 1 Januari 2014 pukul 18.42 WIB.
Tabel 3. Sample Petisi yang Belum Berhasil
Kategori Petisi Berdasarkan Isu yang Dipetisikan
Petisi dan Penggagas Komunitas yang Terlibat
Lingkungan Tolak Tambang di Pulau Kecil Selamatkan Pulau Bangka oleh Kaka Slank
Greenpeace, WALHI, Friends of the Earth Indonesia, Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Sulawesi Utara, dan Tunas Hijau
Batalkan Izin Penebangan Hutan Kepulauan Aru oleh Glenn Fredly
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Komnas HAM Maluku, dan Maluku Bloggers
Kesejahteraan satwa Stop Supporting Travelling Dolphin Circuses oleh Coki Netral
Animal Friends Jogja, Jakarta Animal Aid Network, dan Welfarian Indonesia
20
Selamatkan Satwa Kebun Binatang Surabaya oleh Dian Paramita dan Melanie Subono
Animal Friends Jogja dan Jakarta Animal Aid Network
Segera Bentuk Komnas Perlindungan Hewan oleh Dian Paramita
Aktivis pecinta satwa dan lingkungan
Human trafficking/buruh migran
Bebaskan Wilfrida dari Hukuman Mati oleh Anis Hidayah
Aktivis HAM, Migrant Care, dan Forum Komunikasi Pemerhati Perjuangan Hak-hak Perempuan NTT
Sumber: Diadaptasi dari Change.org Indonesia (2013) diunduh dari http://www.change.org/id pada tanggal 24 November 2013 pukul 10.56 WIB.
Empat sumber data yang dapat digunakan dalam studi kasus yaitu
dokumen, wawancara, observasi/partisipasi, dan artefak fisik (Wimmer dan
Dominick, 2011:143). Berdasarkan keempat sumber data tersebut, penelitian ini
menggunakan tiga sumber data atau teknik pengumpulan data yaitu dokumen,
wawancara, dan observasi. Dokumen yang dikumpulkan dan dianalisis berupa
data teks, gambar atau foto, audio, dan video terkait petisi online dari situs
Change.org Indonesia, media sosial (Facebook, Twitter, dan Youtube), dan situs
berita online. Data terkait isu yang dipetisikan juga diperoleh dari Change.org
Indonesia berupa dokumentasi pemberitaan media massa cetak dan elektronik.
Wawancara semi terstruktur dilakukan kepada sejumlah informan antara lain
pengelola Change.org Indonesia yaitu Arief Aziz selaku Direktur Komunikasi dan
Dhenok Pratiwi selaku Communication Officer, perwakilan penggagas petisi, dan
komunitas atau kelompok masyarakat terkait isu yang dipetisikan.
c. Teknik Analisis Data
Stake (1995) dalam (Thomes, 2012:41-42) menyebutkan empat bentuk
analisis data yaitu categorical aggregation, direct interpretation, patterns, dan
naturalistic generalizations. Thomes (2012:41-42) menjelaskan empat bentuk
analisis data tersebut sebagai berikut.
21
1. Categorical aggregation merujuk pada pengumpulan data terkait tema
oleh peneliti atau pengelompokkan data yang diperoleh dari berbagai
sumber terkait tema untuk membuat valid data dari sumber individu
(coding).
2. Direct interpretation merujuk pada proses penarikkan data dan
penyusunan kembali dalam cara yang lebih bermakna.
3. Patterns merupakan penjelasan tema data berdasarkan kesamaan dan
dikelompokkan dalam tema yang lebih besar.
4. Naturalistic generalizations merupakan cara agar orang lain dapat belajar
dari data dan menggeneralisasikannya dalam kasus mereka sendiri.
Penelitian ini menggunakan tiga bentuk analisis data tersebut yaitu categorical
aggregation atau coding untuk mengkategorikan data berdasarkan tema-tema
tertentu, patterns atau membuat pola untuk menemukan hubungan antarkategori,
dan naturalistic generalizations untuk membuat hasil penelitian lebih mudah
dipahami dan memberikan manfaat bagi pembaca.
d. Reliabilitas dan Validitas Data
Maykut dan Morehouse dalam Wimmer dan Dominick (2011:123)
meringkas empat faktor yang membantu membangun kredibilitas yaitu
pengumpulan data dengan menggunakan beragam metode, audit trail, member
checks, dan tim riset sebagai bentuk verifikasi data (reliabilitas dan validitas data).
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data yang beragam yaitu
dokumen, wawancara, dan observasi untuk membantu membangun kredibilitas.
Metode wawancara juga dilakukan untuk mencapai validitas data yang diperoleh
dari metode dokumen dan observasi.
e. Limitasi Penelitian
Penelitian ini mendeskripsikan efektivitas petisi online sebagai alat
advokasi kebijakan. Penelitian ini fokus pada pemanfaatan petisi online dan
aktivitas advokasi kebijakan yang digerakkan oleh Change.org Indonesia bersama
penggagas petisi. Efektivitas petisi online dalam penelitian ini mengacu pada
efektivitas dari aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan oleh Change.org
Indonesia dan penggagas petisi untuk mendukung outcomes petisi online sebagai
22
alat advokasi kebijakan. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menganalisis
koverasi media sebagai outcomes advokasi kebijakan. Analisis terhadap koverasi
media tidak dilakukan secara mendalam karena analisis tersebut digunakan untuk
memperoleh data pendukung. Penelitian ini juga tidak membahas petisi online dan
aktivitas advokasi kebijakan secara teknis.
f. Sistematika Penulisan
Peneliti memaparkan efektivitas petisi online sebagai alat advokasi
kebijakan dengan membagi penulisan dalam lima bab. Pada bab I, peneliti
mendeskripsikan pendahuluan dan desain penelitian yang mencakup latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, objek
penelitian, kerangka pemikiran, dan metodologi penelitian. Pada bab II, peneliti
menjelaskan konteks penelitian yang dekat dengan data yang diperlukan yaitu
platform petisi online Change.org Indonesia, internet dan platform petisi online
Change.org Indonesia dalam advokasi kebijakan, dan aktivitas advokasi kebijakan
lain yang dilakukan untuk mendukung petisi online.
Peneliti menceritakan temuan di lapangan dan hasil analisis data dengan
membaginya dalam dua bab yaitu bab III dan bab IV. Pada bab III, peneliti
menganalisis pemanfaatan petisi online Change.org Indonesia untuk advokasi
kebijakan. Peneliti juga mendeskripsikan petisi online Change.org Indonesia dan
aktivitas advokasi kebijakan. Pada bab IV, peneliti membahas efektivitas petisi
online dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang dilakukan guna menguatkan
pengaruh petisi online. Peneliti juga menambahkan rekomendasi pemanfaatan
petisi online untuk advokasi kebijakan. Pada bab V, peneliti membuat kesimpulan
akhir dari penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.