bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41523/3/jiptummpp-gdl-wahyudwipu-50809-3-bab2.pdf · karena...

31
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Bakar 2.1.1 Epidemiologi Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan 310.000 orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari 20 tahun. Luka bakar karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak berusia 1 9 tahun. Anak anak beresiko tinggi terhadap kematian akibat luka bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka bakar dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup (WHO, 2008). Di Amerika Serikat, luka bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari 50.000 pasien di rawat inap (Kumar et al., 2007). Di Indonesia, prevalensi luka bakar sebesar 0,7% (RISKESDAS, 2013). Secara global, 96.000 anakanak yang berusia di bawah usia 20 tahun mengalami kematian akibat luka bakar pada tahun 2004. Frekuensi kematian lebih tinggi sebelas kali di negara dengan pendapatan rendah dan menengah dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi sebesar 4,3 per 100.000 orang dan 0,4 per 100.000 orang. Kebanyakan kematian terjadi pada daerah yang miskin, seperti Afrika, Asia Tenggara, dan daerah Timur Tengah. Frekuensi kematian terendah terjadi pada daerah dengan pendapatan tinggi, seperti Eropa dan Pasifik Barat (WHO, 2008). Menurut the National Institutes of General Medical Sciences, sekitar 1,1 juta luka-luka bakar yang membutuhkan perawatan medis setiap tahun di Amerika Serikat. Di antara mereka terluka, sekitar 50.000 memerlukan rawat 5

Upload: others

Post on 15-Nov-2019

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka Bakar

2.1.1 Epidemiologi

Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan

310.000 orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari

20 tahun. Luka bakar karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak

berusia 1 – 9 tahun. Anak – anak beresiko tinggi terhadap kematian akibat luka

bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka bakar dapat

menyebabkan kecacatan seumur hidup (WHO, 2008). Di Amerika Serikat, luka

bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari

50.000 pasien di rawat inap (Kumar et al., 2007). Di Indonesia, prevalensi luka

bakar sebesar 0,7% (RISKESDAS, 2013).

Secara global, 96.000 anak–anak yang berusia di bawah usia 20 tahun

mengalami kematian akibat luka bakar pada tahun 2004. Frekuensi kematian

lebih tinggi sebelas kali di negara dengan pendapatan rendah dan menengah

dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi sebesar 4,3 per

100.000 orang dan 0,4 per 100.000 orang. Kebanyakan kematian terjadi pada

daerah yang miskin, seperti Afrika, Asia Tenggara, dan daerah Timur

Tengah. Frekuensi kematian terendah terjadi pada daerah dengan pendapatan

tinggi, seperti Eropa dan Pasifik Barat (WHO, 2008).

Menurut the National Institutes of General Medical Sciences, sekitar

1,1 juta luka-luka bakar yang membutuhkan perawatan medis setiap tahun di

Amerika Serikat. Di antara mereka terluka, sekitar 50.000 memerlukan rawat

5

6

inap dan sekitar 4.500 meninggal setiap tahun dari luka bakar. Ketahanan

hidup setelah cedera luka bakar telah meningkat pesat selama abad kedua

puluh. Perbaikan resusitasi, pengenalan agen antimikroba topikal dan, yang

lebih penting, praktek eksisi dini luka bakar memberikan kontribusi terhadap

hasil yang lebih baik.Namun, cedera tetap mengancam jiwa (National

Institutes of General Medical Sciences 2007).

Angka mortalitas penderita luka bakar di Indonesia masih cukup tinggi,

yaitu 27,6% (2012) di RSCM dan 26,41% (2012) di RS Dr. Soetomo

(Martina & Wardhana, 2013). Data epidemiologi dari unit luka bakar RSCM

pada tahun 2011-2012 melaporkan jumlah pasien luka bakar sebanyak 257

pasien. Dengan rerata usia adalah 28 tahun ( range : 2,5 bulan – 76 tahun),

dengan rasio laki- laki : perempuan adalah 2,7 : 1. Luka bakar api adalah

etiologi terbanyak (54,9 %), diikuti air panas (29,2%), luka bakar listrik

(12,8%), dan luka bakar kimia (3,1%). Rerata luas luka bakar adalah 26%

(range 1-98%). Dan rerata lama rawatan adalah 13,2 hari. Angka mortalitas

sebanyak 36,6% pada pasien dengan rerata luas luka bakar 44,5%, dengan

luas luka bakar > 60 % semuanya mengalami kematian.

2.1.2 Definisi

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh atau

rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat

substansi jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek

akan muncul diantaranya hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ,

respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri

dan kematian sel (Kaplan&Hentz, 2006).

7

Luka bakar (Combustio) adalah kehilangan jaringan yang disebabkan

kontak dengan sumber panas seperti air, api, bahan kimia, listrik, dan radiasi.

Luka bakar akan mengakibatkan tidak hanya kerusakan kulit, tetapi juga amat

memengaruhi seluruh sistem tubuh.

Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung

atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 44° C

tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda

untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan

struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan pembuluh

darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh

darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit.

Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hampir

menyelutruh, penimbunan jaringan masif di intersitial menyebabakan kondisi

hipovolemik. Volume cairan iuntravaskuler mengalami defisit, timbul ketidak

mampuan menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini

dikenal dengan syok (Moenajat, 2001).

2.2.3 Insiden

Kelompok terbesar dengan kasus luka bakar adalah anak-anak

kelompok usia dibawah 6 tahun bahkan sebagian besar berusia kurang dari 2

tahun. Puncak insiden kedua adalah luka bakar akibat kerja yaitu pada usia

25-35 tahun. Kendatipun jumlah pasien lanjut usia dengan luka bakar cukup

kecil, tetapi kelompok ini sering kali memerlukan perawatan pada fasilitas

khusus luka bakar. Daya tahan hidup dimana penderita dapat kembali pada

keadaan sebelum cedera pada penderita lanjut usia mengalami perbaikan yang

8

lebih cepat dibandingkan dengan populasi umum luka bakar lainnya. Insiden

luka bakar terutama terjadi pada pria oleh karena dominasi pekerja pria pada

industri berat dan kehidupan pria yang lebih beresiko tinggi. Cedera luka

bakar lebih sering melibatkan sosio ekonomi yang kurang-rendah. Insiden

puncak luka bakar pada orang dewasa muda terdapat pada umur 20-29 tahun.

Diikuti oleh anak umur 9 tahun atau lebih muda, luka bakar jarang terjadi

pada umur 80 tahun ke atas. Sekitar 80% luka bakar dapat terjadi di rumah.

Pada anak dibawah umur 3 tahun penyebab luka bakar paling umum adalah

cedera lepuh (scald burn). Luka ini dapat terjadi bila bayi dan balita yang tak

terurus dengan baik, dimasukkan kedalam bak mandi yang berisi air yang

sangat panas dan anak tak mampu keluar dari bak mandi tersebut. Selain itu

kulit balita lebih tipis daripada kulit anak yang lebih besar dan orang dewasa,

karena nya lebih rentan cedera. Pada anak umur 3-14 tahun, penyebab luka

bakar paling sering karena nyala api yang membakar baju. Dari umur ini

sampai 60 tahun luka bakar paling sering disebabkan oleh kecelakaan industry

(WHO 2008).

2.1.4 Etiologi

Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah

a. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn)

Gas, cairan, bahan padat Luka bakar thermal burn biasanya

disebabkan oleh air panas (scald) ,jilatan api ketubuh (flash), kobaran api

di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas

lainnya(logam panas, dan lain-lain) (Moenadjat, 2001).

9

b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)

Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali

yang biasa digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan

pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga

(Moenadjat, 2001).

c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)

Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan

ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki

resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah,

khusunya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal.

Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan

sumber arus maupun grown (Moenadjat, 2001).

d. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)

Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber

radio aktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif

untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat

terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka

bakar radiasi (Moenadjat, 2001).

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi luka bakar menurut kedalaman

a. Luka bakar derajat I

Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering

hiperemik, berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena ujung –ujung

10

syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam

waktu 5 -10 hari (Brunicardi et al., 2006).

b. Luka bakar derajat II

Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai

lapisan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai

pula, pembentukan scar, dan nyeri karena ujung - ujung syaraf sensorik

teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat. Sering terletak lebih

tinggi diatas kulit normal (Moenadjat, 2001).

Derajat II Dangkal (Superficial)

Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.

Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,

kelenjar sebasea masih utuh.

Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan

luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan

mungkin terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24

jam

Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah muda dan

basah.

Jarang menyebabkan hypertrophic scar.

Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara

spontan kurang dari 3 minggu (Brunicardi et al., 2006).

Derajat II dalam (Deep)

Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis

Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut,

kelenjar keringat,kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.

11

Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya

tanpak berwarna merah muda dan putih segera setelah terjadi

cedera karena variasi suplay darah dermis (daerah yang berwarna

putih mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada

sama sekali, daerah yg berwarna merah muda mengindikasikan

masih ada beberapa aliran darah ) (Moenadjat, 2001)

Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3 -9

minggu (Brunicardi et al., 2005)

c. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)

Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih

dalam, tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar

berwarna putih dan pucat. Karena kering, letak nya lebih rendah

dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang

dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh

karena ujung –ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian.

Penyembuhanterjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari

dasar luka (Moenadjat, 2001).

d. Luka bakar derajat IV

Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan

ltulang dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi seluruh

dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan

kelenjar keringat mengalami kerusakan, tidak dijumpai bula, kulit yang

terbakar berwarna abu-abu dan pucat, terletak lebih rendah dibandingkan

kulit sekitar, terjadi koagulasi protein pada epidemis dan dermis yang

12

dikenal scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensori karena ujung-

ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan dan kematian.

penyembuhannya terjadi lebih lama karena ada proses epitelisasi spontan

dan rasa luka (Moenadjat, 2001).

(Moenadjat, 2001)

Gambar 2.1 Derajat luka bakar

Klasifikasi Berdasarkan Luas Luka

a. Luka bakar ringan, yakni luka bakar derajat I seluas <10% atau derajat II

seluas <2%.

b. Luka bakar sedang, yakni luka bakar derajat I seluas 10-15% atau derajat II

seluas 5-10%

c. Luka bakar berat, yakni luka bakar derajat II seluas >20% atau derajat III

seluas >10%

Untuk menilai luas luka menggunakan metode “Rule of Nine” berdasarkan

LPTT (Luas Permukaan Tubuh Total). Luas luka bakar ditentukan untuk

13

menentukan kebutuhan cairan, dosis obat dan prognosis. Persentase pada

orang dewasa dan anak-anak berbeda. Pada dewasa, kepala memiliki nilai 9%

dan untuk ektremitas atas memiliki nilai masing-masing 9%. Untuk bagian

tubuh anterior dan posterior serta ekstremitas bawah memiliki nilai masing-

masing 18%, yang termasuk adalah toraks, abdomen dan punggung. Serta alat

genital 1%. Sedangkan pada anak-anak persentasenya berbeda pada kepala

memiliki nilai 18% dan ektremitas bawah 14% (Moenadjat, 2001).

(Moenadjat, 2001)

Gambar 2.2 Rule of Nine

14

2.1.6 Patofisiologi

Luka bakar dikelompokkan menjadi tiga zona berdasarkan derajat

kerusakan jaringan dan perubahan pada aliran darah. Pada bagian pusat atau

tengah luka disebut sebagai zona koagulasi, yaitu zona yang paling banyak

terpapar panas dan mengalami kerusakan terberat. Protein akan mengalami

denaturasi pada suhu diatas 41°C, sehingga panas yang berlebih pada tempat

luka akan mengakibatkan denaturasi protein, degradasi, dan koagulasi

yangmampu menyebakan nekrosis jaringan. Diluar zona koagulasi terdapat

zona stasis atau zona iskemik yang ditandai dengan menurunnya perfusi

jaringan. Zona stasis merupakan zona yang berpotensi untuk dilakukan

penyelamatan jaringan (Moenadjat, 2001)

Pada zona stasis, hipoksia dan iskemik dapat menyebabkan nekrosis

jaringan dalam 48 jam bila tidak dilakukan pertolongan. Penjelasan mengenai

terjadinya mekanisme apoptosis dan nekrosis yang terjadi belum dapat

dijelaskan secara detail, tetapi proses autofagus akan terjadi dalam 24 jam

pertama luka dan apoptosis onset lambat pada 24 hingga 48 jam pasca trauma

luka bakar. Pada daerah paling luar luka yaitu zona hiperemis, merupakan

zona yang menerima peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi inflamasi

(Richardson P & Mustard L. 2009).

15

(Rudall & Green, 2010)

Gambar 2.3 Zona Luka Bakar

2.1.7 Gambaran Klinis

Gambaran klinis luka bakar dapat dikelompokkan menjadi trauma

primer dan sekunder, dengan adanya kerusakan langsung yang disebabkan

oleh luka bakar dan morbiditas yang akan muncul mengikuti trauma awal.

Pada daerah sekitar luka, akan ditemukan warna kemerahan, bulla, edema,

nyeri atau perubahan sensasi. Efek sistemik yang ditemukan pada luka bakar

berat seperti syok hipovolemik, hipotermi, perubahan uji metabolik dan darah

(Rudall & Green, 2010).

Syok hipovolemik dapat terlihat pada pasien dengan luas luka bakar

lebih dari 25% LPTT. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya

permeabilitas pembuluh darah yang berlangsung secara kontinyu setidaknya

dalam 36 jam pertama setelah trauma luka bakar. Berbagai protein termasuk

albumin keluar menuju ruang interstitial dengan menarik cairan, sehingga

16

menyebabkan edema dan dehidrasi. Selain itu, tubuh juga telah kehilangan

cairan melalui area luka, sehingga untuk mengkompensasinya, pembuluh

darah perifer dan visera berkonstriksi yang pada akhirnya akan menyebabkan

hipoperfusi. Pada fase awal, curah jantung menurun akibat melemahnya

kontraktilitas miokardium, meningkatnya afterload dan berkurangnya volume

plasma. Tumour necrosis factor-α yang dilepaskan sebagai respon inflamasi

juga berperan dalam penurunan kontraktilitas miokardium (Rudall & Green,

2010).

Suhu tubuh akan menurun secara besar dengan luka bakar berat, hal ini

disebabkan akibat evaporasi cairan pada kulit karena suhu tinggi luka bakar

dan syok hipovolemik. Uji kimia darah menunjukkan tingginya kalium

(akibat kerusakan pada sel) dan rendahnya kalsium (akibat hipoalbuminemia).

Setelah 48 jam setelah trauma luka, pasien dengan luka bakar berat akan

menjadi hipermetabolik (laju metabolik dapat meningkat hingga 3 kali lipat).

Suhu basal tubuh akan meningkat mencapai 38,5°C akibat adanya respon

inflamasi sistemik terhadap luka bakar. Respon imun pasien juga akan

menurun karena adanya down regulation pada reseptor sehingga

meningkatkan resiko infeksi dan juga hilangnya barier utama pertahanan

tubuh yaitu kulit (Rudall & Green, 2010).

Nyeri akibat luka bakar dapat berasal dari berbagai sumber yaitu antara

lain, sumber luka itu sendiri, jaringan sekitar, penggantian pembalut luka

ataupun donor kulit. Setelah terjadinya luka, respon inflamasi akan memicu

dikeluarkannya berbagai mediator seperti bradikinin dan histamin yang

mampu memberi sinyal rasa nyeri (Richardson & Mustard, 2009).

17

Hiperalgesia primer terjadi sebagai respon terhadap nyeri pada lokasi

luka, sedangkan hiperalgesia sekunder terjadi beberapa menit kemudian yang

diakibatkan adanya transmisi saraf dari kulit sekitarnya yang tidak rusak.

Pasien dengan luka bakar derajat I atau derajat II superfisial biasanya akan

berespon baik terhadap pengobatan dan sembuh dalam waktu 2 minggu, luka

bakar tersebut tampak berwarna merah muda atau merah, nyeri dan memiliki

suplai darah yang baik (Rudall & Green, 2010).

2.1.8 Proses Penyembuhan Luka

Tubuh mempunyai kemampuan alamiah untuk melindungi dan

memulihkan dirinya sendiri. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,

membersihkan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler adalah

bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan dapat terjadi secara

normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat

mendukung proses penyembuhan (Zahrok, 2009).

Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS)

sebagai suatu proses yang kompleks dan dinamis sebagai

akibat pengembalian kontinuitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS,

suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur,

fungsi, dan penampilan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka

ditentukan oleh tipe luka serta lingkungan ekstrinsik dan instrinsik.

Penyembuhan luka dapat berlangsung cepat ataupun lambat. Pada luka bedah

dapat diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan

penyembuhan di bawah jahitan yang menyatu. Jembatan penyembuhan ini

muncul pada hari kelima sampa ketujuh pasca operasi (Zahrok, 2009).

18

1) Komponen dalam Penyembuhan Luka

Komponen penyembuhan luka (Zahrok, 2009).

a) Kolagen

Kolagen secara normal menghubungakan jaringan, melintasi luka

dengan berbagai macam sel mediator. Pada awalnya kolagen seperti gel

tetapi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan, kolagen akan

membentuk garis yang akan meningkatkan kekuatan luka. Beberapa

substansi diperlukan untuk membentuk kolagen antara lain vitamin C,

zinc, oksigen, dan zat besi.

b) Angiogenesis

Perkembangan dari pembuluh darah baru pada luka kotor dapat

diidentifikasi selama pengkajian klinik. Awalnya tepi luka berwarna

merah terang dan mudah berdarah. Selanjutnya dalam beberapa hari

berubah menjadi merah gelap. Secara mikroskopis, angiogenesis

dimulai beberapa jam setelah perlukaan.

c) Granulasi jaringan

Sebuah matrik kolagen, kapilarisasi, dan sel mulai mengisi daerah

luka dengan kolagen baru membentuk scar. Jaringan ini tumbuh di tepi

luka ke dasar luka. Granulasi jaringan diisi dengan kapilarisasi baru

yang memberi warna merah dan tidak rata. Luka dikelilingi oleh

fibroblast dan makrofag. Makrofag melanjutkan merawat luka dengan

merangsang fibroblast dan proses angiogenesis. Granulasi jaringan

mulai dibentuk dan proses epitelisasi dimulai.

19

d) Kontraksi luka

Kontraksi luka adalah mekanisme saat tepi luka menyatu sebagai

akibat kekuatan dalam luka. Kontraksi adalah kerja dari miofibroblast.

Jembatan miofibroblast melintasi luka dan menarik tepi luka untuk

menutup luka. Kontraksi tidak diharapkan pada beberapa luka karena

perubahan bentuk kosmetik yang diakibatkan oleh kontraktur.

e) Epitelialisasi

Epitelialisasi adalah migrasi sel dari sekeliling kulit.

Epitelialisasi juga melintasi folikel rambut pada dermis dari luka yang

sembuh dengan secondary intention. Besarnya luka atau kedalaman

luka memerlukan skin graft, karena epidermal migrasi secara normal

dibatasi kira-kira 3 cm. Epitelialisasi dapat dilihat pada granulasi luka

bersih. Epitelialisasi sel terbagi dan akhirnya migrasi epitel bertemu

dengan sel yang sama dari tepi luka yang lain dan migrasi berhenti.

Pada saat ini epitel berdiferensiasi menjadi bermacam lapis epidermis.

Epitelialisasi dapat ditingkatkan jika luka pada kondisi lembab. Tanda

scar yang dibentuk pada fase ini adalah merah terang, tipis dan rawan

terhadap tekanan.

2) Fase Penyembuhan Luka

Ada tiga fase dalam proses penyembuhan luka yaitu fase inflamasi,

fase proliferasi, dan fase penyudahan (remodeling) yang merupakan

perupaan kembali (remodeling) jaringan (Sjamsuhidajat, 2005).

20

a) Fase inflamasi

Pada fase inflamasi pembuluh darah yang terputus pada luka

akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusah menghentikannya

dengan vasokonstriksi, pengerutan pembuluh darah yang putus

(retraksi), dan reaksi hemostasis. Sel mast dalam jaringan ikat

menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas

kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyebukan sel radang, disertai

vasodilatasi setempat yang menyembabkan edema dan pembengkakan.

Tanda dan gejala klinis reaksi radang menjadi jelas yang berupa

warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat

(kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan functio laesa atau

daya pergerakan menurun.

(Gurtner, 2007)

Gambar 2.4 Fase inflamasi

b) Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang

menonjol adalah proliferasi fibroblast. Fibroblast berasal dari sel

mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan

mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan protein yang merupakan

bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada

21

fase ini, serat-serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk

penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung

mengerut. Pada fase ini luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan

kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan

permukaan yang berbenjol halus seperti jaringan granulasi. Epitel tepi

luka yang terdiri dari sel asal terlepas dari permukaan basalnya

mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudiaan diisi sel baru yang

terbentuk dari proses mitosis. Proses ini akan berhenti setelah epitel

saling menyentuh dan menutup seluruhnya

(Gurtner, 2007)

Gambar 2.5 Fase proliferase

c) Fase penyudahan (remodeling)

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri

dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai

gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru

terbentuk.

22

(Gurtner, 2007)

Gambar 2.6 Fase remodeling

2.1.9 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka adalah

sebagai berikut (Rulam, 2011):

a) Usia

Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada

orang tua. Selain karena orang tua lebih sering terkena penyakit

kronis, penurunan fungsi hati pada orang tua dapat mengganggu

sintesis faktor pembekuan darah.

b) Nutrisi

Tambahan nutrisi dibutuhkan dalam proses penyembuhan

luka. Pasien memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, lemak,

vitamin C dan A, serta mineral seperti Fe dan Zn.

c) Infeksi

Infeksi pada luka dapat menghambat penyembuhan. Bakteri

merupakan organisme utama penyebab infeksi.

23

d) Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan

luka. Pada orang-orang dengan obesitas, penyembuhan luka menjadi

lambat dan resiko infeksi menjadi lebih tinggi dikarenakan suplai

darah yang kurang ke jaringan. Selain itu, aliran darah dan

oksigenasi dapat terganggu pada orang yang menderita gangguan

pembuluh darah perifer, hipertensi, diabetes mellitus, anemia dan

gangguan pernapasan kronik. Kurangnya volume darah akan

mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya suplai oksigen dan

nutrisi untuk penyembuhan luka.

e) Hematoma

Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada

luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh untuk kemudian masuk

ke dalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar, hal

tersebut tentu memerlukan waktu yang lama untuk dapat diabsorbsi,

sehingga dapat menghambat proses penyembuhan luka.

f) Benda asing

Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan

menyebabkan terbentuknya suatu abses. Abses ini timbul dari serum,

fibrin, jaringan sel mati dan leukosit yang membentuk suatu cairan

kental yang disebut dengan nanah (Pus).

g) Iskemia

Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat

penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat obstruksi pada

24

aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat pembalutan pada luka yang

terlalu ketat ataupun faktor internal yaitu adanya obstruksi

pada pembuluh darah itu sendiri.

h) Diabetes Melitus

Hambatan terhadap sekresi insulin akan

mengakibatkan peningkatan gula darah yang menyebabkan nutrisi

tidak dapat masuk ke dalam sel. Hal tersebut tentu akan

mengganggu proses penyembuhan luka.

i) Keadaan Luka

Keadaan khusus dari luka, misalnya lokasi, dapat

mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka.

Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.

j) Obat

Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan

anti neoplasmik dapat mempengaruhi penyembuhan luka.

Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan

terhadap infeksi luka.

2.2 Pisang Ambon (Musa paradisiaca var Sapientum)

Pisang Ambon tumbuh dan berkembang subur di daerah tropis (30°LU-

30°LS) suhu optimum untuk tumbuh 27-30°C dan suhu maksimum 38°C. Curah

hujan antara 1400-2450 mm pertahun dengan penyebaran yang merata. Tanaman

pisang memerlukan pengairan di daerah dengan musim kering yang panjang.

25

2.2.1 Taksonomi

Klasifikasi botani tanaman Pisang Ambon (Prasetyo et al., 2008) :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Sub divisi : Angiosperma

Kelas : Monocotyledone

Subkelas : Commilinidae

Ordo : Zingiberales

Keluarga : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musaparadisiaca

Varietas : Sapientum

2.2.2 Morfologi dan Ekologi

Pisang tumbuh baik di daerah beriklim tropika. Temperatur

merupakan faktor utama untuk proses pertumbuhan. Pisang dapat tumbuh

subur pada kelembaban tanah berkisar antara 60-70%. Pisang masih dapat

tumbuh di ketinggian hingga 1600 m dpl di daerah tropika (Wardiyono,

2010). Batang pohon pisang berupa batang semu berpelah berwarna

hijau sampai coklat. Bonggol pisang, yakni bagian tengah dari batang

semu yang berada di dalam tanah merupakan batang pisang asli,

mengandung banyak cairan yang bersifat menyejukkan dan berkhasiat

menyembuhkan berbagai macam luka (Priosoeryanto et al., 2007).

26

Jantung pisang yang merupakan bunga pisang berwarna merah tua

keunguan. Di bagian dalamnya terdapat bakal pisang. Secara garis besar

syarat tumbuh tanaman pisang, antara lain:

1) Iklim tropis basah, lembab, dan panas mendukung

pertumbuhan pisang namun, pisang masih dapat tumbuh di daerah

subtropis. Pada kondisi tanpa air, pisang masih dapat tumbuh karena

air disuplai dari batangnya yang berair tetapi produksinya kurang

bisa diharapkan.

2) Angin dengan kecepatan tinggi seperti angin kumbang dapat

merusak daun dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

(Priosoeryanto et al., 2007)

Gambar 2.7 Pelepah pisang ambon

2.2.3 Kandungan Senyawa Pelepah Pisang Ambon

2.2.3.1 Flavonoid

Flavoniod adalah kelompok senyawa fenol yang terbesar

ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu,

biru, dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.

Fenol alam juga mempunyai daya antiseptik yang sangat kuat

(bakterisid dan fungisid) (Sundaryono, 2011).

27

Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang

terdapat pada tanaman hijau kecuali alga. Flavonoid yang lazim

ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (angiospermae) adalah flavon,

dengan C-O-glikosida, isoflavon C-Oglikosida, dihidrokolkon,

proantosianidin antosianin, auron O-glikosida, dihidroflavol O-

glikosida. Golongan flavon, flavonol, flavanon, isoflaton, dan khalkon

juga sering ditemukan dalam bentuk aglikonnya. Flavonoid tersusun

dari dua cincin aromatis yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin

ketiga dengan susunan C6-C3-C6 (Rohyami, 2008).

Flavonoid bersifat polar karena mempunyai sejumlah gugus

hidroksil ataupun mengikat gula, sehingga flavonoid umumnya larut

dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, dan butanol. Flavonoid

termasuk senyawa fenolik alam yang potensial dalam meningkatkan

kontraksi luka yang didukung oleh mekanisme antioksidan yang

menghambat peroksidasi lipid, melindungi kulit dari radikal bebas dan

melindungi jaringan dari stress oksidatif akibat cedera (Ponnusha dkk,

2011). Quercetin, merupakan jenis dari flavonoid yang paling umum,

merupakan antioksidan kuat karena memiliki semua komponen

struktural yang tepat untuk aktivitas menangkal radikal bebas.

Antioksidan adalah senyawa yang melindungi sel terhadap efek

kerusakan oleh oksigen reaktif. Flavonoid juga mempengaruhi

kenaikan jumlah trombosit dan memiliki bioaktifitas sebagai anti

kanker, anti virus, anti bakteri, anti peradangan, dan anti alergi

(Sundaryono, 2011).

28

Flavonoid menguntungkan terhadap kolagen, yaitu berperan

dalam menjaga integritas substansi dasar untuk merangkum jaringan

tubuh agar tidak bercerai-berai. Pengaruhnya yang sangat luas terhadap

kolagen dan kemampuannya sebagai antioksidan yang aktif membuat

flavonoid banyak digunakan dalam pengobatan terhadap penyembuhan

luka (Wirakusumah dkk, 2007).

Flavonoid telah disintesis oleh tanaman dalam responnya

terhadap infeksimikroba sehingga tidak mengherankan jika senyawa

flavonoid efektif secara invitro terhadap sejumlah mikroorganisme.

Flavonoid juga dapat bekerja secaraoptimal untuk membatasi pelepasan

mediator inflamasi. Aktivitas antiinflamasi flavonoid golongan

isoflavon berperan menghambat COX-2, lipooksigenase, dantirosin

kinase, sehingga terjadi pembatasan jumlah sel inflamasi yang

bermigrasi ke jaringan luka. Reaksi inflamasi akan berlangsung lebih

singkat dan kemampuan proliferatif dari TGF-β tidak terhambat,

sehingga proses proliferasi segera terjadi (Nijveldt dkk, 2001).

Fungsi lain dari flavonoid yakni menghambat pertumbuhan

bakteri dengan jalan merusak permeabilitas dinding sel bakteri,

mikrosom, dan lisosom sebagai hasil dari interaksi antara flavonoid

dengan DNA bakteri dan juga mampu melepaskan energi transduksi

terhadap membran sitoplasma bakteri serta menghambat motilitas

bakteri (Nijveldt dkk, 2001).

Flavonoid merupakan senyawa fenol yang pada kadar tinggi

fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis.

29

Flavonoid berfungsi dengan cara membentuk senyawa kompleks

terhadap protein extraseluler yang mengganggu integritas membran sel

(Juliantina dkk, 2009).

Senyawa fenolik dapat membunuh sel vegetatif, jamur, dan

bakteri pembentuk spora dengan mengadakan denaturasi protein dan

merusak dinding sel yang juga akan mempengaruhi membran

sitoplasma dengan cara menyerang lapisan batas sel dan merusak

semipermeabilitas membran sitoplasma, sehingga sel menjadi

permiabel dan mengakibatkan plasmolisis, kemudian keluarnya cairan

sitoplasma bersama bahan penting lainnya dapat mengakibatkan

kematian mikroba (Juliantina dkk, 2009).

2.2.3.2 Tannin

Tannin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol

yang memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat

membentuk kompleks dengan protein. Struktur tannin dibedakan

menjadi dua kelas yaitu tannin terkondensasi (condensed tannins) dan

tannin terhidrolisiskan (hydrolysabletannins) (Lee et al., 2011).

Senyawa tannin diketahui memiliki aktivitas biologi yang

menarik seperti sitotoksik terhadap sel kanker, menghambat pelepasan

histamine, anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri, dan antioksidan (Lee

et al., 2011).

Pada penelitian yang dilakukan Dougnon (2012) dikatakan

bahwa tannin merupakan zat yang berperan dalam vasokontriksi.

Vasokontriksi merupakan hal penting dalam hemostasis. Tannin juga

30

berfungsi sebagai astringen yang dapat menyebabkan penciutan pori-

pori kulit, memperkeras kulit, menghentikan eksudat, sehingga mampu

menutup luka dan mencegah pendarahan yang biasa timbul pada luka.

Senyawa astringen tannin dapat menginduksi pembentukan kompleks

senyawa ikatan terhadap enzim yang dapat menambah daya toksisitas

tannin itu sendiri (Akiyama dkk, 2001).

Tannin dan saponin bersifat antiseptik pada permukaan luka,

bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk melawan

infeksi pada luka, kulit, dan mukosa. Tannin juga dapat berfungsi

sebagai antioksidan biologis. Tannin memiliki efek menangkal radikal

bebas, meningkatkan oksigenasi, meningkatkan kontraksi luka,

meningkatkan pembentukan pembuluh darah, dan jumlah fibroblas (Lee

et al., 2011).

Efek tannin antara lain melalui reaksi dengan membran sel,

inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik.

Tannin diduga dapat mengganggu komponen penyusun peptidoglikan

pada sel, mengerutkan dinding selatau membran sel sehinga

mengganggu permeabilitas sel itu sendiri dan sel tidak dapat melakukan

aktivitas hidup, pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati

(Juliantina dkk, 2009). Tannin dapat membentuk senyawa kompleks

dengan protein-polisakarida dinding sel bakteri di membran sel yang

dapat menyebabkan inaktivasi protein sehingga merusak membran sel

bakteri (Cowan, 2009).

31

Buah mengandung alkaloid (salsolinol), terpenoid

(cycloeucalenol, cycloeucalenone), sterol (cycloartenol, obtusifoliol,

sitoindoside, palmitate, Beta-sitosterol, campesterol, isofucisterol,

stigmasterol), flavonoid (kaempferol, quercetin, rutin), elemen

(kadmium, kobalt, kromium, mangan, molibdenum, nikel, fosfor,

rubidium, selenium dan zink) (Marimin, 2011).

2.3 Povidone iodine

Povidone iodine adalah suatu iodovor dengan polivinil pirolidon berwarna

coklat gelap dan menimbulkan bau yang khas, dan dapat didefinisikan sebagai

kompleks dari iod dengan polivinil pirolidon yang tidak merangsang dan larut

dalam air. Povidone iodine 10% merupakan agens antimikroba yang efektif dalam

desinfeksi dan pembersihan kulit baik pra maupun pasca oprasi, dapat juga

digunakan dalam penatalaksanaan luka traumatik yang kotor pada pasien rawat

jalan dan untuk mengurangi sepsis pada luka bakar. Dalam 10% povidone iodine

mengandung 1% iodium yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan

membunuh spora dalam waktu 15 menit, kompleks dari iod dengan polivinil

pirolidon yang tidak merangsang dan larut dalam air. Povidone iodine pada

umumnya dapat dijumpai dalam konsentrasi 1%, 10% bergantung dengan jenis

penggunaan dan sifat dari mikroorganisme yang ingin didesinfeksikan (Marimin,

2011).

32

(Arakeri, G. And Brennan, P.A. 2011)

Gambar 2.8 Povidone iodine

2.3.1 Manfaat Povidone iodine

1) Untuk pengobatan pertama dan mencegah timbulnya infeksi pada luka-

luka lecet, terkelupas, tergores, terpotong atau terkoyak.

2) Untuk melindungi luka-luka operasi baik mayor atau minor terhadap

kemungkinan timbulnya infeksi.

3) Untuk pencuci tangan sebelum operasi (Marimin, 2011).

Adapun menurut pendapat Tjay dan Rahardja (2002) bahwa:

1) Povidone iodine 10% merupakan cairan antiseptik yang digunakan:

a) Untuk pengobatan pertama dan mencegah timbulnya infeksi pada

luka-luka seperti : lecet, terkelupas, tergores, terpotong atau terkoyak.

b) Untuk mencegah timbulnya infeksi pada luka khitan.

c) Untuk melindungi luka-luka operasi terhadap kemungkinan

timbulnya infeksi.

2) Sebagai obat kumur dengan konsentrasi 1%.

3) Sebagai pencuci tangan sebelum operasi 10%, dapat mengurangi

populasi kuman 85% dan kembali ke posisi normal setelah 8 jam.

33

4) Sebagai larutan pembersih 2%, salep 2% , sebagai lotion 0.75%.

2.3.2 Pemberian povidone iodine

Betadine antiseptik solution sebagai produk yang mengandung

povidone iodine 10% dapat digunakan beberapa kali dalam sehari, dan

digunakan dengan konsentrasi penuh baik untuk untuk digunakan sebagai

oles maupun kompres pada luka (Marimin, 2011).

2.4 Tikus putih (Rattus norvegicus)

Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan sebagai

hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan yang

dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis

dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran

banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan. Tikus (Rattus

norvegicus) memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama

jenis, namun demikian galur yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah

Sparaque dawley. Adapun taksonomi tikus menurut Besselsen (2004) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Sub-kelas : Theria

Ordo : Rodensia

Sub-ordo : Scuirognathi

Famili : Muridae

34

Sub Famili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus Norvegicus

KERANGKA KONSEPTUAL

2.5 Kerangka Konseptual

Luk

Flavonoid

Tanin

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak Diteliti

= Mempercepat

Gambar 2.9

kerangka konseptual

Ekstrak pelepah pisang ambon mengandung flavoniod yaitu kelompok

senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan

zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian kuning yang ditemukan dalam

Antibakteri

Luka

sembuh

Povidone iodine

PVP iodine

Luka bakar

derajat 1

Fase Penyembuhan

-Inflamasi -Proliferasi

-Remodeling

Gel ekstrak

pelepah pisang

ambon

35

tumbuh- tumbuhan. Fenol alam juga mempunyai daya antiseptik yang

sangat kuat (bakterisid dan fungisid) (Sundaryono, 2011).

Senyawa tannin diketahui memiliki aktivitas biologi yang menarik seperti

sitotoksik terhadap sel kanker, menghambat pelepasan histamin, antiinflamasi,

antijamur, antibakteri, dan antioksidan (Winata, 2003), tannin juga dapat

membentuk senyawa kompleks dengan protein-polisakarida dinding sel bakteri di

membrane sel yang dapat menyebabkan inaktivasi protein sehingga merusak

membrane sel bakteri (Cowan, 2009).

Povidone iodine adalah suatu iodovor dengan polivinil pirolidon berwarna

coklat gelap dan menimbulkan bau yang khas, dan dapat didefinisikan sebagai

kompleks dari iod dengan polivinil pirolidon yang tidak merangsang dan larut

dalam air. Povidone iodine 10% merupakan agens antimikroba yang efektif dalam

desinfeksi dan pembersihan kulit baik pra maupun pasca oprasi, dapat juga

digunakan dalam penatalaksanaan luka traumatik yang kotor pada pasien rawat

jalan dan untuk mengurangi sepsis pada luka bakar. Dalam 10% povidone iodine

mengandung 1% iodium yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan

membunuh spora dalam waktu 15 menit, kompleks dari iod dengan polivinil

pirolidon yang tidak merangsang dan larut dalam air. (Marimin, 2011).