bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41523/3/jiptummpp-gdl-wahyudwipu-50809-3-bab2.pdf · karena...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Luka Bakar
2.1.1 Epidemiologi
Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan
310.000 orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari
20 tahun. Luka bakar karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak
berusia 1 – 9 tahun. Anak – anak beresiko tinggi terhadap kematian akibat luka
bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka bakar dapat
menyebabkan kecacatan seumur hidup (WHO, 2008). Di Amerika Serikat, luka
bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari
50.000 pasien di rawat inap (Kumar et al., 2007). Di Indonesia, prevalensi luka
bakar sebesar 0,7% (RISKESDAS, 2013).
Secara global, 96.000 anak–anak yang berusia di bawah usia 20 tahun
mengalami kematian akibat luka bakar pada tahun 2004. Frekuensi kematian
lebih tinggi sebelas kali di negara dengan pendapatan rendah dan menengah
dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi sebesar 4,3 per
100.000 orang dan 0,4 per 100.000 orang. Kebanyakan kematian terjadi pada
daerah yang miskin, seperti Afrika, Asia Tenggara, dan daerah Timur
Tengah. Frekuensi kematian terendah terjadi pada daerah dengan pendapatan
tinggi, seperti Eropa dan Pasifik Barat (WHO, 2008).
Menurut the National Institutes of General Medical Sciences, sekitar
1,1 juta luka-luka bakar yang membutuhkan perawatan medis setiap tahun di
Amerika Serikat. Di antara mereka terluka, sekitar 50.000 memerlukan rawat
5
6
inap dan sekitar 4.500 meninggal setiap tahun dari luka bakar. Ketahanan
hidup setelah cedera luka bakar telah meningkat pesat selama abad kedua
puluh. Perbaikan resusitasi, pengenalan agen antimikroba topikal dan, yang
lebih penting, praktek eksisi dini luka bakar memberikan kontribusi terhadap
hasil yang lebih baik.Namun, cedera tetap mengancam jiwa (National
Institutes of General Medical Sciences 2007).
Angka mortalitas penderita luka bakar di Indonesia masih cukup tinggi,
yaitu 27,6% (2012) di RSCM dan 26,41% (2012) di RS Dr. Soetomo
(Martina & Wardhana, 2013). Data epidemiologi dari unit luka bakar RSCM
pada tahun 2011-2012 melaporkan jumlah pasien luka bakar sebanyak 257
pasien. Dengan rerata usia adalah 28 tahun ( range : 2,5 bulan – 76 tahun),
dengan rasio laki- laki : perempuan adalah 2,7 : 1. Luka bakar api adalah
etiologi terbanyak (54,9 %), diikuti air panas (29,2%), luka bakar listrik
(12,8%), dan luka bakar kimia (3,1%). Rerata luas luka bakar adalah 26%
(range 1-98%). Dan rerata lama rawatan adalah 13,2 hari. Angka mortalitas
sebanyak 36,6% pada pasien dengan rerata luas luka bakar 44,5%, dengan
luas luka bakar > 60 % semuanya mengalami kematian.
2.1.2 Definisi
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh atau
rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek
akan muncul diantaranya hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ,
respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri
dan kematian sel (Kaplan&Hentz, 2006).
7
Luka bakar (Combustio) adalah kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti air, api, bahan kimia, listrik, dan radiasi.
Luka bakar akan mengakibatkan tidak hanya kerusakan kulit, tetapi juga amat
memengaruhi seluruh sistem tubuh.
Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung
atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 44° C
tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda
untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan
struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan pembuluh
darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh
darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit.
Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hampir
menyelutruh, penimbunan jaringan masif di intersitial menyebabakan kondisi
hipovolemik. Volume cairan iuntravaskuler mengalami defisit, timbul ketidak
mampuan menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini
dikenal dengan syok (Moenajat, 2001).
2.2.3 Insiden
Kelompok terbesar dengan kasus luka bakar adalah anak-anak
kelompok usia dibawah 6 tahun bahkan sebagian besar berusia kurang dari 2
tahun. Puncak insiden kedua adalah luka bakar akibat kerja yaitu pada usia
25-35 tahun. Kendatipun jumlah pasien lanjut usia dengan luka bakar cukup
kecil, tetapi kelompok ini sering kali memerlukan perawatan pada fasilitas
khusus luka bakar. Daya tahan hidup dimana penderita dapat kembali pada
keadaan sebelum cedera pada penderita lanjut usia mengalami perbaikan yang
8
lebih cepat dibandingkan dengan populasi umum luka bakar lainnya. Insiden
luka bakar terutama terjadi pada pria oleh karena dominasi pekerja pria pada
industri berat dan kehidupan pria yang lebih beresiko tinggi. Cedera luka
bakar lebih sering melibatkan sosio ekonomi yang kurang-rendah. Insiden
puncak luka bakar pada orang dewasa muda terdapat pada umur 20-29 tahun.
Diikuti oleh anak umur 9 tahun atau lebih muda, luka bakar jarang terjadi
pada umur 80 tahun ke atas. Sekitar 80% luka bakar dapat terjadi di rumah.
Pada anak dibawah umur 3 tahun penyebab luka bakar paling umum adalah
cedera lepuh (scald burn). Luka ini dapat terjadi bila bayi dan balita yang tak
terurus dengan baik, dimasukkan kedalam bak mandi yang berisi air yang
sangat panas dan anak tak mampu keluar dari bak mandi tersebut. Selain itu
kulit balita lebih tipis daripada kulit anak yang lebih besar dan orang dewasa,
karena nya lebih rentan cedera. Pada anak umur 3-14 tahun, penyebab luka
bakar paling sering karena nyala api yang membakar baju. Dari umur ini
sampai 60 tahun luka bakar paling sering disebabkan oleh kecelakaan industry
(WHO 2008).
2.1.4 Etiologi
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah
a. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn)
Gas, cairan, bahan padat Luka bakar thermal burn biasanya
disebabkan oleh air panas (scald) ,jilatan api ketubuh (flash), kobaran api
di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas
lainnya(logam panas, dan lain-lain) (Moenadjat, 2001).
9
b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali
yang biasa digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan
pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga
(Moenadjat, 2001).
c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan
ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki
resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah,
khusunya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal.
Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan
sumber arus maupun grown (Moenadjat, 2001).
d. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber
radio aktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif
untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat
terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka
bakar radiasi (Moenadjat, 2001).
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi luka bakar menurut kedalaman
a. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering
hiperemik, berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena ujung –ujung
10
syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam
waktu 5 -10 hari (Brunicardi et al., 2006).
b. Luka bakar derajat II
Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai
lapisan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai
pula, pembentukan scar, dan nyeri karena ujung - ujung syaraf sensorik
teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat. Sering terletak lebih
tinggi diatas kulit normal (Moenadjat, 2001).
Derajat II Dangkal (Superficial)
Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.
Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea masih utuh.
Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan
luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan
mungkin terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24
jam
Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah muda dan
basah.
Jarang menyebabkan hypertrophic scar.
Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara
spontan kurang dari 3 minggu (Brunicardi et al., 2006).
Derajat II dalam (Deep)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut,
kelenjar keringat,kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
11
Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya
tanpak berwarna merah muda dan putih segera setelah terjadi
cedera karena variasi suplay darah dermis (daerah yang berwarna
putih mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada
sama sekali, daerah yg berwarna merah muda mengindikasikan
masih ada beberapa aliran darah ) (Moenadjat, 2001)
Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3 -9
minggu (Brunicardi et al., 2005)
c. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)
Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih
dalam, tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar
berwarna putih dan pucat. Karena kering, letak nya lebih rendah
dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang
dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh
karena ujung –ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian.
Penyembuhanterjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari
dasar luka (Moenadjat, 2001).
d. Luka bakar derajat IV
Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan
ltulang dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi seluruh
dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat mengalami kerusakan, tidak dijumpai bula, kulit yang
terbakar berwarna abu-abu dan pucat, terletak lebih rendah dibandingkan
kulit sekitar, terjadi koagulasi protein pada epidemis dan dermis yang
12
dikenal scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensori karena ujung-
ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan dan kematian.
penyembuhannya terjadi lebih lama karena ada proses epitelisasi spontan
dan rasa luka (Moenadjat, 2001).
(Moenadjat, 2001)
Gambar 2.1 Derajat luka bakar
Klasifikasi Berdasarkan Luas Luka
a. Luka bakar ringan, yakni luka bakar derajat I seluas <10% atau derajat II
seluas <2%.
b. Luka bakar sedang, yakni luka bakar derajat I seluas 10-15% atau derajat II
seluas 5-10%
c. Luka bakar berat, yakni luka bakar derajat II seluas >20% atau derajat III
seluas >10%
Untuk menilai luas luka menggunakan metode “Rule of Nine” berdasarkan
LPTT (Luas Permukaan Tubuh Total). Luas luka bakar ditentukan untuk
13
menentukan kebutuhan cairan, dosis obat dan prognosis. Persentase pada
orang dewasa dan anak-anak berbeda. Pada dewasa, kepala memiliki nilai 9%
dan untuk ektremitas atas memiliki nilai masing-masing 9%. Untuk bagian
tubuh anterior dan posterior serta ekstremitas bawah memiliki nilai masing-
masing 18%, yang termasuk adalah toraks, abdomen dan punggung. Serta alat
genital 1%. Sedangkan pada anak-anak persentasenya berbeda pada kepala
memiliki nilai 18% dan ektremitas bawah 14% (Moenadjat, 2001).
(Moenadjat, 2001)
Gambar 2.2 Rule of Nine
14
2.1.6 Patofisiologi
Luka bakar dikelompokkan menjadi tiga zona berdasarkan derajat
kerusakan jaringan dan perubahan pada aliran darah. Pada bagian pusat atau
tengah luka disebut sebagai zona koagulasi, yaitu zona yang paling banyak
terpapar panas dan mengalami kerusakan terberat. Protein akan mengalami
denaturasi pada suhu diatas 41°C, sehingga panas yang berlebih pada tempat
luka akan mengakibatkan denaturasi protein, degradasi, dan koagulasi
yangmampu menyebakan nekrosis jaringan. Diluar zona koagulasi terdapat
zona stasis atau zona iskemik yang ditandai dengan menurunnya perfusi
jaringan. Zona stasis merupakan zona yang berpotensi untuk dilakukan
penyelamatan jaringan (Moenadjat, 2001)
Pada zona stasis, hipoksia dan iskemik dapat menyebabkan nekrosis
jaringan dalam 48 jam bila tidak dilakukan pertolongan. Penjelasan mengenai
terjadinya mekanisme apoptosis dan nekrosis yang terjadi belum dapat
dijelaskan secara detail, tetapi proses autofagus akan terjadi dalam 24 jam
pertama luka dan apoptosis onset lambat pada 24 hingga 48 jam pasca trauma
luka bakar. Pada daerah paling luar luka yaitu zona hiperemis, merupakan
zona yang menerima peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi inflamasi
(Richardson P & Mustard L. 2009).
15
(Rudall & Green, 2010)
Gambar 2.3 Zona Luka Bakar
2.1.7 Gambaran Klinis
Gambaran klinis luka bakar dapat dikelompokkan menjadi trauma
primer dan sekunder, dengan adanya kerusakan langsung yang disebabkan
oleh luka bakar dan morbiditas yang akan muncul mengikuti trauma awal.
Pada daerah sekitar luka, akan ditemukan warna kemerahan, bulla, edema,
nyeri atau perubahan sensasi. Efek sistemik yang ditemukan pada luka bakar
berat seperti syok hipovolemik, hipotermi, perubahan uji metabolik dan darah
(Rudall & Green, 2010).
Syok hipovolemik dapat terlihat pada pasien dengan luas luka bakar
lebih dari 25% LPTT. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah yang berlangsung secara kontinyu setidaknya
dalam 36 jam pertama setelah trauma luka bakar. Berbagai protein termasuk
albumin keluar menuju ruang interstitial dengan menarik cairan, sehingga
16
menyebabkan edema dan dehidrasi. Selain itu, tubuh juga telah kehilangan
cairan melalui area luka, sehingga untuk mengkompensasinya, pembuluh
darah perifer dan visera berkonstriksi yang pada akhirnya akan menyebabkan
hipoperfusi. Pada fase awal, curah jantung menurun akibat melemahnya
kontraktilitas miokardium, meningkatnya afterload dan berkurangnya volume
plasma. Tumour necrosis factor-α yang dilepaskan sebagai respon inflamasi
juga berperan dalam penurunan kontraktilitas miokardium (Rudall & Green,
2010).
Suhu tubuh akan menurun secara besar dengan luka bakar berat, hal ini
disebabkan akibat evaporasi cairan pada kulit karena suhu tinggi luka bakar
dan syok hipovolemik. Uji kimia darah menunjukkan tingginya kalium
(akibat kerusakan pada sel) dan rendahnya kalsium (akibat hipoalbuminemia).
Setelah 48 jam setelah trauma luka, pasien dengan luka bakar berat akan
menjadi hipermetabolik (laju metabolik dapat meningkat hingga 3 kali lipat).
Suhu basal tubuh akan meningkat mencapai 38,5°C akibat adanya respon
inflamasi sistemik terhadap luka bakar. Respon imun pasien juga akan
menurun karena adanya down regulation pada reseptor sehingga
meningkatkan resiko infeksi dan juga hilangnya barier utama pertahanan
tubuh yaitu kulit (Rudall & Green, 2010).
Nyeri akibat luka bakar dapat berasal dari berbagai sumber yaitu antara
lain, sumber luka itu sendiri, jaringan sekitar, penggantian pembalut luka
ataupun donor kulit. Setelah terjadinya luka, respon inflamasi akan memicu
dikeluarkannya berbagai mediator seperti bradikinin dan histamin yang
mampu memberi sinyal rasa nyeri (Richardson & Mustard, 2009).
17
Hiperalgesia primer terjadi sebagai respon terhadap nyeri pada lokasi
luka, sedangkan hiperalgesia sekunder terjadi beberapa menit kemudian yang
diakibatkan adanya transmisi saraf dari kulit sekitarnya yang tidak rusak.
Pasien dengan luka bakar derajat I atau derajat II superfisial biasanya akan
berespon baik terhadap pengobatan dan sembuh dalam waktu 2 minggu, luka
bakar tersebut tampak berwarna merah muda atau merah, nyeri dan memiliki
suplai darah yang baik (Rudall & Green, 2010).
2.1.8 Proses Penyembuhan Luka
Tubuh mempunyai kemampuan alamiah untuk melindungi dan
memulihkan dirinya sendiri. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler adalah
bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan dapat terjadi secara
normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat
mendukung proses penyembuhan (Zahrok, 2009).
Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS)
sebagai suatu proses yang kompleks dan dinamis sebagai
akibat pengembalian kontinuitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS,
suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur,
fungsi, dan penampilan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka
ditentukan oleh tipe luka serta lingkungan ekstrinsik dan instrinsik.
Penyembuhan luka dapat berlangsung cepat ataupun lambat. Pada luka bedah
dapat diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan
penyembuhan di bawah jahitan yang menyatu. Jembatan penyembuhan ini
muncul pada hari kelima sampa ketujuh pasca operasi (Zahrok, 2009).
18
1) Komponen dalam Penyembuhan Luka
Komponen penyembuhan luka (Zahrok, 2009).
a) Kolagen
Kolagen secara normal menghubungakan jaringan, melintasi luka
dengan berbagai macam sel mediator. Pada awalnya kolagen seperti gel
tetapi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan, kolagen akan
membentuk garis yang akan meningkatkan kekuatan luka. Beberapa
substansi diperlukan untuk membentuk kolagen antara lain vitamin C,
zinc, oksigen, dan zat besi.
b) Angiogenesis
Perkembangan dari pembuluh darah baru pada luka kotor dapat
diidentifikasi selama pengkajian klinik. Awalnya tepi luka berwarna
merah terang dan mudah berdarah. Selanjutnya dalam beberapa hari
berubah menjadi merah gelap. Secara mikroskopis, angiogenesis
dimulai beberapa jam setelah perlukaan.
c) Granulasi jaringan
Sebuah matrik kolagen, kapilarisasi, dan sel mulai mengisi daerah
luka dengan kolagen baru membentuk scar. Jaringan ini tumbuh di tepi
luka ke dasar luka. Granulasi jaringan diisi dengan kapilarisasi baru
yang memberi warna merah dan tidak rata. Luka dikelilingi oleh
fibroblast dan makrofag. Makrofag melanjutkan merawat luka dengan
merangsang fibroblast dan proses angiogenesis. Granulasi jaringan
mulai dibentuk dan proses epitelisasi dimulai.
19
d) Kontraksi luka
Kontraksi luka adalah mekanisme saat tepi luka menyatu sebagai
akibat kekuatan dalam luka. Kontraksi adalah kerja dari miofibroblast.
Jembatan miofibroblast melintasi luka dan menarik tepi luka untuk
menutup luka. Kontraksi tidak diharapkan pada beberapa luka karena
perubahan bentuk kosmetik yang diakibatkan oleh kontraktur.
e) Epitelialisasi
Epitelialisasi adalah migrasi sel dari sekeliling kulit.
Epitelialisasi juga melintasi folikel rambut pada dermis dari luka yang
sembuh dengan secondary intention. Besarnya luka atau kedalaman
luka memerlukan skin graft, karena epidermal migrasi secara normal
dibatasi kira-kira 3 cm. Epitelialisasi dapat dilihat pada granulasi luka
bersih. Epitelialisasi sel terbagi dan akhirnya migrasi epitel bertemu
dengan sel yang sama dari tepi luka yang lain dan migrasi berhenti.
Pada saat ini epitel berdiferensiasi menjadi bermacam lapis epidermis.
Epitelialisasi dapat ditingkatkan jika luka pada kondisi lembab. Tanda
scar yang dibentuk pada fase ini adalah merah terang, tipis dan rawan
terhadap tekanan.
2) Fase Penyembuhan Luka
Ada tiga fase dalam proses penyembuhan luka yaitu fase inflamasi,
fase proliferasi, dan fase penyudahan (remodeling) yang merupakan
perupaan kembali (remodeling) jaringan (Sjamsuhidajat, 2005).
20
a) Fase inflamasi
Pada fase inflamasi pembuluh darah yang terputus pada luka
akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusah menghentikannya
dengan vasokonstriksi, pengerutan pembuluh darah yang putus
(retraksi), dan reaksi hemostasis. Sel mast dalam jaringan ikat
menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyebukan sel radang, disertai
vasodilatasi setempat yang menyembabkan edema dan pembengkakan.
Tanda dan gejala klinis reaksi radang menjadi jelas yang berupa
warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat
(kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan functio laesa atau
daya pergerakan menurun.
(Gurtner, 2007)
Gambar 2.4 Fase inflamasi
b) Fase proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang
menonjol adalah proliferasi fibroblast. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan protein yang merupakan
bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada
21
fase ini, serat-serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk
penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung
mengerut. Pada fase ini luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan
kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan
permukaan yang berbenjol halus seperti jaringan granulasi. Epitel tepi
luka yang terdiri dari sel asal terlepas dari permukaan basalnya
mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudiaan diisi sel baru yang
terbentuk dari proses mitosis. Proses ini akan berhenti setelah epitel
saling menyentuh dan menutup seluruhnya
(Gurtner, 2007)
Gambar 2.5 Fase proliferase
c) Fase penyudahan (remodeling)
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri
dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai
gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru
terbentuk.
22
(Gurtner, 2007)
Gambar 2.6 Fase remodeling
2.1.9 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka adalah
sebagai berikut (Rulam, 2011):
a) Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada
orang tua. Selain karena orang tua lebih sering terkena penyakit
kronis, penurunan fungsi hati pada orang tua dapat mengganggu
sintesis faktor pembekuan darah.
b) Nutrisi
Tambahan nutrisi dibutuhkan dalam proses penyembuhan
luka. Pasien memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, lemak,
vitamin C dan A, serta mineral seperti Fe dan Zn.
c) Infeksi
Infeksi pada luka dapat menghambat penyembuhan. Bakteri
merupakan organisme utama penyebab infeksi.
23
d) Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan
luka. Pada orang-orang dengan obesitas, penyembuhan luka menjadi
lambat dan resiko infeksi menjadi lebih tinggi dikarenakan suplai
darah yang kurang ke jaringan. Selain itu, aliran darah dan
oksigenasi dapat terganggu pada orang yang menderita gangguan
pembuluh darah perifer, hipertensi, diabetes mellitus, anemia dan
gangguan pernapasan kronik. Kurangnya volume darah akan
mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya suplai oksigen dan
nutrisi untuk penyembuhan luka.
e) Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada
luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh untuk kemudian masuk
ke dalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar, hal
tersebut tentu memerlukan waktu yang lama untuk dapat diabsorbsi,
sehingga dapat menghambat proses penyembuhan luka.
f) Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan
menyebabkan terbentuknya suatu abses. Abses ini timbul dari serum,
fibrin, jaringan sel mati dan leukosit yang membentuk suatu cairan
kental yang disebut dengan nanah (Pus).
g) Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat
penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat obstruksi pada
24
aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat pembalutan pada luka yang
terlalu ketat ataupun faktor internal yaitu adanya obstruksi
pada pembuluh darah itu sendiri.
h) Diabetes Melitus
Hambatan terhadap sekresi insulin akan
mengakibatkan peningkatan gula darah yang menyebabkan nutrisi
tidak dapat masuk ke dalam sel. Hal tersebut tentu akan
mengganggu proses penyembuhan luka.
i) Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka, misalnya lokasi, dapat
mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka.
Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
j) Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan
anti neoplasmik dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan
terhadap infeksi luka.
2.2 Pisang Ambon (Musa paradisiaca var Sapientum)
Pisang Ambon tumbuh dan berkembang subur di daerah tropis (30°LU-
30°LS) suhu optimum untuk tumbuh 27-30°C dan suhu maksimum 38°C. Curah
hujan antara 1400-2450 mm pertahun dengan penyebaran yang merata. Tanaman
pisang memerlukan pengairan di daerah dengan musim kering yang panjang.
25
2.2.1 Taksonomi
Klasifikasi botani tanaman Pisang Ambon (Prasetyo et al., 2008) :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Sub divisi : Angiosperma
Kelas : Monocotyledone
Subkelas : Commilinidae
Ordo : Zingiberales
Keluarga : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musaparadisiaca
Varietas : Sapientum
2.2.2 Morfologi dan Ekologi
Pisang tumbuh baik di daerah beriklim tropika. Temperatur
merupakan faktor utama untuk proses pertumbuhan. Pisang dapat tumbuh
subur pada kelembaban tanah berkisar antara 60-70%. Pisang masih dapat
tumbuh di ketinggian hingga 1600 m dpl di daerah tropika (Wardiyono,
2010). Batang pohon pisang berupa batang semu berpelah berwarna
hijau sampai coklat. Bonggol pisang, yakni bagian tengah dari batang
semu yang berada di dalam tanah merupakan batang pisang asli,
mengandung banyak cairan yang bersifat menyejukkan dan berkhasiat
menyembuhkan berbagai macam luka (Priosoeryanto et al., 2007).
26
Jantung pisang yang merupakan bunga pisang berwarna merah tua
keunguan. Di bagian dalamnya terdapat bakal pisang. Secara garis besar
syarat tumbuh tanaman pisang, antara lain:
1) Iklim tropis basah, lembab, dan panas mendukung
pertumbuhan pisang namun, pisang masih dapat tumbuh di daerah
subtropis. Pada kondisi tanpa air, pisang masih dapat tumbuh karena
air disuplai dari batangnya yang berair tetapi produksinya kurang
bisa diharapkan.
2) Angin dengan kecepatan tinggi seperti angin kumbang dapat
merusak daun dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
(Priosoeryanto et al., 2007)
Gambar 2.7 Pelepah pisang ambon
2.2.3 Kandungan Senyawa Pelepah Pisang Ambon
2.2.3.1 Flavonoid
Flavoniod adalah kelompok senyawa fenol yang terbesar
ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu,
biru, dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
Fenol alam juga mempunyai daya antiseptik yang sangat kuat
(bakterisid dan fungisid) (Sundaryono, 2011).
27
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang
terdapat pada tanaman hijau kecuali alga. Flavonoid yang lazim
ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (angiospermae) adalah flavon,
dengan C-O-glikosida, isoflavon C-Oglikosida, dihidrokolkon,
proantosianidin antosianin, auron O-glikosida, dihidroflavol O-
glikosida. Golongan flavon, flavonol, flavanon, isoflaton, dan khalkon
juga sering ditemukan dalam bentuk aglikonnya. Flavonoid tersusun
dari dua cincin aromatis yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin
ketiga dengan susunan C6-C3-C6 (Rohyami, 2008).
Flavonoid bersifat polar karena mempunyai sejumlah gugus
hidroksil ataupun mengikat gula, sehingga flavonoid umumnya larut
dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, dan butanol. Flavonoid
termasuk senyawa fenolik alam yang potensial dalam meningkatkan
kontraksi luka yang didukung oleh mekanisme antioksidan yang
menghambat peroksidasi lipid, melindungi kulit dari radikal bebas dan
melindungi jaringan dari stress oksidatif akibat cedera (Ponnusha dkk,
2011). Quercetin, merupakan jenis dari flavonoid yang paling umum,
merupakan antioksidan kuat karena memiliki semua komponen
struktural yang tepat untuk aktivitas menangkal radikal bebas.
Antioksidan adalah senyawa yang melindungi sel terhadap efek
kerusakan oleh oksigen reaktif. Flavonoid juga mempengaruhi
kenaikan jumlah trombosit dan memiliki bioaktifitas sebagai anti
kanker, anti virus, anti bakteri, anti peradangan, dan anti alergi
(Sundaryono, 2011).
28
Flavonoid menguntungkan terhadap kolagen, yaitu berperan
dalam menjaga integritas substansi dasar untuk merangkum jaringan
tubuh agar tidak bercerai-berai. Pengaruhnya yang sangat luas terhadap
kolagen dan kemampuannya sebagai antioksidan yang aktif membuat
flavonoid banyak digunakan dalam pengobatan terhadap penyembuhan
luka (Wirakusumah dkk, 2007).
Flavonoid telah disintesis oleh tanaman dalam responnya
terhadap infeksimikroba sehingga tidak mengherankan jika senyawa
flavonoid efektif secara invitro terhadap sejumlah mikroorganisme.
Flavonoid juga dapat bekerja secaraoptimal untuk membatasi pelepasan
mediator inflamasi. Aktivitas antiinflamasi flavonoid golongan
isoflavon berperan menghambat COX-2, lipooksigenase, dantirosin
kinase, sehingga terjadi pembatasan jumlah sel inflamasi yang
bermigrasi ke jaringan luka. Reaksi inflamasi akan berlangsung lebih
singkat dan kemampuan proliferatif dari TGF-β tidak terhambat,
sehingga proses proliferasi segera terjadi (Nijveldt dkk, 2001).
Fungsi lain dari flavonoid yakni menghambat pertumbuhan
bakteri dengan jalan merusak permeabilitas dinding sel bakteri,
mikrosom, dan lisosom sebagai hasil dari interaksi antara flavonoid
dengan DNA bakteri dan juga mampu melepaskan energi transduksi
terhadap membran sitoplasma bakteri serta menghambat motilitas
bakteri (Nijveldt dkk, 2001).
Flavonoid merupakan senyawa fenol yang pada kadar tinggi
fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis.
29
Flavonoid berfungsi dengan cara membentuk senyawa kompleks
terhadap protein extraseluler yang mengganggu integritas membran sel
(Juliantina dkk, 2009).
Senyawa fenolik dapat membunuh sel vegetatif, jamur, dan
bakteri pembentuk spora dengan mengadakan denaturasi protein dan
merusak dinding sel yang juga akan mempengaruhi membran
sitoplasma dengan cara menyerang lapisan batas sel dan merusak
semipermeabilitas membran sitoplasma, sehingga sel menjadi
permiabel dan mengakibatkan plasmolisis, kemudian keluarnya cairan
sitoplasma bersama bahan penting lainnya dapat mengakibatkan
kematian mikroba (Juliantina dkk, 2009).
2.2.3.2 Tannin
Tannin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol
yang memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat
membentuk kompleks dengan protein. Struktur tannin dibedakan
menjadi dua kelas yaitu tannin terkondensasi (condensed tannins) dan
tannin terhidrolisiskan (hydrolysabletannins) (Lee et al., 2011).
Senyawa tannin diketahui memiliki aktivitas biologi yang
menarik seperti sitotoksik terhadap sel kanker, menghambat pelepasan
histamine, anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri, dan antioksidan (Lee
et al., 2011).
Pada penelitian yang dilakukan Dougnon (2012) dikatakan
bahwa tannin merupakan zat yang berperan dalam vasokontriksi.
Vasokontriksi merupakan hal penting dalam hemostasis. Tannin juga
30
berfungsi sebagai astringen yang dapat menyebabkan penciutan pori-
pori kulit, memperkeras kulit, menghentikan eksudat, sehingga mampu
menutup luka dan mencegah pendarahan yang biasa timbul pada luka.
Senyawa astringen tannin dapat menginduksi pembentukan kompleks
senyawa ikatan terhadap enzim yang dapat menambah daya toksisitas
tannin itu sendiri (Akiyama dkk, 2001).
Tannin dan saponin bersifat antiseptik pada permukaan luka,
bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk melawan
infeksi pada luka, kulit, dan mukosa. Tannin juga dapat berfungsi
sebagai antioksidan biologis. Tannin memiliki efek menangkal radikal
bebas, meningkatkan oksigenasi, meningkatkan kontraksi luka,
meningkatkan pembentukan pembuluh darah, dan jumlah fibroblas (Lee
et al., 2011).
Efek tannin antara lain melalui reaksi dengan membran sel,
inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik.
Tannin diduga dapat mengganggu komponen penyusun peptidoglikan
pada sel, mengerutkan dinding selatau membran sel sehinga
mengganggu permeabilitas sel itu sendiri dan sel tidak dapat melakukan
aktivitas hidup, pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati
(Juliantina dkk, 2009). Tannin dapat membentuk senyawa kompleks
dengan protein-polisakarida dinding sel bakteri di membran sel yang
dapat menyebabkan inaktivasi protein sehingga merusak membran sel
bakteri (Cowan, 2009).
31
Buah mengandung alkaloid (salsolinol), terpenoid
(cycloeucalenol, cycloeucalenone), sterol (cycloartenol, obtusifoliol,
sitoindoside, palmitate, Beta-sitosterol, campesterol, isofucisterol,
stigmasterol), flavonoid (kaempferol, quercetin, rutin), elemen
(kadmium, kobalt, kromium, mangan, molibdenum, nikel, fosfor,
rubidium, selenium dan zink) (Marimin, 2011).
2.3 Povidone iodine
Povidone iodine adalah suatu iodovor dengan polivinil pirolidon berwarna
coklat gelap dan menimbulkan bau yang khas, dan dapat didefinisikan sebagai
kompleks dari iod dengan polivinil pirolidon yang tidak merangsang dan larut
dalam air. Povidone iodine 10% merupakan agens antimikroba yang efektif dalam
desinfeksi dan pembersihan kulit baik pra maupun pasca oprasi, dapat juga
digunakan dalam penatalaksanaan luka traumatik yang kotor pada pasien rawat
jalan dan untuk mengurangi sepsis pada luka bakar. Dalam 10% povidone iodine
mengandung 1% iodium yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan
membunuh spora dalam waktu 15 menit, kompleks dari iod dengan polivinil
pirolidon yang tidak merangsang dan larut dalam air. Povidone iodine pada
umumnya dapat dijumpai dalam konsentrasi 1%, 10% bergantung dengan jenis
penggunaan dan sifat dari mikroorganisme yang ingin didesinfeksikan (Marimin,
2011).
32
(Arakeri, G. And Brennan, P.A. 2011)
Gambar 2.8 Povidone iodine
2.3.1 Manfaat Povidone iodine
1) Untuk pengobatan pertama dan mencegah timbulnya infeksi pada luka-
luka lecet, terkelupas, tergores, terpotong atau terkoyak.
2) Untuk melindungi luka-luka operasi baik mayor atau minor terhadap
kemungkinan timbulnya infeksi.
3) Untuk pencuci tangan sebelum operasi (Marimin, 2011).
Adapun menurut pendapat Tjay dan Rahardja (2002) bahwa:
1) Povidone iodine 10% merupakan cairan antiseptik yang digunakan:
a) Untuk pengobatan pertama dan mencegah timbulnya infeksi pada
luka-luka seperti : lecet, terkelupas, tergores, terpotong atau terkoyak.
b) Untuk mencegah timbulnya infeksi pada luka khitan.
c) Untuk melindungi luka-luka operasi terhadap kemungkinan
timbulnya infeksi.
2) Sebagai obat kumur dengan konsentrasi 1%.
3) Sebagai pencuci tangan sebelum operasi 10%, dapat mengurangi
populasi kuman 85% dan kembali ke posisi normal setelah 8 jam.
33
4) Sebagai larutan pembersih 2%, salep 2% , sebagai lotion 0.75%.
2.3.2 Pemberian povidone iodine
Betadine antiseptik solution sebagai produk yang mengandung
povidone iodine 10% dapat digunakan beberapa kali dalam sehari, dan
digunakan dengan konsentrasi penuh baik untuk untuk digunakan sebagai
oles maupun kompres pada luka (Marimin, 2011).
2.4 Tikus putih (Rattus norvegicus)
Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan sebagai
hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan yang
dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis
dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran
banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan. Tikus (Rattus
norvegicus) memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama
jenis, namun demikian galur yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah
Sparaque dawley. Adapun taksonomi tikus menurut Besselsen (2004) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Sub-kelas : Theria
Ordo : Rodensia
Sub-ordo : Scuirognathi
Famili : Muridae
34
Sub Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus Norvegicus
KERANGKA KONSEPTUAL
2.5 Kerangka Konseptual
Luk
Flavonoid
Tanin
Keterangan :
= Diteliti
= Tidak Diteliti
= Mempercepat
Gambar 2.9
kerangka konseptual
Ekstrak pelepah pisang ambon mengandung flavoniod yaitu kelompok
senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan
zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian kuning yang ditemukan dalam
Antibakteri
Luka
sembuh
Povidone iodine
PVP iodine
Luka bakar
derajat 1
Fase Penyembuhan
-Inflamasi -Proliferasi
-Remodeling
Gel ekstrak
pelepah pisang
ambon
35
tumbuh- tumbuhan. Fenol alam juga mempunyai daya antiseptik yang
sangat kuat (bakterisid dan fungisid) (Sundaryono, 2011).
Senyawa tannin diketahui memiliki aktivitas biologi yang menarik seperti
sitotoksik terhadap sel kanker, menghambat pelepasan histamin, antiinflamasi,
antijamur, antibakteri, dan antioksidan (Winata, 2003), tannin juga dapat
membentuk senyawa kompleks dengan protein-polisakarida dinding sel bakteri di
membrane sel yang dapat menyebabkan inaktivasi protein sehingga merusak
membrane sel bakteri (Cowan, 2009).
Povidone iodine adalah suatu iodovor dengan polivinil pirolidon berwarna
coklat gelap dan menimbulkan bau yang khas, dan dapat didefinisikan sebagai
kompleks dari iod dengan polivinil pirolidon yang tidak merangsang dan larut
dalam air. Povidone iodine 10% merupakan agens antimikroba yang efektif dalam
desinfeksi dan pembersihan kulit baik pra maupun pasca oprasi, dapat juga
digunakan dalam penatalaksanaan luka traumatik yang kotor pada pasien rawat
jalan dan untuk mengurangi sepsis pada luka bakar. Dalam 10% povidone iodine
mengandung 1% iodium yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan
membunuh spora dalam waktu 15 menit, kompleks dari iod dengan polivinil
pirolidon yang tidak merangsang dan larut dalam air. (Marimin, 2011).