bab 2 proses dan pendekatan kelembagaan desa

19
9 Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

Upload: others

Post on 03-Dec-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

9Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

Bab 2PROSES DAN

PENDEKATANKELEMBAGAAN DESA

Page 2: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

11Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

Bab 2PROSES DAN PENDEKATAN

KELEMBAGAAN DESA

Inovasi dalam beberapa aspek strategi pedesaan di Indonesiamemang dilakukan juga oleh negara. Salah satu inovasiyang penting adalah dibentuknya Badan Perwakilan Desa

(BPD) dan diberikannya fungsi penasehat dan pengawasan bagiKepala Desa dalam hal pembangunan pada lembaga itu. Dalamkenyataannya BPD belum dapat berfungsi sebagai yangdiharapkan. BPD masih merupakan bagian dari perangkatpemerintah desa. Peranan Kepala Desa masih tetap dominan.Demikian pula inovasi-inovasi lain yang dikembangkan olehpemerintah di daerah pedesaan masih mencerminkan dominasinegara dalam proses pembangunan. Sentralisme tetap me-rupakan ciri dari proses pembangunan pedesaan di negara kita.Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kemerdekaan politikIndonesia belum berhasil menghilangkan ciri sentralisme inidalam proses pembangunan di Indonesia pada umumnya,khususnya pembangunan pedesaan?

Lestarinya ciri sentralisme dalam proses pembangunandi Indonesia berkait dengan kenyataan bahwa masyarakat

Page 3: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

12 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

Indonesia tidak memiliki kelas menengah yang dapat menjadisumber penggerak pembangunan alternatif di negara kita.Seperti telah diuraikan di atas hal ini timbul sebagai akibat dartdominasi kapitalis dalam proses pembangunan Indonesia padamesa kolonial. Pada masa pemerintahan Soekarno yangbersifat populis, pernah diusahakan untuk menciptakan kelasmenengah dalam masyarakat Indonesia melalui ProgramBanteng. Program ini bertujuan menciptakan suatu kelompokkelas menengah pribumi dalam bidang perdagangan impor.Dipilihnya perdagangan impor ini sebagai wahana untukmembentuk kelas menengah di Indonesia karena sektor initidak membutuhkan banyak modal dan sumber daya teknologiseperti halnya sektor manufaktur. Apabila program ini berhasildiharapkan akan dapat mendorong timbulnya kelas menengahpribumi di sektor lain. Program itu ternyata gagal. Tentangkegagalan program ini Robinson menulis;

As the programme progresed it became apparent that fewrecipients of import licences were established indigeneousimporters but tended instead to the individuals associatedwith powerful figures in the bureaucracy or the parties whocontrolled allocation of licences and credit. More disturbing,it also became apparent that the majority of Benteng firmszwere not using the licences for importing but were simplyselling them to genuine importers, mostly Chinese and oftenfalling to a pay BNI Credit. What was being consolidatedwas not an indigeneous merchant bourgeosie but a gtroup of licence brokers and political dixers.

Ada beberapa akibat penting dari kegagalan negaramenciptakan kelas menengah. Salah satu di antara akibat ituadalah negara dan aparatnya harus menjadi motor tunggalpenggerak modernisasi masyarakat Indonesia pasca kolonial.Pengalaman khusus negara dan aparatnya sebagai penggeraktunggal modernisasi di Indonesia berpengaruh pada sifat dasarpelaksanaan fungsinya sebagai penggerak modernisasi.

Pengalaman itu adalah tantangan politik dari berbagaigolongan terhadap negara dan aparatnya pada tahun-tahun

Page 4: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

13Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

permulaan kemerdekaan Indonesia. Tantangan-tantanganyang hampir meruntuhkan kesatuan bangsa itu menimbulkansatu keyakinan pada negara dan aparatnya untuk mengen-dalikan dan mengelola proses modernisasi secara terpusat.

Negara dapat mengarahkan proses modernisasi agar tidakmenimbulkan akibat-akibat yang dapat mengancam kesatuanIndonesia. Tugas negara memang menjadi sangat luas, yaitumulai dari penyedia dana untuk membiayai program moder-nisasi, merencanakan dan melaksanakan, serta mengamankanproyek modernisasi yang mereka rencanakan.

2.1. Proses Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Desa

Tanpa disadari negara sebagai motor tunggal dalam prosesmodernisasi telah menciptakan suatu kekuatan baru dalammasyarakat. Kekuatan itu, kata Bauer adalah hak dari aparatnegara untuk membatasi warga masyarakat untuk memilihalternatif dalam pembangunan. Suatu contoh dalam hal iniadalah kebijaksanaan pembangunan pertanian Indonesia.Demi kepentingan nasional petani harus menanam padi dantak diizinkan menanam tanaman lain, walaupun petani inginmenanam tanaman lain yang mempunyai harga jual yanglebih tinggi dari pada padi. Dengan kata lain peranan tunggalnegara sebagai penggerak modernisasi masyarakat Indonesiamenyebabkan tidak hanya proses pembangunan di Indonesiabersifat sentralistis tetapi juga bersifat birokratis.

Harus diakui, dengan terpusatnya proses modernisasipada tangan negara maka program-program modernisasi diIndonesia dapat berjalan sesuai dengan target yang ditentukannegara. Namun sentralisasi dan birokratisasi proses modernisasimenciptakan problema baru vans mendasar. Pertama, negaraakan sering mengalami kesulitan untuk menciptakan resourcestambahan yang dibutuhkan negara, untuk melestarikanprogram-program modernisasi yang mereka lakukan.

Page 5: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

14 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

Hal di atas akan sangat terasa pada masa terjadi penu-runan dana pembangunan ataupun pada saat proses moder-nisasi itu mencapai titik jenuh di mana dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru guna menyegarkan kembali proses modernisasiitu. Kedua, proses modernisasi yang sentrahstis dan birokratisitu menyebabkan negara dan aparatnya sering menjadi obyekkritik apabila terjadi kesalahan atau tidak berhasilnya programmodernisasi yang mereka rencanakan. Kritik ini seringberkembang menjadi ketegangan-ketegangan politik apabilanegara dan aparatnya memiliki tradisi yang tidak dapatmenghargai makna kritik dalam proses modernisasi itu, sepertidikatakan oleh Tubs Bauer:

When state control over social and economic life is extensiveand close the achievement and the exercise of political powerbecome all-important. Such a situation creates wide-spreadanxiety and concern with the processes and result of politicallife, especially among the active elements of the population.The state in the fight for political power increase and thestruggle for it intensifies.... More-over, when state controlover economic life is extensive the population is certain to beespecially prone to blame the government for all economicgrievances, wether genuineor spurious, including adverseeconomis change, and practically all change affectsadversely some groups. This allocation of responsibility andof blame may or may not be justified in specific instances.But superficial plausibility is lent to it, both by extensive statecontrol over economic life and by the claims advanced forstate action by its advocates. Such a situation clearlyexacerbates political tension.

Problem ketiga yang tidak kalah pentingnya, munculsebagai akibat dari peranan tunggal negara dalam prosesmodernisasi, yaitu timbulnya kebiasaan memberikan perlakuanistimewa pada sanak saudara pejabat dalam hal perizinanataupun kedudukan tertentu. Nepotisme dalam bidangekonomi dan politik menjadi modes of conduct dalam mas-yarakat yang menyebabkan terganggunya kelancaran dankeadilan dalam proses modernisasi itu. Hal ini dapat lebih

Page 6: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

15Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

mempermudah terjadinya ketegangan-ketegangan politikdalam masyarakat.

Berkenaan dengan domainnya peranan negara (peme-rintah) sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat diidenti-fikasi. Pertama, proses kebijakan pengembangan kelembagaandesa. Kedua, strategi pembangunan desa. Ketiga, pendekatankelembagaan yang dirumuskan negara bertujuan untukmemetakan kemandirian desa atau otonomi desa.

Kebijakan seharusnya merupakan proses yang melibatkanbanyak aktor di dalam perumusannya. Misalnya sektormasyarakat, kelas menengah, swasta (pasar) ataupun elitbirokrasi. Di dalam aras normatif rakyat atau masyarakatmemberikan delegasi kewenangan mereka kepeda pemerintah,Dewan Perwakilan Rakyat, Pihak swasta untuk melakukanformulasi terhadap bentuk keinginan konkrit mereka, yangkemudian secara teknis dijalankan oleh pihak yang diberikewenangan tersebut. Dalam kajian ini bentuk kebijakantersebut adalah kebijakan pembangunan kelembagaan desayang otonom, berupa pemberdayaan bagi masyarakat desa.Secara sederhana gambar di bawah ini menunjukan arus idealpenyusunan suatu kebijakan.

Sumber: Randal B Ripley, Policy Science in Political Science

Aktivitas Kebijakan

Pemerintah, Swasta,LSM

Persepsi para aktor Kebijakan atas lingkungan

Lingkungan: Sosial, ekonomi, politik, budaya,

fisik desa dll

Out Put Kebijakan

Kelembagaan desa

Evaluasi Hasil

Kebijakan

Page 7: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

16 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

Proses implementasi kebijakan kelembagaan desamendapatkan aktualisasinya dikarenakan sebaik apapun atausedemokratis apapun sebuah kebijakan dirumuskan, tanpaditindaklanjuti/implementasi pada hal-hal yang lebih teknis,maka kebijakan itu hanya tersimpan di dalam arsip serta tidakmendapatkan aktualisasinya. Banyak ahli yang concern ter-hadap proses implementasi kebijakan pengembangankelembagaan desa.

Di dalam penelitian ini, salah satu pemikir yang ide-idenyadicangkok adalah Merille Grindle. Menurut Grindle padakonteks implementasi kebijakan pengembangan kelembagaandesa terdapat tiga hal yang mempengaruhi proses implementasikebijakan tersebut. Pertama, kekuasaan, kepentingan danstrategi aktor yang terlibat. Kedua, karekteristik lembaga danpenguasa. Ketiga, kepatuhan dan daya tanggap masyarakat.Ketiga faktor inilah yang kemudian menjadi isu sentral di dalammelakukan eleborasi terhadap implementasi kebijakan pe-ngembangan kelembagaan desa lebih lanjut.

2.2. Pendekatan Kelembagaan untuk MemetakanKemandirian Desa

Tidak dapat disangkal walaupun strategi pembangunanpedesaan di Indonesia berbau sentralistik dan birokratis, strategiini pulalah yang berhasil menaikkan taraf hidup masyarakatpedesaan. Jumlah penduduk pedesaan yang miskin relatif turun.Akan tetapi naiknya pendapatan anggota masyarakat, ataumengecilnya jumlah kelompok miskin, walaupun merupakanindikator yang penting untuk mengukur keberhasilan suatuPembangunan, bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan.Banyak kasus di negara sedang berkembang menunjukkan,naiknya pendapatan tidak secara otomatis menjamin timbulnyastabilisasi politik. Korea Selatan dan Taiwan merupakan duakasus yang menarik dalam konteks ini. Berkat usaha pemba-ngunan rakyat Korea Selatan dan Taiwan telah berhasil

Page 8: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

17Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

menikmati kehidupan ekonomi yang memuaskan. Namunakhir-akhir ini kedua negara itu mengalami rentetan konflikyang sempat mengganggu stabilisasi politik.

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dariperistiwa Korea Selatan dan Taiwan. Pertama, proses pemba-ngunan suatu masyarakat tidak dapat dititikberatkan pada satuaspek saja dari kehidupan manusia yakni ekonomi atau politik.Para penguasa negara Korea Selatan dan Taiwan dalam prosesmembangun negara mereka masing-masing terlalu menitik-beratkan pada pembangunan ekonomi, sedangkan aspek politikkehidupan manusia tidak tersentuh oleh proses pembangunan.

Bahkan hak-hak dasar politik dari rakyat Korea Selatandan Taiwan dikorbankan demi mengejar tercapainya targetpembangunan ekonomi. Kedua, pembangunan yang dapatberhasil menciptakan masyarakat yang toto tentrem dan kertoraharjo adalah pembangunan yang mengarah pada perubahansosial yang menyeluruh, bukan yang bersifat partial. Perubahansoial yang menyeluruh di sini harus diartikan sebagai pe-rubahan yang meliputi sikap negara dan aparatnya terhadaprakyatnya, sistem pengelolaan pembangunan dan prosesperencanaan pembangunan, bukan hanya terbatas padakemauan rakyat untuk mengubah sikap mental mereka darisikap mental tradisional ke sikap mental moderen.

Dua pelajaran yang kita peroleh dari Korea Selatan danTaiwan tersebut dapat kita gunakan sebagai dasar untukmenyusun suatu strategi pembangunan pedesaan yang dapatbermuara pada pembangunan desa yang mandiri. Namun,sebelum kita bicara lebih lanjut mengenai strategi itu adabaiknya lebih dahulu kita bicarakan perihal makna dari konsepmandiri yang dalam penggunaan sehari-harinya masihsimpang siur.

Konsep mandiri dalam konteks pembangunan pedesaansering diberi arti yang sempit yakni kemauan rakyat pedesaanuntuk menggali dana sendiri dalam membiayai pembangunan

Page 9: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

18 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri maupun olehpemerintah. Dengan. kata lain, konsep mandiri itu dikaitkandengan beban keuangan negara dalam membiayai pembangu-nan di daerah pedesaan. Pengertian seperti itu sering ditemuidi kalanga aparat negara.

Dalam konteks pembangunan pedesaan di Indonesiakonsep mandiri mempunyai arti lebih luas daripada sekedarperimbangan tanggung jawab pembiayaan pembangunan.Konsep mandiri berarti perimbangan kekuasaan antaramasyarakat pedesaan dan negara dalam menentukan arah dantujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Tanggung jawab pembiayaan pembangunan dari negaradan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, masihbelum berimbang. Negara masih menanggung sebagian besarbiaya pembangunan, sementara tanggungan masyarakatpedesaan tergantung dari kemampuan masing-masing. BupatiMinahasa umpamanya, melaporkan bahwa selama lima tahunterakhir telah menyumbang sebanyak 16,5 milyar rupiah dalambentuk proyek swadaya di daerahnya. Kekuatan antara negaradan anggota masyarakat pedesaan dalam hal menentukanarah dan tujuan perubahan sosial pun tak berimbang. Negaratetap menentukan tujuan perubahan sosial dalam masyarakatpedesaan sedang rakyat pedesaan diharapkan hanya menerimaapa yang negara anggap baik bagi mereka.

Majalah Tempo memuat satu berita sebuah kasus yangmenarik. Berita itu mengetengahkan persoalan pentraktorantanaman Kedelai dan Jagung milik petani Desa Menampu,Kecamatan Gumukmas, Kabupaten Jember, Jawa Timur.Tanaman Kedelai dan Jagung yang diperintahkan ditraktoroleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jember itu adalah milikpetani yang tidak ingin menanam tebu dalam rangka programTRI yang mereka anggap sangat merugikan. Dari kasus inidapat melihat bahwa kemandirian dalam konteks pem-bangunan pedesaan di Indonesia pada saat ini menyangkut

Page 10: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

19Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

pula pada perimbangan antara tujuan nasional dan tujuan lokalatau tujuan dari masyarakat pedesaan baik secara kolektifataupun individual.

Apabila kita menyetujui arti dari kemandirian dalamkonteks pembangunan pedesaan, hal itu tidak hanya perim-bangan pembiayaan pembangunan tetapi juga perimbangankekuatan antara masyarakat pedesaan dan negara dalam halmenentukan tujuan dari perubahan sosial, maka yang menjadipersoalan berikutnya adalah bagaimana mengoperasio-nalisasikan konsep tersebut.

Untuk mengoperasionalisasikan konsep kemandirian ituyang pertama-tama harus dilakukan adalah mengubahbeberapa persepsi yang saat ini dimiliki oleh negara danaparaturnya yang menjadi dasar hubungan mereka denganrakyat pedesaan. Perubahan pertama menyangkut persepsinegara dan aparaturnya terhadap kedudukan rakyat pedesaandalam proses pembangunan. Sampai saat ini negara danaparatnya menganggap rakyat pedesaan hanya sebagaisumber energi, bukan sebagai sumber informasi. Merekadigerakkan untuk mendukung pembangunan yang direncana-kan negara sering tanpa dimintai pendapat. Pertemuan antararakyat dan aparat negara, tidaklah disebut pertemuan tetapidisebut sebagai pengarahan.

Penggunaan kata pengarahan menunjukkan bagaimanapersepsi negara dan aparatnya terhadap rakyat desa, di manaseolah-olah rakyat desa tidak mampu mengarahkan pemba-ngunan tanpa bantuan aparat negara. Persepsi ini seyogyanyadiubah menjadi satu persepsi yang mencerminkan pemahamanbahwa dalam proses pembangunan ada equal-partnership antararakyat desa dan aparat perencana dan pelaksana pembangunan.Selain sebagai sumber energi rakyat pedesaan adalah juga sumberinformasi, dan informasi yang dimiliki rakyat merupakan asetpenting bagi keberhasilan program pembangunan pedesaan.

Kedua, perubahan juga harus dilakukan pada diri aparat

Page 11: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

20 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

negara terhadap makna dan fungsi dari kekuasaan. Kekuasaantidak hanya berarti hak untuk mengatur saja tetapi juga berartimembantu rakyat memecahkan problema-problemapembangunan yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri.

Ketiga, harus ditinggalkan persepsi yang saat ini ada dikalangan negara dan aparatnya bahwa sistem panutan adalahciri khas dari masyarakat pedesaan. Persepsi seperti ini sangatahistoris dan hanya memperkuat tradisi sentralistik dalamproses pembangunan. Persepsi ini secara ad hoc menganggaprakyat pedesaan tidak memiliki pendapat dan aspirasi sendiridi luar pendapat dan aspirasi panutan mereka. Sistem panutanhanya muncul dalam masyarakat karena rakyat tidak diberikesempatan untuk secara otonom menyelesaikan problematikmereka sendiri. Dengan kata lain, sistem panutan itu adalahakibat dari keterbelakangan, bukan suatu aset kultural sepertiyang dilihat negara dan aparatnya.

Keempat, perlu adanya persepsi baru di kalangan negaradan aparatnya bahwa desa-desa di Indonesia sangat pluralisticsifatnya baik dari segi ekologis, dan adat-istiadatnya. Usahauntuk membuat segala sesuatu yang menyangkut prosespembangunan pedesaan di Indonesia sebagai sesuatu yanguniform sifatnya merupakan persepsi yang harus ditinggalkan.Pengertian akan pentingnya budaya lokal sebagai suatu asetdalam pembangunan dan bukan sebagai hambatan akan lebihmendorong cepatnya proses pelembagaan dari inovasi yangdianjurkan oleh negara dan aparatnya.

Kelima, karena dalam membangun pedesaan. negara danaparatnya akan bertemu dan melayani kelompok miskin, didaerah pedesaan, persepsi mereka terhadap kelompok iniharuslah berubah juga. Sampai saat ini negara dan aparatnyamelihat kelompok ini sebagai kelompok yang tidak produktif.Penelitian empirik menunjukkan bahwa walaupun kelompokini miskin materi, pada nyatanya mereka tidak miskin dalamhal pengalaman membangun, seperti kemampuan meng-

Page 12: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

21Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

identifikasi .hambatan-hambatan yang mereka hadapi, bahkanmereka memiliki jiwa kewiraswastaan dan ketrampilan teknisuntuk mengatasi problema yang mereka hadapi.

Kelima hal tersebut merupakan unsur dari etikapembangunan pedesaan di negara kita pada masa yang akandatang. Adanya etika itu tidaklah berarti bahwa negara danaparatnya tidak lagi mempunyai tugas apapun dalam prosespembangunan pedesaan. Etika pembangunan menuntutperubahan sifat keterlibatan negara dan aparatnya dalamproses pembangunan pedesaan. Dari tugas yang bersifatdirective ke tugas baru yang bersifat supportive.

Perubahan fungsi negara dan aparatnya dalam prosespembangunan pedesaan tersebut mengubah pula strategiimplementasi dari program-program pembangunan pedesaan.Sampai saat ini strategi implementasi program-programpembangunan pedesaan didasari modal yang dikenal denganblueprint model atau model cetak biru, yang oleh GeorgeMinadle dilukiskan sebagai berikut:

The typical approach to rural development planning andimplementations treats a program design as a blueprint tobe followed by managers. Since the design emerges from aconcentrated pouring of high level technical expertise intofeasibility studies and appraisal team, it is often consideredto be the most authoritative estimate of what is possible....Thus the combination of authoritative and contracturaldimensions of program designs results in their treated asblueprints to be followed.

Di Indonesia setiap program pembangunan pedesaan danprogram-program pembangunan lainnya selalu diikuti olehpetunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak).Juknis dan juklak yang merupakan pedoman bagi aparatnegara ini harus dipatuhi secara ketat dalam melaksanakanprogram. Model cetak biru tampaknya membuat pelaksanaanprogram-program itu menjadi efisien, walaupun sebenarnyamempunyai banyak kelemahan seperti membuat pelaksanaanprogram menjadi sangat birokratis.

Page 13: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

22 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

Sejak semula model ini berasumsi bahwa solusi problemapembangunan pedesaan telah diketahui dan proyek atauprogram pembangunan pedesaan hanya berfungsi sebagaiwahana untuk melaksanakan cara-cara solusi itu. Sayangnyaapa yang telah dirancang semula oleh model itu sebagai solusiyang terbaik. ternyata sering tidak cocok dan para pelaksanasulit menyesuaikan solusi yang telah direncanakan itu denganproblema-problema yang muncul di lapangan, karena merekatakut melanggar juknis maupun juklak yang harus mereka ikuti.

Dengan kata lain model cetak biru dalam pelaksanaanpembangunan pedesaan menghambat timbulnya suatu selfsustaining development dalam masyarakat pedesaan. Karena modelitu memang diciptakan untuk mencapai efisiensi pelaksanaan suatuprogram pembangunan dan bukan untuk menimbulkan partisipasirakyat. Di Indonesia apabila suatu program gagal maka yangmenjadi kambing hitam adalah jeleknya manajemen program ituatau karena rakyat belum menyadari arti program itu dan bukanmencari kemungkinan-kemungkinan jeleknya atau lemahnyacetak biru dari program itu sendiri.

Kelemahan dari model cetak biru itu mendorongtimbulnya model implementasi program proyek pembangunanpedesaan baru yang dikenal dengan process model. Model inidianggap sesuai untuk menunjang pembangunan pedesaanyang bermuara pada kemandirian masyarakat pedesaan. Halini disebabkan karena “proses model” berakar pada pendekatandialogis antara aparat perencana pembangunan dan rakyatpedesaan, sehingga is lebih responsif terhadap potensi-potensiyang ada dalam masyarakat desa daripada model cetak biroyang besifat teknokratis.

Di samping itu process model mendorong agar parapelaksana proyek itu merasa memiliki proyek itu, sehinggamembuka kesempatan timbulnya lingkungan yang menunjanginovasi serta kreativitas para pelaksana untuk memecahkanproblema yang mereka hadapi di lapangan. Akibatnya proyek-

Page 14: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

23Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

proyek pembangunan pedesaan menjadi tidak hanya efisientetapi juga efektif karena fleksibilitas para pelaksana proyekmembuka pinto untuk rakyat pedesaan menyumbangpendapat mereka.

Process model tidak dapat dilepaskan dari prosesdesentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunanpedesaan. Sebenarnya Departemen Dalam Negeri melaluiInMendagri No. 4 tahun 2001 telah memberikan dasar-dasardesentralisasi perencanaan pembangunan pedesaan. Jiwa dariInMendagri itu adalah pengakuan dari Departemen DalamNegeri akan pentingnya proses perencanaan dari bawah(bottom up planning). Untuk mencapai tujuan ini DepartemenDalam Negeri juga telah menyiapkan suatu lembaga tersendiripada tingkat desa yaitu Lembaga Ketahanan Masyarakat Desadan pada tingkat pedukuhan telah membentuk pula lembagaKelompok Kerja LKMD. Masalahnya bagaimana lembaga-lembaga itu dapat berfungsi sesuai dengan jiwa dariInMendagri No. 4/2001 itu.

Ada beberapa sebab mengapa lembaga-lembaga sepertiitu tidak berfungsi. Pertama, eksistensi LKMD dalammasyarakat pedesaan tidak jelas. Apakah lembaga itumerupakan bagian dari pemerintahan desa ataukah iamerupakan satu lembaga desa yang mandiri? Secara normatifLKMD berfungsi sebagai forum rakyat pedesaan untukber­partisipasi dalam proses pembangunan, tetapi yangmembingungkan adalah sebagai forum partisipasi rakyatpedesaan Kepala Desa ditunjuk, oleh pemerintah sebagai ketuaumum dari lembaga itu. Akibatnya pengaruh negara melaluikepala desa tetap dominan dalam lembaga-lembaga seperti ini.

Nico Schulte Nordholt sebagaimana dikutip dari LoekmanSoetrisno (1989) mengatakan ada dua sebab mengapa KepalaDesa dapat melestarikan pengaruhnya dalam lembaga itu.Pertama, LKMD tidak mempunyai wewenang pengawasansecara otonom, dan kedua terdapat perintah keras dari pihak

Page 15: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

24 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

Pamong Desa (dan negara?) yang melarang lembaga itu tidakboleh berkembang menjadi parlemen kecil desa. Keadaan sepertiini, kata Nordholt, memberi kesempatan pada Kepala Desamengikutsertakan lembaga itu menurut pengertiannya sendiri.Kalau ia khawatir terlalu banyak penentang terhadaprencananya, maka rapat lengkap LKMD itu tidak dilakukanoleh Kepala Desa. Kedua, panjangnya jalur proses persetujuanusulan proyek pembangunan dari desa.

Departemen Dalam Negeri telah menetapkan bahwaproses pembangunan pedesaan harus dilakukan melalui prosesperencanaan bottom up. Problema timbul pada pengertian artiup dari konsep proses perencanaan bottom up. Apakah up ituberarti proyek-proyek yang diusulkan rakyat pedesaan melaluiLKMD itu harus memperoleh persetujuan Bappenas, BappedaTk. I ataukah cukup sampai pada Bappeda? BerdasarInMendagri No. 4/ 2001 usulan proyek yang datang dari LKMDharus melalui beberapa tahap penyaringan sebelum diterimasebagai proyek atau tidak.

Hasil akhir dari proses penyaringan ini sering menge-cewakan rakyat desa karena proyek yang mereka usulkanberubah jenisnya atau bahkan ditolak, sebab tidak sesuai dengansalah satu obyektif pembangunan nasional. Dari sini munculmasalah dasar yang menyangkut proses pembangunan pedesaanyang bermuara pada kemandirian. Masalah itu adalahbagaimana menserasikan antara kepentingan mikro (desa) dankepentingan makro (nasional). Keserasian ini akan memberisuatu makna lokal pada penduduk pedesaan pada prosespembangunan nasional. Hal ini merupakan salah satu prasyarattimbulnya kemandirian di kalangan rakyat pedesaan.

Hambatan ketiga yang menyebabkan LKMD belumberfungsi seperti yang kita harapkan berkait dengan persoalanpersepsi dinas-dinas terhadap kemampuan rakyat desa untukmelaksanakan pembangunan. Aturan main yang telahditetapkan pemerintah adalah, pelaksanaan tiap proyek

Page 16: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

25Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

pembangunan pedesaan harus melalui LKMD. Akan tetapimungkin hanya proyek-proyek pedesaan yang berasal dariDepartemen Dalam Negerilah yang pelaksanaannya melaluiLKMD sedang proyek-proyek yang berasal dari departemen laindilaksanakan tanpa melalui LKMD.

Dalam kaitannya dengan kemandirian masyarakatpedesaan dalam pembangunan, peranan LKMD memangsangat penting. Untuk membuat LKMD dapat berfungsi sebagaiforum rakyat desa dalam berpartisipasi pada prosespembangunan, beberapa pembenahan perlu dilakukan.

Pertama, LKMD harus dipisahkan dari strukturpemerintah desa. Ia harus merupakan badan tersendiri yangsejajar dengan pemerintahan desa dan bertanggung jawabpada masyarakat desa.

Kedua, Kepala Desa dan aparatnya tidak diizinkan untukmerangkap sebagai pengurus LKMD. Baik ketua umummaupun pengurus LKMD lainnya harus dipilih secara langsungoleh rakyat desa untuk masa jabatan 5 tahun.

Ketiga, fungsi LKMD harus diubah dari fungsi badanpenasehat pembangunan, Kepala Desa menjadi badanperencana dan pelaksana pembangunan pedesaan pada tingkatpedesaan. Sedang pemerintah desa berfungsi sebagai penasehatdari LKMD dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari.

Keempat, dengan bantuan Lembaga PengembanganSwadaya Masyarakat Departemen Dalam Negeri dapatmengadakan pendidikan dan latihan bagi anggota pengurusLKMD dalam hal teknik-teknik perencanaan dan metodaevaluasi yang sederhana.

Kelima, dana bantuan desa seyogyanya disalurkan padaLKMD dan bukan pada pemerintah desa. Dalam usahamemupuk dana pembangunan seyogyanya pada LKMD diberihak untuk berfungsi sebagai kontraktor proyek-proyekpembangunan desa yang datang dari dinas sektoral. Melalui

Page 17: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

26 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) dapatmencari kredit dari bank guna membiayai proyek-proyekpembangunan di desa masing-masing.

Keenam, Bappeda adalah instansi yang terakhir yangberwenang untuk mengarahkan usulan-usulan proyek yangdiajukan LKMD. Mengarahkan di sini harus diartikan sebagaimembantu para pengurus LKMD untuk menyusun usulan-usulan tersebut dalam prioritas, membantu pengurus LKMDberhubungan dengan Lembaga Pengembangan SwadayaMasyarakat yang dapat membantu mereka melancarkanpelaksanaan pembangunan di pedesaan, dan bukan me-netapkan proyek pembangunan apa yang boleh atau tidakboleh diusulkan oleh LKMD.

Khususnya tentang LPSM, walaupun merupakan lembagayang relatif baru dalam dunia proses pembangunan Indonesia,ia dapat berfungsi sebagai pengisi kekosongan akan kelas me-nengah dalam masyarakat pedesaan. Lembaga ini sepertihalnya kelas menengah, memiliki pikiran-pikiran pemba-ngunan alternatif di samping mampu memobilisasi danasecara mandiri. Dari segi ini maka lembaga ini dapat diajakoleh negara sebagai rekanan dalam pembangunan pedesaan.

Melalui LPSM negara dapat juga memperoleh bantuan-nya untuk menciptakan kelas menengah di daerah pedesaansehingga inasyarakat desa dapat memiliki sumber penggerakpembangunan desa yang mandiri. Kerjasama antara negaradan LPSM baru akan berhasil apabila negara dan aparat­nyamemahami kerjasama itu sebagai equal-partnership dan bukanmelihat LPSM sebagai kepanjangan tangan negara yang barudi daerah pedesaan. Ini berarti negara dan aparatnya seyogya-nya menghormati kemandirian lembaga tersebut walaupunumpamanya negara menyalurkan sebagian dana pemba-ngunan melalui lembaga itu.

Page 18: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

27Arti Penting Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Lingga

2.3.Pendekatan Kelembagaan yang DirumuskanNegara untuk Memetakan Kemandirian Desa

Ukuran yang dipergunakan oleh Depdagri untuk menge-tahui tingkat kemandirian suatu desa dapat ditinjau dari tujuhpendekatan. Tujuh pen-dekatan tersebut terdiri dari 3 variabeldi bidang ekonomi (berupa hasil karya manusia, yaitu ragammata pencarian, produksi pertanian dan prasarana perhubunganserta pertanian dan pasar) dan 4 variabel di bidang sosial-budaya komoditas (yang terdiri dari kelembagaan adat lama,pemerintah desa dan kelembagaan desa lainnya, swadayakegotong-royongan serta tingkat pendidikan penduduk).

Ketujuh variabel tersebut akan menghasilkan angka(skor) yang untuk kemudian akan menyimpulkan bahwaapabila angka tersebut rendah (tahapan rendah), maka desatersebut tergolong sebagai desa swadaya. Selanjutnya apabilaangka tersebut sedang (tahapan sedang), desa tersebuttergolong desa swakarsa, serta desa swasembada apabila angka(skor) tersebut tinggi (tahapan tinggi). Ukuran kemandirianitu sebenarnya tak mampu berdiri sendiri, apalagi semata-matamengandalkan potensi desa, karena sebenarnya “tarikan” danpengaruh kuat dari kota pun akan mempengaruhi kondisi dankemampuan desa yang secara tidak langsung akan men-ciptakan adanya “bias kota”.

Pemerintah desa sebagi agen pembangunan diharapkanakan mampu menggerakkan kelembagaan dan kemandiriandesa dalam kaitannya dengan swadaya dan kegotong-royonganmasyarakat, yang secara formal aktivitas dan kegiatan tersebuttertera dalam laporan kegiatan tahunan desa. Sementarakemampuan-kemampuan desa menurut prestasi dapat dilihatdalam lampiran pidato kenegaraan presiden (tiap tanggal 16Agustus), meskipun dalam laporan tersebut tidak dirinci dalamkriteria “desa rural” dan “desa urban”.

Biro Pusat Statistik (BPS) telah memberikan alternatif

Page 19: Bab 2 PROSES DAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN DESA

28 MEREKAT KEBERSAMAAN, MEMAKSIMALKAN PELAYANAN

perhitungan yang tertera dalam “statistik keuangan” desa”.Laporan tersebut memberikan keterangan/data mengenaipengeluaran dan penerimaan desa-desa. Desa itu sendiri olehBPS dibedakan dalam”desa rural” dan “desa urban”. Mem-bandingkan data dari kedua sumber tersebut (Depdagri denganBPS), secara umum terlihat adanya tingkat “kemandirian”desa-desa yang lebih tinggi. Namun demikian patut dicatatbahwa kedua jenis analisa tersebut tidak menghubungkantingkat kemandirian desa dengan tahap desa swadaya sampaidengan swasembada, serta tidak pula meninjau dalam eratahapan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.

Oleh kedua intansi tersebut, “kemandirian” ditafsirkancukup berbeda. Depdagri memberikan penafsiran kemandirian,sebagai bobot sumbangan masyarakat desa dengan menguruskepentingan dan mengatasi masalah sendiri. Semakin besarbobot tersebut, makin kuat pula tingkat kemandirian suatudesa. Sementara BPS memberikan nilai kemandirian dari segibobot sumbangan masyarakat desa dengan proyek pemerintahdesa. Sampai dimana ia berperan, aktif dalam proses pengambilankeputusan, apa tujuan proyek tersebut, sampai dimana tingkatkeberhasilan dan belum sepenuhnya tercakup didalamnya.Unsur penting yang mempengaruhi kemandirian, seperti adanyaketergantungan, keterkaitan perlu ditinjau secara cermat.

Pada dasarnya kemandirian masyarakat desa perlu dilihatatau ditemukan pada satuan perorangan/RT penduduk,kelassosial ekonami, kelas industri, kehadiran kelompok kecil danbesar (termasuk KUD). Untuk mencapai tingkat kecermatanyang memadai perlu mendapat informasi/bahan dari BPS,Depdagri serta data yang di peroleh secara langsung di lapangan.Dari hasil itu dapat diukur tingkat kemandirian suatu desa.***