bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2009-1-00380-mnti bab 2.pdf ·...

31
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengendalian Kualitas Menurut Gasperz (1998, p1) pengendalian kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen, tentang bagaimana mengukur karakteristik kualitas dari output (barang atau jasa) kemudian membandingkan hasil pengukuran tersebut dengan spesifikasi output yang diinginkan pelanggan, serta mengambil tindakan perbaikan yang tepat apabila ditemukan perbedaan antara performansi aktual dengan standar. Pada dasarnya performansi kualitas ditentukan dan diukur berdasarkan karakteristik kualitas yang terdiri dari beberapa sifat atau dimensi berikut: 1. Fisik : panjang, berat, diameter, tegangan, dan lain-lain. 2. Sensory (berkaitan dengan panca indera) : rasa, penampilan, warna, bentuk, model, dan lain-lain. 3. Orientasi waktu : keandalan, kemampuan pelayanan, kebutuhan pemeliharaan, waktu penyerahan produk dan lain-lain. 4. Orientasi biaya : berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan harga atau ongkos dari produk yang harus dibayar konsumen. Suatu pengukuran performansi kualitas dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu pada tingkat proses, tingkat output, dan tingkat outcome. Pengukuran pada tingkat proses, mengukur setiap langkah atau aktivitas dalam proses dan karakteristik input yang diserahkan oleh supplier yang mengendalikan karakteristik output.

Upload: vuongtram

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Pengendalian Kualitas

Menurut Gasperz (1998, p1) pengendalian kualitas merupakan aktivitas teknik

dan manajemen, tentang bagaimana mengukur karakteristik kualitas dari output (barang

atau jasa) kemudian membandingkan hasil pengukuran tersebut dengan spesifikasi

output yang diinginkan pelanggan, serta mengambil tindakan perbaikan yang tepat

apabila ditemukan perbedaan antara performansi aktual dengan standar.

Pada dasarnya performansi kualitas ditentukan dan diukur berdasarkan

karakteristik kualitas yang terdiri dari beberapa sifat atau dimensi berikut:

1. Fisik : panjang, berat, diameter, tegangan, dan lain-lain.

2. Sensory (berkaitan dengan panca indera) : rasa, penampilan, warna, bentuk,

model, dan lain-lain.

3. Orientasi waktu : keandalan, kemampuan pelayanan, kebutuhan

pemeliharaan, waktu penyerahan produk dan lain-lain.

4. Orientasi biaya : berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan

harga atau ongkos dari produk yang harus dibayar konsumen.

Suatu pengukuran performansi kualitas dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu

pada tingkat proses, tingkat output, dan tingkat outcome. Pengukuran pada tingkat

proses, mengukur setiap langkah atau aktivitas dalam proses dan karakteristik input yang

diserahkan oleh supplier yang mengendalikan karakteristik output.

  

Page 2: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.2 Bahan Baku

Bahan baku merupakan faktor utama di dalam perusahaan untuk menunjang

kelancaran proses produksi, baik dalam perusahaan besar maupun perusahaan kecil.

Dalam hal ini bahan baku adalah sebagai bagian dari aktiva yang meliputi bahan baku,

ataupun barang setengah jadi yang akan mengalami suatu proses produksi.

Agar kegiatan produksi dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan sistem

pengendalian bahan baku sebagai bagian yang sangat vital dalam perusahaan. Pada

akhirnya sistem pengendalian bahan baku ini harus diselaraskan dengan semua unsur

perusahaan tanpa terkecuali. Pentingnya pengendalian bahan baku dikarenakan dalam

pelaksanaan kegiatan produksi barang membutuhkan bahan baku. Oleh karena itu di

dalam dunia usaha masalah bahan baku merupakan masalah yang sangat penting

(www.skripsi-tesis.com, 2007).

2.3 Penerimaan Sampel (Acceptance Sampling)

2.3.1 Definisi

Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p199), rencana penerimaan sampel

(Acceptance sampling plans) adalah prosedur yang digunakan dalam mengambil

keputusan terhadap produk-produk yang datang atau yang sudah dihasilkan perusahaan.

Sedangkan menurut Reksohadiprodjo, dkk (1986, p256) penerimaan sampel

berarti menerima atau menolak semua produk berdasarkan banyaknya produk yang

rusak dalam sampel. Pemeriksa akan diberitahu berapa yang perlu diperiksa dan berapa

barang rusak yang diperbolehkan, bila sama dengan yang ditentukan atau lebih sedikit

maka semua produk lolos, sedangkan bila jumlahnya lebih maka semua produk ditolak.

  

Page 3: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

Ada tiga metode yang dapat digunakan, yaitu tidak mengadakan inspeksi

terhadap produk tersebut, mengadakan inspeksi 100% terhadap produk tersebut, atau

dengan penerimaan sampel. Penerimaan sampel bukan merupakan alat pengendali

kualitas, namun merupakan alat untuk memeriksa apakah produk atau bahan baku yang

datang ke perusahaan tersebut telah memenuhi spesifikasi. Penerimaan sampel

digunakan sebagai bentuk dari inspeksi antara perusahaan dengan pemasok, antara

pembuat produk dengan konsumen, atau antar divisi dalam perusahaan. Oleh karenanya

penerimaan sampel tidak melakukan pengendalian atau perbaikan kualitas proses,

melainkan hanya sebagai metode untuk menentukan disposisi terhadap produk yang

datang (bahan baku) atau produk yang telah dihasilkan (barang jadi) (Mitra,1993)

2.3.2 Jenis dan Klasifikasi Penerimaan Sampel

Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat

dua jenis pengujian yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Sebelum pengiriman produk akhir ke pelanggan, yaitu pengujian oleh produsen

yang disebut dengan the producer test the lot for outgoing quality

2. Setelah pengiriman produk akhir ke pelanggan, yaitu pengujian yang dilakukan

oleh konsumen atau disebut dengan the customer test the lot for incoming quality

Selanjutnya penerimaan sampel merupakan proses pembuatan keputusan yang

berdasarkan pada unit-unit sampel dari sejumlah produk yang dihasilkan perusahaan

atau yang dikirim oleh pemasok. Penerimaan sampel dapat dilakukan untuk data atribut

dan variabel, untuk data atribut dilakukan apabila inspeksi mengklasifikasikan tingkat

kesalahan atau cacat produk tersebut (Mitra, 1993). Dalam penerimaan sampel untuk

data variabel, karakteristik kualitas ditunjukkan dalam setiap sampel. Oleh karenanya,

  

Page 4: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

dilakukan pula perhitungan rata-rata sampel dan penyimpangan atau deviasi standar

sampel tersebut. Apabila rata-rata berada diluar jangkauan penerimaan maka produk

tersebut akan ditolak. Selain terbagi menjadi untuk data atribut dan variabel, penerimaan

sampel juga mencakup pengambilan dan perbaikan dan pengambilan atau inspeksi

tanda mengadakan pengembalian atau perbaikan. Klasifikasi lain dalam penerimaan

sampel adalah pada peta teknik pengambilan sampelnya, yaitu sampel tunggal, sampel

ganda, dan sampel banyak. Prosedur pengambilan sampel pasti merupakan sampel

tunggal. Pengambilan sampel ganda berarti apabila sampel yang diambil tidak cukup

memberikan informasi, maka diambil lagi sampel yang lain. Pada pengambilan sampel

banyak, tambahan sampel dilakukan setelah sampel kedua. Menurut Mitra (1993), yang

terbaik dalam prosedur pengambilan sampel adalah pengambilan sampel tunggal, lalu

diikuti sampel ganda, baru kemudian yang terakhir sampel banyak.

Setelah berbagai pengambilan sampel dipahami, yang perlu diperhatikan pula

adalah syarat pengambilan pengambilan produk sebagai sampel, yaitu produk harus

homogen. Homogen yang dimaksud adalah berasal dari mesin yang sama, menggunakan

karyawan yang sama dalam proses, menggunakan input yang sama dan seterusnya.

Selain itu semakin banyak produk yang diambil sebagai sampel akan semakin baik,

walaupun biayanya akan semakin tinggi. Syarat terakhir adalah sampel yang diambil

harus dilakukan secara acak, sehingga semua produk yang ada memiliki kesempatan

yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Selanjutnya setelah semua syarat terpenuhi

maka prosedur yang dilakukan adalah dari sejumlah produk yang sama sejumlah N unit,

diambil sampel secara acak sebanyak n unit. Apabila ditemukan kesalahan (d) sebanyak

maksimun c unit, maka sampel ditolak, yang berarti seluruh produk homogen yang

dihasilkan tersebut juga ditolak.

  

Page 5: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.3.3 Prosedur

Menurut Reksohadiprodjo, dkk (1986, p257) prosedur yang ditempuh dalam

proses pengambilan sampel ialah :

1. Menentukan persentase tujuan (objective percent), misalkan 2% atau 0,02

kerusakan

2. Memilih empat angka lain, yaitu :

2.1 Tingkat kualitas yang dapat diterima (acceptable quality level, AQL),

misalkan 1% atau 0,01 kerusakan; AQL ini selalu merupakan tingkat

kualitas yang lebih baik daripada persentase tujuan;

2.2 Pada AQL diperhitungkan juga 5% resiko produsen, α, yang seperti

diketahui artinya adalah keseluruhan barang yang mengandung kerusakan

sama atau lebih kecil daripada AQL dapat diterima 95% dan ditolak 5% dari

kesempatan pemeriksaan yang diadakan;

2.3 Persentase kerusakan keseluruhan barang yang dapat ditenggang (Lot

Tolerance Percent Defective, LTPD) misalkan 3% atau 0,03; konsumen

menginginkan agar rencana pemeriksaan dapat mengetahui dan menolak

keseluruhan barang bila kerusakan 3%

2.4 Resiko konsumen, β, biasanya ditetapkan sebesar 10% yang berarti bahwa

keseluruhan barang dengan kerusakan sebesar 3% ditolak 90% dari

kesempatan atau waktu; barang yang lebih buruk akan tak mendapatkan

kesempatan lolos dari pemeriksaan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengambil sampel adalah

(BestSimpelSystem.com, 2008) :

  

Page 6: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

a. Sampel mengandung satu atau lebih unit produk yang diambil dari suatu lot dan

dipilih secara acak tanpa diketahui kualitasnya. Jumlah unit yang diambil disebut

sebagai ukuran sampel.

b. Apabila memungkinkan, jumlah unit sampel harus dipilih secara proporsi

terhadap jumlah lot sesuai kriteria-kriteria rasional.

c. Sampel dapat diambil setelah seluruh hasil produksi membentuk satu lot, atau

bisa juga diambil selama proses produksi.

Perencanaa sampel yang baik harus mempunyai karakteristik-karakteristik berikut

(BestSimpelSystem.com, 2008).

a. Indeks (AQL ataupun yang lainnya) yang dipilih harus mencerminkan kebutuhan

konsumen dan produsen, dan bukan dipilih semata-mata demi kebutuhan

statistik.

b. Resiko sampling harus diketahui secara kuantitatif (kurva OC = Operating

Characteristic). Produsen harus mempunyai perlindungan yang cukup dari

penolakan produk bagus. Konsumen harus mempunyai perlindungan yang cukup

dari penerimaan produk cacat.

c. Rencana sampel harus meminimalkan seluruh biaya inspeksi produk. Ini

memerlukan evaluasi yang mendalam tentang pemilihan jenis data (variabel atau

atribut) dan jenis penerimaan sampel (tunggal, ganda atau banyak). Juga

merefleksikan prioritas produk dan kegunaannya.

d. Rencana penerimaan sampel harus mempertimbangkan data lain, misalnya

process capability, data supplier, customer claim, dan lainnya.

e. Rencana penerimaan harus fleksibel terhadap perubahan jumlah lot, kualitas

produk dan factor lainnya.

  

Page 7: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

f. Pengukuran atau pengecekan dapat memberikan informasi untuk estimasi

kualitas lot lainnya dalam satu proses.

g. Rencana penerimaan harus cukup mudah untuk dijelaskan dan

didokumentasikan.

Rencana penerimaan menunjukkan jumlah sampel yang akan diinspeksi dari suatu unit

lot lengkap dengan kriteria untuk menentukan apakah lot tersebut diterima atau ditolak.

2.3.4 Keunggulan dan Kelemahan

Keunggulan dan kelemahan dalam acceptance sampling menurut Besterfield

(1998), antara lain :

Keunggulannya

1. Lebih murah

2. Dapat meminimalkan kerusakan dan perpindahan tangan

3. Mengurangi kesalahan dalam inspeksi, dan

4. Dapat memotivasi pemasok bila ada penolakan bahan baku.

Sementara kelemahannya antara lain :

1. Adanya rasio penerimaan produk cacat atau penolakan produk baik

2. Sedikitnya informasi mengenai produk

3. Membutuhkan perencanaan dan pendokumentasian prosedur pengambilan

sampel, dan

4. Tidak adanya jaminan mengenai sejumlah produk tertentu yang akan memenuhi

spesifikasi.

  

Page 8: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.3.5 Kurva OC (Operating Characteristic)

2.5.1 Definisi

Di dalam penerimaan sampel digunakan kurva OC yang dapat membantu dalam

menolak barang yang rusak dan menerima barang yang baik. Menurut Dorothea W.

Ariani (2004, p205) kurva OC merupakan kurva probabilitas penerimaan terhadap

produk yang dihasilkan.

Menurut Render, dkk (2001, p131). kurva OC menjelaskan seberapa baik suatu

rencana penerimaan membedakan antara lot yang baik dengan lot yang jelek. Suatu

kurva itu menggambarkan rencana tertentu, yaitu kombinasi dari n (ukuran sampel) dan

c (tingkat penerimaan). Kurva itu ditujukan untuk menunjukan kemungkinan rencana

tersebut menerima lot dengan tingkat mutu yang beragam. Dalam penerimaaan sample,

ada dua pihak yang terlibat, biasanya mencakup produsen dan konsumen. Dalam

menspesifikasinya, setiap pihak ingin menghindari kesalahan keputusan menerima atau

menolak lot, yang bisa menekan biaya. Produsen ingin menghindari kesalahan bahwa

telah menolak lot yang baik (risiko produsen). Hal ini terjadi karena produsen biasanya

bertanggung jawab mengganti produk yang rusak yang ada di lot dan ditolak atau

mengeluarkan biaya mengirim lot baru bagi konsumen. Di pihak lain konsumen ingin

menghindari kesalahan bahwa telah menerima produk yang jelek, karena produk rusak

yang telah diterima dalam lot biasanya merupakan tanggung jawab konsumen (risiko

konsumen). Kurva OC menunjukan bentuk rencana sampling tertentu, termasuk resiko

pengambilan keputusan yang salah.

  

Page 9: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.5.2 Titik pada Kurva OC

AQL adalah Acceptance Quality Level yaitu presentase maksimum dari produk

ketidaksesuaian per unit, yang dapat dianggap sebagai rata-rata proses. Penerimaan

sampel atribut berdasarkan AQL adalah dengan mengambil sampel secara acak dari

suatu lot dan setiap unit diklasifikasikan sebagai acceptable (OK) atau defective (NOK).

Jumlah defective ini kemudian dibandingkan dengan suatu angka yang diizinkan dan

dibuat keputusan apakah lot tersebut akan diterima atau ditolak. Biasanya AQL dapat

dinyatakan dalam kontrak dengan supplier. Angka AQL untuk suatu produk tidak harus

sama dengan angka AQL untuk produk lainnya meskipun dari supplier yang sama.

Misalkan produk A lebih kritikal dari produk B, maka angka AQL untuk produk A lebih

kecil dari produk B (BestSimpelSystem.com, 2008).

Menurut Render, dkk (2001, p131) AQL adalah tingkat mutu terendah yang

masih bisa diterima. Lot dapat diterima bila tingkat mutunya sebesar AQL ini. Bila

AQL = 20 buah produk rusak dalam 1000 barang maka AQLnya adalah 20/1000 = 2%

tingkat kerusakan.

LTPD (Lot Tolerace Perfect Defective) atau sering disebut LQL (Limited Quality

Level) adalah tingkat mutu lot yang dianggap jelek. Lot akan ditolak bila tingkat mutu

sebesar LTPD. Bila tingkat disetujui adalah 70 produk rusak dari 1000 unit, maka

LTPDnya adalah 70/1000 = 7% produk cacat.

Untuk membuat rencana sampling, produsen dan konsumen harus

mendefinisikan bukan hanya lot yang baik dan lot yang tidak baik melalui AQL dan

LTPD, tetapi juga harus merinci tingkat resiko.

Resiko produsen (α) adalah kemungkinan menolak lot yang baik. Hal ini adalah

resiko mengambil sampel secara acak sehingga proporsi produk yang cacat lebih tinggi

  

Page 10: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

daripada populasi seluruh seluruh unit. Lot dengan tingkat mutu AQL yang dapat

diterima tetap mempunyai kemungkinan ditolak sebesar α. Rencana sampling seringkali

dirancang untuk menetapkan resiko produsen pada tingkat α = 0,05 atau 5%.

Resiko konsumen (β) adalah kemungkinan menerima lot yang jelek. Hal ini

adalah resiko mengambil sampel acak yang menyebabkan kita melihat proporsi cacat

yang lebih rendah dari keseluruhan unit populasi. Nilai umum dari resiko konsumen

dalam rencana sampling adalah β = 0,10 atau 10%. Dalam statistik, kemungkinan

menolak lot yang baik disebut kesalahan tipe I. kemungkinan menerima lot yang buruk

disebut kesalahan tipe II. Kedua pasang α, AQL dan β, LQL dapat menentukan dua titik

pada kurva OC, kedua titik ini telah menentukan keseluruhan kurva OC dan juga nilai

yang dicari untuk n dan c. Dengan demikian kedua titik pada kurva menetapkan rencana

pengambilan sampel tertentu.

2.5.3 Penggunaan Kurva OC

Untuk menggambarkan kurva ini diperlukan rumus Pa = P (d ≤ c) dimana Pa

adalah probabilitas penerimaan, c adalah cacat produk yang disyaratkan, dan d adalah

jumlah cacat yang terjadi. Kurva ini dibuat dengan mencari hubungan antara probabilitas

penerimaan (Pa) dengan bagian kesalahan dalam produk yang dihasilkan. (p).

Pa = P (d ≤ c)

∑∑=

=

−−

==c

0d

dndc

0dp)(1p

d)!(nd!n!p(d)Pa

Untuk selanjutnya, perhitungan probabilitas penerimaan dapat digunakan Tabel

Distribusi Poisson. Apabila tidak ditemukan nilai probabilitasnya karena keterbatasan

nilai np, maka dapat digunakan cara interpolasi. Kurva OC yang seringkali ditemui

  

Page 11: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

menyerupai kurva S. Berikut ini adalah contoh kurva OC yang dapat dilihat pada tabel

2.1 dan gambar 2.1.

Diketahui N= 2000, n = 50, c = 2

Tabel 2.1 Contoh Perhitungan Kurva OC

d Proporsi Kesalahan np 0 1 2 Pa

0,01 0,5 0,605 0,306 0,076 0,986 0,02 1 0,364 0,372 0,186 0,922 0,03 1,5 0,218 0,337 0,256 0,811 0,04 2 0,130 0,271 0,276 0,677 0,05 2,5 0,077 0,202 0,261 0,541 0,06 3 0,045 0,145 0,226 0,416 0,07 3,5 0,027 0,100 0,184 0,311 0,08 4 0,015 0,067 0,143 0,226 0,09 4,5 0,009 0,044 0,107 0,161 0,1 5 0,005 0,029 0,078 0,112 0,11 5,5 0,003 0,018 0,055 0,076 0,12 6 0,002 0,011 0,038 0,051 0,13 6,5 0,001 0,007 0,026 0,034 0,14 7 0,001 0,004 0,017 0,022 0,15 7,5 0,000 0,003 0,011 0,014

Sumber : Ariani (2004)

Maka kurva OC pada kasus diatas dapat digambarkan seperti pada gambar 2.1

Sumber : Ariani (2004)

Gambar 2.1 Contoh Kurva OC

  

Page 12: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

Dari kurva OC tersebut ada dua hal yang dapat dilihat, yaitu AQL yang merupakan

kualitas konsumen terburuk yang akan diterima sebagai rata-rata proses dan LQL yang

merupakan kualitas konsumen terburuk yang akan diterima pada unit tertentu yang lebih

tinggi daripada AQL. LQL sering disebut dengan LTPD (Lot Tolerance Percent

Defective) atau RQL (Rejectable Quality Level). Dalam kurva OC, apabila Pa = 1- α

untuk unit produk maka proporsi kesalahan = p1 dan apabila Pa = β untuk unit produk

maka proporsi kesalahan = p2.

2.3.6 Kurva AOQ (Average Outgoing Quality)

Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p212) AOQ adalah tingkat kualitas rata-rata

dari suatu departemen inspeksi. Di sini sampel yang diambil harus dikembalikan untuk

mendapatkan perbaikan bila produk tersebut rusak atau cacat. AOQ mengukur rata-rata

tingkat kualitas output dari suatu hasil produksi yang banyak dengan proporsi kerusakan

sebesar p. Apabila N adalah banyaknya unit yang dihasilkan dan n sebagai unit sampel

yang diinspeksi. Sementara p adalah bagian kesalahan atau ketidaksesuaian dan Pa

merupakan probabilitas penerimaan produk tersebut, maka rumus yang digunakan

adalah :

N)nN(pPaAOQ −×

=

Kurva ini memiliki titik puncak yang disebut dengan AOQL (Average Outgoing

Quality Limit). AOQL tersebut menunjukan kualitas rata-rata terburuk yang akan

meninggalkan bagian pengujian atau inspeksi dengan asumsi dilakukan pengambilan

untuk perbaikan tanpa mempedulikan kualitas produk yang datang. Pada titik itulah

  

Page 13: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

mulai dilakukan perbaikan. AOQL jika mengukur kebaikan perencanaan sampel. Contoh

pembuatan kurva AOQ dapat dilihat pada tabel 2.2 dan gambar 2.2.

Tabel 2.2 Contoh Perhitungan Kurva AOQ

Proporsi Kesalahan Pa AOQ

0,01 0,986 0,0096 0,02 0,922 0,0180 0,03 0,811 0,0237 0,04 0,677 0,0264 0,05 0,541 0,0264 0,06 0,416 0,0243 0,07 0,311 0,0212 0,08 0,226 0,0176 0,09 0,161 0,0141 0,1 0,112 0,0109 0,11 0,076 0,0082 0,12 0,051 0,0060 0,13 0,034 0,0043 0,14 0,022 0,0030 0,15 0,014 0,0020

Sumber : Ariani (2004)

Sumber : Ariani (2004)

Gambar 2.2 Contoh Kurva AOQ

  

Page 14: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.4 Evaluasi Kinerja Supplier

2.4.1 Definisi

Kinerja supplier perlu dimonitori secara kontinyu. Penilaian kinerja ini penting

sebagai bahan evaluasi yang nantinya bisa digunakan untuk meningkatkan kinerja

supplier atau sebagai bahan pertimbangan perlu tidaknya mencari suppplier alternatif.

Pada situasi dimana perusahaan memiliki lebih dari satu supplier untuk suatu sistem

tertentu, hasil evaluasi juga bisa dijadikan dasar dalam mengalokasi pesanan dimasa

depan. Tentunya beralasan bahwa supplier yang lebih bagus akan mendapat pesanan

lebih banyak. Dengan sistem tersebut supplier akan terpacu untuk meningkatkan kinerja

mereka.

Kriteria yang digunakan untuk memilih supplier bisa digunakan untuk menilai

kinerja supplier hanya saja perlu dibedakan. Penilaian kinerja supplier lebih pada hal-hal

seperti kualitas, ketepatan waktu, fleksibilitas, dan harga yang ditawarkan selama satu

periode tertentu.

2.4.2 Kriteria

Menurut I Nyoman Pujawan (2005, p146), memilih atau mengevaluasi supplier

merupakan kegiatan strategis terutama apabila supplier tersebut akan memasok item

yang kritis atau akan digunakan dalam jangka panjang sebagai supplier penting. Kriteria

pemilihan adalah salah satu hal penting dalam pemilihan supplier. Kriteria yang

digunakan tentunya harus mencerminkan strategi supply chain maupun karakteristik dari

item yang akan dipasok. Secara umum banyak perusahaan yang menggunakan kriteria-

kriteria dasar seperti kualitas barang yang ditawarkan, harga, dan ketepatan waktu

pengiriman. Namun terkadang pemilihan supplier membutuhkan berbagai kriteria lain

  

Page 15: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

yang dianggap penting oleh perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Dickson selama

hampir 40 tahun yang lalu menunjukan bahwa kriteria pemilihan supplier bisa sangat

beragam. Tabel 2.3 menunjukan 22 kriteria yang diidentifikasikan oleh Dickson. Angka

pada kolom kedua menunjukan tingkat kepentingan dari masing-masing kriteria

berdasarkan kumpulan jawaban dari survey yang direspon 170 manajer pembelian di

Amerika Serikat. Namun tentu saja setiap perusahaan harus menentukan sendiri kriteria

yang digunakan dalam memilih supplier. berikut ini adalah kriteria yang digunakan

untuk proses memilih atau evaluasi kinerja supplier-supplier mereka :

• Banyaknya technical supports yang akan diberikan

• Banyaknya ide-ide inovatif

• Kemampuan supplier untuk berkomunikasi secara efektif untuk isu-isu penting

• Fleksibilitas yang ditunjukan oleh supplier

• Cycle time dan kecepatan respon

• Kemiripan tujuan dengan supplier

• Tingkat kepercayaan yang ada antara perusahaan dengan supplier

• Kekuatan hubungan pada berbagai dimensi

• Syarat-syarat finansial

• Pengalaman masa lampau bersama supplier

Tabel 2.3 Kriteria Pemilihan atau Evaluasi Supplier

Kriteria Skor Kualitas 3.5 Delivery 3.4 Performance history 3.0 Warranties and claim policies 2.8 Price 2.8 Technical capability 2.8 Financial position 2.5

  

Page 16: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

Tabel 2.3 Kriteria Pemilihan atau Evaluasi Supplier (lanjutan)

Kriteria Skor Procedural compliance 2.5 Communication system 2.5 Reputation and position in industry 2.4 Desire of business 2.4 Management and organization 2.3 Operating controls 2.2 Repair service 2.2 Attitude 2.1 Impression 2.1 Packaging ability 2.0 Labor relation records 2.0 Geographical location 1.9 Amount of past business 1.6 Training aids 1.5 Reciprocal arrangements 0.6

Sumber : Dickson (1966) 2.4.3 Prosedur

Setelah kriteria ditetapkan dan beberapa kandidat supplier diperoleh maka

perusahaan harus melakukan pemilihan atau evaluasi. Dalam proses evaluasi perusahaan

mungkin harus melakukan perangkingan untuk menentukan mana supplier dengan

urutan tertinggi yang akan dijadikan supplier utama dan mana yang dijadikan supplier

cadangan. Salah satu metode yang cukup lumrah digunakan dalam merangking alternatif

berdasarkan beberapa kriteria yang ada adalah metode Analytical Hierarchy Process

(AHP). Bagian ini menjelaskan bagaimana aplikasi untuk merangking supplier,

prosesnya diringkas sebagai berikut :

Langkah 1

Manajer mengidentifikasi semua supplier potensial yang menjual item yang

dibeli perusahaan.

  

Page 17: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

Langkah 2

Tentukan kriteria-kriteria evaluasi dengan membuat daftar berisi atribut-atribut

untuk dievaluasi pada tiap supplier.

Langkah 3

Manajemen memutuskan pentingnya tiap atribut bagi perusahaan dengan

menentukan bobot masing-masing kriteria. Proses pemberian bobot untuk

masing-masing kriteria dan sub kriteria akan dilakukan oleh manajer fungsional

(produksi, pengadaan, teknik, pemasaran, dan keuangan). Bobot bisa diberikan

secara terpisah kemudian digabungkan, atau diberikan secara bersama-sama

melalui proses konsensus. Pada model AHP, pemberian bobot dilakukan dengan

perbandingan berpasangan. Langkah-langkah untuk memperoleh bobot, yaitu

dengan melengkapi matriks dibawah diagonal dengan kebalikan yang diatasnya,

mencari jumlah tiap kolom, membagi nilai-nilai tersebut dengan jumlah kolom,

dan merata-ratakan ke samping.

Langkah 4

Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi supplier dari setiap aspek diatas. Pada

dasarnya penilaian dilakukan pada tingkat sub kriteria. Nilai tiap kriteria akan

diperoleh dengan melakukan agregasi nilai berbobot dari masing-masing sub

kriteria yang bersangkutan. Disini merupakan tahap membandingkan baik

tidaknya supplier pada suatu aspek kriteria dengan menggunakan langkah yang

sama persis dengan langkah mendapatkan bobot diatas.

Langkah 5

Langkah terakhir adalah membuat ukuran gabungan tertimbang tiap atribut.

Caranya dengan mengalikan skor supplier untuk sebuah atribut dengan

  

Page 18: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

kepentingan atribut. Penambahan dari gabungan angka untuk tiap supplier

menunjukan skor keseluruhan yang dapat dibandingkan dengan supplier lainnya.

Semakin tinggi gabungan angka, maka semakin dekat pula pertemuan supplier

dengan kebutuhan dan spesifikasi perusahaan.

2.5 AHP (Analytical Hierarchy Process)

2.5.1 Definisi

Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu bentuk metode

pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari

metode sebelumnya. Metode ini memiliki kemampuan memecahkan masalah yang

multi-objektif dan multi-kriteria yang berdasar pada perbandingan referensi dari setiap

elemen dalam hirarki. Jadi, model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan

yang komprehensif (http://custombike.erudeye.net/Methods.aspx).

Menurut Marshall dan Oliver (1993, p278) AHP adalah sebuah metode yang

dikembangkan untuk merangkingkan beberapa alternatif keputusan secara matematis.

Tujuan utamanya adalah untuk menentukan bobot dari masing-masing atribut melalui

perbandingan berpasangan, serta menetukan bobot dari setiap alternatif keputusan

terhadap masing-masing atribut dengan menggunakan berbandingan berpasangan.

Sedangkan menurut Taylor III (2005, p17) proses analisis bertingkat (analytical

hierarchy process - AHP) yang dikembangkan oleh Thomas Saaty merupakan metode

untuk membuat urutan alternatif keputusan dan memilih yang terbaik pada saat

pengambilan keputusan memiliki beberapa tujuan, atau kriteria, untuk mengambil

keputusan tertentu.

  

Page 19: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

AHP merupakan proses untuk menghitung nilai angka untuk merangking tiap

alternatif keputusan berdasarkan sejauh mana alternatif tersebut memenuhi kriteria

pembuat keputusan.

2.5.2 Langkah dan Prosedur

Berikut adalah ringkasan dari tahap matematis yang digunakan untuk membuat

rekomendasi keputusan berdasarkan AHP (Taylor III, 2005, p19) :

1. Mengembangkan matriks perbandingan pasangan untuk tiap alternatif

keputusan berdasarkan tiap kriteria.

Pada AHP pengambilan keputusan menentukan nilai atau skor tiap alternatif

untuk satu kriteria menggunakan perbandingan pasangan. Pada perbandingan

pasangan pembuat keputusan membandingkan dua alternatif berdasarkan suatu

kriteria tertentu dan mengindikasikan suatu preferensi. Perbandingan ini

dilakukan dengan menggunakan skala preferensi yang memberikan angka

numerik untuk tiap tingkat preferensi. Standar skala preferensi yang digunakan

AHP diperlihatkan pada tabel 2.4

Tabel 2.4 Skala Preferensi untuk Perbandingan Pasangan

Nilai Skala Tingkat Preferensi Kriteria A Kriteria B B/A

A sama pentingnya dengan B 1 1 1 A sedikit lebih penting dari B 3 1 1/3 A secara signifikan lebih penting dari B 5 1 1/5 A jauh lebih penting dari B 7 1 1/7 A secara absolute lebih penting dari B 9 1 1/9

Sumber : Pujawan (2005)

  

Page 20: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

Matriks perbandingan pasangan memiliki jumlah baris dan kolom yang sesuai

dengan alternatif keputusan.

Tabel 2.5 Perbandingan Berpasangan Alternatif untuk Suatu Kriteria

Alternatif A1 A2 A3 ….. An

A1 a11 a12 a13 ….. a1n

A2 a21 a22 a23 ….. a2n

A3 a31 a32 a33 ….. a3n

…. …. …. …. …. ….

An an1 an2 an3 ….. annSumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis

An adalah alternatif yang akan dibandingkan dengan alternatif yang lain. a12

adalah hasil perbandingan alternatif A1 dengan alternatif A2, berarti nilai a21

merupakan kebalikan dari nilai a12.

2. Mengembangkan preferensi dalam kriteria

Langkah berikutnya dalam AHP adalah membuat prioritas alternatif keputusan

dalam tiap kriteria. Tahap dalam AHP ini disebut sintesis, tahapan dalam

menentukan skor preferensi adalah :

a. Menjumlahkan nilai pada tiap kolom pada matriks perbandingan pasangan.

Tabel 2.6 Menjumlahkan Nilai tiap Kolom

Alternatif A1 A2 A3 ….. An

A1 a11 a12 a13 ….. a1n

A2 a21 a22 a23 ….. a2n

A3 a31 a32 a33 ….. a3n

…. …. …. …. …. …. An an1 an2 an3 ….. ann

Total SA1 SA2 SA3 ….. SAnSumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis

  

Page 21: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

b. Membagi nilai tiap kolom dalam matriks perbandingan pasangan dengan

jumlah kolom yang bersangkutan yang disebut matriks normalisasi.

Tabel 2.7 Normalisasi Perbandingan Berpasangan

A1 A2 A3 ….. An

A1 a11/SA1 a12/SA2 a13/SA3 ….. a1n/SAn

A2 a21/SA1 a22/SA2 a23/SA3 ….. a2n/SAn

A3 a31/SA1 a32/SA2 a33/SA3 ….. a3n/SAn

…. …. …. …. …. …. An an1/SA1 an2/SA2 an3/SA3 ….. ann/SAn

Sumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis

c. Hitung nilai rata-rata tiap baris pada matriks normalisasi yang disebut vektor

preferensi. Pada titik ini nilai pecahan dikonvesrsi terhadap matriksmenjadi

nilai desimal, preferensi ini dapat ditulis sebagai suatu preferensi matriks

dengan satu kolom yang disebut vektor.

Tabel 2.8 Merata-ratakan setiap baris

A1 A2 A3 ….. An Rata-rata A1 a11/SA1 a12/SA2 a13/SA3 ….. a1n/SAn AV1

A2 a21/SA1 a22/SA2 a23/SA3 ….. a2n/SAn AV2

A3 a31/SA1 a32/SA2 a33/SA3 ….. a3n/SAn AV3…. …. …. …. …. …. …. An an1/SA1 an2/SA2 an3/SA3 ….. ann/SAn AVn

Sumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis

AVn merupakan rata-rata dari setiap baris n.

d. Gabungkan vektor preferensi untuk tiap kriteria menjadi matriks preferensi

yang memperlihatkan preferensi tiap lokasi berdasarkan tiap kriteria.

  

Page 22: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

Tabel 2.9 Matriks Preferensi Kriteria

Kriteria K1 K2 K3 ….. Kn

A1 AV11 AV12 AV13 ….. AV1n

A2 AV21 AV22 AV23 ….. AV2n

A3 AV31 AV32 AV33 ….. AV3n

…. …. …. …. …. …. Alte

rnat

if

An AVn1 AVn2 AVn3 ….. AVnnSumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis

Kn merupakan jenis-jenis kriteria, setiap kriteria memiliki nilai vektor yang

berbeda dari hasil perbandingan pasangan yang berbeda pula.

3. Membuat matriks perbandingan pasangan untuk tiap kriteria.

Tahap berikut pada AHP adalah menentukan tingkat kepentingan atau bobot dari

kriteria, yaitu merangking kriteria dari yang paling penting hingga kurang

penting. Hal ini dilakukan dengan cara serupa seperti merangking alternatif di

setiap kriteria dengan menggunakan perbandingan berpasangan.

Tabel 2.10 Perbandingan Berpasangan kriteria

Kriteria K1 K2 K3 ….. Kn

K1 k11 k12 k13 ….. k1n

K2 k21 k22 k23 ….. k2n

K3 k31 k32 k33 ….. k3n

…. …. …. …. …. ….

Kn kn1 kn2 kn3 ….. knnSumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis

4. Menghitung matriks normalisasi dengan membagi tiap nilai pada masing-

masing kolom matriks dengan jumlah kolom yang terkait.

Langkah berikutnya sama seperti mengembangkan preferensi dalam kriteria atau

yang disebut sintesis, perbedaannya hanya ada pada perbandingan berpasangan.

  

Page 23: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

5. Membuat vektor preferensi dengan menghitung rata-rata baris pada

matriks normalisasi.

6. Hitung skor keseluruhan untuk tiap alternatif keputusan dengan

mengalihkan vektor preferensi kriteria (dari langkah lima) dengan matriks

kriteria (dari langkah 2d)

Skor keseluruhan untuk tiap lokasi ditentukan dengan mengalikan nilai pada

vektor preferensi kriteria dengan matriks kriteria sebelumnya dan menjumlahkan

hasilnya dengan rumus sebagai berikut.

Tabel 2.11 Perhitungan Skor atau Pembobotan

Kriteria Kriteria K1 K2 K3 ….. Kn

A1 AV11 AV12 AV13 ….. AV1n K1 WK1

A2 AV21 AV22 AV23 ….. AV2n X K2 WK2

A3 AV31 AV32 AV33 ….. AV3n K3 WK3…. …. …. …. …. …. …. WK4A

ltern

atif

An AVKn1 AVKn2 AVKn3 ….. AVKnn Kn WK5Sumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis

Skor A1 = WK1(AV11) + WK2(AV12) + WK3(AV13) + ………WKn(AV1n)

Skor A2 = WK1(AV21) + WK2(AV22) + WK3(AV23) + ………WKn(AV2n)

Skor A3 = WK1(AV31) + WK2(AV32) + WK3(AV33) + ………WKn(AV2n)

Skor An = WK1(AVn1) + WK2(AVn2) + WK3(AVn3) + ………WKn(AVnn)

7. Rangking alternatif keputusan berdasarkan nilai alternatif yang dihitung

pada langkah 6.

  

Page 24: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.5.3 Konsistensi AHP

Menurut Taylor III (2005, p24) AHP dilakukan berdasarkan perbandingan

berpasangan yang digunakan pengambilan keputusan untuk menetapkan preferensi

antara alternatif keputusan untuk berbagai kriteria. Dalam hal ini validasi dan

konsistensi pernyataan penting, preferensi yang dibuat untuk satu perbandingan

pasangan harus konsisten dengan perbandingan pasangan yang lain. Inkonsistensi dapat

terjadi apabila pengambil keputusan membuat pernyataan lisan mengenai berbagai

perbandingan pasangan. Nilai suatu indeks konsistensi (consistency index - CI) dapat

dihitung untuk mengukur tingkat inkonsistensi dalam perbandingan pasangan.

Perhitungan indeks konsistensi (CI) dimulai dengan menghitung perbandingan

berpasangan kriteria dikalikan dengan bobot kriterianya seperti pada tabel 2.12.

Tabel 2.12 Perkalian Matriks berpasangan dengan Bobot Kriteria

Kriteria kriteria K1 K2 K3 ….. Kn

K1 k11 k12 k13 ….. k1n WK1

K2 k21 k22 k23 ….. k2n X WK2

K3 k31 k32 k33 ….. k3n WK3

…. …. …. …. …. …. …. Kn kn1 kn2 kn3 ….. knn WKn

Sumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis

Hasil dari perkalian martiks dan bobot kriteria (Un) adalah sebagai berikut.

k11(WK1) + k12(WK2) + k13(WK3) + k1n(WKn) = U1

k21(WK1) + k22(WK2) + k23(WK3) + k2n(WKn) = U2

k31(WK1) + k32(WK2) + k33(WK3) + k1n(WKn) = U3

kn1(WK1) + kn2(WK2) + kn3(WK3) + knn(WKn) = Un

  

Page 25: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

Berikutnya, masing-masing nilai Un ini dibagi dengan bobot terkait kemudian hasilnya

dirata-rata, sebut saja hasil rata-ratanya V.

U1/ WK1 + U2/ WK2 + U3/ WK3 + Un/ WKn

n

indeks konsistensi, CI dihitung dengan rumus : 1nn

−−λ

dimana n = jumlah item yang dibandingkan

λ = nilai rata-rata yang dihitung sebelumnya

Jika CI = 0, maka pengambilan keputusan dikatakan sangat konsisten. Namun umumnya

perusahaan tidak sepenuhnya konsisten, maka tingkat konsistensi ynag dapat diterima

ditentukan dengan membandingkan CI terhadap indeks acak (random index - RI), yang

merupakan indeks konsistensi dari matriks perbandingan yang dibuat secara acak. Nilai

RI seperti pada tabel 2.13. Tergantung dari jumlah item (n), yang dibandingkan.

Tabel 2.13 Nilai RI untuk Perbandingan n Item

n 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

RI 0 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51

Sumber : Taylor III (2005)

Tingkat konsistensi atas perbandingan pasangan pada matriks kriteria keputusan

ditentukan dengan menghitung rasio CI terhadap RI.

Secara umum, tingkat konistensi dikatakan memuaskan jika CI/RI < 0,10, jika CI/RI >

0,10, maka kemungkinan terdapat inkonsistensi yang serius dan hasil AHP mungkin

tidak berarti.

  

Page 26: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.5.4 Penilaian Perbandingan Multipartisipan

Dalam menentukan keputusan penilaian melibatkan banyak responden yang

memberikan pendapat yang berbeda-beda. Namun perhitungan AHP hanya

membutuhkan satu matriks perbandingan berpasangan. Maka untuk menyatukan semua

pendapat responden digunakan metode perataan geomertis (Geometric Average).

Dengan rumus aij = nn

21 k.....kk ××

Dimana, aij = nilai skala pada baris i kolom j

kn = nilai perbandingan

n = jumlah responden

rumus tersebut menyatakan bahwa bila terdapat n responden melakukan perbandingan

berpasangan, maka untuk mendapat suatu nilai tertentu, masing-masing nilai harus

dikalikan satu sama lain sesuai kolom dan baris yang sama, kemudian hasil hasil

perkalian tersebut dipangkatlan dengan 1/n.

2.6 Portofolio Supplier Relationship

Menurut I Nyoman Pujawan (2004, p157), salah satu yang menjadi tugas penting

bagian pengadaan adalah menciptakan hubungan yang proporsional dengan supplier.

Hubungan yang proporsional adalah hubungan yang secara tepat mencerminkan

kepentingan tiap-tiap supplier. Untuk menciptakan model hubungan tersebut,

perusahaan perlu membuat klasifikasi supplier berdasarkan berbagai kriteria yang

relevan. Berikut ini diperkenalkan suatu portfolio yang bisa digunakan sebagai patokan

umum dalam melakukan diferensiasi hubungan dengan supplier yang memiliki tingkat

kepentingan yang berbeda-beda bagi perusahaan. Ada dua faktor yang bisa digunakan

  

Page 27: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

dalam merancangan hubungan dengan supplier. Yang pertama adalah tingkat

kepentingan strategis item yang dibeli oleh perusahaan karena semakin strategis posisi

suatu item dalam perusahaan, maka semakin diperlukan hubungan yang dekat dan

berorientasi jangka panjang dengan supplier tersebut. Strategis tidaknya suatu item

dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut :

1. Kontribusi item terhadap kegiatan atau kompetensi inti perusahaan

2. Nilai pembelian

3. Image atau brand name dari supplier

4. Resiko ketidaktersediaan item yang bersangkutan

Faktor yang kedua adalah tingkat kesulitan mengelola pembellian item tersebut.

Semakin tinggi tingkat kesulitannya, semakin banyak diperlukan inventaris dari

manajemen. Secara umum tingkat kesulitan mengelola pembelian suatu item ditentukan

oleh beberapa hal seperti :

1. Kompleksitas dan keunikan item

2. Kemampuan supplier dalam memenuhi permintaan

3. Ketidakpastian (ketersediaan, kualitas, harga, waktu pengiriman)

  

Page 28: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

 

Tinggi Bottleneck suppliers Critical strategic suppliers Sulit mencari substitusi Penting atau strategis Pasar monopoli substitusi sulit Supplier baru sulit masuk

Non-critical suppliers Leverage suppliers Ketersediaan cukup Ketersediaan cukup Item-item cukup standar Substitusi dimungkinkan

Tin

gkat

Kes

ulita

n

Substitusi dimungkinkan Nilainya relatif tinggi Rendah Nilainya relatif rendah Rendah Tinggi Tingkat Kepentingan

Sumber : Pujawan (2004) Gambar 2.3 Commodity Portfolio Matrix

Dengan menggunakan dua faktor tersebut, kita bisa mendapatkan empat

klasifikasi supplier seperti terlihat pada gambar 2.3. Supplier yang diklasifikasikan

sebagai non-critical suppliers memiliki tingkat kepentingan dan kesulitan rendah serta

relatif mudah untuk ditangani. Sebaliknya critical strategic suppliers adalah mereka

yang memasok barang atau jasa dengan nilai yang besar dan barang atau jasa tersebut

kritis bagi perusahaan dengan tingkat kesulitan dan kepentingan yang tinggi. Pada

bagian kiri atas adalah bottleneck suppliers dimana mereka merupakan supplier dengan

tingkat kesulitan yang tinggi dan tingkat kepentingan yang rendah. Sedangkan

klasifikasi terakhir yaitu leverage suppliers merupakan kebalikan dari bottleneck

suppliers dimana supplier-supplier tersebut memasok item dengan tingkat kepentingan

yang tinggi bagi perusahaan namun relatif mudah diperoleh karena spesifikasinya yang

standar dan memiliki banyak supplier yang dapat memasoknya.

  

Page 29: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.6.1 Non-Critical Suppliers

Supplier jenis ini merupakan supplier yang memiliki tingkat kepentingan rendah

dan relatif mudah untuk ditangani. Barang-barang yang relatif standar, ketersedaiaannya

cukup, mudah dicari substitusinya, dan nilainya relatif rendah merupakan ciri-ciri dari

supplier ini. Perlakuan atau model hubungan untuk supplier yang termasuk non-critical

suppliers, fokus manajemen hendaknya pada penyederhanaan proses pembelian dengan

member otoritas bagi tingkat manajemen yang lebih rendah untuk mengambil keputusan

pembelian dan mengurangi proses-proses yang memakan waktu dan biaya. Karena item-

item yang dipasok biasanya relatif standard dan tidak bernilai strategis, kriteria utama

dalam keputusan pembelian adalah harga per unit.

2.6.2 Critical Strategic Suppliers

Kebalikan dari non-critical suppliers, critical strategic suppliers adalah mereka

yang memasok barang atau jasa dengan nilai yang besar dan barang atau jasa tersebut

kritis bagi perusahaan. Perlakuan atau model hubungan terhadap masing-masing

supplier tentunya berdeda. Mudah dipahami bahwa model hubungan yang bersifat

kemitraan dengan orientasi jangka panjang tidak akan cocok untuk semua jenis supplier.

Hubungan yang bersifat jangka panjang membutuhkan investasi bersama dari pihak

perusahaan maupun supplier. Hal ini hanya rasional dilakukan untuk critical strategic

suppliers karena investasi pada kelompok ini perlu dilakukan agar supplier dapat

memasok barang dan jasa dengan kualitas yang lebih baikdan pengiriman yang lebih

tepat waktu.

  

Page 30: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

2.6.3 Bottleneck Suppliers

Bottleneck suppliers merupakan pemasok item-item yang sebenarnya tidak

terlalu penting bagi perusahaan dan nilai transaksinya juga relatif rendah, namun barang

atau jasa tersebut tidak mudah diperoleh. Ini mungkin disebabkan karena supplier

barang atau jasa tersebut relatif sedikit sedangkan yang membutuhkan banyak.

Perlakuan model hubungan yang dilakukan perusahaan pada kelompok ini adalah

dengan menaruh perhatian yang signifikan, karena ketidak tersediaan item-otem yang

dipasok akan menjadi penghambat. Biasanya ketidaktersediaan yang rendah diakibatkan

tidak banyak supplieryang mau memasok item tersebut. Alasanya bisa karena secara

alamiah barang tersebut tidak mudah diperoleh atau karena tidak banyak nilai

ekonomisnya bagi supplier sehingga tidak banyak yang berminat untuk memproduksi

atau memasoknya. Terhadap supplier-supplier seperti ini perusahaan bisa meningkatkan

standarisasi atau penyederhaan spesifikasi barang atau jasa sehingga dapat lebih mudah

diperoleh.

2.6.4 Leverage Suppliers

Klasifikasi terakhir ini merupakan kebalikan dari bottleneck suppliers. Yang

termasuk ke dalam leverage adalah supplier yang relatif mudah untuk dikelola karena

banyak pemasok yang berkompeten, item-item yang dipasok bisa disubstitusi dan

ketersediaannya cukup. Oleh karena itu biasanya perusahaan memiliki posisi tawar yang

bagus. Fokus manajemen seharusnya adalah mempertahankan posisi tawar tersebut.

Pada kasus tertentu mungkin perusahaan dapat mengubah model hubungan kemitraan

jangka panjang, namun hal itu hanya perlu dilakukan bila ada potensi perbaikan yang

cukup signifikan.

  

Page 31: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-1-00380-MNTI Bab 2.pdf · Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat dua jenis

Masing-masing klasifikasi supplier diatas memiliki perlakuan atau model

hubungan yang berbeda. Pada gambar 2.4 terdapat ringkasan fokus manajemen dari

setiap kategori tersebut yang dibuat dalam bentuk matriks.

Tinggi Bottleneck supplier Critical strategic supplier Penyederhanaan atau Strategi partnership, fokus standarisasi item keunggulan strategis Non-critical supplier Leverage supplier Simplifikasi proses, fokus Pelihara kekuatan tawar ke harga per unit menawar terhadap supplier

Tin

gkat

Kes

ulita

n

Rendah Rendah Tinggi Tingkat Kepentingan Sumber : Pujawan (2004)

Gambar 2.4 Fokus Manajemen untuk Setiap Kelompok