bab 1 referat dpt.docx

39
BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio). 1 Lebih dari 12 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahun, sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Serangan penyakit tersebut akibat status imunisasi dasar yang tidak lengkap pada sekitar 20% anak sebelum ulang tahun yang pertama. 2 Berdasarkan estimasi global yang dilakukan WHO tahun 2007 pelaksanaan imunisasi dapat mencegah kurang lebih 25 juta kematian balita tiap tahun akibat penyakit difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan). Di seluruh dunia, cakupan imunisasi DPT yang diterima bayi sebesar 81%. 1 Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) secara resmi pada tahun 1997, yang menganjurkan agar semua anak diimunisasi 1

Upload: ichit-amina

Post on 06-Feb-2016

29 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 REFERAT DPT.docx

BAB I

PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak

dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk

merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan

(misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin

polio).1

Lebih dari 12 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahun,

sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Serangan penyakit tersebut akibat status imunisasi dasar yang tidak lengkap pada

sekitar 20% anak sebelum ulang tahun yang pertama.2 Berdasarkan estimasi global

yang dilakukan WHO tahun 2007 pelaksanaan imunisasi dapat mencegah kurang

lebih 25 juta kematian balita tiap tahun akibat penyakit difteri, tetanus, pertusis (batuk

rejan). Di seluruh dunia, cakupan imunisasi DPT yang diterima bayi sebesar 81%.1

Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan Pengembangan Program

Imunisasi (PPI) secara resmi pada tahun 1997, yang menganjurkan agar semua anak

diimunisasi enam macam penyakit yaitu difteri, pertusis, tetanus, tuberkulosis, polio,

campak.2

Indikator penting untuk mengukur derajat kesehatan antara lain adalah angka

kematian bayi,yaitu jumlah bayi (0-1 tahun) yang mati dari setiap 1000 kelahiran

hidup. Menurut perkiraan pada tahun 2000, 70% dari penyebab kematian bayi di

Indonesia yang utama adalah diare, radang saluran nafas atas dan penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi dan 37,94% diantara penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi dan penyakit difteri merupakan urutan keempat. Penyakit ini masih

merupakan masalah sampai anak berumur 14 tahun.3

Imunisasi merupakan salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat

efektif dalam penurunan angka kematian dan kesakitan pada bayi dan balita.3

1

Page 2: BAB 1 REFERAT DPT.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 IMUNISASI

2.1.1 Definisi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak di

berikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu

penyakit tapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.2

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang

secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila ia terpajan pada antigen yang

serupa, tidak terjadi penyakit.4

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak

dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk

merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui

suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya

vaksin polio).4

Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan

kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit.1

2.1.2 Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu

pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok

masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan suatu penyakit tertentu

dari dunia.4

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini,

penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis),

campak (measles), polio dan tuberkulosis.4

Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi

agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan

2

Page 3: BAB 1 REFERAT DPT.docx

oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara umum tujuan imunisasi antara

lain:2,3,4

1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular

2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular

3. Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas

(angka kematian) pada balita

2.1.3 Manfaat Imunisasi1,3,5

a. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan

kemungkinan cacat atau kematian.

b. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila

anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin

bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.

2.1.4 Macam-Macam Imunisasi2,3,4,5

Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan

efek-efek yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu:

a. Imunisai aktif

Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan

(vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan

suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat

mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio

dan campak.

b. Imunisasi pasif

Merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara

pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses

infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi

dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk

mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh

3

Page 4: BAB 1 REFERAT DPT.docx

imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang

yang mengalami luka kecelakaan dan imunisasi campak.

Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun

diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).

Berikut ini adalah macam-macam imunisasi pada balita :

1. Imunisasi BCG

Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan Tuberkulosis

(TBC) disebabkan oleh sekelompok bakteri Mycobacterium

tuberculosis complex. Imunisasi BCG memberikan kekebalan aktif

terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Imunisasi BCG optimal

diberikan pada umur 2-3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan

yang lebih luas, Kementrian Kesehatan menganjurkan pemberian

imunisasi imunisasi BCG pada umur 1 bulan. Apabila BCG

diberikan setelah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin

terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin

negatif. Apabila uji tuberculin tidak memungkinkan, BCG dapat

diberikan namun perlu observasi selama 7 hari. Apabila terdapat

reaksi local cepat di tempat suntikan, perlu tindakan lebih lanjut

(tanda diagnostik TB).

Vaksin BCG Dosis 0,05 cc diberikan secara intrakutan

didaerah lengan kanan atas pada insersio m.deltoideus. Hal ini

mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih

mudah dilakukan, ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur

otot setempat. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Vaksin

BCG tidak dapat mencegah infeksi TB, namun dapat mencegah

kompliksinya.

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan

pada pasien imunokomprimais. bakteri tuberculosis bacillus yang

telah dilemahkan.

4

Page 5: BAB 1 REFERAT DPT.docx

2. Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B (HepB) harus segera diberikan setelah

lahir. Imunisasi HepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12

jam) setelah lahir, mengingat sekitar 3,9% ibu hamil mengidap

hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada bayinya sebesar

45%. HepB-1 saat lahir, diberikan baik pda ibu dengan status HbsAg

yang tidak diketahui, positif atau negatif Imunisasi HepB-2

diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi HepB-1. Untuk

mendapat respon yang optimal, interval imunisasi HepB-2 dengan

HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi HepB-3

diberikan pada umur 3-6 bulan.

Kementrian Kesehatan mulai tahun 2006 memberikan vaksin

HepB-0 monovalen saat lahir, dilanjutkan dengan kombinasi vaksin

kombinsi DTP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB

diberikan dalam kombinsi dengan DTP untuk mempermudah

pemberian dan meningkatkan cakupan HepB. Sejak tahun 2014,

vaksin DTP/HepB dikombinasi dengan vaksin Hib menjadi vaksin

pentavalen DTP/HepB/Hib.

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum

pernhmemperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan

imnisasi HepB dengan jadwal 3 kali pemberian. Ulangan imunisasi

hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila

kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs<10 mikrogram/ml).

3. Imunisasi DTwP (whole cell pertusis ) dan DTaP (acellular

pertusis)

Saat ini telah ada vaksin DTaP disamping vaksin DTwP yang

telah dipakai selama ini.Kedua vaksin tersebut dapat digunakan

secara bersamaa dalam jadwal imunisasi. Imunisasi dasar DPT

5

Page 6: BAB 1 REFERAT DPT.docx

diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan

sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval

terbaik diberikan 8 minggu. Jadi DTP-1 diberikan pada umur 2

bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan.

Ulangan booster DTP selanjutnya (DTP-4) diberikan 1 tahun setelah

DTP-3 yaitu pada umur 18024 bulan dan DTP-5 pada saat masuk

sekoah pada umur 5 tahun.

Imunisasi DTP booster ke-2 (DTP-5) pada umur 5 tahun harus

tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis (sebaiknya

diberikan DTaP untuk mengurangi demam paska imunisasi). DTwP,

DTaP, DT atau Td adalah 0,5 ml, diberikan secara intramuskular,

baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin DTP dapat

diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain sebagai vaksin

tetravalent yaitu DTwP/HepB, DTaP/Hib, DTwP/Hib,DTaP/IPV,

atau vaksin pentavalen HepB/Hib, DTaP/Hib/IPV sesuai jawdal.

4. Imunisasi Polio

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio 1,2, dan 3.

OPV, virus hidup dilemahkan, tetes, oral

IPV, virus inaktif, suntikan

Kedua vaksin polio tersebut dapat diberikan pada anak sehat

maupun anak yang menderita immunokompromais, dan dapat

diberikan sebagai imunisasi dasar maupun ulangan

Polio-0 diberikan saat bayi lahir atau pada kunjungan pertama

sebagai tambahan untuk mendapatkan caupan imunisasi yang tinggi.

OPV diberikan saat bayi dipulangkan dari RS/RB untuk

menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain yang

sakit/immunokomprimais karena virus polio vaksin diekskresi

melalui tinja. Selanjutnya dapat diberikan vaksin OPV atau IPV.

6

Page 7: BAB 1 REFERAT DPT.docx

Untuk imunisasi dasar (polio 1,2,3) diberikan pada umur 2,4,6 bulan.

Interval anatara 2 imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.

OPV diberikan 2 tetes per oral. IPV dalam kemasan 0,5 ml,

intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri maupun dalam

kemasan kombinasi. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak

imunisasi polio 4, selanjutnya masuk sekolah (5-6 tahun).

5. Imunisasi Campak

Campak diberikan untuk mencegah anak terkena penyakit

campak. Jadwal imunisasi campak diberikan 3 kali yaitu pada saat

anak umur 9 bulan, 24 bulan ketika antibodi maternal (antibodi anti

campak milik ibu yang masuk ke bayi ketika masih dalam

kandungan) sudah hilang. Imunisasi campak yang kedua diberikan

lagi ketika anak masuk SD atau usia anak 6 tahun.Untuk anak yang

telah mendapat imunisasi MMR umur 15-18 bulan, imunisasi

campak pada umur 24 bulan tidak diperkenankan.Saat ini ada 2

macam vaksin campak, yang pertama berisi virus campak yang

dilemahkan dan yang kedua berisi virus campak yang dimatikan.

Yang banyak dipakai adalah vaksin campak yang berisi virus yang

dilemahkan. Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil,

anak dengan imunodefisiensi primer, pasien TB yang tidak diobati,

pasien kanker atau transplantasi organ, anak yang mendapat obat

imunosupresi (obat penekan system imun) jangka panjang. Anak

yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti

kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.

Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam 1 dosis 0,5 ml

secara subkutan dalam adalah 0,5 ml. Imunisasi campak kadang,

5%-15% kasus,  membuat anak demam hingga 39,5oC pada hari ke

5-6 sesudah imunisasi. Demam berlangsung selama 2 hari. Ruam

7

Page 8: BAB 1 REFERAT DPT.docx

(bercak-bercak merah) dapat dijumpai pada 5% anak, timbul pada

hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2- hari.

6. Imunisasi Hib

Vaksin Hib yang berisi PRT-T diberikan pada anak umur 6

bulan. Hib diberikan pada umur 2,3,4,18 bulan kombinasi dengan

DTP-Hep B. 1 dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara IM.

Program imunisasi nasional menggunakan DTwP/HepB/Hib. Vaksin

Hib PRT-T pelu diulang pada umur 18 bulan. Apabila anak datang

pada umur 1-5 tahun, Hib cukup diberikan 1 kali.

7. Imunisasi Pneumokokus

Vaksin PCV diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun.

Dosis dan interval pemberian sesuai umur. Vaksin PCV dosis 5 ml

disuntikkan secara IM. Dosis pertama tidak dibeikan sebelum umur

6 minggu. Untuk bayi BBLR (<1.500 g) vaksin diberikan setelah

umur 6-8 minggu, tanpa memperhatikan umur kehamilan. Dapat

diberikan bersama vaksin lain. Dengan mempergunakan syringe

secara terpisah, dan disuntikkan pada sisi badan yang berbeda.

8. Imunisasi Influenza

Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6-23 bulan, baik

anak sehat maupun dengan resiko. Imunisasi influenza diberikan

setiap tahun. Indikasi lain yaitu anak yang tinggal dengan kelompok

resiko tinggi atau pekerja sosial yang berhubungan dengan

kelompok risiko tinggi. Dosis:

Umur 6-35 bulan yaitu 0,25 ml

Umur >3 tahun yaitu 0,5 ml

8

Page 9: BAB 1 REFERAT DPT.docx

Umur <8 tahun, untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis

dengan interval minimal 4 minggu atau lebih, pada tahun

berikutnya hanya diberikan 1 dosis

Vaksin diberikan secara IM pada paha anterolateral atau deltoid

9. Imunisasi MMR

Imunisasi  MMR  diberikan lewat suntikan intarmuskular (ke

dalam otot) atau subkutan (suntikan dibawah kulit). Imunisasi MMR

diberikan pada anak umur 15-18 bulan.Minimal interval 6 bulan

antara imunisasi campak (9bulan) dan MMR. MMR minimal

diberikan 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain.

Apabila.seorang.anak.telah.mendapatkan.imunisasi MMR pada umur

12-18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan

pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Setelah imunisasi MMR

dapat terjadi demam, muncul ruam, anak lesuh yang sering terjadi 1

minggu setelah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari. Kejang

demam timbul pada 0,1% anak. Yang tidak boleh diimunisasi MMR

anak yang menderita kanker yang tidak diobati, anak yang mendapat

obat yang menurunkan respon imun atau steroid dosis tinggi, anak

dengan alergi berat terhadap gelatin atau obat neomisin, anak dengan

demam akut, anak yang mendapat vaksin hidup yang lain. Imunisasi

MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir.

Vaksin MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus

hidup

10. Tifoid

Imunisasi ini diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan

dilakukan setiap 3 tahun. Dosis 0,5 ml secara IM.

9

Page 10: BAB 1 REFERAT DPT.docx

11. Hepatitis A

Di samping vaksin Hep A monovalen yang telah kita kenal saat

ini telah ada vaksin kombinasi HepB/HepA.

Vaksin HepA diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Vaksin

kombinsi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dri 12 bulan.

Kemasan cair 1 dosis/vial 0,5 ml. Dosis pediatrik 720 ELISA units

diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan, IM di daerah deltoid.

Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 mikrogram dan HepA 720

ELISA units).

12. Imunisasi Varisela

Imunisasi varisela diberikan pada anak umur >1 tahun. Untuk anak

yang ada kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegah

apabila diberikan dalam kurun waktu 72 jam setelah kontak. Dosis

0,5 ml, subkutan, 1 kali. Untuk anak umur >13 tahun atau dewasa,

diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu. memberikan perlindungan

terhadap cacar air.

10

Page 11: BAB 1 REFERAT DPT.docx

2.2 IMUNISASI DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus)

A. Fungsi

Imunisasi DPT bertujuan untuk mencegah 3 penyakit sekaligus, yaitu

difteri, pertusis, tetanus.4

B. Cara Pemberian Dan Dosis4

Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi intramuskular.

Suntikan diberikan pada paha tengah luar atau subkutan dalam dengan dosis 0,5

cc. Cara memberian vaksin ini, sebagai berikut:

Letakkan bayi dengan posisi miring diatas pangkuan ibu dengan

seluruh kaki telanjang

Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi

Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk

Masukkan jarum dengan sudut 90 derajat

Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui kulit sehingga masuk

ke dalam otot. Untuk mengurangi rasa sakit, suntikkan secara pelan-

pelan.

Pemberian vaksin DPT dilakukan tiga kali mulai bayi umur 2 bulan

sampai 11 bulan dengan interval 4 minggu. Imunisasi ini diberikan 3 kali

karena pemberian pertama antibodi dalam tubuh masih sangat rendah,

pemberian kedua mulai meningkat dan pemberian ketiga diperoleh cukupan

antibodi. Daya proteksi vaksin difteri cukup baik yiatu sebesar 80-90%, daya

proteksi vaksin tetanus 90-95% akan tetapi daya proteksi vaksin pertusis

masih rendah yaitu 50-60%, oleh karena itu, anak-anak masih

berkemungkinan untuk terinfeksi batuk seratus hari atau pertusis, tetapi lebih

ringan.

11

Page 12: BAB 1 REFERAT DPT.docx

Dosis yang diberikan untuk toksoid difteri dinyatakan dalam jumlah

unit Flocculate(Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan

1 unit antitoksin difteria. Kekuatan vaksin DPT saat ini berkisar antara 6,7-25

Lf dalam dosis 0,5 ml.

Dosis toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi sebesar 40 IU

dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteri dan

vaksin pertusis.

C. Efek Samping4

Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan berat, efek

ringan seperti terjadi kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan

dan demam, sedangkan efek berat bayi gelisah dan menangis hebat kerena kesakitan

selama beberapa jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan syok.

D. Cara Penyimpanan1,2

Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan

potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus

disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus

didinginkan pada temperature 2-8° C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT,

Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif bila beku. 

Cara penyimpanannya yaitu:

Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian khusus karena vaksin

merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperature

lingkungan.

Vaksin akan rusak apabila temperatur terlalu tinggi atau terkena sinar matahari

langsung seperti pada vaksin polio tetes dan vaksin campak. Kerusakan juga

dapat terjadi apabila terlalu dingin atau beku seperti pada toksoid difteria, toksoid

tetanus, vaksin pertusis (DPT, DT), Hib conjugated, hepatitis B, dan vaksin

influenza.

12

Page 13: BAB 1 REFERAT DPT.docx

Pada beberapa vaksin apabila rusak akan terlihat perubahan fisik. Pada vaksin

DPT misalnya akan terlihat gumpalan antigen yang tidak bisa larut lagi walaupun

dikocok sekuat-kuatnya. Sedangkan vaksin lain tidak akan berubah penampilan

fisik walaupun potensinya sudah hilang / berkurang.

Vaksin yang sudah dilarutkan lebih cepat rusak.

2.2.1 Difteri2,4,6

a) Definisi

Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit

ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian

atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang

membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui

benda atau makanan yang terkontaminasi.

b) Etiologi6

Corynebacterium difteri adalah kuman batang “gada” gram positif, (basil

aerob) dengan ukuran 1 hingga 8 μm dan lebar 0,3 hingga 0,8 μm, tidak

bergerak, pleomorfik dan tidak berkapsul. Kuman ini tidak membentuk spora,

tahan dalam keadaan beku dan kering, dan mati pada pemanasan 60°C.

c) Faktor Resiko Difteri

Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri

sebelumnya dan kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah

terinfeksi difteri :

1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi

DPTsecara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi

DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar

dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.

13

Page 14: BAB 1 REFERAT DPT.docx

2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi

kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas

vaksin.

3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi

yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang

berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.

4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya

imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.

5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari

rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.

d) Patogenesis6

Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita

maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada

masa inkubasi, dan kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet

infection. Selainitu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan

yang terkontaminasi.

Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal melakukan

invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal

pada membrane mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan

eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem

limfatik.

Kuman masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada

permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin

yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah.

Toksin ini mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen

B (carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida (gambar 5).

Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada

reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya

fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting

14

Page 15: BAB 1 REFERAT DPT.docx

dalam menimbulkan efek toksik pada sel Reseptor toksin difteri pada membran

sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan

cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel,

dan selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan

mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke

sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan

protein dalam sel.4,6

Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua

fenomena yang berbeda, yaitu :

1. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan

proliferasi bakteri.

2. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena

terjadi hambatan sintesa protein dalam sel.

Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun

virulensi kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat

bakteri berkembang biak, toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan

kematian dan kerusakan jaringan. Ciri khas dari penyakit ini ialah

pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal,

dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit dan sel epitel yang

rusak bercampur, kemudian terbentuklah membran putih keabuabuan

(psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah

membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan

eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning,

atau abu-abu, dan ini sering disebut dengan “simple tonsilar exudate”.

Kerusakan jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah

sekitar membran, dan apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan

menyebabkan obstruksi jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laringeal.

15

Page 16: BAB 1 REFERAT DPT.docx

Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan syaraf.

Pada miokardium, toksin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan

mitokondria, ditandai dengan fatty degeneration, udem, dan interstitial

fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, dilanjutkan

peradangan setempat yang kemudian diikuti penumpukan leukosit pada

perivaskular. Kerusakan oleh toksin pada myelin sheat saraf perifer dapat

terjadi pada saraf sensorik dan saraf motorik.

Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang

bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya timbul

dalam 10 – 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 – 7

minggu. Kelainan patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik dan

degenerasi hialin pada berbagai macam organ dan jaringan. Pada jantung

tampak udim, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem

konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis

interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada

selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai hipoglikemia, kadang tampak

perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung

dengan gejala hanya nyeri menelan.

2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan

menimbulkan bengkak pada laring.

3. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala

komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis

e) Manifestasi Klinis Difteri

Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan

bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor

primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan

kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain

16

Page 17: BAB 1 REFERAT DPT.docx

termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang

sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit sistemik,

tergantung pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang melebihi

38,9°C.2,8

Difteri hidung6

Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek

ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada awalnya serous,

kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekret

bisa hanya berasal dari satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa

menjadi mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir

bagian atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior

tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang mengaburkan

adanya membran putih pada septum nasi

Difteri tonsil faring7

Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri

tenggorokan, demam sampai 38,5 °C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau,

anoreksia, dan malaise. Dalam 1 – 2 hari kemudian timbul membran yang melekat,

berwarna putih – kelabu menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula dan palatum

molle atau ke bawah ke laring dan trakea.

17

Page 18: BAB 1 REFERAT DPT.docx

Difteri laring6

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring, jarang sekali

dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe

infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara parau, dan batuk

kering.2,14 Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,

supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila terjadi pelepasan membran yang

menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane

dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai

perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala

obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam tinggi, lemah, sianosis,

pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena

bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.

2.2.2 Pertusis4,7

Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari merupakan suatu penyakit yang

disebabkan oleh kuman Bordetella Pertussis, merupakan bakteri batang yang

bersifat gram negative dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Kuman

ini mengeluarkan toksin yang menyebabkan ambang rangsang batuk menjadi

rendah sehingga bila terjadi sedikit saja rangsangan akan terjadi batuk yang hebat

dan lama, batuk terjadi beruntun dan pada akhir batuk menarik napas panjang

terdengar suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah. Batuk bisa

mencapai 1-3 bulan, oleh karena itu pertusis disebut juga “batuk seratus hari”.

Penularan penyakit ini dapat melalui droplet penderita. Pada stadium

permulaan yang disebut stadium kataralis yang berlangsung 1-2 minggu, gejala

18

Page 19: BAB 1 REFERAT DPT.docx

belum jelas. Penderita menunjukkan gejala demam, pilek, batuk yang makin lama

makin keras. Pada stadium selanjutnya disebut stadium paroksismal, baru timbul

gejala khas berupa batuk lama atau hebat, didahului dengan menarik napas panjang

disertai bunyi “whoops”. Stadium paroksismal ini berlangsung 4-8 minggu. Pada

bayi batuk tidak khas, “whoops” tidak ada tetapi sering disertai penghentian napas

sehingga bayi menjadi biru. Akibat batuk yang berat dapat terjadi perdarahan

selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan disekitar mata (oedema

periorbital). Pada pemeriksaan laboratorium asupan lendir tenggorokan dapat

ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis).4,7

Batuk rejan adalah penyakit yang menyerang saluran udara dan

pernapasan dan sangat mudah menular. Penyakit ini menyebabkan serangan batuk

parah yang berkepanjangan. Diantara serangan batuk ini, anak akan megap-megap

untuk bernapas. Serangan batuk seringkali diikuti oleh muntah-muntah dan

serangan batuk dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Dampak batuk rejan

paling berat bagi bayi berusia 12 bulan ke bawah dan seringkali memerlukan

rawat inap dirumah sakit. Batuk rejan dapat mengakibatkan komplikasi seperti

pendarahan, kejang-kejang, radang paru-paru, koma, pembengkakan otak,

kerusakan otak permanen, dan kerusakan paru-paru jangka panjang. Sekitar satu

diantara 200 anak di bawah usia enam bulan yang terkena batuk rejan akan

meninggal. Batuk rejan dapat ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang

berkena penyakit ini.7

19

Page 20: BAB 1 REFERAT DPT.docx

2.2.3 Tetanus3,4,8

Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri

ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada

manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang

tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia

menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri

lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin

yang bernama tetanospasmin.8

Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada

neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik,

tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum.

Patogenesis8

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada

beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :

a.Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat

pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b.Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin

mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.

c.Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral

ganglioside.

d.Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System

(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti

takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia

mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal

dan menginhibisi terhadap batang otak.

20

Page 21: BAB 1 REFERAT DPT.docx

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang

menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter

sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling

sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya

menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis

dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.8

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik

dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri

kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Gejala Klinis8

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih

lama 3 atau beberapa minggu ).

Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni

1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )

2. Cephalic Tetanus

3. Generalized tetanus (Tetanus umum)

4. Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus

Kharakteristik dari tetanus:

• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.

• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya

• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

21

Page 22: BAB 1 REFERAT DPT.docx

• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.

Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena

spasme Otot masetter.

• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )

• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik

keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai

dengan

• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.

• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,

retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

tetanus lokal (lokalited Tetanus)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada

daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah

merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa

bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara

bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi

dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal

tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara

terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

Cephalic tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi

berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di

India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam

rongga hidung.

22

Page 23: BAB 1 REFERAT DPT.docx

Generalized Tetanus

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang

tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.

Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan

oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang

menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa

Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus

( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-

otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa

terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot.

Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40

C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan

dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya

berdasarkan gejala klinis.

Neotal tetanus

Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu

proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses

pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah

terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat

yang telah terkontaminasi.

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang

tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Diagnosis8

Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu

istirahat, berupa :

1.Gejala klinik : Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus

( sardonic smile ).

23

Page 24: BAB 1 REFERAT DPT.docx

2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.

3. Kultur: C. tetani (+).

4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.

24

Page 25: BAB 1 REFERAT DPT.docx

25

Page 26: BAB 1 REFERAT DPT.docx

26