bab ii referat anak

36
1 BAB I PENDAHULUAN Bronchiolitis adalah cedera inflamasi akut bronkiolus yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus. Meskipun dapat terjadi pada orang dari segala usia, gejala yang parah biasanya hanya terlihat pada bayi muda. 1,2,3 Infeksi saluran pernapasan akut yaitu bronchiolitis adalah penyebab signifikan. pada anak-anak kurang dari lima tahun dan masih merupakan penyebab utama kematian anak di dunia. Pada tahun 2000, infeksi saluran pernapasan akut diperkirakan menyumbang 1,9 juta kematian di seluruh dunia; Menurut buletin WHO, sekitar 150 juta kasus baru terjadi setiap tahun; 11-20000000 (7-13%) dari kasus-kasus ini cukup berat sehingga membutuhkan rumah sakit. Di seluruh dunia, 95% dari semua kasus terjadi di negara berkembang. Sebanyak 70% dari kematian ini terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. 3 Namun, sedikit yang diketahui tentang kematian RSV terkait di negara berkembang. Morbiditas dan mortalitas mungkin lebih tinggi di negara-negara berkembang karena gizi buruk dan kurangnya sumber daya untuk perawatan medis suportif. 3 Bronchiolitis biasanya menyerang anak-anak muda dari 2 tahun, dengan puncaknya pada bayi usia 3-6 bulan. Bronkiolitis akut adalah penyebab paling umum infeksi saluran pernapasan bawah pada tahun pertama kehidupan. Hal

Upload: sugard-darmanto

Post on 04-Apr-2016

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

free

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Referat Anak

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bronchiolitis adalah cedera inflamasi akut bronkiolus yang biasanya disebabkan

oleh infeksi virus. Meskipun dapat terjadi pada orang dari segala usia, gejala yang parah

biasanya hanya terlihat pada bayi muda.1,2,3

Infeksi saluran pernapasan akut yaitu bronchiolitis adalah penyebab signifikan.

pada anak-anak kurang dari lima tahun dan masih merupakan penyebab utama kematian

anak di dunia. Pada tahun 2000, infeksi saluran pernapasan akut diperkirakan

menyumbang 1,9 juta kematian di seluruh dunia; Menurut buletin WHO, sekitar 150 juta

kasus baru terjadi setiap tahun; 11-20000000 (7-13%) dari kasus-kasus ini cukup berat

sehingga membutuhkan rumah sakit. Di seluruh dunia, 95% dari semua kasus terjadi di

negara berkembang. Sebanyak 70% dari kematian ini terjadi di Afrika dan Asia

Tenggara. 3

Namun, sedikit yang diketahui tentang kematian RSV terkait di negara

berkembang. Morbiditas dan mortalitas mungkin lebih tinggi di negara-negara

berkembang karena gizi buruk dan kurangnya sumber daya untuk perawatan medis

suportif. 3

Bronchiolitis biasanya menyerang anak-anak muda dari 2 tahun, dengan

puncaknya pada bayi usia 3-6 bulan. Bronkiolitis akut adalah penyebab paling umum

infeksi saluran pernapasan bawah pada tahun pertama kehidupan. Hal ini paling sering

dikaitkan dengan respiratory syncytial virus (RSV). 3

Meskipun telah terjadi peningkatan dalam perawatan untuk pasien dengan

bronkiolitis, kontroversi masih ada mengenai pengobatan yang optimal dari pasien

tersebut. Akibatnya, penatalaksanaan sangat bervariasi. 3

Page 2: Bab II Referat Anak

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang ditandai dengan

adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi disebabkan oleh virus. Penyakit ini

terjadi selama usia 2 tahun pertama dengan insidens puncaknya pada sekitar usia 6 bulan.

Secara klinis ditandai dengan episode wheezing, nafas cepat dan retraksi dada.1,2

Virus paling sering adalah respiratory syncytial virus dan metapneumovirus

manusia. Kondisi ini dapat terjadi pada orang dari segala usia, tetapi gejala yang parah

biasanya terlihat hanya pada bayi muda.3

B. EPIDEMIOLOGI

Bronchiolitis adalah penyebab signifikan penyakit pernapasan di seluruh dunia.

Menurut buletin WHO, sekitar 150 juta kasus baru terjadi setiap tahun; 11-20000000 (7-

13%) dari kasus-kasus ini cukup berat sehingga membutuhkan rumah sakit. Di seluruh

dunia, 95% dari semua kasus terjadi di negara berkembang.3

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling

sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya terjadi pada usia 2-8 bulan. Sembilan

puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75 % diantaranya

terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.1

Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki

berusia 3-6 bulan yang tidak mendapat ASI dan hidup di lingkungan padat penduduk.

Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak

pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat

juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan,

sedangkan Fjaerli menyebutkan 63 % kasus bronkiolitis adalah laki-laki.

Sebanyak 11,4% anak berusia di bawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di

AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di

RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari

Page 3: Bab II Referat Anak

3

semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di Negara-negara

berkembang hampir sama dengan di AS. Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin

atau musim hujan di Negara-negara tropis.3 Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr.

Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada

bulan Januari sampai bulan Mei.1

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara berkembang

daripada di Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi

dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di Negara

berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat

adalah 1-3 %.1,2

C. ETIOLOGI

Sebagian besar kasus disebabkan oleh virus, seperti RSV, metapneumovirus

manusia, virus parainfluenza, virus influenza, atau adenovirus. Bronchiolitis sangat

menular. Virus itu menyebar dari orang ke orang melalui kontak langsung dengan sekret

hidung, tetesan udara, dan muntahan. RSV adalah agen yang paling sering terisolasi pada

75% dari anak-anak muda dari 2 tahun yang dirawat di rumah sakit untuk bronchiolitis.

RSV adalah virus RNA dalam family Paramyxoviridae dan genus Pneumovirus.3

RSV memiliki dua subtipe, yaitu A dan B, dimana diidentifikasi berdasarkan

variasi struktural dalam protein G. Subtipe A menyebabkan infeksi paling parah. Salah

satu subtipe atau yang lain biasanya mendominasi selama musim tertentu; dengan

demikian, penyakit RSV memiliki "baik" dan "buruk".3

Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan imunitas yang

tidak bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis. RSV

adalah golongan paramiksovirus dengan bungkus lipid serupa dengan virus

parainfluenza, tetapi hanya mempunyai satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan

nukleokapsid RNA helik linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya

mempunyai satu antigen bungkus berarti bahwa komposisi antigen RSV relatif stabil darI

tahun ke tahun.2,4

Virus parainfluenza merupakan penyebab (10-30%) dari semua kasus

bronchiolitis. Wabah bronchiolitis karena virus parainfluenza biasanya dimulai pada awal

Page 4: Bab II Referat Anak

4

tahun dan cenderung terjadi setiap tahun. Adenovirus menyumbang 5-10% dari kasus

bronchiolitis. Virus influenza menyumbang 10-20%. Infeksi Mycoplasma pneumoniae

menyumbang 5-15%, khususnya di kalangan anak-anak dan orang dewasa. 3

Paramyxovirus hMPV, pertama kali diidentifikasi di Belanda pada tahun 2001,

telah diketahui terlibat sebagai agen etiologi dalam bronchiolitis. Studi serologis

menunjukkan bahwa pada usia 5 tahun, semua anak Belanda telah mengalami

serokonversi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa hMPV menyumbang 5-50%

dari kasus bronchiolitis dan penelitian lain menemukan bahwa gabungan infeksi hMPV-

RSV sangat terkait dengan bronchiolitis parah, dengan peningkatan 10 kali lipat dalam

unit perawatan intensif anak (PICU) masuk. 3

Bocavirus manusia (HBoV), ditemukan pada tahun 2005, diketahui menyebabkan

infeksi saluran baik atas dan pernapasan yang lebih rendah dan telah terlibat dalam kedua

sindrom pertusis dan bronchiolitislike. Arnold et al menunjukkan bahwa 5,6% dari 1474

kerokan hidung dikumpulkan selama periode 20-bulan di Rumah Sakit San Diego Anak

dinyatakan positif HBoV, sebagian besar dari Maret sampai Mei.3

D. FAKTOR RESIKO

Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi

pada bayi usia 6 bulan. Makin muda usia bayi menderita bronkiolitis biasanya akan

makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena

kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi

dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas

dan BBLR, kelainan neurologis, immunocompromized dan adanya anomaly jalan nafas

mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden

infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi

pada laki-Iaki. Selain itu, faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah status sosial

ekonomi yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, dan berada

pada tempat penitipan anak atau tempat dengan lingkungan yang padat penduduk. 1,2,3

Page 5: Bab II Referat Anak

5

E. PATOFISIOLOGI

Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut,

ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris

selular/ sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit

peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik

dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa

akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memilki

penampang saluran respiratori yang kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama

fase inspirasi dan ekspirasi, akan tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil

selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air tapping dan hiperinflasi. Ateletaksis dapat

terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.3

Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan

kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang

berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia

jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi. Semakin tinggi laju

respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan

meningkat selama end expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun.

Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi 60x/menit.3

Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah

dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. Berbeda dengan

bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentolerir edema saluran napas lebih baik, oleh

karena itu pada anak besar dan dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila terserang infeksi

virus saluran napas.1,2

F. MANIFESTASI KLINIK

Mula-mula menderita gejala ISPA ringan berupa pilek yang encer dan bersin.

Gejala ini kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian satu atau dua

hari kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing dan

sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Pada

Page 6: Bab II Referat Anak

6

kasus yang berat dapat terjadi gangguan pernapasan ditandai dengan takipnea, napas

cuping hidung, retraksi, lekas marah dan bahkan sianosis.3,6

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distres nafas dengan frekuensi nafas diatas 50-

60 kali per menit (takipnea), kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat

(takikardi). Suhu badan bisa normal atau meningkat tinggi sampai 41 ºC. Terdapat nafas

cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi interkostal, subkostal dan

suprasternal. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru

(terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang, wheezing

yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Pada

auskultasi dapat didapatkan rhonki basah halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi.

Suara perkusi paru hipersonor. Hepar dan lien dapat teraba dibawah tepi kosta akibat

pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi

hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan

bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.2,5

Apnea terjadi pada awal perjalanan penyakit dan dapat menjadi gejala. Apnea

sentral nonobstruktif terjadi selama tidur tenang dan berhubungan dengan peningkatan

indeks apnea (persentase waktu bayi menghabiskan apnea), tingkat serangan apnea

(jumlah episode apnea per satuan waktu), dan persentase apnea (distribusi episode apnea

dalam kondisi tidur yang diberikan).3

Apnea jarang berlangsung lama; Namun, sekitar 10% dari pasien apnea

memerlukan intubasi dan ventilasi mekanis. Pengamatan bahwa sangat sedikit kasus

sindrom kematian bayi mendadak yang disebabkan bronchiolitis menunjukkan bahwa

sebagian besar bayi dengan apnea dapat sembuh spontan. Penyakit RSV ringan pada bayi

muda bukan merupakan indikasi untuk rawat inap untuk mengamati untuk apnea.3

Ralston et al menemukan bahwa kejadian keseluruhan apnea berkisar antara 1,2%

sampai 23,8% pada bayi dirawat di rumah sakit dengan RSV bronchiolitis. Analisis lebih

lanjut menunjukkan bahwa apnea terjadi lebih sering pada bayi prematur (kisaran, 4,9-

37,5% ) dari pada bayi cukup bulan (kisaran, 0,5-12,4%).3

Kneyber et al menemukan bahwa terkuat faktor risiko independen untuk apnea

RSV terkait adalah usia yang lebih muda dari 2 tahun. Apnea saat masuk ditemukan

meningkatkan risiko apnea berulang. Selain itu, kemungkinan ventilasi mekanik

Page 7: Bab II Referat Anak

7

meningkat secara signifikan pada anak-anak yang menderita apnea berulang. Manifestasi

infeksi RSV nonrespiratori adalah termasuk otitis media, miokarditis, supraventricular

dan ventrikel disritmia, dan sindrom hormon antidiuretik (SIADH).3

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut survei dari dokter anak berbasis rumah sakit, uji diagnostik yang paling

umum adalah tes antigen virus yang cepat dari sekret nasofaring untuk RSV (RSV),

analisis gas darah arteri (ABG)(pada pasien sakit parah, terutama yang memerlukan

ventilasi mekanis), jumlah sel darah putih (WBC) radiografi diferensial, protein C-reaktif

(CRP) dan radiografi dada.3

Tes umum lainnya adalah pulse oximetry, kultur darah, analisis dan kultur urin,

dan kultur dan analisis cairan serebrospinal (CSF). Berat jenis urine dapat

menggambarkan keseimbangan cairan dan kemungkinan dehidrasi. Kimia serum tidak

terpengaruh langsung oleh infeksi tetapi dapat membantu dalam mengukur keparahan

dehidrasi. 3

Pada anak-anak yang sebelumnya sehat dengan bronkiolitis virus, radiografi dada,

hitung darah lengkap (CBC), atau kultur darah biasanya tidak perlu. Namun, tes ini harus

dipertimbangkan dengan cermat pada orang dengan penyakit parah atau penampilan yang

sangat sakit, riwayat penyakit jantung atau paru, suhu yang nyata meningkat, atau faktor

risiko lain untuk penyakit yang lebih berat. Beberapa anak-anak beresiko untuk

kegagalan pernafasan akut mungkin memerlukan pemantauan kadar karbon dioksida

darah.3

- Pemeriksaan darah tepi tidak khas, jumlah leukosit berkisar antara 8000-15000 sel/μl.

Pada keadaan leukositosis, batang dan PMN banyak ditemukan.

- Analisis Gas Darah : hiperkapnia sebagai tanda dari air tapping, asidosis metabolik

atau respiratorik. Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan

pernafasan berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala kelelahan

dan hipoksia.

- Foto Thorak diindikasikan pada :

o Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih

o Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga

Page 8: Bab II Referat Anak

8

o Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.

Rontgen thoraks AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru dengan

diameter anteroposterior membesar pada foto lateral disertai dengan diafragma datar,

penonjolan ruang retrosternal dan penonjolan ruang interkostal. Dapat terlihat bercak

konsolidasi yang tersebar pada sekitar 30 % penderita dan disebabkan oleh ateletaksis

akibat obstruksi atau karena radang alveolus.

- Identifikasi virus dengan memeriksa sekresi nasal dengan menggunakan tekhnik

imunofluoresens atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).

- Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan

deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat

dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. Sensifitas pemeriksaan ini

adalah 80-90%.1,2,4

- Elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi harus disediakan bagi anak-anak

dengan aritmia atau kardiomegali.3

- Dalam situasi langka, seperti immunodeficiency berat atau mungkin aspirasi benda

asing, bronkoskopi dapat diindikasikan untuk lavage bronchoalveolar sebagai

diagnostik atau penghapusan benda asing sebagai terapeutik.3

H. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pertama sekali dapat dicatat bahwa

bayi dengan bronkiolitis menderita suatu infeksi ringan yang mengenai saluran

pernapasan bagian atas disertai pengeluaran sekret-sekret encer dari hidung dan bersin-

bersin. Gejala-gejala ini biasanya akan berlangsung selama beberapa hari dan disertai

demam dari 38,50C hingga 390C, akan tetapi bisa juga tidak disertai demam, bahkan

pasien bisa mengalami hipotermi. Pasien mengalami penurunan nafsu makan, kemudian

ditemukan kesukaran pernafasan yang akan berkembang perlahan-lahan dan ditandai

dengan timbulnya batuk-batuk, bersin paroksimal, dispneu, dan iritabilitas. Pada kasus

ringan gejala akan menghilang dalam waktu 1-3 hari. Kadang-kadang, pada penderita

yang terserang lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam

Page 9: Bab II Referat Anak

9

serta perjalaan penyakitnya akan berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-muntah

dan diare biasanya tidak didapatkan pada pasien ini.1

Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit tersebut, mempunyai riwayat keberadaan

mereka diasuh oleh orang dewasa yang menderita penyakit saluran pernafasan ringan

pada minggu sebelum awitan tersebut terjadi pada mereka. Disamping itu, kita juga harus

menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.7

Berikut adalah gambaran klinis pada bronkiolitis yang terdiri dari:5

- Wheezing, yang tidak membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja-cepat

- Ekspirasi memanjang/expiratory effort

- Hiperinflasi dinding dada, dengan hipersonor pada perkusi

- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

- Crackles atau ronki pada auskultasi dada

- Sulit makan, menyusu atau minum.

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya berkisar 8000-

15000. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan

bentuk batang. Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q

mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.

Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya

terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang

tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates).

Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke

bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan:

siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar,

diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal,

pembuluh darah paru tampak tersebar.3

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau

bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu

yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu

dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen

atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.1,2,3,4,7

Page 10: Bab II Referat Anak

10

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress

Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel

respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat,

bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry merupakan alat

yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi

oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat

inap.6

  SKOR Skor

maksimal0 1 2 3 4

Wheezing :

-Ekspirasi

-Inspirasi

-Lokasi

 

(-)

(-)

(-)

 

Akhir

Sebagian

2 dr 4 lap

paru

 

Semua

3 dr 4 lap

paru

   

Semu

a

 

4

2

2

Retraksi :

-

Supraklavik

ular

-Interkostal

-Subkostal

 

(-)

(-)

(-)

 

Ringan

Ringan

Ringan

 

Sedang

Sedang

Sedang

 

Berat

Berat

Berat

   

3

3

3

TOTAL 17

Page 11: Bab II Referat Anak

11

Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)

I. DIAGNOSIS BANDING

a. Asma bronchial

Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama, mulainya

mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia

dan respons perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol.

b. Pneumonia

- Aspirasi benda asing

- Refluks gastroesophageal

- Sistik fibrosis

- Miokarditis 1,2

J. KOMPLIKASI

Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan

penyakit sebelumnya.  Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru

yang menetap, dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial. Beberapa

studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang

menjadi asma. Suau studi kohort prospektif menemukan bahwa 23 % bayi dengan

riwayat bronkhiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan

dengan 1 % pada kelompok kontrol.2

K. PENATALAKSANAAN

Page 12: Bab II Referat Anak

12

Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian

besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian

oksigen, hidrasi, dan kontrol demam, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi

oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan

bronkodilator, antiinflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan

pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclnal) atau humanized RSV

monoclonal antibody (palvizumad).1,3

Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral

yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap.

Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3

bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,

defisiensi imun dan distres napas.

Terapi medis yang digunakan dalam penatalaksanaan bronchiolitis pada bayi dan

anak-anak masih kontroversial. Meskipun banyak obat-obatan saat ini, terapi oksigen

cukup memperbaiki kondisi anak-anak dengan bronkiolitis. Meskipun patogenesis dari

bronkiolitis adalah peradangan yang menyebabkan obstruksi jalan napas, kortikosteroid

juga belum jelas terbukti secara signifikan dalam meningkatkan status klinis pasien

dengan bronkiolitis. Penggunaan bronkodilator untuk relaksasi otot polos bronkus, juga

tidak rutin digunakan. 3

Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit:

-    Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan

-    Apnoe

-    Ketidakmampuan untuk makan

-    Hypoksemia

-    Pasien dengan kondisi dasar medis.

1. Pengobatan Suportif

a. Pengawasan

Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem jantung paru

dan jika ada indikasi dilakukan pemasanag pulse oxymetri.

b. Oksigenasi

Page 13: Bab II Referat Anak

13

Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga

memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paru-

paru. Pemberian oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen transkutan lebih

tinggi dari 92%. Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 – 40 % sering digunakan untuk

mengoreksi hipoksia, gunakan nasal kanul (dengan kecepatan maksimun 2L/m);

masker muka atau head box. Jika mungkin gunakan oksigen yang

dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distress berat, meskipun

sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera lakukan permintaan

untuk penangan ICU anak dengan pemasangan ventilator. Unger dan Cunningham

menemukan bahwa suplementasi oksigen adalah penentu utama panjang rawat inap.

Penggunaan high-flow Kanula hidung dapat mengurangi tingkat intubasi pada bayi

dengan bronkiolitis. 3,5

Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres pernapasan berat. Metode

yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen adalah dengan nasal prongs atau

kateter nasal. Bisa juga menggunakan kateter nasofaringeal. Pemberian oksigen

terbaik untuk bayi muda adalah menggunakan nasal prongs. Teruskan terapi oksigen

sampai tanda hipoksia menghilang.5

c. Pengaturan Cairan

Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan

lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi

dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan

rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu > 38,5  0C). Cara

pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan

tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi

dan menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan menekan

diafragma ke paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan.

Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak

normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit.Terapi oral lebih disukai. Terapi

parenteral mungkin diperlukan pada pasien yang tidak mampu makan minum atau

pasien dengan frekuensi napas lebih dari 70 kali / menit.3

d. Ventilasi mekanik

Page 14: Bab II Referat Anak

14

Bayi dengan bronkiolitis dan apnea berulang atau peningkatan kerja bernapas dengan

gagal napas sesekali membutuhkan ventilasi mekanis. Continuous positive airway

pressure (CPAP) dan ventilasi wajib intermiten (IMV) dengan tekanan akhir ekspirasi

positif (PEEP) efektif dalam mengobati bayi dengan bronkiolitis. Ventilasi

bertekanan negatif telah berhasil digunakan pada bayi dengan bronchiolitis, dengan

mengurangi kebutuhan akan intubasi endotrakeal. Beberapa studi juga telah

menemukan penggunaan surfaktan dan nitrat oksida dalam kasus-kasus gangguan

pernapasan berat; Namun, hasilnya tidak cukup konklusif untuk mendukung

penggunaan rutin dalam penatalaksanaan bronchiolitis. Sebuah meta-analisis dari

beberapa penelitian kecil menunjukkan bahwa terapi surfaktan dapat mempersingkat

durasi tinggal di ICU pada anak-anak yang menjalani ventilasi untuk bronchiolitis.

Heliox merupakan campuran dari oksigen (20-30%) dan helium (70-80%) yang

memiliki viskositas lebih rendah dari udara. Ini telah berhasil digunakan dalam kasus-

kasus obstruksi jalan napas, croup, operasi saluran napas dan asma yang bermanfaat

mengurangi usaha pernafasan.3

2. Pengobatan Medikamentosa

a. Antivirus (Ribavirin)

Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk

mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah obat

antivirus yang bersifat virus statik. The American of Pediatric

merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan diperkirakan penyakitnya

menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan

jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada

bayi-bayi prematur. Ada beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan

ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan

angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan ribavirin

biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per hari atau dosis kecil dengan 2

jam 3 x/hari.

Studi plasebo-terkontrol belum menemukan ribavirin secara klinis efektif pada anak

dengan bronkiolitis. Tindak lanjut studi jangka panjang ribavirin belum konsisten

Page 15: Bab II Referat Anak

15

menunjukkan efek menguntungkan pada fungsi paru. Selain itu, terapi ini sangat

mahal. Penggunaan ribavirin aerosol pada pasien ventilasi mekanik membutuhkan

administrasi oleh dokter dan staf pendukung akrab dengan mode ini administrasi dan

ventilator tertentu. Mengingat biaya tinggi dan kurangnya manfaat terbukti, terapi

ribavirin sulit untuk membenarkan dalam pengaturan ini.

Virus adalah agen etiologi utama dalam bronchiolitis; Oleh karena itu, pemberian

rutin antibiotik belum terbukti mempengaruhi perjalanan penyakit ini. Meskipun

teknik diagnostik cepat yang tersedia untuk mengidentifikasi RSV sebagai agen

penyebab bronkiolitis, mereka tidak tersedia untuk virus lain. Dalam kecil, bayi yang

sakit akut, klinis termasuk adanya invasi bakteri sekunder mungkin sulit. Dengan

demikian, pemberian antibiotik spektrum luas pada bayi yang sakit kritis sering

dibenarkan sampai hasil kultur terbukti negatif.

Perlu diingat bahwa hasil tes positif untuk RSV tidak mengecualikan koinfeksi

dengan patogen pernapasan lainnya. Koinfeksi dengan parainfluenza, influenza,

campak, adenovirus, hMPV, pertusis, Legionella, dan Pneumocystis semua mungkin.

Kasus yang parah dan mereka yang tidak mengikuti kursus khas untuk RSV

bronchiolitis dapat mengambil manfaat dari penyelidikan untuk co-infeksi. Penelitian

telah menunjukkan bahwa risiko infeksi bakteri serius bersamaan pada bayi beracun-

muncul rendah.

b. Bronkodilator

Secara umum jangan gunakan bronkodilator pada pasien anak dengan usia dibawah 6

bulan. Bronkodilator juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan kontra indikasi

karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan

keperluan oksigen akan meningkat. Salah satu pendekatan praktis adalah dengan

melanjutkan penggunaan bronkodilator hanya pada pasien yang menunjukkan

perbaikan klinis setelah penggunaan awal obat ini.3

Cochrane (2000) mereview manfaat penggunaasn bronkodilator untuk bronchiolitis

memiliki bukti yang kurang. Cochrane (2010) menemukan bahwa bronkodilator

tidak meningkatkan saturasi oksigen, tidak dapat mempersingkat perawatan di rumah

sakit, dan tidak mengurangi kebutuhan untuk rawat inap, atau mengurangi lamanya

penyakit di rumah.3

Page 16: Bab II Referat Anak

16

Penyebab obstruksi saluran respiratori adalah inflamasi dan penyempitan akibat

edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada

bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-

adrenergik dan agonis β-adrenergik.

Dalam suatu percobaan menggunakan placebo-controlled secara acak pada 800 bayi

(usia 6 minggu sampai 12 bulan) yaitu memberikan nebulasi epinefrin ditambah

deksametason oral, epinefrin nebulasi ditambah placebo oral, placebo nebulisasi

ditambah deksametason oral dan nebulasi plasebo ditambah plasebo oral. Hasilnya

adalah kombinasi epinefrin nebulasi dan deksametason oral dapat mengurangi risiko

kunjungan kembali ke UGD.3

Kesimpulannya, beta–agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien

bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. β2-agonis dapat dijadikan percobaan pada

pasien yang lebih tua dengan riwayat pribadi atau keluarga asma dan kemudian untuk

menilai respon klinis dalam 10-15 menit. Dapat diberikan nebulasi β agonis

(salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk

memperbaiki kebersihan mukosilier.1 Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai

trial dose. Dosis ulangan dapat diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis

fungsi paru yang jelas dan menetap.3

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat dipertimbangkan atau mengurangi patologi utama peradangan

dan edema dari mukosa bronchiolar berdasarkan kepercayaan akan efek

antiinflamasinya. Namun, data menunjukkan bahwa agen ini tidak boleh digunakan

secara rutin. Sejumlah penelitian telah gagal untuk meyakinkan manfaat penggunaan

rutin glukokortikoid dalam pengobatan bayi dengan bronchiolitis.3

Kortikosteroid mungkin berguna pada pasien dengan riwayat penyakit saluran napas

reaktif. Pengobatan steroid belum terbukti menurunkan kejadian jangka panjang asma

bronchial setelah infeksi RSV. Pengobatan steroid nebulasi belum terbukti berkhasiat.

Namun, dalam percobaan pada 800 bayi. Hanya bayi dalam kelompok epinefrin-

deksametason secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah

sakit dalam waktu 7 hari pengobatan.3 Kortikosteroid yang digunakan adalah

prednison, metilprrednisolon, hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan

Page 17: Bab II Referat Anak

17

dilakukan konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut

dengan ekuivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3

mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian

adalah secara oral, intramuskular, dan intravena.1

d. Antibiotik

Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena

sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder

dapat diberikan antibiotik spektrum luas.

Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang

resisten terhadap antibiotik tersebut.

Apabila terdapat napas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan diberikan

kotrimoksazol (4 mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau amoksisilin (25

mg/kgBB/kali), 2 kali sehari, selama 3 hari. Apabila terdapat tanda distres

pernapasan tanpa sianosis tetapi anak masih bisa minum, rawat anak di rumah sakit

dan beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/ kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang

harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons

yang baik maka terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin

oral (25 mg/kgBB/kali, dua kali sehari) untuk 3 hari berikutnya. 5

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat

(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,

letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan

kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai keadaan

membaik, dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari. 5

Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat) segera berikan

oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-

gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB/kali IM atau IV

sekali sehari).5

3. Kriteria Pulang

Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria :

- Status pernafasan

Page 18: Bab II Referat Anak

18

Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan tanda

klinis usaha pernafasan lebih

Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan

alat sedot gelembung.

Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi

yang stabil.

Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan

kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai

faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan konsultan.

- Status nutrisi

Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi

- Sosial

Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah

Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan dirumah

Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap

- Peninjauan lebih lanjut

Ketika ada indikasi, perawat rumah dan penyedia alat medis harus melakukan

visit terakhir. Pemberi pertolongan utama harus memberikan persetujuan untuk

pemulangan. Kontrol untuk peninjauan lebih lanjut harus dilakukan.

4. Edukasi Keluarga

Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. Yaitu dengan memberitahukan :

-    Informasi mengenai penyakit bronkiolitis

-    Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap

gelembung.

-    Segera memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika

didapatkan gangguan pernafasan

-    Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak dari

paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan cuci tangan,

dll.1

Page 19: Bab II Referat Anak

19

L. PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan

polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan

membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita,

menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI,

menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.

Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi aktif

(Vaksinasi) dan pasif (Immunoglobulin).

1. Immunoglobulin

Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang

mengandung titer antibodi protektif tinggi (respigram). Respigram adalah human

polyclonal hyperimmune globilin. Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap bulan,

diberikan secara intravena pada anak dibawah umur 24 bulan. Indikasi lain adalah bayi

yang lahir dengan umur kehamilan kurang dari 35 minggu.

Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan

(augmentation) antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara pemberian dari

luar dan imunisasi dari ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin yang mengandung

neutralizing antibody titer tinggi atau monoklonal terhadap protein F akan mengurangi

beratnya penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit paru kronis

diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal terhadap protein F yang

disebut dengan Palivizumab setiap bulan, diberikan secara intramuskular setiap hari, lama

perawatan RSV akan berkurang secara bermakna. Palivizumab adalah humanized murine

monoclonal anti-F glycuprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel

host. Akan tetapi resiko efek samping kemungkinan meningkat pada bayi dengan

penyakit jantung sianotik. AAP merekomendasikan profilaksis boleh diberikan hanya

pada bayi dengan resiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung sianotik.

2. Vaksinasi

Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live attenuated.

Vaksin RSV pertama, yang terdiri dari cold – passaged mutan, efektif untuk

orang dewasa, tetapi pada anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah

menjadi virus biasa kembali. Kemudian dari permukaan glikoprotein murni,

Page 20: Bab II Referat Anak

20

dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin live – attenuated mempunyai

kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas mukosa dan

sistemik.

Dianjurkan pemberian live attentuated RSV dan PIV3 (Parainfluenza virus

serotipe 3) sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali dengan dosis pertama

sebelum atau pada usia 1 bulan diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan PIV2 pada usia

4-6 bulan.1,2

M. PROGNOSIS

Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan

penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas). Dengan

pengenalan dini dan pengobatan, prognosis biasanya sangat baik. Sebagian besar anak

dengan bronkiolitis, terlepas dari keparahan, sembuh tanpa gejala sisa. Perjalanan

penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi beberapa tetap sakit selama berminggu-minggu. Studi

menunjukkan bahwa kadar IgE dapat digunakan sebagai penanda keparahan penyakit

akut. Beberapa bayi yang pulih dari bronkiolitis akut memiliki peningkatan frekuensi

mengi berulang.3

Anak biasanya dapat mengatasi serangan tersebut sesudah 48 – 72 jam. Mortalitas

kurang dari 1 %. Anak biasanya meninggal karena jatuh ke dalam apneu yang lama,

asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh

takipneu dan kurang makan-minum.

Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan

bronkhiolitis mempunyai kecendrungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada

usia 7 tahun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hipereaktifitas

bronkhial yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi

muda, baik para RSV positif, maupun RSV negatif. Tidak dapat dibuktikan secara jelas

bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecendrungan asma, keberhasilan

pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens asma pada

anak dari kelompok pengobatan.

Page 21: Bab II Referat Anak

21

BAB III

RINGKASAN

Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari

obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun

pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan. Bronkiolitis terutama

disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) dan sisanya disebabkan oleh virus

Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau

Mycoplasma. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Secara umum tatalaksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah :

1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan

pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.

2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan parenteral).

Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.

3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.

Page 22: Bab II Referat Anak

22

4. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik, curiga infeksi

sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.

5. Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari

dibagi 3-4 dosis.

6. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari)

diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. Buku Ajar

Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. Hal : 333-347.

2. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-19.

Philadelphia : WB Saunders, 2005. Hal : 1112-1114; 1484-1486.

3. Lucian Kenneth DeNicola. 10-09-14. Bronchiolotis.

http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview

4. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi

Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.2005. Hal : 348-350.

5. World Health Organization. 2009. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah

Sakit. Depkes RI: Jakarta

6. Louden Mark. Pediatrik, bronchiolitis. Diunduh dari www. emedicine.medscape.com

7. DeNicola CL. Bronchiolitis. 2010 (update 2012, December 01). Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview