referat kpsw bab i
TRANSCRIPT
Bab I
Pendahuluan
Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003,
angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307 per 1000 kelahiran hidup menurutProfil
Kesehatan Indonesia, 2005. Salah satu penyebab langsung kematian ibu adalah karena
infeksisebesar 20-25% dalam100.000 kelahiran hidup. Ketuban pecah sebelum waktunya
(KPSW) merupakan penyebab yang paling sering terjadi pada saat mendekati
persalinan.Kejadian KPSW mendekati 10% dari semua persalinan.Pada umur kehamilan
kurang dari 34 minggu kejadiannya sekitar 4%.Kemungkinan infeksi ini dapat berasal dari
dalam rahim (intrauterine), biasanya infeksi sudah terjadi tetapi ibu belum merasakan adanya
infeksi misalnya kejadian ketuban pecah sebelum waktunya. Hal ini dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnya (Chandranita, 2009) .
KPSW sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas
dan mortalitas padaibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi.Kematian
perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan,
dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan
yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPSW terutama pada pengelolaan konservatif.
Selain itu terdapat berbagai macam komplikasi pada neonatus meliputi respiratory distress
syndrome, cord compression, oligohidramnion, enterokolitis nekrotikans, gangguan
neurology, infeksi neonatal dan perdarahan interventrikular (Fraser, 2009).
Penanganan ketuban pecah sebelum waktunya memerlukan pertimbangan usia
gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.
Dilema sering terjadi pada penanganan KPSW dimana harus segera bersikap aktif terutama
pada kehamilan yang cukup bulan atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan
sehingga masa tunggu akan memanjang, yang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPSW kehamilan kurang
bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup
(Fraser, 2009).
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan korion yang
sangant erat kaitannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel seperti sel epitel, sel mesenkin
dan sel tropoblast yang terikat erat dalam matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi
menghasilkan air ketuban dan melindungi janin terhadap infeksi (Mochtar, 1998).
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban
pecah sebelum waktunya adalah keadaan pecahnya ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban
pecah sebelum waktunya terjadi sebelum usia 37 minggu disebut KPSW pada kehamilan
prematur. Dalam keadaan normal 8 – 10% perempuan hamil aterm akan mengalami KPSW
(Mochtar, 1998).
Ketuban Pecah Sebelum Waktunya adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi
proses persalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang waktu
(Cunningham, Mc. Donald, gant, 2002). Ketuban Pecah Sebelum Waktunya adalah rupturnya
membrane ketuban sebelum persalinan berlangsung (Manuaba, 2002). Ketuban pecah
sebelum waktunya atau spontaneous / early / premature rupture of the membrane (PROM)
adalah pecahnya selaput ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang
dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm (Mochtar, 1998).
KPSW prematur terjadi pada 1%kehamilan. Pecahnya selaput ketuban berkaitan
dengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks ekstra seluler amnion,
korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua berekasi terhadap stimuli
seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi mediotor seperti
prostaglandin, sitokin, dan protein hormon yang merangsang aktifitas “metrix degradasi
enzim” (Mochtar, 1998).
2.2 Faktor Resiko
Berbagai faktor risiko berhubungan dengan timbulnya ketuban pecah sebelum
waktunya.Ras kulit hitam cenderung memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan
ras kulit putih. Pasien dengan status sosioekonomi rendah , perokok, riwayat penyakit
2
menular seksual, riwayat persalinan preterm sebelumnya, perdarahan pervaginam atau
distensi uteri (misal polihidramnion dan gemelli) memiliki risiko tinggi. Tindakan
prosedural seperti amniosentesis juga dapat memicu ketuban pecah sebelum waktunya.
Gamabar 1. Ketuban Pecah
2. 3 Etiologi
Ketuban Pecah Sebelum Waktunya disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut.
Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari
vagina dan serviks. Selain itu Ketuban Pecah Sebelum Waktunya merupakan masalah
kontroversi obstetri. Penyebab lainnya adalah sebagai berikut (Prawirohardjo, 2008):
1. Inkompetensi serviks (leher rahim)
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher atau
leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka ditengah-
tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar.
Adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata, disebabkanlaserasi
3
sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan congenital pada serviks
yang memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihantanpa perasaan nyeri dan mules dalam
masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan
penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba, 2002).
2. Peninggian tekanan inta uterin
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihandapat menyebabkan
terjadinya Ketuban Pecah Sebelum Waktunya. Misalnya :
a. Trauma : Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b. Gemelli (Kehamilan kembar) adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga menimbulkan
adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya
berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban ) relative kecil
sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput
ketuban tipis dan mudah pecah. (Saifudin. 2002)
c. Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi dan
menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan selaput
ketuban, manyebabkan selaput ketuban menjadi teregang,tipis, dan kekuatan
membrane menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah pecah.
(Winkjosastro, 2006)
d. Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL. Uterus
dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis
adalah peningaktan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur.
Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami
distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja
3. Kelainan letak janin dan rahim : letak sungsang, letak lintang.
4. Kemungkinan kesempitan panggul : bagian terendah belum masuk PAP (sepalo pelvic
disproporsi).
5. Korioamnionitis Adalah infeksi selaput ketuban. Biasanya disebabkan oleh
penyebaranorganism vagina ke atas. Dua factor predisposisi terpenting adalah
pecahnyaselaput ketuban > 24 jam dan persalinan lama.
6. Penyakit Infeksi Adalah penyakit yang disebabkan oleh sejumlah mikroorganisme
yangmeyebabkan infeksi selaput ketuban. Infeksi yang terjadi menyebabkanterjadinya
4
proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan
ketuban pecah.
7. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik)
8. Riwayat KPSW sebelumya
9. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
10. Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu
2.4 Tanda dan Gejala
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.
Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut
masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak
akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk
atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau
“menyumbat” kebocoran untuk sementara.
Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah
cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Prawirohardjo, 2008)
2.5 Diagnosis
Pastikan selaput ketuban pecah.
Tanyakan waktu terjadi pecah ketuban.
Cairan ketuban yang khas jika keluar cairan ketuban sedikit-sedikit, tampung cairan yang
keluar dan nilai 1 jam kemudian.
Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan sedikit bagian terbawah janin atau
meminta pasien batuk atau mengedan.
Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazintes), jika lakmus
merah berubah menjadi biru menunjukan adanya cairan ketuban (alkalis). pH normal dari
vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat
memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen,
lendir leher rahim, dan air seni.
Tes Pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukan kristal cairan amniom dan gambaran daun pakis.
Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.
Tentukan ada tidaknya infeksi.
5
Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu lebih dari 38OC serta cairan ketuban keruh dan
berbau.
Leukosit darah lebih dari 15.000/mm3.
Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly janin atau
melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum
uteri.Pada kasus KPSW terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit (oligohydramions
atau anhydramions). Oligihydramions ditambah dengan anamnesis dari pasien bisa
membantu diagnosis tapi bukan menegakkan diagnosis rupturnya membran fetal.
Selain itu dinilai Amniotic fluid index (AFI), presentasi janin, berat janin , dan usia
janin. Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly janin
atau melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis dan sering digunakan
dalam mengevaluasi janin. Ultrasound –guided amnionfusion dengan menggunakan
indigo carmine, dapat dilakukan apabila semua pemeriksaan masih memberikan hasil
yang meragukan.Kemudian tampon dimasukkan kedalam vagina dan dikeluarkan lalu
cairan yang keluar diobservasi (Sastrawinata, 1984)
b. Amniosintesis
Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan paru janin.
c. Pemantauan janin
Membantu dalam mengevaluasi janin
d. Protein C-reaktif
Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peringatan korioamnionitis
(Chandranita, 2009)
2.6 Patofisiologi
Banyak teori, mulai dari defect kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi. Pada
sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
High virulensi : Bacteroides
Low virulensi : Lactobacillus
6
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringa retikuler korion
dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan
inhibisi interleukin -1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi
peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga
terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/ amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah
dan mudah pecah spontan (Fraser, 2009)
2.7 Pengaruh KPSW
1. Terhadap Janin
Walaupun ibu belum menunjukan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin sudah
terkena infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis,vaskulitis)
sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi akan meninggikan morrtalitas danmorbiditas
perinatal.
2. Terhadap Ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila terlalu
sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis atau nifas,
peritonitis dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena terbaring di
tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan naik, nadi cepat dan nampaklah
gejala-gejala infeksi lainnya
2.8 Komplikasi KPSW
Komplikasi yang timbul akibat Ketuban Pecah Sebelum Waktunya bergantung pada
usia kehamilan. Dapat terjadi Infeksi Maternal ataupun neonatal, persalinan prematur,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden SC, atau
gagalnya persalinan normal.
1. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung
umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah.
Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan
kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.
2. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Sebelum Waktunya. Pada ibu
terjadi Korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis.
Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada Ketuban Pecah Sebelum
7
Waktunya premature, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi
sekunder pada KPSW meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
3. Hipoksia dan asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi
asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.
4. Syndrom deformitas janin
Ketuban Pecah Sebelum Waktunya yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta
hipoplasi pulmonal (Chandranita, 2009)
2.9 Tatalaksana
1. Konservatif
o Rawat di rumah sakit
o Jika ada perdarahan pervaginam dengan nyeri perut, pikirkan solusioplasenta
o Jika ada tanda-tanda infeksi (demam dan cairan vagina berbau), berikanantibiotika
sama halnya jika terjadi amnionitosis
o Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu:
Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin
Ampisilin 4x 500mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250mg per oral 3x
perhari selama 7 hari.
o Jika usia kehamilan 32 - 37 mg, belum inpartu, tidak ada infeksi, beridexametason,
dosisnya IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 x, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin.
o Jika usia kehamilan sudah 32 - 37 mg dan sudah inpartu, tidak ada infeksi maka
berikan tokolitik ,dexametason, dan induksi setelah 24 jam.
2. Aktif
o Kehamilan lebih dari 37 mg, induksi dengan oksitosin
o Bila gagal Seksio Caesaria dapat pula diberikan misoprostol 25 mikrogram – 50
mikrogram intravaginal tiap 6 jam max 4 x.
8
o Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
Indikasi melakukan induksi pada Ketuban Pecah Sebelum Waktunya adalah sebagai
berikut :
1) Pertiimbangan waktu dan berat janin dalam rahim. Pertimbangan waktu apakah
6, 12, atau 24 jam. Berat janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.
2) Terdapat tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih dari 38°c, dengan
pengukuran per rektal. Terdapat tanda infeksi melalui hasil
pemeriksaanlaboratorium dan pemeriksaan kultur air ketuban
Penatalaksanaan lanjutan
1. Kaji suhu dan denyut nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu sering kali didahului kondisi ibu
yang menggigil.
2. Lakukan pemantauan DJJ. Pemeriksaan DJJ setiap jam sebelum persalinan adalah
tindakan yang adekuat sepanjang DJJ dalam batas normal. Pemantauan DJJ ketat dengan
alat pemantau janin elektronik secara kontinu dilakukan selama induksi oksitosin untuk
melihat tanda gawat janin akibat kompresi tali pusat atau induksi. Takikardia dapat
mengindikasikan infeksiuteri.
3. Hindari pemeriksaan dalam yang tidak perlu.
4. Ketika melakukan pemeriksaan dalam yang benar-benar diperlukan, perhatikan juga hal-
hal berikut:
a. Apakah dinding vagina teraba lebih hangat dari biasa
b. Bau rabas atau cairan di sarung tangan anda
c. Warna rabas atau cairan di sarung tangan
5. Beri perhatian lebih seksama terhadap hidrasi agar dapat diperoleh gambaran jelas dari
setiap infeksi yang timbul. Seringkali terjadi peningkatan suhu tubuh akibat dehidrasi.
Ketuban pecah sebelum waktunya ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalan dalam
mengelola KPSW akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu
maupun bayinya. Penatalaksanaan KPSW tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur
kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG)
untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPSW
dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada
kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk
9
persalinan. Kasus KPSW yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus
dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan
maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan
infeksi yang akan memperjelek prognosis janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin
langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten. 2
faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita
KPSW yaitu umur kehamilan dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada ibu.
Minggu ke 24- 31
Persalinan sebelum minggu ke 32 dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
neonatal.Pada kasus-kasus KPSW dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai
tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang
adekuat sebagai profilaksis sehingga mencapai 34 minggu.Namun begitu, harus di
informasikan kepada keluarga pasien bahwa sering kali kehamilan tersebut akan diikuti
dengan persalinan dalam tempoh 1 minggu. Kontraindikasi untuk melakukan terapi secara
konservatif adalah chorioamnionitis, abruptio placentae, dan nonreassuring fetal testing.
Penderita perlu dirawat di rumah sakit,ditidurkan tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam
untuk mencegah terjadinya infeksi. Denyut jantung bayi harus la dimonitor secara berterusan.
Jika stabil bisa dilakukan tiap 8 jam.Ini karena kompresi dari tali pusat sering terjadi terutama
pada PPROM yang < 32 minggu bisa dilakukan tiap 3-4 minggu jika suspek pertumbuhan
janin terhambat. Selain itu perlu diobservasi tanda-tanda vital ibu. Pada pemeriksaan tanda-
tanda vital diperhatikan takikardi , suhu melebihi 38°C, kontraksi rahim yang regular, nyei
tekan pada fundus uterus atau leukositosis adalah tanda-tanda amnionitis. jika selama
menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi,
persalinan diakhiri tanpa memandang umur kehamilan.Preterm PROM bukan kontraindikasi
persalinan pervaginam.
Minggu > 32
Bila telah dikonfirmasi permatangan paru, resiko melakukan konservatif melebihi resiko
melakukan induksi/augmentasi.Dianjurkan melakukan induksi pada wanita dengan PPROM
melebihi 32 minggu disamping pemberian antibiotik.
10
Minggu ke 34 - 36
Tidak dianjurkan untuk memperpanjang masa kehamilan. Induksi persalinan bisa dilakukan
setelah minggu ke 34.Walau pada minggu ke 34 tidak dianjurkan pemberian kortikosteroid
namun pemberian antibiotik untuk B streptococcus sebagai profilaksis sangat dianjurkan.
Aterm (> 37 Minggu)
Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPSW keduanya mempunyai
hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari
KPSW. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent
Makin muda umur kehamilan makin memanjang periode latent .
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya.
Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit
ketuban pecah,bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah dan belum ada tanda-tanda
persalinan maka dilakukan induksi persalinan, jika gagal dilakukan bedah caesar. Beberapa
meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8
jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan
mempersingkat periode laten durasi KPSW dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan
trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin,
ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang
kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat)
atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan
dengan memerhatikan skor bishop jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5,
dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria
(Varney, 2008).
Pengobatan
Kortikosteroid
Regimen 12 mg Betamethason(celestone) tiap 24 jam selama dua hari atau Dexamethasone
(Decadron) 12mg/tiap 12 jam secara intramuskular selama dua hari.Kortikosteroid
11
direkomendasikan dibawah 32 minggu.Pemberian pada 32-34 minggu masih menjadi
kontorversi manakala untuk kehamilan 34 minggu keatas tidak dianjurkan kecuali terbukti
paru janin masih belum matang dengan amniosintesis. Pemberian kortikosteroid pada
penderita KPSW dengan kehamilan kurang bulan diharapkan tercapainya pematangan paru
janin, mengurangkan komplikasi pada neonatal seperti pendarahan intraventrikular dan RDS
(Wiknjosastro, 2007)
Antibiotik
Ampicillin 2 g secara intravena diberikan tiap 6 jam bersamaan dengan erythromycin 250 mg
tiap 6 jam selama dua hari.Diikuti dengan pemberian antibiotik oral, amoxicillin 250mg tiap
8 jam dan erythromycin 333 mg tiap 8 jam selama lima hari.Pemberian antibiotik terbukti
memperpanjangkan masa laten dan mengurangi resiko infeksi seperti postpartum
endometritis, chorioamnionitis, neonatal sepsis, neonatal pneumonia, dan pendarahan
intraventricular. Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu.
Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan
terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik
profilaksis perlu dilakukan (Wiknjosastro, 2007)
Terapi Tocolytic
Terapi tokolitik bisa memperpanjang masa laten sementara tetapi tidak memberikan efek
yang lebih baik pada janin pada pemberiannya.Penelitian tentang pemberian tokolitik dalam
menangani kasus PPROM masih kurang sehinggakan pemberiannya bukanlah indikasi
(Wiknjosastro, 2007)
12
Bab III
Kesimpulan
Pemeriksaan dalam dengan jari meningkatkan resiko infeksi dan tidak perlu
dilakukan pada wanita dengan pecah ketuban sebelum waktunya, karena ia akan diurus
sesuai kebutuhan persalinan sampai persalinan terjadi atau timbul tanda dan gejala
korioamninitis. Jika timbul tanda dan gejala korioamnionitis,diindikasikan untuk segera
berkonsultasi dengan dokter yang menangani wanita guna menginduksi persalinan dan
kelahiran. Pilihan metode persalinan (melalui vagina atau SC) bergantung pada usia
gestasi, presentasi dan berat korioamnionitis.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Chandranita Manuaba, Ida Ayu, dkk. 2009. Buku Ajar Patologi Obstetri . Jakarta. EGC
Cunningham F. G., Paul C. Macdonald, Norman F. Gant, Williams Obstetrics, 18th
edition;
2. Fraser D. M., Cooper M. A., Myles Buku ajar bidan 14th Edition, EGC, 2009.
3. Manuaba Ida Bagus Gde, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga berencana,
EGC, 1998
4. Mochtar R., Sinopsis Obstetri, jilid 1 edisi 2, EGC, Jakarta 1998.
5. Prentice-Hall International Inc, 1989.
6. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. . Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT.Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: YBP-SP
7. Sastrawinata S., Obstetri Patologi, bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran, Penerbit Elstar, Bandung 1984.
8. Varney, Hellen,dkk. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Volume 2. . Jakarta: EGC
9. Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, 2007.
14