[referat] ppi (i gede prima j. s.ked)

52
i REFERAT PARTUS PREMATURUS IMINENS (PPI) Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. Soebandi Jember Disusun Oleh: I Gede Prima Julianto, S.Ked 112011101070 Pembimbing dr. Yonas Hadisubroto, Sp.OG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

Upload: amare-est-gaudere-felicitate

Post on 11-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

SEMOGA BERMANFAAT

TRANSCRIPT

Page 1: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

i

REFERAT

PARTUS PREMATURUS IMINENS

(PPI)

Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di SMF Obstetri dan

Ginekologi RSUD dr. Soebandi Jember

Disusun Oleh:

I Gede Prima Julianto, S.Ked

112011101070

Pembimbing

dr. Yonas Hadisubroto, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

RSUD dr. SOEBANDI JEMBER

2015

Page 2: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL..................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................

1.1 Latar Belakang............................................................................

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................

1.3 Tujuan..........................................................................................

1.4 Manfaat.........................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................

2.1 Definisi..........................................................................................

2.2 Etiologi.........................................................................................

2.3 Mekanisme Persalinan Normal..................................................

2.4 Ancaman Persalinan Premature................................................

2.5 Diagnosis PPI.................................................................................

2.6 Pencegahan Kelahiran Preterm.................................................

2.7 Penatalaksanaan..........................................................................

BAB III PENUTUP.......................................................................................

5.1 Kesimpulan...................................................................................

5.2 Saran..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................

i

ii

1

1

1

2

2

3

3

3

10

13

15

17

20

30

30

30

31

Page 3: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persalinan prematur merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan

neonatus. Persalinan prematur berkisar 6-10% dari seluruh kehamilan dan

merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian perinatal tanpa kelainan

kongenital yaitu 75% dari seluruh kematian perinatal.(12)

Menurut World Health Organization (WHO), di antara 130 juta bayi yang

lahir setiap tahun di seluruh dunia, 8 juta meninggal sebelum mencapai tahun

pertama kehidupan mereka. Di Amerika Serikat, 17-34% dari kematian bayi ini

dikaitkan dengan prematuritas, dan hanya sekitar setengah kasus prematur

dihasilkan dari penyebab yang dapat diidentifikasi.(8)

Angka kejadian persalinan prematur cenderung makin meningkat setiap

tahunnya. Data di Amerika Serikat menunjukan bahwa angka kejadian persalinan

prematur telah meningkat dari 9,5% pada tahun 1980 menjadi 11% pada tahun

2000. Sementara di negara berkembang 10% dari seluruh kelahiran. Di Indonesia

angka kejadian berat badan lahir rendah dan prematur masih tinggi yakni sekitar

14% dari sekitar 4 juta kelahiran. Kematian perinatal untuk bayi-bayi ini adalah 5-

6 kali dibandingkan dengan berat badan lahir cukup. Dengan demikian, kelahiran

prematur tetap menjadi suatu masalah kesehatan yang utama..(8)

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang diangkat dalam referat ini yaitu :

1. Apakah definisi dari persalinan prematur?

2. Apa saja etiologi terjadinya persalinan prematur?

3. Bagaimana mekanisme persalinan normal?

4. Bagaimana mekanisme terjadinya persalinan prematur?

5. Bagaimana penegakan diagnosis ancaman persalinan prematur?

6. Bagaimana pencegahan ancaman persalinan prematur?

7. Bagaimana penatalaksanaan ancaman persalinan prematur?

Page 4: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

2

1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi dari persalinan prematur

2. Mengetahui etiologi terjadinya persalinan prematur

3. Mengetahui mekanisme persalinan normal

4. Mengetahui mekanisme terjadinya persalinan prematur

5. Mengetahui penegakan diagnosis ancaman persalinan prematur

6. Mengetahui pencegahan ancaman persalinan prematur

7. Mengetahui penatalaksanaan ancaman persalinan prematur

1.4 Manfaat

Dengan referat ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana mendiagnosis

persalinan prematur sedini mungkin, faktor yang mempengaruhi terjadinya

persalinan preterm dan penatalaksanaan yang sebaik mungkin untuk persalinan

preterm.

Page 5: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kelahiran prematur didefinisikan sebagai kelahiran bayi pada usia

kehamilan kurang dari 37 minggu. Secara legal, di Inggris, The Amendment to the

Infant Life Preservation Act tahun 1992, menetapkan batas viabilitas adalah 24

minggu.(12)

WHO menambahkan usia gestasi sebagai satu kriteria bayi prematur, yaitu

bayi yang lahir pada usia gestasi 37 minggu atau kurang dan dibuat pembedaan

antara berat badan lahir rendah (2500 g atau kurang) dengan prematuritas (37

minggu atau kurang). (1)

2.2 Etiologi

Persalinan prematur bukanlah wujud satu penyakit, tetapi merupakan

gejala atau sindrom yang mungkin mempunyai satu atau lebih sejumlah penyebab.

Persalinan prematur dikaitkan dengan inkompetensi serviks, kelainan

haemostasis, infeksi dalam uterus, plasenta abruptio atau perdarahan desidua,

janin atau stres ibu dan kehamilan ganda. Dalam beberapa kasus, beberapa dari

faktor-faktor tersebut dapat saling berkaitan untuk meningkatkan resiko terjadinya

kelahiran prematur.(10)

Page 6: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

4

Gambar 2.1 Faktor Resiko Kelahiran Prematur (10)

2.2.1 Faktor Ibu

2.2.1.1 Infeksi Bakteri

Terdapat korelasi yang kuat antara infeksi dalam uterus dan mulainya

permulaan persalinan preterm spontan. Infeksi pada selaput dan cairan amnion

disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan beberapa kasus

seperti ketuban pecah, persalinan prematur, atau keduanya. Infeksi dalam uterus

memiliki potensi untuk mengaktivasi semua jalur biokimia yang mengarah pada

pematangan serviks dan kontraksi uterus. Infeksi dari darah dari tempat lain

jarang terjadi. (2)

Patogenesis

Telah diketahui bahwa kelemahan atau pendeknya serviks merupakan

faktor utama terjadinya risiko infeksi ascendens bakteri. Namun, terdapat

kemungkinan juga bahwa dengan jumlah patogen yang tinggi dalam vagina,

bakteri dapat memperoleh akses menuju daerah uterus melalui leher uterus yang

berfungsi normal, di mana bakteri tersebut mengaktifkan mediator inflamasi yang

Page 7: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

5

membuat serviks menjadi matang dan memendek. Bakteri mungkin juga

mendapatkan akses menuju rongga ketuban melalui penyebaran secara hematogen

atau melalui bersamaan dengan dilakukannya prosedur yang invasif. (2,8)

Produk-produk bakteri seperti endotoksin merangsang monosit desidua

untuk memproduksi sitokin, termasuk interleukin-1, faktor nekrosis tumor, dan

interleukin-6, yang pada gilirannya merangsang asam arakidonat dan kemudian

memproduksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2 bertindak sebagai parakrin

untuk merangsang kontraksi miometrium. (2,8)

Faktor pengaktif trombosit juga ikut berperan dalam aktivasi jaringan

sitokin, yang ditemukan di dalam cairan amnion. Faktor pengaktif trombosit

diperkirakan diproduksi di dalam paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin

tampaknya memainkan suatu peran sinergistik untuk inisiasi kelahiran preterm

yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teoritis, hal ini kemungkinan

menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang

terinfeksi. (2,8)

Gambar 2.2 Patogenesis Infeksi Bakteri Menginduksi Persalinan Preterm (2)

Invasi bakteri yang menghasilkan endotoxin terhadap amnion maupun uterus akan menyebabkan kontraksi uterus akibat pengaktifan mediator-mediator inflamasi.

Page 8: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

6

2.2.1.2 Faktor Gaya Hidup

Faktor-faktor yang menyebabkan kelahiran prematur (terutama kelahiran

prematur spontan) masih belum diketahui dan diapahami dengan baik. Walaupun

jalur yang tepat antara merokok selama kehamilan dan kelahiran prematur tidak

diketahui, para peneliti berteori bahwa salah satu mekanisme yang dapat

diperkirakan ialah gangguan aliran darah plasenta akibat nikotin dan karbon

monoksida, yang merupakan vasokonstriktor yang poten pada pembuluh plasenta.(10,13)

Plasenta dari ibu yang perokok telah terbukti menjadi lebih besar, dengan

meningkatnya luas permukaan plasenta, dan memiliki karakteristik lesi-lesi

sebagai akibat kurangnya perfusi dari uterus. Merokok dapat menyebabkan

perubahan sel endotel yang kemudian menyebabkan vasokonstriksi dan kekakuan

dinding arteriol, dengan perfusi yang kurang dari plasenta. Hal ini, dapat

mengakibatkan iskemia dari desidua basalis, yang kemudian menjadi nekrosis dan

terjadi perdarahan. (13)

Karbon monoksida dalam asap rokok dapat mengganggu oksigenasi janin

dengan membentuk carboxyhemoglobin, dan nikotin dapat meningkatkan tekanan

darah ibu dan detak jantung, juga menghambat aliran darah ke janin, sehingga

pada ibu perokok sering dapat membuat pertumbuhan janin terganggu dan

melahirkan dengan berat badan bayi yang rendah. (13)

Komplikasi plasenta dapat berupa perdarahan, terutama placenta

abruption (solutio plasenta) dan, yang lebih sedikit, ialah plasenta previa,

merupakan faktor yang penting dalam predisposisi kelahiran prematur dan bayi

lahir mati pada ibu yang merokok selama kehamilan.(13)

Dalam sebuah penelitian ditemukan faktor-faktor ibu lain yaitu ibu terlalu

muda atau lanjut usia; kemiskinan; penggunaan alcohol, dan faktor-faktor seperti

pekerjaan lama berjalan atau berdiri, kondisi kerja berat dan panjang

meningkatkan insidensi kelahiran prematur.(7)

Pada ibu yang terlalu tua terjadi lesi sklerotik (proses ateriosklerosis) pada

arteri miometrium sehingga dapat menyebabkan perfusi yang kurang dari plasenta

mengarah pada risiko yang lebih tinggi pada hasil mortalitas dan morbiditas

Page 9: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

7

perinatal. Perfusi yang kurang dapat mengakibatkan iskemia dari desidua basalis,

yang kemudian menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan. (10,13)

Hipotesis bahwa adanya hubungan yang buruk antara usia ibu yang terlalu

muda dan pendarahan vagina pada awal kehamilan disebabkan adanya bagian ke

ketidakdewasaan dari sumbu hipothalamus-hipofisis-gonad saat menarche dan

adanya hubungan ginekologis yang terbalik antara usia dan kadar progesteron

selama fase luteal dari ovulasi siklus menstruasi. Dan terjadinya pendarahan

vagina dikaitkan dengan peningkatan insiden kelahiran premature.(4)

2.2.1.3 Perdarahan

Abruptio plasenta atau solutio plasenta dapat mengakibatkan terjadinya

prematur pelahiran. Ini terjadi melalui pengeluaran trombin yang merangsang

kontraksi miometrium oleh reseptor yang diaktivasi protease tetapi secara

independen juga disebabkan sintesis dari prostaglandin. Ini menjelaskan kesan

klinis bahwa persalinan preterm berkaitan dengan chorionamnionitis sering cepat

sedangkan yang berhubungan dengan plasenta abruptio ialah kurang begitu karena

pada abruptio plasenta tidak ada proses kematangan (preripening) serviks uterus.

Pembentukan trombin mungkin juga mempunyai peran dalam persalinan prematur

yang disebabkan karena chorionamnionitis ketika dilepaskannya trombin sebagai

akibat dari perdarahan desidua.(13)

Plasenta previa ditandai dengan perdarahan yang tidak nyeri, yang tidak

muncul sampai trimester II akhir atau setelahnya. Mekanismenya adalah sebagai

berikut setelah bulan ke-4 terjadi regangan pada dinding uterus karena isi uterus

lebih cepat tumbuhnya dari uterus sendiri, akibatnya ialah bahwa isthmus uteri

tertarik menjadi dinding cavum uteri (segmen bawah uterus). Pada plasenta

previa, ini tidak mungkin tanpa pergeseran antara plasenta dan dinding uterus, saat

perdarahan tergantung pada kekuatan insersi plasenta dan kekuatan tarikan pada

isthmus uteri. Jadi dalam kehamilan tidak perlu ada his untuk menimbulkan

perdarahan tapi sudah jelas dalam prsalinan his pembukaan menyebabkan

perdarahan karena bagian plasenta di atas akan terlepas pada dasarnya.(6,8)

Page 10: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

8

2.2.1.4 Kelainan Uterus

Uterus yang tidak normal menganggu resiko terjadinya abortus spontan

dan persalinan prematur. Pada serviks inkompeten dimana serviks tidak dapat

menahan kehamilan terjadi dilatasi serviks mengakibatkan kulit ketuban menonjol

keluar pada trimester 2 dan awal trimester 3 dan kemudian pecah yang biasanya

diikuti oleh persalinan. Terdapat penelitian menyatakan bahwa risiko terjadinya

persalinan prematur akan makin meningkat bila serviks < 30 mm. Hal ini

dikaitkan dengan makin mudahnya terjadi infeksi amnion bila serviks makin

pendek.(13)

2.2.1.5 Penyakit Sistemik

Ibu dengan penyakit sistemik kronis misalnya: diabetes mellitus, penyakit

jantung, hipertensi, penyakit ginjal dan paru kronis meningkatkan resiko

terjadinya kelahiran prematur.(4,13)

2.2.1.6 Sanggama

Prostaglandin yang terlibat dalam mekanisme orgasme serta ada dalam

cairan seminal dapat merangsang pematangan serviks dan kontraksi miometrium

sehingga menyebabkan persalinan kurang bulan pada ibu yang sensitif.(13)

2.2.1.7 Riwayat Obstetri Sebelumnya

Riwayat persalinan prematur dan abortus merupakan faktor yang

berhubungan sangat erat dengan persalinan prematur berikutnya. Penderita yang

pernah mengalami 1 kali persalinan premature mempunyai resiko 37% untuk

mengalami persalinan prematur lagi dan penderita yang pernah mengalami

persalinan prematur 2 kali atau lebih mempunyai resiko 70% untuk mengalami

persalinan prematur.(4,13)

2.2.2 Faktor Janin

2.2.2.1 Kehamilan Ganda dan Hidramnion

Distensi uterus berlebihan sering menyebabkan persalinan prematur. Usia

kehamilan makin pendek pada kehamilan ganda, 25% bayi kembar 2, 50% bayi

triplet dan 75% bayi kuadriplet lahir 4 minggu sebelum kehamilan cukup bulan.(13)

Patogenesis

Page 11: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

9

Beberapa kehamilan mungkin mengarah pada kelahiran prematur melalui

setidaknya dua mekanisme. Over-distensi uterus mengarah ke regulasi prematur

terkait dengan kontraksi yang disebabkan oleh protein-protein dan faktor yang

memediasi kematangan cervix, yang seluruhnya menunjukkan adanya kepekaan

terhadap regangan mekanis. Kehamilan kembar yang berhubungan dengan jumlah

beberapa plasenta sehingga terjadi peningkatan CRH yang lebih awal dalam

sirkulasi dibandingkan dengan janin yang tunggal. (13)

2.2.2.2 Stress Pada Ibu dan Janin

Ada bukti bahwa janin dan ibu yang stres mungkin menjadi faktor risiko

persalinan prematur. Janin stres mungkin timbul dalam hubungannya dengan

terhambatanya pertumbuhann. Ibu stres dapat disebabkan oleh faktor-faktor

lingkungan. Pada kedua kasus tersebut dipostulasikan bahwa sekresi berlebih dari

kortisol menyebabkan meningkatnya regulasi dari produksi CRH dalam plasenta.(13)

2.2.3 Faktor Lainnya

2.2.3.1 Genetik

Sifat keluarga, riwayat prematur dan sifat rasial kelahiran prematur telah

diketahui bahwa genetika mungkin memainkan peran dalam menyebabkan

persalinan preterm. Gen untuk relaksin desidua merupakan salah satu kandidat.

Defek pada protein trifunctional mitokondria defek janin atau polimorfisme dalam

kompleks gen interleukin-1, reseptor 2-adrenergik, atau faktor nekrosis tumor

(TNF) mungkin juga terlibat dalam ruptur membran yang prematur.(7)

Untuk saat ini, hubungan antara polimorfisme dalam calon gen dan risiko

kelahiran prematur adalah moderat. Misalnya, variasi dalam reseptor progesteron

telah terlibat sebagai faktor risiko ibu dalam sebuah penelitian, tetapi tidak dalam

penelitian lainnya. Demikian juga, meskipun polimorfisme dalam gen yang

mengkode sel inflamasi sitokin pada awalnya diidentifikasi sebagai faktor risiko

yang mungkin dapat terjadi, namun hubungan yang konsisten dengan kelahiran

prematur belum dapat ditentukan. studi asosiasi Genomewide sekarang sedang

berlangsung terus dan berjanji untuk membuat wawasan baru dalam waktu dekat.

Untuk menjelaskan interaksi antara gen-gen dan gen-lingkungan yang

Page 12: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

10

meningkatkan risiko kelahiran prematur, kohort besar (> 10.000 objek penelitian)

akan diperlukan, terutama jika tujuannya adalah untuk menemukan varian dengan

ukuran efek kecil yang bisa menjelaskan wawasan fisiologis yang baru. (12)

Para ilmuwan dari Amerika Serikat berhasil menemukan perbedaan DNA

pada bayi yang lahir prematur. Para peneliti dari US National Institutes of Health

melakukan penelitian terhadap 700 varian DNA pada 190 gen wanita yang

melahirkan bayi prematur dan yang melahirkan bayi cukup bulan. Darah tali pusat

bayi mereka juga diperiksauntuk mengetahui variannya. Terungkap bahwa variasi

gen lebih sering ditemukan pada para ibu yang melahirkan bayi prematur dan juga

bayinya. Bayi yang membawa gen "interleukin 6 receptor" cenderung lahir lebih

dini. Gen ini diyakini memegang peran penting dalam mengatur sistem imun

untuk melawan infeksi dan peradangan.Bila terjadi infeksi, gen tersebut akan

mengirim sinyal pada tubuh untuk segera menyiapkan diri pada persalinan. Kadar

gen interleukin 6 yang terlalu tinggi dalam cairan ketuban dan darah bayi diduga

menyebabkan bayi lahir sebelum waktunya meski sebenarnya tidak terjadi infeksi.(12)

2.3 Mekanisme Persalinan Normal

2.2.1 Pengaruh Proses Inflamasi Pada Persalinan

Sepanjang kehamilan, serviks uterus membutuhkan untuk tetap kokoh dan

tertutup ketika tubuh dari uterus tumbuh secara hipertrofi dan hiperplasia tetapi

tanpa disertai adanya kontraksi. Untuk persalinan yang normal serviks diubah

menjadi struktur yang lembut dan lentur sehingga dapat berdilatasi membesar dan

uterus menjadi organ yang dapat berkontraksi dengan kuat. Beberapa minggu

sebelum melahirkan terjadi perubahan bagian bawah uterus yang menjadi masak

dan terjadi penipisan dari cervix. Perubahan pada segmen bawah uterus ini

berhubungan dengan peningkatan produksi sitokin yang merupakan suatu produk

inflamasi, terutama interleukin-1, -6 dan -8 dan prostaglandin dari membran yang

melapisi janin dan desidua dan dari leher uterus itu sendiri. Pematangan cervix

dikaitkan dengan masuknya sel-sel inflamasi ke dalam cervix yang melepaskan

matriks metalloprotein yang berkontribusi anatomis dengan perubahan yang

Page 13: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

11

terkait dengan pematangan cervix. Kemudian peningkatan kontraktilitas dominan

terjadi di segmen atas uterus dikaitkan dengan peningkatan ekspresi reseptor dari

oksitosin dan prostaglandin, pada protein gap-junction yang menengahi

konektivitas elektris antara miosite-miosit, dan perubahan yang lebih kompleks

lagi pada jalur sinyal intraselular yang bisa meningkatkan kontraktilitas dari

miosit-miosit.(2)

2.2.2 Pengaruh Hormonal Pada Persalinan

Dalam banyak spesies progesteron diduga memainkan peran penting

dalam menekan onset persalinan. Progesteron memiliki sifat anti-inflamasi

umumnya pada uterus. Peristiwa biokimia yang berhubungan dengan pematangan

cervix dan telah dimulainya proses persalinan seperti yang dijelaskan sebelumnya

merupakan suatu proses peradangan. Pada beberapa spesies dimulainya proses

persalianan didahului dengan menurunnya kadar progesteron. Pada domba,

menurunnya kadar progesteron mengarah ke peningkatan pembentukan gap-

junction miometrium, peningkatan pembentukan prostaglandin, dan meningkatkan

respon dari bagian uterus yang mampu menghasilkan kontraksi. (6,11,13)

Menurunnya kadar progesteron tampaknya disebabkan oleh meningkatnya

respon sel adrenal janin adrenocorticotropic hormon (ACTH), mengakibatkan

peningkatan produksi kortisol. Melalui beberapa langkah, kortisol menyebabkan

biosintesis steroid plasenta dan penurunan sekresi progesteron. Penurunan

progesteron beredar mengarah ke peningkatan pembentukan gap junction

miometrium, peningkatan pembentukan prostaglandin, dan meningkatkan respon

dari uterus dan mampu menghasilkan kontraksi. (13)

Namun, ada perbedaan besar, antara status hormonal domba dan primata,

termasuk manusia. Pada manusia, tidak ada peningkatan yang besar kortisol dari

kelenjar adrenal janin sebelum persalinan, dan tidak terjadi penurunan dramatis

dari hormon progesteron secara konsisten. Namun, progesteron penting dalam

kehamilan manusia, dan sejumlah studi telah meneliti peran rasio progesteron-ke-

estrogen sebelum timbulnya persalinan. Pada 1974, para peneliti menunjukkan

penurunan yang signifikan kadar serum progesteron dan peningkatan tingkat

estrogen dalam banyak perempuan sebelum persalinan. Temuan ini belum

Page 14: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

12

direproduksi secara konsisten. Peningkatan estriol mungkin merupakan sinyal dari

janin yang menunjukkan bahwa itu matang dan siap untuk persalinan. Produksi

estriol meningkat selama bulan terakhir kehamilan. Dalam jumlah besar yang

dihasilkan, fungsi estriol sama dengan estradiol dalam merangsang pertumbuhan

uterus. Terdapat laporan dari meningginya rasio estradiol / progesteron pada akhir

kehamilan.(11)

Kadar sirkulasi corticotrophin releasing hormone (CRH), yang disintesis

oleh plasenta, meningkat secara progresif selama kehamilan dan terutama selama

minggu-minggu sebelum onset persalinan. Konsentrasi CRH binding protein

menurun dengan bertambahnya usia kehamilan, kira-kira 3 minggu sebelum onset

persalinan dimana konsentrasi CRH melebihi protein pengikatnya. Tidak seperti

CRH pada hipothalamus, CRH di plasenta diatur oleh kortisol. Beberapa studi

telah menghubungkan antara produksi CRH plasenta dengan waktu persalinan dan

telah menunjukkan bahwa kenaikan prematur CRH dikaitkan dengan kelahiran

prematur. (13)

Hipotesis lain adalah bahwa peristiwa peradangan yang terjadi pada uterus

pada saat persalinan berkaitan dengan peningkatan faktor nuclear faktor-kappa B

(NF-kappa B) (yang merupakan faktor transkripsi sangat berhubungan dengan

peradangan dalam konteks lain seperti asma, radang penyakit usus atau arthritis).

NF-kappa B diketahui juga mampu menekan fungsi reseptor progesteron dan

sehingga bisa menengahi penarikan progesteron fungsional. (13)

Tidak ada peningkatan produksi oksitosin terkait dengan permulaan atau

perkembangan baik persalinan prematur atau aterm. Namun, terdapat peningkatan

reseptor ekspresi oksitosin dalam uterus dan terdapat produksi oksitosin lokal

dalam uterus, desidua dan membran janin. Walaupun mungkin oksitosin tidak

berperan penting dalam waktu yang tepat dari kelahiran pada manusia,

peningkatan dari kepadatan reseptor oksitosin menunjukkan bahwa oksitosin tidak

memainkan peran dalam menengahi kontraktilitas. (13)

Page 15: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

13

Gambar 2.3 Mekanisme Persalinan Normal (13)

2.4 Ancaman Persalinan Prematur

Menurut World Health Organisation (WHO), yang dimaksud dengan

persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi pada umur kehamilan kurang

dari 259 hari berdasarkan hari pertama haid terakhir. Ancaman persalinan

prematur sering menimbulkan masalah bagi ibu hamil, karena ibu hamil dengan

umur kehamilan kurang dari 259 hari sering datang mengeluh timbulnya kontraksi

yang memberikan ancaman terjadinya proses persalinan. Pada ancaman persalinan

prematur terjadi kontraksi uterus yang reguler diikuti dengan dilatasi serviks yang

progresif dan atau penipisan serviks.(1)

Persalinan prematur dapat dipicu oleh beberapa keadaan seperti infeksi,

iskemik pada janin dan distensi uterus. Pada permukaan plasenta dan membrane

amnion banyak mengandung makrofag. Bila ada invasi bakteri akan dihasilkan

produk-produk bakteri seperti Phospholipase A2(PLA2), endotoksin, dan

collagenase. Peningkatan Phospholipase (PLC, PLA2) akan melepaskan asam

Page 16: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

14

arachidonat yang dipakai untuk mensintesis COX-1 dan COX-2 pada jalur sintesis

prostaglandin. Selain itu terjadi peningkatan produksi lipoxygenase,

cycloxygenase, dan sitokin ( IL-1, IL-6, IL-8, TNF). Makrofag akan mensintesis

prostaglandin, enzim protease dan collagenase yang akan menyebabkan penipisan

serviks dan kontraksi otot miometrium sehingga menginduksi persalinan

prematur.(3)

Gambar 2.4 Mekanisme Persalinan Prematur (5)

2.5 Diagnosis PPI

2.5.1 Gejala Pada Pasien

Page 17: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

15

Diagnosis persalinan prematur yang akurat sulit diketahui sampai

persalinan telah jelas maju walaupun sudah menggunakan tokolitik. Dengan

peringatan ini, persalinan prematur dapat diklasifikasikan sebagai ancaman atau

memang aktual. Dasar klasifikasi seperti ini mempunyai perbedaan dalam

prognosis. Sekitar 85% pasien dengan ancaman persalinan prematur melahirkan

setelah aterm, padahal hanya 40-50% pasien dengan persalinan preterm yang

aktual melahirkan aterm.(5)

The American College of Obstetricians and Gynecologists merumuskan

kriteria untuk membuktikan adanya persalinan preterm, yaitu: (1)

Kontraksi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit ditambah

perubahan progresif pada serviks,

Dilatasi serviks > 1 cm

Pendataran serviks 80% atau lebih.

Sejumlah keluhan mungkin terdapat pada persalinan prematur, tetapi

banyak dari gejala-gejala ini sering terjadi pada kehamilan normal dan sering

diabaikan oleh dokter atau bidan yang melakukan perawatan prenatal. Sebuah

studi yang membandingkan gejala ibu hamil pada persalinan prematur dengan

gejala normal ibu hamil menunjukkan bahwa gejalanya saling melengkapi.

Kontraksi seperti kram menstruasi sering kali menjadi keluhan yang paling

mencolok, dengan hanya 13% dari pasien persalinan prematur tidak terjadi gejala

ini. Sekitar 10% dari wanita hamil normal mengeluh adanya kontraksi yang

menyakitkan. (5)

Biasanya, pasien dengan persalinan prematur mengancam mempunyai

respon yang baik terhadap terapi konservatif sederhana (bedrest, hidrasi, obat

penenang, atau dosis subkutan terbatas terbutaline atau nifedipine). Prognosis dari

persalinan saat aterm tampaknya meningkat jika persalinan prematur dimulai pada

trimester ketiga bukan di trimester kedua. (5)

2.5.2 Perubahan Serviks

2.5.2.1 Dilatasi Serviks

Page 18: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

16

Dilatasi serviks setelah tengah usia kehamilan diduga sebagai faktor resiko

untuk persalinan preterm, meskipun beberapa klinisi mempertimbangkan adanya

beberapa varian anatomi yang normal, terutama pada wanita mulipara.

Gambar 2.5 Dilatasi Serviks

Meskipun dilatasi dan penonjolan servix pada trimester III meningkatkan

resiko kelahiran prematur, namun deteksi dini tersebut tidak memberikan dampak

dalam hasil kehamilannya. (8,12)

2.5.3 Fibronektin Janin

Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk

molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas,

fibroblas, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam

konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan

peran pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam

mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin dapat dideteksi di

dalam sekret servikovagina pada kehamilan normal dengan selaput ketuban utuh

aterm, dan tampaknya memperlihatkan remodeling stroma serviks sebelum

persalinan.(8)

Penemuan fibronektin janin pada sekret servikovagina sebelum selaput

ketuban pecah dapat menjadi suatu petanda adanya ancaman persalinan preterm.

Laporan ini telah merangsang minat yang cukup besar terhadap penggunaan

pemeriksaan fibronektin untuk meramalkan kelahiran preterm. Fibronektin janin

Page 19: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

17

diukur dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent assay dan nilai di atas

50 ng/mL dianggap sebagai hasil positif. Kontaminasi sampel dengan cairan

amnion dan darah ibu harus dihindari.(8)

2.6 Pencegahan Kelahiran Preterm

Pada wanita dengan primigravid yang tidak mempunyai faktor-faktor

risiko yang signifikan untuk kelahiran prematur, tidak terdapat metode efektif

untuk memprediksi persalinan prematur oleh karena itu penatalaksanaan hanya

dapat ditetapkan pada saat muncul keluhan akut seperti adanya kontraksi. Terapi

yang umum digunakan ialah cervix cerclage, obat antiinflamasi non steroid dan

baru-baru ini penggunaan progesteron. (7)

2.6.1 Progesteron

Progesteron dianggap menghambat produksi sel proinflamasi sitokin dan

prostaglandin dalam uterus dan menghambat kontraktilitas miometrium. Pada

tahun 2003, Da Fonseca et al. melaporkan bahwa perempuan dengan risiko tinggi

kelahiran prematur dan secara acak menerima 100-mg progesteron supositoria

vagina sehari antara 24 dan 33 minggu memiliki jumlah persalinan prematur yang

lebih rendah (13,8% pada 37 minggu, 2,8% sebelum 34 minggu) versus kelompok

plasebo (28% sebelum 37 minggu, 18,6% sebelum 34 minggu). Dalam studi

serupa Mies et al. menggunakan suntikan mingguan dari 17 α-

hydroxyprogesterone capruate (250 mg) pada ibu dengan usia kehamilan antara

16 dan 36 minggu, hasilnya ternyata dapat mengurangi rata-rata persalinan

prematur sebanyak 55-36% sebelum usia kehamilan 37 minggu dan 19-11%

sebelum usia kehamilan 32 minggu. (7)

2.6.2 Ligasi Cervix Cerclage

Kelainan fungsi cervix dapat menjadi faktor utama atau kontributor minor

terhadap kejadian biokimia dan mekanis yang dapat menyebabkan kelahiran

prematur. Sudah jelas bahwa pada wanita dengan riwayat cervix yang lemah,

misalnya, pada wanita dengan dengan riwayat operasi cervix atau mereka dengan

episode berulang dari kehilangan janin trimester kedua tanpa rasa sakit relatif

Page 20: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

18

cepat, cerclage cervix akan memperbaiki prospek dalam suksesnya kehamilan

berikutnya secara signifikan. (9)

Gambar 2.6 Cerclage cervix (8)

Terdapat 3 kondisi diamana penggunaan cerclage cervix bermanfaat pada

pencegahan kelahiran preterm. Kesatu, cerclage dapat digunakan pada wanita

dengan riwayat kelahiran prematur pada tengah trimester ketiga yang berulang

dan wanita yang didiagnosis memiliki cervix yang inkompeten. Kondisi kedua,

wanita yang memiliki cervix yang pendek saat dilakukan USG. Ketiga,

melakukan cerclage “penyelamatan/rescue”, pada saat cervix yang inkompeten

baru dikenali pada ibu dengan kelahiran preterm yang mengancam. Rescue

cerclage cervix dilakukan pada wanita dengan dilatasi cervix yang diam/silent dan

menonjol dari membran ke dalam vagina tetapi tidak disertai kontraksi uterus

sebelumnya.(8)

2.6.3 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Peran penting dari sel inflamasi prostaglandin dan sitokin dalam etiologi

persalinan prematur menunjukkan bahwa non-steroid anti-inflammatory drugs

(NSAID) dapat bermanfaat dalam mencegah kelahiran prematur. NSAID bekerja

terutama dengan menginhibisi enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisasi

sintesis prostaglandin. Akan tetapi, berbagai OAINS juga memiliki aksi

mekanisme lain meliputi efek pada jalur sinyal intraselular dan pada faktor

transkripsi termasuk NF-kappa B. Ada dua isoform utama pada enzim cyclo-

oxygenase disebut COX-1 dan COX-2. COX-1 adalah secara konstitutif

diekspresikan dalam sel mayoritas, sedangkan COX-2 ialah bagian yang

Page 21: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

19

menginduksi dan mengkatalisis sintesis prostaglandin pada tempat peradangan.

COX-2 merupakan cyclo-oxyge nase utama yang terkait dengan meningkatnya

sintesis prostaglandin yang muncul saat terjadinya persalinan. (11,13)

Terdapat beberapa penelitian penggunaan OAINS dalam pengelolaan akut

kelahiran prematur, terdapat beberapa studi acak penggunaan OAINS sebagai

profilaksis. OAINS berhubungan dengan efek samping pada janin secara

signifikan, khususnya oligohidramnios dan penyempitan ductus arteriosus. (13)

Oligohidramnios terjadi pada 30% dari janin yang terkena indometasin.

Efek ini tergantung dosis dan mungkin terjadi baik dengan penggunaan jangka

pendek maupun jangka panjang. Penghentian terapi biasanya menghasilkan

pergantian cepat janin normal urin output dan resolusi dari oligohydramnion. (13)

Penyempitan terjadi ductus arteriosus hingga 50% janin terkena

indometasin pada usia kehamilan lebih besar dari 32 minggu. Ada hubungan

antara dosis, durasi terapi dan usia kehamilan. Duktus penyempitan terlihat jarang

di bawah usia kehamilan 32 minggu dan lebih jarang di bawah usia kehamilan 28

minggu. Terapi indometasin jangka panjang, terutama setelah usia kehamilan 32

minggu berhubungan dengan risiko hipertensi paru bayi secara signifikan. (13)

2.6.4 Kontraindikasi Penundaan Persalinan

Gambar 2.7 Kontraindikasi Penundaan Persalinan(4)

2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Dan Persalinan Preterm

Page 22: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

20

Wanita yang diidentifikasi mempunyai resiko kelahiran prematur dan

wanita dengan gejala dan tanda persalinan preterm memiliki banyak inertevensi

dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang baik. Meskipun banyak intervensi

yang dapat dilakukan namun tidak semua dianjurkan. Beberapa intervensi

memberikan perbaikan yang cukup baik, namun beberapa lainnya masih belum

terbukti. (8)

2.7.1.1 Riwayat Pecah Ketuban Preterm

Cox dkk. (1988b) melaporkan hasil kehamilan pada 298 wanita berturut-

turut yang melahirkan setelah pecah ketuban spontan pada usia gestasi antara 24

sampai 34 minggu. Meskipun komplikasi ini hanya ditemukan pada 1,7 persen

kehamilan, kondisi ini merupakan penyebab 20 persen kematian perinatal selama

periode waktu ini. Pada saat masuk, 75 persen wanita sudah in partu, 5 persen

melahirkan karena penyulit lain, dan 10 persen lainnya melahirkan setelah

persalinan spontan dalam 48 jam. Hanya terdapat 7 persen wanita yang

pelahirannya tertunda 48 jam atau lebih setelah pecah-nya ketuban. Namun,

kelompok wanita yang mengalami penundaan pelahiran ini tampaknya

diuntungkan akibat lambatnya pelahiran karena tidak terjadi kematian neonatal.

Hal ini berlawanan dengan angka kematian neonatal 80 per 1000 pada bayi yang

dilahirkan dalam 48 jam setelah pecah ketuban. Nelson dkk. (1994) melaporkan

hasil serupa. (8)

2.7.1.2 Rawat Inap

Sebagian besar ahli kebidanan merawat inap wanita dengan kehamilan

yang mengalami penyulit pecah ketuban preterm. Keprihatinan tentang biaya

perawatan rumah sakit yang lama biasanya masih dapat diperdebatkan karena

kebanyakan wanita memasuki persalinan dalam 1 minggu atau kurang setelah

ketuban pecah. Carlan dkk. (1993) mengacak 67 kehamilan dengan pecah ketuban

yang dipilih secara cermat untuk menjalani penatalaksanaan di rumah versus di

rumah sakit. Tidak ada keuntungan yang ditemukan pada perawatan inap dan

masa tinggal ibu di rumah sakit berkurang 50 persen pada ibu yang dikirim pulang

14 menjadi 7 (hari). Yang penting, para peneliti ini menekankan bahwa penelitian

Page 23: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

21

ini terlalu kecil untuk nenyimpulkan bahwa penatalaksanaan di rumah aman-aman

saja. (8)

2.7.1.3 Penatalaksanaan Menunggu

Meskipun ada banyak sekali literatur mengenai penatalaksanaan

menunggu pada ketuban pecah preterm, baru sedikit penelitian acak yang telah

dilakukan. Dalam penelitian acak wanita yang menerima tokolitik dan terapi

menunggu. Peneliti menyimpulkan intervensi aktif tidak memperbaiki hasil

perinatal.(9)

2.7.1.4 Percepatan Pematangan Fungsi Paru

Produksi surfaktan dipercepat jauh sebelum aterm pada kehamilan yang

dipersulit oleh sejumlah kondisi dan stres pada ibu atau janin. Contohnya antara

lain penyakit ginjal atau kardiovaskular kronis, gangguan hipertensi lama yang

disebabkan oleh kehamilan, kecanduan heroin, pertumbuhan janin terhambat,

infark plasenta, korioamnionitis, atau ketuban pecah preterm.(9)

2.7.1.5 Terapi Antimikroba

Patogenesis mikrobiologis ketuban pecah preterm telah memacu

penelitian-penelitian mengenai berbagai macam antimikroba untuk mencegah

kelahiran. Mercer dan Arheart (1995) mengulas 13 penelitian acak tentang

efektivitas terapi antimikroba dibandingkan dengan plasebo untuk pecah ketuban

pada usia gestasi di bawah 35 minggu. Total 10 hasil akhir kehamilan menjalani

metaanalisis dan hanya tiga yang menunjukkan kemungkinan efek

menguntungkan dari obat antimikroba: (1) lebih sedikit wanita yang mengalami

korioamnionitis; (2) lebih sedikit bayi yang mengalami sepsis, dan (3) kehamilan

lebih sering memanjang 7 hari pada ibu yang diberi antimikroba. Angka harapan

hidup tidak dipengaruhi, demikian pula insiden enterokolitis nekrofikans, gawat

napas, atau perdarahan intracranial. (9)

Untuk meninjau masalah ini lebih jauh, the NICHD Maternal-Fetal

Medicine Units Network melaksanakan sebuah uji coba prospektif acak-terhadap

penatalaksanaan menunggu dikombinasikan dengan ampisilin atau amoksisilin

plus eritromisin, atau placebo. Pada wanita dengan ketuban pecah preterm pada

usia gestasi antara 24 dan 32 minggu. Tokolisis, terapi kortikosteroid, atau

Page 24: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

22

keduanya tidak diberikan pada uji coba ini. Lebih sedikit neonatus yang

mengalami sindrom gawat napas dan enterokolitis nekrotikans pada kehamilan

yang mendapatkan obat antimikroba.(4)

2.7.1.6 Kortikosteroid

The National Institus of Health Consensus Development Confrence (2000)

menganjurkan pemberian tunggal kortikosteroid antenatal pada ibu dengan pecah

ketuban preterm sebelum usia kehamilan 32 minggu dan yang tidak ditemukan

adanya korioamnionitis. Sejak saat itu, banyak penelitian metanalisis yang

dilakukan, dan berdasarkan the American College Obstetrics and Gynecologist

(2007), terapi kortikosteroid dosis tunggal dianjurkan pada usia kehamilan 24-32

minggu. Pemberian tidak dianjurkan pada usia kehamilan sebelum 24 minggu. (4)

2.7.2 Persalinan Preterm Dengan Selaput Janin Utuh

Penatalaksanaan antepartum pada wanita dengan tanda-tanda dan gejala

persalinan preterm serta selaput ketuban intak kurang lebih sama dengan yang

telah diuraikan untuk kehamilan dengan pecah ketuban preterm. Yaitu, patokan

terapi adalah menghindari kelahiran sebelum usia gestasi 34 minggu bila

mungkin. (8)

2.7.2.1 Amniosentesis untuk Mendeteksi Infeksi

Romero dan rekannya (1993) mencoba mengevaluasi nilai diagnostik dari cairan

amnion dengan leukositosis, kadar gula yang rendah, konsentrasi interleukin-6

yang tinggi, atau adanya bakteri gram positif pada 120 wanita dengan kelahiran

prematur dan membrane yang utuh. Hasil investigasi ini menemukan bahwa tidak

ditemukan bakteri pada cairan amnion pada 99% wanita. Konsentrasi interleukin-

6 sebanyak 82% spesifik untuk mendeteksi cairan amnion yang mengandung

bakteri. The American College Obstetrics and Ginecology (2003) menyimpulkan

bahwa tidak ada bukti melakukan amniocentesis rutin untuk mengidentifikasi

suatu infeksi. (8)

2.7.2.2 Terapi Kortikosteroid Kematangan Paru Janin

Glukokortikoid dapat mempercepat maturasi paru-paru pada domba yang

preterm namun kemudian Liggins dan Howie (1972) mencobanya pada wanita.

Terapi kortikosteroid efektif dalam menurunkan insidensi dari respiratory distress

Page 25: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

23

dan angka kematian neonatal jika kelahiran dapat ditunda setelah pemberian awal

betametason. Bayi baru lahir yang terekspose terapi ini tidak mendapatkan

penyakit sampai usia 31 tahun. Penelitian Liggins dan Howie (1972) merangsang

lebih dari 35 tahun penelitian paru-paru janin lainnya. Dan pada tahun 1995,

National Institute of Health Consensus Development merekomendasikan

penggunaan kortikosteoid untuk pematangan paru-paru janin yang terancam

kelahiran preterm. (9)

2.7.2.3 Metode-Metode Untuk Menghambat Persalinan Preterm

Banyak sekali obat dan intervensi lain yang telah digunakan untuk

menghambat persalinan preterm, tetapi sayangnya, tidak ada yang benar-benar

efektif. The American College Obstetrics and Gynecologist (2007) menyimpulkan

bahwa obat tokolitik tidak secara jelas memperlama gestasi, namun dapat

menunda persalinan pada wanita selama 48 jam. Fungsi ini dapat memfasilitasi

transportasi pengiriman ibu ke RS pusat atau memberikan waktu untuk

pemasukan kortikosteroid. (1)

a. Tirah Baring

Regimen terapi yang paling sering digunakan adalah tirah baring selama

kehamilan. Pada tahun 1994, Goldenberg dkk. telah mengulas tirah baring yang

digunakan untuk merawat berbagai macam komplikasi kehamilan dan tidak

menemukan bukti konklusif bahwa tirah baring dapat membantu mencegah

kelahiran preterm. Baru-baru ini, Sosa dkk. (2004) meneliti secara acak manfaat

tirah baring di rumah dan di rumah sakit. Mereka menyimpulkan tidak adanya

bukti bahwa tirah baring dapat mencegah kelahiran prematur, begitu pula dengan

hasil yang diteliti oleh Goulet dkk (2001). (4)

b. Hidrasi dan Sedasi

Helfgott dkk. (1994) melakukan percobaan hidrasi dan sedasi pertama

secara acak yang dibandingkan dengan tirah baring saja dalam perawatan 119

wanita yang sedang dalam persalinan preterm. Wanita yang diacak untuk

mendapatkan terapi menerima 500 mL larutan Ringer Laktat secara intravena

dalam 30 menit dan 8 sampai 12 mg morfin sulfat intramuskular. Terapi seperti

ini ternyata tidak lebih menguntungkan daripada tirah baring saja. (4)

Page 26: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

24

c. Agonis Reseptor Beta Adrenegik

Banyak senyawa bereaksi dengan reseptor β-adrenergik untuk mengurangi

kadar ion kalsium intraseluler dan mencegah protein yang mengaktivasi kontraksi

miometrium. Dalam kondisi yang akut, obat-obatan dapat diberikan secara

intravena (ritodrine dan terbutaline) atau secara subkutan (terbutaline). Dosis

ditingkatkan sampai uterus ibu menjadi tenang atau terjadinya efek samping yang

mencegah dari meningkatkan dosis lebih lanjut. Terjadinya tachyphylaxis terjadi

dengan cepat. Di Amerika Serikat, ritodrine dan terbutaline telah digunakan dalam

obstetri, namun hanya ritodrin hidroklorida yang telah diakui oleh Food and Drug

Administration untuk mengobati persalinan preterm. (5,9)

Ritodrine

Dalam sebuah studi multisentra di Amerika Serikat, bayi-bayi yang ibunya

diterapi dengan ritodrin atas dugaan persalinan preterm mempunyai angka

kematian yang lebih rendah, lebih jarang mengalami gawat napas, dan lebih sering

mencapai usia gestasi 36 minggu atau berat lahir 2500 g daripada bayi-bayi yang

ibunya tidak diberi terapi (Merkatz dkk., 1980). (8)

Infus ritodrin, juga agonis (3-adrenergik lainnya sering kali

mengakibatkan efek samping dan kadang- kadang efek samping tersebut serius,

seperti edema paru. Tokolitik merupakan penyebab ketiga dari acute respiratory

distress dan kematian pada ibu hamil selama 14 tahun terakhir di Mississippi

(Perry dkk, 1996). Penyebab edema paru adalah multifaktorial, dan faktor resiko

meliputi terapi tokolitik dengan β-agonis, kehamilan multijanin, terapi

kortikosteroid yang berbarengan, tokolitik > 24 jam, dan infuse kristoloid dalam

jumlah besar. Disebabkan β-agonis dapat menyebabkan retensi natrium dan air,

pemberian selama waktu 24-48 jam dapat membuat volume overload (Hankins

dkk, 1988).(8)

Kini hanya ritodrin parenteral yang tersedia di Amerika Serikat sejak

pabriknya menghentikan distribusi tablet pada tahun 1995. Berdasarkan Federa

Register, ritodrin ditarik dari peredaran pada tahun 2003 oleh pabriknya sendiri

dan sudah tidak tersedia lagi di Amerika Serikat. (8)

Terbutaline

Page 27: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

25

Agonis-β ini umumnya digunakan untuk mencegah persalinan preterm,

namun, seperti ritodrin, toksisitasnya khususnya edema paru. Lam dkk.

melaporkan pemberian terbutalin dosis rendah secara subkutan jangka panjang

dengan menggunakan pompa portabel pada sembilan kehamilan.

Dua percobaan acak prospektif belum menemukan manfaat apapun dari

terapi pompa terbutalin. Wenstrom dkk. (1997) mengacak 42 wanita untuk

mendapatkan terapi dengan pompa terbutalin pompa salin, atau terbutalin oral.

Guinn dkk. (1998). Dalam sebuah percobaan tersamar ganda, mengacak 52 wanita

untuk mendapatkan terapi pompa terbutalin atau pompa salin. Terapi pompa

terbutalin tidak secara signifikan memperpanjang kehamilan, mencegah pelahiran

preterm, atau memperbaiki hasil akhir neonates pada kedua studi ini. (8)

Terapi terbutalin oral pernah dilaporkan tidak efektif oleh beberapa

kelompok (How dkk., 1995; Parilla dkk., 1993): Pada sebuah percobaan tersamar

ganda, Lewis dkk. (1996) mengacak 203 wanita yang mengalami persalinan

preterm setelah tokolisis intravena yang berhasil pada usia gestasi 24 sampai 34

minggu, untuk mendapatkan 5 mg terbutalin oral setiap 4 jam atau plasebo.

Kelahiran dalam waktu satu minggu setara pada kedua kelompok demikian juga

median masa laten, rerata usia gestasi saat kelahiran, dan insiden persalinan

preterm berulang. (8)

d. Magnesium Sulfat

Magnesium ionik dalam konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengubah

kontraktilitas miometrium in vivo dan in vitro. Perannya diperkirakan sebagai

antagonis kalsium. Steer dan Petrie (1977) menyimpulkan bahwa magnesium

sulfat yang diberikan secara intravena, 4 g diberikan sebagai dosis awal diikuti

dengan infuse kontinu 2 g/jam, biasanya akan menghentikan persalinan. Ibu yang

diberikan magnesium sulfat harus diobservasi karena adanya bahaya

hipermagnesemia. (8)

Hanya ada dua studi berkontrol acak tentang khasiat tokolitik magnesium

sulfat pada manusia. Cotton dkk. (1984) membandingkan magnesium sulfat

dengan ritodrin serta dengan plasebo, dan mereka hanya menemukan perbedaan

kecil pada hasil akhirnya. Cox dkk. (1990) mengacak 156 wanita dalam persalinan

Page 28: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

26

preterm dengan selaput ketuban utuh untuk mendapatkan infus magnesium 5ulfat

atau saline normal. Wanita-wanita ini menjadi berisiko dan hanya sedikit yang

mencapai usia kehailan 33 minggu. Tidak ditemukan keuntungan dan terapi

seperti ini dan metode tokolisis ini ditolak di Parkland Hospital. Grimes dan

Nanda (2006) mengkaji ulang penggunaan magnesium sulfat sebagai tokolitik dan

menyimpulkan “saatnya berhenti” menggunakan terapi ini disebabkan tidak

efektif dan timbulnya bahaya yang potensial pada janin. (8)

Magnesium sulfat juga memberikan efek janin dan bayi baru lahir secara

signifikan. Magnesium sulfat melintasi plasenta dan berakumulasi dalam janin.

Akibatnya, dapat mempengaruhi parameter biofisik janin (terutama aktivitas

pernapasan janin) dan penurunan variabilitas detak jantung janin. Neonatus yang

lahir dengan konsentrasi magnesium sulfat tali lebih dari 4 mg per 100 mL

mungkin menunjukkan tanda-tanda depresi, termasuk penurunan otot, mengantuk,

usaha pernapasan yang buruk, dan skor Apgar yang rendah. Kasus bayi

osteoporosis dengan patah tulang terkait telah dilaporkan pada seorang wanita

diterapi dengan tokolitik jangka panjang dengan magnesium sulfat. (8)

e. Inhibitor Prostaglandin

Senyawa-senyawa yang menghambat prostaglandin telah menjadi subjek

perhatian yang cukup besar karena prostaglandin dianggap terlibat erat dalam

kontraksi miometrium pada persalinan normal. Obat antiprostaglandin mungkin

bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin atau menghalangi kerja

prostaglandin pada organ target. Sekelompok enzim yang disebut prostaglandin

sintase bertanggung jawab atas konversi asam arakhidonat bebas menjadi

prostaglandin. Beberapa obat diketahui menyekat sistem ini, antara lain aspirin

dan salisilat lain dan indometasin. (8)

Indometasin adalah obat yang digunakan pertama kali oleh Zuckerman dan

rekannya pada tahun 1974, dengan hasil indometasin menghentikan kontraksi dan

menunda kelahiran. Indometasin dapat digunaka secara per oral atau per rectal. (8)

Indometasin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gangguan

hematologi, penyakit ulkus peptikum, dan diketahui alergi dan tampaknya dapat

meningkatkan waktu pendarahan. Kontraindikasi relatif pada penyakit ginjal ibu.

Page 29: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

27

Indometasin tidak secara signifikan mempengaruhi perfusi uteroplacental atau

nilai Apgar. (8)

Komplikasi pada janin paling signifikan berhubungan dengan penutupan

ductus arteriosus yang prematur, gagal jantung kanan, dan kematian janin. Jenis

prostaglandin E memungkinkan ductus arteriosus tetap paten, sedangkan

indometasin cenderung membuat ductus menutup, lebih cenderung menutup

duktus reversibel setelah beberapa minggu. Penutupan duktus yang ireversibel

dapat terjadi pada usia kehamilan lebih tua, lebih dekat dengan waktu penutupan

fisiologis, namun ada laporan kasus terjadinya kematian janin diakibatkan

penutupan duktus yang lengkap. (5)

f. Obat Penghambat Kanal Kalsium

Aktivitas otot polos, termasuk miometrium, secara langsung berhubungan

dengan kalsium bebas di dalam sitoplasma, dan penurunan konsentrasi kalsium

akan menghambat kontraksi. Obat penyekat kalsium beraksi dengan menghambat,

dengan berbagai mekanisme, pintu masuk saluran kalsium pada membran sel.

Meskipun obat ini digunakan sebagai terapi penyakit hipertensi, namun obat

penyekat saluran kalsium dapat diaplikasikan dalam terapi persalinan preterm

sebagai subjek sejak akhir tahun 1970-an. (8)

Nifedipine telah digunakan sebagai obat tokolitik. Banyak protokol untuk

nifedipine. Umumnya, 10 mg nifedipine diberikan peroral. Jika kontraksi tetap

ada, dosis dapat diulang setiap 20 menit untuk total 30 mg dalam 1 jam. Hipotensi

maternal dapat terjadi secara relatif umum. Jika terjadi hipotensi berkembang,

nifedipine dosis tambahan harus diberikan. Sekali kontraksi menurun, pasien

dapat menerima 10 mg setiap 6 jam nifedipine per oral atau menerima 30-60 mg

nifedipine sustainde release per hari. Nicardipine, yaitu relaksan uterus yang kuat,

dapat diberikan sebanyak 40-mg dalam 2 jam dengan dosis maksimum 80 mg jika

kontraksi rahim tidak mereda. Dapat dilanjutkan dengan pemberian nicardipine 45

mg sustained-release setiap 12 jam. (13)

Kombinasi nifedipin dan magnesium sebagai tokolisis kemungkinan

berbahaya. Ben-Ami dkk. (1994) serta Kurtzman dkk. (1993) melaporkan bahwa

nifedipin meningkatkan toksisitas magnesium untuk menimbulkan blokade

Page 30: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

28

neuromuskular yang dapat mengganggu fungsi paru maupun jantung. How dan

rekannya (2006) mengacak 54 wanita dengan usia kehamilan 32 dan 34 minggu

dengan memberikan magnesium sulfat ditambah nifedipine atau tanpa tokolitik

menemukan tidak terdapat adanya manfaat maupun bahayanya. (8)

Merujuk kepada aturan secara umum jika diberikan tokolitik, maka

kortikosteroid harus juga seiring diberikan. Rentang usia kehamilan untuk

diberikannya obat ini masih diperdebatkan, namun karena kortikosteroid tidak

umum digunakan setelah usia kehamilan 33 minggu dan karena hasil perinatal

pada umumnya baik setelah usia kehamilan 33 minggu, maka kebanyakan dokter

tidak menggunakan tokolitik dan kortikosteroid pada usia kehamilan 33 minggu

atau lebih. (8)

2.7.3 Penatalaksanaan Intrapartum

Secara umum, semakin imatur janinnya, semakin besar risiko akibat

persalinan.

2.7.3.1 Persalinan

Penilaian apakah persalinan diinduksi atau spontan, kelainan frekuensi

denyut jantung janin dan kontraksi uterus harus dicari, lebih baik dengan

pemantau elektronik .kontinu. Takikardia janin terutama bila terjadi pecah

ketuban, menandakan adanya sepsis. Terdapat beberapa bukti terbaru bahwa

asidemia intrapartum dapat memperberat beberapa komplikasi neonatal yang

biasanya hanya ditimbulkan oleh prematuritas. Misalnya, Low dkk. (1995)

mengamati bahwa asidosis intrapartum pH darah arteri umbilikalis kurang dari 7,0

memainkan peran penting pada komplikasi neonatal. Demikian pula, Kimberlin

dkk. (1996b) menemukan bahwa peningkatan asidemia darah arteri umbilikalis

berhubungan dengan penyakit pernapasan yang lebih berat pada neonatus preterm

meski tidak ditemukan efek pada hasil neurologis jangka pendek yang meliputi

perdarahan intrakranial. (8)

Infeksi streptokokus grup B sering terjadi dan berbahaya pada neonatus

preterm, sehingga terapi profilaksis sebaiknya diberikan. (8)

2.7.3.2 Tindakan dalam Persalinan

Page 31: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

29

Bila vagina tidak relaks, episiotomi untuk kelahiran mungkin dapat

bermanfaat begitu kepala janin mencapai perineum. Hasil perinatal tidak

menganjurkan penggunaan forceps untuk melindungi “kepala janin preterm yang

fragile (mudah pecah)”. Seorang dokter dan staf yang terampil dalam teknik

resusitasi serta berorientasi penuh pada masalah spesifik kasus ini harus hadir

pada saat pelahiran. Pentingnya ketersediaan personel dan fasilitas khusus pada

kasus bayi preterm ditekankan oleh membaiknya angka ketahanan hidup bayi-bayi

ini jika mereka dilahirkan di pusat perawatan tersier. (8)

2.7.3.3 Pencegahan Perdarahan Intrakranial Neonatal

Bayi-bayi preterm sering mengalami perdarahan matriks germinal yang

dapat meluas menjadi perdarahan intraventrikel yang lebih serius. Dihipotesiskan

bahwa seksio sesarea untuk meniadakan trauma persalinan dan pelahiran

pervaginam mungkin dapat mencegah komplikasi ini. Observasi-obsevasi awal ini

belum disahkan oleh sebagian besar studi yang dilakukan setelahnya. Dalam studi

terbesar, Malloy dkk. (1991) menganalisis 1765 bayi dengan berat lahir kurang

dari 1500 g dan menemukan bahwa seksio sesarea tidak menurunkan risiko

kematian serta perdarahan intrakranial. Perdarahan ini berhubungan dengan

apakah janinnya telah mengalami fase aktif persalinan atau belum. Menghindari

fase aktif persalinan sudah tidak mungkin pada kebanyakan kelahiran preterm

karena jalur persalinan tidak ditetapkan sampai persalinan benar-benar telah pasti

berlangsung. (8)

BAB III

Page 32: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

30

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jumlah kelahiran prematur terus meningkat setiap tahunnya, baik di

Amerika Serikat maupun di Indonesia, dimana jumlah kelahiran prematur di

Indonesia 16-18% dari seluruh kelahiran hidup.

Pada wanita dengan persalinan prematur episode akut, tokolitik dapat

diberikan dengan kortikosteroid antenatal. Namun obat-obatan tokolitik

mempunyai potensi yang berbahaya dan harus digunakan dengan hati-hati dan

harus terawasi. Saat ini, tidak ada data yang mendukung bahwa penggunaan

tokolitik sebagai terapi pemeliharaan pada wanita dengan persalinan prematur

berhasil dicegah total. Pencegahan kelahiran prematur belum memberikan hasil

yang diharapkan, walaupun data saat ini mendukung menggunakan progesteron

sebagai upaya pencegahan. Wanita yang dalam persalinan prematur sebaiknya

diberikan kortikosteoid antenatal berdasarkan panduan ACOG (American College

Obstetrics and Gynecology) tahun 2002.

3.2 Saran

Dengan adanya upaya penelitian-penelitian lebih lanjut diharapkan dapat

lebih menjelaskan biologis kelahiran yang tidak normal untuk dapat lebih

mengembangkan terapi yang lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Page 33: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

31

1. ACOG Practice Bulletin. Assessment of risk factor for preterm birth. Am J Obstet Gynecol 2001: 709–716.

2. Cunningham FG,et al. 2001. Williams Obstetrics 21st ed. McGraw Hill Inc.

3. Goldenberg RL, Rouse DJ. Prevention of premature birth. N Engl J Med 1998: 313-320.

4. Husslein P. Strategies to prevent the morbidity and mortality associated with prematurity. Br J Obstet Gynaecol 2003;110-135 .

5. Ichtiarti, P. 2003. Perbandingan Efektifitas Nifedipin dan Isoksuprin dalam Menghambat proses Persalinan Preterm. Tesis.. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

6. Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi dan Patologi. Jakarta : EGC.

7. Philip, S. The epidemiology of preterm labour. Br J Obstet Gynaecol 2005;112:1-3

8. Rompas, J. 2004. Pengelolaan Persalinan Prematur. Cermin Dunia Kedokteran No. 145.

9. Rust, OA. Preterm delivery: risks versus benefit intervention. Current Women’s Health Report 2002: 59–64 .

10. Santoso, A.B. 2003. Hubungan Antara Kelahiran Prematur dengan Tumbuh Kembang Anak pada Usia 1 Tahun. Tesis. Semarang : Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro.

11. Wiknjosastro H, Wibowo H. Dalam Saifuddin AB, Rachimhadhi T. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

12. Widjanarko, B. 2009. Persalinan Preterm. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Page 34: [Referat] PPI (I Gede Prima J. S.ked)

32

13. Yusuf, J. 2008. Efektivitas dan Efek Samping Ketorolac sebagai Tokolitik pada Ancaman Persalinan Prematur Tinjauan Perbandingan dengan Nifedipin. Tesis. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.