bab i referat spondilitis tuberculosa

42
BAB I PENDAHULUAN Spondilitis tuberkulosa (TB) merupakan infeksi granulomatosis dan bersifat kronis destruktif yang di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas. Di beberapa negara berkembang, TB spinal masih menjadi manifestasi pada kasus TB anak maupun dewasa, dan merupakan perhatian cukup serius karena dapat menimbulkan komplikasi yang berat berupa gangguan neurologis berupa paraplegi. Hal ini disebabkan karena penderita spondylitis TB biasanya datang terlambat untuk mendapatkan pengobatan dan pada pemeriksaan klinis serta radiologis sudah ditemukan adanya kerusakan tulang belakang yang sudah lanjut dan disertai gangguan neurologis. Tuberkulosa sebagai suatu penyakit sistemik dapat menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi disebabkan oleh penyebaran hematogen dari lesi primer pada bagian tubuh yang lain. 1

Upload: ismy-hoiriyah

Post on 13-Dec-2015

80 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Referat

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

BAB I

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa (TB) merupakan infeksi granulomatosis dan bersifat kronis

destruktif yang di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang

mengenai tulang vertebra.

Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang

menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang

belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil

tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.

Di beberapa negara berkembang, TB spinal masih menjadi manifestasi pada kasus TB

anak maupun dewasa, dan merupakan perhatian cukup serius karena dapat menimbulkan

komplikasi yang berat berupa gangguan neurologis berupa paraplegi. Hal ini disebabkan

karena penderita spondylitis TB biasanya datang terlambat untuk mendapatkan pengobatan

dan pada pemeriksaan klinis serta radiologis sudah ditemukan adanya kerusakan tulang belakang

yang sudah lanjut dan disertai gangguan neurologis.

Tuberkulosa sebagai suatu penyakit sistemik dapat menyerang berbagai organ termasuk

tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi disebabkan oleh penyebaran hematogen dari lesi

primer pada bagian tubuh yang lain.

Pada spondilitis TB, vertebra torakalis bagian bawah lebih sering terkena dan biasanya akan

melibatkan struktur diskus intervertebralis dan menyebar ke korpus vertebra. Manifestasi klinis

yang terjadi merupakan gejala dan tanda TB secara umum, disertai dengan gejala dan tanda

neurologis sesuai dengan level radiks spinal yang terkena.

1

Page 2: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

BAB II

SPONDILITIS TUBERCULOSA

2.1 Definisi Spondilitis Tuberculosa

Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit infeksi

yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang. 1

Spondilitis tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman Micobacterium

tuberculosis yang menyerang tulang belakang. Kuman ini menyerang terutama di daerah paru yang

penderitanya banyak sekali kita temui di Indonesia. Ternyata dalam perjalanannya, kuman ini tidak

hanya menyerang paru, tetapi juga diketahui menyerang tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa

dikenal juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan bagi

Pervical Pott seorang ahli bedah berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1879 menulis dengan tepat

tentang penyakit tersebut. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia (kelumpuhan) terbanyak

setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan

pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. 3,4

2.2 Epidemiologi Spondilitis Tuberculosa

Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun. Diperkirakan

20 - 33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah

penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000

orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun.

Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering

terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang

mengenai tulang dan sendi. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak yang

terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak

terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun kemudian. 1

Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk

terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB. Insiden spondilitis TB

masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan

1,8% dari total kasus TB. 1

2

Page 3: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan

dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di

negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama

pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan

kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah

berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30

tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami

peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut

infeksi HIV. 2

Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan

usia rata-rata 40 – 50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50%

kasus terjadi antara usia 1 – 20 tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya

penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong. 2

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada

kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang

mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup

besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus

tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang

lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki,

sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area thorako-lumbal terutama thorakal

bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat

karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti

dengan area servikal dan sakral. 2

2.3 Etiologi Spondilitis Tuberculosa

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling

sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium

yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium

africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun

non -tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini

menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat. 2

3

Page 4: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-

fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan

teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-

enriched dengan periode 6 – 8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium

tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain. 2

Gambar 1. Organ Target Tuberculosis. 5

2.4 Patogenesa Spondilitis Tuberculosa

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau

penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus

tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus

infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal

dari sistem pulmoner dan genitourinarius. 2

Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di

paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,

tonsil). 2

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbal yang memberikan suplai

darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan

bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna

vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada

kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,

sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. 2

4

Page 5: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal tiga bentuk spondilitis : 2

1. Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah

ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa.

Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio

lumbal. 2

2. Sentral

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai

tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih

dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat.

Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio

torakal. 2

3. Anterior

Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan di

bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior

dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik

yang ditransmisikan melalui abses prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau

karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral. 2

4. Bentuk atipikal

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat

diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan

lengkung saraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang

(tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler

yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen

posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% - 10%. 2

5

Page 6: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Gambar 2. Bentuk Spondilitis Tuberkulosa. 4

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi

secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra

sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebra yang berdekatan

melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus

intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra

yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses

paravertebral. 2

Terjadinya nekrosis perkejuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada

saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous

sequestra, terutama di regio thorakal. Discus intervertebralis yang avaskular, relatif lebih resisten

terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal

ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra

karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas

fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis

yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis. 2

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan

menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian

akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung saraf posterior tetap intak,

jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung

dari derajat kerusakan, level lesi, dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas

ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas. 2

6

Page 7: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Di regio thorakal, kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area

lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbal lordosis dimana sebagian besar dari

berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian

servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar

berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. 2

Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio thorakal, tulang-tulang iga akan

menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest. 2

Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan

kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi,

sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps. 2

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya

korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkejuan, dan tulang nekrotik serta

sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum

longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi

sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi

aslinya. 2

Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha

di bawah ligamentum inguinal. Di regio thorakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya

abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau

sedikit di bawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur

ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai ‘sarang

burung’. Terkadang, abses thorakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal,

memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher. 2

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan

spondilitis tuberkulosa. Kompresi saraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis)

atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa

keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous

arachnoiditis). 2

Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal

dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah

hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula

7

Page 8: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada

pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan

jenis kelamin untuk kejadian ini. 2

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran bakteri sangat

kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera diatasi oleh mekanisme

imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan sanggup

menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu

menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam

makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan

kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru

disebut fokus primer Ghon. 1

Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar

limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar

limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di

apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang

meradang (limfangitis). 1

Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu

antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 10

yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular. Pada saat terbentuk kompleks

primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk

hipersensitivitas terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji

tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,

imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem

imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun selular berkembang, proliferasikuman TB terhenti.

Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah

terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. 1

Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami

resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan

dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi

8

Page 9: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap

hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut. 1

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh

imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus tersebut umumnya tidak

langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut

sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus

Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya

meningitis, TB tulang dan lain-lain. 1

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran

limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe

regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran hematogen kuman TB masuk

ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah

yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling

sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic

spread), kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh

tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,

ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang belakang

yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari

bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum longitudinal. Anterior terjadi

sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior

longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar

11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah dari badan vertebra tunggal,

sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai

lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk

imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan. 1

2.5 Manifestasi Klinis Spondilitis Tuberculosa

Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan sebagai

berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, demam lama

tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari

30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di

abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen. 1

9

Page 10: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1 tahun.

Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat. Gejala pertama

biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk

mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan

kaku. Pasien akan menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari

lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang

belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang

membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang

secara progresif. 1

Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100,

20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300. Kelainan yang sudah

berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada

tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal. 1

Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah

Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu

dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya

berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat. 1

2.6 Diagnosis Spondilitis Tuberculosa

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.

Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. 1

Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan

hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa. 2

1. Anamnesa dan inspeksi

a. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,

demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta

cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan

bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi

sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam

10

Page 11: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan

jelas. 2

b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai

nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus,

tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa. 2

c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.

Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga

atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di thorakal atas akan menampakkan nyeri

yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian thorakal bawah maka nyeri

dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang

dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri, pasien akan menahan punggungnya

menjadi kaku. 2

d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki

pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung. 2

e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan

kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi

dagu disanggah oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas

pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis

torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika

terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar,

terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan

menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi

medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis. 2

f. Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila

berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat

mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan

punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian

kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak

dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda

spinalis dan menyebabkan paralisis. 2

g. Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi

di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam

pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan

dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan

11

Page 12: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan

deformitas fleksi sendi panggul. 2

h. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),

skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi. 2

i. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi

pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih

banyak ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia

akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang

hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat

pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal. 2

j. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan nyeri akut

seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun

sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa. 2

2. Palpasi

a. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya

terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik

yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx,

atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level

lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada

hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess. 2

b. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena. 2

3. Perkusi

Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus vertebrae

yang terkena, sering tampak tenderness. 2

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam. 2

b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)

positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang

baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak

area berindurasi, kemerahan dengan diameter ‡ 10mm di sekitar tempat suntikan selama

12

Page 13: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

48 – 72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada – 20% kasus dengan

tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya

tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain). 2,6

c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas

lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru- paru yang aktif). 2

d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. 2

e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,

paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan

dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding. 2

f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).

Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TB.

Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.

Cairan serebrospinal akan tampak: 2

i. Xantokrom.

ii. Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.

iii. Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut

responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.

iv. Kandungan protein meningkat.

2. Radiologis

Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi. 2

a. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

b. Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3 – 8

minggu onset penyakit.

c. Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.

d. Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior

corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga

tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus

vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area

subligamentous.

e. Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang

sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih

13

Page 14: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar

terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall

vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal

gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada

kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum

menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra thorakal.

f. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.

Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan

kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang

mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat

penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh

karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).

Gambar 3. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis. 6

14

Page 15: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Gambar 4. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis. 7

3. Computed Tomography – Scan (CT- Scan)

Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio thorakal dan keterlibatan iga yang sulit

dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik

dengan CT Scan.

.

Gambar 5. Gambaran CT Scan menunjukkan penghancuran signifikan elemen posterior tulang. 7

15

Page 16: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif

dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk : 7

a. Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau

operatif.

b. Membantu menilai respon terapi.

Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.

A B

16

Page 17: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

C

Gambar 6. MRI Spondilitis Tuberkulosis. A dan B gambaran potongan sagital dari vertebra

thorakal, menunjukkan gambar disk space loss dan kompresi vertebral dengan ekstensi jaringan

lunak paravertebral (panah). C menunjukkan abses paraspinal multiloculated besar. 8

2.7 Diagnosis Banding Spondilitis Tuberculosa

1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya

sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi

piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih

menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain. 2

2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan

laboratorium. 2

3. Tumor / penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma,

aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma). Metastase dapat menyebabkan destruksi dan

kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang

diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai

bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas. 2

17

Page 18: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak

adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian

anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal. 2

2.8 Tata Laksana Spondilitis Tuberculosa

Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah : 2

1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit.

2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis.

Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi : 2

A. Terapi Konservatif

1. Pemberian nutrisi yang bergizi.

2. Pemberian kemoterapi atau terapi antituberkulosa.

Pemberian kemoterapi antituberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh

kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat

secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Hasil penelitian Tuli dan Kumar

dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang

belakang menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi

negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu

pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian

terapi. 2

Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan

yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat

antituberkulosa memakan waktu lama (kurang lebih 6 – 8 minggu) dan perlu biaya yang

cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih

penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang

baik terhadap obat antituberkulosa juga merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik. 2

Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi : 2

1. Resistensi primer

Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang

sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat

18

Page 19: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

baik itu streptomycin (SM) ataupun isoniazid (INH). Jarang terjadi resistensi terhadap

rifampicin (RMP) atau ethambutol (EMB).

2. Resistensi sekunder

Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang

awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.

The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa

spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid

dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan. Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang

sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama

6 – 12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul

dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa

ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12 – 18 bulan, dapat

menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan

menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.

Obat antituberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA),

streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). 2

Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine,

kanamycin dan capreomycin. 2

Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer : 2

a. Isoniazid

i. Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler.

ii. Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.

iii. Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.

iv. Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.

v. Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia

lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat

reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).

vi. Relatif aman untuk kehamilan.

vii. Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari.

b. Rifampin

i. Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil,

baik di intra ataupun ekstraseluler.

19

Page 20: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

ii. Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti

pada nekrosis perkejuan).

iii. Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk

sediaan oral dan intravena.

iv. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.

v. Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus gastrointestinal,

cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.

Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.

vi. Relatif aman untuk kehamilan.

vii. Dosisnya : 10 mg/kg/hari atau 450 – 600 mg/hari.

c. Pyrazinamide (PZA)

i. Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam

dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkejuan.

ii. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.

iii. Efek samping :

a. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam

jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka pendek.

b. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak. Arthralgia dapat

timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.

c. Atralgia, anoreksia, mual dan muntah, disuria, malaise, dan demam.

iv. Dosis : 15-30mg/kg/hari.

d. Ethambutol (EMB)

i. Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler.

ii. Tidak berpenetrasi ke dalam menings yang normal.

iii. Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta

warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.

iv. Relatif aman untuk kehamilan.

v. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.

vi. Dosis : 15-25 mg/kg/hari.

e. Streptomycin (STM)

i. Bersifat bakterisidal.

20

Page 21: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

ii. Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan

untuk melengkapi pemberian PZA.

iii. Tidak berpenetrasi ke dalam menings yang normal.

iv. Efek samping : ototoksisitas (kerusakan saraf VIII), nausea dan vertigo (terutama

sering mengenai pasien lanjut usia).

v. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.

vi. Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari.

Tabel 1. Dosis dan Efek Samping OAT. 2

Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis,

radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.

3. Istirahat tirah baring (resting)

Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame / plaster

bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi. 2

Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia

keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila

terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan. 2

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam

posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk

21

Page 22: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat

tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-

tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri,

hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal.

Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm.

Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun

sekuester. 2

Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan

jaket Minerva; pada daerah vertebra thorakal, thorakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan

body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan

immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi

panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita

diperbolehkan berobat jalan. 2

B. Terapi Operatif

Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan

dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang

mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.

Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3 – 6 minggu. 2

Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3 – 4 minggu pemberian terapi obat

antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang

baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan untuk

mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan

memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. 2

Selain indikasi di atas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila

: 2

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.

2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan.

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase.

4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau

kifosis berat saat ini.

5. Penyakit yang rekuren

22

Page 23: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Jika terjadi Pott’s paraplegia maka pembedahan harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara

lain: 2

A. Indikasi absolut

Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia

memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan kekuatan

motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan pengobatan konservatif,

paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu keganasan dan

imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan

pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat

oleh karena kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis

vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia

flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan

kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.

B. Indikasi relative

Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering

tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang diakibatkan

oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi seperti batu atau

terjadi infeksi saluran kencing.Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB

yang mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan

laminektomi.

23

Page 24: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Gambar 7. Algoritme tata laksana spondilitis TB dengan komplikasi neurologi. 1

2.9 Komplikasi Spondilitis Tuberculosa

1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan

ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus

intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung

24

Page 25: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :

menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda

dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan

paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis. 1

2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di thorakal ke dalam pleura. 1

Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena kerusakan

tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi sangat besar. Hal

ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal

dengan istilah Pott’s paraplegia. 1

2.10 Prognosis Spondilitis Tuberculosa

Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi.

Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB, dapat terjadi sekuele

antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis

bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada

anak dengan usia kurang dari 5 tahun sampai 30%. 1

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi

kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan. 1

a. Mortalitas

Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan

ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan

patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps

Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis

saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

c. Kifosis

Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetik secara

signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan

pernapasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.

d. Defisit neurologis

25

Page 26: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan

tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan

dilakukannya operasi dini.

2.11 Pencegahan Spondilitis Tuberculosa

Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis yang

dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas, meningkatkan

daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman

tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial. 2

Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anak-anaknya cukup

gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah

pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan

yang sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah

kecil penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap

kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis

Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif

dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris. 2

Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap

menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negara-negara

dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). 2

Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak

yang lebih besar dan dewasa. 2

Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya

anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit

efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di

kelompok orang dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien

dengan sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.

Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh

kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. 2

Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari selama 1

tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa. 2

26

Page 27: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

BAB III

KESIMPULAN

Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi

klinis yang bervariasi. Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah

berkurang pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan

kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi

suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis

dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda.

Pemeriksaan radiografi mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta follow up

penyakit. Jika dalam pemeriksaan didapatkan normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus

dikerjakan untuk menyingkirkan spondilitis TB

Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi

morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat

dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik

antara pasien, keluarga dan tim kesehatan. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis atau

paraplegi pada ekstremitas inferior sehingga pembedahan harus segera dilakukan.

Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit, tata laksana dan komplikasi yang menyertai.

27

Page 28: BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa

DAFTAR PUSTAKA

1. Paramarta, I.G et al. 2008. Spondilitis Tuberculosis. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD.

Sari Pediatri. Vol 10(3):177-83.

2. Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. (online)

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/spondilitis_tuberkulosa.pdf. Diakses

tanggal 5 Agustus 2015.

3. Rauf, A. 2010. Spondylitis TB. (online)

http://www.afrisusnawatirauf.wordpress.com/2010/07/02/they-called-it-spondylitis-tb.

Diakses tanggal 5 Agustus 2015.

4. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC;

2010.

5. Hilman, A. 2012. Tulang Belakang dan Spondilitis Tuberculosa. (online)

http://kangantonhilman.blogspot.com/2012/01/sekilas-tentang-tulang-belakang-dan.html,.

Diakses tanggal 5 Agustus 2015.

6. Clifford, R. Wheeleess. 2013. Tuberculous Spondylitis. (online)

http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculous_spondylitis. Diakses tanggal 5 Agustus

2015.

7. Rasuoli, M. Mirkoohi, M. Vaccaro, A., dkk. 2012. Spinal Tuberculosis. (online)

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707/. Diakses tanggal 5 Agustus 2015.

8. Berquist, M.D. Thomas, H. dkk. 2007. Musculoskeletal Imaging Companion.2nd ed. Wolters

Kluwer.

28