spondilitis tb
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Spondilitis tuberkulosa (spondilitis TB) atau sering juga disebut dengan Pott's
disease merupakan bentuk yang tidak jarang dari tuberkulosis ekstrapulmonal,
mencapai sekitar 15% kasus TB ekstraparu. Namun, spondilitis TB merupakan
bentuk tersering dan paling berbahaya dari TB tulang, mencapai sekitar 50% nya.
Sekitar 1-2 % kasus TB merupakan kasus spondilitis TB. Spondilitis TB ternyata
telah ditemukan tertinggal pada tulang mumi di Mesir dan manusia lainnya.
Spondilitis TB dan terapi bedah terhadap komplikasinya, abses paravertebral
pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1782 oleh ahli bedah ortopedi dari
Inggris, Sir Percival Pott.
Spondilitis TB biasanya muncul dengan beberapa gejala klinis yang tidak spesifik
atau bahkan sering samar. Gejala klinis tersering yang muncul adalah nyeri
punggung (low back pain/LBP),. Keterlibatan neurologis pada kasus spondilitis
TB mencapai sekitar 10-47. Akan tetapi, banyaknya penyakit dengan manifestasi
klinis berupa nyeri punggung membuat beberapa kasus spondilitis TB menjadi
salah didiagnosis. Jika kasus ini dapat didiagnosis dengan benar, sebenarnya
terapi yang diperlukan sangat sederhana, yaitu dengan protocol tuberkulosis yang
sangat mudah ditemukan di Indonesia.
Prognosis pasien dapat bervariasi bergantung pada terapi yang diberikan dan
dapat menimbulkan disabilitas jangka panjang. Keterlambatan dalam
mendiagnosis dan tata laksana dapat menyebabkan komplikasi yang serius,
terutama kompresi saraf spinal dan deformitas spinal yang berakibat pada deficit
neurologis dan prognosis yang buruk.
Besarnya insidensi spondilitis TB di Indonesia memicu kita sebagai seorang
dokter umum dan dokter neurologi untuk dapat mengenali dan mendiagnosis
spondilitis TB dengan tepat. Penanganan yang tepat dapat menurunkan
komplikasi yang timbul akibat spondilitis TB, ditambah lagi dengan tersedianya
obat TB di Indonesia. Untuk itulah penulis menulis makalah ini dengan tujuan
agar dapat membantu dokter dan tim medis untuk dapat mengenali kasus
spondilitis TB dengan cepat dan tepat, sehingga penanganan kasus dapat
dilaksanakan segera untuk menurunkan komplikasi berat, berupa deficit
neurologis yang sulit untuk diperbaiki.
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah memahami aspek teori dan mengetahui
hal-hal yang harus dilakukan dalam menangani spondilitis TB. Penyusunan
makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis maupun
pembaca khususnya dari peserta P3D untuk mengintegarasikan teori yang ada
dengan aplikasi kasus yang ditemui di lapangan.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. ANAMNESIS
2.1.1. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Agustina
Jenis Kelamin : P
Usia : 30 tahun
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jl. M Abbas Lk IV Pantai Burung Tanjung
Balai
Status : Sudah Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Masuk : 12/10/2015
2.1.2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Lemah kedua tungkai
Telaah : Hal ini dialami os sejak 2 bulan SMRS,
lemah kedua tungkai dialami os secara perlahan-lahan,
serentak di kedua tungkai. Keluhan kebas disangkal, Nyeri
pinggang dialami os sudah 6 bulan ini dan memberat 3
bulan SMRS.BAB (+) normal, BAK (+) normal.Riwayat
mengalami batuk lama (-), penurunan berat badan (+) 1
bulan terakhir sebanyak 2 kg.Riwayat terjatuh (-), demam
(-), riwayat demam (-).Os sudah berobat ke spesialis syaraf
di Tanjung Balai lalu di lakukan MRI di RS Materna lalu
dirujuk ke RSHAM. Os sudah menjalani pengobatan paru
selama 1 bulan dengan diagnose Spondilitis TB.
RPT : -
RPO : -
2.1.3. ANAMNESA TRAKTUS
Traktussirkulatorius : Berdebar-debar (-)
Traktusrespiratorius : Sesak nafas (-), batuk
(-)
Traktus digestivus : BAB (+) normal
Traktus urogenitalis : BAK (+) normal
Penyakit terdahulu & kecelakaan : (-)
Intoksikasi & obat-obat2an : (-)
2.1.4. ANAMNESA KELUARGA
Faktor herediter : (-)
Faktor familier : (-)
Lain-lain : (-)
2.1.5. ANAMNESA SOSIAL
Kelahiran & pertumbuhan : Dalam batas normal
Imunisasi : Tidak jelas
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perkawinan & anak : Menikah
2.2. PEMERIKSAAN JASMANI
2.2.1. PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 78x/menit
Frekuensi nafas : 16x/menit
Temperatur : 36,8’C
Kulit & selaput lendir : Dalam batas normal
Kelenjar & getah bening : Dalam batas normal
Persendian : Dalam batas normal
2.2.2. KEPALA & LEHER
Bentuk & posisi : Bulat & Medial
Pergerakan : Bebas
Kelainan panca indera : (-)
Rongga mulut & gigi : Dalam batas normal
Kelenjar parotis : Dalam batas normal
Desah : (-)
2.2.3. RONGGA DADA & ABDOMEN
Rongga dada Rongga
abdomen
Inspeksi : Simetris fusiformis Simetris
Palpasi : Stem Fremitus Ka=Ki Soepel
Perkusi : Beda pada kedua lap bawah paru
Timpani
Auskultasi : Sp: ronkhi pada kedua lap bawah paru
Peristaltik (+) Normal
2.2.4. GENITALIA
Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan
2.3. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
2.3.1. SENSORIUM : Compos mentis
2.3.2. KRANIUM
Bentuk : Bulat
Fontanella : Tertutup
Palpasi : Pulsasi a.temporalis, a.carotis reguler
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Transluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
2.3.3. PERANGSANGAN MENINGEAL
Kaku Kuduk : (-)
Tanda Kerniq : (-)
Tanda Brudzinski I : (-)
Tanda Brudzinski II : (-)
2.3.4. PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Muntah : (-)
Sakit kepala : (-)
Kejang : (-)
2.3.5. NERVUS KRANIALIS
NERVUS I Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi
Sinistra
Normosmia : (+) (+)
Anosmia : (-) (-)
Parosmia : (-) (-)
Hiposmia : (-) (-)
NERVUS II Okuli Dextra Okuli
Sinistra
Visus : Normal Normal
Lapangan pandang
Normal : (+) (+)
Menyempit : (-) (-)
Hemianopsia : (-) (-)
Scotoma : (-) (-)
Refleks ancaman : (+) (+)
Fundus okuli
Warna : (+) (+)
Batas : (+) (+)
Ekskavasio : (+) (+)
Arteri : (+)
(+)
Vena : (+) (+)
NERVUS III, IV, VI Oculi Dextra Okuli
Sinistra
Gerakan bola mata : normal
normal
Nistagmus : -
-
Pupil
Lebar : isokor, ø 3mm
isokor, ø 3mm
Bentuk : bulat
bulat
RC Langsung : (+)
(+)
RC Tidak langsung : (+)
(+)
Rima palpebra : ±7mm
±7mm
Deviasi konjugasi : (-)
(-)
Doll’s eye phenomena : tdp
tdp
Strabismus : (-)
(-)
NERVUS V Kanan
Kiri
Motorik
Membuka & Menutup mulut : (+)
(+)
Palpasi otot masseter &temporalis : (+)
(+)
Kekuatan gigitan : (+)
(+)
Sensorik
Kulit : DBN
DBN
Selaput lendir : DBN
DBN
Refleks kornea
Langsung : (+)
(+)
Tidak langsung : (+)
(+)
Refleks masseter : (+)
(+)
Refleks bersin : (+)
(+)
NERVUS VII Kanan
Kiri
Motorik
Mimik : (+)
(+)
Kerut kening : (+)
(+)
Menutup mata : (+)
(+)
Meniup sekuatnya : (+)
(+)
Memperlihatkan gigi : (+)
(+)
Tertawa : (+)
(+)
Sensorik
Pengecapan 2/3 depan lidah : (+)
(+)
Produksi kelenjar Ludah : (+)
(+)
Hiperakusis : (-)
(-)
Refleks stapedial : (+)
(+)
NERVUS VIII Kanan
Kiri
Auditorius
Pendengaran : (+)
(+)
Test rinne : (-)
(-)
Test weber : (-)
(-)
Test schwabach : (-)
(-)
Vestibularis
Nistagmus : (-)
(-)
Reaksi kalori : (-)
(-)
Vertigo : (-)
(-)
Tinnitus : (-)
(-)
NERVUS IX,X
Pallatum mole : Simeteris
Uvula : Medial
Disfagia : (-)
Disartria : (-)
Disfonia : (-)
Reflek muntah : (+)
Pengecapan 1/3 belakang : (+)
NERVUS XI Kanan
Kiri
Mengangkat bahu : (+)
(+)
Fungsi otot Sternocleidomastoideus : (+)
(+)
NERVUS XII
Lidah
Tremor : (-)
Atropi : (-)
Fasikulasi : (-)
Ujung lidah sewaktu Istirahat : Medial
Ujung lidah sewaktu Dijulurkan : Medial
2.3.6. SISTEM MOTORIK
Tropi : Eutrofi
Tonus otot : Normotonus
Kekuatan otot : ESD : 55555 ESS :
55555
EID : 55555 EIS :
55555
Sikap : Berbaring
2.3.7. GERAKAN SPONTAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Khorea : (-)
Ballismus : (-)
Mioklonus : (-)
Atetosis : (-)
Distonia : (-)
Spasme : (-)
Tic : (-)
2.3.8. TEST SENSIBILITAS
Eksteroseptif : (+)
Propioseptif : (+)
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
Stereognosis : (+)
Pengenalan 2 titik : (+)
Grafestesia : (+)
2.3.9. REFLEKS
2.3.9.1. REFLEKS FISIOLOGIS
Kanan
Kiri
Biceps : (++)
(++)
Triceps : (++)
(++)
Radioperiost : (++)
(++)
APR : (++)
(++)
KPR : (++)
(++)
Strumple : (++)
(++)
2.3.9.2. REFLEKS PATOLOGIS
Babinsky : (-)
(-)
Oppenheim : (-)
(-)
Chaddock : (-)
(-)
Gordon : (-)
(-)
Schaefer : (-)
(-)
Hoffman-trommer : (-)
(-)
Klonus lutut : (-)
(-)
Klonus kaki : (-)
(-)
2.3.9.3. REFLEKS PRIMITIF : (-)
2.3.10. KOORDINASI
Lenggang : -
Bicara : (+)
Menulis : (+)
Percobaan apraksia : (+)
Mimik : (+)
Tes telunjuk-telunjuk : (+)
Tes telunjuk-hidung : (+)
Diadokhokinesia : (+)
Tes tumit-lutut : (+)
Tes Romberg : (+)
2.3.11. VEGETATIF
Vasomotorik : (+)
Sudomotorik : (+)
Pilo-erektor : (+)
Miksi : (+)
Defekasi : (+)
Potens &libido : Tidak dilakukan pemeriksaan
2.3.12. VERTEBRA
BENTUK
Normal : (+)
Scoliosis : (-)
Hiperlordosis : (-)
PERGERAKAN
Leher : (+)
Pinggang :(+)
2.3.13. TANDA PERANGSANGAN RADIKULER
Laseque : (-)
Cross laseque : (-)
Test Lhermitte : (-)
Test Naffziger : (-)
2.3.14. GEJALA-GEJALA SEREBRAL
Ataksia : (-)
Disartria : (-)
Tremor : (-)
Nistagmus : (-)
Fenomena rebound : (-)
Vertigo : (-)
Dan lain-lain : (-)
2.3.15. GEJALA-GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL
Tremor : (-)
Rigiditas : (-)
Bradikinesia : (-)
Dan lain-lain : (-)
2.3.16. FUNGSI LUHUR
Kesadaran kualitatif :Compos mentis
Ingatan baru : (+)
Ingatan lama : (+)
Orientasi
Diri : (+)
Tempat : (+)
Waktu : (+)
Situasi : (+)
Intelegensia : (+)
Daya pertimbangan : (+)
Reaksi emosi : (+)
Afasia
Ekspresif : (-)
Represif : (-)
Apraksia : (-)
Agnosia
Agnosia visual : (-)
Agnosia jari-jari : (-)
Akalkulia : (-)
Disorientasi kanan-kiri : (-)
2.4. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
A, wanita 30 thn datang dengan keluhan lemah kedua tungkai sejak
2 bulan SMRS yang dialami secara perlahan-lahan, serentak di kedua tungkai.
Nyeri pinggang dialami os sudah 6 bulan ini dan memberat 3 bulan
SMRS.BAB (+) normal, BAK (+) normal.Penurunan berat badan (+) 1 bulan
terakhir sebanyak 2 kg.Os sudah berobat ke spesialis syaraf di Tanjung Balai
lalu di lakukan MRI di RS Materna Medan lalu dirujuk ke RSHAM.Os sudah
menjalani pengobatan paru selama 1 bulan dengan diagnoseaSpondilitis TB.
STATUS PRESENSSensorium Compos mentis
Tekanan Darah 120/70 mmHgHeart Rate 78x/iRespiratory Rate 16x/iTemperatur 36,8’C
STATUS NEUROLOGISSensorium Compos mentis
Peningkatan TIKMuntah (-)Kejang (-)Sakit kepala (-)
Perangsangan meningealKaku kuduk (-)Kernig sign (-)Brudzinski I/II (-/-)
NERVUS KRANIALISN I DbnN II, III RC +/+, pupil bulat isokor ø 3mmN III, IV, VI Dbn
N V Refleks kornea (+)
N VII Dbn
N VIII Dbn
N IX, X Dbn
N XI Dbn
N XII Dbn
REFLEKS FISIOLOGIS
Biceps / TricepsKanan Kiri
++/++ ++/++
KPR / APRKanan Kiri
++/++ ++/++
REFLEKS PATOLOGIS
BabinskyKanan Kiri
- -
Hoffman / TromnerKanan Kiri
-/- -/-
KEKUATAN MOTORIK
ESD: 55555 ESS: 55555
EID: 55555 EIS: 555555
2.5. DIAGNOSA
Diagnosa Fungsional : Paraparese tipe UMN
DiagnosaEtiologik : Infeksi
Diagnosa Anatomik : Lumbal
Diagnosa Banding : 1. Spondilitis TB
2.
Diagnosa Kerja : Paraparese tipe UMN ec Spondilitis TB
2.6. PENATALAKSANAAN
o IVFD RSOL 20 gtt/i
o FDC 4x1
o Inj Streptomycin 1 vial/hari
o Na diclofenac 2 x 25 mg
o Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
o Fisioterapi
2.7. RENCANA PROSEDUR DIAGNOSTIK
Foto Rontgen Thorax
Gene Expert
MRI Vertebra Th-L
2.8. FOLLOW UP
1 Tanggal 12/10/2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang (+)O : Sens : CM TD: 120/80 mmHg HR : 76x/i RR : 18x/i T:36,7 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/-
Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A :Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 21)- Ketorolac 1 ampul/8 jam- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Tramadol 3x50 mg
R: konsul divisi infeksi neurologi Konsul Bedah Orthopedi
2 13 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang (+)O : Sens : CM TD: 100/60 mmHg HR : 78x/i RR : 18x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 22)- Ketorolac 1 ampul/8 jam- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Tramadol 3x50 mg- Fisioterapi (Anjuran Bedah Ortopedi)
3 14 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang (+)O : Sens : CM TD: 100/60 mmHg HR : 78x/i RR : 20x/i T:36,6 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 23)- Ketorolac 1 ampul/8 jam- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Tramadol 3x50 mg
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)
4 15 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang (+)O : Sens : CM TD: 120/70 mmHg HR : 78x/i RR : 18x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : Normal
Otonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 24)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)
5 16 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 110/60 mmHg HR : 78x/i RR : 18x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 25)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)
6 17 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 120/60 mmHg HR : 78x/i RR : 18x/i T:36,5 oC
Peningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 26)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)
7 18 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 100/60 mmHg HR : 80x/i RR : 20x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)
- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)
8 19 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 110/70 mmHg HR : 80x/i RR : 17x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)
9 20 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 110/60 mmHg HR : 80x/i RR : 17x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-
Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)R : MRI Ulang Kontrast T7-L3
10
20 Oktober 2015
S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 120/70 mmHg HR : 80x/i RR : 17x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam
- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)
11
21 Oktober 2015
S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 110/60 mmHg HR : 76x/i RR : 18x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab
- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab
- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)
2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi ( 12/10/2015)Darah Lengkap (CBC):Hemoglobin (HGB) g% 12.70 11.7 – 15.5Eritrosit (RBC) 106/mm3 4.84 4.20 – 4.67Leucosit (WBC) 103/mm3 5.22 4.5 – 11.0Hematokrit % 39.30 38 - 44Trombosit (PLT) 103/mm3 284 150 – 450
MCV fL 81.20 85 - 95MCH Pg 26.20 28 - 32MCHC g% 32.30 33 – 35RDW % 16.10 11.6 – 14.8Hitung JenisNeutrofil % 63.70 37 – 80Limfosit % 17.60 20 – 40Monocyte % 14.90 2 – 8Eosinofil % 3.40 1 – 6Basofil % 0.400 0 – 1 Neutrofil Absolut 103/µL 3.32 2.7 – 6.5Limfosit Absolut 103/µL 0.92 1.5 – 3.7Monosit Absolut 103/µL 0.78 0.2 – 0.4Eosinofil Absolut 103/µL 0.18 0 – 0.10Basofil Absolut 103/µL 0.02 0 – 0.1
Glukosa Darah (Sewaktu) mg/dl 96.40 < 200FAAL GINJALUreum mg/dl 23.30 < 50Kreatinin mg/dl 0.65 0.57 – 0.87ELEKTROLITNatrium (Na) mEq/l 139 135 – 155Kalium (K) mEq/l 4.0 3.6 – 5.5Klorida (Cl) mEq/l 106 96 – 106
Foto toraks PA(RSUP HAM)26/2/2015
Foto kurang inspirasi.Kedua sinus costophrenicus lancip, kedua diafragma licin.Tidak tampak infiltrate pada kedua lapangan paru.Jantung ukuran membesar, aorta elongasi kalsifikasi.Trakea di tengah.Tulang-tulang dan soft tissue baik.
2.9 JAWABAN KONSUL
1. Departemen Kardiologi (26 Februari 2015)
Dari hasil pembacaan EKG : Sinus Ritme + LAD ( Left Axis Deviation )
2. Instalasi Rehabilitasi Medis (26 April 2014)
Temuan :lemah lengan dan tungkai kanan, bicara tidak jelas.
Anjuran : fisioterapi, chest therapy, exercise, speech therapy.
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Spondilitis tuberkulosis adalah peradangan granulomatosa yang bersifat kronis
dekstruktif oleh Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang (Pott’s
disease).
3.2. Epidemiologi
Spondilitis TB banyak dijumpai di daerah endemis TB, seperti Afrika dan Asia,
termasuk Indonesia. Di Amerika sendiri, angka kejadian spondilitis TB sebesar
4/100.000/tahun, sedangkan Kenya 384/100.000/tahun. Pada tahun 2010, terdapat
sebanyak 365 kasus di UK dan 167 kasus di London. Kasus spondilitis TB yang
tidak dilaporkan mencapai 100-200 kasus pertahunnya. Pada daerah dengan
prevalensi TB yang tinggi, spondilitis TB biasanya dijumpai pada anak-anak
dengan target tulang utama adalah vertebra torakalis. Pada daerah nonendemis,
seperti Amerika Serikat, spondilitis TB dijumpai pada imigran yang berasal dari
daerah endemis, dengan gangguan sistem imunitas, dan lebih banyak pada pria
dibandingkan dengan pada wanita. Biasanya tulang yang menjadi target adalah
vertebra lumbalis.
3.3. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lain pun
dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium
africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle
baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada
penderita HIV). Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk
batang yang bersifat acid-fast non-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik
melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched
dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya
dengan spesies lain
3.4. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran
bakteri sangat kecil 1-5 µ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan
kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon. Diawali dari fokus primer kuman
TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu
kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran
ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer,
kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis). Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut,
kuman tumbuh hingga mencapai jumlah untuk merangsang respons imunitas
selular. Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas terhadap protein
tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun selular berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas selular
terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara
sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer
di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar tersebut. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan
kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas selular, kuman tetap hidup
dalam bentuk dorman. Fokus tersebut umumnya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus
Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus
Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,
misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain. Selama masa inkubasi, sebelum
terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen.
Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran hematogen kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru.
3.5. Klasifikasi
Spondilitis TB diklasifikasikan menurut GATA (Gulhane Askeri Tip Akademisi /
Gulhane Military Medical Academy) berdasarkan 7 kriteria klinis dan radiologis,
yaitu: pembentukan abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, indeks
sagittal, instabilitas, dan masalah neurologis.
Klasifikasi GATA untuk spondilitis TB:
Tipe I : Terdapat degenerasi diskus 1 level dan infiltrasi jaringan lunak tanpa
abses, tetapi tidak terdapat kolaps dan defisit neurologis.
(A) Lesi terbatas pada vertebra (terapi dengan obat efektif, tetapi perlu
dikontrol secara periodik).
(B) Terdapat bukti pembentukan abses tidak terbatas pada vertebra, tetapi
tidak terdapat kolaps, instabilitas atau defisit neurologis (drainase abses
dan debridemen diperlukan, dan drainase dapat dilakukan dari depan,
belakang atau dengan bantuan endoskopi).
Tipe II : Terdapat degenerasi diskus 1 atau 2 level, terbukti terdapat pembentukan
abses dan kifosis ringan yang dapat dikoreksi dengan intervensi bedah anterior.
Indeks sagittal kurang dari 20 derajat. Terdapat defisit neurologis akibat
pembentukan abses. Tidak terdapat instabilitas. Debridemen dari sisi anterior
dengan graft struttrikortikal diperlukan. Jika terdapat defisit neurologis,
dekompresi harus segera dilakukan selama 2 bulan, body cast harus digunakan,
dan 2 bulan berikutnya sudah dapat digunakan korset postoperasi.
Tipe III: Terdapat degenerasi diskus 1 atau 2 level, terbukti terdapat pembentukan
abses, instabilitas, dan defisit neurologis yang tidak dapat dikoreksi dengan
instrument. Indeks sagittal lebih dari 20 derajat. Sebagai tambahan debridement
anterior dan fusi, jika terdapat defisit neurologis, dekompresi harus dilakukan.
Deformitas perlu dikoreksi dan distabilisasi dengan fiksasi internal.
Tabel 3.1 Spondilitis TB berdasarkan GATA
3.6. Manifestasi Klinis
- Batuk
- Penurunan berat badan
- Demam subfebril, mengigil dan malaise.
- Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit,
- Diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare
- Benjolan/massa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen.
- Benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri.
- Defisit neurologis seperti paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/
atau sindrom kauda equina.
- Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya
karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat
gangguan n. Laringeus.
- Keluhan deformitas pada tulang belakang (kifosis) terjadi pada 80% kasus
disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan
membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara
progresif.
- Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada
bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal.
- Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal
dengan istilah Pott’s paraplegi.
3.7. Penegakan Diagnosa
Gambaran klinis spondilitis TB bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.
Biasanya onset penyakit ini berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala – gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti
bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya
dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
1. Anamnesa
Gambaran adanya penyakit sistemik: kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia.
Adanya riwayat batuk lama ( lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
Nyeri terlokalisir pada satu region tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan interkostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri
hanya hilang saat istirahat. Untuk mengurangi rasa nyeri pasien akan menahan
punggungnya menjadi kaku.
Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi
dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau
bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea ke sternal notch
sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respirator,
sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan
tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan
merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang
berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan
tuberkulosa di region servikal.
Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.
Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekukkan lututnya sementara tetap
mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka
abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rogga dada dan tampak
sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke
bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
Di region lumbar: abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau dibawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot
psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
Adanya gejala dan tanda dari kompresi medulla spinalis apabila terjadinya defisit
neurologis. Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada
spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika
timbul paraplegia akan tampak spatisitas dari alat gerak bawah dengan refleks
tendon dalam keadaan hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan
motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gagguan fungsi kandung kemih dan
anorektal.
Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun
sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan tuberkulosa.
2. Pemeriksaan fisik
Tampak adanya deformitas, dapat berupa: kifosis (gibbus/ angulasi tulang
belakang) skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis,dan
dislokasi)
Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya teraba sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan
dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat
paha, fossa iliaka, retropharynx, atau disisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara
ukuran lesi dekstruktif dan kuantitas pus dalam cold abcess.
Spasme otot protektif dan disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena.
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosesus
spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
3. Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium :
- Laju endap darah meningkat ( tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
- Tuberculin Skin Test/ Mantaoux Test/ Tuberculin purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparaan dahulu maupun yang baru terjadi oleh Mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72
jam setelah suntikkan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus
dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien
imunitas selulernya tertekan.
- Kultur urin pagi , sputum dan bilas lambung akan menunjukkkan hasil
positif sekiranya terdapat keterlibatan paru – paru yang aktif.
- Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfasitosis yang
bersifat relative. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-
streptolysin haemolysins, typhoid, parathyphoid dan brucellosis untuk
menyingkirkan diagnosa banding.
- Pada kasus meningitis tuberkulosa, cairan serebrospinal dapat
abnormal. Normalnya cairan serebropinal ttidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TB. pemeriksaan cairan serebrospinal serial akan
memberikan hasil lebih baik.
b) Radiologis
Gambaran bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
- Foto rontgen dada dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari
bukti adanya TB di paru.
- Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari
bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru
dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
- Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
- Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau
sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian
berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervetebralis yang
berdekatan, serta erosi korpus vertebrae anterior yang berbentuk
scalloping karena penyebaran infeksi area subligamentous.
- Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, processus
transverses atau processus spinosus.
- Keterlibatan bagian lateral corpus veterbra akan menyebabkan
timbulnya deformitas scoliosis.
- Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder
tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang
mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya, dimana vertebra
yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya.
Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra and tall vertebra, terjadi
karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus
sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat
pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra
yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang
melibatkan vertebra torakal.
- Dapat terlihat keterlibatan jaringgan lunak, seperti abses paravertebral
dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk
globular dengan klasifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai
bayangan jaringgan lunak yang mengalami peningkatan densitas
dengan atau tanpa kalsifiasi pada saat penyembuhan. Deteksi dan
evalusi adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena
merupakan salah satu indikasi tindakan operasi ( tergantung ukuran
abses)
c) Computed Tomography Scan (CT Scan)
- Bermanfaat untuk menvisualisasi region torakal dan
keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan
lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik
dengan CT Scan.
d) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
- Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi
yang bersifat kompresif dengan yang bersifat non kompresif
pada tuberkulosa tulang belakang. Antara manfaatnya :
Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah
akan bersifat konservatif atau operatif.
Membantu menilai respon terapi
- Namun, kerugiannya pula adalah dapat terlewatinya fragmen
tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
e) Needle biopsy/ operasi eksplorasi ( costotransversectomi) dari lesi spinal
mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan
pengalaman dan pembacaan histologi yang baik . pemeriksaan ini berhasil
pada 50% kasus dan bermanfaat untuk menegakkan diagnosa yang
absolut.
f) Aspirasi pus paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis juga dapat
dilakukan untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian
dapat diinokulasikan di dalam hewan Guinea pig.
Gambar 3.1 Gambaran spondilitis dilihat dari foto polos, MRI dan CT
Scan
3.8. Diagnosa Banding
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
laboratorium maupun radiologi, beberapa penyakit yang dapat menyerupai
spondilitis TB adalah sebagai berikut2:
- Osteomielitis piogenik atau fungal
- Granuloma eosinofilik
- Myeloma multiple
- Fraktur kompresi multiple
- Brucellosis spinalis (sangat sulit dibedakan berdasarkan gambaran
radiologi).
3.9. Terapi
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi
menjadi :
TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa.
Adanya resistensi obat memerlukan suatu pemantauan yang ketat selama
pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa
memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup
besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih
penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya
respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu bentuk
penegakkan diagnostik.
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk
tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi
ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau
terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama
6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang.
Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan
pasien.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP),
pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). Obat
antituberkulosa sekunder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,
cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
Isoniazid (INH)
Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler Tersedia dalam sediaan
oral, intramuskuler dan intravena. Bekerja untuk basil tuberkulosa yang
berkembang cepat. Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal. Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih
banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi
piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen
piridoksin). Relatif aman untuk kehamilan Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300
mg/hari
Rifampin (RMP)
Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari
basil, baik di intra ataupun ekstraseluler. Keuntungan : melawan basil dengan
aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan). Lebih
baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk sediaan
oral dan intravena. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk
cairan serebrospinal. Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada
traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent
peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.
Relatif aman untuk kehamilan Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
Pyrazinamide (PZA)
Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat
asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi
perkijuan. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
Efek samping : 1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila
diberikan dalam jangka pendek. 2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi
gout jarang tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan
kadar asam urat. Dosis : 15-30mg/kg/hari Ethambutol (EMB)
Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler Tidak berpenetrasi ke dalam
meningen yang normal Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan
timbulnya kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya
central scotoma. Relatif aman untuk kehamilan Dipakai secara berhati-hati untuk
pasien dengan insufisiensi ginjal Dosis : 15-25 mg/kg/hari
Streptomycin (STM)
Bersifat bakterisidal Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa
sehingga dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA. Tidak berpenetrasi ke
dalam meningen yang normal Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf
VIII), nausea dan vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia) Dipakai
secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal Dosis : 15 mg/kg/hari –
1 g/kg/hari
Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning
frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak
tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal
spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung
3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa
nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju
endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak
dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal
dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah
lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket
19 atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di
plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah
baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa
sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan
kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus
paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena
terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus
menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal
seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.
Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan
operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa,
mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan
segmen tulang belakang yang terlibat.
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga
diindikasikan bila :
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan
operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi
operasi menjadi :
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila
timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi
kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi
konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah
diberi terapi konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah
baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat
resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar
yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga
disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6
bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui
pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di
anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan
anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi dengan
pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan
pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur
yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa
tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah
direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6
minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan
pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang
mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang
ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan
langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya
stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi
spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus
vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi
tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.
Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan
bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang
tidak mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior.
Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai pemberian kemoterapi,
dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya
menggunakan spinal bracing.
Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu
periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO
direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi.
Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu. Pada
pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika
ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat
soliter.
3.10. Komplikasi
Diagnosis yang cepat dan pengobatan yang tepat merupakan hal utama untuk
mencegah komplikasi. Pada gambar di bawah, terlihat beberapa komplikasi dari
spondilitis TB, seperti: terjadi degenerasi dan inflamasi pada vertebra. Degenerasi
tersebut akan mengikis tulang belakang dan menyebabkan terjadinya kifosis
sehingga terbentuk gibus pada punggung. Selain itu, inflamasi akan menyebabkan
herniasi ke celah spinalis, sehingga akan menekan spinal dan cauda equine,
menimbulkan defisit neurologis berupa paraplegia. Komplikasi lain yang jarang
timbul adalah abses epidural spinal TB.
Gambar 3.2 Gambaran komplikasi spondilitis berupa gibus dan kifosis
3.11. Prognosis
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh:
1) usia
2) deformitas kifotik
3) letak lesi
4) defisit neurologis
5) diagnosis dini
6) kemoterapi
7) fusi spinal
8) komorbid
9) tingkat edukasi dan sosio ekonomi.