case spondilitis tb

Upload: si-lucu

Post on 08-Jul-2015

697 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Laporan Kasus

SPONDILITIS TUBERCULOSIS

Oleh: Erlangga Danu Saputro, S. Ked 04071001085

Pembimbing: dr. Ismail Bastomi, Sp. OT

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2011

HALAMAN PENGESAHANJudul Disusun oleh NIM : : : Spondilitis Tuberculosis Erlangga Danu Saputro, S. Ked 04071001085

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, periode 9 Mei sampai 4 Juli 2011.

Palembang,

Juni 2011

Pembimbing

dr. Ismail Bastomi, Sp. OT

ii

PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya sehingga laporan ini bisa diselesaikan. Laporan kasus yang berjudul Spondilitis Tuberkulosis ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri) / RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ismail Bastomi, Sp.OT selaku pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga berterima kasih kepada para residen di departemen bedah bantuannya dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Terakhir, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan dan belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik guna menyempurnakan laporan kasus ini. Penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman di FK Unsri sebagai bahan rujukan dan dapat memberikan informasi mengenai topik tersebut. Palembang, Juni 2011

Penulis

iii

BAB I REKAM MEDIS 1.1. IDENTIFIKASI Nama Jenis kelamin Usia Kebangsaan Agama Status perkawinan Alamat MRS : Tn. S : Laki-laki : 38 Tahun : Indonesia : Islam : Sudah Menikah : Jl. Lubuk Rengas Rantau Bayur, MUBA : 26 Mei 2011

1.2. ANAMNESIS (9 Juni 2011) Keluhan Utama Nyeri pinggang Riwayat Perjalanan Penyakit 2 tahun yang lalu pasien terjatuh dengan posisi terduduk. Setelah itu pasien mengeluhkan adanya nyeri pada pinggang. Riwayat batuk lama (-), penurunan berat badan (-), demam yang tidak terlalu tinggi (-). 1 tahun yang lalu kaki pasien mulai terasa lemas dan mengecil sehingga

membuat pasien tidak dapat berjalan lama. Muncul benjolan di punggung bagian bawah. Nyeri (+) 4 bulan yang lalu pasien merasakan keluhan semakin berat. Penurunan berat badan (+), nafsu makan menurun (+).

iv

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat minum obat rutin dan lama disangkal. Riwayat Penyakit dalam Keluarga -

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal Riwayat penyakit batuk-batuk lama dalam keluarga dan orang di sekitar pasien disangkal

1.3. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis-

Keadaan umum : Tampak sakit sedangSensorium Gizi Tinggi badan Berat badan Nadi : Compos Mentis : Baik : 160 cm : 48 kg : 92 x/menit

-

Pernafasan TensiSuhu Pupil Kepala

: 20 x/menit : 110/70: 36,5 oC : Isokor, refleks cahaya +/+ : Tidak ada kelainan

Kelenjar - kelenjar: Tidak ada kelainan

-

Thoraks Abdomen

: Lihat status lokalis : Tidak ada kelainan

Vertebra Lumbal: Lihat status lokalisEkstremitas atas : Tidak ada kelainan

Ekstremitas bawah: Lihat status lokalis

v

Status Lokalis Regio thorax I : statis dinamis simetris kanan = kiri

P : stemfremitus kanan = kiri P : sonor pada kedua hemithorax A : Cor: denyut jantung 92 x/menit. Murmur (-), gallop (-) Pulmo: vesikuler (+) normal pada kedua hemithorax, ronchi basah (-), Wheezing (-)

Regio Vertebra Lumbal I : benjolan setinggi L3.

P : keras, fluktuasi (-)

Regio Ekstremitas inferior dextra et sinistra I : tidak tampak kelainan P : rangsangan nyeri (+) Status Neurologikus Ekstremitas Superior Motorik Sensorik Kanan +5 N Kiri +5 N Ekstremitas Inferior Kanan +3 Parastesi Femur anterior Kiri +3 Parastesi Femur anterior

- Refleks patologis (-)

vi

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (tanggal 4 Juni 2011) HemoglobinHematokrit Leukosit LED

: 113,6 g/dl: 39 vol % : 7600 /mm3 : 57 mm/jam

Hitung jenisBSS Natrium Kalium

:0/5/0/65/26/4: 105 mg/d1 : 140 mmol/l : 3,5 mmol/l

Pemeriksaan Sputum (tanggal 30 Mei 2011) BTA I BTA II BTA III : (-) : (-) : (-)

Radiologis: Foto Thorax PA (tanggal 26 Mei 2011) Didapat gambaran infiltrat pada kedua lapangan paru. Kesan: KP aktif

vii

Foto Vertebra thoracolumbal AP/Lat (tanggal 19 Mei 2011) Didapatkan gambaran kompresi dan dekstruksi korpus vertebrae L3. Terdapat penyempitan sela diskus L2-3 dan L3-4.

1.5. DlAGNOSA KERJA

viii

Spondilitis TB pada lumbal III

1.6 DIAGNOSIS BANDING Tumor vertebra

1.6. PENATALAKSANAANo o o o o o o Rifampisin oral 1 x 450 mg INH oral 1 x 400 nmg Etambutol oral 1 x 500 mg Pirazinamid 1 x 250 mg PSSW 3 minggu setelah kemoterapi anti.tuberkulosis Rencana pemeriksaan Kultur BTA dan Tes Mantoux Rencana Fisioterapi

1.7. PROGNOSIS

Quo ad vitam Quo ad fungtionam

: Dubia ad bonam : Dubia ad bonam

BAB II

ix

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

PENDAHULUAN Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.1 Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan pria. Spondilitis paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, dan paling jarang pada vertebra C1-C2. Spondilitis tuberculosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebra.2

2.2 ETIOLOGI Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakteriumn tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas1, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.x

2.3 PATOFISIOLOGI

Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis (Gambar 1).

Gambar 1. Gambar skematis terjadinya kifosis pada tulang belakang (penyakit Pott) akibat osteomielitis tuberkulosa.

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai daerah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjoi ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau kavum pleura.xi

Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu: 1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang; maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra. 2. Stadium destruksi awal. Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. 3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), .yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus. 4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditemukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih

xii

kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:

1.

Derajat I Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.

2.

Derajat II Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih apat melakukan pekerjaannya

3.

Derajat III Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia

4.

Derajat IV Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.

5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

xiii

2.4 GAMBARAN KLINIS

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam . hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries). Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus (gambar 2).

A

B

C

Gambar 2. Gambaran lesi lanjut osteomielitis tuberkulosa pada lulang belakang. Gambaran kilnis gibbus (A) gambaran destruksl korpus disertai penyempltan ruang intervertebral (B) dan gambaran patologis (C).

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium 1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai dengan leukositosisxiv

2. 3.4. 5.

Uji Mantoux positif Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar linfe regional Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

Pemeriksaan radiologis 1. 2. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru Poto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus

vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral.3.

Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung

(bird's nets), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform4.

Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbal kifosis Pemeriksaan foto dengan zat kontras Pemeriksaan mielografi dilakukai bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum

5. 6. tulang 7. 8.

Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi Pemeriksaan MRI

2.6.

DIAGNOSIS Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderitaxv

tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu:1. Pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap 2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral 3. Foto polos toraks posisi PA4.

Uji Mantoux

5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

2.7 PENGOBATAN Prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Pegobatan terdiri atas: 1. Terapi konservatif berupa:a.

Tirah baring (bed rest) Memperbaiki keadaan umum penderita Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun Pemberian obat antituberkulosa

b.c.

yang tidak dioperasid.

Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:

Isonikotinik hidrasit (INF) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg berat badan.

Asam para amino salisilat Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan. Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anakanak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Regimen yang

xvi

dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan. INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan, Di Korea diberikan kombinasi antara INH + Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH + Etambutol selama 9-18 bulan.

Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program,P2TB paru adalah:

Kategori 1 Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua tahap, yaitu:o

Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg..0bat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali). Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).

o

Kategori 2 Untuk penderita baru BTA .(+) yang sudah pernah minum obat selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam dua tahap, yaitu:o

Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300

mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg, Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).o

Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan

Etambutol 1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan (66 kali), Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:

Keadaan umum penderita bertambah baik Laju endap darah menurun dan menetap Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurangxvii

Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi Operatif Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses dingin (Cold Abses) Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga Cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:a. debridemen

fokal

b. kosto-transversektomi c. debridemen

fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan

Paraplegia Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:a. b. c. d. e.

Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata Laminektomi Kosto-transveresektomi Operasi radikal Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

lndikasi operasi a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik. b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbukaxviii

dan sekaligus debrideman serta bone graft c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis Operasi kifosis Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

BAB III ANALISIS KASUS

xix

Pasien dengan keluhan lemah pada kedua tungkai dapat mengarah pada kasus infeksi, kongenital, neoplasma, trauma maupun kelainan degeneratif di daerah tulang belakang. Dari anamnesis didapatkan data bahwa kedua tungkai lemah mulai timbul 1 tahun SMRS, sehingga kemungkinan kelainan kongenital dapat disingkirkan. Usia penderita yang baru 38 tahun dapat menyingkirkan kemungkinan kelainan degeneratif karena usia. Nyeri pada tulang belakang dapat berasal dari suatu keganasan pada tulang belakang maupun infeksi spesifik seperti tuberkulosis. Nyeri yang timbul pada pasien ini bersifat hilang timbul. Sifat nyeri ini lebih mengarah pada tuberkulosis. Pada tumor tulang yang sangat jarang terjadi, nyeri bersifat difus dan terus-menerus. Oleh karena itu, kemungkinan suatu keganasan dapat disingkirkan. Dari hasil anamnesis didapat data berupa nyeri punggung yang disertai dengan rasa kesemutan pada kedua tungkai, lama kelamaan penderita mengalami kesulitan berjalan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan data penderita merasakan nyeri tekan setinggi vertebra lumbal III. Hasil pemeriksaan penunjang yaitu jumlah leukosit 7.600 /mm3, serta rontgen thorax didapat gambaran infiltrat pada kedua lapangan paru, kesan: KP aktif, pada rontgen thorakolumbal didapatkan gambaran destruksi vertebra lumbal III, terdapat penyempitan sela diskus lumbal II-III dan III-IV. Dari data-data di atas, diagnosis kerja spondilitis TB dapat ditegakkan Timbulnya paraplegia dan paraestesia femur bagian anterior menandakan adanya suatu proses pada medula spinalis penderita setinggi L3. Pada kasus-kasus spondilitis TB seringkali ditemukan gejala ini terutama. pada keadaan lanjut. Dari pemeriksaan penunjang radiologis didapatkan data adanya gibus pada penderita ini. Data-data ini mengarah pada suatu spondilitis tuberkulosis. Terapi pada penyakit spondilitis tuberkulosis adalah terapi konservatif dan terapi pembedahan. Terapi konservatif bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum dan eliminasi kuman penyebab dengan kombinasi antibiotik. Terapi konservatif juga bertujuan untuk mempersiapkan pasien yang akan dilakukan tindakan bedah.

xx

Prosedur pembedahan yang dilakukan adalah bedah kostotransversektomi berupa debridement dan penggantian corpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa atau kortiko-spongiosa. Teknik lainnya adalah posterokostotransversektomi, yaitu sama seperti di atas namun dilakukan dari posterior. Operasi pembedahan sebaiknya dilakukan 3 minggu setelah pemberian obat-obat antituberkulosis (OAT). Tujuan tindakan ini adalah untuk mencegah penyebaran atau diseminasi penyakit bila operasi dilakukan sebelum pemberian OAT. OAT dilanjutkan setelah pembedahan sampai 6 bulan sesuai dengan pedoman dari WHO dan dapat ditambah sesuai dengan keadaan penyakit pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.Spondilitis tuberkulosis. Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius.

xxi

Salter RB. 1999. Texbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System. Editor: Eric P Johnson. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins. Lumbantobing SM. 2008. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hidalgo JA. 2008. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). (online) http://emedicine.medscape.com/article/226141-overview

xxii