spondilitis tb

54
REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA PARAPLEGIA ET CAUSA SPONDILITIS TUBERKULOSA BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno. Nama “tuberculosis” berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini 1 . Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh 2,3 . Tulang belakang lebih sering terkena dibandingkan dengan sendi tunggal lainnya 2,4 . Kemudian sendi panggul, lutut, dan tulang-tulang kaki, tulang- tulang lengan dan tangan jarang 4 . Sarang primernya biasanya adalah di dalam paru. Percival Pott (1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga penyakit Pott 3,4,6 . Etiologinya baru menjadi jelas setelah dalam tahun 1882 Robert Koch menemukan basil mikobakterium tuberkulosis. Penyakit ini juga dinamai Morbus Potti 5 . Spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif 2,3,7 . Basil ini sampai di dalam tulang belakang melalui penyebaran hematogen dan menyerang satu

Upload: andika-laksmana-kurniadi

Post on 15-Feb-2015

325 views

Category:

Documents


30 download

TRANSCRIPT

Page 1: Spondilitis Tb

REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA PARAPLEGIA ET CAUSA

SPONDILITIS TUBERKULOSA

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam

kepustakaan Sanskrit kuno. Nama “tuberculosis” berasal dari kata tuberculum yang berarti

benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini 1.

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa selalu

merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh 2,3. Tulang belakang lebih

sering terkena dibandingkan dengan sendi tunggal lainnya 2,4. Kemudian sendi panggul, lutut,

dan tulang-tulang kaki, tulang-tulang lengan dan tangan jarang 4. Sarang primernya biasanya

adalah di dalam paru. Percival Pott (1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang

yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga penyakit Pott 3,4,6. Etiologinya baru menjadi

jelas setelah dalam tahun 1882 Robert Koch menemukan basil mikobakterium tuberkulosis.

Penyakit ini juga dinamai Morbus Potti 5.

Spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis

destruktif 2,3,7. Basil ini sampai di dalam tulang belakang melalui penyebaran hematogen dan

menyerang satu atau lebih korpus vertebra yang mengakibatkan destruksi tulang dan menyebar

ke semua jaringan artikulasi. Lokalisasi paling sering ditemukan pada regio torakolumbal dan

jarang sekali pada regio servikal 2,8,9.

Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma dan banyak

dijumpai di negara belum berkembang 10. Paraplegia dapat disebabkan oleh faktor yang tidak

dapat disembuhkan seperti penekanan atau penarikan oleh gibus yang lama dan faktor yang

dapat disembuhkan seperti penekanan oleh pus, massa kaseosa, sekuester 11.

Penanganan medis pada penderita spondilitis tuberkulosa dengan komplikasi paraplegia

melibatkan tim medis yang terdiri dari ahli saraf, ahli bedah saraf, ahli bedah ortopedi, ahli

penyakit dalam, psikiater, dan dokter rehabilitasi medik. Sedangkan tim rehabilitasi medik

selain dokter juga terdiri dari fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, psikolog, pekerja

sosial medik, dan perawat rehabilitasi medik 12.

Page 2: Spondilitis Tb

BAB II

SPONDILITIS TUBERKULOSA

1. Epidemiologi

Saat ini di seluruh dunia telah terdapat 9 juta kasus terinfeksi tuberkulosis dan 3 juta kasus

meninggal setiap tahunnya. Umumnya menyerang golongan usia produktif kerja dan golongan

sosial ekonomi tidak mampu (miskin), sehingga berdampak pada pemberdayaan sumber daya

manusia yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi negara 13.

Di negara yang sedang berkembang, spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang

sering dijumpai pada anak-anak maupun orang dewasa. Di Inggris, penyakit ini biasanya

menyerang usia pertengahan dan sering dijumpai pada populasi imigran 14.

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang

terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dan juga

Sanmuga-sundarm menemukan persentase yang sama dari seluruh tuberkulosis tulang dan

sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2 – 10 tahun dengan

perbandingan yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan 3.

Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3, dan paling jarang pada

vertebra C1-2. Biasanya mengenai korpus vertebra dan jarang menyerang arkus vertebra 15.

2. Etiologi

Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di

tubuh, 90 – 95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan

1/3 dari tipe bovin) dan 5 – 10% oleh mikobakterium tuberkulosis atipik 3,6.

3. Patofisiologi

Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Berdasarkan tempat

berawalnya infeksi, spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk 15:

- Bentuk sentral, dimana destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk ini

sering ditemukan pada anak.

- Bentuk paradiskus, destruksi awal terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan

dengan diskus intervertebral. Bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.

- Bentuk anterior, dengan lokus awal di korpus vertebra anterior, merupakan penjalaran

per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.

Page 3: Spondilitis Tb

Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan

korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra

sekitarnya. Kerusakan di bagian depan ini akan menyebabkan terjadinya kifosis.

Selanjutnya eksudat yang terdiri dari serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta

basil tuberkulosis menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini

dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen

yang lemah.

Pada daerah servikal, eksudat berkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar

ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke

depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat

berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau kavum pleura.

Abses pada daerah vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat

menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada

daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia 2,3,16.

Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul

di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke

daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum

skarpei atau regio glutea.

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu 3:

1. Stadium implantasi

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,

bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan

ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral

vertebra.

2. Stadium destruksi awal

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta

penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa

kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah

stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus

intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging

anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

Page 4: Spondilitis Tb

4. Stadium gangguan neurologis

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama

ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh

komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih

kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat 1 : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau

setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.

Derajat 2 : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat

melakukan pekerjaannya.

Derajat 3 : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas

penderita serta hipoestesia/anestesia.

Derajat 4 : Terdapat gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan

miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat

tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari

abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya

granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena

tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang

progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan

dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

Derajat 1 – 3 disebut sebagai paraparesis dan derajat 4 disebut sebagai paraplegia.

5. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis

atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

4. Gambaran klinis 2,3,4,10,16

Secara klinis gejala spondilitis tuberkulosa hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada

umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit

meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta nyeri punggung. Nyeri yang meningkat

saat malam hari makin lama makin berat terutama pada pergerakan. Pada anak-anak sering

disertai dengan berteriak sewaktu tidur nyenyak pada malam hari (night cries).

Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala,

gangguan menelan, dan gangguan pernafasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala

Page 5: Spondilitis Tb

penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea,

atau bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala –

gejala paraparesis, paraplegia, gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.

Keluhan dan tanda-tanda kompresi pada medula spinalis terjadi pada kira-kira 20% kasus.

Onset dapat timbul bertahap seiring dengan terkumpulnya pus, massa kaseosa, atau jaringan

granulasi, tetapi dapat juga timbul secara tiba-tiba bila terjadi kolaps korpus vertebra dan

menimbulkan kifosis.

Gbr 2. Tuberkulosis tulang belakang – paraplegi. Pada paraplegi Pott, korda dapat tertekan oleh suatu abses (a) dapat disembuhkan dengan terapi konservatif yang efektif atau (b)oleh tonjolan tulang yang keras, memerlukan operasi (dikutip dari Apley)

Gejala awal paraplegia dimulai dengan keluhan kaki terasa kaku atau lemah, atau

penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya kontraksi otot

tungkai dan peningkatan tonusnya. Kemudian terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya

kontraktur. Pada permulaan, paraplegia terjadi karena udem sekitar abses paraspinal tetapi

akhirnya karena kompresi. Karena tekanan timbul terutama dari depan, maka gangguan pada

paraplegi ini kebanyakan terbatas pada traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan di

daerah torakal dan bukan lumbal. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai

kecuali bila bagian posterior tulang juga ikut terlibat.

Page 6: Spondilitis Tb

Gbr 3. a. Gibus ini kecil, tapi diagnostik ; b. Gibus menjadi parah ; c. Abses lumbal yang besar.d. Uji uang logam : membengkokkan pinggul dan lutut, bukan punggungnya.(dikutip dari Apley)

Tanda-tanda lokal yang dapat diperiksa pada tahap aktif adalah 9:

1. Inspeksi. Suatu tanda khas pada vertebra torakal adalah gibus yang menyudut, paling

jelas dilihat dari lateral. Pada kasus lanjut, pasien menjadi kifosis. Pada tulang belakang

lumbal, gibus hampir tidak kelihatan tetapi mungkin terlihat jelas abses di pinggang atau lipat

paha. Kalau vertebra servikal terpengaruh, leher dapat menjadi kaku.

2. Palpasi. Jari – jari dapat mendeteksi gibus, walaupun ringan, yaitu dengan tangan

menyusuri prosesus spinosus. Abses berfluktuasi dan kulit di atasnya hanya sedikit hangat.

3. Pergerakan. Pergerakan yang berkurang tak dapat dideteksi di daerah toraks tetapi

mudah diamati pada daerah lumbal. Punggung harus diperhatikan dengan teliti sementara

gerakan dinilai. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha itu menimbulkan spasme otot. Uji

uang logam dapat menilai, seorang anak dengan spasme lumbal, bila mengambil uang dari

lantai cenderung membengkokkan pinggul dan lutut bukannya membungkukkan tulang

belakang. Kaki juga harus diperiksa untuk menemukan defisit neurologik, yang mungkin

masih sangat sedikit.

Pada tahap penyembuhan, rasa sakit menghilang dan pasien sehat lagi, meskipun ia

mungkin menderita deformitas permanen dan risiko berulangnya infeksi.

5. Pemeriksaan Laboratorium 3

a. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis.

b. Uji Mantoux positif

c. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium

d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.

e. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel.

Page 7: Spondilitis Tb

6. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru 3.

Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi korpus vertebra,

disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin

dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral 3,6.

Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s

nest), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk

fusiform 3,5,17. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.

Pemeriksaan foto dengan zat kontras. Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat

gejala penekanan sumsum tulang.

Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi.

Pemeriksaan MRI.

7. Diagnosis

Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan

pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapi pemeriksaan, maka dibuat suatu standar

pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu 3:

a. Pemeriksaan klinis dan neurologis yang lengkap.

b. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral.

c. Foto polos toraks posisi PA.

d. Uji Mantoux.

e. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa.

8. Diagnosis Banding 15

Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa adalah fraktur kompresi traumatik atau akibat

tumor. Tumor yang sering di vertebra adalah tumor metastatik dan granuloma eosinofilik.

Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa.

osteitis piogen lebih cepat timbul demam

poliomielitis paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis

skoliosis idiopatik tanpa gibus dan tanpa paralisis

penyakit paru dengan (bekas) empiema tulang belakang bebas penyakit

metastasis tulang belakang tidak mengenai diskus, adakah karsinoma prostat

kifosis senilis kifosis tidak lokal, osteoporosis seluruh kerangka

Page 8: Spondilitis Tb

Diagnosis banding yang lain adalah infeksi kronik non tuberkulosis antara lain infeksi

jamur seperti blastomikosis dan setiap proses yang mengakibatkan kifosis dengan atau tanpa

skoliosis.

9. Komplikasi Neurologi 16,17

Insiden terjadinya komplikasi neurologi 10% - 30%. Komplikasi yang paling ditakuti

adalah paraplegia yang terjadi oleh karena spondilitis tuberkulosa daerah torakal, dan tetraplegi

karena spondilitis tuberkulosa daerah servikal (sangat jarang terjadi).

Paraplegia diklasifikasikan dalam 2 kelompok:

a. Paraplegia yang mulainya dini, terjadi dalam 2 tahun pertama penyakit. Paraplegia

terjadi oleh karena inflamasi udem jaringan granulasi abses kaseosa (pengkijuan) atau iskemi

medula spinalis (jarang).

b. Paraplegia yang mulainya lambat, terjadi >2 tahun setelah infeksi vertebra. Komplikasi

neurologi akibat kambuhnya penyakit atau tekanan mekanik pada medula spinalis. Kompresi

akibat jaringan kaseosa tuberkulosa, puing-puing tuberkular, sekuestra dari korpus vertebra

dan diskus, internal gibus, stenosis kanal vertebra atau deformitas berat.

Tanda paling awal dari kompresi medula spinalis berupa klonus diikuti tanda babinski

positif, perubahan refleks, refleks meningkat dan gangguan sensorik dan motorik.

10. Pengobatan 3,4,10

Pengobatan terdiri dari :

A. Terapi konservatif, berupa :

a. Tirah baring (bed rest)

b. Memperbaiki keadaan umum penderita

c. Pemasangan brace, baik yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi.

d. Pemberian obat antituberkulosa.

Obat-obatan yang diberikan terdiri dari :

* INH, dosis 10 - 20 mg/kg BB/hari

* Streptomicin, dosis 20 – 50 mg/kg BB/hari.

* Rifampicin, dosis 10 – 20 mg/kg BB/hari.

* Pirazinamid, dosis 25 – 35 mg/kg BB/hari

* Ethambutol, dosis 20 mg/kg BB/hari

* Para Amino Salisilat, dosis 250 – 300 mg/kg BB/hari, 2 – 3x/hari

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila :

Keadaan umum penderita bertambah baik

Page 9: Spondilitis Tb

Laju endap darah menurun dan menetap

Gejala – gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang

Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.

B. Rehabilitasi Medik : akan dibahas lebih lanjut di bab berikut.

C. Terapi operatif.

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita

spondilitis tuberkulosa, namun tidakan operatif masih memegang peranan penting dalam

beberapa hal, yaitu bila terdapat abses dingin, lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.

Untuk menghindari komplikasi timbulnya tuberkulosis milier sesudah atau selama

pembedahan, masa prabedah perlu diberikan antituberkulosis selama satu sampai dua

minggu.

Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia yaitu :

- Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata.

- Laminektomi

- Kostotransversektomi, yaitu berupa debridemen dan penggantian korpus vertebra yang rusak

dengan tulang spongiosa atau kortiko-spongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi menjembatani

vertebra yang sehat, di atas dan di bawah yang terkena tuberkulosis. Pada paraplegia terapi ini

dilakukan untuk dekompresi medula spinalis. Keuntungan tindakan bedah yaitu dapat

menentukan diagnosis dengan pemeriksaan mikrobiologik dan patologi serta mengintensifkan

terapi medik 15.

- Operasi radikal

- Osteotomi.

Indikasi operasi :

1. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegi atau malah semakin berat.

2. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka sekaligus

debridement serta bone graft.

3. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi, maupun pemeriksaan CT

dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis.

11. Prognosis 18

Prognosis untuk pemulihan fungsi medula spinalis tergantung pada beberapa faktor :

Medula spinalis Prognosa baik Prognosa relatif jelek

Page 10: Spondilitis Tb

Derajat parsial komplit (tingkat IV)

Durasi pendek panjang (>12 bulan)

Tipe mulainya lebih awal mulainya terlambat

Kecepatan lambat cepat

Umur muda lebih tua

Keadaan Umum baik jelek

Penyakit vertebra aktif telah sembuh

Deformitas kifosis <60˚ >60˚

BAB III

REHABILITASI MEDIK

Page 11: Spondilitis Tb

Rehabilitasi menurut WHO adalah semua upaya yang bertujuan untuk mengurangi

dampak dari semua keadaan yang menimbulkan disabilitas dan handicap, agar memungkinkan

penyandang cacat untuk berpartisipasi secara aktif dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Adapun tujuan rehabilitasi yaitu meniadakan keadaan cacat bila mungkin, mengurangi

keadaan cacat sebanyak mungkin, melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat

hidup dan bekerja dengan apa yang tinggal padanya. Untuk mencapai tujuan ini dan

mendapatkan hasil yang efektif dan efisien, usaha-usaha personil yang terlatih tersebut

dikoordinir dalam suatu panduan yang dikenal dengan tim rehabilitasi.

Tim rehabilitasi terdiri dari 19:

1. Dokter

Merupakan ketua tim, melakukan pemeriksaan umum, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium yang dianggap perlu, menentukan diagnosa, membuat program rehabilitasi medik

dan melakukan konsultasi ke dokter spesialis lain yang dianggap perlu.

2. Fisioterapis

Ahli yang memiliki ilmu dan seni pengobatan fisik dengan perantaraan unsur-unsur

alamiah (panas, dingin, air, arus listrik, pemijatan, dan latihan).

3. Okupasi terapi.

Ahli yang memiliki ilmu dan seni yang mengarahkan respon seseorang pada aktivitas

tertentu untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan, mencegah cacat, mengevaluasi

kekakuan dan melatih penderita dengan disfungsi fisik.

4. Ortotis prostetis.

Ortotis adalah ahli yang memiliki ilmu yang berhubungan dengan aplikasi alat-alat

eksoskelet untuk membantu dan membatasi gerak, sedangkan prostetis adalah ahli yang

memiliki ilmu yang berhubungan dengan aplikasi alat-alat gerak artifisial pada tubuh untuk

menggantikan sebagian atau seluruh alat tubuh yang hilang.

5. Terapis wicara.

Ahli yang membantu penderita dengan gangguan komunikasi, baik berupa disartria, gagap

atau afasia.

6. Psikolog

Page 12: Spondilitis Tb

Melakukan psikoanalisis, memberi dukungan mental dan motivasi kepada penderita agar

membantu melaksanakan program rehabilitasi yang telah direncanakan, juga melakukan tes IQ

dan psikotes lainnya.

7. Pekerja sosial medik.

Mengadakan evaluasi sosial, keadaan rumah, pekerjaan, pendidikan, keadaan ekonomi,

penyesuaian diri dengan masyarakat.

8. Perawat rehabilitasi medik.

Melaksanakan perawatan dan evaluasi tentang perawatan yang diperlukan bagi penderita.

Spondilitis tuberkulosis merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma dimana

pada awalnya dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian

diikuti paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiperrefleksia, dan

refleks Babinski bilateral. Pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sampai

gangguan klinis muncul terutama gangguan motorik, gangguan sensorik pada stadium awal

sangat jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat.

Ditinjau dari segi rehabilitasi medik, maka penanganan terhadap paraplegia yang

merupakan salah satu komplikasi spondilitis tuberkulosa adalah :

A. Fisioterapi

a. Latihan pernafasan 20

Tujuan latihan pernafasan adalah untuk :

- Mencegah hipostatik pneumoni

- Mencegah atelektasis dan fibrosis paru

- Meningkatkan volume paru

- Membersihkan sekresi paru

b. Koreksi posisi tidur (proper bed positioning / alih baring tiap 2 jam) 21

Penderita dengan kondisi tirah baring sangat penting untuk dilakukan koreksi posisi tidur

dengan tujuan :

- Mempertahankan posisi koreksi tulang belakang

- Mencegah ulkus dekubitus

- Mencegah kontraktur

- Mencegah timbulnya spastisitas yang berlebihan.

c. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) 22,23,24

Pemberian TENS bertujuan untuk mengurangi nyeri, baik yang akut maupun kronis.

Page 13: Spondilitis Tb

Cara kerja TENS antara lain berdasarkan gate control mechanism dari Melzack dan Wall

pada frekwensi tinggi intensitas rendah, dan merangsang pengeluaran endorfin dan opiat

endogen pada frekwensi rendah intensitas tinggi.

d. Pemanasan 22,25,26,27

Terapi panas yang dapat diberikan berupa pemanasan superfisial berupa infra red, dengan

tujuan untuk :

- Meningkatkan aliran darah superfisial

- Relaksasi kekakuan otot superfisial

- Mengurangi nyeri.

e. Stimulasi listrik 24,25,26,27

Tujuan pemberian stimulasi listrik adalah menstimulasi otot untuk mencegah terjadinya

atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah setelah

proses regenerasi saraf selesai.

Galvanisasi

- Arus galvan merupakan arus searah

- Dapat diberikan pada otot yang denervasi

Tujuan pemberian galvanisasi adalah untuk menimbulkan kontraksi otot, sehingga

berguna untuk :

* Menguatkan dan mempertahankan kekuatan otot

* Memperbaiki vaskularisasi

* Memperlambat terjadinya atrofi

* Menguji adanya reinervasi pada otot

* Mencegah kontraktur.

Faradisasi

- Arus faradik merupakan arus bolak balik

- Faradisasi diberikan pada otot yang suplai sarafnya masih intact

Tujuan pemberian faradisasi adalah untuk :

Menstimulasi otot

Reedukasi dari aksi otot

Melatih fungsi otot baru

Meningkatkan sirkulasi

Mencegah/meregangkan perlengketan.

f. Latihan lingkup gerak sendi /Range of Motion exercise 20

Page 14: Spondilitis Tb

Pada penderita dengan paraplegia, diberikan latihan lingkup gerak sendi pasif untuk kedua

anggota gerak bawah.

Latihan ini bertujuan untuk :

- Merangsang sirkulasi darah.

- Mempertahankan LGS sendi yang penuh.

- Mempertahankan elastisitas otot-otot dan jaringan lunak.

- Mencegah atrofi otot.

Latihan ini dapat diberikan pada anggota tubuh yang lumpuh 2 kali sehari, 10 menit setiap

anggota gerak. Gerakan dimulai dari sendi yang proksimal ke distal termasuk sendi metatarsal.

Gerakan dilakukan berirama dan pelan-pelan untuk mencegah cedera sendi.

Untuk mempertahankan dan kalau perlu meningkatkan kekuatan ekstremitas atas, dapat

diberikan latihan penguatan (strengthening exercise) untuk persiapan latihan transfer dan

ambulasi.

g. Bladder dan bowel training 21,18.

Pada lesi di atas T10-11 refleks kandung kemih masih ada. Berkemih terjadi apabila

kandung kemih terasa penuh, maka otot detrusor akan berkontraksi dan sphincter akan

Page 15: Spondilitis Tb

relaksasi. Refleks detrusor bisa dirangsang dengan menepuk-nepuk paha sebelah dalam,

tapping yang ritmis pada daerah di atas simfisis pubis atau dengan menarik rambut pubes.

Perangsangan ini dilakukan setiap 2 atau 3 jam sekali dan penderita dianjurkan untuk minum 8

gelas sehari.

Pada lesi LMN, refleks kandung kemih tidak ada sehingga perlu dilakukan penekanan

dengan tangan pada daerah supra pubik/metoda Crede dan kontraksi otot abdomen untuk

meningkatkan tekanan intra abdomen. Kateterisasi yang dianjurkan adalah kateterisasi berkala.

Untuk bowel training, penderita dianjurkan diet makanan berserat, minum yang cukup,

selama 3 hari berturut-turut diberikan pada malam hari bisacodyl 2 tablet oral, keesokan

paginya diberikan bisacodyl supositoria ½ jam setelah sarapan, 5 menit kemudian dilakukan

stimulasi rektal dan evakuasi feses secara manual. Mulai hari ke 4, lakukan stimulasi rektal dan

evekuasi feses secara manual jika perlu, setiap ½ jam setelah sarapan.

h. Latihan mobilisasi, transfer dan ambulasi 21,28.

Untuk membantu penderita latihan sendiri serta untuk merubah posisinya di tempat tidur,

dapat diberikan overhead trapeze bar atau kalau tidak ada, diberikan semacam kain yang cukup

kuat, difiksasi di sebelah kaudal penderita. Tali kain ini dapat menjadi pegangan penderita

sewaktu mengangkat tubuhnya.

Latihan pindah/transfer dimulai dari tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya, kemudian

dilanjutkan kegiatan-kegiatan lain sesuai kondisinya. Pada tahap ini penderita melakukan

defekasi pada bed side commode atau di kloset duduk. Bagi penderita yang fasilitas WC-nya

tanpa kloset duduk, dikenalkan model dari kursi kayu atau besi yang dilubangi di tengahnya

dan diberi penampung kotoran.

Jika kapasitas ambulasi ada, maka latihan jalan dimulai pertama di paralel bar, kemudian

dengan walker dan selanjutnya dengan tongkat ketiak/ crutches di samping latihan dengan

kursi roda.

Page 16: Spondilitis Tb

B. Okupasi Terapi 29

Terapi okupasi bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dalam melaksanakan aktivitas

kehidupan sehari-hari (AKS) yang salah satunya dapat dinilai dengan index Barthel. Okupasi

terapis melakukan evaluasi dan modifikasi AKS serta menyelenggarakan latihan-latihan

dengan aktivitas atau permainan.

Page 17: Spondilitis Tb

C. Ortotik Prostetik 30,31

Pemberian ortose bervariasi tergantung pada tingkat lesi. Penderita paraplegia

memerlukan imobilisasi dengan menggunakan spinal ortose untuk membatasi pergerakan

tulang belakang, mengontrol nyeri dan agar destruksi tidak bertambah serta memakai ortosis

ekstremitas inferior agar dapat ambulasi.

Tujuan pemberian ortose spinal :

Kontrol nyeri dengan mengurangi pergerakan dan menghilangkan beban pada struktur

spinal.

Proteksi struktur pasca trauma atau setelah fusi tulang belakang.

Stabilisasi / koreksi deformitas dengan aplikasi kekuatan dari luar.

Untuk ekstremitas inferior digunakan long leg brace (KAFO) yang biasanya digunakan

untuk penderita paraparesis atau paraplegia. Selain itu dapat juga digunakan alat bantu

ambulasi lain seperti cane, crutches, walker, atau kursi roda (wheelchair).

D. Psikologi 32

Semua jenis keadaan sakit akan menimbulkan problem emosional bagi penderitanya

karena umumnya mereka akan menjadi lebih labil emosinya. Hal ini akan mempengaruhi

Page 18: Spondilitis Tb

proses penyembuhannya karena keadaan jasmani sangat erat hubungannya dengan keadaan

psikis seseorang.

Adanya gangguan emosional yang datang dari luar atau sikap orang lain terhadap

penderita akan mempengaruhi mentalnya, ditambah dengan adanya ketakutan terhadap

penyakitnya, hal ini akan menjadi beban tambahan bagi penderita. Oleh karena itu, melalui

psikologi diusahakan untuk membantu menyembuhkan jasmani yang sakit.

E. Sosial Medik 12

Penderita paraplegi pada umumnya mempunyai masalah emosional dan sosial akibat dari

disabilitas fisiknya. Setiap pasien harus dievaluasi sedini mungkin oleh pekerja sosial medik.

Setiap anggota keluarga juga harus diwawancarai pada saat permulaan dan akhir program

rehabilitasi untuk persiapan penderita saat di rumah nantinya. Selain itu, sering diperlukan

konsultasi di bidang vokasional sehubungan dengan jenis pekerjaan yang sesuai dengan

keterbatasan fisik penderita.

Pada saat penderita semakin mandiri dalam melakukan AKS, maka penekanan semakin

ditujukan pada uji vokasional, konseling, training, perencanaan akhir berdasarkan keinginan

penderita, kecerdasan, dan kesempatan bekerja yang tersedia dalam masyarakat.

BAB IV

RINGKASAN

Page 19: Spondilitis Tb

Spondilitis tuberkulosa selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam

tubuh. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegi terbanyak setelah trauma dan banyak

dijumpai di negara belum berkembang. Tulang belakang lebih sering terkena dibandingkan

dengan sendi tunggal lainnya. Lokalisasi paling sering ditemukan pada regio torakolumbal dan

jarang sekali pada regio servikal.

Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan

neurologis yang lengkap, foto toraks dan vertebra, uji Mantoux, biakan sputum dan pus untuk

menemukan basil tuberkulosa. Dan terapi yang diberikan berupa tirah baring, pemberian obat

anti tuberkulosa, program rehabilitasi medik, dan operasi.

Rehabilitasi medik pada penderita paraplegia akibat spondilitis tuberkulosa sangat

diperlukan untuk mencegah komplikasi yang mungkin timbul, membentu penderita agar dapat

melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri, memungkinkan mobilisasi, transfer

dan ambulasi serta stabilisasi tulang belakang agar penyakit tidak bertambah parah.

Daftar Pustaka

Page 20: Spondilitis Tb

1. Karnadihardja W, Puruhito MAD. Infeksi d Inflamasi ( Umum dan Khusus ). Dalam :

Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC, 1997 : 3 –

70.

2. Powell M. Orthopaedic Nursing and Rehabilitation; 9th ed. Avon : ELBS, 1986 : 360 –

74.

3. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 2. Ujung Pandang : Bintang

Lamumpatue, 2003 : 132 – 54.

4. Sukarna IP. Spondilitis Tuberkulosa ( Pott`s disease ). Continuing Education Ilmu

Kesehatan Anak. 1982 ; 5 : 19 – 23.

5. Ngoerah I.Gst.Ng.Gd. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya : Airlangga

University Press, 1991 : 282 – 5.

6. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculosceletal System. 2nd ed.

London : Williams & Wilkins, 1983 : 187 – 9.

7. Hughes TJ. Neuropathology of the Spinal Cord. In : Woolsey RM, Young RR.

Neurologic Clinic Disorders of the Spinal Cord. Philadelphia : WB Saunders, 1991 ;

551 – 61.

8. Nelson WE. Textbook of paediatrics. 25th ed. Philadelphia : WB Saunders, 1983 : 1626

– 27.

9. Apley G, Solomon L. Apley`s System of Orthopaedics And Fractures. 8th ed. New York

: Oxford University Press Inc, 2001 : 27 – 49.

10. Hadinoto S. Spondiltis tuberkulosa. Dalam : Harsono DSS, Kapita selekta neurologi,

edisi ke 2. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1996 : 195 – 8.

11. Djojosugito MA, Roshadi Dan, Reksoprodjo S. Pott`s paraplegia. Dalam : kumpulan

naskah simposium aspek klinik penyakit tuberkulosa. Bandung, 28 Maret 1981.

12. Rusk HA. Rehabilitation of the patient with paraplegia or quadriplegia. Dalam : Taylor

EJ, editor. Rehabilitation medicine. New York, University medical Centre, 1971 : 498 –

530.

13. Rahajoe NN. Tuberkulosis pada anak. Dalam : Simposium respirologi anak masa kini.

Bandung, 11 – 12 Desember 1998.

14. Lindsay KW, Bone I, Callander R. Localised Neurological Disease and Its

Management B. Spinal Cord and Roots. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated.

2nd ed. Hongkong : Churchill Livingstone, 1991 : 374 – 410.

Page 21: Spondilitis Tb

15. Sjamsuhidajat R, Ahmadsyah I, Hutagalung EU. Sistem muskuloskeletal. Dalam :

Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC, 1997 : 1124

– 86.

16. Grossman M. Tuberculosis. In : Rudolf AM. Paediatrics. 19 th ed : Prentice-Hall

International Inc, 1991 : 624 – 33.

17. Tuli SM. Tuberculosis of Bones, Joints and Spine. In : Benson MKD, Fixsen JA,

Macnicol MF, Bleck EE. Children`s Orthopaedics and Fractures. Edinburgh : Churchill

Livingstone, 1994 : 193 – 99.

18. Lagattuta FP, Falco FJE. Assesment & Treatment of Cervical Spine Disorders. In :

Braddom et all eds. Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia : WB Saunders,

1990 : 730.

19. Moentan O. Falsafah dan Upaya Pelayanan Rehabilitasi Medis. Dalam : Thamrinsyam

H, Satori DW. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Edisi 1. Surabaya : Rehabilitasi

Medik RSUP Dr. Sutomo / FK UNAIR, 1992 : 1 – 8.

20. Kisner C, Colby LA. Therapeutic Exercise Foundations and Techniques. 2 nd ed.

Philadelphia : FA Davis, 1990 : 577 – 616.

21. Daryadi. Fisioterapi pada tetraplegia dan paraplegia akibat trauma. Dalam : Temu

Ilmiah Tahunan Fisioterapi VI. Jakarta, 1988 : 77 – 8.

22. Lee JM. Segi praktis fisioterapi ( Alih bahasa dr. Hartono Satmoko). Edisi ke-2. Jakarta

: Binarupa Aksara, 21 – 39.

23. Sidharta P. Neurologis Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : PT Dian Rakyat, 1979 :

9 – 12.

24. Barr O. TENS for Pain Management. In : Nelson RM, Hayes KW, Currier DP eds.

Clinical Electrotherapy. 3rd ed. Connecticut : Appleton & Lange, 1999 : 291 – 354.

25. Michlovitz. Thermal Agent in Rehabilitation. 2 nd ed. Manila : C&E publishing Co,

1990 : 100 – 3.

26. Weber DC, Brown AW. Physical Agent Modalities. In : Braddom et all eds. Physical

Medicine and Rehabilitation. 2 nd ed. Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 440 – 57.

27. Thamrimsyam H. Terapi fisiatrik. Dalam : Thamrinsyam H, Satori DW. Ilmu

Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Edisi 1. Surabaya : Rehabilitasi Medik RSUP dr.

Soetomo / FK UNAIR, 1992 : 9 – 15.

Page 22: Spondilitis Tb

28. Hamid T, Satori DS. Rehabilitasi medik traumatik paraplegia tuntunan untuk dokter

umum. Dalam : Hamid T, editor. Ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi, edisi I.

Surabaya, RSUD Sutomo, 1992 : 44 – 50.

29. Schmitz TJ. Traumatic Spinal Cord Injury. In : O`Sullivan SB, Schmitz TJ eds.

Physical Rehabilitation Assesment and Treatment. Philadelphia : FA Davis Company,

2001 : 873 – 923.

30. Ragnarson KT. Lower Extremity Orthotics, Shoes and Gait Aids. In : De Lisa JA et all,

eds. Rehabilitation medicine Principles and Practice; 3rd ed. Philadelphia : JB

Lippincott, 1998 : 651 – 67.

31. Tan JC, Horn SE. Orthoses. In : Practical Manual of Physical Medicine and

Rehabilitation. St Louis : Mosby, 1998 : 178 – 228.

32. Pratikno W. Problem emosionil dan cara mengatasinya. Dalam : Kumpulan naskah

kursus terapi okupasi di YPAC. Semarang : 3 Agustus – 31 Oktober 1992 : 17 – 9.

Page 23: Spondilitis Tb

LAPORAN KASUS

Seorang penderita laki-laki NM, umur 55 tahun, tinggal di Poigar, Kotamobagu, agama

Islam, dikonsulkan dari RS Kotamobagu dengan keluhan utama kelumpuhan kedua tungkai

dan nyeri punggung.

Anamnesis ( 20 Januari 2004 )

Dua bulan yang lalu (16 Nov.2003) penderita merasakan nyeri pada punggung, nyeri

dirasakan menjalar sampai ke depan dinding dada seperti ditusuk-tusuk jarum. Nyeri terutama

timbul bila penderita batuk, mengedan, atau tidur miring-miring (berubah posisi tidur).

Semakin lama nyeri semakin terasa hingga akhirnya penderita tidak bisa memakai bajunya

karena bila baju mengenai kulit akan terasa lebih nyeri.

Keluhan nyeri disertai dengan kram-kram pada tungkai kanan dan kiri, rasa kram

berkurang bila dipijat. Rasa kram disertai berkurangnya kesadaran terhadap rasa nyeri dan

suhu, sehingga saat kedua kaki penderita terkena air panas 2 minggu yang lalu, penderita tidak

merasakannya.

Satu setengah bulan kemudian (31 Des.2003) saat penderita sedang jalan pagi, tiba-tiba

kedua tungkai terasa berat dan tidak bisa berjalan, tetapi masih dapat digerakkan, kemudian

penderita digendong pulang ke rumah dan istirahat. Siangnya sewaktu bangun tidur, kedua

tungkai sudah tidak bisa digerakkan. Penderita lalu dibawa ke RS Kotamobagu.

Keesokan harinya penderita merasakan kesulitan untuk buang air kecil, sewaktu mengedan

air kencing keluar menetes-netes, dan akhirnya 2 hari kemudian sudah tidak bisa keluar

sehingga dipasang selang kencing. Buang air besar dapat dirasakan, 1 kali dalam 5 hari,

kotoran keras.

Penderita dirawat di RS Kotamobagu selama 2 minggu, saat dirawat, selain diberi obat

minum, juga diterapi dengan lampu yang sinarnya merah di daerah punggung dan tungkai yang

lumpuh, karena tidak ada perubahan penderita lalu dibawa ke RSUP Manado.

Penderita pernah jatuh terpeleset sebanyak 2 kali, di tahun 2001 dan 2002, posisi badan

jatuh terjungkal, juga pada tahun 2003 pernah jatuh terduduk, setelah jatuh penderita bisa

berjalan seperti biasa.

Lima bulan yang lalu penderita pernah dirawat di RS karena sakit kencing manis, infeksi

saluran kencing dan jantung membesar, setelah dirawat 2 minggu, penderita pulang dan

berobat jalan.

Page 24: Spondilitis Tb

Tiga bulan yang lalu penderita pernah dioperasi karena ada benjolan sebesar helm di

punggung kanan, benjolan lembek dan kemerahan, tetapi penderita tidak demam. Saat

dioperasi keluar cairan kental berwarna putih kekuningan seperti susu, tidak berbau, sebanyak

2 liter.

Riwayat batuk (+) sejak 3 bulan yang lalu, batuk hanya sekali-sekali, dahak(-), sesak(-),

demam(-), batuk darah (-), nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (+), keringat

malam (+).

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat batuk lama (+), 15 tahun yang lalu, pernah minum obat untuk sakit paru-paru

selama 6 bulan, sakit kencing manis (+) sejak 1 tahun yang lalu, tidak kontrol teratur, tekanan

darah tinggi (+), kontrol teratur, kolesterol tinggi (-), sakit maag (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti penderita.

Tidak ada anggota keluarga yang batuk-batuk lama.

Riwayat Kebiasaan

Penderita merokok sejak kecil ( SD ), kira-kira 1 bungkus setiap hari, tetapi saat ini sudah

tidak merokok, hobi berolahraga.

Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita bekerja sebagai pegawai di kantor camat, dalam pekerjaannya penderita lebih

banyak duduk dan menulis, istri IRT, mempunyai 2 orang anak, 1 sudah berkeluarga, yang lain

masih sekolah di SMU kelas III, belum mempunyai cucu.

Penderita tinggal di rumah sendiri bersama 1 istri, 1 anak, 2 adik dan 3 pembantu, rumah

permanen, 1 lantai, mempunyai 4 kamar tidur, ventilasi baik ( ada 7 buah jendela dalam rumah,

ukuran 1 x 1m, masing-masing kamar ada 1 buah jendela ), jalan menuju rumah ada 1 anak

tangga, WC di dalam rumah, jarak WC ke kamar tidur 10 m, WC jongkok.

Biaya berobat ditanggung ASKES.

Pemeriksaan Fisik ( 20 Jan 04)

KU : tampak sakit berat, kesadaran kompos mentis, komunikasi lancar, kooperatif,

tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 72 x/menit, teratur, isi cukup, respirasi 20 x/menit, suhu

36,8C. Berat badan 70 kg, tinggi badan 170 cm, Barthel index 15, VAS 9 – 10.

Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.

Leher : TVJ tidak meninggi, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening.

Thorax : - Cor : konfigurasi dalam batas normal, bunyi jantung I dan II normal.

Page 25: Spondilitis Tb

- Pulmo :

* Inspeksi : simetris, kelainan bentuk (-), ruang interkostal tidak melebar, retraksi (-).

* Palpasi : stem fremitus kanan = kiri.

* Perkusi : sonor kanan = kiri.

*Auskultasi : SP bronchial di lapangan atas paru kanan, ST ronkhi -/-,wheezing-/-.

Abdomen : datar, supel, H/L/R tidak teraba, peristaltik usus normal.

Status Neurologis

Kepala : bentuk bulat simetris, pupil reflex cahaya +/+, isokor.

N. cranialis dalam batas normal.

Leher : simetris, LGS penuh, kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening (-).

Trunkus :

- Inspeksi : gibus pada regio vertebra torakal 5 – 8, kifosis (+), skoliosis (-), dekubitus (-),

terdapat bekas operasi di torakal 6-7 kanan.

- Palpasi : nyeri tekan paravertebra (+), spasme otot-otot paravertebral (-), nyeri tekan

infrapiriformis (-), nyeri pada perabaan di regio torakal 5 – 8 (+).

Ekstremitas: di regio pedis dekstra et sinistra terdapat luka bakar grade I-II 2%.

Motorik : LGS Ekstremitas superior dan inferior penuh.

Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior

Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra

Gerakan normal normal (-) (-)

Kekuatan Otot 5/5/5 5/5/5 0/0/0 0/0/0

Tonus Otot normal normal menurun menurun

Trofi eutrofi eutrofi disuse atrofi disuse atrofi

R. Fisiologis normal normal menurun menurun

R. Patologis (-) (-) Babinski (+) Babinski (+)

Klonus (-) (-)

Sensibilitas :

- Dekstra : anestesi mulai dari regio torakal 7 ke bawah.

- Sinistra : hipestesi di regio torakal 7 dan anestesi mulai dari regio torakal 8 ke bawah.

Page 26: Spondilitis Tb

Pemeriksaan Penunjang :

12 Januari 2004 :

X foto Torakolumbal : tulang-tulang tampak porotik ringan, fraktur kompresi Vertebra

Thoracal 7 dengan angulasi kifosis setinggi level ini. Pedicle Thoracal 6 Dekstra dan sinistra

tidak jelas. Subchondral bone layer relatif sklerotik. Tampak bayangan paravertebral soft

tissue swelling setinggi T6-7. Discus intervertebralis T6-7 agak menyempit.

DD : - Spondilitis TB T6-7 - Proses metastase.

Laboratorium :

Hb : 10,6 gr/dl ( ↓ )

Lekosit : 12.400/mm3 ( ↑ )

Trombosit : 298.000/mm3

Ureum : 82 mg/dl ( ↑ )

Creatinin : 2,2 mg/dl ( ↑ )

14 Januari 2004 :

GDP : 191 mg/dl ( ↑ )

GD 2 jam PP : 282 mg/dl ( ↑ )

15 Januari 2004

Pemeriksaan BTA 3x : (-)

BSR : 61 mm/jam ( ↑ )

Hasil konsul dari Bagian Gizi : diberikan Diet DMRP 2000 kalori.

17 Januari 2004

GDP 239 mg/dl ( ↑ )

GOT 27 U/l.

GT 98 U/l.

18 Januari 2004

Hasil konsul dari Penyakit Dalam :

Diagnosis : Susp. spondilitis TB, CRF ec GNC, Hipertensi terkontrol, DM tipe II.

Terapi :

- Gliquidone ½ - 1 – ½

- Tonar 2 x 1

- Ranitidine 2 x 1

- Diet DMRP 2000 kalori

Page 27: Spondilitis Tb

24 Januari 2004 : GDP 93 mg/dl

25 Januari 2004 : GDP 91 mg/dl

27 Januari 2004 :

X foto thorax : tampak gambaran berawan di apex paru kanan, jantung CTR > 50%.

Kesan : KP paru dekstra aktif + cardiomegali.

Diagnosis :

Diagnosis Klinis : Paraplegi Inferior Spastika, Luka bakar regio Pedis Dekstra et Sinistra

grade I – II 2 %, DM tipe II, CRF ec GNC, Hipertensi terkontrol, KP .

Diagnosis Topis : Medula spinalis regio Torakal 6 – 7.

Diagnosis Etiologis : Spondilitis tuberkulosa.

Penatalaksanaan

1. Medikamentosa :

- Celecoxib 1 x 500 mg

- Paracetamol 3 x 500 mg

- Rifampicin 1 x 450 mg

- INH 1 x 300 mg

- Ethambutol 1 x 1000 mg

- Pirazinamid 3 x 500 mg

- Roborantia

- Terapi dari Bagian Penyakit Dalam diteruskan.

2. Rehabilitasi Medik

Masalah Rehab :

1. Kelumpuhan kedua tungkai

2. Nyeri

3. Gangguan mobilisasi

4. Gangguan AKS

5. Gangguan sensibilitas

6. Gangguan bak

7. Masalah psikologi

8. Masalah sosial.

Page 28: Spondilitis Tb

Program Rehabilitasi Medik (sejak 20 Jan 04)

1. Fisioterapi :

Evaluasi :

- Kelumpuhan kedua tungkai (kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0)

- Nyeri di daerah punggung menjalar ke dada (VAS 9-10)

- Belum bisa miring-miring, duduk, berdiri, maupun berjalan.

- Inkontinensia urine.

- Sensibilitas :

dekstra : anestesi mulai dari regio T7 ke bawah.

sinistra : hipestesi di regio T7 dan anestesi mulai dari regio T8 ke bawah.

Program :

- Latihan Pernafasan

- Proper Bed Positioning dengan footboard /alih baring tiap 2 jam dengan cara log

rolling

- Latihan LGS pada semua sendi, pasif untuk ekstremitas inferior dan aktif asistif untuk

ekstremitas superior.

- Bladder Training

2. Okupasi Terapi :

Evaluasi :

- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )

- Makan, berpakaian dan kebersihan diri dibantu.

- Belum bisa miring-miring, duduk, berdiri, maupun berjalan.

- Barthel index 15.

Program : Rencana latihan fungsi AKS dengan aktivitas setelah penderita bisa duduk

3. Ortotik Prostetik

Evaluasi :

- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )

- Belum bisa miring-miring, duduk, berdiri, maupun berjalan

- Gibus (+) setinggi torakal 5 – 8.

- Radiologis : tulang-tulang porotik ringan, fraktur kompresi VT 7, kifosis (+), discus

intervertebralis T6-7 agak menyempit.

Program : - Rencana pemakaian TLSO.

4. Psikologi.

Page 29: Spondilitis Tb

Evaluasi : Penderita dan keluarga merasa cemas akan penyakitnya.

Program : Memberi dukungan mental kepada penderita dan keluarga agar tidak putus asa /

bosan untuk berobat dan melakukan latihan.

5. Sosial Medik :

Evaluasi :

- Penderita bekerja sebagai pegawai di kantor camat, sementara sakit tidak masuk kerja.

- Penderita mempunyai 2 orang anak, 1 sudah berkeluarga, yang lain SMU kelas III.

-Penderita tinggal di Poigar, rumah sendiri, permanen, WC dalam rumah, WC jongkok.

- Selama dirawat di RS, penderita ditunggui oleh istrinya.

- Biaya berobat ditanggung ASKES.

Program :

- Memberi dukungan dan pengertian kepada penderita dan keluarga dalam hal penyakit

penderita.

- Memotivasi istri penderita agar rajin memberikan latihan kepada suaminya.

- Memotivasi manfaat perlunya penggunaan alat bantu.

- Memotivasi manfaat pembuatan WC duduk yang dimodifikasi.

6. Perawat Rehabilitasi :

Evaluasi :

- Kelumpuhan kedua tungkai.

- Terdapat luka bakar derajat I-II 2% di pedis dekstra et sinistra.

Program :

- Proper Bed Positioning / alih baring tiap 2 jam dengan cara log rolling.

- Latihan LGS seluruh sendi.

- Perawatan luka

7. Terapi Wicara :

Evaluasi : tidak ditemukan gangguan bicara.

Program : Saat ini tidak diperlukan.

Pengamatan Lanjut

Tanggal : 4 Februari 2004

KU : tampak sakit sedang, kompos mentis, vital sign dbn, Barthel index 35, VAS 5 – 6.

Motorik : kekuatan otot masih 0/0/0 dan 0/0/0.

Sensibilitas :

- Dekstra : hipestesi di regio T10 –L2, anestesi di bawah regio L2.

Page 30: Spondilitis Tb

- Sinistra : hipestesi di regio T10 –L1 dan anestesi di bawah regio L1 .

Penatalaksanaan:

A. Medikamentosa :

- Osteocal 0 – 1 – 0 .

- Glucosamin-Chondroitin F 2 x 1

- terapi lain teruskan.

B. Rehabilitasi Medik :

Program Rehabilitasi Medik

1. Fisioterapi :

Evaluasi :

- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )

- Nyeri di punggung sudah berkurang (VAS 5 – 6 ).

- Sensibilitas :

Dekstra : hipestesi di regio T10 –L2, anestesi di bawah regio L2.

Sinistra : hipestesi di regio T10 –L1 dan anestesi di bawah regio L1

- Sudah bisa miring-miring, tahan duduk ½ jam, belum bisa berdiri, maupun berjalan.

Program :

- Latihan penguatan ekstremitas superior.

- Mobilisasi bertahap memakai TLSO.

- program lain teruskan.

2. Okupasi Terapi :

Evaluasi :

- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )

- Gangguan AKS ( Barthel index 35 ).

- Sudah bisa miring-miring, tahan duduk ½ jam, belum bisa berdiri, maupun berjalan.

Program :

- Latihan fungsi ADL dengan aktivitas.

- Latihan mobilisasi bertahap ( memakai TLSO ).

3. Ortotik Prostetik

Evaluasi :

- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )

Page 31: Spondilitis Tb

- Sudah bisa miring-miring, tahan duduk ½ jam, belum bisa berdiri, maupun berjalan.

- Gibus (+) setinggi torakal 5 – 8.

- Radiologis : tulang-tulang porotik ringan, fraktur kompresi VT 7, kifosis (+), celah

sendi T6-7 agak menyempit.

Program :

- Sudah terpasang TLSO.

12 Februari 2004:

KU : tampak sakit sedang, kompos mentis, Barthel index 55, VAS 3 – 4.

Motorik : kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0.

Sensibilitas :

- Dekstra hipestesi di regio T10 - L2 dan anestesi di bawah regio L2 .

- Sinistra hipestesi di regio T9 - L2 dan anestesi di bawah regio L2.

Penatalaksanaan :

A. Medikamentosa : lanjutkan terapi

B. Rehabilitasi Medik :

Program Rehabilitasi Medik

1. Fisioterapi :

Evaluasi :

- Kelumpuhan kedua tungkai (kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0)

- Nyeri di punggung sudah berkurang ( VAS 3 – 4 ).

- Sensibilitas :

dekstra hipestesi di regio T10 - L2 dan anestesi di bawah regio L2

sinistra hipestesi di regio T9 - L2 dan anestesi di bawah regio L2.

- Sudah bisa miring-miring, tahan duduk 1½ jam, belum bisa berdiri maupun berjalan.

Program :

- TENS di daerah punggung.

- IR kedua tungkai

- Tes faradisasi (+).

Program lain teruskan

Pengamatan AKS menurut Indeks Barthel :

Index\ tanggal 20/1/04 04/2/04 12/2/04

Makan 5 5 10

Transfer 0 5 10

Page 32: Spondilitis Tb

Jalan datar 0 0 5

Naik turun tangga 0 0 0

Perawatan diri 0 5 5

Toileting 0 5 5

Mandi 0 0 5

Berpakaian 0 5 5

Bak 0 0 0

Bab 10 10 10

Jumlah 15 35 55

Interpretasi skor :

0 – 20 Very severely disabled

25 – 45 Severely disabled

50 – 70 Moderately disabled

75 – 95 Mildly disabled

100 Physically independent, but not necessarily normal or socially independent

Diskusi

Telah dikemukakan kasus mengenai seorang laki-laki berusia 55 tahun dengan paraplegia

ec spondilitis tuberkulosa VT 6-7, Luka bakar regio Pedis Dekstra et Sinistra grade I – II 2

%, DM tipe II, CRF ec GNC, Hipertensi terkontrol, KP .

Page 33: Spondilitis Tb

Diagnosis paraplegia ec spondilitis tuberkulosa ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologis. Dari anamnesis

didapatkan nyeri punggung yang menjalar ke dada, rasa kram-kram pada kedua tungkai yang

akhirnya menjadi hilang rasa, kelumpuhan kedua tungkai yang diawali dengan penderita sering

terjatuh dalam 3 tahun terakhir, riwayat batuk lama dan makan obat paru-paru selama 6 bulan,

penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, dan sering keringat malam hari. Penderita

juga pernah dioperasi di daerah punggung kanan yang diduga sebagai cold abcess.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan paraplegia derajat 4 ( menurut Kumar ), disuse atrofi

(+), refleks patologis Babinski (+), gangguan bak (+), gangguan sensibilitas, gibus pada

vertebra torakal 5-8 disertai kifosis, penilaian AKS menurut index Barthel 15 ( very severely

disabled ) dan VAS 9 – 10. Dari pemeriksaan laboratorium didapati leukositosis dan

peningkatan LED. Hasil foto torakolumbal terlihat tulang-tulang porotik ringan, fraktur

kompresi vertebra torakal 7 dengan angulasi kifosis, celah sendi T6-7 agak menyempit, dan

hasil foto toraks tampak gambaran berawan di apex paru kanan dengan kesan KP dekstra aktif .

Penanganan komprehensif pasien paraplegi ec spondilitis tuberkulosa meliputi pemberian

medikamentosa, penanganan rehabilitasi medik dan pembedahan. Medikamentosa yang

diberikan bertujuan untuk mengendalikan infeksi, memperbaiki keadaan umum, dan untuk

mencegah TBC milier sesudah/selama pembedahan. Sedangkan tindakan operatif bertujuan

untuk dekompresi medula spinalis, membersihkan jaringan nekrotik, membuat vaskularisasi

baru, dan stabilisasi dengan pemasangan graft. Selain itu penderita ini juga mendapat diet DM

dan OAD.

Penanganan rehabilitasi harus melibatkan seluruh tim rehabilitasi medik, pasien, dan

keluarga, terutama perawatan rehabilitasi yang intensif sangat diperlukan untuk mencegah

komplikasi tirah baring lama. Yang juga perlu menjadi pertimbangan dalam penanganan pasien

ini adalah penderita juga menderita anemia dan gangguan pada fungsi ginjal yang dapat

menghambat program rehabilitasi, oleh karena itu, program yang diberikan perlu disesuaikan

dengan kondisi pasien. Pada kasus ini, penderita dan keluarga perlu diberikan informasi secara

umum mengenai perjalanan penyakit yang sudah bersifat kronis yang dapat menimbulkan

kecacatan permanen.

Dari bagian Rehabilitasi Medik diberikan program fisioterapi berupa breathing exercise,

proper bed positioning/alih baring tiap 2 jam dengan cara log rolling dan koreksi postur

dengan footboard, yang semuanya ini bertujuan untuk mencegah komplikasi tirah baring lama.

Page 34: Spondilitis Tb

Modalitas yang diberikan yaitu TENS bertujuan untuk mengurangi nyeri, IR untuk

meningkatkan vaskularisasi di tungkai, dan dilakukan tes faradisasi yang hasilnya (+).

Terapi latihan pasif pada semua sendi – sendi di tungkai dengan bantuan terapis dan

keluarga minimal 2x / hari diberikan untuk meningkatkan sirkulasi darah, mempertahankan

LGS sendi yang penuh dan mencegah atrofi otot lebih lanjut, selain itu juga diberikan latihan

aktif asistif pada ekstremitas superior terutama untuk persiapan transfer dan ambulasi dengan

alat bantu.

Terapi okupasi diberikan sebagai suatu pelayanan yang didisain untuk membantu pasien

kembali ke pekerjaan sebelumnya dan bisa dimulai saat keadaan umum sudah memungkinkan

dimana pasien sudah bisa duduk dan apabila diperlukan dapat diberikan pengenalan

ketrampilan yang baru. Tujuan okupasi terapi adalah untuk meningkatkan aktivitas fungsional

yang disesuaikan dengan kemampuan pasien, untuk memecahkan kesulitan dalam mobilitas

dan transfer, dan juga untuk memberikan aktivitas rekreasional yang sesuai dengan hobi

pasien.

Pada penderita juga dibuatkan ortose TLSO yang bertujuan untuk immobilisasi vertebra,

mengurangi nyeri, mencegah deformitas menjadi lebih berat dan untuk mobilisasi bertahap

(duduk).

Program sosial medik merupakan suatu program yang melakukan penilaian status sosial

ekonomi penderita, mengevaluasi keadaan geografi rumah yang akan disesuaikan dengan

kondisi pasien, serta memberi pengertian kepada penderita dan keluarga dalam hal penyakit

yang dialami penderita.

Dalam perkembangan penyakitnya, telah dicapai kemajuan penderita dalam melaksanakan

aktivitas sehari-hari yang ditunjukkan dengan peningkatan index Barthel dari 15 (very severely

disabled) menjadi 35 (severely disabled) setelah menjalani program rehabilitasi medik 2

minggu, dan meningkat lagi menjadi 55 ( moderately disabled) 1 minggu kemudian. Demikian

pula dengan rasa nyeri di punggung telah banyak berkurang yang ditunjukkan dengan

penilaian VAS dari 9 – 10 menjadi 5 – 6 dan kemudian menjadi 3 – 4. Meskipun demikian,

penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam hal kekuatan otot yang masih tetap nol, untuk

itu perlu dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan EMG, NCV, EP, atau MRI untuk melihat

proses yang melatarbelakangi paraplegia tersebut, apakah karena penekanan oleh abses atau

oleh kompresi tulang.

Page 35: Spondilitis Tb

Saat ini, penderita memakai kursi roda untuk transfer dan ambulasi, disamping terus

diberikan dukungan mental kepada penderita dan keluarga agar penderita berobat, latihan dan

kontrol secara teratur dan rutin.

Berhubung karena saat ini penderita telah pulang ke rumah, maka perlu dilakukan

kunjungan rumah oleh bagian sosial medik untuk menyampaikan kepada penderita dan

keluarga bahwa untuk mencapai penanganan yang optimal terhadap penyakitnya harus

dilakukan operasi dan kemudian dilanjutkan dengan terapi latihan selama 3 bulan, dengan

demikian diharapkan tulang belakang bebas dari kuman M.tuberkulosa sehingga mencegah

proses destruksi lebih lanjut, selain itu dengan dilakukannya dekompresi pada medula spinalis

maka dapat diharapkan dicapai peningkatan kekuatan otot tungkai sehingga memungkinkan

penderita untuk transfer dan ambulasi secara mandiri di kemudian hari.

Page 36: Spondilitis Tb

Manado, 10 Maret 2004

Nomor :

Perihal : Presentasi Tinjauan Kepustakaan / Laporan Kasus

Lamp. : -

Kepada Yth :

di tempat

Dengan hormat,

Bersama dengan surat ini kami mengundang Bapak / Ibu / Saudara / Saudari untuk mengikuti

presentasi tinjauan kepustakaan / laporan kasus yang akan dibawakan pada :

Hari : Sabtu, 20 Maret 2004

Jam : 10.00 Wita

Tempat : Ruang Pertemuan Poliklinik Neurologi RSUP Malalayang Manado

Yang akan dibawakan oleh :

dr. Cynthia Yaputri

Topik : Rehabilitasi Medik pada Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa

Pembimbing : dr. Ny. Th. Walelang – R, SpS

dr. Lidwina Sengkey, SpRM

Atas perhatian dan kehadiran Bapak / Ibu / Saudara / Saudari, sebelumnya kami ucapkan

terima kasih.

Kepala Bagian / SMF Neurologi

Page 37: Spondilitis Tb

FK Unsrat / RSUP Manado

Dr. Ny. R.C.Siwi – K, SpS (K)

NIP 130.262.589