referat-spondilitis lengkap
DESCRIPTION
spondilitisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Spondilitis (spondylitis) mengacu pada rasa sakit punggung kronis dan kekakuan yang
disebabkan oleh infeksi parah atau peradangan pada sendi tulang belakang. Peradangan pada
tulang belakang dapat disebabkan oleh infeksi atau peradangan kronik pada jaringan di
sekitar tulang belakang seperti pada ankylosis spondilitis. Ankylosis spondilitis menyerang
bagian dari insersi tendon, ligamen, fascia dan jaringan fibrosa kapsul sendi. Ankylosis spondilitis
dianggap sebagai penyakit rematik yang relatif jarang terjadi. Sedangkan infeksi pada tulang
belakang yang sering di temukan adalah infeksi bakterial TB.
Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang karena
insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Mycobacterium tuberculosis
merupakan bakteri yang menyebabkan spondilisis tuberkulosa. Insidensi spondilitis
tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi.
Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20
tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua.
1
BAB II
PEMBAHASAN
SPONDILITIS TUBERKULOSA
2.1 DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s
disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang
banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap
tahunnya dikarenakan penyakit ini.
Spondilitis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah
dengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru. Sir Percival Pott
(1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik. Tuberkulosis
merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang karena insidensnya cukup tinggi
dengan morbiditas yang serius.
Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda. Banerjee
melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31%
fokus primer adalah paru-paru dan dan kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan
69% sisanya memperlihatkan foto rontgen paru yang normal dan sebagian besar adalah
dewasa.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi.
Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20
tahun. Sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua.
Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih
sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Umumnya penyakit ini menyerang orang-
orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah.
Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering
terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul,
lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena.
Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas
merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan
dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.
2
2.3 ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh Mycobacterium tuberculosa atipik.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid
fastnon-motile atau disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Dipergunakan teknik
Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-
enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies
lain. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.
2.4 PATOLOGI
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari
fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya,
fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan
suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra
diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang
mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal
inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan
terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau
lebih vertebra.
3
Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun yang
terbanyak menyerang bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang dan akhirnya
vertebra cervicalis pun tidak terlepas dari serangan ini. focus yang pertama dapat terletak
pada centrum corpus vertebrae atau pada metaphyse, bisa juga pertama kali bersifat
subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar, sehingga akhirnya corpus vertebrae tidak lagi
kuat untuk menahan berat badan dan seakan-akan hancur sehingga dengan demikian columna
vertebralis membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thorax, maka akan terdapat
pembengkokan hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus. Sementara itu proses dapat
menimbulkan gejala-gejala lain, diantaranya dapat terkumpulnya nanah yang semakin lama
semakin banyak, nanah ini dapat menjalar menuju ke beberapa tempat diantaranya dapat
berupa :
1. Suatu abscess paravertebrae, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-kanan columna
vertebralis.
2. Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasia dan kulit di
sebelah belakang dan di luar columna vertebralis merupakan suatu abscess akan tetapi
tidak panas. Umumnya abscess ini dinamakan abscess dingin. Abscess dingin artinya
abscess tuberculose.
3. Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga merupakan senkung’s
abscess yang terlihat di bagian dada penderita.
4. Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empyme.
4
5. Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam pharynx sehingga merupakan
retropharyngeal abscess.
6. Dapat pula abscess terlihat sebagai supraclavicular abscess.
7. Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang kemudian
menurun sampai terjadi abscess besar yang terletak di bagian dalam dari paha.
Semua abses tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya fistel yang
bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada vertebrae dapat pula
memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut Pott’s Paraplegia. Komplikasi
ini disebabkan karena adanya tekanan pada Medulla Spinalis. Adapun pathogenesis dari
proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut : tekanan dapat berasal dari proses yang terletak di
dalam canalis spinalis. Jika di dalam canalis spinalis ada proses tuberculose yang terletak
pada corpus bagian belakang yang merupakan dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi
menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla spinalis.
Dalam hal ini meskipun nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk memberikan tekanan
yang hebat pada Medulla Spinalis. (2,4)
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi :
(1) Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
(2) Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe yaitu :
(1) Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan
dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
(2) Type II
5
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen
bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.
(3) Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat
membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis
meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis,
peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi
vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).
Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh Hodgson
menjadi:
I. Penyebab ekstrinsik :
(1) Pada penyakit yang aktif
a. Abses (cairan atau perkijuan)
b. Jaringan granulasi
c. Sekuester tulang dan diskus
d. Subluksasi patologis
e. Dislokasi vertebra
(2) Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
a. Transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
b. Fibrosis duramater
II. Penyebab intrinsik :
Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen dan
corda spinalis.
III. Penyebab yang jarang :
(1) Trombosis corda spinalis yang infektif
(2) Spinal tumor syndrome
Dapat pula proses tuberculosa menghancurkan corpus sehingga canalis spinalis
membengkok dan menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan paraplegia.
Kemungkinan lain ialah terdapat sequestra dan pus di sekeliling canalis spinalis tadi yang
juga menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian banyak sebab-sebab yang dapat
menekan medulla spinalis dengan keras sehingga menimbulkan gejala paraplegia. Secara
klinis paraplegia dapat dibagi menjadi early onset, ialah jika paraplegia segera timbul sebagai
kelanjutan dari proses spondylitis tuberculose. Type kedua adalah paraplegia late onset,
6
paraplegia ini terjadi setelah penyakit spondilitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu
lamanya kemudian timbul gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis :
(1) Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan diregio lumbal.
(2) Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps
vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas
spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat
trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
(3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di
bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah
ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah
vertebral.
(4) Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan
lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan
tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta
lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang
melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-
10%.
Lesi Spondilitis tuberkulosa berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang lambat,
bersifat osteolisis lokal, awalnya pada tulang subkhondral di bagian superior atau inferior
anterior dari corpus vertebra. Proses infeksi Myocobacterium tuberkulosis akan
mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan stimulator poten dari proses resorpsi tulang
sehingga akan terjadi destruksi korpus vertebra dianterior. Proses perkijuan yang terjadi
7
akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang
yang terinfeksi relatif avaskular sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi
progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya corpus vertebra yang terinfeksi dan
terbentuklah kifosis ( angulasi posterior ) tulang belakang. Proses terjadinya kifosis dapat
terus berlangsung walaupun telah terjadi resolusi dari proses infeksi. Kifosis yang progresif
dapat mengakibatkan problem respirasi dan paraplegi. Dengan adanya peningkatan sudut
kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas
rongga dada berupa barrel chest.
Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra dan membentuk abses paravertebral.
Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung dibawah
ligamentum longitudinal anterior. Apabila telah terbentuk abses paravertebral, lesi dapat
turun mengikuti alur fascia muskulus psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis.
Pada usia dewasa , discus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap
infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari corpus vertebra. Pada anak–anak karena
discus intervertebralis masih bersifat avaskular, infeksi discus dapat terjadi primer. Gejala
utama adalah nyeri tulang belakang, nyeri biasanya bersifat kronis dapat lokal maupun
radikular. Pasien dengan keterlibatan vertebra segmen cervical dan thorakal cenderung
menderita defisit neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan lumbal biasanya
bermanifestasi sebagai nyeri radikular. Selain nyeri terdapat gejala sistemik berupa demam,
malaise, keringat malam, peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat
badan. Tulang belakang terasa nyeri dan kaku pada pergerakan.
2.5 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor
(7). Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. Durasi
gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga
tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Gambaran Spondilitis Tuberkulosa antara lain : :
Badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun.
Suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung, Pada anak-
anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
Pada awal dapat dijumpai nyeri intercostal yaitu nyeri yang menjalar dari tulang
belakang ke garis tengah keatas dada melalui ruang intercosta, hal ini karena
tertekannya radiks dorsalis ditingkat thoracal
8
Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.
Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut berupa :
Paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan medulla
spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri,
Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya batas
deficit sensorik setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri interkostal
Pemeriksaan fisik
Adanya gibus dan nyeri setempat
Spastisitas
Hiperreflesia tendon lutut/Achilles dan reflex patologik pada kedua belah sisi
Batas defisit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan miksi jarang
dijumpai
Spondilitis corpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :
1. Pada bentuk sentral.
Detruksi awal terletak di sentral corpus vertebra, bentuk ini sering ditemukan pada
anak.Bentuk paradikus.
2. Bentuk paradikus.
Terletak di bagian corpus vertebra yang bersebelahan dengan discus intervertebral,
bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.
3. Bentuk anterior.
Dengan lokus awal di corpus vertebra bagian anterior, merupakan penjalaran per
kontinuitatum dari vertebra di atasnya.
2.6 DIAGNOSIS
Anamnesis dan inspeksi
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam
yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada
pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah.
Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan
kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan
berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
2. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.
Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau
nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa
9
di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri
menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk
mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
3. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek,
karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
4. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga
oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat
bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga
mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka
tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan
mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi atlantoaksial karena
tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi
cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena
gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
5. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku (coin test) Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di
bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan
lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat
menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
6. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di
atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis
dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan
lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan
tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas
fleksi sendi panggul.
7. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang)
8. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi
pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di
temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak
10
spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan
yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan
fungsi kandung kemih dan anorektal.
9. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti
pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi
mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
Palpasi
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa
sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang
teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di
sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat
juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara
ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
Perkusi
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae
yang terkena, sering tampak tenderness.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
1) Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
2) Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)
positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang
baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak
area berindurasi, kemerahan dengan diameter ³ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-
72 jam setelah suntikan.
3) Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas
lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
4) Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.
5) Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).
Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi
11
Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih
baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8
minggu onset penyakit.
Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae
anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area
subligamentous
Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau
prosesus spinosus.
Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita
scoliosis (jarang)
Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari
lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap
tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi
karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga
vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa
dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena
penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi.
Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami
peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi
(evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu
indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
12
Figure: Tuberculous spondylitis. Lateral
radiograph demonstrates obliteration of the disk
space (straight arrow) with destruction of the
adjacent end plates (curved arrow) and anterior
wedging
Figure. Subligamentous spread of spinal
tuberculosis. Lateral radiograph demonstrates
erosion of the anterior margin of the vertebral body
(arrow) caused by an adjacent soft-tissue abscess.
Computed Tomography – Scan (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak
lebih baik dengan CT Scan.
Figure. Tuberculous spondylitis. Axial CT scan
demonstrates lytic destruction of the vertebral body
(black arrow) with an adjoining soft-tissue abscess
(white arrow).
Figure. Calcified psoas abscess. Axial CT scan
demonstrates bilateral tuberculous psoas abscesses
with peripheral calcification (arrows).
.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif
dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :
13
Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau
operatif.
Membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen
tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
Figure. Tuberculous spondylitis. Sagittal T2-
weighted MR image demonstrates areas of
increased signal intensity due to edema in
vertebral bodies. Accompanying disk
narrowing (white arrow) and extension of the
disease into the spinal canal (black arrow) are
also seen.
Neddle biopsi / operasi eksplorasi ( costotransversectomi ) dari lesi spinal
Mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan
pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada
50% kasus).
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus
Paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan
granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.
Diagnosis dari penyakit ini dapat kita ambil melalui bebertapa tanda khas dibawah ini,
Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :
o Nyeri punggung yang terlokalisir
o Bengkak pada daerah paravertebral
o Tanda dan gejala sistemik dari TB
o Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia
2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi,
memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis.
Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada tercapainya favourable status yang
didefenisikan sebagai pasien dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau
tindakan bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan system saraf pusat , focus infeksi yang
tenang secara klinis maupun secara radiologis.
14
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
2. Terapi operatif
Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian
korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa/kortiko – spongiosa.
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi
(Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi
menjadi:
a. Indikasi absolut
Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan
bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga
terjadi kelemahan motorik.
Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan
terapi konservatif
Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah
diberi terapi konservatif
Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah
baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau
terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang
besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga
disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
15
Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari
6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi
konservatif)
b. Indikasi relatif
Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf
Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
c. Indikasi yang jarang
Posterior spinal disease
Spinal tumor syndrome
Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi
resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase
bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
16
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat, Kifosis mempunyai
tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi
posterior atau melalui operasi radikal.
2.8 DIAGNOSIS BANDING
1. Osteitis Piogen : khasnya demam lebih cepat timbul
2. Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis
3. Skoliosis idiopatik : tanpa gimus dan tanda paralisis
4. Penyakit paru dengan bekas empiema : tulang belakang bebas penyakit
5. Metastasis tulang belakang : tidak mengenai diskus, adanya karsinoma prostat
6. Kifosis senilis : kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka
2.9 KOMPLIKASI
Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat
juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi
tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi
sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena
invasi dura dan corda spinalis.
Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam
pleura.
2.10 PROGNOSIS
Prognosa dari penyakit ini bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada
tidaknya komplikasi neurologic, unutk paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan
sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya biasanya
kurang baik. Bila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa proggnosisnya ad
functionam juga buruk.
17
SPONDILITIS ANKILOSIS
3.1 DEFINISI
Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit inflamasi kronik, bersifat sistemik,
ditandai dengan kekakuan progresif, dan terutama menyerang sendi tulang belakang
(vertebra) dengan penyebab yang tidak diketahui. Penyakit ini dapat melibatkan sendi-sendi
perifer, sinovia, dan rawan sendi, serta terjadi osifikasi tendon dan ligamen yang akan
mengakibatkan fibrosis dan ankilosis tulang. Terserangnya sendi sakroiliaka merupakan
tanda khas penyakit ini. Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada stadium lanjut dan jarang
terjadi pada penderita yang gejalanya ringan. Nama lain SA adalah Marie Strumpell disease
atau Bechterew's disease
3.2 ETIOLOGI
Patogenesis pada SA tidak begitu dipahami, tetapi SA merupakan penyakit yang
diperantari oleh sistem imun, dibuktikan dengan adnya peningkatan IgA dan berhubungan
erat dengan HLA B27.3 Secara imunologi terdapat interaksi antara class I HLA molecule B27
dan Limfosit T. Tumor necrosis factor (TNF-α) teridentifikasi sebagai pengatur sitokin.
Kecenderungan terjadinya SA dipercayai sebagai penyakit yang diturunkan secara
genetik, dan mayoritas (hampir 90%) penderita SA lahir dengan suatu gen yang disebut
dengan HLA B27. Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya HLA B27 gene marker
yang dapat menjelaskan adanya hubungan HLA B27 dengan SA. Adanya gen HLA B27 ini
hanya menunjukan adanya kecenderungan yang meningkat terhadap terjadinya SA ini
meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi seperti lingkungan. Akhir-akhir ini, dua gen
lain telah teridentifikasi berhubungan dengan SA, yaitu ARTS1 dan Il23R yang mempunyai
peran dalam mempengaruhi fungsi imunitas.
3.3 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, prevalensi spondilitis ankilosis sebesar 100-200 per 100.000
penduduk, yang merupakan penyakit spondiloartitis terbanyak. Namun, prevalensi spondilitis
ankilosis di Jerman mencapai 1% hingga 5% sedangkan di Prancis 0,49%.
Spondilitis ankilosis biasanya mulai sejak dekade kedua hingga ketiga kehidupan
dengan median usia 23 tahun. Pada 5% pasien, gejala timbul pada usia lebih dari 40 tahun.
18
Usia yang rinci sulit ditentukan karena diagnosis seringkali tidak dikenali selama bertahun-
tahun.
Prevalensi spondilitis ankilosis antara pria dan wanita berbanding 2:1 hingga 3:1.
Spondilitis ankilosis pada wanita seringkali timbul lebih ringan gejalanya.
3.4 FAKTOR RESIKO
Penyakit ini sering dimulai pada usia antara 20-40 tahun, tapi dapat pula dimulai
sebelum usia 10 tahun. Pada umumnya pria lebih banyak menderita Pada umumnya pria lebih
banyak menderita dari pada wanita dengan perbandingan laki-laki : wanita kurang lebih 5:1,
bahkan ada yang menyebutkan 2-10:1. Faktor-faktor risiko ini meliputi riwayat keluarga
dengan spondilitis ankilosa dan jenis kelamin laki-laki.
3.5 PATOFISIOLOGI
Proses patofisiologi yang terjadi pada spondilitis ankilosa ditandai dengan adanya
inflamasi dan terjadinya fusi. Hal tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar dibawah ini:
19
Gambar 1. Tulang Belakang Normal dan Tulang Belakang dengan Spondilitis
Ankilosa8
Sedangkan manifestasi terjadinya spondilitis ankilosa ditunjukkan dalam skema
sebagai berikut:
20
Gambar 2. Mekanisme Spondilitis ankilosis
3.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik Spondilosis Ankilosa (SA) dapat dibagi dalam manifestasi skeletal dan
ekstraskeletal. Manifestasi skeletal berupa artritis aksis, artritis sendi panggul dan bahu,
artritis perifer, entensopati, osteoporosis, dan fraktur vertebra. Manifestasi ekstraskeletal
berupa iritis akut, fibrosis paru, dan, amiloidosis.
Gejala utama SA adalah sakroilitis. Perlangsungannya secara gradual dengan nyeri
hilang timbul pada pinggang bawah dan menyebar ke bawah pada daerah paha. Keluhan
konstitusional biasanya sangat ringan seperti anoreksia, kelemahan, penurunan berat badan,
dan panas ringan yang biasanya terjadi pada awal penyakit.
Manifestasi pada Tulang
Keluhan yang umum dan karakteristik awal penyakit ialah nyeri pinggang dan
sering menjalar ke paha. Nyeri biasanya menetap lebih dari 3 bulan, diserati kaku pinggang
pada pagi hari, dan membaik dengan aktivitas fisik atau bila dikompres air panas. Nyeri
pinggang biasanya tumpul dan sukar ditentukan lokasinya, dapat unilateral atau bilateral.
21
Nyeri bilateral biasanya menetap, beberapa bulan kemudiandaerah pinggang bawah menjadi
kaku dan nyeri. Neri ini lebih terasa di daerah bokong dan bertambah hebat bila batuk, bersin,
atau pinggang mendadak terpuntir. Inaktivitas lama akan menambah nyeri dan kaku.
Keluhan nyeri dan kaku pinggang merupakan keluhan dari 75% kasus di klinik.
Nyeri tulang juksa artikular dapat menjadi keluhan utama, misalnya entesis yang
dapat menyebabkan nyeri di sambungan kostosternal, prosesus spinosus, krista iliaka,
trokanter mayor, tuberositas tibia, atau tumit. Keluhan lain dapat berasal dari sendi
kostovertebra dan manubrium sternal yang menyebabkan keluhan nyeri dada, sering
disaladiagnosiskan sebagai angina.
Manifestasi di Luar Tulang
Manisfestasi di luar tulang terjadi pada mata, jantung, paru, dan sindroma kauda
ekuina. Manifestasi di luar tulang yang paling sering adalah uveitis anterior akut, biasanya
unilateral, dan ditemukan 25-30% pada pasien SA dengan gejala nyeri, lakrimasi, fotofobia,
dan penglihatan kabur. Manifestasi pada jantung dapat berupa insufisiensi aorta, dilatasi
pangkal aorta,, jantung membesar, gangguan konduksi. Pada paru dapat terjadi fibrosis,
umumnya setelah 20 tahun menderita SA, dengan lokasi pada bagian atas, biasanya bilateral,
dan tampak bercak-bercak linier pada pemeriksaan radiologis, menyerupai tuberkulosis.
3.7 PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik spondilitis ankilosis dapat ditemukan:
Sikap/postur tubuh
Selama perjalanan penyakitnya, sikap tubuh yang normal akan hilang. Lordosis
lumbal yang menghilang umumnya merupakan tanda awal. Apabila vertebra cervical
terserang, maka pergerakan leher akan terbatas serta menimbulkan rasa nyeri. Leher
penderita mengalami pergeseran ke depan dan hal ini dapat dibuktikan dengan cara :
penderita diminta berdiri tegak, apabila terjadi pergeseran maka occiput tidak dapat
menempel pada dinding.
Mobilitas tulang belakang
22
Pertama kali yang diperiksa adalah apakah ada keterbatasan gerak. Biasanya
ditemukan adanya keterbatasan gerak pada tulang vertebra lumbal, yang dapat dilihat dengan
cara melakukan gerakan fleksi badan ke depan, ke samping dan ekstensi.
Tes Schober atau modifikasinya, berguna untuk mendeteksi keterbatasan gerak
fleksi badan ke depan. Caranya : penderita diminta untuk berdiri tegak, pada prosesus
spinosus lumbal V diberi tanda (titik), kemudian 10 cm lurus di atasnya diberi tanda ke dua.
Kemudian penderita diminta melakukan gerakan membungkuk (lutut tidak boleh
dibengkokkan). Pada orang normal jarak kedua titik tersebut akan bertambah jauh; bila jarak
kedua titik tersebut tidak mencapai 15 cm, hal ini menandakan bahwa mobilitas tulang
vertebra lumbal telah menurun (pergerakan vertebra lumbal mulai terbatas). Di samping itu
fleksi lateral juga akan menurun dan gerak putar pada tulang belakang akan menimbulkan
rasa sakit.
Ekspansi dada
Penurunan ekspansi dada dari yang ringan sampai sedang, sering dijumpai pada
kasus ankylosing spondylitis stadium dini dan jangan dianggap sebagai stadium lanjut. Pada
pengukuran ini perlu dilihat bahwa nilai normalnya sangat bervariasi dan tergantung pada
umur dan jenis kelamin. Sebagai pedoman yang dipakai adalah : ekspansi dada kurang dari 5
cm pada penderita muda disertai dengan nyeri pinggang yang dimulai secara perlahan-lahan,
harus dicurigai mengarah ke adanya ankylosing spondylitis. Pengukuran ekspansi dada ini
diukur dari inspirasi maksimal sesudah melakukan ekspirasi maksimal.
Enthesitis
Adanya enthesitis dapat dilihat dengan cara menekan pada tempat-tempat tertentu
antara lain : ischial tuberositas, troc-hanter mayor, processus spinosus, costochondral dan
manu-briosternal junctions serta pada iliac fasciitis plantaris juga merupakan manifestasi dari
enthesitis.
Sacroilitis
Pada sacroiliitis penekanan sendi ini akan memberikan rasa sakit, akan tetapi hal
ini tidak spesifik karena pada awal penyakit atau pada stadium lanjut sering kali tanda-tanda
ini tidak ditemukan. Pada stadium lanjut tidak ditemukan nyeri tekan pada sendi sacroiliaca
oleh karena telah terjadi fibrosis atau, bony Ankylosis
23
3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis ankilosis meliputi:
1. Pemeriksaan Laboraturium
Tidak ada uji diagnostik yang patognomonik. Peninggian laju endap darah
ditemukan pada 75% kasus, tetapi hubungannya dengan keaktifan penyakit kurang kuat.
Serum C reactive protein (CRP) lebih baik digunakan sebagai petanda keaktifan penyakit.
Kadang-kadang, ditemukan peninggian IgA. Faktor rematoid dan ANA selalu negatif.
Cairan sendi memberikan gambaran sama pada inflamasi. Anemia normositik-normositer
ringan ditemukan pada 15% kasus. Pemeriksaan HLA B27 dapat digunakan sebagai
pembantu diagnosis.
2. Pemeriksaan Radiologi
Kelainan radiologis yang khas pada SA dapat dilihat pada sendi aksial, terutama
pada sendi sakroiliaka, diskovertebral, apofisial, kostovertebral, dan kostotransversal.
Perubahan pada sendi S2 bersifat bilateral dan simetrik, dimulai dengan kaburnya
gambaran tulang subkonral, diikuti erosi yang memberi gambaran mirip pinggir perangko
pos. Kemudian, terjadi penyempitan celah sendi akibat adanya jembatan interoseus dan
osilikasi. Setelah beberapa tahun, terjadi ankilosis yang komplit.
Beratnya proses sakroilitis terdiri dari 5 tingkatan berdasarkan radiologis, yaitu
tingkat 0 (normal), tingkat 1 (tepi sendi menjadi kabur), tingkat 2 (tingkat 1 ditambah
adanya sclerosis periartikuler, jembatan sebagian tulang atau pseudo widening, tingkat 3
(tingkat 2 ditambah adanya erosi dan jembatan tulang), serta tingkat 4 (ankilosa yang
lengkap).
Akan terlihat gambaran squaring (segi empat sama sisi) pada kolumna vertebra
dan osifikasi bertahap lapisan superfisial anulus fibrosus yang akan mengakibatkan
timbulnya jembatan di antara badan vertebra yang disebut sindesmofit. Apabila jembatan
ini sampai pada vertebra servikal, akan membentuk bamboo spine. Keterlibatan sendi
panggul memperlihatkan adanya penyempitan celah sendi yang konsentris,
24
ketidakteraturan subkhondral, serta formasi osteofit pada tepi luar permukaan sendi, baik
pada asetabulum maupun femoral. Akhirnya, terjadi ankilosis tulang dan pada sendi bahu
memperlihatkan penyempitan celah sendi dengan erosi.
3.9 PENATALAKSANAAN MEDIKAMENTOSA
Pengobatan dengan Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) untuk mengurangi nyeri,
mengurangi inflamasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Indometasin 75-150 mg
perhari memegang rekor terbaik. Apabila pasien tidak mampu mentolerir efek samping
seperti gangguan lambung atau gangguan SSP berupa sakit kepala dan pusing, maka AINS
yang lain dapat dicoba.
Pasien yang tidak responsif dengan indometasin atau AINS yang baru lainnya dapat
dicoba dengan fenilbutazon 100-300 mg per hari. Tingginya insiden agranulositosis atau
anemia aplastik akibat efek samping obat ini dibandingkan dengan AINS yang lain perlu
disampaikan pada pasien dengan jumlah eritrosit dan leukosit harus selalu dimonitor.
Preparat emas dan penisilamin telah digunakan pada pasien dengan poliartritis perifer.
Publikasi studi klinik terakhir dari Sulfasalazin 2-3 gram perhari, baik nyeri maupun kelainan
spinal.
Bila keluhan sangat mengganggu dalam kegiatan sehari-hari dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan artroplasti atau koreksi deformitas spinal. Tindakan ini sangat berguna untuk
mengurangi keluhan akibat deformitas tersebut.
Pengobatan lain dapat digunakan Biologic Response Modifiers (Remicade® =
Infliximab; Enbrel® = Etanercept; Kineret® = Anakinra; Humira® = Adalimumab; Mabtera® =
Rituximab). AS yang tidak responsif dengan AINS dapat digunakan protokol “Step-down
Bridge” menggunakan kombinasi 6 imunosupresan intravena dan oral (SBP-6-IMNs). AS
yang refrakter terhadap AINS adalah AS yang laju endap darah (LED), C-Reactive Protein
(CRP) dan Skor BASDAI-nya tidak membaik atau memburuk secara bermakna meskipun
telah diterapi dengan paling sedikit 2 AINS yang berbeda dalam kurun waktu sedikitnya 2
bulan. Pada AS dengan LED, CRP, dan BASDAI skor tinggi (> 4), inflamasi autoimun harus
ditekan seluruhnya sesegera mungkin.
25
Metode terapi standar protokol “Step-down Bridge” menggunakan kombinasi 6
imunosupresan intravena dan oral harian intravena 5 kali per minggu yang terdiri dari:11
Siklofofamid + Metilprednisolon + 5 Fluro Urasil harian + Metrotreksat
mingguan + tanpa kortikosteroid oral (metilprednisolon, prednison, atau prednisolon), atau
Siklofofamid + 5 Fluro Urasil + Metrotreksat mingguan tanpa
Metilprednisolon dan kortikosteroid oral.
Jumlah maksimum sesi intravena harian adalah 5 kali per minggu untuk mencegah
dosis kumulatif mingguan yang tinggi dan efek samping. Pada AS refrakter siklofosfamid,
Ifosfamid adalah suatu analog yang menggantikan siklofosfamid. Pada kasus-kasus resisten,
pasien tidak lagi imuno-naif terhadap Siklofosfamid + Metilprednison + Metrotreksat
mingguan. Walau demikian, pasien-pasien ini masih imuno-naif terhadap kombinasi baru
Ifosfamide + 5 flourourasil intravena. Ini dapat kembali menimbulkan remisi pada AS yang
refrakter terhadap Siklofofamid + Metilprednisolon + Metrotreksat mingguan (komunikasi
pribadi).
Dosis intravena
1. Siklofosfamid 25 – 100 mg per sesi +
2. Metilprednison 0 – 125 mg per sesi +
2. Metrotreksat 5 – 15 mg per sesi sekali seminggu +
3. 5 Flurourasil 25 – 100 mg per sesi) +
Dosis minimum perlu digunakan pada pasien yang sensitif atau pada mereka dengan
berat badan yang sangat rendah (< 35 Kg). Pasien yang sensitif mungkin menderita efek
samping dengan dosis 100 mg siklofosfamid dan 5 flurourasil, 15 mg metrotreksat, dan 125
mg metilprednison, tapi tidak pada dosis 75, 50 atau 25 mg siklofosfamid, 5 flurourasil atau
dosis 5 mg metrotreksat. 11
Sebenarnya metilprednisolon tidak mutlak dibutuhkan untuk mencapai DiC dan
RworalDs pada Nr-AS, tetapi secara relatif dibutuhkan untuk tapering-off dan mencapai DiC
pada pasien yang masih menggunakan kortikosteroid oral saat datang. Akan tetapi kombinasi
CyC + 5FU + MPS + MTX mingguan (SBP-6-IMNs) memberikan: efikasi yang lebih cepat,
mengurangi jumlah total frekuensi sesi intravena; mengurangi ketergantungan pada
kortikosteroid yang masih diminum pasien saat datang.
Penurunan kadar terapi IV secara bertahap (Tapering Off)
26
Jika LED turun menjadi < 40, < 30 dan < 25 mm/1 jam (pria < 30, < 20, dan < 15
mm/1 jam), sesi IV diturunkan masing-masing menjadi 3, 2 dan 1 kali per minggu. Setelah
CRP < 3 mg%, BASDAI < 1, dan LED < 25 (wanita) atau < 15 mm (pria) Nr-AS dikatakan
telah mencapai DiC. Kemudian sesi IV diturunkan menjadi 1 kali tiap dua minggu, 1 kali tiap
4 minggu, 1 kali tiap 8 minggu dan dihentikan. Pada beberapa pasien dengan AS yang telah
lama diderita, dosis final pada minggu ke-12 mungkin dibutuhkan.
3.9 PENATALAKSANAAN NON-MEDIKAMENTOSA
Fisioterapi
Tujuan utama fisioterapi pada SA adalah untuk memperbaiki mobiltas dan kekuatan
serta mencegah atau menurunkan terjadinya abnormalitas kurva tulang belakang. Fisioterapi
mempunyai peranan terhadap manajemen SA namun tidak dapat menggantikan pengobatan
medikamentosa. Pengobatan dan fisioterapi adalah bersifat koplementer satusama lain.
Prinsip pengobatan utama pada SA adalah dengan menghilangkan nyeri, mengurangi
inflamasi, latihan fisik untuk perbaikan kekuatan otot, dan memelihara postur tubuh.
Penderita dianjurkan tidur terlentang menggunakan kasur yang agak keras dengan sebuah
bantal tipis. Menggunakan bantal yang tebal atau beberapa bantal sebaiknya dihindari. Pada
pagi hari, mandi air hangat, diikuti latihan fisik untuk penguatan otot-otot belakang (sesuai
dengan petunjuk dokter atau dokter fisioterapi). Hal ini sebaiknya dilakukan di rumah secara
teratur. Tidur tengkurap selama beberapa menit dilakukan beberapa kali dalam sehari
merupakan tindakan yang bermanfaat dalam menjaga pergerakan ekstensi spinal.
Latihan fisik penting dilakukan karena penyakit ini cenderung terjadi kelainan berupa
fleksi spinal yang progresif. Oleh karena itu, otot-otot ekstensor spinal harus diperkuat.
Manuver lain yang perlu dilakukan adalah bernapas dalam dan gerakan fleksi lumbal yang
isometrik. Posisi postur tubuh harus diperhatikan setiap saat. Kursi dengan sandaran yang
keras dianjurkan, tetapi diutamakan lebih banyak berjalan dari pada duduk.
Berenang merupakan latihan fisik yang terbaik selama otot-otot masih boleh menahan
dalam keadaan ekstensi. Fusi spinal merupakan komplikasi dari spondilitis. Karena itu, postur
harus dipertahankan dan menghindari terjadinya kontraktur dalam posisi fleksi dari bahu dan
27
lutut. Penderita dianjurkan setiap saat tegak, seolah-olah tumit, bokong, pundak, bahu, dan
belakang kepala selalu bersandar pada dinding.
Pembedahan
Pembedahan mungkin dibutuhkan dalam beberapa kasus SA. Mekanisme yang
menyebabkan terjadinya osifikasi ligamen dan sendi sehingga terjadi fusi pada columna
vertebrae belum dijelaskan secara rinci. Sebagai dampak dari fusi columna vertebrae ini
terjadi keterbatasan dalam gerakan dan elatisitas. Munurunnya fleksibilitas dapat berakibat
akan terjadinya berbagai kelainan pada tulang belakang seperti fraktur dan dislokasi, atlanto-
axial dan atlanto-occipital subluxiation, deformitas tulang belakang, stenosis tilang belakang,
dan kelainan pinggul. Ketika komplikasi ini terjadi. Tindakan pembedahan mungkin dapat
dibutuhkan.
3.10 PROGNOSIS
Prognosis dari SA sangat bervariasi dan susah diprediksi. Secara umum, penderita
lebih cenderung dengan pergerakan yang normal daripada timbulnya restriksi berat.
Keterlibatan ekstraspinal yang progresif merupakan determinan penting dalam menentukan
prognosis. Beberapa survei epidemiologis menunjukkan bahwa apabila penyakitnya ringan,
berkurangnya pergerakan spinal yang ringan, dan berlangsung dalam 10 tahun pertama maka
perkembangan penyakitnya tidak akan memberat. Keterlibatan sendi-sendi perifer yang berat
menunjukkan prognosis buruk. Sebagian besar penderita dengan SA memperlihatkan keluhan
serta perlangsungan yang ringan dan dapat dikontrol sehingga dapat menjalankan tugas dan
kehidupan sosial dengan baik.
Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih banyak
memperlihatkan keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya, bamboo spine lebih sering
terlihat pada pria2-5,12-15. Terdapat dua gambaran yang secara langsung berpengaruh
terhadap morbiditas, mortalitas, dan prognosis. Keduanya dianggap sebagai akibat dari
trauma, baik yang tidak disadari maupun trauma berat. Awalnya, terjadi lesi destruksi pada
salah satu diskovertebra, biasa terjadi pada segmen spinal yang bisa dilokalisir, dan ditandai
dengan nyeri akut atau berkurangnya tinggi badan yang mendadak. Skintigrafi dan tomografi
tulang memperlihatkan kelainan, baik elemen anterior maupun posterior. Imobilisasi yang
tepat dan diperpanjang dapat memberikan penyembuhan pada sebagian besar kasus.
28
Komplikasi kedua yang menyusul trauma berat maupun yang ringan berupa fraktur yang
dapat menyebabkan koropresi komplit atau inkomplit.
BAB IV
KESIMPULAN
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosisdi sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium tuberculosa yang
mengenai tulang vertebra.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mycobacterium tuberkulosa atipik. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh
karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada
punggung.
Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulangvertebra, demikian pula
belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap,
terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya
destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk
akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri
radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus),
bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah
disebutkan di atas.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Martini F.H., Welch K. Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New
Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151pg
2. Anatomi fungsional vertebra, accessed on 1 july, Available from
http://fisiosby.com/anatomi-fungsional-vertebrae
3. Medlinux, Spondilitis Tuberkulosa, accessed on 1 july, Available from
http://medlinux.blogspot.com/2007/09/spondylitis-tuberkulosa.html
4. Rasjad C, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Jakarta: hal 144-149
5. Hidalgo JA, Pott Disease (Tuberculous Spondylitis), Herchline T, Talavera F, Jhon
JF, Mlonakis E, Cunha BA, accessed on 1 july, Available from
http://www.emedicine.com/med/infecMEDICAL_TOPICS.htm
6. Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; hal. 1226-
1229
7. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In :Musculoskeletal
Imaging: A Concise Multimodality Approach. New York :Thieme, 2001 : 150, 334-
36.
8. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology
and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388
9. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen
A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management.
London :Springer-Verlag, 1997 : 378-87.
10. Sidharta P, Spondilitis Tuberculosa, in Lazuardi S, Hok TS, Sudibjo AI, at all eds,
Neurologi Klinik dalam Praktek Umum,Dian Rakyat, Jakarta 1999:341
11. Dewi LK, Edi A, Suarthana E, Spondilitis Tuberkulosa, in Mansjoer A, Suprohaita,
Wardhani WI, Setiowulan W, eds, Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculapius
Jakarta 2000 : 58
12. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics. 2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91
13. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed.Rothman
Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64
30
14. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer
RD. editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-
Year Book, Inc., 1993 : 387-90.
31