referat hd lengkap

32
I. PENDAHULUAN Sejak pada tahun 1960 hemodialisa diterapkan sebagai suatu terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal terminal. Hemodialisa merupakan terapi pengganti yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial kidney atau dialyzer). Biasanya di Indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu. Setiap kali hemodialisa dibutuhkan waktu selama kurang lebih 5 jam. Di beberapa pusat dialysis lainnya ada yang dilakukan hemodialisa 3 kali seminggu dengan lama dialysis 4 jam. Hemodialisa merupakan salah satu terapi faal ginjal dengan tujuan untuk mengeluarkan zat – zat metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan diasilat melalui membrane semipermeabel yang bersifat sebagai pengganti ginjal. Hemodialisis sering disebut pada orang awan sebagai terapi cuci darah. Hemodialisa terbukti dapat bermanfaat dalam memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal. Dalam suatu proses hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin kedalam kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat atau fiber sintetis yang berlubang kecil ditengahnya. Darah mengalir di dalam lubang serat sedangkan cairan dialisis yaitu dialisat mengalir diluar 1

Upload: reza-adrian

Post on 27-Oct-2015

119 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

HD

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN

Sejak pada tahun 1960 hemodialisa diterapkan sebagai suatu terapi pengganti

ginjal pada pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal terminal. Hemodialisa

merupakan terapi pengganti yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial kidney

atau dialyzer). Biasanya di Indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu. Setiap

kali hemodialisa dibutuhkan waktu selama kurang lebih 5 jam. Di beberapa pusat

dialysis lainnya ada yang dilakukan hemodialisa 3 kali seminggu dengan lama

dialysis 4 jam.

Hemodialisa merupakan salah satu terapi faal ginjal dengan tujuan untuk

mengeluarkan zat – zat metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air

dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan diasilat

melalui membrane semipermeabel yang bersifat sebagai pengganti ginjal.

Hemodialisis sering disebut pada orang awan sebagai terapi cuci darah. Hemodialisa

terbukti dapat bermanfaat dalam memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas

hidup penderita gagal ginjal terminal. Dalam suatu proses hemodialisis, darah

penderita dipompa oleh mesin kedalam kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer

mengandung ribuan serat atau fiber sintetis yang berlubang kecil ditengahnya. Darah

mengalir di dalam lubang serat sedangkan cairan dialisis yaitu dialisat mengalir diluar

serat. Dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel tempat terjadinya

proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik

melintasi membran dialyzer dengan cara menerapkan tekanan negatif ke dalam

kompartemen dialisat yang menyebabkan air dan zat-zat terlarut berpindah dari darah

ke dalam cairan dialisat. Hal ini dapat bermanfaat untuk menyedot kelebihan cairan

tubuh dan sampah-sampah sisa hasil metabolik.

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang ini

telah dilaksanakan pada banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal

yang kompartemen darahnya adalah kapiler selaput semipermeabel (hollow fibre

kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur tertinggi sampai

sekarang adalah 14 tahun.

1

II. DEFINISI

Hemodialisa berasal dari kata hemo dan dialisa. Hemo adalah darah

sedangkan dialisa adalah pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa

menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang

dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini

dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialysis

yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permeable.

Menurut Price dan Wilson, dialisa merupakan suatu proses solute dan

air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari

kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa

peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip

dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke

larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan

tertentu.(15)

Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox, hemodialisa didefinisikan

sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran

semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan

untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan

melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar

dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran.

Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi

dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode

yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika

Serikat.(17)

Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus

yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan

untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar

dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke

aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula

arteriovenosa) melalui pembedahan.(13)

2

III. INDIKASI

Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih

dari 300.000 orang di Amerika Serikat. Standarisasi terapi ini dimulai pada

tahun 1973 oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner.

Terapi ini juga mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi

kesehatan pasien. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi

berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai

penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah

tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau

memperlihatkan gejala klinis lainnya. Penderita tidak boleh dibiarkan terus

menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari

tidak dilakukan lagi.(1)

Klasifikasi Penyakit Ginjal KronikStadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus

(mL/menit/1,73m2)Risiko meningkat Normal > 90, terdapat faktor risikoStadium 1 Normal atau meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal,

proteinuria menetap, kelainan sedimen urin, kelainan kimia darah dan urin, kelainan pada pemeriksaan radiologi.

Stadium 2 Penurunan ringan 60-89Stadium 3 Penurununan sedang 30-59Stadium 4 Penurunan berat 15-29Stadium 5 Gagal Ginjal <15

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)

(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)

kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia

atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat

menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi

khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia,

asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.(4,5,14)

3

Thiser dan Wilcox menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai

ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan

kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia

dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan

hemodialisa. (17)

Elektif Hemodialisa CITO Hemodialisa

Sindrom uremia Hiperkalemia

HT sulit dikontrol Edema paru

Overload cairan / CHF Asidosis metabolik berat

Persiapan preoperasi Overdosis obat

Oligouria – anuria 3-5 hari Perikarditis / efusi perikard

Profilaksis dini :

Kreatinin > 8-12 mg%

BUN 100 – 123 ng%

Koma

Tabel 2. Indikasi Hemodialisa

Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis

adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari < 15 mL/menit,

sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai pemeriksaan tanda

dan gejala serta pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut :

a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

Penderita dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan asidosis

metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah dan

anoreksia. Tanda – tanda overload cairan seperti edem, sesak napas akibat

edema paru, serta adanya gangguan jantung. Penderita juga dapat

mengeluhkan sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.

b. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan :

Kreatinin serum > 8 mg/dL

Ureum darah > 200 µ/dL

4

Hiperkalemi

pH darah < 7,1

IV. KONTRAINDIKASI

Menurut Thiser dan Wilcox, kontra indikasi dari hemodialisa adalah

hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan

sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI kontra indikasi dari

hemodialisa adalah tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses

vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi

hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi

infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan

keganasan lanjut.(14)

V. AKSES VASKULAR

Akses vaskular sangat penting pada prosedur hemodialisis dengan

tujuan untuk menghubungkan sirkuit darah pasien dengan membran dializer.

1. Akses vaskular sementara

Metoda ini melalui pembuluh darah vena yaitu femoral dan vena

jugularis interna. Kerugian metoda ini pasien kurang nyaman, 3 kali

tusukan vena femoral per minggu, tidak boleh bergerak selama 5 jam

sesi dialisis, mungkin perdarahan bila salah sasaran tusukan (arteri

femoralis). Kendala teknik akses vena femoral terutama pasien dengan

edema anasarka dan keadaan darurat medik. Akses vaskular melalui

vena jugularis interna dengan menggunakan silastic twin catheter atau

double lumen catheter merupakan metoda cukup memuaskan dan

nyaman untuk pasien. Metoda ini dapat digunakan untuk beberapa

minggu sampai fistula AV standar siap untuk dipakai prosedur

hemodialisis.

2. Akses vaskular permanen

2.1. Fistula arteriovenosa (AV) standar

5

Belding H. Sribner dkk. pertama kali menggunakan akses vaskuler

permanen bentuk external arteriovenous (AV) shunt. Kelemahan

teknik ini sering menimbulkan masalah; seperti infeksi, ruptur akibat

trauma, sering menganggu kehidupan sehari-hari. Cimino dan

Brescia (1966) menganjurkan teknik baru yaitu internal

arteriovenous (AV) shunt. Pada saat ini telah tercapai kesepakatan

universal bahwa subcutaneous arteriovenous radiocephalic fistula

merupakan metoda pilihan pertama untuk akses vaskular.

2.2. Metode alternatif

Pada pasien usia lanjut terutama disertai diabetes kegagalan fistula

AV sering dijumpai setelah bertahun-tahun menjalani hemodialisis

reguler. Kegagalan fistula ini mungkin disebabkan proses

aterosklerosis. Maka diperlukan teknik lain, yaitu autogenous atau

allogenous vein grafts dan prosthetic.

3. Komplikasi arteriovenosa

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain : stenosis,

clotting, infeksi (lokal maupun sistemik), aliran darah berlebihan

(resiko high-output failure), iskemia distal, aneurisma venosa

dilatasi, perdarahan akibat ruptur aneurisma, edema lengan atau

tungkai akibat stenosis vena sentralis, dan hematoma lokal.

VI. PROSES HEMODIALISA

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi,

osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan

melaui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki

konsentrasi tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses

osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien

tekanan, gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif

yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak dapat

6

mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan

hingga tercapai isovelemia (keseimbangan cairan).

Sistem tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan

berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme

untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian

dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena.

Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu

saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk

menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa

metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan

hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang

akan masuk ke dalam mesin hemodialisa. Hemodialisa dilakukan pada penyakit

gagal ginjal terminal yaitu dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung

ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah

pasien dialirkan dan dipompa ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput

permiabel buatan (artificial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen

dialisat dialairi cairan dialysis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan

komposisi elektrolit yang sama dengan serum normal dan tidak mengandung

sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialysis dan darah yang terpisah akan

mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi

yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama

di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialysis, air juga berpindah dari

kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan

tekanan hidrostatik negative pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air

disebut dengan ultrafiltrasi.(1,2,3,4)

Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan

hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat

dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah

dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan

menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur

7

tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga

meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa

dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan

dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk

mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin

juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood

(QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik.

Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat

untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung

udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke

dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka

hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm

untuk berbagai parameter.(12,13,15)

Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran

semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain

untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah dialisat

ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan

sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut

kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah

tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini

sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya

banyak tabung kapiler.(7,8,9,15)

Menurut PERNEFRI waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan

dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan

frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu

dengan QB 200–300 mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari diantara

hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.

Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah

merah rusak dalam proses hemodialisa.

8

Price dan Wilson menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan

meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan

hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal.

Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau

masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat. Hemodialisa

rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar

dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan

keadaan pasien.(15)

VII. KOMPOSISI DIALISAT

Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses hemodialisa,

terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir

sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan osmotic yang sama dengan

darah. Fungsi cairan dialysis adalah mengeluarkan dan menampung cairan serta

sisa-sisa metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-zat vital dari

tubuh selama dialisa.

Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati

komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki

gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Urea,

kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke

dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Kerugian

cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di

dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat

cairan asetat akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah

yang akan diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang

terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat

memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan asidosis yang

biasa terdapat pada pasien gagal ginjal terminal dan tidak menimbulkan

vasodilatasi. (15)

9

Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit dan atau

zat antara lain :

1. NaCl / Sodium Chloride

Natrium merupakan determinan utama osmolalitas dialisat. Konsentrasi

natrium dalam dialisat paling sedikit harus sama dengan plasma untuk

mencegah kehilangan natrium akibat proses difusi. Dialisat hiponatremi

dapat menyebabkan episode hipotensi, sakit kepala dan kram otot. Pada

umumnya konsentrasi natrium dalam dialisat sekitar 140 mmol/L sudah

cukup untuk eleminasi cairan sebanyak 3-4 L tanpa efek samping.

2. CaCl2 / Calium Chloride

Konsentrasi kalium dalam dialisat 2 mEq/L, digunakan untuk

mengeluarkan retensi kalium selama periode antar hemodialisis dan

selama prosedur hemodialisis 4-5 jam. Konsentrasi kalium dapat

ditingkatkan sampai 3-4 mEq/L sesuai kebutuhan, khususnya

hipokalemia pada akhir sesi hemodialisis untuk mencegah cardiac

arrhytmia terutama pasien usia lanjut.

3. Mgcl2 / Magnesium Chloride

Hipermagnesemia akut dapat menyebabkan gangguan konduksi

atrioventrikular dan intraventrikular, dan depresi sistem saraf.

Hipermagnesemia kronik mempunyai peranan pada patogenesis

osteodistrofi renal dan kalsifikasi jaringan ikat. Rekomendasi

konsentrasi magnesium dalam konsentrat dialisat 0,5-0,75 mmol/L (1,15

mEq/L).

4. Kalsium

Konsentrasi kalsium dalam dialisat harus cukup tinggi untuk mencegah

keseimbangan negatif selama hemodialisa. Konsentrasi kalsium dalam

dialisat 3,25 – 3,5 mEq/L.

5. Asetat

Presipitasi bikarbonat mungkin didapatkan karena keberadaan ion

kalsium dan magnesium. Upaya untuk mencegah presipitasi bikarbonat

10

diperlukan subsitusi sumber sodium asetat sebagai salah satu pilihan

alternatif. Pada pasien hemodialisis maximum acetate utilization rate

diperkirakan 3,0 – 3,5 mmol/kg/jam. Bila digunakan high-efficiency

dialyzer, kecepatan pergerseran asetat dari dialisat mungkin melebihi

kemampuan metabolisme hepar sehingga menyebabkan hiperasetatemia.

Presentasi klinik hiperasetatemia meliputi hipotensi, kram otot, sakit

kepala, mual dan muntah.

6. Bikarbonat

Bikarbonat merupakan zat pengganti yang penting dalam cairan dialisis,

karena lebih fisiologis untuk koreksi asidosis metabolik dibandingkan

dengan dialisat asetat. Berbeda dengan dialisat asetat, konsentrasi

bikarbonat darah dan pH meningkat gradual selama prosedur

hemodialisa dan kenaikan pasca hemodialisis dapat dihindari sehingga

pasien bebas dari gejala. Rekomendasi konsentrasi bikarbonat dalam

cairan dialisis 26-36 mmol/L.

7. Klorida

Konsentrasi anion klorida sama dengan konsentrasi total kation

(terutama natrium) minum konsentrasi asetat atau anion bikarbonat

untuk mempertahankan electrochemical neutrality dari cairan dialisis.

Rekomendasi konsentrasi klorida dalam dialisat bervariasi antara 105

dan 120 mEq/L.

8. Glukosa

Hemodialisis menggunakan dialisat bebas glukosa (glucose free

dialysate). Sejumlah glukosa akan bergeser dari darah ke kompartemen

dialisat diperkirakan 25-30 g setiap kali prosedur hemodialisa.

Kehilangan glukosa selama prosedur hemodialisis mungkin

menyebabkan dialysis associated symptoms seperti sakit kepala,

mual,dan muntah pasca hemodialisa. Bila prosedur hemodialisis

menggunakan dialisat tanpa glukosa tubuh akan kehilangan aminoacid

cukup tinggi yaitu 10 gram per sesi hemodialisis. Kehilangan aminoacid

11

dibatasi hanya sekitat 1-3 gram per sesi hemodialisis bila menggunakan

cairan dialisis mengandung glukosa. Aminoacid wasting bersama

dengan peningkatan katabolisme protein dapat merangsang kehilangan

glukosa ke kompartemen dialisat, dan mungkin diikuti keseimbangan

negatif protein. Rekomendasi konsentrasi glukosa dalam cairan dialisis

antara 1-2 gram/L untuk pasien nefropati diabetik dan usia lanjut.

Dialysat bikarbonat dan/atau dialisat mengandung glukosa diduga

merupakan media subur untuk pertumbuhan bakteri dan pembentukan

endotoksin, merupakan resiko tinggi dialysate contamination. Teknik

disinfeksi ketat disertai pemeliharaan mesin hemodialisis dan sirkuit

water treatment sangat penting. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah

ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam

dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia.

Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang

tinggi, karena pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat

perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.

VIII. MANAJEMEN PASIEN HEMODIALISA

1. Sesi hemodialisis pertama

Durasi hemodialisis pertama harus singkat (2 atau 3 jam) untuk mencegah

penurunan drastis konsentrasi urea serum dan sindrom disequilibrium.

2. Monitoring selama sesi hemodialisis berikutnya

2.1. Vascular connection

Insersi jarum arterial harus lebih distal dari insersi venosa untuk

mencegah resirkulasi darah.

2.2. Heparinisasi

Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini

akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya

bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin

12

selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin, yaitu

teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik

heparin rutin, teknik yang sering digunakan sehari-hari, heparin

diberikan dengan cara bolus diikuti dengan continous infusion. Pada

keadaan dimana resiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik

heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan

risiko perdarahan berat misalnya pada pasien dengan perdarahan

intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan pascaoperasi dengan

perdarahan.

2.3. Aktivitas pasien

Pasien dapat beraktivitas seperti membaca, menonton, dan lain-lain.

Namun sebaiknya dibatasi.

2.4. Pengawasan klinik selama sesi hemodialisis

Tekanan darah, denyut nadi, tekanan pada blood line dan dialisat dan

ultrafiltration rate harus selalu dicatat, berat badan pre dan pasca

hemodialisis.

3. Komplikasi intradialitik

3.1. Komplikasi teknik

Resiko Teknik Presentasi Klinik

Udara masuk sirkuit darah Emboli udara

Dialisat hipotonik Hemolisis masif

Dialisat hipertonik Hipernatremia, haus, sakit kepala,

bendungan paru dan kejang

Dialisat overheated Hemolisis dan pembekuan darah

Pertukaran bikarbonat dengan

konsentrasi acid

Alkalosis hebat

Diskoneksi tabung darah Perdarahan, kolapse

13

3.2. Komplikasi terkait hemodialisis

3.2.1. Hipotensi terkait hemodialisis

Etiologi paling sering berhubungan dengan penurunan volume

plasma, kegagalan efek vasokontriksi, dan faktor jantung

terutama pada pasien nefropati diabetik dan usia lanjut.

Manajemen hipotensi disertai kram otot : ultrafiltration rate

dan blood flow rate dikurangi, pasien posisi trendelenberg,

berikan infus garam fisiologis 100-500 ml, atau garam

hipertonis sebanyak 10-20 ml dalam waktu 3-5 menit.

3.2.2. Kram otot

Kram otot (betis) disebabkan penurunan volume CES akibat

peningkatan ultrafiltation rate atau konsentrasi Na dalam

konsentrat tidak adekuat. Pemberian garam fisiologis atau

hipertonis merupakan terapi pilihan pertama.

3.2.3. Mual, muntah dan sakit kepala

Tidak jarang merupakan salah satu presentasi klinik

disequilibrium syndrome.

3.2.4. Sakit dada

Harus dicurigai sebagai kegawat daruratan yang berhubungan

dengan angina, infark miokard, atau perikarditis, atau

berhubungan dengan hemolisis akut atau reaksi anafilaktoid.

3.2.5. Gatal

Etiologi deposit kristal kalsium-fosfor (hiperparatiroidisme),

kulit kering, alergi terhadap obat (heparin), dan pelepasan

histamin. Terapi kausal dan simptomatis (diphenhydramine,

ketotifen).

3.2.6. Febris

Berhubungan dengan reaksi pirogen atau infeksi

mikroorganisme.

14

4. Komplikasi interdialitik

Komplikasi selama periode antar hemodialisis lebih sering berhubungan

dengan gangguan keseimbangan air dan elektrolit (natrium dan kalium).

Presentasi klinik dengan bendungan paru akut, asidosis, dan hiperkalemia,

merupakan keadaan darurat medik memerlukan terapi hemodialisis akut.(15)

5. Pemantauan evaluasi jangka panjang

Setiap pasien baru dilakukan penilaian yang meliputi pemeriksaan fisik

lengkap dan penunjang sebagai berikut : (14)

Darah perifer lengkap

Elektrolit darah (Na, K, Cl, Ca, P)

HBsAg

Anti HCV, HIV

Foto dada

EKG/Ekokardiografi

Bila tidak ada indikasi khusus, maka dilakukan pemeriksaan sesuai

jadwal berikut ini :

Na, K, Ca, P, Ureum (tiap 3 bulan)

SI, TIBC, Ferritin

HBsAg, Anti HCV, analisa gas darah, EKG (tiap 6 bulan)

Ekokardiografi (tiap 3 tahun)

Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan adalah :

Mg (khusus untuk aritmia) dan PTH tiap tahun

Radiologik, densitometer tulang dan HIV pada keadaan khusus.

IX. DIALISIS PERITONEAL

15

Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu

penanganan pasien GGA maupun GGK, menggunakan membran peritoneum

yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi.

Keuntungan dialisis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara

teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan

fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Dialisis

peritoneal dapat berupa :

a) Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD). Dilakukan 3-5 kali perminggu

dan tiap kali dialisis selama 8-14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti

HD kronik hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama

karena efisiensinya jauh dibawah HD.

b) Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD). Dilakukan tiap hari dan

dilakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisat sebanyak 3-4

kali. Cairan dialisis terkahir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama

12-14 jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum

peritoneum selama 2,5-3 jam.

c) Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Dilakukan 3-5 kali

per hari, 7 hari per minggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam

kavum peritoneum (dwell-time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-

time pada waktu siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam. CAPD

memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15 jam per

minggu.

Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai stylet-catheter (kateter

peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum,

sehingga ujung kateter terletak dalam cavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan

diaisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut.

Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan

antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam

pembuluh darah di peritoneum. Sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin,

16

kalium, dan toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal,

pada gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena

kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan

akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh.

Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti

dengan cairan dialisat yang baru.

Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti

pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi. Pada

umumnnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk

mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila

DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk

mencegah terjadinya hipokalemia, dalam cairan dialisat dapat ditambahkan

kalium 3,5 – 4,5 mEq/liter cairan dialisat. Heparin ditambahkan dalam cairan

dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat

mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan

dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan.

Indikasi pemakaian DP, antara lain GGA, GGK, gangguan

keseimbangan cairan, elektrolit, atau asam basa, intoksikasi obat atau bahan

lain, keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya. Kontraindikasi

absolut tidak ada. Kontraindikasi relatif yaitu keadaan yang kemungkinan

secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya

komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis

lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan

intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen

yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak

adekuat.

Komplikasi dapat berupa komplikasi mekanis, komplikasi metabolik

dan komplikasi radang. Komplikasi mekanis yaitu perforasi organ abdomen,

perdarahan yang dapat menyumbat kateter, gangguan drainase (aliran cairan

dialisat), bocornya cairan dialisat, serta perasaan tidak enak dan sakit dalam

17

perut. Komplikasi metabolik yaitu gangguan keseimbangan cairan, eletrolit, dan

asam basa, gangguan metabolisme karbohidrat pada pasien DM, kehilangan

protein yang terbuang lewat cairan dialisat, dan sindrom disequilibrium.

Komplikasi radang yaitu infeksi alat pernapasan, sepsis, dan peritonitis.(3)

X. SARAN DAN KESIMPULAN

Hemodialisa merupakan pengganti terapi faal ginjal dengan tujuan untuk

mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan

keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan

kompartemen larutan dialisat melalui selaput semipermeabel yang bertindak

sebaagai ginjal buatan. Tujuan dari hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat

nitrogen yang toksik dari dalam darah pasien ke dializer tempat darah tersebut

dibersihkan dan kemudian dikembalikan ketubuh pasien. Ada tiga prinsip yang

mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Bagi

penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun

demikian, hemodialisa tidak menyebabkan penyembuhan atau pemulihan

penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik

atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan tampak dari gagal ginjal serta

terapinya terhadap kualitas hidup pasien.

Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu

penanganan pasien GGA maupun GGK, menggunakan membran peritoneum

yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi.

Keuntungan dialisis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara

teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan

fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

18

1. Wijaya, Awi Mulyadi;dr. Rabu, 27 Januari 2010.

http://www.infodokterku.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=68:terapi-pengganti-ginjal-atau-

renal-replacement-therapy-rrt&catid=29:penyakit-tidak-

menular&Itemid=18. Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement

Therapy (RRT).

2. Daugridas, JT. Cronic Hemodyalisis Prescription : A Urea Kinetic

Approach. Daugirdas JT, Ing TS (Eds) Handbook of Dialysis 3dh edition by

Lippincott Williams and Willkins Publisers 2000 : 12-47.

3. Rahardjo P., Susalit E., Suhardjono. Hemodialisis. Dalam Buku AJar Ilmu

Penyakit Dalam, Edisi IV,

4. Xue JL, Ma JZ, Louis TA, Collins AJ: Forecast of the number of patients

with end-stage renal disease in the United States to the year 2010. J Am Soc

Nephrol 12:2753-2758, 2001.

5. Albert Lasker : Award for Clinical Medical Research. J Am Soc Nephrol

13:3027-3030, 2002.

6. Kinchen KS, Sadler J, Fink N, et al: The timing of specialist evaluation in

chronic kidney disease and mortality. Ann Intern Med 137:479-486, 2002

7. Vanholder R, De Smet SR: Pathophysiologic effects of uremic retention

solutes. J Am Soc Nephrol 10:1815-1823, 1999.

8. Jonathan Himmelfarb, MD. Hemodialysis Complications. American Journal

of Kidney Disease, vol 45, No.6 (June); 2005: pp 1125-1131.

9. Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan

Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien,

Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta.

10. Ganong, W. F., 1998, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17. EGC,

Jakarta.

11. Guyton, A. C. & Hall, J. E., 1997, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 9.

EGC, Jakarta.

19

12. Havens, L. & Terra, R. P, 2005, Hemodialysis. Terdapat pada:

http://www.kidneyatlas.org.

13. NKF, 2006, Hemodialysis. Terdapat pada: http://www.kidneyatlas.org.

14. PERNEFRI, 2003, Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–

Bagian Ilmu Penyakit dalam. FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Jakarta.

15. Price, S. A. & Wilson, L. M., 1995, Patofisiologi: Konsep klinis proses-

proses penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta.

16. Rose, B. D. & Post, T. W, 2006, Hemodialysis: Patient information,

Terdapat pada: http://www.patients.uptodate.com.

20