bab 1

4
 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari mikroorganisme. Penularan mikroorganisme didasarkan pada tindakan semua orang yang berhubungan dengan sentuhan dan udara, serta melalui benda hidup atau benda mati yang telah terkontaminasi. Tub uh manusia sering m enjadi sumber infeksi , seperti contoh pada orang dewasa diperkirakan mengandung lebih dari 25.000 mikroorganisme per cm  persegi kulit, 250 milyar mikroorganisme di dalam mulut mereka, dan 2,5 trilyun di kolon bagian bawah (Barbara dan Billi e dikutip dari Johson dan Johson Medical, Inc., 1992a). Infeksi mikroorganisme rentan terjadi pada kulit, misalnya pada area luka. Infeksi luka sering berakibat tidak fatal, tetapi dapat menimbulkan cacat kulit. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam dan tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Sjamauhidajat dan Win de Jong, 2004). Penyembuhan luka terkait dengan regenerasi sel sampai fungsi organ tubuh kembali  pulih. Idealnya luka yang sembuh kembali normal secara struktur anatomi, fungsi dan  penampilan. Perawatan luka dimulai dengan mengkaji apakah luka tersebut bersih, atau apakah ada tanda klinik yang memperlihatkan masalah infeksi. Hal pertama yang harus diperhatikan pada penyembuhan luka adalah keadaan aseptis, yaitu dengan menggunakan obat yang berkhasiat sebagai antiseptik. Antiseptik digunakan untuk 

Upload: desi-andriani

Post on 15-Jul-2015

153 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1

5/13/2018 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-55a74ea42c310 1/4

 

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari mikroorganisme. Penularan

mikroorganisme didasarkan pada tindakan semua orang yang berhubungan dengan

sentuhan dan udara, serta melalui benda hidup atau benda mati yang telah

terkontaminasi. Tubuh manusia sering menjadi sumber infeksi, seperti contoh pada

orang dewasa diperkirakan mengandung lebih dari 25.000 mikroorganisme per cm

 persegi kulit, 250 milyar mikroorganisme di dalam mulut mereka, dan 2,5 trilyun di

kolon bagian bawah (Barbara dan Billie dikutip dari Johson dan Johson Medical,

Inc., 1992a). Infeksi mikroorganisme rentan terjadi pada kulit, misalnya pada area

luka. Infeksi luka sering berakibat tidak fatal, tetapi dapat menimbulkan cacat kulit.

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat

disebabkan oleh trauma benda tajam dan tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan,

sengatan listrik atau gigitan hewan (Sjamauhidajat dan Win de Jong, 2004).

Penyembuhan luka terkait dengan regenerasi sel sampai fungsi organ tubuh kembali

 pulih. Idealnya luka yang sembuh kembali normal secara struktur anatomi, fungsi dan

  penampilan. Perawatan luka dimulai dengan mengkaji apakah luka tersebut bersih,

atau apakah ada tanda klinik yang memperlihatkan masalah infeksi. Hal pertama yang

harus diperhatikan pada penyembuhan luka adalah keadaan aseptis, yaitu dengan

menggunakan obat yang berkhasiat sebagai antiseptik. Antiseptik digunakan untuk 

Page 2: Bab 1

5/13/2018 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-55a74ea42c310 2/4

 

menghilangkan mikroorganisme tanpa menyebabkan rusaknya atau teriritasinya kulit

atau selaput lendir (mukosa). Beberapa larutan antiseptik mempunyai efek residu,

yaitu proses penghancuran mikroorganisme terus berlanjut selama satu waktu setelah

diberikan pada kulit atau selaput lendir (Linda Tietjen, dkk., 2004).

Banyak sekali bahan kimia yang memenuhi syarat sebagai antiseptik.

Berdasarkan sifat kimia, antiseptik digolongkan dalam golongan fenol, alkohol,

aldehid asam, halogen, peroksidan dan logam berat. Zat-zat aktif dalam golongan

tersebut mempunyai kegunaan umum yang sudah dipercaya, yaitu seperti rivanol

untuk mengompres luka, alkohol sebagai antiseptik yang optimal, yodium untuk 

desinfeksi pada pembedahan, dan zat aktif hidrogen peroksida sebagai bahan pencuci

luka. Menurut buku Paduan Pencegahan Infeksi (Linda Tietjen, dkk., 2004)

menganjurkan beberapa antiseptik yang sebaiknya digunakan yaitu alkohol,

klorheksidin, iodin, iodofor dan kloroksilenol. Zat-zat aktif tersebut memiliki daya

antiseptik yang dinilai baik, sedang, buruk dan nihil, yaitu kemapuan melawan

  bakteri gram positif, bakteri gram negatif, virus, jamur, dan endospora. Larutan

antiseptik yang dianjurkan telah dinilai juga kegunaan potensialnya yang

menguntungkan dan yang merugikan.

Salah satu komponen antiseptik kulit tertua adalah tinctura yodium, tetapi

mempunyai efek samping yang dapat mengiritasi kulit dan memiliki insiden alergi

yang cukup tinngi. Penggunaan yodium mulai populer kembali pada dasawarsa

terakhir, dengan dibuktikannya bahwa yodium dapat mengikat komponen polivinil

untuk mendapat aksi antibakteri yang baik. Kompleks iodofor yang terbentuk 

Page 3: Bab 1

5/13/2018 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-55a74ea42c310 3/4

 

memiliki frekuensi reaksi alergi dari tinctura yodium yang rendah, sehingga apabila

lapisan iodofor tetap dibirarkan pada kulit, pengeluaran yodium yang lambat tetap

 berlangsung untuk beberapa jam (David C. Sabitson, 1995). Kompleks dari yodium

dengan polivinil pirolidon membentuk zat aktif povidon iodine yang sering

digunakan pada terapi obat luka dan berkhasiat sebagai antiseptik yang

menguntungkan untuk mencegah timbulnya infeksi pada luka yang baru terjadi.

Keuntungan povidone iodine yaitu tidak merangsang, mudah dicuci karena larut

dalam air dan stabil karena tidak menguap. Jika digunakan berulang kali akan

mengendap sehingga efeknya bertahan lama (Arief Mansjoer dkk., 2002).

Setiap sediaan produk memiliki kadar kandungan zat khasiat yang bebeda.

Untuk mengetahui kadar povidone iodine dalam setiap sediaan obat luka cair dapat

ditentukan dengan menggunakan metode iodometri. Metode iodometri merupakan

analisisis titrimetri yang secara tidak langsung untuk zat bersifat oksidator, dimana

zat povidone iodine yang bersifat oksidator direduksi dengan penambahan iodida

  berlebih membentuk yodium, selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium

tiosulfat yang bersifat oksidator, sehingga hasil titrasi bersifat oksidator kembali.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui

kadar povidon iodine yang terkandung dalam beberapa sediaan obat luka cair, apakah

sudah memenuhi persyaratan kadar dalam FI sesuai dengan khasiatnnya sebagai

antiseptik terhadap penyembuhan luka.

Page 4: Bab 1

5/13/2018 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/bab-1-55a74ea42c310 4/4

 

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang menjadi perumusan masalah dalam pengujian

ini adalah apakah kadar povidon iodine yang terkandung dalam sediaan obat luka cair 

sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV (1995) yaitu mengandung

tidak kurang dari 85% dan tidak lebih dari 120% Iodum dari jumlah yang tertera pada

etiket sediaan.

1.3 Tujuan

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Povidon iodine yang

terkandung dalam sediaan obat luka cair yang memenuhi persyaratan Farmakope

Indonesia edisi IV (1995) yaitu mengandung tidak kurang dari 85% dan tidak lebih

dari 120% Iodum dari jumlah yang tertera pada etiket sediaan.

1.4 Manfaat Pengujian

Manfaat dilakukan pengujian kadar povidon iodine ini diharapkan:

1.  Dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang

 pengujian kadar dengan menggunakan metode iodometri.

2.  Dapat meningkatkan ilmu pengetahauan yang sudah dipelajari selama

masa pendidikan bagi mahasiswa Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes

 NAD.

3.  Dapat mengetahui kadar Povididone Iodine yang terkandung dalam

sediaan obat luka cair yang beredar di masyarakat.