bab 1

Upload: publikger

Post on 08-Jul-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pertanian pada akhir-akhir ini menghadapi suatu tantangan yang smakin berat. Salah satunya adalah berkurangnya keberadaan lahan yang subur yang dapat menjamin dalam system pertanian akibat penggunaan lahan untuk sektor non pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut, sektor pertanian dalam memperoleh lahan yang baru harus memanfaatkan lahan cadangan yang ada di luar Jawa yang pada umumnya kondisi lahannya bermasalah atau dapat dikatakan kondisi lingkungan yang tercekam. Beberapa cekaman lingkungan yang ada yang menjadi masalah terbesar saat ini adalah cekaman air kekeringan. Kondisi cekaman ini akan semakin bermasalah apabila terjadi musim kemarau panjang. Dimana yang dimaksud kemarau panjang adalah suatu musim yang jumlah bulan keringnya lebih dari 5 bulan secara berturut-turut, sedangkan yang dimaksud dengan bulan kering adalah suatu periode bulanan dengan curah hujan kurang dari 60 mm (Abdoellah, 1997) Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus ubtuk dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Di daerah itu suhu tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembabvab udara tinggi, dan intensitas cahaya matahari rendah. Kakao merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap cekaman air, baik secara langsung karena musim kemarau panjang, atau secara tidak langsung karena tiupan angin kering yang terus menerus. Kekeringan memang merupakan salah satu cekaman lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap penurunan hasil pertanian atau perkebunan. Dampak langsung dari cekaman air atau cekaman kekeringan yaitu dapat mengakibatkan gugurnya daun, ranting menjadi kering produksi dapat hilang 20-50% dan dapat mengakibatkan kematian pada tanaman, tergantung dari tinkat cekaman kekeringan yang terjadi. Sifat ketahanan terhadap suatu cekaman lingkungan bukan merupakan suatu sidfat yang unik daru suatu genotip yang dapat diwariskan, melainkan merupakan suatu karakter morfologi atau fisiologi yang menyebabkan suatu genotip menjadi tahan dan diwariskan (Soemartono, 1995). Perkembangan klon-klon kakao yang ada saat ini perlu diarahkan pada klon yang mempunyai toleransi yang tinggi cekaman kekeringan (drought stress). Mengingat tanamna

kakao merupakan tanaman penghasil coklat yang dapat diekspor dan dapat memberikan devisa bagi Negara, maka diperlukan dukungan teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam upaya mendukung pengembangannya yang disesuaikan kondisi yang ada sekarang sehingga dapat memberikan keuntungan bagi petani baik dalam hal waktu, tenaga, dan biaya.

1.2 Perumusan Masalah Pengadaan bahan tanam yang mempunyai toleransi yang tinggi terhadap cekaman kekeringan berkaitan dengan salah satu persiapan mengantisipasi berkurangnya keberadaan lahan subur akibat dari penggunaan lahan sebagai sektor non pertanian. Yang menjadi masalah saat ini adalah: 1. bagaimana cara untuk mengetahui tingkat ketahanan beberapa klon kakao terhadap berbagai kondisi cekaman kekeringan 2. bagaimana mendapatkan klon kakao yang paling toleran terhadap kondisi yang paling ekstrim 3. bagaimana mengetaahui interaksi antara klon kakao dengan cekaman kekeringan yang paling sesuai dengan potensi ketahanan yang dimiliki

1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. mengetahui tingkat ketahanan beberapa klon kakao terhadap berbagai kondisi cekaman kekeringan 2. Mengetahui kondisi cekaman kekeringan yang paling ekstrim terhadap tiga macam klon kakao 3. Mengathui interaksi antara klon kakao dengan kondisi cekaman lingkungan yang digunakan.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

1. memberikan pengetahuan yang lebih dalam pengembangan IPTEK serta dapat dimanfaatkan untuk diaplikasikan ke lahan sesuai dengan potensi yang ada 2. memberikan informasi terhadap masyarakat, khususnya petani kakao dalam penggunaan air yang sesuai dengan tingkat ketahanan masing-masing klon kakao 3. memberikan informasi tentang kondisi yang sesuai antara kebutuhan air dengan potensi ketahanan yang dimiliki.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tanaman Kakao Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman tahunan, jika dibudidayakan dengan baik dapat memberikan produksi yang menguntungkan sampai umur yang panjang. Berdasarkan hasil penelitian di tujuh kebun kakao di Jatim, menyebutkan produksi puncak kakao dapat dicapai umur 10-12 tahun. Keuntungan minimal rata-rata pertahun terbesar dapat diperoleh jika tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik (Susanto, 2002). Tanaman kakao disebut dengan Theobroma cacao L. adalah satu spesies dari 22 spesies dalam genus Theobroma yang termasuk dalam family Streculiaceae. Dari ke-22 spesies tersebut tersebut hanya Theobbroma cacao L. yang dibudidayakan secara luas di dunia, spesies lain yang agak dikenal adalah Theobroma bicolor dan Theobroma grandiflorum. Menurut Tjirosoepomo taksonomi tanaman kakao sebagai berikut: Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Spermatophyta : Dycotiledon : Malvales : Stercuiliaceae : Theobroma : Theobroma cacao L.

2.2 Iklim mikro yang ideal untuk pertumbuhan dan produksi kakao Pada tanaman kakao, laju fotosintesis berkurang jika intensitas sinar matahari melebihi 0,75 kal/cm2/menit). Pertumbuhan kakao terbaik dicapai pada intensitas sinat matahari sebesar 30-60% sinar matahari penuh, atau sekitar 0,35-0,70 kal/cm2/menit pada kondisi seperti di kebun Kaliwining. Tanaman kakao muda tumbuh paling baik jika mendapatkan penyinaran matahari langsung selama sekitar 2 jam (Soenaryo, 1978).

Hujan sebanyan 1500-2000 mm/tahun ideal untuk pertanaman kakao, dengan jumlah bulan yang curah hujannya di bawah 100 mm/bulan tidak lebih dari tiga bulan Sebaran curh hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi. Alvim (1979) menunjukkan bahwa keragaman produksi kakao dari tahun ke tahun lebih ditentukan oleh sebaran curah hujan daripada oleh unsure iklim yang lain. Jumlah curah hujan memengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Suhu udara yang rendah akan menghambat pembentukan tunas dan bunga (Alvim, 1979) sedangkan suhu udara yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan pucuk dan mendorong pertumbuhan cabang serta mengakibatkan daun-daun kurang berkembang (Wood, 1975). Suhu optimum untuk berlangsungnya fotosintesis kakao 22,4-30,40C. suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan rusaknya klorofil yang berakibat daun akan mengalami nekrosis dan rontok. HUtcheon (1976) mengemukakan bahwa suhu yang tinggi juga akan memacu fotorespirasi mencapai 20-50% dari hasil fotosintesis bersi atau fotosintat rate (NAR). Imbangan antara laju fotosintesis dengan laju fotorespirasi menunjukkan tingkat efisiensi, sehingga tindakan untuk menekan laju fotorespirasi berarti sama dengan usaha meningkatkan produktifitas. Kecepatan angin juga menentukan keberhasilan usaha tani kakao. Kecepatan angin yang tinggi dan berlangsung lama jelas akan merusak daun kakao, sehingga rontok dan tanaman menjadi gundul. Kerusakan kakao karena angin tersebut akan mempunyai dampak terhadap turunnya produksi kakao. Kecepatan angin sebaiknya kurang dari 4 m/detik dan tidak berlangsung terus menerus, kelembapan udara berkaitan erat dengan curah hujan dan suhu uadara. Unsure ini berhubungan dengan timbulnya penyakit yang menyerang kakao. Pada curah hujan yang tinggi, 3-6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembapan udara tinggi dan munculnya cendawan Phytophthora palmivora yang menjadi penyebab penyabit busuk buah. Tanaman penaung dalam budidaya kakao memiliki banyak fungsi terutama untuk: 1) pematah angin, 2) penyedia bahan organic, dan 3) penghalang intensitas sinar matahari berlebih yang langsung ke tanaman kopi. Dari fungsi ini maka penaung tanaman kakao sangat memengaruhi proses fotosintesis. Proses fotosintesis tanaman kopi hanya dapat berlangsung optimal pada penyinaran yang tidak lebih dari 60% dengan kondisi tanahsubur tanpa angin yang berlebih (PUslit Koka, 2002).

Pada umumnya pohon naungan yang digunakan dalam perkebunan rakyat sangat bervariatif, namun sengon, dadap, dan lamtoro merupakan komoditas tanaman penaung yang paling banyak digunakan oleh masyarakat, terutama penaung permanen. Beberapa jenis pohon naungan yang berbeda tersebut dalam pengelolaan kakao akan menyebabkan intensitas cahaya yang diterima daun tanaman (klorofil) kopi akan berbeda dan akan mengubah kondidi iklim mikro di lahan kopi tersebut. Perubahan iklim mikro yang terjadi akan mempengaruhi konsentrasi CO2 dan O2 seperti fotosintesis dan fotorespirasi. Selain pengaruh faktor-faktor lingkungan di atas, proses fotosintesis dan fotorespirasi juga ditentukan oleh spesies tanaman kopi yang merupakan tanaman C-3. Aspek ekologi dan iklim mikro pada lahan kakao akan memengaruhi efisiensi fotosintesis tanaman kakao. Efisiensi fotosintesis yang rendah pada tanaman C-3 terutama disebabkan oleh fotorespirasi yang aktivitasnya sangat ditentukan oleh temperature yang tidak sesuai adalah pembatas iklim utama untuk proses metabolism dan produksi untuk tanaman kakao. Fotorespirasi akan merugikan tumbuhan C-3 karena proses ini dapat menurunkan efisiensi fotosintesis. Pada proses fotorespirasi O2 menghambat penambatan CO2 oleh enzim Rubisko. Jika O2 di daun lebih banyak dibandingkan CO2 maka Rubisko akan mengkatalis O2 (oksigenase), sehingga dua karbon atom akan menghilang karena RuBP karboksilase akan rusak tanpa menambat CO2 dan fosfiglikolat tidak kembali ke siklus Calvin karena fosfoglykolat bukan merupakan senyawa intermediet siklus Calvin. Jika sepertiga dari reksi rubisko adalah oksigenase maka tidak ada keuntungan yang dihasilkan oleh siklus Calvin (Sallysbury and Ross, 1992). Dalam fotorespirasi tidak dihasilkan ATP dan NADPH sehingga merugikan tanaman. Produk yang dihasilkan adalah glycolate, glyoxylate, glycine, serine, folate, hydroxypyruvate, glycerate, fosfoglycerate yang menggunakan ATP dalam masing-masing proses

pembentukannya. Fotorespirasi merupakan reaksi yang sangat kompleks dengan menggunakan banyak energy dan terjadi di tiga organel sel yang berbeda yaitu: kloro[las, peroksisom dan mitokondria (www.steve.gb.com. 2008). Dari uraian di atas, maka cukup jelas bahwa proses fotorespirasi dapat menurunkan produktifitas tanaman kakao.

2.3 Klon Kakao yang memiliki potensi ketahanan kekeringan ICS 60 berdasarkan pengujian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap lengas tersedia termasuk kedalam kelompok yang memiliki tingkat kegigasan tertinggi selain UIT 1

(Soetanto et al., 1996). PA 200 dan ICS 13 yang memiliki potensi terhadap ketahanan kekeringan. Sca 12 didasarkan pada ketahanan klon ini termasuk kedalam kelompok yang mempunyai toleransi sedang sampai dengan tinggi pada pengujian yang pernah dilakukan terhadap kadar lengas tersedia (Soetanto et al., 1996). Klon ICS 13 memiliki habitus tanaman besar dengan daya hasil 1.852 kh/ha. Berat biji kering 1.03 g/biji dengan warna flush merah tua. Bentuk daun panjang membulat, ujung daun meruncing. Pangkal daun tumpul dengan bentuk buah bulat memanjang. Pangkal buah tumpul tanpa leher botol, kulit buah agak kasar. Alur buah tegas dengan ujung buah meruncing. Warna buah muda merah kecoklatan, warna buah masak merah jingga. Klon ICS 60 mempunyai habitus tanaman besar dengan daya hasil 1.500 kg/ha. Berat biji kering 1.67 g/biji dengan warna flush merah kekuningan. Bentuk daun panjang meruncing ujung daun meruncing. Pangkal daun tumpul, bentuk buah bulat memanjang. Pangkal buah tumpul dengan leher botol, kulit buah kasar. Alur buah tegas dengan ujung buah meruncing. Warna buah muda hijau muda dengan warna buah masak kuning (Jubaidakakao, 2008).

2.4 Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan Cekaman kekringan dapat disebabkan oleh 2 (dua factor, yaitu kekurangan suplai air di daerah perakaran atau laju kehilangan air (evapotranspirasi) lebih besar dari absorbs air meskipun kadar air tanahnya cukup. Dalam tanaman hidup, air terdapat dalam berbagai keadaan dan terlibat dalam semua proses fisiologi. Air hidrasi dan Imbibisi pada fase-fase koloid seperti pada dinding sel, air osmotikum dalam vakuola dan pembuluh floem, dan air hidrostatik dalam xylem (Harjadi dan Yahya, 1998). Tanaman-tanaman yang tumbuh pada kondisi cekaman kekringan mengurangi julah stomata sehingga menurunkan laju kehilangan air. Penutupan stomata dan serapan CO2 bersih pada daun berkurang secara parallel (bersamaan) selama kekeringan, proses asimilasi karbon terganggu sebagai akibat dari rendahnya ketersediaan CO2 pada kloroplas karena cekaman air yang menyebabkan terjadinya penutupan stomata. Jadi, kekeringan yang hebat akan merubah/membatasi proses asimilasi, translokasi, penyimpanan dan penggunaan karbon fotoasimilat secara terpadu. Potensial turgor akan menurun hingga dapat mencapai nol dan mengakibatkan kelayuan jika kehilangan air dari tanaman ini berlangsung terus menerus di luar batas kendalinya.

Hasil penelitian Frederique et al., (1998) menunjukkan bahwa tanaman jagung yang ditanam di rumah kaca menjadi sangat terhambat karena perlakuan stress air dengan potensial air sebesar -1,5 MPa. Pada tanaman-tanaman yang toleran dan bertahan pada kondisi deficit air eksternal (meskipun potensial air jaringannya rendah), terjadi mekanisme mempertahankan turgor agar tetap di atas nol, sehingga potensial air jaringannya tetap rendah dibandingkan potensial air eksternalnya sehingga tidak terjadi plasmolisis (Turner dan Jones, 1980). Usaha mempertahankan potensial air ini ditunjukkan dengan meningkatnya system zat-zat terlarut atau senyawa-senyawa osmotikum seperti proline, glicinebetaine, gula, dan asam organic yang berfungsi dalam proses penyesuaian osmatik. Christine, Rene dan Jean-Louis (1996) membuktikan bahwa konsentrasi asam amino pada tanaman alfalfa meningkat secara nyata (1,8 kali, pada taraf 5%) ketika potensial air tanah diturunkan dari -0,5 sampai -2,0 MPa, dan respon dari setiap tanaman untuk menghasilkan asam amino bervariasi untuk setiap potensial air yang berbeda. Konsentrasi asam amino pada tanaman alfalfa ini meningkat sejalan dengan menurunnya potensial air. Kadar prolin yang dihasilkan mencapai 150 mm pada tanaman alfalfa dengan potensial air tanah sebesar -2.0 MPa. Hasil penelitian Christine et al., (1996) juga menunjukkan bahwa perubahan utama dalam bentuk transport N dalam floem tanaman alfalfa adalah kadar prolin yang meningkat tajam untuk merespon penurunan potensial dari -1.0 sampai -2.0 MPa. Gerik (1996) membuktikan bahwa kekurangan air pada tanaman kapas terutama berpengaruh terhadap kapasitas fotosintesis. Terjadi penurunan kapasitas fotosintesis dan peningkatan penuaan daun yang berpengaruh buruk terhadap produksi kapas. Pengaruh negative lainnya akibat kekurangan air adalah terjadinya penurunan pertambahan dan pembesaran sel, perluasan daun, translokasi, dan transpirasi, hasil penelitian Rahardjo dan Darwati (1996) menunjukkan bahwa kandungan klorofil daun, luas daun, bobot segar dan kering daun tanaman tempuyung menurun pada perlakuan cekaman air 60% diberikan 30 HST, semakin besar cekaman air semakin besar penurunannya, tetapi kadar K dan Na daun meningkat. Sebagai salah satu mekanisme ketahanan terhadap cekaman kekeringan, umumnya tanaman akan mengakumulasi gula-gula terlarut yang cukup tinggi sebagai akibat dari penurunan pertumbuahan (Lee et al. 2003) Gula-gula terlarut dilaporkan terdapat sebanyak 76% dari total karbohidrat non-struktural pada tanaman-tanaman yang mengalami cekaman kekeringan, (Bohnert, dalam Lee et al., 2002).

Intensitas penyinaran tinggi melalui evapotranspirasi secara langsung akan berkaitan dengan status air tanah dan tanaman. Secara fisiologis, terjadinya ketidakseimbangan antara laju penyerapan air dari tubuh tanaman menyebabkan tekanan tirgor sel menurun, tanaman layu dan intersepsi cahaya turun (Prawoto 2003). Status air tanah akan berpengaruh terhadap translokasi air dan hara tanah ke tubuh tanaman. Apabila kondisi air tanah lebih rendah dibandingkan di dalam tubuh tanaman, melalui mekanisme osmosis, air di alam tubuh tabaman akan mengalir keluar, akibatnya proroplasma sel mengkerut dan kehilangan tekanan turgornya untuk pertumbuhan sel.

2.5 Hipotesis 1. Terdapat klon kakao yang mempunyai potensi ketahanan pada berbagai tingkat cekaman kekeringan 2. Terdapat kondisi cekaman kekeringan yang paling ekstrim yang menyebabkan terganggunya morfologi dan fisiologi klon kakao. 3. Terdapat interaksi antara klon kakao dan cekaman kekeringan yang paling sesuai dengan potensi ketahanan yang dimiliki

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Agrotechno Park Fakultas PErtanian Universitas Jember mulai bulan Januari sampai April 2011.

3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit kakao klon ICS 60, ICS 13, PA 300 dengan berbagaii komposisi media tumbuh. Factor pertama berupa perlakuan cekaman kekeringan yang dilakukan dengan cara memanfaatkan air dengan kondisi kapasitas lapang 100%, 80%, 70%, dan 60%. Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi penggaris, jangka sorong, stomata konductan, stomata density, oven, lux meter untuk mengukur kelembaban, termohigrometer mengukur suhu, dan alat pendunkung lainnya.

3.3 Metode Penelitian Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok lengkap berfaktor 4x3, dengan tiga ulangan, maing-masing ulangan lima tanaman contoh. Dua factor perlakuan yaitu perlakuan ketersediaan air terdiri atas P0 (100% kapasitas lapang), P1 (80% kapasitas lapang, P2 (70% kapasitas lapang), P$ (60% kapasitas lapang), dan factor klon dengan menggunakan tiga klon yaitu SCA 12, PA 300, dan ICS 60. Sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan kunci F pada taraf 5% dan apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%.

3.4 Parameter Pengamatan Penelitian ini menggunakan beberapa parameter pengamatan diantaranya: 1. Pengamatan pertumbuhan tanaman setiap 2 minggu sekali sampai dengan umur tanaman 12 minggu setelah tanam, meliputi parameter tinggi diukur dari leher akar sampai dengan titik tumbuh kakao, jumlah daun, diameter batang yang diukur 25 cm ke atas dari leher akar 2. Pengamatan jumlah dan kerapatan stomata pada minggu kke-12, dengan pertimbangan bahwa semakin banak jumlah stomata, maka potensi tanaman melakukan transpirasi semakin

besar, akibatnya kemampuan mencadang air pada tubuh tanaman menjadi berkurang, selanjutnya terjadi penurunan tekanan turgor dan berakibat berhentinya pertumbuhan. 3. Pengamatan produksi daun atau siklus Flush dengan pertimbangan bahwa status air tanaman mempengaruhi pola siklus Flush, tanaman kakao yang mengalami waterdeficit di dalam tubuhnya rata-rata mengalami siklus Flush yang lebih cepat, tetapi rata-rata jumlah daun pada masing-masing flush dan rata-rata luas daunnya kecil dibandingkan tanaman yang tidak mengalami waterdefcit (Soedarsono, 1997). 4. Berat kering akar dan panjang akar yang diukur pada minggu ke-12 dengan pertimbangan bahwa tanaman yang mengalami cekaman kekeringan mengalami pertumbuhan yang terhambat termasuk pertumbuhan organ akar. 5. Berta kering total dengan menggunakan metode oven yang dihitung pada minggu ke-12. 6. Evapotranspirasi bulanan, evapotranspirasi menggambarkan kehilangan air yang dapat terjadi melalui evaporasi dan transpirasi. Proses ini dianggap cukup penting karena terkait dengan laju penyerapan unsure hara dan terkait dengan suhu tanaman. Nilai evapotranspirasi berhubungan dengan suhu rata-rata bulanan dan dirumuskan sebagai berikut : EP Bulanan = (T x 58,93)/12 mm Dimana EP : Evapotranspirasi T : Rata-rata suhu bulanan (o) 3.5 Pengamatan mikroklimat berupa intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban di bawah naungan dan tanpa naungan. Pengukuran dilakukan seminggu sekali pada pagi, siang, dan sore hari

DAFTAR PUSTAKA Abdoellah, Sudarsianto dan Sikusno, 1996. Tanggapan Bibit Kakao Lindak Terhadap Lengas Tanah Tersedia. Pelita Perkebunan, 12(3), 127-136. Abdoellah, S. 1997. Ancaman cekaman air di musim kemarau panjang pada tanaman kopi dan kakao. WartoPUslit Kopi dan Kakao 13(2): 77-82. Christine, G., Rene, B., and Jean-Louis,B., 1996. Water deficit-induced changes in proline and some other amino acid in the phloem sap of alfalfa. Plan Physiol. 111:109-113. DaMatta, F.M., and J.D.C. Ramalho. 2006. Impacts of drought and temperature stress on coffe physiology and production: a review. Braz. J. Plant Physiol. 18:55-81. Frederique, R., Pascale, G., Dominique de Vienne, and Michael, Z. 1998. Protein change in respon to progressive water deficit in maize. Plant Physiol. 117:1253-1263. Gerik, T. J., 1996. Late season water stress in cotton: I. Olant growth, water use, and yield. Crop Science. 36(4):914-921. Harjadi,S. S., dan S.Yahya, 1988. Fisiologi Stress Lingkungan. PAU Bioteknologi. IPB. 236p. Hutcheon, W.V.A. 1976. Frame Work for The Physiological of Cocoa, Cocoa Growers Bulletin. Jubaidakakao. 2008. Deskripsi kakao Ijubaidakakao.wordpress.com/2008/04/08/deskripsikakao/. Diakses tanggal 16 Januari 2010. Lee, DJ., C. H Hwang. 2003. Proline accumulation and P5CS gene expression in response to salt stress in zoysiagrasses. Korean J. Crop Sci. 48(1):20-24. Lee, B.R., W.J. Jung., D.H. Kim., K.Y. Kim, T.H. Kim, 2002. Effect of drought stress on carbohydrate composition and consentratio in white clover. Korean J.Crop Sci. 47(1):4853 Prawoto, A. Adi. 2003. Respon Semain Beberapa Klon Kakao Terhadap Cekaman Kekeringan. Pelita Perkebunan, 19(2), 55-56.

Puslit Koka dan PTPN XII, 2002. Penyegaran Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Kopi dan kakao. Jember Rahardjo, M., dan I. Darwan, 1996. Pengaruh cekaman air terhadapproduksi dan mutu simplisia tempuyung (Sonchus arvensis). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. SOedarsono, 1997. Respon fisiologi tanaman kakao terhadap cekaman air. Warta Puslit Kopi dan Kakao. 13(2): 96-109. Soemartono. 1995. Cekaman lingkungan, tantangan pemuliaan tanaman masa depan. Prosiding simposiumpemuliaan tanaman III. Steves Place. 2008. Photorespiration. http://www.steve.gb.com/science/photorespirations.html. Diakses pada tanggal 31 Desember 2008