bab 1
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam negara agraris seperti Indonesia, persoalan tanah memang
muncul menjadi suatu hal yang controversial. Hal ini terjadi karena tanah
dalam masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
kesejahteraaan seseorang. Soal tanah adalah soal mati hidupnya seseorang
termasuk keluarganya. Karenanya, mempertahankan hidup dan
mempertahankan tanah setali tiga uang.1
Selain mempunyai nilai ekonomis tanah juga secara intrinsic
mengandung nilai sosial sangat tinggi. Dahulu kala sampai kini tanah menjadi
simbol status sosial masyarakat. Semakin banyak tanah dimiliki seseorang
semakin tinggi pula tingkat status sosialnya. Tanah menjadi ukuran prestasi
dan prestise sosial.
Pada umumnya seluruh masyarakat mengakui kepentingan tertentu
dari setiap individu atas tanah dan menyetujui bahwa kepentingan pribadi itu
hanya dapat diubah atau diambil kembali dengan melalui serangkaian
prosedur tertentu. Masyarakat mengakui bahwa dalam satu bidang tanah
yang sama terdapat banyak kepentingan pribadi. Di bawah tanah tersebut
1 Budi Kansil. Mengapa Tanah Selalu Jadi Konflik Dalam Masyarakat. Media Indonesia. Jakarta, 28 Juli 2000, hal. 12.
1
1
tersimpan barang tambang dan air yang sewaktu-waktu dapat di gali,
sedangkan di atasnya dijadikan tempat tinggal atau sumber penghasilan
entah dari tanah itu sendiri maupun dari bangunan yang didirikan diatasnya.
Berbagai kepentingan itu dapat menyebabkan konflik antara: pendekatan
tradisional dan modern, antara mereka yang ingin tinggal di situ atau bekerja
di atas tanah itu dan mereka yang ingin memperoleh keuntungan modal
secara spekulatif dengan menjual tanah serta antara kepentingan umum dan
kepentingan pribadi.
Kedudukan tanah yang begitu penting bagi masyarakat, menimbulkan
kepincangan dalam pola struktur pemilikan dan penguasaan tanah; di satu
pihak segelintir orang memiliki tanah dengan lahan sangat luas semantara di
lain pihak mayoritas masyarakat hanya memiliki tanah dengan lahan sangat
sempit bahkan ada warga masyarakat yang tidak memiliki tanah sejengkal
pun. Itulah sebabnya, masalah tanah sering kali dipandang sebagai
penyebab kontradiksi-kontradiksi sosial serta konflik-konflik yang
menyertainya, apalagi bila pemerintah campur tangan dan turut bertindak
seirama dengan hubungan antara kekuatan-kekuatan golongan serta
kelompok-kelompok sosial. Hal demikian akan menimbulkan gangguan
terhadap ketertiban umum, dalam hal ini fungsi sosial terhadap hak atas
tanah itu mengalami ketimpangan.
Sesungguhnya kata-kata fungsi sosial di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 memang tidak dicantumkan dengan tegas, namun dapat ditafsirkan
2
bahwa fungsi sosial dari hak milik itu tidak boleh dibiarkan merugikan
kepentingan masyarakat.
Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Dalam penjelasan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia yang
selanjutnya disingkat UUPA dikatakan, bahwa seseorang tidak boleh semata-
mata mempergunakan tanah untuk pemakaian pribadinya atau tanahnya
tidak dimanfaatkan yang mengakibatkan merugikan masyarakat.
Dengan demikian menurut UUPA, tanah itu harus dipergunakan
dengan efisien serta haruslah mengingat juga kepentingan umum. Di dalam
konsiderans UUPA dinyatakan bahwa di dalam Negara Republik Indonesia
yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya terutama
masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, tanah sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmur. 2 Sejalan dengan pemikiran
di atas, pemikiran ekonomis yang melandasi UUPA masih tertuju pada usaha
pembagian tanah secara merata kepada penduduk Indonesia. Apabila setiap
warga negara Indonesia sudah memiliki sebidang tanah untuk rumah dan
ladang sawahnya, maka tercapailah kemakmuran yang dicita-citakan oleh
Bangsa Indonesia.3
2 Sudargo Gautama. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Alumni, Bandung, 1986, hal. 183.3 Sunaryati Hartono. Beberapa Pemikiran Ke arah Pembaharuan Hukum Tanah. Alumni, Bandung, 1978, hal. 41.
3
Untuk pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah ini, Pemerintah
Indonesia berusaha sekuat tenaga untuk mencegah pemilikan tanah luas
( groot grond bezit ) oleh segelintir orang, dengan menetapkan di dalam
Pasal 10 Ayat (1),(2), dan (3) Undang-Undang Pokok Agraria yaitu :
Ayat (1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Ayat (2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
Ayat (3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.
Adapun kewajiban untuk “mengerjakan sendiri secara aktif”,
maksudnya orang yang mempunyai tanah harus ikut serta secara langsung
dalam penggarapan tanah tersebut secara efisien, misalnya tentang
penyelenggarannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya. Ikut serta
secara langsung tidak berarti orang yang mempunyai tanah harus
mengerjakan atau melakukan sendiri pekerjaan-pekerjaan seperti
mencangkul, menanami dan memanen. Mereka dapat menggunakan tenaga
orang lain. Apabila dalam proses produksi tersebut menggunakan tenaga
orang lain ( buruh tani ) maka harus dicegah cara-cara pemerasan. Para
4
buruh tani harus dilindungi hak-haknya seperti dengan pemberian upah yang
layak.
Adapun kewajiban untuk mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif ini
bertujuan untuk mencegah adanya pemilikan tanah secara absentee.
Pengertian dari tanah absentee adalah tanah yang letaknya di luar wilayah
kecamatan dari tempat tinggal pemilik tanah berada. Konsekuensinya,
pemilik tanah absentee tidak dapat ikut serta secara langsung dalam proses
produksi pertanian. Dengan perkataan lain, pemilikan tanah oleh orang yang
bertempat tinggal di luar kecamatan ini akan menimbulkan penggarapan
tanah yang tidak efisien serta menimbulkan tindakan penghisapan misalnya
orang-orang yang tinggal di kota memiliki tanah di desa-desa, yang
penggarapannya diserahkan kepada para petani yang ada di desa-desa itu
dengan system sewa atau bagi hasil. Ini berarti bahwa para petani yang
memeras keringat dan mengeluarkan tenaga hanya mendapat sebagian saja
dari hasil tanah yang dikerjakan, sedang pemilik tanah yang tinggal di kota-
kota, yang kebanyakan juga sudah mempunyai mata pencaharian lain,
mendapatkan hasil lebih banyak dengan tidak perlu mengerjakan tanahnya
pula.
Larangan terhadap persyaratan mengenai domisili berhubungan
dengan apa yang disebut larangan absentee, yaitu pemilikan tanah pertanian
di kecamatan lain daripada kecamatan tempat tinggal yang mempunyai,
5
diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian yang telah di
tambah dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 tentang
perubahan dan tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun. 1961
tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. 4 Hal
ini tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang
berbatasan dengan kecamatan tempat tinggal letak tanah yang
bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya menurut
pertimbangan Panitia Landreform Daerah Kota atau Kabupaten masih
memungkinkan untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien. 5
Perkembangan pembangunan di daerah dewasa ini semakin pesat
sehingga kebutuhan tanah menjadi meningkat. Masyarakat mencari
kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
membeli tanah, dengan maksud nantinya akan dijual kembali, apabila harga
tanah meningkat. Akibatnya, tanah tidak diusahakan secara produktif atau
dengan kata lain tanahnya tidak dikerjakan secara aktif. Bahkan sering
tanahnya berada di luar kecamatan tempat tinggalnya. Apalagi sekarang
Pemerintah telah melakukan pemekaran wilayah.
Berpijak dari uraian dalam latar belakang pemikiran yang masih
bersifat umum tersebut, penulis berminat melakukan pembahasan dalam
4 Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan Sebelum Dan Sesudah Berlakunya UUPA. Alumni, Jakarta, 1984, hal. 83.5 Effendi Perangin. Hukum Agraria Di Indonesia. CV. Rajawali, Jakarta, 1991, hal 121.
6
bentuk skripsi mengenai : Tinjauan Yuridis Implementasi Pasal 10 Ayat (1)
UUPA Terhadap Pemilikan Tanah Secara Absentee Dan Permasalahannya,
oleh karena penulis ingin mengetahui keadaan pemilikan tanah secara
absentee.
B. Permasalahan
Dari uraian latar belakang masalah, yang menjadi permasalahan
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kriteria bahwa tanah pertanian tersebut dikerjakan secara
aktif sesuai dengan pernyataan Pasal 10 Ayat (1) UUPA ?
2. Bagaimana penerapan sanksi bagi pelanggaran terhadap pemilikan
tanah secara absentee ?
C. Tujuan Penelitian
Di dalam membahas masalah Implementasi Pasal 10 Ayat (1) UUPA,
maka tujuan penulis mengadakan penelitian tersebut adalah untuk
mengetahui kriteria-kriteria bahwa tanah tersebut dikerjakan secara aktif,
sanksi-sanksi apa yang akan diberikan bagi pelanggaran terhadap larangan
pemilikan tanah secara absentee dan upaya-upaya apa sajakah agar bisa
menghindari pemilikan tanah secara absentee.
D. Metodologi Penulisan
1. Metode Penelitian
Penulis mempergunakan metode deskriptif kwalitatif.
7
- Deskriptif, yaitu yang tujuannya hanya memberikan suatu
gambaran belaka dari istilah yang ingin didefinisikan. 6
- Kwalitatif, yaitu memperoleh data yang tidak dapat dinyatakan
dengan angka. 7
Sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan atau
melukiskan masalah Implementasi Pasal 10 Ayat (1) UUPA terhadap
pemilikan tanah secara absentee, dengan data yang bersifat kwalitatif.
2. Metode Pengumpulan Data
Sebagai bahan untuk penyusunan dan pembahasan skripsi ini
dipergunakan dua sumber data yaitu data primer dan sumber data
sekunder.
- Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri
selama penelitian berjalan. Berarti bahwa pada waktu penelitian di
mulai data belum ada, data baru ada setelah penelitian
berlangsung. 8
- Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian orang lain.
Ini berarti bahwa pada waktu penelitian di mulai, data sudah ada
atau sudah pernah dikumpulkan oleh orang lain. 9
Untuk mengumpulkan data dipergunakan : 10
6 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta, 1986, hal. 135.7 Muhammad Zainuddin. Metode Penelitian. Fakultas Universitas Airlangga. Surabaya, 1987, hal. 33.8 Ibid., hal. 29.9 Muhammad Zainuddin. Loc cit.10 Ronny Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Gahlia Indonesia, Jakarta, 1985 hal. 24.
8
a. Penelitian lapangan ( Field Research ) : untuk mendapatkan data
primer yaitu dengan mengadakan,
1) Observasi : yaitu untuk mencari fakta melalui “rasa persepsi”
dan penjelasan atau fakta yang diperoleh diberi arti, dicari
hubungan antara serta hubungan fakta dengan “body of
knowledge”.
2) Wawancara atau interview : yaitu untuk mencari fakta yang
relevan dengan permasalahan yang dibahas melalui
pertanyaan-pertanyaan kepada pihak-pihak yang kompeten di
Kantor Pertanahan Nasional.
b. Penelitian Kepustakaan ( Library Research ) :
Untuk mendapatkan data sekunder dengan mengadakan
pengkajian terhadap literatur, peraturan-peraturan keagrariaan,
hasil-hasil seminar dan dokumen-dokumen lainnya yang relevan
untuk dibahas dalam skripsi ini.
3. Metode Analisis Data
Selanjutnya data dianalisis, kemudian di ambil kesimpulan dengan
metode : 11
11 Sutrisno Hadi. Methodologi Research Untuk Penulisan Thesis Dan Disertasi. Jilid I Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah-Mada. Yogyakarta, 1980, hal. 2.
9
- Deduktif, yaitu cara berpikir analitis di mana dari dasar-dasar
pengetahuan yang umum diteliti persoalan khusus dari segi dasar
pengetahuan yang bersifat umum.
- Induktif, yaitu cara berpikir sintetis di mana dengan berlandaskan
pada pengetahuan yang khusus fakta-fakta yang menarik di
rangkaian menjadi suatu pemecahan yang bersifat umum.
4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini penulis sajikan terlebih dahulu dengan tujuan
untuk memberikan gambaran secara garis besar tentang apa yang penulis
kemukakan di dalam tiap-tiap bab dari Skripsi ini.
Adapun Skirpsi yang penulis susun terdiri dari 4 (empat) bab, dimana
dari masing-masing bab ada yang terdiri dari beberapa sub-sub bab, yang
isinya akan penulis kemukakan secara ringkas, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini diuraikan latar belakang masalah, permasalahan,
tujuan penelitian, metodologi penulisan, dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Bab ini diuraikan pengertian landreform dan dasar hukum,
pengertian dalam arti luas, pengertian dalam arti sempit,
10
tujuan landreform, program landrefrom, pengertian tanah
secara absentee, larangan pemilikan tanah secara absentee,
pengecualian larangan pemilikan tanah secara absentee,
pemilikan atas tanah secara absentee, program redistribusi
tanah absentee.
BAB III : IMPLEMENTASI PASAL 10 AYAT (1) UUPA TERHADAP
PEMILIKAN TANAH SECARA ABSENTEE
Bab ini diuraikan mengenai implementasi pasal 10 ayat (1)
uupa terhadap pemilikan tanah secara absentee, kriteria-
kriteria mengerjakan tanah secara aktif dan efisien, sanksi
terhadap pemilikan tanah secara absentee, dan upaya hukum
untuk menghindari pemilikan tanah secara absentee. Kasus
pemilikan tanah absentee, penyelesaian masalah, yang di
dukung oleh pemaparan data dan informasi yang di peroleh
dalam penelitian lapangan.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini menyimpulkan dan memberikan beberapa saran dari
hasil penelitian tugas akhir ini.
11