bab 1-5
DESCRIPTION
EDUKASITRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lain-
nya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh biliru-
bin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin diben-
tuk sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat
metabolisme sel darah merah.1
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kun-
ing. Ikterus sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari, dengan
melihat sklera mata. Ikterus dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu ikterus
hemolitik dan ikterus obstruktif.1,2
Ikterus obstruktif, disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang sering
terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus) atau
kerusakan sel hati (yang terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan biliru-
bin adalah normal, tapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke
dalam usus.2,Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah
kolesistitis akut, kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis adalah
inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi duktus
sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis melibatkan batu
pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10% termasuk kolesistitis
akalkulus.1,2
Hematuria adalah salah satu temuan kemih paling umum pada anak-anak
dengan penyakit nephrologis pediatrik. Secara umum, hematuria didefinisikan se-
bagai muculnya 5 atau lebih sel darah merah per LPB dalam 3 dari 3 spesimen
urin yang disentrifugasi secara berturut-turut yang diperoleh paling sedikit 1
minggu. Hematuria pada anak sering disebabkan oleh glomerulonefritis akut.2
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradan-
gan dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau
hematuria. Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada
akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang
1
mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui
merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon
imun menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.2
Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di
rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya
(26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan ter-
banyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).2
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Muhammad Yasir
Tanggal Lahir : 01 Januari 2001
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Desa Ie Rhob Barat
No CM : 1-05-37-61
Tanggal Masuk : 29 Mei 2015
Tanggal Pemeriksaan : 30 Mei 2015
Tanggal Keluar : 12 Juni 2015
2.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Kuning di seluruh tubuh
Keluhan Tambahan : Kencing berdarah, gusi
berdarah, demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan RS Bireuen datang dengan keluhan kuning seluruh
tubuh sejak ± 1 bulan yang lalu. Keluhan kuning awalnya hanya di mata,
lama kelamaan di seluruh tubuh hingga sekarang. Muntah-muntah tidak
ada, namun nafsu makan menurun. Nyeri perut tidak ada. Pasien
mengeluhkan demam 2 hari yang lalu dan turun setelah minum obat
penurun panas. Pasien juga mengeluhkan BAK berwarna seperti teh pekat
bercampur darah, 2-3 kali sehari, tidak berpasir. Nyeri saat BAK tidak ada.
Pasien mengatakan gusi berdarah sejak 2 hari SMRS dan hanya sekali.
Riwayat transfusi (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan keluhan yang sama.
3
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien mengkonsumsi obat yang di beri dari RS Bireuen, namun orang tua
pasien lupa nama obatnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
Riwayat Kehamilan
Ibu tidak teratur melakukan ANC.
Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, lahir secara
pervaginam, BBL = 2500 gram.
Riwayat Imunisasi
Tidak lengkap.
Riwayat Makanan
0-6 bulan : ASI
6-24 bulan : ASI + MP ASI
24 bulan – sekarang : makanan keluarga
2.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Heart rate : 76x / menit
Respiratory rate : 21x / menit
Temperatur : 36,2 ˚C
b. Antropometri
BB sekarang : 40 kg
TB : 158 cm
BBI : 51 kg
HA : 13 tahun
Status gizi
BB/U : <p 10 (gizi kurang)
4
TB/U : P 25 (gizi kurang)
Status Gizi : Gizi kurang
Kebutuhan Cairan : 1500 + (nx20)
1500 + (20x20) = 1900 cc
Kebutuhan Kalori : RDA (menurut usia tinggi (height age)) x BB ideal
55 x 51= 2805 kkal/hari
KebutuhanProtein : RDA (menurut usia tinggi (height age)) x BB ideal
1 x 51 = 51 gram/hari
c. Status Generalis
1) Kulit
Warna : ikterik
Turgor : kembali cepat
Parut/skar : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : Ada
Pucat : tidak ada
2) Kepala
Bentuk : normocephali
Rambut : hitam, sukar dicabut, distribusi merata.
Wajah : simetris
Mata : edema palpebrae (-/-), konjungtiva pucat (-/-),
perdarahan konjungtiva (-/+), sklera ikterik (+/+), refleks
cahaya (/), pupil bulat isokor 3 mm/3 mm
Telinga : normotia, serumen(-/-).
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret(-/-),
3) Mulut
Bibir : bibir kering (-), mukosa bibir lembab (), sianosis (-)
Lidah : Beslag (-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
5
4) Leher
Trakea : terletak ditengah
KGB : pembesaran KGB (-)
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar.
Kelenjar limfe : tidak teraba membesar.
TVJ : R-2cmH2O
5) Thoraks
Inspeksi
Statis : simetris, bentuk normochest
Dinamis : pernafasan torako-abdominal, Kusmaul (-), retraksi
suprasternal (-), retraksi intercostal (-)
6) Paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis.
Palpasi : nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = stem fremitus kiri.
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru.
Auskultasi : suara napas dasar vesikular (/), suara napas tambahan
rhonki (-/-) dan wheezing (-/-).
7) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV linea aksilaris anterior
Perkusi : Batas-batas jantung
Atas : ICS III, linea midclavicularis sinistra.
Kiri : ICS IV, linea midclavicularis sinistra.
Kanan : ICS IV, linea parasternal dextra.
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler (), bising (-).
8) Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel (+), nyeri tekan (+), H/L/R tidak teraba
6
Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-)
Auskultasi : peristaltik 4x/menit, kesan normal
9) Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
10) Anus
Tidak dilakukan pemeriksaan.
11) Kelenjar limfeinguinal
Pembesaran KGB : tidak ada
12) Ekstremitas
Superior : ikterik (+/+), edema (-/-), pucat (+/+), akral hangat, CRT <2”.
Inferior : ikterik (+/+), edema (-/-), pucat (+/+), akral hangat CRT<2”.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2.1 Pemeriksaan Laboratorium tanggal 28-05-2015
Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hb 9,7 gr/dl* 14,0-17,0 gr/dl
Ht 29 %* 45-55 %
Leukosit 12,6 x 103 /mm3* 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 4,0 x 106 /µL* 4,7-6,1 jt/ µL
Trombosit 450.000 / mm3 150.000-450.000/mm3
Hitung Jenis
Eosinofil 7 %* 0-6 %
Basofil 0% 0-2 %
Netrofil segmen 66 % 50-70 %
Limfosit 21 % 20-40 %
Monosit 6 % 2-8 %
INFEKSI LAIN
Malaria Menyusul
FAAL HEMOSTASIS
Waktu perdarahan 2 1-7
7
Waktu pembekuan 8 5-15
Imunoserologi
Infeksi lain
Anti dengueIgG/IgM
- Anti dengue IgG Negatif Negatif
- Anti dengueIgM Negatif Negatif
Hepatitis
HBsAg Negatif Negatif
Kimia Klinik
Bilirubin total 21,90 g/dL * 6,4 – 8,3 g/dL
Bilirubin direct 15,37 g/dL * 3,5 – 5,2 g/dL
Bilirubin indirect 6,53 g/dL* 0,2-0,7 mg/dL
Protein total 6,9 g/dL 6,8 – 8,3 g/dL
Albumin 3,27 g/dL* 3,5 – 5,2 g/dL
Globulin 3,63 g/dL
Elektrolit
Natrium (Na) 140 mmol/L 135-145 mmol/L
Kalium (K) 3,0 mmol/L* 3,5-4,5 mmol/L
Klorida (Cl) 99 mmol/L 90-110 mmol/L
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 98 mg/dL <200 mg/dL
Ginjal-Hipertensi
Ureum 18 mg/dl 13-43 mg/dl
Kreatinin 0,37 mg/dl* 0,67-1,17 mg/dl
Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 01-06-2015
Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hb 6,6 gr/dl 14,0-17,0 gr/dl
Ht 20% 45-55 %
Leukosit 10.1 x 103 /mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 2,7 x 106 /µL* 4,7-6,1 jt/ µL
8
Trombosit 507.000 / mm3 150.000-450.000/mm3
MCV 74 fL* 80-100 fL
MCH 25 pg* 27-31 pg*
MCHC 34% 32-36 %
LED 80 mm/jam* <15 mm/jam
Hitung Jenis
Eosinofil 7 %* 0-6 %
Basofil 1% 0-2 %
Netrofil segmen 63 % 50-70 %
Limfosit 23 % 20-40 %
Monosit 6 % 2-8 %
MORFOLOGI DARAH
TEPI
Eritrosit Mikrositer hipokrom, anisositosis, target cell (+)
Lekosit Bentuk normal
Trombosit `Jumlah meningkat, bentuk normal
Kesimpulan Anemia mikrositer hipokrom + trombositosis
FAAL HEMOSTASIS
PT
APTT
- Pasien 162.3 detik * 29,0-40,2 detik
- Kontrol 36,2 detik
Kimia Klinik
Hati&empedu
AST/SGOT 26 U/L <35 U/L
ALT/ SGPT 29 U/L <45 U/L
9
Tabel 2.3 Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 01-06-2015
Pemeriksaan
Laboratorium
Urinalisis
Hasil Nilai Normal
Makroskopik
Berat jenis 1,015 1,003-1,030
pH 6,0 5,0-9,0
Lekosit Positif Negatif
Protein Positif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Positif Negatif
Mikroskopik
Sedimenurin
- Lekosit 10-20 LPB 0-5 LPB
- Eritrosit PENUH 0-2 LPB
- Epitel 6-8 0-2 LPK
Lain-lain
Table 4.4 pemeriksaan radiologi tanggal 03-06-2015
No Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
1 USG ginjal USG ginjal:
Kedua ginjal besar dan bentuk normal. Sistem
pelviokalis tidak melebar, tidak tampak lesi fokal.
Kesan: kedua ginjal dalam batas normal.
10
2 USG Hepar/BB/Lien USG Hepar, Gald bladder, Lien:
Pada kandung empedu tampak penebalan dinding
dan sludge intralumen.
Ukuran hepar lobus kanan 9.6 cm, lobus kiri 5.6
cm. Parenkim homogen, tidak tampak lesi fokal.
Lien bentuk normal, parenkim homogen, tidak
tampak lesi fokal.
Kesan: cholecystitis dan sludge. Hepar dan lien
dalam batas normal.
3 USG Pancreas/ system bilier USG pankreas:
Pankreas bentuk normal, parenkim homogen,
tidak tampak lesifokal, tidak tampak dilatasi
duktus pankreatikus.
Kesan: pankreas dalam batas normal.
4 USG Vesica urinaria/ Prostat USG Vesikaurinaria:
Vesika urinaria dalam bentuk normal, dinding
tidak menebal, tidak tampak lesi fokal.
Kesan: Vesica urinaria dalam batas normal
2.5 Diagnosa Kerja
Anemia+Kolesistitis
2.6 Terapi
Farmakalogis
- IVFD RL 15 tetes (makro)
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
- Urdafalk 3x1 tab
- Xanvit syr 2 x 1cth
- Captopril 2x12,5mg
- Inj. Transamin 350mg /12jam
- Inj. Neo K 2mg
- Diet: MB
-
2.8 Prognosis
11
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
2.9 Follow Up Harian
Tabel 2.2 Follow Up Harian
Tanggal/Hari
Rawatan
Catatan Instruksi
31/05/2015
H3
S/ ikterik(+) seluruh badan,
demam (-), badan lemas
(+), hematuria (+).
O/ TD: 110/80 mmHg
HR: 76x/i
RR: 25 x/i
T : 36,8 °C
PF/
Kepala : Normocephali,
karakteristik dan distribusi
rambut baik, edema wajah
(-)
Mata :
Konj.palp.inf.pucat (+/+),
sclera ikterik (+/+), pupil
bulat isokor, 3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+),
edema palpebra (-/-)
Telinga :
Th/
- IVFD RL 15 tetes
(makro)
- Diet: MB
- Inj. Ceftriaxon 1
gram/ 12 jam
- Urdafalk 3x1 tab
- Xanvit 2x1cth syr
- Captopril 2x12,5
mg
P/ -
12
Normotia, serumen (-)
Hidung :
Sekret (-), NCH (-)
Mulut :
Mukosa bibir lembab (+),
sianosis (-), faring
hiperemis (-), T1/T1,beslaq
(-)
Leher:
pembesaran KGB (-)
Toraks :
I : simetris, retraksi (-)
P : SF kanan = SF Kiri
P : Sonor (+/+)
A: Ves (+/+), Wh (-/-),
Rh (-/-)
Jantung:
BJ I >BJ II, reguler,
bising(-)
Abdomen :
I : simetris, distensi (-)
P : soepel, nyeritekan(+)
H/L/Rtidak teraba
P : timpani, undulasi (-),
shifting dullness (-)
A : peristaltik (+)
13
Extremitas :
Superior : pucat (-/-),
edema (-/-), ikterik
(+/+)
Inferior : pucat (-/-),
edema (+/+), ikterik
(+/+)
Akral hangat.
CRT <2’
Ass/ Hepatitis
1/06/2015
H4
S/ ikterik(+) seluruh tubuh,
lemas(+), hematuria (+)
O/ TD: 115/70 mmHg
HR: 88 x/i
RR: 22 x/i
T : 36,8°C
PF/
Kepala : Normocephali,
karakteristik dan distribusi
rambut baik, edema wajah
(-)
Mata :
Konj.palp.inf.pucat(+/+),
sclera ikterik (+/+), pupil
bulat isokor, 3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+),
edema palpebra (-/-)
Th/
- IVFD RL 15 tetes
(makro)
- Diet: MB
- Inj. Ceftriaxon 1
gram/ 12 jam
- Urdafalk 3x1 tab
- Xanvit 2x1cth syr
- Captopril 2x12,5
mg
P/
- Cek darah rutin
ulang, PT, APTT,
SGOT, SGPT,
MDT, urinalisis.
- USG Abdomen
14
Telinga :
Normotia, serumen (-)
Hidung :
Sekret (-), NCH (-)
Mulut :
Mukosa bibir lembab (+),
sianosis(-), faring hiperemis
(-), T1/T1,beslaq (-)
Leher:
pembesaran KGB (-)
Toraks :
I : simetris, retraksi (-)
P : SF kanan = SF Kiri
P : Sonor (+/+)
A: Ves (+/+), Wh (-/-),
Rh (-/-)
Jantung:
BJ I >BJ II, reguler,
bising(-)
Abdomen :
I : simetris, distensi (-)
P :soepel,nyeritekan(+)
H/L/Rtidakteraba
P : timpani, undulasi(-),
shifting dullness (-)
A : peristaltik (+)
15
Extremitas :
Superior : pucat (-/-),
edema (-/-)
Inferior : pucat (-/-),
edema (-/-)
Akral hangat.
CRT <2’
Ass/ Hepatitis + Anemia
Tanggal/Hari
Rawatan
Catatan Instruksi
2/06/2015
H5
S/ ikterik(+), demam (-),
badan lemas (+), hematuria
(+), nyeri pinggang saat
BAK, BAK tersendat.
O/ TD: 110/80 mmHg
HR: 80x/i
RR: 22 x/i
T : 36,8 °C
PF/
Kepala : Normocephali,
karakteristik dan distribusi
rambut baik, edema wajah
(-)
Mata :
Konj.palp.inf.pucat (+/+),
sclera ikterik (+/+), pupil
bulat isokor, 3mm/3mm,
Th/
- IVFD RL 15 tetes
(makro)
- Diet: MB
- Ij. Ceftriaxon 1
gram/ 12 jam
- Urdafalk 3x1 tab
- Xanvit 2x1cth syr
- Captopril 2x12,5
mg
P/
- Konsul bedah
urologi
16
RCL (+/+), RCTL (+/+),
edema palpebra (-/-)
Telinga :
Normotia, serumen (-)
Hidung :
Sekret (-), NCH (-)
Mulut :
Mukosa bibir lembab (+),
sianosis (-), faring
hiperemis (-), T1/T1,beslaq
(-)
Leher:
pembesaran KGB (-)
Toraks :
I : simetris, retraksi (-)
P : SF kanan = SF Kiri
P : Sonor (+/+)
A: Ves (+/+), Wh (-/-),
Rh (-/-)
Jantung:
BJ I >BJ II, reguler,
bising(-)
Abdomen :
I : simetris, distensi (-)
P : soepel, nyeritekan(+)
17
H/L/Rtidak teraba
P : timpani, undulasi (-),
shifting dullness (-)
A : peristaltik (+)
Extremitas :
Superior : pucat (-/-),
edema (-/-), ikterik
(+/+)
Inferior : pucat (-/-),
edema (+/+), ikterik
(+/+)
Akral hangat.
CRT <2’
Ass/ Hepatitis + Hematuria
3/06/2015
H6
S/ ikterik(+), lemas(+),
nyeri pinggang berkurang,
melena (+), conjungtiva
bleeding (+)
O/ TD: 115/70 mmHg
HR: 88 x/i
RR: 22 x/i
T : 36,8°C
PF/
Kepala : Normocephali,
karakteristik dan distribusi
rambut baik, edema wajah
(-)
Mata :
Th/
- IVFD RL 15 tetes
(makro)
- Diet MB
- Inj. Ceftriaxon 1
gram/ 12 jam
- Urdafalk 3x1 tab
- Xanvit 2x1cth syr
- Captopril 2x12,5
mg
- Inj. Transamin
350mg/12jam
- Inj. Neo K 2mg
(selama 3 hari
berturut-turut)
- Transfusi FFP
18
Konj.palp.inf.pucat(-/-),
sclera ikterik (+/+),
conjungtiva bleeding (-/+)
pupil bulat isokor,
3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), edema
palpebra (-/-)
Telinga :
Normotia, serumen (-)
Hidung :
Sekret (-), NCH (-)
Mulut :
Mukosa bibir lembab (+),
sianosis(-), faring hiperemis
(-), T1/T1,beslaq (-)
Leher:
pembesaran KGB (-)
Toraks :
I : simetris, retraksi (-)
P : SF kanan = SF Kiri
P : Sonor (+/+)
A: Ves (+/+), Wh (-/-),
Rh (-/-)
Jantung:
BJ I >BJ II, reguler,
350cc
- Transfusi PRC
250cc dalam 4 jam
P/
- Anjuran CT Scan
Abdomen
- Konsul Mata
19
bising(-)
Abdomen :
I : simetris, distensi (-)
P :soepel,nyeritekan(+)
H/L/Rtidakteraba
P : timpani, undulasi(-),
shifting dullness (-)
A : peristaltik (+)
Extremitas :
Superior : pucat (-/-),
edema (-/-)
Inferior : pucat (-/-),
edema (-/-)
Akral hangat.
CRT <2’
Ass/ Anemia+Hepatitis
Tanggal/Hari
Rawatan
Catatan Instruksi
8/06/2015
H9
S/ ikterik seluruh tubuh(+),
demam (-), badan lemas (+)
pucat (+), BAK coklat.
O/ TD: 110/80 mmHg
HR: 76x/i
RR: 25 x/i
T : 36,8 °C
PF/
Kepala : Normocephali,
karakteristik dan distribusi
Th/
- IVFD RL 15 tetes
(makro)
- Diet MB
- Ij. Ceftriaxon 1
gram/ 12 jam
- Urdafalt 3x1 tab
- Xanvit 2x1cth syr
- Captopril 2x12,5
mg
20
rambut baik, edema wajah
(-)
Mata :
Konj.palp.inf.pucat (+/+),
sclera ikterik (+/+), pupil
bulat isokor, 3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+),
edemapalpebra (-/-)
Telinga :
Normotia, serumen (-)
Hidung :
Sekret (-), NCH (-)
Mulut :
Mukosa bibir lembab (+),
sianosis (-), faring
hiperemis (-), T1/T1,beslaq
(-)
Leher:
pembesaran KGB (-)
Toraks :
I : simetris, retraksi (-)
P : SF kanan = SF Kiri
P : Sonor (+/+)
A: Ves (+/+), Wh (-/-),
Rh (-/-)
P/ -
- Urinalisis
21
Jantung:
BJ I >BJ II, reguler,
bising(-)
Abdomen :
I : simetris, distensi (-)
P : soepel,
nyeritekan(+)
H/L/Rtidak teraba
P : timpani, undulasi (-),
shifting dullness (-)
A : peristaltik (+)
Extremitas :
Superior : pucat (-/-),
edema (-/-), ikterik
(+/+)
Inferior : pucat (-/-),
edema (+/+), ikterik
(+/+)
Akral hangat.
CRT <2’
Ass/ Anemia penyakit
kronis + gangguan
koagulopaty + kolelistitis
9/06/2015
H10
S/ ikterik(+) sudah
berkurang di seluruh tubuh,
lemas(-), hematuri (-)
O/ TD: 115/70 mmHg
HR: 88 x/i
Th/
- IVFD RL 15 tetes
(makro)
- Diet MB
- Ij. Ceftriaxon 1
gram/ 12 jam
22
RR: 22 x/i
T : 36,8°C
PF/
Kepala : Normocephali,
karakteristik dan distribusi
rambut baik, edema wajah
(-)
Mata :
Konj.palp.inf.pucat(-/-),
sclera ikterik (+/+), pupil
bulat isokor, 3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+),
edema palpebra (-/-)
Telinga :
Normotia, serumen (-)
Hidung :
Sekret (-), NCH (-)
Mulut :
Mukosa bibir lembab (+),
sianosis(-), faring hiperemis
(-), T1/T1,beslaq (-)
Leher:
pembesaran KGB (-)
Toraks :
I : simetris, retraksi (-)
- Urdafalt 3x1 tab
- Xanvit 2x1cth syr
- Captopril 2x12,5
mg
- Inj. Transamin
350mg/12jam (aff)
P/
- Observasi bila ada
perdarahan
23
P : SF kanan = SF Kiri
P : Sonor (+/+)
A: Ves (+/+), Wh (-/-),
Rh (-/-)
Jantung:
BJ I >BJ II, reguler,
bising(-)
Abdomen :
I : simetris, distensi (-)
P : soepel,nyeritekan(+)
H/L/R tidakteraba
P : timpani, undulasi(-),
shifting dullness (-)
A : peristaltik (+)
Extremitas :
Superior : pucat (-/-),
edema (-/-)
Inferior : pucat (-/-),
edema (-/-)
Akral hangat.
CRT <2’
Ass/ Gangguan Koagulasi +
kolesistitis
BAB III
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
24
Jaundice pada anak dan remaja1
Jaundice atau ikterus didefinisikan sebagai warna kuning atau kuning
kehijauan pada kulit, sclera, atau membrane mukosa karena adanya peningkatan
bilirubin serum. Pada orang normal bilirubin total tidak lebih dari 1 mg/dL (17
mcmol/L). Jaundice atau kuning akan muncul jika kadar bilirubin total lebih besar
dari 5 mg/dL (85 mcmol/L). warna kulit kekuningan ini umumnya lebih sering
terjadi pada neonates dibandingkan dengan anak-anak atau remaja karena itu
diagnosis banding juga cukup berbeda. Berikut tabel yang berisi diagnosis
banding kuning yang terjadi pada usia anak yang lebih besar.
25
3.1 Kolesistitis3.1.1 Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya,
kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kan-
dung empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1,2
26
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada
kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada
kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya
dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1,2
3.1.2 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu.
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan
drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis.
Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.1,2
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan
empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia
dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau
spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal
terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu
yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
27
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.3,4
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas,
beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit
ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan
litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena
kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi
dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama
sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu
mungkin merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang
sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung
empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi
merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut
tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat
lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga
berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.5
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan
endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang
luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang
menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap
kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.5
3.1.3 Diagnosis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian
atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari
pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut
juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam.
Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien
menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari
regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ).
Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan
28
menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat
penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat
kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan
riwayat atau gejala yang muncul.6,7
Gambar 3.1 Algoritma diagnosis kolesistitis8
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan
atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran
kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat
yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda
Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.6,7,8
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat
ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada
15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase
(AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika
batu tidak berada di duktus biliaris.2,6,7
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi
(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran
empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung
empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak
antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90-95%.1,7
29
Gambar 3.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis9
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu
memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu
mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid
mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan juga
lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau
skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.1,3
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis
adalah:10
Gejala dan tanda lokal
o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi
Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG
atau skintigrafi yang mendukung.10
30
3.1.4 Diagnosis Banding1. Kolangitis
2. Koledokolitiasis
3. Kolelitiasis
4. Mukokel kandung empedu
5. Ulkus gaster
6. Gastritis akut
7. Pielonefritis akut3
3.1.5 KomplikasiKomplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
1. Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang ter-
sumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan
ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema
kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara laparoskopik
menjadi kolesistektomi terbuka.
2. Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di
ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
3. Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme peng-
hasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella
sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih
sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena
tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kole-
sitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis
3.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan
ada tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi
rawat jalan, sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana
pembedahan. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk
31
kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet
rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi abnormalitas elektrolit,
pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk kolesistitis akut yang ringan,
cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat
diberikan:3
1. Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada
kasus berat yang mengancam nyawa direkomendasikan imipenem/cilas-
tatin.
2. Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan
metronidazol.
3. Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
4. Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin in-
travena.3
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat
jalan dengan syarat:
1. Tidak demam dan tanda vital stabil
2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas
medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.1,3,10
32
Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut8
Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:
1. Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.
2. Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk
mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
3. Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.3
Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.
Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis.
Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik,
waktu perawatan di rumah sakit semakin berkurang.
Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:
1. Resiko tinggi untuk anestesi umum
2. Obesitas
3. Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peri-
tonitis, atau fistula
4. Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
5. Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagu-
lopati yang berat.10
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase
perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi
33
transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke
kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif.
Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan
drainase perkutaneus ini.3
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode
endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic
retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung
empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus
biliaris. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah
metode yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang
memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang endoscopic
gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien
kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien
dan secara klinis setelah 3 hari pada 24 pasien.3
3.1.7 Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung
empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75
tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah.
3.2 HEMATURIAHematuria didefinisikan sebagai keberadaan setidaknya 5 sel darah merah
(SDM) per mikroliter urin. Prevalensi hematuria pada anak usia sekolah
dasaradalah sekitar 0,5-2,0%. Penelitian kuantitatif menunjukkan anak-anak
34
normal mengekskeresikan lebih dari 500.000 SDM per 12 jam. Hal ini
dipengaruhi oleh demam dan atau aktivitas fisik.11
Secara klinis adanya hematuria dapat dibuktikan secara kualitatif dengan
“dipstick” urin yang sensitif terhadap reaksi kimia peroksidasea antara
hemoglobin (atau mioglobin) dan bahan kimia yang terdapat dalam dipstick
tersebut.Dipstick yang tersedia di pasaran umumnya sanggup mendeteksi hingga
3-10 SDM/µL urin. Hematuria bermakna pada dipstick menunjukkan adanya >50
SDM/µL. Hasil negative palsu dapat terjadi pada adanya formalin (sering
digunakan sebagai pengawet urin) atau adanya asam askorbat dalam jumlah tinggi
di urin. Hasil positif palsu dapat terjadi pada anak dengan demam, setelah
beraktivitas fisik, jika terdapat darah menstruasi, pH urin alkali (<9), atau adanya
agen pengoksidasiseperti hidrogen peroksida yang biasa digunakanuntuk
membersihkan perineum sebelum mengabil sampel. Analisis mikroskopik dari 10-
15 mL urin segar yang disentrifugasi sangat penting untuk menegakkan diagnosis
hematuria jika terdapat hasil dipstick positif. Urinalisis sebagai pemeriksaan tapis
sebaiknya dilakukan pada kunjungan anak pada umur 5 tahun dan sekali selama
masa remaja.11,12
Urin berwarna merah tanpa SDM dapat dilihat pada beberapa keadaan
medis yang tercapntum pada tabel 1. Urin positif heme tanpa SDM disebabkan
oleh keberadaan hemoglobin atau mioglobin. Hemoglobinuria tanpa hematuria
dapat disebabkan oleh adanya hemolisis. Mioglobinuria tanpa hematuria terjadi
pada sindrom rabdiomiolisis setelah cedera otot rangka dan disertai peningkatan
sebanyak lima kali pada kadar kreatin kinase plasma. Rabdomiolisis dapat terjadi
secara sekunder akibat miositis viral, luka remuk, abnormalitas elektrolit berat
(hipernatremia, hipofosfatemia), hipotensi, koagulasi intravaskulas terdisseminasi
(DIC), toksin (obat, racun), dan kejang berkepanjangan.11
Urin tanpa heme dapat terlihat merah, coklat kola, atau merah keunguan
akibat konsumsi berbagai jenis obat, makanan atau pewarna makanan. Urin dapat
berwarna coklat kehitamana atau hitam jika terdapat berbagai kelainan metabolit
urin.11
Pemeriksaan anak dengan hematuria harus dimulai dengan anamnesis
teliti, pemeriksaan fisik dan urinalisis. Informasi yang didapat digunakan untuk
35
menentukan asal hematuria (atas atau bawah) dan untuk menentukan derajat
kegawatan berdasarkan simptomatologis. Perhatian lebih harus diberikan jika
terdapat riwayat keluarga, adanya sindrom abnormalitas / malformalitas anatomis,
dan adanya hematuria berat (gross hematuria).11,12,13,14
TABEL 1 Penyebab Positif Palsu pada Tes HematuriaHEME POSITIF
Hemoglobin Mioglobin
HEME NEGATIFObat-Obatan
Chloroquine Deferoxamine Ibuprofen Iron sorbitol Metronidazole Nitrofurantoin Phenazopyridine Phenolphthalein Phenothiazines Rifampin Salisilat SulfasalazineBahan Pewarna Buah atau SayuranBahan Pewarna Makanan SintetikMetabolit Asam homogentisat Melanin Methemoglobin Porfirin Tirosinosis Urat
Penyebab hematuria dapat dilihat pada tabel 2. Sumber hematuria di dari
saluran kemih bagian atas berasal dari nefron (glomerulus, tubulus kontortus dan
interstisium). Hematuria di saluran kemih bagian bawah berasal dari sistem
pelvokaliks, ureter, kandung kemih dan uretra. Hematuria yang berasal dari nefron
seringkali tampak sebagai urin berwarna coklat, coklat cola, atau merah keunguan,
disertai proteinuria (>100 mg/dL dengan dipstick), terdapat cast SDM dan
36
akantosit atau kelaianan bentuk SDM lain pada pemeriksaan mikroskopik urin.
Hematuria yang berasal dari tubulus kontortus dapat dilihat dari keberadaan cast
leukosit atau sel epitel tubulus renal. Hematuria dari saluran kemih bagian bawah
umumnya dihubungkan dengan hematuria berat, hematuria terminal (hematuria
terjadi pada saat aliran urin akan berakhir), bekuan darah, morfologi urin SDM
normal, dan proteinuria minimal pada dipstick (<100 mg/dL).14
Tabel 2 Penyebab Hematuria pada Anak-AnakHEMATURIA GLOMERULAR Penyakit Ginjal
Nefropati IgA (penyakit Berger) Sindrom Alport (nefritis herediter)
Nefropati membran basal glomerulus tipis (thin glomerular basement membrane nephropathy)
Glomerulonefritis paskatinfeksi (paskastreptokokus) Nefropati membranosa Glomerulonefritis membranoproliferatif Glomerulosklerosis fokal segmental Antiglomerular basement membrane diseasePenyakit Multisistemik
Nefritis lupus eritematosa sistemik[*]
Nefritis purpura Henoch-Schönlein Granulomatosis Wegener Poliarteritis nodosa Sindrom Goodpasture Sindrom hemolitik-purpura Glomerulopati sel sabit Nefropati HIVHEMATURIA EKSTRAGLOMERULARSaluran Kemih Atas Tubulointerstitial
Pielonefritis
Interstitial nefritis
Nekrosis tubulus akut
Nekrosis papiler
Nefrokalsinosis
Vascular
Trombosis arteri/vena
Malformasi (aneurisma, hemangioma)
37
Sindrom Nutcracker
Kristaluria
Kalsium
Oksalat
Asam urat
Hemoglobinopati (penyakit sel sabit) Anatomi
Hidronefrosis
Penyakit ginjal kistik
Penyakit ginjal polikistik
Displasia multisiklik
Tumor (Wilms, rabdomiosarkoma, angiomiolipoma)
Trauma
SaluranKemih Bawah Peradangan (infeksi dan noninfeksi)
Sistisis
Uretritis
Urolitiasis
Trauma Koagulopati Aktivitas berat Sindrom Munchausen
* Menunjukkan adanya glomerulonefritis dengan hipokomplemensemia
Pasien dengan hematuria dapat mempunyai berbagai gejala yang
menunjukkan gangguan tertentu. Urin berwarna the ataukola, edema wajah /
tubuh, hipertensi dan oliguria menunjukkan adanya sindrom nefritik akut.
Penyakit yang umum terjadi sebagai sindrom nefritis akut adalah
glomerulonefritis paskainfeksi, nefropati IgA, glomerulonefritis
membranoproliferative, nefropati purpura Henoch-Schönlein, nefritis sistem lupus
eritematosa, granulomatosis Wagener, polyarteritis nodosa mikroskopik, sindrom
Goodpasture, dan sindrom hemolitik-uremik. Jika terdapat riwayat infeksi saluran
nafas atas, kulit atau gastrointestinal baru-baru ini menunjukkan kemungkinan
adanya glomerulonefritis akut, sindrom hemolitik-uremik atau nefritis purpura
Henoch-Schönlein. Adanya ruam dan keluhan pada persendian menunjukkan
adanya kemungkinan nefropati purpura Henoch-Schönlein atau nefritis sistem
38
lupus eritematosa. Adanya keluhan sering kencing, dysuria, dan demamyang tidak
dapat dijelaskan menunjukkan adanya infeksisaluran kemih, sedangkan kolik
renal menunjukkan adanya nefrolitiasis. Massa pada pinggang dapat menunjukkan
adanya hidronefrosis, penyakit kistik, trombosis vena ginjal, atau tumor.
Hematuria yang dihubungkan dnegan sakit kepala, perubahan visual, epistaksis,
atau gagal ginjal menunjukkan adanya hipertensi. Pasien dengan riwayat trauma
memerlukan pemeriksaan segera. Pada anak dengan lebam dan hematuria yang
tidak dapat dijelaskan sebaiknya dicuragai adanya kemungkinan terjadi kekerasan
pada anak (child abuse).
Tabel 3 Penyebab Umum Hematuria BeratInfeksi saluran kemihStenosis meatusIritasi perineumTraumaUrolitiasis/hiperkalsiuriaKoagulopatiTumorGlomerulus Nefropati IgA Sindrom Alport (nefritis herediter) Thin glomerular basement membrane disease Glomerulonefritis paskainfeksi Nefritis purpura Henoch-Schönlein Nefritis lupus eritematosa sistemik
Anamnesis riwayat pada keluarga sangat penting pada pemeriksaan awal
anak dengan kecurigaan hematuria akibat faktor genetik. Penyakit glomerulus
herediter nefritis (sindrom Alport), nefropati membran basal glomerulus tipis (thin
glomerular basement membrane nephropathy), nefritis lupus erimatosus
sistemik,dan nefropati IgA (penyakit Berger). Gangguan ginjal lain yang dapat
menyebabkan hematuria dengan komponen herediter adalah penyakit ginjal
polikistik, urolitiasis dan penyakit sel sabit.
Pemeriksaan fisik sangat penting dalam menentukan penyebab hematuria.
Hipertensi, edema tubuh, hepatosplenomegali atau tanda-tanda gagal jantung
dapat menunjukkan adanya glomerulonefitis akut. Beberapa sindrom malformasi
39
Urin coklat atau berwarna kola?Proteinuria (>30 mg/dL)?Cast SDM?Sindrom nefrotik akut?
yang dapat berhubungan dengan penyakit ginjal termasuk sindrom VATER
(vertebral body anomalies [anomaly vertebra badan], anal atresia [atresia anal],
tracheo esophageal fistula [fistula trakeo-esofageal], dan renal dysplasia
[dysplasia renal]). Massa abdomen dapat disebabkan oleh obstruksi katup uretra
posterior,obstruksi junction uteropelvis, penyakit ginjal polikistik atau tumor
Wilms. Hematuria yang ditemukan pada pasien dengan gangguan neurologis atau
kulit dapat merupakan akibat penyakit ginjal kistik atau tumor yang dihubungkan
dengan beberapa sindrom, termasuk sklerosis tuberosa, sindrom von Hippel-
Lindau, dan sindrom Zellweger (serebrohepatorenal). Abnormalitas anatomi dari
genitalia eksternal dapat dihubungkan dengan penyakit ginjal.12,14
Pasien dengan hematuria berat (gross hematuria) dapat memberikan
kesulitan tersendiri karena adanya kekhawatiran orang tua. Keadaan ini harus
dibedakan dengan uretroragia, yakni perdarahan dari uretra tanpa disertai urin
yang disertai dysuria dan bercak perdarahan pada celana dalam setelah kencing.
Kondisi ini, yang sering terjadi pada anak laki-laki pre-pubertas dengan selang
waktu beberapa bulan, adalah keadaan medis ringan dan akan sembuh sendiri.
Penyebab hematuria berat terdapat pada tabel 3. Penyebab paling umum dari
hematuria berat adalah infeksi saluran kemih. Kurang dari 10% pasien
menunjukkan bukti adanya glomerulonefritis. Hematuria berat berulang
menunjukkan adanya nefropati IgA, sindrom Alport, thin glomerular basement
membrane nephropathy, hiperkalsiuria atau urolitiasis.12,13
40
Gambar 1. Algoritma pendekatan secara umum untuk pemeriksaan laboratorium
dan radiologis pada pasien dengan hematuria glomerular atau ekstraglomerular.
ANA: Antibodi antinuclear; ASO: Antistreptosilin O; BUN: nitrogen urea darah;
C3/C4: komplemen; SDM: sel darah merah.12
Pendekatan umum untuk pemeriksaan laboratory dan radiologis untuk
pasien dnegan hematuria glomerular atau ekstraglomerular terdapat pada gambar
1. Pasien dengan hematuria mikroskopik terisolasi sebaiknya tidak menjalani
pemeriksaan diagnostic hingga setidaknya 2 spesimen urin yang dikumpulkan
dalam jangka waktu 1 hingga 2 minggu mennunjukkan adanya jumlah SDM yang
tidak normal. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah pemeriksaan yang tidak
diperlukan.14,15
41
Tabel 4 - Diagnosis Banding Hematuria Simptomatis dan Asimptomatis14
SimptomatisGejala ginjal
Infeksi saluran kemih
Nefrolitiasis
Uretroragia
Gejala sistemik
Purpura Henoch-Schönlein
Sklerosis tuberosa
Asymptomatic
Hiperkalsiuria Penyakit kistik Obstruksi Vascular Malformasi arterivena Trombosis Trauma Tumor Hemoglobinpati Koagulopati Hematuria akibat aktivitas Heamturia familial benigna (membran basal tipis) Glomerulonefritis (dalam masa penyembuhan) Nefritis paskainfeksi akut Nefropati IgA Purpura Henoch-Schönlein
Anak dengan hematuria mikroskopik terisolasi persisten dengan jangka
waktu lebih dari 2 minggu mempunyai dilema tersendiri dalam memutuskan
pemeriksaan yang diperlukan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4. Pemeriksaan awal
untuk anak dengan keadaan ini sebaiknya juga disertai kultur urin diikuti
pemeriksaan kadar kalsium dan kreatinin pada pasien dengan hasil kultur negatif.
Jika hasil pemeriksaan ini normal, sebaiknya dilakukan urinalisis untuk semua
kerabat terdekat (orang tua dan saudara). Ultrasonografi ginjal dan kandung kemih
sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan lesi struktural seperti
tumor, penyakit kistik, hidronefrosis, atau urolitiasis. Ultrasonografi dari saluran
kemih sangat berguna pada pasien dengan hematuria berat, nyeri abdomen, nyeri
42
pinggang, atau trauma. Jika hasil penelitian awal ini tetap normal, disarankan
dilakukan pemeriksaan kreatinin dan elektrolit serum.15
Temuan kelainan hematologis tertentu dapat mempersempit diagnosis
banding. Anemia pada hematuria dapat disebabkan oleh:
1. Pengenceran (dilusi) intravascular sekunder akibat hipovolemia yang
berhubungan dengan gagal ginjal akut.
2. Berkurangnya produksi SDM pada gagal ginjal kronis
3. Hemolisis pada sindrom hemolitik-uremik atau SLE
4. Kehilangan darah dari pendarahan parau seperti pada sindrom Good-
pasture atau melena pada pasien dengan purpura Henoch-Schönlein
atau sindrom hemolitik-uremik.
Pemeriksaan hapusan darah tepi dapat menunjukkan proses
mikroangiopati yang sesuai dengan sindrom hemolitik-uremik, trombosis vena
ginjal, vaskulitis, atau SLE. Pada keadaan terakhir, adanya autoantibodi dapat
ditunjukkan dengan reaksi Coombs positif, adanya antibodi antinuclear,
leukopenia dan penyakit multisistem. Trombositopenia dapat diakibatkan oleh
berkurangnya produksi trombosit (pada keganasan) atau peningkatan konsumsi
trombosit (SLE, purpura trombositopenik idiopatik, sindrom hemolitik-uremik,
trombosis vena ginjal). Walaupun morfologi SDM urin dapat normal pada
perdarahan saluran kemih bawah dan dismorfik pada perdarahan glomerular,
morfologi sel tidak secara pasti berhubungan dengan lokasi hematuria.
Pemeriksaan tapis yang paling baik untuk gangguan pembekuan darah adalah
melalui anamnesis menyeluruh. Pemeriksaan masa pembekuan darah tidak perlu
secara rutin dilakukan kecuali jika terdapat riwayat pribadi atau keluarga
menunjukkan adanya kecenderungan untuk perdarahan.
Sistouretrogram setelah kencing hanya diperlukan pada pasien dengan
infeksi saluran kemih, luka ginjal, hidroureter, atau pielokaliektasis. Sistoskopi
merupakan prosedur yang tidak diperlukan dan mahal pada pasien hematuria
dengan resiko tambahan karena memerlukan anastesia. Prosedur ini sebaiknya
hanya dilakukan pada anak dengan massa di kandung kemih yang ditemukan oleh
pemeriksaan USG, adanya abnormalitas uretra akibat trauma, adanya keberadaan
43
katup uretra posterior, atau tumor. Hematuria berat unilateral yang dapat
ditemukan degan sistoskopi jarang ditemukan pada pasien pediatric.
Perujukan apda nefrolog anak dangat direkomendasikan untuk pasien
dengan nefritis (glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial), hipertensi,
insufisiensi ginjal, urolitiasis / nefrokalsinosis, atau riwayat penyakit ginjal pada
keluarga seperti penyakit ginjal polikistikatau nefritis herediter. Biopsy ginjal
diindikasikan untuk anak dengan hematuria mikroskopik persisten atau hematuria
berat berulang yang disertai penurunan fungsi ginjal, proteinuria atau
hipertensi.11,12
Anak-anak dengan hematuria asimptomatis terisolasi dan mempunyai hasil
pemeriksaan normal sebaiknya diperiksakan nilai kreatinin plasma sekali setahun
dan tekanan darah serta urin setiap 3 bulan hingga hematuria hilang. Diagnosis
yang perlu dipikirkan dalam keadaan ini adalah glomerulonefritis paskainfeksi
yang berada dalam masa pemulihan, penyakit membrane basal tipis, nefropati
IgA, atau aktivitas fisik berat / trauma. Rujukan kepada nefrolog pediatrik
sebaiknya dipertimbangkan untuk anak dengan hematuria asimptomatis persisten
dengan durasi hematuria lebih dari 1 tahun.14,15
44
3.3 Gangguan Koagulasi16
Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk mempertahankan sistim
hemostasis yaitu mempertahankan komponen darah tetap dalam keadaan cair
(Fluid state) sehingga tubuh dalam keadaan fisiologik mampu mempertahankan
aliran darah dari/dalam pembuluh darah. Bilamana terjadi kerusakan pembuluh
darah maka sistem hemostasis tubuh akan mengontrol perdarahan melalui
mekanisme (1) interaksi pembuluh darah dan jaringan penunjang, (2) interaksi
trombosit dan pembuluh darah yang mengalami kerusakan, (3) pembentukan
fibrin oleh sistim koagulasi, (4) regulasi dari bekuan darah oleh faktor inhibitor
koagulasi dan sistim fibrinolitik, (5) remodeling dan reparasi dari pembuluh darah
yang mengalami kerusakan(Gambar 1).1,2 Bilamana terdapat gangguan dalam
regulasi hemostasis baik oleh karena kapasitas inhibitor tidak sempurna atau oleh
karena adanya stimulus yang menekan fungsi natural anticoagulant maka akan
terjadi trombosis yaitu suatu proses terjadinya bekuan darah dalam pembuluh
darah. Secara klinis proses terjadinya trombosis melibatkan (1) aliran darah dan
pembuluh darah, (2) interaksi trombosit–pembuluh darah oleh karena kerusakan
endotelium dan (3) sistim koagulasi baik natural antikoagulan dan sistem
fibrinolitik.
Evaluasi perdarahan yang berhubungan dengan kelainan koagulasi pada
anak dan dewasa Pemeriksaan dasar untuk skrining hemostatik adalah hitung
trombosit dan hapusan darah, bleeding time (BT), activated partial thromboplastin
time (APTT), prothrombine time (PT), thrombine clotting time (TCT), dan
fibrinogen. 16
APTT yang memanjang (isolated prolongation of APTT)
Problematik terjadi bilamana pasien yang akan dioperasi hanya ditemukan
APTT yang memanjang (isolated prolongation of aPTT) sedangkan pemeriksaan
skrining hemostasis yang lain (PT, TCT, hitung trombosit, BT, fibrinogen) dalam
45
batas normal. Pendekatan pada kasus ini dilakukan dengan melihat hasil koreksi
dengan plasma normal (Gambar 5).1,2 Umumnya kasus dengan isolated
prolongation of APTT mempunyai kelainan dalam hal sistem kontak (seperti
defisiensi faktor XII atau slow activator), sebagian besar kasus-kasus ini tidak
menunjukan perdarahan hebat dan bilamana terjadi perdarahan maka
kemungkinan penyebab adalah hemofilia ringan atau penyakit von Willebrand
(lihat Tabel 1).
Defisiensi Vit K
Pada penderita dengan penyakit yang berat akan mudah terjadi defisiensi
vitamin K oleh karena nutrtisi yang jelek ataupun oleh karena penggunaan
antibiotika jangka panjang. Defisiensi Viamin K akan menyebabkan penurunan
aktifitas faktor pembekuan II, VII, IX dan X dengan demikian PT dan APTT akan
memanjang akan tetapi kadar fibrinogen dan TCT masih dalam keadaan normal.
PT akan lebih dahulu ditemukan memanjang sebelum perubahan dari APTT
terlihat, hal ini disebabkan oleh karena half-life yang pendek dari faktor VII (5
jam).16
Penyakit hati
Hati merupakan tempat sintesis dari hampir semua faktor pembekuan,
dengan demikian PT dan APTT akan memanjang pada penyakit hati lanjut.
Seperti pada defisiensi vit K, PT akan lebih dahulu ditemukan memanjang
dibandingkan dengan APTT. TCT akan ditemukan memanjang disebabkan oleh
karena hambatan sintesis hepar akibat disfungsi fibrinogen atau inhibisi terhadap
46
polimerasi fibrin oleh FDP dalam sirkulasi. Bilamana terjadi gagal hati maka
konsentrasi fibrinogen akan turun. BT akan memanjang dalam tingkatan ringan-
sedang oleh karena mekanisme yang belum jelas. ELT akan memendek pada
penyakit hati lanjut oleh karena enzim fibrinolitik dalam sirkulasi gagal di
inaktifasi oleh hati. 16
BAB IVANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien merupakan
pasien dengan keluhan utama kuning di seluruh tubuh. Jaundice atau ikterus
didefinisikan sebagai warna kuning atau kuning kehijauan pada kulit, sclera, atau
membrane mukosa karena adanya peningkatan bilirubin serum. Pada orang
normal bilirubin total tidak lebih dari 1 mg/dL (17 mcmol/L). Jaundice atau
kuning akan muncul jika kadar bilirubin total lebih besar dari 5 mg/dL (85
mcmol/L). warna kulit kekuningan ini umumnya lebih sering terjadi pada
neonates dibandingkan dengan anak-anak atau remaja karena itu diagnosis
banding juga cukup berbeda. Berikut tabel yang berisi diagnosis banding kuning
yang terjadi pada usia anak yang lebih besar.
Jaundice pada anak yang lebih besar umumnya disebabkan oleh beberapa
kelainan terutama infeksi pada hati dan atau kandung empedu. Infeksi virus
hepatitis A menempati urutan pertama penyebab jaundice pada usia remaja.
Kemudian diikuti oleh radang kandung empedu. Pada pasien ini dari hasil
pemeriksaan penunjang didapatkan penyebab jaundicenya adalah kolesistitis tipe
akalkulus.
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas,
beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit
ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan
47
litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena
kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi
dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama
sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu.
Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari
tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien
dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung
empedu, sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding
kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam,
dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis
akalkulus.
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan
endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang
luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang
menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap
kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.
Pasien mengalami gross hematuria. Pemeriksaan anak dengan hematuria
harus dimulai dengan anamnesis teliti, pemeriksaan fisik dan urinalisis. Informasi
yang didapat digunakan untuk menentukan asal hematuria (atas atau bawah) dan
untuk menentukan derajat kegawatan berdasarkan simptomatologis. Perhatian
lebih harus diberikan jika terdapat riwayat keluarga, adanya sindrom abnormalitas
/ malformalitas anatomis, dan adanya hematuria berat (gross hematuria).
Penyebab hematuria gross pada anak yang berasal dari glomerulus paling
sering adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus dan nefropati IgA.
Analisis yang teliti harus dilakukan untuk menemukan penyebab hematuria.
Riwayat adanya nyeri tenggorok, pyoderma atau impetigo, proteinuria, sembab,
hipertensi, dan torak mendukung diagnosis glomerulonefritis. Bila titer ASO dan
uji Streptozyme, dan kadar komplemen C3 serum dilakukan, harus dibuat
diagnosis banding. Nefropati IgA dapat menyebabkan hematuria gross berulang,
48
dan penyakit ini bisa didahului oleh infeksi saluran nafas atas dan bahkan disertai
nyeri perut atau nyeri pinggang.
Gusi berdarah, subconjungtiva bleeding merupakan manifestasi klinis ada
gangguan koagulasi pada pasien. Evaluasi perdarahan yang berhubungan dengan
kelainan koagulasi pada anak dan dewasa Pemeriksaan dasar untuk skrining
hemostatik adalah hitung trombosit dan hapusan darah, bleeding time (BT),
activated partial thromboplastin time (APTT), prothrombine time (PT), thrombine
clotting time (TCT), dan fibrinogen. 16
APTT yang memanjang (isolated prolongation of APTT)
Umumnya kasus dengan isolated prolongation of APTT mempunyai
kelainan dalam hal sistem kontak (seperti defisiensi faktor XII atau slow
activator), sebagian besar kasus-kasus ini tidak menunjukan perdarahan hebat dan
bilamana terjadi perdarahan maka kemungkinan penyebab adalah hemofilia
ringan atau penyakit von Willebrand (lihat Tabel 1).
Selain tiga masalah utama di atas, masalah lain pada kasus ini salah satunya
adalah riwayat kehamilan ibu tidak melakukan ANC teratur atau ANC hanya
dilakukan di bidan desa tanpa pemeriksaan USG. Hal ini menunjukkan rendahnya
tingkat awareness keluarga pasien tentang pentingnya pemeriksaan selama
kehamilan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dalam pertumbuhan
janin. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa tingkat pemahaman tentang penyakit
dan pencegahannya masih sangat rendah dalam keluarga.
49
BAB VKESIMPULAN
Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan kuning di seluruh tubuh.
Kuning ini menjadi dasar pengambilan diagnosa observasi ikterus karena berbagai
penyebab seperti hepatitis A, kolesistitis dan kolelithiasis. Diagnosa pasti
ditegakkan menggunakan USG abdomen dengan kesimpulan kolesistitis.
Selain kuning pasien juga mengalami perdarahan yang cukup berat yaitu
gross hematuria dan gusi berdarah serta beberapa tanda perdarahan lain seperti
conjungtiva bleeding dan adanya hematom di beberapa bagian tubuh. Hematuria
dikaitkan dengan suatu infeksi pada glomerulus atau dikenal dengan GNA,
sementara untuk tanda-tanda perdarahan lain dicurigai berhubungan dengan
gangguan faktor koagulasi.
Pasien dengan kasus simultan seperti ini memerlukan penanganan yang
cukup serius. Pasien telah mendapatkan terapi dengan baik dan mengalami
perbaikan yang signifikan sebelum akhirnya dipulangkan ke rumah.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinesh Pashankar, dan Richard A. Schreiber, Jaundice in Children and
Adolescent. AAP. 2001 [Diakses pada 5 Juli 2015] dari :
http://pedsinreview.aappublications.org/content/22/7/219.extract
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics, 18th Edition. 2007. Philadelphia: Saunders Elsevier.
3. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadi-
brata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Uni-
versitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
4. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary
Colic in Emergency Medicine. [Diakses pada: 16 Juni 2015]. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
5. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 16 Juni
2015]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-
overview.
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
51
Penyakit vol 1. Edisi keempat. Jakarta: EGC, 1994.
7. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses
pada: 16 Juni 2015]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-
overview.
8. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et
al. Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis
and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
9. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment.
Cleveland Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
10. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al.
Flowchart for the diagnosis and treatment of acute cholangitis and chole-
cystitis: Tokyo Guidelinex. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p.
27-34.
11. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26);
2008.
12. Bergstein J, Leiser J, Andreoli S: The clinical significance of
asymptomatic gross and microscopic hematuria in children. Arch Pediatr
Adolesc Med 2005; 159:353-355.
13. Cohen RA, Brown RS: Microscopic hematuria. N Engl J
Med 2003; 348:2330-2338.
14. Feld LG, Waz WR, Perez LM, et al: Hematuria. An integrated medical and
surgical approach. Pediatr Clin North Am 1997; 44:1191-1210.
15. Meyers KE: Evaluation of hematuria in children. Urol Clin North
Am 2004; 3:559-573.
16. Mantik MFJ. Gangguan Koagulasi. Sari Pediatri, Vol.6, No.1
(Supplement), Juni 2004
52