apa itu filsafat

19
1 Apa Itu Filsafat? Soal: Apa itu Filsafat? Bagaimana pandangan Islam terhadap filsafat? Apakah para ulama dahulu menggunakan metode filsafat untuk memperkuat keimanan mereka? Apakah filsafat bisa memberi kontribusi terhadap dakwah Islam sekarang? Jawab: Saya tidak akan masuk pada pembahasan-pembahasan filsafat secara definitive, akan tetapi langsung pada substansi pertanyaannya. Pada dasarnya, filsafat yang kemudian mendapat kecaman dan kritik dari kalangan kaum muslim, adalah metode berfikir (epistemologi) yang didasarkan pada kaedah-kaedah silogisme (ilmu mantic). Kaedah-kaedah ini disusun berdasarkan hubungan-hubungan premis yang disusun di atas silogisme tertentu. Para ahli logika telah menyusun bermacam-macam kaedah logika, misalnya mulai dari logika kuantitas menjadi kualitas, coversion (pembalikan), obversion (perlipatan), contraposition (perlipatan terbalik), hingga silogisme. Silogisme sendiri terdiri dari empat macam (menurut Aristoteles). Kadang-kadang ada yang membaginya menjadi tiga. Silogisme Aristoteles adalah silogisme paling terkenal yang dipakai hingga sekarang. Dari keragaman kaedah logika tersebut, kita bisa menarik benang merah, bahwa mereka berusaha memberikan simpulan (konklusi) atas suatu fakta berdasarkan premis-premis (premis major, dan premis minor) yang kemudian disusun dalam kaedah-kaedah logika tertentu. Contohnya adalah kesimpulan dari sebagian orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Premis major = al-Qur’an tersusun dari huruf Arab Premis minor = Huruf Arab adalah makhluk Conclusi = al-Qur’an adalah makhluk Ahli filsafat hanya berkutat dengan premis-premis ini, kemudian menyusunnya dalam timbangan logika. Konklusi apapun yang lahir dari premis minor dan mayor, dianggap sebagai sebuah kesimpulan yang benar, bila sejalan dengan kaedah-kaedah logika. Padahal, bisa jadi kesimpulan itu salah dan bertentangan dengan fakta yang ada. Pada dasarnya, cara berfikir semacam ini tidak pernah dikenal oleh kaum muslim. Bahkan, cara berfikir semacam ini adalah cara berfikir dangkal yang akan merusak akal manusia. Sedangkan tradisi berfikir kaum muslim tidak dibentuk berdasarkan filsafat. Mereka diajari faaqihgroup.wordpress.com ebook gratis animasi gratis mp3 arabic gratis software gratis islam video gratis islam galeri gratis edukasi games gratis tips/tutorial computer gratis 3D wallpaper gratis info bisnis online

Upload: faaqihgroup

Post on 11-Jun-2015

1.693 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

Apa Itu Filsafat?

Soal: Apa itu Filsafat? Bagaimana pandangan Islam terhadap filsafat?

Apakah para ulama dahulu menggunakan metode filsafat untuk

memperkuat keimanan mereka? Apakah filsafat bisa memberi

kontribusi terhadap dakwah Islam sekarang?

Jawab: Saya tidak akan masuk pada pembahasan-pembahasan

filsafat secara definitive, akan tetapi langsung pada substansi pertanyaannya. Pada dasarnya, filsafat yang kemudian mendapat

kecaman dan kritik dari kalangan kaum muslim, adalah metode

berfikir (epistemologi) yang didasarkan pada kaedah-kaedah

silogisme (ilmu mantic). Kaedah-kaedah ini disusun berdasarkan

hubungan-hubungan premis yang disusun di atas silogisme tertentu.

Para ahli logika telah menyusun bermacam-macam kaedah logika,

misalnya mulai dari logika kuantitas menjadi kualitas, coversion

(pembalikan), obversion (perlipatan), contraposition (perlipatan

terbalik), hingga silogisme. Silogisme sendiri terdiri dari empat

macam (menurut Aristoteles). Kadang-kadang ada yang membaginya

menjadi tiga. Silogisme Aristoteles adalah silogisme paling terkenal yang dipakai hingga sekarang.

Dari keragaman kaedah logika tersebut, kita bisa menarik benang

merah, bahwa mereka berusaha memberikan simpulan (konklusi)

atas suatu fakta berdasarkan premis-premis (premis major, dan

premis minor) yang kemudian disusun dalam kaedah-kaedah logika

tertentu. Contohnya adalah kesimpulan dari sebagian orang yang

menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

Premis major = al-Qur’an tersusun dari huruf Arab

Premis minor = Huruf Arab adalah makhluk

Conclusi = al-Qur’an adalah makhluk

Ahli filsafat hanya berkutat dengan premis-premis ini, kemudian

menyusunnya dalam timbangan logika. Konklusi apapun yang lahir

dari premis minor dan mayor, dianggap sebagai sebuah kesimpulan

yang benar, bila sejalan dengan kaedah-kaedah logika. Padahal, bisa

jadi kesimpulan itu salah dan bertentangan dengan fakta yang ada.

Pada dasarnya, cara berfikir semacam ini tidak pernah dikenal oleh

kaum muslim. Bahkan, cara berfikir semacam ini adalah cara berfikir

dangkal yang akan merusak akal manusia. Sedangkan tradisi berfikir

kaum muslim tidak dibentuk berdasarkan filsafat. Mereka diajari

faaqihgroup.wordpress.com ebook gratis – animasi gratis – mp3 arabic gratis – software gratis – islam video gratis – islam galeri gratis

– edukasi games gratis – tips/tutorial computer gratis – 3D wallpaper gratis – info bisnis online

2

untuk mengamati fakta kemudian membuat kesimpulan berdasarkan

fakta tersebut dan berdasarkan dalil naqliy yang terpercaya. Jika

suatu perkara itu bisa diindera dan didekati dengan akal, maka

proses pembuktiannya cukup dengan akal. Akan tetapi, jika suatu

perkara sudah berada di luar jangkauan indera, maka akal tidak

mampu menjangkaunya, dan untuk membuat kesimpulan dalam

ranah seperti ini, mereka disuruh melihat dalil-dalil naqliy yang

shahih. Dalam kondisi seperti ini, akal harus tunduk dengan dalil

naqliy yang menerangkan perkara tersebut. Kaum muslim juga tidak

diperintahkan untuk membahas secara mendalam, hal-hal yang tidak diterangkan secara rinci oleh nash-nash syara’. Misalnya, duduknya

Allah, Allah bisa dilihat dengan mata atau tidak, dan lain sebagainya.

Seorang muslim hanya menyandarkan diri pada makna-makna global

yang ditunjukkan oleh nash tersebut, dan tidak perlu membahasnya

lebih rinci dan mendalam lagi.

Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa para ‘ulama sangat benci

terhadap ahli kalam, bahwa konon Imam Syafi’iy pernah

memberikan fatwa kepada kaum muslim untuk memukul ahli kalam

dengan pelepah kurma jika mereka bertemu.

Cara berfikir kaum muslim boleh dikatakan sangat simple dan sederhana, namun sangat mendalam dan produktif. Untuk

membuktikan kebenaran sesuatu, mereka mencukupkan diri dengan

penginderaan, jika sesuatu tersebut berada dalam jangkauan indera.

Jika indera mereka tidak mampu menjangkau hal tersebut, maka

mereka mencukupkan diri pada keterangan yang disampaikan oleh

al-Qur’an dan as-sunnah.

Untuk membuktikan eksistensi Allah, kaum muslim diajari untuk

mengamati dan meneliti alam semesta melalui inderanya, bukan

dengan cara membuat kesimpulan berdasarkan premis-premis logika.

Dengan mengamati alam semesta, kita bisa menyimpulkan bahwa

ada al-Khaliq al-Mudabbir yang menciptakannya. Adapun hal-hal

yang berada di luar jangkauan indera, mereka diperintahkan untuk merujuk kepada dalil-dalil yang pasti. Misalnya, tentang adanya surga

dan neraka. Indera tidak mampu menjangkau keduanya. Untuk itu,

akal tidak bisa menetapkan seperti apa surga dan neraka itu. Dalam

keadaan seperti ini, seorang muslim mesti merujuk kepada

keterangan yang telah dipaparkan oleh al-Qur’an tentang surga dan

neraka. Jika al-Qur’an tidak menerangkan secara rinci, maka kita

harus mencukupkan diri pada pengertian-pengertian globalnya saja.

Kita tidak perlu membahasnya lebih rinci lagi. Sebab, tidak ada dalil

yang menerangkan secara detail masalah itu. Misalnya, duduknya

Allah di ‘Arsy. Kita mesti yakin terhadap masalah ini. Namun kita

tidak perlu membahas lebih rinci, bagaimana posisi dudukNya,

3

terbuat dari apa ‘Arsy itu, jika memang tidak ada dalil yang

menerangkannya.

Walhasil, filsafat tidak akan mampu membangun keimanan yang

kokoh dan tangguh. Sebaliknya, ia adalah metodologi berfikir yang

rusak dan dangkal. Lebih dari itu, filsafat tidak akan memberikan

pengaruh apapun bagi dakwah Islam, dalam arti pengaruh yang baik.

Justru dengan filsafatlah kaum muslim terpecah belah dalam firqah-

firqah yang tidak jarang firqah-firqah tersebut saling menyerang,

mengkafirkan, bahkan saling membunuh satu dengan yang lain. Untuk itu, filsafat harus ditinggalkan dan dibersihkan dari benak

kaum muslim. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Syamsuddin

Ramadhan]

Hanya Sekadar Mengganti Menteri

Lewat Keppres, Presiden Abdurrahman wahid membebastugaskan Menteri Negara penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi beserta Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yusuf Kalla. Alasannya, kedua orang tersebut tidak sepaham lagi dengan Menko Ekuin dan Menteri Keuangan (Kompas, 25/04/2000). Belakangan Gus Dur akhirnya bicara terus terang mengenai alasan penggantian dua menteri tersebut. Keduanya terlibat KKN. Jadi, bukan soal lemahnya koordinasi di bidang ekuin seperti yang diungkapkan sebelumnya (Media Indonesia, 28/04/2000

Tak pelak lagi inkonsistensi pernyataan-pernyataan Gus Dur itu kembali memanaskan suhu politik di negeri ini. Sektor ekonomi yang selama semester pertama pemerintahan Gus Dur tidak beranjak dari keadaan semula langsung terkena dampaknya. Reaksi negatif dari pasar pun muncul. Perekonomian tetap tidak menentu. Pada saat bersamaan situasi politik sedang sangat rentan. Setelah penggantian menteri, kondisi pun tetap runyam. Ujungnya, beberapa fraksi DPR bersikap keras meminta klarifikasi dari presiden. Namun, penggantian menteri demi menteri pun tetap berjalan. Berangkat dari fenomena demikian muncul pertanyaan-pertanyaan, apakah penggantian menteri-menteri atau pejabat lain secara otomatis dapat memperbaiki kondisi politik, ekonomi, hukum dan keamanan negeri ini? Ataukah kondisi politik, ekonomi, hukum dan keamanan itu justru sangat ditentukan oleh sistemnya, yakni kondisi akan tetap runyam meskipun para pelakunya berganti-ganti ?

Hanya Ganti Menteri

Setiap masyarakat dan pemerintahan di seluruh dunia melakukan aktifitas kehidupannya sesuai dengan pemahaman terhadap ideologi (mabda) yang dianutnya. Sebab, seperti disebutkan oleh M.M. Ismail dalam bukunya Al Fikru Al Islamiy (1958), mabda atau ideologi merupakan aqidah ‘aqliyah yang melahirkan sistem dan aturan kehidupan (nizham). Jadi, ideologi itulah yang mengatur dan mengarahkan pandangan hidup anggota-anggota masyarakat dan pemerintahannya kepada arah pandang tertentu yang menjadi tujuan hidup masyarakatnya sesuai dengan aqidah yang dianutnya. Ideologi itu pula yang menjadi dasar pijakan sebuah masyarakat dan pemerintahan.

4

Sebuah masyarakat atau pemerintahan yang berlandaskan ideologi kapitalisme dengan sekularisme sebagai landasan, misalnya, menjadikan sistem politik, ekonomi, hukum, dan keamanan tidak diatur oleh aturan Allah SWT, melainkan digali oleh akal dari akal itu sendiri dengan manfaat kekinian sebagai tolok ukurnya. Dalam sistem seperti ini, perekonomian hanya dikuasai oleh segelintir orang, riba menjadi tulang punggung perekonomian, judi dilegalkan karena dianggap kebudayaan sebagian penduduk, utang luar negeri terus menumpuk, dominasi asing imperialis pun merupakan kenyataan. Hukum dalam mabda kapitalisme digali dari bumi sendiri, adat istiadat, tradisi, maslahat masyarakat di negeri itu pada periode tertentu. Demikian halnya dalam bidang kehidupan lainnya. Seluruh sistem hidup yang berkait dengan politik, ekonomi, hukum, keamanan dan bidang lainnya sama sekali terpisah dengan Islam. Islam tidak dijadikan tolok ukur maupun asasnya. Sebaliknya, Islam ditempatkan di pojok yang sempit untuk hanya mengurus hati, etika, dan moral.

Siapapun yang berpikir jernih dan berhati bersih akan memahami bahwa sistem kapitalisme dengan landasan sekularisme inilah yang sampai saat ini menguasai negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia. Perubahan-perubahan yang terjadi adalah perubahan orang. Sementara sistemnya sama saja yaitu sekularisme. Sekalipun terlihat bentuknya berubah dari sekularisme yang satu ke sekularisme yang lain. Penampakannya berganti namun intinya sama : pemisahan agama dari kehidupan dan negara, sekularisme!

Perubahan Sistem, Bukan Sekadar Orang

Kenyataan tadi, tentu saja, bertentangan dengan Islam. Sebab, perubahan yang harus dilakukan tidak terbatas pada penggantian orang melainkan juga sekaligus penggantian sistem.

"Barang siapa yang mengangkat seseorang sebagai pemimpin jama’ah, padahal ia tahu bahwa di dalam kelompok itu terdapat orang yang lebih baik, maka ia telah mengkhianati Allah SWT, menghianati rasul-Nya, dan mengkhianati kaum mukminin," demikian sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim. Dalam hadits ini, Nabi SAW menekankan betapa pentingnya perubahan orang. Sampai-sampai kesalahan menempatkan orang dikategorikan sebagai sebuah pengkhianatan. Bukan sekedar pengkhianatan kepada kaum mukminin, tetapi juga kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Selain itu, penggantian dengan orang yang tidak tepat diberitakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai cikal bakal datangnya kehancuran. Imam Bukhari meriwayatkan hadits bahwa Nabi saw. bersabda:

"Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."

Tidak cukup sampai di sini. Perubahan menuju masyarakat haruslah ditempuh dengan mengubah sistem sekuler yang bertentangan dengan Islam itu menjadi sistem yang lahir dari aqidah dan hukum Islam. Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan petunjuk yang amat jelas kepada kaum muslimin dalam melakukan perubahan yang dapat mendatangkan kebaikan yang hakiki. Firman Allah SWT :

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (QS. Ar Ra’du : 11).

5

Ayat ini menegaskan bahwa jika kaum muslimin mengingiukan perubahan keadaan yang ada di tengah-tengah masyarakat maupun pemerintahan, maka apa saja yang menjadi penyusun masyarakat itu harus diubah. Padahal, melalui penelaahan terhadap realitas dan proses pembentukan masyarakat dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam suatu masyarakat adalah: individu-individu (orangnya), pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya, dan peraturan (sistem) perundangan yang berlaku, mencakup seluruh sistem yang ada di masyarakat, seperti sistem politik, pemerintahan, ekonomi, hukum/peradilan, dan keamanan (lihat Mafahim Islamiyah, Muhammad Husain Abdullah, hal.115-116).

Masing-masing unsur itu berinteraksi satu dengan yang lain secara terus-menerus hingga terbentuklah sebuah masyarakat. Ciri khas masyarakat itu ditentukan oleh jenis ideologi yang menjadi azas ataupun tolok ukur yang dianut masyarakat tersebut. Bila ideologi yang mendasarinya adalah sosialis-komunis maka masyarakatnya adalah masyarakat Komunis, artinya masyarakat yang seluruh unsur-unsurnya merujuk pada ideologi Komunis. Begitu pula halnya dengan masyarakat Kapitalis, atau masyarakat Islam. Jadi, untuk merubah masyarakat kapitalisme yang berlandaskan sekularisme, misalnya, menjadi masyarakat Islam dilakukan dengan mengubah pemikiran, perasaan, dan sistem/peraturan sekularisme yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dengan Islam. Selama pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan dan sistem/peraturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat tidak berubah, maka keadaan masyarakat itu tetap tidak akan berubah. Pergantian kepemimpinan, termasuk di dalamnya penggantian menteri-menteri atau para pejabat, baik itu beberapa orang ataupun seluruhnya, tidak akan berarti apa-apa terhadap keadaan yang ada di masyarakat. Sebab keadaan masyarakat itu amat ditentukan oleh pemikiran-pemikiran, perasaan ridla-bencinya, sedih-gembiranya, dan senang-susahnya, serta oleh sistem/peraturan yang berlaku.

Jelaslah, perubahan orang tidak akan berdampak baik dalam sebuah sistem yang bobrok, kecuali bila dilakukan bersamaan dengan perubahan sistem itu sendiri.

Perubahan Masyarakat dengan Islam

Selama sistem/peraturan yang berlaku, pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan yang ada di masyarakat bertentangan dengan sistem/peraturan Islam, pemikiran dan perasaan Islam, meskipun pemimpin mereka adalah seorang muslim, maka hal itu sama saja dengan membangun, menjalankan dan memelihara perundang-undangan kufur atau thaghut. Allah berfirman :

"Apakah engkau tidak memperhatikan terhadap orang-orang yang mengaku bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan (kepada) apa yang diturunkan sebelum engkau? Mereka hendak berhukum kepada thaghut (sesuatu yang menyesatkan, segala pembuat hukum selain Allah SWT), padahal sungguh mereka telah diperintahkan supaya mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisa' : 60)

Imam Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dengan mengatakan: ‘Ini merupakan bentuk pengingkaran dari Allah ‘Azza wa Jalla terhadap orang yang mengaku beriman dengan apa yang Allah turunkan kepada RasulNya dan kepada para Nabi terdahulu, sementara pada saat yang bersamaan ia menghendaki untuk

6

bertahkim (merujuk pada undang-undang) –dalam memecahkan perselisihan-- kepada selain Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnah RasulNya.’ (Tafsir Ibnu Katsir, jld.I, hal.642).

Dalam bukunya, Imam Ibnul Qoyyim lebih lugas menyatakan: ‘Sungguh siapa saja yang berhukum atau menghukumi dengan selain yang dibawa Rasul SAW berarti ia telah menjadikan thaghut sebagai hakim dan berhukum kepadanya. Dan thaghut adalah setiap yang disembah, diikuti, atau ditaati melebihi batas. Jadi, thaghut itu setiap sesuatu selain Allah dan rasul-Nya yang dijadikan penentu hukum oleh suatu bangsa, atau diturut oleh mereka tanpa bukti/penjelasan dari Allah SWT’ (I’lamul Muqi’in, jld. I, hal. 50).

Nampaklah, Allah SWT Dzat Maha Bijaksana lagi Adil memerintahkan umat manusia untuk hanya mengikuti aturan-Nya semata, yaitu sistem Islam.

Mengikuti sistem Islam, berarti menjadikan aqidah islamiyyah sebagai landasan hidup baik individual dalam kehidupan pribadi maupun kolektif dalam bernegara. Tolok ukurnya adalah halal–haram, yakni perintah dan larangan Rabbul ‘Alamin. Sedangkan ‘maslahat’ baru dipertimbangkan bila sudah jelas kehalalannya. Sementara, sesuatu yang haram tidak dapat menjadi boleh hanya dengan dalih manfaat. Hukum dalam sistem Islam dibuat oleh Allah SWT yang sampai pada manusia dalam bentuk wahyu. Sumber penggalian hukumnya adalah berupa Al Quran, As Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Berbeda dengan para penganut kapitalisme dan sosialisme-komunisme, makna kebahagiaan bagi orang yang meyakini sistem Islam adalah memperoleh keridlaan Allah SWT dengan cara terus menerus mentaati-Nya. Adapun hukum Islam yang diterapkan dipelihara oleh tiga pilar, yaitu ketaqwaan individu dan keyakinannya akan Islam, kontrol sosial dari masyarakat, dan pemerintah yang menerapkan syariat Islam (An-Nabhani, Nizhamul Islam, 1953, 31—34). Semua ini telah disediakan oleh Allah SWT. Islam telah disempurnakan. Setiap muslim yang beriman kepada Allah SWT dengan iman yang benar dan hakiki pasti akan yakin dengan kesempurnaan sistem ajaran Islam. Allah berfirman :

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepada kamu nikmatKu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kamu." (QS. Al Maidah 3)

Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada ajaran, ideologi maupun peraturan apapun yang sempurna kecuali Islam. Sebab, Islam diturunkan oleh Dzat Maha Sempurna.

Khatimah

Realitas sejarah telah membuktikan keluhuran sistem Islam. Sepanjang Islam diterapkan dalam peradabannya yang amat panjang, sistem Islam dalam Daulah Khilafah Islamiyah (selama lebih dari 13 abad) telah mampu membangun masyarakat paling unggul di dunia, mampu memancarkan kemakmuran, ketenteraman dan keadilan ke seluruh dunia, dan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Benarlah kiranya firman Allah SWT :

"Maka apakah (sistem) hukum Jahiliyah yang mereka cari ? Dan hukum siapakah yang lebih baik (sistem hukumnya) dari pada (sistem) hukum Allah bagi kaum yang yakin ?" (QS. Al Maidah : 50)

Masihkah ummat ini mencari-cari alternatif pemikiran, perasaan dan sistem/perundang-undangan selain Islam ?

7

Allahumma ballaghna! Fasyhad!

Buletin Edisi 11

Syari'at Islam Langgeng dan Konstan

Kerinduan umat Islam pada penerapan hukum Allah SWT semakin tampak. Semaraknya kegiatan ke-Iislaman, derasnya tuntutan penerapan syariat Islam, dan mengkristalnya sikap kaum muslimin untuk hanya taat kepada aturan Islam menunjukkan hal ini.

Namun, kaum kafirin dan antek-anteknya di dunia Islam berupaya menutup-nutupi cahaya Islam. Mereka mengatakan syari’at Islam itu cocok untuk masa lalu. Sedangkan kini, kata mereka, realitas, bentuk interaksi, dan kondisi masyarakat jauh berbeda. Jadi, menurut mereka, perlu penambahan dan pengurangan atau modifikasi sesuai kebutuhan.

Tulisan ini menepis anggapan tersebut dengan menjelaskan beberapa perkara yang secara hakiki justru menjamin keadaan hukum syari’at Islam itu langgeng dan konstan hingga hari kiamat, tak berubah, tak bertambah ataupun berkurang.

Kesempurnaan dan terpeliharanya wahyu

Allah SWT telah menyempurnakan syari’at Islam (QS. Al Maidah 3) dan menjaga kesempurnaan itu. Dia berfirman:

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" (QS. Al Hijr 9).

Allah memelihara Al Quran dari penambahan maupun pengurangan. Dia berfirman:

"Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji," (QS. Fushshilat 42).

Al Quran juga terhalang dari penyimpangan dan kerusakan. Allah berfirman:

"Alif lam raa, inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya di-ihkamkan serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu" (QS. Huud 1).

Dalam kamus Lisanul Arab, "Ihkam" berarti terjaga dan tercegah dari kerusakan. Jadi, Allah SWT menjaga dan mencegahnya dari kerusakan, penyimpangan, masukan, dan kebathilan. Demikian Qatadah menafsirkan ayat tersebut yang dinukil Imam Ath Thabari dalam tafsirnya.

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman :

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak pula seorang nabi melainkan apabila ia memiliki suatu keinginan, syaithan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaithan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Al Hajj 52).

Dalam memahami ayat ini, Imam As Syathibi mengatakan : "Allah SWT mengabarkan bahwa Dia memelihara dan menjaga ayat-ayat-Nya sehingga

8

tidak bercampur dengan selainnya. Tidak pula dapat masuk ke dalamnya perubahan maupun penggantian. Adapun As Sunnah, sekalipun tidak langsung disebutkan, namun As Sunnah merupakan penjelas bagi Al Qur’ an dan ‘beredar di seputarnya’. Jadi, As Sunnah merupakan bagian tak terpisahkan darinya. Makna Al Qur’an pun dikonfirmasikan dengan makna-makna As Sunnah. Al Qur’an dan As Sunnah saling menjelaskan dan menguatkan satu sama lain’ Lebih lanjut beliau menegaskan : Pemeliharaan tersebut langgeng sampai datangnya kiamat. Hal ini menunjukkan kepada Anda tentang terpeliharanya syari’at dan terjaganya dari perubahan maupun penggantian."

Persoalan ini ditegaskan lagi di dalam firman Allah SWT :

"Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al An’am 115).

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirul Quranil ‘Azhim menyatakan: "Benar dalam pengabaran, dan adil dalam hukum dan seruan. Setiap yang dikabarkan di dalamnya pasti benar, tanpa mengandung kesamaran maupun keraguan. Demikian pula, setiap yang diperintahkan pasti adil, tidak ada yang menandingi keadilannya. Setiap yang dilarang Al Quran merupakan kebathilan. Sebab, Dia tidaklah melarang selain mafsadat seperti firman Allah SWT :

"yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar"(QS. Al A’raf 157).

Adapun pernyataan "Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimatnya" maknanya adalah tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan hukum Allah SWT, di dunia maupun di akhirat, dan Dia mendengar perkataan-perkataan hamba-Nya dan Maha Mengetahui aktivitas-aktivitas dan tempat-tempat mereka. Demikian ditegaskan oleh Imam Ibnu Katsir.

Kebenaran dan keadilan yang benar-benar sempurna dan tidak ada yang dapat mengubah-ubahnya ini berhadapan dengan kesesatan, persangkaan dan kebathilan yang dikandung oleh hukum-hukum dan hawa nafsu manusia. Dalam ayat berikutnya Allah SWT menjelaskan bahwa kebanyakan penduduk bumi tidaklah mengikuti selain persangkaan, ilusi, kebathilan dan kesesatan. Dia berfirman:

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah" (QS. Al An’am 116).

Hakikat Al Khaliq dan makhluk serta terputusnya wahyu

Syari’ah adalah hukum-hukum syara’ yang telah disyariatkan Allah SWT kepada hamba-Nya serta diturunkan sebagai wahyu kepada Rasulullah saw dengan tujuan memberikan petunjuk kepada manusia tentang tata cara yang benar lagi diterima oleh Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan. Dan dengan penerapan syariat tersebut terpenuhilah kebutuhan jasmani maupun gharizah manusia. Pemenuhan tersebut menentukan apakah manusia kembali kepada kehidupan kekal di akhirat akan mendapatkan kenikmatan abadi langgeng ataukah siksaan kekal. Dengan kata lain bahagia dan tidaknya manusia tergantung kepada masa hidupnya di dunia yang mana tolok ukur

9

keuntungan dan kerugiannya adalah keterikatan terhadap keseluruhan hukum-hukum syara’ dengan landasan aqidah Islamiyah. Allah SWT berfirman:

"Kami berfirman : Turunlah kamu semua dari surga itu ! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka,dan tidak pula mereka bersedih hati" (Al Baqarah : 38).

Gamblang sekali kita berada di hadapan timbangan dan tolok ukur yang telah difardhukan oleh Allah SWT, pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan. Tolok ukur tersebut adalah tolok ukur bagi jenis manusia dengan sifatnya manusiawinya. Dan sifat dasar manusia dari dulu hingga sekarang tetap sama, yaitu lemah, serba kurang dan serba membutuhkan. Sementara Allah SWT pun tetap, yaitu Maha Pencipta, Pengatur Kehidupan, Pemberi Rizki, Maha Gagah, Yang Menghidupkan dan Mematikan. Dia yang dulu ataupun Dia yang sekarang itu-itu juga, yaitu tempat kembalinya manusia yang kalimat-kalimatnya tidak mungkin ada yang dapat mengubah, dan hukumnya tidak ada yang dapat mengganti. Fakta bahwa manusia dulu dan sampai kapan pun sama dalam karakternya sebagai manusia dan Allah SWT juga sama baik dulu maupun sampai kapan pun semua ini memastikan secara akal bahwa setelah terputusnya wahyu yang merupakan jalan turunnya hukum-hukum Allah SWT pastilah syariat Islamiyyah langgeng dan konstan selamanya sampai hari kiamat. Jadi kelanggengan syariat Islamiyyah dipastikan oleh adanya tetapnya tabiat manusia, tetapnya hakikat pencipta serta tetapnya kalimat (sunnah dan hukum) Allah SWT.

Hakikat realitas dan tabiat benda

Dengan memahami fakta yang ada di tengah-tengah manusia tampak nyata realitas dan hakikat benda itu tetap. Misalnya aktivitas mencuri. Dalam pandangan Islam mencuri merupakan aktivitas mengambil barang secara sembunyi-sembunyi dari pemiliknya atau yang mewakilinya dengan syarat telah mencapai ukuran yang mengharuskan potong tangan. Hukum perbuatan mencuri adalah haram. Sanksinya adalah potong tangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana."(QS. Al Ma’idah : 38)

Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda:

"Potong tangan diterapkan pada pencurian seperempat dinar atau lebih"( HR. Imam Bukhori).

Kini berkembang sarana-sarana dan teknik pencurian, demikian pula untuk memelihara harta diperlukan alat-alat penjagaan yang ketat termasuk peralatan elektronik, sehingga pencurian pun menjadi aktivitas yang memerlukan kesungguhan berfikir dan pengalaman. Namun, apakah perubahan dalam cara dan teknik seperti ini mengubah hakikat pencurian dan realitasnya seperti yang dijelaskan oleh hukum syara’? Jawabannya tentu saja tidak. Bila demikian, sementara Al Quran itu tetap Al Quran dan Hadits pun tetap Hadits, bagaimana mungkin berfikir untuk mengubah hukum? Bukankah hukum ini merupakan

10

pemecahan yang benar yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai Pemilik Pahala dan Siksa, serta Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan?

Contoh lain hakikat khamer. Sekalipun penamaannya beraneka ragam, metode pembuatannya bermacam-macam, dan kemasannya juga berbeda-beda seperti whisky, bir, sampagne, sake dan sebagainya, hakikatnya tetap khamer, yakni minuman yang memabukkan dan merusak akal yang hukumnya haram itu. Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman,sesungguhnya khamer, judi, undian nasib dan berhala merupakan najis dan perbuatan syetan, maka jauhilah oleh kalian agar kalian beruntung" (QS. Al Maidah 90).

Bila hakikat benda tersebut tetap tidak berubah, mungkinkah orang berakal mengatakan bahwa hukum Allah dalam hal tersebut harus berubah?

Siapa pun yang mengelaborasi hakikat perbuatan dan benda-benda adalah tetap dari dulu sampai sekarang sesuai dengan batasan-batasan hukum syara’. Memang, terjadi perubahan. Hanya saja perubahan tersebut pada perkara teknis, cara ataupun bentuknya semata. Sedangkan hakikatnya adalah sama saja. Jadi tetapnya hakikat perbuatan dan benda disertai dengan terjaganya syariat Islam menunjukkan pula bahwa syariat Islam itu bersifat langgeng sampai hari kiamat.

Peranan para sahabat

Para sahabat radhiallahuanhum yang sikap dan perilaku hidup mereka diridlai Allah dan kesepakatan mereka menjadi dalil syar’i amat berjasa dalam menjaga syari’at Islam agar tetap langgeng dan konstan. Ter kadang mereka meninggalkan perkara yang sunnah (mandub) karena khawatir masyarakat memahami perkara-perkara tersebut wajib. Abu Suraihah Al Ghifariy meriwayatkan: "Aku melihat Abu Bakar dan Umar bin Khatthab ra. kadang-kadang tidak menyembelih kurban karena khawatir orang-orang mencontoh keduanya (menganggap wajib bila terus menerus melakukan)."

Imam Syathibi mengatakan bahwa perkara-perkara mubah hakikatnya tidak boleh disamakan dengan mandub maupun makruh. Sebagai contoh, ketika Rasulullah saw disuguhi daging dhob (biawak). Beliau tidak memakannya, seraya berkata: "Di tempat kaumku tidak ada makanan seperti ini sehingga aku merasa jijik terhadapnya". Sahabat pun makan hidangan tersebut dan Rasulullah membiarkannya. Ini menjelaskan bahwa makan biawak boleh, sehingga beliau tidak menyamakan antara mubah tersebut dengan haram maupun makruh.

Umar bin Abdul Aziz ra. berkata: " Ingatlah sesungguhnya halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya melalui lisan nabi-Nya dan itu halal sampai hari kiamat. Ingat pula perkara haram yang diharamkan oleh Allah dalam kitab-Nya melalui lisan nabi-Nya adalah haram sampai hari kiamat".

Khatimah

Wahai kaum muslimin, sudah jelas bahwa syari'at Islam adalah hukum Allah SWT --bukan hukum karangan umat Islam-- yang langgeng dan kostan. Tinggal kita mau tunduk kepada-Nya ataukah kepada hawa nafsu kita dan tipuan syaithan serta orang-orang kafir. Mari kita renungkan makna fiman Allah SWT :

"Katakanlah: Bahwasanya aku hanya seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya ilah kamu adalah ilah yang satu, maka

11

tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yangmempersekutukannya (QS. Fushilat 6).

Buletin Edisi 15

Muslim Tertindas, Islam Jawabnya!

Pertikaian antara kelompok muslim dengan Kristen di Maluku belum juga mereda. Terakhir diberitakan terjadi kerusuhan di Galela yang menewaskan 114 orang. Galela ini disebut-sebut sebagai benteng terakhir Kelompok Merah, beragama Kristen. Mensikapi hal ini, Amerika Serikat memperlihatkan reaksi kerasnya. Juru bicara Deplu AS, Philip Reeker, di New York langsung menuduh para "ekstremes" dari luar Maluku terlibat serta memanas-manasi situasi. AS juga menuduh aparat keamanan tidak mau dan tidak mampu menghentikan konflik Maluku. Empat hari setelah AS bersikap, pemerintah Indonesia memberlakukan Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara. Sikap ini sangat berbeda saat berbagai kalangan menuntut diberlakukannya Darurat Sipil ataupun Darurat Militer pada saat banyak umat Islam yang terbunuh dan sebagian lagi mengungsi.

Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan, yang selama ini tidak pernah mengeluarkan pernyataan apapun tentang pembantaian muslim Maluku, setelah peristiwa Galela tersebut melontarkan reaksi keras. Dengan mengatasnamakan hak asasi manusia Annan dengan gaya diplomatis menuntut Indonesia untuk memberikan akses yang aman dan tanpa halangan untuk memungkinkan pekerja kemanusiaan memberikan bantuan (Kompas, 2/7/2000). Sementara itu, pada hari kamis (6/7/2000) Parlemen Eropa meminta dunia internasional melakukan intervensi ke Maluku. (Republika, 10/7/2000). Dan pada tanggal 9/7/2000 BBC News Online memberitakan tiga tokoh gereja Maluku, diantaranya Pendeta Katolik Roma Ambon Petrus Canissius Mandagi dan Joseph Pattiasina, mengunjungi Kantor Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa Swiss meminta secara telanjang agar komisi tersebut ikut mengintervensi Maluku

Peristiwa ini, dan banyak peristiwa-peristiwa lainnya, menunjukkan bahwa ketika umat Islam tertindas, mulai dari lembaga-lembaga lokal yang mengklaim sebagai ‘pembela’ HAM sampai lembaga internasional diam seribu bahasa. Sebaliknya, teriakan mereka demikian lantang bila hal yang sekalipun jauh lebih kecil menimpa umat lain. Lantas, perlukah umat Islam berharap kepada slogan HAM yang digembar-gemborkan Barat? Bagaimanakah Islam mensikapi hal ini ?

HAM Memang Bukan Untuk Umat Islam

Banyak peristiwa meyakinkan bahwa HAM bukanlah diperuntukkan bagi umat Islam. Kasus FIS yang diberangus atas nama demokrasi, embargo ekonomi terhadap Irak, dan kasus Bosnia Herzegovina merupakan secuil contoh standar ganda HAM. Demikian pula di dalam negeri, hal ini ditunjukkan dengan amat jelas dalam banyak peristiwa seperti peristiwa Doulos, penyelidikan kasus Tanjung Priok, dan peristiwa Maluku. Jelas, dilihat dari segi penerapannya, sesuatu termasuk HAM atau tidak tergantung kepada lembaga yang berwenang memberikan penilaian. Dan secara umum, memang HAM bukan diperuntukkan bagi umat Islam, melainkan bagi kafir Barat imperialis dan para pengikutnya.

12

Tidak sebatas ini. Secara paradigmatik, HAM ini bertentangan dengan Islam. Sebab, dalam HAM yang berhak menentukan mana yang menjadi hak bagi manusia dan mana yang tidak adalah manusia itu sendiri. Jadi, di dalam konsep HAM agama (Islam) tidaklah menjadi satu perkara yang diperhatikan. Sebaliknya, agama dan hukum-hukum Allah SWT disingkirkan atas nama HAM. Padahal, manusia merupakan hamba Allah SWT yang tugas utamanya adalah beribadah, yaitu tunduk, patuh dan taat kepada seluruh aturan-aturan yang diwahyukan oleh-Nya. Firman Allah SWT :

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada-Ku" (Adz Dzariyat [51] : 56).

Di sisi lain, landasan HAM adalah 4 kebebasan: kebebasan ber’aqidah, kebebasan memiliki, kebebasan pribadi (berperilaku) dan kebebasan berpendapat. Melalui dalih kebebasan ini setiap orang bebas berpindah-pindah dan mencla-mencle dalam menganut agama, siapapun boleh memiliki apapun dengan cara apapun tanpa lagi memandang apakah yang dimilikinya itu tergolong pemilikan individu, umum, atau pemilikan negara. Melalui HAM itu pula legal bagi siapa saja untuk berbuat apapun selama tidak mengganggu orang lain, dan boleh berpendapat apapun sekalipun menentang, menghina, dan mengolok-olok hukum Allah SWT karena dijamin oleh kebebasan berpendapat. Padahal, dalam ajaran Islam, seluruh perbuatan manusia tidaklah bebas, melainkan harus senantiasa terikat dengan aturan dan hukum dari Allah SWT. Karenanya, dari bebagai dalil dalam Al Quran maupun As Sunnah para ulama menegaskan satu kaidah ushul yang berbunyi:

"Hukum pokok dari setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’."

Ditinjau dari segi politis, slogan HAM merupakan upaya negara-negara imperialis pimpinan Amerika untuk menutup-nutupi kebobrokan mereka sekaligus sebagai sarana untuk mencampurbauri urusan dalam negeri negara lain. Seperti diketahui, persoalan lingkungan hidup, HAM, dan demokrasi di dunia merupakan salah satu kebijakan politik luar negeri Amerika. Dengan demikian, tidak mengherankan bila mereka hendak mengintervensi Indonesia lewat permasalahan Maluku dengan dalih HAM.

Berdasar hal tersebut, berharap kepada Barat dengan konsep HAM-nya untuk menyelesaikan masalah umat Islam hanyalah akan mendatangkan malapetaka dan murka Allah SWT saja.

Hak-Hak Syar’iy Bagi Manusia Perspektif Islam

Allah SWT menciptakan manusia dari tanah. Lalu, ditiupkan nyawa. Hiduplah manusia dengan karakteristik yang juga diciptakan Allah SWT berupa kebutuhan jasmani, gharizah, dan kemampuan berpikir. Allah SWT Dzat Maha Adil mengutus Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir untuk menyampaikan Islam yang berfungsi sebagai petunjuk, jalan lurus dan pembeda antara haq dan bathil. Siapapun yang mengelaborasi ajaran Islam akan menyimpulkan bahwa Islam telah menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang hamba. Demikian pula, Allah SWT telah mensyari’atkan hak-hak yang layak dimiliki oleh manusia melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Dan kelak pada hari kiamat hak-hak tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Jadi, yang menetapkan hak apa saja yang

13

dimiliki oleh manusia bukanlah manusia itu sendiri melainkan Allah SWT. Itulah hak-hak syar’iy bagi manusia (huququsy syar’iy lil insan).

Hak-hak yang dimiliki manusia yang dijamin oleh syara ada 3 jenis, yaitu hak dharuriyat, hak hajiyat, dan hak tahsinat.

Hak dharuriyat merupakan hak-hak yang berhak dimiliki oleh manusia yang menjadi landasan bagi kemuliaan hidup manusia, tegaknya dan stabilnya masyarakat dengan benar. Bila hak ini tidak terlaksana maka sistem hidup akan hancur, masyarakat akan kacau dan rusak, serta kenestapaan di dunia dan adzab di neraka akan disandangnya. Diantara hak dharuriyat ini adalah :

Hak dipelihara agamanya. Islam tidak memaksa seseorang non muslim untuk masuk Islam. "Tidak ada paksaan dalam menganut agama," begitu makna firman Allah SWT di dalam surat Al Baqarah [2] ayat 256. Ini tidak berarti sebagai kebebasan beraqidah seperti dalam ideologi kapitalis. Sebab, seorang muslim yang murtad dari agamanya harus diajak diskusi oleh pengadilan, disuruh taubat, dan bila dalam jangka waktu tiga hari tidak kembali kepada Islam berhak dibunuh. Kata Nabi seperti diriwayatkan Imam Muslim : "Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam) maka bunuhlah ia." Jadi, dalam Islam tidak dibenarkan adanya kristenisasi atau westernisasi dalam keyakinan. Perkara-perkara yang dapat merusak ‘aqidah dan menjauhkan masyarakat dari Islam tidak boleh ada. Jika tidak, berarti melanggar hak syar'i’ bagi manusia dalam hal ini hak dipelihara agamanya.

Hak untuk dipelihara jiwanya. Allah SWT menegaskan dalam surat Al Isra [17] ayat 70 : "Dan sungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam (manusia)". Allah SWT mengharamkan segala bentuk perkara yang mengakibatkan rusaknya nyawa manusia. Untuk itu, ada hukum qishash bagi pembunuh. Firman Allah SWT : "Dan bagi kalian di dalam hukum qishash itu terdapat kehidupan, wahai ulul albab" (QS. Al Baqarah [2] : 179). Jelaslah setiap orang —muslim mapun kafir dzimmi— berhak dilindungi nyawanya dari pembunuhan ataupun pembantaian.

Berhak dipelihara akalnya. Islam sangat meninggikan derajat akal. Sampai-sampai akal merupakan tolok ukur seseorang terkena beban (taklif) hukum. Islam juga mengangkat derajat ilmu, serta mengharamkan segala perkara yang dapat merusak akal seperti khamr, ganja, morphin, dan lainnya. Karenanya, keberadaan barang-barang tersebut di tengah masyarakat melanggar hak syar’iy bagi manusia.

Berhak dipelihara nasab keturunannya. Setiap orang berhak mengetahui ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Islam melarang mendekati zina dan melakukannya dan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya. Bila belum menikah dicambuk 100 kali, dan jika sudah pernah menikah dirajam sampai meninggal. "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera" (QS. An Nur [24] : 2). Hal ini jelas berbeda dengan kebebasan pribadi dalam HAM yang memang serba boleh itu.

Hak dipelihara hartanya. Islam membolehkan manusia memiliki apapun asalkan dengan cara yang dibolehkan dan barang-barangnya dihalalkan. Di sisi lain Islam, Islam melarang siapapun mengambil barang milik orang lain dan memberikan sanksi pada pelakunya. Ajaran Islam pun membedakan jenis

14

pemilikan individu, pemilikan umum, dan pemilikan negara. Semua ini adalah dalam rangka menjaga harta setiap orang.

Berhak dipelihara kehormatan dirinya. Setiap orang tidak boleh dituduh dengan tuduhan dusta, tidak boleh difitnah, dan juga tidak boleh dicemarkan nama baiknya. Semua ini dijamin di dalam Islam. Makanya, siapa saja yang menuduh seseorang baik-baik berzina, misalnya, dihukum delapan puluh cambukan. Sedangkan, tuduhan bohong lainnya dikenakan hukuman ta’zir (Abdurrahman Maliki, Nizhamul ‘uqubat fil Islam).

Hak mendapatkan keamanan. Islam menjamin keamanan bagi setiap warga negara baik dalam perkara kehormatan, harta, maupun nyawa. Pengabaian terhadap hal ini merupakan pengabaian terhadap hak syar’iy bagi manusia. Berkaitan dengan hukum terhadap perusuh dan pengacau keamanan Islam dan kaum muslimin Allah SWT menegaskan: "Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya" (QS. Al Maidah [5] : 33). Merujuk hal tersebut, apa yang menimpa muslim di Maluku dan daerah lain yang diusir dan diganggu keamanannya tidak akan terjadi dan berlarut-larut bila hukum Islam yang ditegakkan.

Berhak terpelihara negaranya. Islam telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk hanya memiliki satu negara di dunia. Keterpecahbelahan umat Islam menjadi 56 negara seperti sekarang merupakan pelanggaran terhadap hak syar’iy bagi manusia.

"Barangsiapa membai’at seorang imam, meletakkan tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak merampasnya maka penggallah leher orang itu."

"Bila datang seseorang, sedangkan urusan kalian berada pada seorang, hendak memisahkan kalian atau memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia" (HR. Muslim).

Hadits-hadits tadi menjelaskan bahwa kaum muslimin tidak boleh memiliki lebih dari satu jamaah kaum muslimin, yakni khilafah. Inilah wahyu Allah SWT yang disampaikan lewat mulut Rasulullah SAW. Jadi, adanya satu kepemimpinan umat saja di dunia dan keutuhannya merupakan hak sekaligus kewajiban seluruh kaum muslimin. Hanya sayang, tidak sedikit kaum muslimin masih tertipu oleh perjanjian Sykes – Picot (yang memicu munculnya negara Yahudi) yang menetapkan batas-batas negara. Padahal, Allah dan Rasul-Nya justru memerintahkan hal sebaliknya.

Adapun hak hajiyat merupakan perkara yang diberikan oleh Allah SWT sebagai keringanan. Misalnya, pada waktu tidak ada makanan apapun maka seseorang berhak untuk memakan makanan yang haram seperti bangkai. Sedangkan hak tahsinat merupakan segala perkara yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.

Semua hak-hak tersebut akan terlaksana dengan diterapkannya hukum-hukum Islam. Bukan hanya umat Islam yang menikmatinya, melainkan juga non muslim yang menjadi kafir dzimmi dalam pemerintahan Islam. Sebab, hak-hak

15

tadi bukan hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin saja melainkan juga bagi non muslim yang menjadi warga negara. Nampaklah, ketakberdayaan, ketertindasan, dan tercerabutnya hak-hak umat Islam di tengah belantara sekularisme ini hanya akan berhenti dengan ditegakkannya hukum Islam. Inilah langkah strategis yang mutlak terus diperjuangkan. Namun, tentu saja langkah-langkah praktis untuk menyelesaikan masalah kekinian perlu diusahakan. Sebab itu, muslim yang berharta meninfakkan hartanya untuk membantu saudaranya yang tengah terusir dan haknya dirampas. Mereka yang punya kekuasaan gunakanlah kekuasaannya untuk menghentikan kezhaliman atas kaum muslimin. Setiap muslim penting dan wajib mencurahkan kemampuannya untuk menolong saudaranya. Dan do’a kepada Allah SWT demi ketinggian Islam dan kaum muslimin tidak layak terputus.

Khatimah

"Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam," demikian makna firman Allah SWT dalam surat Al Anbiya [21] ayat 107. Melalui ayat tersebut Allah Dzat Maha Pengasih lagi Penyayang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW merupakan rahmat bagi seluruh alam. Artinya, ajaran Islam yang diturunkan Allah SWT kepadanya merupakan rahmat bagi seluruh alam. Oleh sebab itu, seluruh umat manusia bila benar-benar rindu akan datangnya maslahat dan menjauhnya madharat mau tidak mau harus menerapkan seluruh syariat Islam. Itulah satu-satunya pilihan! Sebaliknya, mengikuti jalan-jalan lain hanya akan mendatangkan derita seperti nampak dalam realitas kekinian.

Buletin Edisi 19

Kontroversi Amandemen Pasal 29 UUD '45

Amandemen pasal 29 UUD 45 pada Sidang MPR (7-18 Agustus 2000) kiranya akan tersendat. Pasalnya, perbedaan pendapat seputar perubahan pasal 29 ini sangatlah besar. Ada fraksi yang tidak menginginkan perubahan sama sekali. Fraksi KKI yang beranggotakan beberapa gelintir wakil partai-partai kecil nasionalis misalnya, pagi-pagi sudah mengancam akan walk-out dari ruang sidang bila amandemen pasal itu tetap dilaksanakan melalui jalan voting. Fraksi PDI-P pun lantang menolak. Sementara, Fraksi PPP terus gigih menggalang dukungan agar usulan mengamendemen pasal 29 seperti yang mereka inginkan dapat digolkan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Seperti telah diketahui, bunyi pasal 29 UUD 45 adalah, " (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Ayat (2) berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu". Oleh FPP pasal ini ingin diubah dengan tambahan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Tidak salah bila orang mengasosiasikan usulan F-PPP ini dengan semangat kembali ke Piagam Jakarta karena memang fraksi dari partai pemenang urutan ketiga pemilu 1999 lalu ini secara terang-terangan mengembalikan rumusan itu ke dalam konstitusi. Sebagai partai Islam, F-PPP agaknya merasa berkewajban untuk menegaskan kembali semangat penerapan syariat Islam di Indonesia yang memang mayoritas penduduknya beragama Islam.

16

Sayang usulan ini tidak mendapat dukungan partai lain, termasuk partai-partai yang katanya partai Islam atau berbasis Islam. Mereka malah mengusulkan rumusan lain. F-Reformasi yang terdiri dari PAN dan PK, FPDU, P-PBB mengusulkan ditambah dengan rumusan, dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya. F-Golkar mengusulkan rumusan lain lagi, yaitu negara melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta penyelenggaraan negara tidak boleh menyimpang dari norma dan nilai agama. Sementara Fraksi PKB menginginkan rumusan pasal 29 ayat (1) tidak berubah, sedang rumusan Pasal 29 pasal (2) diubah menjadi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut kepercayaan agamanya masing-masing.

Mengapa Terjadi Kontroversi?

Sungguh aneh, di negeri Islam ada kontroversi terhadap upaya tegas untuk mencantumkan kewajiban penerapan syariat Islam dalam konstitusi. Semestinya, yang muncul bukan penolakan, melainkan dukungan bahkan tuntutan. Tapi mengapa kontroversi terjadi juga?

Setidaknya ada dua pemicu. Pertama, ketakutan pada Islam atau Islamophobia. Ini didorong oleh stereotip bahwa amandemen itu akan menjadikan Indonesia negara Islam yang menindas kaum minoritas non muslim. Hal ini barangkali ilusi orang-orang Minahasa. Melalui Deklarasi Kongres Minahasa Raya, Sabtu, 5 Agustus 2000 mereka menolak keras usulan amandemen itu, seraya mengancam jika amandemen itu dilakukan dan berhasil, pada saat itu juga rakyat Minahasa menyatakan berpisah dan terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, kekurangpahaman atau kesalahpahaman terhadap ajaran Islam, khususnya berkenaan dengan syariat, seolah-olah penerapan syariat Islam merupakan pilihan. Bukan suatu kewajiban. Juga bahwa syariat Islam, kalaupun akan diterapkan, hanya sebatas buat kaum Islam saja. Terhadap yang lain, dikira syariat Islam tidak wajib bahkan tidak boleh diterapkan. Padahal syari'at Islam wajib diterapkan baik untuk kaum muslimin maupun non muslim.

Antara Piagam Jakarta dan Piagam Madinah

Sejak masa Orba, kelompok Islamphobia selalu menggunakan trik politik "waspadai upaya-upaya hendak mengembalikan Piagam Jakarta" terhadap berbagai upaya politisi muslim untuk memasukkan hukum-hukum Islam dalam berbagai RUU yang dibahas di DPR seperti RUU Perkawinan dan RUU Peradilan Agama. Trik yang dipropagandakan tersebut tampaknya berhasil mempengaruhi publik, khususnya para anggota DPR dan pejabat pemerintah, bahkan kalangan tokoh umat Islam sendiri.

17

Dengan trik tersebut dibangun logika bahwa kalau RI bubar dan berubah menjadi negara Islam, maka orang-orang non muslim akan dibunuhi. Selain itu, toh dalam Piagam Madinah sendiri Nabi Muhammad saw. mengakui keberadaan pluralitas warga negara. Oleh karena itu, kalau mau merujuk kepada ajaran Nabi Muhammad, negara RI yang plural ini sudah final.

Di tengah penyesatan politik itu, secara umum umat kurang begitu paham tentang Piagam Jakarta maupun Piagam Madinah. Padahal sejarah mencatat bahwa piagam Jakarta (lihat Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta) yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia 9 (satu orang di antaranya Kristen dari pergerakan nasionalis, yakni Mr. A.A. Maramis) adalah hasil rumusan resmi yang dikeluarkan oleh wakil bangsa yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan "gentleman’s agreement". Isinya sama persis dengan Pembukaan UUD 1945 kecuali pada alinea terakhir pada kalimat "..berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,..".

Dalam sidang BPUPKI 10 Juli 1945, Sukarno sebagai Ketua Panitia 9 menyampaikan bahwa "Piagam Jakarta" merupakan hasil akhir dari kompromi yang diperoleh secara susah payah dari kalangan nasionalis dan kalangan Islam. Namun pada sidang 11 Juli seorang Protestan bernama Latuharhary menolak kata kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya itu. Pada sidang tanggal 14 Juli 1945 tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadi Kusumo (yang didukung oleh Kyai Sanusi) usul agar kata-kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Namun Sidang akhirnya memutuskan dipertahankannya hasil kompromi tersebut.

Berkaitan dengan pasal 29 UUD 1945 yang dalam rancangan Batang Tubuh Konstitusi yang dibuat oleh BPUPKI sebagai pasal 28, Ki Bagus Hadi Kusumo kembali mengusulkan agar kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Namun sidang 15 Juli 1945 itu kembali menolak usulan Ki Bagus Hadi Kusumo dan secara mufakat menyetujui hasil panitia yang dilaporkan oleh Prof. Supomo yaitu: Pasal 28 Bab X tentang Agama:

1. "Negara berdasar atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya";

2. "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing"

Berkaitan dengan piagam Jakarta dan Pasal 28 ayat 1 di atas, Sidang BPUPKI pada tanggal 16 Juli akhirnya menyetujui usulan golongan Islam yang diungkapkan oleh Patalykrama pada sidang 15 Juli 1945 –-mengulang usulan A. Wahid Hasyim, ayah presiden Gus Dur yang disampaikan tanggal 13 Juli 1945—yang didukung tokoh NU K.H. Masykur, yakni Pasal 4 ayat 2 tentang Presiden: "Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam".

18

Hanya saja, sehari setelah Indonesia merdeka terjadi manuver licik yang dilakukan oleh PPPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan modus bahwa kalau ketetapan BPUPKI yang memuat "kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" ditetapkan sebagai konstitusi negara, golongan Kristen dan Katolik dari Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia karena merasa didiskriminasikan. Penghapusan kalimat-kalimat penting dalam Mukaddimah (Piagam Jakarta), Pasal 4 ayat 2, dan Pasal 28 ayat 1 dan 2 diumumkan oleh Hatta pada rapat PPKI 18 Agustus 1945. Dan Bung Karno yang mengambil alih pimpinan sidang mengatakan bahwa UUD 1945 itu adalah UUD sementara, UUD Kilat, Revolutiegrondwet. Dia meminta umat Islam bersabar dulu tentang masalah itu agar nanti dibicarakan setelah Indonesia dalam keadaan aman dan tenang.

Para tokoh umat Islam dengan khusnuzhan dan sikap toleran akhirnya menyetujui. Namun persetujuan mereka harus dibayar mahal oleh kaum muslimin yang mayoritas di negeri ini, yakni hukum syari’at Islam tak pernah diterapkan oleh negara. Negara pun menerapkan hukum-hukum kufur warisan kolonialis Belanda yang agamanya sama dengan kaum minoritas tersebut. Padahal kita tahu bahwa dulu penjajah Belanda itu dengan paksa melikuidasi hukum-hukum syari’at Islam dari negeri ini dan mereka ganti dengan hukum-hukum yang mereka bahwa dari negeri mereka. Siapa yang curang?

Oleh karena itu, umat Islam punya alasan historis untuk menuntut dikembalikannya 7 kata yang dicoret dari Piagam Jakarta juga pada Pasal tentang Agama dan Presiden sehingga syari’at Islam bisa diterapkan. Dan kita pun sudah tahu modus yang bakal diterapkan oleh kelompok Islamphobia adalah akan memisahkan diri sebagaimana kasus Minahasa. Kiranya umat Islam jangan sampai tertipu dua kali. Kata Nabi tidaklah seorang muslim itu jatuh dalam lubang yang sama dua kali.

Adapun Piagam Madinah yang banyak dijadikan alasan untuk menolak Islam dengan sangkaan bahwa Piagam Madinah ini justru menghargai pluralitas dan pluralisme, dapat kita lihat sebagai piagam yang dideklarasikan oleh Rasulullah saw. kepada umum bahwa telah berdiri satu komunitas yang mandiri dengan aturan sendiri yakni komunitas umat Islam yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin. Orang-orang non muslim yang mengikuti tata cara kehidupan kaum muslimin akan mendapatkan perlindungan (ahlu dzimmah) kaum muslimin dan diberi kebebasan bagi mereka dalam perkara yang diajarkan agama mereka. Adapun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, semua rakyat baik muslim maupun non muslim tunduk di bawah hukum Syari’at Islam.

Adapun Kaum Yahudi yang ada di dalam dan sekitar kota Madinah yang tidak masuk ke sistem kehidupam masyarakat kaum muslimin, terhadap mereka dibangun hubungan bertetangga baik (husnul jiwar) dan perjanjian sama-sama mempertahankan kota Madinah. Satu hal yang menarik, bilamana ada perkara di antara komunitas umat Islam dan kaum Yahudi, maka perkaranya akan diselesaikan menurut Allah dan rasul-Nya.

19

Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa piagam Jakarta maupun piagam Madinah secara esensial memiliki kemiripan, hanya saja dalam piagam Jakarta ada pembatasan pelaksanaan syari’ah Islam bagi para pemeluknya sedangkan dalam piagam Madinah syari’at Islam (sebagaimana usul Ki Bagus Hadi Kusumo dan Kyai Sanusi) dilaksanakan untuk seluruh umat manusia yang terikat dengan piagam tersebut, baik muslim maupun non-muslim.

Nasihat buat kaum muslimin:

Jelas bahwa upaya mengembalikan aqidah dan hukum syari'at Islam sebagai konstitusi dan undang-undang dalam kehidupan masyarakat di dunia Islam adalah merupakan usaha mulia yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Kaum muslimin harus mendukungnya, sekalipun usaha itu mesti dengan mengamandemen seluruh UUD 1945, dari pembukaan sampai penutup, dari dasar sampai atap! Sebab, fakta sejarah Nabi menyatakan bahwa beliau menegakkan negara di kota Madinah adalah dengan dasar aqidah Islamiyah. Beliau saw. sebagai kepala negara menjalankan pemerintahan dengan hukum-hukum Islam sebagaimana pelaksanaan firman Allah:

"dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka." (QS. al-Maidah 49).

Oleh karena itu, menjadi tugas dan tanggung jawab para anggota MPR dari kalangan kaum muslimin untuk memperjuangkan ditegakkannya negara kaum muslimin ini di atas dasar Islam dan diterapkannya sistem hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi seluruh warga negara, muslim atau non muslim.

Oleh karena itu, kini saat ujian iman bagi wakil rakyat, jangan sampai seperti yang disebut oleh Allah SWT:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisaa' 60).

Wallahu muawwiq ila aqwamit thariiq!