analisis man ajemen rantai pasok (supply...

38
AN PUSAT BADAN P ALISIS (SUPP KOM T SOSIAL N PENELI K ROPOSAL S MAN PPLY CH MODIT Wahy Jef R L EKONO ITIAN DA KEMENT L OPERAS NAJEME HAIN M TAS UN Tim Pene Saptan yuning Kus Sri Wahy fferson Situ Rangga Dity OMI DAN AN PENG ERIAN P 2012 SIONAL TA EN RAN MANAG NGGAS eliti : na suma Sejati yuni umorang ya Yofa N KEBIJA GEMBAN PERTANI A 2013 NTAI P GEMEN LOKAL i AKAN PE NGAN PE IAN PASOK NT) L RTANIA ERTANIA K AN AN

Upload: ledang

Post on 27-Feb-2018

216 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

AN

PUSAT BADAN

P

ALISIS(SUPP

KOM

T SOSIALN PENELI

K

ROPOSAL

S MANPPLY CHMODIT

Wahy

JefR

L EKONOITIAN DAKEMENT

L OPERAS

NAJEMEHAIN MTAS UN

Tim PeneSaptan

yuning KusSri Wahy

fferson SituRangga Dity

OMI DANAN PENGERIAN P

2012

SIONAL TA

EN RANMANAGNGGAS

eliti : na suma Sejatiyuni umorang ya Yofa

N KEBIJAGEMBANPERTANI

A 2013

NTAI PGEMEN

LOKAL

i

AKAN PENGAN PEIAN

PASOKNT) L

RTANIAERTANIA

K

AN AN

Page 2: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

1

Ringkasan

Indonesia mempunyai potensi ternak unggas lokal untuk dikembangkan sebagai usaha ekonomi yang berperan dalam mengatasi pengangguran, peningkatan pendapatan RT di pedesaan dan melestarikan sumber plasma nutfah. Pesatnya perkembangan pasar modern, pasar tradisional, dan industri kuliner yang sudah ada menciptakan peluang dan sekaligus tantangan bagi para pelaku agribisnis unggas lokal, sehingga perlu dilakukan pendekatan baru untuk meresponnya. Sumbangan ternak unggas lokal dalam hal produksi pangan hewani sangat besar mendampingi ayam ras. Permasalahan pokok yang dihadapi adalah bahwa sebagian besar ternak unggas ini masih diusahakan secara ekstensif dengan sepenuhnya menggunakan sumberdaya lokal dan belum terintagrasinya sistem produksi dengan pasar. Kondisi tersebut menyebabkan keterkaitan supply chain management (SCM)

antar pelaku dalam rantai pasok produk unggas lokal lemah. Penelitian bertujuan untuk (1) Mengevaluasi kinerja program pengembangan agribisnis komoditas unggas lokal; (2) Mendeskripsikan rantai pasok (supply chain) komoditas unggas lokal dari hulu hingga hilir; (3) Menganalisis kelembagaan manajemen rantai pasok (supply chain management) komoditas unggas lokal; (4) Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pokok yang dihadapi dalam membangun manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal; dan (5) Merumuskan kebijakan untuk mengembangkan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing. Penelitian ini dilakukan di pulau Jawa dan luar Jawa, dengan metoda survey dengan responden penelitian terdiri dari peternak, pedagang, pemasok input dan pejabat pemerintah dari instansi yang terkait. Kata kunci: manajemen, rantai pasok, ayam buras, itik, agribisnis

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pengembangan agribisnis unggas lokal dapat dijadikan basis pengembangan

ekonomi rakyat yang berpotensi dapat menciptakan pertumbuhan yang berkualitas

(inclusive growth), yaitu pertumbuhan yang disertai pemerataan (growth with equity).

Sumber pertumbuhan unggas lokal dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi permintaan (demand

side) dan sisi penawaran (supply side). Sumber pertumbuhan unggas lokal dari sisi

permintaan ditentukan oleh jumlah penduduk, tingkat pendapatan, preferensi konsumen,

serta berkembangnya industri kuliner. Produk unggas lokal memiliki karakteristik permintaan

yang unik dan tergolong produk bernilai tinggi (high value products).

Dari sisi penawaran, jumlah populasi, tingkat efisiensi dan produktivitas, serta

daya saing produk unggas lokal sangat terkait erat dengan karakteristik usahaternak unggas

Page 3: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

2

lokal yang sebagian besar masih diusahakan secara tradisional, bersifat sambilan, dan

menggunakan pakan lokal seadanya. Ketersediaan bahan pakan lokal dan harga pakan

utama (dedak/bekatul, jagung), perubahan tekonologi, skala usaha, dan berbagai kebijakan

pendukung akan mempengaruhi penyediaan produk unggas lokal.

Indonesia termasuk negara yang tergolong net importer untuk produk ternak

secara keseluruhan, di mana nilai impor masih lebih besar dari pada nilai ekspornya.

Statistik Peternakan (2010) memperlihatkan bahwa volume perdagangan daging di

Indonesia mengalami defisit pada tahun 2008, di mana volume ekspor hanya sebesar 61,5

ton dengan total nilai ekspor US$ 11,39 ribu, sedangkan impor daging mencapai 45.709 ton

dengan nilai impor sebesar US$ 277.733 ribu atau mengalami defisit perdagangan sebesar -

US$ 277.722 ribu. Pada tahun 2009 ekspor daging sangat kecil hanya 5,90 ton dengan

nilai US$ 20,71 US$ dan impor daging sebesar 67.908 ton dengan nilai sebesar US$

293.136 ribu. Impor juga terjadi dalam bentuk sapi bibit 100 ekor (2009), sapi bakalan 657

ribu ekor (2009), unggas relatif kecil 2.687 ribu ekor. Untuk produk telur juga mengalami

hal yang sama di mana pada tahun 2009 volume impor telur konsumsi mencapai 1.250 ton

dengan nilai US$ 51.172 ribu dan tidak ada ekspor sama sekali. Dengan ketergantungan

kepada produk ternak dan bahan baku pakan impor untuk unggas komersial, maka sudah

saatnya pemerintah dan masyarakat perunggasan Indonesia memberikan perhatian yang

lebih baik dalam pengembangan agribisnis unggas lokal.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diramalkan akan terus meningkat pada masa lima

tahun mendatang, dan pertumbuhan ini akan memacu peningkatan konsumsi produk-

produk unggas lokal yang bersifat elastis terhadap pendapatan. Bidang usaha agribisnis

unggas lokal harus melakukan antisipasi terhadap peningkatan konsumsi tersebut, terutama

untuk membuka kesempatan berusaha dan kesempatan kerja melalui pengembangan

manajemen rantai pasok (supply chain management). Jika unggas lokal dikelola secara

serius oleh tenaga kerja muda terampil, memiliki kapabilitas manajerial dengan kandungaan

kewirausahaan yang tinggi, serta memiliki budaya industrial maka agribisnis unggas lokal

dapat dijadikan basis pengembangan ekonomi rakyat.

Beberapa permasalahan utama dalam pengembangan agribisnis unggas lokal cukup

komplek, yaitu masih lemahnya budaya industrial dan usahaternak yang masih bersifat

tradisional. Masalah tidak tersedianya bibit unggul lokal secara cukup, kualitas pakan yang

rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur pasar yang

Page 4: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

3

dikuasai pedagang besar (broker), menempatkan peternak kecil dalam posisi lemah.

Berdasarkan permasalahan tersebut perlu difikirkan bagaimana mengembangakan

manajemen rantai pasok (supply chain management) dalam mendukung pengembangan

agribisnis unggas lokal secara berdayasaing dan berkelanjutan, sehingga terbangun

koordinasi proses maupun koordinasi antar pelaku usaha agribisnis.

1.2. Dasar Pertimbangan (Justifikasi)

Ketergantungan produksi hasil ternak dalam bentuk daging dan telur asal unggas

komersil (ayam ras petelur dan broiler) yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan

baku pakan impor menyebabkan pasar produk unggas selalu bergejolak. Sementara itu,

disisi lain terdapat potensi pegembangan usaha ternak unggas lokal (ayam kampung dan

itik) yang dapat dikelola dengan pakan ternak berbahan baku lokal. Pengembangan unggas

lokal secara integratif dengan pertanian setempat, serta dengan model kelembagaan

manajemen rantai pasok (supply chain management) yang tepat akan meningkatkan

ketersediaan, distribusi dan daya saing produk ternak unggas lokal.

Pentingnya unggas lokal adalah (Haryono, 2012): (a) merupakan sumber daya

genetik asli Indonesia, (b) Mampu menjadi sandaran pemenuhan protein hewani sampai ke

pelosok negeri, dan (c) Melibatkan keikutsertaan peternak rakyat yang besar, sehingga

dapat menjadi media pengembangan ekonomi masyarakat miskin. Usahaternak unggas

lokal dapat dijadikan tambahan mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan sumber

pendapatan bagi rumah tangga di pedesaan. Pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia

selama ini masih bertumpu pada pangan nabati, khususnya beras yang diindikasikan oleh

tingginya starchy staple ratio hingga 63 persen. Adanya gejala pergeseran permintaan

konsumen dari komoditas bernilai rendah (padi, palawija) ke arah komoditas bernilai

ekonomi tinggi (produk hortikultura, peternakan, dan ikan) dalam literatur dinamakan “value

ladder” atau struktur peningkatan nilai tambah pertanian (Daryanto, 2011). Dengan

demikian terdapat ruang untuk memperbesar pangsa pasar produk unggas lokal, seperti

ayam kampung dan itik. Diversifikasi konsumsi pangan perlu didorong bukan saja untuk

produk pangan lokal tetapi juga produk pangan hewani yang dapat mempercepat

peningkatan indeks pembangunan manusia (human development index) dan Pola Pangan

Harapan (PPH) penduduk Indonesia.

Page 5: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

4

Tingkat konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat Indonesia masih di bawah

rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, yaitu sebesar 6 gr/kap/hari. Saat ini

pencapaian untuk daging adalah 3.35 gr/kap/hari, telur 1.77 gr/kap/hari dan susu 0.6

gr/kap/hari, total 5.72 gr/kap/hari. Tingkat konsumsi dalam satu tahun untuk daging

adalah 5,13 Kg/kapita/tahun, telur 6,78 Kg/kapita/tahun, dan susu 3,13 Kg/kapita/hari

(Ditjenak, 2008). Peluang produk unggas (termasuk unggas lokal) baik berupa daging

unggas maupun telur menunjukkan trend yang terus meningkat baik di Indonesia maupun

level dunia seperti yang diungkapkan dimuka (Taha, 2003; Ilham, 2006). Pertumbuhan

konsumsi daging dan telur di negara-negara berpendapatan menengah adalah yang paling

tinggi (China, India, Brazil, Mexico, Argentina, Iran, Rusia, Mesir, Malaysia dan Polandia),

disusul negara-negara berpendapatan tinggi (AS, UE, Jepang, Canada), dan stagnan untuk

negara-negara berpendapatan rendah (sebagian negara-negara sub sahara).

Ternak unggas lokal mempunyai potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan.

Potensi itu terdiri atas penyediaan bibit ternak unggas lokal unggul yang cukup tinggi,

bahan baku pakan berbasis sumberdaya lokal, pengalaman peternak yang dinilai cukup, dan

teknologi budidaya yang masih dapat ditingkatkan secara bertahap. Jika pemerintah

berhasil mendorong masyarakat beternak unggas lokal secara komersial, maka terbuka

peluang peningkatan pendapatan petani, kesempatan kerja yang luas di pedesaan, dan

peningkatan produksi pangan dalam negeri. Upaya pengembangan komoditas unggas lokal

melalui manajemen rantai pasok (supply chain management) mendapatkan momentumnya

dengan industri kuliner berbasis unggas lokal yang marak di kota-kota besar di Indonesia.

Penelitian ini mempunyai tujuan umum mengembangkan kelembagaan agribisnis

yang dapat menangani kegiatan agribisnis secara sinergis bekerjasama meningkatkan

pemanfaatan keunggulan komparatif dan daya saing. Tujuan khusus adalah melakukan

identifikasi permasalahan ternak unggas tradisonal, kemudian disusul dengan penawaran

opsi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengembangkan usaha ternak

unggas tradisional. Penelitian ini jelas memberikan sumbangan pemikiran yang besar

kepada pemerintah dalam kerangka membuat kebijakan pengembangan usahaternak

unggas tradisional.

Page 6: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

5

1.3. Tujuan

Tujuan kegiatan penelitian adalah: (1) Mengevaluasi kinerja program pengembangan

agribisnis komoditas unggas lokal; (2) Mendeskripsikan rantai pasok (supply chain)

komoditas unggas lokal dari hulu hingga hilir; (3) Menganalisis kelembagaan manajemen

rantai pasok (supply chain management) komoditas unggas lokal; (4) Menganalisis rantai

nilai (value chain anaysis) komoditas unggas lokal; dan (5) Merumuskan kebijakan untuk

mengembangkan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal secara terpadu dan

berdayasaing.

1.4. Keluaran yang Diharapkan

Keluaran yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah informasi mengenai: (1)

Hasil evaluasi kinerja program pengembangan agribisnis komoditas unggas lokal; (2)

Deskripsi manajemen rantai pasok (supply chain management) komoditas unggas lokal dari

hulu hingga hilir; (3) Hasil analisis kelembagaan rantai pasok komoditas unggas lokal; dan

(4) Hasil analisis rantai nilai (value chain anaysis) komoditas unggas lokal; dan (5) Rumusan

kebijakan untuk mengembangkan manajemen rantai pasok komoditas ungas lokal secara

terpadu dan berdayasaing.

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Penerima manfaat langsung dari kegiatan ini adalah rumah tangga peternak unggas

lokal dan pelaku usaha yang terkait dalam rantai nilai produk-produk unggas lokal.

Penerima manfaat tidak langsung dari kegiatan ini adalah para pelaku usaha yang ikut

menerima manfaat dari berkembangnya manajemen rantai pasok, seperti industri

pembibitan (breeding farm), pedagang input, pedagang output, dan industri kuliner.

Pemecahan masalah ini akan memberikan dampak teknis dan ekonomi serta

kelembagaan manajemen rantai pasok terutama dalam mendorong pengembangan usaha

ternak unggas lokal secara komersial. Dampak ekonomi yang lebih luas adalah pemecahan

masalah dalam hal menyediakan pangan hewani yang berbasis sumberdaya lokal,

kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan para petani, serta

berkembangnya industri kuliner berbasis produk unggas lokal. Melalui hasil-hasil penelitian

ini, pemerintah dapat membangun konsep kebijakan bagi pengembangan manajemen

pemasaran produk unggas lokal secara terpadu sehingga meningkatkan dayasaing produk

Page 7: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

6

unggas lokal. Hasil penelitian ini juga mempunyai dampak penyediaan informasi yang

berguna bagi investor dalam negeri baik dalam skala kecil atau besar.

Luaran kegiatan ini sangat berguna bagi Kementerian Pertanian untuk

menyempurnakan kebijakan dan program pengembangan manajemen rantai pasok (supply

chain management/SCM) di daerah sentra produksi. Pengembangan manajemen rantai

pasok di daerah-daerah pertumbuhan baru, sehingga SCM ini memiliki dampak yang lebih

luas dan dapat menjangkau kelompok masyarakat miskin.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

Rantai pasok dan manajemen rantai pasok berasal konsep logistik. Rantai pasok

(Supply Chain) adalah semua kegiatan yang melibatkan semua pihak baik yang

memproduksi barang atau jasa, mulai dari produsen dan atau supplier bahan baku sampai

pada konsumen akhir. Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management/SCM) adalah

kegiatan mengelola penawaran (pasokan) dan permintaan, termasuk di dalamnya

pengadaan bahan baku, input produksi, kegiatan atau proses produksi dan perakitan,

kegiatan penyimpanan hasil produksi dan pengelolaan inventory, proses pengiriman dan

penanganannya serta distribusi, sampai kepada delivery ke konsumen akhir.

Indrajid dan Djokopranoto (2002) mendefinisikan rantai pasokan (supply chain)

sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada

palanggannya. Managemen rantai pasok merupakan alat bantu pendekatan untuk

mengintegrasikan efisiensi pemasok (supplier), perusahaan, distributor, pengecer (retail),

sehingga alat-alat tersebut dapat menghasilkan dan menyalurkan produk dengan jumlah,

lokasi dan waktu yang tepat, agar dapat mengurangi biaya keseluruhan dalam sistem rantai

pasok sebagai syarat memberikan untuk tingkat kepuasan dalam pelayanan.

Hines (2004) mengemukakan bahwa strategi rantai pasok dapat dilihat dalam

perspektif sistem secara keseluruhan yang menunjukkan adanya keterkaitan dalam rantai

yang bekerja sama secara efisien untuk menciptakan kepuasan pelanggan atau konsumen.

Sebagai konsekuensinya biaya harus cukup rendah pada seluruh rantai pasok dan

memusatkan perhatian pada penciptaan nilai tambah, meningkatkan efisiensi,

menghindarkan dari kemacetan. Pengukuran kinerja manajemen rantai pasok difokuskan

pada efisiensi keseluruhan sistem dan distribusi insentif nilai tambah dilakukan secara adil

terhadap semua pihak yang tercakup dalam rantai pasok.

Page 8: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

7

Forum rantai nilai global (Supply Chain Forum Global) mengemukakan manajemen

rantai pasok adalah integrasi proses bisnis utama di seluruh rantai pasokan untuk tujuan

menciptakan nilai bagi pelanggan dan stakeholder (Lambert, 2008). Menurut Dewan

Profesional Manajemen Rantai Pasok (The Council Supply Chain Management

Professionals/CSCMP), manajemen rantai pasok meliputi perencanaan dan pengelolaan

semua kegiatan dari sumber (sourcing), konversi, pengadaan, dan manajemen logistik.

Selain itu, juga termasuk komponen penting koordinasi dan kolaborasi dengan mitra usaha

dalam rantai pasok, yang dapat berperan sebagai pemasok, perantara, dan pihak ketiga

penyedia layanan, dan pelanggan. Pada intinya, manajemen rantai pasok mengintegrasikan

manajemen penawaran dan permintaan di dalam dan di seluruh perusahaan.

2.2. Hasil-Hasil Penelitian Terkait

2.2.1. Kinerja Pengembangan Agribisnis Unggas Lokal

Ternak unggas lokal seperti ayam buras, itik, entok dan puyuh mempunyai peran

yang besar sejak lama dalam menyediakan produksi daging dan telur unggas masyarakat

Indonesia. Pada tahun 2004-2005 peran ternak ini secara nasional masih tinggi dengan

sumbangan sekitar 20 persen dari total produksi unggas, sedangkan telur unggas tradisional

menyumbang sebesar 45 persen dari produksi telur (Yusdja et al, 2006). Kondisi terkini,

sumbangan unggas lokal (ayam buras dan itik) terhadap daging unggas nasional adalah

sebesar 287.8 ton (18,77%) dari total produksi unggas sebesar 1.533 ton, sementara itu

sumbangan telur unggas lokal (ayam buras dan itik) sebesar 420,50 ton (23,45 %) dari

produksi telur nasional sebesar 1792.9 ton (Ditjennak, 2010).

Unggas lokal yang tetuanya berasal dari Indonesia adalah Ayam Lokal/Buras, Itik

Lokal/Petelur, Entok dan Puyuh Jepang (Peni, 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa

kelebihan unggas lokal adalah: (a) memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat

tinggi, (b) lebih toleran terhadap penyakit terutama jenis parasit, dan (c) toleran terhadap

kualitas pakan yang berkualitas rendah. Selain itu, ternak unggas lokal juga mempunyai

keunggulan dari sisi konsumen, yaitu sangat disukai oleh konsumen dalam negeri dan luar

negeri. Beberapa kekurangan unggas lokal adalah: (a) komposisi genetiknya menghasilkan

produktivitas yang rendah, (b) belum ada jenjang bibit yang jelas, dan (c) belum ada sistem

pembibitan dan industri pembibitan belum berkembang secara memadai.

Page 9: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

8

Secara empiris usaha ternak unggas lokal belum berkembang menjadi usaha

komersial, maka masalahnya ada pada sistem dan usaha agribsinis ternak unggas yang

belum dapat mendukung pengembangannya. Beberapa faktor penyebabnya adalah: (a)

pengadaan bahan baku pakan yang disediakan justru bersaing dengan kebutuhan lain, (b)

modal yang dimiliki peternak rendah, (c) resiko kegagalan usahaternak unggas lokal besar,

(d) profitabiltas yang rendah jika diusahakan secara komersil, produktivitas bibit rendah

dibandingkan korbanan yang dikeluarkan dan (e) pasar seakan-akan jenuh karena sangat

banyak pembeli dan sangat banyak produsen sehingga tidak ada insentif memproduksi

dalam skala besar (Yusdja, et al, 2006).

Dengan ciri-ciri utama peternak yang memelihara ternak unggas lokal adalah

berpendapatan rendah, tidak mempunyai akses pada lembaga keuangan, dan tidak

mempunyai akses pasar input dan output, atas dasar itu masalah kelembagaan manajemen

rantai pasok menjadi masalah utama. Pertanyaannya adalah seberapa jauh sistem

kelembagaan manajemen rantai pasok yang mengatur produk-produk unggas lokal

memberikan insentif kepada peternak?. Bagaimana bentuk kelembagaan manajemen rantai

pasok yang dibutuhkan bagi kemudahan dalam pemasaran yang menguntungkan bagi

mereka?. Masalah-masalah ini mempunyai relevansi yang kuat untuk diteliti sehubungan

dengan peningkatan produksi pangan hewani dalam negeri dengan menggandalkan

sumberdaya lokal.

Ternak unggas lokal yang diteliti adalah ayam lokal (buras) dan itik/bebek. Kedua

jenis komoditas tersebut akan dilihat secara terpisah, karena masing-masing komoditas

mempunyai karakteristik komoditas dan pasar yang berbeda. Kedua jenis ternak unggas

lokal ini telah lama diusahakan masyarakat dengan berbagai sistem pengelolaan yang

berbeda. Ayam lokal (buras) pada umumnya sekitar 90 persen dari populasi diusahakan

secara ekstensif dengan skala usaha tidak lebih dari 1-10 ekor, sisanya berkembang dalam

bentuk usaha-usaha semi intensif dan intensif (Yusdja, et al, 2005). Untuk usaha ternak

itik/bebek lazim dipelihara dalam bentuk semi intensif, namun dalam 5 tahun terakhir telah

berkembang usaha semi intensif dan intensif di berbagai daerah terutama di pulau Jawa.

2.2.2. Deskripsi Rantai Pasok Unggas Lokal

Ayam Lokal (Buras) Ekstensif dan Tradisional. Indonesia memiliki kekayaan

hayati yang sangat beragam, diantaranya adalah keanekaragaman plasma nutfah ayam

Page 10: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

9

lokal (buras). Ayam kampung sering dikenal dengan istilah ayam keluarga (poultry family),

ayam belakang rumah (backyard poultry) atau ayam pedesaan (village/rural poultry)

(Naipospos, 2009). Hasil penelitian Balai Penelitian Ternak, Ciawi yang diacu dalam

poultrycom (2012), Indonesia memiliki 15 jenis plasma nutfah ayam lokal yang

keberadaannya benar-benar asli Indonesia. Meskipun secara keseluruhan belum berhasil

teridentifikasi secara lengkap dan rinci. Jenis ayam lokal tersebut di antaranya adalah Ayam

Cemani, Ayam Kapas, Ayam Pelung, Ayam Arab Golden, Ayam Merawang, Ayam Arab Silver,

Ayam Kedu, Ayam Kedu Putih, Ayam Kate, Ayam Gaok, Ayam Sentul, Ayam Wareng, Ayam

Tolaki, ayam Kalosi, dan Ayam Nunukan.

Pengelolaan secara ekstensif yang dimaksudkan di sini bahwa peternak memiliki

ayam lokal (buras) tetapi tidak memberikan pakan, kandang dan perawatan kesehatan

secara khusus (Yusdja et al, 2005). Pemeliharaan ayam lokal (buras) dilepaskan begitu saja,

mencari makan dan melakukan perkawinan di alam bebas. Dengan kata lain ayam lokal

(buras) yang dipelihara secara tradisional, kurang mendapatkan sentuhan teknologi

budidaya dan manajemen, karena itu biaya yang dikeluarkan untuk satu unit produksi

daging ayam lokal dan telur relatif sangat kecil, hampir mencapai “zero cost”. Karena biaya

pemeliharaan mendekati nol, maka peternak sebenarnya memperoleh keuntungan hampir

sama dengan harga jual yang mereka terima yang pada umumnya melebihi harga jual ayam

broiler. Namun, sekalipun pada sistem intensif produksi relatif tinggi, tetapi tidak mampu

mendorong usaha produksi telur/daging ayam buras tradisional dalam bentuk satu sistem

usahaternak intensif.

Keberadaan ayam lokal (buras) secara ekonomi sangat membantu kebutuhan rumah

tangga di perdesaan, namun dengan pola pemeliharaan masih secara ekstensif maka

pertumbuhan secara ekonomi masih sangat terbatas. Salah satu alasan yang menyebabkan

ayam lokal lebih dominan dipelihara secara ekstensif adalah karena sumber bibit asalan

(tanpa melalui proses seleksi), kurangnya keterampilan teknis dan kapabilitas manajerial,

dan keterbatasan permodalan, sehingga ayam lokal cenderung di beri pakan sisa dapur dan

minum seperlunya selanjutnya dilepas untuk mencari pakan sendiri dari pagi sampai sore.

Pola pemeliharaan yang demikian menjadi pilihan banyak peternak karena pola ini mampu

memberikan biaya yang sangat rendah. Disamping itu kesulitan dalam mendapatkan bibit/

DOC ayam lokal unggul masih merupakan kendala serius bagi pengembangan ayam buras

(Anonim, 2003).

Page 11: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

10

Pemerintah telah melakukan kegiatan pengembangan usaha ternak ayam lokal

(buras) untuk meningkatkan kinerja agribisnis ayam lokal melalui pendekatan teknis dan

agribisnis. Pendekatan teknis dilakukan melalui program pengendalian penyakit melalui

kebijakan Intensifikasi Vaksinasi (INVAC) yang dilanjutkan melalui Intensifikasi Ternak Ayam

Buras (INTAB). Sementara pendekatan agribisnis telah dilakukan melalui beberapa

kebijakan proyek diantaranya adalah proyek gerakan pembangunan kawasan peternakan.

Dengan demikian untuk lebih memacu perkembangan kinerja budidaya ternak ayam lokal

(buras) dan sejenisnya maka tidak ada cara lain kecuali dipelihara secara semi intensif

hingga intensif dan ditangani melalui pola manajemen rantai pasok (supply chain

management) sehingga dapat meningkatkan keterpaduan proses dan pelaku usaha

agribisnis unggas lokal.

Pemerintah juga telah melaksanakan berbagai progam dalam usaha

mengembangkan ayam lokal. Diantaranya adalah kegiatan untuk mengembangkan

agribisnis ayam lokal (buras) secara terpadu dan berkelanjutan di dalam satu kawasan yang

didalamnya dibentuk satu pusat pengembangan pembibitan dan budidaya ayam buras yang

dilengkapi dengan unit pabrik pakan mini, unit pemotongan dan unit penetasan serta unit

pengolahan (Anonym, 2002; Yusdja, dkk., 2005). Program agribisnis yang dilaksanakan

tahun 2001 ini disebut RRMC (Rural Rearing Multiplication Center). Beberapa kajian

mengemukakan bahwa proyek ini kurang berhasil, namun dari proyek ini memberikan

indikasi bahwa ayam lokal (buras) mempunyai potensi dan prospek untuk dikembangkan

(Anonym, 2003).

Kemudahan dalam pemeliharaan ternak unggas lokal tersebut, justru menyebabkan

minat masyarakat untuk mengembangkan ternak tersebut menjadi usaha komersial

cenderung semakin menurun. Data sensus penduduk selama empat periode menunjukkan

angka pertumbuhan rumah tangga peternak ayam buras cenderung menurun sangat tajam.

Hasil sensus penduduk tahun 1963 jumlah rumah tangga peternak ayam buras sebesar 9,98

juta, tahun 1973 meningkat menjadi 13.86 juta, tahun 1983 turun tajam menjadi 0,41 juta

dan hasil sensus terakhir tahun 1993 hanya naik sedikit menjadi 0,47 juta rumah tangga.

Suatu angka pertumbuhan yang sebenarnya cukup memprihatinkan (Yusdja, et al, 2005).

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa dengan turunnya jumlah rumah tangga

yang memelihara ayam lokal semakin sedikit, sementara populasi ayam buras semakin

berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa rasio penguasaan ternak ayam buras per

Page 12: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

11

kepala rumah tangga cenderung semakin besar. Meskipun demikian peningkatan populasi

ayam lokal tersebut tampaknya belum mampu mengimbangi kebutuhan konsumsi daging

ayam kampung yang terus meningkat.

Melihat fenomena diatas memberikan suatu harapan bahwa pengembangan ternak

unggas lokal khususnya ayam lokal (buras) dan sejenisnya yang umumnya belum ditangani

secara profesional, tampaknya masih ada peluang besar untuk melakukan usahaternak

unggas lokal dari berbasis sumberdaya lokal dan tenaga kerja tidak terampil ke kebudayaan

industrial dengan berbasis sumberdaya lokal yang sudah diramu oleh tenaga kerja terampil.

Agar komoditas tersebut tidak hanya sebagai pendapatan sampingan bagi masyarakat

peminat budidaya unggas, namun lebih dari itu adalah dapat dijadikan andalan sebagai

sumber matapencaharian utama keluarga. Permasalahan adalah bagaimana mencari pola

pengembangan yang cocok sesuai dengan kinerja sistem agribisnis ayam lokal (buras)

tersebut. Dengan berkembangnya industri kuliner berbasis ayam lokal, maka pada

usahaternak perlu transformasi usahaternak dari sistem tradisional ke arah usaha semi

hingga intensif, namum tetap berbasis utama sumberdaya lokal. Sementara itu, pada aspek

pemasaran dapat menggunakan pendekatan manajemen rantai pasok (supply chain

management).

Ayam Lokal (Buras) Intensif. Telah banyak dilakukan penelitian kelayakan usaha

ayam buras dalam 20 tahun terakhir, yang keseluruhannya melaporkan bahwa ayam buras

layak diusahakan secara semi intensif dan intensif. Penelitian mengenai agribisnis ayam

buras dilakukan oleh Sajuti (2001) setelah terjadi krisis ekonomi. Sajuti melaporkan

usahaternak ayam lokal (buras) intensif layak diusahakan dan memberikan keuntungan

kepada peternak. Semakin besar skala usaha semakin besar keuntungan yang diperoleh

peternak. Keuntungan yang diperoleh peternakan akan lebih besar jika petenak hanya

menghasilkan satu komoditi saja yakni telur atau daging ayam saja. Dengan kata lain

spesialisasi dalam usahaternak ayam lokal lebih menjanjikan.

Hasil analisis usahaternak ayam kampung super per 300 ekor dan Itik Pajajaran per

100 ekor yang dimuat dalam (Trobos, 2010) layak diusahakan. Diasumsikan peternak

dapat mencapai tingkat mortalitas standar berkisar antara 5-10% (20 ekor), maka pada saat

panen jumlahnya 280 ekor dengan berat rata-rata 0,8 – 1 kg. Harga ayam adalah Rp

21.000,-/kg dengan kisaran harga antara Rp 18.000 - Rp. 23.000,- /Kg. Diperkirakan

usahaternak ayam kampung super mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1.371.000/300

Page 13: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

12

ekor/siklus produksi. Efektivitas pengembalian modal dengan R/C ratio ayam kampung

super tergolong baik, yaitu 1,32. Artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan

menghasilkan rupiah penerimaan sebesar 1,32.

Itik, semi intensif dan intensif. Itik seperti Indian Runner yang banyak dan

dominan ada di Indonesia merupakan ternak unggas lokal yang sudah lama diusahakan

peternak. Berbeda dengan ayam lokal (buras), itik/bebek relatif mempunyai wilayah-wilayah

lebih spesifik dalam pengembangannya terutama kebutuhan ekologis yang relatif tinggi

terhadap air. Ternak itik membutuhkan air untuk perkawinan dan sebagai tempat sumber

pakan. Usahaternak secara semi intensif dan intensif berkembang ditentukan oleh tiga hal

yakni pasar output, ketersedian bahan baku pakan dan persediaan air (Yusdaja et al, 2005).

Sebagai contoh itik Alabio yang berkembang di daerah rawa-rawa Kalimantan Selatan yang

terdapat banyak ikan dapat menjadi sumber makanan itik. Di Jawa itik berkembang

disepanjang aliran sungai, daerah pantai dan daerah sawah irigasi seperti bagian utara

Provinsi Jawa Timur. Perkembangan usaha itik semi intensif dan intensif akhir-akhir ini

berkembang di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Solo,

Yogyakarta dan kota-kota satelitnya, karena tingginya permintaan untuk industri kuliner

perkotaan.

Hasil penelitian tentang produktivitas Itik dilakukan oleh Andayani et al, (2001),

pengaruh pemberian Ikan Pirik terhadap produksi telur Itik dilakukan oleh Subiharta et al,

(2001), potensi produksi Itik Turi oleh Wardhani, (2001) dan kinerja pembesaran Itik siap

telur oleh Sumanto et al, (2001), yang menunjukkan bahwa potensi produksi Itik masih

dapat ditingkatkan. Pada umumnya penelitian yang telah dilakukan lebih terfokus pada

usahaternak dan potensi produksi. Salah satu penelitian yang mencakup pemasaran dan

kelembagaan kemitraan adalah penelitian uji multilokasi bibit niaga itik petelur yang

dilakukan oleh Juarini et al, (2003). Laporan ini memberikan gambaran produktivitas Itik,

pemasaran dan kemitraan usaha secara terbatas.

Hasil kajian tentang analisis usahaternak Itik Pajajaran dimuat dalam Majalah

Trobos, (2010). Itik Pajajaran yang merupakan persilangan Itik Magelang dengan karakter

(jinak, tenang dengan tingkat stres rendah, produksi telaur stabil) dengan Itik Tasikmalaya

dengan karakter (penampilan postur tinggi dan besar dengan bobot mencapai lebih 2

Kg/ekor) menghasilkan Itik dengan sifat unggul. Selama usia produktif (6-7 bulan) dari 100

ekor Itik Pajajaran untuk petelur yang dipelihara dengan tingkat produksi sebesar (65 %)

Page 14: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

13

dapat memberikan keuntungan bersih sekitar Rp. 5,5 juta/100 ekor/siklus produksi.

Efektivitas pengembalian modal dengan R/C ratio Itik Pajajaran tergolong tingi, yaitu 1,38.

Artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan rupiah penerimaan

sebesar 1,38. Usahaternak itik petelur layak diusahakan dan bisnis ini cukup

menguntungkan.

2.2.3. Kelembagaan Rantai Pasok Komoditas Unggas Lokal

Karakteristik dasar bisnis perunggasan termasuk unggas lokal adalah sebagai

industri biologi yang mempunyai implikasi pada tuntutan pengelolaannya, yang akan

berpengaruh terhadap struktur, perilaku, dan kinerja industri perunggasan (Saragih, 1998).

Pengelolaan dan pengembangan industri pembibitan unggas lokal harus memperhatikan

karakteristik sebagai industri biologi serta memanfaatkan sifat-sifat unggul pada unggas

lokal. Bibit adalah teknologi inti dalam industri perunggasan, sehingga pengembangan

agribisnis unggas lokal sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas bibit.

Penggunaan manajemen rantai pasok memberikan manfaat beragam. Manfaat

tersebut antara lain: mengurangi inventory barang, menjamin kelancaran penyediaan

barang, dan menjamin mutu (Indrajit, 2002). Terdapat empat manfaat dengan menerapkan

manajemen rantai pasok, yaitu (Saptana dan Arief Daryanto, 2012): (a) Adanya

penambahan nilai yang antara lain meliputi kesesuaian dengan pesanan, ketepatan dalam

distribusi, dan kesesuaian dalam pembebanan biaya produksi; (b) Pengurangan biaya

transaksi yang berdampak pada timbulnya respon terhadap pasar yang lebih berorientasi

pada kepentingan pedagang pengecer; (c) Pengurangan risiko bisnis, yaitu memberikan

jaminan pemasaran produk dan pengembangan modal yang disesuaikan dengan adopsi

teknologi serta peningkatan efisiensi maupun penambahan nilai produk yang dihasilkan; dan

(d) SCM dalam industri perunggasan yang merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi

dapat dijadikan sarana alih teknologi dari perusahaan-perusahaan yang menguasai

teknologi modern kepada petani rakyat sebagai mitra kerjanya.

2.2.4. Kendala dan Permasalahan Pokok

Perencanaan penetapan kelembagaan manajemen rantai pasok (supply chain

management) kegiatan usahaternak unggas lokal yang sedang dan akan terus berjalan,

seyogyanya dilakukan sejak dini, sebelum dihadapkan pada permasalahan-permasalahan

Page 15: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

14

pokok, baik aspek teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan, dan aspek kebijakan. Beberapa

pengalaman menunjukkan bahwa beberapa usahaternak unggas lokal yang dilakukan

secara bersamaan berdasarkan pola trend usaha lebih banyak mendatangkan kompleksitas

permasalahan. Hal tersebut terutama yang berkaitan dengan permasalahan penjualan hasil

produksi dan fluktuasi harga jual produk yang tinggi, sehingga pada akhirnya harga

menjadi rendah dan pendapatan peternak tidak sebanding dengan biaya produksi yang

dihasilkan, akibatnya para peternak mengalami kerugian di kemudian hari.

Kendala dan permasalahan yang menghambat pengembangan agribinis unggas lokal

antara lain adalah: (1) Belum adanya sistem seleksi yang baik terhadap unggas unggul lokal

baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat peternakan unggas lokal; (2) Belum

berkembangnya industri pembibitan unggas unggul lokal; (3) Pakan masih bertumpu pada

limbah konsumsi rumah tangga, sedangkan biji-bijian dan limbah industri pengolahan hasil

belum dimanfaatkan untuk usahaternak unggas lokal; (4) Kurang tersedianya bahan baku

industri pakan perunggasan, sehingga Indonesia masih harus mengimpor bahan baku pakan

unggas (jagung, bungkil kedelai, tepung ikan, dan tepung tulang) yang menyebabkan biaya

produksi relatif tinggi; (5) Belum adanya penataan pengembangan sentra-sentra produksi

atau kawasan industri unggas lokal; (6) Keterbatasan modal peternak unggas lokal sehingga

menghambat pengembangan usaha secara intensif dan skala komersial; (7) Mewabahnya

penyakit menular terutama flu burung (Avian Influenza); dan (8) Masalah kompetisi

penggunaan komoditas pangan seperti jagung, dedak/bekatul, ubikayu dan kedelai untuk

ternak dan unggas komersial. 

Kendala dan permasalahan pokok pengembangan unggas Lokal terkait dengan

kesiapan pabrik pakan ternak adalah sebagai berikut (Utomo, 2012): (1) Kesiapan pabrik

pakan (feedmill) dalam menunjang pengembangan unggas lokal, industri akan sedikit

banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pasokannya jika usahaternak

unggas lokal masih tersebar dengan skala usaha yang sangat kecil; (2) Sedikitnya informasi

akan berapa kebutuhan nutrisi dari unggas lokal dari masing-masing strain/spesies yang

ada. Sekali kendala skala usaha dan pola pemeliharaan sudah memenuhi pola usaha

komersial (bukan sambilan) maka akan sangat mudah sekali industri (pabrik) pakan untuk

memasok dan memenuhi kebutuhan pasokan tersebut; dan (4) Masih ada idle capacity

(35%) pabrik pakan yang ada dan tersebar secara nasional.

Page 16: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

15

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini mencakup empat hal pokok yaitu evaluasi kinerja program

pengembangan agribisnis unggas lokal, deskripsi rantai pasok komoditas unggas lokal,

menganalisis kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal, menganalisis

rantai nilai komoditas unggas lokal, serta merumuskan kebijakan pengembangan

manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing.

Indrajid dan Djokopranoto (2002) mendefinisikan rantai pasokan (supply chain)

sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada

palanggannya. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling

berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan

pengadaan atau penyaluran barang tersebut. Managemen rantai pasok merupakan

sekelompok alat bantu pendekatan untuk mengintegrasikan efisiensi pemasok (supplier),

perusahaan, distributor, toko atau retail, sehingga alat-alat tersebut dapat menghasilkan

dan menyalurkan produk dengan jumlah, lokasi dan waktu yang tepat, agar dapat

mengurangi biaya keseluruhan sistem rantai pasok sebagai syarat memberikan tingkat

kepuasan dalam pelayanan (Levi et al., 2000 dalam Indrajit dan Djokonoto, 2002).

Managemen rantai pasok menurut (Heizer & Rander, 2004) yang diacu oleh Siagian

(2005) merupakan kegiatan pengelolaan kegiatan-kegiatan dalam rangka memperoleh

bahan mentah tersebut menjadi barang dalam proses atau barang setengah jadi dan barang

jadi kemudian mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui sistem distribusi.

Manajemen rantai pasokan komoditas unggas lokal (Supply Chain manajemen) adalah

pengelolaan arus dan penyimpanan (penampungan) komoditas unggas lokal serta alur

informasi yang dibutuhkan dari hilir ke hulu yang ditujukan untuk memuaskan (memenuhi)

kebutuhan pelanggan/konsumen (www. wikipedia. com, 2005). Chopra dan Meidl (2007)

mengemukakan bahwa rantai pasokan (supply chain) mencakup seluruh pelaku yang terkait

dalam sistem produksi serta distribusi dan pemasaran untuk memenuhi permintaan

pelanggan. Sejalan dengan definisi tersebut, Daryanto (2008) mengemukakan manajemen

rantai pasokan (SCM) merujuk pada manajemen keseluruhan proses produksi, distribusi dan

pemasaran dimana konsumen dihadapkan pada produk-produk yang sesuai dengan

Page 17: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

16

keinginannya dan produsen dapat memproduksi produk-produknya dengan jumlah, kualitas,

waktu dan lokasi yang tepat.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sistem manajemen rantai pasok (SCM)

adalah satu kesatuan sistem pemasaran tepadu yang mencakup keterpaduan produk dan

pelaku guna memberikan kepuasan pada pelanggan. Pelaku dalam supply chain antara lain

adalah: (1) Produsen baik individu maupun kelompok; (2) Pemasok (supplier); (3) Pengolah

(manufacture); (4) Pendistribusi (distributor); (5) Pengecer (retail outlet); serta (6)

Pelanggan (customer).

Dari sisi permintaan produk yang dihasilkan oleh agribisnis unggas lokal (ayam lokal,

itik/bebek, dan puyuh) ke depan, harus disadari bahwa permintaan konsumen semakin

kompleks yang menuntut berbagai atribut atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi

oleh konsumen (consumer’s value perception). Kalau di masa lalu, konsumen hanya

mengevaluasi produk berdasarkan atribut utama yaitu jenis dan harga, maka sekarang ini

dan di masa yang akan datang, konsumen sudah menuntut atribut yang lebih lengkap dan

rinci seperti atribut keamanan produk (safety attributes), atribut nutrisi (nutritional

attributes), atribut nilai (value attributes), atribut pengepakan (package attributes), atribut

lingkungan (ecolabel attributes) dan atribut kemanusiaan (humanistic attributes).

Dari sisi penawaran, peternak unggas lokal dituntut untuk dapat bersaing berkaitan

dengan kemampuan merespons atribut produk yang diinginkan oleh konsumen secara cepat

dan efisien baik untuk tujuan konsumen pasar tradisional, pasar modern, dan industri

kuliner. Artinya peternak harus mampu menghasilkan produk-produk unggas lokal yang

memenuhi dimensi jenis, kuantitas, kualitas, kontinyuitas, cita rasa, serta atribut yang

dinginkan konsumen dengan harga yang bersaing.

Tujuan managemen rantai pasok bagi kerjasama antar perusahaan di dalam rantai

pasok suatu komoditas atau produk adalah: (1) Mengurangi resiko pasar; (2) Meningkatkan

nilai tambah, efisiensi dan keunggulan kompetitif; dan (3) Berguna dalam menyusun

strategi pengembangan produk; serta (4) Strategi untuk memasuki pasar baru. Sementara

itu bagi pedagang pengecer SCM diharapkan dapat biaya operasi, pengadaan, pemasaran,

dan biaya distribusi. Kemampuan untuk menghasilkan produk yang standar dan sistem

distribusi yang efisien akan meningkatkan dayasaing suatu produk di pasar dan dapat

menghambat masuknya pelaku baru di pasar.

Page 18: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

17

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka pentingnya dibangun kelembagaan

manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal yang dapat menjamin sistem pemasaran

pada berbagai pola berjalan efisien. Bila SCM dapat komoditas unggas lokal berjalan

dengan baik minimal terdapat empat keuntungan yang dapat diraih, antara lain adalah : (1)

Adanya penambahan nilai yang antara lain meliputi kesesuaian dengan pesanan, ketetapan

dalam distribusi, dan kesesuaian dalam pembebanan biaya produksi; (2) Pengurangan biaya

transaksi yang berdampak pada timbulnya respon terhadap pasar yang lebih berorientasi

pada kepentingan pedagang pengecer (ritel); (3) Pengurangan resiko bisnis unggas lokal,

yaitu memberikan jaminan pemasaran produk unggas lokal dan pengembangan modal yang

disesuaikan dengan adopsi teknologi serta peningkatan efisiensi maupun penambahan nilai

produk unggas lokal yang dihasilkan; dan (4) SCM dalam industri peternakan unggas lokal

dapat dijadikan sarana alih teknologi dari perusahaan-perusahaan, pusat pembibitan, dan

industri kuliner yang menguasai teknologi modern kepada peternak-peternak kecil sebagai

jaringan rantai pasoknya. Secara ringkas kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 1.

Page 19: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

18

Aspek Produksi

Sumberdaya : Kondisi Agroklimat Sumberdaya genetik Sarana dan prasarana

pendukung SDM Pelaku Usaha Agribisnis

Permasalahan Aspek Produksi : Sistem usahaternak tradisional Skala usahaternak kecil Adopsi teknologi rendah Belum sistem seleksi bibit dan

GAP Efisiensi dan Produktivitas

rendah Kuantitas, kualitas, dan

kontinuitas pasokan belum terjamin

Kelembagaan peternak Kurangnya informasi dan akses

pasar

Kelembagaan di tingkat peternak : Kelembagaan Kelompok

Ternak Assosiasi Peternak Kelembagaan Pendukung Kelembagaan Penyuluhan Kelembagaan sapronak

Analisis Kelembagaan manajemen rantai pasok : 1. Evaluasi kebijakan agribisnis

komoditas unggas lokal 2. Deskripsi pola-pola

kelembagaan manajemen rantai pasok produk unggas lokal

3. Melakukan analisis peran dan pola interaksi antar pelaku dalam kelembagaan manajemen rantai pasok produk unggas lokal;

4. Identifikasi permasalahan dan kendala pokok pengembangan manajemen rantai pasok pada produk unggas lokal

5. Merumuskan syarat-syarat membangu kelembagaan manajemen rantai pasok yang efektif dan efisien;

6. Kebijakan pengembangan manajemen rantai pasok produk unggas lokal secara terpadu dan berdataasaing.

Pelaku agribisnis unggas lokal yang mampu : 1. Meningkatkan kualitas

pelaku usaha 2. Memperkuat usaha secara

berkelompok 3. Memanfaatkan peluang

pasar 4. Meningkatkan skala dan

intensifikasi usaha 5. Meningkatkan

keterpaduan antar pelaku Produk unggas lokal pada daerah sentra produksi : 1. Produktivitas tinggi 2. Berkualitas 3. Menciptakan nilai tambah Manajemen Rantai Pasok: 1. Efektif 2. Efisien 3. Berkelanjutan

Kelembagaan manajemen rantai pasok produk unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing : sistem usahaternak unggas lokal intensif, komersial, terintegrasi dengan hulu dan hilir, jangka panjang, berkelanjutan.

Aspek Pemasaran

Infrastruktur Pasca Panen dan pemasaran: Pasar Unnggas, Pasar tradisional, Pasar

Modern Usaha Penaganan Pasca Panen belum

optimal Rendahnya kualitas produk shg belum

mampu memenuhi dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen

Sarana transportasi belum mendukung Standarisasi dan managemen mutu

belum mendukung

Pedagang Pengumpul, Pedagang Besar Pasar (Broker), Perusahaan Mitra, Industri Pemasok Kuliner, Industri Kuliner Ritel, Pedagang Pengecer Pasar

Gambar 1. Kerangka Pikir Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Produk Komoditas Hortikultura

Kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal pada daerah-daerah sentra produksi yang bersifat ekstensi-tradisional hingga semi intensif, parsial, jangka pendek, tidak berkelanjutan.

Penyempurnaan pengembangan model kelembagaan rantai pasok yang berdayasaing: Berbasis permintaan pasar Berbasis pengaturan produksi Berbasis kelembagaan kemitraan

rantai pasok bersifat spesifik

Permasalahan Aspek Pemasaran : Karakteristik pasar modern dan

tradisional belum dipahami Kelembagaan pelaku usaha rantai

pasok belum efisien Koordinasi berdasarkan harga belum

berdasarkan pelaku Sistem informasi rantai pasok belum

mendukung Belum mampu mengembangkan rantai

pasok menurut segmen pasar.

Page 20: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

19

3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan penelitian meliputi: (1) Evaluasi kinerja program

pengembangan agribisnis komoditas unggas lokal. Kegiatan ini dilakukan melalui

pengumpulan data dan informasi tentang implementasi program-program pembangunan

agribisnis unggas lokal yang ada di masing masing lokasi; (2) Deskripsi rantai pasok

komoditas unggas lokal dari hulu hingga hilir. Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara

dengan pelaku terkait yang memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan terhadap

pengembangan manajemen kelembagaan rantai pasok unggas lokal; (3) Analisis

kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal. Kegiatan yang dilakukan

mencakup: pemahasan aturan main antar pelaku dalam kelembagaan rantai pasok, serta

saran perbaikan dalam manajemen kelembagaan rantai pasok; dan (4) Analisis rantai nilai

komoditas unggas lokal. Fokus kajian mencakup informasi tentang nilai tambah pada

masing-masing tingkatan rantai pasok dan distribusinya di antara pelaku, yang diarahkan

untuk membangun rantai nilai yang berpihak pada kaum miskin.

3.3. Lokasi Penelitian dan Responden

3.3.1. Dasar Pertimbangan

Justifikasi untuk pertimbangan pemilihan lokasi berbeda untuk kedua jenis komoditas

yang diteliti karena perbedaan lokasi sentra produksi, pusat-pusat pengembangan, sifat

penyebaran dalam satu wilayah, serta tujuan pasarnya. Bisa terkonsentrasi dalam satu

wilayah maupun menyebar hampir merata di berbagai wilayah. Berikut adalah justifikasi

pemilihan lokasi penelitian untuk setiap komoditas yang diteliti.

3.3.1.1. Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian Ayam Lokal (Buras)

Pertimbangan pertama dalam pemilihan lokasi adalah bahwa ayam lokal mempunyai

daya adaptasi yang tinggi dalam berbagai bentuk agroklimat sehingga populasi ayam lokal

(buras) menyebar di seluruh provinsi dan wilayah dari provinsi sampai ke perdesaan.

Namun dari data yang tersedia terlihat bahwa ayam lokal (buras) berkembang semakin baik

di wilayah sentra produksi jagung dan padi. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah

bahwa peternak di sebagian wilayah tersebut memelihara ayam dengan sistem semi

intensif dan diperkirakan pemeliharaan semakin intensif baik pada wilayah-wilayah yang

berdekatan dengan lokasi pusat konsumsi (wilayah urban). Pertimbangan terakhir adalah

unit lokasi penelitian analisis untuk ternak unggas lokal yang bersifat semi intensif adalah

sebuah desa. Atas dasar itu ditetapkan ketentuan pemilihan lokasi yang memenuhi syarat-

syarat sebagai:

Page 21: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

20

1. Wilayah sentra populasi dan produksi dari tingkat provinsi sampai ke desa berdasarkan

data sekunder yang tersedia.

2. Wilayah sentra produksi biji-bijian (grain) khususnya jagung dan padi dengan

agroekosistem lahan sawah dataran rendah, lahan kering, dan pantai.

3. Wilayah yang berada dekat dengan pusat-pusat konsumsi (urban) atau wilayah yang

mempunyai fasilitas transportasi yang mudah ke wilayah konsumsi atau wilayah yang

mempunyai kelembagaan pasar yang relatif maju.

4. Terdapat kelembagaan kelompok ternak unggas lokal dan atau kelembagaan kemitraan

usaha unggas lokal.

3.3.1.2. Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian Itik

Pemilihan lokasi penelitian itik yang diusahakan secara semi intensif mengikuti

prosedur yang sama dangan ayam lokal (buras) yang dipelihara semi intensif tetapi tidak

sampai kepada unit lokasi desa, mengingat pemeliharaan itik semi intensif tidak terpusat

dalam suatu wilayah sehingga lokasi akan mengikuti sebaran responden. Demikian juga

dengan pemilihan lokasi penelitian untuk itik intensif akan sangat ditentukan oleh sebaran

responden yang dapat bersifat lintas desa, kecamatan, dan bahkan kabupaten.

3.3.1.3. Dasar Pertimbangan Pemilihan Responden

Pada dasarnya penelitian ini mencakup masalah pengembangan ternak unggas lokal

yang sebagian besar diusahakan oleh masyarakat di perdesaan, karena itu jenis responden

penelitian ini akan mencakup individu responden dan responden intitusi sebagai berikut:

1. Peternak unggas lokal terdiri atas :

1) Peternak Ayam Lokal (Buras)

a. Peternak ayam lokal (buras) semi intensif yang berada dalam desa/kecamatan

terpilih, dengan skala usaha sekitar 25-100 ekor.

b. Peternak ayam buras intensif yang berada dalam wilayah propinsi terpilih,

dengan skala usaha lebih dari 100 ekor. Kelompok intensif dibedakan berdasarkan

kategori tujuan usaha yakni petelur, pedaging, penangkar atau kombinasi

tergantung seberapa pemisahan itu terjadi dalam pengusahaannya.

2) Peternak Itik/Bebek

a. Peternak itik/bebek semi intensif yang berada dalam desa/kecamatan terpilih,

dengan skala usaha kurang dari 50-100 ekor.

b. Peternak itik intensif yang berada dalam wilayah propinsi terpilih, dengan skala

usaha lebih dari 100 ekor. Kelompok itik intensif dibedakan berdasarkan kategori

Page 22: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

21

tujuan usaha yakni petelur, pedaging, penangkar atau kombinasi sejauh terjadi

pemisahan usaha di lapang.

2. Pedagang Hasil Ternak Unggas Lokal yang terdiri atas (PHTL)

1) Pedagang Telur Ayam Buras (P-TAB)

a. Pedagang Pengumpul Desa

b. Pedagang Pengumpul Pasar

c. Pedagang Besar/Broker/Supplier

d. Pedagang Eceran Pasar Desa/Kecamatan

2) Pedagang Ayam Buras (P-AB)

a. Pedagang Pengumpul Desa

b. Pedagang Pengumpul Pasar

c. Pedagang Besar/Broker/Supplier

d. Pedagang Eceran Pasar Desa/Kecamatan

3) Pedagang Itik/Bebek (P-I)

a. Pedagang Pengumpul Desa

b. Pedagang Pengumpul Pasar

c. Pedagang Besar/Broker/Supplier

d. Pedagang Eceran Pasar Desa/Kecamatan

3. Kelembagaan kelompok ternak/organisasi/assosiasi unggas lokal

4. Dinas Peternakan Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan pada lokasi terpilih

3.3.2. Lokasi dan Responden

Untuk Desa Ayam Buras (Semi Intensif). Langkah pertama dalam setiap provinsi

adalah mengelompokkan kabupaten dalam dua zone yakni zone lahan sawah dan lahan

kering. Dari setiap zone dipilih sebuah kabupaten yang mempunyai jumlah ayam buras

terbanyak. Dalam setiap kabupaten terpilih desa urban dan desa non urban yang relatif

mempunyai ayam buras terbanyak. Kemudian dari setiap desa akan dipilih 5 orang peternak

yang memelihara ayam buras kurang dari 100 ekor.

Untuk Usaha Ayam Lokal (Buras) Intensif. Pemilihan lokasi mengikuti pola pemilihan

untuk ayam semi intensif. Namun demikian, kemungkinan lokasi tidak menentukan karena

jumlah usaha ayam buras intensif yang sedikit dan tersebar di seluruh provinsi atau

sebagian tersebar dalam jumlah banyak dalam satu kabupaten. Karena itu pemilihan lokasi

jika syarat-syarat tidak dapat dipenuhi maka pemilihan lokasi bedasarkan sebaran jumlah

usaha ayam lokal (buras) dan jumlah responden yang dibutuhkan. Jumlah responden

minimal 5 usaha ternak ayam buras dalam satu propinsi (Kecuali DIY Yogyakarta) yang

Page 23: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

22

dibedakan berdasarkan kategori skala usaha dan jenis kelembagaan (mandiri dan

kemitraan).

Untuk Itik semi intensif dan intensif mengikuti pola pada pemilihan lokasi untuk

ayam lokal (buras). Pemilihan lokasi cukup menentukan karena jumlah usaha itik semi

intensif dan intensif relatif cukup memadai dan relatif terkonsentrasi pada provinsi dan

kabupaten tertentu. Oleh karena itu, pemilihan lokasi harus memenuhi sarat-sarat

bedasarkan daerah sentra produksi, ketersediaan jumlah peternak Itik semi intensif dan

intensif secara memadai, dan pelaku usaha lain dalam rantai pasok cukup memadai.

Tabel 1. Distribusi Jumlah Contoh Menurut Kategori Contoh untuk Kegiatan Analisis Manajemen Rantai Pasokan Komoditas Unggas Lokal

Uraian Jawa Timur DIY Kalimantan

Selatan Total

1. Peternak unggas lokal 20 20 20 60 2. Kelompok Ternak 4 4 4 12 3. Organisasi/assosiasi peternak 2 2 2 6 4. Pedagang Pengumpul 4 4 4 12 5. Perusahaan Besar /Supplier 2 2 2 6 6. Retail Outlet (Supermarket/hyper

market, pengecer pasar) 4 4 4 12

7. Pengusaha pasca panen (TPA/RPA/RPU)

2 2 2 6

8. Industri Kuliner (Restaurant/Rumah Makan)

4 4 4 12

9. BPS Provinsi/Kabupaten 2 2 2 6 10. Dinas Peternakan

Provinsi/Kabupaten 2 2 2 6

11. BPTP 1 1 1 3 12. Perguruan 13. Tinggi/Universitas

1 1 1 3

Total 48 48 48 144

3.4. Data dan Metoe Analisis

3.4.1. Jenis dan Sumber Data

Sumber data dapat dikelompokkan menjadi sumber data primer (primary data

sources) dan sumber data sekunder (secondary data sources). Data primer dikumpulkan

dengan menggunakan prosedur pengambilan contoh (sampling) dalam suatu survey

penelitian. Dalam penelitian ini selain dikumpulkan dengan metode survey, juga dengan

metode semi partisipatif untuk menangkap informasi kualitatif secara lebih mendalam

terutama yang berkaitan dengan kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal.

Page 24: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

23

Tabel 2. Jenis Data Sekunder dan Sumber Data Sekunder No. Jenis data sekunder Sumber data sekunder 1. Data dan informasi tentang kebijakan

pengembangan agribisnis perunggasan khususnya unggas lokal dan peraturan peraturan tentang kemitraan usaha perunggasan khususnya unggas lokal

Ditjen Bina Produksi Peternakan, Biro Perencanaan Deptan, Sekjen Deptan.

2. Juklak dan Juknis tentang program pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha perunggasan

Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, Kabupaten, BPTP.

3. Data dan informasi tentang inventarisasi kemitraan usaha perunggasan

Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPTP.

4. Data perusahaan peternakan (perusahaan pembibitan, perusahaan peternakan, pedagang, industri pengolah) komoditas atau unggas lokal

Ditjen Peternakan, BPS, Dinas perindustrian perdagangan dan koperasi, Dinas Peternakan, BPTP, dan Kadin

5. Data petani/kelompok tani peternakan unggas lokal

Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPTP

6. Data kapasitas sumberdaya peternakan (sumberdaya genetik) unggas lokal

Dinas Peternakan, BPS/Kantos Statistik

8. Perkembangan populasi dan produksi komoditas unggas lokal

Ditjen Peternakan, BPS, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten

9. Kelembagaan pasar input, pasar output, serta kelembagaan penunjang (layanan informasi, teknologi, dan permodalan)

Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPP/KCD/PPL

10. Data informasi tentang pelaksanaan program/proyek pengembangan agribisnis unggas lokal

Ditjen Peternakan, Pultitbangnak, Balitnak Ciawi, Dinas Peternakan Provinsi, dan Dinas Peternakan Kabupaten

11. Perkembangan harga bulanan di tingkat produsen, perdagangan besar dan konsumen untuk komoditas unggas lokal terpilih

BPS, Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, Dinas Perdagangan

12. Perkembangan perdagangan antar wilayah, ekspor dan impor komoditas perunggasan

BPS, Ditjen Peternakan, dan organisasi/assosiasi pelaku agribisnis perunggasan

13. Data dan informasi sebaran kelembagaan peternakan, kelembagaan ekonomi, dan jumlah pedagang hasil perunggasan

BPS, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, assosiasi pelaku agribisnis perunggasan

14. Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal

Puslitbangnak, Balitnak, Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten

15. Berbagai bahan atau studi yang berkaitan pengembangan kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal di lokasi penelitian

Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, Kadin

Sumber data sekunder (secondary data sources) adalah data yang sudah

dipublikasikan dan dikumpulkan untuk “tujuan yang lain” daripada tujuan penelitian yang

sedang dilakukan. Secara terperinci data sekunder dan data primer yang dibutuhkan dapat

disimak pada Tabel 2 dan 3.

Page 25: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

24

Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sumber Data Primer No. Jenis data primer Sumber data primer 1. Karakteristik rumah tangga peternak Peternak unggas lokal 2. Penguasaan sumberdaya lahan dan ternak

unggas lokal Peternak, pamong desa, PPL/KCD/BPP, ketua kelompok peternak

3. Pola dan Siklus Usahaternak Peternak unggas lokal, kelompok ternak unggas lokal

4. Sistem usahaternak komoditas unggas lokal dan tingkat adopsi teknologi usahaternak unggas lokal

Peternak unggas lokal, Kelompok Ternak Unggas Lokal, BPP/KCD/PPL

5. Struktur input dan output usahaternak unggas lokal

Peternak unggas lokal, kelompok ternak unggas lokal

6. Biaya dan keuntungan usahaternak unggas lokal

Peternak unggas lokal, kelompok ternak unggas lokal

7. Persepsi peternak unggas lokal tentang proses managemen dan manfaat Manajemen Rantai Pasok Peternakan Unggas Lokal

Peternak unggas lokal, Kelompok ternak unggas lokal,

8. Persepsi pelaku usaha agribisnis unggas lokal tentang proses managemen dan manfaat melakukan kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal

Perusahaan unggas lokal, pedagang, assosiasi peternakan, Pasar Hewan/Unggas, Koperasi, TPA/RPA/RPU dan informan kunci lainnya

9. Karakteristik pasar modern dan tradisional, industri kuliner

Kelembagaan pasar modern (supermarket, perusahaan pengolah), pedagang pasar, dan industri kuliner

10. Pola-Pola kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal

Ditjen Peternakan, Perusahaan Inti, Dinas Peternakan, BPP/KCD/PPL, Kelompok peternak

11. Pola interaksi dan aturan main (rules of the game) dalam kelembagaan manajemen rantai pasok hortikultura

Kelompok ternak unggas lokal, Perusahaan mitra, Dinas Peternakan, BPP/KCD/PPL

12. Kinerja kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal

Kelompok ternak unggas lokal, Perusahaan Mitra, Dinas Peternakan, Pedagang/Industri Pemasok kuliner, Industri Kuliner

13. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal baik teknis, ekonomi, managemen-kelembagaan, dan aspek kebijakan

Peternak unggas lokal, Kelompok Ternak, Dinas peternakan, BPP/KCD/PPL, Pelaku tataniaga, Supermarket, Perusahaan mitra/inti, Industri pemasok kuliner, Industri kuliner

14. Data dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilaksanakan

Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, dan instansi terkait lain

3.4.2. Analisis Data

Data kuantitatif terkait dengan aspek supply chain management (SCM) akan

dianalisis dengan menggunakan alat analisis statistik dan ekonometrik, sedangkan data

kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif.

Alur kelembagaan rantai pasok, ditelusuri pada seluruh pelaku rantai pasok mulai dari

peternak unggas lokal hingga berbagai tujuan pasar. Di samping itu dilihat juga rantai

pasok penyedia sarana produksi peternakan terutama benih/bibit, pakan, pembiayaan serta

Page 26: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

25

sistem penunjang lainnya seperti kebijakan pemerintah daerah, penelitian dan

pengembangan, serta penyuluhan peternakan.

Penelitian ini merupakan kajian terhadap kelembagaan manajemen rantai pasok

sehingga analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan manajemen rantai pasok dan

analisis pemasaran pada setiap mata rantai pasok komoditas unggas lokal. Analisis

kelembagaan manajemen rantai pasok ditujukan untuk melihat pola interaksi antar pelaku

dan kinerja manajemen rantai pasok, sedangkan analisis pemasaran untuk melihat

keterpaduan komoditas atau produk unggas lokal. Dengan demikian pendekatan studi

dalam penelitian ini adalah studi kasus pada berbagai kelembagaan manajemen rantai pasok

komoditas unggas lokal terpilih dengan fokus kajian untuk tujuan pasar modern dan

tradisional. Aliran komoditas atau produk diikuti dengan pendekatan snowbolling untuk

setiap rantai pasok.

Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok

Analisis Evaluasi Kinerja Program Pengembangan Agribisnis Ungas Lokal

Analisis kebijakan ialah proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk hasil-

hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain kebijakan publik (Williams,

1971; Weimer and Vining, 1989; Weimer and Vining, 1999). Kebijakan publik ialah

keputusan atau tindakan pemerintah yang berpengaruh terhadap atau mengarah tindakan

individu dalam kelompok masyarakat. Analisis evaluasi kinerja kebijakan pengembangan

agribisnis komoditas unggas lokal akan dilakukan secara deskriptif kualitatif dan . Kajian

akan difokuskan pada implementasi program-program pembangunan agribisnis unggas lokal

yang ada di masing-masing lokasi.

Deskripsi Rantai Pasok Komoditas Unggas Lokal dari Hulu hingga Hilir

Para perancang kegiatan kelembagaan kemitraan rantai pasok (supply chain

management) komoditas unggas lokal harus memahami bahwa banyak pelaku yang terlibat

dan memiliki kepentingan yang berbeda dalam pengembangan agribisnis unggas lokal.

Dengan demikian tahap awal yang perlu dilakukan dalam mengkaji kelembagaan

manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal yang efektif dan efisien adalah dengan

menetapkan siapa saja pelaku yang berkepentingan dan memiliki pengaruh dalam

menentukan kebijakan pengembangan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas

unggas lokal. Tahapan identifikasi pelaku ini dapat dilakukan dengan menggunakan konsep

analisis pelaku. Melalui metode ini penjaringan seluruh pelaku yang berpengaruh dan

berkepentingan memungkinkan untuk dapat dilakukan. Penjaringan dari sekian banyak

Page 27: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

26

pelaku sehingga menghasilkan beberapa pihak yang benar-benar memiliki derajad

kepentingan dan pengaruh cukup tinggi sampai tinggi. Analisis ini dipergunakan untuk

mengkaji seberapa besar tingkat pengaruh dan tingkat kepentingan dari setiap pelaku

terhadap kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal di lokasi penelitian.

Tahapan dalam analisis pelaku adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi pelaku kunci

dalam keseluruhan rantai pasok; (2) Menganalisis kepentingan (interest) dan dampak

potensial pada pelaku-pelaku usaha; (3) Menganalisis tingkat pengaruh (influence) dan

tingkat kepentingan (importance) pada masing-masing pelaku.

Analisis Kelembagaan Manajemen Rantai Pasok Unggas Lokal

Untuk mendorong penguatan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas

unggas lokal, maka terdapat beberapa pelaku ekonomi yang tercakup yaitu kelembagaan

pada sub sistem pengadaan sapronak, usaha produksi (kelompok ternak), kelembagaan

penaganan pasca panen dan industri pengolahan, dan kelembagaan distribusi dan

pemasaran. Mengacu pada berbagai pendapat yang membahas tentang kelembagaan,

maka untuk membahas kelembagaan ada beberapa aspek yang harus dilihat yaitu pelaku

sekaligus dengan status dan perannya, juga aturan main yang berlaku dan dikonstruksi oleh

para pelaku. Selain itu, dengan mengacu pada konsep kelembagaan yang diajukan oleh

Gilin dan Gilin (1954) tentang tingkat kemantapan tertentu dari kelembagaan, Horton dan

Hunt (1984) tentang rutinisasi dari kelembagaan, dan Uphoff (1986) yang menyatakan

bahwa kelembagaan sebagai pola perilaku yang stabil, dihargai dan berlaku dalam waktu

yang lama, maka bagian pokok lainnya yang penting untuk diperhatikan dalam pembahasan

mengenai kinerja kelembagaan adalah tentang pola-pola perilaku atau pola interaksi yang

terjalin antar pelaku dalam suatu kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal.

Pembahasan tentang pelaku bukan hanya mencakup pelaku individu maupun

organisasi, namun dalam keterlekatannya dengan masyarakatnya. Peternak selaku

produsen dalam rantai pasok ini, merupakan titik tolak dalam melihat keseluruhan pelaku

rantai pasok yang ada. Analisis mengenai pelaku dan pola perilakunya akan terkait dengan

posisi dan perannya masing-masing sangat ditentukan oleh penguasaan aset, akses dan

aktivitasnya (Scoones, 1984 dalam Saptana dkk., 2006).

Pembahasan mengenai aturan main, akan melihat aturan main yang ada, bagaimana

aturan main tersebut dikonstruksi oleh para pelaku, pelaku mana yang menjadi penentu

aturan main, pelaku mana yang memperoleh manfaat terbesar (diuntungkan) oleh aturan

main yang berlaku. Juga akan digali mengenai kemungkinan adanya perubahan aturan main

yang berlaku, bagaimana dan mengapa proses perubahan itu terjadi.

Page 28: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

27

Pembahasan tentang pola perilaku, dalam konteks ini akan mempelajari dan

menganalisis kemampuan pelaku mengenali dan memahami pasar, memenuhi keinginan

dinamika pasar dan preferensi konsumen, melakukan manajemen aktivitas dan usahanya.

Terkait dengan tujuan penelitian mengenai kelembagaan manajemen rantai pasok maka

penting pula untuk dipelajari kemampuan pelaku membuat jaringan dengan pelaku lain,

menjaga komitmen (mentaati aturan main yang berlaku), dan mengembangkan usahanya

dalam satu kesatuan rantai pasok.

Analisis ini dipergunakan untuk mengkaji lebih jauh tentang struktur, peran dan

fungsi, aturan main (rule of the game), pola interaksi atau sistem koordinasi antar pihak-

pihak yang bermitra dalam kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas unggas lokal.

Dengan analisis kelembagaan manajemen rantai pasok diharapkan dapat dibangun sistem

koordinasi yang efektif antar pihak-pihak dalam satu kesatuan manajemen rantai pasok,

sehingga dapat dibangun kelembagaan manajemen rantai pasok secara terpadu.

Analisis managemen akan difokuskan pada lima komponen manajemen pada

masing-masing pelaku rantai pasok komoditas unggas lokal, yaitu perencanaan (planning),

sumber barang (sourching), pengolahan (manufacturing), pengiriman (delivery), dan

penerimaan barang (receiving) pada masing-masing rantai pasok. Manajemen perencanaan

di arahkan untuk pengembangan sebuah strategi untuk mengatur seluruh sumberdaya yang

dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dapat memberikan kepuasan kepada

konsumen.

Manajemen perolehan komoditas unggas lokal (sourcing) merupakan proses memilih

pemasok (supplier) yang akan mengirim komoditas unggas lokal yang dibutuhkan sesuai

dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Analisis manajemen sourcing mencakup juga masalah

penentuan harga, pengiriman dan proses pembayaran dengan supplier dan bagaimana

menjaga dan meningkatkan hubungan baik.

Manajemen pengolahan (manufacturing) mencakup kegiatan produksi, tes produk,

pengemasan dan persiapan untuk pengiriman. Tolok ukur terpenting yang menjadi bagian

insentif supply chain adalah tingkat kualitas dan hasil produksi.

Pengiriman (delivery), sering kali disebut juga logistik merupakan sebuah proses

bisnis yang melibatkan pergerakan fisik dari komoditas unggas lokal yang berada dalam satu

jalur supply chain. Dalam analisis supply chain management seringkali muncul seperti

bahan mentah telah berubah menjadi produk setengah jadi atau produk jadi dan

selanjutnya bergerak ke arah konsumen. Beberapa penyedia jasa logistik memberi

tambahan service seperti pergudangan, persiapan untuk promosi produk, dan pengepakan

kembali.

Page 29: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

28

Analisis Rantai Nilai

Konsep Value Chain Analysis (VCA) adalah bagaimana mengkoordinasikan semua

pihak yang terlibat dalam suatu rantai nilai dan membagi informasi secara transparan di

dalam rantai untuk memperoleh efisiensi proses aliran produk dan keuntungan yang adil

bagi setiap pelakunya (Andri dan Stringer, 2010). Pemikiran rantai nilai belum lebih

memfokuskan kepada bagaimana menghasilkan lebih banyak keuntungan dengan

meningkatkan nilai tambah. Peningkatan biaya produksi, biaya prosesing atau biaya

pengepakan bukan merupakan permasalahan utama sepanjang konsumen dapat

memberikan nilai dengan kemauan untuk membayarnya. Penambahan nilai suatu produk

adalah semua aktivitas yang dilakukan tentang bagaimana menghasilkan keuntungan lebih

dari produk yang dihasilkan.

Rantai nilai dapat dianalisis dari sudut pandang pelaku yang terlibat di dalamnya.

Analisis rantai nilai dapat membantu merancang program untuk memberikan dukungan

terhadap suatu rantai nilai tertentu, untuk dapat mencapai hasil pembangunan yang

diharapkan (ACIAR, 2012). Beberapa contoh hasil pembangunan yang diharapkan

mencakup: (a) dapat mengakses pasar modern, (b) dapat mengakses pasar ekspor, (c)

penciptaan lapangan kerja untuk petani kecil, (c) pemberian manfaat bagi kelompok

masyarakat miskin, (d) memprioritaskan penggunaan bahan baku lokal, (e) pemusatan

manfaat pembangunan di daerah yang masih tertinggal.

Analisis rantai nilai dapat diarahkan untuk membangun rantai nilai yang lebih

berpihak pada kaum miskin. Oleh karena itu, berbagai alat yang digunakan dalam analisis

diarahkan pada upaya menganalisis rantai nilai dari sudut pandang kaum miskin. Terdapat

dua tujuan akhir peningkatan rantai nilai untuk kaum miskin. Pertama, meningkatkan

keseluruhan jumlah dan nilai produk yang dijual kaum miskin di dalam rantai nilai. Hal ini

akan mengakibatkan diperolehnya pendapatan absolut yang lebih tinggi bagi kaum miskin

serta bagi para pelaku lainnya dalam rantai nilai. Kedua, mempertahankan bagian kaum

miskin dalam sektor usaha tertentu atau meningkatkan margin persatuan output sehingga

kaum miskin tidak hanya memperoleh pendapatan absolut namun sekaligus pendapatan

relatif dapat ditingkatkan.

Kaplinsky dan Morris (2001) mengemukakan terdapat empat aspek analisis rantai

nilai di sektor pertanian yang dianggap penting. Pertama, di tingkat paling bawah, suatu

analisis rantai nilai secara sistematis memetakan para pelaku yang berpartisipasi dalam

produksi, distribusi, pemasaran, dan penjualan suatu produk tertentu. Pemetaan ditujukan

untuk mengkaji karakteristik berbagai pelaku, struktur usaha, aliran produk sepanjang

Page 30: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

29

rantai, karakteristik tenaga kerja, serta tujuan dan volume penjualan domestik dan ekspor

(Kaplinsky dan Morris 2001).

Kedua, analisis rantai nilai dapat memainkan peran penting dalam mengidentifikasi

distribusi manfaat bagi para pelaku dalam rantai nilai. Melalui analisis margin dan

keuntungan, di dalam rantai nilai, dapat dilihat siapa saja yang memperoleh manfaat dari

partisipasi dalam rantai nilai dan pelaku mana yang dapat memperoleh manfaat dari

dukungan atau pengorganisasian yang lebih baik. Hal ini khususnya penting dalam konteks

sektor peternakan tradisonal di perdesaan, mengingat bahwa kaum miskin rentan terhadap

proses globalisasi (Kaplinsky dan Morris 2001).

Ketiga, analisis rantai nilai dapat digunakan untuk mengkaji peran peningkatan

(upgrading) dalam rantai nilai. Peningkatan dapat mencakup peningkatan dalam hal kualitas

produk, desain produk, diversifikasi produk dalam lini produk yang dilayani, yang

memungkinkan produsen mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi. Analisis terhadap

proses peningkatan mencakup adanya kajian atas seberapa besar keuntungan yang dapat

diperoleh para pelaku di dalam rantai nilai dan informasi tentang keterbatasan yang ada.

Selain itu, struktur regulasi, hambatan untuk masuk, pembatasan perdagangan, dan

berbagai jenis standar yang harus dipenuhi juga dapat membentuk dan mempengaruhi

lingkungan tempat terjadinya peningkatan.

Terakhir, analisis rantai nilai menggaris bawahi peran tata kelola dalam rantai nilai,

yang dapat bersifat internal maupun eksternal. Tata kelola dalam suatu rantai nilai mengacu

pada struktur hubungan dan mekanisme koordinasi yang terjadi antara para pelaku dalam

rantai nilai. Tata kelola merupakan konsep yang luas yang pada dasarnya memastikan

bahwa interaksi antara para peserta di dalam rantai nilai telah terorganisir dengan baik.

Umumnya, tata kelola dalam rantai nilai terjadi ketika beberapa pelaku dalam rantai nilai

bekerja dengan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pelaku lainnya dalam rantai nilai

tersebut, misalnya standar mutu atau ketepatan waktu pengiriman dan volume yang

ditetapkan oleh industri pengolahan. Aturan-aturan komersial yang mengatur hubungan

bisnis dalam rantai nilai global ataupun lokal dapat membatasi atau menghambat peran

kaum miskin, namun dapat pula menciptakan pembelajaran yang penting serta peluang

peningkatan kinerja usaha yang digelutinya. Dari sudut pandang kebijakan, tata kelola

eksternal merupakan hal penting, dengan mengidentifikasi pengaturan kelembagaan yang

mungkin diperlukan untuk meningkatkan kemampuan di dalam rantai nilai, misalnya

penelitian dan pengembangan, memperbaiki bekerjanya mekanisme pasar, menghapuskan

distorsi pasar, menghapuskan gangguan distribusi, dan meningkatkan nilai tambah. Dengan

Page 31: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

30

pemahaman secara sistematis atas keterkaitan dalam rantai tersebut, kita dapat

menguraikan rekomendasi kebijakan dengan lebih baik.

Beberapa tahapan dalam pelaksanaan VCA adalah: (1) Mengindentifikasi

permasalahan dan peluang pengembangan komoditas atau produk dalam rantai pasok; (2)

Mengetahui keinginan pasar, menentukan tujuan yang ingin dicapai, sebagai contoh: (i)

membantu produsen/petani untuk masuk pasar modern, (ii) memahami kondisi/kebijakan

distribusi, peran pelaku dalam rantai, peluang kerja, kompetisi pasar, (iii) memahami peran

perusahaan agribisnis/agroindustri, serta (iv) memahami bentuk partisipasi dari pelaku rantai

pasok terkait dengan ukuran, standar, kualitas; (3) Pemahaman preferensi pelaku pengguna

kunci/pengguna komoditas unggulan terpilih. Beberapa sumber informasi yang dapat

digunakan antara lain: (i) petani/kelompok tani, (ii) perusahaan pengolahan/agroindustri, (iii)

pedagang pengumpul, (iv) pedagang besar/supplier, (v) pedagang besar pasar induk, (vi)

pedagang pengecer pasar tradisional, (vii) ritel pasar modern (super market/hypermarket).

Analisis Pemasaran Rantai Pasok Komoditas Unggas Lokal

Analisis pemasaran akan dilakukan pada setiap rantai pasok (supply chain) dengan

menfokuskan pada structure, performance, and conduct dari sistem pemasaran. Analisis

pemasaran akan difokuskan pada analisis saluran atau rantai pemasaran dan analisis pasar

yang mencakup stucture-conduct-performance. Analisis ini mencakup analisis saluran atau

rantai pemasaran, struktur dan perilaku pasar, serta analisis keragaan dan margin

pemasaran dengan fokus untuk tujuan pasar modern, pasar tradisional, dan industri kuliner.

Analisis Saluran Pemasaran

Kegiatan pemasaran komoditas atau produk unggas lokal merupakan jembatan

antara petani produsen dengan berbagai tingkat pelaku tataniaga (pedagang pengumpul,

bandar/pedagang besar kecamatan, pedagang besar kabupaten, pedagang besar propinsi,

supplier dan pedagang pengecer-supermarket, dan industri kuliner) hingga sampai ke

konsumen akhir. Apabila hubungan antara produsen dengan pelaku tataniaga hingga

konsumen bisa dipandang sebagai suatu aliran komoditas maka akan dapat kita lihat

permasalahan yang menyebabkan lemahnya keterkaitan satu dengan lainnya pada pasar

modern dan tradisional.

Analisis struktur dan perilaku pasar.

Struktur dan perilaku pasar akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

Beberapa indikator digunakan untuk menentukan struktur pasar komoditas unggas lokal

yang terbentuk: (1) jumlah dan skala dari pelaku tataniaga atau perusahaan yang ada di

Page 32: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

31

pasar, (2) bagaimana sistem jaringan kerja antar pelaku, (3) bagaimana tingkat konsentrasi

pasar, (4) tingkat defferensiasi produk, (5) tingkat integrasi antar pelaku baik secara vertikal

maupun secara horisontal; (6) ada tidaknya hambatan masuk dan keluar pasar; dan (7)

cakupan dan skala ekonomi.

Derajad konsentrasi pasar dapat dilihat pada derajad pemusatan pedagang dengan

menggunakan perhitungan nilai Indeks Herfindahl (Ferguson, 1995). Indeks ini akan

mengukur tingkat konsentrasi pasar yang terjadi dengan menghitung penjumlahan hasil

kuadrat dari fungsi pasar setiap pedagang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

IH = S12 + S2

2 + ........ + Sn2

Dimana : S = pangsa pasar setiap pedagang

N = jumlah pedagang

IH = Indeks herfindahl

Jika IH mendekati 1 menunjukkan bahwa pasar semakin terkonsentrasi, jika IH = 1

menunjukkan bahwa pasar diikuasai oleh satu pedagang, sedangkan jika IH mendekati 0

menunjukkan bahwa pasar semakin kompetitif.

Perilaku pasar (market conduct) mencakup perilaku persaingan dan perilaku

kerjasama antar pelaku dalam kelembagaan manajemen rantai pasok untuk tujuan pasar

modern, pasar tradisional, dan industri kuliner. Perilaku dalam persaingan dapat

direfleksikan dalam kebijakan penetapan harga, tingkat output yang dihasilkan dan

dipasarkan, pengembangan produk, promosi produk, dan volume penjualan. Sementara itu

perilaku dalam kemitraan direfleksikan oleh pola interaksi dan koordinasi antar pelaku.

Dengan demikian perilaku pasar dapat diukur juga dengan menggunakan tingkat integrasi

pasar. Korelasi harga produk unggas lokal ditingkat peternak dan ditingkat pasar dianalisis

dengan menggunakan model integrasi Ravallion dan Heytes (1986), seperti yang

dikemukakan Hutabarat (1988). Pada model integrasi Ravallion dan Heytes dibangun suatu

model yang menunjukkan bahwa harga komoditas atau produk unggas lokal ditingkat

peternak merupakan fungsi dari harga produk unggas lokal di tingkat peternak tahun

sebelumnya dan harga produk unggas lokal di tingkat pengecer pada tahun sebelumnya.

Secara matematis model integrasi pasar Ravallion dan Heytes adalah sebagai

berikut:

Pft = (1+b1) Pft-1 + b2 (Prt – Prt-1) + (b3 – b2) Prt-1 + et

Dimana : Pft = harga di tingkat petani produsen pada waktu t

Pft-1 = harga di tingkat petani produsen pada waktu t – 1

Prt = harga di tingkat pengecer pada waktu t

Prt-1 = harga di tingkat pengecer pada waktu t – 1

Page 33: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

32

Koefisien (1 + b1) dan (b3 – b1) menggambarkan berturut-turut kontribusi harga

produk unggas lokal periode sebelumnya di tingkat peternak dan harga produk unggas lokal

periode sebelumnya di tingkat pasar pengecer terhadap harga produk ungas lokal di tingkat

peternak saat ini.

Untuk menangkap besarnya pengaruh kedua variabel tersebut terhadap harga di

tingkat petani/peternak, Timmer (1987) mengembangkan suatu indeks hubungan pasar

yang dikenal dengan nama IMC (Index of Market Conection), merupakan rasio dari koefisien

dua variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat petani/peternak, yaitu

(1 + b1)/( b3- b1). Apabila nilai indeks IMC = 0 yaitu b1 = -1, dikatakan pasar terintegrasi

dan apabila indeks IMC = ~, yaitu jika b1 = b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi. Untuk

melengkapi informasi perilaku pasar akan dilakukan analisis perkembangan harga bulanan.

Keragaan Pasar dan Analisis margin Pemasaran

Keragaan pasar (market performance) mencakup tingkat efisiensi teknis (processes)

dan efisiensi alokatif (inputs, resource use), margin pemasaran, kapasitas penggunaan atau

pemanfaatan, proses inovasi dan insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk,

dan kepuasan konsumen). Dahl dan Hamond (1977) menyatakan bahwa marjin pemasaran

menggambarkan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga-harga yang

diterima produsen. Termasuk dalam marjin pemaasaran adalah seluruh biaya pemasaran

yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga (marketing cost) dan keuntungan yang diterima

pelaku tataniaga (marketing profit) mulai dari pintu gerbang produsen ke konsumen akhir.

Secara matematis digunakan rumus sebagai berikut:

M =

m

i

n

j

jCi1 1

Dimana : M = marjin pemasaran

Ci = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, … , m)

m = jumlah jenis pembiayaan

j = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j = 1,2,3, …,;n

n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian dalam proses

pemasaran tersebut.

Dengan menggunakan persamaan ini dimana rata-rata Ci dan j dikumpulkan

melalui survey, maka marjin pemasaran dapat dihitung. Dengan demikian bagian yang

diterima peternak produsen dari harga pedagang besar atau pengecer baik untuk tujuan

pasar modern maupun pasar tradisional dapat ditentukan.

Page 34: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

33

Dari hasil analisis diatas, hasil pendalaman studi, serta studi pustaka maka akan

dicoba dirumuskan beberapa alternatif kebijakan pengembangan kelembagaan manajemen

rantai pasok komoditas unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing.

IV. ANALISIS RISIKO

4.1. Daftar risiko, penyebab dan dampak

No Risiko Penyebab Dampak 1 Komposisi tim kurang

optimal Terkonsentrasi pada kelompok tua

Daya eksplorasi dan jelajah lapangan kurang sehingga informasi yang dikumpulkan menjadi kurang luas dan mendalam

2 Tugas-tugas kantor untuk kegiatan non penelitian bersifat dadakan dan sporadis

Tuntutan pekerjaan dari atas yang kurang terjadwal dengan baik

Mengganggu pelaksanaan kegiatan penelitian

3 Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian

Perubahan lingkungan yang mengharuskan dilaksanakan justifikasi perubahan anggaran

Ketepatan perencanaan dan pelaksanaan terganggu sehingga dapat memperlambat pelaksanaan

4 Perkembangan agribisnis unggas lokal belum meluas

Pengembangan agribisnis unggas lokal masih terbatas

Kesulitan mencari lokasi untuk bench marking studi manajemen rantai pasok

5 Serangan penyakit flu burung pada unggas lokal

Pengusahaan dilaksanakan secara tradisional dan menyebar

Banyak unggas lokal di daerah sentra produksi mati secara masal sehingga pengumpulan data terganggu

4.2. Daftar Penanganan Risiko

No Risiko Penanganan 1 Komposisi anggota tim tidak

optimal Membuat rencana kerja secara rinci dan menjaga kekompakan tim

2 Tugas-tugas kantor yang sporadis Mengatur pembagian tugas dan tanggungjawab diantara tim pelaksana penelitian

3 Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian

Membuat perencanaan penelitian dengan strategi Plan-A dan Plan-B, sehingga jika terjadi perubahan anggaran tinggal dilaksanakan salah satu dari plan tersebut

4 Pengembangan agribisnis unggas lokal masih terbatas

Akan diusahakan pemilihan lokasi yang telah melaksanakan SCM produk unggas lokal secara terpadu

5 Serangan penyakit flu burung pada unggas lokal

Pengambilan lokasi pada daerah sentra produksi yang tidak terserang atau terserang ringan flu burung

Page 35: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

34

V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN

5.1. Susunan Tim Pelaksana

No. N a m a Gol. Jabatan Fungsional/ Bidang Keahlian

Kedudukan dalam Tim

1. Dr. Saptana IV/d Peneliti Utama Ketua 2. Ir. Wahyuning Kusuma Sejati MSi IV/b Peneliti Madya Anggota 3. Ir. Sri Wahyuni, MS IV/e Peneliti Utama Anggota 4. Ir. Jefferson Situmorang, MS IV/a Staf Peneliti Anggota 5. Rangga Ditya Yofa, SP IIIa Staf Peneliti Anggota

5.2. Jadual Pelaksanaan  

Kegiatan B u l a n

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Persiapan: -Studi Pustaka -Pembuatan / penyempurnaan proposal

- Penyusunan kuesioner

2. Pengumpulan data 3. Pengolahan dan Analisa data 4. Penulisan laporan 5. Seminar 6. Perbaikan laporan 7. Laporan akhir 8. Penggandaan

Page 36: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

35

DAFTAR PUSTAKA

Andri, K.B. dan R. Stringer. 2010. Panduan Pedoman Pelaksanaan Penerapan VCA (Analisa Rantai Nilai) untuk Staf Peneliti BPTP dan BBP2TP. Badan Litbang Pertanian, Kementrian Pertanian. Bogor.

Andayani. D, M. Yanis dan B. Bakrie. 2001. Perbandingan Produktiitas Itik Mojosari dan Itik Lokal Pada Pemeliharaan Secara Intensif di DKI Jakarta. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Chopra, S. Dan P. Meindl. 2007. Supply Chain Management : Strategi Planning and Operation. Third Edition. Pearson Prentice Hall, Singapore.

Dahl, D. dan J. W. Hamond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. Mc. Graw Hill Book Company. USA.

Ditjen Peternakan. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Ditjen Peternakan. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Ditjen Peternakan. 2011. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Daryanto, Arief. 2011. Nilai Tambah Peternakan Melalui Agroindustri. TROBOS. No. 137 Februari 2011 Tahun XII.

Ferguson, Paul R. 1988. Industrial Economic : Issue and Perpectives. Macmillan Education Ltd.

Gillin, J.L. dan J.P. Gillin. 1954. General Featureof Social Institutions. Dalam Soemardjan, S. dan Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Rampai Sosiologi. LP-FE UI. Jakarta.

Horton, B.P. dan C.L. Hunt. 1984. Sociology. Mc.Graw-Hill Inc. Singapore.

Heytes, P. J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institit Studies, Vol XX No1.

Hutabarat, B. 1998. Analisis Keterpaduan Pasar Gula Pasir di Jawa. Journal Agronomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Hardjosworo, P.S. dan L.H. Prasetyo. 2009. Unggas dan Perunggasan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Disampaikan pada Seminar “Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global”Fakultas Peternakan IPB dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) Bogor, 26 Oktober 2009.

Haryono, 2012. Prospek Ayam Lokal Merebut Pasar Nasional. Disampaikan dalam Workshop Nasional “Pengembangan Peran Unggas Lokal dalam Industri Perunggasan Nasional “. Jakarta Convention Center , Kamis 5 Juli 2012

Indrajit, R. E. Dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Managemen Suplply Chain : Cara Baru Memandang Rantai Penyediaan Barang. Grasindo, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Ilham, Nyak. 2009. Kelangkaan Produksi Daging : Indikasi dan Implikasi Kebijakannya. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 Nomor 1, Maret 2009. Hal : 43-63.

Juarini. E, Sumanto dan B. Wibowo. 2003. Uji Multilokasi Bibit Niaga Itik Petelur. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 2003. Puslitbang Peternakan.Bogor.

Page 37: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

36

Kaplinsky, R. (1999). “Globalisation and Unequalization: What Can Be Learned from Value Chain Analysis.” Journal of Development Studies 37(2): 117-146.

Kaplinsky, R. and M. Morris (2001). A Handbook for Value Chain Research. Brighton, United Kingdom, Institute of Development Studies, University of Sussex.

Lins. A. D. 1980. Agricultural Finance. An Introduction to Micro and Macro Conscepts. Prentice-Hall Inc. New York.

Naipospos, T. S. P., 2009. Ayam Kampung Proletar yang Siap Dilirik. TROBOS. No. 112 Januari 2009 Tahun IX.

Saragih, B. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga, Penelitian Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sajuti, R. 2001. Analisis Agribisnis Ayam Buras Melalui Pendekatan Fungsi Keuntungan Multi-Output (Kasus Jawa Timur). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Subiharta, Hartono dan Wartiningsih. 2001. Pengaruh Penggunaan Ikan Pirik (Leiognathidae) Kering dan Segar Terhadap Produksi Telur Itik Tegal Pada Pemeliharaan Intensif. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Sumanto. E. Juarini, B. Wibowo dan Prasetyo, L. H. 2001. Kinerja Pembesaran Itik MA Siap Petelur di Pedesaan. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Saptana, A. Agustian, Sunarsih, dan H. Mayrowani. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Sartika, T. 2012. Ketersediaan Sumberdaya Genetik (SDG) Unggas Lokal dan Strategi Pengembangan Bibit pada Tingkat PS (Parent Stock) dan GPS (Grand Parent Stock). Makalah disampaikan pada acara seminar Indolive Stock tanggal 4-6 Juli 2012, JCC Jakarta.

Taha, A. F. 2003. The Poultry Sector in Middle-Income Countries and Its Feed Requirement : The Case of Egypt. Agriculture and Trade Report WRS-03-02. United State Department of Agriculture. Hal: 1-42.

Trobos, 2010. Itik Pajajaran Hasil Pencarian Sifat Unggul Persilangan Itik Magelang dengan Sifat Jinak dan Penampilan Baik serta Produksi Telurnya Tinggi. Trobos No. 125 Februari 2010 Tahun XI, hal 30-40.

Timer, C. P. 1997. “ Corn Marketing dalam C. P. Timer (ed) The Corn Economy of Indonesia”. Cornell University Press. Ithaca. New York.

Utomo, D. B. 2012. Dukungan Industri Pakan Dalam Pengembangan Unggas Lokal. Indolivestock Expo-Jakarta, 4-6 July 2012.

Uphoff. N.1986. Local Institutionnal Development: An Analytical Sourcebook With Cases.Kumarian Press.

Whethly, Ch. 2004. Theory, method and approach of Supply Chain Management. Workshop on supply chain management of Agricultural Product, IAARD, Jakarta, November 2004.

Page 38: ANALISIS MAN AJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_02.pdf · rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur

37

Yusdja. Y, N. Ilham dan S. Wahyuning. 2002. Outlook Peternakan 2002. Laporan Hasil Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Yusdja, Y., R. Sajuti, W.K. Sejati, I.S. Anugrah, I.S. Sadikin, B. Winarso. 2009. Pengembangan Model Kelembagaan Agribisnis Unggas Tradisional (Ayam Buras, Itik, dan Puyuh). Laporan Penetitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Wibawan, I.W.T., Susanti R., Soejoedono R.D., Mahardika G.N.K., Setyaningsih S., Handayani, E., dan Murtini S. 2012. Penyakit Utama pada Ayam Lokal dan Strategi Penanggulangannya. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Makalah disampaikan pada acara seminar Indolive Stock tanggal 4-6 Juli 2012, JCC Jakarta.