dampak wabah flu burung terhadap perubahan modal sosial...

26
1 DAMPAK WABAH FLU BURUNG TERHADAP PERUBAHAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT PETERNAK DAN PEDESAAN DI INDONESIA Oleh: Edi Basuno dan Yusmichad Yusdja I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan. Wabah AI di Indonesia telah memasuki tahun ke 5 sejak kejadian wabah pertama kali bulan Agustus tahun 2003. Pemerintah sepanjang tahun terus berusaha menggendalikan penyebaran virus AI, melalui kebijakan 9 langkah biosekuriti antara lain pelaksanaan program vaksinasi, program kompensasi dan pengawasan lalu lintas serta perdagangan unggas dan hasil-hasilnya. Tahun 2006 wabah AI sudah menurun signifikan, demikian juga dengan jumlah wilayah yang terserang. Wabah AI yang terjadi setelah tahun 2006 pada umumnya lebih sering pada peternakan unggas non ras. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah dan peternak serta pengusaha peternakan harus terus menerus meningkatkan biosekuriti dan melaksanakan pengendalian wabah dalam usaha mencapai status Indonesia bebas AI. Dunia memberikan perhatian yang besar terhadap wabah AI di Indonesia yang sampai saat ini belum berhasil dikendalikan. Dunia mempertanyakan kemampuan Indonesia dalam mencegah terjadinya penularan AI kepada manusia dan antara manusia dengan manusia yang pada akhirnya berjangkit ke seluruh dunia. Indonesia, saat ini, menjadi pusat perhatian dunia karena korban manusia yang meninggal akibat AI menduduki peringkat tertinggi di dunia. Wabah AI yang terjadi dalam waktu 5 tahun itu secara nyata mempunyai dampak sosial ekonomi yang luas terhadap industri unggas (poultry production industry) khususnya peternak kecil (small farmer) dan pengusaha rumah potong ayam skala kecil dan para pedagang pada semua level. Dalam masa wabah tersebut sekitar 11 juta ekor ayam telah dimusnahkan, sekitar 60 persen peternak ayam menghentikan usahanya pada tahun 2005. Dampak AI baik langsung dan tak langsung telah menyebabkan produksi ayam turun sampai 60 persen. Untuk itu, target Indonesia bebas AI tahun 2009 harus disertai dengan terjadinya recovery industry secara menyeluruh. Untuk mencapai harapan tersebut, Indonesia harus terlebih dahulu mempunyai pemahaman tentang dampak sosial ekonomi pada industri peternakan, sehingga perumusan program pengendalian AI dapat lebih efektif.

Upload: ngotu

Post on 06-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

DAMPAK WABAH FLU BURUNG TERHADAP PERUBAHANMODAL SOSIAL MASYARAKAT PETERNAK DAN PEDESAAN DI

INDONESIA

Oleh: Edi Basuno dan Yusmichad Yusdja

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan.

Wabah AI di Indonesia telah memasuki tahun ke 5 sejak kejadian wabah

pertama kali bulan Agustus tahun 2003. Pemerintah sepanjang tahun terus berusaha

menggendalikan penyebaran virus AI, melalui kebijakan 9 langkah biosekuriti antara

lain pelaksanaan program vaksinasi, program kompensasi dan pengawasan lalu lintas

serta perdagangan unggas dan hasil-hasilnya. Tahun 2006 wabah AI sudah menurun

signifikan, demikian juga dengan jumlah wilayah yang terserang. Wabah AI yang

terjadi setelah tahun 2006 pada umumnya lebih sering pada peternakan unggas non

ras. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah dan peternak serta pengusaha

peternakan harus terus menerus meningkatkan biosekuriti dan melaksanakan

pengendalian wabah dalam usaha mencapai status Indonesia bebas AI.

Dunia memberikan perhatian yang besar terhadap wabah AI di Indonesia yang

sampai saat ini belum berhasil dikendalikan. Dunia mempertanyakan kemampuan

Indonesia dalam mencegah terjadinya penularan AI kepada manusia dan antara

manusia dengan manusia yang pada akhirnya berjangkit ke seluruh dunia. Indonesia,

saat ini, menjadi pusat perhatian dunia karena korban manusia yang meninggal akibat

AI menduduki peringkat tertinggi di dunia.

Wabah AI yang terjadi dalam waktu 5 tahun itu secara nyata mempunyai

dampak sosial ekonomi yang luas terhadap industri unggas (poultry production

industry) khususnya peternak kecil (small farmer) dan pengusaha rumah potong ayam

skala kecil dan para pedagang pada semua level. Dalam masa wabah tersebut sekitar

11 juta ekor ayam telah dimusnahkan, sekitar 60 persen peternak ayam menghentikan

usahanya pada tahun 2005. Dampak AI baik langsung dan tak langsung telah

menyebabkan produksi ayam turun sampai 60 persen. Untuk itu, target Indonesia

bebas AI tahun 2009 harus disertai dengan terjadinya recovery industry secara

menyeluruh. Untuk mencapai harapan tersebut, Indonesia harus terlebih dahulu

mempunyai pemahaman tentang dampak sosial ekonomi pada industri peternakan,

sehingga perumusan program pengendalian AI dapat lebih efektif.

2

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dampak wabah AI terhadap sosial

ekonomi peternak yang berada pada wilayah kecamatan/desa yang tertular AI.

Perhatian perlu diberikan terhadap dampak sosial ekonomi, terutama terhadap aspek

pendapatan, kesempatan kerja dan kemungkinan melanjutkan usaha. Hal penting

lainnya adalah sikap mereka terhadap wabah AI, apakah mereka menghentikan usaha

atau menggantikan dengan usaha lain atau bangkit kembali dan bagaimana mereka

melakukan hal itu. Kemudian, bagaimana dengan dampak sosial ekonomi pada

wilayah yang tidak tertular? Apakah mereka menghadapi masalah yang sama dengan

peternak di wilayah tertular dan apakah terdapat perubahan dalam melaksanakan

biosekuriti, vaksinasi dan usaha-usaha pencegahan wabah AI lainnya?

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas itu, beberapa negara

Asia yakni Indonesia, China, Vietnam dan Thailand melaksanakan penelitian dengan

judul Socio-economic Impacts of HPAI Outbreaks and Control Measures on Small-

scale and Backyard Poultry Producers in Asia. Penelitian ini dilaksanakan pada

waktu yang bersamaan di ke empat negara tersebut yakni mulai Januari tahun 2007

dan berakhir April tahun 2009. Sebagai bagian dari satu penelitian yang lebih besar,

makalah ini fokus pada membahas karakteristik peternak, pengetahuan peternak

tentang kebijakan penanggulangan dan gejala penyakit AI, sosial kapital dan hasil

Focus Group Discussion (FGD)

II. STRUKTUR DAN KEBIJAKAN INDUSTRI PETERNAKAN UNGGASDI INDONESIA

2.1. Struktur dan Kebijakan Industri Peternakan Unggas

Indonesia melalui kebijakan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1976

telah berhasil mengembangkan semua kelengkapan industri perunggasan, terutama

ayam ras, antara lain perusahaan pembibitan, perusahaan pabrik pakan, perusahan

obat-obatan ternak dan perusahaan pengolahan hasil ternak. Industri pembibitan pada

awalnya terbatas pada pemeliharaan induk ayam atau Parent Stock (PS) dalam skala

komersial untuk menghasilkan doc final stock (FS). Dalam waktu 10 tahun, industri

ini berkembang dengan dipeliharanya ayam induk atau Grand Parent Stock (GPS).

Sampai saat ini, Indonesia belum mampu menghasilkan breed sendiri, karena itu

perkembangan industri peternakan di Indonesia sangat tergantung pada impor bibit.

3

Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997/1998 telah membuat terpuruk industri

perunggasan nasional. Akibat ketergantungan yang tinggi pada impor, maka sebagian

besar usaha peternakan hancur. Industri pabrik pakan kembali pulih pada tahun 2000

dan mencapai produksi normal kembali pada tahun 2002. Tahun 2003 jumlah ayam

petelur mencapai 85 juta dan ayam broiler sekitar 250 juta ekor yang tersebar di

seluruh provinsi di Indonesia, terutama pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 45

persen dan 30 persen dari total populasi. Produksi telur mencapai 701.203 ton

pertahun dan produksi broiler mencapai 819 juta ton. Produksi telur dan broiler

diperkirakan telah memenuhi permintaan efektif dalam negeri. Dari tahun 2003

hingga 2008, pertumbuhan populasi ayam petelur dan broiler relatif melambat karena

pertumbuhan pendapatan yang relatif lambat dan adanya berbagai kendala

perekonomian dalam negeri.

2.2. Peran Perusahaan Komersil Skala Kecil

Perkembangan industri perunggasan di Indonesia yang dimulai tahun 1967 di

arahkan untuk membangun struktur budidaya atau produksi dalam bentuk usaha

rakyat. Menurut UU Peternakan 1967, peternakan merupakan usaha rakyat, artinya,

skala komersial tidak diperkenankan masuk. Tujuan utama pengembangan

perusahaan peternakan di Indonesia adalah meningkatkan kesempatan kerja dan

peningkatan pendapatan para peternak komersil skala kecil. Hal ini sangat penting

karena Indonesia menghadapi masalah tingkat penggangguran dan kemiskinan yang

relatif tinggi. Berdasarkan pusat data Persatuan Peternakan Unggas Indonesia (PPUI)

pada tahun 1980 tercatat sekitar 80.000 peternak ayam petelur dengan skala usaha di

bawah 2.500 ekor1. Peran usaha rakyat mencapai 65 persen, sedangkan sisanya

perusahaan komersial. Namun pada tahun 1990, peran usaha rakyat semakin susut

menjadi 55 persen, sedang usaha komersial meningkat menjadi 45 persen. Ternyata,

desakan permintaan yang sangat cepat telah mendorong pertumbuhan perusahaan

komersil yang terintegrasi dalam skala besar yang sebenarnya dilarang menurut UU

Peternakan 1967. Pertumbuhan perusahaan komersial terintegrasi ini sulit dicegah,

maka pada tahun 1990, pemerintah mencabut Keppres 50/1981 dan menerbitkan

kebijakan baru, yakni Keppres 22/90 yang pada dasarnya mengijinkan usaha komersil

dalam budidaya ternak ayam ras, dengan catatan perusahaan harus melakukan

1 (Poultry Indonesia, 1980)

4

kegiatan produksi dengan pola kemitraan atau kontrak farm dengan peternak rakyat

dan 60 persen produksi ditujukan untuk ekspor. Dengan strategi ini, pemerintah

berharap usaha rakyat tetap dapat berkembang, sementara kebutuhan konsumsi telur

dan daging ayam dapat dipenuhi.

Namun pada akhir tahun 2003 terjadi krisis outbreak AI yang sangat

merugikan perusahaan peternakan. Sebagian besar perusahaan komersil yang

diserang wabah AI adalah perusahan komersil mandiri, karena mereka pada

umumnya memliki kemampuan finansial yang rendah dalam melaksanakan

bioskuriti. Krisis AI memberikan dampak sangat buruk kepada sebagian besar

perusahan komersil. Pada tahun 2006, sebagai akibat wabah AI, maka peran usaha

rakyat turun menjadi 30 persen dan usaha komersil meningkat menjadi 70 persen2.

2.3. Peran Usaha Kecil Terhadap Produksi dan Lapangan Kerja

Tinjauan di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemerintah

mendukung perkembangan usaha peternakan rakyat agar berperan dalam industri.

Pemerintah menganggap hal ini penting dalam kerangka pemecahan masalah dalam

negeri, antara lain kesempatan kerja dan sumber pendapatan. Industri rakyat

diperkirakan masih menampung sebesar 20 ribu rumah tangga yang menjadikan

usahanya sebagai usaha utama. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan3 jumlah

orang yang hidup dalam perusahaan komersial sekitar 385 ribu orang. Jumlah ternak

yang dipelihara oleh kelompok ini adalah 19,9 juta ekor layer atau 44 persen dari

populasi nasional dan 38.3 juta ekor broiler atau 15 persen dari total populasi

nasional.

Pada umumnya pasar hasil unggas ras untuk Jakarta dikuasai oleh usaha

komersial, dengan pangsa sebesar 90 persen. Selain itu, usaha komersial tidak saja

menguasai pasar, tetapi juga saluran tataniaga, sehingga pendatang baru akan sulit

memasuki pasar. Perdagangan broiler misalnya, telah diatur oleh para pedagang

besar, sehingga tingkat harga broiler dijaga sedemikian rupa supaya tetap tinggi. Ada

kecenderungan sedang terjadi bentuk monopoli dalam pasar hasil unggas di Jakarta.

Sekarang harga ayam pada tingkat peternak hanya 30 persen dari harga akhir.

2Pinsar (2006). Makalah yang disampaikan dalam pertermuan dengan PSE KP. Pinsar. Jakarta.

3Statistik Peternakan (1990-2000). Statistical Book on Livestock 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi

Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta

5

III. METODA PENELITIAN

Berdasarkan data wabah kasus AI sejak tahun 2004 sampai 2005 di Indonesia

dapat ditetapkan tiga provinsi penelitian yakni provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan

Lampung masing-masing mewakili kriteria tingkat serangan wabah berat, sedang dan

ringan. Dari setiap provinsi dipilih dua kabupaten dengan kriteria tingkat serangan

wabah terbesar dalam provinsi itu. Kemudian dari setiap kabupaten dipilih 2

kecamatan/desa berdasarkan kriteria tingkat serangan wabah AI terberat yang ada

dalam kabupaten tersebut. Dengan demikian dalam setiap provinsi ditentukan 4

kecamatan/desa penelitian dan 12 kecamatan/desa.

Selain responden peternak, maka dalam setiap desa dilakukan wawancara

kelompok yang disebut Focus Group Discussion (FGD). Responden FGD berguna

untuk menggali masalah-masalah sosial yang muncul atau perubahan-perubahan

sosial yang terjadi, baik dalam rumah tangga maupun dalam wilayah atau desa

penelitian. Dalam setiap desa dilakukan 3 kali FGD, terdiri dari FGD dengan wakil

perempuan (KP), FGD dengan wakil laki-laki (KL) dan FGD dengan wakil warga

miskin (KM). Teknik wawancara untuk jenis responden sektor III dan IV dilakukan a

secara individu/responden dengan kuesioner. Untuk jenis responden KP, KL dan KM

dilakukan diskusi secara kelompok. Untuk maksud ini, dipersiapkan dengan membuat

pokok-pokok diskusi yang akan dibahas. Kelompok responden penting lainya adalah

informan kunci, yang mungkin seorang kepala desa, kepala dinas, penyuluh

pertanian, penyuluh kesehatan, dokter hewan yang bertugas di lapang. Responden KI

dapat kepala desa, kepada dinas peternakan, penyuluh pertanian, penyuluh kesehatan,

dokter hewan yang bertugas di lapang dan sebagainya. Secara keseluruhan, dilakukan

36 FGD, wawancara dengan 36 informan kunci dan 720 peternak

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif untuk

memperoleh bukti-bukti dan gambaran peternak kecil dan peternak backyard dalam

rangka memahami bagaimana peternak dan masyarakat menghadapi dampak wabah

AI baik langsung atau tidak langsung. Pendekatan kualitatif terutama ditujukan untuk

mengekplorasi isu kunci dan mendapatkan pengertian yang mendalam atas isu

tersebut dan untuk memahami perilaku responden. Pendekatan kuantitatif terutama

ditujukan untuk mendapatkan bukti-bukti statistik dampak wabah AI terutama pada

usaha skala kecil.

6

IV. HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI

4.1. Identitas Peternak

Peternak responden umumnya berumur 45-49 tahun yang merupakan usia

produktif dan matang dalam menjalankan usaha. Namun demikian tingkat pendidikan

relatif rendah, bahkan sebagian besar buta huruf. Demikian juga anggota keluarga,

termasuk peternak, yang merupakan kader desa jumlahnya sangat terbatas, yaitu

hanya 3 - 4 persen (Tabel 1). Berlatar belakang pendidikan dan pengetahuan yang

relatif terbatas, maka teknik budidaya unggas umumnya mengandalkan pengalaman

semata.

Sebagian dari peternak pada awalnya hanya mengikuti keberhasilan peternak

pemula di lingkungan mereka. Inilah yang menjadi penyebab munculnya desa

peternakan ayam dengan populasi total sampai 200-300 ribu ekor, khususnya pulau

Jawa. Dengan berjalannya waktu, melalui bimbingan petugas peternakan pemerintah

dan swasta (technical service) para peternak meningkatkan pengetahuannya. Petugas

swasta, termasuk pemilik poultry shop jauh lebih aktif dibandingkan petugas

pemerintah.

Jika dihubungkan tingkat pendidikan dengan status infeksi, peternak yang

usaha unggasnya terinfeksi wabah AI jauh lebih banyak terjadi pada peternak yang

buta huruf. Selanjutnya jika dipilah berdasarkan tingkat serangan, pada daerah

tingkat serangan berat yaitu Jawa Barat, sebagian besar (59.1%) peternaknya buta

huruf. Fakta ini menunjukan bahwa pada usaha unggas, tingkat pendidikan peternak

menentukan dalam mengelola usaha, diantaranya dalam mencegah dan

mengendalikan penyakit ternak. Fakta ini baik langsung maupun tidak langsung

kenyataan merupakan ancamaan bagi penularan AI.

Selain pengetahuan dan keterampilan, usaha unggas juga membutuhkan

tenaga kerja untuk melakukan aktivitas pembelian saprodi, pemeliharaan unggas dan

pemasaran produk. Sebagian dari mereka masih usia sekolah, sehingga tidak

mungkin membantu orang tua membantu mengelola usaha unggas. Oleh karena itu,

sebagian besar peternak membutuhkan tenaga kerja luar keluarga, yang pada

umumnya berasal penduduk desa setempat.

7

Tabel 1. Karakteristik Peternak Responden Berdasarkan Tingkat Serangan dan Status Wabah AI di Indonesia, Tahun 2008.

Tingkat Serangan Wabah AI

Ringan Sedang Berat TotalUraian

InfeksiNon

Infeksi InfeksiNon

Infeksi InfeksiNon

Infeksi InfeksiNon

Infeksi

Umur KK (tahun) 47.0 48.0 45.7 44.3 48.7 45.5 47.2 45.8

Pendidikan KK(%)

a. Buta huruf 31.7 12.9 26.7 14.6 45.8 13.3 34.7 13.6

b. SD 9.6 4.2 13.3 10.4 17.5 3.8 13.5 6.1

c. SMP 17.5 9.6 19.2 13.3 14.2 2.1 16.9 8.3

d. SMA 7.9 4.6 1.7 0.8 2.1 1.3 3.9 2.2

e. Lainnya 1.3 0.8 0 0 0 0 0.4 0.3

JART (jiwa) 4.2 4.3 4.3 4.3 4.6 4.7 4.4 4.4

ART Kader Desa (%)

a. Kader 3.2 2.4 3.5 4.2 4.3 3.5 3.7 3.4

b. Bukan kader 96.8 97.6 96.5 95.8 95.7 96.5 96.3 96.6

4.2. Identitas Aset Peternak

Nilai asset yang dimiliki dapat dijadikan indikasi kesejahteraan dan

kemampuan peternak melakukan pemulihan usaha jika usaha mengalami

kebangkrutan akibat sesuatu hal, seperti serangan wabah AI. Ada empat kelompok

asset penting milik peternak yang diidentifikasi yaitu rumah, aset rumah tangga, aset

pertanian dan lahan. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Pada umumnya peternak memiliki satu unit rumah, namun ada peternak yang

memiliki dua unit rumah. Bahkan di Lampung dan Jatim ada peternak yang memiliki

rumah sampai tiga unit. Sebaliknya ada peternak yang tidak memiliki rumah.

Mereka adalah peternak muda yang masih tinggal serumah dengan orang tua mereka.

Jumlah peternak yang tidak memiliki rumah ada sembilan peternak di Jabar dan dua

peternak di Jatim.

Jenis asset rumah tangga terdiri dari berbagai jenis, diantaranya adalah: TV

dan perlengkapannya, kamera, mesin cuci, kulkas, kompor gas, mobil, sepeda motor,

dan handphone. Demikian juga jenis asset pertanian terdiri dari berbagai jenis,

diantaranya adalah: mesin pengolah pakan, sprayer, mobar, sumur dan pompa air,

ternak kerja, truck, gerobak tenaga manusia, dan kuda. Berdasarkan kepemilikan tiga

jenis asset tersebut menunjukkan bahwa peternak Jawa Timur dan Lampung memiliki

nilai asset jauh lebih tinggi dibandingkan peternak Jawa Barat. Peternak di Jawa

8

Barat, ternyata adalah masyarakat relatif miskin, yang menggantungkan

pendapatannya pada usaha unggas. Usaha unggas merupakan kesempatan yang sangat

berharga bagi masyarakat. Karena pendidikan yang rendah dan miskin, mereka relatif

mempunyai sedikit peluang untuk mendapatkan pekerjaan di luar desa, kecuali

menjadi buruh kasar.

Tabel 2. Pemilikan Rumah dan Nilai Asset Peternak, Tahun 2008

Lampung Jatim JabarJenis dan Nilai Asset

InfeksiNon

InfeksiInfeksi

Non Infeksi

InfeksiNon

Infeksi

1. Jumlah rumah (unit/peternak)

a. Satu unit 155 69 138 92 176 48

b. Dua unit 7 8 5 2 7 0

c. Tiga unit 1 0 1 0 0 0

d. Empat unit 0 0 0 0 0 0

2. Nilai Aseet (Rp000)

a. Nilai Aset Rumah 82995 85376 94815 108330 43223 33888

b. Nilai Asset Rumah Tangga 18584 15498 25274 31800 5818 5402

3. Nilai Asset Pertanian 5877 5795 1206 3277 646 317

4. Total Nilai Asset 107456 106669 121295 143407 49687 39607

Berdasarkan luas pemilikan lahan, peternak Lampung memiliki lahan terluas

(1,01 Ha -2,07 Ha) dibandingkan dengan peternak Jawa Timur (0,18 ha – 0,33 Ha)

dan Jawa Barat (0,19 Ha). Sebagian besar lahan yang dimiliki digunakan peternak

untuk tanaman pangan yang dibudidayakan sebagai sumber pendapatan lain selain

usaha unggas. Bahkan peternak di Lampung dan Jawa Barat, untuk menambah

penghasilan rumah tangga, mereka mengusahakan lahan tanaman pangan melebihi

yang dimilikinya dengan cara menyewa atau bagi hasil. Sebaliknya peternak Jawa

Timur, dengan alasan perlu perhatian khusus pada usaha unggasnya, mereka

menyewakan atau bekerjasama dengan petani lain untuk mengusahakan lahan yang

dimilikinya.

9

Tabel 3. Pemilikan Rumah dan Nilai Asset Peternak, Tahun 2008 (Ha)

Lampung Jawa Timur Jawa BaratPenggunaan

LahanStatus Asset Infeksi

Tidak Infeksi

InfeksiTidakInfeksi

InfeksiTidak Infeksi

Milik sendiri 0,79 1,15 0,28 0,18 0,17 0,18Tan. Pangan

Diusahakan 0,81 1,15 0,26 0,15 0,22 0,18Milik sendiri 0,03 0,05 0,03 0 0,02 0,01

Tan. Horti.Diusahakan 0,03 0,05 0,03 0 0,02 0,01Milik sendiri 0 0 0,01 0 0 0

KolamDiusahakan 0 0 0,01 0 0 0Milik sendiri 0,19 0,07 0,01 0 0 0

Lahan Hutan Diusahakan 0,19 0,07 0,01 0 0,01 0Milik sendiri 0 0 0 0 0 0Padang

rumput Diusahakan 0 0 0 0 0,01 0Milik sendiri 1,01 1,27 0,33 0,18 0,19 0,19

Total LuasDiusahakan 1,03 1,27 0,31 0,15 0,26 0,19

Berdasarkan kepemilikan asset, peternak Lampung dan Jawa Timur memiliki

asset relatif lebih tinggi dibandingkan peternak Jawa Barat. Karakteristik pemilikan

asset ini besar pengaruhnya terhadap kinerja usaha unggas. Hal tersebut terkait

dengan pengelolaan usaha unggas, sumber pendapatan dan resiko usaha utama yang

mereka lakukan.

4.3. Pengetahuan Tentang Kebijakan Penanggulangan AI

Tingkat pengetahuan responden terhadap komponen kebijakan pengendalian

wabah AI mempengaruhi tingkat keyakinan peternak dalam melaksanakan

pengendalian wabah AI. Kepada peternak ditanyakan apakah mereka mengetahui

beberapa komponen utama pengendalian AI, yang semuanya dapat dilakukan oleh

peternak. Pada Tabel 4 disajikan hasil jawaban peternak.

Secara total, hanya 25,1 persen yang mengetahui komponen pengendalain

wabah AI secara keseluruhan, sedangkan sisanya hanya mengetahui item tertentu

saja. Tabel 4 memperlihatkan bahwa peternak yang mengetahui keseluruhan item

kebijakan penanggulangan AI berkisar antara 9,6 (tingkat serangan berat) sampai 35,4

persen (daerah tingkat serangan ringan). Semakin tinggi tingkat serangan semakin

kecil persentase peternak yang mengetahui semua item pengendalian wabah AI.

Dengan demikian, pada wilayah serangan berat justru hanya sebagian kecil peternak

yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang kebijakan pemerintah. Hal ini

10

disebabkan oleh pelaksanaan sosialisasi dan penyuluhan oleh pemerintah daerah

yang kurang intensif.

Tabel 4. Jumlah Peternak yang Mengetahui Item Kebijakan Penanggulangan AI

Item Ringan Sedang Berat Total

1. Pemusnahan 57.5 69.2 47.9 58.2

2. Vaksinasi 95.4 96.7 53.3 81.8

3. Penyemprotan Kandang 92.9 96.3 55.0 81.4

4. Diisolasi 36.7 29.2 9.6 25.1

5. Pembakaran 54.6 74.2 50.0 59.6

6. Penggantian 35.4 36.3 19.2 30.3

7. Pemberian antibiotik 51.3 50.4 24.2 41.9

Tahu Semua Item 35.4 29.2 9.6 25.1

Angka ini sekaligus memperlihatkan bahwa peternak pada tingkat

pengetahuan yang relatif rendah dan hal ini berlaku untuk semua responden. Tingkat

pengetahuan ini relatif rendah, maka tidak heran mengapa semakin berat wilayah

serangan, maka semakin berat dampak sosial ekonomi yang dihadapi. Hal ini

menunjukan lemahnya sistem penyuluhan dan sosialisasi pemerintah dalam

pengendalian AI, sehingga peternak tidak melakukan persiapan atau tidak mendapat

bantuan untuk melakukan antisipasi terhadap wabah AI. Transfer ilmu pengetahuan

antara peternak juga tidak mungkin dilakukan karena tingkat pengetahuan mereka

yang rendah.

4.4. Pengetahuan Tentang Gejala Penyakit Flu Burung

Tingkat pengetahuan seseorang terhadap sesuatu akan mempengaruhi kualitas

perilakunya dalam menghadapi sesuatu tersebut. Dalam hal ini, kualitas perilaku

peternak dalam menghadapi wabah AI sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan

peternak terhadap penyakit AI dan bagaimana menghadapinya, serta usaha-usaha

pengendalian yang harus dilakukan. Secara umum, pemerintah setempat, para

penyuluh dan petugas-petugas pelayanan dari swasta, pada masa wabah telah

melakukan sosialisasi tentang gejala penyakit AI dan cara-cara pengendaliannya.

Namun sosialisasi itu dilakukan setelah wabah AI berlalu dan peternak sudah

terlanjur menderita. Kondisi ini dapat disebabkan oleh cepatnya tingkat serangan

penyakit AI.

11

Pemahaman peternak tentang gejala penyakit AI dapat diketahui dengan

menyebutkan sebanyak 13 gejala penyakit AI, yang semuanya merupakan satu paket

dari keseluruhan gejala AI. Jumlah peternak yang mengetahui gejala AI didasarkan

pada persentase peternak yang mengetahui setiap gejala AI. Dari hasil perhitungan

yang diperlihatkan pada Tabel 5 dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (i)

pada umumnya peternak tidak mengetahui ke 13 gejala tersebut sebagai gejala AI, (ii)

persentase responden yang mengetahui keseluruhan gejala AI tersebut 8 persen untuk

wilayah wabah ringan, 2 persen wilayah sedang dan 2,5 persen pada wilayah berat,

(iii) secara total terdapat 2,6 persen responden yang mengetahui keseluruhan gejala

AI.

Tingkat pengetahuan yang relatif rendah tersebut, mengakibatkan relatif sulit

bagi peternak untuk mampu menghadapi wabah AI. Gejala yang paling diketahui

peternak tentang gejala penyakit adalah ayam yang mati mendadak, jengger bengkak

berwarna kebiruan, serta warna kulit yang kemerah-merahan .

Tabel 5. Persentase Responden yang Mengetahui Gejala Penyakit AI

Ringan Sedang Berat Total

Unggas Mati Tiba-Tiba 94.2 94.2 82.9 90.4

Bulu Tidak Teratur 2.9 2.1 9.6 4.9

Makan Sedikit 10.8 5.8 10.8 9.2

Suhu Panas 8.0 8.8 7.1 6.5

Mengantuk 9.2 7.1 6.3 7.5

Lemah 4.6 8.3 9.6 7.5

Jengger Bengkak Kebiruan 73.3 90.4 56.7 73.5

Kulit Kemerah-merahan 24.6 15.0 17.1 18.9

Diare 4.6 2.5 7.1 4.7

Susah Bernapas 2.5 10.4 15.8 9.6

Produksi Berhenti/turun 2.5 2.9 2.5 2.6

Warna Tinja Putih 6.3 13.3 12.1 10.6

Karkas Biru 7.5 25.0 21.3 17.9

Tahu Semua Item 8.0 2.1 2.5 2.6

4.5. Modal Sumberdaya

Status sosial ekonomi suatu rumah tangga dapat ditunjukkan dengan

kemampuan rumah tangga tersebut dalam mengalokasikan pendapatannya untuk

kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan ini dapat dibedakan menjadi kebutuhan primer

12

dan sekunder. Perilaku rumah tangga responden dalam kaitannya dengan manajemen

keuangan rumah tangga diketahui dengan membandingkan besarnya pengeluaran

sebelum dan sesudah terjadi wabah. Dari sini dapat dianalisis besar kecilnya dampak

yang ditimbulkan oleh wabah AI, baik langsung maupun tidak langsung dalam

pengeluaran uang untuk berbagai keperluan rumah tangga.

4.5.1. Pengeluaran untuk Kesehatan

Bagi sebuah keluarga, kondisi kesehatan yang prima merupakan dambaan,

termasuk responden dari studi ini. Hampir setiap rumah tangga menyediakan

anggaran untuk kesehatan keluarga yang besarnya disesuaikan dengan keadaan

keuangan. Dari data pengeluaran rumah tangga dapat diketahui besarnya alokasi

untuk memelihara kesehatan anggota keluarga. Tabel 6 menyajikan perbedaan

besarnya anggaran untuk kesehatan, sebelum dan sesudah wabah AI. Di semua lokasi

studi terjadi kenaikan pengeluaran untuk kesehatan yang cukup tinggi. Hal ini kalau

dikaitkan dengan terjadinya wabah AI, terasa aneh, karena wabah AI disatu pihak

menyebabkan kerugian bagi peternak, tetapi dipihak lain justru terjadi pengeluaran

untuk kesehatan. Salah satu kemungkinan adalah dimilikinya cadangan dana atau

tabungan oleh responden dan adanya prioritas keluarga untuk lebih memperhatikan

kesehatan keluarga, dalam rangka menghindari virus AI. Peningkatan yang relatif

tinggi terjadi dilokasi medium dan high incidence, yaitu pada peternakan yang bebas

AI.

Tabel 6. Rata-rata Pengeluaran untuk Kesehatan (Rp000)

Terserang Tidak terserang T o t a lNo Kejadian Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah

1. Ringan 297.31 633.83 276.62 454.16 290.7 576.2 2 Sedang 594.83 896.15 397.53 817.61 517.2 865.3 3 Berat 381.08 775.82 307.02 838.81 366.0 788.7

4.5.2. Pengeluaran untuk Pendidikan

Berbeda dengan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan, pengeluaran

untuk pendidikan mengalami penurunan, terutama terjadi di lokasi high incidence,

baik untuk ternak yang terinfeksi maupun yang bebas (Tabel 7). Demikian pula

terjadi sedikit penurunan di lokasi serangan sedang, yaitu pada rumah tangga yang

ternaknya terinfeksi AI. Data menunjukkan adanya dampak langsung wabah AI di

13

lokasi serangan berat. Namun demikian, dilokasi serangan ringan dan sedang, yaitu

untuk rumah tangga yang tidak terkena infeksi justru terjadi peningkatan biaya

pendidikan. Kalau dilihat menurut lokasi studi, maka penurunan terjadi dilokasi

serangan berat dan peningkatan terjadi dilokasi serangan ringan dan sedang. Perilaku

rumah tangga dalam alokasi biaya pendidikan, khususnya dilokasi serangan berat

mengindikasikan bahwa responden lebih melihat pentingnya aspek kesehatan

dibanding aspek pendidikan. Hal ini dapat diartikan bahwa responden masih lebih

mementingkan mencari solusi yang sifatnya jangka pendek belum ke jangka panjang.

Menjaga kesehatan menjadi lebih prioritas bagi sebagian responden karena biaya

pengobatan bagi anggota keluarga yang sakit biasanya tidak kecil. Dampak wabah AI

dalam hal ini menjadi jelas mempengaruhi anggaran rumah tangga untuk keperluan

kesehatan, bukan untuk biaya pendidikan, khususnya bagi responden dilokasi

serangan berat.

Tabel 7. Rata-rata Pengeluaran untuk Pendidikan (Rp000)

Kejadian Terserang Tidak terserang T o t a lNo

Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah1 Ringan 2,007.73 2,473.31 2,045.44 2,561.15 2,019.8 2,501.5 2 Sedang 2,518.62 2,411.51 1,711.28 2,524.71 2,201.1 2,456.0 3 Berat 1,606.15 1,590.30 1,879.92 1,317.61 1,662.0 1,534.6

4.6. Kesejahteraan 4.6.1. Pengeluaran untuk Konsumsi

Walaupun wabah AI merugikan secara ekonomi, ternyata bagi responden hal

ini tidak sampai menurunkan pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi sehari-hari.

Hasil survei justru menunjukkan terjadinya peningkatan pengeluaran untuk konsumsi

disemua lokasi studi. Peningkatan terbesar terjadi diantara responden yang tidak

mengalami wabah AI, terutama diantara responden dilokasi serangan berat, yaitu

kenaikan sebesar Rp. 2,5 juta/tahun, disusul oleh lokasi serangan sedang dan ringan,

masing-masing Rp. 1.8 juta/tahun dan Rp. 1.5 juta/tahun (Tabel 8). Kebutuhan dasar

berupa pangan sehari-hari untuk keluarga merupakan sesuatu yang tidak dapat

ditunda ketersediannya, kecuali mampu menahan lapar. Peningkatan pengeluaran

kemungkinan besar terjadi karena meningkatnya harga kebutuhan pokok, bukan

karena tingkat konsumsi yang meningkat. Artinya, dalam upaya memenuhi kebutuhan

dasar konsumsi keluarga yang jumlahnya relatif sama, responden harus meningkatkan

14

jumlah pengeluaran. Hal ini merupakan sesuatu yang positif bagi anggota keluarga

karena kebutuhan pokok pangan tidak dikorbankan karena terjadinya kenaikan harga.

Tabel 8. Rata-rata Pengeluaran untuk Konsumsi (Rp000)

KejadianTerserang Tidak terserang T o t a l

NoSebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah

1. Ringan 5,274.04 6,882.09 5,526.74 7,099.32 5,355.1 6,951.8 2 Sedang 7,142.39 8,876.38 6,282.68 8,116.65 6,804.3 8,577.6 3 Berat 7,656.57 7,864 6,224.49 8,790.22 7,364.2 8,053.1

4.6.2. Pengeluaran untuk Peralatan Rumah Tangga

Pengeluaran lain yang langsung berkenaan dengan anggota rumah tangga

adalah bentuk pengeluaran lain yang juga perlu dipenuhi oleh responden. Salah

satunya adalah kebutuhan peralatan rumah tangga, mulai dari alat-alat elektronik

untuk hiburan sampai alat-alat mask didapur. Pada lokasi serangan ringan, terjadi

kenaikan pengeluaran, sedang di lokasi serangan berat terjadi kenaikan hampir tiga

kali untuk peternakan yang terserang. Angka-angka di lokasi serangan berat sulit

untuk dikaitkan dengan kejadian wabah AI, karena peternakan yang terkena wabah

AI justru mempunyai kemampuan untuk membeli peralatan rumah tangga. Dari Tabel

9 menarik untuk disimak yaitu data dari lokasi serangan sedang yang angkanya

menunjukkan penurunan sebesar Rp. 881 ribu/tahun pada peternakan yang terkena

wabah, sedangkan pada peternakan yang bebas AI terjadi penurunan Rp. 843

ribu/tahun. Angka-angka ini dalam batas tertentu dapat menunjukkan keterkaitan

antara dampak AI dengan kemampuan rumah tangga yang menurun dalam

membelanjakan uangnya.

Tabel 9. Rata-Rata Pengeluaran untuk Peralatan Rumah Tangga (Rp000)

Kejadian Terserang Tidak terserang T o t a lNo

Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah

1 Ringan 481.91 974.06 554.41 787.14 505.2 914.1 2 Sedang 2,624.76 1,743.93 2,174.20 1,331.06 2,447.6 1,581.5 3 Berat 740.01 2,087.30 516.84 455.51 694.4 1,754.1

15

4.6.3. Pengeluaran untuk berbagai Kesenangan

Pengeluaran yang sifatnya untuk kesenangan, seperti bepergian kekota,

berkunjung ke saudara, berekreasi dsb. umumnya menempati prioritas yang lebih

rendah. Demikian pula besaran uang yang dikeluarkan rumah tangga untuk maksud-

maksud tersebut juga relatif kecil. Hal ini tampak diketiga lokasi studi, meskipun

besaran uang dilokasi serangan sedang relatif lebih besar dari kedua lokasi lainnya.

Dari besaran uang yang dikeluarkan, dapat diketahui bahwa responden belum banyak

yang mampu untuk melakukan hal-hal yang sifatnya “membuang uang”, berhubung

masih banyaknya kepentingan lainnya yang memerlukan pembiayaan. Dari Tabel 10

dapat dilihat adanya penurunan dilokasi serangan berat dan dilokasi serangan sedang,

khusus untuk yang terinfeksi, sedang dilokasi serangan ringan justru menunjukkan

adanya kenaikan.

Tabel 10. Rata-Rata Pengeluaran untuk Berbagai Kesenangan (Rp000)

Terserang Tidak terserang T o t a lNo Kejadian

Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah

1 Ringan 122.85 150.46 103.50 137.66 116.6 146.4 2 Sedang 670.34 266.34 217.98 317.55 492.4 286.5 3 Berat 177.96 116.38 184.69 176.53 179.3 128.7

4.7. Modal Sosial

4.7.1. Hubungan Sosial

Terjadinya wabah AI diperkirakan mengganggu hubungan sosial antar warga

masyarakat di lokasi studi. Hal ini disebabkan oleh meluasnya kekhawatiran baik

diantara peternak maupun non peternak, karena AI telah menimbulkan korban bukan

hanya pada ayam, tetapi juga korban manusia. Pemberitaan meluas di media massa

mengakibatkan semua pihak waspada terhadap dampak yang ditimbulkan oleh wabah

AI. Hasil survei menunjukkan ternyata tingkat hubungan sosial diantara masyarakat

relatif tidak terganggu, seperti dapat dilihat Tabel 11. Angka dalam Tabel 11

menunjukkan angka rata-rata dari berbagai variabel yang menjadi indikator

perubahan hubungan sosial dan dicantumkan dibagian bawah Tabel. Misalnya, secara

umum, peternakan yang terkena infeksi lebih banyak responden yang merasakan

bahwa wabah AI berpengaruh terhadap solidaritas masyarakat, dengan rata-rata 45

persen. Sebaliknya diantara peternakan yang bebas angkanya hanya 19 persen.

16

Menarik untuk disimak adalah peternak yang bebas wabah AI dilokasi high

incidence, kurang dari 10 persen yang merasa adanya perubahan hubungan sosial

karena wabah AI. Kuatnya rasa kekeluargaan di antara masyarakat dilokasi studi

mengakibatkan wabah AI tidak mampu mempengaruhi hubungan diantara warga

masyarakat. Perasaan kurang senang dari penduduk yang tidak memelihara unggas

akan terjadinya wabah AI mampu ditahan sehingga tidak terjadi antara pemelihara

dan bukan pemelihara unggas. Demikian pula tidak pernah dilaporkan adanya

retaknya hubungan antara desa yang terkena wabah AI dengan desa yang bebas.

Rupanya perkiraan dari luar tentang tergangunya hubungan sisal diantara warga

masyarakat tidak dapat diketemukan secara nyata dilokasi studi.

Tabel 11. Dampak wabah AI terhadap Hubungan Sosial Responden (%)

No Hubungan/konflik/solidaritas Antara1)

Terserang Tidak terserang

1 Ringan 36.2 17.62 Sedang 42.9 29.53 Berat 57.3 8.54 Total 45.4 18.6

Notes: 1) Hubungan antar warga, peternak dan non peternak, warga dan kantor dinas peternakan, warga dan kader desa, warga dan kantor desa, desa dan desa tetangga, konflik antara peternak dan non peternak, solidaritas peternak dan non peternak

4.7.2. Jejaring Sosial Networking

Jejaring sosial disini dimaksudkan jejaring yang dimiliki oleh peternak dengan

berbagai pihak yang berkaitan dengan usahanya, termasuk pemerintah, swasta dan

masyarakat. Kuatnya jejaring sosial tentu saja akan mampu meringankan beban yang

diderita oleh responden yang terkena terinfeksi AI. Tabel 12 menyajikan informasi

tentang apakah peternak menerima bantuan dan pihak lain ketika wabah AI muncul.

Secara keseluruhan hampir 80 persen peternak yang ayamnya terinfeksi tidak

memperoleh bantuan selama wabah, sedang bagi yang terkena wabah, hanya 36

persen yang tidak memperoleh bantuan. Disamping itu, keterlibatan berbagai pihak

seperti pihak tokoh desa setempat, aparat pemerintah dan rekanan bisnis ternyata

relatif minim perannya. Untuk lokasi studi dengan serangan ringan dan sedang,

ternyata peran rekanan bisnis lebih menonjol dibanding lainnya, meskipun hal seperti

ini tidak terjadi dilokasi serangan berat.

17

Tabel 12. Responden Penerima Bantuan dari Pihak Lain (%)

No Bantuan dari Terserang Tidak terserang1 Serangan Ringan

- Tidak ada 80.4 85.7- Pimpinan desa 6.7 3.9- Pemerintah 8.6 7.8- Rekan bisnis 11.7 16.9

2 Serangan Sedang- Tidak ada 58.2 61.7- Pimpinan desa 2.7 6.4- Pemerintah 5.5 4.3- Rekan bisnis 13.7 12.8

3 Serangan Berat- Tidak ada 92.7 89.8- Pimpinan desa 4.7 4.1- Pemerintah 10.5 2.0- Rekan bisnis 3.7 4.1

4 Total- Tidak ada 78.6 35.7- Pimpinan desa 6 2.7- Pemerintah 8.4 3.8- Rekan bisnis 9.2 4.2

Selain adanya bantuan dan peran berbagai pihak dalam kaitannya dengan saat

terjadinya wabah AI, dampak lain wabah terhadap berbagai aspek jejaring sosial juga

menjadi bagian dari informasi yang dikumpulkan. Jejaring sosial yang dimaksud

disini mulai dari solidaritas masyarakat sampai pada kemungkinan terjadinya depresi

psikis pada responden. Secara keseluruhan dari ketiga lokasi studi tampak bahwa 80

persen dari responden yang terkena wabah merasa bahwa wabah AI tidak

berpengaruh terhadap berbagai variabel jejaring sosial. Sedangkan hampir 20 persen

responden merasakan adanya peningkatan dari berbagai variabel tersebut.

4.7.3. Kebiasaan Sosial

Secara umum, kebiasan sosial adalah hal-hal yang biasa dipraktekkan oleh

masyarakat dan telah memperoleh legitimasi bersama. Kebiasaan sosial dalam studi

ini dikaitkan dengan praktek memelihara ayam, mulai yang menyangkut tentang

aturan masyarakat sampai kepada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan

keagamaan di lokasi studi. Artinya, apakah dengan adanya wabah AI terdapat

dampak yang dirasakan atau dialami responden. Dari berbagai variabel yang

ditanyakan, ternyata sebagian besar responden menyatakan bahwa wabah AI tidak

18

berdampak nyata terhadap berbagai variabel tersebut dan hal ini dapat dilihat pada

Tabel 13. Menarik untuk disimak adalah tentang kebiasaan mengkonsumsi ayam dan

telur serta praktek memelihara ayam yang terjadi dilokasi serangan ringan dan

sedang. Persentase responden yang menyatakan berdampak relatif lebih tinggi

dibanding dilokasi serangan berat. Sebaliknya praktek mencari pekerjaan akibat

berhentinya usaha peternakan banyak diakui oleh responden di lokasi serangan

sedang dan berat. Kedua hal ini menunjukkan ciri khas dari masing-masing lokasi

berkaitan dengan kebiasaan mereka akibat adanya wabah AI. Secara keseluruhan

Tabel 13 juga menunjukkan bahwa praktek memelihara ayam menjadi variabel yang

dipilih oleh sekitar 30 persen responden diketiga lokasi.

19

Tabel 13. Dampak Wabah AI terhadap Berbagai Kebiasaan Sosial (%)

Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat T o t a lNo.

Kebiasaan Sosial Terserang Tidak terserang

Terserang Tidak terserang

Terserang Tidak terserang

Terserang Tidak terserang

1 Kebiasaan masyarakat 12.3 9.1 4.1 4.3 2.1 4.1 6 5.92 Kesepakatan masy. 7.4 2.6 4.1 6.4 1.0 0 4 3.6

3Kebiasaan mengkonsumsi ayam/telur

21.5 14.3 19.9 16.0 3.1 2.0 14 12.3

4 Kebiasaan dalam memelihara ayam 20.2 16.9 57.5 66.0 13.1 4.1 28.4 35

5Kebiasaan dalam menjual ayam/telur

3.1 0 11.0 8.5 3.1 4.1 5.4 4.5

6 Kebiasaan dalam memotong ayam 7.4 7.8 1.4 3.2 0 0 2.8 4.17 Penggunaan ayam untuk upacara 3.1 1.3 0.7 0 0.5 4.1 1.4 1.48 Menjadikan ayam sebagai hobi 13.5 11.7 4.1 2.1 7.8 4.1 8.6 5.99 Keluarga mencari pekerjaan 0.6 1.3 24.0 23.4 46.6 20.4 25 15

10 Perempuan mengelola bisnis 3.1 3.9 8.2 8.5 2.1 2.0 4.2 5.4

11Perempuan dalam pemasaran ayam/telur

1.8 2.6 4.8 3.2 3.1 6.1 3.2 3.6

12Kelompok dalam menentukan harga jual

0 1.3 6.2 8.5 0 0 1.8 4.1

13Kelompok dalam penyediaan fasilitas farm

0.6 1.3 6.2 9.6 1.0 0 2.4 4.5

14Perubahan dalam praktek beragama

0.6 0 9.6 5.3 1.0 0 3.4 2.3

20

4.7.4. Kepercayaan Sosial

Kepercayaan sosial dimaksudkan sebagai kepercayaan diantara penduduk desa,

kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan informal serta kepercayaan masyarakat

terhadap pemerintah. Hasil survei memperlihatkan bahwa tingkat kepercayaan diatas

tidak banyak berubah seperti dinyatakan secara keseluruhan oleh lebih dari 80 persen

responden, seperti dapat disimak pada Tabel 14. Hasil ini antara lain mengungkapkan

bahwa terjadinya wabah AI tidak sampai merusak kepercayaan yang selama ini dibangun

oleh masyarakat dilokasi studi. Kekuatan ini merupakan salah satu modal sosial yang

dimiliki oleh warga masyarakat dan terus dipelihara sepanjang waktu serta telah teruji

kekuatannya. Meskipun demikian, perlu juga dilihat angka kepercayaan sosial diantara

peternak yang terkena wabah dilokasi serangan sedang yang relatif rendah, dibanding

dengan di kedua lokasi lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lambannya respon

dari pimpinan informal dan aparat pemerintah dalam menghadapi wabah AI. Demikian

pula, responden di lokasi serangan sedang juga relatif lebih banyak yang menyatakan

adanya penurunan kepercayaan mereka, terutama pada pemerintah, yaitu sekitar 17

persen.

21

Tabel 14. Dampak Wabah AI Terhadap Berbagai Kepercayaan Sosial (%)

Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat T o t a lNo.Kepercayaan Sosial Terserang Tidak

terserangTerserang Tidak

terserangTerserang Tidak

terserangTerserang Tidak

terserang1 Antar warga

- Tidak berdampak 87.7 89.6 74.7 89.4 97.9 100 87.8 91.8- Meningkat 9.8 10.4 2.0 4.3 1.0 0 4.2 5.4- Berkurang 0 0 13.0 3.2 0.5 0 4.0 1.4

2 Terhadap pimpinan informal - Tidak berdampak 94.5 97.4 66.4 88.3 90.6 87.8 84.8 91.4- Meningkat 3.1 1.3 17.8 4.3 2.1 0 7.0 2.3- Berkurang 0.6 1.3 7.5 5.3 3.7 2.4 3.8 3.2

3 Terhadap pemerintah- Tidak berdampak 96.3 98.7 66.4 67.0 88.5 85.7 84.6 82.3- Meningkat 0.6 1.3 8.9 6.4 1.6 2.0 3.4 3.6- Berkurang 1.2 0 18.5 16.0 7.3 2.0 8.6 7.3

22

4.7.5. Organisasi Sosial

Secara keseluruhan lebih dari 80 persen responden menyatakan bahwa wabah AI

tidak sampai mempengaruhi atau berdampak terhadap jumlah organisasi. Demikian pula wabah

tidak mempengaruhi jumlah anggota dan menyebabkan berubahnya frekuensi pertemuan yang

biasa diadakan. Diantara usaha peternakan yang terkena dan tidak terkena infeksi, hasil survei

memperlihatkan relatif tidak terdapat perbedaan, seperti dapat dilihat pada Tabel 15. Sebagian

responden di lokasi dengan serangan sedang justru menyatakan bahwa wabah AI menyebabkan

peningkatan kinerja organisasi secara umum. Hal ini mungkin karena adanya proses belajar

dari pengalaman, sehingga responden berinisiatif untuk berorganisasi lebih baik.

Tabel 15. Dampak Wabah AI terhadap Organisasi Sosial (%)

No Aspek Organisasi Terserang Tidak terserang

Tidak berdampak

Meningkat BerkurangTidak

berdampakMeningkat Berkurang

1 Serangan ringan- Jumlah organisasi 87.1 7.4 - 92.2 5.2 -- Jumlah anggota 85.3 8.6 - 92.2 5.2 -- Frekuensi rapat 84.7 8.0 - 92.2 5.2 -

2 Serangan sedang- Jumlah organisasi 79.4 10.3 2.0 85.1 10.6 1.1- Jumlah anggota 78.1 8.2 5.5 71.3 8.5 13.8- Frekuensi rapat 78.8 13.7 0.7 75.3 17.2 2.1

3 Serangan berat- Jumlah organisasi 74.9 0.5 10.5 79.6 - 2.0- Jumlah anggota 70.2 - 12.0 75.1 - -- Frekuensi rapat 68.6 - 12.6 79.6 - -

4 Total- Jumlah organisasi 80.2 5.6 4.6 86.4 6.4 0.9- Jumlah anggota 77.4 79.5 5.4 5.9- Frekuensi rapat 76.8 82.3 9.1 0.9

Namun demikian, informasi berbeda diperoleh dari lokasi serangan berat, yaitu terjadi

penurunan kinerja organisasi, meskipun hanya dinyatakan oleh sekitar 10 persen dari responden

yang terkena wabah. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh semangat yang menurun akibat

menderita karena wabah. Organisasi yang terdapat di ketiga lokasi studi dinilai cukup tangguh

dalam menghadapi wabah AI, seperti ditunjukan oleh hasil survei tersebut. Namun demikian,

masih perlu diupayakan peningkatan lebih lanjut agar keberadaan organisasi berkaitan dengan

23

usaha peternakan mampu menjembatani berbagai kebutuhan anggota. Upaya ini dapat dilakukan

melalui berbagai pelatihan secara terprogram, sehingga manfaat adanya organisasi benar-benar

dapat dinikmati oleh seluruh anggota dan bukan hanya sekedar pertemuan arisan, seperti banyak

ditemui dilokasi studi.

4.7.6. Keputusan

Pengambilan keputusan disini antara lain untuk mengetahui peran kaum perempuan ikut

berpartisipasi dalam usaha peternakan keluarga, terutama dalam hal pengelolaan bisnis sehari-

hari, pemasaran dan hubungan ke masyarakat. Tuntutan peran perempuan untuk hal-hal tersebut

secara tidak disadari telah menjadi tugas dan keharusan perempuan dalam rumah tangga

peternak. Memang diakui, ketelitian dalam bekerja, kesanggupan dalam bernegosiasi serta

penempatan diri di masyarakat dari suatu rumah tangga sering menjadi dominasi perempuan.

Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak menganggap wabah AI

mempunyai dampak untuk ketiga variabel tersebut dan secara keseluruhan, lebih dari 90 persen

responden menyatakan hal tersebut. Peningkatan peran tampaknya tidak terlalu berarti, karena

angkanya kurang dari 10 persen, baik untuk yang terkena wabah maupun yang tidak terkena.

Selain itu, informasi tentang pengambilan keputusan juga dilihat dari peran penyuluh

dalam menyampaikan informasi tentang adanya wabah AI, peran asosiasi peternak dalam

memotivasi peternak untuk menentukan harga jual serta peran asosiasi dalam memotivasi

peternak untuk memiliki berbagai fasilitas untuk usaha peternakan. Hasil survei menunjukkan

bahwa secara keseluruhan dampak AI tidak mempengaruhi peran penyuluh dalam

menyampaikan informasi, seperti dinyatakan oleh lebih dari 70 persen responden. Dari Tabel 17

dapat dilihat bahwa lokasi serangan sedang kondisinya relatif lebih baik dibanding dua lokasi

lainnya. Selain hanya dinyatakan oleh sekitar 60 persen dari responden, jumlah responden yang

menyatakan terjadinya peningkatan juga relatif lebih tinggi, terutama dilokasi yang tidak terkena

wabah AI. Demikian pula, peran asosiasi juga relatif tidak terkena dampak akibat wabah AI,

seperti dinyatakan oleh lebih dari 85 persen.

24

Tabel 16. Dampak Wabah AI terhadap Peran Perempuan dalam Pengambilan Keputusan (%)

Terserang Tidak terserangNo Peran Perempuan Tidak

berdampakMeningkat Tidak tahu

Tidak berdampak

Meningkat Tidak tahu

1. Serangan Ringan- Manajemen Unggas 88.3 9.8 1.8 90.9 7.8 1.3- Pemasaran Produk 90.8 7.4 1.8 94.8 5.2 -- Hubungan ke Masy. 90.2 1.2 8.6 92.2 1.3 6.5

2 Serangan Sedang- Manajemen Unggas 87.0 8.2 2.7 88.3 10.6 1.1- Pemasaran Produk 91.8 5.5 2.0 88.3 10.6 1.1- Hubungan ke Masy. 93.1 .7 4.1 91.5 6.4 2.1

3 Serangan Berat- Manajemen Unggas 95.3 2.1 2.1 93.9 - 6.1- Pemasaran Produk 95.3 1.6 2.6 93.9 - 6.1- Hubungan ke Masy. 94.8 1.6 3.7 93.9 - 6.1

4 Total- Manajemen Unggas 90.6 6.4 2.2 90.4 7.3 2.3- Pemasaran Produk 92.8 5.2 2.2 91.8 6.4 1.8- Hubungan ke Masy. 92.8 1.8 5.4 92.3 3.2 4.5

Tabel 17. Dampak Wabah AI terhadap Peran Penyuluh dan Asosiasi dalam PengambilanKeputusan (%)

Terserang Tidak terserangNo Peran Penyuluh Tidak

berdampakMeningkat Tidak tahu

Tidak berdampak

Meningkat Tidak tahu

1. Serangan Ringan- Peran Penyuluh 74.2 19.6 5.5 81.8 14.3 3.9- Asosiasi - harga 92.2 1.2 6.8 88.3 1.3 10.4- Asosiasi-fasilitas 93.2 1.2 5.5 89.6 2.6 7.8

2 Serangan Sedang- Peran Penyuluh 67.8 26.7 5.5 63.8 34.0 2.1- Asosiasi - harga 84.9 4.1 11.0 77.7 12.8 9.6- Asosiasi-fasilitas 78.1 8.9 13.0 78.7 12.8 8.5

3 Serangan Berat- Peran Penyuluh 70.2 23.0 5.2 75.5 16.3 8.2- Asosiasi - harga 91.6 - 7.3 91.8 - 8.2- Asosiasi-fasilitas 91.6 - 6.8 89.8 4.1 6.1

4 Total- Peran Penyuluh 70.8 23.0 5.4 72.7 23.2 4.1- Asosiasi - harga 89.8 1.6 8.2 84.5 5.9 9.5- Asosiasi-fasilitas 88.2 3.0 8.2 85.0 7.3 7.7

25

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

5.1. Kesimpulan

1. Kerugian yang ditimbulkan wabah AI disebabkan terutama oleh kematian unggas yang

tinggi, penurunan produksi dan permintaan hasil ternak menurun. Selain itu, penyebab

lain adalah dari aspek manusia, yaitu peternak skala kecil tidak mempunyai tingkat

pendidikan yang cukup dan hampir tidak mungkin melakukan biosecurity yang

membutuhkan biaya dengan keuntungannya yang belum nyata. Pilihannya adalah tidak

beternak atau biosecurity dumumnya mereka memilih beternak.

2. Dampak wabah AI di suatu wilayah tidak menyebabkan kerusakan kekayaan sosial yang

ada, namun terindikasi bahwa semakin padat populasi ayam dan peternak dalam sebuah

desa, maka semakin berat wabah AI yang terjadi, yang dicirikan oleh banyak usaha

ternak yang berhenti akibat kematian ayam yang tinggi. Sebaliknya, di wilayah kontrol

(serangan rendah), letak peternakan relatif berjauh dari pemukiman dan dalam desa yang

relatif jarang penduduknya, sehingga kejadian wabah AI relatif jarang. Implikasi dari

keadaan ini adalah perlunya usaha peternakan sektor 4 dipindahkan ke desa-desa yang

kerapatan penduduk dan ternaknya rendah.

3. Wabah AI tidak merusak keadaan sosial di pedesaan tetapi merusak sendi-sendi

perekonomian pedesan yakni teradinya kerusakan sistem ekonomi yang telah eksis,

meningkatkan pengangguran, peningkatan migrasi dan sebagainya. Keadaan sosial yang

tidak berubah tersebut tidak menjadi jaminan bagi tidak terjadinya wabah AI pada masa

mendatang. Hal ini disebabkan sebetulnya masyarakat memiliki kepekaan yang rendah

terhadap wabah AI, sebagai akibat lemahnya sosialisasi pemerintah, tingkat pendidikan

masyarakat yang rendah, rasa setiakawan yang tinggi dan tidak ada pilihan usaha lain.

4. Sebuah desa seperti desa lokasi penelitian telah berubah menjadi sebuah ”Peternakan

Skala Besar” yang menempati desa tersebut. Pada umumnya, sebuah desa peternakan

semacam itu telah mempunyai organisasi dan hubungan sosial dan hubungan kerja antara

masyarakat. Hubungan ini hanya dapat dipertahankan jika peternak skala kecil bangkit

kembali. Recovery tidak berlangsung dengan cepat di lokasi serangan berat, karena

sebagian besar peternak tidak mempunyai pilihan lain selain usaha unggas. Kebangkrutan

usaha unggas berarti kebangkrutan ekonomi rumah tangga.

26

5. Peternak baik diwilayah kontrol maupun wilayah terserang berat, tidak begitu respon

dengan program pengendalian wabah AI yang dilakukan pemerintah. Sebagian besar

peternak tidak mengetahui dengan baik terhadap program pengendalian wabah AI. Tetapi

peternak bersedia melakukan suatu program jika program tersebut tidak menimbulkan

kerugian dan tambahan biaya bagi peternak. Program vaksinasi adalah program yang

banyak diterima oleh peternak karena program ini merupakan bantuan gratis dari

pemerintah. Dalam hal pemusnahan ayam terserang, peternak hanya mau melakukan jika

petugas pemerintah bersama mereka, sebaliknya jika tidak ada petugas, peternak akan

menjual ayam sakit tersebut, sebagai tambahan pendapatan keluarga.

5.2. Implikasi Kebijakan

1. Saatnya sekarang dinyatakan bahwa usaha ternak skala kecil tidak diperbolehkan lagi

dalam bentuk mandiri, harus dalam bentuk kemitraan dengan sistem inti-plasma. Sistem

ini menjamin lalu lintas input dan output yang aman dan termonitor. Pada sisi lain,

penempatan usaha skala kecil harus terpisah dari sektor usaha backyard. Ini berarti

diperlukan program agar usaha skala kecil dipindahkan dari pemukiman pedesaan yang

padat. Perlu ada rumusan baku spesifik lokasi tingkat kepadatan jumlah penduduk

terhadap total areal dan berapa jumlah ternak sektor E yang dapat berada di wilayah tsb.

2. Untuk mengurangi kesemrawutan arus lintas input, maka dibutuhkan adanya tata tertib

pengemasan dan sistem alat angkut yang digunakan. Hal lain adalah peternak skala kecil

dilarang menjual ayam hidup, tetapi hanya diizinkan menjual karkas. Dengan demikian,

setiap peternak skala kecil harus menyediakan sebuah peralatan potong ayam, atau

bermitra. Peternak skala kecil hanya dapat menjual ternak hidup kepada mitra, dan mitra

berkewajiban menyediakan sarana angkutannya yang aman.

3. Atas dasar itu, perlu dirumuskan suatu paket strukturisasi skala kecil dan backyard dalam

kaitannya dengan sektor A, B dan C. Rencana restruktusasi tersebut pada dasarnya

adalah dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan sektor C dan skala kecil

dengan tidak meninggalkan penataan lingkungan hidup yang nyaman. Implementasi

praktis dari restrukturisasi adalah diwujudkannya model peternakan skala kecil.